Pencarian

Dewi Maut 23

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka dan para
penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang
menggunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam "kerja
sama" di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, rakyat
yang menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai
surut. Malam hari itu, Gick Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas,
dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah dan
akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya
dan mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang
dipilihnya sebagai tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan
menanti dengan sabar dan menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang
di langit, dia melihat ada bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.
"Hemm, itu dia silumannya!" pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang.
Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan hati-hati dan
membayangi sosok bayangan di depan itu. Karena cuaca yang agak suram, hanya
diterangi sinar bintang-bintang, dia tidak dapat melihat jelas muka orang, hanya
dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya
kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari rumah ke rumah dan
agaknya mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam
taman sebuah rumah besar.
"Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di
sini dan kutangkap basah dia!" pikir Giok Keng yang menanti di atas rumah itu
dan bersikep waspada. Tak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah,
meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang
berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang
telah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat haria
dari pemilik gedung di bawah.
"Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?" Giok Keng membentak den tampak
jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok
Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang laki-laki yang usianya lima
puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup
topi lucu. "Heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!" Maling itu berseru dan sikapnya
demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Mengapa maling yang
disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut", "Ah... aku
bukan..." "Pengecut!" Giok Keng menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam
langsung dari depan ke arah dada maling itu.
"Ehhh...?" Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang.
Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping
dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dahulu.
Kalau dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap orang musuhnya tentu
langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu. Akan
tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak.
Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak
menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, melainkan hanya
menyerang dengan pukulan-pukulan San-in-kun-hoat yang amat lincah untuk
menundukkan maling ini dan untuk ditanyanya tentang para gadis itu, terutama
tentang Yap Mei Lan. Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan biarpun maling itu berusaha untuk
mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.
"Aduhh...!" Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak
menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, "Ampunkan saya, lihiap.
Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti
saya..." Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya
sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah
terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya
telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.
"Hayo kau ikut bersamaku!" Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.
"Baik, lihiap!" Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari
genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok
Keng berhenti dan maling itupun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.
"Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!"
bentaknya. "Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di
tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han."
Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari
piauwsu tokoh Go-bi-pai itu dan dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong
Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi, bungkusan sumbangannya itu
ditukar oleh seorang maling tua, dan itulah orangnya!
"Ah...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku?"
Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. "Sampai sekarang saya menyesal
sekali kalau teringat akan kelancangan saya yang dimaksudkan untuk main-main
itu, lihiap, sehingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong
lihiap," Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah,
sinar matanya berapi-api. Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal
yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan bertopi, maling yang
jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti
Berjari Seribu)! Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini,
maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan
pesta dari Phoa Lee It. Akan tetapi, kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah
sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di
tempat itulah dia bentrok untuk pertama kalinya dengan In Hong sehingga
menimbulkan kemarahannya yang mengakibatkan hal-hal yang amat hebat menimpa
keluarga Kun Liong dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah
matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa
sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu dan
bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya
sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya
kembali biasa. Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia
memperhatikdn dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah,
dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap
di sekitar situ untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu"
"Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan..."
"Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kaucuri itu dan di
mana pula kausembunyikan gadis-gadis yang kauculik!" Tiba-tiba Giok Keng
membentak dan "sratttt...!" tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw
tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan
di depan dadanya! Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya dan
tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dada, terasa olehnya ulung runcing itu
menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini,
laripun akan percuma saja.
"Eh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu..."
"Hemm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di
kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung
itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?" Ujung
pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya
berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri
berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Ya ampunnn... lihiap, ada kesalahfahaman di sini! Sungguh lihiap telah
salah sangka. Kalau lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu
minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saja melakukan
pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah
tujuh turunan..." Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya
pendekar itu. "Ceritakan yang jelas!" bentak Giok Keng sambil memandang tajam
karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang pandai bicara ini.
"Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup
dikenal. Akan tetapi, lihiap, saya adalah seorang maling yang terhormat! Haram
bagi saya untuk menculik orang, apalagi perawan-perowan cantik! Coba lihiap
periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat" Biarpun
saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan
saya mampu membaca susi ngo-keng!"
Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah
bicaranya, dan juga lucu. Betapapun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.
"Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!"
"Begini, lihiap. Saya mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi
marah karena perbuatan siluman itu sungguh melanggar kehormatan dan kesopanan
dunia kang-ouw (kode ethik permalingan")! Maling ya maling saja, masa pakai
menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan
nama maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima
begitu saja dan mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial
dangkalan, sampai seminggu saya setiap malam menyelidiki, tidak pernah maling
siluman itu muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak
pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci
Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya lalu mengambil keputusan untuk memancing
siluman itu keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan.
Dengan pencurian itu, tentu siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan
dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya,
dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan
membikin marah orangnya dan dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu.
Siapa kira, bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman
itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak
cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat." Dia menjura dengan dalam sehingga
kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulai dia percaya akan cerita ini, akan
tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.
"Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa
percaya begitu saja" Bagaimana kalau kau membohong?"
Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. "Lihiap,
di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak sembarangan
saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap, bagaimana saya
berani membohong" Kalau saya orang pembohong rendah, mana mungkin seorang
pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya" Ahhh, sungguh
kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baik itu
mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya."
Giok Keng makin tertarik. "Apa maksudmu" Apakah terjadi sesuatu dengan Yap
In Hong?" Can Pouw mengerutkan alisnya. "Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan
dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati
saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja
dan mendengar bahwa Yap-lihiap telah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai,
dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali" Apa
yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?"
Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.
Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi diapun merasa bahwa dia tidak
dapat berbuat sesuatu, apalagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan
yang dianggapnya jauh lebih penting daripada urusan In Hong. "Can Pouw, aku
masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu."
"Kalau begitu, mari kita bersama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan
saya buktikan bahwa saya bukanlah siluman penculik perawan, melainkan seorang
maling terhormat!" "Hemmm, bagaimana caranya" Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari
bersama uang curianmu itu!" dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah
bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.
"Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah
saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti
keluar setelah mendengar ada orang menyainginya dan mencuri sejumlah uang yang
banyak sekali." Can Pouw menepuk-nepuk kantong itu dan terdengar suara
berkerincingnya uang emas di dalamnya.
"Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan."
Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana
Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada
orang lain yang mengetahui. Setelah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh
maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian
diapun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!
Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tidak mampu bergerak dan
akhirnya diapun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan
harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka keluar untuk mencari
keterangan tentang perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena
berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan seperti yang mereka
harapkan, tentu saja yang dituduh adalah "siluman" itu.
Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua
ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa
lagi sebuah kamar di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam
itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela
dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka. Seperti malam
yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup
bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan dengan diam-
diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang
dianggapnya lebih pengalaman dalam hal mencari jejak maling!
Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa sampai tengah malam,
tidak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung
kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena
timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw
yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!
"Aku akan pancing dia!" pikir Giok Keng den mulailah pendekar wanita ini
menjauhi Can Pouw, sikapnya seolah-olah menyelidik ke sana-sini, akan tetapi
sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut
matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan
terdengar Can Pouw berkata, "Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di
sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis
yang cantik." "Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan
kembali Giok Keng sengaja menjauh untuk dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw
lebih baik den memberinya kesempatan untuk "melakukan sesuatu". Dan saat yang
dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendenggr maling itu mengeluh den
tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.
Nah, si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika dia mendengar Can Pouw berteriak. "Tolong, lihiap...!"
dan Giok Keng melihat bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang
menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas
genteng! Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam dan meloncat ke arah bayangan hitam
itu, sambil meloncat dia terus menikam dengan geraken cepat bukan main karena
pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan
ayahnya. "Ehhh...?" Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar
dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya. Dia cepat menarik kembali
pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.
"Tranggg...!" Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.
"Ahhh...!" Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang.
Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia
sudah menyusul dan menyerang lagi.
"Cring-trang-triinggg...!" Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu
kuat sekali, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia
terkejut dan agak jerih. "Siluman, hendak lari ke mana kau?" Giok Keng membentak dan cepat mengejar
ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya
kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.
Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja
dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot
sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil
bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari
topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar, akan tetapi


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia sudah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia
menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu
kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.
Ke manakah perginya Giok Keng" Ketika siluman itu lari dengan kecepatan
tinggi pendekar wanita inipun menggunakan gin-kangnya melakukan pengejaran
terus. Lawanpya itu agaknya sudah hafal akan keadaan di atas rumah-rumah
penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, ketika bayangan itu
berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di
sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.
Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan diapun meloncat ke atas wuwungan
itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun,
terdengar teriakan. "Tangkap siluman!" dan muncullah beberapa orang hwesio yang
memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!
"Aku bukan siluman, aku malah mengejar dan mencarinya!" Giok Keng membentak
sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.
"Omitohud, wanita pembohong!" tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan
hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas
sehingga nampak kepalanya yang gundul. "Dia dan seorang kawannya laki-laki
adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini
mengeruhkan kota Heng-tung!"
Giok Keng tidak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan
pedangnya. Tiba-tiba hwesio yang bertubuh tinggi besar, yang ilmu pedangnya amat
kuat dan agaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, membentak keras dan
begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan saputangan merah dan nampaklah
debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.
Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu
saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah
sebetulnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu
dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tidak
menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus. Akan tetapi celakanya
debu itu agaknya tebal dan amat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika
satu kali saja dia menarik napas, dia mencium bau harum dan kepalanya menjadi
pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba
pundaknva kena ditotok maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah
pingsan. Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah
kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah
pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itupun
harum dengan dupa wangi. Giok Keng membuka matanya dan memandang ke arah hwesio yang duduk dekat
pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh
tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang
hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lain, usianya juga rata-rata lima
puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang
seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.
"Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, pula berkepandaian
tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji... semoga Sang Buddha mengampuni
dosa-dosamu...!" Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua
tangan di depan dadanya. "Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukanlah siluman itu, akan tetapi aku
bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung."
Giok Keng berkata. "Harap losuhu suka membebaskan aku."
Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa.
"Sudah sejak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau
mengakui perbuatannya. Daripada engkau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib
untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik engkau mengaku kepada pinceng di mana
kausembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kaucuri malam kemarin."
"Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan
tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing keluarnya siluman yang selama
ini mengganggu kota ini. Aku sungguh bukan maling, losuhu."
"Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?"
Sepasang mata yang besar itu memandang tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa
ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.
"Losuhu, kalau kau tidak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku
sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Aku bernama Cia Giok Keng, puteri
dari ketua Cin-ling-pai..."
"Ohhhhh...!" Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya,
serentak bangkit dan mengeluarkan seruan kaget. Mata mereka terbelalak memandang
kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, sampai beberapa lama mereka tidak
mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi,
mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan
jantungnya yang tadi berdebar keras sepasang matanya masih melotot dan memandang
tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.
"Omitohud...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Sungguh berani sekali
engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!"
"Aku tidak bohong, losuhu!" Giok Keng berkata marah.
"Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu" Akan tetapi untuk menguji
apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah
engkau kenal dengen nama Thian Hwa Cinjin?"
"Ah, pendeta terkutuk itu?" Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati
hwesio ini bahwa dia benar puteri ketut Cin-ling-pai. "Tentu saja aku tahu.
Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat
di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung
dengan jenggot panjang, orangnya pesolek!"
"Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi
pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri
ketua Cin-ling-pai..."
"Losuhu, aku yang telah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang
menganter nyawanya ke neraka!" Giok Keng berkata penuh semangat. Memang
pengakuannya ini benar. Dalam cerita "Petualang Asmara" dituturkan betapa kakek
yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di
tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika
Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.
Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang
temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh
perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang
hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut
setengah mati. Siapakah hwesio tinggi besar ini" Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin,
seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-
lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang "hwesio" bermuka bopeng dan hitam di
belakangnya itu adalah dua orang sutenya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula!
Bersama belasan orang anak buahnya, Kim Hwa Cinjin hendak meluaskan pengaruh
Pek-lian-kauw ke pedalaman dan tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti
biasa, anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan
hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia. Untuk itu,
Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota
itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah
terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka
memberitahukan bahwa mereka adalah hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari
kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat! Dan
bersama dengan datangnya rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, mulailah
kota itu diganggu "siluman". Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang Pek-
lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu
diculik untuk "makanan" mereka yang sudah biasa mengumbar nafsu rendah mereka
dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka pergunakan untuk
memperluas kekuatan Pek-lian-kauw. Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-
hok-tong, tentu saja kawanan Pek-lian-kauw ini dapat beroperasi dengan aman,
kerena siapakah yang akan menduga bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang
jahat" Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-
kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledahnya, bahkan tidak ada
yang menduganya sama sekali.
Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius
merah itu melihat Giok Keng, berahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah
bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah,
wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya menangis den minta ampun.
Kini, melihat seorang wenita seperti Giok Keng, yang "matang" bentuk badannya,
yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sin-kang kuat
den ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap
hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan
memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa
wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang
tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok
Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua
Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya sudah meremang
dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu berahinya! Bergidik
mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini.
Untung dia lebih dulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia
memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan
tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak! Dia
harus membalaskan kematian rekannya, Thian Hwa Cinjin dan biarpun dia tidak akan
memperkosa atau membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih
bagus, bahkan amat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw
ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia akan menyerahkan wanita ini
kepada yang berwajib sebagai "siluman" yang selama ini mengacau Heng-tung!
Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia
berkata, "Omitohud... agaknya benar keteranganmu. Akan tetapi, sebelum ada
bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum dapat membebaskanmu
begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti dan saksi, yaitu harta dari
hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang
menculik wanita-wanita."
"Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-
touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang
mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk
memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan
harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman
itu sudah tertangkap."
"Baik, kami akan membuktikan keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke
rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau
benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!"
"Baik, suheng," jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi
mtninggalkan kamar itu. "Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum
berani membebaskan toanio. Tunggu kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap,
tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan
persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng." kata Kim Hwa Cinjin dengan sikap
sopan dan alim, kemudian dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu
di atas pembaringan. Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu dan
Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat
menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin
marah dan penasaran kepada "siluman" itu yang seperti mempermainkan mereka semua
dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi
meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu!
Baru satu kali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal
dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang
cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, malam itu, dia kelihatan
termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-
awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu sekarang
menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari
gedung hartawan Ciong malam kemarin.
"Sialan!" gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang
berkilauan. "Uang sialan!" Dia menonjok ke arah kantung itu. Dia telah mengatur
akal, dan memang siluman itu telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu
hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga hilang
bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagalmana kalau sampai pendekar wanita itu
tertimpa malapetaka" Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka.
Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu" Mencari
siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah
lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.
"Uang sialan! Siluman sialan!" dia berkata agak keras dan kembali menonjok
ke arah kartung uang. "Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!" Tiba-tiba jendela itu terbuka dari
luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan
sikap tenang sekali. Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu
saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah
silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju menggunakan
gin-kangnya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia sudah menerkam
seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci. Akan tetapi sang
kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari
Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia
sudah terbanting jatuh ke atas lantai!
Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung
terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan
tetapi tiba-tiba tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar
laki-laki itu menghardik, "Manusia busuk! Jadi engkaukah silumannya di kota ini"
Hayo katakan di mana kausembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!"
"Sialan...!" Can Pouw memaki gemas. "Siluman sial dangkalan!" Siapa tidak
menjadi gemas" Dia malah disangka siluman itu!
"Eh, apa maksudmu?" Laki-laki itu menghardik. "Hayo jekas mengaku, siluman
keji!" "Bagaimana saya harus mengaku kalau bukan saya silumannya?" dia balas
bertanya penuh kemendongkolan.
"Hemm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang
emas di meja itu hasil curianmu?"
"Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman
yang aseli! Sudahlah, siapapun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si
siluman yang aseli, kalau tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau
boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, kalau kepada puteri ketua
Cin-ling-pai kau masih juga tidak percaya, agaknya memang engkau inilah
silumannya!" Orang itu kelihatan terkejut bukan main. "Apa" Siapa" Puteri ketua Cin-ling-
pai" Apa maksudmu" Di mana dia?"
Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan kiri sehingga dia merasa seolah-olah
semua tulangnya rontok. "Eh-eehhhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan
pertanyaan itu kalau aku kaugoncang-goncang seperti ini?"
"Brukk!" Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata,
"Cepat kauceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri
ketua Cin-ling-pai?"
Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang
kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak
lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu
agak dipicingkan. Dia melihat bahwa laki-laki itu berusia kurang dari empat
puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan
berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka di kedua matanya yang luar
biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka
melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang
pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin laki-laki seperti ini
menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka
siluman. "Hemm, kalau awak lagi sial!" dia menggerutu. "Dua kali berturut-turut aku
disangka jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai,
kedua oleh kau!" "Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!"
"Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan
menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, mengambil keputusan untuk memancing
keluarnya siluman itu dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya,
perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai
dan hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian malam ini kami bardua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui
pula oleh Cia-lihiap. Dan siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir
celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan
tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan selagi aku termenung bingung menanti
di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau
datang-datang menyangka aku siluman lagi!"
"Ah, ke mana perginya Cia-lihiap...?"
Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.
"Bagaimana saya tahu?" Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang
pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.
"Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung
Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan
diri, dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena
aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa
aku kembali ke sini dan menanti kembalinya Cia... ehhh, apa ini?" Can Pouw
terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja,
kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia sudah menyambar
tubuh Can Pouw dan dibawanya meloncat keluar dari jendela, lalu mendekam tak
jauh dari situ. "Ssstt, ada orang datang...!" bisik laki-laki itu kepada Can Pouw. Mereka
menanti dan jantung Can Pouw bordebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal
seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!
Tak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya
gundul. Hwesio! Mereka itu memiliki gerakan lincah sekali, meloncat memasuki
kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar,
lalu dua bayangan itu berkelebat keluar lagi terus melayang ke atas genteng. Can
Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan ketika dia menoleh,
ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula.
Can Pouw membanting-banting kakinya. "Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua
orang tedi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula! Akan tetapi dia
segera berpikir bahwa tidak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi.
Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk
membawa pergi harta itu dan membunuhnya" Tidak, tentu tidak ada hubungannya
antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta.
Hwesio" Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!
Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang
mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di
hatinya bahwa tentu ada apa-apa di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para
hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak
ragu-ragu lagi cepat diapun meloncat ke atas genteng dan menggunakan
kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!
Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut
mendengar nama Cia Giok Keng tadi" Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong!
Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari
pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera
Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng. Akan tetapi, dia lebih
mementingkan penyelidikannya tentang Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia
dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh
isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itupun dia
telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah
ditolong Oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.
Setelah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok
kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar tentang siluman yang
mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok, maka dengan
hati penasaran pendeker ini lalu menyelidikinya dan kebetulan dia melihat gerak-
gerik Can Pouw yang mencurigakan melam itu ketika Can Pouw dengan jalan tidak
semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!
Kini Kun Liong dengan perasaan terheran-heran mengikuti dua orang hwesio
yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio
itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi,
Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar
besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua
kakinya di tiang melintang. Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat
Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu
memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.
"Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah
kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, maka
kami hanya dapat mombawa karung ini saja."
"Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?" terdengar Giok Keng
berkata. "Nanti dulu, toanio. Benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw
belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya
ditipu saja! Betapapun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semua
ini kepada yang berwajib. Kami masih ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu
bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara
siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?"
"Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!" Tiba-tiba terdengar
suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan scorang laki-laki berdiri
di dalam kamar itu. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya terkejut
setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian
tinggi, merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai
tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu
bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan
mereka! "Yap-suheng...!"
"Cia-sumoi, tenanglah," kata Kun Liong.
Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sutenya yang bermuka bopeng
sudah mengeluarkan teriakan keras dan berbondong datanglah belasan orang hwesio
mengepung kamar itu. Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang sudah mendengar akan nama
seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke
atas sebagai isyarat agar anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian
dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata, "Omitohud... banyak orang
pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik
datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu
di sini?" Kun Liong cepat menjura, lalu berkata dengan sikap hormat. "Saya bernama Yap
Kun Liong, tinggal di Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya
menyelidiki den tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emes ke
sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng
ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu salah tangkap dan harap
suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah
mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!"
"Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung," Kim Hwa Cinjin berkata.
"Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, akan tetapi
kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-
toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman.
Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami
menangkap Cia-toanio yang mencurigakan perbuatannya itu. Akan tetapi, setelah
sicu muncul, ada saksi bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pal, maka tidak ada
perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!"
"Biarkan saya yang melepaskannya!" kata Kun Liong sambil menghampiri
pembaringan. Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian
dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri,
mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah.
"Maaf, toanio," Kim Hwa Cinjin menjura. "Kami hanya menjalankan kewajiban
kami, dan betapapun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat
dengan Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam
kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh
harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tidak enak
dan kekagetan Cia-toanio."
Si muka bopeng mengangguk dan keluar dari kamar. Akan tetapi, segera
terdengar suaranya dari kamar belakang, "Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan
teh" Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?"
Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu,
menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk
menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.
"Cia-lihiap, awas, mereka itu bukanlah hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka
adalah tosu-tosu Pek-lian-kau!" Terdengar suara teriakan keras dan muncullah Can
Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek
Hwesio, ketua Ban-hok-tong!
Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw
itu" Seperti telah kita ketahui Can Pouw merasa curiga melibat bahwa yang
mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia
pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, ketika dia tiba di situ,
semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul mengurung kamar besar atas isyarat
sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong. Karena kuil itu sepi dan
ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk.
Dia terus pergi ke belakang dan mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia
mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis
cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk
di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu
kelihatannya takut sekali!
Can Pouw tidak berani masuk melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat,
maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya di dalam sebuah kamar gudang
dia melihat hwesio-hwesio aseli dari Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan
disumbat mulut mereka! Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, kemudian bersama dengan
ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang
menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepet pergi ke kamar yang terkurung dan
membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-
senjata rahasia. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat
bahwa rahasia mereka telah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua
hwesio palsu itu mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng,
dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh!
Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun
Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah
sekali melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-
lian-kauw yang menyamar, juga Can Pouw mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang
hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lain
membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya mengeroyok Kun Liong dan Giok
Keng. Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja,
akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak seimbang. Belasan orang
yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya itu sama sekali bukanlah
lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Memang harus diakui bahwa kepandaian tiga orang pemimpin itu, terutama Kim
Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka
itu mati kutu dan bukan apa-apa. Karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut
penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar
itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak
buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!
Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk
mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang
panjang bergerak-gerak, tiba-tiba dia membentak, "Lihat ini!" Dan dia sudah
memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-
jari tangannya. "Hem, itu punyaku!" teriak seorang di antara dua orang pengereyoknya yang
bermata juling. Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga
yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah
bagaimana telah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam
bajunya! "Nah, ambillah!" kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu
mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak
dari bawah menendang. "Dessss...! Auwww...!" Si juling terkejut dan berteriak, lalu berloncatan
dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang
kering kaki kanannya kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw
secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke
tulang sumsum. "Heh-heh, dan ini punya siapa?" Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah
hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dan mutiara, yang dicopetnya dari
saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu kembang kempis
ketika orangnya mengenal barangnya.
"Si copet busuk! Kembalikan barangku!" hardiknya.
"Boleh, mari ambillah!" Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak
tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu
sambil memperhatikan kaki Can Pouw.
"Plokkk! Aduhhh...!" Kiranya Can Pouw bukannya menggunakan kakinya,
melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan runcing keras itu
untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu menjadi remuk dan
darah mengucur deras. Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua
orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi
ketika itu, pertempuran telah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada
yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin dan dua orang
sutenya berhasil meloloskan diri dengan menggunakan selampe merah yang
mengeluarkan debu merah beracun.
Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang
gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi
pakaian. Dengan girang Gjok Keng dapat menemukan kembali pedang dan setelah
mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar
setempat, Kun Liong dan Giok Keng cepat meninggalkan kuil itu di waktu itu juga,
yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!
Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, mengumpulkan
gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah
dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik
dari para hwesio dan dari para pembesar maupun dari semua penghuni kota Heng-
tung. Berkat jasanya yang beser, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh
di Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh
kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai
penasihat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong.
Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat. Tentu saja
dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti
Jari Seribu, melainkan Jeng-cl Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya
yang seribu kini bukan digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang!
Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri.
Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan
kota Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang
berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan indah di langit timur, mereka
berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling
pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng, "Terima kasih, suheng. Untuk
kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku."
"Ah, tidak perlu disebut lagi hal itu, sumoi. Aku mempunyai berita yang jauh
lebih menyenangkan bagimu."
"Lie Seng?" Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.
Kun Liong mengangguk. "Bagaimana dengan dia, suheng" Dan di mana dia?"
"Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku..."
"Kok Beng Lama...?" Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.
Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong
tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh
In Hong sendiri dan diapun mengatakan bahwa racun yang jahat itu telah berhasil
dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua
dari Giok-hong-pang. Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar dan dengan perasaan bercampur
aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap
memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke
Cin-ling-pai dahulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In
Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan sebab yang menimbulkan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keributan dan malapetaka, malah menjadi penyelamat puteranya. Teringatlah dia
akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak
benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa
saja terjadi perubahan pada orang itu!
"Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi
Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?"
"Yang menculik puteramu memang jelas dia, akan tetapi yang membunuh Hong Khi
Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa."
"Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!" Giok Keng berkata
geram. "Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang
membunuh isteriku?" Giok Keng terkejut sekali. "Siapa" Sudah tahukah engkau, suheng?"
Kun Liong mengangguk. "Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah."
"Bukankah dia guru adikmu" Bagaimana ini" Aku menjadi bingung, suheng," kata
Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.
Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang
ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi
seorang sakti setelah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan
saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu
dan diapun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi
karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.
"Apa" Karena cinta kepadamu, suheng?"
Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua
pengalamannya di waktu muda dahulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat
terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat
sekarang. "Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku telah menikah dengan
Hong Ing, dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia
hampir mati." Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di
benteng Raja Sabutai. Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. "Ternyata
bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka..."
"Memang, kalau cinta itu hanya didorong mencari kesenangan untuk diri
pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa
perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu,
sumoi..." "Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng telah selamat,
akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kauceritakan. Bagaimana
dengan dia?" Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas
panjang. "Aku belum menemukan jejaknya, sumoi."
"Aku justeru sedang menyelidikinya dari Leng-kok dari mana dia menghilang
dan ketika aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku
cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena
menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini."
"Aku sendiripun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku
mendengar tentang siluman itu dan kebetulan dapat bertemu denganmu di sini,
sumoi." Tiba-tiba Giok Keng berkata, "Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong
adikmu?" Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu. "Apa maksudmu, sumoi"
Apa yang terjadi dengan In Hong" Bukankah dia telah menjadi seorang puteri
istana kaisar?" "Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?"
"Penculikan" Apa" Siapa...?"
"Akupun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dia yang
baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja
Sabutai dan dibawa keluar tembok besar..."
"Ehhh...?" Kun Liong terkejut bukan main mendengar berita ini. "Pek-hiat Mo-
ko dan Hek-hiat Mo-li" Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?"
"Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, biarpun maling, ternyata dapat
dan boleh dipercaya, suheng."
"Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!"
"Aku akan membantumu, suheng."
"Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat
sukar..." "Suheng, apakah engkau masih meragukan perasaanku yang amat menyesal dan
berdosa terhadap dirimu" Apakah engkau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki
kesalahanku ini" Andaikata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan
menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong."
Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan
kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya wanita inilah
yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela
napas panjang dan mengangguk, berkata lirih, "Baiklah, sumoi. Mari kita pergi."
Mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi melainkan mengerahkan seluruh
kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.
*** Biarpun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat
mengejutkan hati akan tetapi tidak membuat dua orang pemuda itu menjadi takut.
Setelah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng
melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat
dari Si Kwi. Mereka tentu saja maklum bshwa memasuki Lembeh Naga sama artinya
dengan memasuki guha naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan
kepandaian mereka saja mereka tentu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh
tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan
mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw agar mereka dapat
menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek den nenek iblis seperti yang
mereka ketahui dari Ratu Khamila.
Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak
memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi den semua gerak-gerik mereka telah
ketahuan oleh fihak musuh!
Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu
besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-
batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok
Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!
Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak
mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang
melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati
dan waspada dalam setiap perbuatannya. Melihat bahwa orang-orang yang mengurung
mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas
memperlihatkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian
tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya, "Kami mohon maaf kalau
mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah
Naga?" "Huah-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang
merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. "Sudah berada
di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh
menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?" setelah berkata demikian, tiba-tiba
Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng.
Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya
tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan
arak itu menghindar dan masih kecipratan arak lehernya, terasa panas dan sakit
seperti jarum. Hal ini membuat dia marah dan sekali, tangan kirinya bergerak,
nampak sinar kilat berkelebat dan sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher
Ang-bin Ciu-kwi. "Tranggg!" Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin
Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata, "Ciu-kwi, tahan dulu,
jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!"
Ang-bin Ciu-kwi mendengar dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan
Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena wanita
cabul ini sudah terbangkit nafsu berahinya ketika dia melihat seorang pemuda
yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!
"Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?"
Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.
Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang
pandai ini, biarpun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada
gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan.
"Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua
sengaja datang ke Lembah Naga, untuk mencari keterangan tentang nona Yap In Hong
yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga."
"Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!" Bouw Thaisu
berseru kagum juga. "Apakah kalian ini utusan kaisar?"
"Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biarpun kami
bukan langsung menjadi utusan kaisar, namun saya adalah putera dari Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan
sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The
Hoo. Oleh karena itu..."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek,
"Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka adalah
keturunan musuh-musuh kami!"
Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biarpun mereka mendengar jelas suara
kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek
itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki
pendengaran sakti sehingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula.
Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga
lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu telah menerjang Tio Sun
sedangkan Hek I Siankouw telah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang
sudah siap menghadapi segala bahaya, maka begitu melihat kakek dan nenek itu
bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.
"Dukkk!" Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya
beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut
sekali. Tadi, karena sudah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek
yang berilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya
untuk menangkis. Akan tetapi ternyata ujung lengan baju kakek itu mengandung
tenaga yang bukan main kuatnya sehingga dia tergetar dan terhuyung. Karena
maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu
lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di
tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di
tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia menerjang maju, disambut
oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan kakek ini seperti biasa hanya mengandalkan
kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.
Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan
jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali
sehingga biarpun Kwi Beng mengamuk, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
semua kepandaiannya, namun belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas
dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh
Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.
Tentu saja pemuda ini menjadi makin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja
dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan
kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai daripada dia. Pemuda perkasa
ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw
membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw
Thaisu dan sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai
lututnya dan membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh
banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.
Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki tangannya itu diseret ke
dalam sebuah rumah besar dan dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li
yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah
Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi BW duduk di atas lantai menghadapi kakek dan
nenek yang duduk di atas kursi itu.
"Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The
Hoo?" Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.
Pemuda ini mengangguk. "Hemm, kenapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami" Kenapa
mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?" tanya pula Pek-hiat
Mo-ko. Tio Sun memandang dengan sikap tenang. "Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-
menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak
sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In
Hong." "Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?"
"Tentu saja aku tahu. Ketika engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan
ketua Cin-ling-pai, aku melihat kalian."
Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang sejak tadi memandang kepada Kwi Beng,
menghardik kepada pemuda itu. "Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari
barat! Bagaimana engkau berani mengaku tadi bahwa engkau cucu murid The Hoo?"
Kwi Beng balas memandang dengan mata melotot, "Nenek gila! Dengarlah baik-
baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The
Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada
kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!"
"Heh-heh-heh-hi-hik!" Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kananya
bersinar-sinar aneh. "Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar
menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!"
"Benar! Bawa mereka kcluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu
orang-orang yang lebih penting datang untuk menolong mereka dan menghadapi kita,
kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!" kata Pek-hiat
Mo-ko dan para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar
dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu
salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka
meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar
matahari tanpa terlindung apapun.
Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan
tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka dapat lolos.
Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas dan nampak darah di
pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia
meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata, "Tenanglah, Beng-te. Tali untuk
mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan
tidak mungkin dapat kita patahkan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga
dan tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik
perhatian burung-buruhg di sana-sini."
Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung
yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang
beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung
pemakan bangkai yang liar dan buas!
Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun
bertanya, hatinya penuh iba. "Engkau takut, Beng-te?"
Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.
"Tidak aneh, akupun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi
janggan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebetulnya adalah
binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang
hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita
tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut
mati" Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-
taihiap atau nona Yap."
Kwi Beng kelihatan termenung, tidak lagi memperdulikan burung-burung itu.
"Ah, bagaimana dengan dia" Jangan-jangan dia telah mereka bunuh..."
"Nona Yap" Kiranya tidak mungkin. Kalau mereka itu hendak membunuh nona Yap
In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh
ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek dan nenek gila itu tentu menangkap
dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan untuk memancing datangnya orang-
orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai
dan lain-lain." Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati
kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng
bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak,
dia tidak akan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu.
Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha
menolong In Hong dengan taruhan nyawa. In Hong! Dara yang telah membetot
semangatnya, merampas hatinya, dara yang dicintanya, akan tetapi... bagaimana


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau gadis itu tidak membalas cinta kasihnya" Membayangkan hal ini rasanya jauh
lebih menyiksa daripada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu
dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi
kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam samadhi.
Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan
perkasa itu, yang dicintanya dan membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak
memperdulikan dia, apalagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang.
Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena
perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang
memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai
mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.
"Tio-twako...!"
Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alianya ketika melihat
dua mata Kwi Beng basah. "Eh, kau menangis, Beng-te?" tanyanya kaget dan kecewa karena tak
disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.
"Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."
Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku
lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat
pendekar sejati." "Twako, aku menderita sekali..."
Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk
kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan
keheranan. "Aku mengerti, Beng-te, akupun menderita. Siapa yang tidak menderita
dalam keadaan seperti kita ini?"
"Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya
dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."
"Maksudmu?" "Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan
kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan
kegelisahanku, twako."
Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia akan semua peristiwa yang
dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan makin menebal dugaannya bahwa
besar sekali kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi
Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan
nasib antara dia dan Kwi Beng.
"Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan kau tidak
bernasib seperti aku..."
"Eh" Kau, twako" Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas
cintamu, benarkah?" Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini
kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio
Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya
bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun seperti orang disambar petir dan seperti
orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah,
mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu"
"Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"
Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.
"Ah, maaf, twako... sungguh kasihan kau..." Kwi Beng berkata dengan hati
terharu. Akan tetapi Tio Sun telah depat menguasai keadaan batinnya kembali. Dia
menoleh, memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. "Kuharapkan engkau tidak akan
mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andaikata begitu, andaikata nona Yap
telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu,
engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti
kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin
melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita
cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang
yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus
dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita
cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh
kesenangan darinya" Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri
adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain,
demi kebahagiannya."
Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang-kadang dikejapkan untuk
mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki
mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.
"Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau
saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga
sekali mempunyai seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."
"Terima kasih, Beng-te."
Mereka tidak bercakap-cakap lagi sekarang. Matahari makin panas karena makin
mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang
mengelilingi udara di atas kepala mereka, seolah-olah mereka itu hendak
memeriksa apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-
daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas
cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan
burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara
seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba! Kwi
Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya dan
seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata
Kwi Beng tertuju ke depan.
"Twako... lihat..." Dia berbisik.
"Sstttt...!" Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar inipun sudah
membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat
datang ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri
mereka. Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak yang seorang perempuan,
yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas
tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan
lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!
Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun
dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi
Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tidak berani memperlihatkan diri dan
bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi
Beng diikat di tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka,
akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong
mereka. Ketika mengenal dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang
berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di
hati Tio Sun. Kiranya dua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan
demikian berarti dua orang kakek itupun bukan orang Lembah Naga! Betapabun juga,
yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-
orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah
melihat tingkat mereka yang masih mentah.
Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. "Nona, kau lekas
tinggalkan kami... harap kaubantu kami menyelundup ke dalam... dan kaucari nona
Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa
kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah.
Cepat...!" Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-
sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting.
Apalagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya!
Bibinya itu tertawan di sini" Dia mengangguk dan cepat pergi dari situ, lari
dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio
Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga. Sedangkan Lie Seng melanjutkan
usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak
mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh
kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah
belasan orang anak buah Lembah Naga Yang memang bertugas menjaga "umpan" itu
agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat
melapor. "Tangkap bocah itu!"
"Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"
Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka
dengan keberanian yang mengagumkan. Seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam
mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh,
akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil
"dipancing" hanya dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan
diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan
pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri! "Ikat bocah itu bersama
mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!" bentak Pek-hiat Mo-ko sebal.
Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa labih jauh
dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu
adalah cucu ketua Cin-ling-pai!
Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki
berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak
kelihatan takut, ketika dengan kasaran anak buah Lembah Naga mengikat dia pada
tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan
keberanian! Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang
panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil
mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka
bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada
seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.
"Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nenti!" Burung itu
terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga
leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu mudah dan enak
untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.
"Eh, adik kecil. Kau tidak takut?"
Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, mulutnya membayangkan kekerasan dan
keberanian yang wajar. "Takut" Takut apa?"
"Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."
"Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu" Dan kematian" Apakah itu
maka perlu ditakuti?" Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar
dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang
terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.
"Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi
menolong kami?" "Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi
aku dan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap
kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha
membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."
Bocah ini memiliki watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya
singkat den padat. "Apakah anak perempuan tadi kakakmu" Ataukah kakak seperguruanmu?" tanyanya.
"Bukan. Akupun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang
saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."
"Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas usaha kalian menolong kami.
Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal..."
"Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan."
Tio Sun kembali tertegun. "Kau tidak menyesal" Tidak khawatir" Apakah engkau
mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"
Lie Seng menjawab singkat, "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan.
Andaikata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"
Tentu saja Tio Sun den Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat
sikap bocah itu. "Adik kecil, engkau luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang
tuamu dan engkau datang dari kcluarga mana?" Tio Sun mendesak karena dia sudah
merasa amat tertarik. Lie Seng memandang kepada mereka berdua bergantian. Bukan wataknya untuk
menceritakan keadaan keluarga, apalagi menyombongkan nama keluarganya. Akan
tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah,
maka dia menjawab singkat. "Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah
pamanku, dialah adik ibuku."
"Ohhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir
berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah
keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai!
*** Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi
sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki
Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal
jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai
melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang
mengerikan! Kedua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar
yang berkepandaian tinggi dan telah seringkali dalam kehidupan mereka, keduanya
berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan
mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka
menjadi bingung juga. Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama
sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupekan padang
ilalang yang seperti lautan, yang seolah-olah tidak ada batasnya dan lorong yang
kecil dan merupakan jalan setapak itu membawa mereka tersesat dan berkali-kali
kembeli ke lorong yang sama!
"Ini tentu merupakan jalan rahasia yang menyesatkan," akhirnya Giok Keng
berkata karena sudah kehabisan kesabaran. "Suheng, lebih baik kita memotong
jalan, menerobos ilalang saja!"
Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang
yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.
"Ihhhh...!" Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya
dari kanan. Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh
ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk dan
belitannyapun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak
sekali ular-ular berbisa datang menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng
menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi
beberapa potong disambar sinar pedangnya.
"Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!" kata Kun Liong. Biarpun mereka
tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar
tempat itu dapat membahayakan juga.
Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati
mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka.
Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat
dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata
mereka terhalang. "Aihhh... indah sekali!" Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan
pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan
pedang di tangan. "Kita dapat melakukan perjalanan cepat kalau begini," katanya
sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.
"Clupp... aihhh...! Suheng...!" Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat
yang lunak dan sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan
lembek. Betapapun dia sudah mengerahkan gin-kangnya, namun tetap saja kedua
kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke
pinggang! "Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikitpun
juga!" Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya
tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita
itu karena hal itu berarti dia akan terjeblos pula. "Pertahankan, jangan
bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk
menolongmu!" Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan, pendekar
wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit,
kemudian terdengar wanita itu berseru. "Tidak perlu, suheng... lekas tolong...
kausambut ini...!" tangan Giok Keng sudah bergerak menanggalkan sabuknya yang
berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggang karena benda ini
merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu
meluncur ke depan dan ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.
"Pegang kuat-kuat, sumoi!" kata Kun Liong dan pendekar ini mulai mengerahkan
tangannya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.
Biarpun agak susah payah dan hati-hati sekali agar sabuk merah itu tidak


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba
di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh. "Aduhhh... suheng... ada binatang-
binatang menggigiti aku...!" Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat
seekor lintah menempel di betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan
tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan
pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang
putih mulus namun berlepotan lumpur itu!
Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian memondong tubuh Giok Keng
yang hampir pingsan saking ngeri den jijiknya, membawanya ke saluran air yang
mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.
"Ahhh, suheng...!" Giok Keng torisak, kedua lengannya masih merangkul leher
Kun Liong. Sejenak mercka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih
tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua
hati yang memang sejak dahulu saling tertarik namun tidak memperoleh kesempatan
untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum
pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing
memperkuat dorongan itu. "Sumoi..." "Suheng, aku cinta padamu, suheng... ah, baru sekarang aku merasakan hal
itu..." "Sumoi, akupun cinta padamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan
cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu,
sumoi" Kita saling mencinta, dan justeru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa
hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum,
yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin
melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkaupun tentu begitu pula, kalau
memang engkau cinta padaku..."
"Suheng, aku cinta padamu... buken untuk itu saja... oohhh..." Tubuh itu
menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.
Kun Liong terkejut sekali. Cepat dia mebersihkan semua lumpur yang menempel
di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya
di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia
tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok
Keng keracunan, sungguhpun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan
kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingan.
Kun Liong cepat meneuci pakaian Giok Keng yang berlumpur, memeras airnya dan
beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu
berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian
itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.
Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong,
sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi telah lenyap dan Giok
Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk.
Ketika dia melihat bahwa tubuhnya telah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada
Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.
Akan tetapi kedua pipinya berobah merah sekali ketika dia teringat akan
keadaannya tadi. "Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi," kata Kun Liong.
Giok Keng menarik napas panjang, "Sungguh berbahaya... terima kasih atas
pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kaulakukan untukku,
suheng." Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu dan menariknya berdiri
sambil tersenyum dan berkata, "Masih perlukah lagi sikap sungkan-sungkan dan
kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?"
Dengan saling berpegangan tangan, mereka diam tak bergerak, saling pandang
dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot sampai ke lubuk hati masing-masing,
mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.
"Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi."
"Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat
berbahaya." Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling
berpegang tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat
saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka.
Andaikata tadi mereka saling bergandengan ketika kaki Giok Keng terjeblos, tentu
Kun Liong dapat seketika menolongnya.
Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat hati-hati,
akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melampaui Padang Bangkai, memasuki
perkampungan, menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka ke daerah
Lembah Naga. Kedua orang itu kini merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara
mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni daripada
perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu berahi semata. Lebih mirip
cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih
daripada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta
itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan
penyesalan atas kesalahan diri sendiri.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga.
Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya den menunjuk ke depan, ke arah titik-titik
hitam yang bergerak den beterbangan di atas sebatang pohon.
Kun Liong juga memandang dan berkata, "Agaknya itu adalah burung-burung
rajawali..." "Bukan, suheng. Burung rejawali lebih besar, seperti burung elang."
Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka
dapat melihat dengan lebih jelas.
"Ah, buKung nazar, burung pemakan bangkai!" kata Kun Liong.
"Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan
beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan
menanti kalau di bawah terdapat mahluk yang mereka harapkan akan mati tak lama
lagi." "Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja
terjadi!" Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, namun masih
tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang
terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.
"Ah, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu
menanti mereka mati," kata Kun Liong.
Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh terlihat oleh mereka dua orang
laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat di tonggak kayu salib
masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor
burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.
Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu
kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di
atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama
kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah
menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh
kemarahan itu. "Seng-ji...!" teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya
melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!
"Ibu...!" Lie Seng juga berteriak girang.
"Sumoi, nanti dulu...!" Kun Liong berseru akan tetapi Giok Keng yang sudah
tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib
itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong
juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu,
dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok
Keng! Wanita itu tentu saja tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat
mencabuh Gin-hwa-kiam dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong
sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga sudah meruntuhkan banyak anak
panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung
mereka sehingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia
dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang,
Ketika Kun Liong memandang, dia melihat banyak orang banyak itu dipimpin
oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, dan dua orang lain yang dikenalnya. Mereka itu
adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga
yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!
Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan
sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah
agar dia dapat membebaskan puteranya, akan tetapi, Hek I Siankouw sudah
menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu
dengan pedang hitamnya. Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok
Keng, akan tetapi diapun disambut oleh Bouw Thaisu yang sudah menyerangnya
dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka
memang telah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh amat banyak
dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah menggunakan gerakan-gerakan dari ilmu
mujijat yang didapatnya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga dalam beberapa
gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak
meloncat mundur dan mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak perduli
dan terus mendesak, kini dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan
Putih) yang mujijat. "Plak-plak-plak!" Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung
ke belakang. "Ahhh...!" Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat
ketika tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi diapun merasa
penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang
ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.
"Plakk!" Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis
dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi-i-beng.
"Aughhhh... lepaskan...!" Bouw Thaisu berseru keras ketika merasa betapa
tenaga sin-kang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang
menempel pada lengan lawan. Betapapun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja
tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir
keluar. "Wuuttt... pyarrr...!" Terpaksa Kun Liong melepaskan Bouw Thaisu guci arak
di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya dan dari mulut guci itu menyembur
keluar arak merah yang mengancam kedua matanya. Bouw Thaisu terhuyung dan
mukanva agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan
bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun
Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.
Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh
banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Namun, mengingat bahwa
puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar
wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, seperti seekor
harimau betina diganggu anaknya. Juga Kun Liong, biarpun dikeroyok banyak sekali
orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi
Beng yang sudah dikenalnya, mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia
mengamuk seperti seekor naga sakti.
"Ayah...!" tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali
berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil
merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.
"Mei Lan...!" Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main dan juga girang
bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut
karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang
mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir
karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.
Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja
hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tidak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-
bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li. Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin
sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak bicara untuk melepaskan
rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang
dialaminya. Akan tetapi jangankan untuk bercakap-cakap, untuk melirik saja ke
arah puterinya itu dia kekurangan waktu!
Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama "Mei
Lan", cepat menengok dan diapun girang bukan main melihat bahwa benar-benar Mei
Lan yang dicari-cari itu berada di situ.
"Plakkk!" Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak cepat
berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan anak buah Lembah Naga yang
tadi menghantam punggungnya dengan ruyung itu. Wanita ini merasa punggungnya
agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah
ketika dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng
pula! Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari
belenggu mereka, dua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok
Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti,
dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat
melawan lagi. Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras
dan serangannya yang amat hebat dengan Ilmu Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti
Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekalipun sampai
meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya sampai terdorong ke
belakang oleh sambaran angin pukulan-pukulan kedua tangan Kun Liong, dan
sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga terlempar dan terbanting.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan
berbisik, "Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!"
Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia tahu apa yang dimaksudkan
oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu
mereka menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini
merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu
dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-
olah tidak memperdulikan apa-apa lagi, melainkan "bermesraan" berdua di dalam
kamar! Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa artinya ketika dia berhasil
sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw
duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dan kedua telapak tangan mereka
saling menempel dengan mesra! Maka setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil,
kemudian dia meninggalkan pesan yang harus ia sampaikan menurut apa yang
dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.
Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia
terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan gin-kang, lari
meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng,
dan Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-
gesa dia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-
gesa, makin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat
itu. "Terima kasih, adik yang baik, terima kasih..." suara Kwi Beng ini makin
menggugupkan Mei Lan. "Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!" Akhirnya Mei Lan berkata
karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dia gugup. Dia sendiri
tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini
untuk dibebaskan lebih dulu!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak
buah Lembah Naga sudah menerjang maju ketika mereka melihat usaha Mei Lan untuk
membebaskan tawanan. Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi
Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu.
Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri
dan ketika golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan
dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh,
goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu dan membacok ke arah
Pendekar Bloon 28 Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat Jejak Di Balik Kabut 37
^