Pencarian

Pendekar Lembah Naga 10

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


guru, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai kehormatan dan kebudayaan,
untuk menonjolkan dirinya sendiri, agar tidak kalah oleh siapapun juga. Di dalam
kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk
nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang
bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi
yang miskin, memandang tinggi bagi yang bdrkedudukan tinggi dan memandang rendah
kepada yang berkedudukan rendah. Inilah, yang membentuk jiwa seseorang sehingga
seperti keadaan kita sekarang ini! Kita bersaing dalam apapun juga. Dalam
perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua
kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apapun juga, tidak mungkin tidak
menimbulkan kekerasan dan konflik, biarpun dengan seribu macam alasan kita mau
memperhalus persaingan dengan tambahan kata "sehat". Persaingan sehat! Mana
mungkin ini" Persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat! Keinginan
menonjolkan diri agar "tidak kalah" oleh orang lain ini menimbulkan persaingan,
menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan,
kalau kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih
pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, dan segala macam lebih lagi.
Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini kalau
tidak ada perbandingan, tidak ada persaingan, tidak ada keinginan menonjolkan
diri. Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan" Untuk dapat menjawab pertanyaan
ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu
berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan kalau
kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal
keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk
bersaing dan menang! Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang
yang amat membencinya, bukan hanya terdorong oleh iri hati dan persaingan dalam
perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh
dendam dan sakit hati! Ciok Khun ini sebelum menjadi piauwsu, tadinya adalah
seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia
liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu dengan mereka. Dan
setelah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan
hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu
teman-temannya, atau, bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat
bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang
dipercayakan kepadanya! Beberapa kali sudah terjadi apabila ada kiriman barang-barang berharga yang
dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya dan di tengah jalan teman-
temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah
pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan
jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diambilnya kembali asal
si pemilik barang suka "menyogok" para perampok yang dikenalnya itu. Padahal,
yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri!
Praktek-praktek pemerasan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang
seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok, melainkan
dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki kedudukan atau juga yang memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya. Betapa banyaknya dapat
dilihat, semenjak jaman kuno sampai sekarang, orang-orang yang bertugas menjadi
penjaga dan pelindung keselamatan, bahkan melakukan pemerasan kepada mereka yang
dijaga atau dilindungi keselamatannya! Justeru penjagaan atau perlindungan
itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti
ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan namun kenyataannya memang
demikianlah. Dan kesemuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan
apapun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri.
Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan
keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita
sendirilah, masing-masing harus berubah seketika! Tanpa adanya perubahan dalam
diri masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan
dapat berubah. Biarpun diatur bagaimana juga, selama diri kita tidak berubah,
maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan
kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk
kemaksiatan dan kejahatan baru. Kalau kita sudah berubah, maka akan terjadilah
perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar
hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali.
Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu" Kalau dia
merasa iri hati, hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan
sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh. Para pedagang besar dan para pembesar
lebih suka mengirimkan barang-barang berharga mereka di bawah lindungan bendera
Ui-eng-piauwkiok daripada dilindungi oleh bendera Gin-to-piauwkiok. Akan tetapi,
dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu
karena pernah Na-piauwsu menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang
pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungannya. Na-piauwsu yang
menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan
menegurnya karena pedagang itu adalah seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang
datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu. Ciok Khun tidak
berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi
diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari
dia mencari kesempatan untuk dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya
musuh besarnya itu. Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian, dia
tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan
menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya.
Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnyapun tibalah. Dia berkenalan dengan
seorang yang bernama Lu Seng Ok, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun
lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh
Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang karena
ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada
para penghuni sebuah dusun. Hwa-i Kai-pang, biarpun hanya merupakan sebuah
perkumpulan pengemis, akan tetapi memiliki peraturan keras terhadap para
anggautanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan, maka
perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan
diapun dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang oleh ketua Hwa-i Kai-pang sendiri.
Setelah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang
penjahat yang suka mempergunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi.
Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik.
Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biarpun
kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang
merasa enggan untuk keluar dari pintu, apalagi air hujan membuat jalan di luar
rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan
turun deras karena dibukapun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan
sunyi tidak ada orang lewat.
Hawa udara yang sejuk nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar
mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na
juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han dan isterinya sudah memasuki kamar,
bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah
satu setengah tahun berada di rumah mereka. Suami isteri ini merasa suka kepada
Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah dan juga rajin
sekali berlatih silat dan belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab
kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh
dan tidak banyak bicara. Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah
beristirahat di tempat masing-masing. Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya,
sedangkan Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin
Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur. Kini, Tiong Pek
sudah rebah di atas pembaringan sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar
Tiong Pek. Suasana amat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat
terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang
menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang
gelap. Dan kalau saja pada saat itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai
keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah
keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada
bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap di antara pohon-
pohon dan bayangan-bayangan gelap. Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun
pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang
mencokel daun pintu sehingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka
itu berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata
bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan
mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang
tergantung di tempat itu.
Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bermuka bengis, dengan
alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berkilauan putih. Inilah Si
Golok Perak Ciok Khun sendiri yang memimpin penyerbuan diam-diam itu. Di
sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya
kecil seperti tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan
berat sekali, orangnya tinggi kurus dan mukanya seperti tikus dengan sepasang
mata yang agak menjuling itu sudah membayangkan adanya watak yang culas dan
curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari
Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu. Adapun
lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-
to-piauwkiok. Mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang
berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing.
Malam itu memang dipergunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang
sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada
Na Ceng Han! Dan tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok
yang diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai.
"Lepaskan api sekarang!" bisik Ciok Khun setelah mereka semua berhasil
membongkar daun pintu dan menyelinap masuk. Sebelumnya memang telah mereka
rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na
Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di
situ. Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk lalu
berpencar ke kanan kiri dan mereka lalu mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan
kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di
kanan kiri. Api menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi.
"Api...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan seorang pelayan yang lebih dulu
melihat api. Kamar Na Ceng Han terbuka dan piauwsu itu dengan mata terbelalak berseru, "Di
mana kebakaran?" Akan tetapi dia segera meloncat kembali ke dalam kamarnya ketika ada sinar
senjata berkelebat. Ketika dia meloncat ke dalam dan memandang ternyata yang
menyerangnya adalah Ciok Khun yang tadi begitu melihat munculnya musuh besar ini
telah menerjang dengan golok peraknya.
"Ah, kiranya engkau, penjahat keji!" bentak Na Ceng Han sambil meloncat ke dekat
pembaringan dan menyambar pedangnya. Isterinya yang sudah tidur terkejut dan
turun dari pembaringan, mukanya pucat ketika melihat ada dua orang asing di
dalam kamarnya. "Lu-twako, inilah dia orangnya!" kata Ciok Khun kepada laki-laki yang memegang
toya. Biasanya, ketika masih menjadi tokoh Hwa-i Kai-pang Lu Seng Ok tentu saja
bersenjata sebatang tongkat seperti semua tokoh perkumpulan pengemis itu. Akan
tetapi setelah dia dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang dan tidak lagi berpakaian
pengemis, tentu saja diapun tidak mau mempergunakan tongkat dan sebagai gantinya
dia lalu membeli sebatang toya baja yang kokoh kuat dan berat itu. Mendengar
seruan Ciok Khun, Lu Seng Ok sudah menggerakkan toyanya dan berdesirlah angin
yang kuat ketika toya itu menyambar ke arah kepala Na Ceng Han!
Na Ceng Han marah sekali. Tak pernah disangkanya bahwa Ciok Khun, kepala dari
Gin-to-piauwkiok yang dia tahu adalah bekas perampok dan melakukan pemerasan
kepada para pengirim barang itu, akan berani melakukan penyerbuan secara
pengecut seperti perampok-perampok. Cepat dia menggerakkan pedangnya menangkis
serangan toya dari orang tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan terkejutlah Na Ceng Han karena tangkisan
itu membuat pedangnya terpental dan telapak tangannya terasa nyeri. Tahulah dia
bahwa orang yang memegang toya ini lihai dan memiliki tenaga yang kuat bukan
main. "Siapakah kau" Mengapa engkau memusuhi aku?" bentaknya dengan heran sambil
memandang tajam. Lu Seng Ok tertawa mengejek. "Orang she Na, siapa adanya aku tidak perlu
kauketahui, diberitahukan juga apa artinya karena engkau akan mampus!" toyanya
menyambar lagi dengan amat dahsyat sehingga Na Ceng Han cepat meloncat ke
belakang, kemudian menggerakkan pedangnya untuk membalas dengan tusukan kilat.
Akan tetapi, ternyata pemegang toya itu lihai sekali dan dengan mudah dapat pula
mengelak. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat antara Na-piauwsu dan
bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Ciok Khun juga tidak tinggal diam dan dia sudah
menerjang maju membantu kawannya mengeroyok Na-piauwsu.
"Ihhh... tolooonggg...!" Nyonya Na berteriak ketika melihat api dari pintu
kamarnya dan melihat suaminya dikeroyok dua. Dia teringat kepada puteranya dan
kepada Bi Cu maka saking khawatirnya, nyonya ini menjerit-jerit di atas
pembaringannya untuk memanggil para pembantu suaminya yang berada di kamar.
Mendengar jeritan ini, Ciok Khun cepat meloncat dan goloknya digerakkan dengan
cepat. Melihat ini, Na Ceng Han membentak keras, "Orang she Ciok, jangan ganggu
isteriku!" Namun terlambat sudah. Golok itu sudah membacok. "Crokkk...!" Dada dan leher
nyonya itu terobek, darah menyembur keluar dan tubuh nyonya itu roboh
menelungkup, dari pinggang ke bawah masih berada di atas pembaringan, akan
tetapi dari pinggang ke atas berada di bawah pembaringan, tergantung dan darah
membasahi lantai di bawahnya.
"Jahanam keji...!" Na Ceng Han terbelalak melihat isterinya terbunuh dan dia
meloncat meninggalkan Lu Seng Ok, tidak memperdulikan lagi kepada lawan bertoya
ini karena saking marahnya, dia hanya melihat Ciok Khun dan pedangnya menyambar.
Akan tetapi kemarahannya yang meluap ini mencelakakan dia. Karena dia hanya
memandang kepada Ciok Khun, dan tidak memperdulikan lawan yang lebih lihai itu,
ketika dia meloncat, toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dan menyodok
punggungnya. "Dukkk...!" Tubuh Na Ceng Han yang sedang meloncat dan menyerang Ciok Khun itu
terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Ciok Khun untuk membalik dan
menggerakkan goloknya yang
baru saja membunuh nyonya Na itu untuk membacok!
Na Ceng Han merasa punggungnya nyeri bukan main dan melihat bacokan golok, dia
mencoba untuk miringkan tubuhnya, akan tetapi biarpun dia berhasil mengelak dari
bacokan golok itu sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, dari
belakangnya kembali toya yang berat itu menyambar, kini membabat ke arah kedua
kakinya. Na Ceng Han masih sempat meloncat ke atas, membalikkan tubuh dan pedangnya
meluncur untuk membalas serangan musuh. Akan tetapi pada saat itu, golok Ciok
Khun membacok dari belakang, sedangkan toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dari
depan. Na-piauwsu sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya oleh hantaman
toya pada punggungnya tadi, maka gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dia dapat
menangkis toya, akan tetapi golok Giok Khun mengenai bahu kirinya sampai hampir
putus! Dia terguling roboh dan ketika terguling, tangan kanan yang memegang
pedang bergerak. Pedang itu meluncur ke arah Lu Seng Ok di depannya. Bekas tokoh
Hwa-i Kai-pang ini terkejut dan menangkis dengan toyanya, akan tetapi demikian
cepatnya luncuran pedang itu sehingga biarpun tertangkis, masih saja meleset dan
mengenai pangkal pahanya, menyerempet merobek celana dan kulit sehingga pangkal
paha itu berdarah. Akan tetapi, Ciok Khun sudah meloncat ke depan dan sekali
goloknya berkelebat, leher Na-piauwsu terbacok hampir putus. Darah muncrat-
muncrat membasahi lantai kamar dan tubuh Na Ceng Han tidak bergerak lagi, tewas
seperti juga isterinya yang telah mendahuluinya.
"Keparat...!" Lu Seng Ok mengomel sambil memeriksa luka di pangkal pahanya, akan
tetapi hatinya lega karena luka itu tidak hebat.
"Mari kita bantu teman-teman di luar!" kata Ciok Khun dengan wajah berseri.
Hatinya lega sekali karena dia telah berhasil membunuh musuh besarnya itu
bersama isterinya. Mereka berdua cepat berloncatan keluar.
Ternyata lima orang piauwsu dari Gin-to-piauwkiok sedang bertempur melawan tiga
orang anak yang dibantu oleh tujuh orang piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok. Ketika
para piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok melihat munculnya Ciok Khun dan seorang
pemegang toya yang lihai, yang dalam beberapa gebrakan saja telah merobohkan dua
orang piauwsu Ui-eng-piauwkiok, maka mereka menjadi jerih dan segera melarikan
diri! Hanya tiga orang anak itu yang masih terus melawan dengan gigih dan nekat.
Tiga orang anak kecil itu adalah Sin Liong, Na Tiong Pek, dan Bhe Bi Cu. Sin
Liong mempergunakan senjata sebatang toya sedangkan Na Tiong Pek bersenjata
pedang, juga Bhe Bi Cu memegang sebatang pedang. Ketika tadi Sin Liong yang
masih membaca kitab di dalam kamar Tiong Pek mendengar ribut-ribut, dia cepat


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari keluar dan dia melihat kebakaran-kebakaran itu. Cepat dia menyambar
sebatang toya dan membantu para pelayan untuk memadamkan api, memukuli barang-
barang yang terbakar agar tidak menjalar naik. Sedangkan Tiong Pek yang juga
terkejut karena baru saja akan pulas, cepat berlari ke luar dan dia melihat
beberapa orang asing yang berada di halaman belakang. Maka dia lalu menggerakkan
pedangnya menyerang. Tak lama kemudian muncul Bi Cu yang segera membantu
suhengnya. Akan tetapi, dua orang di antara para piauwsu Gin-to-piauwkiok tentu
saja memandang rendah kepada dua orang anak itu dan mereka ini hanya menghadapi
mereka dengan tangan kosong sambil mentertawakan. Melihat ini, Bi Cu lalu
menjerit minta tolong, maksudnya minta tolong kepada paman Na dan para piauwsu
lainnya. Yang pertama kali muncul adalah Sin Liong! Anak ini mendengar jerit Bi Cu cepat
berlari ke ruangan belakang dan segera dia membantu dan menyerang seorang musuh
dengan toyanya. Akan tetapi, lima orang pembantu Ciok Khun adalah orang-orang
pilihan yang memiliki kepandaian, maka tentu saja Sin Liong bukanlah lawan
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar. Dengan mudah saja Sin Liong
ditampar dan ditendang sampai berkali-kali roboh. Akan tetapi anak ini tidak
pernah mengenal takut. Dia bangun kembali dan biarpun bajunya sudah robek-robek,
dia tetap menyerang terus. Demikian pula dengan Tiong Pek dan Bi Cu yang terus
memutar pedang mereka dengan nekat. Akhirnya muncullah tujuh orang piauwsu Ui-
eng-piauwkiok dan terjadilah pertempuran kecil yang hebat itu. Sayangnya, para
piauwsu ini menjadi jerih melihat munculnya Ciok Khun dan Lu Seng Ok, dan mereka
segera melarikan diri untuk minta bantuan dan melaporkan kepada para penjaga
keamanan kota. Tinggal Sin Liong, Tiong Pek, dan Bi Cu yang tidak pernah mau menyerah, apalagi
melarikan diri! Ciok Khun yang sudah berhasil membunuh musuh besarnya, segera berkata, "Mari
kita pergi, jangan layani anak-anak!" Dia bersama Lu Seng Ok sudah mendahului
meloncat keluar, dan lima orang pembantunya sudah berlarian keluar pula.
"Penjahat-penjahat busuk, kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong membentak dan
anak ini cepat mengejar, diikuti pula oleh Tiong Pek dan Bi Cu.
Setelah tiba di depan rumah, kembali Sin liong, Tiong Pek, dan Bi Cu menyerang
tiga orang di antara mereka yang menjadi marah.
"Kalian ini anak-anak setan, sudah bosan hidupkah?" bentak seorang diantara
mereka yang cepat memukul ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong
mengelak dan menggerakkan toyanya untuk balas menyerang. Tiong Pek juga meloncat
seperti seekor burung garuda, pedangnya digerakkan menusuk seorang di antara
mereka pula. Demikian pula Bi Cu juga menyerang seorang musuh.
"Cepat robohkan mereka, jangan main-main. Kita harus lekas pergi!" Ciok Khun
berseru karena dia tidak ingin orang-orang melihat bahwa dialah yang menyerbu
rumah Na-piauwsu. "Baik!" kata tiga orang pembantunya yang menghadapi tiga orang anak itu dan kini
mereka memperlihatkan kepandaian. Terdengar teriakan bergantian, tiga kali
berturut-turut dari tiga orang itu roboh dengan tubuh berkelojotan, lalu diam
dan tewas! Ciok Khun dan Lu Seng Ok terkejut setengah mati. Juga tiga orang anak
itu terkejut karena mereka sendiri tidak tahu mengapa tiga orang lawan mereka
itu tiba-tiba saja roboh dan berkelojotan lalu mati! Bahkan Bi Cu menjadi ngeri
melihat bekas lawannya berkelojotan itu, dia melempar pedang dan menutupi kedua
mata dengan tangan mengira bahwa pedangnyalah yang membunuh orang itu.
Akan tetapi Lu Seng Ok tadi melihat menyambarnya sinar merah dan tahulah dia
bahwa ada orang yang datang membantu fihak tuan rumah. Cepat dia membalik dan
benar saja dugaannya. Di situ telah berdiri seorang wanita yang luar biasa
cantiknya, seorang wanita yang berdiri tegak sambil tersenyum, sinar lampu di
depan rumah yang muram itu hanya menggambarkan garis muka yang manis, yang
memiliki sepasang mata jeli dan tajam, dan tangan wanita itu mempermainkan
sehelai sabuk merah yang sebagian masih mengikat pinggangnya yang kecil ramping!
Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi maklum bahwa wanita itu adalah
seorang pandai, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu memutar toya bajanya dan
menyerang dengan dahsyat. Pada saat itu, Ciok Khun yang melihat betapa dua orang
pembantunya tewas, menjadi marah sekali dan diapun segera memutar goloknya
menyerang dan mengeroyok.
Akan tetapi, wanita cantik itu dengan tenang-tenang saja menyambut serangan
mereka berdua sambil tersenyum dan membentak dengan suara halus, "Kalian dua
orang jahat tak tahu malu yang suka menyerang anak-anak kecil layak mampus!"
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak, sabuk merah berubah menjadi sinar
merah menyambar-nyambar dan terdengar pekik mengerikan ketika dua orang
penyerang itupun roboh dan tewas! Semua piauwsu dari Gin-to-piauwkiok menjadi
terkejut bukan main. Kepala mereka dan pembantu mereka yang lihai itu dalam
segebrakan saja roboh dan tewas! Tentu saja nyali mereka terbang dan mereka
berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi para piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok
tentu saja tidak membiarkan mereka lari dan sisa tiga orang piauwsu dari Gin-to-
piawkiok itu akhirnya roboh dan tewas semua oleh pengeroyokan para anak buah Ui-
eng-piauwkiok. Ketika semua orang mencari-cari wanita cantik yang menolong
mereka tadi mereka melongo karena wanita itu telah lenyap dan bersama dia lenyap
pula Sin Liong! Tiong Pek dan Bi Cu memanggil-manggil Sin Liong, akan tetapi
pada waktu mereka berdua masih mencari-cari, terdengarlah jerit-jerit dan tangis
di sebelah dalam rumah. Mereka dan para piauwsu yang sudah merasa terheran-heran
mengapa Na-piauwsu tidak muncul dalam keributan itu, cepat lari masuk dan dapat
dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika melihat bahwa Na-piauwsu
dan isterinya ternyata telah tewas dalam keadaan yang amat mengerikan! Tiong Pek
dan Bi Cu menubruk mayat-mayat itu sambil menjerit-jerit menangis, dan gegerlah
di dalam rumah keluarga Na itu.
Siapakah adanya wanita cantik yang lihai sekali dan yang telah menyelamatkan
tiga orang anak dari ancaman maut di tangan para piauwsu Gin-to-piauwkiok itu"
Dia bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Seperti kita ketahui, dengan bantuan
Panglima Lee Siang, wanita ini berhasil membunuh Tio Sun, seorang di antara
musuh-musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya dengan jalan meminjam nama Hwa-i
Kai-pangcu. PADA waktu keluarga Tio bertangis-tangisan dan berkabung, Kim Hong Liu-nio dan
Panglima Lee Siang merayakan kemenangan dan hasil siasat mereka itu dengan pesta
dalam kamar di mana mereka berdua saling mencurahkan rasa kasih sayang antara
mereka. Akan tetapi tetap saja Kim Hong Liu-nio masih bertahan dan tidak mau
menyerahkan diri sebelum semua musuhnya terbasmi habis, yaitu tinggal dua orang
lagi, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Panglima Lee Siang tidak berani memaksa
karena hal itu membahayakan keselamatan wanita yang dicintanya, maka diapun
berjanji akan membantu dan menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana adanya
dua orang musuh besar itu.
Setelah mencurahkan kasih sayang mereka dengan mesra namun terbatas, dan saling
berjanji untuk bersetia sampai kelak terbuka kesempatan bagi mereka untuk
menjadi suami isteri, pergilah Kim Hong Liu-nio ke utara untuk melapor kepada
Raja Sabutai tentang segala yang dialaminya dan tentang keadaan Pangeran Oguthai
atau Ceng Han Houw kepada raja dan permaisuri yang mendengarkan dengan hati
gembira. Akan tetapi, Raja Sabutai masih merasa sangsi dan curiga untuk
berkunjung ke selatan. Di dalam istana kaisar, satu-satunya orang yang
dipercayanya hanyalah Kaisar Ceng Tung seorang, dan kini kaisar itu telah
meninggal dunia, maka dia merasa sangsi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Juga
para menteri pembantunya menasihatkan agar raja ini jangan lengah dan membiarkan
dirinya terancam bahaya jika mengunjungi selatan. Oleh karena itu, Raja Sabutai
tidak datang menghadiri hari penobatan kaisar baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan
mengutus Kim Hong Liu-nio untuk kembali ke selatan, membawa barang sumbangannya
kepada kaisar dan mewakilkan kehadirannya kepada puteranya, pangeran Oguthai.
Sebelum berangkat, Kim Hong Liu-nio menghadap subonya, Hek-hiat Mo-li,
menceritakan tentang hasilnya membunuh seorang di antara musuh-musuh itu, yaitu
Tio Sun. Nenek tua renta itu terkekeh senang, dia berkata, "Bagus, muridku.
Hanya sayang bahwa yang kaubunuh itu adalah orang yang paling lemah di antara
musuh-musuhku. Kau harus cepat mencari yang dua orang lagi itu. Dan aku sendiri
akan ikut pergi ke selatan, muridku, karena aku sangsi apakah engkau akan mampu
menanggulangi mereka. Giranglah hati Kim Hong Liu-nio karena dengan bantuan subonya, dia merasa yakin
akan dapat dengan cepat membunuh dua orang musuh besar yang lain itu sehingga
dia akan dapat segera bebas untuk melangsungkan pernikahannya dengan Panglima
Lee yang telah menjatuhkan hatinya itu. Maka berangkatlah guru dan murid itu
meninggalkan utara. Raja Sabutai ketika mendengar bahwa Hek-hiat Mo-li hendak
merantau ke selatan untuk mencari musuh-musuh besarnya, merasa tidak tega karena
gurunya itu sudah tua sekali, maka dia lalu mengutus seorang panglima membawa
sepasukan pilihan yang mengawal nenek itu secara diam-diam, dengan menyamar.
Jumlah pasukan yang membantu nenek ini ada selosin orang-orang pilihan yang
rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Setelah menghadiri perayaan di istana Ketika Kaisar Ceng Hwa dinobatkan sebagai
kaisar baru, Kim Hong Liu-nio lalu mulai dengan penyelidikannya mencari musuh-
musuh besar gurunya. Subonya sendiri yang sudah tua itu tentu saja tidak ikut
mencari hanya menanti di dalam sebuah gedung di kota raja, menanti sampai
muridnya berhasil menemukan musuh-musuh besar itu. Dalam usaha mencari jejak
musuh-musuhnya ini, Kim Hong Liu-nio dibantu oleh kekasihnya, Panglima Lee Siang
yang menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki di mana adanya pendekar Cia Bun
Houw dan pendekar wanita Yap In Hong.
Demikianlah, pada hari itu, secara kebetulan Kim Hong Liu-nio lewat di kota Kun-
ting, di sebelah selatan kota raja dalam penyelidikannya dan dia melihat
keributan yang terjadi di dalam rumah keluarga Na-piauwsu. Wanita ini pada
hakekatnya bukanlah orang jahat, bahkan dia condong untuk bersikap sebagai
pendekar wanita yang tidak suka menyaksikan penindasan. Dia dapat bersikap kejam
hanya terhadap musuh-musuhnya, atau musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya,
sesuai dengan sumpahnya. Maka begitu melihat tiga orang anak kecil diserang oleh
orang-orang dari Gin-to-piauwkiok, dia menjadi marah dan segera turun tangan
menghajar, bahkan membunuh Ciok Khun, Lu Seng Ok, dan tiga orang anak buah
mereka itu. Kemudian, dalam keributan itu, Kim Hong Liu-nio yang sudah berhasil membunuh
Ciok Khun dan Lu Seng Ok, melihat Sin Liong dan wanita ini terkejut bukan main!
Anak setan itu masih hidup! Padahal dia telah memasukkan racun Hui-tok-san ke
tubuh anak itu. Dan anak itu dahulu telah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang yang
kejam, maka dia menyangka bahwa anak itu tentu telah tewas. Akan tetapi,
sekarang dia melihat bocah itu masih segar bugar! Dan anak ini menurut
pengakuannya adalah putera Cia Bun Houw, tokoh utama yang menjadi musuh besar
subonya. Tentu saja hati wanita itu meniadi girang sekali. Tak disangkanya dia
akan bertemu dengan bocah ini yang tentu akan dapat menunjukkan jalan ke tempat
musuh besarnya she Cia itu! Maka, dia tidak lagi memperdulikan segala keributan
di tempat itu dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah menangkap Sin Liong dan
menotok bocah itu sebelum Sin Liong mampu berteriak atau bergerak, kemudian
sekali berkelebat lenyaplah wanita itu bersama Sin Liong dari situ!
*** Begitu tubuhnya ditangkap dan dibawa lari seperti terbang, Sin Liong memandang
dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh lamanya! Tadi ketika
Kim Hong Liu-nio membunuh tiga orang penyerbu rumah keluarga Na, diapun sudah
mengenal wanita itu dan saking heran dan terkejutnya dia sampai tidak mampu
berkata apa-apa. Kini, melihat dirinya ditawan, dia tidak berusaha meronta
karena diapun tahu bahwa dia telah tertotok dan tidak akan mampu membebaskan
diri dari cengkeraman wanita yang amat lihai ini. Akan tetapi, sekali ini Sin
Liong tidak menjadi marah, bahkan diam-diam dia berterima kasih kepada wanita
ini. Dia tahu bahwa tanpa adanya wanita aneh ini, tentu Tiong Pek dan Bi Cu
telah tewas, juga dia sendiri. Wanita aneh ini telah menyelamatkan nyawa mereka
bertiga, maka kalau sekarang menawannya dan hendak membunuhnya sekalipun, dia
tidak akan merasa penasaran!
Cepat bukan main larinya Kim Hong Liu-nio dan dia membawa Sin Liong ke puncak
pegunungan yang tandus dan kering, sunyi seperti kuburan. Setelah tiba di atas
puncak yang amat sunyi dan panas, Kim Hong Liu-nio melemparkan tubuh Sin Liong
ke atas tanah. Sin Liong rebah terlentang tanpa mampu bergerak dan ketika wanita
itu menotoknya dan membebaskan dirinya, dia bangkit duduk dan memandang kepada
wanita itu dengan mulut tersenyum dan mata berseri lalu dia mengelus-elus bagian
tubuhnya yang terasa nyeri karena luka-luka bekas pukulan lawan dalam
perkelahian tadi. Melihat anak itu tersenyum kepadanya, Kim Hong Liu-nio
mengerutkan alisnya. Senyum anak itu demikian terbuka dan sekiranya dia tidak
begitu benci kepada anak ini sebagai putera musuh besarnya, tentu dia tidak
ingin mencelakai seorang anak laki-laki seperti ini. Dan sepasang matanya
demikian tajam. "Uhh...!" Kim Hong Liu-nio mengusap peluh di dahinya dan diam-diam dia memaki
dirinya sendiri mengapa tiba-tiba saja dia merasa begitu lemah. Dia tidak tahu
bahwa setelah dia menjadi korban asmara, setelah dia jatuh cinta terjadi
perubahan dalam dirinya dan dia sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan
tenteram, jauh dari kekerasan dan penuh dengan cinta kasih dan kebahagiaan. Ada
sesuatu yang mendorongnya untuk hidup akur dan damai dengan siapapun juga,
mengajak senyum dan bergembira kepida siapapun juga.
"Kenapa kau pringas-pringis seperti itu?" bentaknya marah.
Senyum di bibir Sin Liong melebar. "Bibi yang baik, engkau telah menyelamatkan
nyawa Tiong Pek dan terutama Bi Cu, maka aku merasa girang sekali dan berterima
kasih kepadamu. Ternyata engkau bukanlah iblis betina seperti yang selama ini
kukira, melainkan orang yang gagah perkasa dan baik, yang kadang-kadang berpura-
pura jahat dan kejam."
"Hemm, apa maksudmu" Siapa itu Tiong Pek dan Bi Cu?" bentak Kim Hong Liu-nio.
"Tiong Pek dan Bi Cu adalah dua orang anak yang telah kauselamatkan nyawanya
tadi, bibi yang baik..."
"Aku bukan bibimu!" bentak wanita itu marah.
"Tentu saja bukan, akan tetapi... ah, agaknya kau tidak suka kusebut bibi"
Baiklah, kusebut kau enci juga boleh!"
"Huh, kau anak ceriwis!" bentaknya lagi dan Sin Liong ini diam saja. Sampai lama
mereka berdua tidak berkata-kata, dan wanita itu duduk di atas batu besar,
matanya memandang jauh seperti orang melamun. Sin Liong juga memandang ke sana-
sini. Keadaan amat sunyi dan tiba-tiba Sin Liong melihat betapa tempat itu penuh
dengan burung-burung gagak. Ada yang beterbangan di atas dan ada pula yang
hinggap di atas pohon, di atas batu-batu. Bulu mereka yang hitam itu mengkilap
tertimpa sinar matahari pagi. Hari itu masih belum siang benar, akan tetapi
panas matahari telah menyengat. Dan ternyata telah dilarikan selama semalam
suntuk oleh wanita itu, wanita yang luar biasa.
"Luar biasa...!" tanpa disadarinya, kata-kata ini keluar dari mulutnya.
Ucapan itu agaknya menyadarkan Kim Hong Liu-nio dari lamunannya. Dia sendiri
tidak tahu mengapa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Dia terkejut dan menoleh.
"Apa katamu?" bentaknya.
Sin Liong juga terkejut karena dia sendiri tidak sadar bahwa jalan pikirannya
keluar dari mulutnya. "Eh, apa..." Ok, aku hanya ingin tahu apakah yang akan
kaulakukan kepadaku, enci" Mengapa kau mengajak aku ke tempat yang sunyi ini?"
Tiba-tiba terdengar bunyi burung gagak. Seekor berbunyi, yang lain lalu menjawab
dan mereka berkaok-kaok saling bersahutan. Sin Liong merasa serem. Bunyi burung
gagak selalu menimbulkan serem di dalam hatinya, mengingatkan dia akan kematian.
Kematian" Ibunya telah mati! Ibu kandungnya telah mati dibunuh oleh wanita ini!
Dan tiba-tiba saja Sin Liong meloncat dengan penuh kemarahan, langsung saja dia
menyerang Kim Hong Liu-nio dengan jurus ilmu silat yang selama ini dipelajarinya
dari Na Ceng Han! Ketika Sin Liong menyerangnya wanita itu masih duduk di atas batu dan dia hanya
memandang saja ketika Sin Liong menyerangnya. Setelah anak itu tiba dekat, kaki
Kim Hong Liu-nio bergerak.
"Bukkk!" Tubuh Sin Liong terlempar dan terbanting dengan keras sekali, Sin Liong
memang sudah menderita luka-luka, dan tubuhnya masih lelah dan sakit-sakit, maka
bantingan itu membuat dia seketika merasa pening. Akan tetapi dia sudah bangkit
lagi, dan dengan hati terbakar kemarahan karena mengingat betapa wanita ini
telah membunuh ibu kandungnya yang tercinta, dia menerjang lagi dengan nekat.
"Iblis betina, kau telah membunuh ibuku!" bentaknya.
Sekali ini, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangannya menotok. "Brukkk!" untuk
kedua kalinya tubuh Sin Liong roboh dan sekali ini dia tidak mampu bergerak
lagi. "Aku memang telah membunuh ibumu, dan aku akan segera membunuh ayahmu juga!" Kim
Hong Liu-nio menghardik, kini kebenciannya timbul karena diapun seperti Sin
Liong sudah teringat bahwa anak ini adalah putera dari musuh besarnya.
Biarpun tubuhnya sudah lumpuh tak mampu bergerak, namun Sin Liong masih dapat
bicara. Dengan suara mengejek dia berkata, "Huh, manusia macam engkau ini
beraninya hanya menghina yang lemah. Kalau kau bertemu dengan ayah kandungku,
dalam sepuluh jurus saja engkau tentu akan mampus!"
Sin Liong memang sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk mengejek dan menghina,
satu-satunya hal yang mampu dilakukannya untuk melampiaskan kemarahan dan sakit
hatinya. Akan tetapi ucapan itu diterima girang oleh Kim Hong Liu-nio.
"Ah, jadi ayahmu berada di sini" Lekas katakan, di mana dia" Kalau kau memberi
tahu di mana adanya Cia Bun How, aku akan mengampuni nyawamu!"


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong adalah seorang anak yang luar biasa sekali. Wataknya keras dan dia
tidak pernah mengenal takut. Kalau orang bersikap baik dan halus kepadanya, dia
akan menjadi lunak dan tunduk. Akan tetapi kalau ada orang bersikap keras
kepadanya, biar dia diancam maut, biar dia disiksa, dia tidak akan sudi tunduk.
Maka, mendengar ucapan itu, matanya yang bersinar tajam itu memandang dengan
mendelik, dan mulutnya tersenyum mengejek.
"Aku tidak sudi mengatakan!" Padahal, tentu saja dia sendiripun tidak tahu di
mana adanya ayah kandungnya itu, akan tetapi dia memang sengaja ingin membikin
panas hati wanita pembunuh ibunya ini.
Dan memang Kim Hong Liu-nio menjadi marah sekali. Kini dia yakin bahwa anak itu
tentu tahu di mana adanya Cia Bun Houw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk
memaksa anak ini memberi tahu di mana adanya musuh besarnya itu.
"Katakan di mana Cia Bun Houw!" kembali dia membentak sambil mencengkeram
tengkuk Sin Liong. "Tidak sudi!" anak itu balas membentak.
"Hemm, kau agaknya ingin kusiksa sampai setengah mati!"
"Huh, apa artinya siksaanmu" Dahulupun kau meracuni tubuhku, dan aku tidak
takut!" Ucapan ini mengingatkan Kim Hong Liu-nio dan cepat dia memeriksa tubuh anak itu,
meraba pergelangan tangannya dan dadanya. Mata wanita itu terbelalak heran. Anak
itu sudah bebas sama sekali dari Hui-tok-san! "Siapa yang mengobatimu" Ayahmu
itu?" Sin Liong yang diangkat ke atas sehingga mukanya berdekatan dengan muka wanita
itu, tersenyum mengejek. "Kau tidak akan dapat mengetahui!"
"Bress!" Kim Hong Liu-nio membanting dan untuk ketiga kalinya tubuh Sin Liong
terbanting ke atas tanah.
"Hayo katakan, di mana ayahmu itu! Di mana Cia Bun Houw!" kembali dia berteriak-
teriak penuh kemarahan. Sin Liong merasa kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit tanpa mampu bergerak.
Akan tetapi nyalinya tidak pernah berkurang besarnya. Dia memandang wanita itu
dan berkata, "Hemmm, kau ternyata lebih curang daripada seekor ular, lebih ganas
daripada seekor serigala dan lebih jahat daripada ketua Jeng-hwa-pang atau iblis
sekalipun!" "Hayo katakan di mana ayahmu!"
"Tidak sudi! Kau mau apa?"
"Keparat, hendak kulihat apakah engkau masih tetap akan membandel!" Dengan marah
Kim Hong Liu-nio, menyambar tubuh Sin Liong, yang dibawanya kepada sebatang
pohon dan dia menggunakan akar pohon untuk mengikatnya pada batang pohon itu,
diikat dari kaki sampai ke leher. Setelah itu, dia lalu membebaskan totokan di
tubuh anak itu agar Sin Liong merasakan sepenuhnya siksaan itu.
"Kau mau bunuh sekalipun jangan harap aku akan sudi mengaku kepada orang jahat
macam engkau!" Sin Liong memanaskan hati wanita itu.
"Aku tidak akan membunuhmu. Kaulihat burung-burung itu" Nah, merekalah yang akan
membunuhmu perlahan-lahan, mencabik-cabik dagingmu sedikit demi sedikit. Aku
tidak akan pergi jauh, dan kalau kau berteriak memanggilku apabila engkau sudah
mengubah sikap kepala batumu itu, tentu aku akan mendengarmu!" Setelah berkata
demikian, Kim Hong Liu-nio tersenyum, senyum yang manis sekali, akan tetapi
senyum yang membuat Sin Liong bergidik karena anak ini sudah mulai mengenal
musuhnya yang dapat melakukan hal yang teramat keji. Dengan sekali berkelebat
saja, wanita itu lenyap dari situ, meninggalkan Sin Liong terikat pada batang
pohon dengan muka menghadap ke matahari yang sudah mulai naik agak tinggi dan
sinarnya yang terik itu sepenuhnya menimpa muka dan tubuh Sin Liong.
"Gaooookkk...!"
Seekor burung gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas batu di mana tadi
Kim Hong Liu-nio duduk. Burung itu memandang ke arah Sin Liong, kepalanya
dimiringkan ke kanan kiri seperti hendak memandang lebih teliti atau
mendengarkan sesuatu. Tak lama kemudian, nampak bayangan hitam menyambar turun
dari atas dan seekor burung gagak lain telah hinggap di atas tanah, di depan Sin
Liong. Anak itu memandang tajam, heran melihat burung-burung itu berani mendekatinya
dan dia belum mengerti apa maksudnya Kim Hong Liu-nio meninggalkannya terikat di
situ. Dia tidak tahu bahwa burung-burung ini adalah burung-burung pemakan
bangkai yang sudah kelaparan karena sudah lama tidak makan, dan betapa mereka
itu sudah tidak sabar menanti adanya bangkai yang boleh mereka makan.
Agaknya burung-burung lain tertarik oleh dua ekor burung yang berkaok-kaok di
dekat Sin Liong itu karena kini banyak burung melayang turun dan mengurung
tempat di mana Sin Liong diikat pada batang pohon itu. Sin Liong masih belum
tahu akan datangnya bahaya mengerikan mengancamnya, bahkan dia memandang tanpa
bergerak-gerak. Inilah salahnya. Kalau saja dia bergerak atau mengeluarkan
suara, tentu burung-burung itu akan menjadi takut.
Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan hinggap di atas pundak kiri Sin Liong.
Anak ini barulah merasa terkejut, apalagi karena kuku-kuku jari kaki burung yang
mencengkeram pundaknya itu menembus baju melukai kulitnya.
"Hehhh....!" Dia membentak dan burung itu terbang dengan kaget, akan tetapi
segera hinggap di atas tanah karena melihat anak itu tidak dapat bergerak.
Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leher Sin Liong. Kini dia memandang
dengan mata terbelalak kepada burung-burung yang bergerak-gerak di depannya dan
bagi pandang matanya, burung-burung itu seperti berubah menjadi iblis-iblis
hitam yang menakutkan. Kembali ada dua ekor burung terbang atau meloncat dan mereka ini menerkam. Sin
Liong membentak lagi dan dua ekor burung itu terbang turun, hanya untuk
mengulang kembali perbuatan mereka. Sin Liong membentak-bentak, akan tetapi dua
ekor burung yang hinggap di pundak dan lengannya tidak mau pergi bahkan kini
mereka mulai mematuk-matuk ke arah mata Sin Liong! Anak itu terkejut dan ngeri,
cepat dia memejamkan mata, akan tetapi tidak mampu mengelak karena lehernya
tercekik kalau dia menggerakkan kepalanya. Dia mendengus-dengus dan agaknya
suaranya inilah yang membuat dua ekor burung itu meragu dan tidak mematuknya,
hanya sayap mereka yang bergerak-gerak dan mengibas-ngibas, sedangkan paruh
mereka itu mengeluarkan bunyi berkaok yang terdengar nyaring sekali di dekat
telinga Sin Liong! Sin Liong tidak berani membuka matanya dan hanya mendengus-dengus sambil
menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk mengusir burung-burung itu.
Namun dua ekor burung gagak itu tidak mau pergi, sungguhpun mereka belum
menyerang karena mereka masih meragu dan agaknya hendak menanti sampai calon
mangsa mereka itu sama sekali tidak mampu bergerak. Sin Liong merasa ngeri bukan
main. Baru sekarang dia merasakan kengerian yang mencekiknya, lebih mengerikan
daripada ketika dia dilempar ke dalam sumur ular oleh ketua Jeng-hwa-pang.
Hampir dia berteriak minta tolong, akan tetapi kalau dia teringat kepada wanita
yang membunuh ibunya itu, dia tidak jadi berteriak bahkan dia mengatupkan
mulutnya dan mengambil keputusan untuk tidak sudi berteriak sampai mati. Lebih
baik mati dicabik-cabik burung-burung ini daripada dia berteriak, mengaku kalah
dan tunduk kepada iblis betina itu, demikian tekad hatinya.
Matahari naik makin tinggi. Sinarnya makin panas dan hampir Sin Liong tidak kuat
untuk menahannya lagi. Anak ini merasa bahwa kalau sampai dia pingsan dan tidak
bergerak, tentu burung-burung ini akan menyerangnya. Maka, biarpun panasnya
membuat dia hampir tidak kuat bertahan, kepalanya pening dan matanya yang
dipejamkan itu melihat warna merah, lehernya seperti dicekik oleh kehausan,
namun dia mempertahankan diri sekuatnya. Dia merasa tubuhnya kering sama sekali,
diperas habis airnya yang menguap menjadi peluh.
Dari jauh, Kim Hong Liu-nio mengintai. Wanita ini merasa kagum bukan main.
Kembali timbul rasa sayangnya kepada anak itu di balik kebenciannya. Anak itu
benar-benar hebat sekali! Selama ini, hanya kepada sutenya sajalah dia kagum dan
menganggap sutenya seorang anak laki-laki yang paling hebat. Akan tetapi,
melihat sikap Sin Liong, dia benar-benar merasa heran dan kagum dan harus
mengakui bahwa anak itu benar-benar luar biasa, lebih hebat daripada sutenya.
Akan tetapi, rasa sayang ini diusirnya dengan ingatan bahwa anak itu adalah
putera Cia Bun Houw, musuhnya yang terbesar.
"Gaoookkkk...!" Kembali burung yang hinggap di pundak kanan anak itu
mengeluarkan bunyi tak sabar lagi. Kim Hong Liu-nio melihat betapa burung itu
menggerakkan paruhnya, mematuk ke arah mata kanan yang terpejam itu. Akan
tetapi, pada saat itu, ada debu mengebul dari sebelah kanan anak itu dan ketika
dia memandang, ternyata tiga ekor burung yang tadi hinggap di kedua pundak dan
lengan, kini telah jatuh dan mati di dekat kaki Sin Liong yang masih memejamkan
matanya! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main dan cepat dia meloncat keluar dari tempat
sembunyinya dan langsung dia meloncat dan lari ke tempat itu. Juga Sin Liong
yang merasa betapa di pundaknya tidak ada lagi burung yang mencengkeramnya,
membuka mata dan terheranlah dia melihat bangkai tiga ekor burung di lekat
kakinya. Akan tetapi pandang matanya berkunang ketika dia membuka mata, dan dia
melihat wanita itu datang berlari-lari. Habislah harapannya dan dia memejamkan
matanya kembali. Akan tetapi, Sin Liong terkejut dan merasa heran ketika
mendengar suara Kim Hong Liu-nio membentak marah.
"Iblis dari mana yang berani bermain gila dengan Kim Hong Liu-nio?"
Mendengar ini, Sin Liong cepat membuka matanya dan dia mengusir kepeningannya
dan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya itu dengan goyangan
kepalanya. Akhirnya dia melihat seorang kakek tua berjalan perlahan menuju ke
tempat itu. Seperti juga Kim Hong Liu-nio, Sin Liong membuka matanya lebar-lebar
dan memandang kakek yang mendatangi itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Sin Liong masih tidak tahu bagaimana burung-burung itu mati secara aneh. Tadinya
dia menyangka bahwa Kim Hong Liu-nio yang membunuh binatang-binatang rakus itu,
akan tetapi melihat munculnya kakek ini, dia meragu dan hatinya tertarik sekali.
Sebaliknya, Kim Hong Liu-nio juga memandang penuh selidik dan hatinya menduga-
duga. Benar kakek inikah yang membunuhi tiga ekor burung gagak secara aneh itu"
Dia masih belum tahu bagaimana burung-burung itu mati. Melihat adanya debu
mengebul, tentu orang telah mempergunakan pukulan jarak jauh, akan tetapi,
burung-burung itu hinggap di tubuh Sin Liong dan memukul mati burung-burung itu
dengan hawa pukulan jarak jauh tanpa mengenai anak itu sendiri, sungguh
merupakan ilmu yang luar biasa. Dia masih meragu dan memandang tajam penuh
selidik. Kakek itu sudah tua sekali, sedikitnya tentu sudah tujuh puluh lima tahun
usianya. Rambutnya yang halus dan terpelihara rapi dan bersih, sudah putih semua
dan digelung ke atas dengan rapi, diikat dengan kain kuning yang bersih.
Pakaiannya sederhana sekali, seperti pakaian petani, akan tetapi pakaiannya juga
bersih. Wajah itu dihias kumis dan jenggot yang halus dan sudah putih pula.
Namun, wajah kakek ini masih kelihatan sehat dan segar kemerahan, keriput di
pipinya hampir tidak nampak. Wajah yang manis budi dan sabar, akan tetapi sinar
matanya membayangkan wibawa dan kekerasan hati seorang pendekar! Kakek ini
berpakaian polos, agaknya tidak membawa senjata apapun.
Setelah tiba di tempat itu, kakek yang mendatangi dengan langkah ringan dan
perlahan, sejenak memandang kepada Sin Liong, kemudian dia menoleh dan memandang
kepada wanita cantik itu. Kim Hong Liu-nio merasa betapa jantungnya berdebar
tegang ketika melihat sepasang mata tua itu menyambar ke arahnya dengan
ketajaman pandangan yang menyeramkan. Lalu terdengar suara kakek itu, halus dan
lembut akan tetapi mengandung teguran dan wibawa.
"Mengganggu orang yang tidak mampu melawan merupakan perbuatan yang pengecut,
apalagi menyiksa seorang bocah yang tak dapat melawan merupakan perbuatan keji.
Bagaimanakah seorang wanita muda dan cantik seperti engkau ini dapat melakukan
perbuatan keji dan pengecut?"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi
dan dia tidak pernah mengenal takut. Biarpun dia dapat menduga bahwa kakek ini
tentu seorang yang pandai, namun tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih
dan kini mendengar kakek itu mencelanya, tentu saja dia menjadi marah sekali.
"Kakek yang lancang tangan dan lancang mulut! Apakah orang setua engkau ini
masih belum tahu bahwa mencampuri urusan orang lain adalah perbuatan hina yang
takkan dilakukan oleh seorang kang-ouw?"
"Menyelamatkan siapapun dari perbuatan keji bukanlah berarti mencampuri urusan
orang lain, melainkan sudah menjadi tugas setiap orang manusia yang waras.
Bahkan andaikata anak ini anak kandungmu sekalipun yang akan kausiksa, pasti aku
akan turun tangan menyelamatkannya dan mencegah perbuatanmu yang keji itu."
Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi makin marah. Pertama karena kakek itu
mengatakan anak itu anak kandungnya! Padahal dia adalah seorang perawan. Dan ke
dua, dengan terang-terangan kakek itu menyatakan akan menentangnya!
"Tua bangka yang bosan hidup!" bentaknya marah, mulutnya tersenyum, tanda bahwa
kemarahannya sudah mencapai puncaknya dan dia sudah siap untuk membunuh, dengan
tenang dia lalu mengenakan sarung tangannya. "Apakah engkau belum mendengar
siapa aku" Tentu engkau tidak mengenal Kim Hong Liu-nio maka engkau berani
bersikap seperti ini."
"Hemm, tentu saja aku tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang wanita yang sudah
berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi akan tetapi gurumu adalah seorang
jahat sehingga tidak mendidik batinmu. Ilmu tinggi yang terjatuh ke tangan
seorang yang kejam, hanya akan mendatangkan bencana di dunia ini."
"Keparat, terimalah ini!" Kim Hong Liu-nio yang sudah marah itu tidak dapat
bertahan lagi dan dia sudah mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan
melakukan serangan pukulan dengan kedua tangannya. Pukulan maut yang datangnya
cepat dan mengeluarkan suara angin bercuitan mengerikan. Karena menduga bahwa
lawannya lihai, begitu menyerang Kim Hong Liu-nio telah mengerahkan sin-kangnya
dan pukulan itu merupakan pukulan maut yang sukar dilawan!
Akan tetapi, kakek itu malah membalikkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia
membuka ikatan tangan yang membelenggu Sin Liong! Melihat ini, Kim Hong Liu-nio
menahan pukulannya dan alisnya berkerut. Demikian hebatkah kakek ini sehingga
tidak memandang sebelah mata kepada serangannya" Ketika dia melihat bahwa kakek
ini sudah membebaskan ikatan Sin Liong yang segera jatuh terduduk dengan lemas
dan anak itu menggosok-gosok kedua pergelangan tangan dan terengah-engah, Kim
Hong Liu-nio membentak keras dan sekarang dia benar-benar menyerang ke arah
kakek itu dengan pukulan maut yang mengarah pelipis dan ulu hati kakek itu.
Diam-diam kakek itu tersenyum. Ternyata dugaannya tadi agak keliru. Wanita ini
tidak memiliki watak curang, buktinya serangan pertama tadi ditundanya ketika
dia sedang membuka ikatan anak itu. Akan tetapi dugaannya bahwa wanita ini
memiliki ilmu tinggi adalah benar karena melihat serangan itu saja tahulah dia
bahwa wanita ini benar-benar lihai sekali. Untuk mencoba kekuatan wanita itu,
dia sengaja menggerakkan kedua tangannya menangkis. Dua kali dua pasang tangan
bertemu. "Dukk! Plak!" Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Tubuhnya terdorong mundur oleh tangkisan-
tangkisan itu! Di lain fihak, kakek itu makin kagum karena ternyata bahwa
serangan wanita ini mampu membuat kedua lengannya tergetar! Maklum bahwa dia
kalah kuat dalam hal sin-kang oleh kakek aneh yang tak dikenalnya ini, Kim Hong
Liu-nio menjadi penasaran dan marah. Dia mengeluarkan suara melengking panjang
dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang dengan gerakan cepat bukan main yang
membuat dia seperti lenyap berubah menjadi bayang-bayang yang luar biasa
cepatnya. Kaki tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh berbahaya
dari kakek itu, setiap serangan merupakan serangan maut!
Sementara itu, kakek yang ternyata amat luar biasa kepandaiannya itu, dengan
alis putih berkerut memperhatikan gerakan lawan dan diam-diam diapun merasa
terheran-heran karena dia tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh wanita
itu. Padahal, dia hampir mengenal semua dasar ilmu silat tinggi dari semua
partai-partai besar! Akan tetapi, diapun harus mengimbangi kecepatan wanita itu
dan selalu dapat menghindarkan diri atau menangkis. Kembali Kim Hong Liu-nio
terkejut bukan main. Kakek petani ini ternyata hebat sekali! Bukan saja dapat
menandingi sin-kangnya, bahkan tidak terdesak oleh gin-kangnya! Diam-diam dia
lalu mencabut tiga batang hio dan dengan kuku jari tangannya menyentik batu api,
muncratlah batu api membakar ujung tiga batang hio itu. Hio-hio ini sebenarnya
dia sediakan untuk membunuh musuh-musuh gurunya, seperti yang telah dilakukannya
kepada beberapa orang yang telah berhasil dibunuhnya. Akan tetapi menghadapi
seorang lawan tangguh seperti kakek ini, dia akan mempergunakannya juga karena
senjata hio itu merupakan senjata istimewa pula.
Kakek itu hanya memandang sambil mengelak ke sana-sini ketika wanita itu sambil
menyerang mengeluarkan dan menyalakan tiga batang hio. Dia tidak tahu apa
artinya dan tertarik sekali, menduga bahwa agaknya wanita ini adalah seorang
ahli ilmu hitam yang hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia tidak takut,
melainkan tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana wanita itu hendak
menggunakan sihir atas dirinya! Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu mengeluarkan
bentakan nyaring sekali dan kakek itu melihat sinar-sinar keemasan kecil
menyambar ke arah tiga jalan darah di tubuhnya! Tahulah dia bahwa hio-hio
menyala itu sama sekali bukan dipergunakan untuk main sulap atau sihir,
melainkan untuk dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyerangnya! Kakek
itu mengeluarkan seruan panjang, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat ke atas dan
ketika dia melayang turun kembali, tiga batang hio menyala itu telah disambarnya
dan berada di tangannya. Sekali dia melempar, tiga batang hio itu menancap di
atas tanah dan asapnya bergulung-gulung kecil ke atas!


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Hong Liu-nio terkejut, juga makin penasaran dan marah. Tiba-tiba dia
bergerak, didahului oleh sinar merah dan ternyata wanita ini telah menyerang
lagi dengan menggunakan sabuk merahnya. Dengan gerakan seperti seekor ular
hidup, ujung sabuk merah itu secara bertubi telah menotok ke arah tujuh jalan
darah kematian di sebelah depan tubuh kakek itu!
"Hemm, keji...!" kakek itu mencela dan cepat dia menggunakan telapak kanan untuk
menangkap ujung sabuk merah. Akan tetapi, begitu melihat lawan hendak menangkap
ujung sabuk, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangan dan kini ujung sabuk itu
meluncur dan menotok ke arah telapak tangan itu secara langsung, untuk menotok
jalan darah antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang terbuka itu. Akan
tetapi, kakek itu agaknya tidak tahu akan serangan ini dan tetap saja membuka
tangan hendak menangkap ujung sabuk itu, Kim Hong Liu-nio menjadi girang sekali
dan menambah tenaganya ketika ujung sabuk bertemu dengan telapak tangan lawan.
"Plakk...!" Ujung sabuk itu tepat mengenai telapak tangan dan melekat di situ.
Tiba-tiba wajah cantik itu birubah pucat, matanya terbelalak lebar memandang
kepada kakek itu ketika Kim Hong Liu-nio merasa betapa tenaga sin-kangnya
memberobot keluar dari tangannya yang ujungnya menempel pada telapak tangan
kakek itu. "Thi-khi-i-beng...!" Dia berteriak kaget dan membuat gerakan tiba-tiba menarik
sabuk merahnya. "Pratttt...!" Sabuk merah itu terputus di tengah-tengah!
"Ahhh...!" Kakek itu berseru kagum sekali.
Kim Hong Liu-nio masih memandang terbelalak. Dia mengenal Thi-khi-i-beng seperti
yang pernah diceritakan oleh subonya. Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang aneh,
sesuai dengan namanya yang berarti Curi Hawa Pindahkan Nyawa, ilmu itu dapat
menyedot hawa sin-kang lawan sampai habis! Untung dia telah mempelajari ilmu
untuk melepaskan diri dari sedotan Thi-khi-i-beng yang ampuh itu!
"Siapakah engkau...?" tanyanya, suaranya membayangkan awal kejerihan menghadapi
kakek yang hebat itu. Kakek itu melemparkan sabuk merah yang putus itu ke atas tanah lalu menarik
napas panjang, lalu berkata dengan suara lirih dan seperti orang membaca sajak,
"Namaku tidak lebih terkenal daripada sebatang pedang, akan tetapi pedangku
adalah pedang kayu yang tidak keras, juga tidak berbau darah kering melainkan
harum semerbak. Ah, sampai terpaksa aku menggunakan Thi-khi-i-beng, menandakan
bahwa kepandaianmu hebat sekali, nona."
Kim Hong Liu-nio makin terkejut dan hatinya makin gentar. Dalam kata-kata
perkenalan dari kakek itu terkandung kata-kata pedang kayu dan harum. Pedang
Kayu Harum, Siang-bhok-kiam! Dia cepat membuat gerakan membungkuk.
"Sudah kuduga..." bisiknya, "kiranya... maafkan saya..." Dan tanpa bicara apa-
apa lagi, Kim Hong Liu-nio membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dengan cepat
seperti terbang. "Nona, tunggu dulu...!" Kakek itu berseru, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menjawab
tanpa menoleh. "Lain kali kita akan saling berjumpa kembali!"
Cia Keng Hong, atau ketua dari Cin-ling-pai, pendekar sakti yang amat terkenal
dengan pedang kayu harumnya itu, memandang dan tidak mengejar. Dia merasa kagum
sekali karena setelah puluhan tahun tidak bertemu lawan, baru sekarang dia
bertemu tanding seorang wanita yang masih muda akan tetapi juga memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, bahkan dia tidak mengenal dasar ilmu silat yang
dimainkan oleh wanita itu!
Para pembaca dari cerita Siang-bhok-kiam, lalu cerita Petualangan Asmara, dan
Dewi Maut, tentu tidak asing lagi dengan pendekar sakti Cia Keng Hong ini. Dia
adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal sekali di dunia kang-ouw,
sebagai ketua dari Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san, di mana dia hidup
bersama isterinya yang tercinta seorang bekas pendekar wanita yang lihai pula.
Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Keng Hong telah
meninggalkan keramaian dunia kang-ouw dan dia yang sudah tua hidup tentram di
Pegunungan Cin-ling-san sampai cerita ini terjadi. Pada waktu sekarang, Cia Keng
Hong, dalam usia yang sudah tujuh puluh tahun lebih, pendekar sakti ini merasa
betapa hidupnya penuh dengan duka. Isterinya, satu-satunya manusia di dunia ini
yang paling dicintanya, telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, meninggal
dunia dalam usia yang sudah cukup tinggi, kurang lebih tujuh puluh tahun, akan
tetapi sayangnya meninggal dalam keadaan duka pula karena kematiannya tidak
ditunggui oleh puteranya yang terkasih, yaitu Cia Bun Houw.
Diam-diam di dalam hati pendekar sakti ini timbul penyesalan besar. Dia tidak
dapat menyalahkan Bun Houw yang sampai sepuluh tahun lebih lamanya belum pernah
pulang itu. Dia sendirilah yang menyebabkannya. Dia yang seolah-olah mengusir
puteranya itu karena puteranya itu nekat hendak hidup sebagai suami isteri
bersama Yap In Hong, adik dari pendekar Yap Kun Liong. Dia melarang dan tidak
setuju, akan tetapi Bun Houw nekat sehingga puteranya itu lalu pergi bersama In
Hong dan sampai kini tidak ada kabar ceritanya.
Hiburan satu-satunya bagi Cia Keng Hong setelah isterinya meninggal dunia adalah
cucunya yang digemblengnya sejak kecil di Pegunungan Cin-ling-san itu. Cucu
perempuan ini bukan lain Lie Ciaw Si, puteri dari Cia Giok Keng dan mendiang Lie
Kong Tek. Dengan tekun pendekar sakti itu menurunkan kepandaiannya kepada
cucunya ini, dan biarpun Ciauw Si tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol,
akan tetapi dara ini telah mewarisi banyak ilmu tinggi kakeknya sehingga dia
menjadi seorang dara yang hebat juga dan jarang akan ada yang mampu
menandinginya. Betapapun juga, setelah neneknya meninggal, dara yang kini berusia dua puluh
tahun itu sering kali melihat kakeknya termenung duka, bahkan sering kali
kakeknya itu seperti seorang pikun turun gunung dan merantau di kaki Pegunungan
Cin-ling-san, lupa makan lupa tidur dan baru pulang kalau sudah disusul dan
dibujuknya. Kemudian Ciauw Si mendengar penuturan ibunya yang masih tinggal di
Sin-yang di rumah mendiang suaminya, tentang pamannya, adik ibunya, yaitu Cia
Bun Houw dan bahwa kedukaan kakeknya itu disebabkan oleh kepergian Bun Houw yang
sampai sekarang tidak pernah ada beritanya itu. Mendengar ini, Ciauw Si yang
mencinta kakeknya itu merasa kasihan dan pada suatu pagi pergilah dia
meninggalkan Cin-ling-san dengan meninggalkan surat untuk kakeknya, memberi tahu
bahwa dia pergi untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw!
Akan tetapi, kejadian ini sama sekali tidak menggirangkan hati kakek pendekar
itu. Sebaliknya malah. Dia merasa prihatin dan khawatir. Biarpun cucunya itu
sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi cucunya adalah seorang wanita muda
dan kurang pengalaman, padahal dia tahu betul betapa bahayanya merantau di dunia
kang-ouw seorang diri bagi seorang wanita muda. Kekhawatiran ini membuat hatinya
tidak tenang, maka kakek inipun lalu turun gunun untuk mencari cucunya!
Demikianlah keadaan singkat dari kakek pendekar Cia Keng Hong yang usianya sudah
tujuh puluh lima tahun itu. Dalam perantauannya mencari cucunya itulah secara
kebetulan dia melihat Sin Liong yang sedang tersiksa oleh Kim Hong Liu-nio dan
dia lalu turun tangan menolongnya. Biasanya, kakek yang sedang merantau ini
menyembunyikan diri dan kepandaiannya, dan kalau sekarang dia memperlihatkan
kepandaiannya, adalah karena dia terpaksa sekali oleh kelihaian Kim Hong Liu-
nio. Kakek itu merasa amat kagum menyaksikan sikap anak yang disiksa itu, dan
diam-diam dia memperhatikan, bahkan ketika dia membebaskan belenggu itu jari-
jari tangannya mengusap dan dia memperoleh kenyataan bahwa anak itu benar-benar
memiliki tulang yang baik sekali.
Kini kakek itu menghampiri Sin Liong yang sudah bangkit berdiri dengan bibir
pecah-pecah. Biarpun anak itu lebih patut dikatakan setengah hidup dalam keadaan
payah sekali, namun anak itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepada kakek
itu dengan mata merah, mata yang tadi disiksa oleh panasnya matahari. Setelah
kakek itu datang dekat, tiba-tiba Sin Liong tak dapat bertahan lagi dan dia
terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat disambar oleh tangan kakek itu.
Sin Liong roboh pingsan, hal yang ditahan-tahannya sejak tadi.
Sin Liong mengecap-ngecap bibirnya yang basah. Dia membuka mata dan melihat
bahwa dia sedang rebah di bawah pohon yang teduh sedangkan kakek itu membasahi
mukanya dan memberi minum air jernih yang dingin dan nikmat sekali terasa
olehnya. Cepat dia bangkit duduk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu. Sin Liong maklum bahwa tanpa adanya kakek ini, dia tentu sudah mati dalam
keadaan mengerikan, dirobek-robek dagingnya oleh burung-burung gagak pemakan
bangkai! Biarpun tadi kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, namun dia
masih dapat menyaksikan betapa kakek yang sederhana ini ternyata mampu
menandingi Kim Hong Liu-nio, bahkan wanita iblis itu melarikan diri! Maka Sin
Liong yang cerdik mengerti bahwa kakek tua renta ini adalah seorang manusia
sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan locianpwe."
Cia Keng Hong mengurut jenggotnya yang putih dan memandang kepada bocah itu
penuh perhatian. Ketika dia merawat Sin Liong dari pingsannya tadi, kembali dia
meraba-raba dan makin yakin dia akan bakat yang terpedam dalam diri anak ini.
"Anak yang baik, siapakah namamu?"
"Nama saya Sin Liong..."
Tercengang juga hati kakek itu mendengar nama yang gagah itu. Nama anak ini
berarti Naga Sakti! "Engkau she apakah, Sin Liong?"
Sin Liong tahu bahwa dia adalah she Cia. Akan tetapi dia tidak mau membawa-bawa
nama ayahnya yang belum pernah dijumpainya itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia
menjawab, "Locianpwe, sejak kecil saya tidak tahu apakah she saya. Saya hanya
bernama Sin Liong, tanpa she."
Cia Keng Hong tercengang, alisnya berkerut. "Kalau begitu, siapakah ayah
bundamu?" Sin Liong menggeleng kepalanva. "Saya hidup sebatangkara, tidak mempunyai ayah
dan bunda. Saya bekerja sebagai pelayan dari Na-piauwsu yang tinggal di Kun-
ting. Akan tetapi beberapa hari yang lalu Na-piauwsu serumah dibunuh orang-orang
yang menjadi musuhnya. Lalu muncul wanita iblis itu yang berbalik membunuhi
semua orang yang telah membasmi keluarga Na-piauwsu, akan tetapi wanita itu lalu
membawa saya ke sini."
Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan alis matanya tetap berkerut.
Sungguh aneh cerita anak ini. "Dan mengapa kau dibawanya ke sini dan akan
disiksanya sampai mati" Apakah dia memaksamu untuk menceritakan sesuatu?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Saya sendiri tidak tahu, locianpwe."
Cia Keng Hong adalah seorang kakek bijaksana. Dia sudah mengenal seorang anak
yang luar biasa dan dia menduga bahwa tentu ada rahasia di balik diri anak ini
dan bahwa anak ini sengaja tidak mau menceritakan tentang dirinya. Maka diapun
tidak mau mendesak. Hatinya merasa kasihan sekali dan entah mengapa, dia merasa
amat tertarik kepada Sin Liong, merasa seolah-olah wajah anak ini tidak asing
baginya. "Sin Liong, setelah keluarga Na itu dibasmi orang, lalu sekarang engkau akan
tinggal di mana?" tanyanya.
Sin Liong tidak mampu menjawab, akan tetapi akhirnya dia berkata, "Locianpwe,
dunia begini luas, saya tidak merasa khawatir untuk tidak kebagian tempat
tinggal. Bukankah di manapun bisa ditinggali, misalnya di hutan ini sekalipun?"
Cia Keng Hong terharu. Anak ini masih wajar, masih polos dan murni, belum
dikotori "kebudayaan" dunia di mana setiap orang manusia bergulat untuk
memperoleh kemuliaan dan kesenangan, kalau perlu dengan jalan mendorong dan
menginjak orang lain. Anak ini agaknya belum membutuhkan apa-apa!
"Sin Liong, apakah engkau suka belajar ilmu silat?"
Sejenak wajah anak itu berseri gembira. "Tentu saja, locianpwe."
"Bagus! Kalau begitu marilah kau turut bersamaku dan aku akan mengajarkan ilmu
silat kepadamu." Sin Liong memang sudah merasa kagum dan suka sekali kepada kakek ini.
Pelindungnya, Na-piauwsu telah tewas, maka tidak ada tempat lain baginya dan
kakek ini ternyata jauh lebih lihai daripada Na-piauwsu, bahkan agaknya lebih
lihai atau setidaknya pun tidak kalah oleh Kim Hong Liu-nio! Maka dia lalu
berlutut lagi. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."
Cia Keng Hong membangunkan anak itu dengan wajah berseri. Baru sekarang semenjak
dia pergi menyusul dan mencari cucunya, dia merasa girang. "Bangunlah dan mari
kita berangkat sekarang juga, Sin Liong. Aku tidak ingin terjadi banyak
keributan dan kalau wanita itu kembali lagi, tentu akan terjadi keributan."
Berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu dan Cia Keng Hong mengambil
keputusan untuk kembah ke Cin-ling-san dengan jalan memutar karena dia masih
ingin mendengar-dengar dan mencari jejak cucunya yang pergi meninggalkan Cin-
ling-san tanpa pamit itu.
*** Hati Cia Keng Hong makin merasa suka kepada Sin Liong. Di sepanjang perjalanan,
anak ini memperlihatkan sikap yang pendiam, tidak cerewet, tidak pernah
mengeluh, kuat dan tahan uji, juga amat cerdik. Pernah dia mencobanya dengan
mengajaknya berjalan semalam suntuk. Namun Sin Liong tidak pernah mengeluh,
sungguhpun ketika berjalan semalam suntuk itu beberapa kali dia terhuyung dan
kedua kakinya membengkak, dan ketika diajak berpuasa itu pendengaran telinga
kakek pendekar yang amat tajam itu dapat menangkap bunyi perut anak itu
berkeruyuk berkali-kali. Pada suatu hari, tibalah kakek dan anak tanggung ini di sebuah batu karang.
Ketika mereka tiba di kaki bukit, dari jauh saja keduanya sudah melihat
serombongan orang berjalan terhuyung-huyung dan mereka semua itu luka-luka
seperti serombongan pasukan kecil yang baru saja pulang dari medan pertempuran
dengan menderita kekalahan. Cia Keng Hong yang tidak ingin mencampuri urusan
orang lain, menggandeng tangan Sin Liong hendak diajak mengambil jalan lain
karena sekelebatan saja dia tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang kang-
ouw atau orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan yang telah luka-luka
karena pertempuran. Orang-orang seperti itu tentulah orang-orang yang selalu
mengandalkan kepandaian sendiri dan suka mencari permusuhan dan suka mencari
kekerasan, maka dia hendak menjauhkan Sin Liong dari mereka.
"Locianpwe...!"
"Ah, agaknya Thian yang menuntun ciangbunjin (ketua) dari Cin-ling-pai ke sini
untuk menolong kami...!"
Tiba-tiba belasan orang itu semua menjatuhkan diri berlutut di depan Cia Keng
Hong! Tentu saja kakek ini menjadi kaget dan tahulah dia bahwa mereka itu telah
mengenalnya sehingga tak mungkin dia menyingkir lagi. Maka diapun memandang
kepada mereka penuh perhatian. Akhirnya dia teringat bahwa dia mengenal beberapa
orang di antara mereka sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan bukanlah kaum
kasar, melainkan pendekar-pendekar yang suka menolong orang. Maka dengan sikap
halus diapun mendekati dan bertanya kepada mereka.
"Cu-wi sicu (sekalian orang gagah) mengapa menderita luka-luka" Apakah yang
telah terjadi?" Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang pundaknya terluka, bajunya robek
dan kulit pundak itu kelihatan biru dan lumpuh sebelah lengannya, segera
menjawab, "Di puncak bukit ini terdapat seorang gila yang merampas kambing,
kuda, sapi, anjing dan binatang apa saja milik penduduk dusun-dusun di sekitar
bukit ini untuk dibunuh dan diganyang mentah-mentah! Orang-orang dusun yang
datang kepadanya semua dilukai. Kami yang mendengar ini lalu pergi untuk
mengusirnya, akan ternyata orang gila itu lihai dan jahat sekali sehingga kami
semuapun kalah dan terluka. Oleh karena itu, demi kepentingan para penghuni
dusun di sekitar tempat ini, kami mohon kebijaksanaan dan keadilan locianpwe
untuk mengusir orang gila itu dari daerah ini."
Setelah bercerita, kakek itu bersama teman-temannya segera amat tergesa-gesa
bangkit berdiri dan menjura, lalu meninggalkan tempat itu dengan terhuyung dan
terpincang-pincang, seolah-olah mereka masih merasa jerih dan khawatir kalau-
kalau orang gila itu mengejar mereka! Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Dia
tidak tertarik untuk menguruskan orang gila! Berapa banyak sih binatang yang
dapat dimakan habis oleh seorang manusia, betapa gilapun dia" Dan biasanya,
seorang gila tidak akan mengganggu orang lain kalau tidak lebih dulu diganggu!
Mungkin anak-anak penggembala ternak itu yang lebih dulu mengganggu si gila
sehingga menjadi marah-marah. Kalau para pendekar itu tidak mendatangi si gila
di atas bukit, jelas bahwa si gila itu tidak akan melukai mereka. Dia tidak
boleh hanya mendengarkan laporan sefihak lalu membela mereka.
"Sin Liong, mari kita pergi..." Dia menoleh dan pandang mata kakek itu mencari-
cari. Sin Liong tidak ada lagi di tempat itu. Tadi anak itu berada di
belakangnya ikut mendengarkan, akan tetapi ternyata secara diam-diam anak itu
telah pergi! "Sin Liong...!" Dia berseru memanggil, biarpun seruannya itu tidak keras, akan
tetapi karena digerakkan oleh khi-kang, maka gemanya sampai terdengar dari
tempat jauh, bahkan terdengar sampai ke puncak bukit batu karang itu!
Sunyi saja tidak ada jawaban dari Sin Liong, akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara tertawa "Ha-ha-ha-ha!"
Cia Keng Hong terkejut bukan main. Itu bukanlah suara ketawa biasa, melainkan
suara ketawa yang juga mengandung khi-kang amat kuatnya dan suara itu datang
dari atas puncak bukit itu. Dia menjadi khawatir dan pendekar sakti yang sudah
tua ini cepat mendaki bukit menuju ke puncak. Setelah tiba di puncak, dia
melihat hal yang membuat mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak. Di atas
puncak itu, di atas batu-batu besar yang permukaannya halus, dikelilingi oleh
puncak-puncak batu karang lain yang menjulang tinggi, dia melihat Sin Liong
duduk bersila, berhadapan dengan seorang kakek tua renta tinggi besar yang


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya gundul, kakek yang membuat pendekar sakti ini memandang bengong karena
dia mengenal baik kakek itu yang bukan lain adalah Kok Beng Lama!
Para pembaca cerita Petualang Asmara dan cerita Dewi Maut tentu mengenal baik
siapa adanya kakek gundul ini. Kok Beng Lama adalah seorang pendeta Lama dari
Tibet yang memiliki kesaktian hebat, dan dia pernah menjadi kepala dari para
pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Akan tetapi, semenjak puterinya yang bernama
Pek Hong Ing, yang menjadi isteri dari pendekar Yap Kun Liong, tewas dibunuh
orang (baca cerita Dewi Maut), Kok Beng Lama merasa demikian marah dan dukanya
sampai dia menjadi tidak waras, otaknya menjadi agak miring! Kemudian dia dapat
sembuh, bahkan dia lalu mewariskan ilmu-ilmunya kepada Lie Seng, cucu dari ketua
Cin-ling-pai itu, dan Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong, masih terhitung
cucu tirinya sendiri karena Yap Mei Lan bukanlah anak Pek Hong Ing, melainkan
anak yang lahir dari hubungan gelap antara Yap Kun Liong dan Lim Hui Sian (baca
cerita Petualang Asmara).
Akan tetapi, ketika Lie Seng dan Yap Mei Lan, dua orang muridnya yang terakhir
itu sudah tamat belajar dan meninggalkan dia, Kok Beng Lama merasa kesepian dan
kumat lagi gilanya, maka dia lalu merantau seperti orang gila dan akhirnya pada
hari itu dia berada di atas bukit batu karang, menimbulkan geger dan sampai dia
bertemu dengan Cia Keng Hong dan Sin Liong!
Cia Keng Hong memandang bengong ketika melihat kakek gundul itu duduk bersila
berhadapan dengan Sin Liong sambil tertawa-tawa dan kedua orang itu ternyata
sedang bercakap-cakap dengan asyiknya!
"Kakek yang baik, kenapa kaulukai orang-orang itu?" terdengar Sin Liong
bertanya. Kok Beng Lama meraba-raba kepala dan pundak Sin Liong sambil tertawa. "Ha-ha-ha,
mereka itu jahat! Mereka itu hendak menghina seorang tua seperti aku. Mereka
datang dengan senjata di tangan. Ha-ha, untung bertemu dengan aku yang masih
mengampuni mereka. Manusia memang jahat dan palsu, tidak seperti binatang yang
wajar dan lebih baik."
"Memang binatang lebih baik, kakek," jawab Sin Liong yang teringat akan monyet-
monyet besar yang menjadi teman-temannya.
"Ha-ha, bagus, bagus! Engkau binatang cilik yang baik sekali."
"Dan engkau seperti monyet tua yang pernah merawatku."
"Hu-huh-huh, memang aku monyet. Monyet gundul. Dan kau... ehhh, siapa namamu?"
"Sin Liong." "Bagus! Kau seekor naga. Bukan ular, naga lain lagi. Kalau ular sih seperti
manusia, kadang-kadang licik dan curang. Kalau naga tidak, kau naga cilik yang
menyenangkan. Semua orang takut padaku, tapi kau tidak, naga cilik."
"Aku kasihan kepadamu, kek."
"Kenapa kasihan, hee, hayo katakan, kenapa kasihan kau, naga cilik?"
"Karena semua orang menghinamu, mengatakan kau gila."
"Memang aku gila! Apakah kau tidak gila?"
"Aku... aku..." Sin Liong menjadi bingung, akan tetapi dia benar-benar merasa
kasihan kepada kakek yang seperti dia ini, yang hidup sebatangkara, maka dia
ingin menyenangkan hatinya. "Aku juga gila."
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kita berdua orang-orang gila! Persetan dengan mereka yang menganggap diri sendiri
tidak gila!" Kakek itu bangkit berdiri, kedua tangannya yang berlengan panjang
menyambar tubuh Sin Liong dan melontar-lontarkan tubuh anak itu ke atas sampai
tinggi sekali! Sin Liong maklum akan kesaktian kakek itu, maka diapun tidak mau
mengeluh, tidak mau memperlihatkan rasa takut.
Cia Keng Hong khawatir kalau-kalau kakek gila itu akan mencelakai Sin Liong,
maka sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat tinggi dan menyambar tubuh
Sin Liong ketika untuk ke sekian kalinya dilontarkan ke atas Kok Beng Lama!
Setelah menurunkan Sin Liong yang berdiri di belakangnya, Cia Keng Hong kini
berdiri berhadapan dengan Kok Beng Lama dan ketua Cin-ling-pai itu menjura
dengan hormat. "Sahabat baik Kok Beng Lama, apakah selama ini engkau baik-baik saja?" Cia Keng
Hong berkata. Kakek gundul itu memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan dia
terkejut dan tercengang, lalu menjura dengan kaku dan berkata, "Aih...
kiranya... Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Silakan duduk." Dan kakek gundul
inipun lalu duduk bersila di atas batu, dan melihat ini, tentu saja Cia Keng
Hong juga duduk bersila, berhadapan dengan kakek Lama dari Tibet itu.
Sin Liong berdiri dan kini dia memandang bengong kepada kakek sakti yang selama
ini membawanya melakukan perjalanan itu. Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai" Dia
teringat akan pesan ibu kandungnya, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai adalah
kakeknya, ayah dari Cia Bun Houw, ayahnya, ayah kandungnya! Jadi kakek yang
menolongnya dari tangan iblis betina Kim Hong Liu-nio ini, yang kemudian
membawanya, adalah kakeknya sendiri!
Tiba-tiba Sin Liong yang berdiri bengong itu terkejut melihat perubahan pada
wajah si kakek gundul, matanya menjadi merah dan mulutnya yang bersembunyi di
balik kumis dan jenggot putih itu menyeringai. Agaknya kakek gundul itu kumat
lagi gilanya! Cia Keng Hong juga melihat ini, maka dia cepat-cepat bertanya,
suaranya tetap halus, "Kok Beng Lama, di manakah cucuku Lie Seng dan Yap Mei
Lan" Kenapa aku tidak melihat mereka?"
Sungguh tidak disangka sama sekali oleh Cia Keng Hong bahwa pertanyaannya itu
merupakan minyak bakar disiramkan kepada api kegilaan yang mulai bernyala di
dalam otak Kok Beng Lama itu. Kegilaan kakek gundul ini menjadi kumat setelah
dua orang muridnya itu pergi karena dia merasa kesepian dan rindu, dan kini
kata-kata ketua Cin-ling-pai itu justeru mengingatkan dia kepada dua orang yang
dicintanya itu! Maka makin merahlah mata itu, makin melotot dan kini ditujukan
kepada Cia Keng Hong penuh kebencian. Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai! Anakku tercinta mati karena
puterimu, dan aku masih saja mendidik puteramu mendidik cucumu! Wah, sekarang
cucumu juga pergi meninggalkan aku! Aku menderita sengsara dan berduka karena
kau, maka kau harus bertanggung jawab sekarang! Ha-ha-ha, aku paling suka
mengadu ilmu dan di dunia ini siapa yang dapat menandingi aku kecuali ketua Cin-
ling-pai" Hayo, Cia Keng Hong, hari ini kita membuat perhitungan terakhir, ha-
ha!" Cia Keng Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, kakek
gundul ini sudah gila. Tentu saja dia menolak dan mengangkat kedua tangan ke
atas, menggoyang-goyangnya. "Jangan, Kok Beng Lama, jangan! Di antara kita tidak
terdapat permusuhan, bahkan terikat persahabatan dan persaudaraan yang kekal,
bukan?" "Ha-ha-ha, justeru aku ingin mati dalam tangan seorang yang ternama seperti kau,
bukan di tangan segala macam anjing busuk seperti belasan orang tadi. Hayo,
sambutlah seranganku ini, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai!" Setelah berkata
demikian, tiba-tiba kakek gundul itu sambil tertawa lalu menggerakkan kedua
tangannya ke depan dan angin pukulan yang amat hebatnya menyambar dahsyat ke
depan, menyerang ke arah Cia Keng Hong! Kakek ketua Cin-ling-pai ini memang
sudah mengangkat kedua tangan ketika menggoyang-goyang tangan untuk mencegah
itu. Melihat serangan yang dapat mencabut nyawanya itu, dia terkejut sekali dan
cepat diapun mendorongkan kedua lengannya ke depan untuk menyambut.
Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti itu. Jarak antara tangan kedua orang
kakek ini masih ada setengah meter, namun tenaga yang bertemu antara kedua
pasang tangan itu sedemikian dahsyatnya sehingga segala sesuatu di sekitar
tempat itu seperti tergetar hebat. Bahkan Sin Liong sendiri sampai terpental dan
bergulingan ke belakang. Akan tetapi, anak ini sudah cepat bangkit kembali dan
berdiri menonton dengan mata terbelalak. Kalau tadinya dia merasa suka kepada
Kok Beng Lama dan diam-diam mengasihani kakek itu, kini dia berfihak kepada
kakeknya itu. Dia merasa khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah dan
sedang terjadi, akan tetapi dia dapat menduga bahwa antara kedua orang kakek
yang duduk bersila dan meluruskan kedua lengan itu pasti sedang terjadi
pertandingan yang amat aneh dan hebat. Dia melihat betapa wajah Kok Beng Lama
kelihatan gembira dan mulutnya menyeringai seperti hendak mentertawakan ketua
Cin-ling-pai itu, sebaliknya Cia Keng Hong kelihatan prihatin sekali. Dia tahu
bahwa kakek gundul itulah yang memaksa kakeknya untuk bertanding.
"Jangan berkelahi...!" Sin Liong berseru. Akan tetapi dua orang kakek itu sama
sekali tidak memperdulikannya. Kok Beng Lama yang sedang dilanda kegembiraan
besar karena dia dapat mengadakan pertandingan melawan seorang yang amat lihai
itu tentu saja sudah melupakan Sin Liong, sebaliknya, biarpun Cia Keng Hong
mendengar seruan Sin Liong, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak
mungkin dia menghentikhn perlawanannya, karena hal itu berarti bahwa dia akan
tewas. Juga membagi perhatian kepada Sin Liong amat membahayakan dirinya. Dia
merasa betapa tenaga sakti kakek gundul itu makin lama makin kuat menghimpitnya
dan beberapa kali mencoba untuk mendesak tenaga perlawanannya. Oleh karena itu,
Cia Keng Hong lalu cepat mengerahkan tenaga mujijat Thi-khi-i-beng!
"HA-HA, Thi-khi-i-beng, ya" Bagus, aku memang ingin merasakan kebehatannya!" Kok
Beng Lama berseru sambil tertawa. Hal ini amat mengejutkan hati Cia Keng Hong
karena pendekar ini maklum betapa berbahayanya bagi Kok Beng Lama yang berani
bicara dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu. Ternyata kakek gundul itu sudah
tidak lagi memperhitungkan bahaya.
"Kok Beng lama, perlu apa kita bertanding" Hentikanlah!" serunya. Akan tetapi
jawaban kakek gundul itu hanya suara tertawa dan desakan tenaga yang lebih kuat
lagi. Terpaksa Cia Keng Hong juga mengerahkan tenaganya dan tidak berani bicara
lagi karena yang dibadapinya adalah bahaya maut, bukan main-main.
"Hentikan! Jangan berkelahi!" Sin Liong kini melangkah menghampiri dua orang
kakek yang sedang mengadu tenaga sakti itu. Melihat ini, Cia Keng Hong merasa
khawatir sekali, akan tetapi karena tenaga lawan amat kuat mendesak maka diapun
tidak berani membagi perhatian dan diam saja, mencurahkan perhatian dan
tenaganya untuk mempertahankan dan melindungi dirinya sendiri.
Karena berkali-kali dia berteriak tanpa diperdulikan orang, dan melihat betapa
kini dari kepala dua orang kakek itu mengepul uap putih, Sin Liong menjadi makin
khawatir dan dengan nekat dia lalu meloncat ke tengah-tengah antara kedua orang
kakek itu untuk memisahkan mereka! Hampir saja Cia Keng Hong berteriak saking
kagetnya karena apa yang dilakukan oleh anak itu benar-benar amat berbahaya,
akan tetapi dia sendiri tidak mampu menolongnya, karena sedikit saja dia
mengurangi tenaganya, dia akan celaka, apalagi menarik tenaganya yang
mempertahankan diri itu. Keadaannya seperti seorang yang menggunakan kedua
tangan menahan gencatan benda yang amat berat, berkurang sedikit saja tenaganya
tentu benda itu akan menggencatnya sampai hancur.
Sin Liong sendiri kaget setengah mati karena begitu dia meloncat masuk, tiba-
tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga
dia tertarik dan tiba-tiba saja dia sudah jatuh duduk di antara kedua orang
kakek itu, duduknya menghadapi Cia Keng Hong dan membelakangi Kok Beng Lama.
Tubuh anak itu tergetar hebat seperti terkena aliran tenaga yang luar biasa.
Melihat betapa kedua telapak tangan yang lebar dari Kok Beng Lama menyentuh
punggung anak itu, Cia Keng Hong yang tadinya agak menarik kedua tangannya
ketika Sin Liong meloncat masuk, kini cepat dia mengulurkan tangannya menempel
pada pundak anak itu. Dia merasa betapa tenaga amat dahsyat dari Kok Beng Lama
menyerangnya melalui anak itu, maka diapun seperti mempertahankan dan
mengimbangi kekuatan itu sehingga tenaga keduanya kini saling bertanding melalui
tubuh Sin Liong. Sin liong merasa tersiksa sekali. Dia sukar untuk bernapas, dan hawa panas
dingin bergantian menyerang tubuhnya yang kadang-kadang terdorong ke belakang
oleh dua tenaga dahsyat yang saling dorong di depan dan belakangnya itu. Dia
tidak ingin membantu siapapun, karena dia kasihan kepada kakek gundul yang gila,
akan tetapi dia juga tentu saja bersimpati kepada kakeknya itu. Selain itu,
andaikata dia ingin membantu sekalipun, bagaimana mungkin dia dapat membantu"
Dia hanya melerai, akan tetapi siapa kira, dia malah terseret dan terhimpit tak
dapat terlepas lagi. Sama sekali dia tidak sadar bahwa tanpa diketahuinya, dia
telah membantu Kok Beng Lama karena dia duduk berhadapan dengan kakeknya itu!
Biarpun Sin Liong tidak mau membantu, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat
hawa mujijat yang timbul karena dia pernah keracunan Hui-tok-san yang kemudian
dibikin punah oleh racun-racun ular sehingga timbul semacam tenaga mujijat di
dalam tubuhnya, tenaga inilah yang serentak bangkit dan melakukan perlawanan
ketika tubuhnya dialiri dua tenaga dahsyat itu, dan karena dia duduk menghadap
Cia Keng Hong, maka tentu saja perhatiannya ditujukan ke depan dan otomatis
tenaga mujijat di dalam tubuhnya itu juga meluncur ke depan! Tanpa disadarinya
sendiri, tenaga ini membantu Kok Beng Lama dan menyerang Cia Keng Hong!
Ketika ketua Cin-ling-pai merasa betapa ada tenaga yang amat kuat, seolah-olah
tenaga kakek gundul itu menjadi bertambah besar, menyerangnya dan mendorongnya
sehingga dia mendoyong ke belakang, dia menjadi terkejut sekali dan cepat dia
lalu mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng untuk menyedot. Kini giliran Kok Beng
Lama yang terkejut ketika tiba-tiba tenaganya yang amat kuat itu membanjir
keluar tanpa dapat diremnya lagi. Cepat dia mengubah tenaganya, mempertahankan
dan kini berubahlah sifat pertandingan itu. Kalau tadi kedua orang sakti itu
mengerahkan sin-kang untuk saling mendorong dan mengadu kekuatan untuk saling
merobohkan, kini Cia Keng Hong menggunakan Thi-khi-i-beng menyedot sedangkan
pendeta Lama itu mempertahankan!
Kembali Sin Liong yang menjadi sasaran utama dan yang paling menderita! Anak ini
merasa betapa tubuhnya kadang-kadang seperti kosong dan kering tersedot, lalu
terisi kembali oleh tenaga dari Kok Beng Lama, seolah-olah dia sebentar mati
sebentar hidup kembali, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia mengeluh
panjang pendek akan tetapi untuk melepaskan diri dia tidak sanggup, biarpun
sudah beberapa kali dia berusaha untuk bergerak dan keluar dari dalam himpitan
itu. Melihat ini, maklumlah Cia Keng Hong bahwa anak ini terancam bahaya maut.
Akan tetapi, kakek sakti inipun memperoleh kenyataan yang amat luar biasa, yaitu
bahwa anak itu sama sekali tidaklah asing dengan tenaga sakti! Tahulah dia bahwa
tadi tenaga Kok Beng Lama menjadi berlipat ganda karena memperoleh tambahan
tenaga dari anak ini! Tahulah kakek ini bahwa Sin Liong benar-benar adalah anak
luar biasa, yang mungkin karena sesuatu hal yang tidak disadarinya sendiri oleh
anak itu, telah memiliki sin-kang yang aneh. Kalau saja dia bisa mempergunakan
sin-kang anak itu untuk membantunya, tentu Kok Beng Lama akan kalah dan anak ini
akan selamat. Keselamatan anak inilah yang penting baginya, anak ini masih
kecil, masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Sedangkan dia dan Kok Beng Lama
adalah dua orang kakek tua renta yang hanya tinggal menghitung hari saja, yang
tinggal menanti kematian yang tentu tidak akan lama lagi karena mereka sudah
tua. Pikiran untuk menyelamatkan anak inilah yang membuat Cia Keng Hong
berbisik-bisik, membuka rahasia pelajaran untuk mengerahkan tenaga di dalam
tubuh, membangkitkan tenaga dahsyat dengan Ilmu Thi-khi-i-beng!
Sin Liong sudah berada dalam keadaan antara sadar dan tidak hampir pingsan. Akan
tetapi dia adalah seorang anak yang luar biasa, memiliki daya tahan yang besar
berkat penderitaan yang terlalu sering dialaminya semenjak dia masih bayi, dan
karena pernah hidup bersama monyet-monyet yang tajam sekali perasaan dan peka
terhadap segala sesuatu yang terjadi, memiliki naluri halus dan dekat dengan
alam, maka biarpun dia dalam keadaan tersiksa, dia dapat mencurahkan perhatian
terhadap bisikan-bisikan kakek sakti yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri
itu. Mula-mula pening juga kepala Sin Liong mendengarkan kakek itu menyebut-nyebut
hiat-to (jalan darah) yang bermacam-macam itu. Dia tidak tahu di mana adanya ci-
kiong-hiat, koan-goan-hiat, thian-ti-hiat dan lain-lain. Akan tetapi ketika
dengan teliti dan sabar Cia Keng Hong memberi penjelasan, perlahan-lahan anak
itu mulai mengerti dan mulailah dia mengatur pernapasan menurutkan petunjuk
kakek itu, menahan napas dan menggerakkan hawa dari pusarnya. Memang Sin Liong
memiliki bakat yang amat hebat, dan juga Cia Keng Hong memang hendak menolongnya
dan sudah mengambil keputusan untuk mewariskan Thi-khi-i-beng kepada anak ini,
maka perlahan-lahan muncullah tenaga sedot dari dalam tubuh anak itu yang makin
lama makin kuat! "Oohhhh...!" Kok Beng Lama terkejut sekali ketika pertahanannya mulai jebol dan
perlahan-lahan tenaga sin-kangnya mulal mengalir ketuar melalui kedua telapak
tangannya yang masih menempel di punggung Sin Liong! Akan tetapi, karena bocah
itu belum dapat menguasai Thi-khi-i-beng secara sempurna, biarpun tubuhnya sudah
dapat mengeluarkan daya sedot, akan tetapi dia belum dapat mengalirkan sin-
kangnya yang memasuki tubuhnya itu keluar melalui kedua tangan Cia Keng Hong,
melainkan berkumpul dengan hawa pusarnya dan berputar-putar di seluruh tubuhnya,
makin lama makin cepat putaran itu sehingga menimbulkan daya sedot yang makin
kuat! Terjadilah hal yang amat aneh. Cia Keng Hong juga mengeluh karena kini dia
merasa betapa tenaga sin-kangnya sendiripun tersedot masuk ke dalam tubuh Sin
Liong melalui kedua tangannya! Kiranya, dia telah mempergunakan seluruh tenaga
untuk saling tarik dengan tenaga Kok Beng Lama, maka ketika muncul tenaga baru
ke tiga dari Sin Liong yang memiliki daya sedot, dia sendiri tidak berani
membagi tenaga untuk bertahan, karena membagi tenaga berarti mengurangi tenaga
melawan Kok Beng Lama dan hal itu amatlah berbahaya. Oleh karena itu, kakek
ketua Cin-ling-pai ini terpaksa membiarkan tenaganya perlahan-lahan keluar dan
mengalir masuk ke dalam tubuh anak yang baru saja diajari ilmu Thi-khi-i-beng
itu! Sama halnya dengan senjata makan tuan!
Akan tetapi, yang hebat keadaannya adalah Kok Beng Lama. Kini tenaga sin-kangnya


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar seperti membanjir memesuki tubuh Sin Liong, tidak dapat dibendung atau
ditahannya lagi. Cia Keng Hong tidak sadar akan hal ini. Kalau dia tahu tentu
dia tidak pertu membiarkan tenaganya sendiri juga tersedot. Maka dia hanya
memejamkan mata, membiarkan tenaganya dari sedikit tersedot, sedangkan dia masih
mempertahankan perlawanannya terhadap Kok Beng Lama.
Kalau dua orang kakek itu terkejut oleh kenyataan betapa sin-kang mereka
tersedot, adalah Sin Liong yang paling repot dan paling tersiksa. Dia merasa
betapa tubuhnya seperti sebuah balon karet yang ditiup terus melampaui takaran,
dia merasa seolah-olah tubuhnya menggembung besar dan penuh, matanya berkunang,
melihat warna merah kuning, napasnya sesak dan setiap kali membuka mata, dia
melihat dunia seperti kiamat, seperti kebakaran! Maka dia cepat memejamkan
matanya kembali dan diam-diam dia menyesal mengapa dia tadi mempelajari ilmu
setan yang diajarkan oleh kakek itu. Untuk menghilangkan ilmu itu sudah tidak
mungkin lagi karena tanpa disadarinya sendiri hawa di tubuhnya sudah terus
berputar-putar dan terus dibanjiri tenaga dari belakang dan dari depan!
"Auhh... sudah... sudah...!" Berkali-kali Sin Liong mengeluh, akan tetapi dua
orang kakek itu tidak mampu berbuat apapun. Kok Beng Lama yang merasa terkejut
itu melihat bahwa dia sudah terlambat untuk melepaskan diri, kedua tangannya
sudah melekat dan tenaganya sudah terus membanjir keluar! Dia mengira bahwa
itulah kehebatan dari tenaga dalam Cia Keng Hong.
"Cia Keng Hong... kau... kejam...!" Dia mengeluh dan terpaksa hanya melihat saja
betapa tenaganya makin lama makin habis, seolah-olah tubuhnya yang tua itu mulai
dihisap kering, seperti seekor laba-laba menghisap kering semua cairan dari
tubuh seekor lalat yang telah tertawan dalam sarangnya.
Akan tetapi, Cia Keng Hong sendiripun tidak tahu akan hal ini. Disangkanya bahwa
Kok Beng Lama telah mengetahui rahasia Thi-khi-i-beng dan kini dia malah mulai
merasa betapa dia terancam maut di tangan kakek gundul itu. Maka dia terus saja
mempertahankan! Kalau saja tidak terjadi kesalahfahaman ini, kiranya dua orang
kakek itu akan dapat masing-masing menghentikan sin-kang mereka yang diarahkan
keluar, dan dapat terbebas dari sedotan hawa aneh yang berputaran di dalam tubuh
anak itu. "Ouhhhh... Cia Keng Hong... selamatkan anak ini...!" itulah keluhan terakhir
dari Kok Beng Lama yang pada saat-saat terakhir telah waras kembali ingatannya
dan dia masih dapat meninggalkan pesan agar menyelamatkan bocah yang tadi
memperlihatkan sikap ramah kepadanya. Setelah berkata demikian, pendeta Lama ini
menarik napas panjang sekali lalu tubuhnya menjadi lunglai kehabisan tenaga.
Setelah pendeta Lama itu kehabisan tenaga, barulah Cia Keng Hong terkejut bukan
main. Barulah dia tahu bahwa sejak tadi, tenaganya sendiripun tersedot ke dalam
tubuh anak itu, sama sekali bukan untuk menahan serangan Kok Beng Lama! Dan
pendeta Lama itu agaknya juga kehabisan tenaga bukan untuk bertanding dengannya,
melainkan habis teredot oleh anak itu.
"Aihhhh...!" Ketua Cin-ling-pai itu mengerahkan tenaganya yang tinggal
setengahnya itu, membuat gerakan menarik sehingga kedua tangannya dapat terlepas
dari kedua pundak Sin Liong. Dia meloncat berdiri dengan tubuh lemas dan
bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena hampir setengah dari tenaganya
juga amblas! Dia mengalami luka di dalam tubuhnya, biarpun tidak terlalu
berbahaya namun membutuhkan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Ketika dia
memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama yang masih duduk bersila ternyata telah
tidak bernyawa lagi! "Celaka...!" keluhnya. "Sin Liong, bangkitlah engkau!"
Sin Liong tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan
napasnya kadang-kadang berhenti, kadang-kadang terengah. Mendengar ucapan ini,
dia menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata. Terkejutlah Cia Keng
Hong melihat sepasang mata yang mendorong seperti mata seekor naga sakti dalam
dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan... tubuhnya mencelat
ke atas dengan cepatnya. "Aahhhhh... tolong, locianpwe...!"
Ternyata ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya,
akan tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu, tenaga sin-kangnya yang amat
kuatnya memenuhi tubuhnya dan begitu dia menggerakkan syaraf-syarafnya, tenaga
ini bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa
dapat diremnya lagi. Tubuhnya itu meluncur ke arah sebuah puncak bukit batu
karang dan untung baginya bahwa dia sudah biasa berloncatan dan memiliki
kesigapan seekor monyet, maka biarpun dia terkejut sekali dan minta tolong,
namun kedua tangannya masib dapat menyambar ke depan dan dia dapat berpegang
kepada ujung batu karang dan berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu
karang. Dia berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya
masih terasa menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya demikian
ringannya seolah-olah hembusan anginpun akan dapat membuat tubuhnya melambung
tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa!
Cia Keng Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga
sin-kang dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila
itu, bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali
bagaimana anak itu masih dapat hidup!
"Turunlah, jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!" kata Cia Keng Hong.
Akan tetapi pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia
seperti tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya.
Tubuhnya terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-
nyala. Lebih tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kim Hong Liu-nio yang
menggunakan Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa daripada ketika dia dijemur dan
dikeroyok burung gagak. Panas yang dirasakan sekarang adalah panas dari dalam,
dan tiba-tiba saja berubah dingin sampai rasanya seluruh tubuh seperti ditusuki
ribuan batang jarum. Isi perutnya seperti diremas-remas, kepala seperti hampir
meledak, telinganya terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya,
seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit sampai hampir tak tertahankannya lagi. Dan
celakanya, itulah. Kalau dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas
dari siksaan. Celakanya dia pingsan tidak matipun tidak dan semua derita itu
dapat dirasakannya. Dia memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan
pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang
dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua
tangannya itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah
kedua tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut
berbisa dan nyerinya bukan kepalang.
"Setan...!" Dia memaki dan dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di
sampingnya, kanan kiri. "Pyarr! Pyarrr...!"
Sin Liong terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar
oleh kedua tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata
terbelalak. Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang
kepalanya. Aku telah gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja
tangannya berhasil menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua
tangannya yang tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya
ketika dipakai menghantam batu. Maka dia lalu turun dari atas batu karang itu,
dan menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu
besar yang berserakan di tempat itu. Terdengar suara-suara keras dan batu-batu
itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali terkena hantaman kedua tangannya.
Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu makin lama makin enak, tidak nyeri-
nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat dia mengamuk memukuli batu-batu itu,
sesak napasnya berkurang dan pening kepalanya juga mereda. Oleh adanya kenyataan
ini, Sin Liong makin mengamuk, makin hebat menggerakkan kedua tangannya, bahkan
juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di sekelilingnya.
Anehnya, batu-batu hancur dan kaki tangannya tidak merasa nyeri. Dia sendiri
keheranan, seperti melihat sulapan saja. Akhirnya, dia kelelahan dan duduk
terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk bergerak, akan tetapi
napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa yang menggelora dan
bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau berpusing.
Tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong
telah berada di depannya. "Kau diamlah, aku akan mencoba mengobatimu," kata
kakek itu dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin
Liong sambil mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa
yang terjadi pada anak ini. Anak ini penuh dehgan hawa sakti dan kelau dibiarkan
saja tentu akan hancur atau luka-luka semua isi dadanya, maka dia akan menyedot
hawa murni dan kuat itu dengan Thi-khi-i-beng.
"Ahh...!" Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas
dari kedua pundak Sin Liong. Baru saja kedua tangannya menempel tadi, bukan dia
yang menyedot, bahkan dia lagi-lagi tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, bocah
ini tanpa disadarinya memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa sekali dan satu
kali diajari Thi-khi-i-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja!
"Kau jangan melawan, matikan semua gerakan, dan pusatkan pikiranmu, jangan
melawan, kendurkan semua, jangan kauingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu
tadi!" kata Cia Keng Hong.
Sin Liong mengerti dan dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia
merasa betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia
mengosongkan pikirannya. Perlahan-lahan, dia merasa betapa hawa yang mengamuk di
dalam dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi-i-beng Cia Keng
Hong mulai menyedot kelebihan hawa itu. Akhirnya, setelah dia merasa betapa
tenaganya sendiri pulih, kakek itu menghentikan sedotan itu dan melepaskan kedua
tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini hanya memiliki sin-kang dari Kok
Beng Lama yang telah diopernya tanpa disadarinya itu.
"Bagaimana rasanya tubuhmu?" tanya Cia Keng Hong.
Sin Liong mengangguk. "Sudah agak baik... tapi masih mau muntah..." Dia bangkit
berdiri dan terhuyung. "Sin Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi?"
Anak itu menggeleng kepalanya. "Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan
aneh dengan kakek gundul itu... ah, bagaimana dengan dia?"
"Mari kita turun dan lihat," kata Cia Keng Hong dan dia dengan hati-hati
menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan kalau
dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba
di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila.
Sin Liong melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, matanya masih
terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang
luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya.
"Apakah dia tidak... apa-apa?"
Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Dia telah tewas..."
Sin Liong terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah
"melayang" ke arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek
itu, mayat itu tergelimpang.
"Ahhh...!" Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang kepada kakek sakti yang
ternyata adalah kakeknya sendiri itu. "Locianpwe... telah... membunuhnya?"
Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya."
"Habis siapa" Mengapa dia mati?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sin-
kang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia menyerangku
dengan sin-kang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami dan kau terseret.
Engkau terancam bahaya maut maka aku mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadamu. Dan
tanpa kausadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sin-kang di tubuhnya
telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..."
Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang tak
bernyawa itu dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata.
Kakek gila yang patut dikasihani. Dia yang membunuhnya"
"Lociaripwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!"
Cia Keng Hong menggeleng kepala.
"Dia sendiri yang salah... ah, dalam usia, setua itu kambuh kembali penyakit
Si Kumbang Merah 8 Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Kisah Tiga Kerajaan 27
^