Pencarian

Pendekar Elang Salju 4

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 4


membeku berhamburan ke udara membentuk tiang-tiang es yang menjulang beberapa
tombak, kemudian luruh kembali memperdengarkan suara gemuruh yang keras. Lembah
itu seakan diaduk oleh tangan-tangan tak kelihatan.
Bluarr ...!! Chaarr ... !!
Kalau hanya kekuatan petir saja, kejadiannya tidak akan seperti itu. Kiranya
saat petir itu menghantam ke tanah, saat itu pula bayangan putih itu
menghantamkan sepasang telapak tangan terbuka ke tanah, sehingga mengakibatkan
menjadi bumi bergetar dan salju-salju beterbangan hingga membentuk tiang-tiang
es yang tinggi. Bayangan itu kembali menggerakkan sepasang tangan memutar di
atas kepala dengan sepasang kaki membentuk kuda-kuda kokoh. Secara perlahan
namun pasti, tubuhnya dikelilingi oleh sebentuk cahaya putih tipis yang
memendar-mendar memancarkan hawa dingin.
Wess! Bwooshh ... !! Dari sepasang telapak tangan itu memancarkan hawa sedingin salju, memiliki
liukan secepat angin, gerakan tangan memutar-mutar memilin udara dingin yang ada
di lembah itu. Tak berapa lama kemudian, terciptakan pusaran angin yang membawa
debu-debu salju dan serpihan-serpihan es. Lalu tangan kiri dikibaskan ke arah
badai salju yang jaraknya masih puluhan tombak di depannya.
Whess ... !! Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Badai salju itu kontan pecah berantakan. Ambyar! Namun beberapa bagian masih ada
yang lolos dan menyambar ke arah pemuda itu. Tangan kanannya kembali bergerak
dengan cepat. Pratt! Dharr ... ! Blarr ... !!
Kembali terdengar letupan keras disertai dengan salju yang berhamburan kemana-
mana, kali ini sisa-sisa badai salju harus takluk dibawah anak muda!
Tubuh pemuda itu masih diselimuti dengsn selapis hawa putih keperakan,
memunculkan nuansa dingin yang menyejukkan. Melihat hasil pukulannya, pemuda
berwajah tampan itu menyunggingkan senyum tipis.
Senyum kepuasan! "Pukulan 'Sepasang Angin Mengguncang Salju' sudah bisa aku kuasai dengan baik,
entah bagaimana pendapat Eyang Guru jika melihatnya," gumamnya lalu, "hmmm ...
lebih baik kuulangi saja dari awal, mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang
baru." Tubuh pemuda itu kembali berkelebat cepat sehingga meninggalkan sesosok bayangan
putih. Pemuda kembali menyongsong badai yang mulai datang lagi, seakan Lembah
Badai itu adalah tempat tinggalnya, tempat ia bermain-main, pendek kata seperti
kampung halamannya sendiri. Padahal tokoh-tokoh persilatan akan berpikir ribuan
kali jika ingin menapakkan kaki di lembah itu. Tapi bagi anak muda berbaju putih
itu, Lembah Badai sungguh sedemikian bersahabat dengannya. Kilatan petir yang
menyambar dan mengenai tubuhnya dianggap sebagai salam sayang dari langit,
hempasan badai dan tiupan angin yang menggulungnya dianggap sebagai pelukan ibu
terhadap anaknya. Dinginnya hawa dianggap teman yang senantiasa menemani
dirinya. Karena pemuda itu sudah menyatu dengan alam!
Tubuhnya berputaran kesana kemari, pukulan dan tendangan mengarah ke segala
penjuru. Gerakannya laksana elang muda yang turun dari langit, kadang menukik,
mencakar, mematuk, mengibas, mengelak, persis layaknya burung elang. Belum lagi
dengan pancaran tenaga salju yang keluar dari tubuhnya, bahkan lapisan hawa
putih keperakan yang melingkupi tubuhnya semakin menebal.
Sedang hawa yang sudah dingin membekukan tulang itu menjadi semakin dingin
menyengat, sampai sosok pemuda bertubuh tambun dengan baju buntung hijau tanpa
lengan yang mengawasi dari kejauhan terpaksa mengerahkan tenaga dalam berhawa
panas untuk menahan hawa dingin yang bisa membekukan tubuh. Padahal dia menonton
di luar wilayah Lembah Badai dengan jarak puluhan tombak, namun rasanya seperti
dia sendiri berada di dalam lembah itu.
"Gila! Apa yang dilakukan anak itu" Mau membuat aku jadi kura-kura beku apa?"
gumamnya, "tapi, ilmunya makin lama makin hebat saja. Sampai hawa dinginnya
menyengat sampai kemari."
Pemuda tambun itu terus saja mengawasi pemuda yang sedang berlatih di dalam
Lembah Badai. Di punggungnya terdapat sebentuk tempurung kura-kura yang
ukurannya luar biasa besar. Bobotnya pun bisa mencapai ribuan kati, tapi pemuda
itu memakainya dengan santai saja, seolah tanpa beban. Di saat angin bertiup
sedikit kencang, baju buntung sedikit tersingkap, sehingga nampaklah tato atau
rajah kura-kura berwarna hijau tua di dada kiri. Siapa lagi jika bukan Joko
Keling alias Arjuna Sasrabahu, murid tunggal Kura-kura Dewa Dari Selatan dan
pemuda yang sendirian berlatih silat di Lembah Badai tak lain dan tak bukan
adalah Paksi Jaladara adanya.
Dua orang itulah yang sekarang menghuni sisi luar dari Lembah Badai, dari dua
orang bocah ingusan sekarang telah berubah menjadi dua pemuda sama jenis tapi
beda bentuk. Paksi Jaladara bertubuh tinggi tegap dengan kulit bersih, dadanya
bidang dan berwajah tampan, sedang Joko Keling tetap dengan postur tubuh tambun
namun padat, kulit sedikit menghitam karena gemblengan yang diberikan oleh
gurunya. -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Belas
Pernah saat mereka baru dua tahun menghuni tempat itu, Joko Keling pernah coba-
coba menginjakkan kaki di Lembah Badai, namun baru mencapai satu tombak, tiba-
tiba kilatan petir telah menyambarnya. Meski telah mengerahkan ilmu ringan tubuh
dan membentengi diri dengan tenaga saktinya, tak urung terjungkal juga terkena
sambaran petir. Tubuhnya terpental sejauh tiga tombak lebih. Tubuh montok itu
langsung berubah menjadi hitam legam seperti arang, pakaiannya hancur luluh
berbau gosong, meski tubuhnya berubah hitam akibat tersambar petir tapi tidak
terluka terlalu serius, dikarenakan telah mengadakan persiapan sebelumnya dan
tetap mengenakan Perisai Kura-kura Sakti, hanya seluruh badan terasa di panggang
dalam tungku api membara.
Lebih celaka lagi, tubuh bugil bocah itu terjatuh dalam keadaan tengkurap!
Paksi Jaladara yang melihat kejadian itu tertawa terbahak-bahak hingga keluar
air matanya, bagaimana tidak tertawa geli, jika melihat tubuh bugil jatuh
tengkurap dan tempurung kura-kura berukuran besar berada di atas punggungnya,
persis kura-kura berjalan keluar dari selokan.
Joko Keling yang diketawai memaki panjang pendek, tapi melihat keadaannya
sendiri yang hitam legam dan telanjang bulat, tak urung juga membuatnya tertawa
tergelak-gelak. Tindakan itu cukup menjadi pelajaran bagi bocah bongsor itu,
sampai keluar sumpah serapahnya tidak akan menginjak Lembah Badai lagi.
Andaikata ada gadis secantik bidadari sekalipun menyuruhnya menginjak lembah
maut itu, pasti bakal ditolaknya mentah-mentah.
Bagaimana tidak, jika nekat tentu keadaannya pasti seperti kura-kura yang
ekornya di depan! Sementara itu, Paksi Jaladara mengerahkan seluruh kekuatan hawa tenaga dalam
yang bersumber dari kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' yang kini telah mencapai
tahap akhir dan digabungkan dengan ilmu silat 'Delapan Belas Jurus Elang Salju'
yang diwariskan oileh guru gaibnya, Elang Berjubah Perak. Jurus itu pada mulanya
hanya ada lima belas jurus saja, tapi oleh Paksi Jaladara dikembangkan hingga
menjadi delapan belas jurus. Entah bagaimana kehebatan tiga jurus yang terakhir
itu. Jurus ke delapan belas merupakan inti dari ke tujuh belas jurus yang sudah ada
sebelumnya. Oleh Paksi Jaladara, jurus ini dinamai dengan jurus jurus 'Menyatu
Menjadi Elang Raksasa', mendadak saja terpancar cahaya menyilaukan mata, dan
bersamaan itu pula tampak sesosok elang putih raksasa sedang melayang ke atas,
kemudian menukik ke bawah dengan cepat dengan pekikan yang menggelegar.
"Awwkk! Awwkk!"
Weesshh! Sasarannya adalah gugusan batu yang umurnya sudah ratusan tahun dan berada tepat
di tengah-tengah Lembah Badai.
Jdharr ... ! Dhuuarr ... !!
Gugusan batu raksasa itu hancur berantakan setelah ditabrak oleh elang raksasa
itu, menimbulkan buncahan debu-debu putih di angkasa. Beberapa saat kemudian,
ketika guguran debu mereda, tampak sosok tubuh Paksi Jaladara berdiri dengan
gagah. Guguran debu dan batu menyibak dengan sendiri, dikarenakan pengerahan
tenaga dalam yang memuncak, seakan-akan ada tangan tak terlihat yang mengalihkan
guguraan debu dan batu ke samping.
Namun mendadak, alis matanya mengernyit.
Dari bekas gugusan batu raksasa itu, tertancap sebatang pedang di sisi kanan dan
sarung pedang di sisi kiri. Bentuk pedang itu seperti pedang biasa, hanya
sedikit melengkung seperti golok dan panjangnya dua kali pedang biasa dengan
bilah pedang selebar tiga jari tangan. Satu sisi pedang tumpul dan satunya tajam
mengkilat seperti bilah golok dengan membentuk lekukan pedang seperti ombak yang
memisahkan antara bagian tumpul dan tajam. Gagang pedang cukup panjang untuk
ukuran pedang biasanya, panjang sekitar tiga kali ukuran gagang pedang biasa,
jika digenggam dengan dua tangan akan cukup nyaman. Pembatas pedangnya pun
berbentuk aneh, melingkar membatasi antara bilah pedang dengan gagangnya, dimana
pembatas yang melingkar itu berlubang sebanyak sembilan buah. Lubang itu
membentuk gambar bulan sabit dan bintang segi delapan.
Di kedua sisi bilah pedang terdapat ukiran-ukiran aneh, seperti tulisan-tulisan
dari negeri seberang. Pedang itu memancarkan cahaya samar-samar kebiru-biruan.
Akan halnya sarung pedang berwarna putih mengkilap mulus tanpa gambar apa pun.
Hanya pada ujungnya terdapat gambar ukiran gambar angin dan awan yang berarak.
"Pedang apa ini?" katanya dalam hati.
Paksi mendekati pedang aneh itu, lalu menggenggam gagangnya dengan tangan kanan.
Srtt! Srtt ... !! Mendadak muncul kilatan-kilatan petir kecil yang menyengat tangannya. Kilatan
itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya dan akhirnya seluruh tubuh Paksi Jaladara
tersengat kilatan-kilatan kecil berbiru-biruan itu. Paksi Jaladara segera
mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya, namun celakanya tenaga dalam itu
seakan mampet, tidak mau keluar.
"Celaka! Apa yang harus kulakukan" Uhh ... tanganku tidak bias dilepaskan ... "
Dalam kebingungannya, perlahan namun pasti tampak sesosok bayangan manusia yang
makin lama makin jelas wujudnya. Sosok laki-laki berwajah tirus dengan mata
sipit yang mencorong tajam, rambutnya dikucir ekor kuda dengan balutan pita
hitam. Bajunya juga cukup aneh, dengan ukuran agak kebesaran berwarna biru laut
demikian pula dengan celananya yang hitam juga terlihat kebesaran. Kulitnya yang
pucat kekuning-kuningan ditingkahi dengan seulas senyuman ramah. Dipunggungnya
terselip sebentuk pedang yang bentuknya cukup aneh dan cukup panjang ukuran
pedang pada umumnya. Yang membuat Paksi sedikit terperanjat adalah pedang laki-
laki itu sama persis dengan pedang yang saat ini digenggam oleh Paksi Jaladara.
Pedang panjang melengkung yang aneh!
Laki-laki bermata sipit dengan kulit kuning itu membungkukkan badan ke arah
paksi dan dengan gerakan yang indah, ia mencabut pedangnya dan mulailah ia
melakukan gerakan-gerakan aneh, dimana bayangan itu menggenggam gagang pedang
dengan kedua tangannya. Gerakan itu terus diperlihatkan di depan Paksi Jaladara,
seolah-olah sedang memperlihatnya jurus-jurus pedang yang menggunakan dua
tangan. Gerakan menebas, menusuk, membabat, semua diperlihatkan di depan mata
pemuda itu. Anehnya, Paksi Jaladara bisa mengikuti gerakan itu dengan baik, seolah dia
sendirilah yang melakukan jurus-jurus pedang aneh itu. Puluhan jurus pun berlalu
dan selama itu pula, pemuda itu menatap semuanya dengan tanpa berkedip!
Mendadak orang yang bermata sipit itu meloncat ke atas, lalu mengayunkan
pedangnya ke arah Paksi Jaladara dengan cepat bagai kilat.
Bwessh! Pemuda itu tersentak kaget, untuk menghindar pun rasanya sudah tidak mungkin
lagi, karena serangan hawa pedang itu membutuhkan waktu sepersekian detik dan
langsung menerjang ke tubuhnya.
Cess!! Aneh, hawa pedang tadi langsung lenyap saat membentur tubuhnya bersamaan dengan
bayangan laki-laki bermata sipit itu juga menghilang tanpa bekas, termasuk juga
kilatan petir kecil juga lenyap.. Paksi Jaladara hanya terlongong bengong, lalu
tangan kiri meraba dadanya tanpa sadar.
"Apa yang terjadi ... " Tidak ada luka sama sekali!" gumam pemuda itu. "Aneh,
padahal tadi jelas-jelas sabetan pedang itu mengarah ke dada, tapi tidak ada
bekasnya sama sekali."
Ketika menggerakkan tangan kanan yang menggenggam gagang pedang, pedang itu
tercabut dengan mudah. Pemuda pemilik Rajah Elang Putih itu lalu mengamat-amati
pedang itu dari gagang pedang hingga ke ujungnya. Lalu jari tangan kiri
menyentuh bilah pedang, terasa hawa dingin menjalar melewati jari-jarinya.
"Hmm, tajam juga. Bilah pedang ini memancarkan hawa dingin, entah dibuat dari
bahan apa. Entah milik siapa pedang panjang ini. Lebih baik aku tanyakan saja
pada kakek tabib dan kakek kura-kura, siapa tahu mereka berdua tahu tentang
pedang ini." Dengan sengaja tak sengaja, Paksi mengibaskan pedang itu ke samping kanan dengan
mendatar, menirukan gerakan orang aneh tadi.
Wess! Sebentuk hawa pedang memancar keluar secepat angin dan menebas tiang es yang
besarnya sepelukan orang dewasa yang jaraknya sepuluh tombak dari tempat pemuda
itu berdiri. Crass!! Tiang es itu langsung terpotong rapi, lalu ambruk diiringi dengan suara keras.
Bruull ... ! Paksi terperanjat. "Edan! Padahal cuma kibasan pelan saja, sudah bisa memotong tiang es sebesar
itu. Wow, keren!" kata pemuda itu penuh kekaguman sambil menghampiri sarung
pedang putih itu dan memasukkan pedang panjang itu ke dalamnya.
Pas sekali! Lalu dengan tangan kanan menjinjing pedang panjang itu, dia berkelebat cepat ke
arah tepi luar Lembah Badai dengan mengerahkan jurus peringan tubuh 'Ribuan Li
Selaksa Ombak'. Gerakan kakinya seolah melayang-layang di udara, laksana
menunggang angin. Jurus ini sudah banyak kemajuan dibanding pertamakalinya Paksi
mempelajarinya dari Tabib Sakti Berjari Sebelas.
Wess! Sebentar kemudian dia sudah sampai di sisi luar Lembah Badai, dan melihat Arjuna
alias Joko Keling, musuh karib dan teman bebuyutannya yang setia menunggu.
Jleg! Pemuda bongsor itu nampak sedang bersekedap di depan dada saat Paksi baru saja
menjejakkan kakinya di sisi luar lembah. Sorot mata pemuda itu menatap tajam
pemuda berikat kepala merah dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu berjalan
memutari tubuh pemuda, seperti seorang pembeli sedang menaksir barang dagangan
saja. Lalu pandangan matanya beralih kepada pedang panjang yang ada dalam
genggaman tangan Paksi. "Sepanjang pengetahuanku di Lembah Badai tidak ada pedang yang sepanjang itu."
"Aku dapatkan diantara gugusan batu-batu raksasa yang ada di sisi selatan lembah
ini." "Oooh ... " kata Joko Keling manggut-manggut.
"Apa kau tahu siapa pemiliknya?" balik tanya murid tunggal Elang Berjubah Perak.
"Tidak," sahut Joko Keling pendek, "lebih baik kita segera menghadap kakek. Tadi
aku diberitahu, jika kau sudah keluar dari Lembah Badai, kita berdua supaya
langsung menuju puncak Gunung Tambak Petir."
Paksi mengiyakan saja, sambil berkata, "Kapan kita berangkat?"
"Tahun depan! Tentu saja sekarang, memangnya mau tunggu apa lagi?" ucap Arjuna
dengan jengkel. Kalau sudah begitu, Paksi kadang tertawa geli sendiri, karena muka pemuda
bongsor itu kalau sudah marah atau jengkel, susah sekali membedakan mana hidung,
mana mata dan mana pipi karena semua menjadi satu. Mungkin jika sekali tabok
mukanya bisa kena hidung, mata dan pipi sekaligus.
"Kenapa senyam-senyum, ngejek ya?"
"Ah ... nggak kok ... " elak Paksi sambil berusaha menahan senyumnya agar tidak
meledak. Pemuda bertempurung kura-kura langsung menjejakkan kakinya ke arah utara,
mengikuti sisi luar dari lembah bersalju itu. Tubuh besar itu berkelebat dengan
ringan, seakan tidak terbebani dengan berat badan dan juga tempurung kura-kura
yang ada dipunggungnya. -o0o- "Kazebito!" "Kazebito" Maksud kakek tabib, pedang ini bernama Kazebito?" potong Paksi dengan
cepat. "Ya. Tepatnya Pedang Samurai Kazebito! Pedang ini dulunya adalah milik seorang
pendekar samurai dari Negeri Sakura yang bernama Sasaki Kojiro. Jika tidak
keliru hitunganku, itu terjadi sekitar empat ratus tahun yang lalu pada masa
ketua generasi ke 28," tutur Ki Gedhe Jati Kluwih seraya menimang-nimang pedang
samurai itu di tangannya, lalu lanjutnya, "Paksi, apakah ada kejadian aneh
sesaat atau sebelum kau menemukan pedang ini?"


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada, kek." "Ceritakan!" Paksi Jaladara dengan singkat menceritakan kejadian yang berhubungan dengan
pedang itu, termasuk rambatan aliran hawa aneh bahkan saat sosok laki-laki
bermata sipit yang diduga bernama Sasaki Kojiro pun diceritakan lengkap dengan
jurus pedang anehnya. Dikatakan aneh, karena biasanya para pesilat dari Tanah
Jawadwipa menggunakan tangan kanan atau kiri dalam bersilat pedang, sedang sosok
Sasaki Kojiro menggunakan dua tangan dalam memegang gagang pedang.
Ki Gedhe Jati Kluwih, Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Joko Keling mendengarkan
dengan seksama, tidak ada yang menyela atau memotong penuturan Paksi sedikit
pun, bahkan sampai selesainya kisah itu, ketiganya masih tertegun dengan apa
yang baru saja didengarnya.
"Paksi, apakah kau masih bisa mengingat setiap jurus yang digunakan oleh sosok
Sasaki Kojiro?" tanya Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Masih, kek." "Coba kau peragakan. Tapi, gunakan tanpa pengerahan kekuatan tenaga dalammu."
"Baik." Paksi mencabut Pedang Samurai Kazebito dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan
aneh seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sasaki Kojiro, menggenggam gagang
pedang dengan kedua tangannya. Lalu mulaialh ia melakukan gerakan menebas,
menusuk, membabat, menangkis dan mengunci. Meski tanpa menggunakan pengerahan
tenaga dalam, namun udara disitu seakan mengikuti kemanapun Paksi bergerak. Baju
pemuda itu berkibar-kibar tatkala ia melakukan gerakan menusuk tiga kali dengan
cepat. Wutt! Wess ... ! Terlihat larikan udara yang meruncing keluar dari ujung pedang samurai itu, lalu
membentur batang pohon yang ada didepannya.
Durrr!! Meski tanpa pengerahan tenaga dalam, daun-daun berguguran terkena sentakan dari
Pedang Samurai Kazebito yang digunakan Paksi.
"Cukup Paksi!" Paksi Jaladara menyudahi gerakan pedangnya, lalu dengan gerakan manis,
menyarungkan pedang panjang yang digenggamnya. Semua yang dilakukan Paksi murni
dari apa yang diterima oleh indera penglihatannya, tidak ada yang tercecer
sedikitpun. "Bagus! Ilmu pedang yang baru saja kau gunakan tadi adalah jurus terhebat dari
aliran Partai Matahari Terbit yang bernama 'Terbit Di Timur, Tenggelam Di
Barat'," kata kakek bercaping kura-kura itu, " ... setahuku, ketua generasi ke
28 terdahulu mengundang mendiang Sasaki Kojiro. Dia datang jauh-jauh dari Negeri
Sakura untuk menjalin persahabatan antara dengan Istana Elang, dimana sebelumnya
Ketua Galangtara pernah mengembara hingga tanah seberang dan berkunjung ke
Partai Matahari Terbit serta saling bertukar jurus."
"Lalu sebagai imbal baliknya dari Partai Matahari Terbit, dalam hal ini diwakili
oleh mendiang Sasaki Kojiro yang mungkin anak dari ketua partai atau murid
utamanya untuk berkunjung ke Tanah Jawadwipa ini. Namun mendiang Sasaki Kojiro
berhasil melewati Ladang Pembantaian tapi gagal menembus ganasnya Lembah Badai
tanpa sempat memperlihatkan kembali jurus pedang andalan Partai Matahari Terbit.
Bukan begitu, kek?" duga Paksi Jaladara.
Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas menganggukkan
kepalanya mendengar uraian panjang lebar dari Paksi Jaladara, sebuah analisa
yang tepat dari seorang pemuda usia belasan tahun!
"Tepat sekali dugaanmu, Paksi!"
"Lalu, darimana kakek tahu kalau jurus pedang yang saya gunakan tadi adalah
jurus terhebat dari Partai Matahari Terbit sedangkan Tuan Sasaki Kojiro sendiri
sudah keburu tewas di tengah perjalanan dan belum sempat memperlihatkannya pada
Ketua Galangtara?" Kembali dua tokoh tua menyatakan kekagumannya.
"Dari sebuah kitab pedang yang diberikan ketua Partai Matahari Terbit kepada
Ketua Istana Elang." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Kitab pedang?"
"Ketika terjadi pertukaran ilmu silat, Ketua Galangtara meminjamkan sejilid
Kitab Sakti 'Inti Beku' kepada Ketua Partai Matahari Terbit yang konon kabarnya
merupakan salah satu dari lima kitab pusaka yang menjadi perebutan tokoh
golongan persilatan tempo dulu, dan sebagai gantinya Ketua Galangtara menerima
sejilid kitab 'Pedang Matahari Terbit Dari Timur', yang juga merupakan salah
satu pusaka partai itu. Akan halnya aku tahu jurus yang baru saja kau gunakan,
ketua pernah memperlihatkannya padaku setelah mempelajari selama dua purnama,"
tutur kakek bercaping kura-kura itu.
"Guru, dimanakah kitab pedang itu sekarang?" sela Joko Keling yang sedari tadi
hanya diam saja mendengar tanya jawab antara Paksi dengan gurunya.
"Kitab itu sekarang berada di Ruang Pustaka," kata Kura-kura Dewa dari Selatan,
" ... tapi, Ruang Pustaka itu hanya bisa dimasuki oleh ketua dan tidak seorang
pun yang bisa memasukinya, kecuali orang itu telah ditunjuk sebagai Pewaris
Tahta Angin. Jika bukan pewaris dari Empat Pengawal dan Pewaris Tahta Angin
sendiri, orang lain pasti mati seketika!"
"Begitu rupanya," kata hati Tabib Sakti Berjari Sebelas, "pantas Elang Berjubah
Perak pernah berkata padaku 'tidak ada penjaga di Ruang Pustaka karena Ruang
Pustaka itu sendirilah yang menjaganya', setelah kura-kura tua itu menyebutkan
tentang pewaris, baru aku paham apa makssudnya."
"Kakek, lalu apa yang harus kulakukan dengan Pedang Samurai Kazebito ini" Aku
merasa tidak pantas memilikinya setelah kutahu bahwa pedang ini ada pemiliknya
meski sekarang orangnya sudah tiada, namun aku yakin Partai Matahari Terbit
masih memiliki hak dengan pedang samurai ini," kata Paksi Jaladara sambil
menimang-nimang pedang panjang ditangannya.
"Pada awalnya, Tuan Sasaki Kojiro berniat memperlihatkan kehebatan jurus pedang
partainya kepada Ketua Istana Elang dan kukira mendiang Sasaki Kojiro sudah
melaksanakan tugasnya dengan baik dengan memperlihatkan jurus pedang itu padamu,
karena menganggap dirimu sebagai Ketua Istana Elang yang baru. Maka sudah
sepantasnyalah bila kau pula nantinya yang mengembalikan pedang itu ke tempat
asalnya, yaitu ke Partai Matahari Terbit di negeri seberang sana," kata Ki Gedhe
Jati Kluwih. "Benar apa yang dikatakan tabib tua, karena kaulah pewaris tunggal Elang
Berjubah Perak." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan mantap.
"Guru, apa keistimewaan dari pedang samurai itu"' sela Joko Keling.
"Arti dari 'Kazebito' adalah 'kekuatan angin'. Aku sendiri belum begitu jelas
dengan kehebatannya, hanya saja pedang itu, sesuai namanya pasti berhubungan
dengan kekuatan angin atau udara. Tapi ini hanya pradugaku saja," ujar Kura-Kura
Dewa, lalu lanjutnya, "bagaimana dengan dirimu, tabib tua?"
"Ha-ha-ha! Aku pun sama tololnya dengan dirimu, kura-kura tua!"
"Paksi, apakah kau sudah menyelesaikan pelajaran dari gurumu?" tanya Tabib Sakti
Berjari Sebelas mengalihkan pembicaraan
"Sudah semuanya, kek."
"Bagus! Sampai tingkat berapa yang bisa kau kuasai?"
"Saya tidak begitu yakin, tapi mungkin sampai tingkat 'Tapak Rembulan Perak' dan
pengembangan Ilmu Silat 'Elang Salju' hingga jurus ke - 18," kata Paksi
Jaladara. Paksi sengaja menyembunyikan salah satu ilmu terbarunya, karena ia beranggapan
ilmu barunya masih dalam tahap awal, dalam tahap coba-coba. Ilmu temuannya itu
datang secara tiba-tiba saja, saat ia berhasil menyelesaikan jurus ke - 18.
Yakni pada pemikiran bila seluruh tingkat dari kitab 'Hawa Rembulan Murni', '18
Jurus Silat Elang Salju', jurus 'Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat' dari
Partai Matahari Terbit dan dengan kekuatan 'Ilmu Mengendalikan Badai', semua
digabung menjadi satu jurus tunggal, entah apa yang akan terjadi. Pastilah akan
menghasilkan kekuatan dahsyat luar biasa, mungkin hasilnya sudah diluar
jangkauan akal sehat manusia.
Lagi pula itu masih dalam pemikiran saja, belum sekali pun dalam tahap praktek!
"Apa akibatnya jika benda hidup atau mati terkena dampak dari 'Tapak Rembulan
Perak'?" selidik Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Jika benda hidup seluruh jaringan otot, daging, darah hingga tulang sumsumnya
akan melebur hancur menjadi cairan es dan jika benda mati akan hancur menjadi
serpihan es." "Betul!" "Coba kau perlihatkan pada kami!" kata Tabib Sakti Berjari Sebelas, karena
dirinya sangsi mana ada itu segila dan sehebat itu, kecuali hanya cerita dongeng
saja" Paksi melihat ke sekelilingnya, lalu matanya terbentur pada batu hitam sebesar
kerbau. Tiba-tiba saja, jari tangan kanannya berpencar putih pekat lalu
menjentik dengan pelahan.
Ctik! Seberkas larikan cahaya putih keperakan yang menebarkan hawa dingin berkiblat
diiringi dengan suara gemuruh. Cahaya itu meluncur cepat seperti anak panah
lepas dari busurnya dan membentur batu besar itu sambil mengeluarkan suara
mendesis. Cesss! Seketika seluruh batu itu terbungkus lapisan es, dan dalam sekedipan mata, batu
hitam itu hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan es yang tersebar kemana
diiringi dengan suara yang memekakkan telinga.
Brull! "Bagus! Memang seperti itulah kekuatan tahap ke - 4 dari Kitab Sakti 'Hawa
Rembulan Murni'! Ilmu ini memang berbeda dengan ilmu sakti atau jurus maut pada
umumnya, dimana harus mengolah tenaga dalam dahulu barulah kemudian menjadi satu
jurus maut. Akan halnya orang yang menguasai hingga tahap ini, bisa menggunakan
sesuka hatinya tanpa perlu bersusah payah mengolah napas, karena inti dari ilmu
ini adalah kekuatan hati. Paksi, berhati-hatilah dengan ilmu tadi, karena bisa
mencelakai orang tanpa kau sadari. Cobalah berusaha mengendalikan hati dan
pikiranmu. Kau paham?" kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan memberi nasehat.
"Paham, kek." "Wuih, andaikata kena tubuhku, bisa jadi cairan es, nih!?" gumam Arjuna antara
sadar tak sadar. "Juna, bagaimana dengan 'Tapak-Tapak Dewa Api' yang kau pelajari?" tanya
gurunya. "Semua sudah Juna selesaikan dengan baik, kek! Pokoknya beres!" sahut si murid
sambil mengacungkan jempol kanan dengan mantap.
"Perlu kau ketahui, ilmu 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api' kuturunkan hanya
padamu, yang merupakan ilmu tandingan dari 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air'
milikku. Jangan sembarangan kau gunakan, jika bisa kau menggabungkan dengan
'Ilmu Silat Pulau Kura-Kura' tentu akan lebih baik."
"Tanpa disuruh pun tentu akan kulakukan," kata hati Arjuna Sasrabahu sambil
mengiyakan perkataan gurunya.
Pada mulanya ia akan menurunkan 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air' tapi tidak
jadi setelah tanpa sengaja dirinya menemukan rangkaian ilmu 'Tenaga Sakti Tapak-
Tapak Dewa Api' saat sedang tiduran diatas tubuh kura-kura tunggangannya, si
Tirta Kamandanu. Setelah mencerna beberapa waktu, akhirnya ia paham!
Rupanya tempurung kura-kura betina yang kini dipakainya menjadi penutup
kepalanya terdapat rangkaian ilmu 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air' yang kini
dikuasainya sedangkan di kura-kura jantan terdapat rangkaian ilmu 'Tenaga Sakti
Tapak-Tapak Dewa Api'. Akhirnya kakek bertempurung kura-kura itu memutuskan
untuk menurunkan kekuatan dari 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api' kepada murid
tunggalnya. "Paksi, sudah saatnya kau turun gunung untuk mengamalkan semua apa yang kau
pelajari dari mendiang ketua lama. Biarkan Arjuna menemani perjalananmu, sambil
sekalian mencari pewaris atau murid dari Tiga Pengawal Gerbang yang lain," ujar
Kura-kura Dewa Dari Selatan, lanjutnya, "Karena dirimu adalah titisan Sang Angin
dan juga pewaris tunggal Elang Berjubah Perak, maka sudah menjadi tugasmu
mengemban amanat ini."
"Tapi, alangkah baiknya bila sebagai seorang murid ketua Elang Berjubah Perak
untuk berkeliling ke wilayah-wilayah Istana Elang yang ada di puncak Gunung
Tambak Petir ini." Kata Tabib Sakti Berjari Sebelas.
"Tentu saja. Saya sudah lama ingin melihat-lihat kemegahan dari istana ini."
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Belas
Begitulah, dengan diantar Pengawal Gerbang Selatan, Paksi Jaladara menyusuri
ruangan demi ruangan. Setiap tempat yang tidak diketahuinya, langsung
ditanyakan. Sehingga semakin banyak pula pengetahuan baru yang diterima. Bahkan
kakek bercaping tempurung kura-kura itu menceritakan sejarah berdirinya Istana
Elang dari ketua generasi pertama hingga ketua generasi ke 32, betapa Istana
Elang merupakan salah satu dari tiang penyangga rimba persilatan aliran putih
dari jaman ke jaman. Sang Air juga menceritakan siapa saja tokoh-tokoh kosen
rimba persilatan masa kini baik dari golongan putih mau pun dari golongan sesat.
Pada masa kini, rimba hijau baik golongan sesat maupun lurus terbagi menjadi Dua
Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai. Istana Elang yang
dulunya diketuai oleh mendiang Elang Berjubah Perak dan sekarang akan
tergantikan Paksi Jaladara yang baru saja keluar dari Lembah Badai dan satunya
Istana Rumput Maut yang dipimpin seorang tokoh tua yang bergelar Nenek Rambut
Hijau yang terkenal dengan jurus 'Pukulan Tebaran Rumput Menggesek Awan'. Meski
tabiatnya kasar dan kadang ugal-ugalan, namun pada dasarnya dia memiliki hati
yang bersih. Konon kabarnya sudah berusia seratus tahun lebih.
Tiga Wisma yang dimaksud adalah Wisma Bambu Hitam, Wisma Harum, dan Wisma
Samudera. Wisma Bambu Hitam saat ini dijabat oleh tokoh yang bernama Nyi Jagat
Semayi, yang merupakan murid tunggal dari majikan Wisma Bambu Hitam yang telah
tewas saat terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Serikat Ular Iblis pada empat
puluh tahun silam. Meski sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun postur dan
penampilan tubuhnya masih tampak seperti gadis usia belasan tahun saja. Tubuhnya
yang tinggi sekal terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang sedikit kecoklatan
sehingga menambah daya pesona sebagai seorang wanita matang. Bibirnya yang
selalu nampak merah delima dengan sebentuk lesung pipit di pipi kirinya, seakan
mengundang hasrat bagi laki-laki yang memandangnya.
Banyak para jago silat yang berusaha mendapatkannya untuk dijadikan istri bahkan
selir, namun akhirnya gagal karena Nyi Jagat Semayi memberikan syarat yang cukup
berat, selain harus bisa mengalahkan ilmu silatnya, juga harus bisa menaklukkan
hatinya. Apalagi sekarang dia memiliki Golok Pusaka Bambu Terbang dan juga jurus
'Golok Bambu Terbang' warisan gurunya kini sudah dikuasainya dengan sempurna.
Akan halnya Wisma Harum saat ini dipimpin pasangan sesat suami-istri yang kini
bernaung dibawah Benteng Tebing Hitam, terkenal dengan julukan Sepasang Kupu-
Kupu Besi. Belum ketahui sampai dimana kehebatan pasangan suami-istri ini, namun
berita yang santer terdengar, bahwa saat ini Sepasang Kupu-Kupu Besi sedang
mempelajari sebuah ilmu baru yang bernama jurus 'Racun Kembang Patah Hati'.
Sedangkan Wisma Samudera saat ini diketuai laki-laki parobaya yang bernama Ki
Dirga Tirta yang pada jamannya terkenal dengan 'Tiga Belas Pukulan Telapak
Kosong'. Majikan Wisma Samudera mempunyai seorang anak gadis yang masih muda
belia disebutnya sebagai Gadis Naga Biru. Saat ini, Majikan Wisma Samudera
sedang giat-giatnya menggembleng putri tunggalnya untuk mewarisi semua ilmu yang
dimilikinya. Entah sampai di tingkat ke berapa dari 'Tiga Belas Pukulan Telapak
Kosong' yang saat ini dipelajarinya.
Empat Benteng adalah Benteng Tebing Hitam yang dipimpin oleh Roda Sakti Tujuh
Putaran, yang kini sedang menyusun semua kekuatan hitam di tempat kediamannya.
Benteng Dua Belas Rajawali diketuai pasangan saudara seperguruan Rajawali Alis
Merah dan Naga Sakti Berkait, yang saat ini juga sedang menyusun kekuatan
tandingan bagi Benteng Tebing Hitam. Majikan Benteng Lembah Sunyi yang bernama
Ki Gentar Swara yang juga masih terhitung saudara dari garis keturunan ibu dari
Naga Sakti Berkait pun kini juga mendukung Benteng Dua Belas Rajawali.
Akan halnya Benteng Lembah Selaksa Setan, saat ini dipimpin seorang kakek
berusia delapan puluhan tahun yang bernama Kelelawar Iblis Berkepala Besi yang
menguasai Ilmu Silat 'Kelelawar Sakti'. Sukar sekali menentukan sikap dari
Kelelawar Iblis Berkepala Besi, karena adakalanya membantu aliran putih, bahkan
tidak malu-malu untuk mendukung aliran hitam. Bisa dikatakan sulit diraba kemana
arah tujuan dari Majikan Lembah Selaksa Setan itu.
Lima Perguruan dan Partai, diantaranya adalah Padepokan Singa Lodaya yang berada
di kaki Gunung Singa Putih yang diketuai oleh Ki Singaranu yang juga merupakan
kakek dari Paksi Jaladara. Kemudian Partai Awan Merah dan Partai Dua Belas
Lentera, saat ini sedang mengalami kekosongan kepemimpinan karena kedua ketua
mereka dikabarkan sama-sama tewas saat membantu Wisma Bambu Hitam menghadapi
Serikat Ular Iblis, sehingga untuk sementara masih diwakili oleh murid utama
masing-masing. Meski kejadian sudah lewat empat puluh tahun lamanya, namun para
murid utama tidak bisa begitu saja mengangkat diri menjadi ketua karena mereka
masih mengharapkan kedatangan ketua mereka, hal itu disebabkan sampai sekarang
masih diyakini bahwa sang ketua masih hidup.
Sedang Perguruan Pedang Putih merupakan sinar baru di rimba persilatan, meski
baru berdiri beberapa tahun belakangan, namun kiprahnya cukup bisa disejajarkan


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan perkumpulan silat yang sudah punya nama. Perguruan Pedang Putih ini
dipimpin seorang pemuda berusia dua puluh sembilan tahun dengan tinggi tubuh
sedang-sedang saja. Raut wajah tampan dengan rahang persegi yang menggambarkan
keteguhan hatinya. Dalam kalangan persilatan dijuluki si Raja Pedang dengan
Pedang Sinar Bintang sebagai senjata andalannya.
Sedangkan Partai Telapak Sakti sampai sekarang ini masih menjadi misteri bagi
orang-orang rimba persilatan, sama misteriusnya dengan Istana Elang sendiri.
Dari kabar burung yang beredar, bahwa partai yang terkenal dengan ilmu 'Telapak
Sakti Matahari Membara' saat ini sedang mengumpulkan tokoh-tokoh silat untuk
direkrut menjadi anggotanya.
Dengan panjang lebar, Kura-Kura Dewa Dari Selatan menceritakan keadaan dunia
persilatan saat itu, bahkan kemunculan tokoh-tokoh hitam sekelas Ratu Sesat
Tanpa Bayangan yang dulu pernah menyerang Padepokan Singa Lodaya dan masih
banyak tokoh silat dari aliran hitam dan putih yang kini kembali bermunculan.
Dengan demikian semakin menambah bekal bagi Paksi Jaladara maupun Arjuna
Sasrabahu. Menjelang sore hari, disaat sang surya mulai menutup diri, sampailah mereka
berempat memasuki sebuah aula yang di kiri kanannya terdapat patung elang kembar
raksasa yang beratnya mencapai ribuan kati. Setelah melewati aula yang oleh
kakek bercaping itu disebutnya Aula Elang Kembar, sampailah mereka berempat di
suatu ruangan berpintu besi tebal dengan gagang pintu yang menghitam. Di pintu
besi itu terukir indah seekor elang berwarna putih keperakan yang sedang
melayang-melayang di antara gumpalan awan yang membentang luas. Kura-Kura Dewa
Dari Selatan menyebut ruang itu sebagai Ruang Pustaka, ruang pribadi dari setiap
generasi ketua Istana Elang.
Sekeliling tempat Ruang Pustaka ditumbuhi dengan pohon-pohon yang aneh dan juga
kolam yang jernih. Ruangan itu tepat berada di ujung paling timur dari Gunung
Tambak Petir, seakan menyatu dengan perut gunung tersebut.
"Joko, coba kau buka pintu Ruang Pustaka."
Tanpa banyak bicara, pemuda bertubuh bongsor itu segera mendekat dengan sigap.
Begitu kurang lebih berjarak dua langkah dari pintu bergagang hitam itu,
mendadak tubuhnya terpental dengan keras, lalu melayang jauh melewati patung
elang kembar. Saat masih melayang, Joko Keling bersalto beberapa kali ke
belakang untuk mematahkan daya lontar yang cukup kuat itu.
Wutt! Wutt! Jleg!! "Hooiii, apa yang kau lakukan?" bentak gurunya.
"Entahlah, kek! Tahu-tahu tubuhku terasa ada yang mengangkat ke atas lalu
melemparkannya dengan keras."
"Tolol! Ulangi lagi!"
Kali ini Arjuna Sasrabahu lebih siaga. Dengan mengerahkan ilmu terakhir warisan
gurunya, yaitu 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api'. Sontak suasana disekitar
tempat itu berubah menjadi panas membara laksana tungku api yang menyala-nyala.
Kobaran api yang membentuk bayangan kura-kura api raksasa semakin lama semakan
membesar. Bwosshh! Bwoshh ... ! Terdengar desisan-desisan api yang menjilat-jilat menyelimuti tubuh bongsor yang
punggungnya tergantung Perisai Kura-Kura Sakti. Perlahan-lahan Joko Keling alias
Arjuna Sasrabahu memusatkan daya nalar untuk mengerahkan tujuh bagian dari ilmu
yang saat ini sedang digunakannya. Tampak sepasang kaki pemuda itu diselimuti
oleh kobaran api membara. Setelah merasa memiliki cukup kekuatan, melangkahkan
kaki setindak demi setindak ke arah pintu baja itu.
Mendekati dua langkah dari pintu besi itu, mendadak Joko merasa ada kekuatan
gaib yang kembali berusaha untuk melontarkannya. Namun tujuh bagian dari 'Tenaga
Sakti Tapak-Tapak Dewa Api' berusaha keras untuk menahannya. Akan tetapi desakan
gaib makin lama makin kuat, sehingga mau tak mau harus ia meningkatkan lagi
hingga bagian ke delapan.
Swooshh ... ! Hawa panas itu pun makin membara ketika sudah mencapai bagian ke sembilan dari
seluruh ilmunya. Sungguh kekuatan tenaga dalam yang hebat. Jarang didapati jago
muda yang memiliki tenaga dalam setinggi itu pada masa kini.
"Huh, kurang ajar! Apa perlu kugunakan sepuluh bagian sekalian?" pikirnya.
Seiring dengan daya pikirnya, akhirnya tenaga panas meningkat drastis hingga
bagian ke sepuluh dari 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api'. Bahkan sampai-sampai
gurunya harus mengerahkan bagian ke tujuh 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Air',
yang merupakan tandingan dari 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api' yang kini
digunakan oleh Joko Keling. Akan halnya dengan Tabib Sakti Berjari Sebelas yang
saat itu berdiri di samping Paksi Jaldara juga mengalirkan 'Tenaga Sakti Aliran
Pulau Khayangan' untuk menahan hawa panas yang semakin lama semakin membuncah,
sedang Paksi Jaladara juga harus mengerahkan tahap ke tiga dari Kitab Sakti
'Hawa Rembulan Murni'! Kini, hawa panas dan dingin menerpa silih berganti. Joko keling terus berusaha
bertahan dengan kekuatan puncaknya, namun kekuatan gaib dari Ruang Pustaka itu
juga semakin meningkat sebagai bentuk perlawanan, semakin besar tenaga yang
menekannya, semakin besar pula daya benturannya.
Srekk! Srekk ... !! Perlahan namun pasti, Arjuna Sasrabahu mulai terdorong ke belakang, dimana
dorongan itu makin lama makin kuat. Dan akhirnya, kembali pemuda yang merupakan
murid tunggal dari Pengawal Gerbang Selatan harus menyerah. Setelah berjuang
keras selama sekian lama, pemuda itu jatuh terduduk kehabisan tenaga.
Brukk! Napasnya terengah-engah karena baru saja menguras tenaganya.
"Kek! Aku capek sekali! Heh ... hehh ... aku ... tidak sang ... gup ... lagi ...
!" Kura-Kura Dewa Dari Selatan berjalan menghampiri pemuda itu, dan menepuk bahunya
dengan tatapan bangga. "Juna, aku bangga padamu! Tidak percuma aku memilihmu
sebagai pewarisku! Dulunya, aku harus sungsang sumbel saat berusaha mendekati
Ruang Pustaka. Sedangkan kau, hanya terseret sejauh tujuh tombak jauhnya! Aku
bangga memiliki murid sepertimu!"
Tertampak pancaran kekaguman yang tulus dari seorang guru kepada muridnya.
Untuk pertama kalinya Joko keling melihat gurunya mengucapkan kata-kata tulus
seperti itu, bahkan dengan sorot mata kebahagiaan, tanpa dapat dicegah lagi,
pemuda itu berlutut di hadapan gurunya, dan itu pun juga untuk pertama kalinya
dia lakukan. "Terima kasih, terima kasih Guru! Maafkan muridmu yang tolol ini!" Ini untuk
pertamakalinya pula ia menyebut 'Guru' pada kakek itu.
"Sudah, ayo bangkit!" guru tua itu membimbing sang murid bangkit berdiri.
Sementara itu, pemuda pilihan dari Lembah Badai itu sedang berdiri termangu-
mangu, pandangan matanya tertuju pada lukisan kepala elang yang ada di tengah-
tengah pintu. "Aneh! Lukisan itu hampir sama dengan rajah yang ada di dahiku. Aku yakin ini
pasti ada hubungannya." Katanya dalam hati.
Paksi perlahan mendekati pintu Ruang Pustaka, mendekati tiga langkah dari pintu,
seolah sengaja tak sengaja tangan kanannya menarik lepas ikat kepala merah yang
melingkar di kepalanya. Mata tertampaklah sebentuk lukisan kepala elang putih
yang bentuk dan rupanya sama persis dengan lukisan kepala elang yang ada di
pintu Ruang Pustaka itu. Mendadak, sepasang lukisan elang yang sama rupa dan sama warna itu bersinar
secara bersamaan. Cahaya putih terang! Beberapa saat kemudian, cahaya putih terang mulai memudar dan secara ajaib,
ointu Ruang Pustaka terbuka dengan sendirinya, seolah ada tangan-tangan gaib
yang membukakan pintu dengan selebar-lebarnya.
Krieet! Grakkh ... ! Rupanya penunggu gaib Ruang Pustaka mengetahui pemilik syah Rajah Elang Putih
yang juga merupakan penguasa tunggal Istana Elang sedang berkunjung.
"Ketua, silahkan masuk." kata Kura-kura Dewa Dari Selatan dengan sopan. Kura-
kura Dewa Dari Selatan menyebut pemuda berikat kepala merah sebagai ketua, tentu
saja membuat Paksi terperanjat kaget.
"Ketua?" "Ya, sekarang andalah Ketua Istana Elang generasi ke-33. Sebenarnya ketua diajak
berkeliling seluruh ruangan di Istana Elang ini, selain untuk mengenal lebih
jauh tentang Istana Elang itu sendiri, juga sebagai salah satu bentuk ujian yang
harus ketua hadapi adalah Ruang Pustaka, untuk menguji keaslian dan kemurnian
Rajah Elang Putih. Jadi, maafkan saya karena tidak memberitahukan hal ini
sebelumnya kepada Ketua."
Tahulah Paksi Jaladara sekarang apa maksud tutur kata dari salah seorang Empat
Pengawal Gerbang Istana Elang itu. Suka tidak suka dan mau tidak mau, entah
sekarang atau pun besok, pada akhirnya pula ia harus memikul tanggung jawab itu.
"Jika aku masuk ke dalam, lalu bagaimana dengan yang ada disini?"
"Tentu itu tergantung dari kebijaksanaan ketua sendiri."
Paksi Jaladara berpikir sejenak. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya terucaplah
sebuah kata dari mulutnya, "Kalau begitu ... kita masuk bersama."
"Baik, jika itu perintah dari ketua."
Maka, dengan beriringan dua orang tokoh tua rimba persilatan dan dua orang muda
usia memasuki Ruang Pustaka. Begitu melangkah masuk, pintu itu menutup dengan
sendirinya. Ruang Pustaka ternyata cukup luas dan lega bahkan cukup untuk menampung dua
ratus orang pun sekaligus. Lantainya bening mengkilap hingga nampak bayangan
orang waktu berjalan diatasnya, seolah sedang berjalan di atas air.
Dinding ruangan dibuat dari batu-batu alam yang memiliki nilai seni tinggi.
Masing-masing dinding mempunyai karakteristik tersendiri.
Dinding sebelah utara berhiaskan senjata-senjata mantan ketua Istana Elang.
Menurut Sang Air, itu adalah senjata yang didapat dari mengalahkan lawan tangguh
atau pemberian dari tokoh-tokoh sakti. Setiap ketua diperbolehkan untuk
menggunakan senjata-senjata itu sebagai alat pelengkap diri. Ada yang berbentuk
tombak pendek, lembing, golok, pisau berlekuk, keris, bahkan tambur berbahan
kulit badak pun juga ada.
Dinding timur berwarna biru gelap dipenuhi dengan alat-alat musik, seperti
kecapi, sitar, seruling, dan lain-lain, juga dipenuhi oleh lukisan para ketua
yang kini telah mangkat. Sinar terang memantul dari dinding sebelah selatan yang
berwarna biru muda, tertumpuk puluhan kitab-kitab pusaka, terdiri dari kitab
silat, kitab golok, kitab tenaga dalam, kitab pengobatan dan lain sebagainya.
Semua kitab yang terbuat dari daun lontar tersusun rapi berderet-deret.
Sementara dinding sebelah barat berwarna hijau teduh yang berasal dari batu giok
raksasa yang dihancurkan dan dijadikan campuran dinding, terdapat silsilah dari
Istana Elang, termasuk Empat Pengawal Gerbang beserta pewarisnya juga ikut
tertulis disitu. Yang membuat Paksi Jaladara kaget adalah namanya tertera pada
silsilah itu dan terdapat garis lurus warna putih yang berhubungan dengan si
Elang Berjubah Perak yang bernama asli Ki Wisnupati.
"Kek, itu ... "
"Ketua tidak perlu heran, setiap pewaris yang dipilih akan tertulis dengan
sendirinya di dinding sebelah barat."
"Saya paham. Terus, apa arti dari garis putih itu?"
"Garis putih memiliki arti bahwa calon pewaris dipilih sejak ia masih dari
kandungan. Jika garis warna merah berarti pewaris dipilih setelah dewasa. Hal
itu berlaku juga bagi para pewaris ilmu Pengawal Gerbang yang lain. Arjuna
misalnya, dia memiliki garis merah, itu artinya dia dipilih ketika dia sudah
dewasa," tutur Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Betul! Dulunya aku tidak punya rajah itu. Aku tahu punya rajah itu dua purnama
sebelum berkelahi dengan seekor ular sanca besar dan ditolong oleh kakek." kata
Joko Keling, " ... pada mulanya kukira kena penyakit kulit, tak tahunya ... "
Took! Kepalanya langsung bertelur bundar karena di jitak dengan manis oleh gurunya.
Pun masih ditambahi dengan rasa pening dan mata berkunang-kunang.
"Bocah sial! Dikasih gambar bagus malah dibilang penyakit kulit! Sini kan
kepalamu, biar kutambah satu telur lagi!"
"Ampun kek! Ampun ... !" teriak Joko Keling seraya berusaha menghindar dari
ketokan gurunya. Namun tangan kakek itu seolah mempunyai mata, kemana pun Joko Keling berkelit,
selalu tangan kurus itu selalu dapat mengikutinya, setelah berkutatan cukup
lama, akhirnya ... Took! Kena juga kepala pemuda itu diketok untuk kedua kalinya.
"Ha-ha-ha! Kau tidak mungkin bisa menghindar dari jurus ketokanku, bocah! Ha-ha-
ha!" Semua orang tertawa melihat wajah Arjuna yang meringis-ringis kesakitan sambil
meraba-rba kepalanya yang punya dua telur bundar diatasnya.
"Kakek, sudahlah! Kasihan ... " iba juga Paksi Jaladara melihat ringisan Joko.
"Tenang! Aku pun juga sudah puas!"
Begitulah, suasana di Ruang Pustaka yang semua lengang kini menjadi ramai oleh
riuh tawa mereka berempat.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Belas
Satu bulan berlalu tanpa terasa ...
Paksi Jaladara seorang diri berada di Ruang Pustaka sambil memandangi dinding-
dinding itu dengan seksama. Di dinding sebelah timur terdapat puluhan mungkin
ratusan macam jenis alat-alat musik. Hanya sebentar saja ia melihat-lihat,
karena pada dasarnya memang tidak paham alat-alat semacam itu, paling banter ia
hanya paham cara meniup seruling saja sedangkan tinggi rendahnya nada cuma
sekedar tahu saja. "He-he-he, dari sekian alat musik, hanya meniup seruling saja yang bisa
kulakukan." Setelah itu ia berjalan menuju ke dinding sebelah selatan dimana terdapat rak-
rak kitab pusaka yang tersusun rapi. Setiap satu ukuran rak kecil tersimpan satu
jilid kitab. Deret pertama berisi kitab-kitab ilmu pengobatan, deret kedua
berisi kitab-kitab ilmu silat beraneka ragam termasuk keterangan asal-usul kitab
tersebut. Diambilnya secara acak salah satu kitab lusuh yang dimana sampulnya
tertulis 'Ha Na Ca Ra Ka', lalu dibuka-bukanya sebentar.
"Tidak ada yang menarik disini," batinnya. " ... lagi pula tulisannya aku juga
tidak begitu paham. Semua menggunakan huruf Jawa Kuno."
Lalu diletakkannya kembali kitab itu ditempat semula. Paksi Jaladara tidak tahu
bahwa kitab 'Ha Na Ca Ra Ka' merupakan salah satu kitab paling langka yang
puluhan tahun silam menjadi buruan kaum persilatan hingga mengakibatkan
pertumpahan darah dimana-mana. Hingga pada akhirnya jatuh ke tangan si Elang
Berjubah Perak, lalu disimpan rapat di dalam Ruang Pustaka, karena memang
bertujuan untuk meredam gejolak saat itu, maka lambat laun kegemparan yang
diakibatkan perebutan kitab 'Ha Na Ca Ra Ka' itu hilang dengan sendirinya.
Dari semua deret kedua rak kitab silat tidak diketemukannya kitab 'Ilmu Silat
Elang Salju'. Diperiksanya kembali seluruh rak-rak kitab itu, tapi tidak ada
satu pun yang menyinggung kitab yang dicarinya. Bahkan sampai dibolak-balik
berulang kali tetap juga tidak ketemu.
"Apa mungkin dideret yang lain, ya?" gumamnya, " hmmm ... lebih baik kutanyakan
saja nanti pada kakek kura-kura."
Kemudian Paksi Jaladara menuju ke dinding sebelah barat dimana terdapat silsilah
sejarah dan silsilah 33 orang ketua dari Istana Elang. Dimulai dari ketua yang
pertama, Ki Tapa Geni yang bergelar Hakim Jujur Berwajah Besi, lalu ketua
generasi ke - 2 dan seterusnya, hingga pada akhirnya sampailah pada generasi ke
- 32, si Elang Berjubah Perak. Dibawahnya persis tertulis nama dirinya sebagai
ketua generasi ke - 33. Paksi Jaladara membaca seluruh silsilah dengan seksama, bahkan silsilah Empat
Pengawal Gerbang Utama juga ikut dibacanya dengan maksud untuk mencari para
pewaris dari Empat Pengawal Gerbang Utama yang masih tercecer, kecuali pewaris
dari Sang Air, yaitu Arjuna Sasrabahu alias Joko Keling. Setelah mencatat dalam
ingatan siapa saja nama pewaris Empat Pengawal Gerbang Utama, Paksi Jaladara
menuju ke dinding berikutnya.
Dinding sebelah utara berhiaskan ribuan senjata-senjata sakti, semuanya disusun
dengan rapi dan tampak terawat dengan baik. Ada deret pedang terdapat berbagai
macam jenis pedang dimana terdapat pedang pendek, pedang panjang meski kalah
panjang dengan Pedang Samurai Kazebito milik mendiang Sasaki Kojiro, bahkan ada
pedang bermata dua yang bernama Pedang Dua Ular milik Raja Ular Hitam.
"Kalau menggunakan pedang seperti ini, pasti membutuhkan tenaga dalam yang cukup
besar," katanya sambil menimang-nimang pedang bermata dua, lalu diletakkannya
kembali. Dia beralih ke deret tombak, lalu terus deret tongkat panjang, begitu seterusnya
hingga akhirnya sampai pada deret golok di paling ujung. Di dunia persilatan
banyak sekali beraneka ragam bentuk golok, namun di deret golok yang ada Ruang
Pustaka hanya ada empat jenis. Dua golok yang bentuknya lurus dengan satu mata
tajam, satu golok yang bentuknya melengkung seperempat lingkaran. Dan yang
terakhir susah disebut dengan golok, karena besar dan lebar hanya satu jengkal
tangan dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dengan pegangan golok hanya


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbentuk cerukan lima jari tangan berada tepat ditengah-tengah lengkungan.
Tepinya berwarna putih mengkilap sebagai sisi tajam dan sisi sebelah dalam warna
gelap kehitaman dan agak kasar bila diraba, termasuk pula cerukan lima jari
tangan, namun ukuran lima lubang dibuat cukup halus.
Tidak ada keterangan apa pun tentang senjata aneh itu, baik nama atau pemilik
dari senjata yang panjangnya cuma sejengkal itu!
Paksi Jaladara mengambil salah satu golok aneh tadi, karena memang jumlahnya ada
sepasang. "Mungkin cara pakainya begini," gumam Paksi Jaladara sambil memasukkan lima jari
tangan kanannya ke dalam cerukan kecil yang ada di tengah lingkaran, " ... Hemm,
nyaman juga." Dicobanya mengibaskan senjata aneh itu secara acak ke segala arah. Saat
digerakkan terdengar seperti suara daging yang disayat dengan pisau tajam.
Sriit! "Wah, hebat! Dengan bentuk sekecil ini, ternyata bisa menghasilkan suara seperti
sayatan pisau," gumamnya. "Coba kupakai kedua-duanya."
Kemudian Paksi Jaladara mengambil satunya dan di pakai ditangan kiri.
Pas sekali! Dicobanya lagi mengibas-ngibaskan ke sana kemari, kadangkala digesek-gesekkan
satu sama lain. Maka terjadilah hal yang cukup menakjubkan, kadang muncul suara
decitan tajam bagai angin yang terbelah, kadang muncul suara seperti sayatan
daging yang dipotong dengan pisau tajam, ada kalanya pula keluar bunga api
kecil-kecil saat sepasang golok berbentuk bulan sabit itu saling diadu.
Trriik! Triing ... !! Criing!!
Paksi Jaladara memandangi kedua golok aneh di tangannya itu.
"Coba kalau kugunakan Ilmu 'Mengendalikan Badai', hasilnya bagaimana ya" Tapi
ruangan ini terlalu sempit, lebih baik aku ke dekat kolam saja." gumam Paksi
Jaladara. Lalu pemuda itu keluar dari Ruang Pustaka, lalu berjalan lambat-lambat sembari
menimang-nimang benda aneh itu. Beberapa saat, sampailah dekat tepi kolam yang
berair jernih. Setelah tengok kanan tengok kiri untuk memastikan bahwa tidak ada
orang di sekitar tempat itu, pemuda yang kini secara resmi menjabat ketua Istana
Elang segera melemparkan sepasang golok aneh itu ke arah yang berlawanan.
Swiing ... sritt!! Dua bayangan berkelebat cepat ke sisi kanan kiri dengan laksana kilat, namun
anehnya kedua benda bergerak seolah ada tangan gaib yang menggerakkan dengan
lincah mengikuti arah telunjuk Paksi Jaladara. Kemana pun dua telunjuk itu
bergerak, maka dua bayangan itu juga mengikuti arah yang sama secara bersamaan
pula. Setelah beberapa saat menggerakkan dua golok itu secara serampangan, terbersit
pikiran cemerlang dari anak muda itu. Lalu tampaklah sepasang golok berbentuk
lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di tengahnya bergerak dalam
aturan-aturan tertentu. Sekilas nampak pemuda itu menggunakan jurus pedang
aliran Partai Matahari Terbit yang bernama 'Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat'
untuk menggerakkan sepasang golok lengkung, karena memang dari semua ilmu yang
dimilikinya, hanya jurus pedang itulah yang dikuasainya.
Itupun hanya satu jurus pedang!
"Hemm ... kalau begini saja, kelihatan kurang bagus!" pikirnya, "lebih baik aku
tambah tenaga dalamku hingga empat bagian dan kuubah arah menjadi berlawanan ...
" Seiiring dengan pemikirannya, tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke
arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.
Sett ... reett!! Sekarang suara gesekan udara semakin keras menyayat, laksana ratapan hantu di
siang bolong. Semakin cepat, suara sayatan semakin membuat gendang telinga
laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Dalam gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang
berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan
kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayang putih kehitaman,
sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan
jurus yang sama. Hingga tampak dua bayangan yang seolah saling berkejaran.
Itulah Ilmu 'Mengendalikan Badai', sebuah ilmu yang bisa mengendalikan benda apa
pun sesuai dengan keinginan pemilik ilmu tersebut.
Air di kolam nampak semburat kemana-mana terkena gesekan udara yang tersayat
oleh golok itu, saat salah satu dari golok itu nampak menghunjam ke dalam kolam,
lalu muncul kembali diikuti dengan semburat tiang air setinggi beberapa tombak.
Pyarr ... ! Dari arah ketinggian salah satu golok lengkung itu bergerak cepat membentur
dengan sisi tajam golok yang saat itu baru muncul dari kolam. Terjangan keras
pun terjadi. Rrrtt ... Critt ... ! Crriing!! Triing ... !!
Terdengar suara dentingan nyaring diikuti dengan percikan bunga-bunga api yang
berterbangan. Mendadak sepasang golok itu berputaran ke atas, lalu melayang
cepat ke Paksi Jaladara! Sutt! Sutt ... ! Tapp! "Jurus yang bagus!" seru seseorang yang berjalan keluar dari balik rerimbunan pohon
perdu. Di kepalanya mengenakan tempurung kura-kura sebagai caping dengan balutan
baju hijau serta alat pancing di tangan kanannya. Siapa lagi jika bukan Kura-
Kura Dewa Dari Selatan adanya. Memang sedari tadi, ia sudah ada disitu,
menikmati keindahan alam sambil memancing ikan yang ada di kolam. Tak terduga
bahwa ia melihat Paksi Jaladara sedang berlatih ilmu ditempat itu.
"Oh ... kakek, kukira siapa?"
"Maaf, Nakmas Paksi, kalau saya sedikit mengagetkan tadi. Saya tadi sedang
memancing ikan di tepi kolam sebelah sana, dekat rerimbunan perdu itu." kata
kakek itu sambil menunjuk ke tempat darimana ia tadi muncul.
"Tidak apa-apa kek, justru kebetulan sekali ketemu kakek di tempat ini ... "
ucap Paksi Jaladara, lalu sambungnya, " ... padahal rencananya saya mau ke Graha
Air untuk menanyakan sesuatu kepada kakek."
"Apa itu Nakmas?"
"Saya mau menanyakan ini kek."
Paksi Jaladara mengangsurkan benda yang berada di tangannya, sembari duduk
ditepi kolam diikuti dengan kakek itu. Benda yang diangsurkan ternyata sepasang
golok aneh melengkung dengan lima cerukan jari tangan dtengahnya.
"Darimana Nakmas menemukan senjata itu?" tanya kakek berbaju hijau itu, sembari
meneliti golok itu dengan seksama.
"Dari deret golok paling ujung, saya menemukan senjata ini. Memangnya ada apa
dengan senjata ini?"
"Sebetulnya senjata ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Ki Wisnupati."
"Secara tidak sengaja?"
"Benar! Waktu itu di langit malam, bulan sedang bertengger berbentuk sabit, Ki
Wisnupati sedang berenang di kolam ini berdua dengan saya. Waktu itu beliau
masih muda sekali, baru beberapa tahun menjabat sebagai ketua. Saat di tengah
kolam, ia melihat suatu bayangan cahaya berkilauan berbentuk bulan di dasar
kolam ini," kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, sambil menunjukkan tengah kolam
itu, " ... pada mulanya Ki Wisnupati mengira bahwa itu cuma pantulan cahaya
bulan ke dalam kolam saja. Namun setelah berulangkali berenang bolak-balik,
ternyata bayangan sinar itu masih tetap saja berada pada tempatnya, tidak
bergerak meski dicobanya membuat percikan-percikan air. Karena penasaran, saya
dan Ki Wisnupati menyelam ke arah dasar kolam dan menemukan sepasang senjata
ini." Paksi Jaladara mengangguk-anggukan kepalanya.
"Jadi, kolam ini merupakan kolam alam ya, kek?"
"Betul, kolam ini sudah ada sebelum Istana Elang dibangun oleh Ki Tapa Geni.
Dari sekian banyak ketua, hanya Ki Wisnupati yang senang berlama-lama di kolam
ini." ucap pemilik Graha Air, lalu lanjutnya, "Kemudian, oleh Ki Wisnupati
senjata ini disimpan dalam Ruang Pustaka, beliau berkata bahwa senjata berbentuk
aneh ini sulit digunakan sebagai pelengkap ilmu silat, tapi jika sebagai senjata
gelap atau rahasia juga kurang menarik karena bentuknya terlalu besar untuk
ukuran senjata gelap."
Kembali Paksi Jaladara mengangguk-anggukkan kepalanya. Otaknya berusaha mencerna
setiap perkataan dari kakek tua disampingnya.
"Tadi sewaktu saya sedang memancing, saya melihat Nakmas Paksi menggunakan
senjata ini," kata kakek itu sambil mengangsurkan kembali golok aneh itu, " ...
rasanya senjata berbentuk bulan sabit ini cocok untuk digunakan seperti jurus
yang barusan." "Betul, kek! Saya sendiri juga sudah merasa nyaman. Disamping bentuknya yang
kecil sehingga tidak menyolok dilihat orang, penggunaan jurus atau pun tenaga
dalam juga tidak ada bermasalah. Lagi pula saya tidak ingin memamerkan apa yang
saya miliki pada orang lain."
"Pemikiran yang bijaksana! Saya setuju dengan hal itu," kata kakek bercaping
kura-kura itu, " ... lalu, akan diberi nama senjata berbentuk bulan sabit itu?"
"Nama ... ?" gumam Paksi Jaladara.
"Setiap senjata memiliki nama, orang pun juga memiliki nama. Saya kira tidak ada
salahnya jika kita memberi nama untuk sesuatu yang kita miliki."
Otak Paksi Jaladara mengingat-ingat semua yang diceritakan oleh Pengawal Gerbang
Selatan tentang golok aneh yang ditemukan di dasar kolam alam, bahkan jurus-
jurus yang baru saja ia gunakan tak luput singgah di otaknya tentang kelebat
golok yang saling berkejaran di angkasa.
"Bagaimana jika ... Golok Terbang Mengejar Bulan?" usul Paksi Jaladara, " ...
sebab jika diberinama Golok Bulan Sabit, rasanya lucu sekali dan juga terlalu
hebat sedangkan bentuk dan ukuran senjatanya kecil mungil saja. Menurut kakek
bagaimana?" "Hmmm, Golok Terbang Mengejar Bulan ... ?" kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan
sambil meraba-raba jenggotnya yang cuma beberapa gelintir itu.
"Atau kakek punya nama yang lain?" pemuda itu bertanya.
"Oh, tidak ... tidak! Nama itu sudah bagus! ... " sahut Kura-Kura Dewa Dari
Selatan setelah merenung beberapa saat," ... sebab nama Golok Sakti Bulan Sabit
saat ini digunakan oleh seorang tokoh aliran putih yang bergelar Dewa Golok.
Jadi, jika ada nama senjata yang sama, orang akan kesulitan membedakan Golok
Bulan Sabit yang mana" Yang kecil apa yang besar?"
"Ha-ha-ha, kakek bisa-bisa saja. Tapi, ada lagi yang ingin saya tanyakan pada
kakek." "Boleh, silahkan saja."
"Ini perihal kitab 'Ilmu Silat Elang Salju' ... " tanya Paksi Jaladara dengan
hati-hati. " ... kenapa tidak ada di deret-deret kitab?"
"Oh, itu ... memang kitab itu tidak terdapat di deret kitab di Ruang Pustaka,
karena memang sengaja tidak ditulis dalam bentuk kitab melainkan diwariskan
secara gaib," sahut Kura-Kura Dewa Dari Selatan, setelah menghela nafas sejenak,
sambungnya, " ... hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dari ilmu ini
saja. Lagipula 'Ilmu Silat Elang Salju' memang diperuntukkan hanya untuk calon
ketua atau ketua saja. Sedang kitab-kitab yang lain boleh dipelajari oleh siapa
saja." "Begitu rupanya."
"Kapan Nakmas Paksi akan berangkat?" kata kakek itu mengalihkan pembicaraan.
"Jika tidak ada halangan, mungkin saja akan berangkat besok pagi bersama dengan
Kakang Joko Keling," kata Paksi Jaladara, lanjutnya, " ... tapi sebelumnya
selain Dua Istana, Tiga Wisma, Empat Benteng, Lima Perguruan dan Partai,
bagaimana dengan para tokoh rimba persilatan saat ini, mungkin bisa menjadi
bekal bagi saya jika turun gunung besok pagi."
"Baiklah, kukira tidak ada jeleknya jika Nakmas tahu."
Pada saat ini, banyak bermunculan jago-jago muda yang kebanyakan juga dari
perkumpulan silat ternama seperti dari Istana Rumput Maut keluar seorang jago
muda yang bergelar si Pedang Awan Terbang yang juga merupakan murid utama dari
partai tersebut. Dari Wisma Samudera keluar seorang jago muda yang berjuluk
Tombak Perak Tapak Maut yang merupakan murid tunggal dari Majikan Wisma
Samudera, sedangkan putrinya yang menyebut diri sebagai Gadis Naga Biru saat ini
masih digembleng oleh ayahnya. Namun menurut kabar angin, gadis ini pun juga
sudah menamatkan pelajaran silatnya dan turun gunung serta ikut meramaikan rimba
persilatan. Lalu ada Sepasang Naga Dan Rajawali dari Benteng Dua Belas Rajawali yang
merupakan murid utama dari pasangan tokoh golongan putih Rajawali Alis Merah dan
Naga Sakti Berkait, yang mana sebenarnya Sepasang Naga Dan Rajawali adalah anak
kembar dari Ki Gentar Swara selaku Majikan Lembah Sunyi, yang kemudian diangkat
murid oleh Rajawali Alis Merah dan Naga Sakti Berkait karena mereka berdua tidak
memiliki seorang anak pun meski sudah menikah puluhan tahun.
Singa Jantan Bertangan Lihai dari Padepokan Singa Lodaya yang juga paman dari
Paksi Jaladara dari garis ibu yang sudah malang melintang cukup lama di rimba
persilatan sejak usianya masih belasan tahun. Belum lagi dengan tokoh-tokoh
kelas wahid yang mengasingkan diri tidak terhitung jumlahnya dan juga tokoh
kosen tanpa nama cukup banyak bertebaran di dunia persilatan. Ada yang benar-
benar mengasingkan diri, ada pula yang mendalami ilmu-ilmu baru seperti halnya
Sepasang Kupu-Kupu Besi yang mendalami 'Racun Kembang Patah Hati', ada pula yang
sedang mendidik murid-muridnya di tempat yang sunyi sepi dan suatu saat akan
keluar untuk menggegerkan jagad persilatan.
Belum lagi dengan Cakar Iblis Taring Serigala yang merupakan pentolan dari
Gerombolan Serigala Iblis yang juga murid kedua dari Ratu Sesat Tanpa Bayangan.
Sebenarnya murid Ratu Sesat Tanpa Bayangan berjumlah tiga orang, yang dua orang
sudah tewas saat terjadi penyerangan ke Padepokan Singa Lodaya karena
memperebutkan Pusaka Rembulan Perak, yaitu Serigala Hitam Bermata Tunggal dan
Tangan Kilat Kaki Bayangan. Oleh gurunya, Cakar Iblis Taring Serigala digembleng
kembali untuk meningkatkan ilmu silat dan 'Tenaga Sakti Serigala Iblis'-nya.
Sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan Gerombolan Serigala Iblis makin menggila,
bahkan dari kabar terakhir mereka berhasil menjalin hubungan dengan Benteng
Tebing Hitam. "Pada saat ini gelar pendekar persilatan dipegang seorang tokoh sakti yang
bergelar Pendekar Gila Nyawa," tutur kakek itu.
"Pendekar Gila Nyawa" Aneh sekali namanya ... "
"Perlu Nakmas ketahui, bahwa hanya satu orang yang boleh menyandang gelar
Pendekar Nomor Satu Dunia Persilatan dan perebutan gelar tersebut dilakukan
setiap tiga puluh tahun sekali."
"Wah ... lama sekali!"
"Jika tidak salah perhitunganku, dua bulan dari sekarang, perebutan gelar
tersebut akan dilakukan di puncak Gunung Tiang Awan."
"Apakah Pendekar Gila Nyawa juga akan hadir di tempat itu, kek?"
"Tentu saja, sebab setiap orang yang ingin mendapat gelar kehormatan ini, tak
peduli dari golongan putih maupun golongan hitam harus bisa mengalahkan Pendekar
Gila Nyawa." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan. "Perlu diketahui pula, bahwa
setiap pesilat harus mengalahkan para pesaingnya terlebih dahulu. Begitu
seterusnya hingga akhirnya harus melakukan tarung penentuan dengan pemegang
gelar pendekar rimba persilatan."
"Jika boleh saya tahu, siapakah lawan terakhir dari Pendekar Gila Nyawa saat
itu?" "Dari kabar yang kusirap di luaran, lawan terakhirnya adalah Dewa Golok yang
juga ketua Perguruan Golok Sakti dan seorang dalang muda yang berjuluk Si
Pemikul Gunung. Saat itu si Gila Nyawa malah langsung bertarung dengan dua lawan
tangguh sekaligus, namun akhirnya pada akhirnya dua lawan tangguh itu harus
takluk dibawah ilmu silatnya." kata Kura-Kura Dewa Dari Selatan, "meski tidak
tewas, namun Dewa Golok dan Si Pemikul Gunung harus mendapat jejak luka yang
sangat parah akibat terkena 'Pukulan Pelebur Raga' dari Si Gila Nyawa."
Paksi Jaladara mendengarkan semua apa yang diceritakan oleh kakek itu dengan
seksama. "Begitu pentingkah gelar pendekar itu ... ?" kata Paksi Jaladara. " ... Jika
yang menyandang gelar pendekar tapi bukan berjiwa pendekar, mungkin dunia akan
penuh dengan kekacauan karena merasa tanpa tanding, tanpa lawan sehingga bisa
mengumbar nafsu angkara murka. Bertindak adigang adung adiguna."
"Betul apa kata Nakmas Paksi ... " sahut kakek itu, " ... lebih baik bukan
pendekar tapi berjiwa pendekar daripada pendekar tapi bukan berjiwa pendekar."
Pengawal Gerbang Selatan kagum sekali dengan sikap bijaksana ketuanya masih muda
itu. Jarang ditemui jago muda yang memahami sifat kependekaran yang sejati. Pada
umumnya jago-jago muda yang baru saja turun gunung mudah sekali bangga dengan
apa yang dimilikinya saat ini, merasa hebat sehingga memandang rendah setiap
insan manusia, merasa dirinya paling jago di jagat ini. Mereka lupa bahwa diatas
langit masih ada langit, di atas jago masih ada jago yang lebih jago.
Pada keesokan harinya, Paksi Jaladara dan Arjuna Sasrabahu turun gunung. Setelah
membekali diri dua anak muda itu dengan wejangan dan nasehat yang bermanfaat,
Kura-Kura Dewa Dari Selatan dan Tabib Sakti Berjari Sebelas mengingatkan tujuan
utama mereka berdua turun ke rimba persilatan, yaitu untuk mencari para pewaris
dari Tiga Pengawal Gerbang Utama yang lain sekaligus mengamalkan ilmu yang
mereka miliki untuk menolong siapa saja yang membutuhkan.
Tak lupa Ki Gedhe Jati Kluwih mengingatkan Paksi Jaladara tentang munculnya


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemilik Rajah Penerus Iblis, supaya berhati-hati dalam menghadapi para pemilik
rajah setan ini. Jika memungkinkan untuk bisa menghancurkan rajah setan itu
tanpa harus melukai atau membunuh pemiliknya.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Belas
Air terjun ... Air mengalir dari ketinggian, kemudian air jatuh ke bawah menghasilkan suara
gemuruh yang memekakkan telinga. Akan tetapi dibalik suara yang keras
menggelegar itu, tersimpan suatu keindahan yang tiada duanya. Dedaunan yang
terkena percikan air bergoyang-goyang memunculkan irama kehidupan. Burung walet
pun beterbangan sambil sesekali menyambar ke atas air, berkelebatan membelah
angin. Beberapa ekor kadal berwarna kelabu kehijauan nampak bertengger di atas bebatuan
sambil menikmati sentuhan sang surya di kulitnya yang licin mengkilat. Beberapa
diantara nampak berloncatan dari atas tebing dan meluncur dengan cepat mengikuti
arus air terjun, kemudian menyelam untuk beberapa saat dan akhirnya muncul dari
cerukan air yang cukup dalam dan akhirnya berenang ke tepian. Adapula yang hilir
mudik berenang di telaga yang jernih itu.
Pada umumnya kadal memiliki ukuran sebesar ujung jari manusia, tapi berbeda
dengan kadal yang menghuni sekitar air terjun ini. Ukurannya jauh lebih kecil
dari kadal pada umumnya, tapi sedikit lebih besar dari cecak dengan bentuk
kepala yang gepeng menyerupai ular sanca. Namun yang luar biasa adalah panjang
badannya yang seperti ular, sekitar satu tombak serta dihiasi dengan sisik-sisik
mirip ular yang berkilauan saat tertimpa sinar matahari. Di saat melayang di
udara, perutnya mengempis dengan sedemikian rupa hingga menyerupai bilah bambu
yang dibelah tipis dengan delapan kaki yang saling merapat ke badan.
Yang paling unik dari binatang ini adalah matanya berjumlah tiga!
Itulah binatang istimewa yang bernama Kadal Ular Berbisa Mata Tiga. Jangan
ditanya bagaimana kehebatan racunnya, sekali tergigit kadal ular jika dalam
sepeminuman teh tidak mendapatkan penawarnya bisa mengakibatkan kematian.
Kumpulan binatang unik itu memang bukan satwa liar pada umumnya, tapi peliharaan
seorang tokoh kosen yang menghuni goa di balik air terjun, seorang tokoh yang
kemana-mana selalu membawa kitab kumal dan bertongkat bambu berwarna hitam
kebiruan. Siapa lagi tokoh dengan ciri khas unik seperti itu jika bukan si Kutu
Buku Berbambu Ungu, yang beberapa tahun belakangan ini lebih banyak mengasingkan
diri dari pada berkeliaran di rimba persilatan.
Si Kutu Buku Berbambu Ungu sebenarnya tidak memiliki tempat tinggal yang tetap,
dia bisa tinggal dimana saja dengan beralas bumi dan beratap langit sudah cukup
baginya. Namun pada akhirnya, karena usia yang sudah semakin menaik, mendekati
usia senja membuat dirinya memutuskan untuk menetap di suatu tempat tertentu.
Pada akhirnya dia memutuskan untuk menetap di goa di balik air terjun itu
setelah sebelumnya menghadiri pengangkatan ketua baru Perguruan Gerbang Bumi.
Meski bukan termasuk dari Lima Perguruan dan Partai terkenal rimba persilatan,
tapi ketua lama Perguruan Gerbang Bumi adalah sahabat karibnya ketika masih
kecil, bisa dikatakan seperti saudara sendiri. Kaum persilatan menjulukinya Si
Harimau Buas yang kondang dengan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi'-nya.
Oleh Si Harimau Buas, si Kutu Buku Berbambu Ungu disarankan agar menempati
tempat mereka bermain-main waktu kecil dahulu, tepatnya pada goa di balik air
terjun yang masih berada di wilayah Perguruan Gerbang Bumi. Selain bisa bertemu
kapan saja juga sekalian merawat tempat yang begitu indah rupawan agar tidak
rusak. Bahkan beberapa ekor Kadal Ular Berbisa Mata Tiga ikut berpindah ke
tempat itu sebagai hewan peliharaannya. Kakek bertongkat bambu menyetujui saja,
dan begitulah sejak saat itu terdapat penghuni baru lengkap dengan hewan
peliharaannya. Dua tahun kemudian, si Kutu Buku Berbambu Ungu menemukan tubuh pingsan gadis
remaja akibat terkena gigitan kadal peliharaannya. Akhirnya, gadis berusia dua
belasan tahun bernama Rintani itu diambil menjadi anak angkat sekaligus sebagai
murid penutup untuk mewarisi ilmu silat dan jurus tongkat ciptaannya yang
bernama 'Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang' agar tidak musnah dibawa mati. Sejak
saat itu bertambah satu lagi penghuni baru di tempat itu.
Begitulah, sepuluh tahun pun berjalan tanpa terasa. Kadal Ular Berbisa Mata Tiga
yang pada mulanya berjumlah beberapa ekor itu kini menjadi ratusan ekor
jumlahnya. Jika bulan purnama penuh, telaga itu akan berubah menjadi tempat
pesta pora dari kawanan kadal badan panjang itu. Semua tumpah ruah menjadi satu.
Tak peduli besar kecil dan tua muda, bahkan kadal betina yang sedang mengerami
telurnya pun akan menyempatkan diri untuk menikmati indahnya sinar bulan.
Rintani pun tumbuh menjadi gadis cantik berkulit sawo matang dengan postur tubuh
padat berisi. Meski wajah cantiknya biasa saja seperti gadis kebanyakan, dengan
tubuh tinggi semampai serta potongan tubuh yang cukup sempurna. Mata bulat
dengan dihiasi hidung mancung serta sepasang alis cukup tebal dan gigi putihnya
berbaris rapi. Bibirnya yang tipis merah merekah tanpa pemerah bibir ditingkahi
dengan sebentuk tahi lalat kecil di pipi kiri menambah kemanisannya. Rambut
hitam kelam yang adakalanya diikat ekor kuda sehingga memperlihatkan leher
jenjangnya. Ibarat bunga yang sedang mekar-mekarnya, sehingga nampak sedap
dipandang mata. Kesukaannya memakai pakaian serba coklat sehingga nampak serasi
dengan kulitnya yang sawo matang.
Berbeda dengan kakek bertongkat bambu berwarna hitam kebiruan, usianya juga
sudah semakin tua, ibarat lentera sudah kehabisan minyak semakin hari semakin
payah saja. Meski begitu, semangatnya masih kuat. Saat usianya mendekati delapan
puluh tahun, kakek itu tanpa sengaja menemukan khasiat lain dari hewan
peliharaannya. Tubuh yang semula sering sakit-sakitan, kadang sering pingsan
tanpa sebab berubah menjadi sehat setelah tanpa sengaja memakan sebutir telur
kadal! Waktu itu tubuhnya kadang panas kadang dingin selama tiga hari berturut-turut,
bahkan dia pernah berpikir mungkin seperti itulah rasanya jika orang mau mati.
Pada hari keempat dia pingsan setengah harian, hingga membuat Rintani kelabakan,
bahkan si Harimau Buas yang pada saat itu sedang berkunjung ke tempat itu karena
mendengar sahabatnya menderita sakit panas dingin, sudah menduga kalau temannya
pasti menelan telur kadal ular.
Bekas ketua Perguruan Gerbang Bumi tahu betul apa akibat menelan telur kadal
ular itu, sedangkan dirinya saja akan berpikir ribuan kali jika disuruh menelan
telurnya apalagi sampai memakan daging Kadal Ular Berbisa Mata Tiga.
Rintani dan si Harimau Buas menunggui tubuh pingsan si Kutu Buku Berbambu Ungu
setengah harian lamanya. Tubuh kakek tua yang semula terbujur lemas, mendadak
bangun seperti orang kaget karena tersengat lebah. Tentu saja yang paling kaget
adalah Rintani dan si Harimau Buas.
"Ayah!!" seru Rintani dengan kaget.
"Dasar kutu busuk, buat apa pakai acara pingsan-pingsanan, seperti gadis perawan
saja kau! Bangun pun bikin orang jantungan!" bentak Si Harimau Buas sambil
mengurut-urut dadanya yang berdebar kencang. Dia memang terbiasa menyebut teman
karibnya itu dengan sebutan 'kutu busuk'.
"Hei, macan tengik! Siapa yang main pingsan-pingsanan" Aku tadi sedang berjuang
antara hidup dan mati." sahut kakek itu sambil bangun dari tidurnya, " ... enak
saja kalau ngomong! Kau tidak senang kalau aku masih hidup, hah!?" semprot Kutu
Buku Berbambu Ungu. "Ha-ha-ha-ha! Rupanya kau sudah benar-benar sehat sekarang! Buktinya, mulut
nyinyirmu itu sudah kumat lagi."
"Uhh, dasar sial kau!"
Akhirnya dua teman karib itu saling berpelukan erat.
Jika orang lain yang mendengar percakapan mereka, tentu akan berpikiran bahwa
mereka berdua sedang bermusuhan satu sama lain, tapi begitulah si Harimau Buas
dan si Kutu Buku Berbambu Ungu. Meski saling ejek dan saling maki, mereka tetap
akrab, tak ada dendam atau pun kebencian apalagi perselisihan justru mereka
makin akrab dengan saling mengejek seperti itu.
Begitulah, sakit yang diderita oleh si Kutu Buku Berbambu Ungu hilang lenyap tak
berbekas dan bagi si Harimau Buas merupakan penemuan yang menakjubkan sekaligus
mendatangkan ide cemerlang di otaknya yang karatan itu, yaitu membuat ramuan
obat-obatan dengan bahan utama telur kadal ular!
Rintani pun juga kecipratan rejeki tak terduga. Selain ilmu pengobatannya
bertambah juga mendapat tambahan ilmu jurus tendangan dari si Harimau Buas yang
bernama 'Belalang Salto Menerjang Batu'. Jurus ini harus dilakukan dalam posisi
bersalto kemudian melakukan tiga kali serangan kaki ke arah bagian kepala,
terutama di ubun-ubun dengan posisi kepala tetap dibawah saat melakukan jurus
ini. Pada mulanya Rintani agak kesulitan melakukan gerakan dari jurus 'Belalang
Salto Menerjang Batu'. Kalau hanya gerakan jungkir balik atau salto saja bisa
dia lakukan, tapi jika harus salto sambil melakukan tendangan beruntun dengan
posisi kepala tetap berada dibawah, merupakan kesulitan tersendiri baginya. Pada
hari kelima, barulah ia berhasil menguasai jurus itu, meski pun masih banyak
celah-celah yang bisa ditembus oleh lawan.
"Jurus ini mengutamakan kecepatan dan ketepatan dalam serangan. Aliran tenaga
dalam pun juga harus sesuai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aliran tenaga
dalammu tidak stabil akan mengakibatkan dirimu terpelanting seperti kejadian
tempo hari." ujar si Harimau Buas pada Rintani, "Jadi, usahakan kau harus bisa
memusatkan tenaga dan konsentrasimu dengan baik. Ingat, kawan masih bisa
mengampunimu, tapi tidak untuk lawan. Camkan itu!"
"Baik, paman!" "Lebih kau istirahat saja, hari pun sudah menjelang sore. Aku mau menemui guru
di dalam goa." "Saya masih ingin menjajal jurus ini lagi, paman." kata Rintani dengan tegas.
"Bagus, tapi ingat pesanku tadi."
"I ya, paman!" Rintani pun kembali berlatih lagi. Mula-mula ia melatih kembali 'Ilmu Tongkat
Daun Bambu Melayang' ajaran guru sekaligus ayah angkatnya. Tubuhnya berkelebatan
cepat diiringi suara kesiuran tongkat panjang yang menderu-deru. Tenaga dalam
pun dinaikkan setingkat demi setingkat. Gerakan tongkat bambu panjang pada
intinya hanya mengait, menangkis, menusuk, memutar, menempel dan menebas saja,
namun yang luar biasa adalah pergeseran jurus tongkat yang tak terduga. Saat
Rintani sedang mengait ke atas, baru setengah jalan sudah berganti dengan
tebasan cepat bertenaga. Wuuung! Tak pelak lagi, dedaunan yang terkena sambaran angin yang diakibatkan oleh jurus
tongkat bambu itu berhamburan kesana kemari mengikuti arah gerak tongkat, hingga
nampak daun-daun kering itu melayang-layang di udara seoalh ada tangan-tangan
yang sedang bermain. Di depan goa ... "Lugita, bagaimana menurutmu kepandaian muridku itu?" kata si Kutu Buku Berbambu
Ungu menyebut nama asli si Harimau Buas.
"Hemm, jurus tongkat muridmu itu makin lama makin bagus saja, Bargawa," kata si
Lugita alias si Harimau Buas, " ... aku iri padamu yang memiliki murid secerdas
itu. Kulihat hawa tenaga dalamnya juga semakin matang."
"Ha-ha-ha! Kau terlalu memuji kawan. Bagaimana dengan anakmu si Seto Kumolo itu"
Apa 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi'-nya sudah mencapai tingkat terakhir?" tanya
si Kutu Buku Berbambu Ungu yang ternyata bernama asli Bargawa itu.
"Huh, anak itu makin hari makin dogol saja! Sampai sekarang baru mencapai
tingkat sebelas. Benar-benar payah dia." jawab Harimau Buas dengan bersungut-
sungut. Bargawa hanya manggut-manggut saja sambil mengelus jenggot putihnya, batinnya,
"Seto Kumolo sudah sampai tingkat ke sebelas dari dua belas tingkat yang ada,
padahal usianya lebih tua dua tahun dari Rintani. Setahuku si macan tengik ini
mencapai tingkat sebelas menjelang usianya empat puluh tahun. Edan, masak
seperti itu dibilang dogol?"
"Lihat, nampaknya muridmu sedang mengerahkan jurus 'Belalang Salto Menerjang
Batu'." kata si Harimau Buas.
"Ehmm." Pada saat itu Rintani mulai melakukan gerakan dua kali salto, lalu sepasang
kakinya bergantian melakukan gerakan menendang dengan cepat ke arah tiga jurusan
yang berbeda dengan posisi kepala tetap berada di bawah. Ketepatan dan kecepatan
dalam hal ini sebagai kunci penentu berhasil tidaknya melakukan jurus 'Belalang
Salto Menerjang Batu'! Wutt! Debt! Debb! Debb! Setelah melakukan tendangan tiga secara beruntun, Rintani langsung melakukan
liukan tajam ke bawah sambil melakukan ayunan tongkat bambu dengan cepat melalui
jurus 'Daun Berguguran Jatuh Ke Bumi' dimana tongkat panjangnya melakukan
gerakan sapuan-sapuan pendek diikuti dengan hempasan tenaga dalam yang tinggi.
Wutt! Wushh!! Daun-daun kering pecah beterbangan menjadi serpihan saat terlibas hempasan yang
terangkum rapi dengan tenaga dalam tinggi milik Rintani.
"Hebat! Muridmu benar-benar hebat, Bargawa!"
"Sudahlah! Ayo masuk ke dalam, aku punya sesuai untukmu," kata si Kutu Buku
Berbambu Ungu. "Apa?" "He-he-he, pepes telur kadal! Mau nggak?" katanya lagi sambil menjungkit-
jungkitkan alisnya. "Nggak!" Akhirnya dua orang itu tertawa terbahak-bahak sambil berangkulan masuk lebih ke
dalam goa, karena goa di balik air terjun itu memiliki empat ruangan yang cukup
lebar dan lega. Sementara itu, gadis murid si Kutu Buku Berbambu Ungu pun telah selesai melatih
jurus-jurus silatnya. Saat ini sedang melakukan pernafasan untuk menata kembali
aliran tenaga dalam yang baru saja digunakan. Beberapa saat kemudian, nafasnya
sudah normal kembali seperti sediakala.
Ia pun menyeka peluh yang menetes dari dahinya. Seluruh tubuh gadis itu nampak
berkeringat menimbulkan aroma khas seorang dara muda. Keringat yang membasahi
tubuh sintal itu nampak mencetak ketat lekukan-lekukan indah terutama di bagian
dada yang membusung kencang, seolah tidak bisa di sembunyikan lagi dari balik
pakaian coklat yang dikenakannya.
"Wah tubuhku berkeringat begini, lebih baik aku mandi sekalian saja di dalam
telaga." gumamnya, "... ayah kalau sudah ketemu paman Lugita, pasti akan ngobrol
terus hingga tengah malam. Lebih baik aku mandi dulu, lalu berburu di hutan
sebelah sana. Hemm, siapa tahu dapat ayam hutan lagi seperti kemarin."
Air terjun itu jarang sekali diinjak oleh manusia, selain disekitar tempat itu
banyak terdapat binatang-binatang berbisa, juga merupakan daerah larangan bagi
murid Perguruan Gerbang Bumi untuk mendekati tempat itu apalagi sampai
memasukinya. Siapa saja yang melanggar larangan tersebut akan mendapat hukuman
yang cukup berat. Hanya ketua Perguruan Gerbang Bumi dan orang-orang tertentu
saja yang boleh memasuki tempat larangan itu. Seto Kumolo dan Ki Lugita saja
yang tahu kalau tempat terlarang itu dihuni oleh si Kutu Buku Berbambu Ungu dan
muridnya. Gadis itu nampak berkelebat cepat ke sisi kanan air terjun menembus lebat
rerimbunan dedaunan dan beberapa saat kemudian nampak keluar lagi sambil tangan
kirinya membawa seperangkat pakaian ganti. Pakaian ganti warna coklat itu
diletakkan di sebuah batu hitam berbentuk datar yang ada di situ. Lalu dengan
tenang Rintani melolos sabuk kain yang melilit pinggang rampingnya diikuti
melepas kancing baju dan pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Terlihat
sebentuk tubuh dara muda yang masih terbalut baju dalam tipis coklat muda yang
menutupi sepasang payudara bulat penuh yang membusung kencang, sehingga semakin
merangsang daya khayal laki-laki yang melihatnya. Beberapa saat kemudian dia
telah melepas baju dalam tipis coklat muda diikuti dengan celana coklat setinggi
lutut pun terlepas dari kakinya.
Praktis, terpampanglah sebentuk keindahan yang menggiurkan para perjaka!
Kemudian gadis cantik bertubuh mulus itu langsung terjun ke dalam telaga.
Byurr!! Air semburat saat gadis itu menceburkan diri ke dalam telaga. Sergapan hawa
sejuk menggantikan rasa panas menyelimuti tubuhnya. Gadis itu berenang kesana
kemari dengan gembira. Tubuh mulus gadis tampak semakin jelas karena jernihnya
air telaga tersebut. Beberapa ekor kadal ular nampak berebutan mendekati tubuh
sintal gadis, seperti tangan-tangan perjaka yang ingin menjamah setiap bagian
tubuh indah Rintani. Bahkan seekor Kadal Ular Berbisa Mata Tiga dengan berani
melingkari leher gadis itu lalu kepalanya yang gepeng meluncur cepat ke arah
kiri dan sasarannya adalah ...
Ujung bukit kembar si gadis!
Meski sambil berenang, Rintani tetap tidak hilang kewaspadaannya, dengan cepat
menangkap tangan kanan bergerak cepat menangkap kepala makhluk panjang tersebut.
Tepp! "Hi-hi-hi, jangan nakal ya?" katanya sembari menarik lepas Kadal Ular Berbisa
Mata Tiga yang nakal dan melepaskan kembali.
Begitulah, sambil membersihkan diri, gadis murid Kutu Buku Berbambu Ungu
bermain-main dengan binatang berbisa itu. Dan itu dilakukan hampir setiap hari.
Adakalanya ia mandi di tengah telaga, tak jarang pula ia bersemadi sambil
bertelanjang bulat di bawah derasnya air terjun sekaligus berlatih tenaga dalam.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah puas bermain-main dan membersihkan diri, gadis itu berenang ke tepian,
ke arah batu datar dimana ia meletakkan pakaian gantinya. Saat berenang itulah,
tampak di pundak sebelah kiri terdapat sebentuk lukisan kecil berwarna biru
terang dengan garis tepi kuning keemasan berbentuk bintang segi lima sejumlah
tiga. Lukisan bintang segi lima itu nampaknya bukan sembarang lukisan tapi
memiliki arti tertentu, karena sebenarnya lambing itu adalah salah satu dari
lambang Delapan Bintang Penakluk Iblis!
Sedangkan yang tertera di pundak gadis itu bintang ke tiga dari Delapan Bintang
Penakluk Iblis yang ada di dunia. Bahkan Paksi Jaladara dan Tabib Sakti Berjari
Sebelas pun tidak mengetahui perihal adanya Delapan Bintang Penakluk Iblis,
meski di tubuh pemuda hasil didikan Lembah Badai tertera lambang bintang itu,
karena bintang itu letaknya tersembunyi di tengkuk agak ke atas.
Bintang ke satu! Jadi selain memiliki Rajah Elang Putih, pemuda sakti murid si Elang Berjubah
Perak itu juga memiliki salah satu lambang dari Delapan Bintang Penakluk Iblis
tersebut. Rintani akhirnya selesai berpakaian lengkap dengan tubuh segar bugar setelah
mandi di dalam telaga yang berair sejuk itu. Wajah tampak berseri-seri sambil
bibirnya menyunggingkan senyuman tipis nan menawan, mematut-matut diri sebentar
sambil mengikat rambut hitam panjangnya menjadi ekor kuda. Meski sudah
mengenakan pakaian lengkap, tetap tidak bisa menyembunyikan tubuh padat berisi
itu. Kemudian gadis itu berkelebat cepat ke arah hutan mengerahkan segenap ilmu
peringan tubuh sambil tak lupa menyambar tongkat bambu hitamnya yang diletakkan
atas batu datar. Tubuh itu berloncatan dengan cepat di antara dahan-dahan pohon
bagai kera yang lincah. Tepp! Wwess!! Pijakan kakinya terlihat ringan saat kakinya menutul daun-daun yang diinjak
ujung kaki gadis itu, dimana daun-daun itu hanya bergoyang-goyang sedikit saja.
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tujuh Belas
Malam pun kembali menyapa bumi. Kegelapan mulai menyelimuti seantero jagad raya.
Bintang-bintang di langit bertaburan dengan menebar pesona. Sungguh suatu
karunia Yang Kuasa yang tiada bandingnya. Entah dengan cara bagaimana bisa
membuat siang dan malam datang silih berganti tanpa pernah terlambat sedikit
pun. Sinar bulan yang cuma setengah sudah lebih dari cukup menerangi malam yang
pekat. Dengan sedikit cahaya bulan pula sudah lebih dari cukup untuk menerangi
tempat larangan Perguruan Gerbang Bumi, tepatnya di air terjun dimana Bargawa
dan muridnya tinggal. Nampak Bargawa atau yang dikenal dengan si Kutu Buku Berbambu Ungu duduk
berendeng dengan Lugita atau si Harimau Buas di atas batu datar yang cukup
besar. Terlihat air liur mereka mau menetes keluar saat memandang sebentuk benda
'ajaib' yang dibolak-balik oleh tangan gadis berbaju coklat. Sepasang mata tua
itu tidak pernah lepas dari tangan gadis itu.
Sedang di sebelah kiri si gadis, duduk seorang pemuda tampan berusia sekitar dua
pulluh empat tahun dengan baju buntung loreng-loreng bercelana komprang hitam.
Sebentuk sabuk berwarna kuning hitam loreng-loreng terlihat mengikat pinggangnya
dengan kokoh. Lengan kekar berotot dengan dada bidang berbulu semakin menambah
kejantanannya. Sebaris kumis tipis tercetak rapi dibawah hidungnya yang mancung.
Yang menggetarkan adalah sorot mata pemuda itu sangat tajam bagaikan sorot mata
kucing di kegelapan malam.
Pemuda itu adalah Seto Kumolo, yang secara resmi diangkat sebagai Ketua
Perguruan Gerbang Bumi, yang tiga tahun belakangan ini mengukir nama besarnya
dengan sebutan Sabuk Hitam Macan Loreng. Nama itu diberikan oleh lawan yang
takluk dibawah senjata sabuknya dikarenakan Seto Kumolo mahir sekali menggunakan
senjata berbentuk sabuk, meski dasar ilmu yang dimilikinya adalah jurus pedang.
Sampai saat ini, pemuda berbaju loreng itu telah menguasai 'Tenaga Sakti Gerbang
Inti Bumi' tingkat sebelas, sungguh jarang dijumpai pemuda yang memiliki
kecerdasan yang begitu tinggi.
Rintani duduk tenang sambil terus sibuk membolak-balik daging ayam panggang yang
dipegangnya. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah dua kakek itu. Nampak
tersungging senyum kecil saat melihat mimik muka ayah angkat dan sang paman.
Mimik muka orang tidak pernah melihat makanan enak!
Tempat duduk dua kakek bangkotan dengan gadis itu hanya terpisah dua tombak
saja, dimana di tengah-tengah mereka terdapat api unggun yang apinya menyala
sedang. Tangan kiri Rintani menaburkan bubuk rempah-rempah diikuti tangan kanan
membolak-balik ayam panggang tersebut. Tak lama tercium bau harum yang menebar
kemana-mana. "Rintani, sudahlah ... ayam itu sudah siap mengisi perutku, tak perlu kau bolak-
balik begitu terus." kata Bargawa sambil mulutnya bergerak-gerak lucu sedang
sepasang tangannya mengelus-elus perut.
"Enak saja! Kutu busuk, tiap hari kau dapat jatah makan enak karena muridmu ini
pintar sekali menyenangkan perutmu yang karatan itu." sahut Lugita tak mau
kalah, "sedang aku ... tiap hari harus menelan rasa pahit. Menyesal dulu aku
tidak memiliki mengambilnya saja menjadi muridku!"
"Salah sendiri, kenapa dulu-dulu kau tidak mau mencari murid perempuan?"
Memang perlu diketahui, bahwa seluruh murid Perguruan Gerbang Bumi seluruhnya
adalah laki-laki, tidak ada satu pun yang perempuan.
"Eee ... kau ngledek ya?" kata lugita dengan mata sedikit melotot.
"Apa" Mau mengajak berkelahi" Ayo!"
Bargawa sudah berdiri sambil menyingsingkan lengan bajunya.
"Huh, siapa yang takut dengan kutu busuk macammu itu!"
Tak mau kalah, Lugita pun langsung berdiri sambil menyingsingkan lengan baju.
Dua kakek yang sudah bau tanah itu tampak saling dorong satu sama lain. Dorongan
tangan pun bukan sembarang dorongan, tapi disertai dengan pengerahan tenaga
dalam yang cukup tinggi, hingga setiap hempasan mengeluarkan suara angin
menderu-deru. Rintani dan Seto Kumolo hanya saling pandang saja melihat tingkah laku dua
'bocah tua' itu. "Kakang Seto, lebih baik ayam ini kita saja yang makan. Nampaknya ayah dan paman
Lugita sudah tidak berminat lagi. Sayang sekali ... Hemm ... padahal sudah
matang semua ... " "Hemm ... harum sekali." seru Seto Kumolo agak keras, lalu sambil menggosok-
gosok telapak tangannya dia berkata, " ... sinikan ayam panggang itu. Wah ...
nampaknya enak betul!"
Aneh, mendengar kata 'makan', dua kakek itu langsung berhenti main dorong-
dorongan! "Tung ... tunggu dulu, Rintani! Jangan kau berikan semua pada bocah dogol itu.
Aku masih mau ... " "Hei, siapa yang bilang tidak berminat lagi ... "
Dua kakek itu secara bersamaan langsung mengulurkan tangannya, dan sekejap mata
kemudian tangan masing-masing telah memegang ayam panggang matang dan tanpa
dikomando langsung melahap dengan cepat. Tak terlihat bahwa mereka tadi saling
dorong-dorongan, kini saling beradu punggung sambil makan. Dua kakek itu seakan
sedang beradu cepat siapa yang duluan menghabiskan ayam panggang di tangan
masing-masing. Tanpa perlu tempo yang lama, dua ayam panggang itu sudah ludes
tandas masuk ke dalam perut mereka!
Seto Kumolo dan Rintani hanya geleng-gelang kepala saja.
"Masih ada lagi?" kata dua kakek itu secara bersamaan sambil mengangsurkan
tangan kanan. Rintani mengangsurkan lagi dua ekor ayam panggang utuh ke arah dua kakek itu,
dan dengan sigap dua tangan keriput menyambutnya dengan manis.
"Ha-ha-ha! Kau memang muridku yang jempolan!" seru Bargawa sambil mulutnya penuh
dengan kunyahan daging ayam.
"He'eh, betul-betul enak!" sahut Lugita dengan kondisi mulut yang sama.
Seto Kumolo hanya tersenyum kecil saja mendengar celoteh dari sepasang sahabat
karib itu. Karena tadi Rintani menangkap lima ekor ayam hutan, kini tinggal seekor saja
yang masih dalam keadaan di panggang. Setelah matang dari panggangan, Rintani
membelah daging ayam itu menjadi dua bagian, kemudian satu bagian diberikan pada
Seto Kumolo sedang satu bagian untuk dirinya sendiri. Baru saja daging ayam itu
mendekati mulut mereka, dua kakek itu sudah memandang potongan ayam itu mulut
bergerak-gerak diikuti pandangan berbinar-binar seolah berkata, 'untukkukah"'.
Seto Kumolo dan Rintani untuk kesekian kalinya saling bertemu pandang, kemudian
pandangan mereka beralih ke orang tua yang ada didepannya, lalu beralih pada
setengah potong ayam panggang di tangan masing-masing.
Dua kakek itu tampak mengangguk kepala dengan mimik muka penuh harap, bahkan
sepasang tangan mereka secara tidak sadar sudah setengah terulur siap menyambut
hidangan lezat itu. Pasangan anak muda itu saling menghela napas dalam, lalu masing-masing
memberikan setengah potongan daging ayam yang seharusnya mengisi perut mereka.
"He-he-he, ini baru betul! Yang muda harus lebih mengalah pada yang tua. Betul
tidak?" "Tentu saja betul! Masak teori sederhana seperti itu saja tidak kalian pahami!?"
sahut Bargawa sambil menelan potongan daging yang ada dimulutnya.
Akhirnya, lima ekor ayam hutan itu tandas dan menghuni perut dua kakek itu.
Namun mata kakek itu masih jelalatan kesana-kemari mencari-cari sesuatu.
"Ayah cari apa?" Tanya Seto Kumolo sambil celingukan kesana-kemari.
"Masih ada?" "Apa?" "Ayam!" "Ayam?" sahut Rintani.
"Iya." "Lima ekor ayam sebegitu besar masih kurang juga?" ucap Seto Kumolo dengan
heran. Kakek itu hanya menganggukkan kepala saja.
Seto Kumolo malah menoleh ke arah Rintani dan dibalas dengan kedipan mata.
"Masih, bahkan masih banyak! Ayah dan paman Lugita masih mau?" kata Rintani
kembali. Dua pasang kakek itu langsung mengangguk dengan cepat.
"Itu ... disana!"
Jari telunjuk gadis itu menunjuk ke arah timur, diikuti dengan pandangan mata
dari Bargawa dan Lugita secara bersamaan. Ketika melihat arah yang ditunjuk,
sorot mata penuh harap berubah menjadi pandangan sayu.
Karena yang ditunjuk Rintani adalah hutan!
"Hua ... ha ... ha ... "
Dua pasang muda-mudi itu tertawa terkial-kial melihat dua kakek di depan mereka
memperlihatkan wajah kusut, karena itu artinya mereka harus berburu sendiri ke
dalam hutan! "Bargawa, nampaknya nasib perut kita sedang tidak baik."
"Betul-betul malang sekali."
"Padahal nafsu makanku sedang baik-baiknya malam ini." kata Harimau Buas
kembali. "Apalagi aku!" Aku khan sedang dalam kondisi memulihkan kesehatan karena sakit
kemarin itu." timpal Kutu Buku Berbambu Ungu sambil menghela napas.
Mereka pun bangkit berdiri dengan sedikit kemalas-malasan.
"Kau masih punya simpanan air jahe?"
"Ada ... ada tiga guci penuh!" sahut kakek bertongkat bambu itu.
"Bagus! Disini sudah tidak ada yang bisa kita makan lagi, lebih baik kita masuk
ke dalam saja sambil menikmati air jahe."
"Tak masalah!" Tanpa pamit sama sekali, dua kakek itu langsung melesat cepat ke dalam gua
dibalik air terjun itu. Mereka berdua memamerkan ilmu ringan tubuh tingkat
tinggi di hadapan pasangan muda-mudi dengan melewati tengah-tengah telaga. Kaki-
kaki itu seakan berjalan di atas air. Hanya dengan beberapa kali loncatan saja,
dua sosok kakek itu telah menghilang dibalik tirai air terjun.
Rintani menunggu beberapa saat sambil matanya tidak lepas dari tirai air terjun.
Setelah dirasakan cukup aman, tangan kanannya mengambil bulatan tanah liat yang
cukup besar dari balik batu datar tempat duduknya.
"Apa itu, Rintani?" tanya Seto Kumolo heran.
Sejak kedatangannya ke tempat itu, ia sudah melihat bulatan tanah liat yang
diletakkan di belakang batu datar tapi si pemuda berbaju loreng hanya memendam
tanda tanya di dalam hati saja. Begitu melihat gadis disampingnya mengambil
benda aneh itu, rasa ingin tahunya sudah tidak bisa ditahan lagi.
"Kakang lihat saja sendiri," kata gadis itu sembari melepasi bongkahan tanah
liat dengan cepat. Didalamnya masih terdapat lipatan daun jati dan setelah lipatan daun itu
terlepas, nampak seekor ayam panggang utuh!
"Jadi ... ?" "Iya! Kalau ketahuan ayah sama paman Lugita, malam ini kita berdua benar-benar
kelaparan!" "Kapan kau membungkusnya?"
"Tadi waktu aku berburu mendapatkan enam ekor ayam hutan, lalu kupikir-pikir
jika ayah dan paman Lugita melihat semua ayam-ayam tangkapanku ini pasti semua
habis ludes dimakan mereka berdua. Lalu aku masak saja salah satunya dan aku
sembunyikan dibalik balutan tanah liat ini," kata gadis murid Kutu Buku Berbambu
Ungu sambil membagi ayam itu menjadi dua potong.
Tanpa malu-malu, langsung disambarnya potongan ayam panggang dan dilahapnya
dengan cepat. "Ih ... kakang ini lapar atau rakus, sih?"
"Kalau ditanya aku ini lapar atau rakus, mungkin kedua-duanya benar," jawab Seto
Kumolo sambil mengunyah daging di dalam mulutnya. "Hemm ... ayam panggang ini
betul-betul enak, gurih dan empuk! Pantas ayah sering-sering kemari, tak tahunya
disini terdapat gadis paling cantik sekaligus tukang masak terbaik di dunia."
Rintani hanya tersenyum simpul saja dengan muka merah jengah. Siapa gadis yang
tidak mau dipuji oleh sang pujaan hati"
Gadis mana pun jika sudah dipuji oleh sang pujaan hati, mukanya pasti merah
jengah karena senang ditambah dengan hati berbunga-bunga. Setelah sekian lama
membina hubungan asmara dengan Seto Kumolo, sudah seringkali gadis manis itu
menerima segala macam puja-puji dari sang kekasih, terutama sekali tentang
masakan buatannya, pujian setinggi langit pasti akan meluncur keluar dari bibir
Seto Kumolo. "Uhh ... gombal! Paling-paling setelah itu ada maunya ... " kata Rintani sambil
mencubit lengan kiri pria ganteng di sebelahnya.
"Aduhh, aduhh ... " terdengar keluhan kesakitan saat jari lentik itu mencubit
dengan gemas. Dimana pun seorang gadis, jika sudah melakukan aksi cubit mencubit, jari lentik
itu akan berubah seperti capit kepiting.
Sekali capit langsung merah!
Walau mengerang kesakitan, anehnya pemuda itu tidak mau menarik tangannya yang
dicapit oleh jari lentik si gadis. Kadangkala cinta memang suatu yang misterius.
Andaikata dibacok golok atau tertebas pedang hingga tangan buntung sekali pun,
seorang laki-laki masih bisa menahan rasa sakit yang mendera dengan sekuat
tenaga, tapi jika dicubit oleh seorang gadis, apalagi dia seorang gadis cantik,
pasti akan berteriak-teriak kesakitan.
Dan lucunya laki-laki pada umumnya tidak akan berusaha menghindari serangan
ganas itu! Tiba-tiba saja terdengar gelak tawa riuh dari balik pohon trembesi raksasa, lalu
keluarlah si Kutu Buku Berbambu Ungu diikuti dengan Harimau Buas. Mereka masih
tertawa keras sambil memegangi perut.
"Ha-ha-ha! Rupanya anakmu dan anakku sedang asyik pacaran di tempat ini,
Lugita!" "He-he-he, betul! Pantas saja akhir-akhir ini bocah dogol itu sering menghilang
entah kemana, rupanya dia telah kecantol sama muridmu, kutu busuk!" seloroh si
Harimau Buas sambil masih tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar.
Dua muda-mudi itu malu bukan alang kepalang. Wajah mereka berdua merah seperti
kepiting rebus. Mereka menjadi salah tingkah, ada saja yang mereka berdua
lakukan untuk menutupi rasa malu masing-masing.
Melihat tingkah polah dua anak muda itu, tawa dua kakek bangkotan itu justru
makin keras saja, seolah berusaha mengalahkan derasnya suara air terjun. Tentu
saja Seto Kumolo dan Rintani makin salah tingkah saja. Pada akhirnya, Rintani
bangkit berdiri dan melesat cepat ke arah belakang air terjun.
"Hoi ... Rintani!! Kau mau kemana?" seru Bargawa melihat kelebatan anak
angkatnya. "Tidur!!!" "Hah!" Tidur!" Lalu Seto Kumolo bagaimana" Masak ditinggal sendirian?" seru
Bargawa lagi dengan nada menggoda.
Senyap! Tidak ada sahutan sama sekali dari mulut Rintani.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bargawa dan Lugita saling pandang, kemudian tatapan mata mereka beralih ke Seto
Kumolo. Seto Kumolo dengan wajah senyum tak senyum pun beringsut berdiri.
"Seto, kau mau kemana?"
"Ayah, aku mau pulang saja. Ini sudah tengah malam!"
Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, pemuda yang berjuluk Sabuk Hitam Macan
Loreng itu langsung berkelebat cepat ke jurusan selatan.
Kembali sepasang mata kakek itu saling pandang kembali, tapi kali ini tatapan
mata itu tertuju pada dua potongan besar ayam panggang yang kini tergeletak di
atas batu datar. Tanpa ba-bi-bu, langsung sikat!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Delapan Belas
Suatu pagi yang cerah ...
Seorang gadis muda berbaju merah berusia belasan tahun berjalan perlahan-lahan
menyusuri jalan di sebuah padukuhan yang cukup ramai. Di sebuah jalan yang cukup
lebar, agak sedikit ke timur terdapat sebuah pasar rakyat dimana tampak
berkerumun beberapa orang baik tua muda laki perempuan berbaur menjadi satu,
dimana ada yang membeli dan ada yang menjual, tidak ketinggalan juga yang hanya
melihat-lihat saja sekedar cuci mata. Segala macam hasil bumi tersedia ditempat
itu, tak ketinggalan pula hasil ternak ikut mengisi keramaian dengan suara khas
masing-masing. Beberapa pemuda desa kelihatan hilir mudik. Ada yang sedang bersenda gurau, ada
yang sedang tawar-menawar barang dagangan, namun banyak juga yang duduk ongkang-
ongkang kaki sambil menikmati minuman hangat dan beberapa jenis jajanan pasar,
seperti klepon, cucur, wajik dan lain sebagainya. Bisa dipastikan, di setiap
pasar seperti itu pasti ada yang namanya keributan, tentu saja keributan-
keributan kecil antar sesama pedagang dan pembeli. Si pedagang ingin barang
dagangannya terjual dengan harga setinggi-tingginya sedang si pembeli
menginginkan harga murah dengan barang yang diinginkannya.
Beberapa orang pemuda sedang memandang si gadis baju merah dengan raut muka
terbengong-bengong, ada yang cuma melirik saja dengan ekor mata, ada yang
terang-terangan memelototkan mata lebar-lebar, bahkan ada pula pemuda ceking
menggodanya sambil bersiul-siul untuk menarik perhatian si gadis. Tak sedikit
pula yang memandang penuh kekaguman terhadap kecantikan si gadis.
Di sebuah kedai nasi, tampak seorang laki-laki parobaya dengan perut gendut
memandangnya sampai bibir tebalnya mengeluarkan air liur tanpa sadar. Air liur
tampak menetes perlahan-lahan kemudian turun ke dagu dan akhirnya meluncur pelan
menuju perut buncitnya. Mata laki-laki perut buncit yang semula kecil-kecil saja
berubah melotot lebar saat memandang gadis berbaju merah itu seolah berusaha
menelanjanginya bulat-bulat.
Pandangan nafsu bejat seorang hidung belang!
Laki-laki itu merapikan bajunya yang kedodoran, kemudian berdiri di depan pintu
kedai sambil menebar senyum ramah ke arah gadis berbaju merah itu, namun susah
sekali mengatakan bahwa senyum itu sangat manis, karena wajah yang selebar
nampan itu justru malah tidak sedap di pandang mata.
Si gadis berbaju merah nampak menoleh ke arah si laki-laki gendut, karena sorot
mata si gendut cuma tertuju pada dia seorang. Ia sedari tadi mengetahui kalau
dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di pasar itu, tapi ia tidak peduli
Siluman Gila Guling 1 Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana Misteri Gadis Gila 1
^