Pencarian

Tiga Paderi Pemetik Bunga 3

Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga Bagian 3


gedung sang bupati. Nyaris saja ia ketahuan, kalau tidak ditolong oleh seorang
pemuda berbaju putih tak dikenal, yang rupanya ada di
belakungnya turut mangutip pembicaraan mereka. Ketika terdengar bentakan dari
dalam ruangan, si pemuda itu telah menyambarnya, untuk dibawa berkelebat dari
tempat itu. Pemuda itulah yang bernama
Ginanjar. Ketiga paderi segera
mengejar mereka. Namun beruntung mereka berdua dapat tempat sembunyi yang aman.
Mereka pun berpisah. Dan Mandra kembali ke rumah majikannya.
Tapi pemuda ini telah mengetahui kalau ayahnya terlibat dalam penculikan para
gadis, juga perampokan, serta
pemerasan. Karena Mandra telah
mendengarnya dari penuturan si pemuda bernama Ginanjar itu.
Di depan matanya tadi ia telah
melihat ketiga paderi palsu itu
membunuh dengan keji si wanita
bertongkat naga, dengan melalui
pertarungan yang tidak adil.
Setelah merenung sejenak, pemuda ini segera tinggalkan tempat itu.
Ternyata ia kembali menuju ke
penginapan tadi.
Terkejut Mandra, ketika melihat
Sentanu berada di depan penginapan.
Yang ternyata tengah bercakap-cakap dengan dua orang wanita.
Segera saja Mandra mengenali
akan si gadis baju merah. Karena pemuda inilah yang membantu mengubur jenazah
adik gadis itu beberapa hari yang lalu. Yaitu mayat wanita yang ditemukan di
pematang sawah. Sementara Roro Centil sudah dapat mengenali pemuda itu anak
Carik Desa, yang pernah ia melihatnya ketika sedang bertarung bicara di dekat
biara rusak tempo hari.
Segera saja Mandra menghampiri,
dan menjura hormat pada ketiganya, seraya berkata;
"Selamat berjumpa sobat Sentanu, dan nona-nona cantik...! Eh! Bolehkah aku
mengetahui siapa adanya nona ini, adik Roro Dampit ...!". Ujar Mandra seraya
melirik pada Roro Centil yang ditanya segera tampilkan senyuman, dan menyahuti,
dengan dekatkan wajahnya pada telinga Mandra.
"Eh, pemuda tolol! Apakah kau tak mengetahui kalau nona ini adalah nona Pendekar
Wanita Pantai Selatan, yang bernama Roro Centil..." Mengapa kau berlaku kurang
sopan?" Bisik si wanita baju merah;
Tentu saja bisikan itu membuat
wajah Mandra jadi berubah kaget. Dan segera saja ia menjura sekali lagi pada
Roro, seraya berkata;
"Oh! Maafkanlah aku yang bodoh ini. Hingga tak mengetahui adanya nona Pendekar
Pantai Selatan di sini...!".
Roro Centil jadi tersenyum.
Namun sudah pura-pura cemberut
memarahi si gadis baju merah. Gadis ini cuma tertawa saja. Sementara Roro Centil
sudah berkata; "Ah, sahabatku ini terlalu
menyanjung aku...sobat Mandra. Senang sekali kita dapat berkumpul...!
Bukankah begitu sobat Sentanu...?".
Ujar Roro Centil seraya palingkan kepala menatap si laki-laki berkumis kecil
itu. Sentanu cuma manggut-manggut,
dan tersenyum hambar. Agaknya ia masih mendongkol pada Mandra. Apalagi sampai
saat ini Sentanu belum bisa melacak siapa sebenarnya yang telah menodai Marni,
adik kandungnya pemuda bernama Mandra itu.
Akan tetapi wajah Mandra tiba-
tiba menampakkan perubahan mendadak.
Dan ia sudah segera berkata.
"Sobat Sentanu...! Sementara aku mencabut dulu tuduhanku padamu,
mengenai kasus adikku Marni. Ada satu berita yang perlu kusampaikan pada
kalian...!".
"Berita apakah...?". Roro Centil sudah mendahului bertanya.
Tampak Mandra menghela napas.
Mandra memang telah mengetahui kalau si wanita bertongkat yang tewas itu ada
hubungannya dengan kedua gadis ini. Karena ia memang telah melihat ketiga wanita
tersebut menginap di penginapan ini semalam. Segera saja ia menceritakan apa
yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. Terkejut Roro Dampit, seketika
wajahnya menjadi pucat mendengar penuturan Mandra yang mengatakan tentang
pertarungan seorang wanita tua bertongkat Naga dengan tiga orang paderi. Segera
saja ia telah melompat masuk ke dalam penginapan.
Di sana ia telah memeriksa
keadaan di dalam kamar, yang ternyata Gurunya si Tongkat Naga Seribu Racun sudah
tidak ada. Dan terkejut si gadis baju merah ketika melihat sepucuk surat singkat
tergeletak di meja. Dari surat itu segera ia mengetahui kalau sang Guru pergi ke
Makam Kuno, mencari jejak si pencuri Kitab Ular.
Sesaat ia telah kembali keluar.
Dilihatnya ketiga orang sahabatnya itu
masih berada di tempat. Dan tengah menatap padanya.
Tak banyak berkata, si gadis
baju merah telah segera menarik lengan Mandra. Dengan suara terisak masih sempat
berkata; "Cepat...! Tunjukkan aku di mana beliau tewasnya...".
Mandra hanya bisa mengangguk,
dan segera beranjak pergi setengah berlari diikuti si gadis baju merah.
Roro Centil dan Sentanu segera
mengikuti di belakang.
Beberapa pengunjung rumah makan, yang kebetulan melihat, cuma bisa bertanya-
tanya karena tak mengetahui mengapa keempat orang itu berlarian dengan tergesa-
gesa. Setelah melewati ujung desa, dan mengambil jalan
terdekat menuju arah Makam Kuno itu, segera telah terlihat sesosok tubuh
terkapar tak bergerak dengan tubuh bersimbah darah. Si gadis baju merah
perdengarkan jeritan menyayat, dan berlari mendahului untuk menubruk mayat
gurunya. Dan sekejap kemudian ia telah tenggelam dalam ratap tangis yang
memilukan. Setelah kematian adiknya, kini kematian sang Guru yang dicintainya.
Betapa tidak hancur hati dan perasaan gadis itu ...
Suasana kesedihan itu amat
terasa sekali pada ketiga orang yang mendengar dan menyaksikannya. Selang
sesaat, setelah tangis Roro Dampit agak mereda, Roro Centil segera
mendakati gadis itu, dan menghiburnya.
Demikianlah... akhirnya jenazah
si Tongkat Naga Seribu Racun
dikebumikan di tempat itu juga dengan upacara sederhana.
Saat itu hari telah menjelang
senja. Pelahan-lahan udara mulai menjadi agak teduh, karena sang
mentari telah tinggal sedikit lagi lenyap di balik bukit.
Keempat orang itu segera
tinggalkan tempat yang membawa
kesedihan itu ...
Mandra mengambil kesempatan
untuk mengajak mereka bermalam di rumah majikannya. Yang ternyata tak ditolak
oleh ketiga sahabat itu. Namun dipersimpangan jalan Sentanu minta izin untuk
menjemput kudanya terlebih dulu, dan berjanji akan menyusul belakangan. Semuanya
menyetujui. Demikianlah, Sentanu segera bergegas pergi dengan langkah cepat. Sementara
Mandra meneruskan perjalanannya dengan ditemani kedua gadis yang cantik-cantik
itu. Kira-kira menjelang malam baru
saja menyibak, mereka telah tiba ke tempat yang dituju. Dan beberapa saat
antaranya Sentanu pun telah menyusul.
Yang ternyata laki-laki tampak
berkumis kecil itu telah mengetahui
tempat di mana Mandra menginap, di rumah majikannya. Malam itu mereka tampak
duduk berbincang-bincang.
Ternyata ditemani dengan majikan Mandra, yang juga duduk dan turut serta
terlibat dalam pembicaraan.
Akhirnya Marni mulai dikorek
keterangannya. Atas desakan dan
bujukan Roro Centil, akhirnya adik perempuan Mandra mau juga buka suara.
Terkejutlah Mandra. Juga yang lainnya, mengetahui pengakuan Marni adalah Sang
ayah angkatnya alias laki-laki bernama Singkuti itulah, yang telah memberikan
Marni pada sang Bupati Daeng Panuluh untuk dijadikan pemuas nafsunya.
Tentu saja dengan imbalan besar.
Dan yang membuat Mandra semakin berang adalah sang ayah angkat yang sudah
dianggapnya ayahnya sendiri itu, juga menggagahi anak angkat, atau anak asuhnya
sendiri. Dan memberikan
ancaman akan membunuhnya, bila berani mengadukan hai itu pada siapa saja.
Terutama kakaknya, Mandra.
"Manusia keparat...! Aku memang sudah mencurigainya...! Benar-benar iblis yang
bermuka manusia...!" Memaki Mandra dengan geram.
Betapa marahnya Mandra sukarlah
dapat dibayangkan... Namun Roro Centil dapat segera menahannya ketika malam itu
juga Mandra akan segera mencari ayah angkatnya. Demikianlah... Akhir-
nya terbuka juga rahasia kemelut yang hampir-hampir saja menjadikan Sentanu
korban dari fitnahan keji. Ternyata si Carik Desa itulah yang telah membawa
Marni ke kamar Sentanu, yang memang jarang ditiduri.
Mandra membenamkan kepalanya
pada kedua lengannya. Tubuhnya tampak tergetar hebat. Dengan nafasnya yang
terlihat memburu. Betapa susah
tampaknya ia menenangkan hatinya yang bergemuruh. Namun selang sesaat, Mandra
sudah kembali tenang. Tak lama ia sudah bangkit, dengan sepasang matanya menatap
pada Sentanu. "Sentanu...! Maafkanlah semua kesalahanku yang terlalu mempercayai hasutan-
hasutan keji ayah angkatku.
Sehingga aku telah menuduhmu dengan serampangan...!". Berkata Mandra, seraya
mengajaknya berjabatan tangan.
Sentanu tersenyum. Lengannya cepat
bergerak untuk menjawab tangan Mandra, seraya ia berkata;
"Tak apalah Mandra...! Semua manusia mempunyai kekhilapan dan kesalahan. Semoga
kita dapat terus bersahabat sampai kapanpun ...!".
"Terima kasih, Sentanu...!".
Ujar pemuda pandai besi itu, seraya mengepal erat lengan sahabatnya, seperti
enggan melepaskan lagi.
Isteri majikan Mandra yang ramah tamah itu telah membawa lagi seteko
air kopi manis, seraya menuangkannya lagi pada gelas-gelas yang kosong.
Tampaknya suasana malam itu amat meriah. Ditambah persoalan yang selama ini
membeku, kini telah menjadi cair dengan terbukanya tabir semua
persoalan yang hampir menemui jalan buntu.
Malam pun semakin melarut juga.
Dan suasana di rumah majikan Mandra itu mulai agak sunyi dari orang-orang yang
bicara. Menjelang pagi telah terdengar
suara gaduh di sisi jalan desa. Dan banyak orang berlari-lari ke arah rumah
bengkel tempat Mandra bekerja.
"Ada apakah...?" Berkata Mandra dengan terkejut. Ia baru saja terjaga dari
tidurnya, karena sampai lewat tengah malam, pemuda ini tak dapat memicingkan
matanya. Dan baru bisa tidur setelah mau menjelang pagi.
Terkejut pemuda ini ketika mengetahui tak ada orang di rumah. Dan suara ribut-
ribut di sisi jalan itu
mengundang pertanyaan. Segera saja ia telah melompat untuk berlari memburu ke
arah bengkelnya. Terlihatlah banyak orang berkerumun di sisi tembok
bengkelnya. "Ada apa...!" Ada apa ...!?".
Teriak Mandra, seraya menyeruak masuk di antara kerumuman orang. Betapa
terkejutnya pemuda ini melihat sesosok
tubuh yang terbujur tak bergerak dengan sepasang mata membeliak keluar.
Dan terlihat pada bagian dadanya sebuah lubang bekas tusukan senjata tajam,
dengan darah yang hampir
mengering. Sedang di atas perutnya terlihat sebuah topeng muka berwarna hitam,
tergeletak. Yang membuat Mandra amat terkejut adalah mayat laki-laki itu tak
lain dari mayat Carik Desa, alias Sengkuti atau ayah angkatnya sendiri.
Sementara di tembok bengkelnya
terdapat surat bertulisan :
Manusia tidak bermoral ini
memilih jalan hidupnya dengan kematian!
Dia terlibat dengan enam kali perampokan, sembilan kali pemerkosaan dan delapan
kali pemerkosaan, yang mencemarkan nama baik kepemimpinan Bupati Ki Ageng
Panuluh. Senapati Kerajaan Medang
Wi RAPATI Tercenung Mandra membaca tulisan dari surat yang bertanda tangan
Senapati Kerajaan itu. Sementara seseorang telah menepuk pundaknya.
Ternyata Sentanu.
"Sudahlah Mandra, mari kita segera urusi mayat ayah angkatmu
ini...!". Berkata Sentanu. Mandra palingkan kepala ke beberapa arah, ternyata
Roro Centil, dan si gadis baju merah Roro Dampit, serta adiknya Marni telah
berada di tempat itu. Juga kedua suami istri majikannya.
Pemuda ini anggukkan kepala.
Walaupun ia amat membenci sang ayah angkatnya ini, akan tetapi tetap saja ia
bersedih hati. Karena tak menyangka sang ayah telah menjadi utusan orang-orang
Kerajaan. Dan telah menjadi intaian yang berwajib selama ini.
Bahkan sampai senapati Wirapati turun tangan.
Dilihatnya Marni, sang adik
tengah terisak dipeluk oleh si
Pendekar Wanita Roro Centil. Setelah menatap sejenak, segera ia menyuruh semua
orang yang berkerumun itu bubar.
Dan dengan cepat ia telah segera pondong tubuh Carik Desa itu, dan dibawanya
bergegas dengan langkah cepat menuju ke rumah majikannya. Roro Centil dan yang
lainnya segera mengikuti dari belakang.
Keadaan yang ramai di sisi jalan itu pun mulai kembali sepi. Cuma tinggal
beberapa orang yang masih bercakap-cakap di seberang jalan desa,
memperbincangkan kejadian itu. Akan tetapi penduduk desa telah menjadi tahu
kalau Carik Desanya ternyata adalah seorang yang berkelakuan tidak
baik. Dan memuji tindakan Senapati Kerajaan Medang yang turun tangan menumpas
kejahatan manusia yang bagai musang berbulu ayam itu. Namun hanya sebagian
penduduk saja yang cuma menganggap sang Carik Desanya yang berbuat kesalahan dan
menjadi biang kerusuhan selama ini. Karena sebagian lain dari penduduk telah
mulai mencium jejak adanya tiga orang paderi palsu, yang juga bergentayangan
menyebar kejahatan.
Tentu saja mereka tetap kurang
puas, karena belum adanya berita tentang ketiga paderi palsu itu. Di antara
desas-desus penduduk yang kurang puas itu, ternyata Mandra lebih-lebih kurang
puas. Karena ia merasa Bupati Daeng Panuluh terlibat dalam urusan itu. Tapi
mengapa sampai saat ini tak ada berita mengenai diambilnya tindakan pada sang
Bupati itu" Bahkan sampai beberapa hari ini sang Bupati tampak mulai sering
kelihatan berkeliling desa-desa dengan menunggang kuda. Dengan beberapa pengawal
Kerajaan di belakangnya.
Dengan sikap seperti seorang yang amat berwibawa.
Tentu saja di setiap tempat,
penduduk mengangguk hormat. Apa lagi ketika suatu hari berkeliling dengan
berkuda, bersama sang Senapati Wira Pati. Pasar-pasar yang ramai penuh
dengan orang yang memenuhi jalan itu, segera menjadi terkuak untuk mareka segera
menyingkir ke tepi, ketika kedua pembesar Kerajaan ini akan lewat.
Sementara dari kerumunan para
pedagang dan pembeli, sepasang mata menatap tajam pada sang Senapati yang


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwajah angker dan tampak angkuh itu.
Itulah sepasang mata Sentanu.
Bekas seorang perwira Kerajaan Medang.
Laki-laki ini gerakkan topi tudungnya untuk menutup wajahnya, ketika kedua orang
penting itu lewat di hadapannya.
Dan ia sudah membuka lagi topi
tudungnya, ketika mereka sudah
melewati tempat itu. Wajah laki-laki ini tampak memerah padam memandang punggung
kedua manusia yang lewat itu.
Lalu tak lama kemudian, segera
berlalu meninggalkan pasar yang
kembali ramai itu.
Tentu saja Sentanu mengetahui
akan tingkah laku dan akhlak sang Senapati Wirapati pamannya itu. Yang
sebenarnya Wira Pati adalah adik tiri dari almarhum ibunya. Sejak Wira Pati
masih menjabat Tumenggung, Sentanu sudah melihat akan watak-watak buruk laki-
laki itu. Entah mengapa tampaknya Wira Pati seperti membencinya. Apakah karena
ayahnya semasa masih hidup, dan masih menjabat sebagai Senapati
Kerajaan Medang sering menasihatinya.
Karena memang baik Sentanu maupun ayahnya sering memergoki Tumenggung Wira Pati
di tempat-tempat pelacuran dan perjudian.
Bahkan perbuatannya sudah tak
layak dilakukan oleh seorang
Tumenggung. Yang seharusnya memberi pengarahan pada rakyat, tapi justru dia
sendiri tenggelam dalam arus kemaksiatan. Untunglah sang ayah seorang yang
bijaksana, dan masih memandang adanya tali persaudaraan, hingga kelakuan-
kelakuan buruk Tumenggung Wira Pati tak dilaporkan pada Raja.
Yang membuat Sentanu tak
mengerti adalah tugas menyerang
pemberontak di utara, yang menyebabkan kematian sang ayah. Ternyata
belakangan baru diketahui oleh Sentanu kelau tak ada surat perintah dari Raja
untuk ia memimpin anak buahnya
menyerang ke sana. Sayang orang yang mengetahui rahasia surat perintah palsu itu
justru telah tewas oleh segerombolan perampok, yang tiba-tiba menyerang
rumahnya. Di samping ludas seluruh harta bendanya, juga keluarga Perwira sahabat
Sentanu itupun dibantai habis. Sehingga Sentanu tak punya bukti untuk menuduh sang paman.
Sejak diangkatnya Wira Pati
menjadi pengganti ayahnya sebagai Senapati Kerajaan, Sentanu tak lama
segera mengundurkan diri dari
keprajuritan. Ia kembali ke desa, di mana sang ibunya hidup dengan segala
kesederhanaan. Akan tetapi sangat mendongkol Sentanu, karena ada desas-desus
dari penduduk bahwa
keluarnya ia dari keprajuritan adalah karena dipecat. Bahkan tewasnya sang ayah
di medan pertampuran, justru yang didengarnya dari penduduk malah karena
dianggap memberontak pada Raja. Dan sang ayah diberitakan penduduk telah mati di
tiang gantungan.
Hal itulah yang membuat Sentanu
tak habis mengerti. Hingga ia jarang berdiam di rumah, karena ia enggan
menghadapi wajah wajah sinis semua tetangganya. Kasihan sang ibundanya, yang tak
kuat menahan perasaan
berlarut-larut, akhirnya jatuh sakit.
Apa lagi mendengar Sentanu terlihat dengan kasus pemerkosaan.
Wanita malang itu kini telah
meninggal dunia. Dan Sentanu merasa perlu untuk mengungkap kasus yang telah
menyeret dirinya. Kini kasus itu sedikit demi sedikit telah mulai terungkap.
Cuma satu hal yang masih menjadi teka-teki bagi Sentanu. Yaitu siapakah
manusianya yang telah
mencemarkan nama baik keluarganya itu..." Ia memang mencurigai pamannya sendiri
yaitu Senapati Wira Pati.
Namun Sentanu memang tak dapat
berbuat apa-apa. Ia telah menjadi rakyat jelata. Berurusan dengan Wira Pati sama
dengan berurusan dengan pihak Kerajaan. Harga diri dan
martabatnya telah cemar di tempat tinggal almarhum orang tuanya. Sentanu
merasakan hidupnya penuh dengan
kehambaran. Seolah tiada lagi gairah untuk hidup. Akan tetapi tak sampai membuat
Sentanu putus asa. Cuma ia bertekad untuk secepatnya pergi
tinggalkan desanya. Dan entah ke mana tujuannya, ia sendiri tak mengetahui.
Demikianlah... laki-laki ini
berjalan dengan gontai. Topi tudungnya ia benamkan dalam-dalam di kepalanya.
Cuma sepasang matanya saja yang
terlihat menatap tanah. Memandang ujung-ujung kakinya yang menyusuri jalan-jalan
setapak ... Mandra yang merasa kurang puas,
dengan tidak diambilnya tindakan pada si Bupati Daeng Panuluh, telah
langkahkan kakinya menuju ke arah gedung Kadipaten. Sengaja pemuda ini mengambil
arah memutar, melalui jalan setapak.
Kira-kira separuh lagi perja-
lanan, ia mendengar derap suara kaki kuda yang jauh di belakangnya. Cepat sekali
pemuda ini berkelebat untuk sembunyi. Ingin sekali ia melihat siapakah gerangan
si penunggang kuda di belakangnya itu, yang sebentar lagi
akan melewati jalan setapak ini.
Tak lama kemudian segera
terlihat seorang penunggang kuda, dengan pakaian gemerlapan. Dari sutra kuning
dan hijau. Ikat kepalanya memakai perhiasan berukir dibagian depan. Tampak
berkibaran mantel
berbulu, yang indah di belakang
punggungnya. Sekelebat saja Mandra telah mengetahui laki-laki penunggang kuda
yang berusia 40 tahun itu adalah Senapati Wira Pati.
Ternyata laki-laki itu
menjalankan kudanya tidak terlalu cepat. Sebentar kemudian telah
melewati dimana Mandra bersembunyi.
Sepasang mata pemuda ini
memperhatikannya hingga jauh. Terlihat di belakang punggung Senapati ini
terselip sebuah tombak pendek yang digubat dengan kain sutera merah, yang
berkibaran tertiup angin.
"Hah...!" Mau ke mana Senapati itu...?". Gumam Mandra. Seraya ia sudah beranjak
untuk diam-diam
membuntutinya. Demikianlah, pemuda itu segera
menguntitnya dengan hati-hati. Karena ia yakin sang Senapati itu pasti seorang
yang berilmu tinggi.
Ternyata tujuannya adalah rumah
gedung sang Bupati Daeng Panuluh.
Sebentar kemudian ia telah
memasuki pekarangan yang luas itu. Dua
orang penjaga segera menjura hormat.
Dan menuntun kuda sang Senapati untuk segera ditambatkan. Di pintu masuk kembali
seorang penjaga menjura, dan mempersilahkan Pembesar Kerajaan itu memasuki
ruangan pendopo.
Tampaknya ruangan depan itu
sunyi. Wira Pati terlihat mengerutkan alisnya. Ketika tak lama muncul
seorang pembantu wanita dari dalam, yang segera menghampiri dengan
membungkuk-bungkuk.
"Ke mana Ndoromu...!?". Bertanya Wira Pati. Wanita tua itu menghaturkan sembah
seraya berkata;
"Ampun Ndoro Gusti Senapati...
Anu...Ndoro Panuluh sedang tidak ada.
Beliau belum lama pergi berkuda...!
Silahkan duduk Ndoro Gusti Senapati.
Mungkin sebentar akan kembali...!".
Ujar si pembantu wanita tua itu, seraya kemudian mengundurkan diri kembali ke
belakang. Senapati Wira Pati tak berkata
sepatahpun. Segera ia beranjak untuk duduk di kursi tamu. Sepasang matanya
tampak memandang ke segala penjuru, seperti meneliti ruangan yang besar itu.
Angin yang bertiup agak keras telah masuk ke dalam ruangan,
menyingkapkan tirai-tirai kain
jendela. Udara tampak agak sejuk.
Laki-laki ini membuka belahan bajunya sebatas pusar. Dan letakkan tombak
pendek yang selalu dibawanya itu di atas meja. Lalu terdengar ia menghela napas.
Tapi sepasang matanya jadi menatap tertegun, melihat sebuah betis yang
tersingkap dari sesosok tubuh yang menggeletak di pembaringan.
Angin keras yang menyeruak masuk dari jendela tadi telah menyingkapkan kain
tirai penutup kamar, yang
pintunya terbuka. Sehingga pemandangan yang sekilas itu telah tidak luput dari
tatapan Wira Pati. Tentu saja sepasang matanya jadi berkilatan. Dan segera saja
ia sudah tampakkan
senyumnya. Seraya sudah beranjak bangun berdiri. Lalu langkahkan kaki menuju
kamar. Kain tirai itu
disibakkan, lalu sekejap sudah
tertutup lagi. Tubuh Senapati itupun lenyap di balik tirai kamar. Sementara si
pembantu wanita tua telah sembulkan kepalanya di balik pintu ruangan belakang.
Dengan menatap pada tempat duduk tamu yang kosong.
Lalu buru-buru kembali ke
belakang menemui kawan pembantunya.
Dan tampak ia berbisik-bisik pada wanita kawannya.
Sang kawan cuma bisa belalakkan
matanya. Lalu terlihat ia
membentangkan lengannya, seperti merasa tak mampu berbuat apa-apa.
Selanjutnya mereka sudah kembali bekerja. Walau sesekali melirik ke
ruangan depan. Namun tempat duduk tamu itu masih tetap saja kosong.
Wira Pati terpaku memandang
sesosok tubuh yang tergolek di
hadapannya. Ternyata seorang gadis berparas cantik. Bagaikan sekuntum bunga yang
menunggu sang kumbang untuk siap dihisap madunya. Sepasang mata laki-laki ini
sudah segera menelusuri lekuk-liku sang tubuh yang terbungkus selembar kain
sutera tipis itu.
Seperti seekor serigala yang
melihat mangsa di hadapannya, sang Senapati telah menelan air liurnya.
Lengan sang senapati telah terjulur untuk menyibak kain selimut pembungkus tubuh
mulus itu. Tampak terdengar gadis itu mengeluh, seperti mengerang.
Lalu terdengar mendesis. Agaknya seperti baru tersadar dari tidurnya.
Kelopak matanya tampak mulai bergerak untuk terbuka sedikit. Namun seperti sukar
ia membuka seluruhnya. Bahkan tampak ia berusaha menggerakkan tubuh dan
lengannya. Terkejut juga sang Senapati, yang kemudian baru sadar kalau gadis itu
dalam keadaan tertotok. Segera ia telah gerakkan lengan-
nya membuka totokan. Yang kemudian barulah gadis itu mampu gerakkan tangan dan
kakinya. Pantas...!
Menggumam Wira Pati dalam hati. Gadis ini pasti telah disediakan buatku.
Tapi ia sengaja telah menotoknya, agar tak menyulitkan. Ha ha ha ... si Daeng
memang pandai memilihkan yang baik untukku...! Berkata Wira Pati dalam hati.
Tiba-tiba ia telah beranjak mendekati meja. Lengannya menyambar sebuah mangkuk
yang telah kosong.
Sekejap ia telah mencium pinggiran atas cawan itu seperti tengah
memeriksa dengan penciumannya. Sesaat ia telah letakkan lagi cawan itu, dan
beranjak mendekati sang gadis.
Selanjutnya tiba-tiba ia telah
bungkukkan tubuh. Kepalanya terjulur ke dekat wajah gadis itu. Ternyata ia
tengah mengendus ke atas bibir sang gadis. Lalu terlihat ia tersenyum.
"He he... pantas! Ia telah
dijejali ramuan hebat dari si paderi bernama Kuti itu. Agaknya ia memang telah
menyiapkan segalanya untukku...!". Mendesis Wira Pati. Dan tiba-tiba ia telah
segera meniadakan apa yang melekat di tubuhnya. Dan
membersihkannya sama sekali. Terdengar suara merintih tatkala gadis ini
menggeliat. Sepasang matanya setengah terkatup dan setengah terbuka.
Sementara desah angin telah
kembali menyibak tirai dengan keras, hingga terlepas. Seekor laba-laba yang
tengah membuat sarang segera bergerak cepat menangkap mangsanya, ketika seekor
lalat terjerat pada perangkap
yang telah dibuatnya.
Senapati Wira Pati meneguk arak
yang telah disediakan di atas meja.
Tampak ia bangkit berdiri dan
memanggil pembantu wanita tua itu, yang tampak tongolkan kepalanya di pintu
ruangan belakang.
Bergegas dengan terbungkuk-
bungkuk wanita pelayan ini menghaturkan sembah pada sang Senapati, yang segera
berujar; "Katakan pada Ndoromu bahwa aku datang. Agaknya aku harus segera kembali, karena
ada tugas lain senja ini yang perlu kuselesaikan. Sampaikan terima kasihku
padanya!" "Baik, Ndoro Gusti Senapati..!".
Menyahuti si wanita tua.
Selesai berkata, Wira Pati sudah segera menyelipkan kembali Tombak pendeknya ke
belakang punggung. Dan segera beranjak keluar.
Pembantu wanita ini mengantarnya dari belakang. Lalu menutupkan kembali pintu
ruangan. Seorang penjaga yang berdiri di muka pintu pendopo, telah melihat
keluarnya sang Senapati ini segera cepat-cepat menjura hormat.
Wira Pati cuma anggukkan kepalanya.
Lalu bergegas menuju keluar. Seorang penjaga telah membawakan ke hadapannya kuda
tunggangannya. Sementara seorang lagi tetap berdiri di pintu masuk halaman
gedung. Selang sesaat sang
Senapati ini telah melompat ke atas kuda. Dan selanjutnya memacunya dengan cepat
keluar dari halaman Kadipaten.
Dua penjaga itu memberinya jalan, seraya lakukan penghormatan dengan bungkukkan
tubuh mereka. Sekejap antaranya Wira Pati
telah memacu kudanya dengan cepat, tanpa menoleh lagi ke belakang. Pada wajahnya
tampak tampilkan senyum kepuasan. Senyum yang hanya bisa terlihat kalau hati
sang Pembesar Kerajaan ini sedang mendapat angin baik. Tanpa memikirkan bahwa di
dalam kesenangan dirinya itu, di pihak lain tenggelam dalam kesedihan dan
kesusa-han. Bahkan jeritan yang menyayat hati. Namun mana manusia yang tak
mengenai halusnya perasaan ini dapat mendengarnya"
Karena telinga dan hatinya telah tertutup rapat-rapat dengan dinding nafsu
angkara. Sehingga bathinnya pun menjadi kotor. Agaknya memang telah sulit untuk
membasuh bathin manusia yang telah sedemikian. Karena watak manusia tak akan
bisa berubah. Kalau tak manusia itu sendiri yang meru-bahnya.
Mandra yang berada di tempat
persembunyiannya, di sisi jalan dekat gedung itu, kembali melihat kepula-ngannya
sang Senapati yang kudanya mencongklang dengan cepat. Tentu saja
ia tak mengetahui keadaan di dalam.
Tapi tiba-tiba terlihat dari arah yang berlawanan seekor kuda mendatangi ke arah
gedung. Dan segera terdengar ringkikan kuda sang Senapati, ketika laki-laki
Pembesar Kerajaan itu
menghentikan kudanya. Ternyata si pendatang itu pun menghentikan pula kudanya.
Sehingga kuda-kuda perdengarkan ringkikannya. Kiranya yang datang adalah sang
Bupati Daeng Panuluh. Terdengar Wira Pati berkata dengan tampilkan senyum di wajahnya,
melihat kedatangan sahabatnya.
"Aha...! Dari mana Daeng..."
Lama aku menunggumu. Sayang aku ada tugas lagi senja ini. Jadi aku tak dapat
menemanimu berbincang-bincang.
Oh, ya...! Mengenai upeti untukku, biarlah untuk pekan ini tak usah kau
setorkan. Asal kau harus berhati-hati kali ini. Terutama tiga orang paderi itu
jangan sampai ia menyusahkan


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita...!". Berkata sang Senapati.
Doting Panuluh tersenyum dan
manggut-manggut seraya berkata dengan nafas agak tersengal. Agaknya ia tadi
melarikan kudanya dengan sekencang-kencangnya, seperti memburu sesuatu.
"Te...terima kasih abang Wira Pati...!". Ujar Daeng Panuluh yang membahasakan
sebutan abang, atau kakak pada laki-laki sahabatnya itu, karena sebenarnya Daeng
adalah bukan orang
asli tanah Jawa. Ia perantau dari seberang pulau, yang terletak jauh di sebelah
timur laut Pulau Jawa. Dan hidup di pesisir laut. Boleh dikatakan Daeng Panuluh
besar dan dewasa di tengah ombak lautan. Sayang Daeng terjerat dalam kehidupan
sesat. Dan memilih beberapa tahun yang lalu, sejak Wira Pati menjabat sebagai
Tumenggung. Dari sahabatnya inilah Daeng dapat menduduki jabatan sebagai Bupati.
"Tapi bagaimana mengenai ancaman seorang pemuda misterius itu...?".
Daeng telah lanjutkan dengan pertanyaan.
"Tenanglah...! Kelak aku yang mengurusinya. Bukankah kau tahu, si Sengkuti itu
dengan mudah dapat
kusingkirkan. Tak perduli ia seorang Carik Desa. Kalau bakal membahayakan,
terpaksa harus disingkirkan. Walaupun tadinya ia orang yang membantu
kita...!" Berkata Senapati Wira Pati dengan wajah tenang, namun suaranya
terdengar tandas. Daeng Panuluh
manggut-manggut. Tapi tiba-tiba
wajahnya kembali berubah agak pucat.
Dan tampak dengan gugup ia berkata...
"Ng...te... terima kasih sahabatku! Akan tetapi maaf...aku lelah sekali, dan
memerlukan istirahat. Oh, ya...tentu abang Wira Pati jemu
menungguku tadi...!". Pembesar Kera-
jaan ini cuma tersenyum, seraya
ujarnya; "Silahkan beristirahat, Daeng..!
Memang akupun ada tugas yang
menantiku...! Dan... ha ha ha...
Terima kasihku padamu atas hidangan yang kau suguhkan itu. Tentu saja kelak akan
ada imbalan tersendiri yang istimewa buatmu ...!"
Daeng Panuluh jadi melengak
mendengarnya. Akan tetapi sang
Senapati telah segera mengeprak
kudanya. Yang segera mencongklang lari dengan cepat. Adapun Daeng Panuluh
setelah tercenung sesaat, tiba-tiba telah berteriak keras, dan memacu kudanya
dengan cepat ke arah
gedungnya. Baru saja sampai di halaman, ia
telah melompat dengan cepat, dan berlari menuju pintu Pendopo. Dua pengawal tak
sempat lagi menjura, karena sang Bupati bagaikan gila telah menerobos masuk. Dan
secepat itu pula telah memasuki kamar, di mana tergolek sesosok tubuh yang telah
kehabisan tenaga.
"Nurimah...! Nurimaaaah...!?".
Suara teriakannya tersendat seketika, melihat ke hadapannya. Pembaringan itu
telah kusut masai. Bantal dan guling telah berserakan tak keruan. Dan sang gadis
tengah mengerang seperti dalam saat sekarat. Sekilas saja ia telah
tahu apa yang telah terjadi. Kenyataan itu telah dibuktikan dengan jelas melalui
penglihatannya. Tiba-tiba laki-laki ini telah berteriak dengan suara parau. Dan
menubruk tubuh gadis itu serta memelukinya dengan suara tangis meraung.
Tampak sepasang mata Daeng telah bercucuran air mata. Dan terlontarlah kata-kata
yang sudah delapan tahun lebih itu tak pernah terucapkan dari bibirnya.
"Anakku... Nurimah...! Anakku...
Oh...". Selanjutnya cuma suara isak tangis bagaikan anak kecil yang
terdengar. Tiba-tiba ia telah lepaskan pelukannya pada wanita yang terbujur itu.
Wanita yang ternyata memanglah anak gadisnya sendiri.
Dan terdengarlah suara teria-
kannya memanggil sang pembantu wanita.
Yang dengan tergopoh-gopoh segera
berlari menghampiri.
"Bodoh...!". Teriaknya memaki.
"Mengapa kau biarkan semua itu terjadi. Dia ... dia anakku, tahu...!
Keparrrat...!"
PLAK! Sebelah lengannya telah
bergerak menampar kepala sang pembantu wanita tua itu. Yang segera saja
terpelanting dengan suara teriakan menyayat hati. Namun Daeng kembali sudah
memburunya. Lengannya bergerak menjambak rambut wanita yang bernasib
sial itu. Akan tetapi terkejut Daeng, karena sudah tak terdengar lagi
jeritan kesakitan ketika dijambak rambutnya. Kiranya sang pembantu yang malang
itu telah tewas. Dengan geram Daeng menghempaskannya ke lantai.
Segera ia bergerak lagi melompat untuk mencegat seorang pembantu wanita lagi,
yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Ndoro...! Jangan bunuh hamba...! Hamba tidak bisa mencegah-nya... Ja...
jangan bunuh hamba Ndoro
..." Berkata wanita pembantu itu dengan meratap tangis.
"Aku takkan membunuhmu, Mari-yem...!" Membentak Daeng Panuluh.
Tiba-tiba laki-laki ini telah
keluarkan sesuatu dari saku bajunya.
"Berikan ini pada anakku.
Jejalkan di mulutnya. Ingat! Dua butir pel ini harus benar-benar tertelan.
Kalau sampai gagal, nyawamu sebagai gantinya, mengerti..."!".
"Ba...baik Ngoro...! Akan hamba kerjakan...!". Menyahuti sang pembantu wanita
seraya menerima dua butir pel itu dari tangan Daeng, dengan lengan gemetar dan
wajah pucat bagaikan mayat. Namun ia telah bersyukur dalam hati yang jiwanya
selamat. Sekejap kemudian, Daeng telah kembali melompat ke dalam ruang tengah,
dan menyambar sebuah pedang yang tergantung di dinding. Lalu berkelebat cepat
menuju kembali ke luar gedung.
Para penjaga cuma saling
pandang, ketika Daeng melompat keluar, dan dengan cepat melompat ke atas
punggung kudanya. Kejap selanjutnya, ia telah berteriak keras menghardik sang
kuda yang segera meringkik keras.
Beberapa kali sang kuda berputaran seperti tak mau menurut perintah sang
majikan. Namun akhirnya lari
mencongklang dengan cepat keluar halaman. Dan selanjutnya telah terdengar
derapnya semakin menjauh dari halaman gedung. Lagi-lagi
Mandra terkejut, melihat sang Bupati Daeng Panuluh telah keluar lagi dari dalam gedung.
Dan kini memacu kudanya bagai dikejar setan. Merasa ada
sesuatu yang tidak beres, Mandra segera tancap kakinya untuk mengejar melalui
jalan semak. Ingin ia
mengetahui apa yang terjadi.
Lapat-lapat terdengar suara
teriakan Daeng.
"Senapati Keparaaat...! Tunggu aku...!". Dan dengan derap langkah kuda yang
menggebu, Daeng Panuluh memacu sang kuda sekencang-kencangnya.
Beruntung Wira Pati telah
jalankan kudanya dengan tidak terlalu cepat, karena ia berfikir tak perlu
terburu-buru. Tugas adalah tugas. Tapi rasa lelah di sekujur tubuhnya belum lagi
hilang. Tentu saja tak lama Daeng
dapat menyusulnya.
Terkejut Wira Pati mendengar
suara derap kuda di belakangnya, yang seperti berlari dengan cepat. Segera ia
telah putar kudanya untuk melihat.
Akan tetapi terlambat, tahu-tahu...
DES...! perut kudanya telah kena seruduk kuda Daeng Panuluh. Sebenarnya hal itu
tak akan terjadi seandainya Wira Pati mengetahui Daeng datang dengan kemarahan
meluap. Sehingga tak ampun lagi kedua kuda sudah terjungkal jatuh. Termasuk
kedua penunggangnya.
Namun Wira Pati dengan tangkas telah dapat jatuh dengan berdiri.
Karena sebagai seorang senapati
yang sudah terlatih, Wira Pati
bukanlah Wira Pati kalau ia harus jatuh ngusruk terguling-guling.
Lain halnya dengan Daeng, ia
telah jatuh bergulingan... Namun segera sudah kembali bangun berdiri.
Beruntung pedangnya tidak terlepas dari genggamannya.
Segera saja ia telah membentak
seraya menerjang langsung menebas batang tubuh si Senapati. "Manusia keparat...!
Kau telah nodai anakku...!
Dia anakku, manusia iblis! Kubunuh kau...!".
TRANG! TRANG ...! TRANG...! Tiga serangan beruntun telah segera dapat ditangkis
oleh Wira Pati. Laki-laki ini terkesiap bukan main, karena tahu-
tahu Daeng menerjangnya bagaikan gila.
Namun ia sudah mencabut tombak
pendeknya, dan menangkis serangan-serangan ganas itu.
"Daeng...! Aku mana mengetahui dia anak gadismu..." Salahmu sendiri, mengapa tak
menitahkan orang untuk menjaganya...?". Bentak Senapati ini dengan melotot
gusar. Akan tetapi Daeng sudah tak perduli lagi. Ia tak akan puas kalau belum
melihat manusia di hadapannya itu direncah lumat dengan pedangnya.
Kembali ia menerjang. Pedangnya
berkelebatan dengan serabutan. Agaknya ia sudah terlalu emosi. Kemarahannya
sudah melebihi takaran. Karena siapa yang takkan sakit hati jika mengalami nasib
seperti si Bupati ini. Walaupun yang dihadapannya itu mertuanya
sendiri pun, tentu akan dicincangnya sampai lumat.
WUT! WUT! WUT...! Kembali pedang di tangan Daeng berkelebatan, Namun Wira Pati
telah berhasil menghindar.
Tiba-tiba wajahnya tampak menyeringai sinis.
Dan ia telah keluarkan bentakan
keras. "Baiklah Daeng, kalau kau menghendaki kematian...! Aku tak akan segan-segan
untuk mencabut nyawamu...!".
Selesai berkata, tiba-tiba tubuh
Senapati Wira Pati telah berkelebat di antara sinar pedang Daeng Panuluh yang
bagaikan tiada berhenti menerjangnya.
Tombak pendek di lengan laki-
laki itu tampak membersitkan sinar, tatkala diputarkan dengan cepat
menghalau kilatan pedang Daeng.
TRANNG...! Terdengar suara
benturan senjata. Daeng tersentak, karena tiba-tiba pedangnya terlepas dari
genggamannya. Belum lagi ia sadar akan kelanjutannya, tahu-tahu...
JROSS...! Laki-laki bertubuh
agak gemuk ini telah perdengarkan teriakannya ketika tombak pendek yang terbelit
kain sutera merah itu
membenam ke jantungnya. Bagai terpaku Daeng berdiri terhuyung. Sepasang matanya
seperti menyala menatap sang Senapati yang berdiri di hadapannya.
Dan tampakkan senyum dingin pada laki-laki di hadapannya.
"Manusia keparatt...! Kau...kau kejam! Kau...ib...iblisss...". Suara Daeng
seperti mendesis parau. Akan tetapi Wira Pati telah sentakkan ujung tombaknya
yang membenam di jantung Daeng. Terdengar keluhan Bupati yang bernasib sial itu.
Darah segera memuncrat dan
memercik menyirami tubuhnya, disertai robohnya tubuh laki-laki itu. Yang
selanjutnya telah berkelojotan bagai ayam disembelih. Namun sekejap telah
terdiam, setelah menyentakkan tubuhnya sekali lagi seperti gerakan terakhir
melepas nyawanya, untuk berpindah ke alam Akhirat.
Sang Senapati perdengarkan suara dengusan di hidung, lalu dekati tubuh Daeng,
dan bersihkan ujung tombaknya di baju laki-laki yang telah tak bernyawa itu.
Selanjutnya telah
selipkan kembali senjatanya ke
belakang punggungnya. Saat berikutnya ia telah putarkan tubuh dan palingkan
kepala untuk mencari kudanya. Ternyata sang kuda tunggangannya tidak pergi jauh.
Tampak dengan sekali lompat, Wira Pati telah berada di dekat
kudanya. Kejap berikutnya ia telah melompat cepat ke atas pelana, dan
selanjutnya sudah terdengar teriakannya menghardik binatang itu. Seraya
hentakkan kaki ke perut kuda. Maka sekejap kemudian binatang itu telah
mencongklang dengan cepat, tinggalkan tempat itu...
Begitu tubuh Senapati itu lenyap di balik tikungan jalan, sesosok tubuh sudah
melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata Mandra adanya.
Tercenung pemuda itu menatap
tubuh sang Bupati yang dibencinya.
Tuntutan hatinya telah terlaksana.
Akan tetapi Mandra jadi berfikir dalam benaknya. Ternyata orang-orang besar
yang punya kedudukanpun punya
masalah... Bahkan berbagai masalah!
Dari masalah yang bersih dan murni, sampai masalah yang paling kotor. Yang
kesemuanya juga meminta korban darah dan nyawa!
Terdengar pemuda pandai besi ini menghela napas. Namun tak lama ia segera
berlalu untuk tinggalkan tempat itu.
Tubuh Daeng cuma diam membisu.
Dia sudah tak lagi dapat fikirkan jabatannya. Tak dapat lagi mengetahui mana
jalan lurus, dan mana jalan sesat. Karena semasa hidupnya pun dia telah tak mau
tahu ke mana arah
langkah perbuatannya
Yang dipentingkan hanyalah
melulu kepuasan duniawi. Kepuasan yang tak pernah ada habisnya...!
Juga Daeng tak akan pernah tahu, kalau dua butir pel yang ia berikan untuk anak
gadisnya itu, justru telah membawa kematian sang anak yang
dicintainya itu secara cepat. Karena dua butir pel pemberian paderi Kuti itu,
bukanlah pel obat penawar dari ramuan yang telah ia berikan pada anak gadisnya.
Melainkan dua butir pel racun. Karena tak ada obat penawar bagi ramuan yang
telah ia berikan atas pesanan Bupati Daeng Panuluh itu.
Kiranya waktu itu Daeng yang
telah bagaikan seekor serigala yang
keranjingan daging mentah, telah menerima datangnya seekor kelinci mulus.
Pesanan itu adalah khusus untuk
dirinya. Mana mungkin Daeng sia-siakan kesempatan baik itu dengan percuma.
Tiada nikmat menyantap seekor kelinci tanpa bumbu masakan penyedap.
Sayang...di saat ia akan menyantap, laki-laki keranjingan ini telah
terhenyak bagaikan disambar petir, karena sang kelinci terlalu mustahil untuk
dijadikan santapannya. Seekor harimau ganas pun tak akan menerkam anaknya
sendiri. Pepatah itu memang benar. Satu
tanda tahi lalat di bawah pusar sang kelinci itu membuat ia tak jadi
laksanakan maksudnya.
Terpaksa ia memanggil sang
pembantunya untuk menyediakan santapan nasi hangat dan sayur, serta ikan rawa
yang disukainya. Dalam kepanikan itu ia segera mengisi perut sekenyang-
kenyangnya. Sementara ingatannya telah
terbayang pada seorang bocah berusia 10 tahun yang telah lenyap ditelan
gelombang, di saat perahunya diserang badai. Ia terdampar dan selamat dari maut.
Namun sang bocah perempuannya telah lenyap tanpa diketahui mati hidupnya.
Delapan tahun cukup lama untuk ia melupakannya. Akan tetapi
pertemuan itu telah di luar dugaan.
Sang bocah perernpuan itu telah
menjelma jadi seorang dara rupawan.
Yang nyaris jadi korban perbuatan aibnya.
Tergesa Daeng menjumpai ketiga
sahabatnya si Tiga Paderi. Namun kedatangannya sudah terlambat. Karena Senapati
yang gagah perkasa itu telah menghancur leburkan segala-galanya.
Bahkan nyawanya sendiri pun telah melayang pergi.
Sungguh suatu kehancuran total
yang amat mengenaskan ...
Mandra melangkah pergi dengan
langkah gontai. Tapi kini ia sudah merasa sedikit lega karena tak lagi mengurusi
kemelut yang menggebu-gebu dalam jiwanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan keras yang
membuatnya terkejut.


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hantikan langkahmu, pembunuh!".
Dan sekejap telah berkelebatan muncul tiga sosok tubuh. Belum lagi ia sempat
menatap ketiga wajah sosok tubuh itu, salah seorang telah menyerangnya.
BUK! Satu hantaman pukulan
dengan telak telah mengenai dadanya.
Tak ampun lagi Mandra terjungkal bergulingan dengan perdengarkan
keluhannya. Ternyata ketiga sosok tubuh itu tak lain dari si ketiga Paderi
Lereng Gunung Wilis. Hantaman keras itu dilakukan oleh Kuti. Hingga
si pemuda itu tampak muntahkan darah segar yang menggelogok keluar dari
mulutnya. "He he he... Biar aku yang
menambahi dengan belaian Kipas Maut ku...!" Berkata Lembu Alas si paderi pendek.
Yang segera saja sudah melesat untuk menghunjamkan ujung kipasnya.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan menyambar ujung kipas.
TRANG...! Lembu Sura berteriak
tertahan karena rasakan lengannya kesemutan. Dan tanpa ia sadari Kipas bajanya
telah terlepas dari
genggamannya. Dengan gerak cepat ia telah melompat mundur empat tindak.
Dan dengan sebat telah gerakkan lengan untuk kembali menangkap senjatanya.
Terkejut ketiga paderi itu
melihat sosok tubuh di hadapannya.
Yang tak lain dari Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sebelah lengannya tampak memegang senjata yang mirip mainan itu. Yang diayun-
ayunkan di atas ujung kakinya.
Dengan senjata anehnya itulah Roro Centil menggagalkan serangan maut si paderi
pendek Lembu Alas. Ketiga paderi menatap dengan terpaku seperti terkesima. Namun
Kuti tiba-tiba telah perdengarkan suara tertawanya.
Walaupun diam-diam hatinya agak
gentar. Namun gengsi juga kalau harus jeri pada seorang gadis semua itu. Apa
lagi Kuti masih berharap dapat merebut kembali Kitab Ularnya.
Ternyata suara tertawa Kuti
telah mengandung tenaga dalam yang hebat, yang ditujukan pada gadis Pendekar.
Terasa juga getaran tenaga suara tertawa itu yang seperti membawa pengaruh
hebat. Karena tampak tubuh Roro seperti terhuyung mau jatuh.
Melihat demikian si paderi berkulit hitam alias Kebo Ireng, segera meniup
Seruling Hitamnya. Hingga membersit keluar suara yang bagaikan menusuk-nusuk
lubang telinga. Semakin
terhuyunglah tubuh Roro Centil... Dan pada saat itu dengan diam-diam, Kuti telah
keluarkan sabuk suteranya.
Sementara suara tertawanya seperti terus menggema tiada henti. Roro Centil
tampak lagi-lagi terhuyung lemah, dengan sepasang mata setengah terkatup.
Tertawa menyeringai si paderi pendek. Segera ia telah siapkan tasbih hitam dan
kipasnya untuk menyerang. Ternyata Kuti telah memberi isyarat. Maka dengan berbareng kedua
tubuh itu segera menerjang Roro.
Tasbih hitam bergerak ke arah lengan untuk menggubat. Dan kipas baja
meluncur deras untuk menotok.
Sementara Kuti luncurkan sabuk
suteranya merapas senjata, disertai gerakan sebelah lengannya manghantam ke arah
paha. Kuti memang sengaja mau
melumpuhkannya. Karena walau
bagaimanapun tak tega ia membunuh gadis secantik itu. Kegagalannya yang dulu
seperti membuat ia merawa kecewa.
Kini ia berharap dapat mengulangi niatnya untuk yang kedua kalinya.
Tampaknya Roro akan segera terkena beberapa serangan kilat itu. Akan tetapi
kedua paderi ini jadi
melengak,... karena tubuh sang
pendekar itu tahu-tahu seperti roboh ke belakang. Aneh! Dalam keadaan terhuyung
demikian, ternyata serangan berbareng mereka telah mengalami kegagalan total.
Segera saja Kuti merobah
serangan. Sabuk Suteranya telah
meluncur lagi ke beberapa bagian tubuh Roro. Namun lagi-lagi tubuh Roro Centil
terhuyung mau jatuh ke kiri dan ke kanan. Justru gerakan demikian itu telah pula
membuat gagalnya serangan paderi jangkung itu. Gila...! Teriak Kuti dalam hati.
Dan ia telah sarangkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam secara beruntun. Kali ini Kuti
sadar kalau ia sudah kembali terkecoh. Gadis Pendekar ini banyak akal bulusnya!
Berfikir Kuti. DUK! DUK! DES...! Tiga hantaman
itu ternyata telah disambuti Roro, seperti gerakan yang tak disengaja.
Akan tetapi hebat akibatnya. Paderi Kuti ini telah perdengarkan teriakan
kaget. Tubuhnya terjengkang ke
belakang lima-enam tombak. Sedang tubuh Roro Centil justru melambung ke atas.
Ketika turun lagi telah menukik seperti burung alap-alap menyambar mangsanya.
Senjata anehnya telah berputar mendesing menyambar kepala.
Sementara itu si paderi bernama
Kebo Ireng telah hentikan tiupan serulingnya. Kini melihat kakaknya dalam
bahaya, ia segera hantamkan Seruling Hitamnya untuk menangkis senjata aneh itu.
THINGNG...! Terdengar beradunya dua senjata.
Kepala Kuti lolos dari serangan si Rantai Genitnya Roro Centil. Akan tetapi
sebuah tendangan kilat telah membuat Kuti kembali terlempar
beberapa tombak bergulingan. Menggeram laki-laki berkumis tebal ini. Ia sudah
segera bangkit berdiri, walau terasa dadanya sesak. Tiba-tiba Kuti telah berikan
isyarat untuk menerjang berbareng pada kedua adiknya. Segera saja ketiga paderi palsu itu saling
berlompatan menerjang Roro. Berkele-batanlah beberapa senjata ke arah tubuh si
Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Namun Roro telah segera pergunakan jurus Tarikan Bidadari Mabuk
Kepayang. Segera saja terlihat tubuh gadis itu bagaikan tengah
menari-nari di antara kelebatannya senjata. Namun hebatnya, setiap
serangan telah berhasil dihindarkan.
Bahkan Roro tidak cuma membisu saja, melainkan sambil perdengarkan tertawa
mengikik, yang kedengarannya membuat orang jadi meremang bulu tengkuknya.
Sementara itu Mandra dalam
keadaan yang amat parah. Karena Kuti telah menyerangnya dengan serangan pukulan
bertenaga dalam penuh. Hingga lagi-lagi Mandra harus muntahkan darah segar. Pada
saat itu telah berkelebatan ke arahnya dua sosok tubuh seraya diiringi teriakan
terkejut. "Mandra...!" Oh! Kau kenapakah...?". Teriakan itu ternyata dari suara seorang
gadis berbaju merah.
Yang tak lain dari Roro Dampit.
Sementara yang seorang lagi adalah Sentanu. Segera mereka lakukan
pertolongan pada pemuda itu. Dengan menggotongnya ke tempat yang aman.
Sesaat kemudian Roro Dampit telah balikkan tubuh dan berdiri memandang pada
tempat pertarungan. Sepasang matanya tampak seperti menyala melihat ketiga
paderi yang tengah mengerubuti Roro Centil. Segera saja ia telah gerakkan lengan
mencabut senjatanya, sepasang ruyung dari kedua belah pinggangnya. Seraya
berkata; "Aku harus bantu menggempur tiga manusia durjana itu. Kau bantulah menolongnya
sobat Sentanu...!".
Sekejap ia telah melompat ke arah pertempuran. Dan selanjutnya sudah
perdengarkan bentakan nyaring.
Sepasang ruyungnya yang terdiri dari tiga ruas besi yang terikat rantai segera
berkelebatan menerjang deras ke arah dua orang paderi.
Kuti mendelik gusar. Nyaris saja dadanya kena terhantam. Sementara si paderi
bernama Kebo Ireng telah
menangkis dengan Seruling besinya.
Lengan Kuti bergerak menghantam.
THAK...! Paderi ini menjerit
parau ketika sebuah kerikil terlebih dulu menghantam telak lengannya.
Hingga pukulannya telah ia tarik kembali.
Sementara Roro Dampit melengak
heran, telah terdengar suara tertawa di atas pohon. Ternyata seorang pemuda
berbaju putih. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Ginanjar, murid mendiang si
Pendekar Bayangan Ki Bayu Seta.
Mendengar suara tertawa gelak-
gelak itu membuat Kuti jadi mendongak ke atas. Akan tetapi justru bandulan si
Rantai Genit hinggap telak di kepalanya.
THOK...! Lagi-lagi Kuti ber-
teriak kesakitan. Tampak kepalanya kebulkan asap seperti uap putih.
Tak ampun lagi si
Paderi jangkung ini sudah berjingkrakan memegangi kepalanya, sambil berteriak-
teriak. Ginanjar di atas pohon semakin
gelak terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha... Hebat kau Roro...! Kepala orang kau buat benjol sebesar
telur angsa! Ha ha ha...lucu!
Lucu...! Ada monyet gundul sedang menari...!". Ginanjar terpingkal-pingkal
melihat Kuti yang berjingkrakan. Akan tetapi suara tertawa si pemuda itu jadi
terhenti, karena sekonyong-konyong si paderi jangkung telah bergerak melompat
menyerudukkan kepalanya ke batang pohon yang
dinaikinya. KRAAKKK...! Batang pohon ber-
derak patah yang kemudian roboh dengan suara bergemuruh. Namun Ginanjar telah
segera melompat turun, dan jejakkan kaki ke tanah. Terlihat tubuh Kuti
terhuyung-huyung. Kepalanya telah mengalirkan darah. Akan tetapi
aneh...! Ternyata Kuti kembali
menyerudukkan kepalanya ke batang pohon lainnya.
Bahkan ke sebuah batu besar yang tak jauh berada di tomput itu.
Berulang kali ia menumbukkan
kepalanya, hingga darah bercucuran kian banyak. Entah apa yang terjadi sehingga
Kuti berlaku demikian. Hingga kemudian yang terlihat adalah batok kepala Kuti
yang remuk, ketika ia menghantamkan sekali lagi pada batu.
Tampak tubuh laki-laki itu berkelojotan mengerikan. Lalu sesaat kemudian telah
diam untuk tak berkutik lagi.
Terkejut Ginanjar, juga si
wanita baju merah. Yang segera lompat ke belakang. Sementara itu Roro Centil
tetap sibuk bertarung. Tiba-tiba terdengar teriakan Roro yang melengking tinggi.
Suara lengkingan yang mengandung tenaga dalam hebat. Membuat Lembu Alas dan Kebo
Ireng jadi terpaku terkesima. Pada saat itulah tubuh Roro melesat ke atas tujuh-
delapan tombak.
Ketika menukik lagi telah meluncur deras senjata si Rantai Genitnya.
Segera saja terdengar suara batok kepala yang pecah.
PROK...! PROK...! Tak ampun lagi robohlah tubuh kedua paderi palsu itu dengan
berkelojotan, tanpa bisa
mengeluarkan teriakan lagi. Sekejap antaranya kedua manusia durjana itu telah
tewas. Kejadian itu berlalu dengan
cepat. Hingga ketika semua orang tengah terkesiap, tubuh si Pandekar Wanita
Pantai Selatan tahu-tahu telah berkelebat cepat... dan sekejap telah lenyap.
Tapi di kejauhan sudah terdengar suara tertawanya yang mengikik
panjang. Ginanjar baru tersentak dari
terkesimanya. Segera ia sudah berke-
lebat mengejar seraya berteriak;
"ROROOOOOO...! ROROOOOO...!".
Dan tubuh pemuda berbaju putih itu pun sekejap kemudian segera lenyap.
Keadaan di tempat itu kembali
sunyi. Si gadis baju merah segera tersadar dari terpakunya, ketika mendengar
suara keluhan Mandra. Tampak sepasang lengan pemuda itu mencekal erat lengan
Sentanu. Keadaan Mandra semakin parah. Roro Dampit segera memburunya. Terlihat
Sentanu mendekat-kan sebelah telinganya pada bibir Mandra yang tampak semakin
hilang suaranya. Entah apa yang dibisikkan pemuda itu pada Sentanu. Cuma yang
terlihat laki-laki tampan berkumis kecil itu manggut-manggut dengan terharu.
Selang sesaat setelah pemuda itu tampakkan senyumannya, segera kepalanya
terkulai... Sentanu terkejut, dan mengguncang-guncangkan tubuh sahabatnya itu.
Akan tetapi Mandra telah wafat.
Nyawanya telah melayang, kembali menghadap Tuhan. Tinggalkan jasadnya yang telah
remuk isi dadanya akibat pukulan keji si paderi palsu bernama Kuti.
Roro Dampit mengusap air matanya yang telah mengalir di kedua pipinya.
Betapa ia merasa kehilangan. Seolah sahabatnya itu sudah bukan orang lain
lagi. Karena mereka sudah sangat akrab.
Tampak Sentanu pun menatap
sedih. Lengannya sudah lantas bergerak mengusap wajah pemuda itu. Yang segera
sepasang matanya terpejam.
Tak lama kemudian laki-laki
bekas perwira Kerajaan Medang itu sudah bangkit berdiri dengan memondong tubuh
sahabatnya yang sudah menjadi mayat. Dan tindakkan kaki untuk segera tinggalkan
tempat itu. Di belakangnya mengikuti si
gadis baju merah yang menundukkan kepala dengan melangkah gontai...
Senja semakin temaram. Cahaya
merah yang membersit di ujung iangit, sebentar lagi akan sirna. Timbulkan
bayang-bayang yang memanjang, dari dahan-dahan pohon dan dua sosok tubuh itu...
yang terus melangkah menuju arah pedesaan.
Pada sebuah persimpangan jalan, terdengar ringkik seekor kuda yang segera
berlari menghampiri ke arah laki-laki itu. Si gadis baju merah meraih tali
kendalinya yang terjuntai di leher binatang itu. Lalu
menuntunnya di belakang tubuhnya.
Cahaya mentari sebentar lagi akan lenyap ...
Akan tetapi mereka yakin akan
adanya cahaya yang membersit lagi esok pagi. Seperti juga harapan semua
makhiuk di atas bumi. Makhluk-makhluk yang rindukan kedamaian. Rindukan
kesejahteraan. Walau Dunia terus berubah dengan tingkah polah dari makhluk-
makhluk isinya. Namun kedamaian akan tetap didambakan, sebagai perlambang cinta
kasih yang hakiki.
TAMAT Scan/Ebook: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kitab Panca Longok 2 Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Pendekar Setia 13
^