Pencarian

Dewi Maut 7

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Omonganmu benar juga. Hayo kita bersama ke Cin-ling-pai menuntut keadilan."
"Giok Keng, kuharep engkau suka ikut bersama kami ke Cin-ling-pai menghadap
ayahmu agar persoalan ini dapat diputuskan dengan seadil-adlinya." Kun Liong
berkata kepada Glok Keng.
Akan tetapi Giok Keng memandang kepadanya dengan marah. "Tidak sudi, aku
tidak bersalah, dan aku tidak sudi menjadi tawanan. Aku akan menghadap sendiri
kepada ayah kalau perlu!"
"Giok Keng, kalau begitu engkau tidak ingin membereskan persoalan!"
"Kun Liong, yang mati adalah isterimu, maka engkaulah yang mempunyai
persoalan. Aku tidak membunuh isterimu, aku tidak mempunyai persoalan apa-apa!"
"Hemm, perempuan galak ini harus dipaksa!" Kok Bang Lama membentak marah.
Memang watak Kok Bang Lama dan Cia Giok Keng sama kerasnya, maka jika keduanya
dipertemukan sebagai flhak yang bertentangan, tentu saja terjadi geger.
"Bagus! Hendak kulihat siapa yang akan berani memaksaku!" Giok Keng sudah
meloncat ke belakang sambil menghunus pedangnya. Pedang Gin-hwa-kiam
mengeluarkan sinar putih berkilat ketika dicabut.
"Bocah sombong dan keras kepala!" Kok Beng Lama menerjang ke depan,
menggerakkan kedua tangannya. Giok Keng, yang sudah marah cepat menyambuthya
dengan pedang dkelebatkan.
"Giok Keng, jangan...!" Kun Liong sudah mencegah, akan tetapi terlambat
karena wanita itu dengan penuh kemarahan sudah menyerang dengan pedangnya,
menyambut terjangan Kok Beng Lama dengan sinar pedang bergulung-gulung.
Akan tetapi Giok Keng tidak tahu akan kesaktian kakek raksasa itu. Biarpun
usia kakek ini sudah delapan puluh tahun lebih namun tenaganya tidak menjadi
berkurang, bahkan tubuhnya menjadi kebal. Pedang Gin-hwa-kiam yang merupakan
pedang pusaka tajam dan ampuh itu disambut begitu saja dengan tangannya sehingge
Giok Keng menjadi terkejut sekali.
"Tak-tak... plakkk!"
Giok Keng terhuyung ke belakang ketika pedangnya tertangkis oleh lengan
tangan Kok Bang Lama. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan dia
terkejut bukan main. Pada saat itu Kun Liong yang khawatir kelau-kalau ayah
mertuanya yang keras hati itu membunuh Giok Keng, sudah mendahului Kok Beng
Lama, meloncat ke arah Giok Keng, dan mencengkeram ke arah pundak wanita itu.
"Kun Liong, berani engkau menghinaku!" Giok Keng membentak dan pedangnya
berkelebat membabat le arah lengan pendekar itu. Namun itulah yang dikehendaki
oleh Kun Liong. Cengkeramannya tadi hanya merupakan pancingan saja agar wanita
itu menangkis, dan menggerakkan pedang. Begitu pedang berkelebat, Kun Liong
sudah menggerakkan tangannya dengan cepat sekali, lebih cepat dari pedang itu,
dengan tenaga Pek-in-ciang dia menggetarkan siku kanan Giok Keng sehingga wanita
itu menjerit dan pedangnya terlepas karena lengannya mendadak menjadi lumpub,
kemudian sebelum dia dapat megelak, Kun Liong telah menotok pundaknya dan Giok
Keng menjadi lemas tentu roboh kalau saja tidak cepat disambut oleh tangan Kun
Liong. Lepaskan isteriku!" Lie Kong Tek yang melihat isterinya dirobohkan, sudah
mencabut pedang Gin-hong-kiam yang juga bersinar perak, melompat dan menerkam ke
arah Kun Liong dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dari samping menyambar
angin dahsyat. Kiranya Kok Beng Lama sudah menggunakan kekuatan sin-kangnya
untuk mendorong dari samping. Pukulan ini biarpun hanya dilakukan dari jarak
jauh, tapi sedemikian hebatnya sehingga tubuh Lie Kong Tek terlempar dan
pedangnya terlepas, orangnya terbanting dan pingsan!
"Mari kita pergi!" Kok Beng lama barkata. Kun Liong memondong tubuh Giok
Keng dan pergilah dia bersama Kok Beng Lama, diikuti oleh Khiu-ma den Giam Tun
dua orang pelayannya itu.
"Ayah...!" "Ibu...! Ibu ke mana...?"
Dua orang anak kecil, Lie Song dan Lie Ciauw Si, berlari-lari keluar dari
dalam rumah den melihat ayahnya menggeletak di atas tanah di pekarangan depan,
mareka lalu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-
manggil. Tak lama kemudian para pelayan dan tetangga mereka berlarian keluar dan
segera mengangkat tubuh Lie Kong Tek masuk ke dalam rumahnya.
Setelah siuman dari pingsannya, Lie Kong Tek hanya menggeleng kepala
terhadap pertanyaan para pelayan dan tetangga. Dia merasa khawatir sekali akan
keselamatan isterinya. Maka setelah dia menyerahkan kedua orang anaknya dalam
asuhan para pelayan, suami yang gelisah ini lalu membawa pedangnya dan berangkat
menyusul ke Cin-ling-san!
*** Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan mata
rantai atau lingkaran setan yang tiada habisnya jika kita melibatkan diri ke
dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan
akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat inipun menjadi sebab dari
akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada
habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan, terus
bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya! Kita sendiri yang
menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia menjadi
sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala sesuatu tentu
saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau problem kalau
kita mempersoalkannya. Betapa akan bahagianya kalau kita dapat menghadapi setiap
peristiwa apapun, menyenangkan atau sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai
pada seat itu juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu
peristiwa, suatu kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-
apa. Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka
nestapa semenjak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam dan kematian tujuh
orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid. Cia Keng Hong, pendekar
sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya, tinggal di Cin-ling-
san dengan hati penuh keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera
mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala yaitu empat orang dari
Cap-it Ho-han yang secara terpisah melakukan penyelidikan, mencari Lima Bayangan
Dewa yang telah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.
Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng biarpun sudah
barusia enam puluh tahun, namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa
tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri,
melainkan membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan
penyelidikan. "Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari
permusuhan." Cia Keng Hong menghibur isterinya.
"Siapa mencari permusuhan" Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain
yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang
mencari permusuhan," bantah isterinya.
Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Aku tahu, akan
tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada
hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau
tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab
melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu
muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan
banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang."
"Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?" isterinya menegur.
"Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah
dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang
menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya,
murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di
waktu dahulu..." "Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita sejak muda dahulu sampai
tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar
mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi
sampai matipun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi
tugas seorang pendekar?"
Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus
jenggotnya. "Memang demikianlah pendirian kita. Kita menganggap diri sendiri
benar. Akan tetapi sayangnya, orang lainpun, termasuk orang-orang yang kita
musuhi, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar kalau kedua fihak
sudah merasakan kebenaran masing-masing" Kita semua hanya terseret oleh
kekacauan dunia yang melahirkah semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak
mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-
sebab timbulnya kejahatan itu masih ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi,
akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya
penyakit. Penyakit yang sudah timbul dapat diobati dan disembuhkah, namun
penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan
pernah habis, seperti juga perang terhadep kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan
tidak akan pernah habis selama kejahaten itu dapat memasuki hati siapapun juga.
Yang hari ini baik, mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat,
besok mungkin menjadi baik. Kejahaten seperti penyakit, orang yang melakukan
kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh,
sebaliknya, yang waraspun sewaktu-waktu bisa saja jatuh sakit!"
Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita inipun sekali
waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?"
"Mengapa tidak, isteriku" Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik
orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapapun bisa saja terkena kalau
tidak waspada. Siapapun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh
sebab-sebab dari kejahatan."
"Dan apakah sebab kejahatan, suamiku" Engkau bicara seperti bukan seorang
pendekar saja, seperti seorang pendeta!"
"Aihh, pendekar maupun pendetapun hanya manusia-manusia biasa saja yang
tidak akan terluput daripada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan
sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu
berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya menyeret kita ke
dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang
merugikan orang lain dan karena ini oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan.
Oleh karena itu, baik ia pendekar maupun pendeta, setiap saat dapat saja
kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya
sendiri." Percakapan mereka terpaksa berhenti ketika seorang anak murid Cin-ling-pai
dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin
bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang
mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong
cepat berkata kepada isterinya, "Mari kita keluar!"
Sie Biauw Eng sudah mengenal benar sikap suaminya, maka begitu suaminya
mengeluarkan kata-kata itu, diapun menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang
menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap diapun mengikuti suaminya keluar
menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya telah dipersilakan
duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.
Begitu mereka kduar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok
Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung menyebut ayah bundanya, menjatuhkan diri
berlutut, dan berkata dengan suara terisak, "Ayah... ibu... mereka telah
menghinaku...!" Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng terkejut sekali. Nenek
ini juga berlutut dan merangkul puterinya. "Keng-ji, apa yang terjadi...?" Akan
tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis
tersedu-sedu. Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok
Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi
terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok
Beng Lama sambil berkata, "Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau
Kun Liong. Agaknya ada urusan yang amat penting sekali sehingga mengejutkan
kami. Apakah yang telah terjadi...?"
Kun Liong tidak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekat sakti yang
dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali dan tidak
berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata, "Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-
taihiap. Harap kautanyakan kepada puterimu itu saja."
Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar
jawaban Kok Beng Lama itu, dan diapun menoleh kepada Giok Keng yang masih
menangis di pundak ibunya.
"Giok Keng, apa yang telah terjadi" Hayo jawab!" Keng Hong berkata kepada
puterinya yang masih menangis.
"Ayah..." Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya.
"Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan kekerasan, membawaku ke
sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini,
ayah... mereka benar"benar telah menghinaku dan menuduh aku menjadi
pembunuh...!" Giok Keng menangis lagi.
Mendengar ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan
rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, matanya bersinar-sinar seeprti
mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng
Lama seolah-olah hendak ditelannya kedua orang itu.
"Keparat...!" Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap. "Sungguh
tidak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar
bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini"
Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?" Nyonya tua itu sudah marah
sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah
menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.
"Supek... dan supekbo (uwa guru)... saya... isteri saya..." Kun Liong tidak
mampu melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali. Memang dia tahu bahwa
perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai merupakan penghinaan, akan
tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah. Kong Beng Lama membunuh Giok Keng.
Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini
menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.
"Hayo katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng" Apa hubungannya dengan
isterimu?" Sie Biauw Eng membentak, makin marah.
"Isteri teecu... mati terbunuh..."
Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang
matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba den alisnya berkerut. Akan
tetapi Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak
muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah oleh
keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, "Isterimu mati
dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng" Mengapa kau menghinanya?"
"Toanio, kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh
anak nyonya ini." Ucapan Kok Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut
sekali, dia mengeluarkan seruan keras dan meloncat ke belakang, menoleh dan
memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut
bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia cepat
mendekati Giok Keng sambil bertanya, "Keng-ji, benarkah engkau membunuh isteri
Kun Liong" Dan kalau benar, apa sebabnya?" Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie
Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu!
"Ohhh, ibuuu...!" Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya,
menangis. "Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!"
"Cukup! Hentikan tangismu, tenanglah! Biar setanpun, akan kulawan kalau dia
berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, bankit dan berdirilah!" Sie Biauw Eng
membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk, Sie Biauw Eng
kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama, hidungnya
kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya.
"Hemm, kalian sungguh tidak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk
menghina anakku, memaksanya dan
menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang menjadi ibunya tidak
terima akan perlakuan dan penghinaan ini!"
"Omitohud...! Kasih seorang ibu memang membuta, biar anaknya berdosa
sekalipun, tetap akan dibelanya. Anakmu telah membunuh anakku, dan aku minta
diganti dengan nyawa!"
"Kau menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andaikata anakku membunuh
seseorang, itupun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa"
Nyawamu sendiri gantinya!"
"Jangan...!" Cia Keng Hong berseru, akan tetapi Sie Biauw Eng sudah
menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan perut Kok Beng Lama
dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang
selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan kuat.
"Plak-plak-desss...!" Sie Biauw Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke
belakang, terhuyung sampai beberapa langkah.
"Losuhu, tak baik memamerkan kepandaian di sini!" Cia Kem Hong menjadi tidak
senang melihat isterinya terdesak itu dan dia sudah menggerakkan tanngannya,
siap untuk menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Akan tetapi pada saat itu, Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat
dia berkata dengan suara lantang.
"Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya pertempuran di antara kita
sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran. Supek, sebelum supek dan
supekbo mendengarkan urusannya, mengapa telah menyalahkan kami" Harap supek
berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang telah terjadi, baru mengambil
keputusan. Kalau, supek berdua menganggap saya bersalah dalam urusan ini, saya
menyerahkan nyawa saya kepada supek berdua untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng
ikut datang ke Cin-ling-pai."
Mendengar ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar dan dia cepat
memegang lengap isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera
putih yang merupakan senjata yang amat ampuh itu. "Kun Liong benar, kita tidak
boloh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa yang telah teriadi
sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi, mari kita duduk
sambil bicara dengan baik-baik."
Biarpun masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya,
dan dia menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruangan tamu di mana
mereka semua duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-
pai untuk menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan
adalah urusan keluarga. "Nah, berceritalah," Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong.
Dengan suara penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan tentang kepergiannya
mencari Yap In Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberitahukan tentang
perjodohannya dengan Bun Houw seperti yang ditetapken oleh Cia Keng Hong.
Kemudian betapa ketika dia pulang ke rumahnya, dia menemukan isterinya telah
tewas dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu
baru saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng.
"Saya sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya,
akan tetapi supek dan supekbo dapat mendengarkan sendiri pentaturan kedua orang
pelayan saya yang sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi." Kun Liong
menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik keluar dari
matanya karena dia teringat kepada isterinya.
Cia Giok Keng dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat.
Beberapa kali mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya
menundukkan mukanya yang juga menjadi pucat.
Dengan suara tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua
orang pelayan itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih berani daripada Giam Tun
lalu menceritakan semua pengalaman mereka di malam itu, kadang-kadang diseling
oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng malam-
malam datang dan marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan,
melarikan diri kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka, betapa
ketika melerai, keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Kemudian, ketika mereka
sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka telah tewas di atas lantai! Tentu
saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong dan Sie Biauw
Eng saling pandang dengan muka pucat.
"Hemm, Cia-taihiap dan toanio. Ketahuilah bahwa ketika says datang ke Leng-
kok, saya melihat Kun Liong hanya menangis di depan kuburan seperti orang gila.
Akulah yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu
untuk ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu
bahwa Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar
yang menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja tidak goyah keadilannya
setelah menghadepi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri."
Ucapan ini membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan
isterinya yang sudah hendak membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya,
dengan suara keren dia memanggil, "Cia Giok Keng...!"
"Ayahhh...!" Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya.
"Berlututlah, engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-
adilnya!" Mendengar suara ayahnya yang keren, Giok Keng tidak berani membantah dan dia
lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan
pandang mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri puterinya
sehingga ibu yang penu kekhawatiran ini hanya memandang pucat.
"Cia Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran daripada nyawa!
Kehilangan nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan
merupakan kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan
jelas, dari awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa
yang mendorong kau melakukan perbuatan itu!"
Cia Keng Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun dia memegang keras kebenaran
dan keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja diapun ingin menolong anaknya,
maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat
anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong!
Dengan suara lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari
peristiwa di dalam pasta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang
dianggap menghina adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang
kemarahannya dan tentang cegahan suaminya yang tidak dihiraukan. Betapa dengan
kemarahan meluap dia mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud menegur Kun Liong
tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong tidak berada di rumah. Juga dia
tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan puteri Kun Liong yang membangkitkan
kemarahannya pula sehingga dalam kemarahannya itu, dia telah membuka rahasia
anak itu sehingga anak itu melarikan diri.
"Karena saya membuka rahasa anak itu, Hong Ing marah dan menyerangku. Kami
bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini datang dan kuanggap
hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul pingsan. Kemudian saya
pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah..."
Wajah Cia Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa
marah sekali dengan kelakuan puterinya.
"Karena terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini
belum juga dapat ditemukan ke mana larinya," kata Kun Liong dengan sedih.
"Biarpun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andaikata dia
tidak membuat anakku pingsan dan meniggalkannya seperti itu, belum tentu anakku
mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!" Kok Beng Lama berkata
marah. Cia Keng Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng
dianggapnya keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang
puterinya. Agaknya Giok Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini, dia
mengangkat muka dan melihat pandang mata ayahnya dia meratap, "Ayah...
ampunkan... aku tidak membunuhnya, ayah...!"
"Anak durhaka! Engkau menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau
ribut dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong" Engkau
marah kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei
Lan dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga menpkibatkan matinya Hong Ing dan
minggatnya Mei Lan" Masih belum tahukah engku akan kedosaanmu yang amat besar
itu?" "Ayah... aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku..."
"Hemm, orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang
kehilangan isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa
kaukira kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, biarpun dia itu
anak kami sendiri" Kau tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang telah
menyadari akan kedosaannya!" berkata demikian, tangan Cia Keng Hong bergerak dan
sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas lantai, sampal
gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung.
Aihhh...!" Sie Biauw Eng menjerit.
"Ayahhh...!" Giok Keng juga menjerit.
Akan tetapi Cia Keng Hong memegang lengan isterinya, Sie Biauw Eng meronta"
ronta. "Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Suamiku, kau tidak boleh
menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!" Biauw Eng meronta-ronta
ingin melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng Hong lalu
menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk isterinya. Sie
Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul suaminya yang
memandangnya dengan muka pucat sekali.
"Cia Giok Keng, daripada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan
orang lain, lebih baik melihit engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus
dosanya sendiri!" berkata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil
merangkul isterinya yang pinsan dan memandang kepada puterinya yang masih
berlutut. Dengan muka pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu
dia mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tibal sinar mata itu mengeluarkan
cahaya kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia
berkata. "Ayah! Untuk yang terakhir kali aku katakan bahwa demi nama Langit dan
Bumi, aku tidak membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi memang betul, bahwa aku
melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan
mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!"
Cia Giok Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
keras dari luar ruangan tamu itu, "Isteriku... tunggu dulu...!" Dan muncullah
Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat.
"Suamiku...!" "Isteriku, Giok Keng, apa yang akan kaulakukan ini...?" Lie Kong Tek
menubruk dan mereka berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu,
dan Lie Kong Tek lalu merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan
muka keren Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak meraka saling
beradu pandang mata. "Gak-hu, kecewa hati saya menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal
sobagai seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, akan
tetapi ternyata gak-hu melanggar hak seorang suami! Dahulu, di waktu masih
kecil, memang Cia Giok Keng adalah puterimu dan segala hal mengenai dirinya
adalah tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong
Tek dan akulah sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, yang
bertanggung jawab penuh dan berhak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili
seorang isteri tanpa sepengetahuan suaminya, benar-benar merupakan perbuatan
yang paling tidak tahu aturan!"
Ucapan dan sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong,
dan dia berkata, "Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi
isterimu itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus
menebusnya sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga
kita semua turun-temurun."
"Baik, kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang
yang sama sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan
atas diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng,
kaujaga baik-baik anak-anak kita... selamat tinggal!"
"Aihh, jangan...!" Akan tetapi terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya
sendiri dengan pedang itu sampai menembus punggungnya!
Giok Keng menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum dan
memandang isterinya. "Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku...
kaurawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si..." Laki-laki yang gagah perkasa yang
usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata dan kepalanya terkulai
di atas pangkuan isterinya, Giok Keng menjerit dan terguling pingsan di atas
mayat suaminya! Sunyi sekali di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di
dalam pelukan suaminya. Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang
memandang dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis.
Sunyi sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng
Hong, lemah den gemetar bercampur isak tertahan.
"Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?"
Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia
berkata, "Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini
terjadi, teceu telah tertimpa malapetaka den kini teecu menyeret supek
sekeluarga ikut menderita pula..."
"Yap Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti
nafsu hati sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada
berkeputusan. Memang kita semua sedang dilanda kelamangan. Baru beberape hari
saja delapan orang murid dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri,
terjadi ketika kami mengunjungimu. Sekarang, isterimu dibunuh orang dan...
suaami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan yang kita
lakukan semua...?" "Supek..." Kun Liong terkejut sekali dan makin menyesal dia mengapa terjadi
peristiwa yang demikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan
kekerasan seperti ini. Giok Keng telah kematian suaminya, dan biarpun demikian,
tetap saja Hong Ing tidak akan hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu
amat sia-sia dan dia merasa menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sakarang
ini hanya menjadi hasil dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan dan dendam,
dan kebencian, sehingga tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk. Dia sendiri
masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang membunuh isterinya. Kalau tidak
demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan kematian suami Giok
Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek"
Dalam saat pendek itu, setelah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat
Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam
rangkulan supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan
batin yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong.
Peristiwa kematian Hong Ing, adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh
apapun juga. Isterinya telah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya
yang mengacau perasaan hatinya membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin,
menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan datangnya
Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan mereka
terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan akibat ini
tentu akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor panjang. Dia
menyesal sekali! "Supek, kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu..."
Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Yang sudah terjadi tak dapat dirobah
lagi, Kun Liong. Biarpun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu,
akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimupun mungkin karena kecerobohan
Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan kesalahan besar
dan dia kini menanggung akibatnya..."
Seperti tertikam rasa ulu hati Kun Liong mendengar ucapan yang keluar dengan
suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan
oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan seperti ada penerangan memasuki
otaknya! Hong Ing kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja
isterinya itu tidak marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau
tidak bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah
saja dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan
Mei Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu
Lim Hwi Sian (baca cerita Petualang Asmara)! Kalau tidak ada Mei Lan, kalau
tidak pernah terjadi perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian, agaknya
belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah yang dinamakan
hukum karma" Semua sebab akibat sesungguhnya adalah hasil dari perbuatannya
sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik diri pribadi
lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran setan berupa
sebab dan akibat! "Supek benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan
terjadi... harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu dan gak-hu mohon diri dan
pergi dari sini sekarang juga."
Cia Keng Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih
pingsan, lalu mengangguk. "Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong." Dan kepada
Kok Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Selamat jalan, losuhu, dan harap
maafkan saja penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan
losuhu." Pendeta gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong
Tek, hanya mendengarkan percakapan mereka dan kelihatan seperti orang linglung.
Mendengar ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang
hendak menangis, "Sambutanmu baik sekali, taihiap, terlalu baik malah! Anakku
mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi
gila...!" Setelah berkata demikian, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat dan
lenyap dari tempat itu. Cia Kong Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk ketika Kun Liong
berpamit dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya.
Pikiran pendekar sakti ini melayang-layang. Betapa sayang dia kepada Kun Liong,
betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang dahulu ingin sekali dia ambil
menjadi mantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan tetapi, kalau pemuda itu mau
memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang tidak setuju dan puterinya itu
akhirnya menikah dengan seorang pria lain, pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong
Tek. Dan sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun Liong dan peristiwa ini disusul pula dengan kematian suami Giok Keng.
Mengapa di antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-
masing itu kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara
mereka" "Keng-ji... mana anakku...?" Sie Biauw Eng sudah siuman begitu dia sadar,
dia segera mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok
Keng menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk.
"Giok Keng...! Eh, mantuku... apa yang terjadi...?" Sie Biauw Eng memeriksa
dan melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong
Tek telah tewas dengan pedang menancap di dada menembus punggung. Dia mencelat
ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat den mata terbelalak.
"Apa yang terjadi" Kenapa Kong Tek mati" Dan mana iblis-iblis keparat tadi?"
Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila.
Cia Keng Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit dan memeluk
isterinya dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari
tuanya mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat!
"Tenanglah, isteriku. Tenanglah, segala telah terjadi dan tidak dapat
dirobah lagi oleh kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa,
akan tetapi suaminya telah mengambil keputusanan pendek, mewakili isterinya dan
membunuh diri untuk menebus dosa isterinya."
"Ohhh...! Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di mana mereka"
Biar aku mengadu nyawa dengan mereka!" Sie Biauw Eng menjerit-jerit, akan tetapi
suaminya merangkulnya, dan mendekapnya, sambil berbisik-bisik menghibur.
"Biauw Eng... isteriku... apakah setelah tua engkau malah tidak mau tunduk
kepadaku...?" Mendengar bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng dan dia
menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya
yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai dapat melihat
kenyataan dan mulai sadar bahwa betapapin juga, Kun Liong yang menerima pukulan
batin hebat, karena isterinya mati dibunuh orang itu sama sekali tidak dapat
dipersalahkan dan betapapun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan sehingga
mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan
pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang!
Maka dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat
menghibur Giok Keng ketika isteri ini siuman dari menangis sesenggukan,
menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus
dosa! Cia Keng Hong mengumpulkan semua anggauta Cin-ling-pai dan dengan suara
keren dan memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai untuk merahasiakan apa
yang telah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu dan hanya mengabarkan bahwa
mantu ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit. Para anak
buah Cin-ling-pai memang tidak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek,
akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan
pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari Leng-
kok, diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka tentunya ada
hubungannya dengan para tamu itu! Akan tetapi mereka tidak berani menduga
sembarangan dan semua menutup mulut setelah menerima pesan dan peringatan keras
dari ketua mereka. Untuk kedua kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai berkabung dan
jenazah Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para
penduduk di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja
dan sudah tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar
matanya sayu dan muram, rambutnya agak awut-awutan, dan kering, pakaian
berkabung berwarna putih itu menambah kemuraman wajahnya.
*** Hidup! Betapa penuh rahasia,
manusia tenggelam timbul dalam permainannya, terhimpit di antara suka dan duka,
matang mengeriput di antara
tangis dan tawa. Selalu mengejar kesenangan
selalu menghindari ketidak-senangan
menimbulkan perbandingan dan pilihan oleh dwi unsur (im-yang) manusia dipermainkan. Mengapa suka" mengapa duka" mengapa mengejar kepuasan"
mengapa menghindari kekecewaan"
Hadapilah semua ini dengan kewaspadaan wajar dan murni,
tidak menolak tidak menerima
hanya memandang apa adanya!
Bebas dari pengalaman dan pengetahuan
tidak mencari tidak menyimpan
di dalam apa adanya, kenyataan
mengandung keindahan, cinta kasih, kebenaran! Dua orang anak yang baru datang disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak
murid Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di depan peti
mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia
dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok
Keng yang menemani anak-anaknya itu bersembahyang, tak dapat menahan isaknya,
sungguhpun dia telah menahan-nahannya.
"Ibu, kenapa ayah mati?" Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang,
memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati
seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan.
"Ayahmu meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji,"
jawab Giok Keng yang telah dipesan oleh ayahnya untuk tidak menceritakan semua
peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit
dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri.
"Akan tetapi ketika ayah berangkat, dia berada dalam keadaan sehat, sama
sekali tidak sakit!" Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya,
pendiam, akan tetapi serius dan cerdas.
"Ayah kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku,"
kembali Giok Keng berkata.
"Ibu, ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu
silat mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?" kembali Lie Seng
bertanya. Dan andaikata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kong-kong (kakek
yang memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?"
Lie Ciauw Si bertanya lagi.
Mendengar pertanyaan anak-anaknya yang mendesak itu, Giok Keng menjadi
kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yong mendengar pertanyaan-
pertanyaan itu lalu berkata, "Lie Seng, biarpun benar seperti kata-kata mendiang
ayahmu, bahwa orang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan, akan tetapi
matinya itu bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya
sendiri yang suka berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, biar sejak kecil
mempelajari ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain.
Tidak, dia tidak mati terbunuh orang, dan kau harus percaya kepeda keterangan
ibumu. Ciauw Si, kong-kongmu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin
bisa mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana ada
kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang" Sudahlah, cucu-cucuku, ayah
kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak ada
gunanya kalau kalian merasa berduka dan menyesal. Yang panting sekarang kalian
harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu mendengar
kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti daripada kalian. Mengertikah?"
"Baik, kong-kong." Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi melihat
mulut dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang
anak kecil ini masih merasa penasaran.
Setelah peti jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam
suasana berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu kini menjadi pendiam,
wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri
karena diapun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya
menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab
yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah. Karena dia sendiri merasakan betapa
pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia dapat pula membayangkan betapa
hancur rasa hati Kun Liong melihat isterinya mati dibunuh orang! Dan dia merasa
manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun
Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya ikut ke Cin-ling-pai karena mereka
menuntut keadilan dari ketua Cin-ling-pai. Minta keadilan dari ayahnya dan tidak
turun tangan sendiri saja sudah membuktikan betapa Kun Liong menghormat ayahnya.
Andaikata dia sendiri yang menjadi Kun Liong, agaknya dia akan turun tangan
secara langsung saja untuk membalas dendam! Akan tetapi, menginsyafi kesalahan
sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan di dunia ini oleh
manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan tetapi dia secara
tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan In Hong yang
dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak menghinanya di
pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah Kun Liong.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu
wanita. Keduanya masih muda-muda dan cantik-cantik, dan kepada para anggauta
Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan ketua
Cin-ling-pai. Semenjak terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggauta Cin-
ling-pai mengadakan penjagaan siang malam dan Cia Keng Hong sudah memerintahkan
agar tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor
kepada ketua dan memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu
dikelilingi oleh bencana-bencana yang mengancam.
Melihat dua orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa
pedang di punggungnya, dan yang kedua, lebih muda dan memiliki kecantikan yang
aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu
bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua
Cin-ling-pai. "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku
tidak perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai
maka aku hanya akan memperkenalkan nama kepadanya saja," jawab gadis cantik yang
membawa pedang dengan suara dingin dan pandang mata tajam.
"Aihh, kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?"
Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona
yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama.
Tiba-tiba gadis remaja yang lebih muda itu berkata. "Namaku Yalima dan aku
ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harab kau suka berbaik hati memanggil
dia keluar!" Mendengar ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk
melaporkan. Memang dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Setelah
dengan paksa merampas dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong lalu
mengajak Yalima pergi ke Cin-ling-san untuk menuntut agar Cia Bun Houw mengawini
gadis ini dan dengan sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan
antara dia dengan pemuda putera ketua Cin-ling-pai. Tentu saja dia sama sekali
tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di Cin-ling-san dan
kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw yang
dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima namun masih hendak
mengikat jodoh dengan dia!
Mendengar bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan
dia, dan yang seorang mengaku bernama Yalima hindak bertemu dengan Cia Bun Houw,
ketua Cin-ling-pai menjadi terheran-heran. Setelah banyak peristiwa aneh terjadi
dan menimbulkan malapetaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh keraguan,
dan dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan dua orang tamunya itu
ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng.
Yap In Hong dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biarpun dia melihat
banyak anak murid Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan
mereka seperti dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang
saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya. Para anggauta Cin-
ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas
menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat
yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang
pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu. Sebaliknya, Yalima yang sudah
mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya, tidak memperhatikan
apa-apa kecuali memandang ke depan dengan wajah berseri-seri dan otomatis
tangannya membereskan rambutnya yang terurai den pakalannya yang kusut.
Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu
dengan sinar mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal
mereka. Memang dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki
kecantikan yang gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang
memandangnya, karena jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara
yang kecantikannya diliputi kedinginan membeku itu. Sebaliknya, Yalima yang
masih remaja dan kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan ramah, sinar matanya
berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup, akan tetapi mata gadis
ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun Houw di situ. Sebaliknya,
In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan alisnya agak berkerut ketika dia
melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat itu.
Dapat dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa
seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi,
kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak
tertahankan lagi. "Yap In Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!" bentak Giok
Keng dan dia sudah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya,
melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong
ini. Yap In Hong dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap
akan menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, dengan kecepatan
mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba punggung, tampak
sinar lihat dan pedangnya sudah tercabut dan terus balas menyerang dengan
tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng.
"Tranggg... cringgg... cringgg...!" Bunga api muncrat berhamburan ketika
berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi pertemuan pedang terakhir
itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai lima langkah.
"Engkau menyambut tamu dengan pedang" Bagus! Jangan kira aku takut!" In Hong
mengejek dan kini dia manerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap
berubah menjadi sinar bergulung-gulung cepat den kuat sekali sehingga ketika
Giok Keng memutar pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat.
Melihat ini, Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan keras dan nenek yang dahulu
terkenal dengan gin-kangnya yang hebat itu telah mencelat ke depan, seperti
seekor burung rajawali saja dia terbang ke situ dan dari atas dia mencengkeram
dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang.
Mendengar sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali.
Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan
pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini
tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang
menyerangnya dari atas secara hebat itu.
"Dukkk!" Tubuh In Hong tergetar akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga
terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya
yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutere putih yang dahulu pernah
mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li (baca cerita
Siang-bhok-kiam)! In Hong moloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, dan dia
memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. "Bagus, kiranya
beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-
serangan senjata" Apakah engkau ketua Cin-ling-pai" Kalau begitu, mengapa tidak
sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?"
Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada
isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang
mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut
menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga amat
lihai, bahkan tenaga sin-kang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat daripada
tenaga isterinya! "Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!" Ditegur
dengan suara keren ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi
tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan penuh kemarahan. Cia Keng Hong lalu manghadapi In Hong yang masih
memegang pedang dan dengan halus dia berkata, "Harap nona maafkan puteri kami.
Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah
ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?"
Biarpun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah
In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoinya, Gui Yan Cu yang cantik
jelita dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong, namun
Cia Keng Hong bersikap keren karena melihat sikap dara itupun dingin dan garang.
In Hong sejenak memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya,
kemudian menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan
kembali pedangnya, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu. "Harap
locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar
akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap locianpwe amat
mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya locianpwe telah
tahu siapa saya..." Hem, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu
dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari
Yap Kun Liong, bukan?"
"Dugaan locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari locianpwe,
semestinya locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena sejak lahir tidak ada
hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan locianpwe."
Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa anak perampuan
dari sumoinya yang lenyap sejak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan
dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah,
jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.
"Kalau demikian yang kaukehendaki, terserah kepadamu, nona. Kemudian, urusan
apakah yang kaubawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?"
"Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan soal ikatan jodoh
yang diusulkan antara saya dan putera locianpwe, seperti yang pernah saya dengar
dari kakak kandung saya Yap Kun Liong."
Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama
kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara same sekali, seolah-olah yang bernama
Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya.
"Memang demikianlah tadinya hasrat hati kami, untuk menyambung kembali
hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?"
"Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar
tahu saya itu harus diputuskan."
"Perempuan sombong! Siapa kesudian mempupyal adik ipar seperti engkau?"
Tiba-tiba Giok Keng membentak, marah sekali.
"Hemm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada
kita." Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, "Sungguh tidak patut menjadi
puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!"
Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya
untuk diam, kemudiam dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara keren "Tidak
ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona."
In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata dan sikapnya seolah-olah
merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, "Harap locianpwe
maafkan. Tidak ada maksud lain dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan
bahwa putera locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw, sudah mempunyai calon
isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya."
"Eh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?" Sie Biauw Eng berseru.
"Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?" Cia Keng Hong juga bertanya, heran
dan mulai tidak senang. "Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina.
Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah
saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw
dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima
dijodohkan dengan Cia Bun Houw..."
"Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku" Keparat!" Sie
Biauw Eng memaki. "Sudahlah, isteriku, jangan membikin ruwet urusan. Nona Yalima, benarkah apa
yang diceritakan oleh nona Yap In Hong ini?" Cia Keng Hong kini memandang kepada
Yalima. Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka
kepada nona ini, akan tetapi nona ini masih terlalu muda, masih kekanak-kenakan,
sungguhpun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.
Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk
mencari Bun Houw, maka dia lalu dengan suara lancar namun agak kaku,
menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dan Bun Houw sudah saling
mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada
pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa setelah Bun Houw pulang, kembali dia
hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu
minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa
oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong.
"Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya
percaya dan saya cinta adalah Houw-koko, maka saya berusaha untuk menemuinya dan
untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya." Yalima menutup ceritanya
dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.
Sie Biauw Eng, mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan tidak senang same
sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tidak apa-apa
baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu diapun tidak sudi lagi untuk
mengambil mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet
ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak
setuju! Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-
benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguhpun gadis itu masih terlalu muda dan
dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini, akan tetapi
untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang
sikapnya keras itu, dia berkata kepada In Hong.
Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan
antara kami dengan nona hanyalah tentang jodoh antara nona dan putera kami.
Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini
rencana perjodoban itu kita batalkan saja. Adapun mengenai jodoh putera kami
selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau
maklum akan hal ini!" Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu
bernada kerasa dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata.
Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tak tahan menghadapi sinar mata yang tajam
dan penuh wibawa itu dan dia berkata.
"Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana
dengan adik Yalima" Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya
yang terlunta-lunta karena mencari putera locianpwe."
"Itupun adalah urusan kami sendiri. Yalima sebagai sahabat putera kami tentu
kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menanti di sini sampai putera kami
pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami
sekeluarga sendiri!"
Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia
bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek
dan berkata, "Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima
berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya masih akan
menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal den maafkan saya,
locianpwe." Setelah berkata demikian, Yap In Hong membalikkan tubuhnya pergi
dari situ dengan sikap angkuh.
"Setan...!" Giok Keng dengan pedang terhunus hendak mengejar, juga Sie Biauw
Eng memandang dengan kemarahan meluap.
"Bocah itu kurang ajar benar!"
Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. "Ingat, dia adalah
puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah
pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia
seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya.
Sungguh kasihan dia..."
Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan ketika
ditinggalkan In Hong, akan tetapi diapun tidak mau meninggalkan orang-orang tua
yang dia tahu adalah ayah den ibu Bun Houw itu. "Enci In Hong adalah seorang
yang amat baik budi, dia telah melawan den menentang Go-bi Sin-kouw den teman-
temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi
hatinya dari emas..."
Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan
tetapi Sie Biauw Eng den Cia Giok Keng tidak setuju sungguhpun mereka hanya
menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.
"Ayah dan ibu, sayapun mohon diri untuk pergi sekarang juga!" Tiba-tiba Giok
Keng berkata. Ayah dan ibunya terkejut, menoleh dan memandang penuh selidik. "Keng-ji,
sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada
artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa
Bun Houw telah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!" Ayahnya menegur,
menyangka bahwa puterinya akan mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa
puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai.
"Tidak, ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong. Aku ingin
pergi melakukan penyelidikan dan menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum
pembunuhnya tertangkap, tidak akan lega hatiku dan hidupku selalu akan menderita
batin. Seolah-olah roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu,
ayah dan ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing,
karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan
tercuci dari noda." Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya dan terisak. "Engkau benar, anakku,
dan andaikata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu."
"Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan akupun setuju dengan tekadmu itu,
Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkaupun bertanggung
jawab atas kematian Hong Ing."
"Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu..."
Kedua orang wanita itu saling berpelukan. "Jangan khawatir, anakku. Aku akan
menjaga cucu-cucuku..." kata Sie Biauw Eng.
"Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingat baik-baik akan pesanku
ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan
Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu
membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi
mereka, hal itu berarti bahwa engkau telah menanam bibit permusuhan yang akan
mendatangkan akibat yang panjang."
"Aku mengerti, ayah."
"Dan In Hong, diapun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw
karena dia menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak
ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula."
Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari
bibirnya. "Baik, ayah."
Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali
kepada puterinya itu. Namun kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali,
bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci
bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.
Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu,
guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira den jenaka
ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para
tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke
Cin-ling-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia
mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga
tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan dia mendengarkan
seperti kehilangan semangatnya akan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan
semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunub diri
untuk mewakili isterinya yang disangka membunuh orang itu.
Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek
ini menarik napas panjang dan mengoyangkan pundak. "Aihhh, begitulah hidup!
Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah kesemuanya! Kematian
datang tanpa disangka"sangka... ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat daripada
penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia"
taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini
puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, di mana adanya cucu"cucuku?"
Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu
menangis sambil memeluk kakek yang mereka kenal baik dan yang mereka sayang
karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang
mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu
menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang
penuh keriput! Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng
Hong agar diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin"yang
menempati rumah muridnya itu sampai kembalinya Giok Keng. Dia merasa kesunyian
setelah muridnya meninggal dan mantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau
ini menganggap rumah muridnya di Sin"yang sebagai tempat peristirahatan terakhir
di hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu. Cia Keng
Hong maklum akan penderitaan kakek itu, maka setelah bersepakat dengan
isterinya, dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, mereka
menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin"
yang. Suasana berkabung masih meliputi Cin"ling"pai. Semenjak terjadi peristiwa
yang bertubi"tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di
dalam kamarnya dan bersamadhi. Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami
isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya disamping
isteri dan anak"anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali.
Peristiwa"peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu (baca cerita Siang"
bhok-kiam), kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka
masih muda (baca cerita Petualang Asmara), dan kini putera mereka juga mengalami
nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena
terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara
yang biarpun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan
menyeramkan! Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat
adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak
pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu"ilmu bun
(tulis) dan bu (silat). Cin"ling"pai berada dalam keadaan prihatin!
*** Kota Kiang"shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan
perdagangan, akan tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota
tempat hiburan. Ingin mencari wanita"wanita pelacur yang paling terkenal cantik
dan pandai melayani kaum pria, golongan paling rendah sampai paling tinggi"
Kiang"shi tempatnya! Ingin mengadu peruntungan dengan perjudian, sehingga dalam
waktu semalam saja, seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan seorang
biasa mungkin saja, biarpun agak langka, mendadak menjadi jutawan" Di Kiang"shi
pula tempatnya! Seorang seniman jalanan yang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu
dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya
dituntun oleh suara dua potong bambu yang dijepit di antara jari"jari tangannya
sehingga menimbulkan suara "trak-tak-trak-tak-tak!" bernyanyi-nyanyi di depan
toko-toko dan warung-warung mengharapkan sedekah orang. Penyanyi-penyanyi
jalanan seperti ini kadang-kadang menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan
hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam
nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di
dalam kota sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk
sekedar mengetahui berita apa yang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis
mereka hanya dengan mengeluarkan uang kecil sepotong.
Seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan
malam hari ini, menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan
hilir-mudik di kedua tepi jalan di mana toko-toko berjajar-jajar dengan penuh
segala macam barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari
toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang
itu rata-rata berwajah gembira.
Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw,
meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu dia tiba di kota Kiang-shi
dalam penyelidikannya untuk mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima
Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama dan julukan mereka akan tetapi
tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu. Setiap tokoh kang-ouw yang
ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut
membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andaikata ada yang
mengetahui tempat tinggal merekapun, agaknya dia itu tidak akan berani
menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk
sebagai anggauta kaum sesat sehingga dia akan dianggap "orang dalam" dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.
Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang
bernyanyi-nyanyi di depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang
mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara
jari-jari tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula
mendengarkan. Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari
mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para
penyanyi jalanan lainnya, orang inipun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi,
akan tetapi kata-katanya berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lain, yang hanya
menghafal sehingga syair yang diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini
agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah,
jadi bukan hafalan. "Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak
Kiang-shi kota tersayang hidup malam dan siang Kiang-shi di waktu siang orang-orang berdagang saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam berdagang kesenangan Kiang-shi sebagai sorga juga mirip neraka pusat suka dan duka panggung tangis dan tawa!"
Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu.
Diapun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di
atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton. Penyanyi ini bernyanyi
terus, lebih bersemangat sekarang. Syairnya lebih bebas, tidak merupakan baris-
baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang
tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-
kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari
tangannya. "Isteri anda di rumah cerewet
dan marah" jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil di belakang kuil, di sana kerling dan senyum manis
dijual murah, besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku dan tulang punggung kering!"
Semua orang tertawa mendengar kata-kata yang lucu ini. Dia sendiri belum
dapat menangkap dengan jelas arti dari nyanyian itu, dan kalau Bun Houwpun ikut
tersenyum adalah karena dia mendengar dan melihat orang-orang lain tertawa,
suasana di tempat itu memang menggembirakan.
Bun Houw memandang ke kanan kiri. Dia ingin mencari tempat penginapan dan
dia tahu bahwa rumah merah terpencil di belakang kuil, rumah Ciauw-mama itu,
dimana kerling dan senyum manis dijual murah, pasti bukanlah merupakan rumah
yang dibutuhkan untuk bermalam di malam itu. Akan tetapi sebelum dia
meninggalkan tempat itu, dia mendengar lagi orang itu melanjutkan nyanyiannya.
"Anda ingin menjadi jutawan"
Pergilah ke Hok-po-koan! Kalau bintang anda terang
dalam semalam anda menjadi hartawan!
Kalau bintang anda gelap"
Dalam semalam Menjadi jembel kelaparan!"
Kembali semua orang tertawa, dan dia menaruh perhatian ketika penyanyi itu
melanjutkan nyanyiannya setelah tersenyum lebar, menyambut suara ketawa penonton
dan pendengarnya. "Akan tetapi hati-hatilah
jangan main gila di Hok-po-koan!
Salah-salah leher bisa putus
disambar sinar pedang setan
belum lagi kalau ketahuan
oleh Lima Bayangan!"
Bun Houw terkejut sekali dan dia memandang penyanyi itu lebih teliti. Dia
itu orang biasa saja dan kini setelah nyanylannya habis, dia mengumpulkan
kepingan uang tembaga dan berjalan meninggalkan tempat itu, agaknya untuk
bernyanyi di lain tempat lagi.
"Twako, perlahan dulu..." Bun Houw menegurnya dari belakang. Orang itu
berhenti dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh keheranan dan keraguan. Akan
tetapi karena yang menegurnya itu hanya seorang pemuda berpakaian biasa dan
sederhana, hatinya lega an dia bertanya apa yang dikehendaki oleh pemuda itu.
"Twako, aku tadi mendengar nyanyianmu yang amat indah dan aku ingin
mengundangmu minum arak dan mengobrol..."
"Ah, hiante, engkau terlalu memuji. Aku hanya seorang miskin yang..."
Jangan merendahkan diri, twako. Engkau seorang seniman."
"Aku" Seniman" Ha-ha, jangan mengejek, hiante."
"Marilah, twako. Ataukah engkau memandang rendah kepadaku sehingga menolak
tawaran dan ajakanku?"
"Ah mana aku berani" Baikna, dan terima kasih, hiante."
Mereka lalu memasuki sebuah kedai arak. Bun Houw memesan mi, daging, dan
arak. Mereka makan minum dengan lahap dan setelah minum araknya dan mengelus
perutnya, orang itu berkata, "Aih, dasar perutku yang bernasib baik malam ini,
bertemu dengan seorang dermawan seperti engkau, hiante. Sekarang aku ingin
bertanya secara sungguh-sungguh, apakah benar engkau menganggap aku seorang
seniman, hiante?" "Tentu saja! Mengapa tidak" Engkau seorang seniman dan kiraku tidak ada
seorang yang akan dapat membantah kenyataan ini," kata Bun Houw, bersungguh-
sungguh pula karena dia memang bukan berpura-pura atau menjilat.
"Ahhh, kalau saja semua orang berpendapat seperti engkau, alangkah
menghiburnya pendapat itu. Akan tetapi, orang muda, tidak banyak yang sudi
menganggap aku seorang seniman. Apalagi mereka yang duduk di tempat tinggi,
mereka yang menganggap diri mereka kaum cendekiawan, kaum sasterawan, dan para
sarjana dan siucai. Mereka memandang rendah orang-orang macam kami, bahkan
menganggap kami merusak seni, menganggap kami seniman kampungan, picisan dan
rendah, yang katanya hanya menjual kesenian belaka, seorang pengemis yang
mencari sesuai nasi dengan menjual suara..."
"Itu hanya pendapat orang-orang yang kepalanya besar akan tetapi berisi
angin kosong belaka, orang-orang yang menganggap diri sendiri sepandai-pandainya
orang dan sebersih-bersihnya orang. Orang-orang macam inilah yang amat
berbahaya, mereka ini adalah orang-orang sombong dan tinggi hati dan tidak ada
yang lebih bodoh daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri pandai. Tidak
ada orang yang lebih kotor daripada mereka yang menganggap dirinya sendiri
bersih." "Hayaa...! Sungguh baru sekarang aku mendengar pendapat seperti engkau ini,
hiiinte! Aku hanya penyanyi yang menjual suara..."
"Apa salahnya dengan seorang seniman yang mendapatkan nafkah hidupnya dari
karya seninya" Senimanpun manusia biasa yang membutuhkan makanan, pakaian dan
rumah!" "Hiante, kalau begitu pendapatmu, bagimu apakah artinya kesenian" Apakah
kesenian itu?" "Karya seni adalah suatu karya yang mengandung keindahan keadaan dan
macamnya tidak bisa ditentukan oleh manusia, segi-segi keindahannyapun tidak
bisa ditentukan dan digariskan, karena kalau sudah digariskan itu bukan seni
namanya. Kalau karya seni ditentukan sifatnya, maka yang menentukan itu adalah
orang-orang yang mempunyai kecondongan suka atau tidak suka dan memang penilaian
tergantung sepenuhnya kepada rasa suka dan tidak suka itu. Alam merupakan
seniman yang maha besar dan satu di antara karya seninya adalah hujan. Apakah
semua orang menyukai hujan atau membencinya" Belum tentu! Tergantung dari untung
rugi yang diakibatkah oleh hujan tadi bukan" Nah, karya senipun demikian. Yang
jelas, jika mengandung keindahan yang dapat dinikmati oleh segolongan orang,
itulah seni. Nyanyianmu tadi banyak yang menikmatinya dan bagi yang menikmatinya
tentu dianggap baik, akan tetapi bagi orang lain mungkin saja dianggap bukan
seni bahkan merusak."
Penyanyi itu bangkit berdiri dan menjura kepada Bun Houw. "Sungguh hebat!
Terima kasih sekali, hiante. Engkau masih begini muda akan tetapi pandanganmu
mengandung keadilan besar dan sekaligus engkau telah mengangkat aku dari jurang
di mana aku selalu merasa rendah diri dan hina. Kini, aku akan lebih berani lagi
mengungkapkan segala keadaan dan kepincangan perikehidupan manusia di Kiang-shi,
biarlah aku mewakili semua keadaan yang tidak adil itu dan kunyatakan dalam
nyanyianku. Kaudengar saja nanti!" Dia bersemangat sekali nampaknya.
"Akan tetapi apa kau tidak takut akan sinar pedang setan dan Lima Bayangan,
twako?" Bun Houw kini mengarahkan percakapan kepada tujuan penyelidikannya.
"Heh" Apa maksudmu?" orang itu bertanya.
Bun Houw tersenyum. "Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya aku teringat tadi
engkau menyebut-nyebut sinar pedang setan dan Lima Bayangan dalam nyanyianmu.
Bagian-bagian itu belum kumengerti benar. Apa dan siapakah pedang setan di Hok-
po-koan itu, twako?"
"Hemm, agaknya engkau bukan orang Kiang-shi..."
"Memang bukan. Aku baru saja memasuki Kiang-shi, maka aku mengharapkan
petunjuk darimu, twako."
"Jangan khawatir, hiante. Aku lahir di sini dan aku mengenal semua keadaan
di kota yang kucinta ini. Kau boleh bertanya apa saja kepadaku."
"Aku kadang-kadang suka juga bermain judi, twako. Hanya untuk iseng-iseng
saja, bukan ingin menjadi jutawan, apalagi menjadi jembel kelaparan seperti
dalam nyanyianmu tadi."
Orang itu tertawa. "Aku ingin mencoba peruntungan di Hok-po-koan, akan tetapi aku ragu-ragu
mendengar nyanyianmu tentang sinar pedang setan dan Lima Bayangan. Harap kau
menjelaskan kepadaku."
"Ah, itukah?" Penyanyi itu menengok ke kanan kiri, lalu berbisik, "Sebaiknya
kita keluar dari sini dan bicara di jalan yang sunyi."
Bun Houw mengangguk, membayar makanan dan mereka lalu berjalan keluar,
menuju ke jalan yang sunyi dan meyimpang dari jalan raya itu.
"Pemilik Hok-po-koan adalah seorang bernama Liok Sun dan dia berjuluk Kiam-
mo (Setan Pedang). Kabarnya dia berkepandaian tinggi sekali dan karena itu di
tempat perjudiannya tidak ada yang berani bermain gila. Bahkan dulu pernah ada
tujuh orang penjahat yang hendak merampas banyak uang di po-koan (tempat
perjudian), akan tetapi mereka semua roboh oleh pedang di tangan orang she Liok
itu! Di Kiang-shi, nama orang itu terkenal sekali, bahkan para pembesar
bersahabat dengannya. Nah, karena itu maka kusinggung dalam nyanyian agar orang
yang bermain judi di Hok-po-koan jangan bermain gila."
Bun Houw mengangguk-angguk. "Dan tentang Lima Bayangan itu?" dia bertanya
sambil lalu seperti tidak menaruh perhatian khusus.
"Ah, kau tidak tahu, hiante. Pada waktu itu, di dunia kang-ouw timbul
kegemparan karena Lima Bayangan..."
"Dewa" Lima Bayangan Dewa kaumaksudkan?"
"Ehhh...?" Orang itu memandang Bun Houw dengan mata terbelalak. "Kau...
tahu?" Bun Houw menggeleng kepala. "Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh besar
muncul di dunia dan disebut Lima Bayangan Dewa! Mengapa kausebut-sebut mereka
dalam nyanyianmu?" "Aku hanya sering menengar bahwa Kiam-mo Liok Sun itu suka sekali memamerkan
dan menyombongkan di luaran bahwa dia adalah sahabat dari Lima Bayangan Dewa!
Semua orang, termasuk aku, tidak percaya, maka untuk mengejek kesombongannya
itu, aku membawa Lima Bayangan dalam nyanyianku."
Bun Houw memandang tajam. "Jadi engkau tidak tahu apa-apa tentang Lima
Bayangan Dewa?" Orang itu menggeleng. "Dan majikan Hok-po-koan (Tempat Perjudian Mujur) itu bilang bahwa dia
sahabat Lima Bayangan Dewa?"
Orang itu mengangguk. "Demikian yang dikatakan orang."
"Terima kasih, twako. Nah, selamat malam dan jangan lupa bahwa engkau adalah
seorang seniman tulen dan jangan perdulikan mereka yang mencemoohkanmu. Anggap
saja mereka itu anjing-anjing menggonggong."
"Akan tetapi mereka itu kaum sasterawan cabang atas, kaum cendekiawan..."
"Kalau begitu mereka itupun hanya sekumpulan anjing-anjing bangsawan yang
menggonggong belaka dan anjing apapun,
gonggongannya tetap sama!" Bun Houw berkata sambil membalikkan tubuh dan
pergi meninggalkan penyanyi itu, langsung mencari keterangan tentang tempat
perjudian Hok-po-koan yang mudah saja dia dapat dari orang yang berlalu-lalang
karena semua orang tahu belaka di mana adanya Hok-po-koan itu.
Hok-po-koan merupakan sebuah tempat judi terbesar di Kiang-shi. Kebetulan
sekali tempat itu berada di dekat sebuah losmen, maka Bun Houw lalu menyewa
sebuah kamar di losmen itu. Setelah mandi dan bertukar pakaian yang lebih
bersih, pemuda ini lalu pergi ke Hok-po-koan dengan lagak seperti seorang pemuda
beruang yang sudah biasa dengan perjudian. Tentu saja sebelumnya dia tidak
pernah memasuki tempat judi, apalagi berjudi.
Dua orang pelayan menyambutnya dengan senyum lebar dibuat-buat dan
mempersilakannya masuk ke ruangan dalam. Dengan sikap dan lagak seorang kongcu,
Bun Houw mengangguk dan memasuki ruangan judi yang dipasangi lampu penerangan
yang besar dan banyak itu sehingga keadaan di situ seperti siang hari saja
terangnya. Kebisingan di antara kelompok-kelompok tamu yang sedang berjudi itu
memenuhi ruangan dan peluh mengalir di wajah-wajah yang penuh ketegangan. Bun
Houw yang selama hidupnya baru pertama kali ini memasuki tempat seperti itu,
dengan jelas nampak keadaan yang tidak kelihatan oleh mata orang-orang yang
sudah biasa berada di situ. Segala macam nafsu perasaan terbayang jelas di
wajah-wajah mereka yang berkumpul di meja-meja judi. Tawa riang, kegembiraan
melihat kemenangan sendiri dan kekalahan orang lain, kegelian hati yang kejam
menyaksikan penderitaan orang lain, harapan-harapan besar yang terpancar dari
mata mereka, keputusasaan yang mulai menyelubungi wajah beberapa orang di antara
mereka, kerling-kerling tajam maya yang membayangkan kecerdikan dam kelicikan,
kehausan akan uang yang bertumpuk di meja, semuanya ini seolah-olah menampar
mata dan hati Bun Houw. "Kongcu ingin bermain apa?" Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis
ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa
pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.
"Aku... mau melihat-lihat dulu," jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah
meja besar di mana diadakan permainan dadu.
Biarpun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi
karena amat mudah, maka melihat sebentar saja dia sudah mengerti. Bandar judinya
adalah seorang pegawal po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-
kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang
seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung
sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus
kulit dan jari-jari tangannya yang panjang dan cekatan. Bandar ini memegang
sebuah mangkon dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi
itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai dengan enam. Di atas meja,
bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada
nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua
petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP.
"Hayo pasang... pasang... pasang...!" Si bandar kurus kering dan dua orang
pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar
uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah
ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu.
Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu menaruh
setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi
ada pula yang banyak. Setelah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si
bandar kurus berteriak nyaring, "Pemasangan berhenti... dadu diputar...!"
"Kratak-kratak-kratakkk...!" Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok,
ditutup telapak tangan kiri lalu dikocok, sehingga mengeluarkan bunyi
berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan den cepat sekali mangkok dibalikkan
dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.
"Boleh tambah pasangan...!" Dua orang pembantu bandar berteriak menantang.
Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas
tumpukan uang pasangan mereka.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berhenti semua... dadu dibuka...!"
Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu
membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir
dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di
atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu.
"Tujuh menang... ganjil menang...!" Bandar berteriak dan terdengar banyak
mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat
dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor
lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.
Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan
biarpun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan
tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang
dalam bertaruh ada ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan
taruhannya. Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang amat
mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia
melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok itu dibuka cepak sekali, akan
tetapi dengan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar
lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangan di atas meja merasa ada
getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu
dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat
menjadi angka satu. Kalau tidak terjadi keanehan itu, tentu yang menang adalah
angka enam dan empat, berarti akan sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa
tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh
lebih banyak daripada yang berpasang pada ganjil! Biarpun Bun Houw belum pernah
berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu berlaku
curang dengan mempergunakan tenaga lwee-kang yang digetarkan lewat permukaan
meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya!
Kini para pembantu bandar sudah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para
tamu untuk menaruh pasangan mereka. Terdapat suatu keanehan di dalam perjudian
dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul, di tempat seperti itu terdapat
setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa, bukan hanya
untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, melainkan juga untuk
menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah
hal panting, akan tetapi yang jelas "setan-setan" di dalam diri sendiri yang
bersimaharajalela di dalam perjudian. Mereka yang kalah menjadi makin serakah
karena ingin mengejar kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja
taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan
mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi
menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa
mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit. Kemenangan sedikit itu tidak membuat
mereka menjadi puas, sebaliknya, mereka menjadi makin serakah, ingin memperoleh
keuntungan atau kemenangan lebih. Karena itu, kebanyakan dari mereka yang
kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar
berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa!
Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak
masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol,
yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan
tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang tersembunyi
itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan.
Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita
yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang
lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti kedamaian, ketenteraman,
keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan, kepuasan
hanya berlaku sementara saja, karena makin dituruti, keinginan makin membesar
dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak
mencukupi. Celakanya di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang
sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan
sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan,
jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antera bangsa, bahkan antara
saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa
yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi
setiap saat, setiap hari, di mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di
sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri!
Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh
perhatian. Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan
uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik
bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka
sembilan! Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, akan tetapi di dunia ini
memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Setelah semua orang
menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, tidak ada
yang menambah pasangan. Waktu ini tentu saja dipergunakan oleh bandar untuk
meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang
sebaliknya. Maka dia tahu bahwa kalau biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan,
berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang
panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!
"Berhenti semua... dadu dibuka...!" Bandar itu seperti biasa berteriak dan
cepat membuka mangkok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat bahwa ketika
mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan
tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja
sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak. Dia sudah yakin bahwa
sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor
lain sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi ketika dia buka, jelas
nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan,
sama sekali tidak berobah!
"Sem... sem... bilan menang...!" Bandar berseru dengan suara gemetar dan
mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia sudah menggetarkan tangannya, menggunakan
lwee-kang untuk membuat dadu itu rebah, akan tetapi sekali ini dadu-dadu itu
"membangkang"! Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata
melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan banda kepada
beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri dan
muka kemerahan. Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka
belum tentu berlangsung lama dan bahwa diantara mereka ada yang kalah jauh lebih
banyak daripada yang mereka terima sekali ini.
Kembali orang memasang. Kembali bandar mengocok dadu dan pada saat dibuka,
si bandar sengaja memperlambat gerakannya dan matanya yang terlatih melihat
betapa getaran tenaga lwee-kangnya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi
alangkah kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan
memperlihatkan nomor semula! Biarpun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun
hal itu membuat dia mengeluarkan peluh dingin dan matanya mulai memandang para
tamu yang merubung meja. Sejenak pandang matanya beradu dengan sinar mata Bun
Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik.
Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut
menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapapun juga, karena dia mendapat
kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, dan
kini memperhatikan sekali.
"Dadu dibuka...!" Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja
sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahken tenaga sekuatnya
sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu den tiga. Nomor
empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, make kini dia
mengerahkan lwee-kangnya. Akan tetapi, kedua butir dadu ini sama sekali tidek
berkutik! Dia masih mengerahkan lwee-kang sambil memandang ke arah Bun Houw. Dia
melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan
sebelah mata, dan tangan kiri pemuda itu menekan meja. Kini jelas terasa oleh si
bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda
itu dan tahulah dia siapa orangnya yang "main-main" dengan dia. Mangkok dibuka
dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan empat.
Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar
tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-
turut kepada banyak tamu, kini makin dirubung orang yang ingin pula merasakan
kemenangan. Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan
baju tergulung sehingga nampak otot-otot longan yang besar menggembung, wajah
mereka seram dan membayangkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan
untuk memaksakan kehendak.
"Yang tidak berjudi harap keluar!" bentak bandar kurus sambil menuding ke
arah Bun Houw. "Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka
engkau tidak boleh berada di sini!"
Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia
lalu berkata, "Mengapa di luar tidak dipasang peringatan seperti aku" Aku datang
hendak melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar" Apakah kalian takut kalau aku
melihat ada yang main curang?"
"Mulut lancang, siapa yang main curang" Hayo pergi dari sini, atau kau ingin
kami memaksamu?" bentak seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat
peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.
"Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa menggunakan kekerasan seperti ini"
Hendak kulihat, bagaimana kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!" Bun
Houw mengejek dan memperlihatkan lagak jagoan, seolah-olah dia sudah biasa pula
mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang "jagoan".
"Eh, si keparat, kau menantang?" bentak seorang di antara empat orang tukang
pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan dan kedua pundak Bun
Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar
Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang
mereka pegang itu, sedikitpun tidak berkutik dan biarpun mereka sudah
mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, namun pemuda itu
tidak dapat berkisar sedikitpun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat
sedang berusaha menarik sebuah arca dari baja yang amat berat dan kokoh!
Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan
kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka
adalah orang-orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar namun pandangan mereka
dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada kekuatan mereka.
"Kau ingin mampus?" bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi
komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw. Akan
tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ,
termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan
tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil
mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit
lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-rerhuk tulangnya!
Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah
mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk
melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di
belakang rumah judi itu. Bun Houw tersenyum ketika melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul,
juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi
daripada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut
senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya. Para tamu sudah membubarkan
diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati
tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di belakang meja-meja
judi yang besar dan kuat. Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi
untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki
tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguhpun dia amat tidak senang menyaksikan betapa
bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-
permainan curang. "Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku detang hanya melihat-lihat karena aku
tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin
membantunya, akan tetapi kalian menyambutku dengan kekerasan."
Tentu saja mereka semua tidak memperdulikan omongan ini karena mereka sudah
marah sekali mendengar betapa pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar
kalah dalam perjudian dadu tadi dan melihat betapa pemuda ini telah merobohkan
empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju
dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan.
Bun Houw terpaksa membela diri menggunakan kelincahannya meloncat ke sana-
sini di antara meja-meja judi yang kini menjadi berantakan karena didorong oleh
para pengeroyok yang mengejarnya. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun
Houw akan dapat merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan
demikianlah yang dikehendakinya. Dia ingin menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan
menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku
kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, kalau perlu
masuk menjadi anak buahnya. Dan untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia
merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul itu
hanya untuk memancing perhatian, dan diapun tidak melukai mereka dengan hebat,
bahkan tidak ada tulang yang patah.
Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang
berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan
bunyi senjata yang bertemu dengan meja, lantai dan senjata-senjata yang
beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas
dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang
memperlihatkan kelincahannya.
Bun Houw sejak tadi maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat
puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam.
Melihat sebatang pedang di punggung orang itu, sikapnya yang angkuh dan sikap
merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga
bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia mengurangi kecepatan
geraknya walaupun dia masih dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya
yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
"Kalian orang-orang tak mengenal maksud baik orang lain!" Bun Houw pura-pura
kewalahan dan berteriak-teriak.
"Sudah kukatakan, aku datang untuk bersahabat dan membantu Liok-loya yang
terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?"
Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Biarpun gerakan
pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang
dikenalnya, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan
gerakan yang amat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya itu yang
mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi
melukai dan merobohkannya. Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin
tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercaya kata-kata orang
asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa kalau dia bisa memperoleh
pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali.
Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang
menegangkan karena semua orang mengira bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang
maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari
badannya. Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan
tangan dan dengan langkah labar dia mengampiri Bun Houw. Mereka saling
berhadapan dan Liok Sun bertanya, "Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah
seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Benarkah itu?"
"Ah, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut
pandai?" Bun Houw merendah.
"Orang muda, engkau seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di
po-koan ini, sebenarnya apakah yang kaukehendaki?" Liok Sun yang merasa suka
kepada pemuda ini bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Liok loya sendiri?"
"Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?"
Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu
bertanya, nada suaranya mengejek.
"Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar
loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja
kepada loya." "Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
"Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Karena kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota
ini dan mendengar akan kegagahan dan kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini
hendak mencari loya dan minta pekerjaan."
Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk. "Orang muda she Bun, agaknya
engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan
secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku,
apalagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini."


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu Ulat Sutera 4 Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Dendam Dukun Jalang 2
^