Pencarian

Dua Musuh Turunan 13

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 13


lagi ia bermuka pucat dan beroman sangat ketakutan seperti tadi. Ia malah
bergembira. "Sri Baginda," berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita
menyerah dan menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri
Baginda sudi pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....."
Kaisar kaget bukan main mendengar perkataan hambanya ini.
"Cara bagaimana aykeng dapat mengatakan begini?" dia tanya. "Aykeng" berarti
"menteri yang dicintai."
Ong Tjin tidak menjawab rajanya itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tiba-
tiba ia perlihatkan roman bengis.
"Mana pahlawanku?" dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul
pahlawan dorna kebiri itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus.
Hong Hoe sendiri, selekasnya dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main. Dia
telah saksikan dikereknya bendera naga. Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan
akal muslihatnya Ong Tjin yang jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam
kemah, akan tengok junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah
menerjang, terpaksa ia maju terus, untuk melakukan perlawanan. Hebat untuknya,
dengan lekas ia telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya
kembali kepada rajanya. Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak saking murkanya.
"Toako, mari kita bunuh Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!" ia ajak Tan Hong.
Bersama-sama Tan Hong, In Loei ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di
depan mereka terdapat lain barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa
menyerbu ke arah kaisar Beng, adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu
berbuat demikian sekalipun mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.
Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya, masgul.
"Mari kita naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan....."
Dan dari tempat yang tinggi, mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin
ke atas kuda dengan tubuh terbelenggu. Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri
itu mengangkat naik bendera putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera
tanda menakluk itu berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa pahlawan
yang setia telah mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka
dirintangi oleh pahlawan-pahlawannya si dorna. Dipihak lain, barisan musuh sudah
datang mendekati raja yang tak beruntung itu.
Dalam saat seperti itu, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras
bagaikan guntur, lalu tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang
gembolan di tangan, mengaburkan kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti
kalap, tak lagi ia menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung
oleh pahlawan-pahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak
panah. Hoan Tiong mengenakan lapisan baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya,
kedua belah anggota tubuh itu bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan
pundak dan bebokongnya, maka itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya
itu, tetapi ia tangguh sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju terus ke
arah junjungannya, hingga ia datang dekat si dorna kebiri.
Ong Tjin terkejut menyaksikan kegagahan orang itu.
"Hoan Tjiangkoen, marilah kita bicara!" ia serukan. Ia sangat berkuatir.
Jawaban Hoan Tiong adalah teriakan berguntur: "Hari ini aku akan mewakili negara
membasmi penghianat!" Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah
gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari
atas kudanya. Sementara itu, dia sendiri pun tidak bebas dari beberapa bacokan musuh.
Dalam keadaan luka parah itu, Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia
ayunkan gembolannya ke arah kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari
kudanya dengan kepalanya pecah, jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri
daripada tertawan atau terbinasa ditangan musuh.
Bagaikan air bah, demikian serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar
Beng yang sudah tidak berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menteri-
menterinya, yang turut ke medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh,
Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek, pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah
berkurban untuknya. Juga di antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau
sembilan yang terluka dan terbinasa.
Kejadian yang menyedihkan dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan
"Peristiwa di Touwbok." Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan,
mendadak saja ia muntahkan darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat
ia lantas terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya,
tetapi ia pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan
seperti tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu.
Akhir-akhirnya ia berteriak: "Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan
goloknya, untuk menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh
mendahului ia, lengannya kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke
tanah, hingga di lain saat, ia pun menjadi orang tawanan.
Dengan kemenangan besar itu, dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah
menyelesaikan peperangan. Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie
lantas dibersihkan dari musuh, di situ didirikan kemah. Segera pun babi dan
kerbau disembelih, untuk membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka tak dikenal
dalam penyamaran mereka. Maka itu mereka dapat mendengar pembicaraan di antara
beberapa perwira. "Malam ini di dalam kemah jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa," kata
satu perwira, "sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut
hadir dalam pesta itu....."
"Keramaian apakah itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu
menyahuti: "Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi
pelayannya, untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"
"Ya, benar bagus!" kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng telah kita tawan, aku
lihat peperangan akan segera berakhir,
dengan begitu, lekas juga kita akan pulang," berkata satu perwira lain lagi.
"Kita akan merayakan tahun baru kita!"
"Tetapi kita masih belum masuk ke Pakkhia," kata satu perwira rekannya.
"Tionggoan itu luas tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis,
maka itu tidak mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?" Perwira yang
pertama itu tertawa. "Bangsa Han pandang rajanya sebagai naga sejati," kata dia pula, "kalau
rombongan naga tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang" Kalau rajanya
itu sayangi jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan
pernyataannya suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu
menjadi kepunyaan kita."
Mendengar pembicaraan itu, hati Tan Hong panas berbareng duka.
"Memang sungguh celaka kalau Sri Baginda suka menyerah," pikir dia. "Aku harap
saja Sri Baginda bukannya raja yang takut mati....."
Perwira yang pertama berbicara itu masih mengatakan pula: "Tentera Beng itu
tidak harus dibuat takut. Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota
Ganboenkwan, dia masih saja bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul,
sebentar menghilang, sukar untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan
bahaya di dalam tubuh!"
Tapi satu perwira lain tertawa.
"Tapi pesanggrahannya telah kita serbu hingga rata dengan tanah!" katanya.
"Bangsat tua Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak
lebih tak kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal
Tantai telah menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak
akan dapat mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"
Mendengar pembicaraan itu, lega juga hati Tan Hong dan In Loei. Sekarang mereka
ketahui halnya Tjioe Kian ayah dan anak,
yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di mana adanya Tantai
Mie Ming. Pada waktu itu kaisar Beng sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri
Watzu, telah di tempatkan di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis,
sedang di dalam kemah sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang
setiap saat meletakkan tangan di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu,
yang satu adalah Ngochito, pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini
selainnya liehay ilmu silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh
dua jurus, orangnya pun cerdik sekali. Maka itu, berduka kaisar itu, yang
melihat tidak mempunyai harapan untuk kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat
berkuatir adalah ketika ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia
melayani perdana menteri itu minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu, dia jadi
sangat bingung. "Aku hadiri pesta itu atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-ulang. Dia
insyaf, kalau dia hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong
dari ahala Song, yang mesti hinakan diri di hadapan musuh. Perbuatan itu tidak
saja merendahkan dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan
berabad-abad. Kalau dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....
Tengah kaisar ini berputus asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara
panggilan, katanya: "Thaysoe undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk
berbicara!" "Thaysoe" adalah sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.
Berbareng dengan itu satu perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal
sebatang lengtjhie, panah titahan.
Ngochito sangat teliti, ia sambut lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia
peroleh kenyataan keasliannya. Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar
paling tinggi dalam suatu angkatan perang, sebab itu adalah hadiah dari raja
Watzu sendiri, terbuatnya pun dari kemala hijau.
Percaya bahwa Yasian mempunyai urusan penting hendak dibicarakan dengannya,
Ngochito lantas saja tinggalkan kemah jagaannya itu.
Perwira yang membawa lengtjhie itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh,
dengan mendadak ia putar tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing-
masing diarahkan kepada kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya.
Luar biasa sebat gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh
kena ditotok, tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas sekali si perwira
pembawa lengtjhie membuka kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin:
"Sri Baginda, masih ingatkah Sri Baginda kepadaku?"
Raja Beng memang heran atas kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu.
Akhirnya, ia jadi terperanjat. Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri
dihadapannya, ialah Thio Tan Hong.
Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari
raja Watzu, dengan begitu kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan,
Tjosinsiang, yang menjadi ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka
disayangi Raja Watzu, dan keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan.
Maka itu raja memberikan mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa
mereka berhak memanggil setiap perwira menghadap mereka. Adalah kemudian,
setelah kedudukan To Huan turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini
meningkat, hingga dia mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru. Thio Tjong
Tjoe sebaliknya, untuk menjaga dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka
itu, sudah sepuluh tahun belum pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong
berlalu dari Watzu, dia curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka,
kali ini, di sini, dapat dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.
"Di harian pieboe di atas loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat,
sudahkah kau baca itu?" Tan Hong tanya pula.
"Kau" Kau jadinya Thio Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya menggetar.
"Tidak salah!" Tan Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!"
"Baiklah!" kata raja itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini aku terjatuh ke
dalam tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"
Tapi Tan Hong tertawa. "Jikalau aku hendak bunuh kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?" kata
dia. "Sekalipun aku memakai pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau tolonglah aku!" kata raja.
Kie Tin seperti lupa bahwa ia tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang
untuk buron..... Tan Hong awasi raja itu, ia tertawa pula. "Sri Baginda," katanya, "hari ini cuma
kau sendiri yang dapat menolong dirimu." Raja heran.
"Apakah kau kata?" dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan
menakluk," kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau
lenyapkan negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie,
juga jiwamu sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo
Ie Kiam akan membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai
negara. Di dalam negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan
terserang musuh dalam dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian,
karenanya, mana dia berani bunuh kau" Oleh karena itu, sekarang ini, kau
bersabarlah, kau pertahankan diri untuk menderita. Dengan bersabar, bukan saja
negara akan dapat dilindungi, kami juga kemudian akan mendapat jalan untuk
menolongi kau. Kau bukannya seorang tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir
sendiri....." Raja tidak menjawab, ia perdengarkan suara perlahan sekali.
"Harta pusaka leluhurku berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan
mengambilnya," Tan Hong beritahu, "harta dan peta itu
tengah diangkut ke Pakkhia, bersama dengan itu, aku sendiri akan menghabiskan
tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada lagi yang kami dapat lakukan, dari
itu, jangan kau berduka."
Thio Tan Hong perlihatkan sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan
hatinya, yang membuatnya orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja
sudah bergerak seperti ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.
Tan Hong awasi raja itu, matanya mencilak.
"Menteri besarmu In Tjeng telah menggembala kuda di negara asing selama dua
puluh tahun, selama itu dari awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!"
katanya dengan nyaring. "Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara,
apakah kau mesti kalah dengan menterimu?" Raja pun mengawasi.
"Baik!" dia jawab akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan
aku perbuat seperti katamu!"
Tan Hong masih hendak berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah tenda kemah,
terbelah dua, dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin
puyuh. Ketika dia lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah
meluap. "Bangsat bernyali besar, mari makan pedangku!" dia mendamprat sambil menikam
dengan pedangnya, dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala".
Tan Hong terkejut ketika ujung pedang menjurus ke tenggorokannya. Ia pun tidak
menyangka Ngochito bisa kembali demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat
mengabui untuk sementara waktu saja.
Sudah dibilang, Ngochito adalah seorang yang cerdik. Baharu saja ia sampai di
luar kemah, ia lantas dapat pikiran. Ia telah berpikir: "Thaysoe menghendaki aku
mengawasi kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting" Mungkinkah dia hendak
menukar tugasku itu" Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing
untukku. Kalau Thaysoe mengutus orang membawa
lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan orang di kiri kanannya, yang ia
percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut aku keluar" Inilah
mencurigakan....." Keras Ngochito berpikir, kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia
putar tubuhnya, untuk balik ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil
jalan pintu kemah, tapi ia merobek kain tenda. Karenanya ia segera dapat lihat
kedua kawannya rebah di tanah. Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena
ditotok, bahwa si perwira mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa
buang tempo lagi. Tan Hong kaget tetapi ia tidak gugup, dengan sebat ia berkelit.
"Sungguh Hongloei Kiamhoat yang liehay?" ia serukan.
Ilmu silat pedang Ngochito benar-benar liehay. Lolos tikaman yang pertama,
segera menyusul yang kedua, yang ketiga, cepat dan bengis. Tan Hong menjadi
repot juga. Ia tidak sempat membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau
kemah itu tidak terlalu luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.
Sementara itu di luar pun segera terdengar suara riuh. Mestinya itu adalah bala
bantuan untuk Ngochito. "Trang!" demikian terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang Ngochito telah
mengenai kopiah perang Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset
ke samping. Tan Hong telah menggunakan tipu yang berbahaya. Ia sengaja memberikan kopiahnya
ditikam, selagi tertikam, ia miringkan kepalanya. Karena pedangnya meleset,
Ngochito tak dapat unjuk kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking
heran, ia melengak sebentar.
Ketika yang baik itu digunakan Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam,


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia gunakan kesempatan akan menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari
gurunya, pedang mana tadi tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-
menerus. Sekarang, setelah menghunus pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah
pedang musuh. "Trang!" kembali suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi. Karena kali ini,
kedua pedang beradu sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas
kutung! Panglima Watzu itu kaget tidak terkira. Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat
dengan campuran bahan emas, sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada
pedang-pedang seumumnya. Tapi pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja!
Tan Hong gunakan ketikanya, ia tunjukkan kecerdikannya. Selagi lawan berdiam, ia
lompat ke samping sambil memutar pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin
tenda terbelah, menyusul mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan
pentang tenda itu, tubuhnya mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang
pecahan itu. Ngochito heran menampak kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu. Mengertilah ia
bahwa musuh ini liehay sekali. Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia
menunjukkan kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar
dari liang tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar. Setibanya di luar, ia lihat
musuh sudah melintasi dua undakan kemah.
"Tangkap penjahat!" ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!" demikian terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar
tangannya ke belakang, terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil
berwarna perak menyambar ke arahnya.
Itulah senjata rahasia jarum dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh
yang mengejarnya. Ngochito insyaf kepada malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis.
Gagal serangan Tan Hong itu. Gagal separuhnya. Sebab dengan repot menangkis,
majunya Ngochito tercegah, hingga terlambat.
Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh, ke lapis tenda yang
ketiga. Cuaca malam itu gelap, cuaca ini menolong banyak pada Tan Hong. Ia dengar suara
riuh dari tanda bahaya, ia lari terus. Segera juga anak-anak panah menyambar
saling susul, tetapi tidak ada satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari,
hingga melintasi belasan tenda.
Ngochito mengejar terus, tapi ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat
menyandak, meski begitu, Tan Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah
membangunkan tentera Watzu dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya
kira-kira seratus lie. Ketika ia sudah melewati puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang
merupakan tanah kosong, di situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua
tepi. Di tenda, atau kemah sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar-
samar tertampak serdadu ronda. Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak
merubul serdadu-serdadu Watzu seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan
Hong, karena ia tahu, tata tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu
ada pertandaan, semuanya mesti bergerak. Tetapi ini satu tidak.
"Mungkinkah di sini ada dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?"
bertanya hati kecilnya. "Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah
satu pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan....."
Tidak peduli ia heran atau bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang-
buang tempo, maka itu, ia lompat, untuk lari terus. Ia dapat kenyataan, di
belakangnya ada pengejar-pengejar yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah
tegalan itu di mana terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit
kecil. Itulah tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat
mengumpulkannya. "Baiklah aku menyusup kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri," pikir Tan
Hong. "Aku mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan
diam-diam." Tan Hong pikir, kalau toh tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang
mesti menggunakan banyak serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia
mengharap akan ada kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut
menggeledah bersama-sama.....
Demikian ia nelusup masuk ke dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya.
Tapi, begitu ia masuk, begitu lekas juga ia terkejut. Kupingnya telah menangkap
suara tertawa geli, dekat sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan
barang keras bagaikan besi, yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama padamu!" demikian sekonyong-konyong ia dengar suara,
yang halus dan menggiurkan. "Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku
menjerit-jerit!....."
Tan Hong kaget dan heran. Ia berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana
datangnya satu wanita, mungkin satu nona" Karena itulah suaranya seorang
perempuan. Ia merasa lega juga, karena orang mengancam secara lunak.
"Baik, aku tidak akan bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan
terlebih geli. Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian.
"Lekas kau loloskan seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu dengan pakaian
ini. Kau tunggu sebentar, aku akan segera kembali."
Habis berkata, wanita itu keluar dari tumpukan rumput.
Segera terdengar suara berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka. Suara
berisik itu melintasi tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong
menyembunyikan diri, tempat dari mana barusan si wanita muncul.
"Keke, adakah keke melihat satu perwira lari lewat di sini?" demikian Tan Hong
dengar pertanyaan satu orang.
"Ya, aku lihat dia," jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat, aku tak dapat
menyandak dia. Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah
melewati tangsi wanita dan telah sampai di depan."
Dengan berteriak-teriak, "Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke arah yang
ditunjuk, sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya
lenyap, hingga kesunyian kembali di situ.
Tan Hong dapat menenangkan diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu. Ia
ditolong oleh cahaya api dari tangsi yang terdekat. Ia periksa pakaian yang
diberikan kepadanya. Ia kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia.
Ia menjadi heran. Teringat akan panggilan tentera tadi kepada si wanita, ia pun
menjadi bingung. Ia tahu apa artinya panggilan "keke" itu. Orang Mongolia,
begitupun orang Manchu, kalau ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka
mereka memanggilnya keke. Jadi wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung.
Sementara itu, ia bersangsi untuk pakaian itu.
"Apakah aku mesti menyamar sebagai serdadu wanita?" ia berpikir. Tapi ia ingin
lolos dari kepungan, ia tidak bersangsi lama.
"Apakah kau sudah salin?" tak lama ia dengar suara si nona. "Nah, sekarang kau
sudah boleh keluar."
Tan Hong buntal pakaiannya, sambil bawa itu, ia munculkan diri.
Si nona tertawa geli sekali.
"Mari turut aku!" katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan Hong merasa bahwa
ia seperti kenal nona ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana,
sesaat itu, tidak dapat ia mengingatnya.
Nona itu pergi kesebuah kemah ke dalam mana ia terus bertindak masuk. Di dalam
situ, semuanya adalah serdadu-serdadu wanita.
Sekarang baharulah Tan Hong insyaf kenapa ia disuruh salin pakaian. Di tangsi
wanita, tak boleh ada pria mencampurkan diri. Pantas tadi pengejar-pengejarnya
tidak menggeledah di situ. Hanya sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga
sebab begitu banyak mata wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran.
Terpaksa ia tunduk. "Oh, keke sudah kembali?" demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu.
"Ada terjadi apakah di luar?"
"Kabarnya mereka menawan satu orang jahat," jawab si nona. "Kamu jangan usilan!"
Serdadu-serdadu wanita itu mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang
berani menanyakan sesuatu.
Nona itu ajak Tan Hong ke sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ
tersiar bau harum semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka.
Tan Hong lihat sebuah pedupaan kayu gaharu. Di situ ada sebuah meja marmer serta
satu meja kecil dari batu pekgiok. Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai
bunga bwee dalam sebuah tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah
diperlengkapi bagaikan kamar wanita, hanya sederhana.
Begitu berada di dalam, nona itu membuka ikat kepalanya. Ia berpaling kepada si
anak muda, matanya berkerling hidup.
"Tan Hong, masihkah kau kenal aku?" tiba-tiba ia menanya.
Tan Hong memandang dengan tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah
si nona tampak tegas. Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman
berseri-seri. Dengan lantas ia ingat.
"Kaulah Topuhua!" ia jawab.
Nona itu manggut. "Benar," sahutnya. "Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum
melupakan aku!" Di dalam hatinya, Tan Hong mengeluh.
Topuhua adalah puterinya Yasian, kepala perang Watzu itu. Dimasa kecilnya, Tan
Hong pernah bermain-main bersama nona ini. Setelah umur mereka tiga atau empat
belas tahun, baharu mereka berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong
Tjioe dan Yasian, mereka cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka -
Tan Hong dan Topuhua - sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.
Nona itu tertawa ketika ia berkata: "Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita
kecil. Itu hari aku dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit
Wuwang, selagi memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku
mirip pria dan aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"
"Ya", sahut Tan Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba-
tiba si nona menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca.
"Kau lihat!" katanya sambil tertawa. "Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih
mirip lagi dengan wanita! Lihatlah!"
Wajah Tan Hong menjadi merah. Di dalam hatinya, ia kata: "In Loei salin pakaian
menjadi pria, aku justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku
ini, tidakkah ia mentertawakan aku?"
Topuhua tertawa pula. "Pada malam di muka keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata, "aku telah
dengar kabar kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu
ditanyakan kepada Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah
menyangka, selama hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain,
akan tetapi Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah
banyak tahun kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam
untuk beberapa hari bersama aku di sini."
Tan Hong terperanjat. "Mana dapat itu dilakukan?" katanya.
"Kenapa tidak?" Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau!
Umpama ada juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak
nanti mereka berani membuka rahasia."
Tan Hong menggoyangkan tangannya berulang-ulang.
Mendadak saja nona itu perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik, sekarang juga aku berteriak!" ia kata.
Pemuda itu tidak membiarkan dirinya digertak. "Baik, kau berteriaklah!" ia kata.
"Dengan sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh
belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri
mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!"
Mendengar itu, si nona tertawa pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik.
"Kau tertawakan apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap bawa sifatmu
semasa kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau selamanya suka jaili aku. Kau bilang
kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau bilang
kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa ayahmu
atau tidak?" Diam-diam Tan Hong terkejut.
"Ayahku masih ada di Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa," ia berpikir.
"Lagi pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku
membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk
membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar."
Ia lantas tunduk. Topuhua mengawasi, ia menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa.
"Sebenarnya, apa sih yang tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?" dia
tanya, suaranya manis. "Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu,
tidak nanti kau dapatkan keduanya terlebih menyenangkan."
Tan Hong berjingkrak. "Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"
"Jikalau kau tidak tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona tertawa pula.
"Apakah kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu
wanita" Kau tak usah takut ditertawai!"
Tan Hong berpikir keras. Ia benar menghadapi kesulitan. Memang, kalau mesti
berdiam di dalam tangsi, ia mesti berdiam sama si nona. Ia lantas ingat pula In
Loei, kembali ia mengeluh dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya
untuk ambil setahang air panas.
"Pergi kau mandi di belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita. "Kau
bersihkan tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang
mencurigai kau. Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."
Ia menarik tenda dari apa yang disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak
masuk tubuh Tan Hong, habis mana, tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai
angin pun tak dapat masuk.
"Sekarang baharulah hatiku tetap!" masih menggoda si nona. "Kalau sebentar kau
telah selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu."
Tan Hong sementara itu mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan
diri. Sekian lama ia telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal. Hal ini
membuatnya ia masgul. Pada waktu itu ia dengar tanda waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua
kali. Jadi sudah jam dua.
Berbareng dengan itu, satu serdadu wanita bertindak masuk.
"Keke, Thaysoe datang menjenguk," dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe masuk", sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini
sudah tertawa pula. "Kau jangan terbitkan suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang
kau!" ia kata. Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda.
Jantung Tan Hong memukul. Ia memasang kuping.
Sebentar kemudian terdengarlah tindakan kaki. Itulah Yasian.
"Ayah," Topuhua sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh
raja Beng melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku" -
Ah, ada urusan apakah, ayah" Kau nampaknya tidak gembira....."
Tan Hong menahan napas. Ia dengar suaranya Yasian.
"Apa yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaanku!" kata menteri itu.
"Bagaimana, ayah?"
"Aku tadinya anggap kaisar Beng seorang yang takut mati," berkata pula Yasian,
"aku percaya, bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk
mempengaruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan
wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku
itu, dia tidak menghadiri pesta....."
Topuhua heran. "Benarkah dia begitu bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab sang ayah.
"Sungguh aku tidak sangka."
Mendengar itu, Tan Hong girang bukan kepalang.
"Kie Tin masih punyakan semangat," ia berkata di dalam hatinya. "Dia menang
banyak dibanding dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan
lelahku ini." "Tidak sukar bagiku membinasakan dia," Yasian berkata pula, "hanya aku kuatir,
jikalau aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan
kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti akan memperlambat peperangan ini. Untuk
kita, perang lama pun belum tentu ada manfaatnya. Aku dengar Atzu Tiwan sekarang
ini sedang mengumpulkan tentera diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi
perang di tempat jauh, hendak dia rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku
tidak tenteram." Yang disebut Tiwan Atzu itu adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia.
"Ayah, kau gagah perkasa, buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata sang puteri.
"Lagi pula hari ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya
kau mengucapkan kata-katamu ini." Yasian tertawa.
"Kau benar, anakku!" ia kata. "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal
yang akan membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong
puteranya Thio Tjong Tjioe?"
Kaget Tan Hong mendengar perkataan itu.


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa, ayah?" Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak
memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya
telah menyusup ke Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya aku
curiga....." "Kenapa begitu, ayah?"
"Keluarga Thio itu dengan kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada
alasan untuk mencurigai Tan Hong nanti membantu musuhnya itu," menerangkan
Yasian, "tetapi sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini,
sudah berselang satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa
dia tidak datang padaku untuk melaporkan sesuatu" Sebenarnya inilah waktu yang
paling baik untuk ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya."
"Mungkin dia terhalang karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum
mendapatkan kesempatannya," Topuhua
utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya itu. "Kalau nanti ayah sudah
rampas Tionggoan, mustahil dia tak muncul?" Yasian tertawa.
"Sampai itu waktu, itulah sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini aku
menerjang ke Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang....."
"Siapakah kedua orang itu?"
"Yang pertama yaitu kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan ditawannya kaisar
itu, meskipun dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu,
lambat laun, negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga."
"Dan yang kedua, ayah" Siapa dia?"
"Yang kedua ialah Thio Tan Hong."
"Ayah hendak tawan dia, apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup
masuk ke Tionggoan?" sang anak tanya pula.
"Ya dan bukan," Yasian jawab.
"Apakah artinya itu, ayah?"
"Thio Tan Hong itu gagah dan pintar, dia sangat berguna," Yasian berikan
keterangan pula. "Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi
tunduk padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku
bunuh dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."
"Ah....." Topuhua berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?" Yasian
tertawa. "Dia bermusuh dengan kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti
dia akan turut aku!" dia kata. "Anakku, itulah maksud urusanku yang
menggirangkan!" Topuhua berpura-pura likat.
"Ah, ayah, kembali kau mengejek aku!....." katanya.
Yasian tertawa berkakakan.
"Ayahmu bukannya seorang tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau
sukai Thio Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga
tahun, menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku
mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu
juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu" Itulah karena aku tahu kau
menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!"
Topuhua tunduk, ia diam, tetapi hatinya girang bukan kepalang.
"Hanya malam ini, bangsat itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras. "Dia benar-benar
bernyali besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk
membawa buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak
sangsi....." "Siapa yang kau sangsikan, ayah?" tanya Topuhua.
"Aku kuatir penjahat itu adalah Thio Tan Hong....."
Si nona heran. "Bukankah ayah sendiri yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?" dia
tanya. "Itulah yang menyebabkan kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie
itu diberikan mendiang Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua
Thio Tjong Tjioe, dan ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia
bukannya Thio Tan Hong, dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu
juga berniat menculik kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal
ini tidak terlalu sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki.
Umpama kata perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau
menyayangi dia, terpaksa aku harus singkirkan padanya!"
Topuhua terkejut, di dalam hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur yang ia belum
sampai memberitahukan ayahnya hal Tan Hong ada bersama dengannya. Yasian
berpaling ke meja kecil, untuk
menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar
suara. "Siapa di dalam tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya
tengah mengipas dengan kipas kayu cendana.
"Di mana ada orang di sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa. "Mungkinkah
ayah dibikin kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati
hingga ayah menjadi bercuriga tidak keruan?"
Wajah ayah itu berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa besar.
Topuhua tetapkan hatinya, ia mengipas dengan terlebih keras.
"Hawa udara di Tiongkok beda dengan kita di Mongolia," berkata Yasian kemudian.
"Dalam bulan sembilan yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini
sebaliknya hawa masih panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-
gerak, hingga aku menyangka yang bukan-bukan..."
Habis mengucap, ayah ini tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak tahu, Topuhua
mengipas sesudah tenda bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat,
sedang iapun tengah berpaling, ia tidak engah.
Di dalam hatinya, Topuhua sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak
hati-hati. "Sekarang ini aku telah mengumumkan titahku," berkata Yasian kemudian, "yaitu
kecuali dengan titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan
cap kebesaran panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada
kaisar Beng. Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk
bantu membuat penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak
nanti dia dapat menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun
telah dapat menawan Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu.
Tentang dia, aku telah dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan
sendiri, dia benar gagah, dari itu aku harap dapat aku
bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia suka menyerah, dia pasti lebih
berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia telah terluka panah, dia tidak
membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena itu aku telah menarik kedua
belas pahlawan itu."
Atas kata-katanya ayah ini mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh
perhatian, ia menyahuti secara sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras
perihal jodohnya dengan Thio Tan Hong.
"Apakah ayah telah mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?" ia tanya.
Inilah hal yang penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan
lain, tidak usah ia kuatirkan apa-apa lagi.
"Sebenarnya aku tidak bercidera dengannya," Yasian jawab puterinya itu, "kita
cuma kurang cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita
menjadi besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu
ia menambahkan: "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari kekuasaanku.
Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam hal tata tertib
negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah memikir yang tidak-
tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita untuk membangun pula
Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya satu urusan yang
sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini aku biarkan Thio Tjong
Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya aneh. Yang dia pikirkan siang
dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk membangun kerajaannya, itu
artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke Tionggoan. Sekarang ini
angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah masuk ke dalam wilayah
Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di dalam negeri, ia tidak
menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa begitu sikapnya" Hal
ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi dia adalah seorang
pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku merampas Tionggoan
dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia kedudukan sebagai
perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau akan menjadi puteri!"
Ketika itu terdengar kentongan tiga kali.
"Ayah, waktu sudah larut malam," kata Topuhua sambil tertawa. "Sekarang sudah
waktunya ayah beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang,
untuk menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah
menjadi raja dan aku menjadi puteri!" Yasian tertawa.
"Kau benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium puterinya ia
meninggalkan tangsi wanita itu.
Begitu ayahnya berlalu, lekas juga Topuhua bernapas lega. Ia merasakan bagaimana
keringatnya telah membasahi baju dalamnya. Ia lantas salin pakaiannya, sambil
dandan dan tertawa, ia kata: "Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku!
Maka kau bolehlah legakan hatimu..."
Dari kemah dalam tidak ada penyahutan. "Ayahku sudah pergi!" kata pula Topuhua
sambil tertawa. "Kau lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin" Apakah kau ingin
tukar itu dengan air panas yang baru?"
Dari dalam tenda itu tetap tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa.
"Engko, engko Thio, ah, kenapa kau tidak menjawab?" tanya Topuhua. Sekarang ia
mulai merasa heran. Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis.
Ia lantas bertindak menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas
memegangnya, untuk menariknya, buat membukanya. Ia kuatir si anak muda tengah
membuka pakaian. "Engko Thio, engko Thio!" ia memanggil pula, dua kali.
Masih saja tidak ada jawaban dari Tan Hong. Sampai di situ, Topuhua menjadi
curiga. Ia pun menjadi tidak senang, hingga ia
kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar tenda dengan
kedua tangannya dan menariknya dengan keras!
Bukan main herannya Topuhua begitu lekas tenda sudah terpentang. Tenda itu
kosong, Thio Tan Hong tidak ada di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk
memeriksa. Segera ia menjadi terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar
di sebelah belakang, tetapi sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda
pecah bekas dipotong! Itulah tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan
membuka jalan untuk buron!
Topuhua melengak, ia mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan
berduka. "Dasar aku yang tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia
membawa-bawa pedang."
Selagi tunduk, Topuhua tampak corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya
dengan ujung pedang. Ia lantas membaca:
"Terima kasih untuk pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang
aku sangat kesusu, tidak ada ketika untuk kita pasang omong.
Di mana kedua negara sedang berperang, sekarang pun bukan saatnya untuk
berunding, maka itu, aku pergi dahulu!"
Di bawahnya tertera tanda tangan Tan Hong.
Dengan hati panas, Topuhua pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya
yang menjaga di luar. "Dia pergi sudah lama," ia dapat jawaban.
"Kenapa kau tidak cegah padanya?" si nona tanya.
"Dia masuk bersama nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun pesan supaya kami
jangan banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"
Bukan main mendongkolnya Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa.
Dengan mendongkol dan masgul, ia kembali ke dalam kemahnya.
Sementara itu, di lain kemah, Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri.
Ditahan di dalam kemah, Hong Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak ia ditawan, ia sudah
memikir tidak ingin hidup, tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan
membunuh diri, maka itu, ia mogok makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia
tolak, hingga atas titahnya Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang
lukanya telah diobati. Lukanya tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah
jinsom, kesehatannya telah pulih dengan cepat. Sekarang ia bisa gunakan otaknya.
"Kalau toh aku mesti mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!"
demikian ia berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia dahar.
Pembahan sikap ini membikin girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak
usah main paksa orang minum dan dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka
bersantap, Hong Hoe hendak pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.
Demikian malam itu, kira-kira jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam
kesunyian, Hong Hoe empos semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia
gerakkan kedua tangannya yang terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa
tahu, rantai ada tangguh sekali, rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan
suara nyaring, hingga kedua penjaganya kaget.
"Hai, kau bikin apa?" tegur dua pahlawan itu.
Hong Hoe tidak menjawab, dia hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil
membikin sehelai rantai putus, suaranya semakin nyaring.
Kaget kedua pahlawan itu, mereka hunus golok mereka, untuk mengancam. Ingin
mereka mencegah orang buron.
Hong Hoe mendelik, hingga ia nampaknya menjadi bengis sekali.
"Mampus dia yang mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia merabu dengan
rantainya. Kedua pahlawan itu mundur, bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani
membunuh tawanan ini, mereka lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari
samping ke arah kaki tawanan itu.
Hong Hoe liehay, dia ganas, selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat
sabetannya dengan rantai.
"Aduh!" teriak satu pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian
dengkul kena rabuan rantai.
Pahlawan yang kedua kaget tapi ia lantas membacok. Ia insyaf akan ancaman
bencana. Hong Hoe rubuhkan diri, sambil rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang
pun terbelenggu. Tapi pahlawan itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia
membacok pula, untuk mencegah orang berbangkit bangun.
Hong Hoe bergulingan, atas mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak
ada ketika baginya untuk lompat bangun. Dalam keadaan sangat berbahaya itu,
selagi pundaknya terancam akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara
keras, dari bentroknya senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas
jatuh. Hong Hoe menjadi kaget, lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng
mana, ia tampak menyerbu masuk, dua orang yang mukanya bertopeng.
"Lekas bekuk tawanan ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang itu adalah
kawannya. Ia lantas lompat, untuk menjumput goloknya yang barusan terlepas.
Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di luar dugaannya, kedua orang itu, yang memakai
seragam perwira Mongolia, tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan
pedang mereka, hingga tanpa menjerit lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan
rubuh dengan berlumuran darah.
"Kau?" teriak Hong Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu.
Kedua orang itu membuka penutup muka mereka.
"Ya, aku!" jawab yang satunya, sambil tertawa.
Mereka itu tidak lain daripada Tan Hong dan In Loei.
Tan Hong mendengar dari Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian
dan puterinya berbicara, ia berlalu dengan cepat. Dengan mudah ia akali serdadu
wanita, yang menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis
itu, ia salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk
mengajak In Loei, bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan,
malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia
dapat memberikan bantuannya.
Dengan cepat Tan Hong dan In Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna
memutuskan semua belenggu Hong Hoe, tapi mereka masih terlambat, di depan kemah
sudah lantas terdengar suara berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar
keributan di dalam, dia lari untuk memberi kabar.
Hong Hoe tertawa besar. "Bagus!" dia berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang
modalku! Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan
sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"
Dia lantas sambar golok seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat.
Tiba-tiba Tan Hong totok komandan Gielim koen itu.
"Kau... kau..." Hong Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap
demikian, terus kedua matanya rapat, tubuhnya rubuh.
In Loei heran, ia lirik kawannya itu.
"Tak dapat dia dibiarkan nekat," kata Tan Hong. "Mari!"
Anak muda ini mengangkat tubuh orang, untuk dipanggul.
In Loei mengerti, ia lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke
depan, untuk menghadapi musuh. Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerjang, untuk membuka jalan. Segera pedang mereka berkelebat, segera
terdengar suara beradunya pelbagai senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata
mereka semua terpapas kutung, hingga terpaksa mereka lompat minggir.
Tan Hong dan In Loei gunakan ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju
dengan cepat. Terus mereka babat kutung senjata musuh, terus mereka nerobos,
sampai mereka dapat dekati tenda dan lompat naik ke atasnya.
Itulah pahlawan-pahlawan kelas dua, karena yang dua belas, yang kelas satu,
sudah ditarik ke tengah, untuk menjaga raja Beng. Maka itu, mereka semua tak
berdaya menghadapi pasangan anak muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua
sudah lompat naik ke tenda, lekas sekali keduanya dapat lolos dengan jalan
melintasi pelbagai tenda lainnya.
Begitu lekas mereka sudah berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong
lantas perdengarkan suitannya yang nyaring, suitan mana disambut dengan
ringkikan kuda di arah kiri mereka.
"Kita bebas!" kata Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda
itu. "Mari!" ia ajak kawannya.
In Loei ikuti kawan ini. Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah
menantikan mereka sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe,
Tan Hong menyingkir dengan kudanya itu, yang lari keras.
"Biarkan dia tidur!" kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe
diperut kuda. Komandan Gielim koen itu masih belum sadar, sebab ia belum ditotok
pula. Tan Hong mempunyai dua macam ilmu totok, ialah yang membahayakan jiwa dan
tidak. Hong Hoe ditotok urat tidurnya, dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan
napas dan jalan darahnya.
Mulanya In Loei bersangsi akan naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong
desak dia, "Naiklah, adik kecil!" katanya. Ia bersangsi sejenak, kemudian ia
lompat naik ke atas bebokong kuda. Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas
menyingkir jauh dari musuh. Meski begitu, tak dapat ia cegah mukanya menjadi
merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah. Mau atau tidak mereka
harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.
Dengan perdengarkan suara yang nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia
membikin tentera Watzu tidak berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya.
Dapat dikatakan tak sampai satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah
meninggalkan tangsi Watzu terpisah jauh di belakangnya. Kerap kali di tengah
jalan beberapa serdadu ronda dari Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong
dan In Loei, mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa, dengan gampang kedua anak
muda itu dapat melalui mereka. Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban
pedangnya pasangan itu. Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah
lolos dari ancaman bahaya. Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya
dari daerah tangsi Watzu di Touwbokpo. Ia menjadi sangat girang. Satu kali ia
tertawa tak disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok
hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli.
"Toako, coba perlahankan kuda putihnya," In Loei minta kemudian.
Tan Hong meluluskan, maka sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas
bertindak perlahan. Ini membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang
malam dengan rembulannya yang permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir
sebentar. Baharu sekarang ia ingat, malam itu adalah malam Tiong Tjioe - bulan
delapan tanggal lima belas! Tanpa merasa, ia tertawa.
"Adik kecil!" katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!"
"Memang benar!" sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari raya Tiong Tjioe
dinamakan juga Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama
puterinya Yasian telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar
bulatnya!" Tan Hong terperanjat, ia segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis,
bersenyum simpul, dari mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang
sendirinya. "Adik kecil," katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan
perang menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong
Tjioe"' Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam
ini! Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama
bundar-bulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti
mengiri!..." Tan Hong balas menggoda, yang mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan
cintanya. Tanpa merasa, In Loei menjadi jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau
jail sekali!" dia kata. "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun
dari kuda ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong menoleh,
akan pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar,
hatinya menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas
bersenanjung perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya.
"Eh, toako, kau angot?" tegur In Loei, heran.
Masih Tan Hong tidak menjawab, ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan:
"Semoga manusia hidup kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu
lie." Dengan "keindahan alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis.
Tanpa merasa, In Loei menimpali, perlahan ia bersenanjung: "Manusia mempunyai
kedukaan, kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang,
ada bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah sempurna. Toako,
jangan kau ingat saja bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan
bahagian ini..." Habis berkata, wajah si nona menjadi suram.
Tan Hong lihat keindahan malam itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama
In Loei sehingga tua, akan tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak
melupakan kata-kata kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu
tak kekal tak sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka.
Justeru itu segumpal awan lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya
menjadi guram. Menampak itu, In Loei paksakan untuk tertawa.
"Nah, toako, kau lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup
berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?"
Mau atau tidak, Tan Hong turut tertawa.
"Adik kecil, ingatkah kau pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?" ia
tanya. "Bahagian yang manakah itu, toako?" In Loei balas menanya.
"Itu syair yang dibuatnya di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong. "Malam itu Tjoe
Siok Tjin melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya
sendiri, lantas ia menulis syairnya." Terus Tan Hong perdengarkan syair itu:
"Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak
mengasihaninya. Kenapa kalau sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya
selaksa lie?" Tjoe Siok Tjin adalah satu di antara dua penyair terkenal dari Ahala Song. Yang
satu lagi adalah Lie Tjeng Tjiauw. Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan
satu suami sempurna, Tjoe Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga
seumurnya ia senantiasa berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan
hatinya. Maka juga kumpulan syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi" artinya.
"Kumpulan Usus Putus."
Mendengar nyanyian Tan Hong itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia
berpikir: "Tjoe Siok Tjin dapat pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu
berduka, maka aku, mustahillah aku bakal menelad dia"..."
Tan Hong, sambil tertawa, sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung
banyak kedukaan, hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini
mengandung harapan besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih
mengharap agar mega disingkirkan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula.
Tjoe Siok Tjin adalah satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau
sebaliknya bukan seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau
sebaliknya dapat berusaha, bekerja!"
Mendengar itu, hati In Loei berdebar. Ia berpikir: "Kakakku melarang aku
bersahabat dengan Tan Hong, itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang
mengatakan, 'Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian
tidak mengasihaninya. Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti
kehendak Thian" Mega yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan
tetapi, bagaimanakah cara menyingkirkannya?"
Ketika ia angkat kepalanya, nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang
rembulan bersinar permai lagi seperti tadi!
Kedua anak muda ini telah menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh
bahaya, sekarang mereka bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka
menggadangi sang rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi
bayangan penghidupan manis dari manusia. Rambut di samping kuping mereka beradu,
mereka dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain...
Mereka saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun... Mereka
menyesal, seolah-olah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka
keluarkan itu semua... Sebenarnya, untuk apa mereka mengatakannya" Bukankah hati mereka sama, mereka
sama-sama telah mengerti maksud hati masing-masing"
Kuda putih berjalan terus, perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah
menjadi terang. Dan di depan mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera
Watzu. Nyatalah, Yasian telah memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo,
sebaliknya pasukan depannya sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang jalan
sejauh dua ratus lie lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan
tangsi atau benteng tentera Watzu itu.
"Sekarang bolehlah kita turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan Hong akhirnya.
Hong Hoe di perut kuda masih belum sadar akan dirinya. Tan Hong turunkan tubuh
orang dengan perlahan-lahan, habis itu, ia menepuknya.
Boleh dibilang dalam sekejap saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa
kesegarannya pulih, ia merasa sehat betul. Ia lantas memandang kesekitarnya, ia
merasa heran sekali. "Tempat apakah ini?" dia tanya.
"Tempat ini telah terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo," sahut Tan Hong.
Hong Hoe menghela napas. "Tan Hong," katanya, "kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan
tugasku?" Tan Hong menatap dengan tenang.
Kematianmu adalah urusan kecil," ia kata, "akan tetapi kalau setiap orang
mengurbankan jiwanya untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya
untuk negara" Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya,
tetapi kalau negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk
mengambilnya kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!"
Hong Hoe insaf dengan cepat.
"Habis bagaimana kita dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya.
-ooo00dw00ooo- Bab XXI Justeru itu terdengar suara kuda lari mendatangi. Tan Hong semua berpaling.
Mereka lihat dua serdadu Watzu, yang rupanya tengah meronda. Menampak dua
serdadu itu, Tan Hong tertawa.
"Mengandal kepada mereka berdua, aku tanggung kau akan sampai di Pakkhia," ia
kata. Kedua serdadu Watzu sementara itu nampaknya heran. Mereka lihat dua perwira
Watzu bersama satu perwira Han. Maka segera mereka menghampiri.
Tan Hong berdua In Loei bertindak sangat cepat. Sekejap saja mereka sudah sampok
terlepas senjata kedua serdadu Watztu itu, lalu diancamkan pedangnya ke batang
leher mereka. "Kamu mau hidup atau mati?" Tan Hong mengancam.
"Mau hidup..." sahut kedua serdadu, yang putus asa.
"Baik!" kata Tan Hong. "Adik kecil, bawa dia seratus tindak jauhnya, tanyakan
padanya pertandaan hari ini."
In Loei menurut, ia tarik serdadu yang satu.
"Bagus!" kata pula Tan Hong, suaranya keras. "Sekarang mari kita mulai tanya
mereka! Jikalau penyahutan mereka berbeda, itu tandanya mereka mendusta, maka
adik kecil, kau boleh lantas tabas padanya!"
Dengan sempurnanya Iweekang-nya, walaupun mereka terpisah seratus tindak, suara
Tan Hong itu dapat didengar jelas sekali oleh
In Loei. Coba Tan Hong ada lain orang, tidak nanti suaranya itu dapat terdengar.
Hong Hoe kagumi anak muda ini.
"Tan Hong benar teliti," kata dia dalam hatinya. "Jikalau mereka ini tidak
dipisahkan, umpama mereka menyahuti secara palsu, sulit untuk mengetahui
kedustaan mereka." Tan Hong sudah tanya si serdadu dan ia telah peroleh jawabannya.
"Bagaimana?" dia tanya In Loei.
"Dia kata tanda-kata hari ini adalah bidadari," jawab In Loei.
Bangsa Watzu juga tahu tadi malam adalah malaman Tiong Tjioe untuk bangsa Han,
mereka sengaja pakai kata-kata "bidadari" untuk tanda kata mereka.
"Akur!" berseru Tan Hong. "Mereka tidak mendustai"
In Loei segera kembali bersama serdadu itu.
Tan Hong bertindak terlebih jauh, dengan sebat ia buka seragam kedua serdadu
itu, setelah mana, ia ikat mereka itu di atas pohon.
"Maafkan kami," ia kata pada mereka. "Kalian boleh menunggu di sini sampai
sahabat-sahabatmu nanti datang menolong kamu." Ia tidak tunggu jawaban lagi,
terus ia berkata pada Hong Hoe: "Silakan kau pakai seragam ini."
Hong Hoe menurut, dengan cepat ia salin pakaian.
"Sekarang mari!" mengajak pula Tan Hong. Dan
kali ini, dengan masing-masing menunggang seekor kuda - untuk mana kudanya kedua
serdadu Watzu itu mereka rampas - ia ajak kedua kawannya mengaburkan kuda
mereka. Hong Hoe kenal baik jalanan itu, ia mengajaknya ambil jalan kecil, untuk
memotong jalan. Secara begini dapat mereka menyingkir dari tiap-tiap tangsi
bangsa Watzu. Benar mereka kerap
kali bertemu serdadu ronda, tetapi dengan mengucapkan perkataan "Bidadari!"
mereka selalu bebas dari pemeriksaan. Maka akhirnya, sebelum matahari turun,
mereka telah tiba di luar kota Pakkhia. Di sana pasukan depan bangsa Watzu sudah mengatur persiapan untuk bertempur, karena mereka tengah
berhadapan dengan tentera Beng. Di antara mereka terdapat tanah perbatasan yang
kosong, yaitu no man's land.
Dengan berani Hong Hoe bertiga menerobos dari kalangan tentera Watzu, untuk
melintasi tanah kosong, guna menghampiri tentera Han. Mereka lantas disambut
hujan panah oleh tentera Beng, akan tetapi mereka maju terus, mereka sampok
jatuh setiap anak panah. Pasukan Beng itu di kepalai oleh Yo Wie, hoetongnia dari Gielim koen, serta
Kiekie Touwoet Hoan Tjoen, belum lagi Hong Hoe datang dekat, mereka itu sudah
melihat dan mengenali, maka itu dengan lekas mereka larang serdadunya melepaskan
panah terlebih jauh, mereka sendiri lantas maju, untuk menyambut.
"Bagaimana sikap tentera?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang pertama.
Yo Wie menyahut dengan perlahan: "Kami telah mendengar kabar angin bahwa Sri
Baginda telah ditawan musuh di Touwbokpo, kabar itu telah membuatnya hati
tentera sedikit goncang..."
"Berita mengenai Sri Baginda ditawan musuh bukan kabar angin belaka, itulah
kejadian benar," kata Tan Hong. "Sekarang lekas kamu antar kami masuk ke dalam
kota untuk menghadap Ie Thaydjin."
"Mana kakakku?" tanya Hoan Tjoen. Ia maksudkan Hoan Tiong.
"Kakakmu sudah mengurbankan dirinya untuk negara," jawab Hong Hoe. "Aku harap
kau nanti meneruskan cita-citanya, untuk melindungi kota Pakkhia!"
Lantas komandan Gielim koen ini tuturkan kegagahannya Hoan Tiong, yang telah
menghajar mampus dorna Ong Tjin dengan
gembolannya, habis mana, sekalipun dia terbinasa, Hoan Tiong tidak sudi menakluk
pada musuh. Hoan Tjoen berduka, tetapi hatinya terhibur.
Yo Wie pun berduka, ia terharu berbareng puas juga.
Sampai di situ, Yo Wie persilakan ketiga orang itu salin pakaian, sesudah mana,
ia antar mereka masuk ke dalam kota.
Di mana-mana di dalam kota terlihat rakyat, dalam rombongan-rombongan kecil,
berbisik-bisik, untuk satu dengan lain menanyakan keadaan dari medan perang.
Pada wajah mereka tampak roman berkuatir dan tegang.
Hong Hoe bersama Tan Hong dan In Loei menuju ke gedung Ie Kiam. Ketika itu sudah
jam tiga tetapi gedung menteri itu masih terang benderang.
Tan Hong maju di muka, untuk mengetok pintu, guna memohon menghadap.
Tidak lama, pintu besar dipentang, kuasa rumah muncul untuk mengatakannya:
"Thaydjin ada di ruang tengah, silakan kamu masuk!"
Ketika Tan Hong tiba di lorak, ia tampak Ie Kiam seorang diri sedang jalan
mondar-mandir. "Ie Thaydjin, kami telah kembali!" Tan Hong segera berkata.
"Ah, kamu telah kembali..." kata menteri itu, yang masih mondar-mandir terus.
In Loei menjadi heran.

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ie Kiam dengan Tan Hong bersahabat kekal," ia berpikir, "dia pun perlakukan
kami seperti keponakan atau anak, sekarang kita kembali, mengapa sikapnya begini
tawar?" Karena ini, ia campur bicara, katanya: "Kami pun telah membawa pulang
peta bumi. Tentang harta besar dari leluhurnya Thio Toako, itu pun akan diangkut
kemari!" Pada wajah Ie Kiam terlihat sorot kegirangan, tetapi alisnya masih tetap
mengkerut. "Benarkah itu?" tanyanya, menegaskan. "Aku kuatir sudah terlambat..."
Dan kembali ia jalan mondar-mandir.
Tan Hong dapat menerka orang sedang menghadapi kesulitan, ia kedipkan matanya
kepada In Loei untuk mencegah nona ini berbicara pula. Ia lantas memandang ke
sekitarnya. Ia lihat di bawah lorak ada tumpukan kapur tembok dan di kedua
tepinya telah banyak yang runtuh. Di dalam hatinya, ia menghela napas.
"Jikalau tidak melihat sendiri, siapa sangka Ie Kokloo demikian melarat,"
katanya dalam hati kecilnya. "Rumahnya sudah begini tua, untuk membetulkan
temboknya, ia cuma menitahkan orangnya sendiri..."
Ia angkat kepalanya, ia tampak sebuah syair yang digantung di dalam ruangan itu.
Ia baca: "Seribu kali gali, selaksa kali gempur, digali keluar dari dalam gunung,
Dengan api yang berkobar besar dibakar, bukan main hebatnya,
Tulang-tulang boleh jadi abu, tubuh lebur, tetapi hati tak gentar,
Asal dapat pernahkan nama putih bersih di dalam dunia ini."
Di bawah itu, di sebelah kiri, terdapat tambahan huruf-huruf halus yang
berbunyi: "Dicatat pula di harian tentera Watzu mengurung kota, sebagai kesan."
Di bawah itu ditulis nama Ie Kiam, penulisnya.
Tergerak hati Tan Hong, hingga dengan keras ia berkata: "Ie Thaydjin, oleh
karena kau tidak gentar tulang-tulang dan tubuhmu hancur lebur, kenapa kau jeri
akan segala ocehan tidak keruan atau fitnahan pembesar hikayat?"
Ie Kiam terperanjat, hingga kedua matanya bersinar dengan tiba-tiba. Ia angkat
kepalanya, memandang langit.
"Hiantit," katanya kemudian, "cuma kau seorang yang ketahui isi hatiku. Tapi
urusan ini sangat besar, untukku tulang hancur dan tubuh lebur adalah soal
kedua, hanya aku kuatir, di belakang hari, aku nanti mengalami perkara penasaran
yang tak dapat dilampiaskan..."
Tan Hong mendesak. "Sekarang ini Sri Baginda sudah ditawan musuh," kata dia, "maka itu thaydjin
harus memikirkan negara, mesti thaydjin segera mengambil putusan. Sekarang telah
tiba saatnya! Umpama kata benar di belakang hari raja toh mempersalahkannya,
tetapi thaydjin telah pernahkan nama bersih di antara rakyat, nama itu akan
teringat laksaan tahun, akan tercatat untuk selamanya dalam hikayat. Apakah yang
harus digentarkan pula?"
Alisnya Ie Kiam bergerak pula, ia sudah lantas ambil putusannya. Ia keprak meja
ketika ia berseru: "Hiantit benar! Besok aku angkat raja baru, akan aku basmi
kawanan dorna, lalu aku akan mengepalai sendiri angkatan perang untuk melawan
musuh!" Memang Ie Kiam telah mendengar berita mengenai raja sudah tertawan musuh, hal
mana membuatnya ia menyesal, berduka dan berkuatir. Ia sudah menerka, bangsa
Watzu pasti akan menggunakan raja itu sebagai alat untuk memaksakan segala
permintaannya, maka itu, ia memikirkan daya upaya untuk menghadapinya. Ia sudah
ketahui, jalan satu-satunya ialah mengangkat raja baru, untuk menunjukan bahwa
ia hendak mempertahankan diri, guna membela negara, hanya ia bersangsi sebab ia
sendiri bukannya anggauta kerajaan, kalau ia sendiri saja yang mengepalai
pengangkatan raja baru itu, tanggung jawabnya terlalu besar dan berat. Ia pun
kuatirkan serangan kawanan dorna, sedang dalam kalangan keluarga raja, banyak
yang berpendirian tak tetap. Di samping itu ia pikirkan juga, umpama kata raja
yang tertawan itu mendapat kemerdekaannya kembali dan telah pulang ke dalam
negeri, ada kemungkinan raja itu tak akan mengerti
sikapnya itu, hingga ia akan terancam kebinasaan berikut seluruh keluarganya.
Maka itu, sudah satu hari satu malam ia berpikir keras, masih saja ia belum
dapat mengambil putusan. Sampai sekarang ini Tan Hong telah bicara dengan
tandas, baharu ia dapat mengambil ketetapannya itu.
Di hari kedua, Ie Kiam buktikan perkataannya. Ia himpunkan para menteri besar,
ia utarakan keputusannya dan beritahukan rencananya untuk melawan musuh. Paling
dahulu ia angkat adiknya kaisar Kie Tin, yaitu Kie Giok, menjadi raja, menjadi
kaisar Tay Tjong, sedang Kie Tin diangkat menjadi Tahongsiang. Habis itu
dikeluarkan perintah akan membunuh semua kambrat Ong Tjin.
Setelah Kie Giok naik tahta, ia pakai gelaran negara Keng Tay, lalu dengan
menuruti nasihat Ie Kiam, dalam satu hari itu, telah menghukum mati kambratnya
Ong Tjin yang berjumlah tiga ratus jiwa lebih. Segera Ie Kiam diangkat merangkap
menjadi Pengpou Siangsie, menteri perang, dengan diberi kekuasaan untuk memimpin
angkatan perang guna melawan musuh.
Ie Kiam sudah lantas bertindak sebagai kepala perang, ia kumpulkan tentera, ia
kobarkan semangat rakyat, maka di dalam kota Pakkhia itu, ia berhasil membangun
barisannya, untuk memulai perlawanan terhadap musuh.
Demikian peperangan telah dimulai pula. Sebab Yasian, yang telah berhasil
menawan kaisar Kie Tin, meleset dalam dugaannya. Ia mulanya menyangka, dengan
kaisar musuh dapat ditawan, kota Pakkhia akan dapat dirampas dengan mudah,
dengan begitu seluruh Tionggoan akan terjatuh ke dalam pelukannya, siapa nyana,
Ie Kiam telah bangkit pula. Maka ia menjadi kaget berbareng gusar.
"Maju!" demikian ia serukan tenteranya, untuk mengurung kota Pakkhia.
Pada bulan sepuluh tanggal sembilan, Yasian dapat memukul pecah kota
Tjiekengkwan, pada tanggal sebelasnya, pasukan depannya sudah tiba di luar pintu
kota Saytit moei di barat kota Pakkhia.
Kie Giok tidak punya pendirian, ia sudah lantas usulkan untuk memohon
perdamaian, akan tetapi Ie Kiam menentangnya, menteri perang ini menganjurkan
perlawanan terus, ia sendiri yang pimpin tenteranya. Hebat pertempuran yang
berlaku lima hari lima malam itu. Tentera Watzu berhasil memukul pecah pintu-
pintu Tjianggie moei dan Tekseng moei, akan tetapi tentera Beng melawan terus,
tak peduli banyak sekali kurban yang rubuh. Mereka telah dibantu rakyat penduduk
kota raja, wanita dan pria, tua dan muda, menggulung tangan baju bersama, akan
pertahankan negara mereka. Mereka itu turut naik ke tembok kota, akan melawan
serbuan musuh. Anak panah tidak cukup, tanpa ragu-ragu mereka merusakkan rumah
mereka, mereka pakai batunya untuk melontar musuh. Maka selama lima hari lima
malam itu, hebat suara pertempuran itu, demikian pula jalannya pertempuran.
Tentera Watzu gagah, tetapi menghadapi perlawanan musuh itu, gentar juga hati
mereka. Pada hari ke enam telah datang sejumlah tentara suka rela, yang datang dari
beberapa tempat, bendera mereka tertampak ramai dari atas kota Pakkhia.
Segera Thio Hong Hoe pimpin pasukan Gielim koen, akan menyerbu keluar kota.
Dengan cepat ia telah binasakan tiga perwira musuh yang tanggu.
Menampak demikian, Ie Kiam berikan titahnya untuk menyerbu, maka tentera dan
tentera rakyat segera pentang pintu kota, mereka maju menerjang musuh.
Yasian saksikan nekatnya musuh, ia lantas berikan titahnya untuk mundur. Ia
kuatir nanti sampai pula bala bantuan dari pelbagai tempat, apabila itu sampai
terjadi, ada kemungkinan jalan mundurnya nanti tertutup, hingga ia terkurung.
Hebat kerusakan Yasian karena pengundurannya ini. Pada tanggal sebelas ia masuk
ke Saytit moei, tetapi ketika ia mundur pada tanggal tujuh belas, ia menderita
kerugian sebanyak kira-kira
delapan laksa serdadu yang luka dan binasa, ia mundur tanpa peroleh hasil!
Pada tanggal delapan belas, di luar kota Pakkhia sudah bersih dari musuh.
Sebaliknya dari Thongtjioe dan Hoolam telah datang beberapa pasukan suka rela.
Sebenarnya jumlah bala bantuan itu, cuma beberapa laksa, tidak berarti apabila
dibandingkan dengan besarnya angkatan perang Watzu, tetapi semangat tentera dan
rakyat kota Pakkhia telah berkobar-kobar, sehingga menyebabkan musuh mundur
terpaksa. Maka itu, semua orang sangat bergembira, semua berseru-seru
kegirangan. Ie Kiam sambut dengan baik setiap bala bantuan suka rela itu. Yang membuatnya ia
kagum adalah ketika ia dapatkan satu pasukan yang datang jauh sekali dari
propinsi Kangsouw. Itulah pasukan suka rela di bawah pimpinan In Tiong, pasukan
yang berasal dari tjhoengteng atau penduduk tani ketua dari Tamtay tjhoeng dan
mulanya cuma terdiri dari beberapa ratus jiwa, tapi di sepanjang jalan mereka
dapat mengumpulkan lagi kawan-kawan hingga jumlah mereka semua meliputi seribu
jiwa lebih. Ketika barisan ini tiba di kota raja, jumlahnya tinggal kira-kira
separuh. Sebab di tengah jalan mereka telah bertempur dengan musuh, banyak di
antara mereka terbinasa dan luka, malah In Tiong sendiri terpisah dari mereka,
dari itu, sekarang pasukan itu dipimpin oleh Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong.
Yang paling penting dari barisan suka rela dari Kangsouw ini adalah mereka sudah
tidak mensia-siakan tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh Thio Tan Hong.
Yaitu mereka sudah mengiringi dengan selamat harta warisan Thio Soe Song sampai
di Pakkhia. Dalam kegembiraannya, Ie Kiam lantas undang Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian
Leng Tjoe membikin pertemuan dengan Tan Hong dan In Loei.
Nona In terperanjat mendengar kakaknya lenyap, maka ia lantas tanya, bilamana
dan bagaimana itu terjadinya.
"Itu terjadi kemarin," sahut Tiatpie Kimwan, menerangkan. "In Tjonggoan titahkan
kita menerjang musuh untuk melindungi harta, ia sendiri bertanggung jawab di
bahagian belakang, guna merintangi kalau-kalau musuh mengejar. Nona Tamtay
bersama belasan tjhoengteng pun membantu melindungi dari sebelah kiri. Kami
tahu, tindakan itu berbahaya, tapi karena harta mesti dilindungi, kami tidak
bisa berbuat lain. Kejadianlah yang rombongan kita kena dipotong tentera Watzu.
In Tjonggoan sungguh gagah, ia telah membuka jalan, sayang di tengah-tengah
pertempuran dahsyat itu, sebatang anak panah mengenai Nona Tamtay, hingga dia
tak menerjang terlebih jauh. In Tjonggoan segera kembali ke belakang, untuk
menolongi nona itu. Demikian maka mereka itu jadi terpisah dari kami, yang dapat
membuka jalan dan menuju terus kemari."
In Loei jadi sangat berkuatir dan berduka.
"Syukur musuh telah mundur sekarang," berkata Ie Kiam. "nanti aku titahkan untuk
mencari di sekitar luar kota ini. Aku percaya mereka dapat diketemukan."
Hati In Loei menjadi sedikit lega, tapi ia masih tetap memikirkan kakaknya itu.
Bagaimana keadaannya si kakak, yang menolongi Nona Tamtay itu" Ia jadi lebih
berkuatir karena si Nona Tamtay tengah terluka, entah lukanya itu hebat atau
ringan. Hari itu In Tiong telah menempuh bahaya, ia tunjukkan kegagahannya. Begitu ia
lihat Tamtay Keng Beng terluka panah, segera ia pergi menghampiri untuk
menolongi. Ia putar golok Toanboen too-nya, untuk melindungi si nona dan untuk
membelai dirinya. Dengan tangan kiri, dengan pukulan-pukulan Taylek Kimkong
Tjioe, ia rubuhkan atau mundurkan setiap musuh yang datang dekat. Tapi musuh
berjumlah banyak, mereka terus terkurung. Kematian beberapa puluh musuh tidak
berarti apa-apa. Di saat In Tiong mulai lelah, mendadak ia dengar suara tambur
dan gembreng musuh disusul dengan suara terompetnya, lalu disusul pula dengan
mundurnya barisan musuh. Dengan begitu In Tiong mendapat keringanan, segera ia
membuka jalan darah, untuk
meloloskan diri dari kepungan. Ia tidak tahu bahwa mundurnya musuh disebabkan
Yasian membutuhkan bantuan, untuk angkatan perang Watzu itu mundur seluruhnya.
Selang setengah jam, In Tiong sudah lari cukup jauh, bersama Tamtay Keng Beng,
ia jadi berada jauh dari pasukan musuh. Ia bernapas lega. Ia hanya kaget ketika
ia tampak wajah pucat pasi dari si nona.
"Bagaimana kau rasakan?" ia tanya nona itu.
"Tidak apa-apa," sahut si nona.
Di mulut Keng Beng mengucapkan demikian, akan tetapi les kuda yang ia pegang tak
kencang lagi dan tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak rubuh.
Mau atau tidak, In Tiong bersenyum.
"Adik Tamtay," ia berkata. "Ketika dulu aku terluka, banyak aku terima budimu.
Bukankah kau telah menasihati agar aku jangan paksakan diri berkuat-kuat.
Ingatkah kau akan hal itu?"
Di mulut In Tiong berkata begitu, sepak terjangnya adalah lain. Gesit luar biasa
ia lompat dari kudanya ke kuda si nona, untuk duduk di belakang nona itu, les
kuda siapa ia sambar, untuk mewakilkan memegang kendali, untuk sekalian menjagai
tubuh si nona supaya tubuh itu tidak rubuh terguling.
"Adik Tamtay, kau harus beristirahat," ia berkata pula.
"Mari kita cari satu rumah penduduk untuk menumpang beberapa hari kalau nanti
lukamu sudah sembuh, baharu kita berdaya untuk pergi masuk ke Pakkhia."
Tamtay Keng Beng tidak berkesan baik terhadap In Tiong, akan tetapi sekarang ia
saksikan sikap orang yang lemah lembut dan sangat perhatikan kepadanya, dengan
sendirinya, hatinya tergerak juga. Maka ia biarkan orang bawa padanya.
Sibuk juga In Tiong sesudah ia mencari-cari rumah penduduk di sekitar itu. Dusun
itu telah rusak, penduduknya tidak ada. Dengan
sangat berduka dan, berkuatir, ia mencari terus, sampai di depannya ia tampak
sebuah rumah yang letaknya pada lereng bukit. Dari jauh kelihatan rumah itu
masih utuh juga. "Thian tidak memutuskan jalan makhlukNya," ia berseru. "Akhir-akhirnya kita
menjumpai juga sebuah rumah!"
Tapi Tamtay Keng Beng menggelengkan kepalanya.
"Aku kuatir itu bukannya rumah penduduk baik-baik," ia utarakan kesangsiannya.
"Saudara In, kau mesti berhati-hati..."
"Dalam keadaan seperti kita ini, tak dapat kita terlalu bercuriga," In Tiong
jawab. "Yang penting adalah kau mesti beristirahat!"
Maka ia larikan kudanya ke arah rumah kampung itu. Setibanya di situ, ia bantui
Keng Beng turun dari kudanya, habis mana terus ia mengetok pintu, yang tertutup
rapat. "Siapa?" terdengar suara keras dari dalam rumah.
In Tiong heran. Ia seperti kenali suara itu. "Aku adalah serdadu suka rela dari
Kangsouw," ia lantas menjawab. "Aku hendak numpang menginap." Dengan berani ia
bicara terus terang. Dengan menerbitkan suara, pintu segera di-pentang. Berbareng dengan itu, dari
dalam terdengar suara pula: "Oh, kiranya In Tjonggoan1." Hanya kali ini suara
itu sedikit menggetar, seperti dikeluarkan oleh seorang yang tengah terkejut
berbareng kegirangan. Itulah di luar dugaan In Tiong, apapula ketika ia lihat tegas orangnya yang
berbicara itu, yang berdiri di muka pintu, berendeng bersama orang lain. Untuk
tercengangnya, ia kenali Low Beng dan Low Liang, kedua boesoe atau guru silat
dari istana kaisar. "Saudara-saudara Low, mengapa kamu masih berada di sini?" In Tiong tanya.
"Pada setengah bulan yang lalu," Low Beng menyahut, "ketika aku lihat musuh
datang menyerbu, aku minta ijin cuti, maksudku ialah mengantarkan keluargaku
pulang ke kota raja untuk
melindungi mereka. Di luar dugaan kami, musuh datang terlalu cepat, kami
tercegat, perhubungan kami terputus, hingga kami tak dapat pergi terus ke kota
raja, terpaksa kami menunda di sini. Ah, apakah nona gagah ini pun serdadu suka
rela" Dia terluka, lekas ajak dia masuk! Kami mempunyai obat luka yang
mustajab." "Djiewie, baiklah minum dulu air teh panas," berkata Low Liang, yang terus
menyuruh orangnya menyuguhkan air teh.
Tamtay Keng Beng adalah seorang yang berhati-hati, ia segera berpikir: "Mereka
ini adalah guru-guru silat negara, kenapa di saat gentingnya peperangan, mereka
diijinkan cuti" Dengan mundurnya tentera Watzu, di mana tentera itu lewat, ayam
dan anjing pun tidak aman, rumah-rumah musnah, maka aneh, kenapa cuma mereka ini
yang tetap utuh?" Oleh karena kecurigaannya itu, Keng Beng memandang seluruh rumah. Ia dapatkan di
thia ada pelbagai macam alat senjata. Ia jadi bertambah curiga.
In Tiong rupanya tidak menyangka suatu apa, ia angkat cawan teh, untuk di minum,
tetapi Keng Beng, yang lihat itu, segera kedipkan mata padanya. In Tiong seperti
tidak lihat kedipan mata itu, ia bawa terus cawan teh ke mulutnya. Bukan main
kuatirnya si nona, hampir ia menjerit.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras dan nyaring, tahu-tahu cawan jatuh dan
pecah, air tehnya tumpah berhamburan.
"Ah." In Tiong berseru. "Celaka! Maafkan aku," ia terus mohon. "Tolong ditukar
cawannya..." In Tiong belum tutup rapat mulutnya, atau air teh yang melimpah itu kelihatan
bercahaya seperti api. Itulah tanda air teh itu telah dicampurkan racun. Hal ini
mengejutkan kedua tuan rumah dan tetamunya.
In Tiong pun bercuriga. Ia lantas ingat, Low Beng dan Low Liang adalah
kepercayaannya dorna kebiri Ong Tjin.
Ia memang belum tahu yang Ong Tjin selama di Touwbokpo sudah dihajar mampus oleh
Hoan Tiong tapi ia tahu baik kejahatannya dorna kebiri itu, maka umpama kata
Nona Tamtay tidak memberi tanda padanya, ia sudah berhati-hati sendirinya.
Karenanya ia sengaja melepaskan cangkir teh itu, hingga jatuh pecah dan rahasia
kedua saudara Low itu terbuka!
Low Beng dan Low Liang berseru, dengan lantas mereka lari ke tempat alat


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata, untuk menyambar gegaman mereka masing-masing, habis mana mereka tidak
membuang tempo untuk mengurung tetamunya itu, ialah In Tiong.
Low Beng bersenjatakan sebatang pedang panjang dan Low Liang tameng besi. Dan
pedang Low Beng itu memain di antara gerak-geriknya tameng, yang perdengarkan
suara angin menyambar-nyambar. Itulah ilmu tameng Koengoan pay yang tersohor.
In Tiong bela dirinya dengan tangan kiri, dengan pedang di tangan kanan, ia siap
melayani musuh-musuhnya. "Apakah kamu, kedua saudara hendak memberontak?" ia tegur mereka itu.
Low Beng tertawa bergelak-gelak.
"Tidak salah!" sahutnya, jumawa. "Memang kami hendak memberontak! Kau tahu, kau
masih dalam mimpi, kau masih belum tahu berapa tingginya langit dan berapa
tebalnya bumi!" "Apa kau bilang?" In Tiong tegaskan.
"Hendak aku tanya kau," jawab Low Liang. "Kau bawa pasukan suka rela ke kota
raja, bukankah itu untuk menunjang raja?"
"Memang!" sahut In Tiong sambil mendesak tiga kali, setelah mana, ia tangkis
tameng dan pedang kedua lawannya.
Low Liang tertawa terbahak-bahak.
"Rajamu yang tua bangka itu sudah sejak siang-siang menjadi tawanan bangsa
Watzu!" katanya separuh mengejek. "Bukankah
kau kenal peribahasa, siapa kenal gelagat dialah seorang cerdik" Maka itu
baiklah kau lekas letakkan senjatamu, mari kau turut kami menakluk kepada bangsa
Watzu! Dengan menakluk, kau masih mempunyai harapan memangku pangkat dan hidup
senang, tetapi sebaliknya, kau bakal celaka! Lihat angkatan perang Watzu yang
berada di daerah ini! Kau adalah Boetjonggoan dari kerajaan Beng, umpama kata
kami tidak membunuh kau, kau toh sukar lolos dari kematianmu!"
In Tiong menjadi sangat gusar. Mana bisa ia dibujuk secara demikian" Tapi masih
dapat ia kendalikan diri. Ia tertawa dingin.
"Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang kenal selatan!" katanya. "Maaf,
maafkan aku..." Low Beng menduga bahwa orang telah tergerak hatinya, ia maju mendekati.
"Bagaimana pikiran kau, saudara In?" ia tanya.
Dengan sekonyong-konyong saja In Tiong berteriak keras sekali.
"Pikiranku adalah untuk mengambil jiwa anjingmu!" demikian jawabannya yang
dibarengi dengan satu bacokan hebat.
Low Beng kaget, ia menangkis. Tapi kagetnya bertambah apabila ia dapat kenyataan
pedangnya telah tertabas kutung dan gagang pedang itu hampir saja terlepas dari
cekalannya! In Tiong sedang gusar, ia ulangi bacokannya yang tidak kurang hebatnya. Kali ini
goloknya itu bentrok keras dengan tamengnya Low Liang, yang menggantikan
saudaranya menangkis. Ia terkejut. Juga lawannya terperanjat. Kedua-duanya
merasakan telapakan tangan mereka sakit, panas dan kesemutan.
"Kau mempunyai kepandaian apa maka kau berani pentang bacot lebar?" tegur Low
Liang, sambil terus mengulangi serangannya dengan tamengnya, yang turun dari
atas ke bawah, dalam gerakan "Taysan apteng" - "Gunung Taysan menimpa batok
kepala." Tameng adalah senjata berat, Low Liang pun bertenaga besar sekali, tidak heran
apabila serangannya kali ini sangat mengancam.
In Tiong tidak jeri, dengan berani ia menangkis pula.
"Trang!" demikian satu suara sangat nyaring, yang disusul dengan meletiknya
lelatu api. Hebat kesudahan dari bentroknya kedua senjata itu. Tameng Low Liang sempoak
sedikit dan golok In Tiong pun bengkok ujungnya. Keduanya menjadi kaget, dengan
sendirinya mereka masing-masing mundur tiga tindak.
Low Beng dari samping tidak mengambil peduli orang sedang mundur, ia maju untuk
membarengi menyerang musuhnya. Tapi ia bukannya maju kepada In Tiong, atau
membantu Low Liang, saudaranya, hanya ia lompat kepada Tamtay Keng Beng, yang ia
tikam dengan tiba-tiba, sinar pedangnya berkilauan!
Nona Tamtay sedang terluka, waktu itu ia pun tengah merasakan sakit yang sangat
karena lukanya itu, tenaganya hilang banyak, maka waktu diserang, walaupun ia
melihat dan dapat menangkisnya, tetap ia terancam bahaya. Ia telah terpelanting,
hingga rubuh. In Tiong saksikan musuh berlaku rendah, ia menjadi sangat gusar hingga ia
menjerit, habis mana ia lompat kepada Low Beng itu, untuk menyerang padanya. Ia
tidak pedulikan yang Low Liang, dengan tamengnya, mencoba merintanginya. Ia
dapat mendekati Keng Beng, untuk melindungi nona itu. Ia sudah berlaku seperti
nekat ketika ia coba mendesak kedua saudara Low itu hingga mereka mesti mundur
dulu. Keng Beng dapat kesempatan untuk menyingkir ke ruang dalam.
"In Toako, layani saja musuh-musuhmu itu!" kata si nona kepada si anak muda.
"Kau bikin habis mereka semua, tak usah kau kuatirkan aku!"
Inilah anjuran berharga bagi In Tiong. Pemuda ini membuang napas, lantas ia
menerjang pula. Low Beng tertawa dingin. "Ha, kau benar, sebelum kau sampai di tengah sungai Hong Hoo, kau belum insyaf."
katanya mengejek, menghina. "Sebelumnya melihat peti mati, kau tidak mengucurkan
air mata! Kau harus diperkenalkan pada marah bencana. Lihat pedangku!"
Bagaikan bisa ular menyambar-nyambar, demikian gerakan pedang orang she Low ini,
yang diimbangi, gerak-gerik tamengnya, hingga In Tiong selalu diserang di
bahagian yang berbahaya. Tapi pemuda itu memutar goloknya, hingga ia seperti
terkurung sinar perak yang berkelebatan, berkilauan, dan golok itu pun kadang-
kadang menembus tameng untuk mencari sasarannya. Kedua pihak sama-sama terancam
bahaya, disebabkan sempitnya ruangan, yang membuatnya mereka tak dapat bergerak
dengan leluasa. Pasangan saudara Low ini memang liehay, tameng dan pedang mereka terlatih
sempurna. Demikian di kota raja, pernah mereka melayani Thio Hong Hoe dan Thio
Hong Hoe tak dapat berbuat banyak terhadap mereka. In Tiong kalah dari Hong Hoe,
tidak heran kalau ia lekas terdesak, apapula ia sudah keluarkan terlalu banyak
tenaga. Setelah lewat seratus jurus, tenaganya tak dapat mengiringi lagi
kehendak hatinya, sulit untuknya melakukan penyerangan pembalasan.
Lagi dua puluh jurus, kedua saudara itu nampaknya semakin gagah.
"In Tiong, apakah kau masih tidak hendak menyerah?" tanya Low Beng sambil
tertawa. "Jikalau sekarang kau letakkan golokmu dan mengaku kalah, kita dapat
memberi ampun daripada kematian..."
In Tiong mendongkol tak terkira, ia kertek giginya, ia menyerang dengan sengit.
Setelah beberapa bacokan, yang tidak memberi hasil, ia menjadi lemah pula,
hatinya pun menjadi dingin.
"Walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku sudi menerima penghinaan," ia
berpikir. Ia sudah hendak sambarkan goloknya ke lehernya tetapi ia ingat
sesuatu, hingga ia berpikir pula: "Jikalau
sekarang aku terbinasa, bukankah adik Tamtay ini akan terjatuh ke dalam tangan
orang-orang jahat ini?"
Ia lantas melirik kepada Keng Beng, ia tampak nona itu tengah mengawasi
kepadanya, ia lihat sinar mata orang yang mengandung kedukaan dan kekuatiran
tercampur rasa syukur, pada mana pun berpeta anjuran dan kepercayaan,
pengharapan besar. Tiba-tiba semangatnya jadi terbangun pula.
"Mundur kamu!" sekonyong-konyong ia berteriak, sambil menyerang dengan tangan
kirinya dan mengerahkan semua tenaganya. Itulah serangan hebat dari Taylek
Kimkong Tjioe yang dibarengi dengan seruan bagaikan guntur menggelegar.
Tidak kurang hebatnya adalah suara yang menyusuli seruan itu. Karena serangan
dahsyat itu tepat mengenai tamengnya Low Liang, maka dia menjerit keras sekali!
Dia kaget terkena gempuran Taylek Kimkong Tjioe itu, hingga tamengnya terlepas
dan mental, telapak tangannya dirasakan sakit dan mengeluarkan darah, sedang
sebelah lengannya kehabisan tenaga, tak dapat digerakkan lagi!
Selain Low Liang, Low Beng juga kaget tidak terkira. Inilah di luar dugaan
mereka, sebab waktu itu, musuh sudah terdesak dan nampaknya kehabisan tenaga.
In Tiong di lain pihak dapat tambahan semangat, ia tidak berhenti sampai di
situ, ia malah melanjutkan serangannya - sambil berseru pula, ia menyerang
kembali sehebat tadi. Kali ini tangannya yang liehay itu menyambar ke pinggang
Low Beng. Orang she Low ini cerdik dan licin, ia berkelahi dengan waspada, waktu serangan
tiba, ia berkelit dengan cepat. Ia memang gesit. Akan tetapi In Tiong tidak mau
kalah gesit, habis menggempur yang tidak mengenai sasarannya ia putar tangannya,
kali ini dipakai menyambar pedang lawan!
Percuma saja Low Beng terkejut dan mencoba akan menyingkirkan pedangnya, senjata
itu sudah lantas kena dirampas, akan di lain saat terdengar suara terpatah.
Karena dalam sengitnya, In Tiong tekuk pedang itu, hingga senjata orang itu jadi terkutung dua!
Kedua saudara Low itu terkesiap hatinya, bagaikan sudah berjanji, dengan
serentak mereka lompat keluar rumah, untuk singkirkan diri. Mereka insyaf, tanpa
senjata, mereka tak dapat berkelahi terlebih lama pula. Hanya, begitu lekas
mereka berada di luar, tiba-tiba terdengar mereka tertawa besar.
In Tiong heran hingga ia berdiri melengak. Di saat ia hendak lompat menyusul, ia
dengar teriakan kaget dari Keng Beng: "Celaka!" Sebab seolah-olah rumah itu
bergerak keras, terputar, sejenak saja, kedua anak muda itu terbenam dalam
kegelapan, tubuh mereka pun turut terbalik. Akhirnya terdengarlah suara sangat
berisik. Ternyatalah ruang itu telah dipasangi alat rahasia, dilapis di sebelah dalam
dengan papan-papan tembaga, yang bergerak turun, maka di saat itu juga, In Tiong
berdua Tamtay Keng Beng sudah menjadi orang-orang kurungan.
Dalam murkanya, In Tiong serang tembok tembaga yang mengurung mereka itu, ia
telah gunakan tenaganya. Kesudahannya, ia mesti tarik kembali tangannya yang
dirasakan sakit bukan main, tangannya menjadi semper, sedang kurungannya tidak
bergeming sedikit juga. Dari sebelah luar lantas terdengar tertawa mengejek dari Low Beng dan Low Liang
berdua! "In Tiong, jangan kau umbar hawa amarahmu!" Low Beng mengejek pula. "Kau berdiam
di dalam dengan tenang untuk beberapa hari! Harap saja kau suka memberi maaf
kepada kami yang tidak dapat melayani kamu!..."
In Tiong mendongkol dengan tidak berdaya. Terang sudah kedua saudara Low itu
hendak mengurung mereka supaya mereka kelaparan selama beberapa hari.
Untuk kedua saudara Low, kebetulan saja mereka bertemu dengan In Tiong dan Keng
Beng. Mereka baharu buron dari kota raja, disebabkan mereka merasa panas, mereka
kuatir nanti kena dibekuk karena aksi dari Ie Kokloo yang berbareng dengan
mengangkat raja baru telah menangkapi konco-konconya si dorna kebiri Ong Tjin.
Mereka sering keluar masuk di gedung Ong Tjin, semua orang tahu mereka adalah
kambratnya dorna kebiri itu, karenanya, mereka mendahului kabur. Adalah maksud
mereka untuk pulang dulu ke rumah mereka, untuk mencari suatu pahala untuk nanti
dibawa kepada bangsa Watzu kepada siapa mereka hendak menakluk, maka datangnya
In Tiong berdua adalah sebagai kurban-kurban yang mengantarkan diri...
Di dalam gelap itu, In Tiong meraba-raba.
"Aku di sini," Keng Beng perdengarkan suaranya. Ia menduga si anak muda mencari
padanya. Dengan tindakan perlahan, In Tiong mendekati, tangannya masih meraba-raba.
"Aduh" tiba-tiba si nona menjerit. Karena si anak muda telah menyentuh lukanya.
"Maaf!" In Tiong memohon. Lalu ia menambahkan: "Nona Tamtay, tidak harus
disayangi jikalau aku mesti mati di sini, hanya aku menyesal, aku telah membawa
kau ke tempat celaka ini..."
Tadinya Keng Beng berniat menegur kesembronoan orang, akan tetapi mendengar
suara orang yang halus, ia merasa tak enak sendirinya.
"Bukan kau, aku justeru yang bikin kau celaka!" katanya cepat. "Sebenarnya,
sendirian saja kau dapat menyingkir dari sini."
In Tiong tak tenang hatinya.
"Bagaimana dengan lukamu" " ia tanya. "Sakitkah itu"..."
"Oleh karena kita akan mati, tak perlu aku pedulikan rasa sakit atau tidak,"
jawab Keng Beng. "Bukan begitu," kata In Tiong. "Tidak ingin aku melihat kau bersengsara..."
In Tiong berkata-kata tanpa melihat si nona, kecuali sinar matanya.
Keng Beng berdiam. Semakin berkuranglah kesannya yang kurang baik terhadap si
anak muda, tanpa merasa, hatinya tergerak oleh sikap orang yang halus dan
memperhatikannya itu. Di tempat gelap itu, ia masih tundukkan kepalanya.
"Coba kau buka bajumu," In Tiong minta. "Hendak aku pakaikan obat pada lukamu
itu." Baharu sekarang si anak muda ingat akan luka orang itu.
Sambil mengucap demikian, ia pun ulurkan tangannya perlahan-lahan. Ia
menambahkan: "Kau pegang tanganku ini, kau bawa ke tempat yang luka itu."
Keng Beng rasakan mukanya panas. Tetapi mereka berada di tempat gelap, ia anggap
tidak ada halangannya untuk membuka bajunya. Ia pun memang seorang yang polos.
Maka ia tidak tolak tangan In Tiong. Setelah membuka bajunya, ia bawa tangan
sahabat itu pada lukanya.
Nona ini tidak punyakan cuma satu luka. Luka yang pertama di bahu dan yang
lainnya di punggung. Kedua luka itu diobati In Tiong, siapa merasakan kulitnya
yang halus. Pemuda ini mendapat suatu perasaan aneh ketika tangannya menyentuh
tubuh orang. "Kau muda dan gagah, kau pun telah berkedudukan tinggi," berkata si nona selagi
orang mengobati dia, "kalau sekarang kau terbinasa secara begini kecewa, apakah
itu tidak harus disayangi?"
"Harta pusaka Thio Tan Hong, yang keselamatannya dibebankan kepadaku, hari ini
mesti tiba di kota raja," sahut In Tiong. "Aku berbuat segala apa untuk negara,
kalau untuk tugas sekecil ini aku mesti korbankan diriku, aku tidak menyesal."
Kembali tergerak hati si nona, sejenak itu, kembali berkurang pula kesannya yang
kurang manis terhadap pemuda itu. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Anak ini
agak kukuh, pandangannya pun agak cupat, akan tetapi dia mencintai negara dan
polos, ia mempunyai bahagian-bahagian sifatnya yang baik..."
Sementara itu, tanpa merasa, mereka sama-sama melewatkan sang waktu di dalam
ruang yang gelap itu, entah sudah berapa lama, tatkala mereka dengar berisiknya
suara kuda di arah luar. Terang sudah yang datang bukannya cuma satu penunggang.
"Inilah hebat," berkata In Tiong. "Sekarang ini kota Pakkhia tengah dikurung
musuh, yang datang ini mestinya tentera Watzu, ada kemungkinan besar kita bakal
ditawan mereka... Apabila itu sampai terjadi, aku minta kau suka maafkan aku,
tidak sanggup aku menolong kau terlebih lama pula, hendak aku bunuh diri, sebab
tak sudi aku tertawan dan terhina!"
Mendengar itu, sebaliknya dari kaget dan berkuatir atau berduka, Nona Tamtay
justeru tertawa. "Jikalau kau terbinasa, apakah kau kira aku akan hidup sendirian saja?" demikian
katanya. "Jikalau aku terus tinggal hidup, aku mensia-siakan pengharapan Thio
Tan Hong!" In Tiong berpikir apabila ia dengar perkataan orang itu. Pun agak luar biasa
lagu suaranya si nona selagi dia menyebut nama Tan Hong. Itulah lagu suara tak
sewajarnya. "Kiranya dia lebih menghargai Tan Hong daripada aku," pikirnya pula.
Suara kuda di luar terdengar datang semakin dekat, akhirnya tiba di muka rumah
dan lalu berhenti. Menyusul itu terdengar tindakan kaki orang yang mendatangi.
Tanpa merasa, In Tiong pegang tangannya si nona dan menyekalnya dengan keras,
yang mana dibalas oleh si nona. Keduanya membungkam.
Segera juga terdengar suara pertanyaan dari luar, suara yang kaku: "Siapa yang
terkurung di dalam kamar rahasia ini?"
Terkejut In Tiong, akan kenali suara itu. Ia segera berbisik di kuping si nona:
"Dialah Tantai Mie Ming, pahlawan Watzu!..."
"Ya, aku pun kenali suaranya itu," jawab Keng Beng. "Dialah kakakku sepupu. Pada
bulan lima yang baharu lalu dia pernah datang secara diam-diam ke Souwtjioe,
untuk beberapa hari dia tinggal bersama kita di Tongteng Santjhoeng."
In Tiong heran dan beragu-ragu. Ia memang belum ketahui halnya keluarga Tamtay
ini. Maka ia berpikir dalam hatinya: "Tantai Mie Ming gagah perkasa, jikalau aku
tertawan dia, sudah pasti aku tak akan dapat kesempatan untuk membunuh diri..."
"Kau jangan bersuara," Keng Beng kata dengan perlahan. Dia rupanya menyangka si
anak muda akan mengucapkan sesuatu. "Hari ini kita tidak akan nampak bahaya.
Coba kau dengar apakah katanya kakakku itu terhadap mereka?"
Mereka dengar suaranya Low Beng: "Harap Tjiangkoen ketahui, orang-orang yang
terkurung di dalam sini bukannya orang-orang biasa saja..."
"Orang-orang macam apakah mereka itu?" Mie Ming tanya.
"Pasti Tjiangkoen akan jadi girang sekali apabila aku mengatakannya, kata pula
orang she Low itu. "Yang satu adalah In Tiong, Boetjonggoan baru. Dia pernah
jadi tongnia dari Gielim koen. Ketika dulu Tjiangkoen datang ke kota raja, pasti
Tjiangkoen pernah bertemu dengannya. Di dalam kalangan Gielim koen, dia sekarang
ini cuma berada di bawahan Thio Hong Hoe. Bukankah dia seorang yang penting"
Yang lainnya adalah satu nona, katanya ia ada punggawa suka rela yang datang
dari Kangsouw. Tjiangkoen tahu, ia adalah satu nona yang cantik sekali!
Sebenarnya aku telah merencanakan untuk mengurung mereka selama beberapa hari,
kemudian akan aku bekuk dia, si nona sendiri hendak aku serahkan kepada


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjiangkoen, maka kebetulan sekali, sekarang Tjiangkoen telah tiba. Silakan Tjiangkoen ambil
putusan sendiri mengenai mereka itu."
"Satu nona yang datang dari Kangsouw?" Tantai Mie Ming tegaskan. "Tahukah kau
she-nya?" "Belum sempat kami periksa dia, Tjiangkoen," jawab Low Beng. "Sekarang
Tjiangkoen ada di sini, Tjiangkoen saja yang periksa dia itu. Umpama kata
Tjiangkoen penuju nona itu, tinggallah dia di sini. Mengenai ini, tidak nanti
aku buka rahasia terhadap Thaysoe..."
Dengan Thaysoe itu, Low Beng maksudkan Yasian.
Berani Low Beng dan Low Liang, mereka hendak persembahkan nona itu kepada
kakaknya si nona sendiri!
Mendengar itu, Tamtay Keng Beng mendongkol berbareng merasa lucu.
Segera terdengar suaranya Tantai Mie Ming: "Baiklah, sekarang kamu keluarkan
mereka, hendak aku melihatnya!"
Boleh dibilang baharu panglima itu mengucapkan perkataannya, atau mendadak In
Tiong dan Keng Beng dengar satu suara nyaring yang disusul dengan berputarnya
ruangan dengan keras, lalu daun jendela terbuka. Maka sekejap saja mereka itu
melihat pula sinar terang dari langit.
Dengan lekas pintu pun terpentang. Hingga di muka pintu terlihat tubuh Tantai
Mie Ming yang besar dan tegap, wajahnya dingin dan bengis.
"Adakah ini mereka itu?" dia menegaskan.
"Ya Tjiangkoen, benar mereka," jawab Low Beng. Ia terkejut ketika ia tampak
wajah panglima itu, hingga ia menambahkan: "Eh eh, Tjiangkoen, apakah yang
kurang beres"..."
Pertanyaan itu belum habis diucapkan ketika Tantai Mie Ming, dengan kesehatannya
yang luar biasa, sudah menyambar Low Beng dan Low Liang dengan kedua tangannya
dan sebelum orang tahu apa-apa, kepala mereka telah diadukan satu dengan lain,
hingga sambil keluarkan jeritan tertahan, tubuh mereka rubuh dengan bermandikan darah,
sebab kepala mereka pecah, polonya berhamburan!
Tamtay Keng Beng girang bukan kepalang, hingga ia lompat akan tubruk kakaknya
itu sambil berseru: "Kokol"
"Bukankah kau terluka panah?" kakak itu berkata. "Mari perlihatkan lukamu itu! -
Ah, tidak apa-apa!" ia segera menambahkan. "Kali ini kau sangat menderita. Kau
kurang pengalaman, kau telah terjebak dua saudara Low itu. Pasti kau kaget,
bukan" Tapi anak muda menderita, ia dapat pengalaman, inilah baik juga sebagai
latihan..." In Tiong berdiri melengak di samping. Ia awasi Keng Beng dan Mie
Ming bergantian,tak dapat ia berkata suatu apa. Ia masih berdiam saja sampai Mie
Ming berpaling kepadanya dan tertawa.
"Saudara In Tiong, sungguh kebetulan!" demikian katanya. "Kita rupanya berjodoh
maka di sini kita bertemu pula! Hanya kali ini kau tak usah mengadu jiwa lagi
denganku..." Ia tertawa pula. Terus ia menanya lagi: "Saudara, kau telah datang
ke Souwtjioe, apakah kau telah ketemu Thio Tan Hong?"
"Ya, aku bertemu dengannya," sahut In Tiong, meski sebenarnya ia heran.
"Apakah permusuhan di antara kamu kedua keluarga telah dapat dihapuskan?" Tantai
Mie Ming tanya. Anak muda itu berdiam, ia tidak menjawab. Keng Beng sebaliknya, menggelengkan
kepalanya terhadap kakaknya.
Mie Ming berkata pula: "Ini adalah urusan kamu berdua keluarga, aku adalah orang
luar, tak dapat aku mencampuri urusan itu, akan tetapi ingin aku memesan kau,
bila kau nanti bertemu pula dengan Tan Hong, tolong kau sampaikan padanya agar
ia melegakan hatinya, karena pengurungan atas kota Pakkhia sudah buyar dan
angkatan perang Watzu dalam tempo beberapa hari lagi mungkin akan sudah
berangkat kembali ke negerinya." Mendengar itu, girang Tamtay Keng Beng.
"Ah, benarkah itu?" dia tanya. "Koko, adakah itu Yasian yang mengatakannya
padamu?" "Tidak nanti dia dapat memberitahukannya sendiri hal itu kepadaku," jawab sang
kakak. "Hanya aku melihat gelagat, tak dapat tidak, mesti dia bawa kembali
pasukan perangnya itu. Sebenarnya aku tengah menerima titah dari Yasian itu,
ialah dia yang menugaskan aku menjaga kota Ganboenkwan... Yasian kuatir tentera
suka rela pihak Beng nanti memutuskan perjalanannya kembali, dia menitahkannya,
sambil menjaga kota Ganboenkwan itu, aku harus memecah pasukanku untuk memapak
dia. Sementara itu diam-diam aku telah kisiki Kimtoo Tjeetjoe supaya, di harian
aku berangkat, dia datang menyerbu kota Ganboenkwan itu. Kemarin dahulu aku
terima warta, bahwa tentera Watzu yang menjaga kota Ganboenkwan itu sudah
bentrok dengan tentera suka rela di luar tembok kota, kesudahannya tentera itu
telah dirusak separuhnya oleh Kimtoo Tjeetjoe. Yasian tidak menyangka tindak
tandukku ini, dia hanya menduga, karena kepergianku tenaga tenteranya di
Ganboenkwan menjadi kurang banyak, karena mana, tenteranya itu jadi kalah
perang. Kekalahan itu membuatnya angkatan perang Watzu goncang. Sudah begitu,
keadaan di dalam negeri pun nampaknya tak tenang. Aku lihat, tidak sampai
setengah bulan, dia akan sudah mundur sendirinya."
In Tiong dengar perkataan orang itu, dia berdiri menjublak. Sungguh ia tidak
pernah sangka sikapnya Tantai Mie Ming ini, yang secara diam-diam sudah
Pukulan Naga Sakti 26 Pendekar Naga Putih 59 Sepasang Pedang Iblis Panji Wulung 4
^