Pencarian

Dewi Maut 24

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan
mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannyapun berobah ke bawah.
"Crokk! Aduhhh...!" Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah
karena yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.
"Trang-trang...!" Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari
tiga orang pengeroyoknya, akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan
adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang
ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga
kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan
senjata mereka! Mei Lan cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah dan
ketika tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini
bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng memejamkan
mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia
mampu menolong sama sekali.
Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh
kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya
untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang
seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.
Pemegang tombak itu menjadi gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu
mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan
tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan. Mei Lan
maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas,
membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya dan dengan lincahnya dia lalu
miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak
itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya
yang kecil menendang bawah pusar.
"Bocah setan!" teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya, akan tetapi
Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba kemudian ketika si pemegang tombak
mendoyong ke depan, dia menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga
nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.
Pada saat itu, pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya dan dengan kakinya,
Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya
secara tiba-tiba. "Desss!" Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan
ruyung sehingga orangnya gelayaran.
"Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-
monyet itu!" Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan
mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan
matanya lagi karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang
mengeroyok Mei Lan! Sekali ini keadaan Mei Lan benar-benar terancam bahaya besar. Dia terhuyung
dan roboh terlentang ketika pahanya kena tendangan dan agaknya orang-orang kasar
itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang
cantik itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar
biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu
roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan
karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.
"Suhu...!" Lie Seng berteriak girang. "Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!"
Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang
besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap digerakkan
mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia
menggerakkan tangan, tentu ada dua tiga orang anak buah Lembah Naga yang
terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa
mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!
"Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawa!" tiba-tiba terdengar
bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang langsung
saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat. Agaknya sekali ini dua orang
kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh,
melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok
Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bagun
oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka
yang amat berbahaya dan begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok
Beng Lama hanya mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus
menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk
membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.
"Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!" Lie Seng
berteriak dan sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng dan akhirnya, karena
ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan dua orang pemuda itu,
dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan,
ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!
Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi
Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat
Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat
banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang
sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela
diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.
Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok
Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Beberapa
kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil
mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dulu pernah dia
pergunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu. Akan tetapi sekali ini,
Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-
ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh,
akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!
"Ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak dapat melukai kami
lagi!" Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi
dengan hebatnya. Tentu saja Kok Beng Lama menjadi terkejut dan heran, juga penasaran. Dia
mengerahkan semua tenaganya den kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang. Dua
orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berbasil,
akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya
seperti daun kering tertiup angin, terlempar dan terguling-guling. Akan tetapi,
kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikitpun. Kini
mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah
menciptakan ilmu yang amat mujijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh
kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok
Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan
buta, maklum bahwa agaknya hanya di bagian mata saja dari dua orang itu yang
tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka.
Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat
sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan
dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh
ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui
bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah
kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima
totokan-totokan tongkat yang amat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena
kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.
Juga Kun Liong dan Giok Keng terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan
yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya,
menjadi kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan pendekar ini
makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apalagi setelah dia
melihat bahwa di situ terdapat puterinys dan Lie Seng yang bagaimanapun juga
harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dan muncullah pasukan
yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak buah Lembah Naga.
Kiranya itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan
pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan
dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu
Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun!
Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan
ini, apalagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda
ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk
jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas
pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi!
Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu
dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai dan segera dia menemui
komandan pasukan itu, menceritakan tentang keadaan Lembah Naga dan tentang
bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan
sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di
Lembah Naga sewaktu di situ terjadi pertempuran hebat itu. Andaikata tidak ada
penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak perajurit yang menjadi korban keganasan
tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.
Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk
jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan
kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan
pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pesukan Kim-i-wi yang
yang terdiri dari perajurit-perajurit pengawal pilihan dan rata-rata memiliki
kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah
Naga segera terdesak hebat.
Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi
Beng, dan dua orang pemuda itu segera terjun ke dalam gelanggang pertempuran,
mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng
mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran,
karena bagaimanapun juga, dia merasa sungkan kepada subonya, dan menjauhkan
diri, hanya menonton dengan hati tegang.
Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh kedua
fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-
hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok
Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan
Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko. Bouw Thaisu
dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, sedangkan Hek I Siankouw
berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri,
Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk
dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.
Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi
berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya
pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena
keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun
amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu,
seolah-olah datang dari angkasa. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan
senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan
pribadi dengan mereka!"
Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah
meloncat mundur dan terdengar suaranya yang mengguntur, "Semua mundur, biarkan
ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!"
Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama
ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan
sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di
situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, "Pek-hiat Mo-ko,
bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?"
Dari fihak Lembah Naga muncul Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa
tongkat butut mereka dan memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata
marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan
betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.
"Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?" bentak Pek-hiat Mo-ko.
Cia Keng Hong dengan sekilas pandang saja sudah melihat bahwa fihaknya
sebetulnya lebih kuat, apalagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong,
juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia
tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini,
maka dia lalu berkata, "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, mendengar
bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya
menganggap bahwa kalian sengaja hendak menentang dan menantang kami dari fihak
Cin-ling-pai. Akan tetepi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja.
Apakah sesungguhnya maksud hati kalian" Kalau hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam
dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak
orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum
pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan
Yap In Hong dan tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu
kepandaian." "Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharapkan
kedatanganmu! Memang kami menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana
kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan
nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami.
Karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu dan sahabatnya
mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!"
"Mo-ko dan Mo-li!" Cia Keng Hong membentak. "Caramu amat curang! Kalau
kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi
wakilnya. Kaubebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian
antara kita." "Kong-kong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!" Tiba-tiba
terdengar suara Lie Seng berteriak.
Mendengar ini berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu
bahwa puteranya juga tertawan. Kini dia memandang tajam kepada mereka dan
bertanya, "Benarkah itu?"
"Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!"
kata Hek-hiat Mo-li dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.
"Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!" Cia Keng
Hong berkata sambil mengelak dan balas menyerang. Maka berlangsunglah
petandingan yang amat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dan kedua
orang kakek dan nenek iblis itu.
Cia Keng Hong adalah scorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya.
Biarpun usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang
bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga
biarpun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-
gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih
diri di puncak Cin-ling-pai. Dengan ilmunya yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat
Thai-kek-sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu dan selalu dapat
menghindarkan diri dengan mudah, sebaliknya dia telah mendesak dua orang
lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek-sin-kun.
Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, ketika pendekar sakti ini
berhasil "memasukkan" pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka,
baik Mo-ko maupun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian
meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi! Cia Keng
Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah
dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mujijat!
Biasanya, ilmu kekebalan yang mujijat seperti itu diperoleh dengan cara yang
tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya
hanya dapat dipecahkan kalau orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan
yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia
kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai
mereka! Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia
Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan
ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong cepat
menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya dan secepat kilat dia
menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis
lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.
"Plakk!" Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan
dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mujijat, yaitu Thi-khi-
i-beng! Seperti kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja
yang menguasai Thi-khi-i-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap
Kun Liong, karena, hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini
menurunkan ilmu mujijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw,
tidak diwarisi ilmu itu. Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi-i-beng yang
dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua
lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan
ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sin-kangnya.
Akan tetapi, kakek bermuka putih ini segera menghentikan pengerahan tenaga sin-
kangnya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tempel itu lenyaplah!
Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada
tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, bahkan mampu membuyarkan
tenaga Thi-khi-i-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah
meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama.
Siapa tahu, kini agaknya kakek dan nenek inipun menguasai ilmu kekebalan yang
dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng pula!
Tidak ada seorangpun yang berani maju membantu Cia Ktmg Hong karena dalam
hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi
yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh
perhatian, maklum bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu
agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri
tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga
bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!
"Ha-ha-ha!" Kok Beng Lama tertawa. "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li
agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, akan tetapi juga
mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi
seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu
malu sama sekali!" Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali,
terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan
jarum yang menusuk langsung ke jantung. Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa
pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, maka dia menulikan telinga
dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan
tongkatnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa
bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan sudah dibuktikan ketika dia
menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang,
dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak dapat menandingi
ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu
kekebalan mereka, musuh-musuh itu dapat berbuat apakah" Hal ini membesarkan
hatinya dan mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat
menahan kemarahannya. "Pendeta gundul! Siapa takut padamu" Majulah kalau sudah bosan hidup!"
tantangnya. "Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi
aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha." Kok Beng Lama sudah
melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran. Tentu saja Cia Keng Hong
tidak bisa melarang dan biarpun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok
Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia telah kewalahan,
namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama,
agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak
dapat terluka ini. Pada saat itu, terdengarlah suara keras disusul suara bangunan roboh dan
debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah
Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itupun terhenti. Dan di
antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang laki-laki dan wanita.
Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang datang sambil
bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang
mata itu mencorong aneh. "Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di
puncaknya!" seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandang mata
dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu
Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu. Seperti telah
kita ketahui, Cia Bun Houw dan Yap In Hong setelah terbebas dari malepetaka yang
akan mencemarkan nama dan kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu
berahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te
Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang telah dimiliki In Hong. Ketika
diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri
dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk berhadapan dalam keadaan
bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan
dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah
keluar dan siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak
berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan
lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat
itu. Ketika itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan
akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang telah mencapai tingkat
yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka
menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-
ribut di luar kamar tahanan. Suara itu terdengar agak jauh, namun kini
pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka
mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan
Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek
dan nenek iblis itu. "Eh, lihat ini...!" kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar
itu. Kiranya itulah daun yang ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di
antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.
Mereka cepat membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan
tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.
"Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah."
Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi sudah cukup
bagi Bun Houw dan In Hong. "Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah
hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong-moi!"
Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu
pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang
hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-
ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya
menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak
mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi
nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan
suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat
dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam
paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari
tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I
Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga
setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak
berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya
dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu
Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia
Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot
sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat
membalas sedikitpun juga.
Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng
dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu
dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan
nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka
roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.
Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu.
Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama
yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga
ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok
Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak
tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu
bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang
yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu
tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang,
kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia
terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama
tertawa bergelak lalu berkata, "Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan
darah...!" Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh
dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus
nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng
Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh
dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya
dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak,
dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya
lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras. Itulah
sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang
demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik
dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di
punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng
Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia
menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia
masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.
Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun
Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok
Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang
dilepas oleh Coa-tok Sian-li.
Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan,
namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun
roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada
gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh
sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang
melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah
pasti kalah. Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup
bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!
Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan
Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun
ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu.
Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu
sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah
terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka
belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi
kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak
kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis,
tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan
bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka
masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu
telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!
Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi
Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun
juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi
kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan
yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu
melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka
terus-menerus diserang. Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu
pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang
hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-
ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya
menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak
mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi
nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan
suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat
dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam
paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari
tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I
Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga
setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak
berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya
dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu
Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia
Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot
sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat
membalas sedikitpun juga.
Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng
dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu
dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan
nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka
roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.
Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu.
Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama
yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga
ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok
Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak
tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu
bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang
yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu
tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang,
kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia
terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama
tertawa bergelak lalu berkata, "Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan
darah...!" Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh
dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus
nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng
Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh
dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya
dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak,
dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya
lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluar kan lengkingan keras. Itulah
sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang
demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik
dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di
punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng
Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia
menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia
masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.
Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun
Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok
Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang
dilepas oleh Coa-tok Sian-li.
Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan,
namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun
roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada
gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh
sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang
melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah
pasti kalah. Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup
bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!
Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan
Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun
ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu.
Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu
sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah
terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka
belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi
kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak
kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis,
tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan
bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka
masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu
telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!
Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi
Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun
juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan
yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu
melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka
terus-menerus diserang. Cia Keng Hong tanpa disengaja berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka
saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti
akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadipun sudah mengukur tenaga dengan
kakek dan nenek iblis itu dan mendapatkan kenyataan bahwa mereka berdua itu
memang memiliki kekebalan yang mujijat.
"Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?" Kok Beng Lama
mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.
"Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?" tanya Cia Keng Hong sambil
menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan
mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mujijat dan aneh.
"Dan dugaan taihiap?" tanya pula Kok Beng Lama. Kedua orang sakti itu lalu
menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya
lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu,
"telapak kaki". Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.
"Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu
kepada Bun Houw," kata Cia Keng Hong. Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang
sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit
(Mengirim Suara Dari Jauh) dengan kekuatan khi-kang mereka. Bibir mereka
bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali
orang yang ditujunya! Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga
mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, "Kelemahan mereka itu mungkin
sekali terletak di telapak kaki mereka."
Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak
tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan mereka bahkan mulai meragukan
kebenaran pemberitahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa
kakek dan nenek itu mati-matian melindungi kedua kaki mereka, agaknya
pemberitahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang
berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka"
Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga
bahwa mungkin sekah kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki" Mereka
teringat akan ilmu kekebalan mujijat kaum hitam atau golongen sesat, yang
berbeda dengan latihan limu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar
sin-kang yang kuat. Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara,
dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang
berbahaya. Mereka teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan
kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu mungkin kalau tubuh mereka
itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tidak lagi mempengaruhi
tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan
melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa. Biasanya, bagian yang dilumuri
racun itu itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar
matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai
berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak
mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andaikata
dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya,
dan kalau sambil berdiri telapak kakinya. Kini, melihat betapa punggung, pantat
dan seluruh begian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-
satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika
bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri
dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan! Jadi, kalau
seluruh anggauta tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu
yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, sepasang mata merekapun
merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka,
apalagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari
arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.
Biarpun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengur bisikan dua
orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah
itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan" Telapak kaki selalu tertutup
atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa
diserang" Kelihatanpun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.
Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw
tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi
ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya
bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat
tinggi. Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan limu kekebalannya yang
mujijat, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi,
kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga biarpun dia sudah belasan
kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan
lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekalipun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-
ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek
dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh
Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hat ilmu silat maupun dalam hal tenaga sin-
kang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya daripada lawannya. Akan tetapi
kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.
In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu
silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti
The Hoo. Biarpun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw,
namun ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat
untuk mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai. Dia dengan
menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara
bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang
lebih kuat daripada si nenek iblis. Namun, karena diapun tidak berdaya
menghadapi kekebalan nenek itu, keadannya menjadi berimbang, bahkan kadang-
kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa
memperdulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-
kadang In Hong menjadi repot juga dan melindungi diri dengan bergerak mundur
Kini mereka telah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap
saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan!
In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang
hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal. Untuk melindungi
dirinya, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganyapun cukup besar sehingga dia
tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat
dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguhpun
tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.
Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau
setidaknya untuk dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan
merobohkannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu
saja tidak mungkin, maka dia harus menggunakan akal dan dia pura-pura tidak
menduga bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Dia harus dapat
melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya. Tadi dia menganggap tongkat kakek
bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya
dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena
merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong
dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki. Akan
tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan
kelihaian dan ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki
dia harus lebih dulu menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur
dalam jarak yang lebih berdekatan.
Ketika tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun
Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah dekat sekali
dengan lehernya. Tiba-tiba dia miringkan tubuhnya membiarkan tongkat lewat dan
anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya lalu tiba-tiba saja dia menyarang
kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main
serangannya itu. Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang
mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Dia terkejut dan cepat menarik
mundur tubuhnya begian atas sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu
tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh
tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.
"Haiiiiitttt...!" Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan
kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan
tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan
kuat. "Hemmm!" Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kirinya
digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga
menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.
"Plakk! Krekkk...!" Tubuh Pek-hiat Mo-ko untuk ke sekian kalinya terlempar
ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di
tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia
mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan
menjadi patah. Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah,
akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya
dengan mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat
pusakanya itu dapat patah. Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa
patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti
kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu
dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah
lawannya. Bun Houw juga sudah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut
serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak
mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.
"Ihhh!" Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah. Kedua pergelangan tangannya sudah
ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang amat kuat dan biarpun dia telah
mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menarik kedua tangannya, tetap
saja dia tidak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua
pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian
pemuda itupun tidak akan mampu menangkap, maka dia tertawa mengejek.
"Ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?"
"Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana kau dapat melepaskan peganganku!"
Bun Houw juga mengejek dan memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek
itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas
akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat
tadi! Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan
marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih
bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itupun
tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang kini memiliki tenaga Thian-
te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat
pusakanya yang dianggap sebagai pertanda akhir hidupnya, kakek yang marah ini
menjadi nekat. "Lepaskan tanganku!" bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun
Houw! Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya untuk
melakukan tendangan karena hanya di waktu menendang sajalah telapak kaki dari
lawannya itu "terbuka" dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun
Houw memang cerdik. Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia
maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan
pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih
berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu
bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, maka ketika tendangan
menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, dan
sengaja dia membiarkan pahanya tertendang dengan mengurangi geralakan elakannya.
"Desss...!" Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa
bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu
menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang lagi
mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang
baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri. Namun, pemuda perkasa
itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan
seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari
kanan. Melihat kaki kiri melalui menyambar, secara tiba-tiba dia melepaskan
cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar
ke bawah, mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga
Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana
kerasnyapun akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mujijat
Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu. Dan ternyata, tidak seperti anggauta badan di
bagian lain yang telah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te
Sin-ciang, ketika telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram,
kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya! Pek-hiat Mo"-
ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan
pada saat itu, tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada
pergelangan tangan lawan sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah dadanya.
"Krekkk...!" Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah
dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya telah lenyap setelah
telapak kakinya hancur. Namun, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu
merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuatpun, kakek bermuka
putih itu masih dapat meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia
menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah
menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.
"Desss...!" Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting
dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko telah menghembuskan napas
terakhir di waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.
"Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya," kata Bun Houw sambil
mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-
li. "Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Mundurlah dan
jangan khawatir!" In Hong menjawab. Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw
telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu
bahwa memang Bun Houw memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi
dengan ilmu kepandainya, apalagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga
Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup untuk mengalahkan nenek ini, lebih-lebih
lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama. Akan tetapi, biarpun
dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah
beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia
robohkan. Dia tidak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat
Mo-ko, maka diapun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya.
Akan tetapi, biarpun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus
menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apalagi karena pertempuran itu ditonton
oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun
Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio
Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua perajurit pasukan kota raja
juga menonton! Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia lari meninggalkan
tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini
membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya
dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik lalu
melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru, "Hong-moi, pakailah
pedangmu ini!" Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya
sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau
menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat" Dan begitu
Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus
dapat merobohkan lawannya. Harus!
"Cring-cring-tranggg...!" Bunga api berpijar ketika pedang bertemu bertubi-
tubi dengan tongkat dan tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke
belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang
mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang.
Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana"
Demikian In Hong berpikir.
"Telapak kakinya... telepak kakinya...!" Tiba-tiba dia mendengar bisikan
suara Bun Houw. In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat
penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja
semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat
memukul telapak kaki" Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.
Akan tetapi, In Hong adalah scorang dara yang selain cantik jelita dan gagah
perkasa, juga cerdik sekali. Begitu dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba dia
merobah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu
bergulingan dan sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!
"Ihhh...!" Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi
kakinya.

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya,
In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya
mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.
"Ihhhh...!" Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang,
berjungkir balik. Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban.
Karena mata kirinya sudah buta, maka ketika lawannya tadi bergulingan ke sebelah
kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-
tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia
mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil
menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas
itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li. Pada saat
itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya
ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga
hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang
sehingga dia kurang waspada. Baru setelah sinar emas membabat tanah dan terus
mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.
"Dessss! Crottt...!" Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek
itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan.
Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-
kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia
melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan
dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki
kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang
menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu telah dikurung oleh pasukan
yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.
"Keparat!" Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. "Mari kita amuk
mereka!" "Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan
seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, daripada
menyerang," kata Cia Giok Keng dan Kok Bang Lama tidak jadi bergerak. Kepala
pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba agar semua pasukan tidak
bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.
"Tahan semua senjata!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam
pasukan besar itu muncul seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja
Sabutai sendiri! Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In
Hong tidak mau perduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li
dengan pedang di tangan. "In Hong jangan bergerak...!" Yap Kun Liong, berseru kepada adiknya.
Mendengar kesungguhan dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu dan menoleh
kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya.
Kalau Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biarpun mereka memiliki
kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam keroyokan ribuan
orang perajurit musuh. Bun Houw dengan cepat meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu
dengan mesra. "Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu" Mari
kuobati..." Dengan sikap mesra Bun Houw lalu memeriksa pundak yang terpukul tongkat
tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah
kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itupun tidak patah. Dengan
penyaluran sin-kang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri di pundak itu. Tentu
saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka
berubah pucat sekali. Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan
ribuan perajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang
yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu
melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.
"Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan
pertandingan?" tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.
Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di
situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhunya, Pek-hiat Mo-
ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang. "Cia-
taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo telah tewas, behkan
suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar
bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang
bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu
sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, sekarang
kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada
kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap dan
semua teman taihiap suka membebaskan subo."
Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat.
Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini
akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan
orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab, "Kami semua datang bukan hanya
karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, melainkan juga untuk menyelamatkan
nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Setelah sekarang nona
Yap In Hong selamat, tentu saja kamipun tidak akan terlalu mendesak. Terima
kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada
yang berhak memiliki."
"Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan
bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini," katanya sambil menyerahkan
Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh
hormat. "Subo, marilah pergi bersama kami!" Sabutai berkata sambil menghampiri nenek
itu, kemudian dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya
terluka pula itu. Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai.
Kiranya orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan orang yang mampu
menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi
juga memiliki watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Semua orang diam saja
ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari
gurunya dan para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu setelah Raja Sabutai
menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun,
"Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang kaulihat di tempat kami kepada kaisar,
Tio-sicu!" Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia mengangguk. Maka
berangkatlah Raja Sabutai pergi dari Lembah Naga, diiringkan oleh ribuan orang
pasukannya. Setelah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan
pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling lari menghampiri dan
ibu dan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata, demikian pula
Mei Lan berlutut di depan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata
berlinang juga merangkul puterinya. Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan
anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang
mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang
memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan
mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya
puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu
saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian
isterinya. "Ayah... maafkan aku..." Mei Lan berbisik lirih, dan Kun Liong menggunakan
jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-
olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat
memahami semua persoalannya.
Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah lari menghampiri
Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai
mengobati luka di dalam pundak In Hong.
"Taihiap... harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi
menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi..." Wanita
yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air
matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke
depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan dan menyedihkan.
Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua
yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah
hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencintanya, akan tetapi dia marah sekali
mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan selagi dia tercengkeram oleh
pengaruh hawa beracun yang membangkitkan berahinya, telah melakukan hubungan
kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan
terjadinya hal itu. Kalau saja di situ tidak terdapat banyak orang di antaranya
malah ada ayahnya sendiri, tentu telah ditendangnya wanita itu. Akan tetapi dia
menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. "Engkau bukan wanita baik-
baik. Pergilah kau dari sini!"
"Taihiap...!" Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada
pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.
"Pergilah!" Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat
itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan
kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia
tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat
keras dan kejam, sungguhpun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita
berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.
"Bun Houw...!" Dia memanggil dan pemuda itu terkejut, menoleh kepada
ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu
untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong memandang wajah pemuda itu
dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk dan keduanya
lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di
depan pendekar sakti itu.
Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan
ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan
tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun
menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.
"Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In
Hong?" tanya ayah itu yang merasa tidak senang melihat puteranya yang
bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong.
Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta
kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikitpun mereka berdua tidak
menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.
"Ayah, aku mendengar di kota raja bahwa Hong-moi diculik, maka aku melupakan
segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa
aku membiarkan diri ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para
sahabat yang gagah datang menolong..."
"Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?"
"Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... dan... sesungguhnya aku tidak dapat
melaksanakan tali perjodohan itu, ayah..."
"Apa...?" Ayahnya membentak.
"Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah
berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama..."
Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa
sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali
mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk
menjodohkan puterinya, Giok Keng, dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena
puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liongpun mencinta gadis lain.
Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong menjadi
mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Akan tetapi hal itupun
mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara
kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan
Bun Houw itu. Hal ini amat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja
sakit hati itu sedikit terobati ketika dia dapat menjodohkan puteranya dengan
keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba dia melihat puteranya dan In Hong
berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!
Cia Keng Hong mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali
orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak
merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In
Hong, "Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?"
Wajah In Hong seketika berubah merah sekali. Sungguh luar biasa sekali ketua
Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu
banyak orang! Akan tetapi, In Hong sejak kecil hidup dalam keadaan penuh
kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa
canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, "Benar, supek, saya
mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya."
"Hemmm... benarkah itu" Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang
lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kaukatakan kepada kami
orang tua dari Bun Houw" Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang
tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan
kami?" "Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu," jawab In Hong dengan suara
lantang dan tenang. "Dan engkau sekarang...?"
"Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan
sekarang ini. Ketika itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum
pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua"
Pula, karena penuturan Yalima tentang dia dan Houw-koko, mana mungkin saya
menerima ikatan jodoh dari seseorang yang telah mempunyai pacar" Sekarang lain
lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak
menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta."
Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw,
bahkan tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu,
dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketike
dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.
"Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi,
dan sudi merestui cinta kasih antara kami..."
Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan
kekerasan dan kedukaan, kedua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang
setelah menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku bisa
memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi
seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan
dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami
Souw Kwi Eng di Yen-tai."
"Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!" tiba-tiba Bun Houw berkata dengan
keras, mukanya berubah merah.
"Hemmm, kehormatan lebih berharga daripada nyawa, anakku."
"Maksud ayah...?"
"Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau
antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar
kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!"
"Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari
Hong-moi!" jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.
"Hemmm...!" Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.
"Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!"
In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya
untuk melindunginya! "Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?"
Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong memegang gagang pedang
Siang-bhok-kiam dan menghunusnya dari sarung pedang! Bun Houw dan In Hong masih
berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah, mereka siap untuk menyerahkan
nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama kalau tidak boleh hidup sebagai
suami isteri. "Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!" Terdengar suara nyaring dan Kok Beng
Lama sudah melompat maju ke depan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan
senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Enak saja
engkau hendak membunuh muridku! Jangan kau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah
murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya
dibunuh orang begitu saja, biarpun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku,
belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Seekor harimaupun tidak akan
membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang
manusia yang lebih buas daripada harimau?"
Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya
pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia
menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan
suara tenang tidak dikuasai perasaan.
"Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh
tahun yang kalau tidak dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya.
Apakah artinya hidup sependek itu kalau tidak diisi dengan kehormatan" Apakah
artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan
oleh semua manusia" Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi
cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar
hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih
sampai tujuh turunan!"
"Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia
membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-
ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti
pandanganku ketika itu! Ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu tentang cita-cita itu
justeru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan
palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan
kemurnian hidup." Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah
"pegangan" semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan"
"Hem, locianpwe, apa maksud locianpwe?"
"Bun Hwat Tosu," Kok Beng Lama memandang ke angkasa, "mudah-mudahan saja
kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang
lain seperti telah membuka kesadaranku." Kemudian dia melangkah maju mendekati
Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, "Cia-taihiap, apakah artinya
cita-cita" Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan
sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan yang ada, merupakan
bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya"
Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang
yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya dengan cara bagaimana pun."
"Agaknya benar demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik,
yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan
menyeleweng." "Benarkah demikian" Apakah tidak sebaliknya" Apakah bukan justeru karena
mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam
demi mencapai cita-citanya masing-masing" Apakah bukan cita-cita yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita
menyeleweng daripada kebenaran" Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah
digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya,
bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu" Kita
bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka
kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi
gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!"
"Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar,
yang tidek baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia untuk memperoleh
kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!" bantah Keng Hong.
"Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!" Kakek raksasa itu
tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. "Andaikata orang bodoh
itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh
lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri
pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Demikian pula, andaikata orang
tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidakbaikannya, maka
pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan orang tidak baik lagi dan dia
tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan
tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, pengejarannya itu akan
menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik,
mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat
disebut orang baik dan di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak
baik terkandung ketidakbaikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap
bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging
dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan
kemajuan" Kemajuan yang bagaimanakah" Kita bercita-cita menjadi seorang
berkedudukan tinggi dan dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat
dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan
mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita
berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu
kemajuan namanya?" Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru
satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu. Pendekar Sakti Cia Keng
Hong memandang pucat, lalu berkata, "Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi
agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas
dengan keadaan yang sekarang ini saja" Tidak boleh mencari kemajuan" Berarti
menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?"
"Ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu sama
dan persis" Justeru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu ketika aku
membantahnya!" Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali
tenang. "Cia-taihiap, jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari
kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau
pandangan siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus
bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah" Apa
sih artinya harus ini atau tidak harus itu" Kalau puas ya puas saja, kalau tidak
puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu
menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas
dengan keadaan saat ini" Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu akan
tidak puas, bukan" Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidakpuasan yang
timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan pernah berubah dan akan
menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari
kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dulu, apa sih kemajuan yang kita
cari-cari itu" Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa
saja. Apa salahnya menjadi orang biasa" Kenapa semua orang ingin menjadi orang
yang LUAR BIASA" Ha-ha, justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya
segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai kepada
kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain, paling
hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong belaka, hanya
angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk
menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang kalau
kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan
kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-
manusia yang kejam, yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah
cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain
hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita,
kedudukan, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi
PENGEJARANNYA, itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan
tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai
perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata batin,
dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang
diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja
demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar
kita setiap hari?" Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya
terpejam, namun mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-
cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itupun sesungguhnya memang
mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang
gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan
anak demi kehormatan! Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri
agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia
tidak memperdulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini
dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu kepada Kok Beng Lama
yang tersenyum dan matanya mencorong itu.
"Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya anggap bahwa apa yang saya
lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik
Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu
tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan
benar?" "Cia-taihiap," kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. "Coba
dengarkan kata-kata taihiap tadi. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan
baik! Nah, jawabannya telah terdapat di situ, bukan" Taihiaplah yang INGIN dia
menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua bilang cinta kepada anak-
anaknya dan mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba
teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin
menyenangkan diri sendiri" Ingin senang MELALUI anaknya! Taihiap akan senang
kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan.
Bukankah begitu" Maka, kalau si anak tidak menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan
hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama
sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si
anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci
dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya"
Begitu jelas!" "Ah, locianpwe..." Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong
dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama! Sejenak kakek raksasa
ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan
udara, akan tetapi dia lalu memeluk Keng Hong dan mengangkat bengun pendekar
sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.
"Cia-taihiap, yang penting adalah kgsadaran dan pengenalan diri sendiri
berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan
membuka mata, makin jelaslah nampak seluruh kenyataan hidup ini, taihiap.
Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita
menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan." Kakek itu
menarik napas panjang. "Dan sesungguhnya, mata sayapun baru beberapa hari saja
terbuka ketika saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu..."
"Mendiang...?" Tiba-tiba Mei Lan berseru keras den meloncat ke dekat Kok
Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. "Apa yang kaumaksudkan, locianpwe"
Di mana suhu?" Kok Beng Lama menarik napas panjang, mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari
dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. "Kau menanyakan
suhumu" Nah, inilah dia, maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar
sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia."
"Aihhh... suhu...!" Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu.
Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu, dan Kun Liong juga
menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru
puterinya! Dan dia sendiripun adalah murid Bun Hwat Tosu yang sekarang
dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh
puterinya. "Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena
akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu telah bermain catur dan bertaruh
dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, sedangkan
diapun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie
Seng. Sudah, diam, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan
mendengar, dia tentu akan marah kalau kematiannya ditangisi. Hayo kaukatakan,
kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?" tanya kakek yang wataknya memang
aneh itu kepada Mei Lan. Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata
merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang berlutut di
dekat puterinya menghela napas dan berkata, "Gak-hu ayah mertua bolehkah saya
mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?"
"Anakmu" Dia ini anakmu" Hemm... ya, teringat aku sekarang... engkau
mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?"
Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhunya yang kini hanya menjadi abu,
amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih
bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu.
Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta
Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kong-kongnya itu memang mengasingkan
diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk
mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan
menjadi gurunya! Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan
mendengar bahwa kakek raksasa ini kong-kongnyo, dan ketegangan yang dirasakan
dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong
dan tidak dapat berkata-kata hanya menangis saja.
"Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis" Mengapa?" kembali
terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.
Kun Liong menyusut air matanya. "Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu
adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya telah
menjadi murid beliau. Mengapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau menangis
mendengar akan kematiannya" Mengapa orang menangisi orang yang mati" Banyak
sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing
orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami
menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana
dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah
melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk
membalasnya." "Ho-ho, jadi bukan menangisi dia" Jadi kalian menangisi diri sendiri?"
"Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami
ketahui bagaimana keadaannya sekarang" Kami menangisi diri sendiri yang
ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati."
"Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang,
menangisi orang mati sesungguhnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba
diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya
terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang
bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup.
Ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhumu menjadi abu, mau kauapakan sekarang?"
Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali
ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu
kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak, "Kong-kong...
saya tidak sangka bahwa kong-konglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini
kepada kebijaksanaan kong-kong mau diapakan juga, terserah..."
"Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini
hanya abu! Bukan gurumu lagi! Dan andaikata engkau memeliharanya dan
menyembahyanginya pula, tidak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk
kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan dirimu sendiri, karena
engkau dalam sembahyangmu tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu.
Padahal memelihara abu guru atau nenek moyang dimaksudkan agar si pemelihara abu
itu senantiasa teringat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia
menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Akan
tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam
jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar
untung dan sebagainya. Kasihanlah kalau sudah menjadi abupun masih hendak
diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya
dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?"
"Terserah kepada kong-kong," jawab Mei Lan.
"Kausimpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah,
Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama,
Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan
terhadap dia dan In Hong," Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.
Sejak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, "Locianpwe
telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap
saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki
Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk
berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri
pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng den orang
tuanya" Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana mungkin diputuskan
begitu saja" Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng.
Apa yang harus kita lakukan" Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan."
Kok Beng Lama mengerutkan alisnya den beberapa kali dia menggeleng kepala
dan menghela napas. "Hemm... benar juga...! Betapa hidup kita ini sudah terikat
dengan belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita."
Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang sejak melihat kemesraan antara dara yang
dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam den menundukkan kepala
terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat
menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat. "Harap locianpwe sudi
memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini karena menyangkut


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang
amat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat
dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak
ada hubungen cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi
keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling
mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang aken menyadarkan adik saya Kwi Eng
karena diapun tentu menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan
dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalahsangkaan dalam urusan
ini, yaitu saya... eh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itupun
membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik
saya agar dia menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena
hal ini jauh lebih baik daripada kelak menjadi suami isteri yang menderita
karena cinta sepihak."
Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan
keharuan. "Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu
makin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahh, bagaimana aku dapat
membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?"
"Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat
bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw." Tiba-tiba Giok Keng
yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayabnya. "Tentu
ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tidak mau memperdulikan
perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran sendiri,
kebenaran yang kaku, kuno den berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek
moyang, maka sikap itu mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar
ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tidak
ingin melihat dia berbahagia" Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan
apabila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan
menghancurkan kebahagiaan mereka?"
"Aih, betapa tepatnya apa yang kaukatakan semua itu, sumoi!" terdengar Kun
Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. "Betapa kita semua, selama
ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak
memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk
bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup..."
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya
itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga.
Diam-diam dia memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu
akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw
memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun
Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu.
Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya
kadang-kadang. "Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat
pula memberi persetujuan..." katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas
panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!
Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu
memberi hormat kepada ayahnya. "Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa
aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua..."
Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata
hendak pergi dari situ. "Houw-te...!" Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. "Adikku, ke mana
engkau hendak pergi" Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?" Kakak yang
merasa terharu ini menangis.
Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. "Enci Keng, biarkanlah kami pergi,
entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu
kembali." "Hong-moi, kenapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?"
Kun Liong juga berkata kepada adiknya. "Tinggallah di sana sambil menanti sampai
supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian."
Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh
ke arah Bun Houw, lalu menjawab, "Kakakku yang baik, mulai saat ini aku
menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana,
ke neraka sekalipun aku akan ikut dengan dia."
"Ahh... kau benar... kau benar..." Kun Liong hanya dapat berkata lemah.
"Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami," kata Bun
Houw sambil melambaikan tangan. "Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku
kepada seluruh keluargamu."
Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan
itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air
tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan
hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.
Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa ini lalu
menceritakan tentang pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua
bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan
semacam ilmu kepada murid lawan jika dikalahkan dalam satu pertandingan.
Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada
keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata
lemah, "Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau..." Dan kakek tua
renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek
itu telah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!
"Wah, sunggub licik! Engkau masih butang tiga macam ilmu untuk muridku!" Kok
Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji
catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik dan roboh dan
sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main
ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam
ilmu. "Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau seorang yang memegang
janjimu dengan baik," kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia
akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur.
Dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan betapa
baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan
percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi dan dibakarlah jenazah
itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika
dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.
"Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku
karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu.
Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!" Kok Beng Lama berkata
pada akhir penuturannya. Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah
mertuanya, yang selain memiliki kesaktian hebat juga amat bijaksana. Biarpun Mei
Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, namun oleh mendiang isterinya itu dianggap
sebagai anak sendiri maka boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama.
Tentu saja dia rela menyerahkan puterinya untuk digembleng oleh kakek itu.
"Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhumu yang juga
adalah kong-kongmu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu."
Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan
air matanya bercucuran ketika dia bertanyat "Ibu... ibu... kenapa, ayah?"
Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, "Kelak kau dapat
mendengar tentang kematian ibumu dari kong-kongmu."
"Tapi... tapi..." Mei Lan sesenggukan dan pada saat itu, Giok Keng tak dapat
menahan keharuan hatinya. Dia melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan.
Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tidak
senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus, "Mei
Lan, aku pernah bersalah kepada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa
menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku dahulu itu. Ketahuilah,
ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi
iblis itu telah tewas pula di tangan ayahmu."
"Ahhh, ibu...!" Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.
"Mei Lan, diam kau!" Tiba-tiba terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suara
menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut dan
mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.
"Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati" Ketika
aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama
sekali tidak ada manfaatnya, malah mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu
sudah mati, dan pembunuhnya telah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu
ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!"
Mei Lan menoleh kepada ayahnya dan Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang
anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan
tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan
kerinduan hati mereka. Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa
yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama,
"Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-
hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan
perginya mereka, baik saya maupun Cia-sumoi hidup sebatangkara. Oleh karena itu,
kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan
mengembalikan mereka kepoda kami."
Kok Beng Lama mengangguk. "Baik, setelah lewat tiga tahun aku akan mengantar
mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing." Setelah berkata demikian, Kok
Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong dan menggandeng Mei Lan dan Lie Seng
dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.
Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para perajurit
yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman
mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan
mereka. Kemudian dia memandang kepada puterinya, dan berkata, "Giok Keng, kalau
engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san."
Giok Keng menggeleng kepala. "Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Nanti
sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."
"Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu." Lalu pendekar ini mengangguk
kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-
bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.
Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah
cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan
antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia
maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa
malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini diapun dapat
mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia
ke Yen-tai. "Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada
ibu dan kepada Kwi Eng," demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk
agar Tio Sun suka menemani dia pulang. Padahal dia ingin untuk mempertemukan
pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya
setelah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan
memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun
Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi
Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!
Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling
pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata
Rajawali Hitam 9 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Hilangnya Seorang Pendekar 2
^