Pencarian

Pendekar Lembah Naga 14

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw
dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja,
di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu
memanggang daging dan hati kijang. Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging
panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang
telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah
menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai
kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di
dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah
sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan
malam. Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan
diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran
ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak
suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja
dan bersifat mengelak. Ketika ditanya lentang orang tuanya, Sin Liong menjawab
bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat
oleh monyet-monyet. "Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau
adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng
Hong?" Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. "Kalau engkau
menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat" Bukankah
engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw" Kalau engkau menganggap
aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?"
Pangeran itu menarik napas panjang. "Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang
baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia,
Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw
karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh
rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang
sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun
Houw hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu,
apalagi aku suka dan tertarik kepadamu..."
"Aku bukan anaknya!" Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah
marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.
Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah
Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada
Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-
anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang
pangeran, adik kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat,
apalagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam
hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia
putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain
tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut
kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya
dengan sinar mata berseri.
"Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau
juga she Cia?" Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.
"Aku tidak punya she!" jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.
Kembali Han Houw tersenyum. "Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si
Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana
engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu
menghadapi Lam-hai Sam-lo?"
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia
telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena
dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia
tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi
dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar
biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera
pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang
pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.
"Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek," jawabnya
pendek. "Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia
adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak
muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan.
Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan, dengan kakek aneh itu, Liong-
te?" Sin Liong menggeleng kepala. "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri
pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu
kepadaku." Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa
mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak
memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.
"Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh
luar biasa anehnya!" Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.
"Apanya yang luar biasa aneh?"
"Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya" Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya"
Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau
menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu?"
Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. "Houw-ko, aku minta
kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku
sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu
itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu
Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku,
akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku
adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami..."
"Bukan main...!" Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi
sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali.
"Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang
amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku
membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian
setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun.
Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat
buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa
nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kauberi tahu, aku tidak akan banyak
bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."
Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan
hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah
melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan
adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.
"Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko.
Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya
di Himalaya." Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak. "Gurumu... gurumu
seorang dewa..." Bu Beng Hud-couw..." Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu
mengadakan hubungan dengan seorang dewa?"
"Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia
mengadakan hubungan lewat getaran..."
"Getaran" Bagaimana maksudmu?"
"Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya
sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya
dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku
sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang
aku banyak bicara tentang suhu."
Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum.
"Aihhh...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Betapa beruntungnya engkau,
Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru
kepadanya." Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun,
membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak
memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput,
terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya lelah dan perutnya
kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.
Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu
tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai
ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru
berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan
dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga
apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu
dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu
tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun. Begitu
matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang
amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan
tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah
dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!
Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di
atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri
seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-
liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk
seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara
perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat
betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.
"Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak,
pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia
telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba
percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang
hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."
"HEMM, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku.
Jelaskan, kitab-kitab apa yang kaumaksudkan itu dan mengapa engkau berkeras
hendak membunuh dia?"
"Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka
tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba
bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang
menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri
oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat,
ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat
tinggi." "Hemm..., Bu Beng Hud-couw?" Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah
wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada
pemuda remaja itu. "Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru
kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu
kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan
kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang
sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya
sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat
menguasainya terlalu lama..."
Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun
pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan
jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata
kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.
"Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini" Nyawamu berada di dalam tanganku!"
Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu
seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan
pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang
Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat
rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan. Karena sulitnya ilmu
ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja
dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok
jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-
diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan
perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah
dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh
karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja
dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya
masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi
pengkhianatan ini. "Houw-ko aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku
adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan
gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."
"Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran" Kurang ajar,
engkau layak mampus seratus kali!" Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan
mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong
sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk
membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia
hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis
ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang
oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang
mengerikan. "Crotttt...!" Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu
hati dan menembus ke punggung!
Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata,
mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran.
"Oughhhhh... pangeran... mengapa...?" Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas
dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang
menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak
lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus
jantungnya. Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus
jalan darah yang terhenti, "Plong...!" dan Sin Liong mampu bergerak lagi. Dia
bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan
sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, "Mengapa
engkau lakukan itu" Mengapa kau membunuh dia?"
Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. "Liong-te, kau... kau...
dapat bergerak" Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?"
Sin Liong mengangguk. "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi,
Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh" Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh
dia yang menjadi pembantumu?"
Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong
dan menyentuh dengan kakinya.
"Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku
kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau
terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan,
belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."
"Houw-ko, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula
mengapa Hek-liong-ong membenciku dan hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku
tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan
pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?"
"Dia layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di
waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup
baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah
sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang,
merupakan dosa tak berampun. Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena
selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara
seperguruanku." "Ehh...?" Sin Liong berseru heran.
"Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya
itu, Liong-te" Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia
mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang atasan.
Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing. "Houw-ko, aku berhutang nyawa
kepadamu." "Ah, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan
tanpa kubantupun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu."
Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia
tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok
Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri
dari totokan. Pangeran itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baginya seakan-akan membunuh Hek-liong-ong itu merupakan hal biasa saja dan
diam-diam Sin Liong merasa makin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik
hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin
terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya. Dan dia melihat betapa Han
Houw amat suka berburu, sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran
itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar
itu. Namun dia sendiri tidak ikut mempergunakan anak panahnya. Sin Liong terlalu
mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia berduka
melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama
sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu
meninggalkan bangkainya begitu saja! Melihat Hek-liong-ong tewas dan mayatnya
ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang
itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi
melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh
begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.
Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan
pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk teragung,
terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman
yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang tidak akan dilakukan oleh
mahluk lainnya. Kekejaman yang telah merupakan semacam "kebudayaan" atau yang
sering kali dinamakan "olah raga" sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang
dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala
mahluk. Manusia memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di
dalam hutan, membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan
yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada kebutuhan
perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk
kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu, bangkainya
ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan
membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena kebiasaan, sudah bukan dianggap
membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan
manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang
memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung
memang banyak yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan
membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai
kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota yang
mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang kerohanian, dan
sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata
melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!
Selama tiga hari, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira
ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor
binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan
dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang
dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan
tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.
Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang
ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-
si. Seperti biasa kalau mereka tiba di kota atau pedusunan, Han Houw lalu
mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia
mengeluarkan kim-painya dan segera setelah orang mengenal kim-pai itu, Han Houw
disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Tentu saja Sin Liong yang
diperkenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan
yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang-kadang pemuda remaja ini merasa
canggung dan sungkan. Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang
itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian
yang pantas untuk dipakai seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan
pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan!
Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata,
"Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima
penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kaupakai pakaian
baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, aku sebagai sahabat baikmu
tentu akan merasa ikut malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik
angkatku!" "Adik angkat" Apa maksudmu, Houw-ko?" tanya Sin Liong ketika mereka berada di
dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.
"Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku" Aku
ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan
purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara."
"Ahhh...!" Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya. Han
Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan pangeran ini hendak
mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga,
bahkan anak yang dirawat oleh monyet!
"Apakah engkau menolak, Liong-te?" pertanyaan itu diucapkan dengan suara
demikian halus sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.
"Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskan aku menjadi adik
angkatmu, Houw-ko...?" katanya gagap.
Han Houw merangkulnya dan tertawa. "Pantas" Ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari
Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-
te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di
taman." Dan benar saja, ketika mereka memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja
sembahyang yang lengkap dan mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriah.
Kiranya pangeran itu telah memesan kepada Gu-taijin dan telah mengatur segala-
galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan
menolak! Sin Liong merasa kikuk sekali. Apalagi karena Gu-taijin sendiri, dan nyonya Gu,
di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah, bersama dengan
lima orang dara lain yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya
cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan! Sin Liong merasa
heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang
lebih enam belas tahun dan cantik sekali, melayani Han Houw dengan manis budi
dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia merasa kagum betapa Han
Houw bersikap biasa dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia dan
lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup,
bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi nona-nona
cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantungnya berdegup
tegang. Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping
telinga Sin Liong dan bertanya, "Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam
upacara pengangkatan saudara ini?"
Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk
menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu
terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tidak sudi menggunakan she ayah
kandungnya yang dibencinya.
"She Liong..." jawabnya berbisik pula.
Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk. "She ibumu...?"
Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena ayah
kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak
memakai she ibunya saja"
Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin
Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw. "Diterangi sinar bulan purnama,
disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong,
bersumpah mengangkat saudara satu sama lain dan kami berdua akan saling membela
dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami
berdua." Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu lalu bangkit dan
bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata.
"Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu."
Han Houw balas mengangkat kedua tangan, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan
wajah berseri. "Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!"
"Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!"
Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan
selamat kepada Han How. "Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!"
Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, diikuti pula oleh isterinya dan
puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin
Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.
Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu dan untuk merayakan pengangkatan
saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong.
Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya dan puterinya,
dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap
Gu-siocia amat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah dan ibu dara itu
agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis
dengan Han Houw. Yang membuat dia merasa jengah dan malu adalah sikap Han Houw
yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu
bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu. Han Houw tidak
segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan,
tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu,
dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul
beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga
gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis
dan melempar kerling genit sekali! Sin Liong memejamkan mata dan menundukkan
mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya
dia mengira bahwa mungkin pengaruh arak yang membuat Han Houw bersikap seperti
itu, akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah
seorang pemuda yang genit dan suka menggoda wanita!
Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia
berpamit untuk mengundurkan diri.
"Ah, kau sudah mengantuk, Liong-te" Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian
Gu-siocia menari. Bukankah kau pandai menari, siocia" Maukah menarikan beberapa
tarian untuk kami?" Ayah dan ibu gadis itu ikut membujuk dan karena agaknya memang sudah
dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah
mengeluarkan alat-alat musik pi-pa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona
mereka menari. Dan Gu-siocia dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia nampak
lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, mulai menari. Di antara para
pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi dan nona rumah menari makin
bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari.
Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun seperti tangkai pohon
yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari,
jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai
terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!
Setelah nona itu selesai menari, Han Houw bertepuk tangan memuji. "Bagus
sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!"
"Pangeran terlalu memuji..." kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya
merdu seperti nyanyian dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di
balik ujung-ujung lengan bajunya dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan
lemah gemulai membangkitkan birahi.
"Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat..." kata Sin Liong.
Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri. "Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri
pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala
kebaikanmu, Gu-taijin."
"A-bwee, antarkan pangeran dan Liong-kongcu ke kamar mereka!" perintah sang ayah
kepada anaknya. Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara
pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Setelah meninggalkan ruangan
itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw
merangkul pinggang Gu-siocia yang ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan
jerit dan tawa lirih, dan Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan
rasanya. Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya, yang terpisah dari kamar
pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang
masih dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.
"Liong-te, kaupilihlah. Siapa di antara mereka yang kaupilih untuk menemanimu?"
Han Houw bertanya sambil tersenyum.
Wajah Sin Liong menjadi berubah dan matanya terbelalak. "A... apa..." Apa
maksudmu...?" tanyanya gagap dan lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit,
sedangkan Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu karena tangan pangeran
yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.
"Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kaupilih yang mana"
Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah
kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini" Nah, kauambillah dia...!"
Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan. Dara itu menjerit kecil dan
tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap
pinggangnya. Akan tetapi cepat dilepaskan kembali pinggang ramping itu dan wajah
Sin Liong menjadi agak pucat.
"Aku... aku... tidak..."
"Jangan malu-malu, Liong-te..."
"Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka
saja..." Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.
"Bagaimana, Liong-te?"
Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan
suara tegas, "Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan
tidak akan melakukannya malam ini. Aku hendak beristirahat, harap Houw-ko
meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari
sini." "Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te" Ha-ha-ha, betapa engkau
telah menyia-nyiakan hidupmu." Pangeran itu tertawa-tawa, akan tetapi Sin Liong
tidak memperdulikannya dan dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka
keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar
pada daun pintu itu dengan dada bergelombang. Suara ketawa Han Houw masih
terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-
katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing
sama sekali baginya. Biarpun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa
kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak
pernah bicara tentang tata susila. Betapapun juga, ketika dia masih dekat dengan
ibu kandungnya, kemudian setelah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar
tentang pelajaran tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca
kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat
bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dan Pangeran Ceng Han Houw itu adalah
perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila! Biarpun dia sadar
bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang
dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar dan darahnya
bergejolak! Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga
Sin Liong tidak dapat tidur. Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas
pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara halus dan ketawa yang
menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi,
matanya selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum
yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw
diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu. Semua ini makin mengganggu
hatinya dan akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu
diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan
tubuhnya, walaupun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk
bersamadhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, namun
usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas
nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu.
Dari manakah datangnya gelora nafsu berahi dan bagaimana terjadinya" Mengapa
demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat
menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat itu yang
mencari pemuasan" Nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga yang dapat meliputi
batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan.
Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang
menggerakkan atau menyentuh berahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan,
mendekatkan jantan dan betina, pria dan wanita satu sama lain berikut daya tarik
masing-masing. Namun, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh
tidak sama dengan nafsu berahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam,
karena nafsu berahi ini, seperti nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran
mencatat sebagai ingatan hal-hal yang diangap atau dirasakan sebagai hal yang
menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan kembali
pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut
mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat
menyenangkan itu. Pikiran menciptakan di aku yang ingin menikmati, ingin
mengulang kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu berahi tidak mungkin
timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat
menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang,
membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu berahi.
Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan,
dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang dapat berhasil, akan tetapi hasil
ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu,
kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam
konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.
Biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal apabila nafsu berahi datang
menyerang. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri
dibawa ke manapun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah
perjinaan, permainan cinta dengan cara apapun juga demi pelampiasan nafsu kita
yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan
belaka. Ke dua, setelah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan
penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik
dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri darinya, atau kita
berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita
menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah
lahir batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan
dari konflik yang terus menerus.
Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya,
mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain
adalah kita sendiri" Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang
terjadi dalam benak kita, dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan
nafsu itu" Mengapa kita hendak melarikan diri" Pelarian diri tidak mungkin sama
sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah
kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri" Siapa yang hendak lari
itu" Siapa yang hendak mengusir nafsu itu" Yang mengusir adalah kita sendiri,
yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin" Pikiran hendak mengusir akibat
dari pikiran sendiri! Mengapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap
nafsu ketika ia timbul, memandangnya dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran,
tanpa pamrih sedikitpun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa
menolak atau menerima kehadirannya, melainkan memandang saja, penuh perhatian
dan kewaspadaan" Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan
pengertian! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang akan menimbulkan perubahan,
bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!
Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti
kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya,
ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu
tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil,
akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali
ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi
melawan musuh yang amat kuat. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan
memang dia dapat juga tidur pulas, akan tetapi, di dalam tidurnya itu, sang
nafsu berahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian! Sin
Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk
rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore hari tadi, dalam mimpi itu dia
menyambut dara itu dengan gembira, memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan
bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan
sebelumnya, hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi
dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah!
Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang
hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang
menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan
batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu,
mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.
Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan
tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah
selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini
tidurnya pulas tanpa gangguan apapun.
Pada keesokan harinya, Ceng Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua
lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang
kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka.
Setelah melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena
pagi tadi Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran
itu mencium mulut dua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong
berpaling membuang muka. "Ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian.
Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku.
Nah, pergilah, sampaikan kepada Gu-taijin babwa kami akan berangkat pagi ini,
agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik." Sambil tertawa pangeran itu
mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan
mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang
indah beterbangan di atas bunga-bunga.
"Ha-ha, pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang
mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, aku tentu akan
mengirim utusan untuk menjemput mereka." Kemudian pangeran itu menatap wajah Sin
Liong dengan alis berkerut. "Liong-te, kenapa kau begitu bodoh" Benarkah katamu
malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita?"
Sin Liong menggeleng kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan
dari dirinya. "Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana" Mengapa tidak
bersamamu, Houw-ko?"
Pangeran itu tertawa. "Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci
kepada wanita yang palsu."
"Maksudmu?" "Nona Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya menjadi selir
seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak
seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri
karena memang suka kepadaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita
siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang sendiri!"
Pembesar itu memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biarpun sikapnya ramah-
tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah
pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan
penolakan Han Houw terhadap puterinya!
Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua
ekor kuda baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.
*** Nama Raja Sabutai amat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar.
Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar
yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang
amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan. Bagi kerajaan di
Tiongkok, nama Raja Sabutai tidak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak
mengenal raja liar yang pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian
pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan
dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja" Walaupun akhirnya pasukan liar yang
dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti
dan banyak orang merasa seram dan ngeri kalau mengingat akan keganasan pasukan
Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.
Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar dan
terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat,
akan tetapi nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di
dunia kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai
merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai
sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena
raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko. Bahkan di
waktu mudanya, Sabutai pernah menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan
banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi terkenal di dunia kang-
ouw. Akan tetapi di samping itu semua, diapun dikenal sebagai seorang raja yang
royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw, dapat menghargai orang-orang kang-ouw
sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam
atau kaum sesat. Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang
orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat
untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan
sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok
besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja
mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan yang dapat dipilih menjadi guru
silat. Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu
karena tertarik dan ingin menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang
yang berilmu tinggi datang dan saling berjumpa, pasti dunia kang-ouw menjadi
gempar dan banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan
meluaskan pengetahuan dan pengalaman.
Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu makin mendekat, nampak setiap
hari banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini
tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan
guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Kalau bukan orang kang-ouw yang memiliki
kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak
berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah
berbahaya itu. Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw adalah orang-orang daerah utara, karena
tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat,
tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apalagi bekerja kepada Raja
Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka
yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu
kepandaian tingkat tinggi.
Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan jarang mereka
berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang
dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat
mendesak dan dia khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia
bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya
untuk minta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini
dengan segala kehormatan.
Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mengenal daerah liar yang
mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya ketika keluar dari
Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han
Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang,
kemudian mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia
menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek
aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum
pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya dikenal
namanya dari suhengnya itu, yaitu Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di
puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!
Apalagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga,
teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu kecil karena daerah ini amat
dikenalnya. Akan tetapi kini semenjak dari Rawa Bangkai, telah nampak penjaga-
penjaga yaitu perajurit-perajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan
tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai
penghormatan kepada para tamu yang akan datang berkunjung berkenaan dengan
adanya sayembara pemilihan guru silat. Maka, tidak seperti biasanya, kini para
penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di
tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.
Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw, yang mereka kenal
sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi
hormat mereka berseru, "Hidup Pangeran Oguthai!"
Wajah para perajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh
seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat menunggang kuda untuk
mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw
tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak
buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah
menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.
Ketika para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan
menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara
yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah
ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang.
"Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia
ini adalah adik angkatku!"
Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini dan
mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil mohon maaf karena
mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran
Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk sekali dan
membalas penghormatan mereka, dilihat oleh Han Houw yang tertawa bergelak
melihat kekikukan Sin Liong.
Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang
ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar
pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata, "Harap
kaumaafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke
Lembah Naga." Han Houw memandang heran. "Eh, kenapa begitu, Liong-te" Jauh-jauh kau sudah ikut
bersamaku ke sini, dan setelah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau
melanjutkan" Kenapa sih?"
Sukar bagi Sin Liong untuk bicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak
pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio
telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris
membunuhnya, kemudian Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li telah menyebabkan
kematian kong-kongnya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang
amat dihormat dan disayangnya itu. Sekarang, biarpun dia telah menjadi adik
angkat Han Houw, biarpun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan
sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia dapat bertemu dengan dua orang
musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka" Dan dia sudah mengambil keputusan
untuk tidak menyerang dua orang itu di depan Han Houw melainkan mencari
kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat
perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja
dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.
"Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal
sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak
suka akan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk
kalau berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para
penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni
hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-
ko." Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia sudah
mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan,
maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya.
Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai
adik angkat, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan
tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.
"Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena setelah
selesai menyaksikan pemilihan, akupun harus kembali ke selatan, ke kota raja
menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke utara. Dan kita akan
melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar."
Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang
bijaksana sekali! "Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu."
"Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu" Bawalah, agar engkau tidak terlalu
capai." Sin Liong tersenyum dan makin beratlah hatinya untuk menyinggung hati kakak
angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia
mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya,
setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.
Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan,
jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar,
menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu di tanah kuburan yang
biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya
kalau ada yang meninggal dunia. Dia hendak mencari kuburan ibu kandungnya! Dan
karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia
tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai
bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan
kemarahan hatinya.

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah
makam yang tidak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu
nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis
oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau
nyonya Kui Hok Boan! Sin Liong yang sudah mengikat kudanya pada sebatang pohon, kini berdiri di depan
makam itu, makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan
memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga" Makam itu
penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar. Sampai lama Sin Liong berdiri
termenung, memandangi rumput-rumput tebal itu dan terbayanglah walah ibu
kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Dia tidak merasa berduka,
tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim
Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali
kepada Ceng Han Houw yang begitu baik kepadanya, bahkan yang perah menyelamatkan
dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk
menyelamatkannya. Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu
kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi diapun hutang budi kepada Han
Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu,
dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau
bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!
"Ibu...!" Dia berbisik dan Sin Liong lalu mempergunakan kedua tangannya untuk
membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di
atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.
Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong lalu
bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki
hutan di mana dahulu dijadikan tempat bermain bersama para monyet besar. Begitu
memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya
dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu! Dan dia merasa malu sendiri
duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat
turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan
kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.
"Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!" katanya. Kuda itu lari congklang
dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu
dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali dan buntalan di
atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari
dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!
Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan
monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu
melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi! Ah, tentu
saja, pikirnya. Ketika dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang
anak kecil dan kini dia sudah menjadi sesudah terlalu sering mendapat gangguan
dari orang-orang dewasa, dari pemburu-pemburu, maka tentu saja mereka menganggap
setiap orang manusia dewasa adalah musuh mereka.
Betapapun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang
amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali dan dia
merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah
lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama
tiga hari tiga malam! Dia tentu masih akan terus berkeliaran di situ, entah
untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang
hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu
setelah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di
sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.
Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia
bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah
sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara
pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw!
Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-
hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah terbawa oleh pangeran
itu. Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya,
kemudian dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang
terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari
jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di
depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang
bertanding dengan hebat dan serunya. Di depan istana itu nampak banyak kursi dan
di situ duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya
penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di
dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh
tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya
kurang lebih enam puluh tahun itu tentulah ayah Han Houw, raja di daerah itu
yang bernama Sabutai. Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, tidak
kurang dari tiga puluh orang banyaknya, dan di luar panggung terdapat banyak
penonton yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi banyak terdapat
orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang
kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, akan tetapi
banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti ahli-ahli, dan
guru-guru silat dan lain-lain. Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka
ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu
kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas
panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat
seru dan menegangkan. Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton
yang berjubelan itu, menjaga agar jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja
dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini dia mulai
memperhatikan dua orang yang masih bertanding di atas panggung itu. Seorang
pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan
seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu. Pendeta
Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan
memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan
mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian
dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga
gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar
perahu mendapat angin. Gerakan kakinya mempunyai gaya yang gagah, seperti kaki
rajawali yang sedang bertanding, berlompatan dan kadang-kadang kaki itu
melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali
pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari-jari kakinya sehingga tubuhya yang
sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu
silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sesuai dengan tubuhnya
yang tinggi besar. Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia
memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya
banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang,
tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan
rajawali. Kedua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya
menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan dia membalas
serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguhpun gerakannya
lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong
maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki pukulan
mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu
kelihatan seru dan menarik sekali. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap
sebagian penonton, yaitu sekelompok tosu dan sekelompok hwesio atau pendeta Lama
yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang
bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu
sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap
menantang! Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang bertentangan ini
menambah tegang suasana dan tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan
atau permusuhan antara pera hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.
Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan
ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di
utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, memiliki tentara
yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu
maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran
pelajaran agama masing-masing. Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang
mau melihat kenyataan, akan tetapi tak dapat disangkal bahwa hal ini seperti
ini, yaitu persaingan antara agama, masih saja terjadi di mana-mana, di mana
para penyebar agama saling berebutan daerah untuk menyebar pelajaran agama
masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah
sejalan, yaitu menjauhkan kekerasan, menjauhkan permusuhan, menghilangkan
kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia! Memang pada akhirnya, bukan
agamanya yang menentukan, melainkan manusianya! Seperti juga segala sesuatu di
dunia ini, baik benda-benda yang nampak maupun yang tidak nampak, seperti ilmu
agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat maupun ilmu surat, semua hanya merupakan
alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia
sendiri! Tak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian
melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung
tujuan dan bukalah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk
tentu menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang
buruk takkan mungkin menghasilkan buah yang baik. Akan tetapi sayang sekali,
kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu,
hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa
akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.
Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk
meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini terdiri
orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sesungguhnya mereka itu
adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang
benar-benar beragama tak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari
kesenangan untuk diri sendiri apalagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus
mencelakakan orang lain. Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai
mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang
ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk
menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, make mereka lalu datang den mengajukan
jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu. Tentu saja sebagai orang-
orang beragama, mereka itu tidak lagi mementingkan kedudukan atau harta,
melainkan ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama
masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan
bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung
lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama
ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-
masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada
masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den
Hud-kauw. Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan
memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, segera melihat bahwa pertandingan antara
kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang
dikuasai nafsu ingin menang, kalau perlu dengan membunuh lawan, karena dia
melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan
tenaga yang tidak dibatasi lagi. Maka dia merasa tak senang dan tidak tertarik
lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian,
melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena
itu, tidak seperti semua orang lain, yang mencurahkan perhatian ke atas
panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasanya orang-orang kango-uw
yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi
mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke
kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.
Tiba-tiba perhatian Sin Liong tertarik akan sikap seorang laki-laki yang
dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung,
kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan
tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan. Laki-laki
ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan
sepasang matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang
mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia kurang
lebih enam puluh tahun, jenggot dan kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan
dia berdiri agak membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit
dia menyelinap pergi. Sin Liong cepat memperhatikan orang, itu karena dia
melihat betapa orang itu mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu
mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung
racun! BAGI seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andaikata
sikap orang ini tidak mencuri hati Sin Liong, pemuda inipun tentu akan
menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan
hatinya, maka diam-diam dia lalu membayangi orang itu dengan pandang matanya,
bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton ketika dia
melihat orang itu makin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga
raja. Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan
dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!
"Houw-ko, awas...!" Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan
suara pertandingan di atas panggung dan para penonton. Teriakannya itu
menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya
pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil
menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.
Sin Liong meloncat ke atas melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia
pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu
terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.
"Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-
ko!" kata Sin Liong.
Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu
berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata
mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.
"Ha-ha, Liong-te, benarkah begitu" Kalau begitu biar dia yang makan racunnya
sendiri!" Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu meluncur secepat
kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.
"Aughhh...!" Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun
itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau
saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapapun
juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.
"Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?"
Han Houw membentak. "Huh, melihat anak panah beracun hijau siapa lagi orang ini kalau bukan anggauta
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?" kata Raja Sabutai sambil mengelus
jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya telah demikian lihainya sehingga
mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.
"Jeng-hwa-pang...?" Semua orang kang-ouw terkejut mendengar ini dan mereka
memandang penuh perhatian.
Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah mengenalnya, maka orang
berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak
mengandung rasa hormat atau takut, "Benar, aku adalah anggauta Jeng-hwa-pang dan
kedatanganku tidak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tidak ada
hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam
kepada wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di
sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis
itu!" Laki-laki itu sambil menahan rasa nyeri menuding ke arah Ceng Han Houw.
"Ah, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain
ketuanya" Eh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-
hwa-pang" Kenapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan
tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?" Ceng Han Houw berseru
sambil tersenyum mengejek.
"Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!" Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke
arah Sin Liong yang masih berdiri di pinggir. "Mau bunuh boleh bunuh, siapa
takut mampus" Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan
sucimu, kautunggu saja!"
"Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?" Tiba-tiba muncul
seorang nenek yang amat mengerikan. Entah dari mana munculnya nenek ini dan
semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu
sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan
telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agaknya melengkung. Nenek ini sudah
tua sekali, tentu ada seratus tahun usianya, punggungnya sudah bongkok dan
tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung
dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya merupakan garis
melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena amat dalam
dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada biji
matanya ataukah tidak. Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi
apalagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena serem dan
menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada
yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah
seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!
"Subo baru datang" Silakan duduk!" Raja Sabutai segera berkata ketika melihat
nenek itu. Akan tetapi nenek itu tidak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli,
"Heh-heh, anjing, mengapa tidak menggongong lagi" Apakah racun Jeng-hwa-tok itu
kurang manjur" Nah, kaucoba rasakan racunku ini!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li
menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya telah
menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu
tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.
Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat sekali karena
pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan
tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang
dideritanya saat ini, sungguh tidak ada artinya. Dia merasa betapa tiba-tiba
saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin
menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-
tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada
ribuan semut menggerogoti daging-daging dan tulang-tulangnya. Rasanya gatal,
pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala
macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ. Kiranya tidak
ada orang yang akan sanggup menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang
terlalu hebat sehingga tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar
biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan,
mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila!
Mukanya sudah habis dicakarinya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah
sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan
dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan
nyeri luar biasa itu, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar
kedua matanya! Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang amat mengerikan, orang yang mukanya
sudah tidak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, kemudian
kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!
Menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan ini sang permaisuri, yaitu Puteri
Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat
kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana
Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa amat ngeri. Belum pernah mereka
menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.
Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Biarpun si baju hitam
tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah
menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga biarpun orang tadi berusaha untuk
membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu mati di bawah siksaan
Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dia yang telah membantu musuh besarnya dan
kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung
jawabnya. Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan
mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu,
Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring
sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.
"Sri baginda, apa artinya ini" Saya mendengar bahwa sri baginda mengumpulkan
orang-orang tak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru
yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?"
Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-
hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh sekali,
bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada
Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Oleh karena itu,
Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi
untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan
sayembara ini. Dia sengaja tidak memberitahu karena takut kalau-kalau gurunya
itu akan merasa tersinggung. Siapa kira, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-
tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga
kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak
orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!
"Harap subo memaklumi," katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk
berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. "Memang aku mengadakan sayembara
memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan
kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu."
"Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran"
Hemmm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih
pandai deripada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus
ini ada yang mampu menandingi saya. Heh, kalian dua orang tosu dan Lama yang
tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?"
Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta
Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya lalu
berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.
Ditantang di depan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran
itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu, maka
karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, keduanya seperti
berlomba telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi
nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu. Mereka berdua tentu saja
tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah saingan-saingan untuk
memperebutkan kedudukan guru pangeran. Akan tetapi karena nenek itu menyebut
mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk memperlihatkan bahwa mereka
tidak mengenal takut. "Heh-heh-heh, alangkah lucunya!" Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka
dengan sikap merendahkan. "Orang-orang macam kalian ini hendak menjadi guru
pangeran" Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki" Coba kalian tahan ini!"
Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu
sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan
dalam waktu singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan
dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!
Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu
mendatangkan hawa panas menyengat dan biarpun sudah tua renta, ternyata nenek
itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali,
maka merekapun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu menggunakan
kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya
untuk menangkis. "Aduhhh...!" "Akhhh...!" Tosu itu terhuyung karena biarpun sudah amat cepat dia mengelak, tetap saja
pundaknya keserempet tongkat, sedangkan Lama itupun terhuyung karena ketika
lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan
menjalar ke pundak. "Heh-heh-heh, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru
pangeran?" ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya. Memang
tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kedua orang itu,
maka biarpun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi
lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam
keadaan tewas, tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat sedangkan Lama
itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung
tenaga sin-kang ampuh sekali.
Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul
guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak
memasuki sayembara pemilihan guru! Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran,
apalagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semua telah memandang ke atas
panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai sudah menjaga dengan rapi dan
teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan. Akan tetapi,
nenek keriputan itu tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut
ompong keriput itu tersenyum, tentu saja bukan seperti senyum lagi jadinya.
"Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran" Naiklah, siapa yang
mampu melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!" tantangnya.
Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Tentu saja di antara
mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, kini mundur teratur. Siapa
orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biarpun guru
seorang pangeran" Apalagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang
mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu. Mereka merasa penasaran sekali Raja
Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, jauh-jauh mereka datang dari balik
tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah tiba di sini
mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal
tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka
tidak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Sambil bersungut-sungut
mereka memandang Raja Sabutai, biarpun mulut mereka tidak berani menyatakan
sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.
"Heh-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li" Majulah,
majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!" Hek-hiat Mo-
li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan
tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayun tongkatnya dan berputaran
seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.
Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan sudah bangkit berdiri untuk menegur subonya
dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat
kemarahan ayahnya sudah berkata, "Ayah, biarkanlah. Akupun tidak ingin mencari
guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo agar
dia tidak marah-marah."
Sementara itu, para tamu yang melihat sikap nenek itu, sebagian merasa jerih dan
sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan
tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus
menantang-nantang, "Heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku"
Heh-heh, agaknya tidak ada seorangpun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!"
Rombongan tosu dan rombongan Lama sudah mengangkat jenazah kawan masing-masing
dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak
memperdulikan ulah nenek gila di atas panggung.
"Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tidak
seorangpun di dunia ini yang berani melawanku?"
"Aku yang berani! Aku berani melawanmu!"
Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan
memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda berdiri tegak menghadapi nenek
gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong! Pemuda ini sejak tadi sudah
terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, apalagi menyaksikan kekejamannya,
kemudian melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak
tahan lagi dan di luar kesadarannya dia sudah meloncat ke depan nenek itu dari
menyambut tantangannya. Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan
terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga dan panglima-panglimanya
terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung
yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang
keranjingan itu. "Liong-te, jangan...!" Han Houw juga terkejut sekali dan berteriak, akan tetapi
terlambat karena pada saat itu, nenek Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan
maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.
"Heh-heh, mampuslah, bocah!" bentaknya dan tongkatnya sudah menyambar, disusul
tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa
panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat
daripada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek
itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap amat
merendahkan dan menghinanya di depan orang banyak. Maka dia menyerang hebat,
dengan maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang
dan berani menghinanya itu.
"Krekk...! Plakk...!"
Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya
terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah
menjadi dua potong! Pada saat itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di
depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak
memandang kepada tongkatnya yang patah.
"Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!"
Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa seperti mimpi. Ada bocah yang masih
ingusan bukan saja telah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan
mematahkan tongkatnya dan membuatnya terdorong mundur dan terhuyung, dadanya
terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya!
"Adik angkatmu..." Heh, adik angkat macam apa ini...!" Dia mengomel, akan tetapi
nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata,
entah pergi ke mana. "Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri..." Sin Liong berkata
kepada Han Houw, tidak perduli akan pandang mata pangeran itu yang penuh
kekaguman dan keheranan. "Oguthai, siapakah dia itu?" Tiba-tiba terdengar suara keras dan ternyata Raja
Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.
"Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku."
"Adik angkat" Dia... dia hebat sekali..." Raja Sabutai memandang penuh keheranan
dan kekaguman. Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat
Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subonya tadi. Melihat betapa pemuda
tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat
menangkis sehingga tongkat subonya patah dan subonya terdorong mundur, dia
benar-benar merasa takjub sekali. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini
adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.
"Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suhengku."
"Hee" Bagaimana ini?" Raja itu bertanya heran.
"Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik
angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan
tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka diapun terhitung suhengku."
"Ah, begus sekali!" raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung
itu yang sudah kuat melawan subonya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh
puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. "Siapakah gurumu itu?"
"Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya,
ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw..."
"Ahh...?" Raja Sabutai terbelalak dan memandang kepada puteranya seperti orang
melihat setan di tengah hari. "Bu Beng Hud-couw" Akan tetapi... itu adalah nama
tokoh dalam dongeng..."
"Akan tetapi buktinya, Liong-te telah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?" bantah
Han Houw. "Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?"
Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.
Sin Liong menjura. "Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri
baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan
suhu." Kemudian dia menoleh kepada Han Houw dan berkata, "Houw-ko, maafkan aku,
kalau engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan."
"Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te" Aku mau minta bantuanmu," kata Han
Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.
"Bantuan apakah itu, Houw-ko?"
"Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran, maka
keselamatanku terancam. Karena itu, aku sendiri akan mencarinya dan harap kau
suka membantuku." "Hemm... kalau begitu baiklah." kata Sin Liong tidak mampu menolak karena dia
tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya
dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan
utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun
tangan sendiri. Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw
bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja
Sabutai, terutama permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan
main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi telah menjadi pangeran
Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu
Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk
mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh! Akan tetapi,
lebih girang lagi hati Raja Sabutai mendengar bahwa putera mereka akan dapat
berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya,
terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga
untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Ketika Raja
Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw menolak dan
mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk
menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk
mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang
muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang
selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.
Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan
kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia merasa penasaran bahwa dia belum
sempat untuk menemui Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai
musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang
disayangnya itu. Dan diapun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-
nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu
kandungnya. Dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri
dari Han Houw, dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.
*** Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan
pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun amat meriah karena banyaknya tamu
yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari
orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar,
karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di
seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia
persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong. Biarpun pendekar ini
tidak pernah menonjolkan diri, tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya
yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal
belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Dalam cerita Petualang Asmara
dan Dewi Maut, kita telah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti
riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia!
Akhirnya, dengan berkah dan restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini
berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua
Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling
mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya. Yap Kun Liong adalah
seorang duda, ditinggal mati isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang
janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami
merekapun sama, yaitu dibunuh orang. Biarpun Yap Kun Liong tidak mendapatkan
anak dari isterinya yang terbunuh, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai
seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu
Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian (baca Petualang
Asmara). Adapun Cia Giok Keng ditinggal mati suaminya dengan dua orang anak,
yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.
Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu"
Pesta pernikahan yang selama ini telah ditunda sampai tiga tahun berhubung
dengan perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara
Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!
Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlalu dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio
Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei
Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak antara kedua orang itu,
Yap Kun Liong menerimanya dengan baik, akan tetapi terpaksa pesta pernikahan
harus diundur sampai selesai perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong,
yaitu selama tiga tahun. Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasip. Usia Souw Kwi Beng sudah tiga
puluh tiga tahun, sedangkan usia Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun!
Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu
keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.
Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih
nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan
menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tidak akan
gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali" Dalam keadaan
seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi
tahu kepadanya bahwa dia telah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai
mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan
menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum
ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang mengira bahwa dia adalah
seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!
Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu
dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang
sebetulnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sukar dipercaya
kalau dia sudah berusia setengah abad lebih karena melihat wajahnya yang cantik
dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya
tentu jauh kurang dari empat puluh tahun. Biarpun Yap Mei Lan hanya anak
tirinya, namun nyonya yang di waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati
baja dan berkepala batu ini menganggapnya sebagai seorang anak sendiri. Terjadi
perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.
Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu
sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng
Hong, ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan disegani kawan. Maka, para tamu
yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan
memandang kagum kepada pasangan ini.
Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja,
nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang
berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun menjadi suami isteri dalam
arti yang sesungguhnya, tidak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun
Liong dan Cia Giok Keng. Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh
enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya adalah
adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung
Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong! Dalam
hal ilmu kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah
dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apalagi setelah kedua suami
isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka telah
mencapai tingkat yang amat hebat dalam tenaga peninggalan dari Kok Beng Lama
itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu
dengan sinar mata kagum. Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio
Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, dan Lie Seng, yaitu putera
Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok
Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai,
seperti sucinya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.
Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah adalah keluarga pendekar-pendekar
yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas
satu! Maka tidaklah mengherankan apabila pesta perayaan itu biarpun sederhana
namun menjadi meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan
bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar. Hanya ada satu hal
yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok
Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian
depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun
Houw yang kepergiannya mendukakan hati kong-kongnya. Dan semenjak dara itu
pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana
perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.
Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas
dan kain beraneka warna, sebagian besar adalah warna merah yang diutamakan, dan
meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan
wajah berseri seperti biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira
mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah,
dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.
Kini tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh.
Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan
itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu
terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang diiringkan dua
orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat
tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali. Melihat keadaan nyonya janda
ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya
yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang
muncul sebagai tamu, diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain
adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua
tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih,
bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain
adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kai-pang! Kakek yang dituduh sebagai
pembunuh suami nyonya janda ini! Betapa beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini,
pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kai-pang
yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu.
"Bedebah... kubunuh dia..." desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat
menyentuh lengan janda muda ini.
"Enci... harap tenang dan sabarlah," bisiknya. "Serahkan saja kepada ibu dan
ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik
ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suciku."
Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua
titik air mata dengan cepat, kemudian menyibukkan dirinya dengan pekerjaan,
sungguhpun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh
Yap Kun Liong dan isterinya.
Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan mulut
tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka
saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling
mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat
daripada pandang mata dan kata-kata biasa, mereka telah saling mengerti dan
keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka
telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka tentang
ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang
kakek ini berani datang"
Akan tetapi, Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan
juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap
Kung Liong sudah mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk
menghadiri perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena
itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik, "Apakah pangcu mempunyai
sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?"
Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. "Ah, Yap-taihiap memang hebat,
saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu."
"Silakan, pangcu, silakan...!" Yap Kun Liong lalu mendahului tamunya itu,
bersama isterinya memasuki ruangan dalam. Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong
menyuruh isterinya dan Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut tamu,
kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian
muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis
tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka
dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.
Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah dan matanya yang memandang dengan sinar
mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kai-pang cepat menjura dan berkata
kepada nyonya janda muda itu, "Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan
Rajawali Hitam 4 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pedang Pelangi 29
^