Dewi Maut 22
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
merupakan tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai
yang mempunyai tekad dan keberanian besar saja."
"Kami berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi
kalau paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan
taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi."
"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang
guruku itu sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu.
Nah, mampukah Tio-sicu menandingi dia?"
Tio Sun menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak
dan memandang ke sekeliling menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa
betapapun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi
petunjuk. Diapun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang
bertanding silat dan merasa simpati kepada orang yang pandai ilmu silat.
Agaknya, tanpa memperlibatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh
petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan, "Akan saya
coba untuk menandingi dia, sri baginda."
Sabutai tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga
semua orang menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah
Raja Sabutai dan memberi hormat.
"Saudara sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan detang
menghadiri pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!"
Mendengar ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah
merasa khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu akan berakhir sampai
di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut
mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju.
Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang
Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan
menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari
selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang
selatan yang pandai silat!
"Nah, Tio-sicu, silakan," kata Sabutai kepada Tio Sun.
Tio Sun bangkit, menjura kepada Sabutai dan memandang kepada Souw Kwi Beng.
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata, "Tio-twako, hati-hatilah... dia
kelihatan kuat sekali."
Tio Swi mengangguk dan setelah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan
langkah tenang dia lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas panggung,
berhadapan dengan Biruang Hitam. Raksasa hitam ini menyeringai dan mengeluarkan
suara menggereng seperti seekor biruang ketika melihat bahwa calon lawannya
hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian sebagai orang Han! Dia amat
membenci orang Han, apalagi seorang Han yang pandai silat! Dan calon lawannya
ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya! Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan
satu barulah sama dengan dia.
Tio Sun juga memandang lawannya dengan penuh perhatian. Seorang lawan yang
berbahaya, pikirnya. Jelas bahwa Biruang Hitam ini mempunyai tenaga otot yang
amat besar, mungkin lima kali lebih besar daripada tenaga manusia biasa. Dan
kedua lengan yang hitam berbulu itu amat kuat dan panjang, dengan jari-jari
tangan yang panjang dan yang dia dapat menduga tentu mempunyai kekuatan
mencengkeram atau menangkap yang amat kuat. Celakalah kalau sampai kena
dicengkeram oleh jari-jari tangan itu. Dia harus mengandalkan kecepatan
gerakannya, karena betapapun kuatnya, raksasa hitam ini karena besarnya tubuh
tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan kegesitannya, mungkin dia akan
menang. Pula, dia adalah putera seorang yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis
Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, terkenal memiliki
tenaga yang amat besar dan diapun telah mempelajari penghimpunan tenaga itu
sehingga diapun merupakan seorang yang bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga
luar, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat menandingi raksasa di depannya itu.
"Aku telah siap!" katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu.
Agaknya Biruang Hitam itu mengerti maksud kata-katanya, karena dia segera
mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke
depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah.
"Wuuutttt...! Wuuutttt...!" Kedua tangannya yang lebar dengan jari-jari
terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua
tangan dari kanan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan
langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan ketika raksasa
hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat
mengelak ke samping dengan lincahnya. Biruang Hitam menggereng marah dan kini
dia menerjang lagi dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun
sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu.
Kembali Tio Sun cepat mengelak dan dari samping dia sengaja memasang diri
untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyuhg, si
raksasa menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan kedua lengan terpentang
untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri. Memang ini yang
dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu "terbuka", secepat kilat dia
menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud
membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.
Tentu saja gerakan Tio Sun ini amat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka
oleh si Biruang Hitam yang lamban, maka sebelum dia tahu apa yang terjadi,
dadanya sudah kena dipukul lawan.
"Bukkk!" Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi
akibatnya bukan tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah
tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya! Pukulannya yang
mengenai dada itu seolah-olah memukul bola karet yang amat kuat sehingga
membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh
terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali
ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.
Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si
raksasa kena pukulan keras namun yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang
Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan,
persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya,
hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.
Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia
meraba ke pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini
tidak terlepas dari pandang mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum
menonton pertandingan di atas panggung itu.
Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang
melihat raksasa hitam itu kini telah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan
memandang dengan sikap waspada sampai akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang
Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya
telah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke
belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, kedua lengan
yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleb Tio
Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang amat
kuat dan tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga,
pikirnya. Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya
kembali dia mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini
dia menggunakan gin-kangnya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum
lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk
lawan. "Bresss!" Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang
turun sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini, cepat dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan
menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.
"Bukk! Desss!" Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan
tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya
dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik
dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang
panjang dan kuat itu. Tentu saja Tio Sun yang tidak mengira sama sekali bahwa
lawan tidak roboh, bahkan terguncangpun tidak oleh dua pukulannya tadi, terkejut
ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seolah-olah tulang
pundaknya akan hancur oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat
mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit
pundaknya licin seperti belut dan dengan gerakan lincah dia merenggutkan
tubuhnya dan meloncat mundur.
"Breetttt...!" Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di
pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.
Tio Sun terkejut. Kiranya lawan ini lebih hebat daripada yang disangkanya.
Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa
melukainya, karena dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa
juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak
sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja
bisa tewas oleh manusia raksasa yang bertenaga gajah dan cara berkelahinya buas
seperti harimau ini. Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan pula, taruhan
yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggul
sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya
untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan
kemenangan Biruang Hitam. Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini
ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurghkan
lagi ke atas panggung di mana Biruang Hitam sudah menghujani serangan kepada Tio
Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Makin lama, Birulang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan
dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kQsong belaka. Keringatnya membasahi
seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia makin
bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.
Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia
bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan
kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban
gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan
dapat tertangkap lagi seperti tadi. Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang
maklum akan berbahayanya apabila sampai dirinya tertangkap lawan menggunakan
gin-kangnya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya
kesempatan. Kesempatan itu tiba selagi si Biruang Hitam menghentikan serangan dan
menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun
memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar
ke arah muka lawan. "Plakkk!" Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung
Biruang Hitam itu. "Currr...!" Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam. Betapapun
kebalnya, tidak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka
begitu kena dihantam dengan keras, darahnya mengucur.
"Oauurrgghh...!" Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah
Biruang Hitam. Dengan membabi buta dia menyerang sambil menggereng dan
mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu
berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-
tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti! Namun Tio Sun
tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-
sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan selain mengelak, juga dia
selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang
dianggapnya tidak kebal. "Plakkk!" Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa
itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang
memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu
menyerang lagi. Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian ketika raksasa itu menubruk,
dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke
bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.
"Dukkk!" Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang merasa nyeri.
Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggauta
kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi" Tidak mungkin! Dan Tio
Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.
Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, kini memukul lagi ke
arah telinga kanan. "Plakkk!" Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tiba saatnya bagi Tio
Sun untuk menghajar lawannya dan dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua
telinga, hidung, dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini
bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah. Dengan kecepatan
kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, cepat menggunakan dua jari tangan
menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya akan tidak mampu
menembus kekebalan. Kini, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga
dan dengan mudah dia menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai
jalan darah dan dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh!
Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya.
Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang
maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti
kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh
reksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah
panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan
rebah pingsan di situ! Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah
mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-
kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat
duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai
memuji, "Sungguh Tio-sicu amat lihai!"
Tio Sun menjura. "Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja
saya dapat mengalahkan dia." Lalu dia menatap wajah raja itu tajam-tajam sambil
berkata, "Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana adanya..."
"Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pasta belum berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah
kami saksikan dan memang sicu seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan
tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu."
Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa
Kwi Beng sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja memiliki
kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng
masih muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya
sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia
berkata, "Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu" Para tamu
juga tentu menjadi bosan karenanya. Bagaimana kalau adik Souw ini memperlihatkan
kepandaiannya mainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang amat
hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak
dapat terlihat oleh mata" Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu
kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang."
Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa. "Seorang ahli senjata rahasia,
heh" Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya."
Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek
dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng
bagaimanapun juga bukanlah lawannya. "Mana bisa adik Souw harus menghadapi
paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?" dia mengajukan keberatan.
Raja Sabutai tertawa. "Kami hanya menguji kepandaiannya mainkan senjata
rahasia, bukan bertanding." Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas
panggung. Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai
yang sakti itu kini hendak bertanding" Semua mata memandang ke arah pemuda
tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan
sikap tenang. "Saudara-saudara sekalian. Pemuda inipun seorang utusan dari selatan yang
lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah
mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu
akan memperlibatkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia."
Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka,
senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau
batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga
mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah.
Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini mempu meluncurkan tujuh batang anak
panah, semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang
pengawal datang berlari bersama dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah
alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari
kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya
digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwama hitam. Atas perintah Sabutai,
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasaran itu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima
gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke
arah Kwi Beng sambil tersenyum.
"Souw-sicu, kami di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah,
oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu dapat
menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya."
Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang tiga batang anak panah
sekaligus di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan
tali sehingga terdengar suara menjepret, meluncurlah tiga batang anak panah
dengan cepatnya menuju sasaran. Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus
dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada
tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang
sama, sungguh merupakan hal yang amat sukar dan jarang dapat dilakukan orang.
Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah
semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak
panahnya kepada sasaran yang sama!
"Cep-cep-cepp!" Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap
di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah
lingkaran itu. Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja
Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan
kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berketa, "Nah, Souw-
sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak
panahku?" "Akan saya coba, sri baginda," kata pemuda ini sambil memandang tajam ke
arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu. Dia melihat betapa sasaran inti,
yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh
tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya,
maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dia. Akan tetapi, Kwi Beng
memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki
kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan
seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya
bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu
bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran.
Pemuda ini berturut-turut, hampir sama saat pelemparannya saking cepatnya, telah
menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti
oleh pandang mata semua tamu. Diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara
pemuda itu melemparkan pisau, demikian cepatnya.
"Cap-cap-cappp!" Tiga batang pisau itu menancap dan tiga bateng anak panah
bergoyang-goyang. Ketika semua mata memandang, sejenak suasana hening saking
herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa
tiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah
yang tiga tadi! Raja Sabutai mengangguk-angguk akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum
sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin
rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan
pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di
gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah
semua tamu diam. "Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu
adalah benda tidak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu
ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak
panah yang kulepas di udara."
Kalau saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup,
hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu
sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan
senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang, "Akan
saya coba, sri baginda."
Sabutai menjadi penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak
panahnya" Betapapun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran
pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat daripada luncuran anak
panahnya, dan pisau itu sampai bagaimanapun tidak akan mampu menyusul anak
panahnya, apalagi mengenainya. Dan memang pemuda inipun tahu bahwa pisau
terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan
tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para temu kini
memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena merekapun kesemuanya
adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apalagi yang
dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh
sambitan biasa. Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah
sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu, tangan kanan Kwi Beng sudah
bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang
sudah dipersiapkan dan diisinya, lalu dengan ketepatan seorang jago tembak
terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.
"Darr...!" Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua
mata, termasuk mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran
melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi
dua, jatuh di depan kaki raja itu!
Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah
sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada
saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang
aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang
masih mengepulkan asap. Barulah ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini
bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda
itu. Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia
memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya, "Apakah itu?"
Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan amat tertarik dan kagum
kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata,
"Ini adalah senjata api, sri baginda."
Sabutai menyentuh pistol yang masib hangat itu dan memuji, "Hebat bukan
main..." Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, "Kalau paduka
suka memberi petunjuk agar kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong,
sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka."
Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. "Benarkah" Akan
tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya."
"Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya."
Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu
kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan
senyum puas karena dia maklum bahwa temannya telah mendatangkan kesan baik
kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.
Seperti seorang anak kecil meminang-minang permainan baru, Sabutai memegang
dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi
gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain"lain.
Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan ketika
dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali
tembakan saja Sabutai sudah dapat mengenai mulut kepala dalam gambar sasaran,
disambut tepuk tangan para tamu.
Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh
butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan
pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata, "Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian
ternyata adalah tamu-tamu yang amat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan
berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biarpun kami merasa sangsi
sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu
melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, setelah kedua orang guru kami
itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biarpun
ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat
menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali
sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai
mereka luar dalam!" "Kami bukan hendak melawan siapapun kalau tidak terpaksa, yang kami
kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan," kata Tio Sun.
Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang. "Kami rasa tidak begitu mudah.
Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga
kami sendiripun belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi sesuai dengan janji
kami, biarlah ji-wi mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong,
yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai
Luan-ho. Nah, di sana ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah
nona Yap ditawan." Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura
sambil mengucapkan terima kasih lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanan
mereka ke Lembah Naga sekarang juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan
berkali-kali dia menarik napas panjang. "Sayang... sungguh saya akan selalu
menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa
secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk
mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu..."
Pada saat itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu
melapor dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu.
Mendengar laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, "Tio-sicu dan
Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri kami
mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi untuk
menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai utusan
kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat bercerita
di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya" Nah, isteri
kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar."
Tentu saja Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang
ramah ini dan mereka berdua lalu diantar oleh empat orang pengawal menuju ke
dalam yang ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat
pesta itu. Mereka melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, akhirnya mereka
tiba di tempat kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang bersih dan
sejuk, terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita.
Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena
begitu melihat empat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing itu,
mereka lalu mundur dan mempersilakan mereka masuk.
"Ji-wi (tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran," kata
seorang di antara empat pengawal itu dengan bahasa yang lancar akan tetapi kaku.
Tio Sun dan Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri
ayunan bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan
mungil, sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya. Dua orang pemuda itu tentu
saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka memuji bahwa putera
Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sehat dan tampan, juga biarpun masih
bayi sudah membayangkan keagungan.
Pada saat itu, terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan,
juga empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan
Tio Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian
indah, keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah
permaisuri atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan
menjura sampai dalam. "Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?" suara
Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda
itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu
seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar.
Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja
tidak berani menyangkal lagi. "Benar, kami berdua datang dari kota raja."
"Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?" kembali
sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.
"Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... eh, agaknya sri
baginda kaisar belum mendengar akan kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, dan
kami diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, sedangkan kami hanya kebetulan
mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat
mencari nona Yap." "Dan kalian sudah tahu tempatnya?"
"Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu."
Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan pelayan tidak
berani mengangkat muka memandang sang puteri.
"Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-
manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu di tubuh mereka.
Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku inipun
mempunyai tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar
apakah itupun merupakan tanda dari Tuhan."
Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan scorang ibu di
manapun sama saja, tidak perduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang
permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan
bahagia! "Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang
pangeran diberi berkah dan penjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota
raja," jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia berani
menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini"
"Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang amat berat. Nah, kalian
pergilah," sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas
terlipat dan berbisik, "Bukalah jika menemui kesulitan." Lalu puteri itu memberi
perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar.
Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi
hormat, diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan
kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut
mereka, Tio Sun cepat memberi hotmat dan berkata, "Putera paduka sungguh sehat
dan tampang semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang."
"Ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang
lihai seperti sicu."
Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat
itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka
menceri tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah
mereka ketahui dari Raja Sabutai.
Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya
dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.
"Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke
bawah!" Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir
mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru
yang hebat, yaitu kekebalan yang tak terlawan oleh pukulan sekti atau senjata
pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak
nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya. Maka
kini, membaca tulisan Puteri Khamila mereka selain terheran-heran juga merasa
girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek
kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek
dan nenek iblis itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl
merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong
diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia telah berhutang budi kepada
In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia telah meloloskan Kaisar Ceng Tung
dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis
yang menjadi guru suaminya, dia merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diapun
maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi
kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk
bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Sabutai yang amat cinta
kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia guru-gurunya diketahui
isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang
gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang amat mujijat dan bahwa
kelemahannya dia sendiri tidak tahu dengan past!, hanya tahu bahwa kelemahannya
itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah. Maka, ketika Khamila mendengar
bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan
rahasia kelemahan itu pada secarik kertas, kemudian dia mengundang dua orang
utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua
maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya pada ayah kandungnya,
yaitu Kaisar Ceng Tung, dan kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua
orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.
*** Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah
Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan
mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang
rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padan
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu
neraka. Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun
yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlaban-lahan
dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala
kemungkinan. Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di
belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa
pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak
akan terdengar oleh mereka.
Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju
perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju
menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara
tangis itu, di tempat yang demikian sunyi, penuh dengan rumput alang-alang
tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis. Ketika mereka tiba di rumpun
alang-alang yang berada di tepi jalan setapak, mereka terkejut karena melihat
bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis
sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang
malang melintang menjadi alas tubuhnya. Wanita itu menangis sedih sekali,
sesenggukan dan air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik, tangan
kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas
pergelangan tangan dan dibungkus dengan kain putih yang masih membekas darah
merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama.
Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah
lengan kiri yang tidak bertangan lagi itu. "Apa yang terjadi, nona?" Kwi Beng
yang memang berperasaan halus den mudah terharu itu bertanya sambil melangkah
mendekati. Gadis itu terkejut, menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia
memandang. Ketika melihat bahwa di depannya berdiri dua orang laki-laki yang tak
dikenalnya, seperti seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya
mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan
kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya
berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.
"Ehh...?" Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan
serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.
"Dukk...!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang
kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga
yang amat kuat biarpun tangannya tinggal satu!
"Eh, nanti dulu, nona!" Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia
berseru, "Beng-te, awas...!"
Kwi Beng cepat menggulingkan tububnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli
melempar pisau terbang, tentu saja dia maklum apa artinya benda-benda hitam
kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga
Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh
gadis berpakaian merah itu. Akan tetapi, gadis itu sudah menyerang lagi, kini
menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak dan sambil
mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu
sambil berkata, "Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!"
"Bicara apalagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!" Nona itu membentak,
meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah
bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan
bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.
"Plakk!" Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh
Kwi Beng yang menjedi terhuyung.
"Twako, gadis ini gila...!" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang dan tiba-tiba nampak sinar
berkelebat ketika gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi
dia telah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!
"Hemmm...!" Tio Sun cepat mengelak dan melihat betapa gadis itu menyerang
kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi. Harus
diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu
silat yang selain memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Kwi Beng, juga
memiliki kecepatan yang luar biasa sekali dan ilmu silatnyapun tinggi. Akan
tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa
kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.
"Minggir, Beng-te!" serunya karena dia tahu betapa bahayanya menghadapi
seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu
menyerang dengan nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Diapun
cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang
dapat dipergunakan sebagai pecut.
"Tringg-cringgg... tarrr...!"
Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-
nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang
makin nekat. Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tidak mau sembrono
dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini,
tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tidak mau melukai apalagi
membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa
mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan
mencari kesempatan baik. Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih
menang banyak, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini
menjadi bingung. Dengan tenang dia membiarkan gadis itu menyerang terus dan
tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa
Kati). "Trangggg... aihhhh...!" Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas deri
tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah
dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan
tunggalnya secara nekat! "Ahh, kau sungguh nekat...!" kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua
kali ujung sabuknya menotok dan wanita itupun mengeluh dan roboh tertotok, lemas
tubuhnya dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh!
Akan tetapi matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu
menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, "Kalian bunuhlah aku dan aku akan
berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku,
ingatlah, biar sampai matipun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar
kalian untuk membalas dendam!"
Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, "Nona,
kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah" Kami tidak sudi melakukan
perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa
melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian."
Kini pandang mata gadis itu berobah seperti orang baru sadar dan terheran.
"Siapakah kalian" Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh
aku?" Tio Sun menggeleng kepala. "Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-
li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, untuk
menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?"
"Ohhh...!" Gadis itu kelihatan terkejut, memandang mereka berdua bergantian
penuh perhatian. "Ahhh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun
Houw...!" Setelah berkata demikian dia menangis lagi.
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut mendengar ini dan Tio Sun cepat
membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit
duduk dan berkata berulang kali. "Maafkan aku... maafkan aku..." sambil
menangis. Tio Sun dan Kwi Beng juga duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi
oleh rumpun ilalang dan tidak nampak dari jauh.
"Nona, agaknya ada kesalahfahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami
adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira
bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang
ceritakanlah dengan jelas, siapa nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka"
Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kausebut-sebut tadi?"
"Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan
dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi,
murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga,
membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk
memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul
adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw
kinipun tertangkap dan mereka kini ditawan. Aku... aku... mencoba untuk
membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku..." Dia
bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.
"Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?" Tio Sun bertanya dan gadis itu
mengangguk. "Betapa kejamnya!" Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.
Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seperti hendak menaksir
apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.
"Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?" tanyanya.
"Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, kalau perlu
dengan taruhan nyawa kami!" Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.
Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng,
lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, "Aihh... engkau agaknya juga
menjadi korban cinta..."
Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. "Apa" Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu
Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu." Kini sikap Si Kwi sudah
tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh
dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang
jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.
"Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan
ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah
bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biarpun begitu, di Lembah Naga kalian
akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya
seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga
mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I
Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang
Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal
itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?"
Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat dan Tio Sun tenang saja
mendengar cerita itu, sungguhpun di dalam hati masing-masing mereka mengambil
keputusan untuk bersikap hati-hati sekali setelah mendengar penuturan ini. "Aku
tidak takut. Bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk menolong dan
menyelamatkan nona In Hong!"
Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata, "Nona Liong Si Kwi, kami
berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang
sahabat ygng baik sekali. Bahkan engkau telah mengorbankan sebelah tanganmu
untuk menolong Cia-taihiap."
Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka
sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka
berdua lalu bangkit berdiri.
"Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi
terima kasih," kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi,
menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.
Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu,
melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata
amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti
Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia
bertanya, "Tio-twako, dia kenapakah?"
Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak menjawab langsung melainkan
berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri, "Betapa banyaknya di dunia ini
manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta..."
"Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi" Dia juga mengatakan
bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi menurut dugaanku,
melihat keadaan gadis itu, agaknya tidak salah lagi bahwa dia jatuh cinta kepada
Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhidnat dan berusaha menolong Cia-
taihiap akan tetapi dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh
kasihan dia." Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya seperti ditusuk
karena dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia
memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang
menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta
dan tergila-gila kepada Yap In Hong.
Biarpun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi,
namun kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati
Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai
itu telah kosong dan ditinggalkan penghuninva sehingga tanpa banyak kesukaran
mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.
*** Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk
beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang
sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan
yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari
panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu
dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur
putih dan hitam silih berganti. Dia sedang bertanding catur dengan diri sendiri!
Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang
kecewa sekali karena tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan
menggembirakan sekali. Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir usianya karena sedikitnya tentu
sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis dan jenggotnya sudah
putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan
tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis.
Segala sesuatu pada diri kakek ini kelihatan tua sekali, kecuali sepasang
matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara
terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah
amat lama memandang dunia ini.
Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang
lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan
sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa
dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam
itupun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan. Sejak tadi, dara
remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri.
Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah
seorang pemain catur yang ahli, maka biarpun dia sendiri sudah bisa bermain
catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu
karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penontonpun dia
bosan. Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu
kelihatan berduka. Kerut-merut di dahinya bertambah dan sepasang matanya
ditujukan ke atas papan catur seperti orang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak
tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan makin tidak sabar.
"Suhu, kalau suhu tidak senang bermain-main catur sendiri, mengapa suhu
memaksa diri?" Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah
dara itu. "Hemm..." Apa...?" katanya pikun.
"Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa
hari ini kalau suhu bermain catur, selalu kelihatan berduka dan berulang kali
menarik napas panjang. Kalau permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan
kedukaan, mengapa suhu tidak berhenti saja?"
Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang,
lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke
depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu tua
sekali yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan
tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke
tempat-tempat sunyi. Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu
yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian
dia menghilang dan tidak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak
gunung dan di guha-guha tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di
bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap
Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya
ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang
menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!
Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. Kemudian
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, "Melihat kelemahan
diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih" Sudah puluhan tahun aku berhasil
melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-
apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran
dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!"
"Sekarang bagaimana, suhu?" dara itu mendesak sambil menatap wajah tua yang
menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.
"Kaulihat sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang
lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang
kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan
bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan
dalam mimpi! Akan tetapi sampai sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang
seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali" Ini tandanya bahwa
aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi
belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan
mimpi, maka betapa menyedihkan itu!"
"Memang suhu belum mati." kata si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata
yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.
"Kalau saja sudah, alangkah baiknya!" kakek itu menghela napas panjang.
"Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah
mati dari semua keinginan den kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar
kesenangan." Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti
dilukis. "Akan tetapi, suhu. Kalau sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya
mengejar kesenangan, kalau sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu
sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu" Bukankah
hidup lalu tidak ada gunanya lagi?"
Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu.
"Justeru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar
kesenangan sajalah yang dapat menikmati
kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar
kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang tidak puas saja yang
mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan
memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya terdapat, ketidakpuasan itu
tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidakpuasan dan hidupnya
menjadi sengsara selalu."
"Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi
kepuasan?" dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.
"Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan memantang kesenangan, bukan menolak
kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau
sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena
htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak
menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa
puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!"
"Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu
sama saja dengan mati?"
"Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar
hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar
keenakan dan kesenangan itu telah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati,
yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-
gara papan catur ini!" Dia berkata gemas memandang ke arah papan caturnya. "Aku
menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku
telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum bertemu dengan seorang
lawan catur yang setingkat!
"Aihhh, sungguh aku seorang tua yang tolol!" Bun Hwat Tosu yang biasanya
bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan
berteriak keras, "Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan
aku!" Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya.
"Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!"
Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biarpun dia tergolong
seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini
dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di
tengah hari yang terang dan terik itu" Benarkah suara dewa dari angkasa yang
menyambut tantangan suhunya itu" Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun
sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhunya, dia melihat kakek itu tersenyum
memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan dia melihat
betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan nampak
bayangan orang berkelebat seperti terbang melayang di atas rumpun ilalang itu!
Dia memandang terbelalak penuh kekaguman. Manusiakah yang datang itu" Ataukah
dewa" Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia sakti yang sudah pandai
terbang di atas rumput, semacam ilmu gin-kang yang sudah mencapai puncak, akan
tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang itu memiliki
kepandaian yang setingkat dengan gurunya!
Setelah tiba dekat, ternyata orang itu gerakannya memang bukan main cepatnya
dan tahu-tahu di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala
gundul, jubahnya yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta!
Pendeta miskin agaknya, menuntun seorang anak laki"laki berusia kurang lebih
tiga belas tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan
keberanian dengan sepasang mata tajam.
Begitu tiba di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya
yang lebar itu agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi
ketawanya aneh, dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Bun Hwat Tosu yang
duduk bersila menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di
mulutnya, pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu.
"Sobat, benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain
catur?" Bun Hwat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang
pandang mata yang aneh, tajam dan agak liar itu.
"Ha-ha-ha, kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi
bermain catur denganmu" Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau
pemain catur jagoan dan patut dilawan."
"Ha-ha, sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur," Bun Hwat Tosu
berkata, girang sekali. "Ahli" Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak
ada yang dapat mengalahkan aku!"
Bun Hwat Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali
ihi dia benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang
dirindukannya selama ini! Dan sejenak, dua orang kakek itu saling pandang
setelah pendeta Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hwat Tosu. Sedangkan
anak laki-laki yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan,
setelah melempar pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh!
Dua orang anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya, antara orang tua
mereka masih terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-jaki yang baru datang
itu bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya,
Cia Giok Keng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh
Giok-hong-cu Yo Bi Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama.
Biarpun Lie Seng hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi
Kiok, namun akhirnya gurunya dapat memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat
tinggal Yok-moi (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie
Seng menjadi murid dari Kok Beng Lama. Seperti kita ketahui, setelah mendengar
akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama menjadi sinting dan
setengah gila. Maka pada tengah hari itu, secara kebetulan dia lewat di dekat
tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hwat Tosu kepada dewa,
maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu.
Adapun di antara Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, biarpun keduanya merupakan
tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun
tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling
mengenal dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara
kebetulan saja. Andaikata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu
bermain catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling
berjumpa. "Ha-ha, kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik,
sungguh hatiku girang sekali, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang
jago catur seperti engkau."
"Tosu tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita
sudah sama-sama tua bangka, sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang
lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka
mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih dulu."
Sambil berkata demikian, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya untuk meraih
biji catur yang berwarna putih.
"Jangan sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-
biji putih itu kalau bisa." Sambil berkata
demikian, Bun Hwat Tosu menggunakan tangan kanan memegang papan catur pada
pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan sin-kangnya.
"Ehhh?" Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur
itu melekat pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang
dan dua pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-
anak yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan.
Kok Beng Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan
tahu pula bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain
catur, akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya. Maka diapun lalu menyalurkan
tenaga sin-kang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan
sin-kang dia berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu,
yaitu biji catur raja. Akan tetapi, Bun Hwat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa
papan catur itu tergetar hebat dan suatu tenaga sakti yang amat kuat
bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraannya karena dia tahu bahwa pendeta
Lama ini benar-benar merupakan tandingan yang amat tangguh, maka dia pun
menghimpun tenaga saktinya mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot.
Maka terjadilah pertandingan yang amat aneh dan luar biasa, pertandingan
yang tidak kelihatan oleh mata namun yang terjadi amat serunya karena masing-
masing telah mengerahkan tenaga sin-kang yang hanya dimiliki oleh orang-orang
yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya. Baik Bun Hwat Tosu dan Kok Beng
Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena masing-masing sama sekali
tidak mengira bahwa lawan ini sungguh tangguh, seorang yang telah mencapai
puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar mereka tidak pernah mimpi akan
dapat saling bertemu di tempat sunyi ini.
Sementara itu, Mei Lan yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun
Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng juga mcrupakan putera suami isteri
pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, biarpun keduanya
belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai
keturunan orang-orang pandai dua bocah itu telah menduga apa yang terjadi ketika
melihat Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama
itu memegang biji catur raja putih sedangkan tosu tua itu memegang atau
menyentuh papan catur dan keduanya diam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari
kepala mereka mengepul uap putih! Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan
menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah!
Dan biarpun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu
kekuatan sin-kang untuk memperebutkan biji catur itu juga amat berbahaya, tidak
kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bchkan lebih berbahaya lagi karena kalau
pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sin-kang ini tak
dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan.
Tiba-tiba kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring
Mei Lan, "Ji-wi suhu sedang apakah" Katanya hendak bertanding catur! Apakah
acara pertandingan telah dirobah?"
Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu sadar dan keduanya tertawa dan
otomatis keduanya menghentikan saluran sin-kang mereka.
"Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!"
"Dan tak kusangka di tempat ini aku dapat bertemu dengan kepala gundul yang
sakti seperti engkau, Lama!" kata Bun Hwat Tosu dengan kegembiraan yang tidak
disembunyikan lagi. "Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!"
Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur di atas
papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti yang
hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-
cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga biarpun masing-masing
hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu
tangan itu seperti berubah mbnjadi banyak sekali. Banyak tangan bergerak di atas
papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur
itu dalam waktu yang sama. Tepat pada saat Bun Hwat Tosu melepaskan biji
terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka
tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri gembira sekali. Gembira karena
sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga!
"Kita bertanding catur dengan taruhan apa?" Tiba-tiba Kok Beng Lama
menantang. Bun Hwat Tosu tersenyum. "Lama, apa sih yang dapat kita pertaruhkan"
Pakaianku kumal, jubahmupun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeserpun!"
"Dan akupun tidak mempunyai harta secuwilpun!"
Keduanya tertawa lagi dengan gembira.
"Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama."
"Akupun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid."
"Dan kau juga."
"Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang
masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridmu, gurumu akan bermain
catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?" tanya Kok Beng
Lama kepada Lie Seng. Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua
berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga
tambal-tambalan" Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga
berpandangan tajam. Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak
perduli terhadap semua orang, yang kini kelihatan amat bergembira bertemu dengan
tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki
kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab, "Teecu ingin agar kalau
locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada
teecu!" "Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu kalah, dia
harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!" kata Yap Mei Lan sambil memandang
kepada Kok Beng Lama. Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak."Murid-
murid kita memang cerdik, bisa mempergunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu,
Lama?" tanya Bun Hwat Tosu.
Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba pandang matanya bersinar aneh.
"Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda,
tosu. Eh, tosu tua! Apa yang kau lakukan terhadap aku tadi" Setelah mengadu sin-
kang denganmu, aku merasa aneh! Eh, siapakah engkau, orang tua" Dan bagaimana
dengan kematian puteriku" Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?"
Bun Hwat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. "Siancai...
kiranya baru sekarang engkau dapat pulih kembali ingatanmu, Lama. Terus terang
saja, tadi aku melihat sinar aneh di pandang matamu. Aku menduga bahwa tentu
engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja
mengerahkan sin-kang untuk membantumu mengusir hawa beracun. Akan tetapi,
ternyata sin-kangmu amat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata,
tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan
batin, pukulan batin yang amat kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian
ingatanmu." "Omitohud!" Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha
dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar. "Dan itu berarti bahwa
betapapun juga, sin-kangmu masih lebih tinggi setingkat daripada aku, totiang,
sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya
merusak malah menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh
orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?" tanyanya
kepada Lie Seng. "Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan
menyerahkan saya dari luka akibat pasir beracun."
Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hwat Tosu. "Aku
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganinu, sobat. Aku tidak akan
melupakan budimu." Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel,
"Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa.
Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah
dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kaumulai dan
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!"
Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. "Aha, tidak mudah di
dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari
kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur."
Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak
itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru
masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan
tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa
bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek
yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga
menggerakkan biji catur. Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak
itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, maka mereka hanya duduk gelisah,
hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering
mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa
mengeluarkan kata-kata. Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi
nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat,
sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau
menang, satu permainan juga belum habis!
Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-
guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan
lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan.
Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya
mencela, "Sayang sekali bunga itu dipetik."
Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya
yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.
"Kenapa sayang?" tanyanya.
"Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik" Kalau
dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?"
"Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali
kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga."
Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih
tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat
mengasyikkan bagi mereka berdua.
"Gurumu suka sekali bermain catur," kata Lie Seng pula.
"Gurumu juga," jawab Mei Lan.
"Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun
tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur.
Apakah kau bisa main catur?"
Mei Lan mengangguk, "Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak
menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati
menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?"
Lie Seng menggeleng. "Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat."
Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka
menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek
itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan
mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.
Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain
catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan
daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua
orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu.
Setelah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng
lalu membuka bungkusan bekal mereka, yaitu roti kering dan air minum, dan tanpa
menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak
berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri!
Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso,
melanjutkan permainan catur mereka sampai semalam suntuk! Tentu saja Mei Lan dan
Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api
unggun. Dua orang kakek itu melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang
menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka
itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai
pagi. Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun
pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat
nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang
kakek itu yang masih saling berhadapan dan mereka kini mulai mengatur lagi biji-
biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak
mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan
main. "Ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Semalam
engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak
ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan
kauberikan kepada muridku?"
Bun Hwat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan
tegang dan juga lelah, sungguhpun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang
terpancar dari pandang matanya dan senyumnya. "Permainan caturmu hebat, Lama,
dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan
memberikan ilmu tongkat yang tiada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong-pang-
hoat." "Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka seperti engkau ini tentu
menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang baik.
Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu
terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu."
"Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita
lihat saja nanti!" Dan mereka berdua sudah bermain lagi dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar
akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi
tertarik dan beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing mengharapkan agar
gurunya menang terus agar mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak
mungkin. Akan tetapi menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti
kalau mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama
sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka
itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti
sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini
kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.
Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat
ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya. "Kau hendak pergi ke mana?"
Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tidak diperdulikan lagi
oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki
inipun lumayan untuk dijadikan teman.
"Mau mandi." "Mandi" Di mana ada air di sini?"
"Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat
ada anak sungai kecil di sana, airnya jernih."
Lie Seng memandang girang. "Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat
sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, akupun ingin mandi."
Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan
ilalang yang amat luasnya.
"Di bawah pohon di depan itulah tempatnya," kata Mei Lan menuding ke depan.
Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian setelah tiba di
situ, benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi
namun gembira dengan dendangnya sambil bermain-main dengan batu-batu yang
diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan
di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum
berbahaya. "Kautunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi
dulu," kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.
"Eh, kenapa" Air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar!" Lie Seng
membantah. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. "Kau bocah
laki-laki tahu apa" Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki"
Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau
yang turun mandi dan aku akan menanti di situ."
Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang
menonjol ke luar tanah. "Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan
sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!"
Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau,
pikirnya. Agaknya biarpun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih
terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau
mandi bersama, bahkan diapun dilarang melihat!
Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai
dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya
dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya
terbenam sampai ke leher.
"Aihh, dinginnya...!" Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala
Lie Seng yang kelihatan dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat
berseru, "Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!"
Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi
menoleh. "Akupun tidak ingin melihat engkau mandi!" katanya marah.
Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa
saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga
selesai! "Heii, masa belum juga selesai?" teriaknya tanpa menoleh karena hatinya
sudah kesal menanti. "Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!"
"Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari
penuh?" Mei Lan tidak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam
panjang itu. Setelah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya
masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar kering. Wajahnya segar kemerahan
karena digosok-gosoknya tadi, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.
"Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!" katanya kepada Lie Seng yang
cemberut. Lie Seng bangkit dan memandang marah. "Mandi saja sampai berjam-jam, dasar
anak perempuan!" "Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!" Mei
Lan membalas. Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing den menanggalkan semua
pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising,
berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu
masih berada di tepi sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu
yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan
waktu singkat saja. Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia
melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.
"Eh, kau masih di sini?" tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah
lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.
"Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau
selesai?" Hati Lie Seng menjadi girang. Kiranya anak perempuan ini baik juga,
bersahabat dan memegang janji. Maka ketika Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia
menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah
mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan
roti kering, Lie Seng duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.
"Siapa namamu?" tanya Mei Lan.
"Namaku Lie Seng, dan kau?"
"Mei Lan. Berapa usiamu?"
"Tiga belas tahun."
"Dan aku lima belas tahun."
"Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan."
"Tentu saja! Semua orangpun dapat melihatnya."
"Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu."
"Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak."
"Hemm, dan kau sudah tua, ya?"
"Setidaknya, lebih tua daripada engkau."
Lie Seng tidak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan
roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka
memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.
"Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?"
Lie Seng memandang. "Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang telah menolongku
dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?"
"Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?" tanya Mei Lan.
Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh
dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak
menjawab. Mei Lan menarik napas panjang. "Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini
banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar..."
"Eh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?"
Mei Lan menggeleng kepala juga. "Pertanyaan itu tak dapat kujawab..." Tiba-
tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng dan berbisik, "Ssttt, di sana ada
dua orang mendatangi tempat ini...!"
Lie Seng cepat memandang dan diapun melihat dua orang datang dari selatan,
dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan
kiri. Seorang di antara mercka bertubuh jangkung, berpakaian sederhana dengan
warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena
pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan
setelah dekat, dia melihat bahwa matanyapun agak kebiruan!
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaia mencari Yap In Hong dan
mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan
petunjuk dan bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila. Kemudian,
mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan
memperoleh petunjuk yang amat penting, yaitu tentang jalan rahasia menyeberangi
Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah
ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono
karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang
Bangkai. Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dan seorang anak laki-laki
berada di bawah pohon, yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh
curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu
adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di
tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggauta-anggauta
Padang Bangkai yang semua sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan
diri ke Lembah Naga. Maka, adanya dua orang anak di situ tentu saja menimbulkan
kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah
anggauta-anggauta Lembah Naga atau Padang Bangkai.
"Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako," kata Kwi Beng.
"Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya dulu..." kata Tio Sun yang memang
selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya.
Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati dan memandang dua orang anak itu penuh
perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan
dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang
mata bersinar-sinar penuh keberanian, sungguhpun bajunya tambalan. Dan anak
laki-laki itupun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.
"Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?" Kwi Beng
bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari
fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis.
Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan
Lie Seng sambil berkata, "Huh! Mari, Seng-te, jangan layani orang sinting ini!"
Setelah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari
meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.
"Heiii, hendak lari ke mana kalian?" Kwi Beng mengejar.
"Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!" Tio Sun berseru
dan juga mengejar. Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tidak jauh dari tempat
guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan
kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.
"Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?" Mei Lan membentak marah.
Kwi Bang mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan tentu
memiliki kepandaian juga, sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu.
"Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!"
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan
menggangguku!" Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan
kanarmya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!
"Sombong!" Kwi Beng membentak dan dia sudah menerjang untuk menangicap dara
remaja yang galak itu. "Haiiittt...!Ahh!"
Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu dapat
mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri,
anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan
tendangan itupun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur.
Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh
Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan
bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan
cepat dia merobah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi
dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya
tidak berbahaya. "Beng-te, jangan berkelahi...!" Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak
melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari
gadis itu. Akan tetapi pada saat dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat
bayangan yang langsung menyerangnya.
"Ehh...!" Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak
laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki
itupun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.
"Dukkkk!" Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa
lengannya tergetar. "Hebat...!" Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat
membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum
dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-
orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru
saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga
sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat
Tio Sun terheran-heran dan terkejut.
Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin
lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu.
Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu
saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya
belum dewasa itu. Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng,
dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit
tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak
mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-
tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat
meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada
batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh
ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak
memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu
datang dari arah dua orang kakek itu.
Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang
kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata
kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja
terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.
Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru
mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah
bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum
bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa
pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari
mereka yang menculik In Hong. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut
enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang
kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum
bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi.
"Jangan...!" Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga
bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja,
memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil
mendekati Kwi Beng. "Sing-sing-singgg...!" Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat,
berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah
tubuh dua orang kakek itu.
"Mengganggu saja!" terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan
ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.
"Menjemukan!" Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang
pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok ranting kecil
di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok
Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya
membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang
pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke
arah Kwi Beng! "Celaka...!" Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan
yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang
menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke
arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget
itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris
saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!
"Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!"
Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan
perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali
bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.
Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain
catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka
tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup
di antara rumpun alang-alang yang tinggi.
"Bukan main..." kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. "Dua orang kakek itu
memiliki kesaktian yang amat luar biasa."
"Heran sekali, siapakah mereka" Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi"
Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?" tanya pula Kwi Beng.
"Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada
di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua
orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh
mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat
menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini."
"Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!" Kwi Beng berkata
dengan kukuh. Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. "Tentu saja akan kita
usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat
berbahaya ini?" Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi
hormat kepada pemuda tinggi itu. "Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan
keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku
sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah
memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongya..."
"Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te" Tanpa kauminta
sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan
berusaha sedapatku untuk menolongnya." Dia berhenti sebentar, lalu menyambung,
"Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan.
Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh
tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak
bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan
Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie
Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga
dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang
perjalanan itu! Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-
pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam
pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa
yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap
Yap In Hong. Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa
tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga
Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan
kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia
kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia
dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk
mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak
Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu.
Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok,
tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada
suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-
kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari
tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi,
bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang
aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan
pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat. Namun, Giok Keng
berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa
menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.
Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita
yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam
perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam
terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang
pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul
pula bayangan wajah Yap Kun Liong. Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada
Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu
bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama
seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria.
Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda
pula nama keluarga Cin-ling-pai.
Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan
hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah
tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu
kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Yang
terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat
menemukan Mei Lan kembali!
Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng
dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih
teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka
diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia
melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk
dan menghiburnya. "Tidak, biarkan aku mati saja!" Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak
melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.
"Ah, mengapa engkau begini" Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau
berputus asa" Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"
Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan
menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri.
Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan
masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan
bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung
wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Lihiap, mohon lihiap menolong kami..."
"Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi" Mengapa isterimu hendak membunuh
diri" Apa yang terjadi dengan anakmu?"
Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, "Lihiap, kami
hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat
menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga
hari yang lalu anak kami itu lenyap."
"Lenyap" Apa yang terjadi?"
"Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!" kini nyonya tua itu berkata
dengan nada suara penuh kebencian.
"Siluman" Apa maksud kalian?" Giok Keng bertanya heran.
"Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-
hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan
kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis
yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia
dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para
hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota
kami." Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang
dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain
maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat
pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat
jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!
"Di mana kota kalian?" Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-
cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota
ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi
korban penjahat itu! "Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."
"Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi mdnangkap
siluman itu." Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan
kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap
dari depan dua orang suami isteri tua itu.
Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu
mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada
para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im
Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!
Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya
di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal
nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling
daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda
ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa
perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan
oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan
kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi
kaisar kembali. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah
banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat
dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau
paling besar hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apalagi di kota-
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 1 Si Bungkuk Pendekar Aneh Too Pek Koay Hiap Karya Boe Beng Giok Raden Banyak Sumba 6
merupakan tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai
yang mempunyai tekad dan keberanian besar saja."
"Kami berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi
kalau paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan
taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi."
"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang
guruku itu sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu.
Nah, mampukah Tio-sicu menandingi dia?"
Tio Sun menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak
dan memandang ke sekeliling menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa
betapapun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi
petunjuk. Diapun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang
bertanding silat dan merasa simpati kepada orang yang pandai ilmu silat.
Agaknya, tanpa memperlibatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh
petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan, "Akan saya
coba untuk menandingi dia, sri baginda."
Sabutai tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga
semua orang menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah
Raja Sabutai dan memberi hormat.
"Saudara sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan detang
menghadiri pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!"
Mendengar ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah
merasa khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu akan berakhir sampai
di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut
mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju.
Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang
Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan
menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari
selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang
selatan yang pandai silat!
"Nah, Tio-sicu, silakan," kata Sabutai kepada Tio Sun.
Tio Sun bangkit, menjura kepada Sabutai dan memandang kepada Souw Kwi Beng.
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata, "Tio-twako, hati-hatilah... dia
kelihatan kuat sekali."
Tio Swi mengangguk dan setelah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan
langkah tenang dia lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas panggung,
berhadapan dengan Biruang Hitam. Raksasa hitam ini menyeringai dan mengeluarkan
suara menggereng seperti seekor biruang ketika melihat bahwa calon lawannya
hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian sebagai orang Han! Dia amat
membenci orang Han, apalagi seorang Han yang pandai silat! Dan calon lawannya
ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya! Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan
satu barulah sama dengan dia.
Tio Sun juga memandang lawannya dengan penuh perhatian. Seorang lawan yang
berbahaya, pikirnya. Jelas bahwa Biruang Hitam ini mempunyai tenaga otot yang
amat besar, mungkin lima kali lebih besar daripada tenaga manusia biasa. Dan
kedua lengan yang hitam berbulu itu amat kuat dan panjang, dengan jari-jari
tangan yang panjang dan yang dia dapat menduga tentu mempunyai kekuatan
mencengkeram atau menangkap yang amat kuat. Celakalah kalau sampai kena
dicengkeram oleh jari-jari tangan itu. Dia harus mengandalkan kecepatan
gerakannya, karena betapapun kuatnya, raksasa hitam ini karena besarnya tubuh
tentu lamban gerakannya dan dengan mengandalkan kegesitannya, mungkin dia akan
menang. Pula, dia adalah putera seorang yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis
Bertenaga Selaksa Kati). Ayahnya, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, terkenal memiliki
tenaga yang amat besar dan diapun telah mempelajari penghimpunan tenaga itu
sehingga diapun merupakan seorang yang bertenaga besar. Namun, dalam hal tenaga
luar, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat menandingi raksasa di depannya itu.
"Aku telah siap!" katanya kepada raksasa itu yang kelihatan ragu-ragu.
Agaknya Biruang Hitam itu mengerti maksud kata-katanya, karena dia segera
mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan kedua lengannya bergerak menyambar ke
depan dari kanan kiri seperti terkaman seekor biruang yang marah.
"Wuuutttt...! Wuuutttt...!" Kedua tangannya yang lebar dengan jari-jari
terbuka itu sampai mengeluarkan angin saking kuatnya dia menggerakkan kedua
tangan dari kanan kiri yang mengadakan serangan cengkeraman itu. Namun dengan
langkah ke belakang, Tio Sun dapat mengelak dengan mudah dan ketika raksasa
hitam itu melanjutkan serangannya dengan menubruk ke depan, dia juga sudah dapat
mengelak ke samping dengan lincahnya. Biruang Hitam menggereng marah dan kini
dia menerjang lagi dengan pukulan kepalan tangan sebesar kepala Tio Sun
sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bawah, hendak menangkap kaki pendekar itu.
Kembali Tio Sun cepat mengelak dan dari samping dia sengaja memasang diri
untuk ditubruk. Melihat betapa pemuda itu mengelak dengan tubuh terhuyuhg, si
raksasa menjadi girang dan cepat dia menubruk dengan kedua lengan terpentang
untuk mencegah pemuda itu mengelak ke kanan atau ke kiri. Memang ini yang
dikehendaki oleh Tio Sun. Melihat betapa dada itu "terbuka", secepat kilat dia
menghantam dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dengan maksud
membuat raksasa itu roboh dengan satu kali pukulan.
Tentu saja gerakan Tio Sun ini amat cepatnya sehingga tidak tersangka-sangka
oleh si Biruang Hitam yang lamban, maka sebelum dia tahu apa yang terjadi,
dadanya sudah kena dipukul lawan.
"Bukkk!" Pukulan yang keras bukan main mendarat di dada yang bidang itu. Akan tetapi
akibatnya bukan tubuh tinggi besar itu yang roboh terjengkang, sebaliknya malah
tubuh Tio Sun sendiri terdorong ke belakang dengan kerasnya! Pukulannya yang
mengenai dada itu seolah-olah memukul bola karet yang amat kuat sehingga
membalik dan akibatnya dia yang mencelat ke belakang dan tentu dia akan roboh
terbanting kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik sampai bersalto tiga kali
ke belakang, baru dia dapat turun ke atas papan panggung dengan baik.
Sorak-sorai menyambut peristiwa ini karena semua orang melihat betapa si
raksasa kena pukulan keras namun yang terlempar malah yang memukul! Si Biruang
Hitam tertawa bergelak dan sudah maju lagi dengan kedua lengan dikembangkan,
persis seperti seekor biruang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya,
hidungnya mendengus-dengus dan bibirnya yang tebal itu menyeringai.
Souw Kwi Beng yang melihat ini menjadi gelisah bukan main dan diam-diam dia
meraba ke pinggangnya di mana terselip sebuah pistol kecil. Perbuatannya ini
tidak terlepas dari pandang mata Raja Sabutai yang hanya tersenyum-senyum
menonton pertandingan di atas panggung itu.
Semua mata ditujukan ke atas panggung dan semua jantung berdebar tegang
melihat raksasa hitam itu kini telah menghampiri Tio Sun yang mundur-mundur dan
memandang dengan sikap waspada sampai akhirnya pendekar itu tersudut. Biruang
Hitam menggereng dan menubruk lagi, namun Tio Sun jauh lebih cepat, tubuhnya
telah menyelinap melalui bawah lengan kiri lawan dan dia sudah melesat ke
belakang raksasa itu. Biruang Hitam membalik dan menubruk lagi, kedua lengan
yang panjang itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu dapat dielakkan oleb Tio
Sun yang mengasah otak bagaimana dia dapat merobohkan Biruang Hitam yang amat
kuat dan tubuhnya kebal ini. Mungkin dia tadi kurang mengerahkan tenaga,
pikirnya. Setelah memperhitungkan dengan masak-masak, untuk kesekian kalinya
kembali dia mengelak ketika Biruang Hitam itu menubruk, akan tetapi sekali ini
dia menggunakan gin-kangnya, mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sebelum
lawan membalik, dari atas dia telah menghantamkan kedua kakinya ke tengkuk
lawan. "Bresss!" Kembali tubuh Tio Sun terlempar akan tetapi dia dapat melayang
turun sedangkan Biruang Hitam kini terhuyung ke depan. Tio Sun tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini, cepat dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan
menghantam dari belakang ke arah punggung dan lambung lawan.
"Bukk! Desss!" Hantaman-hantaman itu hebat bukan main dan lawan biasa tentu akan roboh dan
tewas. Akan tetapi Biruang Hitam memang kuat bukan main seolah-olah tubuhnya
dilindungi oleh karet yang tebal. Dia tidak roboh, bahkan dia berhasil membalik
dan meraih sehingga pundak Tio Sun kena dicengkeram oleh jari-jari tangan yang
panjang dan kuat itu. Tentu saja Tio Sun yang tidak mengira sama sekali bahwa
lawan tidak roboh, bahkan terguncangpun tidak oleh dua pukulannya tadi, terkejut
ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram. Bukan main nyerinya, seolah-olah tulang
pundaknya akan hancur oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Maka dia cepat
mengerahkah ilmu melemaskan badan, semacam Ilmu Jiu-kut-kang, membuat kulit
pundaknya licin seperti belut dan dengan gerakan lincah dia merenggutkan
tubuhnya dan meloncat mundur.
"Breetttt...!" Pundaknya terlepas dari cengkeraman akan tetapi baju di
pundak itu robek dan hancur di tangan Biruang Hitam yang tertawa-tawa.
Tio Sun terkejut. Kiranya lawan ini lebih hebat daripada yang disangkanya.
Timbul kemarahannya. Tadinya, dia hanya ingin mengalahkan lawan ini tanpa
melukainya, karena dia memang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan siapa
juga di tempat itu. Akan tetapi pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak
sungguh-sungguh dan berhati-hati dia sendiri bisa celaka, bahkan mungkin saja
bisa tewas oleh manusia raksasa yang bertenaga gajah dan cara berkelahinya buas
seperti harimau ini. Di antara para tamu sudah ramai orang mengadakan pertaruhan pula, taruhan
yang berjumlah tinggi dan tentu saja raksasa hitam itu menjadi jagoan unggul
sehingga yang bertaruh atas diri Biruang Hitam berani mempertaruhkan isterinya
untuk selir seorang lawan bertaruh! Ini berarti bahwa dia sudah yakin akan
kemenangan Biruang Hitam. Akan tetapi hanya sebentar mereka yang bertaruh ini
ramai menambah taruhan mereka karena seluruh perhatian mereka segera dicurghkan
lagi ke atas panggung di mana Biruang Hitam sudah menghujani serangan kepada Tio
Sun yang kembali hanya mengelak ke sana-sini mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Makin lama, Birulang Hitam menjadi makin marah karena semua pukulan, tendangan
dan cengkeramannya hanya mengenai tempat kQsong belaka. Keringatnya membasahi
seluruh tubuhnya akan tetapi tenaganya tidak menjadi kendur, bahkan dia makin
bersemangat karena terdorong oleh kemarahannya.
Souw Kwi Beng yang menonton pertandingan itu kini bernapas lega. Tahulah dia
bahwa kini Tio Sun berhati-hati sekali dan berganti siasat, mengandalkan
kecepatan gerakannya untuk menghabiskan tenaga lawan. Dan melihat betapa lamban
gerakan Biruang Hitam yang amat kuat itu, dia tidak khawatir bahwa Tio Sun akan
dapat tertangkap lagi seperti tadi. Dugaannya ini memang benar. Tio Sun yang
maklum akan berbahayanya apabila sampai dirinya tertangkap lawan menggunakan
gin-kangnya dan dengan mudah dia mengelak terus sambil menanti datangnya
kesempatan. Kesempatan itu tiba selagi si Biruang Hitam menghentikan serangan dan
menghapus keringatnya yang menetes dari dahi memasuki matanya. Saat itu Tio Sun
memekik keras dan tubuhnya berkelebat, dengan jari tangan terbuka dia menampar
ke arah muka lawan. "Plakkk!" Hantaman telapak tangannya sengaja dijatuhkan ke atas hidung
Biruang Hitam itu. "Currr...!" Darah segar muncrat dari dalam hidung Biruang Hitam. Betapapun
kebalnya, tidak mungkin bagi raksasa ini untuk membikin kebal hidungnya maka
begitu kena dihantam dengan keras, darahnya mengucur.
"Oauurrgghh...!" Dia menggereng seperti binatang terluka dan mengamuklah
Biruang Hitam. Dengan membabi buta dia menyerang sambil menggereng dan
mendengus-dengus penuh kemarahan. Kalau saja kedua tangannya yang besar itu
berhasil menangkap tubuh Tio Sun, tentu tubuh itu akan dicabik-cabik, tulang-
tulangnya akan dipatah-patahkan dan otot-ototnya akan dicabuti! Namun Tio Sun
tidak membiarkan dirinya disentuh, terus dia berkelebatan dan meloncat ke sana-
sini untuk menghindarkan diri dari semua terkaman dan selain mengelak, juga dia
selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menghantam bagian-bagian yang
dianggapnya tidak kebal. "Plakkk!" Kini telinga kiri raksasa itu digaplok keras sekali. Tubuh raksasa
itu terputar karena dia merasa kepalanya pening dan ada suara mengiang-ngiang
memenuhi telinganya. Rasa nyeri membuat dia mengeluh dan menggereng, lalu
menyerang lagi. Tio Sun mengelak menjauhi, kemudian ketika raksasa itu menubruk,
dia melompat ke samping dan dari samping kakinya melayang ke bawah pusar, ke
bagian tubuh yang paling penting dan berbahaya bagi seorang pria.
"Dukkk!" Tio Sun meringis dan menarik kembali kakinya yang merasa nyeri.
Kakinya bertemu dengan benda yang keras seperti besi! Mungkinkah anggauta
kelamin si Biruang Hitam ini sudah mengeras seperti besi" Tidak mungkin! Dan Tio
Sun mengerti bahwa tentu di bawah cawat itu dipasangi alat pelindung dari besi.
Biruang Hitam menubruk dan kembali Tio Sun mengelak, kini memukul lagi ke
arah telinga kanan. "Plakkk!" Kembali tubuh itu terputar-putar dan kini tiba saatnya bagi Tio
Sun untuk menghajar lawannya dan dia mengerahkan tamparan-tamparan pada kedua
telinga, hidung, dan mata. Mulailah para tamu yang menjagoi pendekar ini
bersorak-sorak dan tubuh Biruang Hitam kini sudah mulai lemah. Dengan kecepatan
kilat, Tio Sun yang melihat kelemahan lawan, cepat menggunakan dua jari tangan
menotok. Tadi, selagi lawan amat kuat, dia khawatir totokannya akan tidak mampu
menembus kekebalan. Kini, setelah lawannya mulai lemah, dia mengerahkan tenaga
dan dengan mudah dia menotok kedua pundak lawan yang telanjang tepat mengenai
jalan darah dan dua lengan panjang itu kini tergantung lumpuh!
Tio Sun yang juga merasa lelah dan penasaran, lalu memperlihatkan tenaganya.
Setelah kedua tangan yang berbahaya itu dibikin lumpuh, dia berani menerjang
maju, menendang lutut lawan sehingga tubuh tinggi besar itu terguling, seperti
kilat dia menangkap pinggang orang itu, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh
reksasa itu dengan kedua tangannya ke atas kepala dan melemparkannya ke bawah
panggung. Tubuh raksasa itu jatuh berdebuk di atas tanah di luar panggung dan
rebah pingsan di situ! Sorak-sorai memenuhi tempat itu menyambut kemenangan Tio Sun dan wajah
mereka yang menang bertaruh berseri-seri dan mereka membayangkan kesenangan-
kesenangan yang didapatkan atas kemenangan itu. Raja Sabutai bangkit dari tempat
duduknya ketika Tio Sun kembali ke situ, dan sambil mengangguk-angguk, Sabutai
memuji, "Sungguh Tio-sicu amat lihai!"
Tio Sun menjura. "Biruang Hitam itu kuat sekali dan hanya kebetulan saja
saya dapat mengalahkan dia." Lalu dia menatap wajah raja itu tajam-tajam sambil
berkata, "Saya harap sekarang paduka suka memberi petunjuk di mana adanya..."
"Nanti dulu, sicu. Duduklah. Pasta belum berakhir. Kepandaian Tio-sicu sudah
kami saksikan dan memang sicu seorang yang memiliki kepandaian hebat. Akan
tetapi kami belum melihat kepandaian Souw-sicu."
Tio Sun merasa khawatir kalau-kalau Kwi Beng akan diadukan. Dia tahu bahwa
Kwi Beng sebagai putera pendekar wanita Souw Li Hwa tentu saja memiliki
kepandaian yang tinggi juga dan sudah boleh diandalkan, akan tetapi Kwi Beng
masih muda dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membunuh lawannya
sehingga menimbulkan suasana tidak enak terhadap Raja Sabutai. Maka cepat dia
berkata, "Sri baginda, tidakkah cukup dengan semua pertandingan itu" Para tamu
juga tentu menjadi bosan karenanya. Bagaimana kalau adik Souw ini memperlihatkan
kepandaiannya mainkan hui-to (pisau terbang) dan senjata rahasianya yang amat
hebat, yang dapat memuntahkan peluru baja sedemikian cepatnya sehingga tidak
dapat terlihat oleh mata" Tentu saja untuk permainan ini, tidak diperlukan adu
kepandaian yang merupakan lawan karena dapat membunuh orang."
Sabutai mengangguk-angguk sambil tertawa. "Seorang ahli senjata rahasia,
heh" Bagus, nah, aku sendiri yang akan mengujinya."
Tio Sun terkejut. Dia sudah mendengar bahwa raja ini, sebagai murid kakek
dan nenek lihai Mo-ko dan Mo-li, memiliki kepandaian tinggi dan agaknya Kwi Beng
bagaimanapun juga bukanlah lawannya. "Mana bisa adik Souw harus menghadapi
paduka yang memiliki kepandaian amat tinggi?" dia mengajukan keberatan.
Raja Sabutai tertawa. "Kami hanya menguji kepandaiannya mainkan senjata
rahasia, bukan bertanding." Raja itu lalu bangkit berdiri dan melangkah ke atas
panggung. Semua tamu kini memandang dengan mata terbelalak. Apakah Raja Sabutai
yang sakti itu kini hendak bertanding" Semua mata memandang ke arah pemuda
tampan berambut agak keemasan yang mengikuti di belakang sri baginda dengan
sikap tenang. "Saudara-saudara sekalian. Pemuda inipun seorang utusan dari selatan yang
lihai. Anda sekalian tadi telah menyaksikan betapa lihainya Tio-sicu yang telah
mengalahkan pegulat hebat kita Si Biruang Hitam. Dan sekarang, Bouw-sicu
akan memperlibatkan kemahirannya menggunakan senjata rahasia."
Semua orang bertepuk tangan, menyambut dengan gembira karena bagi mereka,
senjata yang mereka kenal hanyalah anak panah dan tombak yang dilontarkan, atau
batu yang disambitkan. Akan tetapi mereka semua maklum bahwa Raja Sabutai juga
mahir menggunakan bermacam senjata rahasia, terutama menggunakan anak panah.
Kabarnya, sekali menarik gendewa, raja ini mempu meluncurkan tujuh batang anak
panah, semua menuju ke sasaran dengan tepatnya! Atas isyarat raja, seorang
pengawal datang berlari bersama dua orang pembantunya yang datang membawa sebuah
alat yang biasa dipakai untuk berlatih ilmu memanah, yaitu sasaran terbuat dari
kayu tebal yang sudah diberi lingkaran-lingkaran dan di tengah-tengahnya
digambar kepala orang dengan mulut terbuka berwama hitam. Atas perintah Sabutai,
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sasaran itu dipasang dalam jarak seratus langkah. Kemudian Sabutai menerima
gendewa dan tempat anak panah dari seorang pengawal lain, dan dia menoleh ke
arah Kwi Beng sambil tersenyum.
"Souw-sicu, kami di daerah ini hampir semua orang mahir bermain anak panah,
oleh karena itu ingin sekali kami melihat apakah senjata rahasiamu dapat
menandingi anak panah kami dan mengenai sasaran itu dengan sama tepatnya."
Sebelum pemuda itu menjawab, Sabutai sudah memasang tiga batang anak panah
sekaligus di gendewanya, lalu menarik tali gendewa dan ketika dia melepaskan
tali sehingga terdengar suara menjepret, meluncurlah tiga batang anak panah
dengan cepatnya menuju sasaran. Menggunakan tiga batang anak papah sekaligus
dapat dilakukan oleh pemanah-pemanah ahli, akan tetapi untuk ditujukan kepada
tiga buah sasaran. Kalau tiga batang anak panah ditujukan kepada sasaran yang
sama, sungguh merupakan hal yang amat sukar dan jarang dapat dilakukan orang.
Akan tetapi, ketika tiga batang anak panah itu meluncur ke arah sasaran, tahulah
semua orang dengan kagum bahwa sang raja itu menujukan ketiga batang anak
panahnya kepada sasaran yang sama!
"Cep-cep-cepp!" Bagaikan berebut saja, tiga batang anak panah itu menancap
di sasaran, dan tiga-tiganya tepat pada mulut hitam gambar kepala di tengah
lingkaran itu. Tepuk sorak gemuruh menyambut kemahiran yang luar biasa ini. Raja
Sabutai sambil tersenyum mengangkat kedua tangan ke atas untuk meredakan
kebisingan itu, kemudian dia menghadapi Kwi Beng sambil berketa, "Nah, Souw-
sicu, dapatkah senjata rahasiamu mengenai sasaran dengan tepat seperti anak-anak
panahku?" "Akan saya coba, sri baginda," kata pemuda ini sambil memandang tajam ke
arah sasaran yang jaraknya seratus langkah itu. Dia melihat betapa sasaran inti,
yang merupakan mulut hitam kecil dari gambar kepala orang itu, telah penuh oleh
tiga batang anak panah sehingga tidak ada tempat lagi bagi senjata rahasianya,
maka tahulah dia bahwa Sabutai sengaja mempersulit dia. Akan tetapi, Kwi Beng
memiliki kelihaian melepas hui-to seperti juga saudara kembarnya dan memiliki
kelihaian ibunya dan kecerdasan otak ayahnya, maka setelah mengincar dengan
seksama, tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya
bergerak ke pinggang, diikuti oleh tangan kanannya, kemudian kedua tangan itu
bergerak cepat ke depan dan meluncurlah tiga sinar berkilauan ke arah sasaran.
Pemuda ini berturut-turut, hampir sama saat pelemparannya saking cepatnya, telah
menyambitkan tiga batang hui-to (pisau terbang) ke arah sasaran itu, diikuti
oleh pandang mata semua tamu. Diam-diam Sabutai kagum juga menyaksikan cara
pemuda itu melemparkan pisau, demikian cepatnya.
"Cap-cap-cappp!" Tiga batang pisau itu menancap dan tiga bateng anak panah
bergoyang-goyang. Ketika semua mata memandang, sejenak suasana hening saking
herannya, kemudian lepaslah tepuk sorak dan pujian ketika mereka melihat bahwa
tiga batang pisau itu dengan tepatnya telah menancap di ujung gagang anak panah
yang tiga tadi! Raja Sabutai mengangguk-angguk akan tetapi dahinya berkerut. Dia kagum
sekali akan tetapi juga ada rasa tidak senang, karena pemuda ini telah membikin
rusak tiga batang anak panahnya. Maka timbul keinginannya untuk mengalahkan
pemuda ini dan dia lalu mengambil lagi sebatang anak panah, dipasangnya di
gendewa yang masih dipegang di tangan kirinya, lalu dia berkata lagi setelah
semua tamu diam. "Souw-sicu, kepandaianmu ternyata hebat. Akan tetapi yang menjadi sasaranmu
adalah benda tidak bergerak. Sekarang ingin aku mengujimu satu kali lagi, yaitu
ingin aku melihat apakah dengan senjata rahasiamu, engkau dapat mengenai anak
panah yang kulepas di udara."
Kalau saja pemuda tampan berambut keemasan itu menyatakan tidak sanggup,
hati Sabutai sudah akan merasa puas dan tidak akan mendesak lagi karena hal itu
sudah menyatakan bahwa pemuda itu masih kalah olehnya dalam hal menggunakan
senjata rahasia. Akan tetapi, pemuda itu mengangguk dan berkata tenang, "Akan
saya coba, sri baginda."
Sabutai menjadi penasaran. Benarkah pemuda ini akan dapat menjatuhkan anak
panahnya" Betapapun mahirnya menggunakan pisau terbang, tentu saja luncuran
pisau yang disambitkan tidak akan dapat lebih cepat daripada luncuran anak
panahnya, dan pisau itu sampai bagaimanapun tidak akan mampu menyusul anak
panahnya, apalagi mengenainya. Dan memang pemuda inipun tahu bahwa pisau
terbangnya tidak akan mungkin dapat mengenai anak panah yang diluncurkan, akan
tetapi dia sudah bersiap untuk tantangan ini. Semua mata para temu kini
memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan, karena merekapun kesemuanya
adalah ahli-ahli panah yang tahu belaka bahwa luncuran anak panah, apalagi yang
dilepaskan oleh tangan Raja Sabutai yang kuat, tidak mungkin dapat dikejar oleh
sambitan biasa. Gendewa menjepret ketika Sabutai melepaskan tali gendewa dan meluncurlah
sebatang anak panah ke angkasa! Pada saat itu, tangan kanan Kwi Beng sudah
bergerak mencabut senjata apinya, yaitu sebuah pistol kecil yang tadi memang
sudah dipersiapkan dan diisinya, lalu dengan ketepatan seorang jago tembak
terlatih dia membidikkan pistolnya dan menarik pelatuknya.
"Darr...!" Semua orang terkejut bukan main mendengar ledakan ini dan semua
mata, termasuk mata Sabutai, memandang dengan penuh kagum, kaget, dan heran
melihat anak panahnya yang masih meluncur itu tiba-tiba runtuh dan patah menjadi
dua, jatuh di depan kaki raja itu!
Dalam keadaan biasa, tentu Raja Sabutai akan menjadi penasaran dan marah
sekali melihat anak panahnya runtuh dan patah menjadi dua itu. Akan tetapi pada
saat itu dia terlalu kaget dan heran menyaksikan kehebatan senjata kecil yang
aneh itu sehingga dia melongo memandang kepada pistol di tangan Kwi Beng yang
masih mengepulkan asap. Barulah ketika para tamu yang tadi juga tercengang kini
bertepuk tangan dan bersorak gemuruh memuji kehebatan senjata rahasia pemuda
itu. Sabutai menjadi sadar dan dengan muka jelas membayangkan kekaguman dia
memandang senjata api di tangan kanan Kwi Beng sambil bertanya, "Apakah itu?"
Melihat sikap raja yang jelas sekali kelihatan amat tertarik dan kagum
kepada senjata apinya, Kwi Beng lalu memperlihatkan pistolnya sambil berkata,
"Ini adalah senjata api, sri baginda."
Sabutai menyentuh pistol yang masib hangat itu dan memuji, "Hebat bukan
main..." Sambil tersenyum dan menyodorkan pistolnya, Kwi Beng berkata, "Kalau paduka
suka memberi petunjuk agar kami dapat tahu di mana adanya nona Yap In Hong,
sebagai tanda terima kasih saya menghaturkan pistol ini kepada paduka."
Sepasang mata Sabutai terbelalak dan wajahnya berseri. "Benarkah" Akan
tetapi tidak ada gunanya, aku tidak bisa mempergunakannya."
"Saya akan mengajar paduka sampai dapat mempergunakannya."
Sabutai tertawa girang, memegang tangan Kwi Beng dan dituntunnya pemuda itu
kembali ke tempat duduk kehormatan dan Tio Sun menyambut temannya itu dengan
senyum puas karena dia maklum bahwa temannya telah mendatangkan kesan baik
kepada Sabutai yang juga tersenyum-senyum.
Seperti seorang anak kecil meminang-minang permainan baru, Sabutai memegang
dan meneliti pistol itu, kemudian dia mempelajarinya dan Kwi Beng menjadi
gurunya. Cara mengisi peluru dan obat, cara menembakkan dan lain"lain.
Sabutai yang memang cerdas itu sebentar saja sudah menguasainya dan ketika
dia mencobakan pistol itu pada sasaran, ditonton oleh semua tamu, tiga kali
tembakan saja Sabutai sudah dapat mengenai mulut kepala dalam gambar sasaran,
disambut tepuk tangan para tamu.
Kwi Beng menyerahkan semua peluru yang dibawanya, sebanyak beberapa puluh
butir mesiu dan pistol itu kepada Sabutai. Raja ini girang sekali, menyimpan
pistol dan peluru-pelurunya, lalu dia berkata, "Tio-sicu dan Souw-sicu, kalian
ternyata adalah tamu-tamu yang amat menyenangkan dan kurasa cukup gagah dan
berharga untuk berusaha menolong nona Yap In Hong, biarpun kami merasa sangsi
sekali apakah kalian akan dapat berhasil. Kami kira kalian tidak akan mampu
melawan kedua orang guru kami. Bahkan sekarang, setelah kedua orang guru kami
itu berhasil melatih ilmu baru mereka, jangankan baru kalian berdua, biarpun
ketua Cin-ling-pai sendiri dan puteranya yang lihai itu pasti tidak akan dapat
menangkan suhu dan subo. Mereka telah memiliki kekebalan yang luar biasa sekali
sehingga semua pukulan sakti, semua senjata pusaka tidak akan mampu melukai
mereka luar dalam!" "Kami bukan hendak melawan siapapun kalau tidak terpaksa, yang kami
kehendaki hanya agar nona Yap In Hong dibebaskan," kata Tio Sun.
Sabutai tersenyum dan menarik napas panjang. "Kami rasa tidak begitu mudah.
Ilmu baru dari suhu dan subo ini amat hebat, dan baru saja diciptakan sehingga
kami sendiripun belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi sesuai dengan janji
kami, biarlah ji-wi mengetahui di mana suhu dan subo menahan nona Yap In Hong,
yaitu di kaki Pegunungan Khing-an-san, di Lembah Naga dekat tikungan Sungai
Luan-ho. Nah, di sana ji-wi akan dapat menemui suhu dan subo, juga di sanalah
nona Yap ditawan." Tio Sun dan Souw Kwi Beng menjadi girang sekali. Mereka bangkit dan menjura
sambil mengucapkan terima kasih lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanan
mereka ke Lembah Naga sekarang juga! Raja Sabutai juga bangkit berdiri dan
berkali-kali dia menarik napas panjang. "Sayang... sungguh saya akan selalu
menyayangkan bahwa dua orang pemuda sehebat ji-wi ini harus membuang nyawa
secara sia-sia saja di Lembah Naga. Akan tetapi, kami tidak berhak untuk
mencegah dan selamat jalan, Tio-sicu dan Souw-sicu..."
Pada saat itu, seorang pengawal datang dengan cepat dan memberi hormat, lalu
melapor dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh dua orang pemuda itu.
Mendengar laporan itu, Sabutai berseri wajahnya dan berkata, "Tio-sicu dan
Souw-sicu, tunggu sebentar! Baru saja pengawal kami melaporkan bahwa isteri kami
mendengar akan kunjungan utusan kaisar dan kini beliau minta kepada ji-wi untuk
menjenguk putera kami. Kami adalah sahabat kaisar, maka ji-wi sebagai utusan
kaisar tentu juga merupakan sahabat kami pula. Bagaimana ji-wi dapat bercerita
di kota raja tentang putera kami kalau ji-wi tidak menjenguknya" Nah, isteri
kami telah mengundang, harap ji-wi suka masuk ke dalam sebentar."
Tentu saja Tio Sun dan Souw Kwi Beng tidak berani menolak undangan yang
ramah ini dan mereka berdua lalu diantar oleh empat orang pengawal menuju ke
dalam yang ternyata suasananya tenteram dan tenang, tidak seramai di tempat
pesta itu. Mereka melalui ruangan-ruangan dan lorong-lorong, akhirnya mereka
tiba di tempat kediaman Puteri Khamila. Di dalam sebuah kamar yang bersih dan
sejuk, terdapat sebuah ayunan bayi yang dijaga oleh lima orang pelayan wanita.
Agaknya, para pelayan itu sudah menerima perintah dari Puteri Khamila, karena
begitu melihat empat orang pengawal yang mengantar dua orang pemuda asing itu,
mereka lalu mundur dan mempersilakan mereka masuk.
"Ji-wi (tuan berdua) dipersilakan masuk dan menjenguk pangeran," kata
seorang di antara empat pengawal itu dengan bahasa yang lancar akan tetapi kaku.
Tio Sun dan Souw Kwi Beng lalu melangkah memasuki kamar itu dan menghampiri
ayunan bayi. Mereka menjenguk dan melihat seorang bayi yang amat sehat dan
mungil, sedang tidur terlentang dengan nyenyaknya. Dua orang pemuda itu tentu
saja memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam mereka memuji bahwa putera
Sabutai ini memang seorang anak bayi yang sehat dan tampan, juga biarpun masih
bayi sudah membayangkan keagungan.
Pada saat itu, terdengar suara kaki melangkah dari dalam dan semua pelayan,
juga empat orang pengawal itu cepat menjatuhkan diri berlutut. Souw Kwi Beng dan
Tio Sun menengok dan mereka terkejut melihat seorang wanita yang berpakaian
indah, keluar dari pintu dalam dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah
permaisuri atau isteri Raja Sabutai, maka mereka cepat memberi hormat dengan
menjura sampai dalam. "Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari kaisar, benarkah?" suara
Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda
itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu
seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar.
Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan kaisar, tentu saja
tidak berani menyangkal lagi. "Benar, kami berdua datang dari kota raja."
"Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?" kembali
sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.
"Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... eh, agaknya sri
baginda kaisar belum mendengar akan kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, dan
kami diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, sedangkan kami hanya kebetulan
mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat
mencari nona Yap." "Dan kalian sudah tahu tempatnya?"
"Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu."
Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan pelayan tidak
berani mengangkat muka memandang sang puteri.
"Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-
manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu di tubuh mereka.
Sampaikan kepada kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku inipun
mempunyai tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar
apakah itupun merupakan tanda dari Tuhan."
Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan scorang ibu di
manapun sama saja, tidak perduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang
permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan
bahagia! "Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang
pangeran diberi berkah dan penjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota
raja," jawab Tio Sun tanpa berani menyebut kaisar karena bagaimana dia berani
menghadapi kaisar untuk menyampaikan semua ini"
"Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang amat berat. Nah, kalian
pergilah," sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas
terlipat dan berbisik, "Bukalah jika menemui kesulitan." Lalu puteri itu memberi
perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar.
Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi
hormat, diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan
kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut
mereka, Tio Sun cepat memberi hotmat dan berkata, "Putera paduka sungguh sehat
dan tampang semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang."
"Ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang
lihai seperti sicu."
Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat
itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka
menceri tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah
mereka ketahui dari Raja Sabutai.
Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya
dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.
"Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke
bawah!" Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir
mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru
yang hebat, yaitu kekebalan yang tak terlawan oleh pukulan sekti atau senjata
pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak
nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya. Maka
kini, membaca tulisan Puteri Khamila mereka selain terheran-heran juga merasa
girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek
kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek
dan nenek iblis itu kepada mereka.
Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl
merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong
diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia telah berhutang budi kepada
In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia telah meloloskan Kaisar Ceng Tung
dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis
yang menjadi guru suaminya, dia merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diapun
maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi
kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk
bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Sabutai yang amat cinta
kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia guru-gurunya diketahui
isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang
gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang amat mujijat dan bahwa
kelemahannya dia sendiri tidak tahu dengan past!, hanya tahu bahwa kelemahannya
itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah. Maka, ketika Khamila mendengar
bahwa ada dua orang utusan kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan
rahasia kelemahan itu pada secarik kertas, kemudian dia mengundang dua orang
utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua
maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya pada ayah kandungnya,
yaitu Kaisar Ceng Tung, dan kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua
orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.
*** Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah
Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan
mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang
rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padan
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu
neraka. Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun
yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlaban-lahan
dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala
kemungkinan. Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di
belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa
pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak
akan terdengar oleh mereka.
Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju
perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju
menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara
tangis itu, di tempat yang demikian sunyi, penuh dengan rumput alang-alang
tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis. Ketika mereka tiba di rumpun
alang-alang yang berada di tepi jalan setapak, mereka terkejut karena melihat
bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis
sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang
malang melintang menjadi alas tubuhnya. Wanita itu menangis sedih sekali,
sesenggukan dan air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik, tangan
kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas
pergelangan tangan dan dibungkus dengan kain putih yang masih membekas darah
merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama.
Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah
lengan kiri yang tidak bertangan lagi itu. "Apa yang terjadi, nona?" Kwi Beng
yang memang berperasaan halus den mudah terharu itu bertanya sambil melangkah
mendekati. Gadis itu terkejut, menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia
memandang. Ketika melihat bahwa di depannya berdiri dua orang laki-laki yang tak
dikenalnya, seperti seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya
mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan
kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya
berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.
"Ehh...?" Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan
serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.
"Dukk...!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang
kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga
yang amat kuat biarpun tangannya tinggal satu!
"Eh, nanti dulu, nona!" Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia
berseru, "Beng-te, awas...!"
Kwi Beng cepat menggulingkan tububnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli
melempar pisau terbang, tentu saja dia maklum apa artinya benda-benda hitam
kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga
Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh
gadis berpakaian merah itu. Akan tetapi, gadis itu sudah menyerang lagi, kini
menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak dan sambil
mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu
sambil berkata, "Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!"
"Bicara apalagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!" Nona itu membentak,
meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah
bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan
bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.
"Plakk!" Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh
Kwi Beng yang menjedi terhuyung.
"Twako, gadis ini gila...!" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang dan tiba-tiba nampak sinar
berkelebat ketika gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi
dia telah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!
"Hemmm...!" Tio Sun cepat mengelak dan melihat betapa gadis itu menyerang
kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi. Harus
diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu
silat yang selain memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Kwi Beng, juga
memiliki kecepatan yang luar biasa sekali dan ilmu silatnyapun tinggi. Akan
tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa
kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.
"Minggir, Beng-te!" serunya karena dia tahu betapa bahayanya menghadapi
seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu
menyerang dengan nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Diapun
cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang
dapat dipergunakan sebagai pecut.
"Tringg-cringgg... tarrr...!"
Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-
nyambar. Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang
makin nekat. Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tidak mau sembrono
dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini,
tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tidak mau melukai apalagi
membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa
mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan
mencari kesempatan baik. Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih
menang banyak, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini
menjadi bingung. Dengan tenang dia membiarkan gadis itu menyerang terus dan
tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa
Kati). "Trangggg... aihhhh...!" Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas deri
tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah
dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan
tunggalnya secara nekat! "Ahh, kau sungguh nekat...!" kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua
kali ujung sabuknya menotok dan wanita itupun mengeluh dan roboh tertotok, lemas
tubuhnya dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh!
Akan tetapi matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu
menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak, "Kalian bunuhlah aku dan aku akan
berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku,
ingatlah, biar sampai matipun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar
kalian untuk membalas dendam!"
Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata, "Nona,
kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah" Kami tidak sudi melakukan
perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa
melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian."
Kini pandang mata gadis itu berobah seperti orang baru sadar dan terheran.
"Siapakah kalian" Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh
aku?" Tio Sun menggeleng kepala. "Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-
li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, untuk
menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?"
"Ohhh...!" Gadis itu kelihatan terkejut, memandang mereka berdua bergantian
penuh perhatian. "Ahhh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun
Houw...!" Setelah berkata demikian dia menangis lagi.
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut mendengar ini dan Tio Sun cepat
membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit
duduk dan berkata berulang kali. "Maafkan aku... maafkan aku..." sambil
menangis. Tio Sun dan Kwi Beng juga duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi
oleh rumpun ilalang dan tidak nampak dari jauh.
"Nona, agaknya ada kesalahfahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami
adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira
bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang
ceritakanlah dengan jelas, siapa nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka"
Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kausebut-sebut tadi?"
"Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan
dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi,
murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga,
membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk
memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul
adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw
kinipun tertangkap dan mereka kini ditawan. Aku... aku... mencoba untuk
membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku..." Dia
bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.
"Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?" Tio Sun bertanya dan gadis itu
mengangguk. "Betapa kejamnya!" Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju.
Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seperti hendak menaksir
apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.
"Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?" tanyanya.
"Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, kalau perlu
dengan taruhan nyawa kami!" Kwi Beng berkata dengan penuh semangat.
Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng,
lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, "Aihh... engkau agaknya juga
menjadi korban cinta..."
Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya. "Apa" Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu
Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu." Kini sikap Si Kwi sudah
tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh
dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang
jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.
"Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan
ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah
bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biarpun begitu, di Lembah Naga kalian
akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya
seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga
mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I
Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang
Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal
itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?"
Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat dan Tio Sun tenang saja
mendengar cerita itu, sungguhpun di dalam hati masing-masing mereka mengambil
keputusan untuk bersikap hati-hati sekali setelah mendengar penuturan ini. "Aku
tidak takut. Bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk menolong dan
menyelamatkan nona In Hong!"
Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata, "Nona Liong Si Kwi, kami
berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang
sahabat ygng baik sekali. Bahkan engkau telah mengorbankan sebelah tanganmu
untuk menolong Cia-taihiap."
Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka
sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka
berdua lalu bangkit berdiri.
"Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi
terima kasih," kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi,
menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu.
Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu,
melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata
amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti
Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia
bertanya, "Tio-twako, dia kenapakah?"
Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak menjawab langsung melainkan
berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri, "Betapa banyaknya di dunia ini
manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta..."
"Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi" Dia juga mengatakan
bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi menurut dugaanku,
melihat keadaan gadis itu, agaknya tidak salah lagi bahwa dia jatuh cinta kepada
Cia-taihiap. Karena cintanya maka dia berkhidnat dan berusaha menolong Cia-
taihiap akan tetapi dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh
kasihan dia." Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya seperti ditusuk
karena dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia
memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang
menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta
dan tergila-gila kepada Yap In Hong.
Biarpun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi,
namun kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati
Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai
itu telah kosong dan ditinggalkan penghuninva sehingga tanpa banyak kesukaran
mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.
*** Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk
beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang
sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan
yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari
panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu
dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur
putih dan hitam silih berganti. Dia sedang bertanding catur dengan diri sendiri!
Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang
kecewa sekali karena tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan
menggembirakan sekali. Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir usianya karena sedikitnya tentu
sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis dan jenggotnya sudah
putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan
tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis.
Segala sesuatu pada diri kakek ini kelihatan tua sekali, kecuali sepasang
matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara
terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah
amat lama memandang dunia ini.
Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang
lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan
sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa
dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam
itupun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan. Sejak tadi, dara
remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri.
Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah
seorang pemain catur yang ahli, maka biarpun dia sendiri sudah bisa bermain
catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu
karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penontonpun dia
bosan. Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu
kelihatan berduka. Kerut-merut di dahinya bertambah dan sepasang matanya
ditujukan ke atas papan catur seperti orang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak
tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan makin tidak sabar.
"Suhu, kalau suhu tidak senang bermain-main catur sendiri, mengapa suhu
memaksa diri?" Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah
dara itu. "Hemm..." Apa...?" katanya pikun.
"Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa
hari ini kalau suhu bermain catur, selalu kelihatan berduka dan berulang kali
menarik napas panjang. Kalau permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan
kedukaan, mengapa suhu tidak berhenti saja?"
Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang,
lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke
depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu tua
sekali yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan
tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke
tempat-tempat sunyi. Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu
yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian
dia menghilang dan tidak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak
gunung dan di guha-guha tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di
bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap
Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya
ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang
menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!
Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. Kemudian
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, "Melihat kelemahan
diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih" Sudah puluhan tahun aku berhasil
melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-
apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran
dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!"
"Sekarang bagaimana, suhu?" dara itu mendesak sambil menatap wajah tua yang
menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.
"Kaulihat sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang
lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang
kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan
bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan
dalam mimpi! Akan tetapi sampai sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang
seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali" Ini tandanya bahwa
aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi
belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan
mimpi, maka betapa menyedihkan itu!"
"Memang suhu belum mati." kata si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata
yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.
"Kalau saja sudah, alangkah baiknya!" kakek itu menghela napas panjang.
"Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah
mati dari semua keinginan den kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar
kesenangan." Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti
dilukis. "Akan tetapi, suhu. Kalau sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya
mengejar kesenangan, kalau sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu
sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu" Bukankah
hidup lalu tidak ada gunanya lagi?"
Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu.
"Justeru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar
kesenangan sajalah yang dapat menikmati
kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar
kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang tidak puas saja yang
mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan
memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya terdapat, ketidakpuasan itu
tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidakpuasan dan hidupnya
menjadi sengsara selalu."
"Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi
kepuasan?" dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.
"Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan memantang kesenangan, bukan menolak
kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau
sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena
htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak
menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa
puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!"
"Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu
sama saja dengan mati?"
"Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar
hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar
keenakan dan kesenangan itu telah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati,
yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-
gara papan catur ini!" Dia berkata gemas memandang ke arah papan caturnya. "Aku
menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku
telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum bertemu dengan seorang
lawan catur yang setingkat!
"Aihhh, sungguh aku seorang tua yang tolol!" Bun Hwat Tosu yang biasanya
bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan
berteriak keras, "Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan
aku!" Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya.
"Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!"
Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biarpun dia tergolong
seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini
dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di
tengah hari yang terang dan terik itu" Benarkah suara dewa dari angkasa yang
menyambut tantangan suhunya itu" Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun
sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhunya, dia melihat kakek itu tersenyum
memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan dia melihat
betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan nampak
bayangan orang berkelebat seperti terbang melayang di atas rumpun ilalang itu!
Dia memandang terbelalak penuh kekaguman. Manusiakah yang datang itu" Ataukah
dewa" Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia sakti yang sudah pandai
terbang di atas rumput, semacam ilmu gin-kang yang sudah mencapai puncak, akan
tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang itu memiliki
kepandaian yang setingkat dengan gurunya!
Setelah tiba dekat, ternyata orang itu gerakannya memang bukan main cepatnya
dan tahu-tahu di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala
gundul, jubahnya yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta!
Pendeta miskin agaknya, menuntun seorang anak laki"laki berusia kurang lebih
tiga belas tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan
keberanian dengan sepasang mata tajam.
Begitu tiba di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya
yang lebar itu agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi
ketawanya aneh, dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Bun Hwat Tosu yang
duduk bersila menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di
mulutnya, pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu.
"Sobat, benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain
catur?" Bun Hwat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang
pandang mata yang aneh, tajam dan agak liar itu.
"Ha-ha-ha, kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi
bermain catur denganmu" Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau
pemain catur jagoan dan patut dilawan."
"Ha-ha, sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur," Bun Hwat Tosu
berkata, girang sekali. "Ahli" Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak
ada yang dapat mengalahkan aku!"
Bun Hwat Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali
ihi dia benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang
dirindukannya selama ini! Dan sejenak, dua orang kakek itu saling pandang
setelah pendeta Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hwat Tosu. Sedangkan
anak laki-laki yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan,
setelah melempar pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh!
Dua orang anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya, antara orang tua
mereka masih terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-jaki yang baru datang
itu bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya,
Cia Giok Keng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh
Giok-hong-cu Yo Bi Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama.
Biarpun Lie Seng hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi
Kiok, namun akhirnya gurunya dapat memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat
tinggal Yok-moi (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie
Seng menjadi murid dari Kok Beng Lama. Seperti kita ketahui, setelah mendengar
akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama menjadi sinting dan
setengah gila. Maka pada tengah hari itu, secara kebetulan dia lewat di dekat
tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hwat Tosu kepada dewa,
maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu.
Adapun di antara Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, biarpun keduanya merupakan
tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun
tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling
mengenal dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara
kebetulan saja. Andaikata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu
bermain catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling
berjumpa. "Ha-ha, kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik,
sungguh hatiku girang sekali, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang
jago catur seperti engkau."
"Tosu tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita
sudah sama-sama tua bangka, sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang
lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka
mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih dulu."
Sambil berkata demikian, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya untuk meraih
biji catur yang berwarna putih.
"Jangan sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-
biji putih itu kalau bisa." Sambil berkata
demikian, Bun Hwat Tosu menggunakan tangan kanan memegang papan catur pada
pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan sin-kangnya.
"Ehhh?" Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur
itu melekat pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang
dan dua pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-
anak yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan.
Kok Beng Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan
tahu pula bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain
catur, akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya. Maka diapun lalu menyalurkan
tenaga sin-kang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan
sin-kang dia berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu,
yaitu biji catur raja. Akan tetapi, Bun Hwat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa
papan catur itu tergetar hebat dan suatu tenaga sakti yang amat kuat
bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraannya karena dia tahu bahwa pendeta
Lama ini benar-benar merupakan tandingan yang amat tangguh, maka dia pun
menghimpun tenaga saktinya mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot.
Maka terjadilah pertandingan yang amat aneh dan luar biasa, pertandingan
yang tidak kelihatan oleh mata namun yang terjadi amat serunya karena masing-
masing telah mengerahkan tenaga sin-kang yang hanya dimiliki oleh orang-orang
yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya. Baik Bun Hwat Tosu dan Kok Beng
Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena masing-masing sama sekali
tidak mengira bahwa lawan ini sungguh tangguh, seorang yang telah mencapai
puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar mereka tidak pernah mimpi akan
dapat saling bertemu di tempat sunyi ini.
Sementara itu, Mei Lan yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun
Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng juga mcrupakan putera suami isteri
pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, biarpun keduanya
belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai
keturunan orang-orang pandai dua bocah itu telah menduga apa yang terjadi ketika
melihat Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama
itu memegang biji catur raja putih sedangkan tosu tua itu memegang atau
menyentuh papan catur dan keduanya diam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari
kepala mereka mengepul uap putih! Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan
menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah!
Dan biarpun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu
kekuatan sin-kang untuk memperebutkan biji catur itu juga amat berbahaya, tidak
kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bchkan lebih berbahaya lagi karena kalau
pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sin-kang ini tak
dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan.
Tiba-tiba kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring
Mei Lan, "Ji-wi suhu sedang apakah" Katanya hendak bertanding catur! Apakah
acara pertandingan telah dirobah?"
Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu sadar dan keduanya tertawa dan
otomatis keduanya menghentikan saluran sin-kang mereka.
"Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!"
"Dan tak kusangka di tempat ini aku dapat bertemu dengan kepala gundul yang
sakti seperti engkau, Lama!" kata Bun Hwat Tosu dengan kegembiraan yang tidak
disembunyikan lagi. "Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!"
Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur di atas
papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti yang
hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-
cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga biarpun masing-masing
hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu
tangan itu seperti berubah mbnjadi banyak sekali. Banyak tangan bergerak di atas
papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur
itu dalam waktu yang sama. Tepat pada saat Bun Hwat Tosu melepaskan biji
terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka
tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri gembira sekali. Gembira karena
sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga!
"Kita bertanding catur dengan taruhan apa?" Tiba-tiba Kok Beng Lama
menantang. Bun Hwat Tosu tersenyum. "Lama, apa sih yang dapat kita pertaruhkan"
Pakaianku kumal, jubahmupun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeserpun!"
"Dan akupun tidak mempunyai harta secuwilpun!"
Keduanya tertawa lagi dengan gembira.
"Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama."
"Akupun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid."
"Dan kau juga."
"Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang
masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridmu, gurumu akan bermain
catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?" tanya Kok Beng
Lama kepada Lie Seng. Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua
berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga
tambal-tambalan" Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga
berpandangan tajam. Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak
perduli terhadap semua orang, yang kini kelihatan amat bergembira bertemu dengan
tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki
kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab, "Teecu ingin agar kalau
locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada
teecu!" "Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu kalah, dia
harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!" kata Yap Mei Lan sambil memandang
kepada Kok Beng Lama. Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak."Murid-
murid kita memang cerdik, bisa mempergunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu,
Lama?" tanya Bun Hwat Tosu.
Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba pandang matanya bersinar aneh.
"Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda,
tosu. Eh, tosu tua! Apa yang kau lakukan terhadap aku tadi" Setelah mengadu sin-
kang denganmu, aku merasa aneh! Eh, siapakah engkau, orang tua" Dan bagaimana
dengan kematian puteriku" Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?"
Bun Hwat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. "Siancai...
kiranya baru sekarang engkau dapat pulih kembali ingatanmu, Lama. Terus terang
saja, tadi aku melihat sinar aneh di pandang matamu. Aku menduga bahwa tentu
engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja
mengerahkan sin-kang untuk membantumu mengusir hawa beracun. Akan tetapi,
ternyata sin-kangmu amat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata,
tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan
batin, pukulan batin yang amat kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian
ingatanmu." "Omitohud!" Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha
dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar. "Dan itu berarti bahwa
betapapun juga, sin-kangmu masih lebih tinggi setingkat daripada aku, totiang,
sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya
merusak malah menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh
orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?" tanyanya
kepada Lie Seng. "Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan
menyerahkan saya dari luka akibat pasir beracun."
Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hwat Tosu. "Aku
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganinu, sobat. Aku tidak akan
melupakan budimu." Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel,
"Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa.
Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah
dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kaumulai dan
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!"
Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. "Aha, tidak mudah di
dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari
kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur."
Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak
itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru
masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan
tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa
bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek
yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga
menggerakkan biji catur. Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak
itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, maka mereka hanya duduk gelisah,
hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering
mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa
mengeluarkan kata-kata. Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi
nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat,
sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau
menang, satu permainan juga belum habis!
Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-
guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan
lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan.
Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya
mencela, "Sayang sekali bunga itu dipetik."
Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya
yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.
"Kenapa sayang?" tanyanya.
"Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik" Kalau
dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?"
"Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali
kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga."
Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih
tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat
mengasyikkan bagi mereka berdua.
"Gurumu suka sekali bermain catur," kata Lie Seng pula.
"Gurumu juga," jawab Mei Lan.
"Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun
tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur.
Apakah kau bisa main catur?"
Mei Lan mengangguk, "Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak
menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati
menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?"
Lie Seng menggeleng. "Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat."
Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka
menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek
itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan
mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.
Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain
catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan
daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua
orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu.
Setelah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng
lalu membuka bungkusan bekal mereka, yaitu roti kering dan air minum, dan tanpa
menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak
berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri!
Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso,
melanjutkan permainan catur mereka sampai semalam suntuk! Tentu saja Mei Lan dan
Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api
unggun. Dua orang kakek itu melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang
menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka
itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai
pagi. Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun
pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat
nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang
kakek itu yang masih saling berhadapan dan mereka kini mulai mengatur lagi biji-
biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak
mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan
main. "Ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Semalam
engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak
ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan
kauberikan kepada muridku?"
Bun Hwat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan
tegang dan juga lelah, sungguhpun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang
terpancar dari pandang matanya dan senyumnya. "Permainan caturmu hebat, Lama,
dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan
memberikan ilmu tongkat yang tiada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong-pang-
hoat." "Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka seperti engkau ini tentu
menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang baik.
Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu
terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu."
"Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita
lihat saja nanti!" Dan mereka berdua sudah bermain lagi dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar
akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi
tertarik dan beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing mengharapkan agar
gurunya menang terus agar mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak
mungkin. Akan tetapi menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti
kalau mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama
sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka
itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti
sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini
kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.
Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat
ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya. "Kau hendak pergi ke mana?"
Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tidak diperdulikan lagi
oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki
inipun lumayan untuk dijadikan teman.
"Mau mandi." "Mandi" Di mana ada air di sini?"
"Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat
ada anak sungai kecil di sana, airnya jernih."
Lie Seng memandang girang. "Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat
sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, akupun ingin mandi."
Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan
ilalang yang amat luasnya.
"Di bawah pohon di depan itulah tempatnya," kata Mei Lan menuding ke depan.
Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian setelah tiba di
situ, benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi
namun gembira dengan dendangnya sambil bermain-main dengan batu-batu yang
diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan
di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum
berbahaya. "Kautunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi
dulu," kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.
"Eh, kenapa" Air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar!" Lie Seng
membantah. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. "Kau bocah
laki-laki tahu apa" Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki"
Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau
yang turun mandi dan aku akan menanti di situ."
Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang
menonjol ke luar tanah. "Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan
sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!"
Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau,
pikirnya. Agaknya biarpun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih
terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau
mandi bersama, bahkan diapun dilarang melihat!
Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai
dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya
dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya
terbenam sampai ke leher.
"Aihh, dinginnya...!" Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala
Lie Seng yang kelihatan dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat
berseru, "Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!"
Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi
menoleh. "Akupun tidak ingin melihat engkau mandi!" katanya marah.
Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa
saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga
selesai! "Heii, masa belum juga selesai?" teriaknya tanpa menoleh karena hatinya
sudah kesal menanti. "Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!"
"Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari
penuh?" Mei Lan tidak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam
panjang itu. Setelah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya
masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar kering. Wajahnya segar kemerahan
karena digosok-gosoknya tadi, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.
"Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!" katanya kepada Lie Seng yang
cemberut. Lie Seng bangkit dan memandang marah. "Mandi saja sampai berjam-jam, dasar
anak perempuan!" "Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!" Mei
Lan membalas. Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing den menanggalkan semua
pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising,
berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu
masih berada di tepi sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu
yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan
waktu singkat saja. Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia
melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.
"Eh, kau masih di sini?" tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah
lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.
"Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau
selesai?" Hati Lie Seng menjadi girang. Kiranya anak perempuan ini baik juga,
bersahabat dan memegang janji. Maka ketika Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia
menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah
mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan
roti kering, Lie Seng duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.
"Siapa namamu?" tanya Mei Lan.
"Namaku Lie Seng, dan kau?"
"Mei Lan. Berapa usiamu?"
"Tiga belas tahun."
"Dan aku lima belas tahun."
"Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan."
"Tentu saja! Semua orangpun dapat melihatnya."
"Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu."
"Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak."
"Hemm, dan kau sudah tua, ya?"
"Setidaknya, lebih tua daripada engkau."
Lie Seng tidak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan
roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka
memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.
"Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?"
Lie Seng memandang. "Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang telah menolongku
dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?"
"Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?" tanya Mei Lan.
Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh
dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak
menjawab. Mei Lan menarik napas panjang. "Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini
banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar..."
"Eh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?"
Mei Lan menggeleng kepala juga. "Pertanyaan itu tak dapat kujawab..." Tiba-
tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng dan berbisik, "Ssttt, di sana ada
dua orang mendatangi tempat ini...!"
Lie Seng cepat memandang dan diapun melihat dua orang datang dari selatan,
dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan
kiri. Seorang di antara mercka bertubuh jangkung, berpakaian sederhana dengan
warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena
pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan
setelah dekat, dia melihat bahwa matanyapun agak kebiruan!
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaia mencari Yap In Hong dan
mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan
petunjuk dan bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila. Kemudian,
mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan
memperoleh petunjuk yang amat penting, yaitu tentang jalan rahasia menyeberangi
Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah
ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono
karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang
Bangkai. Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dan seorang anak laki-laki
berada di bawah pohon, yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh
curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu
adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di
tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggauta-anggauta
Padang Bangkai yang semua sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan
diri ke Lembah Naga. Maka, adanya dua orang anak di situ tentu saja menimbulkan
kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah
anggauta-anggauta Lembah Naga atau Padang Bangkai.
"Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako," kata Kwi Beng.
"Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya dulu..." kata Tio Sun yang memang
selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya.
Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati dan memandang dua orang anak itu penuh
perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan
dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang
mata bersinar-sinar penuh keberanian, sungguhpun bajunya tambalan. Dan anak
laki-laki itupun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.
"Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?" Kwi Beng
bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari
fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis.
Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan
Lie Seng sambil berkata, "Huh! Mari, Seng-te, jangan layani orang sinting ini!"
Setelah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari
meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.
"Heiii, hendak lari ke mana kalian?" Kwi Beng mengejar.
"Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!" Tio Sun berseru
dan juga mengejar. Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tidak jauh dari tempat
guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan
kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.
"Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?" Mei Lan membentak marah.
Kwi Bang mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan tentu
memiliki kepandaian juga, sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu.
"Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!"
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan
menggangguku!" Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan
kanarmya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!
"Sombong!" Kwi Beng membentak dan dia sudah menerjang untuk menangicap dara
remaja yang galak itu. "Haiiittt...!Ahh!"
Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu dapat
mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri,
anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan
tendangan itupun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur.
Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh
Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan
bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan
cepat dia merobah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi
dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya
tidak berbahaya. "Beng-te, jangan berkelahi...!" Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak
melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari
gadis itu. Akan tetapi pada saat dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat
bayangan yang langsung menyerangnya.
"Ehh...!" Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak
laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki
itupun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.
"Dukkkk!" Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa
lengannya tergetar. "Hebat...!" Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat
membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum
dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-
orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru
saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga
sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat
Tio Sun terheran-heran dan terkejut.
Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin
lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu.
Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu
saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya
belum dewasa itu. Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng,
dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit
tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak
mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-
tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat
meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada
batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh
ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak
memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu
datang dari arah dua orang kakek itu.
Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang
kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata
kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja
terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.
Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru
mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah
bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum
bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa
pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari
mereka yang menculik In Hong. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut
enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang
kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum
bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi.
"Jangan...!" Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga
bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja,
memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil
mendekati Kwi Beng. "Sing-sing-singgg...!" Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat,
berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah
tubuh dua orang kakek itu.
"Mengganggu saja!" terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan
ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.
"Menjemukan!" Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang
pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok ranting kecil
di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok
Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya
membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang
pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke
arah Kwi Beng! "Celaka...!" Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan
yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang
menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke
arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget
itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris
saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!
"Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!"
Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan
perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali
bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.
Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain
catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka
tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup
di antara rumpun alang-alang yang tinggi.
"Bukan main..." kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. "Dua orang kakek itu
memiliki kesaktian yang amat luar biasa."
"Heran sekali, siapakah mereka" Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi"
Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?" tanya pula Kwi Beng.
"Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada
di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua
orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh
mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat
menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini."
"Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!" Kwi Beng berkata
dengan kukuh. Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. "Tentu saja akan kita
usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat
berbahaya ini?" Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi
hormat kepada pemuda tinggi itu. "Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan
keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku
sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah
memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongya..."
"Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te" Tanpa kauminta
sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan
berusaha sedapatku untuk menolongnya." Dia berhenti sebentar, lalu menyambung,
"Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan.
Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh
tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak
bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan
Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie
Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga
dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang
perjalanan itu! Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-
pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam
pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa
yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap
Yap In Hong. Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa
tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga
Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan
kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia
kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia
dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk
mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak
Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu.
Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok,
tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada
suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-
kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari
tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi,
bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang
aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan
pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat. Namun, Giok Keng
berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa
menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.
Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita
yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam
perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam
terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang
pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul
pula bayangan wajah Yap Kun Liong. Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada
Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu
bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama
seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria.
Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda
pula nama keluarga Cin-ling-pai.
Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan
hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah
tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu
kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Yang
terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat
menemukan Mei Lan kembali!
Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng
dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih
teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka
diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia
melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk
dan menghiburnya. "Tidak, biarkan aku mati saja!" Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak
melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.
"Ah, mengapa engkau begini" Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau
berputus asa" Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"
Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan
menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri.
Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan
masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan
bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung
wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Lihiap, mohon lihiap menolong kami..."
"Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi" Mengapa isterimu hendak membunuh
diri" Apa yang terjadi dengan anakmu?"
Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, "Lihiap, kami
hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat
menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga
hari yang lalu anak kami itu lenyap."
"Lenyap" Apa yang terjadi?"
"Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!" kini nyonya tua itu berkata
dengan nada suara penuh kebencian.
"Siluman" Apa maksud kalian?" Giok Keng bertanya heran.
"Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-
hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan
kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis
yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia
dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para
hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota
kami." Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang
dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain
maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat
pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat
jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!
"Di mana kota kalian?" Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-
cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota
ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi
korban penjahat itu! "Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."
"Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi mdnangkap
siluman itu." Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan
kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap
dari depan dua orang suami isteri tua itu.
Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu
mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada
para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im
Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!
Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya
di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal
nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling
daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda
ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa
perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan
oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan
kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi
kaisar kembali. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah
banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat
dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau
paling besar hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apalagi di kota-
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 1 Si Bungkuk Pendekar Aneh Too Pek Koay Hiap Karya Boe Beng Giok Raden Banyak Sumba 6