Pencarian

Dua Musuh Turunan 20

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 20


tenang. In Tiong merayap bangun tetapi ia tidak berduduk.
"Ada urusan penting apa maka Sri Baginda memanggil hambamu?" dia bertanya. Kie
Tin batuk-batuk. "Ya, ya, ada urusan penting sekali," dia menyahut kemudian. "Dengan mendadak
saja aku ingat suatu hal. Besok kita akan berangkat pulang, tetapi sementara itu
selama aku berada di negeri ini, aku toh telah menerima perlayanannya Raja
Watzu. Dia adalah tuan rumah, aku adalah tetamu, dia menghormati aku, maka itu
tak dapat aku tidak membalas hormatnya itu. Raja Watzu sendiri hendak mengantar aku
berangkat, dia hendak mengantarnya sampai di luar kota. Kalau aku terima
penghormatannya tanpa membalasnya, aku merasa itulah kurang tepat. Maka itu aku
telah memikirnya, baiklah kau yang menyambut aku keluar dari istana ini, untuk
terus keluar kota. Untuk pamitan dari raja Watzu, aku akan kirimkan surat
kehormatan. Umpama kata raja Watzu tetap hendak mengantarnya, maka kita boleh
tunggui ia di luar kota di mana aku sambut dia. Ini baharu namanya kehormatan
saling membalas..." Demikianlah adanya "urusan penting sekali" yang dinamakan raja itu. Hampir saja
perutnya In Tiong meledak bahna mendelunya. Sekarang sebaliknya dia menjadi
bungkam, cuma wajahnya yang menjadi pucat pasi.
Kie Tin telah dibawa ke negeri Watzu di mana ia ditawan. Perlakuan bagaimana
macam ia dapat sebagai raja tawanan" Mana kemerdekaannya" Tentang ini In Tiong
telah mendengarnya dari Tan Hong. Tapi sekarang, raja ini melupakan derajatnya
sebagai raja, raja dari Kerajaan Beng yang terbesar! Dia hendak mengirim surat
mohon pamitan! Katanya dia hendak membalas penghormatan dengan penghormatan!
Selagi bungkam, In Tiong melirik kepada ke empat orang kebiri, ia dapat
kenyataan mereka itu pada bersenyum. Lantas saja hatinya bercekat.
"Adakah ini pikiran Sri Baginda sendiri?" tiba-tiba ia tanya.
Ditanya begitu, raja nampaknya terkejut. Segera wajahnya berubah.
"In Tiong, insyafkah kau akan kesalahan bicaramu?" dia menegur. "Tentu saja ini
adalah pikiranku sendiri!"
Raja ini telah mendusta. Sebenarnya dia telah dijadikan perkakasnya Yasian.
Perdana Menteri Watzu itu menduga pasti, setelah minggatnya Topuhua, mungkin
puterinya itu akan minta bantuannya In Tiong,
maka itu di satu pihak ia mencoba untuk menghalang-halanginya, ialah dengan
kirim Wotjaha kepada Ngochito, supaya ancaman kepada Thio Tjong Tjioe tetap
diwujudkan, di lain pihak ia kirim utusan ke istana, untuk menemui Kie Tin, guna
pedayai kaisar Beng itu sambil diancam dengan gertakan. Ia ajarkan Kie Tin
bagaimana harus memanggil In Tiong datang menghadap. Inipun suatu akal bagus
untuk cegah si utusan dapat pergi menolongi Tjong Tjioe.
Bahagian istana di mana Kie Tin ditahan berada di bawah pengaruhnya Yasian,
tidak heran kalau di sini orangnya Perdana Menteri itu bisa keluar masuk dengan
merdeka. Untung bagi Perdana Menteri ini, Kie Tin kecil hatinya - raja ini takut
dia tak diijinkan Perdana Menteri itu pulang ke negerinya, maka dia telah kena
dibujuk dan digertak. Begitulah dia pikir: "Janganlah karena urusan kecil ini
nanti terjadi sesuatu perubahan..." Demikian dia paksa In Tiong datang
menghadap, sesudah mana, dia mencoba pakai pengaruhnya sebagai raja untuk tindih
utusan itu. Sehabis menegur, Kie Tin ubah pula sikapnya.
"Mengingat dengan tugasmu ini kau telah peroleh jasa, aku tidak akan menghukum
padamu," dia berkata pula. "Sekarang aku hendak mengirim surat pamitan kepada
raja Watzu dan kau menantikan di sini, setelah sebentar aku sudah menghadiahkan
semua pegawai istana di sini, setelah terang tanah, kita akan berangkat
bersama." In Tiong tidak berdiam saja atas sikap rajanya itu.
"Sri Baginda," katanya, "tak usah Sri Baginda mengirim surat pula, aku sendiri
sudah memberitahukannya kepada raja Watzu! Besok kita batal berangkat!"
Kaisar itu terkejut, hingga air mukanya berubah pula.
"Kau, kau bagaimana berani melancangi aku?" dia membentak.
"Oleh karena hambamu hendak melakukan kunjungan kepada Thio Tan Hong." In Tiong
beritahu terus terang. Kie Tin menjadi heran. Dia lantas tepuk meja.
"Kenapa kau hendak kunjungi Thio Tan Hong?" dia menegur. "Apakah kau tidak tahu
bahwa dia ada turunannya pemberontak Thio Soe Seng" Bahwa aku telah tidak
ringkus dia untuk dibawa pulang bersama dan dihukumnya, itu telah menandakan
kemurahan hatiku! Bagaimana kau justeru hendak mengunjungi mereka" Hm, hm! Mana
ada itu aturan?" In Tiong tidak jadi gentar hatinya karena teguran itu.
"Sri Baginda, tahukah Sri Baginda akan duduknya perkara?" dia menanya. "Tahukah
Sri Baginda sebab-sebabnya telah terdapat perdamaian di antara kedua negara dan
Sri Baginda hendak disambut pulang" Ini memang benar ada kehendaknya Ie Kokioo,
tetapi lebih benar bahwa semua ini adalah hasil usahanya Thio Tan Hong! Apabila
tidak Thio Tan Hong yang ketahui betul keadaan di dalam negara Watzu dan ia
memberitahukannya kepada Ie Kokioo, pihak kita belum tentu berani bersikap keras
seperti sekarang terhadap negara Watzu ini!"
Mukanya Kie Tin menjadi pucat.
"Hm!" terdengar suaranya. Lalu dia bilang: "Jadinya, menurut kau ini, Thio Tan
Hong itu adalah satu menteri yang setia dan berjasa?"
"Benar!" jawab In Tiong. "Dia bersetia untuk negara!"
"Kau berbicara untuk pemberontak, kebaikan apa kau dapat?" raja tanya.
In Tiong sangat mendongkol atas pertanyaan ini hingga hampir tak dapat ia
bicara, tetapi ia menjadi kaget sekali ketika ia dengar lonceng istana berbunyi
lima kali. Selama menghadapi junjungannya ini, ia sampai melupakan sang waktu.
Segera ia berkata: "Sekarang ini Yasian justeru hendak menembak keluarga Thio
itu! Hambamu benar bermusuh sangat hebat dengan keluarga Thio itu, akan tetapi
dengan hambamu bersedia menerima hukuman dari Sri Baginda, hendak hamba
menolongi keluarga itu! Tentang kebaikan yang diterima, itulah
tidak mengenai hambamu! Justeru Sri Bagindalah yang terima kebaikan dari Thio
Tan Hong itu! Hanya sayang Sri Baginda masih belum mengetahuinya! Ie Kokioo
telah mengumpulkan tentera suka rela dari seluruh negeri, dia dapat mengalahkan
Yasian! Tahukah Sri Baginda dari mana datangnya belanja atau rangsum untuk
angkatan perang suka rela itu" Sebagian besar dari itu adalah Thio Tan Hong yang
membelanjainya!" Kedua matanya Kie Tin bagaikan terbalik, matanya itu mendelik.
"Apa" Apa kau bilang?" serunya berulang-ulang. "Apa... apakah kau menteri yang
telah makan gaji dari kerajaan Beng yang besar berani bicara demikian" Kau
berani belai padanya" Apakah benar kau berani lawan rajamu?"
Matanya In Tiong mengembeng air. Ketika ia melihat ke atas, ia dapatkan cuaca
sudah mulai terang. Sedetik itu ia lantas ambil putusannya.
"Hambamu tahu, melawan raja berarti hukuman mati!" ia berkata. "Tapi sekarang
juga hambamu hendak pergi ke rumah keluarga Thio itu! Nanti setelah itu, untuk
balas budi Sri Baginda, hambamu bersedia untuk kurbankan dirinya! Sesudah
hambamu mati baiklah Sri Baginda minta Ie Kokioo nanti mengirim utusan yang
kedua untuk menyambut Sri Baginda pulang!..."
Mendengar perkataannya menteri itu, Kie Tin kaget tidak terkira. Apa yang dia
harapkan siang dan malam adalah supaya dia dapat pulang ke negerinya, sekarang
pengharapannya itu sudah tercapai, dia akan pulang besok untuk menjadi raja
pula, maka bagaimana itu dapat dihalangi karena urusan In Tiong ini" - ya,
urusan keluarga Thio itu" Kalau benar In Tiong buktikan perkataannya itu, yaitu
dia ditinggal pergi, mana dapat dia pulang seorang diri" Sampai kapankah
datangnya utusan yang kedua" Dan utusan yang kedua itu tentu tidak secakap In
Tiong ini... Apakah karena itu mesti hancur lebur impiannya setiap malam untuk
berkuasa pula sebagai raja"
Baharu sekarang ia merasa jeri. "Menteriku, marilah bicara secara baik-baik,"
akhirnya ia minta. "Yasian itu jahat, terhadap Sri Baginda dia tidak mengandung maksud baik," In
Tiong jawab junjungannya itu. "Bahwa dia telah sudi membuat perdamaian dengan
negara kita, itulah karena terpaksa, tak dapat dia tidak membuat demikian. Sri
Baginda, daripada mempercayai Yasian, lebih baik menaruh kepercayaan kepada Thio
Tan Hong! Sekarang hendak hambamu pergi!"
Kie Tin menjadi bergelisah sekali.
"Menteriku, tunggu dulu!..." ia menahan.
In Tiong sangat bergelisah tetapi karena rajanya memanggil, tidak dapat ia tidak
menoleh. "Sri Baginda hendak menitah apa?" dia tanya.
"Aku hendak pergi bersama kau..." kata raja, suaranya menggetar.
Raja ini mengucap demikian karena ia telah lihat, tidak dapat ia menahan lagi
utusan itu. Sebenarnya ia jeri untuk berdiam lebih lama pula di dalam istana
itu, ia kuatir Yasian nanti mencelakai padanya. Sama sekali ia tidak tahu
hatinya perdana menteri Watzu itu. Yasian tidak nanti berani mencelakai ia, ia
cuma digertak. Tapi ia sangat takut, ia tidak dapat memikir, maka ia anggap ikut
In Tiong adalah paling selamat...
Permintaan itu adalah di luar dugaan utusan she In itu. Ia memandang kaisar itu,
ia tampak muka yang pucat dan sikap kuncup, bagaikan kelinci yang jeri terhadap
seorang pemburu. Jauh sangat bedanya si junjungan dengan sikapnya yang sangat
galak tadi. Maka kepadanya datang dua rupa kesan: jemu berbareng kasihan.
Nyatalah raja yang derajatnya berada di atas "laksaan rakyat," sekarang menjadi
demikian hina kelakuannya. Tapi walaupun begitu, ia memberi hormat sambil
menekuk separuh dengkulnya, untuk terima baik "perintah" raja itu...
Ketika itu cuaca telah menjadi semakin terang sebagai tanda sang pagi telah
datang secara mendesak. "Tunggu sebentar, aku hendak ambil bajuku," kata Kie Tin pula. Terus ia masuk ke
dalam di mana dengan cepat ia buka lemari pakaian. Segera matanya bentrok dengan
sepotong baju mantel dari kulit rase warna putih, yang bercampuran dengan lain-
lain jubanya. Itulah baju ketika Kie Tin masih dalam tawanan di dalam menara
batu yang Tan Hong telah berikan padanya, baju yang Tan Hong loloskan dari
tubuhnya. Maka, menampak itu, ingatlah kaisar ini kepada hari yang tak
terlupakan itu. Hatinya goncang dengan tiba-tiba. Tak tahu ia, ia mesti menyesal
atau mendongkol... Dalam kesangsian, Kie Tin tidak samber mantel itu. Ia memilih yang lain-lainnya
akan tetapi pilihannya tak tepat. Ia tidak dapatkan juba yang ia anggap cocok
dengan hatinya... Akan tetapi sang waktu berjalan terus, tak bersangsi seperti raja ini. Sinar
matahari mulai menembusi jendela. In Tiong di luar habis kesabarannya.
"Sri Baginda, harap maafkan hambamu, hamba tak dapat menunggu lebih lama pula!"
demikian utusan itu perdengarkan suaranya, suara nyaring tetapi tak tenang lagi.
Suara menteri itu membikin Kie Tin tersadar dengan kaget, dengan tangan tidak
tetap, dengan pikiran kusut, ia sambar sembarangan saja sepotong juba, terus ia
keredongi tubuhnya. Ia pun menyahuti:
"Aku akan segera keluar!"
Dan ia lari keluar, akan susul In Tiong. Maka itu, dengan bersama-sama mereka
keluar dari istana tempat tahanan.
Setibanya di luar istana, baharulah Kie Tin terkejut. Ia dapat kenyataan,
tubuhnya telah berkerodongkan justeru mantelnya Tan Hong! Tapi sekarang ia tidak
dapat menghiraukannya pula, ia mesti ikuti utusannya dengan hati gelisah!
Pengiring-pengiring In Tiong masih terus dirintangi di tengah jalan, baharu
setibanya utusan ini sendiri bersama Kaisar Kie Tin, mereka diberi ijin oleh si
thaywie bangsa Mongol untuk lewati tempat jagaan. Ketika itu, langit sudah jadi
terang. In Tiong menunggang kuda, ia kaburkan binatang tunggangannya itu. Ia seperti
dengar suara tertawanya Tan Hong yang manis, anak muda itu sebagai terbayang
tengah menggape-gape terhadapnya. Di saat itu, apa yang dinamakan surat wasiat
kulit kambing yang berlumuran darah, segala permusuhan hebat, semua itu bagaikan
diusir lenyap oleh bayangannya pemuda she Thio itu! Cuma satu pikiran yang
berpeta diotaknya utusan ini: Ia mesti lekas sampai di rumah keluarga Thio untuk
menolongi Tan Hong dari tangannya malaikat!
"Bukankan aku telah terlambat" Cuaca sudah terang, matahari sudah naik!"
demikian pikirannya bekerja selagi ia kaburkan terus kudanya. Ia sangat menyesal
yang ia tidak bisa jambret sang waktu, untuk menahannya...
Syukur sampai itu waktu, masih belum terdengar suara meriam...
Tapi In Tiong menjadi semakin tegang hatinya, ia menjadi semakin gelisah,
jantungnya memukul keras sekali. Ia merasakan dirinya seperti seorang hukuman
mati, yang saat kematiannya telah tiba akan tetapi kampaknya si algojo belum
juga dikampakkan turun! Menanti waktu satu detik bagaikan menanti waktu satu jam...
Kapankah sang peluru meriam bakal melesat keluar"
Mungkinkah kelambatan setengah tindak akan mendatangkan kemenyesalan seumur
hidup" Bagaikan kalap, In Tiong cambuki kudanya.
Hingga ia membuat raja ketinggalan jauh di belakangnya, ia menahan napas ketika
kudanya kabur! Akhirnya, tibalah juga ia di depan gedungnya keluarga Thio. Ia tampak satu
serdadu Mongol sedang rebah tengkurap di samping meriam yang mulutnya menghadapi
gedung dan tengah mengeluarkan asap. Ia lantas saja berteriak sekuat-kuatnya,
iapun mencambuki kudanya hebat sekali, hingga binatang itu berjingkrak lompat,
kabur ke arah meriam besar itu!
Di belakang utusan kerajaan Beng ini, delapan belas pengiringnya pun berteriak-
teriak: "Utusannya Kerajaan Beng tiba!"
Tan Hong tengah menantikan kematiannya tatkala kupingnya dengar suara sangat
berisik itu di luar gedung. Mendadak saja, timbullah harapannya, hingga ia
menjadi sangat girang. Ia berlompat, terus ia rampas gaetannya Tantai Mie Ming
di saat jenderal ini hendak habiskan jiwanya sendiri.
"Kau dengarlah!" serunya. "In Tiong telah tiba!" Lalu dengan pesat ia lompat
naik ke atas tembok. Thio Tjong Tjioe telah tutup rapat kedua matanya tetapi
sekarang dengan pelahan-lahan ia buka matanya itu.
"Siapakah yang datang?" ia tanya. Tak tegas ia dengar suara puteranya.
"Dasar kita tidak bakal hilang jiwa!" sahut Tantai Mie Ming. "Itulah utusan
Kerajaan Beng yang datang mengunjungi tjoekong."
Di saat itu, Tjong Tjioe sendiri pun sudah lantas mendengarnya dengan nyata. Hal
ini membuat ia heran. Inilah di luar dugaannya. Ia bersenyum tetapi sebentar
saja, atau lantas ia tunduk, untuk mengeluarkan napas panjang.
Tan Hong di atas tembok melihat kudanya In Tiong lari mendatangi keras sekali.
Tapi pun ia saksikan meriam besar, yang mulutnya diarahkan ke gedungnya, tengah
mengepulkan asap putih. Mendadak saja matanya menjadi gelap, harapannya yang
baharu timbul tadi telah lenyap seketika! Hampir ia tak sanggup pertahankan
tubuhnya... Tantai Mie Ming lihat tubuh orang bergoyang seperti hendak jatuh.
"Hai, kau kenapa?" ia berseru dengan tegurannya.
Tan Hong dengar teguran itu tapi ia tidak menjawabnya. Ia segera dapat atasi
dirinya sendiri. Ia lantas berteriak ke arah luar tembok: "Saudara In, lekas
menyingkir! Jangan kau antarkan jiwa!"
Di saat terakhir dari kematiannya ini, Tan Hong masih tunjukkan persahabatannya.
Riuhlah suara di waktu itu. Suara yang satu dari kaburnya kuda, suara yang lain
dari teriakan cegahannya Tan Hong.
Adalah di saat itu, dengan tiba-tiba terdengar satu suara keras. Asap putih
mengepul buyar, peluru pun melesat menyambar!
In Tiong menjerit hebat, hatinya bagaikan tertindih gunung gempa, hingga
putuslah harapannya yang terakhir. Tetapi ia dengar nyata bahwa suara meriam
bukan seperti meledaknya merian di medan perang. Segera ia pentang lebar kedua
matanya, mengawasi ke arah meriam itu, ke arah peluru yang melesat keluar
mengikuti hembusannya asap putih.
Peluru itu tidak menggempur gedung menteri muda hanya jatuh di tanah sesudah
menyembur jauhnya kira-kira tiga tombak! Peluru itu jatuh ke tanah untuk terus
bergelindingan beberapa kali, lain tercebur ke dalam selokan, hingga dia tidak
menyebabkan perledakan dahsyat!
Meriam besar itu sudah gagal dengan tugasnya. Sumbu telah disulut tepat akan
tetapi perledakannya tidak sebagaimana yang diharapkan. Sebab dari itu adalah
karena darahnya Topuhua, puterinya Yasian, perdana menteri Watzu itu.
Nona itu telah peluki meriam dengan darahnya masih mengucur, tanpa diketahui
darah telah meresap ke sumbu, membasahi obat pasangnya. Demikianlah, sisa obat
pasang yang tersulut itu tidak cukup kekuatannya, suara ledakannya berkurang,
tenaga melesatnya pun hampir lenyap, demikian terjadilah seperti di atas tadi.
In Tiong girang tak kepalang. Dari atas kudanya dia lompat turun untuk lari ke
pintu gedung, untuk menggedornya dengan kuat, sekuat-kuatnya! Ketika itu, utusan
itu pun diikuti terus oleh delapan belas pengiringnya.
Di dalam keadaan seperti itu, walau Ngochito bernyali sangat besar, tidak berani
ia mengisi pula meriamnya, untuk menembak buat kedua kalinya.
Tan Hong lompat turun dari tembok pekarangan, ia lari ke pintu yang segera ia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buka. Begitu daun pintu terpentang, ia papaki In Tiong, hingga keduanya saling
tubruk, saling rangkul! Dan kedua-duanya, air matanya mengembeng. Sekian lama
mereka saling mengawasi, tidak ada satu yang dapat membuka mulutnya.
Sekonyong-konyong Tan Hong memanggil: "Ayah!..."
In Tiong menoleh dengan segera.
Thio Tjong Tjioe dengan tindakan agak limbung, tengah mendatangi ke arah mereka.
Dengan tiba-tiba saja, hatinya sang utusan seperti berhenti berdenyut...
Dia ayahnya Thio Tan Hong. Inilah orang, yang sejak ia dilahirkan, mulai saat ia
mengerti urusan, yang tak ada satu hari ia tidak membencinya! Inilah musuh
besarnya turun temurun! Dan sekarang, orang ini sedang mendatangi ke arahnya...
Ia lihat mulut orang yang bergerak, yang dibuka sedikit... Orang seperti ada
punya ribuan kata-kata yang hendak diucapkan, akan tetapi kata-kata yang tak
dapat dikeluarkannya. Ia tampak juga kulit muka orang yang kisut berkerut-kerut,
wajah yang mendatangkan kesan baik. Wajah yang bagaikan berdahaga untuk sesuatu
yang telah berlarut lama... Itulah seperti wajahnya satu ayah yang telah
menanti-nanti puteranya yang telah lama tak pernah pulang-pulang.
Itu juga roman, yang In Tiong untuk selamanya akan tak dapat melupakannya...
"Ah..." akhirnya ia mengeluh seorang diri.
Orang tua yang telah "kering" ini, yang rambutnya telah putih semua, sedikitpun
tiada beroman seorang jahanam yang licin dan kejam. Apakah In Tiong cukup kuat
hati untuk membunuh orang tua yang tinggal menantikan saat dari hari tuanya itu"
Thio Tjong Tjioe mendekati terus, satu tindak demi satu tindak.
Mendadak ingat pula In Tiong kepada surat wasiat kulit kambing yang berlumur
darah, ia awasi orang tua itu dengan sorot matanya yang bengis!
Tetapi cuma sekejap, segera ia melengos, berbareng dengar mana, ia pun gerakkan
kedua tangannya, untuk melepaskan diri dari rangkulannya Tan Hong.
Tjong Tjioe merasakan hatinya sakit seperti disayat-sayat. Ia telah menatap mata
orang - mata yang mengandung kebencian hebat. Itulah mata yang sorotnya sama
dengan matanya In Tjeng pada tiga puluh tahun yang lampau...
Orang tua ini sadar, ia menginsafi benar-benar. Tiba-tiba ia jatuhkan dirinya
hingga berduduk di tanah, romannya sangat lesu.
In Tiong telah lantas membalik tubuhnya.
"Urusan telah, selesai, kita pergi!" ia berkata.
Tan Hong berdiri menjublak, matanya mengawasi ayahnya, lalu berpaling mengawasi
orang she In itu. Tak dapat ia mengatakan sesuatu...
Tamtay Keng Beng berbicara dengan kakaknya ketika ia dengar suaranya In Tiong
itu, maka ia segera tinggalkan kakaknya untuk menghampirkan si utusan.
"Apa" Baharu sampai sudah hendak pergi pula?" katanya.
Biasanya, kalau Nona Keng Beng mengucapkan sesuatu, In Tiong tak pernah tak
mengiringinya, akan tetapi kali ini ia bagaikan kehilangan semangat, ia seperti
tidak mendengarnya, ia berjalan terus, lempang ke arah pintu pekarangan.
Berbareng dengan itu, dari luar terdengar suara berisik dari kaki-kaki kuda,
yang baharu saja tiba di muka pintu, menyusul itu terdengar suara nyaring dari
beberapa orang, yang menyerukan kata-kata yang sama: "Kaisar dari Ahala Beng
datang mengunjungi keluarga Thio!"
Itulah Kaisar Kie Tin, yang baharu saja sampai, sehab ia telah ketinggalan jauh
oleh In Tiong. Ia adalah kaisar yang berada di dalam tawanan, baharu saja ia
merdeka, ia lantas tak ubah kebiasaannya, ia tak hendak melupakan bahwa dirinya
seorang raja. Maka itu, pengiring-pengiring perdengarkan seruan itu.
Di dalam pekarangan gedung menteri muda, tidak ada orang yang usil kaisar ini.
Thio Tjong Tjioe masih duduk numprah, tubuhnya tidak bergeming.
Tantai Mie Ming mengawasi raja itu, dengan roman yang bengis, dengan sinar
matanya yang tajam, tetapi sebentar saja, ia lantas pelengoskan mukanya untuk
melanjutkan bicara dengan adiknya.
Cuma In Tiong beserta pengiring-pengiringnya, yang mesti menunda tindakan
kakinya... Kie Tin menjadi kecele, tak enak hatinya. Bukankah ia seorang kaisar"
Kenapa tidak ada orang yang ambil perhatian kepadanya"
"Siapa Thio Tjong Tjioe?" ia tanya sambil membentak. "Kenapa dia tidak menyambut
raja?" Tjong Tjioe angkat kepalanya, untuk dongak melihat langit! Ia seperti juga tak
melihat adanya satu Kie Tin di hadapannya itu!
Kaisar tidak kenal Thio Tjong Tjioe tetapi dia kenali Thio Tan Hong. Maka itu ia
segera menoleh kepada si anak muda.
"Mana ayahmu?" dia tanya, suaranya membentak. "Kamu ayah dan anak adalah turunan
pemberontak tetapi sekarang dengan kemurahan hati aku tidak hendak tarik panjang
perkaramu itu! Apakah kamu masih tidak hendak sambut junjunganmu?"
Selama raja ini bicara, Tan Hong tidak menjawab, dia cuma tertawa dingin.
Kie Tin yang menampak sikap orang itu, seperti merasa bahwa matanya si anak muda
menatap dengan tajam kepada mantel di tubuhnya! Dengan sendirinya mukanya
menjadi berubah merah, dengan sendirinya ia likat dan merasa tak enak hati. Maka
itu, kalau pada mulanya suaranya keras, lambat laun suara itu menjadi pelahan,
lalu beberapa kata-kata yang terakhir cuma ia sendiri yang mendengarnya...
Sehabis tertawa dingin, Thio Tan Hong merogo ke dalam sakunya. Dengan satu
gentakan ia tarik keluar tangannya itu yang menggenggam satu bungkusan. Ia
lantas lemparkan itu ke tanah!
"Dua rupa barang ini kau harus simpan baik-baik, jangan kau membuatnya hilang
kembali!" dia kata, suaranya dingin tetapi keren.
Satu pahlawan segera jemput bungkusan itu, untuk dibawa ke hadapan rajanya. Dia
pun segera membukanya. Di dalam bungkusan itu terdapat dua rupa barang, melihat mana Kie Tin jadi
tercengang. Barang yang satu adalah yang berukiran huruf-huruf "Tjeng Tong Hongtee Tjie In"
yang berarti "Cap dari Kaisar Tjeng Tong." Itu adalah capnya raja ini!
Barang yang kedua adalah tusuk konde kumala yang Honghouw atau permaisuri
persembahkan kepada Kie Tin sendiri!
Itulah dua rupa barang berharga yang selama pertempuran kalut di Touwbokpo sudah
dicuri dan dibawa lari oleh Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yang Tan Hong
dapatkan dari tangannya tjongkoan itu ketika si tjongkoan dipermainkan Hek Pek
Moko. Baharu sekarang ada ketikanya untuk Tan Hong bayar pulang cap dan tusuk konde
itu kepada kaisar Beng ini.
Sehabis tercengang, Kie Tin kemudian menjadi sangat murka. Kemana keagungannya
seorang kaisar" Di mana ia mesti taruh mukanya" Akan tetapi ia boleh bergusar,
hatinya justeru ciut. Ia hendak umbar kemurkaannya, ia tak dapat lakukan itu.
Kekuasaan apa ia ada punya untuk pengaruhi Tan Hong itu. Maka di akhirnya, ia
memikir untuk melampiaskan segala-galanya kepada In Tiong...
Hampir di itu waktu, tiga orang datang berlari-lari bagaikan terbang ke arah
mereka. Dua orang yang lari di muka sama potongan tubuhnya, hanya yang satu
mukanya putih, yang lain hitam. Kedua orang ini berlari-lari berjingkrakan,
tangannya pun dibulang-balingkan serta mulutnya perdengarkan seruan-seruan. Di
mata mereka itu, di situ seperti juga tidak ada orang lainnya lagi...
Ketiga orang itu adalah Hongthianloei Tjio Eng bersama Hek Pek Moko, kedua Hantu
Putih dan Hitam. Mereka menyerang tentera Mongol sampai tentera itu buyar
sendirinya, maka untuk maju terus mereka repot menyingkirkan besi-besi cagak
tiga yang diampar di tanah, yang menjadi perintang baginya. Setelah itu dengan
tidak berlambat lagi mereka lari terus menuju ke gedungnya Keluarga Thio. Mereka
tiba di saat Kie Tin tak tahu ke mana ia mesti buang mukanya...
"Hai, orang-orang gila dari mana berani datang kemari membuat Sri Baginda
kaget?" membentak pengiringnya kaisar itu. Mereka ini tidak kenal tiga orang
itu, mereka lantas maju untuk mencegat.
Tjio Eng melirik kepada Kie Tin, lalu ia gerakkan kedua tangannya untuk
menyambut dua pengiring yang maju paling depan. Dengan tepat ia cekuk batang
lehernya mereka itu, maka satu kali ia himpaskan kedua tangannya, kedua
pengiring itu terlempar terpelanting!
Hek Pek Moko tertawa melihat perbuatannya kawannya itu, mereka juga lantas
meneladnya, tetapi mereka menggunakan
masing-masing tongkatnya, hingga dua pengiring lain rubuh terjungkal, kepala di
bawah, kaki di atas! Kie Tin kaget hingga ia mundur sendirinya.
Setelah itu, tidak ada lagi lain perintang bagi tiga orang itu, maka Hek Pek
Moko lompat kepada Tan Hong, yang tangannya disambar dan ditarik, mulut mereka
berkaok-kaok kegirangan! Tjio Eng sebaliknya lari kepada Thio Tjong Tjioe, akan bertekuk lutut di hadapan
tjoekong atau junjungan yang tidak bermahkota itu.
Cepat-cepat Tjong Tjioe pimpin bangun hamba yang setia itu, ketika ia
berbangkit, tubuhnya limbung terhuyung, seperti juga tidak kuat berdiri, dari
itu, ia lantas saja berduduk pula.
Sakit hatinya Tjio Eng menyaksikan junjungannya itu, air matanya lantas melele
keluar. "Tjoekong...." ia memanggil dengan pelahan.
"Tjio Tjiangkoen, untuk beberapa puluh tahun telah aku membikin kau kecele..."
berkata tjoekong itu. Leluhurnya Tjio Eng adalah Liong Kie Thayoet dari Thio Soe Seng, maka itu, Tjong
Tjioe memanggil dia tjiangkoen (jenderal ).
"Pusaka negara telah kembali di tangan siauw-tjoe, sayang negara tetap bukan
negara dari Kerajaan Tjioe yang besar..." berkata Tjio Eng dengan masgul. Dengan
"pusaka negara" ia maksudkan peta bumi.
Tjong Tjioe menggoyangkan tangan, ia tertawa sedih.
"Aku telah ketahui semua," katanya, "tak usah kau menyebut lagi. Manusia itu
cukup asal dia tidak membuat malu terhadap dirinya, tentang usaha merebut
kerajaan, itulah terserah kepada Yang Berkuasa..."
Kie Tin dengar itu, tak enak hatinya. Ia segera tunjuk In Tiong.
"Dengan orang-orang kasar tak dapat kita berdiam bersama," ia berkata, "maka In
Tjonggoan, lekas kau iringi junjunganmu untuk berangkat pulang!"
Kaisar ini kembali hendak tunjukkan pengaruhnya, akan tetapi In Tiong tidak
pedulikan padanya, Tjonggoan ini masih berdiri diam seperti semangatnya telah
hilang lenyap. Kaisar menjadi sangat gusar.
"Hai, apakah kamu telah gila semua?" dia berseru.
In Tiong seperti tersadar mendengar suara keras itu, ia lantas bertindak ke
samping memimpin rombongan pengiring, untuk berdiri di kedua tepi, guna iringi
raja. Selama itu, ia tidak perdengarkan suara apa-apa.
Baharu raja dan hamba-hambanya keluar di pintu pekarangan, tiba-tiba In Tiong
merandak, mukanya pun berubah menjadi sangat pucat.
Dari luar bertindak masuk dua orang, yang satu adalah satu nona yang cantik
bagaikan bunga indah. Nona itu memajang seorang tua yang rambutnya telah ubanan,
yang romannya layu serta mukanya ada tanda-tanda luka. Dan ia berjalan dengan
dingkluk-dingkluk. Kapan Kie Tin lihat orang tua itu, ia terkejut, ia bergidik.
Segera juga terdengar suara seruannya In Tiong. "Ayah!"
Dan ia lari kepada orang tua itu, untuk ditubruk dan dirangkul!
In Teng seperti tidak pedulikan puteranya itu, malah dengan sebelah tangannya ia
tolak sang putera ke samping. Dengan kedua matanya yang tajam, ia tatap Thio
Tjong Tjioe, dengan tindakan tidak tetap ia maju kepada turunan kaisar Tjioe
itu. Ia telah perlihatkan roman yang bengis.
Mau atau tidak, Tjioe Eng geser tubuhnya ke samping. Sekarang ia bisa lihat di
belakangnya In Teng itu ada anaknya perempuan serta baba mantunya, ialah Tjoei
Hong dan San Bin. Maka ia lantas bertindak ke arah puterinya itu.
Tjoei Hong dan San Bin tidak berani buka suara, roman mereka tegang.
Karena kakinya yang telah pincang itu, sukar In Teng dapat berjalan dengan
leluasa. Itulah sebabnya maka baharu hari ini ia tiba di kota raja Watzu. Segera
ia dapat keterangan yang In Tiong telah pergi ke rumah Keluarga Thio. Ia menjadi
kaget dan gusar sekali, tidak buang tempo lagi ia segera ajak gadisnya menyusul.
Ia girang dapat bertemu puteranya, tetapi kegirangan itu tertutup kebencian
terhadap musuhnya... Di saat itu, Tan Hong kaget bagaikan orang disambar petir, mukanya jadi sangat
pucat pasi. Ia telah lihat adik kecilnya tetapi In Loei, berpaling pun tidak
terhadapnya. Cuma sorot matanya In Teng yang bengis mengawasi kepadanya...
"Ah!..." ia berseru tertahan. Ia yang gagah perkasa, sekarang ia tidak dapat
berbuat suatu apa. Sikapnya In Teng sekarang lebih hebat daripada ketika dia
memaksa puterinya pisahkan diri daripadanya.
Masih In Teng bertindak menghampiri Tjong Tjioe.
Ketika Tjong Tjioe angkat kepalanya, ia tampak In Teng berdiri dihadapannya. Ia
lihat mata orang yang tajam, muka yang dingin. Ia dapatkan In Teng seperti hantu
pembalasan yang terbuat daripada batu marmer...
Hampir berbareng, Tan Hong dan In Loei berseru, mereka segera lari menghampirkan
ayah mereka masing-masing.
In Teng tidak menoleh tetapi sebelah tangannya menyambar ke belakang, menggaplok
puteranya! In Tiong jatuhkan diri di tanah, ia berlutut.
"Ayah, mari kita berlalu dari sini!" ia memohon, suaranya sedih. "Mari kita
pergi dari sini!..."
Tan Hong di lain pihak hampirkan ayahnya, yang ia pegang pundaknya.
"Ayah, baiklah ayah pergi beristirahat..." ia berkata.
Tjong Tjioe tidak menoleh, dengan tangannya ia menolak tangan anaknya itu.
In Teng dan Tjong Tjioe tetap berdiri berhadapan, keduanya sama bungkam.
Pada akhirnya, In Loei tidak kuat lagi menahan hatinya. Ia lantas menangis, ia
tutupi mukanya. "Ayah..." katanya dengan pelahan.
In Teng seperti tidak dengar suara anaknya itu, yang bagaikan meratap. Di
matanya, di dalam dunia ini, cuma ada satu Thio Tjong Tjioe. Dengan bengis ia
terus mengawasi orang she Thio itu. Pada sinar matanya itu terbenam sorot
kebencian yang sebegitu jauh manusia mempunyainya.
Berselang sekian lama Tjong Tjioe tertawa dengan tiba-tiba.
"Memang telah aku duga pada suatu waktu akan datang hari sebagai ini," ia
berkata. "Sekarang aku akan pergi cari ayahmu, Thaydjin In Tjeng, untuk
menghaturkan maaf sendiri kepadanya. Secara begini permusuhan di antara kita
kedua keluarga baharulah dapat dibikin habis!"
Suaranya orang tua ini makin lama makin lemah, ketika ia ucapkan perkataannya
yang terakhir, tiba-tiba tubuhnya rubuh, dari kuping dan hidungnya mengalir
keluar darah, terus saja tubuhnya tidak berkutik lagi. Karena ia telah berpulang
ke lain dunia... Di luar tahunya siapa juga, Tjong Tjioe sudah ambil keputusan pendek, maka itu,
setelah melihat In Teng, diam-diam ia telah telan racun yang ia telah bekal.
Itulah racun bubuk yang paling liehay, ialah semacam racun yang dahulu hari
dipakai oleh dorna Ong Tjin untuk meracuni In Tjeng, yang dipanggil pulang
dengan firman palsu. Maka racun itu tak dapat ditolong walaupun dengan obat
dewa... Kematiannya Thio Tjong Tjioe itu tak diduga siapapun yang hadir di situ. Mukanya
Tan Hong menjadi pucat bagaikan mayat, biji matanya seperti menonjol keluar. Tak
dapat ia menangis... In Loei menjerit dan terus saja ia rubuh!
In Teng sendiri, bagaikan bola kempes mendadak, telah terjatuh duduk...
"Tjoekong." berteriak Tantai Mie Ming dan Tjio Eng berbareng, sedang In Tiong
berlompat dengan niat pegangi Tan Hong yang tubuhnya limbung.
Sekonyong-konyong Tan Hong lompat, untuk pergi lari. Dia tutupi mukanya, dia
lari bagaikan kalap. Dengan satu kali lompat saja, tubuhnya telah berada di
bebokongnya kuda Tjiauwya saytjoe ma yang sejak tadi berdiam memakani rumput di
pekarangan gedung itu. Begitu majikannya naik, begitu juga kuda itu meringkik keras, lalu dia kabur
membawa sang majikan, kabur keluar gedung, hingga sesaat kemudian mereka - kuda
dan manusia - tak tertampak pula dari pandangan mata!
Maka sunyi senyaplah gedung itu, kecuali tangisan sedih dari In Loei...
-000dw000- Dua bulan telah berselang...
Itulah dipermulaan musim panas di Kanglam, selagi pemandangan alam di tengah-
tengah keindahannya. Ketika itu di luar kota Souwtjioe ada satu anak muda yang sedang menunggang
seekor kuda putih - penunggang kuda tunggal. Dialah Thio Tan Hong...
Tempo dua bulan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi selama itu, suasana telah
berubah. In Tiong telah pulang ke kota raja, ia bawa Kie Tin bersamanya.
Di kota raja telah ada kaisar yang baharu, ialah Kie Giok atau Beng Tay Tjong.
Inilah kaisar angkatannya Kokioo Ie Kiam. Kie Giok adalah adik Kie Tin. Ia telah
menjadi raja, ia tidak suka mengalah terhadap kakaknya. Maka itu Kie Tin pulang
dengan ludas pengharapannya untuk duduk pula di singgasana kerajaan. Ia telah di
tempatkan di Lamkiong, Istana Selatan. Ia diperlakukan sebagai raja kurungan.
Cuma namanya saja ia menjadi Thaysianghong, kaisar tua yang dihormati,
sebenarnya ia adalah kaisar tahanan.
Oleh karena sepak terjangnya Kie Giok, impiannya Ie Kiam untuk memperbaiki


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

negara turut buyar juga. Lenyaplah pengharapannya, Kie Giok tidak lagi
membutuhkan bantuannya Kokioo itu, menteri tua yang berjasa ini. Malah setelah
merampas kekuasaan atas angkatan perang, Ie Kokioo diangkat menjadi Pengpouw
Siangsie - Menteri Perang, namanya saja, karena selanjutnya ia dilarang
mencampuri urusan pemerintahan.
Rombongan dorna Ong Tjin sudah runtuh, akan tetapi dengan lekas merayap muncul
satu rombongan yang baharu. Maka raja dan menteri lantas mengicipi suasana
perdamaian, untuk bersenang-senang hingga lupa kepada Peristiwa Touwbokpo, bahwa
negara pernah satu kali diilas-ilas musuh!
Tan Hong gagal dalam percintaan, ia gagal juga dalam urusan keluarganya,
ditambah pula ia berduka juga untuk urusan negara. Maka sesudah ia pergi dan
berdiam dengan diam-diam beberapa hari di kota raja, Pakkhia, di mana ia
perhatikan suasana, tanpa menemui Ie Kiam lagi, ia berangkat ke Selatan Kanglam.
Wilayah Kanglam sangat indah permai tetapi itu tak dapat melenyapkan kedukaannya
anak muda ini. Demikianlah itu hari seorang diri, dengan menunggang kuda kesayangannya, ia
pergi ke luar kota Souwtjioe yang kesohor itu.
Ia melihat ke sekitarnya, ia memandangnya. Benar-benar permai wilayah Kanglam
ini. Akan tetapi kedukaannya tetap tak dapat dilenyapkan. Ia kasih kudanya jalan
pelahan-lahan, sampai tiba-tiba ia bersenanjung:
"Alam tak kekal abadi, urusan manusia berubah-ubah... Negara telah mengalami
perkosaan, dia meninggalkan kedukaan baru..."
Dari sakunya Tan Hong tarik keluar sepucuk surat yang telah bertanda bekas-bekas
air mata. Bunyinya surat itu ia telah baca untuk beberapa ratus kali, maka
dengan tak usah melihatnya lagi, dapat ia membacanya di luar kepala. Itulah
surat peninggalan dari ayahnya, yang pada malam sebelumnya ayah itu menutup
mata, dengan diam-diam si ayah telah masukkan ke dalam saku bajunya. Jadi
sebelumnya peristiwa, tak tahu ia atas adanya surat itu.
Surat itu, atau lebih benar ayahnya, menulis sbb:
"Dahulu hari aku telah berbuat suatu kekeliruan, ialah aku keliru sudah pergi
kepada negeri Watzu. Dengan demikian terjadilah aku membuat permusuhan dengan
Keluarga In. Demikianpun telah terjadi: Walaupun aku tidak membunuh Pek Djin
akan tetapi dia binasa disebabkan olehku. Maka itu jikalau In Tjeng serta anak
dan cucunya sangat membenci aku, itulah wajar.
Oleh karena itu sekarang aku telah mengambil putusan untuk menebus dosa dengan
kematianku. Inilah bukan melulu disebabkan urusan dengan Keluarga In itu saja
juga bukan karena aku tiada punya muka untuk pulang ke negeri sendiri. Di hari-
hari lanjut dari usiaku, aku dapat melihat utusan bangsa Han yang agung yang
telah unjuk pengaruhnya di negara asing, aku mati dengan tak penyesalan.
Kau, anakku, kau menang seratus lipat daripada aku, dengan aku punyakan anak
sebagai kau, puas aku meninggalkan dunia yang fana ini!
Anak, jikalau nanti aku telah "pergi", kau harus segera pulang ke negeri, dengan
Keluarga In kau mesti mencari keakuran, untuk menanam persahahatan, untuk dengan
jalan itu kau turut menebus dosaku.
Kau dengan cucu perempuannya In Tjeng ada saling menyinta, hal itu telah aku
ketahui jelas dari Tantai Tjiangkoen. Jikalau perjodohan itu dapat diwujudkan,
aku senang sekali." Bayangannya ayah itu berpeta di hatinya Tan Hong. Ayah itu telah pernah berbuat
keliru, tapi juga pernah melakukan kebaikan. Benar ayah itu telah membantu
membangun negara Watzu menjadi kuat, tetapi iapun secara diam-diam telah
membantu memberikan hajaran kepada Yasian.
Tadinya Tan Hong tidak dapat mengerti ayahnya itu, sekarang ia mengerti jelas
semuanya, ia menginsafinya. Tidak heran kalau ayah itu angkuh - angkuh yang
membuatnya mengambil jalan keliru. Ia sendiri juga beradat angkuh sebagai
ayahnya itu, tetapi keangkuhannya itu karena di dalam dirinya mengalir darah
Han. Demikian di dalam hatinya, Tan Hong mengulangi membaca surat ayahnya itu. Lalu
di lain saat segera berbayang lain bayangan. Kali ini adalah bayangannya In
Loei, dengan siapa ayahnya mengharapkan ia dapat menggabungkan diri sebagai
suami isteri. Akan tetapi peristiwa yang menyedihkan sudah terjadi. Karenanya ia beranggapan
selama hidupnya ini, tidak nanti ada lagi pengharapan yang mereka berdua bakal
dapat bertemu pula satu dengan lain... Dengan demikian tak mungkin dibicarakan
tentang urusan pernikahan itu.
Selama dua bulan ini, ususnya Tan Hong bagaikan telah terputus. Ia terus
terbenam dalam kedukaan, hingga ia hampir saja tak sadar pula akan dirinya.
Hampir saja ia menjadi terganggu urat sarafnya.
Kali ini Tan Hong pulang ke Kanglam, maksudnya untuk mencari hiburan di antara
keindahan wilayah Selatan ini, guna singkirkan kedukaannya itu, siapa tahu,
begitu ia tiba di Kanglam, begitu ia ingat pula In Loei...
Dahulu hari itu ia ada bersama si nona, kuda mereka dikasih jalan berendeng. Di
kala itupun sama musim seperti sekarang ini di kala buah bwee mulai menguning,
di saat bunga delima mulai mekar. Di sepanjang jalan, mereka telah tinggalkan
suara tertawa mereka, juga air mata mereka, tetapi sekarang, dia menjadi
terlebih bersusah hati lagi. Benar seperti katanya Lie Tjeng Tjiauw: "benda
menjadi yang tidak-tidak, segala peristiwa habis sudah, tak dapat bicara, akan
tetapi air mata mengucur keluar terlebih dahulu..."
Memang: "Satu kali usus telah putus, tak dapat putus lagi... Air mata sudah
kering, tak dapat mengucur pula..."
Kota indah yang bagaikan gambar lukisan, pemandangannya tetap sebagaimana tahun-
tahun dahulu itu, demikian juga bayangannya In Loei, pada bayangan itu seperti
berbekas tertawanya yang halus merdu. Semua itu bagaikan berpeta, bergerak-gerak
di depan mata si anak muda.
Akhirnya, tak dapat Tan Hong menahan hati. Ia menghela napas.
"Adik kecil, segala apa sudah terlambat..." keluhnya, pelahan.
Menyusuli keluhannya ini, tiba-tiba Tan Hong dengar suara tertawa yang nyaring
tetapi empuk, yang sedap bagi telinganya. Lalu menyusul suara tertawa itu, ia
seperti dengar suaranya In Loei yang bagikan di samping kupingnya: "Siapa yang
bilang sudah terlambat" Eh, kenapa kau tidak tunggui aku"..."
Tan Hong menoleh dengan segera. Segera ia tampak seekor kuda bulu merah, di atas
mana bercokol In Loei, yang wajahnya bersenyum berseri-seri, tetap manis seperti
tahun dulu itu... Adakah ini impian" Adakah ini kejadian yang sebenarnya"
Tan Hong terbenam dalam keragu-raguan. Tentu saja ia kaget berbareng sangat
girang. Maka ia terus mengawasi kepada penunggang kuda itu, yang telah datang
dekat kepadanya. In Loei terus bersenyum berseri-seri, lalu ia tertawa dan berkata: "Ah, kakak
yang tolol!" serunya, masih sambil tertawa. "Apakah kau telah tidak kenali aku?"
Ah, inilah bukannya impian belaka. Maka kalaplah Tan Hong bahna kegirangannya
yang meluap-luap! "Hai, adik kecil!" serunya. "Benarkah kau yang datang" Benar-benarkah masih
belum terlambat?" "Ah, apa katamu" Apakah itu terlambat atau tidak terlambat?" si nona menyahuti.
"Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan bahwa, walaupun perjalanan ada
sangat jauh orang toh akhirnya akan dapat menyusul" Kau lihat! Bukan melainkan
aku yang dapat menyusul kau, juga mereka itu! Lihat!"
In Loei berpaling ke belakang, tangannya menunjuk.
Tan Hong mengawasi ke arah yang ditunjuk di mana ia tampak In Teng, ayahnya In
Loei, yang bercokol di atas kuda tengah berseri-seri mengawasi mereka, selagi
kudanya lari mendatangi ke arah mereka berdua. Pada mukanya In Teng tetap ada
tanda-tanda bekas luka, akan tetapi sekarang romannya tidak lagi bengis tetapi
sangat manis budi, tidak lagi ada sinar kebenciannya yang sangat. Dan begitu
lekas dia sudah datang dekat, segera dia lompat turun dari kudanya itu,
gerakannya sangat gesit. Dia sudah tidak pincang dingkluk-dingkluk lagi. Sebab
dia telah diobati In Tiong, putera mana mengobatinya menurut cara pengajarannya
Tan Hong. Sejak peristiwa yang hebat itu selagi di pihak yang satu Tantai Mie Ming bersama
Tjio Eng beramai repot mengurus jenazah Tjong Tjioe, di pihak lain, In Teng,
telah buyar semua kebenciannya. Karena ia telah dengar penuturan jelas dari In
Loei, puterinya, tentang kejadian yang sebenarnya, bagaimana dalam kesengsaraan
Tjong Tjioe, yang sebenarnya ada turunan sah dari Kerajaan Tjioe, telah sia-sia
berdaya untuk membangun pula kerajaannya itu, karena tindakannya yang keliru
sudah mengandalkan bantuannya negeri Watzu, bahwa Tan Hong tak tahu menahu
mengenai sepak terjang ayahnya itu, sebaliknya Tan Hong telah berjasa menolong
negara dari bahaya keambrukan, bahwa In Teng telah peroleh bantuan sangat
berharga dari Tan Hong itu, dan sehingga yang paling belakang ini ia pun sembuh
dari pincangnya berkat pertolongan tidak langsung dari pemuda she Thio itu.
Urusan leluhur telah diselesaikan, maka itu, tak ada alasan bahwa permusuhan itu
diwariskan kepada anak cucu. Sebaliknya dengan duduknya hal telah menjadi jelas
dan Tan Hong pun sudah melepas budi, sudah selayaknya apabila persahabatan dan perhubungan dipererat!
Di belakang In Teng ini masih menyusul satu rombongan penunggang kuda lainnya.
Yang pertama tertampak nyata adalah In Tiong bersama ibunya. Lalu Tantai Mie
Ming bersama adiknya - Tantai Keng Beng. Mereka itu mengawasi ke arah mereka
bertiga, wajah mereka tersungging senyuman. Semua beriang gembira.
Nona Keng Beng majukan kudanya, hingga dia jadi jalan berendeng bersama In
Tiong. Dengan gembira ia ayun cambuk kudanya. Ia tertawa: "Tan Hong, Koaywa Lim
telah diperbaharui!" ia berseru. "Taman itu telah menjadi semakin indah! Apakah
kau masih tak hendak kembali ke dalam kota?"
Sejak tadi Tan Hong mengawasi saja kepada mereka itu. Ia masih seperti orang
yang baharu sadar dari mimpinya.
"Adik kecil, apakah kau pun akan turut kembali ke dalam kota?" ia berbisik
kepada In Loei. Si Nona In cuma menyahuti dengan tertawanya yang manis!
Dengan tertawa ini, habis sudah permusuhan dan kebencian, semua itu terlebur ke
dalam asmara yang manis bagaikan madu...
TAMAT Serial Thian San 1. Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika)
2. Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
3. San Hoa Lie Hiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga)
Ikuti kisah selanjutnya: San Hoa Liehiap Pendekar Wanita Penyebar Bunga
Apa yang terjadi setelah kaisar Kie Tin kembali naik tahta"
Dalam cerita ini Thiansan Pay muncul untuk pertama kalinya, siapakah pendirinya"
Apa hubungannya dengan Thio Tan Hong"
Setelah 10 tahun tertawannya kaisar Kie Tin, Kie Tin dan Thio Tan Hong bertemu
lagi! Pheng Hweshio mempunyai tiga orang murid, Tjoe Goan Tjiang, Thio Soe Seng dan
Pit Leng Hie. Dalam cerita ini, giliran keturunan keluarga Pit yang ingin
berebut tahta dengan keturunan Tjoe Goan Tjiang.
ikuti juga kisah murid-murid Thio Tan Hong, yang merupakan anak-anak Ie Kiam dan
Thio Hong Hoe. --ooo0dw0ooo--- Pendekar Sakti Suling Pualam 1 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Hantu Seribu Tangan 3
^