Pencarian

Pendekar Wanita Baju Putih 1

Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Koleksi Kang Zusi Pek I Lihiap Pendekar Wanita Baju Putih
AUTHOR: Kho Ping Hoo Di dalam kebun bunga di belakang gedung Ong
Wangwe, bunga-bunga sedang mekar indah menyiarkan
keharuman yang sedap. Bunga-bunga beraneka warna yang
tertiup angin senja bergoyang perlahan-lahan ke
kanan-kiri itu bagaikan putri-putri jelita tengah
menarikan tari selamat datang menyambut datangnya
musim bunga. Kupu-kupu dengan sayap kuning keemasan
saling kejar di atas bunga-bunga, sedikutpun tidak
menghiraukan atau menakuti suara burung yang bernyanyi merdu di atas pohon-pohon cemara yang
mengelilingi taman itu. Ong Wangwe adalah seoraung hartawan yang baru
beberapa bulan pindah ke kota Kam Leng, di mana ia
membeli sebuah gedung besar dengan taman bunganya
yang indah itu. Orang tidak tahu darimana ia datang
dan perdagangan apakah yang diusahakannya, karena
semenjak pindah ke Kam Leng, Ong Wangwe tidak berdagang apa-apa.
Ia datang telah merupakan seorang hartawan. Rumah tangganya hanya terdiri
dari dia seorang diri, seorang anak perempuannya yang telah berusia kurang
lebih delapan belas tahun dan beberapa orang pelayan. Ong Wangwe ternyata
adalah seorang duda. Yang mengherankan orang ialah bahwa kadangkala datang
beberapa orang tamu di rumah wartawan itu. Hal ini sebenarnya tak perlu
diherankan kalau saja tamu-tamu itu tidak menarik perhatian orang dengan
keadaan mereka. Hampir semua paratamu itu bertubuh tegap dan bersikap gagah,
sedangkan ditubuh mereka selalu tergantung senjata tajam. Jelas terlihat
bahwa mereka adalah ahli-ahli silat.
Barulah penduduk Kam Leng tahu lebih banyak akan keadaan Ong Wangwe
ketika sebulan yang lalu terjadi hal yang cukup mengherankan dan yang membuka
rahasia hartawan itu. Pada waktu itu, entah dari mana datangnya, seorang
saykong berjubah lebar dengan kepala licin gundul mengacau kota Kam Leng.
Saykong itu membawa sebuah gentung arak dari besi yang tingginya tiga kaki
lebih! Ia berjalan dari rumah ke rumah untuk meminta derma, tapi
permintaannya itu berbeda dengan kebiasaan para pendeta yang minta derma
secara sukarela. Ia tetapkan bahwa orang harus mnderma padanya setengah tail
perak! Ia letakkan guci besar itu di pintu, dan takkan mengangkatnya sebelum
tuan rumah memberiya derma setengah tail. Ada beberapa orang yang mencoba
untuk mengusirnya, tapi tak seorangpun dapat mengangkat dan menyingkirkan
guci besar itu. Jangankan mengangkat, bahkan menggerakkan saja tak seorangpun
mampu lakukan. Guci besi itu demikian berat hingga untuk mengangkatnya
sedikitnya dibutuhkan tenaga sepuluh orang.
Demikianlah, terpaksa orang memberi derma seperti yang dimintanya karena
orang tak berani melawan saykong yang tampak kuat dan kejam itu. Kepala
kampung telah diberi laporan dan dengan ramah dan manis kepala kampung minta
agar saykong itu tidak mengganggu penduduk Kam Leng dan sudi menerima uang
derma secara sukarela. "Aku pungut derma untuk membangun kelenteng, bukan untukku sendiri. Pula
aku bukanlah pengemis, maka tak sudi aku menerima kurang dari setengah tail!"
jawab saykong itu dengan menyeringai kurang ajar.
Mendengar jawaban itu kepala kampung menjadi marah. Penjaga keamanan kota
yang ikut datang dengan kepala kampung lebih marah lagi. Ia diajak empat
orang kawannya menghampiri saykong itu.
"Pendeta palsu, pergilah kau dari kota ini dan jangan ganggu kami!"
katanya. "Kalau aku tidak mau pergi, kalian mau apa?" jawab saykong.
"Jangan menyesal kalau kami gunakan kekerasan!"
Koleksi Kang Zusi "Kamu mau apa?" saykong itu berkata dengan sikap menantang.
"Twako, pukul saja anjing gundul ini!" teriak seorang kepada kepala
penjaga. Lima orang itu lalu ayun tangan mereka ke arah tubuh saykong itu dan
segera terdengar suara "bak! bak! bak! bak!" ketika tangan mereka memukul
tubuh saykong yang gemuk berdaging itu. Tapi suara pukulan itu segera disusul
suara teriak kesakitan dan kelima orang itu membungkuk sambil pegang-pegang
tangan yang dipakai memukul. Ternyata tangan mereka pada bengkak seperti juga
barusan mereka bukan memukul tubuh orang tapi memukul besi yang keras!
Saykong itu tak perdulikan mereka, hanya tertawa haba-hibi sambil seret
gucinya di atas tanah hingga guci itu keluarkan suara tangtang-tungtung
melanggar batu. Agaknya saykong tiu sudah cukup banyak mendapat uang derma
karena ia tidak menghampiri pintu rumah orang lagi tapi langsung menuju ke
sebuah jembatan kayu yang melintang di atas anak sungai. Ia taruh gucinya di
tengah jembatan, lalu ia berdiri duduk bersila di dekat gucinya bagaikan
orang bersemadhi. Tentu saja gucinya yang besar dan tubuhnya yang gemuk itu
telah memenuhi dan menutup jembatan hingga menghalangi orang yang hendak
lewat jembatan itu. Sedangkan jembatan itu hanyalah satu-satunya yang ada di
situ dan menghubungkan kiri kanan sungai.
Orang-orang hendak lewat dan mereka mempunyai keperluan penting lalu
beranikan hati dan minta permisi kepada saykong itu untuk diperbolehkan
lewat. "Boleh boleh tapi yang hendak lewat di sini harus bawa sepuluh mangkokk
arak untuk diisikan ke dalam guciku ini. Setelah guciku penuh arak baru aku
akan t inggalkan jembatan dan kota ini!"
Orang-orang merasa gelisah mendengar permintaan gila-gilaan ini. Untuk
memberi sepuluh mangkok arak sih masih bisa diusahakan tapi sampai kapankah
guci sebesar itu bisa penuh" Demikianlah keadaan menjadi semakin kacau. Yang
dapat membeli arah segera membawa sepuluh mangkok untuk diperkenankan lewat,
yang tidak punya uang berdiri saja bingung di dekat jembatan dan tak berani
lewat. Bahkan ada beberapa orang yang pandai renang lalu ambil jalan aman
tanpa keluarkan biaya, yaitu mereka buka baju dan menyeberangi sungai dengan
tenang. Pada saat orang sedang bingung dan yang datang di jembatan untuk nonton
keadaan itu makin banyak, datanglah Ong Wangwe dari jurusan barat hendak
menyeberang jembatan itu. Ketika ia melihat keadaan yang kacau dan melihat
seorang saykong gemuk duduk di tengah jembatan dan di dekatnya berdiri sebuah
guci besi yang besar, ia mencari keterangan kepada orang-orang yang berada di
situ. Setelah mendengar akan kekurangajaran saykong itu tiba-tiba kedua
matanya memancarkan cahaya berkilat. Dengan tenang, ia hampiri saykong itu
dan berkata: "Toyu minggirlah, orang-orang hendak lewat.
Saykong itu mendengar suara orang yang keras memerintah, segera melirik.
"Kau datang membawa arak atau tidak?" tanyanya. "Kalau membawa, tuang saja ke
dalam guci, kalau tidak kembalilah!"
"Beberapa banyak yang kau kehendaki" Tanya Ong Wangwe.
Kini saykong memandang penuh perhatian dan ia tersenyum ketika melihat
pakaian Wangwe yang mewah. Oh, oh, gudang uangkah yang hendak lewat di sini?"
kata saykong itu sambil berdiri kalau begitu, sekali ini penuhlah guciku.
Hayo, kau ambil arak dan penuhi guciku ini, baru kau boleh lewat.
"Kau hendak penuh" Boleh, tak usah aku pergi ambil, di sini sudah
tersedia banyak!" Sebelum saykong itu atau orang-orang yang makin banyak datang menonton
mengrti maksud Ong Wangwe, hartawan itu sudah lepaskan sehelai sabuk sutera
dari pinggangnya. Cepat sekali ia ikat leher guci dengan ujung sabuknya lalu
dengan gerak yang ringan seakan-akan tanpa kerahkan tenaga ia angkat sabuknya
hingga guci tergantung di udara!"
Saykong itu terbelalak dan wajahnya berubah pucat sedangkan orang-orang
yang berdiri di kedua tepi jembatan bersorak, kemudian Ong Wangwe gerakkan
tangannya hingga guci itu terayun dan terlempar ke dalam sungai. Ia pegang
ujung sabuk sambil membungkuk dan biarkan guci itu tenggelam sampaai terisi
penuh air, kemudian sambil keluarkan serruan keras yang mengagetkan semua
Koleksi Kang Zusi orang, ia sendal sabuknya. Ajaib! Guci besar yang berat dan yang kini terisi
air sungai sampai penuh itu terlempar dengan cepat ke atas dan dengan gerakan
kedua guci itu meluncur dari atas ke bawah dengan mulut di bawah! Sekali lagi
Ong Wangwe gerakkan tangannya yang memegang ujung sabuk dan guci itu kini
meluncur ke arah kepala saykong itu! Saykong itu berseru keras karena tahu
akan bahaya yang mengancamnya, lalu dengan pasang kuda-kuda ia ulurkan kedua
lengan menyambut datangnya guci itu. Tapi karena guci telah terjungkir dengan
mulut di bawah, walaupun saykong itu telah dapat menangkap dengan baik, tak
kurang isi guci tertuang ke bawah dan menyiram kepalanya yang licin gundul,
hingga sebentar saja seluruh tubuhnya basah kuyub!
Semua orang yang mel ihat peristiwa ini selain merasa heran tercengang
hingga untuk sesaat tak dapat mengeluarkan suara hanya memandang dengan mata
terbelalak, juga merasa girang sekali hingga sesaat kemudian gemuruhlah tepuk
sorak dan tertawa riuh rendah sebagai pernyataan rasa kagum terhadap Ong
Wangwe dan ejekan puas kepada saykong itu.
Sementara itu Ong Wangwe telah tarik kembali sabuknya yang tadi melibat
guci dan ikatan itu di pinggangnya, kemudian dengan suara keras dan pandang
mata tajam ia berkata kepada saykong itu:
"Sudah puaskah kau sekarang" Kalau belum puas, aku dapat tenggelamkan kau
di sungai ini dan kau takkan timbul kembali!"
Saykong itu dengan napas terengah dan wajah merah turunkan gucinya dan
angkat ke dua tangan memberi hormat sambil membongkok di depan Ong Wangwe.
"Tak tersangka di tem pat ini terdapat seorang gagah seperti congsu Pinto
telah merasakan pelajaran yang kauberikan, terima kasih, terima kasih.
Bolehkah pinto ketahui nama dan tempat tinggal congsu agar di hari kemudian
pinto tak lupa lagi dan dapat membalas budi ini?"
Ong Wangwe tertawa menyindir. "Alangkah banyaknya pertapa-pertapa palsu
seperti kau di dunia ini. Mana kau dapat mengenal budi" Yang kau maksudkan
budi itu tentu dendam...." Ong Wangwe menghela napas lalu melanjutkan, "tapi
biarlah, aku takkan mundur setapakpun. Aku she Ong bernama Kang Ek. Rumahku
di kota ini." Mendengar nama ini tiba-tiba mata saykong itu berkitalt dan ia memandang
Ong Kang Ek dari kepala sampai ke kaki lalu ia menggerutu seorang diri:
"Hm......baik sekali.....kebetulan sekali....biarlah, lain kali kubalas budi.
"Kemudian ia balikkan tubuh dan seret gucinya lalu melangkah cepat dengan
tindakan lebar. Ong Kang Ek bagaikan tak pernah terjadi sesuatu lalu pulang.
Semenjak saat itu, penduduk Kam Leng merasa bangga mempunyai seorang
warga kota seperti Ong Wan-gwe. Mereka sangat kagum dan menghormat. Tapi
ternyata bahwa Ong Kang Ek seakan-akan menjauhkan diri dari pergaulan umum
hingga orang-orang di sekitarnya merasa segan untuk mendekatinya. Mereka
hanya menduga-duga saja dan keadaan Ong Kang Wk dan gadisnya merupakan
rahasia yang tak mudah mereka selami.
Berbeda dengan ayahnya yang jarang keluar dari rumah, gadis she Ong yang
cantik jelita dan bernama Giok Cu itu sering keluar rumah, berbelanja atau
melihat-lihat. Hal ini pun membuat penduduk Kam Leng merasa heran karena
biasanya, gadis hartawan jarang sekali mau keluar rumah, kecuali di dalam
kereta atau joli. Giok Cu selalu keluar tanpa pengiring. Pakaiannya indah
hingga membuat wajahnya yang telah cantik itu menjadi makin menarik.
Rambutnya yang hitam halus dan gemuk itu digelung ke atas hingga nampak leher
yang berkulit putih dan halus. Wajahnya kemerah-merahan dengan sepasang mata
lebar yang bening dan tajam, hidungnya kecil manis, dan bibirnya segar merah
berbentuk indah. Potongan tubuhnya ramping dan berisi. Tidaklah mengherankan
bahwa tiap laki-laki, baiku ia masih muda maupun sudah tua, sukar melepaskan
pandangan matanya dari Giok Cu bila gadis itu lewat dengan tindakan kaki yang
wajar menarik. Tapi tak seorangpun di antara mereka berani main gila atau
coba-coba menganggunya karena segan dan takut kepada Ong Wan-gwe yang mereka
ketahui kelihayannya. Bahkan beberapa orang ahli silat yang berada di kota
itu, dengan yakin menyatakan bahwa gadis itu bukanlah wanita sembarangan,
karena dalam gerak-geriknya yang lemah-lemah dan halus itu tersembunyi tenaga
hebat seorang ahli lweekeh. Tentu saja banyak yang tidak percaya mendengar
pernyataan ini, karena selain mereka ini tidak dapat membedakan ahli atau
Koleksi Kang Zusi bukan, juga mereka merasa tak mungkin bahwa seorang gadis secantik dan
selembut itu kulitnya dapat menjadi seorang ahli silat.
Pada senja hari itu, di dalam kebun bunganya yang penuh dengan bunga
mekar indah mengharum, Giok Cu duduk di atas sebuah bangku seorang diri
sambil melamun. Ia merasa seakan berada dalam dunia lain dan hidup seorang
diri, hanya dengan kembang-kembang, kupu-kupu dan burung-burung. Duduk
bertopang dagu di tengah-tengah lautan bunga yang beraneka warna itu, Giok Cu
nampak seakan-akan seorang bidadari yang cantik jelita. Tapi sayang, gadis
yang baru berusia tujuh belasan tahun itu tampak berduka. Kulit jidatnya
berkerut dan sepasang matanya memandang jauh tanpa melihat sesuatu. Ia betul-
betul tenggelam dalam lamunannya.
Ia tidak merasa bahwa ia telah lama sekali berada di kebun itu, dan ia
tidak tahu kupu-kupu telah pergi meninggalkan kembang walaupun beberapa kali
kembali lagi sebelum pergi seakan-akan tidak rela atau tidak tega
meninggalkan kembang yang penuh madu manis itu, tidak tahu pula bahwa burung-
burung yang tadi berkicau riang telah kembali ke sarang masing-masing, tinggi
di dahan paling atas dari pohon cemara, untuk melewati malam gelap dan
menakutkan. Apakah yang disusahkan oleh anak gadis itu" Sebenarnya Giok Cu tidak
menyedihkan suatu yang tertentu. Ia hanya merasa kesunyian, satu perasaan
yang sering timbul dan mengganggu hatinya semenjak ia ditinggal mati ibunya
beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, walaupun sangat sayang kepadanya, namun
terlampau kaku dan canggung dan tak dapat bergaul dan tak dapat
menggembirakannya. Lebih-lebih karena ia tahu bahwa ayahnya mempunyai
ganjelan hati dan mempunyai rahasia yang agaknya membuaat ayahnya selalu
bermuram durja dan kadang-kadang bersikap galak dan mudah marah.
Pada waktu itu udara telah gelap tapi Giok Cu belum juga beranjak dari
tempat duduknya. Tapi tiba-tiba gadis yang duduk diam bagaikan patung itu
seakan-akan kemasukan tenaga ajaib dan dengan sangat cepatnya gadis itu
loncat berdiri dan tubuhnya terbalik dengan pasangan kuda-kuda yang kuat
sekali! Ketika sedang melamun tadi, telinganya yang telah terlatih baik dapat
menangkap gerakan orang asing yang meloncati dinding kebun. Benar saja,
ketika ia berbalik, ta mpak olehnya dua bayangan hitam yang gesit sekali
gerakannya bergerak di dalam kebunnya yang luas.
Giok Cu cepat sambar sebilah pedang yang ia taruh di atas tanah karena
tadinya ia bawa untuk dipakai berlatih tapi urung karena terganggu oleh
lamunannya. Kemudian sekali loncat tubuhnya melayang ke arah dua bayangan
yang hendak menuju ke rumahnya.
"Orang-orang kurang ajar dari mana berani masuk kebun orang tanpa
permisi!" tegurnya dengan suara nyaring.
Dua orang itu berhenti dan memandang dengan heran dan kagum. Mereka
merasa seakan-akan tiba-tiba ada puteri kahyangan turun dari angkasa.
Ternyata mereka itu adalah seorang saykong dan seorang hwesio tua. Kedua-
duanya memandang gadis itu dengan pandangan cabul hingga Giok Cu menjadi
marah sekali dan membentak:
"Kalian ini pendeta-pendeta dari mana dan apa kehendak kalian?" Ia masih
menaruh hormat melihat bahwa yang datang adalah dua orang pertapa tua. Ia
tidak tahu sama sekali bahwa saykong yang berada di depannya itu pada tiga
hari yang lalu telah berkenalan dengan kelihayan ayahnya karena ayahnya tak
pernah ceritakan hal itu padanya.
Saykong itu baru sadar dari kesimanya dan sambil tertawa menyeringai ia
bertanya "Nona ini siapakah" Pernah apa dengan Ong Kang Ek"
"Dia adalah ayahku. Apakah suhu hendak berjumpa dengan ayah?"
"Ah, tak nyana Ong Wan-gwe mempunyai seorang gadis semanis ini." kata
hwesio tua yang memegang kebutan. Tentu saja Giok Cu menjadi marah dan
menaruh curiga. "Katakanlah, apakah kalian hendak berjumpa dengan ayah" Kalau demikian
halnya, silahkan masuk dari pintu depan!' katanya mengurangi hormatnya.
"Ha, ha, haa! Eh, Bong toyu, daripada melayani segala orang she Ong tak
berguna, bukankah lebih baik main-main dengan bidadari ini?" Hwesio itu


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya kepada kawannya.
Koleksi Kang Zusi Saykong itu tertawa. Usulmu baik juga, Hok losuhu, dengan demikian
kitapun sudah sudah dapat membalas sakit hatiku!"
Kemudian saykong itu berkata kepada Giok Cu yang sudah merah wajahnya dan
berapi-api sinar matanya. "Nona manis kau ikutlah kami!"
"Bangsat tua bangka. Kau cari mampus!" Tanpa banyak cakap lagi dan dengan
marah yang meluap-luap, Giok Cu gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang
dengan tusukan maut ke arah tenggorokkan saykong itu dan tangan kirinya
dengan cepat sekali telah merogoh saku dan sekali terayun maka sebuah pelor
kunigan melayang ke arah dada si hwesio!
Kedua pertapa cabul itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis
muda itu dapat bergerak sedemikian cepatnya. Namun keduanya dengan mudah
dapat kelit serangan Giok Cu dan saykong itu sambil tertawa berkata kepada
kawannya: "Hok suhu, gadis ini lihai. Mari kita keluar, lihat ia berani kejar
atau tidak!" Hwesio tua itu maklum akan maksud kawannya maka sambil tertawa
ia meloncat ke arah tembok kebun diikuti oleh kawannya yang sambil menengok
berkata kepada Giok Cu: "EH, nona manis, biar lain kali saja kita main-main!"
Tentu saja Giok Cu tidak sudi biarkan kedua pertapa cabul itu lari begitu
saja. Sambil memaki: "Bangsat-bangsat tua jangan lari!" ia enjot tubuhnya dan
mengejar ceat. Ternyata ilmu lari cepat kedua pertapa itu tinggi juga, tapi mereka
sengaja menanti Giok Cu karena memang maksud mereka memancing gadis itu
meninggalkan kebunnya. Betapapun juga, mereka masih sangsi dan gentar
menghadapi Ong Kang Ek. Gadis itu masih terlalu muda dan belum cukup
pengalaman untuk dapat mengetahui muslihat kedua lawannya. Pula seandainya ia
tahu, tetap ia akan mengejar mereka karena hatinya panas karena marah
mendengar ucapan-ucapan yang menghinanya itu. Ia ambil keputusan untuk
mengejar dan membunuh mereka.
Ketika di luar kota di mana tak terdapat rumah orang dan keadaan sunyi
sekali, dua pertapa itu berhenti sambil tertawa menjemukan. Cepat sekali Giok
Cu sudah sampai pula di situ dan ia telah siap menerjang. Tapi saykong itu
angkat tangannya dan berkata:
"Tahan pedangmu dulu, nona. Barangkali kau belum kenal siapa kami maka
kau berani kurang ajar. Dengar baik-baik aku adalah Bong Hay Tojin dan Iosuhu
ini adalah Hok Hok Hwesio dari Kwa Thian Si. Hayo kau lekas memberi hormat
dan ikut kami pergi dengan patuh, tentu kau takkan menyesal!"
Alis mata Giok Cu berdiri karena marahnya. "Pendeta-pendeta bangsat aku
Ong Giok Cu tidak takut segala tua bangka, tak tahu diri macam kalian!"
sebagai penutup kata-katanya ia putar pedangnya mengirim serangan-serangan
maut. Hok Hok Hwesio gerakkan kebutnya, tapi Bong Hay Tojin berkata:
"Hok suhu, biarkan pinto tangkap dia!" Kemudian saykong ini cabut keluar
pedangnya dan menangkis serangan Giok Cu. Biarpun Giok Cu masih sangat muda
dan belum banyak pengalaman dalam pertempuran, namun ia telah mewarisi ilmu
pedang tunuggal dari ayahnya, juga semenjak kecil ia telah menerima latihan
lweekang hingga tidak saja ia dapat melayani Bong Hay dengan baik, bahkan
sebentar saja saykong itu tak berani main-main pula karena tahu bahwa ilmu
pedang gadis manis itu tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!
Bahkan beberapa kali ujung pedang Giok Cu hampir saja melukainya.
Melihat betapa kawannya demikian tak punya guna hingga menghadapi seorang
gadis muda saja sampai terdesak, Hok Hok Hwesio gerakkan kebutannya dan
berkata: "Bong Toyu, mundurlah, biarkan pincong menangkap gadis liar ini!"
Tapi sebelum dapat bergerak, tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat
dan tahu-tahu Ong Kang Ek telah berdiri di hadapan Hok Hok Hwesio sambil
tersenyum sindir dan kedua matanya berkilat, Hok Hok Hwesio tidak tahu bahwa
kalau sudah tersenyum sindir macam itu Ong Kang Ek bagaikan harimau berdarah,
maka biarpun ia merasa terkejut melihat kegesitan Ong Kang Ek, hwesio itu
masih menyombong dan bertanya dengan suara jumawa:
"Siapakah yang datang ini" Kaukah yang disebut Ong Kang Ek"!!
"Jangan banyak cerewet. Mari kuantar jiwamu yang kotor ke neraka!" Ong
Kang Ek segera lepaskan sabuk suteranya dan dengan tangan kiri ia gerak-
gerakkan sabuk itu yang berbunyi berciutan, lalu sambil berseru keras ia maju
Koleksi Kang Zusi menyerang! Hok Hok Hwesio adalah seorang ahli pedang Butong dan ia selalu
usulkan kepandaian silatnya sebagai kepandaian yang jarang ada tandingan.
Tapi kini melihat ujung sabuk sutera itu bergerak bagaikan ular menyerang ke
arah uluhatinya ia sangat terkejut. Sambil loncat mundur dan gunakan kebutnya
menangkis, ia cabut pedang dan balas menyerang. Tapi Ong Kang Ek yang pegang
pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri merupakan lawan yang
luar biasa. Gerakan pedangnya bagaikan kilat menyambar, ditambah pula dengan
bantuan sabuk suteranya yang lihai, maka sebentar saja Hok Hok Hwesio
berteriak kaget kebutan di tangan kirinya kena terbelit oleh sabuk sutera
itu! Ia kerahkan tenaga untuk melepaskan kebutan dari ujung sabuk tapi sia-
sia saja karena sabuk itu seakan menjadi satu dengan kebutan. Sekali lagi Hok
Hok Hwesio kerahkan tenaga dalamnya. Karena ia terlalu curahkan perhatian dan
tenaga ke tangan kiri, maka hal ini hampir saja membuat ia binasa karena
tiba-tiba Ong Kang Ek kendorkan sabuknya dan pedang di tangan kanannya
meluncur cepat ke dada lawan! Hwesio itu berseru kaget dan berkelit miringkan
tubuh, tapi tak urung ujung pedang menyambar bajunya dan "breeett!" baju
luarnya terobek lebar! Hok Hok Hwesio terpaksa lepaskan kebutan dan loncat
mundur berjumpalitan karena takut kalau-kalau serangan kedua menyusul
sedangkan keadaannya sedemikian sulit.
Tapi Ong Kang Ek tidak mengejar, hanya memandangnya dengan tertawa
bergelak. Dengan kaki kiri ia tendang kebutan lawannya hingga terpental jauh,
lalu berkata: "Hwesio kotor! Serangan pedangku yang kedua kalinya akan
merobek kulitmu, bukan bajumu. Bersiaplah untuk mampus!" Dan ia maju
menyerang kembali dengan sengit.
Sementara itu, Bong Hay Tojin merasa gentar dan bingung sekali.
Keadaannya sendiri pun cukup payah karena menghadapi ilmu pedang gadis itu,
ia hanya dapat bertahan dan menangkis saja, kini ditambah lagi dengan keadaan
kawannya yang tadinya amat diandalkan ternyata tak mampu berbuat apa-apa di
depan Ong Kang Ek! Untung baginya bahwa Ong Kang Ek tidak memperhatikannya,
karena sekilas saja bahwa orang tua itu maklum bahwa keadaan gadisnya tak
perlu dikhawatirkan, dan bahwa Giok Cu pasti akan dapat merobohkan saykong
jahat itu. Tapi siapa sangka, Bong Hay Tojin tak percuma menjadi seorang saykong
palsu yang kejahatan dan kelicinannya ditakuti orang dan sudah tersohor di
kalangan kang-ouw. Melihat keadaan yang berbahaya dan tidak menguntungkan
itu, tiba-tiba ia rogoh sakunya dan keluarkan bungkusan kertas. Dengan
gunakan tenaga tangannya meremas kertas itu hingga pecah dan isinya yang
berbubuk putih keluar. Kemudian sambil menangkis pedang Giok Cu yang
menyambar leher, ia gerakkan tangan yang mengepal bubuk itu ke arah Giok Cu.
Gadis itu mengira bahwa lawan gunakan senjata rahasia, maka cepat-cepat
ia membungkuk. Benar saja, bubuk yang merupakan asap putih itu melewati atas
kepalanya, tapi tiba-tiba gadis itu mencium bau yang ganjil, manis dan harum
tapi tajam menyengat hidung. Belum sempat ia pulihkan semangatnya yang seakan
dilumpuhkan oleh bau itu. Bong Hay Tojin telah gaet kakinya hingga ia roboh
terguling tak sadarkan diri! Bong Hay Tojin melirik ke arah kawannya yang
didesak hebat oleh Ong Kong Ek. Tojin pengecut ini bukan main takutnya,
dengan cepat ia pondong tubuh Giok Cu dan lari secepat mungkin tinggalkan
tempat itu. Ong Kang Ek yang sedak desak lawannya ketika mendengar pertempuran di
sebelahnya berhenti dan mendengar suara kaki berlari, segera mengerling dan
alangkah terkejutnya melihat betapa saykong jahat berhasil melarikan anak
gadisnya! Kemarahannya memuncak. Pada saat itu Hok Hok Hwesio tengah
menyerang dengan tipu Han-ya-pok-cui atau gerak menyambar air, pedangnya
menyambar dari kanan dan kebutannya dari kiri, kedua senjata itu merupakan
sayap yang menghantam ke arah iganya. Serangan ini adalah serangan maut, tapi
biarpun sedang marah. Ong Kang Ek masih cukup gesit dan waspada. Ia putar
pedangnya sedemikian rupa hingga sekaligus kedua senjata lawan terpukul,
kemudian sebelum Hok Hok Hwesio tahu apa yang akan terjadi tiba-tiba sabuk
sutera yang lemas halus itu telah melilit pinggangnya! Ong Kang Ek berseru
keras dan tahu-tahu dengan sekali sentak saja tubuh Hok Hok Hwesio telah
terlempar ke atas. Bagaikan bernyawa sabuk itu melejit dan membawa tubuh
Koleksi Kang Zusi hwesio itu terkatung-katung kemudian terdengar seruan keras sekali dan tahu-
tahu tubuh hwesio itu terlempar keraas ke arah sebuah batu besar di pinggir
jalan. Hwesio bernaisb buruk itu tak sempat berteriak, kepalanya terbentur
batu dan pecah seketika itu juga.
Ong Kang ek tak sempat melihat apakah lawannya telah mati ataukah masih
hidup. Ia terus saja gerakkan kakinya loncat mengejar ke arah larinya Bong
Hay Tojin yang membawa Giok Cu. Tapi karena malam telah tiba dan keadaan
gelap, ia menjadi bingung dan ragu-ragu karena sukar baginya untuk memilih
jalan yang tepat mengikuti jejak musuh. Akhirnya, dengan hati berdebar cemas
ia lari mengikuti jalan yang menuju ke kiri. Ia percepat larinya hingga yang
tampak hanya berkelebatnya bayangan saja.
Bong Hay Tojin dengan hati berdebar percepat larinya dengan tubuh Giok Cu
yang lemah lunglai di pundaknya. Ia merasa takut dan juga girang. Takut
kalau-kalau sampai dapat dkejar oleh Ong Kang Ek. Girang karena biarpun ia
tidak berhasil membalas dendamnya kepada orang she Ong itu, namun anak gadis
musuhnya telah dapat ia tawan!
Bong Hay Tojin tidak tahu sama sekali bahwa di sebelahnya ada bayangan
yang berkelebat. Bayangan ini bagaikan bergeraknya angin saja dan sama sekali
tak mengeluarkan suara hingga Bong Hay Tojin tidak tahu sama sekali. Tiba-
tiba bayangan itu tertawa perlahan di sebelah saykon itu hingga Bong Hay
sangat terkejut lalu menengok. Pada saat itu pundak Bong Hay Tojin terasa
demikian sakitnya hingga ia terpaksa lepaskan tubuh Giok Cu yang
menggelinding dan rebah di atas tanah. Masih saja Bong hay merasa pundaknya
linu dan sakit sekali hingga iia tak kuasa gerakkan sebelah tangannya. Ia
takut sekali dan menyangka bahwa ini tentu perbuatan Ong Kang Ek, maka tanpa
banyak pikir lagi ia segera percepat larinya sambil menahan sakit!
Sementara itu Giok Cu yang telah agak siuman kembali, merasa betapa ia
dilepaskan oleh saykong jahat itu. Ia bangun, duduk dan memandang ke
sekeliling. Tapi keadaan gelap dan yang tampak hanya bayangan pohon-pohon
yang hitam dan bergoyang-goyang tertiup angin malam. Ia tidak tahu mengapa
Bong Hay Tojin melepaskannya, tapi betapapun juga ia merasa sangat bersyukur.
Kemudian ia bangun berdiri dan berjalan. Tiba-tiba ia kaget karena tidak tahu
harus pergi ke mana. Ia tidak tahu jalan sama sekali dan tidak tahu ia berada
di mana dan ke mana ia harus pergi untuk pulang ke rumahnya.
Tengah ia berdiri bimbang, tiba-tiba di depan terdengar suara orang
berbicara. Giok Cu bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan karena mungkin
juga saykong jahat itu kembali membawa kawan. Tapi ternyata yang datang
adalah dua orang yang menunggang kuda dengan perlahan. Seorang di antara
mereka membawa sebuah obor kecil. Melihat Giok Cu berdiri di situ keduanya
lalu loncat turun menghampiri.
Giok Cu melihat seorang tua dan seorang pemuda, kedua-duanya berpakaian
segai golonga sastrawan. Yang tua ketika melihat bahwa orang yang berdiri di
pinggir jalan adalah seorang wanita muda segera menghampiri dan bertanya:
"Eh, nona, kemana kau hendak pergi" Mengapa malam-malam berada seorang
diri di sini?" tanyanya.
"Aku....aku sesat dan tak taju jalan....jawab Giok Cu bingung dan malu-
malu. "Di manakah rumahmu, nona?"
"Di Kam Leng...."
"Ohh.....kebetulan sekali. Kamipun hendak pergi ke Kam Leng. Mari,
mari....kita jalan sama-sama. Kau salah jalan, seharusnya ke sana. Dapatkah
kau berkuda?" Giok Cu mengangguk, tapi cepat menjawab: "Ah, biarlah, jangan merepotkan
tuan, saya dapat berjalan sendiri."
Orang tua itu pelototkan matanya. Berjalan sendiri" Malam-malam begini"
Ah, siocia, itu kurang pantas. Biar kami antar, marilah. Kau boleh naiki
kudaku, biar aku berdua dengan Kam Ciu!!
Melihat kebaikan orang, Giok Cu merasa tak enak menolak terus. Ia ucapkan
terima kasih lalu loncat ke atas kuda dengan gerakan yang ringan dan gesit
sekali. Orang tua itu memandang kagum dan memuji: "Kau pandai sekali,
siocia." Dan ia sendiri dengan hati-hati naik ke atas kuda anak muda itu dan
Koleksi Kang Zusi duduk di belakangnya. Demikianlah, dengan perlahan mereka majukan kuda dan
berjalan menuju ke kota Kam Leng yang sebenarnya tidak sangat jauh.
Sementara itu, setelah lari jauh, barulah Ong Kang Ek merasa bahwa ia
telah salah mengambil jalan. Ia segera lari kembali dan mengejar ke jurusan
lain. Ia merasa bingung dan khawatir sekali akan nasib puterinya. Berkali-
kali ia kertak giginya dan menggerutu: "Kalau aku dapat susul saykong itu,
akan kuhancur leburkan kepalanya! Akan kubeset kulitnya, kucabut keluar
jantungnya. Dan ia berlari makin cepat.
Tiba-tiba ia melihat sinar api kecil dari depan, ia percepat larinya tak
lama kemudian melihat dua ekor kuda dengan 3 orang penumpangnya. Ia kenali
anak yang duduk di kuda pertama, sedangkan kuda kedua ditumpaki oleh dua
orang yang berpakaian sastrawan. Ia merasa heran sekali dan segera ia pegang
kendali kuda Giok Cu dan bertanya:
"Giok Cu kau tidak apa-apa" Kemana larinya dia....?"
Giok Cu tersenyum kepada ayahnya dan simpangkan pertanyaan ayahnya dengan
menunjuk kepada kedua sastrawan yang masih duduk di atas kuda itu. "Ayah, aku
telah sesat jalan dan bingung tak tahu jalan pulang. Baiknya aku bertemu
dengan kedua sianseng ini yang telah begitu baik hati untuk memberi pinjam
kuda mereka dan antar aku pulang."
Ong Kang Ek memandang kedua orang itu lalu menjura:
"Jiwi sianseng, sungguh siaute merasa berterima kasih sekali atas budi
jiwi." Mereka berdua membalas hormat dari atas kuda. "Aah, hal itu biasa saja,
tuan. Bukankah selamanya kaum pria harus menolong kaum wanita?" Sastrawan tua
itu menjawab sambil tertawa.
"Jiwi hendak ke manakah?" tanya Ong Kang Ek.
"Hendak ke kota Kam Leng, tapi terpaksa bermalam di Kam Leng."
"Kalau begitu siaute persilahkan jiwi mampir dan bermalam saja di rumahku
untuk sekedar balas budi."
Tiba-tiba suara sastrawan tua itu terdengar sungguh-sungguh: "Tuan, kalau
kau masih bicara soal hutang budi dan balas budi, lebih baik kami terus
saja." Ong Kang Ek memandang sastrawan itu dengan heran, tapi ia lalu tersenyum
karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang terpelajar yang jujur.
"Kalau begitu biarlah sekedar jembatan perkenalan."katanya.
Wajah sastrawan itu bersinar di bawah cahaya obor yang masih dipegang
oleh sastrawan yang muda. "Nah, kalau begitu, bolehlah."
Mereka lalu lanjutkan perjalanan, menuju ke rumah Ong Kang Ek. Kedua tamu
itu merasa terkejuut dan malu-malu ketika melihat bahwa rumah yang mereka
datangi ternyata adalah sebuah gedung besar dan mewah. Mereka mendapat kamar
istimewa dan ketika mereka dipersilahkan makan malam, hidangan yang
dikeluarkan mewah dan lezat.
Pada saat mereka makan sama-sama, gadis itu makan bersama pula. Tapi
agaknya hal yang tidak seperti lazimnya ini tak mengherankan kedua tamu itu
yang terus saja sikat habis semua hidangan. Memang Ong Kang Ek tidak suka
memakai banyak peraturan dan Giok Cu dilepas sesukanya, berbeda dengan gadis-
gadis pingitan lain. Mereka lalu berkenalan. Ternyata sastrawan tua itu adalah seorang
sastrawan pengembara bernama Gan Im Kiat dan sastrawan muda yang baru berusia
kurang lebih dua puluh tahun itu adalah puteranya yang bernama Gan Kam Ciu.
Menurut pengakuan Gan Im Kiat, ia dahulu adalah seorang pemangku jabatan
negeri, tapi karena tidak suka melihat kawan-kawan sejawatnya, baik yang
lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya, hampir semua menjalankan korupsi
dan menindas si kecil asal mendapat sogokan ia lepaskan kedudukannya dan
pergi merantau menghabiskan uangnya yang dapat ia kumpulkan selama menjadi
pegawai negeri. Puteranya, Gan Kam Ciu adalah anak tunggal. Anak muda itu
agaknya pemalu dan tidak banyak cakap. Wajahnya sederhana dan biasa saja,
tidak sangat cakap, juga tidak buruk. Kulitnya agak kehitam-hitaman. Tapi
sepasang matanya lebar dan tajam, terutama sinar matanya memandang lepas ke
depan, menentang apa saja yang tampak olehnya. Dengan beranimatanya dapat
menentang pandangan mata Ong Kang Ek hingga orang tua inipun merasakan
Koleksi Kang Zusi

Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajamnya sinar mata Kam Ciu, tapi tiap kali pandang matanya bertemu dengan
Giok Cu, entah mengapa, ia segera tundukkan muka dan tak berani memandang!
Ternyata, biarpun hanya seorang kutu buku, Gan Im Kiat luas sekali
pengetahuannya dan banyak pengalamannya. Ia dapat bercerita tentang orang-
orang gagah, patriot-patriot pembela negara, dapat mengutuk para dorna yang
mengacau pemerintahan dan yang menindas rakyat. Dari percakapan ini, Ong Kang
Ek dapat mengetahui dengan siapa berhadapan, yakni, dengan seorang patriot
tulen. Diam-diam ia merasa malu kalau ia mengenangkan keadaannya sendiri. Ia
merasa seakan-akan disindir oleh segala kata-kata bersemangat yang yang
diucapkan oleh tamunya, seorang sasterawan yang lemah. Sedangkan ia sendiri
yang terkenal mempunyai kegagahan, ternyata tidak ambil perduli sedikit juga
tentang nasib rakyat, karena hidupnya terlampau penuh oleh persoalan-
persoalan pribadi! Sampai jauh malam mereka mengobrol, walaupun Kam Ciu dan Giok Cu hanya
menjadi pendengar-pendengar bisu saja.
Akhirnya pertemuan itu dibubarkan juga dengan kata-kata terakhir dari Gan
Im Kiat yang berkata sambil tertawa riang: "Ah, Saudara Ong, sungguh hatiku
senang sekali telah dapat berkenalan dengan seorang seperti kau. Bukan karena
keindahan rumahmu, bukan karena kelezatan hidanganmu, tapi benar-benar hatiku
senang. Sebagai tuan rumah, kau baik dan ramah, demikianpun puterimu, cantik
jelita dan baik budi!" Ucapan ini dikeluarkan demikian sewajarnya bagaikan
seorang kenalan lama atau seorang yang masih ada hubungan keluarga hingga
Giok Cu merasa senang berbareng malu hingga ia tundukkan muka dengan wajah
merah. Ong Kang Ek pun merasa suka akan kejujuran orang, karena baru juga
berkenalan sudah menyebut dengan aku dan kau saja bagaikan kenalan lama,
berbeda dengan kebanyakan orang jika berhadapan dengan seorang kaya lalu
tiba-tiba saja berlaku sangat hormat, menyebut twaya dan bersikap segai
seekor anjing penjilat! Maka iapun menjawab dengan tertawa:
"Gan twako, kau baik sekali. Kuharap saja kau tidak pergi besok,
tinggallah di sini barang sepekan agar kita puas mengobrol."
Gan Im Kiat tidak menjawab; hanya tertawa berkakakan sambil memandang
kepada puteranya. "Coba katakan, adakah orang kaya yang lebih baik dari pada
dia ini?" Puteranya hanya tersenyum sedikit hingga dagunya yang berlekuk dan
keras itu bergerak. Kemudian Ong Kang Ek sendiri antar kedua tamunya ke kamar
mereka. Demikianlah, sastrawan she Gan berdua anaknya itu tinggal di gedung Ong
Kang Ek selama sepekan. Pada hari terakhir, Gan Im Kiat minta bicara empat
mata dengan tuan rumah. Ketika mereka duduk berdua di dalam kamar menghadapi
air teh, Gan Im Kiat langsung saja utarakan maksudnya.
"Begini, saudara Ong Kang Ek. Kita telah berkanalan cukup lama untuk
mengetahui keadaan masing-masing walaupun banyak sekali keadaan dari fihakmu
yang belum kuketahui jelas karena kau ternyata tidak kalah dengan aku dalam
hal menyimpan rahasia. Tapi, baiklah kukatakan terus terang saja. Kau dan
anak perempuanmu cukup menarik hatiku hingga di dalam kalbuku timbul perasaan
mesra sekali. Sekarang timbul niat dalam hatiku untuk minta tangan nona Giok
Cu untuk dijodohkan dengan Kam Ciu, bagaimanakah pendapatmu?"
Kalau ia diserang dengan tusukan pedang pusaka, mungkin ia takkan
sedemikian terkejut dan kesima. Memang Ong Kang Ek cukup tahu kejujuran hati
tamunya ini, tapi sama sekali tak ia sangka di dunia ini ada orang yang
begitu polos hatinya, hingga perkara perjodohan dan lamaran dibicarakan
dengan demikian sederhananya seakan-akan orang bicarakan urusan biasa saja.
Seumur hidupnya belum pernah ia melihat atau menemui seorang yang begini
aneh. Biarpun hatinya tergoncang dan untuk sesaat ia menjadi bingung, tak
mengerti harus bersikap bagaimana tapi ia tidak bisa menjadi marah menghadapi
sikap orang yang benar-benar terbuka ini. Setelah tenangkan pikiran, ia
menjawab: "Ah, Gan Twako sungguh tak kunyana bahwa kau demikian taruh
perhatian kepada keadaan kami. Banyak-banyak terima kasih atas kasih sayangmu
ini, Gan twako. Tapi ketahuilah bahwa urusan perjodohan bagi puteriku
tidaklah sedemikian mudah. Pertama, semenjak dulu aku telah ambil keputusan
Koleksi Kang Zusi tetap bahwa calon suami Giok Cu haruslah seorang yang mahir akan bun dan bu,
yaitu selain terpelajar, juga seorang muda yang gagah dan yang dalam hal
kedua kepandaian itu tidak kalah dengan Giok Cu sendiri. Kedua soal itupun
harus ada persetujuan dari Giok Cu. Dia adalah anakku tunggal, hingga tentang
perjodohannya aku tidak mau berlaku sembrono, Gan Twako.
"Gan twako, jangan kau kecewa. Bukan sekali-kali aku hendak nyatakan
bahwa Gan Kam Ciu hianati kurang baik. Ia cukup terpelajar dan terus terang
saja anakku kalah jauh dalam hal ilmu surat darinya, tapi dalam hal ilmu
silat..." Gan Im Kiat tiba-tiba jebikan bibir. "Hm kau orang kang-ouw memang selalu
begitu. Begitu tinggikah kau hargai ilmu silat" Apakah bukan sebaliknya bahwa
ilmu silat hanyalah mendatangkan cekcok dan bunuh membunuh belaka.
"Hal ini harus dilihat orangnya dulu, Gan twako."jawab Ong Kang Ek
membela golongannya, walaupun di dasar hatinya ia terpaksa membenarkan
pernyataan tamunya. "Jadi pendek kata kau tolak lamaranku, saudara Ong.
Ong Kang Ek menghela napas. Ia menjadi serba salah menghadapi seorang
demikian polos dan minta segala hal diurus secara terang-terangan tanpa
sungkan-sungkan lagi. Ia mengangguk, "Demikianlah, Gwan twako. Aku tolak lamaranmu karena
kuanggap tidak cocok juka Giok Cu dijodohkan dengan Kam Ciu."
"Boleh aku tanyakan pendapat anakmu" Karena bukankah kau tadi katakan
bahwa hal inipun tergantung dari pendapatnya sendiri?"
Kalau yang berkata demikian ini orang lain, mungkin Ong Kang Ek akan
marah sekali tapi karena ia tahu bahwa kata-kata ini diucapkan terdorong oleh
kejujuran orang, maka ia terpaksa menjawab: "Tentu saja boleh." Kemudian ia
berteriak memanggil Giok Cu dan berbareng pada saat itu juga Gan Im Kiat
berkaok memanggil Kam Ciu yang sedang berkemas di dalam kamarnya, siap untuk
melanjutkan perjalanan. Kedua anak muda itu datang hampir berbareng, keduanya masuk dengan heran
memandang ayah masing-masing.
Gan Im Kiat langsung saja berkata kepada Giok Cu. "Nona, barusan aku
melamar kau untuk dijodohkan dengan anakku ini, tapi ayahmu menolak karena
anakku seorang sastrawan lemah. Dan kau sendiri bagaimana, nona" Benarkah kau
hendak mencari jodoh seorang dari kalangan persilatan?"
Tentu saja Giok Cu merasa setengah mati mendengar pertanyaan ini. Mukanya
sebentar pucat, sebentar merah dan ia hanya dapat sebentar tunduk dan
sebentar memandang kepada ayahnya dengan bingun dan heran, tak tahu harus
menjawab bagaimana! Ong Kang Ek kasihan melihat anaknya dengan malu dan bingung tapi sebelum
ia menyela, Gan Im Kiat sudah berkata lagi:
"Ayah, hampir lupa aku bahwa kau sebagai seorang gadis tentu mudah
bagimu. Kau jawab saja dengan geleng dan angguk. Kalau setuju mengangguk,
kalau menolak menggeleng. Baik ini" Giok Cu sambil tunduk mengangguk!
"Nah, nah, bagus! Sekarang pertanyaan pertama: Betulkah bahwa kau ingin
dijodohkan dengan seorang ahli silat dan surat yang kepandaiannya lebih
tinggi darimu" Jawablah ya atau tidak!" Dengan wajah merah Giok Cu
mengangguk. "Hm...kalau pemuda itu hanya pandai ilmu surat dan tidak pandai ilmu
silat, kau tidak suka" Jawablah, kalau suka mengangguk, kalau tidak
menggeleng." Dan Giok Cu menggeleng kepalanya!
"Sama benar dengan ayahnya! Kalau begitu, ini yang terakhir, perhatikan!
Kau kulamar untuk menjadi jodoh Kam Ciu, suka tidak?"
Lama sekali Giok Cu hanya t unduk saja, tak menggeleng tak mengangguk
hingga ayahnya berkata: "Giok Cu! Jawablah pertanyaan Gan twako agar ia
merasa puas. Aku tahu kau sungkan menjawab, tapi kalau kau setuju jawablah
dengan menggelengkan kepala. Gan twako orangnya jujur, dia tidak akan merasa
menyesal!" Kali ini Giok Cu menggeleng kepala. Ia be rdiri dan lari pergi ke
kamarnya! Gan Im Kiat menarik napas panjang, ya....dasar kau yang sial Kam Ciu!"
Koleksi Kang Zusi Kini pemuda yang jarang bicara itu tersenyum memandang ayahnya: "Ayah,
kaulah yang aneh. Tentang perjodohanku, semua orang ditanya, sedangkan aku
sendiri orang yang bersangkutan sama sekali tak pernah kau tanya!"
Ayahnya memandang anaknya heran. "Lho, Kam Ciu bukankah dalam segala hal
pendapatmu sama dengan pendapatku" Coba katakan kalau kau berani, bukankah
kau setuju sekali pada nona Giok Cu?"
Kam Ciu terpukul kalah dan tak berdaya. Pemuda itu kini tunduk dengan
wajah kemerah-merahan. Ong Kang Ek hanya terbelalak heran saja melihat ayah
anak yang ganjil dan berbeda dengan orang lain itu. Namun diam-diam ia merasa
kagum dan suka melihat ketulusan dan kejujuran hati mereka, sedikitpun tidak
dinodai kepalsuan dan kesopanan pura-pura yang hanya baik di luar tapi yang
mungkin di dalamnya mengandung kekotoran yang menjijikkan!
Gan Im Kiat lalu berpamit kepada tuan rumah dan mereka berdua tinggalkan
gedung. Ong Kan Ek diantar oleh tuan rumah sampai di depan pintu. Ketika
hendak berpisah Ong Kan Ek berkata:
"Gan twako sungguh menyesal kita tak berjodoh untuk menjadi besan!
Kuharap kau suka mengunjungi pesta yang hendak kuadakan bulan depan hari
kedua." "Kau hendak adakan pesta apakah, saudara Ong?"
"Aku hendak merayakan ulang tahunku ke lima puluh dan sekalian mengadakan
pemilihan jodoh anakku."
Gan Im Kiat mengangguk-angguk maklum. Jadi kau hendak mengadakan
sayembara adu silat?"
Ong Kang Ek tersenyum dan mengulang undangannya. Gan Im Kiat geleng-
geleng kepalanya. "Aku tak dapat mengikuti jejakmu, saudara Ong. Entah
mengapa tapi aku tetap tidak dapat merasa suka pada tukang pukul. Tapi
misalnya aku tak dapat datang, tentu aku akan wakilkan kepada Kam Ciu.
Kemudian ayah dan anak she Gan itu sekali lagi angkat tangan memberi selamat
tinggal kepada tuan rumah mereka yang baik hati dan ramah.
Adapun Giok Cu semenjak dilamar oleh Gan Im Kiat secara demikian luar
biasa dan terang-terangan hingga ia menjadi sangat bingung, jengah dan malu,
tak pernah menemui lagi kedua tamunya. Bahkan ketika mereka tinggalkan
rumahnya, iapun tidak pergi menjumpai mereka. Ia merasa sangat marah dan
benci kepada Kam Ciu. Sungguh tak tahu diri, pikirnya! Orang lemah dan tidak
mengerti silat sedikitpun macam dia itu mau melamarnya" Giok Cu kalau
teringat akan hal ini lalu jebikan bibirnya. Kutubuku-kutubuku yang demikian
lemah hingga tertiup angin besar saja mungkin tak kuat berdiri lempeng mau
memperisteri dia" Ia harus akui bahwa sikap pemuda itu cukup sopan santun,
lemah lembut dan tidak kurang ajar. Belum pernah pandang mata pemuda itu
menatap dirinya seperti yang dilakukan oleh tiap laki-laki, tua dan muda,
jika mereka ini bertemu dengannya. Wajah pemuda itu memang tidak sangat
tampan, tapi cukup tampan, terutama sepasang matanya yang bersinar tajam.
Sayang ia hanya seorang kutubuku demikian Giok Cu akhiri lamunannya dengan
narik napas dalam-dalam. Tapi sebentar saja ia telah lupakan pemuda dan
ayahnya yang ganjil itu. Ong Kang Ek sebar undangan dan pemberitahuan melalui kawan-kawan dari
kalangan persilatan. Biarpun undangannya hanya khusus untuk merayakan hari
ulang tahunnya, tapi dengan berita lisan ia tambahkan tentang maksudnya
hendak memilih mantu. Bulan depan pada hari kedua, gedung Ong Kang Ek dihias indah. Bangku-
bangku dan meja-meja diatur dalam taman karena Ong Wangwe hendak mengadakan
pesta taman. Pada waktu itu musim bunga masih belum lewat hingga kebun bunga
itu masih indah dan penuh dengan bunga mekar beraneka warna yang harum
baunya. Di tengah-tengah taman empang ikan yang penuh bunga teratai didirikan
sebuah panggung untuk main silat dan meja-meja diatur di sekeliling panggung
itu. Tamu-tamu mulai datang dari segala penjuru hampir semua terdiri dari
golongan tokoh persilatan tapi sebagian besar dari mereka-mereka datang dari
Utara karena nama Ong Kang Ek dengan julukannya Sian-kiam-bu tek atau Pedang
dewa tanpa tandingan amat terkenal di bagian itu.
Koleksi Kang Zusi Ong Kang Ek sebetulnya dulu adalah seorang panglima perang pada kerajaan
B eng-tiauw. Tapi ketika kerajaan itu dipukul jatuh ke dalam tangan bangsa
Boan, ia lari ke dalam hutan dan menjadi kepala berandal terkenal di bukit
Hek-houw-san. Berkali-kali tentara kaisar Boan mencoba untuk memukul hancur
barisan berandal ini, tapi mereka tak berhasil, karena selain barusan itu
gagah berani dan berada di bawah pimpinan seorang ahli peperangan, juga
kedudukan bukit itu baik sekali untuk tempat pertahanan. Akhirnya tentara
Boan menjadi bosan sendiri dan selama kaum berandal itu tidak menganggu
pemerintah, mereka didiamkan saja.
Setelah memimpin barisan berandal untuk lima bulan lamanya dan menjagoi
di daerah situ, Ong Kang Ek merasa bosan dan mengundurkan diri. Memang ia
telah menjadi berandal dengan terpaksa, yaitu ketika ia dan keluarganya pergi
mengungsi, telah dicegat dan diserang perampok yang dipimpin oleh seorang
kepalanya bergelar Hek-houw-ong. Dalam pertempuran melawan Ong Kang Ek,
kepala berandal ini tewas. Melihat kegagahan Sian-kiam-bu tek, para anggota
berandal lalu mengangkatnya sebagai kepala. Ong Kang Ek terpaksa menerimanya
karena ia pikir bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dengan
keluarganya dari kejaran bala tentara musuh ialah bersembunyi di situ. Namun,
isterinya yang tidak biasa tinggal di tengah hutan, menjadi sa ngat menderita
dan jatuh sakit. Karena jauh dari obat dan ahli, penyakit ini membawanya ke
lubang kbur. Bukan main sedih hati Ong Kang Ek hingga ia makin tidak kerasan
tinggal di situ. Akhirnya ia angkat seorang yang paling gagah di antara mereka sebagai
kepala yang menggantikan kedudukannya, sedangkan ia sendiri bersama gadisnya
lalu tinggalkan tempat itu. Para berandal yang merasa hutang budi dan yang
telah menerima banyak kebaikan dari Ong Kang Ek, segera mengumpulkan emas
danperak, dan berikan itu sebagai hadiah kepadanya. Demikianlah maka Ong Kang
Ek tiba di kota Kam Leng sebagai hartawan.
Ketika pesta dimulai, maka taman bunga itu telah penuh dengan para tamu.
Taman itu dihias dengan kertas-kertas berwarna yang menambah indah keadaan.
Meja-meja yang dipasang mengitari panggung dibagi tiga bagian: bagian
terkecil adalah untuk para tamu wanita, karena di antara tamu terdapat pula
beberapa belas pendekar-pendekar wanita dari utara seperti Soh Kwan Lian, Han
Lian Hwa, Song Lian Eng dan lain-lain, juga terdapat beberapa orang pendeta
wanita. Bagian kedua adalah untuk orang tua dan di sinilah ditempatkan kursi-
kursi kehormatan untuk para locianpwe yang tersohor. Bagian ketiga yang
terbesar adalah untuk golongan para muda. Hampir semua tokooh persilatan
datang menghadiri pesta itu, karena mereka ini menaruh hormat kepada bekas
panglima yang tidak mau menyerah kepada musuh dan yang terkenal gagah
perkasa. Setelah hidangan disuguhkan dan keadaan menjadi gembira karena pengaruh
arak. Ong Kang Ek dengan suara merendah menyatakan bahwa untuk menggembirakan
para tamu yang terhormat, ia hendak suruh puterinya bermain pedang di atas
panggung dengan harapan hendaknya setelah anaknya bersilat, lain-lain tamu
juga suka memberi sumbangan berupa pertunjukan silat untuk menggembirakan
suasana. Tentu saja pernyataan ini disambut dengan tepuk tangan gembira,
terutama dari para muda, karena mereka tahu akan maksud tuan rumah.
Tak lama kemudian keluarlah Giok Cu dari dalam, berpakaian warna hijau
dengan angkin merah yang ujungnya melambai ditiup angin, di pinggangnya
tergantung pedang pusaka keluarganya Kim-hong-kiam. Pakaiannya serba ringkas
sederhana, mukanya yang jelita tak berbekas pupur atau yanci, nampak
kesederhanaannya itu tak mengurangi kecantikannya, bahkan kejelitaannya
nampak asli dan segar. Dengan tindakan ringan, gadis itu jalan menuju ke
panggung, kemudian dengan gesit bagaikan burung walet ia loncat ke atas
panggung, disambut tepuk tangan sopan tapi cukup meriah.
Melihat kecantikan gadis itu, dikalangan muda terbit hasrat untuk mencoba
kepandaian Giok Cu, siapa tahu kalau-kalau mereka akan kejatuhan bintang dan
cukup beruntung untuk dapat berhasil menundukkan gadis jelita itu,
menundukkan kemahiran silat dan menundukkan hatinya pula! Sedikitnya ada dua
puluh pe muda yang telah gatal tangan hendak mencoba kepandaian Giok Cu.
Koleksi Kang Zusi Sebelum Giok Cu mulai bersilat. Ong Kang Ek naik ke atas panggung dan
sambil berdiri di sebelah puterinya, ia menjura ke empat penjuru.
"Cuwi sekalian yang terhormat, harap saja cuwi suka memberi maaf
sebelumnya atas kelancangan anakku. Sebenarnya bukanlah maksud kami untuk


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyombongkan kebiasaan yang tak berapa banyak, tapi ialah karena anakku yang
manja ini telah berjanji kepadaku bahwa pada hari ulang tahunku ini dia
hendak menyumbangkan tenaga meramaikan pesta dengan bersilat pedang dan
mengambil kesempatan ini untuk minta tambahan pelajaran dari cuwi sekalian.
Hanya saja memang adat anakku aneh, dia hanya melayani main pedang dengan
mereka yang tidak saja pandai pegang senjata tajam, tapi juga yang pandai
pegang dan mainkan pit dan pandai membaca!"
Mendengar uraian ini, kembali para muda bertepuk tangan, tapi di antara
dua puluh orang anak muda yang gatal tangan tadi, kini hanya paling banyak
sepuluh orang saja yang masih tetap hendak mencoba gadis itu karena mereka
merasa cukup pengertian mereka dalam ilmu surat. Pada saat itu datanglah
seorang tamu dari luar yang diantar oleh pelayan yang mewakili Ong Kang Ek
menjaga di luar. Ong Kang Ek yang sudah selesai bicara, lalu menjura lagi dan cepat-cepat
turun dari panggung untuk sambut tamu-tamunya, seorang muda berpakaian
sastrawan dan yang mendatangi dengan sikap lemah lembut dan sopan.
"Ah, Gan Hianti, kau akhirnya datang juga! Mana ayahmu?"
Gan Kam Chiu menjura sambil menjawab perlahan: "Menyesal sekali ayah tak
dapat datang, hanya menyuruh saya menyampaikan pernyataan selamatnya dengan
doa supaya lopeh mendapat berkah panjang umur."
Ong Kang Ek balas menjura. "Terima kasih terima kasih Gan hianti silakan
duduk. Setelah menghaturkan terima kasih Gan Kam Ciu ambil tempat duduk di
bagian para tamu muda. Pada saat itu tak seorangpun memperhatikan sastrawan itu karena semua
mata ditujukan kepada Giok Cu yang masih berdiri di panggung dengan pedang di
tangan. Kam Ciu juga tujukan pandangan matanya ke sana dan kagumlah ia
melihat gadis manis yang pernah menolak lamarannya itu berdiri dengan gagah
dan cantiknya di atas panggung. Maka mengertilah ia bahwa Giok Cu hendak
memperhatikan ilmu pedangnya. Dengan gembira ia duduk dan memandang dengan
penuh perhatian. Setelah menjura ke sekeliling sekali lagi Giok Cu mulai bersilat.
Pertama-tama ia gerak-gerakkan pedangnya dengan perlahan dengan gerakan yang
indah dan lemas hingga ia tidak mirip seorang wanita gagah bermain pedang,
tapi lebih pantas seorang penari tengah menarikan tari pedang yang indah
gerak-geriknya dan sedap dipandang. Semua tamu kagum akan keindahan tubuh dan
gerakannya, dan para tamu hendak mengukur tenaganya merasa lega karena
menurut ilmu pedangnya dan tak sukar dilawan. Tapi mereka tidak tahu bahwa
Giok Cu sedang mainkan ilmu pedang turunan dari keluarganya pada bagian yang
lemas dan yang disebut ilmu pedang Bi-jin-kiamhwat, yaitu ilmu pedang yang
sebenarnya hanya digunakan untuk berlatih kelemasan tubuh dan tenaga dalam
sesuai dengan namanya yang berarti ilmu pedang wanita cantik. Hanya para
locian-pwe yang duduk di golongan terhormat saja yang mengerti akan kelihaian
ilmu ini dan mereka mengangguk-angguk karena dari permainan ini mereka telah
dapat mengukur ketinggian lweekang dan ilmu pedang Giok Cu.
Setelah mainkan sebagian dari Bi-jian-kiam hwat, tiba-tiba Giok Cu
berseru nyaring dan gerakan pedangnya berubah. Kini ia tidak lagi merupakan
seorang penari yang lincah dan lemas, tapi seakan-akan seekor naga yang baru
keluar dari sarangnya! Pedangnya berputar cepat dan sebentar saja pedang itu
hanya merupakan gulungan sinar panjang yang bergerak ke sana kemari menutupi
tubuh gadis itu hingga yang tampak hanya kakinya saja. Terkejutlah sebagian
besar anak muda yang tadinya naksir dan yang memandang rendah Giok Cu. Diam-
diam mereka menghapus keringat dingin yang keluar dijidat. Dan pada saat itu
juga mereka yang ingin mengajukan diri hanya tinggal tiga orang lagi saja!
Yang lain-lain telah mundur teratur karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan
Giok Cu. Pada saat orang-orang sedang mengagumi ilmu pedang Giok Cu tiba-tiba
gadis itu berseru nyaring sekali lagi dan sebuah benda merah panjang tahu-
Koleksi Kang Zusi tahu telah berada di tangannya dan benda itu ini bergerak-gerak bagaikan ular
menyambar-nyambar mengikuti gerak pedang itu. Itu adalah sehelai angkin
sutera warna merah! Dan sampai di sini gadis itu telah keluarkan kepandaian
yang paling diandalkan oleh keluarga Ong, yaitu ilmu pedang Hwee-liong-
kiamhoat dimainkan oleh pedang di tangan kanan, dan dibantu dengan permainan
hui-angkin di tangan kiri! Kepandaian inilah yang membuat Ong Kang Ek diberi
julukan Pedang-dewa-tanpa-tandingan! Dan ternyata bahwa anak gadisnya tak
kalah lihainya ketika mainkan ilmu hebat ini. Pandangan mata para tamu
menjadi silau karena sinar pedang yang putih perak itu kini diselang seling
warna merah dara sabuk sutera itu. Diam-diam para anak muda leletkan lidah
karena ngeri dan kagum. Ternyata bunga yang indah jelita itu mengandung duri
yang tajam dan berbahaya hingga tak mudahlah agaknya untuk memetiknya.
Setelah Giok Cu hentikan permainannya, maka riuh rendah suara tepuk
tangan dan sorak sorai yang memenuhi udara taman itu. Bahkan para locianpwe
yang alim-alim itu juga ikut bertepuk tangan tanda memuji. Ong Kang Ek segera
naik ke panggung dan menjura keempat penjuru sambil berkata:
"Cuwi sekalian yang mulia. Harap maafkan kebodohan anakku yang
kedangkalan ilmu pedangnya. Sekarang kami persilahkan para saudara yang
budiman untuk meramaikan pesta ini dengan memberi pertunjukan silat guna
menambah pengertian anakku dan juga untuk meluaskan pengalaman kita bersama.
Ucapan ini walaupun dikeluarkan di hadapan semua tamu, namun semua orang
mengerti bahwa yang dimaksud oleh tuan rumah ialah golongan para pemuda yang
duduk di sebelah kiri. Setelah Ong Kang Ek berkata demikian dari golongan ini
berdirilah tiga orang pemuda yang cakap dan gagah. Agaknya mereka ini hendak
mencoba-coba. Tapi sebelum mereka melangkah maju, tiba-tiba Kam Ciu
mendahului berdiri dan dengan suara nyaring keras tapi bernada menghormati ia
berkata: "Maaf, Ong lopeh, bolehkah siauwtit gunakan hak sebagai tamu untuk
majukan usul" Heranlah semua tamu, tapi lebih-lebih lagi Ong Kang Ek sendiri dan Giok
Cu. Apakah kehendak pemuda kutu buku ini dan apakah usulnya" Demikian mereka
pikir sambil memandang tajam.
"Terima kasih atas perhatianmu, Goan Hiantit. Tentu saja segala usul yang
baik diterima. Coba katakan, apakah usulmu itu?" Suara Ong Kang Ek mengandung
teguran, karena ia merasa kurang senang dan khawatir kalau-kalau putera orang
aneh ini akan bertindak ganjil seperti ayahnya.
Kam Ciu menjura lagi lalu berkata, suaranya keras dan nyaring. "Biarpun
siauwit tidak becus main silat dan tidak mengerti akan ketajaman pedang,
namun melihat permainan Ong siocia tadi, mudah saja diterka betapa tinggi
ilmu pedang Ong siocia. Kepandaian setinggi ini harus dihargai, juga harus
diingat kedudukan Ong siocia sebagai seorang gadis dan puteri tuan rumah yang
kita hormati, maka tidak pantaslah kiranya kalau Ong siocia harus bermain
silat dengan segala orang yang masih rendah tingkat ilmu silatnya! Karena
itu, siauwtit usulkan agar mereka yang hendak mempertunjukkan ilmu silatnya,
bermain dulu d e ngan sesama tamu kemudian setelah ketahuan siapa yang
terkuat dan yang terlihai, barulah yang terkuat ini menghadapi Ong siocia
mengadu kepandaian. Bukankah ini berarti menghormati tuan rumah, terutama Ong
siocia?" Ucapan ini walaupun agak merendahkan mereka yang hendak menguji
kepandaian, tapi tak dapat disangkal lagi bersifat meringankan tugas Giok Cu
dan juga mengangkat gadis itu ke tempat tinggi. Oleh karenanya, maka diam-
diam Ong Kang Ek kagum akan kecerdikan orang itu dan dengan ucapan terima
kasih ia menerima baik usul itu. Para locian-pwe juga menyetujui usul ini
hingga Giok Cu lalu disuruh turun oleh ayahnya. Gadis itu lalu loncat turun
dan pergi duduk di bagian tamu wanita yang terdiri dari ahli-ahli silat pula
itu dengan puji dan kagum Giok Cu diam-diam merasa berterima kasih kepada Kam
Ciu. Bukankah pemuda itu semata-mata membelanya" Sayang pemuda itu tidak
mengerti ilmu silat, pikirnya.
Empat orang pemuda yang tadinya mengharapkan dapat menghadapi Giok Cu,
walaupun dengan kemungkinan dijatuhkan, merasa kecewa dan mereka memandang ke
arah Kam Ciu dengan penasaran. Tapi yang dipandang pura-pura tidak tahu, lalu
Koleksi Kang Zusi duduk di bangkunya dengan tenang. Seorang pemuda lain yang berpakaian biru
muda dan berwajah tampan serta gerak geriknya gesit memandang Kam Ciu dengan
curiga dan kagum. Ia adalah seorang tamu yang baru saja datang. Tak
seorangpun menyambutnya karena pada saat itu ia datang semua orang sedang
mengagum permaian pedang Giok Cu. Tapi tanpa perdulikan segala upacara
penyambuta, pemuda itu terus saja memilih kursi kosong di sebelah kanan Kam
Ciu yang melihat kedatangannya dan mengangguk serta tersenyum ramah padanya.
Seorang di antara keempat pemuda gagah itu melangkah maju dan dengan
tindakan gagah menghampiri panggung. Kemudian ia berloncat dengan gerakan
Hwee-niau-coan-in atau Burung terbang terjang mega dan tubuhnya melayang
bagaikan seekor burung ke atas panggung di mana ia turun dan berdiri dengan
tegak. Gerak loncat indah ini disambut dengan tepuk tangan memuji. Pemuda ini
berpakaian putih dan wajahnya tampan. Belum habis tepuk tangan pemuda kedua
yang bertubuh agak gemuk loncat menyusul dengan gerakan Cian-liong-seng-thian
atau Naga-naik-ke langit. Gerakannya tak kalah gesitnya dengan pemuda pertama
dan biarpun tubuhnya agak gemuk, namun wajahnya cukup tampan dan gagah.
Kedua orang pemuda di atas panggung itu saling menghormat dengan tertawa
karena mereka ini sesungguhnya teman sekolah yang telah kenal baik.
"Saudara Bu mari kita main-main sebenar," kata yang gemuk.
"Baik, saudara Oey, tapi karena kita harus menghadapi Ong siocia dengan
senjata mari kita main-main dengan gunakan senjata pula.
Keduanya lalu menghampiri pojok panggung untuk taruh baju luaur yang
mereka lepas dan sambil bertindak ke tengah panggung mereka keduanya mencabut
pedang dari sarung pedang yang tergantung di pinggang. Tanpa banyak upacara
lagi si gemuk segera kirim serangan dengan pedangnya. Nyata gerakannya gesit
dan berat dan para ahli tahu bahwa pemuda gemuk itu mainkan ilmu pedang Liang
Gie Kiamhoat dari cabang Butong. Si baju putih tidak kalah gesitnya. Ia
menangkis dan balas menyerang. Ilmu pedangnya adalah Tat Mo-kiamhoat yang
telah banyak berubah hingga kehilangan keasliannya dan perubahan gerakannya
tidak sehebat Tat Mo kiamhoat asli. Namun permainannya cukup kuat untuk
mengimbangi permainan si gemuk. Mereka bertempur dengan ramai dan seimbang.
Masing-masing tidak berlaku sungkan lagi dan kerahkan tenaga mereka keluarkan
untuk dapat merobohkan lawan. Rasa persaudaraan lenyap yang ada keinginan
untuk menang, untuk dapat menghadapi gadis cantik jelita itu. Dalam
pertempuran yang keadaan atau tingkat kepandaiannya seimbang bagaimanakah
dapat berlaku mengalah" Mengalah berarti kalau yang berarti pula terluka atau
mungkin terbinasa! Karena inilah mereka terlibat dalam pertempuran mati-
matian tusukan dan sabotan-sabotan bukanlah merupakan permainan biasa lagi
karena digerakan oleh hawa maut!
Semua penonton memandang dengan dada berdebar, juga Ong Kang Ek timbul
rasa menyesal. Bagaimana kalau seorang di antara mereka mendapat luka berat"
Ah, mengapa ia adakan sayembara gila ini" Terang bahwa kedua pemuda itu masih
rendah sekali tingkat kepandaiannya dan tak mungkin dapat melawan Giok Cu.
Kini kedua pemuda itu saling serang dengan kawan sendiri hanya untuk
memperebutkan kemungkinan menghadapi Giok Cu. Ah, gila! Sungguh gila! Tapi,
sebaliknya dari pada perasaan hati ayahnya Giok Cu memandang pertempuran itu
dengan gembira, pipinya kemerah-merahan, sinar matanya memancarkan seri
kebanggaan. Mereka itu bertempur untuk dia! Berkelahi mati-matian untuk
memperebutkan dia! Pada saat keadaan sangat berbahaya, yakni si gemuk menyerang dengan
gerakan Hwee-eng-bok-tho atau Elang terbang sambar kelinci, tangan kanan yang
memegang pedang dipakai menusuk dan tangan kiri mencengkeram ke arah dada si
baju putih, tiba-tiba si baju putih terpeleset ketika hendak berkelit dan ia
roboh terguling. Tapi dalam tergulingnya ia masih sempat tusukkan pedangnya
dari bawah ke arah perut si gemuk! Bahaya tak dapat dielakkan lagi dan
agaknya kedua bilang pedang itu akan menembus tubuh masing-masing! Tapi pada
saat itu dari ruang tampak pemuda berkelebatlah bayangan biru ke atas
panggung dengan gerakan Koay-liong-hoan atau Siluman naga berjumpalitan
sebelum kedua kaki bayangan itu turun ke lantai panggung tampak terayun
sebuah benda hitam yang meluncur dan menghantam ujung pedang si gemuk
sedangkan secepat kilat tangan kanannya bergerak menotok pundak si baju putih
Koleksi Kang Zusi hingga pemuda baju putih itu merasa tangannya lemas dan pedangnya jatuh
berketontangan berbareng dengan jatuhnya pedang si gemuk yang terhantam piauw
bayangan itu. Semua orang terkejut, kecuali beberapa orang cianpwe dan Ong Kang Ek
sendiri yang merasa kagum melihat ketangkasan orang itu. Ketika penolong itu
sudah tu run dan berdiri tegak, ternyata ia bukanlah adalah pemuda baju biru
yang duduk di kanan Kam Ciu tadi.
"Sungguh sayang kalau dua orang kawan menjadi lawan," kata pemuda itu
sambil tersenyum manis hingga wajahnya yang tampan itu hampir menyerupai
seorang wanita cantik. Ong Kang Ek heran melihat pemuda itu karena ia merasa tidak kenal dengan
tamunya ini, pula ia tidak pernah melihat kedatangan tamu ini! Tentu saja
tidak berani bertanya, hanya memandang dengan kagum dan diam-diam menjaga
segala kemungkinan. Kedua pemuda she Bu dan Oey yang dipisah itu pungut
pedang mereka dengan wajah merah. Mereka merasa malu dan penasaran sekali,
karena mereka merasa terhina oleh pemuda baju biru ini.
"Tuan kau sungguh lancang dan tak memandang orang. Apa perlunya kau ikut
campur kami?" tanya si gemuk.
Pemuda baju biru itu tersenyum, biarpun ia mendongkol juga mendengar
kata-kata kasar ini. "Eh, jangan buru-buru marah, saudara. Aku tidak ikut
campur, hanya sayang kalau perutmu tertembus pedang karena demikianlah akan
terjadi kalau tidak buru-buru memisah."
"Kau menghina orang! Saudara Oey bukanlah orang yang sedemikian mudah
termakan pedang! Kau ini orang dari mana tidak kenal aturan" Apakah kau
hendak mengacau pesta ini dan mengandalkan kepandaianmu sendiri" Pemuda baju
putih membela si gemuk. Si baju biru tertawa geli. "Nah, begini baru baik! Kau bela saudara gemuk
ini yang baru saja hendak kau tusuk perutnya, sedangkan lehermu sendiri
hampir tertembus pedangnya.
"Tuan siapakah kau" Dan apa maksudmu menghentikan permainan kami?"
Baju biru itu tidak menjawab, tapi matanya mencari tuan rumah, setelah
berbtemu ia menghadapi Ong Kang Ek sambil menjura dalam, lalu berkata:
"Ong lo-enghiong, mohon beribu maaf jika saya berani menganggu permainan
ini. karena tadi saya melihat seorang tamu yang terhormat maju mengajukan
usul, maka perkenankanlah saya mengajukan usul pula. Saya merasa tidak setuju
kalau diadakan permainan silat dengan senjata tajam karena biarpun sifatnya
hanya main-main, namun permainan senjata tajam yang dilakukan oleh orang-
orang bukan ahli adalah berbahaya sekali dan mungkin mengakibatkan kecelakaan
hebat. Jika kiranya lo-enghiong tidak keberatan, perkenankanlah saya menjadi
batu ujian bagi mereka ini. Biarlah saya lawan mereka dan bilamana ada yang
dapat menangkan saya barulah dihadapkan Ong siocia. Bagaimana pendapatmu, Ong
lo-enghiong?" Ong Kang Ek telah merasa suka dan kagum kepada pemuda yang selain tampan
dan pandai bicara juga kepandaian silatnya cukup tinggi in. Dia inikah jodoh
anakku" Demikian pikirnya.
"Aku memang setuju kalau tidak sampai terjadi peristiwa berdarah,"
katanya perlahan. Tapi kedua pemuda di atas panggung itu merasa marah dan mendongkol
sekali. Terang-terangan baju biru ini menghina dan memandang rendah mereka.
Mereka disebut bukan ahli! Juga dua orang pemuda lain yang masih berada di
bawah panggung merasa marah sekali. Bagaikan menerima komando, mereka loncat
naik dan berkata kepada dua orang yang sudah bertempur itu.
"Saudara-saudara yang sudah lelah turunlah, biar aku yang menghadapi
dia!" berkata seorang dari pada kedua pemuda yang baru naik. Dia ini
bersenjata golok besar yang tajam.
"Tidak, biarkan siauwie menghadapinya lebih dulu!" bentak pemuda kedua
yang bersenjata siangkiam atau sepasang pedang.
Melihat mereka ini si baju biru tersenyum dan ia pergi ke pinggir
panggung dan menjenguk ke bawah lalu berkata kepada para muda yang duduk di
sana: "Cuwi, masih ada lagikah yang hendak mengadu kepandaian. Kalau ada,
silahkan naik sekalian agar urusan lekas selesai!" Tapi tak seorangpun
Koleksi Kang Zusi menjawab, mereka memandang dengan ingin tahu bagaimana jadinya urusan tegang
ini. Juga Kam Ciu kelihatan berseri dan tertarik sekali hingga anak muda
sastrawan ini lupa minum arak dalam cawannya yang sejak tadi dipegangnya di
depan mulut! Kemudian si baju biru menghadapi keempat pemuda yang berdiri di atas
panggung. Dua orang pertama masih belum turun karena mereka masih penasaran.


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara-saudara, kata si baju biru, terus terang saja kunyatakan bahwa
kepandaian kalian masih belum dapat mengimbangi kiam-han Ong siocia. Biarpun
kalian berempat maju berbareng kerasa kalian masih tak mampu memenangkan dia.
Kalau kalian tidak percaya, silahkan tanya kepada para locianpwe yang
terhormat dan duduk di sana itu.
Jangan banyak cakap. Aku naik bukan tidak melawan siapa juga, tapi hendak
merubah kepandaianmu, kau orang sombong ini!" kata pemuda bergolok.
Si baju biru menghela napas. "Aah, kalian masih penasaran. Biarlah
sekarang diatur begini. Kalian berempat boleh baju bersama dan mengeroyokku.
Kalau aku sampai kalah, nah baru kalian boleh satu demi satu merasai
ketajaman pedang Ong siocia. Bagaimana?"
"Sombong!" teriak si gemuk sambil pegang pedangnya dengan erat.
"Terangkan namamu, hei orang sombong!"
"Aku bernama Souw Thian In."jawabnya sederhana. Nah, bersiaplah kalian,
mari kita bermain-main sebentar!"
"Cabut pedangmu!" teriak pemuda yang bersenjata siang-kiam.
Souw Thian In menghadap ke arah Ong Kang Ek yang kini mendekat dan
menjura kepada orang tua itu: "Ong Lo-enghiong bolehkah saya pinjam sebatang
mauwpit (pensil bulu) yang agak besar dan sekalian tinta baknya?"
Ong Kang Ek segera menyuruh seorang pelayan mengambilkan barang yang
dimaksud itu, lalu ia sendiri loncat naik ke panggung.
"Souw sicu, kami telah menyaksikan kepandaianmu. Perlukah pertempuran
yang tidak ada artinya ini dilanjutkan" Aku orang tua telah merasa kecewa dan
menyesal akan gara-gara sendiri!"
"Ong Lo-enghiong, jangan cemas. Bukankah saat ini adalah waktu yang baik
dan gembira" Nah, biarlah saja yang muda dan bodoh ikut meramaikan pesta ini
dengan keempat saudara ini. Kita hanya akan main-main, bukan demikian, cuwi?"
Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada keempat pemuda yang berdiri di
depannya dengan muka merah.
Pemuda baju putih yang agaknya lebih dapat kendalikan diri berkata kepada
Ong Kang Ek. "Ong Lo-enghiong. Benar kata-kata tuan Souw ini, kami hanya
main-main. Memang kami berempat yang tidak punya guna ini bukan tandingan
puterimu yang terhormat, maka biarlah kami bergembira dengan minta pelajaran
dari tuan Souw yang gagah perkasa ini." Ucapan merenduk ini mengandung
ancaman hebat. Ong Kang Ek menghela napas dan loncat turun dari panggung sedangkan Souw
Thian In terima sebatang mauwpit dan secawan tinta bak dari seorang pelayan.
Sambil pegang pit dengan tangan kanan sedangkan cawan tinta dengan tangan
kiri, ia berkata kepada keempat lawannya:
"Nah, marilah kita mulai, kawan-kawan," katanya sambil tersenyum.
"Mana senjatamu?" tanya si gemuk.
Souw Thian In angkat tangan kanan-kiri yang pegang mauwpit dan bak itu
sambil menjawab sederhana: "Inilah senjataku."
"Apa?"" keempat pemuda itu bertanya hampir berbareng. Mereka merasa
dipermainkan dan kemarahan mereka memuncak, tapi si pemuda baju putih masih
dapat menekan perasaannya dan berkata:
"Orang she Souw! Jangan kau terlalu sombong dan menghina kami. Masak kau
hendak hadapi kami hanya dengan alat tulis itu di tanganmu?"
"Cuwi, sekarang aku telah terlibat di atas panggung ini hingga mau tak
mau aku harus penuhi permintaan Ong Lo-enghiong yang menghendaki agar
pemenang menghadapi Ong siocia. Kalau tidak salah, tadi ada yang menceritakan
padaku bahwa Ong siocia hanya mau melayani main senjata dengan orang yang
pandai menulis membaca! Na, biarlah dengan kesempatan ini aku perlihatkan
pula bahwa aku tidak buta huruf! Sambil main-main dengan cuwi aku akan
Koleksi Kang Zusi menuliskan keempat huruf Tung-Si-Nam-Pay (Timur-Barat-Selatan-Utara) di baju
saudara-saudara." Kata-kata ini sungguh-sungguh merupakan kejumawaan yang jarang bandingannya, hingga membuat seorang jago tua yang duduk di kalangan locian-
pwee menjadi tak senang juga. Ia ini adalah seorang cabang atas dari cabang
Kwie-san seorang pertapa yang bernama Hoan Tin-cu dan yang terkenal karena
ilmu pedangnya Kwie san kiamhoat. Suaranya terdengar kecil tinggi dan nyaring
ketika ia berkata: "Bagus, biar aku menjadi saksi. Kalau Souw sicu dapat penuhi janjinya
tadi, aku kagum sekali. Tapi kalau tidak, dia harus main-main dengan aku
barang sepuluh jurus!"
Lain-lain locianpowe terkejut mendengar ini. Mereka sudah kenal akan
tabiat pertapa ini yang terkenal jujur dan terus terang, tapi tak suka
mengalah dalam hal adu pedang!
Tapi Souw Thian In berlaku tenang saja, sambil menjura ia menjawab,
"Terima kasih banyak, Totiang. Mudah-mudahan saja saya akan dapat penuhi
janji dan tak usah rasakan kerasnya tanganmu!"
Kemudian dengan tenang, ia menghadapi keempat lawannya dan bertanya:
"Tidak lekas turun tangan, kalian tunggu apa lagi?"
Keempat orang yang sudah merah itu makin mendongkol dan dengan berbareng
mereka maju menerjang. Senjata-senjata mereka berkelebat ke arah tubuh Souw
Thian In bagaikan air hujan, terutama golok dan sepasang siangkiam dari dua
pemud aterakhir bergerak sangat cepat dan lihai. Para tamu terkejut, termasuk
juga para locianpwe yang maklum betapa berbahayanya dikeroyok empat orang
pemuda yang bersenjata tajam dan yang tidak lemah pula kepandaiannya itu.
Hanya Kam Ciu yang masih tersenyum dan melihat pertempuran itu dengan mata
bersinar hingga membuat seraong pemuda yang gagah dan duduk di sampingnya
menjadi gemas berbareng geli karena ia maklum bahwa pemuda berpakaian anak
sekolah itu masih tersenyum-senyum lantaran tidak mengerti dan tidak tahu
betapa berbahaya dan terancam keadaan Souw Thian In yang dikeroyok itu.
Tapi tiba-tiba ia mendengar seruan heran dan kagum. Ia cepat memandang
lagi ke arah panggung dan heran! Thian In tak tampak pula berada di atas
panggung y ang tampak hanya keempat orang itu yang masih saja putar-putar
senjata dan tusuk sana-sini. Di antara bayangan tubuh dan senjata mereka,
tampaklah bayangan biru berkelebat demikian cepat gerakannya hingga tampa
yang di atas panggung bukanlah empat orang pemuda gagah mengeroyok seorang
tapi bagaikan empat orang kanak-kanan bermain-main dan mengejar-ngejar seekor
kupu-kupu biru yang gesit dan liar!
Kalau penonton merasa kagum dan heran melihat pertunjukan ilmu ringankan
tubuh yang begitu mahirnya, adalah keempat orang pemuda itu merasa terkejut
dan bingung sekali. Kadang-kadang mereka melihat lawan mereka berdiri sambil
tersenyum, tapi pada saat mereka menubruk maju sambil melakukan serangan,
tahu-tahu pemuda baju biru itu telah lenyap dari pandangan mata dan entah
dengan cara bagaimana telah berada di belakang mereka pula! Demikianlah Souw
Thian In permainkan keempat lawannya hingga mereka menjadi pusing dan
pandangan mata mereka berkunang-kunang. Hal ini mengakibatkan kendornya
permainan silat mereka dan kesempatan baik itu digunakan oleh Thian In untuk
maju mendesak. Ia hanya kirim serangan-serangan dengan kedua kakinya yang
menentang ke sana kemari, tapi serangan ini cukup hebat. Keempat lawannya
merasa angin keras terbawa tendangan itu hingga mereka kaget sekali, tapi
ternyata bahwa serangan tendangan itu hanya gertakan belaka. Ketika empat
orang itu berkelit, maka Thian In bergerak maju cepat dengan kerjakan mauwpit
di tangan kanannya yang sudah dicelupkan dalam tinta bak. Tiap kali ia
gerakkan mauwpitnya, tentu mauwpit itu dengan cepat mencolek baju lawan di
bagian dada hingga dalam beberapa kali serang saja dada keempat orang itu
semua telah terdapat tanda-tanda hitam!
Souw Thiak In percepat gerakannya dan ia menyerang lagi beberapa kali.
Kemudian ia loncat mundur sambil berseru:
"Saudara-saudara tahan!!"
Koleksi Kang Zusi Keempat lawannya yang telah mandi keringat dan kini berdiri dengan
terengah-engah segera tunda senjata mereka, si gemuk yang paling payah masih
mencoba menggertak: "Kau mengaku kalah?"
Tapi gertakannya ini disambut suara tertawa riuh rendah dari penonton. Se
gemuk heran dan memandang kepada seorang kawannya. Alangkah kaget dan
herannya ketika ia melihat bahwa di dada kawannya yang berbaju putih itu
terdapat tulisan hitam yakni sebuah huruf "Barat." Demikianpun di dada kedua
pemuda yang bersenjata golok dan siangkiam tertulis huruf "Selatan" dan
"Utara". Maka menggigillah tubuh si gemuk dan ia hanya dapat terbelalak
memandang ketiga kawannya yang kesemuanya saling pandang dengan wajah pucat.
Pemuda yang bersenjata golok segera lempar goloknya dan dengan
menangkapkan tangan di dada ia memberi hormat:
"Souw enghiong, sekarang ternyata oleh kami bahwa sikapmu yang memandang
rendah tadi memang beralasan. Kami berempat masih jauh dan rendah sekali
kepandaian kami dan tidak pantas dibandingkan dengan kepandaian Ong siocia
atau dengan kepandaianmu. Kami mengaku kalah dan terima kasih atas pelajaran
yang kau berikan kepada kami juga ketiga kawannya memberi hormat dengan muka
panas merah. Souw Thian In balas hormat mereka dengan berkata merendah:
Cuwi harap maafkan banyak-banyak atas sikapku yang boleh jadi kalian
anggap sombong tadi. Sebenarnya masih lebih baik terjatuh dalam tanganku dari
pada di tangan Ong siocia, bukan?"
Keempat orang itu setelah saling pandang lalu mengerti akan maksud Thian
In. Memang, kalau sampai kalah da lam tangan Ong siocia, karena betapapun
juga mereka adalah laki-laki. Kalah dalam tangan seorang pemuda segagah Thian
In bukanlah hal yang sangat memalukan. Maka mereka lalu menjura kembali dan
rasa dendam dalam hati mereka lenyap. Langsung mereka minta diri dari tuan
rumah yang segera menahan mereka dan memohon agar mereka suka duduk kembali.
Terpaksa keempat pemuda itu lalu duduk kembali karena sebenarnya merekapun
ingin sekali menonton pertandingan antara Thian In dan Giok Cu.
Ong Kang Ek melihat kehebatan ilmu silat Thian In, merasa girang dan
kagum karena ia telah merasa suka sekali kepada pemuda itu. Juga Giok Cu
merasa tertarik oleh pemuda yang tampan dan gagah itu. Ong Kang Ek lalu naik
ke panggung dan sambil tertawa berkata kepada Thian In:
"Souw sicu sungguh gagah perkasa. Bolehkah aku tahu nama gurumu yang
mulia?" "Siauwtit mempelajari sedikit ilmu dari Gak Bong Tosu."
Ong Kang Ek mengangguk-anggukkan kepala karena telah mendengar akan nama
pendeta yang berilmu tinggi itu. Makin tertarik hatinya terhadap pemuda itu.
Pada saat itu Ong Kang Ek dan Thian In mendengar angin loncatan orang dan
ketika mereka cepat memandang, ternyata di atas panggung telah berdiri Hoan
Tia-cu, tokoh dari Kwie-san. Orang tua ini bertubuh tinggi kurus dengan
wajahpucat dan kelihatan lemah. Tapi biarpun ia telah berusia sedikitnya enam
puluh tahun rambutnya masih hitam dan mukanya licin dan tak terhias kumis
maupun jenggot. Tubuhnya yang agak lurus dan sinar matanya yang tajam
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat tinggi.
Melihat pemuda baju biru itu berpaling dan memandangnya. Hoan Tin Cu
tertawa dan berkata dengan suara memuji: "Souw sicu sungguh membuat aku orang
tua merasa kagum sekali dan insaf bahwa kami golongan tua sungguh tertinggal
jauh olehpara muda. Tapi setelah mendengar bahwa kau adalah murid dari Gak
Bong tosu, keherananku berkurang banyak. Sudah lama aku mendengar akan ilmu
silat Gak Bong Tosu yang terkenal sebagai ilmu silat kelas satu masa kini.
Biarlah aku melupakan usiaku yang tua dan tubuhku yang lemah dan minta Souw
sicu suka bermurah hati memberi sedikit petunjuk. Ingin sekali aku menjajal
Kwie san kiamhwat pada seorang murid dari Gak Bong Tosu yang lihai!"
Mendengar disebutnya Kwie-san tahulah Thian In bahwa ia sedang berhadapan
dengan seorang tokoh Kwie-san-pay. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa
pendiri Kwie-san-pay adalah lima orang yang berilmu silat tinggi dan bahwa
mereka itu bertabiat aneh tapi jujur hingga disebut Kwie-ian-ngokway atau
Lima orang aneh dari Kwie-san. Terutama sekali mereka itu tidak mau kalah da
Koleksi Kang Zusi lam hal ilmu silat dan selalu menganggap bahwa ilmu silat cabang mereka
adalah yang paling sempurna! Pernah dulu tiga orang tokoh dari Kwie-san
sengaja naik ke tempat kediamman Gak Bong Tosu, khusus untuk mencoba
kepandaian silat tosu itu. Tapi ketiga-tiganya kalah jauh terhadap Gak Bong
Tosu, dan mereka pulang dengan penasaran, karena biarpun telah dikalahkan,
mereka tetap tidak mau menerima kalah! Thian In maklum bahwa kini setelah ia
bertemu dengan seorang tokoh dari Kwie-san, mau tak mau ia harus pertahankan
nama suhunya. Ia segera menjura kepada pendeta kurus kering itu.
"Totiang aku yang sudah pernah mendengar akan kelihaian Kwie-san-pay,
tapi di antara kelima paycu, tidak tahu totiang ini yang ke berapakah?"
Hoan Tin-cu keluarkan suara jengekan. Aku bukanlah seorang di antara
ketiga sutee ku yang pernah berjumpa dengan suhumu. Di bukit kami masih ada
twasuhengku." Dengan jawaban ini mengertilah Thian In bahwa dia berhadapan
dengan tokoh kedua dari Kwie-san!
"Kalau begitu bukankah totiang ini Hoan Tin-cu Totiang yang bergelar
Liok-chiu0sian Si-Dewa-tangan-enam" Sungguh bahagia aku yang muda dapat
berjumpa dengan totiang yang telah membuat nama besar! Tapi apa maksud
totiang untuk menjajal Kiam-hwat mu yang sudah terkenal itu kepada seorang
muda seperti aku" Harap totiang suka pikir-pikir kembali. Kalau totiang dapat
kalahkan aku hal ini tidak menguntungkan totiang juga tak berarti apa-apa.
Tapi sebalinya kalau sam pai kiamhwatmu kalah olehku, bukankah hal ini akan
membuat totiang merasa malu dan aku merasa tidak hati saja?" Ucapan ini
biarpun kelihatan rendah dan halus namun juga mengandung ejekan dan memandang
rendah kepada Kwie-san-kiamhwat.
"Souw sicu! Kepandaianmu sudah begitu hebat, apa pula kau adalah murid
Gak Bong maka biarpun seandainya aku jatuh dalam tanganmu aku takkan merasa
malu bahkan merasa terhormat. Tentu saja kalau kau mampu jatuhkan aku!"
Ong Kang Ek merasa tidak enak sekali menghadapi adu mulut ini maka buru-
buru ia berkata: "Hoan totiang dan Souw Sicu yang terhormat. Saya tidak ada
perlunya hal ini dilanjutkan, karena membikin kita semua tidak enak saja.
Memang maksud Hoan totiang baik, yakni untuk menambah pemandangan kita dan
juga untuk meramaikan pesta ini tapi hendaknya diingat bahwa Souw Sicu belum
bertanding dengan puteriku, hingga kalau dia harus bermain-main dulu dengan
totiang, maka tentu hal ini kurang adil, apalagi berusan Souw Sicu telah
melayani saudara-saudara yang lain."
Hoan Tin-cu tertawa bergelak-gelak. "Aku orang tua tidak tahu diri memang
menjadi gangguan saja. Tadi aku minta kepada Souw Sicu, tapi ternyata kau
ingin lekas-lekas melihat pemuda ini mengadu kepandaian dengan anakmu.
Biarlah aku mundur saja juga tentu saja Souw Sicu lebih senang bertanding
dengan Ong siocia dari pada dengan aku si tua bangka!"
Bukan main panas hati Thian In mendengar olok-olokan ini. Ia menghadapi
Ong Kang Ek dan menjura: "Ong Lo-enghiong, perkenankanlah kiranya siauwtit
melayani Hoa Totiang barang sepuluh jurus sebagai tanda hormat kepadanya dan
juga untuk menggembirakan pesta ini." Terpaksa Ong Kang Ek mengangguk dan
tinggalkan panggung dengan hati cemas karena ia tahu betapa lihainya pendeta
tinggi kurus itu. "Ha, ha! Harimau muda yang gagah berani." Sikapmu ini membuat aku makin
kagum, anak muda. Keluarkanlah pedangmu dan mari kita main-main sebentar agar
kurasai sampai di mana kelihaian ilmu pedang turunan Gak Bong! Jangan kau
takut, aku tak begitu kejam untuk mencelakai seorang muda.
Kata-kata ini sangat memandang rendah hingga tanpa banyak cakap lagi Souw
Thian In lolos pedangnya dari pinggang. Sementara itu Hoan Sin-cu juga telah
cabut pedang dari punggungnya dan dengan jumawa sekali ia gerak-gerakkan
pedang itu di tangan kanan hingga bersuitan mendatangkan angin dingin. Thian
In maklum akan kelihaian orang tua itu, maka ia berdiri masang kuda-kuda
dengan tenang dan waspada. Kemudian ia berkata halus:
"Hoan Totiang kau mulailah dulu."
Setelah perdengarkan suara tawa yang nyaring, Hoan Tin-cu segera gerakan
pedangnya mengirim serangan pertama. Gerakan pedangnya memang cepat sekali,
ditambah pula dengan gaya-gaya palsu dengan jalan putar-putar dan obat
abitkan pedang itu bagaikan permainan pedang yang kacau, tapi yang
Koleksi Kang Zusi sesungguhnya merupakan rangkaian serangan berbahaya. Tapi Thian In biarpun
masih muda, namun ia tergembleng hebat oleh gurunya hingga ia dapat berlaku
tenang sekali dan tidak bingung karena gerak-gerak palsu itu. Dengan gerakan
Hui-pau-liu-cwan atau Air terjun bertebaran, ia dapat menangkis serangan Hoan
Tin-cu dengan mudah sekali. Hoan Tin-cu terkejut juga melihat serangannya


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dipunahkan demikian mudah, lebih-lebih ketika ia rasakan betapa
tangkisan pedang. Thian In membuat tangannya tergetar, ia menjadi hati-hati
dan berbareng penasaran sekali. Ia perdengarkan siulan keras dan tahu-tahu ia
robah gerakan pedangnya. Kini ia mainkan tipu-tipu terlihai dari Kwie-
sankiamhwat. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih berkeredupan
yang mengurung Thian In. Untuk sesaat Thian In terdesak dan ia merasa betapa Kwie-san-kiamhwat
benar-benar lihai, cepat gerakannya dan kuat tenaga serangannya. Namun ia
telah mendapat petunjuk istimewa dari Gak Bong Tosu bagaimana harus
menghadapi ilmu pedang Kwie-san maka dengan cepat Thian In lalu mainkan
gerakan Dinding besi membendung banjir. Pedangnya diputar sedemikian cepatnya
hingga merupakan sinar bulat besar yang menjaga dan melindungi seluruh
tubuhnya hingga jangankan senjata lawan, bahkan air hujanpun agaknya sukar
untuk menembus dinding kuat yang terbuat dari mata pedangnya itu! Beberapa
kali ujung pedang Hoan Tian-cu hendak menerobos masuk, tapi selalu dapat
terpental keluar kembali karena tangkisan pedang Thian In.
Melihat betapa serangan-serangannya tak berhasil sedangkan pemuda itu
hanya membela diri saja dan belum balas menyerang, Hoan Tin cu merasa
penasaran dan marah karena ia anggap Thian In mengalah yang berarti menghina
dan memandang rendah: Maka ia berseru keras:
"Souw Sicu, balaslah menyerang! Jangan takut aku takkan terluka oleh
pedangmu. Sambil tangkis sebuah tusukan, Thian In menjawab: "Baik, totiang, aku
sudah terima pengajaranmu." Sekarang silahkan menerima pertunjukanku. Awas
pedang!" berbareng dengan teriakan ini tiba-tiba Thian In gerakkan pedangnya
dengan tipu La-liong-sin yauw atau Naga-emas-mengulet. Tiba-tiba saja Thian
In membuat gerakkan memutar dan secepat kilat pedangnya membalik dan meluncur
dalam serangan berbahaya. Hoan Tian Cu yang sudah siap sedia tak menjadi
gentar, bahkan ia berteriak: "Bagus!" sambil tersenyum dan gerakkan pedangnya
menangkis, Thian In tarik kembali senjatanya dan membuat serangan baru yang
tidak kurang berbahaya. Hoan Tian Cu tak menjadi gugup dan bergerak cepat
dalam menangkis dan balas menyerang dengan keluarkan tipu-tipu yang paling
diandalkan, tapi keadaan mereka seimbang. Thian In menang gesit dan menang
tenaga, tapi kalah ulet dan kalah tenang.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan memuji. Semua merasa heran dan memandang
karena dalam keadaan setegang itu tak seorangpun berani menganggu dengan
suara maupun tepuk tangan. Ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Kam Ciu.
Pemuda sastrawan ini yang menganggap permainan kedua orang itu sangat menarik
agaknya tidak tahu sama sekali bahwa permainan yang indah dipandang itu
mengandung ancaman-ancaman maut bagi kedua belah pihak! Sambil bertepuk
tangan pemuda itu memandang pertempuran dengan mata bersinar, sinar dan mulut
tersenyum-senyum. Sikapnya bagaikan seorang anak menonton pertunjukkan tari-
tarian! Orang-orang di dekatnya terpengaruh oleh kegembiraan pemuda itu
hingga merekapun ikut gembira, untuk sesaat melupakan ancaman bahaya bagi
yang bertempur. Tapi tak lama kemudian melihat betapa kedua orang itu
berputar-putar dalam pertarungan yang semakin sengit, mereka diam lagi dan
memandang dengan hati diliputi penuh ketegangan.
Kini hanya Kam Ciu saja yang masih merasa gembira. Ia sabar-sabar
bertepuk tangan dan berteriak-teriak! "Lihat, lihat...Aduh bagusnya tarian
losuhu itu seperti seekor ular!" Para ahli silat diam-diam merasa geli
mendengar ini, lebih-lebih ketika Kam Ciu berteriak lagi: "Permainan pedang
mereka mengingatkan aku akan pertemupran ular dan burung garuda. Pernah
kumelihatnya! Tapi ketika burung terbang dan menyambar, ularpun kalah!"
Tak seorangpun perdulikan ocehannya itu walaupun kata-katanya cukup
keras. Sesaat kemudian keadaan pertempuran berubah. Agaknya Thian In merobah
gerakannya. Ia gunakan ginkang atau ilmu ringankan tubuh yang hebat dan yang
Koleksi Kang Zusi tadi telah dipertunjukkan ketika melawan empat pemuda. Tubuhnya kin
berkelebat ke kanan-kiri dan kadang-kadang berputar-putar lalu loncat ke atas
dan menyerang dari belakang dan dari atas. Terpaksa Hoan Tin-cu mengikuti
gerakan-gerakan lawan yang gesit bagaikan burung itu! Payah ia putar-
putarkan, makin cepat Thian In berputar di lingkungan luar makin cepat
pulalah ia harus berputaran hingga sebentar saja ia merasa pusing dan
pandangan matanya kabur: Hoan Tin Cu merasa sibuk menghadapi serangan-
serangan Thian In yang tak terduga dan yang dilancarkan dari segenap penjuru,
bahkan sering kali di atas.
Makin riulah tepuk tangan Kam Ciu dan mulutnya tiada hentinya berkaok-
kaok: "Bagus....bagus....! Nah, lihat tuh...sekarang benar-benar ular melawan
burung! Aduh bagusnya..."
Kini kata-kata gembira dari Kam Ciu ini mendapat perhatian semua orang
karena betul-betul keadaan yang bertanding di atas panggung adalah seperti
seekor ular dan seekor burung sedang berlagak! Thian In merupakan burung yang
tangkas dan besar terbang ke sana kemari mengelilingi ular dan tiap ada
kesempatan ia menyerang bagaikan burung mematuk. Sedangkan Hoan Thian Cu
berada di tengah bagaikan ular menanti untuk menangkis atau tiba-tiba
menyerang kalau lawannya mendekat.
Hoan Tin Cu sudah merasa lelah dan pusing. Ia tak tahu bahwa jika
dilanjutkan akan kalah maka ketika pedang Thian In menyambar lagi, ia tidak
menangkis, tapi berkelit sambil loncat ke belakang.
"Betul lihai! Betul kata orang, guru harimau murid naga. Terima kasih
atas pengajaranmu, Souw Sicu."
Thian In buru-buru menjura. "Totiang kau telah mengalah sungguh membuat
aku bersukur. "Tapi ia salah sangka kalau ia kira bahwa pendeta itu benar-
benar mau mengaku kalah, karena dengan wajah muram Hoan Tian-cu berkata:
"Souw Sicu, jika kau mau menghargai aku orang tua nanti pada permulaan
musim Chun tahun depan kuundang kau ke Kwie-san di mana sekali lagi aku minta
pengajaranmu. Terkejutlah Thin In mendengar ini, tapi dasar ia seorang muda yang tabah,
ia tersenyum pahit sambil menjawab: "Jadi totiang masih penasaran" Baiklah
kalau ada aral melintang, pasti aku akan memenuhi permintaanmu."
Hoan Tin-cu lalu menjura kepada Ong Kang Ek sambil berkata: "Ong
Enghiong, pinto tak dapat mengawani lebih lama lagi. Terima kasih untuk
arakmu dan selamat berpisah!" Tuan rumah tak sempat menjawab karena tamunya
telah memutar tubuh dan bertindak pergi. Ketika lewat di depan ruang di mana
anak-anak muda berduduk, tiba-tiba berhenti di depan Kam Ciu dan ia berkata
sambil angkat tangan menjura kepada pemuda itu yang masih duduk sambil
tersenyum memandangnya: "Anak muda kau seorang kutubuku lain kali janganlah banyak mulut bila
menonton orang mengadu silat!" Ong Kang Ek dan Giok Cu terkejut melihat
gerakan Hoan Tin-cu karena itu adalah sebuah gerakan serangan yang dilakukan
dengan kerahkan tenaga dalam untuk merobohkan orang tanpa menjamah kulitnya!
Ong Kang Ek tidak ingin melihat Kam Ciu dicelakakan, maka hampir saja ia
loncat mencegah, sedangkan Giok Cu juga siap sedia dengan piauw di tangan.
Tapi ternyata Hoan Tin-cu tidak jadi seorang anak muda karena buktinya Kam
Ciu masih saja duduk dengan tertawa. Totiang itu untuk sejenak memandang
wajah pemuda sastrawan yang tidak menjawab kata-katanya tapi hanya tertawa
geli saja, kemudian tanpa banyak berkata lagi pendeta itu panjangkan langkah
dan lari pergi!" Kam Ciu gunakan jari telunjuk menuding ke arah punggung Hoan Tin-cu dan
tertawanya makin keras bergelak. Ong Kang Ek mendongkol juga melihat sikap
pemuda itu. Ia segera loncat mendekati dan berkata:
"Gan Hianti lain kali harap jangan suka goda orang. Tahukah kau bahwa
hampir saja kau mengalami bencana maut?"
Kam Ciu memandangnya dengan tak mengerti. "Bencana maut" Mengapa Ong
lopeh. "Hoan Tin-cu tadi sedang marah tapi kau tertawakan padanya hingga hampir
saja ia gunakan pukulan gelap untuk membunuhmu. Untung saja ia dapat menahan
napsunya, kalau tidak entah bagaimana jadinya. "Orang tua itu menghela napas.
Koleksi Kang Zusi "Hm, hm, kalau begitu ia bukan orang baik-baik," kata Kam Ciu sambil
mengangguk-angguk. Ia kalah bukan salahku, tapi karena kelemahan sendiri,
mengapa ia marah kepadaku?"
Thian In yang sementara itu sudah turun dan menghampiri mereka, tepuk-
tepuk pundak Kam Ciu sambil tertawa: "Mengapa ia marah padamu" Ah, saudaraku
yang baik, karena sebenarnya kaulah yang membuat ia kalah olehku tadi!"
"Apa maksudmu?" pertanyaan ini diucapkan oleh Kam Ciu dan Ong Kang Ek
dengan berbareng karena orang tua inipun heran mendengar pengakuan itu.
"Bukankah ketika kami sedang saling serang tadi kau berteriak-teriak
mengatakan bahwa kami berkelahi bagaikan seekor ular dan seekor burung" Nah,
pada saat itu barulah aku insaf dan mendapat akal untuk menjatuhkannya! Aku
baru ingat bahwa ilmu pedang Hoan Totiang hampir sama jalannya dengan ilmu
pedang Ouw-coa-kiamhwat yakni ilmu pedang ular telaga yang terkenal lihai
dari Lam-san-pay dan biarpun gerakannya lambat, namun tangguh dan kuat
sekali. Setelah mendengar teriakanmu, barulah aku ingat bahwa untuk melawan
ini haruslah gunakan ginkang yang tinggi untuk mempermainkannya. Kebetulan
sekali kepandaian ginkangku lebih tinggi darinya, maka aku lalu gunakan
kegesitan untuk menyerang sambil berputaran dan berloncatan hingga ia menjadi
pusing dan lelah. Bukankah ini berarti bahwa kau ya ng memberi jalan hingga
ia mendapat kekalahan" Nah, karena itulah maka ia marah padamu."
Mendengar keterangan ini, Kam Ciu tertawa lagi, kini tawanya gembira.
"Kalau begitu, saudara Souw lain tahun kalau kau pergi ke Kwie-san kau harus
ajak aku untuk menjadi penasehatmu!" Thian In hanya tersenyum, lalu ia
berkata kepada Ong Kang Ek.
"Ong Lo-enghiong bagaimanakah sekarang" Apakah aku sudah memenuhi sarat
untuk mencoba kepandaian puterimu?"
Ong Kang Ek tersenyum dan berkata: "Souw hiantit, kau sungguh gagah. Mana
anakku yang bodoh berani unjuk kebodohannya di depanmu?"
"Eh, mana ada aturan begitu, lopeh?" bantah Gan Kam Ciu." Biarpun
kepandaian saudara Soaw ini cukup hebat, ia harus pula memenuhi apa yang
telah dijanjikan tadi. Kalau ia tidak disuruh menghadapi Ong siocia, mana
kita tahu siapa yang lebih unggul. Kata-kata ini dibenarkan oleh paramuda
yang duduk di situ hingga apa boleh buat Ong Kang Ek pergi panggil puterinya
yang duduk di ruang wanita, Giok Cu yang telah siap sedia segera loncat ke
atas panggung dan berdiri dengan kepala tunduk karena sesungguhnya ia merasa
malu untuk bertanding dengan pemuda yang telah memikat hatinya itu.
Souw Thian In pun tidak melewatkan ketika baik ini untuk menjajal
kepandaian gadis jelita itu. Dengan gaya indah menarik, ia loncat ke atas
panggung lalu berdiri di depan gadis itu sambil menjura memberi hormat yang
dibalas oleh Giok Cu dengan muka merah. Alangkah girang, hati Thian In karena
setelah berada dekat dengan nona itu barulah ia m endapat kenyataan bahwa
Giok Cu benar-benar cantik jelita!
"Ong siocia, harap kau suka berlaku murah hati dan jangan turunkan tangan
kejam kepadaku." Kata Thian In sambil perlihatkan senyum manis.
"Souw enghiong jangan merendah," jawab Giok Cu dengan suara merdu halus
sambil cabut pedangnya dengan tangan kanan dan angkin suteranya dengan tangan
kiri. Thian In mundur dua tindak lalu loloskan pedangnya pula.
Setelah saling mengangguk sekali lagi tanda hormat, Giok Cu mulai buka
serangan dengan pedangnya, sementara sabuk-sutera merah di tangan kirinya
bergerak bagaikan benda hidup membuat lingkaran melindungi seluruh bagian
tubuh yang tak terlindung pedang. Gerakan bidadri menari selendang ini
sungguh indah dipandang hingga Kam Ciu dengarkan seruan kagum dan sepasang
mata tanya memancarkan sinar gembira. Melihat keadaan pemuda sastrawan ini
Ong Kang Ek yang memandang dari samping diam-diam menghela napas dengan hati
kasihan. Orang tua ini maklum betapa pemuda kutu buku ini mencinta dan
merindukan Giok Cu, tapi apa mau dikata, pemuda lemah seperti tentu tidak
seimbang dengan anak gadisnya yang gagah perkasa. Pikiran ini membuat ia
menengok lagi ke arah panggung. Ternyata tanpa sungkan-sungkan lagi Giok Cu
keluarkan serangan-serangan yang paling berbahaya. Agaknya gadis betul-betul
hendak mencoba sampai di mana kelihaian ilmu silat pemuda baju biru ini maka
ia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Tapi Thian In tidak menjadi
Koleksi Kang Zusi gugup biarpun ia dikurung oleh sinar merah yang bergulung-gulung dan sinar
putih yang berkeredep-keredep dari sabuk sutera merah dan pedang Giok Cu.
Pemuda ini dengan sigapnya mainkan ilmu pedang angin taufan permainkan ombak,
yaitu ilmu pedang ciptaan gurunya yang sengaja dimainkan untuk menjaga diri
dari serangan musuh tangguh. Ilmu pedang ini jika dimainkan oleh tangan yang
mahir dapat membuat pedang merupakan dinding baja yang menutup rapat diri si
pemain hingga tak mudah untuk diserang. Pedang di tangan Thian In berputar
cepat dan sebentar lagi Giok Cu merasa gelisah karena sedikitpun kedua
senjatanya tak dapat mendekati tubuh pemuda itu.
Thian In tidak hanya membela diri. Di mana ada kesempatan, iapun kirim
serangan-serangan berbahaya. Tapi di mata seorang ahli nyata sekali bahwa ia
tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, karena beberapa kali pedangnya yang
telah meluncur ke arah tubuh si gadis sengaja dibelokkan seakan-seakan pemuda
itu takut kalau-kalau pedangnya akan betul-betul melukai tubuh lawannya. Hal
ini pun diketahui pula oleh Ong Kang Ek yang merasa girang karena perbuatan
pemuda itu menandakan bahwa ia ada hati terhadap Giok Cu. Hal inipun tak
luput dari pandangan gadis itu sendiri hingga ia makin merasa bingung dan
malu. Pada saat ketika pedang Thian In menyerang, Giok Cu berhasil melibat
pedangnya dengan angkinnya, tapi ketika Thian In betot pedangnya, sabuk
sutera merah itu terbawa oleh pedang! Giok Cu cepat meloncat ke belakang dan
tanpa menoleh lagi ia lalu turun dari panggung dan lari ke dalam rumah!
Kam Ciu tertawa bergelak dan tepuk-tepuk tangan disusul oleh lain tamu
hingga Thian In berdiri di atas panggung dengan muka merah dan memandang
selendang merah yang masih tergantung di pedangnya! Ong Kang Ek melihat pula
dan mengerti bahwa Giok Cu sengaja lepaskan angkinnya sebagai tanda menyerah
dan juga tanda setuju kepada pemuda itu, maka tanpa ayal lagi ia loncat ke
atas panggung. "Souw hiantit, anakku yang bodoh mengaku kalah." Kemudian ia iringkan
pemuda itu turun dari panggung.
Habisnya acara itu dianggap sebagai habisnya perayaan, maka berangsur-
angsur para tamu berpamit dan tinggalkan tempat itu.
Setelah tamu-tamu pulang, yang tinggal hanya Thian In dan Kam Ciu yang
masih duduk bercakap-cakap dengan Ong Kang Ek. Ketika ditanya tentang orang
tuanya, Thian In dengan sedih menjawab bahwa kedua orang tuanya telah
meninggal dunia dan bahwa ia adalah seorang yatim-piatu yang hidup sebatang
kara, tak bersanak tak berkandang. Dalam percakapan mereka Thian In merasa
suka kepada Kam Ciu yang biarpun hanya seorang siucay, tapi luas
pandangannya. Kedua pemuda itu diminta dengan sangat oleh Ong Kang Ek untuk
bermalam di rumahnya dan mendapat sebuah kamar besar yang dipakai oleh mereka
berdua. Malam hari itu Kam Ciu dipanggil oleh Ong Kang Ek yang berkata kepadanya:
"Gan Hiantit, kau lihat sendiri tadi bahwa Souw hiantit telah memenuhi segala
sarat untuk menjadi suami anakku. Aku telah setuju padanya dan Giok Cu juga
tidak menolak. Sayang sekali pemuda itu telah yatim piatu dan tidak ada
walinya. Kau adalah putera Saudara Gan Im Kiat yang sudah seperti saudara
sendiri dengan aku. Maka Gan hiantit sukakah kau berlaku begitu baik hati
untuk menjadi perantara atau wakil?"
Kam Ciu tekan perasaannya dan ia memandang kepada Ong Kang Ek dengan
wajah agak pucat dan senyum getir di bibir. "Bagaimana maksudmu, Ong lopeh?"
Ong Kang Ek menghela napas. "Sebenarnya tidak pantas aku memilih kau
untuk hal ini, hiantit, tapi apa boleh buat, selain kau selain kenal baik
padaku, juga sekarang kenal baik kepada Souw hiantit pula. Maksudku, sukalah
kau menjadi perantara untuk perjodohan anakku dan Souw hiantit, tidak hanya
menjadi perantara, juga sebagai wali pemuda yatim piatu itu.
Biarpun ia telah menduga maksud Ong Kang Ek, namun masih Kam Ciu merasa
betapa dadanya berdebar dan bibirnya gemetar. Ia mendapat pukulan batin yang
hebat, karena ia sendiri pernah melamar Giok Cu dan ditolak, sekarang harus
menjadi wali orang lain yang hendak mengawini gadis itu" Ah, alangkah berat
tugas ini. Tapi ia paksa mulutnya bersenyum dan menyanggupi. Demikianlah, di
dalam kamarnya, Kam Ciu utarakan maksud Ong Kang Ek. "Saudara Thian In,
karena kau sebatang kara dan nona Giok Cu telah cukup umur, Ong lopeh
Koleksi Kang Zusi menghendaki agar kau dan Ong socia kawin minggu depan ini." Kam Ciu tutup
pembicaraannya. "Tapi...tapi..."
"Tapi, bukankah kau sudah setuju padanya?" tegur Kam Ciu melihat keraguan
pemuda itu. Thian In mengangguk, lalu menghela napas. "Baiklah kalau kau sudi menjadi
waliku, saudara Kam Ciu."akhirnya pemuda itu menyetujui. Dengan girang Kam


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ciu sampaikan persetujuan ini kepada Ong Kang Ek.
Seminggu kemudian rumah Ong Kang Ek dihias sederhana. Ini adalah
permintaan Souw Thian In, yakni tak perlu mengadakan perayaan besar. Tamu-
tamu yang menghadiri perkawinan itu hanya penduduk kota Kam Leng yang telah
dikenal dan para tetangga.
Ketika kedua penganten ditemukan, mereka berdua lalu dituntun ke meja
sembahyang, di mana tergantung sebuah lukisan besar seorang wanita cantik.
Ini adalah lukisan ibu Giok Cu yang telah meninggal dunia. Melihat gambar
ibunya, Giok Cu jatuhkan diri berlutut di samping calon suaminya dan
menangis. Thian In berbisik kepada Giok Cu: "Siapakah?"
"Ibuku," jawab Giok Cu.
Thian In angkat muka memandang lukisan itu. Tiba-tiba wajahnya pucat
bagaikan mayat, sepasang matanya terbelalak dan mulutnya terbuka dengan bibir
menggigil. Ia gunakan tangan kiri yang gemetar untuk merogoh ke dalam
bajunya, lalu tangan itu keluarkan segulung kertas. Ia cepat buka gulungan
kecil itu Giok Cu yang melihat perbuatan calon suaminya dengan pandangan mata
aneh hampir berseru karena terkejut dan herannya. Ternyata gulungan gambar
itupun lukisan ibunya yang sedikitpun tak berbeda dengan lukisan yang
tergantung di meja sembahyang itu!
Kini pandangan mata dan wajah Souw Thian In berubah keras. Ia berdiri dan
bertolak pinggang sambil pandang Giok Cu dengan mata menghina.
"Jadi kau adalah anak perempuan wanita ini?" katanya menunjuk lukisan ibu
Giok Cu. Gadis itu bingung dan hanya mengangguk dengan hati berdebar kacau.
"Jadi kau...kau anak Can Kwei Lan?"
Kembali Giok Cu hanya bisa mengangguk. Sementara itu, Ong Kang Ek telah
loncat mendekati dan bertanya:
"Apa artinya ini" Hiansay, apa hubunganmu dengan dia?" tanya kepada Thian
In sambil menunjuk gambar isterinya.
"Jadi....kau ini...pemuda yang direbutnya dari tangan dan hati ibuku?"
Kali ini Thian In menunjuk ke arah Ong Kang Ek dengan mata menyala. Ong Kang
Ek mundur beberapa tindak dengan muka pucat.
"Siapakah kau?" tanyanya.
"Masih ingatkah kau akan seorang gadis yang hancur kalbunya karena
perbuatan dan ketidak setiaanmu" Ingatkah kau kata Eng Hong?"
Makin pucatlah wajah Ong Kang Ek. "Apa...apakah hubunganmu dengan Eng
Hong?" Muka Thian In yang tadinya pucat kini berubah merah dan suaranya
terdengar seram ketiak ia menjawab keras: "Eng Hong adalah ibuku. Wanita
digambar ini adalah musuh ibuku yang harus kubunuh. Tapi karena ia telah
mendahului tinggalkan dunia ini sekarang kau dan anaknya harus ganti jiwa!
Thian In tutup kata-katanya dengan loncat menerjang Ong Kang Ek. Serangan ini
hebat ho-tok-hu atau Bangau-putih-totol-ikan, pukulan yang dibarengi tenaga
dalam hingga kalau sampai ke sasarannya pasti orang takkan kuat menahan.
Dalam terkejut dan bingungnya. Ong Kang Ek sempat loncat ke samping dan
berkata: "Hiansay, tahan dulu! Segala persoalan bisa diurus. Ingat kepada
isterimu!" "Hm, siapa sudi menjadi mantumu" Siapa sudi menjadi mantu Can Kwei Lan
yang sudah merusak hidup ibuku" Ini hari kalian berdua atau aku harus rebah
di tanah menjadi mayat!"
Karena sedih, malu, dan marah hampir saja Giok Cu jatuh pingsan. Kini
timbullah marahnya. "Bangsat rendah, berani kau hina orang sesukamu. Kau
ingin adu jiwa" Baik, nonamu antar kau ketemui ibumu di neraka. Giok Cu mata
gelap dan balas memaki karena merasa marah ibunya dihina. Kemudian maju
Koleksi Kang Zusi menyerang. Thian In berkelit dan membalas dengan serangan maut! Kali i ni
mereka tidak main-main seperti di atas panggung dulu. Mereka gunakan
serangan-serangan berbahaya. Tapi mana Giok Cu dapat melawan pemuda yang
lihai itu" Sebentar saja ia terdesak dan sibuk menangkisi dan berkelit.
Ong Kang Ek berkali-kali minta Thian In bersabar dan menahan marahnya,
tapi tidak diperdulikan oleh pemuda itu. Akhirnya, melihat gadisnya terdesak,
Ong Kang Ek menjadi marah dan maju mengeroyok! Pesta menjadi kacau balau.
Tamu-tamu lari keluar dan yang agak berani menonton dari tempat agak jauh.
Sedangkan Kam Cu dengan garuk-garuk kepala dan banting-banting kaki mendekati
sambil berkaok-kaok: "Saudara Thian In!! Ong siocia!! Ong lopeh!!
Berhentilah....aduh celaka, bagaimana ini" Jangan berkelahi, nanti kena
bencana. Aduh, bagaimana ini?"" Pemuda sastrawan ini lari hilir mudik dengan
bingung, kemudian ia duduk sambil tutup muka dengan kedua tangan dan geleng-
geleng kepala. Pertempuran makin hebat. Mereka bertiga gunakan tangan kosong karena
tidak sempat mengambil senjata. Namun, biarpun bertangan kosong, pukulan-
pukulan yang mereka layangkan tidak kalah berbahayanya dengan serangan
senjata tajam. Sekali saja kena terpukul atau tertendang tepat banyak harapan
putus nyawanya. Souw Thian In benar-benar gagah. Biarpun dikeroyok oleh ayah dan anak
yang lihai itu, ia masih dapat menyerang lebih banyak daripada diserang.
Beberapa kali hampir saja Giok Cu terkena pukulan maut. Pada saat itu Souw
Thian In keluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu jurus Kiauw-ta Sina, semacam
ilmu silat gabungan dari cabang Butong dan Siauwlim. Ilmu silat ini telah
dijadikan dengan cermat dan mahir hingga kali ini Ong Kang Ek dan Giok Cu
terdesak mundur. Dengan beringas dan kejam bagaikan seekor harimau menubruk
mangsanya, Thian In kerahkan tenaga menyerang Giok Cu. Gadis itu berkelit ke
samping tapi malang baginya, kakinya terbentur menjadi belakangnya hingga ia
terhuyung ke kanan. Saat itu digunakan oleh Thian In untuk mengirim pukulan
maut ke arah lambung Giok Cu. Ong Kang Ek melihat bahaya ini berteriak keras
karena ia tak keburu menolong. Berbareng dengan teriakan Ong Kang Ek dan
jeritan Giok Cu, tiba-tiba Thian mengerang kesakitan dan sebelum pukulannya
mengenai lambung Giok Cu, pemuda itu roboh terguling.
Giok Cu merasa heran dan keringat dingin mengucur dari jidatnya karena
baru saja ia terlepas dari bahaya maut. Ia berdiri terengah-engah sambil
menyusut keringatnya. Sedangkan Ong Kang Ek tak kurang herannya karena ia tak
mengerti bagaimana Thian In bisa roboh. Giok Cu yang menyangka ayahnya telah
menjatuhkan Thian In tidak seheran ayahnya, dan kini melihat calon suaminya
rebah tak berkutik di atas lantai hatinya menjadi hancur. Ia jatuhkan diri di
atas sebuah kursi dan menangis tersedu-sedu.
Sementara Ong Kang Ek menghampiri tubuh Thian In dan memeriksanya.
Alangkah terkejutnya ketika ia melihat tubuh pemuda itu lemas tak berdaya
karena pengaruh totokan. Ia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa yang
tertotok adalah jalan darah Thian-hu-hiat. Maka tak habis herannya memikirkan
bagaimana pemuda ini sampai tertotok dan oleh siapa" Tiba-tiba matanya
melihat sebutir batu kerikil bundar di dekat tubuh itu dan air mukanya
berobah pucat. Ia dapat menerka bahwa Thian In telah ditotok dengan sambitan
batu kecil itu. Dan sepanjang pengetahuannya, yang dapat melakukan ilmu
sambit selihai ini hanya seorang locianpwee yang bergelar Hong-san-lojin si
Orang tua dari Hongsan! Ia tahu bahwa Hong san lojin seorang pertapa yang
beradat aneh dan berkepandaian sangat tinggi, tapi semua ini hanya pernah
didengarnya saja karena belum pernah ia melihat orangnya!
Sedang ia melamun demikian, datanglah Kam Ciu berlari-lari dan
berlututlah anak muda itu di dekat Thian In sambil bertanya Ong lopeh,
matikah dia" Ah celaka...bagaimana ini Ong lopeh?"
Tapi Ong Kang Ek tak memperdulikannya bahkan lalu berdiri dan setelah
memandang keempat penjuru, ia berteriak memanggil: Hongsan Locianpwee,
silahkan turun, siauwtee ingin menghaturkan terima kasih!" Tapi biarpun
berteriak berkali-kali, tak seorangpun menjawab. Sementara itu para tamu
telah pergi keluar semua hingga keadaan di situ sunyi.
Koleksi Kang Zusi "Ong lopeh, mengapa kau panggil-panggil orang yang tidak ada" Siapakah
yang kau cari?" tanya Kam Ciu tak sabar.
"Penolong kami adalah Hongsan Lojin, tapi orang tua itu tidak mau
muncul," kata Kang Ek sambil menghela napas, seakan-akan berbicara kepada
diri sendiri. "Kalau tidak mau datang itu berarti bahwa ia memang hendak membantu
dengan secara sembunyi. Perlu apa dicari-cari. Kalau ia mau bertemu, perlu
apa ia membantu dengan sembunyi?"
Ong Kang Ek anggap pernyataan Kam Ciu itu benar juga, maka ia berjongkok
kembali memeriksa keadaan Thian In. Pemuda itu telah sadar tapi belum dapat
gerakkan tubuhnya karena masih dalam keadaan tertotok. Beberapa kali Ong Kang
Ek mencoba untuk punahkan totokan itu, tapi sia-sia. Thian In telah tertotok
dengan cara asing bagi jago tua itu hingga ia tak berdaya.
"Eh, eh, kenapa ditotok-totok" Kau hanya membikin ia sakit saja Ong
lopeh. Setahuku kalau orang jatuh pingsan, ia diberi jahe dan telur mentah."
Kemudian Kam Ciu berlari ke dalam rumah dan minta kepada pelayan supaya
disediakan telur mentah dan jahe. Setelah dapat barang-barang itu, ia segera
berlari menghampiri Thian In dan gunakan telur dan jahe mencekok mulut pemuda
itu. Dan betul saja! Thian In bergerak perlahan dan sebentar lagi ia telah
bisa bangun duduk! Ong Kang Ek merasa heran tapi ia segera berkata kepada Thian In: "Souw
enghiong, sekarang engkau harap suka berlaku tenang dan ceritakan kepada kami
mengapa kau tiba-tiba hilap." Ong Kang Ek tidak mau menyebutnya hiansay atau
anak mantu lagi. Thian In berdiri dan setelah memandang kepada Kam Ciu beberapa lama, ia
menghela napas.."Sudahlah kalian mendapat bantuan orang pandai, sungguh
mataku buta. Biar lain kali saja aku minta pengajaran lagi." Ia hendak
bertindak pergi, tapi Ong Kang Ek menahannya sambil bertanya.
Nanti dulu, Souw enghiong. Kau tadi mengaku putera Eng Hong. Di manakah
dia itu sekarang?" "Ia telah mati karena....karena kau!"
"Souw enghiong. Kau anak muda yang tidak tahu duduknya persoalan. Hal itu
terjadi ketika kau belum terlahir mana kau tahu duduk persoalan?"
"Aku tidak perduli bagaimana duduk persoalannya. Tapi ibu ketika hendak
tinggalkan aku telah berpesan agar aku balaskan sakit hatinya kepada...
isterimu yang telah meninggal itu. Kini musuh ibuku telah mati, kepada siapa
aku harus balas dendam selain kepada suami dan anaknya" Tapi aku telah gagal,
biarlah memang kepandaianku yang rendah. Biar lain kali kita berjumpa pula!
Dan dia hendak pergi. "Saudara Thian In, benar-benar secupat itukah pandanganmu?" tiba-tiba Kam
Ciu maju dan pegang ujung lengan baju Thian In. Pemuda yatim piatu itu
memandang kepada Kam Ciu dengan mata bersinar, lalu tiba-tiba ia menjura:
"Kau....kau....aku kecewa padamu!" Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia loncat
pergi! Kam Ciu hanya menghela napas, memandang kepada Ong Kang Ek dan Giok Cu
lalu angkat pundak dan geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba Giok Cu menangis terisak-isak sambil jatuhkan kepala di atas
meja. Ong Kang Ek memandang ke arah anaknya. Wajahnya makin pucat dan murung.
Ia merasa terharu dan sedih sekali. Ia cukup maklum akan kehancuran hati Giok
Cu. Kemudian tiba-tiba orang tua ini menjerit keras sambil pukul-pukul
dadanya seakan-akan orang yang hendak menghukum dirinya sendiri, lalu dari
mulutnya tersembur darah segar dan ia roboh pingsan!
Ong lopeh....Ong lopeh!! Nona...lekas....lekas....ah, bagaimana ini?""
Kam Ciu menjerit-jerit hingga Giok Cu terkejut. Melihat keadaan ayahnya,
gadis itu loncat menubruk dan ikut menjerit-jerit: "Ayah....ayah!"
Pelayan-pelayan datang menolong dan orang tua itu diangkat ke dalam
kamar. Ong Kang Ek mendapat serangan jantung dan penyakitnya makin berat
hingga berkali-kali jatuh pingsan. Giok Cu yang merasa bingung dan tidak
mempunyai keluarga lain, minta dengan sangat kepada Kam Ciu agar suka tinggal
lebih lama di rumah itu. Permintaan ini diluluskan oleh pemuda itu yang
merasa sangat kasihan melihatnya. Ong Kang Ek biarpun sedang sakit tahu juga
Legenda Kelelawar 4 Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Tiga Paderi Pemetik Bunga 3
^