Pencarian

Dua Musuh Turunan 7

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 7


diri ia maju terlebih jauh.
Empat lima orang lainnya juga merangsek maju.
"Binatang cilik, kau ngaco belo!" mereka itu mencaci. "Siapa yang kau hendak
dustai" Kau mesti dibunuh dulu, baharu kita labrak tentera negeri! Jangan harap
kau bisa jaring kita semua! Tak gampang!"
Cacian ini membikin yang merangsek makin banyak, di lain saat, Tan Hong telah
dikurung, diserang pelbagai macam senjata.
Mau atau tidak, terpaksa pemuda itu harus menggunakan pedangnya, untuk membela
diri. Di antara suara "trang trang" banyak kali, terlihatlah beberapa senjata
terbabat kutung oleh pedangnya pemuda itu, hingga kurungan itu nampak sia-sia
saja. Siapa tak bersenjata, ia terpaksa mesti mundur.
Menampak demikian, San Bin tolak tubuh In Loei.
"Lekas maju!" dia menganjurkan. "Gunakan pedangmu untuk melawan dia!"
Tanpa merasa orang she In ini menghunus pedangnya, ia menyerbu ke dalam
kurungan. Tan Hong berkelebatan di antara pengepung-pengepungnya, baju putihnya pun
beterbangan, sambil terus melindungi diri, ia berteriak-teriak pula: "Kamu lihat
kudaku! Jikalau benar aku memihak tentera negeri, mana bisa kudaku terluka
demikian?" Orang-orang menoleh dan mereka dapatkan pada sebelah kaki kuda itu tertancap dua
batang anak panah. Itulah anak panah tentera negeri.
Orang-orang kaum Rimba Persilatan sangat menyayangi kuda itu, apapula pooma,
kuda "mustika" atau jempolan sebagai Tjiauwya saytjoe ma, maka itu, tertarik
hati mereka. Mereka sayangi kuda itu,
yang anak panahnya belum sempat dicabut Tan Hong, sebab perlu ia lekas-lekas
memberi kabar. "Siapa tahu jikalau ia tidak lagi menggunakan akal menyiksa diri?" teriak
Hweesin tan Tjek Poo Tjiang, yang ingat kepada "Kouwdjiokkee" - tipudaya
mempersakiti kulit-daging. Dan dengan cambuknya, ia menyerang.
Tan Hong tangkis serangan itu, yang hebat, menyusul mana, cambuk itu terpapas
kutung ujungnya! "Maju!" San Bin menganjurkan pula.
Adalah di saat itu, In Loei telah datang dekat si anak muda, yang terus ia
serang dengan pedangnya. Tan Hong terkejut, mukanya menjadi pucat. Ia tidak mau melayani berkelahi, malah
menangkis pun tidak, dengan kesebatannya, ia berkelit, terus ia menjauhkan diri.
Poo Tjiang lihat caranya orang berkelahi, ia menyangka orang telah mulai jeri,
dengan sengit, ia merangsek pula. Mulanya ia putar cambuknya, habis itu, ia
menyerang. Mulanya ia mengancam ke atas, dengan tipu "Soathoa kayteng" -
"Kembang salju menutupi kepala," setelah itu, ia menyambar kebawah, dengan
"Kouwsie poankin" - "Pohon tua terbongkar akarnya."
Tan Hong tangkis serangan itu. Akibatnya adalah satu suara nyaring terdengar
dari terkutungnya cambuk itu menjadi dua potong, hingga selanjutnya, senjata itu
tidak dapat digunakan lagi.
In Loei menghampiri pula si anak muda, seperti orang tak sadar akan dirinya,
kembali ia menyerang, tapi pedangnya kali ini seperti tertahan di udara, turun
tidak, ditarik pun tidak.....
Thio Tan Hong berteriak pula: "Api sudah membakar alis, kenapa kamu masih belum
hendak angkat kaki" Kenapa kamu masih libat aku?"
"Tjis, kau hendak gertak kita dengan tentera negeri?" Na tjeetjoe mengejek.
"Kita justeru ada orang-orang yang menjadi besar di antara golok dan tombak
tentera negeri itu! - Maju!"
Dan ia maju sambil anjurkan kawan-kawannya. Thio Tan Hong memutar diri,
pedangnya pun berputaran. Dengan cara itu hendak dia mencegah serangan.
"Mereka yang datang itu adalah rombongan pahlawan Kimie wie dari kota raja!" dia
masih berteriak, memperingatkan. "Apa kamu sangka mereka ada pasukan serdadu
yang biasa" Mungkin juga bersama mereka datang tiga ahli silat terbesar dari
kota raja!" Kimie wie adalah pasukan pahlawan berjuba sulam, dan tiga jago yang Tan Hong
maksudkan adalah Kimie wie Tjiehoei Thio Hong Hoe, komandan barisan pahlawan
berseragam sulam itu, Gietjian Siewie Hoan Tiong, pahlawan pengiring raja dan
Lweeteng Wiesoe Khoan Tiong, pahlawan dari keraton. Mereka asalnya tiga jago
Rimba Persilatan, mereka kosen dan sangat terkenal, hingga mereka disebut
"Kengsoe Samtoa Khotjioe" yaitu tiga jago silat dari kota raja.
Mendengar seruan orang yang terakhir ini, baharulah orang-orang Rimba Hijau itu
terperanjat. Memang berbahaya kalau dipihak
pahlawan-pahlawan Kimie wie, yang tidak boleh dipandang ringan, terdapat juga
tiga jago kenamaan itu. Mereka tercengang.
Waktu itu kudanya Thio Tan Hong, yang telah terluka itu, memperdengarkan suara
nyaring. Ia telah dirintangi Tiauw Im Hweeshio, yang menghalang di depannya. Ia
berbunyi karena lukanya di kaki terasa sakit.
Melihat kuda itu terluka, Pit To Hoan berpikir.
"Kuda ini kuda pilihan, larinya pesat dan kencang sekali, sekarang dia kena
dipanah sampai dua kali, benar heran! Orang yang sanggup memanah kuda ini, kalau
bukan ketiga jago yang barusan disebutkan itu, mesti ada orang gagah luar biasa
lainnya! Maka itu, apa yang dikatakan bocah ini, lebih baik dipercaya daripada
tidak!....." Dalam kesangsian itu, To Hoan masih dengar pula keterangannya Tan Hong.
"Di belakang pasukan Kimie wie itu masih ada satu barisan besar tentara Gielim
koen!" demikian si mahasiswa. "Jikalau yang hendak ditawan Cuma Tuan Pit seorang
saja, untuk apa dikerahkan begitu banyak tentara" Jikalau Gielim koen memecah
kekuatannya, untuk menyerbu pesanggrahan tuan masing-masing, bagaimana nanti
tuan-tuan melayani mereka?"
Besar pengaruhnya perkataan ini, lantas sebagian kecil tetamu yang dengan
tersipu-sipu pamitan dari Pit To Hoan, dengan naiki kudanya masing-masing,
mereka kabur pulang. Tapi San Bin menjadi sangat mendongkol dan murka.
"Penghianat, kau main gertak!" dia berteriak. "Kau bukannya pemimpin pasukan
Gielim koen itu, cara bagaimana kau ketahui siasat mereka mengatur tentera"
Pastilah kau koncoh mereka!"
Thio Tan Hong melengak, dia tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan "Pathong
hongie" - "Hujan angin di empat penjuru" - ia halau senjata Na Thian Sek, Tjek
Po Tjoen dan San Bin sekaligus. Ia masih tertawa pula dan berkata: "Kecewa
ayahmu yang pernah menjadi panglima di perbatasan! Andaikata kau benar belum
pernah membaca kitab perang, mestinya kau mengerti ilmu perang walaupun hanya
sedikit! Siapa menjadi panglima perang, dia harus dapat menerka peraturan musuh,
dia mesti faham akan pertahanan pihak sendiri, atau paling sedikit dia mesti
melihat gelagat. Kau menyebut aku penghianat, tapi sekarang kita berhadapan
dengan musuh yang berjumlah besar, apa tidak bodoh kalau kamu mencelakai diri
sendiri karena aku seorang"....."
Belum sempat Tan Hong menutup mulutnya, sebahagian pengurungnya telah
mengundurkan diri, untuk angkat kaki.
Muka Tjioe San Bin menjadi merah, ia malu dan mendongkol.
"Pesanggrahanku bukan di sini, aku juga tidak takut tentara negeri nanti
mengurung aku!" ia berteriak dalam murkanya. "Masih hendak aku mencoba ilmu
pedangmu! Adik Loei, maju!"
In Loei tangkis pedang Tan Hong, untuk di-sampok, atas mana, San Bin membacok.
Tan Hong bersenyum. Pedangnya tidak mental atas sampokannya In Loei, sebaliknya,
dengan dibantu gerakan tangan kiri, ia sambarkan itu ke arah San Bin, dari
bacokan siapa ia berkelit. Suara "Trang!" segera terdengar, lalu tanpa dia
merasa, orang she Tjioe itu kehilangan goloknya, yang telah terlepas dari
cekalannya dan jatuh ke tanah!
Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia mengerti, maka diam-diam ia angguk-
anggukkan kepalanya. "Jikalau Thio Tan Hong turun tangan sungguh-sungguh, San Bin mesti terbinasa
atau sedikitnya terluka, ia berpikir. "Semua orang yang mengepung Tan Hong,
tertabas senjatanya, dari sepuluh, sembilan yang terkena....."
Sementara itu si kuda putih masih terhalang Tiauw Im, tak henti-hentinya dia
perdengarkan suaranya. Menampak demikian, To Hoan maju, mulutnya perdengarkan
suara meniru benger kuda, kemudian sambil menggerakkan tangan kirinya, ia lompat
untuk mendekati kuda itu.
Kuda putih itu cerdas sekali, dia seperti tahu orang bermaksud baik, dia taruh
ke empat kakinya di tanah, tidak lagi dia berlompatan atau berjingkrakan, maka
To Hoan dapat menghampiri untuk segera mengusap-usap lehernya, setelah mana,
dengan tangan kanan, cepat bagaikan kilat, orang she Pit ini mencabut kedua anak
panah yang nancap dipahanya dan kemudian dengan tak kurang sebatnya, ia obati
luka itu. Sebagai seorang kangouw ulung, Pit To Hoan mengerti segala apa, sampai sifat
kuda dan cara mengobatinya.
Tiauw Im tercengang bahna kagumnya.
San Bin di lain pihak sudah memungut pula goloknya, untuk bersama Thian Sek
mengepung pula lawannya. In Loei pun, dengan bengis, melakukan serangannya
berulang-ulang. Tak tenang hati To Hoan menyaksikan pertempuran macam itu.
"Saudara Thio, ini kudamu!" akhirnya ia teriaki
Tan Hong. "Lekaslah kau berlalu!"
San Bin terkejut, ketika ia berpaling, ia lihat To Hoan tengah menolak minggir
pada Tiauw Im Hweeshio, akan membiarkan kuda putih lari ke arah majikannya.
Tjek Po Tjiang menjadi gelisah.
"Pit looenghiong, harap kau pikir masak-masak!" ia serukan tuan rumah itu.
"Membekuk harimau mudah, melepaskannya berbahaya!" ia peringatkan.
Pit To Hoan seperti tak mendengar perkataan orang.
"Saudara Thio, aku mengerti kau, aku terima kebaikanmu!" masih ia berkata pada
Tan Hong. "Luka kudamu tidak parah, lekaslah kau pergi!"
Karena heran, Na Thian Sek mundur, untuk menghentikan serangannya. Melihat
demikian, In Loei pun lompat ke samping. Karena ini, Tjioe San Bin turut mundur
beberapa tindak. Thio Tan Hong bersenyum, separuh ber-senanjung, ia berkata: "Persahabatan dari
beberapa turunan benar berharga, tapi persahabatan pada suatu saat lebih
berharga pula..... Pit Loopeh, jangan kau pedulikan aku, lekas-lekas kau
singkirkan dirimu!" "Keluargaku besar, aku pun masih harus be-benah," sahut Pit To Hoan. "Baiklah
kau sendiri yang menyingkir terlebih dahulu! - Eh, Na Tjeetjoe, Tjek
Tjhoengtjoe, juga engkau Tjioe Hiantit, lekas-lekas kamu angkat kaki! Tentang
Thio Tan Hong, tak usah kau pedulikan pula!"
Na Thian Sek bingung, akan tetapi tanpa mengucap sepatah kata, ia naik ke atas
kudanya, untuk segera berlalu.
Tjek Po Tjiang berdiri menjublak, masih ia belum mengerti.....
San Bin juga berdiri diam dengan goloknya ditangan, ia masih memikir, kemudian,
selagi ia berniat membuka mulutnya, sekonyong-konyong ia dengar suara sangat
riuh dari datangnya pasukan tentera dan tindakan ratusan ekor kuda, menyusul
mana, anak-anak panah sudah lantas menyambar saling susul, suaranya keras
menderu-deru. Bagaikan bukit ambruk, demikian seruan tak putusnya dari tentera
negeri, yang mendatangi sangat pesat.
Wajah Pit To Hoan menjadi pucat pasi.
"Lekas!" ia teriaki pengurus rumah itu. Kemudian, dengan suara sangat berduka,
ia menambahkan: "Kamu semua tidak mau siang-siang angkat kaki, sekarang sungguh
sukar!....." Kampung-halaman si orang she Pit dikurung bukit-bukit, dari suatu jalan bukit
terlihat tiga orang mendatangi dengan cepat seperti bayangan, di belakang mereka
ada beberapa puluh penunggang kuda yang muncul dari antara lembah. Lantas ketiga
penunggang kuda itu menghampiri mereka, untuk perlihatkan diri di depan mereka.
Habis itu, mereka semua lantas menuju ke arah rumahnya Pit To Hoan.
Jauh di belakang seperti terdengar adanya banyak tentera lainnya, yang tengah
mendatangi. Menampak datangnya musuh, Pit To Hoan tertawa berkakakan. Segera ia maju, untuk
memapak ketiga penunggang kuda itu serta barisan mereka.
"Apakah harganya aku si orang tua she Pit dengan beberapa potong tulang-
tulangnya yang telah tua?" berkata ia. "Samwie thaydjin, berhubung dengan
kunjunganmu itu, aku merasa beruntung!....."
Dari ketiga perwira itu, yang di tengah mempunyai "alis pedang" dan "mata
harimau" romannya bengis. Ia adalah Thio Hong Hoe,
tjiehoei atau komandan dari pasukan pahlawan bersulam Kimie wie. Ia kesohor
dengan ilmu golok Ngohouw Toanboen too-nya - "Lima harimau mencegat pintu."
Orang yang berada di sebelah kiri komandan ini bermuka hitam bagaikan pantat
kwali, kumisnya pendek dan kaku. Dia adalah Gietjian siewie Hoan Tiong, pahlawan
kaisar. Sedang yang berada di sebelah kanan, yang wajahnya kuning gelap dengan
mata yang belo, adalah ahli silat dari keraton ialah Khoan Tiong yang kenamaan.
Hoan Tiong pada belasan tahun yang lampau pernah mengenal Pit To Hoan, maka itu
ialah yang mulai bicara. "Pit Toaya, kami datang atas titahnya Sri Baginda," demikian katanya, "maka itu,
aku minta janganlah kau sesesalkan aku. Kami minta sukalah kau turut berjalan
bersama kami. Tidak nanti kami membuatnya kau susah....." Pit To Hoan menyambut
dengan tertawa dingin, ia telah memikir untuk memberikan jawabannya ketika ia
dengar Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak sendirinya, setelah mana, dia berkata
dengan jumawa: "Hoan Hiantee, bukankah sia-sia belaka kata-katamu ini" Kau tahu
macam apa Tjinsamkay yang kenamaan itu" Mana dia mau menyerah begitu saja" Maka
baiklah kita bicara terus terang kepadanya!" Lalu dia pandang To Hoan dan
melanjutkan: "Pit Toaya, untuk urusan kita hari ini, tak dapat tidak mesti kita
turun tangan! Oleh karena itu, silakan kau hunus senjatamu, mari kau berikan
pengajaranmu beberapa jurus! Jikalau kau dapat layani golokku ini, tak peduli
urusan bagaimana besarpun, aku berani bertanggung jawab, untuk membiarkan kau
angkat kaki! Tentang saudara-saudara kaum Rimba Hijau, yang kebetulan turut
hadir di sini, aku pun mengundangnya untuk mereka turun tangan juga, sedang
mereka yang termasuk bukan saudara-saudara Rimba Hijau, aku persilakan mereka
untuk lekas menyingkir. Kami datang tidak untuk menawan mereka yang tidak
bersalah dan berdosa!"
Habis mengucap demikian, tiba-tiba matanya tjiehoei dari Kimie wie ini menyapu,
sambil menggerakkan goloknya, dia menegur: "Eh, tuan mahasiswa, kau sebenarnya
ada hoohan dari golongan apa?"
Thio Tan Hong tertawa atas teguran itu.
"Kau adalah tjiehoei yang hendak melakukan penangkapan, aku adalah tjinsoe yang
hendak membekuk setan!" dia menjawab.
Thio Hong Hoe tertawa bergelak.
"Jikalau demikian adanya, kita juga harus mengadu kepandaian!" ia kata. Ia
sangat menantang. Khoan Tiong adalah yang tadi mendahului rombongan, dialah yang telah memanah
kuda putih, maka itu, ia sudah lantas melirik pada Thio Tan Hong.
"Ah, kiranya kau juga berada di sini!" kata dia dengan jumawa. "Bagus, bagus!
Sahabat, kuda putih itu mesti ditinggalkan di sini untuk aku!"
Ia pun segera siapkan busur dan anak panahnya, untuk memanah pula.
"Khoan Hiantee, tahan!" seru Hoan Tiong, yang suka sekali pada kuda pilihan itu.
"Jangan kau memanah pula, lebih baik kuda itu ditangkap hiduphidup!"
Dan Gietjian siewie ini sudah lantas mengajak barisannya maju untuk menangkap
kuda putih yang dimaksudkan itu.
Tiba-tiba saja beberapa anggota Kimie wie perdengarkan jeritan mereka, jeritan
dari kesakitan. Tanpa mereka ketahui apa sebabnya, bahu mereka itu telah
diserang senjata bagaikan jarum halusnya, yang membuatnya mereka merasa sangat
sakit. Khoan Tiong sudah lantas mengerti. "Ah, kiranya kau pandai menggunakan jarum
Bweehoa tjiam!" ia tegur Thio Tan Hong. "Kalau ada kehormatan tetapi tidak
dibalas, itu namanya tidak hormat. Nah, kau lihat panahku!"
Busur segera ditarik dan anak panah melesat bagaikan bintang jatuh, nyaring
bunyinya "Sret!"
Thio Tan Hong tidak berani menyambuti anak panah itu, ia hanya berkelit.
Anak panah itu melesat menjurus ke muka Tiauw Im Hweeshio. Maka pendeta ini
menggunakan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya
muncrat. Karena serangan ini, dia menjadi murka sekali.
"Tjioe Hiantit, mari maju!" dia berteriak dengan anjurannya, lalu dengan memutar
tongkatnya itu, dia menyerbu ke dalam pasukan Kimie wie.
Hoan Tiong menggunakan sepasang gembolan, ia maju, untuk cegat pendeta itu.
Karena ini, senjata mereka berdua jadi bentrok dengan menerbitkan suara keras.
Tongkat Tiauw Im kena tersampok hingga sedikit mental ke samping, tetapi di lain
pihak, telapak tangan Hoan Tiong terasa sakit dan kesemutan, hampir saja ia
lepaskan gembolannya. Tentu saja pahlawan kaisar ini menjadi kaget sekali, sebab
di dalam istana, di antara kawannya, ialah yang tersohor sebagai toaieksoe,
orang terkuat. Tapi ia tidak menjadi jeri, dengan cepat ia maju pula, untuk


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan pendeta itu. Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia tertawa terbahak-bahak. Ia lantas ambil
toya Hangliong pang-nya. "Thio Thaydjin, kau sangat memandang mata padaku, marilah kita cobacoba!" ia
tantang Thio Hong Hoe. "Bagus, bagus!" Hong Hoe pun tertawa seraya memutar goloknya. "Mari kita pakai
aturan kaum kangouw, kita bertempur satu lawan satu! Jikalau kau dapat lolos
dari golokku ini, aku suka menjelaskannya, di sini tidak akan ada orang yang
nanti berani menghalang-halangi pula padamu!"
Masih komandan Kimie wie itu memperlihatkan kejumawaannya.
Dalam murkanya, Pit To Hoan maju untuk segera menyerang.
Thio Hong Hoe bertindak ke samping, untuk melewatkan serangan itu, berbareng
dengan tindakannya, goloknya menyambar, untuk membalas. Tanpa dapat dicegah,
toya dan golok bentrok keras, hingga mereka masing-masing mundur tiga tindak.
"Bagus!" seru Pit To Hoan. "Tak kecewa ahli silat nomor satu dari kota raja!"
Sambil mengucap demikian, ia ulangi serangannya.
Dengan ujung goloknya, Hong Hoe menyambut toya secara enteng, waktu goloknya
mental ke atas, tiba-tiba saja ia membacok, dari atas ke bawah, membabat batang
leher! Hebat serangan yang berbahaya itu, hingga To Hoan, untuk menghindarkan diri,
sudah menggunakan ilmu silat "Thiepoankioe" atau "Jembatan papan besi". Ialah
dengan kaki kiri menahan diri, kaki kanannya diangkat lurus, tubuhnya berbareng
melenggak ke belakang, hingga ia jadi terlentang dengan bantuan kaki kirinya
itu. Dengan begitu, sambaran golok lewat tanpa mengenai sasarannya. Habis itu,
dengan lompatan "Leehie tateng" atau "Ikan gabus meletik", ia bangkit bangun,
hingga golok lawan hampir saja kena didupak.
"Nama Tjinsamkay bukan nama kosong belaka!" Thio Hong Hoe memuji, sambil maju
menyerang pula, dengan desakan "Lianhoan samtoo" atau "Bacokan tiga kali
beruntun". Didesak secara demikian, Pit To Hoan main mundur.
Dipihak lain, Khoan Tiong sudah bertempur dengan Thio Tan Hong. Pahlawan dari
keraton ini menggunakan samtjiat djoanpian, karena ia mengandalkan
kepandaiannya, sedang ia juga belum kenal si mahasiswa, ia memandang enteng
kepada musuh yang menyerupai anak sekolah itu. Begitulah ia mulai, dengan
menindak maju, ia menyerang dengan "Ouwliong djiauwtjoe" atau "Naga hitam
melilit tiang", untuk melibat lengan orang dengan cambuknya guna merampas
pedangnya. Thio Tan Hong perdengarkan tertawa menghina beberapa kali, ia kumpulkan
tenaganya di lengannya, berbareng dengan itu, ia membabat berulang-ulang, tanpa
mensia-siakan waktu. Khoan Tiong terkejut, hingga dia mesti lompat mundur. Karena dia seorang ahli,
dengan cepat dia dapat perbaiki diri, hingga di saat itu, dia lolos dari bahaya,
malah dia dapat gunakan "Kimna host", ilmu "Menangkap", untuk menjambak rambut
orang. Tan Hong mengelakkan diri dengan membabat tangan orang, tetapi karena ini,
samtjiat pian dari lawan itu menjadi bebas, hingga kembali cambuk itu dapat
dipakai menyerang pula. Kali ini sasaran adalah pinggang si mahasiswa.
Thio Tan Hong tidak mau mengalah, setelah berkelit dari jambakan itu, kembali ia
mendesak, bacokannya menyambar berulang kali, hingga Khoan Tiong mesti mundur.
Pahlawan dari keraton itu menggunakan senjata panjang akan tetapi ia tidak
mendapat kesempatan mengambil keuntungan dari genggamannya itu.
Selagi begitu, sejumlah anggauta Kimie wie telah lari ke arah rumahnya Pit To
Hoan. Sambil bertempur, Thio Tan Hong melirik ke arah kawan-kawannya. Tiauw Im dan
Hoan Tiong ada seimbang, tidak demikian dengan Pit To Hoan, yang terdesak Thio
Hong Hoe. Komandan itu terutama menang di atas angin karena golok Biantoo-nya
yang tajam luar biasa dan ia ada terlebih muda dan sedang gagahnya. To Hoan cuma
dapat membela diri, maka itu, lama kelamaan ia bisa menghadapi bencana.
Melirik ke pihak lain lagi, Tan Hong dapatkan In Loei dengan pedangnya telah
membabat kutung senjata pelbagai anggauta Kimie wie, dengan cara itu si nona
lindungi Tjioe San Bin dan Tjek Po Tjiang. Tentu saja, mereka itu berkelahi
sambil mundur. Hingga akhirnya mereka mendekati Tiauw Im Hweeshio.
Hoan Tiong tengah melawan si pendeta dengan hebat, sampai ia berulang kali
berseru, tatkala tiba-tiba ia lihat sebatang pedang berkilau menyambar ke arah
dadanya. Ia lantas gunakan gembolan kirinya, guna menjaga diri, dengan gembolan
kanan, ia menangkis. In Loei berlaku gesit dan cerdik, tidak sudi ia membentur senjata berat dari
lawannya itu, maka itu, kecewalah Hoan Tiong, yang menyangka dapat membuat
pedang musuh terpental. Selagi ia sibuk mengawasi pedang berkelebatan,
gembolannya yang kiri telah kena "ditahan" tongkatnya Tiauw Im Hweeshio, hingga
tak dapat ia berbuat suatu apa. Maka pada akhirnya, pundaknya kena tertusuk
pedang, dalam murkanya, ia berteriak keras, terus ia menimpuk dengan gembolan
kirinya! In Loei berlaku sangat sebat, begitu gembolan melayang, begitu ia egoskan
tubuhnya, maka gembolan itu melayang terus. Lalu menyusul suatu suara sangat
keras, batu gunung pecah berhamburan. Sebab batu itu kena terhajar gembolan,
yang menyambar beberapa tombak jauhnya.
Ketika si penyerang berpedang itu berkelit, Hoan Tiong lompat keluar kalangan,
guna menyingkir dari kepungan.
In Loei tidak mau mengejar, hanya bersama Tiauw Im Hweeshio, ia pun menerjang
keluar kurungan, hingga di lain saat, ia telah dihampirkan kudanya, ke atas mana
ia lompat naik, hingga seterusnya dapat ia membuka jalan.
Tan Hong lega menampak In Loei lolos dari kepungan, karenanya dengan semangat
bertambah-tambah, terus ia desak Khoan Tiong, hingga Gietjian siewie itu mesti
mundur pula beberapa tindak. Ia segera gunakan ketikanya, akan teriaki Pit To
Hoan tentang ancaman bencana, supaya Tjinsamkay angkat kaki.
Pit To Hoan tengah berkelahi dengan hebat, ia berdiam, ia tidak sahuti teriakan
orang itu. Tan Hong kerutkan alis. Ia tahu, orang tua itu sudah nekat, peringatannya itu
tidak digubris. Ketika ia memandang pula ke arah In Loei, ia tampak si nona
tetap membuka jalan, di kirinya ada
Tiauw Im Hweeshio, di kanannya ada Tjoei Hong bersama San Bin. Tjek Po Tjiang
bersama lain-lain orang Rimba Hijau mengikuti di belakang pembuka jalan itu.
Kelihatannya mereka segera akan lolos dari kepungan.....
"Jikalau tidak sekarang aku menyingkir, aku hendak tunggu kapan lagi?" pikir
anak muda ini. Maka dengan nyaring ia teriaki pula Pit To Hoan: "Biarkan gunung
tetap hijau, jangan kuatirkan tak ada kayu bakar! Pit looenghiong, mari kita
bersama menerjang!" Tjinsamkay tetap tidak menyahuti, hanya dengan Hangliong pang-nya ia layani
musuhnya bertarung. Nampaknya ia telah menjadi nekat benar-benar.
Dalam masgulnya, tiba-tiba Thio Tan Hong ingat janji tadi di antara Pit To Hoan
dan Thio Hong Hoe. Yaitu apabila jago tua itu tak dapat lolos dari golok musuh,
atau tegasnya, tak dapat dia kalahkan komandan Kimie wie itu, tidak mau dia
angkat kaki, karenanya, walaupun dia terdesak, masih dia ngotot melayani musuh
yang tangguh. Itulah berbahaya.
"Dalam keadaan seperti ini, mana dapat orang berkepala batu?" pikir Tan Hong
terlebih jauh. Tapi tetap ia tidak peroleh daya. Ia tahu, umpama kata ia bantui
To Hoan dan mereka menang, tentu To Hoan tidak mau mengakhiri karena mereka itu
telah berjanji satu lawan satu.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras: "Turunkan aku! Hendak aku menghajar
penjahat!" Dengan segera tergeraklah hatinya Tan Hong. Orang yang bicara itu adalah
puteranya To Hoan. Putera itu tengah digendong koartk.ee, kuasa rumah. Si
koankee sendiri, bersama sejumlah orangnya To Hoan, asyik melawan musuh, untuk
menoblos kurungan. Bocah itu belum tahu suatu apa, ia berani, maka itu ingin ia
turun dari gendongan untuk membantu melabrak musuh.....
Tanpa bersangsi pula, Tan Hong tinggalkan lawannya, dengan berlompatan, ia
menerjang ke arah rombongan Kimie wiesoe. Ia putarkan pedangnya hingga tidak ada
orang yang dapat merintangi
padanya. Pada lain saat sampailah kepada si koankee. Dengan tidak berkata suatu
apa, ia jambret anaknya To Hoan, hingga koankee itu kaget dan berteriak.
"Lekas kamu menyerbu keluar!" Tan Hong serukan si koankee dan kawan-kawannya.
Sementara itu ia telah bunuh beberapa musuh, yang mencoba menerjang kepadanya.
Ia pun nerobos keluar, akan akhirnya perdengarkan suitan mulut yang nyaring.
Kuda Tjiauwya saytjoe ma sedang dikurung, dia menerjang ke sana-sini tanpa
hasil, ketika dia dengar suitan tuannya dengan tiba-tiba dia lompat, akan
menerjang hebat sekali. Maka kali ini dia berhasil, sebab dua musuh dihadapannya
kena ditubruk rubuh dan terinjak tubuhnya.
"Duduklah di atasnya!" seru Tan Hong kepada si bocah, tubuh siapa ia naikkan ke
atas bebokong kudanya itu, yang telah datang padanya. "Pegang dengan keras!"
Bocah itu baharu berumur tujuh atau delapan tahun, dia benar bernyali besar
sekali, begitu duduk di bebokong kuda, dia mendekam, dia pegangi suri kuda, yang
membawa dia kabur! Thio Tan Hong masih bekerja. Iapun tunjukkan kegesitannya. Dengan berlompatan,
dia hampiri Pit To Hoan. Justeru itu beberapa wiesoe mencoba menahan kuda putih, atas itu si bocah
berteriak, kuda itu juga berbenger keras.
Tan Hong gunakan ketikanya.
"Pit Loopeh, kau dengar!" dia berseru. "Apakah masih tak hendak lindungi
puteramu itu?" Sambil mengucap demikian, Tan Hong pakai pedangnya akan membentur golok Biantoo
dari Thio Hong Hoe yang dipakai membacok si jago tua. To Hoan menghela napas,
masih ia menyerang musuhnya hingga dua kali, habis itu ia lari ke arah tengah,
ke arah kuda putih beserta kudanya. Karena ini, Tan Hong kembali perdengarkan
suitannya, yang ditujukan kepada kudanya, hingga kuda itu tidak lagi menyerbu
keras mendobrak rintangan.
Dengan cepat To Hoan menghampiri Tjiauwya saytjoe ma, dengan tiga batang senjata
rahasianya, ia rubuhkan tiga wiesoe yang mengepung kuda, hingga ia dapat ketika
akan datang dekat sekali pada kuda itu, ke bebokong siapa ia segera lompat. Yang
paling dulu ia lakukan ialah memondong puteranya..
Kuda putih itu berbenger keras dan panjang, terus dia lompat, untuk lari kabur,
hingga sesaat kemudian keluarlah dari kepungan.
Thio Hong Hoe menjadi sangat gusar. Ia merasa orang telah permainkan padanya.
Maka dengan hebat ia serang Tan Hong, si pengacau itu.
Tan Hong tangkis bacokan golok Toanboen too, ia merasakan satu benturan keras
sekali, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalannya. Ia segera insyaf akan
ketangguannya komandan ini.
"Dia bukannya bernama kosong, dia benar liehay," demikian ia pikir. "Tidak
kecewa dia menjadi jago silat nomor satu dari kota raja."
Tapi mahasiswa ini tidak jeri, waktu ia tangkis pula lain bacokan, ia kerahkan
tenaga ditangannya, hingga kedua senjata beradu dengan keras. Tapi suara yang
diperdengarkan tidak nyaring seperti semula tadi. Kesudahannya pun membuat Hong
Hoe kaget. Sebab goloknya telah dibikin sempoak pedang lawannya itu.
"Tak takut aku dengan pedangmu!" dia berseru kemudian, sambil tertawa. Lagi-lagi
ia menyerang. Tan Hong tangkis serangan itu, kali ini ia menjadi heran. Begitu rupa lawan
menggunakan goloknya, hingga golok, Toanboen too itu seperti nempel dengan
pedangnya, sulit pedang itu ditarik kembali dan sukar untuk digerakkan terlebih
jauh. Itulah ilmu yang dinamakan ilmu "tempel"!
"Bagus! Mari kita adu kepandaian!"
Itulah suara nyaring dari Tan Hong, yang telah tertawa besar, karena ia tidak
menjadi jeri pedangnya hendak dibikin "mati".
Dengan satu gerakan lain, pedangnya lantas lolos dari tempelan. Ia tahu tipunya
bagaimana melepaskan diri.
Waktu itu terdengar suara mengaungnya anak panah, disusul dengan berbengernya
kuda putih dan pula dengan teriakan Khoan Tiong: "Toako, lekas kejar! Si bangsat
tua she Pit sudah kabur!"
Hong Hoe sadar dalam sekejap itu. Tahulah ia bahwa ia telah diperdayai Thio Tan
Hong, yang menggunakan akal "Wie Goei kioe Tio" yaitu "mengurung negeri Goei
untuk menolongi negeri Tio." Mahasiswa itu melibat ia untuk memberi ketika
supaya To Hoan dapat menyingkirkan diri.
Meskipun ia sangat mendongkol, Hong Hoe toh lompat keluar kalangan, akan tetapi
di samping ia, Thio Tan Hong tidak diam saja, mahasiswa ini pun lompat sambil
menikam padanya. Ia putar tubuhnya, ia tangkis pedang, di lain pihak, dengan
tangan kiri ia menyerang ke dada lawan.
Thio Tan Hong berkelit dengan cepat, tidak urung ia terkena juga angina serangan
itu, yang membuatnya ia merasa sakit, hingga ia mesti empos semangatnya,
menjalankan napasnya, guna menghindarkan diri dari akibat serangan itu.
Thio Hong Hoe berlompat pula, malah segera ia dapat rampas seekor kuda dengan
apa ia terus kejar Pit To Hoan atau si kuda putih Tjiauwya saytjoe ma.
Thio Tan Hong tertawa menampak musuh mengejar itu. Di dalam hatinya, ia kata:
"Walaupun kudaku telah terkena tiga batang anak panah, tidak nanti kau sanggup
kejar dan candak dia!"
Akan tetapi, ia sendiri pun tidak segera dapat lolos. Selagi ia hendak toblos
kepungan, ia menghadapi kepungan berlapis. Sebab Hoan Tiong, sambil memutar
gembolannya, menghalang di tengah jalan, dia cegat orang, terus dia menyerang.
Hingga Tan Hong menghadapi kesukaran. Sepasang gembolan lawan sangat berat,
sulit untuk dilawan dengan pedang. Di samping orang she Hoan itu ada lagi
pelbagai pahlawan, anggauta-anggauta dari Kimie wie, yang menerjang sambil
mengurung. Hoan Tiong itu gagah, dia
berimbang dengan Tiauw Im, maka dia pun standing dengan Tan Hong.
In Loei sudah lolos dari kepungan ketika ia dengar suara riuh di belakangnya,
ketika ia menoleh, ia tampak Tan Hong tengah dikepung musuh yang berseruseru.
Tanpa merasa, ia menjadi berkuatir sekali, hingga untuk sesaat, ia berduduk diam
di atas kudanya. Justeru itu Khoan Tiong telah melepaskan anak panahnya yang
liehay. Dalam kagetnya, In Loei masih dapat berkelit, tapi celaka, leher kudanya
terkena anak panah musuh, hingga pada ketika itu juga kuda rubuh terguling, dan
penunggangnya pun turut rubuh juga.
Belum sempat ia bangun, atau beberapa wiesoe sudah maju, untuk menubruk, guna
menyerbu musuh ini. In Loei masih sempat membalikkan tubuh, begitu berbalik,
begitu ia menyabet dengan pedangnya. Hebat tangkisan ini, hingga banyak senjata
lawan terbabat kutung. Sekalian musuh itu terkejut, selagi mereka tercengang, In Loei lompat bangun
untuk berdiri. Tapi begitu lekas ia bangun, begitu lekas juga datang serangan
Khoan Tiong, dengan samtjiat pian-nya, yang mengarah pinggangnya. Dengan kesusu,
ia menangkis. Liehay cambuk sambung tiga dari Khoan Tiong, setelah serangannya yang pertama
itu gagal, ia mengulanginya, terus ia mendesak.
In Loei repot juga, tidak dapat ia membabat kutung cambuk itu, yang dimainkan
dengan sempurna oleh pemiliknya. Ia jadi penasaran, ia juga mencoba mendesak.
Satu kali, Khoan Tiong lompat mundur tiga tindak, begitu mundur, ia kerahkan
tenaganya, ia menyambuk pula.
In Loei lompat dari sambaran itu, ia lolos dari bahaya.
Keduanya lantas, bertarung dengan seru. Sayang bagi In Loei, ia kalah tenaga,
maka itu, berselang kira-kira tiga puluh jurus,
keringatnya lantas mengucur, karenanya, tenaganya menjadi berkurang sendiri.
Khoan Tiong lihat keadaan musuhnya, ia tertawa besar, ia ulangi desakannya. Ia
mengharap segera dapat merubuhkan lawan itu.
Belasan anggauta Kimie wie sementara itu telah memecah diri di sekitar kedua
orang yang sedang bertanding itu, mereka menjaga supaya In Loei tak dapat kabur
dan lolos. Di pihak lain, Thio Tan Hong telah berada dalam kepungan, pedangnya yang tajam
itu dibikin tak berdaya oleh sepasang gembolan yang berat dari Hoan Tiong, di
samping itu, ia pun harus waspada terhadap senjata kawankawannya Hoan Tiong itu.
Selagi ia terkepung itu, Tan Hong lihat In Loei rubuh dari kudanya, hingga ia
menjadi kaget sekali. Karena ini, mendadak ia memutar tubuhnya dan pedangnya
dibabatkan dengan hebat kepada musuhnya, dengan tangan kirinya ia sambar satu
anggauta Kimie wie yang dengan berani merangsak padanya. Ia menyambar leher
bajunya, ia tarik musuh itu, hingga tubuhnya terangkat. Ini ada baiknya untuknya
hingga musuh lainnya menjadi jeri karena takut menikam kawan sendiri.
Hoan Tiong penasaran, dia membalas menyerang.
Tan Hong berlaku cerdik, bukannya ia menangkis, ia hanya majukan tubuh musuh
yang ia telah bekuk itu. Hoan Tiong kaget, terpaksa, dengan cepat-cepat, ia tarik kembali gembolannya.
Ketika ini dipakai Tan Hong untuk menerjang keluar, tubuh mangsanya itu tetap ia
gunakan sebagai tameng. Hoan Tiong penasaran sekali, ia mengejar.
Tan Hong lihat kelakuan musuh, ia tertawa berkakakan.
"Kau sambutlah!" ia berseru, terus ia lemparkan musuhnya ke arah si orang she
Hoan.

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoan Tiong tidak dapat berbuat lain daripada menyambuti tubuh anggauta Kimie wie
itu. Tan Hong sebaliknya, sambil masih tertawa sudah menyerbu ke dalam kepungan
In Loei. Nona In sedang terancam bahaya ketika ia tampak munculnya Tan Hong. Tiba-tiba
saja, hatinya bercekat. Dengan lantas ia ingat surat wasiat kulit kambing yang
berdarah. Siapa sangka, "musuhnya" ini, yang ia benci, tapi yang ia sayangi,
kembali datang untuk menolongi padanya. Maka bimbanglah ia. Apakah orang mesti
dipandang sebagai sahabat atau tetap sebagai musuh besar Apakah ia mesti terima
bantuannya musuh ini"
Oleh karena ia sedang menggunakan otaknya, In Loei terperanjat sekali ketika
cambuk Khoan Tiong menyambar ke kepalanya, akan tetapi sebelum ia menangkis atau
berkelit, kupingnya mendengar seruan yang ia kenal baik: "Adik kecil, lekas kau
menangkis!" Atas ini, benar-benar ia gerakkan pedangnya dan menangkis dengan
hebat. Satu suara nyaring terdengar atas tangkisan itu, yang membuatnya Khoan
Tiong kaget dan mendongkol tidak kepalang, sebab samtjiat pian-nya kena terbabat
kutung menjadi empat potong!
Segera juga Tan Hong dan In Loei bertempur berdampingan, pedang mereka dapat
digunakan masing-masing, di kiri dan kanan. Sekarang mereka dapat bergerak
dengan leluasa. Sebentar saja belasan anggauta Kimie wie rubuh terluka.
Hoan Tiong, dengan memutar sepasang gembolannya, datang memburu.KhoanTiong lihat
kawan itu, ia berteriak dengan peringatannya: "Djieko, hati-hati!"
Dengan tetap berdampingan, Tan Hong dan In Loei berbareng menyerang musuh kosen
ini yang bersenjatakan gegaman berat itu.
Disambut secara demikian rupa, Hoan Tiong kaget, sampai ia menjadi gugup,
bukannya ia menangkis, ia hanya melempar kedua gembolannya, ia sendiri lompat
bergulingan, akan tetapi walaupun demikian, meskipun jiwanya tertolong,
rambutnya toh terbabat juga hingga putus sebagian!
Belum pernah Hoan Tiong dikalahkan begini macam, ketika ia lompat bangun, ia
menjadi sangat gusar. "Serbu mereka dengan pasukan, berkuda!" ia berteriak dengan titahnya.
Beberapa puluh anggauta Kimie wie taati titah itu, mereka mencari kuda mereka,
untuk lompat naik ke atasnya, habis mana, dengan mengatur diri menjadi empat
baris, mereka maju untuk menerjang.
"Lekas naik ke gunung!" berseru Tan Hong, yang melihat sikap musuh. Kalau mereka
sampai kena diterjang, pasti mereka tidak berdaya.
In Loei turut nasihat itu, ia sudah lantas lompat mundur, akan seterusnya lari
ke arah gunung. Ia lari dengan cepat sekali. Di depan rumah Pit To Hoan, kira-
kira satu lie jauhnya, memang ada sebuah bukit. Dengan cepat ia sudah sampai di
kaki bukit itu. Tan Hong terus dampingi si nona dengan siapa ia lari bersama.
Pasukan kuda musuh juga lari cepat, sebentar kemudian mereka sudah mendatangi
dekat. Satu penunggang kuda dapat melampaui kawan-kawannya, ia telah datang
dekat sekali. Tan Hong lihat bahaya, ia sambar tubuhnya In Loei, terus ia lemparkan ke arah
gunung. Ia sendiri segera memutar tubuh, untuk lompat minggir, hingga musuh
melewati ia. Tapi, begitu musuh lewat, begitu ia lompat mencelat, naik ke
bebokong kuda di belakang musuh, dan belum sempat musuh berdaya, ia sudah
menjambak, ia menarik dengan keras, ia melemparnya, hingga tubuh musuh terpental
beberapa tombak di sebelah belakang!
Masih sukur untuk anggauta Kimie wie ini, coba dia dilemparkan ke depan kuda,
pasti dia kena terinjak-injak kuda yang tengah berlari-lari kencang itu.
Dengan kuda musuh itu, Tan Hong lari terus sampai di tepi gunung. Di situ
terdapat beberapa pohon kayu besar. Dari atas kudanya, dengan berani Tan Hong
lompat, untuk menyambar secabang pohon. Oleh karena gerakannya itu, tubuhnya menjadi terayun. Justeru ia
sedang terayun, ia lepaskan cekalannya, maka di lain saat, tubuhnya telah sampai
di tanjakan bukit di mana ia bisa menaruh kaki dengan tepat, hingga ia tidak
kurang suatu apa. Kemudian ia menoleh ke arah In Loei, si nona tengah berdiri
mengawasi padanya. Nona In telah berada di tengah bukit.
Ketika itu hari sudah magrib, maka pasukan berkuda Kimie wie tidak berani
mencoba mengejar terus, hingga mereka cuma bisa berteriak-teriak di kaki bukit.
Hoan Tiong masih penasaran, dia mendatangkan sejumlah pasukan Gielimkoen, untuk
membuat penjagaan di kaki bukit yang bersiap sedia dengan panah mereka. Dia pun
tertawa dan berkata secara mengejek: "Hendak aku lihat, berapa lama kamu dapat
berdiam di atas bukit!"
Tan Hong telah menyusul In Loei, mereka naik ke atas, dari sana mereka memandang
kesekitarnya. Mereka tampak bukit itu telah terkurung musuh. Yang paling nyata
tertampak adalah bendera-bendera Gielim koen, pasukan kaisar.
Sesudah bertempur mati-matian sekian lama, Tan Hong dan In Loei merasakan sangat
lelah dan juga lapar. Hal ini membuatnya mereka berpikir.
Ketika itu adalah musim pertama, dan seperti biasanya dimusim pertama itu, pada
siang hari sang siang jadi terang benderang, maka pada magrib atau selewatnya
suka turun hujan. Demikian hari itu, tiba-tiba air langit mulai turun.
"Adik kecil, mari kita cari tempat berlindung!" Tan Hong mengajak. "Tentang
barang makanan, kau jangan kuatir, aku masih membekalnya sedikit ransum kering."
In Loei bungkam, ia cuma menoleh. Tak tahu ia, harus bicara atau tidak dengan
musuh turunan ini..... "Di sana ada sebuah goa," Tan Hong berkata pula. "Mari kita pergi kesana."
Mahasiswa ini bukan cuma mengajak, tapi tanpa menunggu jawaban lagi, ia sambar
sebelah tangan orang untuk dituntun.
Beradu tangan dengan si anak muda, In Loei merasakan tubuhnya mengkirik,
tangannya dingin. Tan Hong merasakan tangan dingin itu, ia dapat menerka hati si nona tentu sedang
bimbang, pikirannya tidak tenteram.
Goa itu bukan goa sewajarnya, hanya tanah berlubang saja, karena di atasnya
terdapat dua potong batu besar yang ujungnya lebih, yang tidak mengenai tanah
atau batu karang, hingga di bawahnya ada tempat yang luang, cukup untuk dua
orang dan mereka tak akan tertimpa air hujan.
Tan Hong tuntun kawannya memasuki goa itu, di situ mereka berdiri berhadapan,
hati mereka sama-sama memukul, di dalam hati, mereka saling tanya, apa yang
mereka harus lakukan.....
Adalah Tan Hong, yang hatinya terlebih tenang. "Adik kecil," berkata si anak
muda kemudian, sesudah mereka sama-sama bungkam sekian lama, "benarkah
permusuhan kita kedua keluarga tak dapat diselesaikan?"
Cuaca waktu itu suram, walaupun mereka berdekatan, Tan Hong tak dapat melihat
tegas air muka si nona. Meski begitu, kupingnya dapat menangkap suara baju nona
itu, yang disebabkan tangannya telah merabah gagang pedangnya. Tan Hong menghela
napas. "Inilah yang dikatakan, kalau bukannya musuh, kita tak dapat berkumpul bersama!"
katanya dengan duka. "Adik kecil, baiklah kau bunuh saja aku! Binasa ditanganmu,
mati pun aku tak menyesal, tak penasaran....."
Justeru itu gledek menggelegar, kilat menyambar, dengan terangnya cahaya kilat
itu, Tan Hong tampak wajah In Loei pucat pasi, sedang matanya berlinangkan air
mata. Dengan menyender pada batu, si nona pegangi tali bajunya, sedang pedangnya
telah tercabut separuh, suatu tanda ia ingin menghunusnya tetapi tertunda.
Dengan lenyapnya cahaya kilat itu, goa pun menjadi gelap kembali.
Dalam kegelapan itu, terdengarlah suara napasnya si nona In. Sampai sekian lama,
masih tidak terdengar jawabannya atas perkataannya si anak muda.
Tan Hong keluarkan rangsum keringnya.
"Adik kecil, mari dahar," ia mengundang.
In Loei tetap menyender, sedikit jua tubuhnya tak bergeming.
Masgul Tan Hong menampak sikap orang itu, tetapi dengan paksakan ia tertawa
geli. "Adik kecil, kali ini tidak akan aku katakan kau menganglap makanan!" katanya
bergurau. "Mari dahar!"
Pemuda ini mengharap si nona gembira, tidak tahunya, "Plok!" tangannya kena
disampok nona itu, rangsum keringnya jatuh ke tanah. Ia jadi sangat menyesal,
dengan tertawa meringis, ia punguti rangsum kering itu, yang terus ia letakkan
di atas batu. In Loei sangat berduka, hatinya pepat sekali, hingga ingin ia menangis, tetapi
tidak dapat ia perdengarkan suaranya, air matanya pun tidak mau mengucur keluar.
Di dalam kegelapan itu, ia dengar helaan napas dari anak muda di depannya.
"Pembalasan sakit hati..... pembalasan sakit hati....." kata si anak muda,
suaranya perlahan. "Sakit hati saling balas, bilakah itu akan berakhir" Leluhurku dengan Tjoe Goan
Tjiang telah memperebutkan negara, dia telah mewariskan surat wasiat yang
memesan supaya anak cucunya mewakilkan dia menuntut balas..... Meskipun
demikian, pesan pembalasan keluargaku itu bukannya dimaksudkan menuruti hawa
napsu saja membunuh musuh tetapi yang paling utama adalah berdaya untuk merampas
kerajaan Beng" In Loei dengar itu, tubuhnya bergidik. "Memang benar, saling balas ini ada hebat
sekali, begitu dahulu, begitu sekarang ia berpikir. "Jikalau keluarga Thio dapat
membalas sakit hatinya, bukankah mereka akan membinasakan segenap orang kota,
hingga darah mengalir diseluruh tegalan....."
"Jikalau Thio Tan Hong, untuk pembalasannya itu, bersekutu dengan bangsa Watzu,
tentera siapa ia bawa masuk ke Tionggoan untuk menggempur kerajaan Beng, maka
dia adalah satu manusia yang paling berdosa....." ia memikir pula. "Jikalau itu
sampai terjadi, aku pun tidak akan memberi ampun padanya!....."
Hebat nona ini berpikir, tanpa merasa, tangannya telah meraba pula gagang
pedangnya. Tapi segera ia dengar pula suara orang.
"Leluhurku menyingkir ke negeri Watzu," demikian Tan Hong berkata, seorang diri.
"Ketika itu bangsa Mongolia sedang lemahnya, di bahagian dalam, mereka terpecah
belah. Ketika itu juga tentera kerajaan Beng berulang kali datang menyerbu,
melakukan perampasan. Di samping itu, kerajaan Beng juga meminta bangsa Mongolia
setiap tahun mengantar upeti. Hal ini membuatnya bangsa Mongolia menjadi sangat
bersakit hati, merasa penasaran dan bergusar sangat, hingga mereka memikir untuk
mencari balas..... Ha, manusia terhadap manusia, Negara terhadap negara, mengapa
di antara mereka ada demikian banyak dendaman" Mengapa mereka hendak saling
menuntut balas" Sungguh aku tidak mengerti! Kenapa mereka tidak hendak saling
memperlakukan sama rata, sama derajat, untuk hidup damai satu dengan lain?"
Tertarik hati In Loei mendengar kata-kata itu.
"Leluhurku dan marhum raja Watzu sama-sama memikir untuk mencari balas," Tan
Hong berkata pula, "mereka hendak mencari balas terhadap kerajaan Beng. Oleh
karena minatnya itu, leluhurku telah memangku pangkat di dalam negeri Watzu.
Setiap hari bangsa Watzu itu jadi semakin kuat.
Berbareng dengan itu, pangkat leluhurku juga setiap waktu menjadi terlebih
tinggi. Demikian, setelah turun sampai pada
ayahku, bukan saja ayah telah diwariskan pangkat leluhurku itu, malah belakangan
dia diangkat menjadi Yoe sinsiang, perdana menteri muda."
Belum selesai Tan Hong dengan kata-katanya itu, tidak peduli tidak ada orang
yang melayani ia bicara, karena si nona tetap bungkam, ia melanjutkan pula:
"Ayahku ingat baik-baik sakit hati itu, maka itu terhadap anak cucunya Tjoe Goan
Tjiang, juga terhadap mereka yang sangat menyintai kerajaan Beng, dia mendendam
hebat sekali, sampai meresap ke tulang-tulangnya!.....
Pada tiga puluh tahun yang lampau ketika engkong-mu diutus ke negeri Watzu," ia
menambahkan kepada In Loei, "di sana ia selalu mengutarakan bahwa dia adalah
menteri yang sangat setia dari kerajaan Beng. Mendengar itu, ayahku menjadi naik
darah, maka ayah segera menahan engkong-mu itu, engkong-mu itu dipaksa berdiam
di daerah es dan salju, ia hidup dengan mengembala kuda sampai dua puluh tahun
lamanya!....." In Loei kertek giginya. Kata-kata Tan Hong membuat ia berpikir keras.
"Engkong telah menderita selama dua puluh tahun," ia berpikir, "karena sakit
hati itu, engkong menginginkan supaya sekeluarga Thio dibunuh semua. Tapi
kerajaan Beng telah merampas negara leluhurnya, tidak heran kalau keluarga Thio
jadi sangat bersakit hati, sampai karenanya, engkong-ku turut terlibat. Sungguh
ini ada dendaman turun temurun..... Dapatkah aku tak mempedulikan sakit hati
leluhurku itu" Engkong ingin turunannya membalas dendam, bolehkah aku
membiarkannya?" In Loei cekal gagang pedangnya akan tetapi pikirannya sangat ruwet.
"Engkong-mu itu mengembala kuda di antara es dan salju sampai dua puluh tahun
lamanya, selama itu tidak pernah dia hendak tunduk," terdengar Tan Hong mulai
berkata pula. "Oleh karena itu kemudian ayahku pun tertarik hatinya dan
mengagumi kekerasan hati dari engkong-mu itu. Ayahku pernah berceritera
kepadaku tentang hikayat engkong-mu itu. Ayah katakan ketika engkong-mu secara
diam-diam minggat pulang ke negerinya, sebelumnya ayahku telah mengetahui,
sekalipun demikian, ayah sengaja tidak mengirim pasukan tentera untuk mencegah,
engkong-mu dibiarkan dapat menyingkir. Malah ayahku pun berkata, ketika itu ayah
telah tugaskan Tantai Tjiangkoen menyampaikan kepada ayahmu tiga pucuk surat
tertutup untuk menolong engkong-mu dari ancaman bahaya maut. Hanya saying
sekali, engkong-mu tidak sudi mempercayainya, hingga dengan begitu engkong-mu
telah mensiasiakan maksud hati baik dari ayahku itu hingga ayah merasa kecewa."
In Loei mendengar, ia bersangsi. Benarkah cerita Tan Hong ini" Masih ia
membungkam. Masih ia pegangi gagang pedangnya.
Tan Hong menghela napas. "Memang perbuatan ayahku terhadap engkong-mu ada keterlaluan," ia berkata pula,
"maka itu tidaklah heran kalau engkong-mu tidak mempercayai maksud baik dari
ayahku itu. Orang tua marhum telah berhutang, sudah selayaknya turunannya
membayar hutang itu! Maka juga tidak mengherankan bahwa kau jadi membenci sangat
padaku! Ah....." In Loei tetap membungkam. Si anak muda melanjutkan pula: "Negeri Watzu itu
setiap hari bertambah kuat, karenanya kerajaan Beng, selanjutnya tidak berani
menghina pula. Malah kemudian, keadaan menjadi berbalik.
"Pada sepuluh tahun yang lalu, guruku telah datang ke negeri Watzu. Mulanya
terdengar kabar, guruku itu datang hendak melakukan pembalasan untuk engkong-mu
itu, akan tetapi kemudian, ia berbalik menjadi guruku. Dialah yang mengingatkan
aku bahwa aku adalah bangsa Tionghoa, bahwa karenanya tidak dapat aku pandang
Tionggoan sebagai musuh! Belakangan, setelah datangnya guruku itu, perangi
ayahku telah berubah. Sering aku lihat ayahku di waktu malam, menumbuki dadanya
sendiri, seorang diri ia suka jalan mengitari kamarnya. Pernah ayahku mengoceh
seorang diri, katanya: "Membalas dendam! Membalas dendam!
Harus atau tidak aku membalasdendam?" Dalam keadaan itu, ayah tampak beringas,
sikapnya menakutkan. Pernah beberapa kali aku hiburi ayah, tapi ia menjadi
gusar, dia deliki aku! Dia kata, "anak, kau mesti ingat sakit hati leluhurmu
yang bagaikan gunung besarnya!"
"Kau tahu dengan cara bagaimana sekarang aku pulang ke Tionggoan" Sebenarnya aku
telah membolos. Dari semua orang, melainkan guruku seorang yang mengetahuinya.
Guruku telah menjelaskan segala apa mengenai kaum Rimba Persilatan di Tionggoan.
Kau harus ketahui, aku adalah bangsa Tionghoa, pasti aku tidak akan membantu
bangsa Watzu menyerbu Tionggoan! Akan tetapi, aku juga hendak menuntut
balas....." "Bagaimana kau hendak membalasnya?" In Loei tergerak hatinya, hingga ia bertanya
demikian. "Setelah aku sampai di Tionggoan, yang pertama-tama aku lakukan ialah membuat
penyelidikan," sahut Tan Hong. "Aku telah melihat jelas, pemerintahan kerajaan
Beng sesungguhnya telah jadi buruk sekali. Maka itu, untuk menuntut balas,
nampaknya tidak ada kesukarannya. Apa bila aku mendapatkan peta bumi serta harta
yang terpendam, maka dengan menggunakan pengaruh uang itu aku kumpulkan kawan
sekerja, untuk kemudian mengerek bendera, dengan demikian tidaklah sukar untuk
merampas kerajaan Beng!" In Loei terperanjat.
"Apakah kau berniat menjadi kaisar?" dia tanya. Thio Tan Hong tertawa.
"Kaisar pun asalnya rakyat jelata!" dia kata. "Negara dari satu keluarga, dari
satu she, dapatkah itu dipegang kekal untuk beratus abad" Jikalau aku dapat
merampas kerajaan Beng, bukan saja aku hendak menjadi raja....."
"Apakah itu untuk mencari balas?" In Loei tanya pula.
"Juga bukan hanya untuk membalas dendam!" jawab Tan Hong. "Andaikata berlaksa
negara di kolong langit ini tidak menggerakkan senjata, bagaimana baiknya"....."
Ia berhenti sebentar, ia tertawa
bergelak. Lalu ia bersenanjung: "Berapakah usianya manusia" Negara aman,
bagaimana dapat ditunggu" Coba muncul satu nabi, bukankah persamaan kekal abadi
untuk berlaksa abad" Haha! Jikalau dapat aku mencapai keinginan hatiku, untuk
apa aku mesti menjadi kaisar?"
Di tempat gelap seperti itu, In Loei tidak tampak wajah orang, akan tetapi dapat
ia merasakan hati besar orang itu.
"Kau menjadi kaisar atau tidak, itulah tidak aneh!" ia campur bicara. Tak
sanggup dia untuk terus membungkam. "Hanya jikalau kau bercita-cita merampas
Negara yang luasnya sembilan laksa lie dari kerajaan Beng, maka kau
menghendakinya atau tidak, aku kuatir kau toh akan membunuh seluruh orang kota


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga darah mengalir seluas tegalan! Sekarang ini bangsa Mongolia hendak
menyerbu, jikalau kau memusuhi kerajaan Beng, bukankah kau jadi membantu bangsa
Watzu itu?" Ditanya begitu, Tan Hong berdiam sebentar.
"Adik kecil, kata-katamu beralasan juga," ia menyahut dengan perlahan. "Adik
kecil, kakakmu suka mendengar perkataanmu. Jikalau kau tidak mengijinkan aku
menjadi kaisar, aku suka tidak menjadi kaisar. Adik kecil, katakanlah, akan aku
turut kau." Halus suara pemuda ini, enak didengarnya. Maka merahlah muka In Loei, ia jengah
tetapi iapun girang. Tiba-tiba saja ia gerakkan sebelah tangannya, akan tolak
tubuh orang. "Siapakah yang inginkan kau dengar perkataanku!" dia bentak, suaranya gusar.....
"Bagaimana" Kembali kau gusar....." kata Tan Hong.
Si nona diam, tidak ia menyahuti.
Tan Hong menghela napas, tangannya diulurkan ke batu di mana ia taruh rangsum
keringnya. Ia dapatkan batu telah kosong. Rangsum itu telah dimakan si nona!
Selama mendengarkan orang berceritera, tanpa merasa, In Loei dahar rangsum itu.
Pernah ia insaf bahwa "tidak selayaknya" ia makan rangsum itu, tidak tahunya ia telah
dahar hingga potongan yang terakhir!
Diam-diam Tan Hong tertawa dalam hatinya. Ketika ia awasi si nona, di tempat
yang gelap itu ia hanya tampak sepasang matanya yang bersinar hidup bagaikan
bintang di malam gelap gulita.
"Adik kecil, sudah waktunya untuk kau tidur," Tan Hong kata kemudian. Lalu,
dengan perlahan, ia nyanyikan sebuah lagu halus.
In Loei lelah dan ngantuk, ia telah dahar cukup, mendengar lagu itu, hatinya
tertarik, di luar tahunya, ia meramkan matanya.....
Tan Hong, dengan pedang di tangan, bertindak ke mulut goa, untuk menjadi
centeng..... Hujan sudah berhenti akan tetapi di malam buta, tentera pahlawan tidak berani
mendaki bukit untuk mengejar terus orang-orang yang menyingkirkan diri itu. "
Pemuda itu pun lelah dan ngantuk, akan tetapi untuk menjaga In Loei, ia kuatkan
hati untuk tinggal melek. Tidak berani ia tidur.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan In Loei: "Engko..engko.....Engkong,
engkong......" "Ya," sahut si anak muda. Habis itu, ia tidak dengar apa-apa lagi. Ia berpaling
ke dalam tapi In Loei diam terus, cuma suara napasnya terdengar perlahan.
"Dia ngigo....." kata si anak muda, yang terus bertindak ke dalam, akan membuka
baju luarnya, baju mana ia pakai menyelimuti tubuh si nona, tanpa nona itu
sadar. Kemudian ia kembali ke mulut goa di mana ia duduk mendeprok.
In Loei tengah bermimpi. Ia lihat Thio Tan Hong melenggakkan kepalanya dan
tertawa panjang, tetapi ketika si anak muda mengusap-usap gambar lukisannya,
tiba-tiba dia menangis sedih dan kemudian, dia bernyanyi dengan nada tinggi.
Heran In Loei atas tingkah laku orang, ia pun merasa kasihan. Maka ia
menghampirinya, ia pegang pundak orang. Di saat itu ia tampak
engkong-nya menghampiri dia, tangan engkong itu menyekal tongkat bamboo yang ada
bulunya. Bengis roman si engkong ketika ia nyelak di antara kedua orang itu,
terus dia angkat tongkatnya, dipakai mengemplang!
"Engko, tolong!" teriak In Loei dalam mimpinya itu.
Segera nona ini lihat soetjiat, yaitu tanda kebesaran ditangan engkong-nya,
telah berubah menjadi surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dengan surat
wasiat itu, sang engkong tutupi kepala cucunya, sambil mendamprat: "Siapakah
engko-mu" Lekas kau bunuh dia?"
Waktu itu In Loei endus baunya darah yang berbau bacin, yang berulang kali
menyerang hidungnya, hingga hampir tak kuat ia menahannya. Lebih celaka lagi, ia
tidak dapat berteriak, maka akhirnya, sadarlah ia dari tidurnya, dari mimpinya
yang hebat itu. Mengawasi ke mulut goa, si nona tampak sorot matahari yang melusup disela sela.
Ia mengawasi, ia tenteramkan hatinya, yang berdenyut. Begitu ia merasa tenang,
ia dapatkan tubuhnya berkerudung baju Tan Hong. Segera ia rasakan pipinya panas,
hatinya pun memukul. Lantas ia turunkan baju itu, terus iajalan perlahan, menuju
ke mulut goa. Tan Hong tengah duduk dibatu, ujung pedangnya menunjang tanah, kepalanya
ditundukkan. Karena ngantuknya anak muda ini tidak sanggup bertahan lagi, ia
ngelenggut, mendekati terang tanah, ia tertidur juga.....
Kembali surat wasiat kulit kambing yang berdarah berkelebat di mata In Loei,
terus saja ia cekal keras gagang pedangnya. Di dalam hatinya, nona ini berkata:
"Jikalau aku hendak tikam dia, inilah ketikanya yang baik. Ah, ah, mengapa aku
berpikir begini macam" Engkong, engkong," ia mengeluh, "engkong, jangan paksa
aku, jangan paksa aku!....."
Samar-samar In Loei seperti lihat engkong-nya mendatangi dengan tangannya masih
memegang soetjiat, tepat seperti di waktu ia bermimpi, mata engkong-nya itu
bengis. "Mustahilkah aku masih bermimpi?"
Sambil menanya begitu dalam hatinya, In Loei terus gigit jari tangannya. Kontan
ia merasakan sakit. Maka terang sudah, ia bukan tengah bermimpi pula. Tapi,
kalau itu bukannya impian, kenapa ia seperti sedang bermimpi, ia bagaikan belum
sadar" Kalau ia sadar, sungguh hebat penderitaannya ini. Ia tengah menghadapi
musuhnya, yang engkong titahkan ia bunuh!
"Jikalau aku lepaskan ketika yang baik ini, aku tidak binasakan orang keluarga
Thio, apakah engkong di alam baka tidak sesalkan aku?" demikian ia tanya
dirinya. Dengan tangan pada gagang pedang In Loei maju lagi dua tindak, tiba-tiba ia
masukkan satu jari tangannya ke dalam mulut, ia menggigit, kembali ia merasakan
sakit. Kali ini ia sadar benar-benar, di depan matanya tidak lagi terbayang
engkong nya. Maka pedang, yang ia telah cabut, ia masukkan pula ke dalam
sarungnya. Sebaliknya daripada menikam pemuda itu, adalah baju orang yang ia
keredongkan kepada pemiliknya.....
Thio Tan Hong merasa tubuhnya tersentuh, ia segera lempangkan tubuhnya, lantas
ia lompat bangun. Segera ia tertawa.
"Eh, adik kecil, pagi-pagi begini kau sudah bangun?" dia tanya. "Kenapa kau
tidak tidur pula?" In Loei gigit bibirnya, mukanya menjadi pucat.
Tan Hong awasi pemudi ini, matanya bersinar halus, ia nampaknya sangat
mengasihani si nona. Nona In lihat sinar mata orang itu, ia tampak wajahnya yang sangat simpati, luka
hatinya, hingga hampir ia menangis. Lekas-lekas ia putar tubuhnya, untuk tidak
mengawasi lebih jauh pemuda itu.
Tan Hong menghela napas, terus ia memandang ke arah bawah bukit. Ia lihat
beberapa puluh pahlawan Kimie wie, bersama-sama dengan serdaduserdadu Gielim
koen, mereka terpecah dalam beberapa rombongan, mereka tengah mendaki bukit.
Terang sekali mereka hendak mencari terlebih jauh kedua orang yang mereka sedang kepung-
kepung. Bingung juga si anak muda. Tidak sukar menggempur beberapa puluh pahlawan. Tidak
demikian dengan kurungan di bawah bukit itu, di mana, tertampak bendera bendera,
suatu tanda dari pengurungan yang rapat. Car bagaimana kurungan itu dapat
ditoblos" Selagi anak muda ini berpikir keras, ia lihat kawanan pahlawan sudah sampai di
tengah bukit. Ia lantas sambar tangannya In Loei, untuk diajak lari ke belakang
satu batu besar. Makin lama rombongan pahlawan datang makin dekat. Sekonyong-konyong terdengar
seruannya Thio Hong Hoe: "Keluar! Keluar kamu! Aku telah melihat padamu! Hendak
aku bicara dengan kamu!"
Hati Tan Hong bercekat. Thio Hong Hoe adalah satu jago dari kota raja. Ia tidak
sangka orang dapat datang demikian cepat, malah dialah yang pimpin rombongan
pahlawan dan serdadu istana itu untuk menggeledah bukit.
Dengan golok Biantoo-nya, Thio Hong Hoe menuding ke atas bukit, kembali ia
perdengarkan suaranya yang nyaring: "Kenapa kamu main sembunyi-sembunyian"
Begitukah kelakuannya satu hoohan"....."
Kali ini belum Hong Hoe menutup mulutnya atau satu orang, bagaikan bayangan,
telah lompat muncul, bajunya berkibar-kibar ditiup angin. Di tangannya terhunus
pedang. "Thio Thaydjin gagah perkasa!" demikian orang itu - ialah Thio Tan Hong -
berkata sambil tertawa, "kau telah pimpin beribu-ribu serdadu dan kuda, kau juga
telah menyerang bukit ini, sungguh kau satu hoohan1." Melengak Thio Hong Hoe,
mukanya menjadi merah secara mendadak. Itulah sindiran hebat.
"Jangan kau memancing kemurkaanku!" katanya kemudian. Dapat ia tenangkan diri.
"Meski benar di bawah gunung ini ada
pasukan perang yang berjumlah besar, kamu sebenarnya boleh berurusan dengan aku
si orang she Thio saja!"
Thio Tan Hong kibaskan pedangnya. Ia tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya dengan gembira. "Kalau begitu, silakan kau kemukakan
syarat-syaratmu!" Thio Hong Hoe tidak lantas sambut tantangan itu, ia hanya
mengawasi dengan tajam kepada dua orang itu. Waktu itu In Loei pun turut
munculkan diri. "Aku lihat kamu bukan orang-orang Jalan Hitam," katanya. "Sebenarnya kamu
mempunyai hubungan apa dengan Tjinsamkay Pit To Hoan?"
"Tentang hubungan itu, tak usah kau mengetahuinya," jawab Tan Hong. "Baik kita
jangan ngobrol saja! Mari kita bertempur sampai tiga atau lima ratus jurus!
Bagaimana andaikata kau tidak mampu mengalahkan aku?"
Tan Hong merasa, dalam tenaga dalam, ia kalah dari komandan Kimie wie itu, akan
tetapi dalam hal ilmu pedang, ia menang di atas angin, maka ia percaya, dengan
bertanding sekian banyak jurus, mestinya mereka seri. Ini ada baiknya untuknya.
Ia tahu Thio Hong Hoe kagumi dirinya sendiri, sengaja ia gunakan kata kata itu
untuk membangkitkan kemendongkolan orang.
Kembali Thio Hong Hoe lirik kedua orang itu.
"Tidak usah kita bertanding satu lawan satu!" katanya dengan jumawa. "Kamu boleh
maju berdua berbareng!"
Tan Hong tertawa dingin. "Kalau begitu maka sejak ini Kengsoe Samtoa Khotjioe akan tinggal dua orang
saja!" katanya secara menghina. (Kengsoe Samtoa Khotjioe berarti "tiga jago
terbesar dari kota raja.") Dengan perkataan ini Tan Hong artikan, bahwa ia
berdua In Loei mengerubuti komandan Kimie wie itu, sudah pasti si komandan akan
terbinasa. Thio Hong Hoe tidak kena dipancing, dia tertawa.
"Aku lihat itulah tidak mudah!" katanya. "Ilmu silat kamu berdua telah aku
lihat, jikalau kita bertanding satu lawan satu, mungkin kau dapat bertahan
sampai lima ratus jurus. Kau majukan tantanganmu ini, mengerti aku maksudmu.
Sudah tentu aku tidak sudi dipedayakan!"
"Sungguh orang ini liehay!" kata Tan Hong dalam hatinya. Ia bercekat. "Tahu
pihak sana, tahu pihak sendiri, demikian pepatah. Pikiran dia sama dengan
pikiranku." Lantas dia menyahuti: "Kalau begitu baiklah kita tidak mengadakan
batas lima ratus jurus itu! Mari kita bertempur satu lawan satu. Kau boleh
utarakan syaratmu!" Thio Hong Hoe sebutkan syaratnya, ia kata: "Tentang sahabatmu ini, dengan ilmu
silatnya, mungkin dia dapat bertahan sampai seratus jurus, maka itu, baiklah
kita atur begini: Kamu berdua maju bersama, kita bertempur sebanyak lima puluh
jurus. Jikalau kamu yang peroleh kemenangan, nanti aku pujikan kamu supaya kamu
diangkat menjadi boe kiedjin tahun ini, untuk itu kamu tidak usah diuji pula!"
Thio Tan Hong tertawa bergelak.
"Untuk kami berdua menangkan kau, itulah gampang, sama seperti kita membalikkan
tangan!" katanya. "Perlu apa menunggu sampai lima puluh jurus" Malah dalam lima
jurus, bila kami tidak dapat mengalahkan kau, kau boleh perbuat sesukamu atas
dari kami! Jikalau dalam lima jurus kami menangkan kau, kami tidak kemaruk
dengan gelaran boe tjonggoan-mu, apapula boe tjinsoel Untuk kami, air ada biru,
gunung ada hijau, di belakang hari masih dapat kita bertemu pula!"
Inilah ejekan untuk Hong Hoe, dia dipancing kegusarannya. Dengan itupun Tan Hong
maksudkan, andaikata mereka berdua yang menang, maka Thio Hong Hoe mesti
membiarkan mereka angkat kaki tanpa gangguan. Sementara itu Hong Hoe mempunyai
maksud, ia berkeras hendak tempur kedua orang ini. Kemarin ia tidak berhasil
mengejar Pit To Hoan, ketika ia kembali, ia tampak Hoan Tiong dan Khoan Tiong
mendapat luka. Ia menjadi kaget.
"Apa yang telah terjadi?" ia tanya kedua kawan itu.
Hoan Tiong dan Khoan Tiong tuturkan pengepungannya terhadap Tan Hong dan In
Loei, mau atau tidak, mereka mesti puji ilmu silat kedua orang yang hendak
ditawan itu. Pada waktu berkatakata, mereka ini nampaknya masih jeri.
Mendengar itu, Thio Hong Hoe menjadi sangat heran, hingga ia berpikir.
"Dari mereka berdua, si mahasiswa berkuda putih nampaknya yang lebih liehay,
kelihatannya dia melebihi satu tingkat daripada Hoan Tiong dan Khoan Tiong,
tetapi, dengan berkelahi bersama, dalam tujuh puluh jurus, tidak heran apabila
mereka dapat mengalahkan kedua sahabat ini. Yang aneh adalah mereka dapat
merebut kemenangan dalam beberapa jurus saja!"
Hong Hoe adalah ahli silat kenamaan, ia tahu bagaimana peryakinan ilmu silatnya,
maka, mendengar ada orang yang demikian liehay, timbullah keinginannya untuk
mencoba-coba kepandaian orang itu. Demikian ia majukan tantangannya. Benar benar
ia tidak percaya, di dalam lima puluh jurus ia akan dapat dikalahkan. Tapi
sekarang ia dengar Tan Hong mengatakan lima jurus, bukan main mendongkolnya ia.
Meski demikian, ia tertawa terbahak-bahak, goloknya diacungkan.
"Baiklah!" serunya. "Sekarang jurus yang pertama! Kamu sambut!"
Segera golok berkelebat, kelihatannya seperti ke kiri dan ke kanan. Hong Hoe
telah menggunakan jurus "Lioeseng siantian" atau "Bintang sapu menyambar, kilat
berkelebat." Serangan itu ditujukan ke arah kedua lawannya.
In Loei menyender di lamping batu, ia bagaikan orang tak sadar akan dirinya, Tan
Hong lihat keadaan orang, dia menyerukan: "Adik kecil, lekas keluarkan
kepandaianmu!" Tan Hong tidak hanya berteriak, berbareng dengan kata-katanya itu, tubuhnya
mencelat ke depan In Loei, pedangnya digerakkan
dalam gerakan "Memotong sungai." Dengan itu ia tangkis serangan pertama dari
Hong Hoe. Golok menyerang, pedang menangkis, maka itu, keduanya bentrok keras, suaranya
nyaring, tetapi golok Hong Hoe benar-benar liehay, sekalipun ditangkis,
sambarannya tak kehilangan sasarannya, masih ujung golok bergerak ke arah In
Loei.Nona In sudah lantas menangkis, habis itu tubuhnya limbung, ia mundur dua
tindak. Tidak berhasil ia mencegah serangan Hong Hoe itu. Coba Tan Hong tidak
mendahului menangkis, mungkin pedangnya terlepas dan terpental dari cekalannya.
Thio Hong Hoe lihat ia berhasil, ia tertawa berkakakan.
"Kiranya ilmu pedang kamu cuma sebegini!" katanya dengan mengejek.
"Hati-hati, kamu sambut golokku! Inilah jurusku yang kedua, namanya "Pathong
hongie", yaitu "Angin dan hujan di delapan penjuru"! Kamu mesti menyambutnya
dengan pedang berbareng! Aku memberitahukan ini supaya jangan nanti kamu
sesalkan aku!....." In Loei tidak sadar akan adanya bahaya meskipun ia telah dihajar hingga
sempoyongan dan mundur, sepasang matanya yang tadinya hidup sekarang lenyap
sinarnya. Tan Hong lihat keadaan orang itu, ia segera membisiki: "Adik kecil, meskipun kau
membenci aku tapi sekarang mesti kita mundurkan dulu musuh ini! Kau boleh
sayangi jiwamu, agar di belakang hari dapat kau mencari balas terhadapku! Oh,
adik tolol!....." Adalah di saat itu, serangan yang kedua dari Hong Hoe telah tiba, sinar golok
itu berkelebatan menyilaukan mata. Serangan itu ada jurus yang paling liehay
dari ilmu silat "Ngohouw toanboen too" atau "Lima ekor harimau mencegat pintu".
Sudah tentu jurus ini ada terlebih liehay daripada yang pertama.
Tergerak hati In Loei, tetapi air matanya segera mengembeng. Tapi sekarang ia
tidak lagi sedungu tadi. Ia angkat pedangnya, dengan putarkan itu, ia menangkis.
Perbuatannya ini diturut dengan gerakan serupa dari Thio Tan Hong. Maka itu,
berangkaplah pedang mereka masing-masing. Dan gagallah serangan Hong Hoe yang
kedua kali itu. "Bagus!" seru komandan Kimie wie itu, "Benar-benar bagus cara kamu menangkis
ini! Sekarang sambutlah lagi yang ketiga!"
Hong Hoe maju satu tindak, golok Biantoo dimajukan, bukan sejurus, tapi kembali
ke kiri dan ke kanan, cepatnya luar biasa. Itu pun ada jurus "Hoenhoa hoetlioe"
yaitu "Memisah bunga, mengebut yanglioe". Halus mulanya, keras akibatnya. Dengan
cara ini, ia menyerang sambil membela diri. Serangan juga disusul dengan tertawa
nyaring dan panjang. In Loei gerakkan tangannya, maka menyambarlah Tjengbeng kiam, diikuti berbareng
dengan pedangnya Tan Hong, hingga kedua pedang kembali berangkap jadi satu
dengan apa golok lawan dapat ditutup!
Kali ini baharulah Thio Hong Hoe terkejut, hatinya bercekat. Lekas-lekas ia
tarik goloknya, untuk dipakai melindungi diri. Ia telah kerahkan tenaganya,


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena goloknya itu terjepit keras. Ia berhasil juga menarik goloknya akan
tetapi ia mesti mundur dengan limbung, napasnya pun memburu. "Bagus, tak kecewa
ia menjadi orang kosen nomor satu di kota raja," Tan Hong memuji di dalam
hatinya. Sementara itu ia telah memasang mata tajam. Hong Hoe telah memasang
kuda-kuda "Poetteng poetpat," goloknya melintang di depan dadanya, kedua matanya
dibuka lebar-lebar, sinar matanya masih menunjukkan kagetnya tadi.
Tan Hong kerutkan alisnya. Ia berpikir: "Orang ini luas pengalamannya, sekarang
ia ambil sikap membela diri, dengan lagi satu jurus, belum tentu dia dapat
dikalahkan....." Setelah memasang kuda-kudanya itu, tenang hatinya Thio Hong Hoe. "Aku telah
menyerang tiga kali, masih ada satu kali lagi!" ia
berseru dengan nyaring. "Habis itu, akan aku biarkan kamu berlalu terlebih
dahulu! - Kamu sudah siap" Bagus! Sambutlah!"
Thio Tan Hong melirik pada In Loei, kali ini ia tampak kedua matanya bersinar
tajam. Itulah sinar mata yang wajar, nyata keadaan si nona telah pulih kembali.
Dengan sinar mata demikian, In Loei tengah mengawasi musuh.
Menampak demikian, Tan Hong dapat harapan. Tiba-tiba saja ia berseru, terus ia
maju menyerang. Perbuatan ini dengan serentak diturut In Loei, hingga mereka
jadi maju berbareng, kedua pedang berkelebatan, ujungnya menikam.
Thio Hong Hoe mendak, goloknya dilintangkan, dipakai menangkis kedua pedang
lawan. Habis itu, ia putar tubuhnya, goloknya tergerak pula, disusul dengan
mencelatnya tubuhnya. Tan Hong tak sangka orang ada demikian sebat, di dalam hatinya, ia mengeluh:
"Celaka..... kalau ini gagal, dia lolos, dengan begitu lewatlah jurus ke empat,
kita mesti mengaku kalah....."
Maka itu, hendak ia lanjutkan serangan- nya. Untuk itu hendak ia menangkis dulu,
baharu ia menikam. Selagi Tan Hong memikir demikian, In Loei telah bekerja.
Sekonyong-konyong Hong Hoe menjerit, disusul, dengan rubuhnya tubuhnya.
In Loei telah berlaku sangat sebat, selagi pedang Tan Hong melayani golok lawan,
ia menyambar kaki orang, tepat ujung pedang itu mengenai sasarannya, maka bahna
kaget dan sakit, jago dari kota raja itu tak dapat injak tanah lagi.
Tan Hong terkejut karena herannya. Ia menduga, dengan mencelatnya Hong Hoe,
pedang In Loei akan menemui tempat kosong seperti pedangnya sendiri.
Dengan lompatan "Lehie tateng" atau "Ikan gabus meletik," Hong Hoe mencelat
bangun, terus ia pandang kedua lawannya dengan menyeringai. Ia mengibaskan
sebelah tangannya, lalu ia
berkata: "Benar liehay sepasang pedang kamu! Sekarang kamu boleh pergi!"
Khoan Tiong sudah mendampingi kawannya ini.
"Toako, secara demikian mudah kau membebaskan mereka?" ia menegur.
"Ya," jawab Hong Hoe. "Koentjoe itgan, koayma itpian! Biarkan mereka pergi!"
Khoan Tiong seperti menggerutu "Koentjoe itgan,
koayma itpian" - "Gentleman dengan sepatah kata, kuda jempolan dengan satu
cambukan," tapi ia berdiam tidak berani ia mengucapkan kata-kata.
"Mereka bukannya orang-orang Jalan Hitam!" kata Hong Hoe pula. "Dengan
melepaskan mereka, kita tidak mendapat salah. Kenapa kita mesti serakahkan jasa
semacam ini?" Merah wajahnya Khoan Tiong.
"Oleh karena kau yang menanggung jawab, toako, kita tidak dapat berkata apa apa
lagi" katanya. Hong Hoe segera berikan titahnya untuk memberi jalan kepada kedua anak muda itu.
Thio Tan Hong menghormat pada komandan Kimie wie itu.
"Dua kali kita telah bertempur, masih belum tahu aku she dan namamu," berkata
Hong Hoe. "Sebenarnya kau datang dari mana?"
Tan Hong bersikap lesu, ia menguap.
"Kau orang she Thio, aku juga orang she Thio," sahutnya. "Thio kau tidak sama
dengan Thio aku, akan tetapi pada lima ratus tahun yang lalu, kita berasal dari
satu keluarga. Maka itu, baiklah aku panggil kau toako. "Toako," ia tambahkan,
"adikmu telah lelah sekali, di sini pun banyak orang dan berisik, tidak dapat
aku tidur di sini, karenanya, maafkan aku, tak dapat kami temani kau lebih lama pula....."
Wajah Khoan Tiong berubah pula menjadi merah, tidak demikian dengan Thio Hong
Hoe, dengan sikap wajar dia malah tertawa.
"Kau jumawa, kau juga gagah, tidak kecewa aku mendapatkan saudara satu she
sebagai kau!" ia kata. "Baiklah saudara, kau boleh pergi!"
Tan Hong segera bersenanjung: "Jikalau masih ada sifat orang kangouw, orang
menjadi jenderal pun tidak kecewa..... Air biru, gunung hijau, di belakang hari
nanti kita bertemu pula, saudara, aku pergi!" ia tambahkan. Terus ia tuntun
tangan In Loei untuk diajak turun gunung di mana tidak ada satu serdadu juga
yang merintangi mereka. Di sepanjang jalan, In Loei terus bungkam. Setelah melalui kira-kira tujuh lie,
mereka tinggalkan tentera negeri jauh sekali di belakang mereka. Di depan mereka
terdapat jalan simpang tiga, di situ Tan Hong menguap.
"Adik kecil, mari kita cari tempat untuk beristirahat dulu," ia kata pada
kawannya. "Jalan yang di tengah ini untuk ke kota Tjengteng, yang di kiri untuk
ke kota Loanshin. Aku pikir, baik kita menuju ke Tjengteng saja."
In Loei kebutkan bajunya.
"Kau ambil jalanmu, aku ambil jalanku!" ia menyahut dengan dingin. Tan Hong
melengak. "Demikian rupa kau benci aku?" dia tanya. In Loei menyingkir dari pandangan
orang, ia kerutkan alis. "Aku haturkan terima kasih yang kau telah menolong aku," si nona berkata pula,
"akan tetapi permusuhan kita kedua keluarga, tidak ada jalan untuk
memecahkannya!..... Ah, siapa suruh engkong menutup mata siang-siang, coba ia
masih hidup, mungkin aku dapat menasehati supaya dia mengubah pikirannya.....
Sekarang sudah tidak dapat lagi..... Pesan dari leluhur, cara bagaimana
turunannya dapat menentangnya"..... Ah, ini dia takdir....."
"Aku tidak percaya takdir!" kata Tan Hong, tegas.
"Kalau kau tidak percaya, habis kau mau apa?" si nona tanya. "Baiklah, kau boleh
pergi! Jikalau kau menuju ke timur, nanti aku menuju ke barat!"
Wajah Tan Hong tampaknya muram.
"Jikalau sudah pasti kau hendak menuntut balas, kenapa kau tidak lakukan itu
sekarang saja?" dia tanya. Ia lesu sekali.
Merah mata In Loei, kakinya terus menindak. Ia berjalan dengan sangat cepat,
tidak ia menoleh..... -ooo0dw0ooo- BAB XI Walaupun ia berlari-lari, In Loei toh dengar helaan napas panjang di
belakangnya, helaan mana disusul dengan kata-kata: "Melihat kau menyebabkan kau
berduka, tidak melihat kau maka akulah yang bersusah hati..... Ah, daripada kau
yang berduka, baiklah aku saja..... Adik kecil, baik-baiklah kau jaga dirimu.
Kau pergi adik, kau pergi!....."
Nona ini keras hati meskipun ia rasakan hatinya itu sakit. Ia masih dapat
kuatkan hati, untuk tidak menoleh. Akan tetapi air matanya, tak dapat ditahan.
Dengan terbawa angin, In Loei masih dengar kata-kata orang: "Saling melihat
tetap tidak seperti saling melihat, merasa cinta toh tidak merasa cinta....."
Dalam usianya tujuh belas tahun, belum pernah In Loei memikir halnya kasih
sayang antara pemudi dan pemuda, mendengar itu, merah mukanya. Di dalam hatinya,
ia jadi memikir: "Apakah benar aku telah terjerumus ke dalam jala cinta?"
Lantas hatinya menjadi bimbang, mukanya merah sampai ke kupingnya. Ia lari
terus, setelah beberapa puluh tombak, baharu ia
berani berpaling ke belakang. Sekarang ini ia tidak lihat sekalipun bayangan
Thio Tan Hong! Akhir-akhirnya tibalah In Loei di kota Tjengteng, sebelum matahari terbenam. Ia
langsung mencari sebuah hotel besar di mana, dengan mengunci pintu rapat-rapat,
ia segera rebahkan diri di atas pembaringan.
Tak tahu nona ini, berapa lama ia telah pulas, waktu ia sadar, ia dengar suara
gembreng diiringi dengan kata-kata nyaring, seperti orang tengah membentak
bentak, suara mana disusul lagi dengan suara jongos hotel, yang mengetuk pintu
setiap kamar untuk memberitahukan: "Hotelku telah disewa seluruhnya oleh
pembesar negeri, menyesal sekali aku mesti minta tuan meninggalkan hotelku ini
untuk mencari lain rumah penginapan. Tentang uang sewa, itu akan aku kembalikan.
Inilah terpaksa, harap tuan sudi memaafkannya....."
Seperti sudah menjadi kebiasaan, satu kali sebuah hotel diborong oleh pembesar
negeri, penumpang-penumpang itu puas atau tidak mereka harus pindah. Demikianlah
tindakan terpaksa dari pemilik hotel.
Kamar In Loei diketok paling belakang, ia sudah dandan, sudah siap sedia, begitu
ia membuka pintu, ia katakan pada jongos yang mengetoknya: "Kau tidak usah
menjelaskan lagi, aku sudah tahu, sekarang aku pergi!"
"Maaf," kata jongos itu, yang terus mengawasi tetamunya, dari atas ke bawah,
dari bawah ke atas. In Loei heran atas sikap orang.
"Apakah yang kau awasi?" dia tanya.
"Aku lihat tuan bukan penduduk sini," sahut jongos itu, "maka itu, dalam keadaan
begini mungkin sulit bagi kau mencari lain rumah penginapan."
In Loei makin heran. "Apa?" dia tegaskan. "Kenapa jadi sulit?"
Jongos itu menutup pintu.
"Apakah tuan tahu kenapa pembesar negeri hendak pakai hotel kami ini?" kata dia
dengan perlahan sekali. In Loei menggelengkan kepala.
"Suara tadi sangat berisik, aku tidak dapat dengar nyata," ia kata.
"Apa yang aku ketahui, inilah persiapan untuk melayani utusan dari Mongolia,"
terangkan jongos itu, suaranya tetap perlahan. "Sampai Sri Baginda menugaskan
pasukan Gielim koen guna mengiringi utusan itu. Berhubung dengan itu, semua
hotel di Tjengteng, tengah hari telah mendapat pemberitahuan bahwa kalau
dihotelnya menumpang tetamu atau tetamu-tetamu yang dapat menimbulkan
kecurigaan, dia atau mereka itu mesti dilaporkan pada polisi. Maka itu aku
kuatir, dengan pindah ke lain hotel, tuan bisa menemui kesulitan yang
memusingkan kepala....."
Mendengar itu, In Loei tertawa.
"Habis, cara bagaimana kau berani membiarkan aku tetap menumpang di sini?"
katanya. "Apakah aku tidak mendatangkan kecurigaan itu?"
Jongos itu berdiam, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Bukankah tuan she In?" tanyanya.
In Loei bercekat. Waktu mendaftarkan nama, ia memakai she dan nama palsu. Ia
heran kenapa jongos itu ketahui she-nya. Maka segera ia sambar tangan orang,
yang nadinya terus ia pegangi.
"Kau siapa?" dia tanya dengan bengis.
"Jangan kuatir, tuan," sahut jongos itu, agaknya ia tidak takut. "Kita ada orang
sendiri. Jikalau tuan tidak percaya padaku, aku mempunyai suatu barang yang tuan
telah tinggalkan di sini, kalau tuan melihat itu, tuan akan segera ketahui
duduknya hal" In Loei tidak takut. Ia pikir, kalau toh mesti menggunakan kekerasan, jongos ini
tidak akan lolos dari tangannya. Karena itu ia lepaskan cekalannya, ia biarkan
jongos itu pergi mengambil barang yang dia sebutkan itu.
Jongos itu ngeloyor pergi, tidak lama kemudian kembalilah ia bersama kuasa
hotel, siapa memegang satu bungkusan kecil yang terbungkus oleh kain sutera,
terus ia berikan kepada tetamunya.
"In Siangkong, inilah barang yang tetamuku tinggalkan untukmu," ia kata.
In Loei terima bungkusan itu, dengan hati-hati ia membukanya. Ia lantas lihat
sepotong sanhoe biru hijau, yang mempunyai sembilan tangkai. Ia menjadi
tercengang. Karena itulah sanhoe kepunyaannya sendiri yang ia berikan kepada
Tjio Tjoei Hong selaku tanda mata.
"Apakah dia juga datang kemari?" tanyanya. Dengan "dia" ia maksudkan "dia"
wanita. "Apakah dia juga berdiam di sini?"
"Nona Tjio sampai di sini kemarin," jawab kuasa hotel itu. "Dia telah melukiskan
jelas padaku tentang roman dan potongan In Siangkong, dia minta kami
memperhatikannya. Sungguh kebetulan, benar-benar In Siangkong dating ke hotel
kami!" In Loei berdiam. Ia segera ingat cintanya Tjoei Hong terhadapnya, yang nona itu
tidak dapat lupakan. Karena ini, ia jadi mengeluh sendirinya.
"Baiklah aku menjelaskan, tuan," si kuasa hotel berkata pula. "Hotel kami ini
adalah miliknya partai Hayyang Pang, dan usaha kita adalah dengan cara diam-diam
melayani keperluannya orang kangouw yang menjadi kaum kita. Hongthianloei Tjio
Lootjianpwee itu adalah kenalan baik dari kami, dan Nona Tjio datang kesusu
kemarin malam, terus dia titipkan barangnya ini. Nona itu juga memesan supaya
kau besok pergi ke Tjengliong kiap, untuk menantikan dia. Si nona pesan, bila
siangkong sampai di sana nanti ada orang yang menyambut padamu untuk
diantarkan." In Loei manggut. "Habis, sekarang aku harus bermalam di mana?" dia tanya.
"Oleh karena siangkong ada orang kita sendiri," sahut si kuasa hotel, "aku minta
siangkong suka serahkan kamar itu, untuk kami menggantinya dengan kamar kerjaku
sendiri. Aku harap siangkong suka memaafkan sikap kami ini."
Tetapi In Loei menunjukkan kegirangannya.
"Bagus, bagus!" katanya. "Sekalian aku hendak tengok macamnya utusan dari
Mongolia itu, bagaimana keangkerannya hingga ia mesti dilayani secara begini!"
Maka malam itu, habis bersantap, In Loei berpura-pura tidur. Dengan begitu, ia
jadi dapat beristirahat. Segera juga terdengar tindakannya kaki-kaki kuda dan suara bengernya, pun suara
manusia terdengar riuh menjadi satu. Dan hamba-hamba hotel lantas berlari-lari
keluar untuk mengadakan penyambutan.
In Loei tidak berani munculkan diri, maka itu ia cuma mengintai dari selasela
pintu. Segera juga tampak empat perwira mengantarkan delapan orang Mongolia memasuki
hotel, yang berjalan di tengah, diiring dikedua sampingnya. Dengan segera In
Loei kenali orang yang jalan di tengah-tengah, yang istimewa menarik
perhatiannya. Dia adalah si pangeran asing yang pernah bertempur dengannya
ketika terjadi penyerbuan kepada Tjioe Kian.
Hotel itu adalah yang terbesar di kota Tjengteng, banyak kamarnya, ke empat
perwira Gielim koen memeriksai semua kamar, habis itu mereka Tanya kuasa hotel:
"Apakah di sini tak ada orang lainnya lagi?"
"Paduka tuan telah sudi pakai hotel kita, mana kita berani menerima lain
penumpang," kuasa itu menjawab dengan hormat.
Tadinya masih hendak dilakukan pemeriksaan ke dalam, tempat keluarga kuasa hotel
dan orang-orangnya, tetapi si pangeran asing mencegah.
"Tak usah tongnia demikian teliti," katanya sambil tertawa, "Walaupun Tionggoan
besar, mungkin belum ada orang yang berani menjadi lawan kami! Atau andaikata
ada juga yang berani, dia tentunya ingin mencari mampusnya sendiri, untuk itu
tak usah tongnia beramai turun tangan, cukup asal kamu bertanggung jawab atas
penguburan mereka itu!....."
"Benar, benar!" memuji ke empat perwira Gielim koen itu. "Memang orang-orang
gagah dari negeri Tuan, semua tak ada tandingannya di kolong langit ini. Adalah
kami yang terlalu berhati-hati....."
Mendongkol In Loei mendengar perkataan orang itu.
"Sebentar akan aku berikan kamu pengertian apa yang dinamakan liehay!" pikirnya.
Ia anggap orang menghina diri sendiri, sedang di sini ada soal kebangsaan.
Sebentar kemudian, selesai sudah utusan itu mengambil kamar, lalu dua orang
Mongolia serta dua perwira Gielim koen ditugaskan bergantian berjaga malam.
In Loei tunggu saatnya, untuk salin yaheng ie, pakaian untuk keluar malam,
begitu lekas ia dengar suara kentongan tiga kali, dengan hati-hati ia keluar
dari kamarnya, untuk mendekam dulu di ujung payon. Tapi ia siap sedia dengan
senjata rahasianya, Bweehoa Ouwtiap piauw - "Kupu-kupu yang bermain di antara
bunga-bunga bwee." Ia tunggu waktu, bila kedua cinteng Mongolia itu membalik
belakang terhadapnya, hendak ia serang mereka itu.
Tiba-tiba di atas wuwungan berkelebat satu bayangan putih. In Loei lihat itu, ia
terkejut. Sekejap saja ia lihat berkelebatnya satu tubuh manusia, orang itu
memakai topeng, bajunya putih dan panjang, maka di dalam gelap tampak tegas
warna putih dari pakaiannya itu. Segera juga hati In Loei berdenyut. Sekelebatan
ia ingat kejadian pada malam itu, waktu Thio Tan Hong nyelundup
masuk ke Tjiokee tjhoeng. Karena ini, ia lantas goyangkan tangannya, untuk
memberi tanda. Orang bertopeng itu membalikkan tubuhnya, ia rupanya lihat tanda yang diberikan,
malah ia membalas menggerakkan kedua tangannya, menunjuk ke arah luar, maksudnya
menyuruh si nona lekas berlalu.
Belum sempat In Loei berpikir, untuk mengambil keputusan, ia tampak orang itu
sudah lompat turun, menyusul mana ia dengar dua jeritan dari kesakitan. Sebab
dengan kesehatannya, orang bertopeng itu sudah menyerang dan membinasakan kedua
pahlawan Mongolia itu. "Itulah serangan Kimkong tjioe yang liehay!" memuji In Loei, kagum. "Belum


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah aku tampak Tan Hong menggunakan semacam pukulan. Apakah dia adanya atau
lain orang?" Tengah si nona berpikir, dari dalam telah lompat keluar kedua cinteng Gielim
koen, tetapi kembali dengan kesehatannya, bukan ia menyingkir, si orang
bertopeng justeru menerjang, ketika kedua tangannya bergerak, tidak ampun lagi
ia menotok urat lemah dipinggangnya.
Itulah perwira Gielim koen yang di sebelah kiri, tetapi yang di sebelah kanan,
kepandaiannya tidak selemah kawannya, dengan gerakan "Tjioehoei piepee," atau
"Tangan mementil piepee," dapat ia egoskan diri dari bahaya.
Si orang bertopeng segera berseru: "Kenapa anak cucunya Oey Tee mesti jual jiwa
untuk bangsa Tartar?"
Suara itu perlahan, In Loei tidak dapat mendengar dengan nyata. Ia hanya heran
kenapa dari pukulan kematian, orang itu mengubahnya dengan totokan jalan darah,
hingga orang Gielim koen itu tidak dibinasakan.
Tidak lama mereka itu bertempur, lantas perwira Gielim koen itu mundur, atas
mana si orang bertopeng lompat ke dalam, ke arah kamar dari si pangeran asing.
Belum sampai orang itu di muka pintu, dengan tiba-tiba daun pintu terpentang
lebar, disusul dengan suara tertawa yang nyaring, dan munculnya satu bayangan,
gerakan tubuh bayangan itu mendatangkan siuran angin.
Mau atau tidak, si orang bertopeng mundur tiga tindak.
In Loei tidak pergi ketika diberi tanda oleh si orang bertopeng, ia diam di
tempatnya mendekam, dari situ ia dapat lihat siapa adanya orang yang keluar dari
dalam kamar itu, ialah Tantai Mie Ming.
Jago Mongolia itu telah memasuki Tionggoan, entah dengan cara bagaimana,
sekarang ia menemani si pangeran asing yang menjadi utusan itu.
Segera In Loei lihat, setetah mundur, si orang bertopeng maju pula, dia
menyerang. Tantai Mie Ming gerakkan tangannya berikut tubuhnya, atas mana si orang
bertopeng rubuh terjungkal, jumpalitan, tapi sekejap saja, ia sudah berdiri
pula. Kaget sekali In Loei, hingga ia berteriak: "Lekas menyingkir!" sedang tiga
batang senjata rahasianya dengan saling susul ditimpukkan kepada Tantai Mie
Ming. Ia tujukan ke atas, ke tengah dan ke bawah, untuk membuatnya orang repot.
Tantai Mie Ming kibaskan kedua tangannya, belum lagi senjata rahasia tiba pada
tubuhnya, tiga-tiganya sudah jatuh kelantai!
Selagi jago asing itu menangkis piauw, si orang bertopeng sudah maju pula dengan
serangan kedua tangannya. Masih sempat Tantai Mie Ming menangkis, juga dengan
kedua tangannya, maka itu ke empat tangan jadi beradu dengan keras hingga terbit
suara nyaring. Sebagai akibatnya, si orang bertopeng mundur dengan tubuh
limbung, tapi tidak sampai rubuh.
"Bagus!" sera Tantai Mie Ming. "Siapa sanggup lawan tanganku, dia terhitung satu
hoohan juga!" Setelah kegagalannya ini, si orang bertopeng lari keluar, berniat lompat naik ke
atas genteng. Perwira Gielim koen yang tadi menyaksikan jalannya pertempuran, ketika ia lihat
orang hendak lari, dengan mendadak ia membokong dengan djoanpiannya, cambuk yang
lemas. In Loei saksikan perbuatan orang itu, ia menjadi gusar, serta merta tangannya
terayun, sebatang piauw-nya terbang menyambar.
Perwira itu tidak sepandai Tantai Mie Ming, lengannya terkena piauw, tak ampun
lagi, ia rubuh dengan tak sadarkan diri, cambuknya turut jatuh.
Pada saat itu si orang bertopeng pun sudah naik ke atas tembok dari mana ia
lompat terus ke atas genteng.
"Terima kasih!" ia mengucap dengan perlahan kepada nona kita, ia tidak berhenti
lari atau menghampiri, ia berlalu terus dengan cepat sekali.
Karena In Loei tercengang menyaksikan kelakuan orang itu, ia hanya melihat
bahagian belakangnya saja. Ia jadi berpikir. Mendengar suaranya dan melihat
bebokongnya, seolah-olah ia pernah kenal orang itu, orang itu tak mirip dengan
Thio Tan Hong..... Sedang ia diam berpikir, beberapa pahlawan Mongolia serta anggautaanggauta
Gielim koen tampak mendatangi, malah Tantai Mie Ming menjurus ke arah tempatnya
sembunyi, hingga ia menjadi terkejut. Lebih-lebih ketika Mie Ming, sambil
memandang ke arahnya, perdengarkan tertawanya.
"Mana si orang jahat?" pahlawan-pahlawan itu saling menanya.
Sekonyong-konyong Tantai Mie Ming putar tubuhnya dan ia melepaskan panah ke lain
arah daripada In Loei, habis mana ia kata: "Orang-orang jahat banyak jumlahnya,
di antara kamu, dua orang melindungi ongya, yang lainnya semua turut aku!"
Inilah di luar sangkaan In Loei maka ia menjadi heran atas sikap Tantai Mie
Ming. Bukankah Mie Ming telah dapat mencari ia" Kenapa dia justeru mengajak
rombongannya pergi ke lain jurusan" Sungguh ia tidak mengerti.
Setelah orang-orang pergi, In Loei turun dari tempatnya sembunyi, dengan matanya
yang awas ia segera tampak jongos hotel, yang menyembunyikan diri dipojok yang
gelap, melambaikan tangannya. Ia lantas menghampiri.
"Mari turut aku!" kata jongos itu. "Selagi keadaan kalut, kita mesti
menyingkir." In Loei ikut dengan tidak banyak omong. Ia percaya jongos itu. Untung bagi
mereka, mereka tidak menemui siapa juga.
Ketika itu pintu kota masih belum ditutup, si jongos mengajak tetamunya sampai
di suatu tanjakan di luar kota.
"Sebentar jam lima, ada orang yang akan menjemput siangkong," kata jongos itu
lega. In Loei keluarkan napas. "Sungguh berbahaya!" ia kata.
Dalam cahaya rembulan dan bintang-bintang yang samar-samar, si nona tampak wajah
si jongos berseri-seri. Dia pun berkata: "Nona Tjio memesan supaya siangkong
ingat untuk membawa sanhoe. Apakah siangkong telah sediakan itu?"
In Loei menjadi masgul, ruwet pikirannya. Baharu tenang satu gelombang, sudah
datang gelombang yang lain.
"Aku tahu sudah," katanya, dengan terpaksa.
Menampak wajah si "pemuda" berubah, jongos itu tidak berani tertawa lagi.
Berselang kira-kira setengah jam, dua ekor kuda tampak mendatangi, yang satu ada
penunggangnya, yang lain kosong. Setelah penunggang kuda itu dating dekat, ia
kenali orang itu adalah Tjek Po Tjiang.
Hweesin tan Tjek Po Tjiang itu sangat membenci Thio Tan Hong, terhadap In Loei
juga ia tidak berkesan terlalu baik, akan tetapi bertemu kali ini, ia girang
juga, maka sambil memberi hormat, ia kata: "Kau juga dapat lolos" Bagaimana
dengan si bangsat berkuda putih itu" Bukankah itu hari dialah yang dating
membawa pasukan negeri?"
Orang she Tjek ini tetap menyangka Tan Hong mencelakai mereka.
In Loei menyahut dengan dingin sekali: "Dia justeru mengorbankan segala apa
untuk menolongi Pit loo enghiong. Apakah Pit loo enghiong tidak menceritakannya
padamu?" "Adakah itu benar?" ia menegaskan. "Aku belum bertemu dengan Pit loo enghiong.
Cuma Nona Tjio yang menyuruh aku menyambut kau, supaya dengan menunggang kuda
kita mencari dia." Tanpa menjawab kata-kata orang, In Loei menanya.
"Di mana adanya Pit iooenghiong sekarang?" demikian pertanyaannya.
"Menurut nona Tjio, setelah Pit iooenghiong lolos dari bahaya, dia bernaung di
tempatnya Na Thian Sek di Imma tjoan. Tempat itu terpisah dari sini kirakira
sepuluh lie. Ah, cahaya terang sudah mendatangi, kita mesti lekas berangkat!"
Po Tjiang lantas serahkan kuda yang kosong, ia silakan In Loei menaikinya,
sesudah mana ia jalan di sebelah depan sebagai pengantar. Mereka kaburkan kuda
mereka dan pada waktu fajar sampailah mereka di sebuah lembah.
"Inilah selat Tjengliong kiap," Tjek Po Tjiang memberitahukan. Terus ia bersuit
tiga kali beruntun. Dengan lantas suitan itu mendapat sambutan.
"Itulah nona Tjio sedang mendatangi," kata Po Tjiang. "Pergi kau masuk kelembah
untuk papaki dia. Aku sendiri masih hendak pergi kepada Pit Iooenghiong,"
In Loei menurut, ia turun dari kudanya, ia lantas bertindak ke dalam lembah.
Belum jauh ia jalan atau dari satu tikungan ia tampak munculnya satu orang,
ialah Tjio Tjoei Hong. Nona itu mendatangi sambil berlari-lari, air matanya bercucuran, begitu datang
dekat In Loei, ia lompat menubruk, ia merangkul dengan keras.
"Ah, akhirnya kita bertemu pula!....." serunya. In Loei pegangi orang, untuk
diajak duduk. "Kau telah janjikan aku untuk bertemu dengan kau," katanya tertawa, "tentunya
itu bukan untuk bicara tentang cinta....."
Tjoei Hong cemberut, matanya melotot, tapi ia seka air matanya.
"Thian telah melindungi hingga kita telah bertemu pula," katanya dengan perasaan
bersukur, "akan tetapi engko Tjioe.....engko Tjioe....."
In Loei terkejut. "Engko Tjioe kenapa?" dia tanya.
"Aku berkesan keliru terhadap kakak angkatmu itu, dia sebenarnya orang baik
hati....." Tjoei Hong jawab.
"Katakan lekas, engko Tjioe kenapa?" tegaskan In Loei tanpa pedulikan
pengutaraan orang. "Ketika itu hari kau rubuh dari kuda hingga kau kena terkurung," sahut Tjoei
Hong dengan ceritanya, "kami telah kembali dengan niat menolongi kau. Tapi kami
telah dipotong musuh. Belakangan muncul Thio Hong Hoe. Dia gagal mengejar Pit
iooenghiong, dia rintangi aku dan Tjioe Toako. Kami berdua bukan tandingan dari
Hong Hoe, baharu belasan jurus, aku telah kena tersampok belakang goloknya
hingga aku rubuh dari kudaku, pada saat itu hampir aku kena dibekuk musuh, Tjioe
Toako telah berlaku mati-matian menolongi aku. Ia lompat turun dari kudanya,
dengan menerjang bahaya terinjak-injak kaki kuda, ia sambar paha Thio Hong Hoe,
ia gigit. Karena ini, Thio Hong Hoe mengemplang dengan
goloknya, hingga ia pingsan, habis itu, dia naik ke kudanya untuk lari pergi,
mungkin untuk mengobati lukanya, hingga aku tidak dikejarnya terlebih jauh."
Di antara In Loei dan Tjioe San Bin ada perasaan yang tak menyenangkan mereka,
akan tetapi meskipun demikian, mereka menyayangi satu pada lain bagaikan saudara
sendiri, maka itu, mendengar keadaan San Bin itu, In Loei kaget dan kuatir.
"Kalau begitu, perlu kita lekas pergi menolongi," katanya.
"Aku minta kau datang kemari justeru untuk mencari daya buat menolongi dia,"
kata Tjoei Hong. "Dengar dulu perkataanku. Masih ada satu hal yang aneh sekali. Setelah hari itu
aku lolos dari bahaya, lalu kemarin dulu aku bermalam di kecamatan Keekoan. Di
situ, pada waktu tengah malam, aku dibikin sadar karena kaget oleh seorang yang
bertopeng, yang memancing aku pergi keluar kota. Turut penglihatanku, ilmu silat
dia itu ada terlebih liehay daripada aku, tetapi dia tidak mencelakai aku.
Setibanya di luar kota, dia lantas tinggalkan aku pergi. Perbuatannya itu
membuat aku jadi heran dan berpikir. Baharu besok siang, aku mengerti
perbuatannya si orang bertopeng itu. Kiranya malam itu, polisi di kota Keekoan
telah dikerahkan tenaganya untuk melakukan penggeledahan umum. Hotel hotel
diperiksa teliti, mereka yang berlalu lintas juga ditanyai melit-melit. Menurut
kabar, tindakan itu diambil untuk persiapan menyambut seorang besar, untuk
menjaga keamanan. Terang sudah, si orang bertopeng itu memancing aku keluar kota
karena ia telah mengetahuinya terlebih dahulu tentang akan dilakukannya
penggeledahan itu. Dan tentu sekali, dia bermaksud baik."
In Loei menjadi heran sekali.
"Orang bertopeng..... orang bertopeng"....." katanya tak tegas. "Bagaimana
tentang potongan tubuhnya, dia mirip atau tidak dengan orang yang telah nyelusup
masuk ke rumahmu dahulu - yaitu si mahasiswa berkuda putih?"
"Di waktu malam gelap seperti itu, aku tidak dapat melihat dengan nyata," sahut
Tjoei Hong. "Lain dari itu, aku juga tidak memikir tentang mahasiswa berkuda putih itu.
Karenanya, tak dapat aku berkata suatu apa."
Dengan sendirinya, wajah In Loei menjadi ber-semu dadu.
"Aku tahu siapa si orang besar yang hendak disambut di Keekoan itu," ia
beritahu. "Mereka adalah utusan bangsa Mongolia serta sekalian pengiringnya.
Oleh karena Keekoan ada sebuah kota besar, rupanya dipandang perlu untuk
melakukan penggeledahan umum itu." Tjoei Hong heran.
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
"Tadi malam aku juga telah melihat orang bertopeng itu," jawab In Loei. "Tentang
ini, belakangan saja kita perbincangkan pula. Baiklah kau bicara terlebih
dahulu, tentang kau."
Tjoei Hong menurut. "Kemarin malam aku telah bertemu dengan satu sahabat dari ayahku," ia
berceritera. "Dari sahabat itu, aku dapat tahu Pit Iooenghiong sudah lolos dari
ancaman marah bahaya. Lantas aku cari Pit iooenghiong itu. Tidak tahunya, Pit
iooenghiong juga telah bertemu dengan si orang bertopeng dan si orang bertopeng
itu telah menitipkan sepucuk surat padanya. Pit Iooenghiong berkata, si orang
bertopeng itu mirip seperti Thio Tan Hong yang kedua. Kemudian Pit iooenghiong
tiba di rumah keluarga Na, di sana pun si orang bertopeng telah meninggalkan
suratnya. Oleh karena ia baharu saja terlepas dari bahaya, Pit iooenghiong tidak
berniat untuk mencari tahu tentang orang bertopeng itu."
"Bagaimana bunyi surat si orang bertopeng itu?" tanya In Loei.
"Surat itu mengatakan bahwa si orang bertopeng ketahui rombongan utusan bangsa
Watzu itu pergi ke Pakkhia, yang menjadi pemimpin adalah satu pangeran. Dia
menduga bangsa Watzu hendak mengajukan suatu permintaan. Benar perhubungan
antara Kerajaan Beng dan negara Watzu telah jadi buruk, tetapi
kaisar Beng berniat memperbaiki itu, maka juga terhadap utusan Watzu itu, ia
menyambutnya dengan gembira, dalam hal tindakan memberi perlindungan. Ia sangat
berhati-hati. Surat itu juga mengatakan, si orang bertopeng ketahui Tjioe Toako
berada di tangan tentera negeri. Untuk menolongi Tjioe Toako, dia usulkan supaya
kita berkumpul, supaya kita cegat rombongan utusan bangsa Watzu itu, untuk
menawan si pangeran juga. Dengan tindakan kita ini, jikalau kita berhasil,
kesatu kita dapat menolongi Tjioe Toako, dan kedua, pemerintah juga tak usah
dengan tundukkan kepala memohon perdamaian dari bangsa asing itu. Lebih jauh
surat itu menunjuk, selat Tjengliong Kiap bagus letaknya, berbahaya, maka ia
anggap, di sini dapat kita umpetkan diri, untuk mencegat rombongan utusan itu.
Si orang bertopeng berjanji, pada saat pencegatan mungkin dia bisa datang untuk
memberikan bantuannya."
"Bagaimana pikiran Pit Iooenghiong?" In Loei tanya pula.
"Ketika Pit iooenghiong ketahui Tjioe Toako tertawan musuh, ia kaget dan kuatir
bukan main. Ia tahu, tidak ada waktu lagi untuk mengirim panah loklim tjian,
sebab air yang jauh tidak dapat dipakai menolong kebakaran yang dekat. Maka itu
ia setuju akan daya yang disarankan si orang bertopeng, tidak peduli tindakan
ini sangat berbahaya. Baiklah kita mencobanya. Karena itu Pit iooenghiong minta
kita bergantian memasang mata di sini, untuk menunggu ia datang bersama kawan
kawannya." In Loei berpikir, hingga tak dapat ia bicara. Ia tahu Tantai Mie Ming gagah luar
biasa, sungguh sulit merampas orang di bawah perlindungan dia itu. Selagi ia
masih berpikir, si nona tegur padanya.
"Apakah jongos hotel telah menyerahkan sanhoe padamu?" demikian tanyanya.
"Ya, sudah," jawab In Loei.
"Justeru sekarang masih ada tempo, ingin aku tanya kau suatu hal," kata pula
Nona Tjio. "Apakah itu?" In Loei balik menanya. Tjoei Hong mengawasi.
"Sepanjang jalan ini, bagaimana sikapmu terhadapku, kau tahu sendiri," ia kata.
"Meskipun kita ada suami isteri, yang benar adalah tak pernah kau perlakukan aku
sebagai isterimu, bukan?"
"Ah, mengapa di waktu begini kau menanyakan urusan itu?" tanya In Loei, romannya
tidak wajar, agaknya dia bingung.
"Sudah sekian hari hatiku pepat," Tjoei Hong akui. "Aku adalah seorang dengan
perangai terburu napsu, maka urusan ini tidak bisa aku tidak menanyakannya
dengan jelas." In Loei kewalahan. Ketika itu matahari sudah mulai muncul, maka dapat dipercaya, perutusan Watzu
akan segera tiba di selat. Karena ini, In Loei jadi bertambah tidak bernapsu
akan bicara tentang perhubungan mereka sebagai suami isteri. Tibatiba ia
tertawa, kedua biji matanya pun berputar.
"Entjie Hong!" katanya, riang gembira, "aku mengerti maksudmu. Kau suruh si
jongos menyampaikan sanhoe padaku ialah agar....." ia berhenti, agaknya ia
tengah berpikir. Tjoei Hong memotong: "Ialah untuk menanyakan pikiranmu. Umpama kata kau tidak
suka padaku, sanhoe itu kau simpan, untuk diserahkan pada lain orang. Seandainya
kau....." In Loei pun memotong: "Entjie Hong, sanhoe ini adalah kepunyaanku untuk kau,
selaku pesalin, cara bagaimana itu dapat diserahkan kepada lain orang" Sekarang,
dengan tanganku sendiri, aku serahkan pula padamu."
Tjoei Hong terhibur, ia terima batu permata itu.
Tiba-tiba saja, In Loei berkata secara sembarangan: "Ah, Tjioe Toako benar-benar
seorang yang baik..... Bukankah aku tidak mendustai kau?"


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjoei Hong tercengang, lekas ia tunduk, hingga ia tampak pada sanhoe itu,
dilembaran bunga yang ketiga, ukiran huruf "Tjioe". Lantas saja wajahnya
berubah. Tadinya nona Tjio ini hendak bicara, segera ia tercegah oleh berisiknya suara
serombongan kuda dan orang yang mendatangi di luar selat, yang terus memasuki
selat itu. Dengan lantas In Loei dan Tjoei Hong sembunyikan diri di antara batu besar yang
berdiri tegak bagaikan rebung, dari situ mereka tampak serombongan kecil barisan
serdadu sebagai pembuka jalan. Di sana terlihat si pangeran Mongolia berjalan
dengan merendengkan kudanya bersama Tantai Mie Ming.
"Celaka, mereka telah tiba!" berbisik Tjoei Hong pada In Loei, agaknya ia
terkejut. "Pit To Hoan sendiri masih belum datang....."
Si pangeran mainkan cambuknya, di atas kudanya itu, ia tampak bangga atas
dirinya sendiri. Selagi rombongan itu berjalan terus, tiba-tiba terdengar orang menyanyikan satu
lagu rakyat Mongolia - si penyanyi tengah mendatangi dari arah depan, memapaki
rombongan itu: "Aku adalah garuda dari tanah datar berumput,
Sayapku terbuka membiak angin dan mega.....
Di waktu pagi, aku terbang kesungai Onan, Di waktu malam, aku menginap di kota
Karim. Tiga bulan telah aku terbang, Tak dapat aku bebas dari tangan Khan
Terbesar!" Itulah nyanyian rakyat Mongolia yang memuji Khan mereka yang terbesar yaitu
Genghis Khan. Mendengar itu, si pangeran jadi gembira bukan main. Tidak ia
sangka, di tempat asing ini, dapat ia menemui bangsanya sendiri dan mendengar
nyanyian yang paling dibanggakan. Maka segera ia tahan kudanya, ia lompat turun.
"Untuk membangun pula kebesaran Khan Terbesar, itu harus dilihat dari kita!"
kata ia pada Tantai Mie Ming. Kemudian ia berikan titahnya: "Coba panggil orang
Mongolia itu." Masih orang tadi bernyanyi pula:
"Tangan Khan Terbesar menungkrap bumi, Di masa hidupnya dia sangat kenamaan,
Tetapi dia toh mati dan kembali ke tanah, Luas tanahnya tak lebih daripada satu
kuburan....." Lagu ini dinyanyikan dalam bahasa Mongolia, akan tetapi itu bukannya nyanyian
rakyat Mongolia seperti yang pertama itu. Inilah lagu karya si penyanyi sendiri.
Mendengar itu, pucat muka si pangeran.
Sementara itu si penyanyi telah datang dekat.
"Apakah kau datang dari Mongolia?" tanya pangeran ini. "Lagumu yang belakangan
itu belum pernah aku mendengarnya. Dari mana kau dapat nyanyian itu?"
Penyanyi itu memakai karpus Mongolia, yang pinggirannya terbuat dari kulit
kambing hingga menutupi mukanya dan yang tampak hanya sepasang matanya yang
tajam. Pakaiannya pun pakaian rakyat Mongolia, hanya dipakainya di tanah daerah
Tionggoan hingga nampaknya asing dan, menyolok mata sekali. Tapi ditanya
demikian, dia menjura. "Itulah lagu yang istimewa kubuat untuk kau mendengarnya," demikian jawabannya.
Lalu habis berkata begitu, sebelah tangannya bergerak bagaikan kilat, menyambar
lengan bawah dari si pangeran, bahagian nadinya!
Tantai Mie Ming telah siap sedia untuk segala kejadian, dia sangat teliti dan
cerdik, dia mempunyai mata yang tajam sekali, begitu ia tampak orang bergerak,
begitu dia bergerak juga dengan sikutnya.
Si penyanyi itu rubuh sambil menarik si pangeran, demikian keras cekalannya,
sampai setelah jatuh bersama, masih ia tidak hendak melepaskannya.
Tantai Mie Ming bergerak pula, pesat bagaikan angin kakinya menendang, tangan
kanannya menyambar. Si penyanyi menggulingkan tubuhnya, untuk mengegoskan diri dari dua serangan
berbareng, akan tetapi dia kalah sebat, tangan Mie Ming telah menyambar
lehernya. Si pangeran sendiri juga liehay, dengan gunakan ketika yang baik itu, ia
menyerang dengan tangan kirinya yang bebas dari cekalan, sedang dengkulnya
dipakai mendengkul perut orang.
Diserang secara demikian, terpaksa si penyanyi lepaskan cekalannya, dia lompat,
justeru untuk menyambut kepalan Mie Ming, yang telah menyerang pula padanya. Ia
berhasil meloloskan lehernya dari jambakan. Waktu lompat dan menginjak tanah,
tubuhnya limbung, akan tetapi atas desakan, ia melawan terus hingga dua tiga
gebrak. Nyata ia pandai ilmu silat Mongolia, ilmu Taylek Kimkong Tjioe!
In Loei kaget dan heran tidak terkira.
"Dialah si orang bertopeng!" serunya. Ia tidak lihat tegas roman orang tapi ia
seperti mengenalnya, cuma tak ingat ia, siapa orang itu dan di mana mereka
pernah bertemu. Tantai Mie Ming bergerak lincah bagaikan kera, kepalannya menyambarnyambar
bagaikan tubrukan harimau, dengan cara itu dia membuat si penyanyi tidak dikenal
itu mesti senantiasa mundur dengan terpaksa. Cuma kepalannya perdengarkan suara
angin tak kalah hebatnya, tak kalah berbahayanya, walaupun ia main mundur ilmu
silatnya tidak menjadi kacau.
In Loei menjadi gelisah memikirkan orang yang tak dikenal ini.
"Dia tak mirip dengan Thio Tan Hong....." katanya dalam hatinya. "Dia dapat
melayani Tantai Mie Ming secara begini gigih, kepandaiannya tidak ada di bawahan
Tan Hong....." "Juga aneh," si nona berpikir terlebih jauh. "Bukankah kemarin malam Tantai Mie
Ming seperti memberi ketika untuk dia menyingkirkan diri tapi kenapa sekarang
Mie Ming membela mati-matian pangeran Mongolia itu" Sungguh aneh....."
Setelah dia menang di atas angin, Tantai Mie Ming lanjutkan terus desakannya.
Pahlawan-pahlawan Mongolia ketahui baik lihay-nya Mie Ming dan sifatnya juga,
yaitu di waktu bertempur, tak sudi Mie Ming dihantui, maka itu, mereka tonton
pertempuran itu. Tidak demikian dengan dua anggauta Gielim koen, mereka ini
hendak mencari muka, dengan lantas mereka maju dari kiri dan kanan, untuk
menyerang secara curang. Dengan sekonyong-konyong Tantai Mie Ming berhenti menyerang.
"Minggir!" dia berseru.
Akan tetapi selagi jago Mongolia ini membentak, si penyanyi dengan tidak menyia-
nyiakan sedetik juga ketikanya yang baik itu, sudah bergerak pula dengan ilmu
Geisha 1 Lembah Merpati Karya Chung Sin Elang Terbang Di Dataran Luas 6
^