Pendekar Lembah Naga 15
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
kedukaanku tidak lebih kecil daripada yang kauderita. Kedatanganku ini untuk
menceritakan keadaan yang sebenarnya."
"Duduklah, pangcu dan mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong
mempersilakan semua orang duduk.
"Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk,
dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini
agar tidak menarik perhatian orang. Nah, harap taihiap sekalian suka
mendengarkan penuturanku baik-baik."
Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara
Hwa-i Kai-pang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang
anggauta kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita
iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus
membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan
kami minta pertanggungan jawabnya karena membunuh seorang anggauta kami tanpa
sebab. Wanita iblis itu tidak mempertanggungjawabkan, bahkan merobohkan beberapa
orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong
Liu-nio." Lalu dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya,
dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul
Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.
"Karena wanita itu bersembunyi di gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa
menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang agar saya suka
datang ke gedung itu pada watu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu
saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari
itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang segera
menyerang saya. Kemudian, sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun
taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang
yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah dan terjadi
perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan dalam pertandingan itu, entah
bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apalagi
ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga,
maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan mengapa Tio-taihiap tewas dalam
perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."
"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi
Eng berseru. "Jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu,
padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya.
Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."
"Tenanglah, dan biarkan pangcu nmnjelaskan. Bagaimana selanjutnya, pangcu?"
tanya Yap Kun Liong. Kakek pengemis itu menarik napas panjang. "Sudah puluhan tahun saya malang
melintang di dunia kang-ouw, biarpun menjadi pengemis akan tetapi belum pernah
melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga belum pernah menghadapi
urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh
membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Banyak memang saya membunuh orang, akan
tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya
merasa penasaran, apalagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri
yang kini menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang
lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua
rahasia itu." "Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.
"Semua adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi
dalam gedung Lee-ciangkun, bahkan dia menjadi kekasih gelapnya. Celakanya,
selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa kepada
kaisar dan dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh
dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok
pelayan-pelayan dan perajurit-perajurit pengawal, saya memperoleh keterangan
yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis
itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal
itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh
Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya
yang menjadi pembunuhnya."
"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal
wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"
"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya
sayapun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya
teringat pula bahwa wanita itu ke manapun dia pergi selalu membawa salib kayu
yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia,
Yap dan Tio. Dan diapun pernah mengaku bahwa ketika dia membunuh anggauta kami
she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukan Hwa-i Kai-pang, melainkan she Tio
itulah. Jadi anggauta kamipun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab
pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun
yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan
kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."
"Ah, keteranganmu memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw
berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu memasukan nama
Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan
adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she
itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga!
Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia
sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan dia telah dibantu
oleh Lee-ciangkun untuk melaksanakan hal itu, bahkan lalu melemparkan
kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu
domba!" Semua orang mengangguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus
membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi
juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."
"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan
gurunya!" kata Bun Houw marah.
"Dan pembesar Lee yang curang dan pengecut itupun harus diberi hukuman yang
setimpal!" kata pula Lie Seng.
"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar
maka akan sukarlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Kalau kita
menyerang gedungnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus
memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee
Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."
"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu
saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan Lembah Naga
belasan tahun yang lalu itu.
"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar kutemui Panglima
Lee Cin yang kita mengenalnya sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan
kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio
keluar." "Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku
sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi
iblis macam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong
mengangguk menyetujui karena diapun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong
yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak
sekali orang, bahkan terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara
bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini
menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong
menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den
kekhawatiran. "Ada pasukon pemerintah datang untuk menangkap kita!" kata Cia Giok Keng kepada
suaminya. "Ah, apa sebabnya?"
"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita
berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.
"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya
memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.
Tiba-tiba terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun
Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut
bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"
Yap Kun Liong mengerahkan khi-kangnya dan berseru dari dalam ruangan itu.
"Apakah dasarnya kami hendak ditangkap?"
Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan
pesta. Suasana menjadi sunyi sekali setelah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua
tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan penuh
perhatian, semua mata memandang keluar dan hampir semua pandang mata
membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu. Kemudian terdengar
suara nyaring menjawab, sungguhpun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap
Kun Liong tadi, namun suara inipun cukup nyaring melengking didorong oleh tenaga
khi-kang yang kuat. "Kami membawa perintah Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In
Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh bersekutu dengan para
pemberotak Hwa-i Kai-pang dan Pek-lian-kauw. Oleh karena itu menyerahlah kalian
berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"
"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar. Kakek ini
marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dituduh sebagai pemberontak,
disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa
tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir
sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup,
akan tetapi mereka tidak pernah memberontak. Kini, mendengar ada pasukan hendak
menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kai-pang yang
dicap pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja telah
diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dan diapun dapat menduga bahwa hal
ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Maka
kemarahannya meluap dan dia sudah berlari keluar dan mengamuk, merobohkan
beberapa orang perajurit dengan tongkatnya yang digerakkan secara lihai bukan
main. Gegerlah para perajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-
tambalan itu adatah ketua Hwa-i Kai-pang dan dia adalah seorang tokoh yang
terkenal memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk,
dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang, lebih kena disambar tongkatnya
yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu. Akan tetapi, komandan pasukan
memberi aba-aba dan kakek inipun dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Juga
sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan
sudah bergerak pula ikut mengepung. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok
ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi perajurit roboh
oleh amukan tongkatnya, akan tetapi kini para perajurit mempergunakan senjata
panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah. Dihujani serangan
tombak dan anak panah, walaupun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis
runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itupun
berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus
kulit dagingnya. Kalau dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk
melarikan diri mempergunakan gin-kangnya. Akan tetapi agaknya dia sudah
terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam kepada Kim Hong
Liu-nio karena perbuatan wanita itu dan Lee Siang telah menempatkan dia dalam
kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia
dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan
dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga
pendekar itu. Sekarang, setelah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio
dan Lee Siang, setelah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar
itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan
menuduh Hwa-i Kai-pang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini
tidak ingin untuk lari menyelamatkan diri, melainkan mendorongnya untuk mengamuk
dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.
Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan
lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan
tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya! Para tamu tidak ada
yang berani ikut mencampuri, apalagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk
menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai
yang dianggap pemberontak oleh permerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan
kecil dan mereka tidak berani tersangkut.
Setelah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan kembali berteriak dengan
nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah,
terpaksa kami akan menyerbu!"
Yap Kun Liong dan keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat
tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, bahkan dia
lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah
turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun
berwibawa, "Siapakah yang memimpin pasukan ini?"
"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."
"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!"
kata pula Yap Kun Liong. Seorang pemuda maju dan mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera
kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, kemudian komandan yang
bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung, kain bertuliskan perintah
penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap
Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus
pasukan itu untuk menangkap dia berempat.
"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja
untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan
mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.
"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat,
bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.
"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan
ayahnya. "Mengapa begitu" Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.
"Sttt, jangan, anakku. Lanjutkan pernikahan ini, jangan membikin rusak pesta
pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami
tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan
membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."
Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk
mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong
membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka dinaikkan ke atas kereta
kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
Yap Mei Lan menangis terisak-isak dan Souw Kwi Beng juga memandang isterinya
dengan muka pucat. Lie Seng mendekati sucinya, menghibur dan berbisik. "Harap
suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta
ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan
menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci,
yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan
taruhan nyawaku." Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan
dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan
hati-hatilah." Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihunya (kakak ipar)
yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan
rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu
saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan
gelisah sekali, terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan
tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang penjahat-
penjahat dan pemberontak-pemberontak. Karena suasananya sudah tidak menyenangkan
dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu bubar sebelum
waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota
tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur. Di sepanjang
perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia
adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami melakukan
perjalanan, tentu dia sudah menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha
menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk
memata-matai keadaan empat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng
dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota
raja. *** Sebetulnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan
untuk menangkap empat orang itu" Untuk mengetahui rahasia ini sebaiknya kita
mengikuti perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan
orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Telah diceritakan di bagian depan bahwa biarpun sejak muda Kim Hong Liu-nio
dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita
yang berhati dingin dan kejam, namun betapapun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah
seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-
nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.
Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan
sudah berpengalaman, pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan
kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun.
Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi
dia belum dapat menyerahkan dirinya karena ancaman subonya, Hek-hiat Mo-li bahwa
kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi
musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan
ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri. Mendengar sumpah itu,
Panglima Lee Siang lalu membantunya untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti
telah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Makin
mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh
dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia berpacaran dengan panglima itu,
walaupun dia masih belum berani menyerahkan diri karena masih banyak musuh yang
belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!
Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun
dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang
cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini
terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannnya
ketika mereka saling berpelukan dan berciuman. Oleh karena itu, mana mungkin dia
mampu menanti sampai semum musuh wanita itu habis" Akan berapa lamakah sampi
wanita itu selesai membunuh musuh-musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti
yang ilmunya amat tinggi itu"
Maka, Lee Siang tidak dapat tahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-
rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang dapat
meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin
itu. Dengan berahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak
kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing. Dan
setelah keesokan harinya sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca di
atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan,
tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia
mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi
tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi
lalat di dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya
lagi karena tahi lalat buatan dari subonya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat
seperti yang dikatakan oleh subonya bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada
seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!
Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibir. Dia merasa puas, dan gembira
sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri
kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang
penuh gairah, hangat dan luar biasa.
Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan
ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di depan
pembaringan, tubuhnya hanya dibalut selimut dan wanita itu menodongkan sebatang
pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang
terasa nyeri oleh runcingnya pedang!
"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan mata terbelalak,
memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut,
namun bahkan menonjolkan kecantikannya.
"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Kita berdua harus mati
sekarang, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri daripada mati di tangan
orang lain!" Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk
melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.
"Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta padamu, aku cinta padamu dengan
seluruh jiwa ragaku, kenapa... kenapa kau hendak membunuhku, sayang" Lupakah
engkau akan cinta kasih kita semalam...?"
Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.
"Aku tahu... dan engkaupun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan
tetapi justeru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati
bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."
"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang
berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit
sehingga mengeluarkan darah.
"KAULIHAT daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"
Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang berada di dagu wanita itu,
yang menambah kamanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini telah
lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu tentang sumpahnya kepada subonya,
dan tentang tanda perawan yang dibuat subonya, yaitu tahi lalat itu yang kini
lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!
Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu
menyerahkan diri. "Hong-moi, kasihku, sayangku, kaudengarkan aku. Aku mempunyai
akal untuk menghadapi subomu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak
membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin
melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku,
aku... aku minta... sukalah engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa
mati..." Lee Siang membuka seilmut yang menutupi tubuhnya membiarkan tubuhnya yang
telanjang itu terbuka sama sekali dan dia mengembangkan kedua lengan dengan
sikap merayu. "Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya
terlepas dan dia menubruk, merangkul dan menciumi pria yang dicintanya itu,
satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ah,
Lee-ko... Lee-ko... bagaimana aku dapat membunuhmu...?"
Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas
dari cengkeraman maut. "Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah engkau sudah
menceritakan bahwa subomu itu sudah tua renta dan sudah pikun" Biarpun ilmu
kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang
awas seperti yang kaukatakan, apa sukarnya untuk mengelabuhi pandang matanya"
Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik
kecil di dagumu yang manis" Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apalagi
kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan,
mengapa kita harus mengambil jalan pendek" Bukankah kita berdua berhak menikmati
hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh
hatinya dan nafsu berahinya sudah berkobar lagi.
Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku...
aku yang bodoh... ah, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup
darah di dada itu, menjilati luka kecil di dada kekasihnya. Mereka berpelukan
dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.
Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi
penuh semangat kembali. Setiap saat dia menuntut pernyataan kasih sayang dari
Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga dan akhirnya tibalah saatnya
Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara. Wanita itu harus pergi
ke utara berkunjung kepada subonya dan suhengnya yang mengadakan sayembara
pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Ketika hendak berangkat, Kim Hong
Liu-nio kembali menyatakan kekhawatirannya tentang tahi talat yang hilang itu.
Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai
pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu
mencium dagu yang manis itu. "Ah, tidak ada bedanya seujung rambutpun, Hong-moi.
Jangan khawatir, apalagi subomu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku
sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu.
Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh
rindu." Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang
ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang,
kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan
kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya
orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup
selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia
kiamat! Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorangpun yang tahu akan
kepalsuan tahi lalat di dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu
bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan
nenek ini berkata, "Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama
ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong.
Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia
Bun Houw dan Cia Giok Keng?"
"Harap subo suka bersabar, teecu tidak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong
Liu-nio dan saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari
musuh-musuh itu, dan diapun tidak perduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu
dengan perintah subonya. Setelah memberi hormat kepada subonya dengan berlutut
dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan
berjalan perlahan untuk duduk di sudut. Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai
memandangnya penuh perhatian, terutama memandang ke arah pinggulnya yang
menonjol dan bergoyang-goyang ketika dia melangkah tadi.
Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu Raja Sabutai menemui Hek-hiat
Mo-li dan bicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat
Mo-li marah bukan main. Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang tajam, yang sudah banyak pengalaman
memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, sudah
dapat menduga bahwa sumoinya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat
bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li
memanggilnya dengan wajah bengis.
"Kim Hong, lekas kaucuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.
Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi
dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.
"Apa maksud subo" Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"
"Hemm, masih hendak mengelabuhi gurumu, ya" Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan
engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"
Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah
dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu
dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia telah melanggar sumpahnya. Maka dia
hanya berlutut, dan menangis!
"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri" Hayo ceritakan, mengapa
engkau melanggar sumpahmu?"
Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta
dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok
oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang, dan teecu bersama dia saling mencinta
subo, dan... dan... teecu telah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang
membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."
"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim
Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali
rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio
bahwa dia akan mati di tangan subonya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan
bayangan Lee Siang di depan matanya.
Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya
sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"
"Subo, tahan dulu!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai
yang memasuki ruangan itu.
Nenek itu menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan.
"Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"
Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak dapat
menahan gelora nafsunya" Memang dia telah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih
ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan
untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil,
biarlah dosanya diampuni dan biar dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan
tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh diapun belum terlambat."
Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah
ini bukan perawan lagi, tentu aku kena dikelabuhi, maka biarlah aku setuju
usulmu, sri baginda. Nah, kaudengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap
empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan
mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"
Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit
untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika di Lembah Naga
diadakan pemilihan guru silat, dia tidak hadir, dan itu pula sebabnya mengapa
Hek-hiat Mo-li marah-marah ketika Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk
pangeran. Kemarahannya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia
menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.
Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya
itu, dia menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak
diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian
betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subonya dan suhengnya itu
memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat
orang pendekar itu. "Ah, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu" Lee-
koko, lebih baik kau membunuh aku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu,
daripada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee
Siang. Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga
mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.
"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk
menangkap empat orang itu," katanya.
Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia memperoleh akal yang
sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat
perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu
pula, kemudian dia mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang
pembantunya dengan hadiah besar untuk pergi membawa pasukan dan menggunakan
perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia
Bun Houw dan Cia Giok Keng. Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira
Ma Kit Su dan seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil dalam tugasnya,
selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap empat
orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena selain tidak ingin memberontak
terhadap perintah kaisar, juga tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei
Lan dan Souw Kwi Beng. Memang, kalau orang sudah tergila-gila apapun sanggup dilakukannya. Baik dia itu
seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya
seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala
hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan
kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu. Demikian pula dengan
halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tidak pernah bermimpi bahwa dia
pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekat. Kalau bukan
untuk Kim Hong Liu-nio, sampai matipun kiranya dia tidak akan berani main-main
seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, apalagi berani
mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap
Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.
Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas.
Apalagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang
merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan
oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan
menjadi geger karenanya dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang. Namun, kalau
orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia
kiamatpun takkan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita
yang dicintanya, biar apapun terjadi, dia tidak takut bahkan matipun bukan apa-
apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.
Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu
yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat
kediaman masing-masing, segera menyebarluaskan berita tentang penangkapan itu
dan seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar. Kalau yang ditangkap itu seorang atau
beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal
itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi
apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap
keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Betapa aneh dan janggalnya
berita ini. Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali
dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi
peristiwa aneh itu, dan tentu saja banyak para tokoh liok-lim dan kaum sesat
yang bersorak gembira karena pembasmian setiap orang pendekar penegak keadilan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.
*** Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai
menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa
para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu menyerah karena melihat
"surat perintah" kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang
amat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan
memperkuat pengawalan itu. Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu
tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar tawanan itu jangan sampai
terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia
mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk
membantu dalam pengawalan itu.
Inilah sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan
empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan. Apalagi ketika pada suatu
malam rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak menggunakan kekerasan untuk
membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan
pendekar Yap Kun Liong sendiri yang minta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw
agar jangan melawan pemerintah. karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang
adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan
kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.
Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini
memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja
dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa
tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat
itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi
sahabat baik dari Lee Siang.
Kereta kerangkeng itu dimasukkan dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga
ketat oleh selosin perajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari
baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu dirantai,
sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya
masih dijaga oleh selosin perajurit pilihan!
"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas,
ingin aku mematahkan semua ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul
kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.
"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan pengadilan, aku yakin
kita akan dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat daripada
bebas menggunakan kekerasan."
"Aku heran sekali, mengapa kita berempat disuruh tangkap oleh kaisar?" Bun Houw
berkata. "Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk
lolos dan mengamuk. Biarpun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan
sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.
"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya.
"Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andaikata difitnah
sekalipun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang.
Kalau kita menggunakan kekerasan, hal itu bahkan memperkuat bukti bahwa kita
memang suka memberontak. Sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di
kota raja dan akan menerima keputusan. Kalau kemudian ternyata bahwa kaisar
bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk
memberontak." Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan samadhi seperti biasa sehingga mereka
tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara
yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat
para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang
bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling
tindih. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong
mengeluarkan suara lirih, "sssttt...!" karena dia mendengar sesuatu yang juga
sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan
merah dan dengan gerakan yang ringan sekali melayanglah sesosok tubuh wanita
yang berpakaian serba merah, turun di luar ruangan itu.
Seorang wanita muda yang cantik manis, pakaiannya serba merah, pedangnya
tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah
bersih, wajahnya yang cantik itu dihias rapi. Seorang wanita muda cantik manis
yang pesolek, dan senyum bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan
yang panas! Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak
mereka kenal itu, tiba-tiba Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah
ketika mereka melihat wanita itu.
"Mau apa kau ke sini?" Bun Houw membentak.
"Pergilah kau!" In Hong juga membentak. Suara kedua orang suami isteri ini jelas
membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin
heran lagi. Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil
menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu" Suhu dan
subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."
"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.
"Kalau suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biariah teecu membujuk Ciong-
taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik padanya
dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."
"Sudahlah, kami bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!"
kata Bun Houw. "Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu..."
gadis itu memohon. "Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali,
mengepal tinjunya dan Kun Liong khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan
rantai dan membobolkan kerangkeng.
"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.
"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata
merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian
meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa
lega bahwa gadis itu telah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada
bayangan lain berkelebat, gerakannya lebih cepat daripada gadis tadi dan tahu-
tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.
"Ooh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan" Hatiku khawatir sekali
melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua
penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia berniat jahat atau mungkin juga hendak
menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia" Kulihat dia
pergi lagi sambil menangis."
"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng,
agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.
Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin datang
penjaga baru dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji,
kautinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan
lakukan itu terus, akan tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan oleh fihak
pengawal dan jangan melakukan apa-apa sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak
menghendaki kekerasan."
"Benar kata ayahmu, Seng-ji. Kaupergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami
berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya girang
dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.
"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi
berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka
suguhnya. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini." Setelah meninggalkan
pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena
para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap
seperti orang baru bangun tidur.
"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia
Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya
tentang gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh
adiknya itu. "Akupun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya,
Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"
Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandang mata ini terjalin
saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai
jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya, "Sesungguhnya, kami berdua tadinya
hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, akan tetapi siapa sangka malam
ini dia muncul, dan tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah
diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang
dia." Pendekar ini lalu bercerita, dengan suara bisik-bisik agar jangan
terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, dan hanya terdengar oleh mereka
berempat saja. Beginilah ceritanya.
*** Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan
Yap In Hong terpaksa meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena
ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka
sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka siap
meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam
belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk
mengambil seorang anak perempuen bernama Sun Eng.
Di dalam cerita Dewi Maut diceritakan bahwa Bun Houw pernah dalam
penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, bersahabat dengan
seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama
Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi. Sun Bian Ek ini sengaja mengganti
nama karena dia menjadi orang buruan, berganti nama Liok Sun dan berjuluk Kiam-
mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw
dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya sampai Kiam-mo Liok Sun akhirnya
tewas di tangan musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini
meninggalkan pesan kepada Bun Houw agar suka memelihara dan mendidik puteri
satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.
Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw
tidak melupakan janjinya dan bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang
janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi dan menemui anak perempuan yang pada
waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.
Kemudian, setelah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun
Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang
sebuah kota yang cukup ramai tak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja
menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka
seolah-olah mengubur diri jauh di timur.
Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih
amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan mereka berdua
secara bergantian mendidik dan memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis
itu. Sun Eng semenjak kecil memiliki watak yang periang dan lincah jenaka,
sehingga keriangan anak itu merupakan sinar yang menerangi kehidupan sepasang
kekasih yang merasa prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali mereka
terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan
sedemikian rupa sehingga Sun Eng menjadi manja sekali.
Makin besar, Sun Eng makin menjadi cantik dan pesolek, akan tetapi dalam
kelincahannya terdapat sifat-sifat genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan
Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka
membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng
mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.
Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas
tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling
matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya telah mencapai
tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan
oleh suhu dan subonya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Setelah berusia tujuh belas tahun, mulai nampak gejala-gejala tidak baik yang
mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai
kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya
kalau sedang dilatihnya silat semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini
berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara. Bahkan kalau sedang berlatih
silat di depannya, Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang
menggairahkan, seperti bagian dadanya dan pinggulnya, sedemikian rupa untuk
menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya
sendiri dan memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu,
menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!
Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subonya ini tidak
ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subonya yang mengaku
suami isteri ini tidur sekamar, apalagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan
bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan
subonya tidak pernah menjenguk keluarga sehingga akhirnya subonya menceritakan
kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, tentang
perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.
"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya
sebelum mendapat restu orang tua," subonya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban
pertanyaan mengapa suhu dan subonya belum juga mempunyai keturunan! Maka tahulah
Sun Eng bahwa suhunya masih perjaka dan subonya masih perawan. Dia makin
tertarik dan merasa kasihan kepada suhunya. Memang dia amat kagum dan cinta
kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi makin berani kepada
gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya.
Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar
cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak memperdulikan
susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan
cinta berahi. Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti
biasanya, Sun Eng yang sudah tidak dapat menahan gelora hatinya yang dihantui
oleh bayangan pikirannya sendiri tentang adegan-adegan mesra seperti yang pernah
didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar
gurunya itu. "Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak
pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar sekali, seperti air
terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh,
seperti air bah yang menjebol bendungannya!" kata seorang di antara wanita
tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa
penuh arti ketika Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu
tampan dan gagah, sayang seorang pria seperti dia tersia-sia."
Malam itu Sun Eng gelisah di pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang
di telinganya dan dia membayangkan, betapa akan mesranya kalau gurunya memeluk,
menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila kepada
gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.
Betapa kaget rasa hati Bun Houw ketika dia merasakan sesuatu yang lembut
menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah
menempel di wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya
yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan
menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu,
yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu berahi, adalah wajah cantik manis
dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.
"Suhu... ah, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah
ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran
menjadi marah bukan main. Dia sudah menggerakkan tangan, akan tetapi
kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan
sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan terus terbanting ke
bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.
Akan tetapi, Sun Eng tidak menjadi takut, bahkan kini dara itu cepat membuka
pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan. "Suhu... suhu...
lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini
kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang
masib muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu
berahi. Bun Houw memejamkan matanya dan seperti orang kehilangan dirinya
sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping
itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan diapun balas
mencium bibir yang menantang itu.
Akan tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan,
kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan
iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani
muridnya itu, membiarkan peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong
tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak
pintu kamarnya! Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar suara In Hong dari luar, "Houwko, ada apakah?"
Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya dan meloncat keluar dari
jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,
"Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu mengira maling
maka teecu hendak memberitahukan suhu, celakanya, dalam kagetnya suhu malah
mengira teecu malingnya!"
Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar penuh
ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In
Hong akan menjadi curiga. "Ah, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka
aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.
"Sun Eng, hati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa
seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan sudah mendarah daging ilmu
silat dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam
keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."
"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."
"Hemm, betapapun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang
naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia
lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikitpun dia tidak menaruh curiga
atas terjadinya peritiwa itu. Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur
memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang amat besar
mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Akan tetapi, melihat betapa suhunya tidak membuka rahasianya terhadap subonya,
hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhunya "melindungi" dan
bahwa diam-diam suhunya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya
mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani,
bahkan di depan subonya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang
penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhunya. Tentu saja Bun Houw
merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apalagi setelah
dia mengerti bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh
penuh kecurigaan yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!
Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat
kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang mengira, bahkan berpendapat
bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tidak terpisahkan dari cinta!
Benarkah perkiraan atau pendapat demikian itu" Kalau kita tanggapi dengan
perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang
ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya
kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apabila ia
timbul, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat
menyelidikinya, mempelajarinya dan mengerti dengan sepenuhnya akan susunan
cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya. Karena hanya
pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan waspada ini sajalah yang
akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu.
Dengan memandang kepada diri sendiri, kita bersama dapat melakukan penyelidikan
apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan
teoritis yang hampa. Pengetahuan seperti itu tidak akan melenyapkan cemburu.
Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat
dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara,
nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah
dan dicengkeram kebencian sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh
karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja
sebaiknya kalau kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.
Dari manakah timbulnya cemburu" Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari
cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah
tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih
kalau mendatangkan kedukaan dan kebencuan! Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT
KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul
kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang
kita pergi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri,
akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena
kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan
kepada kita itu dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.
Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu,
karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir
milikKU diambil orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang
sendiri, dan barang atau orang yang kita "cinta" itu menjadi sumber atau alat
dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil
orang lain, kita menjadi sedih, marah atau cemburu namanya.
Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti
aku ingin senang, aku ingin mengusai, justeru aku ingin senang dan aku ingin
menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta
kasih tidak mungkin dapat diikat. Kalau kita sayang kepada sebuah benda, tentu
kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak
atau pecah, bukan" Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan
rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah
yang membuat kita menjaganya, agar dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena
hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu! Padahal, kalau bisa dinamakan
keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah
ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran
kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA
BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan"
Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu, ketika dia melihat
sikap muridnya yang terlalu manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang
keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan
hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata. Oleh karena itu,
setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri
kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa
malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia
berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian
manis dan memikat kepadamu!"
Bukan main kagetnya hati Bun Houw mondengar ini, saking kagetnya karena hal yang
mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh
kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kaumaksudkan, Hong-
moi...?" "Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita" Engkaupun tahu
akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa
artinya itu?" Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan
setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini mengganguku
dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa
gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara
terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah
besar dan melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan
tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi, yang tentu menimbulkan
kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau
bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu
yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."
Biarpun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah
dapat menduga bahwa tentu murid itu jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia
dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi
pada beberapa malam yang lalu, ketika Sun Eng memasuki kamarnya dan
memperlihatkan sikap yang amat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak
menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa
dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu. Memang, pekerjaan
yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran
dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk
menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itupun, berdaya upaya sekuat
tenaga untuk membuka dan mengungkap rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan
pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan
yang menyesatkan ini. Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika
dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemm, bocah itu sungguh
tak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.
"Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan
tetapi kasihanilah dia, dia masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasihat
kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan
perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia dan
kita bersama menasihatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari
kesesatannya itu?" In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia
mengangguk. "Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kitapun
bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang
anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang
ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak
bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini
tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras
terhadap Sun Eng." Bun Houw mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Mudah-mudahan saja kita belum
terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar agar kelak aku tidak usah
merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek di alam baka."
Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subonya,
wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti
pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa ada hal yang amat panting
terjadi dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Maka setelah memberi
hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.
Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu,
kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin
akan tetapi juga mengandung rasa sayang, "Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan
juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini
sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara
terbuka." Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat
meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subonya dalam percakapan ini, maka dia
hanya mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."
"Sun Eng, aku telah tahu akan perbuatanmu beberapa malam yang lalu, terhadap
suhumu." "Aihh...!" Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada
wajah Bun Houw. Pendekar ini mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subomu, Sun Eng, demi
kebaikan kita bersama dan agar engkau mengerti benar betapa tidak benar dan
tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."
Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.
"Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap
suhumu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat
sekali. Suhumu adalah gurumu yang menjadi pengganti ayah, atau seorang kakak
yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan
dan kehormatan sebagai seorang murid terhadap guru, menjadi cinta berahi seorang
wanita terhadap pria" Kau tahu bahwa suhumu adalah seorang pendekar yang tentu
tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Pula, engkau
adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau akan merendahkan diri sedemikian
rupa" Di manakah kesopananmu" Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu
lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.
"Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang
paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai
adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu
kepadaku! Ah, hal itu lebih mencelakakan daripada kalau engkau menyerangku
dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.
Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran dan dengan
terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau
kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh
sekalipun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan
teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebenarnya, teecu
kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu
hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."
"Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.
"Ampun, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan
hanya mengorbankan badan... biar menyerahkan nyawa berkorban jiwapun teecu rela
untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."
In Hong dan Bun Houw saling pandang kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang
sudah menunduk dan menangis lagi.
"Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak
pantas kaulakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap
suhumu, menjadi seperti dahulu, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang
murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kauenyahkan dari
hatimu. Mengerti?" Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya,
"...teccu salah... teecu salah..."
Melihat itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan
subomu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap
adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu
biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke
jalan benar." Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak
hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua
orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu
tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka
terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat. Agaknya peristiwa itu telah
menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid maupun dua orang
gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan
bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya. Dan di dalam hati Bun
Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid
mereka, membuat mereka bersikap tidak begitu memperdulikan lagi. Bahkan ketika
mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda
yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan
bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk
dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang menegur dan
menasihati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa
mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang
oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.
Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut ketika menerima
serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar
yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk
menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.
Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang amat terkenal di kota itu sebagai pemuda
mata keranjang, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu,
mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena
itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk
watak ini, tentu saja Bun Houw dan Yap In Hong menjadi marah dan serta merta
menolak pinangan itu. Apalagi In Hong! Pendekar wanita ini pada dua tahun yang
lalu pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau tidak dicegah oleh Bun Houw tentu
sudah membunuhnya karena Aw-kongcu berani main gila kepadanya, berani
mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil ketika
dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah
mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan kalau pendekar
wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan
jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.
Para utusan itu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat
betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidaksenangan hatinya
oleh penolakan itu. "Eng-ji, yang meminangmu adalah seorang pemuda yang tersohor
jahat dan busuk namanya di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras,"
kata In Hong. "Terserah suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat lalu meninggalkan kedua
gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.
Bun Houw menarik napas panjang. "Aihh, untung dia bukan adik atau anak kita,
kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."
"Betapapun juga, dia adalah murid kita dan sudah sepatutnya kita jaga agar
jangan memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.
Peristiwa penolakan pinangan Auw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan
antara kedua orang guru dan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini
makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia
selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga daripada berlatih silat,
setelah selesai membantu subonya di dapur.
Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada
diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal
ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa
mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng. Demikianlah, pada suatu malam, ketika
mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka
perlahan dan mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu meninggalkan
kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu. In Hong dan Bun Houw cepat membayangi
dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki
sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi
bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan
Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman
dengan penuh gelora nafsu!
"Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang,"
terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In
Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!
"Aku tentu datang, kongcu, akupun rindu sekali padamu."
"Ah, Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu dan kini sepasang
pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid
mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, digumuli pemuda itu
dan bahkan tertawa cekikikan ketika tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai
membukai pakaiannya! "Keparat!" In Hong memaki dan dia sudah meloncat ke depan, tubuhnya melayang
seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Auw-kongcu sudah
diangkat dan dibantingnya, seperti membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu
berteriak kaget dan kesakitan.
"Anjing hina-dina!" In Hong membentak lagi ketika melihat muridnya dengan
pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia she Auw
keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"
Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang
subonyap melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka
ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang
matanya bersinar penuh keberanian Sun Eng menghadapi subo dan suhunyap lalu
berkata dengan suara lantang.
"Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apa kesalahan Ang-
kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"
Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak..." Dan
dia... dia dan kau..."
"Memang! Aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya.
Sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa
hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang dan In Hong merasa
mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tidak nampak, juga Bun Houw
mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka
didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan bicara
dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!
"Sun Eng! Kau... kau..." Saking marahnya, In Hong tak mampu melanjutkan kata-
katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya
itu. "Plakk!" Tangan Bun Houw menahan lengannya. "Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita
menggunakan kekerasan."
In Hong terengah-engah saking marahnya.
"Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami sudah saling mencinta. Aku rela
menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, mengapa suhu dan
subo hendak menghalangi kami" Bahkan suhu dan subo telah menolak pinangannya.
Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang
menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling
mencinta?" Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang
pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-
kata. "Perbandinganmu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau
engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan
setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kaupllih adalah pemuda yang
berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."
"Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo dan tentu menganggap
subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah
suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu" Tentu berbeda antara selera
suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda.
Bagiku, Auw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini, sambil
meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang
tersenyum kepadanya. "Hemm, pilihanmu yang kaulakukan dengan mata buta itupun bukan soal yang terlalu
berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan
sah, apakah hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?" tanya
In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Subo, kalau aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu
tandanya aku cinta padanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti
yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan,
karena memang aku cinta padanya. Kami saling mencinta, maka apalagi halangannya
bagi kami untuk bermain cinta?"
"Bodoh! Orang macam dia mana bisa dipercaya" Engkau akan disia-siakan setelah
engkau dinodainya, akan dibuang setelah habis manis dan tinggal sepahnya.
Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.
"Memang pendirian subo demikian, maka sampai kinipun subo tidak rela menyerahkan
diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku
mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah
menyia-nyiakan diriku, bukan?"
Auw-kongcu merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."
SUNGGUH kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya
sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang
pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan
birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia ini, cinta
adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi
mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau
tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta! Betapa banyaknya gadis-gadis
yang menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan
membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang
bertanggung jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan
atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan
nafstu berahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata
melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah
si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir
batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat
setempat. Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang
oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan nafsu berahi
belaka, adakah itu yang dinamakan cinta" Dan yang amat menyedihkan, betapapun
kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di
antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin
adalah tanda cinta! Itu saja! Ini bukanlah berarti bahwa kita menentang hubungan
kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin.
Sama sekali bukan, dan kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua
untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta
oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan
maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan
merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih,
dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka. Mengapa orang-orang muda
buta terhadap hal yang gamblang ini"
Demikian pula dengan halnya Sun Eng. Dia percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-
kongcu, didorong oleh rangsangan dan dorongan nafsu birahinya sendiri,
menyerahkan dirinya karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti
cintanya. Bun Houw dan In Hopg merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, kelak
engkau akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"
"Jangan subo bergerak! Kalau subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan
kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati
terhadap kami!" kata Sun Eng.
Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia
membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di
dalan pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia
berkata, "Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan
kami bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggungjawabkan hal ini
dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau padaku. Mulai saat ini segala
perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!" kata
Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.
Setelah tiba di luar hutan, tak tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu!
Bun Houw merangkulnya dan In Hong menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan
marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw. Bun Houw
merangkul dan mengelus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya.
Setelah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan
basah air mata, memandang wajah Bun Houw.
"Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ah, Houw-koko yang malang,
betapa buruk nasib kita..."
Bun Houw menunduk dan dalam keadaan berduka membutuhkan hiburan itu mereka
menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua
mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh
permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang
ditahan-tahan. Malam itu bulan purnama, dan karena memang keduanya sudah bertahun-tahun
menanggung rindu dendam yang amat mendalam, yang mereka jaga dengan segala
kekuatan batin mereka, kini setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam
cahaya bulan, dan mungkin pula karena peristiwa tadi, melihat murid mereka dan
kekasihnya sating menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka
pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.
Akhirnya In Hong terengah-engah melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak
melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang juga agak terengah
napasnya dan panas dingin seluruh tubuhnya.
Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing
masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa,
keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun
Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya. Akan tetapi
ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan
melangkah mundur. Mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu
terpancar suara hati yang lebih jelas daripada suara melalui kata-kata. Bun Houw
menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap
cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah
mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.
"Maafkan aku..."
"Maafkan aku..."
Keduanya saling pandang lagi, merasa lega setelah saling minta maaf, kemudian
Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih
sayang, lalu berbisik, "Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana
kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan
ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya kini sudah tidak marah lagi
dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia
sudah merasa rindu kepada ibunya.
Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biarpun kita
menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan.
Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu
masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita
dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Mengapa tidak menanti
saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja kepada kehendak Tuhan?"
Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya itu untuk menghadap ayah
bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas,
mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya,
menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong. Wanita ini
melinangkan air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan
hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya,
untuk menyerahkan dirinya! Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan
cepat diapun memasuki kamarnya, merasa ngeri akan bayangan pikirannya sendiri
karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan,
tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena
itu, sampai bagaimanapun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun
Eng! Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng
tidak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua
barang dan pakaiannya karena kekasihnya yang kaya raya itu membelikan pakaian
baru sebanyaknya untuknya. Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan.
Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia
dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw
ini tewas dalam keadaan mengerikan karena leher dan mukanya berlubang-lubang,
berwarna kehijauan dan berbau wangi.
Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan
muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa
(Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan
pula kepada Sun Eng! Mereka depat menduga bahwa tentu Sun Eng yang telah
membunuh Auw-kongcu itu. Mereka menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun
Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu
tidak mau mengawini gadis itu.
Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka
itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah
yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama
mereka yang menjadi gurunya. Biarpun mereka berdua sudah tidak mengakuinya
sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan
bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka. Apalagi ketika mereka
mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul
dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup
berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati
sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak
memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan
tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk
tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapapun juga.
Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini
bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara,
dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi
marah dan mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka
berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan
isterinya. "Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin
kami berdua malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan
Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.
Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali
menarik napas panjang. "Ah, anak itu patut dikasihani..."
"Tapi, Liong-ko, dia tak berahlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong
berkata marah. "Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian
sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa
anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu"
Ataukah hal itu merupakan hal yang patut dikasihani dan tidak terlepas daripada
pendidikan dan lingkungan" Kalian maslh terlalu muda untuk mendidik, mungkin dia
terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biarpun kalian sudah membencinya,
dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal
ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang
yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguhpun kalian
berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja."
Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka dapat
melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong
tidak dapat menerima kesalahannya secara rela dan diam-diam dia masih penasaran
dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng
di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun,
yang membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang
tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali
tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.
Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio,
dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan serem
ketika dia bertemu dengan nenek muka hitam yang amat tua itu, dan memandang
dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh
tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu. Di samping tiga orang ini,
masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang
menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan
dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya untuk membantunya
menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-
taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.
Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li dapat muncul di Po-teng" Seperti kita ketahui,
penangkapan atas diri empat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang
dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari
ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang
diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong,
Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati. Maka setelah mereka mendengar
berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio
cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah
ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.
"Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan
membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke
kota raja," kata Kim Hong Liu-nio.
Nenek itu terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"
Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini lalu memilih tiga belas orang
jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal dan
membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu. Dengan
cepat berangkatlah mereka, menjemput Lee-ciangkun dan bersama-sama lalu menuju
ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kebetulan mereka bertemu dengan
rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng dan Lee Siang lalu langsung
membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin dan mereka berempat lalu
mengadakan perundingan rahasia.
"Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan
berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri telah memberi perintah rahasia kepadaku
bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai
lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan
keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka itu, maka kami menunjuk
locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid
beliau ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa
Ciong. Karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-
pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang
kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap
nenek itu amat menakutkan.
Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di
depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek
itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata dalam bahasa yang tidak
dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan
muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.
"Ciong-taijin, guruku berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh
empat orang itu tidaklah mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo
mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini
untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu
kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."
Mendengar ini, wajah pembesar itu berubah pucat dan keringat dingin membasahi
lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara..." Lalu... bagaimana dengan para
tahanan yang lain" Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!"
Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan
terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia pandai bicara dalam bahasa Han,
akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah kepada
para pembesar, dan tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu.
Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri
yang kemudian disalin pula oleh muridnya.
"Menurut subo, tidak mengapa kalau sampai jatuh beberapa orang korban karena
bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati" Juga, yang dibakar
hanya sekeliling ruangan di mana empat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan
membakar seluruh penjara, maka, andaikata ada orang tahanan yang ikut tewas,
kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."
Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua
pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.
"Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggungjawab akal hal ini!" kata
Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat
memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan
terancam lagi. Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang,
secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung
ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu
jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li
dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat
orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar
di sebelah dalam. Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua
kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini
bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng. Biarpun sudah diusir oleh suhu dan
subonya, namun Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang
gurunya itu tidak pergi benar-benar, melainkan berkeliaran di sekitar tempat
itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan
penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang biarpun
mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan.
Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-
gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak
lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat
ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan
kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak
beristirahat dan pulang sebentar.
Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba
seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu
terkejut sekali, berusaha menahan namun terlambat karena kaki depan kudanya
sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah.
Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri. Wanita itu masih muda
dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap
sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!
Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh...
tolonglah aku..." Komandan itu menelan ludahnya. Melihat wanita itu mengeluh dan mengeliat, dia
terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu
mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, lalu membawanya ke atas kuda dan
melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di
mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia
bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya! Ketika
komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada
dalam pelukannya tadi di atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba
untuk duduk. "Auuuh kakiku..." keluhnya.
"Kenapa kakimu, nona" Sakitkah" Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri dan
duduk di atas pembaringan.
Nona itu tidak membantah dan melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata
keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya sampai
ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan
kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa,
akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya
yang gemetar. "Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.
Mengira bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lalu mengurutnya dan menaruh
obat, kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam
waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan
sehingga tertabrak oleh kuda?"
Nona itu mengerling tajam lalu tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin
melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku
kagum melihat engkau begini gagah..."
Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya akan apa
yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona"
Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal, penuh
pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.
Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ah, kakiku masih sakit
sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."
"Boleh apa...?"
Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu
mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-
omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?"
"Benar, aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.
"Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang
perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu,
ciangkun." "He-he-he, benarkah?" Komandan itu menyeringai dan menelan ludah, lalu dia
mendekatkan hidungnya untuk mencium. Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan
pipinya yang dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he,
engkau cantik manis!"
Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan
halus, "Sabarlah, ciangkun, kakiku tak dapat digerakkan. Biarlah nanti... eh,
beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah" Apakah ada
hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?"
Secara sambil lalu wanita itu bertanya.
"Ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang
penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapapun..."
Wanita itu cemberut dan berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan
kekecewaan dan kemarahan.
"Eh, engkau mau ke mana?"
"Biarlah aku pergi. Biarpun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau
tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kaubawa ke pondok ini,
akan tetapi engkau menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk
apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan" Biarkan aku pergi!" Wanita itu
terpincang-pincang hendak pergi.
"Eh-eh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah
namamu, manis?" "Namaku Ang Bwee Hwa."
"Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)" Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya.
Dan aku bernama Ciok Kwan."
"Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."
"Siapa bilang tidak percaya" Aku percaya padamu seratus prosen, manis."
"Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"
"Stt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-
orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan
mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."
"Ohhh...?" Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran
melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. "Mengapa?"
"Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus siap, dan
karena empat orang itu amat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu dilakukan
dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."
"Ahhh...!" kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.
"Dan untuk menjaga agar mereka jangan lolos, kota raja telah mengirim jagoan
yang mengerikan. Engkau akan takut kalau melihatnya, dia seorang nenek bermuka
hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi
kabarnya murid itupun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang
Manusia Muka Kucing 2 Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa Raja Pedang 9
kedukaanku tidak lebih kecil daripada yang kauderita. Kedatanganku ini untuk
menceritakan keadaan yang sebenarnya."
"Duduklah, pangcu dan mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong
mempersilakan semua orang duduk.
"Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk,
dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini
agar tidak menarik perhatian orang. Nah, harap taihiap sekalian suka
mendengarkan penuturanku baik-baik."
Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara
Hwa-i Kai-pang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang
anggauta kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita
iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus
membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan
kami minta pertanggungan jawabnya karena membunuh seorang anggauta kami tanpa
sebab. Wanita iblis itu tidak mempertanggungjawabkan, bahkan merobohkan beberapa
orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong
Liu-nio." Lalu dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya,
dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul
Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.
"Karena wanita itu bersembunyi di gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa
menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang agar saya suka
datang ke gedung itu pada watu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu
saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari
itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang segera
menyerang saya. Kemudian, sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun
taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang
yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah dan terjadi
perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan dalam pertandingan itu, entah
bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apalagi
ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga,
maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan mengapa Tio-taihiap tewas dalam
perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."
"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi
Eng berseru. "Jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu,
padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya.
Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."
"Tenanglah, dan biarkan pangcu nmnjelaskan. Bagaimana selanjutnya, pangcu?"
tanya Yap Kun Liong. Kakek pengemis itu menarik napas panjang. "Sudah puluhan tahun saya malang
melintang di dunia kang-ouw, biarpun menjadi pengemis akan tetapi belum pernah
melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga belum pernah menghadapi
urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh
membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Banyak memang saya membunuh orang, akan
tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya
merasa penasaran, apalagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri
yang kini menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang
lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua
rahasia itu." "Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.
"Semua adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi
dalam gedung Lee-ciangkun, bahkan dia menjadi kekasih gelapnya. Celakanya,
selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa kepada
kaisar dan dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh
dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok
pelayan-pelayan dan perajurit-perajurit pengawal, saya memperoleh keterangan
yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis
itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal
itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh
Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya
yang menjadi pembunuhnya."
"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal
wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"
"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya
sayapun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya
teringat pula bahwa wanita itu ke manapun dia pergi selalu membawa salib kayu
yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia,
Yap dan Tio. Dan diapun pernah mengaku bahwa ketika dia membunuh anggauta kami
she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukan Hwa-i Kai-pang, melainkan she Tio
itulah. Jadi anggauta kamipun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab
pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun
yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan
kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."
"Ah, keteranganmu memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw
berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu memasukan nama
Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan
adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she
itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga!
Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia
sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan dia telah dibantu
oleh Lee-ciangkun untuk melaksanakan hal itu, bahkan lalu melemparkan
kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu
domba!" Semua orang mengangguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus
membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi
juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."
"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan
gurunya!" kata Bun Houw marah.
"Dan pembesar Lee yang curang dan pengecut itupun harus diberi hukuman yang
setimpal!" kata pula Lie Seng.
"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar
maka akan sukarlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Kalau kita
menyerang gedungnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus
memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee
Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."
"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu
saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan Lembah Naga
belasan tahun yang lalu itu.
"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar kutemui Panglima
Lee Cin yang kita mengenalnya sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan
kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio
keluar." "Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku
sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi
iblis macam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong
mengangguk menyetujui karena diapun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong
yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak
sekali orang, bahkan terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara
bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini
menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong
menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den
kekhawatiran. "Ada pasukon pemerintah datang untuk menangkap kita!" kata Cia Giok Keng kepada
suaminya. "Ah, apa sebabnya?"
"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita
berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.
"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya
memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.
Tiba-tiba terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun
Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut
bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"
Yap Kun Liong mengerahkan khi-kangnya dan berseru dari dalam ruangan itu.
"Apakah dasarnya kami hendak ditangkap?"
Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan
pesta. Suasana menjadi sunyi sekali setelah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua
tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan penuh
perhatian, semua mata memandang keluar dan hampir semua pandang mata
membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu. Kemudian terdengar
suara nyaring menjawab, sungguhpun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap
Kun Liong tadi, namun suara inipun cukup nyaring melengking didorong oleh tenaga
khi-kang yang kuat. "Kami membawa perintah Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In
Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh bersekutu dengan para
pemberotak Hwa-i Kai-pang dan Pek-lian-kauw. Oleh karena itu menyerahlah kalian
berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"
"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar. Kakek ini
marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dituduh sebagai pemberontak,
disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa
tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir
sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup,
akan tetapi mereka tidak pernah memberontak. Kini, mendengar ada pasukan hendak
menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kai-pang yang
dicap pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja telah
diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dan diapun dapat menduga bahwa hal
ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Maka
kemarahannya meluap dan dia sudah berlari keluar dan mengamuk, merobohkan
beberapa orang perajurit dengan tongkatnya yang digerakkan secara lihai bukan
main. Gegerlah para perajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-
tambalan itu adatah ketua Hwa-i Kai-pang dan dia adalah seorang tokoh yang
terkenal memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk,
dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang, lebih kena disambar tongkatnya
yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu. Akan tetapi, komandan pasukan
memberi aba-aba dan kakek inipun dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Juga
sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan
sudah bergerak pula ikut mengepung. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok
ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi perajurit roboh
oleh amukan tongkatnya, akan tetapi kini para perajurit mempergunakan senjata
panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah. Dihujani serangan
tombak dan anak panah, walaupun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis
runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itupun
berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus
kulit dagingnya. Kalau dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk
melarikan diri mempergunakan gin-kangnya. Akan tetapi agaknya dia sudah
terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam kepada Kim Hong
Liu-nio karena perbuatan wanita itu dan Lee Siang telah menempatkan dia dalam
kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia
dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan
dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga
pendekar itu. Sekarang, setelah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio
dan Lee Siang, setelah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar
itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan
menuduh Hwa-i Kai-pang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini
tidak ingin untuk lari menyelamatkan diri, melainkan mendorongnya untuk mengamuk
dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.
Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan
lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan
tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya! Para tamu tidak ada
yang berani ikut mencampuri, apalagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk
menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai
yang dianggap pemberontak oleh permerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan
kecil dan mereka tidak berani tersangkut.
Setelah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan kembali berteriak dengan
nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah,
terpaksa kami akan menyerbu!"
Yap Kun Liong dan keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat
tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, bahkan dia
lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah
turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun
berwibawa, "Siapakah yang memimpin pasukan ini?"
"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."
"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!"
kata pula Yap Kun Liong. Seorang pemuda maju dan mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera
kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, kemudian komandan yang
bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung, kain bertuliskan perintah
penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap
Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus
pasukan itu untuk menangkap dia berempat.
"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja
untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan
mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.
"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat,
bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.
"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan
ayahnya. "Mengapa begitu" Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.
"Sttt, jangan, anakku. Lanjutkan pernikahan ini, jangan membikin rusak pesta
pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami
tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan
membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."
Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk
mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong
membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka dinaikkan ke atas kereta
kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
Yap Mei Lan menangis terisak-isak dan Souw Kwi Beng juga memandang isterinya
dengan muka pucat. Lie Seng mendekati sucinya, menghibur dan berbisik. "Harap
suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta
ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan
menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci,
yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan
taruhan nyawaku." Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan
dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan
hati-hatilah." Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihunya (kakak ipar)
yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan
rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu
saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan
gelisah sekali, terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan
tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang penjahat-
penjahat dan pemberontak-pemberontak. Karena suasananya sudah tidak menyenangkan
dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu bubar sebelum
waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota
tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur. Di sepanjang
perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia
adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami melakukan
perjalanan, tentu dia sudah menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha
menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk
memata-matai keadaan empat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng
dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota
raja. *** Sebetulnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan
untuk menangkap empat orang itu" Untuk mengetahui rahasia ini sebaiknya kita
mengikuti perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan
orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Telah diceritakan di bagian depan bahwa biarpun sejak muda Kim Hong Liu-nio
dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita
yang berhati dingin dan kejam, namun betapapun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah
seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-
nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.
Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan
sudah berpengalaman, pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan
kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun.
Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi
dia belum dapat menyerahkan dirinya karena ancaman subonya, Hek-hiat Mo-li bahwa
kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi
musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan
ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri. Mendengar sumpah itu,
Panglima Lee Siang lalu membantunya untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti
telah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Makin
mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh
dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia berpacaran dengan panglima itu,
walaupun dia masih belum berani menyerahkan diri karena masih banyak musuh yang
belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!
Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun
dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang
cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini
terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannnya
ketika mereka saling berpelukan dan berciuman. Oleh karena itu, mana mungkin dia
mampu menanti sampai semum musuh wanita itu habis" Akan berapa lamakah sampi
wanita itu selesai membunuh musuh-musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti
yang ilmunya amat tinggi itu"
Maka, Lee Siang tidak dapat tahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-
rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang dapat
meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin
itu. Dengan berahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak
kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing. Dan
setelah keesokan harinya sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca di
atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan,
tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia
mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi
tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi
lalat di dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya
lagi karena tahi lalat buatan dari subonya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat
seperti yang dikatakan oleh subonya bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada
seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!
Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibir. Dia merasa puas, dan gembira
sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri
kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang
penuh gairah, hangat dan luar biasa.
Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan
ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di depan
pembaringan, tubuhnya hanya dibalut selimut dan wanita itu menodongkan sebatang
pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang
terasa nyeri oleh runcingnya pedang!
"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan mata terbelalak,
memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut,
namun bahkan menonjolkan kecantikannya.
"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Kita berdua harus mati
sekarang, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri daripada mati di tangan
orang lain!" Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk
melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.
"Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta padamu, aku cinta padamu dengan
seluruh jiwa ragaku, kenapa... kenapa kau hendak membunuhku, sayang" Lupakah
engkau akan cinta kasih kita semalam...?"
Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.
"Aku tahu... dan engkaupun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan
tetapi justeru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati
bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."
"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang
berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit
sehingga mengeluarkan darah.
"KAULIHAT daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"
Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang berada di dagu wanita itu,
yang menambah kamanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini telah
lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu tentang sumpahnya kepada subonya,
dan tentang tanda perawan yang dibuat subonya, yaitu tahi lalat itu yang kini
lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!
Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu
menyerahkan diri. "Hong-moi, kasihku, sayangku, kaudengarkan aku. Aku mempunyai
akal untuk menghadapi subomu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak
membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin
melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku,
aku... aku minta... sukalah engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa
mati..." Lee Siang membuka seilmut yang menutupi tubuhnya membiarkan tubuhnya yang
telanjang itu terbuka sama sekali dan dia mengembangkan kedua lengan dengan
sikap merayu. "Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya
terlepas dan dia menubruk, merangkul dan menciumi pria yang dicintanya itu,
satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ah,
Lee-ko... Lee-ko... bagaimana aku dapat membunuhmu...?"
Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas
dari cengkeraman maut. "Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah engkau sudah
menceritakan bahwa subomu itu sudah tua renta dan sudah pikun" Biarpun ilmu
kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang
awas seperti yang kaukatakan, apa sukarnya untuk mengelabuhi pandang matanya"
Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik
kecil di dagumu yang manis" Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apalagi
kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan,
mengapa kita harus mengambil jalan pendek" Bukankah kita berdua berhak menikmati
hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh
hatinya dan nafsu berahinya sudah berkobar lagi.
Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku...
aku yang bodoh... ah, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup
darah di dada itu, menjilati luka kecil di dada kekasihnya. Mereka berpelukan
dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.
Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi
penuh semangat kembali. Setiap saat dia menuntut pernyataan kasih sayang dari
Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga dan akhirnya tibalah saatnya
Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara. Wanita itu harus pergi
ke utara berkunjung kepada subonya dan suhengnya yang mengadakan sayembara
pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Ketika hendak berangkat, Kim Hong
Liu-nio kembali menyatakan kekhawatirannya tentang tahi talat yang hilang itu.
Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai
pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu
mencium dagu yang manis itu. "Ah, tidak ada bedanya seujung rambutpun, Hong-moi.
Jangan khawatir, apalagi subomu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku
sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu.
Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh
rindu." Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang
ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang,
kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan
kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya
orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup
selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia
kiamat! Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorangpun yang tahu akan
kepalsuan tahi lalat di dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu
bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan
nenek ini berkata, "Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama
ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong.
Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia
Bun Houw dan Cia Giok Keng?"
"Harap subo suka bersabar, teecu tidak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong
Liu-nio dan saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari
musuh-musuh itu, dan diapun tidak perduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu
dengan perintah subonya. Setelah memberi hormat kepada subonya dengan berlutut
dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan
berjalan perlahan untuk duduk di sudut. Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai
memandangnya penuh perhatian, terutama memandang ke arah pinggulnya yang
menonjol dan bergoyang-goyang ketika dia melangkah tadi.
Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu Raja Sabutai menemui Hek-hiat
Mo-li dan bicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat
Mo-li marah bukan main. Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang tajam, yang sudah banyak pengalaman
memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, sudah
dapat menduga bahwa sumoinya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat
bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li
memanggilnya dengan wajah bengis.
"Kim Hong, lekas kaucuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.
Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi
dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.
"Apa maksud subo" Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"
"Hemm, masih hendak mengelabuhi gurumu, ya" Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan
engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"
Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah
dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu
dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia telah melanggar sumpahnya. Maka dia
hanya berlutut, dan menangis!
"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri" Hayo ceritakan, mengapa
engkau melanggar sumpahmu?"
Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta
dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok
oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang, dan teecu bersama dia saling mencinta
subo, dan... dan... teecu telah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang
membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."
"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim
Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali
rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio
bahwa dia akan mati di tangan subonya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan
bayangan Lee Siang di depan matanya.
Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya
sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"
"Subo, tahan dulu!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai
yang memasuki ruangan itu.
Nenek itu menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan.
"Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"
Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak dapat
menahan gelora nafsunya" Memang dia telah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih
ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan
untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil,
biarlah dosanya diampuni dan biar dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan
tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh diapun belum terlambat."
Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah
ini bukan perawan lagi, tentu aku kena dikelabuhi, maka biarlah aku setuju
usulmu, sri baginda. Nah, kaudengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap
empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan
mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"
Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit
untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika di Lembah Naga
diadakan pemilihan guru silat, dia tidak hadir, dan itu pula sebabnya mengapa
Hek-hiat Mo-li marah-marah ketika Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk
pangeran. Kemarahannya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia
menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.
Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya
itu, dia menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak
diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian
betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subonya dan suhengnya itu
memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat
orang pendekar itu. "Ah, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu" Lee-
koko, lebih baik kau membunuh aku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu,
daripada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee
Siang. Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga
mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.
"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk
menangkap empat orang itu," katanya.
Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia memperoleh akal yang
sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat
perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu
pula, kemudian dia mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang
pembantunya dengan hadiah besar untuk pergi membawa pasukan dan menggunakan
perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia
Bun Houw dan Cia Giok Keng. Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira
Ma Kit Su dan seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil dalam tugasnya,
selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap empat
orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena selain tidak ingin memberontak
terhadap perintah kaisar, juga tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei
Lan dan Souw Kwi Beng. Memang, kalau orang sudah tergila-gila apapun sanggup dilakukannya. Baik dia itu
seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya
seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala
hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan
kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu. Demikian pula dengan
halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tidak pernah bermimpi bahwa dia
pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekat. Kalau bukan
untuk Kim Hong Liu-nio, sampai matipun kiranya dia tidak akan berani main-main
seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, apalagi berani
mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap
Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.
Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas.
Apalagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang
merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan
oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan
menjadi geger karenanya dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang. Namun, kalau
orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia
kiamatpun takkan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita
yang dicintanya, biar apapun terjadi, dia tidak takut bahkan matipun bukan apa-
apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.
Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu
yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat
kediaman masing-masing, segera menyebarluaskan berita tentang penangkapan itu
dan seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar. Kalau yang ditangkap itu seorang atau
beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal
itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi
apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap
keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Betapa aneh dan janggalnya
berita ini. Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali
dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi
peristiwa aneh itu, dan tentu saja banyak para tokoh liok-lim dan kaum sesat
yang bersorak gembira karena pembasmian setiap orang pendekar penegak keadilan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.
*** Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai
menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa
para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu menyerah karena melihat
"surat perintah" kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang
amat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan
memperkuat pengawalan itu. Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu
tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar tawanan itu jangan sampai
terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia
mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk
membantu dalam pengawalan itu.
Inilah sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan
empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan. Apalagi ketika pada suatu
malam rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak menggunakan kekerasan untuk
membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan
pendekar Yap Kun Liong sendiri yang minta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw
agar jangan melawan pemerintah. karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang
adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan
kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.
Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini
memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja
dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa
tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat
itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi
sahabat baik dari Lee Siang.
Kereta kerangkeng itu dimasukkan dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga
ketat oleh selosin perajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari
baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu dirantai,
sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya
masih dijaga oleh selosin perajurit pilihan!
"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas,
ingin aku mematahkan semua ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul
kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.
"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan pengadilan, aku yakin
kita akan dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat daripada
bebas menggunakan kekerasan."
"Aku heran sekali, mengapa kita berempat disuruh tangkap oleh kaisar?" Bun Houw
berkata. "Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk
lolos dan mengamuk. Biarpun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan
sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.
"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya.
"Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andaikata difitnah
sekalipun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang.
Kalau kita menggunakan kekerasan, hal itu bahkan memperkuat bukti bahwa kita
memang suka memberontak. Sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di
kota raja dan akan menerima keputusan. Kalau kemudian ternyata bahwa kaisar
bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk
memberontak." Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan samadhi seperti biasa sehingga mereka
tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara
yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat
para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang
bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling
tindih. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong
mengeluarkan suara lirih, "sssttt...!" karena dia mendengar sesuatu yang juga
sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan
merah dan dengan gerakan yang ringan sekali melayanglah sesosok tubuh wanita
yang berpakaian serba merah, turun di luar ruangan itu.
Seorang wanita muda yang cantik manis, pakaiannya serba merah, pedangnya
tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah
bersih, wajahnya yang cantik itu dihias rapi. Seorang wanita muda cantik manis
yang pesolek, dan senyum bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan
yang panas! Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak
mereka kenal itu, tiba-tiba Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah
ketika mereka melihat wanita itu.
"Mau apa kau ke sini?" Bun Houw membentak.
"Pergilah kau!" In Hong juga membentak. Suara kedua orang suami isteri ini jelas
membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin
heran lagi. Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil
menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu" Suhu dan
subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."
"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.
"Kalau suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biariah teecu membujuk Ciong-
taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik padanya
dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."
"Sudahlah, kami bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!"
kata Bun Houw. "Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu..."
gadis itu memohon. "Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali,
mengepal tinjunya dan Kun Liong khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan
rantai dan membobolkan kerangkeng.
"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.
"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata
merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian
meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa
lega bahwa gadis itu telah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada
bayangan lain berkelebat, gerakannya lebih cepat daripada gadis tadi dan tahu-
tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.
"Ooh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan" Hatiku khawatir sekali
melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua
penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia berniat jahat atau mungkin juga hendak
menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia" Kulihat dia
pergi lagi sambil menangis."
"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng,
agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.
Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin datang
penjaga baru dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji,
kautinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan
lakukan itu terus, akan tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan oleh fihak
pengawal dan jangan melakukan apa-apa sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak
menghendaki kekerasan."
"Benar kata ayahmu, Seng-ji. Kaupergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami
berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya girang
dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.
"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi
berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka
suguhnya. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini." Setelah meninggalkan
pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena
para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap
seperti orang baru bangun tidur.
"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia
Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya
tentang gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh
adiknya itu. "Akupun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya,
Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"
Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandang mata ini terjalin
saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai
jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya, "Sesungguhnya, kami berdua tadinya
hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, akan tetapi siapa sangka malam
ini dia muncul, dan tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah
diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang
dia." Pendekar ini lalu bercerita, dengan suara bisik-bisik agar jangan
terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, dan hanya terdengar oleh mereka
berempat saja. Beginilah ceritanya.
*** Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan
Yap In Hong terpaksa meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena
ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka
sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka siap
meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam
belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk
mengambil seorang anak perempuen bernama Sun Eng.
Di dalam cerita Dewi Maut diceritakan bahwa Bun Houw pernah dalam
penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, bersahabat dengan
seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama
Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi. Sun Bian Ek ini sengaja mengganti
nama karena dia menjadi orang buruan, berganti nama Liok Sun dan berjuluk Kiam-
mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw
dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya sampai Kiam-mo Liok Sun akhirnya
tewas di tangan musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini
meninggalkan pesan kepada Bun Houw agar suka memelihara dan mendidik puteri
satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.
Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw
tidak melupakan janjinya dan bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang
janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi dan menemui anak perempuan yang pada
waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.
Kemudian, setelah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun
Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang
sebuah kota yang cukup ramai tak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja
menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka
seolah-olah mengubur diri jauh di timur.
Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih
amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan mereka berdua
secara bergantian mendidik dan memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis
itu. Sun Eng semenjak kecil memiliki watak yang periang dan lincah jenaka,
sehingga keriangan anak itu merupakan sinar yang menerangi kehidupan sepasang
kekasih yang merasa prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali mereka
terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan
sedemikian rupa sehingga Sun Eng menjadi manja sekali.
Makin besar, Sun Eng makin menjadi cantik dan pesolek, akan tetapi dalam
kelincahannya terdapat sifat-sifat genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan
Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka
membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng
mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.
Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas
tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling
matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya telah mencapai
tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan
oleh suhu dan subonya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Setelah berusia tujuh belas tahun, mulai nampak gejala-gejala tidak baik yang
mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai
kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya
kalau sedang dilatihnya silat semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini
berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara. Bahkan kalau sedang berlatih
silat di depannya, Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang
menggairahkan, seperti bagian dadanya dan pinggulnya, sedemikian rupa untuk
menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya
sendiri dan memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu,
menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!
Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subonya ini tidak
ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subonya yang mengaku
suami isteri ini tidur sekamar, apalagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan
bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan
subonya tidak pernah menjenguk keluarga sehingga akhirnya subonya menceritakan
kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, tentang
perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.
"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya
sebelum mendapat restu orang tua," subonya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban
pertanyaan mengapa suhu dan subonya belum juga mempunyai keturunan! Maka tahulah
Sun Eng bahwa suhunya masih perjaka dan subonya masih perawan. Dia makin
tertarik dan merasa kasihan kepada suhunya. Memang dia amat kagum dan cinta
kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi makin berani kepada
gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya.
Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar
cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak memperdulikan
susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan
cinta berahi. Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti
biasanya, Sun Eng yang sudah tidak dapat menahan gelora hatinya yang dihantui
oleh bayangan pikirannya sendiri tentang adegan-adegan mesra seperti yang pernah
didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar
gurunya itu. "Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak
pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar sekali, seperti air
terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh,
seperti air bah yang menjebol bendungannya!" kata seorang di antara wanita
tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa
penuh arti ketika Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu
tampan dan gagah, sayang seorang pria seperti dia tersia-sia."
Malam itu Sun Eng gelisah di pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang
di telinganya dan dia membayangkan, betapa akan mesranya kalau gurunya memeluk,
menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila kepada
gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.
Betapa kaget rasa hati Bun Houw ketika dia merasakan sesuatu yang lembut
menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah
menempel di wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya
yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan
menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu,
yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu berahi, adalah wajah cantik manis
dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.
"Suhu... ah, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah
ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran
menjadi marah bukan main. Dia sudah menggerakkan tangan, akan tetapi
kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan
sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan terus terbanting ke
bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.
Akan tetapi, Sun Eng tidak menjadi takut, bahkan kini dara itu cepat membuka
pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan. "Suhu... suhu...
lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini
kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang
masib muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu
berahi. Bun Houw memejamkan matanya dan seperti orang kehilangan dirinya
sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping
itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan diapun balas
mencium bibir yang menantang itu.
Akan tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan,
kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan
iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani
muridnya itu, membiarkan peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong
tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak
pintu kamarnya! Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar suara In Hong dari luar, "Houwko, ada apakah?"
Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya dan meloncat keluar dari
jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,
"Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu mengira maling
maka teecu hendak memberitahukan suhu, celakanya, dalam kagetnya suhu malah
mengira teecu malingnya!"
Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar penuh
ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In
Hong akan menjadi curiga. "Ah, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka
aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.
"Sun Eng, hati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa
seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan sudah mendarah daging ilmu
silat dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam
keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."
"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."
"Hemm, betapapun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang
naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia
lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikitpun dia tidak menaruh curiga
atas terjadinya peritiwa itu. Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur
memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang amat besar
mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Akan tetapi, melihat betapa suhunya tidak membuka rahasianya terhadap subonya,
hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhunya "melindungi" dan
bahwa diam-diam suhunya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya
mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani,
bahkan di depan subonya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang
penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhunya. Tentu saja Bun Houw
merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apalagi setelah
dia mengerti bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh
penuh kecurigaan yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!
Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat
kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang mengira, bahkan berpendapat
bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tidak terpisahkan dari cinta!
Benarkah perkiraan atau pendapat demikian itu" Kalau kita tanggapi dengan
perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang
ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya
kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apabila ia
timbul, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat
menyelidikinya, mempelajarinya dan mengerti dengan sepenuhnya akan susunan
cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya. Karena hanya
pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan waspada ini sajalah yang
akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu.
Dengan memandang kepada diri sendiri, kita bersama dapat melakukan penyelidikan
apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan
teoritis yang hampa. Pengetahuan seperti itu tidak akan melenyapkan cemburu.
Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat
dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara,
nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah
dan dicengkeram kebencian sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh
karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja
sebaiknya kalau kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.
Dari manakah timbulnya cemburu" Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari
cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah
tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih
kalau mendatangkan kedukaan dan kebencuan! Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT
KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul
kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang
kita pergi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri,
akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena
kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan
kepada kita itu dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.
Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu,
karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir
milikKU diambil orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang
sendiri, dan barang atau orang yang kita "cinta" itu menjadi sumber atau alat
dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil
orang lain, kita menjadi sedih, marah atau cemburu namanya.
Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti
aku ingin senang, aku ingin mengusai, justeru aku ingin senang dan aku ingin
menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta
kasih tidak mungkin dapat diikat. Kalau kita sayang kepada sebuah benda, tentu
kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak
atau pecah, bukan" Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan
rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah
yang membuat kita menjaganya, agar dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena
hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu! Padahal, kalau bisa dinamakan
keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah
ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran
kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA
BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan"
Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu, ketika dia melihat
sikap muridnya yang terlalu manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang
keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan
hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata. Oleh karena itu,
setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri
kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa
malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia
berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian
manis dan memikat kepadamu!"
Bukan main kagetnya hati Bun Houw mondengar ini, saking kagetnya karena hal yang
mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh
kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kaumaksudkan, Hong-
moi...?" "Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita" Engkaupun tahu
akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa
artinya itu?" Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan
setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini mengganguku
dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa
gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara
terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah
besar dan melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan
tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi, yang tentu menimbulkan
kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau
bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu
yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."
Biarpun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah
dapat menduga bahwa tentu murid itu jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia
dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi
pada beberapa malam yang lalu, ketika Sun Eng memasuki kamarnya dan
memperlihatkan sikap yang amat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak
menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa
dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu. Memang, pekerjaan
yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran
dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk
menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itupun, berdaya upaya sekuat
tenaga untuk membuka dan mengungkap rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan
pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan
yang menyesatkan ini. Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika
dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemm, bocah itu sungguh
tak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.
"Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan
tetapi kasihanilah dia, dia masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasihat
kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan
perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia dan
kita bersama menasihatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari
kesesatannya itu?" In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia
mengangguk. "Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kitapun
bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang
anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang
ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak
bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini
tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras
terhadap Sun Eng." Bun Houw mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Mudah-mudahan saja kita belum
terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar agar kelak aku tidak usah
merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek di alam baka."
Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subonya,
wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti
pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa ada hal yang amat panting
terjadi dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Maka setelah memberi
hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.
Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu,
kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin
akan tetapi juga mengandung rasa sayang, "Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan
juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini
sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara
terbuka." Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat
meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subonya dalam percakapan ini, maka dia
hanya mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."
"Sun Eng, aku telah tahu akan perbuatanmu beberapa malam yang lalu, terhadap
suhumu." "Aihh...!" Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada
wajah Bun Houw. Pendekar ini mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subomu, Sun Eng, demi
kebaikan kita bersama dan agar engkau mengerti benar betapa tidak benar dan
tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."
Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.
"Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap
suhumu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat
sekali. Suhumu adalah gurumu yang menjadi pengganti ayah, atau seorang kakak
yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan
dan kehormatan sebagai seorang murid terhadap guru, menjadi cinta berahi seorang
wanita terhadap pria" Kau tahu bahwa suhumu adalah seorang pendekar yang tentu
tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Pula, engkau
adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau akan merendahkan diri sedemikian
rupa" Di manakah kesopananmu" Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu
lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.
"Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang
paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai
adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu
kepadaku! Ah, hal itu lebih mencelakakan daripada kalau engkau menyerangku
dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.
Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran dan dengan
terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau
kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh
sekalipun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan
teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebenarnya, teecu
kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu
hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."
"Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.
"Ampun, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan
hanya mengorbankan badan... biar menyerahkan nyawa berkorban jiwapun teecu rela
untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."
In Hong dan Bun Houw saling pandang kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang
sudah menunduk dan menangis lagi.
"Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak
pantas kaulakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap
suhumu, menjadi seperti dahulu, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang
murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kauenyahkan dari
hatimu. Mengerti?" Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya,
"...teccu salah... teecu salah..."
Melihat itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan
subomu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap
adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu
biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke
jalan benar." Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak
hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua
orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu
tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka
terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat. Agaknya peristiwa itu telah
menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid maupun dua orang
gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan
bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya. Dan di dalam hati Bun
Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid
mereka, membuat mereka bersikap tidak begitu memperdulikan lagi. Bahkan ketika
mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda
yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan
bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk
dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang menegur dan
menasihati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa
mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang
oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.
Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut ketika menerima
serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar
yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk
menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.
Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang amat terkenal di kota itu sebagai pemuda
mata keranjang, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu,
mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena
itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk
watak ini, tentu saja Bun Houw dan Yap In Hong menjadi marah dan serta merta
menolak pinangan itu. Apalagi In Hong! Pendekar wanita ini pada dua tahun yang
lalu pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau tidak dicegah oleh Bun Houw tentu
sudah membunuhnya karena Aw-kongcu berani main gila kepadanya, berani
mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil ketika
dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah
mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan kalau pendekar
wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan
jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.
Para utusan itu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat
betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidaksenangan hatinya
oleh penolakan itu. "Eng-ji, yang meminangmu adalah seorang pemuda yang tersohor
jahat dan busuk namanya di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras,"
kata In Hong. "Terserah suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat lalu meninggalkan kedua
gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.
Bun Houw menarik napas panjang. "Aihh, untung dia bukan adik atau anak kita,
kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."
"Betapapun juga, dia adalah murid kita dan sudah sepatutnya kita jaga agar
jangan memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.
Peristiwa penolakan pinangan Auw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan
antara kedua orang guru dan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini
makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia
selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga daripada berlatih silat,
setelah selesai membantu subonya di dapur.
Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada
diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal
ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa
mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng. Demikianlah, pada suatu malam, ketika
mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka
perlahan dan mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu meninggalkan
kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu. In Hong dan Bun Houw cepat membayangi
dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki
sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi
bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan
Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman
dengan penuh gelora nafsu!
"Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang,"
terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In
Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!
"Aku tentu datang, kongcu, akupun rindu sekali padamu."
"Ah, Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu dan kini sepasang
pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid
mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, digumuli pemuda itu
dan bahkan tertawa cekikikan ketika tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai
membukai pakaiannya! "Keparat!" In Hong memaki dan dia sudah meloncat ke depan, tubuhnya melayang
seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Auw-kongcu sudah
diangkat dan dibantingnya, seperti membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu
berteriak kaget dan kesakitan.
"Anjing hina-dina!" In Hong membentak lagi ketika melihat muridnya dengan
pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia she Auw
keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"
Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang
subonyap melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka
ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang
matanya bersinar penuh keberanian Sun Eng menghadapi subo dan suhunyap lalu
berkata dengan suara lantang.
"Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apa kesalahan Ang-
kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"
Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak..." Dan
dia... dia dan kau..."
"Memang! Aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya.
Sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa
hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang dan In Hong merasa
mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tidak nampak, juga Bun Houw
mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka
didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan bicara
dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!
"Sun Eng! Kau... kau..." Saking marahnya, In Hong tak mampu melanjutkan kata-
katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya
itu. "Plakk!" Tangan Bun Houw menahan lengannya. "Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita
menggunakan kekerasan."
In Hong terengah-engah saking marahnya.
"Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami sudah saling mencinta. Aku rela
menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, mengapa suhu dan
subo hendak menghalangi kami" Bahkan suhu dan subo telah menolak pinangannya.
Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang
menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling
mencinta?" Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang
pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-
kata. "Perbandinganmu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau
engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan
setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kaupllih adalah pemuda yang
berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."
"Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo dan tentu menganggap
subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah
suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu" Tentu berbeda antara selera
suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda.
Bagiku, Auw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini, sambil
meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang
tersenyum kepadanya. "Hemm, pilihanmu yang kaulakukan dengan mata buta itupun bukan soal yang terlalu
berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan
sah, apakah hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?" tanya
In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Subo, kalau aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu
tandanya aku cinta padanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti
yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan,
karena memang aku cinta padanya. Kami saling mencinta, maka apalagi halangannya
bagi kami untuk bermain cinta?"
"Bodoh! Orang macam dia mana bisa dipercaya" Engkau akan disia-siakan setelah
engkau dinodainya, akan dibuang setelah habis manis dan tinggal sepahnya.
Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.
"Memang pendirian subo demikian, maka sampai kinipun subo tidak rela menyerahkan
diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku
mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah
menyia-nyiakan diriku, bukan?"
Auw-kongcu merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."
SUNGGUH kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya
sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang
pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan
birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia ini, cinta
adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi
mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau
tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta! Betapa banyaknya gadis-gadis
yang menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan
membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang
bertanggung jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan
atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan
nafstu berahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata
melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah
si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir
batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat
setempat. Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang
oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan nafsu berahi
belaka, adakah itu yang dinamakan cinta" Dan yang amat menyedihkan, betapapun
kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di
antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin
adalah tanda cinta! Itu saja! Ini bukanlah berarti bahwa kita menentang hubungan
kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin.
Sama sekali bukan, dan kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua
untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta
oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan
maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan
merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih,
dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka. Mengapa orang-orang muda
buta terhadap hal yang gamblang ini"
Demikian pula dengan halnya Sun Eng. Dia percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-
kongcu, didorong oleh rangsangan dan dorongan nafsu birahinya sendiri,
menyerahkan dirinya karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti
cintanya. Bun Houw dan In Hopg merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, kelak
engkau akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"
"Jangan subo bergerak! Kalau subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan
kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati
terhadap kami!" kata Sun Eng.
Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia
membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di
dalan pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia
berkata, "Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan
kami bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggungjawabkan hal ini
dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau padaku. Mulai saat ini segala
perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!" kata
Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.
Setelah tiba di luar hutan, tak tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu!
Bun Houw merangkulnya dan In Hong menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan
marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw. Bun Houw
merangkul dan mengelus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya.
Setelah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan
basah air mata, memandang wajah Bun Houw.
"Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ah, Houw-koko yang malang,
betapa buruk nasib kita..."
Bun Houw menunduk dan dalam keadaan berduka membutuhkan hiburan itu mereka
menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua
mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh
permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang
ditahan-tahan. Malam itu bulan purnama, dan karena memang keduanya sudah bertahun-tahun
menanggung rindu dendam yang amat mendalam, yang mereka jaga dengan segala
kekuatan batin mereka, kini setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam
cahaya bulan, dan mungkin pula karena peristiwa tadi, melihat murid mereka dan
kekasihnya sating menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka
pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.
Akhirnya In Hong terengah-engah melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak
melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang juga agak terengah
napasnya dan panas dingin seluruh tubuhnya.
Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing
masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa,
keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun
Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya. Akan tetapi
ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan
melangkah mundur. Mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu
terpancar suara hati yang lebih jelas daripada suara melalui kata-kata. Bun Houw
menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap
cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah
mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.
"Maafkan aku..."
"Maafkan aku..."
Keduanya saling pandang lagi, merasa lega setelah saling minta maaf, kemudian
Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih
sayang, lalu berbisik, "Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana
kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan
ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya kini sudah tidak marah lagi
dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia
sudah merasa rindu kepada ibunya.
Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biarpun kita
menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan.
Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu
masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita
dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Mengapa tidak menanti
saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja kepada kehendak Tuhan?"
Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya itu untuk menghadap ayah
bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas,
mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya,
menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong. Wanita ini
melinangkan air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan
hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya,
untuk menyerahkan dirinya! Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan
cepat diapun memasuki kamarnya, merasa ngeri akan bayangan pikirannya sendiri
karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan,
tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena
itu, sampai bagaimanapun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun
Eng! Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng
tidak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua
barang dan pakaiannya karena kekasihnya yang kaya raya itu membelikan pakaian
baru sebanyaknya untuknya. Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan.
Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia
dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw
ini tewas dalam keadaan mengerikan karena leher dan mukanya berlubang-lubang,
berwarna kehijauan dan berbau wangi.
Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan
muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa
(Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan
pula kepada Sun Eng! Mereka depat menduga bahwa tentu Sun Eng yang telah
membunuh Auw-kongcu itu. Mereka menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun
Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu
tidak mau mengawini gadis itu.
Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka
itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah
yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama
mereka yang menjadi gurunya. Biarpun mereka berdua sudah tidak mengakuinya
sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan
bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka. Apalagi ketika mereka
mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul
dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup
berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati
sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak
memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan
tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk
tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapapun juga.
Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini
bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara,
dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi
marah dan mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka
berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan
isterinya. "Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin
kami berdua malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan
Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.
Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali
menarik napas panjang. "Ah, anak itu patut dikasihani..."
"Tapi, Liong-ko, dia tak berahlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong
berkata marah. "Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian
sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa
anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu"
Ataukah hal itu merupakan hal yang patut dikasihani dan tidak terlepas daripada
pendidikan dan lingkungan" Kalian maslh terlalu muda untuk mendidik, mungkin dia
terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biarpun kalian sudah membencinya,
dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal
ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang
yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguhpun kalian
berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja."
Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka dapat
melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong
tidak dapat menerima kesalahannya secara rela dan diam-diam dia masih penasaran
dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng
di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun,
yang membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang
tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali
tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.
Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio,
dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan serem
ketika dia bertemu dengan nenek muka hitam yang amat tua itu, dan memandang
dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh
tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu. Di samping tiga orang ini,
masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang
menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan
dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya untuk membantunya
menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-
taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.
Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li dapat muncul di Po-teng" Seperti kita ketahui,
penangkapan atas diri empat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang
dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari
ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang
diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong,
Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati. Maka setelah mereka mendengar
berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio
cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah
ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.
"Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan
membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke
kota raja," kata Kim Hong Liu-nio.
Nenek itu terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"
Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini lalu memilih tiga belas orang
jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal dan
membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu. Dengan
cepat berangkatlah mereka, menjemput Lee-ciangkun dan bersama-sama lalu menuju
ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kebetulan mereka bertemu dengan
rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng dan Lee Siang lalu langsung
membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin dan mereka berempat lalu
mengadakan perundingan rahasia.
"Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan
berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri telah memberi perintah rahasia kepadaku
bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai
lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan
keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka itu, maka kami menunjuk
locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid
beliau ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa
Ciong. Karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-
pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang
kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap
nenek itu amat menakutkan.
Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di
depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek
itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata dalam bahasa yang tidak
dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan
muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.
"Ciong-taijin, guruku berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh
empat orang itu tidaklah mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo
mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini
untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu
kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."
Mendengar ini, wajah pembesar itu berubah pucat dan keringat dingin membasahi
lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara..." Lalu... bagaimana dengan para
tahanan yang lain" Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!"
Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan
terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia pandai bicara dalam bahasa Han,
akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah kepada
para pembesar, dan tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu.
Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri
yang kemudian disalin pula oleh muridnya.
"Menurut subo, tidak mengapa kalau sampai jatuh beberapa orang korban karena
bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati" Juga, yang dibakar
hanya sekeliling ruangan di mana empat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan
membakar seluruh penjara, maka, andaikata ada orang tahanan yang ikut tewas,
kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."
Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua
pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.
"Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggungjawab akal hal ini!" kata
Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat
memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan
terancam lagi. Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang,
secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung
ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu
jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li
dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat
orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar
di sebelah dalam. Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua
kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini
bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng. Biarpun sudah diusir oleh suhu dan
subonya, namun Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang
gurunya itu tidak pergi benar-benar, melainkan berkeliaran di sekitar tempat
itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan
penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang biarpun
mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan.
Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-
gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak
lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat
ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan
kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak
beristirahat dan pulang sebentar.
Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba
seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu
terkejut sekali, berusaha menahan namun terlambat karena kaki depan kudanya
sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah.
Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri. Wanita itu masih muda
dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap
sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!
Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh...
tolonglah aku..." Komandan itu menelan ludahnya. Melihat wanita itu mengeluh dan mengeliat, dia
terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu
mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, lalu membawanya ke atas kuda dan
melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di
mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia
bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya! Ketika
komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada
dalam pelukannya tadi di atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba
untuk duduk. "Auuuh kakiku..." keluhnya.
"Kenapa kakimu, nona" Sakitkah" Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri dan
duduk di atas pembaringan.
Nona itu tidak membantah dan melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata
keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya sampai
ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan
kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa,
akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya
yang gemetar. "Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.
Mengira bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lalu mengurutnya dan menaruh
obat, kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam
waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan
sehingga tertabrak oleh kuda?"
Nona itu mengerling tajam lalu tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin
melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku
kagum melihat engkau begini gagah..."
Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya akan apa
yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona"
Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal, penuh
pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.
Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ah, kakiku masih sakit
sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."
"Boleh apa...?"
Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu
mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-
omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?"
"Benar, aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.
"Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang
perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu,
ciangkun." "He-he-he, benarkah?" Komandan itu menyeringai dan menelan ludah, lalu dia
mendekatkan hidungnya untuk mencium. Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan
pipinya yang dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he,
engkau cantik manis!"
Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan
halus, "Sabarlah, ciangkun, kakiku tak dapat digerakkan. Biarlah nanti... eh,
beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah" Apakah ada
hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?"
Secara sambil lalu wanita itu bertanya.
"Ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang
penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapapun..."
Wanita itu cemberut dan berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan
kekecewaan dan kemarahan.
"Eh, engkau mau ke mana?"
"Biarlah aku pergi. Biarpun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau
tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kaubawa ke pondok ini,
akan tetapi engkau menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk
apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan" Biarkan aku pergi!" Wanita itu
terpincang-pincang hendak pergi.
"Eh-eh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah
namamu, manis?" "Namaku Ang Bwee Hwa."
"Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)" Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya.
Dan aku bernama Ciok Kwan."
"Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."
"Siapa bilang tidak percaya" Aku percaya padamu seratus prosen, manis."
"Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"
"Stt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-
orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan
mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."
"Ohhh...?" Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran
melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. "Mengapa?"
"Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus siap, dan
karena empat orang itu amat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu dilakukan
dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."
"Ahhh...!" kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.
"Dan untuk menjaga agar mereka jangan lolos, kota raja telah mengirim jagoan
yang mengerikan. Engkau akan takut kalau melihatnya, dia seorang nenek bermuka
hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi
kabarnya murid itupun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang
Manusia Muka Kucing 2 Mahesa Edan 2 Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa Raja Pedang 9