Pencarian

Pendekar Elang Salju 5

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 5


sama sekali, sebab sudah terbiasa menjadi tatapan mata laki-laki dimanapun ia
berada, baik dengan tatapan kekaguman maupun dengan tatapan jalang. Namun,
kebanyakan yang memandang seperti itu adalah orang-orang yang masih muda, jarang
sekali orang tua atau pun kakek-kakek yang memandang dengan sorot mata seperti
itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa heran karena yang memandangnya kali adalah
seorang laki-laki parobaya, gendut pula.
Gadis itu berjalan menghampiri si laki-laki.
Tentu saja laki-laki itu tampak senang, lalu ia menjawil teman di sebelahnya,
"Jenggot! Kau lihatlah, gadis itu berjalan kemari. Nampaknya ia terpikat dengan
ketampananku." Laki-laki berbadan subur yang dipanggil Jenggot menoleh sekejap ke arah gadis
baju merah yang berjalan kian mendekat itu, namun ia hanya meringis saja
memperlihatkan giginya yang ompong tiga.
"Huh, gigi ompong seperti itu tak perlu kau perlihatkan padaku," sungut si laki-
laki gendut, lalu dengan sok berwibawa ia berkata, "Pergi sana! Mengotori
pandangan saja." Si gendut melangkah lebar ke arah gadis baju merah, seakan meyongsong
kedatangannya, itu pun hanya dua langkah saja dari pintu kedai nasi.
Sesaat kemudian, gadis berbaju merah itu sudah sampai di depan pintu kedai itu,
sejarak tiga langkah dari si gendut. Tercium aroma harum bunga yang menyeruak
hidung orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Bau semerbak bunga menguar
keluar dari balik tubuh gadis itu.
Gadis itu nampak memandang si gendut dari ujung kepala hingga ke ujung kaki,
lalu memutari tubuh subur itu dengan pandangan seperti meneliti ayam betina
untuk disembelih. Beberapa orang tampak merasa iri hati dengan keberuntungan si
gendut. Bahkan ada yang sambil menjebikkan bibir segala.
Setelah itu, si gadis kembali ke tempat semula.
Tentu saja tingkah polah si gendut nampak menjadi-jadi dan hal ini semakin
membuat iri orang-orang di yang ada di dalam kedai. Seolah ialah yang nantinya
akan dipilih oleh gadis itu. Air liurnya pun tampak semakin banyak menetes
keluar tanpa disadarinya, tentu saja diikuti dengan aroma yang cukup membuat
kambing betina pun pingsan.
"Wah, kalau gadis ini menjadi biniku, ini pasti suatu anugerah bagiku," batin si
gendut. Tentu saja itu merupakan anugerah baginya, tapi musibah bagi si gadis!
Sebuah senyuman manis tersungging dari bibir tipis si gadis baju merah.
Si gendut pun makin blingsatan tak karuan karena melihat senyuman menawan hati.
"Namamu siapa?"
"Aku" Oh ... a ... aku biasa dipanggil Karto Subur." jawab si gendut dengan
mimik muka sumringah. "Oooo ... Karto Subur ... boleh aku memanggilmu ... Kang Karto." kata si gadis
dengan merdu. "Iya ... Kang Karto juga bo ... boleh." sahut Karto Subur dengan gugup.
"Aku cantik, ya kang?"
"Tentu saja cantik, yang bilang kau tidak cantik cuma orang tolol."
"Betul! Tapi, biasanya orang tolol lebih banyak selamatnya dari pada orang
pintar." "He-he-he, entahlah ... " sahut Karto Subur, dengan sedikit bingung.
"Pernah makan cawan air?" kata si gadis semakin aneh.
"Cawan?" tanya Karto Subur semakin bingung.
Tentu saja ia semakin bingung, karena setiap pertanyaan dari gadis baju merah
itu makin lama makin membingungkan dirinya.
"Cawan seperti ini," kata si gadis sambil mengambil cawan yang ada disamping
kirinya dan diperlihatkan di depan mata Karto Subur.
"Belum pernah."
"Kalau begitu, sekarang kau akan mencicipinya!"
Begitu selesai perkataannya, tangan kiri si gadis yang memegang cawan berkelebat
cepat. Sesaat pandangan Karto Subur berubah gelap.
Prokk!! Cawan itu membentur mulut Karto Subur dengan menimbulkan suara keras. Tentu saja
Karto Subur langsung terlempar ke belakang masuk ke dalam kedai, lalu membentur
meja kursi dan akhirnya jatuh terjerembab dengan pantat terlebih dahulu
menyentuh lantai. Prangg! Blukk! Kroommpyang ... !
Piring-piring tanah liat hancur berantakan ditimpa tubuh manusia sebesar kerbau
bunting itu. Karto Subur meraung-raung kesakitan. Sepasang tangan gemuk berlemak
langsung mendekap mulut berdarah-darah itu. Beberapa giginya nampak rompal,
bahkan ada satu dua yang tertelan saat ia mendekap mulutnya yang hancur. Air
matanya nampak meleleh keluar, suaranya sengau karena rasanya memang sakit bukan
main. Sambil bangkit berdiri Karto Subur memaki dengan suara sengau, "Khu ...
rhanghh ... ajhrarr ... !"
Baru saja Karto Subur selesai menutup mulut lebarnya, sebuah nampan kayu
melayang dengan cepat dan mampir di tepat wajah berminyak itu.
Bluakk!! Kembali tubuh subur itu terjengkang ke tempat semula. Kali ini bukan hanya bibir
dan mulutnya yang semakin berantakan, ditambah pula dengan hidung besarnya
tampak bengkak membesar kemerah-merahan dengan darah kental yang menetes-netes
membasahi bibir bahkan ingus pun ikut berleleran keluar. Akan tetapi kali ini
tidak terdengar lagi suara erangan atau makian yang keluar.
Karto Subur pingsan seketika!
Si gadis menghampiri nenek pemilik kedai dengan langkah gemulai.
"Nyi, ini sebagai ganti meja dan piring yang rusak." kata gadis itu sambil
mengulurkan beberapa keping uang tembaga ke si pemilik kedai, yang saat itu
tampak menggigil ketakutan.
"Teri ... ma ka ... sih ... Den Ayu ... "
Beberapa orang yang ada di kedai nasi hanya terpana saat gadis cantik itu
melangkah keluar dengan lenggang kangkung, seakan tidak pernah terjadi apa-apa
di tempat itu. Kejadian yang cuma sekejap itu memang membuat orang-orang yang
ada di kedai itu terpesona.
Karena baru kali ini, ada gadis yang bisa membuat Karto Subur jungkir balik
seperti itu! Karto Subur sebenarnya adalah penguasa pasar di tempat itu. Ia terkenal memiliki
tenaga yang besar dan katanya pernah belajar silat di sebuah perguruan silat
ternama selama beberapa waktu, tapi dari perguruan silat yang mana, tidak ada
yang mengetahuinya secara pasti. Tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi
kekuatan Karto Subur, bahkan pernah dikeroyok beberapa pemuda kampung, namun
pada akhirnya para pemuda itu harus takluk dibawah kakinya. Walau tidak pernah
menarik upeti, tapi beberapa orang terpaksa memberinya dengan mau tak mau.
"Jenggot, kenapa kau tidak membantunya?" kata salah seorang pemuda kepada laki-
laki yang tadi dijawil oleh Karto Subur.
"Membantunya?" ucap Jenggot dengan mata melotot besar, suara serak terdengar
keras meradang, "Memangnya gigiku yang rontok tiga ini perbuatan siapa!?"
"Jadi gigimu itu ... perbuatan gadis itu juga?"
"Benar." "Dirontokin pakai apa?"
"Batu." "Batu?" "Aku kemarin sore juga menggodanya seperti Karto Subur, tapi akhirnya aku harus
makan batu." "Memangnya kejadiannya dimana?"
"Di tepi sungai ujung dukuh sana."
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia tahu dimana letak sungai itu, sungai
yang memang isinya cuma batu-batu kali yang lumayan besar. Ia bisa membayangkan
betapa 'nikmat' dan 'asyik'-nya makan batu di tempat itu!
"Kau tahu siapa gadis itu?" tanya pemuda itu kembali.
"Hei Parjo, apa kau juga mau seperti diriku?"
"Oh ... tidak! Aku masih ingin menikmati enaknya makan daging. Maaf-maaf saja."
kata pemuda yang dipanggil Parjo.
"Kalau kau mau tahu, dia anak ketiga Ki Kandha Buwana." kata Jenggot sembari
nyruput wedang jahe. "Ki Kandha Buwana yang dalang kondang itu?"
"Iya. Ki dalang dari Dukuh Songsong Bayu."
"Darimana kau tahu kalau dia anak ketiga Ki Kandha Buwana?"
"Gadis itu sendiri yang bilang."
"Kok bisa?" "Tentu saja bisa! Sebab setelah aku dijatuhkan ke sungai berbatu, aku disuruhnya
mengantar ke tempat kediaman Ki Dalang. Mau tak mau juga harus mau." kata
Jenggot, kemudian dengan nada meninggi, " ... sudahlah, kau ini makin lama makin
cerewet saja." Parjo hanya menghela napas saja, kemudian melanjutkan kegiatannya yang tertunda
sebentar. -o0o- Malam gelap gulita tanpa bintang, tak terlihat satu pun yang menghiasi langit.
Awan kelabu berarak mengikuti arah angin yang bertiup pelan. Bersamaan dengan
desiran angin malam, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat melintasi atap-atap
rumah penduduk. Jejak kaki yang ditimbulkan tidak terlihat sama sekali karena
saking cepatnya ia bergerak. Beberapa orang peronda yang sedang bertugas
dilewati begitu saja bagai tiupan angin. Para peronda yang rata-rata penduduk
biasa hanya merasakan tiupan angin yang cukup keras, tak terlihat sebentuk orang
yang baru saja lewat di depan hidung mereka.
Bisa dipastikan bahwa orang yang berpakaian hitam-hitam memang bertujuan
menyatroni padukuhan yang aman tenteram itu. Kali ini, sosok bayangan hitam
nampak berjumpalitan di udara, lalu hinggap di atas pucuk pohon jati yang
berdiri angkuh di sekitar pelataran rumah yang cukup besar. Mata dibalik kain
hitam terlihat bersinar terang di malam gelap menandakan bahwa ia memiliki
tenaga dalam tinggi, sebab sorot mata itu begitu tenang namun menyimpan kebuasan
dan hawa hitam pekat terlihat menyelimuti tubuhnya.
Rumah itu merupakan rumah terbagus ke dua setelah rumah Juragan Padmanaba yang
juga merupakan kepala dukuh Songsong Bayu. Disanalah berdiam dalang kondang yang
biasa disebut Ki Dalang Kandha Buwana. Ki Kandha Buwana bukan hanya seorang
dalang biasa, sebab dulunya ia pernah berkecimpung di dunia kependekaran dengan
menyandang nama besar Kakek Pemikul Gunung sejak tiga puluh tahun berselang.
Bahkan pada saat berusia dua puluhan tahun, nama Si Pemikul Gunung ini pernah
ikut serta dalam perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan di Bukit
Kuda Putih, namun pada akhirnya harus kandas di tangan Pendekar Gila Nyawa.
Meski sekarang sudah tidak lagi mengangkat nama di kancah persilatan, namun nama
harum Kakek Pemikul Gunung masih disegani sebagai angkatan tua masa kini.
Bisa dipastikan jika orang yang mencari gara-gara dengannya sama saja dengan
cari mati sendiri! Sebuah suara teguran dengan nada berat terdengar di belakang sosok kedok hitam.
"Apa yang kau cari disini, kisanak?"
Sosok berbaju hitam itu tampak terperanjat kaget. Terlihat dari sinar mata yang
semakin mencorong tajam dibalik kedok hitam yang dipakainya. Sosok berkedok
langsung membalikkan badan dengan perlahan.
Kini, didepannya berdiri seorang laki-laki tinggi besar mengenakan baju batik
lurik lengkap dengan blangkon hijau tua bertengger di atas kepala. Rambut
hitamnya sudah mulai beruban sebagian. Dibalik punggung nampak tersembul sebuah
gagang sebilah keris. Akan halnya laki-laki itu bersedekap dengan tangan
bersilangan, matanya tajam menyelidik memandang sosok berbaju hitam-hitam dengan
lekat. "Sejak kapan laki-laki ini berada di belakangku" Kenapa aku tak mengetahui
kedatangannya?" batinnya, kemudian ia berkata dengan nada dingin, "Aku tidak
sedang mencari siapa-siapa disini."
"O ya?" ketus suara laki-laki berbaju batik itu.
"Kau tidak percaya kalau aku sedang cari angin disini?"
"Percaya! Tapi aku lebih percaya lagi kalau kau sedang mengamati rumahku. Apa
yang kau cari?" ulang si baju batik dengan pertanyaan yang sama.
"Heh, nampaknya sulit sekali untuk menipu dirimu."
"Ha-ha-ha. Memang betul! Cuma ... orang sinting saja yang mau cari angin di
tempat setinggi ini." sahut laki-laki itu dengan nada sedikit meninggi.
"Aku sedang mencari anakmu. Ayu Parameswari!"
"Mencari anakku" Untuk apa kau mencari anakku?" kata laki-laki itu dengan heran.
"Aku ingin membunuhnya!"
"Dengan alasan apa kau ingin membunuhnya?"
"Aku punya dua alasan untuk membunuhnya."
Laki-laki berbaju batik hanya diam saja tanpa melontarkan pertanyaan, karena dia
yakin sosok hitam depannya pasti akan menjawab sendiri pertanyaannya.
"Pertama, malam ini rasanya cocok untuk membunuh seorang gadis. Apalagi seorang
gadis semuda dan secantik Ayu Parameswari."
"Yang kedua?" "Yang kedua, tentu saja ada orang yang menyuruh diriku untuk melakukannya." ucap
laki-laki berkedok hitam dengan enteng, seakan membunuh orang tak ubahnya
seperti membunuh seekor semut.
"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuh anak gadisku?" suara geram terdengar saat
laki-laki berbaju lurik itu mendengar bahwa ada orang yang menginginkan kematian
anak gadisnya. "Kau tak perlu segeram itu, orang tua! Tentu saja ketuaku sendiri yang
menginginkan nyawa anakmu itu."
"Bagus! Aku pun juga disuruh orang untuk membunuh orang semacam dirimu ini!"
"Benarkah?" kata si kedok hitam sedikit melengak kaget. "Siapa dia!?"
"Raja Neraka!" Belum sampai ucapan 'raja neraka' hilang dari tenggorokan, laki-laki berbaju
lurik itu langsung melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah sosok hitam
dengan kecepatan kilat. Wutt! Desiran angin tajam terdengar keras saat pukulan itu terlontar. Si sosok hitam
tidak mau mandah begitu saja menerima serangan yang disertai dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi itu. Tubuhnya langsung melayang turun ke belakang sambil
berjumpalitan di udara dan turun di tanah dengan kaki terpentang lebar.
Jlegg! Dari peragaan ilmu ringan tubuh barusan, terlihat bahwa sosok hitam itu memiliki
ilmu silat yang tidak bisa dianggap enteng.
Bagai burung besar turun dari langit, laki-laki berbaju batik langsung meluruk
turun dari ketinggian. Sepasang tangan membentuk cakar harimau diiringi dengan
suara raungan dahsyat membahana. Cakar merah bening menebarkan hawa panas
menerjang sosok baju hitam itu.
"Jurus 'Cakar Perogoh Sukma'"!" seru si kedok hitam.
Sosok berkedok hitam langsung mengerahkan tenaga peringan tubuh untuk
menghindari serangan dari ilmu 'Cakar Perogoh Sukma' yang dilancarkan oleh
lawan. Brakk!! Blarrl! Tanah berhamburan saat jurus 'Cakar Perogoh Sukma' membentur bekas pijakan kedok
hitam dengan diiringi suara keras. Selisihnya hanya sekedipan mata saja dengan
gerak meloloskan diri si sosok hitam saat ia menghindari jurus maut yang
dilontarkan oleh lawan. "Setahuku, jurus 'Cakar Perogoh Sukma' hanya dimiliki tokoh kosen yang berjuluk
Kakek Pemikul Gunung." kata hati si sosok hitam. "Apakah dia ini orangnya?"
Tampak tubuh hitam itu berkelebatan kesana kemari menghindari serangan laki-laki
berbaju batik yang diduganya sebagai Kakek Pemikul Gunung. Puluhan jurus telah
berlalu, namun sampai saat ini belum nampak sama sekali kalau pertarungan akan
segera berakhir. Sosok hitam itu hanya selalu menghindar kesana kemari dengan
ilmu ringan tubuh, sehingga yang nampak hanya sesosok kelebatan bayangan hitam
menghindari bayangan cakar merah yang berkelebatan mengejarnya.
"Kurang ajar! Apa bisamu hanya lari-lari saja seperti monyet!" bentak Kakek
Pemikul Gunung sambil mengibaskan tangan kirinya ke arah lambung lawan dengan
cepat. Wess ... ! Brett! Meski sudah berusaha menghindar dengan loncatan ke atas, tak urung tulang
keringnya harus tersambar cakar lawan. Darah kental merah kehitaman pun langsung
meleleh keluar. "Uhh, jejak lukaku terasa panas menyengat. Ini benar-benar jurus 'Cakar Perogoh
Sukma' yang sesungguhnya." batin laki-laki berkedok itu sambil bersalto ke
belakang menghindari serangan susulan. Meski begitu, akibat luka yang
dideritanya sedikit banyak mengurangi kelincahan dalam mengerahkan tenaga
peringan tubuh. Kembali pertarungan menghiasi pada malam itu. Pepohonan rusak porak poranda,
tanah tercongkel dan berhamburan kemana-mana, kesiuran angin tajam yang datang
silih berganti dan juga suara ledakan yang memekakkan telinga.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suatu saat, posisi sosok hitam itu benar-benar terjepit. Hujan serangan cakar
bertenaga dalam tinggi semakin gencar dilontarkan Kakek Pemikul Gunung untuk
menekan kedudukan lawan, sehingga sulit sekali bagi sosok hitam itu menghindar
kembali dengan ilmu ringan tubuh andalannya. Dimana posisi yang berlangsung saat
itu, Kakek Pemikul Gunung bertumpu kokoh di atas tanah, sambil sepasang tangan
merah membara dengan tak henti-hentinya mengerahkan serangan jurus '108 Cakar
Perogoh Sukma', sehingga sosok hitam yang waktu itu sedang melenting ke atas
terkepung lontaran puluhan bahkan ratusan cakar berhawa panas membara.
"Uh, kalau begini terus ... aku bisa hancur terkena serangannya. Terpaksa aku
harus menghadang serangan ini." batin si sosok hitam.
Diiringi suara bentakan penambah semangat, si kedok hitam pun menjulurkan
sepasang tangan yang berubah menjadi hitam kelam diikuti kabut hitam yang
membungkus tubuhnya memapaki jurus serangan yang dilontarkan Kakek Pemikul
Gunung dengan gencar. Plakk! Plakk! Dharr! Jdharr! Dhuas!!
Terdengar suara bentukan keras bagai besi ketemu besi di saat jurus '108 Cakar
Perogoh Sukma' bertemu dengan tapak tangan berkabut warna hitam yang dilontarkan
oleh si kedok hitam. Sepasang kaki Kakek Pemikul Gunung nampak amblas ke dalam tanah hingga setinggi
lutut. Tangannya nampak bergetar kencang menahan daya bentur dari tenaga dalam
lawan yang luar biasa itu. Bahkan nampak lelehan darah segar terlihat dari sudut
bibirnya. "Bukankah itu tadi 'Pukulan Tangan Kabut Hitam' yang telah menghilang ratusan
tahun silam?" gumam kakek itu sambil menyusut darah dari bibirnya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Sembilan Belas
Sedangkan lawan terpental jauh akibat dari benturan dua kekuatan sakti yang
dilancarkan masing-masing pihak. Tubuh terbalut baju hitam terlempar ke belakang
keras dikarenakan posisi tubuh berada di atas lawan, meluncur cepat bahkan
sampai menabrak hancur berturut-turut tiga pohon jati yang ada di belakangnya.
Darah pun nampak berhamburan keluar dari mulut, bahkan sampai menetes keluar
dari kedok hitam yang dikenakannya.
Tanpa menunggu lawan bangkit dari keterpurukannya, Kakek Pemikul Gunung atau Ki
Kandha Buwana langsung melontarkan sebuah pukulan jarak jauh yang bertenaga
dalam tinggi. Wutt! Duubbb!! Sebuah pukulan sakti tanpa wujud yang dulu pernah dipakainya untuk mengalahkan
lawan-lawannya disaat mengikuti perebutan gelar Pendekar Rimba Persilatan pada
masa tiga puluh tahun silam. Kini jurus pukulan itu kembali digelar untuk
menghadapi si sosok hitam.
Pukulan yang dinamainya dengan 'Pukulan Tanpa Bayangan'!
Pada intinya pukulan ini memanfaatkan kekuatan hawa udara dan hawa murni tubuh
lalu diolah dengan menggabungkan udara kemudian hawa murni tubuh dikeluarkan
dalam bentuk hawa padat tanpa wujud, sehingga terciptalah sebuah jurus pukulan
yang bisa menghantam lawan tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Hanya orang
yang memiliki ketajaman telinga yang tinggi bisa merasakan gesekan udara yang
datang secara bergelombang silih berganti.
Demikian juga dengan sosok hitam itu. Telinganya yang tajam lapat-lapat
mendengar suara desiran angin tajam bergelombang mengarah tepat pada dirinya.
Karena luka akibat benturan '108 Cakar Perogoh Sukma' cukup parah, sulit sekali
bagi sosok itu menghindari serangan dari 'Pukulan Tanpa Bayangan' yang
dilontarkan oleh Kakek Pemikul Gunung. Jangankan berdiri, menggerakkan jari
tangan susahnya setengah mati.
"Celaka!" kata si kedok hitam. "Matilah aku ditempat ini!"
Di antara kepasrahannya antara hidup dan mati, mendadak selebat bayangan hitam
yang entah darimana datangnya sudah berdiri menghadang di depan sosok kedok
hitam. Lalu tangan kiri bergerak memutar secara aneh diikuti dengan hentakan
kaki kanan ke bumi dengan keras, bayangan hitam yang baru saja datang itu
mendorongkan tangan kiri memapaki serangan Kakek Pemikul Gunung.
Wutt!! Jurus yang baru saja terlontar memiliki kemiripan dengan 'Pukulan Tanpa
Bayangan', baik cara mengolah udara dan menggabungkan dengan hawa murni, hanya
gerakan menghentakkan kaki kanan ke tanah dengan keras serta memutar tangan baru
melontarkan jurus saja yang berbeda. Samar-samar terlihat semacam hawa golok
yang ikut terlontar bersamaan.
Dub! Blubb!! Bhess!! Terdengar suara seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air saat dua pukulan
yang sama-sama tanpa wujud itu saling bertemu. Sosok bayangan hitam hanya
terjajar dua langkah ke belakang terkena imbas dari dua benturan yang terjadi.
Sedangkan keadaan lawan lebih parah lagi. Kaki Kakek Pemikul Gunung sampai
tercerabut keluar dari dalam tanah lalu terlempar sejauh dua-tiga tombak. Dada
terasa tersayat-sayat seakan ada ribuan senjata tajam yang merajam tubuh bagian
dalam. Kembali darah kental menetes keluar, kali ini luka dalamnya benar-benar
parah. Andaikata lawan tetap melancarkan serangan, tipis kemungkinan untuk bisa
menyelamatkan selembar nyawanya.
"Jurus 'Ribuan Golok Membelah Lautan'! Apa hubunganmu dengan si Dewa Golok?"
seru Kakek Pemikul Gunung sambil mengedarkan hawa murni ke seluruh tubuh untuk
menekan luka dalam agar tidak menjadi lebih parah.
"Huh! Aku tidak kenal dengan manusia yang kau sebut sebagai Dewa Golok itu.
Memangnya siapa dia?"
Suaranya terdengar seperti ditekan ke dalam, jelas sekali kalau itu adalah suara
perut. Namun Kakek Pemikul Gunung yakin bahwa yang baru saja menolong si kedok
hitam adalah seorang perempuan, terlihat dari postur tubuhnya ramping dan adanya
tonjolan di depan dadanya.
"Dia adalah sahabatku!"
"Huh, memangnya hanya dia seorang yang memiliki jurus 'Ribuan Golok Membelah
Lautan'! Jurus picisan seperti itu bagiku hanya permainan bocah kemarin sore.
Buat apa diributkan?"
Sosok hitam yang diduga berjenis perempuan itu segera menghampiri si kedok
hitam, lalu bagai mengangkat karung basah, diangkatnya tubuh pingsan sesaat
setelah terjadi benturan keras tadi. Di panggul pada pundak kiri, lalu
berkelebat cepat ke arah selatan tanpa mempedulikan lawan.
Wesshh! Namun baru beberapa langkah, sesosok bayangan merah menerjang dengan cepat. Kaki
kiri nampak memutar cepat diikuti dengan hentakan kaki kanan dalam posisi serong
menyusur tanah. Akibatnya tanah seperti dibajak, saling berhamburan memanjang
dan menerjang ke arah sosok penolong kedok hitam.
Drakk! Srakk! Srakk! Srakk ... !!
Jurus tendangan yang barusan dikerahkan oleh sosok bayangan merah tadi adalah
jurus 'Ekor Naga Menggetarkan Gunung', dimana kemampuan dari jurus ini menyerang
lawan dari jarak jauh dengan memanfaatkan tanah sebagai alat penyerang.
Sosok hitam hanya mendengus saja, lalu mengibaskan tangan kanan dengan asal-
asalan. Wutt! Serangkum hawa hitam pekat berkabut dari 'Pukulan Tangan Kabut Hitam' menerjang
ke arah hamburan tanah yang menyerang dirinya.
Keras lawan keras! Blarr! Blarrr, dharr ... !!
Suara benturan kembali terdengar. Namun bayangan hitam itu nampak terperanjat
kaget. Serangan yang dilancarkannya tidak berpengaruh sama sekali terhadap
sergapan hamburan tanah yang akibat dari jurus 'Ekor Naga Menggetarkan Gunung'
yang digunakan bayangan merah, justru kekuatannya malah makin menggila laksana
naga mengamuk. "Slompret! Itu pasti jurus 'Ekor Naga Menggetarkan Gunung' milik dari Si Naga
Bara Merah! Aku harus menghindar sejauh mungkin!"
Namun terlambat! Baru saja bayangan hitam itu balik badan, punggungnya sudah terhantam hamburan
tanah sarat tenaga penghancur dengan telak.
Blakk! Dhuuess ... !! Tubuh ramping itu nampak terlontar kuat ke depan bagai disentakkan tangan-tangan
setan. Sambil menahan rasa sakit yang mendera punggungnya, sosok hitam itu
mengerahkan tenaga peringan tubuh kelas atas, lalu melesat cepat ke arah selatan
dan akhirnya menghilang di kegelapan malam.
Blashh ... !! "Jangan lari! Berhenti!"
Sosok bayangan merah tadi ternyata adalah gadis yang tadi siang telah menghajar
adat pada Karto Subur. Gadis itulah yang dicari si kedok hitam, gadis yang
bernama Ayu Parameswari! "Ayu, biarkan mereka pergi!" seru Kakek Pemikul Gunung saat melihat Ayu
Parameswari ingin mengejar si bayangan hitam.
Mendengar seruan sang ayah, gadis menghentikan kelebatan tubuhnya dan berkelebat
cepat ke tempat dimana sang ayah menderita luka dalam.
"Siapa mereka sebenarnya, ayah?" kata Ayu Parameswari sambil memapah bangkit
ayahnya. "Ilmu mereka tinggi sekali."
"Aku sendiri tidak tahu, Ayu." kata Ki Dalang Kandha Buwana sambil berpegangan
pada pundak anaknya, kemudian, " ... hanya saja, mereka mencari dirimu."
"Mencari diriku" Buat apa mereka mencari Ayu?" tanya Ayu Parameswari dengan
heran. "Apa mereka musuhmu, anakku?"
"Entahlah! Tapi dari ilmu silat mereka, Ayu bisa pastikan belum pernah bentrok
satu kali pun dengan mereka, kecuali hari ini."
"Hmm, aneh juga!"
"Ayah, lebih baik kita ke dalam dulu," potong Ayu Parameswari.
Di dalam rumah, Nyi Dalang sudah ketar-ketir melihat suami dan anak perempuannya
berkelahi dengan dua orang yang tidak diketahui siapa adanya mereka. Apalagi
melihat Ki Dalang terluka dalam membuatnya semakin khawatir.
Sepenanak nasi kemudian ...
"Kakang, bagaimana keadaanmu, apa sudah baikan?" tanya Nyi Dalang sambil
menempel bobok ramuan untuk mengobati luka dalam Ki Dalang Kandha Buwana.
"Aku sudah agak lumayan, Nyi Lastri."
Bobok ramuan berwarna hijau kehitaman yang mengeluarkan bau cukup menusuk hidung
tampak dibalurkan ke bagian dada. Ramuan itu dibuat dari campuran beberapa
lembar daun Tapakliman dan Tapakdara kemudian digerus hingga lembut, lalu
dibalurkan pada bagian yang mengalami luka. Setelah selesai, dibalut dengan
sehelai kain putih agar bobok obat itu tidak rontok ke bawah.
"Apa kakang dalang sudah tidak bisa lagi untuk turut campur dengan urusan
seperti itu?" "Nyi, sebenarnya aku juga tidak mau turun tangan. Tapi kalau tidak aku sebagai
kepala keluarga disini, siapa lagi?" ungkap Ki Dalang Kandha Buwana, lanjutnya,
" ... tidak mungkin menyuruh Ayu untuk menghadapi mereka, walau aku yakin
sepenuhnya anak gadismu bisa mengatasi mereka berdua."
"Tapi Kang, aku takut jika terjadi apa-apa ... "
"Nyi, hidup mati orang itu di tangan Hyang Widhi, jika memang aku harus mati di
tangan mereka, apa yang bisa kita lakukan?" sahut Ki Dalang memberi nasehat,
" ... tapi andaikata belum saatnya dipanggil Yang Kuasa, dengan leher terpotong
pun jika Hyang Widhi belum menghendaki, kita juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Ingat Nyi, kita harus pasrah dan ikhlas menerima apa saja yang diberikan Hyang
Widhi pada kita, maka hati dan pikiran akan menjadi tenteram."
"Iya juga, tapi ... "
Ki Dalang segera meletakkan jari telunjuk ke depan bibir Nyi Lastri, "Sudahlah
Nyi ... " Nyi Lastri hanya bisa menghela napas panjang, untuk menghilangkan kegalauan yang
menyelimuti hatinya. "Ayu, kau harus menjaga bapakmu yang keras kepala ini dengan sebaik-baiknya."
"Hi-hi-hi, tenang Bu! Ayu pasti tidak akan melepaskan untuk kedua kalinya." kata
Ayu cepat sambil memeluk leher Ki Dalang dari belakang.
"Hei, memangnya ayahmu ini burung apa?" kata Ki Dalang sambil memencet hidung
bangir Ayu. "Ihh ... ayah genit ... !!!"
Istri Ki Dalang Kandha Buwana memang bukan dari kalangan persilatan, ia hanyalah
perempuan desa biasa yang setiap harinya berkutat dengan lumpur sawah dan
adakalanya pergi ke pasar menjual hasil bumi, bisa dikatakan ia hanya tahu pisau
dapur saja. Jangankan memegang pedang, melihat orang berkelahi saja ia sudah
gemetar ketakutan. Nyi Dalang yang bernama asli Sulastri memang sosok perempuan yang sederhana,
tidak suka neko-neko seperti istri orang terpandang kebanyakan. Apa yang
diberikan oleh suaminya akan diterima dengan hati ikhlas, bahkan andaikata
dimadu sekali pun, Nyi Sulastri akan menerima istri muda suaminya dengan lapang
hati. Karena kesederhanaan dan rasa keikhlasan yang tulus itulah yang membuat Ki
Dalang semakin menghormati istrinya dari hari ke hari dan tidak ada niatan
sedikit pun untuk menduakan sang istri.
Hingga mereka berdua dikaruniai tiga orang anak, satu laki-laki dan dua
perempuan kehidupan mereka tetap aman tentram dan bahagia. Anak sulung,
Wanengpati mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang dalang, selain untuk Nguri-
uri Kabudayan Jawi, juga pada dasarnya sedari kecil Wanengpati sudah dikenalkan
dengan dunia wayang. Kini pemuda Wanengpati telah berumah tangga dan menjadi
menantu satu-satunya dari Juragan Padmanaba yang juga kepala dukuh Songsong
Bayu. Sedangkan anak kedua yang bernama Dewi Pembayun, baru beberapa bulan
melangsungkan pernikahannya dengan seorang pendekar muda dari Partai Dua Belas
Lentera yang bernama Kuda Sempana, dan sekarang ini Dewi Pembayun mengikuti
suaminya menetap di sekitar lereng sebelah tenggara dari Bukit Pelangi. Dimana
jarak antara Bukit Pelangi dengan Partai Dua Belas Lentera dapat ditempuh dengan
setengah hari perjalanan menunggang kuda, akan halnya jarak dari Bukit Pelangi
dengan dukuh Songsong Bayu dapat ditempuh dengan sehari semalam dengan
menunggang kuda. Sedang si bungsu, Ayu Parameswari saat umur lima tahun pernah hilang tak
ketahuan rimbanya. Tentu saja pasangan suami istri itu kelabakan setengah mati,
bahkan sampai minta bantuan hampir seluruh warga dukuh Songsong Bayu untuk
mencari Ayu kecil yang tiba-tiba saja menghilang, namun hasilnya nihil. Pada
akhirnya pasangan suami istri itu harus pasrah dengan nasib, semua diserahkan
pada Hyang Widhi. Gadis kecil itu tiba-tiba muncul kembali ke rumah orang tuanya dua tahun
berselang, dan menceritakan bahwa selama dua tahun menghilang ternyata ia
diangkat sebagai murid gaib dari si Naga Bara Merah, dan harus menjalani masa
gemblengan selama sepuluh tahun lagi di Jurang Tlatah Api.
Ayu kecil dipilih menjadi pewaris dari semua ilmu kesaktian Naga Bara Merah yang
merupakan salah satu dari Pengawal Gerbang Timur - Sang Api, dikarenakan pada
punggung Ayu terpatri dengan kuat sebentuk rajah naga berwarna merah darah.
Rajah Naga Merah Darah muncul dengan sendirinya saat Ayu menginjak usia lima
tahun, itu pun diketahui pertama kali oleh Nyi Dalang saat memandikan Ayu kecil.
Ki Dalang Kandha Buwana mengetahui perihal rajah berwujud naga itu setelah
diberitahu oleh Nyi Lastri, pada mulanya ia beranggapan bahwa itu merupakan
tanda setan atau iblis yang menyusup ke dalam diri anaknya, hingga
diselenggarakan ritual meruwat Ayu kecil agar terbebas dari rajah yang diduganya
berhubungan erat dengan kekuatan setan tersebut. Namun hasilnya, rajah yang
semula samar-samar justru semakin jelas menampakkan diri saat dibacakan mantra
'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu'.
Rajah Naga Merah Darah! Dua pekan sejak Ayu menghilang, Ki Dalang Kandha Buwana maklum bahwa rajah yang
ada di punggung gadis kecilnya bukan rajah sembarang rajah dan hilangnya Ayu
kecil pasti berhubungan erat dengan rajah yang ada di punggungnya. Saat ia
melakukan muja semadi untuk melakukan kontak gaib dengan penghuni Rajah Naga
Merah Darah, tiba-tiba di alam semadi atau tepatnya di alam gaib, Ki Dalang
ditemui oleh sosok perempuan tua berbaju merah bersih dengan rambut digelung ke
atas, di tangan kiri terbentang lebar sebuah kipas dari kain sutera halus
berwarna putih dengan sulaman naga terbang berwarna merah. Sosok tua itu mengaku
bahwa dirinya yang mengambil Ayu lewat tuntunan gaib dan kini dididik sebagai
murid tunggal si nenek berkipas naga.
Tanya jawab antara Ki Dalang Kandha Buwana dengan sosok gaib perempuan
berlangsung hingga fajar menjelang. Ki Dalang mengakhiri masa semadi dan
menceritakan semua yang ditemuinya di alam gaib kepada Nyi Dalang. Perempuan
parobaya itu akhirnya mengerti juga kemana hilangnya Ayu selama dua pekan.
Dua tahun berlalu tanpa terasa ...
Ayu kembali ke dukuh Songsong Bayu untuk menemui ayah ibunya menceritakan segala
hal yang diketahui dan itu sama persis dengan apa yang diceritakan Ki Dalang,
tapi gadis kecil itu hanya satu hari saja berada di rumah orang tuanya, kemudian
ia kembali lagi ke Jurang Tlatah Api untuk melanjutkan pelajaran silatnya. Masa
sepuluh tahun pun sampai pada titik akhir, kini Ayu kecil telah menjelma menjadi


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok gadis rupawan berilmu tinggi, dikarenakan semua ilmu silat dan kesaktian
milik Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api telah dikuasainya dengan sempurna,
bahkan senjata andalan gurunya, Kipas Sutera Naga Merah pun kini secara resmi
telah berganti pemilik. Pada keesokan paginya, dukuh Songsong Bayu gempar!
Kegemparan itu terjadi di pagi buta kala seorang penduduk bernama Sentot sedang
menyusuri tepi hutan sebelah barat untuk mencari kayu bakar. Bukannya menemukan
onggokan kayu bakar tapi malah menemukan sesosok mayat.
Mayat yang berkedok hitam!
Sentot yang berusia senja itu langsung ngibrit, lari sekencang-kencangnya sambil
berteriak-teriak ketakutan.
"Ada mayat ... ! Ada mayat ... !"
Warga padukuhan yang saat itu memang bersiap pergi ke sawah, terkejut mendengar
seruan keras itu. Tanpa dikomando, sebagian berlarian ke arah suara yang
berteriak keras mencari kabar, sebagian berlarian menuju ke rumah kepala dukuh,
ada pula yang langsung mengabari Ki Dalang Kandha Buwana dan sebagian kecil dari
mereka berlarian sambil memukul kentongan!
Took! Toook! Toook ... !!
Juragan Padmanaba yang pagi itu masih asyik goyang-goyang kaki sambil menghisap
cangklong pipa tembakau, nampak mengerutkan dahinya mendengar suara kentongan
yang bertalu-talu. "Bukankah itu suara kentongan tanda bahaya?" kata Juragan Padmanaba dengan nada
heran. "Siapa yang berani menyatroni padukuhan ini di pagi buta begini?"
Dengan sedikit kemalas-malasan, laki-laki tambun itu bangkit dari duduknya.
Tubuh gemuk itu terlihat kepayahan saat melangkahkan kaki, sebab selain harus
menopang berat badan yang berlebihan ia harus keluar dari perangkap nikmat yang
tadi didudukinya, apalagi dalam suasana sepagi itu!
Setelah menggeliat sebentar untuk melemaskan otot-otot tubuh, lalu melangkah
dengan lambat-lambat ke arah regol depan. Laki-laki berbadan subur itu hanya
berdiri mematung saja, seperti sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian,
dari kejauhan tampak berlarian seorang laki-laki dengan pakaian ringkas warna
biru tua lengkap dengan golok yang terselip di pinggang.
Laki-laki berpakaian biru tua langsung menghampiri Juragan Padmanaba yang nampak
sedang menantinya. Memang sudah menjadi kebiasaan kepala dukuh itu, bahwa ia
akan selalu berdiri di depan regol depan rumahnya jika terjadi sesuatu kejadian
dan menunggu laporan dari para jagabaya.
Suatu kebiasaan jelek! "Ki Suro, apa yang telah terjadi?" tanya Juragan Padmanaba sambil tangan kiri
tetap memegang cangklong, sementara mulutnya asyik menghisap-hisap ujung pipa
tembakau yang terselip di bibir yang cukup lebar.
Setelah menata napasnya sebentar, barulah jagabaya yang bernama Ki Suro itu
menjawab, dengan terbata-bata, "Maaf, Ki! A ... ada ... mayat di tepi ...
hutan!" "Mayat" Mayat siapa?"
"Kurang tahu Ki! Tapi Den Wanengpati sudah berangkat duluan. Tadi saya bertemu
di jalan." Laki-laki itu hanya manggut-manggut saja.
"Hmm ... mantuku itu memang cekatan." gumam Juragan Padmanaba, lalu lanjutnya,
"Ya sudah, kita sekarang berangkat kesana."
Dua orang itu berjalan beriringan.
Meski hanya berjalan lambat-lambat, ternyata Suro tidak bisa menyamai langkah
kaki si kepala dukuh yang berbadan tambun itu. Sudah berulangkali ia mencoba
mensejajari, tetap saja ia ketinggalan beberapa langkah di belakangnya.
"Aneh, padahal langkah kaki Ki Padmanaba tidak lebih lebar dari langkahku.
Dengan tubuh yang segemuk kerbau begini, kenapa aku tidak bisa menyamai langkah
kakinya ... " batin Ki Suro dengan kagum. " ... apa mungkin Ki Padmanaba ini
dulunya orang sakti, ya?"
Dengan sedikit berlari-lari, barulah Ki Suro berhasil sejajar dengan laki-laki
gemuk itu, namun itu hanya sebentar saja, lalu ia kembali tertinggal seperti
sebelumnya. Padukuhan Songsong Bayu bukanlah wilayah yang luas. Tempat itu di lewati oleh
dua buah sungai kecil, yang satu berair jernih dan bersih sedang satunya sungai
dangkal penuh dengan batu-batu yang berserakan. Karena itulah kehidupan di dukuh
itu lebih banyak menghasilkan hasil bumi yang berlimpah, baik dari palawija
hingga rempah-rempah. Bisa dikatakan gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto
raharjo. Serba makmur dan aman tenteram.
Di selatan sungai yang berbatu, terdapat sebuah hutan yang cukup luas dan lebar,
namun tidak ada seekor binatang buas pun yang menghuni tempat itu. Meskipun
disebut hutan, tapi tempat itu lebih cocok disebut sebagai taman raksasa, sebab
setiap batang pohon yang hidup ditata dengan rapi, semak-semak dan perdu yang
tumbuh berkelompok dipotong rapi, bahkan ada yang dicabut hingga ke akar-
akarnya. Tanah yang tinggi rendahnya tidak sama, dibuat sama rata. Bahkan pada
bagian tengah hutan dibelah dengan jalan selebar dua tombak berbatu-batu rata
dan dibuat tembus hingga ke tepi hutan seberang, dimana jalan berbatu itu dibuat
sebanyak tiga tempat, yaitu di tepi hutan bagian timur, di tepi hutan bagian
barat dan di bagian tengah hutan. Di bagian kiri kanannya tiap ruas jalan
ditanami dengan beraneka ragam bunga sehingga tampak asri dan sejuk dipandang
mata. Akan halnya sesosok mayat itu ditemukan di tepi hutan sebelah barat, tergeletak
begitu saja. Mayat berkedok itu tewas dalam keadaan tengkurap, sehingga susah
menentukan dia itu laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti di kakinya terdapat
sebentuk luka berwarna hitam berjajar empat larik.
Beberapa penduduk sudah berdatangan ke tempat itu, namun tidak ada satu pun yang
berani menyentuh sesosok mayat yang tergeletak dihadapan mereka. Beberapa saat
kemudian, Wanengpati datang ke tempat itu pula setelah mendapat laporan dari
Jagabaya. Laki-laki berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun yang berpakaian
ringkas putih-putih dengan keris yang terselip di pinggang belakang. Pakaiannya
yang dikenakan sekilas mirip dengan pakaian para dalang. Wanengpati duduk
berjongkok di depan mayat itu sambil tangan kiri yang memegang sebatang ranting
pohon berusaha menyingkap kedok hitam.
Brett! Kedok hitam akhirnya terlepas dari kepala.
Orang-orang yang ada ditempat itu nampak terperanjat kaget melihat roman muka si
mayat. -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua Puluh
"Bukankah itu ... si Parjo?" kata Sentot, orang yang pertama kali menemukan
mayat itu. "Apa Aki Sentot yakin?" tanya Wanengpati pada Sentot.
"Benar, Den! Itu pasti si Parjo!"
"Parjo yang tinggal di ujung desa itu?" kata orang tua berbadan kerempeng, di
belakang Sentot. "Di dukuh ini hanya satu orang yang bernama Parjo, Kang." tutur Sentot pada si
orang tua. "Ya ... dia ini!"
"Tapi kenapa ia mati disini?" tanya si orang tua kembali.
"Mana kutahu! Bukan aku yang membunuhnya!"
Sementara orang sibuk berkomentar tentang mayat Parjo, Wanengpati mengamati
sekujur tubuh mayat parjo dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua diteliti
dengan seksama. Dengan ujung ranting itu pula, ia menyobek baju atas mayat
hingga bertelanjang dada. Laki-laki berpakaian dalang itu menggunakan ranting
pohon untuk mengantisipasi adanya racun yang mungkin saja menempel di tubuh
mayat Parjo. Sebuah pemikiran yang cermat!
"Mayat ini sudah dingin dan kaku, bisa dipastikan ia tewas di sekitar
pertengahan malam. Dari jejak luka yang diderita di pundak, mayat ini terkena
serangan sejenis tendangan bertenaga dalam tinggi, meski cuma menyerempet saja,
tapi jantungnya sedikit tergetar akibat bias dari tenaga tendangan itu," batin
Wanengpati saat melihat lebam biru kehitaman yang membekas di pundak kiri mayat.
Setelah membolak-balik mayat dengan ranting pohon dan yakin tidak ada racun yang
menempel barulah Wanengpati berani menyentuhnya. Seluruh tubuh Parjo diteliti
dengan seksama, setiap jengkal tubuh mayat tidak luput dari pandangan tajam
Wanengpati. Di bagian dada kanan agak sedikit ke atas, samar-samar terlihat
semacam tanda hitam yang berbentuk kepala setan bertanduk.
"Hemm, ini mungkin lambang suatu aliran. Tapi setahuku tidak ada lambang
perguruan atau partai persilatan yang menggunakan wajah menyeramkan seperti ini
sebagai tanda pengenal" Apa mungkin si Parjo ini dari aliran hitam?" pikir
Wanengpati sambil tangannya menyentuh lambang kepala setan bertanduk itu. Tiba-
tiba sebersit pikiran melintas di benaknya, " ... atau jangan-jangan ... "
Kembali mata tajam itu menjelajah sekujur tubuh mayat Parjo dan di saat matanya
menemukan jejak luka di tulang kaki, dia agak tersentak kaget.
Jejak luka yang amat sangat dikenalnya!
"Bekas luka yang menghitam ini nampaknya kukenal. Luka ini tampak merapat rapi,
dari arahnya jejak luka tergurat dari bawah ke atas, mungkin ia hendak melarikan
diri dari perkelahian atau menghindar dengan meloncat ke atas, tapi masih
terkena serangan," pikirnya, " ... dan kulit lukanya terlihat mengkerut ke
luar ... hmm, luka ini diakibatkan serangan '108 Cakar Perogoh Sukma'. Selain
diriku, hanya Dewi dan ayah saja yang memilikinya. Apa mungkin ayah yang
melakukannya" Andaikata betul, lalu dengan alasan apa?"
Daya nalar Wanengpati berputar-putar menganalisa apa yang dilihat dan ditemukan
pada mayat Parjo. Bahkan sampai kedatangan mertua dan Ki Suro juga tidak
diketahuinya. Hal itu dikarenakan ia terlalu konsentrasi dengan segala macam
kemungkinan yang terjadi hingga mengakibatkan sosok kedok hitam yang oleh warga
padukuhan bernama Parjo meninggal di tempat itu.
Juragan Padmanaba hanya melirik sekilas pada mayat yang ada di depan Wanengpati.
Wajah kepala dukuh terlihat datar-datar saja seakan apa yang dilihatnya sudah
kejadian biasa. Kemudian ia ikut berjongkok di samping Wanengpati, ia juga
meneliti mayat itu dari ujung kepala hingga ujung rambut. Laki-laki gemuk
berpipa tembakau juga berusaha menganalisa dari apa yang dilihatnya, tapi
sebentar kemudian ia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah menghela napas, ia bertanya pada Wanengpati, "Apa yang kau temukan?"
Wanengpati agak kaget mendengar pertanyaan barusan, karena sedari tadi ia asyik
dengan daya nalarnya hingga ia tidak mengetahui kehadiran seseorang
disebelahnya. "Oh, Ayah! ... maaf, apa yang ayah tanyakan tadi?" jawab Wanengpati agak gugup.
"He-he-he, kau ini jika sudah menggunakan kemampuan otakmu, petir menyambar
dekat telinga pun kau tak bakalan tahu." seloroh Juragan Padmanaba sambil
terkekeh-kekeh, " ... apa yang kau temukan?"
"Cukup banyak yang saya temukan."
"Ooo ... " sahut mertuanya dengan mulut bundar.
Benar-benar bundar! "Bisa kau jelaskan padaku?" katanya sambil menyedot pipa tembakau dengan santai.
"Emm ... mungkin lebih baik di rumah saja, karena apa yang dialami mayat ini
berhubungan erat dengan diri saya, meski secara tidak langsung."
"Yang benar?" Wanengpati hanya mengangguk pelan membenarkan pertanyaan sang mertua.
Tak lama kemudian, Ki Kandha Buwana dan Ayu Parameswari telah datang di tepi
hutan, dan menjumpai Juragan Padmanaba serta Wanengpati yang telah datang
terlebih dahulu ditempat itu. Apa yang dilakukan dalang kondang itu tak jauh
beda dengan apa dilakukan oleh besannya. Tetapi yang cukup membuatnya terkejut
adalah jejak luka di kaki mayat tersebut sama persis dengan jejak luka
ditimbulkan oleh jurus andalannya, namun keterkejutannya semakin menjadi-jadi
saat melihat sebuah gambar wajah menyeramkan di dada mayat itu.
"Rajah Penerus Iblis!" desis Ki Dalang Kandha Buwana.
Ayu Parameswari yang berada di samping ayahnya agak terkejut mendengar desisan
pelan itu. "Apa yang ayah katakan barusan?" tanya Ayu Parameswari dan Wanengpati bersamaan.
"Kau ... ?" tanya Wanengpati dengan heran, namun setelah mengamati beberapa saat
wajah cantik gadis itu, sebuah senyum lebar terukir, "Kau ... Ayu?"
"Hi-hi-hi, kakang Wanengpati sudah lupa sama adik sendiri?" seloroh Ayu
Parameswari sambil terkikik-kikik, lalu katanya menggoda, "Lupa apa lupa nih?"
"Ha-ha-ha, kapan kau balik ke rumah?" tanya Wanengpati sambil membusai rambut
adiknya. "Kemarin sore!"
"Dimas Kandha Buwana, tadi apa yang kau katakan?" tanya Juragan Padmanaba,
karena memang dua orang itu hanya sejarak setengah tombak jauhnya.
Sambil mengarahkan telunjuknya, Ki Dalang berkata, "Ini adalah lambang kekuatan
setan aliran Tantrayana kuno atau lebih tepatnya pemuda ini adalah salah satu
pengikut dari aliran Bhirawa Tantra."
"Lambang kekuatan setan?"
"Lambang ini dinamakan sebagai Rajah Penerus Iblis, dan rajah ini harus segera
dimusnahkan, sebab jika tidak rajah ini bisa berpindah ke tubuh orang lain tanpa
yang bersangkutan menyadarinya," tutur ki Dalang Kandha Buwana, sambungnya,
" ... dan kau tahu sendiri apa akibatnya jika seseorang memiliki rajah setan
ini. Dia akan menjadi orang yang berilmu sesat."
Tiga orang itu sama menganggukkan kepala.
Lebih-lebih Ayu Parameswari, sebab sesuai pesan dari guru gaib si Naga Bara
Merah bahwa selain harus mencari titisan Sang Angin sekaligus mencegah munculnya
lambang wajah setan bertanduk di muka bumi. Sebab andaikata dibiarkan, bumi akan
menjadi sarang setan dan iblis, dan dunia akan kacau balau.
Segera saja Ki Dalang Kandha Buwana melantunkan rangkaian mantra sakti Rajah
'Kalacakra Pangruwating Diyu', sebuah mantra yang digunakan untuk mengenyahkan
pelbagai kekuatan jahat yang mengganggu lahir batin pada waktu berlangsung
ritual ruwatan bagi para bocah sukerta serta juga bisa menghilangkan segala
bentuk ilmu-ilmu hitam yang bersumber atau pun bersekutu dengan kekuatan setan.
Hong ilaheng, Sang Hyang Kalamercu Katup
Sun umadep, Sun Umarep Nir Hyang Kalamercu Katup
Nir Hyang Kala Mercu Katup, Nir Hyang Kala Mercu Katup
Yamaraja - Jaramaya Yamarani - Niramaya Yasilapa - Palasiya Yamiroda - Daromiya Yamidosa - Sadomiya Yadayuda - Dayudaya Yaciyaca - Cayasiya Yasihama - Mahasiya Mungguh wis pada saguh Anggladi oyoting jati Sakmadyaning kuwat kulup Narima yen kataman Isin panggawe dudu Ninggalaken laku ngiwa Oleha hayu swarganipun Bersamaan dengan lantunan mantra Rajah 'Kalacakra Pangruwating Diyu', tubuh kaku
Parjo berguncang kencang, semakin lama guncangan tubuh semakin kencang seolah
ada kekuatan gaib yang ingin menerobos keluar.
Beberapa penduduk mulai menjauhi tempat itu, seiring dengan getaran tubuh mayat
semakin keras dan kencang, bahkan tersentak-sentak laksana tersengat ribuan
petir. Tiba-tiba, meloncat keluar sebentuk cahaya kehitam-hitaman berbentuk bola
sebesar kepalan tangan dengan cepat laksana kilat dari dada Parjo.
Wuss ... ! Wutt ... !! Ki Dalang Kandha Buwana yang sudah siap sedia, segera mendorongkan telapak
tangan kanan yang terisi rangkuman kekuatan gaib dari mantra Rajah 'Kalacakra
Pangruwating Diyu'. Seberkas cahaya biru terang berpendar-pendar melesat cepat
dan menghantam gumpalan bola cahaya kehitam-hitaman yang merupakan penjelmaan
dari kekuatan setan. Dhuess ... !! Terdengar letupan kecil saat dua kekuatan saling bertabrakan di udara. Cahaya
menyilaukan mata terpancar kuat ke segala arah. Khalayak yang ada ditempat itu
segera mengantisipasi dengan cara menutup mata rapat-rapat, namun ada juga
bersembunyi di belakang pohon yang ada di sekitar tempat itu. Bahkan Ayu
Parameswari dan Wanengpati sampai-sampai memalingkan wajah sambil memicingkan
mata dikarenakan tidak tahan dengan cahaya menyilaukan itu.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya menyilaukan itu, mayat Parjo pun lenyap tak
berbekas, hanya menyisakan seonggok pakaian hitam!
"Hilang?" "Mayat Parjo hilang!"
Komentar beberapa penduduk Padukuhan Songsong Bayu mewarnai hilangnya sosok
mayat Parjo yang semula terbujur kaku di hadapan mereka.
"Hemm, akhirnya musnah juga kekuatan setan itu," desis Juragan Padmanaba.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"I ya. Untuk sementara waktu kekuatan setan itu tidak akan kembali lagi." tukas
Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Juragan Padmanaba, heran.
"Karena yang tadi, hanya sebagian kecil saja dari kekuatan setan," sahut
Wanengpati, lalu lanjutnya, "... kita harus mencari sumber dari segala sumber
kekuatan iblis itu, sebab jika hanya anak buahnya saja yang kita hancurkan,
kemungkinan kekuatan setan yang lebih besar masih bisa mengincar siapa saja yang
dikehendakinya. Terutama sekali mereka yang memiliki kekuatan batin yang lemah."
"Lalu bagaimana mengatasi masalah ini?"
Kepala Dukuh Songsong Bayu termenung beberapa saat, lalu katanya pada Ki Suro,
"Ki Suro, tolong bubarkan mereka dan bereskan sekitar tempat ini. Pastikan tidak
ada bagian yang tersisa atau terlewati pada benda-benda yang berhubungan dengan
mayat Parjo. Pakaian hitam ini, sebaiknya kau bakar saja."
"Baik, Juragan." jawab Ki Suro dengan patuh.
"Lebih baik kita bicarakan masalah ini di rumahku." kata Juragan Padmanaba.
"Baik." -o0o- "Jadi ... menurutmu, Parjo-lah yang menyerang rumahmu semalam?" kata Juragan
Padmanaba, kaget setelah mendengar dengan ringkas kejadian yang terjadi semalam
di rumah besannya. "Berdasarkan jejak luka di kakinya, aku berani memastikan bahwa memang Parjo
yang menyamar sebagai sosok kedok hitam ... " tutur Ki Dalang Kandha Buwana
dengan yakin, " ... ditambah lagi dengan jejak luka akibat tendangan yang
dilancarkan oleh Ayu secara tidak sengaja ikut melukai si sosok hitam."
"Yang jadi pertanyaan, kenapa sosok hitam itu menghendaki kematian Ayu anakmu"
Apa tujuan mereka sebenarnya dan kenapa harus Ayu, dan bukan orang lain?" kata
Juragan Padmanaba, sambungnya, "Lalu siapa sebenarnya sosok hitam yang kedua
itu" Kenapa pula ia meninggalkan mayat kawannya di termpat ini dan tidak
membawanya sekalian?"
Tidak ada yang bisa menjawab serentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh Juragan
Padmanaba. Memang sulit sekali meraba arah tujuan dari dua sosok bayangan hitam
yang malam itu menyatroni kediaman Kakek Pemikul Gunung. Otak empat orang itu
berpikir keras, saking kerasnya diperas hingga keluar keringat sebesar jagung.
Tiba-tiba saja, Ayu berteriak, "Aku tahu!"
"Apa yang kau ketahui Ayu?" tanya Juragan Padmanaba, sambil mengatur jalan napas
yang berdenyut kencang karena kaget.
"Guruku pernah memberi amanat agar aku mencegah munculnya sebuah kelompok aliran
sesat dan saklah satu cirinya adalah lambang wajah setan bertanduk. Pada waktu
aku baru keluar dari Jurang Tlatah Api, secara tidak sengaja aku melihat
beberapa orang yang sedang melakukan ritual sesat dengan cara mengorbankan
beberapa gadis desa sebagai tumbal ritual sesat mereka," kata Ayu Parameswari
dengan berapi-api, " ... kemudian aku mengobrak-abrik tempat itu, dan terpaksa
membunuh pemimpin mereka karena ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Waktu
itu aku sempat heran melihat lambang yang ada di tubuh Parjo, sepertinya aku
pernah melihat, dan kuingat bahwa lambang itu sama dengan lambang yang ada di
telapak tangan kiri pemimpin ritual. Lagipula pancaran hawa hitamnya juga sama
persis dengan sosok yang terkena jurus tendanganku tadi malam. Meski pun
menggunakan jurus-jurus silat para pendekar persilatan, tapi hawa tenaga
sesatnya tetap sama, meski kadar tinggi rendahnya berbeda."
"Jadi ... kau berkesimpulan, bahwa mereka semua memiliki hubungan erat?" tanya
Wanengpati. "Benar kakang! Dengan dasar lambang Rajah Penerus Iblis itulah aku memiliki
dugaan yang kuat bahwa mereka satu aliran. Setidaknya mereka tahu bahwa akulah
yang menghancurkan kelompok yang berada di sekitar Jurang Tlatah Api," kata Ayu
Parameswari dengan mantap.
"Lalu ... apa kau juga memusnahkan lambang sesat itu?" tanya ki dalang kandha
buwana. "Itulah masalahnya, Ayah! Waktu itu aku tidak tahu bahwa rajah setan itu bisa
berpindah tempat dengan sendirinya. Kalau saja aku tahu ... " kata Ayu
Parameswari dengan penyesalan yang dalam.
"Kau tidak salah anakku. Apa yang kau lakukan sudah termasuk dalam darma
kependekaran. Kau sudah berusaha, berhasil tidaknya kita serahkan pada Hyang
Widhi," kata Ki Dalang sambil menepuk-nepuk pundak Ayu Parameswari.
"Tenangkanlah hatimu."
"Terima kasih, ayah."
"Lalu bagaimana jika penduduk desa ini ada yang memiliki lambang rajah setan
itu" Apa perlu kita membunuhnya?" tanya Juragan Padmanaba.
Empat orang itu kembali terdiam.
"Paman, aku punya usul," kata Ayu Parameswari setelah termenung beberapa saat,
"itu pun jika paman, ayah dan kakang Wanengpati menyetujuinya."
"Apa usulmu, Nimas?" tanya Wanengpati dengan pandangan bertanya-tanya.
"Nanti siang kita kumpulkan seluruh warga padukuhan ini. Seluruhnya, baik tua-
muda, laki-laki dan perempuan, baik yang sehat maupun yang sakit tidak
terkecuali. Jika mereka bertanya-tanya, kita katakan saja bahwa Paman Padmanaba
sebagai kepala dukuh ingin mengadakan ritual ruwatan sukerta untuk menangkal
terjadinya serangan pagebluk yang sedang mengincar padukuhan ini ... " kata Ayu
Parameswari, lalu setelah mengambil napas sebentar, ia menyambung," ... dengan
alasan itu, aku yakin bahwa semua penduduk padukuhan ini pasti akan mengikutinya
dengan sukarela. Di sini peranan ayah dan kakang Wanengpati sebagai dalang ruwat
sangatlah besar." Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua Puluh Satu
"Lalu bagaimana dengan yang tidak bisa datang" Apa perlu kita curigai bahwa
mereka memiliki rajah setan itu?" tanya Wanengpati kagum dengan pemikiran
adiknya yang sudah lama menghilang itu.
"Kita jemput mereka! Bukankah Paman Padmanaba punya kereta kuda yang sering
digunakan untuk mengangkut hasil bumi ke pasar" Kita bisa gunakan kereta itu."
kata Ayu Parameswari dengan tandas, "Untuk curiga memang itu diperlukan, tapi
saya rasa kewaspadaan lebih penting lagi."
"Bagus, bagus sekali! Sebuah pemecahan yang cemerlang!" seru Juragan Padmanaba
sambil tertawa senang, "Bagaimana Dimas, kau setuju?"
"Itu adalah pemikiran yang cemerlang. Ibarat sekali tepuk, dua pulau
terlampaui!" sahut Kakek Pemikul Gunung dengan cepat.
Pada pagi itu juga, lima orang jagabaya di dibawah pimpinan Ki Suro mendatangi
rumah penduduk satu persatu untuk menyampaikan perintah dari Juragan Padmanaba
tentang adanya ritual ruwatan tersebut. Tentu saja berita itu disambut dengan
sukacita oleh para penduduk, ada juga yang setengah percaya bahwa padukuhan itu
sedang diincar oleh wabah pagebluk. Karena kepintaran lidah Ki Suro sambil
memberikan bukti-bukti nyata tentang mayat Parjo yang tiba-tiba menghilang
membuat orang yang semula tidak percaya, berbalik ketakutan dan akhirnya percaya
penuh dengan apa yang dikatakan oleh Ki Suro.
Setelah semua penduduk menyatakan kesediaannya, Ki Suro dan empat kawannya
kembali ke rumah Juragan Padmanaba untuk melaporkan segala sesuatunya. Kepala
dukuh bertubuh subur itu senang melihat kesigapan dan hasil kerja anak buahnya,
kemudian mereka diperintahkan menjaga perbatasan padukuhan.
Lima orang itu saling pandang satu sama lain.
"Tapi Ki ... " "Ada apa lagi" Bukankah itu sudah menjadi tugas kalian berlima?"
"Bukan begitu, Ki! Bukankah Aki sendiri yang mengatakan bahwa semua warga
padukuhan harus diruwat, lalu bagaimana dengan kami" Apa kami dibebaskan, tidak
perlu mengikuti ritual ruwatan?" tanya Ki Suro dengan panjang lebar.
Betul-betul pintar bersilat lidah!
"Aduh celaka! Kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya?" pikirnya. "mereka
berlima juga tidak boleh tahu apa tujuan sesungguhnya dari ruwatan kali ini."
"Kalian tidak perlu khawatir akan hal itu," sahut seseorang melangkah masuk
sambil memanggul sebuah gunungan wayang berwarna keemasan.
Gunungan kuning keemasan itu berukuran tiga kali lebih besar gunungan biasa.
Torehan tinta dan lukisan yang ada didalamnya begitu hidup dan nyata persis sama
dengan gunungan wayang pada umumnya. Yang menarik adalah sisi tepi gunungan
terlihat tajam mengkilap. Itulah senjata pusaka Ki Dalang Kandha Buwana, yang
membuatnya dijuluki sebagai Kakek Pemikul Gunung. Gunungan itulah yang nantinya
akan digunakan untuk meruwat seluruh penduduk Padukuhan Songsong Bayu.
Mengikut di belakangnya Ayu Parameswari yang tetap berpakaian merah-merah dan
Nyi Sulastri yang berjalan anggun dengan kebaya warna kuning gading. Di
kepalanya bertengger sebentuk sanggul yang menambah keanggunannya sebagai istri
dalang kondang. "Oh, Ki Dalang ... "
"Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian berlima. Kalungkan saja benda ini di
leher," ucap Kakek Pemikul Gunung sambil merogoh saku celananya, "Ingat, jangan
sampai dilepas!" Ki Dalang Kandha Buwana segera mengangsurkan lima lempengan logam berbentuk segi
delapan dengan ujung yang meruncing seperti bintang. Di atasnya tertulis
beberapa Aksara Jawa yang merupakan untaian mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating
Diyu'. Rajah itu memang sengaja dibuat untuk para jagabaya, karena bisa
dipastikan mereka tidak bisa mengikuti ritual ruwatan secara langsung.
"Bawa ini sebagai jimat pelindung kalian berlima! Orang yang memiliki kekuatan
setan dan dekat-dekat dengan jimat yang kalian pakai ini, badannya akan panas
membara seperti terbakar api. Benda ini khusus kuhadiahkan pada kalian berlima."
tandas Ki Dalang Kandha Buwana. "Sekali lagi, jangan sampai dilepas! Ingat itu!"
"Terima kasih, Ki!" ucap Ki Suro mewakili teman-temannya.
Maka pada siang hari itu pula, digelar ritual sukerta bagi seluruh penduduk
Padukuhan Songsong Bayu, bahkan ada beberapa orang dari padukuhan sekitarnya
yang mengikuti ritual tersebut. Tentu saja hal itu disambut dengan senang hati
oleh Juragan Padmanaba dan hal itu justru semakin menambah kewaspadaannya
tentang kemungkinan terjadinya penyusupan dari pihak lawan.
Sementara ini, di tepi hutan bagian timur nampak berjalan dua muda-mudi dengan
langkah lambat-lambat sambil menikmati keindahan alam dan kicauan burung yang
terdengar begitu merdu di telinga. Jika dilihat sekilas, sulit sekali membedakan
dua muda-mudi itu. Mereka memiliki tinggi tubuh yang sama, wajah dan sorot mata
yang sama pula, bahkan baju dan celana yang dipakai pun memiliki warna yang
sama, semua serba putih. Karena sebenarnya mereka adalah anak kembar!
Tentu saja hanya jenis kelamin mereka saja yang berbeda, satu gadis cantik dan
satunya adalah seorang pemuda tampan. Si gadis memiliki rambut tergerai panjang
diikat dengan pita putih dan dihias dengan sebuah bunga anggrek putih pula.
Wajah bulat telur sangat sepadan dengan bibir mungil serta hidung mancung yang
tercetak dengan menawan. Kulitnya pun putih bersih tanpa cacat, andaikata nyamuk
pun akan merasa enggan menggigit kulit yang halus itu. Di dada padat kencang
sebelah kiri tertera sulaman benang perak bergambar rajawali merentangkan sayap.
Ikat pinggang putih keperakan melingkari pinggang si gadis, bagaikan tangan-
tangan kekasih yang sedang memeluk dengan mesra, dan dari balik punggung
tersumbul sebuah gagang pedang dengan ukiran kepala burung rajawali yang saling
bertolak belakang juga berwarna putih keperakan. Dari seluruh tubuh luarnya,
mungkin hanya rambut kepalanya saja yang berwarna hitam.
Benar-benar gadis yang sangat rupawan!
Sedangkan pemuda di sebelahnya tergolong pemuda yang menarik hati. Bagaimana
tidak menarik, jika sepasang alisnya yang melengkung tebal adakalanya bergerak-
gerak ke atas-bawah disaat sedang diam, seakan sepasang alis itu juga berbicara
pada tuannya. Belum lagi dengan seraut wajah tampan putih bersih dan bebas dari
jerawat terpatri kuat dengan pancaran sinar mata lembut, sehingga seluruh wajah
pemuda tampan menyerupai wajah si gadis saking halus dan putihnya, bahkan tinggi
badan si pemuda sama tinggi dengan tinggi badan si gadis.
Yang berbeda adalah gambar sulaman benang perak di dada si pemuda. Jika si gadis
cantik memiliki sulaman benang perak bergambar rajawali, maka di dada kiri si
pemuda tertera sulaman benang perak bergambar naga berkaki empat yang sedang
mengejar mutiara. Dari balik punggungnya tergantung sebuah tabung bambu putih
sepanjang satu tombak, dan salah satu tabung terlihat terbuka sehingga
memunculkan cahaya kemilau dari mata tombak.
Mereka berdua merupakan murid kembar dari pasangan Rajawali Alis Merah dan Naga
Sakti Berkait dari Benteng Dua Belas Rajawali yang menyandang gelar si Sepasang
Naga Dan Rajawali. Si gadis cantik adalah murid dari Rajawali Alis Merah dan si
pemuda tampan merupakan murid Naga Sakti Berkait. Ada kalanya pasangan pendekar
dari Benteng Dua Belas Rajawali bertukar murid, sehingga dua muda-mudi kembar
itu masing-masing memiliki gabungan dua ilmu dari pasangan suami istri tersebut.
Bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali berhasil menggabungkan dua ilmu guru mereka
menjadi sebuah ilmu silat yang mereka namai sama dengan gelar kependekaran
mereka, yaitu 'Ilmu Sakti Sepasang Naga Dan Rajawali'!
"Nawara, apa benar ini tempatnya" Kok sepi sekali?"
"Kalau menurut keterangannya sih, memang ini tempatnya Nawala," jawab si gadis
yang bernama Nawara, lalu lanjutnya, "bukankah hutan ini sebagai pintu
masuknya?" "Uuh ... hutan ini kok aneh begini" Biasanya hutan itu sedikit remang-remang,
banyak pohon dimana-mana dan rimbun, terus banyak binatang buas yang berkeliaran
dengan bebas ... " keluh Nawala sambil tangan kanan kiri sesekali membuat
gerakan melingkar-lingkar, " ... lha hutan ini kok malah sebaliknya. Asri,
sejuk, pohon-pohon tertata rapi dan seekor binatang buas pun tak ada, cocoknya
disebut taman raksasa daripada hutan. Jangankan harimau, seekor kucing pun tak
nampak batang hidungnya."
"Sudahlah Nawala, jangan mengeluh terus ... "
Dua muda-mudi kembar itu terus saja berjalan santai membelah hutan sambil
berbicara panjang lebar. Tak berapa lama kemudian, mereke berdua sampai di tepi
taman raksasa. Belum lagi keluar dari tepi hutan, mendadak terdengar bentakan
nyaring. "Berhenti!" Lima sosok bayangan biru berloncatan keluar menghadang langkah dua muda-mudi
kembar itu. Seorang laki-laki berkumis baplang tampak berdiri tegak di depan
sebagai pemimpin sedang empat orang berdiri tepat di belakang si kumis. Masing-
masing dari mereka menyelipkan sebilah golok yang cukup lebar dan besar.
"Maaf kisanak berdua, untuk sementara ini kisanak berdua tidak boleh memasuki
padukuhan ini." kata si kumis baplang yang tak lain adalah Ki Suro, pimpinan
jagabaya Padukuhan Songsong Bayu.
Ki Suro tampak tertegun. Tadinya ia melihat sekilas saja, tanpa memperhatikan
jelas siapa dua orang di depannya, tapi setelah memandang beberapa lama, ia baru
menyadari bahwa dua orang didepannya memiliki sedikit keunikan tersendiri.
Mereka adalah dua bersaudara kembar!
"Memangnya ada apa paman?" tanya Nawala dengan sopan mencairkan lamunan Ki Suro.
"Anak muda, maaf kami tidak bisa mengatakannya. Untuk sementara waktu memang
wilayah kami tertutup untuk umum," jawab Ki Suro mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah, paman! Kami akan mencari jalan lain saja." kata Nawara yang sedari
tadi diam, sedang Nawala hanya melontarkan seyuman ramah saja kepada laki-laki
parobaya didepannya. "Silahkan kisanak, nisanak! Sekali lagi maafkan kami," ujar Ki Suro dengan
segan. Tentu saja segan, karena dua muda-mudi kembar itu ternyata begitu sopan dan
merendah. Padahal dengan melihat gagang pedang si gadis, ia tahu bahwa mereka
orang-orang rimba pendekar, mudah saja bagi mereka berdua untuk memaksa masuk ke
Padukuhan Songsong Bayu, semudah membalik telapak tangan.
Tiba-tiba sebuah seruan nyaring memanggil nama mereka berdua.
"Nawala! Nawara! Akhirnya kalian sampai juga disini!"
Dari kejauhan terlihat sesosok bayangan merah berkelebat dengan cepat ke arah
Nawala dan Nawara yang baru saja berjalan tiga langkah.
Sepasang Naga Dan Rajawali saling pandang sambil tersenyum simpul. Tentu saja
mereka tahu siapa adanya bayangan merah yang berseru memanggil nama mereka
berdua. Siapa lagi jika bukan Ayu Parameswari, murid si Naga Bara Merah dari
Jurang Tlatah Api, sahabat karib mereka berdua.
Wutt! Wutt! Ayu Parameswari berloncatan dari pohon ke pohon dengan mengerahkan ilmu peringan
tubuh yang bernama 'Naga Berjalan Di Atas Awan'. Tubuhnya terlihat berjumpalitan
beberapa kali hingga akhirnya kakinya turun terlebih dahulu dan berdiri tepat di
hadapan Sepasang Naga Dan Rajawali berdiri.
"Ayu!" seru Nawara sambil memeluk gadis baju merah di depannya.
Akhirnya dua gadis sama-sama cantik itu saling berpelukan melepas rindu dan
kangen. Beberapa saat kemudian mereka saling melepas pelukan masing-masing.
"Wah, aku tidak kebagian dipeluk nih?" goda Nawala pada Ayu.
"Uh ... maunya," cibir Ayu Parameswari pada pemuda tampan di depannya.
"Den Ayu, mereka ... "
"Oh iya. Paman Suro, mereka ini berdua sahabat-sahabat saya. Paman tidak perlu
khawatir." jawab Ayu Parameswari sambil menyebut nama teman-temannya, "Yang
perempuan bernama Nawara dan laki-laki ceriwis itu bernama Nawala."
"Jika begitu, maafkan kelancangan saya. Saya tidak tahu jika kisanak berdua
adalah teman dari Den Ayu."


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa, paman."
"Lebih baik, kita ke balai dukuh saja." sahut Ayu Parameswari. "Disana sedang
ada keramaian." "Baiklah," sahut Nawara, lalu lanjutnya, "mari paman, saya duluan."
"Silahkan ... silahkan ... "
Ayu Parameswari berkelebat cepat ke arah darimana ia muncul, diikuti dengan
Nawara dan Nawala yang menyusul di belakangnya sejarak satu tombak jauhnya.
Slap! Lapp! Seorang jagabaya mendekati Ki Suro sambil berkata, "Untung kita tidak jadi
bentrok dengan dua orang kembar tadi, Ki."
"Ya! Untung saja." sahut Ki Suro pendek.
Sementara itu, tampak dua bayangan putih berkelebatan di antara pepohonan
mengikuti sesosok bayangan merah di depannya. Sebentar saja, mereka bertiga
sudah berada di sekitar rumah Juragan Padmanaba.
Agar tidak membuat heboh, mereka bertiga berjalan biasa saja sambil bercakap-
cakap. "Ayu, kenapa disini banyak orang" Bahkan menggelar wayang kulit segala," tanya
Nawala, lalu sambungnya, "apa kau mau menikah ya" Wah ... selamat kalau begitu!"
"Menikah kepalamu pitak! Di sini sedang ada ritual ruwatan bagi penduduk
padukuhan ini." potong Ayu dengan cepat, lalu ancamnya dengan mata melotot,
"sekali lagi kau bilang 'menikah', kuremas mulut ceriwismu itu!"
Nawala dan Ayu jika sudah ketemu pasti terjadi perang mulut. Tidak ada yang
pernah saling mengalah, dua orang itu maunya menang sendiri. Nawara hanya bisa
cekikikan saja melihat saudara kembarnya beradu mulut dengan Ayu yang memang
sedikit bawel itu. "Hi-hi-hi, kalian berdua ini memang cocok satu sama lain. Lebih kalian berdua
saja yang menikah." kata Nawara, "Aku yakin rumah tangga kalian pasti ramai
sekali, hi-hi-hi!" "Apa" Nikah sama dia?" sahut Nawala dan Ayu bersamaan.
Jari telunjuk mereka saling menunjuk satu sama lain. Jari telunjuk Nawala
menunjuk hidung Ayu, sedang jari Ayu menunjuk hidung Nawala.
Benar-benar pas! Padahal dalam hati masing-masing berkata, "Masa dia tidak mau menikah denganku?"
Tak lama kemudian, tiga orang itu sudah sampai di depan pendapa balai padukuhan,
dan di sambut dengan hangat oleh Nyi Sulastri. Setelah berbasa-basi sebentar,
Nawara dan Nawala mengambil tempat duduk lesehan di sudut paling belakang,
berdekatan dengan gapura sebelah kiri.
Suasana nampak khidmat dan hening sekali keadaan di tempat itu. Hanya suara Ki
Dalang Wanengpati yang terdengar mengalun mantap. Kibasan tangan dalam
menggerakkan wayang kulit begitu hidup, bahkan terlihat sangat menjiwai
peranannya sebagai dalang, seakan Ki Dalang Wanengpati sendirilah yang berperan
Bathara Wisnu yang sedang meruwat Bathara Kala.
Ketika waktu sudah mencapai tengah hari, lantunan mantra sakti Rajah 'Kalacakra
Pangruwating Diyu' kembali terdengar nyaring. Mendengar lantunan mantra jawa
kuno itu, membuat penduduk padukuhan songsong bayu yang mengikuti ritual ruwatan
semakin tenggelam dalam alam keheningan, bahkan desiran angin berhenti perlahan-
lahan seakan sedang menikmati lantunan mantra-mantra yang keluar dari bibir Ki
Dalang Wanengpati. Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana duduk bersedekap sejauh dua tombak di
belakang anak laki-lakinya yang sedang bertugas sebagai dalang ruwat. Matanya
yang tajam menyapu ke sekeliling, satu demi satu wajah para penduduk padukuhan
dilihat dengan seksama. Bola matanya sedikit bercahaya putih tipis pertanda mata
batinnya sedang berkonsentrasi penuh untuk memilah satu demi satu pancaran hawa
dari masing-masing orang yang ada disitu. Rupanya, untuk melihat pancaran hawa
hitam dari pemilik rajah penerus iblis itu, laki-laki itu harus mengerahkan
ajian yang bernama 'Ilmu Suket Kalanjana', suatu ilmu kuno yang berguna untuk
melihat suatu pancaran hawa seseorang atau suatu benda yang memiliki kekuatan
gaib atau hanya benda biasa saja.
"Hemm, tidak ada pancaran hawa hitam di tempat ini," pikirnya, "atau barangkali
mungkin ada yang terlewat dari pancaran hawa orang-orang itu" Hatiku mengatakan
bahwa ada sesuatu yang berhawa sesat berada di tempat ini. Aku harus
mencarinya!" Ki Dalang Kandha Buwana alias si Kakek Pemikul Gunung segera beranjak dari
tempatnya duduk bersila, namun baru berjalan dua tiga langkah, mendadak
terdengar jeritan panjang menyayat. Suara jeritan wanita yang berasal dari dalam
rumah Juragan Padmanaba! "Aaaah ... panas ... panassss ... tobaat!!"
Semua orang yang ada ditempat itu tersentak kaget dari kekhusyukan masing-
masing. Tanpa di komando lagi, semua warga padukuhan langsung lari tunggang
langgang mendengar jerit kesakitan yang berkepanjangan itu.
"Ooooh ... panas ... panassss ... ampun!!"
"Itu suara Nyi Padmanaba!" gumam Ki Dalang Kandha Buwana.
"Benar, itu suara istriku!"
"Wanengpati, teruskan pekerjaanmu!" kata Kakek Pemikul Gunung pada anak laki-
lakinya. Bergegas dua laki-laki yang saling berbesanan itu berlarian masuk ke dalam
rumah, namun baru sampai mendekati pintu, sebuah bayangan berkelebat dengan
cepat seraya mendobrak pintu belakang hingga hancur berantakan.
Brakk! Drakk!! Bayangan itu sekilas berlari cepat ke arah selatan menggunakan ilmu peringan
tubuh tingkat tinggi. "Dia lari lewat belakang!" seru Juragan Padmanaba dengam cemas.
"Kejar!" Ki Dalang Kandha Buwana segera menyambar gunungan emasnya dan langsung menguntit
bayangan yang baru saja lari lewat pintu belakang, diikuti dengan kelebatan
tubuh Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba, bahkan Sepasang Naga Dan Rajawali
pun tidak mau ketinggalan, mereka mengejar dengan ketat ke arah yang berlawanan.
Wess! Blasshh! Lapp! "Kurang ajar! Cepat juga larinya!" batin Kakek Pemikul Gunung, lalu dengan
segera ia mengempos kembali tenaganya, sontak aliran tenaga dalam mengalir cepat
dan kemampuan ilmu ringan tubuhnya meningkat lima kali lipat dari sebelumnya.
Ilmu lari cepat yang paling sangat diandalkannya yaitu 'Ilmu Menjangan Punguh'
dikerahkan hingga delapan bagian!
Swoooshh ... ! Bagai seekor menjangan liar, Kakek Pemikul Gunung berlari dengan lompatan-
lompatan panjang, seakan tidak memijak tanah di bawahnya. Tak lama kemudian,
terlihat setitik bayangan di kejauhan sambil memegangi kepala dan mulut
berteriak-teriak kesakitan.
"Hemm, rupanya pengaruh mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' masih ada
pada dirinya. Aku harus secepatnya menyusul!"
Kakek itu kembali meningkatkan tenaga dalamnya hingga ke tingkat sepuluh,
tingkat yang paling tinggi dari kekuatan 'Ilmu Menjangan Punguh' yang
dimilikinya. Segera saja pancaran sinar kuning temaram melingkupi seluruh
tubuhnya, dimana pancaran sinar temaram itu membentuk sosok bayangan menjangan
raksasa yang berlari cepat mengiringinya.
Blashhh ... ! Blashh ... !
Bukan main! Ternyata kekuatan gaib yang menyusup ke dalam raga perempuan itu bukan kekuatan
gaib biasa, terbukti ia mampu menahan kekuatan dari mantra 'Rajah Kalacakra
Pangruwating Diyu' yang dilantunkan oleh Ki Dalang Wanengpati.
Wutt! Jlegg! Setelah jarak semakin dekat, Ki Dalang Kandha Buwana melakukan gerak
berjumpalitan tiga kali, lalu turun ke tanah tepat sejarak tiga tombak di depan
sosok yang di kejarnya. "Berhenti!" Sosok wanita itu kaget. Lalu berusaha berbalik arah, namun ia sedikit terlambat!
Wutt! Wutt! Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba telah berada di tempat itu dan mengepung
dari arah yang berlawanan, diikuti dengan kelebatan dua bayangan putih yang
datang menghampiri. Rupanya tadi Sepasang Naga Dan Rajawali tersesat ke arah
lain, dikarenakan tidak mengenal wilayah Padukuhan Songsong Bayu dengan baik,
namun dengan 'Ilmu Delapan Arah Pembeda Gerak' yang dimiliki Nawala, mereka
akhirnya dapat mengetahui posisi dari bayangan yang dikejar dan sampai hampir
bersamaan dengan Ayu Parameswari dan Juragan Padmanaba.
"Nyi ... " keluh Juragan Padmanaba setelah yakin bahwa sosok yang memegangi
kepalanya sambil berteriak-teriak kesakitan adalah sang istri, sambungnya, " ...
kenapa harus dirimu, Nyi" Kenapa?"
"Uaahh ... sakitt ... sakiit ... ampun ... "
Wanita berbadan ramping berkulit kuning langsat dan mengenakan kebaya itu
kembali meraung-raung kesakitan sambil terus memegangi kepalanya yang terasa
berdenyut-denyut. Justru karena tangan yang memegangi kepala itulah terlihat
sebentuk lukisan sepasang kepala setan bertanduk menyeramkan dengan sepasang
mata merah membara! -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua Puluh Dua
Mata liarnya jelalatan kesana-kemari mencari celah untuk meloloskan diri, namun
tempat dimana ia berdiri sudah terkepung rapat lima orang yang mengelilinginya,
namun dari ke lima orang itu yang paling ditakuti adalah Ki Dalang Kandha Buwana
alias Kakek Pemikul Gunung yang berada tepat didepannya. Dikarenakan sosok
dalang kondang itulah pemegang tuah mantra yang paling ditakutinya.
Mantra Rajah 'Kalacakra Pangruwating Diyu'!
"Kakang Padmanaba, dia bukan istrimu!" seru Ki Dalang Kandha Buwana.
"Tidak! Aku yakin sekali, dialah Rengganis. Aku yakin dia ... "
"Bukan! Jika aku bilang bukan, berarti dia memang bukan istrimu!" potong Ki
Dalang Kandha Buwana dengan cepat, "kalau kakang tidak percaya, lihat tangan
kirinya!" Juragan Padmanaba hampir saja membentak Kakek Pemikul Gunung karena meragukan
sosok wanita itu adalah Nyi Rengganis istrinya, namun mendengar ucapan sang
besan mengatakan perihal tangan kiri, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pandangan
matanya segera beralih ke tangan kiri sosok wanita itu. Sepasang mata itu tampak
nanar menatap tangan kiri wanita yang memiliki salah satu dari sepasang rajah
setan bertanduk. Bahkan Ayu Parameswari, Nawala dan Nawara pun ikut-ikutan
menatap tangan kiri si wanita yang dikepungnya.
"Hemm, tidak ada yang aneh dengan jari tangannya, semua lengkap. Tidak berjari
enam atau pun tujuh," gumam Nawala setelah mengamati beberapa saat.
"Aku juga sama, bahkan tangannya terawat dengan baik sekali. Pasti dia wanita
yang rajin merawat diri," timpal Nawara.
Yang terlihat oleh tiga anak muda itu memang sebentuk tangan halus wanita dengan
balutan kulit kuning langsat dengan jari-jari yang terawat rapi, bahkan kukunya
cenderung runcing namun bersih.
Namun bagi Juragan Padmanaba dan Ki Dalang Kandha Buwana malah memiliki
pandangan yang berbeda. Justru dikarenakan jari tangan dan kuku yang lengkap dan
terawat rapi itulah yang membuat Juragan Padmanaba sedikit tersentak kaget,
karena setahunya jari manis kiri Nyi Rengganis terpotong sabit sebatas kuku,
sedang sosok wanita di yang diakui sebagai istri memiliki memiliki jari tangan
yang lengkap. Jelas wanita itu adalah ...
Nyi Rengganis palsu! "Benar ... dia memang bukan istriku!" gumam laki-laki tambun itu sedikit
terhenyak. "Kakang Padmanaba, tolong ... tolonglah aku ... aaaahh ... kepalaku sa ...
kitt ... sakit sekali ..."
"Kau bukan istriku! Siapa kau sebenarnya!?" bentak Juragan Padmanaba dengan
keras. Suaranya keras menggelegar bak petir di siang hari. Getaran suara yang sarat
dengan kemarahan dan luapan emosi berbaur dengan kekuatan tenaga dalam tanpa
wujud terlontar dari 'Ajian Gelap Ngampar' tanpa disadarinya. Gendang telinga
khalayak yang ada disitu serasa ditusuk-tusuk ribuan jarum tajam, bahkan sosok
wanita yang ternyata Nyi Rengganis palsu nampak terhuyung-huyung sampai akhirnya
jatuh terjengkang. Justru karena lontaran 'Ajian Gelap Ngampar' membuat tuah mantra sakti penolak
setan menjadi tawar! Nyi Renggani palsu akhirnya bangkit berdiri setelah rasa sakit yang menyerang
kepalanya sirna. "Terima kasih, kakang! Kau telah ... "
"Aku bukan suamimu!" bentak Juragan Padmanaba dengan kecewa, karena justru
bentakan penuh emosi tadi membuat wanita itu sadar kembali, "Siapa kau
sebenarnya" Dan apa yang telah kau lakukan pada istriku!?"
"Nisanak, untuk apa kau menyamar sebagai Nyi Rengganis?" tanya Ki Dalang Kandha
Buwana dengan tajam. "Kakang Padmanaba, aku ini benar-benar istrimu! Istrimu yang sesungguhnya ... "
ucap Nyi Rengganis palsu, berusaha meyakinkan Kepala Dukuh Songsong Bayu.
"Tidak! Kau bukan istriku! Sekali kubilang tidak, maka selamanya tidak!!" bentak
Juragan Padmanaba dengan keras, namun kali ini suara keras itu dilambari dengan
'Ajian Gelap Ngampar' tingkat tinggi.
Swoshh ... buasshh ... !!
Sontak, tempat itu bagai diguncang gempa bumi kecil, tanah bergetar cukup
kencang disertai tiupan angin yang sedikit membadai, bahkan beberapa pohon kecil
yang ada di depannya ikut tercabut dari akar-akarnya dan akhirnya tumbang
setelah terlempar dua tiga tombak.
Brakk ... Blamm ... !! Bahkan Kakek Pemikul Gunung harus mengerahkan dua ilmu andalannya sekaligus
yaitu ilmu kebal 'Aji Tameng Wojo' untuk melindungi tubuhnya dari lontaran
serangan 'Ajian Gelap Ngampar' Juragan Padmanaba dan 'Aji Gajah Wulung' untuk
memberatkan tubuh agar tidak tersapu angin kencang yang menerpa dari depan.
"Gila! 'Ajian Gelap Ngampar' Kakang Padmanaba sudah mencapai tahap pamungkas!
Betul-betul ilmu yang dashyat. Entah bagaimana dengan 'Pukulan Gelap Sewu'
miliknya?" kata hati Ki Dalang Kandha Buwana memuji.
Bahkan gadis cantik murid tunggal Naga Bara Merah dan si kembar dari Benteng Dua
Belas Rajawali menerima serangan yang tidak kalah parahnya. Mereka bertiga harus
membentengi diri dari serangan tidak langsung ilmu yang dikerahkan oleh kepala
Dukuh Songsong Bayu dengan kekuatan tenaga dalam masing-masing.
"Uhh ... gila benar! Ilmu macam apa ini?" gerutu Nawala sambil menutup telinga
dengan tangan yang sudah dialiri tenaga dalam untuk menahan getaran tersebut.
Justru yang paling parah adalah Nyi Rengganis palsu. Tubuhnya langsung terlempar
keras, hingga menabrak hancur beberapa pohon.
Brakk! Krakk!! Justru sialnya, arah lemparan tubuh ramping berkebaya ke arah sosok laki-laki
bersenjatakan gunungan emas berdiri. Dengan manis, ki dalang segera mengulurkan
tangan kanan menyentuh punggung, lalu dengan gerakan cepat memutar ke kanan luar
dalam jurus 'Kibasan Gunungan Wayang Kulit', tubuh wanita itu justru semakin
terlempar jauh dan keras sekali menghantam sebuah batu hitam sebesar sapi.
Wutt! Blarr!! Terdengar benturan keras saat tubuh wanita pemilik sepasang rajah setan
bertanduk membentur batu. Meski sudah dihajar dengan dua kekuatan tangguh, namun
wanita itu masih bisa bangkit bahkan kini berdiri tegak. Tak terlihat roman
kesakitan dari wajahnya. "Huh, sudahlah! Aku tidak akan bermain sandiwara lagi!"
"Bagus kalau kau sudah menyadarinya."
"Kalau kau tanya istrimu, lebih baik kau tanyakan saja pada raja akhirat!"
"Wanita keparat! Kau ... kau telah membunuh istriku!?" suara Juragan Padmanaba
sedikit bergetar mengetahui bahwa istrinya telah tiada. Sebagian dari sisi
hatinya telah hilang untuk selamanya. Dia haanya bisa menangis tersedu-sedu
sambil berjongkok. Ayu Parameswari segera menghampiri sosok tambun itu, namun tidak ada kata yang
bisa terucap untuk menghibur kesedihan mertua dari kakaknya itu.
Sementara itu, wanita yang menyamar sebagai Nyi Rengganis segera meraba wajah,
lalu dengan tarikan yang kuat, dia menarik sesuatu dari wajah cantiknya.
Srett! Seraut wajah yang lumayan cantik berkulit putih cemerlang, namun matanya
berkesan jalang dengan hidung yang cukup mancung dipadu dengan sebentuk bibir
tipis menggiurkan. "Aku pun juga sudah bosan memakai baju kumal seperti ini!"
Brett! Brett! Dalam satu tarikan napas saja, kebaya wanita itu sudah hancur tercabik-cabik,
sehingga terlihat sebentuk baju dalam hitam ketat. Baju hitam ketat itu
membentuk badan ramping dari seorang wanita umur lima puluhan tahun. Meski sudah
berusia setengah abad, namun pancaran kecantikannya masih terlihat sempurna
untuk ukuran wanita seusianya.
"Oooo ... ternyata cuma si kucing garong! Kukira siapa?" seru Nawala setelah
beberapa saat mengamati wanita cantik itu beberapa saat.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bocah keparat! Sekali lagi kau mengatakan kucing garong, kubeset mulutmu!"
"Nawala, rupanya kucing garong itu masih kangen denganmu!" seru Nawara sambil
tertawa geli. "Bah! Paling-paling juga, kangen sama anginku ... maksudku sama angin busuk
alias ... kentut!" "Bangsat kecil! Kurobek mulutmu!" bentak wanita yang disebut 'kucing garong'
oleh Nawala. "Bangsat besar! Kalau kau berani, sini ... beset mulutku, tapi pakai bibir ya"
Jangan pakai tangan!" seloroh Nawala sambil mengangsurkan mulutnya ke depan,
"Nih!" "Kurang ajar!" Wanita itu sangat marah dengan perbuatan salah satu dari Sepasang Naga Dan
Rajawali. Memang pada setahun silam, wanita cantik berbaju hitam ketat yang
menyebut diri sebagai Kucing Iblis Sembilan Nyawa dan suaminya si Musang Terbang
Tangan Hitam dari Partai Sarang Iblis dan Setan yang bernaung di bawah bendera
Benteng Tebing Hitam pernah menyatroni Benteng Dua Belas Rajawali, untuk
melakukan penyelidikan mengenai kekuatan aliran putih yang sedang memupuk diri.
Pasangan golongan sesat yang terkenal dengan ilmu ringan tubuhnya itu diutus
oleh Roda Sakti Tujuh Putaran untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan aliran
putih, namun akhirnya penyelidikan mereka kandas, dikarenakan kepergok oleh
murid kembar dari Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait. Setelah terjadi
baku hantam beberapa puluh jurus, dengan terpaksa pasangan dari Partai Sarang
Iblis dan Setan harus angkat kaki karena tidak kuasa menahan gempuran Sepasang
Naga Dan Rajawali, terutama dengan ilmu pasangan pedang dan tombak dua anak
kembar itu. "Kucing garong, mana suamimu si musang busuk itu" Kenapa tidak kelihatan batang
hidungnya" Sudah mampus ya!?" kata Nawala dengan sedikit bercanda. Memang
diantara Nawara dan Nawala, hanya si pemuda saja yang paling suka bercanda.
Kucing Iblis Sembilan Nyawa hanya melirik saja pada Ki Dalang Kandha Buwana.
"Kakek Pemikul Gunung! Kau harus menggantikan nyawa suamiku yang tewas
ditanganmu!" geram Kucing Iblis Sembilan Nyawa, suara terdengar bergetar.
"Jadi ... " "Ya! Laki-laki yang menyatroni rumahmu kemarin malam adalah suamiku, Musang
Terbang Tangan Hitam!" sebelum kata-katanya selesai, Kucing Iblis Sembilan Nyawa
sudah menyerang ke arah Ki Dalang dengan sepasang cakar terkembang.
Sett! Namun baru sampai setengah jalan, tiba-tiba saja Juragan Padmanaba yang tadi
sedang menangis dikarenakan kehilangan istri, mendadak menerjang maju ke arah
Kucing Iblis Sembilan Nyawa. Sepasang telapak tangannya yang besar nampak
terselimuti oleh pendaran cahaya hitam keunguan dan sekarang terulur ke depan
dalam sebuah dorongan yang kuat.
Wukk! Dalam kemarahannya, Juragan Padmanaba merapal satu ilmu andalannya yang bernama
'Pukulan Gelap Sewu', sebuah ilmu pukulan maut yang memiliki tenaga penghancur
kelas tinggi bahkan bisa menghancurkan bukit cadas dalam sekali pukul. Jika yang
jadi sasaran adalah tubuh manusia, bisa dibayangkan apa akibat yang bakal
terjadi, tubuh bakal hancur lebur menjadi bubur!
Selama ini, laki-laki bertubuh tambun itu memang selalu menyembunyikan ilmu
kesaktian yang dimilikinya, hanya Kakek Pemikul Gunung saja yang mengetahui
kalau sosok kepala Dukuh Songsong Bayu adalah orang berilmu tinggi. Setiap kali
ditanya oleh kakek yang bersenjatakan Gunungan Emas kenapa ia tidak mau
mengangkat nama harum di kalangan rimba persilatan, selalu dijawab dengan alasan
yang cukup sederhana. Karena ia orang yang cinta damai!
Ia tidak mau repot dengan urusan tetek-bengek yang berhubungan dengan darah,
segala bentuk balas dendam, saling jegal satu sama lain, bahkan sampai lempar
batu sembunyi tangan, terlebih lagi dengan rebutan kitab sakti dan senjata
pusaka, terlebih lagi dengan segala macam tipu muslihat antar sesama pendekar.
Itulah gambaran rimba persilatan menurut Juragan Padmanaba, gambaran yang
membuatnya malas terjun ke rimba hijau. Bahkan mantunya, anak dari Ki Dalang
Kandha Buwana yang bernama Wanengpati pun sudah diwanti-wanti agar tidak ikut
dalam kancah berdarah seperti itu.
Sebagai sosok yang juga cinta damai sama seperti mertuanya, Wanengpati pun tidak
keberatan dengan hal itu, karena mengingat pengalaman pahit yang dialami oleh
sang ayah saat perebutan gelar pendekar rimba persilatan di Bukit Kuda Putih
pada tiga puluhan tahun yang lalu.
Sekarang, dalam suatu keterpaksaan yang ditimbulkan oleh Kucing Iblis Sembilan
Nyawa, Juragan Padmanaba dipaksa melanggar apa yang selama ini tidak ingin ia
lakukan, yaitu ... Balas dendam! Sebentuk cahaya hitam keunguan yang bersumber dari 'Pukulan Gelap Sewu'
berkiblat cepat ke arah sosok wanita berbaju hitam itu.
Wutt! Wesshh ... ! Melihat serangan dadakan pembawa maut itu, sosok wanita sesat baju hitam ketat
tidak mau tinggal diam begitu saja dirinya dihantam tanpa melawan sama sekali.
Tangannya segera berputar cepat setengah lingkaran di depan dada, dimana gerakan
itu merupakan gerakan pembuka dari 'Pukulan Tangan Kabut Hitam', lalu diikuti
hentakan kaki ke tanah, segumpal kabut hitam pun melesat keluar dari tangannya,
memapak serangan lawan. Buashh ... ! Dhuass ... Dharr ... Jdharrr!!
Terdengar benturan keras antara 'Pukulan Tangan Kabut Hitam' milik Kucing Iblis
Sembilan Nyawa dengan 'Pukulan Gelap Sewu' milik Juragan Padmanaba. Tubuh laki-
laki tambun itu sedikit terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, jika tidak
ditahan oleh Ayu Parameswari mungkin sudah jatuh terjengkang ke tanah. Terlihat
segumpal darah kehitam-hitaman terlempar keluar dari mulutnya.
"Hoekhh ... !" Pertanda luka dalam yang diderita cukup parah akibat benturan yang terjadi.
Sedangkan kondisi lawan justru malah jauh lebih parah. Tubuhnya terlempar dengan
deras ke belakang dengan darah merah berhamburan di udara, dan pada akhirnya
jatuh bergulingan di tanah.
Brukk! Namun sesaat kemudian ia sudah berdiri tegak dalam kondisi yang mengenaskan!
Justru yang membuat lima pengepungnya terpana adalah sebuah lubang menganga yang
cukup besar di bagian perut hingga tembus sampai ke punggung, lubang sebesar
kepala bayi. Tapi dengan luka tubuh sebesar itu, Kucing Iblis Sembilan Nyawa
yang seharusnya tewas, justru masih kelihatan segar bugar, seakan tidak memiliki
jejak luka yang mengerikan.
Cuhh! Ia meludahi telapak tangan kanan kiri, lalu dengan segera mengusap pulang balik
ke depan dan belakang tubuh, seolah hendak menutupi luka yang menganga lebar.
Dan sungguh ajaib, luka tembus sebesar kepala bayi yang diakibatkan oleh pukulan
Juragan Padmanaba yang terangkum dalam 'Pukulan Gelap Sewu' telah pulih seperti
sediakala,e kembali merapat seperti tidak pernah terluka sama sekali. Tersisa
hanya ceceran darah merah di baju hitam yang dikenakannya, tentu saja baju
hitamnya tidak dapat pulih kembali, tetap robek sebesar kepala bayi dan menampak
sebentuk pusar seorang wanita.
"Ilmu 'Rawa Rontek'!" desis Ki Dalang Kandha Buwana mengenali jenis ilmu yang
dimiliki oleh lawan. Sebagai orang yang mendalami 'Kitab Sastra Hati', tentu saja Ki Dalang Kandha
Buwana dan Ki Wanengpati mengenal segala jenis ilmu-ilmu hitam, termasuk juga
'Ilmu Rawa Rontek' yang saat ini dipertontonkan di depan mata tuanya.
'Ilmu Rawa Rontek' membuat orang yang memilikinya bisa hidup kembali selama
masih menyentuh tanah meski raga sudah hancur terpotong-potong bahkan menjadi
potongan kecil sekali pun. Andaikata sampai kepala tertebas pedang dan golok
sekali pun, tubuhnya masih bisa tersambung kembali. Konon kabarnya kekuatan ilmu
hitam tingkat tinggi ini sanggup menahan pukulan bertenaga dalam tinggi dan
serangan senjata pusaka. Sebuah tataran ilmu yang sangat mengerikan!
Karena adanya rajah setan bertanduk itu pula, yang membuat kedashyatan 'Ilmu
Rawa Rontek' semakin menampakkan taringnya, di mana proses penyembuhan luka dan
penyambungan tubuh dapat berlangsung dalam satu kedipan mata.
Dan kini ... kengerian itu dipertontonkan di depan tiga orang jago-jago muda
persilatan. Sepasang Naga Dan Rajawali hanya bisa meleletkan lidah saja melihat
peragaan ilmu hitam yang bernama 'Ilmu Rawa Rontek', sedangkan Ayu Parameswari
hanya tertegun tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun!
"Hi-hi-hik, bandot tua sepertimu juga mengenal kehebatan ilmu andalanku ini!"
"Ilmu setan seperti itu, apa hebatnya!?" ejek Nawala. "Paling juga bisanya
menakuti anak kecil!"
"Bocah, tempo hari aku memang kalah darimu! Namun sekarang, setelah Paduka Raja
menganugerahkan ilmu sakti ini padaku, tahun depan adalah hari peringatan
kematianmu!" bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa dengan berang. Sudah muak
rasanya ia mendengar olok-olok dari pemuda kembar itu. Lalu sambil menuding
Nawala dia berkata, "Lebih baik, kalian maju bersamaan!"
"Ahh ... yang benar!?" kata murid Naga Sakti Berkait, lalu menoleh pada saudara
kembarnya, "Nawara, bagaimana pendapatmu?"
Di saat genting seperti ini, sempat-sempatnya pemuda itu meminta pendapat
saudara kembarnya, dengan gaya yang kocak pula!
"Kucing buduk itu sendiri yang meminta, jadi apa salahnya kita mengabulkan
permintaan mereka?" Tiba-tiba saja Ayu Parameswari menyela, "Tunggu dulu! Aku juga pengin sekali
menggebuk matang pantat wanita sial itu! Nawala, kau khan laki-laki, sebaiknya
urusan ini biar para gadis saja yang menyelesaikannya! Kalau kau yang
menyentuhnya, keenakan dia!"
Dengan mengangkat dua tangan tanda menyerah, Nawala pun mengundurkan diri sambil
berkata, "Baiklah kalau itu maumu, sayang! Aku hanya bisa menonton saja!"
"Apa kau bilang" Sayang kepalamu pitak!"
"Cukup! Aku muak mendengar perkataan kalian yang tak karuan juntrungannya itu!"
bentak Kucing Iblis Sembilan Nyawa, seakan dirinya dianggap tidak ada oleh dua
orang itu. Ayu Parameswari yang memang sudah gatal tangannya, segera melancarkan sebuah
tendangan berantai dengan cepat ke arah kepala lawan.
Wett! Syattt!! Murid tunggal Naga Bara Merah dari Jurang Tlatah Api yang sudah mengetahui
kehebatan lawan, tidak tanggung-tanggung dalam mengerahkan jurus-jurus silatnya.
'Ilmu Silat Naga Langit Timur' di kerahkan tanpa perlu ditahan lagi, bahkan
aliran tenaga dalamnya pun semakin deras, maka sosok bayangan naga berwarna
merah pekat seakan ikut keluar dari tubuh Ayu Parameswari. Sosok samar bayangan
naga itu telah menyatu dengan tubuh anak gadis Kakek Pemikul Gunung yang
bergerak lincah dalam memainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi.
Wessh! Wakk!! Akan halnya Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga melakukan hal sama. Meski dirinya
memiliki 'Ilmu Rawa Rontek' namun dirinya sadar bahwa ilmu itu tidak bisa
dipakai dalam pertarungan sesungguhnya. Kekuatan hitam sesat yang bersumber dari
rajah setan bertanduk berbaur menjadi satu dengan 'Tenaga Hitam Siluman Kucing',
sehingga kekuatan yang dimilikinya semakin meningkat pesat, maka tampaklah sosok
samar bayangan kucing raksasa bermata hijau menyala. Sepasang tangannya yang
memiliki kuku-kuku runcing bagaikan cakar-cakar kucing, silih berganti menerjang
lawan. Sratt! Sratt! Prakk! Crakk!
Jurus 'Sepasang Cakar Naga Membentur Gunung' bertemu dengan jurus 'Cakar Kucing
Mengaduk Tanah', sehingga terdengar suara tulang beradu keras.
"Gila! Tulang bocah itu keras juga! Aku lebih hati-hati terhadapnya," batin
Kucing Iblis Sembilan Nyawa sambil mengerahkan 'Tenaga Hitam Siluman Kucing'
untuk mengatasi rasa ngilu di tulang tangannya.
"Tenaga si kucing garong ini sarat dengan hawa setan. Untunglah Nenek Guru telah
mengajarkan cara menghalau tenaga sesat, kalau tidak tentu aku terjungkal dari
tadi," batin Ayu Parameswari sambil mengalirkan tenaga dalamnya untuk
menghilangkan rasa sakit dan ngilu akibat benturan keras barusan.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Dua Puluh Tiga
Saat itu pertarungan menjadi semakin seru.
Sesekali bayangan naga merah melibas dengan garang, sedangkan bayangan kucing
hitam raksasa menghindar dengan gesit. Adakalanya bayangan kucing hitam raksasa
berusaha menyerang ke arah ekor bayangan naga merah, namun dengan gerakan manis,
mulut naga merah menghembuskan napas apinya untuk menghalau. Begitulah,
pertarungan maut yang mempertontonkan peragaan ilmu-ilmu silat kelas tinggi dan
dipadu dengan kemampuan mengolah tenaga dalam nomor wahid dari dasar ilmu silat
masing-masing, seakan larut menjadi satu dengan raga pemiliknya.
Yang muda adalah pewaris tunggal dari Naga Bara Merah yang juga merupakan salah
satu dari Empat Pengawal Gerbang Utama bagian timur dari Istana Elang yang juga
disebut Sang Api. Gadis yang memiliki Rajah Naga Merah Darah yang secara sah
telah diangkat sebagai pengganti Pengawal Gerbang Timur Istana Elang.
Sedang satunya adalah salah satu dari pasangan suami-istri pentolan sesat Partai
Sarang Iblis Dan Setan, yang kini bernaung di bawah bendera Benteng Tebing
Hitam. Sejak suaminya Musang Terbang Tangan Hitam yang menyamar sebagai Parjo,
dan tanpa sengaja tewas di tangan Ki Dalang Kandha Buwana, ia mulai menyamar
sebagai Nyi Rengganis, istri Juragan Padmanaba. Tentu saja ia harus
menyingkirkan terlebih dahulu Nyi Rengganis asli.
Meski penyamaran mereka berdua sudah berlangsung satu purnama lebih dengan
berganti-ganti rupa, tabiat suaminya yang suka dengan daun-daun muda tidak
hilang begitu saja. Justru karena si Musang Terbang Tangan Hitam salah mengincar
mangsa, maka ia harus merelakan nyawanya di tangan ayah si gadis yang
diincarnya! Prakk! Prakk! Daar!! Kembali terdengar benturan keras saat tendangan 'Naga Menggiling Padi' milik Ayu
Parameswari tepat mengenai dada, pundak dan pelipis kiri lawan dengan beruntun.
Wanita berbaju hitam ketat itu langsung terpelenting ke tanah dengan keras
diiringi teriakan kesakitan. Dada terasa sesak, pundak kiri tergeser ke samping,
kepala pening dan yang pasti mata berkunang-kunang.
"Kurang ajar! Jurus tendangan bocah perempuan itu makin lama semakin cepat dan
ganas!" keluhnya dalam hati, "untung saja hawa pelindung tubuhku cukup tebal."
Kucing Iblis Sembilan Nyawa segera mengibaskan tangan kanan yang membentuk cakar
ke arah Ayu Parameswari yang diwaktu melihat lawan sedang kepayahan, langsung
melakukan pukulan susulan dengan telapak tangan kanan miring berniat memapas
bagian leher. Wutt! Plakk! Cakar tangan sarat dengan tenaga dalam itu berbenturan keras dengan telapak
tangan si gadis baju merah, karena posisi si gadis yang sedang melayang
membuatnya terpental sambil berjumpalitan ke belakang.
Wutt! Jlegg! Langsung berdiri tegak di atas tanah.
"Tanganku rasanya kebas saat membentur jurus cakar si kucing garong itu," gumam
Ayu Parameswari sambil mengalirkan tenaga untuk memulihkan kondisi tangannya.
Sebagai murid tunggal dan sekaligus pewaris dari Naga Bara Merah, Ayu
Parameswari tentu memiliki ilmu yang tinggi, bahkan sampai senjata pusakanya
gurunya yang bernama Kipas Naga Sutera Merah kini telah berganti majikan lengkap
dengan jurus-jurus 'Kipas Pengacau Langit', bahkan ilmu kesaktian yang
dimilikinya sejajar dengan tokoh-tokoh kosen rimba persilatan masa kini. 'Ilmu
Silat Naga Langit Timur' yang berjumlah 18 jurus silat terdiri dari atas 15
jurus tendangan, 2 jurus pukulan dan yang paling akhir adalah 1 jurus telapak
telah dikuasai dengan sempurna. Bahkan 'Tenaga Sakti Naga Langit Timur' pun
sudah sampai pada tahap pamungkas.
Tahap ke sepuluh! Sekarang, menghadapi tokoh hitam sekelas Kucing Iblis Sembilan Nyawa berjalan
dengan seimbang tentu saja dapat dimaklumi, apalagi wanita sesat itu telah
disusupi oleh sebentuk kekuatan setan yang membuat ilmu kesaktiannya menjadi
meningkat puluhan kali lipat dari aslinya, bahkan sampai 'Tenaga Hitam Siluman
Kucing' yang selama ini dipelajari dengan cara memuja Ratu Siluman Kucing pun
meningkat pesat. Sehingga pertarungan kali ini ibarat pertarungan hidup mati antara kebaikan
melawan kejahatan! Berkali-kali pukulan, cakaran, tamparan dan tendangan mereka saling beradu keras
dan berkali-kali pula mereka terlontar balik akibat benturan yang terjadi.
Ketika menginjak jurus yang ke seratus lima, posisi masing-masing sedang
melayang di udara dimana Ayu Parameswari sedang melancarkan salah jurus
pamungkasnya yang bernama 'Telapak Naga Turun Dari Langit' dengan kekuatan
tenaga dalam delapan bagian. Seberkas hawa naga berwarrna merah pekat terlihat
memancar keluar dari sepasang telapak tangan yang terbuka lebar itu.
Hoargghh ... ! Terdengar raungan naga yang membuncah diiringi dengan pekikan nyaring yang kian


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membahana memenuhi angkasa, bahkan arena pertarungan berguncang cukup keras
disaat sepasang hawa naga itu terlihat meraung keras memperlihatkan rentetan gigi-giginya yang tajam sambil badannya meliuk-liuk
di angkasa turun ke bumi.
Sepasang tangan Ayu Parameswari yang mengerahkan jurus 'Telapak Naga Turun Dari
Langit' berulangkali berputar-putar saling susul menyusul sehingga membentuk
gulungan hawa naga menjadi semakin pekat diiringi suara desisan menyelingi
raungan naga yang semakin mengangkasa.
Woshhh ... Cwozz ... !! Melihat hal itu, Kucing Iblis Sembilan Nyawa juga tidak tinggal diam. Sepasang
telapak tangannya yang berkuku runcing tajam bercuitan keras membelah udara
diiringi dengan kepulan kabut hitam yang semakin santer.
Swoshh ... Swoshh ... Syatt!!
Kuku-kuku tajam itu saling menjentik satu sama lain sehingga menghasilkan
larikan-larikan kabut hitam yang semakin banyak jumlahnya. Bau amis darah
tercium keluar saat larikan-larikan kabut hitam itu mulai menggumpal menjadi
sebentuk bola hitam raksasa menyelubungi Kucing Iblis Sembilan Nyawa didalamnya
disertai suara ribut yang cukup menusuk telinga. Rupanya wanita sesat itu sedang
mengerahkan tingkat tertinggi dari 'Tenaga Hitam Siluman Kucing' yang terlah
tercampur dengan tuah rajah setan bertanduk yang ada di punggung tangannya serta
disatukan dengan 'Pukulan Tangan Kabut Hitam'!
Syuuung ... Wuung!!! Raungan naga dan cuitan tajam saling bertubrukan menghasilkan getaran-getaran
suara yang bias menjebol telinga. Akibatnya, Ki Dalang Kandha Buwana yang saat
ini berdiri dekat dengan Juragan Padmanaba serta Sepasang Naga Dan Rajawali
harus mengerahkan tenaga dalam masing-masing untuk menahan getaran suara yang
semakin lama seakan merobek pecah gendang telinga.
Sebuah kengerian yang dipertontonkan dengan amat dahsyat!
"Kakang Padmanaba, tutupi telingamu dengan tanah! Cepat!"
Juragan Padmanaba yang paling rendah ilmunya diantara mereka berempat, segera
saja meraup segumpal tanah lalu ditutupkan diantara ke dua lubang telinga.
Sebentar kemudian, suara dengingan sudah lumayan berkurang, tidak seperti
sebelumnya. Saat dua ilmu sakti berbeda sifat itu sudah mencapai titik puncak, dengan cepat
laksana sambaran kilat, dua wanita berilmu tinggi itu menghantamkan ilmu masing-
masing ke arah lawan. Cwoss ... Swoshh ... Srakk!!
Terdengar suara gesekan dengan udara bagai sayatan pisau di sekitar mereka saat
masing-masing menghantamkan ilmunya. Sepasang hawa naga yang berasal dari ilmu
'Telapak Naga Turun Dari Langit' dengan mulut terpentang lebar seakan ingin
menelan bongkahan bola kabut hitam yang ada didepannya.
Hoarghhh!! Srakk! Dhesss!! Dhuaarrr!! Jderrr ... !!
Hawa naga sebelah kiri mendahului menelan bongkahan kabut hitam milik Kucing
Iblis Sembilan Nyawa. Kontan keduanya langsung meledak memperdengarkan suara
yang keras diiringi pancaran cahaya abu-abu terang yang menyilaukan mata.
Empat orang yang ada ditempat itu tampak memicingkan mata saat cahaya itu
menerpa mata mereka. Nawara menyadari ada yang tidak beres dengan pancaran
cahaya itu, segera saja maju ke depan sembari mendorongkan sepasang tangan yang
berpendar putih perak yang terangkum dalam 'Ilmu Benteng Baja Dan Tembaga'
membentuk dinding pelindung bagi mereka berempat.
Sratt! Brakk! Brakk! Benar saja, terdengar benturan keras antara dinding pelindung dengan pantulan
cahaya abu-abu terang itu.
Sedangkan hawa naga yang sebelah kanan terlihat meliuk ke atas, lalu dengan
kecepatan luar biasa, menerjang ke arah Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang tampak
terkesiap melihat hawa naga itu bisa berubah haluan.
Hoarghh!! Tanpa bisa menghindar lagi, mulut naga itu langsung menelan Kucing Iblis
Sembilan Nyawa bulat-bulat!
Srakk! Jdarr!! Diikuti dengan hawa naga raksasa yang langsung meluruk masuk ke dalam tanah
diikuti suara keras bak halilintar menyambar. Setelah hawa naga itu menghilang
amblas ke dalam tanah, terlihat seonggok daging yang sudah hancur lebur seperti
bubur, susah sekali untuk dikenali wujudnya.
Ayu parameswari yang telah selesai mengerahkan ilmu pamungkas, terlihat sedang
mengatur napas. Dadanya turun naik dengan cepat, pertanda bahwa ilmu yang
dikerahkan barusan hampir menggunakan seluruh dari 'Tenaga Sakti Naga Langit
Timur'-nya. "Ayu, kau hebat!" kata Nawala sambil mengacungkan jempol kanan.
Selesai Nawala berucap, tiba-tiba keluar suatu kejadian aneh. Sesosok bayangan
hitam tampak berkelebat cepat laksana angin berhembus, melompati sosok tubuh
Kucing Iblis Sembilan Nyawa yang sudah menjadi bubur dengan cepat.
Splashh! Lapp! Bersamaan dengan hilangnya sosok bayangan kecil itu, jasad halus wanita sesat
itu juga ikut lenyap tak berbekas!
"Apa itu?" tanya Nawara tanpa sadar, seolah bayangan hitam tadi membuatnya
terpana sesaat. "Entahlah! Tapi yang jelas, ia telah membawa pergi bubur kucing itu," kata
Nawala seenaknya. "Hmm, apa ini?" kata Juragan Padmanaba yang sedari awal hanya terbengong
melompong, melihat sesuatu yang aneh dari bekas tempat mayat wanita sesat, suatu
benda hitam yang sangat lembut dan halus mengkilap.
Bulu hitam! "Apa yang kau temukan, Kakang Padmanaba?"
Laki-laki tambun itu tidak menjawab pertanyaan Ki Dalang Kandha Buwana yang saat
itu sudah berjongkok di sebelah kiri.
Setelah mengamati beberapa saat, ia bergumam sendiri, "Ini ... bulu ... bulu
kucing?" "Bulu kucing?" "Mungkin bulu kucing atau sejenis musang," gumam Juragan Padmanaba sambil
memperhatikan bulu itu lebih jauh.
Tak berani ia menyentuh bulu itu dengan tangan, tapi dengan sebuah ranting kecil
yang tergeletak di situ. "Itu memang bulu kucing!" sahut Nawala dengan tegas.
Juragan Padmanaba menoleh, sambil bertanya, "Darimana Nakmas tahu jika ini bulu
kucing?" "Mudah sekali, paman! Setahun yang lalu, kucing iblis sembilan nyawa dan musang
terbang tangan hitam pernah menyatroni tempat kami, tapi gagal total. Saat itu
terjadi perkelahian dan wanita sesat itu berhasil kami pecundangi. Namun saat
Dewa Mata Maut 2 Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak Si Cakar Rajawali 2
^