Pencarian

Pembakaran Kuil Thian Lok 2

Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


hulubalangnya dan para pembesar yang korup, lebih menderita lagi ketika Tiongkok
diserang musim kering yang hebat. Panen menjadi rusak dan tak berhasil, namun
tetap saja rakyat tani harus membayar pajak yang luar biasa beratnya hingga
seakan-akan mereka tercekik dari kanan kiri. Entah dosa apa yang telah diperbuat
oleh nenek moyang mereka hingga pada saat yang bersamaan, Tuhan dan Kaisar telah
memperlihatkan kekuasaan dan kemurkaan terhadap para petani miskin itu.
Keadaan yang amat sengsara ini telah sampai di puncaknya dan ibarat api telah
bernyala-nyala. Kemudian tersebarlah buku karangan Khu Liok dan Ma Eng yang berjudul TUHAN TELAH
SALAH PILIH itu yang merupakan kipas dan yang mendatangkan angin hingga api yang telah
bernyalah di dada para rakyat kecil itu makin berkobar hebat. Maka pecahlah
pemberontakan kaum tani pada tahun 874 dipimpin oleh seorang patriot bernama Ong
Sian Ci dan dimulai di Santhung, daerah yang menderita karena musim kering.
Pemberontakan menjalar luas sekali sehingga sebentar saja dimana-mana terjadi
pemberontakan kaum tani yang menuntut perbaikan nasib. Ketika pemimpin
pemberontakshe Ong itu tewasdalam peperangan, ia digantikan oleh seorang patriot
lain bernama Oey Ciauw yang berhasil menggerakkan kaum tani dan rakyat kecil
sampai mencapai barisan yang terdiri dari setengah juta rakyat lebih.
Dan tentara rakyat ini menyerbu terus, menerjang segala penghalang, sepak
terjang mereka mengerihkan dan mengagumkan sekali, mati satu maju dua, roboh dua
maju empat, terus menerus jumlah mereka melipat gandahingga akhirnya kekuasaan
Kaisar tang dapat ditumbangkan hingga Kaisar yang lemah itu melarikan diri,
mengungsi ke Secuan. Un Kong Sian yang melihat semua ini, menghela napas dan menyesali sifat Kaisar
yang kurang bijaksana hingga terjadilah pemberontakan ini. Ia tidak mau ikut
campur dan hanya tinggal di rumah bersama isteri dan ibunya. Orang muda ini
tidak mengalami kebahagiaan dalam rumah tangganya.
Memang ia harus akui bahwa isterinya adalah seorang wanita yang selain cantik,
juga sangat setia dan melayaninya dengan penuh perhatian. Akan tetapi, isterinya
yang bernama Oey Bi Nio ini, terlalu pendiam dan jarang sekali tersenyum. Segala
apa yang dilakukan hanya terdorong oleh tugas dan wajib semata-mata, tanpa
disertai perasaan kasih sayang yang seharusnya diperlihatkan oleh seorang
isteri. Koleksi Kang Zusi Kong Sian tak dapat mencela isterinya, karena memang dalam segala hal, Bi Nio
berlaku baik dan memenuhi kewajiban dan inilah yang mengesalkan hatinya. Bi Nio
merupakan sebuah mesin yang baik jalannya, atau seorang pelayan yang sempurna
pekerjaannya, bukan merupakan seorang isteri yang merupakan lawan bercinta dan
bercekcok. Tubuh Un Kong Sian makin kurus saja, karena ia jarang keluar pintu dan
kesukaannya hanya duduk di sebuah kursi dan melamun. Ibunya amat kuatir melihat
keadaan puteranya ini dan sebagai seorang wanita kuno, ia cukup puas melihat
anak mantunya yang tahu kewajiban dan berbakti itu, sama sekali tidak tahu
tentang kekosongan hati puteranya akibat sikap pendiam dan penurut dari Bi Nio
itu. "Kong Sian, mengapa kau selalu melamun dan seperti orang yang berduka saja ?"
pada suatu hari nyonya tua ini bertanya dengan suara penuh kasih sayang. Apakah
kau merasa tubuhmu kurang sehat
?" Un Kong Sian menggelengkan kepalanyadan ibunya amat terharu ketika melihat
betapa di antara rambut anaknya yang hitam dan subur itu kini nampak beberapa
helai rambut putih. "Tidak ibu, aku tidak apa-apa. Hanya ......"
"Hanya apakah, anakku " Apakah yang mengganggu pikiranmu ?"
Un Kong Sian tak dapat melanjutkan kata-katanya karena memang ia tidak tahu
apakah yang menyebabkan ia menjadi kesal dan seakan-akan bosan akan segala apa.
Kemudian, tiba-tiba ia teringat kepada Lin Hwa yang telah empat tahun tak
dijumpainya itu, maka ia segera berkata,
"Aku hanya ingin sekali pergi merantau, ibu."
Ibunya menghela napas. Nyonya ini merasa kecewa dan sedih sekali oleh karena
setelah kawin empat tahun lamanya, mantunya belum juga kelihatan mengandung,
sedangkan ia telah amat rindu menanti datangnya seorang cucu yang mungil.
"Kalau kau pikir bahwa hal itu akan mendatangkan kegembiraan bagimu, kau
pergilah, nak. Akan tetapi, jangan terlalu lama dan ingatlah bahwa ibumu yang
sudah tua menanti di rumah."
Un Kong Sian dengan girang lalu berlutut dan memeluk kaki ibunya yang
mencucurkan air mata sambil mencari-cari rambut putih di kepala puteranya itu
untuk dicabut. Setelah mengadakan persiapan dan berpamit kepada isteri dan ibunya, Un Kong Sian
lalu pergi, mulai dengan perjalanannya merantau. Ketika dia memberitahukan
maksud dan kehendaknya kepada isterinya, Bi Nio hanya menjawab sederhana,
"Baiklah, dan aku akan menjaga ibu dengan baik-baik. Kau tetapkan hatimu dan
jangan kuatirkan kami."
****** Setelah keluar dari rumah dan berada di alam bebas, Un Kong Sian merasa seakan-
akan ia telah merdeka terlepas dari kurungan, seperti seekor burung yang
terlepas dan kini terbang ke angkasa dengan bebas merdeka dan gembira. Ia merasa
hidup kembali dari dunia lain yang menjemukan dan mengesalkan hati.
Serbuan tentara petani ternyata mendatangkan perubahan hebat di dusun-dusun.
Penderitaan berkurang dan kemiskinan agak dapat di atasi, akan tetapi timbul
pula gejala-gejala baru yang sebenarnya telah tua yakni berlakunya hukum rimba.
Memang, ketika mulai dengan pemberontakan, semua petani bersatu padu merupakan
kesatuan yang kokoh kuat, akan tetapi setelah pemberontakan itu berhasil, mereka
saling cakar seperti anjing berebut makanan. Tentu saja dalam perebutan ini,
yang kuat menang dan yang kalah tetap menderita.
Dengan demikian, maka penindasan masih belum terhapus sama sekali dari muka bumi
Tiongkok, hanya bertukar majikan saja. Kalau dulu yang menjadi "raja kecil"
adalah hartawan terbesar atau bangsawan tertinggi, kini mereka ini dapat diusir
dan kedudukan mereka digantikan oleh orang yang terkuat.
Koleksi Kang Zusi Un Kong Sian langsung menuju ke Kwi-ciu untuk mendatangi kuil Thian-an-tang dan
mencari Lin Hwa, wanita yang selama ini belum pernah lenyap dari ingatannya.
Akan tetapi ketika ia tiba di kuil Thian-an-tang di Kwi-ciu itu, ia melihat
bahwa perubahan besar telah terjadi pula di kuil Thian-an-tang. Lan-lan Nikouw
yang telah tua itu sudah meninggal dunia ketika terjadi keributan dan penyerbuan
barisan tani. Ketika terjadi keributan, maka para penjahat menggunakan
kesempatan itu untuk merajalela dan mengumbar nafsu jahatnya. Melihat bahwa di
antara para nikouw du kuil Thian-an-tang banyak terdapat nikouw muda yang
berwajah lumayan, mereka lalu berani datang mengganggu. Dan di antara para
nikouw itu terdapat pula banyak wanita yang sebelum masuk menjadi nikouw
menuntut penghidupan tidak patut, bahkan ada pula beberapa orang wanita pelacur
yang katanya telah bertobat dan hendak menebus dosa lalu masuk menjadi pendeta
perempuan. Mereka inilah yang masih belum bersih betul batinnya dan tidak kuat
menghadapi godaan sehingga diam-diam mereka melakukan perhubungan rahasia dengan
para penjahat itu. Hal ini diketahui oleh Lan-lan Nikouw yang juga memiliki
kepandaian ilmu silat cukup tinggi. Nilouw tua yang biasanya amat sabar dan
peramah itu, tak dapat menahan kemarahan hatinya. Dengan pedang ditangan ia lalu
menghajar penjahat-penjahat itu dan bersama dengan para nikouw yang berjalan
sesat, ia lalu membunuh mereka sehingga sebentar saja belasan orang menjadi
mayat dan bergelimpangan di halaman belakang kuil Thian-an-tang.
Biarpun dalam melakukan amukan ini, Lan-lan Nikouw tidak menderita luka, bahkan
tidak banyak mengeluarkan tenaga jasmani, namun rohaninya terluka hebat dan ia
telah terlampau marah hingga jantung dan paru-parunya terganggu hebat. Apalagi
ia merasa amat menyesal telah melanggar pantangan yang paling besar dari orang
yang menyucikan batin, yakni ia telah membunuh sekian banyak orang, maka ia lalu
jatuh sakit dan penyakit batin ini membawanya ke lubang kubur.
Akan tetapi, amukan dan pembunuhan ini telah membikin takut dan kapok para
nikouw, juga mendatangkan kengerian di hati para penjahat, hingga hal yang
memalukan nama baik kuil Thian-antang itu tak pernah terulang lagi. Kedudukan
Lan-lan Nikouw lalu diganti oleh seorang muridnya yang bernama Bwee Lan Nikouw.
Ketika peristiwa itu terjadi, belum lama Lin Hwa meninggalkan kuil itu untuk
pergi mencari bahan-bahan obat di gunung-gunung dan meninggalkan puteranya dalam
rawatan para nikouw. Ketika ia pulang dan mendengar tentang hal itu, bukan main
sedih dan menyesalnya, maka ia lalu membawa Cin Pau pergi dari situ. Kepada para
nikouw yang bertanya kemana ia hendak pergi, ia hanya memberitahukan bahwa ia
hendak pergi merantau, mencarikan guru silat yang pandai untuk puteranya.
Hanya sekian saja keterangan yang bisa didapat oleh Kong Sian, maka dengan hati
berat ia meninggalkan kelenteng Thian-an-tang untuk melanjutkan perjalanannya.
Ia ingin sekali bertemu dengan Lin Hwa, akan tetapi oleh karena ia tidak tahu ke
mana perginya ibu dan anak itu, ia lalu menuju ke Kunlun-san untuk menjumpai
suhunya, yakni Beng Hong Tosu, tokoh Kunlun-san, seorang tosu (pendeta pemeluk
agama To) yang tinggi ilmu silatnya. Perjalanan ke Kunlun-san bukanlah
perjalanan mudah, karena pegunungan Kunlun terletak jauh di barat dan melalui
tempat yang berbahaya serta sukar ditempuh. Akan tetapi oleh karena memang
maksudnya hendak merantau, Kong Sian lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke
barat. Pada suatu hari, ia tiba di sebuah kota yang ramai. Kota ini adalah kota Li-
kiang yang tersohor karena kerajinan tangan berupa guci-guci arak berkembang
yang dibuat oleh penduduk di situ. Oleh karena sudah seringkali melihat guci-
guci arak itu mengagumi keindahannya, maka Kong Sian lalu mencari sebuah kamar
di hotel dan mengambil keputusan untuk berdiam di hotel itu beberapa hari
lamanya dan mencari tempat pembuatan guci untuk menyakskan pembuatannya.
Ia mendapat keterangan dari pelayan bahwa tukang pembuat guci yang besar di kota
itu adalah seorang she Li yang tinggal di ujung selatan jalan besar, maka ia
lalu menuju ke rumah orang she Li itu.
Benar saja, di depan rumah yang cukup besar ituia melihat tumpukan guci-guci
yang sedang dijemur dan guci-guci itu berkembang indah sekali.
Ia melihat-lihat guci yang dijemur itu karena di situ tidak ada orang,
memperhatikan bentuk dan lukisannya. Mungkin sudah menjadi tabiat setiap orang,
apabila melihat guci kosong, selalu tentu menggunakan jari tangan untuk
mengetuk-ngetuknya hingga guci itu memperdengarkan suara berkentung, dan Kong
Sian pun tidak terkecuali. Ia mengetuk-ngetuk guci-guci itu dan mendekatkan
mukanya untuk melihat gambar-gambar itu lebih jelas lagi. Banyak sekali terdapat
lukisan-lukisan indah di tubuh guci itu, ada lukisan naga, bunga-bunga,
pemandangan alam dan sebagainya.
Koleksi Kang Zusi Pada saat ia mengagumi guci-guci itu, tiba-tiba terdengar suara orang membentak,
"Hm, tidak tahu malu ! Menyelidik pekerjaan lain orang. Pergunakan otak sendiri
dan jangan hanya menjiplak buatan orang lain saja."
Un Kong Sian terkejut dan heran sekali ketika ia berpaling dan mendapat
kenyataan bahwa dialah yang dibentak itu. Yang membentaknya adalah seorang laki-
laki setengah tua yang berdiri di ambang pintu rumah dan tangan kanannya
memegang sebuah guci arak yang besar sekali. Dan sebelum Kong Sian sempat
membuka mulut untuk memberi keterangan yang sebetulnya, tahu-tahu orang itu
mengangkat tangan yang memegang guci itu ke atas dan melemparkan guci besar itu
ke arah kepalanya. Guci itu besar dan berat sekali, dan juga keras karena sudah
mengering dan siap untuk digambari, maka ketika dilempar ke arah kepalanya,
tenaga luncuran itu kuat sekali hingga kepala orang yang tertimpanya mungkin
akan menjadi remuk. Kong Sian menjadi terkejut, akan tetapi dengan sikap tenang anak murid Kunlun-
san ini lalu mengangkat kedua tangan dan menyambut guci yang melayang ke arah
kepalanya itu. Ia merasa betapa tenaga tenaga lempar orang itu besar sekali,
hingga baiknya ia menyambuti dengan kedua tangan, kalau ia memandang rendah dan
menyambut dengan satu tangan saja, mungkin ia akan kena timpa.
Ketika Un Kong Sian meletakkan guci itu ke atas tanah dengan hati-hati dan siap
hendak memberi keterangan, tiba-tiba orang itu melemparkan guci lain lagi dan
kini guci yang sama besar dan beratnya itu meluncur ke arah dadanya dengan cepat
sekali seakan-akan sebuah pelor besi kecil. Kali ini benar-benar Un Kong Sian
terkejut dan ia maklum bahwa ia takkan dapat menyambut guci ini seperti tadi,
maka untuk menjaga diri, ia lalu memukul guci yang melayang itu dengan gerak
tipu Hek-Houw-to-sim atau Harimau hitam menyambar hati. Terdengar suara "brak"
dan guci itu pecah bela terkena pukulan Kong Sian yang keras.
"Bagus ! Mereka telah mengirim orang yang memiliki kepandaian," seru orang
setengah tua itu dan bagaikan seekor harimau yang ganas, ia lalu melompat dan
menerkam Kong Sian dengan sebuah serangan kilat.
Kong Sian cepat mengelak ke samping dan berseru, "Hei tahan dulu!" Akan tetapi
tikang guci yang berwatak berangasan itu tidak memperdulikannya, bahkan lalu
menyerang dengan ilmu silat Lo-han Kun-wat atau ilmu silat pendekar tua, semacam
ilmu pukulan yang lihai dari cabang Siauwlim.
Kong Sian menjadi penasaran juga dan karena maklum bahwa orang kasar ini selain
bertenaga besar juga memiliki ilmu silat yang lihai, maka ia lalu melayani
dengan hati-hati dan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Ternyata bahwa pemuda ini lebih unggul tingkatnya dalam hal ginkang atau ilmu
meringankan tubuh. Gerakannya lebih gesit dan cepat dan ini merupakan keuntungan
besar baginya. Dengan perlahan akan tetapi tentu, ia mulai mendesak lawannya.
Kalau Kong Sian menghendaki, tentu ia akan dapat merobohkan lawannya dengan
serangan-serangan maut, akan tetapi oleh karena ia tidak mempunyai permusuhan
dengan orang ini, maka ia hanya berusaha untuk menjatuhkan saja tanpa melukai
berat. Akan tetapi, hal ini bukanlah mudah, karena lawannya juga mengeluarkan
segala tenaga dan kepandaiannya untuk merobohkannya.
Tiba-tiba muncul seorang kakek diambang pintu itu dan ia berseru,
"A Lung mundurlah!"
Bentakan ini berpengaruh sekali dan orang yang berangasan tadi lalu mencelat
mundur. Juga lalu Kong Sian lalu membungkuk dan menjura sebagai tanda menghormat
sambil berkata, "Maafkanlah siauwte yang dapat mengganggu, sebetulnya bukan maksud siauwte untuk
menerbitkan keonaran."
Kakek itu menatap wajahnya dengan tajam lalu berkata perlahan.
"Kau anak murid Kunlun mengapa mencampuri orang lain ?"
Kong Sian terkejut karena ternyata bahwa baru melihat gerakannya sebentar saja
kakek itu telah dapat mengetahui bahwa ia adalah anak murid Kunlun-pai. Maka
karena maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, ia lalu
menjura lagi dan berkata, Koleksi Kang Zusi
"Locianpwe harap banyak memaafkan siauwte yang muda. Sebenarnya siauwte sama
sekali tidak tahu apa yang locianpwe maksudkan dan sampai sekarang siauwte masih
merasa penasaran dan heran mengapa datang-datang siauwte diserang oleh twako
(kakak) ini ?" "A Lung, yakinkah kau bahwa ia seorang dari mereka ?" tanya kakek itu kepada
lawan Kong Sian tadi. Orang setengah tua yang bernama A Lung itu lalu menuturkan dengan suaranya yang
kasar, "Orang ini datang-datang tanpa permisi memeriksa guci-guci kita, apalagi
maksudnya kalau bukan hendak menyelidiki ?"
Tiba-tiba Kong Sian tertawa bergelak hingga tidak saja A Lung menjadi heran,
akan tetapi kakek itu sendiri pun melengak.
"Locianpwe, ternyata sahabat ini telah salah sangka. Ketahuilah, siauwte adalah
orang yang datang dari tempat jauh dan kebetulan saja siauwte berhenti di kota
ini karena telah lama ingin sekali menyaksikan sendiri pembuatan guci-guci yang
telah lama siauwte kagumi keindahannya. Pelayan hotel memberi tahu bahwa di
sinilah tempat pembuatan guci yang paling besar, maka siauwte lalu menuju ke
sini. Ketika siauwte melihat tumpukan guci ini dan tidak melihat seorang pun yang
menjaganya, maka siauwte lalu melihat-lihat dan mengagumi keindahan guci-guci
ini. Tiba-tiba saja siauwte lalu diserang oleh sahabat ini. Harap locianpwe
suaka memberi maaf ."
Air muka yang tadinya keruh dari kakek itu lalu menjadi terang dan ia menegur A
Lung, " A Lung, lain kali jangan kau terlalu sembrono !" A Lung yang ditegur
lalu menjura kepada Kong Sian dan mulutnya bergerak meminta maaf, kemudian ia
kembali ke dalam rumah untuk melanjutkan pekerjaannya.
Kakek itu dengan ramah tamah lalu mempersilakan Kong Sian masuk dan duduk di
dalam rumah. Kong Sian yang ingin sekali melihat cara pembuatan guci-guci itu,
lalu mengikuti kakek itu ke dalam di mana ia melihat betapa guci-guci itu dibuat
oleh beberapa orang laki-laki dan wanita. Ia merasa heran sekali karena ternyata
menurut keterangan kakek itu bahwa semua pekerja adalah keluarga sendiri dan
seorangpun tidak ada orang dari luar.
Kong Sian menyatakan keheranannya dan juga bertanya tentang sikap mereka yang
aneh tadi. Kakek itu menarik napas panjang, dan mempersilakan tamunya mengambil
tempat duduk, ia lalu berkata, Keluarga kami she Li semenjak beberapa keturunan
telah membuat guci-guci arak, dan demikian pula beberapa banyak keluarga lain di


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kota Li-kiang ini. Di anatara pembuat-pembuat guci yang terbesar dan paling
terkenal adalah keluarga kami dan keluarga she Tan di ujung utara kota ini.
Mereka juga pembuat-pembuat guci yang pandai. Akan tetapi di antara keluarga she
Tan dan keluarga kami timbullah persaingan hebat yang terjadi semenjak kakekku
masih hidup." "Apakah yang menimbulkan persaingan itu " Apakah penjualan guci di satu pihak
ada yang tidak laku ?"
tanya Kong Sian. "Bukan demikian soalnya, sebenarnya hanya soal keangkuhan dan saling tidak mau
mengalah. Guci-guci keluaran Li-kiang tidak ada yang tidak laku, bahkan pembuat-
pembuat guci yang kurang pandaipun tak pernah mengeluh karena dagangannya tidak
laku. Apa yang di sini dianggap kurang baik, di daerah lain sudah menjadikan
orang-orang kagum. Mungkin sekali pihak she Tan itu merasa iri hati oleh karena
mereka kalah dalam hal memberi lukisan pada guci-guci. Di sana tidak ada orang
yang ahli dan pandai betul melukis sepeti yang ada pada kami. Inilah agaknya
yang membuat mereka menjadi penasaran sekali dan mengambil sikap bermusuh dengan
kami. Bahkan seringkali terjadi perkelahian oleh karena saling merasa panasdan
saling menganggap guci masing-masing lebih bagus.
Kong Sian merasa heran sekali, "Locianpwe, kau orang tua bukanlah orang
sembaranganan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, apakah mungkin locianpwe
masih mempunyai darah panas yang membuat kedua pihak saling bermusuhan hanya
karena urusan kecil saja ?"
"Anak muda, kau tidak tahu. Permusuhan yang memanaskan otak dan hati bukanlah
tergantung dari pada sebab-sebab permusuhan itu timbul. Kalau rasa amarah sudah
naik di kepala dan rasa dendam dan benci sudah membuat mata menjadi gelap, orang
tidak mengingat lagi akan segala sebab-sebab permusuhan terjadi. Kami hanya
mempertahankan nama dan menjaga kehormatan keluarga kami belaka. Soal kehormatan
memang soal yang penting dan yang sudah selayaknya dibela dengan berkorban
apapun juga." Koleksi Kang Zusi Kong Sian amat tertarik mendengar urusan permusuhan antara tukang pembuat guci
ini. Ia merasa ragu-ragu dan penasaran karena hanya mendengar keterangan di satu
pihak, maka ia lalu berpamit dan langsung mengunjungi keluarga Tan di sebelah
utara yang juga membuat guci arak.
Seperti halnya dengan rumah keluarga Li, di depan rumah keluarga Tan banyak
bertumpuk guci-guci arak yang dijemur. Ketika Kong Sian memperhatikan, benar
saja bahwa lukisan guci itu tidak seindah lukisan di guci buatan keluarga Li.
Akan tetapi, buatan keluarga she Tan ini lebih halus dan ukiran-ukiran di
pinggir guci lebih indah. Hingga kekalahan lukisan itu dapat tertutup oleh
keindahan ukiran yang lebih tinggi mutunya dari pada ukiran guci buatan keluarga
Li. Kalau ia menjadi pembeli, tentu ia bingung untuk memilih, mana yang lebih
indah menarik di antara buatan kedua keluarga itu. Yang satu lebih indah
ukirannya, yang lain lebih menarik gambarnya.
"Kongcu, apakah kau hendak membeli guci ?" tanya seorang wanita setengah tua
ketika melihat ia memperhatikan guci-guci yang sedang dijemur itu.
Kong Sian cepat memberi hormat karena ia sudah kapok dengan pengalaman di rumah
keluarga Li yang datang-datang menyerang tadi.
"Tidak, aku hanya hendak melihat-lihat saja. Guci-guci di sini lebih indah
ukirannya dari pada guci-guci buatan keluarga Li di selatan itu," katanya
memancing sambil menatap wajah wanita itu.
Tiba-tiba wanita itu berseri mukanya mendengar ini. "Memang ! Mana bisa keluarga
Li yang sombong itu melawan guci buatan kami " Semua mata yang awas dapat
membedakan mana barang buruk dan mana yang lebih baik. Guci buatan kami memang
jauh lebih dari pada buatan mereka."
Tiba-tiba dari dalam rumah keluar seekor anjing besar yang berlari sambil
menggonggong dan menyerbu ke arah Kong Sian. Pemuda ini tidak menjadi gugup dan
dengan dorongan tangan kiri ia berhasil melemparkan anjing itu ke samping sambil
berseru, "Jangan sembarangan menggigit orang !"
"Bagus !" kata wanita itu dan segera membentak anjingnya yang lari ke dalam
rumah kembali sambil menyembunyikan ekor di bawah perut. "Kau lihai juga,
kongcu," katanya, kemudian seperti yang tidak memperdulikan lagi kepada Kong
Sian, ia lalu mengambil guci yang bertumpuk-tumpuk di situ lalu melempar-
lemparkan ke atas dengan ringan sekali. Tangannya bekerja cepat dan sebentar
saja tujuh buah guci yang tadi bertumpuk, telah dilemparkan dan melayang-layang
di udara. Ketika guci pertama melayang turun, lalu disambut oleh wanita itu dan
dilemparkannya kembali ke atas, demikianpun dengan guci kedua dan seterusnya.
Guci-guci itu berterbangan di udara bagaikan burung-burung besar dan lemparan
wanita itu demikian tepat hingga guci-guci itu tidak saling beradu di tengah
udara. Diam-diam Kong Sian merasa kagum sekali. Ia maklum bahwa untuk dapat memainkan
guci-guci itu sedemikian rupa, orang harus berlatih puluhan tahun dan juga harus
memiliki tenaga iweekang yang besar, karena guci itu berat dan besar.
Setelah melemparkan setiap buah guci tiga kali ke atas, wanita itu lalu menaruh
guci-guci itu perlahan-lahan di atas tanah dan ditumpuknya kembali seperti tadi
sambil berkata, "Kalau begini guci-guci ini lekas kering."
"Pehbo, kau hebat sekali !" Kong sian memuji dan diam-diam ia kagum sekali. Kota
Li-kiang ini memang luar biasa sekali. Baru tukang-tukang pembuat gucinya saja
sudah lihai sekali. "Anak muda, sebenarnya apakah kehendakmu datang ke sini " Kalau orang datang ke
sini tanpa maksud membeli guci, ia hanya mempunyai semacam maksud yang buruk."
"Misalnya, menjadi penyelidik dari keluarga Li ?" kata Kong Sian menyindir.
"Mungkin ! Akan tetapi, mengapa kau tahu tentang hal itu " Kau siapakah ?"
Kong Sian lalu mengaku bahwa ia adalah seorang perantau yang kebetulan lewat
saja dan bahwa ia tadi telah mengunjungi keluarga Li dan mengalami peristiwa
yang tidak enak sekali. "Memang, memang mereka itu musuh-musuh kami. Mereka itu orang-orang busuk yang
merasa iri hati melihat bahwa guci buatan kami lebih baik."
Koleksi Kang Zusi "Akan tetapi, apakah lukisan-lukisan di sini juga lebih baik dari pada buatan
mereka ?" Kong sian bertanya dan tiba-tiba wajah wanita itu menjadi muram.
"Memang lukisan mereka lebih baik sedikit, akan tetapi ukiran kami lebih
sempurna . Orang membeli guci melihat ukirannya bukan melihat lukisannya."
Biarpun di dalam hati Kong Sian hendak menjawab bahwa kalau ia membeli guci, ia
akan memperhatikan kedua-duanya, akan tetapi mulutnya tak menyatakan sesuatu dan
ia lalu berpamit dan kembali ke hotelnya, ia merasa heran sekali melihat orang-
orang yang aneh akan tetapi berkepandaian tinggi itu.
Pada senja hari itu, ketika Kong Sian baru saja kembali dari berjalan-jalan di
dalam kota, ia mendengar ribut-ribut dan ketika bertanya kepada pelayan, ia
mendengar bahwa telah terjadi pertempuran lagi antara keluarga Li dan keluarga
Tan. Kong Sian cepat berlari keluar dan menuju ke tempat pertempuran, yakni di rumah
keluarga Li. Wanita she Tan yang kosen tadi telah datang membawa empat orang
kawannya dan di depan rumah itu terjadi pertempuran -pertempuran sengit. Kakek
yang kosen dari keluarga Li bertempur melawan wanita she Tan, keadaan merekalah
yang paling hebat karena keduanya berilmu silat tinggi. Yang lain-lain main
gebuk dan hantam hingga banyak guci yang berada di luar itu roboh dan pecah-
pecah. "Tahan, tahan !" Kong Sian berseru keras dan melompat ke tengah medan
pertempuran. Melihat datangnya pemuda yang bergerak cepat ini, kedua pihak
berdiri dan menghentikan pertempuran dengan mata merah karena marah.
"Kau !" tegur kakek she Li, "Mau apa kau anak murid Kunlun-san datang menahan
kami ?" "Maaf, cuwi sekalian," kata Kong Sian sambil menjura. "Kedatangan siauwte ini
tak lain hanya hendak mencegah terjadinya pertempuran ini lebih lanjut."
"Pergi kau ! Siapa sudi mendengar omongan orang luar seperti kau ?" bentak
nyonya she Tan itu dengan galaknya.
"Benar, kau pergilah !" kata kakek she Li, "atau, terpaksa kami akan melemparmu
keluar !" Tiba-tiba Kong Sian tertawa geli dan suara tawanya yang bergelak ini
mengherankan semua orang.
"Aneh, aneh ! Cuwi sekalian ini agaknya cocok dalam satu hal akan tetapi
bertentangan dalam lain hal pula !"
"Apa maksudmu ?" tanya kakek Li
Kong Sian lalu menghadapi dua orang pemimpin keluarga itu dan setelah menjura
lagi lalu berkata, "Jiwi, dengarlah baik-baik. Ketika jiwi menghadapi siauwte, jiwi mempunyai
anggapan dan pikiran yang sama, yakni keduanya menghendaki aku keluar dan tidak
ikut campur. Ini namanya cocok dan akur atau sama pendapat. Mengapa jiwi tidak
mau mempergunakan kecocokkan ini untuk membereskan perselisihan dan permusuhan
dengan jalan damai pula " Mengapa jiwi tidak mau tanam saja permusuhan ini dan
bekerja dengan tekun dan tidak saling mengganggu ?"
"Tak mungkin !" kata kakek Li
"Tak sudi !" jawab nyonya Tan.
"Maaf, jiwi ! Jiwi adalah orang-orang gagah dan pandai. Orang yang berani
mengalah dan mengakui kesalahan barulah patut disebut orang pandai. Permusuhan
jiwi hanya disebabkan oleh persaingan dalam pembuatan guci-guci ini. Semua orang
telah tahu bahwa guci buatan keluarga Li lebih menang dalam lukisan, akan tetapi
kalah dalam ukiran, sebaliknya guci keluaran keluarga Tan kalah dalam hal
lukisan dan menang dalam ukiran. Alangkah baiknya kalau kalian semua berani
mengakui kesalahan dan berani melihat kekurangan sendiri, lalu berdamai dan
saling bekerja sama, saling tolong. Kalau keluarga Li dapat memberikan
kepandaian melukisnya kepada keluarga Tan, sebaliknya keluarga Tan juga suka
mengajarkan ilmu ukir kepada keluarga Li, bukankah nanti guci-guci keluaran
kedua keluarga akan menjadi benda-benda yang amat indah dan tiada cacad celahnya
" Dan bukankah hal ini merupakan kebanggaan kota Li-kiang dan sekalian
penduduknya." Koleksi Kang Zusi "Benar, benar. Tepat sekali !" terdengar seruan keras yang serempak keluar dari
banyak mulut, dan ketika Kong Sian menengok, ternyata tempat itu telah penuh
dengan orang-orang yang datang menonton.
Kedua pemimpin keluarga itu termenung dan saling pandang. Akhirnya kakek she Li
itu menjura kepada nyonya Tan dan berkata,
"Kata-kata anak muda ini tepat juga. Maukah kau memikir-mikirkan hal ini ?"
Nyonya Tan mengangguk dan kemudian ia lalu mengajak keluarganya meninggalkan
tempat itu dengan aman. Sementara itu, Kong Sian sudah menyelinap pergi di
antara penonton karena ia tidak mau dijadikan perhatian orang. Pada keesokan
harinya, pagi-pagi benar ia telah melanjutkan perjalanannya.
Ia tidak tahu bahwa ucapannya itu benar-benar berhasil baik dan kedua keluarga
yang bermusuhan itu kini telah berbaik kembali, bahkan tak lama kemudian seorang
putera keluarga Tan dijodohkan dengan seorang puteri keluarga Li.
Bagian 05. Setitik Embun Pengobat Jiwa.
Setelah meninggalkan kota Li-kiang, Un Kong sian cepat melanjutkan perjalanannya
menuju ke barat. Pada malam hari, ia bermalam di dusun-dusun, bahkan kadang-kadang di dalam hutan
kalau kebetulan ia berada di hutan yang luas pada waktu malam hari tiba.
Demikian, tak terasa pula beberapa pekan telah lewat dan ia makin dekat dengan
daerah pegunungan Kunlun-san. Makin ke barat, makin banyaklah hutan dan makin
jarang dusun, hingga pada suatu malam, ia terpaksa bermalam di sebuah hutan yang
liar. Seperti biasa, ia naik ke sebatang pohon besar untuk bermalam.
Ketika ia sedang enak-enak melonjorkan kaki melepas lelah, tiba-tiba ia
mendengar suara orang bercakap-cakap. Pada malam hari itu, bulan bersinar penuh
hingga ia dapat melihat bayangan lima orang laki-laki berjalan perlahan sambil
bercakap-cakap. Kong Sian tertarik hatinya dan menduga bahwa mereka ini kalau bukan pedagang-
pedagang keliling, tentulah perampok-perampok. Maka diam-diam ia melompat ke
cabang yang lebih rendah dan mendengarkan percakapan mereka.
"Tapi dia itu lihai sekali. Kemaren dulu, aku dan sam-te hampir saja celaka
dalam tangannya. Ilmu pedangnya benar-benar tinggi dan sukar dilawan," kata
seorang di antara mereka.
"Ah, sampai dimana lihainya seorang wanita ?" mencela yang lain dengan suara
menghina. "Dulu kau hanya berdua, akan tetapi sekarang kita berlima. Apa yang
harus ditakutkan ?" "Betapapun juga, kita harus cerdik dan hati-hati !" kata orang ketiga yang lebih
tenang bicaranya. "Baiknya diatur begini saja. Kalian berempat besok pagi-pagi menyerangnya dengan
tiba-tiba dan aku akan menangkap anaknya. Kalau anaknya sudah kutawan, tentu ia
akan menyerah kepada kita demi keselamatan anaknya. Bukankah ini sebuah akal
yang cerdik ?" "Ha, ha, ha... Memang twako banyak sekali akalnya. Bagus, bagus. Kau memang
berhak mendapatkan dia lebih dulu."
Terdengar mereka tertawa menjemukan dan mendengar ini, bukan main marahnya hati
Kong Sian karena ia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah golongan orang-orang
ceriwis dan jahat yang suka mengganggu anak bini orang. Maka ia lalu melompat
turun di belakang mereka dan mengikuti mereka.
Ternyata bahwa ke lima orang ini menuju ke sebuah kelenteng rusak yang berada di
dalam hutan itu untuk bermalam di situ. Kong Sian juga bermalam di atas pohon
dekat kelenteng tua itu, menanti datangnya fajar.
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali kelima orang laki-laki itu keluar dari
kelenteng dan ternyata oleh Kong Sian bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
bersifat kasar dan usia mereka rata-rata Koleksi Kang Zusi
tiga puluh tahun. Dari gerak-gerik mereka, dapat diduga bahwa mereka ini memang
penjahat-penjahat yang suka mengganggu orang, yakni orang-orang gelandangan yang
tidak mempunyai keluarga dan pekerjaan tetap, yang hidup mengandalkan bantuan
kawan-kawan dan suka berkelahi dengan keroyokan.
Mereka menuju ke sebelah dalam hutan dan Kong Sian diam-diam mengikuti mereka.
Tak lama kemudian, Kong Sian melihat sebuah tempat terbuka dalam hutan itu. Dan
aneh sekali, pada pagi hari itu, di sebelah belakang rumah terdengar suara
wanita bernyanyi. Merdu juga suara itu dan yang membuat Kong Sian heran adalah
tempat yang sunyi itu. Di situ bukan dusun atau kampung, akan tetapi mengapa di
tempat sesunyi ini ada seorang wanita yang tinggal di dalam gubuk sederhana itu
dan mendengar suaranya yang pagi-pagi sudah menyanyi itu agaknya hidup tentram
dan damai " Tiba-tiba terdengar suara anak kecil berseru memanggil ibunya. Lima orang itu,
yang telah terlihat oleh anak kecil tadi, segera berlari ke arah rumah dan Kong
Sian juga bergerak cepat sambil mengintai.
Empat orang penjahat lari ke belakang dan segera mereka mengurung seorang wanita
muda yang melawan serangan mereka dengan sepotong kayu di tangan. Agaknya wanita
itu tidak mendapat kesempatan untuk mengambil pedang dan terpaksa menghadapi
empat orang pengeroyoknya dengan sepotong kayu yang dimainkannya dengan kuat dan
hebat sekali hingga empat orang pengeroyok yang bersenjata pedang dan golok itu
tak dapat mendekatinya. Sementara itu, seorang penjahat yang mengatur siasat malam tadi masuk ke dalam
rumah melalui pintu depan hingga tak terlihat oleh wanita muda itu. Kong Sian
maklum akan maksudnya, yakni menculik anak kecil yang berseru tadi, maka dengan
cepat ia lalu melompat ke arah orang itu. Sekali tangannya bergerak, orang itu
telah kena ditamparnya di bagian pundak hingga orang itu mengaduh lalu roboh
terguling. Ketika ia bangun berdiri dan melihat seorang pemuda kurus tampak
berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, penjahat itu menjadi marah sekali
dan mencabut goloknya yang tergantung di pinggang lalu menyerang dengan hebat.
Akan tetapi, ketika tubuh Kong Sian berkelebat, dalam tiga gebrakan saja ia
berhasil mengetuk pergelangan tangan lawan yang memegang golok hingga senjata
itu terlempar jauh, kemudian menempeleng lagi yang tepat mengenai pangkal
telinga orang itu hingga orang itu terhuyung-huyung, matanya terbalik ke atas,
lalu terputar-putar terus roboh mencium tanah.
Pingsan " Kong Sian tak mau membuang waktu lalu segera ia melompat ke belakang. Dilihatnya
bahwa biarpun wanita itu cukup lihai, namun menghadapi empat orang laki-laki
yang bersenjata tajam hanya dengan sepotong kayu ditangan, maka ia mulai
terdesak juga. Kong Sian maklum bahwa kalau yang dipegang oleh wanita itu bukan
kayu akan tetapi pedang, tentu sebentar saja empat orang penjahat itu dapat
dirobohkan. Ia lalu berseru keras dan melompat bagaikan seekor naga melayang
turun dari angkasa. Begitu kaki dan tangannya bergerak, berteriaklah dua orang pengeroyok yang
terlempar dan tak dapat bergerak lagi. Kesempatan ini digunakan oleh wanita itu
untuk mengerjakan tongkatnya, sambil mengaduh-aduh, dua orang lain kena digebuk
sedemikian rupa hingga mereka roboh tak dapat bergerak lagi.
Kong Sian memandang dengan kagum, dan wanita itupun memandang dengan terimah
kasih. Dua pasang mata bertemu dan ....... !!


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lin Hwa ......!"
"Kong Sian ......kau ........kau .....?"
Lin Hwa melangkah maju dan ketika kedua lengan tangan Kong Sian terulur ke
depan, ia lalu menubruk pemuda itu, menjatuhkan mukanya di dada Kong Sian dan
menangis terisak-isak. Sementara itu, ke lima orang penjahat yang kena gebuk dan pukul tadi, telah
siuman dari pingsannya dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan mereka,
mereka ini lalu bangkit, membantu kawan-kawan yang agak berat mendapat bagian,
lalu berjalan pergi sambil terpincang-pincang dan terhuyung-huyung.
Sampai lama kedua orang itu tidak bergerak maupun bersuara, yang bergerak
hanyalah tubuh Lin Hwa karena tangisnya, sedangkan yang terdengar hanyalah suara
sesenggukan tangisnya. "Lin Hwa .... soso ....mengapa kau sampai tinggal di sini ?"
Koleksi Kang Zusi "Kong Sian, jangan sebut aku dengan sebutan itu. Panggil saja namaku, itu lebih
baik ......jangan ingatkan aku akan hal-hal dulu lagi ......." Lin Hwa lalu
mengundurkan diri dan sambil menghapus pipinya yang basah, ia lalu menatap wajah
pemuda itu. Tiba-tiba timbul senyumnya hingga pipinya nampak manis sekali dengan
lesung pipit di kanan kiri.
"Kong Sian, kau ..... kau kelihatan lebih tua dan kurus sekali."
"Dan kau nampak ....... bertambah manis saja, Lin Hwa. Oh ya, mana anakmu "
Ingin sekali aku memeluk nya, Mana dia ?"
"Cin Pau..." Lin Hwa memanggil dengan suara merdu dan nada menarik. Suara nyonya
muda ini terdengar gembira sekali hingga ia sendiri merasa heran, seakan-akan
tidak mengenal suaranya sendiri. Belum pernah ia mendengar suaranya sendiri
segembira ini dan mengingat akan hal-hal ini tiba-tiba saja kulit mukanya
menjadi kemerah-merahan. Seorang anak kecil berusia kurang lebih empat tahun berlari-lari dari dalam
rumah dan menghampiri ibunya. Anak itu ketika melihat Kong Sian, lalu berhenti
berlari dan memandang dengan sepasang matanya yang lebar dan bagus. Kong Sian
tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya ke arah anak itu. Anak kecil itupun
lalu tersenyum, kemudian dengan muka berseri-seri ia lalu berseru,
"Ayah.......! Ayah .....!" Sambil berseru demikian, Cin Pau yang masih kecil itu
lalu berlari cepat dan menubruk Kong Sian. Kong Sian dengan hati amat terharu
lalu memondong dan memeluk anak itu, menciumi rambutnya yang hitam dan penuh dan
ketika ia melirik ke arah Lin Hwa, ternyata nyonya muda itu telah membalikkan
tubuh agar Kong Sian tidak melihat betapa ia menangis dengan hati terharu karena
melihat Cin Pau berteriak memanggil "ayah" kepada Kong Sian, seakan-akan sebilah
pedang telah menusuk jantungnya. Seringkali anak itu menanyakan ayahnya dan
selalu Lin Hwa membohonginya dan menjawab bahwa ayahnya sedang pergi memburu
binatang liar dan bahwa ayahnya pada suatu waktu tentu akan datang mengunjungi
mereka. Cin Pau yang masih kecil tidak tahu bahwa ibunya telah membohong dan
percaya akan keterangan ini, maka ketika melihat Kong Sian, seorang laki-laki
yang baik hati, penuh kasih sayang, ia tidak ragu-ragu lagi menduga bahwa orang
ini tentulah ayahnya. Kong Sian memeluk erat-erat tubuh kecil itu dan ia diamkan saja ketika berkali-
kali Cin Pau menyebutnya ayah. Ketika ia melihat Lin Hwa membalikkan tubuh
hendak menegur anaknya dengan mata basah, diam-diam Kong Sian menaruh
telunjuknya pada bibir dan melarang Lin Hwa membantah sebutan itu. Ia pikir
bahwa anak yang masih kecil ini tak perlu dilukai hatinya dengan kenyataan
tentang ayahnya, maka apa salahnya kalau anak ini mengaku ayah kepadanya.
Bahkan, ia merasa girang dan senang sekali mendengar sebutan ini, sebutan yang
membuat hatinya makin terikat dengan hati Lin Hwa.
"Ayah mana harimau dan biruang yang kau bunuh " Kata ibu, ayah pemburu binatang
buas yang pandai dan gagah. Aku telah melihat kelihaian ayah tadi ketika
bertempur dengan penjahat-penjahat karena aku mengintai dari dalam. Ayah hebat
sekali. Benar kata ibu bahwa ilmu-ilmu silat ayah tinggi luar biasa. Lihat,
ayah, akupun belajar dengan rajin. Kata ibu, kalau aku belajar dengan rajin
kelak akan menjadi gagah seperti ayah."
Sambil berkata-kata dengan gembira dan cepatnya, Cin Pau lalu merosot turun dari
pondongan Kong Sian, lalu ia mulai bersilat di depan Kong Sian dengan gerakan
yang lincah. Kong Sian merasa kagum dan senang sekali karena nyata baginya bahwa
Lin Hwa tidak membuang waktu percuma dan telah mulai mendidiknya dengan dasar-
dasar ilmu silat yang dapat dimainkan dengan baiknya oleh Cin Pau yang baru
berusia empat tahun itu. Untuk menyenangkan hati Cin Pau, Kong Sian membiarkan anak itu melihat dan
mengagumi pedangnya dan ketika anak itu bertanya seribu satu macam tentang
perburuan binatang buas, ia lalu mengarang cerita tentang perburuan binatang
yang menarik hingga anak itu sambil duduk di atas pangkuan "ayahnya",
mendengarkan dengan mulut celangap dan beberapa kali menyebut, "Kau hebat sekali
ayah!" Melihat kelakuan puteranya ini, Lin Hwa membenarkan isarat Kong Sian tadi dan
iapun tidak tega untuk menceritakan kepada anak itu bahwa pemuda ini bukanlah
ayahnya. "Ah, Cin Pau, kau nakal sekali. Kong ...., eh ayahmu baru saja datang, sudah kau
ganggu dengan kecerewetanmu. Dia lelah dan mungkin lapar sekali!"
Koleksi Kang Zusi Anak itu lalu melompat turun dari pangkuan Kong Sian dan berlari ke dalam rumah
sambil berkata, "Biar kupanggangkan daging kelinci yang kemarin kita tangkap."
Memang, karena berada berdua di hutan itu, Lin Hwa telah memberi banyak
pelajaran kepada puteranya, hingga Cin Pau yang masih kecil itu sudah pandai
memanggang daging dan bahkan pandai menangkap kelinci dengan anak panah kecil.
Pada malam harinya, setelah Cin Pau tidur nyenyak, barulah Lin Hwa dan Kong Sian
duduk saling berhadapan dan bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing
selama berpisah. Melihat sikap Lin Hwa yang dari pandangan matanya jelas
membisikkan sesuatu yang selalu menjadi kenangannya, Un Kong Sian tak kuasa
menuturkan bahwa ia telah kawin dan mempunyai rumah tangga yang tidak
berbahagia. Ternyata bahwa Lin Hwa sudah tahu akan nasib suaminya dan nasib Ma Gi karena
iapun mencari tahu akan hal itu dan mendengar berita-berita dari luar kuil
ketika ia masih berdiam di kuil Thian-an-tang.
Dan setelah ia pergi meninggalkan kuil Thian-an-tang, ia lalu merantau dengan
puteranya dan akhirnya tiba di hutan itu dan bersembunyi di situ bersama anaknya
yang masih kecil. Lin Hwa tidak suka tinggal di dusun yang banyak orangnya, oleh
karena ia seringkali mengalami gangguan, maklum karena ia masih muda lagi cantik
dan janda pula. Ketika Kong Sian memberitahukan bahwa ia hendak pergi ke Kunlun-san, Lin Hwa
memandang dengan hati tertarik dan berkata, "Sudah lama sekali aku mendengar
tentang keindahan bukit Kunlun dan kemashuran nama Kunlun-pai. Alangkah
senangnya kalau kami bisa ikut kau pergi ke sana."
Kong Sian hampir melompat karena girangnya, "Mengapa tidak " Tadi baru saja aku
hendak mengajak kau dan Cin Pau ikut. Dengarlah, Lin Hwa, aku mempunyai usul
yang baik sekali bagi puteramu.
Biarpun aku percaya penuh akan keahlianmu mengajar dan memdidik anakmu, akan
tetapi dalam hal ilmu silat, anakmu perlu mendapat didikan orang yang lebih
pandai dari pada kita agar kelak Cin Pau menjadi seorang yang betul-betul gagah
dan tidak mengecewakan. Oleh karena itu, lebih baik kita bawa Cin Pau ke Kunlun-
san dan di sana aku akan mintakan kepada suhu supaya anak itu diterima menjadi
murid. Bagaimana pikiranmu ?"
Berseri wajah Lin Hwa mendengar ini. "Kong Sian, kau memang seorang sahabat yang
mulia dan berbudi. Kalau tidak ada kau, entah bagaimana jadinya dengan aku dan
puteraku kelak." "Eh, eh, jangan memuji-muji saja, bagaimana jawabmu tentang pergi ke Kunlun-
san ?" "Tentu saja aku turut dengan segala senang hati, jangan baru ke Kunlun-san,
biarpun ke ujung dunia sekali pun kalau kau yang mengajak, tentu aku takkan
ragu-ragu lagi untuk ikut."
"Kenapa begitu ?" tanya Kong Sian dengan hati berdebar dan menatap wajah Lin Hwa
dengan tajam. "Karena aku yakin bahwa maksudmu mulia dan baik," jawab Lin Hwa sederhana.
Demikianlah, setelah bermalam untuk satu malam di dalam pondok kecil itu, pada
keesokkan harinya, pagi-pagi benar Kong Sian, Lin Hwa dan Cin Pau yang digendong
oleh Kong Sian, berangkat meninggalkan hutan itu untuk menuju ke Kunlun-san. Cin
Pau yang masih kecil dan tidak kenal artinya susah itu selalu bergembira di
sepanjang jalan hingga kegembiraannya mempengaruhi kedua orang muda itu dan
membuat perjalanan terasa mudah dan lancar. Oleh karena Cin Pau selalu menyebut
"ayah" kepada Kong Sian, maka setiap orang yang mereka jumpai di dusun-dusun
tentu menganggap bahwa ini adalah sepasang suami isteri dengan anaknya.
Pernah di dalam perjalanan itu, Lin Hwa berkata kepada Kong Sian ketika Cin Pau
tertidur. "Kong Sian, kau masih belum mempunyai putera akan tetapi telah disebut
ayah. Apakah ...... apakah kau tidak merasa malu dengan sebutan itu ?"
"Malu " Mengapa mesti malu " Aku bahkan senang sekali dengan sebutan itu.
Dan .... bukankah aku pantas sekali menjadi ayah Cin Pau ?" Jawaban ini membuat
seluruh muka Lin Hwa menjadi merah sampai ke telinganya dan sambil tersenyum
manis ia mengerling ke arah pemuda itu dengan sudut matanya.
Koleksi Kang Zusi Percakapan-percakapan dan senda gurau seperti ini membuat hubungan mereka lebih
erat lagi dan tanpa terasa, tanpa pernyataan dengan kata-kata yang langsung,
keduanya membangun dan memperkokoh perasaan cinta kasih yang besar dalam hati
masing-masing. Dan kemesraan Cin Pau yang benar-benar menganggap Kong Sian
sebagai ayahnya, membuat kedua orang muda itu merasa seakan-akan benar-benar
mereka menjadi suami isteri sejak dulu.
Kurang lebih satu bulan mereka melakukan perjalanan menuju ke Kunlun-san, tidak
dengan tergesa-gesa dan selalu beristirahat sebelum Cin Pau merasa lelah.
Akhirnya sampai juga mereka di tempat tujuan. Sambil memondong anak itu, Kong
Sian mengajak Lin Hwa mempergunakan ilmu lari cepat mendaki puncak kedua dari
pegunungan Kunlun di mana suhunya tinggal.
Ketika mereka tiba di kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Beng Hong Tosu,
kebetulan sekali pendeta tua ini sedang duduk di depan kuil, bermain catur
dengan seorang kakek tua yang jubahnya penuh tambalan, akan tetapi jubah itu
bersih sekali. Melihat kedatangan muridnya yang membawa seorang wanita muda dan
seorang anak kecil, Beng Hong Tosu lalu berdiri menyambut.
Kong Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Hong Tosu dan menyebut,
"Suhu!" Sedangkan Lin Hwa juga mengajak Cin Pau berlutut di depan pendeta sakti
itu. Cin Pau turun dari gendongan ibunya dan anak itu dengan tabah sekali lalu
menghampiri tosu berjubah tambalan itu dan bertanya dengan suara yang nyaring
bersih, "Kakek tua, permainan apakah di atas meja itu ?"
Kakek tua berbaju tambalan itu mengangkat alisnya dan kemudian tertawa bergelak.
"Anak baik, ini adalah biji-biji catur." Kemudian ia mengambil sepuluh biji
catur dan satu demi satu ia lemparkan ke udara. Biji-biji catur itu melayang
tinggi sekali dan saling susul. Anehnya, ketika biji-biji catur itu turun
kembali, kesemuanya telah bertumpuk menjadi satu dengan rapinya dan melayang
bersama-sama ke arah tangan kakek itu yang menerimanya dengan tangan kiri.
Cin pau bertepuk tangan dengan girang, "Bagus, bagus ! Dengan mempunyai biji
catur ini dan bisa melempar seperti kau, untuk menangkap burung tak perlu
mempergunakan busur dan anak panah lagi."
Kembali kakek tua itu tertawa bergelak-gelak. "Kau cerdik ! Maukah kau
mempelajari permainan tadi ?"
"Tentu saja mau, tentu mau," kata Cin Pau sambil bertepuk-tepuk tangan, kemudian
ia menghampiri dan memeluk ibunya. "Ibu, bolehkah aku belajar menimpuk dengan
biji catur pada kakek tua ini ?"
Melihat hal ini, Beng Hong Tosu tersenyum dan berkata, "Bu Eng Cu (Si Tanpa
Bayangan), kau diam-diam telah memilih murid !" Kakek yang disebut Bu Eng Cu itu
tertawa lagi. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang aneh dan berilmu
kepandaian tinggi sekali, bernama Tiauw It Lojin dan berjuluk Bu Eng Cu. Ia
tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap karena memang biasa merantau ke
gunung-gunung menikmati pemandangan indah. Akan tetapi, seringkali ia datang
berkunjung kepada Beng Hong Tosu yang menjadi sahabat baiknya di masa mudanya.
Kakek inilah yang dulu pernah mendemonstrasikan ilmu silatnya dan yang dilihat
oleh Kong Sian ketika ia masih belajar di Kunlun-san dan ketika ia bersama Lin
Hwa tertolong di kuil Thian Lok Si, ia melihat betapa ilmu silatnya hwesio muka
hitam yang disebut Lokoay itu mirip betul dengan ilmu silat kakek tua ini. Maka,
mengingat hal ini, ia memberi hormat dengan berlutut di depan kakek itu sambil
berkata, "Locianpwe, teecu Kong Sian memberi hormat. Apakah selama ini locianpwe
sehat-sehat saja ?" "Baik, Kong Sian, aku baik saja. Kau pun baik ku lihat !" Jawaban ini
membayangkan sifatnya yang terus terang dan tidak suka pakai banyak kata-kata
muluk. Memang Bu Eng Cu ini terkenal beradat polos, bahkan kadang-kadang aneh
sehingga ucapannya sukar dimengerti.
"Kong Sian, pinto telah mendengar tentang nasib kedua suhengmu," kata Beng Hong
Tosu sambil menghela napas, "kehendak Thian tak dapat ditentang dan memang sudah
nasib mereka harus berkorban demi membela orang tua. Akan tetapi, mereka tewas
dengan gagah perkasa dan tidak memalukan nama guru dan orang tua. Harus pinto
puji dan hormati perbuatan kedua suhengmu dan ayah-ayah mereka. Memang mereka
itu orang-orang berjiwa besar dan yang berani melakukan perbuatan besar pula
tanpa takut menanggung akibatnya. Memang seharusnya demikianlah. Setiap orang
harus berusaha dan berikhtiar sekuat tenaga demi kebaikan. Adapun akan hasil dan
tidaknya, itu bukan soal kita dan ketentuan terakhir bukan berada dalam
kekuasaan kita. Namun, tetap manusia harus berikhtiar sekuatnya tanpa
memusingkan tentang hasil atau tidaknya.
Dua orang sastrawan tua itu telah melakukan sesuatu yang baik, sesuai dengan
jiwa mereka. Dan lihatlah, ratusan ribu orang bergelora semangatnya dan berhasil
menumbangkan pemerintah yang lalim.
Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, tetap saja hasil yang mereka peroleh itu bukanlah hasil yang baik
dan sebagaimana yang dicita-citakan oleh orang yang paling sengsara. Keadaan
tetap buruk dan sedikit sekali perbedaannya dengan keadaan dulu. Kau tentu
maklum dan telah menyaksikan sendiri."
"Teecu mengerti, suhu. Memang, keadaan masih sama, hanya berganti majikan !"
kata Kong Sian. "Itulah ! Akan tetapi, kita tak dapat menyalahkan kedua orang sastrawan besar
itu. Bukan salah mereka, dan bukan demikian yang mereka kehendaki. Semua adalah
kehendak Thian yang maha kuasa.
Namun, lepas dari soal berhasil atau tidak, tetap saja harus diakui bahwa kedua
orang itu telah melakukan tugas sebagai manusia-manusia baik !"
Mendengar betapa guru dan murid ini bicara tentang mertuanya dan suaminya yang
telah tewas, tak tertahan lagi mengalirlah air mata di sepanjang kedua pipi Lin
Hwa. Luka lama yang selama ini telah mulai mengering, kini terbuka pula dan
terasa perih. Beng Hong Tosu memandang kepada Lin Hwa dan bertanya kepada Kong sian, "Kong
Sian, siapakah kawanmu ini ?"
"Suhu, dia adalah isteri Khu suheng dan anak itu adalah anaknya." Pada saat itu,
Cin Pau sedang bermain-main dengan biji-biji catur sehingga ia tidak
mendengarkan semua percakapan yang memusingkan kepalanya itu sehingga ia tidak
mendengar pula kata-kata Kong Sian ini.
Beng Hong Tosu mengangguk-angguk dan memandang kepada Lin Hwa dengan terharu dan
iba. Kemudian, Kong Sian dengan panjang lebar lalu menceritakan kepada suhunya
tentang semua pengalaman-pengalaman semenjak peristiwa pembasmian kedua keluarga
Khu dan Ma itu terjadi. "Oleh karena itu, suhu. Teecu mohon kepada suhu sudilah kiranya menaruh hati
kasihan kepada Khu-soso ini dan sudi menerima puteranya sebagai murid di
Kunlun." Kong Sian mengakhiri ceritanya.
"Bagus, bagus Beng Hong Toyu (sahabat), anak itu sendiri ingin belajar dari aku,
akan tetapi muridmu ini hendak memaksanya belajar dari kau."
Beng Hong Tosu tertawa dan meraba-raba jenggotnya yang putih dan panjang. "Kong
Sian, kau mendengar sendiri " Hayo lekas kau aturkan beribu terima kasih kepada
Bu Eng Cu !" Kong Sian dan Lin Hwa lalu berlutut di depan Tiauw it Lojin dan menghaturkan
terima kasih bahwa orang tua itu suka menerima Cin Pau menjadi muridnya.
"Tak usah berterima kasih. Aku tidak memberi apa-apa, pengetahuan takkan
berkurang atau hilang biarpun diberikan kepada seribu orang. Kalau kalian tidak
keberatan, maka anak itu hendak ku bawa ke tempatku sekarang juga."
Lin Hwa lalu berdiri dan menhampiri Cin Pau yang lalu dipeluk dan diciuminya.
"Anakku yang baik,"
katanya sambil menahan bercucurnya air mata, "Kau ingin belajar ilmu dari
locianpwe ini, bukan ?"
Cin Pau mengangguk. "Kalau begitu, sekarang kau harus ikut kepadanya. Kau harus menjadi murid yang
taat dan penurut, harus rajin-rajin belajar. Cin Pau, jangan mengecewakan ibumu,


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ya " Jagalah dirimu baik-baik !"
"Apa ibu tidak ikut ?" tanya anak itu dengan kedua matanya yang lebar memandang
ibunya. "Tidak, nak. Tidak boleh ibu ikut. Kau yang hendak belajar, bukan ibumu. Akan
tetapi, tak lama ibu tentu akan menyusulmu, nak. Kau ikutlah dengan gurumu !"
"Hayo, Cin Pau, hayo kita pergi !" kata Bu Eng Cu Tiauw It Lojin sambil
menggandeng tangan anak itu.
Cin Pau tidak membantah dan menjawab dengan gagah, "Baik, suhu."
Kemudian kedua orang itu meninggalkan tempat itu setelah Bu Eng Cu berkata
kepada Beng Hong Tosu, "Sampai ketemu lagi, toyu."
Koleksi Kang Zusi Cin Pau beberapa kali berpaling memandang ibunya dan ketika melihat betapa pipi
ibunya basah air mata, ia berseru nyaring, "Ibu jangan menangis, kelak aku akan
kembali kepadamu !" Kemudian, kepada Kong Sian ia berseru, "Ayah, jaga ibu baik-
baik !" Setelah bayangan mereka lenyap di satu tikungan jalan, Beng Hong Tosu bertanya
dengan suara heran kepada Kong Sian," Mengapa dia menyebutmu ayah ?"
Merahlah wajah Kong Sian, akan tetapi dengan suara tetap ia menjawab, "Anak itu
belum tahu akan hal ihwal ayahnya dan begitu bertemu dengan teecu, ia telah
menyebut ayah. Teecu tidak tega untuk melukai hatinya yang masih suci."
Beng Hong Tosu mengangguk-angguk dan berkata, "Anak itu baik sekali, boleh
diharapkan kelak." Bagian 06. Musuh di dalam Dada
Setelah tinggal di situ selama tiga hari, Kong Sian lalu berpamit kepada suhunya
untuk pulang ke kota raja karena telah lama meninggalkan ibunya. Lin Hwa juga
menyatakan hendak pergi dan mencari kuburan suaminya.
"Pergilah," kata Beng Hong Tosu. "Dan berhati-hatilah, terutama terhadap musuh
di dalam dada !" Setelah meninggalkan pesan ini, pendeta itu lalu masuk ke dalam pondoknya untuk
bersamadhi. Kong Sian dan Lin Hwa saling pandang dengan muka merah karena sungguhpun mereka
tidak dapat menangkap arti kata-kata pendeta itu dengan jelas, namun mereka
seakan-akan mendapat sindiran bahwa pendeta tua itu telah maklum akan apa yang
menjadi perasaan hati mereka berdua.
Sesungguhnya Lin Hwa memang ingin sekali mencari kuburan suaminya, akan tetapi,
yang lebih tepat lagi, ia ingin pergi bersama Kong Sian karena hatinya merasa
berat sekali kalau kini setelah ditinggal puteranya, ia harus berpisah lagi dari
pemuda ini. Ia ingin bersembahyang di depan makam suaminya, ingin mengeluarkan
segala hatinya dan ingin minta perkenan dari suaminya untuk .... untuk ....
kemungkinan kawin lagi dengan Kong Sian.
Demikianlah, kedua orang muda itu lalu turun gunung, kini lebih cepat perjalanan
mereka, karena tidak disertai Cin Pau
Pada suatu malam yang dingin dan gelap, Un Kong Sian dan Ong Lin Hwa tiba di
dalam sebuah hutan. Ketika keduanya melompat naik ke atas pohon tinggi untuk mencari-cari dan
melihat-lihat barangkali di dekat situ terdapat dusun, ternyata tak nampak dusun
atau cahaya api penerangan di dekat dan di sekitar hutan itu, maka terpaksa
mereka harus bermalam di hutan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba datang hujan dan angin ribut sehingga mereka menjadi
bingung. Mula-mula mereka berteduh di bawah pohon yang berdaun lebat sekali,
akan tetapi oleh karena hujan turun makin besar hingga air hujan menembus daun-
daun pohon dan membuat mereka menjadi basah kuyup seluruh pakaian dan tubuh
mereka, terpaksa mereka lalu mencari-cari tempat yang kiranya dapat digunakan
untuk tempat berteduh di malam itu. Tubuh mereka terserang dingin yang luar
biasa hingga kalau saja mereka tidak memiliki lweekang yang dapat disalurkan
pada jalan-jalan darah untuk membuat hangat tubuh, tentu mereka tak kuat menahan
rasa dingin yang menusuk tulang itu.
"Bagaimana baiknya " Kemana kita harus pergi berlindung ?" tanya Lin Hwa yang
telah mulai menggigil kedinginan, karena kepandaiannya masih belum tinggi betul.
Melihat keadaan Lin Hwa, Kong Sian menjadi kasihan sekali. Ia melepaskan
mantelnya dan menyelimuti tubuh Lin Hwa, akan tetapi oleh karena mantel itu pun
telah menjadi basah kuyup, maka pertolongan ini tiada artinya.
Kilat menyambar-nyambar dan angin membuat semua pohon di hutan itu seakan-akan
bergerak-gerak mengamuk. Lin Hwa mulai terhuyung-huyung dan tubuhnya lemah serta
lelah sekali hingga Kong Sian terpaksa harus memeluknya dan menariknya di dalam
hujan badai itu, maju terhuyung-huyung ke depan, mencari pohon-pohon yang lebih
besar. "Kong Sian ..... aku ....aku ..... tak kuat lagi rasanya ....."
Koleksi Kang Zusi "Ah, masa kau begitu lemah ?" Kong Sian menghibur dan mencoba berkelakar.
"Sebentar lagi hujan badai ini juga berhenti."
Akan tetapi, jangankan berhenti, bahkan lebih lebat datangnya air hujan dari
atas, dan angin makin besar mengamuk.
Mereka berjalan berhimpit-himpitan, saling peluk dan hanya mengandalkan tenaga
Kong Sian saja mereka dapat bergerak maju. Ketika cahaya kilat menyinari hutan
itu, tiba-tiba Kong Sian melihat bayangan sebuah bangunan dari jauh. Ia menjadi
girang sekali dan sambil menarik tubuh Lin Hwa yang setengah dipondongnya itu,
ia berkata, "Cepat, di depan itu kulihat bangunan!"
Setelah berjalan beberapa lama, benar saja, di dalam cahaya kilat yang sebentar-
sebentar menyambar, mereka melihat sebuah bangunan kuno di tengah hutan.
Bangunan ini adalah sebuah kelenteng kuno yang telah rusak dan yang atapnya
sebagian besar telah hancur. Akan tetapi masih ada juga sedikit bagian yang kuat
dan dapat menahan turunnya air, maka Kong Sian lalu mendukung tubuh Lin Hwa dan
masuk ke dalam kelenteng itu.
Mereka girang sekali karena di situ terdapat sebuah meja sembahyang terbuat dari
pada kayu besi yang hitam dan kuat hingga buru-buru mereka berlindung di bawah
meja itu. Dan dengan girang Kong Sian mendapatkan kayu-kayu kering di bawah
meja, bahkan terdapat pula batu-batu api. Ia menduga bahwa ini tentu barang
orang-orang yang telah pernah bermalam di tempat ini, maka cepat ia membuat api
dengan susah payah, karena walaupun benda-benda itu tidak terserang air, bahan
bakar itu menjadi lembab. Akan tetapi, akhirnya ia berhasil juga dan tak lama
kemudian menyalahlah kayu-kayu kering di bawah meja itu.
Terdengar Lin Hwa mengeluh perlahan dan ketika Kong Sian memandang, ia melihat
wajah yang cantik itu memucat dan nampak lemah sekali. Akan tetapi pada saat
itu, Lin Hwa menyandarkan kepalanya pada pundak Kong Sian dan memandang pemuda
itu dengan pandangan mata yang mesrah dan penuh perasaan.
Diangatkan oleh nyala api, akhirnya Lin Hwa dapat juga tidur dengan kepala masih
tersandar di bahu Kong Sian. Pemuda itu lalu dengan hati-hati dan lemah lembut
menidurkan kepala Lin Hwa ke atas lantai berbantalkan mantelnya yang digulung.
Kemudian ia menambah kayu pada api unggun kecil di bawah meja besar itu. Setelah
itu Kong Sian lalu duduk bersamadhi, mengatur napasnya hingga hawa yang hangat
menjalar di seluruh tubuhnya, mengusir kelelahan dan kedinginan yang
menyerangnya. Menjelang fajar, hujan berhenti dan ketika matahari mulai menyinarkan cahayanya
mengusir sisa-sisa kegelapan, terdengar burung-burung dan ayam-ayam hutan
berbunyi riang, seakan-akan mereka ini sama sekali telah lupa akan amukan hujan
badai malam tadi yang membuat banyak sarang mereka hancur dan telur serta anak-
anak mereka rusak binasa.
Melihat bahwa Lin Hwa masih tidur dengan nyenyak, Kong Sian lalu keluar dari
kuil itu dan membungkuk dengan hormat dihadapan sebuah patung yang telah rusak,
seakan-akan menyatakan terima kasihnya karena kalau tidak cepat-cepat mendapat
tempat berteduh yang aman sentausa itu, entah bagaimana nasib mereka malam tadi.
Kemudian ia lalu keluar dan mencari makanan di dalam hutan yang liar itu. Tak
lama kemudian, ia kembali ke kuil sambil membawa beberapa butir buah dan seekor
kelinci yang ditangkapnya.
Akan tetapi, ketika ia tiba di dekat kelenteng rusak itu, tiba-tiba terdengar
jerit Lin Hwa dari dalam kelenteng. Kong Sian melempar semua bahan makanan itu
ke atas tanah dengan cepatnya melompat ke dalam kelenteng. Alangkah marah dan
kagetnya ketika melihat betapa Lin Hwa telah diikat kaki tangannya dan rebah di
lantai dengan pakaian tidak karuan, sedangkan di situ berdiri seorang saikong
(pertapa) bermuka penuh cambang-bauk seperti seekor harimau sedang tertawa
bergelak. "Jahanam keparat!" Kong Sian membentak sambil mencabut pedangnya lalu menyerang.
Saikong itu mengelak dan membentak marah sambil melototkan matanya yang lebar,
"Bangsat kecil ! Kau berani main gila di depan Pit Lek Hoatsu ?"
Kong Sian terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar nama ini
sebagai seorang pendeta cabul dan jahat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali. Dulu suhunya pernah bercerita bahwa suhunya pernah turun gunung untuk
membasmi saikong jahat ini, akan tetapi karena Pit lek Hoatsu memang gagah dan
juga licin sekali, suhunya tak berhasil membekuknya. Akan tetapi, melihat
Koleksi Kang Zusi betapa pendeta keparat itu hendak mengganggu Lin Hwa, Kong Sian tak mengenal
arti takut dan menyerang dengan hebatnya hingga saikong itu terpaksa
melayaninya. Pit Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Ketika ia membentak marah, dari
pinggangnya ia mencabut keluar sabuknya yang terbuat daripada perak, merupakan
rantai perak yang berujung tajam. Dan setelah ia putar-putar senjatanya ini,
Kong Sian merasa terkejut sekali karena gerakan saikong ini luar biasa cepat dan
buasnya. Tiap kali pedangnya terbentur oleh rantai itu, ia merasa telapak
tangannya sakit sekali sehingga setelah empat kali mengalami benturan hebat, ia
tidak berani lagi menangkis dengan pedangnya, dan hanya bergerak cepat
mengelakkan diri dari bahaya maut yang disebar oleh rantai perak itu. Kong Sian
terdesak hebat dan Lin Hwa yang terikat kaki tangannya dan duduk menyandar
dinding, memandang keadaan ini dengan mata terbelalak dan kuatir sekali.
Pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara orang
menyebut nama Buddha, "Omitohud ! Pit lek Hoatsu, tidak tahukah kau kepada kemuliaan Buddha ?"
Berbareng dengan habisnya ucapan ini, berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu
seorang hwesio yang tua dan berjenggot putih telah menyambar dan dengan ujung
bajunya ia menyampok rantai perak Pit Lek Hoatsu. Sampokan ini hebat sekali
karena rantai itu terbentur dan membalik, hampir saja menghantam muka Pit Lek
Hoatsu sendiri. Saikong itu terkejut dan melompat ke belakang berjungkir balik,
dan ketika memandang hwesio yang baru tiba itu, ia menjadi terkejut dan berseru,
"Pek Seng Hwesio ! Kau datang mencampuri urusanku ?"
"Pinceng bukan mencampuri urusan siapa-siapa, hanya berusaha mencegah terjadinya
perbuatan sesat," jawabnya tajam.
Pit Lek Hoatsu ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian hwesio tua ini, kemudian
sambil tertawa menyeringai ia lalu menyimpan rantainya dan berkata, "Biarlah aku
memandang mukamu dan lain kali kita bertemu pula !" Kemudian ia melompat pergi
dan terdengar suara ketawanya yang menyeramkan.
Kong Sian lalu cepat melepaskan tali yang mengikat kaki tangan Lin Hwa,
menggunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh Lin Hwa karena pakaiannya banyak
yang robek. Kemudian, kedua orang muda itu lalu maju dan berlutut di depan Pek
seng Hwesio, ketua dari kuil Thian Lok Si itu.
"Hm, kalian lagi," kata hwesio tua itu, "Dan di mana puteramu, toanio ?"
"Cin Pau telah teecu serahkan kepada Tiauw It Locianpwe untuk dididik," jawab
Lin Hwa dengan penuh hormat.
Kong Sian lalu menceritakan pengalaman mereka di puncak Kunlun-san dan Pek Seng
Hwesio mengangguk-angguk sambil berkata, "Pantas saja tadi ketika pinceng
mengunjungi Kunlun, di sana tidak ada siapa-siapa. Suhumu Beng Hong Toyu telah
turun gunung dan pinceng tidak dapat bertemu dengan dia. Tadinya pinceng memang
bermaksud mencari Ong-toanio ini yang menurut perkiraan pinceng tentu berada di
Kunlun-san oleh karena mendiang suaminya atau suhengmu adalah anak murid Kunlun-
pai." "Losuhu mencari teecu ada keperluan apakah ?" tanya Lin Hwa.
Pek Seng Hwesio tersenyum. "Memang puteramu bukan jodohku, tadinya pinceng
bermaksud mengambil murid padanya, akan tetapi telah didahului oleh Tiauw It
Lojin. Biarlah, Bu Eng Cu juga seorang tokoh yang berilmu tinggi dan puteramu
tidak kecewa kalau menjadi muridnya."
Setelah berkata demikian, Pek seng Hwesio lalu berkelebat dan pergi dari situ.
Kong Sian dan Lin Hwa saling pandang dengan penuh takjub. Tak mereka sangka
bahwa Pek Seng Hwesio demikian lihai ilmu silatnya sehingga saikong jahat itupun
agaknya jerih menghadapinya.
"Untung kau lekas datang, Kong Sian. Kalau tidak ........."
"Jangan bilang untung karena aku datang, karena kalau hwesio tua itu tidak
datang menolong, biarpun ada aku, agaknya sia-sia belaka," kata Kong Sian sambil
menghela napas. Koleksi Kang Zusi "Kong Sian ......," kata Lin Hwa sambil memandang dengan tajam.
"Ya ......?" "Mengapa kau sebaik ini kepadaku ?"
Kong Sian terkejut karena pertanyaan ini tak disangka-sangkanya sehingga membuat
ia tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Kenapa kau bertanya demikian " Manusia harus saling berbaik dengan sesama
hidupnya." Lin Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Akan tetapi kau berbeda sekali,
sahabatku. Kau ..... kau terlalu baik padaku, dan .... dan ini tentu ada
sebabnya." Kong Sian maklum bahwa Lin Hwa menuntut kepastian darinya dan ia berpikir
sekaranglah saatnya untuk menyatakan isi hatinya. Ia lalu melangkah maju dan
memegang kedua tangan Lin Hwa.
"Lin-moi ....... aku ..... aku cinta padamu."
Lin Hwa tidak terkejut mendengar ini, hanya mukanya menjadi merah dan ia tidak
berani menentang pandang mata Kong Sian. Lama sekali mereka berdiam saja dan Lin
Hwa juga tidak berusaha menarik kedua tangannya dari pegangan Kong Sian.
"Kong Sian .... telah lama aku dapat menduga hal ini dan ..... dan ..... terus
terang saja akupun suka sekali kepadamu. Kau seorang yang berhati mulia dan
gagah dan takkan ada hal yang lebih membahagiakan hatiku selain dari pada
menjadi .... isterimu yang setia. Kau baik kepada ku dan .... dan puteraku pun
sayang pula kepadamu. Kau lah satu-satunya orang yang patut menjadi ayah Cin
Pau." "Lin Hwa, sayang ...." kata Kong Sian dengan suara menggetar.
"Kong Sian, ketahuilah bahwa aku memang hendak mencari makam suamiku untuk minta
perkenan agar aku boleh .... kawin denganmu, yakni kalau .... kalau kau
meminangku ....." Ia menundukkan kepala dengan malu-malu.
"Tentu saja aku suka meminangmu, Lin Hwa. Akan teranglah dunia ini bagiku dan
akan bahagialah hidupku apabila kau sudi menjadi isteriku."
"Biarpun aku seorang janda yang telah mempunyai seorang putera dan kau ...."
"Biarpun kau seorang janda, akan tetapi tidak ada duanya di muka bumi ini."
"Dan kau ...." "Dan aku bagaimana ?"
"Dan biarpun kau masih muda belia, masih jejaka, tidak malukah kelak mengawini
seorang janda yang sudah berputera ?"
Ucapan ini bagaikan kilat menyambar kepala Kong Sian. Tiba-tiba ia melepaskan
kedua tangan Lin Hwa, lalu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan
menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
"Kong Sian ! Ada apakah ..... " Kong Sian, maafkan kalau aku bersalah, kalau aku
mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanmu. Kong Sian ....... " Lin Hwa
memeluk bahunya. "Tidak, Lin Hwa, tidak ! Kau tidak bersalah apa-apa. Akulah yang bersalah,
akulah yang sesat dan aku yang telah menipumu !"
"Kong Sian, apa maksudmu ?"
Koleksi Kang Zusi Kong Sian menurunkan kedua tangannya dan Lin Hwa menjadi terkejut sekali melihat
betapa pucat wajah pemuda itu dan dua titik air mata telah keluar dari matanya.
"Lin Hwa, selama ini aku telah berlaku curang kepadamu. Aku ... aku telah
berlaku pengecut, tidak berani mengaku terus terang, sebenarnya,
sebenarnya ..... aku telah mempunyai seorang isteri !"
Pada saat itu, tangan kanan Lin Hwa masih ditaruh di atas pundak Kong Sian dan
ketika mendengar ini, Lin Hwa secepat kilat menarik kembali tangannya, seakan-
akan pundak pemuda itu terasa panas membakar tangannya. Wajahnya pucat sekali
dan ia bertanya, "Apa ..... apa artinya ini semua ?"
Dengan cepat Kong Sian lalu menuturkan bahwa semenjak menolong Lin Hwa dulu, ia
telah jatuh hati kepadanya akan tetapi apa daya, ia telah bertunangan semenjak
kecil dan ketika ibunya mendesak, ia tak dapat menolak hingga akhirnya ia
terpaksa kawin dengan Oey Bi Nio, tunangannya semenjak kecil, Akan tetapi ia tak
merasa berbahagia dalam perkawinan itu dan bahkan merasa tersiksa. Semua ini ia
ceritakan kepada Lin Hwa dengan sedih sekali.


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lin Hwa mendengarkan dengan kalbu terasa hancur dan hati perih. Akan tetapi,
wanita gagah ini dapat menekan perasaannya dan tidak memperlihatkan reaksi
sesuatu pada mukanya. Ia diam saja, bahkan ketika Kong Sian bertanya, "Bagaimana
pikiranmu, Lin Hwa " Apakah hal ini merobah perasaanmu terhadap aku ?" Ia
menjawab, "Kong Sian, kau tidak tahu akan perasaan seorang wanita. Kalau sekali
wanita itu menyatakan cintanya, ia takkan dapat merobahnya lagi, sebaliknya
kalau sekali menyatakan bencinya, iapun takkan dapat melenyapkannya dengan
mudah. Aku suka kepadamu dan betapapun juga, aku tetap akan suka kepadamu !"
Bukan main girang hati Kong Sian dan ia ingin memeluknya, akan tetapi Lin Hwa
mengelak dan tersenyum berkata, "Bukankah kau tadi sudah pergi mencari makanan "
Mana makanan itu ?" Kong Sian tertawa dan menyatakan bahwa kelinci yang ditangkapnya telah lari
lagi, ketika ia menolong Lin Hwa tadi.
"Sayang sekali," kata Lin Hwa dengan sungguh-sungguh, "aku ingin sekali makan
daging kelinci." Pada saat ini, tidak ada makanan yang lebih lezat dari pada
daging kelinci bagiku."
Kong Sian memandang heran lalu berkata sambil tertawa, "apa sukarnya " Biarlah
aku menangkap seekor lagi untukmu !"
"Pergilah, Kong Sian, dan tangkaplah seekor yang besar !"
Dengan hati girang Kong Sian perrgi mencari kelinci. Hatinya girang sekali oleh
karena kini ia tidak menaruh hati was-was lagi. Dulu ia seringkali merasa
berdebar kuatir karena Lin Hwa belum tahu bahwa ia telah beristeri. Ia takut
kalau-kalau hal ini akan memutuskan hubungannya dengan wanita yang dicintainya
itu. Akan tetapi sekarang, ia telah menceritakan semua dan Lin Hwa tidak berubah
perasaannya. Ia masih menyinta. Sekali sayang, selamanya tetap sayang, katanya.
Alangkah merdu dan indahnya kata-kata ini.
Kong Sian sengaja mencari dan menangkap seekor kelinci putih yang besar dan
gemuk untuk menyenangkan hati Lin Hwa, maka perginya agak lama juga. Setelah
berhasil menangkap seekor ia lalu kembali dengan cepat dan dengan hati girang
"Lin Hwa ...... ! Lihat ini, aku telah menangkap seekor yang muda dan gemuk !"
serunya bangga ketika tiba di luar kelenteng. Akan tetapi, Lin Hwa tidak nampak
keluar. Ia lalu melompat sambil memegang kelinci itu pada kedua telinganya.
"Lin Hwa .....!" Akan tetapi wanita itu tidak berada di bawah meja. Ia mencari-
cari sampai di belakang kuil sambil memanggil-manggil, akan tetapi sia-sia, Lin
Hwa tidak kelihatan. Kong Sian mulai cemas. Jangan-jangan saikong jahat itu datang lagi dan pergi
menculik Lin Hwa. Mengingat akan hal ini kedua kakinya menggigil.
Koleksi Kang Zusi "Lin Hwa .... !" teriaknya keras sekali agar dapat terdengar oleh wanita itu.
Karena biarpun andaikata Lin Hwa terculik, dan dibawa lari, tentu ia akan
mendengar teriakan ini dan akan menjawab. Ia memasang telinga baik-baik, akan
tetapi tidak terdengar jawaban dari Lin Hwa. Kong Sian melemparkan kelinci yang
berada ditangannya hingga untuk kedua kalinya. Kelinci yang sudah ditangkap lari
lagi. "Lin Hwa ....!" berulang kali Kong Sian memanggil sampai suaranya menjadi serak.
Dikerahkannya khikangnya untuk membuat suara panggilan ini melayang jauh.
Kemudian dengan hati kuatir sekali ia lalu kembali ke dalam kelenteng untuk
melakukan pemeriksaan. Kalau terjadi pertempuran, tentu ada tanda-tandanya di situ. Ketika ia tiba di
tempat di mana tadi Lin Hwa duduk, ia melihat coretan-coretan aneh di atas
lantai. Ia lalu mendekati dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Ternyata bahwa
coretan-coretan itu adalah tulisan Lin Hwa yang dilakukan dengan mempergunakan
arang hitam bekas api unggun. Tulisan ini singkat saja dan berbunyi,
"Mari kita lawan musuh dalam dada kita sendiri"
Kata-kata ini singkat, akan tetapi mengingatkan Kong Sian akan nasehat suhunya
ketika ia hendak turun gunung bersama Lin Hwa. Ia dapat menangkap artinya.
Ternyata Lin Hwa bersedia berkorban, bersedia mengundurkan diri dan tidak hendak
mengganggu rumah tangganya. Ia tahu bahwa Lin Hwa juga menderita batinnya karena
wanita itupun mencintainya dan tetap akan mencintainya. Karena itu ia mengajak
melawan musuh dalam dada sendiri-sendiri. Alangkah mulianya hati wanita itu.
"Lin Hwa ......" Kong Sian berbisik dengan hati hancur dan tubuh lemah. Ia tidak
hendak mengejar karena akan percuma saja dan sedikit coretan di atas lantai
itupun membuat dia sadar bahwa hubungan mereka memang tak mungkin dilanjutkan.
Bagaimana dengan Bi Nio, isterinya " Kalau ia menceraikannya, apakah ia takkan
menghancurkan hati isterinya dan juga menghancurkan hati ibunya
" Ah, nasib ...... Kong Sian menutup mukanya dan air mata mengalir melalui cela-
cela jari tangannya. "Lin Hwa ....." kembali ia berbisik lemah. Ketika Kong Sian berseru keras
memanggil namanya, Lin Hwa yang belum lari jauh mendengar juga, dan suara ini
seakan-akan menarik-nariknya untuk segera kembali. Lin Hwa sambil menyucurkan
air mata lalu menggunakan jari-jari tangan untuk menutup telinganya dan berlari
terus makin cepat. Masih saja panggilan suara Kong Sian yang keras menembus
penutup telinga dan terdengar olehnya.
"Tidak ........ tidak ...... tidak ....!!!" Ia menjerit sambil berlari terus dan
air matanya mengucur makin deras.
Bagian 07. Gobi Ang-sianli
Pemberontakan kaum tani yang berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar Tang yang
melarikan diri mengungsi ke Secuan itu, hingga ibu kota Tiang-an dikuasai oleh
pemberontak pula, ternyata tidak dapat tahan lama. Kaisar yang melarikan diri
itu lalu mengadakan persekutuan dengan tentara Turki barat yang disebut Shato
dan dengan bantuan tentara Turki yang besar jumlahnya dan kuat ini, kaisar lalu
menyerbu kembali ke Tiang-an. Kembali rakyat mengalami perang hebat dan pasukan
petani menderita kekalahan besar sehingga pemimpin pemberontak Oey Couw akhirnya
berputus asa dan membunuh diri di puncak gunung Thai-san. Hal ini terjadi lima
tahun kemudian setelah pemberontakan terjadi.
Un Kong Sian yang mengalami berbagai kekecewaan dan bahkan kemudian menderita
"patah hati" dalam hubungannya dengan Ong Lin Hwa, setelah berpisah dengan Lin Hwa lalu
kembali ke Tiang-an. Ibunya dan isterinya terkejut sekali melihat betapa Kong Sian menjadi kurus dan
nampak sedih. Setelah didesak-desak oleh ibunya, akhirnya sambil menangis Kong
Sian menceritakan dengan terus terang, bahkan mengaku bahwa ia tak dapat hidup
terus dengan Bi Nio biarpun isterinya itu cukup baik dan setia.
"Ampunkan anakmu yang malang ini, ibu. Aku tidak dapat menipu dan mengkhianati
Bi Nio lebih lama lagi. Aku tak dapat mencintainya oleh karena hatiku telah
tertambat sepenuhnya kepada Lin Hwa. Aku tak dapat menjadi suami Bi Nio pada
lahirnya akan tetapi mengasihi wanita lain di dalam hati."
Koleksi Kang Zusi Ibunya merasa berduka dan kecewa sekali dan Bi Nio yang mengetahui hal ini lalu
pulang ke rumah orang tuanya yang kaya dan akhirnya dikabarkan bahwa ia mencukur
gundul kepalanya dan menjadi nikouw.
Kong Sian tinggal dengan ibunya yang selalu berduka karena memikirkan keadaan
putera tunggalnya itu hingga akhirnya ibu yang telah tua ini jatuh sakit sampai
meninggal. Un Kong Sian lalu menjual semua barang dan rumah, setelah mengumpulkan hasil
penjualan itu ia membawanya ke kuil Thian-Lok-Si, di mana ia lalu mendermakan
semua uang itu kepada kuil tersebut dan dengan suara sedih ia berlutut dan
menuturkan kepada Pek Seng Hwesio tentang segala pengalamannya.
Hwesio itu tersenyum maklum, "Anak muda, kau hanya mengalami kepahitan hidup
yang hanya dapat diderita oleh orang-orang yang masih belum sadar. Kepahitan-
kepahitan hidup itu memang telah diramalkan oleh Sang Buddha dan pengalaman-
pengalaman seperti itu memang selalu akan menimpa manusia yang belum sadar.
Pinceng hanya dapat merasa iba kepadamu."
"Suhu, teecu telah kehilangan pegangan, teecu hidup sebatang kara tanpa cita-
cita dan tanpa tujuan. Tolonglah Suhu." Pek Seng Hwesio berkata tenang, "Pertolongan apa lagi yang dapat diberikan oleh
seorang Hwesio tua dan miskin seperti pinceng selain penerangan tentang
kebatinan " Kalau kau suka menjadi muridku dan menjadi hwesio, mungkin akan
terobat hatimu yang terluka itu."
Dengan serta merta Kong Sian menyatakan suka dan sanggup, maka sekali lagi di
dalam kuil Thian-lok-si, rambut kepalanya dicukur gundul. Akan tetapi, kalau
dulu ia dicukur untuk melakukan penyamaran dan kini ia dicukur betul-betul untuk
menjadi seorang hwesio. Ketika kepalanya dicukur, tak dapat tidak ia teringat
dan terkenang lagi akan pengalaman ketika ia dan Lin Hwa mencukur rambut di kuil
ini dulu hingga tak tertahan lagi ia mencucurkan air mata.
Pek Seng Hwesio lalu memberi nama padanya dan nama baru ini tidak banyak berbeda
dengan namanya sendiri karena hanya dibalikkannya saja, yakni Sian Kong Hosiang.
Demikianlah bertahun-tahun Sian Kong Hosiang menjalani ibadat dan selain
mempelajari ilmu kebatinan menurut ajaran Sang Buddha, juga ia mempelajari ilmu
silat yang tinggi dari Pek Seng Hwesio hingga ilmu kepandaiannya bertambah pesat
sekali. Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu
kepandaian Pek Seng Hwesio benar-benar tinggi bahkan mungkin tak kalah tingginya
dari suhunya yang dulu, yakni Beng Hong Tosu, tokoh Kunlun-san.
****** Waktu lewat dengan tak terasa dan cepat sekali, hingga tahu-tahu tujuh belas
tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa pembasmian keluarga Khu dan Ma.
Pada suatu hari, dari sebuah lereng bukit di pegunungan Gobi yang luas, turun
seorang berpakaian merah dengan tindakan kaki cepat seakan-akan ia melayang atau
terbang saja. Ternyata bahwa orang yang berpakaian merah ini adalah seorang
gadis muda berusia enam belas tahun yang sedang berlari mempergunakan ilmu
ginkang yang luar biasa hingga nampaknya ia tidak menginjak tanah. Mata orang
biasa hanya akan melihat berkelebatannya bayangan merah saja dan mata ahli silat
tentu akan terkejut sekali karena melihat bahwa gadis muda itu sedang
mempergunakan ilmu lari cepat Keng Sin Sut yang luar biasa.
Dara ini cantik jelita dan manis sekali. Pakaiannya yang berwarna merah
berkibar-kibar tertiup angin ketika ia lari, rambutnya yang hitam halus dan
panjang itu dikuncir menjadi dua dan ujungnya bergantungan di punggung,
bersembunyi di bawah mantelnya yang lebar dan panjang berwarna kuning.
Kedua kakinya kecil, bersepatu warna hitam, gerakannya demikan gesit dan ringan
seakan-akan rumput yang kena injakpun tidak rusak. Di pinggang kirinya
tergantung sebatang pedang panjang yang gagangnya diukir indah berbentuk kepala
naga dengan terhias ronce-ronce biru.
Sukar untuk melukiskan kecantikan wajah dara ini, karena segala bagian yang
terkecil pun menarik hati dan menggairahkan kalbu hingga sekali mata orang
tertuju kepadanya, takkan mudah bagi orang itu untuk mengalihkan pandangannya.
Entah apanya yang paling menarik hati, entah sepasang matanya yang lebar dan
kocak, bersih bening bagaikan mata burung hong itu, atau hidungnya yang lurus
kecil dan mancung, atau bentuk bibirnya yang merah, kecil penuh dan melengkung
sempurna bagaikan Koleksi Kang Zusi
bentuk gendewa itu. Mungkin sekali setitik kecil tahi lalat di sudut bibir yang
membuatnya nampak begitu manis dan ayu, atau potongan tubuhnya yang ramping atau
kulitnya yang putih kuning dan halus.
Ah, sukarlah untuk memilih mana yang paling menarik, dan lebih mudah untuk
menyatakan bahwa dara ini memang seorang gadis yang cantik jelita dan sikapnya
gagah. Gadis muda ini bukan lain ialah Gak Siauw Eng. Gak Siauw Eng atau Ma Siauw Eng,
puteri mendiang Ma Gi dan Kwei Lan. Seperti diketahui, nyonya janda Ma Gi yang
bernama Kwei Lan itu dilarikan oleh perwira Gak Song Ki dan kemudian setelah
Siauw Eng terlahir, nyonya janda itu menjadi isteri Gak Song Ki yang tampan dan
gagah. Ketika Kwei Lan melihat betapa besar rasa sayang suaminya kepada Siauw
Eng, maka ia tidak menaruh hati keberatan ketika Gak Song Ki mengusulkan supaya
she anak tirinya itu dirobah, hingga Siauw Eng yang tadinya she Ma, menjadi she
Gak. Semenjak kecil, Siauw Eng telah mendapat didikan sastera dari ibunya dan
ilmu silat dari ayah tirinya yang dianggapnya ayah tulen itu. Ternyata bahwa
Siauw Eng berotak cerdas sekali, terutama dalam pelajaran ilmu silat. Setiap
jurus pukulan baru dilatih satu dua kali saja telah dapat dilakukannya dengan
gerakan sempurna hingga makin sayanglah Gak Song Ki kepadanya.
Setelah Siauw Eng berusia dua belas tahun, habislah sudah semua kepandaian Gak
Song ki dipelajarinya dan dalam usia semuda itu Siauw Eng telah memiliki
kepandaian tinggi dan lihai. Melihat kemajuan anak ini dan bakat besar yang
dipunyainya, Gak Song Ki lalu mengirim mengirim Siauw Eng ke Gobi-san, ke tempat
pertapaan suhunya, yakni Cin San Cu. Pertapa yang sakti ini begitu melihat Siauw
Eng, timbul rasa kagumnya karena benar-benar anak ini memiliki bakat besar untuk
menjadi seorang pendekar, maka dengan girang ia lalu menerima Siauw Eng menjadi
muridnya. Semenjak itu, Gak Siauw Eng tinggal di Gobi-san, ikut suhunya belajar
silat tinggi, bahkan ketika Bok San Cu, sahabat baik dan saudara seperguruan Cin
San Cu, datang ke Gobi-san dan melihat Siauw Eng, tosu inipun lalu menurunkan
kepandaiannya pula. Dengan semangat dan tekun sekali Gak Siauw Eng mempelajari ilmu pedang Pek Tiauw
Kiam Hwat (ilmu pedang rajawali putih) dan Sin Coa Kiam Hwat (ilmu pedang ular
sakti) dari Bok San Cu, dan mempelajari ilmu silat tangan kosong dan latihan
iweekang dan ginkang dari Cin San Cu. Tentu saja, digembleng oleh dua orang
tokoh Gobi-san yang berilmu tinggi ini, Siauw Eng mendapat kemajuan pesat sekali
dan ketika ia telah hampir lima tahun belajar ilmu silat di bawah asuhan dua
orang guru besar itu, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan
lihai sekali. Sebetulnya, menurut kedua orang suhunya, ia masih harus mematangkan pelajarannya
sedikitnya dua tahun lagi, akan tetapi oleh karena Siauw Eng telah merasa rindu
sekali kepada ayah bundanya yang telah ditinggalkannya hampir lima tahun
lamanya, maka dara itu memohon dan mendesak kedua gurunya untuk memperkenankan
ia turun gunung dan pulang ke rumah orang tuanya.
"Muridku, dengan dua macam Kiamhwat yang telah kau pelajari dengan baik itu, kau
tak usah takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun," kata Bok San Cu yang
memang memiliki watak sombong dan mengagulkan kepandaian sendiri, "akan tetapi
kau harus melatih diri baik-baik karena gerakan-gerakanmu belum sempurna benar,
baru delapan bagian yang sempurna."
"Tentu akan teecu perhatikan, suhu, akan tetapi betul-betulkah tidak akan ada
orang yang dapat mengalahkan ilmu pedang teecu ?" tanya Siauw Eng yang semenjak
kecil dimanja orang tuanya dan kini dimanja kedua suhunya hingga dara inipun
menjadi angkuh dan merasa dirinya paling pintar.
"Kalau ada yang mengalahkan ilmu pedangmu, aku Bok San Cu hendak melihat siapa
orangnya ?" kata guru itu membesarkan hati Siauw Eng.
"Siauw Eng," kata Cin San Cu yang lebih tua dan lebih sabar sikapnya, "betapapun
juga, kau jagalah dirimu baik-baik dan jangan sekali-kali memandang rendah
kepandaian orang lain karena di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.
Kau pulanglah dan bantulah ayahmu yang menghadapi banyak kesukaran. Sekarang
setelah pemerintah telah kembali dalam tangan Kaisar, maka tentu banyak terjadi
kekacauan yang ditimbulkan oleh sisa-sisa pemberontak, maka sudah menjadi
tugasmu sebagai puteri seorang komandan perwira untuk membantu mengamankan
seluruh negeri. Kalau kau bisa membantu dan berjasa, berarti kau telah membalas
dan menjunjung tinggi nama kami berdua sebagaiguru-gurumu."
Siauw Eng menyanggupi dan setelah mendapat berbagai nasehat dari kedua gurunya
yang amat sayang kepadanya itu, ia lalu turun gunung.
Koleksi Kang Zusi Ia berangkat pagi-pagi benar dan pagi hari yang cerah itu menimbulkan
kegembiraan hatinya. Ia merasa girang dan gembira karena kini ia telah mempunyai
ilmu kepandaian tinggi dan sedang pulang untuk bertemu kedua orang tuanya.
Alangkah rindunya kepada kedua orang tua itu, terutama sekali kepada ibunya.
Dalam kegembiraannya, Siauw Eng berlari cepat sekali sehingga ia hanya merupakan
bayangan merah yang maju cepat dari atas lereng bukit.
Daerah Gobi-san amat luasnya, hingga biarpun Siauw Eng mempergunakan ilmu lari
Hui Heng Sut yang tinggi dan dalam sehari saja dapat melalui ratusan li, akan
tetapi setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia keluar dari
daerah Gobi yang luas. Ia berjalan terus menuju ke timur dan belum melalui kota besar, baru melalui
beberapa buah dusun yang amat kecil sederhana, dusun para petani miskin yang
hidup seakan-akan terasing dari kota-kota besar.
Pada suatu hari, Siauw Eng tiba dalam sebuah hutan pohon Siong yang liar dan
besar. Ia mendapat keterangan dari penduduk dusun di luar hutan itu bahwa hutan
ini amat panjang, lebih dari tiga puluh li jauhnya dan di dalamnya banyak
terdapat binatang buas dan kabarnya belum lama ini ada serombongan perampok
bersarang di hutan itu. Akan tetapi, Siauw Eng hanya tersenyum saja mendengar
penuturan ini dan sama sekali tidak nampak gentar, bahkan ia berkata dengan
lagak sombong, "Kebetulan sekali, lopek, sudah lama aku tidak makan daging naga dan harimau,
dan sudah lama pula aku tidak membasmi gerombolan perampok !"
Mendengar ini, orang dusun yang sudah tua itu memandangnya dengan kaget dan


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran, kemudian ia berdiri tercengang ketika melihat betapa dengan sekali
berkelebat saja, tubuh dara baju merah itu telah lenyap dari depannya. Empek-
empek ini menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbisik, "Siluman atau bidadarikah
ia ?" Dengan hati tabah, Siauw Eng masuk ke dalam hutan yang memanjang dari barat ke
timur. Benar saja, hutan itu liar sekali hingga di situ belum ada jalan kecil
atau lorong yang biasa dilalui orang. Terpaksa ia mencabut pedangnya dan
membacok roboh semua penghalang berupa rumput-rumput dan tetumbuhan kecil
lainnya. Kadang-kadang ia menghadapi jurang yang lebar dan curam karena hutan
itu berada di lereng bukit, akan tetapi dengan gesit ia lalu melompati jurang
itu. Hampir setengah hari ia berjalan perlahan karena tak mungkin berjalan cepat di
dalam hutan liar itu, akan tetapi ia tidak bertemu dengan seekor binatang buas
pun, kecuali beberapa ekor musang dan kelinci yang indah dan banyak sekali
burung-burung yang berkicau merdu. Ia tersenyum geli kalau teringat kepada orang
dusun tadi yang dianggapnya selalu melebih-lebihkan.
"Memang benar kata suhu," pikirnya dengan hati geli, "orang tak boleh merasa
takut, karena rasa takut menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Mungkin seekor
kucing akan kelihatan seperti harimau dan seekor ular biasa kelihatan seperti
naga oleh petani yang penakut tadi."
Sambil masih tersenyum-senyum geli dan menyabet-nyabetkan pedangnya pada
serumpun alang-alang yang tinggi dan yang menghadang di depannya, Siauw Eng
melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba ia mendengar orang berlari di depan dan
ketika ia memandang, ternyata bahwa dari jauh datang tiga orang laki-laki dengan
tombak di tangan, dan mereka ini berlari-lari keras bagaikan dikejar setan.
Ketika mereka tiba di dekat tempat Siauw Eng dan melihat banyak pohon di situ,
mereka berlumba memanjat pohon yang tinggi sambil membawa tombaknya. Seorang di
antara mereka ketika melihat Siauw Eng, cepat berseru,
"Nona, cepat ... ! Lekas kau naik ke pohon ! Macan iblis mendatangi dari sana !
Lekas .......!" Akan tetapi, Siauw Eng tidak mau mempedulikan seruan ini dan berdiri dengan
tenang sambil menanti datangnya macan iblis yang mereka takutkan itu. Dan tak
lama kemudian, datanglah harimau itu dan diam-diam Siauw Eng juga merasa
terkejut karena binatang itu sungguh besar dan tinggi seperti seekor lembu
muda." "Nona panjatlah pohon di dekatmu itu !" kembali pemburu itu berteriak dengan
suara gemetar. Mereka itu berpakaian seperti pemburu-pemburu yang gagah, akan
tetapi kini melarikan diri dari seekor harimau Koleksi Kang Zusi
yang seharusnya diburunya. Sungguh lucu, pikir Siauw Eng, yang diburu memburu
dan yang memburu menjadi buruan.
Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan kelucuan ini terlebih jauh oleh karena
pada saat itu terdengar auman keras sekali hingga menggetarkan seluruh hutan,
bahkan seorang di antara pemburu yang telah duduk dengan amannya di atas cabang
tertinggi, hampir terjatuh dari tempat duduknya oleh karena tubuhnya menggigil
dan lemas mendengar auman harimau yang dahsyat itu.
Siauw Eng berlaku waspada karena menduga bahwa harimau itu pasti akan
menyerangnya dengan sebuah lompatan seperti biasa harimau menyerang. Dulu ia
pernah ikut suhunya menangkap seekor harimau hingga tahu akan gerak-gerik
penyerangan binatang liar itu, akan tetapi harimau yang ditangkap gurunya dulu
tidak ada setengahnya dari harimau yang berdiri dihadapannya sekarang ini.
Dugaannya benar karena tiba-tiba harimau itu merendahkan tubuh dan kemudian
melompat dengan sebuah terkaman hebat. Agaknya ia hendak merobek tubuh calon
mangsa berwarna merah ini dengan sekali terkam.
Akan tetapi, lebih cepat lagi Siauw Eng mengelak dengan sebuah lompatan ke
kanan. Sambil melompat, dara itu membalikkan tubuh hingga sebelum harimau itu
berbalik, ia telah lebih dulu menghadapi harimau itu dari samping. Tanpa menyia-
nyiakan waktu, ia lalu menusuk dengan pedangnya ke arah kaki belakang, akan
tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika tiba-tiba ekor harimau itu menyabet
dan hampir saja lengannya yang memegang pedang kena sabet. Ekor itu menyabet
keras bagaikan pecut dan melenggak-lenggok bagaikan ular hingga berbahaya
sekali. Siauw Eng cepat menarik kembali tangannya dan kini ia lebih berhati-hati
pula karena ternyata bahwa macan ini lihai sekali dan pantas saja disebut macan
iblis oleh pemburu-pemburu itu.
Sementara itu, ketika harimau tadi menerkam, ketiga orang pemburu yang berada di
atas pohon telah menutup mata masing-masing karena mereka tidak tega melihat
betapa tubuh gadis baju merah yang luar biasa cantiknya itu dirobek-robek oleh
kuku dan gigi harimau. Akan tetapi, ketika tidak terdengar sesuatu, mereka
merasa heran dan membuka mata. Alangkah heran dan girang hati mereka ketika
melihat betapa Siauw Eng masih hidup dan masih menghadapi harimau itu dengan
pedang di tangan dan dengan sikap tenang. Ternyata dara baju merah itu telah
berhasil mengelakkan diri dari terkaman macan yang mereka takuti itu. Luar biasa
sekali ! Mereka lalu duduk dan menonton pertempuran yang terjadi dan kini
terbukalah mata mereka karena heran dan takjub melihat sepak terjang Siauw Eng.
Gadis baju merah itu loncat sana loncat sini dengan amat lincahnya,
mempermainkan harimau itu dan mengelak dari setiap terkaman dan sambaran kaki
harimau, bahkan kadang-kadang mencibirkan bibirnya yang manis, tertawa-tawa
mengejek dan meniru-niru geraman binatang yang makin lama makin panas dan marah
itu. Dengan terkaman yang dahsyat, yakni mengembangkan keempat kakinya ke kanan
ke kiri dan tubuhnya ditekuk hingga dapat digerakkan pula mengikuti ke mana
korbannya hendak mengelak. Inilah terkaman luar biasa hebatnya karena apabila
Siauw Eng mengelak, tentu harimau itu sebelum turun dapat melanjutkan
terkamannya dan mengubah luncuran tubuhnya. Agaknya tiada jalan lagi bagi Siauw
Eng dan untuk balas menyerang, seakan-akan ia hanya akan mengadu jiwa.
Ketiga orang pemburu sudah menahan napas karena melihat betapa harimau itu
menubruk hebat dan dara baju merah itu masih belum bergerak seperti orang ragu-
ragu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Siauw Eng berseru nyaring dan tahu-tahu
tubuhnya telah mencelat ke atas, lebih tinggi dari lompatan harimau itu. Tentu
saja hal ini membuat harimau itu tidak berdaya karena tak mungkin ia
menggerakkan tubuhnya berbalik ke atas, dan sebelum keempat kakinya kembali ke
atas tanah, tiba-tiba ia merasa ekornya sakit sekali. Ia mengaum keras dan
memutar-mutar tubuhnya cepat sekali seakan-akan hendak menggigit ekor sendiri,
dan ternyata bahwa ekornya yang panjang itu telah terpotong di tengah-tengah
oleh sabetan pedang Siauw Eng yang dilakukan ketika ia masih berada di udara dan
pada saat harimau itu tidak menyangka.
Setelah kehilangan ekornya, gerakan harimau itu tidak sehebat tadi dan
kegesitannya banyak berkurang. Agaknya selain merasa sakit, iapun mulai jerih
menghadapi makhluk warna merah yang luar biasa ini. Tubrukannya makin lemah dan
jarang, sedangkan aumnya juga berbeda, seringkali ia berdiri saja sambil
menggerak-gerakkan kepala seperti sedang ketakutan.
Akan tetapi Siauw Eng tidak mau memberi hati kepadanya dan kini dara ini balas
menyerang dengan pedangnya. Hebat sekali serangannya dan harimau itu tidak kuasa
mengelak lagi. Sambil mengaum keras yang berbunyi seperti keluhan, harimau itu
roboh miring ketika pedang Siauw Eng memasuki dada dan tepat mengiris
jantungnya. Setelah berkelonjotan beberapa kali, harimau yang besar dan buas dan
yang telah makan banyak manusia itu mati.
Koleksi Kang Zusi Terdengar seruan-seruan kaget dari atas pohon karena sungguh mati ketiga orang
pemburu itu tak pernah menyangka bahwa seorang gadis muda sehalus dan secantik
itu dapat membunuh harimau iblis itu seorang diri dengan pedang dan dalam waktu
sedemikian cepatnya. Mereka melorot turun dari pohon dan berdiri memandang gadis
itu dengan mata terbelalak. Kemudian, serta merta ketiga orang itu menjatuhkan
diri berlutut di depan Siauw Eng. Mereka menghaturkan banyak terima kasih sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Siauw Eng tersenyum geli dan berkata dengan suara bangga karena penghormatan ini
" "Mengapa kalian menghaturkan terima kasih " Biarpun harimau ini tidak kubunuh,
ia juga tak dapat mengganggu kalian yang berada di atas pohon !"
"Lihiap tidak tahu, bukan saja lihiap telah menolong jiwa kami bertiga, bahkan
lihiap telah menolong keselamatan jiwa orang sekampung kami."
Siauw Eng merasa heran dan lalu minta diberi penjelasan.
"Kami bertiga tinggal di kampung sebelah selatan hutan ini dan pekerjaan kami
adalah pemburu. Boleh dibilang semua orang laki-laki di kampung kami adalah
pemburu-pemburu yang mencari penghasilan dengan jalan memburu binatang di hutan
ini. Dengan banyaknya binatang di hutan luas ini, maka untuk beberapa lama
keadaan kami cukup dan hasil-hasil buruan dapat kami jual ke kampung lain.Akan
tetapi, baru kira-kira sebulan ini, muncullah harimau besar ini yang tidak saja
mengganggu keamanan, bahkan telah membunuh mati tiga orang kawan kami dan bahkan
berani menyerang sampai ke kampung kami dan menerkam seorang anak kecil.
Semenjak ada harimau ini, maka kami tidak berani memburu terlalu jauh di dalam
hutan hingga penghasilan kami banyak berkurang. Maka, kini lihiap telah membunuh
binatang ini, bukankah itu berarti lihiap telah menolong jiwa kami sekampung ?"
Kembali ketiga orang itu berlutut dan menghaturkan terima kasih.
Bangga sekali hati Siauw Eng mendengar ini. Baru saja turun gunung, ia telah
dapat menolong jiwa orang sekampung. Alangkah bangga dan senangnya kalau kedua
suhunya mendengar tentang hal ini.
"Apakah selain harimau ini masih ada lagi binatang lain yang mengganggu
kalian ?" tanyanya. Ketiga orang pemburu itu saling pandang dan agaknya ragu-ragu untuk menjawab,
akan tetapi kemudian yang tertua di antara mereka berkata,
"Lihiap, ada sebuah bencana yang telah lama mencekik leher kami akan tetapi yang
sebetulnya tak berani kami ceritakan kepada siapapun juga. Namun, melihat
kegagahan lihiap, kami sangat mengharapkan pertolongan lihiap untuk tidak
tanggung-tanggung menolong kampung kami hingga kalau saja lihiap dapat menolong
kami bebas dari gangguan yang satu ini, sampai tujuh keturunan kami akan
menjunjung tinggi nama lihiap yang mulia."
Berseri sepasang mata Siauw Eng yang indah itu. "Coba lekas katakan, siapa dan
apa yang mengganggu agar dapat kubasmi sekarang juga."
Kemudian orang itu menuturkan seperti berikut. Di sekitar hutan itu terdapat
beberapa buah dusun yang biarpun kecil dan sederhana, namun cukup makmur karena
banyak penghasilan didapat di daerah itu.
Setiap dusun mempunyai seorang kepala kampung sendiri yang dipilih oleh orang
sedusun dan biasanya yang diangkat menjadi kepala kampung adalah orang tertua
dan terkaya. Akan tetapi, kurang lebih setengah tahun yang lalu, di daerah ini
datang seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun yang
mengaku di utus oleh Kaisar untuk mengepalai daerah itu. Oleh karena ia tidak
membawa bukti-bukti dan tanda-tanda ia benar-benar utusan Kaisar, tentu saja
orang-orang dusun itu tidak percaya sehingga timbul perkelahian. Akan tetapi,
ternyata bahwa orang yang bernama Ci Lui itu amat kosen dan tak seorangpun di
antara semua pemburu dan penduduk di daerah itu dapat melawannya. Akhirnya,
dengan menggunakan kekerasan, semua orang terpaksa menurut dan tunduk hingga Ci
Lui mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin atau kepala dari daerah itu. Ia
mengharuskan kepada setiap lurah untuk memberi bagian pajak yang besar kepadanya
yang katanya harus dikirimkan ke kota raja, pada hal semua orang dapat menduga
bahwa hasil perasan itu masuk kantongnya sendiri.
Ia membuat semua rumah gedung di sebuah dusun dan mengawini lebih dari lima
orang gadis dusun yang tercantik. Pendeknya, setelah mengangkat diri dengan
paksa menjadi kepala daerah di situ, Ci Lui hidup seperti seorang raja dan tak
seorangpun berani menentangnya.
"Sebetulnya kami tidak berani menceritakan ini kepada lihiap oleh karena kalau
sampai terdengar oleh kepala kampung, kami tentu akan mendapat hukuman. Semua
kepala kampung takut sekali kepadanya Koleksi Kang Zusi
dan kami tidak berdaya karena memang tidak kuat melawan dia. Kalau lihiap berani
dan berhasil menghalau penghalang yang satu ini, tidak saja sekampung kami,
bahkan seluruh penduduk di daerah ini akan berterima kasih sekali kepada
lihiap." "Bangsat betul manusia itu !" Siauw Eng mencaci maki. "Mari kau tunjukkan di
mana rumahnya padaku agar aku dapat memotong kedua telinganya !"
Girang sekali hati ketiga orang pemburu itu mendengar akan kesanggupan ini dan
mereka lalu mengajak Siauw Eng pergi ke dusun tempat tinggal mereka. Sambil
memanggul bangkai macan yang berat itu hingga terpaksa mereka memanggul dan
menggotongnya bergantian, mereka dengan wajah girang mengantar Siauw Eng.
Penduduk kampung yang melihat bahwa harimau siluman telah dapat dibunuh,
menyambut dengan girang sekali, bahkan ada yang mencucurkan air mata karena
girang dan terharunya. Dan dipimpin oleh kepala kampung yang sudah lanjut
usianya, semua penduduk lalu berlutut di depan Siauw Eng. Bukan main bangga hati
Siauw Eng karena benar saja seperti yang dikatakan oleh ketiga orang pemburu
tadi, semua orang kampung menghormat dan menyatakan terima kasihnya dengan
sungguh-sungguh dan dengan terharu. Ketika kepala kampung menanyakan nama, dara
itu menjawab, "Namaku adalah Siauw Eng, she Gak dan aku datang dari Gobi-san."
"Kalau begitu, siocia pantas disebut Gobi Ang Sianli (Bidadari Merah Dari
Istana Yang Suram 3 Wiro Sableng 190 Sabda Pandita Ratu Pertemuan Di Kotaraja 5
^