Pencarian

Dewi Maut 20

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat
kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih
mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok
ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan
mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi
satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.
Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka
telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki
tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan
mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang
bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang
pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain
adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!
"Ha-ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap
mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu,
kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.
"Inikah pemimpinnya?" terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya
yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-
besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari
lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.
"Benar, twako!" jawab seorang di antara mereka. Mereka semua menyebut twako
kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya,
terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja
menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan
segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai
nyonya besar! Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani
memasuki Padang Bangkai" Siapakah kalian?"
Bhe Kiat Bwee menjawab berani, "Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan
kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong."
"Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa
wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta
Giok-hong-pang" Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?" Coa-tok
Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap
suaminya. "Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang
menjadi pemimpin, siapa namamu?"
"Namaku Bhe Kiat Bwee."
"Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?"
"Dia adalah pelayan kami."
"Pelayan" Pelayan saja" Wah, kenapai pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak
dibunuh saja?" Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.
"Membunuh mereka sekarangpun belum terlambat, twako." kata seorang anak
buahnya yang bermata merah dan dia sudah menggerakkan tangan, memukul ke arah
kepala seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.
"Plakk! Aduuuuhhh...!" Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur,
memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li,
ketika nyonya itu menangkisnya. Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar
berbulu yang nampak kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak
kesakitan ketika tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus
dari Coa-tok Sian-li. "Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?" Nyonya itu
membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih
tersenyum. "Ampunkan saya, twanio..." Laki-laki bermata merah itu menjura dengan
ketakutan. "Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya,
suruh mereka mandi yang bersih!" kata pula nyonya itu dan si mata merah
mengangguk-angguk, kemudian bersama seorang kawan lain dia membawa pergi dua
orang laki-laki yang ditawan itu.
"Ha-ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. "Engkau sungguh masih
bernafsu besar, isteriku. Sekaligus mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah,
jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha, kau membikin
aku menjadi iri, isteriku! Perempuan inipun kelihatannya boleh juga!" Dia lalu
menggerakkan tangan ke depan.
"Breeeetttt...!" Sekali dia merenggutkan dengan tangannya yang kuat,
robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar
dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian
depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.
"Ha-ha-ha, benar dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!" perintahnya
dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.
"Mereka ini adalah musuh-musuh kita," kata pula Coa-tok Sian-li, "Boleh
kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu
semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah,
bawa mereka pergi!" Para anak buah itu bersorak girang dan seperti harimau-harimau kelaparan
mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat
tak berdaya itu. Terdengar jerit dan rintih di antara mereka, diseling gelak
tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu
dari situ. Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam
beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora
memuaskan nafsu mereka secara buas sekali! Dua belas orang wanita anggauta Giok-
hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara daging dan arak, mereka
dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih
mengerikan daripada kebuasan binatang liar manapun juga! Sukar untuk melukiskan
keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang
diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Makin hebat
wanita-wanita itu merintih dan menangis, makin menggila lagi tingkah polah anak
buah Padang Bangkai, makin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara
tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka sebagai suara nyanyian yang
membangkitkan gairah birahi.
Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu
tentu akan merasa muak, ngeri dan juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia
yang demikian ganas dan buas, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan.
Akan tetapi, kalau dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang
berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan
lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi. Di dalam kamar ini, suami isteri Ang-
bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga sedang berpesta, sama saja dengan anak buah
mereka, pesta penuh nafsu berahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu
membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan
nafsu-nafsu mereka secara terbuka! Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah
menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe
Kiat Bwee dan dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan dua
orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu berahi mereka, dalam
keadaan setengah sadar mereka itu memenuhi segala keinginan suami isteri itu
melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu membuat mereka malu
bukan main. Namun, mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka dapat
melakukan apapun juga untuk melampiaskan dorongan mujijat yang membangkitkan
gairah nafsu berahi mereka.
Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh
pelayanan dua orang laki-laki muda yang
dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka pergi keluar kamar dan
tak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing
kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang dipelihara oleh nyonya ini di dalam
kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari dua orang pria itu
yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu, sampai akhirnya
teriakan-teriakan itu makin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali dan yang
terdengar hanya suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar
dan Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan
mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan.
Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia
melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini
mendengkur dengan enaknya!
*** Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju
ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid Hek I
Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah
mengenal jalan, dan telah diberi tahu akan rahasia dan keganasan tempat-tempat
itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat
padang rumput hijau dan lain bagian yang berbahaya, melainkan dia hendak
langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu.
Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu
besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-
rintihan wanita! Tak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncul lima
belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang
Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang
wanita yang kesemuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam
keadaan menyedihkan sekali.
"Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!"
"Semalampun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti semalam selama
tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!"
"Akupun sudah puas!"
"Dan mereka ini bisa menjemukan!"
Si Kwi yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar
dan dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak
boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita
telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah
padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali! Hampir saja
dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya
sendiri. Hanya matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanata-wanita itu
dilemparkan dan jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera
terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja
tenggelam sampai ke pinggang!
"Aughhhh... tolooongggg...!"
"Aduhhh... lepaskan aku...!"
Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu
meronta, tubuh mereka amblas makin dalam. Lima belas orang anggauta Padang
Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seolah-olah penglihatan itu merupakan
tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Bahkan mereka mulai
bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang paling tahan lama!
Si Kwi hampir tidak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua.
Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai
digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan
tentang tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh
telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah. Wanita-wanita itu makin hebat
meronta-ronta, ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis di wajah mereka
dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai
terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram. Tentu
saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita lainnya menjadi makin ketakutan.
Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang
melihat betapa semua temannya lenyap dari merasakan seluruh tubuhnya seperti
ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba tertawa bergelak. Melihat wajah yang
cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya menjadi liar, Si Kwi bergidik dan
maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya!
Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini,
sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan
dari wanita itupun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan
matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang
mengerikan inipun lenyap. Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita
itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seolah-olah mendapat rabuk dari
mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari
tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa memperdulikan lima belas
orang itu. "Heiii... masih ada satu...!" Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka
semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.
"Ah, bukan! Dia bukan teman mereka."
"Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!"
Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai,
seperti sekumpulan srigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak
menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu,
juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-
hong-pang, mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Kalau mereka semalam
berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena majikan
mereka yang memberi ijin! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru,
seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.
"Hei, nona! Siapakah engkau?" tanya si mata merah yang agaknya selalu
menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu.
Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka. "Siapa
adanya aku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!"
jawabnya. Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.
Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!"
"Tunggu aku menjinakkan dia!"
"Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!"
"Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!"
Si mata merah yang melihat sikap Si Kwi begitu menantang, menjadi curiga dan
dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah
maju menghadapi Si Kwi. "Nona, engkau telah memasuki wilayah kami, maka harus
mengaku siapa nama dan mau apa engkau melanggar wilayah kami."
"Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok
Sian-li!" kata Si Kwi.
"Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!" terdengar teriakan, dan mereka kini
mengurung makin rapat. "Tunggu...! Biar kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin
bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali."
"Biarlah aku mencobanya!"
"Aku saja!" "Biar kutangkap dia untukmu!"
Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk
ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali
untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya.
Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan
sekali, dia dapat melampiaskan kebenciannya terhadap laki-laki yang dianggapnya
sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergapnya
dari depan belakang, dia cepat mengubah kedudukan kakinya dengan miringkan tubuh
sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan
dari kanan kiri. Kedua tangannya bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan
kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.
"Hukk! Hukk!" Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah
terhenti, dan pada saat itu, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka
dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali,
tubuh mereka telah terlempar ke arah rumput hijau!
"Bress! Bress!" Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat
terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke
dada! "Tolonggg...! Tolooonggg...!" Mereka berteriak dengan mata terbelalak
ketakutan, dan karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali
tidak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-
sini. Tentu saja teman-temannya menjadi terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan
tali panjang, lalu melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas
orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu.
"Aduhh... aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan
itu...!" yang seorang berteriak-teriak ketakutan, merasa seolah-olah tubuhnya
yang terbenam itu dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang
menjadi korban keganasan mereka tadi.
"Auwwww... aduhhh... mati aku...!"


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.
Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat
aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh
mercka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka tertawa geli ketika melihat bahwa
yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata ditempeli seekor lintah besar
pada anggauta rahasianya!
"Eh, mana dia?"
"Iblis betina itu telah pergi!"
"Itu lihat...! Dia menuju ke sarang kita!"
"Kejar...!" Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah
terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang sudah berlari
cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya
pula, memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu
ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan
tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak
ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan. Yang berbahaya adalah jalan yang
ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan, akan tetapi
jalan inipun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal
daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya.
Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama
isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah
telanjang itu masih belum dilepaskannya, wanita yang belum sadar benar karena
terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang
gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, sedangkan Coa-tok
Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.
Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh
dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, dan
Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi
tiba di depan mereka, gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu
tentu lupa lagi kepadanya, dan biarpun dia pernah melihat suami isteri ini, akan
tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini
datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga. Setelah dia
tadi menyaksiken kebuasan anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita
itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang
pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai
lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Twako! Twako...! Dia telah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah
dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!" dari jauh si mata merah sudah
berteriak-teriak. "Ahhhh?"" Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan
didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee
tidak marah, malah tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini sudah menjadi
setengah gila karena minum obat bius.
"Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!" Ang-bin Ciu-kwi yang sudah
menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, cepat menubruk dan dalam
tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan
tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada
gadis itu dalam pukulan yang dahsyat!
Si Kwi terkejut sekali. Tak disangkanya dia akan diserang oleh majikan
Padang Bangkai itu. Akan tetapi, karena hatinya sudah tidak senang kepada
mereka, timbul keinginannya untuk melawan dan melihat sampai di mana kepandaian
majikan Padang Bangkai yang sikapnya menjemukan hatinya itu. Mengandalkan gin-
kangnya yang istimewa, Si Kwi dapat mengelak dan balas menendang dari samping ke
arah lambung majikan Padang Bangkai itu.
"Ahh!" Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu
dapat mengelak demikian mudahnya dari serangannya tadi, bahkan dapat membalas
serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan
kanan untuk menangkap kaki gadis itu. Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan
kakinya tertangkap, dia menarik kakinya dan dengan loncatan kilat dia sudah
berada di sebelah kiri lawan dan dari sini dia menggunakan tangan terbuka
menampar ke arah tengkuk lawan.
"Plakk!" Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan
tetapi si Setan Arak itupun terkejut.
"Wah, boleh juga gadis ini!" serunya dan dia kini dengan gembira menubruk
lagi. Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak
yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi.
"Aihhh...!" Si Kwi menjerit dan biarpun dia sudah cepat meloncat namun tetap
saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi.
"Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa
dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum.
Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal
tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya
siang-kiamnya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang
dengan ganasnya. "Wah-wah-wah, hebat juga... ganas... hemm..." Ang-bin Ciu-kwi cepat mengelak
dan menggerakkan gucinya menangkis. Terdengar bunyi berkentrangan nyaring ketika
sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin
Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini,
dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh
sepasang pedang Si Kwi yang telah berobah menjadi dua gulungan sinar pedang yang
amat cepat gerakannya itu.
"Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?"
Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak. "Bantulah aku menangkap gadis ini..."
"Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?" isterinya
mencela. "Aaaahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak
akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku
berjanji!" Tentu saja Si Kwi menjadi makin marah dan dia membentak, "Mampuslah!"
Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi
repot juga. Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus, "Bocah sombong, robohlah!"
Si Kwi mendengar suara halus dan maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata
rahasia halus menyambar ke arahnya. Cepat dia mengelak dan dia berhasil
menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk dan kedua
pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tak dapat
diketahuinya. Tiba-tiba dia merasa pergelangan kakinya seperti digigit semut,
kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia!
Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan menotoknya sehingga gadis itu tidak
dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu
memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa.
Terdengar suara wanita terkekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-
kwi, merangkul dengan sikap manja.
"Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk
dibagi rata ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke
arah lima belas orang anak buahnya. Tentu aaja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee
yang masih montok itu dengan gembira. Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit
ketika dia dipeluk dan diciumi banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi.
Terdengar suara ketawanya yang lambat-laun berobah menjadi pekik dan terdengar
wanita itu menjerit-jerit menyayat hati.
"Kau jadi milikku sekarang, ha-ha. Kau perawan liar, kepandaianmu boleh
juga!" Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang
tersenyum saja. "Lepaskan aku! Lepaskan...! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!" Si Kwi
yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih
mengerikan daripada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta.
Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium. "Ah" Murid Hek I
Siankouw yang berada di Lembah Naga?" Dia meragu.
"Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!" tiba-tiba Coa-tok Sian-li
berkata dan diapun bangkit dari tempat duduknya. "Akan tetapi kita jangan
membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran mengapa Hek I Siankouw mengutus
muridnya menyelidiki tempat kita." Dia lalu memberi obat kepada mata kaki Si Kwi
yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia
berkata lagi, "Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia
sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!"
Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh
gadis itu dan bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia
dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang
pelayan pria dari Giok-hong-pang itu. Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke
atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata, "Kaubantu aku
memeganginya setelah kubebaskan totokannya, isteriku!"
Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi.
Mereka itu menjadi budak-budak nafsu berahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka
nonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu berahi mereka
sendiri. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling
menonton apabila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain!
Kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa
seorang gadis yang mereka tawan!
Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan
Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi
kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang
telah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biarpun
hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti
suaminya. "Lepaskan aku...!" Si Kwi menjerit ngeri. "Aku... aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!"
"Ahhh...?" Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar
pengakuan ini. Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek
iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan
berpengaruh. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri
ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya dan dia telah berada di
ambang malapetaka yang amat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah
keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu.
Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-
kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat.
"Benarkah...?" Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat.
"Siapa membohong" Aku datang atas perintah mereka!" kata pula Si Kwi.
"Akan tetapi, mengapa tidak kaukatakan sejak tadi?" Ang-bin Ciu-kwi
bertanya. "Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kaulanjutkan perbuatanmu yang
terkutuk dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!" Si Kwi
menggertak. Suiami isteri yang memang amat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu
segera melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok
Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi
untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek.
Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si
Kwi memakai pakaian nyonya rumah. "Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!"
bentaknya. "Eh... maafkan kami, maafkan aku..." Ang-bin Ciu-kwi berkata sambil
menenggak araknya. Sedikitpun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di
depan mulutnya, tinggal telan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja
dia tidak berani nekat setelah mendengar nama kakek dan nenek yang amat
ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan
tandingan kakek dan nenek itu.
Sebetulnya kami tidaklah salah," Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang
gadis itu yang sudah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan
sinar mata penuh kebencian, lalu diapun duduk di dekat gadis itu. "Mengapa kau
tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?"
Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan
kebenciannya karena mereka ini benar-benar tangguh. "Semua adalah salahnya anak
buah kalian," katanya, "Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku."
"Sudahlah," Coa-tok Sian-li menghibur. "Untung belum sampai terjadi hal-hal
yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?"
"Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua
locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus
aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka."
"Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak
gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua
orang kakek dan nenek iblis itu!
Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian!
Lalu dia menjawab perlahan, "Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa
menurut perkiraan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-
musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan
jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan tangguh mampu melewati Padang
Bangkai, kalian harus cepat-cepat memberi khabar ke Lembah Naga."
"Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya. "Harap sampaikan
kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar mereka jangan khawatir. Kami telah
siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang
Bangkai!" "Hemm, ucapan bagus akan tetapi kosong!" Si Kwi berkata sambil memandang
marah. "Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu tentang keadaan yang
kulihat di sini" Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa
wanita, dan kulihat majikan mereka sendiripun sama saja, bahkan yang memberi
contoh! Sungguh menjijikkan!"
Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan terheran-heran ketika
melihat stmmi isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah
gila atau mabok, pikirnya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kaulaporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah
Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita dan enam orang
pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau telah melihat
betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan" Dan perempuan
yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada
ji-wi locianpwe bahwa kami telah membasmi tiga puluh orang wanita dan enam orang
pria, semua anggauta-anggauta Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi
tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!"
Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih
mengomel. "Hemmm, kiranya mereka adalah fihak musuh" Mengapa mereka tidak
dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu" Kalian adalah iblis-iblis keji,
bukan manusia!" Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa
harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidek
mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya
akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali.
Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari
semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan
dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa
ketidaksenangan hatinya terhadap suami isteri itu.
"Bagaimana pendapatmu tentang dia?" Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada
isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan
pergi. "Hemm, heran mengapa ji-wi locianpwe mempergunakan orang macam dia. Dia
berbahaya sekali, dan setelah dia datang, entah bagaimana nasib kita nanti,"
jawab isterinya. "Bagus! Akupun berpikir demikian. 0rang seperti dia harus ditundukkan, kalau
tidak bisa berbahaya untuk kita!"
"Kau benar," isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari
saku bajunya. "Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk,
habiskan saja!" Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan
mencium mulut isterinya. "Kau manis!" Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa
guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil
jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu.
Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka
khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci
perbuatan mereka mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh
mereka itu, dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja
menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga
kalau-kalau Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang
penghinaan itu. Kalau demikian, bisa berbahaya untuk mereka. Maka keduanya


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersepakat untuk menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan
hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang
pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee. Kalau perawan itu menyadari
kemudian bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar
"suka sama suka", tentu saja melalui obat bius itu, tentu gadis itu tidak berani
lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis
masih memperlihatkan sikap bermusuh, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu
pura-pura tidak tahu akan kedatangannya.
Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa
tidak senang sekali. Dia merasa menyesal mengapa subonya kini bergaul dengan
segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia
harus bersekutu dengan orang-orang macam itu! Gadis ini merasa menyesal sekali
dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya.
Kalau teringat akan subonya, dan teringat akan supeknya, Hwa Hwa Cinjin yang
telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara,
ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis,
kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang
Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia meninggalkan tempat itu jauh-jauh
dan tidak mencampuri urusan mereka!
Akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia
mengambil keputusan tetap untuk meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan!
Dia bukanlah seorang penjahat, tidak! Dia biasanya malah menentang dan memusuhi
penjahat-penjahat macam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka!
Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh,
lebih baik mati kalau begitu. Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun
langkah lebih cepat menuju ke pintu gerbang selatan di mana terudapat jembatan
yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak
seorangpun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan
Padang Bangkai itu. Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan
diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah
bahayanya tempat yang menyeramkan itu. Kini, tentu saja para anak buah Padang
Bangkai tahu bahwa Si Kwi telah meninggalkan rumah majikan mereka, akan tetapi
karena mereka maklum bahwa gadis itu ternyata bukan musuh melainkan utusan dari
Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis
itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan!
Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang
terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari
pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong
jalan gadis itu, lalu menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa
gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain.
Si Kwi merasa menyesal dan juga berduka. Mengapa gurunya rela bergaul dengan
orang-orang macam itu" Sejak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu
bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Dia tahu
bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam
atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu. Dendam-
mendendam itu membuat gurunya akhirnya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-
manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu.
Mengerikan! Dia tahu bahwa sebenarnya subonya bukanlah seorang jahat, hanya
karena terseret-seret dalam dendam maka terpaksa bersatu dengan orang-orang
golongan hitam. Kini subonya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-
li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis
perkasa Yap In Hong itu. Si Kwi menyesal sekali. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-
satunya keluarganya hanyalah subonya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan
subonya karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang
dari kaum sesat. Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang
aman dari gangguan ular-ular berbisa den binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba
alang-alang di depan bergoyang dan gadis itu terkejut, meraba senjatanya. Betapa
kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiamnya di punggung dan baru
teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan
karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai
lupa untuk memintanya kembali.
Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-
laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-
kwi sendiri! Kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu
berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata, "Tentu engkau hendak
mengembaliken siang-kiamku yang ketinggalan!"
Akan tetapi Si Kwi terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya
mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek
dan mempermainkan. "Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian merah. Makin manis
saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik
lagi!" Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking
marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurangajaran itu. "Ang-bin Ciu-kwi,
mau apa engkau menghadangku" Kukira tadinya engkau hendak mengembalikan siang-
kiamku!" Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian
orang ini. "Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terialu repot
bagiku untuk menundukkanmu, manis!"
"Ciu-kwi! Jangan kau kurang ajar atau aku akan melapor kepada ji-wi
locianpwe di Lembah Naga!"
"Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau
hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?"
Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan.
Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab, "Aku masih mempunyai suatu urusan
di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!"
Ang-bin Ciu-kwi tidak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau
memang benar, maka dia kembali tertawa lebar. "Baiklah, kalau begitu aku hanya
akan menghaturkan selaman jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan
selamat jalan dariku." Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan
menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya.
Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah. "Cui-kwi, jangan ganggu aku lagi!"
"Ha-ha, kalau mengganggumu mengapa" Jangan pura-pura, nona manis. Di sini
tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali."
"Keparat busuk!" Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya, akan
tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan
tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku
tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang
Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-
kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak.
"Tringgg...!" sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat
dielakkannya. "Ha-ha-ha, tanpa pedangmu dengan mudah aku akan dapat merobohkan engkau,
nona. Dan pakumu itupun tidak banyak gunanya. Bukankah lebih baik minum secawan
arak sebagai sahabat daripada kita harus bertempur dan saling serang sendiri?"
Setan Arak ini lalu menenggak guci araknya dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya menyodorkan cawan kecil itu kepada Si Kwi.
Orang gila ini berbahaya, pikir Si Kwi. Menggunakan kekerasan agaknya akan
lebih berbahaya baginya. Dia melihat Setan Arak itu berkali-kali meneguk arak
dari guci itu, maka apa salahnya kalau hanya minum secawan" Biarpun dia merasa
jijik harus minum arak dari guci yang sudah diteguk begitu saja oleh mulut Setan
Arak itu, akan tetapi agaknya ini lebih aman daripada harus menggunakan
kekerasan karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian Setan Arak ini lebih tinggi
daripada kepandaiannya sendiri.
"Ciu-kwi, benarkah kau tidak akan menggangguku lagi setelah aku minum
secawan arak?" tanyanya. "Kau berani berjanji demi kedua locianpwe di Lembah
Naga?" Dia menyebutkan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li karena maklum
betapa takutnya orang gila ini terhadap mereka itu.
"Ha-ha-ha, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau
menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!" Ang-bin Ciu-kwi lalu
menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si
Kwi. Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu lalu menenggak arak dari dalam cawan sampal
habis, kemudian mengembalikan cawannya.
Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa
bergelak. Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian
isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena dia telah lebih
dulu minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan
dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh!
Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!"
Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba
dia terhuyung. "Ouhhhh...!" Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang
matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh
dan biarpun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan
ini, namun kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang.
"Kau kenapa, nona manis...?" Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya den
merangkul lehernya. "Auhhh... aku... auhhhh...!" Si Kwi hanya dapat mengeluh den merintih,
bahkan dia memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tidak menolak ketika
laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang.
Biarpun dia same sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, namun sebagai
seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat den normal, karena
kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si
Kwi terdapat api gairah yang wajar, dorongan nafsu berahi yang normal bagi
seorang dewasa yang sehat. Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan
di alam mimpi di mana dia bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang
dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biarpun lahiriah Si Kwi merupakan seorang
gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah
sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti
dalam mimpi den bercumbu dengan pria yang dirindukannya!
"Ha-ha-ha, marilah manis!" Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan
gadis ini di atas rumput alang-alang. Si Kwi hanya memejamkan matanya dan
seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang
menurut perasaan hatinya seperti pria di dalam mimpinya selama ini.
Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu,
karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika sambil membelai den menciumnya
Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya.
"Bedebah!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan
pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil
memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan, Ang-bin Cui-kwi merasa heran
dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar! Maka
dia meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa
ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan
kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti!
"Keparat, siapa kau berani memasuk wilayah ini?" bentak Ang-bin Ciu-kwi
sambil memegang guci araknya erat-erat.
"Manusia iblis, siapapun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi
setelah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan
perbuatanmu yang terkutuk itu!" jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis
setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan
keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis
yang seperti orang mabok itu. "Hemm, keparat, engkau tentu menggunakan racun
untuk membiusnya, bukan?"
Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya diganggu,
sudah membentak keras. "Bocah yang bosan hidup!" Dan tangan kanannya menyambar
dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk
sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini.
"Wuuuuuttt... dukkkk!" Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan
kaget bukan main ketika merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu
dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia meloncat berdiri lagi dan memandang
penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main,
tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi
dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi!
"Ha-ha-ha, bagus! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk
isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin
Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah."
Pemuda itu memandang tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Orang ini
kalau bukan pemabok besar tentu miring otaknya. Akan tetapi betapapun juga,
orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga
yang hanya dimiliki orang yang lihai.
"Aihhhh... peluklah aku... peluklah..." Si Kwi kini rebah dengan gelisah,
tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik matanya setengah
dipejamkan. "Ha-ha-ha, apakah tidak sayang dia dibiarkan sendiri saja?" Ang-bin Ciu-kwi
tertawa. "Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda."
"Jahanam busuk engkau!" Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya
menyambar. Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan
balas memukul, kini menggunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh
memukul ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu mengelak
dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang
dahsyat menyambar dan Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini
terkejut bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya
berbeda. "Siapa engkau" Mau apa engkau?" tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti
tadi. "Tak perlu kaukenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak
pergi ke Lembah Naga..."
Heii, keparat!" Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Ini tentu seorang
musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga. "Memang kau harus
mampus!" Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun
pemuda itu, sedangkan guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat
dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan
dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itupun merupakan serangannya yang
istimewa. Namun, sekali ini Ang-bin Ciu-kwi menemukan tandingannya. Dengan tenang saja
pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan
kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun sedangkan hantaman guci itu
diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah
girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman
gucinya. "Bukkk! Plakk!" Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si
pemuda yang roboh, melainkan Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan
hampir pingsan dia karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya
seperti remuk dan patah-patah, kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah
barulah dia bisa bangkit berdiri. Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-
bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikitpun tidak lagi menengok ke
arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti
kasur! Pemuda itu memandang ke arah larinya lawan dan selagi dia hendak melanjutkan
langkahnya, terdengar rintihan dan teringatlah dia kepada gadis setengah
telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu
menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu.
"Engkau siapakah" Apa yang telah dilakukan terhadapmu" Engkau diberi minum
apa?" Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa.
Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali.
"Si iblis... Ang-bin Ciu-kwi... aku minum arak... ahhhh, kau... kau... peluklah
aku..." Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu
bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam.
"Ah, tenanglah..." Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman.
"Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul dan menggelutnya, pemuda
itu menjadi repot juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan
terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan
kirinya ditempelkan di punggung gadis itu, dia mengerahkan sin-kangnya, mengusir
hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berahi. Tenaga sin-kang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit
kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu lalu menotok pundaknya
untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat
pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam
pemuda ini! "Eh, sabar dan tenanglah...!" Pemuda itu menangkis dan tubuh Si Kwi
terhuyung ke belakang. Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia
terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian
dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput.
"Ihhhhh...!" Die menjerit dan dengan gerakan canggung den repot dia berusaha
menutupi dada dan bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda
itu. Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian den melemparkannya
kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya. "Kaupakailah kembali pakaianmu."
Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik
dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung. "Apa
yang terjadi" Apa yang kaulakukan?"
"Aku" Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona."
"Mana dia" Mana iblis itu?"
"Kaumaksudkan si pemabok tadi" Dia sudah lari."
Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi
pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi,
bahkan dibaringkan di atas rumput alang-alang.
"Cuhhh...!" Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh
kejijikan. Pemuda itu tersenyum. "Jangan khawatir, nona. Belum terlambat si bedebah itu
melanjutkan perbuatannya yang terkutuk."
Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan den gagah itu dan
mukanya menjadi makin merah. Dia telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan
setengah telanjang! "Engkau mengusirnya?" tanyanya hampir tidak percaya bahkan pemuda tampan
sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri.
Pemuda itu mengangguk. "Aku lewat dan melihat perbuatannya yang terkutuk,
maka aku menegurnya dan akhirnya dia lari."
"Dan kau lalu mengobatiku?"
Kembali pemuda itu mengangguk. "Melihat sikapmu yang... eh, tidak wajar, aku
tahu bahwa engkau terbius hawa beracun, maka aku lalu mengusir hawa beracun dari
tubuhmu." Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut dan dua titik air mata
membasahi pipinya, "Ah, banyak terima kasih, taihiap. Tanpa ada pertolonganmu,
tentu celakalah saya..." katanya terharu.
"Sudahlah, nona, tidak perlu kau bersikap begini. Bangunlah dan ceritakan
apa yang terjadi." Pemuda itu mengangkat bangun Si Kwi yang kemudian berdiri
dengan kedua pipi kemerahan dan sinar matanya penuh kagum memandang pemuda
tampan yang demikian halus sikapnya, dan yang tentu berilmu tinggi karena
buktinya dengan mudah mengusir Ang-bin Ciu-kwi dan juga dapat menyembuhkan dia
dari pengaruh racun. "Nama saya Liong Si Kwi dan saya akan... ah, akan pergi meninggalkan tempat
terkutuk ini, akan tetapi Setan Arak itu menghadang saya. Kami pernah bertanding
dan saya kalah... lalu saya kena ditipunya, minum secawan arak dan..."
"Cukuplah. Aku sudah dapat menduganya. Orang itu jahat sekali."
"Tentu saja jahat, taihiap, karena dia adalah majikan Padang Bangkai di
sini. Selain dia, masih ada lagi isterinya, Coa-tok Sian-li yang tidak kalah
kejamnya. Mereka berdua menjadi majikan Padang Bangkai, dibantu oleh lima belas
orang anak buah mereka. Daerah ini amat berbahaya, taihiap, maka sungguh
mengherankan taihiap dapat datang ke tempat seperti ini."
"Aku hendak pergi ke Lembah Naga."
"Ohhhh...!" Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu
cepat bertanya, "Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?"
"Mengenal Lembah Naga" Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah taihiap
ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?" Sinar mata gadis itu menatap wajah
yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran.
Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa
gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang
agaknya mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk,
maka dia lalu menjawab sejujurnya, "Aku bernama Cia Bun Houw..."
"Aihhh...!" Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka, matanya
terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar
biasa! Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua
Cin-ling-pai yang kabarnya memiliki kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini
dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan
gagah, dan telah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi!
Bagaimana Cia Bun Houw dapat muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat
menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan" Seperti telah kita ketahui,
pemuda ini meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan
surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan
menghaturkan surat untuk kaisar di kota raja. Setelah mendengar bahwa dia telah
dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa
tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong.
Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu,
dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apalagi bertemu dengan
Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan! Ah, menyesallah
rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia telah mencium gadis itu!
Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dulu ke Yen-tai, melainkan lebih
dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar. Dan begitu tiba
di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang
kini menjadi seorang puteri itu telah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat
Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan marah. Dia menyerahkan surat
ayahnya kepada kaisar dengan menghadap sendiri.
Kebetulan sekali pada waktu itu, kaisar telah menerima balasan dari Raja
Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung
jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua
orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga.
Maka begitu membaca surat ketua Cin-ling-pai yang mohon bantuan kaisar
karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan
dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di
utara, kaisar lalu memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan
pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan
hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi terutama sekali untuk
menyelamatkan Yap In Hong.
Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, berpamit dan berangkat lebih
dulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun
Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi.
Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis
yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya, "Nona, apakah engkau sudah
mengenal namaku?" Si Kwi mengangguk, "Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?"
"Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?"
"Dan taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-
bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?"
"Benar...! Bagaimana dengan nona itu?" Bun Houw girang sekali.
Si Kwi menghela napas panjang. "Taihiap, mereka telah menanti-nanti
datangnya orang-orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah
bersiap-siap! Taihiap, kalau taihiap percaya kepada saya... harap taihiap jangan
pergi ke sana. Berbahaya sekali...!" Si Kwi menatap wajah itu dan dia merass
makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui
bencana di Lembah Naga Hemm, mengapa begitu, nona?"
"Cia-taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di
samping masih ada seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu..."
"Ah, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?"
Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air
matanya. "Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak... saya hanya
terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa
Cinjin. Akan tetapi sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu
adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari
sini, taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka...
sungguh, saya amat khawatir kalau taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya
menempuh bahaya itu scorang diri saja. Kembalilah, taihiap, atau setidaknya,
kalau taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya."
Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa
secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar
keterangan yang amat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka
dia lalu duduk di atas rumput.
"Liong-kouwnio, kaududuklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu
tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur."
"Akan tetapi itu berarti bunuh diri, taihiap! Berbahaya sekali..."
Bun Houw menggeleng kepalanya. "Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja
engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana."
"Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju
ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan
lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai
dari sini. Banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya." Gadis ini lalu
menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan
ancaman maut siapapun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus
diambil. "Melihat kelihaian taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan dapat taihiap
lewati. Akan tetapi setelah taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah
berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-
orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li
memiliki kesaktian luar biasa, taihiap.
Dan taihiap hanya sendirian saja..."
Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali.
Setidaknya dia kini tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit
berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata, "Liong-kouwnio telah
memberi bantuan yang amat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas
kebaikanmu, kouwnio."
"Jangan berkata demikian, taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa..."
"Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan."
Si Kwi masih hendak mencegah, namun pemuda itu telah menggerakkan kakinya
dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi. Dia terkejut dan
kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu gin-kang yang
tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa
dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu,
kepandaiannya seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia
teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat
besar dan terkenal. Subonya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh
cinta kepadanya karena subonya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan,
bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan
pemuda tadi... "Ah, aku melamun yang bukan-bukan!: dia mencela diri sendiri,
akan tetapi dara itupun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan,
melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga!
Pertemuannya dengan Bun Houw, mendengar bahwa pemuda itu akan menyerbu Lembah
Naga, membuat dia khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus
kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu
saja tertimpa malapetaka di Lembah Naga!
Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum
akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa bersyukur bahwa dia
dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga
dari gadis itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan
baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai
umpan. Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya lega bukan main. Memang
amat penting baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang
lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut
burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian
dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apapun yang terjadi, dia
harus menyelamatkan In Hong!
Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika
dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan
tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara
isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang
dengan mata berkilat saking marahnya. Rombongan itu terdiri dari belasan orang
laki-laki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita
cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia
setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia
mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu amat
berbahaya, karena di bawahnya menyembunyikan lumpur maut yang sekali diinjak
akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain
yang beracun. Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang dan
beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput!
Wanita itu menjerit, tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang.
Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam.
Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta,
sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah
terbenam, hanya tinggal kedua tangannya saja yang nampak, membentuk sepasang
cakar yang kaku! Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia
tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilempar ke tempat berbahaya itu dan
ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak
mungkin lagi menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan
orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan
tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh
kemarahan sambil membentak, "Iblis-iblis bermuka manusia!"
Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut sekali. Cepat mereka
menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera
mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat
pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di situ. Akan tetapi
sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.
"Hayo kepung den bunuh orang ini!" Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah
datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li. Suami itu bercerita kepada
isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang
pemuda yang amat lihai, pemuda yang amat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-
tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka dia cepat bersama suaminya keluar dari
sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Kiranya pemuda itu
telah dikepung oleh anak buah mereka.
"Jangan!" Coa-tok Sian-li berseru, lebih nyaring dari suaminya. "Tangkap dia
hidup-hidup!" Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw
yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu
dibunuh begitu raja! Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan
saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya
majikan itu, dan sambil tertawa-tawa, mereka lalu mengeluarkan sehelai jala,
masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di
tangan. Bun Houw sejak tadi memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li,
maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang
diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melalui Padang Bangkai untuk dapat pergi
ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat
mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka. Kebetulan,
pikirnya, mereka kini telah berkumpul semua di sini, di tepi padang rumput hijau
yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa
perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan
orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.
"Haaaiiittt...!"
"Tangkaaappp...!"
Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentuknya seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala
itu mengembang seperti layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun
Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu
menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.
"Breeeetttt...!" Empat helai jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si
pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap
tenang. "Heiii...!" "Ahhh...!" Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu amat terkenal kuat dan dapat
menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja, akan
sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini pemuda itu, dengan tangan kosong telah
menghancurkan empat helai jala sekali gerak! Suami isteri itupun terkejut bukan
main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah berahi terhadap
pemuda yang demikian jantan dan lihainya.
"Serbu! Tangkap!" teriaknya dan kini lima belas orang anak buah Padang
Bangkai itu bergerak seperti harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor
domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari
belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak
menghantam, hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat
diidamkan oleh nyonya majikan mereka.
Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya,
kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat dan menggerakkan tubuhnya.
Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti
dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!
Mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka
itu amat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan
celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka
menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja
bergoyang-goyang lucu dan aneh! Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong
kawan-kawan mereka itu dengan tali, akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak
memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara
berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput
hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke manapun tubuhnya
berkelebat, tentu ada anggauta Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke
padang rumput berbahaya itu. Dalam waktu singkat, delapan orang terlempar ke
padang rumput hijau dan "ditelan" lumpur, yang tujuh orang roboh tak dapat
bangkit kembali, ada yang pingsan katena kena ditampar, ada yang patah tulang
kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang
tidak mampu bangkit, hanya mengerang kesakitan!
Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan
main. Semua gairah nafsu berahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat
betapa lima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Kini mukanya yang dihias
tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah,
tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum
Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki! Hebat bukan
main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh
Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali
tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan
jarum-jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai
kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum
itu banyak yang menancap di pakaiannya!
Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu
telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum
menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang
kesakitan. "Celaka...!" Coa-tok Sian-li berseru.
Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari
sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi empat orang anggauta atau anak buah mereka
yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan
termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan
rebah saja yang lolos dari maut.
Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat dan tanpa
menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ
seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah
Naga tentang kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini. Sementara itu, dari
jauh Si Kwi melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh
kekaguman. Makin kagumlah dia kepada Bun Houw, dan makin tetaplah tekadnya bahwa
apapun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa
malapetaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.
Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan
tempat itu dan agaknya seperti mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi
juga cepat melanjutkan perjalanannya. "Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta
padamu..." Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang
segera lenyap itu. Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap
gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biarpun di dalam
lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan
gurunya dan diidamkannya sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan
lebih lihai daripada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng. Maka
kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu
terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apabila dia tertarik,
kagum, dan jatuh cinta! Apalagi karena justeru pemuda hebat itulah yang telah
menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Dan selain
ini, juga pemuda itu telah melihat dia dalam keadaan setengah telanjang, hanya
memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul
semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, kini ditumpahkan
kepada diri Bun Houw seorang!
*** Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesukaran
melewati Padang Bangkai yang telah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan
akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga. Tembok itu seperti benteng saja, kokoh
kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali, kalau benteng dijaga dengan
ketat dan tentu tampak para perajurit penjaga hilir-mudik melakukan penjagaan
dan perondaan, sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorangpun penjaga.
Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu
malah terbuka lebar-lebar dan tidak nampak ada yang menjaganya, seolah-olah
pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun
Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang
terbuka lebar itu seperti mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau
dia tidak berhati-hati! Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin Lembah Naga begitu lengah setelah
sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para
tokoh Kerajaan Beng. Apalagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga telah mereka
rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk
merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya. Dia
teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti
karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap
menyambutnya dan mengatur perangkap.
Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad
mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam,
melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu.
Dia lalu pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang
biasa, lalu dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan
tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.
"Bukkkk...!" Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi
berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali
merupakan sumur besar yang dapat menelan puluhan orang perajurit yang menyerbu
pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan
orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka melepas anak panah
seperti hujan saja ke dalam lubang.
Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andaikata ada pasukan yang
lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur
besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para
anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok,
maka mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan
anak panah. Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak
panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi
semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang
sudah dilindungi oleh sin-kang menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw
berseru nyaring, "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian kalau
memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai
telah datang!" Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang
ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki
benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka
semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu
dan tadi mereka sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di
pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani
anak panah. "Ha-ha-ha, bocah sombong!" Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-
ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung
menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu.
Juga, nampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul
pula Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu
dengan sikap gentar. "Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai" Aku mengharapkan dia yang muncul di
sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!" Pek-hiat Mo-ko berkata lagi,
memandang rendah kepada Bun Houw.
Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih
dan berpakaian hitam di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam berpakaian
putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi,
teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah
di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu
berkata, "Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, mengapa menggunakan
cara yang amat tercela" Kalau hendak menantang kami mengapa harus menggunakan
akal pancingan?" "Heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!" Hek-hiat Mo-li mengejek. "Pedang
Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang
untuk mengambilnya kalau dia berani!"
"Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah dan
seluruh Cin-ling-pai!" kata Bun Houw tenang. "Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-
kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang
juga!" Ucapan yang tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan
keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu namun telah membuka
suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya
Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menanti jawaban dari
dua urang kakek dan nenek itu dan tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara
lemah, "Subo..."
Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat
muridnya yang berpakaian merah itu telah tiba di situ dengan muka agak pucat,
dia cepat memanggil dengan suara dingin, "Si Kwi, ke sinilah engkau!"
Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin
Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu, dia lalu cepat menghampiri
gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.
"Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kaubilang
amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!" kata Hek-hiat
Mo-li. "Nanti dulu, Mo-li!" Hek I Siankouw membantah. "Kita tidak boleh hanya
mendengarkan keterangan yang sepihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-
baik sebelum menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana
dengan perintah yang kuberikan kepadamu untuk menemui majikan-majikan Padang
Bangkai dan menyampaikan pesan?"
"Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi..." Dara itu mellrik ke
arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.
"Akan tetapi engkau berkhianat kata orang, hendak melarikan diri dari sini,
kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjina dengan dia
dan ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan..."
"Bohong...!" Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin
Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. "Dia
bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja
memperkosa teecu! Ketika teecu tiba di sana, mereka ini dan anak buah mereka
tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita biarpun kemudian
mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang.
Kemudian... dengan curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan
nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!"
"Ha-ha-ha, kami lihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara
rumpun alang-alang... ha-ha-ha, betapa asyiknya... dan sekarang masih memutar
balikkan omongan!" kata Ang-bin Ciu-kwi.
"Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat
muridku berjina dengan pemuda Cin-ling-pai ini?"
"Benar! Kami berdua melihatnya!" jawab Coa-tok Sian-li dengen tegas.
"Bohonggg...!" Si Kwi menjerit lagi.
"Diam kau, Si Kwi!" Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, "Kalian berdua tentu bukan anak kecil dan hal
ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku
adalah seorang perawan. Akan tetapi kini dua orang majikan Padang Bangkat ini
mengatakan bahwa muridku berjina dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li
suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah
bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!"
Heh-heh, itu benar sekali!" Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi
sempat mengelak, dia telah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-
hiat Mo-li meraba-raba dan tak lama kemudian dia membebaskan totokannya,
mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, "Dia benar masih perawan!"
"Hemm..." Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-
li. "Bagaimana sekarang, manusia-manusia palsu" Kalau muridku telah berjina
dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?"
Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka
memang sengaja memutarbalikkan fakta agar gadis itu tidak mengadukan keadaannya
ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita
mereka itu bohong belaka!
"Akan tetapi dia... dia hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya,
pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa
melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?"
kata Ang-bin Ciu-kwi yang biarpun pemabok namun cukup cerdik itu.
Kembali Hek I Siankouw meragu. "Si Kwi, benarkah engkau memberi petunjuk
kepada pemuda Cin-ling-pai ini?"
"Tidak, Hek I Slankouw, dia sama sekali tidak memberi petunjuk apa-apa
kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercaya omongan manusia-
manusia macam suami isteri yang cabul dan kotor ini" Aku memaksa seorang
anggauta Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!" Bun Houw cepat berkata
untuk melindungi Si Kwi. "Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya
karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan kini kau memutarbalikkan
kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang
gurunya!" "Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!" Tiba-tiba Coa-tok Sian-li
berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. "Muridmu bisa bercerita bohong
dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, akan tetapi kami suami isteri juga
mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu..."
"Tutup mulutmu, perempuan cabul!" teriak Hek I Siankouw.
"Engkau yang harus tutup mulut!" teriak Coa-tok Sian-li. Dua orang wanita
itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang
ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.
"Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh
masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian
bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!"


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang
setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!" kata pula Pek-hiat Mo-ko.
Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan
kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat
betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda
ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun
meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka
itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang
mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus
bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.
"Singggg...!" Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya,
sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting
(Paku Hitam Beracun). "Singggg...!" Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang
yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga
mengambil segenggam jarum racun ular.
"Wuuut-wuuuttt...!" Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.
Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat
ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah
guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.
Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-
serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-
ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok
Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah
memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata
pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan
menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.
"Plak-plak-plakkk...!"
Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan
main dan otomatis Hek I Slankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam
menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya. Coa-tok Sian-li
juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah
menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu
berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi
karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah
berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!
Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-
senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian
tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini
tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan
kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I
Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.
Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat
menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang
mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap
saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta
wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat.
Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari
samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi.
Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek
I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar
suara Bouw Thaisu, "Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"
"Wuuut-wuuuuuttt...!"
Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari
sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya
ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung
lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang
pengeroyoknya yang lain. "Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-
orang tua pengecut ini!" Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah
pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang
tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun,
pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu
kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang
dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung.
Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li
terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih
lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang
pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka
pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah
menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut
lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!
"Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu
tidak akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.
"Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya
pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik
untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat
Mo-li. "Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."
"Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia.
Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan
nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam" Hemm, ini tentu ada apa-apanya.
Mo-ko, kaubantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh.
Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan
kita." Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat
dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-
ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang
mendatangkan hawa dingin sekali.
Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya
itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia
diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan
tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan
pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.
"Prattt... dessss...!" Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental
dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini
bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa
pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!
"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk
dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!"
Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya
yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat
diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi
lebih hebat daripada tadi.
Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia
lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan
seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu,
dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan
yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan
Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat
orang yang lain! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari
tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan
senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan
menyilaukan mata. "Trang-trang-trakk-breetttt...!"
Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok
Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I
Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan
ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang
itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-
kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-
hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih
dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk
menandingi kakek yang amat lihai itu.
"Tahan...! Cia Bun How, lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li
dengan suara nyaring. Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah
berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.
"Hong-moi...!" Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis
itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat
gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga
tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan
maut! "Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan
kuhabiskan nyawanya di depan matamu!"
"Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berserun
yaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis
lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan
"nona Hong" yang dulu itu, dengan "Hong-moi" yang dulu itu!
"Hong-moi...!" Kembali dia mengeluh dan meragu.
"Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa.
Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!" Kembali In Hong berkata.
"Jangan kau merendahkan nama ayahmu."
"Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan
berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.
"Hek-hiat Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga
suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang
mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi
akupun dapat membunuh kalian semua!"
"Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kaukira akan mampu membunuh kami" Ha-
ha, nona itu dapat kami bunuh dan kaupun juga! Lihat berapa besar kekuatan
kami?" Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan
ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang
kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi
sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini
kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.
"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk
kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini!
Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan
nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau
kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"
"Houw-ko, jangan gila...!" In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia
kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.
Bun Houw tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki
yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan
denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu
kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku
yang ditawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh
semua orang. "Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.
"Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan
membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah
kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat."
"Houw-ko...!" In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah.
Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya,
mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!
"Bagaimana ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengaku
dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"
Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa
Sailan. "Memang dia lebih berharga daripada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.
"Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita"
Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.
"Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali
gadis itu." Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada
Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw,
kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau
menyerahlah dan lemparkan pedang itu."
Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat.
"Siapa bisa percaya omongan kalian" Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang
di tanganku ini adalah pedengnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah
keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah."
Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina. "Bocah lancang! Kami
adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai
orang-orang yang akan melanggar janji" Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun
bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan,
kau tidak mampu menyerah?"
"Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar
janji" Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan
aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan
tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah
berjanii dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang
pendekar!" "Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai
melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke
seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata
Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"
"Eh, eh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan
mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku" Nona itu adalah
milikku, kalian harus ingat ini!"
"Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li
menjawab. "Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami
menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan
belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini
dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja
sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya
kembali" Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu
menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisarpun kami dapat
mengambilnya apalagi di tempat lain!"
Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan
ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat
lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang
telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan
sama sekali tidak akan menguntungkannya.
Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk
mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan
jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau
saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat
seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.
Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, kau
pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-
moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.
Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu,
matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak
boleh begini..." katanya dengan suara berbisik.
"Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau
bebas dari neraka ini!"
"Tapi... tapi... kau...?"
"Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku
sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kaumaafkan semua keselahanku yang
Badai Awan Angin 30 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Kaki Tiga Menjangan 7
^