Pencarian

Pena Wasiat 5

Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Bagian 5


tercapai, ini menunjukkan kalau dia berbicara sejujurnya."
Berpikir demikian, dia pun lantas berkata,
"Siapakah yang mengundangmu untuk datang kemari
menghadapi Kay-pang" Kau toh tahu Kay-pang adalah
organisasi besar yang anggotanya tersebar sampai di manamana,
bila bermusuhan dengan Kay-pang, apakah kau bisa
tancapkan kakimu kembali dalam dunia persilatan di
kemudian hari?" "Itulah sebabnya terpaksa Boanpwe harus menyamar,
sedangkan mengenai siapa yang telah mengundang
Boanpwe, kalau dibicarakan mungkin Locianpwe tak akan
percaya." "Apakah orang itu berkain cadar..........."
"Bukannya berkain cadar, dia adalah seorang
perempuan," jawab Pi Sam-long cepat.
"Perempuan" Perempuan macam apakah dia?"
"Seorang perempuan berusia dua puluh empat lima
tahunan yang sangat genit, tapi orangnya royal sekali, ia
mengundangku kemari dengan janji bila aku turun tangan
dua kali kemudian angkat kaki, maka dia akan memberi
lima ribu tahil perak sebagai balas jasanya, bahkan sebelum
bekerja, ia memberi persekot dua ribu lima ratus tahil perak
lebih dahulu." "Siapa nama perempuan itu?" tanya Pek Bwe setelah
termenung sebentar. "Dia tak mau menyebutkan nama aslinya, tapi, semua
orang memanggilnya sebagai nona Sui."
Pek Bwe segera mendehem pelan.
"Pi Sam-long, aku rasa bukan melulu lantaran uang saja
kau bersedia untuk memberikan bantuanmu?"
"Ketajaman mata Cianpwe memang luar biasa, Boanpwe
tak berani membohongi dirimu, nona Sui memang seorang
gadis yang genit dan pandai bermain cinta."
Mendengar itu Pek Bwe segera menghela napas panjang.
"Ai, jika uang dan perempuan bekerja sama tak heran
kau bisa ditaklukkan olehnya."
"Sesungguhnya antara perguruan Boanpwe dengan pihak
Kay-pang memang mempunyai sedikit perselisihan, maka
Boanpwe menyanggupi permintaannya, siapa tahu nasibku
memang tak mujur, baru turun tangan sudah bertemu
dengan kau orang tua."
"Masih untung aku yang kau jumpai, jika orang Kay-pang
yang menjadi korbanmu, bukan berhasil sebaliknya malah
akan mendatangkan kesulitan yang sangat besar buat Seng
Kong-sin. Betul antara Suhumu dengan Kay-pang terjadi
perselisihan, tapi bukan suatu dendam kesumat sedalam
lautan, sudah lama Kay-pang melepaskan persoalan ini
untuk tidak dipersoalkan kembali, kenapa kau justru
malahan mencari gara-gara?"
Pi Sam-long tertawa getir,
"Mungkin iman Boanpwe belum cukup terlatih, sehingga
mudah diperalat mereka," katanya.
"Kau tak bisa dikatakan telah diperalah," ujar Pek Bwe
sambil tertawa, "andaikata kau tidak setuju, siapa pun tak
akan berhasil memaksamu apa lagi Suhumu tidak terlalu
mementingkan soal peraturan, rasanya kalian yang menjadi
muridnya juga pernah terikat oleh peraturan perguruan
bukan?" "Walaupun dalam perguruan kami tidak berlaku
peraturan rumah tangga, tapi Suhu pernah berpesan agar
kami tidak meracuni tiga hal."
"Tiga hal yang mana?"
"Pertama tidak meracuni orang yang berbakti kepada
orang tua, setia kepada atasan, kedua tidak meracuni
perempuan yang saleh dan ksatria yang jujur, ketiga tidak
meracuni orang yang tak pandai bersilat."
Pek Bwe segera tertawa. "Kay-pang selamanya menitikberatkan pada kesetiaan
dan jiwa ksatriaan, jika kau meracuni orang Kay-pang
bukankah berarti telah melanggar pantangan yang kedua?"
"Pek-locianpwe, sepanjang tahun orang Kay-pang
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, terus terang
saja mereka tidak terhitung seorang ksatria yang jujur,
betul peraturan perkumpulan mereka menitikberatkan pada
soal kesetiaan, namun mereka pribadi bukan seorang yang
ksatria, Suhu pernah menerangkan secara khusus kata jiwa
ksatria tersebut, karena Suhu tak ingin kami menganggap
semua yang gagah dalam dunia persilatan orang-orang
ksatria yang jujur."
"Mari kita tak usah membicarakan soal itu lagi, hanya
ingin kuketahui nona Sui saat ini berada di mana" Tahukah
kau?" "Aku hanya tahu ia berdiam dalam lorong tersebut,
sedangkan rumah yang manakah yang dihuni, Boanpwe
kurang begitu jelas."
Pek Bwe termenung dan berpikir sebentar, kemudian
katanya : "Asal gangnya diketahui, rasanya jauh lebih baik
daripada mencari secara membabi buta di seluruh kota
Siang-yang, katakanlah kepadaku, dia berada di gang
mana?" "Tentang soal itu mah, Boanpwe sanggup menghantar
Cianpwe ke situ." "Bagus sekali, Lohu masih ingin menanyakan satu hal."
"Bila Cianpwe ada pertanyaan, silakan saja ditanyakan,
pokoknya asal Boanpwe sanggup melaksanakan, pasti akan
Boanpwe kerjakan sedapat mungkin."
"Apa pula yang terjadi dengan si nona berbaju hijau yang
berada di loteng Wong-kang-lo?"
"Siapakah mereka" Datang dari mana" Boanpwe sendiri
juga kurang jelas, tapi mereka bukan sekomplotan dengan
nona Sui, tentang soal ini Boanpwe berani menjamin
kebenarannya." "Kenapa kau berani mengatakan demikian?"
"Perintah pertama yang Boanpwe terima dari mereka
adalah meracuni nona berbaju hijau itu, maka Boanpwe
baru sengaja duduk memilih tempat sedekat itu dengan
mejanya, tapi sejak kemunculan Locianpwe, mereka lantas
memberi perintah kepada Boanpwe agar meracuni
Locianpwe, pokoknya aku telah mengabulkan
permintaannya untuk turun tangan sebanyak dua kali, bila
semuanya berjalan lancar, hari ini juga aku bisa terima sisa
uang yang lain dan segera meninggalkan tempat ini."
"Selama ini Lohu memperhatikan terus sekeliling tempat
itu, mengapa tidak kulihat orang yang memberi tanda
kepadamu?" Pi Sam-long segera tertawa,
"Mereka mengatur segala sesuatunya dengan sempurna,
setiap hal yang kecil dan sepele pun mereka atur dengan
teratur dan cermat, dengan mempergunakan suatu kode
tertentu mereka memberi tanda kepadaku untuk turun
tangan, biasanya kode itu sekitar menggunakan alat yang
ada di loteng itu, dengan sendirinya gerak-gerik mereka tak
akan menimbulkan perhatian orang."
Pek Bwe manggut-manggut, "Jadi kalau begitu, sewaktu Lohu membawamu
meninggalkan tempat itu, jejak kita tentu sudah mereka
ketahui bukan?" "Yaa, mereka sudah tahu."
"Kenapa tidak nampak ada orang yang menyusul
datang?" "Sebab aku telah memberi tanda agar mereka jangan
menyusul kemari." "Sungguhkah mereka bisa percaya dengan
perkataanmu?" kata Pek Bwe sambil tersenyum.
"Mungkin saja tak percaya, tapi paling tidak mereka pun
tak berani segera melanggarnya."
"Pi Sam-long, apakah di pihak mereka sana terdapat
banyak orang?" "Kau maksudkan nona Sui sekalian?"
"Ya, Pi Sam-long, tentu sudah lama bukan kau
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, pernahkah
kau dengar tentang suatu organisasi yang sangat
misterius?" Mendengar pertanyaan itu, Pi Sam-long menjadi
tertegun, kemudian serunya tertahan :
"Betul! Kalau bukan disinggung Locianpwe, aku pun tak
sampai berpikir ke situ, cara kerja mereka memang
menyerupai suatu organisasi, tapi anehnya tak seorang pun
yang tahu akan munculnya organisasi yang sangat besar
itu." "Pi Sam-long, Lohu hendak mengetes dirimu, coba
menurut pendapatmu apa yang menyebabkan terjadinya
hal ini?" "Mungkin mereka adalah suatu organisasi yang baru saja
dibentuk dalam dunia persilatan."
"Mungkin juga mereka adalah suatu organisasi dalam
dunia persilatan yang telah kita ketahui, tapi muncul
kembali dengan wajah yang lain?" sambung Pek Bwe.
"Betul! Kalau mereka adalah suatu organisasi yang baru
muncul dalam dunia persilatan, paling tidak kita pasti akan
mendengar tentang kabar beritanya."
"Pi Sam-long, belakangan ini apa saja yang pernah kau
dengar dari dunia persilatan?"
"Tidak ada, selama setahun lebih, dunia persilatan
tampaknya sangat tenang."
"Semenjak kedatanganmu di kota Siang-yang, apakah
kau temukan suatu yang aneh?"
Pi Sam-long termenung dan berpikir sejenak, kemudian
jawabnya : "Tampaknya organisasi kaum nelayan Siang-yang cuanpang
telah ketimpa suatu kejadian penting, belasan buah
sampan cepat mereka telah berlabuh semua di dermaga,
biasanya sampan-sampan tersebut dipakai oleh mereka
yang berkedudukan tinggi dalam organisasi perahu, tidak
mungkin bukan dalam waktu singkat ada puluhan buah
sampan yang berlabuh menjadi satu di dermaga andaikata
tidak terjadi suatu peristiwa besar?"
Mendengar ucapan tersebut, kembali Pek Bwe berpikir di
dalam hati : "Tampaklah perkumpulan Pay-kau yang memimpin
organisasi perahu sudah mulai melakukan aksi, sekalipun
Pay-kau tidak menunjukkan rasa terima kasih yang tebal
kepada Ling-kang seperti apa yang diperlihatkan pihak Kaypang,
namun mereka pun tidak melupakan budi kebaikan
Ling-kang terhadap Pay-kau, dari berkumpulnya begitu
banyak sampan cepat di dermaga, menandakan kalau
banyak jago lihay dari pihak Pay-kau telah berkumpul di
kota Siang-yang." Tentu saja kemungkinan berkumpulnya orang-orang itu
disebabkan kematian dari Tiong Ling-kang.
Terdengar Pi Sam-long berkata lebih lanjut,
"Kalau berbicara menurut keadaan biasanya, ini
menandakan kalau banyak jago lihay dari Pay-kau telah
berkumpul di sini." Ketika berbicara sampai di situ, mendadak ia menjadi
terperanjat sendiri, sambil melompat bangun gumamnya :
"Yaa, heran amat, mau apa begitu banyak jago dari Paykau
berkumpul di sini?" Melihat kekagetan orang, Pek Bwe tertawa, dia segera
mengalihkan kembali pokok pembicaraan ke soal lain,
katanya : "Pi Sam-long, menurut pendapatmu, apakah mereka
juga sudah mengetahui akan gerak-gerikmu?"
"Soal ini sulit untuk dikatakan!"
"Sekarang apakah kau berani untuk kembali?" tanya Pek
Bwe kemudian sambil tertawa ewa.
Pi Sam-long berpikir sejenak, lalu jawabnya :
"Asal mereka belum mengetahui keadaanku yang
sebenarnya, tentu saja keadaanku masih aman sekali."
"Jangan terlalu dipaksakan, kalau kau merasa posisimu
sudah mulai terancam oleh mara bahaya, maka carilah akal
untuk pergi." Dengan suara rendah ia menyatakan tempat tersebut,
bahkan memberitahukan pula kepadanya apa yang harus
dikatakan. Mendengar itu Pi Sam-long segera manggut-manggut.
"Locianpwe," katanya, "aku lihat kau seperti lagi
menyelidiki sesuatu. Apakah masih perlu menyamar?"
Pek Bwe segera tersenyum dan menggeleng.
"Tak usah, selama berkelana dalam dunia persilatan
hampir puluhan tahun lamanya aku tak pernah ganti nama
tak pernah ganti rupa, sekalipun hari ini kugunakan topeng
kulit manusia, namun rasanya kurang leluasa. Apalagi pihak
lawan tak dapat mengenaliku, orang sendiri pun sama juga
tak dapat mengenaliku."
"Eeeh kenapa" Apakah Locianpwe masih mengutus pula
anak buah yang lainnya?" tanya Pi Sam-long cepat.
Pek Bwe hanya tertawa, dia segera mengalihkan kembali
pembicaraan ke soal lain, katanya kembali :
"Oleh sebab itu lebih baik Lohu berjalan dengan wajah
yang sebenarnya saja."
"Tolong tanya, Locianpwe bermaksud hendak ke mana?"
"Rumah makan Wong-kang-lo, nona berbaju hijau itu
sangat mencurigakan, dua orang perempuan setengah
umur yang mengiringi juga bukan manusia baik, aku musti
kembali ke situ karena tempat yang kalut, tepat sebagai
tempat untuk beradu otak dengan lawan."
"Baiklah, kalau begitu Locianpwe harap berjalan
selangkah lebih duluan, Boanpwe pun akan kembali ke situ,
cuma aku tak bisa meniru cara Locianpwe, aku harus
menyamar lebih dulu."
"Baik, kalau begitu Lohu akan berangkat selangkah lebih
duluan." "Locianpwe lebih baik berhati-hati, keluar lewat jendela
saja," bisik Pi Sam-long.
"Jangan kuatir," Pek Bwe tertawa, "Lohu bisa berhatihati."
Setelah berputar satu lingkaran, dia muncul kembali di
rumah makan Wong-kang-lo.


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini ia muncul dengan wajah Pek Bwe yang asli, betul
juga, kedatangannya segera menarik perhatian beberapa
orang. Pek Bwe pun diam-diam memperhatikan sekitar tempat
itu, ia menemukan paling tidak ada empat orang yang
sedang memperhatikan dirinya di dalam rumah makan
Wong-kang-lo tersebut. Orang-orang itu semua mengenakan pakaian yang amat
bersahaja, sedikit pun tidak membawa bau sebagai seorang
jago persilatan. Walaupun demikian, Pek Bwe tahu bahwa orang-orang
itu adalah kawanan jago persilatan yang telah menyamar.
Tamu yang bersantap dalam rumah makan Wong-kanglo
masih tetap banyak, nona berbaju hijau itu pun masih
tetap duduk di tempatnya semula.
Pek Bwe mencari tempat duduk, memanggil pelayan, dan
memesan sayur dan arak. Pada saat itulah salah seorang dari dua orang perempuan
setengah umur itu memalingkan kepalanya secara tiba-tiba
dan memandang sekejap ke arah Pek Bwe.
Melihat kejadian itu, Pek Bwe mengerutkan dahinya, lalu
berpikir, "Agaknya perempuan itu kenal dengan aku, kenapa Lohu
tidak teringat akan dirinya" Di manakah kami pernah
bersua?" Sementara itu dari bawah tangga muncul kembali
seorang tamu, dia adalah seorang sastrawan berbaju biru
yang perlente, dengan langkah yang gagah ia masuk ke lain
ruangan. Orang itu langsung menuju ke meja yang ditempati Pek
Bwe dan duduk tepat di hadapannya, lalu tertawa, katanya
: "Lo-heng, tolong tanya apakah kau she Pek?"
"Terlalu banyak orang yang kenal Lohu di dunia ini,
tolong tanya siapakah nama anda?"
Orang itu bukannya menjawab, sebaliknya bertanya
kembali : "Apakah kau adalah Pek Bwe, Pek Loya-cu, orang
persilatan menyebutmu sebagai To-heng-siu (kakek sakti
yang berjalan seorang diri) Pek-tayhiap?"
"Lote, kau pandai amat mengumpak orang, mana Loyacu
mana Pek-tayhiap membuat hatiku menjadi gembira
saja, coba katakan, ada urusan apa kau mencari aku?"
"Kalau begitu aku tidak salah mencari orang," bisik orang
berbaju biru itu. "Orang yang kau cari memang benar aku, tak bakal salah
lagi, akulah To-heng-siu Pek Bwe!"
"Bagus, bagus sekali, tampaknya nasibku memang lagi
mujur." "Lote, kau sudah banyak berbicara tapi tak sepatah kata
pun yang berguna," tegur Pek Bwe sambil berkerut kening.
Manusia berbaju biru itu segera tertawa.
"Ini namanya melempar batu bata mencari batu kemala,
kata-kata yang enak didengar tentu saja akan segera
kuutarakan." "Lohu siap mendengarkan dengan seksama!" ucap Pek
Bwe dengan wajah serius. "Aku ingin menjual semacam benda kepadamu, entah
bolehkah kita bicarakan soal harganya?"
"Harus kulihat dahulu benda macam apakah benda itu,
kalau barangnya bagus tentu saja harganya tinggi, kalau
barangnya jelek siapa yang mau membayar mahal?"
"Sepucuk surat!"
"Surat" Surat siapa?"
Orang berbaju biru itu memandan sekejap sekeliling
tempat itu, ketika dilihatnya ada beberapa pasang mata
sedang memperhatikan ke arahnya, ia segera menghela
napas panjang. "Aaai.........! aku lihat tempat ini kurang cocok kalau
dipakai sebagai tempat untuk berunding."
"Oooh, maksudmu kau hendak berpindah ke tempat lain
saja untuk membicarakan persoalan ini?"
"Betul, apakah Pek Loya-cu tertarik untuk melanjutkan
perundingan ini?" Pek Bwe segera tertawa, "Setiap masalah tiada yang tak bisa dibicarakan, Lohu
rasa tempat ini paling cocok untuk merundingkan persoalan
itu, jadi kalau hendak berbicara, silakan diutarakan."
Manusia berbaju biru itu termenung sebentar, akhirnya ia
berkata setengah berbisik,
"Masalah tentang perguruan Bu-khek-bun."
"Bu-khek-bun" Kenapa dengan Bu-khek-bun?"
"Bukankah orang-orang Bu-khek-bun sudah tertimpa
musibah?" "Ehmm!" Orang berbaju biru itu segera merendahkan suaranya,
pelan-pelan dia berkata lagi :
"Seorang she Tiong yang menyuruh aku membawa
sepucuk surat datang kemari!"
Ucapan tersebut ibaratnya sebuah martil berat yang
menghantam dada Pek Bwe, sekujur tubuhnya kontan
bergetar keras. Tiba-tiba ia bangkit berdiri tapi segera duduk kembali,
katanya kemudian dengan suara lembut :
"Orang muda kuhormati secawan arak kepadamu."
Sementara pelayan telah menyiapkan sepasang sumpit
dan sebuah cawan untuk pemuda itu, Pek Bwe segera
memenuhi isi cawannya. "Terima kasih, terima kasih," kata orang berbaju biru itu,
ia segera mengangkat cawan dan meneguk isinya sampai
habis. Pek Bwe meneguk pula secawan arak, katanya kemudian
: "Lote, siapa namamu?"
"Aku she Ciu, bernama Ciu Kim-im."
"Ciu Kim-im?" dengan cepat otaknya berputar kencang
berusaha untuk mengingat siapa gerangan Kim-im ini."
Sebelum berhasil mendapatkan jawabannya, sambil
tertawa Ciu Kim-im telah berkata lagi,
"Pek-cianpwe, apakah tempat ini tidak kurang leluasa
untuk berbicara......."
"Ciu-lote, asal kita merendahkan suara pembicaraan kita,
sekalipun orang lain agak curiga, mereka tak akan menduga
apa yang sedang kita bicarakan."
"Pek-locianpwe, kenapa kau bersikeras untuk
mengadakan pembicaraan di sini?"
"Apakah kau tidak merasa bahwa suatu badai besar akan
segera melanda di tempat ini?"
"Jika kita tinggal di sini, maka pasti ada kesempatan
untuk kita guna menonton keramaian ini."
Ciu Kim-im hanya tertawa dan tidak banyak berbicara
lagi. Ternyata Pek Bwe cukup dapat menguasai diri, dia pun
tidak bertanya lagi : Dalam pada itu, salah seorang dari dua orang perempuan
setengah umur itu telah bangkit berdiri, katanya mendadak
: "Nona, kita harus berangkat!"
Nona berbaju hijau itu segera menggelengkan kepalanya
berulang kali, sahutnya, "Ia berjanji akan datang kemari, tak nanti dia akan
membohongi diriku, aku harus menunggu lagi di sini."
"Nona, sekarang tengah hari sudah lewat, ia telah
berjanji tak akan lewat tengah hari," ucap perempuan
setengah umur itu sambil menghela napas.
"Gin-so, kita sudah menempuh perjalanan sejauh ini
datang kemari, siapa tahu kalau sepanjang jalan ia sudah
menjumpai kejadian yang lain?"
Gin-so berpaling dan memandang sekejap ke arah
perempuan setengah umur lain yang masih duduk itu,
bisiknya : "Toaci, menurut pendapatmu apa yang harus kita
lakukan?" "Kalau nona segan melakukan perjalanan, apa yang
musti kita lakukan?"
"Kau turunlah lebih dulu untuk menyiapkan kereta, aku
akan menemani nona untuk duduk sebentar lagi."
Agaknya Gin-so masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi
ketika kata-kata itu sampai di ujung bibir segera ditelannya
kembali, dengan langkah lebar dia segera berlalu dari situ,
bahkan bantalannya juga dibawa serta.
"Pek-cianpwe," tiba-tiba Ciu Kim-im berbisik,
"pengetahuanmu cukup luas, apakah pernah menjumpai
nona ini sebelumnya?"
Pek Bwe segera menggeleng,
"Aku tidak kenal dengannya, aku pun tak pernah
mendengar tentang dirinya."
"Agaknya ia sedang menunggu kedatangan seseorang?"
Pek Bwe mengangguk. "Betul, dia berjanji dengan seseorang untuk bertemu di
loteng Wong-kang-lo, sekarang ia telah datang memenuhi
janji, sebaliknya yang lain tidak datang untuk menepati
janjinya." "Sudahkah Pek Loya-cu perhatikan dengan saksama,
nona ini mempunyai paras muka yang cukup cantik," bisik
Ciu Kim-im. "Ehmm, kecantikannya memang mengagumkan, meski
Lohu tidak memperhatikan dengan seksama, namun dalam
sekilas pandangan bisa kubedakan mana batu mana
kemala." "Pek-ya, kita tetap tinggal di sini apakah lantaran nona
tersebut?" "Kalau dibilang karena dia sih tidak, Lohu cuma ingin
tahu siapakah yang telah berjanji dengannya?"
Sementara itu tengah hari sudah lewat, tamu yang
bersantap pun banyak yang sudah buyar, tapi masih ada
belasan orang lain yang belum juga mau berlalu dari sana.
Diam-diam Pek Bwe menghitung jumlahnya, kecuali dia,
Ciu Kim-im, si nona berbaju hijau, dan perempuan setengah
baya itu, di atas loteng masih ada delapan orang.
Empat orang duduk berkelompok dalam satu meja,
sedangkan empat orang yang lain terpisah dalam dua meja,
mereka sedang berbisik-bisik membicarakan sesuatu,
agaknya semuanya berkomplot.
Ciu Kim-im mencoba untuk bersabar, tapi akhirnya habis
sudah kesabarannya, dengan cepat tegurnya :
"Pek-ya, agaknya kau tidak terlampau menguatirkan
persoalan itu?" "Kau maksudkan surat itu?"
"Benar! Kalau Pek-ya tidak berharap mengetahui lebih
banyak tentang persoalan itu, aku ingin mohon diri lebih
dahulu." Pek Bwe segera tersenyum,
"Orang she Tiong yang ada di dunia tak terhitung
jumlahnya, entah siapakah pemuda yang kau maksudkan,
apa pula hubungannya dengan Lohu?"
Melihat ketenangan orang, Ciu Kim-im berpikir pula :
"Jahe tua ini betul-betul pedasnya bukan kepalang, dia
begitu tenang dan pandai menguasai diri, sungguh
membuat orang tak dapat menebak apakah ia sedang
gelisah atau tidak?"
Berpikir demikian, katanya kemudian,
"Konon pemuda itu bernama Tiong It-ki, cuma betul atau
tidak aku tak terlalu yakin karena daya ingatku kurang
baik." Pek Bwe pun manggut-manggut.
"Kalau dia bernama Tiong It-ki, memang benar ada
hubungannya dengan Lohu."
"Apa hubunganmu dengannya?"
"Masih famili. Nah, Lote! Sekarang berikan surat itu
kepadaku." Ciu Kim-im kembali celingukan ke sana kemari,
kemudian katanya, "Pek-ya, apakah kau hendak meminta surat tersebut di
sini juga?" "Benar, di sini juga."
"Aku rasa tempat ini kurang begitu baik," ucap Ciu Kimim
sambil tertawa lebar. "Jangan kuatir Lote, usiaku sudah tua, banyak sudah
kejadian yang kualami, jangankan baru daratan atau
sungai, samudra luas pun pernah kukunjungi. Jangan toh
baru urusan sekecil ini, masalah lebih besar pun aku juga
berani." "Jika Pek-ya memang berkata begitu, baiklah aku akan
menuruti perintah saja."
Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah sampul surat dan
menyerahkannya ke depan. "Silakan dibuka!" katanya.
Setelah menerima sampul surat itu, Pek Bwe
menimangnya sebentar, kemudian sambil tertawa dia
berkata, "Isi sampul surat ini kecuali selembar surat, entah masih
ada apa lagi isinya?"
"Pek-ya, surat itu belum pernah kurobek, di atasnya
masih disegel dengan lak merah!"
Pek Bwe manggut-manggut, dia pun merobek sampul
surat tersebut. Ternyata isinya kecuali selembar kertas surat, masih ada
dua butir pil dan sebuah mata kunci :
Sikap Pek Bwe sangat wajar, setelah membaca isi surat
itu dengan seksama, pelan-pelan ia masukkan kembali ke
dalam sampul dan berkata :
"Ciu-lote, tahukah kau apa yang ditulis dalam surat
tersebut?" "Entahlah," Ciu Kim-im menggelengkan kepalanya
berulang kali, "aku belum pernah membaca isi surat itu, jadi
aku tak tahu apa isinya."
Sambil tertawa Pek Bwe mengelus jenggotnya yang
putih. "Ciu-lote, perlukah kuberitahukan hal ini kepadamu?" ia


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata. "Bila Pek-locianpwe merasa tiada halangannya bagiku
untuk ikut mengetahui, dengan senang hati akan Cayhe
dengarkan." "Baiklah, isi surat itu tak lebih hanya merupakan suatu
perintah yang amat memaksa orang."
"Ooh........." Setelah tertawa dingin, Pek Bwe berkata kembali,
"Dalam surat itu, dia minta Lohu untuk melaksanakan
apa yang diperintahkan olehnya.........."
"Maksud Locianpwe?"
"Ciu-lote, sudah kau lihat kedua butir pil tadi?"
"Yaa, sudah kulihat, pil mustika apakah itu?"
"Pil racun! Dalam surat sudah tertulis jelas, Lohu harus
menelan pil beracun itu, kemudian membawa kunci tersebut
dan ikut Lote pergi, setelah tiba di depan sebuah gedung,
buka pintu gerbang gedung itu dengan kunci
tersebut.........." "Dalam gedung itu.........," tukas Ciu Kim-im.
"Di situlah cucu luarku Tiong It-ki berada!"
"Oooh......... rupanya keturunan langsung, apakah Pekya
akan pergi menengoknya?"
"Aaaai......... pergi ke sana" Lohu sih ingin pergi, cuma
aku pun merasa agak kuatir!"
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Selembar nyawaku!"
"Pek-ya kan sudah terbiasa melakukan perjalanan dalam
dunia persilatan, banyak angin dan badai yang pernah kau
jumpai, masakah persoalan sekecil ini pun kau pikirkan di
hati?" "Yang lain Lohu tak usah merasa kuatir, yang
kukuatirkan justru adalah kedua butir pil beracun itu, aku
takut perutku tak tahan."
"Maksud Pek-ya....."
"Begini saja Ciu-lote, mari kita bekerja sama saja."
"Apakah aku dapat membantu?"
Pek Bwe memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu
pikirnya : "Empat orang yang duduk sendiri-sendiri itu salah satu di
antaranya pasti Pi Sam-long, entah Siau-hong si bocah itu
ikut datang atau tidak.......?"
Tujuannya muncul dengan wajah asli adalah cepat-cepat
bertemu dengan Cu Siau-hong, tapi ia merasa amat
kecewa, karena selama ini tidak memperoleh tanda dari
yang diharapkan. Pek Bwe telah perhatikan setiap sudut loteng Wongkang-
lo tersebut, akan tetapi ia selalu tak berhasil
menemukan jawaban dari Cu Siau-hong.
Berapa kali sudah ia menunjukkan kode yang dijanjikan
dengan anak muda itu, setelah dinantikan jawabannya tak
pernah kunjung tiba, akhirnya Pek Bwe pun mengambil
kesimpulan bahwa Cu Siau-hong tidak berada di rumah
makan itu. Persoalan tentang nona berbaju hijau itu jelas akan
terjadi perkembangan lain, tapi bagaimanapun juga jauh
lebih penting soal yang menyangkut diri Tiong It-ki.
Setelah berpikir sekian lama, akhirnya Pek Bwe
memutuskan untuk meninggalkan loteng Wong-kang-lo, dia
ingin mengorek keterangan yang lebih banyak lagi dari
mulut Ciu Kim-im tersebut.
Demikianlah, sesudah mengambil keputusan, katanya
sambil tertawa : "Tentu saja dapat! Cuma hal ini tergantung apakah Lote
bersedia membantu atau tidak......"
"Coba katakan dulu! Asal bisa kulakukan tentu tak akan
kutampik." "Bagus sekali......" ia lantas bangkit berdiri, berjalan ke
samping Ciu Kim-im dan mencekal tangannya, "Ciu-lote,
aku sudah tua dan liang kubur semakin dekat dengan
diriku, terus terang saja soal mati hidup tak pernah
kupikirkan lagi di hati. Tapi aku sangat berharap dengan
kepergianku ini dapat bertemu dengan It-ki."
Ketika tangannya digenggam orang, Ciu Kim-im merasa
hatinya sangat tegang, sebenarnya ia bermaksud
melancarkan serangan, tapi ketika dirasakan genggaman
jari tangan Pek Bwe sama sekali tak bertenaga, ia menjadi
lega pula, sahutnya sambil tertawa :
"Aku pikir, mungkin kalian bisa saling berjumpa muka."
"Lote, terus terang saja, andaikata pil ini kutelan
dapatkah aku segera mati?"
"Aku rasa mungkin tidak, kalau pil itu setelah dimakan
lantas mematikan, mana mungkin kau bisa berjumpa
dengan cucu luarmu?"
Pek Bwe segera manggut-manggut.
"Betul juga perkataanmu itu, hanya saja.........."
Tiba-tiba kelima jari tangannya dirapatkan, kontan saja
Ciu Kim-im merasakan lengan kanannya menjadi kaku,
segenap tenaganya lenyap tak berbekas, paras mukanya
segera berubah hebat. "Pek-ya!" serunya, "apa maksudmu?"
"Ciu-lote, aku hanya ingin kau suka membantuku untuk
menelan kedua butir pil beracun ini."
"Eeh, hal ini mana boleh terjadi."
Menggunakan kesempatan di kala ia sedang berbicara
inilah, Pek Bwe bertindak cepat, tiba-tiba tangan kanannya
menyentil, dua butir pil beracun itu segera meluncur masuk
ke dalam tenggorokkan Ciu Kim-im.
Begitu tepat sentilannya dan cepat gerakannya membuat
Ciu Kim-im yang pada dasarnya memang sama sekali tak
siap itu segera menelan kedua butir pil itu ke dalam
mulutnya. Pek Bwe meletakkan sekeping uang perak ke atas meja,
kemudian berseru : "Pelayan, uang sisa kuhadiahkan kepadamu untuk
membelikan satu setel pakaian untuk binimu."
Di antara ucapan terima kasih dari sang pelayan, Pek
Bwe menarik tangan Ciu Kim-im dan mengajaknya
meninggalkan rumah makan Wong-kang-lo tersebut.
Beberapa kali Ciu Kim-im berusaha untuk mengerahkan
tenaga sambil meronta, tapi setiap kali ia meronta sekali,
jari tangan Pek Bwe mencengkeramnya makin kencang.
Hal mana segera membuat Ciu Kim-im sama sekali
kehilangan kesempatannya untuk melawan.
Meskipun begitu kalau dilihat dari luaran, seakan-akan
Pek Bwe sedang menuntun Ciu Kim-im seperti seorang
sobat lama sedang memayang temannya yang sedang
mabuk. Setelah meninggalkan loteng Wong-kang-lo, pelan-pelan
Pek Bwe berkata : "Ciu-lote, mulai sekarang kau musti bekerja sama
denganku, jika berani meronta lagi, jangan salahkan kalau
Lohu pun tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap
dirimu." Waktu itu Ciu Kim-im merasakan separuh badannya
kaku, jalannya susah dan harus bersandar di tubuh Pek Bwe
baru bisa berjalan, tak terlukiskan rasa sedih dan
mendongkol yang bergelora dalam hatinya.
Sambil tertawa dingin, dia berseru :
"Kau laknat tua, rase terkutuk, manusia licin, paling
banter aku mampus di tanganmu."
"Betul, memang tepat ucapanmu, kalau ingin membunuh
dirimu, aku hanya perlu menotok jalan darah kematianmu
saja." "Jika aku mati di tanganmu, dengan cara apa kau bisa
berjumpa dengan Tiong It-ki?"
"Cucu luarku itu mempunyai nilai yang sepuluh kali lipat
lebih berharga darimu dalam pandangan mereka, sekalipun
mereka menyaksikan aku membunuh dirimu, tak nanti
mereka berani mencelakai cucu luarku itu......."
"Bagus amat perhitunganmu!"
"Tentu saja! Mereka bisa mempertahankan nyawa cucu
luarku, hal mana menunjukkan bahwa ia berharga jika
masih hidup, bahkan nilainya lebih tinggi dari pada
kematianmu. Ciu-lote, kau tak lebih hanya seorang manusia
kelas empat, manusia semacam dirimu ini meski mampus
delapan atau sepuluh orang lagi juga tak akan mereka
pikirkan di dalam hati."
Ciu Kim-im tertegun, sesaat kemudian katanya :
"Benar juga perkataanmu, aku sesungguhnya bukan
orang mereka!" Pertanyaannya ini dengan cepat membuat Pek Bwe
berbalik menjadi tertegun.
"Kalau kau bukan orang mereka, mengapa kau bersedia
mendengarkan perintah mereka?"
"Apa boleh buat, istri dan anakku telah terjatuh ke
tangan mereka, untuk menebuskan bini dan anakku itu
mereka menitahkan kepadaku untuk menghantar surat ini
kepadamu, mereka telah berjanji asal aku bisa
membawamu ke tempat yang telah ditentukan, maka bini
dan anakku akan dilepaskan. Aaai! Siapa tahu...... siapa
tahu aku malah kena dicelakai olehmu!"
"Sungguhkah pengakuanmu ini?" tanya Pek Bwe
kemudian. ----------------------------
8 "Aaai........! di dalam keadaan seperti ini apa gunanya aku
berbohong kepadamu?" keluh Ciu Kim-im.
Pek Bwe termenung dan berpikir sebentar kemudian
katanya kembali : "Ciu-lote, kini anak binimu telah terjatuh ke tangan
orang lain, aku pikir kau tentunya juga tak ingin mati
bukan?" "Aaai.......! antara kita berdua tak pernah terikat dendam
sakit hati atau permusuhan, tapi aku telah mencelakaimu,
sekalipun kau membunuh aku, hal ini juga sudah
sepantasnya." "Kau berbuat demikian karena dipaksa orang, itu pun
bukan kesalahanmu, cuma andaikata kau bersedia untuk
bekerja sama dengan Lohu, sekarang masih belum
terlambat bagimu." "Terlambat sudah Pek-ya, aku telah menelan pil beracun
itu, bila racun itu mulai bekerja, maka tubuhku akan
lumpuh lebih dahulu, dua belas jam kemudian jiwanya baru
melayang, aku hanya berharap agar Locianpwe bersedia
cepat-cepat memberi kepuasan saja kepadaku, agar aku
bisa terbebas dari segala penderitaan."
"Kenapa?" "Aku sudah pasti akan mati, tapi aku berharap bisa
melindungi nyawa anak biniku, jika Locianpwe bersedia
memenuhi keinginanku, bunuhlah aku sekarang juga, bila
aku sudah mati nanti, mungkin mereka pun akan
mengampuni jiwa anak biniku!"
"Seandainya kau bersedia untuk bekerja sama dengan
Lohu, bukan saja dapat menolong jiwa anak binimu, bahkan
nyawamu pun mungkin masih bisa diselamatkan!"
"Tolong tanya kerja sama macam apakah yang kau
harapkan?" tanya Ciu Kim-im.
Sambil tertawa Pek Bwe lantas membeberkan rencana
yang telah disusunnya itu.
Selesai mendengarkan rencana itu, Ciu Kim-im segera
manggut-manggut, katanya,
"Baiklah! Akan kucoba."
"Lote, kau harus dapat menahan diri, Lohu percaya
kemungkinan kita untuk berhasil besar sekali."
"Pek-ya," kata Ciu Kim-im sambil tertawa getir, kalau
aku yang musti mati, tak akan kusesali dengan hati yang
tulus, tapi kalau sampai mempengaruhi mati hidup bini dan
anakku, pertaruhan ini beru terasa amat besar sekali."
"Percayalah Ciu-lote, walaupun cara ini kurang begitu
baik, tapi kecuali cara tersebut, agaknya kau sudah tidak
memiliki pilihan lain."
Ciu Kim-im segera menghela napas panjang.
"Aaai.......! Pek-ya, seandainya aku sampai ketimpa
musibah dan tidak beruntung anak biniku juga mengalami
nasib yang sama, aku hanya berharap agar Pek-ya bersedia
membelikan sebuah peti mati untuknya, jangan biarkan ia
seorang perempuan harus mati tanpa tempat kubur."
"Lote unjukkan kepala juga sekali bacokan, menarik diri
juga sekali bacokan, perbesar nyalimu, kesempatan kita
untuk berhasil paling tidak masih ada lima puluh persen."
Ciu Kim-im tidak berbicara lagi, ia membawa Pek Bwe
menuju ke depan sebuah gedung besar.
Gedung itu terletak dalam sebuah gang yang terpencil
dan amat sepi, tidak banyak orang yang berlalu lalang di
situ. Pintu gerbang yang terbuat dari kayu tertutup rapatrapat.
Pek Bwe segera melepaskan cengkeramannya pada
pergelangan tangan Ciu Kim-im, katanya kemudian :
"Lote, sekarang kau harus berbalik mencengkeram urat
nadi pada pergelangan tangan tanganku."
Dengan cepat Ciu Kim-im mencengkeram urat nadi pada
pergelangan tangan Pek Bwe dengan tangan kanannya,
sedang tangan kirinya segera menutuk pintu.
Ketukan itu dilakukan tiga kali cepat dua kali pelan, pintu
kayu pun segera terpentang lebar.
Pek Bwe mencoba untuk memperhatikan sekeliling
tempat itu, terasa suasana di sini amat sepi, tak seorang
manusia pun yang tampak. Ketika Ciu Kim-im melangkah masuk ke dalam halaman,
tiba-tiba pintu itu menutup kembali secara otomatis.
Pek Bwe adalah seorang yang berpengalaman, ia cukup
dapat menguasai diri, berpaling sekejap pun tidak.
Ciu Kim-im tidak langsung memasuki ruangan itu,
sebaliknya hanya berdiri di tengah halaman, serunya
dengan lantang, "Sungguh beruntung aku tak sampai melalaikan tugas,,
Pek Bwe telah berhasil kubawa kemari."
Tempat itu adalah sebuah halaman yang empat penjuru
yang merupakan bangunan rumah.
Tapi anehnya, ternyata setiap bangunan rumah yang


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di sana berada dalam keadaan tertutup rapat,
sehingga tidak diketahui bagaimanakah keadaan dalam
ruangan tersebut. Dari ruangan sebelah tengah berkumandang suara
teguran yang amat dingin :
"Bagaimana dengan kedua biji pil itu?"
"Telah ia telan!" jawab Ciu Kim-im.
Suara yang dingin menyeramkan itu segera
berkumandang kembali : "Pek Bwe, dengarkan baik-baik, setelah menelan pil
tersebut lebih baik jangan mencoba untuk menggunakan
tenaga dalam sekarang kau sama sekali sudah tidak
memiliki tenaga untuk melakukan perlawanan lagi, aku
ingin membicarakan satu hal denganmu."
"Dalam surat tersebut kau telah menulis segala
sesuatunya dengan jelas, aku harap kalian dapat memenuhi
janji tersebut dan membiarkan aku bertemu muka dengan
Tiong It-ki." Orang yang berada dalam ruangan itu segera tertawa
terkekeh-kekeh, "Heeehh............ heeehh........... heeehh.......... Pek
Bwe, bagaimanapun juga separuh waktu hidupmu telah kau
gunakan untuk melakukan perjalanan di dalam dunia
persilatan, masa kau masih belum tahu akan kelicikan dan
bahayanya dunia persilatan" Kalau janji dari seorang
sahabat, mungkin masih dapat dipercaya, tapi kita bukan
teman, kita adalah musuh yang saling bertentangan,
menggunakan tentara lebih baik menggunakan siasat,
makin licik siasat makin baik."
"Kenapa" Kau hendak membatalkan janji yang telah
disetujui bersama itu?" tegur Pek Bwe.
Orang yang berada dalam ruangan itu segera tertawa
dingin. "Ciu Kim-im!" teriaknya, "benarkah kau telah
memberikan pil beracun itu kepadanya?"
"Dia sendiri yang bersedia menelan pil itu seusai
membaca isi surat tersebut."
"Oh, kalau begitu coba angkat tanganmu yang
mencengkeram pada urat nadi pada pergelangan tangan
Pek Bwe itu." Ciu Kim-im menurut dan segera mengangkat tangannya.
Betul juga, kelima jari tangan kanan Ciu Kim-im telah
mencengkeram pada urat nadi penting di atas pergelangan
tangan kanan Pek Bwe. Melihat itu, orang yang berada dalam ruangan gedung
segera tertawa, serunya :
"Pek Bwe, dengan pengalamanmu sebagai seorang jago
kawakan, mengapa kau rela menerima ancaman dari orang
she Ciu itu serta mandah diatur segala sesuatu olehnya?"
"Siapa pun jangan harap bisa mengancam diriku, aku tak
lebih hanya ingin menengok cucu luarku!"
Setelah menghela napas panjang, katanya kembali,
"Sobat, apa yang kalian perintahkan telah kulaksanakan
satu per satu, aku berharap kau pun bisa memegang janji
dengan membawa aku untuk bertemu dengan It-ki."
Orang yang berada dalam ruangan itu tidak menggubris
perkataan dari Pek Bwe lagi, sebaliknya dengan suara
dalam ia berseru : "orang she Ciu, kau benar-benar masih ingin bertemu
dengan anak binimu......?"
Ciu Kim-im merasakan hatinya bergetar keras, cepatcepat
sahutnya : "Aku rela menyerempet bahaya demi urusan kalian,
tentu saja aku berharap anak biniku bisa hidup dengan
selamat." "Kalau begitu perundingan di antara kita bisa
dilangsungkan lebih lancar lagi. Serahkan saja tanggung
jawab soal anak binimu itu kepada kami, mereka pasti akan
kami hantar pulang ke desa kelahirannya, cuma........
terpaksa kami harus merepotkan sahabat Ciu."
"Apa lagi yang harus kulakukan?" tanya Ciu Kim-im
cepat. "Mati! Kami tak ingin membiarkan siapa pun untuk
melacaki jejak kami."
Sebenarnya Ciu Kim-im telah sungguh-sungguh
mencengkeram urat nadi Pek Bwe, demi menyelamatkan
jiwa anak bininya, ia telah bersiap-siap untuk mengkhianati
Pek Bwe, bila mana perlu dia akan menceritakan keadaan
yang sebenarnya kemudian mencengkeram nadi Pek Bwe
sehingga jago tua itu benar-benar tak sanggup memberikan
perlawanan. Tapi sekarang pelan-pelan Ciu Kim-im telah
mengendurkan kelima jari tangannya dan melepaskan
cengkeramannya pada urat nadi pada pergelangan tangan
lawan. Diam-diam Pek Bwe menghembuskan napas panjang,
hawa murninya segera dihimpun menjadi satu untuk
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak
diinginkan. "Ciu Kim-im, apakah kau tidak bersedia untuk mati?"
tegur orang yang berada dalam ruangan itu dengan suara
dingin. "Meskipun aku pernah belajar silat, tapi ilmu silat
kupakai untuk menyehatkan badan saja, aku tak ingin mati,
aku lebih-lebih tak ingin menyaksikan anak biniku
menderita, kami bukan orang persilatan, harap kan kami
hanya bisa pulang ke tempat kelahiran dan hidup bercocok
tanam di sana." "Ciu Kim-im, bukalah sedikit pikiranmu," ujar orang
dalam ruangan itu, ada sementara persoalan yang
sesungguhnya sudah tak bisa kau putuskan sediri."
Pek Bwe yang mengikuti jalannya pembicaraan tersebut
segera menghela napas panjang, katanya :
"Sahabat Ciu, agaknya bukan aku saja yang telah
tertipu, kau pun ikut ditipu pula oleh mereka, mereka bukan
anggota perkumpulan resmi dari dunia persilatan,
melainkan anggota perampok dari suatu organisasi rahasia
yang bermain sembunyi, sekalipun kau bersedia untuk mati
bagi mereka belum tentu anak binimu bisa selamat, mereka
sudah berbicara cukup jelas, tak seorang saksi pun akan
dibiarkan hidup, mereka hendak membabat rumput sampai
ke akar-akarnya." Ciu Kim-im merasakan hatinya bergetar keras, serunya
dengan cepat, "Benarkah apa yang diucapkan oleh Pek-ya ini?"
Ia telah bertekad untuk bekerja sama dengan Pek Bwe,
bekerja sama secara sebaik-baiknya.
Tampaknya orang yang berasa dalam ruangan itu belum
curiga, ia tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh...... haaahhh....... haaahhh....... jangan kau
percaya dengan kata-katanya yang bersifat mengadu
domba itu." "Kemungkinan besar mereka telah mencelakai anak
binimu....." sambung Pek Bwe dengan suara lantang.
"Omong kosong!" tukas orang itu, "mengapa kami harus
mencelakai jiwa kaum wanita dan kanak-kanak?"
"Sahabat Ciu,kalau kau masih belum percaya dengan
perkataan Lohu, kenapa tidak minta kepada mereka untuk
berjumpa sejenak dengan anak binimu?" seru Pek Bwe lagi.
Setelah berhenti sejenak, dengan ilmu menyampaikan
suara dia melanjutkan, "Lote, sekarang kau harus percaya kepada Lohu,
lakukanlah tugasmu seperti apa yang telah kita
rencanakan!" Ciu Kim-im menghembuskan napas panjang, katanya
kemudian : "Kita tak pernah bermusuhan, kalian pun sudah
menyuruh aku melakukan banyak pekerjaan, bila anak
biniku kalian bunuh pula, maka kalian betul-betul tak punya
liang-sim." Orang yang berada dalam ruangan itu segera tertawa
dingin. "Orang she Ciu, sekarang baru memahami akan hal itu,
tidakkah kau merasa terlalu terlambat?"
Mendadak cahaya tajam berkelebat lewat, dengan
sempoyongan Ciu Kim-im mundur ke belakang dan
melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Pek Bwe,
Perbuatan keji yang dilakukan musuh sungguh luar biasa
kejam dan jahatnya, sehingga Pek Bwe sendiri pun merasa
sedikit di luar dugaan, dengan hati terkesiap ia
mempertinggi kewaspadaannya terhadap mereka.
Ketika berpaling, tampaklah sebilah pisau terbang telah
menancap di punggung Ciu Kim-im.
Agaknya di ujung pisau terbang tersebut telah dipolesi
dengan sejenis racun yang sangat jahat, Ciu Kim-im
menekan punggungnya dengan tangan kanan menahan
rasa sakit yang luar biasa, dia hanya sempat mengucapkan
sepatah kata : "Kalian..... kalian sungguh kejam......"
Belum habis perkataan itu, tubuhnya sudah roboh
terkapar ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Pek Bwe sendiri sedang menggerak-gerakkan tangannya
berlagak seakan-akan jalan darahnya baru saja
terbebaskan, pelan-pelan dia berkata dengan lirih,
"Kematian orang ini betul-betul penasaran......"
Dari balik ruangan berkumandang suara gelak tertawa
nyaring. "Haaahh........ haaahh....... haaahh....... sungguh tak
kusangka To-heng-siu yang amat tersohor itu ternyata
adalah seorang manusia yang berhati baik."
"Lohu hanya menyayangkan kematiannya saja."
"Manusia semacam ini sesungguhnya tak perlu
dikasihani, seperti apa yang telah dia ucapkan, antara dia
dengan kau sesungguhnya tidak saling mengenal, tapi ia
bersedia mencelakaimu........."
"Itulah dikarenakan paksaan dari kalian," kata Pek Bwe
cepat. "Betul, kami yang telah memaksanya, cuma, jika dia
adalah seorang kuncu yang sejati, tidak seharusnya ia
menerima gertakanku serta melaksanakan apa yang telah
kuperintahkan." Pek Bwe segera menghela napas panjang,
"Aaai.....! Benar juga perkataanmu, orang ini memang
terlalu mementingkan diri sendiri."
"Jikalau kau memang merasa bahwa tindakanku ini tidak
terhitung salah sekarang, semestinya kita harus mulai
membicarakan persoalan yang penting."
"Katakanlah, Lohu akan mendengarkan dengan penuh
perhatian." "Pek-loji, tahukah kau apa maksud kami mengundangmu
datang kemari?" tanya orang dalam ruangan itu.
"Aku bersedia menelan racun, bersedia menuruti
perintah orang untuk datang kemari semuanya ini tak lain
hanya ingin menjenguk cucu luarku itu."
"Itu kan menurut jalan pemikiran Pek-loji, sedang jalan
pemikiranku adalah sama sekali berbeda."
"Apakah kau sengaja mengatur siasat busuk itu hanya
untuk membohongi diriku saja."
"Oooh...... begitu sih tidak, Tiong It-ki memang betulbetul
sudah terjatuh ke tangan kami, bahkan aku bisa
memberi kabar kepada Pek-loji bahwa sanya dia masih
hidup segar bugar sama sekali tidak mengalami cedera
apapun." "Bagus sekali kalau memang begitu, entah apa yang
musti Lohu lakukan agar bisa bertemu dengannya?"
"Kau boleh bertemu dengannya, tapi bukan sekarang,
karena ia sama sekali tidak berada di kota Siang-yang ini."
"Jadi kalau begitu, permainan busuk kalian ini tak lebih
hanya suatu tipuan belaka?"
"Tipuan juga bukan, karena Tiong It-ki betul-betul
berada di tangan kami, asal Pek-ya bersedia untuk bekerja
sama dengan kami, pokoknya kau pasti mempunyai
kesempatan untuk bertemu muka dengan cucu luarmu itu."
" "Oooh........!"
"Pek-ya, kau harus mengerti, sekarang kau sudah tidak
mempunyai kesempatan untuk melakukan perlawanan lagi,"
kata orang dalam rumah memberi peringatan.
"Oleh karena itu, aku sudah sepantasnya mendengarkan
semua perintah yang kalian ucapkan?"
"Rasa-rasanya kau memang hanya mempunyai sebuah
jalan ini saja untuk ditempuh," jawab orang itu dingin.
"Baiklah! Aku pikir, sekarang aku sudah tidak memiliki
kemungkinan untuk meloloskan diri lagi."
"Pek-ya sudah lama melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan, lebih banyak urusan persilatan yang dapat kau
pahami, aku rasa tak perlu banyak penjelasan dari diriku
lagi, silakan masuk ke dalam ruangan untuk duduk!"
Pintu kayu di depan ruangan tengah tersebut mendadak
terbuka dengan sendirinya.
Pek Bwe mencoba untuk menengok ke dalam, namun
suasana dalam ruangan itu sunyi senyap tak nampak
sesosok bayangan manusia pun.
Biar memasuki ruangan itu ibaratnya masuk ke sarang
naga gua harimau, Pek Bwe telah bertekad untuk
mencobanya juga, sebab dia bertekad hendak membuat
jelas semua duduknya persoalan.
Sambil diam-diam menghimpun tenaga dalamnya untuk
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tidak
diinginkan, selangkah demi selangkah ia berjalan masuk ke
dalam ruangan. "Lohu sudah hidup sekian lama, hidup juga tak ... mati
juga tak menyesal, apakah kalian hendak mempergunakan
aku si tua bangka ini sebagai sandera?" tegurnya.
Gumam itu diucapkan dengan suara yang tidak
terlampau keras, tapi jelas ditujukan kepada lawan.
Sekalipun suaranya kecil, asal dalam ruangan itu betulbetul
ada orangnya maka suara gumaman tersebut pasti
akan terdengar oleh mereka.
Setelah masuk ke dalam ruangan, ia memperhatikan


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali sekeliling tempat itu, kecuali beberapa buah
bangku dan sebuah meja besar, dalam ruangan itu tidak
nampak perabot lain, seorang manusia pun tidak nampak
berada di situ. Pek Bwe menarik sebuah bangku dan berduduk di situ,
katanya kembali : "Lohu sudah masuk ke dalam ruangan, Saudara, aku
pikir kau musti munculkan pula dirimu."
Pelan-pelan dari balik ruang tidur di sebelah kanan
ruangan muncul seorang manusia, sambil menampilkan
dirinya ia berkata : "Bertemu sama halnya dengan tidak bertemu, apa
gunanya setelah saling bersua muka?"
Orang itu berdandan sangat aneh, dia mengenakan
sebuah jubah hitam yang besar dan kedodoran untuk
menutupi perawakan tubuhnya, bahkan sepasang
tangannya juga tertutup oleh jubah yang panjang dan lebar
itu, wajahnya tertutup pula oleh selembar kain hitam,
sehingga yang terlihat hanya sepasang matanya yang jeli
serta sebaris giginya yang putih.
Pek Bwe duduk tak berkutik di tempat semula,
diawasinya manusia berjubah hitam itu sekejap, lalu sambil
tertawa dingin berkata : "Kau sesungguhnya seorang lelaki ataukah seorang
perempuan?" Perkataan semacam ini biasanya merupakan suatu
cemoohan, suatu penghinaan bagi pendengaran orang
persilatan. Tapi agaknya manusia berjubah hitam itu sama sekali
tidak memperdulikannya, dia malahan balik bertanya :
"Menurut pendapatmu?"
"Kalau kudengar dari nada perkataanmu, nampaknya kau
seperti seorang laki-laki, tapi kalau kulihat dari caramu
menyembunyikan diri, tampaknya kau seperti seorang
perempuan." Manusia berjubah hitam itu segera tertawa terbahakbahak.
"Haaahhh...... haaahhh....... haaahhh........ kalau orang
hendak mati, biasanya dia mengucapkan kata-kata yang
bajik, sebaliknya ucapan anda jauh lebih tajam dari pada
sebilah pisau." "Aaai.......! Sobat, seorang kuncu tak bolehlah berbuat
sewenang-wenang, kalian telah memaksa diriku untuk
menelan pil beracun, membohongi aku pula untuk datang
kemari, sekarang kau menjumpai aku dengan dandanan
seaneh ini, sungguh membuat aku tidak habis mengerti,
sesungguhnya apa maksudmu?"
Jilid 9 "Kami berbuat demikian karena aku tak ingin bertemu
dengan kau dengan wajahku yang sebenarnya."
Satu ingatan segera melintas dalam benak Pek Bwe,
segera tegurnya : "Siapa kau?" "Jangan terlalu banyak sok pintar, kau pun jangan terlalu
banyak berpikir, karena kesemuanya itu tak akan
bermanfaat!" manusia berjubah hitam itu memperingatkan.
"Oooh......!" "Sekarang, agaknya kita sudah harus membicarakan
masalah yang utama bukan?"
"Silakan, Lohu akan mendengarkan dengan seksama."
"Kau boleh tak usah mati, Pek Hong juga boleh tak usah
mampus, tapi kalian ayah dan anak mulai detik ini harus
mengasingkan diri dari keramaian dunia dan tak boleh
muncul kembali di dalam dunia persilatan."
"Masih ada yang lain?"
"Tiong It-ki juga boleh tak usah mati, bahkan boleh
berkumpul dengan kalian berdua, tapi Tang Cuan serta Cu
Siau-hong tak bisa dibiarkan hidup terus di dunia ini."
"Apakah Bu-khek-bun harus lenyap dengan begitu saja
dari dunia persilatan?"
"Bu-khek-bun masih akan tetap ada, cuma ketuanya
akan diganti dengan orang lain, muridnya juga diganti
dengan murid-murid yang lain, markas mereka akan tetap
berada di perkampungan Ing-gwat-san-ceng."
"Aaaai.......! kalau demikian kejadiannya, bukankah
perguruan Bu-khek-bun selanjutnya hanya sebuah
perguruan kecil yang sama sekali tak ada artinya?"
"Pek-ya kembali salah menduga, Bu-khek-bun dengan
cepat akan berkembang menjadi sebuah perguruan yang
besar dan kuat, bahkan beratus-ratus kali lipat jauh lebih
tangguh daripada sewaktu dipimpin oleh Tiong Ling-kang,
jangan kuatir dalam soal ini sukma Tiong Ling-kang di alam
baka tentu akan beristirahat dengan tenang."
"Apakah kau bisa menerangkan dengan lebih jelas lagi?"
"Padahal segala sesuatunya telah kuterangkan dengan
sejelas-jelasnya, dengan pengalaman Pek-ya dalam dunia
persilatan, aku rasa beberapa patah kata itu tentu sudah
kau pahami dengan sesungguhnya."
"Pahamnya sih memang sudah paham, cuma berhubung
masalah ini mempunyai pengaruh yang amat besar, aku tak
ingin melakukan dugaan-dugaan sendiri."
"Kalau Pek-ya memang berkata begini, terpaksa aku
musti menerangkan dengan lebih jelas lagi."
"Baik, Lohu akan mendengarkannya."
"Kami hendak menggunakan perguruan Bu-khek-bun
untuk kepentingan kami, jika kerja sama ini bisa
dilaksanakan, maka Tiong It-ki mungkin saja akan
melanjutkan karier ayahnya untuk menjadi ciangbunjin dari
perguruan Bu-khek-bun."
"Kalau betul-betul sampai terjadi keadaan demikian,
Lohu jadi menguatirkan keselamatan kalian semua."
"Oooh....... apa yang kau kuatirkan?"
"Aku kuatir setelah dia menjadi ciangbunjin perguruan
Bu-khek-bun, maka dia akan mulai berusaha untuk
membalaskan dendam bagi kematian bapaknya."
"Ciangbunjin tidak lebih hanya suatu sebutan belaka,
belum tentu mempunyai kekuasaan yang amat besar."
"Setelah kau berkata demikian, Lohu pun mulai
mengerti, jadi meskipun Tiong It-ki bisa menjadi
ciangbunjin perguruan Bu-khek-bun, namun dia tak lebih
hanya seorang boneka yang akan menuruti semua perintah
orang lain?" "Soal itu sih belum tentu demikian, hal ini tergantung
pula pada penampilan yang akan diperlihatkan oleh Tiong
It-ki pribadi, jika dia amat setia dan mau bekerja sama,
kemungkinan besar dia akan menerima keuntungan yang
jauh lebih besar lagi."
"Dengan perkataan lain, kalian hendak menyuruh dia
untuk melupakan dendam sakit hati ayahnya dan
melaksanakan perintah kalian tanpa membantah?"
Manusia berbaju hitam itu segera tertawa dingin.
"Pek-ya, kita sendang membicarakan masalah yang
serius, bukan sedang memperdebatkan sesuatu persoalan."
"Tentang soal ini aku mengerti."
"Persoalan yang paling penting saat ini adalah
bersediakah Pek-ya untuk bekerja sama dengan kami?"
"Menghadapi persoalan yang demikian penting dan
seriusnya ini, Lohu merasa agak sulit juga untuk memberi
jawaban dengan cepat."
"Pek Bwe, kau harus mengambil keputusan dengan
secepatnya, karena kau sudah tidak mempunyai waktu
yang cukup lama lagi."
"Kau maksudkan Lohu bakal mati?"
"Jika di dalam lambung sudah mengandung racun jahat,
siapa yang sanggup untuk hidup lebih lama lagi?"
Pek Bwe segera tertawa. "Lohu sudah hidup cukup lama di dunia ini, terus terang
saja, soal mati hidup sudah bukan menjadi ancaman yang
menakutkan lagi bagiku, cuma tentu saja aku masih tak
ingin mati, coba kalian utarakan dulu kerja sama dalam
bentuk apakah yang bisa Lohu berikan untuk kalian?"
"Bujuklah Pek Hong, dan tangkap hidup-hidup Tang
Cuan, Seng Tiong-gak, serta Cu Siau-hong untuk
menunjukkan ketulusan hatimu dalam persoalan ini."
"Tampaknya tidak sedikit yang kau ketahui tentang
masalah Bu-khek-bun" Aku rasa tentunya kalian juga tahu
bukan bahwa hubungan cinta mereka suami istri terlalu
mendalam sekali?" "Aku tahu tentang soal ini, tapi suaminya sekarang sudah
mati, sedangkan Tiong It-ki masih hidup, dia adalah satusatunya
putra yang dia miliki, seorang perempuan setengah
umur yang telah kehilangan suaminya tentu tak ingin
kehilangan putranya pula."
Pek Bwe termenung sejenak, kemudian berkata :
"Yaa, kejadian ini memang benar-benar merupakan
suatu persoalan yang sukar untuk diputuskan, dalam
menghadapi masalah seperti ini, aku pun tak tahu
bagaimana keputusannya."
"Kami cukup menyadari akan kesulitannya yang sedang
dihadapinya, oleh karena itu kami memohon bantuan untuk
membujuknya." "Baiklah!" kata Pek Bwe kemudian, "Lohu bersedia untuk
mencoba membujuknya."
"Bagus sekali, keputusanmu ini bagimu pribadi, bagi Pek
Hong, maupun bagi Tiong It-ki semuanya akan memberikan
keuntungan yang bermanfaat sekali."
"Jika sudah tiada urusan yang lain lagi, Lohu hendak
mohon diri lebih dahulu."
Sikap manusia berjubah hitam itu segera pulih kembali
dalam sikapnya yang menghormat, katanya :
"Pek-ya, kau sudah memikirkannya dengan jelas atau
belum?" "Ada persoalan apa lagi?"
"Seandainya kau telah berhasil membujuk Pek Hong, apa
yang hendak kau lakukan untuk membekuk Cu Siau-hong
serta Tang Cuan?" "Mereka sangat menuruti perkataan Hong-ji, bila Lohu
benar-benar berhasil membujuk Pek Hong, maka asal Pek
Hong memberi perintah, mereka pasti akan menyerahkan
diri tanpa melawan."
"Aku pikir tindakan seperti ini terlalu menempuh bahaya,
andaikata mereka tak mau menyerah, bukankah kesulitan
segera akan timbul?"
"Jadi menurut maksud anda?"
"Meracuni mereka, tentu saja mereka tak akan
menyangka kalau Pek Hong bakal meracuni mereka berdua,
aku rasa cara ini sangat jitu dan tak mungkin bakal
meleset." "Sungguh suatu cara yang hebat, sungguh suatu cara
yang hebat, yaa, mereka pasti tak akan menyangka sampai
ke situ." Manusia berjubah hitam itu segera tertawa.
"Ada kalanya, sekalipun otak sudah dipakai sampai
botak, walau siasat sudah disusun dengan cermat, belum
tentu masalahnya bisa diselesaikan secara sempurna, tapi
kadang kala hanya mempergunakan suatu cara yang amat
sederhana, namun semua persoalan ternyata bisa
terselesaikan dengan menggembirakan."
"Aaai....! persoalannya sekarang adalah berhasilkah aku
membujuk putriku agar dia mau mengikuti perkataanku."
"Semestinya persoalan semacam ini bukan suatu
masalah yang terlalu sulit, kau adalah ayahnya, sedang
Tiong It-ki adalah satu-satunya putra yang dia miliki, di
dunia ini hanya dua orang ini yang merupakan sanak
keluarganya, aku pikir dia pasti dapat mempertimbangkan
untung ruginya dengan baik."
"Lohu pun beranggapan demikian, sebab itulah aku
merasa masih ada separuh kesempatan untuk berhasil."
"Jadi kau telah setuju?"
"Yaa, Lohu setuju!"
"Beri tahu kepada Pek Hong, organisasi kami ini tak ingin
menderita kegagalan, bila dia ingin main curang dengan
kami, akibatnya dengan cepat dia akan menerima batok
kepala dari Tiong It-ki."
"Bagaimana dengan Lohu?"
"Dia pun dapat menyaksikan kau mati keracunan dan
menderita siksaan hebat sebelum tibanya ajal."
"Berapa lama Lohu masih bisa hidup?"
Manusia berjubah hitam itu termenung sejenak,
kemudian sahutnya, "Aku rasa tak akan lewati dua tiga jam lagi."
"Waktunya terlampau singkat, aku rasa tidak cukup
untuk digunakan membujuk orang."
"Kami tak akan terlalu tergesa-gesa, bagaimana kalau
kuberi waktu selama dua puluh empat jam?"
"Itu sudah cukup."
"Berikan obat penawarnya kepada Pek-ya!"
Dari dalam ruangan segera muncul kembali seorang
manusia berbaju hitam, seperti juga orang yang pertama,
dia pun menggunakan sebuah jubah lebar berwarna hitam
yang panjang dan kedodoran, bahkan sepasang tangannya
juga mengenakan sarung tangan berwarna hitam, ini
membuat Pek Bwe sulit untuk menyelidiki identitas mereka.
Di tangan manusia berbaju hitam ini membawa sebuah
baki kayu yang besar. Di atas baki terletaklah dua buah botol porselen serta
sebuah cawan kecil. Isi cawan itu adalah cairan berwarna hijau tua.
Manusia berbaju hitam itu segera berkata :
"Dari kedua buah botol porselen ini, yang satu berisikan
obat penawar, isinya terdiri dari dua butir pil, sebutirnya
dapat mencegah daya kerja racun di tubuhmu selama dua
belas jam, bila semua urusan sudah kau selesaikan kami
akan menghantarkan kembali obat penawar yang lain.
Sedangkan isi botol porselen yang lain, isinya berupa bubuk
putih itu adalah sejenis racun yang tidak berwarna tidak
berbau, jika dicampurkan ke dalam air teh dan membiarkan
mereka meneguknya, dalam setengah jam kemudian
segenap tenaga dalam yang mereka miliki akan punah tak
berbekas......" Pek Bwe manggut-manggut.

Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Obat yang lihay!" serunya.
Dua buah botol porselen itu segera diambil dan
dimasukkan ke dalam sakunya
"Sedangkan isi cawan itu adalah secawan arak wangi
yang disebut Pek-liok-cun," kata manusia berjubah hitam
itu lagi, "inilah arak bertanda masuk komplotan, bila kau
bersedia untuk meneguknya, berarti kau adalah orangorang
kami." "Aku lihat arak bertanda masuk komplotan ini tidak
kuminum saja, sebab dewasa ini Lohu masih belum
berhasrat untuk menjadi anggota komplotan kalian."
"Tidak bisa!" tukas manusia berbaju hitam itu dingin,
"bagaimanapun juga kau harus meneguknya sampai habis,
Pek Bwe! Sebagai bukti kesetiaanmu terhadap diriku kau
harus meneguk isi cawan itu sampai habis."
"Lohu tidak minum arak barang setetes pun mana
mungkin aku bisa menghabiskan arak secawan penuh?"
"Pek Bwe, jika kau tak meneguk isi cawan itu, kami tak
dapat mempercayai dirimu."
"Kalau begini jadi susah rasanya, Lohu benar-benar tak
ingin minum arak tersebut."
Setelah berhenti sejenak, dia meneruskan kembali katakatanya
: "Sobat, seandainya arak ini adalah secawan arak
beracun, aku telah keracunan, sekalipun tidak minum arak
beracun aku tetap sudah keracunan, sebaliknya kalau arak
itu tidak beracun, kenapa pula kau musti memaksa diriku
untuk meneguknya?" Manusia berjubah hitam itu termenung dan berpikir
sesaat lamanya, kemudian dia baru berkata :
"Pek Bwe, kau sudah tua, pengalamanmu sudah cukup
banyak, kau harus tahu bahwa hal ini merupakan suatu
peraturan." "Paling tidak, Lohu masih belum sampai pada saat untuk
menuruti peraturan tersebut," tukas Pek Bwe.
Manusia berbaju hitam itu segera tertawa dingin,
"Tampaknya, pembicaraan kita sukar untuk dilanjutkan
kembali," katanya. "Lohu sudah mengalami banyak kejadian besar selama
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, aku berharap
kalian jangan terlalu memaksakan kehendaknya atas
diriku." Mencorong sinar tajam dari balik mata manusia berjubah
hitam itu, agaknya dia hendak mengumbar hawa
amarahnya, tapi tiba-tiba ia dapat menahan diri kembali.
"Baiklah!" katanya kemudian, "kukabulkan
permintaanmu itu!" "Lohu sudah mengalah banyak kepada kalian, aku pun
berhara dalam beberapa persoalan kalian bisa mengalah
pula untukku, benar bukan?"
Manusia berbaju hitam itu segera mengulapkan
tangannya, pembawa baki itu pelan-pelan mengundurkan
diri dari situ. "Sekarang, apakah Lohu boleh pergi meninggalkan
tempat ini?" tanya Pek Bwe dingin.
Manusia berjubah hitam itu kembali termenung sejenak
sebelum akhirnya menyahut,
"Kau harus ingat baik-baik, paling tidak Tiong It-ki masih
berada di tangan kami."
"Nah, pergilah sekarang!"
Pek Bwe manggut-manggut. "Lohu akan ingat selalu perkataanmu itu, aku akan
berangkat duluan...." katanya.
"Baik-baik di jalan Pek-ya, aku tak akan menghantar
lebih jauh lagi." Pek Bwe tidak berkata apa-apa lagi, dia putar badan dan
segera berjalan keluar dari ruangan itu.
Ketika tiba di tengah halaman luas, ditemuinya mayat
Ciu Kim-im telah lenyap tak berbekas.
Dengan sorot mata yang amat tajam, manusia berjubah
hitam itu mengawasi bayangan punggung Pek Bwe yang
melangkah keluar dengan langkah lebar hingga lenyap dari
pandangan. Pek Bwe berjalan dengan langkah pelan, ketika tiba di
sebuah persimpangan jalan, dia baru berhenti.
Setelah menengok sekejap sekeliling tempat itu,
mendadak ia percepat langkahnya mengitari dua buah gang
sempit dan berlarian ke arah depan.
Tiba kembali di gedung yang didiami Pek Hong, ia segera
dihadang oleh para anggota Kay-pang yang berjaga-jaga di
sekitar sana. Tapi setelah mengetahui akan diri Pek Bwe, empat orang
anggota Kay-pang itu segera membuyarkan diri kembali
untuk kembali ke tempatnya masing-masing.
Menyaksikan keketatan penjaga di situ, Pek Bwe merasa
hatinya jauh lebih lega, diam-diam ia menghembuskan
nafas lega dan menuju ke halaman.
Pek Hong, Seng Tiong-gak, dan Tang Cuan duduk
berkerumun dalam ruangan sambil bercakap-cakap, di luar
dugaan Pek Bwe ternyata Cu Siau-hong juga tampak hadir
di sana. Cu Siau-hong segera bangkit berdiri, sambil memberi
hormat katanya : "Cianpwe, Siau-hong minta maaf!"
"Kau tidak berdosa, malah seharusnya mendapat
pahala." "Mendapat pahala, kenapa?"
Sambil mengelus jenggotnya Pek Bwe tertawa, katanya :
"Aku orang tua telah mencarimu ke sana kemari."
"Itulah sebabnya Boanpwe memohon maaf," sambung Cu
Siau-hong, "sewaktu kau orang tua munculkan diri, Siauhong
telah melihat kehadiranmu, dapat melihat pula
kegelisahan kau orang tua, tapi waktu itu Siau-hong betul
tak dapat mengadakan kontak dengan kau orang tua...."
"Untung saja kau tidak berhubungan dengan Lohu," ucap
Pek Bwe, "sebab itu, Lohu berhasil menemukan tempat
persembunyian mereka."
"Sudah menjumpai It-ki?" tanya Pek Hong.
"Belum, rupanya gerak-gerik kita selama berada di
Siang-yang selalu berada di dalam pengawasan mereka...."
Secara ringkas dia pun menceritakan semua kejadian
yang telah dialaminya barusan.
Selesai mendengar perkataan itu, Seng Tiong-gak segera
bangkit berdiri seraya berseru :
"Kalau memang tempat persembunyian mereka telah
berhasil diketahui, mari sekarang juga kita menyatroni
mereka." Buru-buru Pek Bwe menggoyangkan tangannya berulang
kali. "Duduklah dulu," katanya, "jangan terburu nafsu,
dengarkan kata-kataku lebih lanjut."
Sambil tertawa jengah, Seng Tiong-gak duduk kembali.
Maka Pek Bwe pun berkata lebih jauh,
"Walaupun keparat itu mengenakan sebuah jubah hitam
yang besar dan kedodoran sehingga tinggal sepasang
matanya yang tampak, tapi aku dapat mendengar suara
pembicaraannya, lagi pula tampaknya ia merasa amat kesal
denganku." "Aaah........ masa begitu" Apakah kau orang tua berhasil
mengenali suara siapakah itu?" seru Seng Tiong-gak.
"Agaknya suara Long Ing!"
"Ji-sute?" Tang Cuan terbelalak lebar.
"Ia berusaha untuk merubah nada suaranya agar tidak
kukenali, tapi aku orang tua toh berhasil mengenalinya
juga, tentu saja tidak terlalu yakin."
"Bedebah manusia laknat. Kalau sampai kutemukan
pengkhianat ini, akan kucincang tubuhnya hingga hancur
lebur berkeping-keping," sumpah Seng Tiong-gak penuh
kebencian. Pek Bwe menghela napas sedih.
"Aaaai.....! kalau diserang dari luar dalam secara
bersamaan tak heran perguruan Bu-khek-bun berhasil
mereka tumpas dalam semalaman saja...."
"Saat yang mereka pilih terlalu baik, andaikata Suhu dan
Susiok berada dalam perkampungan semua, tak nanti
mereka akan berhasil," ujar Tang Cuan.
"Mereka tentu akan berganti dengan cara yang lain,"
kata Pek Bwe. "Ayah!" ucap Pek Hong sedih, "setelah kau berjumpa
dengan Long Ing, apakah ditanyakan pula kabar berita
tentang It-ki?" "Menurut nada pembicaraan mereka, agaknya It-ki masih
hidup di dunia bahkan menderita luka pula, besar
kemungkinan mereka mencelakai It-ki terlebih dahulu
sebelum melancarkan penumpasan."
"Kalau begitu mari kita menyelamatkan It-ki terlebih
dahulu." "It-ki tidak berada di sini, rencana mereka terlalu rapi,
tentunya mereka juga telah menduka kalau kita bakal
melakukan pencarian, siapa tahu kalau tindakan mereka ini
tak lain hanya ingin memancing kita masuk ke dalam
perangkap." "Maksud ayah...."
"Yaa, apa lagi" Terpaksa kita harus beradu kecerdikan
dengan mereka, jelas sulit buat kita untuk turun tangan
dewasa ini, lebih baik kita mencari akal untuk mengobrakabrik
sarang mereka, atau dengan siasat kita makan siasat
mereka." Tiba-tiba Cu Siau-hong bertanya :
"Locianpwe, setelah kau jumpai Ji-suheng, apakah lo-ngo
dan lo-kiu juga berhasil dijumpainya?"
"Entah seorang baju hitam yang memberi obat kepadaku
itu salah seorang di antara mereka atau bukan, tapi jika
dilihat dari cara mereka membunuh Ciu Kim-im yang begitu
kejam dan tak kenal perikemanusiaan, agaknya organisasi
tersebut adalah suatu organisasi yang amat kejam, Long
Ing sekalian sudah pasti bukan otak yang mengatur segala
sesuatu itu, di kota Siang-yang mereka pasti mempunyai
seorang pemimpin, ia termenung agak lama sebelum
menjawab, kemungkinan sekali ia sedang menerima
petunjuk." "Pek-cianpwe, apakah kita harus berpeluk tangan
belaka!" kata Seng Tiong-gak tidak puas.
"Tentu saja mereka harus kita cari, cuma bukan
sekarang." "Kalau bukan sekarang, apakah kita harus menunggu
sampai mereka pergi meninggalkan tempat ini?"
"Tiong-gak, kenapa kau begitu terburu nafsu" Bahkan
Tang Cuan dan Siau-hong pun lebih tenang darimu,
mengapa kau tidak menenangkan juga hatimu" Seandainya
It-ki berada di sini, meski harus pertaruhkan nyawa kita
wajib pergi mencarinya, tapi It-ki tidak berada di sini, kita
tak boleh bertindak tanpa rencana, Nak, ketahuilah bahwa
kekuatan Bu-khek-bun tinggal tak seberapa, bila tidak
menyaksikan lebih baik kita jangan sembarangan bertaruh."
Pek Hong menggoyangkan tangannya mencegah Seng
Tiong-gak berbicara lebih jauh, lalu katanya :
"Ayah harap bicara lebih jelas, apa yang harus kita
lakukan sekarang?" "Kita musti memikirkan soal Long Ing, dengan cara apa
ia bisa sampai masuk ke dalam Bu-khek-bun, asalkan
usulnya bisa diketahui, maka kita pun akan lebih mudah
turun tangan. Sebaliknya jika kita ke sana sekarang, paling
banter hanya akan menjumpai sebuah bangunan kosong,
apalah artinya bangunan kosong bagi kita?"
"Locianpwe, Siau-hong masih ada satu hal yang pantas
dicurigai," ucap Cu Siau-hong tiba-tiba.
"Baik, coba katakan!"
"Seingat Siau-hong, hubungan kau orang tua dengan
kami di masa lalu tidak begitu akrab, dari mana kau bisa
merasa yakin jika orang itu adalah Long Ing Cong Jisuheng?"
"Tentang soal ini tak bakal salah lagi, betul aku jarang
bertemu dengan kalian, tapi aku mempunyai kepandaian
untuk mengingat suara orang, terus terang saja
kepandaianku ini tiada duanya dalam dunia persilatan
dewasa ini." "Bila ada seorang yang menirukan logat Ji-suheng,
dapatkah Locianpwe membedakannya mana yang asli mana
yang palsu?" "Soal ini Lohu tak begitu yakin, aku pun tidak
mendengarkan suaranya dengan seksama, hanya bisa
kukatakan suaranya sangat mirip dengan suara Long Ing."
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan :
"Bocah, kau sudah pergi selama banyak hari, apa saja
yang berhasil kau dapatkan?"
"Kalau dibicarakan sungguh memalukan, walau sudah
melakukan perjalanan selama beberapa hari namun masih
belum kutemukan suatu hal yang penting, cuma aku
menjumpai begitu banyak jago persilatan yang mulai
berdatangan ke kota Siang-yang ini."
"Oooh, selain itu?"
"Selain itu, masih ada lagi urusan tentang si nona baju
hijau, bukankah Locianpwe telah menyaksikan sendiri?"
"Setelah kau singgung kembali persoalan tersebut, Lohu
menjadi teringat kembali akan satu persoalan," sambung
Pek Bwe, "apakah Pi Sam-long telah datang kembali?"
"Tidak." "Siau-hong, bagaimana selanjutnya dengan si nona baju
hijau itu" Dia telah ke mana?"
"Ia bertahan terus di situ, karena Boanpwe tak betah,
akhirnya aku angkat kaki lebih dahulu dari situ."
"Kecuali si nona baju hijau, apalagi yang kau temukan?"
"Kulihat orang-orang Pay-kau pada berkumpul di atas
sebuah perahu besar yang membuang sauh di tengah
sungai." "Itu berarti mereka sedang mengadakan rapat, agaknya
orang-orang Pay-kau juga telah berusaha dengan sepenuh
tenaga untuk menanggulangi peristiwa yang menimpa Lingkang."
"Ayah, sudah setengah harian kau berbicara, tapi belum
kudengar cara yang kau maksudkan, apa yang musti kita


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan sekarang?" "Aku toh sudah bilang, kita gunakan siasat melawan
siasat." "Maksud Cianpwe, apakah kita berlagak kena ditawan?"
tanya Seng Tiong-gak. Pek Bwe tertawa getir. "Cara itu terlalu berbahaya, kita tak boleh terlalu
memandang rendah kekuatan musuh, cara yang terlalu
berbahaya pun tak boleh digunakan, seandainya siasat
tersebut sampai diketahui lawan, sedang kita masih belum
menyadari, besar kemungkinan kita semua malah sungguhsungguh
akan tertangkap oleh mereka."
"Kalau begitu, dengan cara apakah Locianpwe akan
mengatur rencana untuk melaksanakan siasat melawan
siasat tersebut?" "Biar Lohu pergi seorang diri, seolah-olah rencanaku
telah diketahui kalian..."
"Locianpwe, cara ini tak boleh dilakukan," buru-buru Cu
Siau-hong menyela dari samping.
"Nak, aku sudah tua, aku hanya ingin menengok
keadaan It-ki, sebab kecuali menggunakan cara ini, rasanya
sulit buat kita untuk menemukan jejak It-ki."
"Locianpwe, aku dapat memahami maksudmu, tapi
ketahuilah bahwa mencari kemujuran dengan cara
menyerempet bahaya sukar diketahui hasilnya, aku rasa
bila dibicarakan dengan keadaan pada saat ini, cara
tersebut bukan terhitung suatu cara yang baik."
"Bocah cilik, lalu apa pendapatmu?"
"Boanpwe pikir, lebih baik kita lakukan suatu gerakan
yang misterius agar mereka pergi menduganya sendiri, asal
mereka sudah salah langkah itu berarti kita akan berhasil
menemukan ekor rase mereka."
Mendengar perkataan itu, Pek Bwe segera tertawa.
"Waah, waah..... perkataanmu itu membuat aku si orang
tua ikut merasa kebingungan sendiri; cepat katakan, apa
yang harus kita lakukan?"
Cu Siau-hong termenung sejenak, kemudian menjawab :
"Seandainya orang yang dijumpai Loya-cu adalah Jisuheng,
lebih baik kita bisa mencari akal untuk
menjumpainya......" "Keparat itu sudah kejangkitan penyakit edan, aku ingin
bertanya kepadanya mengapa ia membalas air susu dengan
air tuba," sela Tang Cuan dengan ganas.
"Tidak gampang, ia tak akan tertipu dengan begitu saja!"
ucap Pek Bwe sambil menggeleng.
"Bila didengar dari cerita Loya-cu tadi rupanya dalam hati
kecil mereka pun sudah timbul rasa curiga tentang
keracunan atau tidaknya dirimu, tapi hal ini tak sulit untuk
dibuktikan, asal mereka berhasil menemukan gejala
keracunan di atas tubuh Ciu Kim-im, maka dengan cepat
bisa diketahui bila kau tidak keracunan."
Pek Bwe manggut-manggut. "Untuk menjaga segala hal yang tidak diinginkan, lebih
baik kita pergunakan dua ekor anjing untuk mencoba obat
racun serta obat pembunuh mereka, coba kita buktikan
apakah ia masih mempunyai permainan yang lain atau
tidak?" ucap Cu Siau-hong lagi.
"Dalam soal penggunaan racun, Pi Sam-long si bocah
muda itu adalah seorang ahli, heran kenapa bocah itu
belum juga datang?" "Oleh sebab itulah, terpaksa kita harus menggunakan
cara yang paling bodoh ini untuk mencari bukti."
"Setelah terbukti, apa pula yang harus kita lakukan?"
Cu Siau-hong segera tertawa.
"Waktu itulah, Locianpwe baru gunakan siasat melawan
siasat tersebut untuk menghadapi mereka," katanya.
"Oooh.....! Itu berarti cara yang kukemukakan tadi
sedikit terlampau bahaya?"
"Asal dibetulkan sedikit di sana sini, cara itu bisa
dilaksanakan dengan lega hati."
Ia lantas merendahkan suaranya dan membisikkan
sesuatu. Selesai mendengarkan rencana yang dibeberkan oleh
anak muda itu, sambil menghela napas Pek Hong berkata :
"Siau-hong, kau belum pernah melakukan perjalanan di
dalam dunia persilatan, kenapa begitu banyak ide yang kau
miliki. Rencanamu betul-betul rapi dan terkendali seolaholah
jalan pemikiran dari seorang jago kawakan yang sudah
amat berpengalaman saja."
"Sunio, semua ide yang Tecu kemukakan ada tercantum
di dalam buku yang pernah Tecu baca selama ini, hanya
telah kuubah sedikit di sana sini serta menyesuaikan
dengan keadaan." Pek Hong manggut-manggut.
"Ayah, menurut pendapatmu perlukah kita beri tahukan
hal tersebut kepada pihak Kay-pang?" tanyanya.
"Rencana yang begitu rahasia lebih baik diketahui sedikit
orang saja, cuma alangkah baiknya bila pihak Kay-pang
bersedia untuk bekerja sama, oleh karena itu kita musti
mengabarkan hal ini kepada Yu Lip."
"Biar Tecu yang pergi mengundangnya," kata Tang Cuan
seraya beranjak dari tempat duduknya.
Tak selang beberapa saat kemudian, Yu Lip telah muncul
dengan langkah tergesa-gesa.
Rupanya sejak terjadinya peristiwa tempo hari, agaknya
Yu Lip telah pindah pula ke dalam gedung tersebut.
Setelah Pek Bwe membeberkan rencana rahasianya, Yu
Lip termenung agak lama tanpa berbicara.
Melihat itu, sambil mendehem pelan Tang Cuan berkata :
"Yu-toucu, apakah kau menjumpai sesuatu kesulitan?"
"Rencananya sendiri sih memang suatu rencana bagus,
cuma aku orang she Yu tidak berharap kalian menyerempet
bahaya, apalagi Pangcu kami telah mengirim perintah kilat
yang meminta kepadaku agar baik-baik melindungi saudara
sekalian, dalam tiga hari mendatang dia akan datang sendiri
kemari." "Oooh.....!" Yu Lip menghembuskan napas ringan, kemudian
melanjutkan : "Tadi, Siang-kang Thamcu dari pihak Pay-kau telah
datang menemui diriku, ia bilang dalam markas besarnya
telah kedatangan dua orang Hiangcu yang cukup lihay, ia
merasa keadaan di atas sungai jauh lebih aman dari pada di
daratan, sebab itu minta kepadaku untuk membawa
saudara sekalian pindah saja ke atas perahu, tapi aku tidak
mengabulkan. Konon Kaucu dari pihak Pay-kau pun akan
tiba pula di sini dalam tiga lima hari mendatang, oleh sebab
itu aku rasa alangkah baiknya bila kalian bersabar selama
beberapa hari lagi, bila Pangcu kami telah datang persoalan
ini baru dibahas kembali."
"Maksud Yu-toucu, kami harus menunggu terus di sini?"
kata Pek Bwe. "Yaa, apalah artinya tiga lima hari" Apa salahnya kalau
saudara sekalian bersabar lagi?"
Pek Hong menghela napas panjang.
"Aaai, maksud baik Yu-toucu biar kami terima dalam hati
saja," katanya, "dendam kesumat dari Bu-khek-bun harus
dibalas oleh orang Bu-khek-bun juga, kami tak akan
berpeluk tangan belaka sambil membiarkan perkumpulan
anda yang membalaskan dendam untuk kami, jika Yu-toucu
merasa tak sanggup untuk memberi pertanggungan jawab
kepada Pangcu kalian, terpaksa kami harus segera angkat
kaki dari sini." Ucapan tersebut segera membuat Yu Lip menjadi
tertegun. "Tiong-hujin, maksudku......."
"Aku dapat memahami maksud baikmu," kata Pek Hong
lebih jauh, "tapi kau hanya berpikir menurut keadaan yang
terbentang di hadapanmu. Kau kuatir jika kami yang masih
hidup kena dicelakai kembali oleh pihak lawan, tapi kau
lupa untuk menyelami perasaan kami sekarang, kau pun
lupa untuk mengetahui apa tujuan kami untuk hidup lebih
jauh di dunia ini." "Tiong-hujin, aku sudah banyak melakukan keteledoran,
bila sekarang terjadi lagi pelbagai kesulitan, mungkin aku
tak kuat lagi untuk memikul tanggung jawab atas kejadian
ini." "Yu-toucu, tentang segala sesuatunya biar ciangbunjin
perguruan kami yang memberikan pertanggungan jawab
sendiri kepada Pangcu kalian, oleh sebab itu aku berharap
agar Yu-toucu jangan mencampuri urusan kami lagi."
Yu Lip menghela napas panjang.
"Hujin!" katanya, "aku dapat memahami betapa beratnya
perasaanmu sekarang, tapi siapa bilang aku orang she Yu
tidak cemas pula?" "Asalkan Yu-toucu bisa memahami perasaan kami yang
ingin cepat-cepat melancarkan jejak musuh, kami pun
bersedia berjanji untuk tidak menggunakan kekerasan
menghadapi mereka, sebaliknya bila kau tidak
mengabulkan, terpaksa kami pun harus segera angkat kaki
meninggalkan tempat ini."
Yu Lip segera berpaling ke arah Pek Bwe sambil berseru.
"Loya-cu....." "Yu-toucu, kau tak usah memanggil aku," tukas Pek Bwe,
"ketahuilah, rasa gelisah yang berkecamuk di hati Lohu,
sedikit pun tidak berada di bawah perasaan putriku."
"Yu-toucu, harap kau berbicara terus terang, bila tidak
setuju, terpaksa kita harus pergi meninggalkan tempat ini,"
seru Tang Cuan. Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Yu Lip berkata
: "Baiklah! Bila saudara sekalian bersikeras untuk berbuat
demikian, aku orang she Yu juga tak dapat mencegahnya,
aku akan menuruti semua kehendak kalian itu."
"Kau sudah berbicara sekian lama, Lohu hanya
menangkap kata-kata ini mengandung maksud yang
mendalam," ucap Pek Bwe.
"Baiklah, jika kalian bersikeras ingin melakukan sesuatu
perbuatan, aku pun tidak bermaksud menghalanginya, beri
waktu setengah hari kepadaku, akan kupersiapkan segala
sesuatunya." "Yu-toucu, dalam kenyataannya jumlah kami serta
tempat persembunyian kami telah diketahui orang dengan
jelas, pelindungan macam apa yang diberikan perkumpulan
anda, juga diketahui amat jelas dengan mereka, oleh sebab
itu kau tak usah mempersiapkan segala sesuatunya lagi,
orang-orang Bu-khek-bun harus berhadapan sendiri dengan
mereka agar bisa menimbulkan rasa gentar buat mereka."
Yu Lip termenung sebentar, kemudian berkata :
"Pek Loya-cu, persoalan ini makin dibicarakan semakin
serius, untuk menghindari kesalahan paham buat Tionghujin
dan Tang-ciangbunjin, dengan memberanikan diri aku
orang she Yu akan mengambil keputusan, cuma paling tidak
aku orang she Yu harus turut serta di dalam gerakan ini."
"Baiklah! Kita tetapkan begini saja, tapi kau harus dapat
mengendalikan anak buahmu agar jangan terlalu mencolok
sehingga malahan merusak keadaan."
Yu Lip manggut-manggut. "Kalian bermaksud untuk turun tangan dengan cara apa!
Bagaimana pula aku harus membantu......."
Setelah pembicaraan beralih kembali ke pokok persoalan,
Pek Bwe pun segera membeberkan sebagian dari
rencananya itu. Sebagai seorang jago kawakan yang sudah sering kali
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan dan
berpengalaman luas, Pek Bwe sadar, lebih banyak orang
mengetahui rencana tersebut berarti kemungkinan besar
rahasia tersebut bisa bocor, apalagi Yu Lip merasa tanggung
jawabnya besar, makin banyak yang diketahui olehnya,
pasti akan semakin banyak pula orang yang akan
dipersiapkan olehnya."
Langkah pertama yang dilakukan adalah Cu Siau-hong
serta Tang Cuan masing-masing berganti dengan pakaian
Kay-pang, melepas pedangnya, dan diam-diam
menggembol dua bilah pisau belati serta senjata rahasia.
Dari dalam gedung bangunan mendadak muncul delapan
orang murid Kay-pang yang menyerbu ke dalam kamar
obat dalam dua rombongan.
Empat orang tabib kenaman dari kota Siang-yang
semuanya telah diundang datang ke dalam gedung
tersebut. Pintu gerbang dalam gedung yang bercat hitam selalu
berada dalam keadaan tertutup rapat, tapi begitu gelang
pintu berbunyi pintu segera terbuka, begitu orang telah
masuk pintu pun ditutup kembali.
Setelah berada dalam ruangan maka segera terlihatlah
penjagaan yang sangat ketat. Belasan orang anggota Kaypang
masing-masing berdiri tersebar di sudut-sudut
gedung. Cu Siau-hong dan seorang anggota Kay-pang telah
berhasil pula mengundang seorang tabib, tapi setibanya di
luar gedung, ia tidak masuk ke dalam, melainkan berbisikbisik
dengan anggota Kay-pang tersebut kemudian putar
badan dan menuju keluar. Langkahnya amat tergesa-gesa, seakan-akan terdapat
suatu persoalan penting yang harus dikerjakan.
Baru saja ia membelok ke dalam sebuah lorong, tiba-tiba
terasa bayangan manusia berkelebat lewat, seorang
pemuda berbaju biru berdandan sastrawan telah
menghadang jalan perginya.
Waktu itu Cu Siau-hong sedang berjalan dengan tergesagesa,
karena munculnya laki-laki sastrawan itu amat
mendadak, hampir saja kepalanya menubruk ke atas dada
orang, cepat-cepat ia menghentikan langkahnya.
Sambil tersenyum manusia berbaju biru itu berkata :
"Saudara pengemis, kenapa kau terburu-buru melakukan
perjalanan" Tidak takut kalau sampai menubruk orang?"
Cu Siau-hong memperhatikan sekejap orang itu,
kemudian berkata : "Maaf, aku si pengemis cilik masih ada urusan penting."


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menyingkir ke samping dan bermaksud melewatinya
dari sisi tubuh orang berbaju biru itu.
Ilmu silat yang dimiliki setiap anggota Kay-pang
terhitung cukup tangguh, itulah sebabnya Cu Siau-hong
sewaktu melompat ke samping tidak terhitung lambat.
Tapi gerakan tubuh si manusia berbaju biru itu ternyata
satu kali lipat lebih cepat dari pada Cu Siau-hong, ketika
tangan kanannya menyambar ke depan, tahu-tahu kelima
jari tangannya telah mencengkeram di atas nadi pada
pergelangan tangan kanan Cu Siau-hong.
Dengan demikian maka tubuh Cu Siau-hong yang telah
maju ke depan itu kontan saja terseret kembali oleh
manusia berbaju biru itu.
Setelah termangu sejenak, berkatalah Cu Siau-hong,
"Hey, sebenarnya apa maksudmu?"
Meskipun gerak serangannya cepat, ternyata tingkah
laku maupun cara berbicara dari manusia berbaju biru itu
terhitung halus dan sopan, setelah tertawa jawabnya :
"Saudara pengemis, aku ingin mengundangmu untuk
minum secawan arak."
Sambil berkata, tenaga dalamnya segera dikerahkan
untuk mencekat urat nadinya.
Seketika itu juga semua tenaga yang dimiliki Cu Siauhong
lenyap tak berbekas, sambil menarik muka dia
berkata : "Kita tidak saling mengenal, mengapa kau musti
mengundang diriku" Lagi pula mengundang orang minum
arak juga tak ada yang mengundang dengan cara begini."
Manusia berbaju biru itu segera tertawa.
"Terpaksa aku musti menyusahkan dirimu kalau begitu!"
katanya. Seusai berkata, ia lantas menarik tangan Cu Siau-hong
dan melangkah masuk ke dalam sebuah gedung besar di
samping jalan. Dalam waktu singkat Cu Siau-hong sudah diseret masuk
ke dalam gedung tersebut. Gedung itu terhitung sebuah
gedung yang amat besar, dalam ruang tengah yang lebar
telah duduk menunggu tiga orang jago.
Orang pertama adalah seorang kakek berjubah lebar,
berwajah kurus dan memelihara jenggot kambing, orang
kedua seorang perempuan setengah umur berbaju ringkas
warna hijau yang berusia lima puluh tahunan, sedang orang
ketiga adalah seorang lelaki setengah umur berbaju hitam
yang berusia empat puluh tahunan.
Walaupun sekulum senyuman masih menghiasi wajah,
manusia berbaju biru itu ternyata cara kerjanya cukup keji,
ia menyeret Cu Siau-hong langsung memasuki ruangan
tengah tersebut. Setibanya dalam ruangan, ia menotok dulu jalan darah
Cu Siau-hong kemudian baru melepaskan genggamannya
pada urat nadi di atas pergelangan tangan kanannya, lalu
berkata : "Saudara pengemis, dari empat orang yang berada
dalam ruangan ini, baik siapa pun asal turun tangan maka
besar kemungkinan akan merenggut selembar jiwamu,
satu-satunya jalan yang tersedia bagimu adalah bekerja
sama dengan kami dan jawablah semua pertanyaan dengan
sejujurnya : Cu Siau-hong mendengus dingin :
"Hmm! Anak murid Kay-pang adalah manusia-manusia
yang mengutamakan keadilan serta kesetiaan kawan, aku
tak sudi digertak di bawah ancaman."
Si sastrawan setengah umur yang berbaju hitam itu
segera tertawa ewa, katanya,
"Benar juga perkataan itu, cuma kau hanya seorang
manusia yang tak berkedudukan dalam Kay-pang, padahal
jumlah anggota Kay-pang tak terhitung jumlahnya, apakah
artinya kematian dari seorang manusia kecil macam kau?"
Cu Siau-hong mengerutkan dahinya, ia seperti hendak
mengatakan sesuatu tapi kemudian dibatalkan.
Dengan sorot mata setajam sembilu, lelaki setengah
umur berbaju hitam itu menatap Cu Siau-hong lekat-lekat,
kemudian berkata : "Tapi jika kau bersedia untuk bekerja sama dengan kami,
tentu saja keadaannya akan jauh berbeda."
"Apa kebaikannya?"
Lelaki setengah umur berbaju hitam itu tertawa,
jawabnya : "Besar sekali kebaikannya, pertama kami dapat
membantumu agar ilmu silat yang kau miliki memperoleh
kemajuan pesat, bila nasibmu memang mujur, siapa tahu
kalau dua puluh tahun kemudian kau akan berhasil menjadi
seorang Pangcu..........."
Tergerak juga hati Cu Siau-hong setelah mendengar
perkataan itu, ia berseru tertahan,
"Paling tidak, kau bisa menjadi salah seorang Tiang-lo,"
lanjut lelaki berbaju hitam itu.
Agaknya Cu Siau-hong mulai tertarik oleh perkataan itu,
dia menghela napas panjang.
Agaknya lelaki berbaju hitam itu pandai untuk menggoda
perasaan orang, setelah mendehem pelan katanya kembali
: "Mungkin ku tidak terlalu percaya dengan perkataanku,
tapi sekarang juga kami bisa memberi uang muka, asal kau
bersedia, kami segera akan mewariskan setengah jurus
ilmu silat kepadamu."
"Bagaimana selanjutnya" Apakah selamanya aku musti
mendengarkan perintah kalian dan terkendali terusmenerus."
Lelaki berbaju hitam itu segera tertawa.
"Tak bisa dibilang melaksanakan perintah, kami hanya
bekerja saja, kau membantu kami dan kami pun akan
berusaha sekuat tenaga untuk menaikkan tingkat
kedudukanmu, membuat pahala buatmu agar cepat naik
pangkat, siapa tahu dua tiga tahun mendatang, kau sudah
termasyhur dalam perkumpulan Kay-pang?"
Diam-diam Cu Siau-hong kembali berpikir :
"Sungguh rayuan maut yang gampang membikin iman
orang rontok.... tak heran kalau mereka pandai mencari
pembantu." Berpikir demikian, dia pun lantas berkata,
"Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Betul, kami benar-benar berbicara sesungguhnya,
bahkan segera kami bisa memberi bukti untukmu."
"Oooh...... rupanya kalian hendak memelihara orang
yang berpihak kepada kalian dalam tubuh Kay-pang...."
Nyonya setengah umur itu segera tertawa terkekehkekeh.
"Heeehh....... heeehh....... heeehh...... saudara
pengemis, rupanya kau amat cerdik," pujinya.
"Ada sementara persoalan, aku harus bertanya dulu
sejelasnya, betul bukan?"
"Betul!" lelaki berbaju hitam itu membenarkan, "memang
setiap masalah harus dibicarakan dulu sejelasnya,
kemudian kita baru bisa melanjutkan pembicaraan dengan
riang gembira, apa yang ingin kau tanyakan. Silakan ajukan
pertanyaanmu itu!" "Persoalan yang paling penting adalah kecuali aku,
apakah kalian masih mempunyai orang lain di dalam
perkumpulan Kay-pang."
"Kau adalah orang pertama yang menarik perhatian
kami." "Jika aku benar-benar adalah orang pertama, boleh saja
persoalan ini kupertimbangkan lagi."
"Persoalan ini penting sekali artinya, seharusnya kau
memang boleh mempertimbangkannya selama beberapa
hari, cuma berhubung waktu yang amat mendesak pada
saat ini, mungkin tak bisa terlalu banyak waktu yang dapat
kuberikan kepadamu."
"Kau minta aku memutuskannya dengan segera?"
"Segera sih tak perlu, kami bisa memberi waktu selama
sehari kepadamu, besok pada saat yang sama kau musti
memberi jawaban kepada kami."
Cu Siau-hong manggut-manggut.
"Baik, besok aku pasti datang," jawabnya.
"Cuma, sebelum persoalan penting ini diputuskan, kami
berharap agar kau bersedia membantu kami lebih
dahulu......" Dia melirik sekejap ke arah manusia berbaju biru itu,
kemudian melanjutkan : "Saudara Che, bebaskan jalan darah dari saudara
pengemis ini." Manusia berbaju biru itu mengebaskan tangannya dan
membebaskan jalan darah Cu Siau-hong yang tertotok,
kemudian melanjutkan. "Saudara pengemis, orang yang tahu keadaan dialah
manusia pintar, aku lihat nasibmu amat mujur."
Cu Siau-hong menggerak-gerakkan tangannya sebentar
untuk melancarkan peredaran darah, kemudian katanya :
"Bantuan apakah yang kalian butuhkan" Katakan saja!"
"Siapakah nama dari Toucu kantor cabang kota Siangyang
kalian?" "Yu Lip." Lelaki berbaju hitam itu manggut-manggut.
"Hari ini, pihak Kay-pang telah mengundang datang
begitu banyak tabib kenaman, sebenarnya apa yang telah
terjadi?" "Memusnahkan racun, beberapa orang sahabat dari
perkumpulan kami telah keracunan."
Kembali lelaki berbaju hitam itu tersenyum.
"Sahabat macam apakah itu?" desaknya lebih jauh.
Diam-diam Cu Siau-hong berpikir di hati :
"Untuk menjawab pertanyaan ini, aku harus ikut
sertakan pula sebagian besar cerita kenyataan, dengan
demikian mereka baru tak akan menaruh cerita."
Berpikir sampai di situ, dia pun berkata :
"Konon mereka adalah orang-orang Bu-khek-bun."
"Orang-orang Bu-khek-bun" Berapa banyak jumlah
mereka?" Cu Siau-hong pura-pura berpikir sebentar, kemudian
baru menjawab : "Agaknya lima orang, seorang perempuan, seorang
kakek, seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan, dan dua
orang berusia antara dua puluh tahunan."
"Ooh!" lelaki berbaju hitam itu berseru tertahan, "apa
yang menyebabkan mereka keracunan?"
"Aku adalah petugas yang berjaga di halaman depan,
soal sebab keracunan mah tidak begitu kuketahui."
"Sebenarnya berapa orang sih yang keracunan?"
"Kami mendapat perintah untuk mengundang tabib
kenaman, bahkan sekaligus ada empat orang tabib
kenaman dari kota Siang-yang yang diundang datang, aku
pikir mungkin ada beberapa orang yang sekaligus
keracunan bersama, cuma aku tidak begitu jelas berapa
orang jumlah yang sebenarnya."
"Kau sudah sampai di rumah kenapa balik keluar lagi"
Sebab apakah kau berbuat demikian?"
"Betul juga rupanya mereka telah mengatur mata-mata
di depan pintu gerbang, tapi sudah kuperiksa keadaan di
sekeliling sana dengan teliti, entah di mana orang itu
menyembunyikan diri" Aku harus melakukan pemeriksaan
kembali dengan seksama."
Berpikir sampai di situ, dia pun menjawab :
"Aku balik untuk mengambil obat."
Lelaki setengah umur berbaju hitam itu kembali tertawa.
"Terhadap obat-obatan aku sedikit mengetahui, bolehkah
aku meminjam sebentar resep obat tersebut?"
Cu Siau-hong merogoh ke dalam sakunya dan
mengeluarkan selembar resep yang segera diangsurkan ke
depan. Lelaki berbaju hitam itu melirik sekejap kepadanya,
kemudian berkata : "Baik! Pengemis cilik, jadi kau betul-betul bersedia untuk
bekerja sama dengan kami?"
"Oooh....... kiranya sampai sekarang kalian masih
mencurigai diriku," seru Cu Siau-hong dengan kening
berkerut. Buru-buru lelaki berbaju hitam itu tertawa :
"Aah, curiga sih tidak," katanya, "sekarang kau boleh
pergi." "Besok, perlukah aku balik kembali kemari?"
"Saudara pengemis, siapa namamu?"
"Aku bernama Lim Giok....."
"Lim Giok...... Lim Giok...... dalam Kay-pang kau adalah
murid dari tingkat keberapa?"
"Tingkat kedua, masih belum termasuk dalam kelompok
kelas..." jawab Cu Siau-hong sedikit pun tidak gugup.
"Oooh............"
Cu Siau-hong segera menghela napas panjang, katanya,
"Mungkin kalian masih ingin mengetahui banyak
persoalan, selesai bertanya kau......"
Tiba-tiba ia putar badan dan beranjak keluar dari situ.
Menunggu Cu Siau-hong telah berada di depan pintu
gerbang, lelaki berbaju hitam itu baru berkata :
"Berhenti kau!"
Pelan-pelan Cu Siau-hong memutar badannya, kemudian
berkata : "Apa lagi yang hendak kalian tanyakan?"
Besok setelah lewat tengah malam, datanglah kemari!
Lihat saja kemujuranmu besok, jika aku merasa senang
siapa tahu kalau kau akan kuterima sebagai anggota
perguruanku." "Kau....." "Betul, aku...." lelaki berbaju hitam itu mengangguk
sambil mengelus jenggotnya dan tertawa.
"Siapakah kau?"
Manusia berbaju biru itu tertawa, selanya,
"Wahai pengemis cilik, selama ini pihak Kay-pang kalian
tersohor karena ketajaman pendengarannya, masakah jago
lihay semacam dia pun tidak kau kenali?"
"Tidak kenal, aku masih muda dan tidak banyak
pengetahuanku, jika Cianpwe ini bersedia menyebutkan


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namanya, aku si pengemis mungkin saja dapat
mengenalinya kembali."
----------------------------------------
9 "Kau benar-benar ingin tahu?" tanya manusia baju biru
itu. "Betul!" Cu Siau-hong mengangguk, "aku si pengemis
kecil siap mendengarkannya!"
Manusia berbaju biru itu melirik sekejap ke arah lelaki
setengah umur berbaju hitam, lalu ujarnya :
"Soal ini...." Lelaki setengah umur berbaju hitam itu mendehem
pelan, lalu menyela : "Lim Giok pergilah dan besok datang lagi, sekarang aku
masih belum mengambil keputusan apakah akan
menerimamu sebagai anggota perguruanku atau tidak?"
"Kalau didengar dari ucapanmu itu, sekalipun ingin
menganggap sebagai guru pun bukan suatu pekerjaan yang
terlalu gampang?" "Perkataanmu memang benar, bila aku ingin menerima
murid, pasti akan berdatangan banyak sekali manusia yang
berusaha menjadi muridku."
Cu Siau-hong tidak banyak berbicara lagi, dengan sorot
mata yang tajam dia mengawasi sebentar raut wajah
manusia baju hitam itu, kemudian pelan-pelan baru berlalu
dari sana. Tiada orang yang menghalanginya, tiada orang pula yang
menguntilnya, tapi Cu Siau-hong pergi juga ke rumah obat
untuk membeli sejumlah obat, kemudian baru berjalan ke
rumah. Sebagai seorang yang teliti, dia dapat merasakan betapa
mengerikannya pihak lawan. Hakikatnya cara kerja mereka
begitu rapat dan tertutup sehingga boleh dibilang tiada
lubang yang ditembusi, sekali dia bertindak teledor maka
akibatnya rahasia dirinya bisa diketahui lawan.
Setelah masuk ke dalam pintu gerbang, Cu Siau-hong
masih bertindak amat berhati-hati.
Walaupun anak murid Kay-pang sudah berada di dalam
gedung melakukan suatu penjagaan yang ketat, ia masih
tak berani gegabah. Setelah memasuki halaman yang kedua, Cu Siau-hong
baru mengendurkan kesiap siagaannya.
Pek Bwe, Pek Hong, Seng Tiong-gak, dan Tang Cuan
duduk berkerumun dalam ruangan tengah sambil
menantikan kedatangannya.
Begitu Cu Siau-hong masuk ke dalam ruangan, Pek Bwe
segera berseru : "Siau-hong, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
Cu Siau-hong memberi hormat dulu kepada Subonya,
kemudian baru menganggukkan kepalanya.
"Yaa, aku telah menemukan suatu hal yang penting
sekali artinya." "Siau-hong, duduklah lebih dulu, kita bicarakan pelanpelan,"
kata Pek Hong dengan penuh perhatian.
"Tecu percaya gerak-gerik kita semua telah berada di
bawah pengawasannya meskipun keluar masuk kita lancar
tiada halangan, oleh sebab itu sengaja kuminta satu resep
lebih banyak untuk sengaja berbalik kembali ke rumah
obat, betul juga mereka telah turun tangan."
"Kau ditangkap?" tanya Pek Hong.
"Yaa!" anak muda itu manggut-manggut.
Secara ringkas dia pun menceritakan apa yang telah
dialaminya barusan. Sambil mengerutkan dahi, Pek Bwe berkata kemudian :
"Nak, jadi besok malam kau benar-benar akan ke sana?"
"Bila mereka bukan secara sengaja memasang jebakan
untuk memperangkap diri kita, aku percaya kedudukan
beberapa orang ini amat tinggi, ilmu silat dari manusia baju
biru pun sudah lihay, tapi sikapnya terhadap lelaki setengah
umur berbaju hitam itu menghormat sekali, ini
menunjukkan bukan cuma kedudukannya saja yang lebih
tinggi, ilmu silatnya mungkin lihay sekali, Tecu pikir sudah
sepantasnya kalau aku berusaha untuk mendekati mereka."
"Meskipun kali ini mereka berhasil dikelabui, tapi lain hari
siapa tahu rahasiamu bakal ketahuan," ucap Pek Bwe,
"menurut dugaanku dalam besok malam nanti, mereka
pasti akan mengajukan penyelidikan yang lebih tajam
kepadamu, sanggupkah kau untuk mengatasi hal-hal
semacam itu?" Cu Siau-hong termenung sejenak, lalu jawabnya :
"Tecu sendiri pun menyadari betapa bahayanya misi ini,
tapi inilah kesempatan yang sangat baik buat kita, kalau
dilupakan dengan begitu saja, apakah tidak merasa terlalu
sayang?" "Nak, coba kauceritakan sekali lagi, bagaimana ciri-ciri
dari beberapa orang itu?"
Cu Siau-hong termenung sebentar, kemudian sahutnya :
"Sastrawan berbaju hitam itu mempunyai ciri khusus di
bawah mata kirinya, agaknya di situ terdapat sebuah tahi
lalat merah yang cukup gede."
"Berapa besar tahi lalat merah tersebut?" tiba-tiba Pek
Bwe melompat bangun. "Tidak terlalu besar, cuma sebesar biji kacang hijau."
Pek Bwe menghembuskan napas panjang, pelan-pelan
katanya : "Jangan-jangan dia?"
"Siapa?" "Jit-poh-siu-hun (tujuh langkah perenggut nyawa)
Ouyang Siong!" "Aaah, masa dia?" seru Pek Hong pula, "Siau-hong,
berapa besar usianya....."
"Kurang lebih empat puluh tahunan....."
"Ayah, tahun ini Ouyang Siong semestinya berumur lima
puluh tujuh, delapan tahunan padahal orang itu baru empat
puluh tahunan." Pek Bwe gelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya :
"Hong-ji, kalau menurut cerita Siau-hong ditambah tanda
tahi lalat merah di bawah matanya, menunjukkan kalau
sembilan puluh persen adalah dia, soal umur bukan alasan
yang besar, bagi seorang yang memiliki tenaga dalam
sempurna, tidak sulit buat mereka untuk lebih memudakan
wajahnya dua puluh tahun."
"Ayah.... Ouyang Siong selama ini bergerak dengan
seorang diri, mana mungkin ia bisa bergabung dengan
sesuatu organisasi tertentu?"
"Yaa, kecuali bergelandangan sendirian, dia pun tinggi
hati dan tak pandang sebelah mata terhadap orang lain,
memang tidak mudah untuk menariknya bergabung dengan
suatu organisasi tertentu."
"Locianpwe, manusia macam apakah Ouyang Siong itu"
Dapatkah Locianpwe memberitahukan kepada Boanpwe
sedikit hal mengenai dirinya?" pinta Cu Siau-hong.
Pek Bwe manggut-manggut. Bagaimanapun juga kalian memang seharusnya
memahami tentang orang ini.
"Kejikah perbuatannya?"
"Asal kau bayangkan julukannya, itu sudah lebih dari
cukup. Jit-poh-siu-hun (tujuh langkah perenggut nyawa).
Seharusnya dia adalah seorang jagoan berhati keji yang
tinggi ilmu silatnya."
"Loya-cu, ia mempunyai keistimewaan apa dalam
kepandaian silatnya?" tanya Seng Tiong-gak.
"Tak ada orang memahami asal-usulnya, pun tak ada
orang yang mengetahui jelas tentang ilmu silatnya, hanya
bisa dibilang ilmu silat yang dimilikinya sangat aneh dan
lihay, setiap serangan yang dilancarkan olehnya sanggup
merenggut nyawa orang."
"Loya-cu, seandainya sampai terjadi pertarungan,
adakah sesuatu tempat atau bagian tubuhnya yang perlu
diperhatikan secara khusus?"
"Tentang soal ini, Lohu sendiri juga sulit untuk
mengatakannya, cuma menurut apa yang Lohu ketahui, kita
jangan sampai berada terlalu dekat dengannya, inilah satusatunya
cara yang paling baik untuk menghadapinya."
"Oooh.......!" "Locianpwe, adakah sesuatu nama tentang ilmu silatnya
itu?" tanya Cu Siau-hong.
"Agaknya kepandaian tersebut bernama Siu-hun-jiu
(tangan sakti perenggut nyawa), tentu saja kecuali ilmu
Siu-hun-jiu-hoat tersebut, kepandaian yang lain pun
termasuk hebat juga, baik dalam ilmu pedang maupun ilmu
pukulannya, ia memiliki suatu gerakan tubuh yang susah
diraba, hal mana membuat orang susah untuk
menghadapinya." "Kalau didengar dari sanjungan Locianpwe terhadap
dirinya, aku pikir orang ini pasti luar biasa, mana mungkin
manusia tersebut bersedia tunduk di bawah perintah orang"
Siapa tahu kalau dia adalah salah seorang dari pentolan
organisasi tersebut?"
"Betul!" kata Pek Bwe, "apakah kau tidak menanyakan
asal-usulnya?" "Aku tidak tanya, sekalipun kutanyakan belum tentu ia
bersedia untuk menjawabnya."
"Ayah begitu banyak hal yang telah kau bicarakan
dengan Siau-hong, apakah kau akan menyuruhnya
memenuhi janji malam besok," tanya Pek Hong.
"Subo, dengan susah payah kita berhasil menemukan
kesempatan sebaik ini, mana boleh meninggalkannya
dengan begitu saja."
"Tapi....... Siau-hong, aku tidak menginginkan kau pergi
menempuh bahaya......!" ujar Pek Hong dengan perasaan
kuatir. "Subo, mara bahaya mengancam tiba dari pelbagai sudut
dunia persilatan, sekalipun untuk kita tidak mencarinya,
orang toh bisa juga datang ke Siang-yang untuk mencari
kita, betul bukan?" "Kalau harus pergi, bukan semestinya kau yang
pergi......" "Ucapan Subo memang benar, aku adalah murid paling
tua, seharusnya aku yang musti pergi," sambung Tang
Cuan cepat. "Tidak, kalian tak boleh pergi semua, semua harapan Bukhek-
bun telak terletak di atas bahu kalian, kalau harus
pergi, akulah yang pantas pergi!"
"Kepergian kita kali ini kan bukan untuk berkelahi
dengan orang?" ucap Siau-hong; kecuali aku, siapa pun
jangan harap bisa mendekati mereka....."
"Enso, Ciangbunjin, lebih baik kita berangkat bersama,
biar Siau-hong dan aku dengan menyaru sebagai anggota
Kay-pang berangkat duluan, sedangkan kalian menguntil
dari belakang, jika Ouyang Siong memang komplotan dari
organisasi rahasia itu, berarti kita telah menemukan
organisasi yang telah melenyapkan Bu-khek-bun kita."
Pek Bwe termenung sejenak, lalu katanya :
"Tiong-gak, apakah kau bersiap-siap untuk bertarung
melawan mereka....?"
"Loya-cu, kita hidup demi persoalan ini, berkata
pelindungan Thian dan bimbingan dari para arwah Suheng
di alam baka, dengan kecerdasan Siau-hong kita berhasil
menemukan pembunuh keji itu dalam waktu singkat, sudah
sepantasnya kalau kita lakukan pertarungan mati-matian
melawan mereka." "Tiong-gak, perkataanmu memang masuk di akal, tetapi
aku rasa munculnya peristiwa ini agaknya bukan
sedemikian gampangnya."
"Locianpwe, maksudmu apakah mereka sengaja
melepaskan aku kembali?" tanya Cu Siau-hong.
"Menurut keadaan pada umumnya, bila mereka
membunuhmu untuk membungkam saksi, maka meski
hanya berjarak beberapa depa, tapi jauhnya seperti
terpisah oleh langit, tapi kenyataannya mereka telah
melepaskan kau kembali."
"Mereka mengira aku sebagai anggota Kay-pang, mereka
bermaksud memelihara seorang mata-mata dalam
perkumpulan Kay-pang."
"Memang masuk di akal juga, cuma Ouyang Siong bukan
seorang manusia yang mudah dihadapi, sekalipun ia betulbetul
mempercayaimu, aku pikir dia pasti ada persiapan
lainnya." "Loya-cu," ucap Seng Tiong-gak, "kita tak boleh terlalu
merisaukan hal semacam itu, paling tidak dia adalah musuh
kita." "Benar, sebab itulah kita musti berhati-hati agar jangan
sampai dipecundangi olehnya."
Seng Tiong-gak berpaling dan memandang Pek Hong
sekejap, kemudian bertanya :
"Bagaimana pendapat Enso?"
"Aku rasa perkataan dari Seng-sute ada benarnya juga,
yang menjadi pemikiran kita sekarang adalah menemukan
musuh-musuh kita, membalas dendam bagi kematian Lingkang
serta anggota Bu-khek-bun yang tewas secara
mengerikan di tangan mereka."
"Loya-cu jika kita tak boleh berhadapan langsung dengan
musuh kita, lalu apalah artinya bagi kita untuk melakukan
perjalanan di dalam dunia persilatan?"
"Locianpwe," ujar Tang Cuan pula, "kita sudah saatnya
keluar dari perguruan, coba Bu-khek-bun tidak ketimpa
musibah, kami pasti sudah lulus dari perguruan dan
melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan."
Pek Bwe termenung dan berpikir sejenak, kemudian
katanya : "Kalau memang kalian semua setuju untuk pergi
menjumpai Ouyang Siong, aku si orang tua tentu saja juga
tak akan menolak lagi."
Sementara itu, Yu Lip, ketua dari kantor cabang Kaypang
dari kota Siang-yang tiba-tiba muncul dengan langkah
lebar. Dengan senyum di kulum ia memberi hormat dulu
kepada Tang Cuan seraya menyapa :
"Ciangbunjin!"

Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buru-buru Tang Cuan balas memberi hormat, sahutnya :
"Tidak berani, silakan Yu-heng duduk."
"Yu-toucu," kata Pek Bwe, kalau dilihat wajahmu berseri,
agaknya ada suatu kabar gembira yang hendak kau
beritakan?" "Kabar gembira sih tidak, cuma baru saja aku si
pengemis mendapat surat yang mengabarkan bahwa besok
pagi ada dua orang Tiang-lo dari perkumpulan kami yang
akan tiba di sini." "Dapatkah kau memberitahukan dulu kepada kami siapa
yang besok akan tiba di sini?"
"Dua dari empat Tiang-lo perkumpulan kami, yakni Cianli-
to-heng (Pejalan kaki seribu li) Tan Tiang-kim serta Thiciang-
kay-pit (telapak tangan baja pembelah nisan) Hay
Yok-wong." Mendengar nama tersebut, Pek Bwe segera menghela
napas panjang, katanya : "Bukankah kedua orang pengemis tua itu sudah banyak
tahun tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan?" "Yaa, sesungguhnya dua orang tua tersebut sudah lama
mengundurkan diri dari keramaian dunia dan tidak
mencampuri urusan dunia persilatan lagi, tapi kali ini
mereka telah mendapat panggilan khusus dari Pangcu
untuk masuk kembali ke dalam dunia persilatan."
"Sungguh amat besar budi kebaikan yang diberikan Kaypang
kepada kami, entah dengan cara apa Bu-khek-bun
harus berterima kasih kepada kalian semua?"
Dari pembicaraan tersebut dapat diketahui betapa
seriusnya pihak Kay-pang untuk membantu pihak Bu-khekbun
dalam menanggulangi persoalan tersebut.
Sambil tertawa Yu Lip berkata :
Jilid 10 "Cianpwe, mungkin Tang-ciangbunjin serta Seng-ya
masih belum begitu jelas mengetahui tentang kedudukan
kedua orang Tiang-lo tersebut, tapi Pek-ya yang sudah lama
berkenalan tentunya mengetahui dengan jelas bukan.....?"
"Yaa, aku tahu, mereka adalah inti kekuatan dari Kaypang,
sudah lama nama besarnya tersohor dalam dunia
persilatan, bila berjumpa dengan Pangcu kalian nanti aku
harus menghormati dua cawan arak kepadanya."
Yu Lip mengalihkan kembali pembicaraan ke soal lain,
katanya : "Pek-ya, besok pagi Tiang-lo kami sudah akan tiba, bila
kalian hendak melakukan suatu tindakan harap tunggu
setelah lewatnya malam ini, asal kedua orang tua itu sudah
sampai di sini, aku pun bisa melepaskan pula beban
tanggung jawab yang amat berat ini."
"Apakah besok pasti sudah tiba?" tanya Seng Tiong-gak.
"Tak bakal salah, aku si pengemis jamin paling lambat
selewatnya tengah hari besok mereka pasti sudah sampai di
sini." "Jangan kuatir," ucap Pek Bwe kemudian, "apa pun yang
hendak kami lakukan, pasti akan menunggu dulu sampai
tibanya kedua orang pengemis tua itu."
Yu Lip segera menjura seraya berseru :
"Terima kasih banyak atas kesediaan Pek-ya!"
Selesai berkata ia lantas mengundurkan diri dari situ.
"Locianpwe," bisik Cu Siau-hong kemudian, benarkah
dua orang Tiang-lo yang datang itu adalah jago paling top
dari Kay-pang?" "Benar, dari empat Toa-tianglo mereka menempati
urutan pertama dan kedua, termasuk pula dua orang dari
tujuh jago paling tangguh dari Kay-pang dewasa ini."
"Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-tianglo," kata
Pek Hong. "Kau pernah bertemu dengan mereka berdua" Ia sangat
mengagumi Ling-kang sewaktu terjadi kesalahpahaman
dengan Pay-kau yang mengakibatkan terjadinya
pertarungan tempo hari. Tan Tiang-kim serta Hay Yok-wong
kebetulan berada di luar perbatasan, coba mereka sempat
muncul di arena mungkin Ling-kang tak akan sanggup
untuk menanggung beban yang sangat berat itu."
"Ayah, dengan kehadiran orang itu, apakah buat kita
merupakan suatu bantuan yang sangat besar,' kata Pek
Hong. "Yaa, suatu bantuan yang besar sekali, bukan saja ilmu
silat yang dimiliki kedua orang pengemis tua itu sangat
lihay, pandangan mereka luas, orang yang dikenal pun
sangat banyak, terutama Tan Tiang-kim yang dikenal
sebagi otaknya Kay-pang, kecerdasannya benar-benar luar
biasa, dengan kehadiran mereka berdua harapan kita untuk
menangkan Ouyang Siong pun semakin besar."
Pek Hong menghela napas sedih, ucapnya,
"Mungkin sukma Ling-kang di alam baka mendapat
tamu, maka baru ada kejadian seperti ini."
Istana Tanpa Bayangan 1 Rajawali Emas 24 Dayang Dayang Dasar Neraka Kisah Membunuh Naga 38
^