Pendekar Lembah Naga 21
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
kauulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang
wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan
diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?"
Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang
mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia
tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat
mencintanya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi
belaka! "Koko..." "Ya...?" "Aku bersumpah..."
"Tak perlu bersumpah..."
"Aku bersumpah bahwa aku akan setia selama hidupku kepadamu, bahwa baru sekali
ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya kepada seorang pria, yaitu
engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu,
mengawanimu, membantumu..."
"Cukup, moi-moi, aku percaya padamu, kita saling mencinta, mengapa engkau harus
bersumpah seperti itu?"
"Karena aku berhutang budi kepadamu, koko."
"Ah, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak
disebut budi..." "Bukan itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-
orang kang-ouw, apalagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi
yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko..."
"Hushh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi
segala" Kalau engkau hutang budi, akupun hutang budi kepadamu. Nah, kita saling
hutang, sudah lunas, bukan?"
"Tidak, belum lunas, sampai matipun belum lunas, kita harus saling membayar
selama kita hidup." "Kau benar..." Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena
dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat sampai bibir
mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan
kasih mereka. Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti
tenggelam dalam lautan madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia
ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, karena senja mulai
gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan
berkata, "Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita."
"Mau... mau kaubawa ke mana aku ini...?" Sun Eng bertanya khawatir, namun
hatinya ikhlas mau diajak ke manapun oleh kekasihnya.
"Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon
isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka."
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali. "Tapi... suhu dan subo..."
Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu. "Eng-moi,
setelah engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh
jiwaku, apalagi yang engkau khawatirkan" Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah
dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu
adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan telah
mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tidak ada seorangpun di dunia
ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-
moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!"
"Ah, koko..." Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan
tetapi juga bahagia. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap
itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatirannya karena ibu dari
kekasihnya itu termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan
oleh pemerintah. "Ke mana kita harus mencari ibumu?"
"Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah
menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tetapi aku
belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba saatnya sebelum ada
ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diandalkan dalam pertemuan
kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu
harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apalagi kita
berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh."
"Siapakah fihak musuh itu, koko" Dan kenapa suhu dan subo ditangkap dan dituduh
pemberontak?" "Hemm, ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga
Cin-ling-pai. Sudah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah
musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai."
"Siapakah mereka?"
"Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-
pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada
mendiang Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh
muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kong-kong Cia
Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami
luka." "Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan
membasmi guru dan murid itu" Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!"
kata Sun Eng dengan sikap gagah.
Lie Seng tersenyum pahit, "Aih, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Kepandaian
Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu amat tinggi, dan agaknya yang akan dapat
menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya sudah
tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walaupun aku
tidak takut, namun melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna.
Tidak, kita harus lebih dulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan
mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak antara engkau dan paman Bun
Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suciku dan
minta dia yang menjadi penengah agar lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka
tanpa ada kesalahpahaman antara keluarga."
"Sucimu" Siapakah dia itu, koko?"
"Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Dia telah menikah
setahun yang lalu dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu
suciku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap
Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan
dia, maka agaknya akan lebih mudah menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang
penting bagiku adalah ibu kandungku. Kalau beliau sudah setuju dengan perjodohan
antara kita, orang lain perduli apa" Kalau setuju syukur, kalau tidakpun tidak
apa-apa!" Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini
dan dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang
amat dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam di dalam sebuah rumah
penginapan kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika
melihat kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar.
Biarpun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-
benar telah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu berahi, pandai menjaga diri
dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biarpun dia sudah pasrah
dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.
"Percayalah, koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin
melihat engkau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing.
Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu berahinya menunjukkan
tipisnya cinta." Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji
dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah
dengan resmi! Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung. Mereka
bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-
hai. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-
tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampak pasukan besar
menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima
tua yang gagah didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek
pendek kecil yang juga masing-masing menunggang seekor kuda yang besar. Lie Seng
dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biarpun
hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri
pendekar, maka Lie Seng kini tidak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan
tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua
orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!
Berdebar jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun
Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan
membiarkan dia yang bicara kalau datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya
terpaksa membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan dan dua orang kakek itu
telah berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan
tidak diperlihatkan pada wajahnya. Dia mengenal komandan itu, seorang komandan
tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan
pengawal baju sulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan
yang gagah perkasa dan lihai, juga dulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-
ling-pai! Komandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun
usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar.
Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat,
seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk
menemuinya! Akhirnya, setelah memandang dengan tajam beberapa saat lamanya,
terdengar komandan itu berkata dengan suara halus, "Harap ji-wi (anda berdua)
suka menyerah saja untuk kami tangkap!"
Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang diincar, maka dia
mengangkat muka, tidak pura-pura lagi walaupun dia tidak mau memperkenalkan
diri. "Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap" Kami tidak merasa
melakukan kejahatan apapun!"
Komadan Lee Cin tersenyum getir, "Lie Seng taihiap, jangan mengira bahwa kamipun
senang menerima tugas ini. Taihiap adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang
gagah perkasa, dan ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang di
antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi
telah diawasi." "Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!" bantah Lie Seng.
"Biarlah hal itu pengadilan kelak yang akan memutuskan. Kami hanya mentaati
perintah dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan
membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!" bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa
canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai,
padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering
kali dia bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai
itu (baca cerita Dewi Maut).
"Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka
kuminta agar dia dibebaskan!"
"Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!" teriak Sun Eng dengan mata
terbelalak. "Perintah yang diberikan kepada kami adalah menangkap kalian berdua tidak dapat
ditawar-tawar lagi!" Kata pula Lee Cin yang mulai hilang sabar karena sebetulnya
dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi telah bersikap terlalu
manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa
tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek ini adalah dua
orang tokoh dari selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk
membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan. Mereka ini adalah orang-
orang yang berilmu tinggi, dua orang "bengcu" atau pemimpin kaum kang-ouw di
selatan yang bernama Hai-liong Phang Tek yang tinggi besar dan Kim-liong-ong
Phang Sun yang kecil pendek. Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han
Houw, tentu saja dua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di
kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas
menangkap para pemberontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini
selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh
para pemberontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga
pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-
nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.
Dan memang Lee Cin mengenal mereka semua bahkan Lie Seng yang jarang dijumpainya
karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, dikenalnya, apalagi
setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda
lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.
Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia meng-
khawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian
atasnya tertutup jubah perajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak
dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang,
terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang perajurit,
tahu-tahu dia telah merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.
"Cep-cep-cep-cep!" Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah
Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka,
melainkan menancap sampai lenyap setenganya di empat penjuru, mengurung dua
orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan
sin-kang yang hebat dan juga kepandaian tinggi karena empat batang tombak itu
dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!
Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa, "Sebaiknya ji-wi menyerah saja.
Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-
siap dan dua orang locianpwe inipun memiliki kepandaian tinggi. Daripada kami
harus..." "Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!" tiba-tiba Lie Seng berteriak dan dia
sudah menerjang ke depan, menangkap dua orang perajurit dan melemparkan mereka
ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang kakek ini
tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang
perajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!
"Mati hidup di sampingmu, koko!" teriak Sun Eng pula dan dengan sigapnya diapun
menerjang ke depan merobohkan dua orang perajurit lain dengan pukulan dan
tendangan kakinya. Gegerlah para perajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin
berseru menyuruh mereka mundur.
"Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!" teriaknya dan ini merupakan
permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.
Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek menghadapi Lie Seng, sedangkan Kim-
liong-ong Phang Sun cengar-cengir menghadapi Sun Eng. "Nona manis, mari kita
main-main sejenak!" Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa
tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah.
Tubuhnya menerjang ke depan dan tubuh itu menjadi bayangan merah karena
pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membuat ke
leher, seolah-olah dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil
dari Kim-liong-ong Phang Sun!
"Cringgg!" Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika
bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!
"Awas, Eng-moi!" Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke
kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke
arah kepala Sun Eng. "Dukk!" Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-
liong-ong juga terpental ke belakang!
"Eh, kau boleh juga...!" Kakek kecil pendek ini berseru.
"Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!"
Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan
menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga
kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin
mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main.
Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi
lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus
menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa dia
menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan,
menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke arah
kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun.
Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi
menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata,
mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan
mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran! Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-
langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan
mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena
memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke
dua dari Lam-hai Sam-lo ini.
Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan
tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih diputar cepat! "Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah
kalian!" Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah
mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang tempo hari!
"Eh, kau mau apa" Mengantar nyawa?"
"Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!" bentak Lie Ciauw Si, dara itu.
"Si-moi...!" Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi
Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin.
"Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?"
"Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu
ketua Cin-ling-pai...?" Kini dia mengenalnya dan merasa heran.
"Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa
pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada
kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan
dari Pangeran Ceng Han Houw?" Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan
pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan,
memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin
bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang
diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal
cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.
"Maafkan kami, kami mentaati perintah," katanya lalu dia memberi aba-aba kepada
para perajurit untuk mundur. Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja
tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan
diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee
Cin. Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek
dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan
bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat
penasaran berkata, "Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai
dan menangkap mereka...!"
Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat
itu, Lee Cin berkata, "Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang
terhadap kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?"
"Tapi... tapi gadis itu..."
"Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan
beliau!" Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam
terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu
ketua Cin-ling-pai" Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang
dikejar-kejar, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja untuk membantu
Kim Hong Liu-nio menangkap para pemberontak dan buronan ini, maka dengan
sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu menjadi buronan pula. Akan
tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han
Houw" Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang
mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula
melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.
Sementara itu, setelah para pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri
tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan kedua
lengannya. "Koko...!" Pemuda dan pemudi itu berlari saling menghampiri lalu saling berangkulan.
Suasana menjadi amat mengharukan ketika kakak beradik ini berangkulan ketat
tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak dapat
menahan air matanya yang mengalir turun.
"Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!"
"Ah, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!"
Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar
walaupun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga
membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.
"Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!"
"Dan engkaupun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga
sakti!" "Ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!"
"Koko, siapakah enci yang manis itu?"
Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia
tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng
dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si.
"Eng-mol, ini adalah adik kandungku, seperti pernah kuceritakan kepadamu.
Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon sosomu (kakak
iparmu)!" "Aihhh...!" Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas
oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak
iparnya itu. "Engkau sungguh cantik, so-so...!"
"Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut so-so. Kami belum menikah!" kata
Sun Eng tertawa. "Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu
so-so. Seng-koko, engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar perkasa setelah
engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu
semenjak engkau meninggalkan kami, koko!"
Mereka bertiga lalu duduk di atas rumput dan berceritalah Lie Seng tentang semua
pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng
Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan
mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja
dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau asal-usul Sun Eng, bahkan dia
tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari
paman mereka Cia Bun How.
"Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku
hanya bisa ikut merasa gelisah ketika tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya
mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?"
CIAUW SI menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali ketika
mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan
pasukan kerajaan, mendengar bahwa kong-kongnya telah tewas dan bahwa ibunya,
ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang
buronan, dianggap pemberontak oleh kerajaan. Dengan singkat diapun menceritakan
semua pengalamannya, dan Lie Seng merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya
ini telah menyelamatkan ibu kandungnya dan isteri pamannya yang sedang
mengandung. "Dan ke mana sekarang perginya ibu dan bibi In Hong?" tanyanya. "Apakah mereka
bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?"
Ciauw Si menggeleng kepalanya. "Memang tadinya ibu dan bibi Hong hermaksud untuk
pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu
akan amat membabayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para
penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu
dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping."
"Di Yen-ping" Siapakah dia?"
"Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelaniatkan dia dan
kurasa tempat itu aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat
bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan."
"Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?" Sampai sekarang
sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi
ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.
"Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi
ke Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Dan di sana aku
bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping,
dan kini mereka semua berkumpul di sana."
"Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?"
"Tadinya aku hendak pergi ke kota raja..."
"Kau" Ke kota raja" Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah ke kota
raja" Apakah mencari celaka?"
"Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang me-
nyelamatkan kami tadi" Eh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin
pangeran itu?" Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat
dia menekan perasaannya yang terguncang. "Aku bertemu dengan dia di selatan dan
kami telah menjadi sahabat baik. Dia memberikan cincin ini kepadaku sebagai
tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja.
Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua
pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi."
"Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?"
"Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si," tiba-tiba Sun Eng
ikut bicara. "Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang demikian tinggi
kedudukannya, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan
kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk
membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?"
Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada
kakaknya dan berkata, "Wah, calon so-so rupanya jauh lebih cerdik daripada
engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!"
Lie Seng tersenyum bangga. "Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?"
Mereka tertawa gembira. "Karena pertemuan ini, biarlah kuantar kalian ke Yen-ping lebih dulu menjumpai
ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci
Eng." Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling
pandang penuh keraguan, apalagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan
wajah berubah agak pucat.
"Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan..." Sun Eng
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku,
paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi," sambung
Ciauw Si. Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba
Lie Seng berkata penuh semangat, "Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali
bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!" Dengan kata-kata ini
dia memandang kepada Sun Eng dan seolah-olah berjanji dengan pandang matanya
bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul kalau calon
isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Melihat sinar mata
calon suaminya ini, Sun Eng menunduk dan mengangguk. Maka berangkatlah mereka
bertiga menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada
hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut. Sun
Eng tidak banyak bicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri,
lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu dan
subonya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala
penyelewengannya yang amat memalukan. Akan tetapi kalau dia menoleh kepada Lie
Seng, dan calon suaminya itupun menoleh kepadanya, dia memperoleh sandaran yang
kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang
lain tidak masuk hitungan lagi! Kalau sudah begini, kuatlah hatinya dan dia
sanggup menghadapi apapun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia
ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguhpun telah
mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan di masa lampau.
*** Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong
dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-
pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini telah
bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan
yang terpaksa harus menyembunyikan diri di dalam sebuah di antara rumah-rumah di
pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berempat jarang keluar dari
rumah, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang
ketua inipun merasa amat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu
yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Akan tetapi karena mereka merasa
berhutang budi kepada Ciauw Si, apalagi karena mereka memang merasa kagum kepada
para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, mereka berdua menerima mereka dengan
penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya
muda yang mengandung itu melahirkan.
Kandungan Yap In Hong telah delapan bulan dan mereka berempat itu selalu
menyembunyikan diri, tidak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya
dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggauta
perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat,
akan tetapi merekapun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.
Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu
menyambut dengan girang. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat kepada
Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya
dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat
kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang
menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.
Empat orang itu telah duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang
sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Ketika tiga
orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si
menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang masuk pula dengan wajah
pucat, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil
berkata lirih, "Suhu... subo...!"
Suami isteri ini terbelalak memandang ketika mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah
wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain,
apalagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini,
dan siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat
persembunyian dan di depan para keluarga!
"Mau apa kau ke sini?" bentak Bun Houw.
"Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!" bentak In Hong
pula sambil bangkit berdiri. Suami isteri itu dengan wajah merah dan sepasang
mata menyinarkan cahaya kemerahan sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih
berlutut. Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia sudah berdiri di depan Sun Eng,
melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.
"Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dulu...!" katanya sambil mengangkat
kedua tangannya. "Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!" bentak Bun Houw yang
semakin marah melihat keponakannya hendak melindungi gadis yang dianggap telah
mencemarkan nama baiknya itu!
Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. "Paman dan
bibi, siapapun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apalagi hendak
menghajarnya! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu
membunuh aku!" Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut setengah mati mendengar ini. Mereka berdua
terbelalak memandang wajah Lie Seng, dan Cia Bun Houw berseru, "Apa yang
kaukatakan ini, Lie Seng" Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami
yang murtad dan..." "Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia
ini adalah calon isteriku yang tercinta!"
"Apa...?" Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.
Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga
orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, sudah bangkit pula dan
bertanya dengan gelisah, "Apakah artinya semua ini?"
"Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!"
"Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada
ibu..." "Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan
perempuan hina..." "Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!" bentak Lie Seng dengan
marah. Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong cepat bangkit berdiri dan
menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus namun
berwibawa dia berkata, "Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara
keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan
kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu,
mari kita bicara baik-baik," sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi
bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu. Giok Keng mengangguk lalu dia menoleh
kepada Ciauw Si sambil berkata, "Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si."
Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya
itu, dan sebagai seorang gadis dia agaknya tidak diperbolehkan ikut mendengarkan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkara yang hendak dibicarakan, maka diapun mengangguk dan bangkit, hendak
meninggalkan ruangan itu.
"Si-moi, jangan pergi!" Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah. Memang
dia sudah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng akan mendatangkan keributan
dalam keluarganya, apalagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, dan akan
terjadi dan keadaan betapa pahitpun yang akan dihadapinya. "Si-moi engkau sudah
dewasal dan engkaupun anggauta keluarga kita, maka blarlah engkau ikut
mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong
benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan blarlah nasib
perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!"
Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk
dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa khawatir sekali. Suasana menjadi
hening sekali setelah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini,
hening yang amat menegangkan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang,
terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak
disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-
guncangan hebat. Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah
ini sebagai calon isterinya dia girang, akan tetapi ketika mendengar bahwa
wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.
"Seng-ji, apakah artinya semua ini?" Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar
dan biarpun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, namun pandang matanya
diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.
"Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh
enam tahun lebih, dan sekarang aku datang memperkenalkan calon isteriku kepada
ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling
mengikat janji untuk menjadi suami isteri."
Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu
sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu
saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid
adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti
yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di
dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.
"Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah
murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor..."
"Murid durhaka!" In Hong membentak Sun Eng. "Berani engkau memikat hati
keponakan kami" Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan
engkau berani merayu mendekatinya?"
Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, "Subo... teecu
sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng..."
"Heh?" Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak.
"Benarkah itu, Seng-ji" Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?"
Lie Seng mengangguk gagah. "Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak perduli!
Aku cinta padanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal
lalu! Kami saling mencinta dan apapun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami
tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk
menjadi suami isteri!"
"Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang dia untuk menikah dengan
perempuan rendah ini!"
Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apalagi melihat sikap adiknya dari
puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya
sayu. "Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu
yang murtad, maka sebaiknya kauceritakan kembali agar dia mendengar sendiri
bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu." Suara nyonya ini cemas
agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi
calon isterinya itu. Sun Eng menangis. Lie Seng mendekatinya dan merangkulnya sambil berlutut pula.
"Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu..." bisiknya.
"Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi
saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi..." dia sesenggukan.
"Houw-te, lekas ceritakan agar urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji
mendengarnya sendiri!" kata Cia Giok Keng.
Bun Houw masih merasa tidak enak dan dia memandang kepada Lie Seng, lalu
berkatalah dia kepada keponakannya itu, "Seng-ji, engkau tentu tahu bukan
sekali-kali kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami malah
melakukan ini demi kebahagiaanmu. Kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini
untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya."
"Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain"
Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak perduli dan kalau engkau mau
menceritakan hal itu kepada siapapun juga, terserah, karena hal itu tidak akan
merubah cintaku kepadanya." Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seolah-
olah untuk memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.
Kembali Bun Houw meragu. Betapapun juga dia merasa sayang kepada keponakannya
dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apalagi orang itu
adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan
tentang Sun Eng secara singkat kepada cicinya dan kepada Yap Kun Liong, dan
sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang
lain. Mellhat keraguan adiknya, Giok Keng berkata, "Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini
menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar dia
mengerti!" Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lalu berkata,
suaranya lirih, "Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi
muridku, dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk
menggodaku... secara tak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan
lagi, dia telah menyerahkan diri kepada banyak orang, seperti seperti pelacur
saja..." Dia berhenti sebentar, "aku pernah menceritakan ini kepada ibumu..."
"Cukup!" Cia Giok Keng membentak "Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?" Dia
mengharapkan puteranya itu akan insyaf, akan tetapi betapa gelisahnya melihat
puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!
"Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku..."
"Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?"
"Ibu, kami saling mencinta..."
"Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak
boleh menikah dengan seorang pelacur!"
"Ibu...!" "Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!" Cia Giok Keng maju dengan
kedua tangan dikepalkan. "Tidak, enci, biar aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia
berani menggoda puteramu!" kata In Hong yang juga bergerak maju ke depan, siap
untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap telah menimbulkan banyak sengketa
ini dan dia merasa bahwa sebagai bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan
tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Siapapun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus
membunuh aku lebih dulu!" bentaknya.
Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan
marah. "Seng-ji, butakah engkau" Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini
demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh
rayuan seorang pelacur!"
"Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan" Tidak, ibu malah akan menghancurkan
kebahagiaanku. Kalau ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku
dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik
bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!"
Wajah Cia Giok Keng makin pucat dan kata-kata itu seolah-olah merupakan pukulan
sehingga dia mengeluh dan terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya
dan berbisik, "Kau tenanglah..."
"Lie Seng!" Bun Houw membentak keponakannya. "Begitukah sikap seorang gagah"
Engkau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu
kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?"
"Paman, cukup segala omong kosong ini!" Lie Seng membentak, mukanya merah,
matanya liar. "Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari
keluarga kita" Lupakah paman betapa mendiang kong-kong juga pernah melarang
paman menikah dengan bibi In Hong" Dan bagaimana sikap paman sendiri" Paman rela
meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang
mengapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil,
menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?"
"Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah
seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela
meninggalkan keluarga..."
"Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita
paling baik di dunia! Akupun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik
di dunia karena aku mencintanya dan siapapun tidak boleh mengganggunya, seperti
paman dahulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah
kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi,
biarlah aku pergi saja!"
"Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia
hidupnya" Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau akan melakukan keputusan
yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang
wanita yang hina sebagai isterimu! Maka aku melarang. Ibu mana yang benar-benar
mencinta anaknya tidak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat
berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya" Menurut cerita pamanmu tadi, wanita
itu tidak patut menjadi colon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja
secara tidak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga telah hidup
sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku
mempunyai mantu seperti itu?"
"Tapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu"
Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku,
sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak
sama dengan Eng-moi sekarang!"
"Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui..." Giok Keng makin pucat dan dia
tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.
"Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih baik memilih hidup bersama dengan
Eng-moi daripada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi yang jauh dari orang
yang kucinta!" Lie Seng lalu bangkit berdiri sambil merangkul pinggang
kekasihnya, "Eng-moi, mari kita pergi!"
Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan.
Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang dihadapinya dan diam-diam dia
merasa amat terharu atas sikap Lie Song yang benar-benar telah membelanya
seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.
"Seng-ji... ah, Seng-ji...!" Cia Giok Keng menjerit don ibu yang terguncang
batinnya ini menjadi lemas. Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera
memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang dan mengurut punggung dan
tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.
Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan
alis berkerut dan mata bersinar tajam dia berkata, "Seng-ji, aku tidak ingin
melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat
karena ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi
sendiri!" Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. "Paman Cia Bun
Houw, engkau dahulu tidak takut akan ancaman mendiang kong-kong, apa kaukira aku
kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku" Kalau engkau mau
bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon
isteriku!" Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh
Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak berkelebat
bayangan dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya. "Paman, jangan...!"
seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan ini juga membela Lie Seng,
Bun Houw tertegun dan bingung.
"Houw-ko...!" Tiba-tiba terdengar keluhan panjang. Bun Houw terkejut dan cepat
menengok, dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan keliatan
limbung. "Hong-moi...!" Bun Houw meloncat mendekati isterinya dan merangkul. "Kau... kau
kenapa, Hong-moi...?"
"Aku... perutku...ah, sakit...!"
Cia Giok Keng cepat menghampiri. "Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan
melahirkan...!" Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya dan membawanya masuk ke dalam
kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya
lari pergi dari tempat itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya
ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya.
Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, diapun menangis
menyaksikan kedukaan ibunya. Dara ini sejak tadi mendengarkan semua peristiwa
itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada
Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri. Betapapun juga, ibunya telah
dituduh pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak
ibunya tentu membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Kalau dia kelak
menghadap ibunya bersama Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai
calon suaminya, dia ngeri membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya.
Demikianlah, pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa
gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa
semacam ini akan selalu terjadi apabila manusia terlalu mementingkan diri
sendiri masing-masing. Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan
sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka.
Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu
terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng
yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara apabila
melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi
isteri puteranya! Namun, sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua
seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah
yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas kalau perjodohan itu
dilanjutkan, DIA lah yang akan merasa terhina, tercemar, dan malu!
Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak
menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang
lain sama sekali tidak berhak mencampurinya! Orang-orang tua yang bliaksana,
yang benar-benar mencinta anaknya, tidak akan mementingkan perasaan hatinya
sendiri, tidak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa
orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian. Orang tua
sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih,
agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu
berahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si
anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas daripada selera sendiri.
Dan semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak
menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak
sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya!
Kita sudah condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan
penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita
begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati kepada diri
sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan dan bahkan
dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga
sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri,
sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan
kepada si aku. Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini
sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri" Kenapa kita
tidak mau membuka, mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan
terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari
satu peristiwa atau satu perbuatan saja" Orang-orang tua yang terlalu
mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan
bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan
anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!
Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan
anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi,
sesuatu yang sudah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat
menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup
sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa
picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!
Perjodohan, seperti urusan apapun juga di mana terdapat hubungan antar manusia,
seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada
landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri
sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di situ tidak
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta kepada diri sendiri untuk
mencari kesenangan, dan segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat
untuk mencapai kesenangan diri sendiri itulah! Tentu saja hal ini bukan berarti
bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua haruslah
mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apablia anaknya memilih dengan
membuta, apabila anaknya hanya terbuai oleh nafsu berahi semata, terbuai oleh
kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Namun, apabila orang
tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya,
maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-
pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu!
Beberapa hari kemudian setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan kedukaan di
antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki
dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang
lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap
menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang
maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka
lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di
lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di tepi sebuah dusun yang
menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan
Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal.
Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian setelah
mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanamya yang tertunda
karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari
Phngeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, agar ibu dan
pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.
*** Tinggal mondok di rumah orang lain, betapapun baiknya orang yang mempunyai rumah
itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apalagi bagi suami isteri, dua
pasang pendekar itu. Bahkan makin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati
mereka. Oleh karena itu, setelah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di
lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia
Bun Houw yang tinggal dalam rumah lain bersama isterinya dan anaknya, merasa
gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para
petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari
ikan seperti para penduduk dusun itu.
Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal
lelah dalam mencari jejak mereka. Kim Hong Liu-nio, wanita yang tadinya memusuhi
keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Yap dan Cia hanya karena tugasnya
sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pai
itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya. Akan tetapi sekarang,
wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit
hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian
kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang. Setelah dia mempergunakan
kecantikannya dan berhasil memikat hati kaisar sehingga dia selain menjadi
wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar,
dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang
telah berhasil dicapnya sebagai pemberontak dan buronan itu.
Kim Hong Liu-nio tidak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya dan
akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya
itu! Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri
pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya
wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya
yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai
dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik
menarik dan gemilang. In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat
pagi sekali membawa hash ikan yang diperoleh suaminya semalam bersama para
nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan
suaminya itu ke pasar, untuk dijual dan dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu
masak lainnya. Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-
benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti
kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus menggunakan kekerasan karena
dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya
yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau
saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk
dusun yang pergi ke ladang. Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat
seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong
sudah merasa tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai
pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena
dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di
rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas
yang berkilauan. Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari
jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat,
melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib
tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar
keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!
Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main setelah dia berhadapan dengan In Hong,
karena diapun tidak mengira bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang
itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang paling
lihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka
tadi diapun tidak mengenal In Hong, apalagi karena pendekar itu memakai pakaian
seorang wanita dusun. Begitu mengenal musuh besar ini, giranglah hati Kim Hong
Liu-nio. Memang dia memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik
yang disebarnya di seluruh daerah bahwa empat orang musuh besar yang telah
dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu.
Mendapat berita ini dia langsung pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh
tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Yap In Hong di luar dusun. Tadinya
dia sudah merasa putus asa karena tidak ada seorangpun penduduk dusun yang
sederhana itu yang mengenal nama-nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini
adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu menggunakan nama palsu
dan memang kehidupan mereka sebagai petani-petani dan nelayan-nelayan biasa,
sama sekali tidak seperti pendekar.
"Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di sini!" katanya sambil tersenyum
mengejek. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu
silatnya, bahkan dia sudah mewarisi hampir semua kepandaian subonya, maka
bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia tidak merasa
gentar. Apalagi dia memang telah mempersiapkan pasukan yang setiap waktu akan
dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat
itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!
Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-
nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh
ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari
tandingannya. Biarpun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan
Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia
melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia
belum boleh terlalu banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak
menjadi jerih. "Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan
mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek dan kedua tangannya yang kecil dan yang
memakai sarung tangan tipis, yang tidak kentara karena warnanya sama dengan
kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari
yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak,
terdengar benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala
dan... seperti main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya
dan terciumlah bau harum! In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi,
akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah
banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh.
Biarpun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti
bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran. Memang benarlah
dugaannya, dan di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat
bakar. Sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar.
Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawan, karena
tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur
seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In
Hong! Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu.
Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya
menjadi lengah karena perhatiannya tertarik kepada sulapan itu sehingga kalau
tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan terkejut dan sukar
menyelamatkan diri. Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Dari tadipun
dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan
kedua matanya dapat menangkap dengan mudah sekali gerakan tangan lawan dan
luncuran hio-hio itu. Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga
tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum
mengenal sifat hio-hio yang dipergunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata
rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba
tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah
tubuhnya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio
mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang
lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk
menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas
tanah. Di lain saat In Hong sudan turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang,
namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan
tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah. Dia marah sekali
melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu, maka kini tiba-tiba
tangannya bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat
dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya. Kim Hong Liu-nio juga cepat
meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia
dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat
dam napasnya memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi)
itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya. Tahulah dia bahwa wanita cantik
yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat
benar. Maka diapun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh
besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!
"Cring-cringgg...!" Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-
nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan
bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan,
dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-
pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan
tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna
kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya
dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia
menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat
lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-
ciang. "Plak-plak-plakk!"
Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan
pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong
ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan
itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat,
atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong
Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan
yang lebih hebat lagi. In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-
te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak
sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar
biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat
Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka
hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat
mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda
itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat
karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka
perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang
kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga
dengan pertemuan tangan. "Plak! Plakk!" Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong
yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang
terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin
berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu
dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.
"Hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu
menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In
Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat
sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir
dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan
menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam
keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari
injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang
sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong
hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis
oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh
terancam bahaya maut! Namun pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah
pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar
ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat
oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.
"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya dan sekali dia
meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan
tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga
dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi
pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis.
"Dukkk!" Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang
untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya
merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong
tadi" Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu
lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah
dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang
memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.
"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di
tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini
pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat
Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sangat menyesal tidak sempat untuk
melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjangnya dan mengirim pukulan
bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga
diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan
ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini
puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya
itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja
menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini" Belum lagi kalau muncul pendekar
Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan
menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan
mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi
kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua
tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.
Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya
masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan
hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai
terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena
pukulan yang langsung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja
keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya
mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan
mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan marah di hatinya. Wanita itu
tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempatan selagi dia dalam keadaan tidak
sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di
hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.
"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis
betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan,
menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi
tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat
bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia
berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya
itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya.
Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.
"Bukk!" Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga
sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat
bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dedanya sesak, tubuhnya terjengkang!
Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw
sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya,
ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan
kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.
Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh
tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan
nyonya muda itu mengenai punggungnya.
"Plakkk!" Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah
segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan
mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri
yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala
bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan
binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu
benar-benar hebat! Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua
tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu
terdengar teriakan, "Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja
datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain
adalah Sin Liong! Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar
Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah
suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini
lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh
besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu
keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya
untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu
berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.
Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh
pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh
besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak
lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk
berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang
menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu
dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang
lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya
didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul
pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga,
wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah
niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai
pembalasan atau pertolongannya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di
hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain
itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian
wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di
tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio.
Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita
iblis itu. Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja
itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari
wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga
ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!
Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut
untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.
"Dukk!" Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa
betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan
kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.
"Desss!" Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara
mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-
nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan
mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh
mendiang ayahnya di Cin-ling-san.
"Engkau...?" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"
"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya..." jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang
ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah
kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya
menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela
musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua
Cin-ling-pai! "Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke
arah dada Sin Liong. "Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.
"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong
sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah
menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan
masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin
Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.
Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan
tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga
tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai
terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar
maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya
memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah
memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!
Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya
tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu
saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak
sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat
berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah
itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia
lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.
"Dukk!" Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena
dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang
terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik
sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak
mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan
kaki mengelak dan menangkis.
"Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak
dan menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar,
semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!
Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. "Tahan,
jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong
sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan
kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi
dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu.
Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga
sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua
tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan
anak itu kalah kuat! KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya
biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara
gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat
munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan
otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat
jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu
menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat
Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.
"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang
ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan,
menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu!
Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk
seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang
perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit,
diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air
bah menyerang itu. "Mari kita pergi cepat!" Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari
cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan
kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In
Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh
suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka
yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak
dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang
yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat
orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu
yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya.
Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu
melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak
merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan
hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama
beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua
tangannya menyerang. "Plak! Plak!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat
menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda
remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis
yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali
loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.
Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya
berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan
tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam
bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu
melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu
bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak
itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw"
Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri" Dan yang lebih aneh
lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba
anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk,
melawan pasukan kerajaan" Sunguh anak yang amat luar biasa sekali!
"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio
mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan
tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos
itu. Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri
juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri
dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu
lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.
"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" Kata Bun Houw sambil menggeleng
kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian
dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."
Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia
telah dapat mainkan Thai-kek-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan
tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis
pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."
"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri
tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"
Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua
tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah
mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini
mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi
terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara
dengan serius. "Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin
Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi
lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.
Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong
dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu
menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-
ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara
mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun
Houw dan Yap In Hong. Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan
dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian
terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong,
karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh
besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari
tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan
pastikan untuk mengejar mereka"
Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan
di lubuk hatinya, Bun Houw masih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong
inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan
perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak
merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak
menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan,
namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada
anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat
seorang lawan yang amat berbahaya.
*** Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan
mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini
kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai
wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak
bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han
Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang
puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang
Kaisar Ceng Tung. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang
sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah
berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi
sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di
Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajaran ilmu silat
tinggi itu. Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-
kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid
dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han
Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-
ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw
telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali
bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang
kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu
membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja,
sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini
sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka
untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada
semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi
petunjuk lagi. "Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh
kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, "aku
telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat
bertemu dengan beliau" Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga
aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"
Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi
kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit "Heh-heh-heh-heh, sute,
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang
mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari
tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"
Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap
sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali
tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang
selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak
menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak
seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena
maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw
selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini.
"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau"
Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali
dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."
"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan
beliau" Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."
"Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan
perjumpaanku dengan beliau."
"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang
kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin
bertemu dengan suhu?"
"Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu
tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."
"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya
itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"
Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja,
dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali
tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya
itu kalau suheng sudi memberi petunjuk."
"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"
Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu,
tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia
berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng."
Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata
sutenya, lalu berkata, "Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu
sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri
tidak pernah bertemu dengan suhu."
Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar
keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-
couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat
bertemu dengan suhu."
"Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau
harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu
itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin
tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang
sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba
putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang
tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu,
engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan
seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus
sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau
biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan
lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata
demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya.
Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki
guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab
terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-
halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara
langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi
petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di
depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur
pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti
menyembah di depan dada. Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab
yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan
pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya
berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan
menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun
suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan
bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan
membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah
dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-
layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia
sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak
mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-
couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan
sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi
sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!
Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya
karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya,
atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih,
kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di
dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak
bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti
yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan
dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian
dia berkata dengan suara halus.
"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek
latihannya yang mengalami kesukaran.
Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih
yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-
katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas,
seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap
membuyar seperti asap tertiup angin.
Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi.
Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu
berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia
mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar
baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang
hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dipat mengerti hal-hal
itu dengan jelasnya! Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka.
Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja
dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan
jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada
dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu
mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh
perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan "kosong" sungguhpun kekosongan
yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang
diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di
depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam
batinnya sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan
bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena
kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan
atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik
bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah
bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan
gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang
mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah
didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari
khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah
"bertemu" dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah
orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang
pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya
lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat
dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan
tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!
Setelah merasa "bertemu" dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti
pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang
kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar
dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang
tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu
saja dia menghubungkan ini dengan "kemunculan" bayangan suhunya yang, secara
gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa "bayangan" Bu Beng Hud-couw yang
dijumpainya itu belum tentu sama dengan "bayangan" yang dilihat oleh Ouwyang Bu
Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda
menurut selera masing-masing.
Keinginan akan sesuatu, betapapun "sesuatu" itu dapat diberi sebutan luhur,
suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang
timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin
dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun
keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir
bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada
pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri
yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-
keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau
masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk
menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau
kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi,
yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin,
untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang,
ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi
keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini
berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu
yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-
bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua
dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua akan mengatakan, "Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku
ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa
lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan
itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu
saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan
jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan
"yang lebih tinggi". Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang,
kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan,
kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia
akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada
diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam
keinginan" Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau
benda-benda yang tidak atau belum ada" Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya,
namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita
selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-
khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan
seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan
karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang
penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut
karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama
butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah
apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang
tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan
buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan
nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan
mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan
kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan
hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat
penuh kewaspadaan" Semenjak "pengalamannya" yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw
berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu "memanggil"
Hina Kelana 25 Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Pencuri Kitab Kitab Pusaka 2
kauulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang
wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan
diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?"
Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang
mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia
tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat
mencintanya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi
belaka! "Koko..." "Ya...?" "Aku bersumpah..."
"Tak perlu bersumpah..."
"Aku bersumpah bahwa aku akan setia selama hidupku kepadamu, bahwa baru sekali
ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya kepada seorang pria, yaitu
engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu,
mengawanimu, membantumu..."
"Cukup, moi-moi, aku percaya padamu, kita saling mencinta, mengapa engkau harus
bersumpah seperti itu?"
"Karena aku berhutang budi kepadamu, koko."
"Ah, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak
disebut budi..." "Bukan itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-
orang kang-ouw, apalagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi
yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko..."
"Hushh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi
segala" Kalau engkau hutang budi, akupun hutang budi kepadamu. Nah, kita saling
hutang, sudah lunas, bukan?"
"Tidak, belum lunas, sampai matipun belum lunas, kita harus saling membayar
selama kita hidup." "Kau benar..." Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena
dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat sampai bibir
mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan
kasih mereka. Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti
tenggelam dalam lautan madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia
ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, karena senja mulai
gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan
berkata, "Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita."
"Mau... mau kaubawa ke mana aku ini...?" Sun Eng bertanya khawatir, namun
hatinya ikhlas mau diajak ke manapun oleh kekasihnya.
"Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon
isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka."
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali. "Tapi... suhu dan subo..."
Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu. "Eng-moi,
setelah engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh
jiwaku, apalagi yang engkau khawatirkan" Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah
dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu
adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan telah
mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tidak ada seorangpun di dunia
ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-
moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!"
"Ah, koko..." Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan
tetapi juga bahagia. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap
itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatirannya karena ibu dari
kekasihnya itu termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan
oleh pemerintah. "Ke mana kita harus mencari ibumu?"
"Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah
menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tetapi aku
belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba saatnya sebelum ada
ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diandalkan dalam pertemuan
kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu
harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apalagi kita
berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh."
"Siapakah fihak musuh itu, koko" Dan kenapa suhu dan subo ditangkap dan dituduh
pemberontak?" "Hemm, ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga
Cin-ling-pai. Sudah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah
musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai."
"Siapakah mereka?"
"Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-
pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada
mendiang Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh
muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kong-kong Cia
Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami
luka." "Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan
membasmi guru dan murid itu" Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!"
kata Sun Eng dengan sikap gagah.
Lie Seng tersenyum pahit, "Aih, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Kepandaian
Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu amat tinggi, dan agaknya yang akan dapat
menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya sudah
tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walaupun aku
tidak takut, namun melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna.
Tidak, kita harus lebih dulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan
mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak antara engkau dan paman Bun
Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suciku dan
minta dia yang menjadi penengah agar lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka
tanpa ada kesalahpahaman antara keluarga."
"Sucimu" Siapakah dia itu, koko?"
"Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Dia telah menikah
setahun yang lalu dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu
suciku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap
Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan
dia, maka agaknya akan lebih mudah menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang
penting bagiku adalah ibu kandungku. Kalau beliau sudah setuju dengan perjodohan
antara kita, orang lain perduli apa" Kalau setuju syukur, kalau tidakpun tidak
apa-apa!" Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini
dan dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang
amat dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam di dalam sebuah rumah
penginapan kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika
melihat kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar.
Biarpun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-
benar telah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu berahi, pandai menjaga diri
dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biarpun dia sudah pasrah
dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.
"Percayalah, koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin
melihat engkau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing.
Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu berahinya menunjukkan
tipisnya cinta." Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji
dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah
dengan resmi! Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung. Mereka
bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-
hai. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-
tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampak pasukan besar
menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima
tua yang gagah didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek
pendek kecil yang juga masing-masing menunggang seekor kuda yang besar. Lie Seng
dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biarpun
hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri
pendekar, maka Lie Seng kini tidak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan
tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua
orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!
Berdebar jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun
Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan
membiarkan dia yang bicara kalau datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya
terpaksa membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan dan dua orang kakek itu
telah berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan
tidak diperlihatkan pada wajahnya. Dia mengenal komandan itu, seorang komandan
tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan
pengawal baju sulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan
yang gagah perkasa dan lihai, juga dulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-
ling-pai! Komandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun
usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar.
Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat,
seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk
menemuinya! Akhirnya, setelah memandang dengan tajam beberapa saat lamanya,
terdengar komandan itu berkata dengan suara halus, "Harap ji-wi (anda berdua)
suka menyerah saja untuk kami tangkap!"
Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang diincar, maka dia
mengangkat muka, tidak pura-pura lagi walaupun dia tidak mau memperkenalkan
diri. "Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap" Kami tidak merasa
melakukan kejahatan apapun!"
Komadan Lee Cin tersenyum getir, "Lie Seng taihiap, jangan mengira bahwa kamipun
senang menerima tugas ini. Taihiap adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang
gagah perkasa, dan ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang di
antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi
telah diawasi." "Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!" bantah Lie Seng.
"Biarlah hal itu pengadilan kelak yang akan memutuskan. Kami hanya mentaati
perintah dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan
membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!" bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa
canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai,
padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering
kali dia bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai
itu (baca cerita Dewi Maut).
"Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka
kuminta agar dia dibebaskan!"
"Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!" teriak Sun Eng dengan mata
terbelalak. "Perintah yang diberikan kepada kami adalah menangkap kalian berdua tidak dapat
ditawar-tawar lagi!" Kata pula Lee Cin yang mulai hilang sabar karena sebetulnya
dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi telah bersikap terlalu
manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa
tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek ini adalah dua
orang tokoh dari selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk
membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan. Mereka ini adalah orang-
orang yang berilmu tinggi, dua orang "bengcu" atau pemimpin kaum kang-ouw di
selatan yang bernama Hai-liong Phang Tek yang tinggi besar dan Kim-liong-ong
Phang Sun yang kecil pendek. Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han
Houw, tentu saja dua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di
kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas
menangkap para pemberontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini
selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh
para pemberontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga
pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-
nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.
Dan memang Lee Cin mengenal mereka semua bahkan Lie Seng yang jarang dijumpainya
karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, dikenalnya, apalagi
setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda
lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.
Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia meng-
khawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian
atasnya tertutup jubah perajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak
dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang,
terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang perajurit,
tahu-tahu dia telah merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.
"Cep-cep-cep-cep!" Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah
Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka,
melainkan menancap sampai lenyap setenganya di empat penjuru, mengurung dua
orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan
sin-kang yang hebat dan juga kepandaian tinggi karena empat batang tombak itu
dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!
Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa, "Sebaiknya ji-wi menyerah saja.
Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-
siap dan dua orang locianpwe inipun memiliki kepandaian tinggi. Daripada kami
harus..." "Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!" tiba-tiba Lie Seng berteriak dan dia
sudah menerjang ke depan, menangkap dua orang perajurit dan melemparkan mereka
ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang kakek ini
tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang
perajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!
"Mati hidup di sampingmu, koko!" teriak Sun Eng pula dan dengan sigapnya diapun
menerjang ke depan merobohkan dua orang perajurit lain dengan pukulan dan
tendangan kakinya. Gegerlah para perajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin
berseru menyuruh mereka mundur.
"Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!" teriaknya dan ini merupakan
permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.
Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek menghadapi Lie Seng, sedangkan Kim-
liong-ong Phang Sun cengar-cengir menghadapi Sun Eng. "Nona manis, mari kita
main-main sejenak!" Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa
tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah.
Tubuhnya menerjang ke depan dan tubuh itu menjadi bayangan merah karena
pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membuat ke
leher, seolah-olah dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil
dari Kim-liong-ong Phang Sun!
"Cringgg!" Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika
bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!
"Awas, Eng-moi!" Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke
kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke
arah kepala Sun Eng. "Dukk!" Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-
liong-ong juga terpental ke belakang!
"Eh, kau boleh juga...!" Kakek kecil pendek ini berseru.
"Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!"
Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan
menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga
kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin
mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main.
Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi
lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus
menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa dia
menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan,
menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke arah
kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun.
Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi
menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata,
mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan
mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran! Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-
langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan
mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena
memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke
dua dari Lam-hai Sam-lo ini.
Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan
tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih diputar cepat! "Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah
kalian!" Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah
mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang tempo hari!
"Eh, kau mau apa" Mengantar nyawa?"
"Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!" bentak Lie Ciauw Si, dara itu.
"Si-moi...!" Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi
Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin.
"Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?"
"Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu
ketua Cin-ling-pai...?" Kini dia mengenalnya dan merasa heran.
"Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa
pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada
kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan
dari Pangeran Ceng Han Houw?" Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan
pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan,
memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin
bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang
diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal
cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.
"Maafkan kami, kami mentaati perintah," katanya lalu dia memberi aba-aba kepada
para perajurit untuk mundur. Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja
tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan
diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee
Cin. Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek
dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan
bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat
penasaran berkata, "Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai
dan menangkap mereka...!"
Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat
itu, Lee Cin berkata, "Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang
terhadap kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?"
"Tapi... tapi gadis itu..."
"Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan
beliau!" Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam
terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu
ketua Cin-ling-pai" Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang
dikejar-kejar, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja untuk membantu
Kim Hong Liu-nio menangkap para pemberontak dan buronan ini, maka dengan
sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu menjadi buronan pula. Akan
tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han
Houw" Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang
mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula
melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.
Sementara itu, setelah para pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri
tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan kedua
lengannya. "Koko...!" Pemuda dan pemudi itu berlari saling menghampiri lalu saling berangkulan.
Suasana menjadi amat mengharukan ketika kakak beradik ini berangkulan ketat
tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak dapat
menahan air matanya yang mengalir turun.
"Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!"
"Ah, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!"
Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar
walaupun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga
membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.
"Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!"
"Dan engkaupun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga
sakti!" "Ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!"
"Koko, siapakah enci yang manis itu?"
Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia
tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng
dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si.
"Eng-mol, ini adalah adik kandungku, seperti pernah kuceritakan kepadamu.
Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon sosomu (kakak
iparmu)!" "Aihhh...!" Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas
oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak
iparnya itu. "Engkau sungguh cantik, so-so...!"
"Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut so-so. Kami belum menikah!" kata
Sun Eng tertawa. "Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu
so-so. Seng-koko, engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar perkasa setelah
engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu
semenjak engkau meninggalkan kami, koko!"
Mereka bertiga lalu duduk di atas rumput dan berceritalah Lie Seng tentang semua
pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng
Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan
mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja
dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau asal-usul Sun Eng, bahkan dia
tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari
paman mereka Cia Bun How.
"Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku
hanya bisa ikut merasa gelisah ketika tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya
mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?"
CIAUW SI menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali ketika
mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan
pasukan kerajaan, mendengar bahwa kong-kongnya telah tewas dan bahwa ibunya,
ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang
buronan, dianggap pemberontak oleh kerajaan. Dengan singkat diapun menceritakan
semua pengalamannya, dan Lie Seng merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya
ini telah menyelamatkan ibu kandungnya dan isteri pamannya yang sedang
mengandung. "Dan ke mana sekarang perginya ibu dan bibi In Hong?" tanyanya. "Apakah mereka
bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?"
Ciauw Si menggeleng kepalanya. "Memang tadinya ibu dan bibi Hong hermaksud untuk
pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu
akan amat membabayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para
penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu
dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping."
"Di Yen-ping" Siapakah dia?"
"Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelaniatkan dia dan
kurasa tempat itu aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat
bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan."
"Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?" Sampai sekarang
sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi
ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.
"Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi
ke Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Dan di sana aku
bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping,
dan kini mereka semua berkumpul di sana."
"Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?"
"Tadinya aku hendak pergi ke kota raja..."
"Kau" Ke kota raja" Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah ke kota
raja" Apakah mencari celaka?"
"Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang me-
nyelamatkan kami tadi" Eh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin
pangeran itu?" Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat
dia menekan perasaannya yang terguncang. "Aku bertemu dengan dia di selatan dan
kami telah menjadi sahabat baik. Dia memberikan cincin ini kepadaku sebagai
tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja.
Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua
pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi."
"Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?"
"Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si," tiba-tiba Sun Eng
ikut bicara. "Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang demikian tinggi
kedudukannya, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan
kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk
membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?"
Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada
kakaknya dan berkata, "Wah, calon so-so rupanya jauh lebih cerdik daripada
engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!"
Lie Seng tersenyum bangga. "Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?"
Mereka tertawa gembira. "Karena pertemuan ini, biarlah kuantar kalian ke Yen-ping lebih dulu menjumpai
ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci
Eng." Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling
pandang penuh keraguan, apalagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan
wajah berubah agak pucat.
"Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan..." Sun Eng
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku,
paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi," sambung
Ciauw Si. Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba
Lie Seng berkata penuh semangat, "Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali
bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!" Dengan kata-kata ini
dia memandang kepada Sun Eng dan seolah-olah berjanji dengan pandang matanya
bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul kalau calon
isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Melihat sinar mata
calon suaminya ini, Sun Eng menunduk dan mengangguk. Maka berangkatlah mereka
bertiga menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada
hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut. Sun
Eng tidak banyak bicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri,
lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu dan
subonya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala
penyelewengannya yang amat memalukan. Akan tetapi kalau dia menoleh kepada Lie
Seng, dan calon suaminya itupun menoleh kepadanya, dia memperoleh sandaran yang
kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang
lain tidak masuk hitungan lagi! Kalau sudah begini, kuatlah hatinya dan dia
sanggup menghadapi apapun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia
ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguhpun telah
mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan di masa lampau.
*** Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong
dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-
pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini telah
bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan
yang terpaksa harus menyembunyikan diri di dalam sebuah di antara rumah-rumah di
pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berempat jarang keluar dari
rumah, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang
ketua inipun merasa amat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu
yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Akan tetapi karena mereka merasa
berhutang budi kepada Ciauw Si, apalagi karena mereka memang merasa kagum kepada
para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, mereka berdua menerima mereka dengan
penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya
muda yang mengandung itu melahirkan.
Kandungan Yap In Hong telah delapan bulan dan mereka berempat itu selalu
menyembunyikan diri, tidak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya
dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggauta
perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat,
akan tetapi merekapun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.
Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu
menyambut dengan girang. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat kepada
Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya
dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat
kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang
menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.
Empat orang itu telah duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang
sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Ketika tiga
orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si
menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang masuk pula dengan wajah
pucat, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil
berkata lirih, "Suhu... subo...!"
Suami isteri ini terbelalak memandang ketika mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah
wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain,
apalagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini,
dan siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat
persembunyian dan di depan para keluarga!
"Mau apa kau ke sini?" bentak Bun Houw.
"Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!" bentak In Hong
pula sambil bangkit berdiri. Suami isteri itu dengan wajah merah dan sepasang
mata menyinarkan cahaya kemerahan sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih
berlutut. Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia sudah berdiri di depan Sun Eng,
melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.
"Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dulu...!" katanya sambil mengangkat
kedua tangannya. "Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!" bentak Bun Houw yang
semakin marah melihat keponakannya hendak melindungi gadis yang dianggap telah
mencemarkan nama baiknya itu!
Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. "Paman dan
bibi, siapapun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apalagi hendak
menghajarnya! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu
membunuh aku!" Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut setengah mati mendengar ini. Mereka berdua
terbelalak memandang wajah Lie Seng, dan Cia Bun Houw berseru, "Apa yang
kaukatakan ini, Lie Seng" Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami
yang murtad dan..." "Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia
ini adalah calon isteriku yang tercinta!"
"Apa...?" Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.
Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga
orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, sudah bangkit pula dan
bertanya dengan gelisah, "Apakah artinya semua ini?"
"Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!"
"Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada
ibu..." "Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan
perempuan hina..." "Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!" bentak Lie Seng dengan
marah. Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong cepat bangkit berdiri dan
menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus namun
berwibawa dia berkata, "Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara
keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan
kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu,
mari kita bicara baik-baik," sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi
bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu. Giok Keng mengangguk lalu dia menoleh
kepada Ciauw Si sambil berkata, "Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si."
Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya
itu, dan sebagai seorang gadis dia agaknya tidak diperbolehkan ikut mendengarkan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkara yang hendak dibicarakan, maka diapun mengangguk dan bangkit, hendak
meninggalkan ruangan itu.
"Si-moi, jangan pergi!" Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah. Memang
dia sudah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng akan mendatangkan keributan
dalam keluarganya, apalagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, dan akan
terjadi dan keadaan betapa pahitpun yang akan dihadapinya. "Si-moi engkau sudah
dewasal dan engkaupun anggauta keluarga kita, maka blarlah engkau ikut
mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong
benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan blarlah nasib
perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!"
Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk
dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa khawatir sekali. Suasana menjadi
hening sekali setelah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini,
hening yang amat menegangkan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang,
terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak
disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-
guncangan hebat. Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah
ini sebagai calon isterinya dia girang, akan tetapi ketika mendengar bahwa
wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.
"Seng-ji, apakah artinya semua ini?" Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar
dan biarpun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, namun pandang matanya
diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.
"Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh
enam tahun lebih, dan sekarang aku datang memperkenalkan calon isteriku kepada
ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling
mengikat janji untuk menjadi suami isteri."
Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu
sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu
saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid
adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti
yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di
dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.
"Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah
murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor..."
"Murid durhaka!" In Hong membentak Sun Eng. "Berani engkau memikat hati
keponakan kami" Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan
engkau berani merayu mendekatinya?"
Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, "Subo... teecu
sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng..."
"Heh?" Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak.
"Benarkah itu, Seng-ji" Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?"
Lie Seng mengangguk gagah. "Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak perduli!
Aku cinta padanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal
lalu! Kami saling mencinta dan apapun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami
tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk
menjadi suami isteri!"
"Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang dia untuk menikah dengan
perempuan rendah ini!"
Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apalagi melihat sikap adiknya dari
puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya
sayu. "Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu
yang murtad, maka sebaiknya kauceritakan kembali agar dia mendengar sendiri
bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu." Suara nyonya ini cemas
agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi
calon isterinya itu. Sun Eng menangis. Lie Seng mendekatinya dan merangkulnya sambil berlutut pula.
"Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu..." bisiknya.
"Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi
saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi..." dia sesenggukan.
"Houw-te, lekas ceritakan agar urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji
mendengarnya sendiri!" kata Cia Giok Keng.
Bun Houw masih merasa tidak enak dan dia memandang kepada Lie Seng, lalu
berkatalah dia kepada keponakannya itu, "Seng-ji, engkau tentu tahu bukan
sekali-kali kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami malah
melakukan ini demi kebahagiaanmu. Kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini
untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya."
"Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain"
Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak perduli dan kalau engkau mau
menceritakan hal itu kepada siapapun juga, terserah, karena hal itu tidak akan
merubah cintaku kepadanya." Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seolah-
olah untuk memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.
Kembali Bun Houw meragu. Betapapun juga dia merasa sayang kepada keponakannya
dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apalagi orang itu
adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan
tentang Sun Eng secara singkat kepada cicinya dan kepada Yap Kun Liong, dan
sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang
lain. Mellhat keraguan adiknya, Giok Keng berkata, "Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini
menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar dia
mengerti!" Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lalu berkata,
suaranya lirih, "Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi
muridku, dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk
menggodaku... secara tak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan
lagi, dia telah menyerahkan diri kepada banyak orang, seperti seperti pelacur
saja..." Dia berhenti sebentar, "aku pernah menceritakan ini kepada ibumu..."
"Cukup!" Cia Giok Keng membentak "Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?" Dia
mengharapkan puteranya itu akan insyaf, akan tetapi betapa gelisahnya melihat
puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!
"Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku..."
"Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?"
"Ibu, kami saling mencinta..."
"Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak
boleh menikah dengan seorang pelacur!"
"Ibu...!" "Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!" Cia Giok Keng maju dengan
kedua tangan dikepalkan. "Tidak, enci, biar aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia
berani menggoda puteramu!" kata In Hong yang juga bergerak maju ke depan, siap
untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap telah menimbulkan banyak sengketa
ini dan dia merasa bahwa sebagai bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan
tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Siapapun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus
membunuh aku lebih dulu!" bentaknya.
Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan
marah. "Seng-ji, butakah engkau" Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini
demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh
rayuan seorang pelacur!"
"Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan" Tidak, ibu malah akan menghancurkan
kebahagiaanku. Kalau ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku
dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik
bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!"
Wajah Cia Giok Keng makin pucat dan kata-kata itu seolah-olah merupakan pukulan
sehingga dia mengeluh dan terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya
dan berbisik, "Kau tenanglah..."
"Lie Seng!" Bun Houw membentak keponakannya. "Begitukah sikap seorang gagah"
Engkau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu
kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?"
"Paman, cukup segala omong kosong ini!" Lie Seng membentak, mukanya merah,
matanya liar. "Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari
keluarga kita" Lupakah paman betapa mendiang kong-kong juga pernah melarang
paman menikah dengan bibi In Hong" Dan bagaimana sikap paman sendiri" Paman rela
meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang
mengapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil,
menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?"
"Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah
seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela
meninggalkan keluarga..."
"Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita
paling baik di dunia! Akupun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik
di dunia karena aku mencintanya dan siapapun tidak boleh mengganggunya, seperti
paman dahulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah
kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi,
biarlah aku pergi saja!"
"Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia
hidupnya" Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau akan melakukan keputusan
yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang
wanita yang hina sebagai isterimu! Maka aku melarang. Ibu mana yang benar-benar
mencinta anaknya tidak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat
berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya" Menurut cerita pamanmu tadi, wanita
itu tidak patut menjadi colon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja
secara tidak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga telah hidup
sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku
mempunyai mantu seperti itu?"
"Tapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu"
Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku,
sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak
sama dengan Eng-moi sekarang!"
"Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui..." Giok Keng makin pucat dan dia
tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.
"Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih baik memilih hidup bersama dengan
Eng-moi daripada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi yang jauh dari orang
yang kucinta!" Lie Seng lalu bangkit berdiri sambil merangkul pinggang
kekasihnya, "Eng-moi, mari kita pergi!"
Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan.
Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang dihadapinya dan diam-diam dia
merasa amat terharu atas sikap Lie Song yang benar-benar telah membelanya
seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.
"Seng-ji... ah, Seng-ji...!" Cia Giok Keng menjerit don ibu yang terguncang
batinnya ini menjadi lemas. Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera
memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang dan mengurut punggung dan
tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.
Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan
alis berkerut dan mata bersinar tajam dia berkata, "Seng-ji, aku tidak ingin
melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat
karena ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi
sendiri!" Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. "Paman Cia Bun
Houw, engkau dahulu tidak takut akan ancaman mendiang kong-kong, apa kaukira aku
kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku" Kalau engkau mau
bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon
isteriku!" Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh
Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak berkelebat
bayangan dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya. "Paman, jangan...!"
seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan ini juga membela Lie Seng,
Bun Houw tertegun dan bingung.
"Houw-ko...!" Tiba-tiba terdengar keluhan panjang. Bun Houw terkejut dan cepat
menengok, dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan keliatan
limbung. "Hong-moi...!" Bun Houw meloncat mendekati isterinya dan merangkul. "Kau... kau
kenapa, Hong-moi...?"
"Aku... perutku...ah, sakit...!"
Cia Giok Keng cepat menghampiri. "Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan
melahirkan...!" Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya dan membawanya masuk ke dalam
kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya
lari pergi dari tempat itu.
"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya
ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya.
Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, diapun menangis
menyaksikan kedukaan ibunya. Dara ini sejak tadi mendengarkan semua peristiwa
itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada
Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri. Betapapun juga, ibunya telah
dituduh pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak
ibunya tentu membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Kalau dia kelak
menghadap ibunya bersama Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai
calon suaminya, dia ngeri membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya.
Demikianlah, pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa
gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa
semacam ini akan selalu terjadi apabila manusia terlalu mementingkan diri
sendiri masing-masing. Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan
sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka.
Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu
terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng
yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara apabila
melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi
isteri puteranya! Namun, sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua
seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah
yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas kalau perjodohan itu
dilanjutkan, DIA lah yang akan merasa terhina, tercemar, dan malu!
Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak
menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang
lain sama sekali tidak berhak mencampurinya! Orang-orang tua yang bliaksana,
yang benar-benar mencinta anaknya, tidak akan mementingkan perasaan hatinya
sendiri, tidak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa
orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian. Orang tua
sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih,
agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu
berahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si
anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas daripada selera sendiri.
Dan semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak
menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak
sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya!
Kita sudah condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan
penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita
begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati kepada diri
sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan dan bahkan
dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga
sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri,
sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan
kepada si aku. Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini
sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri" Kenapa kita
tidak mau membuka, mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan
terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari
satu peristiwa atau satu perbuatan saja" Orang-orang tua yang terlalu
mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan
bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan
anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!
Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan
anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi,
sesuatu yang sudah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat
menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup
sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa
picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!
Perjodohan, seperti urusan apapun juga di mana terdapat hubungan antar manusia,
seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada
landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri
sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di situ tidak
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta kepada diri sendiri untuk
mencari kesenangan, dan segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat
untuk mencapai kesenangan diri sendiri itulah! Tentu saja hal ini bukan berarti
bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua haruslah
mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apablia anaknya memilih dengan
membuta, apabila anaknya hanya terbuai oleh nafsu berahi semata, terbuai oleh
kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Namun, apabila orang
tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya,
maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-
pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu!
Beberapa hari kemudian setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan kedukaan di
antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki
dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang
lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap
menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang
maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka
lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di
lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di tepi sebuah dusun yang
menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan
Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal.
Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian setelah
mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanamya yang tertunda
karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari
Phngeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, agar ibu dan
pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.
*** Tinggal mondok di rumah orang lain, betapapun baiknya orang yang mempunyai rumah
itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apalagi bagi suami isteri, dua
pasang pendekar itu. Bahkan makin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati
mereka. Oleh karena itu, setelah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di
lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia
Bun Houw yang tinggal dalam rumah lain bersama isterinya dan anaknya, merasa
gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para
petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari
ikan seperti para penduduk dusun itu.
Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal
lelah dalam mencari jejak mereka. Kim Hong Liu-nio, wanita yang tadinya memusuhi
keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Yap dan Cia hanya karena tugasnya
sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pai
itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya. Akan tetapi sekarang,
wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit
hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian
kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang. Setelah dia mempergunakan
kecantikannya dan berhasil memikat hati kaisar sehingga dia selain menjadi
wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar,
dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang
telah berhasil dicapnya sebagai pemberontak dan buronan itu.
Kim Hong Liu-nio tidak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya dan
akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya
itu! Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri
pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya
wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya
yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai
dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik
menarik dan gemilang. In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat
pagi sekali membawa hash ikan yang diperoleh suaminya semalam bersama para
nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan
suaminya itu ke pasar, untuk dijual dan dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu
masak lainnya. Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-
benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti
kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus menggunakan kekerasan karena
dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya
yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau
saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk
dusun yang pergi ke ladang. Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat
seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong
sudah merasa tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai
pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena
dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di
rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas
yang berkilauan. Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari
jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat,
melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib
tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar
keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!
Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main setelah dia berhadapan dengan In Hong,
karena diapun tidak mengira bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang
itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang paling
lihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka
tadi diapun tidak mengenal In Hong, apalagi karena pendekar itu memakai pakaian
seorang wanita dusun. Begitu mengenal musuh besar ini, giranglah hati Kim Hong
Liu-nio. Memang dia memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik
yang disebarnya di seluruh daerah bahwa empat orang musuh besar yang telah
dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu.
Mendapat berita ini dia langsung pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh
tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Yap In Hong di luar dusun. Tadinya
dia sudah merasa putus asa karena tidak ada seorangpun penduduk dusun yang
sederhana itu yang mengenal nama-nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini
adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu menggunakan nama palsu
dan memang kehidupan mereka sebagai petani-petani dan nelayan-nelayan biasa,
sama sekali tidak seperti pendekar.
"Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di sini!" katanya sambil tersenyum
mengejek. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu
silatnya, bahkan dia sudah mewarisi hampir semua kepandaian subonya, maka
bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia tidak merasa
gentar. Apalagi dia memang telah mempersiapkan pasukan yang setiap waktu akan
dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat
itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!
Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-
nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh
ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari
tandingannya. Biarpun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan
Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia
melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia
belum boleh terlalu banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak
menjadi jerih. "Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan
mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek dan kedua tangannya yang kecil dan yang
memakai sarung tangan tipis, yang tidak kentara karena warnanya sama dengan
kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari
yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak,
terdengar benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala
dan... seperti main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya
dan terciumlah bau harum! In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi,
akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah
banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh.
Biarpun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti
bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran. Memang benarlah
dugaannya, dan di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat
bakar. Sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar.
Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawan, karena
tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur
seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In
Hong! Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu.
Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya
menjadi lengah karena perhatiannya tertarik kepada sulapan itu sehingga kalau
tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan terkejut dan sukar
menyelamatkan diri. Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Dari tadipun
dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan
kedua matanya dapat menangkap dengan mudah sekali gerakan tangan lawan dan
luncuran hio-hio itu. Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga
tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum
mengenal sifat hio-hio yang dipergunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata
rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba
tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah
tubuhnya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio
mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang
lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk
menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas
tanah. Di lain saat In Hong sudan turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang,
namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan
tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah. Dia marah sekali
melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu, maka kini tiba-tiba
tangannya bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat
dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya. Kim Hong Liu-nio juga cepat
meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia
dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat
dam napasnya memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi)
itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya. Tahulah dia bahwa wanita cantik
yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat
benar. Maka diapun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh
besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!
"Cring-cringgg...!" Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-
nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan
bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan,
dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-
pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan
tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna
kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya
dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia
menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat
lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-
ciang. "Plak-plak-plakk!"
Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan
pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong
ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan
itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat,
atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong
Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan
yang lebih hebat lagi. In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-
te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak
sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar
biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat
Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka
hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat
mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda
itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat
karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka
perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang
kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga
dengan pertemuan tangan. "Plak! Plakk!" Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong
yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang
terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin
berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu
dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.
"Hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu
menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In
Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat
sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir
dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan
menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam
keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari
injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang
sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong
hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis
oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh
terancam bahaya maut! Namun pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah
pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar
ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat
oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.
"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya dan sekali dia
meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan
tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga
dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi
pukulan aneh itu terus mengejarnya sehingga terpaksa dia menangkis.
"Dukkk!" Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang
untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya
merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong
tadi" Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu
lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah
dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang
memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.
"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di
tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini
pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat
Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sangat menyesal tidak sempat untuk
melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjangnya dan mengirim pukulan
bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga
diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan
ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini
puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya
itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja
menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini" Belum lagi kalau muncul pendekar
Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan
menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan
mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi
kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua
tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.
Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya
masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan
hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai
terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena
pukulan yang langsung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja
keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya
mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan
mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan marah di hatinya. Wanita itu
tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempatan selagi dia dalam keadaan tidak
sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di
hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.
"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis
betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan,
menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi
tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat
bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia
berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya
itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya.
Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.
"Bukk!" Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga
sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat
bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dedanya sesak, tubuhnya terjengkang!
Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw
sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya,
ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan
kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.
Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh
tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan
nyonya muda itu mengenai punggungnya.
"Plakkk!" Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah
segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan
mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri
yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala
bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan
binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu
benar-benar hebat! Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua
tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu
terdengar teriakan, "Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja
datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain
adalah Sin Liong! Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar
Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah
suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini
lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh
besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu
keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya
untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu
berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.
Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh
pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh
besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak
lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk
berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang
menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu
dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang
lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya
didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul
pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga,
wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah
niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai
pembalasan atau pertolongannya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di
hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain
itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian
wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di
tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio.
Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita
iblis itu. Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja
itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari
wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga
ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!
Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut
untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.
"Dukk!" Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa
betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan
kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.
"Desss!" Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara
mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-
nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan
mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh
mendiang ayahnya di Cin-ling-san.
"Engkau...?" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"
"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya..." jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang
ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah
kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya
menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela
musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua
Cin-ling-pai! "Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke
arah dada Sin Liong. "Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.
"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong
sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah
menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan
masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin
Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.
Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan
tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga
tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai
terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar
maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya
memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah
memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!
Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya
tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu
saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak
sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat
berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah
itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia
lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.
"Dukk!" Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena
dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang
terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik
sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak
mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan
kaki mengelak dan menangkis.
"Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak
dan menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar,
semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!
Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. "Tahan,
jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong
sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan
kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi
dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu.
Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga
sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua
tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan
anak itu kalah kuat! KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya
biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara
gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat
munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan
otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat
jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu
menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat
Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.
"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang
ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan,
menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu!
Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk
seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang
perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit,
diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air
bah menyerang itu. "Mari kita pergi cepat!" Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari
cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan
kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In
Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh
suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka
yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak
dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang
yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat
orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu
yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya.
Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu
melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak
merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan
hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama
beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua
tangannya menyerang. "Plak! Plak!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat
menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda
remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis
yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali
loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.
Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya
berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan
tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam
bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu
melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu
bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak
itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw"
Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri" Dan yang lebih aneh
lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba
anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk,
melawan pasukan kerajaan" Sunguh anak yang amat luar biasa sekali!
"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio
mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan
tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos
itu. Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri
juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri
dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu
lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.
"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" Kata Bun Houw sambil menggeleng
kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian
dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."
Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia
telah dapat mainkan Thai-kek-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan
tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis
pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."
"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri
tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"
Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua
tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah
mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini
mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi
terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara
dengan serius. "Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin
Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi
lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.
Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong
dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu
menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-
ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara
mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun
Houw dan Yap In Hong. Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan
dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian
terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong,
karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh
besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari
tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan
pastikan untuk mengejar mereka"
Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan
di lubuk hatinya, Bun Houw masih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong
inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan
perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak
merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak
menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan,
namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada
anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat
seorang lawan yang amat berbahaya.
*** Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan
mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini
kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai
wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak
bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han
Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang
puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang
Kaisar Ceng Tung. Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang
sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah
berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi
sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di
Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajaran ilmu silat
tinggi itu. Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-
kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid
dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han
Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-
ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw
telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali
bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang
kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu
membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja,
sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini
sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka
untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada
semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi
petunjuk lagi. "Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh
kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, "aku
telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat
bertemu dengan beliau" Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga
aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"
Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi
kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit "Heh-heh-heh-heh, sute,
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang
mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari
tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"
Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap
sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali
tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang
selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak
menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak
seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena
maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw
selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini.
"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau"
Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali
dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."
"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan
beliau" Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."
"Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan
perjumpaanku dengan beliau."
"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang
kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin
bertemu dengan suhu?"
"Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu
tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."
"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya
itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"
Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja,
dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali
tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya
itu kalau suheng sudi memberi petunjuk."
"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"
Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu,
tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia
berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng."
Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata
sutenya, lalu berkata, "Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu
sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri
tidak pernah bertemu dengan suhu."
Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar
keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-
couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat
bertemu dengan suhu."
"Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau
harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu
itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin
tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang
sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba
putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang
tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu,
engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan
seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus
sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau
biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan
lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata
demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya.
Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki
guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab
terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-
halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara
langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi
petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di
depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur
pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti
menyembah di depan dada. Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab
yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan
pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya
berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan
menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun
suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan
bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan
membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah
dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-
layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia
sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak
mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-
couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan
sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi
sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!
Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya
karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya,
atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih,
kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di
dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak
bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti
yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan
dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian
dia berkata dengan suara halus.
"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek
latihannya yang mengalami kesukaran.
Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih
yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-
katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas,
seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap
membuyar seperti asap tertiup angin.
Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi.
Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu
berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia
mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar
baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang
hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dipat mengerti hal-hal
itu dengan jelasnya! Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka.
Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja
dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan
jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada
dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu
mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh
perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan "kosong" sungguhpun kekosongan
yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang
diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di
depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam
batinnya sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan
bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena
kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan
atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik
bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah
bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan
gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang
mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah
didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari
khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah
"bertemu" dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah
orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang
pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya
lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat
dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan
tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!
Setelah merasa "bertemu" dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti
pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang
kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar
dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang
tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu
saja dia menghubungkan ini dengan "kemunculan" bayangan suhunya yang, secara
gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa "bayangan" Bu Beng Hud-couw yang
dijumpainya itu belum tentu sama dengan "bayangan" yang dilihat oleh Ouwyang Bu
Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda
menurut selera masing-masing.
Keinginan akan sesuatu, betapapun "sesuatu" itu dapat diberi sebutan luhur,
suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang
timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin
dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun
keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir
bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada
pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri
yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-
keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau
masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk
menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau
kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi,
yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin,
untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang,
ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi
keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini
berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu
yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-
bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua
dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua akan mengatakan, "Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku
ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa
lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan
itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu
saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan
jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan
"yang lebih tinggi". Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang,
kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan,
kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia
akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada
diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam
keinginan" Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau
benda-benda yang tidak atau belum ada" Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya,
namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita
selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-
khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan
seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan
karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang
penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut
karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama
butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah
apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang
tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan
buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan
nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan
mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan
kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan
hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat
penuh kewaspadaan" Semenjak "pengalamannya" yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw
berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu "memanggil"
Hina Kelana 25 Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Pencuri Kitab Kitab Pusaka 2