Pencarian

Pendekar Elang Salju 2

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 2


Perak, seakan sedang menerka-nerka. Sedang yang diperhatikan, masih asyik dengan
si majikan muda. Sambil bermain berkejar-kejaran, Paksi menirukan gerakan-
gerakan elang putih itu. Ki Ageng Singaranu kaget melihatnya.
"Mustahil!" ucap Ki Ageng Singaranu. "Bagaimana mungkin bocah sekecil itu bisa
menirukan gerakan hewan sehingga nyaris sama dengan gerakan hewan itu sendiri?"
"Itulah sebabnya saya berkunjung ke sini untuk mencari keterangan siapa adanya
si Elang Berjubah Perak." kata anak mantunya.
Sejenak Ki Ageng Singaranu terdiam, seolah sedang mengingat-ingat sesuatu.
Keningnya berkerut. Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran memperhatikan Ketua Padepokan Singa Lodaya
dengan raut muka sedikit tegang, terutama Ki Ragil Kuniran, karena dirinyalah
yang bersangkutan dengan masalah ini.
Lalu, Ki Ageng Singaranu berkata, "Kalau mengetahui betul, aku juga tidak yakin.
Dari cerita mendiang Guru yang pernah kudengar, ratusan tahun silam muncul
seorang pendekar yang berjuluk Si Elang Berjubah Perak. Dia seorang pendekar
pilih tanding di rimba persilatan. Tidak ada yang tahu dari mana asal-usulnya.
Dia seperti orang kabur kanginan, tidak diketahui siapa orang tuanya, gurunya,
semua serba misterius. Waktu itu guruku baru berumur lima belasan tahun. Yang
mengetahui secara pasti hanyalah Eyang Guru. Guru pernah berjumpa dengan si
Elang Berjubah Perak beberapa kali. Terakhir kali yang kudengar, Eyang Guru
bertemu di Gunung Tambak Petir. Saat itu guruku sudah berusia hampir tiga puluh
tahun ketika bertemu dengan si Elang Berjubah Perak ... "
"Gunung Tambak Petir" Dimana letak gunung itu?" gumam Jalu Lampang, seolah-olah
memotong pembicaraan. "Ya, Gunung Tambak Petir! Aku sendiri juga tidak tahu dimana letak gunung itu.
Ketika akan berpisah, laki-laki berjubah bulu burung itu menepuk punggung Guru
sekali, dan mengatakan dirinya menitipkan sesuatu untuk diberikan ke seseorang.
Entah siapa, Guru juga tidak mengatakannya. Bahkan bentuk titipannya seperti
apa, Guru juga tidak tahu. Mungkin hanya Eyang Guru yang tahu, tapi Eyang Guru
juga tidak mengatakan sesuatu pada muridnya," kata Ki Ageng Singaranu lebih
lanjut. "Aneh, yang dititipi juga tidak tahu apa bentuknya dan kepada siapa titipan itu
akan diberikan," kata Ki Ragil Kuniran, dengan pelan. "Lalu, lanjutnya
bagaimana, Ayah?" Setelah berhenti sejenak dan meminum air jahe yang ada di cawan tanah itu, Ki
Ageng Singaranu melanjutkan ceritanya.
"Sampai Guru menjelang ajal, beliau pun juga menepuk punggungku sekali, dan
mengatakan bahwa diriku sebagai pengemban titipan itu dan harus memberikan
titipan itu pada orang yang berhak. Aku pun bingung, pada siapa titipan itu
harus kuberikan, sedangkan bentuk titipan itu pun aku tidak tahu. Bahkan saat
almarhum adik seperguruanku ingin melihat bentuk titipan itu di punggungku,
tidak terlihat apa-apa dan dia tidak menemukan apa-apa di punggungku. Aneh,
bukan?" jelas Ki Ageng Singaranu.
"Jadi, almarhum paman Gagak Sempana juga tidak melihat apa-apa di punggung Ayah"
Hemmm, betul-betul membingungkan," kata Jalu Lampang sambil menghela napas.
"Apa paman Rangga Jembangan juga tidak mengetahui, Ayah?"
"Tidak ... Rangga Jembangan bahkan menggunakan ilmu 'Netra Benggala' untuk
menembusnya, juga tidak melihat apa-apa. Gagal total."
Ki Ragil Kuniran terdiam. Semua keterangan yang didengarnya masih samar-samar.
Lalu berkata, "Apa Ayah juga tahu tujuan pertemuan antara Eyang Guru dengan si
Elang Berjubah Perak" Mungkin pernah menyinggung nama tempat" Atau tokoh-tokoh
tertentu?" Ki Ageng Singaranu terdiam sejenak, alisnya berkerut-kerut seakan mengingat
sesuatu. Laki-laki tua itu memeras otaknya. Keringat sampai bercucuran dalam
mengingat sebuah tempat yang sudah puluhan tahun dilupakannya.
"Kalau tidak salah, beliau pernah membicarakan tentang sebuah perkumpulan
pendekar aliran putih yang berpusat di Istana Elang. Ya ... Istana Elang!" kata
Ki Ageng Singaranu dengan yakin.
"Istana Elang?" Ki Ragil Kuniran bergumam.
"Dimana letak Istana Elang itu, ayah?" tanya Jalu Lampang, yang sedari tadi diam
sambil mendengarkan keterangan ayahnya. Semua perkataan ayahnya dicerna dengan
sebaik-baiknya. Namun, selama melanglang buana di rimba persilatan belum pernah
mendengar tentang si Elang Berjubah Perak dan Istana Elang.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Hanya itu yang kudengar dari mendiang guruku,"
katanya. Lagi-lagi mereka menemui jalan buntu!
Ki Ragil Kuniran mencerna keterangan itu dengan seksama. Ada dua tempat penting
dalam keterangan ayah mertuanya, yaitu sebuah gunung yang bernama Gunung Tambak
Petir dan Istana Elang! "Bagaimana dengan Kakang Jalu" Bukankah selama ini Kakang telah malang melintang
di rimba persilatan, mungkin saja pernah mendengar slentingan tentang tokoh
misterius itu?" tanya Ki lurah desa Watu Belah.
"Entahlah ... aku sendiri tidak tahu, Dimas Ragil," jawab Jalu Lampang, dengan
nafas terhmbus pelan, " ... Andaikata sahabatku ada disini, mungkin bisa
mendapatkan keterangan yang lain dari dirinya tentang Istana Elang dan si Elang
Berjubah Perak itu."
"Siapakah nama sahabat Kakang itu?"
"Orang persilatan sering menyebutnya si Kutu Buku Berbambu Ungu," jawab Jalu
Lampang. "Hemm, si Kutu Buku Berbambu Ungu" Aku pernah mendengar tentangnya. Kabar yang
berhasil kusirap, si Kutu Buku Berbambu Ungu memiliki ilmu yang dinamakan
'Terawang Gaib Masa Lalu', ilmu yang bisa melihat kejadian-kejadian yang telah
terjadi di masa lampau, bahkan kudengar bisa mengetahui kejadian yang akan
terjadi di masa datang. Apa benar begitu, Kakang Jalu?"
"Benar, Dimas Ragil. Ilmu itulah yang dimilikinya."
"Lalu, apakah Kakang Jalu juga tahu dimana adanya orang itu sekarang?" tanya Ki
Ragil Kuniran pada kakak iparnya.
"Kabar terakhir yang kudengar, di sedang berada di Perguruan Gerbang Bumi, atas
undangan Ketua lama Perguruan Gerbang Bumi untuk menyaksikan pemilihan sekaligus
pengangkatan ketua baru untuk menggantikan kedudukan Ketua lama. Tapi, sekarang
apa masih ada di Perguruan Gerbang Bumi ataukah sudah pergi melanglang buana
mengikuti langkah kakinya, aku pun tidak tahu dimana dia berada," jawab Jalu
Lampang. Tiga orang itu kembali terdiam.
Ki Ragil Kuniran kembali duduk tercenung menganalisa keterangan ayahnya,
sedangkan Jalu Lampang juga tidak berbeda dengan adik iparnya. Otaknya memilah-
milah hal-hal yang mungkin saja terlewat untuk diceritakan, namun sampai
kepalanya pening, tidak ada yang bisa dibicarakan lagi.
Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Singaranu menghela napas sambil berkata,
"Sudahlah, mungkin suatu saat rahasia itu akan terkuak, siapa tahu malah Paksi
sendiri yang bisa memecahkan misteri yang menyangkut dirinya itu."
Kemudian kakek tua Ketua Padepokan Singa Lodaya itu bangkit berdiri dan masuk ke
ruang dalam, sehingga tinggal Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran yang berada di
pendapa. Mereka pun berbicara panjang lebar sampai hari menjelang senja. Tentu
saja pembicaraan yang sifatnya ringan dan sedikit menyerempet-nyerempet rimba
persilatan saat ini. Ketika senja telah berganti dengan malam, dan bulan sabit telah keluar dari
peraduan, dibuncahi malam cerah penuh bintang, mereka sekeluarga berbincang-
bincang di ruang dalam. Semua duduk melingkari meja besar yang di tengahnya
tertata rapi makanan dan buah-buahan segar.
Ki Ragil Kuniran duduk bersebelahan dengan Jalu Lampang, sedangkan Salindri
berdampingan dengan Srinilam, istri Jalu Lampang. Paksi Jaladara malah enak-
enakan duduk di pangkuan kakeknya sambil menggerogoti jambu biji. Sesekali
terdengar suara tawa saat mendengar celoteh bocah kecil itu. Tentu saja Ki Ageng
Singaranu yang paling senang, bisa melihat cucu satu-satunya dan bahkan sedang
duduk di pangkuan. Sedangkan Gineng, duduk di tangga pendapa, sambil melihat-lihat ratusan murid
padepokan yang sedang berlatih silat di tanah lapang yang cukup luas. Pemuda
remaja itu masih mengenakan baju buntung tanpa lengan kesukaannya dan sebilah
pisau panjang terselip di pinggang.
Semua murid memakai baju biru, hijau, dan ungu, kecuali dua orang yang berbaju
hitam, sedang mengawasi mereka yang sedang berlatih. Ada yang bertangan kosong,
memainkan jurus-jurus golok, tombak, pedang dan juga trisula berpasangan. Dua
orang yang berbaju hitam itu adalah murid padepokan yang paling lama menimba
ilmu di padepokan, sehingga oleh Ki Ageng Singaranu dipercaya melatih Ilmu Silat
'Singa Gunung', ilmu khas Padepokan Singa Lodaya. Tataran ilmu mereka berdua
hanya terpaut dua tiga tingkat saja dari Jalu Lampang, sehingga bisa dikatakan
cukup mumpuni dalam hal olah kanuragan dan jaya kawijayan.
"Heeeaaa ... Haaattt ... Ciatttt ... "
Murid-murid yang berlatih itu memiliki gerakan mantap dan teratur. Pergeseran
kaki, liukan tubuh, kelebatan tangan dan tendangan serta sorot mata tajam
mereka, mengingatkan Gineng pada seekor singa jantan yang sedang mengintai dan
siap mencabik-cabik mangsa.
"Jurus yang hebat, aku yakin jika dilambari tenaga dalam yang tinggi, pasti akan
menghasilkan daya hancur yang dahsyat. Apa ini yang dinamakan Ilmu Silat 'Singa
Gunung' yang pernah dikatakan oleh Ki lurah padaku," bathin Gineng, sambil
matanya memandang jurus-jurus silat yang sedang dilatih para murid Padepokan
Singa Lodaya. Gineng kemudian memperhatikan jurus silat yang menggunakan pedang, karena jurus
itu mengingatkan pada dirinya pada jurus pisau yang dimilikinya. Hampir sama
persis dengan apa yang pernah dipelajarinya dari Ki Ragil Kuniran.
"Jurus pedang itu mirip sekali dengan jurus pisauku," gumamnya.
Namun, malam yang cerah itu, tiba-tiba dibuncah suara ledakan keras.
Brakk! Dhuuarrr ... !! Pintu gerbang padepokan yang terbuat dari kayu jati tebal itu, hancur berantakan
diiringi suara benturan keras memekakan telinga. Benturan keras itu menimbulkan
kepulan asap pekat dan bau hangus terbakar.
Seluruh murid padepokan terlonjak kaget, bahkan ada yang terjerembab saking
kagetnya. Mereka cepat berlarian menyingkir dan ada yang sebagian berdiri di
belakang dua murid utama itu. Dua murid utama juga kaget, namun segera menguasai
diri dengan baik. "Siapa kalian" Berani sekali membuat onar di Padepokan Singa Lodaya!?" bentak
salah seorang murid berbaju hitam yang kanan.
Murid berbaju hitam yang sebelah kiri memutar tubuh, kemudian tangan kanannya
mengibas ke depan dengan cepat. Selarik cahaya hijau terang melesat cepat dan
menerjang kepulan asap yang masih mengepul. Dari balik kepulan asap, selarik
cahaya merah pekat memapaki sinar hijau dan bertemu di udara kosong.
Bhummm! Terdengar ledakan keras, bumi serasa diguncang gempa kecil. Murid yang
melontarkan pukulan tenaga dalam warna hijau terang sampai terjajar beberapa
langkah, dan akhirnya jatuh terduduk.
Brugh! Dari sudut bibirnya menetaskan darah segar. Dadanya sedikit terguncang karena
akibat dari lontaran tenaga dalam yang dilepaskannya membentur seleret pukulan
tenaga dalam warna merah pekat yang dilepaskan dari balik kepulan asap.
"Pulanggeni, kau tidak apa-apa?" tanya kawannya, sambil membantu laki-laki yang
bernama Pulanggeni, berusaha bangkit berdiri.
"Aku tidak apa-apa, Galang Seta! Uuhh, hebat juga mereka! Dadaku sampai
terguncang begini," kata laki-laki yang bernama Pulanggeni.
Laki-laki yang bernama Galang Seta itu membantu Pulanggeni berdiri, dengan mata
tetap menatap ke arah pintu gerbang padepokan yang hancur. Semua mata memandang
ke arah kepulan asap. Sedikit demi sedikit asap menipis dan akhirnya, tampaklah
beberapa sosok bayangan yang membentuk sosok manusia!
Terlihat tiga sosok bermuka bengis, pertanda bahwa diri mereka bertiga bukan
orang baik-baik atau setidaknya datang dengan tujuan yang tidak baik.
Dibelakangnya berdiri puluhan orang bertampang sangar dengan berbagai macam
golok, pedang, trisula dan segala macam senjata berada di tangan. Bisa
dipastikan mereka gerombolan brandal kecu yang kejam, berteriak-teriak keras
sambil mengeluarkan kata-kata kotor!
Orang pertama adalah laki-laki berbadan gempal, bahkan cenderung gemuk dengan
tinggi badan sedang. Seluruh tubuhnya penuh bulu-bulu lebat, muka lebar
berminyak dengan satu biji mata yang selalu melotot liar. Badannya tidak
berbaju, sehingga kekekaran otot nampak terpampang jelas, menandakan memiliki
ilmu silat yang cukup tinggi atau setidaknya akrab dengan kekerasan. 'Tenaga
Sakti Serigala Iblis'-nya sudah cukup tinggi, terutama di antara dua saudaranya
yang lain. Dialah Ketua Serigala Iblis, yang oleh kalangan sesat dijuluki
Serigala Hitam Bermata Tunggal!
Yang kedua adalah seorang laki-laki bermuka lancip seperti tikus mengenakan baju
besar kedodoran yang tidak dikancingkan, sehingga tampak tulang dadanya yang
menonjol seperti penggilasan padi. Di pundak kiri kanannya terselip semacam
pisau-pisau panjang berjajar masing-masing berjumlah tiga dengan panjang hampir
mencapai satu tombak, Cakar Serigala namanya. Sekilas memang tampak seperti
bentuk clurit panjang berwarna hitam kemerah-merahan, mengeluarkan bau busuk
menyengat. 'Tenaga Sakti Serigala Iblis' yang dimilikinya hanya terpaut satu
tingkat saja dari Serigala Hitam Bermata Tunggal. Laki-laki bermuka tikus itu
sering dipanggil dengan nama Cakar Iblis Taring Serigala.
Yang paling akhir adalah seorang laki-laki berbadan kurus seperti cecak kering.
Tubuh yang tinggi menjulai dibalut kain hijau tua. Tubuhnya lebih kurus dari
Cakar Iblis Taring Serigala, dengan tinggi badannya mencapai dua tombak lebih.
Bicaranya selalu gagap, sehingga selalu dicemooh oleh ke dua saudaranya.
Diantara mereka bertiga, dialah yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling
tinggi, karena 'Tenaga Sakti Serigala Iblis' yang dikuasainya selalu dipusatkan
pada sepasang kakinya yang panjang, sehingga ilmu ringan tubuhnya melampaui dua
saudara tertuanya. Meski ilmu silatnya biasa-biasa saja, namun dia pulalah yang
paling jago dalam melempar senjata rahasia. Tangan Kilat Kaki Bayangan itulah
julukan yang pas untuknya!
Murid-murid Padepokan Singa Lodaya segera bersikap waspada melihat kedatangan
tamu-tamu tidak diundang itu. Beberapa orang berlarian ke dalam barak senjata,
kemudian beberapa saat kemudian sudah kembali dengan senjata terhunus.
Sementara itu, di saat mendengar ledakan keras membahana, Ki Ageng Singaranu,
Jalu Lampang dan Ki Ragil Kuniran segera bergegas keluar dari dalam pondok
menuju ke arah suara berasal, sedangkan Nyi Salindri dan Srinilam menyusul di
belakangnya. Paksi pun berlari-lari kecil mengikuti sang bunda. Pada mulanya ibu
muda itu menyuruh Paksi sembunyi di dalam kamar, tapi karena rasa ingin tahu
seorang bocah, membuat Paksi mengikuti dengan sembunyi-sembunyi.
"Siapa kalian" Untuk apa berbuat onar di tempat kami?" bentak Galang Seta,
matanya memancarkan kemarahan karena sahabatnya terluka meski pun tidak begitu
parah. "Ha-ha-ha ... kau mau tahu siapa kami" Apa kalian pernah mendengar nama
Gerombolan Serigala Iblis"! Kalau kalian belum pernah mendengarnya, sekarang
kalian bisa melihatnya disini," jawab laki-laki bermata satu itu dengan pongah.
"Apa tujuan kisanak datang kemari?" kali ini Ki Ragil Kuniran yang bertanya.
"Hemm, tujuanku kemari adalah ... Kau!"
Laki-laki tak berbaju dengan celana hitam kelam itu menuding ke arah Ki Ageng
Singaranu! Sedangkan yang dituding melengak kaget.
"Aku!" Untuk apa kisanak mencariku?" tanya Ki Ageng Singaranu, heran.
"Singaranu! Yang kubutuhkan bukan tua rongsokan seperti kau, tapi sebuah benda
pusaka yang diberikan oleh gurumu, si Ki Dirgatama yang berjuluk Singa Putih
Berhati Iblis kepadamu!" sambung laki-laki bermata satu itu. "Serahkan benda
pusaka itu padaku atau padepokanmu ini akan kujadikan karang abang, kuratakan
dengan tanah!" "Benda pusaka apa" Guruku tidak pernah memberikan benda pusaka apapun padaku!"
jawab Ketua Padepokan Singa Lodaya, dengan tegas.
"Bohong!" bentak laki-laki bertampang lancip seperti tikus. "Aku yakin kau
memiliki benda pusaka yang diinginkan kakangku! Lekas serahkan pada kami!"
"Kak ... ka ... kang ... buub ... buuattt ... appp ... appa ban ... banyak
omm ... oomong ... sikk ... sikaatt ... saj ... ja ... " kata orang ketiga yang
sejak tadi hanya diam. "Diam! Kalau tidak bisa ngomong, jangan banyak ngomong!" bentak Serigala Hitam
Bermata Tunggal. Si cecak kering itu langsung terdiam dengan kepalanya ditundukkan.
"Singaranu, apa kau memang menginginkan padepokanmu ini aku ratakan dengan
tanah"! Baik, kalau itu maumu!" bentak Cakar Iblis Taring Serigala, dengan mata
melotot beringas. Terdengar suara gigi gemeletuk mengisyaratkan kemarahan. Sifatnya memang mudah
marah dan tanpa banyak pikir panjang.
"Huh, kalian kira kami takut dengan gertak sambal kalian?" bentak Jalu Lampang.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begundal-begundal tengik seperti kalian memang seharusnya dienyahkan dari muka
bumi!" "Bangsat! Anak-anak, seraaang ... !"
Tanpa diberi aba-aba untuk kedua kalinya, pengikut Gerombolan Serigala Iblis
langsung menerjang maju. Mereka berteriak-teriak seperti kesetanan dengan
senjata-senjata telanjang yang saling beradu cepat mencari mangsa.
"Hyyyaaa ... Ciatttt ... "
Murid Padepokan Singa Lodaya juga langsung masuk ke gelanggang pertarungan yang
setiap saat bisa merenggut nyawa. Namun, dengan mengandalkan ilmu kebal ajian
'Kulit Singa' yang mereka kuasai, tanpa kenal takut memapaki serbuan pengikut
Gerombolan Serigala Iblis dengan berani. Dalam waktu singkat, halaman padepokan
yang biasanya tenang itu berubah drastis menjadi ajang pertarungan hidup mati
antara murid Padepokan Singa Lodaya dengan para pengikut Gerombolan Serigala
Iblis yang beringas. "Lebih baik Ayah menonton saja di beranda! Biar saya dan Dimas Ragil yang
menangani. Tolong jaga Srinilam dan Salindri," kata anaknya, Jalu Lampang.
"Hemmm, ya sudah, tapi hati-hati dengan laki-laki tinggi besar itu."
"Baik, Ayah!" Jalu Lampang segera berkelebat cepat dengan ilmu meringankan tubuh yang langsung
dikerahkan dengan lambaran hawa tenaga dalam yang kuat. Dan langsung menuju ke
satu sasaran, yaitu Serigala Hitam Bermata Tunggal!
Dari atas, tubuh kekar itu langsung menghantam dengan pukulan jarak jauh ke arah
lawan! Debb! Debb!! Weess!! Serangkum cahaya hijau pupus yang berasal dari hawa tenaga dalam itu melesat
cepat ke arah laki-laki bermata satu itu. Laki-laki itu mendengus keras, lalu
tubuhnya bergeser setengah tombak ke kiri, diikuti dengan berputarnya tubuh
besar itu sambil tangan kanannya di dorong ke depan. Serangkum cahaya hitam
kelam membentuk bayangan kepala serigala dengan mulut terbuka lebar, memapaki
serangan tenaga dalam berwarna hijau pupus milik Jalu Lampang.
Blaaammm!! Ledakan keras mengiringi bertemunya dua tenaga dalam yang beda warna sehingga di
sekitar tempat itu bagai diguncang prahara kecil. Jalu Lampang terpental ke
belakang, namun masih bisa berjumpalitan dan jatuh ke tanah dengan kaki terlebih
dahulu, sedangkan Serigala Hitam Bermata Tunggal juga terpental ke belakang dan
lalu mendarat dengan kaki terlebih dahulu.
Jleg! Dua lawan saling bertemu pandang, saling menilai seberapa kuat lawan yang
dihadapinya, saling mencari letak kelemahan dan kelengahan masing-masing.
Beberapa saat kemudian, seolah dikomando, keduanya langsung serang dan saling
terjang. Perkelahian pun berlangsung dengan sengit.
Jalu Lampang mengerahkan kekuatan hawa tenaga dalam yang memancarkan cahaya
hijau pupus dan seolah-olah membentuk bayangan singa raksasa. Semakin lama,
seluruh tubuh memancarkan cahaya hijau pupus menyilaukan, di samping juga
memainkan Ilmu Silat 'Singa Gunung', sehingga gerakannya mirip seekor singa
jantan yang cukat trengginas berusaha menggencet lawan.
"Heaaa ... ! Hiaaa ... !"
Serigala Hitam Bermata Tunggal juga tidak mau kalah mengerahkan hawa 'Tenaga
Sakti Serigala Iblis'. Perlahan namun pasti, tenaga dalam itu membentuk bayangan
khayal serigala yang seolah-olah membayangi gerak Serigala Hitam Bermata
Tunggal. Mereka bertarung dengan gerak cepat, laksana seekor singa dan serigala
yang saling berebut mangsa. Pertarungan itu makin seru karena masing-masing
telah mengeluarkan ilmu andalannya.
Akan halnya Ki Ragil Kuniran sudah menghadapi si Cakar Iblis Taring Serigala
yang sudah siap dengan senjata andalannya, Cakar Serigala. Cakar besi itu terus
menerus mengeluarkan bau busuk karena mengandung racun ganas, kini telah
terselip di kedua tangan, bagaikan sepasang taring-taring hewan pemangsa itu.
Tubuh kurusnya mengimbangi gerakan lawan dengan kecepatan kilat. Ketika jarak
tinggal dua tiga tombak, Si Cakar Iblis Taring Serigala menerjang maju dengan
mengibaskan ke dua tangan bersilangan dengan cepat, mengerahkan jurus 'Cakar
Maut Membelah Angin' sehingga membentuk kibasan rapat membelah udara berwarna
abu-abu memanjang, melaju cepat ke arah Ki Ragil Kuniran.
Ki Ragil Kuniran tetap tenang. Tangan kana kiri yang bersenjatakan sepasang
pisau panjang bergerak mengibas ke depan dengan bersilangan sambil tubuh
berputar ke kiri, mengerahkan jurus 'Kelebat Guntur Menari'. Seleret udara
mampat berbentuk kilatan bunga api berloncatan bergerak cepat, menyongsong
serangan lawan. Dhaarr! Dharr! -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam
Terdengar letusan keras saat jurus 'Kelebat Guntur Menari'-nya Ki Ragil Kuniran
beradu dengan jurus 'Cakar Maut Membelah Angin'-nya Si Cakar Iblis Taring
Serigala. Keduanya terjajar beberapa langkah ke belakang, kemudian diam terpaku
beberapa saat untuk menenangkan guncangan yang mendera di dalam dada.
"Bangsat!" Cakar Iblis Taring Serigala memaki keras, karena baru kali ini ada
orang yang bisa menahan jurus 'Cakar Maut Membelah Angin' miliknya.
"Baru kali ini ada orang yang menahan jurus 'Cakar Maut Membelah Angin'-ku,
biasanya meski ditahan dengan cara apapun, jurus ini akan tetap bisa menerjang
lawan, bahkan mencacah-cacah seperti daging cincang. Benar-benar keparat orang
itu. Aku harus lebih berhati-hati padanya," pikirnya.
Sedangkan Ki Ragil Kuniran hanya tersenyum mengejek lawan, "Huh, cuma jurus
picisan saja, sudah besar mulut!"
"Setan! Kalau aku tidak bisa menghabisi nyawa busukmu itu, jangan sebut namaku
Cakar Iblis Taring Serigala!" bentaknya.
"He-he-he-he, kau memang lebih pantas disebut Si Cakar Tikus," ucap Ki Ragil
Kuniran berusaha memancing kemarahan lawan.
Laki-laki itu menggertakkan gigi sebagai tanda kemarahan, kemudian laki-laki
bermuka lancip seperti tikus itu menerjang maju.
"Heaaa ... !" Gerakannya lebih cepat berbahaya daripada sebelumnya, lebih cepat dan lebih
banyak tipu-tipu silatnya. Akan halnya Ki Ragil Kuniran sudah pula menerjang
lawan, dengan mengandalkan sepasang pisau panjang di tangan dan menerapkan jurus
'Pisau Lidah Naga' dipadu dengan Ilmu Silat 'Tangan Seribu Depa' yang
dimilikinya. Di lain tempat, Galang Seta dan Pulanggeni berdua menghadapi si cecak kering
Tangan Kilat Kaki Bayangan yang tak kalah serunya. Kedua murid utama Padepokan
Singa Lodaya ini memiliki kepandaian yang setingkat satu sama lain. Dengan
mengandalkan ilmu kebal ajian 'Kulit Singa', mereka berdua merangsek maju.
"Heeeaa ... " Keduanya bahu membahu dalam menghadapi lawan. Galang Seta menyerang bagian bawah
sedang Pulanggeni menyerang bagian atas. Dua saudara seperguruan itu selalu
mengisi kekosongan, sehingga bisa menekan lawan setangguh apa pun.
Dari pendapa padepokan, Ki Ageng Singaranu mengangguk-anggukkan kepala melihat
kerjasama dua murid utamanya. Tidak menyangka, bahwa Ilmu Silat 'Singa Gunung'
bisa dimainkan dengan cara berpasangan.
"Bagus sekali! Galang Seta dan Pulanggeni memang hebat dalam memadukan Ilmu
Silat 'Singa Gunung' menjadi jurus silat berpasangan. Saling mengisi kekosongan
dan menutupi kelemahan. Hemm, mereka berdua patut diacungi jempol. Mungkin sudah
saatnya aku menurunkan pukulan 'Telapak Singa Murka' pada mereka berdua," pikir
Ki Ageng Singaranu. Meski dikeroyok dua orang, Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak pantang menyerah.
Puluhan paku-paku beracun yang dilontarkan ke arah lawan, selalu tepat pada
sasaran. Seett! Sett! Wirr!! Wirr! Crapp! Crapp! Crap!
Pikirnya, dengan senjata paku beracunnya bisa membereskan dua orang lawan
tangguh itu dengan cepat. Namun dia kecele. Bukannya lawan yang mati, tapi
justru anak buahnya yang banyak berkelojotan meregang nyawa, karena saat paku-
paku beracun itu mengenai tubuh lawan, langsung terpental balik dan mengenai
orang-orang yang berada di sekitar mereka, karena sebenarnya dua pemuda berbaju
hitam itu telah melindungi diri dengan ilmu kebal. Semakin keras tenaga serangan
yang mengenai pemilik ajian 'Kulit Singa' maka semakin keras pula tenaga pantul
yang dihasilkan. "Kurr ... kurang ... ajjj ... jarr!"
Tangan Kilat Kaki Bayangan menghentikan serangan paku beracun, lalu beralih
dengan mengerahkan Ilmu Silat 'Serigala Iblis'. Gerakannya berubah semakin cepat
dan ganas, terutama sekali jurus tendangan yang secepat kilat. Gerakan tendangan
itu digabung dengan ilmu meringankan tubuh, membuat tubuhnya berkelebat cepat
kesana kemari dalam menyerang lawan.
Werrs! Galang Seta dan Pulanggeni pun melenting mundur, lalu mengubah cara bertarung.
"Galang Seta, kita gunakan jurus 'Sepasang Singa Membantai Iblis'!" ucap
Pulanggeni. "Baik!" Keduanya pun berkelebat cepat ke kanan dan ke kiri hingga membuat Tangan Kilat
Kaki Bayangan terkepung di tengah-tengah. Kembali pertarungan pecah antara dua
murid Ki Ageng Singaranu dengan salah seorang pemimpin dari Gerombolan Serigala
Iblis, yaitu Tangan Kilat Kaki Bayangan. Mereka bertiga kembali berkutatan untuk
berusaha saling menjatuhkan lawan.
"Hyahh!" Sementara itu, Gineng pun tidak mau tinggal diam sudah terlibat dalam kancah
pertarungan. Pemuda remaja itu berkelebat cepat ke arah lawan dengan sepasang
pisau panjangnya. Ilmu silat yang dipelajari dari Ki Ragil Kuniran yaitu Ilmu
Silat 'Tangan Seribu Depa' sangat membantunya dalam pertarungan yang baru
pertama kali dialami pemuda tanggung itu. Meski belum menguasai sepenuhnya jurus
'Pisau Lidah Naga', namun Ilmu Silat 'Tangan Seribu Depa' yang merupakan
dasarnya sudah sangat dikuasai dengan baik.
Wutt! Wushh! Dua orang anggota gerombolan menyerang pemuda remaja itu dengan gada berduri dan
tombak bercagak dari arah depan. Gineng pun melenting ke atas sambil mengibaskan
sepasang pisau panjangnya ke arah lawan.
Crass! Cratt! "Aaakhh! Uuggh!"
Dua orang itu terpental dengan dada terbelah. Satu terbelah menyilang dari kiri
ke kanan dan satunya terbelah memanjang sampai ke perut. Keduanya ambruk
berkelojotan meregang nyawa beberapa saat, lalu mati.
Gineng tercenung, bergantian memandang kedua tangan dan orang yang telah
dibunuhnya. Rasa menyesal, bersalah dan bingung campur aduk menjadi satu karena
memang baru pertama kali dalam hidupnya dia membunuh orang dalam suatu
pertarungan. Namun, rasa penyesalan itu harus dibayar dengan mahal. Salah
seorang anggota perampok berperut buncit sambil berjalan mengendap-indap di
belakangnya, berusaha untuk membokong. Setelah berada dalam jarak jangkauan,
tangan kekar sebesar kayu jati itu merangkul Gineng dari belakang dengan gerakan
cepat. Krapp! "Hegh!" Gineng merasakan dadanya terasa nyeri, lalu diikuti dengan napas tersengal-
sengal. Rangkulan itu begitu kuat, bagaikan rangkulan seekor kera hutan.
Beberapa injakan dan sepakan kaki yang dilakukan oleh Gineng pun tiada artinya,
seolah-olah membentur tumpukan kapas.
"Mampus kau! Heh-heh-heh, akan kuremukkan tulang belulangmu!"
Pelukan laki-laki buncit itu makin kencang, sehingga Gineng semakin sulit
bernapas, bahkan napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya mulai melemah dengan
sendirinya, hingga sepasang pisau panjangnya terjatuh ke tanah.
Klontang! Pemuda remaja itu merasakan tubuhnya seperti dijepit batu karang. Tulang-
tulangnya berkerotokan, seakan mau patah. Pada saat kesadarannya sudah hampir
hilang, dan bayangan kematian sudah tepat berada di pelupuk mata, sesosok
bayangan berkelebat. "Kakang Gineng, merunduk!"
Bayangan itu bergerak cepat, diikuti sekelebatan bayangan putih keperakan di
belakangnya. Bayangan itu lalu melenting ke atas sambil berjungkir balik, lalu
kaki kanannya menjulur ke bawah dengan hentakan keras, mengarah ke arah muka si
perut buncit! Wessshh! Duugghh! Tubuh buncit itu terjengkang ke belakang karena terkena hantaman keras di bagian
wajah. Kepalanya pusing dan dunia serasa berputar. Saat berusaha berdiri,
jalannya menggeloyor seperti orang mabuk. Setelah menggeleng-gelengkan kepala
beberapa kali, rasa pusing itu sedikit berkurang.
Pandangan mata belok melotot ke arah sosok tubuh kecil berikat kepala merah!
"Bangsat kecil!" Perlu apa kau turut campur?" bentak si perut buncit.
Lalu tubuh kecil itu melenting ke atas dan berdiri tegak di samping Gineng.
Bayangan itu tak lain adalah Paksi Jaladara, sedangkan bayangan putih keperakan
yang mengiringinya adalah elang kesayangannya, Si Perak!
Jurus 'Kelebat Ekor Elang' yang dilancarkan Paksi Jaladara seharusnya bisa
membuat kepala pecah atau paling tidak retak parah, namun ternyata hanya membuat
kepala si perut buncit menjadi pusing dan pandangan berkunang-kunang, itu
dikarenakan kepala laki-laki bertubuh boros itu terlindungi hawa tenaga dalam
yang cukup kuat sehingga bisa menahan serangan lawan.
"Kakang, kau tidak apa-apa?" tanya Paksi, tanpa menoleh ke arah pemuda di
sampingnya. Tatapan mata bocah itu setajam elang, tepat menghunjam ke arah bola mata lawan.
Laki-laki berperut buncit itu tergetar hatinya, hingga tanpa disadarinya mundur
beberapa tindak ke belakang.
Gineng hanya menganggukkan kepala, lalu tanpa bersuara meraih sepasang pisau
panjang yang ada di tanah diteruskan berguling satu kali ke depan, lalu
menerjang laki-laki berperut buncit yang hampir saja membunuhnya.
Weess! Anggota Gerombolan Serigala Iblis itu menghindar ke samping, sambil kaki
kanannya menendang ke depan dengan bertumpu pada kaki kirinya yang kokoh.
Wukk! Sambaran angin keras mengiringi tendangan itu ke arah pinggang. Gineng mengegos
badan ke kiri menghindari tendangan, sambil tubuhnya menyelinap diantara
tendangan lawan dengan cepat.
Weett! Laki-laki itu tersentak kaget, tidak ada waktu bagi dirinya untuk menghindari
serangan lawan. Pisau panjang di tangan pemuda berbaju coklat itu berkelebat
cepat dengan mengerahkan jurus 'Ular Sawah Menelan Kodok' dan sasarannya adalah
tepat di jantung! Crapp! "Hekhh!" Mata melotot dengan mulut ternganga lebar. Darah segar muncrat saat
pisau panjang itu dicabut oleh Gineng.
Brugh! Tubuh itu berdebam ke tanah, sambil berkelojotan meregang nyawa, lalu diam tak
bergerak. Mati! Pemuda itu membalikkan badan, seperti seorang senopati perang yang telah selesai
menjalankan tugas menumpas musuh.
"Terima kasih, Den Paksi! Lebih baik Den Paksi kembali ke pendapa saja, biar
saya yang membantu disini," tutur Gineng, dengan nada rendah.
"Baiklah, tapi Kakang Gineng hati-hati."
"Jangan khawatir, tidak akan terulang untuk kedua kalinya," kata Gineng
meyakinkan sang majikan muda.
Semua kejadian itu tidak lepas dari mata tua Ki Ageng Singaranu!
Sedangkan Nyi Salindri sudah kebat-kebit melihat anaknya malah ikut-ikutan
berkelahi. Mulanya Ki Ageng Singaranu akan membantu Gineng dengan melontarkan
pukulan jarak jauh, namun keburu didahului Paksi Jaladara yang turun tangan
sedangkan Nyi Salindri juga berniat untuk menolong anaknya. Namun dicegah oleh
Ki Ageng Singaranu. "Tidak usah cemas, aku yakin anakmu tidak apa-apa." ucap Ki Ageng Singaranu,
berusaha menenangkan putrinya.
Meski begitu, ibu muda itu masih tetap gelisah, sampai akhirnya pertarungan
dimenangkan oleh Gineng, dan anaknya sudah jalan lenggang kangkung ke arah
pendapa. "Paksi, kemari! Jangan berbuat yang macam-macam," seru sang ibu.
Bocah berikat kepala merah itu malah cengar-cengir, sambil bergegas menghampiri
sang ibu, sedangkan Si Perak sudah terlebih dahulu terbang dan kini hinggap di
atas palang kayu, tempat biasanya di mana kuda ditambatkan di depan pendapa
padepokan. Sementara itu, pertarungan semakin memanas. Teriakan dan pekikan kesakitan
terdengar dimana-mana. Pelataran yang semula adem ayem itu berubah menjadi ajang


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembantaian. Saling bunuh, saling terjang, saling tendang, bahkan ada yang
menyabung nyawa sambil memaki-maki, korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Murid-murid Padepokan Singa Lodaya yang masih rendah ilmu kebal dan kekuatan
tenaga dalam yang dikuasai belum memadai, banyak mengalami luka di sekujur
tubuhnya. Namun, semangat tarung yang dimilikinya tetap berkobar-kobar laksana
api ketemu minyak. Para murid Padepokan Singa Lodaya yang menguasai ilmu kebal
ajian 'Kulit Singa' lumayan tinggi, melindungi saudara seperguruan mereka yang
masih lemah. Sehingga tampak kerja sama yang kompak. Saling bahu membahu dan
tolong menolong serta saling menutupi kelemahan kawannya.
Pengikut Gerombolan Serigala Iblis juga tidak kalah ganasnya. Mereka yang
terbiasa berkutat dengan darah dan kematian, menyerang membabi buta. Lawan
mendekat, sikat! Akan tetapi di dalam hati mereka, tersimpan rasa gentar menghadapi lawan yang
sebagian besar menguasai ilmu kebal itu. Pedang, golok, tombak dan setiap
senjata yang kena sasaran di tubuh lawan, selalu terpental dan bahkan nyaris
mengenai dirinya sendiri?
"Heeaa! Hyahh!"
Crass! Crakk! Crook!! Sedikit demi sedikit, jumlah penyerang makin berkurang. Banyak diantara mereka
yang tewas atau sekarat, menunggu ajal menjemput. Melihat jumlah penyerang makin
berkurang, semangat tarung para murid padepokan makin meninggi.
Di sudut pelataran, Jalu Lampang masih berkutat seru dengan Serigala Hitam
Bermata Tunggal. 'Tenaga Sakti Serigala Iblis' makin menebal, demikian juga
'Tenaga Sakti Singa Gunung'-nya Jalu Lampang, semakin memancarkan cahaya terang,
seolah berusaha menerangi malam.
"Hyaaa ... !" Si mata satu menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menyerang ke arah
jantung, sambil tubuhnya melesat ke depan. Tangan kirinya menyusul dengan
gerakan tangan membabat ke arah leher. Disusul dengan dengan tendangan tajam ke
arah kemaluan. Si mata satu itu menamakan jurus 'Tiga Jalan Darah Kematian'.
Praktis, Jalu Lampang diserang dari tiga arah yang mematikan.
Jantung, leher dan kemaluan!
Sebagai seorang pendekar yang sudah malang melintang di rimba persilatan, pernah
mencicipi asam garamnya pertarungan dan sakitnya luka, tidak membuat Jalu
Lampang gugup menghadapi serangan mematikan itu.
Plaakk! Kepalan tangan kanan ditepiskan ke arah luar, sedangkan tendangan ke arah
kemaluan dihadang dengan kaki di tekuk di depan. Terdengar suara keras, seperti
besi diadu dengan besi. Draakk! Susulan tangan kiri lawan di tahan dengan siku kanan untuk melindungi jantungnya
yang terancam, namun serangan tangan kiri itu agak melenceng ke kiri, dan tepat
mengenai dada Jalu Lampang yang tidak terlindungi.
Bukk! Dhess!! Kedua jagoan itu terpental ke belakang sehabis beradu jurus dan juga beradu
tenaga. Jalu Lampang merasakan dadanya terasa sesak dengan napas tersengal-
sengal. Darah merah merembes keluar dari sudut bibirnya. Setelah mengalirkan
hawa penyembuh luka serta mengatur napas beberapa saat, dadanya sudah agak
longgar. "Untung ada ajian 'Kulit Singa', kalau tidak mungkin dadaku sudah hancur
berantakan saat kepalan si mata satu itu mengenai dadaku! Uh ... aku harus lebih
hati-hati menghadapinya," kata hati Jalu Lampang, sambil mengusap darah yang
menetes di sudut bibirnya.
"Setan alas! Kuntilanak bunting! Kadal bengkak! Bocah itu cukup hebat! Tangan
dan kakiku seperti tersengat bara panas dan rasa ngilu menusuk tulang. Ilmu apa
yang dipakai bocah itu" Seharusnya dadanya jebol terkena 'Tiga Jalan Darah
Kematian'! Kadal bengkak," gumam Serigala Hitam Bermata Tunggal, sedang matanya
mencorong tajam, seperti mata serigala yang ingin menelan mangsa mentah-mentah.
"Bocah, kuakui kau cukup hebat! Jarang ada manusia yang bisa menahan 'Tiga Jalan
Darah Kematian'-ku dengan selamat! Aku yakin si tua bangka itu sudah menurunkan
seluruh ilmunya padamu," kata Serigala Hitam Bermata Tunggal.
"Hem, kau pun juga hebat, orang tua!" sahut Jalu Lampang. "Ilmu yang kau pakai
barusan mengingatkanku pada seorang tokoh kosen golongan hitam yang bergelar
Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Ada hubungan apa kau dengannya?"
"Ha-ha-ha-ha, tidak percuma kau mengangkat nama sebagai Singa Jantan Bertangan
Lihai. Otakmu memang seencer bubur, anak muda! Benar, aku dan dua saudaraku
adalah murid si Ratu Sesat Tanpa Bayangan! Beliau pula pemimpin tertinggi
Gerombolan Serigala Iblis. Dan, guruku pula yang menyuruhku kemari untuk menagih
harta pusaka yang dibawa ayahmu. Aku yakin, kau sebagai anaknya pasti juga telah
menerima warisan pusaka itu. Nah, serahkan benda itu padaku daripada kau mati
sia-sia, anak muda," jawab Serigala Hitam Bermata Tunggal.
"Huh, lagi-lagi harta pusaka! Melihat bentuknya pun belum pernah, apalagi kau
malah menuduh aku yang memilikinya. Andaikata harta pusaka itu ada padaku, tak
mungkin kuserahkan pada manusia sesat macam kalian," sentak Jalu Lampang, yang
ternyata di rimba persilatan digelari Singa Jantan Bertangan Lihai.
"Keparat busuk! Babi bunting! Makan tinju mautku ini!"
Setelah memaki keras, Serigala Hitam Bermata Tunggal menghentakkan kaki ke
tanah, lalu tubuh tinggi besar itu mencelat ke atas. Dari atas, kedua belah
tangannya yang mengepal saling dibenturkan satu sama lain, sehingga terdengar
benturan keras beberapa kali, lalu kedua tangan mengepal itu berubah menjadi
merah membara seperti bara api yang menyala-nyala. Saat itu pula, Serigala Hitam
Bermata Tunggal sudah mengerahkan ilmu tertingginya yang bernama 'Tinju Serigala
Meraung'! Dhuarr! Dhuarr! Dhuarr! Terdengar suara ledakan keras berkali-kali mengiringi meluncurnya tubuh Serigala
Hitam Bermata Tunggal. Setelah itu, tampak sepasang tinju itu didorongkan ke
depan saling bergantian susul-susul diikuti dengan tubuh besarnya menerjang ke
arah Singa Jantan Bertangan Lihai. Mulutnya meraung keras seperti suara serigala
lapar. "Auunnggg!" Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan Lihai tidak mau mati konyol begitu
saja. Tubuhnya sedikit merendah dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda kokoh,
seperti singa yang sedang mendekam menanti mangsa. Kemudian tangan kiri dan
kanan saling bergesekan sehingga menimbulkan suara menyayat yang berkepanjangan.
Sreett! Srett! Setelah itu kedua belah tangan itu memendarkan cahaya hijau pupus, yang makin
lama makin menebal diikuti hawa dingin yang menyengat. Lalu kedua tangan itu
diputar sedemikian rupa membentuk gumpalan bola cahaya hijau pupus yang makin
lama makin membesar. Itulah ilmu sakti khas Padepokan Singa Lodaya.
Ilmu 'Telapak Singa Murka'!
Saat itu, 'Tinju Serigala Meraung' yang dilancarkan Serigala Hitam Bermata
Tunggal hanya berjarak satu setengah tombak dari Jalu Lampang, namun hawa
panasnya terasa menyengat kulit dan memedihkan mata. Jalu Lampang segera
menghentakkan kedua belah tangannya ke atas, ke arah serangan yang membersitkan
hawa panas tersebut berasal. Bola cahaya hijau pupus itu terlontar ke atas.
Plakk! Plakk! Bhlarr ... ! Bhlarr ... ! Dharr ... !!!
Sekitar tempat itu bagai diguncang prahara disertai luapan hawa panas dan dingin
silih berganti di saat 'Tinju Serigala Meraung' bertemu dengan 'Telapak Singa
Murka'. Semua orang yang berada di tempat itu terpelanting sambil merasakan
sengatan hawa panas dan dingin yang silih berganti karena pengaruh dari benturan
keras itu. Debu beterbangan menutupi pandangan mata hingga pertarungan berhenti
untuk sesaat lamanya. Mereka semua merasakan tanah tempat berpijak berguncang keras seperti terkena
gempa dahsyat. Ki Ageng Singaranu melesat ke luar sambil menyambar Salindri dan
Srinilam karena pendapa tempatnya menonton pertarungan, berderak-derak keras dan
kemudian runtuh. Drakk! Drakk! Drakk! Brroolll! Brumm ... !!!
Saat Ki Ageng Singaranu berhenti di tempat yang aman, barulah Salindri teringat
sesuatu. Matanya mencari-cari sesuatu, namun yang dicari tidak ada. Yaitu
anaknya, Paksi Jaladara! "Paksi"! Paksi dimana, Ayah" Dimana Paksi"!"
"Aduuuhh, aku sampai lupa! Dia masih di pendapa!" kata Ki Ageng Singaranu,
sambil menepak jidatnya keras-keras. Kakek itu segera melesat kembali ke
pendapa, lalu tangan kurusnya bergerak lincah membongkar reruntuhan pendapa
sambil mulutnya berteriak-teriak memanggil cucunya. Rasa panik terpancar jelas
di wajahnya. "Paksi, kau dimana Nak" Jawab! Ini kakek!"
Tiba-tiba terdengar suara dari atas ...
"Kek, Paksi disini! Disini! Lihat ke atas!"
Ki Ageng Singaranu segera menghentikan kegiatannya. Kepala mendongak ke atas,
mencari tempat dimana suara itu berasal. Matanya melotot melihat kejadian yang
menurutnya sangat tidak masuk akal!
"Jagat Dewa Bathara!"
Paksi tampak menggerakkan tangan ke atas ke bawah, seperti sayap burung! Tubuh
kecilnya tampak mengambang di angkasa, lalu berputar-putar kesana kemari sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Di sampingnya tampak elang putih keperakan terbang
mengiringi sang majikan muda. Bocah berikat kepala merah itu melayang-layang
seperti layaknya seekor elang!
"Mustahil! Tidak mungkin ini terjadi!"
Kakek itu mengucal-ucal mata tuanya, namun yang dilihat tetap sama. Saat itu
pula, Gineng juga menoleh, di saat mendengar Nyi Salindri memanggil-manggil nama
si bocah. Matanya jelalatan mencari sosok bocah berikat kepala merah. Setelah
ketemu, matanya terpana melihat kejadian ganjil yang terpampang di depan mata.
"Den Paksi ternyata tidak bohong! Dia ternyata bisa melayang dia udara, seperti
yang dikatakannya tempo hari," gumam Gineng, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Paksi Jaladara lalu berputaran di udara beberapa kali, dan mendarat di tanah
dengan selamat! Pada saat itu pula, setelah guncangan dahsyat itu berhenti, tampak dari kepulan
debu yang mulai menipis, dua sosok tubuh manusia berdiri tegak. Pertarungan
antara Singa Jantan Bertangan Lihai dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal sudah
mendekati detik-detik terakhir. Benturan keras tadi secara langsung menerpa mereka
berdua, karena dari merekalah asal ledakan keras itu terjadi. Keduanya masih
berdiri tegak dengan sikap saling serang. Kepalan tangan Serigala Hitam Bermata
Tunggal yang tadi melancarkan 'Tinju Serigala Meraung' memberikan jejak luka
biru lebam kehitaman di dada Singa Jantan Bertangan Lihai, membentuk lekukan
yang cukup dalam. Dari sudut bibir Jalu Lampang menetaskan darah kental
kehitaman, pertanda luka dalam yang cukup parah. Tubuhnya gemetar menahan rasa
sakit yang mendera. "Hoekkh!" Darah kental berwarna hitam akhirnya termuntahkan keluar dari dalam mulut.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya limbung dan ...
Brughh! Tubuh kekar itu akhirnya jatuh pingsan akibat jejak luka yang dibuat lawan.
Darah masih terus menetes keluar diiringi dengan sentakan-sentakan kecil
tubuhnya, meskipun laki-laki itu dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, keadaan Serigala Hitam Bermata Tunggal tidak kalah parahnya
dengan Jalu Lampang. Di dada sebelah kiri, terlihat jejak luka merah kehitaman
akibat terkena pukulan 'Telapak Singa Murka' yang dilancarkan oleh Singa Jantan
Bertangan Lihai. Luka itu membentuk lekukan telapak tangan yang cukup dalam di
dada kiri. Langkah kakinya sempoyongan mendekati tubuh pingsan sang lawan. Darah
pun menetas dari sudut bibirnya.
"He-he-he, aku men ... me ... nang! Kau kalah ... an ... nak mud ... da ... "
Tubuh si mata satu itu akhirnya juga limbung dan akhirnya ...
Bruugh! Serigala Hitam Bermata Tunggal juga akhirnya menyusul ambruk, berseberangan
dengan Singa Jantan Bertangan Lihai. Dari lima lobang di wajahnya, darah
memancar keluar seperti air mengalir. Tubuh kekar itu berkelojotan meregang
nyawa. Beberapa saat kemudian, diam tak bergerak sama sekali.
Mati! Rupanya pukulan 'Telapak Singa Murka' tepat bersarang di bagian jantung, membuat
jantung hancur dari dalam tanpa disadari yang bersangkutan. Sedangkan Jalu
Lampang masih bernapas, walau satu-satu dan agak tersengal-sengal. Darah kental
menetes terus dari sudut bibirnya.
Semua mata memandang dua sosok tubuh yang tergeletak itu dengan terpana.
Bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Dua sosok manusia yang semula saling
cakar-cakaran dan berusaha saling menjatuhkan, kini diam tak bergerak. Suasana
kembali lengang disebabkan pertarungan berhenti, namun tidak berhenti
sepenuhnya. Beberapa murid Padepokan Singa Lodaya mendekati Singa Jantan Bertangan Lihai,
lalu mengangkat tubuh pingsan itu ke samping beranda, di mana ketua Padepokan
Singa Lodaya, Salindri dan Srinilam berada. Setelah sampai, laki-laki tua itu
segera menyambut tubuh anaknya, menotok jalan darah untuk menghentikan
pendarahan dan melakukan proses pengobatan untuk memulihkan kondisi Jalu Lampang
atau yang dikenal sebagai Singa Jantan Bertangan Lihai.
Di lain tempat, kancah sabung nyawa terpecah menjadi dua bagian. Yaitu
pertarungan sengit antara Tangan Kilat Kaki Bayangan dengan dua murid utama
Padepokan Singa Lodaya, sedangkan di sisi lain, Ki Ragil Kuniran masih berkutat
seru dengan Cakar Iblis Taring Serigala.
Seperti di komando, dua golongan yang pada mulanya berseteru, kini menepi ke
sisi yang berlainan. Sisa pengikut Gerombolan Serigala Iblis yang kini berjumlah
puluhan orang tampak menepi ke arah pintu gerbang, seakan siap mengambil langkah
seribu jika keadaan sudah tidak memungkinkan untuk bertahan atau pun melawan.
Tidak ada sorak sorai seperti ketika tadi mereka datang dengan menjebol pintu
gerbang. Ada yang terluka parah, ada pula yang luka ringan, tapi jumlah yang
tewas lebih banyak lagi. Mereka yang biasanya selalu mengantongi kemenangan jika
berkelahi atau menyerang padepokan atau perguruan silat lainnya, sekarang ketemu
batunya. Jika biasanya lawan sekali tebas langsung tewas, tapi kini dengan sekali tebas,
lawan bukannya tewas atau terluka, tapi balik balas menebas dengan beringas,
karena para murid itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan dan juga
mengandalkan ilmu kebal. Sementara itu, pertarungan di sisi lain ternyata masih kedot.
Pulanggeni menyerang bagian bawah dengan cakar terkembang diikuti dengan sepakan
kaki bertenaga kuat, sedangkan Galang Seta menyerang bagian atas tinju
tergenggam diiringi dengan tendangan berputar yang saling susul-susul menggempur
lawan. Pertarungan pamungkas akan segera terjadi karena ke dua belah pihak telah
mengeluarkan jurus atau ilmu andalan mereka.
Jdhar! Dharr! Dharr ... !
Terdengar ledakan keras berturut-turut yang menggetarkan jantung, ketika Tangan
Kilat Kaki Bayangan yang menggelar 'Tendangan Berantai Serigala Meraung' bertemu
langsung jurus 'Sepasang Singa Menggencet Tebing' salah bagian Ilmu Silat 'Singa
Gunung' yang dikembangkan secara berpasangan oleh dua murid utama Padepokan
Singa Lodaya yang digunakan untuk menyerang dari atas dan bawah.
"Aaahhh ... !" Tangan Kilat Kaki Bayangan terpental dengan jerit kesakitan yang menyayat. Tubuh
kurus menjulai itu terlempar dan membentur tembok dengan keras.
Drugghh! Brugghh! Tubuh kurus itu tersandar di tembok dengan napas tersengal-sengal. Darah kental
menetes dari sudut bibir dan akhirnya mengalir membasahi baju hijau tua di
bagian dada. Kaki kanannya tampak gembung merah kebiruan, karena tersambar jurus
lawan. 'Tendangan Serigala Meraung' yang dikerahkan serta dilambari dengan
'Tenaga Sakti Serigala Iblis' kalah telak!
Pulanggeni yang menyerang bagian bawah lawan dengan cakar terkembang, juga ikut
terpental karena daya ledak yang begitu keras menyambar tubuhnya. Tubuh pemuda
berbaju hitam itu terbanting ke tanah dengan keras sambil bergulingan beberapa
tombak jauhnya dan langsung memuntahkan darah segar.
"Hoekhh ... " Kedua tangannya bengkak kebiruan, karena 'Tendangan Serigala Meraung' yang
dilepaskan lawan, memang berbenturan langsung dengan tangannya saat jurus
'Sepasang Singa Menggencet Tebing' dikerahkan dengan pengerahan hawa 'Tenaga
Sakti Singa Gunung' secara maksimal. Akan halnya Galang Seta, dia hanya
terpental ke belakang, namun masih bisa menguasai diri dengan cara jungkir balik
beberapa kali dan bisa berdiri dengan tegak di tanah. Tangan kirinya sedikit
bengkak kehitaman, karena berbenturan keras dengan tulang kaki lawan yang
dilambari 'Tenaga Sakti Serigala Iblis'.
Galang Seta langsung memburu kawannya yang terkapar sambil muntah darah.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tujuh
"Pulanggeni, bagaimana keadaanmu?" tanya Galang Seta, dengan khawatir.
Tangannya segera menyangga kepala Pulanggeni, lalu jari-jari tangannya dengan
lincah menotok beberapa jalan darah di dada dan beberapa bagian tubuh


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulanggeni. Beberapa saat kemudian, Pulanggeni membuka mata, lalu berkedip-
kedip. Galang Seta hanya tertawa melihat tingkah sahabat karibnya.
"Aku tidak apa-apa, sobat! Cuma sedikit terluka," gurau Pulanggeni, untuk
menenangkan hati Galang Seta.
"Tidak apa-apa kepalamu soak! Terkapar begini dibilang tidak apa-apa ... " maki
Galang Seta. Sementara itu, keadaan lawan pun lebih parah dari mereka berdua, karena darah
terus saja mengalir seperti anak sungai.
"Kurang ajar! Kalian berdua telah mempermalukan si Tangan Kilat Kaki Bayangan!
Rasakan pembalasanku!" pikir si cecak kering.
Sebuah pikiran licik melintas di benaknya, cara yang biasa dimiliki orang-orang
golongan sesat saat dalam keadaan terdesak. Tangan Kilat Kaki Bayangan meraba
pinggang, dimana terselip dua bilah pisau terbang yang sengaja disembunyikan
jika dalam keadaan terdesak oleh lawan. Matanya yang cekung memandang lawan
dengan beringas, untuk melihat kelengahan lawan.
Perbuatan curang Tangan Kilat Kaki Bayangan yang ingin membokong, tidak lepas
dari penglihatan Gineng. Mata pemuda remaja berbaju buntung itu melihat gerak-
gerik orang ketiga dari Gerombolan Serigala Iblis yang mencurigakan. Matanya
bergantian memandang tokoh sesat itu dengan dua murid utama Padepokan Singa
Lodaya. "Pasti dia mau melakukan sesuatu yang licik. Lebih baik, aku awasi saja dia!"
pikir Gineng. Ketika tangan kanan yang memegang dua bilah pisau terbang itu terangkat ke atas
siap disambitkan ke arah Galang Seta dan Pulanggeni, Gineng pun melakukan
gerakan yang sama. Pemuda remaja itu juga menyambitkan pisau panjangnya, dengan
jurus 'Pisau Lepas Dari Tangan' ke arah Tangan Kilat Kaki Bayangan, diiringi
bentakan keras, "Dasar manusia licik!"
Wuttt!! Syutt! Pisau panjang itu melesat membelah udara, mengeluarkan desingan keras yang
membuncah karena dilandasi dengan kekuatan tenaga dalam pemuda remaja itu.
Terlambat! Bersamaan dengan itu, pisau terbang di tangan orang ketiga dari Gerombolan
Serigala Iblis itu juga telah melesat, ke arah Galang Seta dan Pulanggeni dengan
kecepatan kilat! Wushh! Weessh!! Crapp! Trakk! Trakk ... !
"Ugh!" Terdengar lenguhan pendek, bukan dari mulut Galang Seta atau Pulanggeni, tapi
dari mulut si Tangan Kilat Kaki Bayangan!
Di bagian leher laki-laki kurus itu, tertancap pisau panjang yang dilemparkan
Gineng, hingga amblas sampai ke gagangnya. Bahkan saking kerasnya tenaga
sambitan jurus 'Pisau Lepas Dari Tangan', membuat tubuh Tangan Kilat Kaki
Bayangan ikut terseret beberapa tombak, lalu menancap di balok kayu tempat
dimana biasanya mengikatkan kuda.
"Khu ... khu ... eghhh ... "
Tangan kurus itu berusaha mencabut pisau panjang yang menembus leher, hingga
terdengar seperti suara orang mengorok keras. Beberapa saat kemudian, diam tanpa
bergerak sedikit pun dengan mata melotot liar!
Si Tangan Kilat Kaki Bayangan rupanya melupakan salah satu kelebihan murid-murid
Padepokan Singa Lodaya, yaitu ilmu kebal ajian 'Kulit Singa', yang juga dikuasai
oleh Galang Seta dan Pulanggeni. Ajian 'Kulit Singa' adalah ilmu kebal dari
segala macam senjata tajam mau pun tumpul, juga bisa memantulkan hawa tenaga
dalam lawan. Selama lawan memiliki tenaga dalam lebih rendah dari pemilik ajian
'Kulit Singa' atau setidaknya setara dengan lawan, ajian 'Kulit Singa' akan
tetap berfungsi dan selama lawan tidak menggunakan senjata pusaka, maka ajian
'Kulit Singa' akan bisa melindungi sang pemilik.
Karena Tangan Kilat Kaki Bayangan tidak menggunakan senjata pusaka, meski hawa
tenaga dalam yang dmilikinya setara dengan yang dimiliki dua lawannya, namun
lemparan pisau terbang itu terpental, seperti membentur tembok tebal saat
mengenai punggung dan pinggang dua pemuda lawannya. Apalagi sudah dalam keadaan
terluka dalam yang parah, membuat tenaga lemparan pisau terbangnya tidak sekuat
kalau dalam keadaan sehat.
"Terima kasih, kawan!"
"Sama-sama!" sahut Gineng dari kejauhan.
Pemuda remaja itu melentingkan tubuh berjumpalitan di udara beberapa kali
mendekati mayat si Tangan Kilat Kaki Bayangan.
Jleg! "Heh, orang jahat sepertimu sudah sepantasnya di kirim ke neraka!" ucap Gineng.
Tangan kanannya terulur menangkap gagang pisaunya, lalu ditarik dengan satu
sentakan cepat. Sett! Brugh! Saat pisau panjang itu tercabut dari leher, bersamaan itu pula tubuh Tangan
Kilat Kaki Bayangan terperosot jatuh ke tanah. Mata orang ke tiga dari
Gerombolan Serigala Iblis itu melotot besar, seakan tidak terima dengan kematian
yang dihadapi. Kemudian Gineng membersihkan pisau panjangnya dan menyelipkan di pinggang kiri
sambil melangkah menghampiri Galang Seta dan Pulanggeni. Galang Seta dan Gineng
lalu memapah Pulanggeni ke tepi kancah pertarungan, dimana Ki Ageng Singaranu
sedang mengobati Singa Jantan Bertangan Lihai yang juga terluka parah akibat
bertempur dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Praktis, hanya pertarungan Ki Ragil Kuniran dengan si Cakar Iblis Taring
Serigala yang tersisa. Kedua orang itu masih ingkel-ingkelan dengan alot.
Tendangan dan pukulan datang silih berganti. Cakar Iblis Taring Serigala
menerjang cepat dengan senjata Cakar Serigala diiringi dengan teriakan keras
memekakkan telinga. "Hyaaa ... heyyyaa ... !"
Trang! Tring! Crangg! Terdengar dentingan besi beradu saat sepasang pisau panjang di tangan lurah desa
Watu Belah itu menahan serangan kilat lawan. Kaki kiri Ki Ragil Kuniran berputar
ke depan dan ... Buuukk! Sebuah tendangan berputar tepat mengenai pelipis kanan Cakar Iblis Taring
Serigala, yang langsung terjajar ke samping. Di saat tubuhnya terpelanting,
Cakar Iblis Taring Serigala masih sempat mengibaskan senjata Cakar Serigala di
tangan kanannya ke arah lengan lawan.
Cratt! Darah kental kehitaman mengucur dari bekas sambaran senjata berbentuk cakar itu.
Laki-laki itu mengernyitkan alis, menahan rasa ngilu yang tiba-tiba menjalar
lewat jalan darah di bekas luka cakaran, terus menjalar naik sampai bagian bahu.
"Racun ganas ... " gumamnya. " ... cepat sekali menjalarnya ... "
Ki Ragil Kuniran segera meloncat mundur, lalu menotok jalan darah di lengan dan
bahunya untuk menghentikan jalannya racun menuju jantung.
Cakar Iblis Taring Serigala sempat melirik ke arah samping. Pandang matanya
melihat Serigala Hitam Bermata Tunggal tergeletak diam entah hidup entah mati
dan Tangan Kilat Kaki Bayangan yang terbujur kaku dengan jejak luka berdarah di
bagian leher. "Kurang ajar! Dua saudaraku telah tewas, sedangkan anak buahku pun kocar kacir
tak karuan! Keadaan ini tidak menguntungkan bagiku. Kalau aku tetap di sini,
kemungkinan tewas lebih besar. Lebih baik aku mundur dulu. Padepokan Singa
Lodaya benar-benar kuat. Kalian harus membayar penghinaan ini suatu saat nanti!"
bathin laki-laki kurus bermuka tikus itu. "Guru yang katanya akan ikut membantu,
sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya. Brengsek! Lebih baik aku lari
saja dari sini. Persetan dengan mereka semua!"
Dua bola mata laki-laki itu bergerak lincah persis mata pencuri yang tertangkap
basah. Lirik sana lirik sini, berusaha mencari celah yang bisa diterobos keluar.
Belum sempat murid ke dua si Ratu Sesat Tanpa Bayangan beranjak dari tempatnya,
tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar laksana petir di siang hari yang
memecah kesunyian. "Singaranu! Berani sekali kau mengusik murid-muridku! Siapa pun yang berani
mengusik tiga murid kesayanganku, harus berhadapan dengan Ratu Sesat Tanpa
Bayangan!" Entah dari mana datangnya, sesosok perempuan tua bertubuh bongkok berbaju batik
kembang-kembang sudah berdiri di atas genting. Rambut putih riap-riapan
berkibar-kibar tertiup angin. Di tangan kiri tergenggam tongkat hitam melengkung
dari bangkai ular kobra, yang panjangnya sama tinggi dengan tubuh nenek bongkok
itu. Tubuhnya kurus kering, seakan hanya tulang terbalut kulit saja, sedang
daging yang ada hanya ala kadarnya saja. Matanya bersinar-sinar menyorotkan
kekejaman tiada tara. Nenek bongkok bertongkat ular itu dulunya seorang
perempuan jelita meskipun umurnya sudah tidak muda lagi, juga merupakan salah
datuk hitam berilmu tinggi dari Pulau Nusa Kambangan. Kehebatan ilmunya bisa
disejajarkan dengan Ki Ki Dirgatama, seorang tokoh golongan putih yang juga
sekaligus guru dari Ki Ageng Singaranu.
Pada masa itu, wanita yang bergelar Ratu Sesat Tanpa Bayangan merupakan momok
menakutkan bagi dunia persilatan. Hanya dengan menyebut namanya saja, sama
artinya dengan mengantar nyawa. Belum lagi dengan Serikat Ular Iblisnya, yang
sering berbuat kejahatan dimana-mana, bahkan kejahatan dan kekejiannya sampai
terdengar menyeberang ke Pulau Andalas mau pun ke Pulau Borneo yang letaknya di
seberang lautan. Membunuh, merampok, bahkan melakukan hal-hal biadab sudah
merupakan kebiasaan yang menyenangkan bagi Serikat Ular Iblis dan juga Ratu
Sesat Tanpa Bayangan. Selain terkenal dengan kekejamannya, nenek itu juga memiliki ilmu awet muda
sehingga tubuhnya tetap singset dan menggiurkan bagi setiap laki-laki yang
memandangnya. Jika ditanya, dukun teluh terhebat di rimba persilatan, maka akan
menunjuk tokoh ini sebagai ahlinya. Dengan ilmu 'Teluh Ireng' yang sangat
diandalkannya, jarang ada tokoh persilatan yang bisa hidup jika sudah terserang
ilmu teluh itu, belum lagi dengan ilmu 'Tongkat Selaksa Maut Selaksa Siksa' dan
'Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan' juga merupakan salah satu ilmu sakti di
rimba persilatan, dimana setiap kibasan mau pun sambaran anginnya yang
mengeluarkan racun maut bisa mendatangkan maut bagi siapa saja, apalagi kalau
terkena telak, pasti nyawa akan merat saat itu juga. 'Tinju Serigala Meraung
Tanpa Bayangan' dilatih dengan merendam diri dalam gentong besi yang didalamnya
penuh berisi ribuan racun tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan berbisa. Tak jarang
pula beberapa binatang langka yang berbisa digunakan untuk berlatih ilmu ini.
Bisa dikatakan bahwa ilmu 'Tinju Serigala Meraung Tanpa Bayangan' adalah rajanya
pukulan beracun. Apalagi ditambah hawa 'Tenaga Sakti Serigala Iblis' yang dimilikinya juga sudah
mencapai tataran tak tertandingi oleh siapa pun di dunia persilatan saat itu.
Itulah yang menjadikannya menggelari diri sebagai Ratu Sesat Tanpa Bayangan.
Sehingga kepongahan dan kesombongan semakin menjadi-jadi.
Namun, setinggi-tingginya ilmu seseorang, masih ada yang bisa melebihinya.
Seperti kata pepatah 'diatas langit masih ada langit', Ratu Sesat Tanpa Bayangan
akhirnya kena batunya juga. Saat dia berjumpa dengan tokoh sakti yang berjuluk
si Elang Berjubah Perak yang waktu itu sedang berjalan bersama sahabatnya Ki
Dirgatama yang menyandang gelar Singa Putih Berhati Iblis, berada di sebelah
utara pulau Nusa Kambangan, setelah mengunjungi salah satu tokoh golongan putih
dari pulau Nusa Laut. Merasa dirinya hebat dan tanpa tanding di kolong langit, wanita iblis itu
menantang dua tokoh golongan putih itu dan akhirnya terjadi perkelahian yang
berlangsung ratusan jurus dan berakhir dengan kekalahan Ratu Sesat Tanpa
Bayangan di tangan si Elang Berjubah Perak. Seluruh ilmu silat, ilmu sihir dan
juga hawa 'Tenaga Sakti Serigala Iblis'-nya dikeluarkan sampai tahap terakhir,
tetap tidak bisa menggoyahkan posisi lawan.
Bahkan Singa Putih Berhati Iblis dengan berani mendatangi seorang diri sarang
Serikat Ular Iblis di Nusa Kambangan saat terjadi duel antara si Elang Berjubah
Perak dan Ratu Sesat Tanpa Bayangan, akhirnya perserikatan pembawa bencana itu
tumpas tapis tanpa sisa di tangan Singa Putih Berhati Iblis yang saat itu masih
senang-senangnya menambah pengalaman pertarungan dan tentu saja karena masih
berjiwa muda. Setengah harian dia membantai orang-orang Serikat Ular Iblis, saat
dia kembali ke pertarungan si Elang Berjubah Perak dan Ratu Sesat Tanpa
Bayangan, nampak olehnya tokoh sesat itu mengiba-iba minta dibiarkan hidup!
Oleh si Elang Berjubah Perak, Ratu Sesat Tanpa Bayangan diampuni asal mau
bertobat dan tidak mau mengulangi perbuatan jahatnya lagi. Namun, hal itu
ditentang oleh Ki Dirgatama yang selalu berpedoman bahwa mencabut rumput harus
sampai ke akar-akarnya. Pemuda itu berkeyakinan, bahwa setiap tokoh hitam pasti
lain di mulut lain pula di hatinya.
Setelah berpikir sejenak, si Elang Berjubah Perak berketetapan bahwa dia tetap
ingin mengampuni Ratu Sesat Tanpa Bayangan, namun seluruh ilmu yang dimilikinya
harus dimusnahkan agar tidak disalahgunakan lagi.
Mendengar hal itu, Ratu Sesat kaget bukan alang kepalang! Mati dalam pertarungan
bagi seorang pendekar bukan suatu masalah, tapi terlunta-lunta di dunia
persilatan tanpa ilmu yang disandangnya, merupakan aib dan momok menakutkan bagi
para pendekar. Wanita cantik itu melolong-lolong minta dibunuh daripada jadi
orang cacat tanpa ilmu. Namun apa yang diucapkan Elang Berjubah Perak pantang ditarik kembali. Seluruh
ilmu Ratu Sesat itu akhirnya dimusnahkan semua dan berubahlah ia menjadi orang
biasa tanpa ilmu. Namun itu tidak memuaskan Ki Dirgatama, masih ditambahi dengan
dipotongnya daun telinga kiri dan ruas tulang leher bagian belakang Ratu Sesat
ditarik satu jengkal ke atas sehingga tubuhnya menjadi bongkok, sehingga mirip
orang lanjut usia. Kecantikan yang dibangga-banggakan, luntur seiring dengan
berjalannya waktu. Hinaan dan cercaan setiap orang diterimanya dengan hati penuh
dendam. Hingga sampai di tempat tinggalnya, di pulau Nusa Kambangan. Ia melihat
seluruh anak buahnya mati bergelimpangan di dalam sarangnya, tak satu pun yang
masih bernapas sama sekali. Hatinya makin pedih dan membuatnya berteriak-teriak
seperti orang gila, dendamnya pun semakin menjulang tinggi, kalau perlu sampai
tembus ke langit! Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang kini telah cacat dan berubah menjadi nenek tua
renta, dendam setengah mati pada Elang Berjubah Perak dan terutama sekali pada
Ki Dirgatama yang telah membuatnya cacat seumur hidup, menjadi manusia bongkok
untuk selamanya. Dia bersumpah akan membalas sakit hatinya suatu saat nanti.
Dendamnya sedalam lautan setinggi gunung dan memuncak sampai ke ubun-ubun. Nenek
bongkok itu pun kembali menggembleng diri, meski dengan susah payah karena
setiap melatih ilmunya yang sudah musnah, tulang punggungnya terasa nyeri
sekali. Tanpa terasa, empat puluh tahun telah berlalu tanpa terasa. Ilmu sakti yang dulu
musnah, kini dimilikinya kembali meski hanya separo saja. Namun itu sudah cukup
menggegerkan dunia persilatan karena seluruh sepak terjangnya yang ngedap-edapi
dilandasi dengan dendam membara. Dan ia kembali membentuk perkumpulan baru yang
lebih jahat dari Serikat Ular Iblis, disebutnya sebagai Gerombolan Serigala
Iblis. Kini, tokoh hitam pada masa puluhan tahun silam itu hadir di Padepokan Singa
Lodaya. Pesona maut menebar kemana-mana, siap mengantar siapa saja menuju ke
neraka. Matanya jelalatan mencari-cari sesuatu. Pandang mata liar itu bersirobok
dengan dua orang yang tergeletak agak berjauhan letaknya.
"Guru!" seru Cakar Iblis Taring Serigala, saat melihat perempuan tua itu adanya.
"Murid goblok! Menghadapi singa ompong saja sudah keok! Cepat urus kedua
saudaramu!" "Baik, Guru!" Cakar Iblis Taring Serigala segera beringsut ke arah Tangan Kilat Kaki Bayangan
dan mengangkat lalu meletakkan di pundak kiri, seperti meletakkan seonggok
karung beras. Setelah itu berjalan ke arah Serigala Hitam Bermata Tunggal dan
dengan cara yang sama, tapi diletakkan ke pundak kanan. Kemudian laki-laki itu
berjalan keluar, diikuti para anak buah yang kini tinggal beberapa puluh orang
saja. "Ratu Sesat Tanpa Bayangan," gumam Ki Ageng Singaranu, saat mengetahui siapa
adanya nenek rambut putih riap-riapan itu.
Orang pertama dari Padepokan Singa Lodaya itu beringsut maju ke depan, sedangkan
Salindri dan Srinilam dibantu beberapa orang murid, menggotong tubuh Jalu
Lampang atau yang berjuluk Singa Jantan Bertangan Lihai menyingkir dari situ.
Meski sudah lolos dari maut, namun tenaga sakti laki-laki kekar itu sudah
terkuras habis saat bertarung dengan Serigala Hitam Bermata Tunggal.
Ki Ragil Kuniran yang sebelumnya terkena racun, kini sudah mempersiapkan diri di
belakang Ki Ageng Singaranu. Kepala Desa Watu Belah itu berjaga-jaga jika Ratu
Sesat Tanpa Bayangan tidak hanya datang sendirian, tapi membawa bala bantuan
yang mungkin saat ini bersembunyi entah dimana.
Matanya tajam mengitari sekitarnya.
"Ratu Sesat ... aku tidak mengusik muridmu, tapi merekalah yang memulai terlebih
dahulu. Aku dan murid-muridku hanya membela diri ... "
"Aaaahh ... sama saja! Siapa yang memulai, aku tidak peduli! Tua bangka macam
kau ini memang harus dihajar agar tahu adat, bicara dengan orang yang lebih tua


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus lebih sopan!" potong nenek berambut putih riap-riapan dengan cepat itu.
"Nenek rambut putih, yang tidak sopan itu siapa" Kau atau ayahku" Berbicara
dengan orang harus duduk sama rendah berdiri sama tinggi! Tidak seperti kau!
Petantang-petenteng seperti orang gila!" bentak Ki Ragil Kuniran.
"Bangsat kudisan! Siapa kau, hah ... " Berani sekali menasehati aku!"! Memangnya
aku ini siapamu" Aku ini apamu!?" balas bentak Ratu Sesat Tanpa Bayangan. Sambil
berkata, tangan kanannya bergerak pelan melambai ke depan.
Dalam pada itu, serangkum angin tanpa wujud melesat cepat ke arah Ki Ragil
Kuniran. Ketajaman rasa Ki Ageng Singaranu merasakan datangnya desiran angin
tajam yang mendekat cepat, lalu segera mengibaskan telapak tangan ke depan
dengan cepat. Deb! Deb! Bluuub! Terdengar suara letupan saat dua serangan tanpa wujud bertemu di udara. Meski
letupan itu tidak begitu keras, namun telinga semua yang ada di situ terasa
seperti ditusuk-tusuk jarum, bahkan beberapa orang sampai berdiri tergontai-
gontai menjaga keseimbangan tubuhnya. Ketua Padepokan Singa Lodaya hanya
bergeser setengah tindak dari tempatnya berdiri.
"Hi-hi-hi-hik ... tua bangka! Ternyata kau masih kedot juga. Coba terima
seranganku berikut ini ... "
Selesai berkata, nenek itu memutar-mutar tongkat ular kobra di atas kepala,
sehingga menimbulkan suara dengungan yang semakin lama semakin keras. Putaran
tongkat itu mengakibatkan udara di sekitar tempat menjadi mampat dan terasa
semakin panas, seperti adanya himpitan kekuatan raksasa. Beberapa saat kemudian,
secara perlahan namun pasti, udara seolah-olah semakin menipis, membuat orang-
orang yang sejarak delapan tombak dari tempat Ratu Sesat Tanpa Bayangan berdiri,
kesulitan bernapas. Andai ilmu yang dimiliki nenek sakti itu setara empat puluh
tahun silam, kemungkinan jarak jangkauan udara mampat dan panas bisa mencapai
puluhan tombak jauhnya dan hawa panas yang ditebarkan bisa puluhan kali lebih
panas. "Nilam, singkirkan suamimu dari sini! Salindri, suruh anak-anak mundur sejauh
mungkin ... " Ki Ageng Singaranu segera mempersiapkan diri mengetahui lawan langsung
mengerahkan ilmu kesaktian tingkat tinggi. Ke dua belah tangannya terentang
lurus ke kanan kiri tubuhnya. Kemudian diputar bersilangan satu sama lain,
hingga membentuk semacam gerakan memutar bola di depan dada. Kedua belah tangan
itu saling berkutatan seakan-akan sedang memutar-mutar sesuatu. hawa tenaga
dalam bernuansa dingin membeku tercipta bersamaan dengan munculnya cahaya putih
kebiru-biruan membentuk gumpalan bola padat yang semakin lama semakin membesar.
hawa panas pun saling tindih dengan hawa dingin.
Gumpalan bola itu ditarik ke samping ke kanan, lalu dengan diiringi hentakan
kaki kiri serta teriakan membahana, si Dewa Singa Tangan Maut melontarkan
gumpalan bola putih kebiru-biruan itu ke arah nenek yang sedang memutar-mutar
tongkat ular kobra. Weeeshh! Weeeshh ... ! "Jurus 'Salju Menggulung Badai'!" seru nenek iblis itu.
Nenek sakti yang berjuluk Ratu Sesat Tanpa Bayangan sangat mengenali jurus yang
dikeluarkan oleh lawan. Karena jurus 'Salju Menggulung Badai' adalah salah satu
jurus andalan Ki Dirgatama, musuh besarnya. Dengan ilmu itu pulalah, seluruh
anggota Serikat Ular Iblis tewas mengenaskan dengan tubuh beku terbungkus
serbuk-serbuk putih akibat lontaran jurus 'Salju Menggulung Badai'-nya Singa
Putih Berhati Iblis. Kini, jurus itu kembali digelar di hadapannya, kali ini
oleh salah satu murid si Singa Putih Berhati Iblis.
Ratu Sesat Tanpa Bayangan semakin gencar meningkatkan tenaga dalamnya. Saat
gumpalan putih kebiru-biruan itu semakin mendekat, tongkat ular kobra itu segera
memutar dengan cepat, mengerahkan jurus 'Ular Kobra Menyergap Mangsa', salah
satu bagian dari 'Tongkat Selaksa Maut Selaksa Siksa'!
Crett!! Cratt!! Dari kepala tongkat, keluar cahaya merah berkelok-kelok seperti ular merayap
memapaki serangan Ki Ageng Singaranu.
Breesshh! Bushh ... ! Terdengar suara letupan seperti bertemunya air dan api. Masing-masing pihak
merasakan betapa dahsyatnya serangan lawan. Sengatan hawa panas dan dingin
saling menerpa satu sama lain. Ki Ageng Singaranu merasakan hawa panas menyengat
di sekujur tubuh hingga dari luar tampak merah membara, sedangkan Ratu Sesat
Tanpa Bayangan dikungkung hawa sedingin salju hingga di sekujur tubuhnya tampak
tertutup serbuk-serbuk putih.
"Heeeaaaa ... "
Ki Ageng Singaranu yang tidak ingin mati terpanggang, segera mengalirkan kembali
tenaga dalam yang didasarkan pada jurus 'Salju Menggulung Badai' untuk
mengenyahkan rasa panas yang seperti membakar tubuh. Kepulan asap putih tampak
keluar dari atas kepalanya, kemudian lenyap diterpa angin. Beberapa saat
kemudian, tubuh laki-laki renta berpakaian abu-abu itu sudah kembali seperti
sedia kala. Dalam pada itu, nenek bongkok yang masih bertengger di atas pintu gerbang,
melakukan hal yang sama, karen tidak ingin mati membeku seperti ratusan anak
buahnya puluhan tahun yang silam, segera mengerahkan hawa 'Ilmu Sakti Api Iblis
Membara' untuk mengenyahkan hawa membeku yang membungkus tubuh.
"Kurang ajar! Bangsat busuk! Murid dan guru sama saja!" umpat Ratu Sesat Tanpa
Bayangan, " ... Singaranu! Hari ini kau beruntung, karena aku sedang malas
mencabut nyawa busukmu! Suatu saat nanti, kau harus menerima pembalasan dariku
atas perlakuanmu terhadap dua orang muridku, hi-hi-hi-hik ... "
Setelah tertawa terkekeh-kekeh, Ratu Sesat segera balik badan dan ngeblas ke
arah utara, diiringi suara tawa menyeramkan.
Blasss! Tubuh renta itu berkelebat cepat, secepat gerakan burung srikatan.
"Setan alas, jurus itu ternyata masih hebat juga, meski tidak sehebat puluhan
tahun yang lalu. Singa Putih Berhati Iblis benar-benar keparat, rupanya dia
sudah bisa memperkirakan bahwa kelak aku akan menuntut balas atas perbuatannya
padaku, hingga menurunkan ilmu setan itu pada muridnya. Uhhh, bagian dalam
tubuhku terasa diselimuti hawa dingin membeku. Jika tidak segera kuenyahkan,
mungkin nyawaku akan segera merat ke akhirat! Singaranu keparat, tunggu
pembalasanku," batin Ratu Sesat sambil tangan kiri yang dialiri hawa 'Ilmu Sakti
Api Iblis Membara' menekan dada agar hawa dingin itu tidak menjalar ke mana-
mana. Rupanya, akibat dari pukulan berhawa sedingin salju dari jurus 'Salju Menggulung
Badai' masih bersarang di dalam tubuh nenek sakti dari Nusa Kambangan itu. Dalam
pertarungan sesaat adu ilmu dengan ketua Padepokan Singa Lodaya tadi, nenek itu
mengalami luka dalam yang cukup membahayakan jiwanya.
Melihat ketua mereka kabur, seluruh anggota Gerombolan Serigala Iblis pun
langsung angkat kaki dari situ. Mereka lari salang tunjang, menabrak-nabrak
pepohonan yang ada di sekitar padepokan. Galang Seta dan Pulanggeni berniat
mengejar, namun sebentuk suara berwibawa mencegah langkah mereka.
"Jangan dikejar, biarkan mereka pergi!"
"Tapi, Guru ... "
"Tenaga kalian masih dibutuhkan disini! Bantu teman-teman kalian yang terluka!"
potong laki-laki tua itu.
"Baik, Guru!" sahut Galang Seta dan Pulanggeni bersamaan.
Ki Ageng Singaranu hanya menganggukkan kepala. Bersamaan dengan anggukan kepala
itu, dari sudut bibir kakek renta itu meneteskan darah kental kehitam-hitaman,
lalu tubuh itu limbung ke kiri dan ambruk ke tanah.
Brughh! "Guru!" Galang Seta dan Pulanggeni yang baru akan beranjak dari tempat itu, membatalkan
langkah dan dengan sigap menolong sang guru, sedang Ki Ragil Kuniran dengan
cermat segera mengurut bagian simpul-simpul syaraf tertentu di dada dan punggung
dan menotoknya, lalu mendudukkannya dalam posisi bersila.
"Ayah ... Ayah terluka" Parahkah?"
"Aku tidak apa-apa, jangan khawatirkan diriku. Cepat kalian bantu teman-teman
kalian. Biar Ragil saja yang membantuku disini ... " ucap Ki Ageng Singaranu
dengan lirih. Dua murid utama Padepokan Singa Lodaya itu saling pandang. Lalu sorot pandang
mata mereka mengarah ke arah Ki Ragil Kuniran, seakan meminta persetujuan.
Kepala Desa Watu Belah itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Baiklah, Guru! Kakang Ragil, jika butuh bantuan, panggil saja kami berdua."
"Tentu, jangan khawatir," jawab Ki Ragil Kuniran.
Dua bersaudara seperguruan itu segera beranjak dari situ. Mereka segera
bergabung dengan teman-temannya yang sedang mengobati luka-luka akibat serbuan
Gerombolan Serigala Iblis.
"Ragil, papah aku ke pendapa. Aku ingin mengobati lukaku di sana."
"Baik, Ayah." Di sisi kanan padepokan yang rindang, Gineng dan Paksi sibuk hilir mudik
membantu murid-murid padepokan yang terluka, ada yang patah tulang, namun ada
juga yang hanya tergores parang atau pedang lawan. Dalam serbuan mendadak ini,
tidak ada murid yang tewas.
Paksi Jaladara mondar mandir membawa tempayan berisi ramu-ramuan obat yang
dibuat ibunya dan juga Srinilam. Bocah berikat kepala merah itu dengan enteng
menggotong tempayan yang lumayan besar. Untuk bocah sepantarannya, membawa
tempayan sepelukan orang dewasa merupakan pekerjaan yang berat. Tapi bagi Paksi,
membawa tempayan itu seperti orang mengangkat kendil tanah liat saja.
Sementara si Perak juga tidak mau tinggal diam. Melihat tuan mudanya ikut
menyingsingkan lengan baju, entah dari mana datangnya, elang putih keperakan itu
terbang rendah dan kedua kaki kiri kanan mencengkeram beberapa benda bulat, lalu
menjatuhkan ke dalam tempayan obat yang dibawa kemana-mana oleh Paksi.
Plunng! Paksi melongokkan kepalanya sebentar ke dalam tempayan, lalu bibir mungil itu
menyunggingkan senyuman. "Terima kasih, Perak! Ambil dari tempat kakek tabib, ya?"
Krakk! Krreekk! "Oh, begitu!" kata Paksi, setelah mendengar 'penjelasan' dari sahabatnya.
Tidak ada yang memperhatikan percakapan 'aneh' antara bocah berikat kepala merah
itu dengan elangnya karena semua sibuk mengobati luka-luka, kecuali mata seorang
pemuda tanggung berbaju buntung warna coklat, yaitu Gineng!
"Apa yang dimasukkan elang itu ke dalam tempayan obat" Sepertinya bulatan
berwarna putih bercahaya. Anak itu selalu saja diliputi keanehan. Hmmm, lebih
baik aku tanya saja padanya," bathin Gineng, seraya beranjak mendekati Paksi.
Dalam pada itu, Singa Jantan Bertangan Lihai siuman dari pingsannya. Seluruh
tubuh dan sendi-sendi tulang masih terasa nyeri dan kaku. Tatapan matanya
sedikit buram, karena rasa pusing yang mendera akibat banyak darah yang keluar
dari dalam tubuh. Luka biru lebam kehitaman akibat terkena serangan 'Tinju
Serigala Meraung' masih terlihat jelas di dada Singa Jantan Bertangan Lihai.
Luka itulah yang membuat seluruh jalan darah di sekujur tubuhnya berserabutan
tak tentu arah, bahkan ada sebentuk tenaga liar yang berusaha keluar dengan
bebas dari dalam tubuh Singa Jantan Bertangan Lihai.
"Hoekkh ... " Kembali darah kental kehitaman tersembur keluar. Srinilam segera menghambur ke
arah sang suami. Dipeluknya laki-laki yang kini menjadi belahan jiwa dengan
segenap perasaan. "Kakang Jalu, bagaimana lukamu" Sakitkah?"
"Uhh, seluruh tubuhku rasanya tidak karuan, Nyi. Jalan darahku seperti berbalik.
tenaga dalamku rasanya berdesak-desakan ini ingin tumpah keluar. Sesak sekali.
Uhhh ... !" keluh Jalu Lampang.
Mukanya mengkernyit menahan sakit yang kembali mendera.
Srinilam kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong
suaminya. Yang bisa dilakukan hanya memeluk tubuh kekar itu sambil menahan
tangis yang menggumpal di dada. Air mata akhirnya tumpah ruah membasahi dada
kekar yang terbaring tak berdaya. Jalu Lampang atau si Singa Jantan Bertangan
Lihai ingin sekali menyentuh istrinya, tapi tangan itu tak mau bergerak sedikit,
yang tinggal hanyalah rasa gamang dan keinginan yang menggumpal di dalam hati.
Sebentuk tangan kecil menyentuh pundak wanita itu yang langsung menoleh dan
melihat seraut wajah bocah tampan berikat kepala merah. Bocah yang kesana-kemari
membawa tempayan obat itu hanya tersenyum kecil, "Bibi Nilam ... "
Wanita itu menyusut air mata yang meleleh di kanan kiri pipinya. Mata sembab
memerah karena tangis, "Ada apa, Paksi?"
Paksi trenyuh sekali melihat keadaan sang paman.
"Bibi Nilam, jangan khawatir, Paman Jalu pasti sembuh," hibur bocah itu.
Srinilam hanya tersenyum getir, "Ya, semoga saja pamanmu lekas sembuh. Doakan
ya, Nak." Paksi menganggukkan kepala, lalu tangan kanan merogoh ke dalam tempayan, dan
mengambil sebuah benda bulat sebesar kelereng yang memendarkan cahaya putih.
Bentuknya hampir mirip buah kelengkeng tapi bukan buah kelengkeng pada umumnya
yang sering dijumpai atau dijual di pasar-pasar, jika sedikit ditekan akan
mengeluarkan cairan berbau harum semerbak menyegarkan dan cairan itu terasa
lengket seperti gula aren, tapi sedikit lebih kental.
Ditimang-timangnya sebentar benda bulat itu, lalu diangsurkan ke arah Srinilam,
sambil berkata, "Bibi Nilam, tolong bibi berikan pada Paman Jalu."
"Apa ini?" tanya Srinilam, sembari menerimanya dari tangan Paksi.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Delapan
Paksi hanya tersenyum kecil. Matanya berkedip-kedip lucu, "Pokoknya berikan saja
pada Paman Jalu, nanti bibi akan tahu sendiri. Sudah dulu Bi, saya mau membantu
paman-paman yang lain."
"Baiklah, terima kasih, Paksi."
"Sama-sama." Lalu Paksi Jaladara pergi ke tempat dimana para murid Padepokan Singa Lodaya
sedang dirawat. Kali ini yang diberikan Paksi adalah air obat rendaman dari
benda bulat putih, yang lagi-lagi digunakan oleh bocah berikat kepala merah itu.
Karena yang memberikan obat adalah cucu guru mereka, tidak ada yang bertanya
atau pun memprotes tindakan Paksi yang menurut mereka aneh, karena yakin tidak
mungkin seorang bocah kecil, apalagi cucu dari guru mereka berniat mencelakai
orang yang sedang terluka. Bahkan mereka berterima kasih karena bocah itu dengan
sukarela membantu kerepotan mereka, tidak manja atau rewel seperti bocah pada
umumnya. Paksi kemudian menuju ke tempat dimana ayah dan kakeknya juga sedang
menyembuhkan diri karena luka masing-masing. Setelah memberikan benda bulat
putih kepada ayah dan kakeknya, benda bulat yang sama dengan yang diberikan pada
Srinilam untuk mengobati Jalu Lampang, bukan hasil rendaman dari benda bulat
putih itu. Entah apa maksudnya, hanya Paksi Jaladara yang tahu!
Beberapa saat kemudian, luka-luka yang diderita, baik luka dalam maupun luka
ringan sembuh dan hilang tanpa meninggal bekas sama sekali. Bahkan tubuh terasa
lebih segar dari sebelumnya. Bahkan rasa lelah akibat perkelahian dengan anak
buah Gerombolan Serigala Iblis juga ikut lenyap. Termasuk tenaga dalam juga
dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin besar dari sebelumnya.
"Galang Seta, kau merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Pulanggeni, pada kawannya.
"Aneh ... " Aneh bagaimana maksudmu?"
"Apa kau tidak merasa aneh pada dirimu" Pada lukamu" Coba teliti seluruh
tubuhmu," tanya Pulanggeni lagi.
Galang Seta memeriksa seluruh tubuhnya. Dilihatnya luka memar akibat serangan
lawan yang semula bengkak biru lebam, kini hilang tak berbekas, seolah tidak
pernah mengalami luka sebelumnya. Bahkan saat disentuh, tidak terasa nyeri atau
pun pedih. "Betul kawan! Seluruh luka di badan kulenyap tak berbekas. Bahkan rasa sakitnya
juga hilang sama sekali. Aneh sekali."
"Coba alirkan tenaga dalammu."
Galang Seta cepat tanggap, lalu disalurkannya hawa tenaga dalam ke arah tangan
kiri dan tangan kanan, sehingga terasa aliran energi menjalar cepat ke arah
tangan terus berkumpul di telapak tangan. Semua tidak ada masalah, tidak ada
hambatan pada umumnya orang yang sedang terluka dalam, mengalir dengan lancar,
malah lebih lancar dari sebelumnya.
"Aliran tenaga dalamku juga tidak terhambat, bahkan ... terasa lebih lancar dari
biasanya." "Aku merasakan hal yang sama seperti dirimu. Entah apa yang diberikan cucu guru
kepada kita. Semua kawan-kawan juga mengalami hal yang sama, tidak berbeda jauh
dengan kita." Setelah semua pulih kembali seperti sediakala, Galang Seta dan Pulanggeni
beserta murid-murid yang lain berkumpul di pendapa padepokan sisi kiri, karena
pendapa utama sudah hancur akibat terjadinya pertarungan malam itu. Galang Seta
melihat bahwa semua yang terluka telah pulih kembali, baik yang terluka dalam
mau pun luka luar. Pemuda murid utama Padepokan Singa Lodaya itu memberikan instruksi untuk
sebagian murid untuk menguburkan mayat-mayat di pemakaman belakang padepokan.
Setelah selesai memakamkan mayat-mayat itu, seluruh murid diminta untuk kembali


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke barak masing-masing, tapi besoknya diminta berkumpul kembali di pendapa sisi
kiri. Dengan patuh mereka segera membubarkan diri, ada yang langsung menuju ke
barak, ada yang langsung rebahan beralaskan rumput tebal, dan ada pula yang
langsung menuju pancuran sekedar untuk mencuci muka. Pembicaraan pun tak jauh-
jauh dari pertempuran yang baru saja mereka alami. Bahkan murid-murid yang
mendapat tugas untuk menguburkan mayat-mayat anggota Gerombolan Serigala Iblis,
saat kembali juga ikut nimbrung dengan kawan-kawannya.
Malam hari berikutnya ...
Jalu Lampang telah sehat kembali, sembuh total dari luka dalam yang nyaris
merenggut nyawanya, seluruh luka hilang lenyap tak berbekas. Ki Ageng Singaranu
yang juga terluka akibat terkena hempasan jurus 'Ular Kobra Menyergap Mangsa'
yang mengandung 'Ilmu Sakti Api Iblis Membara' juga telah sehat wal afiat. Benda
bulat berpendar cahaya putih pemberian Paksi Jaladara-lah yang membantu
menetralisir hawa panas menyengat dalam tubuh bahkan membantu meningkatkan hawa
sakti yang dimilikinya. Semua anggota keluarga Ketua Padepokan Singa Lodaya berkumpul di ruang tengah.
Mereka semua duduk melingkari sebuah meja berbentuk bundar dari kayu jati alas
dan diatasnya tersedia beberapa jenis sayur lengkap dengan buah-buahan. Dari
kiri ke kanan duduk berturut Ki Ageng Singaranu, Jalu Lampang duduk bersebelahan
dengan Srinilam, Salindri dengan Ki Ragil Kuniran duduk berdekatan sedangkan
Paksi Jaladara duduk bersebelahan dengan kakeknya sambil asyik menggerogoti apel
merah yang ada di hadapannya. Si Perak, burung elang kesayangan Paksi, pergi
entah kemana, hanya majikan mudanya saja yang tahu kemana burung elang itu
pergi. Sementara Gineng malah asyik ngobrol kesana kemari dengan Galang Seta dan
Pulanggeni. Terdengar derai tawa riuh rendah mereka di pintu gerbang sebelah
selatan. Gerbang itu masih terbengkalai rusak karena pertarungan waktu itu.
Hanya sebuah kursi panjang dan sebuah meja berukuran kecil dengan kaki yang
sedikit somplak terkena ayunan pedang, namun masih cukup kokoh di tempati
beberapa piring pisang goreng lengkap dengan kopi gula aren serta sedikit jahe
merah hangat. Di ruang tengah, mereka masih asyik membicarakan pertempuran kemarin malam.
Pembicaraan hangat mengalir bagai air, tanpa sela dan tanpa hambatan.
"Tapi Ayah, apa Ayah tahu benda bulat putih sebesar kelereng yang diberikan pada
Paksi padaku?" tanya Jalu Lampang, beberapa saat kemudian.
Ki Ageng Singaranu yang ditanya menggelengkan kepala, "Heh, aku tidak tahu! Baru
pertama kali aku melihatnya. Dari sekian jenis ramuan obat yang pernah kutemui,
belum pernah kujumpai obat semanjur itu daya kerjanya. Mungkin itu buah langka
yang hanya berada di tempat-tempat tertentu di tanah Jawa ini. Aku yakin Paksi
tidak mencari sendirinya. Bisa jadi ada orang sakti yang memberikan pada Paksi."
"Jika memang ada orang sakti atau setidaknya tokoh rimba persilatan, menurut
Ayah ... siapakah kiranya yang bisa atau memiliki benda mujarab itu?" tanya
Srinilam. "Entahlah ... cuma satu orang yang tahu!" jawab Ki Ageng Singaranu, diplomatis.
"Siapa, Ayah?" "Dia!" Kakek berbaju abu-abu itu mengarahkan jari telunjuk ke satu arah, yaitu ke
arah ... Paksi Jaladara! Ki Ragil Kuniran segera menggeser duduknya ke arah Paksi. Dielusnya kepala bocah
berikat kepala merah dengan lembut.
"Paksi, boleh Ayah bertanya?"
"Ayah ingin bertanya apa pada Paksi?"
"Darimana Paksi mendapatkan benda itu?"
"Benda apa, Ayah" Apa yang Paksi berikan pada ayah dan kakek waktu itu?"
"Betul, yang Paksi berikan waktu itu. Paksi dapat darimana?" tanya Ki Ragil
Kuniran. Bocah yang didahinya terdapat rajah kepala elang dan tertutup ikat kepala merah
itu diam sejenak. Matanya yang tajam mengawasi semua yang ada disitu, seakan
untuk meyakinkan diri apakah harus memberitahu darimana benda itu berasal. Ki
Ageng Singaranu berdesir saat beradu pandang dengan cucunya itu. Jantungnya pun
berdegup kencang. "Tatapan mata anak itu seperti mengandung tenaga gaib. Heran, dari mana bocah
sekecil ini bisa memiliki kekuatan sehebat ini. Pasti ada apa-apanya dengan
cucuku ini," kata hati laki-laki tua itu.
"Kakek tabib yang memberikannya, ayah," jawab Paksi dengan tenang.
"Kakek tabib" Kakek tabib yang mana" Apa bukan Nyi Cendani, Paksi?" tanya
Salindri yang sejak tadi hanya diam.
"Bukan, Bunda. Bukan dari Nenek Cendani, malah Paksi memberikan sebutir padanya
untuk campuran obat. Paksi cuma dipesan oleh kakek tabib, kalau buah itu hanya
boleh diberikan pada orang baik dan juga berilmu tinggi. Kalau cuma orang
berilmu biasa hanya boleh diberikan rendaman buahnya saja. Itu pesan kakek tabib
pada saya," sahut Paksi panjang lebar.
"Kalau Paman Jalu boleh tahu, siapa nama kakek tabib itu?"
Paksi hanya menggeleng-gelengkan kepala, "Paksi tidak tahu Paman, hanya Paksi
sering memanggil kakek tabib saja."
"Darimana Paksi tahu, kalau kakek itu seorang tabib?" tanya ayahnya, Ki Ragil
Kuniran. "Sebab kakek kemana-mana selalu membawa keranjang ramuan obat, Ayah."
"Lalu, apa Paksi tahu nama obat yang diberikan pada bibi tempo hari?" tanya
Srinilam sambil tersenyum manis.
"Eng ... anu ... ee ... namanya ... anu ... "
Ki Ageng Singaranu segera mengangkat cucunya dan di pondong di depan dada.
"Coba katakan pada kakek, apa nama obat itu" Sebab kakek mau berterima kasih
pada kakek tabib karena sekarang kakek sudah sembuh berkat obat pemberian kakek
tabib?" tanya Ki Ageng Singaranu, membujuk Paksi Jaladara yang kini berada di
pondongannya. Bocah itu hanya diam saja, seakan-akan ada sesuatu yang membebaninya. Keraguan
itu dilihat dengan jelas dilihat oleh Ki Ragil Kuniran, Jalu Lampang dan Ki
Ageng Singaranu. Sebagai seorang pendekar waskita, Ketua Padepokan Singa Lodaya
tahu arti keraguan cucunya. Laki-laki tua bijaksana itu hanya tersenyum.
"Anu ... kek ... eeee ... itu namanya ... emm ... "
"Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ... "
Sebuah suara berwibawa menggema di seluruh ruangan, diikuti dengan melesatnya
sesosok bayangan putih keperakan masuk ke dalam ruangan tengah. Setelah
berputaran beberapa kali diiringi suara pekik nyaring, lalu sosok itu hinggap
diatas langkan. Aawwwkk! Kraaggghh!! Bersamaan dengan itu, dari arah pintu melangkah masuk seorang kakek berjubah
hijau muda dengan sebatang tongkat panjang dari akar kayu cendana di tangan
kiri. Di punggung tersampir sekeranjang daun-daunan obat yang menguarkan bau
semriwing menyegarkan. Seulas senyum ramah terpampang di bibir.
Melihat kedatangan kakek itu, Paksi segera merosot dari pondongan kakeknya dan
berlari-lari kecil menyambut kakek berjubah hijau itu. Bocah itu segera meraih
tangan kanan kakek itu dan menciumnya dengan takzim. Sebuah penghormatan yang
luar biasa dari seorang bocah yang belum genap berumur enam tahun.
"Kakek tabib, tadi kakekku ingin bertemu dengan kakek ... "
"Oh, ya" Wah ... suatu kehormatan besar bagi kakek tabib kalau begitu ... " ucap
orang tua yang dipanggil kakek tabib dengan lembut.
"Mari kek, saya antar ... "
Paksi meraih tangan kanan kakek itu, setengah menyeret ke arah Ki Ageng
Singaranu berada. Ki Ageng Singaranu yang tidak mengetahui kedatangan kakek berjubah hijau itu ke
tempat kediamannya, merasa yakin bahwa laki-laki berjubah hijau yang usianya
mungkin sepantaran dengan bukanlah tokoh biasa, setidaknya tokoh persilatan yang
memiliki nama besar. Langkah kakek berjenggot putih dan mengenakan jubah hijau
itu begitu ringan seolah-olah mengambang tidak menyentuh lantai, bahkan suara
langkah kaki pun tidak terdengar sama sekali.
Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang segera saja berdiri, untuk menyambut
kedatangan orang yang dipanggil sebagai kakek tabib oleh Paksi Jaladara.
Kepala Desa Watu Belah itu mengkernyitkan dahi dan berkata dalam hati, "Rasa-
rasanya aku pernah melihat kakek berjubah hijau ini di desa Watu Belah, tapi
kapan, ya?" "Mohon dimaafkan kelakuan cucu saya yang kurang sopan pada Kisanak."
"Justru saya yang harus meminta maaf karena sudah datang ke padepokan ini tanpa
diundang," sahut laki-laki tua berjubah hijau, " ... dan sudah mengganggu
ketenangan saudara-saudara sekalian. Sekali lagi maafkan saya."
"Tidak apa-apa, kami malah senang mendapat kunjungan istimewa ini, silahkan
duduk, Kisanak." "Terima kasih."
Ki Ageng Singaranu menyambut uluran tangan si jubah hijau, kemudian berturut-
turut Ki Ragil Kuniran dan Jalu Lampang, sedangkan Paksi Jaladara masih menempel
di sisi kanan kakek tabib itu. Akan halnya Salindri dan Srinilam, segera
beringsut masuk ke dalam.
"Jika diperkenankan, sudilah kiranya saya bisa mengetahui siapa nama dan gelar
kakek di rimba persilatan, karena saya yakin kakek pasti memiliki nama besar,"
tanya si Singa Jantan Bertangan Lihai, karena sedari tadi berusaha memeras
otaknya, namun apa yang dicarinya tidak ketemu.
"Orang-orang sering memanggil saya Jati Kluwih, dan tempat tinggal saya jauh di
timur pulau Jawa ini, di sekitar Blambangan," jawab kakek itu memperkenalkan
diri bernama Jati Kluwih.
"Jati Kluwih ... " bathin Ki Ragil Kuniran, seraya mengelus-elus dagu, "Betul,
waktu itu, saat Paksi berumur hampir satu tahun, kakek itu datang ke rumah dan
meminta sedikit bekal untuk perjalanannya. I ya ... kenapa aku bisa lupa, ya?"
Jalu Lampang yang manggut-manggut itu tanpa sengaja melihat tangan kiri kakek
berjubah hijau itu dan langsung tersentak kaget, "Jadi ... kakek adalah Ki Gedhe
Jati Kluwih, yang bergelar Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan itu?"
"Ha-ha-ha-ha, nama buruk begitu jangan dibesar-besarkan, aku kok jadi malu
padamu, anak muda! Mana sanggup nama burukku menyaingi nama besarmu, si Singa
Jantan Bertangan Lihai," seloroh Ki Gedhe Jati Kluwih.
"Ha-ha-ha-ha ... " Jalu Lampang tertawa lebar. Sebagai sesama pesilat golongan
lurus, berjumpa dengan orang yang lebih tua adalah suatu kehormatan yang tidak
ternilai, apalagi bisa berada dalam satu meja dan satu ruangan pula.
Kemudian tanpa diminta terlebih dahulu, Ki Gedhe Jati Kluwih menceritakan
tentang 'Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka' yang diberikan kepada Paksi.
Tabib Sakti Berjari Sebelas menceritakan panjang lebar segala sesuatu yang
berhubungan dengan dirinya. Tanpa tedeng aling-aling, tidak ada yang
disembunyikan atau pun ditambah, apalagi dikurangi. Dan memang, Ki Gedhe Jati
Kluwih pernah singgah di desa Watu Belah, sesuai dengan dugaan Ki Ragil Kuniran.
Namun, sebenarnya kedatangan laki-laki tua itu memiliki maksud lain, yaitu
mengemban tugas dari tokoh persilatan golongan putih yang tersohor dengan budi
pekertinya, untuk mencari penerus atau pewaris dari segala ilmu yang
dimilikinya. Juga pewaris pembasmi keangkaramurkaan di rimba persilatan yang
kini kembali merajalela. Bocah berikat kepala merah itu mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan
oleh kakek berjubah itu. Kepalanya sebentar-bentar mengangguk-angguk membenarkan
ucapan Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan.
"Rupanya Paksi memang sangat mengenal siapa adanya tokoh tua ini. Beruntunglah
anakku, andaikata Tabib Sakti Berjari Sebelas bersedia mengangkatnya menjadi
murid," kata hati Nyi Salindri, setelah meletakkan minuman jahe hangat dan kini
duduk di samping suaminya.
"Ooo ... begitu rupanya ... " sahut Ki Ageng Singaranu, sambil mengelus-elus
jenggot kelabunya. "Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Ki Ragil Kuniran karena apa yang
saya lakukan tanpa sepengetahuan Ki Ragil sebagai orang tua dari Nakmas Paksi.
Saya memang sudah berpesan kepada Nakmas Paksi agar merahasiakan semua yang dia
ketahui tentang diri saya, termasuk juga ramuan obat 'Buah Dewa Selaksa Embun
Selaksa Luka' pun juga harus dirahasiakan keberadaannya," urai Tabib Sakti
Berjari Sebelas panjang lebar.
"Jika boleh saya tahu, keperluan apa yang membuat Ki Gedhe sampai jauh-jauh
keluar dari Pulau Kayangan datang ke gubuk saya yang reyot ini" Itu pun jika Ki
Gedhe berkenan," ucap Ki Ageng Singaranu, dengan nada bersahabat.
"Baiklah! Sebenarnya kedatangan saya menemui Ki Ageng Singaranu adalah dengan
mengemban amanat dari mendiang guru, yaitu Malaikat Sepuh Pulau Kayangan ... "
"Malaikat Sepuh Pulau Kayangan?" potong Jalu Lampang.
"Benar, Nakmas Jalu. Beliau berpesan agar saya bisa mencari dan menemukan murid
kinasih dari pendekar aliran lurus yang bergelar si Singa Putih Berhati Iblis.
Saya sudah mencari ke seantero Jawadwipa, dan pada akhirnya saya bisa menemukan
siapa adanya murid dari sahabat guru saya itu, yang ternyata adalah anda
sendiri, Ki Ageng Singaranu," terang Ki Gedhe Jati Kluwih, lalu sambungnya,
" ... dan karena amanat yang saya pegang ini berhubungan erat dengan rimba
persilatan, mohon sudilah kiranya Ki Ageng Singaranu berkenan menerima amanat
dari guru saya." Ki Ageng Singaranu terhenyak dari duduknya, "Amanat apa yang harus saya terima,
Ki Gedhe?" Ki Gedhe Jati Kluwih mengambil sesuatu dari balik jubah hijaunya, lalu
mengangsurkan benda yang terbungkus dari kain kuning yang sudah lusuh kepada
ketua Padepokan Singa Lodaya, Ki Ageng Singaranu.
Kakek berambut abu-abu itu menerima bungkusan itu dengan hati bertanya-tanya,
sebab hari ini sudah dua kejadian yang membuat dirinya terancam maut. Pertama
adalah bencana yang dibawa oleh Ratu Sesat Tanpa Bayangan yang menuntut benda
pusaka peninggalan Ketua Istana Elang yang entah apa bentuknya dan sekarang
datang Ki Gedhe Jati Kluwih yang mendapat amanat dari Malaikat Sepuh Pulau
Kayangan untuk menyampaikan sesuatu, yang kini berada didalam genggamannya.
Dengan hati-hati dibukanya bungkusan itu. Hanya terdapat potongan kulit kambing
dengan sederet tulisan yang cukup rapi diatasnya. Kakek itu membolak-balikkan
kulit kambing itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin masih tertinggal. Bahkan
kain pembungkus itu pun tidak luput dari pencarian.
Seolah kurang yakin, dia bertanya, "Hanya ini?"
Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukan kepala.
"Apakah aku boleh membacanya?"
"Silahkan, Ki. Itu sudah menjadi hak Ki Ageng Singaranu sepenuhnya, aku pun juga
tidak tahu isi dari bungkusan itu meski aku membawanya selama puluhan tahun.
Jika diperkenankan aku pun ingin mengetahui apa isinya." jawab kakek berjubah
itu. Mata tua itu menatap semua yang hadir disitu, yang dikuti dengan anggukan
mengiyakan. Laki-laki itu membaca dengan lirih, "Carilah pewaris tunggal Istana
Elang dan berikan hak milik yang seharusnya dia terima."
Semua mendengarkan dengan kening berkernyit, tak terkecuali Ki Ragil Kuniran dan
istrinya. "Lagi-lagi Istana Elang! Sebenarnya ada apa ini" Kenapa semua yang datang ke
sini selalu berhubungan dengan Istana Elang yang tidak kuketahui arah
juntrungannya. Baru saja nenek kapiran itu datang kemari dan mbarang amuk di
tempat ini. Ah ... pusing aku ... " keluh Ki Ageng Singaranu sambil terhenyak di
tempat duduk, " ... dan siapa sebenarnya Si Pewaris itu" Apa yang harus
kuserahkan, jika yang harus kuserahkan pun tidak aku ketahui bentuk dan asal
usulnya" Apa aku harus berkelana seperti halnya dirimu, Ki Gedhe" Kesana kemari
hanya untuk mencari satu orang yang tidak kuketahui?"
Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan masalah yang datang silih berganti.
Ki Gedhe Jati Kluwih maklum dengan keadaan tuan rumah. Sebagai orang yang sudah
banyak malang melintang di rimba persilatan, dia tahu betapa pelik dan rumitnya
masalah yang dihadapi ketua Padepokan Singa Lodaya itu, suatu masalah yang tidak
diketahui ujung pangkalnya, dan apalagi yang dihadapi juga menyangkut nasib
orang banyak. Dengan senyum arif bijaksana, Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Kayangan
berkata, "Ki Ageng Singaranu tidak perlu khawatir, sambil berkelana aku juga
mencari sisik melik siapa adanya pewaris itu. Dan akhirnya aku berhasil
menemukan siapa adanya pewaris yang kau maksud itu."
"Benarkah?" tanya Ki Ageng Singaranu seraya bangkit dari duduknya, tapi mendadak
kakek itu merasa curiga, "Tunggu ... tunggu dulu! Tadi Ki Gedhe mengatakan bahwa
Ki Gedhe belum pernah sedikit pun membuka atau pun melihat isi bungkusan ini.
Tapi Ki Gedhe mengatakan bahwa telah menemukan siapa adanya pewaris itu" Jangan-
jangan ... " "Guruku yang memberi tahu saya, Ki Ageng. Beliau mengatakan ciri-ciri dari
pewaris Istana Elang tersebut padaku. Saat itu bersamaan dengan aku menerima
amanat yang harus kuberikan pada murid kinasih si Singa Putih Berhati Iblis
yaitu bungkusan kuning yang kini telah Ki Ageng terima. Jadi, Ki Ageng tidak
perlu curiga bahwa saya telah mencuri lihat isi dari amanat itu."
Ki Ageng Singaranu alias Dewa Singa Tangan Maut manggut-manggut. Malu hati dia.
Sakit kepala yang menderanya, tiba-tiba lenyap mendadak.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aneh bukan" "Oh ... kalau begitu maafkan saya, Ki Gedhe. Saya sudah berpikir yang bukan-
bukan." Tabib Sakti Berjari Sebelas hanya menganggukkan kepalanya saja pertanda maklum.
"Lalu, siapa pewaris itu, Ki Gedhe?" tanya Jalu Lampang dengan rasa ingin tahu
yang membuncah. "Ciri khusus yang dimiliki oleh pewaris pilihan dari Istana Elang adalah dia
memiliki tanda-tanda tertentu yang dimulai sejak dalam kandungan, yang misalnya
tidak lahir seperti orang pada umumnya. Mungkin bisa sepuluh bulan, sebelas
bulan atau bahkan lebih. Kudengar, mendiang Ketua Istana Elang juga lahir pada
waktu yang tidak semestinya, beliau lahir pada bulan ke tujuh belas. Ciri lain
yang pasti dimiliki sejak lahir adalah salah satu anggota tubuhnya memiliki
semacam rajah berbentuk kepala elang yang memendarkan cahaya perak dan bisa
menguasai bahasa segala jenis binatang terutama satwa yang menguasai angin di
seluruh muka bumi ini tanpa terkecuali ... " Ki Gedhe Jati Kluwih menghentikan
sejenak ucapannya. Matanya berkeliling memandang semua yang ada di situ dengan
tatapan meneduhkan namun menyiratkan ketajaman hati nan bijak.
Semua mendengarkan dengan antusias dan ingin tahu kelanjutannya. Namun tidak
demikian dengan Ki Ragil Kuniran dan Nyi Salindri. Keterangan dari Tabib Sakti
Berjari Sebelas tadi tanpa sadar telah membuat jantung mereka berdegup kencang.
Rajah kepala elang, itulah yang membuat jantung pasangan suami-istri itu
berdegup, karena tanda khusus itu dimiliki oleh anak mereka, Paksi Jaladara yang
juga lahir pada bulan yang tidak semestinya.
Bulan ke tiga belas! Kemudian, Ki Gedhe Jati Kluwih melanjutkan keterangannya, " ... sedang ciri yang
lain adalah setiap calon pewaris Istana Elang akan dijemput oleh utusan yang
akan menyertainya kemana saja ia pergi. Utusan ini bisa menjelma dalam berbagai
bentuk, bisa berwujud binatang, benda-benda pusaka dan lain sebagainya. Bahkan
bisa menjelma menjadi dua bentuk yang berbeda. Karena wujud asli dari utusan itu
adalah roh suci yang berasal dari Nirwana Ke Sembilan. Mendiang ketua Istana
Elang generasi ke 30 memiliki roh utusan berwujud seekor naga kecil bersisik
putih keperakan dan sebuah pusaka berbentuk cambuk lentur, yang dinamakan Cambuk
Naga Rembulan Perak. Jadi, setiap generasi Istana Elang memiliki utusan dan
senjata pusaka yang berbeda-beda atau bahkan bisa sama dengan generasi
sebelumnya ..." tutur Ki Gedhe Jati Kluwih.
"Istana Elang memang penuh misteri dan teka-teki yang sulit dijawab ... "
"Begitulah kehidupan, Nakmas Jalu, tidak bisa ditebak kemana dan dari mana dia
berasal. Termasuk juga tiap generasi ketua Istana Elang, tidak tahu kapan dan
bagaimana cara memilih calon pewaris. Hanya Hyang Bathara Agung yang tahu semua
jawabnya," kata kakek berjubah hijau dengan bijak.
"Jadi yang diburu oleh tokoh-tokoh persilatan adalah senjata pusaka yang bernama
Cambuk Naga Rembulan Perak dari Istana Elang itu, Ki Gedhe?" tanya Ki Ageng
Singaranu. Ki Gedhe Jati Kluwih hanya menganggukkan kepala, "Betul Ki Ageng. Tapi tepatnya
adalah Pusaka Rembulan Perak."
Hati kakek berbaju abu-abu itu terasa lega mendengar kilas balik dari
perkumpulan aliran putih yang bernama Istana Elang yang pernah berjaya ratusan
tahun silam, dan kini berusaha dibangkitkan kembali melalui seorang pewaris
Tahta Angin yang keberadaannya entah tidak diketahui siapa adanya. Lengkap sudah
tanda tanya di hatinya, mengapa Ratu Sesat Tanpa Bayangan memburu dirinya dan
memperebutkan benda yang tidak diketahuinya dengan pasti.
"Nah, Ki Gedhe, kepada siapa benda pusaka itu harus aku serahkan" Dan bagaimana
Laron Pengisap Darah 10 Pendekar Rajawali Sakti 127 Intan Saga Merah Sumpah Palapa 27
^