Pencarian

Pendekar Wanita Baju Putih 2

Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


akan bantuan pemuda itu, maka ia panggil Kam Ciu dan duduk di pembaringan.
Koleksi Kang Zusi "Ong lopeh, tenangkan hatimu dan jangan banyak pikir agar lekas sembuh."
"Hiantit...kau...kau baik sekali...."
"Sudahlah jangan banyak bercakap-cakap, lopeh. Kau harus beristirahat."
"Hiantit...jangan....tinggalkan Giok Cu.
Kam Ciu pegang tangan orang tua itu yang menggenggam tangan Kam Ciu
dengan erat. "Tidak lopeh, jawabnya.
Ong Kang Ek memaksa senyum puas. "Gan hianti....aku...percaya penuh
padamu...kau...orang baik...maukah...maukah kau berjanji...?"
Kam Ciu anggukkan kepala dan dekatkan telinganya karena suara Ong Kang Ek
makin lemah. "Hiantit...carilah Thian In...sambunglah perjodohan mereka..."
Untuk kedua kalinya di dalam hidupnya Kam Ciu mendapat pukulan batin yang
luar biasa hebatnya! Pertama kali ketika ia diminta menjadi perantara
perjodohan Thian In dan Giok Cu, kedua sekarang ini! Biarpun Thian In sudah
menunjukkan sikap bermusuh masih juga ia disuruh menjodohkan pemuda itu
dengan Giok Cu! Dengan sukar sekali Kam Ciu mengangguk dengan mata tertutup
dan dari bulu matanya menitiklah dua butir air mata.
Genggaman tangan Ong Kang Ek makin erat. "Maaf....hiantit...kau betul
berbudi...sayang dulu kutolak lamaranmu. Dan orang tua itu meramkan matanya
untuk tidur. Kam Ciu lalu tinggalkan kamar itu dengan hati pedih.
Tiga hari kemudian, dari kamar Ong Kang Ek terdengar suara jerit tangis
menyedihkan. Orang tua gagah perkasa itu ternyata telah menghembuskan napas
terakhir. Setelah jenazah Ong Kang Ek dikubur, Giok Cu dengan mata merah dan wajah
pucat kumpulkan semua pelayan dan perintahkan mereka urus rumah dan harta
bendanya baik-baik karena ia hendak pergi merantau. Seorang pelayan tua
beranikan diri bertanya: "Siocia, kemanakah kau hendak pergi?"
"Kalian tak usah tahu kemana aku hendak pergi. Jaga saja rumah ini. Uang
peninggalan ayah boleh kalian pakai makan. Dalam beberapa bulan tentu aku
datang kembali. Kemudian gadis itu berkata kepada Kam Ciu. "Twako, aku haturkan banyak
terima kasih atas segala kebaikanmu, semoga Tuhan saja yang akan membalasnya.
Sekarang kita harus berpisah, Gan twako."
Kam Ciu pandang gadis itu dengan hati terharu. Ia kasihan melihat wajah
gadis yang biasanya berseri itu kini tampak muram dan pucat, lebih-lebih
karena kini ia mengenakan pakaian berkabung serba putih, di punggungnya
menggendong bungkusan kuning dan sarung pedangnya berwarna kuning pula
tergantung di pinggirnya.
"Nona, kemana kau hendak pergi" Bukankah lebih baik kalau aku jadi
pengantarmu, yakni kalau kau sudi berjalan bersamaku?"
Giok Cu pandang wajah pemuda itu dengan berterima kasih.
"Twako, tidak sekali-sekali aku tidak sudi berjalan bersamamu, tapi pada
waktu ini aku lebih suka seorang diri saja. Aku ingin menjelajah menambah
pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku hidup sebatangkara, mengapa aku
tidak tiru hidup seekor burung yang bebas di udara?" Air mata gadis itu
mengalir membasahi pipinya.
Kam Ciu menghela napas, "Aku tahu perasaan hatimu dan kau benar, nona.
Memang lebih baik hibur diri dengan merantau, merantau meluaskan pengalaman
daripada mengeram diri dalam kamar sambil tiada hentinya menangis. Yang sudah
lalu sudahlah, yang perlu menyambut hari baru yang menjelang datang. Kalau
begitu aku mohon diri, nona. Mudah-mudahan kita akan berjumpa pula kelak."
Setelah memberi hormat, Kam Ciu ambil buntalan pakaiannya dan tinggalkan
rumah itu, diikuti pandangan Giok Cu. Gadis ini cukup tahu akan perasaan
pemuda sastrawan itu terhadap dirinya, dan diam-diam ia merasa kasihan. Ia
kini tahu betapa baik dan mulia hati pemuda lemah itu. Untuk menolong dia
sekeluarga, pemuda itu tidak mengukur kelemahan sendiri, bahkan tadi ia
menawarkan untuk menjadi pengantarnya! Alangkah lucunya. Jika pemuda itu
menjadi pengantarnya, bukan pemuda itu yang akan menjadi pembelanya, bahkan
ia sendiri harus menjadi pembela dan penjaga keselamatan pemuda itu!
Terbayanglah wajah Thian In yang tampan. Alangkah jauh bedanya Thian In dan
Kam Ciu. Yang seorang demikian gagah-perkasa, yang lain demikian lemah. Yang
Koleksi Kang Zusi seorang demikian telengas dan keras hati, yang lain demikian halus budi dan
baik hati. Kemudian setelah memberi pesan terakhir kepada empat orang pelayannya,
Giok Cu cemplak kudanya dan mulai dengan perjalanan merantaunya.
Dalam perantauannya, Ong Giok Cu melakukan banyak hal-hal menggemparkan.
Tiap kali melihat peristiwa yang tidak adil, ia tentu turun tangan membela
yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-sewenang. Karena ia
selalu tak meninggalkan nama setelah melakukan perbuatan mulia, orang-orang
memberi julukan padanya Pek I Lihiap si Pendekar-wanita Baju Putih.
Beberapa bulan kemudian setelah merantau jauh ke arah utara, ia tiba
dalam sebuah kota yang cukup besar dan ramai di tepi sungai Kim-ho, sebuah
anak sungai dari sungai Jang-ce yang besar. Kota itu ialah kota Kiciu-kwan,
Giok Cu memilih kamar dalam rumah penginapan Lok-thian, sebuah rumah
penginapan terbesar di kota itu. Ia mendapat sebuah kamar di loteng.
"Kemudian setelah membuka buntalan pakaiannya, ternyata bahwa ia telah
kehabisan uang bekal. Ia tidak merasa gelisah karena seperti biasa, ia dapat
ambil uang itu dari peti uang seorang hartawan atau pembesar di kota itu.
Demikianlah, ia duduk saja dalam kamarnya menanti hari menjadi malam untuk
mencari rumah hartawan atau pembesar kejam untuk dijadikan korban.
Ketika hari telah gelap Giok Cu buka jendela kamarnya lalu tubuhnya
berkelebat ke arah genteng. Dari situ ia celingukan sebentar, lalu menuju ke
jurusan barat di mana ia melihat banyak terdapat rumah-rumah besar.
Kedua kakinya dengan ringan bagaikan kaki kucing berlari dan berloncat-
loncatan dari genteng ke genteng sambil menengok ke sana kemari. Tiba-tiba
ketika kakinya menginjak sebuah rumah yang besar, ia terpeleset karena
genteng yang diinjaknya bergeser ke bawah! Untung ia cepat berkelit karena
pada saat itu dari bawah, sebuah piauw melalui lubang bekas tempat genteng
tadi manyambar ke atas! Berbareng itu terdengar suara tertawa bergelak dari
beberapa orang dari kamar bawah.
Giok Cu bersiap sedia karena ia tahu bahwa dirinya terlihat orang-orang
pandai. Tiba-tiba dari bawah terdengar suara nyaring menegurnya:
"Kawan yang di atas genting silahkan turun. Pintu depan kami terbuka
lebar." Giok Cu menjawab dengan keluarkan suara besar: "Terima kasih, aku sedang
urus suatu hal, tidak ada hubungan dengan kalian. Lain kali ada ketika tentu
mampir sampaikan hormat. Tapi sebelum ia sempat angkat kaki, suara dari bawah menyusul. "Kalau
begitu biarlah kami yang menyambut ke atas."
Berbareng dengan itu, dari bawah tampak melayang tiga bayangan yang gesit
sekali gerakannya. Mereka adalah tiga orang laki-laki yang bertubuh gagah dan
bersenjata golok yang terselip di punggung. Yang terdepan adalah seorang
setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tahun dengan tubuh pendek
gemuk. Agaknya dialah yang bicara tadi karena kini dia pula yang pimpin
pembicaraan. Setelah memberi hormat ia berkata: "Maaf jika kami salah sangka, tapi
peraturan yang sudah ditugaskan kepada kami terpaksa harus kami penuhi. Nona
bukanlah seorang dari golongan kami, tentu nona datang dari luar. Bukan kami
hendak melanggar peraturan kang-ouw yang membebaskans etiap orang gagah
berkeliaran di atas rumah di waktu malam, tapi sekali lagi kami harus tunduk
kepada peraturan. Maka hendaknya nona memberi tahukan kami kemana nona hendak
pergi dan dengan maksud apa."
Giok Cu merasa penasaran sekali. Sebagai putri Ong Kang Ek yang pernah
menjadi raja rimba dan telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, ia
cukup mengerti tentang peraturan-peraturan. Tapi mengapa orang-orang ini
begini tidak tahu a dat dan ingin tahu urusan orang lain"
"Aku hendak mencari tambahan bekal perjalanan," jawabnya singkat dengan
tegakkan kepala. Si gemuk pendek mengangguk-angguk maklum. "Kami cukup tahu nona lihai dan
dapat melakukan hal itu dengan mudah. Tapi terpaksa kami mohon nona tidak
lanjutkan kehendak itu, dan soal bekal jangan nona khawatir.
Koleksi Kang Zusi Kita sesama kaum harus saling bantu dan tak usah sungkan-sungkan.
Turunlah nona kami sediakan bekal yang nona butuhkan."
Marahlah Giok Cu mendengar ini. Mereka ini anggap dia orang apakah"
"Eh, Tuan-tuan jangan salah sangka. Kalian anggap aku ini pengemiskah"
Siapa yang minta bantuan uang darimu" Maaf aku tak dapat kawani lebih lama
lagi." Dan balikkan tubuh hendak pergi. Tapi si gemuk pendek loncat
mendahuluinya dan menghadang di depannya. Giok Cu selain marah juga kaget
melihat kegesitan orang. "Maaf, lihiap. Dari keadaanmu, kami dapat menduka bahwa kau tentu Pek I
Lihiap yang baru-baru ini sangat terkenal. Tapi siapapun kau adanya, kami
tetap harus tunduk terhadap peraturan yang telah ditetapkan di kota ini."
"Kau ngaco belo tentang peraturan-peraturan. Peraturan apakah itu dan
siapa yang membuat peraturan itu?"
"Peraturan itu ialah siapa saja tidak boleh mengganggu penduduk kota ini.
Segala ketidak beresan atau ketidak adilan di kota ini diurus oleh kami yang
telah menerima tugas. Orang luar tidak diperbolehkan ikut campur. Sedangkan
kawan-kawan dari luar yang kehabisan bekal di kota ini, asal mau terima dari
kami, akan kami beri secukupnya. Tapi untuk mengganggu kota ini terpaksa kami
harus mencegahnya!" "Bagus!" Pek I Lihiap lolos pedangnya. "Dan siapa yang membuat peraturan
gila semacam ini" Kaukah?""
Si gemuk pendek geleng-geleng kepala. "Mana aku yang rendah dapat
menetapkan peraturan ini" Kami hanya petugas-petugas, yang membuat peraturan
ialah Bu-eng-cu Koay-hiap."
Giok Cu heran mendengar nama itu. Siapakah orang yang bergelar pendekar
aneh tanpa bayangan ini" Mengapa dia begitu berpengaruh hingga berani
menetapkan peraturan yang berlaku bagi orang-orang kang-ouw"
"Tak perduli siapa, biar si tanpa bayangan maupun si seribu bayangan,
tapi peraturan itu tak berlaku bagiku!" katanya marah. "Suruh si tanpa
bayangan datang ke sini, biar aku bicara padanya tentang peraturan!"
"Jangan kau hina Koay-hiap." Si gemuk pendek menegur. "Biarpun
peraturannya tak berlaku bagimu, namun kami tetap mentaatinya."
"Jadi kalau kuambil perak hartawan kejam dan pembesar jahat kalian akan
menghalangi?" tanya Giok Cu sengit.
"Di kota kami ini tidak ada hartawan kejam dan pembesar jahat. Baik kau
mencari korban di tempat lain saja, jangan sampai terdapat salah paham dengan
kami." "Persetan dengan kamu orang! Aku tidak takut kepada kalian!"
"Pek I Lihiap, jangan kau andalkan namamu yang baru saja muncul dan
jangan pula kau nodai nama baikmu yang baru mulai mengharum itu. Ketahuilah
jika kau melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh Koay-hiap, maka di
mana-mana kau akan menemui musuh karena banyak orang gagah akan marah
padamu." Giok Cu ragu-ragu. "Siapa sih Bu-eng-cu Koay-hiap itu" Dan kalian ini
siapa pula?" "Karena kau orang baru maka kau belum mengenal Koay-hiap. Tapi di daerah
ini kau akan selalu mendengar namanya disebut orang. Adapun akan hal kami
bertiga, kami hanya orang-orang tak berarti. Di sini kami disebut orang
Kiciu-sam-eng, tiga orang gagah dari Kiciu."
Giok Cu mengingat-ingat. Pernah ia mendengar dari ayahnya dulu menyebut-
nyebut nama ini. "Kenalkahkalian dengan Sian-kiam-bu-tek?" sengaja ia sebut
gelar ayahnya untuk memancing.
Ketiga orang itu maju mendekat dan memandang penuh perhatian. "Sian-kiam-
bu-tek" Mengapa kau sebut Ong enghiong"
"Karena Sian-kiam butek Ong Kang Ek adalah ayahku."
"Maaf, maaf. Si gemuk menjura dengan hormat dan senyum ramah menggantikan
kemarahan yang tadi telah membayang di wajahnya." Kami tidak tahu bahwa Pek I
Lihiap adalah puteri Ong Lo-enghiong. Bolehkah kami bertanya di mana tempat
tinggal ayahmu sekarang" Kami adalah kawan-kawan baiknya."
Ditanya demikian itu, sedihlah hati Giok Cu dan tiba-tiba ia menangis.
Ketiga orang itu heran. "Ada apakah, lihiap?"
Koleksi Kang Zusi "Ayah...ayah telah meninggal dunia. Kalau dia masih hidup, masakan aku
sampai terlantar dan hendak....mencuri uang orang?"
Kagetlah tiga orang itu mendengar hal ini. "Silahkan turun dan duduk di
dalam, lihiap. Mari kita bercakap-cakap di dalam."
Giok Cu tidak membantah lagi dan ia segera mengikuti mereka loncat ke
dalam di mana terdapat meja bundar dengan banyak kursi. Tiga buah lilin
menerangi kamar itu. Setelah duduk, barulah mereka tanyakan perihal kematian
Ong Kang Ek. Giok Cu tidak pernah ceritakan mereka perihal Thian In yang secara tidak
langsung menjadi sebab kematian ayahnya. Ia hanya ceritakan bahwa ayahnya
meninggal karena sakit jantung.
Dan sekarang lihiap hendak menuju kemanakah"
Giok Cu menghela napas. "Ah, kemana" Entah. Aku sendiripun tidak tahu
kemana aku menuju. Jika aku duduk di atas kudaku, aku biarkan saja kuda itu
lari sesukanya. Aku hanya ingim merantau dan berkenalan dengan orang-orang
gagah. "Kau bersemangat seperti ayahmu, nona. Kebetulan sekali jika kau ingin
bertemu dengan orang gagah, ikutilah kami besok malam. Di bukit Bong san akan
diadakan pertandingan adu silat antara kaum kami di kota ini dan rombongan
piauwsu dari Kun Lim. Giok Cu tertarik sekali hatinya dan minta keterangan lebih jauh. Si gemuk
saudara tertua dari Kiciu san eng, secara ringkas menutur:
Di kota kiciu ini banyak terdapat ahli-ahli silat yang dulunya terpecah-
pecah menjadi beberapa golongan. Mereka itu terdiri dari guru-guru silat,
pengantar-pengantar barang atau piauwsu, kepala-kepala perkumpulan dan
cabang-cabang atas. Karena mereka keturunan berbagai-bagai cabang, maka
seringkali terjadi keributan di antara mereka. Kami sendiri bertiga saudara
yang menjadi guru silat, sering pula ribut dengan lain golongan. Karena
pertentangan ini, tidak jarang terjadi kurban jiwa dan banjir darah, hingga
kota menjadi tidak aman. Pada suatu hari kurang lebih setahun yang lalu
datanglah dua orang di kota ini. Mereka itu bukan lain orang tua yang sangat
terkenal namanya yakni Hong-san Lo-in dan muridnya. Kedatangan orang tua yang
gagah perkasa itu mendatangkan perubahan besar. Pada waktu itu mendatangkan
perubahan besar. Pada waktu itu orang gagah dari berbagai golongan mengadakan
pertemuan di luar kota untuk bertempur mati-matian. Di luar kota terdapat
bukit Bong-san, dan di situlah kami berkumpul. Pada saat pertempuran dimulai,
datanglah Hong-san Lojin yang memisah. Ia larang kami berkelahi dan kataku
siapa yang tidak turut berarti menjadi lawannya. Tadinya kami andalkan banyak
orang mengeroyoknya, tapi satu demi satu kami dijatuhkan! Muridnya yang bukan
lain ialah Bu-eng-cu Koayhiap hanya berdiri memangku tangan sambil tertawa
haha hihi, sama sekali tak ikut turun tangan dan biarkan gurunya menghajar
kami seorang diri. Akhirnya kami menyerah kalah dan berjanji akan menurut
nasehatnya, yaitu kami takkan mengacau kota lagi dan takkan mengadakan
permusuhan-permusuhan. Ia mengancam kami jika ada yang membikin rusuh di kota
Kiciu-kwan tentu ia akan datang menghukumnya. Tapi memang benar kata orang-
orang tua bahwa lebih mudah menggembala seratus ekor kerbau daripada mengatur
sepuluh orang manusia. Setelah Hong-san Lojin dan muridnya pergi, para jago
silat di Kiciu-kwann mulai lagi dengan permusuhan-permusuhan dan perkelahian-
perkelahian mereka. "Sebulan kemudian setelah Hong-san Lojin pergi permusuhan makin menghebat
hingga kampung-kampung pun ikut berpihak dan perkelahian perseorangan menjadi
permusuhan kampung lawan kampung!! Tiba-tiba datanglah Bu-engcu Koay-hiap,
murid dari Hong-san Lojin. Karena dulu anak muda itu tidak membantu gurunya
maka kami tidak tahu sampai di mana kelihaiannya. Tapi setelah ia bergerak,
celakalah kami semua! Semua orang yang melanggarpesan Hong-san Lojin dan yang
memulai adakan permusuhan-permusuhan mendapat hajaran keras bahkan sampai
beberapa orang dihancurkan tulang lengannya hingga tak dapat berkelahi lagi!
Tak seorangpun dapat melawannya. Kalau gurunya lihai, muridnya ini agaknya
lebih hebat lagi. Gurunya dulu masih murah hati, tapi Bu-engcu Koay-hiap
bertindak tegas dan keras. Ia lalu adakan peraturan-peraturan yang tidak
boleh dilanggar oleh siapapun. Kemudian ia pilih ketua untuk mengatur. Oleh
Koleksi Kang Zusi Koay-hiap kami bertiga dianggap yang paling kuat dan boleh dipercaya, maka


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada kamilah, tugas itu diberikan.
"Biarpun peraturan-peraturannya keras, namun Koay-hiap berhati baik
sekali. Ia gunakan pengaruhnya untuk membujuk para hartawan di kota ini untuk
menyediakan belanja guna kami sekalian. Para hartawan juga dengan rela suka
memberi sumbangan karena semenjak saat itu harta benda mereka aman tak pernah
terganggu. "Sampai di sini ketiga saudara itu menawari minum kepada tamunya.
Giok Cu mendengarkan dengan kagum. Ia teringat ketika dulu Thian In
mengamuk, sebutir batu kecil menotok pemuda gagah itu dan membuatnya tak
berdaya. Ayahnya lalu menyebut-nyebut nama Hong-san Lojin. Baru sambitan batu
kecil saja sudah dapat merobohkan seorang yang demikian gagah seperti Thian
In, maka kini ia mendengar penuturan Kiciu Sam-eng ia tak merasa heran lagi.
"Dan tentang pertandingan besok malam, bagaimanakah itu?" tanyanya.
Si gemuk menghela napas. "Memang musim bunga tak dapat berlangsung
selamanya. Pasti datang lain musim yang menggantinya. Keadaan kami yang aman
tentram inipun rupanya harus ada penggoda dan perubahannya. Dulu Bo-eng-cu
Koay-hiap pesan bahwa jika ada sesuatu ketidaksesuaian paham orang-orang yang
bersangkutan hanya memperbolehkan mengadakan perundingan atau pertandingan di
atas bukit Bong-san. Pertandingan ini sifatnya hanya mengadu kepandaian saja,
tidak boleh saling bunuh. Siapa yang menang berhak majukan dua buah usul
dalam persoalan itu, yang kalah hanya berhak pertahankan sebuah usul saja.
Nah, sebulan yang lalu datanglah rombongan piauwsu dari Kun-lim mengantar
barang melalui kota ini. Menurut peraturan rombongan itu harus memberi uang
sumbangan lima ratus tail. Mereka penasaran sekali, walaupun uang sumbangan
diberikan, tapi mereka minta bertemu besok malam di bukit Bong-san, karena
katanya mereka tidak setuju dengan peraturan ini. Nah, kami bertiga sebagai
ketua harus mewakili semua golongan datang ke sana mengadu kepandaian, dengan
beberapa orang yang cukup gagah dari kota ini. Kebetulan lihiap berada di
sini, jika hendak menambah pengalaman, kami persilahkan ikut ke sana."
Giok Cu tertarik sekali. "Sebetulnya urusan ini tiada sangkut pautnya
dengan aku. Tapi karena akan ada adu silat maka hal itu tentu menarik sekali.
Baik, besok malam aku datang ke sini untuk bersama cuwi pergi ke Bong-san.
Tapi harap sam-wi suka beritahukan nama kepadaku. Namaku Ong Giok Cu."
Si gemuk pendek tertawa girang. "Kau polos dan jujur lihiap, seperti
ayahmu pula. Kami bertiga she Liok, aku yang tertua bernama An, ini yang
kedua bernama Wan, dan yang ketiga Kay. Kami bertiga tidak berkeluarga dan
hidup sebagai pengajar silat pasaran."
Kalau Liok An bertubuh gemuk pendek, adalah Liok Wan bertubuh tinggi
besar dan Liok Kay sebaliknya tinggi kurus. Mereka bertiga terkenal sebagai
orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi dan berwatak jantan.
Kemudian Giok Cu berpamit dan kembali ke hotelnya. Ia masuk ke kamarnya
dengan jalan tadi, yaitu dari jendela kamarnya. Pada keesokan harinya, pagi-
pagi sekali ketika ia keluar dari pintu, pengurus rumah penginapan yang sudah
penuh uban di kepalanya, menghampirinya dengan senyum ramah dan sikap
menghormat. "Siocia, maaf kalau kami berlaku kurang hormat kepadamu, karena kami
tidak tahu bahwa siocia adalah tamu terhormaat dari Liok Sam enghiong."
Semenjak saat itu Giok Cu mendapat pelayanan istimewa, juga kudanya
mendapat rawatan baik sekali hingga gadis itu merasa berterima kasih kepada
Liok An bertiga berbareng kagumi pengaruh ketiga saudara itu.
Sore harinya ia pergi ke rumah ketiga saudara Liok dengan naik kuda.
Mereka ternyata sudah siap untuk berangkat dan semuanya berkuda. Selain
saudara Liok, ada pula empat orang-orang muda yang bertubuh kuat dan hebat
gerak-geriknya hingga mudah saja diduga bahwa mereka itupun bukanlah orang-
orang yang lemah. Ketujuh orang itu kesemuanya membawa senjata lengkap. Dari
kantung piauw yang tergantung di pinggang Liok Kay, tahulah Giok Cu bahwa
yang melepas piauw kepadanya semalam adalah si tinggi kurus itu. Ketika
melihat bahwa gadis itu memandang kantung piauwnya Liok Kay tersenyum malu
dan Giok Cu tersenyum juga sambil berkata:
"Kepandaianmu melempar piauw sungguh hebat, saudara Liok Kay," kata-kata
pujian ini membuat wajah Liok Kay menjadi merah.
Koleksi Kang Zusi "Aah, kau membikin aku malu Lihiap," jawabnya merendah. Keempat kawan
mereka melihat seorang gadis muda yang cantik jelita, mereka menjadi heran
dan khawatir. Biarpun mereka telah mendengar dari ketiga saudara Liok, bahwa
wanita itu bukan lain ialah Pek I Lihiap yang lihai, namun mereka masih belum
percaya penuh, lebih-lebih ketika melihat bahwa Pek I Lihiap hanya seorang
gadis demikian muda dan halus gerak-geriknya. Namun mereka tidak berani
berkata apa-apa, hanya diam-diam khawatir kalau-kalau turutnya gadis ini akan
membuat mereka merasa gembira akan pergi dengan seorang gadis demikian
jelita! Kebetulan malam itu terang bulan hingga perjalanan ke Bong-san yang tak
berapa jauh itu mereka tempuh dengan mudah. Bahkan pemandangan sepanjang
jalan sangat indah menarik. Cahaya bulan yang menimpa hutan-hutan dan jurang-
jurang mendatangkan cahaya kuning kehijau-hijauan dengan dasar hitam. Jalan
yang mereka lalui adalah jalan lebar yang berputar-putar mengelilingi bukit
itu. Ketika mereka sampai di dekat puncak yang tak berapa tinggi, tampaklah
sinar api di atas puncak.
"Itulah Kwan-in-bio ke mana kita menuju. Liok An menunjuk dengan jarinya
untuk memberitahu Giok Cu. Setelah berkata demikian mereka percepat larinya
kuda hingga tak lama lagi sampailah mereka di depan bio atau kelenteng itu.
Di depan kelenteng telah menanti belasan orang, dan kuda-kuda mereka
ditambatkan pada pohon-pohon cemara di sebelah kiri bio. Belasan orang itu
rata-rata bertubuh gagah dan pakaian mereka menyatakan bahwa mereka terdiri
dari para piauwsu, yakti penjaga atau pengawal kiriman barang-barang
berharga, jadi semacam usaha ekspedisi. Di pinggang mereka tergantung pedang
atau golok. Tiga buah lampu teng dan lima buah obor menerangi tempat itu.
Giok Cu mengerling tajam dengan penuh perhatian. Rombongan piawsu itu
dikepalai oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi dengan muka
kuning yang pada saat itu memandang dengan sikap garang dan gagah.
"Itulah dia Oey-bin-hauw Thio Kiat si Harimau muka kuning." Liok An
berbisik kepada Giok Cu yang berada di sampingnya. Ia adalah ketua rombongan
itu. Si Harimau muka kuning maju tiga langkah dan menjura kepada Liok An yang
sudah turun dari kudanya. "Nyata sekali. Kiciu Sam-eng pegang janji, kami
rombongan piauwsu dari Kunlim merasa girang sekali.
Liok An si gemuk pendek mewakili rombongannya membalas hormat dan berkta
dengan senyum dingin: "Thio Piauwsu dan rombongan sudah lama menanti" Baik
sekali! Thio Piawsu membawa rombongan yang jauh lebih besar daripada
rombongan kami sudah tahukah peraturan pibu (adu silat) di bukit ini?"
Oey-bin hauw Thio Kiat tertawa mengejek. Tak perlu takut, tak usah cemas,
kami bukanlah golongan pengecut yang mengandalkan banyak orang untuk menghina
orang lain. Kalau kami tidak salah dengar, peraturan pibu di sini ialah
mengajukan Jago dengan jumlah yang sama untuk dicoba kepandainnya menurut
tingkat masing-masing. Kulihat cuwi datang dengan delapan orang. Baiklah
kamipun akan majukan delapan orang saja untuk mengukur tenaga dan kepandaian
cuwi." "Jangan salah lihat, Thio Piauwsy," kata Liok An sambil mengerling ke
arah Giok Cu. "Li-enghiong yang berada di sini bukanlah termasuk anggota
rombongan kami, tapi hanya sebagai tamu terhormat kami yang sengaja datang
untuk menonton atau boleh juga dianggap sebagai saksi!" Liok An orangnya
memang cerdik, ia maklum bahwa nona itu tentu lihai, maka ia sengaja beri
kedudukan saksi kepada Giok Cu agar kalau dipihak lawan ada yang berlaku
curang, Pek I Lihiap akan tersinggung dan turun tangan.
Thio Kiat perlihatkan sikap tak senang dan memandang ke arah Giok Cu
dengan menghina. "Tak percayakah cuwi kepada kami hingga mesti membawa saksi
segala" Tapi biarlah kami tak menaruh keberatan. Nah, marilah kita mulai
saja. Harap majukan jago nomor tujuh!"
Setelah berunding dengan kedua saudaranya, Liok An lalu majukan seorang
pemuda yang bertubuh kuat. Dari pihak lawan maju seorang piauwsu berusia
kira-kira lima puluh tahun.
Semua orang mengelilingi tempat pibu yang diterangi sinar lampu dan obor
itu. Keadaan tegang, semua orang diam tak bersuara bagaikan orang-orang yang
Koleksi Kang Zusi menonton dua ekor ayam jago berkelahi. Menurut peraturan yang diadakan oleh
Bu-eng-cu yang mereka segani, pibu ini tidak boleh gunakan senjata tajam jadi
kedua jago itu maju dengan tangan kosong. Senjata-senjata yang mereka bawa
itu hanya untuk menambah keangkeran dan untuk menjaga kalau-kalau pihak lawan
berlaku curang. Jika dilihat sepintas lalu, yang sedang berkelahi bukanlah lawan yang
seimbang karena yang seorang pemuda kuat dan yang lain hanya seorang kakek
kurus. Tapi setelah mereka mulai bergerak saling serang, mudahlah dilihat
bahwa pemuda itu jauh kalah lihai. Gerakan kakek itu gesit dan ilmu silatnya
tinggi. Si pemuda hanya mengandalkan tubuh yang kuat dan ketabahan besar.
Beberapa kali tubuhnya yang kebal itu dapat menahan pukulan kakek itu, tapi
ketika pada jurus ketiga puluh kakek itu menyerang dengan tipu Hek-hauw-to-
sim atau Macan-hitam-sambar-hati, pemuda itu tak sempat berkelit dan sodokan
keras dari si kakek mampir di lambungnya hingga ia terpelanting roboh dan
muntahkan darah! Pertandingan jago ketujuh ini dimenangkan oleh pihak
piauwsu. Kawanan piauwsu menyambut kemenangan kawan mereka dengan tepik sorak
gembira, sedangkan pihak jago-jago Kiciu dengan wajah muram menggotong jagoan
mereka yang pingsan. Kawan-kawan Liok An tebus kekalahan mereka dengan beruntun dua kali
mengadakan pertandingan keenam dan kelima, tapi pertandingan keempat
dimenangkan oleh pihak piauwsu. Dengan demikian keadaan masih dua lawan dua
atau seri. Jago ketiga dari pihak Kiciu keluarkan Liok Kay si tinggi kurus, yakni
Kiciu-sam-eng yang ketiga, Giok Cu pernah merasai kelihaian sambitan piauw
Liok Kay dan tahu bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang lumayan juga.
Gadis ini dengan penuh perhatian melihat ke arah rombongan piauwsu karena
ingin sekali tahu bagaimana macam lawan Liok Kay. Diam-diam gadis ini di
dalam hati mulai berpihak kepada orang-orang Kiciu ini karena menurut
pandangannya mereka lebih sopan dan beraturan, beda dengan rombongan piauwsu
dari Kunlim yang tampak sombong dan bahkan ketuanya memandang rendah dirinya.
Dari pihak piauwsu loncat keluar seorang kurus kering yang bermuka hitam.
Melihat gerakan dan jari-jari orang yang bagaikan kuku garuda itu, terkejut
dan cemaslah hati Giok Cu. Buru-buru ia dekati Liok Kay yang belum loncat ke
lapangan dan berbisik. "Awas, dia agaknya ahli Hek-ko-chiu! Liok Kay memandang ke arah tangan
lawannya dan ia mengangguk maklum. Ia cukup tahu akan kelihaian hek-ko-chiu,
yaitu ilmu keraskan tangan yang menjadi sekeras baja dan pukulan atau totokan
jari-jari tangan demikian itu dapat mematahkan tulang, memutuskan urat!
Benar saja setelah mereka mulai bergerak, si muka hitam lalu maju
menyerang dengan hebat sambil gunakan ilmu hurkin-cob-kut yakni semacam ilmu
pukulan yang lihai sekali. Liok Kay memperlihatkan kelihaiannya, ia tidak mau
kalah dan setelah berkelit lalu balas menyerang. Diam-diam Giok Cu kagum
karena ia tak sangka bahwa Liok Kay pandai ilmu pukulan Houw jiauw kang atau
pukulan kuku harimau. Ini memang merupakan ilmu yang tepat untuk melawan bek-
ko-chiu karena kalau bek-ko-chiu mematahkan tulang memutuskan urat, adalah
hiauw jiauw kang tak kurang hebatnya. Jari-jari yang dipakai menyerang kalau
sampai dapat menangkap kulit lawan, pasti kulit berikut dagingnya akan
tersobek dan hancur! Demikianlah kedua orang itu bertempur sampai hampir seratus jurus tanpa
ada yang kelihatan kalah. Pada suatu saat, ketika dengan nekad dan mati-
matian, si muka hitam ulurkan kedua tangan hendak menghantam patah tulang
pundak Liok Kay si kurus tinggi ini merasa terkejut sekali karena serangan
itu dilancarkan ketika keadaannya sedang terbuka dan kakinya baru saja turun
dari loncatan hingga tak mungkin agaknya baginya untuk berkelit. Apa boleh
buat pikirnya. Ia lalu gerakkan kedua tangannya ke arah perut lawan dengan
jari-jari mencengkeram! Dua-duanya melancarkan serangan hebat, tapi kalau Liok Kay hanya terancam
patah tulang pundak, adalah lawannya terancam bahaya maut! Si muka hitam
agaknya memaklumi hal ini maka tentu saja ia tidak sudi menukar pukulan yang
merugikannya itu. Ia tarik kedua tangannya dan sambil tarik tubuhnya ke
belakang ia merendah. Gerakannya ini betul saja dapat hindarkan kulit
Koleksi Kang Zusi perutnya dari tersobek dan terbuka, tapi tak urung bajunya tertangkap oleh
jari-jari Liok Kay dan sambil memperdengarkan suara keras baju itu robek dan
hancur berpotong-potong dalam tangan Liok Kay. Dengan muka merah karena malu,
si muka hitam loncat mundur sambil menjura tanda kalah.
Kawan-kawan Liok Kay, biarpun yang telah mendapat luka, bersorak girang
bahkan Giok Cu tanpa disengajapun ikut bersorak pula! Thio Kiat ketua piauwsu
yang sudah merasa panas hati melihat kawannya kalah, makin panas melihat Giok
Cu ikut bersora, maka sambil tersenyum ia menyindir dan berkata kepada Liok
An: "Hm, hm, saksi kita agaknya berat sebelah. Agaknya lebih baik kalau dia
ikut maju." Giok Cu terpaksa duduk kembali. Dari pihak Kiciu keluarlah Liok Wan yang
bertubuh tinggi besar dan bertenaga besar pula. Untuk mendemonstrasikan
tenaganya, ia buka bajunya dan gerak-gerakkan kedua lengannya hingga
terdengar bunyi berkerokotan dan urat-urat tubuhnya bermain bagaikan dalam
tubuh itu terdapat beberapa ekor tikus bergerak ke sana kemari!
Dari pihak piauwsu, keluarlah seorang kate yang memandang gerak gerik
lawannya dengan tertawa haha hihi dan sikap tak acuh, Giok Cu melihat Liok
Wan merasa kecewa karena orang yang masih dapat berlagak macam itu tentu tak
berapa tinggi kepandaiannya. Sebaliknya ketika melihat orang kate itu,
hatinya berdebar. Jelas tampak olehnya telapak tangan yang kemerah-merahan
dari si kate hingga diam-diam ia mengeluh dan berbisik kepada Liok An yang
berada di sampingnya: "Celaka, orang itu tentu ahli Ang see chiu!" Liok An
juga kaget dan menyesalkan sikap adiknya yang sembrono dan sombong. Ia tahu
akan kehebatan ilmu Ang-see-chiu atau tangan pasir merah ini. Tapi untuk
tenangkan hati ia berkata: "Liok An mampu hadapi dia."
Setelah mereka mulai saling serang, hati Giok Cu agak lapang karena
ternyata biarpun sikapnya bodoh dan banyak lagak, ternyata Liok Wan cukup
lumayan ilmu silatnya. Liok Wan bersilat dengan Lo-han-kunhwat dari
Siauwlimpiy dan tiap pukulannya disertai tenaga chian-kin-lat atau tenaga
seribu hati. Hal ini membuat lawannya merasa sibuk juga dan tidak sempat
gunakan ang-see-chiu yang diandalkannya, ia harus kerahkan semua perhatian
untuk melayani serangan Liok Wan yang tak boleh dipandang ringan. Tapi diam-
diam ia kumpulkan semangat dan warna merah di telapak tangannya menjalar ke
atas perlahan. Hal ini diketahui baik oleh Giok Cu yang merasa khawatir
karena ia melihat betapa Liok Wan tersenyum-senyum dan merasa diri di atas
angin lalu hendak mempermainkan lawannya! Memang keadaan si kate terdesak
sekali, loncat ke sana kemari, lari memutar dan sibuk hindarkan serangan-
serangan Liok Wan yang sebaliknya tidak berusaha menjatuhkan lawan secepatnya
tapi hendak mempermainkannya seperti kucing mempermainkan tikus.
Kecemasan yang diderita oleh Giok Cu berujud dan terjadi dengan tiba-
tiba. Setelah merasa bahwa tenaga tangan pasir merah sudah berkumpul
sepenuhnya di lengan, si kate tiba-tiba menanti datangnya pukulan Liok Wan,
dengan tabah dan ketika kepalan Liok Wan menyambar kepalanya, ia angkat
lengan menangkis ke arah pergelangan tangan si tinggi besar itu! Dua batang
lengan beradu dan Liok Wan menjerit ngeri lalu terhuyung ke belakang,
kemudian roboh tak ingat orang. Si kate yang masih penasaran maju hendak
memberi pukulan maut, tapi pada saat itu tiba-tiba berkelebat bayangan putih
dan si kate merasa betapa sesuatu yang lunak menyambar tangannya hingga
pukulannya meleset! Dengan heran dan penasaran ia melihat gadis cantik yang
menjadi saksi mereka berdiri di depannya sambil tersenyum dan berkata:
"Eh, tuan kate, jangan kau langgar peraturan!" Si kate mendengar ini
menjadi sangat malu dan melangkah mundur. Sementara itu, Giok Cu larang
orang-orang yang hendak angkat tubuh Liok Wan, kemudian dengan cepat setelah
periksa keadaan lengan Liok Wan yang matanya biru itu, ia totok belakang siku
Liok Wan untuk menghentikan jalan darah hingga racun ang-see-chiu tidak akan
menjalar dan memasuki jantungnya. Setelah lakukan ini barulah ia perbolehkan
orang mengangkat tubuh Liok Wan untuk diobati.
Liok An marah sekali melihat pihak musuh hendak jatuhkan tangan maut,
maka ia meloncat ke tengah lapangan dan berkata kepada Thio Kiat yang juga
sudah berada di situ: "Thio Piauwsu pertandingan telah dilakukan enam kali
dan keadaan kita tiga lawan tiga hingga belum dapat diputuskan siapa yang
Koleksi Kang Zusi boleh dinyatakan menang dan siapa yang kalah. Sekarang tinggal kau dan aku
yang harus menjadi keputusan terakhir. Hayo majulah dan perlihatkan
kepandaianmu!"

Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thio Kiat tersenyum menyindir. "Boleh, boleh, Liak kisu! Memang sebaiknya
kita sendiri yang turun tangan."
Thio Kiat disebut orang Macan-muka kuning dan ilmu silatnya terkenal di
daerah utara. Ia mahir sekali mainkan ilmu silat Ngoheng-kun-hwat dan dalam
menghadapi Liok An ia merasa mainkan ilmu silat ini yang selain cepat gerak-
geriknya, juga tidak terduga perubahan-perubahannya dan selalu dilakukan
dengan tenaga dalam yang besar.
Namun Liok An, si gemuk pendek bukanlah orang lemah. Ia seorang ahli
lweekeh dan biarpun tubuhnya gemuk pendek, akan tetapi gerak-geriknya tidak
kalah gesit oleh lawan. Ilmu silatnya adalah keturunan cabang Kun-lun-pai,
maka ginkangnya pun boleh juga dan ia dapat mengimbangi permainan Ngoheng-kun
lawannya. Mereka bertempur sampai ratusan jurus tapi keadaan mereka tetap
berimbang. Karena beberapa kali mereka telah mengukur tenaga dengan beradu
lengan, maka mereka merasa bahwa tenaga masing-masing pun berimabng. Karena
itu, ketika Thio Kiat menyerang dengan tipu Pay-san-to-hay atau menolak
gunung menguruk laut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, Liok An sengaja
menapaki kedua lengan lawan dengan serangan To-tiu-kim-ciang atau Robohkan-
lonceng-emas. Kedua lengan mereka bertumbukan dan dengan keluarkan seruan
tertahan mereka berdua terpental mundur lalu jatuh terduduk dengan napas
terengah-engah. Ketika kawan-kawan kedua pihak memburu maju, tiba-tiba Giok
Cu keluarkan seruan dengan keras: "Jangan ganggu mereka!"
Seruannya demikian nyaring berpengaruh hingga mereka yang hendak menolong
menjadi terkejut dan urungkan niat mereka. Kedua orang ketua rombongan itu
duduk dengan wajah pucat. Terang bahwa mereka sedang atur napas untuk
kembalikan tenaga. Beberapa lama kemudian, mereka buka mata. Keadaan mereka
mendingan, tapi wajah mereka masih pucat. Dengan perlahan mereka berdiri kau
saling pandang dengan senyum pahit.
"Thio Piauwsu sungguh gagah. Kita sama-sama terluka sebelah dalam.
Keadaan kita sekrang tetap tiga lawan tiga."
"Liok kisu benar tangguh. Biarpun keadaan kita masih seri, tapi masih ada
kawan-kawanku yang belum bertanding. Kita harus tetapkan siapa yang menang
siapa yang kalah. Melihat bahwa dipihak Kiciu tidak ada wakil lagi, Giok Cu menyela: "Jiwi
enghiong, haruskah hal sekecil ini dibesar-besarkan" Perlukah pertandingan
yang tidak ada artinya ini dilanjutkan" Jiwi adalah dua orang gagah yang
menjunjung tinggi peri keadilan dan persahabatan. Mengapa untuk urusan uang
tak seberapa saja lalu hendak langgar peraturan kang-ouw" Aku yang muda
berpendapat bahwahal ini akan menjadi buah percakapan dan olok-olok orang
banyak saja! Biarlah pertandingan yang sudah dilakukan ini menjadi bukti
bahwa kedua pihak adalah sama kuat dan sama gagah dan selanjutnya supaya
dicari jalan perpecahan masalah ini secara damai. Kalau aku yang bodoh tidak
salah duga demikianlah kiranya kehendak orang gagah yang kalian sebut Bu-eng-
cu Koay-jin itu. Untuk apakah antara kita sama kita terbit perkelahian dan
permusuhan hanya karena hal-hal yang tak berarti?"
Terdengar suara-suara menyatakan setuju untuk pemandangan gadis ini, tapi
dipihak piauwsu ada dua orang yang bahkan merasa penasaran dan marah. Mereka
ini adalah Thio Kiat sendiri dan kawannya si kate ahli Ang-see-chiu yang
bernama Ban Kim. "Omongan nona memang enak bagi kawanan Kiciu, tapi bagi kami merupakan
penasaran. Keputusan harus diadakan atas dasar kalah dan menang sedangkan
kedua belah pihak seimbang. Aku usulkan diajukan seorang jago lagi untuk
menetapkan siapa lebih unggul dan berhak mengajukan usul."kata Thio Kiat
dengan napas tersenggal karena sebenarnya ia menderita luka dan tidak baik
banyak bicara. "Tapi pihakku semua telah bertempur."membantah Liok An dengan suara lemah
karena luka yang dideritanya tidak kalah hebat dengan luka Thio Kiat sendiri.
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba terdengar suara tertawa haha-hihi bagaikan suara tawa orang
gila. Ternyata si kate Ban Kim yang tertawa itu. Ia melangkah maju dan
memandang ke arah Giok Cu dengan sikap kurang ajar sekali.
"Bukankah dipihak Kiciu masih ada nona. Nona ini kelihatan galak dan
gagah mengapa tidak maju mewakili rombongan Kiciu" Aku juga tidak
berkeberatan untuk mewakili Thio twako menghadapinya." Setelah berkata begini
Ban Kim tertawa-tawa lagi dengan ceriwisnya.
Hal ini membuat Giok Cu marah sekali. Mukanya menjadi merah dan sepasang
alisnya yang berbentuk pedang tertarik ke atas.
"He, orang kate! Kau berani bawa-bawa aku dalam urusan ini, apakah kau
mau andalkan ang-see-chiu di tanganmu" Karena kau yang usulkan dan melihat
bahwa Thio Piauwsu agaknya masih penasaran dan tidak mau damai, baiklah
kuterima tantanganmu. Mari, mari, majulah. Anggap saja aku mewakili orang
gagah Bu-eng-cu untuk menghajarmu!"
Dengan kata-kata tantangan hebat ini Giok Cu loncat ke tengah lapangan.
Si kate merasa marah sekali karena ia anggap gadis itu terlalu menghinanya,
maka begitu berseru keras ia loncat menyerang dengan kepalanya. Giok Cu
perlihatkan kepandaiannya. Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan si kate
karena gadis itu telah gunakan ginkangnya meloncat melewati kepala dan turun
di belakangnya. Sebelum si kate balikkan tubuh, Giok Cu gunakan ujung
sepatunya mendorong pantat si kate hingga tubuh pendek itu terjungkal ke
depan! Kalau si kate dan kawan-kawannya merasa terkejut sekali adalah
rombongan Kiciu tertawa geli dan memuji dengan kagum. Mereka semua tak dapat
melihat dengan tegas gerakan gadis itu, demikian cepat ia bergerak! Si kate
sendiri menjadi malu dan marah sekali. Ia kerahkan seluruh tenaga ang-see-
chiu di tangannya hingga lengan kanannya berubah merah, jingga, lalu ia kirim
pukulan maut ke arah dada Giok Cu. Gadis ini tadi telah mencoba lengan Ban
Kim, maka ia dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga ang-see-chiu itu.
Maka kali ini melihat bahwa orang gunakan seluruh tenaganya dengan maksud
keji, timbullah marahnya dan ia ingin menghajar orang jumawa ini. Ketika
kedua lengan lawan telah dekat ia telah merasa sebuah tenaga dengan hawa
panas mendorongnya, cepat-cepat ia keluarkan kedua tangannya dan terima
pukulan lawan dengan telapak tangannya!
Si kate Ban Kim merasa kepalanya bersarang ke dalam daging yang lunak.
Pada saat itu Giok Cu gunakan telapak tangan kiri menerima hawa pukulan dan
telapak tangan kanan membalikkan tenaga itu kembali memukul si kate Ban Kim
hanya merasa betapa lengan kanannya menjadi kesemutan dan tiba-tiba ia
menjerit ngeri ketika dadanya terasa sakit dan perih akibat serangan
tenaganya sendiri yang membalik!
Ketika Giok Cu loncat mundur, si kate Ban Kim roboh dengan tubuh kaku dan
mulut mengeluarkan darah. Ributlah rombongan piauwsu. Mereka menjadi marah
dan belasan orang itu masing-masing cabut senjata dan maju menyerang Giok Cu.
Tapi gadis itu segera membentak: "Siapa hendak mampus, majulah! Berbareng
dengan bentakan itu, Giok Cu cabut pedang dengan tangan kanan dan loloskan
sabuk sutera berwarna kuning karena semenjak berkabung ia mengganti sabuk
merah menjadi sabuk kuning. Dengan gerak secepat kilat, sabuk kuning itu
meluncur ke arah kawanan piauwsu dan sekali sendal saja dua batang golok
telah terampas oleh ujung sabuk yang bergerak-gerak bagai ular liar! Kini
gentarlah kawanan piauwsu dan melihat senjata dan gerakan gadis itu di antara
mereka ada yang berseru: "Pek I Lihiap! Pek I Lihiap!"
"Memang, aku Pek I Lihiap Ong Giok Cu! Bagaimana hendak dilanjutkan adu
senjata ini?" Giok Cu menantang.
Semua kawanan piauwsu tak berani bergerak. Mereka suda mendengar akan
kelihaian gadis pendekar itu. Di antara mereka yang berusia tua segera
menjura dan berkata lemah: "Mohon keputusan yang adil dari lihiap!"
Giok Cu maju menghampiri Ban Kim yang masih terlentang kaku. Ia menotok
iga dan leher si kate itu untuk memulihkan jalan darahnya lalu suruh orang
mengangkatnya dan memberi obat dalam.
"Ia sombong sekali, maka aku memberi sedikit pelajaran."
Koleksi Kang Zusi Maka berkumpullah kedua rombongan itu mengelilingi Pek I Lihiap yang
memandang mereka dengan wajah sungguh-sungguh.
"Cuwi, biarpun aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan Koay-jin
yang kalian segani itu, namun kurasa ia benar-benar seorang koayhiap yang
cinta perdamaian. Memang di antara golongan sendiri mengapa mesti terbit
permusuhan yang hanya mendatangkan perpecahan dan kerugian" Sebetulnya,
apakah pokok persoalan yang mendatangkan pertikaian di antar kedua golongan
ini?" Liok An menghela napas. "Untung kau datang, Lihiap. Kami tak sangka bahwa
kaulah yang akan mendamaikan kami. Sebetulnya, yang menjadi sebab ialah bahwa
kami mempunyai peraturan bahwa yang menentukan kepada setiap rombongan
piauwkiok yang lewat daerah ini untuk memberi sumbangan sebanyak lima ratus
tail perak dengan jaminan takkanada yang berani mengganggu. Dan pihak Thio
Piauwsu sama sekali menolak sumbangan ini dan menghendaki dihapuskannya sama
sekali peraturan ini."
"Benarkah bahwa Thio Piauwsu sama sekali tidak mau mengeluarkan uang
sumbangan?" tanya Giok Cu kepada Thio Kiat.
"Bukannya kami sama sekali tidak mau menyerahkan uang sumbangan, tapi
jumlah yang ditetapkan itu terlampau besar dan terasa berat bagi kami."
"Jadi pada hakekatnya Thio Piauwsu mau memberi sumbangan?"
"Asalkan jumlahnya jangan terlalu besar," jawabnya.
Kemudian Giok Cu bertanya kepada Liok An. "Dan, apakah jumlah sumbangan
yang terdapat dalam peraturan itu tak dapat dirobah sedikitpun?"
Merah wajah Liok An. "Bagi kami sih tidak berani menetapkan, tapi jumlah
itu telah ditetapkan oleh Koay-hiap, kami hanya melanjutkan saja."
"Aku harap cuwi suka saling mengalah. Memang pemungutan sumbangan itu
adil juga, karena hendaknya Thio Piauwsu ingat bahwa para hohan di Kiciu
menjamin keamanan barang-barangmu yang lewat, dan untuk itu harus disediakan
uang guna membiayai mereka yang menjaga. Pula, di Kiciu diadakan usaha untuk
menarik golongan rimba hijau (perampok) dan mengembalikan ke jalan benar
dengan memberi pekerjaan sebagai penjaga keamanan. Tentu saja untuk biaya
usaha ini harus ada sumbangan dari para dermawan dari para piauwsu yang lewat
di daerah itu. Tapi sebaliknya, Liok enghiong yang mengepalai usaha itupun
hendaknya memungut sumbangan dengan suka rela, tidak baik kalau ditetapkan
jumlahnya hingga sifatnya seakan-akan paksaan!"
Baik Thio Kiat maupun Liok An mendengarkan uraian adil itu dengan tunduk.
Mereka diam-diam merasa kagum kepada gadis muda belia ini yang ternyata
mempunyai pandangan-pandangan luas dan pikiran sehat.
"Nah, sekarang aku mohon diri. Harapan saja jiwi suka ambil jalan tengah
dan menyelesaikan urusan ini dengan damai. Dan bila Koay-hiap datang, tolong
sampaikan hormatku dan kagumku padanya."
Setelah berkata demikian, Giok Cu menjura memberi hormat kepada semua
orang, lalu ia cemplak kudanya pergi dari situ, diikuti pandangan mata kedua
rombongan itu. Giok Cu kembali ke hotelnya dan tidur. Pada keesokan harinya ia
tinggalkan hotel setelah terpaksa menerima kiriman beberapa potong emas untuk
bekal dari Liok An. Karena tidak mempunyai tujuan tertentu Giok Cu larikan
kudanya menurut jalan besar. Setelah keluar dari kota, ia kaburkan kudanya.
Mengingat perbuatannya semalam, hatinya menjadi gembira dan ia kaburkan kuda
sambil tersenyum-senyum seorang diri. Matahari telah naik agak tinggi,
memuntahkan cahaya kuning keemasan di permukaan sawah ladang. Kaum tani yang
berangkat ke sawah dengan cangkul dipundak berjalan dengan paras berseri,
sedangkan beberapa orang anak-anak menggiring kerbau dengan bersendau riang.
Burung-burung pagi berkicau ramai di sepanjang jalan di mana ditumbuhi pohon-
pohon yang rindang daunnya.
Giok Cu perlambat jalan kudanya ketika melewati para kaum tani yang
memandangnya dengan heran. Memang agak mengherankan dan jarang terjadi
seorang gadis cantik dan muda berkuda seorang diri di pagi hari lewat jalan
itu. Apapula ketika mereka melihat gagang pedang yang tergantung di pinggang
Giok Cu, mereka makin heran dan kagum.
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba Giok Cu mendengar tiupan suling. Ia menghentikan kudanya dan
mendengarkan. Suling itu ditiup oleh seorang anak laki-laki berusia paling
banyak empat belas tahun. Tiupannya bagus dan nyaring sedangkan lagunya
bersemangat. Karena anak itu duduk di punggung kerbaunya dan berada di depan
Giok Cu, maka dia tidak melihat ada seorang gadis sedang memandangnya dari
belakang. Kerbaunya berjalan malas-malasan sambil ulurkan kepala ke bawah
untuk makan rumput di kiri kanannya. Setelah lagu yang ditiupnya habis, anak
itu bernyanyi. Suaranya sumbang dan parau, tapi kata-kata nyanyian itu
membuat Giok Cu terkejut dan heran. Ia perhatikan kata-kata nyanyian yang
berbunyi seperti berikut:
Pedang di tangan kiri Pit dan kertas di tangan kanan
Menjelajah rimba raya Menurun jurang mendaki gunung
Langit suram muram Bumi hitam gelap kotor Pedang dan pit tak berguna
Biarlah pedangku tumpul berkarat!
Biarlah pitku kering tak bertinta!
Ini bukanlah sembarang lagu! Giok Cu majukan kudanya sambil berpikir
heran. Penggubah lagu ini tentulah seorang gagah atau seorang pandai yang
kecewa dan putus asa melihat keadaan negeri yang makin kacau.
"He, adik yang baik, tegurnya kepada anak laki-laki yang segera berpaling
memandang. Ternyata ia mempunyai sepasang mata yang bening dan mengandung
kejujuran. Kalau semua orang di jalan tadi heran melihatnya, anak ini
memandangnya tak acuh bagaikan menganggap keadaan Giok Cu itu biasa saja.
"Adik yang baik nyanyianmu indah sekali. Dari siap kau belajar nyanyian
ini?" "Aku tidak belajar kepada siapa juga," jawabnya.
"Aah, jangan bohong, adik. Apa kau mau bilang bahwa lagu itu buah
karanganmu sendiri" Ingat, membohong bukanlah watak laki-laki bukankah kau
seorang jantan?" "Siapa berani bilang aku bukan seorang jantan?" Tiba-tiba anak itu turun
dari punggung kerbaunya dan berdiri dengan dada terangkat. Sikapnya sungguh
garang dan gagah hingga mau tak mau Giok Cu tersenyum.
"Tidak ada yang menyangka demikian. Aku anggap kau seorang jantan sejati,
jantan kecil. Orang yang dapat menyanyikan lagu seperti yang kau nyanyikan
tadi tak dapat tidak tentu seorang jantan.
Wajah anak itu berseri girang dan sikapnya menjadi ramah.
"Yang menyanyikan ini adalah Koay-hiap. Aku hanya mendengar saja ia
bernyanyi siang malam di gubuknya hingga aku menjadi hafal kata-kata dan
lagunya." Lagi-lagi Bu-eng-cu si Tanpa bayangan! Hati Giok Cu ingin sekali melihat
orang yang dikenal di mana-mana itu, siapakah Bu-eng-cu Koayhiap ini"
"Mari antar aku ke gubuknya!" ia membujuk anak itu.
Anak itu geleng kepala. "Ia telah pergi sebulan yang lalu."
"Ke mana perginya?"
Anak itu angkat pundak. "Siapa tahu" Tak seorangpun pernah tahu akan
pergi atau datangnya. Ia bebas lepas bagaikan burung di udara, pergi dan
datang sesukanya." Giok Cu menjadi kecewa, tapi ia ingin tahu lebih jauh.
"Bagaimana roman mukanya?"
Anak itu tersenyum sambil memandangnya penuh pertanyaan.
Giok Cu merah mukanya lalu menambahkan: "Ia tentu sudah tua bukan" Roman
mukanya menakutkan?"
Kini anak itu tertawa geli. "Kau anggap Koay-hiap menakutkan" Ah, ia
seorang yang masih muda, mukanya tampan, gerak-geriknya halus hatinya baik.
Tapi semua orang tunduk padanya."
Giok Cu sangat tertarik tapi untuk menanya lebih jelas lagi ia merasa
malu kalau-kalau dicurigai anak itu.
Koleksi Kang Zusi "Biarlah kalau ia sedang berada di sini, lain kali aku datang
mengunjunginya," akhirnya ia berkata sambil cemplak kudanya lagi.
"Sia-sia saja ia paling takut bertemu dengan gadis cantik."
"Apa katamu?" Giok Cu membentak marah karena mengira anak itu
mempermainkannya. "Benar, aku tidak dusta. Pernah ada seorang nona mencarinya, tapi ia
segera lari pergi seakan-akan ketakutan!"
Giok Cu merasa aneh kemudian ia keluarkan sepotong perak dan lempar ke
arah anak itu yang diterimanya dengan senyum girang. Kemudian Giok Cu larikan


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kudanya. Ketika kudanya lari sejauh belasan li dari tempat itu, ia memasuki sebuah
hutan. Hatinya agak gentar melihat betapa hutan itu sangat liar dan gelap.
Tapi ia tetapkan hati dan larikan terus kudanya. Ketika ia sampai di sebuah
tempat di mana banyak tumbuh rumput alang-alang, tiba-tiba kudanya berhenti
dan angkat kedua kaki depannya sambil meringkik ketakutan. Dari jauh
terdengar geraman harimau yang menggetarkan hutan itu.
Giok Cu cepat loncat dari keduanya dan cabut pedang. Hatinya berdebar.
Belum pernah ia melawan harimau, tapi dengan pedang di tangan ia tidak merasa
takut. Ia menanti agak lama belum juga muncul. Hal ini membuat ia marah
karena ia merasa dipermainkan. Haruskah ia berhenti saja di situ menanti
munculnya raja hutan itu" Pikiran ini membuat ia nekad ia segera menuju ke
arah tempat di mana terdengar geraman tadi.
Tiba-tiba terdengar harimau menggerung hebat dan rumput alang-alang jauh
di depannya bergerak-gerak seakan-akan di situ ada dua makhluk bertempur
hebat. Sekali lagi harimau itu menggereng hebat tapi kali ini disusul oleh
suara laki-laki bernyanyi:
Langit suram muram Bumi hitam gelap kotor Pedang dan pit tak berguna
Biarlah pedangku tumpul berkarat
Biarlah pitku kering tak bertinta
Giok Cu terkejut.Ini adalah lagu yang dinyanyikan anak petani tadi!
Siapakah yang bernyanyi di depan itu" Ia segera lari ke arah tempat itu, tapi
yang didapatnya hanya rumput alang-alang yang rusak terpijak dan bekas-bekas
perkelahian hebat, sedangkan di sana sini tercecer darah! Ia loncat mengejar
ketika mendengar suara berkeresekan jauh did epannya. Untuk sekejap mata ia
melihat tubuh belakang seorang yang berbaju biru. Orang itu di pundaknya
tergantung bangkai seekor harimau yang besar!
Hati Giok Cu berdebar dan tak terasa pula ia berteriak memanggil: "Engko
Thian In!" Tapi sekali berkelebat bayangan orang lenyap dari pandangan, Giok
Cu kerahkan ilmu larinya mengejar, tapi ia tak melihat lagi bayangan orang
itu. Ia menjadi bingung dan tiba-tiba saja ia bersedih sekali. Sambil
lepaskan tubuh duduk di atas rumput, ia menangis tersedu-sedu dan gunakan
ujung baju menutupi mukanya!
Setelah agak lama menangis, akhirnya ia dapat juga tenangkan hati dan
pikirannya, lalu ia teringat kembali kepada orang tadi. Benarkah dugaannya"
Benarkah orang itu Souw Thian In" Memang potongan tubuhnya sama, warna
bajunya pun biru. Tapi sayang ia tak dapat melihat wajahnya. Thian In atau
bukan, ia kagum sekali akan kepandaian orang. Sekejap saja ia dapat membunuh
seekor harimau sebesar itu dan dengan memanggul harimau ia dapat bergerak
secepat itu. Padahal biasanya Giok Cu jarang kalah dalam hal berlari cepat.
Tapi kali ini ia tak berdaya sama sekali. Sekali berkelebat saja orang itu
telah lari jauh dan tak tampak pula!
Dengan hati berat dan pikiran kecewa Giok Cu menghampiri kudanya dan naik
ke punggung kudanya dengan perlahan. Lalu ia kedut kendali kudanya dan
melanjutkan perjalanannya.
Begitu lama ia jalankan kudanya, tiba-tiba dari belakang terdengar suara
kaki kuda berlari cepat dibarengi suara teriakan keras:
"Nona yang di depan, tunggu!"
Koleksi Kang Zusi Biarpun orangnya belum tampak dan suara kaki kuda masih jauh, namun suara
teriakannya terdengar jelas dan nyaring hingga hati Giok Cu berdebar. Tenaga
dalam orang itu betul-betul tidak boleh dibuat permainan!
Ia tahan kudanya dan balikkan kuda itu untuk menanti datangnya orang yang
berteriak menahannya. Tak lama kemudian datanglah orang yang dinantinya. Ia
bukan lain adalah si kate Ban Kiam yang datang berkuda di sebelah kudanya
tampak seorang saykong dengan rambut panjang menutup muka dan lehernya
berlari cepat. Hebat adalah kepandaian saykong itu. Biarpun kuda sebagai
makhluk yang pandai berlari pesat, ternyata kedua kaki saykong itu dapat
mengimbangi bergeraknya empat kaki kuda itu! Agaknya saykong itulah yang
berteriak tadi. Giok Cu berlaku waspada dan ia coba tenangkan hatinya.
"Eh, kiranya kau yang menyusul. Ada keperluan apakah?" tanyanya dengan
suara acuh. Ban Kim memandangnya dengan muram, lalu ia perkenalkan dengan
saykong itu. "Lihiap, ini adalah su-siokku bernama Gan Tin-cu. Susiok, inilah dia Pek
I Lihiap seperti yang teecu ceritakan tadi."
Saykong itu gunakan sepasang matanya yang merah memandang Giok Cu dengan
tajam, kemudian ia tertawa terbahak-bahak memperlihatkan isi mulutnya yang
kosong tak bergigi! "Kukira Pek I Lihiap adalah siluman wanita yang berkepala tiga berlengan
enam tidak tahunya seorang gadis cantik jelita yang berkulit halus putih. Ha,
ha, ha!" Giok Cu marah sekali, ia loncat turun dari kudanya dan menuding kepada si
kate sambil memaki: "Eh kate, apa maksudmu menyusul aku membawa-bawa orang
yang miring otaknya ini?"
"Nona kecil, jangan kau lancang mulut!" saykong itu berkata mengancam.
"Ingatkah kau beberapa bulan yang lalu di kota Tit-lee telah membunuh seorang
muridku bernama Cu Lok?"
"Ah, jadi penjahat Cu Lok itu adalah muridmu" Pantas kalau begitu.
Kejahatannya telah bertumpuk-tumpuk. Di kota Tit-lee ia telah banyak
melakukan perampokan, pembunuhan, perkosaan, maka sudah sepantasnya dia
kubunuh!" "Hm, hm, ngoceh seenaknya! Dan malah tadi kau telah hinakan Ban Kim,
keponakanku ini." "Siapa suruh ia berlaku sombong dan agulkan kepandaiannya yang tak
seberapa itu?" Giok Cu menjawab tabah.
"Kau memang sombong, Pek I Lihiap! Tapi mengingat kau masih sangat muda
dan pula bahwa kau sangat cantik, juga karena aku pernah kenal baik dengan
Ong Kang Ek, ayahmu, maka biarlah kau kuberi ampun. Tapi kau harus berlutut
dan mengangguk tiga kali padaku dan berjanji bahwa lain kali kau takkan
berani lagi mengganggu anggota Kwi-san-pay barulah aku akan beri ampun
kepadamu." Tentu saja Giok Cu marah sekali. Ia tahu bahwa saykong ini lihai karena
ia dapat menduga bahwa Gan Tin Cu tentulah suheng atau sute dari Hoan Tin Cu
yang pernah mengacau di pesta ayahnya dan bertanding melawan Souw Thian In
dulu. Tapi jangankan baru orang seperti Gan Tin Cu, biarpun seratus kali
lebih lihai juga, tidak sudi ia harus berlutut minta ampun" Lebih baik ia
mati daripada terhina macam itu! Maka dengan muka merah ia cabut pedang dan
sabuk suteranya lalu maju menantang:
"Saykong jahanam! Kau kira aku takut padamu" Majulah biar kau kuantar
menyusul muridmu yang rendah itu ke neraka!"
Gan Tian Cu tertawa aneh untuk menunjukkan kemurkaannya. Ia cabut
sebatang tongkat berwarna hitam yang terselip di pinggangnya. "Kalau kau
begini sombong dan berkepala batu, jangan anggap aku keterlaluan kalau aku
paksa kau berlutut!" Sehabis berkata demikian tongkatnya bergerak menyambar.
Giok Cu gerakkan pedangnya menangkis tapi hampir saja pedangnya terlepas dari
pegangan karena tongkat itu ternyata terbuat dari pada baja yang berat dan
digerakkan oleh tangan yang kuat pula! Melihat pedang nona itu terpental oleh
sambaran tongkatnya, saykong itu tertawa menyindir dan teruskan serangannya.
Giok Cu berkelit ke samping lalu gerakkan sabuk suteranya menyambar leher
Koleksi Kang Zusi orang. Ia bermaksud membelit leher saykong itu dan menyendalnya sampai roboh.
Tapi sayang saykong itu meniup dengan mulutnya sambil berseru keras dan ujung
sabuknya ternyata dapat tertiup pergi! Sekali lagi Giok Cu merasa terkejut
dan tahu bahwa kepandaian saykong ini masih jauh berada di atasnya. Akan
tetapi ia tidak mau menyerah kalah. Dengan kertak gigi, ia keluarkan
kepandaian turunan ayahnya dan mainkan pedang di tangan kanan serta sabuk
sutera di tangan kiri dengan cepat hingga kedua senjata itu bergulung-gulung
merupakan dua sinar yang menyerang lawannya. Tapi tongkat Gan Tin-cu lihai
sekali. Dengan goyangan perlahan saja semua serangan pedang Giok Cu dapat
dipunahkan. Perlahan tapi pasti bayangan tongkatnya makin melebar dan menekan
pedang dan sabuk sutera Giok Cu yang telah terdesak hebat. Hanya kenekatan
dan ketabahan gadis yang pantang menyerah itulah yang membuat Giok Cu
bertahan sampai lima puluh jurus lebih!
Pada saat gadis itu telah terdesak mundur sampai ke bawah pohon siong
tun, tiba-tiba tongkat Gan Tin-cu menyerang hebat ke arah kepala gadis itu.
Giok Cu gunakan pedang m enangkis dan berbareng tangan kirinya sabetkan
sabuknya ke arah pinggang lawan. Tapi Gan Tin-cu tangkap ujung sabuk itu
dengan tangan kiri, dan secepat kilat kaki kanannya bergerak menendang ke
arah lutut Giok Cu sambil berseru dibarengi tertawa: "Berlututlah kau gadis
sombong!" Giok Cu merasa bahwa kali ini ia takkan dapat pertahankan diri lagi.
Tongkat yang menyambarr kepalanya dapat ditangkis dengan pedang. Tapi betotan
sabuknya oleh tangan kiri saykong itu membuat kuda-kudanya tergempur dan ia
tak mungkin dapat menghindarkan diri dari tendangan kilat itu. Ia hanya
meramkan mata menanti datangnya tendangan dan bertekad dalam hati takkan
berlutut, kalau perlu biar jatuhpun ia akan usahakan miring dan tidak
menghadap kepala saykong itu! Tapi pada saat itu ia mendengar Gan Tin-cu
berteriak keras menahan sakit! Giok Cu cepat buka matanya dan hampir tak
dapat percaya pandangan matanya sendiri! Gan Tin-cu pegang-pegang kaki
kanannya yang dipakai menendang tadi karena betis kaki itu telah mengucurkan
darah dengan hebat! Saykong itu marah sekali dan bergerak hendak menubruknya,
tetapi tiba-tiba saja tubuh saykong itu bagaikan terbawa angin dan terlempar
ke belakang! Gan Tin-cu berteriak-teriak lebih hebat dari tadi dan kini ia
pegang pundak kirinya yang mengeluarkan darah hingga tangan kirinya menjadi
lemas. Kali ini saykong itu memandang ke arah Giok Cu dengan mata terpentang
lebar dan penuh keheranan. "Kau gunakan ilmu siluman! Baiklah, Pek I Lihiap,
kali ini aku mengaku kalah, tapi kalau kau memang wanita gagah, datang ke
Kwie-san. Kalau kau berani datang, di sana kita bertempur mengadu jiwa!"
"Kau gunakan akal bulus untuk diberi kesempatan lari!" Giok Cu menyindir.
"Baiklah, kau larilah dan bawalah si kate ini pergi dari sini pula. Tentang
mampir ke Kwie-san, kalau kebetulan aku lewat, tentu aku akan lihat-lihat
gunungmu itu!" Gau Tin-cu menyeret kaki kanannya dan dengan bantuan Ban Kim ia naik ke
punggung kuda si kate, hingga kini saykong itulah yang naik kuda sedangkan
Ban Kim menuntun kuda sambil berjalan perlahan. Mereka pergi sambil
bersungut-sungut diikuti gelak tawa Giok Cu.
Setelah mereka pergi jauh, Giok Cu berpaling sambil berteriak memanggil:
"In kong (tuan penolong), keluarlah agar aku dapat menghaturkan terima
kasihku!" Ia memanggil berkali-kali dengan mengharap munculnya Thian In yang
diharap-harapnya, tapi tak seorangpun menjawab. Tiba-tiba dari tempat jauh ia
mendengar suara nyanyian:
Pedang di tangan kiri Pit dan kertas di tangan kanan
Menjelajah rimba raya Menurun jurang mendaki gunung....
Giok Cu mendengarkan lagu itu dengan bengong dan sekali lagi tak terasa
air matanya jatuh turun menitik di sepanjang kedua pipinya. Mengapa Koay-hiap
tidak mau bertemu dengannya. Bukankah Koay-hiap ini Souw Thian In" Apakah
Thian In masih menaruh dendam dalam hati karena urusan ibunya, karena urusan
ibu mereka yang bermusuhan" Ah, nasib....dan sekali lagi dalam hati Giok Cu
Koleksi Kang Zusi merasa hatinya hancur hingga tak terasa pula ia menghampiri kudanya lalu
sadarkan kepalanya di leher kuda. Kedua tangannya merangkul leher itu dan ia
menangis terisak-isak! Kudanya agaknya mengerti akan kesedihan nona
penunggangnya, beberapa kali kuda itu palingkan mukanya dan dengan lidahnya
ia menjilat tangan Giok Cu sambil perdengarkan suara rintihan perlahan.
Setelah puas menangis, Giok Cu naiki kudanya dan jalankan kudanya
perlahan. Hari telah sore ketika akhirnya ia keluar dari hutan yang panjang
itu. Melihat udara luar agak legalah hatinya dan pikirannya tak segelap tadi.
Ia pun merasa sangat lapar dan teringat bahwa semenjak pagi tadi ia belum
makan apa-apa. "Hayo kudaku yang baik, kita cari makanan!" katanya kepada kudanya sambil
keprak kuda itu. Dengan cepat empat kaki kuda itu bergerak dan membalap
hingga Giok Cu mendengar angin bersiutan di pinggir kedua teliganya.
Tak lama kemudian ia melihat sebuah kelenteng tua di pinggir jalan. Bau
asap masakan yang sedap membuat perutnya makin terasa lapar dan terpaksa ia
belokkan kudanya ke halaman kelenteng itu karena tak dapat menahan lapar
lebih lama lagi. Ia ikatkan kendali kuda di pohon dan mengetuk pintu.
Di luar dugaannya, yang membuka pintu kelenteng bukanlah seorang hwesio
atau niko, sama sekali bukan golongan pendeta, tapi ia adalah seorang laki-
laki tinggi besar yang berewokan.
"Aku hendak bertemu dengan pendeta kelenteng ini," kata Giok Cu ragu-
ragu. Orang itu memandang tajam lalu tertawa.
"Bukankah nona hendak mencari makanan?"
Giok Cu terkejut dan bercuriga.
"Nona jangan curiga atau cemas. Aku dengan tiga orang saudaraku juga
tamu. Kelenteng ini kosong tidak ada penghuninya. Kami berempatpun merasa
lapar dan berhenti di sini untuk masak makanan. Kalau nona sudi, silahkan
makan bersama kami."
Giok Cu hendak menolak, tapi perutnya tak tertahan lagi laparnya. Orang
itu tahu akan keragu-raguannya, maka sambil tersenyum dan mengerling ke arah
pedang di pinggang Giok Cu, ia berkata pula: "Nona, tak usah khawatir, aku
lihat nona membawa-bawa po-kiam, tentu nona ahli silat, jadi kita masih
segolongan. Kamipun penjual silat dan obat yang berkeliling."
Maka tenanglah hati Giok Cu. Ia menjura dan berkata:
"Maaf kalau aku mengganggu, dan jika tuan sudi menolong, aku haturkan
banyak terima kasih."
Orang berewokan itu mengucapkan kata-kata merendah lalu ia persilahkan
gadis itu memasuki ruangan belakang. Benar saja di ruangan itu terdapat tiga
orang laki-laki lain yang duduk mengelilingi meja sambil menghadapi empat
macam masakan daging rusa yang masih mengepulkan uap dan berbau sedap. Tiga
orang itu heran sekali melihat saudara mereka membawa seorang gadis cantik,
tapi setelah diberitahukan bahwa gadis itu adalah seorang tamu yang hendak
sama-sama makan, mereka dengan ramah mempersilahkan Giok Cu ambil tempat
duduk. Gadis itu merasa berterima kasih sekali. Dengan segera mereka mulai
makan. Setelah habiskan semangkok daging rusa, Giok Cu merasa laparnya berkurang
dan kegembiraannya kembali serta kecurigaannya lenyap. Ia perhatikan keempat
orang itu yang tampaknya bertubuh kuat dan bersikap gagah.
"Tuan sekalian yang berjualan lebih dulu, apakah bertemu seorang berbaju
biru" Tanyanya. "Berbaju biru" Ah, semenjak siang tadi kami tak bertemu dengan
seorangpun, nona. Siapak orang yang kau maksudkan itu?"
Baiklah kuberitahukan saja, barang kali mereka kenal, pikir gadis itu,
maka ia lalu berkata dengan suara biasa: "Ah, dia Bu-eng-cu Koay-hiap."
Orang yang termuda ketika itu sedang minum arak. Mendengar nama ini ia
terbatuk hingga arak dimulutnya tersemprot keluar lagi, tapi ketika kawannya
tak memperhatikannya karena mereka semua memandang ke arah Giok Cu dengan
mata terbelalak dan hampir berbareng mereka bertanya: "Di manakah Koay-hiap
berada" Adakah mereka di sini?" Mereka lalu memandang ke kanan kiri seperti
orang ketakutan. Giok Cu merasa heran dan tersenyum melihat sikap mereka.
Koleksi Kang Zusi "Tidak, ia tidak berada di sini. Kalau ia berada di sini, tentu ia
menjumpaiku." Empat orang itu kelihatan lega dan kini mereka memandang kepada Giok Cu
dengan pandangan curiga dan segan. Berkali-kali yang brewok dan menyambut
Giok Cu tadi memandang ke arah pedang gadis itu. Kemudian mereka tuang arak
di mangkok Giok Cu dan persilahkan gadis itu meminumnya.
Biarpun Giok Cu tidak begitu suka arak tapi karena ia telah mengalami
perasaan yang menekan perasaan di hari itu dan lagi karena orang-orang ini
telah berlaku baik kepadanya, maka tak baiklah kiranya kalau ia menolak. Ia
angkat mangkok itu ke mulutnya, tapi sebelum mangkok menempel di bibirnya,
tiba-tiba saja mangkok itu memperdengarkan bunyi 'ting!!' dan terloncat lalu
terlepas dari pegangannya. Arak dari mangkok itu tumpah dan membasahi
pakaiannya! Empat orang itu tiba-tiba loncat dan cabut golok dan pedang masing-masing


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian tanpa banyak bicara lagi mereka menyerang Giok Cu! Alangkah kagetnya
gadis itu tapi ia tetap waspada. Sekali loncat saja ia sudah berada di ruang
tengah, kemudian dengan dua kali loncatan ia sudah berada di luar kelenteng,
berdiri di halaman kelenteng dengan pedang dan sabuk-sutera di tangan.
Empat orang itu memburu dengan garangnya. Giok Cu pedangnya dan berkata:
"Tahan dulu! Sebenarnya apa kehendak kalian" Mengapa kalian memusuhi
aku?" Si brewok berkata singkat: "Serahkan saja buntelan dan pedangmu, kami
akan pergi dengan aman. Biarlah itu kau anggap pembayar makanan."
"Eh, eh, jadi diam-diam kalian berempat ini bangsa perampok kecil"
Sungguh tak tersangka. Tak heran kalian takut mendengar nama Koay-hiap!"
"Jangan banyak cerewet. Serahkan barangmu!" Berandal itu berkata lagi
agaknya mendengar namanya saja sudah membuat ia ngeri terhadap Koay-hip. Giok
Cu tertawa kecil. "Enak saja kau bicara. Mau barang-barangku" Tapi ternyata kepandaian
mereka biasa saja hingga dengan sabuk suteranya Giok Cu dapat kocar-kacirkan
mereka dan dalam beberapa puluh jurus saja mereka telah terlempar atau
terbetot lepas oleh gerakan sabuk sutera Giok Cu yang lihai!
Giok Cu gunakan sabuknya menyabet dan melibat kaki mereka hingga sekali
dibetot tubuh mereka bergulingan di tanah. Mereka segera berlutut meminta
ampun. Giok Cu tertawa geli.
"Ha, perampok-perampok kecil yang rendah. Biarlah nonamu ampunkan kalian
hari ini karena kalian hari ini telah berlaku baik dan memberi makan padaku.
Biarpun aku tahu kini di dalam arakmu itu tentu ada obat atau racun, bukan?"
Mereka tidak mampu menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepala memohon
ampun. Ketahuilah bahwa aku Pek I Lihiap tak suka balas budi orang dengan
pembunuhan, nah, kalian pergilah!"
Empat orang itu pungut senjata mereka lalu lari terbirit-birit.
Giok Cu kembali ke ruang dalam ia teringat sesuatu. Segera ia tuang sisa
arak dari guci ke dalam mangkok dan cabut tusuk kondenya yang terbuat dari
perak asli. Ia celupkan ujung tusuk konde itu ke dalam arak dan merendamnya
beberapa lama kemudian diangkatnya kembali. Ternyata ujung tusuk kondenya
telah berwarna hijau kehitam-hitaman! Giok Cu merasa ngeri dan bersukur telah
dapat terhindar dari bahaya. Sekali lagi ia tertolong dengan cara
bersembunyi. Ia merasa yakin bahwa yang menolongnya pasti bukan lain ialah
Bu-eng-cu Koay-hiap itu orang aneh yang cara kerjanyapun aneh dan berahasia!
Ia kini dapat menduga bahwa mangkok arak di tangannya tadi tentu telah pecah
oleh senjata rahasia kecil.
Mengingat kembali pengalaman-pengalamannya ia menghela napas. Nyata
sekali bahwa kepandaian silat tinggi saja masih belum menjami keamanan
seseorang. Tadi hampir saja ia menjadi korban empat perampok kecil yang tak
berarti kepandaiannya. Selain kepandaian silat, ia butuh pula pengalaman yang
dapat membuat ia berlaku waspada dan hati-hati.
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu hal. Rasanya tidak mungkin kalau
kelenteng ini kosong karena keadaannya masih bersih. Pula bagaimana empat
orang perampok tadi dapat masak daging rusa" Dari mana mereka dapat bumbu-
bumbu dan alat untuk masaknya" Memikir sampai di sini Giok Cu segera lari ke
Koleksi Kang Zusi ruang belakang dan mulai memeriksa kamar-kamar di belakang kelenteng itu.
Betul saja, dalam sebuah kamar gudang ia dapatkan tiga orang pendeta yang
sudah tua dan bertubuh lemah rebah dengan kaki tangan terikat dan mulut
tersumbat! Segera ia lepaskan ikatan mereka dan dengan ringkas ia tuturkan
bahwa keempat penjahat itu telah diusirnya.
Empat perampok itu ternyata telah merampok kelenteng itu dan membikin
tiga penghuni kelenteng tak berdaya. Kemudian mereka sengaja menanti kalau-
kalau ada orang lewat di situ. Kebetulan sekali Giok Cu yang lewat hingga
kejahatan mereka terbasmi. Tiga orang itu menghaturkan terima kasih yang
ditolak oleh Giok Cu dengan merendah dan gadis itu bahkan minta tolong untuk
lewatkan malam di kelenteng itu. Tentu saja petapa-petapa itu menerimanya
dengan senang hati. Pada keesokan harinya, pagi-pagi Giok Cu telah berkemas untuk melanjutkan
perjalanannya. Ia mencari pendeta-pendeta di ruang belakang, kepada mereka ia
menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia tanyakan jalan.
Kepala pendeta memberitahu padanya bahwa jalan yang menuju ke utara itu
akan bercabang, yang kiri menuju ke kota Siong-ek dan yang ke kanan menuju ke
kota Hay-tin. "Kalau nona hendak merantau, lebih baik nona pergi ke Siong-ek saja,
karena selain di situ lebih banyak terdapat pemandangan-pemandangan indah,
juga pada waktu ini di kota Hay-tin tidak aman."
"Tidak aman" Apakah di situ terganggu oleh perampok?" tanya Giok Cu.
"Bukan perampok biasa, tapi lebih tepat disebut siluman," pendeta itu
menjawab dengan sikap takut. "Beberapa orang kota Hay-tin pergi mengungsi dan
yang lewat di sini semua membawa cerita yang menyeramkan."
"Apakah yang terjadi?" tanya Giok Cu bertanya.
"Telah hampir sebulan di kota ini berjangkit semacam penyakit hebat! Tapi
yang selalu menjadi korban adalah anak-anak bayi atau anak-anak gadis yang
cantik. Orang tidak tahu bila terjadinya, tapi tahu-tahu orang melihat
seorang gadis cantik atau seorang anak bayi telah mati di dalam kamarnya
dalam keadaan yang menyeramkan. Lebih-lebih anak bayi perutnya telah dibelek
dan jantungnya lenyap dicuri!
Giok Cu rasakan bulu-tengkuknya berdiri dan ia merasa ngeri dan serem. Ia
pandang pendeta itu dengan sangsi.
"Memang kabar ini luar biasa dan sukar dipercaya," pendeta itu
menyambung. Tapi bagaimana juga dengan adanya bukti banyak orang lari
mengungsi dari kota Hay-tin, pasti di sana terjadi apa-apa yang hebat dan
menyeramkan. Maka lebih baik nona jangan menuju ke kota yang sedang dilanda
malapetaka itu." Tapi pendeta itu tidak kenal dan tidak tahu akan keberanian gadis itu.
Kalau ia tidak ceritakan hal yang seram-seram dan aneh-aneh itu mungkin Giok
Cu akan tertarik bujukannya dan pergi ke Siong-ek. Tapi kini setelah
mendengar berita itu, biarpun dilarang agaknya Giok Cu takkan mundur untuk
menyaksikan sendiri keadaan yang ganjil itu. Selain dari pada keingin tahu
ini, iapun merasa penasaran dan marah sekali.
"Tidak adakah orang-orang gagah di kota itu untuk basmi kejahatan itu?"
tanyanya penasaran. Pendeta itu geleng-geleng kepala dan menghela napas. "Itulah yang celaka.
Guru-guru silat dan para enghiong sudah berusaha membasminya tapi apakah daya
orang-orang gagah melawan siluman" Akibatnya tiga guru silat binasa. Karena
itu sampai sekarang iblis itu masih terus merajalela."
Hawa marah yang bergelora dalam dada Giok Cu tak dapat tertahan lagi.
Matanya berapi-api hingga pendeta itu menjadi takut. "Aku harus basmi iblis
itu!" Giok Cu berkata keras lalu lari keluar dan cempak kudanya, tinggalkan
pendeta yang berdiri dengan tubuh gemetar sambil berkali-kali mengucap "O-mi-
to-hud!" Setelah bedal kudanya beberapa lama, benar saja Giok Cu bertemu dengan
jalan simpang kanan kiri. Tanpa ragu-ragu lagi Giok Cu belokkan kudanya ke
kanan, menuju ke kota Hay-tin, kota yang sedang diganggu siluman itu!
Setelah balapkan kudanya kira-kira tiga puluh li jauhnya, Giok Cu tiba
dipinggir sebuah kota. Tembok yang mengelilingi kota itu berwarna merah dan
Koleksi Kang Zusi tidak berapa tinggi. Pintu tembok terpentang lebar. Benar saja, kota itu
tampak sunyi. Di antara sepuluh buah toko yang buka hanya dua tiga,
kebanyakan menutup tokonya. Di jalan-jalan yang kelihatan hanya laki-laki
yang membekal senjata dan wanita-wanita tua. Tak kelihatan seorang perempuan
muda atau perempuan yang menggendong bayi! Benar-benar merupakan kota mati!
Ketika Giok Cu jalankan kudanya memasuki kota itu, semua orang yang
melihatnya menjadi heran dan memandangnya dengan mulut ternganga, tapi gadis
itu tak hiraukan semua pandangan itu, lalu terus saja mencari kamar di sebuah
penginapan. Baru saja ia memasuki kamarnya, pelayan hotel memberitahukan bahwa di
luar ada Kwa Loya ingin berjumpa.
"Siapakah Kwa Loya itu?" tanyanya.
"Kwa Loya adalah guru silat yang paling ternama di kota ini."
Giok Cu lalu keluar dan menyambut tamunya di ruang tengah. Setelah
memperkenalkan diri, guru silat she Kwa itu lalu berkata dengan halus:
"Nona, agaknya nona orang asing di sini. Sebetulnya, tadi ketika nona
masuk kota ini kami sudah hendak memberitahu agar nona dapat lewati saja kota
kami yang terkutuk ini. Tapi melihat bahwa nona membawa pedang, kami rasa
nona adalah seorang ahli yang dapat diajak bicara segolongan. Ketahuilah nona
bahwa kota ini sedang terganggu oleh..."
"Iblis pengganggu wanita?" Giok Cu menyambung sambil tertawa. "Aku sudah
mendengar tentang hal itu, tuan Kwa, dan justeru karena itulah maka aku
datang ke kota ini."
Mendengar kata-kata yang jumawa ini Kwa-suhu memandang ke arah gadis itu.
"Nona, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, tapi tahukah kau betapa lihainya
siluman yang mengganggu kota ini" Harap kau jangan main-main dengan jiwa dan
lebih baik menyingkirlah dari sini sebelum terlambat!"
"Aku tidak takut. Pertama, aku ingin melihat bagaimana macam iblis itu,
kedua aku tak percaya bahwa ia adalah siluman, kurasa ia adalah siluman
biasa." "Adakah manusia, bagaimana jahatpun ia tega membelek perut bayi-bayi
untuk mengambil jantungnya?"
Kembali Giok Cu bergidik mendengar ini dan pada saat itu Giok Cu berseru:
"Awas!" ulur tangannya menyambut sebatang piauw yang menyambar ke arah leher
orang she Kwa itu! Ketika tangannya menyambut barang itu, Giok Cu merasa
betapa besar tenaga orang yang menyambitnya, lebih-lebih ketika ia melihat
bahwa piauw itu bukan lain hanyalah sebatang kayu basah?"
"Bangsat jangan lari!!" Giok Cu berseru dan loncat ke atas genteng, di
mana ia celingukan mencari-cari. Tapi tak tampak bayangan seorangpun. Ia
loncat turun kembali, disambut oleh guru silat she Kwa itu yang kini berwajah
girang. "Sukur kau keburu menolong, Lihiap. Ternyata kepandaianmu cukup tinggi.
Kalau begitu marilah kita bersama kawan-kawan coba membasmi siluman ini!"
Guru silat itu melihat kepandaian Giok Cu, tiba-tiba menjadi tabah dan
semangatnya timbul kembali. Tapi diam-diam Giok Cu sangsi adakah ia akan
sanggup melawan penjahat yang dari sambitannya saja ia tahu mempunyai
kepandaian yang sangat lihai! Tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Ia akan
lawan sekuat tenaga. "Baiklah saudara Kwa. Mudah-mudahan saja dengan bantuan pedang dan sabuk
suteraku, aku akan dapat ikut membasmi setan itu. Kata-kata ini diucapkan
oleh Giok Cu dengan sejujurnya, tapi tanpa merasa ia memperkenalkan diri
sendiri, karena guru silat itu memandangnya dengan mata terbelalak lalu
berkata: "Lihiap, kalau begitu kau....kau adalah Pek I Lihiap?"
Giok Cu mengangguk, dan orang she Kwa yang telah lama mendengar nama Pek
I Lihiap yang mulai termasyhur, memandangnya kagum dan sikapnya menjadi ramah
dan hormat. "Bagaimana diaturnya untuk menempur si paman itu, lihiap?"
"Bilakah keluarnya siluman itu dan tahukah kau di mana tempat
sembunyinya?" Koleksi Kang Zusi "Biasanya ia keluar di waktu malam, lihiap. Ia keluar dengan berterang
karena suara ketawanya yang menyeramkan terdengar sampai di mana-mana. Suara
ketawa itu saja cukup membuat orang menjadi lumpuh!"
"Bagaimana bentuk badan dan mukanya?"
"Tubuhnya tinggi besar dan kepalanya ditumbuhi rambut panjang yang riap-
riapan. Tapi bagaimana rupanya tak seorangpun dapat melihatnya karena
gerakannya demikian cepat hingga kami hanya melihat bayangannya saja."
"Kalau begitu, baik kita kepung saja dia, jika malam nanti dia keluar.
Biarkan aku bertempur dengan dia. Jika kiranya dia terlalu kuat bagiku,
barulah kalian turun tangan ramai-ramai."
Setelah bertanding, guru silat itu lalu pamit untuk memberi tahu kawan-
kawannya dan mengatur barisan pengepungan. Giok Cu biarpun tidak percaya
penuh keterangan guru silat itu, namun hatinya agak khawatir. Ia duduk
bersemadhi untuk tenangkan pikiran, tetapi duduknya tak dapat diam karena
wajah Thian In selalu terbayang di depan matanya. Teringat akan Thian In,
hatinya agak lega dan kekhawatirannya berkurang. Bukankah pemuda itu selalu
melindunginya" Buktinya ketika ia akan diserang harimau dan ketika ia
bertempur melawan Gan Tin Cu, ia selalu tertolong! Tentu kali ini pula
penolong itu tidak berada jauh darinya. Tapi ketika memikir sampai di sini,
kembali timbul keragu-raguan di dalam hatinya. Benarkah penolong itu Be-eng-
cu Koay-hiap dan jika benar, adalah Koayhiap itu Souw Thian In" Hal ini
selalu meragukannya dan merupakan teka teki baginya.
Malam tiba! Giok Cu telah bersiap-siap. Sore tadi ia telah makan dan
berpakaian serba ringkas. Seperti biasa pakaiannya berwarna putih. Dengan
pedang terhunus di tangan kanan dan sabuk suteranya di tangan kiri tergulung
dalam kepalannya, ia menanti dalam kamarnya.
Pada waktu menjelang tengah malam, guru silat she Kwa datang di atas
genteng rumah penginapan itu. Tindakan kakinya terdengar oleh Giok Cu yang
lalu loncat ke atas. "Lihiap, agaknya dia tidak datang, karena waktu sudah hampir tengah
malam. Barangkali dia takut kepada Lihiap!" katanya senang:
"Waspadalah saja tuan Kwa." Giok Cu memesan dan guru silat itu kembali ke
tempat penjagaannya. Pada saat Giok Cu hendak loncat turun ke kamarnya, tiba-
tiba dari jauh terdengar suara ketawa yang nyaring dan aneh. Sekejab kemudian
suara ketawa itu telah datang dekat. Kini suara itu sangat menyeramkan hingga
diam-diam Giok Cu terkejut ketika ia merasa betapa tubuhnya hampir limpung.
Ia segera tetapkan hati dan semangat dengan kerahkan lweekangnya, karena ia
tahu bahwa siluman itu tertawa sambil gunakan tenaga dalam yang sangat hebat.
Sungguh lawan yang berat, pikirnya. Tapi ia tidak takut dan dengan penuh
perhatian ia memandang ke arah dari mana suara itu datang.
Suara tertawa itu lalu disusul suara yang parau dan keras:
"Ha, ha, ha! Pek I Lihiap telah menunggu pada pinto?" Bagus. Kali ini
kalau bisa dapatkan kau, pinto berjanji akan tinggalkan kota ini dan pindah
ke kota lain. Ha, ha, ha!"
Suara itu telah terdengar nyata tapi orangnya belum tampak! Giok Cu
memandang ke sana kemari dengan hati tegang. Pada saat itu bayangan tubuh
yang tinggi besar datang dan menyambarnya! Giok Cu gunakan tipu loncat Koay-
lion-hoa-sin atau Siluman naga jumpalitan untuk hindarkan diri dari tubrukan
hebat itu, kemudian secepat kilat kedua tangannya bekerja, pedang di tangan
kanan berkelebat menyambar leher bayangan ibu sedangkan sabuk suteranya
meluncur ke arah pinggang orang! Gerakan Giok Cu adalah gerakan campuran,
yakni tangan kanan yang pegang pedang bergerak dengan Lya-lion-sin-yauw atau
Naga-mas-ulur pinggang, sedang sabuk sutera di tangan kirinya bergerak dengan
tipu Tiang-khing-king-tian atau Pelangi panjang melengkung di langit. Tentu
saja serangan kombinasi ini berbahaya sekali karena Giok Cuyang tahu akan
kelihaian lawan gunakan gerakan mematikan ini. Tapi tak dinyana bahwa
bayangan itu benar-benar hebat. Sambil perdengarkan suara ketawa keras,
bayangan itu secepat kilat mendekam ke bawah hingga kedua senjata Giok Cu
memukul angin, kemudian dari bawah bayangan itu maju pula menubruk. Gerakan
bayangan itu sembarangan saja seakan-akan bukan gerakan seorang ahli silat,
tapi gerakannya mendatangkan angin menandakan bahwa ia memiliki tenaga yang
Koleksi Kang Zusi hebat! Giok Cu melawan dengan mati-matian dan keluarkan seluruh kepandaiannya
untuk merobohkan lawan yang aneh ini.
Benar bagaimana kata guru silat she Kwa tadi. Gerakan siluman itu benar-
benar cepat hingga tubuhnya yang tinggi besar berkelebat ke sana kemari dan
sukar untuk dapat dilihat mukanya. Yang terlihat oleh Giok Cu hanya rambutnya
yang riap-riaoan berkibar dan sepasang mata yang tajam dan besar. Giok Cu
melawan sedapat-dapatnya sampai puluhan jurus, tapi setelah bersilat lima
puluh jurus lebih ia merasa lelah. Pukulan-pukulan lawannya terlampau berat
baginya dan gerakannya terlampau gesit. Ia tahu bahwa lawannya jauh lebih
pandai darinya dan bahwa jika dikehendaki oleh lawan itu sudah dari tadi ia
dapat dirobohkan. Agaknya lawan itu sengaja mempermainkannya karena sambil
bergerak, tiada hentinya ia tertawa keras. Beberapa kali tangan lawannya
telah dekat dengan tubuhnya, tapi sebelum memukul, segera tangan itu ditarik
kembali dibarengi suara tawa menyeramkan.
Akhirnya Giok Cu tak tahan lagi. Ia berteriak: "Tuan Kwa, hayo maju bantu
kepung siluman ini!"
Dari tempat sembunyinya guru silat Kwa dan kawan-kawannya telah melihat


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalannya pertandingan yang hebat itu. Kini mendengar seruan Giok Cu,
mengertilah mereka bahwa gadis itu terdesak. Dengan sorakan keras dua puluh
orang yang pandai silat menerjang dengan senjata tajam di tangan!
Bayangan itu melejit ke sana-sini, menyambar-nyambar di antara golok dan
pedang sambil tertawa dan berkata: "Ha, ha, ha! Sekalian gentong kosong!
Pinto telah bosan melayani kalian! Hayo Pek I Lihiap kau ikut pinto!"
Dengan sekali terjang, robohlah empat orang pengeroyok dan sebelum dapat
hindarkan diri, Giok Cu kena tertotok jalan darah Tay-twi-hiat hingga dengan
kedua senjata masih di tangan gadis itu menjadi kaku tak berdaya! Kemudian
sekali saut saja bayangan itu telah dapat pondong tubuh Giok Cu dibawa lari!
Orang-orang ribut mengejar tapi sekejab saja bayangan itu telah lenyap dari
pandangan mata. Mereka bingung sekali dan kembali untuk merawat kawan-kawan yang terluka.
Lebih-lebih guru silat Kwa, ia merasa bingung dan cemas memikirkan nasib Pek
I Lihiap dan diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia ajak gadis itu menempuh
bahaya maut ini. Tapi ia teringat akan kata-kata siluman tadi bahwa setelah
mendapat Pek I Lihiap, siluman itu akan pergi dari situ, maka diam-diam iapun
bergirang karena dengan adanya korban seorang Pek I Lihiap, banyak orang lain
akan terhindar dari bahaya maut.
Biarpun tubuh Giok Cu kaku tak berdaya, namun pikiran dan panca inderanya
masih bekerja. Matanya masih dapat melihat. Ia merasa dibawa lari cepat
sekali di atas genteng-genteng rumah lalu turun dan memasuki hutan. Pada saat
itu sesosok bayangan lain menghadang di depan dan membentak:
"Tosu siluman! Lepaskan korbanmu!"
Tosu yang dianggap siluman itu tertawa keras. "Ha, ha, ha! Kau Bu-eng-cu
hendak lancang ikut campur dalam urusanku" Ketahuilah, aku bisa bikin kau si
tanpa bayangan menjadi si tanpa nyawa!"
Karena Giok Cu berada dalam panggulan di pundak tosu itu hingga mukanya
berada di belakang maka ia tak dapat melihat muka orang yang menghadang di
depan. Ia hanya mendengar suara orang itu dan hatinya girang sekali ketika
tosu menyebut namanya Bu-eng-cu! Jadi dia adalah Koayhiap yang telah berkali-
kali menolongnya. Apakah dia Thian In" Ia dengarkan dengan teliti ketika
orang itu menjawab: "Gak Ong Tosu! Ternyata kau masih ambil jalan sesat! Sebentar lagi tentu
suhengmu akan menangkapmu dan memberi hukuman yang setimpal!"
"Gila kau! Jangan kau takut-takuti aku dengan nama Gak Bong! Kau kira aku
takut padanya" Ha, ha, ha! Anak muda, lebih baik kau pergi sebelum datang
marahku." "Hm, kau kira akupun takut padamu" Bagi orang lain mungkin kau dianggap
siluman lihai, tapi bagiku tak lain hanya seorang pertapa yang rendah
martabatnya! Lepas Pek I Lihiap!"
Diam-diam Giok Cu merasa heran. Dan suaranya ia tak dapat menetapkan
apakah orang itu Thian In atau bukan. Tapi barusan ia mendengar nama Gak Bong
dan teringatlah ia bahwa dulu Thian In pernah menyatakan bahwa dia adalah
Koleksi Kang Zusi murid Gak Bong Tosu. Kalau begitu, tosu siluman yang menculiknya ini adalah
sute atau adik seperguruan dengan gurunya Thian In! Tak heran ia demikian
lihai! Dan siluman ini adalah susiok atau paman guru sendiri dari Thian In.
Kalau begitu, tak mungkin pemuda yang disebut Bu-eng-cu itu adalah Thian In.
Ia menjadi bingung. Pada saat itu Cak Bong Tosu menjadi marah sekali. Dengan menggerang keras
ia menyerang Bu-eng-cu. Agaknya ia memandang rendah karena ia menyerang
dengan Giok Cu masih dipanggulnya di pundak. Tapi ketika pemuda itu berkelit
dan balas menyerang, kagetlah Tosu itu. Serangan pemuda itu demikian cepat
dan gerakannya tak kalah gesit dengan dia sendiri, sedangkan dari tangan yang
menyerang itu keluarlah tenaga yang hebat! Apalagi ketika Cak Ong menangkis
dan kedua lengannya beradu, ia merasa betapa tangannya bergetar, ia terkejut
sekali. Tenyata lengan lweekang lawannya tidak kalah lihai! Cepat ia lempar
tubuh Giok Cu ke pinggir untuk dapat menghadapi Bu-eng-cu yang lihai itu
dengan leluasa. Sayang sekali kebetulan jatuhnya tubuh Giok Cu dengan punggung menghadapi
pertempuran itu hingga ia tak dapat menonton. Hati gadis itu gemas sekali. Ia
mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri, tapi sia-sia, urat-
uratnya lumpuh! Maka dengan diam saja hanya pasang telinga untuk mendengarkan
mereka yang sedang bertempur, sedangkan hatinya hanya berdoa supaya Bu-eng-cu
beroleh kemenangan. Ia mendengar suara beradu dan mengerti bahwa mereka
sedang bertempur menggunakan senjata tajam.
Tapi ternyata selihai-lihainya Bu-eng-cu, ilmu silatnya masih kalah
setingkat oleh Gak Ong Tosu hingga setelah bertempur puluh jurus ia mulai
terdesak. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara halus.
"Terima kasih, terima kasih, Bu-eng-cu Koay-hiap! Kau telah menahan iblis
ini. Nah, serahkanlah ia padaku." Berbareng dengan suara itu entah dari mana
datangnya, tiba-tiba seorang tosu berambut putih tahu-tahu sudah berada di
situ dan menghadapi Gak Ong Tosu!
"Gak Bong lo-cian-pwee! Bagus kau datang. Silahkan memberi hajarang
kepada sutemu yang tersesat ini." Dan Bu-eng-cu segera mencelat mundur ke
arah Giok Cu yang masih rendah miring. Dengan perlahan ia gunakan du jari
tangannya menotok pundak Giok Cu hingga gadis itu terlepas dari pengaruh
totokan. Setelah jalan darahnya pulih kembali dan tubuhnya sembuh dari rasa
kesemutan, cepat gadis itu bangkit dan duduk dan menengok untuk memandang
wajah Bu-eng-cu. Tapi ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Giok Cu
memandang ke sana kemari, tapi ternyata pemuda itu telah pergi dari situ
setelah meninggalkan lawannya kepada Gak Bong Tosu dan setelah lepaskan Giok
Cu dari totokan. Giok Cu merasa kecewa sekali dan ia memandang ke arah kedua tosu yang
masih berdiri berhadapan. Kini ia dapat melihat macamnya siluman yang jahat
itu. Ia merupakan seorang tosu dengan rambut hitam kaku dan riap-riapan
menutup muka dan leher. Mukanya penuh cambang hingga sebagian mukanya tak
tampak, yang kelihatan hanya sepasang matanya yang tajam dan mengeluarkan
sinar kejam. Pakaiannya mewah dan jubahnya berwarna kuning keemasan.
Sepatunya pun baru dan mengkilat. Di rambut yang tak karuan itu terselip
hiasan dari emas yang penuh dengan batu permata. Ia berdiri dengan mata
melotot dan mulut menyeringai. Giok Cu alihkan pandangan matanya kepada tosu
yang baru datang. Cak Bong Tosu adalah seorang pendeta gemuk pendek yang telah putih semua
rambutnya. Pakaiannya dari kain kasar warna abu-abu dan kakinya telanjang.
Tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dipakai untuk mengipasi tubuhnya
yang gemuk. Mulutnya tersenyum tapi sepasang matanya yang bersinar lembut itu
kini ditujukan kepada sutenya dengan penuh sesal.
"Gak Ong sudah tahukah akan kesalahanmu?" Berbeda dengan senyumnya
suaranya terdengar tegas dan berpengaruh.
Gak Ong Tosu tundukkan kepala sambil bibirnya bergerak-gerak gugup.
"Sujeng kau ampunilah sutemu kali ini." Ia berkata perlahan.
"Ampuni" Gak Ong lupakah, kau akan larangan suhu dulu" Lupakah kau bahwa
sekali membunuh nyawa tidak berdosa maka kita harus tebus dengan nyawa kita
pula" Kau tidak hanya melanggar larangan suhu, tapi kau bahkan melanggar
Koleksi Kang Zusi pantangan Yang Maha Tunggal!! Kau telah terpikat oleh pengaruh jahat, kau
mempelajari ilmu hitam, ilmu siluman, kau menjadi sejahat siluman sendiri.
Bahkan lebih jahat! Aku tahu, kau hendak penuhi syatat ilmu itu dengan makan
tiga belas jantung bayi dan menganiaya tiga belas orang gadis suci. Kau
tersesat jauh sekali, Gak Ong. Perbuatan itu terkutuk sekali dan entah sampai
kapan jiwamu akan terhukum karena perbuatan ini!!"
"Sudahlah suheng tak perlu kita bertengkar. Sekarang terangkan maksudmu,
apa yang kau kehendaki dariku?"
"Sesuai dengan sumpahmu, kita di depan suhu dulu. Kau harus ikut aku
pulang ke Lang-san, segala ilmu yang kau pelajari di sana harus kau
kembalikan dan kau harus lepaskan nyawa dari tubuhmu yang kotor itu di depan
makam suhu." Tiba-tiba sikap Gak Ong Tosu berubah beringas. "Enak saja kau bicara!
Apakah kau anggap ayam saja demikian mudah menyerah hendak kau sembelih" Ha,
ha! Gak Bong kalau kau sudah lupakan perhubungan suheng dan sute, biarlah
kita menjadi musuh. Aku tidak takut padamu. Kau baru boleh bawa aku ke Lang-
san kalau kau mampu kalahkan aku!"
"Aku tahu kau akan membangkang, Gak Ong! Tapi baik hidup maupun mati kau
harus ikut aku ke Lang-san!"
"Kaulah yang akan mampus di sini!" Gak Ong berteriak keras dan maju
menubruk. Gak Bong berkelit dan sebentar lagi Giok Cu hanya melihat dua
bayangan berputar-putar bagaikan menjadi satu hingga biarpun matanya telah
terlatih namun tetap ia tak dapat bedakan mana Gak Ong, mana Gak Bong! Giok
Cu rasakan matanya menjadi kabur dan kepalanya pening hingga terpaksa ia
lepaskan pandangan matanya dari mereka. Ketika ia memandang kembali ternyata
mereka telah lenyap dan ia hanya mendengar suara Gak Ong Tosu berseru:
"Gak Bong! Kalau kau memang gagah, datanglah ke Kwie-san!"
Dari jauh Giok Cu mendengar jawaban Gak Bong Tosu! Tunggulah saja,
manusia sesat, saatmu pasti akan tiba!"
Kemudian keaadaan menjadi sunyi dan Giok Cu berada seorang diri di hutan
itu. Ia memandang ke atas sambil termenung ia melihat bulan-bulan terang
berjalan-jalan di atas mega. Pikirannya making bingun. Yang masih berat
menekan pikirannya ialah kenyataan bahwa Bu-eng-cu Koay-hiap bukan Souw Thian
In! Thian In adalah murid Gak Bong Tosu, sedangkan tadi ia mendengarnya bahwa
Gak Bong Tosu tidak menyebut nama pemuda penolongnya itu sebgai murid!
Sedangkan Bu-eng-cu juga tidak menyebut guru kepada Gak Bong Tosu. Siapakah
pemuda itu" Siapakah Bu-eng-cu Koay-hiap" Mengapa selalu menolongnya" Dan
kenapa setelah menolong selalu tidak mau memperlihatkan diri"
Dengan pikiran dan tubuh lemas Giok Cu pungut kedua senjatanya yang
terlepas dari pegangan ketika ia lepaskan dari totokan tadi, lalu ia berjalan
kembali ke kota Hay-tin. Ketika memasuki kota, maka ia disambut oleh para
ahli silat dengan tercengang keheranan, tapi penuh kegembiraan bahwa nona
pendekar itu ternyata tidak mengalami bencana seperti yang mereka
khawatirkan. Lebih-lebih guru silat Kwa. Ia menyambut Giok Cu dengan seribu satu macam
pertanyaan. Giok Cu hanya menjawab singkat:
"Siluman itu telah terusir pergi oleh orang yang lebih pandai darinya.
Bahkan aku pun ditolong olehnya. Kini jangan kalian ikut lagi, siluman itu
takkan kembali ke sini. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia tinggalkan kota itu, diantar oleh
para penduduk yang berterima kasih kepadanya. Ia menuju terus ke utara,
melalui bukit dan hutan. Pada suatu hari, ia sampai di kota An-ting. Kota ini letaknya di daerah
pegunungan, dengan sebelah timur mengalir sungai Huang-ho yang terkenal dan
di sebelah utara berdirilah Tembok Besar ban-li-tiang-sia dengan megahnya
sebagai lambang kekuatan Tiongkok.
Karena kota itu tidak terlalu besar, maka terpaksa Giok Cu harus merasa
puas mendapat kamar dalam sebuah rumah penginapan yang sederhana. Ia melihat
bahwa keadaan kota itu d alam suasana gembira. Maka ia minta keterangan
kepada pelayan yang menuturkan dengan wajah berseri:
Koleksi Kang Zusi "Kownio, kau beruntung sekali masuk ke kota ini pada hari ini, karena
selama tiga hari berturut-turut dan mulai hari ini, patung Kwan Im dari Kwan
Im-bio di kota ini akan diarak menuju ke bukit Ho-san di mana telah dibangung
sebuah bio baru untuk Kwan Im Pouwsat. Banyak tontonan akan diadakan di
antaranya barongsay dan tari liong."
Girang hati Giok Cu mendengar itu karena sudah lama ia tidak melihat
keramaian dan hiburan. Maka dengan hati senang ia keluar dari kamar dan
melihat-lihat. Banyak tontonan dimainkan orang di kota itu. Bahkan ada
serombongan tukang silat yang mempertontonkan kepandaiannya di sebuah
panggung. Suara tambur gembreng menulikan telinga.
Sebagai seorang ahli silat tentu saja panggung inilah yang paling menarik
hati Giok Cu. Ia berdiri di tempat yang enak dan melihat dengan penuh
perhatian. Tapi ia kecewa karena pemain-pemain silat yang mempertunjukkan
kepandaian mereka itu hanyalah orang-orang biasa saja.
Tapi ketika mereka itu mundur dan lari dari belakang, loncat pemain
barongsay. Ia menjadi kagum. Pemain barongsay itu bergerak dengan lincah
sekali sedangkan permainan kakinya demikian gesit dan hidup seakan-akan
barongsay tulen! Pembantunya yang main di belakangnya adalah seorang anak
tanggung yang juga indah gerak kakinya. Permainan barongsay ini disambut
denga tepuk tangan riuh rendah.
Giok Cu bertanya kepada seorang kakek yang berdiri di dekat: "Lopeh,
pandai sekali pemain barongsay itu. Siapakah dia?"
Orang tua itu tersenyum kepadanya. "Ia adalah Ong Sin dan adiknya, pemain
barongsay terbaik di kota ini.
Barongsay itu mempermain-mainkan cu atau mustika yang terbuat daripada
kain membungkus bola dari bambu. Cu itu digantungkan kelenengan-kelenangan
kecil hingga ketika dilempar, digigit lalu dikejar oleh barongsay itu
mengeluarkan bunyi tang-tang-ting-ting lebih menghidupkan permainan barongsay. Memang indah permainan Ong Sin hingga diam-diam Giok Cu kagum dan
bangga karena permaian itu masih satu she dengan dia.
Tiba-tiba dari bawah panggung loncat seorang tinggi besar yang dengan
sekali tendang saja sudah membuat cu atau mustika itu terlempar ke bawah
panggung. Penonton-penonton me njadi tegang karena mereka tahu bahwa ada
orang hendak mencoba kepandaian barongsay itu! Memang di kota itu terdapat
semacam peraturan, yaitu apabila ada permainan barongsay, maka siapa saja
diperbolehkan ikut bermain seakan-akan menjadi lawan barongsay itu. Jika
orang itu sampai kena gigit sedikit saja ujung baju atau anggota badannya
maka ia dinyatakan kalah. Tapi sebaliknya jika ia dapat cabut jambul sutera
di kepala barongsay itu, ia dianggap menang atau gagah. Harus diketahui bahwa
pemegang ekor atau pembantu pemain barongsay itu boleh membantu kepalanya dan
boleh mengeroyoknya. Telah banyak orang gagah mencoba untuk mencabut jambul di barongsay yang
dimainkan Ong Sin. Tapi mereka gagal semua dan dikalahkan, hingga pemain
barongsay Ong Sin yang muda itu menjadi terkenal dan dianggap pemain yang
terbaik dan terpandai. Sudah lama juga tak seorangpun berani coba-coba lagi,
tapi tak disangka kini ada orang tinggi besar itu yang loncat menantang. Yang
membuat para penonton tidak senang ialah cara orang itu menantang. Biasanya
jika ada orang hendak mengajak bermain ia loncat dan cepat ambil bola cu itu
lalu diangkat tinggi di atas kepala, baru dilemparkan ke arah penonton untuk
menyimpannya sebentar. Tapi orang tinggi besar itu dengan kurang ajar sekali
menendang begitu saja hingga cu terlempar ke tanah. Ini merupakan penghinaan
besar terhadap Ong Sin. Tapi ketika orang-orang memandang orang itu, mereka tidak berani mencela
karena wajah orang itu sungguh-sungguh bengis dan menakutkan. Sebaliknya Ong
Sin berlaku tenang. Ia mainkan barongsaynya dan tekuk kaki kiri ke belakang
hingga tubuhnya merendah. Gerakan ini ialah berarti memberi hormat kepada
yang datang. Tapi si tinggi besar hanya mengangguk perlahan dan berkata
keras: "Jagalah jambul dan nyawamu!"
Berbareng dengan kata-katanya ini, si tinggi besar segera loncat
menyambar jambul barongsay itu, tapi barongsay itu seperti hidup dan bermata,
dengan gesit sekali ia berkelit dan kepalanya bergerak memutar hendak
Koleksi Kang Zusi menggigit lengan si tinggi besar yang menjadi kaget dan tidak menyangka akan
gerakan secepat itu hingga ia buru-buru loncat ke belakang! Para penonton
bersorak memuji. Si tinggi besar kini bergerak dengan hati-hati. Kini ia gerakkan tangan
dan kakinya menyerang dengan hebat. Penonton menjadi cemas ketika melihat
betapa orang itu berlaku curang, tidak hanya bergerak hendak merampas jambul
semata-mata, tapi bahkan menyerang Ong Sin dengan hebatnya! Jelas sekali
bahwa orang itu mengandung maksud baik. Sebentar saja mereka bertempur betul-
betul biarpun Ong Sin masih berada dalam barongsay! Ong Sin bergerak dengan
mengagumkan sekali dan dia tidak hany adapat hindarkan tiap serangan dengan
baik, bahkan beberapa kali hampir berhasil menggigit ujung baju si tinggi
besar. Pada suatu saat ketika si tinggi besar menyerang ke arah dada barongsay
itu loncat secepat kilat ke samping dan anak yang pegang ekorpun ikut
meloncat, kemudian dengan sekali saut gigi barongsay itu berhasil menyangkut


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujung baju si tinggi besar! Tentu saja penonton menjadi gembira dan bersorak
sambil menyatakan bahwa si tinggi besar telah kalah. Tapi tidak dinyana bahwa
dalam kekalahannya, si tinggi besar masih mau bertindak curang. Ia berseru
keras dan tangan kanannya yang merdeka mengayun pukulan keras ke arah kepala
barongsa di mana tersembunyi kepala Ong Sin! Semua orang berseru kaget, tapi
pada saat berbahaya itu Ong Sin masih sempat berkelit sambil melepas
barongsaynya yang terpukul hancur! Juga adiknya yang pegang ekor lalu loncat
menyingkir. Si tinggi besar yang merasa malu dan marah terus saja menyerang
kepala Ong Sing dengan nekad.
Pada saat itu Giok Cu sudah tak dapat menahan marahnya lagi, apa pula
ketika dilihatnya Ong Sin adalah seorang muda yang kurus dan pucat sedangkan
adiknya paling baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Timbul wataknya
hendak menolong yang tertindas. Sekali ayun tubuh ia telah berada di atas
panggung dan sambil berseru keras, pegang lengan Ong Sin dan terus dibawa
loncat ke bawah. Di situ ia lepaskan pemuda itu dan tanpa berkata apa-apa,
tubuhnya melesat ke atas panggung lagi menghadapi si tinggi besar.
"Orang liar dari manakah kau maka datang-datang hendak menghina orang"
Kau kira hanya kau seorang yang gagah dan berani" Giok Cu menegur penasaran
dan memandang dengan mata bersinar.
Si tinggi besar balas memandang dengan heran, tapi ia tidak berani
pandang rendah karena barusan ia telah lihat kegesitan dan tenaga Giok Cu. Ia
duga bahwa gadis itu tentu seorang ahli silat, maka ia hendak menanyakan
namanya dan nama partainya untuk menggertak:
"Aku murid Kwie-san-pay dan punya urusan pribadi dengan si sombong Ong
Sin. Kau siapa berani ikut campur urusan anak murid Kwie-san-pay?" Mendengar
nama Kwie-san-pay disebut-sebut para penonton menjadi gelisah karena mereka
sudah kenal akan kelihaian dan keganasan golongan ini. Tapi Giok Cu menjadi
makin marah mendengar nama ini disebut-sebut.
"Pantas, pantas! Guru-gurunya siluman, anak muridnya tentu setan
pejajaran!" perduli kau dari Kwie-san-pay atau dari mana saja, di depan
nonamu kau tidak boleh berlaku sesukamu menghina orang mengandalkan
kepandaian sendiri. Pergi kau dari sini sebelum mati konyol di tangan Pek I
Lihiap!" Kembali terdengar suara-suara sambutan dari penonton karena di
antara mereka banyak yang telah mendengar nama pendekar wanita itu.
Juga si tinggi besar agaknya terkejut, tapi ia tetapkan hatinya karena
paman gurunya di bawah panggung. "Bagus, mari kau coba anak Kwie-san-pay!" Si
tinggi besar lalu cabut golok yang terselip di punggungnya. Giok Cu dengan
tangan kiri lolos sabuk suteranya yang berwarna kuning. Dengan gerak-gerakkan
tangan sabuknya melingkar-lingkar dan menyambar bagaikan seekor ular yang
indah gerak geriknya. Murid Kwie-san-pay itu putar golok menyerbu, tapi
serangannya dapat dikelit dengan mudah oleh Giok Cu yang balas menyerang
dengan sabuknya. Karena marah, nona itu hendak memberi hajaran dulu sebelum
menjatuhkan lawannya. Maka berkali-kali ujung sabuknya merupakan cambuk yang
berbunyi nyaring mencambuki tubuh di leher, dada, pinggang dan punggung
hingga pakaian si tinggi besar menjadi robek di sana sini dan kulitnya pecah-
pecah mengalir darah! Penonton bersorak girang dan puas melihat orang kasar
Koleksi Kang Zusi itu dihajar habis-habisan oleh Pek I Lihiap! Setelah merasa cukup, Giok Cu
gerakkan sabuknya membelit golok lawan dan sekali sendal saja golok itu
terlepas dari pegangan lawan dan melayang ke arahnya. Dengan tenang ia
gunakan tangan kanan menangkap golok hingga senjata itu pindah tangan!
Sebelum lawannya hilang keheranannya, ia gerakkan kaki menendang hingga tubuh
tinggi besar itu terlempar ke bawah panggung.
Kemenangan ini disambut dengan tepik serak riuh, tapi pada saat itu dari
bawah panggung keluar seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah
pucat. Ia bukan lain ialah Hoan Tian-cu, tokoh di rumah Giok Cu! Diam-diam
Giok Cu terkejut melihat munculnya tosu ini karena ia pernah menyaksikan ilmu
kepandaian pendeta itu dan merasa bahwa kepandaian sendiri masih belum cukup
untuk melawannya. Hoan Tian-cu tersenyum mengejek dan memandang kepada Giok
Cu. "Bagus, bagus! Tidak tahunya Pek I Lihiap yang terkenal gagah itu tak
lain adalah kau. Bukankah kau anak perempuan dari Ong Kang Ek" Bagaimana
ayahmu?" Biarpun sedang marah Giok Cu merasa sedih juga ditanya tentang ayahnya,
tapi ia menjawab dingin: "Ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang
lalu. Hoan Tin-cu menghela napas. "Sayang....sayang....kemudian ia seperti
teringat akan sesuatu. "O ya, hmmm...mana mana suamimu?"
Tak senang Giok Cu mendengar ini. "Apa maksudmu totiang?"
Hoan Tin-cu memperlihatkan lagi senyumnya yang tidak manis. "Bukankah
dulu diadakan sayembara pilih mantu dan yang berhasil adalah Souw Thian In
murid Gak Bong Tosu mana dia" Apa dia juga turut datang" Telah lama aku
menantinya! Kalau dia datang, suruhlah dia saja keluar!"
"Totiang, jangan kau menghina orang! Siapa yang menjadi isteri orang"
Pendeknya jangan kau banyak cakap, apa maksudmu naik ke sini" Apakah kau
hendak membeli anak murid partaymu yang kurang ajar tadi?" Karena marahnya
Giok Cu tak kenal arti takut dan menantang tosu tadi!
Mula-mula Hoan Tin-cu terheran mendengar pengakuan itu, kemudian ia
tertawa. "Ah, galak benar kau dan pemberani pula. Kau kira akan dapat
melawanku" Nah, untuk percobaan, kau terimalah pukulan ini!" Hoan Tin-cu
tanpa gerakkan kedua kakinya lalu pukulkan tangan kanannya ke depan. Walaupun
jarak antara dia dan Giok Cu ada kira-kira setembok, namun angin pukulannya
mengancam hebat ke arah gadis itu! Pada saat itu dari bawah panggung
berkelebat bayangan biru dan seorang pemuda baju biru berseru: "Hoan Tin-cu
totiang! Tidak malukah menghina orang perempuan" Kau tadi mencari aku, inilah
aku sudah datang!" Secepat kilat, pemuda itu gunakan lengan tangannya menolak pukulan Hoan
Tin-cu. Walaupun tangannya tidak bentrok dengan tangan pemuda itu, namun
angin pukulannya telah berhasil membentur dan mengembalikan pukulan tosu tadi
itu! Ketika Giok Cu menengok, hampir saja ia berteriak girang, yang datang di
atas panggung bukan lain ialah Souw Thian In!
"Engko Thian In!" tak terasa bibirnya memanggil nama itu, tapi yang
keluar dari mulutnya hanya bisikan perlahan. Thian In menengok dan
memandangnya dengan tersenyum simpul!
"Nona, tak kusangka kita akan bertemu di tempat ini." Kemudian pemuda itu
kembali menghadapi Hoan Tin-cu dan berkata:
"Nah, totiang. Kita sudah berhadapan, silahkan kalau kau hendak memberi
pengajaran kepadaku!"
Hoan Tin-Cu orangnya memang cerdik dan licin. Dari tangkisan tadi ia tahu
bahwa dalam beberapa bulan ini rupanya anak-muda itupun melatih dan ilmu
kepandaiannya bertambah. Kalau sampai dikalahkan lagi di panggung ini dengan
ditonton oleh semua penduduk kota itu, maka tidak saja namanya akan merosot,
tapi nama baik partainya juga akan runtuh dan ia tentu akan mendapat teguran
suhengnya. Maka sambil paksakan diri berlaku sabar dan tersenyum ia berkata:
"Anak muda, kau benar-benar pegang janji. Tapi kita janji akan bertemu
pada permulaan musim Chun, bukan" Nah, datanglah ke sana setengah bulan lagi,
tentu pinto akan menyambutnya dengan baik-baik!"
Koleksi Kang Zusi "Haruskah aku datang seorang diri?" tanya Thian In.
"Kau takut" Boleh bawa kawan kalau takut!" menyindir Hoan Thian Cu hingga
Thian In menjadi gemas sekali.
"Akupun ada janji dengan suhengmu Gan Tin-cu! Kami akan datang bersama!"
Giok Cu mendahului. Baik Hoan Tin-cu maupun Thian In heran mendengar ini,
tapi pendeta itu lalu tertawa.
"Baik-baik, nah, sampai berjumpa pula setengah bulan yang akan datang di
Kwie-san!" Kemudian ia loncat turun dan pergi.
"Engko Thian In, kau...."
"Nona Ong..." Mereka tak dapat berkata-kata, hanya saling pandang dengan
terharu di atas panggung. Pada saat mereka mau turun, tiba-tiba tampak
serombongan orang yang berpakaian sebagai hamba negeri mencegah. Yang
mengepalai rombongan itu adalah seorang setengah tua yang berkata sambil
menjura kepada Giok Cu: "Maaf, lie-enghiong, kami persilahkan kau ikut dengan
kami ke kantor tihu."
"Eh, eh, apakah kehendak kalian" Apakah kalian hendak menangkap aku" Apa
salahku?" "Hal itu kami tak dapat menerangkan karena hanya menjalankan tugas. Kami
hanya diperintah dan inilah surat perintah itu. Anggota-anggota polisi yang
lain berdiri dengan angker dan gagah, sikap mereka menunjukkan bahwa mereka
berdisiplin. Giok Cu memandang surat perintah itu sejenak dan ia mendapat kenyataan
bahwa benar-benar tihu di situ memerintahkan supaya ia dipanggil menghadap ke
kantor. Ia heran dan memandang kepada Thian In.
"Lebih baik kau ikut saja, biarlah akupun pergi dan jika perlu kudapat
menjadi saksi, yakni kalau hal ini ada hubungannya dengan pertempuran tadi,"
kata pemuda itu. Mereka berdua lalu dibawa ke kantor tihu. Tihu di kota itu adalah seorang
tua yang kelihatan jujur dan peramah. Setelah mempersilahkan Giok Cu dan
Thian In duduk, tihu itu perintahkan semua anak buahnya keluar dari kantor
karena ia hendak bicara empat mata dengan tamunya.
Lihiap aku telah mendengar tentang pertempuran di panggung antara kau dan
anak murid Kwi-san-pay. Biarpun aku sendiri merasa senang mendengar bahwa
lihiap telah memberi pengajaran kepadanya, namun demi keselamatan dan
keamanan kota ini, terpaksa aku panggil lihiap datang ke sini. Karena
ketahuilah lihiap, bahwa Kiew-san-pay telah terkenal sebagai cabang
persilatan yang sangat berpengaruh dan disegani. Kalau para ketuanya
mendengar tentang terjadinya seorang anak murid mereka dipukul orang di kota
ini tan pa ada tindakan dari kami, pasti mereka merasa penasaran dan datang
mengganggu kami. Hal inilah yang kami mohon lihiap pertimbangkan.
Mendengar hal ini ketahuilah Giok Cu akan duduknya persoalan dan ia
merasa kasihan melihat tihu yang tua itu. Tak disangkanya golongan Kwie-san-
pay sampai demikian berpengaruh.
"Tak perlu kiranya tay jin berkhawatir tentanghal ini karena mereka telah
kenal dan tahu siapakah yang menghajar murid mereka. Ketahuilah, tayjin, aku
adalah Pek I Lihiap dan yang telah mereka anggap sebagai musuh. Dan saudara
ini adalah...seorang sahabat yang kebetulan juga mereka anggap sebagai musuh
pula. Maka tayjin tak perlu takut-takut dan jika mereka betul-betul berani
ganggu tayjin, katakan saja bahwa kami berdua telah ditahan dan minggat dari
tahanan. Katakan saja bahwa tayjin tidak berdaya menangkap kami. Mereka tentu
percaya." Thian In menyambung kata-kata Giok Cu. "Tayjin tak perlu takut. Aku
berani pastikan bahwa golongan Kwie-san-pay pasti tidak berani datang
mengganggu." "Namun, atas permohonan yang sangat dari tihu itu yang benar-benar takut
kepada kwie-san-pay, terpaksa Giok Cu dan Thian In menurut ketika mereka
diminta pergi malam nanti saja dan setengah hari itu mereka diminta masuk
dalam kamar tahanan di penjara!
Giok Cu tadinya menolak keras bahkan hendak marah, tapi ia disabarkan
oleh Thian In yang berkata:
Koleksi Kang Zusi Ong Siocia, bukankah hal itu baik sekali" Kita sudah lama tak berjumpa
dan banyak hal-hal yang hendak kita bicarakan. Maka marilah kita penuhi
permintaan tayjin ini, pertama untuk menolongnya, kedua kita dapat
beristirahat sambil mengobrol.
Mereka berdua berhadapan di atas bangku penjara dan Giok Cu memandang
wajah pemuda itu dengan perasaan tak karuan.
"Nona Ong tak kusang kita akan berjumpa di sini...pemuda itu tundukkan
wajahnya yang tampan ketika pandangan mata gadis itu menatapnya dengan
selidik. "Engko Thian In, kau....kenapa kau tidak hendak....bunuh lagi aku yang
hina ini" Sudah tidak marah lagikah kau kepadaku?"
Untuk beberapa lama Thian In tak dapat menjawab hanya menghela napas
berkali-kali. "Nona Ong, aku dapat bayangkan betapa kebenciannya kepadaku! Aku telah
berusaha membunuh kau dan ayahmu! Ah, aku memang orang rendah yang tak
berguna. Membalaskan sakit hati ibu tak berhasil, sebaliknya aku yang hina
telah membalas cinta kasih dan kebaikan hati ayahmu dengan pedang! Aah,
tapi... aku tak berdaya...aku harus! Aku harus bunuh ayahmu! Aku harus bunuh
dia! Nona Ong katakan, di mana dia" Di mana ayahmu, orang kejam terkutuk itu.
Tiba-tiba saja Thian In berdiri dan memandang Giok Cu dengan wajah beringas.
Giok Cu terkejut, tapi ia tidak takut. Tidak seperti dulu, ia hadapi
kemarahan. Thian In dengan kemarahan pula. Sekarang ia bahkan tutup mukanya
dengan tangan dan menangis tersedu-sedu.
"Kau hendak bunuh ayah" Bunuhlah saja aku! Kau sakit hati kepada ayah"
Biarlah aku yang menebusnya. Engkoh Thian In, kau kau bunuhlah aku, aku rela
mati di tanganmu, apalagi kalau kematianku ini untuk...menebus...sakit hatimu
terhadap ayah....." Thian In kepal-kepal tangannya dan ia bicara seperti kepada diri sendiri:
"Dulu...dulu ada dia yang melindungi kau dan ayahmu hm...kalau tidak, sudah
impasla! Sudah selesailah kewajibanku. Tapi, ah, kau bukanlah musuhku. Aku
tak menghendaki jiwamu. Aku tak dapat membunuhmu. Ayahmu itulah orangnya yang
harus kubunuh demi baktiku kepada ibu. Di mana ayahmu?"
"Ayah...ayah...telah meninggal dunia dan Giok Cu tekep mukanya lalu
menangis sedih. Thian In pucat mukanya. Berita ini mengejutkannya karena memang tidak
disangkanya sama sekali. "Meninggal dunia" Aah, mengapa" Bagaimana
terjadinya" Aku terlambat...."
Hina Kelana 39 Siluman Ular Putih 05 Istana Ular Emas Perempuan Lembah Hitam 3
^