Dua Musuh Turunan 19
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 19
lebih aku tidak memikir untuk menimbulkan peperangan di antara kedua negara."
"Habis, kenapa kau bawa pasukan dan menyerang kami?" In Tiong tanya.
"Itu... itu..." lalu See Too berdiam, tak dapat ia buka terus mulutnya.
Tan Hong tertawa dingin pula.
"Kau hendak bicara atau tidak?" tanyanya. Dengan dua jari tangannya, ia lantas
menotok. See Too mengeluh kesakitan. Ia merasakan totokan itu bagaikan ratusan batang
jarum yang menusuk-nusuk tubuhnya, sakitnya bukan buatan.
"Ampunilah aku, nanti aku bicara, aku bicara..." sahutnya kemudian sambil
meringis-ringis menahan sakit.
Tan Hong menepuk jalan darah enghiat too orang. Sejenak saja, lenyap rasa
sakitnya si orang tua. "Jikalau kau mendusta setengah patah kata saja, akan aku beri rasa pula padamu!"
si anak muda mengancam. Ia berwajah lemah lembut akan tetapi suaranya, sikapnya,
keren sekali. "Semua ini adalah Yasian yang perintahkan aku melakukannya," benar-benar See Too
berikan pengakuannya. In Tiong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
"Jangan ngaco!" ia membentak.
"Aku bicara dari hal yang benar," menjawab See To. "Yasian tugaskan aku
menyerang kamu untuk diculik, setelah itu nanti dia
kirim pasukan perangnya untuk menolongi kamu. Dengan begitu hendak dia membikin
seperti juga tentera negeri melabrak penjahat. Dengan itu jalan hendak Yasian
pengaruhi kamu, supaya kamu terjatuh ke dalam genggamannya hingga kamu jadi
bersyukur terhadapnya."
In Tiong heran hingga ia berdiam saja. Tak dapat ia menerka siasat Yasian itu.
"Sungguh tipu daya yang sangat busuk!" berkata Tan Hong sambil tertawa
tawar."Ini dia tipu daya yang dinamakan dengan sebutir batu menimpuk tiga ekor
burung. Yang pertama ialah Yasian hendak membikin runtuh pamormu sebagai utusan
kerajaan Beng, supaya kau mendapat malu besar."
"Jikalau Yasian berhasil menawan kau dan dia dapat berpura-pura menolongmu,"
berkata Nona Keng Beng, "itu artinya kau telah terjatuh ke dalam genggamannya!
Atau lebih benar, kau menjadi orang tawanannya hingga tak dapat kau berbicara."
"Dengan begitu," Tan Hong menyambungkan, "kalau nanti telah di mulai dengan
perundingan perdamaian, Yasian menjadi menang di atas angin, dia dapat
mengajukan syarat-syarat yang menghina Tionggoan. Kau berada dalam tangannya,
tidak dapat kau bersikap keras."
In Tiong mengerti sekarang, dan iapun insyaf bahwa ia nyata kalah cerdas dari
Tan Hong dan Tamtay Keng Beng.
"Pasukan tentara yang Yasian akan kirim itu, di mana nantinya mereka bertemu
dengan kau?" Tan Hong tanya pula See Too.
"Di depan, di mulut gunung ini," See To jawab. "Bagus, kau benar tidak
mendusta!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Baiklah, aku kasih ampun padamu,
kau boleh tak usah mati!"
Di mulut pemuda ini mengucapkan demikian tetapi tangannya dengan sebat sekali
menepuk dua kali beruntun tubuhnya orang she See itu, dengan begitu ia pukul
remuk tulang piepee orang itu, hingga habis sudah tenaga dan kepandaian
silatnya, untuk selanjutnya, meskipun See Too mengarti Toksee Tjiang, ilmu tangan jahat, ilmu
itu tak dapat digunai lagi terhadap lain orang. See Boe Kie pun tidak luput dari
tepukan Tan Hong, kemudian anak dan ayah oleh Tan Hong dibawa keluar tenda.
"Sekarang pergilah kamu!" Tan Hong memberi ijinnya. Atau lebih benar ia usir
kedua orang she See itu. "Bagaimana besok kita hadapi tenteranya Yasian itu?" tanya In Tiong sesudah Tan
Hong kembali ke dalam tenda. Tan Hong tertawa.
"Sekarang baiklah kau tidur dulu, untuk beristirahat," jawabnya. "Kau percaya
aku, dapat aku layani mereka, akan aku bikin kau tidak usah hilang muka..."
Selagi In Tiong belum sempat mengatakan sesuatu, Keng Beng mendahului ia.
"Thio Toako," katanya sambil bersenyum, "kau pandai sekali menghitung, segala
apa seperti telah masuk dalam terkaanmu, apakah kau mengerti ilmu meramal hingga
kau ketahui segala apa di muka?"
In Tiong cocok dengan pertanyaannya si nona. Ia memang heran kenapa Tan Hong
tahu segala niat musuh, hingga dapat dihindarkan ancaman bahaya hebat itu.
Sebenarnya ia ingin menanya, tetapi si nona telah mendahuluinya, ia jadi turut
menantikan penjelasan. Tan Hong tidak menjawab, hanya sambil kibaskan tangannya, dia tertawa pula.
"Rahasia alam tak dapat dibocorkan!" katanya Jenaka. "Besok pagi kamu akan
ketahui sendiri! Saudara In, sekarang kau tidurlah!"
In Tiong menjadi masgul, tetapi karena ia tidak dapat memaksa, terpaksa ia
menurut saja untuk tidur.
"Eh, hampir aku lupa akan satu hal!" berkata Tan Hong tiba-tiba, selagi orang
hendak rebahkan diri. "Tunggu sebentar! - Adik Tamtay, bagaimana dengan kakimu?"
In Tiong awasi anak muda itu, Keng Beng sebaliknya mencoba-coba menggerak-
gerakkan kakinya. "Rasanya sedikit kaku, tak leluasa untuk dipakai bergerak," sahut nona ini. Ia
pun lantas gulung kedua ujung celananya.
In Tiong lihat kaki orang itu, dia terperanjat.
"Hai, betismu merah dan bengkak!" dia berseru. Ini memang hal yang ia kuatirkan.
"Tan Hong, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau ada punya daya untuk
mengobatinya?" Sekarang pemuda ini ingat perkataan si orang she Thio tadi.
"Benar," Tan Hong menjawab, cepat, "hanya aku hendak minta kaulah yang tolong
mengobatinya." In Tiong heran, ia mengawasi pula. Si nona pun kurang mengerti.
Tan Hong merogo ke dalam sakunya, dari situ ia keluarkan sebatang jarum.
"Kau pegang ini," ia berkata kepada si utusan kaisar Beng. "Kau tahu jalan darah
yongtjoan hiat di kaki itu, kau tusuk jalan darah itu dua kali, lalu kau tusuk
dua kali juga jalan darah hongbwee hiat. Besok pagi, bengkak dan tanda merah ini
akan hilang lenyap. Jangan kamu berkuatir. Besok aku ajarkan pula caranya untuk
menusuk dengan jarum ini."
Anak muda ini ajarkan bagaimana In Tiong mesti menusuknya, yang lalu diturut
oleh orang she In ini. Nona Keng Beng cuma merasakan sakit sedikit waktu
ditusuk. Ia memang gagah dan berani, tusukan itu tidak berarti baginya.
"Hawa udara di Watzu ini buruk," berkata Tan Hong kemudian, "ada orang-orang
yang tidak keruan-ruan bisa sakit tulang-tulang kakinya seperti kau ini, adik
Tamtay. Ilmu mengobati menusuk dengan jarum ini, tidak hanya dapat menyembuhkan
segala penyakit sakit di buku tulang seperti ini, bahkan dapat menolong
orang yang telah menjadi pincang. Saudara In, tidak dapat kau tidak
mempelajarinya ilmu menusuk jarum ini!"
In Tiong tidak menyahuti, tetapi di dalam hatinya ia kata: "Keng Beng tidak
pengkor, untuk apa kau ngoce banyak seperti ini?" Tapi masih Tan Hong bicara
lebih jauh, maka ia memotongnya: "Baiklah, masih ada tempo untuk aku belajar
besok..." "Memang, tak dapat kau tidak mempelajarinya!" Tan Hong berkata pula. Apakah kau
merasa sebal" Baiklah, kitab ini juga aku berikan padamu! - Eh, adik Tamtay, kau
harus anjurkan dia mempelajarinya!"
Dan ia robek beberapa lembar dari kitabnya, lembaran robekan itu ia belesakkan
ke dalam tangannya In Tiong!
Bukan main herannya utusan raja Beng ini, hingga ia lupa untuk menghaturkan
terima kasihnya. Nona Tamtay cerdas, ia heran kenapa Tan Hong begitu mendesak hendak mengajarkan
In Tiong ilmu pengobatan menusuk jarum itu, tapi beda daripada In Tiong, ia
mengerti mesti ada sebab-sebabnya. Maka itu, ia lantas tertawa.
"Karena Thio Toako bermaksud baik, kau terimalah!" ia desak si utusan.
In Tiong terpaksa terima resep pengobatan jarum itu, karena Keng Beng telah
mengatakan demikian, ia hanya tetap masih tidak mengerti, ia tetap merasa heran.
"Bagus!" berkata Tan Hong tanpa pedulikan keheranan orang. "Sekarang dapat kau
mengobati sendiri pada adik Tamtay! Aku tak usah mengganggu pula padamu..."
Lantas ia undurkan diri. Keesokannya pagi, Tan Hong adalah yang paling dulu
bangun dari tidurnya. Malah dia terus pergi ke tenda In Tiong, akan banguni
utusan kaisar Beng itu. "Bagaimana lukanya adik Tamtay?" Inilah pertanyaannya yang pertama-tama. In
Tiong tertawa. "Ilmu pengobatanmu dengan jarum itu benar-benar liehay sekali!" ia menjawab,
"Tadi malam, belum lewat setengah jam sehabis dia ditusuki dengan jarum, dia
sudah lantas bisa bergerak dengan merdeka seperti biasa!"
"Kalau begitu, sekarang kita dapat berangkat dari sini," Tan Hong bilang. "Kau
perlu ketahui, di belakang kita masih harus terjadi suatu pertunjukan sandiwara
yang menarik hati!" In Tiong tidak mengerti, ia heran. Peristiwa apa lagi yang dimaksudkan pemuda
ini" Dia bicara begitu tenang dan gembira. Bukankah mereka akan menghadapi pula
pasukannya Yasian" Bagaimana pasukan itu hendak dihadapinya" Ia juga tetap heran
kenapa Tan Hong ketahui mereka terancam bahaya dan datang malam-malam untuk
menolongnya... Oleh karena ia tidak tahu apa yang si anak muda bakal lakukan, terpaksa In Tiong
serahkan pimpinan kepada si anak muda itu.
Seperti sudah diketahui, di dalam pertempuran semalam, dari delapan belas
pahlawannya In Tiong, tiga telah terluka, tetapi semua mereka pandai menunggang
kuda, maka itu, utusan ini titahkan mereka pergi ambil kudanya barisan penyerbu
di bawah pimpinan See Too itu. Di tempat pertempuran masih ada kudanya pasukan
itu, binatang-binatang itu tidak kabur semuanya, dua puluh di antaranya dipilih
dan diambil. Setelah semua sudah siap, orang mulai keluar dari lembah itu.
Baharu rombongan ini tiba di muka gunung, dari sebelah depan mereka sudah dengar
suara dari banyak kuda berlari-lari, pada itu tercampur seruan-seruan dari
pasukan yang buyar. "Itulah mirip pasukan yang kabur tunggang langgang," In Tiong utarakan
dugaannya. Tan Hong tertawa mendengar pengutaraan itu.
"Pertunjukan sandiwara akan segera di mulai!" ia berkata dengan penyambutannya.
"Kamu tunggu dan lihat saja!"
Mereka berjalan terus, hingga mereka melewati jalan yang menikung. Dari sini
mereka lantas lihat debu mengepul di sebelah depan mereka, lalu tertampak
mendatanginya satu pasukan tentera Mongol terdiri dari kira-kira tiga puluh jiwa
yang tidak keruan seragamnya, kudanya meringkik kecapean. Itulah pasukan yang
kalut kalah perang! Rombongannya Tan Hong berdiam mengawasi pasukan itu, yang datang menghampirkan
mereka, di antara orang yang menjadi pemimpin maju kemuka sekali sampai di depan
In Tiong, terus ia angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat seperti cara
tentera Tionggoan. "In Soesin telah tiba di negara kami, maaf kami telah terlambat menyambutnya."
berkata dia. Dengan "soesin" dia maksudkan "utusan kaisar Tiongkok".
"Kami adalah wakilnya Thaysoe Yasian," sahut perwira itu. "Kami ditugaskan
menyambut In Soesin yang telah tiba di negara kami. Ah, Thio Kongtjoe juga ada
di sini. Bagus!" Perwira itu lihat Tan Hong, yang ia kenali. Ia adalah Ngochito, pahlawan nomor
satu dari Perdana Menteri Yasian. Menghadapi pemuda she Thio itu, agaknya ia
likat, walaupun udara lembab, ia mengeluarkan peluh di keningnya.
Tan Hong bersenyum. "Sungguh sempurna perlayanan thaysoe kamu!" ia berkata.
Sambil mengucap demikian, dengan tiba-tiba pemuda ini majukan kudanya, sampai di
dekatnya Ngochito, menyusul mana sebelah tangannya menyambar kepada satu perwira
di sisi pahlawan nomor satu dari Yasian itu, lalu dengan paksa ia tarik tubuh
orang. Perwira itu bukan sembarang perwira, walaupun ia telah kena dicekal, ia masih
dapat membuat perlawanan. Begitulah, setelah tangannya tak berdaya, ia ayun
kedua kakinya, untuk menendang orang yang mencekuk padanya. Akan tetapi Tan Hong
sudah bersedia untuk segala apa, ia mendahului menotok, maka perwira itu lantas diam
bagaikan mayat hidup! Kejadian ini ada di luar dugaan siapa juga, terjadinya sangat cepat, semua orang
menjadi terkejut dan heran.
Ngochito tak dapat menahan sabar.
"Thio Kongtjoe, mengapa kau berlaku begini tidak tahu aturan?" dia menegor.
Tan Hong tidak gubris tegoran itu, ia terus kerjakan kedua tangannya. Lebih
dahulu ia robek seragamnya si perwira, terus ia buka baju lapis kulitnya, hingga
tertampak bebokong orang di mana terlihat satu tanda yang luar biasa sekali,
ialah cacahan huruf "tjat" (= "bangsat"). Huruf itu adalah huruf "tjodjie" -
tulisan ringkas. "Siapakah yang tidak tahu aturan?" Tan Hong tanya sambil tertawa. "Kau pernah
pelajari huruf Tionghoa, kau kenal huruf ini, bukan" Ha, syukur aku sempat
membuat tanda!" Sambil berkata demikian, pemuda ini lemparkan tubuhnya perwira itu ke arah In
Tiong, maka satu pahlawan segera menyambutnya untuk diringkus.
"In Soesin." berkata Tan Hong, sekarang kepada In Tiong, si utusan kaisar Beng.
"Perwira ini adalah si bangsat yang tadi malam dapat meloloskan dirinya! Dialah
yang bernama Ma I Tjan, salah satu pahlawan di bawahnya Thaysoe Yasian! Silakan
kau bawa dia untuk dikembalikan kepada thaysoe Yasian itu!"
Ngochito jadi sangat gusar, hingga ia seperti lupa segala apa. Ia angkat
goloknya, dengan itu ia serang Tan Hong!
Si anak muda tidak tinggal diam saja, segera dengan pedangnya ia menangkis,
untuk melayani bertempur. Setelah beberapa jurus, dengan tiba-tiba ia tertawa
berkakakan. "Apakah belum cukup kau rasakan kesengsaraan yang tadi malam kau derita?" ia
menanya. "Kau ingin terjatuh ke dalam tanganku atau ke dalam tangannya musuh
dari Thaysoe Yasian?"
Ngochito tercengang tetapi segera dia mencaci: "Jadinya tadi malam adalah kau
yang mengacau, binatang!" Lalu dengan bacokan "Toapek Hoasan" = "Menggempur
gunung Hoasan," dia menghajar dengan bengis.
Tan Hong seorang pemberani, ia kerahkan tenaganya, ia menangkis sambil membabat,
maka itu pedangnya, pedang Pekin kiam si Mega Putih lantas bentrok keras dengan
golok pahlawannya Yasian itu. Sebagai akibatnya bentrokan itu, ujung golok
Ngochito telah terpapas buntung, atas mana dia segera larikan kudanya untuk
menyingkirkan diri. "Sekalipun kau hendak lari, tak dapat kau wujudkan itu!" berkata Tan Hong sambil
tertawa. "Kau lihat di sana - siapa itu yang sedang mendatangi?"
Tan Hong menunjuk ke depan, dari mana seekor kuda kelihatan lari mendatangi
cepatnya bagaikan terbang, hingga seperti tertampak hanya sebuah bayangan putih.
Ketika Tamtay Keng Beng sudah lihat tegas siapa si penunggang kuda itu, dia
berteriak bagaikan bersorak: "Kakak!"
Orang yang tengah mendatangi itu memang Tantai Mie Ming dan binatang
tunggangannya adalah kuda putih Tjiauwya saytjoe ma kepunyaannya Tan Hong!
Ngochito kenali jenderal itu, ia kaget hingga semangatnya seperti terbang
meninggalkan raganya, meski begitu masih sempat ia memanggil: "Tantai
Tjiangkoen..." Tantai Mie Ming menyambut dengan tertawanya yang nyaring.
"Bangsat, sekarang akan aku bikin kau kenal kepada Tantai Mie Ming!" ia berkata.
Oleh karena mereka telah datang dekat satu pada lain, Mie Ming segera serang
pahlawannya Yasian itu, yang hatinya sudah kuncup, hingga dia tidak dapat
menangkis atau berkelit lagi, maka sekali hajar saja, dia telah dibikin rubuh
terjungkal dari atas kudanya.
Mie Ming benci pahlawan itu. Ketika baharu ini Yasian titahkan Ngochito kurung
Thio Tjong Tjioe, ia telah diperhina, sekarang setelah ia letakkan jabatannya,
ia dapat tidak memandang-mandang lagi. Begitulah ia umbar penasarannya itu.
Ngochito ada punya sisa kira-kira tiga puluh serdadu, mereka itu semua kenal
Tantai Mie Ming sebagai satu pahlawan perang Watztu yang kesohor gagah, maka itu
menampak jenderal itu, bahna takut dan kagetnya, beberapa serdadu telah rubuh
sendirinya dari kudanya. Yang lainnya, semua lari kabur!
Tanpa menghiraukan tentara yang kabur sera-butan itu, Tantai Mie Ming lompat
turun dari kudanya, untuk belenggu Ngochito. Sebenarnya ia hendak lantas bicara
kepada In Tiong dan Tan Hong tatkala utusan kerajaan Beng itu perlihatkan roman
kaget. "Lihat, Yasian sungguh berani! Dia kirim pasukan perang besar!" dia berseru
sambil memandang ke depan, tangannya menunjuk.
Tantai Mie Ming berpaling, lantas dia tertawa.
"Itulah bukan pasukan perang Yasian," katanya.
Sebentar saja, pasukan tentara itu telah tiba, lalu yang menjadi kepala perang
menghampirkan Tantai Mie Ming dan bicara, setelah mana, jenderal ini ajar kenal
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu kepada utusan Beng ini.
Nyata pasukan perang itu adalah pasukannya suatu suku bangsa. Ketuanya yang
telah marhum telah binasa di tangannya Yasian, lalu ketuanya yang sekarang,
dipaksa Yasian tunduk kepadanya.
Tapi ketua ini membangkang, justeru dia dapat tahu ada bentrokan di antara
Yasian dengan Atzu Tiwan, dia lari ke pihaknya Tiwan. Diapun bergabung dengan
Tantai Mie Ming. Tadi malam Ngochito memimpin tentara yang berjumlah lima ratus jiwa, dia hendak
menyambut rombongannya See To dan See Boe Kie untuk menyergap In Tiong, tetapi
Tan Hong keburu datang dan mengatur siasat, Tan Hong sendiri pergi langsung
menolongi In Tiong, Mie Ming bersama barisan suku bangsa itu mencegat barisannya
Ngochito, yang mereka serbu, dalam pertempuran
malam buta rata itu, pasukan Ngochito kena dipukul rusak hingga dia kabur
bersama sisa serdadunya kira-kira tiga puluh jiwa itu, sampai dia ketemu Tan
Hong dan rombongannya In Tiong itu. Lacur baginya, sisa serdadu-serdadunya, yang
barusan lari serabutan, semuanya kena ditawan barisan suku bangsa itu. Maka
ludaslah pasukannya Yasian itu.
Setelah mendengar pembicaraan antara Tantai Mie Ming dan ketua suku bangsa itu,
serta Tan Hong juga, baharulah In Tiong seperti sadar dari mimpinya. Jelas semua
itu adalah Tan Hong dan Mie Ming yang mengaturnya, dengan dapat bantuan barisan
suku bangsa itu, maka usahanya Ngochito - atau lebih benar usahanya Thaysoe
Yasian - dapat digagalkan. Lebih kebetulan lagi Tan Hong menyelusup ke tangsi
musuh, ia jadi ketahui rencananya Ngochito dan See Too, yang bekerja menurut
titahnya Yasian. Tan Hong dan Mie Ming pun sama-sama bekerja dengan baik dan
berhasil, yaitu memperoleh kemenangan.
Pahlawan Yasian yang bernama Ma I Tjan itu mula-mula menggabungkan diri pada
Ngochito, dia melihat tanda unggun dari See Too, maka dia lantas berangkat untuk
memberikan bantuannya. Apa lacur, dia tidak sanggup lawan In Tiong, dia kena
dihajar utusan Beng itu, sesudah mana, Tan Hong dapat kesempatan untuk mencorat-
coret huruf "tjat" = "bangsat" di bebokongnya tanpa dia merasa. Tentu saja,
karena kena tertawan, dia tidak dapat buka mulutnya lagi.
Ketika In Tiong dan si ketua suku membuat pertemuan, mereka saling menghadiahkan
"hata," Itulah adat kebiasaan dari suku bangsa Mongol ini. Hata itu adalah
semacam sapu tangan sutera, tanda dari penghormatan. Kemudian mereka berembuk
akan mengambil putusan, ialah:
Ngochito dan Ma I Tjan diserahkan kepada In Tiong sebagai orang-orang tawanan.
Ketua suku bangsa itu peroleh semua orang tawanan serta alat senjatanya dan
lainnya kepunyaan pasukannya Ngochito itu.
In Tiong tidak dapatkan kerugian suatu apa, malah kudanya semua telah didapat
pulang. Ketua suku bangsa itu girang bukan main, sebab ia peroleh banyak kuda, ransum
dan alat senjata, maka di waktu ia hendak berpisahan dari Tan Hong beramai,
berulangkah ia menghaturkan terima kasihnya, seperti Tan Hong pun mengucap
banyak terima kasih terhadapnya. Mereka berpisahan sesudah barisan suku bangsa
itu mengantar sampai di luar mulut lembah.
In Tiong melanjutkan perjalanannya sesudah tengah hari, matahari memancarkan
cahayanya hingga buyarlah hawa dingin. Ia merasa gembira sekali. Bukankah ia
telah lolos dari ancaman bencana dan berbalik menjadi peroleh kemenangan"
"Beruntung tadi malam ada kau!" ia berkata kepada Tan Hong. "Yasian hendak
membikin runtuh kepadaku, siapa tahu, sebaliknya dialah yang berbalik terjatuh
ke dalam tangan kita!"
Tan Hong bersenyum, ia tidak menjawab. "In Toako," Tamtay Keng Beng turut
bicara, "kau juga turut berjasa, karena kaupun tidak menjadi gentar atas serbuan
musuh!" Nona ini jalankan kudanya berendeng dengan kudanya si utusan kaisar, ia pun
gembira sekali, wajahnya berseri-seri.
Tantai Mie Ming awasi adiknya itu, lalu di dalam hatinya ia tertawa dan kata:
"Kiranya bocah ini sudah punyakan orang yang dia penujui..." Ia senang mengawasi
pasangan itu, tetapi ketika ia ingat Tan Hong, ia menjadi berduka untuk
tjoekong-nya ini. Bukankah Tan Hong dan In Loei menemui rintangan"
Tan Hong juga nampaknya menjadi lesu, hilang kegembiraannya. Sebelum itu ia ada
bersemangat. Di dalam kegembiraannya itu, In Tiong seperti lupa segala apa.
"Eh, mana In Loei?" tiba-tiba ia tanya si pemuda she Thio. "Kenapa ia tidak
bersama kau" Apakah ia seorang diri berdiam di ibu kota Watzu?"
Pertanyaan ini sudah hendak dimajukan sejak kemarin tetapi tadi malam telah
terjadi penyerbuan dahsyat itu, yang membikin ia lupa akan hal itu.
Tan Hong terdiam, ia mesti kuatkan hatinya. Tapi ia harus menjawab.
"Ia tidak bersamaku," sahutnya dengan tawar. "Ia telah pulang ke rumahnya untuk
menjenguk ibunya." Girang sekali In Tiong mendengar jawaban itu.
"Apakah ibuku masih ada?" dia tanya.
"Malah aku dengar ayahmu juga telah pulang!" Tantai Mie Ming menyelak sebelum
Tan Hong menjawab. Sengaja ia wakilkan pemuda itu, sang tjoekong. "In Thaydjin,
kamu sekeluarga dapat berkumpul, sungguh itu ada hal yang sangat menggirangkan!"
"Benarkah itu?" berseru In Tiong. Ia girang bukan main.
"Mustahil kabar itu bohong?" Mie Ming membaliki. "Cuma..."
"Cuma apakah?" In Tiong tanya, cepat.
Tadi Mie Ming berhenti bicara karena tempo ia menoleh kepada Tan Hong, anak muda
itu telah mengkedipkan mata kepadanya. Maka sekarang ia menjawabnya tak seperti
apa yang ia hendak mengatakannya tadi.
"Cuma karena jalanan ada jauh, entah mereka dapat susul kau atau tidak..."
demikian katanya. In Tiong tertawa.
"Aku akan berdiam lebih lama beberapa hari di ibu kota Watzu untuk menantikan
mereka," katanya. "Tapi, ketika ia tampak sikap adem dari Tan Hong, ia menjadi
kurang puas. Di dalam hatinya, ia berkata: "Ya, memang kami kaum keluarga In
bermusuhan dengan kaum keluarga Thio, dia mendengar ayahku masih hidup, tentulah
dia menjadi tak bergembira. Sebenarnya dia heran juga, dia berpemandangan luas
tetapi sekarang dia menjadi cupat pikiran... Tapi ini ada baiknya juga,
kesulitanku pun menjadi berkurang.
Dengan In Loei dia tidak dapat berpisah, tetapi sekarang mau atau tidak, dia
mesti berpisah juga..."
Setelah peristiwa yang hebat itu, berubahlah sudah kesan In Tiong terhadap Tan
Hong, bukan melainkan kebenciannya telah menjadi berkurang, malah permusuhannya
telah seperti hilang sendirinya. Ia hanya masih beranggapan bahwa di antara
kedua keluarga itu tidak seharusnya ada pergabungan pernikahan...
Perjalanan telah dilanjutkan dengan tenteram, tidak ada rintangan apapun, maka
berselang belasan hari, tibalah mereka dengan selamat di ibu kota Watzu. Segera
In Tiong menunda dahulu di luar tembok kota, dari mana ia memandang ibu kota
itu. Ia lantas saja ingat banyak hal di masa mudanya, ketika ia turut alami
banyak penderitaan. Tapi sekarang, sebagai utusan kaisar, bolehlah ia angkat
kepala. Dalam pikiran ruwet tak keruan itu, air matanya turun berketel. Ia tak
tahu, ia mesti berduka atau bergirang...
Belum lama, mendadak ada terdengar dentuman meriam tiga kali. Menyusul itu,
pintu kota telah dipentang lebar-lebar. Nyata raja Watzu telah dengar berita
dari tibanya utusan kaisar Tionggoan dan karenanya dia mengirim wakil untuk
menyambutnya. Malah Yasian juga turut mengirimkan wakilnya, guna menyambut utusan itu. Hanya
wakil ini menjadi heran apabila ia tampak di antara perutusan Tionggoan itu
tidak beserta Ngochito dan barisannya, sedang seharusnya Ngochito yang mesti
mengiringi perutusan itu. Ia tentu saja tidak ketahui, Ngochito dan Ma I Tjan
sedang terkurung rapat dalam sebuah kereta keledai yang dibawa utusan kaisar
Beng itu, sementara Thio Tan Hong dan Tantai Mie Ming sudah sejak siang-siang
pisahkan diri dari In Tiong, mereka pergi menuju ke pintu kota yang kedua, untuk
pulang ke rumah mereka. Perdana Menteri Yasian di dalam gedungnya juga menantikan kabar hal tibanya
utusan Tionggoan itu. Ia tidak usah menanti terlalu lama akan terima kabar dari
wakilnya. Ia memang tak tenteram hatinya, duduk salah berdiri salah, maka kabar
yang diterimanya ini membuat kagetnya bukan kepalang. Ia terima keterangan bahwa
utusan Tionggoan datang cuma bersama delapan belas pengiring serta beberapa
pelayan wanita, bahwa semua pengiring itu nampaknya gagah, pakaian mereka
mentereng, tidak ada tanda-tanda bekas mengalami penyerangan yang membuat
pakaian mereka tidak keruan atau kuda lelah dan manusia letih. Dari halnya
Ngochito dan lima ratus serdadunya, jangankan orangnya, walau bayangannya pun
tak tertampak. Yasian kaget berbareng sangat heran.
"Ngochito dan Ma I Tjan kosen dan pintar, mereka ada bersama lima ratus serdadu
pilihan, malah dibantu pula oleh See Too serta orang-orangnya, tidak seharusnya
mereka gagal, umpama gagalpun, mesti ada orangnya yang lari pulang untuk
mengabarkan. Kenapa sekarang tidak seorang juga yang kembali" Mustahilkah utusan
Tionggoan itu ada bangsa malaikat?"
Demikian Yasian tanya dirinya sendiri, hingga ia jadi berpikir keras. Malam itu,
karena ia terus menunggui warta dari Ngochito, sama sekali ia tidak tidur
sekejap pun juga. Keesokannya, dari pagi hingga tengah hari, ia masih menanti-
nanti, sehingga datanglah kabar tibanya utusan Tionggoan itu, yang membikin
keheranannya sampai di puncaknya.
Di hari kedua, pagi-pagi Yasian kirim wakil kepada In Tiong, untuk undang utusan
itu. In Tiong terima undangan itu. Sudah selayaknya ia berkunjung kepada perdana
menteri Watzu. Ia datang dengan ajak empat pengiring berikut sebuah kereta
keledai. Tapi ia datang sesudah jauh siang, hingga selama itu, Yasian mesti
menahan napas untuk menantikan padanya.
Heran Yasian waktu jauh siang itu ia diberitahukan tentang kunjungannya utusan
Tionggoan sambil membawa sebuah kereta keledai.
"Apakah mereka bawa banyak barang antaran untukku?" Yasian menduga-duga.
"Mestinya hadiah itu barang-barang yang berat sekali..."
Ia lantas berikan titah, pengiring mesti menunggu di tangga di muka pintu besar,
supaya si utusan seorang diri yang dipimpin masuk ke dalam ruangan besar di mana
ia menantikan. In Tiong bawa sikap agung-agungan. Ia berjalan di lorong di antara dua baris
pengawal yang seragamnya mentereng dan romannya gagah, semuanya menyekal golok,
tombak dan pedang terhunus.
Yasian telah pasang matanya. Ia tercengang ketika ia lihat romannya utusan ini.
Ia merasa bahwa ia seperti pernah bertemu dengan utusan itu. Berbareng di
otaknya segera berbayang satu utusan lain dari kerajaan Beng. Itulah In Tjeng,
utusan dari tiga puluh tahun yang lampau.
Itulah utusan yang di negara Watzu hidup sebagai pengembala kuda selama dua
puluh tahun, tapi hatinya tak pernah dapat dibikin ciut, yang semangatnya terus
berkobar-kobar. Sekarang utusan yang muda ini mirip benar dengan utusan yang tua
dahulu itu... In Tiong unjuk hormatnya kepada perdana menteri Watzu itu yang membalasnya. Ia
lantas persembahkan barang-barang hadiah, seperti kumala putih dan lain-lainnya.
Inilah keharusan di antara kedua negara, sebagai tanda menghormat kepada menteri
dari negara yang dikunjunginya itu. Hadiah itu bukan barang sangat berharga
tetapi toh tepat untuk suatu menteri. Selama itu tetap dia bawa sikapnya yang
agung, bukannya jumawa, bukannya merendah.
Setelah penyerahan hadiah itu, Yasian minta belajar kenal. Di dalam hatinya ia
kaget akan dengar utusan ini seorang she In.
"Sungguh kebetulan!" katanya sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun sang lampau,
utusan yang datang juga she In!"
"Malah sekarang ada terlebih kebetulan pula!" berkata In Tiong sambil tertawa.
"Pada tiga puluh tahun yang lampau itu adalah sang kakek yang menjadi utusan,
dan pada tiga puluh tahun kemudian, ialah sekarang ini, aku adalah cucunya si
kakek itu! Thaysoe, bukankah ini ada suatu hal yang bagus sekali?"
Air mukanya Yasian berubah, akan tetapi ia mencoba akan mengatasi diri.
Begitulah ia paksa tertawa.
"Benar bagus, benar bagus!" begitu katanya.
Walau bagaimana, perdana menteri ini tak dapat sembunyikan keheranan dan
kagetnya, hingga sikapnya menjadi tidak wajar pula.
In Tiong merasa sangat puas, ia tertawa bergelak-gelak. Ia lalu mendesak.
"Kali ini aku menjadi utusan, sebelumnya aku telah pelajari juga ilmu mengembala
kuda," demikian katanya, disengaja. "Jikalau sudah datang waktu keperluannya,
aku bersedia berdiam lama di dalam negeri thaysoe ini!"
Yasian menjadi sangat likat. Ia tertawa menyeringai.
"Ah, In Thaydjin, kau bergurau!" katanya, untuk menutupi kelikatannya. "Haha,
haha, sungguh thaydjin suka bergurau!" Ia lalu berdehem, ia urut-urut kumis
jenggotnya. "Thaydjin, aku justeru hendak mohon maaf padamu, karena kami telah lalai dalam
penyambutan kami. Thaydjin sudah melakukan perjalanan jauh dan harus melintasi
kota-kota dan gunung-gunung, tentu kau letih sekali."
Dengan kata-katanya ini, Yasian ingin simpang-kan pembicaraan sambil berbareng
memancing keterangan kalau-kalau tetamunya mengalami sesuatu di dalam
perjalanannya itu. Ditanya begitu, In Tiong tertawa dingin.
"Aku tidak merasa letih." demikian penyahutan-nya. "Hanya ketika aku memasuki
wilayah negara thaysoe, di tengah jalan kami telah hadapi beberapa begal
kecil..." Yasian kaget di dalam hatinya.
"Kalau cuma begal kecil, itulah pasti bukannya Ngochito," pikirnya. Ia lantas
menanya: "Di tempat manakah thaydjin ketemu orang jahat itu" Pembesar-setempat
di sana telah melalaikan tugasnya, nanti aku periksa dan hukum padanya!"
Ia nampak kaget tetapi kali ini, kagetnya itu kentara.
In Tiong tertawa pula. "Itulah tak usah," katanya. "Berhubung dengan pembegalan itu kami tidak mendapat
rugi apa-apa. Di sebelah tugasku, thaysoe secara perseorangan aku hendak
menghadiahkan sesuatu kepada thaysoe, hanya yang tidak berarti..."
Yasian bersenyum, ia nampaknya gembira. "Janganlah berlaku sungkan, In
Thaydjin." katanya, merendah.
"Oh, tidak, tidak, thaysoe," In Tiong bilang. "Aku mohon thaysoe perkenakan
pengiring-pengiringku supaya barang hadiah itu yang berada di dalam kereta boleh
dibawa kemari..." "Oh, tentu saja boleh!" Yasian berikan perkenannya dengan cepat. Di dalam
hatinya, ia kata: "Nyata dugaanku tidak meleset, barang-barang di dalam kereta
itu ada bingkisan untukku! Akan tetapi barang ada demikian berat, mestinya
barang yang tidak seberapa berarti..."
Senang hatinya perdana menteri ini, sedang tadinya ia tidak puas terhadap sikap
agung-agungan dari utusan itu. Hadiah itu berarti suatu muka terang baginya. Ia
jadi tidak terlalu pikirkan, hadiah itu barang berharga atau bukan. Ia lantas
perintahkan supaya pengiringnya si utusan diberi ijin untuk membawa masuk
bingkisan itu. In Tiong menghaturkan terima kasih. Ia perlihatkan wajah berseri-
seri. Empat pengiring utusan Tionggoan itu bertindak masuk dengan menggotong dua
bungkusan karung goni yang besar. Yasian mengawasi, ia menduga kepada suatu
barang keluaran Tiongkok, semacam hasil buminya. Ia tertawa di dalam hati.
Ketika ia menduga utusan ini tentulah seorang melarat...
Sampai di depan Yasian dan sepnya, ke empat pengiring lalu turunkan bungkusannya
dengan dibanting keras. Berbareng dengan itu terdengar teriakan "Aduh!" yang
tertahan. Kemudian, tanpa tunggu titah lagi, mereka buka tambang yang mengikat
mulut karung itu, untuk keluarkan isinya karung, ialah dua tubuh yang teringkus, malah
tubuh yang satu tanpa baju, hingga kelihatan dada dan bebokongnya, dan di
bebokongnya tampak nyata cacahan huruf "tjat" = "bangsat"
"Inilah hadiahku yang tidak berarti, yang aku harap thaysoe suka terima tanpa
celaan..." berkata In Tiong sambil tertawa.
Tidak usah dijelaskan lagi bahwa dua orang yang teringkus itu adalah Ngochito
serta Ma I Tjan. Karena mereka sudah teringkus lama, tidak heran kalau mereka
jadi pusing kepala dan pegal kaku. Kalau tadinya mereka tetap tak sadar akibat
totokan, seberlalunya Tan Hong, mereka telah dibikin ingat akan diri mereka.
Sekarang mereka lihat Yasian, mereka menyangka bahwa mereka telah ditolongi
orang sendiri, saking kegirangan mereka sudah lantas berseru: "Thaysoe."
Yasian kaget. Akan tetapi dia adalah satu orang besar dan cerdas, dalam sejenak
saja dia bisa menduga kepada kejadian yang benar, maka lantas dia perlihatkan
wajah bengis. "Hai, dua begal cilik!" dia membentak, "cara bagaimana kamu berani ganggu utusan
dari negara besar" Mana orang" Hukum rangket tiga ratus rotan kepada mereka,
lantas masukkan ke penjara negara, kemudian akan aku periksa dan hukum mereka!"
Ngochito dan Ma I Tjan menjadi sangat kaget, mereka lantas buka suara, untuk
memberi keterangan, tetapi bentakannya pengiring Yasian telah mencampur baurkan
suara mereka, yang pun segera digusur ke ruang belakang!
In Tiong menyaksikan semua itu dengan tenang. "Thaysoe repot, tidak seharusnya
thaysoe diganggu segala begal kecil," ia berkata sambil bersenyum.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mau tidak mau, mukanya Yasian menjadi ber-semu merah.
"Sungguh kedua begal itu telah membikin aku malu..." ia berkata dengan lagaknya
dibikin-bikin. "Ah!..." ia menghela napas. "Pasti, pasti akan aku hukum berat
kepada mereka!" In Tiong berdiam, dengan dingin ia awasi perdana menteri itu.
Dalam hatinya Yasian heran sekali. Dua pahlawannya itu sangat tangguh, mereka
memimpin lima ratus serdadu, juga dibantu See To dan rombongannya, tetapi mereka
kena ditawan, tentera mereka lenyap tidak keruan paran, tidakkah itu luar biasa
mengherankan" Iapun merasa sangat tidak enak menampak sikapnya In Tiong itu, si
utusan dari Tionggoan, maka dengan sendirinya, paras mukanya menjadi pucat dan
merah padam bergantian. "Hari ini telah cukup aku permainkan padanya!" berpikir In Tiong setelah melihat
lagak orang itu. "Baiklah, aku tidak mendesak dia terlebih jauh, supaya dia
tidak menjadi gusar, agar perundingan tidak terganggu karenanya."
Maka ia tertawa dengan pelahan dan berkata dengan sabar: "Thaysoe, apa yang
telah terjadi itu tidaklah aneh. Di dalam sebuah negara, rakyatnya memang tidak
rata, tidak semuanya baik, mesti di antaranya ada beberapa yang jahat. Harap
thaysoe tidak pikir pula tentang mereka itu. Marilah kita bicara tentang maksud
tujuan kita." Mendengar itu, lega juga hatinya Yasian.
"Benar apa yang kau katakan itu, In Thaydjin," ia menyahut.
In Tiong keluarkan segumpal kertas. "Inilah rencana perdamaian kita," ia
beritahu sambil serahkan kertas itu. "Coba thaysoe periksa." Itulah rencana
perdamaian karangannya Kokioo Ie Kiam, bunyinya sangat sederhana. Ie Kokioo
meminta supaya kedua negara menjaga saja masing-masing wilayahnya, keduanya
saling memperlakukan sama rata, jangan sekali ada yang melakukan penyerangan,
supaya untuk selamanya tak lagi terbit perang. Pada itu Ie Kokioo berikutkan
syarat supaya "thaysianghong" yaitu raja yang tua, Kaisar Beng Eng atau Kie Tin,
yang tertawan di negeri Watzu, lantas di merdekakan dan diantarkan pulang.
Setelah membaca rencana itu, Yasian berdiam. Ia berpikir. Sederhana rencana
Tionggoan itu tetapi bertentangan dengan rencananya sendiri. Ia hendak kemukakan
perdamaian menurut cara dahulu, yang telah dibikin antara kerajaan Song dan
Liauw (Kim), ialah kerajaan Beng mesti menempati kedudukan yang terlebih rendah,
dengan negara Watzu harus ada perhubungan bagaikan paman dengan keponakan.
Negeri Watzu sebagai paman, Tionggoan sebagai keponakan. Serta setiap tahun
kerajaan Beng mesti membayar upeti sebanyak tiga ratus laksa tail perak serta
sutera lima laksa kayu. Tegasnya, dia hendak berdamai sebagai dia yang menang
perang. Maka sekarang tidaklah ia sangka, Tionggoan mengajukan syarat lain. Dia
telah berdaya, dia telah bekerja supaya utusan Beng itu terjatuh ke dalam
tangannya supaya dapat dipengaruhi, tidak tahunya, keadaan menjadi kebalikannya.
Dia sekarang menjadi mirip ayam jago yang kalah berkelahi, hingga rencananya
sendiri yang dia bekal di dalam sakunya tidak berani dikeluarkan.
"Tionggoan adalah satu negara yang mengenal tata sopan santun," berkata In Tiong
apabila ia melihat orang berdiam saja, ia bicara dengan sabar tetapi
berpengaruh, "maka itu Tionggoan hendak berdamai dan bersahabat dengan negaramu
sebagai kedua negara sederajat, sebagai saudara-saudara, semua peristiwa yang
sudah lewat, tidak hendak ditarik panjang pula. Dengan perjanjian ini, kedua
negara sama-sama tidak mendapat kerugian. Apabila Thaysoe memikir lain dan
thaysoe anggap Tionggoan boleh diperhina, tidak ada jalan lain, di tapal batas
negara kami sudah sedia sepuluh laksa serdadu pilihan, kami bersedia untuk main
melayani thaysoe!" Suaranya utusan ini lemah berbareng keras. Ia meminta tetapi pun ia mengancam,
namun ia tidak meninggalkan adat sopan santun.
Pada mulanya benar Yasian telah berhasil menyerang Tionggoan dan memperoleh
kemenangan, hingga ia berhasil menawan kaisar Kie Tin, akan tetapi dalam
peperangan lebih jauh, di Pakkhia, ia telah kena dikalahkan hingga terusir
keluar dari kota Ganboenkwan, maka dalam hal ini di antara kedua pihak tidak
dapat dikatakan ada yang menang dan kalah perang. Oleh karena itu, jikalau kedua
negara mengadakan perdamaian, itu adalah hal yang pantas sekali.
Bicara hal kedudukan, Tionggoan lebih menang, sebab di bawah pimpinan Ie Kokioo,
Tionggoan bersatu, di lain pihak, negeri Watzu terancam bentrokan di dalam, dia
ada di pihak lebih lemah. Hal ini diinsafi Yasian, maka ia suka membuat
perdamaian, tetapi dasar ia seorang licik, ia masih hendak mencari kemenangan di
atas angin. Tapi ia menghadapi In Tiong yang berani, ia jadi menghadapi
kesulitan. "Utusan ini sukar dilayani," demikian pikirnya. "Nyata dia jauh lebih liehay
daripada kakeknya dahulu hari. Jikalau aku main ayal-ayalan, bisa-bisa
kedudukanku menjadi berbahaya..."
Ia ingat ancaman bahaya dari pihaknya Atzu Tiwan.
"Baiklah," katanya kemudian, "rencanamu ini dapat aku terima. Sekarang tunggu
saja sampai junjunganku telah memeriksanya baharu kemudian kita bicara pula
untuk mengambil keputusan."
Pembicaraan berjalan lancar, belum lewat sepuluh hari kedua pihak telah peroleh
persetujuan. Rencana Tiongoan diterima baik, cuma beberapa kata-katanya saja
yang diubah sedikit. Telah ditetapkan, di hari kedua sehabisnya, pembubuhan
tanda tangan, kaisar Tiongkok yang ditawan itu akan dimerdekakan, dia boleh
disambut utusannya untuk diajak pulang.
Sementara itu kaisar Kie Tin dipindahkan dari kamar tahanan ke dalam istana raja
Watzu, diberikan sebuah ruangan di mana ia diperlakukan sebagai raja yang
terhormat. Selagi perundingan perdamaian dilakukan, Tan Hong telah menulis surat kepada In
Tiong, dia undang utusan Tionggoan itu datang ke rumahnya. In Tiong tampik
undangan itu, ia masih ingat permusuhan di antara mereka walaupun terhadap Tan
Hong ia telah berkesan baik. Karena itu, Tan Hong juga tidak datang berkunjung
kepada utusan itu. Dengan lewatnya sang waktu, datanglah malaman yang besoknya utusan Tionggoan
bakal ajak junjungannya yang tua berangkat pulang. Malam itu In Tiong merasa
tegang sendirinya, hingga di tempat kediamannya, ia jalan mondar-mandir tak hentinya. Ia memikir
untuk tidur tetapi tak dapat ia lakukan itu.
Di pihak lain, juga ada dua orang yang merasakan ketegangan sebagai In Tiong
itu. Mereka adalah Tan Hong dan ayahnya. Hanya ada perbedaan pikiran di antara
anak dan ayah itu. Ketegangan Tjong Tjioe karena ia gembira berbareng masgul dan berduka. Begitulah
di dalam taman, sambil meloneng pada lankan, ia mengadakan pembicaraan dengan
puteranya. Selama beberapa hari itu, Thio Tjong Tjioe dapat diumpamakan sebagai pohon tua
yang sudah kering, angin musim semi telah meniup sepoi-sepoi akan tetapi pohon
tua itu tak bersemi pula, tak ada daunnya yang hijau. Dia telah keram diri di
dalam kamar tulisnya, sampaipun dengan puteranya sendiri sedikit sekali ia
bicara. Sedang mengenai urusan tibanya utusan Tionggoan, sama sekali tak sudi ia
menyebut-nyebutnya. Sikapnya yang luar biasa itu menimbulkan kekuatiran di
antara orang-orang sedalam gedungnya.
Tan Hong ingin sekali mengunjungi In Tiong, tetapi menampak keadaan ayahnya ini,
tidak berani ia meninggalkan rumahnya.
Hanya pada malam itu, dengan sekonyong-konyong Thio Tjong Tjioe panggil
puteranya diajak jalan mondar-mandir di dalam taman, akan akhirnya si orang tua
berdiri meloneng. Lama dia membungkam, matanya mengawasi sang rembulan yang naik
semakin tinggi dan semakin tinggi. Di akhirnya dia menghela napas, lalu dia
bersenanjung: "Malam ini memandangi rembulan di dalam taman, lain tahun akan memandanginya
seorang diri..." Benar-benar orang tua ini menggadangi sang rembulan, yang ia terus awasi saja,
hingga ia pun dapat memandang sang mega yang bagaikan lautan. Melihat sang mega
itu ia seperti bermimpi pesiar di Kanglam...
"Ayah..." memanggil Tan Hong dengan air matanya mengembeng. Ia sangat berduka
melihat sikapnya ayah itu.
Tjong Tjioe tertawa, sedih suaranya.
"Kabarnya perdamaian telah ditanda tangani," berkata ayah ini. "Besok utusan
Kerajaan Beng bakal berangkat pulang, benarkah itu?"
Inilah yang pertama kali Tjong Tjioe menyebut tentang utusan Beng itu.
"Benar," Tan Hong jawab ayahnya itu. "Utusan itu she In, benarkah?" sang ayah
menanya pula. "Benar," sang anak menjawab pula. Ia selalu menjawab dengan singkat. Sudah
berulang-ulang ia pikirkan, oleh karena In Tiong tidak ingin menemui ayahnya, ia
juga tidak hendak menyebut-nyebut tentang utusan itu terhadap ayahnya.
"Utusan itu tidak mensia-siakan tugasnya," berkata sang ayah, "dia melebihi In
Tjeng dahulu hari!" Tjong Tjioe masih belum tahu bahwa utusan itu adalah anaknya In Teng atau
cucunya In Tjeng si utusan yang dahulu itu.
Tan Hong manggut, ia bersenyum.
"Kalau begitu anak Hong, kau juga harus berangkat besok!" sekonyong-konyong ayah
itu bilang. Hatinya Tan Hong memukul. Itulah soal yang ia telah pikirkan selama banyak
tahun. Ia tidak menyangka bahwa hari ini ayahnya itulah yang menimbulkannya. Ia
menjadi tidak keruan rasa. Ia tahu dengan pasti. Kalau besok ia berangkat maka
untuk selama-lamanya ia tidak akan bertemu pula dengan ayahnya itu. Berpisah
hidup, berpisah mati, itulah hal yang sejak jaman dahulu dibuat duka orang.
Apapula sekarang ia akan berpisah kepada ayah kandungnya...
Sebisa-bisanya Tan Hong kuatkan hatinya. Ia tahu, tidak nanti ayahnya ijinkan ia
pergi. "Dan bagaimana dengan kau, ayah?" ia balik menanya.
Tiba-tiba wajahnya Tjong Tjioe menjadi gelap, lalu ia tertawa.
"Semua barangmu telah aku siapkan!" katanya. "Ini adalah yang terakhir aku
mengurus keperluanmu!"
Tan Hong terkejut, tetapi ia masih dapat kendalikan diri.
"Ayah," katanya, "jikalau ayah tidak pergi, akupun akan tetap tinggal di sini
menemani kau..." "Tidak, kau harus pergi," berkata ayah itu. "Kau masih muda! Tantai Tjiangkoen
akan berangkat bersama kau! Telah aku beritahukan kepadanya!"
"Tantai Tjiangkoen juga turut pergi?" berkata ini, yang menjadi heran sekali.
Hendak ia melanjutkan. "Dengan begitu, bukankah ayah menjadi bersendirian saja
dan kesepian?" akan tetapi ia batal mengatakannya. Tidak dapat ia keluarkan itu.
Thio Tjong Tjioe, bersenyum.
"Benar," sahutnya, "Tantai Tjiangkoen..."
Tiba-tiba satu bayangan berkelebat datang, atau Tantai Mie Ming sudah berada di
hadapan mereka. Senyumannya Tjong Tjioe masih belum lenyap, hendak dia mengatakan, "Baharu aku
menyebutkan Tjo Tjoh, atau Tjo Tjoh telah tiba!" akan tetapi Mie Ming, dengan
napasnya memburu, berkata: "Tjoekong, celaka!..."
Ayah dan anaknya itu terperanjat. Tjong Tjioe belum pernah nampak jenderal itu
demikian kesusu atau gelisah.
"Ada apakah?" Tjong Tjioe tanya.
"Gedung kita telah dikurung!" sahutnya Mie Ming.
Tan Hong kaget. Tetapi segera ia pasang kupingnya. Benar ia dengar suara dari
banyak orang di luar gedung.
Thio Tjong Tjioe bersikap tenang seperti biasa.
"Mari kita keluar melihatnya!" katanya, sabar.
Tan Hong dengan disusul Tantai Mie Ming lompat ke tembok, dari situ mereka dapat
lihat gedung telah dikurung beberapa lapis tentera, sedang di pekarangan depan,
menghadapi pintu besar, ada bercokol sebuah meriam besar yang dinamakan Angie
toapauw. Bangsa Mongol adalah bangsa yang paling pertama membawa mesiu ke medan perang,
ketika dahulu dia malang melintang di Eropa, bukan sedikit dia mengandal atas
meriamnya itu. Tan Hong tidak sangka hari ini, meriam itu dipakai untuk
menghadapi keluarga Thio.
Di belakang meriam besar itu tampak berdiri berbaris tiga penunggang kuda ialah
Ngochito, Ma I Tjan dan Pek San Hoatsoe, soeheng atau kakak seperguruannya Tjeng
Kok Hoatsoe. Dibarisan depan itu adalah tentera Mongol yang memegangi obor
cabang pohon cemara. Ketika Tan Hong terlihat muncul di belakang tembok, tentera Mongol berteriak-
teriak dengan seruannya yang gemuruh. Anak muda ini berlaku tenang, ia mengawasi
mereka itu. "Untuk apa kamu datang kemari?" bentaknya dengan sabar. Akan tetapi suaranya ini
terdengar terang sekali, suara itu berpengaruh, maka suara riuh berhenti dengan
tiba-tiba. Ngochito tepuk kudanya untuk di majukan, lalu mengawasi ke atas tembok, ia
tertawa besar. "Thio Tan Hong, hendak aku lihat, hari ini kau ada punya kepandaian apa!" dia
berkata dengan jumawa. "Kau bilanglah, kau ingin hidup atau mampus?"
"Apa yang kau artikan?" Tan Hong menegaskan.
"Jikalau kau ingin hidup," menjawab Ngochito, "maka kau mesti rela dengan
tanganmu sendiri kau belenggu semua orang yang berada di dalam gedungmu ini,
kecuali ayahmu, yang boleh tidak usah diikat! Lalu kau pentang pintu besar untuk
membiarkan kami bawa kamu ayah dan anak menghadap Thaysoe, supaya Thaysoe
sendiri yang nanti memberikan putusannya!"
"Hm!" Tan Hong perdengarkan ejekannya. "Jikalau aku menolak?" dia tanya.
"Akan aku berikan kau ketika untuk memikirnya masak-masak," menyahut pula
Ngochito, si pahlawan nomor satu itu. "Kau harus ketahui, bukankah kau telah
lihat tegas meriam besar ini" Walaupun kau bagaimana gagahpun tidak akan kau
sanggup lawan meriam ini! Akan aku beri kau tempo sampai jam lima untuk
memberikan jawabanmu, jikalau kau berani menampik, atau jikalau kau berani
membuat perlawanan, jangan salahkan aku, begitu terang tanah begitu aku lantas
menembak ke arah kamu!"
"Anak Hong, kau turunlah!" demikian suaranya Thio Tjong Tjioe selagi anaknya
belum menjawab Ngochito. Tan Hong dan Mie Ming lompat turun, akan hampirkan orang tua itu.
"Nampaknya jahanam Yasian itu tidak puas sebelum dia mendapatkan aku," berkata
Tjong Tjioe kepada anak dan jenderalnya itu, "maka itu akan aku pergi kepadanya.
Kau bersama Tantai Tjiangkoen ada punya kepandaian, dengan melihat gelagat,
pergi kamu menyingkirkan diri!"
"Tidak, ayah!" kata Tan Hong. "Pasti sekali tidak nanti anakmu membiarkan ayah
terhina Yasian!" Tjong Tjioe berpikir sejenak, lalu ia tertawa nyaring.
"Sungguh bersemangat, sungguh bersemangat!" ia berkata. "Kita tiga turunan
berdiam di negara Watzu ini, kita menumpang hidup dengan menahan malu, semua itu
telah cukup batasnya! Sekarang Tiongkok telah menjadi kuat, tidak dapat kita
menerima malu terlebih jauh! Baiklah, kau biarkan aku bersama semua orang di
dalam rumah ini terbinasa di sini, tetapi kamu berdua pergi kamu menyingkir dari
pintu belakang!" "Tidak, ayah!" berkata Tan Hong dengan segala kepastian.
"Jikalau kita mesti terbinasa, mari kita binasa sama-sama tjoekong1." Tantai Mie
Ming pun kata dengan gagah.
Thio Tjong Tjioe mengalirkan air mata, akan tetapi ia tertawa.
"Sungguh kamu ada anak dan sebawahanku yang baik sekali," berkata dia. "Ah,
semuanya akulah yang rembet-rembet kepada kamu..."
Tjong Tjioe lantas ingat kekeliruan ayahnya dan ia sendiri. Mereka telah ambil
siasat bekerja kepada bangsa Watzu, yang tenteranya mereka bikin kuat, niatnya
adalah untuk pinjam tentera itu guna menggempur kerajaan Beng, untuk membangun
pula kerajaan keluarga Thio, siapa sangka sekarang ia mesti makan buahnya yang
pahit getir ini, bukan saja Tionggoan hampir dimusnahkan Watzu, sekarang mereka
sendiri sekeluarga bakal menjadi musnah tertembak meriam...
Dari luar segera juga terdengar lagi suaranya Ngochito: "Hai, kamu sudah ambil
keputusan atau belum" Ingat, paling lambat sampai hari sudah terang tanah, akan
aku mulai menembak!"
Tan Hong menjadi sangat masgul dan mendongkol. Dia yang sedemikian cerdas,
sekarang telah habis daya, tidak dapat ia memikir. Mengawasi ayahnya, pikirannya
menjadi kalut, dia cuma bisa berduka dan bergelisah...
Tjong Tjioe nampaknya sangat berduka dan bergelisah juga.
Sementara itu, di lain tempat, juga ada seorang lain yang tak kurang gelisahnya
daripada keluarga Thio ini. Dia adalah Topuhua, puterinya Perdana Menteri
Yasian. Topuhua telah mendapat tahu yang perdamaian telah didapat, malah kedua pihak
telah menanda-tanganinya, karena mana besok pagi, utusan kerajaan Beng bakal
berangkat pulang. Ia tahu, dengan begitu, tentulah Thio Tan Hong akan turut
perutusan Beng itu pulang ke Tionggoan. Hal ini membuat ia berduka dan gelisah,
pikirannya menjadi bingung dan pepat, alisnya senantiasa berkerut.
Yasian telah dapat lihat kedukaannya puterinya itu. Malam itu ia menenggak
banyak susu macan, ia sangat bergembira. Sambil tertawa, ia kata kepada
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puterinya itu: "Jangan kau bersusah hati,
tidak nanti Tan Hong turut berangkat. Aku ada punya daya upaya untuk besok
membawa dia kembali! Kau adalah puteriku satu-satunya, umpama kau menginginkan
rembulan di atas langit, sanggup aku mengambilnya turun untukmu! Anak Hua, kau
lihat, bagaimana ayahmu menyayangimu!..."
Topuhua girang dan bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu" Ia tidak lihat
ayahnya itu hendak mendustai padanya. Tadinya ia hendak tanya untuk menegaskan,
akan tetapi sang ayah terus sibuk dengan araknya, terpaksa ia tutup mulutnya.
Terus-terusan Topuhua berada dalam kesangsian, ia tidak tahu, ayahnya akan
bertindak bagaimana. Sampai tengah malam ia masih belum tidur pules. Tiba-tiba
ia dengar suara orang bicara di ruang tetamu. Ia ingin sekali dengar apa yang
dibicarakan, diam-diam ia keluar dari kamarnya, ia pergi ke kamar tetamu itu. Ia
umpetkan diri di belakang pinhong, pintu angin.
-ooo00dw00ooo- Bab XXX Ada dua orang yang tengah berbicara di ruang tetamu itu. Yang satu Topuhua
kenali sebagai ayahnya. Yang lain adalah kepala rumah tangga gedung perdana
menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha.
"Utusan kerajaan Beng akan berangkat begitu terang tanah, apakah barang-barang
hadiah kita sudah sedia semua?" demikian suaranya Yasian.
"Semua sudah disediakan lengkap," jawab Wotjaha.
"Bocah she In itu benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata pula. "Aku
bersyukur kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita bakal merasa aman dan
senang..." "Bukankah Thaysoe hendak mengantar padanya?" sang kepala rumah tangga tanya.
"Kau saja yang wakilkan aku," perdana menteri itu jawab. "Kau berikan alasan
bahwa aku sedang sakit. Sri Baginda sendiri turut mengantar untuk memberi
selamat jalan. Itupun sudah suatu kehormatan besar baginya."
Tidak tertarik hatinya Topuhua akan mendengarkan pembicaraan itu, maka ia ingin
kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi belum sampai ia angkat kakinya, ia lantas
mendengar hal lainnya. "Meriam besar itu hebat, bagaimana kau rasa, suaranya akan dapat terdengar
sampai di luar kota atau tidak?" demikian pertanyaannya Yasian kepada hambanya
itu. "Mungkin terdengar tetapi hanya sebagai suara petasan saja," sahut orang yang
ditanya. "Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah dari pintu kota kira-kira
sepuluh lie lebih, suara meriam juga jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang
tanah, mereka tentunya sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat
tebal, maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya suara
meriam itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang."
Topuhua terperanjat. Suara meriam" Gedungnya Thio Tjong Tjioe" Itu toh rumahnya
Thio Tan Hong! "Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembak," terdengar pula suaranya
Wotjaha. "Di bawah ancamannya meriam, mustahil mereka tidak akan menjadi jinak
dan akan ikat diri sendiri untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?"
"Thio Tjong Tjioe dan puteranya adalah bangsa yang keras adat," berkata Yasian.
"Lebih-lebih Thio Tan Hong, dia lebih suka menyerah kepada ke lemah lembutan
daripada kekerasan. Aku lebih percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri
daripada menyerah secara terhina..."
Perdana menteri itu berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas.
"Thio Tan Hong itu pandai ilmu surat dan silat, dialah satu anak pandai," dia
berkata pula. "Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja
di pihakku, sebaliknya di mana-mana dia justeru mengganggu aku. Orang semacam
dia itu jikalau diijinkan pulang ke negerinya, dia mesti akan menjadi ancaman
bencana bagiku. Ah, harap saja seperti katamu dia suka menyerah kepadaku,
jikalau tidak, dengan tidak pedulikan kesusahan hatinya Topuhua, harus aku
singkirkan padanya!"
Yasian ini sudah dengar keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan, maka tahulah dia,
orang yang menolongi In Tiong yang membekuk See Too, yang memusnahkan lima ratus
serdadu pilihannya, semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia
kaget berbareng gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan Hong itu, hendak
ia membalas sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito ke rumahnya Tjong Tjioe,
untuk ancam Tjong Tjioe dan Tan Hong menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan
puteranya terpaksa ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah
berangkatnya utusan kerajaan Beng.
Terbangun bulu ramanya Topuhua mendengar tindakannya ayahnya itu, ia kaget dan
sangat berkuatir untuk Tan Hong. Nyata sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya
maut. Ia menjadi bergelisah di waktu ia mendengar suara kentongan sudah tiga
kali. Itulah tanda bahwa segera juga sang fajar akan menyingsing.
Syukur juga, setelah bicara sampai di situ, Yasian dan hambanya pada undurkan
diri. Topuhua sudah lantas undurkan diri ke dalam kamarnya. Ia hanya bingung
juga disebabkan kamarnya berada di depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan
diri untuk berpura-pura tidur, kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya
apinya, malah di antara kain jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-mandir
menandakan sang ayah masih belum naik tidur. Mestinya ayah itu pun tengah
bergelisah... "Aku mesti tolong Tan Hong!" demikian nona ini ambil putusan. Akan tetapi ia
bingung juga bagaimana ia dapat keluar dari kamarnya selama ayahnya itu belum
tidur pules. Hatinya nona ini terus memukul keras, matanya senantiasa mengawasi ke kamar
ayahnya. Ia mengharap-harap supaya
ayahnya lekas naik tidur. Lama rasanya ia menantikan, di akhirnya, dapat ia
bernapas lega. Ia lihat api di kamar ayahnya telah padam! Ia lantas lompat
bangun dari pembaringannya. Tapi mendadak ia ingat bahwa di luar kamar ada orang
yang menjaga. Mungkin orang itu tidak berani merintangi padanya tetapi dia bisa
membanguni ayahnya. Maka ia mesti berpikir pula. Dengan hati-hati nona ini
membanguni budaknya, yang tidur dalam satu kamar dengannya.
"Lekas ambil dua poci arak," ia perintahkan. "Kau bawa dan kasihkan kepada dua
pahlawan yang menjaga di taman. Katakan kepada mereka bahwa karena hawa udara
dingin, Thaysoe sengaja hadiahkan mereka arak."
Sementara itu nona ini telah masuki obat pules, ke dalam arak itu.
Selama menantikan lebih jauh, hatinya Topuhua terus memukul. Sekarang ia pun
kuatirkan kedua pahlawan tidak kena dipedayai. Ia memasang kuping terus. Bahna
tegangnya hatinya, ia ingin dapat menahan jalannya sang waktu.
Akhirnya... Budak perempuan tadi muncul dengan warta yang melegakan hati.
"Mereka minum tanpa curiga, keduanya telah tertidur," demikian berkata budak
itu, yang telah sekalian layani kedua pahlawan, supaya ia bisa mendapat
kepastian dari hasilnya obat pules.
Topuhua sudah salin pakaian, ia telah mengenakan pakaian untuk jalan malam, maka
setelah perintahkan budaknya berdiam di dalam kamarnya, ia segera lari keluar.
Dengan hati-hati ia menyelusup di taman bunga, akan akhirnya lompat naik ke atas
tembok, akan keluar dari gedungnya.
Ketika itu tepat kentongan berbunyi empat kali. Pada malam itu, juga In Tiong
tak dapat tidur tenang. Karena ia sangat bergembira dengan hasil tugasnya itu.
Bukankah raja Watzu telah terima baik perdamaian" Maka besok hendak ia berangkat
pulang ke negerinya. Ia akan pulang bersama Thaysianghong Kie Tin, kaisar tua yang ditawan musuh itu.
Di pintu kota menteri dan raja akan bertemu, untuk berangkat bersama-sama.
Itulah suatu kehormatan besar untuk pihak kerajaan Beng, karena In Tiong sebagai
utusan tidak usah pergi pula ke istana raja untuk pamitan. Dia akan pamitan
sekalian di luar kota saja.
Malam itu rembulan dan bintang-bintang ada terang sekali, cahayanya permai.
Sambil meloneng, In Tiong gadangi si Puteri Malam.
"Melihat indahnya malam ini, besok tentulah udara terang", berpikir cucunya In
Tjeng itu. "Musim dingin telah lalu, diganti dengan datangnya musim semi, di
waktu begini pulang ke negeri sendiri, bagaimana menyenangkan! Sri Baginda juga
tentu sangat gembira!"
In Tiong pun bersyukur dan bergirang karena ia telah tidak membikin gagal
tugasnya hingga ia tidak mendatangkan kehinaan untuk negaranya. Perdamaian telah
didapat, raja yang tua juga bakal diajak pulang. Di dalam sejarah, hal ini
adalah peristiwa yang jarang terjadi.
Akan tetapi dalam kegembiraannya itu, ada satu hal yang membikin In Tiong merasa
sedikit tertekan. Itulah yang mengenai ayah dan ibu serta adiknya. Ia berbareng
menantikan mereka tetapi mereka masih tidak kunjung datang. Mustahil mereka
belum katahui tentang beradanya ia di negeri Watzu ini" Apakah mungkin San Bin
tidak dapat ketemui mereka untuk memberitakannya" Karenanya, ia jadi berpikir.
In Tiong telah memikir untuk menanti lebih lama beberapa hari, akan tetapi di
luar dugaannya bahwa perundingan perdamaian telah berjalan demikian lancar
dengan dilakukannya penandatanganan. Kie Tin pun mendesak untuk lekas-lekas
berangkat pulang. Maka itu, cara bagaimana ia dapat menunda keberangkatannya
itu" Kie Tin ingin lekas pulang, karena ia ingin lekas-lekas naik pula atas tahtanya.
Ia seperti tidak mempedulikan hal di negerinya sudah
ada raja yang baharu, bahwa soal itu mungkin akan menimbulkan kesulitan. Tentu
saja karena keinginannya ini, ia tidak mau pikirkan In Tiong ada punya lain
urusan atau tidak. Sambil menggadangi si Puteri Malam, In Tiong juga ingat kepada Thio Tan Hong.
Dia ingat budi orang. Berhasilnya tugasnya ini juga sebagian besar disebabkan
bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang
di antara kedua keluarga ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan
Hong, ke rumah musuh kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat mengunjungi
padanya. Maka hal ini membuat ia masgul.
Mengenai permusuhan kedua keluarga, Tantai Mie Ming telah berikan jasa baiknya,
Jenderal ini telah jelaskan kepada In Tiong perihal cita-citanya Tjong Tjioe,
bahwa Tan Hong tidak mengandung sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka
bersahabat dengan Tan Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan
matanya berbayang surat wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat ia
pergi ke rumah musuhnya. Toh ia merasa berat akan berpisah dari anak muda she
Thio itu, tetap ia ingat budi orang...
"Mungkinkah besok Tan Hong datang untuk berangkat bersama-sama aku?" demikian In
Tiong pikir. Karena pikirannya ini, hati In Tiong menjadi bertentangan sendirinya. Di satu
pihak ia ingin Tan Hong datang untuk berangkat bersama, di lain pihak ia harap-
harap si anak muda tidak muncul...
"Jikalau dia datang dan berangkat bersama aku, bagaimana nanti aku dengan
ayahku?" demikian kesangsiannya. "Bagaimana dengan In Loei" Dapatkah In Loei
mengurbankan perasaan hatinya" Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei
sebagai anak-anak poethauw?"
In Tiong kuatir dikatakan sebagai anak poethauw - tidak berbakti. Maka itu, ia
lantas menjadi menyesal dan berduka. Kusut pikirannya memikirkan permusuhan
turun temurun itu. In Tiong meloneng terus, sampai jam empat. Di saat ia memikir untuk masuk tidur,
untuk dapat melupakan segala apa, satu
pengiringnya datang dengan tindakan cepat. Iapun dengar suara berisik di sebelah
luar. "Ada apa?" ia tanya.
"Seorang yang bertopeng, yang mengenakan pakaian untuk jalan malam, telah
nerobos masuk kemari, dia ingin sangat menghadap thaydjin," demikian ia
diberitahukan. "Dia masuk dengan jalan melompati tembok. Kelihatannya dia
sebagai orang jahat tetapi mungkin bukan..."
In Tiong menjadi heran. "Baik, bawa dia menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir dengan cepat.
Dengan lekas satu anak muda dengan pakaian serba hitam dibawa masuk, mukanya
bertutupkan topeng, dandanannya sebagai orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan
langsing, sangat berbeda dengan kebanyakan pahlawan Mongolia.
"Kau ada punya urusan apa, waktu tengah malam begini datang untuk mohon bertemu
dengan aku?" In Tiong segera menanya. "Siapakah yang menitahkan kau datang
kemari?" Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi sekali, mata itu
memain dengan tajam. "Mohon thaydjin suruh mundur dahulu orang di kiri kanan," katanya pelahan.
Tentu saja permintaan ini sangat mencurigakan, maka orang-orangnya si utusan
justeru maju semakin dekat.
"Hati-hati thaydjin memperingatkan yang satu, sedang kawannya maju untuk
menggeledah. Si anak muda mundur, sinar matanya menyatakan ia berdongkol dan gusar.
In Tiong lihat sikap orang itu.
"Pergi kamu mundur!" ia titahkan orang-orangnya sambil memberi tanda dengan
tangannya. "Kami perutusan dari negara besar, kami biasa bersikap baik terhadap
siapa juga, jangan kamu kuatir."
Dengan terpaksa pengiring-pengiring itu undurkan diri.
In Tiong sendiri yang tutup pintu.
"Sekarang kau dapat berbicara, bukan?" ia bertanya sambil tertawa.
Tetamu tidak diundang itu singkap topengnya begitupun mantelnya, maka
terlihatlah ia sebagai satu nona bangsa Mongol yang cantik.
"Aku ialah puterinya Yasian!" demikian kata-katanya yang pertama.
In Tiong terkejut. Ia sudah menduga pasti bahwa orang satu nona, tetapi yang ia
tidak sangka bahwa nona ini ada puterinya perdana menteri Watzu itu.
"Silakan duduk!" ia segera mengundang. Ia agak heran atas maksud kedatangan nona
ini. "Ada urusan apakah ayahmu dengan aku" Kenapa ayahmu kirim kau kemari nona?"
Ia menerka Yasian ada punya urusan penting.
Nona itu, ialah Topuhua, menggeleng kepala. Itu adalah tanda bahwa ia bukan
utusan ayahnya. Tentu saja, utusan Beng itu menjadi semakin heran. Ia mengawasi, ia tampak roman
yang gelisah dari nona itu.
"In Thaydjin, bukankah kau sahabat baiknya Thio Tan Hong?" nona itu lalu
menanya. "Aku maksudkan, bukankah Tan Hong sahabat baikmu?"
"Habis kenapa?" In Tiong balik menanya.
"Sekarang ini sudah jam empat," berkata si nona, yang tidak menjawab pertanyaan
orang, "sebentar lagi asal sudah terang
tanah, Thio Tan Hong serumah tangga, tua dan muda, akan musnah menjadi abu yang
beterbangan! Maka sekarang ini, jiwanya Tan Hong itu tergantung di ujung
tanganmu! Kau hendak menolong dia atau tidak?"
Kembali In Tiong menjadi kaget. Tentu saja, keheranannya pun bertambah.
"Sebenarnya, urusan apakah itu?" ia bertanya.
Masih Topuhua tidak menjawab langsung.
"Ayahku sangat benci padanya sebab dia telah bantu padamu, In Thaydjin," ia
menjawab, "ayah pun lebih takut lagi kalau Tan Hong pulang ke negerinya, di sana
dikuatirkan dia lebih membahayakan negeri Watzu, maka itu ayah telah kirim
pasukannya mengurung gedungnya Thio Tjong Tjioe. Sebegitu langit terang,
sebentar, gedungnya itu mau ditembak dengan meriam!"
Walaupun dia kaget dan berkuatir, In Tiong masih dapat berlaku tenang.
"Bagaimana caranya aku dapat menolong padanya?" ia tanya.
"Segera sekarang juga kau pergi kepadanya!" sahut si nona.
Oleh karena kecerdasannya, segera In Tiong mengerti. Bukankah ia utusannya
Tionggoan" Bukankah dengan ia pergi ke rumah Tan Hong itu, Yasian tidak akan
berani tembak gedungnya Thio Tjong Tjioe itu" Bukankah Tan Hong perlu dengan
pertolongannya" Terang sudah, Yasian hendak menembak Tan Hong sesudah ia
berlalu, supaya ia tidak ketahui kejadian itu.
Biar bagaimana, sekarang hati In Tiong menjadi sangat gelisah, bagaikan
gelombang diserang badai. Kalau ia pergi kepada Tan Hong, itu artinya ia injak
rumah musuhnya! Itulah hal yang ia sebegitu jauh tak sudi melakukannya! Dengan
pergi ke sana, ia pun mungkin akan membikin gagal keberangkatannya! Sekarang
adalah saatnya ia bersiap-siap untuk berangkat keluar kota, guna berangkat
pulang. Di sana ia harus menemui raja Watzu serta rajanya sendiri yang tua...
Dengan kedua matanya yang tajam, Topuhua mengawasi utusan Tionggoan itu.
Kesangsian orang membuat ia gelisah, hatinya berdenyut keras, hingga air matanya
hendak mengucur keluar. "Kau hendak menolongi atau tidak?" akhirnya ia tanya sebab orang masih berdiam
saja. Pikirannya In Tiong pun menjadi sangat kusut, di depan kelopak matanya berbayang
roman Tan Hong yang demikian halus dan sopan tetapi gagah dan keren, orang yang
telah menolong padanya di saat ia terancam bahaya. Lalu berbayang pula roman Tan
Hong tengah bersenyum berseri-seri...
Dapatkah orang dengan roman demikian tidak ditolongnya" Bisakah dia itu
dibiarkan menerima kematiannya" Tegakah hatinya"
Tidak menanti sampai Topuhua mengulangkan pertanyaannya, In Tiong sudah
berlompat ke pintu, untuk pentang itu sekeras-kerasnya.
"Lekas kirim dua orang ke istana raja Watzu!" demikian serunya. "Sekarang juga!
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beritahukan pada pembesar pengawal pintu raja itu supaya disampaikan kepada
rajanya bahwa besok aku batal berangkat!"
Mendengar suara sep itu, semua pengiring datang berkumpul.
"Kamu lekas dandan, mari kamu turut aku!" In Tiong menitah pula. "Aku hendak
mengunjungi Thio Tjong Tjioe!"
Pada detik ini lupalah In Tiong kepada sumpahnya bahwa sekalipun sampai mati tak
nanti ia injak rumah musuhnya.
Suara berisik itu membikin bangun Tamtay Keng Beng dari tidurnya. Nona ini
segera muncul di ambang pintu. Kamarnya memang tidak terpisah jauh dari kamar
utusan Tionggoan itu. Maka ia heran akan menampak di depan kamar tidurnya In
Tiong ada satu nona Mongol yang cantik - nona itu penuh air mata pada mukanya
tetapi dia bersenyum berseri, sedang tangannya menyekal keras tangannya In
Tiong! Adalah selagi Nona Keng Beng ini berdiri tercengang, ia dengar In Tiong
mengatakan hendak pergi mengunjungi Thio Tjong Tjioe. Tentu saja ia menjadi
bertambah-tambah heran. "Bagus, adik Tamtay!" In Tiong berseru ketika ia tampak nona itu. "Mari, kau pun
turut!" Keng Beng heran dan kaget, ia pun menjadi sangat kegirangan. Sesaat itu,
saking girangnya, ia sampai lupa segala apa.
"Sebenarnya kita sudah mesti pergi sejak siang-siang!" serunya dengan nyaring.
Ia tertawa tetapi air matanya mengucur keluar. Telah meluap kegirangannya itu.
Baharu setelah itu, ia tegur Topuhua, untuk saling belajar kenal.
Gedung tetamu itu, yang menjadi gedung perutusan Tionggoan, tidak terpisah jauh
dari istana raja Watzu, juga terpisahnya dari rumahnya keluarga Thio cuma kira-
kira tujuh lie, maka untuk sampai di sana, apapula dengan menunggang kuda yang
dikaburkan keras, tidak makan banyak tempo.
Di waktu jauh malam seperti itu, dalam kesunyian, berlari-larinya kuda telah
menyebabkan beberapa penduduk terbangun dengan kaget dari tidurnya, akan tetapi
In Tiong membawa lentera pertandaannya sebagai perutusan Tionggoan, tidak ada
orang yang berani merintanginya. Ia pun sengaja ambil jalan kecil, supaya ia
tidak usah lewat di dekat istana raja. Akau tetapi tepat di waktu ia baharu
muncul dari Jalan Anggur jalan terbesar di kota raja Watzu itu, diujung jalan
yang menikung ke barat, di mana akan tampak gedung keluarga Thio, mendadak ada
satu penunggang kuda yang menghalang di hadapannya. "Aku adalah utusan Kaisar
Beng! Siapa berani halangi aku?" In Tiong membentak. Ia kaget dan heran tetapi
ia tidak takut. Ia majukan kudanya.
Penunggang kuda itu adalah seorang yang gesit gerakannya, kudanya terbentur
keras dan ia terjungkal dari kudanya, akan tetapi ia dapat jumpalitkan diri,
hingga ketika ia sampai di tanah, bisa terus berlutut di depan utusan itu,
dengan kedua tangannya ia angsurkan kimpay tinggi-tinggi.
"Inilah firman dari Kaisar Beng! In Thaydjin di minta menerimanya!" demikian ia
perdengarkan suaranya yang nyaring.
In Tiong terkejut, ia segera mengawasi, sedang pengikutnya maju ke depan, akan
angkat tinggi lenteranya, untuk menyuluhi. Maka segera utusan itu kenali siapa
pembawa firman itu, ialah salah satu siewie dari Kaisar Kie Tin yang kena di
tawan bersama junjungannya dalam peperangan di Touwbokpo.
Memang, waktu Kaisar Kie Tin ditawan, bersama ia telah ditawan lima pahlawannya,
yang menjadi sisa-sisa hidup. Mulanya ke lima pahlawan itu di penjarakan
terpisah dari rajanya, tetapi sejak datangnya In Tiong dan didapatnya
perdamaian, mereka diserahkan kepada junjungannya, hingga mereka menjadi kumpul
bersama, dapat mereka temani pula raja mereka.
Kimpay, atau sehelai emas berukiran, yang menjadi barang pertandaan titah dari
kaisar, biasa dikeluarkan terhadap suatu panglima perang. Di jaman Ahala Song,
ketika Gak Hoei difitnah, dua belas kali dia telah di kirimkan kimpay untuk
memanggil dia pulang dari medan perang. Sekarang Kie Tin gunai itu untuk
memanggil In Tiong. Ia tahu ia masih termasuk "raja tawanan, supaya In Tiong
mempercayainya, ia sengaja berikuti suratnya untuk memanggil utusan itu datang
menghadap padanya. Kimpay diberikuti surat kaisar sendiri, titah pun dilakukan
di waktu malam buta rata, bisalah dimengerti bahwa urusannya mesti sungguh
penting. Maka itu In Tiong menjadi terkejut dan bingung. Ia telah lihat, kimpay
dan surat tidaklah palsu.
Tempo tinggal hanya kira-kira satu jam! Lagi satu jam langit akan menjadi
terang! Dapatkah ia pergi menghadap dahulu kepada rajanya itu" Itu berarti Tan
Hong serumah tangga akan habis dihajar meriam! Jikalau dia tidak taati firman,
itu pun suatu kesalahan besar!
Bagaimana sekarang" "Kita pergi dulu ke rumah keluarga Thio, setelah itu baharu kita pergi pada
raja!" berkata Keng Beng ketika menyaksikan utusan itu masih saja terbenam dalam
kesangsian. "Baiklah!" kata In Tiong akhirnya. Siewie pembawa kimpay dan firman masih
bertekuk lutut di depan kuda In Tiong. Tidak berani ia berbangkit bangun.
"Pergilah kau kembali!" In Tiong lantas berkata, "kau beritahukan Sri Baginda,
besok pagi kita tunda keberangkatan kita. Paling lambat sampai tengah hari, akan
aku menghadap Sri Baginda!"
Masih saja siewie itu berlutut, tidak mau dia kembali tanpa bersama utusan itu.
Justeru itu, dari arah belakang mereka, terdengar suara kelenengan kuda yang
riuh. Segera tertampak satu penunggang kuda tengah kabur mendatangi. Setibanya
segera penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya dan berlutut di depan sang
utusan! Dia juga siewie, salah satu pahlawannya Kaisar Kie Tin. Seperti siewie yang
pertama, dia pun membawa kimpay berikut sehelai firman, kedua-duanya itu ia
angkat tinggi di atasan kepalanya, untuk dihaturkan kepada sang utusan.
Firman itu berbunyi: "Utusan In Tiong segera menghadap Kaisar di istana!" Kali
ini ada tambahan satu huruf "segera."
Gemetar tangannya In Tiong selagi ia sambuti firman itu. Ia benar-benar bingung.
Ia mejadi gelisah sendirinya, hatinya sangat tegang.
"Peduli apa firman itu!" berteriak Topuhua. "Mari kita pergi lakukan tugas
kita!..." Belum berhenti suaranya puterinya Yasian ini, kembali terlihat satu kuda
dilarikan sangat keras ke arah mereka.
"In Thaydjin, sambut firman!" demikian teriaknya penunggang kuda itu.
Kali ini yang datang adalah bekas rekannya In Tiong, yaitu Hoan Tjoen adiknya
Hoan Tiong, yang menjadi pahlawan paling dipercaya Kaisar Kie Tin. Dia angkat
kimpay dengan sebelah tangan, tangannya yang lain dipakai menghaturkan firman.
Bunyinya firman sama saja dengan firman yang kedua, hanya kali ini, pada huruf
"segera" ditambahkan dua bundaran yang menandakan urusan ada lebih daripada
penting. "Hoan Siewie, sebenarnya apakah telah terjadi?" In Tiong tanya dalam bingungnya.
"Aku juga tidak tahu urusan apa itu," sahut Hoan Tjoen. "Aku cuma terima titah
langsung dari Sri Baginda yang menitahkan Thaydjin harus segera datang menghadap
di istana, tak dapat berlambat lagi." "
In Tiong menghela napas. Ia mengerti pentingnya kimpay dan firman panggilan itu,
ia pun sekarang berkuatir di istana ada terjadi sesuatu. Tidakkah tiga kali
datang kimpay dan firman saling susul" Maka di akhirnya, ia putar arah kudanya.
"Baiklah kamu pergi terlebih dahulu." ia kata kepada Keng Beng. Terus ia larikan
balik kudanya, yang lantas diikuti ketiga siewie pembawa kimpay dan firman itu.
Tamtay Keng Beng menjadi sangat mendongkol dan penasaran. Sekarang ia telah
ketahui dari Topuhua tentang bahaya yang mengancam keluarga Thio. Di dalam
hatinya, ia kata: "Thio Tan Hong telah tolong pemerintah dan negara kerajaan
Beng, sekarang kaisar yang tercelaka ini hendak permainkan jiwanya Tan Hong!"
Akan tetapi In Tiong telah ambil putusannya, utusan itu sudah kembali, ia tidak
dapat mencegahnya. Maka dengan terpaksa, dengan ajak delapan belas pengiringnya
serta Topuhua ia lari terus ke rumah Tan Hong.
Ketika rombongan ini tiba di sebelah barat jalan besar utama, di situ telah
bersiap sedia pasukan dari thaywie dari ibu kota Watzu. Thaywie itu sama dengan
pangkat Kioeboen teetok dari pemerintah Beng.
Pemimpin dari barisan pengiring In Tiong segera maju ke depan.
"Kami datang atas titahnya In Thaydjin untuk mengunjungi Yoesinsiang kamu!" ia
berkata. Dengan "Yoesinsiang," perdana menteri muda, ia maksudkan Thio Tjong
Tjioe. "Mana dia In Soesin kamu?" bertanya si thaywie Mongol.
"In Thaydjin baharu saja menerima panggilan untuk menghadap Sri Baginda di
istana, segera ia akan datang." sahut kepala pengiring itu.
"Jikalau begitu, baik kita tunggu sampai In Soesin baharu kita bicara pula,"
bilang si thaywie. "Kami mendapat titah untuk melindungi utusan kerajaan Beng,
dengan tidak adanya utusan kamu itu, kami tidak dapat bertanggung jawab."
Kepala pengiring itu menjadi berdiam.
"Mari kita terobos saja!" menganjurkan Topuhua. Baharu si nona berkata begitu,
di depan mereka si thaywie sudah siap sedia dengan barisannya yang menantikan
serbuan, selain anak panah, juga mereka itu mempunyai dadung-dadung kalakan kaki
kuda. Tamtay Keng Beng dan semua pengiringnya In Tiong menginsafinya, jikalau mereka
memaksa nerobos masuk, urusan akan jadi hebat sekali, mungkin perhubungan di
antara kedua negara turut terganggu pula karenanya. Lagi pula dengan jumlah yang
demikian kecil, belum tentu mereka akan berhasil dengan serbuannya itu. Maka
itu, mereka cegah Topuhua.
"Mari kita bicara kepadanya," Nona Tamtay kata. Ketika itu si thaywie sudah
masuk ke dalam barisannya, pengiringnya In Tiong teriaki dia untuk diajak
bicara, dia diam saja tidak menjawabnya.
Bukan main gelisahnya rombongan Nona Keng Beng ini, mereka bagaikan semut-semut
di atas kwali panas. Bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menantikan
kembalinya In Tiong. Mereka mungkin dapat bersabar untuk menanti tapi bagaimana
dengan Tan Hong" Dengan sendirinya, sang waktu berlewat terus. Tahu-tahu telah terdengar suara
genta di atas pintu kota, yang berbunyi lima kali. Menandakan cuaca akan menjadi
terang. Topuhua terpengaruh oleh kegelisahannya, tiba-tiba ia berseru, terus ia larikan
kudanya maju ke arah barisan, untuk pergi ke gedung perdana menteri muda. Keng
Beng kaget, ia mencoba mencegah tapi gagal.
Serdadu Mongol lihat mendatangi satu nona bangsanya, mereka heran, hingga
walaupun panah telah siap sedia, mereka tidak berani menarik gendewanya untuk
memanah si nona. Juga tukang mengalak kuda tidak berani gunakan dadungnya untuk
bikin kuda si nona terjungkal.
Dalam cuaca masih remeng-remeng itu, tentera Mongol itu cuma lihat tubuh si nona
dan kudanya yang lari mendatangi, mereka tidak bisa melihat tegas roman muka
orang, adalah sesudah nona itu datang semakin dekat, di antara terangnya banyak
obor, di antara mereka ada yang kenali puterinya perdana menteri mereka.
Di antara bangsa Mongol, pergaulan antara pria dan wanita tak ada pantangan
seperti bangsa Han. Topuhua sendiri gemar sekali menunggang kuda dan main panah,
maka itu ia banyak dikenal oleh perwira-perwira dan tentera-tentera bangsanya.
Demikianlah kali ini, ia lantas dapat dikenali.
Si thaywie sudah lantas maju mencegat nona itu.
"Kami telah terima perintahnya Thaysoe untuk melarang orang luar datang kemari!"
dia memberitahukan. Sepasang alisnya Topuhua bangun berdiri.
"Apakah aku orang luar?" dia menanya dengan bengis. "Aku juga sedang menjalankan
perintah ayahku! Aku mesti lewat!"
Dan ia keprak kudanya, untuk nerobos terus.
Thaywie itu heran menyaksikan puteri perdana menterinya itu muncul dari dalam
rombongan pengiring-pengiringnya utusan
Tionggoan, akan tetapi karena ia tahu betul si nona adalah puteri tersayang dari
perdana menterinya itu, ia tidak berani bersikap keras, apa pula si nona sudah
tunjukkan kemurkaannya. Terpaksa ia perintahkan pasukannya membagi jalan.
Setelah tembusi penjagaan, Topuhua menoleh ke arah timur sambil angkat
kepalanya, dari itu ia telah melihat di pangkal langit sudah mulai memancar
sedikit cahaya terang... Di dalam gedung menteri muda orang pun bergelisah sekali, mereka juga bagaikan
semut-semut di atas kwali panas, kecuali Thio Tjong Tjioe seorang. Ia tidak
bergelisah sama sekali, ia tidak pikirkan soal kematian.
Juga Tan Hong tertampak tenang, hanya di dalam hatinya ia sangat masgul. Ia
telah mesti menghadapi nasib hebat dengan di saat-saat terakhir itu ia tidak
dapat melihat In Loei... Semua hambanya menteri muda duduk berkumpul di kaki tembok pekarangan, dari luar
tembok mereka sering-sering dengar suara dari pihak tentera Mongol yang tengah
mengurung mereka. Itulah suara yang merupakan ancaman-ancaman maut.
Semua orang dengar bunyinya kentongan tiga kali, lalu empat kali. Di daerah
Utara ini, sang malam agak lebih panjang, akan tetapi di saat genting sebagai
ini, orang merasakan sang malam itu pendek...
Dengan tentu sang waktu berlalu, dan bayangan-bayangan dari kematian datang
saling susul. Suara tentera di sebelah luar terdengar semakin tegas. Rasanya
belum lama kentongan berbunyi empat kali, lalu datang menyusul yang ke lima
kalinya. Tan Hong menghela napas. Ia berlutut di depan ayahnya.
"Ayah hendak memesan apa?" ia bertanya.
Thio Tjong Tjioe usap-usap rambut puteranya itu. Ia tertawa.
"Jikalau aku mati pada satu tahun yang lalu, aku mati dengan mata tak meram,"
kata ayah ini, suaranya sabar.
"Tapi sekarang" Akhirnya kau telah melakukan sesuatu untuk Tiongkok! Dan aku"
Aku juga telah dapat keluarkan sedikit dari tenagaku. Meskipun itu tak dapat
menebus dosaku, aku toh merasa lega juga..."
Menteri muda ini tertawa, cuma suaranya tawar, bernada sedih.
Tan Hong angkat kepalanya mengawasi ayahnya. Hatinya bercekat akan tampak wajah
ayah itu sedikit berubah. Ia berdiam. Di saat seperti itu, apa yang ia hendak
tanyakan pula" Ia dapat merasa, di saat dari kematian itu, ia seperti berada
semakin dekat dengan ayahnya itu. Sebelumnya ini, ia tak pernah merasakan berada
demikian dekatnya.... Menyaksikan ayah dan anak itu, Tantai Mie Ming tertawa.
"Tjoekong, hari ini kita saling pamitan!" ia berkata. Lalu ia menjura tiga kali
kepada junjungan itu. Hamba yang setia ini sudah ambil putusan, sebelum peluru meriam musuh datang,
hendak ia menghabiskan jiwanya dengan jalan membunuh diri!
Ketika itu sudah jam lima, maka segera juga langit akan menjadi terang!
Sekonyong-konyong terdengar suara berisik dari sebelah luar tembok.
Cuaca belum lagi terang, apakah mereka hendak mulai menembak?" tanya Mie Ming.
Ia seperti berkata seorang diri. Segera ia bersiap dengan sepasang gaetannya.
"Bukan! Tidak mungkin!" berkata Tan Hong.
"Kenapa bukan?" Mie Ming tanya.
"Rupanya ada orang yang datang..." menyahut Tan Hong. "Ah, orang tengah
bertempur! Rupanya orang yang baharu datang itu telah bertempur dengan tentera
Mongol itu... Lantas saja anak muda ini lompat naik ke atas tembok, hingga ia tampak di tempat
kira-kira setengah lie, ada tiga penunggang kuda
yang datang menerjang bahagian belakang dari tentera Mongol itu, sedang tentera
yang di sebelah depan juga agak kacau. Di lain pihak, meriam besar masih tetap
dihadapkan ke arah gedungnya!
Tenteranya Ngochito adalah tentera pilihan, atas titahnya, tentera itu menyerang
tiga penunggang kuda dengan anak panah mereka, serentak serangan itu, maka di
sebelah depan mereka terlihat tiga ekor kuda lompat berjingkrak tinggi sekali
dan rubuh, karena perut dan kempolannya semua tertancap anak-anak panah!
Liehay adalah ketiga panunggang kuda itu, selagi kuda mereka menjadi kurban,
mereka sendiri bebas dari bahaya. Bertiga mereka membuang diri ketika hujan anak
panah tiba. Setelah itu mereka berlompatan maju dengan sangat cepatnya, senjata-
senjata mereka perlihatkan berkelebatannya cahaya-cahaya putih dan hijau. Ketika
mereka di panah pula, mereka semua menjatuhkan diri, hingga anak-anak panah
melayang di atasan mereka. Secara demikian mereka merangsak terus.
Tan Hong terus memasang mata, hingga akhirnya ia dapat melihat tegas tiga
penyerbu itu, ialah Hongthianloei Tjio Eng si Geledek Menggetarkan Langit
bersama dua saudara Hek Pek Moko, si Hantu Hitam dan Putih!
Hek Moko putar tongkat Leggiok thung-nya dan Pek Moko tongkat Pekgiok thung-nya,
sedang Tjio Eng putar pedangnya, pedang Tjengkong Kiam. Itulah ketiga senjata
yang memperlihatkan sinar-sinar hijau dan putih.
Setelah ketiga penyerbu itu datang dekat, tentera musuh tidak dapat menggunakan
pula panah mereka. Mereka terpaksa maju mencegat sambil berkelahi dengan rapat.
Hek Moko dan Pek Moko mengamuk dengan masing-masing tongkatnya, mereka membuat
kuda rubuh atau kabur dan musuh binasa, cuma musuh yang kosen yang bisa bangkit
lagi untuk melakukan perlawanan lebih jauh.
Juga Tjio Eng telah menyerang dengan hebat sekali.
Di saat ketiga penyerbu itu mendatangi ke tengah tanpa ada orang yang bisa
merintangi mereka, baharulah Pek San Hoatsoe yang menjadi sangat murka maju
menghalau. Segera ia berhadapan dengan Hongthianloei yang dia lantas serang
dengan pukulan "Tokpek Hoasan"="Menyerang gunung Hoasan" dengan tongkat
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sianthung-nya yang besar seperti cawan.
Imam ini adalah soeheng atau kakak seperguruan dari Tjeng Kok Hoatsoe. Ilmu
silatnya ada terlebih liehay daripada Ngochito, maka itu bisalah dimengerti
hebatnya serangannya ini.
Hongthianloei tidak jeri terhadap penyerangnya ini, ia malah gusar yang ia
dirintangi, maka itu dengan berani ia angkat pedangnya dengan apa ia tangkis
serangan dahsyat itu. Di antara suara nyaring dari beradunya kedua senjata,
lelatu api pun mencrat seperti kembang api.
"Rubuh!" Pek San Hoatsoe berseru.
Tubuh Tjio Eng nampak sedikit terhuyung, akan tetapi dia tersenyum.
"Tidak mungkin!" sahutnya sambil tertawa. Dan selagi tertawa, dengan sekonyong-
konyong, dengan kesehatan bagaikan kilat, dia membalas menyerang.
Pek San Hoatsoe andalkan tenaganya yang besar, ia tidak sangka sekali yang ia
telah menghadapi seorang lawan demikian tangguh, sedang ketika kedua senjata
bentrok, ia sakit. Tentu saja ia terkejut rasakan telapak tangannya, akan dapatkan musuh sudah
menyerang pula, pedang menyambar-nyambar seperti tanpa manusianya, karena
berbareng dengan itu, Tjio Eng berlompat ke arah belakangnya!
Hongthianloei kesohor untuk tiga macam kepandaiannya. Ialah ilmu menimpuk dengan
batu hoeihong tjio, pukulan tangan geledek Kengloei tjiang, dan pedang Liapin
kiam, terutama dengan pedangnya itu ia telah menjagoi di kalangan Rimba
Persilatan, dan sekarang ia menggunakan pedangnya yang liehay itu, hingga musuhnya lantas
menjadi kewalahan. Sekali diserang, Pek San Hoatsoe dapat berkelit, kedua kalinya ia berhasil juga
mengelakan tubuhnya, tapi serangan kilat datangnya bertubi-tubi, maka untuk yang
ketiga kalinya, ia mesti menangkis. Tak sempat ia berkelit terus-terusan.
"Kena!" berseru Tjio Eng selagi ia menyerang untuk ketiga kalinya itu.
Pukulan Liapin kiam tertangkis sianthung dari si imam, pedang itu tidak
terpental seperti diharapkan imam itu. Sebab Tjio Eng telah gunai kepandaiannya.
Pedang hanya tertangkis membal, untuk terus digoreskan ke pundak musuh!
Syukur bagi Pek San Hoatsoe, dia telah pelajari ilmu kebal "Tiatpou san" = "Baju
besi," maka dia tidak terluka hebat, dia tidak sampai rubuh karenanya. Karena
itu, ketika ia dapat menotok tanah, untuk membikin tubuhnya dapat berdiri terus,
ia segera berlompat menyingkir jauh kira-kira setombak, agar musuh tidak dapat
susul padanya. Adalah niatnya, setelah menaruh kaki, dia hendak balas menyerang
musuh itu. tetapi ketika dia memutar tubuh, dia dapat kenyataan musuhnya itu
sudah menyerbu ke dalam barisan!
Bukan kepalang mendongkolnya imam ini. Dia telah ditinggalkan mentah-mentah oleh
lawannya itu! Maka dia berniat mengejarnya, untuk mana dia sampai berseru dengan
keras. Tiba-tiba, tengah dia umbar kemurkaannya, dia dengar dampratan dari arah
depannya: "Bangsat setan yang menyebalkan, mari rasai tongkatku!" Dia segera
lihat musuh itu adalah seorang hitam, yang tengah berlari-lari ke arahnya. Untuk
melampiaskan kemendongkolannya, dia lantas menyambut dengan sapuan tongkatnya!
Lawan itu yang ternyata adalah Hek Moko, telah sampai dengan cepat, ketika ia
disapu, ia menyambut dengan tangkisan tongkatnya, Lekgiok thung. Maka bentroklah
kedua tongkat yang panjang bagaikan toya itu, suaranya nyaring dan hebat.
Kesudahan dari bentrokan itu membuat Pek San Hoatsoe, yang andalkan tenaganya
yang besar, semangatnya seperti terbang bahna kagetnya. Tongkatnya telah
terlepas dari cekalannya dan terpental terbang tinggi. Ia sungguh tidak sangka
yang lawannya ada jauh lebih tangguh daripadanya.
Sementara itu, Hek Moko sudah menyerang, untuk membalasnya. Imam itu kecil
hatinya, ia lompat ke samping jauhnya beberapa tindak untuk tolong dirinya. Akan
tetapi apa lacur, justeru itu di sampingnya telah tiba Pek Moko, si Hantu Putih!
"Hai, bangsat!" mendamprat si Hantu Putih ini, "di dunia ini ada jalan kau tidak
mengambilnya, di akherat tidak ada pintu kau justeru memasukinya! Kau telah
datang ke hadapanku, mari rasai tongkatku!"
Dan "Ser!" melayanglah tongkat Pekgiok thung menyapu ke arah imam itu, hingga
orang tak sempat lagi berkelit, maka sambil perdengarkan suara berisik, di
antara jeritannya juga, Pek San Hoatsoe rubuh terbanting, patah kedua kakinya!
Selagi kedua Hantu merangsak seru, Tjio Eng telah dapat menoblos barisan musuh,
terus saja ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Liong Kie Touwoet Tjio Eng
dari Heksee tjhoeng mohon menghadap kepada Tjoekong."
Nyatalah Hongthianloei, ketua dari dusun Hekse tjhoeng itu, ada turunan pahlawan
kesayangannya Thio Soe Seng, yang telah diberikan pangkat Liong Kin Touwoet,
pangkat yang turun temurun, maka sekarang Tjio Eng telah tetap memakainya,
dengan perkenalkan dirinya menyebut pangkat turunan itu. Secara begini juga ia
masih tetap mengakui dan setia kepada junjungannya itu.
Thio Tjong Tjioe di dalam gedung dengar suaranya hamba itu, ia lantas saja
mengucurkan air mata. Dengan pegangi pundak puteranya, ia menyuruh mendaki
tembok pekarangan. "Anak Hong, kau suruhlah dia lekas angkat kaki!" dia kata kepada anaknya itu.
Itu waktu juga telah terdengar teriakannya Hek Pek Moko: "Hai, Tan Hong, mengapa
kau tidak menyerbu keluar" Sahabat-sahabat kekal telah datang, kau juga tidak
menyambut?" Nyatalah kedua hantu itu pun dapat menerobos pasukan musuh.
Tan Hong tertawa sedih. Ia baharu hendak buka mulutnya ketika matanya menampak
pasukan yang mengurung gedungnya itu mendadak berpencar ke kedua jurusan, hingga
terbukalah suatu lowongan bagaikan jalanan atau lorong, berbareng tertampak juga
meriam besar, meriam yang dinamakan "Ang ie toapauw" = "meriam berbaju merah,"
yang telah ditujukan ke arah gedungnya. Tadinya meriam itu teraling oleh
berlapis-lapisnya barisan, sekarang terlihat tegas nyata.
Menampak itu, Tjio Eng kaget bukan main.
Ngochito pun segera berseru: "Siapa bergerak lagi satu tindak, akan aku
menembaknya!" Ancaman ini dikeluarkan oleh karena Ngochito percaya betul, tiga penyerbu ini
mesti ada punya hubungan yang erat dengan Tan Hong dan ayahnya. Tapi ia cuma
mengancam belaka. Sebenarnya tidak dapat ia menembak Tjio Eng bertiga, oleh
karena meriamnya itu tidak dapat digeser lekas-lekas sekehendaknya hati, sedang
waktu itu bunyi genta lima kali baharu lewat belum lama. Sebelum terang tanah,
dia tidak akan berani lancang menembak.
Apabila Tjio Eng bertiga lantas menyerbu, kurungan itu mungkin pecah, tetapi
Hongthianloei jeri. Hek Pek Moko gusar bukan kepalang, keduanya lantas berkaok-
kaok dalam bahasanya, bahasa India, yang lain orang tidak mengerti. Mereka juga
tidak berani bergerak. Ngochito saksikan gertakannya berhasil, ia tertawa besar. Ia lantas menuding
dengan goloknya, ia perdengarkan pula suaranya yang nyaring: "Semua mundur
sampai seratus tindak! Atau aku akan menembak!"
Tjio Eng bertiga terpaksa menurut perintah itu, mereka mundur seratus tindak.
Ngochito lantas saja perintahkan sejumlah serdadunya mengampar besi cagak tiga
yang tajam di antara tiga penyerbu itu dan batas gedung menteri muda. Di sebelah
itu, ia siapkan seratus serdadu panah, untuk siap sedia dengan panah dan
busurnya untuk memanah ketiga penyerbu kalau-kalau mereka itu turun tangan.
Tjio Eng bertiga jadi sangat berduka dan bingung. Sekarang tidak dapat mereka
bergerak. Rintangan besi cagak tiga dan ancaman tukang-tukang panah itu ada
sangat berbahaya. Ketika itu sang rembulan sudah turun ke arah barat dan bintang-bintang telah
banyak berkurang, di timur telah mulai terlihat cahaya sedikit terang, maka
tidak lama lagi, jagat pasti akan menjadi terang benderang. Dengan pelahan-lahan
cahaya gelap mulai berubah menjadi remeng-remeng, lalu dengan tentu, sinar putih
mulai tertampak. Itulah pertanda sang pagi telah datang.
Menampak perubahan alam itu, Ngochito pentang lebar kedua matanya, ia angkat
kepalanya, akan memandang ke arah tembok.
"Bagaimana?" dia menanya dengan bengis.
Thio Tan Hong bersikap tenang, dia tertawa dingin.
"Bagaimana apa?" dia balas menanya. "Bagiku, meskipun terbinasa, aku ada
bagaikan hidup! Tapi bagimu, walaupun kau hidup, kau bagaikan mampus!"
"Thio Tan Hong!" Ngochito membentak pula. "Jikalau kau tetap membangkang, tak
sudi menginsafinya, aku cuma bisa menembak!"
"Kau tembaklah!" Tan Hong menantang. "Tak usah kau banyak bicara!"
"Akan aku menghitung dari satu hingga sepuluh!" Ngochito masih berkata. "Jikalau
aku telah menghitung sepuluh tetapi kau masih diam saja, akan aku menembak!
Bukankah semut juga masih menyayangi jiwanya" Maka kau pikirlah masak-masak..."
Tan Hong tertawa dingin, ia lompat turun dari tembok, sama sekali ia tidak
menghiraukannya. Sejenak itu, sunyilah di luar dan di dalam tembok pekarangan, di dalam kesunyian
itu lalu terdengar suaranya Ngochito: "Satu!... Dua!... Tiga!... Empat!..." Ia
telah mulai menghitung. Tan Hong dengar hitungan itu, ia cekal keras tangan ayahnya. Tantai Mie Ming
sebaliknya menyiapkan gaetannya, yang ia telah putar balik tajamnya ke arah
dadanya. Suasana ada sangat sunyi tapi tegang.
"Lima!..." terdengar pula suara Ngochito. "Enam!... Tujuh!... Delapan!...
Sembilan!..." Tantai Mie Ming sudah mulai gerakkan tangannya. Dia adalah seorang jenderal, dia
cuma dapat membunuh diri tetapi tidak dapat dibunuh lain orang. Ujung gaetannya
sudah menempel dengan dadanya, hingga tinggal sekali tolak dan tarik saja,
dadanya itu bakal terluka sobek, perutnya akan pecah belarakan...
Sehabis hitungan "sembilan" itu, lama tak terdengar suara sambungannya. Adalah
kemudian terdengar teriakan halus tapi nyaring dan tajam: "Dilarang menembak!"
"Ah, itulah suaranya seorang wanita!" seru Tantai Mie Ming, yang saking
terperanjat dan herannya sudah lantas lompat naik ke atas tembok, perbuatan mana
dibarengi Tan Hong, yang tak kurang terkejutnya.
Sekarang tertampak bahwa di sampingnya meriam besar ada satu orang nona Mongol
sedang mengancam tukang tembak dengan goloknya.
"Topuhua!..." kata Tan Hong yang tapinya kaget juga. Ia heran.
Puterinya Yasian angkat kepalanya akan memandang ke arah tembok, terus ia
tertawa. Sekarang ini ia tidak berhias, rambutnya yang bagus pun kusut, tusuk
kondenya cuma nyantel di rambutnya, hampir jatuh. Terang sudah bahwa ia telah
datang dengan kesusu. Ngochito memandang si nona dengan matanya terbuka lebar.
"Dilarang menembak?" dia tanya. "Siapakah yang perintahkan melarangnya?"
"Apakah kupingmu pekak?" si nona balik tanya. "Apakah kau tidak dengar nyata"
Akulah yang melarangnya!"
Ngochito adalah pahlawannya Yasian, biasanya terhadap Topuhua ia sangat menurut
malah bermuka-muka, maka itu si nona percaya ia akan dapat pengaruhi pahlawan
ayahnya itu. Akan tetapi sekarang ini Ngochito telah dipesan si perdana menteri
bahwa siapa pun tak dapat merintangi sepak terjangnya itu.
Maka itu dengan hormat sekali, Ngochito memberi hormatnya kepada puteri
majikannya itu. "Aku telah mendengar nyata sekali," ia menyahut. "Aku mohon tuan puteri suka
menyingkir!" Lalu dengan mendadak ia berseru dengan titahnya: "Tembak!"
Kedua alisnya Topuhua menjadi bangun berdiri, bahna murkanya.
"Siapa menembak akan aku bunuh padanya!" ia mengancam, suaranya bengis.
"Ngochito, kau berani menentangi aku?"
Tukang tembak menjadi bersangsi, tangannya menyekali sumbu yang menyala. Tangan
dan tubuhnya bergemetar. Tentu saja dia tidak berani menyulut meriamnya.
Ngochito pandang si nona, ia tertawa tawar.
"Aku cuma dengar titahnya Thaysoe." dia berkata.
"Ayahku menitahkan aku datang kemari justeru untuk sampaikan titahnya!" berkata
si nona. "Ialah, jangan tembak!"
Sudah tentu Topuhua mengatakan demikian dengan terpaksa, dengan mendusta. Ia
mengharap Ngochito nanti suka percaya kepadanya.
Akan tetapi pahlawan itu dengar suara orang agak menggetar, ia telah tampak
roman tak wajar dari si nona, tidak dapat ia mempercayainya. Lagi-lagi ia
memberi hormat sambil berkata: "Manakah titah surat tulisan tangannya Thaysoe
pribadi?" Topuhua masih tak sudi mengalah.
"Aku adalah puterinya, apakah aku mesti pakai juga surat titahnya?" dia
membentak. Ngochito menjura hingga tubuhnya melengkung.
"Tanpa ada bukti surat titah, maaf, aku tak dapat menerima baik titah ini," ia
berkata pula, suaranya tetap hormat tetapi sikapnya keras. "Aku minta dengan
hormat supaya tuan puteri suka mundur!" Terus saja ia berteriak pula dengan
titahnya: "Tembak! Tembak! Atau aku akan bunuh padamu!"
Inilah titah bengis untuk serdadu tukang tembaknya.
Serdadu itu bergemetar kaki dan tangan, akan tetapi ia mentaati titah. Maka ia
lantas sulut sumbunya. Sekonyong-konyong satu tubuh berkelebat menyambar.
"Apakah kau sangka aku tidak berani bunuh padamu?" demikian satu pertanyaan yang
mengancam. Dan sebatang golok melayang!
Serdadu tukang tembak itu belum sempat buka mulutnya, atau ia telah kena
dibacok, menyusul mana, Topuhua menyambar dengan tangannya untuk memadamkan
sumbu, sesudah mana, ia desakkan tubuhnya ke mulut meriam!
"Siapa berani maju" Akan aku bunuh dia!" dia mengancam pula, suaranya sangat
mendesak, suatu tanda bahwa dia sangat menahan napas.
Ngochito tidak sangka tuan puterinya itu demikian nekat, ia menjadi bingung. Ia
boleh gagah melebihi Topuhua akan tetapi
terhadap puterinya Yasian, majikannya, ia tak dapat langgar tubuh tuan puteri
itu. Di saat sangat tegang itu, satu penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba,
dia lompat turun dari kudanya.
"Kenapa masih belum menembak?" dia berteriak dengan pertanyaannya.
Dialah tjongkoan dari gedung perdana menteri, namanya Wotjaha.
"Tuan puteri melarang!" Ngochito beritahu.
Mukanya Wotjaha merah padam.
"Thaysoe menitahkan dengan lisan," dia berteriak, "siapapun dia larang mencegah
titahnya! Siapa berani merintangi, dia mesti dibunuh mati! Inilah surat
titahnya!" Dan dia tunjukkan surat titah itu dalam mana ada dijelaskan, walaupun puterinya
terbinasa, petugas yang menjalankan titah itu tetap ada berjasa!
Hatinya Ngochito menjadi besar.
"Ma I Tjan, kau majulah!" ia beri titah kepada rekannya. "Kau minta tuan puteri
suka menyingkir!" Tentu saja itu bukannya "minta" hanya paksaan.
Topuhua menjadi kalap. "Siapa berani maju?" dia berteriak. Sekarang rambutnya riap-riapan, tusuk
kondenya telah terlepas jatuh. Dia nampaknya sangat beringas.
Wotjaha bertindak maju. "Tuan puteri telah mendengar nyata!" dia berkata, suaranya dingin. "Lekas tuan
puteri mundur, jangan membelar! Thaysoe menitahkan tuan puteri turut aku
pulang!" Dengan sekonyong-konyong Topuhua menjerit dengan tangisannya. Bukan main
berdukanya ia. Inilah untuk pertama kali ia mengenal tabiat ayahnya itu. Ia
adalah puteri tunggal, biasanya ayahnya sangat menyayanginya, segala macam
keinginannya tentu diiringi. Siapa nyana di saat ini, ayahnya telah keluarkan
titah yang di luar dugaannya, sampaipun ia sendiri boleh turut dibunuhnya!
Sungguh ia tidak dapat menerka bahwa ayahnya ada demikian kejam. Nyatalah
kesayangan ayah itu adalah kesayangan palsu belaka!
Di dalam dunia ini di mana ada lain urusan yang dapat membikin seorang anak
perempuan menjadi berduka melebihi ini, apapula seorang anak perempuan sebagai
Topuhua yang biasa dimanjakan"
"Percuma kau menangis," berkata Wotjaha selagi si nona umbar kedukaannya.
"Jikalau kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku akan berlaku tak sungkan-
sungkan lagi! Mari lekas ikut aku pulang!"
Hebat kedukaannya Topuhua, lantas ia tak dapat menangis pula. Dengan tangan
bajunya ia seka air matanya, tapi ia tak geser tubuhnya dari mulut meriam itu.
Mukanya telah menjadi pucat, lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang
romannya menjadi seram menakuti...
"Ma I Tjan, kau tarik dia, singkirkan padanya!" menitah Ngochito, yang cuma taat
kepada titah, hingga hilang rasa peri kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada
puteri majikannya itu. Ma I Tjan ini adalah pahlawan yang tubuhnya telah dicacahkan huruf "bangsat"
oleh Tan Hong, ia memang tak dapat jalan untuk melampiaskan penasarannya itu,
sekarang ia saksikan kelakuannya si puteri, ia menjadi sengit. Ia memang ingin
sangat memusnahkan Tan Hong serumah tangga. Tentu saja ia menjadi tidak senang
dan gusar ada orang menghalangi kebinasaannya musuhnya itu! Maka itu, justeru
ada titahnya Thaysoe Yasian, ia menjadi besar nyalinya. Ia terus maju
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan bajunya guna ditarik!
"Foei!" si nona berludah. Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi kotor.
Pahlawan itu melengak sebentar, lalu ia gerakkan tangannya untuk mencekuk bahu
nona itu. Ia berhasil, hingga kedua tangan Topuhua kena di telikung ke belakang
sebelum nona itu sempat berdaya.
Ma I Tjan gagah melebihi nona itu, gerakannya pun sangat liehay, tidak heran
kalau dia berhasil dengan aksinya itu.
Topuhua juga tidak sangka orang ada demikian berani, ia menjadi tidak berdaya.
Akan tetapi kemurkaannya telah meluap-luap, ia menjadi nekat. Justeru tubuhnya
dibetot, ia sekalian tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan. Ketika ini ia gunai
untuk menggigit pundaknya pahlawan itu!
Ma I Tjan kaget bukan kepalang, sakitnya pun bukan buatan! Inilah hal yang tidak
pernah disangka pahlawan ini. Memang orang bangsa Mongol tidak keras adat
istiadatnya sebagai bangsa Han yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat
tangan" atau menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar bagaimana,
Ma I Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan hamba dengan tuan puteri ini.
Saking kaget dan sakit, ia terpaksa lepaskan cekalannya.
"Jangan pantang-pantang lagi! Hajar dia sampai pingsan!" Wotjaha memerintahkan
sambil berseru. Ma I Tjan lantas sadar, ia turut titah. Ia lantas lompat maju kepada si nona.
Tiba-tiba! "Ser! Ser!" demikian suatu suara menyambar.
Topuhua membekal panah tangan, barusan kedua tangannya tertelikung, dia tidak
berdaya, sekarang setelah merdeka, justeru Ma I Tjan maju, dia lantas saja
menyerang. Panah itu adalah panah beracun, yang biasa dipakai di waktu berburu binatang
alas. Sekarang panah itu digunakan dari jarak yang dekat sekali. Maka tanpa
ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah, masing-masing di bahagian kedua hatinya.
Akan tetapi Topuhua juga telah kena terpukul sampai rubuh.
Wotjaha kaget, dia lompat maju.
Topuhua berlompat bangun sebelum wakilnya Yasian itu sampai kepadanya, dia
berteriak: "Thio Toako, bukannya aku tidak hendak menolongi kau tetapi aku tidak
berdaya dengan setakar tenagaku!" Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri,
di waktu tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua
tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu!
Tan Hong berada di atas tembok pekarangannya, dia menyaksikan kejadian itu
dengan tegas sekali, ia menjadi tercengang. Sungguh ia tidak sangka si nona
menyintai dia demikian rupa, hingga sekarang nona itu berkurban untuknya. Tentu
saja, ia menjadi sangat berduka, lenyap kesannya yang tak manis terhadap puteri
Yasian itu. Tadinya ia menyangka si nona centil. Mendadak ia menangis.
"Oh, adik Topuhua..." ia mengeluh. "Aku terima cintamu!..."
Akan tetapi Topuhua telah binasa, dia tidak dapat mendengar suara kekasihnya itu
yang memanggil dia adik...
Topuhua tidak terbinasa sendirian, Ma I Tjan pun melayang jiwanya bersama ia.
Parah lukanya pahlawan itu disebabkan sepasang panah beracun, jiwanya putus
seketika itu juga, hingga tubuhnya tidak berkutik lagi.
Ma I Tjan terbinasa, Topuhua juga bunuh diri, inilah di luar dugaannya Wotjaha
beramai. Mereka itu semua tergugu, tidak ada yang membuka suara. Baharu
kemudian, Wotjaha yang pecahkan kesunyian.
"Singkirkan tubuhnya itu! Tembak!" demikian titahnya pula.
Ngochito maju, dia kerahkan tenaganya akan tarik kedua tangannya si nona, supaya
pelukannya nona itu kepada meriam terlepas.
Nona itu mengucurkan banyak darah yang membasahi meriam.
Menampak demikian, Ngochito memalingkan mukanya, tidak berani ia mengawasi wajah
bengis dari puteri itu, yang mati tak puas. Dengan hanya satu gerakan tangan, ia
bikin tubuh si nona jatuh di sisi meriam. Setelah itu, ia gantikan si serdadu
tukang tembak, ia nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat jauh ke
samping! Tan Hong juga tidak dapat menonton lagi. Dia lompat turun untuk dengan tangannya
yang kiri menarik ayahnya dan dengan tangan kanan membetot Tantai Mie Ming.
Sembari tertawa, tertawa sedih, ia kata: "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini
mari kita pergi bersama!..."
Tantai Mie Ming tidak lihat apa yang terjadi di luar tembok itu akan tetapi ia
telah dengar titahnya Ngochito, ia tidak memikir hidup lebih lama pula, lantas saja ia angkat
gaetannya... Sementara itu In Tiong, dengan hati tidak keruan, telah pergi kepada Kie Tin,
untuk menghadap junjungannya.
Kie Tin di tempatkan di sebuah gedung di samping kanan istana raja Watzu, ke
sana In Tiong menuju dengan ditemani tiga pahlawan. Kapan pintu istana telah
dibuka, orang melalui sebuah lorong yang berliku-liku. Di akhirnya, sampai juga
orang di istana samping itu. Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi
laporan kepada Kie Tin perihal tibanya sang utusan.
Tidak lama, pengawal itu muncul kembali. "In Thaydjin diminta suka menanti di
sini sampai ada panggilan," demikian katanya.
In Tiong heran. Ia memang tegang terus perasaannya, ia bergelisah.
"Sri Baginda memanggil aku untuk segera menghadap, mengapa sekarang aku mesti
menunggu?" dia tanya.
"Sri Baginda sedang dahar yan-o, dia belum dahar cukup," sahut pengawal itu,
satu pahlawan. In Tiong bergelisah terus, ia pun mendongkol sekali. Bukankah ia telah dipanggil
berulangkah, dengan kimpay dan firman" Kenapa sekarang raja ada tenang-tenang
saja" Apa artinya panggilan kilat itu"
Setelah berselang sekian lama baharu muncul seorang kebiri bangsa Mongol, yang
dipinjamkan kepada Kaisar Kie Tin itu. Hamba ini mengucapkan kata-kata
"mempersilakan."
In Tiong segera masuk ke dalam, bukannya dengan bertindak hanya dengan
berlompat, dua tiga tindak menjadi satu. Setibanya di dalam ia tampak raja
sedang duduk dengan tenang di kursi malas, empat orang kebiri tanggung yang raja
Watzu kirim kepadanya tengah menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan!
Juga wajah raja ini sangat tenang, tidak menunjukkan ketegangan hati.
Dengan merasakan perutnya hampir meledak, In Tiong memberi hormat sambil
berlutut. Tiga kali ia mengucapkan "BansweeV (Sri baginda panjang umur)
"Menteriku, kau bangun dan duduklah!" berkata raja itu, juga dengan sangat
Pedang Semerah Darah 1 Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Maling Budiman Berpedang Perak 1
lebih aku tidak memikir untuk menimbulkan peperangan di antara kedua negara."
"Habis, kenapa kau bawa pasukan dan menyerang kami?" In Tiong tanya.
"Itu... itu..." lalu See Too berdiam, tak dapat ia buka terus mulutnya.
Tan Hong tertawa dingin pula.
"Kau hendak bicara atau tidak?" tanyanya. Dengan dua jari tangannya, ia lantas
menotok. See Too mengeluh kesakitan. Ia merasakan totokan itu bagaikan ratusan batang
jarum yang menusuk-nusuk tubuhnya, sakitnya bukan buatan.
"Ampunilah aku, nanti aku bicara, aku bicara..." sahutnya kemudian sambil
meringis-ringis menahan sakit.
Tan Hong menepuk jalan darah enghiat too orang. Sejenak saja, lenyap rasa
sakitnya si orang tua. "Jikalau kau mendusta setengah patah kata saja, akan aku beri rasa pula padamu!"
si anak muda mengancam. Ia berwajah lemah lembut akan tetapi suaranya, sikapnya,
keren sekali. "Semua ini adalah Yasian yang perintahkan aku melakukannya," benar-benar See Too
berikan pengakuannya. In Tiong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
"Jangan ngaco!" ia membentak.
"Aku bicara dari hal yang benar," menjawab See To. "Yasian tugaskan aku
menyerang kamu untuk diculik, setelah itu nanti dia
kirim pasukan perangnya untuk menolongi kamu. Dengan begitu hendak dia membikin
seperti juga tentera negeri melabrak penjahat. Dengan itu jalan hendak Yasian
pengaruhi kamu, supaya kamu terjatuh ke dalam genggamannya hingga kamu jadi
bersyukur terhadapnya."
In Tiong heran hingga ia berdiam saja. Tak dapat ia menerka siasat Yasian itu.
"Sungguh tipu daya yang sangat busuk!" berkata Tan Hong sambil tertawa
tawar."Ini dia tipu daya yang dinamakan dengan sebutir batu menimpuk tiga ekor
burung. Yang pertama ialah Yasian hendak membikin runtuh pamormu sebagai utusan
kerajaan Beng, supaya kau mendapat malu besar."
"Jikalau Yasian berhasil menawan kau dan dia dapat berpura-pura menolongmu,"
berkata Nona Keng Beng, "itu artinya kau telah terjatuh ke dalam genggamannya!
Atau lebih benar, kau menjadi orang tawanannya hingga tak dapat kau berbicara."
"Dengan begitu," Tan Hong menyambungkan, "kalau nanti telah di mulai dengan
perundingan perdamaian, Yasian menjadi menang di atas angin, dia dapat
mengajukan syarat-syarat yang menghina Tionggoan. Kau berada dalam tangannya,
tidak dapat kau bersikap keras."
In Tiong mengerti sekarang, dan iapun insyaf bahwa ia nyata kalah cerdas dari
Tan Hong dan Tamtay Keng Beng.
"Pasukan tentara yang Yasian akan kirim itu, di mana nantinya mereka bertemu
dengan kau?" Tan Hong tanya pula See Too.
"Di depan, di mulut gunung ini," See To jawab. "Bagus, kau benar tidak
mendusta!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Baiklah, aku kasih ampun padamu,
kau boleh tak usah mati!"
Di mulut pemuda ini mengucapkan demikian tetapi tangannya dengan sebat sekali
menepuk dua kali beruntun tubuhnya orang she See itu, dengan begitu ia pukul
remuk tulang piepee orang itu, hingga habis sudah tenaga dan kepandaian
silatnya, untuk selanjutnya, meskipun See Too mengarti Toksee Tjiang, ilmu tangan jahat, ilmu
itu tak dapat digunai lagi terhadap lain orang. See Boe Kie pun tidak luput dari
tepukan Tan Hong, kemudian anak dan ayah oleh Tan Hong dibawa keluar tenda.
"Sekarang pergilah kamu!" Tan Hong memberi ijinnya. Atau lebih benar ia usir
kedua orang she See itu. "Bagaimana besok kita hadapi tenteranya Yasian itu?" tanya In Tiong sesudah Tan
Hong kembali ke dalam tenda. Tan Hong tertawa.
"Sekarang baiklah kau tidur dulu, untuk beristirahat," jawabnya. "Kau percaya
aku, dapat aku layani mereka, akan aku bikin kau tidak usah hilang muka..."
Selagi In Tiong belum sempat mengatakan sesuatu, Keng Beng mendahului ia.
"Thio Toako," katanya sambil bersenyum, "kau pandai sekali menghitung, segala
apa seperti telah masuk dalam terkaanmu, apakah kau mengerti ilmu meramal hingga
kau ketahui segala apa di muka?"
In Tiong cocok dengan pertanyaannya si nona. Ia memang heran kenapa Tan Hong
tahu segala niat musuh, hingga dapat dihindarkan ancaman bahaya hebat itu.
Sebenarnya ia ingin menanya, tetapi si nona telah mendahuluinya, ia jadi turut
menantikan penjelasan. Tan Hong tidak menjawab, hanya sambil kibaskan tangannya, dia tertawa pula.
"Rahasia alam tak dapat dibocorkan!" katanya Jenaka. "Besok pagi kamu akan
ketahui sendiri! Saudara In, sekarang kau tidurlah!"
In Tiong menjadi masgul, tetapi karena ia tidak dapat memaksa, terpaksa ia
menurut saja untuk tidur.
"Eh, hampir aku lupa akan satu hal!" berkata Tan Hong tiba-tiba, selagi orang
hendak rebahkan diri. "Tunggu sebentar! - Adik Tamtay, bagaimana dengan kakimu?"
In Tiong awasi anak muda itu, Keng Beng sebaliknya mencoba-coba menggerak-
gerakkan kakinya. "Rasanya sedikit kaku, tak leluasa untuk dipakai bergerak," sahut nona ini. Ia
pun lantas gulung kedua ujung celananya.
In Tiong lihat kaki orang itu, dia terperanjat.
"Hai, betismu merah dan bengkak!" dia berseru. Ini memang hal yang ia kuatirkan.
"Tan Hong, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau ada punya daya untuk
mengobatinya?" Sekarang pemuda ini ingat perkataan si orang she Thio tadi.
"Benar," Tan Hong menjawab, cepat, "hanya aku hendak minta kaulah yang tolong
mengobatinya." In Tiong heran, ia mengawasi pula. Si nona pun kurang mengerti.
Tan Hong merogo ke dalam sakunya, dari situ ia keluarkan sebatang jarum.
"Kau pegang ini," ia berkata kepada si utusan kaisar Beng. "Kau tahu jalan darah
yongtjoan hiat di kaki itu, kau tusuk jalan darah itu dua kali, lalu kau tusuk
dua kali juga jalan darah hongbwee hiat. Besok pagi, bengkak dan tanda merah ini
akan hilang lenyap. Jangan kamu berkuatir. Besok aku ajarkan pula caranya untuk
menusuk dengan jarum ini."
Anak muda ini ajarkan bagaimana In Tiong mesti menusuknya, yang lalu diturut
oleh orang she In ini. Nona Keng Beng cuma merasakan sakit sedikit waktu
ditusuk. Ia memang gagah dan berani, tusukan itu tidak berarti baginya.
"Hawa udara di Watzu ini buruk," berkata Tan Hong kemudian, "ada orang-orang
yang tidak keruan-ruan bisa sakit tulang-tulang kakinya seperti kau ini, adik
Tamtay. Ilmu mengobati menusuk dengan jarum ini, tidak hanya dapat menyembuhkan
segala penyakit sakit di buku tulang seperti ini, bahkan dapat menolong
orang yang telah menjadi pincang. Saudara In, tidak dapat kau tidak
mempelajarinya ilmu menusuk jarum ini!"
In Tiong tidak menyahuti, tetapi di dalam hatinya ia kata: "Keng Beng tidak
pengkor, untuk apa kau ngoce banyak seperti ini?" Tapi masih Tan Hong bicara
lebih jauh, maka ia memotongnya: "Baiklah, masih ada tempo untuk aku belajar
besok..." "Memang, tak dapat kau tidak mempelajarinya!" Tan Hong berkata pula. Apakah kau
merasa sebal" Baiklah, kitab ini juga aku berikan padamu! - Eh, adik Tamtay, kau
harus anjurkan dia mempelajarinya!"
Dan ia robek beberapa lembar dari kitabnya, lembaran robekan itu ia belesakkan
ke dalam tangannya In Tiong!
Bukan main herannya utusan raja Beng ini, hingga ia lupa untuk menghaturkan
terima kasihnya. Nona Tamtay cerdas, ia heran kenapa Tan Hong begitu mendesak hendak mengajarkan
In Tiong ilmu pengobatan menusuk jarum itu, tapi beda daripada In Tiong, ia
mengerti mesti ada sebab-sebabnya. Maka itu, ia lantas tertawa.
"Karena Thio Toako bermaksud baik, kau terimalah!" ia desak si utusan.
In Tiong terpaksa terima resep pengobatan jarum itu, karena Keng Beng telah
mengatakan demikian, ia hanya tetap masih tidak mengerti, ia tetap merasa heran.
"Bagus!" berkata Tan Hong tanpa pedulikan keheranan orang. "Sekarang dapat kau
mengobati sendiri pada adik Tamtay! Aku tak usah mengganggu pula padamu..."
Lantas ia undurkan diri. Keesokannya pagi, Tan Hong adalah yang paling dulu
bangun dari tidurnya. Malah dia terus pergi ke tenda In Tiong, akan banguni
utusan kaisar Beng itu. "Bagaimana lukanya adik Tamtay?" Inilah pertanyaannya yang pertama-tama. In
Tiong tertawa. "Ilmu pengobatanmu dengan jarum itu benar-benar liehay sekali!" ia menjawab,
"Tadi malam, belum lewat setengah jam sehabis dia ditusuki dengan jarum, dia
sudah lantas bisa bergerak dengan merdeka seperti biasa!"
"Kalau begitu, sekarang kita dapat berangkat dari sini," Tan Hong bilang. "Kau
perlu ketahui, di belakang kita masih harus terjadi suatu pertunjukan sandiwara
yang menarik hati!" In Tiong tidak mengerti, ia heran. Peristiwa apa lagi yang dimaksudkan pemuda
ini" Dia bicara begitu tenang dan gembira. Bukankah mereka akan menghadapi pula
pasukannya Yasian" Bagaimana pasukan itu hendak dihadapinya" Ia juga tetap heran
kenapa Tan Hong ketahui mereka terancam bahaya dan datang malam-malam untuk
menolongnya... Oleh karena ia tidak tahu apa yang si anak muda bakal lakukan, terpaksa In Tiong
serahkan pimpinan kepada si anak muda itu.
Seperti sudah diketahui, di dalam pertempuran semalam, dari delapan belas
pahlawannya In Tiong, tiga telah terluka, tetapi semua mereka pandai menunggang
kuda, maka itu, utusan ini titahkan mereka pergi ambil kudanya barisan penyerbu
di bawah pimpinan See Too itu. Di tempat pertempuran masih ada kudanya pasukan
itu, binatang-binatang itu tidak kabur semuanya, dua puluh di antaranya dipilih
dan diambil. Setelah semua sudah siap, orang mulai keluar dari lembah itu.
Baharu rombongan ini tiba di muka gunung, dari sebelah depan mereka sudah dengar
suara dari banyak kuda berlari-lari, pada itu tercampur seruan-seruan dari
pasukan yang buyar. "Itulah mirip pasukan yang kabur tunggang langgang," In Tiong utarakan
dugaannya. Tan Hong tertawa mendengar pengutaraan itu.
"Pertunjukan sandiwara akan segera di mulai!" ia berkata dengan penyambutannya.
"Kamu tunggu dan lihat saja!"
Mereka berjalan terus, hingga mereka melewati jalan yang menikung. Dari sini
mereka lantas lihat debu mengepul di sebelah depan mereka, lalu tertampak
mendatanginya satu pasukan tentera Mongol terdiri dari kira-kira tiga puluh jiwa
yang tidak keruan seragamnya, kudanya meringkik kecapean. Itulah pasukan yang
kalut kalah perang! Rombongannya Tan Hong berdiam mengawasi pasukan itu, yang datang menghampirkan
mereka, di antara orang yang menjadi pemimpin maju kemuka sekali sampai di depan
In Tiong, terus ia angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat seperti cara
tentera Tionggoan. "In Soesin telah tiba di negara kami, maaf kami telah terlambat menyambutnya."
berkata dia. Dengan "soesin" dia maksudkan "utusan kaisar Tiongkok".
"Kami adalah wakilnya Thaysoe Yasian," sahut perwira itu. "Kami ditugaskan
menyambut In Soesin yang telah tiba di negara kami. Ah, Thio Kongtjoe juga ada
di sini. Bagus!" Perwira itu lihat Tan Hong, yang ia kenali. Ia adalah Ngochito, pahlawan nomor
satu dari Perdana Menteri Yasian. Menghadapi pemuda she Thio itu, agaknya ia
likat, walaupun udara lembab, ia mengeluarkan peluh di keningnya.
Tan Hong bersenyum. "Sungguh sempurna perlayanan thaysoe kamu!" ia berkata.
Sambil mengucap demikian, dengan tiba-tiba pemuda ini majukan kudanya, sampai di
dekatnya Ngochito, menyusul mana sebelah tangannya menyambar kepada satu perwira
di sisi pahlawan nomor satu dari Yasian itu, lalu dengan paksa ia tarik tubuh
orang. Perwira itu bukan sembarang perwira, walaupun ia telah kena dicekal, ia masih
dapat membuat perlawanan. Begitulah, setelah tangannya tak berdaya, ia ayun
kedua kakinya, untuk menendang orang yang mencekuk padanya. Akan tetapi Tan Hong
sudah bersedia untuk segala apa, ia mendahului menotok, maka perwira itu lantas diam
bagaikan mayat hidup! Kejadian ini ada di luar dugaan siapa juga, terjadinya sangat cepat, semua orang
menjadi terkejut dan heran.
Ngochito tak dapat menahan sabar.
"Thio Kongtjoe, mengapa kau berlaku begini tidak tahu aturan?" dia menegor.
Tan Hong tidak gubris tegoran itu, ia terus kerjakan kedua tangannya. Lebih
dahulu ia robek seragamnya si perwira, terus ia buka baju lapis kulitnya, hingga
tertampak bebokong orang di mana terlihat satu tanda yang luar biasa sekali,
ialah cacahan huruf "tjat" (= "bangsat"). Huruf itu adalah huruf "tjodjie" -
tulisan ringkas. "Siapakah yang tidak tahu aturan?" Tan Hong tanya sambil tertawa. "Kau pernah
pelajari huruf Tionghoa, kau kenal huruf ini, bukan" Ha, syukur aku sempat
membuat tanda!" Sambil berkata demikian, pemuda ini lemparkan tubuhnya perwira itu ke arah In
Tiong, maka satu pahlawan segera menyambutnya untuk diringkus.
"In Soesin." berkata Tan Hong, sekarang kepada In Tiong, si utusan kaisar Beng.
"Perwira ini adalah si bangsat yang tadi malam dapat meloloskan dirinya! Dialah
yang bernama Ma I Tjan, salah satu pahlawan di bawahnya Thaysoe Yasian! Silakan
kau bawa dia untuk dikembalikan kepada thaysoe Yasian itu!"
Ngochito jadi sangat gusar, hingga ia seperti lupa segala apa. Ia angkat
goloknya, dengan itu ia serang Tan Hong!
Si anak muda tidak tinggal diam saja, segera dengan pedangnya ia menangkis,
untuk melayani bertempur. Setelah beberapa jurus, dengan tiba-tiba ia tertawa
berkakakan. "Apakah belum cukup kau rasakan kesengsaraan yang tadi malam kau derita?" ia
menanya. "Kau ingin terjatuh ke dalam tanganku atau ke dalam tangannya musuh
dari Thaysoe Yasian?"
Ngochito tercengang tetapi segera dia mencaci: "Jadinya tadi malam adalah kau
yang mengacau, binatang!" Lalu dengan bacokan "Toapek Hoasan" = "Menggempur
gunung Hoasan," dia menghajar dengan bengis.
Tan Hong seorang pemberani, ia kerahkan tenaganya, ia menangkis sambil membabat,
maka itu pedangnya, pedang Pekin kiam si Mega Putih lantas bentrok keras dengan
golok pahlawannya Yasian itu. Sebagai akibatnya bentrokan itu, ujung golok
Ngochito telah terpapas buntung, atas mana dia segera larikan kudanya untuk
menyingkirkan diri. "Sekalipun kau hendak lari, tak dapat kau wujudkan itu!" berkata Tan Hong sambil
tertawa. "Kau lihat di sana - siapa itu yang sedang mendatangi?"
Tan Hong menunjuk ke depan, dari mana seekor kuda kelihatan lari mendatangi
cepatnya bagaikan terbang, hingga seperti tertampak hanya sebuah bayangan putih.
Ketika Tamtay Keng Beng sudah lihat tegas siapa si penunggang kuda itu, dia
berteriak bagaikan bersorak: "Kakak!"
Orang yang tengah mendatangi itu memang Tantai Mie Ming dan binatang
tunggangannya adalah kuda putih Tjiauwya saytjoe ma kepunyaannya Tan Hong!
Ngochito kenali jenderal itu, ia kaget hingga semangatnya seperti terbang
meninggalkan raganya, meski begitu masih sempat ia memanggil: "Tantai
Tjiangkoen..." Tantai Mie Ming menyambut dengan tertawanya yang nyaring.
"Bangsat, sekarang akan aku bikin kau kenal kepada Tantai Mie Ming!" ia berkata.
Oleh karena mereka telah datang dekat satu pada lain, Mie Ming segera serang
pahlawannya Yasian itu, yang hatinya sudah kuncup, hingga dia tidak dapat
menangkis atau berkelit lagi, maka sekali hajar saja, dia telah dibikin rubuh
terjungkal dari atas kudanya.
Mie Ming benci pahlawan itu. Ketika baharu ini Yasian titahkan Ngochito kurung
Thio Tjong Tjioe, ia telah diperhina, sekarang setelah ia letakkan jabatannya,
ia dapat tidak memandang-mandang lagi. Begitulah ia umbar penasarannya itu.
Ngochito ada punya sisa kira-kira tiga puluh serdadu, mereka itu semua kenal
Tantai Mie Ming sebagai satu pahlawan perang Watztu yang kesohor gagah, maka itu
menampak jenderal itu, bahna takut dan kagetnya, beberapa serdadu telah rubuh
sendirinya dari kudanya. Yang lainnya, semua lari kabur!
Tanpa menghiraukan tentara yang kabur sera-butan itu, Tantai Mie Ming lompat
turun dari kudanya, untuk belenggu Ngochito. Sebenarnya ia hendak lantas bicara
kepada In Tiong dan Tan Hong tatkala utusan kerajaan Beng itu perlihatkan roman
kaget. "Lihat, Yasian sungguh berani! Dia kirim pasukan perang besar!" dia berseru
sambil memandang ke depan, tangannya menunjuk.
Tantai Mie Ming berpaling, lantas dia tertawa.
"Itulah bukan pasukan perang Yasian," katanya.
Sebentar saja, pasukan tentara itu telah tiba, lalu yang menjadi kepala perang
menghampirkan Tantai Mie Ming dan bicara, setelah mana, jenderal ini ajar kenal
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu kepada utusan Beng ini.
Nyata pasukan perang itu adalah pasukannya suatu suku bangsa. Ketuanya yang
telah marhum telah binasa di tangannya Yasian, lalu ketuanya yang sekarang,
dipaksa Yasian tunduk kepadanya.
Tapi ketua ini membangkang, justeru dia dapat tahu ada bentrokan di antara
Yasian dengan Atzu Tiwan, dia lari ke pihaknya Tiwan. Diapun bergabung dengan
Tantai Mie Ming. Tadi malam Ngochito memimpin tentara yang berjumlah lima ratus jiwa, dia hendak
menyambut rombongannya See To dan See Boe Kie untuk menyergap In Tiong, tetapi
Tan Hong keburu datang dan mengatur siasat, Tan Hong sendiri pergi langsung
menolongi In Tiong, Mie Ming bersama barisan suku bangsa itu mencegat barisannya
Ngochito, yang mereka serbu, dalam pertempuran
malam buta rata itu, pasukan Ngochito kena dipukul rusak hingga dia kabur
bersama sisa serdadunya kira-kira tiga puluh jiwa itu, sampai dia ketemu Tan
Hong dan rombongannya In Tiong itu. Lacur baginya, sisa serdadu-serdadunya, yang
barusan lari serabutan, semuanya kena ditawan barisan suku bangsa itu. Maka
ludaslah pasukannya Yasian itu.
Setelah mendengar pembicaraan antara Tantai Mie Ming dan ketua suku bangsa itu,
serta Tan Hong juga, baharulah In Tiong seperti sadar dari mimpinya. Jelas semua
itu adalah Tan Hong dan Mie Ming yang mengaturnya, dengan dapat bantuan barisan
suku bangsa itu, maka usahanya Ngochito - atau lebih benar usahanya Thaysoe
Yasian - dapat digagalkan. Lebih kebetulan lagi Tan Hong menyelusup ke tangsi
musuh, ia jadi ketahui rencananya Ngochito dan See Too, yang bekerja menurut
titahnya Yasian. Tan Hong dan Mie Ming pun sama-sama bekerja dengan baik dan
berhasil, yaitu memperoleh kemenangan.
Pahlawan Yasian yang bernama Ma I Tjan itu mula-mula menggabungkan diri pada
Ngochito, dia melihat tanda unggun dari See Too, maka dia lantas berangkat untuk
memberikan bantuannya. Apa lacur, dia tidak sanggup lawan In Tiong, dia kena
dihajar utusan Beng itu, sesudah mana, Tan Hong dapat kesempatan untuk mencorat-
coret huruf "tjat" = "bangsat" di bebokongnya tanpa dia merasa. Tentu saja,
karena kena tertawan, dia tidak dapat buka mulutnya lagi.
Ketika In Tiong dan si ketua suku membuat pertemuan, mereka saling menghadiahkan
"hata," Itulah adat kebiasaan dari suku bangsa Mongol ini. Hata itu adalah
semacam sapu tangan sutera, tanda dari penghormatan. Kemudian mereka berembuk
akan mengambil putusan, ialah:
Ngochito dan Ma I Tjan diserahkan kepada In Tiong sebagai orang-orang tawanan.
Ketua suku bangsa itu peroleh semua orang tawanan serta alat senjatanya dan
lainnya kepunyaan pasukannya Ngochito itu.
In Tiong tidak dapatkan kerugian suatu apa, malah kudanya semua telah didapat
pulang. Ketua suku bangsa itu girang bukan main, sebab ia peroleh banyak kuda, ransum
dan alat senjata, maka di waktu ia hendak berpisahan dari Tan Hong beramai,
berulangkah ia menghaturkan terima kasihnya, seperti Tan Hong pun mengucap
banyak terima kasih terhadapnya. Mereka berpisahan sesudah barisan suku bangsa
itu mengantar sampai di luar mulut lembah.
In Tiong melanjutkan perjalanannya sesudah tengah hari, matahari memancarkan
cahayanya hingga buyarlah hawa dingin. Ia merasa gembira sekali. Bukankah ia
telah lolos dari ancaman bencana dan berbalik menjadi peroleh kemenangan"
"Beruntung tadi malam ada kau!" ia berkata kepada Tan Hong. "Yasian hendak
membikin runtuh kepadaku, siapa tahu, sebaliknya dialah yang berbalik terjatuh
ke dalam tangan kita!"
Tan Hong bersenyum, ia tidak menjawab. "In Toako," Tamtay Keng Beng turut
bicara, "kau juga turut berjasa, karena kaupun tidak menjadi gentar atas serbuan
musuh!" Nona ini jalankan kudanya berendeng dengan kudanya si utusan kaisar, ia pun
gembira sekali, wajahnya berseri-seri.
Tantai Mie Ming awasi adiknya itu, lalu di dalam hatinya ia tertawa dan kata:
"Kiranya bocah ini sudah punyakan orang yang dia penujui..." Ia senang mengawasi
pasangan itu, tetapi ketika ia ingat Tan Hong, ia menjadi berduka untuk
tjoekong-nya ini. Bukankah Tan Hong dan In Loei menemui rintangan"
Tan Hong juga nampaknya menjadi lesu, hilang kegembiraannya. Sebelum itu ia ada
bersemangat. Di dalam kegembiraannya itu, In Tiong seperti lupa segala apa.
"Eh, mana In Loei?" tiba-tiba ia tanya si pemuda she Thio. "Kenapa ia tidak
bersama kau" Apakah ia seorang diri berdiam di ibu kota Watzu?"
Pertanyaan ini sudah hendak dimajukan sejak kemarin tetapi tadi malam telah
terjadi penyerbuan dahsyat itu, yang membikin ia lupa akan hal itu.
Tan Hong terdiam, ia mesti kuatkan hatinya. Tapi ia harus menjawab.
"Ia tidak bersamaku," sahutnya dengan tawar. "Ia telah pulang ke rumahnya untuk
menjenguk ibunya." Girang sekali In Tiong mendengar jawaban itu.
"Apakah ibuku masih ada?" dia tanya.
"Malah aku dengar ayahmu juga telah pulang!" Tantai Mie Ming menyelak sebelum
Tan Hong menjawab. Sengaja ia wakilkan pemuda itu, sang tjoekong. "In Thaydjin,
kamu sekeluarga dapat berkumpul, sungguh itu ada hal yang sangat menggirangkan!"
"Benarkah itu?" berseru In Tiong. Ia girang bukan main.
"Mustahil kabar itu bohong?" Mie Ming membaliki. "Cuma..."
"Cuma apakah?" In Tiong tanya, cepat.
Tadi Mie Ming berhenti bicara karena tempo ia menoleh kepada Tan Hong, anak muda
itu telah mengkedipkan mata kepadanya. Maka sekarang ia menjawabnya tak seperti
apa yang ia hendak mengatakannya tadi.
"Cuma karena jalanan ada jauh, entah mereka dapat susul kau atau tidak..."
demikian katanya. In Tiong tertawa.
"Aku akan berdiam lebih lama beberapa hari di ibu kota Watzu untuk menantikan
mereka," katanya. "Tapi, ketika ia tampak sikap adem dari Tan Hong, ia menjadi
kurang puas. Di dalam hatinya, ia berkata: "Ya, memang kami kaum keluarga In
bermusuhan dengan kaum keluarga Thio, dia mendengar ayahku masih hidup, tentulah
dia menjadi tak bergembira. Sebenarnya dia heran juga, dia berpemandangan luas
tetapi sekarang dia menjadi cupat pikiran... Tapi ini ada baiknya juga,
kesulitanku pun menjadi berkurang.
Dengan In Loei dia tidak dapat berpisah, tetapi sekarang mau atau tidak, dia
mesti berpisah juga..."
Setelah peristiwa yang hebat itu, berubahlah sudah kesan In Tiong terhadap Tan
Hong, bukan melainkan kebenciannya telah menjadi berkurang, malah permusuhannya
telah seperti hilang sendirinya. Ia hanya masih beranggapan bahwa di antara
kedua keluarga itu tidak seharusnya ada pergabungan pernikahan...
Perjalanan telah dilanjutkan dengan tenteram, tidak ada rintangan apapun, maka
berselang belasan hari, tibalah mereka dengan selamat di ibu kota Watzu. Segera
In Tiong menunda dahulu di luar tembok kota, dari mana ia memandang ibu kota
itu. Ia lantas saja ingat banyak hal di masa mudanya, ketika ia turut alami
banyak penderitaan. Tapi sekarang, sebagai utusan kaisar, bolehlah ia angkat
kepala. Dalam pikiran ruwet tak keruan itu, air matanya turun berketel. Ia tak
tahu, ia mesti berduka atau bergirang...
Belum lama, mendadak ada terdengar dentuman meriam tiga kali. Menyusul itu,
pintu kota telah dipentang lebar-lebar. Nyata raja Watzu telah dengar berita
dari tibanya utusan kaisar Tionggoan dan karenanya dia mengirim wakil untuk
menyambutnya. Malah Yasian juga turut mengirimkan wakilnya, guna menyambut utusan itu. Hanya
wakil ini menjadi heran apabila ia tampak di antara perutusan Tionggoan itu
tidak beserta Ngochito dan barisannya, sedang seharusnya Ngochito yang mesti
mengiringi perutusan itu. Ia tentu saja tidak ketahui, Ngochito dan Ma I Tjan
sedang terkurung rapat dalam sebuah kereta keledai yang dibawa utusan kaisar
Beng itu, sementara Thio Tan Hong dan Tantai Mie Ming sudah sejak siang-siang
pisahkan diri dari In Tiong, mereka pergi menuju ke pintu kota yang kedua, untuk
pulang ke rumah mereka. Perdana Menteri Yasian di dalam gedungnya juga menantikan kabar hal tibanya
utusan Tionggoan itu. Ia tidak usah menanti terlalu lama akan terima kabar dari
wakilnya. Ia memang tak tenteram hatinya, duduk salah berdiri salah, maka kabar
yang diterimanya ini membuat kagetnya bukan kepalang. Ia terima keterangan bahwa
utusan Tionggoan datang cuma bersama delapan belas pengiring serta beberapa
pelayan wanita, bahwa semua pengiring itu nampaknya gagah, pakaian mereka
mentereng, tidak ada tanda-tanda bekas mengalami penyerangan yang membuat
pakaian mereka tidak keruan atau kuda lelah dan manusia letih. Dari halnya
Ngochito dan lima ratus serdadunya, jangankan orangnya, walau bayangannya pun
tak tertampak. Yasian kaget berbareng sangat heran.
"Ngochito dan Ma I Tjan kosen dan pintar, mereka ada bersama lima ratus serdadu
pilihan, malah dibantu pula oleh See Too serta orang-orangnya, tidak seharusnya
mereka gagal, umpama gagalpun, mesti ada orangnya yang lari pulang untuk
mengabarkan. Kenapa sekarang tidak seorang juga yang kembali" Mustahilkah utusan
Tionggoan itu ada bangsa malaikat?"
Demikian Yasian tanya dirinya sendiri, hingga ia jadi berpikir keras. Malam itu,
karena ia terus menunggui warta dari Ngochito, sama sekali ia tidak tidur
sekejap pun juga. Keesokannya, dari pagi hingga tengah hari, ia masih menanti-
nanti, sehingga datanglah kabar tibanya utusan Tionggoan itu, yang membikin
keheranannya sampai di puncaknya.
Di hari kedua, pagi-pagi Yasian kirim wakil kepada In Tiong, untuk undang utusan
itu. In Tiong terima undangan itu. Sudah selayaknya ia berkunjung kepada perdana
menteri Watzu. Ia datang dengan ajak empat pengiring berikut sebuah kereta
keledai. Tapi ia datang sesudah jauh siang, hingga selama itu, Yasian mesti
menahan napas untuk menantikan padanya.
Heran Yasian waktu jauh siang itu ia diberitahukan tentang kunjungannya utusan
Tionggoan sambil membawa sebuah kereta keledai.
"Apakah mereka bawa banyak barang antaran untukku?" Yasian menduga-duga.
"Mestinya hadiah itu barang-barang yang berat sekali..."
Ia lantas berikan titah, pengiring mesti menunggu di tangga di muka pintu besar,
supaya si utusan seorang diri yang dipimpin masuk ke dalam ruangan besar di mana
ia menantikan. In Tiong bawa sikap agung-agungan. Ia berjalan di lorong di antara dua baris
pengawal yang seragamnya mentereng dan romannya gagah, semuanya menyekal golok,
tombak dan pedang terhunus.
Yasian telah pasang matanya. Ia tercengang ketika ia lihat romannya utusan ini.
Ia merasa bahwa ia seperti pernah bertemu dengan utusan itu. Berbareng di
otaknya segera berbayang satu utusan lain dari kerajaan Beng. Itulah In Tjeng,
utusan dari tiga puluh tahun yang lampau.
Itulah utusan yang di negara Watzu hidup sebagai pengembala kuda selama dua
puluh tahun, tapi hatinya tak pernah dapat dibikin ciut, yang semangatnya terus
berkobar-kobar. Sekarang utusan yang muda ini mirip benar dengan utusan yang tua
dahulu itu... In Tiong unjuk hormatnya kepada perdana menteri Watzu itu yang membalasnya. Ia
lantas persembahkan barang-barang hadiah, seperti kumala putih dan lain-lainnya.
Inilah keharusan di antara kedua negara, sebagai tanda menghormat kepada menteri
dari negara yang dikunjunginya itu. Hadiah itu bukan barang sangat berharga
tetapi toh tepat untuk suatu menteri. Selama itu tetap dia bawa sikapnya yang
agung, bukannya jumawa, bukannya merendah.
Setelah penyerahan hadiah itu, Yasian minta belajar kenal. Di dalam hatinya ia
kaget akan dengar utusan ini seorang she In.
"Sungguh kebetulan!" katanya sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun sang lampau,
utusan yang datang juga she In!"
"Malah sekarang ada terlebih kebetulan pula!" berkata In Tiong sambil tertawa.
"Pada tiga puluh tahun yang lampau itu adalah sang kakek yang menjadi utusan,
dan pada tiga puluh tahun kemudian, ialah sekarang ini, aku adalah cucunya si
kakek itu! Thaysoe, bukankah ini ada suatu hal yang bagus sekali?"
Air mukanya Yasian berubah, akan tetapi ia mencoba akan mengatasi diri.
Begitulah ia paksa tertawa.
"Benar bagus, benar bagus!" begitu katanya.
Walau bagaimana, perdana menteri ini tak dapat sembunyikan keheranan dan
kagetnya, hingga sikapnya menjadi tidak wajar pula.
In Tiong merasa sangat puas, ia tertawa bergelak-gelak. Ia lalu mendesak.
"Kali ini aku menjadi utusan, sebelumnya aku telah pelajari juga ilmu mengembala
kuda," demikian katanya, disengaja. "Jikalau sudah datang waktu keperluannya,
aku bersedia berdiam lama di dalam negeri thaysoe ini!"
Yasian menjadi sangat likat. Ia tertawa menyeringai.
"Ah, In Thaydjin, kau bergurau!" katanya, untuk menutupi kelikatannya. "Haha,
haha, sungguh thaydjin suka bergurau!" Ia lalu berdehem, ia urut-urut kumis
jenggotnya. "Thaydjin, aku justeru hendak mohon maaf padamu, karena kami telah lalai dalam
penyambutan kami. Thaydjin sudah melakukan perjalanan jauh dan harus melintasi
kota-kota dan gunung-gunung, tentu kau letih sekali."
Dengan kata-katanya ini, Yasian ingin simpang-kan pembicaraan sambil berbareng
memancing keterangan kalau-kalau tetamunya mengalami sesuatu di dalam
perjalanannya itu. Ditanya begitu, In Tiong tertawa dingin.
"Aku tidak merasa letih." demikian penyahutan-nya. "Hanya ketika aku memasuki
wilayah negara thaysoe, di tengah jalan kami telah hadapi beberapa begal
kecil..." Yasian kaget di dalam hatinya.
"Kalau cuma begal kecil, itulah pasti bukannya Ngochito," pikirnya. Ia lantas
menanya: "Di tempat manakah thaydjin ketemu orang jahat itu" Pembesar-setempat
di sana telah melalaikan tugasnya, nanti aku periksa dan hukum padanya!"
Ia nampak kaget tetapi kali ini, kagetnya itu kentara.
In Tiong tertawa pula. "Itulah tak usah," katanya. "Berhubung dengan pembegalan itu kami tidak mendapat
rugi apa-apa. Di sebelah tugasku, thaysoe secara perseorangan aku hendak
menghadiahkan sesuatu kepada thaysoe, hanya yang tidak berarti..."
Yasian bersenyum, ia nampaknya gembira. "Janganlah berlaku sungkan, In
Thaydjin." katanya, merendah.
"Oh, tidak, tidak, thaysoe," In Tiong bilang. "Aku mohon thaysoe perkenakan
pengiring-pengiringku supaya barang hadiah itu yang berada di dalam kereta boleh
dibawa kemari..." "Oh, tentu saja boleh!" Yasian berikan perkenannya dengan cepat. Di dalam
hatinya, ia kata: "Nyata dugaanku tidak meleset, barang-barang di dalam kereta
itu ada bingkisan untukku! Akan tetapi barang ada demikian berat, mestinya
barang yang tidak seberapa berarti..."
Senang hatinya perdana menteri ini, sedang tadinya ia tidak puas terhadap sikap
agung-agungan dari utusan itu. Hadiah itu berarti suatu muka terang baginya. Ia
jadi tidak terlalu pikirkan, hadiah itu barang berharga atau bukan. Ia lantas
perintahkan supaya pengiringnya si utusan diberi ijin untuk membawa masuk
bingkisan itu. In Tiong menghaturkan terima kasih. Ia perlihatkan wajah berseri-
seri. Empat pengiring utusan Tionggoan itu bertindak masuk dengan menggotong dua
bungkusan karung goni yang besar. Yasian mengawasi, ia menduga kepada suatu
barang keluaran Tiongkok, semacam hasil buminya. Ia tertawa di dalam hati.
Ketika ia menduga utusan ini tentulah seorang melarat...
Sampai di depan Yasian dan sepnya, ke empat pengiring lalu turunkan bungkusannya
dengan dibanting keras. Berbareng dengan itu terdengar teriakan "Aduh!" yang
tertahan. Kemudian, tanpa tunggu titah lagi, mereka buka tambang yang mengikat
mulut karung itu, untuk keluarkan isinya karung, ialah dua tubuh yang teringkus, malah
tubuh yang satu tanpa baju, hingga kelihatan dada dan bebokongnya, dan di
bebokongnya tampak nyata cacahan huruf "tjat" = "bangsat"
"Inilah hadiahku yang tidak berarti, yang aku harap thaysoe suka terima tanpa
celaan..." berkata In Tiong sambil tertawa.
Tidak usah dijelaskan lagi bahwa dua orang yang teringkus itu adalah Ngochito
serta Ma I Tjan. Karena mereka sudah teringkus lama, tidak heran kalau mereka
jadi pusing kepala dan pegal kaku. Kalau tadinya mereka tetap tak sadar akibat
totokan, seberlalunya Tan Hong, mereka telah dibikin ingat akan diri mereka.
Sekarang mereka lihat Yasian, mereka menyangka bahwa mereka telah ditolongi
orang sendiri, saking kegirangan mereka sudah lantas berseru: "Thaysoe."
Yasian kaget. Akan tetapi dia adalah satu orang besar dan cerdas, dalam sejenak
saja dia bisa menduga kepada kejadian yang benar, maka lantas dia perlihatkan
wajah bengis. "Hai, dua begal cilik!" dia membentak, "cara bagaimana kamu berani ganggu utusan
dari negara besar" Mana orang" Hukum rangket tiga ratus rotan kepada mereka,
lantas masukkan ke penjara negara, kemudian akan aku periksa dan hukum mereka!"
Ngochito dan Ma I Tjan menjadi sangat kaget, mereka lantas buka suara, untuk
memberi keterangan, tetapi bentakannya pengiring Yasian telah mencampur baurkan
suara mereka, yang pun segera digusur ke ruang belakang!
In Tiong menyaksikan semua itu dengan tenang. "Thaysoe repot, tidak seharusnya
thaysoe diganggu segala begal kecil," ia berkata sambil bersenyum.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mau tidak mau, mukanya Yasian menjadi ber-semu merah.
"Sungguh kedua begal itu telah membikin aku malu..." ia berkata dengan lagaknya
dibikin-bikin. "Ah!..." ia menghela napas. "Pasti, pasti akan aku hukum berat
kepada mereka!" In Tiong berdiam, dengan dingin ia awasi perdana menteri itu.
Dalam hatinya Yasian heran sekali. Dua pahlawannya itu sangat tangguh, mereka
memimpin lima ratus serdadu, juga dibantu See To dan rombongannya, tetapi mereka
kena ditawan, tentera mereka lenyap tidak keruan paran, tidakkah itu luar biasa
mengherankan" Iapun merasa sangat tidak enak menampak sikapnya In Tiong itu, si
utusan dari Tionggoan, maka dengan sendirinya, paras mukanya menjadi pucat dan
merah padam bergantian. "Hari ini telah cukup aku permainkan padanya!" berpikir In Tiong setelah melihat
lagak orang itu. "Baiklah, aku tidak mendesak dia terlebih jauh, supaya dia
tidak menjadi gusar, agar perundingan tidak terganggu karenanya."
Maka ia tertawa dengan pelahan dan berkata dengan sabar: "Thaysoe, apa yang
telah terjadi itu tidaklah aneh. Di dalam sebuah negara, rakyatnya memang tidak
rata, tidak semuanya baik, mesti di antaranya ada beberapa yang jahat. Harap
thaysoe tidak pikir pula tentang mereka itu. Marilah kita bicara tentang maksud
tujuan kita." Mendengar itu, lega juga hatinya Yasian.
"Benar apa yang kau katakan itu, In Thaydjin," ia menyahut.
In Tiong keluarkan segumpal kertas. "Inilah rencana perdamaian kita," ia
beritahu sambil serahkan kertas itu. "Coba thaysoe periksa." Itulah rencana
perdamaian karangannya Kokioo Ie Kiam, bunyinya sangat sederhana. Ie Kokioo
meminta supaya kedua negara menjaga saja masing-masing wilayahnya, keduanya
saling memperlakukan sama rata, jangan sekali ada yang melakukan penyerangan,
supaya untuk selamanya tak lagi terbit perang. Pada itu Ie Kokioo berikutkan
syarat supaya "thaysianghong" yaitu raja yang tua, Kaisar Beng Eng atau Kie Tin,
yang tertawan di negeri Watzu, lantas di merdekakan dan diantarkan pulang.
Setelah membaca rencana itu, Yasian berdiam. Ia berpikir. Sederhana rencana
Tionggoan itu tetapi bertentangan dengan rencananya sendiri. Ia hendak kemukakan
perdamaian menurut cara dahulu, yang telah dibikin antara kerajaan Song dan
Liauw (Kim), ialah kerajaan Beng mesti menempati kedudukan yang terlebih rendah,
dengan negara Watzu harus ada perhubungan bagaikan paman dengan keponakan.
Negeri Watzu sebagai paman, Tionggoan sebagai keponakan. Serta setiap tahun
kerajaan Beng mesti membayar upeti sebanyak tiga ratus laksa tail perak serta
sutera lima laksa kayu. Tegasnya, dia hendak berdamai sebagai dia yang menang
perang. Maka sekarang tidaklah ia sangka, Tionggoan mengajukan syarat lain. Dia
telah berdaya, dia telah bekerja supaya utusan Beng itu terjatuh ke dalam
tangannya supaya dapat dipengaruhi, tidak tahunya, keadaan menjadi kebalikannya.
Dia sekarang menjadi mirip ayam jago yang kalah berkelahi, hingga rencananya
sendiri yang dia bekal di dalam sakunya tidak berani dikeluarkan.
"Tionggoan adalah satu negara yang mengenal tata sopan santun," berkata In Tiong
apabila ia melihat orang berdiam saja, ia bicara dengan sabar tetapi
berpengaruh, "maka itu Tionggoan hendak berdamai dan bersahabat dengan negaramu
sebagai kedua negara sederajat, sebagai saudara-saudara, semua peristiwa yang
sudah lewat, tidak hendak ditarik panjang pula. Dengan perjanjian ini, kedua
negara sama-sama tidak mendapat kerugian. Apabila Thaysoe memikir lain dan
thaysoe anggap Tionggoan boleh diperhina, tidak ada jalan lain, di tapal batas
negara kami sudah sedia sepuluh laksa serdadu pilihan, kami bersedia untuk main
melayani thaysoe!" Suaranya utusan ini lemah berbareng keras. Ia meminta tetapi pun ia mengancam,
namun ia tidak meninggalkan adat sopan santun.
Pada mulanya benar Yasian telah berhasil menyerang Tionggoan dan memperoleh
kemenangan, hingga ia berhasil menawan kaisar Kie Tin, akan tetapi dalam
peperangan lebih jauh, di Pakkhia, ia telah kena dikalahkan hingga terusir
keluar dari kota Ganboenkwan, maka dalam hal ini di antara kedua pihak tidak
dapat dikatakan ada yang menang dan kalah perang. Oleh karena itu, jikalau kedua
negara mengadakan perdamaian, itu adalah hal yang pantas sekali.
Bicara hal kedudukan, Tionggoan lebih menang, sebab di bawah pimpinan Ie Kokioo,
Tionggoan bersatu, di lain pihak, negeri Watzu terancam bentrokan di dalam, dia
ada di pihak lebih lemah. Hal ini diinsafi Yasian, maka ia suka membuat
perdamaian, tetapi dasar ia seorang licik, ia masih hendak mencari kemenangan di
atas angin. Tapi ia menghadapi In Tiong yang berani, ia jadi menghadapi
kesulitan. "Utusan ini sukar dilayani," demikian pikirnya. "Nyata dia jauh lebih liehay
daripada kakeknya dahulu hari. Jikalau aku main ayal-ayalan, bisa-bisa
kedudukanku menjadi berbahaya..."
Ia ingat ancaman bahaya dari pihaknya Atzu Tiwan.
"Baiklah," katanya kemudian, "rencanamu ini dapat aku terima. Sekarang tunggu
saja sampai junjunganku telah memeriksanya baharu kemudian kita bicara pula
untuk mengambil keputusan."
Pembicaraan berjalan lancar, belum lewat sepuluh hari kedua pihak telah peroleh
persetujuan. Rencana Tiongoan diterima baik, cuma beberapa kata-katanya saja
yang diubah sedikit. Telah ditetapkan, di hari kedua sehabisnya, pembubuhan
tanda tangan, kaisar Tiongkok yang ditawan itu akan dimerdekakan, dia boleh
disambut utusannya untuk diajak pulang.
Sementara itu kaisar Kie Tin dipindahkan dari kamar tahanan ke dalam istana raja
Watzu, diberikan sebuah ruangan di mana ia diperlakukan sebagai raja yang
terhormat. Selagi perundingan perdamaian dilakukan, Tan Hong telah menulis surat kepada In
Tiong, dia undang utusan Tionggoan itu datang ke rumahnya. In Tiong tampik
undangan itu, ia masih ingat permusuhan di antara mereka walaupun terhadap Tan
Hong ia telah berkesan baik. Karena itu, Tan Hong juga tidak datang berkunjung
kepada utusan itu. Dengan lewatnya sang waktu, datanglah malaman yang besoknya utusan Tionggoan
bakal ajak junjungannya yang tua berangkat pulang. Malam itu In Tiong merasa
tegang sendirinya, hingga di tempat kediamannya, ia jalan mondar-mandir tak hentinya. Ia memikir
untuk tidur tetapi tak dapat ia lakukan itu.
Di pihak lain, juga ada dua orang yang merasakan ketegangan sebagai In Tiong
itu. Mereka adalah Tan Hong dan ayahnya. Hanya ada perbedaan pikiran di antara
anak dan ayah itu. Ketegangan Tjong Tjioe karena ia gembira berbareng masgul dan berduka. Begitulah
di dalam taman, sambil meloneng pada lankan, ia mengadakan pembicaraan dengan
puteranya. Selama beberapa hari itu, Thio Tjong Tjioe dapat diumpamakan sebagai pohon tua
yang sudah kering, angin musim semi telah meniup sepoi-sepoi akan tetapi pohon
tua itu tak bersemi pula, tak ada daunnya yang hijau. Dia telah keram diri di
dalam kamar tulisnya, sampaipun dengan puteranya sendiri sedikit sekali ia
bicara. Sedang mengenai urusan tibanya utusan Tionggoan, sama sekali tak sudi ia
menyebut-nyebutnya. Sikapnya yang luar biasa itu menimbulkan kekuatiran di
antara orang-orang sedalam gedungnya.
Tan Hong ingin sekali mengunjungi In Tiong, tetapi menampak keadaan ayahnya ini,
tidak berani ia meninggalkan rumahnya.
Hanya pada malam itu, dengan sekonyong-konyong Thio Tjong Tjioe panggil
puteranya diajak jalan mondar-mandir di dalam taman, akan akhirnya si orang tua
berdiri meloneng. Lama dia membungkam, matanya mengawasi sang rembulan yang naik
semakin tinggi dan semakin tinggi. Di akhirnya dia menghela napas, lalu dia
bersenanjung: "Malam ini memandangi rembulan di dalam taman, lain tahun akan memandanginya
seorang diri..." Benar-benar orang tua ini menggadangi sang rembulan, yang ia terus awasi saja,
hingga ia pun dapat memandang sang mega yang bagaikan lautan. Melihat sang mega
itu ia seperti bermimpi pesiar di Kanglam...
"Ayah..." memanggil Tan Hong dengan air matanya mengembeng. Ia sangat berduka
melihat sikapnya ayah itu.
Tjong Tjioe tertawa, sedih suaranya.
"Kabarnya perdamaian telah ditanda tangani," berkata ayah ini. "Besok utusan
Kerajaan Beng bakal berangkat pulang, benarkah itu?"
Inilah yang pertama kali Tjong Tjioe menyebut tentang utusan Beng itu.
"Benar," Tan Hong jawab ayahnya itu. "Utusan itu she In, benarkah?" sang ayah
menanya pula. "Benar," sang anak menjawab pula. Ia selalu menjawab dengan singkat. Sudah
berulang-ulang ia pikirkan, oleh karena In Tiong tidak ingin menemui ayahnya, ia
juga tidak hendak menyebut-nyebut tentang utusan itu terhadap ayahnya.
"Utusan itu tidak mensia-siakan tugasnya," berkata sang ayah, "dia melebihi In
Tjeng dahulu hari!" Tjong Tjioe masih belum tahu bahwa utusan itu adalah anaknya In Teng atau
cucunya In Tjeng si utusan yang dahulu itu.
Tan Hong manggut, ia bersenyum.
"Kalau begitu anak Hong, kau juga harus berangkat besok!" sekonyong-konyong ayah
itu bilang. Hatinya Tan Hong memukul. Itulah soal yang ia telah pikirkan selama banyak
tahun. Ia tidak menyangka bahwa hari ini ayahnya itulah yang menimbulkannya. Ia
menjadi tidak keruan rasa. Ia tahu dengan pasti. Kalau besok ia berangkat maka
untuk selama-lamanya ia tidak akan bertemu pula dengan ayahnya itu. Berpisah
hidup, berpisah mati, itulah hal yang sejak jaman dahulu dibuat duka orang.
Apapula sekarang ia akan berpisah kepada ayah kandungnya...
Sebisa-bisanya Tan Hong kuatkan hatinya. Ia tahu, tidak nanti ayahnya ijinkan ia
pergi. "Dan bagaimana dengan kau, ayah?" ia balik menanya.
Tiba-tiba wajahnya Tjong Tjioe menjadi gelap, lalu ia tertawa.
"Semua barangmu telah aku siapkan!" katanya. "Ini adalah yang terakhir aku
mengurus keperluanmu!"
Tan Hong terkejut, tetapi ia masih dapat kendalikan diri.
"Ayah," katanya, "jikalau ayah tidak pergi, akupun akan tetap tinggal di sini
menemani kau..." "Tidak, kau harus pergi," berkata ayah itu. "Kau masih muda! Tantai Tjiangkoen
akan berangkat bersama kau! Telah aku beritahukan kepadanya!"
"Tantai Tjiangkoen juga turut pergi?" berkata ini, yang menjadi heran sekali.
Hendak ia melanjutkan. "Dengan begitu, bukankah ayah menjadi bersendirian saja
dan kesepian?" akan tetapi ia batal mengatakannya. Tidak dapat ia keluarkan itu.
Thio Tjong Tjioe, bersenyum.
"Benar," sahutnya, "Tantai Tjiangkoen..."
Tiba-tiba satu bayangan berkelebat datang, atau Tantai Mie Ming sudah berada di
hadapan mereka. Senyumannya Tjong Tjioe masih belum lenyap, hendak dia mengatakan, "Baharu aku
menyebutkan Tjo Tjoh, atau Tjo Tjoh telah tiba!" akan tetapi Mie Ming, dengan
napasnya memburu, berkata: "Tjoekong, celaka!..."
Ayah dan anaknya itu terperanjat. Tjong Tjioe belum pernah nampak jenderal itu
demikian kesusu atau gelisah.
"Ada apakah?" Tjong Tjioe tanya.
"Gedung kita telah dikurung!" sahutnya Mie Ming.
Tan Hong kaget. Tetapi segera ia pasang kupingnya. Benar ia dengar suara dari
banyak orang di luar gedung.
Thio Tjong Tjioe bersikap tenang seperti biasa.
"Mari kita keluar melihatnya!" katanya, sabar.
Tan Hong dengan disusul Tantai Mie Ming lompat ke tembok, dari situ mereka dapat
lihat gedung telah dikurung beberapa lapis tentera, sedang di pekarangan depan,
menghadapi pintu besar, ada bercokol sebuah meriam besar yang dinamakan Angie
toapauw. Bangsa Mongol adalah bangsa yang paling pertama membawa mesiu ke medan perang,
ketika dahulu dia malang melintang di Eropa, bukan sedikit dia mengandal atas
meriamnya itu. Tan Hong tidak sangka hari ini, meriam itu dipakai untuk
menghadapi keluarga Thio.
Di belakang meriam besar itu tampak berdiri berbaris tiga penunggang kuda ialah
Ngochito, Ma I Tjan dan Pek San Hoatsoe, soeheng atau kakak seperguruannya Tjeng
Kok Hoatsoe. Dibarisan depan itu adalah tentera Mongol yang memegangi obor
cabang pohon cemara. Ketika Tan Hong terlihat muncul di belakang tembok, tentera Mongol berteriak-
teriak dengan seruannya yang gemuruh. Anak muda ini berlaku tenang, ia mengawasi
mereka itu. "Untuk apa kamu datang kemari?" bentaknya dengan sabar. Akan tetapi suaranya ini
terdengar terang sekali, suara itu berpengaruh, maka suara riuh berhenti dengan
tiba-tiba. Ngochito tepuk kudanya untuk di majukan, lalu mengawasi ke atas tembok, ia
tertawa besar. "Thio Tan Hong, hendak aku lihat, hari ini kau ada punya kepandaian apa!" dia
berkata dengan jumawa. "Kau bilanglah, kau ingin hidup atau mampus?"
"Apa yang kau artikan?" Tan Hong menegaskan.
"Jikalau kau ingin hidup," menjawab Ngochito, "maka kau mesti rela dengan
tanganmu sendiri kau belenggu semua orang yang berada di dalam gedungmu ini,
kecuali ayahmu, yang boleh tidak usah diikat! Lalu kau pentang pintu besar untuk
membiarkan kami bawa kamu ayah dan anak menghadap Thaysoe, supaya Thaysoe
sendiri yang nanti memberikan putusannya!"
"Hm!" Tan Hong perdengarkan ejekannya. "Jikalau aku menolak?" dia tanya.
"Akan aku berikan kau ketika untuk memikirnya masak-masak," menyahut pula
Ngochito, si pahlawan nomor satu itu. "Kau harus ketahui, bukankah kau telah
lihat tegas meriam besar ini" Walaupun kau bagaimana gagahpun tidak akan kau
sanggup lawan meriam ini! Akan aku beri kau tempo sampai jam lima untuk
memberikan jawabanmu, jikalau kau berani menampik, atau jikalau kau berani
membuat perlawanan, jangan salahkan aku, begitu terang tanah begitu aku lantas
menembak ke arah kamu!"
"Anak Hong, kau turunlah!" demikian suaranya Thio Tjong Tjioe selagi anaknya
belum menjawab Ngochito. Tan Hong dan Mie Ming lompat turun, akan hampirkan orang tua itu.
"Nampaknya jahanam Yasian itu tidak puas sebelum dia mendapatkan aku," berkata
Tjong Tjioe kepada anak dan jenderalnya itu, "maka itu akan aku pergi kepadanya.
Kau bersama Tantai Tjiangkoen ada punya kepandaian, dengan melihat gelagat,
pergi kamu menyingkirkan diri!"
"Tidak, ayah!" kata Tan Hong. "Pasti sekali tidak nanti anakmu membiarkan ayah
terhina Yasian!" Tjong Tjioe berpikir sejenak, lalu ia tertawa nyaring.
"Sungguh bersemangat, sungguh bersemangat!" ia berkata. "Kita tiga turunan
berdiam di negara Watzu ini, kita menumpang hidup dengan menahan malu, semua itu
telah cukup batasnya! Sekarang Tiongkok telah menjadi kuat, tidak dapat kita
menerima malu terlebih jauh! Baiklah, kau biarkan aku bersama semua orang di
dalam rumah ini terbinasa di sini, tetapi kamu berdua pergi kamu menyingkir dari
pintu belakang!" "Tidak, ayah!" berkata Tan Hong dengan segala kepastian.
"Jikalau kita mesti terbinasa, mari kita binasa sama-sama tjoekong1." Tantai Mie
Ming pun kata dengan gagah.
Thio Tjong Tjioe mengalirkan air mata, akan tetapi ia tertawa.
"Sungguh kamu ada anak dan sebawahanku yang baik sekali," berkata dia. "Ah,
semuanya akulah yang rembet-rembet kepada kamu..."
Tjong Tjioe lantas ingat kekeliruan ayahnya dan ia sendiri. Mereka telah ambil
siasat bekerja kepada bangsa Watzu, yang tenteranya mereka bikin kuat, niatnya
adalah untuk pinjam tentera itu guna menggempur kerajaan Beng, untuk membangun
pula kerajaan keluarga Thio, siapa sangka sekarang ia mesti makan buahnya yang
pahit getir ini, bukan saja Tionggoan hampir dimusnahkan Watzu, sekarang mereka
sendiri sekeluarga bakal menjadi musnah tertembak meriam...
Dari luar segera juga terdengar lagi suaranya Ngochito: "Hai, kamu sudah ambil
keputusan atau belum" Ingat, paling lambat sampai hari sudah terang tanah, akan
aku mulai menembak!"
Tan Hong menjadi sangat masgul dan mendongkol. Dia yang sedemikian cerdas,
sekarang telah habis daya, tidak dapat ia memikir. Mengawasi ayahnya, pikirannya
menjadi kalut, dia cuma bisa berduka dan bergelisah...
Tjong Tjioe nampaknya sangat berduka dan bergelisah juga.
Sementara itu, di lain tempat, juga ada seorang lain yang tak kurang gelisahnya
daripada keluarga Thio ini. Dia adalah Topuhua, puterinya Perdana Menteri
Yasian. Topuhua telah mendapat tahu yang perdamaian telah didapat, malah kedua pihak
telah menanda-tanganinya, karena mana besok pagi, utusan kerajaan Beng bakal
berangkat pulang. Ia tahu, dengan begitu, tentulah Thio Tan Hong akan turut
perutusan Beng itu pulang ke Tionggoan. Hal ini membuat ia berduka dan gelisah,
pikirannya menjadi bingung dan pepat, alisnya senantiasa berkerut.
Yasian telah dapat lihat kedukaannya puterinya itu. Malam itu ia menenggak
banyak susu macan, ia sangat bergembira. Sambil tertawa, ia kata kepada
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puterinya itu: "Jangan kau bersusah hati,
tidak nanti Tan Hong turut berangkat. Aku ada punya daya upaya untuk besok
membawa dia kembali! Kau adalah puteriku satu-satunya, umpama kau menginginkan
rembulan di atas langit, sanggup aku mengambilnya turun untukmu! Anak Hua, kau
lihat, bagaimana ayahmu menyayangimu!..."
Topuhua girang dan bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu" Ia tidak lihat
ayahnya itu hendak mendustai padanya. Tadinya ia hendak tanya untuk menegaskan,
akan tetapi sang ayah terus sibuk dengan araknya, terpaksa ia tutup mulutnya.
Terus-terusan Topuhua berada dalam kesangsian, ia tidak tahu, ayahnya akan
bertindak bagaimana. Sampai tengah malam ia masih belum tidur pules. Tiba-tiba
ia dengar suara orang bicara di ruang tetamu. Ia ingin sekali dengar apa yang
dibicarakan, diam-diam ia keluar dari kamarnya, ia pergi ke kamar tetamu itu. Ia
umpetkan diri di belakang pinhong, pintu angin.
-ooo00dw00ooo- Bab XXX Ada dua orang yang tengah berbicara di ruang tetamu itu. Yang satu Topuhua
kenali sebagai ayahnya. Yang lain adalah kepala rumah tangga gedung perdana
menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha.
"Utusan kerajaan Beng akan berangkat begitu terang tanah, apakah barang-barang
hadiah kita sudah sedia semua?" demikian suaranya Yasian.
"Semua sudah disediakan lengkap," jawab Wotjaha.
"Bocah she In itu benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata pula. "Aku
bersyukur kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita bakal merasa aman dan
senang..." "Bukankah Thaysoe hendak mengantar padanya?" sang kepala rumah tangga tanya.
"Kau saja yang wakilkan aku," perdana menteri itu jawab. "Kau berikan alasan
bahwa aku sedang sakit. Sri Baginda sendiri turut mengantar untuk memberi
selamat jalan. Itupun sudah suatu kehormatan besar baginya."
Tidak tertarik hatinya Topuhua akan mendengarkan pembicaraan itu, maka ia ingin
kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi belum sampai ia angkat kakinya, ia lantas
mendengar hal lainnya. "Meriam besar itu hebat, bagaimana kau rasa, suaranya akan dapat terdengar
sampai di luar kota atau tidak?" demikian pertanyaannya Yasian kepada hambanya
itu. "Mungkin terdengar tetapi hanya sebagai suara petasan saja," sahut orang yang
ditanya. "Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah dari pintu kota kira-kira
sepuluh lie lebih, suara meriam juga jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang
tanah, mereka tentunya sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat
tebal, maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya suara
meriam itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang."
Topuhua terperanjat. Suara meriam" Gedungnya Thio Tjong Tjioe" Itu toh rumahnya
Thio Tan Hong! "Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembak," terdengar pula suaranya
Wotjaha. "Di bawah ancamannya meriam, mustahil mereka tidak akan menjadi jinak
dan akan ikat diri sendiri untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?"
"Thio Tjong Tjioe dan puteranya adalah bangsa yang keras adat," berkata Yasian.
"Lebih-lebih Thio Tan Hong, dia lebih suka menyerah kepada ke lemah lembutan
daripada kekerasan. Aku lebih percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri
daripada menyerah secara terhina..."
Perdana menteri itu berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas.
"Thio Tan Hong itu pandai ilmu surat dan silat, dialah satu anak pandai," dia
berkata pula. "Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja
di pihakku, sebaliknya di mana-mana dia justeru mengganggu aku. Orang semacam
dia itu jikalau diijinkan pulang ke negerinya, dia mesti akan menjadi ancaman
bencana bagiku. Ah, harap saja seperti katamu dia suka menyerah kepadaku,
jikalau tidak, dengan tidak pedulikan kesusahan hatinya Topuhua, harus aku
singkirkan padanya!"
Yasian ini sudah dengar keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan, maka tahulah dia,
orang yang menolongi In Tiong yang membekuk See Too, yang memusnahkan lima ratus
serdadu pilihannya, semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia
kaget berbareng gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan Hong itu, hendak
ia membalas sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito ke rumahnya Tjong Tjioe,
untuk ancam Tjong Tjioe dan Tan Hong menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan
puteranya terpaksa ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah
berangkatnya utusan kerajaan Beng.
Terbangun bulu ramanya Topuhua mendengar tindakannya ayahnya itu, ia kaget dan
sangat berkuatir untuk Tan Hong. Nyata sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya
maut. Ia menjadi bergelisah di waktu ia mendengar suara kentongan sudah tiga
kali. Itulah tanda bahwa segera juga sang fajar akan menyingsing.
Syukur juga, setelah bicara sampai di situ, Yasian dan hambanya pada undurkan
diri. Topuhua sudah lantas undurkan diri ke dalam kamarnya. Ia hanya bingung
juga disebabkan kamarnya berada di depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan
diri untuk berpura-pura tidur, kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya
apinya, malah di antara kain jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-mandir
menandakan sang ayah masih belum naik tidur. Mestinya ayah itu pun tengah
bergelisah... "Aku mesti tolong Tan Hong!" demikian nona ini ambil putusan. Akan tetapi ia
bingung juga bagaimana ia dapat keluar dari kamarnya selama ayahnya itu belum
tidur pules. Hatinya nona ini terus memukul keras, matanya senantiasa mengawasi ke kamar
ayahnya. Ia mengharap-harap supaya
ayahnya lekas naik tidur. Lama rasanya ia menantikan, di akhirnya, dapat ia
bernapas lega. Ia lihat api di kamar ayahnya telah padam! Ia lantas lompat
bangun dari pembaringannya. Tapi mendadak ia ingat bahwa di luar kamar ada orang
yang menjaga. Mungkin orang itu tidak berani merintangi padanya tetapi dia bisa
membanguni ayahnya. Maka ia mesti berpikir pula. Dengan hati-hati nona ini
membanguni budaknya, yang tidur dalam satu kamar dengannya.
"Lekas ambil dua poci arak," ia perintahkan. "Kau bawa dan kasihkan kepada dua
pahlawan yang menjaga di taman. Katakan kepada mereka bahwa karena hawa udara
dingin, Thaysoe sengaja hadiahkan mereka arak."
Sementara itu nona ini telah masuki obat pules, ke dalam arak itu.
Selama menantikan lebih jauh, hatinya Topuhua terus memukul. Sekarang ia pun
kuatirkan kedua pahlawan tidak kena dipedayai. Ia memasang kuping terus. Bahna
tegangnya hatinya, ia ingin dapat menahan jalannya sang waktu.
Akhirnya... Budak perempuan tadi muncul dengan warta yang melegakan hati.
"Mereka minum tanpa curiga, keduanya telah tertidur," demikian berkata budak
itu, yang telah sekalian layani kedua pahlawan, supaya ia bisa mendapat
kepastian dari hasilnya obat pules.
Topuhua sudah salin pakaian, ia telah mengenakan pakaian untuk jalan malam, maka
setelah perintahkan budaknya berdiam di dalam kamarnya, ia segera lari keluar.
Dengan hati-hati ia menyelusup di taman bunga, akan akhirnya lompat naik ke atas
tembok, akan keluar dari gedungnya.
Ketika itu tepat kentongan berbunyi empat kali. Pada malam itu, juga In Tiong
tak dapat tidur tenang. Karena ia sangat bergembira dengan hasil tugasnya itu.
Bukankah raja Watzu telah terima baik perdamaian" Maka besok hendak ia berangkat
pulang ke negerinya. Ia akan pulang bersama Thaysianghong Kie Tin, kaisar tua yang ditawan musuh itu.
Di pintu kota menteri dan raja akan bertemu, untuk berangkat bersama-sama.
Itulah suatu kehormatan besar untuk pihak kerajaan Beng, karena In Tiong sebagai
utusan tidak usah pergi pula ke istana raja untuk pamitan. Dia akan pamitan
sekalian di luar kota saja.
Malam itu rembulan dan bintang-bintang ada terang sekali, cahayanya permai.
Sambil meloneng, In Tiong gadangi si Puteri Malam.
"Melihat indahnya malam ini, besok tentulah udara terang", berpikir cucunya In
Tjeng itu. "Musim dingin telah lalu, diganti dengan datangnya musim semi, di
waktu begini pulang ke negeri sendiri, bagaimana menyenangkan! Sri Baginda juga
tentu sangat gembira!"
In Tiong pun bersyukur dan bergirang karena ia telah tidak membikin gagal
tugasnya hingga ia tidak mendatangkan kehinaan untuk negaranya. Perdamaian telah
didapat, raja yang tua juga bakal diajak pulang. Di dalam sejarah, hal ini
adalah peristiwa yang jarang terjadi.
Akan tetapi dalam kegembiraannya itu, ada satu hal yang membikin In Tiong merasa
sedikit tertekan. Itulah yang mengenai ayah dan ibu serta adiknya. Ia berbareng
menantikan mereka tetapi mereka masih tidak kunjung datang. Mustahil mereka
belum katahui tentang beradanya ia di negeri Watzu ini" Apakah mungkin San Bin
tidak dapat ketemui mereka untuk memberitakannya" Karenanya, ia jadi berpikir.
In Tiong telah memikir untuk menanti lebih lama beberapa hari, akan tetapi di
luar dugaannya bahwa perundingan perdamaian telah berjalan demikian lancar
dengan dilakukannya penandatanganan. Kie Tin pun mendesak untuk lekas-lekas
berangkat pulang. Maka itu, cara bagaimana ia dapat menunda keberangkatannya
itu" Kie Tin ingin lekas pulang, karena ia ingin lekas-lekas naik pula atas tahtanya.
Ia seperti tidak mempedulikan hal di negerinya sudah
ada raja yang baharu, bahwa soal itu mungkin akan menimbulkan kesulitan. Tentu
saja karena keinginannya ini, ia tidak mau pikirkan In Tiong ada punya lain
urusan atau tidak. Sambil menggadangi si Puteri Malam, In Tiong juga ingat kepada Thio Tan Hong.
Dia ingat budi orang. Berhasilnya tugasnya ini juga sebagian besar disebabkan
bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang
di antara kedua keluarga ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan
Hong, ke rumah musuh kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat mengunjungi
padanya. Maka hal ini membuat ia masgul.
Mengenai permusuhan kedua keluarga, Tantai Mie Ming telah berikan jasa baiknya,
Jenderal ini telah jelaskan kepada In Tiong perihal cita-citanya Tjong Tjioe,
bahwa Tan Hong tidak mengandung sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka
bersahabat dengan Tan Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan
matanya berbayang surat wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat ia
pergi ke rumah musuhnya. Toh ia merasa berat akan berpisah dari anak muda she
Thio itu, tetap ia ingat budi orang...
"Mungkinkah besok Tan Hong datang untuk berangkat bersama-sama aku?" demikian In
Tiong pikir. Karena pikirannya ini, hati In Tiong menjadi bertentangan sendirinya. Di satu
pihak ia ingin Tan Hong datang untuk berangkat bersama, di lain pihak ia harap-
harap si anak muda tidak muncul...
"Jikalau dia datang dan berangkat bersama aku, bagaimana nanti aku dengan
ayahku?" demikian kesangsiannya. "Bagaimana dengan In Loei" Dapatkah In Loei
mengurbankan perasaan hatinya" Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei
sebagai anak-anak poethauw?"
In Tiong kuatir dikatakan sebagai anak poethauw - tidak berbakti. Maka itu, ia
lantas menjadi menyesal dan berduka. Kusut pikirannya memikirkan permusuhan
turun temurun itu. In Tiong meloneng terus, sampai jam empat. Di saat ia memikir untuk masuk tidur,
untuk dapat melupakan segala apa, satu
pengiringnya datang dengan tindakan cepat. Iapun dengar suara berisik di sebelah
luar. "Ada apa?" ia tanya.
"Seorang yang bertopeng, yang mengenakan pakaian untuk jalan malam, telah
nerobos masuk kemari, dia ingin sangat menghadap thaydjin," demikian ia
diberitahukan. "Dia masuk dengan jalan melompati tembok. Kelihatannya dia
sebagai orang jahat tetapi mungkin bukan..."
In Tiong menjadi heran. "Baik, bawa dia menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir dengan cepat.
Dengan lekas satu anak muda dengan pakaian serba hitam dibawa masuk, mukanya
bertutupkan topeng, dandanannya sebagai orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan
langsing, sangat berbeda dengan kebanyakan pahlawan Mongolia.
"Kau ada punya urusan apa, waktu tengah malam begini datang untuk mohon bertemu
dengan aku?" In Tiong segera menanya. "Siapakah yang menitahkan kau datang
kemari?" Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi sekali, mata itu
memain dengan tajam. "Mohon thaydjin suruh mundur dahulu orang di kiri kanan," katanya pelahan.
Tentu saja permintaan ini sangat mencurigakan, maka orang-orangnya si utusan
justeru maju semakin dekat.
"Hati-hati thaydjin memperingatkan yang satu, sedang kawannya maju untuk
menggeledah. Si anak muda mundur, sinar matanya menyatakan ia berdongkol dan gusar.
In Tiong lihat sikap orang itu.
"Pergi kamu mundur!" ia titahkan orang-orangnya sambil memberi tanda dengan
tangannya. "Kami perutusan dari negara besar, kami biasa bersikap baik terhadap
siapa juga, jangan kamu kuatir."
Dengan terpaksa pengiring-pengiring itu undurkan diri.
In Tiong sendiri yang tutup pintu.
"Sekarang kau dapat berbicara, bukan?" ia bertanya sambil tertawa.
Tetamu tidak diundang itu singkap topengnya begitupun mantelnya, maka
terlihatlah ia sebagai satu nona bangsa Mongol yang cantik.
"Aku ialah puterinya Yasian!" demikian kata-katanya yang pertama.
In Tiong terkejut. Ia sudah menduga pasti bahwa orang satu nona, tetapi yang ia
tidak sangka bahwa nona ini ada puterinya perdana menteri Watzu itu.
"Silakan duduk!" ia segera mengundang. Ia agak heran atas maksud kedatangan nona
ini. "Ada urusan apakah ayahmu dengan aku" Kenapa ayahmu kirim kau kemari nona?"
Ia menerka Yasian ada punya urusan penting.
Nona itu, ialah Topuhua, menggeleng kepala. Itu adalah tanda bahwa ia bukan
utusan ayahnya. Tentu saja, utusan Beng itu menjadi semakin heran. Ia mengawasi, ia tampak roman
yang gelisah dari nona itu.
"In Thaydjin, bukankah kau sahabat baiknya Thio Tan Hong?" nona itu lalu
menanya. "Aku maksudkan, bukankah Tan Hong sahabat baikmu?"
"Habis kenapa?" In Tiong balik menanya.
"Sekarang ini sudah jam empat," berkata si nona, yang tidak menjawab pertanyaan
orang, "sebentar lagi asal sudah terang
tanah, Thio Tan Hong serumah tangga, tua dan muda, akan musnah menjadi abu yang
beterbangan! Maka sekarang ini, jiwanya Tan Hong itu tergantung di ujung
tanganmu! Kau hendak menolong dia atau tidak?"
Kembali In Tiong menjadi kaget. Tentu saja, keheranannya pun bertambah.
"Sebenarnya, urusan apakah itu?" ia bertanya.
Masih Topuhua tidak menjawab langsung.
"Ayahku sangat benci padanya sebab dia telah bantu padamu, In Thaydjin," ia
menjawab, "ayah pun lebih takut lagi kalau Tan Hong pulang ke negerinya, di sana
dikuatirkan dia lebih membahayakan negeri Watzu, maka itu ayah telah kirim
pasukannya mengurung gedungnya Thio Tjong Tjioe. Sebegitu langit terang,
sebentar, gedungnya itu mau ditembak dengan meriam!"
Walaupun dia kaget dan berkuatir, In Tiong masih dapat berlaku tenang.
"Bagaimana caranya aku dapat menolong padanya?" ia tanya.
"Segera sekarang juga kau pergi kepadanya!" sahut si nona.
Oleh karena kecerdasannya, segera In Tiong mengerti. Bukankah ia utusannya
Tionggoan" Bukankah dengan ia pergi ke rumah Tan Hong itu, Yasian tidak akan
berani tembak gedungnya Thio Tjong Tjioe itu" Bukankah Tan Hong perlu dengan
pertolongannya" Terang sudah, Yasian hendak menembak Tan Hong sesudah ia
berlalu, supaya ia tidak ketahui kejadian itu.
Biar bagaimana, sekarang hati In Tiong menjadi sangat gelisah, bagaikan
gelombang diserang badai. Kalau ia pergi kepada Tan Hong, itu artinya ia injak
rumah musuhnya! Itulah hal yang ia sebegitu jauh tak sudi melakukannya! Dengan
pergi ke sana, ia pun mungkin akan membikin gagal keberangkatannya! Sekarang
adalah saatnya ia bersiap-siap untuk berangkat keluar kota, guna berangkat
pulang. Di sana ia harus menemui raja Watzu serta rajanya sendiri yang tua...
Dengan kedua matanya yang tajam, Topuhua mengawasi utusan Tionggoan itu.
Kesangsian orang membuat ia gelisah, hatinya berdenyut keras, hingga air matanya
hendak mengucur keluar. "Kau hendak menolongi atau tidak?" akhirnya ia tanya sebab orang masih berdiam
saja. Pikirannya In Tiong pun menjadi sangat kusut, di depan kelopak matanya berbayang
roman Tan Hong yang demikian halus dan sopan tetapi gagah dan keren, orang yang
telah menolong padanya di saat ia terancam bahaya. Lalu berbayang pula roman Tan
Hong tengah bersenyum berseri-seri...
Dapatkah orang dengan roman demikian tidak ditolongnya" Bisakah dia itu
dibiarkan menerima kematiannya" Tegakah hatinya"
Tidak menanti sampai Topuhua mengulangkan pertanyaannya, In Tiong sudah
berlompat ke pintu, untuk pentang itu sekeras-kerasnya.
"Lekas kirim dua orang ke istana raja Watzu!" demikian serunya. "Sekarang juga!
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beritahukan pada pembesar pengawal pintu raja itu supaya disampaikan kepada
rajanya bahwa besok aku batal berangkat!"
Mendengar suara sep itu, semua pengiring datang berkumpul.
"Kamu lekas dandan, mari kamu turut aku!" In Tiong menitah pula. "Aku hendak
mengunjungi Thio Tjong Tjioe!"
Pada detik ini lupalah In Tiong kepada sumpahnya bahwa sekalipun sampai mati tak
nanti ia injak rumah musuhnya.
Suara berisik itu membikin bangun Tamtay Keng Beng dari tidurnya. Nona ini
segera muncul di ambang pintu. Kamarnya memang tidak terpisah jauh dari kamar
utusan Tionggoan itu. Maka ia heran akan menampak di depan kamar tidurnya In
Tiong ada satu nona Mongol yang cantik - nona itu penuh air mata pada mukanya
tetapi dia bersenyum berseri, sedang tangannya menyekal keras tangannya In
Tiong! Adalah selagi Nona Keng Beng ini berdiri tercengang, ia dengar In Tiong
mengatakan hendak pergi mengunjungi Thio Tjong Tjioe. Tentu saja ia menjadi
bertambah-tambah heran. "Bagus, adik Tamtay!" In Tiong berseru ketika ia tampak nona itu. "Mari, kau pun
turut!" Keng Beng heran dan kaget, ia pun menjadi sangat kegirangan. Sesaat itu,
saking girangnya, ia sampai lupa segala apa.
"Sebenarnya kita sudah mesti pergi sejak siang-siang!" serunya dengan nyaring.
Ia tertawa tetapi air matanya mengucur keluar. Telah meluap kegirangannya itu.
Baharu setelah itu, ia tegur Topuhua, untuk saling belajar kenal.
Gedung tetamu itu, yang menjadi gedung perutusan Tionggoan, tidak terpisah jauh
dari istana raja Watzu, juga terpisahnya dari rumahnya keluarga Thio cuma kira-
kira tujuh lie, maka untuk sampai di sana, apapula dengan menunggang kuda yang
dikaburkan keras, tidak makan banyak tempo.
Di waktu jauh malam seperti itu, dalam kesunyian, berlari-larinya kuda telah
menyebabkan beberapa penduduk terbangun dengan kaget dari tidurnya, akan tetapi
In Tiong membawa lentera pertandaannya sebagai perutusan Tionggoan, tidak ada
orang yang berani merintanginya. Ia pun sengaja ambil jalan kecil, supaya ia
tidak usah lewat di dekat istana raja. Akau tetapi tepat di waktu ia baharu
muncul dari Jalan Anggur jalan terbesar di kota raja Watzu itu, diujung jalan
yang menikung ke barat, di mana akan tampak gedung keluarga Thio, mendadak ada
satu penunggang kuda yang menghalang di hadapannya. "Aku adalah utusan Kaisar
Beng! Siapa berani halangi aku?" In Tiong membentak. Ia kaget dan heran tetapi
ia tidak takut. Ia majukan kudanya.
Penunggang kuda itu adalah seorang yang gesit gerakannya, kudanya terbentur
keras dan ia terjungkal dari kudanya, akan tetapi ia dapat jumpalitkan diri,
hingga ketika ia sampai di tanah, bisa terus berlutut di depan utusan itu,
dengan kedua tangannya ia angsurkan kimpay tinggi-tinggi.
"Inilah firman dari Kaisar Beng! In Thaydjin di minta menerimanya!" demikian ia
perdengarkan suaranya yang nyaring.
In Tiong terkejut, ia segera mengawasi, sedang pengikutnya maju ke depan, akan
angkat tinggi lenteranya, untuk menyuluhi. Maka segera utusan itu kenali siapa
pembawa firman itu, ialah salah satu siewie dari Kaisar Kie Tin yang kena di
tawan bersama junjungannya dalam peperangan di Touwbokpo.
Memang, waktu Kaisar Kie Tin ditawan, bersama ia telah ditawan lima pahlawannya,
yang menjadi sisa-sisa hidup. Mulanya ke lima pahlawan itu di penjarakan
terpisah dari rajanya, tetapi sejak datangnya In Tiong dan didapatnya
perdamaian, mereka diserahkan kepada junjungannya, hingga mereka menjadi kumpul
bersama, dapat mereka temani pula raja mereka.
Kimpay, atau sehelai emas berukiran, yang menjadi barang pertandaan titah dari
kaisar, biasa dikeluarkan terhadap suatu panglima perang. Di jaman Ahala Song,
ketika Gak Hoei difitnah, dua belas kali dia telah di kirimkan kimpay untuk
memanggil dia pulang dari medan perang. Sekarang Kie Tin gunai itu untuk
memanggil In Tiong. Ia tahu ia masih termasuk "raja tawanan, supaya In Tiong
mempercayainya, ia sengaja berikuti suratnya untuk memanggil utusan itu datang
menghadap padanya. Kimpay diberikuti surat kaisar sendiri, titah pun dilakukan
di waktu malam buta rata, bisalah dimengerti bahwa urusannya mesti sungguh
penting. Maka itu In Tiong menjadi terkejut dan bingung. Ia telah lihat, kimpay
dan surat tidaklah palsu.
Tempo tinggal hanya kira-kira satu jam! Lagi satu jam langit akan menjadi
terang! Dapatkah ia pergi menghadap dahulu kepada rajanya itu" Itu berarti Tan
Hong serumah tangga akan habis dihajar meriam! Jikalau dia tidak taati firman,
itu pun suatu kesalahan besar!
Bagaimana sekarang" "Kita pergi dulu ke rumah keluarga Thio, setelah itu baharu kita pergi pada
raja!" berkata Keng Beng ketika menyaksikan utusan itu masih saja terbenam dalam
kesangsian. "Baiklah!" kata In Tiong akhirnya. Siewie pembawa kimpay dan firman masih
bertekuk lutut di depan kuda In Tiong. Tidak berani ia berbangkit bangun.
"Pergilah kau kembali!" In Tiong lantas berkata, "kau beritahukan Sri Baginda,
besok pagi kita tunda keberangkatan kita. Paling lambat sampai tengah hari, akan
aku menghadap Sri Baginda!"
Masih saja siewie itu berlutut, tidak mau dia kembali tanpa bersama utusan itu.
Justeru itu, dari arah belakang mereka, terdengar suara kelenengan kuda yang
riuh. Segera tertampak satu penunggang kuda tengah kabur mendatangi. Setibanya
segera penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya dan berlutut di depan sang
utusan! Dia juga siewie, salah satu pahlawannya Kaisar Kie Tin. Seperti siewie yang
pertama, dia pun membawa kimpay berikut sehelai firman, kedua-duanya itu ia
angkat tinggi di atasan kepalanya, untuk dihaturkan kepada sang utusan.
Firman itu berbunyi: "Utusan In Tiong segera menghadap Kaisar di istana!" Kali
ini ada tambahan satu huruf "segera."
Gemetar tangannya In Tiong selagi ia sambuti firman itu. Ia benar-benar bingung.
Ia mejadi gelisah sendirinya, hatinya sangat tegang.
"Peduli apa firman itu!" berteriak Topuhua. "Mari kita pergi lakukan tugas
kita!..." Belum berhenti suaranya puterinya Yasian ini, kembali terlihat satu kuda
dilarikan sangat keras ke arah mereka.
"In Thaydjin, sambut firman!" demikian teriaknya penunggang kuda itu.
Kali ini yang datang adalah bekas rekannya In Tiong, yaitu Hoan Tjoen adiknya
Hoan Tiong, yang menjadi pahlawan paling dipercaya Kaisar Kie Tin. Dia angkat
kimpay dengan sebelah tangan, tangannya yang lain dipakai menghaturkan firman.
Bunyinya firman sama saja dengan firman yang kedua, hanya kali ini, pada huruf
"segera" ditambahkan dua bundaran yang menandakan urusan ada lebih daripada
penting. "Hoan Siewie, sebenarnya apakah telah terjadi?" In Tiong tanya dalam bingungnya.
"Aku juga tidak tahu urusan apa itu," sahut Hoan Tjoen. "Aku cuma terima titah
langsung dari Sri Baginda yang menitahkan Thaydjin harus segera datang menghadap
di istana, tak dapat berlambat lagi." "
In Tiong menghela napas. Ia mengerti pentingnya kimpay dan firman panggilan itu,
ia pun sekarang berkuatir di istana ada terjadi sesuatu. Tidakkah tiga kali
datang kimpay dan firman saling susul" Maka di akhirnya, ia putar arah kudanya.
"Baiklah kamu pergi terlebih dahulu." ia kata kepada Keng Beng. Terus ia larikan
balik kudanya, yang lantas diikuti ketiga siewie pembawa kimpay dan firman itu.
Tamtay Keng Beng menjadi sangat mendongkol dan penasaran. Sekarang ia telah
ketahui dari Topuhua tentang bahaya yang mengancam keluarga Thio. Di dalam
hatinya, ia kata: "Thio Tan Hong telah tolong pemerintah dan negara kerajaan
Beng, sekarang kaisar yang tercelaka ini hendak permainkan jiwanya Tan Hong!"
Akan tetapi In Tiong telah ambil putusannya, utusan itu sudah kembali, ia tidak
dapat mencegahnya. Maka dengan terpaksa, dengan ajak delapan belas pengiringnya
serta Topuhua ia lari terus ke rumah Tan Hong.
Ketika rombongan ini tiba di sebelah barat jalan besar utama, di situ telah
bersiap sedia pasukan dari thaywie dari ibu kota Watzu. Thaywie itu sama dengan
pangkat Kioeboen teetok dari pemerintah Beng.
Pemimpin dari barisan pengiring In Tiong segera maju ke depan.
"Kami datang atas titahnya In Thaydjin untuk mengunjungi Yoesinsiang kamu!" ia
berkata. Dengan "Yoesinsiang," perdana menteri muda, ia maksudkan Thio Tjong
Tjioe. "Mana dia In Soesin kamu?" bertanya si thaywie Mongol.
"In Thaydjin baharu saja menerima panggilan untuk menghadap Sri Baginda di
istana, segera ia akan datang." sahut kepala pengiring itu.
"Jikalau begitu, baik kita tunggu sampai In Soesin baharu kita bicara pula,"
bilang si thaywie. "Kami mendapat titah untuk melindungi utusan kerajaan Beng,
dengan tidak adanya utusan kamu itu, kami tidak dapat bertanggung jawab."
Kepala pengiring itu menjadi berdiam.
"Mari kita terobos saja!" menganjurkan Topuhua. Baharu si nona berkata begitu,
di depan mereka si thaywie sudah siap sedia dengan barisannya yang menantikan
serbuan, selain anak panah, juga mereka itu mempunyai dadung-dadung kalakan kaki
kuda. Tamtay Keng Beng dan semua pengiringnya In Tiong menginsafinya, jikalau mereka
memaksa nerobos masuk, urusan akan jadi hebat sekali, mungkin perhubungan di
antara kedua negara turut terganggu pula karenanya. Lagi pula dengan jumlah yang
demikian kecil, belum tentu mereka akan berhasil dengan serbuannya itu. Maka
itu, mereka cegah Topuhua.
"Mari kita bicara kepadanya," Nona Tamtay kata. Ketika itu si thaywie sudah
masuk ke dalam barisannya, pengiringnya In Tiong teriaki dia untuk diajak
bicara, dia diam saja tidak menjawabnya.
Bukan main gelisahnya rombongan Nona Keng Beng ini, mereka bagaikan semut-semut
di atas kwali panas. Bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menantikan
kembalinya In Tiong. Mereka mungkin dapat bersabar untuk menanti tapi bagaimana
dengan Tan Hong" Dengan sendirinya, sang waktu berlewat terus. Tahu-tahu telah terdengar suara
genta di atas pintu kota, yang berbunyi lima kali. Menandakan cuaca akan menjadi
terang. Topuhua terpengaruh oleh kegelisahannya, tiba-tiba ia berseru, terus ia larikan
kudanya maju ke arah barisan, untuk pergi ke gedung perdana menteri muda. Keng
Beng kaget, ia mencoba mencegah tapi gagal.
Serdadu Mongol lihat mendatangi satu nona bangsanya, mereka heran, hingga
walaupun panah telah siap sedia, mereka tidak berani menarik gendewanya untuk
memanah si nona. Juga tukang mengalak kuda tidak berani gunakan dadungnya untuk
bikin kuda si nona terjungkal.
Dalam cuaca masih remeng-remeng itu, tentera Mongol itu cuma lihat tubuh si nona
dan kudanya yang lari mendatangi, mereka tidak bisa melihat tegas roman muka
orang, adalah sesudah nona itu datang semakin dekat, di antara terangnya banyak
obor, di antara mereka ada yang kenali puterinya perdana menteri mereka.
Di antara bangsa Mongol, pergaulan antara pria dan wanita tak ada pantangan
seperti bangsa Han. Topuhua sendiri gemar sekali menunggang kuda dan main panah,
maka itu ia banyak dikenal oleh perwira-perwira dan tentera-tentera bangsanya.
Demikianlah kali ini, ia lantas dapat dikenali.
Si thaywie sudah lantas maju mencegat nona itu.
"Kami telah terima perintahnya Thaysoe untuk melarang orang luar datang kemari!"
dia memberitahukan. Sepasang alisnya Topuhua bangun berdiri.
"Apakah aku orang luar?" dia menanya dengan bengis. "Aku juga sedang menjalankan
perintah ayahku! Aku mesti lewat!"
Dan ia keprak kudanya, untuk nerobos terus.
Thaywie itu heran menyaksikan puteri perdana menterinya itu muncul dari dalam
rombongan pengiring-pengiringnya utusan
Tionggoan, akan tetapi karena ia tahu betul si nona adalah puteri tersayang dari
perdana menterinya itu, ia tidak berani bersikap keras, apa pula si nona sudah
tunjukkan kemurkaannya. Terpaksa ia perintahkan pasukannya membagi jalan.
Setelah tembusi penjagaan, Topuhua menoleh ke arah timur sambil angkat
kepalanya, dari itu ia telah melihat di pangkal langit sudah mulai memancar
sedikit cahaya terang... Di dalam gedung menteri muda orang pun bergelisah sekali, mereka juga bagaikan
semut-semut di atas kwali panas, kecuali Thio Tjong Tjioe seorang. Ia tidak
bergelisah sama sekali, ia tidak pikirkan soal kematian.
Juga Tan Hong tertampak tenang, hanya di dalam hatinya ia sangat masgul. Ia
telah mesti menghadapi nasib hebat dengan di saat-saat terakhir itu ia tidak
dapat melihat In Loei... Semua hambanya menteri muda duduk berkumpul di kaki tembok pekarangan, dari luar
tembok mereka sering-sering dengar suara dari pihak tentera Mongol yang tengah
mengurung mereka. Itulah suara yang merupakan ancaman-ancaman maut.
Semua orang dengar bunyinya kentongan tiga kali, lalu empat kali. Di daerah
Utara ini, sang malam agak lebih panjang, akan tetapi di saat genting sebagai
ini, orang merasakan sang malam itu pendek...
Dengan tentu sang waktu berlalu, dan bayangan-bayangan dari kematian datang
saling susul. Suara tentera di sebelah luar terdengar semakin tegas. Rasanya
belum lama kentongan berbunyi empat kali, lalu datang menyusul yang ke lima
kalinya. Tan Hong menghela napas. Ia berlutut di depan ayahnya.
"Ayah hendak memesan apa?" ia bertanya.
Thio Tjong Tjioe usap-usap rambut puteranya itu. Ia tertawa.
"Jikalau aku mati pada satu tahun yang lalu, aku mati dengan mata tak meram,"
kata ayah ini, suaranya sabar.
"Tapi sekarang" Akhirnya kau telah melakukan sesuatu untuk Tiongkok! Dan aku"
Aku juga telah dapat keluarkan sedikit dari tenagaku. Meskipun itu tak dapat
menebus dosaku, aku toh merasa lega juga..."
Menteri muda ini tertawa, cuma suaranya tawar, bernada sedih.
Tan Hong angkat kepalanya mengawasi ayahnya. Hatinya bercekat akan tampak wajah
ayah itu sedikit berubah. Ia berdiam. Di saat seperti itu, apa yang ia hendak
tanyakan pula" Ia dapat merasa, di saat dari kematian itu, ia seperti berada
semakin dekat dengan ayahnya itu. Sebelumnya ini, ia tak pernah merasakan berada
demikian dekatnya.... Menyaksikan ayah dan anak itu, Tantai Mie Ming tertawa.
"Tjoekong, hari ini kita saling pamitan!" ia berkata. Lalu ia menjura tiga kali
kepada junjungan itu. Hamba yang setia ini sudah ambil putusan, sebelum peluru meriam musuh datang,
hendak ia menghabiskan jiwanya dengan jalan membunuh diri!
Ketika itu sudah jam lima, maka segera juga langit akan menjadi terang!
Sekonyong-konyong terdengar suara berisik dari sebelah luar tembok.
Cuaca belum lagi terang, apakah mereka hendak mulai menembak?" tanya Mie Ming.
Ia seperti berkata seorang diri. Segera ia bersiap dengan sepasang gaetannya.
"Bukan! Tidak mungkin!" berkata Tan Hong.
"Kenapa bukan?" Mie Ming tanya.
"Rupanya ada orang yang datang..." menyahut Tan Hong. "Ah, orang tengah
bertempur! Rupanya orang yang baharu datang itu telah bertempur dengan tentera
Mongol itu... Lantas saja anak muda ini lompat naik ke atas tembok, hingga ia tampak di tempat
kira-kira setengah lie, ada tiga penunggang kuda
yang datang menerjang bahagian belakang dari tentera Mongol itu, sedang tentera
yang di sebelah depan juga agak kacau. Di lain pihak, meriam besar masih tetap
dihadapkan ke arah gedungnya!
Tenteranya Ngochito adalah tentera pilihan, atas titahnya, tentera itu menyerang
tiga penunggang kuda dengan anak panah mereka, serentak serangan itu, maka di
sebelah depan mereka terlihat tiga ekor kuda lompat berjingkrak tinggi sekali
dan rubuh, karena perut dan kempolannya semua tertancap anak-anak panah!
Liehay adalah ketiga panunggang kuda itu, selagi kuda mereka menjadi kurban,
mereka sendiri bebas dari bahaya. Bertiga mereka membuang diri ketika hujan anak
panah tiba. Setelah itu mereka berlompatan maju dengan sangat cepatnya, senjata-
senjata mereka perlihatkan berkelebatannya cahaya-cahaya putih dan hijau. Ketika
mereka di panah pula, mereka semua menjatuhkan diri, hingga anak-anak panah
melayang di atasan mereka. Secara demikian mereka merangsak terus.
Tan Hong terus memasang mata, hingga akhirnya ia dapat melihat tegas tiga
penyerbu itu, ialah Hongthianloei Tjio Eng si Geledek Menggetarkan Langit
bersama dua saudara Hek Pek Moko, si Hantu Hitam dan Putih!
Hek Moko putar tongkat Leggiok thung-nya dan Pek Moko tongkat Pekgiok thung-nya,
sedang Tjio Eng putar pedangnya, pedang Tjengkong Kiam. Itulah ketiga senjata
yang memperlihatkan sinar-sinar hijau dan putih.
Setelah ketiga penyerbu itu datang dekat, tentera musuh tidak dapat menggunakan
pula panah mereka. Mereka terpaksa maju mencegat sambil berkelahi dengan rapat.
Hek Moko dan Pek Moko mengamuk dengan masing-masing tongkatnya, mereka membuat
kuda rubuh atau kabur dan musuh binasa, cuma musuh yang kosen yang bisa bangkit
lagi untuk melakukan perlawanan lebih jauh.
Juga Tjio Eng telah menyerang dengan hebat sekali.
Di saat ketiga penyerbu itu mendatangi ke tengah tanpa ada orang yang bisa
merintangi mereka, baharulah Pek San Hoatsoe yang menjadi sangat murka maju
menghalau. Segera ia berhadapan dengan Hongthianloei yang dia lantas serang
dengan pukulan "Tokpek Hoasan"="Menyerang gunung Hoasan" dengan tongkat
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sianthung-nya yang besar seperti cawan.
Imam ini adalah soeheng atau kakak seperguruan dari Tjeng Kok Hoatsoe. Ilmu
silatnya ada terlebih liehay daripada Ngochito, maka itu bisalah dimengerti
hebatnya serangannya ini.
Hongthianloei tidak jeri terhadap penyerangnya ini, ia malah gusar yang ia
dirintangi, maka itu dengan berani ia angkat pedangnya dengan apa ia tangkis
serangan dahsyat itu. Di antara suara nyaring dari beradunya kedua senjata,
lelatu api pun mencrat seperti kembang api.
"Rubuh!" Pek San Hoatsoe berseru.
Tubuh Tjio Eng nampak sedikit terhuyung, akan tetapi dia tersenyum.
"Tidak mungkin!" sahutnya sambil tertawa. Dan selagi tertawa, dengan sekonyong-
konyong, dengan kesehatan bagaikan kilat, dia membalas menyerang.
Pek San Hoatsoe andalkan tenaganya yang besar, ia tidak sangka sekali yang ia
telah menghadapi seorang lawan demikian tangguh, sedang ketika kedua senjata
bentrok, ia sakit. Tentu saja ia terkejut rasakan telapak tangannya, akan dapatkan musuh sudah
menyerang pula, pedang menyambar-nyambar seperti tanpa manusianya, karena
berbareng dengan itu, Tjio Eng berlompat ke arah belakangnya!
Hongthianloei kesohor untuk tiga macam kepandaiannya. Ialah ilmu menimpuk dengan
batu hoeihong tjio, pukulan tangan geledek Kengloei tjiang, dan pedang Liapin
kiam, terutama dengan pedangnya itu ia telah menjagoi di kalangan Rimba
Persilatan, dan sekarang ia menggunakan pedangnya yang liehay itu, hingga musuhnya lantas
menjadi kewalahan. Sekali diserang, Pek San Hoatsoe dapat berkelit, kedua kalinya ia berhasil juga
mengelakan tubuhnya, tapi serangan kilat datangnya bertubi-tubi, maka untuk yang
ketiga kalinya, ia mesti menangkis. Tak sempat ia berkelit terus-terusan.
"Kena!" berseru Tjio Eng selagi ia menyerang untuk ketiga kalinya itu.
Pukulan Liapin kiam tertangkis sianthung dari si imam, pedang itu tidak
terpental seperti diharapkan imam itu. Sebab Tjio Eng telah gunai kepandaiannya.
Pedang hanya tertangkis membal, untuk terus digoreskan ke pundak musuh!
Syukur bagi Pek San Hoatsoe, dia telah pelajari ilmu kebal "Tiatpou san" = "Baju
besi," maka dia tidak terluka hebat, dia tidak sampai rubuh karenanya. Karena
itu, ketika ia dapat menotok tanah, untuk membikin tubuhnya dapat berdiri terus,
ia segera berlompat menyingkir jauh kira-kira setombak, agar musuh tidak dapat
susul padanya. Adalah niatnya, setelah menaruh kaki, dia hendak balas menyerang
musuh itu. tetapi ketika dia memutar tubuh, dia dapat kenyataan musuhnya itu
sudah menyerbu ke dalam barisan!
Bukan kepalang mendongkolnya imam ini. Dia telah ditinggalkan mentah-mentah oleh
lawannya itu! Maka dia berniat mengejarnya, untuk mana dia sampai berseru dengan
keras. Tiba-tiba, tengah dia umbar kemurkaannya, dia dengar dampratan dari arah
depannya: "Bangsat setan yang menyebalkan, mari rasai tongkatku!" Dia segera
lihat musuh itu adalah seorang hitam, yang tengah berlari-lari ke arahnya. Untuk
melampiaskan kemendongkolannya, dia lantas menyambut dengan sapuan tongkatnya!
Lawan itu yang ternyata adalah Hek Moko, telah sampai dengan cepat, ketika ia
disapu, ia menyambut dengan tangkisan tongkatnya, Lekgiok thung. Maka bentroklah
kedua tongkat yang panjang bagaikan toya itu, suaranya nyaring dan hebat.
Kesudahan dari bentrokan itu membuat Pek San Hoatsoe, yang andalkan tenaganya
yang besar, semangatnya seperti terbang bahna kagetnya. Tongkatnya telah
terlepas dari cekalannya dan terpental terbang tinggi. Ia sungguh tidak sangka
yang lawannya ada jauh lebih tangguh daripadanya.
Sementara itu, Hek Moko sudah menyerang, untuk membalasnya. Imam itu kecil
hatinya, ia lompat ke samping jauhnya beberapa tindak untuk tolong dirinya. Akan
tetapi apa lacur, justeru itu di sampingnya telah tiba Pek Moko, si Hantu Putih!
"Hai, bangsat!" mendamprat si Hantu Putih ini, "di dunia ini ada jalan kau tidak
mengambilnya, di akherat tidak ada pintu kau justeru memasukinya! Kau telah
datang ke hadapanku, mari rasai tongkatku!"
Dan "Ser!" melayanglah tongkat Pekgiok thung menyapu ke arah imam itu, hingga
orang tak sempat lagi berkelit, maka sambil perdengarkan suara berisik, di
antara jeritannya juga, Pek San Hoatsoe rubuh terbanting, patah kedua kakinya!
Selagi kedua Hantu merangsak seru, Tjio Eng telah dapat menoblos barisan musuh,
terus saja ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Liong Kie Touwoet Tjio Eng
dari Heksee tjhoeng mohon menghadap kepada Tjoekong."
Nyatalah Hongthianloei, ketua dari dusun Hekse tjhoeng itu, ada turunan pahlawan
kesayangannya Thio Soe Seng, yang telah diberikan pangkat Liong Kin Touwoet,
pangkat yang turun temurun, maka sekarang Tjio Eng telah tetap memakainya,
dengan perkenalkan dirinya menyebut pangkat turunan itu. Secara begini juga ia
masih tetap mengakui dan setia kepada junjungannya itu.
Thio Tjong Tjioe di dalam gedung dengar suaranya hamba itu, ia lantas saja
mengucurkan air mata. Dengan pegangi pundak puteranya, ia menyuruh mendaki
tembok pekarangan. "Anak Hong, kau suruhlah dia lekas angkat kaki!" dia kata kepada anaknya itu.
Itu waktu juga telah terdengar teriakannya Hek Pek Moko: "Hai, Tan Hong, mengapa
kau tidak menyerbu keluar" Sahabat-sahabat kekal telah datang, kau juga tidak
menyambut?" Nyatalah kedua hantu itu pun dapat menerobos pasukan musuh.
Tan Hong tertawa sedih. Ia baharu hendak buka mulutnya ketika matanya menampak
pasukan yang mengurung gedungnya itu mendadak berpencar ke kedua jurusan, hingga
terbukalah suatu lowongan bagaikan jalanan atau lorong, berbareng tertampak juga
meriam besar, meriam yang dinamakan "Ang ie toapauw" = "meriam berbaju merah,"
yang telah ditujukan ke arah gedungnya. Tadinya meriam itu teraling oleh
berlapis-lapisnya barisan, sekarang terlihat tegas nyata.
Menampak itu, Tjio Eng kaget bukan main.
Ngochito pun segera berseru: "Siapa bergerak lagi satu tindak, akan aku
menembaknya!" Ancaman ini dikeluarkan oleh karena Ngochito percaya betul, tiga penyerbu ini
mesti ada punya hubungan yang erat dengan Tan Hong dan ayahnya. Tapi ia cuma
mengancam belaka. Sebenarnya tidak dapat ia menembak Tjio Eng bertiga, oleh
karena meriamnya itu tidak dapat digeser lekas-lekas sekehendaknya hati, sedang
waktu itu bunyi genta lima kali baharu lewat belum lama. Sebelum terang tanah,
dia tidak akan berani lancang menembak.
Apabila Tjio Eng bertiga lantas menyerbu, kurungan itu mungkin pecah, tetapi
Hongthianloei jeri. Hek Pek Moko gusar bukan kepalang, keduanya lantas berkaok-
kaok dalam bahasanya, bahasa India, yang lain orang tidak mengerti. Mereka juga
tidak berani bergerak. Ngochito saksikan gertakannya berhasil, ia tertawa besar. Ia lantas menuding
dengan goloknya, ia perdengarkan pula suaranya yang nyaring: "Semua mundur
sampai seratus tindak! Atau aku akan menembak!"
Tjio Eng bertiga terpaksa menurut perintah itu, mereka mundur seratus tindak.
Ngochito lantas saja perintahkan sejumlah serdadunya mengampar besi cagak tiga
yang tajam di antara tiga penyerbu itu dan batas gedung menteri muda. Di sebelah
itu, ia siapkan seratus serdadu panah, untuk siap sedia dengan panah dan
busurnya untuk memanah ketiga penyerbu kalau-kalau mereka itu turun tangan.
Tjio Eng bertiga jadi sangat berduka dan bingung. Sekarang tidak dapat mereka
bergerak. Rintangan besi cagak tiga dan ancaman tukang-tukang panah itu ada
sangat berbahaya. Ketika itu sang rembulan sudah turun ke arah barat dan bintang-bintang telah
banyak berkurang, di timur telah mulai terlihat cahaya sedikit terang, maka
tidak lama lagi, jagat pasti akan menjadi terang benderang. Dengan pelahan-lahan
cahaya gelap mulai berubah menjadi remeng-remeng, lalu dengan tentu, sinar putih
mulai tertampak. Itulah pertanda sang pagi telah datang.
Menampak perubahan alam itu, Ngochito pentang lebar kedua matanya, ia angkat
kepalanya, akan memandang ke arah tembok.
"Bagaimana?" dia menanya dengan bengis.
Thio Tan Hong bersikap tenang, dia tertawa dingin.
"Bagaimana apa?" dia balas menanya. "Bagiku, meskipun terbinasa, aku ada
bagaikan hidup! Tapi bagimu, walaupun kau hidup, kau bagaikan mampus!"
"Thio Tan Hong!" Ngochito membentak pula. "Jikalau kau tetap membangkang, tak
sudi menginsafinya, aku cuma bisa menembak!"
"Kau tembaklah!" Tan Hong menantang. "Tak usah kau banyak bicara!"
"Akan aku menghitung dari satu hingga sepuluh!" Ngochito masih berkata. "Jikalau
aku telah menghitung sepuluh tetapi kau masih diam saja, akan aku menembak!
Bukankah semut juga masih menyayangi jiwanya" Maka kau pikirlah masak-masak..."
Tan Hong tertawa dingin, ia lompat turun dari tembok, sama sekali ia tidak
menghiraukannya. Sejenak itu, sunyilah di luar dan di dalam tembok pekarangan, di dalam kesunyian
itu lalu terdengar suaranya Ngochito: "Satu!... Dua!... Tiga!... Empat!..." Ia
telah mulai menghitung. Tan Hong dengar hitungan itu, ia cekal keras tangan ayahnya. Tantai Mie Ming
sebaliknya menyiapkan gaetannya, yang ia telah putar balik tajamnya ke arah
dadanya. Suasana ada sangat sunyi tapi tegang.
"Lima!..." terdengar pula suara Ngochito. "Enam!... Tujuh!... Delapan!...
Sembilan!..." Tantai Mie Ming sudah mulai gerakkan tangannya. Dia adalah seorang jenderal, dia
cuma dapat membunuh diri tetapi tidak dapat dibunuh lain orang. Ujung gaetannya
sudah menempel dengan dadanya, hingga tinggal sekali tolak dan tarik saja,
dadanya itu bakal terluka sobek, perutnya akan pecah belarakan...
Sehabis hitungan "sembilan" itu, lama tak terdengar suara sambungannya. Adalah
kemudian terdengar teriakan halus tapi nyaring dan tajam: "Dilarang menembak!"
"Ah, itulah suaranya seorang wanita!" seru Tantai Mie Ming, yang saking
terperanjat dan herannya sudah lantas lompat naik ke atas tembok, perbuatan mana
dibarengi Tan Hong, yang tak kurang terkejutnya.
Sekarang tertampak bahwa di sampingnya meriam besar ada satu orang nona Mongol
sedang mengancam tukang tembak dengan goloknya.
"Topuhua!..." kata Tan Hong yang tapinya kaget juga. Ia heran.
Puterinya Yasian angkat kepalanya akan memandang ke arah tembok, terus ia
tertawa. Sekarang ini ia tidak berhias, rambutnya yang bagus pun kusut, tusuk
kondenya cuma nyantel di rambutnya, hampir jatuh. Terang sudah bahwa ia telah
datang dengan kesusu. Ngochito memandang si nona dengan matanya terbuka lebar.
"Dilarang menembak?" dia tanya. "Siapakah yang perintahkan melarangnya?"
"Apakah kupingmu pekak?" si nona balik tanya. "Apakah kau tidak dengar nyata"
Akulah yang melarangnya!"
Ngochito adalah pahlawannya Yasian, biasanya terhadap Topuhua ia sangat menurut
malah bermuka-muka, maka itu si nona percaya ia akan dapat pengaruhi pahlawan
ayahnya itu. Akan tetapi sekarang ini Ngochito telah dipesan si perdana menteri
bahwa siapa pun tak dapat merintangi sepak terjangnya itu.
Maka itu dengan hormat sekali, Ngochito memberi hormatnya kepada puteri
majikannya itu. "Aku telah mendengar nyata sekali," ia menyahut. "Aku mohon tuan puteri suka
menyingkir!" Lalu dengan mendadak ia berseru dengan titahnya: "Tembak!"
Kedua alisnya Topuhua menjadi bangun berdiri, bahna murkanya.
"Siapa menembak akan aku bunuh padanya!" ia mengancam, suaranya bengis.
"Ngochito, kau berani menentangi aku?"
Tukang tembak menjadi bersangsi, tangannya menyekali sumbu yang menyala. Tangan
dan tubuhnya bergemetar. Tentu saja dia tidak berani menyulut meriamnya.
Ngochito pandang si nona, ia tertawa tawar.
"Aku cuma dengar titahnya Thaysoe." dia berkata.
"Ayahku menitahkan aku datang kemari justeru untuk sampaikan titahnya!" berkata
si nona. "Ialah, jangan tembak!"
Sudah tentu Topuhua mengatakan demikian dengan terpaksa, dengan mendusta. Ia
mengharap Ngochito nanti suka percaya kepadanya.
Akan tetapi pahlawan itu dengar suara orang agak menggetar, ia telah tampak
roman tak wajar dari si nona, tidak dapat ia mempercayainya. Lagi-lagi ia
memberi hormat sambil berkata: "Manakah titah surat tulisan tangannya Thaysoe
pribadi?" Topuhua masih tak sudi mengalah.
"Aku adalah puterinya, apakah aku mesti pakai juga surat titahnya?" dia
membentak. Ngochito menjura hingga tubuhnya melengkung.
"Tanpa ada bukti surat titah, maaf, aku tak dapat menerima baik titah ini," ia
berkata pula, suaranya tetap hormat tetapi sikapnya keras. "Aku minta dengan
hormat supaya tuan puteri suka mundur!" Terus saja ia berteriak pula dengan
titahnya: "Tembak! Tembak! Atau aku akan bunuh padamu!"
Inilah titah bengis untuk serdadu tukang tembaknya.
Serdadu itu bergemetar kaki dan tangan, akan tetapi ia mentaati titah. Maka ia
lantas sulut sumbunya. Sekonyong-konyong satu tubuh berkelebat menyambar.
"Apakah kau sangka aku tidak berani bunuh padamu?" demikian satu pertanyaan yang
mengancam. Dan sebatang golok melayang!
Serdadu tukang tembak itu belum sempat buka mulutnya, atau ia telah kena
dibacok, menyusul mana, Topuhua menyambar dengan tangannya untuk memadamkan
sumbu, sesudah mana, ia desakkan tubuhnya ke mulut meriam!
"Siapa berani maju" Akan aku bunuh dia!" dia mengancam pula, suaranya sangat
mendesak, suatu tanda bahwa dia sangat menahan napas.
Ngochito tidak sangka tuan puterinya itu demikian nekat, ia menjadi bingung. Ia
boleh gagah melebihi Topuhua akan tetapi
terhadap puterinya Yasian, majikannya, ia tak dapat langgar tubuh tuan puteri
itu. Di saat sangat tegang itu, satu penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba,
dia lompat turun dari kudanya.
"Kenapa masih belum menembak?" dia berteriak dengan pertanyaannya.
Dialah tjongkoan dari gedung perdana menteri, namanya Wotjaha.
"Tuan puteri melarang!" Ngochito beritahu.
Mukanya Wotjaha merah padam.
"Thaysoe menitahkan dengan lisan," dia berteriak, "siapapun dia larang mencegah
titahnya! Siapa berani merintangi, dia mesti dibunuh mati! Inilah surat
titahnya!" Dan dia tunjukkan surat titah itu dalam mana ada dijelaskan, walaupun puterinya
terbinasa, petugas yang menjalankan titah itu tetap ada berjasa!
Hatinya Ngochito menjadi besar.
"Ma I Tjan, kau majulah!" ia beri titah kepada rekannya. "Kau minta tuan puteri
suka menyingkir!" Tentu saja itu bukannya "minta" hanya paksaan.
Topuhua menjadi kalap. "Siapa berani maju?" dia berteriak. Sekarang rambutnya riap-riapan, tusuk
kondenya telah terlepas jatuh. Dia nampaknya sangat beringas.
Wotjaha bertindak maju. "Tuan puteri telah mendengar nyata!" dia berkata, suaranya dingin. "Lekas tuan
puteri mundur, jangan membelar! Thaysoe menitahkan tuan puteri turut aku
pulang!" Dengan sekonyong-konyong Topuhua menjerit dengan tangisannya. Bukan main
berdukanya ia. Inilah untuk pertama kali ia mengenal tabiat ayahnya itu. Ia
adalah puteri tunggal, biasanya ayahnya sangat menyayanginya, segala macam
keinginannya tentu diiringi. Siapa nyana di saat ini, ayahnya telah keluarkan
titah yang di luar dugaannya, sampaipun ia sendiri boleh turut dibunuhnya!
Sungguh ia tidak dapat menerka bahwa ayahnya ada demikian kejam. Nyatalah
kesayangan ayah itu adalah kesayangan palsu belaka!
Di dalam dunia ini di mana ada lain urusan yang dapat membikin seorang anak
perempuan menjadi berduka melebihi ini, apapula seorang anak perempuan sebagai
Topuhua yang biasa dimanjakan"
"Percuma kau menangis," berkata Wotjaha selagi si nona umbar kedukaannya.
"Jikalau kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku akan berlaku tak sungkan-
sungkan lagi! Mari lekas ikut aku pulang!"
Hebat kedukaannya Topuhua, lantas ia tak dapat menangis pula. Dengan tangan
bajunya ia seka air matanya, tapi ia tak geser tubuhnya dari mulut meriam itu.
Mukanya telah menjadi pucat, lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang
romannya menjadi seram menakuti...
"Ma I Tjan, kau tarik dia, singkirkan padanya!" menitah Ngochito, yang cuma taat
kepada titah, hingga hilang rasa peri kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada
puteri majikannya itu. Ma I Tjan ini adalah pahlawan yang tubuhnya telah dicacahkan huruf "bangsat"
oleh Tan Hong, ia memang tak dapat jalan untuk melampiaskan penasarannya itu,
sekarang ia saksikan kelakuannya si puteri, ia menjadi sengit. Ia memang ingin
sangat memusnahkan Tan Hong serumah tangga. Tentu saja ia menjadi tidak senang
dan gusar ada orang menghalangi kebinasaannya musuhnya itu! Maka itu, justeru
ada titahnya Thaysoe Yasian, ia menjadi besar nyalinya. Ia terus maju
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan bajunya guna ditarik!
"Foei!" si nona berludah. Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi kotor.
Pahlawan itu melengak sebentar, lalu ia gerakkan tangannya untuk mencekuk bahu
nona itu. Ia berhasil, hingga kedua tangan Topuhua kena di telikung ke belakang
sebelum nona itu sempat berdaya.
Ma I Tjan gagah melebihi nona itu, gerakannya pun sangat liehay, tidak heran
kalau dia berhasil dengan aksinya itu.
Topuhua juga tidak sangka orang ada demikian berani, ia menjadi tidak berdaya.
Akan tetapi kemurkaannya telah meluap-luap, ia menjadi nekat. Justeru tubuhnya
dibetot, ia sekalian tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan. Ketika ini ia gunai
untuk menggigit pundaknya pahlawan itu!
Ma I Tjan kaget bukan kepalang, sakitnya pun bukan buatan! Inilah hal yang tidak
pernah disangka pahlawan ini. Memang orang bangsa Mongol tidak keras adat
istiadatnya sebagai bangsa Han yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat
tangan" atau menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar bagaimana,
Ma I Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan hamba dengan tuan puteri ini.
Saking kaget dan sakit, ia terpaksa lepaskan cekalannya.
"Jangan pantang-pantang lagi! Hajar dia sampai pingsan!" Wotjaha memerintahkan
sambil berseru. Ma I Tjan lantas sadar, ia turut titah. Ia lantas lompat maju kepada si nona.
Tiba-tiba! "Ser! Ser!" demikian suatu suara menyambar.
Topuhua membekal panah tangan, barusan kedua tangannya tertelikung, dia tidak
berdaya, sekarang setelah merdeka, justeru Ma I Tjan maju, dia lantas saja
menyerang. Panah itu adalah panah beracun, yang biasa dipakai di waktu berburu binatang
alas. Sekarang panah itu digunakan dari jarak yang dekat sekali. Maka tanpa
ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah, masing-masing di bahagian kedua hatinya.
Akan tetapi Topuhua juga telah kena terpukul sampai rubuh.
Wotjaha kaget, dia lompat maju.
Topuhua berlompat bangun sebelum wakilnya Yasian itu sampai kepadanya, dia
berteriak: "Thio Toako, bukannya aku tidak hendak menolongi kau tetapi aku tidak
berdaya dengan setakar tenagaku!" Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri,
di waktu tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua
tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu!
Tan Hong berada di atas tembok pekarangannya, dia menyaksikan kejadian itu
dengan tegas sekali, ia menjadi tercengang. Sungguh ia tidak sangka si nona
menyintai dia demikian rupa, hingga sekarang nona itu berkurban untuknya. Tentu
saja, ia menjadi sangat berduka, lenyap kesannya yang tak manis terhadap puteri
Yasian itu. Tadinya ia menyangka si nona centil. Mendadak ia menangis.
"Oh, adik Topuhua..." ia mengeluh. "Aku terima cintamu!..."
Akan tetapi Topuhua telah binasa, dia tidak dapat mendengar suara kekasihnya itu
yang memanggil dia adik...
Topuhua tidak terbinasa sendirian, Ma I Tjan pun melayang jiwanya bersama ia.
Parah lukanya pahlawan itu disebabkan sepasang panah beracun, jiwanya putus
seketika itu juga, hingga tubuhnya tidak berkutik lagi.
Ma I Tjan terbinasa, Topuhua juga bunuh diri, inilah di luar dugaannya Wotjaha
beramai. Mereka itu semua tergugu, tidak ada yang membuka suara. Baharu
kemudian, Wotjaha yang pecahkan kesunyian.
"Singkirkan tubuhnya itu! Tembak!" demikian titahnya pula.
Ngochito maju, dia kerahkan tenaganya akan tarik kedua tangannya si nona, supaya
pelukannya nona itu kepada meriam terlepas.
Nona itu mengucurkan banyak darah yang membasahi meriam.
Menampak demikian, Ngochito memalingkan mukanya, tidak berani ia mengawasi wajah
bengis dari puteri itu, yang mati tak puas. Dengan hanya satu gerakan tangan, ia
bikin tubuh si nona jatuh di sisi meriam. Setelah itu, ia gantikan si serdadu
tukang tembak, ia nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat jauh ke
samping! Tan Hong juga tidak dapat menonton lagi. Dia lompat turun untuk dengan tangannya
yang kiri menarik ayahnya dan dengan tangan kanan membetot Tantai Mie Ming.
Sembari tertawa, tertawa sedih, ia kata: "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini
mari kita pergi bersama!..."
Tantai Mie Ming tidak lihat apa yang terjadi di luar tembok itu akan tetapi ia
telah dengar titahnya Ngochito, ia tidak memikir hidup lebih lama pula, lantas saja ia angkat
gaetannya... Sementara itu In Tiong, dengan hati tidak keruan, telah pergi kepada Kie Tin,
untuk menghadap junjungannya.
Kie Tin di tempatkan di sebuah gedung di samping kanan istana raja Watzu, ke
sana In Tiong menuju dengan ditemani tiga pahlawan. Kapan pintu istana telah
dibuka, orang melalui sebuah lorong yang berliku-liku. Di akhirnya, sampai juga
orang di istana samping itu. Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi
laporan kepada Kie Tin perihal tibanya sang utusan.
Tidak lama, pengawal itu muncul kembali. "In Thaydjin diminta suka menanti di
sini sampai ada panggilan," demikian katanya.
In Tiong heran. Ia memang tegang terus perasaannya, ia bergelisah.
"Sri Baginda memanggil aku untuk segera menghadap, mengapa sekarang aku mesti
menunggu?" dia tanya.
"Sri Baginda sedang dahar yan-o, dia belum dahar cukup," sahut pengawal itu,
satu pahlawan. In Tiong bergelisah terus, ia pun mendongkol sekali. Bukankah ia telah dipanggil
berulangkah, dengan kimpay dan firman" Kenapa sekarang raja ada tenang-tenang
saja" Apa artinya panggilan kilat itu"
Setelah berselang sekian lama baharu muncul seorang kebiri bangsa Mongol, yang
dipinjamkan kepada Kaisar Kie Tin itu. Hamba ini mengucapkan kata-kata
"mempersilakan."
In Tiong segera masuk ke dalam, bukannya dengan bertindak hanya dengan
berlompat, dua tiga tindak menjadi satu. Setibanya di dalam ia tampak raja
sedang duduk dengan tenang di kursi malas, empat orang kebiri tanggung yang raja
Watzu kirim kepadanya tengah menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan!
Juga wajah raja ini sangat tenang, tidak menunjukkan ketegangan hati.
Dengan merasakan perutnya hampir meledak, In Tiong memberi hormat sambil
berlutut. Tiga kali ia mengucapkan "BansweeV (Sri baginda panjang umur)
"Menteriku, kau bangun dan duduklah!" berkata raja itu, juga dengan sangat
Pedang Semerah Darah 1 Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Maling Budiman Berpedang Perak 1