Pendekar Lembah Naga 20
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah
menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan
dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di
bagian depan tubuh Kim-liong-ong!
"Ehhh... ehhhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua
tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan
kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum
akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.
Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-
kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai
delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan
berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima
yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja
Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main.
Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri
karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun
lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun
dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!
Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu
terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat
tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya
dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara
yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong
menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main
mundur, mengelak dan kadang-kadang mempergunakan gelang emasnya untuk menangkis.
Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini
sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun! Betapapun
juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah
mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang ber-
gulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kang-
kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih,
pemberian dari kakeknya. Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-
liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak.
Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.
Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang,
membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya,
mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.
"Tranggg!" Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar
putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata
tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban
meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini
dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar
lolos dari ancaman maut. Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya
Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-
ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-
pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si
berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!
Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-
orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat
yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat
dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-
lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi,
mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-
hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.
Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga
tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya
tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada
saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,
"Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi" Mundurlah!"
Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur
mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang
berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua
orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-
liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.
Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita
ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari
Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada
suhengnya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah
di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.
Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang
pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada
Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan
sikap gagah. Keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut
terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw
memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut
melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat
dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang
mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi ketika melihat
pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar
dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han
Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara
berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya
kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.
"Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini" Kulihat engkau menyerang kedua orang
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."
"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai
bengcu baru atas pengangkatan paduka." kata pula Hai-liong-ong dengan harapan
untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.
Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua
orang itu berdiri dengan sikap hormat. "Benarkan ji-wi sengaja melakukan
pengacauan dan menentang bengcu?"
"Sama sekali tidak, pangeran!" jawab Gu Kok Ban tegas. "Biasanya, semenjak
dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada
bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu
baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak
dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan
mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang
menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."
"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.
"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat..." Hai-liong-ong mencoba untuk
membantah. "Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya
mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan
kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang,
apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"
"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib..."
"Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian
sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh
semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita.
Mengertikah kalian?"
"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.
"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-
liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"
Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan
menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan
itu. "Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.
Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan
tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu
menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan
itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia
membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak
dan ditindas. "Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han How. Dua orang kakek itu
mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi
meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.
Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat
kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua
orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali,
setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap
demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh
dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu
pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia
melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke
dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya,
kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat
tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia
jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali
ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran
muda ini! Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si
yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke
dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang
wajah yang menunduk itu, kemudLan berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,
"Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah
memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."
"Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap
ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan
lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat
menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya seperti orang yang
lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau
sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat
tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk
mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui
siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"
Dengan jantung berdebar karena merasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal
yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang
menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja,
lalu berkata, suaranya halus, "Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau
aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal.
Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat
mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri
mereka bengcu tadi." Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan
orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan
santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan
seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak
menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap
orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka
yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin
Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa,
memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si,
maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.
DENGAN wajah berseri Han Houw berseru, "Ah, ternyata nona seorang pendekar yang
gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak
tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"
"Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan
banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," kata Gu Kok Ban sambil
menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka
kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk
duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.
"Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku
hendak melanjutkan perjalananku."
"Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan" Setelah pertemuan yang amat kebetulan
ini, agaknya kita telah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apalagi mengingat
bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di
dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.
Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan
sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk
menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.
"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri
baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-
daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!" Han Houw tidak mau
menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia
sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau
menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga
memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan
itu. Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak
begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak
mengenalnya. "Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah" Ilmu
silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua
yang bodoh tidak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau
dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya
yang bopeng kasar. "Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada
harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa
gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran
Ceng Han Houw tertawa. "Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-
siocia ini agaknya termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh
rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."
Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan
menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini,
apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap
manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan
tidak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat
muda ini menyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar
sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja
agaknya bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut
untuk mendampinginya. "Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis
diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan pundak seolah-
olah dia "terpaksa" oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa
muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu,
karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka
akan kegagahan!" "Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata
Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena
diapun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini,
pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis
budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang
kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang
tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!
Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka
yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran
itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu
penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya. Juga sang pangeran merasa
betapa gadis itu tidak mengelak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah
Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya
yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang
berpendidikan tinggi. "Lie-slocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutamakan
perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya
semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih
belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara
langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk mengenal ilmu
silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat
halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas
penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.
"Ah, mana aku berani, pangeran" Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran
tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang
begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan
adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak
bermata akan mendatangkan malapetaka."
Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung
kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona,
jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian
tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan telah bermata, mana
mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri" Marilah, harap
nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."
"Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang
tinggi dan agar pertemuan ini makin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok
Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali
menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.
Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari
pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali
Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi
kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."
"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan
sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."
Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang
lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian,
sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul
watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan
juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan
pertandingan adu ilmu itu.
"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu,
memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan
kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh
mengherankan memang kekuasaan cinta asmara. Sekali Ciauw Si terpikat, secara
otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya,
terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih
dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria,
bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang
sifatnya menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan
kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan
lawannya sambil tersenyum manis!
"Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu,
maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup
cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini
ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.
"Hiaattt...!" Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini
telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin
pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu
terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa
nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.
"Haaaiiitttt...!" Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya
teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun
dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu
bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan
tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu
sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun!
Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis
itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari
tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya,
atau dengan ayah kandungnya" Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun
mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.
Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini
bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas
bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang tinggi sekali! Makin hebatlah
dia melancarkan serangannya. Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan
atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja
mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawan, dia merasakan
lengannya tergetar, tanda bahwa tenaga sin-kang pula! Makin kagumlah hati
tertarik pula dia. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis
pilihan! Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biarpun dia mengenal
ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari
ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki
pangeran itu amat hebat, dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat! Kiranya pangeran
ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis
itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya berputaran seperti
gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!
"Ehhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan terpaksa dia main mundur dan
bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya
sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw
tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, melainkan menjaga diri
dengan tangkisan-tangkisan cepat. Kembali Sin Liong menahan napas. Itulah In-
keng-hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-
hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak
salah lagi! Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw terdesak dan pangeran
ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po dan barulah dia berhasil
menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.
"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus
luar biasa itu dan tiba-tiba Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke
depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji
tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan
pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua
tangannya pula. "Plakk!" Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan untuk beberapa detik
lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan dan dia
hampir tidak dapat menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya
sehingga kekuatan mereka berimbang.
Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada
getaran-getaran halus menjalar melalui kedua telapak tangan mereka yang saling
melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung dan membuat pipi
mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang seperti tidak
mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari
sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu
kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru, "Aku mengaku
kalah..." Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlalu merendah! Selama hidupku
belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw bertemu dengan seorang yang demikian
lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"
"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi hatinya hanya
dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!
Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han
Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan
tetapi kini diapun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat
ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.
Dia teringat akan cucu perempuan yang meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari
Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inilah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah
kandungnya" Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis
ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung,
melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya. Sayang bahwa dia dulu
tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali 1upa akan nama cucu kakeknya
atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil
lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya" Akan tetapi,
karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-
ling-pai, maka diapun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan
gadis ini dan melindunginya dari marabahaya!
"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja" Apakah engkau tidak kagum
melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"
Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona
cantik itu memandang kepadanya.
"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang
amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkatku sendiri!" kata pula sang
pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.
Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang
tampan dan pendiam itu, dan sama sekali tidak memperhatikannya. Akan tetapi
sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini memiliki
kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki
kepandaian hebat! Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan
kepada Sin Liong, kemudian dia berkata, "Ah, pengertianku dalam ilmu silat masih
amat dangkal..." Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan kepada nona ini. Seorang nona yang gagah
perkasa, namun di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu
terkandung keramahan dan agaknya nona ini telah terdidik baik untuk merendahkan
diri, maka dia cepat bangkit berdiri dan menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh
amat tinggi sekali! Sungph aku merasa kagum."
Ciauw Si balas menjura dah mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian
atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw,
akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk
tinggal selama beberapa hari di situ. Selain fihak tuan rumah amat ramah dan
baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang amat
kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw.
Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu
jangan sampai diganggu siapapun juga.
*** "Nona Lie Ciauw Si, aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku
jatuh cinta kepadamu, nona."
Hening sekali dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk
berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan
setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw.
Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk
bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!
Mendengar ucapan itu, Ciauw Si mengangkat muka memandang wajah pangeran itu
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia kini telah dapat menguasai rasa malu
dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu,
dan mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa
pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.
"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak
pertama kali bertemu, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu,
dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup
bersamamu sebagai suami isteri."
Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw telah memiliki banyak
pengalaman dengan wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu
bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-
tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walaupun usianya sudah dua puluh
empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!
"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kauucapkan itu?" akhirnya terdengar Ciauw Si
bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu. Pangeran itu
memegang tangan Ciauw Si dan kembali dari pertemuan antara kedua tangan itu
terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.
"Ciauw Si, apakah engkau tidak percaya kepadaku" Pandanglah mataku dan engkau
tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru
sekali ini aku jatuh cinta, sungguhpun telah banyak wanita diberikan kepadaku
sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini,
Ciauw Si. Aku cinta padamu, perlukah aku bersumpah?"
"Mungkinkah itu" Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali,
sedangkan aku... aku hanyalah seorang gadis..."
"Yang cantik manis, yang gagah perkasa, yang budiman, dan aku percaya dan yakin
bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung
pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat
itu. Namun Ciauw Si dengan lembut menarik tangannya dari genggaman sang
pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.
"Tapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih...
tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang telah dua puluh empat tahun dan engkau
tentu paling banyak dua puluh... dan..."
Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis
di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat
telinga Ciauw Si. "Ciauw Si... mengapa engkau meragukan semua itu" Cinta kasih tidak mengenal
usia, tidak mengenal kedudukan, bukan" Aku cinta padamu, berikut keadaanmu,
kedudukanmu, usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah,
masih ragukah engkau, Ciauw Si" Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi
selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"
"Tapi... tapi..."
Tiba-tiba Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya halus ke
belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-
baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat
menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu kalau engkau tidak dapat
menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku
yakin bahwa engkaupun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"
Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata
mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan
bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan
dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis
itu dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh
hatinya! Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan
kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan
ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu
dan diapun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang
timbul karena ciuman mesra itu. Seperti dalam keadaan mimpi atau setengah sadar,
Ciauw Si menyerah saja dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia
tenggelam ke dalam kemesraan yang membuatnya seperti mabuk. Setelah gelombang
kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas
dada pangeran itu dalam keadaan lemas seperti kehabisan tenaga. Dia mendengarkan
suara jantung pangeran itu berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa
berbahagia sekali, perasaan yang selama hidupnya baru sekarang dirasakannya.
Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu amat mesra, membuatnya memejamkan
mata dengan hati merasa tenteram dan damai.
"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si" Lenyapkah
sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwaku, dan bahwa engkaupun
mencintaku?" "...aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tidak ragu-ragu
lagi, pangeran..." bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum
penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan
yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.
"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku
kekamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."
Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik
tubuhnya dari pelukan pangeran itu, meloncat ke belakang dan memandang dengan
mata berkilat kepada pangeran itu.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau... kau..."
Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri
kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau" Kau kelihatan marah, kenapa?"
"Pangeran, seperti itukah cintamu?"
"Eh..." Kenapa" Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"
Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau
masih bertanya lagi" Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu" Begitu kotor
dan rendah cintamu?"
Kini pangeran itu yang terbelalak. "Ahhh" Bagaimana ini" Apa salahnya bagi kita
yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita
di dalam kamar" Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si" Sungguh aku
tidak mengerti..." "Hemm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kaukira aku semacam perempuan
yang mudah saja kaurayu kemudian kaubujuk untuk menyerahkan kehormatanku" Aku
bukan perempuan murah seperti itu!"
"Eh, eh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian" Aku cinta
padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku
kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud tidak baik. Apa salahnya kalau kita
mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"
Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap
hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita" "Pangeran, seorang wanita
yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya
kepada pria manapun, kecuali kepada suaminya yang telah resmi menjadi suaminya!"
"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ah, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau
benar, sungguh aku sampai lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang
menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka
akupun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda
dengan mereka! Tentu saja! Dan aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum
kita menjadi pengantin! Kaumaafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk
menghinamu, sungguh mati, bukan..."
Perlahan-lahan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan
kemarahannya mereda, akhirnya wanita itu lalu duduk lagi di samping pangeran dan
memegang tangannya. "Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi
terkejut sekali maka aku menjadi marah ah, engkau memang mengejutkan aku dengan
ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja...
percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku bersedia menyerahkan
segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."
Sang pangeran merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada
pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa
pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta padanya, bukan sekedar hendak
mempermainkannya! Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu
mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Pemuda inipun selalu mendengarkan
percakapan mereka. Dia mengalami ketegangan tadi, namum akhirnya dia merasa lega
dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan
tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Diapun tidak mengintai lebih jauh
karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah
dia dari tempat sembunyinya.
"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga amat mengejutkan dan mengkhawatirkan
hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis
idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ah,
sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini namun aku belum pernah
mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku
tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."
Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya
telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia
sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia
pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang
amat dirindukan kakeknya.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis
yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari
pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan
tetapi hatinya terasa lega karena betapapun juga, secara pribadi dia sama sekali
tidak mempunyai permusuhan apapun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para
pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, gurunya dan
kakak seperguruannya, akan tetapi dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak
pernah bermusuhan dengan mereka. Apalagi, gadis ini biarpun masih keluarga dari
pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka
tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh
kebanggaan. "Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas
saja ilmu kepandaianmu demikian hebat, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang
merasa girang akan pujian itu.
Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si
sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali
mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa ada
gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk
membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini. Sampai senja terganti malam
gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka,
barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman
itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya
hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.
"Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini
aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di
Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."
Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi
dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita
pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah
meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!
"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan
meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau
kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai
tunanganku atau sahabatku dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan
diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung." Setelah berkata demikian,
Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya,
sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan
Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!
Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan
di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah
berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang
terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ
dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.
Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat
lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan
dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu
melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.
*** Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-
san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut
sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu
ke lereng itu. Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan
kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah
tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu
karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.
Kun Liong yang mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, lalu
menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu melarikan
diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan
yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak
setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.
"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan
ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi
lebih dulu, apalagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk menggunakan
tenaga melakukan pertempuran."
"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu
lagi," sambung Bun Houw. "Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali
tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi
melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan
diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat
kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri."
"Akan tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih
benemangat itu membantah. In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, namun
karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tidak mungkin baginya untuk dapat
mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.
"Kauajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara
bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," kata Kun Liong
tergesa-gesa karena suara bising kini makin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah
agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita
tidak sampai terbawa-bawa."
Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak
membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan
pasukan yang naik ke bukit dari selatan.
Biarpun sedang mengandung, namun karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat
tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya,
tanpa pengerahan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini
sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san. Akan tetapi ketika mereka tiba di
kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon
berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat
itu! Dalam waktu cepat sekali telah muncul puluhan orang perajurit, bahkan
agaknya tidak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira sudah bergerak
meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar
wanita itu! Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita biarpun dalam keadaan
sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, biarpun usianya sudah
mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para perajurit itu
tersenyum dan menyeringai girang ketika menerima perintah yang dianggapnya amat
ringan dan menyenangkan itu. Mereka seperti segerombolan serigala yang hendak
berebut dulu menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama
menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua
ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu menggerakkan
kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah terlempar dan
mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit berdiri lagi!
Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa dua orang wanita
ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian tinggi!
Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah
pertempuran yang hebat karena betapapun juga, dua orang itu tidak mau menyerah
begitu saja. Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak
berani mengerahkan tenaga sin-kang terlalu kuat. Andaikata tidak demikian, tentu
amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apalagi ada Cia
Giok Keng yang membantunya. Kini, mereka dikepung rapat dan terdesak oleh
serangan bertubi-tubi, biarpun tidak mudah pula bagi para perajurit itu untuk
dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.
"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.
"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.
Tiba-tiba Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara
lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh
kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus
mempertahankan diri!" Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini telah
mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu telah
mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.
Memang kedua orang nyonya ini telah menerima pesan berkali-kali dari suami-suami
mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, maka tidak boleh
membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasan. Maka ketika
dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.
Menghadapi ancaman itu, tentu saja para perajurit tidak mau mundur, bahkan
mereka kinipun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita
itu dengan ketat. "Lebih baik kalian menyerah saja daripada harus menghadapi kekerasan!" bentak
seorang perwira. "Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah
marah itupun membentak. Empat orang perajurit menyeringai dan dengan tombak di tangan mereka menubruk ke
arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau
dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka itu
menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh
Yap In Hong tadi. Gegerlah para perajurit dan mereka itu segera menerjang dengan
senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan
sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku
datang membantumu!" "Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan ketika dia mengenal
suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu. Dan kepungan itu
mulai bobol dan rusak oleh mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini
marah sekali melihat ibunya terkepung, dan dia melempar-lemparkan para perajurit
seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!
Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ibunya, dan biarpun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, namun nyonya ini
sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.
Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para perajurit yang tadinya
memang sudah gentar menghadapi dua orang nyonya yang benar-benar lihai itu
menjadi kalang kabut. "Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan
itu. Mereka lalu melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama
puterinya di belakang sambil menahan para perajurit yang mengejar mereka. Dengan
menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar
itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang
wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para
perajurit. Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka
dikurung oleh banyak sekali perajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya
merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah dan memang mereka
sengaja mengamuk untuk menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran kepada
isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam dan seorang wanita
cantik yang berdiri di belakang pasukan dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa
yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu
Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!
Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi marah, akan tetapi juga terkejut
dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan
diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka
sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri
mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru. "Bun
Houw, lari...!" Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya
dan mereka berdua melarikan diri ke barat.
Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa heran melihat bahwa dua orang
wanita isteri dua orang pendekar tidak nampak. Tak mungkin dua orang wanita itu
bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi.
Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang
pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk
melakukan pengejaran. Dia maklum akan kelihaian dua orang pendekar itu, maka
biarpun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri
tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio menyangka bahwa
tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk
bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak
gurunya untuk melakukan pengejaran.
Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan
untuk memancing mereka itu mengejar agar isteri-isteri mereka sempat melarikan
diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-
isteri mereka itu kini sedang menghadapi pengeroyokan para perajurit yang oleh
Kim Hong Liu-nio memang sudah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling
bukit itu! Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tidak berlari
terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka
menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya
itu, setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang
berwibawa. "Berhenti kalian! Sebagai perajurit-perajurit kerajaan, apakan kalian lupa bahwa
keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu
membantu pemerintah menghadapi para pemberontak" Mendiang ayahku, Cia Keng Hong,
bahkan adalah sahabat baik mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami
sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan kami pasti
pada suatu hari akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"
Melihat sikap pendekar itu yang amat gagah dan mendengar ucapan itu, para
perajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-
ling-pai, kelihatan gentar, dan mereka benar saja berhenti bergerak hanya
berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.
Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing
sudah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat
menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik
aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena
hatinya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang
musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali
ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.
Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu
melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kiri, sengala dia mengadukan
lengannya dan seketika dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Memang ilmu ini
tidak boleh sembarangan dipergunakan, namun menghadapi seorang tokoh besar
selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan
tenaga menyedot. "Iihhh-heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan tiba-tiba Kun Liong merasa
betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti
sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan
mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi
pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali dan terpaksa dia
menyimpan tenaga Thi-khi-i-beng dan menarik kembali lengannya! Ternyata Ilmu
Thi-khi-i-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan licik oleh nenek
itu, yaitu dengan menyimpan sin-kang dan menyerang tempat berbahaya yang
berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Dan memang selama ini, nenek itu
telah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan
menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi-i-beng yang ditakuti!
Setelah tahu bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek
ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu
silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun
ciptaan Bun Ong! Terdengar nenek itu berkali-kali berseru "ah" dan "oh" karena heran dan
bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di
dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Namun, nenek itupun
hebat bukan main. Biarpun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun
Liong, namun diapun selalu dapat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh
pendekar itu. Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan
satu dua kali pukulan, namun semua pukulan yang mengandung hawa sin-kang amat
kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.
Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga
amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw
masih lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sin-kang. Pendekar ini maklum bahwa
lawannya amat lihai dan mahir ilmu silat bermacam-macam, sehingga kalau hanya
mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukar baginya untuk memperoleh kemenangan.
Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat dan
memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio
tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani
mengadu lengan. Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan
bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu
Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong
itupun akan celaka kalau dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio dapat melihat kenyataan
ini, maka dia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk ikut mengeroyok!
Majulah seratus lebih perajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun
Houw. "Bun Houw, mari kita pergi!" Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum
bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apalagi karena mereka
tidak ingin membunuh para perajurit itu. Keduanya lalu mengirim serangan yang
dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur dan menggunakan
kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para
pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan.
Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak, namun sekali ini dua orang
pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu
berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin dapat menyusul mereka, sedangkan guru
dan murid yang kalau mau dapat menyusul itupun merasa jerih untuk menghadapi
mereka berdua saja. Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar inipun melakukan
perjalanan secepatnya untuk menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota
pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan,
puteri dari pendekar Yap Kun Liong.
*** "Suheng, aku sutemu Sin Liong datang menghadap!"
Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan guha-guha besar itu
bersama Han Houw, dan belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin
Liong mengajak Ceng Han Houw mendaki puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan
Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan guha-guha puncak itu yang menjadi tempat
tinggal suhengnya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai
tiga kali dia berteriak, suhengnya itu tidak pernah menjawab atau muncul.
"Jangan-jangan suhengmu itu tidak berada di sini, sedang pergi," kata Han Houw
dengan suara bernada kecewa.
"Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku melihat bayangannya berkelebat ketika kita
tiba di puncak." "Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?" Han Houw bertanya heran, tidak enak
dan juga kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu
sedangkan dia tidak. Sin Liong kembali menghadap ke guha, mengerahkan khi-kang dan berseru dengan
amat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, "Suheng Ouwyang Bu
Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!"
Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran
Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di
atas, biarpun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas,
seolah-olah turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang sudah
mencapai tingkat tinggi, sehingga dengan kekuatan khi-kang pemilik ilmu itu
dapat mengirim suaranya dari manapun.
"Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?"
Biarpun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suhengnya itu
memang bersembunyi di dalam guha di depannya. Maka dia menjura ke arah guha itu
dan berkata, "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak
angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan
baik." "Kalau aku tidak mau keluar kau mau apa?"
Sin Liong tidak merasa heran dengan anehnya watak suhengnya itu. Diapun tahu
bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia
berkata, "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek
bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"
Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda
itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan main. Kakek
itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali
botak dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah
seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya
telanjang. Dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin
Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, "Kalau engkau hendak
mengatakan aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Heh, satu
kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus
ingat budi itu terus?"
"Maaf, suheng, bukan maksudku begitu. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan
bicara denganmu," kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya
dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia
telah berhasil. "Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku"
Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek
buruk macam aku ini!" Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka
lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.
"Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu," jawab Sin Liong sejujurnya karena
akan percuma saja membohongi suhengnya ini. "Akan tetapi aku datang karena aku
perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."
Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling
itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan
gagah sekali, yang berdiri sambil menjura kepadanya, yang mempunyai sepasang
mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa pemuda remaja
ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.
"Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng
lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kaubawa dia berjumpa denganku?"
"Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya diapun
terhitung sutemu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah
pimpinan suheng." "Wah, aku tidak mau menerima murid, apalagi setampan ini!"
"Bukan murid suheng, melainkan sutemu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita."
"Ah, mana bisa itu", Sute, kenapa kauceritakan tentang suhu...?"
"Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia
ini seorang yang bercita-cita besar, lebih besar daripada cita-citaku. Dia ingin
menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!"
"Uwah, mana bisa" Orang yang halus seperti ini mana tahan uji" Mana tahan
derita" Aku tidak mau...!"
Semenjak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan
karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap
omongan, dan pangeran yang amat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan
dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata, "Locianpwe, menilai orang
lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini,
siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian
hebat" Demikian pula dengan aku, biarpun aku kelihatan begini, jangan dikira
bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan
membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau sute, terserah.
Kalau sampai hal itu tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe
menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?"
Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil. "Wah-wah,
kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya daripada engkau, sute! Dan
lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku
menjadi guru atau suheng dari seorang bangsawan kecil?"
Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam
merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa
meragu lagi dia berkata, "Locianwe, harap jangan memandang rendah kepadaku! Aku
memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar
yang sekarang ini!" Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan mata terbelalak
kepada pemuda tampan itu, kemudian menoleh kepada Sin Liong dengan mata
mengandung penuh pertanyaan. Sin Liong mengangguk dan berkata, "Memang benar apa
yang dikatakannya itu, suheng."
Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada
Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang
pangeran! "Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas
dan kedua lengan bersedakap?"
Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan
kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat
menduga bahwa kakek itu amat terkesan, dan kini hendak mengujinya. "Apa sih
sukarnya begitu saja?" katanya dan dia memilih sebuah batu halus di depan guha,
kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah jungkir balik, dengan kepala
yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.
"Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!" kata Ouwyang Bu Sek,
kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong. "Hayo sute, aku mau bicara denganmu!"
Keduanya lalu memasuki guha dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara
mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi
sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap
dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan
perhatian dan mematikan semua panca inderanya!
Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam guha dan di sini dengan suara
berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata
kepada Sin Liong, "Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau
bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!"
Walaupun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang
dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu,
apalagi mengingat bahwa mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Maka
sedikitpun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam malapetaka dan
sekarangpun dia maslh ingin melindunginya, biarpun apa yang pernah dilakukan
oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah ketika ditanya
oleh suhengnya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han
Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.
"Kami telah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah
diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang
sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan memiliki kedudukan tinggi sekali di
istana. Dia bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai,
ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia."
Wajah kakek itu berseri. "Engkau tidak membohongi aku, bukan sute" Aku sudah tua
sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld,
engkaupun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di
sini?" "Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan
akupun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana
kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya" Dia sudah kuceritakan
tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau."
Kakek itu nampak terkejut. "Hemm, ah, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi
murid suhu, harus kulihat dulu orang itu..."
"Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini dan
mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya."
"Nanti dulu..., bagaimana wataknya" Apakah dia seorang yang mengenal budi?"
SIN LIONG berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu ia mengangguk. Dia mengenal
watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguhpun agaknya juga tidak
akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan
pembayar budi yang kuat! "Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya,
dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya."
Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biarpun Han
Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, namun dia lebih pendendam
dan takkan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.
Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-
cepat menolak dan membantah kalau kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng
Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan
sejujurnya" Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi
orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain
terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan" Kita condong untuk membalas
kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang
dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kitapun ingin membalas kejahatan
orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi
sejengkal kita ingin membalas sedepa, kalau kita dicubit kita ingin balas
memukul. Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu"
Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik
lagi dari dia, dari siapapun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbaik! Sebaliknya kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan
gangguan yang lebih kejam lagi agar hati yang mendendam, hati ialah si aku itu
pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak
mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut
lebih kejam, melainkan lebih berani!
Inilah sebabnya mengapa di antara suami isteri, di antara saudara, di antara
sahabat baik, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali
kebaikan dari isteri, suami, saudara atau sahabat akan lenyap tanpa bekas oleh
adanya satu kali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar
kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang
tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!
Kalau setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada
hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang
berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini
sudah jelas! Setelah kita membuka mata memandang dengan waspada dan kita dapat
melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah
kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang
mengandung pertentangan ini"
Setelah dia merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek lalu
mengajak Sin Liong keluar. "Kau boleh pergi sekarang, sute, kalau engkau mau
meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak
ada gunanya, dia akan kulemparkan ke dalam jurang!" kata kakek itu dengan
lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata
masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.
"Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia itu kakak angkatku. Katakan kepada
Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng."
"Selamat jalan, sute."
Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua
matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka diapun ingin
memperlihatkan bahwa dia adalah seorang calon murid yang baik! Bagi seorang yang
belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu
tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama.
Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah memiliki kepandaian
yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan
permainan kanak-kanak saja baginya. Dia mendengar semua percakapan antara adik
angkatnya dan kakek itu setelah mereka keluar dari dalam guha, dan mendengar
langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia mendengar kakek itu pergi
pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi
sekali. Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima
jam! Celaka, pikirnya. Kalau hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa
jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan
kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa
serba salah! Kalau terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam,
kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan
lelah. Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentu
akan kesalahan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian! Bukankah kakek cebol
tadi mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum
diperintah oleh si kakek itu" Dan sekarang kakek itu tidak pernah muncul!
Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau menjebaknya. Kalau dia
menurunkan kaki, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan dia tidak
memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!
Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk
melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan amat
melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Biarpun dia tidak membuka mata, namun dia
dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya.
Hari sudah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya!
Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan Han Houw pada saat-saat itu. Dan
malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa
kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu!
Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti
sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!
Celaka, akan matikah dia" Namun, Han Houw adalah seorang pemuda yang keras hati
dan penuh semangat, apalagi dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia
berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan
sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti
itu sampai semalam suntuk lewat!
Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu
sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat dan caci dan kutuk
memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup
dan kedua matanya terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya
di luar pelupuk matanya, telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa
kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara
kakek itu mengomel. "Masih bertahan juga" Hemm, menjemukan benar anak ini" Aku masih belum
memerintahkanmu menurunkan kaki, akan tetapi coba sekarang kautaati perintahku.
Nah, kautahan pernapasanmu setelah menyedot sebanyak mungkin hawa. Nah,
dorongkan hawa itu ke pusar, kemudian tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan
lagi...!" "Brukkkk!" Tubuh Han Houw terguling seperti sebatang balok, kepalanya terasa
nyeri bukan main, terputar-putar rasanya dan matanya berkunang-kunang, seluruh
tubuhnya bagian atas nyeri semua!
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya" Sakit"
Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku" Akan kuajarkan lain
ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?"
Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat
kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia
mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,
"Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai matipun aku tidak gentar!"
Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya
bahwa seorang pangeran akan dapat bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan
tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!
"Engkau benar-bener ingin belajar?" tanyanya, mulai merasa kalah.
"Benar, locianpwe."
"Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?"
"Hal itu mudah dilaksanakan."
"Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?"
"Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi.
Kalau dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula."
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah
menguji pangeran ini dan andaikata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan
hal tidak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong
kemarin, yaitu melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi, sikap Han
Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan
oleh pangeran ini kepadanya, membuat hatinya puas sekali. Dia membandingkan
pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik,
lebih berguna baginya, daripada sutenya itu! Kakek ini sama sekali tidak pernah
menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw. Sin
Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, sebaliknya,
pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapapun juga, di samping
itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, namun semua itu
ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan berbahaya
dia. Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali kepada kakek
ini yang bukan hanya telah mempermainkannya, bahkan telah menyakitinya dan me-
nyiksanya. Namung kebenciannya itu sedikitpun tidak nampak pada wajahnya yang
tampan! "Heh-heh-heh, baik, baik! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!"
Sambil berkata demikian tangannya bergerak dan Han Houw merasa betapa leher dan
punggungnya tertotok dan kesehatannya pulih kembali, peningnya lenyap, bahkan
dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.
"Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!"
"Tentu saja, heh-heh. Apa kaukira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak
ada gunanya?" Han Houw merasa tidak puas ketika kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi
muridnya. Bukan itulah yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru
mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia tidak
menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi tidak
senang hatinya. "Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan kakak dari Liong-te, akan tetapi
ilmu silatku kalah jauh dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi
cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik
angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!"
"Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tidak menang melawan sute, sedangkan aku
sendiripun tidak akan mampu mengalahkannya!"
Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti
bicara kepada diri sendiri, "Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang
besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Kiranya dia demikian lihai
sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suhengnya masih kalah lihai olehnya!
Sungguh penasaran dan sukar dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut
Liong-te bahkan telah membimbingnya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang
dibimbingnya ini!" "Aha, mana kau tahu, pangeran" Benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi
kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu
saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu."
"Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?"
"Ha, engkau sudah tahu?"
"Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling
pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa setelah dia mempelajari semua
kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suhengnya,
biar Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!"
"Omong kosong! Sombong dia!" kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw
merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.
"Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!"
"Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah
yang membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu" Berani benar dia
bicara seperti itu!"
"Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu
kemudian menunjukkan bahwa locianpwe sebagai suhengnya tidak benar kalah oleh
sutenya!" Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin
pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.
"Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari..."
"Kalau begitu, Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan
kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suhengnya yang sakti, yang amat terkenal
bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhunya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak
akan mampu menandinginya."
"Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!" Kakek yang sudah
panas hatinya itu kini meloncat dan berjingkrak seperti cacing terkena abu
panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.
"Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw." Han Houw
memancing karena dia ingin sekali dapat bertemu dengan manusia dewa yang ilmu-
ilmunya telah dipelajari oleh adik angkatnya itu.
"Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian
dunia... ah, tidak mungkin itu."
"Kalau begitug masih ada lain jalan untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan
mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw."
"Eh" Kau ada jalan, pangeran" Bagaimana?"
"Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan
akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!"
Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar. "Hemm, kitab-kitab itu
sudah kubakar..., sungguhpun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari
orang, akan tetapi... ah, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu...
dan sute Sin Liong memang lihai sekali..."
"Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?"
"Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan
main dan sukar dikalahkan."
"Bukankah locianpwe yang membimbingnya" Tentu locianpwe dapat mengajarkan
kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te."
Kembali kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin... sudah kubakar kitab-
kitab itu dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak
cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia."
Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai
bukan main, mungkin lebih lihai daripada sucinya atau subonya, akan tetapi kalau
dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan
Sin Liong! Dia harus mempelaiari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!
"Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain, itu?"
"Wah, sukar sekali... sukar sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri
sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku..."
"Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di
istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku sudah banyak
mempelajari isinya. Barangkali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku
melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe."
Kakek itu berseru girang. "Benarkah" Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari
Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau
menjadi suteku pula, jangan banyak membuang waktu!"
Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia telah berhasil! Maka dengan taat dia
lalu mengikuti kakek itu memasuki sebuah guha besar yang gelap. Guha ini berbeda
dengan guha di mana dahulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu
memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya, "Berlututlah, sute,
dan ikuti kata-kataku."
Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam guha. Dia mencoba
untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, namun dia tidak melihat apa-apa,
hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu
tengkuknya meremang dan dia merasa seram, seolah-olah ada hawa aneh berada di
dalam guha itu, dan cepat-cepat diapun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini
memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang
diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.
"Teecu (murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka
suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk
menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapapun tanpa
ijin dari suhu." Demikianlah Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti
isinya. Apa artinya "menjunjung tinggi nama suhu" itu" Dan kalau dia tidak akan
pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperolch
ijin suhu itu kalau hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain" Akan
tetapi dia tidak perduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang karena
usahanya sudah hampir berhasil.
Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka
dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubub Han
Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih, "Racun yang dioleskan pada
peti ini dapat membunuh seketika kalau tersentuh tangan yang tidak memakai obat
penawar ini, pangeran," kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri. Diam-diam
dia memperhatikan bahwa biarpun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-
couw, berarti dia telah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap
menyebutnya "pangeran", hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan
tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu!
Ouwyang Bu Sek membuka tutup peti dan muncullah seekor ular merah. Han Houw
mengenal jenis ular yang amat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah
utara memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, namun kemunculannya tentu
selalu menggemparkan karena banyaklah manusia atau binatang lain yang jauh lebih
besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!
"Kim-coa-ko, tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu." kata
Ouwyang Bu Sek dan ular itu setelah "berdiri" dan menggerak-gerakkan kepalanya,
lalu melingkar lagi seperti tidur. Ouwyang Bu Sek mengambil tiga buah kitab kuno
yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia menutupkan kembali petinya. Peti itu
telah diberinya lubang kecil di belakangnya sehingga ular itu sewaktu-waktu
dapat keluar kalau lapar, untuk mencari makanan. Akan tetapi, biarpun peti itu
sudah kosong, dia tidak mau membuangnya, membiarkan peti itu di situ agar kelak
kalau ada orang yang hendak mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang
mengandung racun, ditambah lagi penjaganya yang berbahaya itu!
Mereka lalu keluar membawa tiga buah kitab itu, "Pangeran, tiga buah kitab
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau mampu membantuku,
kemudian kaulatih isinya, hemm, engkau tentu akan mendapatkan ilmu aneh yang
tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang dikuasai oleh sute Sin Liong."
Han Houw menyembunyikan kegirangan hatinya. "Akan kucoba, suheng. Akan tetapi,
apakah hanyalah ini sisa kitab dari suhu" Bukankah peti itu besar sekali dan
baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?"
"Bukan hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari sampai tiga buah
kitab. Sedangkan kitab-kitab lain... ah, yang tiga ini saja sudah cukup,
pangeran. Terlalu banyak, kita tidak akan mempunyai waktu, selain melatihnya,
juga harus mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kaukuasai dengan baik, agaknya
akan sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu."
"Akan tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lain itu, bukan suheng" Kita adalah
saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?"
"Tentu saja! Ada kitab-kitab itu, kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil
oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih
ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu,
pangeran." Han Houw tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga dan
menjadi tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan
mulai hari itu, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu subengnya itu
menyelesalkan penterjemahan. Dan memang Han Houw tidak membohong atau membual
ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan
dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan bahasa suku pedalaman di utara masih
dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw yang sejak kecil banyak mempelajari
bahasa-bahasa di utara, benar saja dapat membantu banyak sehingga menggirangkan
hati Ouwyang Bu Sek. Mulailah Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga
buah kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek. Pangeran ini amat tekun.
Memang dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di
dunia, di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek
kepada pangeran ini. Hampir tidak ada waktu terluang begitu saja oleh Han Houw,
selalu diisinya dengan berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sin-kang
menurut petunjuk kitab pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu
terdapat pelajaran semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir
balik seperti yang dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu
Sek, maka kini sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas
kepala di bawah, kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari
tiga malam! Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.
*** Harap-harap cemas memenuhi hati Lie Seng ketika pemuda itu memasuki hutan itu.
Sudah diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak hari itu setahun yang lalu,
dia boleh dibilang setiap saat menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung.
Hari itu adalah genap setahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa
di hutan itu! Tidak akan keliru hitungannya, akan tetapi bagaimana kalau wanita
itu lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau... telah
lupa kepadanya" Ah, tidak mungkin! Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng
terhadap dirinya. Dan dia lebih yakin lagi akan cinta kasih dalam hatinya
terhadap gadis itu. Dia sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi,
melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyeleweng dalam hidupnya
sehingga sudah mengalami banyak penderitaan batin.
Kenyataan ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, makin diingat
akan semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar rasa belas kasih
dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam
cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menunturinya dan menunjukkan bahwa
hidup bukanlah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua pria yang
mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka!
Pagi hari itu cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil
menerobos masuk ke dalam hutan, melalui celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah,
secerah hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta! Dengan
langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat di mana setahun yang lalu dia bertemu
dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng, kemudian membuat janji untuk saling
bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun Eng, gadis yang
merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya betul bahwa orang seperti
Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah menyeleweng seperti Sun Eng! Ah,
kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah merupakan
tanda betapa Sun Eng telah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah
menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik daripada orang yang selalu
membanggakan perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu setahun
untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena merasa
rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali dia
dikecewakan oleh kaum pria.
Akan tetapi kecerahan pagi itu tetap saja tidak dapat mengusir bayang-bayang
hitam gelap yang diciptakan oleh pohonpohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang
panjang yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga
mengganggu kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan
bagaimana kalau Sun Eng sampai tidak datang! Ke mana dia harus mencari gadis
itu" Dia cemas sekali membayangkan ini dan kakinya yang melangkah terasa amat
berat. Akhirnya tibalah dia di depan pohon. Dia tidak pernah melupakan pohon itu dan
huruf-huruf yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan
tetapi, Sun Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar
pohon itu. Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas. Mengapa dia
begitu bodoh ketika dulu mereka saling janji" Mengapa yang dijanjikan hanya
harinya saja, dan jamnya tidak dijanjikan" Bagaimana kalau Sun Eng baru akan
datang pada sore hari nanti" Tidak apa! Dia akan menanti, biar sampai sore,
sampai malam sekalipun! Dia sudah bertahan menanti selama setahun, dan apa
artinya ditambah sehari atau dua hari"
Lie Seng duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya,
terutama sekali tentang cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh
tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Namun, selama ini belum pernah dia jatuh cinta
kepada seorang wanita. Hatinya selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia
seolah-olah merasa ngeri kalau memikirkan pernikahan. Mungkin karena dia melihat
begitu banyak kepahitan terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa
menyedihkan yang terjadi akibat cinta dan pernikahan. Dia melihat atau mendengar
tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya sendiri yang
kini menjadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta kasih dari
pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw. Banyak sudah dia
mendengar tentang kegagalan cinta dan rumah tangga dan mungkin hal-hal inilah
yang mendatangkan kesan mendalam sehingga dia merasa ngeri untuk jatuh cinta dan
menikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan Sun Eng se-
ketika dia jatuh cinta! Bahkan setelah mendengar penuturan gadis itu tentang
riwayat Sun Eng yang tidak harum, cintanya bahkan makin mendalam!
Bagi orang yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambatnya
seekor siput merayap. Terlalu lama waktu merayap, seakan-akan tidak pernah maju!
Memang demikianlah anehnya waktu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya
anak panah dilepas dari busur, sebaiknya kalau diperhatikan, dia merayap amat
lambat! Tentu saja bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan
pikiran! Pikiran selalu mgnginginkan hal-hal yang lain daripada apa yang ada,
sehingga apa yang ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, selalu berlawanan
dengan apa yang dikehendaki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu
dengan yang dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, kenyataan yang
ada amat berlawanan dengan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik
batin memang selalu menyiksa diri!
Lie Seng merasa amat tersiksa. Sampai siang dia menanti, waktu merayap terus dan
yang dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan waktu, tidak sadar
bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti.
Serasa sudah bertahun-tahun! Waktu dari pagi sampai siang itu dirasakannya malah
lebih menyiksa, lebih lama daripada waktu setahun yang telah lalu! Namun, dia
masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya panjang
rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya berada di
bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Perlahan-lahan,
bayangan pohon itu menggeser ke timur dan mataharipun mulai turun ke barat.
Sebentar lagi, senjapun tibalah!
Lie Seng tak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin
baru besok dia datang! Jangan-jangan... tiba-tiba Lie Seng menjadi pucat dan
cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada apa-apa
yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin sengaja
tidak mau datang" Bermacam bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng,
membuatnya semakin gelisah dan akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia
bangkit berdiri, dan mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah
pohon, mengelingi batang pohon, kemudian makin menjauh seolah-olah dia hendak
mencari Sun Eng diantara semak-semak dan pohon-pohon.
Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng
meloncat ke arah suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang
wanita duduk di atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka
dengan kedua tangannya, terisak-isak.
"Eng-moi...!" Dia meloncat, menubruk dan merangkul. Akan tetapi Sun Eng terus
menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu. "Eng-moi, ada
apakah" Apa yang terjadi" Kenapa kau di sini dan bersembunyi, dan menangis?"
Akan tetapi Sun Eng tak mampu menjawab, tangisnya mengguguk membuatnya tidak
mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia
menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu,
membiarkan Sun Eng menangis karena diapun maklum bahwa dalam keadaan seperti itu
tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat menguasai
hatinya, tangisnya mereda.
Lie Seng mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan saputangan mengusap
air mata yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu
dengan sepenuh hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan
embun setelah dia bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi
dengan gelisah. "Nah, sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di
sini dan mengapa engkau menangis?"
"Aku... aku tidak berani keluar..." jawabnya di sela isak.
"Eh, kenapa" Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?"
"Sejak kemarin pagi!"
"Hhh?" Lie Seng terkejut sekali. "Akan tetapi... salahkah hitunganku" Setahun
sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?"
"Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi,
aku ingin cepat-cepat ke sini..."
"Lalu mengapa engkau bersembunyi di sini" Apakah engkau tidak melihat aku datang
pagi tadi di bawah pohon kita itu?"
Gadis itu mengangguk dan sesenggukan. "Aku... aku melihatmu... aku takut untuk
keluar, ah, kauampunkan aku, koko..."
Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum. "Betapa anehnya
engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-
cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah
sembunyi! Apa artinya ini?"
"Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin
sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu..."
"Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa akupun demikian..." Lie Seng mendekap
kepala gadis itu penuh kasih sayang. Sejenak mereka berdekapan tanpa
mengeluarkan kata-kata, demikian ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat
saling merasakan denyut jantung masing-masing.
"Akan tetapi... begitu melihatmu... ah, aku takut, koko. Engkau demikian
mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan melihat betapa engkau
menanti di sana dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku
makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut
menjadi..." Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah
ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya dan mata pemuda ini menjadi basah.
Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke
leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh penyerahan dan kasih
sayang, juga dengan air mata bercucuran!
Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie
Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu. "Eng-moi, jangan
Istana Kumala Putih 8 Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Tanah Semenanjung 4
tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah
menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan
dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di
bagian depan tubuh Kim-liong-ong!
"Ehhh... ehhhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua
tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan
kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum
akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.
Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-
kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai
delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan
berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima
yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja
Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main.
Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri
karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun
lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun
dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!
Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu
terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat
tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya
dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara
yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong
menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main
mundur, mengelak dan kadang-kadang mempergunakan gelang emasnya untuk menangkis.
Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini
sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun! Betapapun
juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah
mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang ber-
gulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kang-
kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih,
pemberian dari kakeknya. Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-
liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak.
Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.
Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang,
membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya,
mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.
"Tranggg!" Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar
putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata
tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban
meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini
dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar
lolos dari ancaman maut. Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya
Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-
ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-
pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si
berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!
Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-
orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat
yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat
dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-
lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi,
mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-
hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.
Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga
tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya
tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada
saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,
"Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi" Mundurlah!"
Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur
mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang
berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua
orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-
liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.
Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita
ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari
Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada
suhengnya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah
di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.
Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang
pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada
Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan
sikap gagah. Keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut
terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw
memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut
melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat
dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang
mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi ketika melihat
pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar
dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han
Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara
berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya
kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.
"Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini" Kulihat engkau menyerang kedua orang
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."
"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai
bengcu baru atas pengangkatan paduka." kata pula Hai-liong-ong dengan harapan
untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.
Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua
orang itu berdiri dengan sikap hormat. "Benarkan ji-wi sengaja melakukan
pengacauan dan menentang bengcu?"
"Sama sekali tidak, pangeran!" jawab Gu Kok Ban tegas. "Biasanya, semenjak
dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada
bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu
baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak
dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan
mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang
menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."
"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.
"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat..." Hai-liong-ong mencoba untuk
membantah. "Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya
mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan
kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang,
apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"
"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib..."
"Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian
sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh
semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita.
Mengertikah kalian?"
"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.
"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-
liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"
Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan
menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan
itu. "Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.
Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan
tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu
menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan
itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia
membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak
dan ditindas. "Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han How. Dua orang kakek itu
mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi
meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.
Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat
kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua
orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali,
setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap
demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh
dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu
pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia
melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke
dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya,
kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat
tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia
jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali
ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran
muda ini! Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si
yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke
dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang
wajah yang menunduk itu, kemudLan berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,
"Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah
memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."
"Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap
ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan
lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat
menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya seperti orang yang
lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau
sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat
tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk
mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui
siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"
Dengan jantung berdebar karena merasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal
yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang
menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja,
lalu berkata, suaranya halus, "Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau
aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal.
Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat
mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri
mereka bengcu tadi." Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan
orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan
santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan
seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak
menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap
orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka
yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin
Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa,
memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si,
maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.
DENGAN wajah berseri Han Houw berseru, "Ah, ternyata nona seorang pendekar yang
gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak
tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"
"Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan
banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," kata Gu Kok Ban sambil
menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka
kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk
duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.
"Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku
hendak melanjutkan perjalananku."
"Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan" Setelah pertemuan yang amat kebetulan
ini, agaknya kita telah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apalagi mengingat
bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di
dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.
Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan
sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk
menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.
"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri
baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-
daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!" Han Houw tidak mau
menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia
sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau
menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga
memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan
itu. Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak
begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak
mengenalnya. "Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah" Ilmu
silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua
yang bodoh tidak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau
dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya
yang bopeng kasar. "Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada
harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa
gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran
Ceng Han Houw tertawa. "Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-
siocia ini agaknya termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh
rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."
Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan
menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini,
apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap
manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan
tidak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat
muda ini menyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar
sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja
agaknya bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut
untuk mendampinginya. "Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis
diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan pundak seolah-
olah dia "terpaksa" oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa
muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu,
karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka
akan kegagahan!" "Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata
Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena
diapun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini,
pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis
budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang
kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang
tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!
Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka
yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran
itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu
penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya. Juga sang pangeran merasa
betapa gadis itu tidak mengelak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah
Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya
yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang
berpendidikan tinggi. "Lie-slocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutamakan
perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya
semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih
belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara
langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk mengenal ilmu
silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat
halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas
penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.
"Ah, mana aku berani, pangeran" Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran
tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang
begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan
adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak
bermata akan mendatangkan malapetaka."
Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung
kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona,
jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian
tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan telah bermata, mana
mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri" Marilah, harap
nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."
"Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang
tinggi dan agar pertemuan ini makin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok
Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali
menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.
Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari
pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali
Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi
kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."
"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan
sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."
Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang
lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian,
sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul
watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan
juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan
pertandingan adu ilmu itu.
"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu,
memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan
kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh
mengherankan memang kekuasaan cinta asmara. Sekali Ciauw Si terpikat, secara
otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya,
terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih
dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria,
bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang
sifatnya menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan
kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan
lawannya sambil tersenyum manis!
"Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu,
maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup
cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini
ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.
"Hiaattt...!" Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini
telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin
pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu
terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa
nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.
"Haaaiiitttt...!" Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya
teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun
dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu
bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan
tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu
sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun!
Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis
itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari
tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya,
atau dengan ayah kandungnya" Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun
mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.
Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini
bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas
bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang tinggi sekali! Makin hebatlah
dia melancarkan serangannya. Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan
atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja
mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawan, dia merasakan
lengannya tergetar, tanda bahwa tenaga sin-kang pula! Makin kagumlah hati
tertarik pula dia. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis
pilihan! Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biarpun dia mengenal
ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari
ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki
pangeran itu amat hebat, dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat! Kiranya pangeran
ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis
itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya berputaran seperti
gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!
"Ehhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan terpaksa dia main mundur dan
bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya
sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw
tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, melainkan menjaga diri
dengan tangkisan-tangkisan cepat. Kembali Sin Liong menahan napas. Itulah In-
keng-hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-
hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak
salah lagi! Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw terdesak dan pangeran
ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po dan barulah dia berhasil
menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.
"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus
luar biasa itu dan tiba-tiba Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke
depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji
tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan
pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua
tangannya pula. "Plakk!" Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan untuk beberapa detik
lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan dan dia
hampir tidak dapat menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya
sehingga kekuatan mereka berimbang.
Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada
getaran-getaran halus menjalar melalui kedua telapak tangan mereka yang saling
melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung dan membuat pipi
mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang seperti tidak
mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari
sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu
kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru, "Aku mengaku
kalah..." Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlalu merendah! Selama hidupku
belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw bertemu dengan seorang yang demikian
lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"
"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi hatinya hanya
dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!
Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han
Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan
tetapi kini diapun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat
ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.
Dia teringat akan cucu perempuan yang meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari
Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inilah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah
kandungnya" Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis
ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung,
melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya. Sayang bahwa dia dulu
tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali 1upa akan nama cucu kakeknya
atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil
lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya" Akan tetapi,
karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-
ling-pai, maka diapun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan
gadis ini dan melindunginya dari marabahaya!
"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja" Apakah engkau tidak kagum
melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"
Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona
cantik itu memandang kepadanya.
"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang
amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkatku sendiri!" kata pula sang
pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.
Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang
tampan dan pendiam itu, dan sama sekali tidak memperhatikannya. Akan tetapi
sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini memiliki
kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki
kepandaian hebat! Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan
kepada Sin Liong, kemudian dia berkata, "Ah, pengertianku dalam ilmu silat masih
amat dangkal..." Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan kepada nona ini. Seorang nona yang gagah
perkasa, namun di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu
terkandung keramahan dan agaknya nona ini telah terdidik baik untuk merendahkan
diri, maka dia cepat bangkit berdiri dan menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh
amat tinggi sekali! Sungph aku merasa kagum."
Ciauw Si balas menjura dah mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian
atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw,
akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk
tinggal selama beberapa hari di situ. Selain fihak tuan rumah amat ramah dan
baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang amat
kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw.
Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu
jangan sampai diganggu siapapun juga.
*** "Nona Lie Ciauw Si, aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku
jatuh cinta kepadamu, nona."
Hening sekali dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk
berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan
setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw.
Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk
bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!
Mendengar ucapan itu, Ciauw Si mengangkat muka memandang wajah pangeran itu
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia kini telah dapat menguasai rasa malu
dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu,
dan mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa
pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.
"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak
pertama kali bertemu, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu,
dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup
bersamamu sebagai suami isteri."
Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw telah memiliki banyak
pengalaman dengan wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu
bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-
tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walaupun usianya sudah dua puluh
empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!
"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kauucapkan itu?" akhirnya terdengar Ciauw Si
bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu. Pangeran itu
memegang tangan Ciauw Si dan kembali dari pertemuan antara kedua tangan itu
terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.
"Ciauw Si, apakah engkau tidak percaya kepadaku" Pandanglah mataku dan engkau
tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru
sekali ini aku jatuh cinta, sungguhpun telah banyak wanita diberikan kepadaku
sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini,
Ciauw Si. Aku cinta padamu, perlukah aku bersumpah?"
"Mungkinkah itu" Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali,
sedangkan aku... aku hanyalah seorang gadis..."
"Yang cantik manis, yang gagah perkasa, yang budiman, dan aku percaya dan yakin
bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung
pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat
itu. Namun Ciauw Si dengan lembut menarik tangannya dari genggaman sang
pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.
"Tapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih...
tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang telah dua puluh empat tahun dan engkau
tentu paling banyak dua puluh... dan..."
Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis
di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat
telinga Ciauw Si. "Ciauw Si... mengapa engkau meragukan semua itu" Cinta kasih tidak mengenal
usia, tidak mengenal kedudukan, bukan" Aku cinta padamu, berikut keadaanmu,
kedudukanmu, usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah,
masih ragukah engkau, Ciauw Si" Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi
selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"
"Tapi... tapi..."
Tiba-tiba Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya halus ke
belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-
baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat
menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu kalau engkau tidak dapat
menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku
yakin bahwa engkaupun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"
Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata
mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan
bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan
dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis
itu dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh
hatinya! Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan
kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan
ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu
dan diapun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang
timbul karena ciuman mesra itu. Seperti dalam keadaan mimpi atau setengah sadar,
Ciauw Si menyerah saja dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia
tenggelam ke dalam kemesraan yang membuatnya seperti mabuk. Setelah gelombang
kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas
dada pangeran itu dalam keadaan lemas seperti kehabisan tenaga. Dia mendengarkan
suara jantung pangeran itu berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa
berbahagia sekali, perasaan yang selama hidupnya baru sekarang dirasakannya.
Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu amat mesra, membuatnya memejamkan
mata dengan hati merasa tenteram dan damai.
"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si" Lenyapkah
sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwaku, dan bahwa engkaupun
mencintaku?" "...aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tidak ragu-ragu
lagi, pangeran..." bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum
penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan
yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.
"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku
kekamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."
Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik
tubuhnya dari pelukan pangeran itu, meloncat ke belakang dan memandang dengan
mata berkilat kepada pangeran itu.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau... kau..."
Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri
kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau" Kau kelihatan marah, kenapa?"
"Pangeran, seperti itukah cintamu?"
"Eh..." Kenapa" Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"
Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau
masih bertanya lagi" Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu" Begitu kotor
dan rendah cintamu?"
Kini pangeran itu yang terbelalak. "Ahhh" Bagaimana ini" Apa salahnya bagi kita
yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita
di dalam kamar" Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si" Sungguh aku
tidak mengerti..." "Hemm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kaukira aku semacam perempuan
yang mudah saja kaurayu kemudian kaubujuk untuk menyerahkan kehormatanku" Aku
bukan perempuan murah seperti itu!"
"Eh, eh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian" Aku cinta
padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku
kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud tidak baik. Apa salahnya kalau kita
mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"
Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap
hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita" "Pangeran, seorang wanita
yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya
kepada pria manapun, kecuali kepada suaminya yang telah resmi menjadi suaminya!"
"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ah, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau
benar, sungguh aku sampai lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang
menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka
akupun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda
dengan mereka! Tentu saja! Dan aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum
kita menjadi pengantin! Kaumaafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk
menghinamu, sungguh mati, bukan..."
Perlahan-lahan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan
kemarahannya mereda, akhirnya wanita itu lalu duduk lagi di samping pangeran dan
memegang tangannya. "Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi
terkejut sekali maka aku menjadi marah ah, engkau memang mengejutkan aku dengan
ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja...
percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku bersedia menyerahkan
segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."
Sang pangeran merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada
pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa
pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta padanya, bukan sekedar hendak
mempermainkannya! Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu
mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Pemuda inipun selalu mendengarkan
percakapan mereka. Dia mengalami ketegangan tadi, namum akhirnya dia merasa lega
dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan
tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Diapun tidak mengintai lebih jauh
karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah
dia dari tempat sembunyinya.
"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga amat mengejutkan dan mengkhawatirkan
hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis
idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ah,
sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini namun aku belum pernah
mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku
tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."
Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya
telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia
sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia
pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang
amat dirindukan kakeknya.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis
yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari
pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan
tetapi hatinya terasa lega karena betapapun juga, secara pribadi dia sama sekali
tidak mempunyai permusuhan apapun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para
pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, gurunya dan
kakak seperguruannya, akan tetapi dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak
pernah bermusuhan dengan mereka. Apalagi, gadis ini biarpun masih keluarga dari
pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka
tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh
kebanggaan. "Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas
saja ilmu kepandaianmu demikian hebat, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang
merasa girang akan pujian itu.
Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si
sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali
mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa ada
gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk
membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini. Sampai senja terganti malam
gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka,
barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman
itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya
hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.
"Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini
aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di
Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."
Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi
dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita
pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah
meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!
"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan
meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau
kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai
tunanganku atau sahabatku dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan
diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung." Setelah berkata demikian,
Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya,
sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan
Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!
Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan
di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah
berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang
terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ
dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.
Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat
lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan
dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu
melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.
*** Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-
san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut
sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu
ke lereng itu. Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan
kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah
tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu
karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.
Kun Liong yang mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, lalu
menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu melarikan
diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan
yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak
setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.
"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan
ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi
lebih dulu, apalagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk menggunakan
tenaga melakukan pertempuran."
"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu
lagi," sambung Bun Houw. "Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali
tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi
melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan
diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat
kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri."
"Akan tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih
benemangat itu membantah. In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, namun
karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tidak mungkin baginya untuk dapat
mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.
"Kauajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara
bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," kata Kun Liong
tergesa-gesa karena suara bising kini makin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah
agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita
tidak sampai terbawa-bawa."
Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak
membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan
pasukan yang naik ke bukit dari selatan.
Biarpun sedang mengandung, namun karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat
tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya,
tanpa pengerahan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini
sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san. Akan tetapi ketika mereka tiba di
kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon
berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat
itu! Dalam waktu cepat sekali telah muncul puluhan orang perajurit, bahkan
agaknya tidak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira sudah bergerak
meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar
wanita itu! Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita biarpun dalam keadaan
sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, biarpun usianya sudah
mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para perajurit itu
tersenyum dan menyeringai girang ketika menerima perintah yang dianggapnya amat
ringan dan menyenangkan itu. Mereka seperti segerombolan serigala yang hendak
berebut dulu menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama
menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua
ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu menggerakkan
kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah terlempar dan
mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit berdiri lagi!
Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa dua orang wanita
ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian tinggi!
Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah
pertempuran yang hebat karena betapapun juga, dua orang itu tidak mau menyerah
begitu saja. Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak
berani mengerahkan tenaga sin-kang terlalu kuat. Andaikata tidak demikian, tentu
amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apalagi ada Cia
Giok Keng yang membantunya. Kini, mereka dikepung rapat dan terdesak oleh
serangan bertubi-tubi, biarpun tidak mudah pula bagi para perajurit itu untuk
dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.
"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.
"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.
Tiba-tiba Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara
lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh
kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus
mempertahankan diri!" Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini telah
mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu telah
mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.
Memang kedua orang nyonya ini telah menerima pesan berkali-kali dari suami-suami
mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, maka tidak boleh
membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasan. Maka ketika
dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.
Menghadapi ancaman itu, tentu saja para perajurit tidak mau mundur, bahkan
mereka kinipun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita
itu dengan ketat. "Lebih baik kalian menyerah saja daripada harus menghadapi kekerasan!" bentak
seorang perwira. "Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah
marah itupun membentak. Empat orang perajurit menyeringai dan dengan tombak di tangan mereka menubruk ke
arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau
dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka itu
menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh
Yap In Hong tadi. Gegerlah para perajurit dan mereka itu segera menerjang dengan
senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan
sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku
datang membantumu!" "Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan ketika dia mengenal
suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu. Dan kepungan itu
mulai bobol dan rusak oleh mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini
marah sekali melihat ibunya terkepung, dan dia melempar-lemparkan para perajurit
seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!
Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ibunya, dan biarpun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, namun nyonya ini
sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.
Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para perajurit yang tadinya
memang sudah gentar menghadapi dua orang nyonya yang benar-benar lihai itu
menjadi kalang kabut. "Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan
itu. Mereka lalu melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama
puterinya di belakang sambil menahan para perajurit yang mengejar mereka. Dengan
menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar
itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang
wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para
perajurit. Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka
dikurung oleh banyak sekali perajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya
merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah dan memang mereka
sengaja mengamuk untuk menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran kepada
isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam dan seorang wanita
cantik yang berdiri di belakang pasukan dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa
yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu
Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!
Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi marah, akan tetapi juga terkejut
dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan
diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka
sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri
mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru. "Bun
Houw, lari...!" Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya
dan mereka berdua melarikan diri ke barat.
Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa heran melihat bahwa dua orang
wanita isteri dua orang pendekar tidak nampak. Tak mungkin dua orang wanita itu
bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi.
Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang
pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk
melakukan pengejaran. Dia maklum akan kelihaian dua orang pendekar itu, maka
biarpun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri
tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio menyangka bahwa
tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk
bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak
gurunya untuk melakukan pengejaran.
Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan
untuk memancing mereka itu mengejar agar isteri-isteri mereka sempat melarikan
diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-
isteri mereka itu kini sedang menghadapi pengeroyokan para perajurit yang oleh
Kim Hong Liu-nio memang sudah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling
bukit itu! Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tidak berlari
terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka
menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya
itu, setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang
berwibawa. "Berhenti kalian! Sebagai perajurit-perajurit kerajaan, apakan kalian lupa bahwa
keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu
membantu pemerintah menghadapi para pemberontak" Mendiang ayahku, Cia Keng Hong,
bahkan adalah sahabat baik mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami
sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan kami pasti
pada suatu hari akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"
Melihat sikap pendekar itu yang amat gagah dan mendengar ucapan itu, para
perajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-
ling-pai, kelihatan gentar, dan mereka benar saja berhenti bergerak hanya
berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.
Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing
sudah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat
menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik
aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena
hatinya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang
musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali
ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.
Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu
melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kiri, sengala dia mengadukan
lengannya dan seketika dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Memang ilmu ini
tidak boleh sembarangan dipergunakan, namun menghadapi seorang tokoh besar
selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan
tenaga menyedot. "Iihhh-heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan tiba-tiba Kun Liong merasa
betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti
sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan
mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi
pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali dan terpaksa dia
menyimpan tenaga Thi-khi-i-beng dan menarik kembali lengannya! Ternyata Ilmu
Thi-khi-i-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan licik oleh nenek
itu, yaitu dengan menyimpan sin-kang dan menyerang tempat berbahaya yang
berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Dan memang selama ini, nenek itu
telah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan
menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi-i-beng yang ditakuti!
Setelah tahu bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek
ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu
silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun
ciptaan Bun Ong! Terdengar nenek itu berkali-kali berseru "ah" dan "oh" karena heran dan
bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di
dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Namun, nenek itupun
hebat bukan main. Biarpun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun
Liong, namun diapun selalu dapat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh
pendekar itu. Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan
satu dua kali pukulan, namun semua pukulan yang mengandung hawa sin-kang amat
kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.
Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga
amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw
masih lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sin-kang. Pendekar ini maklum bahwa
lawannya amat lihai dan mahir ilmu silat bermacam-macam, sehingga kalau hanya
mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukar baginya untuk memperoleh kemenangan.
Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat dan
memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio
tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani
mengadu lengan. Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan
bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu
Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong
itupun akan celaka kalau dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio dapat melihat kenyataan
ini, maka dia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk ikut mengeroyok!
Majulah seratus lebih perajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun
Houw. "Bun Houw, mari kita pergi!" Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum
bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apalagi karena mereka
tidak ingin membunuh para perajurit itu. Keduanya lalu mengirim serangan yang
dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur dan menggunakan
kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para
pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan.
Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak, namun sekali ini dua orang
pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu
berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin dapat menyusul mereka, sedangkan guru
dan murid yang kalau mau dapat menyusul itupun merasa jerih untuk menghadapi
mereka berdua saja. Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar inipun melakukan
perjalanan secepatnya untuk menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota
pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan,
puteri dari pendekar Yap Kun Liong.
*** "Suheng, aku sutemu Sin Liong datang menghadap!"
Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan guha-guha besar itu
bersama Han Houw, dan belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin
Liong mengajak Ceng Han Houw mendaki puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan
Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan guha-guha puncak itu yang menjadi tempat
tinggal suhengnya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai
tiga kali dia berteriak, suhengnya itu tidak pernah menjawab atau muncul.
"Jangan-jangan suhengmu itu tidak berada di sini, sedang pergi," kata Han Houw
dengan suara bernada kecewa.
"Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku melihat bayangannya berkelebat ketika kita
tiba di puncak." "Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?" Han Houw bertanya heran, tidak enak
dan juga kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu
sedangkan dia tidak. Sin Liong kembali menghadap ke guha, mengerahkan khi-kang dan berseru dengan
amat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, "Suheng Ouwyang Bu
Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!"
Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran
Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di
atas, biarpun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas,
seolah-olah turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang sudah
mencapai tingkat tinggi, sehingga dengan kekuatan khi-kang pemilik ilmu itu
dapat mengirim suaranya dari manapun.
"Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?"
Biarpun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suhengnya itu
memang bersembunyi di dalam guha di depannya. Maka dia menjura ke arah guha itu
dan berkata, "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak
angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan
baik." "Kalau aku tidak mau keluar kau mau apa?"
Sin Liong tidak merasa heran dengan anehnya watak suhengnya itu. Diapun tahu
bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia
berkata, "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek
bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"
Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda
itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan main. Kakek
itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali
botak dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah
seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya
telanjang. Dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin
Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, "Kalau engkau hendak
mengatakan aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Heh, satu
kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus
ingat budi itu terus?"
"Maaf, suheng, bukan maksudku begitu. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan
bicara denganmu," kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya
dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia
telah berhasil. "Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku"
Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek
buruk macam aku ini!" Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka
lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.
"Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu," jawab Sin Liong sejujurnya karena
akan percuma saja membohongi suhengnya ini. "Akan tetapi aku datang karena aku
perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."
Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling
itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan
gagah sekali, yang berdiri sambil menjura kepadanya, yang mempunyai sepasang
mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa pemuda remaja
ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.
"Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng
lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kaubawa dia berjumpa denganku?"
"Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya diapun
terhitung sutemu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah
pimpinan suheng." "Wah, aku tidak mau menerima murid, apalagi setampan ini!"
"Bukan murid suheng, melainkan sutemu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita."
"Ah, mana bisa itu", Sute, kenapa kauceritakan tentang suhu...?"
"Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia
ini seorang yang bercita-cita besar, lebih besar daripada cita-citaku. Dia ingin
menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!"
"Uwah, mana bisa" Orang yang halus seperti ini mana tahan uji" Mana tahan
derita" Aku tidak mau...!"
Semenjak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan
karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap
omongan, dan pangeran yang amat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan
dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata, "Locianpwe, menilai orang
lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini,
siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian
hebat" Demikian pula dengan aku, biarpun aku kelihatan begini, jangan dikira
bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan
membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau sute, terserah.
Kalau sampai hal itu tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe
menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?"
Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil. "Wah-wah,
kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya daripada engkau, sute! Dan
lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku
menjadi guru atau suheng dari seorang bangsawan kecil?"
Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam
merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa
meragu lagi dia berkata, "Locianwe, harap jangan memandang rendah kepadaku! Aku
memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar
yang sekarang ini!" Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan mata terbelalak
kepada pemuda tampan itu, kemudian menoleh kepada Sin Liong dengan mata
mengandung penuh pertanyaan. Sin Liong mengangguk dan berkata, "Memang benar apa
yang dikatakannya itu, suheng."
Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada
Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang
pangeran! "Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas
dan kedua lengan bersedakap?"
Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan
kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat
menduga bahwa kakek itu amat terkesan, dan kini hendak mengujinya. "Apa sih
sukarnya begitu saja?" katanya dan dia memilih sebuah batu halus di depan guha,
kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah jungkir balik, dengan kepala
yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.
"Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!" kata Ouwyang Bu Sek,
kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong. "Hayo sute, aku mau bicara denganmu!"
Keduanya lalu memasuki guha dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara
mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi
sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap
dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan
perhatian dan mematikan semua panca inderanya!
Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam guha dan di sini dengan suara
berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata
kepada Sin Liong, "Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau
bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!"
Walaupun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang
dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu,
apalagi mengingat bahwa mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Maka
sedikitpun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam malapetaka dan
sekarangpun dia maslh ingin melindunginya, biarpun apa yang pernah dilakukan
oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah ketika ditanya
oleh suhengnya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han
Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.
"Kami telah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah
diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang
sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan memiliki kedudukan tinggi sekali di
istana. Dia bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai,
ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia."
Wajah kakek itu berseri. "Engkau tidak membohongi aku, bukan sute" Aku sudah tua
sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld,
engkaupun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di
sini?" "Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan
akupun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana
kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya" Dia sudah kuceritakan
tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau."
Kakek itu nampak terkejut. "Hemm, ah, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi
murid suhu, harus kulihat dulu orang itu..."
"Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini dan
mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya."
"Nanti dulu..., bagaimana wataknya" Apakah dia seorang yang mengenal budi?"
SIN LIONG berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu ia mengangguk. Dia mengenal
watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguhpun agaknya juga tidak
akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan
pembayar budi yang kuat! "Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya,
dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya."
Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biarpun Han
Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, namun dia lebih pendendam
dan takkan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.
Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-
cepat menolak dan membantah kalau kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng
Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan
sejujurnya" Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi
orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain
terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan" Kita condong untuk membalas
kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang
dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kitapun ingin membalas kejahatan
orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi
sejengkal kita ingin membalas sedepa, kalau kita dicubit kita ingin balas
memukul. Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu"
Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik
lagi dari dia, dari siapapun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbaik! Sebaliknya kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan
gangguan yang lebih kejam lagi agar hati yang mendendam, hati ialah si aku itu
pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak
mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut
lebih kejam, melainkan lebih berani!
Inilah sebabnya mengapa di antara suami isteri, di antara saudara, di antara
sahabat baik, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali
kebaikan dari isteri, suami, saudara atau sahabat akan lenyap tanpa bekas oleh
adanya satu kali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar
kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang
tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!
Kalau setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada
hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang
berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini
sudah jelas! Setelah kita membuka mata memandang dengan waspada dan kita dapat
melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah
kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang
mengandung pertentangan ini"
Setelah dia merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek lalu
mengajak Sin Liong keluar. "Kau boleh pergi sekarang, sute, kalau engkau mau
meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak
ada gunanya, dia akan kulemparkan ke dalam jurang!" kata kakek itu dengan
lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata
masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.
"Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia itu kakak angkatku. Katakan kepada
Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng."
"Selamat jalan, sute."
Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua
matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka diapun ingin
memperlihatkan bahwa dia adalah seorang calon murid yang baik! Bagi seorang yang
belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu
tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama.
Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah memiliki kepandaian
yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan
permainan kanak-kanak saja baginya. Dia mendengar semua percakapan antara adik
angkatnya dan kakek itu setelah mereka keluar dari dalam guha, dan mendengar
langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia mendengar kakek itu pergi
pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi
sekali. Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima
jam! Celaka, pikirnya. Kalau hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa
jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan
kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa
serba salah! Kalau terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam,
kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan
lelah. Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentu
akan kesalahan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian! Bukankah kakek cebol
tadi mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum
diperintah oleh si kakek itu" Dan sekarang kakek itu tidak pernah muncul!
Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau menjebaknya. Kalau dia
menurunkan kaki, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan dia tidak
memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!
Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk
melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan amat
melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Biarpun dia tidak membuka mata, namun dia
dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya.
Hari sudah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya!
Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan Han Houw pada saat-saat itu. Dan
malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa
kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu!
Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti
sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!
Celaka, akan matikah dia" Namun, Han Houw adalah seorang pemuda yang keras hati
dan penuh semangat, apalagi dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia
berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan
sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti
itu sampai semalam suntuk lewat!
Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu
sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat dan caci dan kutuk
memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup
dan kedua matanya terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya
di luar pelupuk matanya, telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa
kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara
kakek itu mengomel. "Masih bertahan juga" Hemm, menjemukan benar anak ini" Aku masih belum
memerintahkanmu menurunkan kaki, akan tetapi coba sekarang kautaati perintahku.
Nah, kautahan pernapasanmu setelah menyedot sebanyak mungkin hawa. Nah,
dorongkan hawa itu ke pusar, kemudian tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan
lagi...!" "Brukkkk!" Tubuh Han Houw terguling seperti sebatang balok, kepalanya terasa
nyeri bukan main, terputar-putar rasanya dan matanya berkunang-kunang, seluruh
tubuhnya bagian atas nyeri semua!
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya" Sakit"
Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku" Akan kuajarkan lain
ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?"
Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat
kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia
mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,
"Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai matipun aku tidak gentar!"
Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya
bahwa seorang pangeran akan dapat bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan
tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!
"Engkau benar-bener ingin belajar?" tanyanya, mulai merasa kalah.
"Benar, locianpwe."
"Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?"
"Hal itu mudah dilaksanakan."
"Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?"
"Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi.
Kalau dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula."
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah
menguji pangeran ini dan andaikata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan
hal tidak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong
kemarin, yaitu melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi, sikap Han
Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan
oleh pangeran ini kepadanya, membuat hatinya puas sekali. Dia membandingkan
pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik,
lebih berguna baginya, daripada sutenya itu! Kakek ini sama sekali tidak pernah
menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw. Sin
Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, sebaliknya,
pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapapun juga, di samping
itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, namun semua itu
ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan berbahaya
dia. Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali kepada kakek
ini yang bukan hanya telah mempermainkannya, bahkan telah menyakitinya dan me-
nyiksanya. Namung kebenciannya itu sedikitpun tidak nampak pada wajahnya yang
tampan! "Heh-heh-heh, baik, baik! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!"
Sambil berkata demikian tangannya bergerak dan Han Houw merasa betapa leher dan
punggungnya tertotok dan kesehatannya pulih kembali, peningnya lenyap, bahkan
dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.
"Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!"
"Tentu saja, heh-heh. Apa kaukira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak
ada gunanya?" Han Houw merasa tidak puas ketika kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi
muridnya. Bukan itulah yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru
mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia tidak
menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi tidak
senang hatinya. "Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan kakak dari Liong-te, akan tetapi
ilmu silatku kalah jauh dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi
cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik
angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!"
"Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tidak menang melawan sute, sedangkan aku
sendiripun tidak akan mampu mengalahkannya!"
Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti
bicara kepada diri sendiri, "Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang
besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Kiranya dia demikian lihai
sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suhengnya masih kalah lihai olehnya!
Sungguh penasaran dan sukar dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut
Liong-te bahkan telah membimbingnya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang
dibimbingnya ini!" "Aha, mana kau tahu, pangeran" Benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi
kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu
saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu."
"Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?"
"Ha, engkau sudah tahu?"
"Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling
pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa setelah dia mempelajari semua
kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suhengnya,
biar Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!"
"Omong kosong! Sombong dia!" kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw
merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.
"Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!"
"Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah
yang membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu" Berani benar dia
bicara seperti itu!"
"Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu
kemudian menunjukkan bahwa locianpwe sebagai suhengnya tidak benar kalah oleh
sutenya!" Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin
pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.
"Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari..."
"Kalau begitu, Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan
kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suhengnya yang sakti, yang amat terkenal
bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhunya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak
akan mampu menandinginya."
"Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!" Kakek yang sudah
panas hatinya itu kini meloncat dan berjingkrak seperti cacing terkena abu
panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.
"Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw." Han Houw
memancing karena dia ingin sekali dapat bertemu dengan manusia dewa yang ilmu-
ilmunya telah dipelajari oleh adik angkatnya itu.
"Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian
dunia... ah, tidak mungkin itu."
"Kalau begitug masih ada lain jalan untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan
mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw."
"Eh" Kau ada jalan, pangeran" Bagaimana?"
"Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan
akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!"
Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar. "Hemm, kitab-kitab itu
sudah kubakar..., sungguhpun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari
orang, akan tetapi... ah, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu...
dan sute Sin Liong memang lihai sekali..."
"Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?"
"Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan
main dan sukar dikalahkan."
"Bukankah locianpwe yang membimbingnya" Tentu locianpwe dapat mengajarkan
kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te."
Kembali kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin... sudah kubakar kitab-
kitab itu dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak
cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia."
Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai
bukan main, mungkin lebih lihai daripada sucinya atau subonya, akan tetapi kalau
dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan
Sin Liong! Dia harus mempelaiari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!
"Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain, itu?"
"Wah, sukar sekali... sukar sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri
sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku..."
"Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di
istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku sudah banyak
mempelajari isinya. Barangkali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku
melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe."
Kakek itu berseru girang. "Benarkah" Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari
Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau
menjadi suteku pula, jangan banyak membuang waktu!"
Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia telah berhasil! Maka dengan taat dia
lalu mengikuti kakek itu memasuki sebuah guha besar yang gelap. Guha ini berbeda
dengan guha di mana dahulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu
memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya, "Berlututlah, sute,
dan ikuti kata-kataku."
Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam guha. Dia mencoba
untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, namun dia tidak melihat apa-apa,
hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu
tengkuknya meremang dan dia merasa seram, seolah-olah ada hawa aneh berada di
dalam guha itu, dan cepat-cepat diapun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini
memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang
diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.
"Teecu (murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka
suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk
menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapapun tanpa
ijin dari suhu." Demikianlah Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti
isinya. Apa artinya "menjunjung tinggi nama suhu" itu" Dan kalau dia tidak akan
pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperolch
ijin suhu itu kalau hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain" Akan
tetapi dia tidak perduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang karena
usahanya sudah hampir berhasil.
Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka
dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubub Han
Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih, "Racun yang dioleskan pada
peti ini dapat membunuh seketika kalau tersentuh tangan yang tidak memakai obat
penawar ini, pangeran," kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri. Diam-diam
dia memperhatikan bahwa biarpun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-
couw, berarti dia telah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap
menyebutnya "pangeran", hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan
tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu!
Ouwyang Bu Sek membuka tutup peti dan muncullah seekor ular merah. Han Houw
mengenal jenis ular yang amat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah
utara memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, namun kemunculannya tentu
selalu menggemparkan karena banyaklah manusia atau binatang lain yang jauh lebih
besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!
"Kim-coa-ko, tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu." kata
Ouwyang Bu Sek dan ular itu setelah "berdiri" dan menggerak-gerakkan kepalanya,
lalu melingkar lagi seperti tidur. Ouwyang Bu Sek mengambil tiga buah kitab kuno
yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia menutupkan kembali petinya. Peti itu
telah diberinya lubang kecil di belakangnya sehingga ular itu sewaktu-waktu
dapat keluar kalau lapar, untuk mencari makanan. Akan tetapi, biarpun peti itu
sudah kosong, dia tidak mau membuangnya, membiarkan peti itu di situ agar kelak
kalau ada orang yang hendak mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang
mengandung racun, ditambah lagi penjaganya yang berbahaya itu!
Mereka lalu keluar membawa tiga buah kitab itu, "Pangeran, tiga buah kitab
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau mampu membantuku,
kemudian kaulatih isinya, hemm, engkau tentu akan mendapatkan ilmu aneh yang
tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang dikuasai oleh sute Sin Liong."
Han Houw menyembunyikan kegirangan hatinya. "Akan kucoba, suheng. Akan tetapi,
apakah hanyalah ini sisa kitab dari suhu" Bukankah peti itu besar sekali dan
baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?"
"Bukan hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari sampai tiga buah
kitab. Sedangkan kitab-kitab lain... ah, yang tiga ini saja sudah cukup,
pangeran. Terlalu banyak, kita tidak akan mempunyai waktu, selain melatihnya,
juga harus mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kaukuasai dengan baik, agaknya
akan sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu."
"Akan tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lain itu, bukan suheng" Kita adalah
saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?"
"Tentu saja! Ada kitab-kitab itu, kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil
oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih
ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu,
pangeran." Han Houw tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga dan
menjadi tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan
mulai hari itu, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu subengnya itu
menyelesalkan penterjemahan. Dan memang Han Houw tidak membohong atau membual
ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan
dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan bahasa suku pedalaman di utara masih
dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw yang sejak kecil banyak mempelajari
bahasa-bahasa di utara, benar saja dapat membantu banyak sehingga menggirangkan
hati Ouwyang Bu Sek. Mulailah Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga
buah kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek. Pangeran ini amat tekun.
Memang dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di
dunia, di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek
kepada pangeran ini. Hampir tidak ada waktu terluang begitu saja oleh Han Houw,
selalu diisinya dengan berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sin-kang
menurut petunjuk kitab pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu
terdapat pelajaran semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir
balik seperti yang dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu
Sek, maka kini sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas
kepala di bawah, kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari
tiga malam! Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.
*** Harap-harap cemas memenuhi hati Lie Seng ketika pemuda itu memasuki hutan itu.
Sudah diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak hari itu setahun yang lalu,
dia boleh dibilang setiap saat menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung.
Hari itu adalah genap setahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa
di hutan itu! Tidak akan keliru hitungannya, akan tetapi bagaimana kalau wanita
itu lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau... telah
lupa kepadanya" Ah, tidak mungkin! Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng
terhadap dirinya. Dan dia lebih yakin lagi akan cinta kasih dalam hatinya
terhadap gadis itu. Dia sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi,
melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyeleweng dalam hidupnya
sehingga sudah mengalami banyak penderitaan batin.
Kenyataan ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, makin diingat
akan semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar rasa belas kasih
dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam
cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menunturinya dan menunjukkan bahwa
hidup bukanlah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua pria yang
mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka!
Pagi hari itu cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil
menerobos masuk ke dalam hutan, melalui celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah,
secerah hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta! Dengan
langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat di mana setahun yang lalu dia bertemu
dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng, kemudian membuat janji untuk saling
bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun Eng, gadis yang
merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya betul bahwa orang seperti
Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah menyeleweng seperti Sun Eng! Ah,
kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah merupakan
tanda betapa Sun Eng telah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah
menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik daripada orang yang selalu
membanggakan perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu setahun
untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena merasa
rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali dia
dikecewakan oleh kaum pria.
Akan tetapi kecerahan pagi itu tetap saja tidak dapat mengusir bayang-bayang
hitam gelap yang diciptakan oleh pohonpohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang
panjang yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga
mengganggu kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan
bagaimana kalau Sun Eng sampai tidak datang! Ke mana dia harus mencari gadis
itu" Dia cemas sekali membayangkan ini dan kakinya yang melangkah terasa amat
berat. Akhirnya tibalah dia di depan pohon. Dia tidak pernah melupakan pohon itu dan
huruf-huruf yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan
tetapi, Sun Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar
pohon itu. Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas. Mengapa dia
begitu bodoh ketika dulu mereka saling janji" Mengapa yang dijanjikan hanya
harinya saja, dan jamnya tidak dijanjikan" Bagaimana kalau Sun Eng baru akan
datang pada sore hari nanti" Tidak apa! Dia akan menanti, biar sampai sore,
sampai malam sekalipun! Dia sudah bertahan menanti selama setahun, dan apa
artinya ditambah sehari atau dua hari"
Lie Seng duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya,
terutama sekali tentang cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh
tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Namun, selama ini belum pernah dia jatuh cinta
kepada seorang wanita. Hatinya selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia
seolah-olah merasa ngeri kalau memikirkan pernikahan. Mungkin karena dia melihat
begitu banyak kepahitan terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa
menyedihkan yang terjadi akibat cinta dan pernikahan. Dia melihat atau mendengar
tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya sendiri yang
kini menjadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta kasih dari
pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw. Banyak sudah dia
mendengar tentang kegagalan cinta dan rumah tangga dan mungkin hal-hal inilah
yang mendatangkan kesan mendalam sehingga dia merasa ngeri untuk jatuh cinta dan
menikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan Sun Eng se-
ketika dia jatuh cinta! Bahkan setelah mendengar penuturan gadis itu tentang
riwayat Sun Eng yang tidak harum, cintanya bahkan makin mendalam!
Bagi orang yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambatnya
seekor siput merayap. Terlalu lama waktu merayap, seakan-akan tidak pernah maju!
Memang demikianlah anehnya waktu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya
anak panah dilepas dari busur, sebaiknya kalau diperhatikan, dia merayap amat
lambat! Tentu saja bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan
pikiran! Pikiran selalu mgnginginkan hal-hal yang lain daripada apa yang ada,
sehingga apa yang ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, selalu berlawanan
dengan apa yang dikehendaki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu
dengan yang dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, kenyataan yang
ada amat berlawanan dengan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik
batin memang selalu menyiksa diri!
Lie Seng merasa amat tersiksa. Sampai siang dia menanti, waktu merayap terus dan
yang dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan waktu, tidak sadar
bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti.
Serasa sudah bertahun-tahun! Waktu dari pagi sampai siang itu dirasakannya malah
lebih menyiksa, lebih lama daripada waktu setahun yang telah lalu! Namun, dia
masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya panjang
rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya berada di
bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Perlahan-lahan,
bayangan pohon itu menggeser ke timur dan mataharipun mulai turun ke barat.
Sebentar lagi, senjapun tibalah!
Lie Seng tak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin
baru besok dia datang! Jangan-jangan... tiba-tiba Lie Seng menjadi pucat dan
cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada apa-apa
yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin sengaja
tidak mau datang" Bermacam bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng,
membuatnya semakin gelisah dan akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia
bangkit berdiri, dan mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah
pohon, mengelingi batang pohon, kemudian makin menjauh seolah-olah dia hendak
mencari Sun Eng diantara semak-semak dan pohon-pohon.
Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng
meloncat ke arah suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang
wanita duduk di atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka
dengan kedua tangannya, terisak-isak.
"Eng-moi...!" Dia meloncat, menubruk dan merangkul. Akan tetapi Sun Eng terus
menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu. "Eng-moi, ada
apakah" Apa yang terjadi" Kenapa kau di sini dan bersembunyi, dan menangis?"
Akan tetapi Sun Eng tak mampu menjawab, tangisnya mengguguk membuatnya tidak
mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia
menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu,
membiarkan Sun Eng menangis karena diapun maklum bahwa dalam keadaan seperti itu
tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat menguasai
hatinya, tangisnya mereda.
Lie Seng mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan saputangan mengusap
air mata yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu
dengan sepenuh hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan
embun setelah dia bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi
dengan gelisah. "Nah, sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di
sini dan mengapa engkau menangis?"
"Aku... aku tidak berani keluar..." jawabnya di sela isak.
"Eh, kenapa" Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?"
"Sejak kemarin pagi!"
"Hhh?" Lie Seng terkejut sekali. "Akan tetapi... salahkah hitunganku" Setahun
sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?"
"Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi,
aku ingin cepat-cepat ke sini..."
"Lalu mengapa engkau bersembunyi di sini" Apakah engkau tidak melihat aku datang
pagi tadi di bawah pohon kita itu?"
Gadis itu mengangguk dan sesenggukan. "Aku... aku melihatmu... aku takut untuk
keluar, ah, kauampunkan aku, koko..."
Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum. "Betapa anehnya
engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-
cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah
sembunyi! Apa artinya ini?"
"Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin
sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu..."
"Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa akupun demikian..." Lie Seng mendekap
kepala gadis itu penuh kasih sayang. Sejenak mereka berdekapan tanpa
mengeluarkan kata-kata, demikian ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat
saling merasakan denyut jantung masing-masing.
"Akan tetapi... begitu melihatmu... ah, aku takut, koko. Engkau demikian
mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan melihat betapa engkau
menanti di sana dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku
makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut
menjadi..." Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah
ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya dan mata pemuda ini menjadi basah.
Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke
leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh penyerahan dan kasih
sayang, juga dengan air mata bercucuran!
Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie
Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu. "Eng-moi, jangan
Istana Kumala Putih 8 Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Tanah Semenanjung 4