Pendekar Elang Salju 1
Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 1
Pendekar Elang Salju Karya : Gilang Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Satu
Craakhh!! Kilatan bunga api langit meloncat memanjang, seolah-olah ingin menunjukkan
sejauh mana ia bisa meloncat. Kilat bertebaran di langit yang tidak mendung.
Sungguh aneh! Di dunia yang serba aneh ini, ternyata masih ada juga keanehan yang sulit
diterka manusia. Kuasa Hyang Widhi memang tanpa dapat diduga atau pun ditebak
oleh manusia. Tidak juga oleh laki-laki setengah baya yang berdiri tegak di
bawah pohon sawo kecik itu.
Tubuh tinggi kekar itu memandang kilatan-kilatan bunga api di langit dengan
tatapan kosong. Raut mukanya menyiratkan kesedihan. Guratan duka di wajahnya
semakin nyata dengan banyaknya kerutan diwajahnya yang bersih. Kedua tangan
bersedekap seperti orang kedinginan. Laki-laki itu berbaju hitam lengan panjang
dengan celana putih diikat yang diikat sabuk kain warna hijau, tampak berkibar-
kibar ditiup angin. Dada bidang penuh dengan urat-urat bertonjolan, pertanda
laki-laki parobaya itu bukan sosok manusia biasa, setidaknya pernah belajar olah
kanuragan. Sorot matanya tampak tajam.
Tarikan nafas yang pelan dan teratur seolah ingin menikmati segarnya udara siang
yang tidak begitu panas. Craakhh!! Craakhh!! GLAARRR!!
Kembali kilatan bunga api disertai suara guntur menggelegar dengan keras. Laki-
laki paraboya itu kembali mendongakkan kepalanya.
"Pertanda apa ini" Di siang hari bolong tanpa mendung ada kilat"!" batin laki-
laki tersebut dengan dahi berkerut. Tiba-tiba ia teringat sesuatu saat guntur
memperdengarkan suara di kejauhan.
Mimpi! Ya, mimpi yang selalu mengganggu tidurnya. Mimpi yang berhubungan dengan anak
yang dikandung istrinya. Anak pertama!
Aneh memang, dengan usia yang sudah hampir empat puluhan tahun itu, dia belum
memiliki seorang anak pun, meski sudah berumah tangga lebih dari belasan tahun
lamanya. Sedangkan tetangga yang usianya sepantaran dengannya sudah memiliki
empat hingga enam orang anak, bahkan ada yang sudah menimang cucu!
Sungguh iri hatinya jika mendapat undangan untuk menghadiri tetangga atau pun
warga desa yang istrinya melahirkan seorang bayi. Tentu saja sebagai seorang
tetangga yang baik dan pula sebagai seorang kepala desa yang bijak, malu jika
menampik niat baik orang yang sudah bersusah payah mengundangnya.
Di saat istrinya hamil untuk pertama kali, hatinya begitu bersuka cita. Saat
kandungan sang istri yang bernama Nyi Salindri berumur satu dua bulan, para
tetangga kiri kanan sudah mengetahuinya, bahkan seluruh desa Watu Belah. Kemana
pun dia pergi meninjau sawah dan ladang, seulas senyum sumringah tak pernah
lepas dari bibir. Hatinya begitu bahagia karena apa yang sudah ditunggu puluhan
tahun akhirnya terkabul juga. Doa siang malam agar dikarunia seorang momongan
akhirnya didengar oleh Yang Kuasa. Tak peduli memiliki anak perempuan atau laki-
laki, yang penting punya anak yang sehat dan montok.
Tentu saja orang-orang desa itu senang karena Ki Ragil Kuniran, yang juga kepala
desa Watu Belah, akan segera memiliki calon penerus keluarga Ragil Kuniran. Saat
usia kandungan Nyi Salindri menginjak sembilan bulan, Ki Ragil Kuniran sudah
mempersiapkan segalanya. Bahkan dukun bayi desa itu sudah diwanti-wanti agar
datang ke rumahnya untuk mengetahui kapan kira-kira bayi itu akan lahir.
Saat itu, Nyi Cendani memeriksa kandungan Nyi Salindri dengan seksama. Wajahnya
berkerut-merut tak karuan. Tangan keriputnya bergerak lincah kesana-kemari
persis tangan maling. Pencet sana pencet sini. Urut sana urut sini. Pijat sana
pijat sini. Ki Ragil Kuniran memandang dengan mata ikut jelalatan kesana kemari mengikuti
gerak tangan lincah Nyi Cendani, si dukun bayi.
"Bagaimana Nyi" Kapan keluar" Apakah sehat-sehat saja" Anaknya laki-laki apa
perempuan?" cerocos Ki Ragil Kuniran tidak sabar.
"Emmm ... sebentar Ki Ragil ... sebentar ... "
Nyi Cendani kembali menggerayangi perut buncit Nyi Salindri. Tangan keriputan
itu kembali bergerak lincah menelusuri bagian demi bagian dari perut buncit itu.
Terakhir Nyi Cendani menekan pusar Nyi Salindri dengan pelan.
Sreep! Tiba-tiba saja, perut Nyi Salindri menggelinjang lembut. Nyi Salindri yang
sedari tadi menahan rasa geli, karena tangan keriput itu terus 'bergerilya' di
atas perutnya. "Hi-hi-hi-hi ... anakmu menendang Ki, mungkin sudah pingin keluar ... "
Nyi Salindri tertawa lirih karena rasa geli itu sudah tak tertahankan lagi.
Perut itu menggelinjang kembali. Wajah Nyi Cendani kelihatan puas. Mata tua itu
berbinar-binar persis senthir diisi minyak kelapa.
"Wah ... selamat Ki Ragil! Laki-laki! Anakmu laki-laki! Sebentar lagi kau akan
menjadi seorang ayah! Sekali lagi selamat, Ki!" kata Nyi Cendani dengan suara
cempreng. Nyi Cendani, dukun bayi dari desa Watu Belah berusia mendekati seratusan tahun
yang sudah amat terkenal, baik di desa Watu Belah sendiri, sampai di desa-desa
tetangga. Kelincahan tangan dan tata cara serta ilmu pengobatan yang dimiliki
terutama tentang seluk-beluk bayi sudah mendarah daging. Bahkan cara membantu
persalinan bayi pun juga berbeda dari dukun bayi pada umumnya. Biasanya dukun
bayi memotong pusar dengan bantuan welat, semacam sayatan bambu yang diiris
melintang sepanjang jari kelingking, lalu itu welat dicuci dengan air hangat
atau air panas, setelah itu baru digunakan untuk memotong pusar mau pun
memisahkan ari-ari sang jabang bayi.
Tapi Nyi Cendani melakukan dengan cara yang berbeda, bisa dikata amat aneh atau
malah tidak lumrah. Setelah bayi lahir, tangan kirinya melakukan gerakan-gerakan
melingkar di seputar perut ibu yang baru saja melahirkan. Gerakan-gerakan itu
berputar dengan teratur layaknya pusaran air. Pada saat bersamaan, ibu yang baru
saja melahirkan merasakan sebuah sentuhan tangan yang nyaman, menimbulkan hawa
sejuk yang lambat laun menyebar ke sekujur badan. Setelah masa itu selesai, rasa
lelah dan rasa sakit akibat melahirkan, baik sekitar perut dan rasa pegal-pegal
di pinggang maupun di pinggul akan hilang dalam sekejap. Dan setelah itu tali
pusar bayi di potong putus dengan dua jari tangan layaknya pisau tajam. Hal
itulah yang membuat nama Nyi Cendani sebagai dukun bayi menjadi tersohor, bahkan
sampai keluar desa Watu Belah.
Puluhan bahkan ratusan orang telah ditolong lewat tangannya. Bahkan untuk
mengobati orang sakit, Nyi Cendani juga mampu melakukannya. Di rumahnya yang
berada persis di sisi sebelah timur desa Watu Belah, terdapat banyak empon-
empon, seperti jahe merah, kunir putih dan bahan ramuan rempah-rempah lainnya.
Ilmu pengobatannya juga sangat hebat, segala macam sakit akan lenyap jika sudah
ditangani oleh Nyi Cendani.
Kadang anak-anak desa sering bermain di rumahnya, diajari bagaimana cara meramu
dan mengolah obat dari akar-akaran, daun-daunan bahkan dari getah pohon,
sehingga banyak anak-anak mau pun pemuda desa yang menimba ilmu pengobatan dari
nenek tua itu. Meski begitu, tidak semua orang mengetahui siapa sebenarnya nenek
tua itu. Mereka hanya tahu bahwa nenek tua itu hidup sendiri, hanya ditemani
oleh rempah-rempah atau empon-empon yang ada di rumahnya.
Saat masih muda, Nyi Cendani yang bernama asli Dewi Cendani pernah mengangkat
nama besar di dunia persilatan dengan gelaran Dewi Obat Tangan Delapan, seorang
pendekar wanita mumpuni, tangguh dan memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi dan
menempatkan diri di jajaran tokoh-tokoh golongan putih, dimana sepak terjangnya
selalu menentang segala macam kejahatan.
Sebagai seorang murid tokoh sakti aliran sesat yang berjuluk Iblis Botak, Dewi
Cendani cukup menggegerkan dunia persilatan. Bagaimana tidak, seorang tokoh
hitam kelas tinggi, jika memiliki murid atau pewaris ilmu yang dimilikinya,
biasanya bisa dipastikan menjadi tokoh hitam pula. Namun hal itu tidak terjadi
pada Dewi Cendani yang saat itu baru berumur sepuluh tahun. Rupanya telah
terjadi perubahan yang sangat mencolok pada diri Iblis Botak. Saat ia melihat
gadis kecil itu, tiba-tiba kenangan indah bersama istrinya seakan terulang
kembali. Kenangan yang manis, dan bocah itu seakan membawanya kembali ke masa-
masa bahagia bersama istrinya.
Itulah sebabnya mengapa Iblis Botak berubah haluan, yang semula menjadi
dedengkot aliran sesat menjadi berbalik arah menjadi seorang tokoh yang welas
asih, penyabar dan menjadi seorang yang baik serta bijak. Seluruh ilmu kesaktian
diturunkan kepada murid tunggalnya, Dewi Cendani.
*** "Laki-laki ... " Betul laki-laki" Nyi Cendani tidak main-main?" tanya ulang Ki
Ragil Kuniran dengan mata berbinar.
"I ya ... laki-laki, aku yakin itu," tandas Nyi Cendani dengan mengangguk-angguk
kepalanya. "Ha-ha-ha-ha ... "
"Kenapa Ki" Kok malah ketawa?" Nyi Salindri bertanya sambil berusaha duduk di
pembaringan. Nyi Cendani segera membantu Nyi Salindri membenahi baju luar perempuan istri
kepala desa itu. Ki Ragil Kuniran tidak menyahut, malah tertawanya makin keras,
sampai air matanya keluar. Laki-laki parobaya itu tetap tertawa sambil melangkah
keluar kamar dan terus menuju pendopo rumahnya. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi. Diambilnya napas dalam-dalam, dan dengan lantang, Ki Ragil Kuniran berteriak
dengan keras, "Hooooiiii!! Seluruh warga desa Watu Belah, ketahuilah bahwa aku,
Ki Ragil Kuniran akan segera mempunyai anak laki-laki, ya ... anak laki-laki ...
!!" Suara itu menggema sampai ke pelosok desa Watu Belah. Orang-orang yang sedang
bekerja di sawah atau ladang, kontan terkaget-kaget dan menghentikan sesaat
pekerjaannya. Kaget, karena tidak biasanya mendengar suara sekeras dan segembira
itu. Tapi setelah mendengar dengan seksama dan mengetahui siapa pemilik suara
itu, mereka hanya geleng-geleng kepala.
"Ki Ragil itu ada-ada saja."
"Ya tidak apa apa tho kang. Ki Ragil sekarangkan sedang bungah, berbahagia,
kukira wajar kalau orang gembira meluapkan rasa gembira di hatinya itu," sahut
istrinya sambil terus memilah-milah kacang tanah ditangannya.
"Lha iya, tapi mbok ya jangan teriak-teriak begitu, sudah tua kok pencilakan
kayak anakmu saja." "Terserah kakang lah ... " sahut istrinya menyerah.
-o0o- Sepuluh hari kemudian ...
Ki Ragil Kuniran datang dengan si dukun bayi, Nyi Cendani. Tubuh kekar itu
nampak berkeringat. Peluh membanjiri wajah dan tubuhnya ditambah dengan perasaan
campur aduk tak karuan antara bahagia, tegang, senang dan bingung 'tumplek blek'
menjadi satu. Ilmu lari cepatnya langsung dikerahkan semaksimal mungkin saat mendengar Nyi
Salindri, sang istri merintih-rintih perutnya sakit dan terasa mulas. Dengan
sigap dipondongnya Nyi Salindri, dan masuk ke dalam kamar, lalu diletakkan pelan
ke atas pembaringan. "Aduh, Ki ... perutku ... sakit se ... kali ... "
Nyi Salindri berkata sambil terengah-engah. Perutnya terasa mulas sekali, mata
membeliak-beliak seperti orang kesurupan setan. Ki Ragil hanya berdiri termangu-
mangu. Tiba-tiba sebuah nama melintas dibenaknya.
Nyi Cendani! "Tenang Nyi, sabar sebentar ... aku panggilkan Nyi Cendani ... "
"Cepat Ki ... aku sudah tidak tahan ... " rintih Nyi Salindri sambil terus
memegangi perutnya yang besar itu. Ki Ragil Kuniran segera menemui Mbok Inah,
sang pelayan rumahnya. "Mbok, tunggui bendoro putrimu sebentar, aku mau menjemput Nyi Cendani!"
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ragil Kuniran langsung mblirit seperti orang dikejar
setan. Gerakan langkah kakinya teratur dan mengikuti aturan-aturan tertentu.
Larinya begitu ringan, laksana kapas tertiup angin. Rumah-rumah penduduk
dilewati dengan cepat. Yang terlihat hanyalah sesosok bayangan hitam yang
berkelebat dengan cepat. Dua penduduk desa yang dilewati seperti tersapu angin,
matanya merem melek karena banyak debu yang mampir dimatanya.
"Apa itu tadi?" tanya seorang penduduk dengan muka pucat.
Tangan kirinya mengucal-ucal matanya yang kemasukan debu.
"Entahlah ... "
"Apa mungkin setan ya ... " Ataukah malah danyang desa ini?" tanya si muka
pucat, matanya menjadi kemerah-merahan karena terlalu banyak debu yang masuk ke
dalamnya. "Mana mungkin!! Setan tak mungkin keluyuran siang-siang begini, paling-paling
cuman setan gundul, ha ... ha ... ha ... " bantah temannya.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran sudah sampai di depan rumah Nyi Cendani. Nyi
Cendani yang yang sedang tidur-tidur ayam sambil menikmati sepoinya angin, tentu
saja kaget. Tanpa permisi, tanpa kata dan tanpa suara, tangan kanan Ki Ragil
Kuniran langsung saya menyambar tubuh nenek kerempeng itu.
Wutt ... !! Plaakk ... !!
Tangan kekar itu ditepiskan dengan sebuah tepisan ringan, seperti mengibas
lalat. Tangan tua itu sudah terlatih dengan gerakan-gerakan ilmu silat, tentu
saja secara otomatis telah memunculkan tenaga tak kasat mata dari dalam tubuhnya
yang langsung bereaksi jika ada serangan mendekat. Tubuh kekar itu terhuyung ke
belakang. Tangannya seperti beradu keras dengan besi baja. Terasa ngilu dan linu
sekali. "Dasar tua bangka cabul! Istri sudah bunting besar, masih coba-coba main gila
dengan perempuan tua macam aku! Kurang ajar!" semprot Nyi Cendani dengan sengit.
Air liur kemerah-merahan muncrat ke mana-mana, karena sambil tidur-tidur ayam
tadi, nenek tua itu sedang mengunyah-ngunyah susur. Matanya melotot besar,
dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Maaf ... maaf Nyi ... buk ... bukkkaaan ... aku ... " Ki Ragil Kuniran berkata
sambil tergagap-gagap. Napasnya memburu karena cemas, tegang, bingung dan kaget
campur aduk menjadi satu. Cemas karena memikirkan rintihan Nyi Salindri yang
perutnya terasa mulas. Tegang dan kaget karena dukun bayi itu bisa dengan mudah
mengibaskan tangannya dan bisa membuatnya terhuyung-huyung beberapa langkah.
Suatu hal yang aneh dan sukar diterima dengan akal.
"Bukan apa" Sudah jelas kau ... "
"Tunggu dulu Nyi! Sabar ... sabar ... biar kujelas ... kan ... !"
"Sabar gundulmu itu!" Nyi Cendani masih terus saja bertolak pinggang, tentu saja
mulutnya masih 'bergulat' dengan susur yang saat itu masih betah di dalam rongga
mulut yang peot itu. "Istriku mau melahirkan ... "
"Apaaa ... "!"!"!"
Nyi Cendani berteriak dengan keras. Suara cempreng itu bagai menusuk-nusuk
telinga Ki Ragil Kuniran. Kepala berdenyut-denyut, telinga berdenging, karena
suara cempreng itu hanya berjarak sejengkal dari telinganya.
"Kenapa tidak kau bilang dari tadi" Dasar suami edan!"
"He-he-he ... "
"Ditanya malah cengengesan," sentak Nyi Cendani dengan mata melotot. Tubuh
keriput itu langsung masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian sudah keluar
sambil membawa buntalan kain kuning kusam. Meski sudah tua, langkah nenek itu
tidak terhuyung-huyung layaknya orang yang sudah uzur.
"Ayo berangkat!"
"Kemana Nyi?" tanya Ki Ragil Kuniran, seakan lupa dengan tujuan semula datang ke
gubuk dukun bayi itu. "Ke Akhirat! Goblok! Tentu saja ke rumahmu, bukankah kau datang ke sini karena
istrimu mau melahirkan!?" bentak Nyi Cendani.
"Oh ... iya ... aduh, aku lupa!"
-o0o- Nyi Cendani datang bersamaan dengan Ki Ragil Kuniran, langsung menuju ke kamar
dimana Nyi Salindri sedang mengerang-erang kesakitan. Perut istri lurah itu
sudah membuncit besar dan kedua tangan itu terus saja memegangi perut besar
berisi calon anaknya. Nyi Cendani segera memegang perut Nyi Salindri yang terasa mulas. Saat menyentuh
perut besar itu, serangkum hawa sejuk menerpa perut dan pelan-pelan rasa mulas
dan sakit semakin berkurang, beberapa saat kemudian hilang berganti rasa nyaman
dan sejuk. Nyi Salindri sudah tidak merintih-rintih lagi. Ki Ragil Kuniran
mendekati istrinya dan membelai rambut panjang yang terurai itu.
"Bagaimana Nyi, apakah masih sakit perutmu?"
"Tidak Kang. Perutku sudah agak baikan," kata Nyi Salindri lirih.
Ki Ragil Kuniran memegang telapak tangan kanan istrinya dengan lembut. Di
bibirnya seulas senyum bahagia terpampang jelas.
Sementara itu, Nyi Cendani sibuk mempersiapkan proses persalinan. Tangannya
bergerak-gerak aneh seperti orang mengaduk. Jari telunjuk kiri dan kanan saling
bertemu di depan dada. Matanya terpejam rapat, mulutnya komat-kamit seperti
membaca mantera. Dengan gerakan pelan namun bertenaga, telunjuk yang saling
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merapat itu menyentuh pusar Nyi Salindri. Sebuah totokan pelan telah dilakukan.
Srepp!! Tiba-tiba perut Nyi Salindri menggelinjang sendiri, seolah-olah di dalamnya ada
sesuatu yang sedang menggeliat, kemudian diam tak bergerak.
Nyi Cendani mengerutkan keningnya. Diulangi lagi totokan tadi, dan hasilnya
seperti yang sudah-sudah. Biasanya jika sudah ditotok, perut menggelinjang keras
dan tegang seperti orang mengejan, setelah itu proses persalinan akan berjalan
dengan lancar sebagaimana biasa yang ia jalani.
"Aneh ... " gumam Nyi Cendani.
Pening kepala dukun bayi itu. Sebuah kejadian langka. Belum pernah selama
'bertugas' sebagai dukun bayi gagal membantu persalinan alias selalu tokcer.
"Edan!" umpat Nyi Cendani, karena lagi-lagi usahanya gagal.
"Edan" Siapa yang edan, Nyi?" tanya Ki Ragil Kuniran, heran.
Nyi Salindri pun tertegun, pandangan matanya lincah mencari-cari sumber umpatan
nenek itu. Tak ditemukan seorang pun di dalam kamar itu, kecuali mereka bertiga.
"Anakmu! Anakmu itu ternyata masih betah berada di dalam perut ibunya," terang
Nyi Cendani. Mulut yang mengunyah susur itu makin lincah saja gerakannya. Mata tua itu
jelalatan memandangi perut buncit Nyi lurah, seakan-akan sedang menaksir-naksir
kapan isi dalam perut itu akan keluar.
"Yang benar, Nyi" Nyi Cendani jangan main-main! Aku tidak suka itu!" kata Ki
Ragil Kuniran agak meninggi. "Sudah jelas istriku mengandung selama sembilan
bulan sepuluh hari, dan hari ini sudah saatnya melahirkan. Tapi Nyi Cendani
mengatakan bahwa anakku belum mau lahir. Kenapa bisa begitu Nyi!?"
Suara Ki Ragil Kuniran mulai meninggi dan matanya melotot besar.
Nyi Salindri segera memegang tangan suaminya, karena dia tahu betul jika
suaminya sudah berkata dengan nada meninggi dan mata mencereng begitu, ujung-
ujungnya pintu regol itu bakal jebol ditendangnya. Kalau segera tidak
ditenangkan, tidak hanya pintu regol, mungkin rumah pun bisa rubuh dalam sekejap
mata! "Sudahlah Kang! Mungkin belum saatnya ... "
"Belum saatnya ... belum saatnya. Lha wong perut sudah gedhe begitu kok belum
saatnya," kata Ki Ragil Kuniran bersungut-sungut.
"Ki Lurah, kita tunggu sampai besok ... " kata Nyi Cendani, dengan suara tidak
enak hati. Tentu saja sebagai dukun bayi kelas kakap, gagal membantu persalinan
akan mencoreng nama baik yang selama ini diukirnya.
"Baiklah, kita tunggu sampai besok pagi. Silahkan Nyi Cendani istirahat di kamar
depan, biar Mbok Inah yang mengatur ruangnya," kata Nyi Salindri, dengan halus.
"Kang Ragil, temani aku disini," pinta Nyi Salindri pada suaminya.
"Baiklah, aku juga sudah capek."
Hari demi hari, minggu berganti minggu, Nyi Salindri tidak juga melahirkan. Hal
itu membuat Ki Lurah Watu Belah menjadi pusing tujuh keliling. Bayi biasanya
akan lahir jika sudah berumur sembilan sepuluh hari, tapi bayi Nyi Salindri
sampai bulan kedua belas, belum juga nongol dari perut sang ibu.
Kabar tentang keanehan kandungan Nyi lurah sudah menyebar ke pelosok desa,
bahkan sampai desa sekitarnya. Bahkan kepala desa Cluwak Bodas, Ki Sampar Angin,
sahabat karib Ki Ragil Kuniran, seringkali bertandang ke rumah sahabatnya itu.
Ki Sampar Angin datang bersama istri dan dua anak gadisnya yang sudah menginjak
remaja, untuk menjenguk sahabat sekaligus memastikan kabar angin yang santer
terdengar. -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua
"Apa maunya anak itu ngendon begitu lama di perut ibunya" Menyusahkan orang tua
saja," gerutu Ki Ragil Kuniran, teringat kehamilan istrinya yang sudah menginjak
bulan ke tiga belas. Craakhh! Glarrr! Kilatan bunga api di langit menyadarkan kembali lamunannya. Matanya kembali
menerawang ke atas, seakan-akan ingin menjenguk isi langit yang paling atas.
Pandangan mata itu beralih ke arah timur, entah mengapa rasanya ia ingin
berlama-lama memandang ke timur. Dari kejauhan terlihat setitik sinar putih
terang, melayang ke arah barat dengan cepat. Makin lama makin kelihatan jelas
bentuknya. Bayangan putih yang dilihat Ki Ragil Kuniran ternyata seekor burung
elang dengan bulu putih keperakan. Besarnya dua kali elang biasa.
"Elang"! Sejak kapan di Desa Watu Belah ada burung sebesar itu"!" tanya laki-
laki itu dalam hati. Kepakan sayap elang itu begitu tenang dan berirama, seolah-olah sedang
menunggang angin. Matanya yang tajam berputar-putar seakan sedang mencari mangsa
untuk mengisi perutnya. Awwkkk! Awwkkk! Suara serak terdengar beberapa kali tiap elang itu mengepakkan sayapnya. Seluruh
bulu elang berwarna putih keperakan dengan mata kemerahan bulat besar.
Mata laki-laki parobaya itu berkunang-kunang karena bulu putih itu begitu
menyilaukan karena memantulkan sinar matahari.
Awwkkk! Awwkkk! Suara serak terdengar lagi. Elang itu berputaran tepat di atas kepala Ki Ragil
Kuniran sejarak enam tombak, jarak yang cukup dekat bagi elang itu untuk
melakukan sambaran terhadap mangsanya. Setelah melakukan beberapa putaran, tiba-
tiba berputar balik setengah lingkaran seperti orang bersalto, lalu melesat ke
arah Ki Ragil Kuniran dengan cepat.
Wuss! Wutt! "Elang gila!" Ki Ragil Kuniran menghindar dengan membungkukkan badan, sambil tangan kanannya
melakukan gerakan untuk menangkis serangan paruh tajam si burung elang.
Wutt ... ! Elang itu mengelak dengan memiringkan tubuhnya. Elang itu bergerak cepat
menyelinap ke bawah ketiak kanan Ki Ragil Kuniran terus ke punggung, lalu
dilanjutkan melesat ke atas melewati kepala sambil kakinya menyambar benda hijau
kecil yang bergelayutan di ranting kecil tepat diatas kepala Ki Ragil Kuniran.
Wess! Tap! Burung elang itu kembali melesat terbang ke atas dengan cepat. Kaki kekar itu
mencengkeram makhluk kecil panjang kehijauan yang menggeliat-geliat ingin lepas.
Elang itu melesat dengan cepat kearah barat sambil membawa buruannya.
Aaawwkkk! Ki Ragil Kuniran terperangah. Bukan pada gerakan menyerang elang barusan, tapi
benda bulat panjang kehijauan yang dicengkeramnya, ternyata adalah seekor ular
berbisa! "Bukankah itu Ular Hijau Lumut yang beracun ganas" Sejak kapan pohon sawo kecik
ini menjadi sarang ular"!" tanya Lurah Watu Belah dalam hati, sambil memutar
badan melihat pada pohon sawo kecik di belakangnya yang cukup rimbun dan
kebetulan sedang berbuah lebat.
Tadinya ia mengira yang diserang elang adalah dirinya, sehingga dengan cepat
menggerakkan tangan kanan untuk menangkis serangan elang. Akan tetapi begitu
mengetahui serangan itu hanya untuk menyelamatkan dirinya dari patukan ular
kehijauan itu, dia tidak jadi memaki burung elang tadi.
Matanya yang tajam melihat kelebatan beberapa ular berwarna hijau diantara
ranting dan daun pohon sawo kecik, meluncur dengan cepat. Gerakan ular itu
begitu gesit bersembunyi, sebab melihat adanya bahaya dari burung elang yang
menyambar kawannya barusan.
"Hmmm, ular ini harus disingkirkan! Bahaya kalau sampai anak-anak bermain-main
disini lalu dipatuk ular, bisa-bisa Nyi Cendani repot menyembuhkannya. Lebih
baik kubunuh saja ular-ular itu," gumam laki-laki itu sambil matanya memandang
ke arah ular-ular itu. Ia lalu memandang berkeliling, mencari kerikil untuk menimpuk ular-ular yang
hampir saja mencelakakan dirinya. Setelah menemukan kerikil-kerikil kecil, ia
mulai menyentilkan jari tangan yang terisi kerikil ke arah ular yang ada di
pohon sawo kecik itu. Ctik! Ctik! Blugh! Blugh! Dua ular terjatuh dengan kepala pecah, menggelepar-gelepar sebentar lalu mati.
Ki Ragil Kuniran terus saja melakukan aksi 'pembunuhan massal' pada ular yang
ada di pohon sawo kecik itu dengan kerikil. Sudah puluhan ekor ular jatuh ke
tanah dan mati, akan tetapi ular-ular itu belum habis juga, bahkan makin lama
banyak jumlahnya. "Gila! Betul-betul sarang ular pohon sawo ini, kalau begini terus bisa sampai
semalaman! Kalau ada warga desa, pasti cepat beres. Tapi kalau kutinggal,
jangan-jangan ular-ular itu malah pergi dan menyerang Desa Watu Belah. Wah, bisa
hancur desaku! Pasti disini ada ratu atau raja ularnya. Kalau rajanya
tertangkap, yang lainnya gampang diusir, lebih baik kucari saja rajanya!" gumam
Ki Ragil Kuniran. Laki-laki berbaju hitam itu mengelilingi pohon sawo kecik itu dengan mata
jelalatan mencari 'pimpinan' kawanan ular itu. Tangan kirinya masih memegang
kerikil yang siap mengantar nyawa ular-ular itu ke alam kematian.
Rupanya apa yang dikhawatirkan Ki Ragil Kuniran menjadi kenyataan. Di dahan yang
paling besar, bertengger seekor ular hijau lumut seukuran lengan orang dewasa
dengan panjang hampir mencapai tiga tombak, sedang melingkar. Matanya mencorong
dengan lidah kemerahan yang selalu menjulur-julur keluar, sisiknya berwarna
belang hijau kekuningan. Dikepalanya ada daging tumbuh layaknya makhota seorang
raja. Ular-ular hijau lumut itu seakan menunggu titah dari 'sang raja' untuk
menyerang lawan. Lidah raja ular kembali menjulur-julur, seakan memberi perintah
dengan suara desisan yang keras.
Sssshhhh!!! Seperti dikomando, ular-ular itu merayap ke bawah, bahkan yang agak besar
langsung menjatuhkan diri ke tanah. Mereka berdesak-desakan keluar dan turun
dari pohon sawo kecik itu. Pohon itu seakan bukan pohon sawo kecik lagi, tapi
lebih mirip pohon ular hidup. Jumlah ular itu ratusan banyaknya, bahkan mungkin
mencapai ribuan ekor, besar kecil saling berlomba mengejar sasaran yang sama,
yaitu orang yang telah membunuh teman atau pun saudara mereka!
Ki Ragil Kuniran yang tidak menyangka akan diserang ular-ular hijau lumut itu,
kaget bukan kepalang. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu sudah terkepung
ratusan ular yang jumlah ribuan ekor, termasuk raja ular itu juga turun dari
atas dahan. "Gila! Apa-apa'an ini?"
Sssshhhh!!! Sssshhhh!!! Suara mendesis ribuan ular hijau lumut seakan sebagai tanda protes atau kecaman
bagi Ki Ragil Kuniran, dan mungkin juga jawaban dari pertanyaan Ki Ragil.
Bersamaan dengan itu, ular-ular itu langsung menerjang maju. Ada yang langsung
berusaha mematuk kaki, yang agak besar mengincar mata dan ada juga yang
membokong dari belakang! Sssshhhh!!! Laki-laki baju hitam itu tidak mau dirinya menjadi santapan ular. Baru pertama
kali dalam hidupnya, dia bertarung dengan ular yang jumlahnya mencapai ribuan
ekor, sehingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Tubuh kekar itu berkelebat.
Ilmu silat dan ilmu ringan tubuh dikerahkan untuk menghindari serangan ular,
bahkan hawa tenaga dalam digunakan mencapai sepuluh bagian. Akibatnya sungguh
dahsyat. Setiap sapuan kaki atau tamparan tangan bahkan kepalan tinjunya selalu
membawa maut. Wutt! Plakk!! Ular-ular yang kena tendangan, tamparan bahkan kepalan pasti mati. Kalau tidak
kepalanya pecah, pasti perutnya jebol atau terbelah menjadi dua! Sungguh
mengerikan pertarungan antara dua makhluk yang berbeda jenis itu.
Satu manusia melawan ribuan ular beracun!
"Heeaaaa ... !!"
Teriakan mengguntur menambah semangatnya dalam menghadapi serbuan ular-ular
beracun. Tubuh kekar itu semakin cepat berkelebat.
Plakk ... ! Bukk ... ! Prak ... !!
Sepuluh ekor ular yang cukup besar, mati dalam sekali kibas, tiga dengan kepala
pecah, dua dengan perut jebol dan lainnya dengan tubuh terbelah dua.
Tiba-tiba, sekelebat bayangan hijau panjang menerjang dengan gerakan kilat.
Gerakan itu diketahui Ki Ragil Kuniran dengan sudut matanya. Dengan cepat
bersalto ke belakang, sambil tangan kirinya yang penuh dengan kekuatan tenaga
dalam bergerak menampar, akan tetapi bayangan hijau itu meliuk ke bawah, sambil
mengibaskan ekornya ke arah kepala lawan.
Melihat bayangan itu mengincar kepalanya dalam keadaan berjungkir balik seperti
itu membuat Ki Ragil Kuniran gugup. Kepalanya mengegos ke kanan, tapi serangan
itu masih sempat menyerempet pipi kanannya.
Prattt!! "Ukh!" Laki-laki itu mengeluh.
Pipinya terasa panas dan pedas, diikuti dengan rasa gatal kemudian pipinya
terasa menebal. Tubuhnya melayang ke kiri akibat sampokan bayangan hijau tadi.
Melihat jatuhnya tepat pada kumpulan ular yang seakan sudah menyambutnya, laki-
laki parobaya itu masih dalam keadaan melayang, menggerakkan ke dua tangannya
menyilang lalu menghentakkannya ke depan.
Blarr ... !! Serangkum hawa panas berwarna putih pekat yang bersumber dari hawa tenaga sakti
itu, mengeluarkan suara keras saat mengenai kerumunan ular yang siap menyambut
tubuhnya. Tanah tempat ular-ular tadi membentuk cekungan lebar yang dalam akibat
terkena serangan tenaga dalam putih pekat tadi. Tubuh ular-ular itu hancur dedel
duwel berserakan di tanah dan tercium bau hangus yang amis.
Jleg! Tubuh kekar itu berdiri tegak, tepat di mana ia tadi membuka jalan bagi dirinya
dengan melancarkan pukulan mematikan.
"Ular keparat!" maki Ki Ragil Kuniran saat ia meraba pipi kanannya yang kini
gembung bengkak karena racun yang ada di ekor raja Ular Hijau Lumut. Kepalanya
senut-senut, gigi kiut-kiut karena saking linu dan kerasnya racun.
"Racunnya cepat sekali menjalar, harus segera diatasi," batinnya.
Ia cepat mengalirkan tenaga dalam ke jalan darah di sekitar leher dan otak
belakang, agar racun itu tidak menjalar kemana-mana, lalu merogoh saku baju dan
mengambil sebutir pil berwarna hitam dan langsung menelannya. Rasanya pahit dan
baunya sengat seperti kotoran kambing.
Rupanya bayangan hijau tadi adalah ular bermahkota yang marah karena melihat
'pasukan'-nya tidak berdaya melawan musuh.
Sssshhhh!!! Kembali terdengar desisan keras, untuk kesekian kali dari ular bermahkota.
Sebenarnya bisa saja Ki Ragil Kuniran keluar dari pertarungan aneh itu, tapi
melihat banyaknya jumlah dan ganasnya racun ular, ia tidak ingin warga desa
menjadi korban dari gigitan ular hijau lumut ini, apabila ular-ular itu
menyerang desa Watu Belah, lebih baik dihadapi sendiri meski dengan taruhan
nyawa. Tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara serak yang membahana. Suara yang
sudah dikenal Ki Ragil Kuniran, suara burung elang!
Awwkkk! Awwkkk! Rupanya elang putih keperakan yang tadi terbang sambil membawa seekor ular hijau
lumut kembali lagi. Tapi kini tidak hanya sendirian, tapi dengan puluhan bahkan
ribuan kawanan elang lainnya, ada yang berwarna hitam, coklat, bahkan burung
pemangsa bangkai pun ikut bergabung. Diantaranya ada seekor elang hitam
berkepala botak, namun besarnya lebih kecil dari elang putih keperakan.
Ular adalah musuh bebuyutan elang dan sekaligus santapan lezat bagi jenis burung
pemangsa ini. Rupanya saat mengitari Ki Ragil Kuniran, elang putih keperakan
melihat bahwa di pohon sawo kecik terdapat sarang ular yang jumlah ribuan ekor
banyaknya. Ular bermahkota mendesis-desis. Lidah merahnya yang bercabang dua bergetar
dengan hebat, melihat kawanan elang yang terbang makin mendekat. Tak ada waktu
baginya untuk meloloskan diri, kecuali bertarung mati-matian!
Sssshhhh!!! Ular-ular yang lain menyahut dengan mengeluarkan desisan sama. Kepala menegak
dengan mulut menganga lebar, lidah menjulur-julur sambil menetes-neteskan cairan
racun berwarna putih bening. Siap menerima tantangan kawanan elang!
Ki Ragil Kuniran masih terpaku di tempatnya melihat kejadian itu. Sungguh
menakjubkan! Awwkkk! Kembali suara serak elang putih keperakan membelah angkasa, kali ini lebih keras
dari yang tadi. Kawanan elang yang di belakangnya sontak mengikuti dengan suara
serak yang bersahutan, seakan menerima perintah dari atasannya.
Kaakh! Kaakh! Kaakh! Awwkk!
Hampir bersamaan, kawanan elang itu meluncur ke bawah, mengincar kawanan ular-
ular yang mengurung Ki Ragil Kuniran.
Wutt! Wutt! Crakk!! Crokk! Pletak ... !
Perang campuh pun terjadi. Perang yang sungguh aneh dan mungkin paling langka di
dunia pun terjadi. Pertarungan antara kawanan elang dengan kawanan ular!
Saling mematuk, belitan ular yang sanggup meremukkan tulang, kelebatan cakar dan
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepakan sayap elang, campur baur menjadi satu dengan suara desisan ular dan
pekikan elang. Ular mengandalkan racun dan belitan yang kuat, sedang elang
mengandalkan ketajaman paruh dan cakar tajam serta kegesitan terbang dalam
menghindari semprotan racun.
"Sungguh menakjubkan! Mungkin di dunia ini hanya aku yang melihat keganjilan
seperti ini. Perang tanding yang aneh," kata Ki Ragil Kuniran, pada dirinya
sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik, kubantu kawanan elang itu," katanya lagi.
Kepalanya mendongak ke atas, melihat burung elang putih keperakan yang masih
melayang-layang di angkasa. Mata tajam itu sedang mencari-cari sesuatu di antara
kawanan ular itu. "Sobat di atas, terima kasih atas bantuannya! Biar kubantu kawan-kawanmu! Kau
hadapi saja raja ular itu, kulihat dia berada di sisi kirimu," teriak Ki Ragil
Kuniran dengan keras. Tangannya menuding ke arah timur, tempat dimana ular
bermahkota kini berada. Awwkkk! Awwkkk! Suara elang putih keperakan terdengar kembali, kali ini lebih pelan mungkin
sebagai jawaban darinya. Elang itu segera berkelebat ke arah timur. Elang putih
keperakan merangsek dari atas. Paruh setajam pedang siap di hunjamkan ke kepala
lawan. Ular bermahkota tidak mau mandah begitu saja, segera menggelung tubuh dengan
cepat, menyembunyikan tubuhnya yang panjang dari terjangan lawan yang menyerang
dari atas. Hanya kepalanya yang menyembul keluar, sambil mendesis-desis keras
diiringi dengan goyangan kepala ke kiri kanan untuk mengecoh musuh.
Crass! Cakar elang putih keperakan menyerempet bagian tengkuk meninggalkan bekas
sayatan memanjang. Ular itu kembali mendesis marah.
Sssshhhh!!! Kepala ular bergerak menyambar kaki elang dari bawah.
Sratt!! Elang putih keperakan mengelak ke kiri sambil mengepakkan sayap dengan keras ke
arah mata lawan. Plakk! Kepala ular terpelanting ke kanan. Badan yang tergelung itu ikut terbawa karena
kerasnya sampokan. Pertarungan antara dua makhluk berlainan jenis dan bentuk itu
terus berlangsung seru. Mencakar dan mematuk silih berganti, suara desisan dan
pekikan elang terdengar di arena pertarungan. Bulu-bulu elang dan bangkai
ratusan ular berserakan dimana-mana.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran yang 'dibantu' kawanan elang, menerjang
gerombolan ular hijau lumut. Laki-laki itu tidak sesibuk sebelumnya, walau pun
setiap tendangan maupun pukulan selalu membawa maut.
Prak! Bugh! Empat ular berkelojotan, lalu mati dengan kepala pecah.
Menjelang sore, seluruh kawanan ular telah tumpas tapis tanpa tersisa sedikit
pun. Bau amis menyengat hidung Ki Ragil Kuniran. Perutnya serasa diaduk-aduk mau
muntah. Pada saat yang sama, elang putih keperakan melesat ke atas beberapa
tombak, lalu menukik ke bawah dengan paruh siap dihunjamkan ke arah kepala
lawan. Wuss! Ular bermahkota mengelak dengan merendahkan kepala sejajar tanah, diiringi suara
mendesis-desis keras. Sssshhhh!!! Serangan elang putih meleset. Elang putih keperakan langsung berbalik ke kanan
dengan cepat. Ular bermahkota tidak menduga kalau lawan bisa memutar diri dengan
gerakan aneh dan langsung mengincar kepala bagian belakang!
Crokk! Paruh elang menancap kuat, bahkan sampai tembus ke depan. Ular bermahkota
berkelejotan meregang nyawa diiringi desisan kematian.
Sssshhhh!!! Tubuhnya menggulung badan elang putih keperakan dengan cepat. Elang putih itu
diam saja, sambil paruhnya digerak-gerakkan ke atas ke bawah seakan mengambil
sesuatu. Plasss! Elang putih keperakan mencabut paruhnya dari kepala lawan yang meregang nyawa.
Diparuhnya terdapat benda bulat putih kekuning-kuningan, langsung ditelan dengan
cepat. Bersamaan dengan itu, ular bermahkota juga tergeletak tak bernyawa.
Mati! Kemenangan sang pemimpin, disambut dengan teriakan membahana dari kawanan elang.
Awwkkk! Kragh! Kaakkhh ... !
Elang putih keperakan kembali terbang ke atas dan melayang berputaran di udara,
merayakan kemenangan ditingkahi suara serak yang menggelegar. Kawanan elang
mengeluarkan pekikan-peikikan nyaring, sehingga suasan di sekitar di tempat itu
riuh rendah tak karuan. Tiba-tiba ... Wutt! Elang putih keperakan berputar cepat dan menukik ke bawah, ke arah bangkai ular
bermahkota. Ki Ragil Kuniran yang merasakan angin sambaran yang kuat menerpa
dirinya, segera membuang diri ke belakang.
Elang putih keperakan itu menyambar bangkai ular dengan sepasang cakarnya yang
tajam, lalu melesat terbang ke arah matahari terbit dengan pekikan tinggi
melengking. Kawanan elang yang lain, mengikuti perbuatan sang pemimpin,
menyambar bangkai-bangkai ular yang berserakan di tanah, sehingga sekitar pohon
sawo kecik yang pada mulanya sebagai ajang pertarungan antara kawanan elang
dengan kawanan ular, kini sebagian besar telah bersih dari bangkai ular. Sisanya
masih berserakan tak karuan disana-sini.
"Sobat, terima kasih atas bantuannya," teriak Ki Ragil Kuniran, yang sesaat
terpana melihat pangeram-eram yang dibuat oleh kawanan elang.
"Pasti elang putih keperakan itu memiliki majikan atau suatu tempat tinggal yang
setidaknya berdekatan dengan manusia. Tidak mungkin seekor burung bisa paham
perkataan manusia kalau tidak ada yang mengajarinya atau setidaknya burung elang
itu akrab dengan manusia. Kalau aku bertemu dengan pemilik elang itu, mungkin
aku tidak bisa membalas kebaikannya," gumam laki-laki parobaya itu. "Lebih baik
kubersihkan tempat ini, perutku mual memcium bau amis yang menyengat. Kubuat
saja lubang yang besar disini."
Dari arah selatan, seorang bocah kecil berumur kurang lebih sepuluh tahun
berlari dengan cepat. Napasnya terengah-engah. Berbadan ceking dengan keringat
bercucuran membasahi muka dan dadanya yang telanjang. Celananya hitam komprang,
agak kedodoran. Dilehernya tergantung sebentuk ketapel atau blandring dari kayu
jati. "Ki Ragil ... Ki Ragiiil ... Ragiiil ... "
Laki-laki yang dipanggil, segera menoleh. Ki Ragil Kuniran kenal betul dengan
suara itu, matanya memandang ke arah selatan dengan dahi berkerut.
"Ada apa Gineng memanggilku" Apa kawanan ular juga nglurug ke desa?" batin Ki
Ragil Kuniran, lalu melompat keluar dari lubang galian.
Ia menghentikan pekerjaannya membuat sebuah yang cukup lebar dan dalam. Meski
hanya menggunakan tangan, namun kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya ikut
ambil bagian, sehingga setiap kedukan atau songkelan tangan ibarat cangkul dan
linggis. Bocah kecil yang disebut Gineng melihat orang yang dicarinya berada di bawah
pohon sawo kecik, wajahnya langsung sumringah, langsung berlari mendekat ke arah
orang dicarinya. "Ada apa Gineng" Kenapa kamu berteriak-teriak seperti orang kesurupan" Apa kamu
disuruh simbokmu?" tanya Ki Ragil Kuniran.
"Betul, Ki! Saya disu ... ruh sim ... bok untuk mencari Ki ... lurah," kata
Gineng sambil ngos-ngosan.
"Kamu disuruh apa sama simbokmu?" tanya Ki Ragil Kuniran, sambil bersandar pada
pohon sawo kecik. Mukanya licin berkilat-kilat karena mandi keringat sedangkan
pipi yang terkena sabetan ekor ular sudah sembuh berkat obat anti racun yang
ditelannya, meski tampak sedikit lebam.
"Anu ... itu ... Ki ... Hehh ... "
"Anumu kenapa" Bicara yang jelas!"
"Istri Ki Ragil mau melahirkan!" kata Gineng setelah menghela napas dalam-dalam.
"Istriku mau melahirkan" Kamu jangan main-main, Gin! Apa Nyi Cendani juga ada?"
tanya Ki Ragil Kuniran. Sudah seringkali dia oleh dikabari Gineng kalau istrinya
mau melahirkan, tapi kenyataannya ketika sampai di rumah, istrinya tidak
melahirkan, malah sedang enak-enakan ngobrol sama dukun beranak itu!
"Betul, Ki! Nyi Cendani juga bilang begitu! Katanya hari ini pasti melahirkan,
karena ... karena ... air ketubannya sudah pecah. Begitu kata Nyi Cendani yang
saya dengar," ucap Gineng nyerocos begitu saja.
"Air ketubannya sudah pecah!?" gumam laki-laki parobaya itu.
Tiba-tiba kepala desa Watu Belah itu teringat sesuatu.
"Baiklah! Aku akan ke rumah. Semoga saja hari ini anakku benar-benar lahir!
Tolong kau lanjutkan pekerjaanku, nanti upahnya seperti yang kemarin, aku ajari
kau jurus silat yang baru," kata Ki Ragil Kuniran, sambil menepuk-nepuk pundak
Gineng, lalu berkelebat ke arah selatan, ke arah desa Watu Belah!
Wuss! "Baik, Ki! Pokoknya beres!" seru Gineng, tanpa bertanya 'pekerjaan' apa yang
harus dilanjutkannya. Setelah bayangan Ki Ragil Kuniran lenyap di tikungan jalan, Gineng segera
berjalan mendekati lobang galian yang dibuat Ki Ragil Kuniran.
"Walaah ... buat apa Ki lurah membuat lubang begini besar" Apa untuk mengubur
gajah, ya" " gumam Gineng.
Matanya yang besar jelalatan mencari cangkul atau linggis. Namun yang ditemukan
bukan linggis atau pun cangkul, tapi ratusan bangkai ular yang berserakan tak
tentu arah! "Kok disini banyak bangkai ular" Pasti ini perbuatan Ki lurah! Mungkin ini
pekerjaan yang harus kulanjutkan tadi. Hemmm, baiklah!" gumamnya lagi.
Ketika membungkuk, tiba-tiba perut kecilnya berbunyi.
Krucukkk! Kriiyukk! "Wah, perutku minta diisi nih! Tadi aku tidak sempat makan, sudah disuruh simbok
mencari Ki Ragil! Lebih baik, aku makan saja buah sawo itu, lumayan untuk
mengganjal perut, baru mengurus bangkai ular itu!" katanya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga
"Bagaimana Nyi" Sudah mau keluar"!" tanya seorang laki-laki berpakaian hitam
bercelana hitam komprang dengan ikat pinggang merah menyala, saat melihat
seorang wanita tua keluar dari biliknya.
Laki-laki berwajah bersih berbadan kekar itu tak lain adalah Ki Ragil Kuniran,
kepala desa Watu Belah. "Entahlah Ki! Aku sendiri juga dibuat bingung oleh anakmu! Seharusnya sudah
keluar dari tadi, tapi sampai menjelang tengah malam begini, tidak keluar-keluar
juga. Padahal air ketuban istrimu sudah pecah dari tadi. Aku takut terjadi apa
pada bayimu. Ilmu pengobatan yang kumiliki juga tidak ada gunanya," keluh Nyi
Cendani. Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam, dengan pikiran berkecamuk. Ki
Ragil Kuniran kembali duduk di kursi tempat biasanya ia bersantai. Matanya
menerawang jauh, entah apa yang dipikirnya.
"Pasti ada hubungannya dengan mimpi itu," gumamnya lirih.
Walaupun lirih, telinga semua orang yang berada di situ, mendengar jelas gumaman
laki-laki nomor satu di desa Watu Belah. Seorang laki-laki berbaju lurik dengan
blangkon bertengger di kepala, mendekat dengan kening berkerut. Dialah yang
bernama Ki Sampar Angin, kepala desa Cluwak Bodas.
"Mimpi apa, Adi Kuniran?" tanya Ki Sampar Angin, sambil duduk di depan kursi
sahabatnya. "Cuma mimpi biasa saja, Kakang Sampar Angin," kata Ki Ragil Kuniran, pendek.
"Kalau Adi Kuniran tidak keberatan, apa boleh saya tahu mimpi apa yang Adi
Kuniran temui," ucap Ki Sampar Angin, meyakinkan, "mungkin saja itu bukan mimpi
biasa." Semua orang yang ada disitu memandang laki-laki berbaju hitam itu dengan
pandangan memohon. "Baiklah," kata Ki Ragil Kuniran setelah menimbang-nimbang beberapa saat.
"Akhir-akhir ini, aku sering mimpi aneh, Kakang Sampar Angin! Dalam mimpiku, aku
ditemui seorang kakek yang sudah sangat tua sekali, berjubah putih berbulu,
seperti bulu burung berwarna putih keperakan. Seluruh tubuhnya memancarkan
cahaya keperakan, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Kakek itu mengatakan
sesuatu padaku, seperti sebuah syair atau sebuah pesan, tapi aku sendiri tidak
begitu paham artinya."
"Apa isi dari sesuatu yang Adi sebut sebagai 'syair' itu tadi?"
Setelah termenung beberapa saat, Ki Ragil Kuniran menjawab pertanyaan itu.
"Isi seperti ini : 'Cucuku, aku adalah Sang Angin! Aku memilih anakmu sebagai
Pewaris Tahta Angin, yang akan membersihkan seluruh duri di muka bumi. Angin
kecil-lah yang akan mewarisi kekuatan Sang Angin. Penunggang Angin akan menjadi
pertanda kelahiran Pewaris Tahta Angin di dunia pada bulan ke tiga belas purnama
sidhi. Jagalah dia baik-baik. Aku hanya bisa memberikan Telapak Tangan Bangsawan
sebagai rasa terima kasihku padamu, yang akan kuberikan bersamaan dengan
munculnya si angin kecil dan Penunggang Angin'. Itulah yang dikatakan kakek itu
dalam mimpiku," kata Ki Ragil Kuniran, lalu lanjutnya, "Setelah itu, kakek
berjubah bulu burung itu seperti melemparkan cahaya putih keperakan dari tangan
kanannya ke arah perut istriku, diiringi dengan suara deru angin membadai dan
suara gelegar petir, mirip dengan deru badai yang pernah kita lihat di Pantai
Selatan. Mimpi itu selalu datang padaku berturut-turut. Itulah mimpi yang
kualami, Kakang Sampar Angin! Pada mulanya aku berpikir itu cuma kembang tidur
saja, tapi setelah kejadian tadi siang, aku mulai memikirkan kebenaran dari
mimpiku itu." "Kejadian" Kejadian apa Adi?" desak Ki Sampar Angin.
"Perkelahian antara kawanan burung dengan kawanan ular."
"Burung apa" Ular apa" Jelaskan yang benar, Ki lurah," Nyi Cendani kini yang
bertanya. "Pertarungan ganjil antara elang putih keperakan dengan ular hijau lumut." jawab
Ki Ragil Kuniran. Semua orang yang mendengar cerita tentang mimpi itu terkesima, seolah
terhipnotis. Sungguh aneh dan sulit dimengerti apa arti dari mimpi Ki Ragil
Kuniran itu. Semua tercenung memikirkan arti mimpi itu.
Gineng yang sedari tadi duduk di pojok ruangan sambil mendengarkan cerita Ki
Ragil Kuniran, manggut-manggut. Tahulah ia bahwa bulu-bulu yang ditemuinya
berserakan itu adalah bulu elang, sedangkan bangkai ular yang telah dikuburkan
tadi adalah bangkai ular hijau lumut!
"Oh ... bulu burung elang to. Kukira tadi bulu ayam, he-he-he ... " gumam
Gineng. "Apa ada to, Gin, kok ndremimil kayak begitu," ucap simboknya, lirih.
Yang ditanya hanya tertawa cengengesan saja.
Nyi Cendani mendengar disebutnya Ular Hijau Lumut, melengak kaget!
Ular Hijau Lumut adalah ular yang selalu hidup berkelompok, jumlahnya bisa
mencapai ratusan ribu dalam satu kelompok. Setiap kelompok akan memiliki seekor
ular bermahkota dengan panjang kurang lebih empat hingga lima tombak. Seluruh
tubuh ular itu beracun ganas dan mematikan. Satu tetes racun ular hijau lumut
bisa membunuh orang dalam waktu sekian detik. Apabila ular itu berada di sungai
atau danau, bisa dipastikan hewan-hewan air akan mati keracunan!
Untunglah gurunya, si Iblis Botak, telah membuat semacam obat pemunah untuk
mengatasi ganasnya racun Ular Hijau Lumut, yang bahan utamanya dari Empedu
Beruang Salju yang dikeringkan. Bahkan mustika ular yang ada di kepala ular
bermahkota itu, menurut gurunya bisa menaklukkan ular dari jenis apa pun.
"Apa Ki Ragil selalu membawa obat pemunah racun yang saya berikan tempo hari?"
tanya Nyi Cendani, dengan mimik serius.
"I ... ya, Nyi! Bahkan aku telah menelannya dua butir saat bertarung dengan ular
yang bermahkota," kata Ki Ragil Kuniran.
"Ular bermahkota juga ada" Dimana sekarang" Apa masih hidup?" seru Nyi Cendani,
dengan wajah berbinar-binar.
"Sudah mati." "Bangkainya dimana?" kejar Nyi Cendani, seraya melangkah mendekat.
"Sebagian besar dari bangkai ular sudah dibawa pergi oleh elang-elang itu,
termasuk juga ular bermahkota itu," kata Ki Ragil Kuniran.
"Uh ... sayang sekali!" keluh Nyi Cendani.
Nenek itu terdiam. Suasana di ruangan itu kembali lengang, yang terdengar
hanyalah helaan napas dalam-dalam. Ki Ragil Kuniran kembali tenggelam dalam
lamunan, demikian juga dengan Ki Sampar Angin, pikirannya mengembara mencari
tahu siapa gerangan kakek berjubah putih berbulu burung yang diceritakan oleh
sahabat karibnya itu. "Rasa-rasanya, aku pernah mendengar ciri-ciri itu. Kakek berjubah putih berbulu
burung, dengan tubuh memancarkan cahaya keperakan dari ujung rambut sampai ke
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujung kaki!" Aku yakin pernah mendengarnya. Tapi kapan dan dimana" Andaikata
guruku atau ayahku masih hidup, tentu tahu siapa tokoh yang memancarkan cahaya
keperakan itu. ?h ... pusing aku!" pikirnya.
Di saat semua orang sedang berkecamuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba
dari luar terdengar desau angin yang ganjil. Malam itu sedang bulan bulat penuh,
yang semula sunyi sepi hanya terdengar suara jengkrik dan serangga lain, kini
berubah suara dengan lirih dan akhirnya berhenti sama sekali. Angin malam
semakin lama semakin meningkatkan alirannya. Suara desir yang tidak seperti
biasanya, menggugah Ki Ragil Kuniran dari lamunan panjang.
"Angin ini ... sama persis dengan suara angin yang kurasakan dalam mimpiku,"
desisnya lirih. Semua orang tercenung mendengar desisan lirih itu. Tiba-tiba saja, terdengar
pekikan nyaring dari atas wuwungan rumah ...
Awwkkk! Awwkkk! "Pekikan elang!" gumam Ki Sampar Angin, mengenali suara nyaring melengking yang
meningkahi desiran angin yang semakin meningkat tajam.
Ki Ragil Kuniran segera bergegas keluar, diikuti dengan yang lain, kecuali
Gineng yang sudah terlelap tidur di atas dipan. Lurah desa Watu Belah itu sampai
di halaman, lalu memandang ke atas wuwungan rumah. Semua orang melihat sebentuk
makhluk yang memancarkan cahaya putih keperakan karena tertimpa cahaya bulan
purnama, yaitu satwa penguasa angkasa, burung elang yang berbulu putih
keperakan! "Itulah elang yang kuceritakan tadi, Kakang Sampar Angin," kata Ki Ragil
Kuniran. "Elang putih keperakan yang bertarung dengan ular bermahkota tadi
siang." Elang berbulu putih keperakan itu bertengger di atas wuwungan rumah dengan
gagah. Tidak seperti tadi siang yang memimpin kawanan elang saat bertarung
dengan gerombolan ular, sekarang elang itu datang sendirian. Bulu putih
berkilauan terkena pantulan cahaya bulan purnama. Angin yang semula meningkat
tajam, sontak hilang dan berganti dengan hawa dingin menusuk tulang. hawa ini
terlalu dingin untuk ukuran desa yang letaknya memang berada di kaki gunung.
"Kenapa hawa jadi dingin membeku begini," gumam kepala desa Cluwak Bodas, Ki
Sampar Angin. Tanpa diperintah, seluruh hawa tenaga dalam yang dmilikinya perlahan mengaliri
seluruh tubuh, mendesak hawa dingin yang semakin pekat. Sedikit demi sedikit
hawa dingin membeku dapat ditekan seminimal mungkin. Tindakan Ki Sampar Angin
diikuti semua khalayak yang hadir disitu. Nyi Cendani, Ki Ragil Kuniran dan dua
orang Jagabaya melakukan hal yang sama. Hanya dua orang Jagabaya yang tenaga
dalamnya agak rendah. Tubuh mereka berdua langsung menggigil kedinginan. Gigi
berkerotokan, seluruh tulang rasanya menciut, wajahnya pias memucat.
Nyi Cendani beringsut ke belakang dua Jagabaya, lalu menempelkan dua tapak
tangannya ke punggung dan mengalirkan hawa panas ke dalam tubuh mereka berdua.
Tak berapa lama, dua orang itu sudah bisa mengatasi hawa dingin membeku.
"Terima kasih, Nyi Cendani," ucap salah seorang diantara Jagabaya yang bertubuh
gempal. Nenek dukun bayi itu hanya mengangguk pelan. Mata tuanya memandang burung elang
berbulu putih itu dengan seksama, termasuk juga orang-orang yang ada di
pelataran rumah. Ki Sampar Angin manggut-manggut, sambil mengelus-elus jenggot
kelabunya yang panjang. "Menurutku, mungkin burung itu yang dimaksud dengan 'Penunggang Angin', Adi
Kuniran," kata Ki Sampar Angin tanpa menoleh ke arah Ki Ragil Kuniran yang
berdiri di sampingnya. "Betul Kakang. Aku juga berpikir sama! Aku yakin bahwa yang dimaksud dengan
Penunggang Angin adalah elang putih keperakan itu," sahut Ki Ragil Kuniran.
Tiba-tiba, terdengar sebuah suara tanpa wujud yang menggema di tempat itu. Suara
seorang kakek! "Cucuku, Ragil Kuniran! Sudah tiba saatnya anakmu lahir ke dunia! Aku telah
memilihnya sebagai pewaris Tahta Angin. Sebagai seorang pewaris, maka seluruh
apa yang kumiliki akan menjadi milik anakmu. Aku minta kepadamu, jagalah
pewarisku dengan sebaik-baiknya. Selain kau dan istrimu, Si Perak juga akan
menjaga dan mengasuh anakmu! Dan aku minta, berilah nama anakmu Paksi Jaladara."
Suara itu menggema di seantero tempat itu. Ki ragil kuniran yang selama ini
diliputi dengan rasa penasaran terhadap mimpinya, tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. "Maaf, jika boleh saya tahu, siapa Andika ini sebenarnya" Dan mengapa memilih
anakku sebagai pewaris?" tanya Ki Ragil Kuniran, dengan rasa ingin tahu yang
menyala-nyala. "Ha-ha-ha-ha ... ! Sebenarnya aku malu mengatakan siapa diriku. Baiklah, karena
kau yang meminta, kau boleh menyebutku Si Elang Berjubah Perak! Perkara aku
memilih anakmu sebagai pewaris, hanya Hyang Widhi yang tahu! Biarlah nanti waktu
yang akan menjawabnya! Sudahlah, waktuku tidak banyak! Sebagaimana janjiku
padamu, terimalah 'Telapak Tangan Bangsawan' sebagai rasa terima kasihku.
Selamat tinggal ... !"
Suara tanpa rupa, yang menyebut dirinya Si Elang Berjubah Perak, menghilang.
Seolah tertelan kegelapan malam dan terangnya rembulan. Suasana kembali menjadi
sunyi. Udara kembali normal, tidak dingin membeku seperti sebelumnya.
"Si Elang Berjubah Perak," gumam Nyi Cendani. "Rasa-rasanya aku pernah mendengar
nama tokoh itu dari guruku, tapi siapa dia" Tapi aku yakin, dia adalah tokoh
golongan putih. Ki Ragil, apa kau tahu siapa dia?"
Yang ditanya hanya diam saja. Matanya terpejam dengan kepala tertunduk. Telapak
tangannya menegang kencang terselimuti cahaya tipis kuning keemasan. Semua yang
hadir di situ menjauhi Ki Ragil Kuniran sambil memandang heran.
"Apa ini yang namanya 'Telapak Tangan Bangsawan'?" gumam Nyi Cendani, lirih.
Semua orang juga bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dialami oleh Ki
Ragil Kuniran saat ini"
Dalam pada itu, Ki Ragil Kuniran merasakan hawa panas menyengat menjalar melalui
telapak kakinya. Seolah-olah di bawahnya adalah tungku pembakaran yang panas
membara. Tangan terkepal mengencang keras, dimana cahaya tipis kuning keemasan
semakin lama semakin menebal hingga menjalar sampai pergelangan tangan dan naik
sampai siku. Di dalam daya nalarnya, terngiang sebuah suara yang bernada
memerintah, suara Si Elang Berjubah Perak. Rupanya Si Elang Berrjubah Perak
tidak benar-benar pergi dari tempat itu, dan suaranya cuma Ki Ragil Kuniran saja
yang mendengar! "Cucuku, serap hawa 'Gaib Inti Panas Bumi' itu dan alirkan menuju telapak
tanganmu. Satukan dengan hawa sakti yang ada di pusar. Tarik terus ke atas
hingga semua berkumpul di telapak tanganmu! Bagus, bagus! Ya, seperti itu!"
Ki Ragil Kuniran mengikuti perintah Si Elang Berjubah Perak. Kekuatan gaib 'Inti
Panas Bumi' terus menjalar dari pusar terus ke sekujur tubuh dan akhirnya
mengalir ke telapak tangan, sehingga cahaya kuning keemasan tampak semakin jelas
terlihat. "Bagus! Geser kaki kiri ke belakang dan tarik kedua tangan sampai di samping
pinggang. Sekarang ... hentakkan kaki kanan ke bumi dan dorong kedua telapak
tanganmu ke arah pohon yang ada di depanmu!"
Ki Ragil Kuniran segera saja menggeser kaki kiri ke belakang, kedua tangan di
tarik ke samping pinggang. Lalu didorongkan ke depan dengan mantap, diikuti
dengan hentakan kaki kanan ke bumi.
Wuushh! Srakk! Srakkk ... !!!
Terlihat bayangan sepasang telapak tangan raksasa berwarna kuning keemasan
menebarkan hawa panas membara melesat cepat bagai kilat dan menghantam pohon
yang besarnya sepelukan orang dewasa hingga hancur lebur berkeping-keping. Tanah
yang dilewati bayangan itu seolah diaduk dengan bajak yang ditarik sepuluh ekor
kerbau! Blarrrr ... !! Suara benturan itu mengguncangkan seluruh penjuru desa, guncangan itu begitu
keras, seakan-akan sekitar tempat itu terkena gempa bumi yang dahsyat.
Ki Ragil Kuniran terpana melihat hasil pukulannya, lalu melihat kedua telapak
tangannya berganti-ganti yang masih menyisakan cahaya tipis kuning keemasan.
Beberapa saat kemudian, cahaya kuning keemasan itu lenyap dari tangannya dan
berganti menjadi semacam gambar atau rajah berbentuk telapak tangan berwarna
kuning emas di masing-masing telapak tangan!
Tiba-tiba, telinganya mendengar suara Si Elang Berjubah Perak.
"He-he-he-he! Bagus, cucuku! Nah, jika kau ingin menggunakannya, gosoklah kedua
telapak tanganmu tiga kali untuk menarik hawa 'Gaib Inti Panas Bumi', lalu
alirkan hawa 'Gaib Inti Panas Bumi' ke telapak tanganmu. Satukan dengan hawa
sakti yang ada di pusar. Tarik terus ke atas hingga semua berkumpul di telapak
tanganmu! Kau pun kuijinkan mewariskan ilmu 'Telapak Tangan Bangsawan' pada
anakmu, atau pada siapa saja dengan syarat harus digunakan untuk membela
kebenaran dan keadilan! Nah, cucuku, selamat tinggal!"
Semua khalayak yang hadir memandang takjub.
Tontonan yang mungkin pertama kali mereka saksikan, yang biasanya hanya
mendengar saja tentang kehebatan tokoh-tokoh legendaris rimba persilatan atau
mungkin hanya cerita mambang tentang kesaktian para dewa. Kini, mereka berempat
seolah sebagai saksi tentang munculnya sebuah ilmu pukulan yang dahsyat luar
biasa sekaligus menakutkan, pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan'!
Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani, bergidik ngeri dan membayangkan bagaimana
jadinya jika pukulan maut berbentuk bayangan telapak tangan raksasa itu mengenai
tubuh manusia, pastilah tubuh hancur lebur menjadi bubur daging. Sedangkan dua
Jagabaya sampai gemetar saking kaget dan takut. Tubuh mereka menggigil seperti
orang kedinginan, saat menyaksikan tumpahan ilmu olah kanuragan yang baru
pertama kali mereka lihat. Akhirnya mereka berdua jatuh pingsan karena ketakutan
yang mendera batin. Beberapa saat kemudian, dari atas langit melesat cahaya terang berwarna putih
keperakan. Weessshh! Cahaya putih keperakan itu langsung menabrak burung elang putih keperakan yang
sejak tadi bertengger di atas wuwungan dan melihat setiap kejadian di pelataran
dengan matanya yang merah saga, dibalut bulatan coklat ditengahnya.
Blasssh! Aneh, cahaya itu seakan-akan menembus tubuh elang dan langsung masuk ke dalam
rumah. Tepatnya di bilik, dimana Nyi Salindri dan Mbok Inah berada.
"Istriku!" seru Ki Ragil Kuniran, saat teringat bahwa di dalam bilik itu
istrinya yang hamil tua berada.
Blasss! Tubuh laki-laki berbaju hitam itu berkelebat cepat, diikuti dengan yang lain.
Ada yang lain dari kelebatan laki-laki itu, lebih cepat dan lebih ringan dari
pada biasanya. Namun karena semua diliputi ketegangan yang semakin memuncak,
mereka semua tidak ambil dengan perubahan diri Ki Ragil Kuniran.
Zlapp! Ketika sampai di depan pintu bilik kamar tidurnya, terdengar suara nyaring yang
selama ini sangat dirindukan Ki Ragil Kuniran, suara tangis bayi!
"Ooeeekhh! Ooeeekhh ... !"
Mendengar tangis bayi, Nyi Cendani bergegas masuk ke dalam bilik.
"Laki-laki tidak boleh masuk," katanya dengan suara cempreng, lalu menutup pintu
bilik. Nyi Cendani membalikkan badan, dan saat itu matanya melotot melihat pemandangan
di depannya. Sebuah kejadian ganjil kembali disaksikan untuk kedua kalinya,
sedangkan Mbok Inah berdiri menggigil ketakutan, karena Nyi lurah melahirkan
bayi mungil berjenis kelamin laki-laki!
Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat Mbok Inah ketakutan, bukan karena Nyi
Salindri yang melahirkan tanpa bantuan seorang dukun bayi, tetapi karena
keanehan yang terjadi pada bayi merah itu. Bayi montok berkulit putih bersih itu
ternyata yang sudah bisa duduk, seperti bayi berumur lima enam bulan!
Dan lebih anehnya lagi, tali pusarnya sudah hilang entah kemana dan tidak ada
noda darah sedikitpun di sekujur badannya. Betul-betul keajaiban yang sulit di
nalar dengan akal sehat. Anak Ki Ragil Kuniran memiliki mata bening, sebagaimana
layaknya mata seorang bayi, namun pandangan mata bocah itu sangat tajam seperti
mata orang dewasa atau setidaknya orang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi.
Sedangkan kondisi Nyi Salindri pun bukan seperti wanita yang habis melahirkan,
yang tergolek lemah kehabisan tenaga sehabis melahirkan. Wajah Nyi lurah
berbinar-binar penuh kegembiraan. Kemudian tangan kanannya melambai ke arah sang
anak. "Sini, sayang ... dekat sama Ibu ... "
Bayi montok itu merangkak ke arah ibunya, dan akhirnya sampai di pelukan sang
ibu. Nyi Salindri mencium anaknya dengan gemas.
Nyi Cendani hanya terlongong bengong seperti sapi ompong. Peristiwa yang
dialaminya hari ini, betul-betul mengejutkan. Nyi Cendani mendekati ranjang Nyi
Salindri. "Nyi lurah, bagaimana keadaanmu?" tanya Nyi Cendani.
"Entahlah, Nyi Cendani, aku sendiri juga bingung dengan kejadian yang baru saja
kualami," kata Nyi Salindri masih memeluk bocah itu.
Nyi Cendani hanya manggut-manggut saja. Tiba-tiba saja, daun pintu diketuk dari
luar. Tok! Tok! Tok! "Nyi Cendani, bagaimana keadaan istri dan anakku" Apa baik-baik saja" Tolong
buka pintunya, aku ingin masuk."
Nyi Cendani bergegas membuka pintu, dan tampaklah Ki Ragil Kuniran dengan wajah
harap-harap cemas. Laki-laki itu masuk diiringi Ki Sampar Angin.
"Silahkan masuk, Ki Ragil! Istri dan anakmu tidak apa-apa," kata Nyi Cendani,
sambil menunjuk ke arah Nyi Salindri.
"Nyi, bagaimana kea ... "
Suara Ki Ragil tercekat di tenggorokan melihat pemandangan yang terpampang di
depan mata, melihat istrinya sedang menyusui anaknya yang baru saja lahir ke
dunia. Matanya di kucal-kucal untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan
mimpi. Ki Sampar Angin juga mengkerutkan kening, dengan pandangan tidak percaya.
"Apa benar yang kulihat ini," pikirnya.
Ki Ragil Kuniran menoleh ke arah Nyi Cendani dengan pandangan mata bertanya.
"Jangan tanya aku, Ki! Aku sendiri juga bingung dan heran melihat kelahiran
anakmu! Anak baru saja lahir sudah bisa merangkak. Ini sudah diluar nalarku
sebagai manusia!" kata Nyi Cendani, menjawab pandangan mata laki-laki itu.
Sementara itu, Mbok Inah sudah mulai bisa menenangkan diri. Dirinya tidak
ketakutan seperti sebelumnya. Bibi tua itu segera mendekati majikannya, dengan
takut-takut. "Maaf ... Ki lurah, saya ... saya ... "
"Tidak apa-apa Mbok! Terima kasih simbok telah menjaga istriku dengan baik. Oh
ya ... Mbok, mungkin Mbok Inah bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya,"
tanya Ki Ragil Kuniran. Laki-laki itu duduk di sebelah kiri ranjang dan mulai mengelus-elus kepala
anaknya. Bocah kecil itu hanya menoleh sekilas, sambil tertawa riang memamerkan
mulutnya yang bergigi dua. Ki Ragil Kuniran membalas dengan senyuman.
"Begini Ki Lurah, waktu itu saya dan Nyi Lurah sedang ngobrol. Tiba-tiba
terdengar ledakan keras seperti suara petir yang menggelegar. Entah suara apa
saya tidak tahu. Terus rumah ini seperti dilanda gempa bumi, seperti mau kiamat.
Setelah guncangan itu reda, tiba-tiba melesat cahaya putih dari atas. Cahaya itu
berputar-putar di dalam bilik ini. Lama-kelamaan seperti membentuk bayangan
burung, entah burung apa saya tidak tahu. Lalu bayangan itu melesat masuk ke
dalam perut Nyi lurah yang sedang tiduran di ranjang. Nyi lurah tidak bisa
menghindar karena gerakan cahaya itu cepat sekali. Setelah cahaya itu masuk,
tiba-tiba Nyi lurah merasakan perutnya mules, mungkin karena kemasukan cahaya
itu. Baru saja saya akan menyentuh perutnya, tiba-tiba ... tiba-tiba ... "
"Tiba-tiba apa Mbok?" potong Nyi Cendani dengan cepat.
"Tiba-tiba bayi itu ... keluar sen ... diri, Ki Lurah," ucap Mbok Inah dengan
terbata-bata. "Hahhh!?" kali ini Ki Sampar Angin yang kaget. "Ngomong yang benar, Mbok!"
Mbok Inah sampai terlonjak kaget!
"Be ... benar, Ki Sampar Angin, saya tidak bohong. Tanya saja Nyi lurah, kalau
tidak percaya," kata Mbok Inah, sambil mengelus dada karena dibentak Ki Sampar
Angin. Semua mata memandang ke arah Nyi Salindri. Bayi ajaib itu kini tertidur pulas di
pelukan ibunya setelah kenyang.
"Betul kata Mbok Inah," sahut Nyi Salindri, pendek. "Mbok, lebih baik simbok
istirahat saja di kamar."
"Tapi, Nyi ... "
"Nggak apa-apa, saya sudah baikan," kata Nyi Salindri dengan halus.
Mbok Inah hanya mengangguk pelan, lalu keluar dari bilik Nyi Salindri.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran masih mengelus-elus kepala anaknya dengan rasa
sayang sebagai seorang ayah. Kepalanya manggut-manggut mendengar cerita Mbok
Inah. "Persis dengan apa yang kulihat dalam mimpiku," pikirnya.
Memang Ki Ragil Kuniran sengaja tidak menceritakan mimpinya secara lengkap,
takut jika mimpi itu hanya kembang tidur saja atau malah takut perkataan
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dianggap cerita bohong. Sekarang mimpi itu telah menjadi sebuah kenyataan yang
memang harus diterimanya dengan ikhlas.
Kini lengkap sudah kebahagiaan yang selama ini diimpikan. Meski kebahagiaan itu
diikuti dengan beban berat yang belum terjawab dengan kelahiran anak laki-
lakinya itu. Tiba-tiba tangan yang mengelus itu menyentuh sesuatu yang aneh di
bagian dahi. "Apa ini?" Ki Ragil Kuniran menyibak rambut anaknya dengan pelan, supaya bocah itu tidak
terjaga dari tidurnya. Matanya yang tajam mengamati sebentuk gambar yang tertera
di dahi anaknya. "Rajah kepala elang," gumamnya.
Nyi Cendani dan Ki Sampar Angin beranjak dari tempatnya semula, mendekati Ki
Ragil Kuniran dari sisi kiri. Nyi Salindri juga melihat gambar yang diraba oleh
suaminya. "Ada apa, Adi?" tanya Ki Sampar Angin.
"Coba Kakang Sampar Angin lihat, apa ini benar rajah bergambar kepala elang atau
tanda lahir anakku?" kata Ki Ragil Kuniran.
Nyi Cendani dan Ki Sampar Angin mengamati gambar itu dengan seksama.
"Itu rajah, bukan tanda lahir," kata Nyi Cendani dengan yakin.
"Apa Nyi Cendani yakin?"
"Yakin sekali! Kalau tanda lahir biasanya berwarna hijau keabu-abuan atau
coklat, sedangkan yang dimiliki anakmu berwarna putih. Itu hal yang tidak lazim
sebagai tanda lahir. Dan saya yakin bahwa tanda itu memilki arti tertentu,"
terang Nyi Cendani. Semua khalayak mengangguk-anggukkan kepala.
Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, dan duduk di kursi yang ada di pendapa,
sedangkan Nyi Salindri sudah memeluk anaknya dengan kasih sayang seorang ibu.
"Hemmm, pusing kepalaku," desah Ki Sampar Angin, sambil meletakkan pantatnya di
kursi. Laki-laki parobaya yang usianya sepantaran dengan Ki Ragil Kuniran itu
melepas blangkon, kemudian mengusap-usap kepalanya untuk mengurangi rasa pening.
"Pusing kenapa, Ki Sampar Angin"' tanya dukun bayi itu, heran.
"Bagaimana tidak pusing, semua kejadian malam ini sungguh di luar dugaanku! Luar
biasa! Saat aku diberitahu Gineng bahwa istri sahabatku ini mau melahirkan, aku
tidak berpikir bahwa peristiwanya akan menjadi seperti ini. Munculnya suara gaib
si Elang Berjubah Perak, lalu Adi Ragil yang kinayungan pukulan 'Telapak Tangan
Bangsawan', sampai cerita si kecil keluar sendiri dari rahim ibunya. Lalu rajah
putih berbentuk kepala elang di dahi. Semua itu tidak bisa diterima oleh otakku
yang sudah karatan ini," cerocos Ki Sampar Angin, sambil geleng-geleng kepala.
"Hi-hi-hi-hik, kau kira hanya kau yang pusing! Aku pun juga mumet! Masa' bayi
yang seharusnya kutangani kelahirannya, malah keluar dengan sendirinya," ucap
Nyi Cendani dengan terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha-ha!" Tawa Ki Ragil Kuniran dan Ki Sampar Angin hampir bersamaan.
"Yahhh, memang begitulah kalau Yang Di Atas sudah berkehendak, kita sebagai
manusia hanya bisa menerima saja, bukankah begitu, Kang?" ucap Ki Ragil Kuniran
menimpali. "Betul ... betul sekali, Adi! Aku setuju dengan pendapatmu!"
Nyi Salindri berjalan mendekat tiga orang yang sedang ngobrol sambil menggendong
bayinya, lalu duduk di sebelah suaminya. Ki Ragil Kuniran menggeser duduknya ke
kanan. Nyi Salindri mengulurkan tangan yang menggendong bayi ke arah suaminya.
Ki Ragil Kuniran menerima lalu menimang-nimang bocah yang lahir dengan segudang
keanehan itu. "Tapi, ngomong-ngomong, anak laki-lakimu ini kau beri nama siapa, Kakang?" tanya
Nyi Salindri, setelah duduk di samping suaminya.
Ki Ragil Kuniran menoleh ke arah istrinya, lalu menoleh pada Ki Sampar Angin dan
Nyi Cendani. Kedua orang itu hanya mengangguk saja.
"Nyi Cendani dan Kakang Sampar Angin, biarlah kalian berdua sebagai saksinya.
Mulai hari ini, saat ini juga, anakku ini aku beri nama ... Paksi Jaladara!"
kata Ki Ragil Kuniran. Sekejab setelah kata-kata Ki Ragil Kuniran selesai, dari dahi bayi mungil yang
kini bernama Paksi Jaladara itu memancarkan cahaya putih terang keperakan,
seperti pertanda bahwa dirinya menerima nama yang kini disandangnya.
Paksi Jaladara! Yang melihat hanya berdecak kagum melihat keanehan pada diri putra Ki Ragil
Kuniran. Bersamaan itu pula, elang putih keperakan yang sedari tadi bertengger
di atas wuwungan, terbang berputaran di atas rumah dengan suara melengking
nyaring. Aawwwkkk! Aawwwkkk! Semua khalayak yang ada disitu hanya memandang burung elang yang berputaran itu.
"Elang siapa itu, kakang?" tanya Nyi Salindri, heran. " ... setahuku, di desa
kita tidak ada burung elang, sarangnya pun juga tidak ada."
"Oooh ... itu miliknya Paksi, anakmu," sahutnya Ki Ragil Kuniran, pendek.
Tangannya masih menimang-nimang Paksi Jaladara dengan pelan, sementara bocah
mungil itu tertidur lelap dalam buaian sang ayah. Dahi Paksi Jaladara sudah
tidak lagi memancarkan cahaya terang. Bocah itu tertidur pulas ditimang-timang
oleh ayahnya. "Milik Paksi?" "Iya ... milik Paksi!"
"Kok bisa" Kapan kakang memeliharanya?"
Kemudian, Ki Ragil Kuniran menceritakan seluruh rentetan peristiwa yang terjadi
hari ini, dari awal pertarungannya dengan ular hijau lumut sampai terjadinya
guncangan hebat akibat pukulan yang dilontarkannya, yang diterimanya langsung
dari si Elang Berjubah Perak secara gaib. Bahkan sampai mimpi yang dialaminya,
semua diceritakan dengan lengkap, tidak ada yang tercecer sedikitpun. Sebagian
mimpi yang pernah didengar Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani, dilengkapi oleh Ki
Ragil Kuniran sampai sedetail-detailnya. Semua yang mendengar uraian mengangguk-
angguk pelan. Sekarang pahamlah mereka tentang segala rentetan peristiwa yang
terjadi. "Bukan main, aku yakin putramu kelak akan menjadi seorang tokoh besar, Adi."
ucap Ki Sampar Angin, sembari menoleh pada Paksi Jaladara yang kini tertidur.
"Dengan patokan serentetan kejadian yang kalian alami, aku bisa menyimpulkan
bahwa anakmu mengemban tugas khusus. Tugas yang mulia. Entah tugas seperti apa
yang dibebankan pada Paksi Jaladara oleh kakek berjubah yang mengaku si Elang
Berjubah Perak itu."
Semua khalayak tercenung mendengar uraian Ki Sampar Angin, orang nomor satu dari
desa Cluwak Bodas. Memang laki-laki yang selalu memakai blangkon itu patut
diacungi jempol, otak encernya dalam menganalisa setiap masalah, selalu
memberikan pikiran atau ide-ide cemerlang dan sukar dibantah kebenarannya.
"Kakang Ragil, bagaimana kalau kita bertanya pada ayah atau Kakang Jalu" Mungkin
beliau tahu siapa adanya si Elang Berjubah Perak itu," usul Nyi Salindri,
menimpali. "Iya ... betul! Kenapa aku sampai lupa pada ayah"!" seru Ki Ragil Kuniran sambil
menepak jidat dengan keras.
"Iya ... ya, kenapa kita tidak berpikir ke sana! Mungkin Ki Ageng Singaranu
mengetahui siapa tokoh misterius yang bernama si Elang Berjubah Perak itu," kata
Nyi Cendani manggut-manggut.
"Baiklah, aku akan bertanya pada ayah," kata Ki Ragil Kuniran, memutuskan.
"Kira-kira kapan kakang akan berangkat"'
"Yahhh ... mungkin kalau umur Paksi sudah cukup, sekalian saja diajak. Hitung-
hitung ... biar Paksi tahu kakeknya," kata Ki Ragil Kuniran sambil menimang-
nimang anaknya itu. Paksi Jaladara menggeliat lucu. Tangannya diangkat tinggi-tinggi sambil menguap.
Semua mata memandang bocah ajaib ini dengan pandangan penuh misteri. Pandangan
yang menorehkan harapan besar pada bocah yang memiliki rajah kepala elang!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat
Lima tahun kemudian ... Seorang bocah berusia lima tahun lebih sedang bermain-main di pelataran yang
cukup luas dan asri, karena banyak pepohonan tumbuh dengan subur. Bocah itu
memakai ikat kepala merah dengan baju dan celana biru muda yang diikat sehelai
sabuk kain yang juga berwarna merah. Wajahnya yang bersih tampak kemerah-merahan
tertimpa sinar matahari pagi. Meski masih bocah, namun tampak gurat ketampanan
yang tersirat di wajahnya. Mata bening kecoklatan dengan alis menukik seperti
sayap elang. Bibir mungilnya selalu tersenyum-senyum riang. Badan dan tulangnya
kokoh dengan kulit putih bersih. Kaki-kakinya yang kecil pendek melompat-lompat
mengejar burung putih keperakan yang terbang rendah. Burung itu hanya terbang
berputaran di sekitar halaman itu, dialah kawan main si bocah berikat kepala
merah. Tangannya berusaha menangkap burung itu, sambil tertawa-tawa riang.
"Ha-ha-ha-ha, Perak! Sini ... sini ... kutangkap kau ... "
Sabuk merahnya berkibaran saat melompat ke atas. Walau pun lompatannya tidak
terlalu tinggi, nampak bahwa itu bukan lompatan seorang bocah biasa, tapi bocah
yang sudah terbiasa dengan ilmu silat atau setidaknya terlatih menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Burung putih keperakan yang tak lain adalah burung elang, yang dulu pernah bertarung dengan ular hijau
lumut lima tahun silam. Sedangkan bocah kecil berikat kepala merah itu tak lain
adalah Paksi Jaladara. Gerakan Paksi Jaladara kadang melompat, menyambar bahkan
menubruk Si Perak yang selalu bisa berkelit setiap kali Paksi berusaha
menangkapnya. Aaawwwkk! Si perak berteriak nyaring, memberi semangat pada Paksi Jaladara.
"Wah, kamu susah sekali ditangkap," ucapnya sambil tersenyum-senyum.
Kali ini gerakan bocah kecil itu sedikit lebih cepat dari sebelumnya, bahkan
kini meniru-niru gerakan Si Perak, sehingga nampak Paksi seolah-olah sedang
berlatih silat dengan meniru gerakan elang!
Jika elang itu bergerak ke kiri dengan sayap dimiringkan, Paksi mengikuti dengan
memutar badan ke kiri dengan tangan kiri melambai seperti sayap elang. Gerakan
elang perak semakin lama semakin cepat, dan Paksi pun semakin lama semakin cepat
pula menggerakan tangan dan kakinya, hingga Si Perak melenting tinggi seperti
bersalto dan hinggap di atas palang kayu tempat mengikatkan kuda.
Awwwkkk! "Hoi ... kok berhenti" Main lagi dong!" seru Paksi Jaladara, sambil mengikuti
gerakan melenting dan berdiri diatas palang kayu!
Tap! Awwkkk! Awwkkk! Elang putih keperakan itu berteriak serak sambil menggeleng-gelengkan kepala ke
kiri dan kenan, sembari mengepakkan sayap.
"Oh ... kau ingin aku mengulangi gerakanku tadi?" tanya bocah kecil itu.
Putra tunggal Ki Ragil Kuniran itu jongkok sambil mengelus-elus kepala Si Perak.
Elang putih keperakan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sungguh aneh,
kalau bocah sekecil itu sudah bisa paham bahasa isyarat, apalagi bahasa satwa
pemakan daging itu. Si Perak menggerakkan sayap kanan berkali-kali, menyuruh
Paksi mengulangi gerakan yang ditirunya.
"Baiklah," ucap Paksi.
Paksi Jaladara melenting ke atas sambil berjungkir balik tiga kali. Saat
menyentuh tanah, tubuhnya sudah bergerak cepat ke kiri dan ke kanan, dengan kaki
bergeser menyamping. Bocah cerdas itu terus menggerakkan tubuh meliuk-liuk.
Kedua tangan bergerak gemulai bagai sayap elang, kadang lembut kadang keras,
sedangkan kakinya menendang-nendang udara kosong. Kedua tangan kadang membentuk
cakar, mencengkeram dengan kokoh. Sepenanakan nasi kemudian, Paksi telah selesai
mengulang semua gerakan Si Perak dengan tuntas. Napasnya keluar dengan teratur,
tidak terengah-engah seperti layaknya orang yang berlatih silat. Tubuhnya lalu
melenting tinggi dan kembali berdiri tegak di atas palang kayu!
"Perak, bagaimana" Sudah betul belum?" tanya bocah itu sambil berjongkok dengan
satu kali. Kerrkk! Kerrk! "Oh ... begitu! Jadi gerakan kakiku kurang cepat ya" Tenagaku juga perlu
ditambah" Baiklah, kulangi sekali lagi!" ucap Paksi Jaladara.
"Heaaa ... " Diiringi teriakan keras, tubuh Paksi melenting tinggi, lebih tinggi dari
sebelumnya, lalu berjungkir balik beberapa kali. Gerakannya persis seperti
sebelumnya, hanya kali ini lebih cepat dan lebih bertenaga. Setiap tendangan,
sampokan tangan dan cakaran menimbulkan desiran angin tajam. Di pelataran rumah
yang cukup luas itu seperti dilanda angin ribut kecil, karena gerakan Paksi
dilambari dengan kekuatan tak kasat mata yang keluar tanpa disadari oleh bocah
itu. "Heyyaaa ... " Saat akan mengakhiri gerakannya, Paksi melenting tinggi ke atas, berbalik
membelakangi sambil kaki kiri dijulurkan dengan hentakan keras.
Wessshh! Dharr! Terdengar ledakan kecil saat kaki pendek itu menghantam tanah, sehingga yang
membentuk cekungan sedalam seperempat tombak dalamnya. Lalu tubuh kecil itu
melenting ke atas dan berdiri tegak di atas palang kayu, tempat dimana Si Perak
bertengger! Paksi Jaladara tertegun melihat cekungan dalam di tanah akibat tendangannya
tadi. "Wah ... bisa seperti itu ya?" gumamnya.
Awwkk! Kwwaak! Burung elang berteriak nyaring sambil mengepak-ngepakkan kedua sayapnya.
"Gerakanku sudah betul" Tapi tenaganya perlu ditambah lagi"!" jawab si bocah
sambil manggut-manggut. Paksi tidak tahu, bahwa gerakan yang dikiranya main-main dan hanya meniru
gerakan Si Perak adalah salah satu rangkaian ilmu silat yang dinamakan jurus
'Kelebat Ekor Elang', sebuah jurus yang mengandalkan gabungan kecepatan serangan
dan ilmu meringankan tubuh. Setiap serangan kaki yang dilambari dengan hawa
tenaga dalam yang tinggi bisa menghancurkan tebing. Belum lagi dengan desiran
angin tajam yang timbul akibat kecepatan serangan yang menggesek udara kosong
bisa merobek kulit. Semua kejadian itu tidak lepas dari pandangan mata seorang laki-laki yang sejak
tadi mengamati si bocah tampan dari teras rumah. Laki-laki dengan kumis tipis
menghias bibir, berbaju hitam lengan panjang dengan celana putih diikat dengan
sabuk kain warna hijau. Dialah Ki Ragil Kuniran, kepala desa Watu Belah!
"Bukan main! Anak yang cerdas! Hanya dengan sekali lihat, bisa menyerap gerakan
elang dan hapal di luar kepala. Tanpa seorang guru pun dia bisa belajar ilmu
silat, bahkan sudah paham ilmu ringan tubuh dan mencerna hawa tenaga dalam.
Untuk bocah seukuran dia, Paksi cukup hebat. Untunglah jiwanya bukan jiwa
perusak. Semoga saja kelak dia menjadi orang berguna, seperti yang dikatakan si
Elang Berjubah Perak dulu," pikir Ki Ragil Kuniran.
Kemudian, laki-laki berbaju hitam lengan panjang itu mengambil sebuah buntalan
kain kuning dan berjalan ke halaman depan, melewati palang kayu dimana Paksi dan
elang kesayangan 'sedang ngobrol', sebab memang dialah seorang yang paham bahasa
Si Perak. Di sana telah menanti kereta kuda dengan dua ekor kuda penariknya,
memasukkan buntalan kain kuning ke dalam kereta kuda.
Beberapa saat kemudian, keluar seorang wanita berparas cantik mengenakan pakaian
ringkas merah muda, seperti pakaian seorang pesilat. Dibelakangnya, mengiringi
seorang pemuda remaja berkulit sawo matang dengan baju buntung warna coklat
dengan celana pangsi berwarna putih sambil menenteng buntalan yang cukup besar,
lalu buntalan itu dimasukkan di belakang kereta kuda. Di pinggang sebelah kiri
terselip sebilah pisau panjang dengan sarung dari kayu dewandaru.
Yang paling belakang, seorang perempuan tua dengan kemben lurik berjalan dengan
santai, karena tidak membawa barang sedikit pun, juga menuju ke arah kereta
kuda. "Simbok benar tidak mau ikut?" tanya Ki Ragil Kuniran pada perempuan tua itu.
"Benar Ki Lurah! Biar saya saja yang menunggu di rumah. Saya cuma titip si
Gineng ini," kata perempuan tua, yang tak lain Mbok Inah.
Pemuda remaja berusia lima belas tahun berbaju buntung coklat itu tak lain
adalah Gineng, telah menjadi seorang pemuda berbadan tinggi besar dan kekar.
"Ya sudah! Biar Gineng ikut kami. Hitung-hitung cari pengalaman di luar. Siapa
tahu, waktu pulang malah bawa mantu buat simbok," kata wanita berpakaian ringkas
merah muda, yang tak lain Nyi Salindri.
"Nyi lurah ada-ada saja," jawab Gineng, pendek.
"Ha-ha-ha-ha! Betul, Nyi ... betul! Bukankah di padepokan ayah juga banyak
murid-murid gadisnya yang cantik-cantik" Atau malah si Gineng ini sudah kecantol
sama Sariti, putrinya Kakang Sampar Angin?" seloroh Ki Ragil Kuniran.
Gineng semakin tersipu malu.
"Ha-ha-ha-ha ... !"
Semuanya tertawa melihat tingkah polah pemuda itu yang kikuk. Nyi Salindri
segera naik ke dalam kereta kuda diikuti dengan Ki Ragil Kuniran. Sedangkan
Gineng mendekati simboknya, lalu meraih tangan dan mencium tangan Mbok Inah
dengan takzim.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gineng, hati-hati di jalan, yo le! Jaga bendoromu dengan baik," ucap Mbok Inah.
"Inggih, Mbok."
Gineng balik badan dan berjalan ke arah bagian depan, lalu dengan sigap duduk di
depan bangku pendek, meraih tali kekang kuda, karena dia ditugasi kusir kereta.
Ki Ragil Kuniran melongok keluar lewat jendela, lalu berkata, "Paksi, kamu ikut
ke rumah kakek tidak?"
"Ayah, Paksi ikut ke rumah kakek! Si Perak boleh diajak?"
"Ajak saja, biar tidak kesepian kalau ditinggal di rumah!" ucap Nyi Salindri.
"Ayo, Perak! Ikut ke rumah kakek," kata Paksi Jaladara.
Wutt!! Bocah berikat kepala merah itu melenting ke atas sambil jungkir balik ke arah
kereta. "Paksi! Awaass!"
Nyi Salindri berteriak kaget melihat gerakan jungkir balik itu, sedangkan
suaminya hanya tenang-tenang saja melihat gerakan Paksi.
"Tenang saja, Nyi! Tidak apa-apa!" kata laki-laki itu sambil menenangkan
istrinya. Hampir saja istrinya berlari menyongsong Paksi, jika saja tangannya tidak
dipegangi oleh suaminya. Jleg! Setelah melayang beberapa saat di udara dengan tangan terkembang, kaki kiri
Paksi terlebih dulu menyentuh bangku kosong di dekat Gineng, sedangkan Si Perak
sudah terbang berputar-putar di atas kereta kuda, sambil berteriak nyaring.
Aawwwkk! "Ilmu ringan tubuh yang bagus," pikir Gineng, saat melirik majikan kecilnya
duduk di bangku sebelah kirinya.
"Ayah, Paksi di depan saja, menemani Kakang Gineng," kata Paksi sambil melongok
ke dalam kereta. Saat melongok tadi, ibunya melotot besar. Yang dipelototi hanya tersenyum-senyum
sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Boleh! Gineng, jalankan kereta!"
"Baik, Ki!" Gineng segera menghela kereta kuda.
"Heeaaa! Heeeaaa ... "
Kereta kuda melaju dengan kencang, bagai anak panah lepas dari busurnya,
meninggalkan rumah kediaman Ki Ragil Kuniran. Kuda dihela dengan tenang dan
pelan, namun sudah melaju dengan kencang.
Sementara itu di dalam kereta, Nyi Salindri masih kaget saat menyaksikan Paksi
jungkir balik di udara. Wanita cantik itu lalu menoleh ke arah suaminya dengan
pandangan bertanya. "Bukan aku yang mengajarinya," jawab Ki Ragil Kuniran, dengan kepala menggeleng-
geleng, seolah sudah tahu pertanyaan lewat pandangan mata itu.
"Lalu siapa?" "Si Perak!" "Si Perak" Mana mungkin seekor burung bisa mengajari ilmu silat pada anak
manusia, masih bocah lagi. Kakang Ragil jangan bohong!"
"Siapa yang bohong?"
Ki Ragil Kuniran menceritakan apa yang dilihatnya pagi tadi, saat Paksi Jaladara
bermain dengan elang kesayangannya, semua diceritakan kepada istrinya dengan
panjang lebar. "Aku yakin, Si Perak pasti mengajari sesuatu pada Paksi tanpa sepengetahuan kita
berdua ... " kata Ki Ragil Kuniran. " ... apalagi dengan adanya tanda lahir di
kening berbentuk rajah kepala elang putih dan proses kelahirannya yang aneh itu,
aku yakin anak itu memiliki keistimewaan terpendam yang lain, yang belum kita
ketahui. Sementara ini yang kita tahu secara pasti adalah bahwa Paksi bisa
bercakap-cakap dengan segala macam bangsa burung."
Nyi Salindri mengangguk-anggukkan kepala.
Sedang bocah yang dibicarakan kedua orang tuanya, sedang asyik ngobrol ngalor
ngidul dengan Gineng, yang berada di depan sebagai kusir. Bocah berikat kepala
merah berbaju biru yang selalu riang dan tertawa-tawa, seperti layaknya bocah
pada umumnya. "Gerakan Den Paksi tadi hebat, lho ... "
"Masak cuma jungkir balik saja sudah hebat" Pasti lebih hebat Kakang Gineng,
karena Kakang diajari langsung sama Ayah. Sedangkan aku hanya meniru gerakan Si
Perak saja," ucap bocah itu sambil memperhatikan cara Gineng mengendalikan
kereta. "Oh ... begitu! Lalu sama Si Perak, Den Paksi meniru gerakan apa saja" Yang
paling hebat aja dech ... " tanya Gineng, ingin tahu lebih dalam.
Bocah itu terdiam beberapa saat, menimbang-nimbang jawaban yang ingin diberikan.
"Emmm, tapi jangan bilang sama ayah, ya" Janji?" kata si bocah sambil mengajukan
jari manis sebelah kanan ke atas. Seperti orang mau janjian saja.
Gineng hanya tertawa saja, lalu mengajukan jari manis kirinya, terus kedua jari
berbeda ukuran itu saling bertaut, sambil berkata, "Aku berjanji sama Den
Paksi." Kemudian Paksi beringsut mendekati telinga kiri Gineng, dan membisikkan sesuatu.
Gineng hanya mengkerutkan alis, lalu Paksi kembali duduk ke bangku kembali.
"Den Paksi tidak berbohong?" tanya Gineng, seolah tidak yakin dengan apa yang
baru saja didengarnya. Paksi hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Yakin bisa melakukannya?" ulang Gineng bertanya.
Paksi menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Ha ... ha ... heh ... "
Gineng tertawa lebar sambil memandang majikan muda untuk mencari kepastian. Di
mata bocah itu, yang terlihat sebuah kepastian bahwa dirinya bisa melakukan hal
itu. "Bisa terbang" Mana ada manusia yang bisa terbang" Punya sayap pun tidak," kata
hatinya dengan ragu. "Tapi, kalau melihat tatapan matanya, Den Paksi tidak
berbohong. Ahhh ... entahlah. Namanya juga bocah, pasti khayalannya kemana-
mana." Kereta kuda melaju dengan kencang ke arah matahari terbit, sementara elang putih
keperakan mengikuti laju kereta dari atas. Setelah melewati dua bukit yang
dipisah oleh aliran sungai yang cukup lebar, mereka beristirahat sejenak untuk
melepaskan lelah. Gineng melepaskan kuda dari kereta, dan membiarkan kuda itu
merumput di tepi sungai. Nyi Salindri membuka perbekalan, sedangkan Paksi ngobrol dengan ayahnya dan juga
Gineng. Sementara Si Perak, elang putih keperakan itu bertengger di atas sebuah
batu, sambil menikmati daging asap yang diberikan Nyi Salndri. Mereka berlima,
termasuk Si Perak, makan minum dengan nikmat. Ki Ragil Kuniran dan Nyi Salindri
sangat senang melihat kerukunan antara Paksi Jaladara dengan Si Perak dan juga
Gineng, yang oleh suami-istri itu sudah dianggap sebagai anak sendiri!
Setelah cukup beristirahat, dan kuda-kuda itu kenyang merumput, perjalanan
dilanjutkan kembali. Perjalanan mereka tidak banyak mengalami hambatan, bisa
dikatakan berjalan mulus. Saat memasuki padukuhan Selo Gilang, hari sudah
menjelang malam. Ki Ragil Kuniran mencari sebuah penginapan dan mereka berlima
menginap di padukuhan Selo Gilang.
Keesokan harinya, setelah mandi sehingga badan segar dan mengisi perut,
rombongan keluarga kecil itu melanjutkan perjalanan ke Padepokan Singa Lodaya
yang berada di kaki Gunung Singa Putih, yang jaraknya tinggal beberapa ratus
tombak saja dari padukuhan Selo Gilang. Memang, pada awalnya Nyi Salindri ingin
langsung saja menuju ke padepokan, tapi Ki Ragil Kuniran menyarankan bahwa tidak
baik bertamu terlalu malam. Akhirnya Nyi Salindri hanya pasrah saja dengan
keputusan suaminya. Padepokan Singa Lodaya, adalah sebuah perguruan ilmu joyo kawijayan guno
kasantikan (olah kanuragan) yang dipimpin oleh Ki Ageng Singaranu, seorang tokoh
sakti yang pada masa itu jarang memiliki tandingan. Seorang dedengkot golongan
putih yang usianya mendekati sembilan puluh tahun, seluruh rambut di kepala dan
jenggot sebagaian besar sudah memutih. Kakek itu gemar sekali mengenakan baju
abu-abu dipadu dengan celana biru tua.
Sepak terjangnya di rimba persilatan dalam memerangi kebatilan dan membela
kebenaran benar-benar menggegerkan. Kawan maupun lawan segan padanya. Ilmu Silat
'Singa Gunung' itulah yang membuatnya dijuluki sebagai Dewa Singa Tangan Maut.
Belum lagi dengan ilmu kebal ajian 'Kulit Singa' dan pukulan 'Telapak Singa
Murka' yang pernah menggegerkan rimba persilatan puluhan tahun yang silam.
Bahkan seluruh murid-murid Ki Ageng Singaranu diharuskan bisa menguasai ilmu
kebal ajian 'Kulit Singa' sebagai tahap awal, karena ilmu kebal ini merupakan
dasar-dasar dalam mempelajari Ilmu Silat 'Singa Gunung'. Bisa dikatakan bahwa
seluruh murid Padepokan Singa Lodaya memiliki ilmu kebal, meski pun berbeda
tingkatannya antara satu murid dengan murid yang lain. Semakin tinggi kekuatan
tenaga dalam yang dikuasai, maka semakin hebat pula ilmu kebal yang dimiliki.
Ki Ageng Singaranu memiliki dua orang anak, yaitu Jalu Lampang dan Salindri.
Jalu Lampang sendiri lebih suka berkelana di rimba persilatan daripada berdiam
diri di Padepokan Singa Lodaya. Sedangkan Salindri, setelah menikah dengan
pendekar muda yang bernama Ragil Kuniran, diboyong oleh suaminya ke desa
asalnya, Desa Watu Belah. Jarak antara Desa Watu Belah dengan Padepokan Singa
Lodaya dapat ditempuh dengan kereta kuda selama sehari semalam.
Kereta kuda yang dikusiri oleh Gineng dengan ditemani putra majikannya, Paksi
Jaladara, memasuki pintu gerbang padepokan. Diatas pintu tertulis sebuah papan
besar berwarna hitam dengan tulisan putih : PADEPOKAN SINGA LODAYA. Di kiri
kanan pintu gerbang, terdapat dua patung singa raksasa dari batu hitam dengan
posisi siap menyerang. Dua orang murid penjaga bergegas berdiri saat melihat sebuah kereta kuda yang
cukup mewah mendekat. "Hooopppss!" Gineng menarik tali kekang kuda dengan sentakan ringan. Meski kelihatan ringan,
tenaga tarikan itu sudah cukup membuat kaki kuda terangkat ke atas, dan berhenti
tepat di depan pintu gerbang.
Seorang dari penjaga berbaju hitam-hitam menghampiri Gineng. Di dada kirinya
tersulam gambar kepala singa mengaum. Wajahnya kelihatan dibuat sangar dengan
cambang melintang. Di pinggang terselip sebilah golok berwarna hitam legam.
"Maaf kisanak, boleh saya tahu kisanak hendak kemana" Dan siapa kisanak ini?"
tanya si cambang, dengan suara sedikit serak.
Tangan kirinya mengelus-elus golok, sedang kawannya yang bertubuh gempal
memegang tombak, hanya melirik-lirik dengan waspada seperti mata maling. Matanya
yang tajam memandang Gineng dan Paksi bergantian. Menyelidik.
Gineng tidak menjawab, malah balik bertanya, "Apakah ini Padepokan Singa
Lodaya?" "Betul! Kisanak ada perlu apa?" ulang si cambang, dengan nada meninggi. Agak
meradang juga saat pertanyaannya tidak digubris, malah yang ditanya balik
bertanya. Gineng menggangguk-anggukkan kepala.
Pemuda remaja itu melongok ke dalam kereta, sambil berkata, "Bagaimana Nyi" Kita
sudah sampai, apa mau turun disini?"
Yang di tanya hanya menggangguk, lalu berkata, "Kita turun disini saja."
Nyi Salindri keluar dari kereta diikuti dengan suaminya, Ki Ragil Kuniran.
Pasangan suami-istri itu melangkah berdampingan. Melihat Nyi Salindri dan Ki
Ragil Kuniran, dengan tergopoh-gopoh kedua penjaga itu mendekat dan menyambut
dengan wajah dan suara berbeda saat berbicara dengan Gineng. Lebih halus dan
lebih sopan. "Oh ... maaf ... maaf ... rupanya Den Ayu Salindri dan Den Ragil yang datang.
Saya kira siapa?" kata si cambang dan si gempal sambil membungkukkan badan.
"Huh, dasar manusia bermuka kada?," pikir Gineng.
"Apa Ayah ada?" tanya Nyi Salindri, pelan.
"Ada ... ada ... silahkan masuk ... Den Jalu juga ada."
"Kakang Jalu juga disini?" timpal Ki Ragil Kuniran.
"Betul, Den! Den Jalu sudah berada di padepokan satu purnama lebih," sahut si
gempal yang membawa tombak.
Wajah pasangan suami-istri itu cerah, keduanya saling pandang sambil mengangguk
pelan. "Mungkin Kakang Jalu sudah bosan berkelana, kakang," kata Nyi Salindri.
Ki Ragil Kuniran hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa.
"Gineng, masukkan kereta, letakkan saja di istal, itu ... samping kiri gerbang
ini!" kata Ki Ragil Kuniran, setelah menepuk-nepuk pundak penjaga berbaju hitam
itu. "Baik, Ki!" Kemudian pasangan suami-istri itu bergegas masuk melewati pintu gerbang. Si
gempal berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, sedangkan si cambang membuka
pintu gerbang lebih lebar, untuk memberi jalan Gineng memasukkan kereta. Paksi
Jaladara membantu Gineng memasukkan kereta kuda ke istal kuda yang terletak sisi
kiri pintu gerbang, sedangkan Si Perak yang sedari tadi terbang rendah kini
hinggap di atas wuwungan yang ada di atas pintu gerbang, tepat di atas papan
nama padepokan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, mereka berdua menyusul masuk ke dalam. Paksi
berjalan sambil melambaikan tangan ke arah elang kesayangannya. Elang itu segera
melesat terbang ke arah Paksi dan langsung menerobos masuk ke dalam dan hinggap
di palang kayu yang ada di pendapa padepokan.
Mereka melewati tanah lapang yang luas dan asri, tempat di mana biasanya para
murid padepokan berlatih silat. Sedangkan di kiri kanan terdapat pondok-pondok
kecil, tempat tinggal murid Padepokan Singa Lodaya. Di bagian ujung tanah lapang
itu ditanami dengan sayur-mayur dan buah-buahan. Beberapa orang murid yang
sedang berkebun dan mencangkul tanah, menghentikan pekerjaannya sementara, di
saat melihat si gempal mengiring masuk pasangan suami-istri dan dua orang laki-
laki beda usia. Seorang kakek berbaju abu-abu menyambut di depan pintu sambil tertawa lebar,
diikuti seorang laki-laki kekar bertubuh tinggi menjulai yang juga tersenyum
ramah. Laki-laki itu mengenakan sepasang gelang akar bahar yang melingkar di
kedua pergelangan tangan. Matanya tajam mencorong seperti mata kucing dalam
gelap. Baju buntung tanpa lengan berwarna putih itu sangat kontras dengan
kulitnya yang sawo matang dipadu dengan celana putih komprang yang diikat dengan
sabuk putih pula. "Ayah!" "Ha-ha-ha-ha! Rupanya kalian yang datang! Pantas saja burung prenjak sejak tadi
berkicau terus tanpa henti! Ada tamu istimewa rupanya," kata si kakek yang
ternyata Ki Ageng Singaranu, ayah kandung Nyi Salindri.
Seperti gadis kecil saja, Nyi Salindri berlari-lari kecil dan langsung memeluk
ayahnya dengan suka cita. Rasa rindu dan kangen tumplek-blek menjadi satu. Sang
ayah memeluk putrinya yang sudah lama tidak dijumpai dengan wajah cerah, secerah
matahari yang bersinar di pagi itu.
Jalu Lampang membiarkan adik dan ayahnya saling berpelukan melepas rindu, lalu
menghampiri adik iparnya dan saling berjabat tangan erat.
"Bagaimana kabarnya, Dimas Ragil" Baik-baik saja!?" ucap Jalu Lampang.
"Kami sekeluarga baik-baik saja, bagaimana dengan kakang sendiri" Sehat-sehat,
bukan?" "Ha-ha-ha-ha, seperti yang kau lihat ... !"
"Saya dengar kabar slentingan dari jauh kalau kakang Jalu sudah beristri. Apa
benar?" seloroh Ki Ragil Kuniran.
"Ha-ha-ha, bujang lapuk seperti aku ini mana laku di mata para gadis! Paling-
paling juga nenek-nenek!?" canda Jalu Lampang.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Tawa dua orang itu berderai sampai terkial-kial.
Mereka berempat duduk memutari meja bundar yang ada di pendapa. Meja dari kayu
jati alas yang sudah sangat tua, namun sangat kokoh. Konon, meja itu usianya
hampir sama tuanya dengan usia Ki Ageng Singaranu, karena meja jati itu dibuat
bersamaan dengan lahirnya Ki Ageng Singaranu. Beberapa saat kemudian, keluarlah
seorang perempuan berkebaya sambil membawa baki berisi makanan kecil dan
minuman. Nyi Salindri mengkerutkan alis melihat perempuan berkebaya itu, namun
dia diam saja. "Srinilam, duduk sini," kata Jalu Lampang dengan mesra.
"Kakang Jalu, siapa dia" Kok aku baru tahu?" tanya Nyi Salindri.
"Ohh ... aku lupa, ini istriku! Maaf, aku lupa mengenalkannya pada kalian,"
jawab Jalu Lampang. "Srinilam, kenalkan, ini Salindri, adikku yang paling bawel
dan laki-laki ganteng itu adalah suaminya, Ragil Kuniran."
"Ooohhh, jadi ini mbakyuku tho?" sahut Salindri, sambil menjabat erat tangan
Srinilam. Ki Ragil Kuniran beringsut mendekati Jalu Lampang, yang berada di sisi kirinya,
sambil berbisik-bisik, "Jadi ini 'nenek-nenek' itu" Cantik amat"!"
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kembali Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran tertawa berderai, bahkan lebih keras
dari sebelumnya. Jalu Lampang malah sampai mengeluarkan air mata.
"Kalian ini, kalau ketemu pasti kumat urakannya, seperti anak kecil saja,"
gerutu Ki Ageng Singaranu.
Walau dalam mulut menggerutu, namun dalam hatinya sangat gembira dan bahagia
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena antara mantu dengan anaknya sangat rukun satu sama lain.
"Maaf, saya mau ke belakang," kata Srinilam, sambil beringsut berdiri.
"Mbakyu, boleh saya temani?"
Srinilam hanya menganggukkan kepala.
Dua perempuan itu berjalan beriringan menuju ke dalam, tepatnya menuju ke dapur.
Nyi Salindri sangat senang melihat kakak iparnya yang manis itu, tapi lebih
senang lagi karena kakaknya Jalu Lampang telah beristri seorang wanita cantik
dan menarik hati. "Hebat juga pilihan Kakang Jalu," puji Nyi Salindri dalam hati.
Srinilam yang mulanya agak rikuh dengan adik iparnya, tapi rasa rikuh sirna
setelah melihat keceriaan Salindri. Keduanya terus ngobrol ngalor ngidul tak
karuan juntrungannya. Setelah dua orang wanita itu berlalu, seorang bocah berikat kepala merah
berlari-lari kecil dari arah halaman menuju ke pendapa. Bocah yang tak lain
Paksi Jaladara itu langsung menghampiri ayahnya dengan senyum tersungging di
bibirnya yang kecil. "Ayah, Paksi boleh main sama Si Perak" Habis ... Kakang Gineng malah ngobrol
dengan dua paman di depan itu," kata Paksi sambil memegang tangan kanan Ki Ragil
Kuniran. "Boleh, tapi beri salam dulu sama kakek dan pamanmu," kata Ki Ragil Kuniran,
sambil mengelur-elus kepala anak laki-lakinya, sambil menoleh ke arah Jalu
Lampang dan Ki Ageng Singaranu.
Paksi menghampiri dua orang itu dengan sikap tenang dan langkah kaki yang
ringan, lalu meraih tangan kanan kakeknya dan menciumnya.
"Ha-ha-ha, jadi ini cucuku" Sini cah bagus, sini ... kakek pengin
menggendongmu." Ki Ageng Singaranu langsung meraih Paksi dalam pelukannya. Paksi pun juga
merangkul leher orang tua itu dengan kedua tangan kecilnya. Sudah lama Paksi
mendengar tentang sang kakek dari ibunya. Senang sekali Ki Ageng Singaranu dapat
menimang cucu di usianya yang sudah senja itu.
"Cah bagus, namamu siapa?" tanya Ki Ageng Singaranu.
"Nama saya Paksi, Kek."
"Oh ... nama yang bagus! Sebagus orangnya," puji Ki Ageng Singaranu.
Kemudian kakek berpakaian abu-abu itu melepaskan pelukannya. Paksi menghampiri
Jalu Lampang, lalu meraih tangan kanan laki-laki itu dan menciumnya, seperti
yang dilakukan pada kakeknya. Jalu Lampang tersenyum sambil mengelus-elus kepala
Paksi. "Ha-ha-ha-ha, ternyata keponakanku sudah sebesar ini! Oh ya, kau boleh panggil
Paman Jalu saja," kata Jalu Lampang, sambil tersenyum.
Bocah itu hanya memandang muka pamannya dengan seksama, lalu tersenyum penuh
arti. Setelah itu, Paksi kembali ke depan ayahnya, sambil berkata, "Ayah, Paksi
mau main sama Si Perak, di halaman saja."
Bocah itu menuding halaman yang luas, tempat dimana biasanya para murid berlatih
silat. "Boleh, tapi jangan jauh-jauh."
"Ya, Ayah." Bocah itu berlari keluar pendapa. Langkah kakinya ringan dan teratur, diikuti
dengan suitan nyaring. Suitt!! Suitt!! Dari arah barat, melesat sesosok bayangan putih keperakan menghampiri Paksi.
Bocah itu tertawa-tawa riang, lalu duduk bersandar di sebatang pohon. Dua makluk
beda jenis itu asyik berbicara dengan bahasa yang hanya dipahami oleh mereka
berdua. Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima
Ki Ageng Singaranu memandang bocah itu dengan kepala manggut-manggut. Mata
tuanya melihat bakat luar biasa pada diri Paksi Jaladara. Saat memeluknya tadi,
tangan tuanya bisa merasakan kekokohan susunan tulang, di tambah lagi dengan
melihat cara berjalan dan berlari bocah itu, sudah bisa menebak seberapa bagus
susunan tulang tubuh Paksi Jaladara. Apa yang dipikirkan Ki Ageng Singaranu sama
dengan apa yang ada di otak Jalu Lampang.
"Bakat yang luar biasa," gumam Jalu Lampang.
"Hemm, susunan tulangnya sangat bagus! Ragil, apa kau yang mengajari anakmu ilmu
silat dan ringan tubuh?" tanya Ki Ageng Singaranu, menebak.
Ki Ragil Kuniran sudah menduga apa yang akan dilontarkan oleh ayah mertuanya
begitu melihat Paksi. Itulah yang menjadi sebab kedatangannya ke Padepokan Singa
Lodaya, tentang keanehan yang disandang putra tunggalnya, Paksi Jaladara!
"Bukan, ayah! Saya belum mengajari Paksi apa pun," jawab Ki Ragil Kuniran,
pendek. "Bukan kau?" kali ini Jalu Lampang bertanya. "Lalu siapa" Apa Salindri yang
mengajarinya?" Lagi-lagi yang ditanya hanya menggelengkan kepala.
"Lalu siapa?" tanya Ki Ageng Singaranu, penasaran sekali.
Baru kali ini tebakannya meleset.
"Ayah, apakah ayah mengenal tokoh sakti atau seorang pendekar yang bergelar Si
Elang Berjubah Perak?" balik tanya Ki Ragil Kuniran.
Ki Ageng Singaranu menjungkitkan alis. Nama yang disebut itu sangat mengagetkan
dirinya, meski tidak diperlihatkan secara nyata. Tapi pandangan mata Ki Ragil
Kuniran tidak bisa ditipu, meski hanya sekilas dapat melihat kekagetan ayah
mertuanya. Jalu Lampang pun terlengak kaget mendengar pertanyaan adik iparnya.
"Untuk apa Dimas Ragil menanyakan tokoh golongan putih itu?" pikir Jalu Lampang.
"Si Elang Berjubah Perak" Untuk apa kau bertanya tentang tokoh itu?" kata Ki
Ageng Singaranu, menyelidik.
"Ayah, tokoh atau orang yang bergelar Si Elang Berjubah Perak sangat erat
hubungannya dengan pertanyaan yang ayah ajukan pada saya ... " jawab Ki lurah
Desa Watu Belah. " ... Saya sangat membutuhkan keterangan tentang siapa adanya
tokoh sakti itu, Ayah."
"Ada hubungannya dengan pertanyaanku tadi" Jelaskan padaku, apa maksud semua
ini?" ganti balik bertanya Ki Ageng Singaranu.
"Dimas Ragil, darimana Dimas mengetahui nama si Elang Berjubah Perak?" kali ini
Jalu Lampang yang bertanya, menyusul pertanyaan ayahnya.
Ki Ragil Kuniran menceritakan serangkaian kejadian yang dialaminya tentang
proses kelahiran Paksi Jaladara yang aneh dan unik, juga tentang segala kejadian
yang berhubungan dengan mimpi yang pernah diterimanya, yang dianggap sebagai
sasmita. "Saya hanya mendengar suaranya saja, sedangkan wujudnya tidak kelihatan. Dia
mengaku berjuluk si Elang Berjubah Perak dan memilih anakku sebagai pewaris
Tahta Angin dan mengaku pula bahwa dirinya adalah Sang Angin! Kemudian tokoh
gaib itu juga mengatakan bahwa Penunggang Angin akan menjadi pertanda kelahiran
anakku tepat di bulan ke tiga belas. Kemunculan diiringi dengan suara deru angin
membadai dan gelegar petir. Nama anakku pun, beliau pula yang memberi, bukan
saya sebagai ayahnya."
"Apakah dalam mimpimu, dia berjubah bulu burung keperakan?" tanya Ki Ageng
Singaranu, menegaskan. "Betul, Ayah." "Siapa si Penunggang Angin itu" Apa Dimas sudah mengetahuinya?" tanya Jalu
Lampang. "Sudah, Kakang! Bahkan sekarang pun ada disini. Ternyata yang dimaksud si
Penunggang Angin adalah burung elang itu," jawab Ki Ragil Kuniran, sembari
telunjuk kanannya menuding ke arah Paksi dan elang kesayangannya bermain.
Ayah dan anak itu memandang ke jurusan barat. Pada awalnya Ki Ageng Singaranu
hanya menganggap sebagai elang biasa, hewan peliharaan menantunya dan juga teman
bermain anaknya supaya tidak nakal. Mata tua itu memandang tajam ke arah Si
Rajawali Emas 16 Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam Neraka Karang Hantu 1
Pendekar Elang Salju Karya : Gilang Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Satu
Craakhh!! Kilatan bunga api langit meloncat memanjang, seolah-olah ingin menunjukkan
sejauh mana ia bisa meloncat. Kilat bertebaran di langit yang tidak mendung.
Sungguh aneh! Di dunia yang serba aneh ini, ternyata masih ada juga keanehan yang sulit
diterka manusia. Kuasa Hyang Widhi memang tanpa dapat diduga atau pun ditebak
oleh manusia. Tidak juga oleh laki-laki setengah baya yang berdiri tegak di
bawah pohon sawo kecik itu.
Tubuh tinggi kekar itu memandang kilatan-kilatan bunga api di langit dengan
tatapan kosong. Raut mukanya menyiratkan kesedihan. Guratan duka di wajahnya
semakin nyata dengan banyaknya kerutan diwajahnya yang bersih. Kedua tangan
bersedekap seperti orang kedinginan. Laki-laki itu berbaju hitam lengan panjang
dengan celana putih diikat yang diikat sabuk kain warna hijau, tampak berkibar-
kibar ditiup angin. Dada bidang penuh dengan urat-urat bertonjolan, pertanda
laki-laki parobaya itu bukan sosok manusia biasa, setidaknya pernah belajar olah
kanuragan. Sorot matanya tampak tajam.
Tarikan nafas yang pelan dan teratur seolah ingin menikmati segarnya udara siang
yang tidak begitu panas. Craakhh!! Craakhh!! GLAARRR!!
Kembali kilatan bunga api disertai suara guntur menggelegar dengan keras. Laki-
laki paraboya itu kembali mendongakkan kepalanya.
"Pertanda apa ini" Di siang hari bolong tanpa mendung ada kilat"!" batin laki-
laki tersebut dengan dahi berkerut. Tiba-tiba ia teringat sesuatu saat guntur
memperdengarkan suara di kejauhan.
Mimpi! Ya, mimpi yang selalu mengganggu tidurnya. Mimpi yang berhubungan dengan anak
yang dikandung istrinya. Anak pertama!
Aneh memang, dengan usia yang sudah hampir empat puluhan tahun itu, dia belum
memiliki seorang anak pun, meski sudah berumah tangga lebih dari belasan tahun
lamanya. Sedangkan tetangga yang usianya sepantaran dengannya sudah memiliki
empat hingga enam orang anak, bahkan ada yang sudah menimang cucu!
Sungguh iri hatinya jika mendapat undangan untuk menghadiri tetangga atau pun
warga desa yang istrinya melahirkan seorang bayi. Tentu saja sebagai seorang
tetangga yang baik dan pula sebagai seorang kepala desa yang bijak, malu jika
menampik niat baik orang yang sudah bersusah payah mengundangnya.
Di saat istrinya hamil untuk pertama kali, hatinya begitu bersuka cita. Saat
kandungan sang istri yang bernama Nyi Salindri berumur satu dua bulan, para
tetangga kiri kanan sudah mengetahuinya, bahkan seluruh desa Watu Belah. Kemana
pun dia pergi meninjau sawah dan ladang, seulas senyum sumringah tak pernah
lepas dari bibir. Hatinya begitu bahagia karena apa yang sudah ditunggu puluhan
tahun akhirnya terkabul juga. Doa siang malam agar dikarunia seorang momongan
akhirnya didengar oleh Yang Kuasa. Tak peduli memiliki anak perempuan atau laki-
laki, yang penting punya anak yang sehat dan montok.
Tentu saja orang-orang desa itu senang karena Ki Ragil Kuniran, yang juga kepala
desa Watu Belah, akan segera memiliki calon penerus keluarga Ragil Kuniran. Saat
usia kandungan Nyi Salindri menginjak sembilan bulan, Ki Ragil Kuniran sudah
mempersiapkan segalanya. Bahkan dukun bayi desa itu sudah diwanti-wanti agar
datang ke rumahnya untuk mengetahui kapan kira-kira bayi itu akan lahir.
Saat itu, Nyi Cendani memeriksa kandungan Nyi Salindri dengan seksama. Wajahnya
berkerut-merut tak karuan. Tangan keriputnya bergerak lincah kesana-kemari
persis tangan maling. Pencet sana pencet sini. Urut sana urut sini. Pijat sana
pijat sini. Ki Ragil Kuniran memandang dengan mata ikut jelalatan kesana kemari mengikuti
gerak tangan lincah Nyi Cendani, si dukun bayi.
"Bagaimana Nyi" Kapan keluar" Apakah sehat-sehat saja" Anaknya laki-laki apa
perempuan?" cerocos Ki Ragil Kuniran tidak sabar.
"Emmm ... sebentar Ki Ragil ... sebentar ... "
Nyi Cendani kembali menggerayangi perut buncit Nyi Salindri. Tangan keriputan
itu kembali bergerak lincah menelusuri bagian demi bagian dari perut buncit itu.
Terakhir Nyi Cendani menekan pusar Nyi Salindri dengan pelan.
Sreep! Tiba-tiba saja, perut Nyi Salindri menggelinjang lembut. Nyi Salindri yang
sedari tadi menahan rasa geli, karena tangan keriput itu terus 'bergerilya' di
atas perutnya. "Hi-hi-hi-hi ... anakmu menendang Ki, mungkin sudah pingin keluar ... "
Nyi Salindri tertawa lirih karena rasa geli itu sudah tak tertahankan lagi.
Perut itu menggelinjang kembali. Wajah Nyi Cendani kelihatan puas. Mata tua itu
berbinar-binar persis senthir diisi minyak kelapa.
"Wah ... selamat Ki Ragil! Laki-laki! Anakmu laki-laki! Sebentar lagi kau akan
menjadi seorang ayah! Sekali lagi selamat, Ki!" kata Nyi Cendani dengan suara
cempreng. Nyi Cendani, dukun bayi dari desa Watu Belah berusia mendekati seratusan tahun
yang sudah amat terkenal, baik di desa Watu Belah sendiri, sampai di desa-desa
tetangga. Kelincahan tangan dan tata cara serta ilmu pengobatan yang dimiliki
terutama tentang seluk-beluk bayi sudah mendarah daging. Bahkan cara membantu
persalinan bayi pun juga berbeda dari dukun bayi pada umumnya. Biasanya dukun
bayi memotong pusar dengan bantuan welat, semacam sayatan bambu yang diiris
melintang sepanjang jari kelingking, lalu itu welat dicuci dengan air hangat
atau air panas, setelah itu baru digunakan untuk memotong pusar mau pun
memisahkan ari-ari sang jabang bayi.
Tapi Nyi Cendani melakukan dengan cara yang berbeda, bisa dikata amat aneh atau
malah tidak lumrah. Setelah bayi lahir, tangan kirinya melakukan gerakan-gerakan
melingkar di seputar perut ibu yang baru saja melahirkan. Gerakan-gerakan itu
berputar dengan teratur layaknya pusaran air. Pada saat bersamaan, ibu yang baru
saja melahirkan merasakan sebuah sentuhan tangan yang nyaman, menimbulkan hawa
sejuk yang lambat laun menyebar ke sekujur badan. Setelah masa itu selesai, rasa
lelah dan rasa sakit akibat melahirkan, baik sekitar perut dan rasa pegal-pegal
di pinggang maupun di pinggul akan hilang dalam sekejap. Dan setelah itu tali
pusar bayi di potong putus dengan dua jari tangan layaknya pisau tajam. Hal
itulah yang membuat nama Nyi Cendani sebagai dukun bayi menjadi tersohor, bahkan
sampai keluar desa Watu Belah.
Puluhan bahkan ratusan orang telah ditolong lewat tangannya. Bahkan untuk
mengobati orang sakit, Nyi Cendani juga mampu melakukannya. Di rumahnya yang
berada persis di sisi sebelah timur desa Watu Belah, terdapat banyak empon-
empon, seperti jahe merah, kunir putih dan bahan ramuan rempah-rempah lainnya.
Ilmu pengobatannya juga sangat hebat, segala macam sakit akan lenyap jika sudah
ditangani oleh Nyi Cendani.
Kadang anak-anak desa sering bermain di rumahnya, diajari bagaimana cara meramu
dan mengolah obat dari akar-akaran, daun-daunan bahkan dari getah pohon,
sehingga banyak anak-anak mau pun pemuda desa yang menimba ilmu pengobatan dari
nenek tua itu. Meski begitu, tidak semua orang mengetahui siapa sebenarnya nenek
tua itu. Mereka hanya tahu bahwa nenek tua itu hidup sendiri, hanya ditemani
oleh rempah-rempah atau empon-empon yang ada di rumahnya.
Saat masih muda, Nyi Cendani yang bernama asli Dewi Cendani pernah mengangkat
nama besar di dunia persilatan dengan gelaran Dewi Obat Tangan Delapan, seorang
pendekar wanita mumpuni, tangguh dan memiliki ilmu kanuragan cukup tinggi dan
menempatkan diri di jajaran tokoh-tokoh golongan putih, dimana sepak terjangnya
selalu menentang segala macam kejahatan.
Sebagai seorang murid tokoh sakti aliran sesat yang berjuluk Iblis Botak, Dewi
Cendani cukup menggegerkan dunia persilatan. Bagaimana tidak, seorang tokoh
hitam kelas tinggi, jika memiliki murid atau pewaris ilmu yang dimilikinya,
biasanya bisa dipastikan menjadi tokoh hitam pula. Namun hal itu tidak terjadi
pada Dewi Cendani yang saat itu baru berumur sepuluh tahun. Rupanya telah
terjadi perubahan yang sangat mencolok pada diri Iblis Botak. Saat ia melihat
gadis kecil itu, tiba-tiba kenangan indah bersama istrinya seakan terulang
kembali. Kenangan yang manis, dan bocah itu seakan membawanya kembali ke masa-
masa bahagia bersama istrinya.
Itulah sebabnya mengapa Iblis Botak berubah haluan, yang semula menjadi
dedengkot aliran sesat menjadi berbalik arah menjadi seorang tokoh yang welas
asih, penyabar dan menjadi seorang yang baik serta bijak. Seluruh ilmu kesaktian
diturunkan kepada murid tunggalnya, Dewi Cendani.
*** "Laki-laki ... " Betul laki-laki" Nyi Cendani tidak main-main?" tanya ulang Ki
Ragil Kuniran dengan mata berbinar.
"I ya ... laki-laki, aku yakin itu," tandas Nyi Cendani dengan mengangguk-angguk
kepalanya. "Ha-ha-ha-ha ... "
"Kenapa Ki" Kok malah ketawa?" Nyi Salindri bertanya sambil berusaha duduk di
pembaringan. Nyi Cendani segera membantu Nyi Salindri membenahi baju luar perempuan istri
kepala desa itu. Ki Ragil Kuniran tidak menyahut, malah tertawanya makin keras,
sampai air matanya keluar. Laki-laki parobaya itu tetap tertawa sambil melangkah
keluar kamar dan terus menuju pendopo rumahnya. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi. Diambilnya napas dalam-dalam, dan dengan lantang, Ki Ragil Kuniran berteriak
dengan keras, "Hooooiiii!! Seluruh warga desa Watu Belah, ketahuilah bahwa aku,
Ki Ragil Kuniran akan segera mempunyai anak laki-laki, ya ... anak laki-laki ...
!!" Suara itu menggema sampai ke pelosok desa Watu Belah. Orang-orang yang sedang
bekerja di sawah atau ladang, kontan terkaget-kaget dan menghentikan sesaat
pekerjaannya. Kaget, karena tidak biasanya mendengar suara sekeras dan segembira
itu. Tapi setelah mendengar dengan seksama dan mengetahui siapa pemilik suara
itu, mereka hanya geleng-geleng kepala.
"Ki Ragil itu ada-ada saja."
"Ya tidak apa apa tho kang. Ki Ragil sekarangkan sedang bungah, berbahagia,
kukira wajar kalau orang gembira meluapkan rasa gembira di hatinya itu," sahut
istrinya sambil terus memilah-milah kacang tanah ditangannya.
"Lha iya, tapi mbok ya jangan teriak-teriak begitu, sudah tua kok pencilakan
kayak anakmu saja." "Terserah kakang lah ... " sahut istrinya menyerah.
-o0o- Sepuluh hari kemudian ...
Ki Ragil Kuniran datang dengan si dukun bayi, Nyi Cendani. Tubuh kekar itu
nampak berkeringat. Peluh membanjiri wajah dan tubuhnya ditambah dengan perasaan
campur aduk tak karuan antara bahagia, tegang, senang dan bingung 'tumplek blek'
menjadi satu. Ilmu lari cepatnya langsung dikerahkan semaksimal mungkin saat mendengar Nyi
Salindri, sang istri merintih-rintih perutnya sakit dan terasa mulas. Dengan
sigap dipondongnya Nyi Salindri, dan masuk ke dalam kamar, lalu diletakkan pelan
ke atas pembaringan. "Aduh, Ki ... perutku ... sakit se ... kali ... "
Nyi Salindri berkata sambil terengah-engah. Perutnya terasa mulas sekali, mata
membeliak-beliak seperti orang kesurupan setan. Ki Ragil hanya berdiri termangu-
mangu. Tiba-tiba sebuah nama melintas dibenaknya.
Nyi Cendani! "Tenang Nyi, sabar sebentar ... aku panggilkan Nyi Cendani ... "
"Cepat Ki ... aku sudah tidak tahan ... " rintih Nyi Salindri sambil terus
memegangi perutnya yang besar itu. Ki Ragil Kuniran segera menemui Mbok Inah,
sang pelayan rumahnya. "Mbok, tunggui bendoro putrimu sebentar, aku mau menjemput Nyi Cendani!"
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ragil Kuniran langsung mblirit seperti orang dikejar
setan. Gerakan langkah kakinya teratur dan mengikuti aturan-aturan tertentu.
Larinya begitu ringan, laksana kapas tertiup angin. Rumah-rumah penduduk
dilewati dengan cepat. Yang terlihat hanyalah sesosok bayangan hitam yang
berkelebat dengan cepat. Dua penduduk desa yang dilewati seperti tersapu angin,
matanya merem melek karena banyak debu yang mampir dimatanya.
"Apa itu tadi?" tanya seorang penduduk dengan muka pucat.
Tangan kirinya mengucal-ucal matanya yang kemasukan debu.
"Entahlah ... "
"Apa mungkin setan ya ... " Ataukah malah danyang desa ini?" tanya si muka
pucat, matanya menjadi kemerah-merahan karena terlalu banyak debu yang masuk ke
dalamnya. "Mana mungkin!! Setan tak mungkin keluyuran siang-siang begini, paling-paling
cuman setan gundul, ha ... ha ... ha ... " bantah temannya.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran sudah sampai di depan rumah Nyi Cendani. Nyi
Cendani yang yang sedang tidur-tidur ayam sambil menikmati sepoinya angin, tentu
saja kaget. Tanpa permisi, tanpa kata dan tanpa suara, tangan kanan Ki Ragil
Kuniran langsung saya menyambar tubuh nenek kerempeng itu.
Wutt ... !! Plaakk ... !!
Tangan kekar itu ditepiskan dengan sebuah tepisan ringan, seperti mengibas
lalat. Tangan tua itu sudah terlatih dengan gerakan-gerakan ilmu silat, tentu
saja secara otomatis telah memunculkan tenaga tak kasat mata dari dalam tubuhnya
yang langsung bereaksi jika ada serangan mendekat. Tubuh kekar itu terhuyung ke
belakang. Tangannya seperti beradu keras dengan besi baja. Terasa ngilu dan linu
sekali. "Dasar tua bangka cabul! Istri sudah bunting besar, masih coba-coba main gila
dengan perempuan tua macam aku! Kurang ajar!" semprot Nyi Cendani dengan sengit.
Air liur kemerah-merahan muncrat ke mana-mana, karena sambil tidur-tidur ayam
tadi, nenek tua itu sedang mengunyah-ngunyah susur. Matanya melotot besar,
dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Maaf ... maaf Nyi ... buk ... bukkkaaan ... aku ... " Ki Ragil Kuniran berkata
sambil tergagap-gagap. Napasnya memburu karena cemas, tegang, bingung dan kaget
campur aduk menjadi satu. Cemas karena memikirkan rintihan Nyi Salindri yang
perutnya terasa mulas. Tegang dan kaget karena dukun bayi itu bisa dengan mudah
mengibaskan tangannya dan bisa membuatnya terhuyung-huyung beberapa langkah.
Suatu hal yang aneh dan sukar diterima dengan akal.
"Bukan apa" Sudah jelas kau ... "
"Tunggu dulu Nyi! Sabar ... sabar ... biar kujelas ... kan ... !"
"Sabar gundulmu itu!" Nyi Cendani masih terus saja bertolak pinggang, tentu saja
mulutnya masih 'bergulat' dengan susur yang saat itu masih betah di dalam rongga
mulut yang peot itu. "Istriku mau melahirkan ... "
"Apaaa ... "!"!"!"
Nyi Cendani berteriak dengan keras. Suara cempreng itu bagai menusuk-nusuk
telinga Ki Ragil Kuniran. Kepala berdenyut-denyut, telinga berdenging, karena
suara cempreng itu hanya berjarak sejengkal dari telinganya.
"Kenapa tidak kau bilang dari tadi" Dasar suami edan!"
"He-he-he ... "
"Ditanya malah cengengesan," sentak Nyi Cendani dengan mata melotot. Tubuh
keriput itu langsung masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian sudah keluar
sambil membawa buntalan kain kuning kusam. Meski sudah tua, langkah nenek itu
tidak terhuyung-huyung layaknya orang yang sudah uzur.
"Ayo berangkat!"
"Kemana Nyi?" tanya Ki Ragil Kuniran, seakan lupa dengan tujuan semula datang ke
gubuk dukun bayi itu. "Ke Akhirat! Goblok! Tentu saja ke rumahmu, bukankah kau datang ke sini karena
istrimu mau melahirkan!?" bentak Nyi Cendani.
"Oh ... iya ... aduh, aku lupa!"
-o0o- Nyi Cendani datang bersamaan dengan Ki Ragil Kuniran, langsung menuju ke kamar
dimana Nyi Salindri sedang mengerang-erang kesakitan. Perut istri lurah itu
sudah membuncit besar dan kedua tangan itu terus saja memegangi perut besar
berisi calon anaknya. Nyi Cendani segera memegang perut Nyi Salindri yang terasa mulas. Saat menyentuh
perut besar itu, serangkum hawa sejuk menerpa perut dan pelan-pelan rasa mulas
dan sakit semakin berkurang, beberapa saat kemudian hilang berganti rasa nyaman
dan sejuk. Nyi Salindri sudah tidak merintih-rintih lagi. Ki Ragil Kuniran
mendekati istrinya dan membelai rambut panjang yang terurai itu.
"Bagaimana Nyi, apakah masih sakit perutmu?"
"Tidak Kang. Perutku sudah agak baikan," kata Nyi Salindri lirih.
Ki Ragil Kuniran memegang telapak tangan kanan istrinya dengan lembut. Di
bibirnya seulas senyum bahagia terpampang jelas.
Sementara itu, Nyi Cendani sibuk mempersiapkan proses persalinan. Tangannya
bergerak-gerak aneh seperti orang mengaduk. Jari telunjuk kiri dan kanan saling
bertemu di depan dada. Matanya terpejam rapat, mulutnya komat-kamit seperti
membaca mantera. Dengan gerakan pelan namun bertenaga, telunjuk yang saling
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merapat itu menyentuh pusar Nyi Salindri. Sebuah totokan pelan telah dilakukan.
Srepp!! Tiba-tiba perut Nyi Salindri menggelinjang sendiri, seolah-olah di dalamnya ada
sesuatu yang sedang menggeliat, kemudian diam tak bergerak.
Nyi Cendani mengerutkan keningnya. Diulangi lagi totokan tadi, dan hasilnya
seperti yang sudah-sudah. Biasanya jika sudah ditotok, perut menggelinjang keras
dan tegang seperti orang mengejan, setelah itu proses persalinan akan berjalan
dengan lancar sebagaimana biasa yang ia jalani.
"Aneh ... " gumam Nyi Cendani.
Pening kepala dukun bayi itu. Sebuah kejadian langka. Belum pernah selama
'bertugas' sebagai dukun bayi gagal membantu persalinan alias selalu tokcer.
"Edan!" umpat Nyi Cendani, karena lagi-lagi usahanya gagal.
"Edan" Siapa yang edan, Nyi?" tanya Ki Ragil Kuniran, heran.
Nyi Salindri pun tertegun, pandangan matanya lincah mencari-cari sumber umpatan
nenek itu. Tak ditemukan seorang pun di dalam kamar itu, kecuali mereka bertiga.
"Anakmu! Anakmu itu ternyata masih betah berada di dalam perut ibunya," terang
Nyi Cendani. Mulut yang mengunyah susur itu makin lincah saja gerakannya. Mata tua itu
jelalatan memandangi perut buncit Nyi lurah, seakan-akan sedang menaksir-naksir
kapan isi dalam perut itu akan keluar.
"Yang benar, Nyi" Nyi Cendani jangan main-main! Aku tidak suka itu!" kata Ki
Ragil Kuniran agak meninggi. "Sudah jelas istriku mengandung selama sembilan
bulan sepuluh hari, dan hari ini sudah saatnya melahirkan. Tapi Nyi Cendani
mengatakan bahwa anakku belum mau lahir. Kenapa bisa begitu Nyi!?"
Suara Ki Ragil Kuniran mulai meninggi dan matanya melotot besar.
Nyi Salindri segera memegang tangan suaminya, karena dia tahu betul jika
suaminya sudah berkata dengan nada meninggi dan mata mencereng begitu, ujung-
ujungnya pintu regol itu bakal jebol ditendangnya. Kalau segera tidak
ditenangkan, tidak hanya pintu regol, mungkin rumah pun bisa rubuh dalam sekejap
mata! "Sudahlah Kang! Mungkin belum saatnya ... "
"Belum saatnya ... belum saatnya. Lha wong perut sudah gedhe begitu kok belum
saatnya," kata Ki Ragil Kuniran bersungut-sungut.
"Ki Lurah, kita tunggu sampai besok ... " kata Nyi Cendani, dengan suara tidak
enak hati. Tentu saja sebagai dukun bayi kelas kakap, gagal membantu persalinan
akan mencoreng nama baik yang selama ini diukirnya.
"Baiklah, kita tunggu sampai besok pagi. Silahkan Nyi Cendani istirahat di kamar
depan, biar Mbok Inah yang mengatur ruangnya," kata Nyi Salindri, dengan halus.
"Kang Ragil, temani aku disini," pinta Nyi Salindri pada suaminya.
"Baiklah, aku juga sudah capek."
Hari demi hari, minggu berganti minggu, Nyi Salindri tidak juga melahirkan. Hal
itu membuat Ki Lurah Watu Belah menjadi pusing tujuh keliling. Bayi biasanya
akan lahir jika sudah berumur sembilan sepuluh hari, tapi bayi Nyi Salindri
sampai bulan kedua belas, belum juga nongol dari perut sang ibu.
Kabar tentang keanehan kandungan Nyi lurah sudah menyebar ke pelosok desa,
bahkan sampai desa sekitarnya. Bahkan kepala desa Cluwak Bodas, Ki Sampar Angin,
sahabat karib Ki Ragil Kuniran, seringkali bertandang ke rumah sahabatnya itu.
Ki Sampar Angin datang bersama istri dan dua anak gadisnya yang sudah menginjak
remaja, untuk menjenguk sahabat sekaligus memastikan kabar angin yang santer
terdengar. -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua
"Apa maunya anak itu ngendon begitu lama di perut ibunya" Menyusahkan orang tua
saja," gerutu Ki Ragil Kuniran, teringat kehamilan istrinya yang sudah menginjak
bulan ke tiga belas. Craakhh! Glarrr! Kilatan bunga api di langit menyadarkan kembali lamunannya. Matanya kembali
menerawang ke atas, seakan-akan ingin menjenguk isi langit yang paling atas.
Pandangan mata itu beralih ke arah timur, entah mengapa rasanya ia ingin
berlama-lama memandang ke timur. Dari kejauhan terlihat setitik sinar putih
terang, melayang ke arah barat dengan cepat. Makin lama makin kelihatan jelas
bentuknya. Bayangan putih yang dilihat Ki Ragil Kuniran ternyata seekor burung
elang dengan bulu putih keperakan. Besarnya dua kali elang biasa.
"Elang"! Sejak kapan di Desa Watu Belah ada burung sebesar itu"!" tanya laki-
laki itu dalam hati. Kepakan sayap elang itu begitu tenang dan berirama, seolah-olah sedang
menunggang angin. Matanya yang tajam berputar-putar seakan sedang mencari mangsa
untuk mengisi perutnya. Awwkkk! Awwkkk! Suara serak terdengar beberapa kali tiap elang itu mengepakkan sayapnya. Seluruh
bulu elang berwarna putih keperakan dengan mata kemerahan bulat besar.
Mata laki-laki parobaya itu berkunang-kunang karena bulu putih itu begitu
menyilaukan karena memantulkan sinar matahari.
Awwkkk! Awwkkk! Suara serak terdengar lagi. Elang itu berputaran tepat di atas kepala Ki Ragil
Kuniran sejarak enam tombak, jarak yang cukup dekat bagi elang itu untuk
melakukan sambaran terhadap mangsanya. Setelah melakukan beberapa putaran, tiba-
tiba berputar balik setengah lingkaran seperti orang bersalto, lalu melesat ke
arah Ki Ragil Kuniran dengan cepat.
Wuss! Wutt! "Elang gila!" Ki Ragil Kuniran menghindar dengan membungkukkan badan, sambil tangan kanannya
melakukan gerakan untuk menangkis serangan paruh tajam si burung elang.
Wutt ... ! Elang itu mengelak dengan memiringkan tubuhnya. Elang itu bergerak cepat
menyelinap ke bawah ketiak kanan Ki Ragil Kuniran terus ke punggung, lalu
dilanjutkan melesat ke atas melewati kepala sambil kakinya menyambar benda hijau
kecil yang bergelayutan di ranting kecil tepat diatas kepala Ki Ragil Kuniran.
Wess! Tap! Burung elang itu kembali melesat terbang ke atas dengan cepat. Kaki kekar itu
mencengkeram makhluk kecil panjang kehijauan yang menggeliat-geliat ingin lepas.
Elang itu melesat dengan cepat kearah barat sambil membawa buruannya.
Aaawwkkk! Ki Ragil Kuniran terperangah. Bukan pada gerakan menyerang elang barusan, tapi
benda bulat panjang kehijauan yang dicengkeramnya, ternyata adalah seekor ular
berbisa! "Bukankah itu Ular Hijau Lumut yang beracun ganas" Sejak kapan pohon sawo kecik
ini menjadi sarang ular"!" tanya Lurah Watu Belah dalam hati, sambil memutar
badan melihat pada pohon sawo kecik di belakangnya yang cukup rimbun dan
kebetulan sedang berbuah lebat.
Tadinya ia mengira yang diserang elang adalah dirinya, sehingga dengan cepat
menggerakkan tangan kanan untuk menangkis serangan elang. Akan tetapi begitu
mengetahui serangan itu hanya untuk menyelamatkan dirinya dari patukan ular
kehijauan itu, dia tidak jadi memaki burung elang tadi.
Matanya yang tajam melihat kelebatan beberapa ular berwarna hijau diantara
ranting dan daun pohon sawo kecik, meluncur dengan cepat. Gerakan ular itu
begitu gesit bersembunyi, sebab melihat adanya bahaya dari burung elang yang
menyambar kawannya barusan.
"Hmmm, ular ini harus disingkirkan! Bahaya kalau sampai anak-anak bermain-main
disini lalu dipatuk ular, bisa-bisa Nyi Cendani repot menyembuhkannya. Lebih
baik kubunuh saja ular-ular itu," gumam laki-laki itu sambil matanya memandang
ke arah ular-ular itu. Ia lalu memandang berkeliling, mencari kerikil untuk menimpuk ular-ular yang
hampir saja mencelakakan dirinya. Setelah menemukan kerikil-kerikil kecil, ia
mulai menyentilkan jari tangan yang terisi kerikil ke arah ular yang ada di
pohon sawo kecik itu. Ctik! Ctik! Blugh! Blugh! Dua ular terjatuh dengan kepala pecah, menggelepar-gelepar sebentar lalu mati.
Ki Ragil Kuniran terus saja melakukan aksi 'pembunuhan massal' pada ular yang
ada di pohon sawo kecik itu dengan kerikil. Sudah puluhan ekor ular jatuh ke
tanah dan mati, akan tetapi ular-ular itu belum habis juga, bahkan makin lama
banyak jumlahnya. "Gila! Betul-betul sarang ular pohon sawo ini, kalau begini terus bisa sampai
semalaman! Kalau ada warga desa, pasti cepat beres. Tapi kalau kutinggal,
jangan-jangan ular-ular itu malah pergi dan menyerang Desa Watu Belah. Wah, bisa
hancur desaku! Pasti disini ada ratu atau raja ularnya. Kalau rajanya
tertangkap, yang lainnya gampang diusir, lebih baik kucari saja rajanya!" gumam
Ki Ragil Kuniran. Laki-laki berbaju hitam itu mengelilingi pohon sawo kecik itu dengan mata
jelalatan mencari 'pimpinan' kawanan ular itu. Tangan kirinya masih memegang
kerikil yang siap mengantar nyawa ular-ular itu ke alam kematian.
Rupanya apa yang dikhawatirkan Ki Ragil Kuniran menjadi kenyataan. Di dahan yang
paling besar, bertengger seekor ular hijau lumut seukuran lengan orang dewasa
dengan panjang hampir mencapai tiga tombak, sedang melingkar. Matanya mencorong
dengan lidah kemerahan yang selalu menjulur-julur keluar, sisiknya berwarna
belang hijau kekuningan. Dikepalanya ada daging tumbuh layaknya makhota seorang
raja. Ular-ular hijau lumut itu seakan menunggu titah dari 'sang raja' untuk
menyerang lawan. Lidah raja ular kembali menjulur-julur, seakan memberi perintah
dengan suara desisan yang keras.
Sssshhhh!!! Seperti dikomando, ular-ular itu merayap ke bawah, bahkan yang agak besar
langsung menjatuhkan diri ke tanah. Mereka berdesak-desakan keluar dan turun
dari pohon sawo kecik itu. Pohon itu seakan bukan pohon sawo kecik lagi, tapi
lebih mirip pohon ular hidup. Jumlah ular itu ratusan banyaknya, bahkan mungkin
mencapai ribuan ekor, besar kecil saling berlomba mengejar sasaran yang sama,
yaitu orang yang telah membunuh teman atau pun saudara mereka!
Ki Ragil Kuniran yang tidak menyangka akan diserang ular-ular hijau lumut itu,
kaget bukan kepalang. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu sudah terkepung
ratusan ular yang jumlah ribuan ekor, termasuk raja ular itu juga turun dari
atas dahan. "Gila! Apa-apa'an ini?"
Sssshhhh!!! Sssshhhh!!! Suara mendesis ribuan ular hijau lumut seakan sebagai tanda protes atau kecaman
bagi Ki Ragil Kuniran, dan mungkin juga jawaban dari pertanyaan Ki Ragil.
Bersamaan dengan itu, ular-ular itu langsung menerjang maju. Ada yang langsung
berusaha mematuk kaki, yang agak besar mengincar mata dan ada juga yang
membokong dari belakang! Sssshhhh!!! Laki-laki baju hitam itu tidak mau dirinya menjadi santapan ular. Baru pertama
kali dalam hidupnya, dia bertarung dengan ular yang jumlahnya mencapai ribuan
ekor, sehingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Tubuh kekar itu berkelebat.
Ilmu silat dan ilmu ringan tubuh dikerahkan untuk menghindari serangan ular,
bahkan hawa tenaga dalam digunakan mencapai sepuluh bagian. Akibatnya sungguh
dahsyat. Setiap sapuan kaki atau tamparan tangan bahkan kepalan tinjunya selalu
membawa maut. Wutt! Plakk!! Ular-ular yang kena tendangan, tamparan bahkan kepalan pasti mati. Kalau tidak
kepalanya pecah, pasti perutnya jebol atau terbelah menjadi dua! Sungguh
mengerikan pertarungan antara dua makhluk yang berbeda jenis itu.
Satu manusia melawan ribuan ular beracun!
"Heeaaaa ... !!"
Teriakan mengguntur menambah semangatnya dalam menghadapi serbuan ular-ular
beracun. Tubuh kekar itu semakin cepat berkelebat.
Plakk ... ! Bukk ... ! Prak ... !!
Sepuluh ekor ular yang cukup besar, mati dalam sekali kibas, tiga dengan kepala
pecah, dua dengan perut jebol dan lainnya dengan tubuh terbelah dua.
Tiba-tiba, sekelebat bayangan hijau panjang menerjang dengan gerakan kilat.
Gerakan itu diketahui Ki Ragil Kuniran dengan sudut matanya. Dengan cepat
bersalto ke belakang, sambil tangan kirinya yang penuh dengan kekuatan tenaga
dalam bergerak menampar, akan tetapi bayangan hijau itu meliuk ke bawah, sambil
mengibaskan ekornya ke arah kepala lawan.
Melihat bayangan itu mengincar kepalanya dalam keadaan berjungkir balik seperti
itu membuat Ki Ragil Kuniran gugup. Kepalanya mengegos ke kanan, tapi serangan
itu masih sempat menyerempet pipi kanannya.
Prattt!! "Ukh!" Laki-laki itu mengeluh.
Pipinya terasa panas dan pedas, diikuti dengan rasa gatal kemudian pipinya
terasa menebal. Tubuhnya melayang ke kiri akibat sampokan bayangan hijau tadi.
Melihat jatuhnya tepat pada kumpulan ular yang seakan sudah menyambutnya, laki-
laki parobaya itu masih dalam keadaan melayang, menggerakkan ke dua tangannya
menyilang lalu menghentakkannya ke depan.
Blarr ... !! Serangkum hawa panas berwarna putih pekat yang bersumber dari hawa tenaga sakti
itu, mengeluarkan suara keras saat mengenai kerumunan ular yang siap menyambut
tubuhnya. Tanah tempat ular-ular tadi membentuk cekungan lebar yang dalam akibat
terkena serangan tenaga dalam putih pekat tadi. Tubuh ular-ular itu hancur dedel
duwel berserakan di tanah dan tercium bau hangus yang amis.
Jleg! Tubuh kekar itu berdiri tegak, tepat di mana ia tadi membuka jalan bagi dirinya
dengan melancarkan pukulan mematikan.
"Ular keparat!" maki Ki Ragil Kuniran saat ia meraba pipi kanannya yang kini
gembung bengkak karena racun yang ada di ekor raja Ular Hijau Lumut. Kepalanya
senut-senut, gigi kiut-kiut karena saking linu dan kerasnya racun.
"Racunnya cepat sekali menjalar, harus segera diatasi," batinnya.
Ia cepat mengalirkan tenaga dalam ke jalan darah di sekitar leher dan otak
belakang, agar racun itu tidak menjalar kemana-mana, lalu merogoh saku baju dan
mengambil sebutir pil berwarna hitam dan langsung menelannya. Rasanya pahit dan
baunya sengat seperti kotoran kambing.
Rupanya bayangan hijau tadi adalah ular bermahkota yang marah karena melihat
'pasukan'-nya tidak berdaya melawan musuh.
Sssshhhh!!! Kembali terdengar desisan keras, untuk kesekian kali dari ular bermahkota.
Sebenarnya bisa saja Ki Ragil Kuniran keluar dari pertarungan aneh itu, tapi
melihat banyaknya jumlah dan ganasnya racun ular, ia tidak ingin warga desa
menjadi korban dari gigitan ular hijau lumut ini, apabila ular-ular itu
menyerang desa Watu Belah, lebih baik dihadapi sendiri meski dengan taruhan
nyawa. Tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara serak yang membahana. Suara yang
sudah dikenal Ki Ragil Kuniran, suara burung elang!
Awwkkk! Awwkkk! Rupanya elang putih keperakan yang tadi terbang sambil membawa seekor ular hijau
lumut kembali lagi. Tapi kini tidak hanya sendirian, tapi dengan puluhan bahkan
ribuan kawanan elang lainnya, ada yang berwarna hitam, coklat, bahkan burung
pemangsa bangkai pun ikut bergabung. Diantaranya ada seekor elang hitam
berkepala botak, namun besarnya lebih kecil dari elang putih keperakan.
Ular adalah musuh bebuyutan elang dan sekaligus santapan lezat bagi jenis burung
pemangsa ini. Rupanya saat mengitari Ki Ragil Kuniran, elang putih keperakan
melihat bahwa di pohon sawo kecik terdapat sarang ular yang jumlah ribuan ekor
banyaknya. Ular bermahkota mendesis-desis. Lidah merahnya yang bercabang dua bergetar
dengan hebat, melihat kawanan elang yang terbang makin mendekat. Tak ada waktu
baginya untuk meloloskan diri, kecuali bertarung mati-matian!
Sssshhhh!!! Ular-ular yang lain menyahut dengan mengeluarkan desisan sama. Kepala menegak
dengan mulut menganga lebar, lidah menjulur-julur sambil menetes-neteskan cairan
racun berwarna putih bening. Siap menerima tantangan kawanan elang!
Ki Ragil Kuniran masih terpaku di tempatnya melihat kejadian itu. Sungguh
menakjubkan! Awwkkk! Kembali suara serak elang putih keperakan membelah angkasa, kali ini lebih keras
dari yang tadi. Kawanan elang yang di belakangnya sontak mengikuti dengan suara
serak yang bersahutan, seakan menerima perintah dari atasannya.
Kaakh! Kaakh! Kaakh! Awwkk!
Hampir bersamaan, kawanan elang itu meluncur ke bawah, mengincar kawanan ular-
ular yang mengurung Ki Ragil Kuniran.
Wutt! Wutt! Crakk!! Crokk! Pletak ... !
Perang campuh pun terjadi. Perang yang sungguh aneh dan mungkin paling langka di
dunia pun terjadi. Pertarungan antara kawanan elang dengan kawanan ular!
Saling mematuk, belitan ular yang sanggup meremukkan tulang, kelebatan cakar dan
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepakan sayap elang, campur baur menjadi satu dengan suara desisan ular dan
pekikan elang. Ular mengandalkan racun dan belitan yang kuat, sedang elang
mengandalkan ketajaman paruh dan cakar tajam serta kegesitan terbang dalam
menghindari semprotan racun.
"Sungguh menakjubkan! Mungkin di dunia ini hanya aku yang melihat keganjilan
seperti ini. Perang tanding yang aneh," kata Ki Ragil Kuniran, pada dirinya
sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik, kubantu kawanan elang itu," katanya lagi.
Kepalanya mendongak ke atas, melihat burung elang putih keperakan yang masih
melayang-layang di angkasa. Mata tajam itu sedang mencari-cari sesuatu di antara
kawanan ular itu. "Sobat di atas, terima kasih atas bantuannya! Biar kubantu kawan-kawanmu! Kau
hadapi saja raja ular itu, kulihat dia berada di sisi kirimu," teriak Ki Ragil
Kuniran dengan keras. Tangannya menuding ke arah timur, tempat dimana ular
bermahkota kini berada. Awwkkk! Awwkkk! Suara elang putih keperakan terdengar kembali, kali ini lebih pelan mungkin
sebagai jawaban darinya. Elang itu segera berkelebat ke arah timur. Elang putih
keperakan merangsek dari atas. Paruh setajam pedang siap di hunjamkan ke kepala
lawan. Ular bermahkota tidak mau mandah begitu saja, segera menggelung tubuh dengan
cepat, menyembunyikan tubuhnya yang panjang dari terjangan lawan yang menyerang
dari atas. Hanya kepalanya yang menyembul keluar, sambil mendesis-desis keras
diiringi dengan goyangan kepala ke kiri kanan untuk mengecoh musuh.
Crass! Cakar elang putih keperakan menyerempet bagian tengkuk meninggalkan bekas
sayatan memanjang. Ular itu kembali mendesis marah.
Sssshhhh!!! Kepala ular bergerak menyambar kaki elang dari bawah.
Sratt!! Elang putih keperakan mengelak ke kiri sambil mengepakkan sayap dengan keras ke
arah mata lawan. Plakk! Kepala ular terpelanting ke kanan. Badan yang tergelung itu ikut terbawa karena
kerasnya sampokan. Pertarungan antara dua makhluk berlainan jenis dan bentuk itu
terus berlangsung seru. Mencakar dan mematuk silih berganti, suara desisan dan
pekikan elang terdengar di arena pertarungan. Bulu-bulu elang dan bangkai
ratusan ular berserakan dimana-mana.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran yang 'dibantu' kawanan elang, menerjang
gerombolan ular hijau lumut. Laki-laki itu tidak sesibuk sebelumnya, walau pun
setiap tendangan maupun pukulan selalu membawa maut.
Prak! Bugh! Empat ular berkelojotan, lalu mati dengan kepala pecah.
Menjelang sore, seluruh kawanan ular telah tumpas tapis tanpa tersisa sedikit
pun. Bau amis menyengat hidung Ki Ragil Kuniran. Perutnya serasa diaduk-aduk mau
muntah. Pada saat yang sama, elang putih keperakan melesat ke atas beberapa
tombak, lalu menukik ke bawah dengan paruh siap dihunjamkan ke arah kepala
lawan. Wuss! Ular bermahkota mengelak dengan merendahkan kepala sejajar tanah, diiringi suara
mendesis-desis keras. Sssshhhh!!! Serangan elang putih meleset. Elang putih keperakan langsung berbalik ke kanan
dengan cepat. Ular bermahkota tidak menduga kalau lawan bisa memutar diri dengan
gerakan aneh dan langsung mengincar kepala bagian belakang!
Crokk! Paruh elang menancap kuat, bahkan sampai tembus ke depan. Ular bermahkota
berkelejotan meregang nyawa diiringi desisan kematian.
Sssshhhh!!! Tubuhnya menggulung badan elang putih keperakan dengan cepat. Elang putih itu
diam saja, sambil paruhnya digerak-gerakkan ke atas ke bawah seakan mengambil
sesuatu. Plasss! Elang putih keperakan mencabut paruhnya dari kepala lawan yang meregang nyawa.
Diparuhnya terdapat benda bulat putih kekuning-kuningan, langsung ditelan dengan
cepat. Bersamaan dengan itu, ular bermahkota juga tergeletak tak bernyawa.
Mati! Kemenangan sang pemimpin, disambut dengan teriakan membahana dari kawanan elang.
Awwkkk! Kragh! Kaakkhh ... !
Elang putih keperakan kembali terbang ke atas dan melayang berputaran di udara,
merayakan kemenangan ditingkahi suara serak yang menggelegar. Kawanan elang
mengeluarkan pekikan-peikikan nyaring, sehingga suasan di sekitar di tempat itu
riuh rendah tak karuan. Tiba-tiba ... Wutt! Elang putih keperakan berputar cepat dan menukik ke bawah, ke arah bangkai ular
bermahkota. Ki Ragil Kuniran yang merasakan angin sambaran yang kuat menerpa
dirinya, segera membuang diri ke belakang.
Elang putih keperakan itu menyambar bangkai ular dengan sepasang cakarnya yang
tajam, lalu melesat terbang ke arah matahari terbit dengan pekikan tinggi
melengking. Kawanan elang yang lain, mengikuti perbuatan sang pemimpin,
menyambar bangkai-bangkai ular yang berserakan di tanah, sehingga sekitar pohon
sawo kecik yang pada mulanya sebagai ajang pertarungan antara kawanan elang
dengan kawanan ular, kini sebagian besar telah bersih dari bangkai ular. Sisanya
masih berserakan tak karuan disana-sini.
"Sobat, terima kasih atas bantuannya," teriak Ki Ragil Kuniran, yang sesaat
terpana melihat pangeram-eram yang dibuat oleh kawanan elang.
"Pasti elang putih keperakan itu memiliki majikan atau suatu tempat tinggal yang
setidaknya berdekatan dengan manusia. Tidak mungkin seekor burung bisa paham
perkataan manusia kalau tidak ada yang mengajarinya atau setidaknya burung elang
itu akrab dengan manusia. Kalau aku bertemu dengan pemilik elang itu, mungkin
aku tidak bisa membalas kebaikannya," gumam laki-laki parobaya itu. "Lebih baik
kubersihkan tempat ini, perutku mual memcium bau amis yang menyengat. Kubuat
saja lubang yang besar disini."
Dari arah selatan, seorang bocah kecil berumur kurang lebih sepuluh tahun
berlari dengan cepat. Napasnya terengah-engah. Berbadan ceking dengan keringat
bercucuran membasahi muka dan dadanya yang telanjang. Celananya hitam komprang,
agak kedodoran. Dilehernya tergantung sebentuk ketapel atau blandring dari kayu
jati. "Ki Ragil ... Ki Ragiiil ... Ragiiil ... "
Laki-laki yang dipanggil, segera menoleh. Ki Ragil Kuniran kenal betul dengan
suara itu, matanya memandang ke arah selatan dengan dahi berkerut.
"Ada apa Gineng memanggilku" Apa kawanan ular juga nglurug ke desa?" batin Ki
Ragil Kuniran, lalu melompat keluar dari lubang galian.
Ia menghentikan pekerjaannya membuat sebuah yang cukup lebar dan dalam. Meski
hanya menggunakan tangan, namun kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya ikut
ambil bagian, sehingga setiap kedukan atau songkelan tangan ibarat cangkul dan
linggis. Bocah kecil yang disebut Gineng melihat orang yang dicarinya berada di bawah
pohon sawo kecik, wajahnya langsung sumringah, langsung berlari mendekat ke arah
orang dicarinya. "Ada apa Gineng" Kenapa kamu berteriak-teriak seperti orang kesurupan" Apa kamu
disuruh simbokmu?" tanya Ki Ragil Kuniran.
"Betul, Ki! Saya disu ... ruh sim ... bok untuk mencari Ki ... lurah," kata
Gineng sambil ngos-ngosan.
"Kamu disuruh apa sama simbokmu?" tanya Ki Ragil Kuniran, sambil bersandar pada
pohon sawo kecik. Mukanya licin berkilat-kilat karena mandi keringat sedangkan
pipi yang terkena sabetan ekor ular sudah sembuh berkat obat anti racun yang
ditelannya, meski tampak sedikit lebam.
"Anu ... itu ... Ki ... Hehh ... "
"Anumu kenapa" Bicara yang jelas!"
"Istri Ki Ragil mau melahirkan!" kata Gineng setelah menghela napas dalam-dalam.
"Istriku mau melahirkan" Kamu jangan main-main, Gin! Apa Nyi Cendani juga ada?"
tanya Ki Ragil Kuniran. Sudah seringkali dia oleh dikabari Gineng kalau istrinya
mau melahirkan, tapi kenyataannya ketika sampai di rumah, istrinya tidak
melahirkan, malah sedang enak-enakan ngobrol sama dukun beranak itu!
"Betul, Ki! Nyi Cendani juga bilang begitu! Katanya hari ini pasti melahirkan,
karena ... karena ... air ketubannya sudah pecah. Begitu kata Nyi Cendani yang
saya dengar," ucap Gineng nyerocos begitu saja.
"Air ketubannya sudah pecah!?" gumam laki-laki parobaya itu.
Tiba-tiba kepala desa Watu Belah itu teringat sesuatu.
"Baiklah! Aku akan ke rumah. Semoga saja hari ini anakku benar-benar lahir!
Tolong kau lanjutkan pekerjaanku, nanti upahnya seperti yang kemarin, aku ajari
kau jurus silat yang baru," kata Ki Ragil Kuniran, sambil menepuk-nepuk pundak
Gineng, lalu berkelebat ke arah selatan, ke arah desa Watu Belah!
Wuss! "Baik, Ki! Pokoknya beres!" seru Gineng, tanpa bertanya 'pekerjaan' apa yang
harus dilanjutkannya. Setelah bayangan Ki Ragil Kuniran lenyap di tikungan jalan, Gineng segera
berjalan mendekati lobang galian yang dibuat Ki Ragil Kuniran.
"Walaah ... buat apa Ki lurah membuat lubang begini besar" Apa untuk mengubur
gajah, ya" " gumam Gineng.
Matanya yang besar jelalatan mencari cangkul atau linggis. Namun yang ditemukan
bukan linggis atau pun cangkul, tapi ratusan bangkai ular yang berserakan tak
tentu arah! "Kok disini banyak bangkai ular" Pasti ini perbuatan Ki lurah! Mungkin ini
pekerjaan yang harus kulanjutkan tadi. Hemmm, baiklah!" gumamnya lagi.
Ketika membungkuk, tiba-tiba perut kecilnya berbunyi.
Krucukkk! Kriiyukk! "Wah, perutku minta diisi nih! Tadi aku tidak sempat makan, sudah disuruh simbok
mencari Ki Ragil! Lebih baik, aku makan saja buah sawo itu, lumayan untuk
mengganjal perut, baru mengurus bangkai ular itu!" katanya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga
"Bagaimana Nyi" Sudah mau keluar"!" tanya seorang laki-laki berpakaian hitam
bercelana hitam komprang dengan ikat pinggang merah menyala, saat melihat
seorang wanita tua keluar dari biliknya.
Laki-laki berwajah bersih berbadan kekar itu tak lain adalah Ki Ragil Kuniran,
kepala desa Watu Belah. "Entahlah Ki! Aku sendiri juga dibuat bingung oleh anakmu! Seharusnya sudah
keluar dari tadi, tapi sampai menjelang tengah malam begini, tidak keluar-keluar
juga. Padahal air ketuban istrimu sudah pecah dari tadi. Aku takut terjadi apa
pada bayimu. Ilmu pengobatan yang kumiliki juga tidak ada gunanya," keluh Nyi
Cendani. Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam, dengan pikiran berkecamuk. Ki
Ragil Kuniran kembali duduk di kursi tempat biasanya ia bersantai. Matanya
menerawang jauh, entah apa yang dipikirnya.
"Pasti ada hubungannya dengan mimpi itu," gumamnya lirih.
Walaupun lirih, telinga semua orang yang berada di situ, mendengar jelas gumaman
laki-laki nomor satu di desa Watu Belah. Seorang laki-laki berbaju lurik dengan
blangkon bertengger di kepala, mendekat dengan kening berkerut. Dialah yang
bernama Ki Sampar Angin, kepala desa Cluwak Bodas.
"Mimpi apa, Adi Kuniran?" tanya Ki Sampar Angin, sambil duduk di depan kursi
sahabatnya. "Cuma mimpi biasa saja, Kakang Sampar Angin," kata Ki Ragil Kuniran, pendek.
"Kalau Adi Kuniran tidak keberatan, apa boleh saya tahu mimpi apa yang Adi
Kuniran temui," ucap Ki Sampar Angin, meyakinkan, "mungkin saja itu bukan mimpi
biasa." Semua orang yang ada disitu memandang laki-laki berbaju hitam itu dengan
pandangan memohon. "Baiklah," kata Ki Ragil Kuniran setelah menimbang-nimbang beberapa saat.
"Akhir-akhir ini, aku sering mimpi aneh, Kakang Sampar Angin! Dalam mimpiku, aku
ditemui seorang kakek yang sudah sangat tua sekali, berjubah putih berbulu,
seperti bulu burung berwarna putih keperakan. Seluruh tubuhnya memancarkan
cahaya keperakan, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Kakek itu mengatakan
sesuatu padaku, seperti sebuah syair atau sebuah pesan, tapi aku sendiri tidak
begitu paham artinya."
"Apa isi dari sesuatu yang Adi sebut sebagai 'syair' itu tadi?"
Setelah termenung beberapa saat, Ki Ragil Kuniran menjawab pertanyaan itu.
"Isi seperti ini : 'Cucuku, aku adalah Sang Angin! Aku memilih anakmu sebagai
Pewaris Tahta Angin, yang akan membersihkan seluruh duri di muka bumi. Angin
kecil-lah yang akan mewarisi kekuatan Sang Angin. Penunggang Angin akan menjadi
pertanda kelahiran Pewaris Tahta Angin di dunia pada bulan ke tiga belas purnama
sidhi. Jagalah dia baik-baik. Aku hanya bisa memberikan Telapak Tangan Bangsawan
sebagai rasa terima kasihku padamu, yang akan kuberikan bersamaan dengan
munculnya si angin kecil dan Penunggang Angin'. Itulah yang dikatakan kakek itu
dalam mimpiku," kata Ki Ragil Kuniran, lalu lanjutnya, "Setelah itu, kakek
berjubah bulu burung itu seperti melemparkan cahaya putih keperakan dari tangan
kanannya ke arah perut istriku, diiringi dengan suara deru angin membadai dan
suara gelegar petir, mirip dengan deru badai yang pernah kita lihat di Pantai
Selatan. Mimpi itu selalu datang padaku berturut-turut. Itulah mimpi yang
kualami, Kakang Sampar Angin! Pada mulanya aku berpikir itu cuma kembang tidur
saja, tapi setelah kejadian tadi siang, aku mulai memikirkan kebenaran dari
mimpiku itu." "Kejadian" Kejadian apa Adi?" desak Ki Sampar Angin.
"Perkelahian antara kawanan burung dengan kawanan ular."
"Burung apa" Ular apa" Jelaskan yang benar, Ki lurah," Nyi Cendani kini yang
bertanya. "Pertarungan ganjil antara elang putih keperakan dengan ular hijau lumut." jawab
Ki Ragil Kuniran. Semua orang yang mendengar cerita tentang mimpi itu terkesima, seolah
terhipnotis. Sungguh aneh dan sulit dimengerti apa arti dari mimpi Ki Ragil
Kuniran itu. Semua tercenung memikirkan arti mimpi itu.
Gineng yang sedari tadi duduk di pojok ruangan sambil mendengarkan cerita Ki
Ragil Kuniran, manggut-manggut. Tahulah ia bahwa bulu-bulu yang ditemuinya
berserakan itu adalah bulu elang, sedangkan bangkai ular yang telah dikuburkan
tadi adalah bangkai ular hijau lumut!
"Oh ... bulu burung elang to. Kukira tadi bulu ayam, he-he-he ... " gumam
Gineng. "Apa ada to, Gin, kok ndremimil kayak begitu," ucap simboknya, lirih.
Yang ditanya hanya tertawa cengengesan saja.
Nyi Cendani mendengar disebutnya Ular Hijau Lumut, melengak kaget!
Ular Hijau Lumut adalah ular yang selalu hidup berkelompok, jumlahnya bisa
mencapai ratusan ribu dalam satu kelompok. Setiap kelompok akan memiliki seekor
ular bermahkota dengan panjang kurang lebih empat hingga lima tombak. Seluruh
tubuh ular itu beracun ganas dan mematikan. Satu tetes racun ular hijau lumut
bisa membunuh orang dalam waktu sekian detik. Apabila ular itu berada di sungai
atau danau, bisa dipastikan hewan-hewan air akan mati keracunan!
Untunglah gurunya, si Iblis Botak, telah membuat semacam obat pemunah untuk
mengatasi ganasnya racun Ular Hijau Lumut, yang bahan utamanya dari Empedu
Beruang Salju yang dikeringkan. Bahkan mustika ular yang ada di kepala ular
bermahkota itu, menurut gurunya bisa menaklukkan ular dari jenis apa pun.
"Apa Ki Ragil selalu membawa obat pemunah racun yang saya berikan tempo hari?"
tanya Nyi Cendani, dengan mimik serius.
"I ... ya, Nyi! Bahkan aku telah menelannya dua butir saat bertarung dengan ular
yang bermahkota," kata Ki Ragil Kuniran.
"Ular bermahkota juga ada" Dimana sekarang" Apa masih hidup?" seru Nyi Cendani,
dengan wajah berbinar-binar.
"Sudah mati." "Bangkainya dimana?" kejar Nyi Cendani, seraya melangkah mendekat.
"Sebagian besar dari bangkai ular sudah dibawa pergi oleh elang-elang itu,
termasuk juga ular bermahkota itu," kata Ki Ragil Kuniran.
"Uh ... sayang sekali!" keluh Nyi Cendani.
Nenek itu terdiam. Suasana di ruangan itu kembali lengang, yang terdengar
hanyalah helaan napas dalam-dalam. Ki Ragil Kuniran kembali tenggelam dalam
lamunan, demikian juga dengan Ki Sampar Angin, pikirannya mengembara mencari
tahu siapa gerangan kakek berjubah putih berbulu burung yang diceritakan oleh
sahabat karibnya itu. "Rasa-rasanya, aku pernah mendengar ciri-ciri itu. Kakek berjubah putih berbulu
burung, dengan tubuh memancarkan cahaya keperakan dari ujung rambut sampai ke
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujung kaki!" Aku yakin pernah mendengarnya. Tapi kapan dan dimana" Andaikata
guruku atau ayahku masih hidup, tentu tahu siapa tokoh yang memancarkan cahaya
keperakan itu. ?h ... pusing aku!" pikirnya.
Di saat semua orang sedang berkecamuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba
dari luar terdengar desau angin yang ganjil. Malam itu sedang bulan bulat penuh,
yang semula sunyi sepi hanya terdengar suara jengkrik dan serangga lain, kini
berubah suara dengan lirih dan akhirnya berhenti sama sekali. Angin malam
semakin lama semakin meningkatkan alirannya. Suara desir yang tidak seperti
biasanya, menggugah Ki Ragil Kuniran dari lamunan panjang.
"Angin ini ... sama persis dengan suara angin yang kurasakan dalam mimpiku,"
desisnya lirih. Semua orang tercenung mendengar desisan lirih itu. Tiba-tiba saja, terdengar
pekikan nyaring dari atas wuwungan rumah ...
Awwkkk! Awwkkk! "Pekikan elang!" gumam Ki Sampar Angin, mengenali suara nyaring melengking yang
meningkahi desiran angin yang semakin meningkat tajam.
Ki Ragil Kuniran segera bergegas keluar, diikuti dengan yang lain, kecuali
Gineng yang sudah terlelap tidur di atas dipan. Lurah desa Watu Belah itu sampai
di halaman, lalu memandang ke atas wuwungan rumah. Semua orang melihat sebentuk
makhluk yang memancarkan cahaya putih keperakan karena tertimpa cahaya bulan
purnama, yaitu satwa penguasa angkasa, burung elang yang berbulu putih
keperakan! "Itulah elang yang kuceritakan tadi, Kakang Sampar Angin," kata Ki Ragil
Kuniran. "Elang putih keperakan yang bertarung dengan ular bermahkota tadi
siang." Elang berbulu putih keperakan itu bertengger di atas wuwungan rumah dengan
gagah. Tidak seperti tadi siang yang memimpin kawanan elang saat bertarung
dengan gerombolan ular, sekarang elang itu datang sendirian. Bulu putih
berkilauan terkena pantulan cahaya bulan purnama. Angin yang semula meningkat
tajam, sontak hilang dan berganti dengan hawa dingin menusuk tulang. hawa ini
terlalu dingin untuk ukuran desa yang letaknya memang berada di kaki gunung.
"Kenapa hawa jadi dingin membeku begini," gumam kepala desa Cluwak Bodas, Ki
Sampar Angin. Tanpa diperintah, seluruh hawa tenaga dalam yang dmilikinya perlahan mengaliri
seluruh tubuh, mendesak hawa dingin yang semakin pekat. Sedikit demi sedikit
hawa dingin membeku dapat ditekan seminimal mungkin. Tindakan Ki Sampar Angin
diikuti semua khalayak yang hadir disitu. Nyi Cendani, Ki Ragil Kuniran dan dua
orang Jagabaya melakukan hal yang sama. Hanya dua orang Jagabaya yang tenaga
dalamnya agak rendah. Tubuh mereka berdua langsung menggigil kedinginan. Gigi
berkerotokan, seluruh tulang rasanya menciut, wajahnya pias memucat.
Nyi Cendani beringsut ke belakang dua Jagabaya, lalu menempelkan dua tapak
tangannya ke punggung dan mengalirkan hawa panas ke dalam tubuh mereka berdua.
Tak berapa lama, dua orang itu sudah bisa mengatasi hawa dingin membeku.
"Terima kasih, Nyi Cendani," ucap salah seorang diantara Jagabaya yang bertubuh
gempal. Nenek dukun bayi itu hanya mengangguk pelan. Mata tuanya memandang burung elang
berbulu putih itu dengan seksama, termasuk juga orang-orang yang ada di
pelataran rumah. Ki Sampar Angin manggut-manggut, sambil mengelus-elus jenggot
kelabunya yang panjang. "Menurutku, mungkin burung itu yang dimaksud dengan 'Penunggang Angin', Adi
Kuniran," kata Ki Sampar Angin tanpa menoleh ke arah Ki Ragil Kuniran yang
berdiri di sampingnya. "Betul Kakang. Aku juga berpikir sama! Aku yakin bahwa yang dimaksud dengan
Penunggang Angin adalah elang putih keperakan itu," sahut Ki Ragil Kuniran.
Tiba-tiba, terdengar sebuah suara tanpa wujud yang menggema di tempat itu. Suara
seorang kakek! "Cucuku, Ragil Kuniran! Sudah tiba saatnya anakmu lahir ke dunia! Aku telah
memilihnya sebagai pewaris Tahta Angin. Sebagai seorang pewaris, maka seluruh
apa yang kumiliki akan menjadi milik anakmu. Aku minta kepadamu, jagalah
pewarisku dengan sebaik-baiknya. Selain kau dan istrimu, Si Perak juga akan
menjaga dan mengasuh anakmu! Dan aku minta, berilah nama anakmu Paksi Jaladara."
Suara itu menggema di seantero tempat itu. Ki ragil kuniran yang selama ini
diliputi dengan rasa penasaran terhadap mimpinya, tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. "Maaf, jika boleh saya tahu, siapa Andika ini sebenarnya" Dan mengapa memilih
anakku sebagai pewaris?" tanya Ki Ragil Kuniran, dengan rasa ingin tahu yang
menyala-nyala. "Ha-ha-ha-ha ... ! Sebenarnya aku malu mengatakan siapa diriku. Baiklah, karena
kau yang meminta, kau boleh menyebutku Si Elang Berjubah Perak! Perkara aku
memilih anakmu sebagai pewaris, hanya Hyang Widhi yang tahu! Biarlah nanti waktu
yang akan menjawabnya! Sudahlah, waktuku tidak banyak! Sebagaimana janjiku
padamu, terimalah 'Telapak Tangan Bangsawan' sebagai rasa terima kasihku.
Selamat tinggal ... !"
Suara tanpa rupa, yang menyebut dirinya Si Elang Berjubah Perak, menghilang.
Seolah tertelan kegelapan malam dan terangnya rembulan. Suasana kembali menjadi
sunyi. Udara kembali normal, tidak dingin membeku seperti sebelumnya.
"Si Elang Berjubah Perak," gumam Nyi Cendani. "Rasa-rasanya aku pernah mendengar
nama tokoh itu dari guruku, tapi siapa dia" Tapi aku yakin, dia adalah tokoh
golongan putih. Ki Ragil, apa kau tahu siapa dia?"
Yang ditanya hanya diam saja. Matanya terpejam dengan kepala tertunduk. Telapak
tangannya menegang kencang terselimuti cahaya tipis kuning keemasan. Semua yang
hadir di situ menjauhi Ki Ragil Kuniran sambil memandang heran.
"Apa ini yang namanya 'Telapak Tangan Bangsawan'?" gumam Nyi Cendani, lirih.
Semua orang juga bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dialami oleh Ki
Ragil Kuniran saat ini"
Dalam pada itu, Ki Ragil Kuniran merasakan hawa panas menyengat menjalar melalui
telapak kakinya. Seolah-olah di bawahnya adalah tungku pembakaran yang panas
membara. Tangan terkepal mengencang keras, dimana cahaya tipis kuning keemasan
semakin lama semakin menebal hingga menjalar sampai pergelangan tangan dan naik
sampai siku. Di dalam daya nalarnya, terngiang sebuah suara yang bernada
memerintah, suara Si Elang Berjubah Perak. Rupanya Si Elang Berrjubah Perak
tidak benar-benar pergi dari tempat itu, dan suaranya cuma Ki Ragil Kuniran saja
yang mendengar! "Cucuku, serap hawa 'Gaib Inti Panas Bumi' itu dan alirkan menuju telapak
tanganmu. Satukan dengan hawa sakti yang ada di pusar. Tarik terus ke atas
hingga semua berkumpul di telapak tanganmu! Bagus, bagus! Ya, seperti itu!"
Ki Ragil Kuniran mengikuti perintah Si Elang Berjubah Perak. Kekuatan gaib 'Inti
Panas Bumi' terus menjalar dari pusar terus ke sekujur tubuh dan akhirnya
mengalir ke telapak tangan, sehingga cahaya kuning keemasan tampak semakin jelas
terlihat. "Bagus! Geser kaki kiri ke belakang dan tarik kedua tangan sampai di samping
pinggang. Sekarang ... hentakkan kaki kanan ke bumi dan dorong kedua telapak
tanganmu ke arah pohon yang ada di depanmu!"
Ki Ragil Kuniran segera saja menggeser kaki kiri ke belakang, kedua tangan di
tarik ke samping pinggang. Lalu didorongkan ke depan dengan mantap, diikuti
dengan hentakan kaki kanan ke bumi.
Wuushh! Srakk! Srakkk ... !!!
Terlihat bayangan sepasang telapak tangan raksasa berwarna kuning keemasan
menebarkan hawa panas membara melesat cepat bagai kilat dan menghantam pohon
yang besarnya sepelukan orang dewasa hingga hancur lebur berkeping-keping. Tanah
yang dilewati bayangan itu seolah diaduk dengan bajak yang ditarik sepuluh ekor
kerbau! Blarrrr ... !! Suara benturan itu mengguncangkan seluruh penjuru desa, guncangan itu begitu
keras, seakan-akan sekitar tempat itu terkena gempa bumi yang dahsyat.
Ki Ragil Kuniran terpana melihat hasil pukulannya, lalu melihat kedua telapak
tangannya berganti-ganti yang masih menyisakan cahaya tipis kuning keemasan.
Beberapa saat kemudian, cahaya kuning keemasan itu lenyap dari tangannya dan
berganti menjadi semacam gambar atau rajah berbentuk telapak tangan berwarna
kuning emas di masing-masing telapak tangan!
Tiba-tiba, telinganya mendengar suara Si Elang Berjubah Perak.
"He-he-he-he! Bagus, cucuku! Nah, jika kau ingin menggunakannya, gosoklah kedua
telapak tanganmu tiga kali untuk menarik hawa 'Gaib Inti Panas Bumi', lalu
alirkan hawa 'Gaib Inti Panas Bumi' ke telapak tanganmu. Satukan dengan hawa
sakti yang ada di pusar. Tarik terus ke atas hingga semua berkumpul di telapak
tanganmu! Kau pun kuijinkan mewariskan ilmu 'Telapak Tangan Bangsawan' pada
anakmu, atau pada siapa saja dengan syarat harus digunakan untuk membela
kebenaran dan keadilan! Nah, cucuku, selamat tinggal!"
Semua khalayak yang hadir memandang takjub.
Tontonan yang mungkin pertama kali mereka saksikan, yang biasanya hanya
mendengar saja tentang kehebatan tokoh-tokoh legendaris rimba persilatan atau
mungkin hanya cerita mambang tentang kesaktian para dewa. Kini, mereka berempat
seolah sebagai saksi tentang munculnya sebuah ilmu pukulan yang dahsyat luar
biasa sekaligus menakutkan, pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan'!
Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani, bergidik ngeri dan membayangkan bagaimana
jadinya jika pukulan maut berbentuk bayangan telapak tangan raksasa itu mengenai
tubuh manusia, pastilah tubuh hancur lebur menjadi bubur daging. Sedangkan dua
Jagabaya sampai gemetar saking kaget dan takut. Tubuh mereka menggigil seperti
orang kedinginan, saat menyaksikan tumpahan ilmu olah kanuragan yang baru
pertama kali mereka lihat. Akhirnya mereka berdua jatuh pingsan karena ketakutan
yang mendera batin. Beberapa saat kemudian, dari atas langit melesat cahaya terang berwarna putih
keperakan. Weessshh! Cahaya putih keperakan itu langsung menabrak burung elang putih keperakan yang
sejak tadi bertengger di atas wuwungan dan melihat setiap kejadian di pelataran
dengan matanya yang merah saga, dibalut bulatan coklat ditengahnya.
Blasssh! Aneh, cahaya itu seakan-akan menembus tubuh elang dan langsung masuk ke dalam
rumah. Tepatnya di bilik, dimana Nyi Salindri dan Mbok Inah berada.
"Istriku!" seru Ki Ragil Kuniran, saat teringat bahwa di dalam bilik itu
istrinya yang hamil tua berada.
Blasss! Tubuh laki-laki berbaju hitam itu berkelebat cepat, diikuti dengan yang lain.
Ada yang lain dari kelebatan laki-laki itu, lebih cepat dan lebih ringan dari
pada biasanya. Namun karena semua diliputi ketegangan yang semakin memuncak,
mereka semua tidak ambil dengan perubahan diri Ki Ragil Kuniran.
Zlapp! Ketika sampai di depan pintu bilik kamar tidurnya, terdengar suara nyaring yang
selama ini sangat dirindukan Ki Ragil Kuniran, suara tangis bayi!
"Ooeeekhh! Ooeeekhh ... !"
Mendengar tangis bayi, Nyi Cendani bergegas masuk ke dalam bilik.
"Laki-laki tidak boleh masuk," katanya dengan suara cempreng, lalu menutup pintu
bilik. Nyi Cendani membalikkan badan, dan saat itu matanya melotot melihat pemandangan
di depannya. Sebuah kejadian ganjil kembali disaksikan untuk kedua kalinya,
sedangkan Mbok Inah berdiri menggigil ketakutan, karena Nyi lurah melahirkan
bayi mungil berjenis kelamin laki-laki!
Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat Mbok Inah ketakutan, bukan karena Nyi
Salindri yang melahirkan tanpa bantuan seorang dukun bayi, tetapi karena
keanehan yang terjadi pada bayi merah itu. Bayi montok berkulit putih bersih itu
ternyata yang sudah bisa duduk, seperti bayi berumur lima enam bulan!
Dan lebih anehnya lagi, tali pusarnya sudah hilang entah kemana dan tidak ada
noda darah sedikitpun di sekujur badannya. Betul-betul keajaiban yang sulit di
nalar dengan akal sehat. Anak Ki Ragil Kuniran memiliki mata bening, sebagaimana
layaknya mata seorang bayi, namun pandangan mata bocah itu sangat tajam seperti
mata orang dewasa atau setidaknya orang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi.
Sedangkan kondisi Nyi Salindri pun bukan seperti wanita yang habis melahirkan,
yang tergolek lemah kehabisan tenaga sehabis melahirkan. Wajah Nyi lurah
berbinar-binar penuh kegembiraan. Kemudian tangan kanannya melambai ke arah sang
anak. "Sini, sayang ... dekat sama Ibu ... "
Bayi montok itu merangkak ke arah ibunya, dan akhirnya sampai di pelukan sang
ibu. Nyi Salindri mencium anaknya dengan gemas.
Nyi Cendani hanya terlongong bengong seperti sapi ompong. Peristiwa yang
dialaminya hari ini, betul-betul mengejutkan. Nyi Cendani mendekati ranjang Nyi
Salindri. "Nyi lurah, bagaimana keadaanmu?" tanya Nyi Cendani.
"Entahlah, Nyi Cendani, aku sendiri juga bingung dengan kejadian yang baru saja
kualami," kata Nyi Salindri masih memeluk bocah itu.
Nyi Cendani hanya manggut-manggut saja. Tiba-tiba saja, daun pintu diketuk dari
luar. Tok! Tok! Tok! "Nyi Cendani, bagaimana keadaan istri dan anakku" Apa baik-baik saja" Tolong
buka pintunya, aku ingin masuk."
Nyi Cendani bergegas membuka pintu, dan tampaklah Ki Ragil Kuniran dengan wajah
harap-harap cemas. Laki-laki itu masuk diiringi Ki Sampar Angin.
"Silahkan masuk, Ki Ragil! Istri dan anakmu tidak apa-apa," kata Nyi Cendani,
sambil menunjuk ke arah Nyi Salindri.
"Nyi, bagaimana kea ... "
Suara Ki Ragil tercekat di tenggorokan melihat pemandangan yang terpampang di
depan mata, melihat istrinya sedang menyusui anaknya yang baru saja lahir ke
dunia. Matanya di kucal-kucal untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan
mimpi. Ki Sampar Angin juga mengkerutkan kening, dengan pandangan tidak percaya.
"Apa benar yang kulihat ini," pikirnya.
Ki Ragil Kuniran menoleh ke arah Nyi Cendani dengan pandangan mata bertanya.
"Jangan tanya aku, Ki! Aku sendiri juga bingung dan heran melihat kelahiran
anakmu! Anak baru saja lahir sudah bisa merangkak. Ini sudah diluar nalarku
sebagai manusia!" kata Nyi Cendani, menjawab pandangan mata laki-laki itu.
Sementara itu, Mbok Inah sudah mulai bisa menenangkan diri. Dirinya tidak
ketakutan seperti sebelumnya. Bibi tua itu segera mendekati majikannya, dengan
takut-takut. "Maaf ... Ki lurah, saya ... saya ... "
"Tidak apa-apa Mbok! Terima kasih simbok telah menjaga istriku dengan baik. Oh
ya ... Mbok, mungkin Mbok Inah bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya,"
tanya Ki Ragil Kuniran. Laki-laki itu duduk di sebelah kiri ranjang dan mulai mengelus-elus kepala
anaknya. Bocah kecil itu hanya menoleh sekilas, sambil tertawa riang memamerkan
mulutnya yang bergigi dua. Ki Ragil Kuniran membalas dengan senyuman.
"Begini Ki Lurah, waktu itu saya dan Nyi Lurah sedang ngobrol. Tiba-tiba
terdengar ledakan keras seperti suara petir yang menggelegar. Entah suara apa
saya tidak tahu. Terus rumah ini seperti dilanda gempa bumi, seperti mau kiamat.
Setelah guncangan itu reda, tiba-tiba melesat cahaya putih dari atas. Cahaya itu
berputar-putar di dalam bilik ini. Lama-kelamaan seperti membentuk bayangan
burung, entah burung apa saya tidak tahu. Lalu bayangan itu melesat masuk ke
dalam perut Nyi lurah yang sedang tiduran di ranjang. Nyi lurah tidak bisa
menghindar karena gerakan cahaya itu cepat sekali. Setelah cahaya itu masuk,
tiba-tiba Nyi lurah merasakan perutnya mules, mungkin karena kemasukan cahaya
itu. Baru saja saya akan menyentuh perutnya, tiba-tiba ... tiba-tiba ... "
"Tiba-tiba apa Mbok?" potong Nyi Cendani dengan cepat.
"Tiba-tiba bayi itu ... keluar sen ... diri, Ki Lurah," ucap Mbok Inah dengan
terbata-bata. "Hahhh!?" kali ini Ki Sampar Angin yang kaget. "Ngomong yang benar, Mbok!"
Mbok Inah sampai terlonjak kaget!
"Be ... benar, Ki Sampar Angin, saya tidak bohong. Tanya saja Nyi lurah, kalau
tidak percaya," kata Mbok Inah, sambil mengelus dada karena dibentak Ki Sampar
Angin. Semua mata memandang ke arah Nyi Salindri. Bayi ajaib itu kini tertidur pulas di
pelukan ibunya setelah kenyang.
"Betul kata Mbok Inah," sahut Nyi Salindri, pendek. "Mbok, lebih baik simbok
istirahat saja di kamar."
"Tapi, Nyi ... "
"Nggak apa-apa, saya sudah baikan," kata Nyi Salindri dengan halus.
Mbok Inah hanya mengangguk pelan, lalu keluar dari bilik Nyi Salindri.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran masih mengelus-elus kepala anaknya dengan rasa
sayang sebagai seorang ayah. Kepalanya manggut-manggut mendengar cerita Mbok
Inah. "Persis dengan apa yang kulihat dalam mimpiku," pikirnya.
Memang Ki Ragil Kuniran sengaja tidak menceritakan mimpinya secara lengkap,
takut jika mimpi itu hanya kembang tidur saja atau malah takut perkataan
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dianggap cerita bohong. Sekarang mimpi itu telah menjadi sebuah kenyataan yang
memang harus diterimanya dengan ikhlas.
Kini lengkap sudah kebahagiaan yang selama ini diimpikan. Meski kebahagiaan itu
diikuti dengan beban berat yang belum terjawab dengan kelahiran anak laki-
lakinya itu. Tiba-tiba tangan yang mengelus itu menyentuh sesuatu yang aneh di
bagian dahi. "Apa ini?" Ki Ragil Kuniran menyibak rambut anaknya dengan pelan, supaya bocah itu tidak
terjaga dari tidurnya. Matanya yang tajam mengamati sebentuk gambar yang tertera
di dahi anaknya. "Rajah kepala elang," gumamnya.
Nyi Cendani dan Ki Sampar Angin beranjak dari tempatnya semula, mendekati Ki
Ragil Kuniran dari sisi kiri. Nyi Salindri juga melihat gambar yang diraba oleh
suaminya. "Ada apa, Adi?" tanya Ki Sampar Angin.
"Coba Kakang Sampar Angin lihat, apa ini benar rajah bergambar kepala elang atau
tanda lahir anakku?" kata Ki Ragil Kuniran.
Nyi Cendani dan Ki Sampar Angin mengamati gambar itu dengan seksama.
"Itu rajah, bukan tanda lahir," kata Nyi Cendani dengan yakin.
"Apa Nyi Cendani yakin?"
"Yakin sekali! Kalau tanda lahir biasanya berwarna hijau keabu-abuan atau
coklat, sedangkan yang dimiliki anakmu berwarna putih. Itu hal yang tidak lazim
sebagai tanda lahir. Dan saya yakin bahwa tanda itu memilki arti tertentu,"
terang Nyi Cendani. Semua khalayak mengangguk-anggukkan kepala.
Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, dan duduk di kursi yang ada di pendapa,
sedangkan Nyi Salindri sudah memeluk anaknya dengan kasih sayang seorang ibu.
"Hemmm, pusing kepalaku," desah Ki Sampar Angin, sambil meletakkan pantatnya di
kursi. Laki-laki parobaya yang usianya sepantaran dengan Ki Ragil Kuniran itu
melepas blangkon, kemudian mengusap-usap kepalanya untuk mengurangi rasa pening.
"Pusing kenapa, Ki Sampar Angin"' tanya dukun bayi itu, heran.
"Bagaimana tidak pusing, semua kejadian malam ini sungguh di luar dugaanku! Luar
biasa! Saat aku diberitahu Gineng bahwa istri sahabatku ini mau melahirkan, aku
tidak berpikir bahwa peristiwanya akan menjadi seperti ini. Munculnya suara gaib
si Elang Berjubah Perak, lalu Adi Ragil yang kinayungan pukulan 'Telapak Tangan
Bangsawan', sampai cerita si kecil keluar sendiri dari rahim ibunya. Lalu rajah
putih berbentuk kepala elang di dahi. Semua itu tidak bisa diterima oleh otakku
yang sudah karatan ini," cerocos Ki Sampar Angin, sambil geleng-geleng kepala.
"Hi-hi-hi-hik, kau kira hanya kau yang pusing! Aku pun juga mumet! Masa' bayi
yang seharusnya kutangani kelahirannya, malah keluar dengan sendirinya," ucap
Nyi Cendani dengan terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha-ha!" Tawa Ki Ragil Kuniran dan Ki Sampar Angin hampir bersamaan.
"Yahhh, memang begitulah kalau Yang Di Atas sudah berkehendak, kita sebagai
manusia hanya bisa menerima saja, bukankah begitu, Kang?" ucap Ki Ragil Kuniran
menimpali. "Betul ... betul sekali, Adi! Aku setuju dengan pendapatmu!"
Nyi Salindri berjalan mendekat tiga orang yang sedang ngobrol sambil menggendong
bayinya, lalu duduk di sebelah suaminya. Ki Ragil Kuniran menggeser duduknya ke
kanan. Nyi Salindri mengulurkan tangan yang menggendong bayi ke arah suaminya.
Ki Ragil Kuniran menerima lalu menimang-nimang bocah yang lahir dengan segudang
keanehan itu. "Tapi, ngomong-ngomong, anak laki-lakimu ini kau beri nama siapa, Kakang?" tanya
Nyi Salindri, setelah duduk di samping suaminya.
Ki Ragil Kuniran menoleh ke arah istrinya, lalu menoleh pada Ki Sampar Angin dan
Nyi Cendani. Kedua orang itu hanya mengangguk saja.
"Nyi Cendani dan Kakang Sampar Angin, biarlah kalian berdua sebagai saksinya.
Mulai hari ini, saat ini juga, anakku ini aku beri nama ... Paksi Jaladara!"
kata Ki Ragil Kuniran. Sekejab setelah kata-kata Ki Ragil Kuniran selesai, dari dahi bayi mungil yang
kini bernama Paksi Jaladara itu memancarkan cahaya putih terang keperakan,
seperti pertanda bahwa dirinya menerima nama yang kini disandangnya.
Paksi Jaladara! Yang melihat hanya berdecak kagum melihat keanehan pada diri putra Ki Ragil
Kuniran. Bersamaan itu pula, elang putih keperakan yang sedari tadi bertengger
di atas wuwungan, terbang berputaran di atas rumah dengan suara melengking
nyaring. Aawwwkkk! Aawwwkkk! Semua khalayak yang ada disitu hanya memandang burung elang yang berputaran itu.
"Elang siapa itu, kakang?" tanya Nyi Salindri, heran. " ... setahuku, di desa
kita tidak ada burung elang, sarangnya pun juga tidak ada."
"Oooh ... itu miliknya Paksi, anakmu," sahutnya Ki Ragil Kuniran, pendek.
Tangannya masih menimang-nimang Paksi Jaladara dengan pelan, sementara bocah
mungil itu tertidur lelap dalam buaian sang ayah. Dahi Paksi Jaladara sudah
tidak lagi memancarkan cahaya terang. Bocah itu tertidur pulas ditimang-timang
oleh ayahnya. "Milik Paksi?" "Iya ... milik Paksi!"
"Kok bisa" Kapan kakang memeliharanya?"
Kemudian, Ki Ragil Kuniran menceritakan seluruh rentetan peristiwa yang terjadi
hari ini, dari awal pertarungannya dengan ular hijau lumut sampai terjadinya
guncangan hebat akibat pukulan yang dilontarkannya, yang diterimanya langsung
dari si Elang Berjubah Perak secara gaib. Bahkan sampai mimpi yang dialaminya,
semua diceritakan dengan lengkap, tidak ada yang tercecer sedikitpun. Sebagian
mimpi yang pernah didengar Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani, dilengkapi oleh Ki
Ragil Kuniran sampai sedetail-detailnya. Semua yang mendengar uraian mengangguk-
angguk pelan. Sekarang pahamlah mereka tentang segala rentetan peristiwa yang
terjadi. "Bukan main, aku yakin putramu kelak akan menjadi seorang tokoh besar, Adi."
ucap Ki Sampar Angin, sembari menoleh pada Paksi Jaladara yang kini tertidur.
"Dengan patokan serentetan kejadian yang kalian alami, aku bisa menyimpulkan
bahwa anakmu mengemban tugas khusus. Tugas yang mulia. Entah tugas seperti apa
yang dibebankan pada Paksi Jaladara oleh kakek berjubah yang mengaku si Elang
Berjubah Perak itu."
Semua khalayak tercenung mendengar uraian Ki Sampar Angin, orang nomor satu dari
desa Cluwak Bodas. Memang laki-laki yang selalu memakai blangkon itu patut
diacungi jempol, otak encernya dalam menganalisa setiap masalah, selalu
memberikan pikiran atau ide-ide cemerlang dan sukar dibantah kebenarannya.
"Kakang Ragil, bagaimana kalau kita bertanya pada ayah atau Kakang Jalu" Mungkin
beliau tahu siapa adanya si Elang Berjubah Perak itu," usul Nyi Salindri,
menimpali. "Iya ... betul! Kenapa aku sampai lupa pada ayah"!" seru Ki Ragil Kuniran sambil
menepak jidat dengan keras.
"Iya ... ya, kenapa kita tidak berpikir ke sana! Mungkin Ki Ageng Singaranu
mengetahui siapa tokoh misterius yang bernama si Elang Berjubah Perak itu," kata
Nyi Cendani manggut-manggut.
"Baiklah, aku akan bertanya pada ayah," kata Ki Ragil Kuniran, memutuskan.
"Kira-kira kapan kakang akan berangkat"'
"Yahhh ... mungkin kalau umur Paksi sudah cukup, sekalian saja diajak. Hitung-
hitung ... biar Paksi tahu kakeknya," kata Ki Ragil Kuniran sambil menimang-
nimang anaknya itu. Paksi Jaladara menggeliat lucu. Tangannya diangkat tinggi-tinggi sambil menguap.
Semua mata memandang bocah ajaib ini dengan pandangan penuh misteri. Pandangan
yang menorehkan harapan besar pada bocah yang memiliki rajah kepala elang!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat
Lima tahun kemudian ... Seorang bocah berusia lima tahun lebih sedang bermain-main di pelataran yang
cukup luas dan asri, karena banyak pepohonan tumbuh dengan subur. Bocah itu
memakai ikat kepala merah dengan baju dan celana biru muda yang diikat sehelai
sabuk kain yang juga berwarna merah. Wajahnya yang bersih tampak kemerah-merahan
tertimpa sinar matahari pagi. Meski masih bocah, namun tampak gurat ketampanan
yang tersirat di wajahnya. Mata bening kecoklatan dengan alis menukik seperti
sayap elang. Bibir mungilnya selalu tersenyum-senyum riang. Badan dan tulangnya
kokoh dengan kulit putih bersih. Kaki-kakinya yang kecil pendek melompat-lompat
mengejar burung putih keperakan yang terbang rendah. Burung itu hanya terbang
berputaran di sekitar halaman itu, dialah kawan main si bocah berikat kepala
merah. Tangannya berusaha menangkap burung itu, sambil tertawa-tawa riang.
"Ha-ha-ha-ha, Perak! Sini ... sini ... kutangkap kau ... "
Sabuk merahnya berkibaran saat melompat ke atas. Walau pun lompatannya tidak
terlalu tinggi, nampak bahwa itu bukan lompatan seorang bocah biasa, tapi bocah
yang sudah terbiasa dengan ilmu silat atau setidaknya terlatih menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Burung putih keperakan yang tak lain adalah burung elang, yang dulu pernah bertarung dengan ular hijau
lumut lima tahun silam. Sedangkan bocah kecil berikat kepala merah itu tak lain
adalah Paksi Jaladara. Gerakan Paksi Jaladara kadang melompat, menyambar bahkan
menubruk Si Perak yang selalu bisa berkelit setiap kali Paksi berusaha
menangkapnya. Aaawwwkk! Si perak berteriak nyaring, memberi semangat pada Paksi Jaladara.
"Wah, kamu susah sekali ditangkap," ucapnya sambil tersenyum-senyum.
Kali ini gerakan bocah kecil itu sedikit lebih cepat dari sebelumnya, bahkan
kini meniru-niru gerakan Si Perak, sehingga nampak Paksi seolah-olah sedang
berlatih silat dengan meniru gerakan elang!
Jika elang itu bergerak ke kiri dengan sayap dimiringkan, Paksi mengikuti dengan
memutar badan ke kiri dengan tangan kiri melambai seperti sayap elang. Gerakan
elang perak semakin lama semakin cepat, dan Paksi pun semakin lama semakin cepat
pula menggerakan tangan dan kakinya, hingga Si Perak melenting tinggi seperti
bersalto dan hinggap di atas palang kayu tempat mengikatkan kuda.
Awwwkkk! "Hoi ... kok berhenti" Main lagi dong!" seru Paksi Jaladara, sambil mengikuti
gerakan melenting dan berdiri diatas palang kayu!
Tap! Awwkkk! Awwkkk! Elang putih keperakan itu berteriak serak sambil menggeleng-gelengkan kepala ke
kiri dan kenan, sembari mengepakkan sayap.
"Oh ... kau ingin aku mengulangi gerakanku tadi?" tanya bocah kecil itu.
Putra tunggal Ki Ragil Kuniran itu jongkok sambil mengelus-elus kepala Si Perak.
Elang putih keperakan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sungguh aneh,
kalau bocah sekecil itu sudah bisa paham bahasa isyarat, apalagi bahasa satwa
pemakan daging itu. Si Perak menggerakkan sayap kanan berkali-kali, menyuruh
Paksi mengulangi gerakan yang ditirunya.
"Baiklah," ucap Paksi.
Paksi Jaladara melenting ke atas sambil berjungkir balik tiga kali. Saat
menyentuh tanah, tubuhnya sudah bergerak cepat ke kiri dan ke kanan, dengan kaki
bergeser menyamping. Bocah cerdas itu terus menggerakkan tubuh meliuk-liuk.
Kedua tangan bergerak gemulai bagai sayap elang, kadang lembut kadang keras,
sedangkan kakinya menendang-nendang udara kosong. Kedua tangan kadang membentuk
cakar, mencengkeram dengan kokoh. Sepenanakan nasi kemudian, Paksi telah selesai
mengulang semua gerakan Si Perak dengan tuntas. Napasnya keluar dengan teratur,
tidak terengah-engah seperti layaknya orang yang berlatih silat. Tubuhnya lalu
melenting tinggi dan kembali berdiri tegak di atas palang kayu!
"Perak, bagaimana" Sudah betul belum?" tanya bocah itu sambil berjongkok dengan
satu kali. Kerrkk! Kerrk! "Oh ... begitu! Jadi gerakan kakiku kurang cepat ya" Tenagaku juga perlu
ditambah" Baiklah, kulangi sekali lagi!" ucap Paksi Jaladara.
"Heaaa ... " Diiringi teriakan keras, tubuh Paksi melenting tinggi, lebih tinggi dari
sebelumnya, lalu berjungkir balik beberapa kali. Gerakannya persis seperti
sebelumnya, hanya kali ini lebih cepat dan lebih bertenaga. Setiap tendangan,
sampokan tangan dan cakaran menimbulkan desiran angin tajam. Di pelataran rumah
yang cukup luas itu seperti dilanda angin ribut kecil, karena gerakan Paksi
dilambari dengan kekuatan tak kasat mata yang keluar tanpa disadari oleh bocah
itu. "Heyyaaa ... " Saat akan mengakhiri gerakannya, Paksi melenting tinggi ke atas, berbalik
membelakangi sambil kaki kiri dijulurkan dengan hentakan keras.
Wessshh! Dharr! Terdengar ledakan kecil saat kaki pendek itu menghantam tanah, sehingga yang
membentuk cekungan sedalam seperempat tombak dalamnya. Lalu tubuh kecil itu
melenting ke atas dan berdiri tegak di atas palang kayu, tempat dimana Si Perak
bertengger! Paksi Jaladara tertegun melihat cekungan dalam di tanah akibat tendangannya
tadi. "Wah ... bisa seperti itu ya?" gumamnya.
Awwkk! Kwwaak! Burung elang berteriak nyaring sambil mengepak-ngepakkan kedua sayapnya.
"Gerakanku sudah betul" Tapi tenaganya perlu ditambah lagi"!" jawab si bocah
sambil manggut-manggut. Paksi tidak tahu, bahwa gerakan yang dikiranya main-main dan hanya meniru
gerakan Si Perak adalah salah satu rangkaian ilmu silat yang dinamakan jurus
'Kelebat Ekor Elang', sebuah jurus yang mengandalkan gabungan kecepatan serangan
dan ilmu meringankan tubuh. Setiap serangan kaki yang dilambari dengan hawa
tenaga dalam yang tinggi bisa menghancurkan tebing. Belum lagi dengan desiran
angin tajam yang timbul akibat kecepatan serangan yang menggesek udara kosong
bisa merobek kulit. Semua kejadian itu tidak lepas dari pandangan mata seorang laki-laki yang sejak
tadi mengamati si bocah tampan dari teras rumah. Laki-laki dengan kumis tipis
menghias bibir, berbaju hitam lengan panjang dengan celana putih diikat dengan
sabuk kain warna hijau. Dialah Ki Ragil Kuniran, kepala desa Watu Belah!
"Bukan main! Anak yang cerdas! Hanya dengan sekali lihat, bisa menyerap gerakan
elang dan hapal di luar kepala. Tanpa seorang guru pun dia bisa belajar ilmu
silat, bahkan sudah paham ilmu ringan tubuh dan mencerna hawa tenaga dalam.
Untuk bocah seukuran dia, Paksi cukup hebat. Untunglah jiwanya bukan jiwa
perusak. Semoga saja kelak dia menjadi orang berguna, seperti yang dikatakan si
Elang Berjubah Perak dulu," pikir Ki Ragil Kuniran.
Kemudian, laki-laki berbaju hitam lengan panjang itu mengambil sebuah buntalan
kain kuning dan berjalan ke halaman depan, melewati palang kayu dimana Paksi dan
elang kesayangan 'sedang ngobrol', sebab memang dialah seorang yang paham bahasa
Si Perak. Di sana telah menanti kereta kuda dengan dua ekor kuda penariknya,
memasukkan buntalan kain kuning ke dalam kereta kuda.
Beberapa saat kemudian, keluar seorang wanita berparas cantik mengenakan pakaian
ringkas merah muda, seperti pakaian seorang pesilat. Dibelakangnya, mengiringi
seorang pemuda remaja berkulit sawo matang dengan baju buntung warna coklat
dengan celana pangsi berwarna putih sambil menenteng buntalan yang cukup besar,
lalu buntalan itu dimasukkan di belakang kereta kuda. Di pinggang sebelah kiri
terselip sebilah pisau panjang dengan sarung dari kayu dewandaru.
Yang paling belakang, seorang perempuan tua dengan kemben lurik berjalan dengan
santai, karena tidak membawa barang sedikit pun, juga menuju ke arah kereta
kuda. "Simbok benar tidak mau ikut?" tanya Ki Ragil Kuniran pada perempuan tua itu.
"Benar Ki Lurah! Biar saya saja yang menunggu di rumah. Saya cuma titip si
Gineng ini," kata perempuan tua, yang tak lain Mbok Inah.
Pemuda remaja berusia lima belas tahun berbaju buntung coklat itu tak lain
adalah Gineng, telah menjadi seorang pemuda berbadan tinggi besar dan kekar.
"Ya sudah! Biar Gineng ikut kami. Hitung-hitung cari pengalaman di luar. Siapa
tahu, waktu pulang malah bawa mantu buat simbok," kata wanita berpakaian ringkas
merah muda, yang tak lain Nyi Salindri.
"Nyi lurah ada-ada saja," jawab Gineng, pendek.
"Ha-ha-ha-ha! Betul, Nyi ... betul! Bukankah di padepokan ayah juga banyak
murid-murid gadisnya yang cantik-cantik" Atau malah si Gineng ini sudah kecantol
sama Sariti, putrinya Kakang Sampar Angin?" seloroh Ki Ragil Kuniran.
Gineng semakin tersipu malu.
"Ha-ha-ha-ha ... !"
Semuanya tertawa melihat tingkah polah pemuda itu yang kikuk. Nyi Salindri
segera naik ke dalam kereta kuda diikuti dengan Ki Ragil Kuniran. Sedangkan
Gineng mendekati simboknya, lalu meraih tangan dan mencium tangan Mbok Inah
dengan takzim.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gineng, hati-hati di jalan, yo le! Jaga bendoromu dengan baik," ucap Mbok Inah.
"Inggih, Mbok."
Gineng balik badan dan berjalan ke arah bagian depan, lalu dengan sigap duduk di
depan bangku pendek, meraih tali kekang kuda, karena dia ditugasi kusir kereta.
Ki Ragil Kuniran melongok keluar lewat jendela, lalu berkata, "Paksi, kamu ikut
ke rumah kakek tidak?"
"Ayah, Paksi ikut ke rumah kakek! Si Perak boleh diajak?"
"Ajak saja, biar tidak kesepian kalau ditinggal di rumah!" ucap Nyi Salindri.
"Ayo, Perak! Ikut ke rumah kakek," kata Paksi Jaladara.
Wutt!! Bocah berikat kepala merah itu melenting ke atas sambil jungkir balik ke arah
kereta. "Paksi! Awaass!"
Nyi Salindri berteriak kaget melihat gerakan jungkir balik itu, sedangkan
suaminya hanya tenang-tenang saja melihat gerakan Paksi.
"Tenang saja, Nyi! Tidak apa-apa!" kata laki-laki itu sambil menenangkan
istrinya. Hampir saja istrinya berlari menyongsong Paksi, jika saja tangannya tidak
dipegangi oleh suaminya. Jleg! Setelah melayang beberapa saat di udara dengan tangan terkembang, kaki kiri
Paksi terlebih dulu menyentuh bangku kosong di dekat Gineng, sedangkan Si Perak
sudah terbang berputar-putar di atas kereta kuda, sambil berteriak nyaring.
Aawwwkk! "Ilmu ringan tubuh yang bagus," pikir Gineng, saat melirik majikan kecilnya
duduk di bangku sebelah kirinya.
"Ayah, Paksi di depan saja, menemani Kakang Gineng," kata Paksi sambil melongok
ke dalam kereta. Saat melongok tadi, ibunya melotot besar. Yang dipelototi hanya tersenyum-senyum
sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Boleh! Gineng, jalankan kereta!"
"Baik, Ki!" Gineng segera menghela kereta kuda.
"Heeaaa! Heeeaaa ... "
Kereta kuda melaju dengan kencang, bagai anak panah lepas dari busurnya,
meninggalkan rumah kediaman Ki Ragil Kuniran. Kuda dihela dengan tenang dan
pelan, namun sudah melaju dengan kencang.
Sementara itu di dalam kereta, Nyi Salindri masih kaget saat menyaksikan Paksi
jungkir balik di udara. Wanita cantik itu lalu menoleh ke arah suaminya dengan
pandangan bertanya. "Bukan aku yang mengajarinya," jawab Ki Ragil Kuniran, dengan kepala menggeleng-
geleng, seolah sudah tahu pertanyaan lewat pandangan mata itu.
"Lalu siapa?" "Si Perak!" "Si Perak" Mana mungkin seekor burung bisa mengajari ilmu silat pada anak
manusia, masih bocah lagi. Kakang Ragil jangan bohong!"
"Siapa yang bohong?"
Ki Ragil Kuniran menceritakan apa yang dilihatnya pagi tadi, saat Paksi Jaladara
bermain dengan elang kesayangannya, semua diceritakan kepada istrinya dengan
panjang lebar. "Aku yakin, Si Perak pasti mengajari sesuatu pada Paksi tanpa sepengetahuan kita
berdua ... " kata Ki Ragil Kuniran. " ... apalagi dengan adanya tanda lahir di
kening berbentuk rajah kepala elang putih dan proses kelahirannya yang aneh itu,
aku yakin anak itu memiliki keistimewaan terpendam yang lain, yang belum kita
ketahui. Sementara ini yang kita tahu secara pasti adalah bahwa Paksi bisa
bercakap-cakap dengan segala macam bangsa burung."
Nyi Salindri mengangguk-anggukkan kepala.
Sedang bocah yang dibicarakan kedua orang tuanya, sedang asyik ngobrol ngalor
ngidul dengan Gineng, yang berada di depan sebagai kusir. Bocah berikat kepala
merah berbaju biru yang selalu riang dan tertawa-tawa, seperti layaknya bocah
pada umumnya. "Gerakan Den Paksi tadi hebat, lho ... "
"Masak cuma jungkir balik saja sudah hebat" Pasti lebih hebat Kakang Gineng,
karena Kakang diajari langsung sama Ayah. Sedangkan aku hanya meniru gerakan Si
Perak saja," ucap bocah itu sambil memperhatikan cara Gineng mengendalikan
kereta. "Oh ... begitu! Lalu sama Si Perak, Den Paksi meniru gerakan apa saja" Yang
paling hebat aja dech ... " tanya Gineng, ingin tahu lebih dalam.
Bocah itu terdiam beberapa saat, menimbang-nimbang jawaban yang ingin diberikan.
"Emmm, tapi jangan bilang sama ayah, ya" Janji?" kata si bocah sambil mengajukan
jari manis sebelah kanan ke atas. Seperti orang mau janjian saja.
Gineng hanya tertawa saja, lalu mengajukan jari manis kirinya, terus kedua jari
berbeda ukuran itu saling bertaut, sambil berkata, "Aku berjanji sama Den
Paksi." Kemudian Paksi beringsut mendekati telinga kiri Gineng, dan membisikkan sesuatu.
Gineng hanya mengkerutkan alis, lalu Paksi kembali duduk ke bangku kembali.
"Den Paksi tidak berbohong?" tanya Gineng, seolah tidak yakin dengan apa yang
baru saja didengarnya. Paksi hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Yakin bisa melakukannya?" ulang Gineng bertanya.
Paksi menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Ha ... ha ... heh ... "
Gineng tertawa lebar sambil memandang majikan muda untuk mencari kepastian. Di
mata bocah itu, yang terlihat sebuah kepastian bahwa dirinya bisa melakukan hal
itu. "Bisa terbang" Mana ada manusia yang bisa terbang" Punya sayap pun tidak," kata
hatinya dengan ragu. "Tapi, kalau melihat tatapan matanya, Den Paksi tidak
berbohong. Ahhh ... entahlah. Namanya juga bocah, pasti khayalannya kemana-
mana." Kereta kuda melaju dengan kencang ke arah matahari terbit, sementara elang putih
keperakan mengikuti laju kereta dari atas. Setelah melewati dua bukit yang
dipisah oleh aliran sungai yang cukup lebar, mereka beristirahat sejenak untuk
melepaskan lelah. Gineng melepaskan kuda dari kereta, dan membiarkan kuda itu
merumput di tepi sungai. Nyi Salindri membuka perbekalan, sedangkan Paksi ngobrol dengan ayahnya dan juga
Gineng. Sementara Si Perak, elang putih keperakan itu bertengger di atas sebuah
batu, sambil menikmati daging asap yang diberikan Nyi Salndri. Mereka berlima,
termasuk Si Perak, makan minum dengan nikmat. Ki Ragil Kuniran dan Nyi Salindri
sangat senang melihat kerukunan antara Paksi Jaladara dengan Si Perak dan juga
Gineng, yang oleh suami-istri itu sudah dianggap sebagai anak sendiri!
Setelah cukup beristirahat, dan kuda-kuda itu kenyang merumput, perjalanan
dilanjutkan kembali. Perjalanan mereka tidak banyak mengalami hambatan, bisa
dikatakan berjalan mulus. Saat memasuki padukuhan Selo Gilang, hari sudah
menjelang malam. Ki Ragil Kuniran mencari sebuah penginapan dan mereka berlima
menginap di padukuhan Selo Gilang.
Keesokan harinya, setelah mandi sehingga badan segar dan mengisi perut,
rombongan keluarga kecil itu melanjutkan perjalanan ke Padepokan Singa Lodaya
yang berada di kaki Gunung Singa Putih, yang jaraknya tinggal beberapa ratus
tombak saja dari padukuhan Selo Gilang. Memang, pada awalnya Nyi Salindri ingin
langsung saja menuju ke padepokan, tapi Ki Ragil Kuniran menyarankan bahwa tidak
baik bertamu terlalu malam. Akhirnya Nyi Salindri hanya pasrah saja dengan
keputusan suaminya. Padepokan Singa Lodaya, adalah sebuah perguruan ilmu joyo kawijayan guno
kasantikan (olah kanuragan) yang dipimpin oleh Ki Ageng Singaranu, seorang tokoh
sakti yang pada masa itu jarang memiliki tandingan. Seorang dedengkot golongan
putih yang usianya mendekati sembilan puluh tahun, seluruh rambut di kepala dan
jenggot sebagaian besar sudah memutih. Kakek itu gemar sekali mengenakan baju
abu-abu dipadu dengan celana biru tua.
Sepak terjangnya di rimba persilatan dalam memerangi kebatilan dan membela
kebenaran benar-benar menggegerkan. Kawan maupun lawan segan padanya. Ilmu Silat
'Singa Gunung' itulah yang membuatnya dijuluki sebagai Dewa Singa Tangan Maut.
Belum lagi dengan ilmu kebal ajian 'Kulit Singa' dan pukulan 'Telapak Singa
Murka' yang pernah menggegerkan rimba persilatan puluhan tahun yang silam.
Bahkan seluruh murid-murid Ki Ageng Singaranu diharuskan bisa menguasai ilmu
kebal ajian 'Kulit Singa' sebagai tahap awal, karena ilmu kebal ini merupakan
dasar-dasar dalam mempelajari Ilmu Silat 'Singa Gunung'. Bisa dikatakan bahwa
seluruh murid Padepokan Singa Lodaya memiliki ilmu kebal, meski pun berbeda
tingkatannya antara satu murid dengan murid yang lain. Semakin tinggi kekuatan
tenaga dalam yang dikuasai, maka semakin hebat pula ilmu kebal yang dimiliki.
Ki Ageng Singaranu memiliki dua orang anak, yaitu Jalu Lampang dan Salindri.
Jalu Lampang sendiri lebih suka berkelana di rimba persilatan daripada berdiam
diri di Padepokan Singa Lodaya. Sedangkan Salindri, setelah menikah dengan
pendekar muda yang bernama Ragil Kuniran, diboyong oleh suaminya ke desa
asalnya, Desa Watu Belah. Jarak antara Desa Watu Belah dengan Padepokan Singa
Lodaya dapat ditempuh dengan kereta kuda selama sehari semalam.
Kereta kuda yang dikusiri oleh Gineng dengan ditemani putra majikannya, Paksi
Jaladara, memasuki pintu gerbang padepokan. Diatas pintu tertulis sebuah papan
besar berwarna hitam dengan tulisan putih : PADEPOKAN SINGA LODAYA. Di kiri
kanan pintu gerbang, terdapat dua patung singa raksasa dari batu hitam dengan
posisi siap menyerang. Dua orang murid penjaga bergegas berdiri saat melihat sebuah kereta kuda yang
cukup mewah mendekat. "Hooopppss!" Gineng menarik tali kekang kuda dengan sentakan ringan. Meski kelihatan ringan,
tenaga tarikan itu sudah cukup membuat kaki kuda terangkat ke atas, dan berhenti
tepat di depan pintu gerbang.
Seorang dari penjaga berbaju hitam-hitam menghampiri Gineng. Di dada kirinya
tersulam gambar kepala singa mengaum. Wajahnya kelihatan dibuat sangar dengan
cambang melintang. Di pinggang terselip sebilah golok berwarna hitam legam.
"Maaf kisanak, boleh saya tahu kisanak hendak kemana" Dan siapa kisanak ini?"
tanya si cambang, dengan suara sedikit serak.
Tangan kirinya mengelus-elus golok, sedang kawannya yang bertubuh gempal
memegang tombak, hanya melirik-lirik dengan waspada seperti mata maling. Matanya
yang tajam memandang Gineng dan Paksi bergantian. Menyelidik.
Gineng tidak menjawab, malah balik bertanya, "Apakah ini Padepokan Singa
Lodaya?" "Betul! Kisanak ada perlu apa?" ulang si cambang, dengan nada meninggi. Agak
meradang juga saat pertanyaannya tidak digubris, malah yang ditanya balik
bertanya. Gineng menggangguk-anggukkan kepala.
Pemuda remaja itu melongok ke dalam kereta, sambil berkata, "Bagaimana Nyi" Kita
sudah sampai, apa mau turun disini?"
Yang di tanya hanya menggangguk, lalu berkata, "Kita turun disini saja."
Nyi Salindri keluar dari kereta diikuti dengan suaminya, Ki Ragil Kuniran.
Pasangan suami-istri itu melangkah berdampingan. Melihat Nyi Salindri dan Ki
Ragil Kuniran, dengan tergopoh-gopoh kedua penjaga itu mendekat dan menyambut
dengan wajah dan suara berbeda saat berbicara dengan Gineng. Lebih halus dan
lebih sopan. "Oh ... maaf ... maaf ... rupanya Den Ayu Salindri dan Den Ragil yang datang.
Saya kira siapa?" kata si cambang dan si gempal sambil membungkukkan badan.
"Huh, dasar manusia bermuka kada?," pikir Gineng.
"Apa Ayah ada?" tanya Nyi Salindri, pelan.
"Ada ... ada ... silahkan masuk ... Den Jalu juga ada."
"Kakang Jalu juga disini?" timpal Ki Ragil Kuniran.
"Betul, Den! Den Jalu sudah berada di padepokan satu purnama lebih," sahut si
gempal yang membawa tombak.
Wajah pasangan suami-istri itu cerah, keduanya saling pandang sambil mengangguk
pelan. "Mungkin Kakang Jalu sudah bosan berkelana, kakang," kata Nyi Salindri.
Ki Ragil Kuniran hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa.
"Gineng, masukkan kereta, letakkan saja di istal, itu ... samping kiri gerbang
ini!" kata Ki Ragil Kuniran, setelah menepuk-nepuk pundak penjaga berbaju hitam
itu. "Baik, Ki!" Kemudian pasangan suami-istri itu bergegas masuk melewati pintu gerbang. Si
gempal berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, sedangkan si cambang membuka
pintu gerbang lebih lebar, untuk memberi jalan Gineng memasukkan kereta. Paksi
Jaladara membantu Gineng memasukkan kereta kuda ke istal kuda yang terletak sisi
kiri pintu gerbang, sedangkan Si Perak yang sedari tadi terbang rendah kini
hinggap di atas wuwungan yang ada di atas pintu gerbang, tepat di atas papan
nama padepokan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, mereka berdua menyusul masuk ke dalam. Paksi
berjalan sambil melambaikan tangan ke arah elang kesayangannya. Elang itu segera
melesat terbang ke arah Paksi dan langsung menerobos masuk ke dalam dan hinggap
di palang kayu yang ada di pendapa padepokan.
Mereka melewati tanah lapang yang luas dan asri, tempat di mana biasanya para
murid padepokan berlatih silat. Sedangkan di kiri kanan terdapat pondok-pondok
kecil, tempat tinggal murid Padepokan Singa Lodaya. Di bagian ujung tanah lapang
itu ditanami dengan sayur-mayur dan buah-buahan. Beberapa orang murid yang
sedang berkebun dan mencangkul tanah, menghentikan pekerjaannya sementara, di
saat melihat si gempal mengiring masuk pasangan suami-istri dan dua orang laki-
laki beda usia. Seorang kakek berbaju abu-abu menyambut di depan pintu sambil tertawa lebar,
diikuti seorang laki-laki kekar bertubuh tinggi menjulai yang juga tersenyum
ramah. Laki-laki itu mengenakan sepasang gelang akar bahar yang melingkar di
kedua pergelangan tangan. Matanya tajam mencorong seperti mata kucing dalam
gelap. Baju buntung tanpa lengan berwarna putih itu sangat kontras dengan
kulitnya yang sawo matang dipadu dengan celana putih komprang yang diikat dengan
sabuk putih pula. "Ayah!" "Ha-ha-ha-ha! Rupanya kalian yang datang! Pantas saja burung prenjak sejak tadi
berkicau terus tanpa henti! Ada tamu istimewa rupanya," kata si kakek yang
ternyata Ki Ageng Singaranu, ayah kandung Nyi Salindri.
Seperti gadis kecil saja, Nyi Salindri berlari-lari kecil dan langsung memeluk
ayahnya dengan suka cita. Rasa rindu dan kangen tumplek-blek menjadi satu. Sang
ayah memeluk putrinya yang sudah lama tidak dijumpai dengan wajah cerah, secerah
matahari yang bersinar di pagi itu.
Jalu Lampang membiarkan adik dan ayahnya saling berpelukan melepas rindu, lalu
menghampiri adik iparnya dan saling berjabat tangan erat.
"Bagaimana kabarnya, Dimas Ragil" Baik-baik saja!?" ucap Jalu Lampang.
"Kami sekeluarga baik-baik saja, bagaimana dengan kakang sendiri" Sehat-sehat,
bukan?" "Ha-ha-ha-ha, seperti yang kau lihat ... !"
"Saya dengar kabar slentingan dari jauh kalau kakang Jalu sudah beristri. Apa
benar?" seloroh Ki Ragil Kuniran.
"Ha-ha-ha, bujang lapuk seperti aku ini mana laku di mata para gadis! Paling-
paling juga nenek-nenek!?" canda Jalu Lampang.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Tawa dua orang itu berderai sampai terkial-kial.
Mereka berempat duduk memutari meja bundar yang ada di pendapa. Meja dari kayu
jati alas yang sudah sangat tua, namun sangat kokoh. Konon, meja itu usianya
hampir sama tuanya dengan usia Ki Ageng Singaranu, karena meja jati itu dibuat
bersamaan dengan lahirnya Ki Ageng Singaranu. Beberapa saat kemudian, keluarlah
seorang perempuan berkebaya sambil membawa baki berisi makanan kecil dan
minuman. Nyi Salindri mengkerutkan alis melihat perempuan berkebaya itu, namun
dia diam saja. "Srinilam, duduk sini," kata Jalu Lampang dengan mesra.
"Kakang Jalu, siapa dia" Kok aku baru tahu?" tanya Nyi Salindri.
"Ohh ... aku lupa, ini istriku! Maaf, aku lupa mengenalkannya pada kalian,"
jawab Jalu Lampang. "Srinilam, kenalkan, ini Salindri, adikku yang paling bawel
dan laki-laki ganteng itu adalah suaminya, Ragil Kuniran."
"Ooohhh, jadi ini mbakyuku tho?" sahut Salindri, sambil menjabat erat tangan
Srinilam. Ki Ragil Kuniran beringsut mendekati Jalu Lampang, yang berada di sisi kirinya,
sambil berbisik-bisik, "Jadi ini 'nenek-nenek' itu" Cantik amat"!"
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kembali Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran tertawa berderai, bahkan lebih keras
dari sebelumnya. Jalu Lampang malah sampai mengeluarkan air mata.
"Kalian ini, kalau ketemu pasti kumat urakannya, seperti anak kecil saja,"
gerutu Ki Ageng Singaranu.
Walau dalam mulut menggerutu, namun dalam hatinya sangat gembira dan bahagia
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena antara mantu dengan anaknya sangat rukun satu sama lain.
"Maaf, saya mau ke belakang," kata Srinilam, sambil beringsut berdiri.
"Mbakyu, boleh saya temani?"
Srinilam hanya menganggukkan kepala.
Dua perempuan itu berjalan beriringan menuju ke dalam, tepatnya menuju ke dapur.
Nyi Salindri sangat senang melihat kakak iparnya yang manis itu, tapi lebih
senang lagi karena kakaknya Jalu Lampang telah beristri seorang wanita cantik
dan menarik hati. "Hebat juga pilihan Kakang Jalu," puji Nyi Salindri dalam hati.
Srinilam yang mulanya agak rikuh dengan adik iparnya, tapi rasa rikuh sirna
setelah melihat keceriaan Salindri. Keduanya terus ngobrol ngalor ngidul tak
karuan juntrungannya. Setelah dua orang wanita itu berlalu, seorang bocah berikat kepala merah
berlari-lari kecil dari arah halaman menuju ke pendapa. Bocah yang tak lain
Paksi Jaladara itu langsung menghampiri ayahnya dengan senyum tersungging di
bibirnya yang kecil. "Ayah, Paksi boleh main sama Si Perak" Habis ... Kakang Gineng malah ngobrol
dengan dua paman di depan itu," kata Paksi sambil memegang tangan kanan Ki Ragil
Kuniran. "Boleh, tapi beri salam dulu sama kakek dan pamanmu," kata Ki Ragil Kuniran,
sambil mengelur-elus kepala anak laki-lakinya, sambil menoleh ke arah Jalu
Lampang dan Ki Ageng Singaranu.
Paksi menghampiri dua orang itu dengan sikap tenang dan langkah kaki yang
ringan, lalu meraih tangan kanan kakeknya dan menciumnya.
"Ha-ha-ha, jadi ini cucuku" Sini cah bagus, sini ... kakek pengin
menggendongmu." Ki Ageng Singaranu langsung meraih Paksi dalam pelukannya. Paksi pun juga
merangkul leher orang tua itu dengan kedua tangan kecilnya. Sudah lama Paksi
mendengar tentang sang kakek dari ibunya. Senang sekali Ki Ageng Singaranu dapat
menimang cucu di usianya yang sudah senja itu.
"Cah bagus, namamu siapa?" tanya Ki Ageng Singaranu.
"Nama saya Paksi, Kek."
"Oh ... nama yang bagus! Sebagus orangnya," puji Ki Ageng Singaranu.
Kemudian kakek berpakaian abu-abu itu melepaskan pelukannya. Paksi menghampiri
Jalu Lampang, lalu meraih tangan kanan laki-laki itu dan menciumnya, seperti
yang dilakukan pada kakeknya. Jalu Lampang tersenyum sambil mengelus-elus kepala
Paksi. "Ha-ha-ha-ha, ternyata keponakanku sudah sebesar ini! Oh ya, kau boleh panggil
Paman Jalu saja," kata Jalu Lampang, sambil tersenyum.
Bocah itu hanya memandang muka pamannya dengan seksama, lalu tersenyum penuh
arti. Setelah itu, Paksi kembali ke depan ayahnya, sambil berkata, "Ayah, Paksi
mau main sama Si Perak, di halaman saja."
Bocah itu menuding halaman yang luas, tempat dimana biasanya para murid berlatih
silat. "Boleh, tapi jangan jauh-jauh."
"Ya, Ayah." Bocah itu berlari keluar pendapa. Langkah kakinya ringan dan teratur, diikuti
dengan suitan nyaring. Suitt!! Suitt!! Dari arah barat, melesat sesosok bayangan putih keperakan menghampiri Paksi.
Bocah itu tertawa-tawa riang, lalu duduk bersandar di sebatang pohon. Dua makluk
beda jenis itu asyik berbicara dengan bahasa yang hanya dipahami oleh mereka
berdua. Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima
Ki Ageng Singaranu memandang bocah itu dengan kepala manggut-manggut. Mata
tuanya melihat bakat luar biasa pada diri Paksi Jaladara. Saat memeluknya tadi,
tangan tuanya bisa merasakan kekokohan susunan tulang, di tambah lagi dengan
melihat cara berjalan dan berlari bocah itu, sudah bisa menebak seberapa bagus
susunan tulang tubuh Paksi Jaladara. Apa yang dipikirkan Ki Ageng Singaranu sama
dengan apa yang ada di otak Jalu Lampang.
"Bakat yang luar biasa," gumam Jalu Lampang.
"Hemm, susunan tulangnya sangat bagus! Ragil, apa kau yang mengajari anakmu ilmu
silat dan ringan tubuh?" tanya Ki Ageng Singaranu, menebak.
Ki Ragil Kuniran sudah menduga apa yang akan dilontarkan oleh ayah mertuanya
begitu melihat Paksi. Itulah yang menjadi sebab kedatangannya ke Padepokan Singa
Lodaya, tentang keanehan yang disandang putra tunggalnya, Paksi Jaladara!
"Bukan, ayah! Saya belum mengajari Paksi apa pun," jawab Ki Ragil Kuniran,
pendek. "Bukan kau?" kali ini Jalu Lampang bertanya. "Lalu siapa" Apa Salindri yang
mengajarinya?" Lagi-lagi yang ditanya hanya menggelengkan kepala.
"Lalu siapa?" tanya Ki Ageng Singaranu, penasaran sekali.
Baru kali ini tebakannya meleset.
"Ayah, apakah ayah mengenal tokoh sakti atau seorang pendekar yang bergelar Si
Elang Berjubah Perak?" balik tanya Ki Ragil Kuniran.
Ki Ageng Singaranu menjungkitkan alis. Nama yang disebut itu sangat mengagetkan
dirinya, meski tidak diperlihatkan secara nyata. Tapi pandangan mata Ki Ragil
Kuniran tidak bisa ditipu, meski hanya sekilas dapat melihat kekagetan ayah
mertuanya. Jalu Lampang pun terlengak kaget mendengar pertanyaan adik iparnya.
"Untuk apa Dimas Ragil menanyakan tokoh golongan putih itu?" pikir Jalu Lampang.
"Si Elang Berjubah Perak" Untuk apa kau bertanya tentang tokoh itu?" kata Ki
Ageng Singaranu, menyelidik.
"Ayah, tokoh atau orang yang bergelar Si Elang Berjubah Perak sangat erat
hubungannya dengan pertanyaan yang ayah ajukan pada saya ... " jawab Ki lurah
Desa Watu Belah. " ... Saya sangat membutuhkan keterangan tentang siapa adanya
tokoh sakti itu, Ayah."
"Ada hubungannya dengan pertanyaanku tadi" Jelaskan padaku, apa maksud semua
ini?" ganti balik bertanya Ki Ageng Singaranu.
"Dimas Ragil, darimana Dimas mengetahui nama si Elang Berjubah Perak?" kali ini
Jalu Lampang yang bertanya, menyusul pertanyaan ayahnya.
Ki Ragil Kuniran menceritakan serangkaian kejadian yang dialaminya tentang
proses kelahiran Paksi Jaladara yang aneh dan unik, juga tentang segala kejadian
yang berhubungan dengan mimpi yang pernah diterimanya, yang dianggap sebagai
sasmita. "Saya hanya mendengar suaranya saja, sedangkan wujudnya tidak kelihatan. Dia
mengaku berjuluk si Elang Berjubah Perak dan memilih anakku sebagai pewaris
Tahta Angin dan mengaku pula bahwa dirinya adalah Sang Angin! Kemudian tokoh
gaib itu juga mengatakan bahwa Penunggang Angin akan menjadi pertanda kelahiran
anakku tepat di bulan ke tiga belas. Kemunculan diiringi dengan suara deru angin
membadai dan gelegar petir. Nama anakku pun, beliau pula yang memberi, bukan
saya sebagai ayahnya."
"Apakah dalam mimpimu, dia berjubah bulu burung keperakan?" tanya Ki Ageng
Singaranu, menegaskan. "Betul, Ayah." "Siapa si Penunggang Angin itu" Apa Dimas sudah mengetahuinya?" tanya Jalu
Lampang. "Sudah, Kakang! Bahkan sekarang pun ada disini. Ternyata yang dimaksud si
Penunggang Angin adalah burung elang itu," jawab Ki Ragil Kuniran, sembari
telunjuk kanannya menuding ke arah Paksi dan elang kesayangannya bermain.
Ayah dan anak itu memandang ke jurusan barat. Pada awalnya Ki Ageng Singaranu
hanya menganggap sebagai elang biasa, hewan peliharaan menantunya dan juga teman
bermain anaknya supaya tidak nakal. Mata tua itu memandang tajam ke arah Si
Rajawali Emas 16 Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam Neraka Karang Hantu 1