Pencarian

Pendekar Lembah Naga 9

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


eh, mungkin taihiap belum mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda
setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-
nio... eh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman
Hwa-i Kai-pang." Tio Sun mengangguk-angguk. Panglima ini biarpun usianya sudah kurang lebih empat
puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula,
maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita.
"Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun?"
"Beberapa hari yang lalu, kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang
menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat itu dan
menyerahkannya kepada Tio Sun.
Pendekar itu dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis
oleh Hwa-i Kai-pangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Setelah membaca
surat tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang
dimaksudkan itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu
dengan tajam menyelidik. "Saya masih belum mengerti apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya, Lee-
ciangkun." "Saya gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan
menjadi isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan
terutama sekali saya khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa
ketua Hwa-i Kai-pang adalah seorang yang amat lihai."
"Ciangkun, saya sudah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari
utara itu berkepandaian tinggi apalagi yang perlu dikhawatirkan?"
"Saya takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andaikata dia menang
dan ketua Hwa-i Kai-pang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka
saya telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu
dan tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap."
"Hemm, apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini?"
tanya Tio Sun. Tentu saja dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia tidak
tahu urusannya. Dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis
yang besar dan berpengaruh sekali, dan belum pernah terdengar melakukan
kejahatan-kejahatan di kota raja, sungguhpun di kalangan kang-ouw juga tidak
mempunyai nama yang harum. Sebaliknya, dia tidak kenal sama sekali kepada wanita
yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, dan kalau hanya karena wanita itu adalah
kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita itu, sungguh hal ini sama sekali
tidak mungkin. "Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima
kedatangan ketua Hwa-i Kai-pang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap,
apalagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok
Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu mau menyudahi saja urusan
permusuhan yang tak berarti itu."
Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya.
Tiba-tiba dia tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak
berkeberatan, akan tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang
menimbulkan permusuhan itu. "Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan
Hwa-i Kai-pang?" Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak terkejut juga. Akan
tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu diapun
sudah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata,
"Aahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada
pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio
mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka bertemu
dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di
restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka
dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio lalu mengusirnya. Akan tetapi
ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah
mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka.
Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah
bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban.
Pengemis itu roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio lalu mengajak sang pangeran
cepat-cepat ke kota raja, mengira bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi
karena pengemis itu tidak memakai pakaian sebagai anggauta Hwa-i Kai-pang. Akan
tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang mengejar dan membikin
ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah
lagi pertempuran dan tiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah
akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat
lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat
tantangan itu." Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semua
didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu
kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa
dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dan isterinya,
biarpun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah
mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.
Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana,
taihiap" Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami."
"Lee-ciangkun, sebenarnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan
tetapi kalau hanya menjadi orang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan
tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kai-pang itu, tidak mau didamaikan?"
"Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi
melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula
kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ketika dikeroyok. Saya tidak
mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula...
saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi
saya dengan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya
saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak."
Tio Sun tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun."
Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga
segera membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap setelah
lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya)
sekalipun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya
malu..." "Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun."
Panglima itu lalu berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam
rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lalu memondong puterinya
yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya
mengomel, "Ih, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!"
"Ah, Pek Lian tidak manja, ya" Ayah menggendong karena sayang, bukan
memanjakan!" Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tidak minta
dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh?"
Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu
dia bertanya, "Siapa sih orang tadi" Kulihat dia bukan seorang pedagang
langganan atau kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!"
"Oh, dia" Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kim-i-wi Lee Cin.
Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin?"
"Ah, Panglima" Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi
kita?" Kwi Eng bertanya dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus
perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara
demikian serius" Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi
oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa
sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata,
"Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai
sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kai-pang dan minta kepadaku untuk
mendamaikan urusan itu."
"Ketua Hwa-i Kai-pang" Ihh, perkumpulan itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan
apakah yang perlu kaudamaikan itu?"
Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus, dan tidak ada
gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu
betapa ketua Hwa-i Kai-pang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang telah
menolong seorang musuh Hwa-i Kai-pang ketika para pengemis di luar pintu
gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-ipang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang
tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang
penengah. "Mengapa justeru kau yang dimintainya tolong" Bukankah dia itu panglima dan
banyak mengenal orang pandai di sini?"
"Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal.
Kukira tidak ada jahatnya kalau hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan
kecil ini tidak perlu kaukhawatirkan." hatinya lega karena isterinya tidak
tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang
keladi urusan itu. Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada
isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang
yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah
itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.
Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima
itu telah menanti di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu
sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan
pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang
agaknya sengaja dikosongkan, dan di situ hanya terdapat sebuah meja dengan dua
bangku untuk mereka berdua. Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan
hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makam malam
sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua
cawan dan seguci arak. "Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil
menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.
Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur,"Tenanglah,
ciangkun, mengapa gelisah" Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan
hendak menyambut orang dengan kekerasan" Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini?"
"Saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir agar percakapan kita nanti tidak
sampai terdengar orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah
mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan
kekerasan. Akan tetapi talhiap berjanji akan melindungi saya, bukan?"
Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, lalu
meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tidak akan
menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... eh, mana dia wanita
pengawal dari utara itu" Bukankah dia yang dicari?"
"Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Kalau melihat dia, salah-salah
urusan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia
akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dulu dua orang yang saling marah dan
mendendam, bukan?" Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang kelihatan selalu gelisah itu lalu
hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan dahulu, di waktu Tio
Sun masih terjun di dunia kang-ouw, bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti
seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara
cerdik dan sepintas lalu seolah-olah tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu
yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang
pendekar-pendekar yang lainnya itu. Mula-mula dia menanyakan tentang pendekar
tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dia dengan hati-hati menanyaka
di mana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan
pendekar Yap Kun Liong! "Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang
Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia
menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana."
Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapat keterangan di mana
adanya Yap Kun Liong, seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh
kekasihnya! Dan pada saat itu, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya nambil
memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca
inderanya ditujukan ke atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam
daripada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar.
Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-
diam Tio Sun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin
yang gagah berani, juga seorang Panglima Kim-i-wi, ternyata demikian kecil
nyalinya! Dan pada saat itu, terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas
sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat
di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara! Akan tetapi Tio
Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-
jip-bit, yaitu ilmu khi-kang, dengan tenaga sakti di dalam pusar telah mendorong
keluar suara menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biarpun hanya
diucapkan dengan lirih! "Kim Hong Liu-nio, keluarlah dan jangan bersembunyi di balik perlindungan
seorang panglima!" Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang
yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa
tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan ada nada mengejek di
dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama! Akan tetapi dia diam
saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai
dan menengahi, kalau mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa.
TIBA-TIBA terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi
sisa ketegangan dan kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu adalah
Hwa-i Kai-pangcu?" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang
berada di atas. Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh kewibawaan, "Kami
adalah ketua Hwa-i Kai-pang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan wanita
yang bernama Kim Hong Liu-nio!"
Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah
berkata nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan
ini! Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan
galak, bahkan seperti orang menantang sehingga Tio Sun kembali merasa heran dan
ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan
takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang
panglima itu kelihatan begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya
datang dan telah mendemonstrasikan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan
kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu
diri! Akan tetapi dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu karena seluruh
perhatiannya dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin
menyambar dan bagaikan seekor burung saja, berkelebatlah sesosok bayangan orang
dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek. Aneh sekali
kakek ini, terutama pakaiannya karena dia memakai pakaian baru yang penuh
tambal-tambalan belang-bonteng dan berkembang-kembang, menyolok sekali. Tangan
kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh tambalan itu
masih baru, dan memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya baru. Tubuhnya
pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti muka tikus karena
selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian mulutnya merupakan
ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya bergerak-gerak.
Berbeda dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang lainnya yang menandai tingkat atau
kedudukan mereka dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya,
kakek ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justeru inilah tanda bahwa dia
adalah tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kai-pang! Dan seperti semua ketua
Hwa-i Kai-pang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan nama sendiri, dan
hanya menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek
ini sudah enam puluh tahun lebih.
Sepasang mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang
laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu mencari-cari
di sekeliling ruangan itu, dan tanpa memperdulikan dua orang pria itu, bahkan
seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini berseru, "Kim Hong Liu-
nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!"
Sikap ini memang angkuh sekali, dan diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa
seorang ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kai-pang bersikap demikian congkak. Lee
Siang melangkah maju dengan sikap marah.
"Lo-kai (pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku,
dan kau sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!"
Mendengar itu, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan alisnya berkerut,
sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami tidak akan datang
ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong Liu-nio di sini! Kami
selamanya tidak pernah ada urusan dengan seorang Panglima Kim-i-wi, maka harap


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan menganggap bahwa antara
kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan apa-apa!"
Lee Siang menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku
melarang kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kai-pang mengganggu Kim Hong Liu-
nio yang menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa?"
Pengemis yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami
selamanya tidak pernah menentang kaisar dan pasukan Kim-i-wi, akan tetapi kalau
ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi kami
dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!"
"Jembel tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kaukira aku takut kepadamu?" Setelah
berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang
sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi
tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar, sehingga pedangnya berdesing dan
mengeluarkan sinar kilat.
"Ciangkun, jangan...!" Tio Sun berseru kaget. Semua itu terjadi demikian
cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak pandai bicara,
tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tidak memperdulikan atau tidak
mendengar cegahannya itu karena panglima itu sudah menyerang dengan tusukan
pedangnya ke arah pengemis tua itu!
"Lee-ciangkun, jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan
mudah saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi
Lee Siang sudah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi, disabetkan ke
samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya juga bergerak
menendang ke arah pusar lawan.
"Hemm, engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu
membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki
tendangan itu. "Tranggg... dukk...!" Tubuh Lee Siang terguling dan pedangnya terlepas dari
pegangan. Dia mengaduh dan terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki
kecil pengemis itu terasa nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan
tetapi, Lee Siang menjadi makin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang
dengan kedua tangan kosong secara nekat!
Tio Sun maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu
dapat terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas.
Ketika Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu sudah menggerakkan tongkatnya,
maksudnya hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira
lain, menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, maka dia sudah
menerjang ke depan dan menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu!
"Aihh...!" Hwa-i Sin-kai terkejut menyaksikan gerakan Tio Sun, apalagi dari
tangan pendekar ini menyambar hawa yang amat kuat. Kakek pengemis ini menyangka
bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, maka diapun makin
marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya menantang Kim
Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan. Dia sudah marah kepada
Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah menyelamatkan Kim
Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, melihat sendiri betapa panglima itu
menyerangnya, bahkan dibantu oleh seorang pengawal lihai, kemarahannya memuncak
dan tanpa bertanya lagi dia sudah menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram
itu, menariknya kembali dan tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke
arah leher Tio Sun! "Ahhh...!" Tio Sun terkejut sekali dan juga marah. Totokan ke arah lehernya itu
adalah serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan kejamnya kakek
pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai bermaksud membunuh "pengawal" itu
sungguhpun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara parah.
Hwa-i Sin-kai juga terkejut sekali ketika melihat betapa pengawal itu menangkis
tongkatnya dengan tangan kosong dan telah membuat tongkatnya menyeleweng dan
luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang dapat menangkis tongkatnya
dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena
tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main,
tanda bahwa kakek itu memang amat lihai.
"Bagus! Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak
kakek itu sambil menggerakkan tongkatnya.
"Nanti dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..."
Akan tetapi dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam
dia, kakek jembel ini memang jahat!"
Melihat Lee Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun
menjadi marah. "Tar-tar-tar!" Bunyi ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu
sabuk yang digerakkan seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang
memainkan joan-pian, dan tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah
tengkuk kakek pengemis itu.
"Bagus!" kakek itu berseru kaget dan juga kagum. Dia memang tahu bahwa di kota
raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak disangkanya dia akan bertemu
dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang. Tongkatnya
cepat diputar menyambut dan dalam belasan jurus saja Tio Sun terdesak hebat!
Kiranya kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kai-pang itu memang luar biasa lihainya.
Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai)
sudah mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah
menjadi lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan
itu kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang
berbahaya! "Hebat...!" Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan
amat berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan mencabut
pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang untuk menjadi orang
penengah!" "Pengawal busuk, keluarkan kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek
pengemis itu yang salah duga melihat Tio Sun mencabut pedang pula di samping
sabuknya yang lihai padahal pendekar itu mencabut pedang hanya untuk menjaga
diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu.
Tio Sun menjadi marah juga dan menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya
menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.
"Prakkkk!" Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu menggunakan tangan kiri
yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum
mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Ta-houw-sin-ciang-hoat (Tangan
Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu menggunakan tangan saktinya
untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin
dingin yang dahsyat. Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak
bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan main. Dia tadi sudah menduga
bahwa Tio Sun tentu bukan pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu,
maka dia ingin mencoba kepandaiannya dan merobohkan tanpa membunuhnya. Akan
tetapi mengapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi"
Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa benar-
benar orang gagah itu telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-
houw-sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang
saja! "Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak dan
muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru dan terutama sekali,
secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan
saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh
kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!
Kakek itu terkejut bukan main dan dia terdesak mundur, terpaksa memutar
tongkatnya dan setelah menangkis tujuh totokan bertubi-tubi yang amat hebat itu,
bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang
wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk
sutera merah! "Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang
mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan
kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang
penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.
"Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.
"Cring-cring-cringgg...!" Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang
memakai gelang, dan kakek pengemis itu makin terkejut merasa betapa tangkisan
lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita
cantik ini benar-benar lihai sekali, cocok dengan laporan para anak buahnya.
Pantas semua anak buahnya tidak ada yang sanggup menandingi wanita ini!
"Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh
Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"
Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Terbelalak dia
memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan
karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang
halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan
tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ah, tidak...!" Dan melihat
semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa kalau dia melawan, biarpun
belum tentu dia kalah walaupun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu,
namun dia tentu akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan
pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari
ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang
mengepungnya, lalu berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat
itu. Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena
gerakan pengemis tua itu amat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang
mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata telah tewas! Maka dia lalu
menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio,
sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.
Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah
kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya, apalagi
ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima
Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai
dalam sekali, penuh dengan tanda duka.
"Tio-hujin..." Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. "Saya datang membawa
berita duka... Tio-taihiap..."
"Ada apa" Apa yang terjadi" Mana suamiku?" Tiba-tiba Souw Kwi Eng bertanya dan
matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.
"Dia... dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam
kereta..." Terdengar jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke
kereta, seperti orang gila dia merenggut tirai kereta terbuka dan melihat
jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta. Souw Kwi Eng kembali
menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk jenazah itu,
memeluki suaminya dan menangis tersedu-sedu!
Para pelayan berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari
dalam rumah keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerit
ibunya yang mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang
berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dari
belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan.
"Ibu, ada apakah, ibu..." Kenapa ibu menangis?" Dia masih belum dapat melihat
jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya.
Mendengar suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tertahan tangisnya, lalu
perlahan dia memutar tubuh memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian
dia menubruk anaknya dan merangkulnya. "Pek Lian, anakku... ah, ayahmu...
ayahmu...!" Dan kalau saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya dalam pelukannya
tentu nyonya muda ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan
berputar, cepat-cepat dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan
kekuatan batinnya sehingga semuanya menjadi terang kembali.
"Ibu, ada apakah..." Ayah mengapa...?" Lapat-lapat terdengar suara anaknya.
Souw Kwi Eng membuka mata. "Ayahmu" Ah, ayahmu... telah meninggal dunia,
anakku..." Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta, dan pada saat itu Lee
Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah itu. Akan
tetapi Souw Kwi Eng melarangnya. "Biarkan aku yang mengangkatnya sendiri!"
Tenang sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia masih terisak-isak,
akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat
itu, dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah, diikuti
oleh Pek Lian yang memandang pucat dan matanya terbelalak. Anak ini belum
mengerti benar, bagaimanakah kematian itu dan mengapa ayahnya mati. Semua orang
memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka
seperti ditusuk-tusuk menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong jenazah
suaminya, melangkah satu-satu menuju ke dalam rumah dengan sikap penuh khidmat.
Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang dipondongnya itu lewat di depan
mereka. Kwi Eng meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya dan dia
lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak
ada luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya telah tewas. Maka
dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda
ini tidak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh pingsan di atas lantai.
Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggilnya. Dia bangkit
duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan
ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang
lain, maka kembali air matanya bercucuran.
"Ibu...!" "Pek Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.
"Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali..."
Kwi Eng mengangkat mukanya mcmandang melalui air matanya. Lalu dia memondong
puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang
berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lamanya Kwi Eng memandang panglima
itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana
dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua
menangis. Kemudian terdengar suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan
parau, kadang-kadang tertahan isak. "Sekarang katakanlah, siapa yang membunuh
suamiku" Siapa...?" Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung
ancaman hebat, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang
hingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang.
Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu menjawab, "Yang membunuhnya
adalah ketua dari Hwa-i Kai-pang."
"Ketua Hwa-i Kai-pang?" Kwi Eng seolah-olah hendak menanamkan nama ini di dalam
benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi" Mengapa
suamiku sampai terbunuh olehnya?" Lalu dia teringat akan cerita suaminya, maka
dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah?"
Lee Siang menarik napas panjang. "Sesungguhnya begitulah. Akan tetapi, ketua
Hwa-i Kai-pang itu mendesaknya, mereka bertanding, kami sudah berusaha membantu
dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan
tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya..."
"Dan ketua Hwa-i Kai-pang itu" Ke mana dia..."
"Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya."
Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, berlutut, dan menyentuh lengan
suaminya. "Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia
merangkul dan menangis lagi. Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut
memandang jenazah ayahnya, kemudian setelah memandang wajah ayahnya yang
biasanya amat mencintanya itu, diapun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak,
"Ayahhh... ayaaaah..." Dan menangislah anak itu bersamanya.
Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama mekali
tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu
bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah
Tio Sun. Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para
pelayan dan pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan
sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk
memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat
meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita
kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari tibalah dia
di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini
berangkulan sambil menangis. Kwi Beng sedapat mungkin menghibur adiknya dan
keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik
kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang
sudah tidak menangis lagi. Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang
wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka maupun duka. Suka dan duka bagi
anak-anak hanya merupakan peristiwa selewat saja, tidak seperti kita orang-orang
dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-
larut. Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya, begitu berduka,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas
kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas daripada batin orang
dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-
waktu ikatan itu dicabut lepas, mendatangkan luka parah di dalam batin.
"Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel
busuk yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti
mati adik iparnya. *** Perkumpulan Hwa-i Kai-pang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena
para anggautanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan
seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i
Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang
sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-
i Kai-pang. Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat
tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari di kuil tua yang dijadikan tempat
tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi tokoh-tokoh dari perkumpulan itu,
selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai
perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggauta yang tersebar luas itu. Tentu
saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kai-pang
yang bertingkat yaitu yang bertingkat lima ke atas.
Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dengan Kim Hong Liu-nio yang
berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi,
maka para tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka
mereka mulai melakukan panjagaan dan mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu
sebagai tempat berkumpul dan bertahan.
Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya
peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama
sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan
seorang tokoh besar di dunia kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak
akan melawan orang muda itu sebagai musuh. Dia menyesal mengapa dia tidak lebih
dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang
ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Den dia juga merasa heran mangapa orang
muda yang segagah itu demiklan mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan
pukulan Ta-houw-sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum
mengenai tubuh lawan! Betapapun juga, ketua Hwa-i Kai-pang ini tidak merasa
bersalah! Kalau putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan
dia, maka hal itu adalah karena salahnya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu
melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i
Kai-pang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio" Dia sebagai ketua Hwa-i Kai-pang
hanya mempunyal permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah
membunuh seorang anggauta pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa
orang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok
dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya
Lee Siang dan Tio Sun! Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima
Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke
dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang
dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus
melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kai-pang tidak akan berdaya banyak, dan adalah
berbahaya kalau sampai Hwa-i Kai-pang dianggap sebagai pemberontak oleh
pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kai-pang
memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi.
Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kai-pang.
Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan
pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang
dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang
tokoh Hwa-i Kai-pang yang diam-diam melakukan penjagaan, mengikuti gerak-gerik
dua orang ini dengan penuh perhatian.
Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan juga
mencurigakan. Hanya pakaian dan gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu
sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria
dan seorang wanita. Akan tetapi selain perbedaan kelamin ini, wajah kedua orang
itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan
amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang
agak kebiruan! Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de
Gama dan adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus
pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada
para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i
Kai-pang! Tidaklah sukar bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan
di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati
penuh geram kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk
membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kai-pang!
Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka akan
kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, kakek pengemis kurus
tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum
kedua orang muda ini tiba di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di
depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata.
"Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kai-pang minta
dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan
ini." Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang, lalu Kwi Beng yang berkata kepada
kakek pengemis yang dia tahu adalah tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu,
melihat dari buntalan di atas punggungnya. Lalu Kwi Beng yang mewakili adiknya
menjawab, "Memang kami berdua hendak memasuki sarang Hwa-i Kai-pang, mengapa
harus mengambil jalan lain?"
Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja
tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima sampai tingkat tiga,
ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja,
biarpun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
"Ahh, begitukah?" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya
memandang penuh selidik. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti
kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apalagi melihat betapa
keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu
pisau-pisau kecil yang dipergunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di
pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan
kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka adalah pakaian orang
berkabung! "Siapakah kalian berdua" Dan ada keperluan apakah kalian memasuki sarang Hwa-i
Kai-pang?" Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa
engkau adalah seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang. Ketahuilah bahwa
kami datang bukan untuk berurusan dengan Hwa-i Kai-pang, melainkan dengan pancu
dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan
kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kai-pangcu!"
Lo-thian Sin-kai memandang tajam dan menduga-duga siapa gerangan adanya kedua
orang kembar ini! "Siapakah kalian berdua" Dan apa keperluan kalian mencari
pangcu kami?" "Tidak akan kuberitahukan kepada siapapun, kecuali ketua Hwa-i Kai-pang si
jahanam keparat!" Tiba-tiba Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak
dengan marah sekali. "Ahh...!" Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya
timbul. "Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio...?"
"Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku,
mengerti" Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, harus membayarnya sekarang juga!"
Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat
sehingga pedang itu mengeluarken sinar berkilauan. "Dan kalau pangcu kalian
terlalu pengecut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya
sampai dapat!" "Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kai-pang tidak mencampuri karena urusan ini
adalah urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.
"Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba
terdengar suara halus dan dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang
mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan
seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah
terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i
Kai-pang sendiri. Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini dan melihat
betapa semua tokoh Hwa-i Kai-pang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi
ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. Maka tahulah Kwi Eng bahwa
kakek ini adalah Hwa-i Kai-pangcu, musuh besarnya yang telah membunuh suaminya.
Tak terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang
memandang dengan penuh dendam dan kebencian.
"Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun?" Kwi Eng
bertanya, suara menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.
Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kai-pang
dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua
orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar
yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak
mengadu nyawa dengan dia!
"Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin?" tanyanya dengan suara halus.
"Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kaubunuh tanpa dosa itu.
Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!"
"Dan orang muda ini siapa?"
"Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan akupun menyediakan selembar
nyawaku untuk membalas dendam ini!"
"Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian
berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas" Karena dia membantu Panglima Lee
Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi
kami. Dan sesungguhnya, aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap dapat
tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!"
Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan
Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang hati
kalau sudah diracuni dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apapun
yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu
salah! "Keparat keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan
pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang
juga sudah menyerang dengan pedangnya.
"Ah, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir
panjang!" ketua Hwa-i Kai-pang itu berkata penuh sesal sambil menggerakkan
tongkatnya menangkis dan balas menyerang. Dia sudah kesalahan tangan membunuh
Tio Sun dalam suatu pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian
membunuh isteri pendekar itu dan kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur,
bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok maka dia tidak khawatir akan mendapat
teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini,
bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat!
Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita
sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak memiliki bakat yang
terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio
Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu
menandingi kakek yang amat lihai ini, apalagi kakak beradik kembar itu! Maka
dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka telah dibikin terpental oleh
kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!
Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya sudah terpental, dua orang
kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil
berteriak nyaring Kwi Eng lalu mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi
kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya,
beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kai-pang. Melihat ini, Kwi
Beng tidak mau tinggal diam dan diapun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya.
"Hemmm...!" Hwa-i Sin-kai berseru keras dan tongkatnya diputar sedemikian rupa
sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung sehingga merupakan
benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali dan
pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh
tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua
orang kakak beradik itu, namun tidak ada sebatang pisaupun yang mengenai
sasaran. "Kakek iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru
dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong! Sebetulnya,
kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari
Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok
menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan selain itu, juga mereka
telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan telah mengusai
penggabungan tenaga Im dan Yang. Akan tetapi, karena bakat mereka tidak terlalu
besar, maka mereka hanya mampu menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka
biarpun kini keduanya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai,
mereka ini tidak dapat banyak berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja
ujung tongkat di tangan kakek itu telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga
pemuda ini bergulingan dan menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda
itupun terguling roboh. "Iblis tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan
kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya. Memang dia sudah
mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang bodoh, dan
dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu tentu seorang yang berilmu
tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti kakak iparnya itupun sampai
tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah
mempersiapkan senjata api ini, biarpun ayahnya meninggalkan pesan agar dia
jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan
terancam keselamatannya. Sekarang, dia memang agaknya tidak terancam
keselamatannya, karena kakek itu agaknya tidak hendak membunuh dia dan adiknya,
akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu akan melawan terus sampai mati.
Daripada adiknya yang mati, lebih baik kakek itu!
"Dar-darrr...!" Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis
tingkat tiga dengan pundak dan lengan terluka. Ternyata ketika tadi pemuda itu
mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera menubruk ke depan pemuda itu
sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh adalah kakek ini dan bukan Hwa-i
Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah, tubuhnya menyambar ke depan dan begitu
tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi Beng sudah terlempar jauh dan tangan
pemuda itu berdarah! Akan tetapi, Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng
juga bangkit dan terus menerjang lagi dengan nekat. Kakek itu mendengus dan
kembali tongkatnya membuat keduanya roboh terguling.
"Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlalu rendah untuk
berani kurang ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian
pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis kelihatan marah
melihat betapa kakek pengemis yang kena tembakan tadi terluka parah, namun tidak
membahayakan nyawanya. "Biarlah, mereka ini perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil
berdiri menanti dengan muka marah. Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang
lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh
Hwa-i Kai-pang menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti anak kecil yang
nakal melawan ketua Hwa-i Kai-pang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja
dengan amat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu.
Muka Kwi Eng sudah bengkak terkena tamparan dan mulut Kwi Beng bahkan
mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya,
kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi.
"Plakk! Dukk!" Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan
hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan
kepalanya pening, sedangkan Kwi Beng terpukul tongkat kakinya sehingga ketika
dia hangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah.
Tekat mereka adalah untuk melawan sampai mati!
Pada saat itu, terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda,
"Sungguh tidak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda
mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa!"
Semua orang terkejut dan menengok. Yang bicara itu adalah seorang gadis yang
berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan
sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek ketika dia
memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Di
sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius
dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, sedangkan pemuda itu
berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini
berpakaian ringkas sederhana tidak membawa senjata, dan kelihatannya seperti
seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu
mengeluarkan sinar tajam mengejutkan.
Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah.
Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan
gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat
kepandaian kedua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiripun berani
menghadapi seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju
sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para
tokoh yang lebih rendah tingkatnya. Kini, melihat gadis yang berani mengatakan
bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah
sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk
mewakili ketuanyan, mendahului ketuanya itu dia menegur, "Bocah bermulut
lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami?"
Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah
mendengar dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kai-pang ditandai
tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak
tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai
buntalan tiga. Lumayan juga kepandaianmu mengemis, akan tetapi kalau engkau
mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak
menimbulkan iba seperti pengemis tulen!"
Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai,
tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang berangasan itu. Dia dihina terang-
terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang
lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang
hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Semua
orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga
memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini.
"Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang
lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kautebus mahal sekali!"
Gadis itu ternyata lincah den jenaka sekali. Dia tersenyum manis dan memandang
kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ah, kaum pengemis agaknya
mengenal harga juga, ya" Berapa mahalkah tebusan kelancanganku" Sebungkus
sayuran sisa" Ataukah beberapa keping uang tembaga?"
Bukan hanya Hek-bin Mo-kai yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kai-pang
menjadi marah sekali. Mereka telah berkali-kali mengalami penghinaan wanita yang
bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua
orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat
dua, telah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Kini muncul
seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang
rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali. Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai
yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio.
Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang
yang tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu
hal yang membikin merosot kebesaran namanya, bahkan mencemarkan namanya sebagai
seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani
bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main.
"Perempuan kurang ajar dan lancang! Apakah kau bosan hidup" Siapakah engkau?"
bentaknya. Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang
sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia, berkata, "Aku tidak ada waktu
untuk bicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang
tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini.
Benarkah?" Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis
menjadi makin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas
dan semua suara bising dari para pengemispun terhenti sama sekali. Suasana
menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya
memandang dengan heran. "Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Nona siapakah
dan..." "Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat
di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kai-pang! Engkau
adalah ketua kai-pang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah
ini, yang menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis terbesar. Akan tetapi
melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak
berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kai-pang
hanyalah merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar,
akan tetapi di atas panggung pura-pura mohon belas kasihan orang dengan
mengemis!" Kembali terdengar suara berisik ketika para pengemis itu menjadi marah mendengar
ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu
menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para
pembantu dan anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam dapat mengenal bahwa
pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani
bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio,
adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau,
pikirnya. "Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang
belum diselidiki lebih dulu keadaannya merupakan tindakan yang amat ceroboh.
Ketahuilah bahwa dua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan
mengacau. Setelah mereka manantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka
sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami
menghina mereka" Kaulihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok
aku seorang tua?" Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa
kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh
sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka
berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti
kedua orang muda itupun tak mungkin akan dapat menandingi kakek itu. Maka dia
lalu menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum.
"Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum memiliki kepandaian berani
menandingi ketua jembel ini dan mencari celaka sendiri?" Pertanyaan itu lebih
menyerupai teguran dan Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan
dengan hati panas, menjadi makin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa
betapa dia dan adiknya amat direndahkan orang, dan diapun memiliki keangkuhan,
dia tidak mengharapkan bantuan siapapun juga dalam urusan pribadi ini, apalagi
karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam
itu. "Kami tidak membutuhkan bantuan siapapun! Hayo, tua bangka kejam, lanjutkan
pertempuran kita tadi, kami tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!" Dan
Kwi Beng sudah menyerang lagi dengan nekat, mengirim pukulan dari jurus It-goat
Sin-ciang yang cukup dahsyat.
"Wuuuuuttt... plak!" Betapapun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga
sin-kangnya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua
yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling!
Pemuda yang nekat ini sudah bergerak lagi, kini melakukan penyerangan dengan
Ilmu Totok It-ci-san, yaitu kedua tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk
menotok jalan darah lawan. Akan tetapi, kembali kakek itu meggerakkan tangan
kirinya, menangkis den mendorong dan tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting
agak keras sehingga ketika bangkit kembali terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi
Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang
lengannya. "Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat
gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat den membabi-buta, dipakai tanpa
perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan merupakan suatu
ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!"
"Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini.
Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku dan kakakku ini mengadu nyawa
untuk membalas dendam?" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang,
akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang
oleh gadis cantik itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apalagi hendak
melepaskan diri dari pegangan itu.
Mendengar ini, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika
dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang diakuinya
sebagai adiknya tadi kinipun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis
berkerut. "Ah, kiranya begitukah" Pangcu, kau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini
datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tidak
mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami
enci ini secara sewenang-wenang, tidak mengherankan kalau mereka kini datang
untuk membelas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak
seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini?"
Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak
dapat menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-
benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!" Dan tanpa menanti ijin
dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah
leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga
tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk.
Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biarpun keadaan dirinya
sudah babak-belur dan luka-luka, namun melihat gadis yang datang untuk membela
dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam
bahaya, maka dia lalu meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka
hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya.
"Wuuuuttt... plakkk... desss!" Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan
hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh
gadis cantik itu. Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang
gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu
membuat lengannya terasa nyeri bukan main dan tongkat yang tadinya menyerang
gadis itu dan tertangkis, kini membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis
bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng.
Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan
tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu terhuyung ke belakang sedangkan
Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan
kecil halus yang telah menangkap lengannya.
"Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku."
Tiba-tiba gadis itu berkata halus.
Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang
tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di
mana dan dalam keadaan marah dan sedang berhadapan dengan ketua kai-pang itu,
dia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, setelah dia
memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat.
"Adik Mei Lan...!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini
adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu,
ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itupun gadis ini pernah
menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di
Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak
buah mereka (baca cerita Dewi Maut).
Gadis cantik itu memandang kepadanya, tersenyum dan mengangguk membenarkan.
Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun
Liong. Di dalam cerita Dewi Maut telah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai
berpisah dari ayahnya. Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong
bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu
kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hui
Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing
adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok
Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan
rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu. Dalam pelariannya
karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu
dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek
Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia "dioperkan" oleh kakek itu kepada seorang
kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid
Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk
disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan "taruhan" antara dua orang kakek sakti
ini ketika mereka berdua bertanding catur! Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi
murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng,
putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai.
Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut.
Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan dan Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan
dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di
mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-
ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka kedua orang muda itu
kini menjadi orang-orang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali, hampir
semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu
yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama.
Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya karena guru mereka
menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari
keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan
itu lalu cepat menghampiri. Tentu saja begitu melihat Kwi Beng, Mei Lan segera
teringat kepada pemuda ini. Tidak sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang
tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka,
tentu saja tanpa diminta, Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi
Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini
dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari
Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu.
Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei
Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang
sekali dan tentu saja dia tidak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan
bukanlah "orang luar", maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka
itu telah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernam Tio Sun!"
"Apa...?" Mei Lan terkejut bukan main. Tentu saja dia masih ingat kepada Tio
Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga
bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun telah
menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua
Hwa-i Kai-pang" Tentu saja berita ini membuatnya terkejut bukan main.
"Pangcu, benarkan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu" Bahwa engkau telah
membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun?" Mei Lan bertanya sambil melangkah
maju mendekati ketua Hwa-i Kai-pang itu.
Ketua Hwa-i Kai-pang menegakkan kepalanya dan sambil memandang tajam dia
menjewab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan
dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, akan tetapi dia membela
iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dan
kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena
antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa."
Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i
Kai-pang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti dimiliki oleh
semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi kalau memang Tio Sun
tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas dalam pertandingan merupakan hal
yang lumrah bagi seorang pendekar. Betapapun juga, dia sudah mengenal siapa Tio
Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka andaikata terdapat
perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat
dipastikan bahwa para pengemis inilah yang bersalah. Betapapun juga, dia harus
membela Kwi Beng! Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang sejak tadi diam
saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkatap "Lan-ci, biarkan aku bicara
sebentar dengan dia." Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini
jarang sekali mau bicara kalau tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan
kuat untuk bicara. Dia mengangguk.
LIE SENG yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang kepada kakek
yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar
banwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu?"
Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berbutang
budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau
bertanya demikian?" "Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai."
"Ahh...!" "Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kaubunuh itupun merupakan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar
yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa
engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika
aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang
muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku
menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..."
"Jembel sombong! Engkau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!"
Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum
dapat membalas kematian suamiku!"
Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena sejak tadi orang-orang muda itu
menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimanapun juga,
tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan
tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggungjawabkan
perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani
dengan baik!" "Bagus!" Mei lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i
Kai-pang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan
mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian orang yang
suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak
berdosa." "Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak
tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa
sih yang takut kepada kalian" Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada
ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau
kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!"
Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kai-
pang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan
dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam karena marah. Mei Lan sudah
ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata, "Suci,
biarlah aku menghadapinya."
Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka
hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama
sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding. "Mulailah, lo-
kai!" Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan
menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa
sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya dan menerjang dengan
dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang
itu. Gerakannya demikian dahsyat sehingga tongkat itu mengeluarkan suara dan
angin menyambar ke arah Lie Seng sebelum tongkatnya tiba.
Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton
dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat
dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar
dekat sekali dengan kepalanya.
"Wuuuttt...!" Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu
menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan
main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, namun cukup berhasil,
membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.
Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, makin tenanglah gerakannya karena dia
tidak lagi mempergunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan
setiap gerakannya telah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap
gerakan selalu mendatangkan hasil.
"Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat
sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-
gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah
Lie Seng. Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia
tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, melainkan memandang
tajam dan dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu.
Dia tidak memperdulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan
sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka
ketika tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan
tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, kemudian secepat kilat
menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan
itu. "Krakkkk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai
menjadi agak pucat, matanya terbelalak memandang tongkat di tangannya yang
tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tak pernah dia dapat
membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu dapat
dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring! Padahal, senjata
tajampun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan dan keheranannya berubah
menjadi kemarahan dan sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk lagi
dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala,
sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!
"Plak! Desss... bruuukkk!" Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka
hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan
cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan,
tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter dan
terbanting di atas tanah! Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira
bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan
tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya
agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat meloncat berdiri dengan
muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh
tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie
Seng, dia sendiripun sudah lari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok
Lie Seng! "Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki melihat
betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju
hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.
"Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah."
Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng
masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda
karena dia berdiri tegak dengan kedua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya
matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah
datang menyerangnya dari kanan kiri itu. Tiat-ciang Sin-kai maklum akan
kelihaian pemuda yang dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia
menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan
sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi sehingga dia mendapat
julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat
ke arah pelipis kanan lawan. Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah
menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah
menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat
Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.
Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-
kai telah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya
saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah
meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu! Dua orang
kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi
menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar
saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang.
Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka
sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak,
melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara
aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting
seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan
tendangan yang amat cepat itu!
Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi
marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya dan dia menyerang dengan
tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa,
melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga
mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng
tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget
karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja
dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat
memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek
tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-
kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat,
sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng
dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih
menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh
dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak
ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini
pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena
itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut
melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa
itu. "Seorang gagah selalu mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya, akan
tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti
Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"
Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia
sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah
turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin
melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang
saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie
Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu,
kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia
lalu melangkah maju. "Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu?"
Mei Lan tersenyum. "Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah
siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"
"Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar
suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei
Lan terkejut juga dan cepat mengelak.
"Trakk!" Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran
hawa pukulan tongkat itu!
Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka
diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai,
ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya
kalah, maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa
dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin
pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan
oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil
mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan
dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng
melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan
berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang
berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang
dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang
mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh, untuk
membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali
disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga
selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap
kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang
dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan
kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu
saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap
pertemuan tangan. Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu
kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang
merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh
semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu
tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat
terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja
dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Lebih lagi ilmu
pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena
kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor
harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti
Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk
tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia
adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah
sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi
perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.
Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus kakek itu menjadi
terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar
biasa sekali! Gin-kang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat
menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang
telah mengurung rapat. Dan lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis
pukulan Ta-houw-sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia
merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya,
belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw-sin-ciang
seperti ini! Diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak
pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini
lihai bersama adiknya atau sutenya yang juga lihai bukan main! Dia lalu
mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena
bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini.
Kekalahan itu tentu akan menghancurkan nama besarnya.
Biarpun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan sucinya,
Lie Seng menghadapi lawan yang lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi
serbuan-serbuan itu seperti seekor kucing mempermainkan tiga ekor tikus. Dia
hanya kadang-kadang mendorong dan membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung
atau terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apalagi
membunuh mereka. Akan tetapi, begitu dia melihat sucinya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i
Kai-pang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu amat lihai, Lie Seng ingin
berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi sucinya, maka dia lalu berseru keras,
dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main. Pada saat itu, dia baru saja
menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai daripada
dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat dua
ini sudah menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang
dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itup
tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia
memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.
"Plakkk...!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai
terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya
terasa lumpuh semua. Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari
kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh
sehingga dua orang inipun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena
sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang
kena ditampar itu roboh pingsan!
Biarpun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih dapat berseru kepada
para pengemis lainnya, "Maju semua! Keroyok dia...!" Dan bergeraklah semua
anggauta Hwa-i Kai-pang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!
"Hemm, kalian benar-benar jahat!" Lie Seng berseru dan pemuda ini lalu mengamuk,
merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat
ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka ini lalu
mengamuk pula, tidak memperdulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit karena
dihajar oleh ketua Hwa-i Kai-pang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan
dan sakit hati mereka kepada anggauta kai-pang itu, bertempur bahu-membahu
dengan Lie Seng yang gagah perkasa.
Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat.
Melihat betapa sutenya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para
anggauta Hwa-i Kai-pang, Mei Lan berkata mengejek, "Jembel-jembel busuk benar-
benar tak malu!" Dan diapun lalu menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan
lenyaplah bentuk tubuh dara ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang
mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kai-pang itu. Inilah
Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoat Tosu! Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan
biarpun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin
menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya. "Brettt...!" angin
itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika!
"Uhhh...!" Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia
bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa
dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang
urusan dan permusuhan, apalagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu
luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah
kocar-kacir dan dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh
sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru
nyaring, "Semua saudara pengemis, mundur!" Dan dia mendahului meloncat dan
melarikan diri. Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi
anggauta Hwa-i Kai-pang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apalagi melihat
ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi
kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu lalu meninggalkan
gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka
yang terluka atau pingsan. Sebentar saja sunyilah di depan kuil kosong itu,
tidak nampak seorangpun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie
Seng, namun tidak seorangpun tewas karena pemuda ini tidak membunuh, hanya
merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena
pening. Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kepada suaminya dan dia segera
menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya
ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh
dan pingsan! "Ahh...!" Mei Lan dengan sekali loncatan saja sudah menyambar tubuh pemuda itu
sehingga kepala Kwi Beng tidak sampal terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh
Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah
daripada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa
luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi
keselamatan nyawanya. Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu
bukanlah seorang yang kejam karena kalau memang dikehendakinya tentu dengan
mudah kakek itu dapat membunuh dua orang, kakak beradik kembar itu.
Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan lalu mengobati kakak beradik kembar itu dan
perlahan-lahan Kwi Beng siluman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah
terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang
berlutut, Kwi Beng memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh
dengan macam perasaan haru. Akhirnya, Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng
merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali
dan dia lalu bangkit duduk memegangi kepalanya.
"Bagaimana rasanya kepalamu?" tanya Mei Lan. Gadis ini biasanya lincah jenaka
dan tidak pernah sungkan terhadap siapapun, akan tetapi dia sendiri tidak
mengerti mengapa kini setelah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan
rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa,
yang membuatnya merasa agak malu-malu.
"Tidak apa-apa... agak pening sedikit. Agaknya engkau telah menolongku ketika
aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ah, seperti baru kemarin saja engkau
menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu..."
"Kalian berdua sungguh terlalu berani menentang Hwa-i Kai-pang." Mei Lan
menegur. "Pangcu itu lihai sekali. Sebetulnya apakah yang telah terjadi dan
bagaimana saaudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis dan Kwi Beng menarik napas panjang
berulang kali. Kemudian Kwi Beng yang mewakili adiknya yang tidak mampu bicara
karena menangis dan berduka itu, bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan.
"Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya. Iparku itu hanya berpamit
kepada isterinya untuk pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee
Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah
atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima
itu, sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku dibunuh oleh pangcu
Hwa-i Kai-pang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan
mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang." Kwi Beng berhenti
bercerita dan menarik napas panjang, berduka teringat akan kematian iparnya
sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda.
"Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kai-pang dan menantangnya?" Mei Lan
bertanya. Kwi Beng mengangguk. "Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja.
Sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tidak pernah bermusuhan dengan Hwa-i
Kai-pang, dan iparku itu bukannya membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi
orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kai-
pang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tidak sengaja
membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku hendak melindungi Kim
Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau
ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak
bersalah." Mei Lan mengerutkan alisnya. "Hemm, kurasa dia tidak berbohong."
Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan heran. "Tidak
berbohong" Jembel tua itu...!" Kwi Eng berseru, penasaran.
Mei Lan pembuat gerakan dengan tangan menyabarkan. "Harap kalian berdua ingat
bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua sudah
dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya" Tidak,
dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak
bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian
saudara Tio Sun perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi
adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong
Liu-nio, yang dimusuhi oleh ketua Hwa-i Kai-pang itu?"
Kwi Eng menjawab, "Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee,
wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat
nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai."
Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari
penuturan suaminya. "Ahh...!" Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia mengangguk-
angguk. "Urusan menjadi makin berbelit. Dan mengapa pula Kim Hong Liu-nio
bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kai-pang?"
"Kabarnya, wanita itu telah bentrok dengan seorang anggauta Hwa-i Kai-pang
sehingga anggauta perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang
tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh semua anggauta
Hwa-i Kai-pang di luar pintu gerbang di utara. Pada waktu itulah Lee-ciangkun
menyelamatkannya," kata pula Kwi Eng.
"Hemm, urusan dendam-mendendam!" Mei Lan kembali mengangguk-angguk. "Kini kita
mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara
pangcu Hwa-i Kai-pang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai
akan tetapi timbul kesalahfahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio
tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang
menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit
hati." "Akan tetapi, jembel tua itu telah membikin sengsara kehidupan adikku yang
kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin
kami dapat mendiamkannya saja?" bantah Kwi Beng penasaran. "Dan iparku tewas
bukan karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang
mendamaikan. Bukankah itu menimbulkan penasaran sekali?"
Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu
menarik napas panjang dan keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian,
"Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang
bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh
rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang
berpengaruh, Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh
sekali dan tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, kalau benar Kim Hong
Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa kaisar, maka tentu
saja diapun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika
kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-
san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan
mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kai-pang, maka tentu
nasihat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan."
"Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi," kata Kwi Beng
seketika. Dengan cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia sudah menyetujui,
karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis
cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya! Di
lain fihak, setelah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan
bahkan terkejut mengapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan
perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali dan diam-
diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti
ini, dan dia tahu bahwa dia tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah
yang mengagumkan hatinya itu!
Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan
di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan
Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam
kedukaannya kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau
kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei
Lan yang demikian gagah perkasa. Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itupun
dapat merasakan adanya kemesraan antara sucinya dan pemuda bermata kebiruan dan
berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja
merasa sungkan kepada sucinya, dia pura-pura tidak tahu saja.
*** Ui-eng-piauwkiok dengan tandanya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya merah
dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah amat terkenal di seluruh
Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya. Tentu saja
setiap perusahaan apapun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung
dari kebijaksanaan sang pimpinan. Dan dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk
seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran dan kegagahannya yang membuat
perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang
pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan,
baik dengan golongan pendekar atau golongan putih maupun dengan golongan hitam
atau kaum perampok dan bajak. Karena hubungannya yang luas inilah maka barang-
barang yang dikawal oleh perusahaannya tidak pernah diganggu penjahat karena
hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu
barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang
ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar
tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang.
Akan tetapi, biarpun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan
berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhinya! Kita ini hidup di dalam
dunia di mana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak
jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia.
Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati
seperti itu, bahkan juga mengandung dendam. Yang mengincar dari jauh itu adalah
mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok
Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to-piauwkiok
(Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang
terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkioknya berdasar hitam
dengan lukisan sebatang golok putih.
Sudah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing di dalam
kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk sejak kecil. Di waktu manusia masih
menjadi kanak-kanakpun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar
dia "tidak kalah" dari orang lain, penekanan yang memupuk jiwa persaingan
itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah
menanamkan benih-benih yang menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-
anak kita! Sejak kecil, setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tua, guru-
Pendekar Sadis 20 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Muslihat Dewi Berlian 2
^