Pendekar Lembah Naga 22
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena
ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan
saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab
yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya!
Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat
aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang
amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu!
Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu
ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari tempat pertapaannya
itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan
sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid
kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari
dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek.
Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang
banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau
seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan
mati. Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar
matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap,
maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu
sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh
penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia
menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia
mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha.
"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main,
sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.
"Byarrrr...!" Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur
terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang
dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan
main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini
dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara
bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-
daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar
kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan
tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.
"Desss...!" Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar
itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam
jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar
suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara
keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi
marah oleh gangguan manusia itu.
Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya
meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi
menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke
depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi,
kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh
kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa
seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa
penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di
depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di
dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw
yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun
putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa
hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di
atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di
bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia
akan menghidapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia
tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit,
kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu
menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang
amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu
wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar,
seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang
indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.
Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya
yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu
cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab
itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh
ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab
itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab
aselinya. Ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suhengnya!
Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti
kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu,
dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui
rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab ter-
jemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-
kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga
saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan
angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-
mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat
membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang
matanya dan merasa puas, Han Houw lalu melompat turun dari batu itu dan berlari
seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak
di mana suhengnya tinggal.
"Suheng...!" Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran,
disambut oleh gema suara di empat penjuru.
"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang
udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.
Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari
jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"
Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu
menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian,
berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han
Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat
itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu
dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka
sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di
bagian atas mulutnya, dia bertanya, "Bagaimana, sute" Engkau sudah berhasil...?"
Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya
ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga
tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil.
Maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Dengan petunjuk suhu yang mulia,
aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih
memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya
karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka
memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali
agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."
Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja
aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang
ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat,
hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."
"Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri,
katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."
"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan
pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."
Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk
menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu
tidak nampak perubahan sesuatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada
suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk
menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa,
melainkan menyeringai dan berlari terus, copat sekali dengan langkah-langkah
kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari
belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti
suhengnya itu dengan amat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati
jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar
sekali, kakek itu berhenti dan berkata, "Di dalam guha inilah kusembunyikan
kitab-kitab itu." "Biar aku yang mengambilnya, suheng!"
"Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kautunggu di sini, biar aku yang mengambilnya."
Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw
menanti di luar guha sambil menahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan
kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.
Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti
hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya
dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak
terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe,
kami datang memenuhi undangan!"
"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan
bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw
membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi
belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha
dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya.
"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka
lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw
terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang
telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan
yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali
ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu.
Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi
dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-
pang telah menghadap!"
Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menanti di sini,
harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"
Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan
mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang
lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka
adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari
perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah
itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka
terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada
pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa
khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini
adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan
kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang
pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.
Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu
berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia
menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, "Kalau suheng ada urusan dengan
mereka, silakan." Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut
itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"
Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang
Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang
ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah
locianpwe memanggil kami?"
Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah
orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai
perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"
Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-
thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng,
menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya,
menjawab dengan suaranya yang besar, "Ouwyang locianpwe harap jangan memandang
rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!"
"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan
Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"
Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek
dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.
"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.
"Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah
Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" Kakek itu
berkata mengejek. Dua orang itu terkejut dan keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han
Houw. Pangeran muda itupun memandang kepada mereka dengan sinar mata yang
dimikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang
keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan
kepada sang pangeran itu.
"Tidak, mereka bukan pemberontak buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang
gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"
"Hemm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek
itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.
Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat
dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan
menentukan" Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"
Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat
dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya, kini
suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.
Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia
telah memperoleh akal, maka dengan wajah terang dia lalu menjawab, "Ouwyang
locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai
sahabat-sahabat baik semenjak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie
Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu,
nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Setelah kami menerima
budi Lie-lihiap yang menyelamatkan kami tentu saja kami menganggap keluarganya
sebagai sahabat-sahabat kami." Tentu saja ucapan itu ditujukan kepada Pangeran
Ceng Han Houw. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga
bahwa ada hubungan cinta kasih mesra antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si,
maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran,
Dan, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada
wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.
Akan tetapi, Ouwyang Bu Sek membanting kakinya yang telanjang. "Kalian
bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Sebaliknya, aku memusuhi
orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan
karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"
"Ouwyang locianpwe..."
"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"
"Kami tidak tahu, locianpwe, bahkan andaikata kami tahu juga, kami tidak
mengatakan kepada siapapun juga. Kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka
membikin celaka orang-orang gagah, apalagi kami telah berhutang budi. Lebih baik
mati daripada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu
kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam dan
dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk
membela diri. Biarpun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek
Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu amat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak
mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos
siang-kiam dari sarung pedangnya, melintangkan sepasang pedang itu di depan
dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan
sikap gagah. "Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka
membunuh orang yang tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba
tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang
dihantamkan ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya mendatangkan angin
dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keraspun akan
hancur tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun,
kakek cebol itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan agaknya memang
sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelimis. "Takkkk!" Toya besi itu terpental, seolah-olah mengenai bola baja yang jauh
lebih keras daripada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan
mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.
Tong Siok terkejut dan juga penasaran, toyanya diputar cepat dan mengirim
serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk seperti
orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke
tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman
toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!
"Heh-heh, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari
ini pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.
Pada saat toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah menerjang dengan siang-
kiamnya. Nampak sinar berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah
leher dan pinggang. "Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pokaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru, dan
tiba-tiba tubuhhya mencelat ke atas terbebas dari guntingan sepasang pedang itu,
kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang
ludah. "Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali. Biarpun Sin-
ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya
berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air
ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang
pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua
orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama
mereka di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dan keduanya merupakan orang-orang
pandai yang ditakuti karena memang mereka telah memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek!
Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek
cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan
tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti
kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini,
kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang
membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata
mereka terpental dan setlap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin
ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!
Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu
Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah,
cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang
mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!"
Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat
bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata
mereka. "Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas,
demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-
main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring
dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki
Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai
melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah,
depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua
yang berdiri dengan muka pucat.
"Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-
ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini. Dua orang ketua itu saling
pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.
"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"
"Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok. Biarpun
mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap
untuk membela diri sampai napas terakhir.
"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini
kalian belum menjadi bangkai" Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua
minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah
mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.
"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
"Keparat, kalau begitu mampuslah!"
Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong
Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah,
bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah
menghadang. "Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil berdiri di antara
mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu.
Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu
telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke
belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah
diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat
menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri
urusannya! "Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan
pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang
berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.
"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" jawab Han Houw dengan tenang dan tegas,
sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh
yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah
seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh
siapapun, termasuk engkau!"
"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani
menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justeru karena engkau
pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai
itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"
"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan
nasihatmu!" "Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku" Aku suhengmu,
juga aku pembimbingmu..."
"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat
kepadaku!" bentak Han Houw.
Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti
itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya
sendiri! "Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kaupelajari
dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan
ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia
telah menyerang Han Houw. Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari
kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan
angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon
yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa
harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti
dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw
seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi
serangan langsung dari kakek yang sakti itu.
Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri
setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan
menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia
mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi "pagar" hawa
pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap
mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak
menghantam ke depan. "Dess...!" Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek
terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai
beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat
melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga
terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan
serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah
memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda
ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng
Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda
bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!
Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus,
dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya
menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka,
menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia
benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.
"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang agak parau saking
marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-
thouw-pang menggigil. Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di
situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan
khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana
pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani
menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu
untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah
urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan
mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu
sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki,
dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan
merekapun tidak akan banyak gunanya. Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri
memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa
hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah
batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah
menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang
pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da
membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu
besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.
"Blarrrrr...!" Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah
debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur
berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi!
Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya
yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan
kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan
tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah
sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!
Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan,
ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua
serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya
sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali
ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang
Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua
tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.
Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan
langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya
menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti
seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya
terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan
pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.
"Buk! Bukk!" Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan
pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu
agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah
mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan
barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar
biasa dan dapat diandalkan.
Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan
dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak
terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya
kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting
dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa
nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga
desakan kakek itu dapat dipatahkannya.
Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh
yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit
terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw
memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti
Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga!
Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti
Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu
saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua
dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga
sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan
dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat
Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.
Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suhengnya itu selama
lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini
dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek, akan tetapi semua
pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak membuat lawannya roboh, bahkan
agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena
dia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dan sekali dia
terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh! Maka dicarinyalah akal, dan pemuda
bangsawan yang cerdik ini tiba-tiba meloncat jauh ke belakang sambil berseru,
"Tua bangka, kalau engkau berani hayo kaukejar aku!"
OUWYANG BU SEK sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh
jurus dia tidak mampu merobohkan sutenya ini! Sungguh hal yang amat mengejutkan
dan memalukan, apalagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apalagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi
musuh lamanya, tentu dia akan ditertawakan untuk ketololannya, yaitu selain
menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sutenya
sendiri itu! Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi
dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali sehingga
sebentar saja mereka sudah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke
puncak bukit di sebelah barat.
Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka
itu merasa tertarik sekali, tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan
keduanyapun lalu lari mengejar karena mereka ingin sekali melihat bagaimana
kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.
Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam,
mereka melihat pangeran itu telah bertanding lagi dengan amat seru dan hebatnya
melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat
cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu telah berdiri jungkir balik
dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan
gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang
menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek. Itulah ilmu silat aneh yang
diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan
memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan main. Setelah dalam keadaan jungkir balik
seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki dan tangan pangeran itu jauh
lebih besar daripada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri terkejut karena setiap
kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar
hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang
berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu
dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biarpun kini kekuatan aneh
dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang
terpelanting. Perkelahian itu seru bukan main. Terdengar kakek tua renta itu sudah terengah-
engah karena dia merasa lelah sekali. Betapapun juga, dia harus mengakui bahwa
sutenya ini memiliki ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui
teorinya belaka, sedangkan dia sama sekali tidak pernah ikut melatihnya sehingga
ketika sekarang sutenya mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia
menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya
tahannya banyak berkurang, terutama sekali napasnya. Dia sudah mandi keringat
dan napasnya memburu sedangkan sutenya itu masih segar dan serangan-serangannya
semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek
itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini
terkena pukulannya sehingga pemuda itupun menderita luka-luka yang biarpun tidak
berbahaya namun cukup membuat gerakannya makin lemah. Setiap pukulan pemuda itu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mendatangkan bahaya bagi kakek yang terlindung kekebalan hebat itu,
sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita, maka kalau di-
lanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan.
Hal inipun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke
puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suhengnya
sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana
tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang
sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek
itu lengah. Setelah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus
jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu
silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam
dia mendesak kakek itu mendekati jurang. Setelah memperhitungkan dengan matang,
tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan
menggetarkan, sehingga dua orang ketua Sin-ciang Tiat-touw-pang yang nonton
sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka
menutupi kedua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata
terbelalak. Dan tiba-tiba tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan
kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya
masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada
Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.
"Blukkk!" Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu
terjengkang. "Hukkkk... crotttt...!" Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar.
Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang
pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke
belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan
menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar
biasa dalamnya itu, Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke
bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suhengnya itu sudah terbanting ke dasar
jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Biarpun dari
tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan
lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.
Han Houw menarik napas lega dan baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya
sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam
perkelahian yang amat seru itu tadi.
"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"
"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."
Han Houw membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut
menghadapnya dengan sikap hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak
dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil
mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggapnya sebagai manusia sakti sukar dicari
tandingannya, bahkan Lam-hai Sam-lo sendiripun pernah kalah oleh kakek itu. Akan
tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.
"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."
Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang
pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak
mengira, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan
seperti ini telah berhasil memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga mampu
mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.
Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana
kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si" Di manakah dia sekarang?"
Berseri wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang
terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik
itu. "Sudah lama hamba tidak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi
yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk
mencari dan menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.
Senang hati Han Houw mendengar ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti
yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai
bersembunyi di tempat kalian?"
Terkejut hati dua orang itu mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ketika mereka
memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak
kelihatan marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.
"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena
isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan,
mereka itu lalu pindah."
"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-
pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"
Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, kemudian dia menghadapi
pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya
mereka itu bukan pemberontak, pangeran. Justeru untuk inilah maka Lie-lihiap
pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka
untuk menolong empat orang pendekar itu agar terbebas dari tuduhan memberontak.
Mereka itu hanya difitnah, karera semua orang kang-ouwpun tahu belaka betapa
semenjak dahulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng
Hong, Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu
pemerintah membasmi para pemberontak."
Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri
sehingga melegakan hati dua orang itu. Kini dengan halus Han Houw bertanya,
"Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"
Kembali Gu Kok Ban memandang khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka
adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."
Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan akupun
bertanya untuk pergi menemui mereka dengan baik-baik dan mengusahakan kebebasan
untuk mereka..." "Ah, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.
"Katakanlah, di mana adanya mereka kini?"
"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba dan pindah ke dalam sebuah dusun di
lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana,
sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa
melarikan diri lagi..." ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.
"Ke mana mereka melarikan diri" Di mana mereka sekarang?"
"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para
penyelidik, yaitu para anggauta yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."
"Suheng...!" Tiba-tiba terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara
memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya,
memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.
Han Houw mengerutkan alisnya, dan menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya
mencorong mengeluarkan sinar berkilat. "Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tidak
percaya kepadaku" Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka!
Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan
keterangannya, kini tidak perduli lagi akan pandangan mata sutenya yang masih
merasa khawatir itu. "Menurut keterangan para penyelidik, mereka melarikan diri
ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..." Tiba-tiba sepasang mata Gu
Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong
aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba
menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.
"Desss...!" Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya
yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah
seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.
Wajah Tong Siok menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya
yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan
telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Manusia iblis berhati keji!
Ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Bukan hanya
membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suhengku, dan hatimu palsu.
Manusia macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"
Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang akan pergi ke neraka!" katanya sambil
melangkah maju hendak memukul. Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat dan
dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu
menerjang ke depan dengan kepala lebih dulu, seperti seekor lembu jantan yang
marah menyerang harimau. Serudukan kepalanya ini tidak boleh dipandang ringan, karena ini merupakan
serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya
adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat
menghancurkan batu! Namun, Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak
menjadi gentar, bahkan tidak mengelak, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum
mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang
menyeruduk ke arah perutnya itu.
"Desss...!" terdengar suara keras seperti benda keras pecah dan tubuh Tiat-thouw
Tong Siok itu terlempar ke belakang, langsung melayang turun ke dalam jurang
dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang,
dia telah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting
itu. Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak
merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia harus membunuh
Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke
dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka
ini telah menyaksikan betapa dia telah membunuh suheng sendiri sehingga kelak
mereka dapat menyebar berita yang amat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-
ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia
kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah.
Mereka itu patut dihukum!
Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu telah tewas
dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw lalu membalikkan tubuhhya, meninggalkan
puncak bukit itu menuju ke guha di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam
tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke
tangan orang lain itu. Guha yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya
terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya.
Namun dengan kepandaiannya yang tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi
melangkah masuk dan dengan hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-
lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang gelap.
Kalau suhengnya dapat memasuki guha itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia
tidak" Tiba-tiba dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri dan secepat kilat dia
menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri dan mengerahkan
sin-kang di tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan telah
menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan
suara mendesir tadi! Kiranya dia telah menginjak alat rahasia yang dipasang
sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja
yang berani masuk guha dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!
Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian
dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus
dari celah terbuka di atas guha. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti
hitam di sudut ruangan guha itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang, namun
dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan
waspada dia melangkah terus mendekati tempat peti itu terletak.
Han Houw lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu
mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu
dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa
peti itu ke luar guha. Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia
menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung
dia tadi telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari
pengerahan sin-kangnya, kalau tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena
racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus
karena hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan
kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.
"Sssssttt...!" Sinar merah menyambar dan seekor ular merah telah meloncat keluar
dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari
tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, sekali kerahkan
tenaga pada kedua jari itu terdengar suara "krekk" dan tulang leher ular itupun
patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-
lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang telah dibukanya.
"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong! Dia merasa
tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam guha, mencari-cari. Namun guha
itu kosong tidak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu
membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam guha. Namun hasilnya nihil,
tidak ada apapun di dalam guha itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai
berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu
tidak berisi apa-apa lagi.
"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar
masuk semua guha di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno
itu ternyata hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat,
akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya
kitab-kitab itu" Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat
beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu
Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak nampak oleh mereka, Han Houw
mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggauta Sin-ciang
Tiat-thouw-pang. Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu
tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu
Sek dan akibatnya mereka bertiga tewas semua. Lebih baik begitu, pikirnya dan
diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.
*** Kuil di puncak bukit itu amat besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang
berlapis-lapis seperti benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah
sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si
amat terkenal semenjak jaman dahulu karena inilah yang menampung para pendeta
Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebarluaskan pelajaran
Agama Buddha ke seluruh Tiongkok. Selain sebagai tempat perkumpulannya para
tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama
yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali
ahli-ahli silat yang pandai, dan nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) amat
terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-
lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.
Bahkan sumber dari segala ilmu silat, menurut dongeng dari mulut ke mulut,
berasal dari kuil Siauw-lim-si, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta
Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang semula hanya ditujukan untuk
menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela
diri yang amat hebat. Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini
kemudian berkembang luas sekali, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan
keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sebetulnya
bersumber satu. Namun, yang dianggap paling aseli sampai sekarang adalah ilmu
silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-
dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.
Memang patutlah Kuil Siauw-lim-si itu kalau dikabarkan sebagai tempat orang-
orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana
keramat dan angker. Apalagi karena sebagai pusat keagamaan di kuil itu setiap
hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat
sehingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasana menjadi
semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia
bagi manusia. Tidak pernah sunyi kuil besar itu. Kalau tidak suara orang membaca doa atau
membaca ayat-ayat suci dari kitab, tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini di
bagian kuilnya. Sedangkan di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu
terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat! Kompleks kuil itu memang
luas sekali. Kuilnya sendiri berada di tengah depan sebagai bangunan induk, akan
tetapi di kanan kiri dan belakang terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang
menjadi tempat tinggal para hwesio dan para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang
dari lima puluh orang pendeta dant murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari
berada di tempat itu. Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari
tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan,
bahkan ribuan orang. Ada yang mengepalai kuil-kuil kecil, ada yang menjadi
pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan keagamaan, ada pula yang menjadi
orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio dan
tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan Siauw-lim-
pai yang mengharuskan para murid itu untuk hidup sebagai orang-orang gagah yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras mempergunakan ke-
pandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan. Dan
memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai
menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar seorang murid Siauw-lim-pai
menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih
pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang
menyeleweng. Sedikitnya, seorang murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan
dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan kalau ketahuan
mempergunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan
ditentang dan dimusuhi. Karena peraturan yang keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh
kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya tetap bersih, bahkan dalam pergolakan-
pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja,
Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.
Pagi hari itu cerah sekali. Matahari berseri di angkasa timur, melimpahkan
cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para
hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat merasakan ke-
cerahan pagi yang sehat itu. Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas
pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat
sembahyang, ada yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan,
menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan,
ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak dan memikul air itu ke
dalam kuil melalui pintu samping agar tidak membasahi lantai kuil, ada pula
hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang,
ada pula yang membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri,
akan tetapi ada pula yang sedang bersamadhi di sebelah dalam, mengheningkan
cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah telah menjadi arca seperti yang
banyak terdapat di dalam kuil. Di samping kesibukan yang tenang dan tenteram
ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang
dada membiarkan sinar matahari memandikan tubuh mereka karena cahaya itu amat
berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan
tenaga sehingga otot-otot tubuh mereka menggembung dan nampak kuat bukan main
penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari
dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga. Memang Siauw-lim-pai ini gudang
ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras sampai yang sifatnya lunak, dan
ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.
Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di taman itu, di
mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat
di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat,
yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus
yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata
yang delapan belas macam banyaknya.
Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang
melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-masing yang datang
bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka
citakan akan segera terkabul, di antaranya, ingin mempunyai anak, ingin segera
memperoleh jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan
pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan
wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara
mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-
janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka
berhasil, mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk
menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada jaman
modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan dengan
siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi
sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli
seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual
beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula
yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan!
Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan
dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang
kita anggap baik kepada kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita
anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang
serba palsu ini. Sinar matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun
juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau
rendah, agung atau hina! Juga sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap
siapapun juga, dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita
kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang
tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita.
Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan
lahir atau batin kepada kita.
Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang,
terdapat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia
tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang
mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang
berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan. Tidak seperti
para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan
dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang dan sikap yang agung,
bahkan dia tidak perdulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.
Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-
si" Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek dan dua orang ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pergi ke kota
raja kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apalagi dia
sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang
dicintainya itu. Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai
memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa
tanding di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan
hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu
sehingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya! Dan untuk menguji
diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, yang paling tepat adalah mendatangi
Siauw-lim-pai dan menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa
Siauw-lim-pai merupakan mercu suar bagi dunia persilatan, maka menjatuhkan
Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal dan dunia persilatan akan
geger karenanya. Jadi kedatangannya pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang
hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah untuk mencari dan menantang ketua
Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!
Melihat pemuda ini keadaannya lain daripada para tamu yang sudah biasa
bersembahyang, tidak membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang
matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat
menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya, "Apakah kongcu hendak
bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"
Han Houw memandang wajah hwesio ini dan melihat bahwa pada wajah itu terdapat
ketenangan besar. Dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja
namun ada ketenangan yang mengagumkan pada dirinya. Maka diapun cepat membalas
penghormatan itu dan berkata, "Saya datang bukan untuk bersembahyang, melainkan
untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang
datang dengan maksud bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apalagi yang datang
hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.
Dia memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga, "Kongcu, tidak
mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus mendaftarkan diri
dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."
Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang-kadang dia lupa bahwa
tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh dan
berkedudukan tinggi sehingga sikap seorang yang kurang menghormatinya
mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak dan
memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang
berbahaya, bahwa dia telah memasuki guha naga dan harimau, maka dia harus
bersikap hati-hati. "Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin
bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Biarpun ucapan ini dikeluarken dengan suara halus namun seketika wajah hwesio
itu menjadi pucat, ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi
tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan
tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini
benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya! Kalau
benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah
agak kotor begitu" Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia
tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan
membungkuk dan berkata dengan suara ragu-ragu.
"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang
tamu..." Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk
di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang bergegas pergi untuk
melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.
Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah, dan gagah, juga
lukisan-lukisan yang menghias dinding ruangan tamu itu. Di istana kaisar dia
sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, namun baru sekarang dia melihat
lukisan dan tulisan dan suasana yang kesemuanya membayangkan kegagahan dan juga
kedamaian seperti di ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum. Tidak bohonglah
suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya
ilmu silat, sastera dan agama. Makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan
ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai,
namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!
Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia
tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di
sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang
menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia
enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak banyak mencampuri urusan
dari kuil karena dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau,
mendatangi kuil-kuil Siauw-lim-si di seluruh negeri, selain untuk mengamati
perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-
lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Dan urusan di kuil, baik mengenai agama
maupun mengenai pelajaran sastera, silat dan hubungan dengan orang luar,
diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.
Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-
hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk
setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian
Sun Hwesio ini mewakili suhunya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain
menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama. Yang ke
dua adalah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda
dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar
dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang
lebar memandang tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya
jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat
kepada para murid. Adapun hwesio ke tiga adalah Thian Bun Hwesio, berusia lima
puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-
geriknya halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang
bertugas menerima tamu dan berhubungan dengan orang luar.
Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian
silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki
keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini
tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih
rendah daripada mereka bertiga, namun bagi orang luar, setiap orang hwesio
Siauw-lim-si, dari tukang kebun sampai tukang membersihkan lantai, rata-rata
memiliki ilmu silat yang tangguh.
Ketika hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang
tadinya seperti biasa dalam keadaan tenang itu menjadi panik. Siapa orangnya
tidak menjadi panik kalau mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu
secara begitu tiba-tiba" Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi
kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat.
Maka para hwesio itu langsung melapor kepada Thian Bun Hwesio. Hwesio tinggi
kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang
bersamadhi dan tidak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak
suhengnya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu
agung itu. Han Houw sudah hampir bilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya
pintu sebelah dalam itu terbuka dan muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia
tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong memandang kepada
dua orang hwesio itu. Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan
diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai
ahli-ahli silat kelas tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang
mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga
menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sin-kang
sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya
yang mencorong seperti mata naga" Ataukah hanya kebetulan saja"
Dua orang hwesio itu lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, dan dengan
suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio lalu berkata, "Harap paduka sudi
memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini,
maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng
sekalian merasa terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang
mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini
terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.
Han Houw juga mengerti akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini,
akan tetapi dia tidak perduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-
wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai" Aku hanya ingin bertemu dan
bicara kepadanya." Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka "locianpwe",
sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda meng-
hormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka
"losuhu" saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja makin membingungkan
dan menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat" Melihat
sepasang matanya yang mencorong dan melihat sebutan itu, sangat boleh jadi.
Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami,
pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."
"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio" Ke manakah beliau
pergi?" Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru
mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui
guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang
pangeran" Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.
"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi
setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh
karena itu, kalau memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat
mengurusnya dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun
Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang sudah
diberi wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-
lim-pai. Tidak tahu ada urusan penting apakah seorang pangeran kerajaan saperti
paduka sampai datang mencari suhu?"
Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak perduli.
Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik
Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi
kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan
ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."
Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau
ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam
urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini
datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi
kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai! Tentu
itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan,
bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.
Pada saat itu, seorang hwesio yang memang tadi telah dipesan, datang membawa
cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan
ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,
"Kalau paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng.
Andaikata ada suhu di sinipun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada
pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke
Siauw-lim-si kami?"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini
memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang
bertubuh tinggi besar dan bersikap keren dan pendiam itu. Kemudian dia
mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi
locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"
Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.
"Ah, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara
semua murid Siauw-lim-pai?"
Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ah, orang-orang lemah seperti kami ini mana berani
mengatakan memiliki kepandaian tinggi" Siauw-lim-pai amat luas dan memiliki
ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri dan sukar untuk mengukur
siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani
menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau
di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah
murid-murid utamanya."
"Bagus sekali! Kalau begitu ji-wi locianpwe yang merupakan orang terpandai di
sini sesudah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang. Kenyataan ini
menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai
sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah dapat menghadapi murid-murid utama
Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada
sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat,
maka kini dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur,
"Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin
para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar..."
Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. "Bagus
sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku bermaksud belajar dari Thian Khi Hwesio
ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka
biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah,
locianpwe!" Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua orang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda
ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari,
seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang dapat seketika lalu bisa! Akan
tetapi karena merekapun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak
sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata. "Baik, marilah
kita ke lian-bu-thia, pangeran."
Ketika mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat
belasan orang hwesio dan murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih
silat. Ada pula yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang
melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya.
Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat. Melihat
datangnya dua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua
segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari
hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita akan datangnya tamu agung,
seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh
perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang
disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.
Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat berlatih silat berikut rak
senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan, dinding-
dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak
tulang-tulang, otot-otot dan syaraf, Han Houw memandang dengan kagum. Memang
luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat
perkumpulan yang demikian besar dan ternama.
Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk
di pinggir dan mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi,
siap untuk melihat seperti sikap mereka kalau hendak diberi kuliah tentang ilmu
silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio sambil tersenyum memandang dan
hwesio ini duduk di atas sebuah bangku di sudut ruangan, ingin melihat bagaimana
suhengnya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.
Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio,
murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran itu yang bertubuh cukup jangkung
tegap, nampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi
besar seperti raksasa itu.
"Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?" tanyanya dengan suara nyaring
akan tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk.
"Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu
pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah
kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-
lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan dengan dasar-dasar dari ilmu
silat lain, barulah ilmu itu dapat dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu,
harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang pernah paduka pelajari."
Han Houw tersenyum, "Locianpwe, tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan
menjadi tontonan, karena ilmu silatku amat buruk, sebaiknya kalau locianpwe
memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku." Itulah merupakan tantangan, biarpun
nadanya minta diberi pelajaran.
Thian Bi Hwesio masih tersenyum. "Biarlah seorang murid pinceng yang terbaik
menemani paduka, dari gerakan padukapun pinceng dapat menilai tingkat..."
"Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi
Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau tidak
ada, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu
silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu
silatku, locianpwe."
Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai
yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku
pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan bendak
minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu
hendak menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!
"Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang
harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata,
maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan
penyesalan hebat!" Han Houw tertawa dan bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap
aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah lodanpwe mengira bahwa
aku akan dapat mudah kaukalahkan begitu saja" Kalau aku menganggap bahwa
kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?"
Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian
Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya
seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu
kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar!
"Pangeran," katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu
memandang tajam, "hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta
paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan
paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan di-
maksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!"
Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek. "Apakah dengan lain kata
locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku
untuk saling menguji kepandaian atau pibu?"
Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih
dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke depan.
Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur
seperti gurunya. Matanya lebar bundar.
"Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran!
Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan
suhu!" Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu.
Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai
suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati"
Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama
lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.
"Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul," kata Thian Bi Hwesio
sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya. Di
situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat
seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.
Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai
dan berkata, "Pangeran, hambalah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk
menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!" Sambil berkata demikian,
hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang
lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak
dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari
terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan
memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau.
Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi
Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.
"Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau
akan roboh!" Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya
bergerak menampar sambil berkata, "Nah, kauterimalah ini!"
Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu
sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan
bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian
Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!
Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang
pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai
tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak
cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan
gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua
jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia
ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian
mengalahkannya tanpa melukai.
"Tukkk!" Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan
tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit
yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar
lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk
menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting! Akan tetapi dengan sikap
tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu
dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio
itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena
tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Plakk!" Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh
kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu
terlempar ke arah Thian Bi Hwesio! Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan
menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa
muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu
bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol.
Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan
saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh.
Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali
bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.
"Sute, waspada..." bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali
lompat sudah tiba di depan Han Houw.
"Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!" Thian Bi
Hwesio berkata. "Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari
perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan
kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk
menghina fihak lain?"
"Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak
mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa
Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali
membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-
lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan
Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin
melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia
persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani
menghadapiku, akupun tidak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-
lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor
satu di dunia!" Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi
hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani
mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia" Akibatnya akan hebat dan tentu
seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya! Di dunia persilatan berlaku istilah
bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih
tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang
sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor
satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini!
Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar
ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot
dia lalu berkata, "Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan
apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan
siapapun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah
terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa,
kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut."
"Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-
main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!"
Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian
murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk
mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya.
Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-
kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk
hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal
yang satu lagi terbuka. "Silakan, pangeran!" katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak
berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia
tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-
han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan
bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar
berotot itu. Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin
tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk
dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan,
tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib
Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah
perut lawan dari bawah! "Hiaaattt...!" "Wuuuuttt... ah!" Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah
dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan
mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han
Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah
ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.
"Wuuuuutttt...!"
"Ehhh...!" Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai
seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan
yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan
menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.
Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini
dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda
inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada,
dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan
langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga
sebelumnya. Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan
itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan
cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan
memutar. KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri
sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat
Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama
sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib,
langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa
dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas
dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi
Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!
Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain
memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna,
demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikitpun untuk
dapat memasukkan serangannya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan
diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya
bathwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya
saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh
ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat
Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha
menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi
Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang
mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, me-
ngerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu
lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan
hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan
bajunya robek. Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah
terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah
mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara
bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga
mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya
terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat
sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia
memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian
dalam tubuhnya! Bukan main kagetnya Thian Bun Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan
oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin
lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai
itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh
pemuda itu! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh
besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan
tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran
silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan
tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya,
yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh.
Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mempergunakan
ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum
lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan
ilmunya yang hebat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan
tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu
belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri
sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia memandang diri sendiri sehingga
menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia
tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk
juga mengalahkan hwesio ini! Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan
seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus
lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-
hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu
merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia
merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung mempergunakan
ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa. "Ha-ha-ha,
locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu
merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!"
Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah
mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka
sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak
menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu
bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat
bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan. Akan
tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru)
mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang
keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam
hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka,
bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang.
Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang
sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan.
"Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini
dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat
ini dan tidak mengganggu kami." Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun
Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.
"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan
ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku
untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya
kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih
tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!"
Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap
seperti ini" Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai
tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di
sini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu."
"Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu,
locianpwe," Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan
dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal
ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang.
"Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah.
Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di
lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke
arah Han Houw. "Uhhh...!" Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa
pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw
sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas
mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir
balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah
menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang
lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang
menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw. Namun,
dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat
menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini
berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang
dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat
hebat itu. Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah
berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu
masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka
loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang
seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah
membasahi celana! "Omitohud...!" Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain
yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio dengan sebelah tangannya, lalu menurunkan
tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan
memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung
hawa beracun itu. Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio
itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang
bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih tua
daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju
menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.
"Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah
Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf
sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka."
Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan
hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya
sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio
itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai.
Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan
guru merekapun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut
sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.
"Siapakah locianpwe?"
"Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi
paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua,
dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian
Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini.
Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya
kepada paduka." "Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula
untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi,
sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji
kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan
nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji
kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai
murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku."
"Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang" Pendeta-pendeta tua yang bodoh
seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang" Pinceng hanya dapat
membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan
kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat"
Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang."
"Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan
kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para
pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai" Aku telah menguji
kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku
minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian
melawanku." "Pinceng tidak berani."
"Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa
Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!"
"Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani" Sebaiknya kelak kalau suhu sudah
Warisan Berdarah 4 Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang Wanita Iblis 15
datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena
ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan
saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab
yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya!
Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat
aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang
amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu!
Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu
ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari tempat pertapaannya
itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan
sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid
kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari
dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek.
Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang
banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau
seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan
mati. Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar
matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap,
maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu
sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh
penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia
menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia
mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha.
"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main,
sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.
"Byarrrr...!" Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur
terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang
dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan
main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini
dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara
bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-
daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar
kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan
tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.
"Desss...!" Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar
itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam
jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar
suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara
keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi
marah oleh gangguan manusia itu.
Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya
meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi
menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke
depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi,
kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh
kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa
seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa
penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di
depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di
dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw
yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun
putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa
hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di
atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di
bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia
akan menghidapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia
tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit,
kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu
menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang
amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu
wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar,
seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang
indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.
Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya
yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu
cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab
itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh
ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab
itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab
aselinya. Ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suhengnya!
Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti
kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu,
dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui
rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab ter-
jemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-
kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga
saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan
angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-
mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat
membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang
matanya dan merasa puas, Han Houw lalu melompat turun dari batu itu dan berlari
seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak
di mana suhengnya tinggal.
"Suheng...!" Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran,
disambut oleh gema suara di empat penjuru.
"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang
udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.
Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari
jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"
Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu
menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian,
berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han
Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat
itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu
dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka
sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di
bagian atas mulutnya, dia bertanya, "Bagaimana, sute" Engkau sudah berhasil...?"
Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya
ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga
tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil.
Maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Dengan petunjuk suhu yang mulia,
aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih
memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya
karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka
memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali
agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."
Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja
aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang
ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat,
hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."
"Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri,
katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."
"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan
pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."
Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk
menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu
tidak nampak perubahan sesuatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada
suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk
menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa,
melainkan menyeringai dan berlari terus, copat sekali dengan langkah-langkah
kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari
belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti
suhengnya itu dengan amat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati
jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar
sekali, kakek itu berhenti dan berkata, "Di dalam guha inilah kusembunyikan
kitab-kitab itu." "Biar aku yang mengambilnya, suheng!"
"Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kautunggu di sini, biar aku yang mengambilnya."
Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw
menanti di luar guha sambil menahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan
kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.
Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti
hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya
dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak
terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe,
kami datang memenuhi undangan!"
"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan
bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw
membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi
belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha
dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya.
"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka
lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw
terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang
telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-
ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan
yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali
ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu.
Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi
dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-
pang telah menghadap!"
Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menanti di sini,
harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"
Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan
mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang
lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka
adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari
perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah
itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka
terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada
pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa
khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini
adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan
kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang
pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.
Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu
berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia
menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, "Kalau suheng ada urusan dengan
mereka, silakan." Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut
itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"
Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang
Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang
ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah
locianpwe memanggil kami?"
Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah
orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai
perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"
Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-
thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng,
menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya,
menjawab dengan suaranya yang besar, "Ouwyang locianpwe harap jangan memandang
rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!"
"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan
Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"
Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek
dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.
"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.
"Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang,
dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah
Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" Kakek itu
berkata mengejek. Dua orang itu terkejut dan keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han
Houw. Pangeran muda itupun memandang kepada mereka dengan sinar mata yang
dimikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang
keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan
kepada sang pangeran itu.
"Tidak, mereka bukan pemberontak buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang
gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"
"Hemm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek
itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.
Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat
dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan
menentukan" Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"
Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat
dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya, kini
suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.
Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia
telah memperoleh akal, maka dengan wajah terang dia lalu menjawab, "Ouwyang
locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai
sahabat-sahabat baik semenjak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie
Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu,
nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Setelah kami menerima
budi Lie-lihiap yang menyelamatkan kami tentu saja kami menganggap keluarganya
sebagai sahabat-sahabat kami." Tentu saja ucapan itu ditujukan kepada Pangeran
Ceng Han Houw. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga
bahwa ada hubungan cinta kasih mesra antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si,
maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran,
Dan, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada
wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.
Akan tetapi, Ouwyang Bu Sek membanting kakinya yang telanjang. "Kalian
bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Sebaliknya, aku memusuhi
orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan
karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"
"Ouwyang locianpwe..."
"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"
"Kami tidak tahu, locianpwe, bahkan andaikata kami tahu juga, kami tidak
mengatakan kepada siapapun juga. Kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka
membikin celaka orang-orang gagah, apalagi kami telah berhutang budi. Lebih baik
mati daripada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu
kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam dan
dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk
membela diri. Biarpun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek
Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu amat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak
mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos
siang-kiam dari sarung pedangnya, melintangkan sepasang pedang itu di depan
dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan
sikap gagah. "Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka
membunuh orang yang tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba
tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang
dihantamkan ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya mendatangkan angin
dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keraspun akan
hancur tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun,
kakek cebol itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan agaknya memang
sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelimis. "Takkkk!" Toya besi itu terpental, seolah-olah mengenai bola baja yang jauh
lebih keras daripada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan
mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.
Tong Siok terkejut dan juga penasaran, toyanya diputar cepat dan mengirim
serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk seperti
orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke
tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman
toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!
"Heh-heh, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari
ini pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.
Pada saat toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah menerjang dengan siang-
kiamnya. Nampak sinar berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah
leher dan pinggang. "Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pokaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru, dan
tiba-tiba tubuhhya mencelat ke atas terbebas dari guntingan sepasang pedang itu,
kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang
ludah. "Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali. Biarpun Sin-
ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya
berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air
ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang
pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua
orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama
mereka di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dan keduanya merupakan orang-orang
pandai yang ditakuti karena memang mereka telah memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek!
Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek
cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan
tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti
kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini,
kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang
membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata
mereka terpental dan setlap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin
ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!
Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu
Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah,
cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang
mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!"
Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat
bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata
mereka. "Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas,
demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-
main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring
dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki
Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai
melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah,
depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua
yang berdiri dengan muka pucat.
"Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-
ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini. Dua orang ketua itu saling
pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.
"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"
"Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok. Biarpun
mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap
untuk membela diri sampai napas terakhir.
"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini
kalian belum menjadi bangkai" Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua
minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah
mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.
"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
"Keparat, kalau begitu mampuslah!"
Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong
Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah,
bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah
menghadang. "Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil berdiri di antara
mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu.
Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu
telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke
belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah
diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat
menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri
urusannya! "Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan
pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang
berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.
"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" jawab Han Houw dengan tenang dan tegas,
sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh
yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah
seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh
siapapun, termasuk engkau!"
"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani
menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justeru karena engkau
pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai
itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"
"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan
nasihatmu!" "Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku" Aku suhengmu,
juga aku pembimbingmu..."
"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat
kepadaku!" bentak Han Houw.
Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti
itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya
sendiri! "Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kaupelajari
dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan
ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia
telah menyerang Han Houw. Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari
kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan
angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon
yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa
harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti
dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw
seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi
serangan langsung dari kakek yang sakti itu.
Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri
setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan
menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia
mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi "pagar" hawa
pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap
mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak
menghantam ke depan. "Dess...!" Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek
terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai
beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat
melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga
terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan
serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah
memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda
ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng
Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda
bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!
Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus,
dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya
menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka,
menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia
benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.
"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang agak parau saking
marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-
thouw-pang menggigil. Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di
situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan
khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana
pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani
menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu
untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah
urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan
mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu
sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki,
dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan
merekapun tidak akan banyak gunanya. Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri
memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa
hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah
batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah
menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang
pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da
membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu
besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.
"Blarrrrr...!" Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah
debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur
berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi!
Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya
yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan
kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan
tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah
sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!
Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan,
ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua
serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya
sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali
ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang
Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua
tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.
Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan
langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya
menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti
seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya
terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan
pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.
"Buk! Bukk!" Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan
pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu
agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah
mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan
barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar
biasa dan dapat diandalkan.
Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan
dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak
terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya
kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting
dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa
nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga
desakan kakek itu dapat dipatahkannya.
Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh
yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit
terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw
memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti
Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga!
Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti
Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu
saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua
dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga
sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan
dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat
Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.
Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suhengnya itu selama
lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini
dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek, akan tetapi semua
pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak membuat lawannya roboh, bahkan
agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena
dia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dan sekali dia
terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh! Maka dicarinyalah akal, dan pemuda
bangsawan yang cerdik ini tiba-tiba meloncat jauh ke belakang sambil berseru,
"Tua bangka, kalau engkau berani hayo kaukejar aku!"
OUWYANG BU SEK sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh
jurus dia tidak mampu merobohkan sutenya ini! Sungguh hal yang amat mengejutkan
dan memalukan, apalagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apalagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi
musuh lamanya, tentu dia akan ditertawakan untuk ketololannya, yaitu selain
menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sutenya
sendiri itu! Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi
dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali sehingga
sebentar saja mereka sudah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke
puncak bukit di sebelah barat.
Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka
itu merasa tertarik sekali, tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan
keduanyapun lalu lari mengejar karena mereka ingin sekali melihat bagaimana
kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.
Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam,
mereka melihat pangeran itu telah bertanding lagi dengan amat seru dan hebatnya
melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat
cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu telah berdiri jungkir balik
dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan
gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang
menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek. Itulah ilmu silat aneh yang
diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan
memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan main. Setelah dalam keadaan jungkir balik
seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki dan tangan pangeran itu jauh
lebih besar daripada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri terkejut karena setiap
kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar
hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang
berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu
dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biarpun kini kekuatan aneh
dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang
terpelanting. Perkelahian itu seru bukan main. Terdengar kakek tua renta itu sudah terengah-
engah karena dia merasa lelah sekali. Betapapun juga, dia harus mengakui bahwa
sutenya ini memiliki ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui
teorinya belaka, sedangkan dia sama sekali tidak pernah ikut melatihnya sehingga
ketika sekarang sutenya mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia
menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya
tahannya banyak berkurang, terutama sekali napasnya. Dia sudah mandi keringat
dan napasnya memburu sedangkan sutenya itu masih segar dan serangan-serangannya
semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek
itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini
terkena pukulannya sehingga pemuda itupun menderita luka-luka yang biarpun tidak
berbahaya namun cukup membuat gerakannya makin lemah. Setiap pukulan pemuda itu
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak mendatangkan bahaya bagi kakek yang terlindung kekebalan hebat itu,
sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita, maka kalau di-
lanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan.
Hal inipun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke
puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suhengnya
sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana
tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang
sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek
itu lengah. Setelah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus
jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu
silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam
dia mendesak kakek itu mendekati jurang. Setelah memperhitungkan dengan matang,
tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan
menggetarkan, sehingga dua orang ketua Sin-ciang Tiat-touw-pang yang nonton
sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka
menutupi kedua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata
terbelalak. Dan tiba-tiba tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan
kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya
masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada
Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.
"Blukkk!" Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu
terjengkang. "Hukkkk... crotttt...!" Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar.
Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang
pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke
belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan
menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar
biasa dalamnya itu, Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke
bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suhengnya itu sudah terbanting ke dasar
jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Biarpun dari
tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan
lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.
Han Houw menarik napas lega dan baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya
sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam
perkelahian yang amat seru itu tadi.
"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"
"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."
Han Houw membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut
menghadapnya dengan sikap hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak
dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil
mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggapnya sebagai manusia sakti sukar dicari
tandingannya, bahkan Lam-hai Sam-lo sendiripun pernah kalah oleh kakek itu. Akan
tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.
"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."
Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang
pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak
mengira, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan
seperti ini telah berhasil memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga mampu
mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.
Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana
kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si" Di manakah dia sekarang?"
Berseri wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang
terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik
itu. "Sudah lama hamba tidak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi
yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk
mencari dan menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.
Senang hati Han Houw mendengar ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti
yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai
bersembunyi di tempat kalian?"
Terkejut hati dua orang itu mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ketika mereka
memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak
kelihatan marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.
"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena
isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan,
mereka itu lalu pindah."
"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-
pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"
Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, kemudian dia menghadapi
pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya
mereka itu bukan pemberontak, pangeran. Justeru untuk inilah maka Lie-lihiap
pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka
untuk menolong empat orang pendekar itu agar terbebas dari tuduhan memberontak.
Mereka itu hanya difitnah, karera semua orang kang-ouwpun tahu belaka betapa
semenjak dahulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng
Hong, Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu
pemerintah membasmi para pemberontak."
Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri
sehingga melegakan hati dua orang itu. Kini dengan halus Han Houw bertanya,
"Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"
Kembali Gu Kok Ban memandang khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka
adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."
Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan akupun
bertanya untuk pergi menemui mereka dengan baik-baik dan mengusahakan kebebasan
untuk mereka..." "Ah, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.
"Katakanlah, di mana adanya mereka kini?"
"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba dan pindah ke dalam sebuah dusun di
lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana,
sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa
melarikan diri lagi..." ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.
"Ke mana mereka melarikan diri" Di mana mereka sekarang?"
"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para
penyelidik, yaitu para anggauta yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."
"Suheng...!" Tiba-tiba terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara
memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya,
memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.
Han Houw mengerutkan alisnya, dan menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya
mencorong mengeluarkan sinar berkilat. "Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tidak
percaya kepadaku" Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka!
Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan
keterangannya, kini tidak perduli lagi akan pandangan mata sutenya yang masih
merasa khawatir itu. "Menurut keterangan para penyelidik, mereka melarikan diri
ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..." Tiba-tiba sepasang mata Gu
Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong
aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba
menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.
"Desss...!" Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya
yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah
seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.
Wajah Tong Siok menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya
yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan
telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Manusia iblis berhati keji!
Ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Bukan hanya
membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suhengku, dan hatimu palsu.
Manusia macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"
Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang akan pergi ke neraka!" katanya sambil
melangkah maju hendak memukul. Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat dan
dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu
menerjang ke depan dengan kepala lebih dulu, seperti seekor lembu jantan yang
marah menyerang harimau. Serudukan kepalanya ini tidak boleh dipandang ringan, karena ini merupakan
serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya
adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat
menghancurkan batu! Namun, Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak
menjadi gentar, bahkan tidak mengelak, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum
mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang
menyeruduk ke arah perutnya itu.
"Desss...!" terdengar suara keras seperti benda keras pecah dan tubuh Tiat-thouw
Tong Siok itu terlempar ke belakang, langsung melayang turun ke dalam jurang
dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang,
dia telah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting
itu. Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak
merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia harus membunuh
Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke
dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka
ini telah menyaksikan betapa dia telah membunuh suheng sendiri sehingga kelak
mereka dapat menyebar berita yang amat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-
ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia
kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah.
Mereka itu patut dihukum!
Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu telah tewas
dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw lalu membalikkan tubuhhya, meninggalkan
puncak bukit itu menuju ke guha di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam
tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke
tangan orang lain itu. Guha yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya
terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya.
Namun dengan kepandaiannya yang tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi
melangkah masuk dan dengan hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-
lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang gelap.
Kalau suhengnya dapat memasuki guha itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia
tidak" Tiba-tiba dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri dan secepat kilat dia
menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri dan mengerahkan
sin-kang di tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan telah
menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan
suara mendesir tadi! Kiranya dia telah menginjak alat rahasia yang dipasang
sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja
yang berani masuk guha dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!
Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian
dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus
dari celah terbuka di atas guha. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti
hitam di sudut ruangan guha itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang, namun
dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan
waspada dia melangkah terus mendekati tempat peti itu terletak.
Han Houw lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu
mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu
dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa
peti itu ke luar guha. Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia
menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung
dia tadi telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari
pengerahan sin-kangnya, kalau tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena
racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus
karena hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan
kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.
"Sssssttt...!" Sinar merah menyambar dan seekor ular merah telah meloncat keluar
dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari
tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, sekali kerahkan
tenaga pada kedua jari itu terdengar suara "krekk" dan tulang leher ular itupun
patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-
lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang telah dibukanya.
"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong! Dia merasa
tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam guha, mencari-cari. Namun guha
itu kosong tidak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu
membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam guha. Namun hasilnya nihil,
tidak ada apapun di dalam guha itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai
berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu
tidak berisi apa-apa lagi.
"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar
masuk semua guha di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno
itu ternyata hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat,
akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya
kitab-kitab itu" Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat
beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu
Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak nampak oleh mereka, Han Houw
mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggauta Sin-ciang
Tiat-thouw-pang. Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu
tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu
Sek dan akibatnya mereka bertiga tewas semua. Lebih baik begitu, pikirnya dan
diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.
*** Kuil di puncak bukit itu amat besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang
berlapis-lapis seperti benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah
sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si
amat terkenal semenjak jaman dahulu karena inilah yang menampung para pendeta
Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebarluaskan pelajaran
Agama Buddha ke seluruh Tiongkok. Selain sebagai tempat perkumpulannya para
tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama
yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali
ahli-ahli silat yang pandai, dan nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) amat
terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-
lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.
Bahkan sumber dari segala ilmu silat, menurut dongeng dari mulut ke mulut,
berasal dari kuil Siauw-lim-si, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta
Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang semula hanya ditujukan untuk
menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela
diri yang amat hebat. Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini
kemudian berkembang luas sekali, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan
keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sebetulnya
bersumber satu. Namun, yang dianggap paling aseli sampai sekarang adalah ilmu
silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-
dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.
Memang patutlah Kuil Siauw-lim-si itu kalau dikabarkan sebagai tempat orang-
orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana
keramat dan angker. Apalagi karena sebagai pusat keagamaan di kuil itu setiap
hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat
sehingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasana menjadi
semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia
bagi manusia. Tidak pernah sunyi kuil besar itu. Kalau tidak suara orang membaca doa atau
membaca ayat-ayat suci dari kitab, tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini di
bagian kuilnya. Sedangkan di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu
terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat! Kompleks kuil itu memang
luas sekali. Kuilnya sendiri berada di tengah depan sebagai bangunan induk, akan
tetapi di kanan kiri dan belakang terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang
menjadi tempat tinggal para hwesio dan para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang
dari lima puluh orang pendeta dant murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari
berada di tempat itu. Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari
tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan,
bahkan ribuan orang. Ada yang mengepalai kuil-kuil kecil, ada yang menjadi
pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan keagamaan, ada pula yang menjadi
orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio dan
tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan Siauw-lim-
pai yang mengharuskan para murid itu untuk hidup sebagai orang-orang gagah yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras mempergunakan ke-
pandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan. Dan
memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai
menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar seorang murid Siauw-lim-pai
menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih
pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang
menyeleweng. Sedikitnya, seorang murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan
dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan kalau ketahuan
mempergunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan
ditentang dan dimusuhi. Karena peraturan yang keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh
kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya tetap bersih, bahkan dalam pergolakan-
pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja,
Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.
Pagi hari itu cerah sekali. Matahari berseri di angkasa timur, melimpahkan
cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para
hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat merasakan ke-
cerahan pagi yang sehat itu. Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas
pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat
sembahyang, ada yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan,
menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan,
ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak dan memikul air itu ke
dalam kuil melalui pintu samping agar tidak membasahi lantai kuil, ada pula
hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang,
ada pula yang membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri,
akan tetapi ada pula yang sedang bersamadhi di sebelah dalam, mengheningkan
cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah telah menjadi arca seperti yang
banyak terdapat di dalam kuil. Di samping kesibukan yang tenang dan tenteram
ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang
dada membiarkan sinar matahari memandikan tubuh mereka karena cahaya itu amat
berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan
tenaga sehingga otot-otot tubuh mereka menggembung dan nampak kuat bukan main
penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari
dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga. Memang Siauw-lim-pai ini gudang
ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras sampai yang sifatnya lunak, dan
ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.
Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di taman itu, di
mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat
di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat,
yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus
yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata
yang delapan belas macam banyaknya.
Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang
melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-masing yang datang
bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka
citakan akan segera terkabul, di antaranya, ingin mempunyai anak, ingin segera
memperoleh jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan
pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan
wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara
mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-
janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka
berhasil, mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk
menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada jaman
modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan dengan
siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi
sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli
seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual
beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula
yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan!
Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan
dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang
kita anggap baik kepada kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita
anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang
serba palsu ini. Sinar matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun
juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau
rendah, agung atau hina! Juga sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap
siapapun juga, dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita
kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang
tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita.
Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan
lahir atau batin kepada kita.
Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang,
terdapat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia
tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang
mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang
berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan. Tidak seperti
para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan
dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang dan sikap yang agung,
bahkan dia tidak perdulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.
Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-
si" Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek dan dua orang ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pergi ke kota
raja kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apalagi dia
sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang
dicintainya itu. Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai
memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa
tanding di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan
hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu
sehingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya! Dan untuk menguji
diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, yang paling tepat adalah mendatangi
Siauw-lim-pai dan menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa
Siauw-lim-pai merupakan mercu suar bagi dunia persilatan, maka menjatuhkan
Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal dan dunia persilatan akan
geger karenanya. Jadi kedatangannya pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang
hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah untuk mencari dan menantang ketua
Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!
Melihat pemuda ini keadaannya lain daripada para tamu yang sudah biasa
bersembahyang, tidak membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang
matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat
menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya, "Apakah kongcu hendak
bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"
Han Houw memandang wajah hwesio ini dan melihat bahwa pada wajah itu terdapat
ketenangan besar. Dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja
namun ada ketenangan yang mengagumkan pada dirinya. Maka diapun cepat membalas
penghormatan itu dan berkata, "Saya datang bukan untuk bersembahyang, melainkan
untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang
datang dengan maksud bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apalagi yang datang
hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.
Dia memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga, "Kongcu, tidak
mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus mendaftarkan diri
dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."
Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang-kadang dia lupa bahwa
tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh dan
berkedudukan tinggi sehingga sikap seorang yang kurang menghormatinya
mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak dan
memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang
berbahaya, bahwa dia telah memasuki guha naga dan harimau, maka dia harus
bersikap hati-hati. "Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin
bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."
Biarpun ucapan ini dikeluarken dengan suara halus namun seketika wajah hwesio
itu menjadi pucat, ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi
tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan
tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini
benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya! Kalau
benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah
agak kotor begitu" Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia
tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan
membungkuk dan berkata dengan suara ragu-ragu.
"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang
tamu..." Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk
di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang bergegas pergi untuk
melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.
Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah, dan gagah, juga
lukisan-lukisan yang menghias dinding ruangan tamu itu. Di istana kaisar dia
sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, namun baru sekarang dia melihat
lukisan dan tulisan dan suasana yang kesemuanya membayangkan kegagahan dan juga
kedamaian seperti di ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum. Tidak bohonglah
suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya
ilmu silat, sastera dan agama. Makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan
ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai,
namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!
Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia
tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di
sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang
menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia
enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak banyak mencampuri urusan
dari kuil karena dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau,
mendatangi kuil-kuil Siauw-lim-si di seluruh negeri, selain untuk mengamati
perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-
lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Dan urusan di kuil, baik mengenai agama
maupun mengenai pelajaran sastera, silat dan hubungan dengan orang luar,
diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.
Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-
hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk
setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian
Sun Hwesio ini mewakili suhunya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain
menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama. Yang ke
dua adalah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda
dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar
dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang
lebar memandang tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya
jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat
kepada para murid. Adapun hwesio ke tiga adalah Thian Bun Hwesio, berusia lima
puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-
geriknya halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang
bertugas menerima tamu dan berhubungan dengan orang luar.
Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian
silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki
keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini
tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih
rendah daripada mereka bertiga, namun bagi orang luar, setiap orang hwesio
Siauw-lim-si, dari tukang kebun sampai tukang membersihkan lantai, rata-rata
memiliki ilmu silat yang tangguh.
Ketika hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang
tadinya seperti biasa dalam keadaan tenang itu menjadi panik. Siapa orangnya
tidak menjadi panik kalau mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu
secara begitu tiba-tiba" Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi
kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat.
Maka para hwesio itu langsung melapor kepada Thian Bun Hwesio. Hwesio tinggi
kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang
bersamadhi dan tidak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak
suhengnya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu
agung itu. Han Houw sudah hampir bilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya
pintu sebelah dalam itu terbuka dan muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia
tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong memandang kepada
dua orang hwesio itu. Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan
diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai
ahli-ahli silat kelas tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang
mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga
menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sin-kang
sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya
yang mencorong seperti mata naga" Ataukah hanya kebetulan saja"
Dua orang hwesio itu lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, dan dengan
suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio lalu berkata, "Harap paduka sudi
memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini,
maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng
sekalian merasa terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang
mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini
terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.
Han Houw juga mengerti akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini,
akan tetapi dia tidak perduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-
wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai" Aku hanya ingin bertemu dan
bicara kepadanya." Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka "locianpwe",
sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda meng-
hormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka
"losuhu" saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja makin membingungkan
dan menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat" Melihat
sepasang matanya yang mencorong dan melihat sebutan itu, sangat boleh jadi.
Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami,
pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."
"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio" Ke manakah beliau
pergi?" Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru
mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui
guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang
pangeran" Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.
"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi
setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh
karena itu, kalau memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat
mengurusnya dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun
Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang sudah
diberi wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-
lim-pai. Tidak tahu ada urusan penting apakah seorang pangeran kerajaan saperti
paduka sampai datang mencari suhu?"
Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak perduli.
Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik
Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi
kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan
ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."
Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau
ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam
urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini
datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi
kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai! Tentu
itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan,
bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.
Pada saat itu, seorang hwesio yang memang tadi telah dipesan, datang membawa
cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan
ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,
"Kalau paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng.
Andaikata ada suhu di sinipun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada
pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke
Siauw-lim-si kami?"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini
memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang
bertubuh tinggi besar dan bersikap keren dan pendiam itu. Kemudian dia
mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi
locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"
Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.
"Ah, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara
semua murid Siauw-lim-pai?"
Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ah, orang-orang lemah seperti kami ini mana berani
mengatakan memiliki kepandaian tinggi" Siauw-lim-pai amat luas dan memiliki
ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri dan sukar untuk mengukur
siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani
menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau
di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah
murid-murid utamanya."
"Bagus sekali! Kalau begitu ji-wi locianpwe yang merupakan orang terpandai di
sini sesudah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang. Kenyataan ini
menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai
sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah dapat menghadapi murid-murid utama
Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada
sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat,
maka kini dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur,
"Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin
para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar..."
Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. "Bagus
sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku bermaksud belajar dari Thian Khi Hwesio
ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka
biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah,
locianpwe!" Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua orang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda
ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari,
seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang dapat seketika lalu bisa! Akan
tetapi karena merekapun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak
sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata. "Baik, marilah
kita ke lian-bu-thia, pangeran."
Ketika mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat
belasan orang hwesio dan murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih
silat. Ada pula yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang
melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya.
Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat. Melihat
datangnya dua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua
segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari
hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita akan datangnya tamu agung,
seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh
perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang
disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.
Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat berlatih silat berikut rak
senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan, dinding-
dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak
tulang-tulang, otot-otot dan syaraf, Han Houw memandang dengan kagum. Memang
luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat
perkumpulan yang demikian besar dan ternama.
Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk
di pinggir dan mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi,
siap untuk melihat seperti sikap mereka kalau hendak diberi kuliah tentang ilmu
silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio sambil tersenyum memandang dan
hwesio ini duduk di atas sebuah bangku di sudut ruangan, ingin melihat bagaimana
suhengnya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.
Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio,
murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran itu yang bertubuh cukup jangkung
tegap, nampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi
besar seperti raksasa itu.
"Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?" tanyanya dengan suara nyaring
akan tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk.
"Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu
pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah
kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-
lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan dengan dasar-dasar dari ilmu
silat lain, barulah ilmu itu dapat dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu,
harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang pernah paduka pelajari."
Han Houw tersenyum, "Locianpwe, tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan
menjadi tontonan, karena ilmu silatku amat buruk, sebaiknya kalau locianpwe
memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku." Itulah merupakan tantangan, biarpun
nadanya minta diberi pelajaran.
Thian Bi Hwesio masih tersenyum. "Biarlah seorang murid pinceng yang terbaik
menemani paduka, dari gerakan padukapun pinceng dapat menilai tingkat..."
"Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi
Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau tidak
ada, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu
silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu
silatku, locianpwe."
Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai
yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku
pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan bendak
minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu
hendak menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!
"Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang
harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata,
maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan
penyesalan hebat!" Han Houw tertawa dan bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap
aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah lodanpwe mengira bahwa
aku akan dapat mudah kaukalahkan begitu saja" Kalau aku menganggap bahwa
kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?"
Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian
Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya
seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu
kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar!
"Pangeran," katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu
memandang tajam, "hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta
paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan
paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan di-
maksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!"
Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek. "Apakah dengan lain kata
locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku
untuk saling menguji kepandaian atau pibu?"
Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih
dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke depan.
Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur
seperti gurunya. Matanya lebar bundar.
"Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran!
Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan
suhu!" Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu.
Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai
suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati"
Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama
lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.
"Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul," kata Thian Bi Hwesio
sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya. Di
situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat
seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.
Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai
dan berkata, "Pangeran, hambalah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk
menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!" Sambil berkata demikian,
hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang
lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak
dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari
terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan
memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau.
Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi
Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.
"Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau
akan roboh!" Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya
bergerak menampar sambil berkata, "Nah, kauterimalah ini!"
Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu
sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan
bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian
Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!
Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang
pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai
tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak
cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan
gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua
jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia
ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian
mengalahkannya tanpa melukai.
"Tukkk!" Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan
tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit
yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar
lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk
menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting! Akan tetapi dengan sikap
tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu
dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio
itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena
tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Plakk!" Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh
kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu
terlempar ke arah Thian Bi Hwesio! Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan
menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa
muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu
bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol.
Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan
saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh.
Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali
bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.
"Sute, waspada..." bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali
lompat sudah tiba di depan Han Houw.
"Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!" Thian Bi
Hwesio berkata. "Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari
perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan
kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk
menghina fihak lain?"
"Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak
mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa
Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali
membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-
lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan
Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin
melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia
persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani
menghadapiku, akupun tidak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-
lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan nomor
satu di dunia!" Dua orang hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi
hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani
mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia" Akibatnya akan hebat dan tentu
seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya! Di dunia persilatan berlaku istilah
bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih
tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang
sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor
satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini!
Thian Bi Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar
ucapan bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot
dia lalu berkata, "Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan
apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan
siapapun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah
terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa,
kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut."
"Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-
main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!"
Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian
murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk
mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya.
Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-
kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk
hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal
yang satu lagi terbuka. "Silakan, pangeran!" katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak
berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia
tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-
han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan
bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar
berotot itu. Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin
tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk
dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan,
tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib
Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah
perut lawan dari bawah! "Hiaaattt...!" "Wuuuuttt... ah!" Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah
dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan
mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han
Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah
ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.
"Wuuuuutttt...!"
"Ehhh...!" Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai
seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan
yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan
menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.
Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini
dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda
inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada,
dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan
langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga
sebelumnya. Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan
itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan
cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan
memutar. KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri
sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat
Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama
sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib,
langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa
dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas
dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi
Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!
Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain
memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna,
demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikitpun untuk
dapat memasukkan serangannya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan
diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya
bathwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya
saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh
ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat
Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha
menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi
Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang
mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, me-
ngerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu
lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan
hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan
bajunya robek. Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah
terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah
mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara
bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga
mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya
terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat
sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia
memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian
dalam tubuhnya! Bukan main kagetnya Thian Bun Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan
oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin
lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai
itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh
pemuda itu! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh
besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan
tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran
silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan
tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya,
yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh.
Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mempergunakan
ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum
lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan
ilmunya yang hebat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan
tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu
belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri
sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia memandang diri sendiri sehingga
menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia
tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk
juga mengalahkan hwesio ini! Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan
seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus
lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-
hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu
merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia
merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung mempergunakan
ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa. "Ha-ha-ha,
locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu
merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!"
Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah
mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka
sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak
menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu
bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat
bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan. Akan
tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru)
mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang
keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam
hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka,
bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang.
Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang
sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan.
"Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini
dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat
ini dan tidak mengganggu kami." Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun
Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.
"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan
ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku
untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya
kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih
tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!"
Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap
seperti ini" Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai
tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di
sini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu."
"Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu,
locianpwe," Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan
dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal
ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang.
"Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah.
Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di
lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke
arah Han Houw. "Uhhh...!" Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa
pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw
sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas
mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir
balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah
menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang
lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang
menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw. Namun,
dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat
menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini
berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang
dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat
hebat itu. Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah
berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu
masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka
loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang
seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah
membasahi celana! "Omitohud...!" Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain
yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio dengan sebelah tangannya, lalu menurunkan
tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan
memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung
hawa beracun itu. Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio
itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang
bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih tua
daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju
menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.
"Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah
Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf
sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka."
Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan
hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya
sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio
itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai.
Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan
guru merekapun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut
sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.
"Siapakah locianpwe?"
"Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi
paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua,
dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian
Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini.
Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya
kepada paduka." "Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula
untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi,
sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji
kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan
nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji
kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai
murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku."
"Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang" Pendeta-pendeta tua yang bodoh
seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang" Pinceng hanya dapat
membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan
kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat"
Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang."
"Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan
kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para
pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai" Aku telah menguji
kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku
minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian
melawanku." "Pinceng tidak berani."
"Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa
Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!"
"Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani" Sebaiknya kelak kalau suhu sudah
Warisan Berdarah 4 Pendekar Naga Putih 54 Racun Ular Karang Wanita Iblis 15