Pencarian

Pendekar Elang Salju 8

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 8


Nakal masih berdiri kukuh. Meski seluruh tubuhnya hangus terbakar, bahkan secuil
baju yang menempelpun tidak ada sama sekali (kali ini tidak ada lagi yang
namanya Setan Nakal, yang ada pastilah setan bugil)
"Kau ... memang ... tangguh!" Katanya dengan terbata-bata. "Siapa nam ...
namamu?" "Kau boleh sebut aku ... Jin Kura-Kura!" sahut Arjuna Sasrabahu dengan enteng.
"Jin Kura-Kura" Hi-hi-hik ... setan seper ... ti aku ini ter ... nyata kalah
me ... ngenaskan di ta ... ngan jin sepertimu ... " ucap Setan Nakal dengan
napas terengah-engah. Lalu tangan kanan mengacungkan jempol meski dengan lemah."
Kau ... Hebat!" Begitu kata 'hebat' selesai terucap, tubuh Setan Nakal tumbang!
Brukk! Bummm!! Setelah itu diikuti dengan meledaknya raga Setan Nakal hancur berkeping-keping
membentuk serpihan halus dengan bau gosong menyengat. Jika serpihan halus itu
dirangkai kembali pun sulit untuk membentuk tubuh Setan Nakal seperti aslinya.
"Akhirnya mampus juga dia! Kalau ketua muda tidak menahanku di atas sana, sudah
aku kempesin dari tadi," tutur Arjuna Sasrabahu sambil bersungut-sungut.
Lalu pemuda bongsor berjuluk Jin Kura-Kura segera menghampiri Nawala.
"Bagaimana keadaan mereka" Parahkah?"
"Entahlah ... jika dikatakan parah juga tidak, tapi jika dikatakan ringan juga
salah ... yah ... sedang-sedang sajalah," jawabnya dengan senyum tak senyum.
"Wah ... payah juga kalau begitu. Andaikata paman tabib ada disini, pasti sudah
beres dari tadi," sahut si pemuda bercangkang sambil merogohkan tangan kiri ke
bagian kanan dalam cangkang, lalu mengeluarkan dua tiga butir bulatan kecil
sebesar buah kelengkeng berbau harum semerbak dan saat tersentuh tangan terasa
lengket seperti mengandung campuran gula aren agak sedikit kental. Benda apalagi
jika bukan Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka, pemberian dari Tabib Sakti
Berjari Sebelas. "Apa yang kau lakukan?" tanya Nawala, heran.
"Ada deh ... " Kemudian ia mengambil dua buah mangkuk kecil satunya berisi air, lalu memasukkan
dua butir ramuan ke dalamnya. Setelah berbuih sebentar dan larut dengan air,
pemuda membagi dua larutan obat menjadi dua mangkuk sambil berkata, "Minumkan
pada mereka barang seteguk."
Nawala hanya diam saja saat menerima mangkuk berisi ramuan obat tersebut, lalu
mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemuda bercangkang kura-kura yang tadi
didengarnya berjuluk Jin Kura-Kura itu.
Sebentar saja, luka-luka yang diderita para tokoh yang saat itu ditidurkan
berjajar, baik luka dalam mau pun luka ringan sembuh dan luka hilang tanpa
meninggal bekas sama sekali. Bahkan tubuh terasa lebih segar dari sebelumnya.
Rasa lelah akibat perkelahian yang baru saja dilakukan pun juga lenyap. Termasuk
tenaga dalam juga dirasakan semakin lancar mengalir dan terasa semakin membesar
dari sebelumnya. Kejadian ini persis dengan apa yang dialami oleh murid-murid
Padepokan Singa Lodaya beberapa tahun silam.
Sepasang Raja Tua menggeliat nikmat bagai bangun dari tidur panjang.
Nawara seperti terbangun dari mimpi yang telah sekian lama meninabobokannya,
sedang orang-orang dari Perguruan Perisai Sakti dan Perguruan Karang Patah pun
merasakan hal yang sama, termasuk juga Bidadari Berhati Kejam, sebab ialah orang
yang pertama kali merasakan pengaruh dari obat ajaib itu karena hanyalah nenek
itu saja yang berada antara sadar dan tidak sadar. Akan halnya Linggo Bhowo dan
Kamalaya, tentu saja mereka berdua tidak dapat bangun lagi karena mana mungkin
orang yang sudah menjadi mayat dapat bangun atau hidup kembali"
"Kalian sudah sehat?" tanya Arjuna Sasrabahu sembari menerima mangkuk kosong
dari tangan Nawala, lalu memasukkan kembali ke dalam cangkang kura-kura yang ada
di belakang punggungnya. "Maaf, aku tidak bisa membantu dua orang yang disana,"
katanya dengan jari tertuding ke kiri, " ... mereka berdua sudah tewas sebelum
saya kemari." Semua maklum dengan apa yang dikatakan pemuda itu. Memang yang namanya sebuah
pertarungan antara hidup mati memang seperti berjudi dengan nasib, jika
beruntung maka nyawa bisa tetap berada di dalam tubuh, tapi jika buntung, apa
boleh buat, nyawa melayang pun tidak jadi soal!
Tentu saja yang paling merasa kehilangan adalah Mahesa Krudo dan Janapriya,
bagaimana pun juga Linggo Bhowo dan Kamalaya adalah kawan karib seperguruan yang
paling mereka sayangi seperti saudara kandung mereka sendiri.
"Anak muda, jika boleh kutahu, siapakah dirimu ini?" tanya Raja Pemalas, dengan
ogah-ogahan. "Saya bernama Arjuna Sasrabahu, sedang ke ... "
"Arjuna Sasrabahu" Kau seorang keturunan raja?" potong Wanengpati dengan cepat.
"Kenapa" Tidak boleh?" kata murid tunggal si Kura-Kura Dewa Dari Selatan dengan
sedikit meninggi. "Memang hanya keturunan keluarga kerajaan saja yang boleh
memakai nama Arjuna Sasrabahu" Kau sirik ya?"
"Bukan begitu! Hanya sedikit aneh saja," ucap Wanengpati dengan tatapan aneh,
dalam hatinya masih melanjutkan sisa tanyanya, "Siapa yang sirik" Nama seperti
itu apa bagusnya" "Ah ... sudahlah! Pepesan kosong tidak perlu diributkan!" sahut Raja Penidur,
tentu saja masih dalam gaya tidurnya yang khas.
"Lebih baik kita pergi ke selatan, menyusul ketuaku mengejar si Topeng Tengkorak
Emas." sela Joko Keling alias Jin Kura-Kura dengan cepat.
"Topeng Tengkorak Emas" Siapa dia?" tanya heran Bidadari Berhati Kejam.
"Lho" Apa kalian tidak tahu kalau yang baru saja membuat pingsan segini banyak
orang adalah si Topeng Tengkorak Emas?" tanya Pewaris Sang Air dengan mimik muka
heran. "Terus apa yang kalian kerjakan disini?"
"Yang kami tahu adalah disini tempat persembunyian orang-orang yang memiliki
rajah sesat dan kami semua disini berniat menumpasnya," jawab Wanengpati sambil
membetulkan letak keris pusakanya. "Selebihnya kami memang tidak tahu apa-apa,
bahkan nama Topeng Tengkorak Emas baru saja kami dengar dari saudara Arjuna."
"Ooo ... pantas kalau begitu," kata Arjuna sambil manggut-manggut, lalu katanya,
"Baiklah! Tampaknya masalah ini harus diketahui semua orang persilatan. Sambil
menyusul ketua muda, ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang masalah Rajah
Penerus Iblis ini." Kemudian Arjuna Sasrabahu menghampiri harimau putih mulus. Mata tajamnya
mengamati-amati seluruh tubuh si harimau.
Tiba-tiba saja ... "Kang ... ! Harimauku jangan dipelototin begitu! Nanti dia terangsang lho ... !"
Sebuah suara kecil melengking terdengar menggema di seantero tempat itu. Jelas
sekali itu adalah suara bocah laki-laki usia sembilan sepuluh tahun.
"Hmmm ... dari mana datangnya suara itu" Heran, kenapa akhir-akhir ini banyak
sekali jago-jago muda bermunculan?" gumam si Bidadari Berhati Kejam. " ...
bahkan suara dengusan napas yang aku yakini suara seorang bocah, kenapa sampai
tidak tertangkap oleh indera pendengaranku!?"
Belum sampai gumaman nenek itu sirna, sesosok bocah berbaju hitam-hitam berjalan
lenggang kangkung menuju ke arah mereka.
Tepat sesuai dugaan Bidadari Berhati Kejam, bocah itu berusia sepuluh tahun
dengan baju rompi hitam dengan celana hitam setinggi lutut dimana pinggang
kecilnya melilit sabuk kain warna hitam dengan garis-garis hijau. Rambut anak
itu dipotong pendek rapi. Seraut wajah tampan menghiasi selebar wajah si bocah.
Tidak ada yang istimewa dari seluruh tubuh anak kecil itu, gerak-geriknya tak
jauh beda dengan bocah sebaya dirinya, berlagak tengil dan sedikit
menjengkelkan, kecuali pada matanya yang berwarna hijau menyala dengan sebuah
garis melintang ditengah bola mata.
Mata harimau! Belum lagi dengan sebilah senjata yang dari bentuknya dipastikan sebilah golok
dengan gagang kepala harimau putih dengan sarung dari kulit harimau pula tampak
terselip di pinggang kanan si bocah. Yang cukup aneh adalah panjang golok itu,
sekitar satu setengah kali panjang golok biasa. Dan dilihat dari posisi
terselipnya golok, anak itu pasti bertangan kidal.
Dengan enaknya ia menghampiri harimau itu, yang serentak duduk di tanah seperti
berlutut. Si bocah berbaju hitam berjongkok sambil sambil mengelus-elus leher
binatang itu. "Kau tidak apa-apa Maung Pethak?" tanya si bocah.
Tentu saja perbuatan bocah yang tidak dikenal itu membuat semua orang bergidik
ngeri. "Gila tuh anak! Kalau dicakar baru tahu rasa dia," gumam Nawala, tanpa sadar.
"Ssstt, diam! Nampaknya harimau putih itu memang peliharaannya atau orang tuanya
memang pawang harimau," ucap Nawara yang ada disamping saudara kembarnya.
Harimau yang dipanggil Maung Pethak itu mengaum lirih sambil mendusalkan
kepalanya ke dekat leher si bocah.
Manja! "Ohh ... begitu ya" Jadi kakang gendut itu telah menyembuhkan lukamu," kata si
bocah berbaju hitam sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah Arjuna
Sasrabahu. "Edan! Harimau itu berlaku manja kayak anak perawan saja," kata Raja Pemalas
dengan mata melotot lebar.
"Ah ... itu sih biasa-biasa saja. Namanya juga peliharaan ... tidak bakalan
mengggigit kalau tidak kepepet," gumam Raja Penidur, menimpali ucapan
sahabatnya. "Hei bocah! Apa maksud dari perkataanmu barusan?" bentak Arjuna Sasrabahu dengan
mimik muka bertanya. "Maksud kakang?"
"Apa maksud 'terangsang' yang tadi kau ucapkan?" gerutu si Jin Kura-Kura. "Perlu
kau tahu, tak bakalan aku naksir macan jelekmu itu?"
"Oh itu" He-he-he ... sebab dia ini ... " ucap sepotong-sepotong si bocah sambil
cengar-cengir. "Ditanya baik-baik malah cengengesan ... "
"Dia ini ... harimau betina yang sedang panas-panasnya bikin anak!" kata si
bocah sambil diikuti tawa berderai.
Muka Jin Kura-Kura merah matang, malu dia!
Tentu saja pemuda seperti tahu apa maksudnya 'bikin anak'!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Puluh Enam
"Dasar kutu kupret! Kujitak benjol kepalamu!" bentak Arjuna Sasrabahu sambil
melangkah maju dengan tangan terayun cepat.
Si bocah berompi hitam yang tidak diketahui namanya hanya tertawa ha-ha hi-hi
sambil berkelit ke samping.
Sett! "Eh?" pemuda bercangkang kura-kura kaget. "Kok bisa?"
"Ya bisa dong!"
Kembali pemuda itu mengAyunkan tangan, namun gerakan si bocah seperti gerak
harimau yang berkelit dengan tangkas dan lincah.
"Arjuna, sudahlah! Bocah macam dia jangan kau ladeni!" seru Bidadari Berhati
Kejam. Arjuna segera menghentikan gerakannya, sambil berkata, "Anak siapa kau ini" Apa
orang tuamu tidak pernah mengajarimu sopan santun?"
"Ya, anak orang, masa anak kucing," jawab si bocah acuh tak acuh, lalu katanya
pada harimau putih yang sedari tadi masih mendekam di tanah, "Maung Pethak, cari
Maung Ireng dan ajak dia menyusul ketua ke jurusan selatan."
Harimau putih segera bangkit menuruti perintah si bocah dan tanpa perlu tempo
lama langsung melesat ke jurusan selatan sambil menggeram lirih.
"Grrhh!!" Geraman itu disambuti dari sisi utara dengan geraman lirih yang sama namun bisa
menggetarkan nyali orang yang mendengarnya, berat dan menciutkan nyali. Pada
detik itu pula sekelebat bayangan hitam berlari kencang bagai angin lewat
mengikuti arah lari si harimau putih yang berada didepan. rupanya bayangan hitam
itu ternyata adalah seekor harimau hitam pekat yang sedikit lebih besar cari
harimau putih yang dipanggil Maung Seta oleh si bocah rompi hitam.
Semua orang yang ada di tempat itu merasakan bumi sedikit bergetar saat
mendengar geraman lirih si harimau hitam.
"Itu pasti pasangan si harimau putih," ucap Nawala.
"Betul! Itu suaminya si Maung Pethak, namanya si Maung Ireng. makanya kakang
jangan naksir dia ... "
"Naksir kepalamu itu!" kali ini giliran Nawala yang mengumpat.
"Tapi dia cantik lho." bela si bocah tak mau kalah.
"Iya ... kalau sesama harimau, tapi kalau sama manusia ... sama juga bohong,
cah." ucap Arjuna dengan sengit.
"Huh, dibilangin ngga percaya ... ya sudah." kata si bocah dengan lagak sok
tahu. Semua yang mendengar ucapan konyol si bocah tanggung, pingin sekali menjitak
kepalanya ramai-ramai, bahkan Nawara yang paling sabar pun bisa gemas sekali.
"Bocah, siapa namamu?" kali ini giliran Nawara bertanya.
"Heran, dari tadi aku kok ditanyain melulu, gantian dong."
"Brengsek, jawab aja kenapa sih!?" bentak Mahesa Krudo uring-uringan, padahal
sedari tadi dia cuma mendengar percakapan orang-orang yang ada ditempat itu
dengan si bocah. "Iya deh ... iya," sahut si bocah pura-pura mengalah. "tapi ... "
"Tanpa syarat!" kata Nawara seakan tahu jalan pikiran si bocah.
"Wah ... ketebak juga nih. Namaku Simo Bangak," jawab si bocah yang mengaku
bernama Simo Bangak. "Ooo ... Simo Bangak to namamu," kata Arjuna Sasrabahu, "Kau ada hubungan apa
dengan Simo Gereng" Muridnya!?"
"Lho kakang kenal dengan kakek buyutku" Jadi aku harus memanggilmu kakek buyut
dong?" kata Simo Bangak dengan heran.
"Aku tahu bukan berarti kenal, bocah dogol!" bentak Arjuna Sasrabahu dengan gigi
gemeretak menahan kejengkelan.
Kepalanya seakan mau pecah ngomong sama bocah sableng ini!
"Sabar ... sabar ... " kata Wanengpati sambil menepuk-nepuk pundak Arjuna
Sasrabahu. Si pemuda berbadan bongsor itu hanya mengambil nafas dalam-dalam.
"Jadi ... kau ini cucunya Kiai Simo Gereng yang digelari orang sebagai Si
Harimau Hitam Bermata Hijau?" tanya ulang Joko Keling pada Simo Bangak.
"Hah!" Kau cucu buyut ... Si Harimau Hitam Bermata Hijau?" serentak semua orang
yang ada ditempat itu kaget bukan alang kepalang.
"Sesepuh dari Bukit Harimau itu?"
Semua pendekar persilatan tahu siapa adanya Si Harimau Hitam Bermata Hijau itu,
seorang tokoh kosen yang secara turun temurun keluarga mendiami sebuah hutan
berbukit yang berada di sebelah barat daya Gunung Tambak Petir yang dinamakan
Bukit Harimau. dimana keluarga pendekar kosen papan atas tersebut secara turun
temurun pula akrab dengan raja hutan yang ada di sekitar tempat itu, bahkan tak
jarang-jarang anak keturunan Si Harimau Hitam Bermata Hijau berkelana didampingi
oleh harimau-harimau liar yang ganas, tapi menjadi sangat penurut saat
berdekatan dengan keluarga Si Harimau Hitam Bermata Hijau. Entah dengan ilmu apa
sehingga membuat membuat si raja hutan yang ganas itu menjadi tunduk.
Siapa pula yang tak tahu dengan dua puluh empat jurus 'Ilmu Silat Seribu Harimau
Sakti'" Semua pendekar pasti tahu bagaimana kehebatan ilmu silat yang mengambil inti
gerak harimau itu. Menguasai satu jurus saja sudah bisa menumbangkan jago-jago
persilatan kelas menengah, apalagi sampai menguasai dua puluh empat jurus
sekaligus, bisa dibayangkan akibatnya. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang ingin
sekali salah satu dari keluarganya bisa mewarisi sejurus dua saja dari ilmu
silat sakti tersebut. Sampai saat ini, Simo Barong-lah yang memimpin keluarga besar keturunan Si
Harimau Hitam Bermata Hijau di Bukit Harimau. sebagai orang yang paling tua dari
anak turun Si Harimau Hitam Bermata Hijau dan hanya dia pulalah yang mengetahui
mengapa apa sebab sang kakek memilih mendiami Bukit Harimau yang berada di
lereng barat daya Gunung Tambak Petir, dikarenakan keberadaan Gunung Tambak
Petir dan Istana Elang yang saling berkaitan satu sama lain!
Pada dasarnya Simo Barong yang berjuluk Dewa Harimau dan keluarganya bukan orang
pelit ilmu. meski tidak pernah mengangkat murid secara resmi, tapi ada saja
orang-orang yang ingin berguru silat pada keluarga pendekar itu, terutama sekali
mereka berminat pada 'Ilmu Silat Seribu Harimau Sakti'. Tentu saja mereka
menerimanya dengan tangan terbuka.
Tapi herannya, jangankan satu jurus, setengah jurus saja mereka tidak bisa
menguasai 'Ilmu Silat Seribu Harimau Sakti'!
Akan tetapi jika ilmu-ilmu yang lain seperti Ilmu 'Bintang Berpijar', sebuah
pukulan sakti berbentuk lontaran sinar patah-parah berkelip-kelip seperti
bintang di langit yang bisa membuat tubuh orang yang terkena menjadi hangus luar
dalam, Ilmu 'Cengkeraman Tengkorak' yang bisa melobangi kepala orang dengan cara
yang mengerikan, serta dua jurus 'Golok Taring Harimau' yang aneh dan unik
dimana jurus ini harus dimainkan dengan sepasang golok.
Namun, ada satu ilmu pamungkas yang hanya bisa dikuasai keturunan Si Harimau
Hitam Bermata Hijau sebagai Pengawal Gerbang Barat Istana Elang alias Sang


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanah, ilmu ini tidak bisa diturunkan kepada siapa pun juga bahkan Simo Barong
sendiri tidak bisa menguasai ilmu ini kecuali diperuntukkan pada orang-orang
yang memiliki Rajah Harimau Hitam. Rajah Harimau Hitam merupakan pertanda bahwa
orang itu ditunjuk sebagai pewaris tunggal dari Pengawal Gerbang Barat. ilmu
pamungkas ini mirip sekali pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan' yang dimiliki oleh
Elang Berjubah Perak. Ilmu sakti ini bernama ...
'Tapak Bukit Harimau'! "Betul!" kata si bocah menegaskan.
"Apanya yang betul?"
"Ya ... itu tadi, saya memang cucu buyut Si Harimau Hitam Bermata Hijau." kata
Simo Bangak. "Cucu asli, tidak pakai campuran apa pun. Sumpah!" tambahnya
bernada meyakinkan, bahkan pakai acara sumpah-sumpahan segala dengan mengangkat
telapak tangan kanan di samping telinga.
Saat mengangkat telapak tangan itulah, mata semua orang dapat melihat sebentuk
lukisan berbentuk kepala harimau warna hitam tertera rapi disana.
"Dia memang ada hubungannya dengan Majikan Bukit Harimau," ucap Raja Pemalas
sambil memandangi lukisan tersebut.
"Ya ... tidak diragukan lagi. Tokoh mana lagi yang bisa seakrab itu dengan
harimau?" Raja Penidur berkata.
"Betul! Setahuku orang-orang bukit harimau mempunyai lukisan kepala harimau di
salah satu anggota badannya," timpal Raja Pemalas.
Semua orang yang melihat lukisan itu menganggap bahwa bocah yang mengaku bernama
Simo Bangak memang betul-betul keturunan dari Si Harimau Hitam Bermata Hijau
dikarenakan adanya lukisan kepala harimau itu, kecuali bagi Arjuna Sasrabahu.
matanya dengan tajam mengamati setiap lekukan-lekukan yang ada di telapak tangan
di bocah. Seolah tanpa sadar, ia berjalan mendekat, untuk mengamati lebih teliti
sebentuk lukisan aneh itu, karena dibagian matanya berwarna hijau terang. Jika
tidak teliti, sulit sekali untuk melihat mata hijau yang tertera di lukisan itu.
"Ini ... Rajah Harimau Hitam," gumam murid Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
"Kok kakang tahu?"
"Jadi ... kaulah pewaris Sang Tanah itu?"
"Lho ... kok tahu juga," kata Simo Bangak sambil menurunkan telapak tangannya.
"Jadi yang kau maksud dengan ketua tadi adalah Ketua Istana Elang?" tanya Jin
Kura-Kura mempertegas jawabannya.
"Lho ... ini juga kakang tahu," ucap Simo Bangak dengan kagum.
"Kok tahu ... kok tahu ... kok tahu!" Ya tahulah! Brengsek benar kau ini!" umpat
Joko Keling sambil garuk-garuk kepalanya.
Mendengar ucapan dua orang beda usia itu membuat orang-orang yang ada di sekitar
tempat itu dibuat heran. Jika sebelumnya mereka sudah diherankan dengan
kedatangan Simo Bangak dengan sepasang harimaunya, kini justru keheranan mereka
semakin bertambah dengan pembicaraan dua orang itu yang seakan sudah kenal lama.
"Sebenarnya siapa kalian berdua ini" Aku sudah tahu kalau kau bernama Arjuna
Sasrabahu," kata Bidadari Berhati Kejam sambil menunjuk murid Kura-Kura Dewa
Dari Selatan, "... dan kau adalah Simo Bangak yang entah apa hubunganmu dengan
si Dewa Harimau, Majikan Bukit harimau yang terkenal itu. " lanjutnya sambil
menunjuk ke arah bocah berompi hitam.
"Si Dewa Harimau adalah kakekku."
"Maksud nini ... "
"Yang ingin aku tahu adalah apa hubungan kalian berdua terhadap masalah yang
saat ini terjadi?" tegas Bidadari Berhati Kejam.
Simo Bangak dan Arjuna Sasrabahu saling pandang. Sesaat kemudian keduanya saling
mengangguk. "Baiklah nini, tidak mungkin saya menceritakan semuanya, terlalu panjang dan
rumit untuk dijelaskan. Lebih baik kita susul ketua kami sambil saya ceritakan
apa yang sebenarnya terjadi di rimba persilatan saat ini," tutur Arjuna
Sasrabahu. "Baik, kalau begitu."
"Kita berangkat sekarang," kata Wanengpati.
-o0o- Sementara itu ... Ayu Parameswari berkelebat cepat mengarah ke jurusan selatan. meski luka yang
dialaminya belum pulih benar, tapi sebagai murid tunggal Naga Bara Merah tentu
saja luka kecil seperti itu tidak berarti apa-apa baginya. Tubuhnya dengan cepat
berkelebat dari pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya, seakan berlari di atas tanah
saja. Slapp! Slapp!! "Hemm ... di sepanjang jalan dipenuhi dengan butiran-butiran putih dan ceceran
debu-debu kuning keemasan," pikirnya sambil mengikuti terus ke arah selatan
dimana butiran putih dan kuning saling tumpang tindih. " ... di sisi sana tampak
beberapa pohon tumbang, ada yang tercerabut hingga ke akar-akarnya. Semuanya
diselimuti dengan butiran putih dan debu kuning keemasan dimana-mana."
Sesaat kemudian, ia berhenti di sebuah tanah lapang.
"Disini tempat yang paling banyak terdapat butiran putih dan debu kuning
keemasan bertebaran dimana," ia bergumam sambil berjongkok, tangannya menyentuh
rumput di sekitar tempat itu yang tertutup dengan butiran putih.
"Upps!" serunya kaget, " ... ternyata butiran putih adalah es atau salju, saat
tersentuh tangan langsung menerbitkan nuansa dingin. Bagaimana dengan debu
kuning keemasan?" ujung telunjuk kanan menyentuh sedikit debu kuning keemasan.
Jrusss!! "Iihh!!" kembali ia berseru kaget sambil meniup-niupjari telunjuknya, "Debu
kuning ini menerbitkan hawa panas menyengat."
Ayu Parameswari bangkit berdiri.
"Akan sangat berbahaya jika ada orang lewat sini. Aku harus menyingkirkan benda-
benda celaka ini." kemudian gadis berbaju merah itu menengok kekanan kekiri,
"tidak ada besi panjang atau kayu besar di tempat ini untuk menggali lubang.
Lebih baik aku pakai saja jurus 'Sepasang Naga Menggulung Awan Dan Angin'
dilanjutkan dengan 'Naga Tembus Bumi'."
Ayu Parameswari segera memutar-mutar sepasang telapak tangan di atas kepala,
semakin lama semakin cepat. sebentar kemudian keluar suara desauan keras yang
berputar-putar membentuk dua gulungan angin di tangan kanan dan kiri.
Werr! Werr!! Semakin lama semakin cepat. lalu diikuti dengan teriakan keras, gadis itu
melontarkan dua gulungan angin ke arah kiri dan kanan.
"Hyaaaa ... !" Wutt! Wuss!! Jurus 'Sepasang Naga Menggulung Awan Dan Angin' telah dilepaskan. Angin yang
dilontarkan ke sebelah kiri menyapu besih dedaunan dan juga ranting-ranting
pohon yang telah hancur akibat pertarungan. Debu-debu kuning keemasan dan
butiran salju ikut terangkut pula. Hal yang sama dilakukan oleh gulungan angin
sebelah kanan, bahkan beberapa pohon yang tumbang juga tidak ketinggalan.
Semua disapu bersih! Dua gulungan angin yang semula hanya sebesar nampan kini membengkak menjadi dua
bola raksasa yang berputar-putar cepat di udara. Ayu tersenyum puas melihat hal
itu. Kemudian tangan kanan yang menggerakkan bola raksasa sebelah kanan diputar
sedemikian rupa ke arah kiri, demikian juga dengan yang sebelah kiri melakukan
gerakan yang sama dengan diputar ke arah kanan.
Blumm! Blamm!! Dua bola raksasa yang berisi dengan sampah-sampah pembawa maut pun bersinggungan
satu sama lain, terus menyatu menjadi satu wujud bola raksasa yang terus
berputaran dengan cepat di angkasa sejarak lima tombak dari gadis itu berdiri.
Werr! Weeerr!! Ayu Parameswari terus saja memutar-mutar tangannya dengan gerak baling-baling di
depan dada. Krekk! Krekk! Cruss!! Terdengar beberapa kali suara berderak patah dan hancurnya serpihan-serpihan
kayu yang semakin keras bunyinya. Rupanya gadis dari Jurang Tlatah Api itu
berusaha menghancurkan kayu-kayu yang ada di dalam bola raksasa dengan kekuatan
tenaga dalamnya, sedang debu-debu kuning keemasan dan butiran salju dikumpulkan
menjadi satu di tengah-tengah.
Tarrr! Tarr! Terdengar beberapa kali letusan saat debu kuning keemasan dan butiran salju
bersentuhan. Sedikit demi sedikit Ayu mengubah gerakan dari memutar tangan seperti baling-
baling merubah menjadi memilin sehingga bola raksasa bagai diremas tangan-tangan
raksasa sehingga berbentuk memanjang seperti pilar sepanjang empat lima tombak.
Setelah dirasa cukup, Ayu Parameswari segera melontarkan pilar raksasa itu ke
atas dengan sentakan cepat, diikuti dengan hentakan kaki ke tanah, mengerahkan
jurus 'Naga Tembus Bumi'.
"Hiaaaa ... !" Wutt!! Blamm! Pilar raksasa itu terlempar ke atas setinggi sepuluh tombak, sedang dibawah kaki
Ayu, dimana tanah yang dipijaknya tiba-tiba saja anjlok bagai ditarik dari bawah
membentuk sebuah lubang besar dengan kedalaman enam tombak, mungkin untuk
mengukur seratus gajah pun masih lebih dari cukup. Bersamaan dengan itu pula,
gadis itu segera melenting keluar dari dalam lubang raksasa yang baru saja
dibuatnya. Syutt!! Sambil bersalto beberapa kali, ia mendarat sejauh dua tombak dari tempat ia
membuat lubang. Sedetik kemudian ... Srepp! Blamm! Bummm! Blumm ... !!
Bagai sebuah paku raksasa dari langit, pilar itu dengan tepat menerobos masuk ke
dalam lubang dengan paksa. Suara hunjaman keras terdengar hingga menerbitkan
debu-debu tebal yang mengangkasa, seakan menutupi tanah lapang. Untunglah Ayu
sudah berkelebat jauh dari tempat itu saat ledakan pertama kali terdengar.
"Beres sudah!" kata Ayu Parameswari sambil melanjutkan perjalanannya yang sempat
tertunda. -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Puluh Tujuh
Meski masih melihat beberapa pohon tumbang disertai dengan butiran-butiran salju
dan debu-debu keemasan, namun sudah tidak sebanyak yang di tanah lapang. Bahkan
di beberapa tempat terlihat tanah bagai dikeruk dengan bajak raksasa.
"Gila! Ilmu macam apa sebenarnya digunakan mereka?" gumam gadis dari Jurang
Tlatah Api, " ... kekuatannya sudah bukan lagi milik manusia lumrah."
Gadis berbaju merah itu terus saja melesat ke jurusan selatan, dan sebentar
kemudian ia mendengar suara dentuman-dentuman keras beradunya pukulan-pukulan
sakti. "Hemmm ... pertarungan telah bergeser sedikit melenceng ke tenggara. Aku harus
segera kesana!" -o0o- Terlihat bayangan kuning keemasan saling gebrak dengan bayangan putih keperakan.
Adakalanya bayangan putih keperakan tertekan sehingga sulit bergerak tapi
adakalanya pula gantian bayangan kuning keemasan yang terdesak mundur. Saling
serang silih berganti. Setiap sambaran serangan baik berupa pukulan mau pun
tendangan datang silih berganti bagai hujan dari langit. Pancaran hawa sedingin
salju yang bisa membekukan tulang saling tindih dengan pancaran hawa panas
membara yang bisa melumerkan daging.
Wutt! Wutt! Kelebatan tapak pun menghiasi pertarungan yang sudah mendekati pagi hari itu.
Tapi terlihat dengan jelas bahwa bayangan kuning keemasan seakan tergesa-gesa
mengetahui pagi telah menjelang, justru bayangan putih keperakan semakin
bersemangat melancarkan serangan.
"Topeng Tengkorak Emas! Lebih baik kau menyerah saja!" seru bayangan putih
keperakan sambil melenting ke atas sambil berjungkir balik, lalu kaki kanannya
menjulur ke bawah dengan hentakan keras, mengarah bagian kepala lawan!
Wutt! Wuss!!! Bayangan kuning keemasan yang saat itu dalam posisi tidak siap, segera
menyilangkan sepasang lengan melindungi kepala.
Drakk! Jurus 'Kelebat Ekor Elang' yang dilancarkan bayangan putih keperakan yang
ternyata Paksi Jaladara beradu keras dengan sepasang lengan lawan yang telah
teraliri hawa dari 'Ilmu Baju Besi Iblis' tingkat emas, tingkat paling tinggi
dari sepuluh tingkat yang ada.
Paksi Jaladara sudah menduga bahwa lawan pasti akan menahan jurus tendangan
'Kelebat Ekor Elang', ia langsung dilanjutkan dengan gerakan menukik tajam ke
bawah, dimana sepasang posisi telapak tangan dengan cepat dan rapat melancarkan
jurus 'Selaksa Tapak Bayangan Elang' yang sarat dengan hawa 'Tenaga Sakti Di
Bawah Sinar Bulan Purnama' tahap ke tiga dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni',
hingga pancaran cahaya putih keperakan yang ada di sekeliling tubuhnya semakin
terlihat jelas. Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk!
Puluhan bahkan ratusan bayangan tapak berhawa dingin membeku menghujani Topeng
Tengkorak Emas dari segala penjuru, bagaikan sayap-sayap elang menampar sekujur
tubuh. "Huaaa ... " Diiringi dengan teriakan kesakitan, sosok Topeng Tengkorak Emas segera membalas
serangan tapak yang datang bertubi-tubi dengan jurus yang pernah digunakan untuk
membantu si Setan Nakal. 'Ilmu Tapak Kilat'! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk! Plakk!
Paksi Jaladara kaget melihat lawan ternyata bisa mengimbangi jurus 'Selaksa
Tapak Bayangan Elang' yang dilancarkannya dengan jurus tapak pula.
"Pemuda keparat! Mari kita adu mana yang lebih kuat, jurus picisanmu atau 'Ilmu
Tapak Kilat' yang paling hebat!" seru si Topeng Tengkorak Emas, tapi dalam
hatinya ia cemas bukan main, "Kurang ajar! Pemuda ini hebat sekali! Sulit sekali
menjatuhkannya seorang diri, setidaknya bergabung dengan enam senopati yang
tersisa baru bisa mengalahkannya! 'Hawa Inti Panas Neraka Maut' tingkat delapan
sulit sekali menahan daya gempur yang dingin membekukan tulang. Entah darimana
ia mempelajari ilmu aneh ini" Hawa tenaga sedingin ini pasti bukan dari aliran
silat tanah Jawa." Sementara itu, si Elang Salju berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda.
Pemuda pemilik Rajah Elang Putih itu terlihat kerepotan menahan daya gempur yang
panas membara milik Topeng Tengkorak Emas.
"Celaka! Tahap ke tiga dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' tidak kuasa
menahan pancaran hawa panas ini. Tubuhku bagai di panggang api neraka. Semakin
lama semakin bertambah menyengat. Lebih baik, aku bersiap-siap melancarkan
pukulan 'Telapak Tangan Bangsawan'!" pikir si Elang Salju sambil meningkatkan
daya serang jurus 'Selaksa Tapak Bayangan Elang'.
"Celaka dua belas! Hari sudah menjelang pagi! Aku tidak bisa berlama-lama
melayani pemuda ini. Ada hal yang lebih penting yang harus aku kerjakan," pikir
si Topeng Tengkorak Emas, saat dari sudut matanya ia melihat pancaran cahaya
kuning kemerahan dari arah timur.
Matahari menjelang terbit!
"Anak muda! Aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu!" seru si Topeng
Tengkorak Emas sambil menarik jurus tapaknya, lalu melesat ke jurusan barat
dengan kecepatan kilat. Kejadian ilmu terjadi dalam waktu kurang dari helaan napas.
"Jangan lari, pengecut!" seru si Elang Salju yang melihat buruannya berniat
meloloskan diri, segera saja melancarkan sebuah jurus tendangan 'Elang Menendang
Matahari', sebuah jurus tendangan yang berupa lesatan angin tanpa wujud,
mengarah ke bagian punggung lawan.
Wutt!! Dhuasssh ... ! Punggung Topeng Tengkorak Emas bagai dihantam dengan palu es raksasa. Kerasnya
benturan membuat kepalanya terdongak ke atas, dan bersamaan itu pula topeng emas
berwujud tengkorak pun terlepas dari wajah.
"Setan! Sempat-sempatnya pemuda keparat itu melancarkan serangan jarak jauh,
untung saja 'Ilmu Baju Besi Iblis' belum kutarik seluruhnya," gumam si Topeng
Tengkorak Emas sambil meneruskan lesatan larinya, "Topeng gaibku terlepas!
Sudahlah, mengambilnya pun tidak ada kesempatan! Tiga hari lagi aku akan buat
perhitungan dengan pemuda itu!"
Blass! Blass! Bagai ditelan hantu, sosok berbaju kuning keemasan lenyap tak berbekas dari
tempat itu. Apalagi jika tidak menggunakan jalur gaib untuk meloloskan diri"
"Cepat benar ia lari!" Pasti ia menggunakan jalan gaib untuk meloloskan diri,
dan aku yakin jalan gaib itu pasti ada di sekitar sini," gumam Paksi Jaladara,
sambil membungkuk memungut benda yang jatuh milik lawan.
Topeng emas berwujud tengkorak!


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil mengatasi luka dalam dengan mengedarkan hawa penyembuh, ia mengamati
benda di tangan kirinya. Tingkat kesaktian yang dimiliki Paksi Jaladara yang
dijuluki Elang Salju memang sudah bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh kelas
satu. Tanpa perlu bersemadi, ia bisa menyembuhkan luka dalam separah apa pun.
Tentu saja tahap itu bisa dilakukan karena ia sudah berhasil menembus tahap ke
empat dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' yang bernama 'Tapak Rembulan Perak'
dengan sempurna, sehingga ia bisa menggerakkan hawa tenaga dalam sesuka hati.
"Hemm ... topeng ini dibuat dari emas murni. Namun, bahan emasnya seperti tidak
ada di bumi," pikirnya sambil membolak-balik topeng emas itu, " ... kemungkinan
besar emas ini berasal dari alam gaib atau setidaknya berasal dari benda-benda
pusaka alam gaib yang dibuat menjadi topeng menyeramkan seperti ini."
Baru saja ia mengamat-amati topeng, dari arah belakang terdengar sebuah teriakan
nyaring seorang gadis. "Ooo.. jadi kaulah yang mengaku sebagai si Topeng Tengkorak Emas?"
Bersamaan dengan teriakan tersebut, sebersit hawa panas bergulung-gulung bagai
topan menerpa dari belakang.
"Hawa Naga Api?" ucap Paksi Jaladara, tanpa menoleh segera menyorongkan tangan
kanan ke belakang dengan lima jari tangan sedikit merenggang. si Elang Salju
yang saat itu dalam proses penyembuhan dengan mengalirkan hawa tenaga dalam
'Temaram Sinar Rembulan' langsung memapaki serangan lewat jurus 'Pukulan Lengan
Elang' yang berbentuk leretan sinar putih patah-patah.
Jrass ... Jrass ... ! Letupan kecil terdengar saat hawa bergulung-gulung yang membentuk sosok hawa
naga api raksasa dihadang leretan sinar sinar putih patah-patah dari jurus
'Pukulan Lengan Elang' milik si Elang Salju, hingga kandas di tengah jalan.
"Edan! Pemuda berbaju putih itu bisa menahan gempuran jurus 'Sepasang Naga
Menggulung Awan Dan Angin'!" pikir Ayu Parameswari sambil berjumpalitan
mematahkan daya pental akibat benturan jurus yang dilepasnya.
Jleg! "Brrr ... dingin sekali!" ia mengeluh dengan tubuh bergetar halus, " ... ini
tenaga es!?" "Bukan! Itu hawa salju! Kerahkan 'Tenaga Sakti Naga Langit Timur' tingkat lima
jika kau tidak ingin mati membeku," kata si Elang Salju sambil membalikkan
badan. "Siapa suruh membokongku dari belakang?"
Sebuah senyuman terukir di bibir si pemuda, membuat gadis berbaju merah tertegun
sejenak, lupa dengan hawa salju yang menyelimuti tubuhnya.
"Apa yang kau tunggu" Cepat kerahkan tenaga saktimu," kata si Elang Salju dengan
nada memerintah. Ayu Parameswari terlihat gugup saat mendengar suara yang mengandung tenaga tak
kasat mata yang sulit dibantah!
Rupanya wibawa paksi jaladara begitu sangat mempengaruhi diri si gadis dari
Jurang Tlatah Api, sehingga mau tak mau ia mengalirkan hawa 'Tenaga Sakti Naga
Langit Timur' tingkat lima untuk menetralisir hawa salju.
Woshh ... ! Benar saja, sebentar kemudian hawa panas bergulung-gulung keluar dari di tubuh
si gadis dan empat helaan napas kemudian ... ia sudah pulih dari kungkungan hawa
salju. Si pemuda tampan berikat kepala merah dengan tangan kiri masih memegang topeng
tengkorak segera berjalan mendekat.
Melihat lawan mendekatinya, Ayu Parameswari langsung pasang kuda-kuda tempur.
Si pemuda hanya tersenyum tipis melihat reaksi si gadis.
"Hmmm ... reaksi yang bagus."
"Hebat benar caramu menilai seseorang, Topeng Tengkorak Emas!" dengus si gadis.
"Kau menganggapku si Topeng Tengkorak Emas!?"
"Ya! Siapa lagi jika bukan kau?"
"Apa dengan adanya benda ini kau langsung menuduhku sebagai Topeng Tengkorak
Emas?" katanya sambil mengacungkan benda kuning keemasan.
"Huh! Kau tidak perlu bersilat lidah di hadapanku, pemuda busuk!"
"Aku tanya padamu ... jika ada orang mencuri suatu benda dan tiba-tiba saja
benda itu diberikan begitu saja padamu, lalu orang yang kehilangan benda
tersebut melihat bahwa kau memegang barang miliknya dan menganggapmu sebagai
maling ... apakah kau mau dianggap maling!?"
Sebuah pertanyaan yang cukup panjang untuk dicerna, tapi Ayu Parameswari
bukanlah gadis berotak udang. ia bisa melihat kesungguhan pada mata si pemuda
tampan. Tatapan mata itu begitu teduh, berwibawa bagai raja, bijak laksana
pendeta namun tajam bagai mata elang, sulit sekali untuk menganggap bahwa pemuda
di depannya bukanlah si Topeng Tengkorak Emas.
Baru saja ia membuka mulut, sebuah suara memecah kesunyian pagi.
"Ketua muda! mana si Topeng Tengkorak Emas" Apa ia sudah berangkat ke neraka!?"
Bersamaan dengan menghilangnya suara, sekelebat bayangan hitam dan hijau
mendatangi tempat itu. Wess! Blass ... !! Ternyata ia adalah Jin Kura-Kura dan Simo Bangak, cucu buyut Si Harimau Hitam
Bermata Hijau adanya! Melihat si bocah berompi hitam, Paksi Jaladara sedikit mengkernyitkan alis.
"Dia ... ?" "Pewaris Sang Bumi, ketua!" jawab Simo Bangak dengan hormat.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.
Tidak ada tingkah laku tengil pada sosok diri si bocah di hadapan ketua muda
istana elang, sampai-sampai Arjuna Sasrabahu terkaget-kaget kagum melihatnya.
"Wibawa ketua muda benar-benar menakjubkan! Bocah brengsek seperti dia bisa
berlaku hormat padanya," pikir Arjuna Sasrabahu. "Bukan main!"
"Heran ... kenapa di hadapan Pewaris Sang Angin aku tidak bisa berlaku
seenaknya, ya?" pikir Simo Bangak. " ... atau jangan-jangan aku salah makan,
nih?" "Jadi dia ... "
"Bodoh benar kau ini! Tadi khan aku sudah bilang supaya menyusul Ketua ... "
tegur Joko Keling pada Ayu Parameswari. " ... kok malah berantem dengan Ketua
sendiri?" imbuhnya dengan raut wajah pun dibuat sesangar mungkin!
Tapi bukannya tambah sangar, justru malah terlihat lucu!
"Lho, dia benar-benar bukan Topeng Tengkorak Emas?" tanya Ayu Parameswari dengan
mimik muka tak bersalah. "Yaaah ... dengan ketua sendiri kok lupa!?" seru Simo Bangak dengan bahu sedikit
diangkat. "Lupa kepalamu pitak! Ketemu saja baru kali ini!" bentak Ayu Parameswari.
Si bocah berompi hitam hanya meringis ngeri, sebab jarak mulut Ayu dengan
telinganya hanya sejengkal lebih dikit!
"Sudahlah! Ia memang tidak tahu," Paksi Jaladara berkata.
"Maafkan perbuatan saya, Ketua!" kata Ayu Parameswari kali ini dengan lembut,
"Pewaris Sang Api memberi hormat!"
"Sudah jangan banyak peradatan! Anggap saja aku ini sebagai temanmu, tidak biasa
aku dihormati seperti itu," tutur Paksi Jaladara lembut.
Gadis berbaju merah hanya mengangguk pelan, dalam hati ia berkata, "Jika punya
ketuanya semuda dan setampan ini ... bisa-bisa aku naksir dia kalau terlalu
dekat-dekat dengannya, lalu Nawala dikemanakan?"
Baru memikirkan saja, selebar muka Ayu Parameswari merah matang bagai kepiting
rebus. beberapa saat kemudian, datang berturut-turut Sepasang Raja Tua, Bidadari
Berhati Kejam, Wanengpati, orang-orang Perguruan Perisai Sakti, sedang orang-
orang Perguruan Karang Patah tidak tampak sama sekali. Dalam perjalanan, Mahesa
Krudo dan Janapriya memisahkan diri, dengan maksud membawa pulang jasad Linggo
Bhowo dan Kamalaya ke Perguruan Karang Patah dan berjanji jika mereka dibutuhkan
kembali, akan membantu dengan sekuat tenaga.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Puluh Delapan
Nakmas Wanengpati ... Jika kau baca suratku ini, itu artinya aku sudah berada di Alam Kelanggengan,
Alam Keabadian Yang Maha Pencipta.
Bapa sudah merasakan lewat denyut sukma bahwa hidup tua renta ini sudah tidak
lama lagi. Hanya satu pesanku, carilah orang-orang pemilik Delapan Bintang
Penakluk Iblis dan beberapa orang diantaranya adalah orang-orang terpilih
pemilik rajah kebenaran sejati dari Aliran Istana Elang. Hanya merekalah yang
bisa menyelamatkan bintang ke delapan yaitu anakmu. Tiga hari mendatang adalah
tepat terjadinya Gerhana Matahari Kegelapan di mayapada.
Berhati-hatilah! Sepucuk surat di baca Wanengpati dengan suara pelan memecah suasana pagi, namun
semua orang yang ada ditempat itu bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Meski
tanpa tanda pengenal sedikit pun, Wanengpati bisa mengetahui bahwa tulisan dari
daun lontar itu benar-benar merupakan berita yang mengejutkan.
"Gerhana Matahari Kegelapan?" gumam Wanengpati sambil melipat kembali gulungan
lontar. "Delapan Bintang Penakluk Iblis" Bukankah hal itu yang pernah dibicarakan
mendiang Panembahan Wicaksono Aji?" seru Juragan Padmanaba.
"Benar, Ayah! Menurut Bapa Panembahan, Bintang Penakluk Iblis adalah sebentuk
lukisan kecil berwarna biru terang dengan garis tepi kuning keemasan berbentuk
bintang segi lima yang berada di salah anggota tubuh pemiliknya." tutur
Wanengpati, " ... dan ternyata, bahwa lambang ini berhubungan erat dengan
Sepasang Mutiara Langit yang sebentar lagi muncul. Menurut dugaanku berdasarkan
surat ini ... " sambung Wanengpati sambil mengacungkan gulungan lontar, " ...
Mutiara Langit Merah akan muncul pada waktu Gerhana Matahari Kegelapan yang akan
terjadi dua hari ke depan."
"Dan kebetulan sekali ... bahwa Aliran Istana Elang saat ini berada ditempat ini
pula. Jadi kita tidak perlu repot-repot ke mencari keberadaan Istana Elang."
kata Ki Dalang Kandha Buwana. "Bukankah begitu, Nakmas Paksi?"
"Sebenarnya kedatangan kami bertiga ke tempat ini atas petunjuk gaib dari
mendiang ketua terdahulu ... "
"Maksudmu ... si Elang Berjubah Perak?" potong Bidadari Berhati Kejam.
"Benar, Nini! Selama ini kami bergerak atas tuntunan dari beliau. Bahkan saya
yakin, Ayu Parameswari putri Paman Kandha sendiri pasti mengetahui dengan pasti
tentang masalah pelik yang saat ini kita hadapi," jawab Paksi Jaladara.
Ayu Parameswari hanya menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Paksi.
"Pada mulanya aku sendiri juga bingung ... tapi semakin lama justru semakin
membingungkan." kata Bidadari Berhati Kejam sambil menghela napas dalam-dalam,
ia mengalihkan pembicaraan. "Lalu bagaimana untuk mengatasi masalah ini?"
Yang hadir di tempat kediaman Ki Dalang Kandha Buwana selain si Elang Salju dan
Jin Kura-Kura, juga terdapat Bidadari Berhati Kejam, Juragan Padmanaba,
Wanengpati dan adiknya Ayu Parameswari, sedang Sepasang Raja Tua dengan Sepasang
Naga Dan Rajawali tidak ada ditempat itu, sehingga tidak bisa mengikuti
pembicaraan yang berjalan. Demikian juga dengan Suratmandi dan Wiratsoko harus
kembali pulang terlebih dahulu ke Perguruan Perisai Sakti dan akan kembali lagi
menjelang petang. Si bocah tengil Simo Bangak malah asyik main petak umpet
dengan teman-teman sebayanya yang ada disekitar rumah itu.
"Menurut saya, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mengungsikan warga
padukuhan ini ke tempat yang aman. saya takut jika pihak lawan menggunakan para
penduduk yang tidak tahu apa-apa menjadi korban." usul Paksi Jaladara.
"Betul!" sahut Juragan Padmanaba, "Sebagai kepala padukuhan, saya sangat setuju
sekali." "Saya juga setuju dengan usulan saudara Paksi. Menurut hemat saya, langkah kedua
harus kita lakukan adalah mencari tahu siapa saja orang-orang yang berada dalam
naungan Delapan Bintang Penakluk Iblis," sambung Wanengpati. " ... dalam hal
selain orang dari Istana Elang sebagai pengecualian."
"Lawan kita saat ini bukan sembarang orang, tapi manusia yang bergabung dengan
mahkluk alam lain hingga kesaktian yang mereka miliki tidak lumrah bagi manusia
biasa seperti kita ini," kata Ki Dalang Kandha Buwana setelah menyeruput air
jahe hangat, "Kita perlu pula membentengi diri dengan ilmu-ilmu gaib pula."
"Saat ini yang kita tahu memiliki kemampuan ilmu gaib, selain saya dan ayah juga
Sepasang Raja Tua yang menguasai ilmu gaib 'Kidung Sang Baka' serta ilmu gaib
'Sangkakala Braja' ... "
"Maaf, jika boleh saya tahu apa ada diantara paman-paman memiliki mantra 'Rajah
Kalacakra Pangruwating Diyu'?" tanya Joko Keling yang sedari tadi hanya diam.
"Memangnya ada apa dengan ilmu gaib itu, anak muda?" tanya Bidadari Berhati
Kejam, heran. "Menurut ketua lama, selain bisa menetralisir segala jenis ilmu hitam, mantra
'Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu' bisa digunakan pula untuk memanggil para
pemilik Bintang Penakluk Iblis dengan cara gaib." sahut Arjuna Sasrabahu.
"Bahkan orang itu memiliki berapa bintang di tubuhnya juga bisa diketahui dengan
pasti." "Benarkah?" kata Wanengpati dan Ki Dalang Kandha Buwana bersamaan.
Dengan adanya pengakuan tak langsung itu, Paksi Jaladara menyimpulkan bahwa ayah
anak yang ada di depannya memiliki ilmu gaib yang sedang dicari atas petunjuk
sang guru gaib. "Ha-ha-ha, bagus kalau begitu! Bukankah kalian berdua sebagai dalang ruwat pasti
menguasai ilmu itu dengan baik, Kandha!" seru Bidadari Berhati Kejam sambil
matanya menatap Wanengpati dan Ki Dalang Kandha Buwana silih berganti.
"Bagaimana cara menggunakannya?" tanya Ki Dalang Kandha Buwana dengan bernafsu.
"Cukup paman niatkan dalam hati dan baca mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating
Diyu', maka orang yang paman niatkan akan datang ke tempat ini sesegera
mungkin," terang Paksi Jaladara.
"Kapan waktu yang tepat untuk melakukannya?" tanya Ki Dalang.
"Kenapa tidak sekarang saja?" kata Juragan Padmanaba mengusulkan.
Semua orang memandang Paksi Jaladara meminta keputusan!
"Kapan saja bisa dilakukan, Paman Kandha," jawab Paksi dengan singkat. "Semakin
cepat semakin baik."
Ki Dalang Kandha Buwana langsung mengambil sikap semadi, karena memang mereka
berkumpul beralaskan tikar pandan. Sebentar kemudian, setelah Kakek Pemikul
Gunung memasuki alam semadi, terdengarlah lantunan lembut mantra 'Rajah
Kalacakra Pangruwating Diyu' dari bibir dalang yang sewaktu mudanya pernah
mengikuti perebutan gelar pendekar rimba persilatan. Suara alunan begitu
mendayu-dayu, melenakan setiap perasaan orang yang ada disekitar tempat itu.
Beberapa saat kemudian, setelah lantunan mantra 'Rajah Kalacakra Pangruwating
Diyu' selesai dirapal dan Ki Dalang Kandha Buwana kembali dari alam semadinya,
terjadilah sebuah keajaiban. Dari tengkuk Paksi Jaladara memancarlah seberkas
paduan cahaya biru dan kuning keemasan berbentuk bintang segi lima.
Bintang ke satu! Sedang Joko Keling sendiri, dari balik punggungnya memancarlah dua berkas paduan
cahaya biru dan kuning keemasan yang bentuknya sama persis dengan bintang yang
dimiliki Paksi Jaladara, hanya bintang segi lima berjumlah dua.
Bintang ke dua telah hadir!
Sedang Ayu Parameswari sendiri cukup mengejutkan, jumlah pancaran cahaya biru
dan kuning keemasan berjumlah tujuh buah. Satu di ubun-ubun, dua dekat pundak,
dua di belakang lutut dan dua di dekat tulang belakang.
Justru yang membikin kaget adalah Simo Bangak!
Bocah sableng itu berlarian kesana-kemari dengan sekujur tubuh memancarkan
cahaya paduan cahaya biru dan kuning keemasan yang menyilaukan pagi itu. empat
berada di dada dan lima melingkar di punggung.
"Kebakaran ... ! Tolooong ... ! Aku kebakaran ... !"
Plok! Pipinya ditampar dengan keras oleh Arjuna Sasrabahu, sambil memaki, "Diam!
Berisik amat kau ini!"
"Kang ... aku ... aku ... lho, punggung kakang juga menyala seperti milikku"
Aduuuh kang ... kita bakalan mati nih! Padahal aku khan belum kawin" Masak harus
mati muda," Simo Bangak duduk sambil mewek-mewek menangis. "Hu ... hu ...
hu... !" Tapi anehnya, menangis kok ngga keluar airmatanya"
"Huh, dasar bocah ganjen! Tidak bakalan kau mati, paling juga kelenger doang!"
kata Arjuna Sasrabahu bersungut-sungut setelah melihat tidak ada air mata
mengalir dari mata konyol si bocah.
Setetes pun tidak! -o0o- Sementara itu ... Nun jauh di tepi air terjun dalam wilayah Perguruan Gerbang Bumi ...
Rintani yang sedang menunggui Seto Kumolo berlatih 'Tenaga Sakti Gerbang Inti
Bumi' tingkat terakhir, mendadak merasakan suatu getaran aneh melingkupi raga.
"Aneh ... getaran apa ini, seolah-olah memanggilku untuk mendatangi suatu
tempat," pikir si gadis berbaju coklat-coklat.
Saat matanya mengedar ke sekeliling, ia melihat sebuah cahaya warna biru dengan
balutan cahaya kuning keemasan terlihat mengambang sejarak dua tombak dari
tempatnya berdiri. "Cahaya apa itu?" gumamnya.
Saat itu Seto Kumolo juga melihat keanehan pada diri Rintani yang berdiri
membelakanginya.

Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sinar apa yang memancarkan dari pundak Nimas Rintani?" pikir Seto Kumolo,
kemudian ia menghentikan latihannya dan berjalan mendekati tunangannya. "Nimas,
kenapa pundakmu bercahaya?" tanya Seto Kumolo, dan seakan baru menyadari, bahwa
dihadapannya ada pendaran cahaya yang sejenis dengan yang ada di pundak si
gadis. " ... dan cahaya apa pula itu?"
"Entahlah, aku tidak tahu, kakang! Aku hanya merasa bahwa dari balik gumpalan
cahaya ini ada sesuatu yang terus memanggil-manggilku dan panggilan itu semakin
lama semakin kuat." kata Rintani, tanpa mengalihkan pandangan dari gumpalan
cahaya yang kian lama kian membesar, bahkan kini sudah setinggi tubuh sintalnya.
Gadis yang selalu memegang tongkat itu, segera menjulurkan ujung tongkat,
menyentuh gumpalan cahaya yang kian lama-kian membesar.
Sluup! Begitu tersentuh, daya hisap luar biasa kuat langsung menyergap.
"Kakang ... !" Tanpa bisa dicegah lagi, tubuh gadis itu langsung terseret masuk ke dalam
gumpalan cahaya yang tidak diketahui apakah berbahaya bagi keselamatan dirinya
atau tidak. Seto Kumolo terkejut melihat tindakan tunangannya dan ia tidak bisa mencegahnya
karena kejadian itu terlalu cepat dan singkat. Di saat ia melihat kaki Rintani
masih terlihat diluar, dengan sigap ia menangkap pergelangan kaki Rintani dan
akhirnya ... Tapp! Sluuupp! Tubuh pemuda Ketua Perguruan Gerbang Bumi pun ikut terseret masuk ke dalam
gumpalan cahaya menyusul Rintani.
-o0o- Di sebuah pinggiran danau berair jernih, terlihat seorang gadis muda baju biru
laut bercelana biru tua dimana pada bagian pinggang terlilit sebuah sabuk hijau
garis-garis merah tersedang berdiri termangu-mangu. Terlihat raut muka si gadis
sangat elok dengan sepasang bibir tipis lengkap dengan tahi lalat di pipi kiri
yang cerah kemerah-merahan. Tubuhnya yang tinggi semampai sangat pas dengan
kulit putih bersih yang terbalut pakaian warna biru laut pada bajunya.
"Heemm, air danau ini bersih sekali. Alangkah segarnya bisa mandi ditempat ini,"
gumam si gadis cantik kepala dengan menoleh ke kanan kiri, sesekali ia mendongak
ke atas, "Hari masih pagi. Berarti belum ada penduduk desa ini yang menggunakan
danau untuk keperluan mereka sehari-hari."
Gadis berbaju biru laut itu segera melepas baju luarnya, maka sebentuk tubuh
elok berkulit putih bersih terpampang indah. Baju dalam warna biru muda membalut
tubuh dengan ketat, sehingga tidak bisa menyembunyikan lekuk-lekuk indah ragawi
si gadis, terutama pada sebentuk payudara bulat kencang dan padat disertai wajah
cantik bebas jerawat menambah kerupawanan si gadis. Namun baru saja ia melepas
baju luar, tiba-tiba saja bagian pusar tampak bercahaya biru diselimuti kuning
keemasan. "Apa ini?" gumamnya sambil merasa pusarnya. "Rajah Bintang Penakluk Iblis
menyala! Pasti yang di punggung juga menyala serupa. Rupanya ada orang yang
membutuhkan bantuanku lewat kekuatan tanda bintang ini."
Dua helaan napas kemudian, terlihatlah gumpalan cahaya biru dengan balutan
cahaya kuning keemasan terlihat mengambang sejarak dua langkah dari tempatnya
berdiri, kejadiannya hampir bersamaan dengan apa yang dialami Rintani dan Seto
Kumolo. Sambil mengenakan kembali baju luar yang sempat dilepas, gadis yang di pundak
kirinya terdapat lukisan naga biru bersayap berjalan satu langkah ke depan dan
dengan keyakinan penuh, ia langsung melompat masuk ke dalam gumpalan cahaya biru
yang langsung menyedotnya tanpa permisi.
Bluss!! -o0o- Di Padukuhan Songsong Bayu ... tepatnya di kediaman Kakek Pemikul Gunung ...
Tiba-tiba saja, dua gumpal cahaya biru muncul begitu saja, dan ...
Blukk! Blukk!! "Wadaouuw ... !" terdengar jerit kesakitan saat tiga sosok tubuh terbanting
jatuh keluar dari dalam gumpalan cahaya itu. Rupanya, cahaya itu muncul sejarak
satu tombak dari arah belakang Simo Bangak, dan sebuah benda bulat panjang
dengan manisnya langsung menghajar pantat kiri si bocah hingga ia menjerit
kesakitan. Mantap! "Dimana ini?" gumam si gadis berbaju coklat hampir bersamaan dengan suara yang
memegang kakinya dengan erat.
Mereka berdua bangkit berdiri.
"Kakang Seto ... ?" tanya si gadis yang ternyata Rintani adanya. " ... kau juga
tersesat kemari?" "Justru itu aku mau bertanya padamu, Nimas ... kenapa kita berdua bisa sampai
disini?" tanya Seto Kumolo dengan heran, " ... yang aku rasakan ... kita berdua
berada di sebuah lorong cahaya warna-warni ... dan tahu-tahu kita berada di
tempat ini." "Brengsek! Siapa orangnya yang sudah bosan hidup" Berani-beraninya nyeruduk dari
belakang?" Sebuah suara kecil mengagetkan pasangan kekasih itu. Tentu saja yang paling
kaget adalah Rintani, karena ujung tongkatnya ternyata masih dalam posisi
menusuk pantat, meski sudah terpisah dalam jarak, dikarenakan Simo Bangak
langsung mengusap-usap pantatnya yang kini sedikit membesar seperti orang
bisulan. "Aduh ... maaf anak manis! Aku ... tidak sengaja!" kata Rintani dengan raut muka
menyesal. "Huh, manis ... manis ... memangnya aku kucing ... dimanis-manisin segala,"
gerutu si bocah sableng sambil berulang kali mengusap-usap pantat, "Pasti merah
matang, nih!" Rintani serba salah menghadapi kejadian yang baru pertama kali dialaminya.
Belum sempat ia menghilang rasa heran dan kaget, sebuah suara berat namun lembut
menyapa, "Selamat datang, pemilik bintang ke tiga dan bintang ke enam di
kediamanku yang buruk ini!"
Rintani, Seto Kumolo dan gadis berbaju biru segera membalikkan badan. Di hadapan
mereka berdiri seorang lelaki parobaya dengan baju batik lengkap dengan blangkon
hitam bertengger di kepala, sekilas mirip dengan seorang dalang wayang kulit.
Ketiganya saling pandang satu sama lain, dan akhirnya pandangan mata jatuh pada
sosok berblangkon hitam. Seakan tahu dengan apa yang ingin diuangkapkan oleh ketiga tamunya, si laki-laki
berblangkon yang tak lain Kakek Pemikul Gunung berkata dengan arif, "Mungkin
agak sedikit mengejutkan bagi andika bertiga karena dengan cara yang tidak
lumrah untuk sebuah undangan persahabatan," Kakek Pemikul Gunung menghentikan
ucapannya sebentar, kemudian disambung," ... atau lebih tepat undangan
permohonan." Gadis berbaju biru pun segera angkat bicara.
"Tidak apa-apa, paman! Saya secara pribadi sangat maklum dengan undangan aneh
ini," sahut si gadis berbaju biru dengan tenang.
"Mari ... mari silahkan saudara bertiga masuk ke dalam." Kakek Pemikul Gunung
berkata sambil mempersilahkan tamu-tamu ajaibnya masuk. "Semuanya akan kami
jelaskan di dalam." -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Tiga Puluh Sembilan
"Jadi ... ?" "Benar! Itulah maksud saya memanggil nona ... "
"Saya Rintani." potong Rintani, " ... dan ini tunangan saya, Seto Kumolo."
"Paman boleh menyebut saya Gadis Naga Biru." ucap gadis berbaju biru laut yang
ternyata adalah putri Majikan Wisma Samudera, Ki Dirga Tirta. Dua orang gadis
cantik berbeda kulit itu saling pandang dan seperti sudah satu hati, mereka
menganggukkan kepala menyatakan persetujuannya.
"Kami bersedia membantu hingga masalah ini selesai," ucap Rintani, diplomatis.
"Terima kasih Rintani dan Gadis Naga Biru." sambung Ki Dalang Kandha Buwana,
setelah dengan panjang lebar menjelaskan duduk permasalahan yang saat ini mereka
hadapi. "Gadis Naga Biru" Kau ... Anak dari si Dirga Tirta?" seru Bidadari Berhati Kejam
dengan kaget. "Benar nini! Apakah nini mengenal ayah saya?" tanya si Gadis Naga Biru.
"Tidak kenal dengan pasti, hanya aku kenal dengan muridnya, si Tombak Perak
Tapak Maut. Pemuda itu pernah menolongku beberapa kali saat aku sedang dalam
kesulitan," kata si Bidadari Berhati Kejam.
"Si Tombak Perak Tapak Maut masih terhitung kakak seperguruan saya, nini."
"Bagaimana denganmu, saudara Seto Kumolo?"
"Selama tidak bertentangan dengan hati nurani dan berpijak di jalan kebenaran,
dengan kemampuan terbatas yang saya miliki ... saya bersedia membantu sekuat
tenaga hingga masalah tersebut tuntas," tandas Seto Kumolo dengan tegas.
"Kalau begitu ... delapan orang pemilik lambang Bintang Penakluk Iblis sudah
lengkap semua. Tinggal menyusun rencana menghadapi serbuan orang-orang Topeng
Tengkorak Emas kemari," tutur Juragan Padmanaba. "Tapi sebelumnya, saya ingin
menanyakan sesuatu pada Nakmas Paksi."
Pemuda berbaju putih berucap tenang, "Silahkan, Paman Padmanaba."
Juragan Padmanaba memperbaiki duduknya.
Semua orang yang ada disitu, termasuk si bocah tengil Simo Bangak yang kini
sudah ikut dalam pembicaraan duduk dengan tenang di samping Seto Kumolo. Mungkin
karena pantat kirinya sakit, duduknya agak miring ke kanan.
"Sebagai seorang ketua muda dari sebuah aliran besar, yaitu Istana Elang, pernah
terdengar bahwa secara turun temurun memiliki sebuah pusaka yang konon kabarnya
sanggup mempersatukan seluruh pendekar persilatan aliran lurus. Dari kabar yang
berembus pusaka langka itu dinamakan Pusaka Rembulan Perak."
"Memang benar, Paman."
"Nah ... setahuku dari beberapa kitab kuno yang pernah kubaca, pemilik lambang
Bintang Penakluk Iblis ke satu akan memiliki Mutiara Langit Putih, sedangkan
pemilik Bintang Penakluk Iblis ke delapan akan memiliki Mutiara Langit Merah.
Kita yang ada disini mengetahui bahwa Nakmas Paksi memiliki tanda bintang ke
satu, dan itu artinya bahwa saat Nakmaslah Mutiara Langit Putih."
"Untuk hal itu saya sendiri kurang begitu paham, paman. Namun jika yang paman
katakan tadi adalah benar, kemungkinan besar bahwa Mutiara Langit Putih adalah
sama dengan Pusaka Rembulan Perak. Sebab sudah beberapa kali orang-orang pemilik
Rajah Penerus Iblis berusaha untuk mendapatkan benda sakti itu, bahkan sampai
kakek saya sendiri nyaris tewas dalam mempertahankan pusaka tersebut agar tidak
jatuh ke tangan orang yang salah." kata Paksi Jaladara alias si Elang Salju
panjang lebar. "Lalu ... apa tujuan sebenarnya dari orang-orang yang memiliki Rajah Penerus
Iblis itu?" "Yang jelas ... mereka bertujuan mendirikan sebuah kerajaan di atas bumi!"
"Sebuah kerajaan?"
"Benar, sebuah kerajaan! Tapi bukan sembarang kerajaan, karena kerajaan yang
ingin dibangkitkan oleh orang-orang pemilik rajah setan bertanduk sampai
sekarang ini masih berdiri megah di alam gaib." kata Paksi Jaladara. " ... yaitu
Kerajaan Iblis Dasar Langit!"
"Dan dengan adanya Sepasang Mutiara Langit, maka kerajaan alam gaib itu bisa
didirikan di alam manusia, betul begitu?" tebak Bidadari Berhati Kejam, dengan
kengerian yang terpatri kuat.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.
"Jadi tujuan sebenarnya adalah memindahkan Kerajaan Iblis Dasar Langit di alam
gaib ke alam manusia?" tanya Juragan Padmanaba dengan antusias. Pipa tembakaunya
semakin jarang dihisap pertanda ia benar-benar memikirkan apa yang ingin
diungkapkannya. "Betul Paman Padmanaba! Coba paman bayangkan jika makhluk alam gaib bisa hidup
bebas merdeka di alam manusia. mereka bisa berbuat seenak perutnya di tempat
ini!" tegas Paksi Jaladara dengan jari telunjuk menghadap ke bawah.
"Gila!" "Betul-betul melanggar kodrat alam manusia dan alam gaib!"
"Itu namanya menentang hukum langit!" seru Seto Kumolo.
"Kita harus mencegahnya!" kata Rintani dengan nada keras.
"Itulah tujuan kita berkumpul disini!" kata Wanengpati setelah beberapa komentar
terlontar keluar, "Kita harus mencegah terjadinya perpindahan mengerikan itu."
Begitulah, hingga siang hari pembicaraan hangat penuh keakraban pun mengalir
lancar, tentu saja diselingi gelak tawa, apalagi jika bukan ulah konyol Simo
Bangak yang memang paling suka bikin ulah.
Akhirnya dibuat keputusan!
Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba dibantu Arjuna Sasrabahu dan Simo
Bangak ditugaskan mengungsikan seluruh warga Padukuhan Songsong Bayu ke tempat
yang aman, dibantu dengan beberapa orang jagabaya pimpinan Ki Suro. Mereka
mengungsikan penduduk setelah sebelumnya memberi penjelasan tentang keadaan
gawat yang sebentar lagi terjadi. Akhirnya dipilihlah tempat pesanggrahan
mendiang Penambahan Wicaksono Aji dimana tempatnya cukup luas dan lapang.
Menjelang sore, tugas dua sahabat yang kini berbesanan itu pun selesai.
Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng dan Wanengpati membuat formasi gaib
'Delapan Roh Penjuru Angin' yang di dapat dari kitab bersampul hitam pemberian
mendiang Panembahan Wicaksono Aji. Rupanya pendeta tua itu sudah bisa
memperkirakan segala kemungkinan yang akan menimpa anak yang dikandung Dhandhang
Gendhis, istri Wanengpati sehingga membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru
Angin' yang bertujuan untuk melindungi anak manusia yang sebentar lagi akan
menghirup manis getirnya kehidupan.
Dengan berbekal Mutiara Hastarupa Hastawarna yang diberikan oleh cantrik pendeta
sakti itu, yang sebelumnya telah dipesan bahwa jika ada orang memegang kitab
bersampul hitam meminta delapan butir mutiara, harus segera diberikan tanpa
perlu bertanya. Begitu Mutiara Hastarupa Hastawarna dilempar ke atas oleh
Wanengpati dan Seto Kumolo sesuai dengan petunjuk kitab, mutiara sebesar buah
kelapa muda segera melejit ke atas diikuti dengan pancaran delapan warna yang
bagai memenuhi angkasa. Srapp! Srapp!! Kemudian berputar cepat di langit biru sebanyak delapan kali putaran dan
akhirnya memencarkan diri ke delapan arah mata angin, menaungi seluruh wilayah
Padukuhan Songsong Bayu, tempat dimana majikan Mutiara Langit Merah berada.
Begitu jatuh ke tanah, langsung meresap masuk dan bersatu dengan bumi!
Akan halnya Ayu Parameswari, Rintani, Gadis Naga Biru dan Nawara yang baru tiba
sore itu bersamaan dengan saudara kembarnya serta Sepasang Raja Tua, empat orang
gadis yang memiliki pesona kecantikan masing-masing ditugaskan sebagai mata-
mata, mengintai segala kemungkinan terjadinya penyusupan. Memang tujuan utama
dari mengungsikan penduduk ke tempat lain adalah untuk mengantisipasi adanya
para penyusup, karena bagaimana pun juga yang namanya sebuah pertempuran tidak
lepas dari mata-mata yang kirim oleh lawan, namun pihak empat gadis cantik lebih
memilih dalam posisi bertahan.
Menjelang petang, Ayu Parameswari dan Nawara tiba lebih dahulu dan melaporkan
bahwa tidak ada gerakan sama sekali dari pihak lawan, lalu diikuti dengan
kedatangan Rintani dan Gadis Naga Biru, mengatakan hal yang sama pada si Elang
Salju dan Wanengpati yang saat itu masih membahas langkah-langkah yang harus
diambil depan pendapa. Justru melihat kondisi yang serba aman ini, membuat Paksi Jaladara semakin
curiga. "Aneh! Tidak mungkin rasanya jika pihak si Topeng Tengkorak Emas tidak melakukan
gerakan apa pun." gumam si Elang Salju setelah menerima laporan para gadis
tersebut, "Harus digunakan cara lain untuk mengetahui apa bentuk gerakan
mereka." Dalam dalam hati ia berkata, "Bantuan si Perak akan sangat membantu
dalam mengatasi hal ini."
"Cara lain" Apa maksud Dimas Paksi?" tanya Wanengpati heran.
"Apa kakang tidak merasa aneh dengan situasi saat ini," urai Paksi Jaladara,
" ... jika dipikir-pikir, tidak mungkin pihak lawan membiarkan benda yang mereka
inginkan sudah berada di depan mata, dibiarkan bebas lepas begitu saja. Ini
justru mencurigakan!"
"Benar! Ini teramat sangat mencurigakan!" kata Wanengpati, "Entah dengan cara
bagaimana mereka akan menyerang kita, sedang Gerhana Matahari Kegelapan akan
terjadi besok siang. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu!" kata
gusar Wanengpati. Bagaimana tidak gusar, nyawa istri dan anaknya dipertaruhkan demi keselamatan
dunia! "Masih ada satu cara lagi, Kakang Wanengpati."
"Benarkah?" potong Wanengpati, cepat. "Bagaimana caranya?"
Si Elang Salju hanya tersenyum saja, lalu dua jari telunjuk kiri kanan
dimasukkan ke dalam mulut, tepatnya di depan bibir menghisap napas dalam-dalam
setelah itu udara dikeluarkan hingga menimbulkan bunyi nyaring.
Suittt!! Suuittt!! Suuitt!!
Tiga suitan panjang terdengar mengangkasa, diikuti dengan tiga gulungan cahaya


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tipis putih keperakan yang membumbung tinggi ke langit.
"Apa yang dilakukan pemuda berpedang aneh ini?" pikir Wanengpati.
Paksi Jaladara yang saat itu tidak menyandang Pedang Samurai Kazebito, namun
pedang panjang dari Negeri Matahari Terbit diletakkan di atas meja yang jaraknya
dua jangkauan jauhnya. "Sobatku sudah datang, Kakang Wanengpati!" kata Paksi Jaladara.
"Sobat yang mana" Aku tidak melihat siapa-siapa?" kata Wanengpati melihat ke
sekeliling, namun tidak ditemukan siapa pun juga.
"Dia bukan manusia, ... "
"Bukan manusia" Apa jin" Setan?"
"Sebentar lagi kakang juga tahu." sambung Paksi Jaladara.
Dari arah barat, dimana sang Dewa Surya kembali ke peraduan abadi, terlihat
setitik kecil cahaya putih yang semakin lama semakin membesar. Dalam dua tiga
helaan napas, sosok yang terbang mengangkasa telah mendekati tempat dimana Paksi
Jaladara dan Wanengpati berdiri tegak.
Wuss ... ! Kelebatan angin mengiringi datangnya sosok yang kini sedang berputaran rendah
memperdengarkan teriakan nyaring.
Awkkk! Aawwkkk!! Kemudian, sosok putih keperakan menukik tajam, mengarah ke Paksi Jaladara!
Wess! "Ha-ha-ha! Kau masih mau coba-coba lagi denganku, ya?" seru Paksi Jaladara
sambil berjumpalitan ke belakang dua tiga kali.
Begitu Paksi sejarak lima enam tombak dari tempat berdirinya semula, ia segera
berdiri kokoh bersedekap.
Sosok putih keperakan yang serangannya meleset, segera melambung ke atas, lalu
terbang rendah dan akhirnya ... hinggap di pundak kiri Paksi!
Seekor burung elang! Mahkluk mana lagi yang bisa seakrab itu dengan Paksi Jaladara jika bukan si
Perak adanya! "Ha-ha-ha! Bagaimana kabarmu, sobat?" seru Paksi dengan sedikit mendongak ke
kiri atas Kerr! Kerr!! Toook! Sosok putih keperakan itu mematuk pelan bagian tengah kepala.
"Iya ... iya ... maaf! Saking sibuknya kita jarang bertemu," ucap Paksi sambil
mengelus-elus kepalanya yang dipatuk.
Kerr! Krrh! "Oo ... begitu ya!" Jadi ada utusan dari istana yang akan datang kemari?" kata
Paksi. Tentu saja pembicaraan aneh itu hanya bisa dipahami oleh Paksi Jaladara dan
elang berbulu putih mulus. Mereka berbicara layaknya manusia dengan manusia.
"Hehe, kukira apa" Ternyata cuma elang putih ... " Wanengpati tertawa lirih,
tapi dalam hati ia berkata, " ... butuh waktu lama untuk bisa mendidik penguasa
angkasa menjadi sejinak itu. Benar-benar pemuda luar biasa dia!"
'Benar, kakang. Inilah sahabatku. Si Perak namanya." jawab Paksi sambil mengelus
punggung si perak dengan tangan kanan lewat belakang kepala.
Si Perak menurunkan kepala dengan leher terjulur ke depan, berkesan memberi
hormat pada Wanengpati. "Elang pintar! Ha-ha-ha!" ucap Wanengpati dengan tawa berderai keras melihat
tingkah laku peliharaan Ketua Muda Istana Elang itu. "Perlu waktu bertahun-tahun
agar bisa membuat satwa liar ini bisa mengerti dan memahami bahasa manusia,"
pikirnya. "Perak, saat ini keadaan sedang genting! Kau kutugaskan mengawasi dari
kejauhan." Kerrr ... kerr ... ! "Iya, aku juga kangen denganmu tapi tugas ini lebih penting dari sekedar kangen-
kangenan," kata Paksi Jaladara sambil membelai lembut kepala si elang, yang
langsung mendusal-dusalkan kepala putihnya dengan manja.
Kerrrh ... kerr ... ! "Awasi setiap orang yang menuju ke tempat ini, termasuk juga yang bisa keluar
masuk dengan bebas ke tempat ini." kata Paksi pada si perak. "Jika ada yang
mencurigakan, segera kemari. Pergilah!"
Burung elang itu langsung terbang mengangkasa saat mendapat perintah dari
majikan mudanya, berputaran sebentar di udara, lalu melesat ke arah timur laut
mengeluarkan pekikan nyaring.
Awwwkk ... awwwkk ... ! "Hebat juga kau!"
"Apanya yang hebat?" tanya Paksi, heran.
"Jarang kujumpai orang yang bisa seakrab itu dengan satwa seperti elangmu itu,"
tutur Wanengpati menerawang ke kejauhan, "Biasanya yang sering kujumpai adalah
harimau atau ular dengan pawangnya, anjing dengan majikannya, tapi baru kali ini
aku jumpai elang dengan tuannya."
"Ha-ha-ha! Kakang ini bisa-bisa saja membuat istilah."
"Sebenarnya aku dan Seto Kumolo sudah membuat formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru
Angin' untuk melindungi padukuhan ini."
"Formasi gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin'?"
"Benar! Formasi ini selain bisa melindungi calon anakku, juga sekaligus
melindungi padukuhan ini dari penyusup gaib atau mahkluk halus yang bisa saja
disuruh oleh si Topeng Tengkorak Emas."
"Begitu rupanya."
"Sore tadi, ada sejenis demit yang berusaha menyusup masuk, tapi ia terbakar
saat menyentuh dinding formasi bagian tenggara." kata Wanengpati. "Itu artinya
mereka memang bertujuan menghancurkan kita luar dalam.
Paksi Jaladara mengangguk pelan.
-o0o- Saat malam tiba ... Semua orang yang terlibat dalam misi mempertahankan Padukuhan Songsong Bayu
telah berkumpul semua, kecuali Sepasang Raja, Sepasang Naga Dan Rajawali serta
Ayu Parameswari yang terus berpatroli di sekitar padukuhan. Tentu saja Sepasang
Naga Dan Rajawali yang memiliki ilmu pendengaran 'Empat Arah Pembeda Gerak'
sangat diperlukan mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Sebab gerakan
sekecil apa pun dari pihak musuh, pasti bisa didengar oleh sepasang anak kembar
yang memiliki ikatan batin kuat ini.
Akan halnya Sepasang Raja Tua, terutama sekali Raja Pemalas sangat diandalkan
penciumannya yang bisa membaui lawan dalam jarak puluhan tombak sekalipun,
sedang Raja Penidur memiliki ilmu khas yang bisa mengendus hawa orang-orang yang
memiliki kekuatan gaib. Akan halnya Ayu Parameswari, murid tunggal nini Naga
Bara Merah yang memiliki Ilmu 'Susup Sukma Gaib', dimana ilmu warisan dari Sang
Api ini bisa mengetahui keberadaan segala jenis bangsa gaib, dimanapun mereka
berada,meski di liang semut sekalipun!
Kedatangan orang-orang Partai Ikan Terbang sejumlah tiga laki-laki, dua orang
utusan Perguruan Perisai Sakti yang sebelumnya telah mereka kenal yaitu
Suratmandi dan Wiratsoko serta Ketua Perguruan Perisai Sakti berkenan datang
yang berjuluk Perisai Baja Bermata Sembilan yang berusia hampir tujuh puluh
tahunan, serta menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang
Patah itu tidak luput dari intaian lima jago kelas wahid ini. Tentu saja mereka
harus melalui serangkaian ujian membuktikan bahwa kedatangan mereka ke Padukuhan
Songsong Bayu benar-benar murni dalam artian tidak ditunggangi rajah setan
bertanduk dan yang penting harus dipastikan bahwa mereka bukan mata-mata musuh!
Setelah yakin dengan maksud dan tujuan mereka semua, barulah tiga belas orang
itu diperbolehkan memasuki padukuhan.
Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan suka cita oleh Ki Dalang Kandha
Buwana dan Juragan Padmanaba.
-o0o- Sementara itu, di waktu yang sama namun tempat yang berbeda ...
Di Kerajaan Iblis Dasar Langit, terlihat beberapa orang sedang duduk tenang,
menghadapi sebuah singgasana terbuat dari emas murni mengkilat. Dua pegangan
kursi berbentuk ukiran ular raksasa dengan sepasang mata yang hijau bersinar.
Ukiran itu begitu hidup dan nyata, seperti menyiratkan bahwa ular itu benar-
benar hidup. Justru yang aneh adalah ternyata pada bagian sandaran kursi
berwujud seraut wajah seram bermata merah menyala, dimana ukiran itu tidak
berwarna hitam tapi berwarna kuning emas serta di tempat pijakan kaki terhampar
sebentuk kulit harimau tutul yang besar.
Tiba-tiba, terdengar suara menggema yang berasal dari enam orang yang duduk
ditempat itu. "Salam sejahtera, Maharaja Agung!"
Dan entah darimana datangnya, di kursi yang berbentuk menyeramkan itu telah
duduk satu sosok berjubah perak lengkap dengan topeng berwujud tengkorak terbuat
dari campuran baja dan perak murni. Siapa lagi yang disebut Maharaja Agung jika
bukan si Topeng Tengkorak Baja alias Raja Diraja Iblis Dasar Langit, orang nomor
satu dari Kerajaan Iblis Dasar Langit di alam gaib.
Begitu ia mengusapkan tangan ke wajah, topeng tengkorak langsung lenyap. Yang
terlihat justru seraut wajah tampan dengan sorot mata tajam menyiratkan
kekejaman. Pada wajah tampan itu justru terusik sebentuk lukisan ular bertanduk
dari dahi hingga ke leher, kemudian menghilang ke dalam balik jubah peraknya.
Namun yang paling menakutkan bukanlah wajah dengan rajah ular tersebut, tapi
hawa pekat yang kian lama kian membuncah menyelimuti balairung itu.
"Enam senopati! Bagaimana persiapan pendirian kerajaan kita di atas bumi?"
Salah seorang senopati yang paling tengah, menyembah dengan khidmat, lalu
berkata lantang, "Lapor, Maharaja Agung! Gusti Pangeran saat ini telah selesai
mempersiapkan bekas wilayah Kerajaan Kediri! Bahkan Upacara Panca Makara akan
dilaksanakan tepat pada tengah malam ini juga."
"Bagus ... bagus! Jika begitu kita tinggal menjalankan sesuai dengan rencana."
Seorang senopati perempuan berkepala manusia bertubuh ular, menyela pembicaraan.
"Maharaja Agung, maaf saya sedikit menyela pembicaraan."
"Ada apa, Taksaka Sunti?" tanya si Maharaja Agung dengan penuh wibawa.
"Bagaimana dengan Mutiara Langit Merah" Apakah kita harus merebutnya dari tangan
manusia-manusia bodoh itu?" tanya siluman ular yang bernama Taksaka Sunti.
"Bagaimana pun juga Mutiara Langit Merah merupakan syarat utama berdirinya
kerajaan kita yang agung ini."
Taksaka Sunti merupakan adik kandung dari Taksaka Abang yang kini sedang
membantu Pangeran Nawa Prabancana mempersiapkan Upacara Panca Makara di bekas
Kerajaan Kediri. "Sunti, memangnya manusia-manusia tolol itu bisa apa?" bentak salah seorang yang
bermuka kuda dengan rumbai hitam di belakang kepala. "Berani-beraninya kau buka
mulut seperti itu di hadapan Maharaja Agung!"
Dialah yang disebut sebagai Senopati Jaran Panoleh, selain memiliki kesaktian
yang tinggi, juga yang paling menggebu-gebu dalam hal berhubungan dengan lawan
jenis. Tentu saja melihat Taksaka Sunti yang cantik dan menggairahkan
menimbulkan hasrat membara di dalam dirinya, namun di hadapan sang Maharaja
Agung, ia tidak berani berbuat kurang ajar seperti biasanya.
"Sudahlah, Senopati Jaran Panoleh! Apa yang diungkapkan Taksaka Sunti itu memang
benar! Meski mereka manusia tolol, tapi setidaknya dua orang dari kalian telah
tewas di tangan manusia-manusia tolol itu," kata Maharaja Agung dengan bijak.
"Siapa yang meragukan kemampuan manusia-manusia tolol itu berarti harus siap
kehilangan nyawa!" Semua yang ada disitu terdiam. Bernapas pun sangat hati-hati, sebab mereka semua
merasakan bahwa hawa gaib sang Maharaja Agung semakin pekat saat disindir
tentang kematian dua senopati, yaitu Jin Hitam dan Gendruwo Sungsang.
Seorang yang berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh mirip ekor
kalajengking sedang melilit pinggang wajah tirus dengan mata kecil licik, saat
ia menyeringai sepasang taring kecil terlihat di sudut bibir, memecahkan
keheningan. "Mohon maaf, Maharaja Agung! Hamba mau melaporkan hal penting."
"Silahkan, Senopati Kala Hitam!"
"Dua orang anak buah saya, Kala Kuning dan Kala Merah baru saja melaporkan
keadaan yang ada di luar."
"Teruskan!" "Kala Merah tewas saat berusaha menyusup ke Padukuhan Songsong Bayu, Paduka!"
"Apakah mereka ketahuan?"
"Tidak, Paduka!"
"Lalu ... bagaimana kala merah bisa tewas?"
"Mereka berdua saya tugaskan untuk mengintai seberapa besar kekuatan lawan,
namun saat mendekati sisi tenggara padukuhan, Kala Merah secara tidak sengaja
tersengat pagar gaib pemusnah yang dipasang di delapan penjuru dan akhirnya
tewas seketika," kata Senopati Kala Hitam. "Sedang Kala Kuning masih sempat
menghindar meski harus mengorbankan tangan kirinya saat ia berusaha menolong
kala merah." "Keparat! Jadi mereka telah menanam pagar gaib?" gumam Senopati Jaran Panoleh.
"Laporkan saja bagian yang penting!" potong si Topeng Tengkorak Baja mendengar
laporan yang berbelit-belit.
"Baik, Paduka! Di padukuhan ternyata telah berkumpul tujuh dari delapan orang
pemilik Bintang Penakluk Iblis serta pemilik dari Mutiara Langit Putih juga
berada di tempat itu pula," kata Senopati Kala Hitam.
"Apa?" Lima senopati yang lain tersentak kaget.
Tentu saja kaget, sebab dengan satu saja dari pemilik Delapan Bintang Penakluk
Iblis sudah bisa membinasakan mereka, kini malah tujuh orang berkumpul
sekaligus! Kali ini para senopati dari istana gaib benar-benar dihadapkan pada situasi yang
mengkhawatirkan! "Tujuh orang pemilik Bintang Penakluk Iblis telah terkumpul" Kenapa tidak
delapan orang?" tanya sang Maharaja Agung dengan heran setelah keterkejutan
mendengar berita dari Senopati Kala Hitam.
"Sebab pemilik bintang ke delapan yang juga majikan mutiara langit merah belum
lahir!" kata Senopati Kala Hitam pelan.
Maharaja Agung terdiam. Lalu ia berkata dengan suara keras.
"Kurang ajar! Manusia-manusia di atas bumi memang tidak bisa dianggap enteng!"
geram Maharaja Agung, lalu ia berdiri dan berkata lantang, "Apa kalian siap
berkorban nyawa demi kejayaan negeri kita?"
"Siap, Paduka! Seluruh jiwa raga!" seru enam senopati dengan mantap.
"Senopati Jaran Panoleh!"
"Siap, Paduka!" kata Senopati Jaran Panoleh sambil berdiri, siap menerima titah.
"Siapkan seluruh Pasukan Kuda Iblis!"
"Laksanakan perintah!" kata Senopati Jaran Panoleh, lalu setelah memberi hormat,
ia langsung raib dari tempat itu.
"Senopati Kala Hitam dan Taksaka Sunti!"
"Siap, Paduka!" kata Senopati Kala Hitam dan taksaka sunti bersamaan.
"Siapkan seluruh Kelompok Kala Maut dan Barisan Ular Setan!"
"Laksanakan perintah!" kata Senopati Kala Hitam dan Taksaka Sunti, lalu setelah
memberi hormat, ia langsung raib dari tempat itu seperti Senopati Jaran Panoleh.
Pada Senopati Segawon Alas, Senopati Babi Angot dan Senopati Monyet Plangon
mendapatkan tugas masing-masing.
Sebentar kemudian, balairung istana sudah sepi. Yang tersisa hanyalah sang
Maharaja Agung yang terduduk lesu.
"Bagaimana pun juga kesempatan ini harus bisa kuraih! Meski harus mengorbankan
beberapa ratus prajurit tangguh tapi cukup sepadan dengan hasil yang bisa
diraih," pikirnya, lalu ia berkata lantang, " .... tidak lama lagi ... ya, tidak
lama lagi Kerajaan Iblis Dasar Langit akan berdiri megah di muka bumi! Hua-ha-
ha-ha!" Ia tertawa keras, sampai menggetarkan dinding-dinding istana.
Kemudian ia turun dari singgasana, berjalan cepat memasuki sebuah lorong yang
berkelok-kelok. Hingga sampai di sebuah taman sari nan asri dan indah terawat.
Didalamnya terdapat sebuah kolam yang besar dan lebar dengan dinding dihiasi
batu-batu pualam biru yang bisa memantulkan cahaya kemilau.
Terlihat di tepi kolam sesosok wanita cantik berkulit kuning langsat sedang
merendam diri. Tentu saja beningnya air tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuh
menawan terutama sekali sebentuk payudara padat dan kenyal yang membayang jelas.
Wanita cantik bertubuh indah itu tersenyum manis melihat kedatangan sang
Maharaja Agung. Sang Maharaja Agung segera melepas seluruh benda yang melekat ditubuh dan
sebentar saja ia sudah masuk ke dalam kolam, dan tanpa banyak kata langsung
menyergap bibir merah merekah yang sudah menanti. Sebentar kemudian dua insan
berbeda alam sudah saling pagut dan saling lilit di dalam air, bahkan saat pilar
tunggal milik Maharaja Agung menerobos masuk ke dalam gua rimba milik wanita
yang ada dalam dekapan tangan kekarnya, seketika melenguh kecil merasakan
kenikmatan yang tiada tara saat tonggak keramat besar dan panjang itu berhasil
menerobos masuk dan menghentak-hentak di dalam dinding gua kenikmatan.
Kini ... dua insan beda alam sedang menikmati indahnya percumbuan di dalam kolam
bening. Sebenarnya ... siapakah wanita cantik itu"


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tak lain adalah Danayi, murid Perguruan Rimba Putih yang kini resmi sebagai Permaisuri Kerajaan!
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh
Di bekas Kerajaan Kediri ...
Pangeran Nawa Prabancana atau di kalangan persilatan dikenal sebagai Topeng
Tengkorak Emas sedang memimpin upacara Panca Makara. Delapan orang laki-laki,
termasuk didalamnya Nawa Prabancana yang bertindak sebagai Cakra Iswara
(pemimpin upacara Aliran Bhirawa Tantra) dan delapan orang perempuan dalam
keadaan tanpa busana secuilpun mengelilingi 'Mukara' atau tumpeng selamatan.
Mukara yang berada ditengah-tengah berisi sesaji yang terdiri daging, ikan dan
arak. Api kuning kemerahan semakin menjilat-jilat liar mengikuti gerak enam belas
pasang tangan yang menari-nari dengan irama tertentu. Kadang meliuk ke kiri,
kadang ke kanan, bahkan adanya condong ke depan hingga menyentuh tanah. Tapak
tangan mereka berkali-kali menghentak ke tanah diikuti suara keras.
"Huu ... haaaa ... huuu ... !!"
Begitu berturut-turut teriakan terdengar bagai ingin merobek-robek pekatnya
malam. Kemudian Cakra Iswara berdiri dikuti dengan lima belas orang lainnya
berlari-lari kecil mengitari Mukara. Setelah delapan kali putaran, Nawa
Prabancana memungut daging mentah, diikuti dengan yang lain.
Kali ini ritual makan daging (Modsa) dimulai!
Bagai orang kesurupan, mereka makan daging mentah seperti makan ayam panggang.
Memang benar apa yang dikatakan Tabib Sakti Berjari Sebelas bahwa orang yang
sering kali meninum darah dan makan daging mentah, sedikit demi sedikit akan
kehilangan sifat kemanusiaan dan pada akhirnya berubah menjadi sifat buas yang
ada pada binatang. Sifat bawaan manusia yang sesungguhnya telah berganti haluan
menjadi sifat buas yang mengerikan!
Setelah ritual 'Modsa' selesai, dilanjutkan dengan 'Modsia' (makan ikan). Mereka
berenam belas saling berebutan melahap ikan mentah yang sudah tertata rapi di
atas tumpeng. Sambil tetap berlari-lari kecil, ikan mentah langsung dilahap
dengan nikmat. Benar-benar perbuatan biadab!
Tak lama kemudian, setelah ikan mentah berpindah ke dalam perut, giliran untuk
menghilangkan haus, dan satu-satunya benda cair ditempat itu adalah arak.
Ritual 'Modya' (minum arak sampai mabuk)!
Bau arak segera menguar kemana-mana. Kali ini teriakan sudah tidak seperti
sebelumnya, bahkan setelah sepeminuman teh berlangsung, beberapa orang mulai
setengah mabuk. Cuma Nawa Prabancana saja yang nampak paling kuat takaran
minumnya. Beberapa guci telah berpindah ke dalam perut, tapi ia masih kokoh
bagai batu karang. Saat guci-guci arak telah kosong, mereka segera berpasangan, dan ditempat itu
pula terjadilah perbuatan terkutuk!
Ritual 'Mautuna' (bersenggama) telah digelar!
Tubuh telanjang saling merapat dan menyatu diiringi dengan desahan nafsu dan
lenguhan kenikmatan. Bahkan beberapa wanita terlihat mengerang kenikmatan saat
gua rimba mereka ditikam sebentuk pilar tunggal yang langsung mengaduk-aduk
seluruh bagian dalam rongga gua yang telah basah dan lembab oleh cairan surga.
Saat ritual 'Mautuna' digelar itulah, hawa gelap segera menyelimuti tempat itu,
dan secara perlahan-lahan membentuk satu sosok bayangan raksasa bermata merah
menyala dengan dua tanduk besar di atas telinga. Sebuah seringai iblis
terpampang dengan jelas. Setan Bertanduk! "Bagus! Bagus! Kalian memang benar-benar pengikutku yang sejati!"
Setan Bertanduk tertawa, semakin lama semakin keras bahkan tempat upacara para
penganut Tantra sampai bergetar keras. Akan tetapi getaran keras itu ternyata
kalah dengan getaran nafsu yang kian membara.
Setelah puas dengan ritual Mautuna, enam belas orang itu segera mengambil sikap
semadi (Mudra) mengelilingi api unggun yang kobaran apinya justru semakin
berkobar-kobar. Cara semadi yang diperlihatkan pengikut Aliran Bhirawa Tantra
cukup aneh, dimana laki-laki duduk bersila di tanah sedang posisi perempuan
berada di pangkuan dengan muka saling berhadapan, tentu saja pilar tunggal
menyatu dengan gua rimba. Setelah itu, sepasang tangan laki-laki mencengkeram
sepasang payudara padat yang basah oleh keringat nafsu sedang sepasang tangan
perempuan melingkari leher pasangannya.
Mata terpejam dengan napas diatur sepelan mungkin.
Ritual ini dinamakan Mudra Lingga Yoni, semadi penyatuan hawa kehidupan dari
masing-masing pasangan setelah nafsu perut dan nafsu syahwat terpenuhi. Sebentar
kemudian, suasana sepi menyapa. Akan tetapi, suasana ini justru membuat Setan
Bertanduk menggerak-gerakkan sepasang tanduk di atas kepalanya.
Sratt! Sebentuk cahaya hitam pekat menyebar, menyelubungi delapan pasang manusia yang
menggelar ritual sesat di bekas Kerajaan Kediri. Sebentar kemudian cahaya itu
terpecah. Pyarrr! Dan membentuk delapan pasang sosok hitam yang sama bentuk dengan setan
bertanduk, kemudian masing-masing melesat masuk ke ubun-ubun kepala delapan
orang yang sedang Mudra Lingga Yoni.
Blessh! Bleshh!! Begitu masuk ke dalam ubun-ubun, delapan pasang manusia itu langsung raib tanpa
bekas. Menghilang secara gaib! "Ha-ha-ha! Sebentar lagi ... sebentar lagi kerajaanku akan berdiri megah di
tempat ini! Kalian Delapan Bintang Iblis Kegelepan yang akan memimpin
kerajaanku! Ha-ha-ha!"
Suara tawa keras menggema dan bersamaan dengan itu pula, lenyap juga Setan
Bertanduk ditempat itu. Yang tersisa hanyalah api unggun yang nyala apinya mulai
redup dan bekas-bekas upacara Panca Makara di tempat itu.
Dan akhirnya ... malam gelap kembali meraja!
-o0o- Pagi hari saat ayam jantan berkokok ....
Setengah hari sebelum Gerhana Matahari Kegelapan terjadi ...
Dua bayangan berkelebatan cepat membentuk gulungan hitam dan biru yang saling
serang silih berganti. Kadang bayangan biru berhasil mendesak bayangan hitam,
namun kadang gantian bayangan hitam dengan serta merta menekan bayangan biru.
"Hiyaa ... " Teriakan nyaring terdengar saat si bayangan biru menggunakan telapak tangan
miring berusaha menebas lawan.
Set!! Dengan elakan manis, bayangan hitam berhasil membebaskan diri dari sergapan
tapak bayangan biru. Namun ia kecele.
Wutt! Wuttz ... !! Serangan pertama hanya gerak pancing, sedang serangan yang sebenarnya adalah
tebasan tangan kiri yang bagai merobek-robek udara. Serangan tapak mengalir
begitu saja bagai aliran sungai, begitu rapat bagai jaring-jaring ikan yang
menebar. Weleh-weleh, seranga ntapaknya begitu gencar," pikir bayangan hitam sambil
berkelebatan di antara celah jurus tapak yang datang bagai bandar bandang,
sekilas bagai harimau muda yang bergerak lincah. Bahkan beberapa kali
bergulingan di tanah sambil kaki melakukan tendangan menyusur tanah.
Srakk! Srakk!! Acap kali pula, bayangan hitam bersalto diantara kelebatan tapak yang
mengurungnya rapat. "Bocah ini benar-benar luar biasa! Dia bisa menghindari 'Selaksa Tapak Membelah
Laut'-ku," bayangan biru sambil melompat ke atas saat berusaha menghindari
samparan kaki lawan. "He-he-he, kena kau sekarang!" gumam si bayangan hitam.
Lima jari tangan membentuk cakar harimau dan dengan sigap menerjang ke jurusan
dada. Wutt! Jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' digunakan pada waktu yang tepat saat
dimana bayangan biru dalam posisi tidak siap sehabis melakukan lompatan tinggi.
Suara cuitan tajam membelah udara dan langsung menghantam masuk dada lawan.
Si bayangan biru terlonjak kaget mendapati serangan kilat yang mengarah ke dada.
"Brengsek! Bocah ini pasti punya niat jahil padaku!" pikir si gadis memompa
cepat hawa tenaga dalam membentuk perisai pelindung.
Bukk! Bukk! Jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' membentur sebentuk lapisan dinding
hawa biru laut yang sejarak sejengkal dari dada bayangan biru.
"Wadaooo ... " Teriakan nyaring terdengar saat lima jangan si bayangan hitam merah matang.
"Bukankah janjinya hanya pakai peringan tubuh saja tanpa embel-embel tenaga
dalam?" semprot si bayangan hitam sambil meniup-niup jari tangannya yang kini
segedhe pisang. Siapa lagi jika bukan Simo Bangak, si bocah tengil dari Bukit Harimau"
"Salah sendiri kenapa kau jahil padaku?" elak si bayangan biru, yang ternyata
seorang gadis cantik dengan pita biru mengikat rambut panjang, sewarna dengan
baju biru laut bercelana biru tua serta di bagian pinggang terlilit sebuah sabuk
hijau garis-garis merah. Dialah putri tunggal Ki Dirga Tirta yang berjuluk Gadis Naga Biru!
"Jahil bagaimana?" tanya Simo Bangak, karena ia memang benar-benar tidak tahu
apa maksud ucapan gadis lawan tandingnya.
Dengan mata sedikit mendelik yang justru semakin menambah kecantikannya, ia
berkata, "jurus seranganmu itu mengarah kesini," katanya sambil menunjuk dada
montoknya, "Apa itu tidak jahil namanya?"
"Lho, memang jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' sasarannya di ulu hati
dan dada, kalau mau di kepala ya ... jurus 'Harimau Menggulung Topan'," sahut
Simo Bangak sambil tetap membela dirinya bahwa dirinya tidak bersalah sama
sekali. Padahal dalam hatinya ia memaki panjang pendek, "Gagal dech! Mulanya
kupingin meremas dada montok yang menggelembung besar itu, eh ... malah tanganku
yang hancur kayak gini. Nasib ... nasib!"
"Bodo amat! Pokoknya kau mau menjahiliku! Titik!"
"Tidak bisa! Memang jurusku seperti itu! Untuk apa aku menjahilimu" Aku khan
masih kecil!" "Masih kecil?" sahut heran Gadis Naga Biru, "Iya memang kau masih kecil, tapi
otakmu sudah besar!" semprotnya. "Sekali lagi kau bilang masih kecil, aku remas
mulut bawelmu!" Cep klakep! Simo Bangak diam seribu bahasa. Entah mengapa saat ia adu debat dengan gadis
usia delapan belas tahunan itu ia selalu kalah. Padahal adu debat dengan Joko
Keling ia selalu menang, meski menang tipis sih. Apalagi jika ia menggoda Seto
Kumolo dan Rintani yang kemana-mana selalu berdua, mulut jahil tidak bakalan
berhenti sebelum dua orang kekasih itu pergi dengan muka merah padam. Bahkan Ki
Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba yang notabene terhitung orang tua
juga tidak lepas dari sifat jahilnya. Hanya pada Paksi Jaladara saja bocah
gemblung itu tidak bisa menyalurkan hasrat jahilnya. Entah mengapa ia merasa
segan pada pemuda berbaju putih-putih itu.
"Simo, kau itu memang jahilnya tidak ketulungan. Kalau ketahuan kakekmu, kau
pasti bakal direndam di kubangan lumpur tiga hari tiga malam lamanya," seru
Paksi Jaladara yang melihat sejarak dua tombak dari arena latih tanding antara
Gadis Naga Biru dan Simo Bangak.
"Wah ... aku dikeroyok dua orang nih."
"Siapa yang mengeroyokmu?" Gadis Naga Biru bertanya dengan nada bentak.
Melihat mata melotot besar ke arahnya, Simo Bangak hanya meringis ngeri.
"Amit-amit jabang kodok! Matamu mau keluar tuh," ejek Simo Bangak sambil berlari
menjauh. "E-e-e, bocah sableng! Berani benar kau berkata begitu padaku! Sinikan
mulutmu ... kutabok pulang pergi baru tahu rasa kau!"
Baru saja gadis cantik berbaju biru berniat mengejar, sebuah tangan memegangnya.
"Buat apa kau mengejar bocah sableng itu?" seru si pemuda yang ternyata Paksi
Jaladara. "Tapi kakang ... "
"Apa kau memang sebegitu marahnya pada anak itu?"
"Aku tidak marah padanya." Katanya kemudian, "Entah kenapa kalau adu debat
dengannya aku merasa senang saja, seperti dia itu adikku sendiri. Rasanya begitu
aneh menurutku. Pokoknya asyik!"
"Apa kau punya seorang atau dua orang adik barangkali?"
"Tidak. Aku anak tunggal. Ibuku meninggal saat aku dilahirkan."
"Maaf kalau begitu."
"Tidak apa-apa kakang," sahut Gadis Naga Biru sambil duduk bersebelahan dengan
Paksi Jaladara. Sesaat keheningan meraja.
"Apa ayahmu, Ki Dirga Tirta tidak menikah lagi?"
"Ayahku terlalu setia pada mendiang ibu." sahut Gadis Naga Biru, pelan. "Beliau
bersumpah hanya menikah satu kali dengan ibuku. Aku sangat menghargai ketegasan
ayahku. Demikian juga dengan Kakang Wisnu Jelantik murid utama ayah juga tidak
bisa merubah pendirian ayah."
"Wisnu Jelantik" Dia ... tunanganmu?" tanya Paksi Jaladara, ada sedikit nada
kecewa yang tersamar. "Bukan! Aku menganggap Kakang Wisnu Jelantik sebagai kakakku sendiri. Kalau kau
mengenal Si Tombak Perak Tapak Maut, dialah orangnya," ucap Gadis Naga Biru.
"Jadi selama ini ... kau hanya menuntut ilmu saja pada ayahmu?"
"Tidak juga. Kadang-kadang aku keluar wisma dan berjalan-jalan beberapa waktu.
Supaya tidak jenuh saja," katanya sambil menoleh ke samping dan pada saat yang
bersamaan, sinar mata iindah gadis itu langsung beradu pandang dengan sorot mata
elang Paksi Jaladara. "Sinar mata itu ... begitu menawan dan teduh, seolah berusaha mengaduk-aduk
seluruh isi hatiku. Belum pernah dalam hidupku menjumpai sinar mata yang begitu
teduh penuh perlindungan seperti milik Kakang Paksi," batin Gadis Naga Biru
sambil berdebar-debar, menatap pandang pemuda yang ada didepannya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Paksi Jaladara tiba-tiba.
"Ah .. apa?" sahut Gadis Naga Biru sambil tergagap kaget.
"Apa yang kau lihat di mataku, Retno Palupi?" tanya ulang Paksi Jaladara.
"Ahh ... dari mana kakang Paksi mengetahui nama asliku" Padahal aku belum
mengenalkan nama asliku pada siapa pun yang ada disini," tanya heran si Gadis
Naga Biru yang ternyata bernama asli Retno Palupi.
"Aku telah menjenguk isi hatimu," kata Paksi sambil beringsut mendekat, " ...
disana tertulis indah namamu. RETNO PALUPI! Nama yang cantik, secantik
orangnya." Selebar wajah cantk Retno Palupi memerah dadu.
"Apa yang kau lihat di dalam hatiku, Retno Palupi?" tanya ulang Paksi Jaladara
untuk ketiga kalinya. Mata indah Retno Palupi menatap tajam mata elang Paksi.
"Aku melihat ... " kata Retno Palupi menggantung sambil membuat seulas senyuman
manis. Dua lesung pipit terbentuk bagai bulan sabit kembar di pipi halus gadis itu.
Paksi masih menunggu jawaban si gadis.
"Aku hanya melihat ... pemuda nakal yang tengah mempermainkan hati seorang
gadis," kata Retno Palupi bangkit berdiri sambil menundukkan wajah, lalu
berkelebat cepat ke arah timur.
Blasss! Paksi Jaladara kaget. "Waduh .. jangan-jangan dia tersinggung lagi," pikirnya sambil berkelebat cepat,
menyusul Retno Palupi ke jurusan timur.
Dua insan itu tidak menyadari bahwa apa yang mereka perbincangkan itu tidak
lepas dari pandangan cemburu seorang gadis cantik berbau putih denagn sulaman
rajawali di dada kirinya.
Nawara! "Rupanya Gadis Naga Biru juga jatuh cinta pada Kakang Paksi." pikir Nawala yang
bersembunyi di balik pohon. "Aku kalah selangkah darinya."
Sebenarnya gadis itu sudah ada disitu sejak tadi, bahkan sejak latih tanding
antara Gadis Naga Biru dengan bocah dogol Simo Bangak. Mulanya dia berniat
menghampiri Paksi Jaladara, tapi kalah duluan dengan Gadis Naga Biru. Sehingga
ia hanya bersembunyi saja di tempat itu.
Baru saja ia membalikkan badan, seseorang telah menghadangnya di depan.
"Nawala!" Kau bikin aku kaget saja!" serunya sambil memegangi tengah dada
membusungnya. Saudara kembar gadis itu menatap dengan tajam.
"apa yang kau lakukan disini?" tanya Nawara setelah debaran jantungnya mereda.
Pemuda itu tetap menatap gadis itu dengan tajam, bahkan lebih tajam dari
sebelumnya.

Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Nawala mengatakan sesuatu yang benar-benar membuat Nawara kaget bukan
alang kepalang. "kau ... Juga jatuh cinta dengan Paksi Jaladara?"
"eh, ap ... Apa kau bilang?"
"Nawara, aku tahu siapa dirimu! Kita ini kan bersaudara, apalagi saudara
kembar." kata Nawala bijak, "apa yang kau rasakan tentu aku bisa merasakannya
dengan pasti." Gadis itu hanya menunduk.
"Apa aku perlu membicarakan ini pada Paksi?" usul Nawala.
"Jangan Nawala ... jangan! Aku tidak mau berselang-sengketa dengan Gadis Naga
Biru. Kelihatannya Kakang Paksi juga menyukainya." cegah Nawala sambil memegang
tangan Nawala. "Aku mohon, jangan bilang padanya!"
"Tapi kau ... "
"Aku tahu! Seperti kata guru Naga Sakti Berkait, bahwa cinta itu tidak harus
memiliki!" ucap Nawara melepas genggaman tangan saudaranya, "Baru kali ini aku
paham maksudnya, walau aku tetap kukuh dengan prinsipku!"
Gadis itu berprinsip, sekali ia jatuh cinta maka cintanya adalah seumur hidup!
"Itu namanya membabi buta, Nawara!"
"Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan! Lainnya tidak ada!" seru Nawara dengan
setitik air mata di sudut matanya.
Pemuda itu langsung memeluk erat saudara kembarnya.
"Kau harus tabah! Harus kuat! Lebih kuat dari gadis mana pun yang aku kenal!"
bisiknya. "Dan aku tahu, kau bisa!"
Akhirnya ... bendungan air mata Nawara jebol. Ia menangis lirih sesenggukan di
dada bidang Nawala. Memang keadaan Nawara saat ini dalam posisi serba sulit. Di
satu sisi ia begitu mengharapkan Paksi Jaladara dan di satu sisi ia harus
bersaing dengan gadis lain yang sama-sama mencintai si pemuda.
Kali ini ... jalinan kisah cinta segitiga mereka telah terbuka lebar!
"Sudahlah ... biarkan waktu yang menjawab semuanya," kata Nawala sambil membelai
lembut rambut panjang Nawara.
Setelah air matanya kering, Nawara melepas pelukan pada pemuda kembarnya.
"Aku ... kalau nangis jelek ya?" katanya sambil menyusut air mata dengan bibir
diruncingkan. "Tidak, tidak kok! Kau tambah cantik mempesona!" kata Nawala.
"Benar?" "Ya ... bener-bener cantik," katanya sambil pringas-pringis.
Tentu saja pringas-pringis karena daun telinga kirinya sedikit tertarik ke atas
oleh tangan putih seorang gadis.
"Begitu ya" Dibelakangku kau main nggak karuan dengan saudara sendiri, ya?" seru
gadis berbaju merah menyala. "Pakai merayu lagi!?"
Nawara langsung tertawa tergelak-gelak melihat tingkah polah saudara kembarnya
yang tersengat di tepat di daun telinga.
Siapa lagi yang berani sekurang ajar itu jika bukan Ayu Parameswari, gadis
incaran Nawala! "Aduhh .. duhh ... Ayu ... lepasin dong ... ntar putus nih ... " ucap Nawala
sambil meringis-ringis kesakitan.
Lucunya, meski kesakitan seperti itu, wajahnya justru menunjukkan rasa senang.
"Kalau begitu selamat bersenang-senang!" kata Nawara sambil pergi dari tempat
itu, "Ayu ... jangan buat saudaraku porak-poranda, ya?" serunya dari kejauhan.
"Beres!" Jempol kanan pun teracung ke atas!
"Heran ... sebenarnya Ayu yang suka menyiksa atau aku yang suka disiksa Ayu,
sih?" pikirnya sambil memandangi wajah cantik ada sejangkauan di hadapannya.
"Kalau ngga dilepas ... "
"Kalau ngga di lepas, kenapa!?" bentak Ayu sambil berkacak pinggang. Tentu saja
posisi tangan tetap menjewer telinga si pemuda.
"Kalau ngga di lepas, ntar kena ini ... "
Langsung saja bibir Nawala menyumpal bibir Ayu yang setengah terbuka.
Pluuups! Ayu gelagapan sambil melepas jeweran tangan kirinya saat bibir hangat tanpa
permisi yang menutup rapat bibirnya. Rasa hangat langsung menjalari seluruh
pori-pori tubuh gadis itu.
Sedetik kemudian ... Nawala langsung berlari menjauh setelah 'mencuri serang' pada gadis cantik
berbaju merah. "Nawala brengsek! Kurang ajar! Kutu kupret! Babi ngorok!" seluruh caci maki
terlontar dari bibir merah Ayu, tubuhnya segera berkelebat cepat mengejar Nawala
yang baru saja 'mencuri serang' saat dirinya tidak siap.
Tapi ngomong-ngomong, Ayu Parameswari suka banget lho! (Swear ... dicium lagi
juga ngga nolak!) -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Empat Puluh Satu
Paksi Jaladara dan Retno Palupi duduk berdekatan batu besar, bahkan berdempetan
dengan tangan kanan kiri berpegangan. Dilihat sekilas saja orang sudah bisa
menduga sejauh mana hubungan mereka berdua. Meski keduanya baru bertemu kemarin
dan situasi yang cukup rumit dan membingungkan, tapi rupanya dewa asmara begitu
cepat melepaskan panah-panah asmara sehingga tepat menghunjam ke relung hati dua
insan yang paling dalam. Dua kaki mereka masuk ke dalam air saling senggol-senggolan, mengagetkan
serombongan ikan kecil yang berlalu lalang di bawah bebatuan.
Gadis Naga Biru menyandarkan kepala di pundak kanan si Elang Salju. Mulutnya
bersenandung lirih, mengiringi irama cinta mereka berdua. Bahkan angin yang
semula bertiup sedikit kencang, mulai bergerak melemah, terhanyut alunan
senandung lembut dari bibir merah merekah gadis berbaju biru laut itu.
"Apa kau selalu begitu?" tanya Paksi.
"Selalu apa?" "Selalu bersenandung kecil saat gembira."
"Aku selalu begitu. Sejak dulu." ucap Retno Palupi sambil menggeser kepala ke
bawah, turun ke atas pangkuan pemuda berbaju putih-putih itu. Setelah itu gadis
berbaju biru-biru tampak memejamkan mata.
Sebentar kemudian ia terlelap1
Paksi Jaladara membusai anak rambut yang ada di dahi Angin pagi segar berhembus
membawa keharuman bunga-bunga rumput, bercampur wangi tubuh gadis yang tertidur
di pangkuannya. "Mungkin ia kecapaian karena semalam melakukan pengintaian," pikir Paksi
Jaladara sambil memandangi seraut wajah cantik. "Cantik juga dia."
Tiga peminuman teh telah berlalu ...
Retno menggeliat bangun dan sejenak tersentak sadar bahwa tubuhnya terlelap di
pangkuan Paksi Jaladara. Walau bagaimana pun, ia malu membiarkan dirinya
tertidur di pangkuan pemuda tampan yang sedang ditaksir ini. Malu sekaligus
senang. Sekaligus penasaran, kenapa dirinya begitu mudah tertarik pada seorang
pemuda yang baru satu hari dikenalnya.
Aneh! "Selamat pagi menjelang siang," kata Paksi Jaladara sambil membiarkan Retno
melepaskan diri. "Hmmm ... " gadis itu menggumam sambil menguap dan menggeliat, membuat gerakan
sensual dengan tangan terentang di atas kepala.
Sejenak darah Paksi Jaladara berdesir melihat dada membusung penuh dan tentu
saja, kepala sekaligus leher masih tetap di atas pangkuan sehingga belahan dada
membusung sedikit mengintip dari celah-celah baju. Memang begitulah rumusan alam
bahwa wanita tampak sangat cantik dan menawan sesaat setelah bangun dari
tidurnya. Retno Palupi menjadi bukti nyata dari rumus itu. Dengan latar belakang
langit yang mulai menyejuk, dan pohon-pohon di hutan yang tidak begitu jauh,
Retno adalah pemandangan indah bagai lukisan para dewa!
Gadis itu bangun dari posisi sebelumnya.
"Enak tidurnya?" Tanya Paksi Jaladara sambil bangkit untuk meluruskan
pinggangnya yang mulai terasa kaku akibat duduk diam.
Retno tidak menjawab, melihat sekeliling dan mengernyitkan dahinya, "Apakah
sudah siang?" "Belum, masih terhitung pagi," sahut Paksi Jaladara sambil menawarkan tangannya
untuk menarik Retno berdiri.
Gadis itu membiarkan tubuhnya ditarik ke atas. Kedua matanya masih mengantuk,
dan berdirinya pun masih terhuyung. Dia membiarkan Paksi Jaladara merangkul
pundaknya, mengajaknya berjalan menjauh dari batu besar tempat mereka tadi duduk
beristirahat. Angin semakin sejuk membelai rambut Retno yang panjang bergelombang, membuat
gadis itu merasakan kesegaran baru yang luar biasa. Berdua, bergandengan tangan,
mereka menuju ke bagian tengah hutan terbelah, kemudian sedikit naik ke puncak
bukit menuju sebuah lembah lapang yang di sana-sini dihiasi semak dan perdu
lengkap dengan bunga-bunga bermekaran yang menjaga keseragaman akibat siraman
cahaya langit yang mendominasi alam.
"Bagaimana kalau kita duduk disana?" Tanya Paksi Jaladara sambil menunjuk ke
sebuah gundukan yang agak menjulang di seberang lembah. " ... sekalian melakukan
pengawasan. Siapa tahu ada penyusup yang masuk."
Retno merasa tidak punya pilihan. Dipandangnya Paksi Jaladara yang juga sedang
memandangnya. Tangan mereka berdua bergandengan. Kedua mata pemuda itu menatap
polos, dan Retno tak menemukan apa-apa di sana selain sebuah ajakan tak
berprasangka. Lalu juga ada senyum yang mengembang samar mengungkapkan
keramahan. Sebetulnya Retno ingin melihat kenakalan di wajah pemuda itu, tapi tidak
terlihat sama sekali. "Baik," kata Retno pelan, "Tetapi kakang Paksi harus janji ... "
Paksi Jaladara mengernyitkan dahinya, "Janji apa?"
"Janji tidak akan macam-macam di sana," kata Retno.
Iblis Berjanggut Biru 1 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Keturunan Pendekar 2
^