Pendekar Lembah Naga 25
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar di siang
hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka,
pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang
agaknya dipimpin sendiri oleh Ceng Han How. Pangeran ini jauh lebih lihai dan
berbahaya daripada semua orang Pek-lian-kauw. Maka dia mempercepat larinya
berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw
yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari
perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi diapun tidak mungkin dapat
melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali. Maka dicarinyalah tempat yang
bersih dan dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah
pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang telah
terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis
pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tidur nyenyak sekali.
Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-
kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu
akan mengejar dan mencarinya, tidak berani membuat api unggun dan untuk
melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa
dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu.
Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sin-kang sehingga hawa
hangat memasuki tubuh dara itu, melindunginya dari hawa dingin yang menusuk
tulang. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-
orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih
juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu
sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu
dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang
remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.
Tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di
antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana
engkau?" Sin Liong terkejut dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah
mereka yang semalam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi
karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-
lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa
mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi
Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Setelah lari beberapa
lamanya, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya
tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia cepat menurunkan
tubuh Bi Cu ke atas rumput, dan dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.
Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau di
waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak
sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah karena mereka bertiga berada dalam
keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap
dan melihat pemuda itu menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan
menjadi kekasih mereka bertiga karena oleh suhu mereka telah diserahkan kepada
mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Mereka semalam setelah
mengenakan pakaian lalu melakukan pengejaran, tanpa memperdulikan kegegeran yang
terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap dalam
hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan amat
gelap, maka mereka menanti dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat
pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.
Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu,
timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan semalam
hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, maka, orang-orang
seperti itu patut dihajar, bahkan patut dibunuh! Melihat mereka bertiga
menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia
tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak
dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya
jangan sampai terkena pukulan.
"Plak! Plak! Plak!" Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semua mengenai
dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika
tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka
ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali dan sin-kang mereka
membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.
Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, makin hebat lagi tenaga
rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak
memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-
gagap, "Thi... khi... i... beng...!" Mereka pernah mendengar dari guru mereka
tentang ilmu yang mujijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu
yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, melihat
betapa tenaga sin-kang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka
teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah
mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga. Tiba-tiba
timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang,
pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat, akan tetapi kejahatan mereka itu
belum merupakan alasan kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias
malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu
Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-
patah tulangnya. Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sin-kang
mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi-i-beng kemudian menampar remuk
tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, biarpun tiga orang itu akan
dapat pulih lagi kesehatannya, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi
ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapadaksa dan
lenyap kekuatan mereka. "Sin Liong..." Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak dan
cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?"
teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat mengejar kita!"
Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.
"HHH...!" Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.
"Plakkk!" Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda
itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia
terbelalak memandang dengan heran dan mengira bahwa obat bius itu masih
mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum
sadar benar! "Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"
Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah
menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya dan
kemudian membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat
demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya,
yang dapat nampak melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong
dan mukanya berubah merah sekali.
"Bi Cu, jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani
terlalu lama memandang dua bukit menonjol dan garis punggung itu, "ketahuilah
bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam
keadaan seperti sekarang ini dan aku tidak banyak mempunyai waktu untuk mencari
pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini...
tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."
"Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apalagi kalau bukan pakaian!"
bentak Bi Cu. Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar
kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu" Sin Liong tertawa lalu menghampiri
seorang diantara tiga tosu tadi, yang paling kecil tubuhnya dan dengan paksa dia
lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tidak mampu bergerak lagi dan
hanya menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena
kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.
"Nah, pakailah ini, Bi Cu."
Bi Cu tidak banyak cakap lagi, menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang
batang pohon besar untuk memakai jubah dan celana yang masih kebesaran untuknya
itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana
itu saja di luar pakaian dalamnya, mengapa harus bersembunyi di balik pohon
segala" Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pohon dan
kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam
pakaian tosu yang kebesaran itu. Biarpun dia sudah menahan-nahan ketawanya,
tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.
"Eh, eh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu" Kau mentertawakan aku, ya?"
"Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."
"Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Eh, Sin Liong, apa sih yang terjadi
dengan diriku" Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin,
diambil murid olehnya."
"Engkau telah terjebak ke dalam perangkap berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan oleh
obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin Liong
menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, seorang di
antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.
Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan.
"Apa" Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"
"Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan
keji." "Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan
tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.
"Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tidak akan mampu
lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang
mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."
Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin
Liong. "Pasukan" Wah, ke mana kita harus lari?"
"Mari kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya dan mengajaknya lari
menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap. Mereka berlari terus, akan tetapi
tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa
dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama makin jauh ke
dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.
Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat, di
tengah hutan karena Bi Cu sejak tadi sudah mengomel dan mengeluh saja karena
lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan
makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.
Kini Bi Cu tanpa berkata apa-apa lagi sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu,
bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan
sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka diapun lalu duduk di atas
tanah di depannya. Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan
mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin
Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu
kembali sedang "ngambek". Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia
membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang,
bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan akhirnya sepasang mata yang jeli
itu terpejam kembali. Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu
amat mencekam hatinya, karena biasanya, berdua dengan Bi Cu amatlah gembira
karena kelincahan dan kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian
pendiam dan dingin. "Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."
Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin dia
memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul,
padahal dia telah mencarinya semenjak mereka berpisah, betapa dia amat
merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk
menemaninya, untuk membantunya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru
sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba
pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan
kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,
"Mau apa kau mencariku?"
Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam
itu, dia merasa heran sekali. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana
dia menemukan keterangan bahwa dara itupun sedang mencari-carinya" Mengapa kini
dara itu kelihatan marah dan berduka"
"Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Semenjak kita berpisah, aku tidak pernah
melupakanmu, Bi Cu. Aku amat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau
hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru
aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..." Tiba-tiba
Sin Liong menghentikan kata-katanya dan dia bengong memandang dara itu yang
ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua
tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Bi Cu telah
menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!
"Eh, kau kenapa Bi Cu...?"
Bi Cu mencoba mengangkat mukanya dan matanya terpejam, basah air mata yang
bercucuran dan dengan susah payah dia berkata di antara isaknya, "Mengapa kau...
tidak membiarkan aku mati saja..." Mengapa engkau menolongku..." Hu-hu-huuk, aku
memang anak... celaka... mengapa kauperdulikan aku" Kau orang kejam...! Kau
telah memaksaku pergi... kaukira aku takut bahaya dan takut mati" Kau menyuruh
aku pergi... hu-huukk... aku terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-
huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"
Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi
Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya
hebat. Kau tidak tahu betapa jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu demi
keselamatanmu, Bi Cu."
"Kenapa..." Kenapa engkau perdulikan keselamatanku...?"
"Entahlah. Karena engkau sebatangkara mungkin, seperti juga aku. Dan aku...
senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."
Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong.
Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan
dia mengusap rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah
kita sudah saling jumpa dengan selamat?"
"Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."
"Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul, dan pada saat itu tidak
ada sedikitpun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah
perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai seperti kakak dan adik, atau
seperti dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.
"Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"
Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui
Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar
dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga
bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana
dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini" Kalau Bi Cu tahu tentang
itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu
terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang
lain atau Bi Cu sekalipun membunuh Kui Hok Boan dan dengan demikian menyusahkan
hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya" Sin Liong
menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab, "Ya, tentu saja..."
Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya
terhenti dan tiba-tiba terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat
didengar oleh mereka berdua saja.
Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan
keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang
sebenarnya. Tiba-tiba saja, dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian
sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia sudah
melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong.
Pemuda inipun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa takkan ikut
tersenyum gembira melihat dara seperti ini" Tadi di waktu menangis, wajah dara
itu tentu akan meluluhkan hati siapapun juga, akan tetapi setelah sekarang
tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar
dan berseri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit
ujung deretan giginya ketika tertawa, membentuk lesung pipit di sebelah kiri
mulutnya saja, ah, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang
baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!
"Ih, tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.
"Apa yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.
"Hik-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku
mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"
Sin Liong tertawa. "Dan akupun mendengar ada ayam betinanya vang berkotek, entah
dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
betinanya!" Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya
tak tahu malu!" Melihat kini dara itu sudah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk
di atas akar pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah" Bagaimana engkau
sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"
Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ah,
gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, banyak hal menimpa diriku." Dia
lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir ditangkap
pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke
Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.
"Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia sudah berjanji tidak akan
mengganggumu, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi
mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu" Apakah kau tidak tahu
bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"
"Aku tidak tahu, andaikata aku tahupun agaknya hal itu tidak mempengaruhi,
karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong,
dia membunuh belasan orang perajurit itu, dan dia demikian lihai sehingga aku
kagum sekali. Entah mengapa, biarpun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi
muridnya, namun ternyata aku telah menerimanya dan ikut dengan dia ke pusat
perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua
muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak
ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ah,
mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang
tosu Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah
terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan
pemerintah." "Eh, apa maksudmu?"
"Engkau diberi obat bius sehingga tidak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum
terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu
keluar dari sarang Pek-lian-kauw, malam itu Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan
pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang perajurit yang
telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Dan kalau yang memimpin penyerbuan pasukan
itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar
suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."
"Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku" Dan ke mana saja engkau pergi
selama kita berpisah?"
"Setelah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran
Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke
utara dan mulai mencarimu."
"Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik
angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"
"Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ah, kelak engkaupun akan mengerti
sendiri. Sekarang tidak perlu dia kita bicarakan, engkau tahu... mungkin
sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"
"Aku tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau
mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tapi harus
meninggalkanmu. Aku tidak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku,
selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan
meninggalkan aku, apapun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama,
kalau perlu, aku tidak takut mati, asal bersamamu!"
Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, diapun
memiliki perasaan seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia
terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang telah terjadi, adalah karena dia
ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan
berkata lirih, "Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
"Sin Liong, berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan
kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu
memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak" Kalau tidak, mana
bisa engkau mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu" Juga tidak mungkin
engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-
kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian
tinggi, Sin Liong." "Ah, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."
"Ilmu silatmu tentu tinggi..."
"Tidak lebih tinggi daripada ilmu silatmu."
"Benarkah?" Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin
Liong. Betapapun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
tentang kepandaian pemuda ini. Maka diapun belum yakin benar. Tiba-tiba
telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut
mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.
"Ih, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini,
Sin Liong." Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu
seorang diri di tempat itu, akan tetapi menolak permintaan itupun dia tidak tega
karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.
"Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini." Dia lalu memanjat
sebatang pohon besar. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia
sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau
memperlihatkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir
kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah kalau melihat bahwa dia memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke
puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.
"Heii, ada sebuah dusun di barat sana!" teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas
turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.
"Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah
lapar sekali." "Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana" Dengan
demikian akan lebih aman bagimu, bukan" Dusun itu tidak jauh, paling lama
berjalan satu jam akan sampai..."
"Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Tempat ini sunyi, siapa yang akan dapat
menggangguku" Pula, aku dapat menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau men-
cari makanan, biar kutunggu di sini."
Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka menghela napas panjang dan
berkata, "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kautunggulah
aku di sini saja, aku takkan lama pergi." Sin Liong akhirnya menyetujui untuk
meninggalkan Bi Cu, karena diapun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia
akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat.
Pula, hari sudah menjelang gelap, kalau masih ada pengejaran dan pencarian dari
fihak pasukan pemerintah sekalipun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan
melanjutkan besok pagi. Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, "Sin Liong..."
Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh. "Ada apa, Bi Cu?"
"Jangan lupa... eh, kaucarikan pakaian untukku!"
"Pakaian" Akan tetapi engkau sudah..."
"Hushh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan" Aku ingin pakaian wanita
yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"
"Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."
Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata
bersinar-sinar penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah.
Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi
juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu,
membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya,
menyenangkan hatinya. Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan
membalikkan tubuhnya lagi dan mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke
barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing dan dia mendengar mulutnya
sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan
perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!
Memang demikianlah, senang atau susah bukan didatangkan dari luar, melainkan
tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun
dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah
terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Si aku merasa diuntungkan,
maka senanglah batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin
seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu
sendiri. Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah,
dan pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai
penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan. Timbullah keinginan untok
mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan inilah
yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-
gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi
seperti sekarang ini. Setiap manusia berlumba untuk memperoleh kesenangan, dan
demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, per-
musuhan, iri hati, kebencian dan sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-
misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.
Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, walaupun
kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan
berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu.
Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyaplah keinginan mengejar kesenangan
dan menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang
terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang
menyenangkan dan menjauhi kesusahag. Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang,
merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau
terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan
hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku yang
selalu ingin senang! Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tidak dapat melihatnya lagi, Sin Liong lalu
mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan gin-kang dan ilmu berlari cepat,
berlompatan dan berlari seperti seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara
pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya
dari atas puncak pohon. Biarpun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya,
namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan
sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik
seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakalannya dengan harga yang
jauh lebih tinggi dari pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin
Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus
kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke
dalam hutan. Cuaca sudah mulai gelap ketika dia tiba di dalam hutan itu. Hatinya
berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu melihat
dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu
yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan
menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-
sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan
penuh kegembiraan. Tiba-tiba bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada
seorang laki-laki berdiri di depannya, bertolak pinggang dan memandang kepadanya
dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa
kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah
Pangeran Ceng Han Houw! "Pangeran...!" "Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko" Apakah engkau sudah lupa
bahwa kita adalah saudara angkat" Bukan main, di manapun ada keributan, di situ
pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu berada di
sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera
mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga
baru sekarang aku dapat menyusulmu."
"Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Engkau...
mengejarku dengan maksud apakah?" tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak
tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.
"Ha-ha-ha, adik angkatku ini yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau
menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi
pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan
menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri
untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin,
ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik
melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."
"Sudahlah, aku tidak ingin bicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan
apalagi engkau menghadangku, Houw-ko" Masih belum puaskah hatimu telah
menghinaku di depan banyak orang kang-ouw" Aku telah mengaku kalah, aku telah
menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa di
antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan
lagi denganmu." Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang
terbuat daripada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. "Tidak, Liong-te, aku
masih belum puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan
sengaja untuk memancing kemarahanmu agar engkau suka melawanku. Akan tetapi
engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau
hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau,
engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku
melihat apakah benar-benar engkau kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong
belaka!" Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggeleng kepalanya dan diam-diam hatinya
merasa lega. Agaknya pangeran ini belum melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal
yang penting baginya. Dia lalu berkata, "Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak
orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarangpun, aku mengulang
kembali pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang
kupelajari bukan untuk diperlumbakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau
memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia,
silakan, kau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu.
Nah, minggirlah dan biarkan aku lewat."
"Liong-te! Begini keras kepalakah engkau" Dengar, sekali ini, tanpa seorangpun
saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tidak mau
engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati!
Nah, kausambutlah ini!"
Pangeran itu telah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika
dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter
namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya. Sin Liong terkejut
sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari Ouwyang Bu Sek atau
lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang
luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila! Maka diapun cepat meloncat ke
belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol
arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon. Pada saat itu, Ceng Han Houw
sudah menerjangnya lagi, penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin
Liong dengan loncatan jauh ke belakang. Dia mengira bahwa pemuda itu gentar
menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak Sin Liong sekali ini harus
melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya! Dia maklum bahwa
kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong dia akan masih terus merasa penasaran.
Dia sudah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini,
ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat
mudahnya. Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak
serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak
mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah
berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi
sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang
memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya
dipukul sampai mati. Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat sekali karena kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan
kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan
menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, diapun cepat menggerakkan kedua
tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plak! Plakk!" Keduanya terpelanting! "Bagus!" Han Houw gembira bukan main. Memang dugaannya tidak kosong. Adik
angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar
yang membuat dia terpelanting, sungguhpun tenaganya sendiripun membuat Sin Liong
terpelanting pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sin-kang, mereka
memiliki kekuatan seimbang. Namun, Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang
dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tigaperempat bagian saja. Maka kini
dia menggereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat,
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada
Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu.
Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu
tenaga. Baik, pikirnya. Dia telah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok
Beng Lama, maka kini diapun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya
dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan diapun
mendorong untuk menyambut hantaman lawan.
"Desss...!" Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang
dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan ketika keduanya meloncat
bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi di ujung bibir kiri Ceng Han
Houw nampak setetes darah segar!
"Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!" kata Han Houw agak terengah.
"Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?"
"Haiiitttt...!" Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar
dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat
sehingga biarpun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang
amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting dan bergulingan sampai
beberapa meter jauhnya. Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu
menggunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat.
Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim
pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun.
Sin Liong yang sudah waspada itu cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu
dengan bahunya. "Dukk...!" Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi
tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.
"Aihhhh...!" Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu
mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sin-
kangnya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara
tangannya dan bahu adik angkat itu.
"Thi-khi-i-beng...!" serunya dan tiba-tiba tangannya itu menjadi lemas dan tentu
saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sin-kang ini tidak dapat disedot oleh
Thi-khi-i-beng dan dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya
tanpa pengerahan tenaga. Kiranya dia sudah bersiap-siap menghadapi ilmu mujijat
itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia
lalu mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.
"Syuuuttt...!" Untung Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua
matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi
matanya. Ceng Han Houw sudah mulai merasa penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan
ketika Sin Liong mempergunakan Thi-khi-i-beng dan sungguhpun sin-kangnya tidak
sampai tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di
fihaknya, kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia sudah meloncat
ke depan, menerjang lagi dan memukul dentan tenaga pukulan Hok-liong-sin-ciang.
Inilah sebuah di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw
dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari "bayangan" kakek dewa itu, maka
hebatnya pukulan itu bukan main.
Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang
hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-
benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya,
maka diapun tidak mau mengalah lagi. Diapun lalu mengeluarkan jurus dari Hok-mo
Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.
"Desss...!" Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua
tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya
dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke
belakang. Merahlah sepasang mata Han Houw. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri
sendiri terlampau tinggi. Tak pernah dapat dibayangkannya bahwa dia sampai
dibuat terbanting seperti itu, bahkan sudah dua kali padahal baru bertanding
dalam beberapa gebrakan saja, sungguhpun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal
ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya! Maka sambil mengeluarkan
seruan nyaring melengking dia terus meloncat dan menyerang lagi, mengirim
pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak. Memang hebat sekali
pangeran ini. Gerakannya cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-
nyambar, kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong,
mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena lemah. Namun, Sin
Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebat.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andaikata ada orang yang nonton
pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti
gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan
yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.
Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang
dimiliki adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang
paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan terakhir,
maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih
dulu. Dan sebaliknya, biarpun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada
kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi
yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka diapun tidak mengeluarkan jurus
terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, melainkan melayani pangeran itu dengan ilmu-
ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakeknya, Yaitu San-in Kun-hoat dan
Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te
Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka
cukuplah untuk membendung semua serangan Han Houw, bahkan dapat mengirim
serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Setelah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah
atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu
dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran
hawa-hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali. Tahulah dia
bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan
berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi
penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Maka
dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya yang terakhir,
yaitu Hok-te Sin-kun. Akan tetapi sebelum dia mulai tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang tidak
nampak jelas dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya
melihat betapa bayangan ini adalah seorang laki-laki yang bertubuh kecil
ramping, agaknya masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi pemuda remaja itu
mengangkat sebongkah batu besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang
diangkatnya ke arahnya ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk
memulai ilmunya yang hebat, yaitu Hok-te Sin-kun!
Sin Liong juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena
memakai pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak
mengenalnya, apalagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu
adalah seorang pemuda remaja. Sin Liong melihat serangan yang dilakukan oleh Bi
Cu untuk membantunya. Batu besar itu lewat di dekatnya dan dia lalu menggerakkan
kedua tangan mendorongnya dan membantu peluncuran batu itu dengan tenaga sin-
kangnya sehingga batu itu melesat dengan kekuatan yang amat hebat!
Sementara itu, melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya. Han
Houw tersenyum. Tentu mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi
dia sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin
mendemonstrasikan kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong.
Dia cepat berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat
betapa Sin Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan
tenaga sin-kangnya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah
berjungkir balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut,
dengan tendangan yang amat keras.
"Darrr...!" Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal.
Debu ini menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa
ketika kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh
pangeran itupun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah!
Pangeran itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa "pemuda remaja" yang
membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka
gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apalagi
kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia
maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh
amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan
tebalnya debu. Dari jauh dia "mengirim" suara melalui khi-kang, "Sin Liong, lain
kali kita lanjutkan pertandingan ini!"
Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega
bukan main dan dia mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan ujung
lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka
hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh
malam. "Aihhh... Sin Liong, tak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian
silat yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar,
mukanya agak pucat dan napasnya memburu.
Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"
"Aku tadi nonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin
membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk
melihat mana engkau dan mana lawanmupun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah
siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani
menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."
"Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!"
Sin Liong berkata. "Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan
musuh dan engkau hebat, aku malah tidak mampu mengikuti gerakanmu. Dan
lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu berat sekali dan aku khawatir tidak
akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku
melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu.
Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tidak
mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"
"Apa kau tidak mengenalnya" Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah...! Begitu lihaikah dia" Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian
cepatnya sehingga aku tidak mampu mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Melihat
sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan
kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di
antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin
Liong..." "Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku dapat mengalahkan
dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti
dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia."
Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi
Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan kita, kita makan sambil
berjalan saja, dan ini pakaian dan sepatu untukmu, Bi Cu."
"Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."
Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan Han Houw kalau-kalau
pangeran itu muncul dan mengganggunya lagi, segera mengajak Bi Cu melanjutkan
perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke
timur, maka diapun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun
di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biarpun cuaca menjadi
semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan
dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.
Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlalu besar
dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti
pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang
pemuda itu. "Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya
dengan tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah
sinar api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.
"Mudah saja, aku membeli dari seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh seperti
tubuhmu." "Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"
"Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat
jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."
"Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa
maksud apa-apa, hanya memang heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya.
"Kaumaksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"
"Mengapa, ya" Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang
aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."
"Ihh! Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak
sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di
hatinya yang berdebar-debar.
"Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."
"Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kaugugah aku, biar aku yang
berganti menjaga dan engkau tidur." Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak
pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari
tidurnya, dia marah-marah. "Kenapa engkau tidak mau menggugahku semalam" Kau
membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"
"Aku..." Kejam..." Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, bingung karena tidak
mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.
"Kau membiarkan aku tidur semalam dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku
sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"
Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan
kaumaafkan aku, Bi Cu."
Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan mememegang kedua
tangan Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya" Betapa kurang penerimanya
aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah
memakimu kejam!" Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung dan dia hanya senyum-senyum gugup
saja. "Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."
"Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam" Aku marah karena demi aku
engkau menderita. Aku marah kepada diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja,
tidak dapat bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau
kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ah,
kaumaafkan aku, Sin Liong."
Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara
istimewa! "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini.
Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku laki-laki."
"Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, kalau aku yang berjaga
dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, akan celakalah kita..."
"Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tidak enak sekali,
karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."
Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala
penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali!
Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong. Pemuda ini
merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia menggenggamnya dan berbisik,
"Jangan takut, ada aku di sini."
"Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!"
Suara Bi Cu juga gemetar.
"Bi Cu, bukankah kita ada berdua" Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"
Ucapan ini seperti meniupkan api dalam semangat Bi Cu, membuat matanya bersinar-
sinar dan matanya kemerahan. Diapun menggenggam keras tangan pemuda itu dan
diapun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan
senyum kalau bersamamu Sin Liong!" Ucapan dalam saat yang berbahaya itu menusuk
perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul dan mendekap kepala
dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja dan keduanya seolah-olah tenggelam
ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan
datangnya bahaya. "Kejar, cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal
oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun
sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khi-kang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah
berada di sebelah barat hutan.
Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua dan Sin Liong cepat menggandeng
tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita
harus pergi!" Wajah Bi Cu berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat
sukar, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sinipun nampak jurang-
jurang dalam!"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Justeru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan
bersembunyi. Ke barat terus melalui dusun-dusun dan tanah datar, amat sukar
untuk dapat menyembunyikan diri, apaiagi mereka mengejar dengan berkuda."
Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong
menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar dilalui,
baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke
batu, mendaki tebing-tebing yang amat sukar karena selain terjal, juga tebing-
tebing ini hanya dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan
umum, bahkan tidak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah
dilalui manusia. Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong
berkata, "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"
Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, mengapa engkau
mengambil jalan ini, Sin Liong?"
"Sengaja kuambil jalan ini agar para perajurit yang mengejar tidak dapat
melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan
pengejaran, dan kalau hanya seorang lawan saja, aku masih dapat
menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih
cepat kita dapat pergi."
Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia
melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam! "Tempat ini
begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah amat sukar, apalagi harus
menggedongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"
Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan
demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya. Tiba-
tiba terdengar suara berdesing dan nampak sinar hitam berkelebat. Sin Liong
terkejut, akan tetapi dia sudah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu
dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan
tangan yang meluncur dari bawah.
"Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?" Terdengar bentakan dan ketika Sin Liong
menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang
berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong mengenal empat
orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah
Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, dan seorang
yang berpakaian panglima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan
lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya
dengan amat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh
merupakan lawan yang amat berat.
"Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak
cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat dan dipanggulnya tubuh dara itu dan
diapun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.
"Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.
Bi Cu terbelalak, kemudian memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan
secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan
main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu gin-kang dari pemuda yang tadinya
dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah
tingkatnya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Kalau
dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini! Kedua
pipinya berubah merah dan dia lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku berada di
belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu
memondongku dengan sebelah lengan."
Sin Liong merasa girang. Memang begini sebaiknya sehingga dengan Bi Cu di
belakangnya, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua
tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu
kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya. Dara itu merangkul lehernya dari
belakang dan menggunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar
juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di
tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari
terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan gin-kang mereka dengan
secepatnya. Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini dan dia terus
memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas
puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak
itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja! Puncak itu
dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari
situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-
batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya
mulut maut yang terbuka lebar! Jalan naik satu-satunya hanyalah melalui jalan
yang dipergunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-
tumpuk. Dari puncak itu tidak mungkin dapat melarikan diri ke lain tempat,
kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah,
dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai daki puncak itu!
"Wah, tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan
merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu,
jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah
oleh mereka. Kurasa diantara mereka, yang paling lihai adalah Pangeran Ceng Han
Houw. Kau jangan ikut-ikut, kautunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik
batu itu." "Tapi... tapi... aku harus membantumu!"
"Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya
dengan kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa dan mati
sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan kalau sampai engkau menyerahkan nyawa dan
mati konyol" Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan
mereka mati-matian."
"Kalau kau kalah...?"
Sin Liong menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku
kalah dan tewas..." "Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.
"Aku tidak akan kalah, akan tetapi kaupenuhilah permintaanku, jangan kau keluar
dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara
itu dan karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan
penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima,
ketika memegang kedua pundak dara itu dia merasa seolah-olah dia hendak berpamit
untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya! Hal ini menimbulkan keharuan
hatinya dan dia lalu menunduk den mencium dahi yang halus dan basah karena peluh
itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul den terisak, kemudian dia melepaskan
diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah
batu besar yang berada di sudut.
Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi
andaikata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka
tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari
tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang
sekali. Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke
atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat karena pengejaran
tadi dilakukannya dengan sekuat tenaga den memang pendakian puncak itu amat
melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar
ketika dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda
itu dapat meloloskan diri. Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio,
wanita yang masih tetap nampak muda dan cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk
salib masih ada juga di punggungnya. Setelah kematian Lee Siang, pria pertama
yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan
Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh
gurunya sekarang, melainkan juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.
Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, ialah Lam-hai Sam-lo yang
kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-
ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu
Bi Kun, telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak
"melindungi" Sin Liong.
Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, seperti lima ekor harimau
yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han
Houw tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tak kausangka, ya" Engkau terjebak di tempat ini, sama
sekali tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya,
kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.
"Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat bahkan
sampai sekarangpun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang
engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa
artinya semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia
penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.
Mendengar pertanyaan ini, kembali pangeran itu tertawa. Agaknya dia tidak ingin
cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya
itu, seperti seekor kucing hendak mempermainkan dulu sang tikus sebelum
diterkam, untuk memuaskan hatinya. Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini
pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia
sendiri, biarpun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami
kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh
orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat sucinya, dua orang dari Lam-hai
Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.
Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan
jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah
tidak ada lagi. "Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi"
Akan tetapi biarlah, agar jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu
menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena
aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu
sehingga aku ingin sekali mempelajarinya. Dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku
mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh daripada ilmu-ilmu yang kaukuasai.
Kemudian, mengapa aku mengejar-ngejarmu dan hendak membunuhmu" Jelas pula!
Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja
sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah ke-
turunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi
penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar
Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan
dalam persoalan ke dua inipun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah
tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"
"MANUSIA she Cia, aku sudah menyiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!"
terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, namun di dalam suaranya itu terkandung
kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.
"Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar
Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong
Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.
Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Houw, akan
tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah
bertindak curang, mengabarkan kepada kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa
dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah
pangeran itu sendiri. Akan tetapi, dia tahu bahwa membantahpun tidak akan ada
gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran daripada
kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong
penuh kegeraman. "Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima
yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.
Pada saat itu terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata
ditujukan ke sana. Kiranya Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak,
mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan
lagi dia bergerak untuk mengintai. Hati siapa tidak akan menjadi terkejut
mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu
adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya menggetarkan langit dan bumi"
Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan dan mengherankan ini membuat dia
merasa bangga akan tetapi juga amat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka
dia bergerak hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam
Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu sedemikian
tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh
pendengaran mereka! "Chan-ciangkun, kautangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.
"Baik, pangeran!" Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam
dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa
seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia girang menerima
perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian
dan membuat jasa. Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia telah
ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang
tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di
samping Sin Liong! Apalagi kini dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah
keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!
Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun
terbelalak dan merasa heran, bingung dan kecewa. Mana mungkin dia, seorang
panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara
remaja seperti itu" Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut lalu tertawa
bergelak ketika mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal
sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita
cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"
Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun lalu menubruk ke depan
hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekaii, maka sekali
sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.
"Kerbau bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.
"Plakk!" Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan
Bi Cu. Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan main. Dia dimaki kerbau busuk dan
bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini! "Perempuan liar kau!" Tangannya bergerak
dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya
menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang
berada di dekat batu besar itu!
"Keparat!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong telah
tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar lagi, entah untuk memukul
lagi atau menangkap. Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun
yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan
memang dia ingin membuat jasa, maka diapun cepat menghantamkan kedua tangan
secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat
dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang
telah melatih kedua lengannya sehingga menjadi matang biru dan luar biasa
kerasnya. Namun Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria
ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-
te Sin-ciang. "Krekk! Krekk!"
Panglima Chan mengeluarkan rintihan bercampur teriakan kaget. Kedua pergelangan
lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia
terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung
tangan kiri. "Desss!" Tubuh perwira tinggi itu terpelanting dan terbanting keras. Dia tidak
dapat bangun lagi karena sudah pingsan terkena tamparan keras yang membuat
tulang rahangnya retak-retak itu!
Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan
dekat dan pada saat Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw,
mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya
kepada Sin Liong! Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu,
telah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi
kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua
tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim
Hong Liu-nio telah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke
arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara
bertubi-tubi. Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan
pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, sedangkan si
kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengandalkan gin-kangnya, meloncat
tinggi dan menyerang dari atas menggunakan pukulan dengan tangan kirinya yang
bergelang emas tebal! Dalam segebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang
menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya
dan dahsyat!
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan
tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata
tajam, sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan
sehingga ujung sabuk itu membalik, pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan
Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya, membuat pedang
itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke
belakang, akan tetapi pada saat itu, kedua kaki Han Houw sudah melakukan
tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong menggunakan
kedua tangannya untuk mengangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua
kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu
ini aneh sekali, dan selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang,
tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak
dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking dan
tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh
ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.
Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke
belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang
yang amat dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri dengan tegak
dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua
tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu.
Hawa yang amat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua
serangan itu. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw
yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga
Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu
terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat.
Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin
Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya
melayang ke dalam jurang!
"Sin Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa
ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan menggunakan
tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya
sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.
"Bi Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget
melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.
Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua
orang itu meluncur turun dengan cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi
pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa
bergelak sambil memandang langit.
"Ha-ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, akulah sekarang Pendekar
Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!" Dia menepuk-nepuk dada sendiri sambil
tertawa-tawa. Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat
membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati.
Biarpun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian
gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar
besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apalagi setelah dia tahu bahwa Sin
Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi! Kini satu-satunya saingan baginya
telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda
itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu berahi, begitu tenang dan dapat
menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar
jurang yang tak nampak itu!
*** "Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau
kalau engkau menangis."
Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan
kepalanya di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam
dan halus itu. Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu
rasa hatiku, koko..." Dia terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang
kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang
hina yang ternyata kini malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari
keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."
"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu" Aku sudah bilang,
aku tidak perduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang,
Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau tidak tepat
pendapatnya, menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari
mereka." Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya
itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh
kemesraan dan terbuka, dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta
asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk
bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.
"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"
Sun Eng memegang tangan Lie Seng, menciumi jari-jari tangan itu dengan hati
penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar,
engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, seluruh keluargamu terdiri
dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau telah mengangkat aku dari
jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."
"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."
"Tidak, koko, akan tetapi akan selalu merasa rendah diri kalau aku tidak me-
lakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diri, me-
lainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan
aku..." Lie Seng mengecup bibir itu dan bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa
yang akan kaulakukan, sayang?"
"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau,
demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal
tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie
Seng. Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda,
mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua
itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.
"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke
mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.
"Kita akan ke Yen-tai!"
"Yen-tai di timur itu, di pantai?"
"Benar, Eng-moi, kita ke sana."
"Mau apa ke sana, koko" Ke rumah siapa?"
"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah
menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha
besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci agar bisa
mendapatkan pekerjaan di sana."
Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu.
Lie Seng lalu menceritakan siapa sucinya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap
Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan
Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah
seorang pendekar wanita yang kenamaan."
Setelah banyak bercerita tentang Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu
mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Makin kagum
sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya
terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan dan mengingat
akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri
pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andaikata tidak tentu
diapun akan termasuk "keluarga besar" dari para pendekar itu, sebagai cucu murid
ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia makin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam
lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-
satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang
bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali
perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan
perjalanan bersama kekasihnya, biarpun hatinya merasa tidak enak dan merasa
rendah diri. Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sutenya itu dengan girang sekali.
Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun
Eng dipersilakan masuk dan suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka
dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali
kedatangan sutenya. Bagaimanapun juga, Lie Seng bukan hanya sutenya, akan tetapi
lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung
sutenya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri"
"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute" Dan juga bagaimana dengan ibumu" Juga
bibi In Hong dan paman Bun Houw?" ketika mereka makan minum sambil bercakap-
cakap, Mei Lan tidak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang
yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.
Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah
hendak menceritakan tentang keadaannya dan tentang perselisihannya dengan
keluarganya mengenai diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia
dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat
dan suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya
menduga, melihat sikap dan gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada
apa-apa dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!
"Mereka... mereka baik-baik saja, suci, mereka tinggal dalam keadaan aman di
Yen-ping..." "Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran dan saling pandang dengan suaminya yang
tampan dan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan
alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu diapun ikut bicara.
"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"
"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka
berempat masih berada di sana dengan aman... eh, ada apakah?" Lie Seng bertanya,
hatinya terasa tidak enak.
"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah
pindah lagi, setelah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima
berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang
didengarnya dari Yap Kun Liong. Ternyata keluarga pendekar yang sudah
meninggalkan Yen-ping dan diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-
cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan
suaminya. "Mereka diserbu musuh" Ah, lalu... mereka kini berada di mana?"
"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."
Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan
tangan dikepal. "Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu
mereka menghadapi musuh!" katanya. Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali dan
juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!
"Sudahlah, sute. Mereka kini telah selamat dan karena berada di tempat yang
semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku
sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan
suamiku yang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri dan adik Sun
Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini" Ataukah hanya untuk
menengok sucimu ini?"
Lie Seng menarik napas panjang. Saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus
menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-
tai ini. "Sesungguhnya, amat sukar bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi
karena agaknya aku sudah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang
dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang
mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan
kepadaku." Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar ucapan sutenya yang dikeluarkan
dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang telah terjadi" Tentu saja aku akan
suka membantu sedapat mungkin!"
Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng
dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te,
kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di depanku, biarlah aku
mengundurkan diri dulu..."
"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh
kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada
suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."
Sun Eng bales memandangg kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu
bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik
Sun Eng, kita bicara di dalam."
Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu den masuk ke dalam kamar Mei
Lan. Setelah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa den berceritalah dia
kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng dan bahwa ibu
kandungnya, juga pamannya, telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan
mereka. "Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman
Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh
kaum pria. Ibu tidak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan
lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi
meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, maka aku mengajaknya
ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku
bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu
dapat meresmikan pernikahan kami."
Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia sendiri
merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah
tergoda oleh kaum pria! Dia tidak dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata
"menggoda" itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu
godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang
aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.
"Tentu saja aku dapat menolongmu dengan pekerjaan yang kauperlukan, dan untuk
engkau tinggal di kota inipun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya.
Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemmm... agaknya hal itu amat sukar.
Kurasa sucimu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja tidak akan
berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu dan ayah kandung
isteriku untuk meresmikan pemikahanmu, seolah-olah mereka orang-orang tua itu
sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."
Lie Seng menarik napas panjang. "Andaikata tidak mungkinpun tidak mengapa. Kami
sudah mengambil keputusan hidup bersama, dinikahkan secara resmi ataupun tidak,
bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga
mengandung keputusan nekat.
Sementara itu, di dalam kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan
tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa
ditutup-tutupi lagi. Dia menceritakan penyelewengannya ketika dia masih menjadi
murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan
pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa
kasihan kepada Bun Houw dan dia telah mencoba untuk merayu gurunya sendiri.
Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan
hatinya karena dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-
penyelewengan sehingga tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar
itu. Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, tentang usahanya menolong
kedua gurunya itu sehingga dia bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah
menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, dan mereka masing-masing
berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan kemudian
bertemu lagi dan cinta mereka bahkan semakin mendalam.
"Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa
diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah.
Aku tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah
menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku,
enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini,
aku... melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci.
Ketika dia bentrokan dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau
rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat
Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan
demikianlah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang terletak dalam tangan
enci nasib Lie-koko..." Dan menangislah Sun Eng.
Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Di dalam hatinya
terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya atau ibu
kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak
menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat
puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah
menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan
mengajak main gila kepada suhunya sendiri" Akan tetapi, kalau mereka sudah
saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cinta wanita ini terhadap sutenya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan
dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh
menilainya, tidak boleh mencampurinya. Tentu saja kalau menurut suara hatinya
sendiri, diapun akan merasa kecewa melihat sutenya berjodoh dengan seorang gadis
yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa
campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan
membahagiakan hati sutenya. Maka dia menarik napas panjang.
"Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-
masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah
suteku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicara lebih lanjut.
Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama
sucinya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, mengertilah Lie
Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk
penyelewengannya. Maka dia segera menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya,
meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seolah-olah dia telah
menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk
mengelilingi meja seperti tadi.
Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap
Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sutenya dan dia setuju
sepenuhnya kalau suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sutenya. Akan
tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.
"Hal itu tidak mungkin dapat kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu
kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku berani bersama suamiku
bertindak sedemikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan
pernikahanmu" Hal itu tentu saja menjadi lain kalau andaikata ibu kandungmu itu
memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus kau ingat bahwa ibu
kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu
akan marah kepadaku kalau aku sampai berani selancang itu. Maka, kaumaafkanlah
kami berdua, sute." Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari
itu, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng
meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-
perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan
Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil
bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain
pekerjaan, juga suami isteri yang kaya ini menyediakan sebuah rumah lengkap
dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.
Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa
semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Makin dia kagum
kepada Lie Seng dan keluarganya, makin dia merasa dirinya kecil dan tidak
berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti
Lie Seng! Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan
hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan
kemesraan dan cinta kasih, namun di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh
dengan penyesalan terhadap diri sendiri!
Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-
perbuatan kita yang sudah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan se-
bagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting
bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat
kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang
mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah ini" Beharkah bahwa pe-
nyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang"
Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya,
seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam kehidupan
masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalanpun akan makin lama makin
menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh
dengan kesesatan! Kemudian, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan
kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti
dalam lingkaran setan yang tiada putus-putusnya! Seperti kalau kita makan
makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut namun sesungguhnya tidak
baik bagi perut. Ketika makan amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu me-
mentingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah
perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu
banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Namun, penyesalan ini dalam
sedikit waktu sudah terlupa lagi kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar
enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah! Pengejaran kesenangan membuat
kita buta dan baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang
tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda
sehingga senang dan susah tak terpisahkan, lalu timbul penyesalan! Jadi
penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu
mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri
yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang
mendatangkan kesenangan itu!
Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-
gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang
bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran inilah
pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang
tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran. Karena
perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu
berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti
menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan
yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang
akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya
dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan
kesesatan-kesesatan itu! Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat
terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku!
Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri
sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar!
Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua kewaspadaan dalam
pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu
mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai
sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan, kedamaian, kesucian dan
sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar
kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.
*** Yap Mei Lan dan suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah
mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi,
yaitu di pelabuhan, maka banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya
di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini
merasa senang dapat menolong Lie Seng yang nampak hidup cukup bahagia dengan Sun
Eng, sedangkan bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng
menjadi ringan. Sejak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan
raya depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampah dan gagah, bertubuh tinggi
tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan
dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.
"Waspadalah, orang itu mencurigakan sikapnya," bisik Yap Mei Lan kepada
suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat
kepada pemuda itu akan tetapi biarpun tidak melihat langsung dari sudut matanya,
dia selalu mengawasi gerak-geriknya. Pemuda itu agaknya bimbang, akan tetapi
kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon
sehingga kelihatan teduh itu, dengah langkah tenang dan lebar menghampiri
ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk. Melihat betapa pemuda yang
dicurigai isterinya itu memasuki halaman rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu
bangkit dari tempat duduknya melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini
mungkin seorang tamu, pikirnya. Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang
memiliki hubungan luas sekali, bahkan dengan luar negeri, maka tidaklah
mengherankan andaikata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu
mengunjunginya. Dia tidaklah curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan
tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.
"Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara, datang
dari mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.
Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata
tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia
menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni
undak-undakan di depan rumahnya. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda ganteng itu
yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Sepasang mata
yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya
mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan,
akan tetapi pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki
kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu menggerayangi
tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!
Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan
hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan,
lalu terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikitpun tidak
menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita
yang tidak pernah dikenalnya, "Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"
Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama
sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena
jengah atau malu, melainkan merah karena marah. "Aku adalah nyonya Souw Kwi
Beng!" Akan tetapi pemuda itu sudah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak ada
urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya,
bukan?" Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang
ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh
lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.
"Kami tidak mengerti mengapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini.
Memang benar bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan
siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan
penghormatannya. Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau
puteri dari Yap Kun Liong, bukan" Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan
bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi
tawananku." Makin kaget kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap
Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Ha-ha, ingin mengenalku" Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau
menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan lebih dulu sebagai sandera dan baru
setelah keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau
akan kubebaskan lagi."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan
tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia sudah
mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim
Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.
"Siapa sudi menyerah" Pertama, aku tidak bersalah apapun terhadap pemerintah. Ke
dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya
pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau
pasukan. Ke tiga, andaikata benar engkau pangeran, akupun tidak akan sudi
menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai
bukanlah pemberontak!"
"Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan" Aku sebenarnya
tidak suka menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apalagi terhadap
wanita secantik engkau..."
"Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan
diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang
kecil namun yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.
"Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo
keluarkan semua kepandaianmu!" kata Han Houw yang memang gembira melihat betapa
pukulan wanita ini hebat sekali, hal yang memang sudah disangkanya mengingat
bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan puteri kandung dari
pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat
membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu
bergerak amat cepatnya, kadang-kadang berputar seperti gasing, tahu-tahu telah
menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seolah-olah telah mengubah
dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!
"Bagus sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.
Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia
telah mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru
Angin) yang diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua
lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari
mendiang Kok Beng Lama! Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga
Pedang Kiri 8 Pendekar Rajawali Sakti 95 Pangeran Iblis Bende Mataram 21
Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar di siang
hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka,
pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang
agaknya dipimpin sendiri oleh Ceng Han How. Pangeran ini jauh lebih lihai dan
berbahaya daripada semua orang Pek-lian-kauw. Maka dia mempercepat larinya
berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw
yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari
perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi diapun tidak mungkin dapat
melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali. Maka dicarinyalah tempat yang
bersih dan dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah
pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang telah
terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis
pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tidur nyenyak sekali.
Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-
kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu
akan mengejar dan mencarinya, tidak berani membuat api unggun dan untuk
melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa
dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu.
Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sin-kang sehingga hawa
hangat memasuki tubuh dara itu, melindunginya dari hawa dingin yang menusuk
tulang. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-
orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih
juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu
sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu
dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang
remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.
Tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di
antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana
engkau?" Sin Liong terkejut dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah
mereka yang semalam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi
karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-
lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa
mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi
Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Setelah lari beberapa
lamanya, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya
tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia cepat menurunkan
tubuh Bi Cu ke atas rumput, dan dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.
Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau di
waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak
sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah karena mereka bertiga berada dalam
keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap
dan melihat pemuda itu menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan
menjadi kekasih mereka bertiga karena oleh suhu mereka telah diserahkan kepada
mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Mereka semalam setelah
mengenakan pakaian lalu melakukan pengejaran, tanpa memperdulikan kegegeran yang
terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap dalam
hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan amat
gelap, maka mereka menanti dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat
pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.
Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu,
timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan semalam
hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, maka, orang-orang
seperti itu patut dihajar, bahkan patut dibunuh! Melihat mereka bertiga
menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia
tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak
dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya
jangan sampai terkena pukulan.
"Plak! Plak! Plak!" Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semua mengenai
dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika
tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka
ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali dan sin-kang mereka
membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.
Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, makin hebat lagi tenaga
rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak
memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-
gagap, "Thi... khi... i... beng...!" Mereka pernah mendengar dari guru mereka
tentang ilmu yang mujijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu
yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, melihat
betapa tenaga sin-kang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka
teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah
mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga. Tiba-tiba
timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang,
pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat, akan tetapi kejahatan mereka itu
belum merupakan alasan kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias
malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu
Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-
patah tulangnya. Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sin-kang
mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi-i-beng kemudian menampar remuk
tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, biarpun tiga orang itu akan
dapat pulih lagi kesehatannya, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi
ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapadaksa dan
lenyap kekuatan mereka. "Sin Liong..." Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak dan
cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?"
teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat mengejar kita!"
Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.
"HHH...!" Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.
"Plakkk!" Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda
itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia
terbelalak memandang dengan heran dan mengira bahwa obat bius itu masih
mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum
sadar benar! "Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"
Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah
menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya dan
kemudian membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat
demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya,
yang dapat nampak melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong
dan mukanya berubah merah sekali.
"Bi Cu, jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani
terlalu lama memandang dua bukit menonjol dan garis punggung itu, "ketahuilah
bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam
keadaan seperti sekarang ini dan aku tidak banyak mempunyai waktu untuk mencari
pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini...
tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."
"Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apalagi kalau bukan pakaian!"
bentak Bi Cu. Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar
kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu" Sin Liong tertawa lalu menghampiri
seorang diantara tiga tosu tadi, yang paling kecil tubuhnya dan dengan paksa dia
lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tidak mampu bergerak lagi dan
hanya menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena
kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.
"Nah, pakailah ini, Bi Cu."
Bi Cu tidak banyak cakap lagi, menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang
batang pohon besar untuk memakai jubah dan celana yang masih kebesaran untuknya
itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana
itu saja di luar pakaian dalamnya, mengapa harus bersembunyi di balik pohon
segala" Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pohon dan
kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam
pakaian tosu yang kebesaran itu. Biarpun dia sudah menahan-nahan ketawanya,
tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.
"Eh, eh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu" Kau mentertawakan aku, ya?"
"Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."
"Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Eh, Sin Liong, apa sih yang terjadi
dengan diriku" Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin,
diambil murid olehnya."
"Engkau telah terjebak ke dalam perangkap berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan oleh
obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin Liong
menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, seorang di
antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.
Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan.
"Apa" Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"
"Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan
keji." "Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan
tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.
"Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tidak akan mampu
lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang
mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."
Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin
Liong. "Pasukan" Wah, ke mana kita harus lari?"
"Mari kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya dan mengajaknya lari
menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap. Mereka berlari terus, akan tetapi
tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa
dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama makin jauh ke
dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.
Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat, di
tengah hutan karena Bi Cu sejak tadi sudah mengomel dan mengeluh saja karena
lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan
makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.
Kini Bi Cu tanpa berkata apa-apa lagi sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu,
bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan
sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka diapun lalu duduk di atas
tanah di depannya. Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan
mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin
Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu
kembali sedang "ngambek". Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia
membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang,
bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan akhirnya sepasang mata yang jeli
itu terpejam kembali. Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu
amat mencekam hatinya, karena biasanya, berdua dengan Bi Cu amatlah gembira
karena kelincahan dan kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian
pendiam dan dingin. "Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."
Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin dia
memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul,
padahal dia telah mencarinya semenjak mereka berpisah, betapa dia amat
merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk
menemaninya, untuk membantunya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru
sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba
pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan
kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,
"Mau apa kau mencariku?"
Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam
itu, dia merasa heran sekali. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana
dia menemukan keterangan bahwa dara itupun sedang mencari-carinya" Mengapa kini
dara itu kelihatan marah dan berduka"
"Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Semenjak kita berpisah, aku tidak pernah
melupakanmu, Bi Cu. Aku amat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau
hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru
aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..." Tiba-tiba
Sin Liong menghentikan kata-katanya dan dia bengong memandang dara itu yang
ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua
tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Bi Cu telah
menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!
"Eh, kau kenapa Bi Cu...?"
Bi Cu mencoba mengangkat mukanya dan matanya terpejam, basah air mata yang
bercucuran dan dengan susah payah dia berkata di antara isaknya, "Mengapa kau...
tidak membiarkan aku mati saja..." Mengapa engkau menolongku..." Hu-hu-huuk, aku
memang anak... celaka... mengapa kauperdulikan aku" Kau orang kejam...! Kau
telah memaksaku pergi... kaukira aku takut bahaya dan takut mati" Kau menyuruh
aku pergi... hu-huukk... aku terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-
huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"
Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi
Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya
hebat. Kau tidak tahu betapa jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu demi
keselamatanmu, Bi Cu."
"Kenapa..." Kenapa engkau perdulikan keselamatanku...?"
"Entahlah. Karena engkau sebatangkara mungkin, seperti juga aku. Dan aku...
senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."
Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong.
Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan
dia mengusap rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah
kita sudah saling jumpa dengan selamat?"
"Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."
"Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul, dan pada saat itu tidak
ada sedikitpun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah
perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai seperti kakak dan adik, atau
seperti dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.
"Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"
Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui
Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar
dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga
bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana
dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini" Kalau Bi Cu tahu tentang
itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu
terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang
lain atau Bi Cu sekalipun membunuh Kui Hok Boan dan dengan demikian menyusahkan
hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya" Sin Liong
menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab, "Ya, tentu saja..."
Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya
terhenti dan tiba-tiba terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat
didengar oleh mereka berdua saja.
Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan
keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang
sebenarnya. Tiba-tiba saja, dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian
sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia sudah
melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong.
Pemuda inipun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa takkan ikut
tersenyum gembira melihat dara seperti ini" Tadi di waktu menangis, wajah dara
itu tentu akan meluluhkan hati siapapun juga, akan tetapi setelah sekarang
tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar
dan berseri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit
ujung deretan giginya ketika tertawa, membentuk lesung pipit di sebelah kiri
mulutnya saja, ah, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang
baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!
"Ih, tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.
"Apa yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.
"Hik-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku
mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"
Sin Liong tertawa. "Dan akupun mendengar ada ayam betinanya vang berkotek, entah
dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
betinanya!" Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya
tak tahu malu!" Melihat kini dara itu sudah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk
di atas akar pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah" Bagaimana engkau
sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"
Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ah,
gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, banyak hal menimpa diriku." Dia
lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir ditangkap
pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke
Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.
"Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia sudah berjanji tidak akan
mengganggumu, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi
mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu" Apakah kau tidak tahu
bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"
"Aku tidak tahu, andaikata aku tahupun agaknya hal itu tidak mempengaruhi,
karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong,
dia membunuh belasan orang perajurit itu, dan dia demikian lihai sehingga aku
kagum sekali. Entah mengapa, biarpun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi
muridnya, namun ternyata aku telah menerimanya dan ikut dengan dia ke pusat
perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua
muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak
ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ah,
mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang
tosu Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah
terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan
pemerintah." "Eh, apa maksudmu?"
"Engkau diberi obat bius sehingga tidak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum
terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu
keluar dari sarang Pek-lian-kauw, malam itu Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan
pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang perajurit yang
telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Dan kalau yang memimpin penyerbuan pasukan
itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar
suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."
"Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku" Dan ke mana saja engkau pergi
selama kita berpisah?"
"Setelah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran
Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke
utara dan mulai mencarimu."
"Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik
angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"
"Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ah, kelak engkaupun akan mengerti
sendiri. Sekarang tidak perlu dia kita bicarakan, engkau tahu... mungkin
sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"
"Aku tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau
mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tapi harus
meninggalkanmu. Aku tidak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku,
selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan
meninggalkan aku, apapun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama,
kalau perlu, aku tidak takut mati, asal bersamamu!"
Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, diapun
memiliki perasaan seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia
terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang telah terjadi, adalah karena dia
ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan
berkata lirih, "Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
"Sin Liong, berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan
kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu
memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak" Kalau tidak, mana
bisa engkau mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu" Juga tidak mungkin
engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-
kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian
tinggi, Sin Liong." "Ah, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."
"Ilmu silatmu tentu tinggi..."
"Tidak lebih tinggi daripada ilmu silatmu."
"Benarkah?" Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin
Liong. Betapapun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
tentang kepandaian pemuda ini. Maka diapun belum yakin benar. Tiba-tiba
telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut
mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.
"Ih, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini,
Sin Liong." Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu
seorang diri di tempat itu, akan tetapi menolak permintaan itupun dia tidak tega
karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.
"Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini." Dia lalu memanjat
sebatang pohon besar. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia
sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau
memperlihatkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir
kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah kalau melihat bahwa dia memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke
puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.
"Heii, ada sebuah dusun di barat sana!" teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas
turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.
"Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah
lapar sekali." "Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana" Dengan
demikian akan lebih aman bagimu, bukan" Dusun itu tidak jauh, paling lama
berjalan satu jam akan sampai..."
"Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Tempat ini sunyi, siapa yang akan dapat
menggangguku" Pula, aku dapat menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau men-
cari makanan, biar kutunggu di sini."
Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka menghela napas panjang dan
berkata, "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kautunggulah
aku di sini saja, aku takkan lama pergi." Sin Liong akhirnya menyetujui untuk
meninggalkan Bi Cu, karena diapun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia
akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat.
Pula, hari sudah menjelang gelap, kalau masih ada pengejaran dan pencarian dari
fihak pasukan pemerintah sekalipun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan
melanjutkan besok pagi. Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, "Sin Liong..."
Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh. "Ada apa, Bi Cu?"
"Jangan lupa... eh, kaucarikan pakaian untukku!"
"Pakaian" Akan tetapi engkau sudah..."
"Hushh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan" Aku ingin pakaian wanita
yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"
"Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."
Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata
bersinar-sinar penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah.
Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi
juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu,
membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya,
menyenangkan hatinya. Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan
membalikkan tubuhnya lagi dan mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke
barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing dan dia mendengar mulutnya
sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan
perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!
Memang demikianlah, senang atau susah bukan didatangkan dari luar, melainkan
tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun
dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah
terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Si aku merasa diuntungkan,
maka senanglah batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin
seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu
sendiri. Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah,
dan pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai
penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan. Timbullah keinginan untok
mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan inilah
yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-
gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi
seperti sekarang ini. Setiap manusia berlumba untuk memperoleh kesenangan, dan
demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, per-
musuhan, iri hati, kebencian dan sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-
misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.
Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, walaupun
kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan
berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu.
Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyaplah keinginan mengejar kesenangan
dan menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang
terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang
menyenangkan dan menjauhi kesusahag. Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang,
merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau
terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan
hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku yang
selalu ingin senang! Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tidak dapat melihatnya lagi, Sin Liong lalu
mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan gin-kang dan ilmu berlari cepat,
berlompatan dan berlari seperti seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara
pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya
dari atas puncak pohon. Biarpun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya,
namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan
sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik
seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakalannya dengan harga yang
jauh lebih tinggi dari pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin
Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus
kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke
dalam hutan. Cuaca sudah mulai gelap ketika dia tiba di dalam hutan itu. Hatinya
berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu melihat
dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu
yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan
menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-
sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan
penuh kegembiraan. Tiba-tiba bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada
seorang laki-laki berdiri di depannya, bertolak pinggang dan memandang kepadanya
dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa
kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah
Pangeran Ceng Han Houw! "Pangeran...!" "Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko" Apakah engkau sudah lupa
bahwa kita adalah saudara angkat" Bukan main, di manapun ada keributan, di situ
pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu berada di
sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera
mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga
baru sekarang aku dapat menyusulmu."
"Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Engkau...
mengejarku dengan maksud apakah?" tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak
tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.
"Ha-ha-ha, adik angkatku ini yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau
menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi
pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan
menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri
untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin,
ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik
melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."
"Sudahlah, aku tidak ingin bicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan
apalagi engkau menghadangku, Houw-ko" Masih belum puaskah hatimu telah
menghinaku di depan banyak orang kang-ouw" Aku telah mengaku kalah, aku telah
menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa di
antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan
lagi denganmu." Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang
terbuat daripada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. "Tidak, Liong-te, aku
masih belum puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan
sengaja untuk memancing kemarahanmu agar engkau suka melawanku. Akan tetapi
engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau
hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau,
engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku
melihat apakah benar-benar engkau kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong
belaka!" Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggeleng kepalanya dan diam-diam hatinya
merasa lega. Agaknya pangeran ini belum melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal
yang penting baginya. Dia lalu berkata, "Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak
orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarangpun, aku mengulang
kembali pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang
kupelajari bukan untuk diperlumbakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau
memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia,
silakan, kau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu.
Nah, minggirlah dan biarkan aku lewat."
"Liong-te! Begini keras kepalakah engkau" Dengar, sekali ini, tanpa seorangpun
saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tidak mau
engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati!
Nah, kausambutlah ini!"
Pangeran itu telah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika
dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter
namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya. Sin Liong terkejut
sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari Ouwyang Bu Sek atau
lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang
luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila! Maka diapun cepat meloncat ke
belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol
arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon. Pada saat itu, Ceng Han Houw
sudah menerjangnya lagi, penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin
Liong dengan loncatan jauh ke belakang. Dia mengira bahwa pemuda itu gentar
menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak Sin Liong sekali ini harus
melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya! Dia maklum bahwa
kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong dia akan masih terus merasa penasaran.
Dia sudah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini,
ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat
mudahnya. Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak
serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak
mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah
berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi
sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang
memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya
dipukul sampai mati. Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat sekali karena kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan
kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan
menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, diapun cepat menggerakkan kedua
tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plak! Plakk!" Keduanya terpelanting! "Bagus!" Han Houw gembira bukan main. Memang dugaannya tidak kosong. Adik
angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar
yang membuat dia terpelanting, sungguhpun tenaganya sendiripun membuat Sin Liong
terpelanting pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sin-kang, mereka
memiliki kekuatan seimbang. Namun, Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang
dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tigaperempat bagian saja. Maka kini
dia menggereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat,
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada
Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu.
Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu
tenaga. Baik, pikirnya. Dia telah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok
Beng Lama, maka kini diapun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya
dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan diapun
mendorong untuk menyambut hantaman lawan.
"Desss...!" Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang
dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan ketika keduanya meloncat
bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi di ujung bibir kiri Ceng Han
Houw nampak setetes darah segar!
"Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!" kata Han Houw agak terengah.
"Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?"
"Haiiitttt...!" Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar
dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat
sehingga biarpun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang
amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting dan bergulingan sampai
beberapa meter jauhnya. Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu
menggunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat.
Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim
pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun.
Sin Liong yang sudah waspada itu cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu
dengan bahunya. "Dukk...!" Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi
tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.
"Aihhhh...!" Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu
mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sin-
kangnya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara
tangannya dan bahu adik angkat itu.
"Thi-khi-i-beng...!" serunya dan tiba-tiba tangannya itu menjadi lemas dan tentu
saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sin-kang ini tidak dapat disedot oleh
Thi-khi-i-beng dan dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya
tanpa pengerahan tenaga. Kiranya dia sudah bersiap-siap menghadapi ilmu mujijat
itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia
lalu mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.
"Syuuuttt...!" Untung Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua
matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi
matanya. Ceng Han Houw sudah mulai merasa penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan
ketika Sin Liong mempergunakan Thi-khi-i-beng dan sungguhpun sin-kangnya tidak
sampai tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di
fihaknya, kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia sudah meloncat
ke depan, menerjang lagi dan memukul dentan tenaga pukulan Hok-liong-sin-ciang.
Inilah sebuah di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw
dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari "bayangan" kakek dewa itu, maka
hebatnya pukulan itu bukan main.
Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang
hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-
benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya,
maka diapun tidak mau mengalah lagi. Diapun lalu mengeluarkan jurus dari Hok-mo
Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.
"Desss...!" Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua
tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya
dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke
belakang. Merahlah sepasang mata Han Houw. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri
sendiri terlampau tinggi. Tak pernah dapat dibayangkannya bahwa dia sampai
dibuat terbanting seperti itu, bahkan sudah dua kali padahal baru bertanding
dalam beberapa gebrakan saja, sungguhpun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal
ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya! Maka sambil mengeluarkan
seruan nyaring melengking dia terus meloncat dan menyerang lagi, mengirim
pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak. Memang hebat sekali
pangeran ini. Gerakannya cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-
nyambar, kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong,
mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena lemah. Namun, Sin
Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebat.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andaikata ada orang yang nonton
pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti
gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan
yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.
Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang
dimiliki adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang
paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan terakhir,
maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih
dulu. Dan sebaliknya, biarpun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada
kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi
yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka diapun tidak mengeluarkan jurus
terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, melainkan melayani pangeran itu dengan ilmu-
ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakeknya, Yaitu San-in Kun-hoat dan
Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te
Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka
cukuplah untuk membendung semua serangan Han Houw, bahkan dapat mengirim
serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Setelah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah
atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu
dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran
hawa-hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali. Tahulah dia
bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan
berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi
penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Maka
dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya yang terakhir,
yaitu Hok-te Sin-kun. Akan tetapi sebelum dia mulai tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang tidak
nampak jelas dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya
melihat betapa bayangan ini adalah seorang laki-laki yang bertubuh kecil
ramping, agaknya masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi pemuda remaja itu
mengangkat sebongkah batu besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang
diangkatnya ke arahnya ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk
memulai ilmunya yang hebat, yaitu Hok-te Sin-kun!
Sin Liong juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena
memakai pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak
mengenalnya, apalagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu
adalah seorang pemuda remaja. Sin Liong melihat serangan yang dilakukan oleh Bi
Cu untuk membantunya. Batu besar itu lewat di dekatnya dan dia lalu menggerakkan
kedua tangan mendorongnya dan membantu peluncuran batu itu dengan tenaga sin-
kangnya sehingga batu itu melesat dengan kekuatan yang amat hebat!
Sementara itu, melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya. Han
Houw tersenyum. Tentu mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi
dia sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin
mendemonstrasikan kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong.
Dia cepat berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat
betapa Sin Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan
tenaga sin-kangnya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah
berjungkir balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut,
dengan tendangan yang amat keras.
"Darrr...!" Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal.
Debu ini menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa
ketika kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh
pangeran itupun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah!
Pangeran itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa "pemuda remaja" yang
membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka
gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apalagi
kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia
maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh
amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan
tebalnya debu. Dari jauh dia "mengirim" suara melalui khi-kang, "Sin Liong, lain
kali kita lanjutkan pertandingan ini!"
Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega
bukan main dan dia mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan ujung
lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka
hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh
malam. "Aihhh... Sin Liong, tak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian
silat yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar,
mukanya agak pucat dan napasnya memburu.
Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"
"Aku tadi nonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin
membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk
melihat mana engkau dan mana lawanmupun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah
siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani
menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."
"Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!"
Sin Liong berkata. "Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan
musuh dan engkau hebat, aku malah tidak mampu mengikuti gerakanmu. Dan
lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu berat sekali dan aku khawatir tidak
akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku
melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu.
Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tidak
mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"
"Apa kau tidak mengenalnya" Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah...! Begitu lihaikah dia" Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian
cepatnya sehingga aku tidak mampu mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Melihat
sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan
kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di
antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin
Liong..." "Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku dapat mengalahkan
dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti
dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia."
Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi
Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan kita, kita makan sambil
berjalan saja, dan ini pakaian dan sepatu untukmu, Bi Cu."
"Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."
Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan Han Houw kalau-kalau
pangeran itu muncul dan mengganggunya lagi, segera mengajak Bi Cu melanjutkan
perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke
timur, maka diapun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun
di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biarpun cuaca menjadi
semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan
dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.
Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlalu besar
dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti
pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang
pemuda itu. "Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya
dengan tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah
sinar api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.
"Mudah saja, aku membeli dari seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh seperti
tubuhmu." "Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"
"Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat
jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."
"Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa
maksud apa-apa, hanya memang heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya.
"Kaumaksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"
"Mengapa, ya" Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang
aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."
"Ihh! Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak
sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di
hatinya yang berdebar-debar.
"Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."
"Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kaugugah aku, biar aku yang
berganti menjaga dan engkau tidur." Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak
pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari
tidurnya, dia marah-marah. "Kenapa engkau tidak mau menggugahku semalam" Kau
membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"
"Aku..." Kejam..." Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, bingung karena tidak
mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.
"Kau membiarkan aku tidur semalam dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku
sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"
Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan
kaumaafkan aku, Bi Cu."
Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan mememegang kedua
tangan Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya" Betapa kurang penerimanya
aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah
memakimu kejam!" Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung dan dia hanya senyum-senyum gugup
saja. "Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."
"Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam" Aku marah karena demi aku
engkau menderita. Aku marah kepada diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja,
tidak dapat bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau
kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ah,
kaumaafkan aku, Sin Liong."
Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara
istimewa! "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini.
Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku laki-laki."
"Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, kalau aku yang berjaga
dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, akan celakalah kita..."
"Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tidak enak sekali,
karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."
Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala
penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali!
Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong. Pemuda ini
merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia menggenggamnya dan berbisik,
"Jangan takut, ada aku di sini."
"Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!"
Suara Bi Cu juga gemetar.
"Bi Cu, bukankah kita ada berdua" Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"
Ucapan ini seperti meniupkan api dalam semangat Bi Cu, membuat matanya bersinar-
sinar dan matanya kemerahan. Diapun menggenggam keras tangan pemuda itu dan
diapun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan
senyum kalau bersamamu Sin Liong!" Ucapan dalam saat yang berbahaya itu menusuk
perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul dan mendekap kepala
dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja dan keduanya seolah-olah tenggelam
ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan
datangnya bahaya. "Kejar, cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal
oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun
sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khi-kang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah
berada di sebelah barat hutan.
Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua dan Sin Liong cepat menggandeng
tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita
harus pergi!" Wajah Bi Cu berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat
sukar, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sinipun nampak jurang-
jurang dalam!"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Justeru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan
bersembunyi. Ke barat terus melalui dusun-dusun dan tanah datar, amat sukar
untuk dapat menyembunyikan diri, apaiagi mereka mengejar dengan berkuda."
Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong
menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar dilalui,
baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke
batu, mendaki tebing-tebing yang amat sukar karena selain terjal, juga tebing-
tebing ini hanya dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan
umum, bahkan tidak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah
dilalui manusia. Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong
berkata, "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"
Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, mengapa engkau
mengambil jalan ini, Sin Liong?"
"Sengaja kuambil jalan ini agar para perajurit yang mengejar tidak dapat
melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan
pengejaran, dan kalau hanya seorang lawan saja, aku masih dapat
menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih
cepat kita dapat pergi."
Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia
melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam! "Tempat ini
begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah amat sukar, apalagi harus
menggedongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"
Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan
demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya. Tiba-
tiba terdengar suara berdesing dan nampak sinar hitam berkelebat. Sin Liong
terkejut, akan tetapi dia sudah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu
dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan
tangan yang meluncur dari bawah.
"Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?" Terdengar bentakan dan ketika Sin Liong
menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang
berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong mengenal empat
orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah
Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, dan seorang
yang berpakaian panglima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan
lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya
dengan amat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh
merupakan lawan yang amat berat.
"Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak
cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat dan dipanggulnya tubuh dara itu dan
diapun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.
"Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.
Bi Cu terbelalak, kemudian memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan
secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan
main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu gin-kang dari pemuda yang tadinya
dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah
tingkatnya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Kalau
dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini! Kedua
pipinya berubah merah dan dia lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku berada di
belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu
memondongku dengan sebelah lengan."
Sin Liong merasa girang. Memang begini sebaiknya sehingga dengan Bi Cu di
belakangnya, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua
tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu
kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya. Dara itu merangkul lehernya dari
belakang dan menggunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar
juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di
tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari
terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan gin-kang mereka dengan
secepatnya. Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini dan dia terus
memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas
puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak
itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja! Puncak itu
dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari
situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-
batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya
mulut maut yang terbuka lebar! Jalan naik satu-satunya hanyalah melalui jalan
yang dipergunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-
tumpuk. Dari puncak itu tidak mungkin dapat melarikan diri ke lain tempat,
kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah,
dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai daki puncak itu!
"Wah, tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan
merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu,
jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah
oleh mereka. Kurasa diantara mereka, yang paling lihai adalah Pangeran Ceng Han
Houw. Kau jangan ikut-ikut, kautunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik
batu itu." "Tapi... tapi... aku harus membantumu!"
"Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya
dengan kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa dan mati
sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan kalau sampai engkau menyerahkan nyawa dan
mati konyol" Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan
mereka mati-matian."
"Kalau kau kalah...?"
Sin Liong menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku
kalah dan tewas..." "Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.
"Aku tidak akan kalah, akan tetapi kaupenuhilah permintaanku, jangan kau keluar
dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara
itu dan karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan
penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima,
ketika memegang kedua pundak dara itu dia merasa seolah-olah dia hendak berpamit
untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya! Hal ini menimbulkan keharuan
hatinya dan dia lalu menunduk den mencium dahi yang halus dan basah karena peluh
itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul den terisak, kemudian dia melepaskan
diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah
batu besar yang berada di sudut.
Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi
andaikata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka
tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari
tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang
sekali. Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke
atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat karena pengejaran
tadi dilakukannya dengan sekuat tenaga den memang pendakian puncak itu amat
melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar
ketika dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda
itu dapat meloloskan diri. Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio,
wanita yang masih tetap nampak muda dan cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk
salib masih ada juga di punggungnya. Setelah kematian Lee Siang, pria pertama
yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan
Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh
gurunya sekarang, melainkan juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.
Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, ialah Lam-hai Sam-lo yang
kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-
ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu
Bi Kun, telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak
"melindungi" Sin Liong.
Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, seperti lima ekor harimau
yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han
Houw tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tak kausangka, ya" Engkau terjebak di tempat ini, sama
sekali tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya,
kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.
"Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat bahkan
sampai sekarangpun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang
engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa
artinya semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia
penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.
Mendengar pertanyaan ini, kembali pangeran itu tertawa. Agaknya dia tidak ingin
cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya
itu, seperti seekor kucing hendak mempermainkan dulu sang tikus sebelum
diterkam, untuk memuaskan hatinya. Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini
pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia
sendiri, biarpun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami
kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apalagi kalau Sin Liong dibantu oleh
orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat sucinya, dua orang dari Lam-hai
Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.
Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan
jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah
tidak ada lagi. "Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi"
Akan tetapi biarlah, agar jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu
menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena
aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu
sehingga aku ingin sekali mempelajarinya. Dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku
mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh daripada ilmu-ilmu yang kaukuasai.
Kemudian, mengapa aku mengejar-ngejarmu dan hendak membunuhmu" Jelas pula!
Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja
sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah ke-
turunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi
penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar
Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan
dalam persoalan ke dua inipun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah
tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"
"MANUSIA she Cia, aku sudah menyiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!"
terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, namun di dalam suaranya itu terkandung
kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.
"Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar
Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong
Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.
Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Houw, akan
tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah
bertindak curang, mengabarkan kepada kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa
dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah
pangeran itu sendiri. Akan tetapi, dia tahu bahwa membantahpun tidak akan ada
gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran daripada
kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong
penuh kegeraman. "Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima
yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.
Pada saat itu terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata
ditujukan ke sana. Kiranya Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak,
mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan
lagi dia bergerak untuk mengintai. Hati siapa tidak akan menjadi terkejut
mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu
adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya menggetarkan langit dan bumi"
Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan dan mengherankan ini membuat dia
merasa bangga akan tetapi juga amat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka
dia bergerak hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam
Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu sedemikian
tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh
pendengaran mereka! "Chan-ciangkun, kautangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.
"Baik, pangeran!" Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam
dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa
seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia girang menerima
perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian
dan membuat jasa. Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia telah
ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang
tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di
samping Sin Liong! Apalagi kini dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah
keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!
Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun
terbelalak dan merasa heran, bingung dan kecewa. Mana mungkin dia, seorang
panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara
remaja seperti itu" Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut lalu tertawa
bergelak ketika mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal
sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita
cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"
Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun lalu menubruk ke depan
hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekaii, maka sekali
sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.
"Kerbau bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.
"Plakk!" Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan
Bi Cu. Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan main. Dia dimaki kerbau busuk dan
bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini! "Perempuan liar kau!" Tangannya bergerak
dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya
menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang
berada di dekat batu besar itu!
"Keparat!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong telah
tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar lagi, entah untuk memukul
lagi atau menangkap. Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun
yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan
memang dia ingin membuat jasa, maka diapun cepat menghantamkan kedua tangan
secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat
dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang
telah melatih kedua lengannya sehingga menjadi matang biru dan luar biasa
kerasnya. Namun Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria
ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-
te Sin-ciang. "Krekk! Krekk!"
Panglima Chan mengeluarkan rintihan bercampur teriakan kaget. Kedua pergelangan
lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia
terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung
tangan kiri. "Desss!" Tubuh perwira tinggi itu terpelanting dan terbanting keras. Dia tidak
dapat bangun lagi karena sudah pingsan terkena tamparan keras yang membuat
tulang rahangnya retak-retak itu!
Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan
dekat dan pada saat Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw,
mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya
kepada Sin Liong! Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu,
telah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi
kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua
tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim
Hong Liu-nio telah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke
arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara
bertubi-tubi. Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan
pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, sedangkan si
kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengandalkan gin-kangnya, meloncat
tinggi dan menyerang dari atas menggunakan pukulan dengan tangan kirinya yang
bergelang emas tebal! Dalam segebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang
menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya
dan dahsyat!
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan
tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata
tajam, sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan
sehingga ujung sabuk itu membalik, pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan
Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya, membuat pedang
itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke
belakang, akan tetapi pada saat itu, kedua kaki Han Houw sudah melakukan
tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong menggunakan
kedua tangannya untuk mengangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua
kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu
ini aneh sekali, dan selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang,
tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak
dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking dan
tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh
ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.
Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke
belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang
yang amat dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri dengan tegak
dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua
tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu.
Hawa yang amat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua
serangan itu. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw
yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga
Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu
terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat.
Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin
Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya
melayang ke dalam jurang!
"Sin Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa
ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan menggunakan
tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya
sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.
"Bi Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget
melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.
Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua
orang itu meluncur turun dengan cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi
pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa
bergelak sambil memandang langit.
"Ha-ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, akulah sekarang Pendekar
Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!" Dia menepuk-nepuk dada sendiri sambil
tertawa-tawa. Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat
membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati.
Biarpun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian
gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar
besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apalagi setelah dia tahu bahwa Sin
Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi! Kini satu-satunya saingan baginya
telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda
itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu berahi, begitu tenang dan dapat
menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar
jurang yang tak nampak itu!
*** "Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau
kalau engkau menangis."
Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan
kepalanya di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam
dan halus itu. Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu
rasa hatiku, koko..." Dia terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang
kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang
hina yang ternyata kini malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari
keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."
"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu" Aku sudah bilang,
aku tidak perduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang,
Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau tidak tepat
pendapatnya, menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari
mereka." Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya
itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh
kemesraan dan terbuka, dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta
asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk
bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.
"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"
Sun Eng memegang tangan Lie Seng, menciumi jari-jari tangan itu dengan hati
penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar,
engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, seluruh keluargamu terdiri
dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau telah mengangkat aku dari
jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."
"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."
"Tidak, koko, akan tetapi akan selalu merasa rendah diri kalau aku tidak me-
lakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diri, me-
lainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan
aku..." Lie Seng mengecup bibir itu dan bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa
yang akan kaulakukan, sayang?"
"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau,
demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal
tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie
Seng. Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda,
mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua
itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.
"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke
mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.
"Kita akan ke Yen-tai!"
"Yen-tai di timur itu, di pantai?"
"Benar, Eng-moi, kita ke sana."
"Mau apa ke sana, koko" Ke rumah siapa?"
"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah
menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha
besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci agar bisa
mendapatkan pekerjaan di sana."
Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu.
Lie Seng lalu menceritakan siapa sucinya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap
Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan
Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah
seorang pendekar wanita yang kenamaan."
Setelah banyak bercerita tentang Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu
mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Makin kagum
sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya
terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan dan mengingat
akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri
pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andaikata tidak tentu
diapun akan termasuk "keluarga besar" dari para pendekar itu, sebagai cucu murid
ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia makin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam
lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-
satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang
bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali
perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan
perjalanan bersama kekasihnya, biarpun hatinya merasa tidak enak dan merasa
rendah diri. Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sutenya itu dengan girang sekali.
Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun
Eng dipersilakan masuk dan suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka
dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali
kedatangan sutenya. Bagaimanapun juga, Lie Seng bukan hanya sutenya, akan tetapi
lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung
sutenya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri"
"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute" Dan juga bagaimana dengan ibumu" Juga
bibi In Hong dan paman Bun Houw?" ketika mereka makan minum sambil bercakap-
cakap, Mei Lan tidak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang
yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.
Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah
hendak menceritakan tentang keadaannya dan tentang perselisihannya dengan
keluarganya mengenai diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia
dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat
dan suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya
menduga, melihat sikap dan gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada
apa-apa dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!
"Mereka... mereka baik-baik saja, suci, mereka tinggal dalam keadaan aman di
Yen-ping..." "Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran dan saling pandang dengan suaminya yang
tampan dan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan
alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu diapun ikut bicara.
"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"
"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka
berempat masih berada di sana dengan aman... eh, ada apakah?" Lie Seng bertanya,
hatinya terasa tidak enak.
"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah
pindah lagi, setelah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima
berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang
didengarnya dari Yap Kun Liong. Ternyata keluarga pendekar yang sudah
meninggalkan Yen-ping dan diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-
cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan
suaminya. "Mereka diserbu musuh" Ah, lalu... mereka kini berada di mana?"
"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."
Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan
tangan dikepal. "Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu
mereka menghadapi musuh!" katanya. Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali dan
juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!
"Sudahlah, sute. Mereka kini telah selamat dan karena berada di tempat yang
semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku
sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan
suamiku yang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri dan adik Sun
Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini" Ataukah hanya untuk
menengok sucimu ini?"
Lie Seng menarik napas panjang. Saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus
menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-
tai ini. "Sesungguhnya, amat sukar bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi
karena agaknya aku sudah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang
dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang
mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan
kepadaku." Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar ucapan sutenya yang dikeluarkan
dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang telah terjadi" Tentu saja aku akan
suka membantu sedapat mungkin!"
Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng
dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te,
kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di depanku, biarlah aku
mengundurkan diri dulu..."
"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh
kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada
suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."
Sun Eng bales memandangg kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu
bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik
Sun Eng, kita bicara di dalam."
Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu den masuk ke dalam kamar Mei
Lan. Setelah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa den berceritalah dia
kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng dan bahwa ibu
kandungnya, juga pamannya, telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan
mereka. "Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman
Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh
kaum pria. Ibu tidak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan
lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi
meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, maka aku mengajaknya
ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku
bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu
dapat meresmikan pernikahan kami."
Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia sendiri
merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah
tergoda oleh kaum pria! Dia tidak dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata
"menggoda" itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu
godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang
aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.
"Tentu saja aku dapat menolongmu dengan pekerjaan yang kauperlukan, dan untuk
engkau tinggal di kota inipun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya.
Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemmm... agaknya hal itu amat sukar.
Kurasa sucimu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja tidak akan
berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu dan ayah kandung
isteriku untuk meresmikan pemikahanmu, seolah-olah mereka orang-orang tua itu
sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."
Lie Seng menarik napas panjang. "Andaikata tidak mungkinpun tidak mengapa. Kami
sudah mengambil keputusan hidup bersama, dinikahkan secara resmi ataupun tidak,
bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga
mengandung keputusan nekat.
Sementara itu, di dalam kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan
tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa
ditutup-tutupi lagi. Dia menceritakan penyelewengannya ketika dia masih menjadi
murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan
pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa
kasihan kepada Bun Houw dan dia telah mencoba untuk merayu gurunya sendiri.
Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan
hatinya karena dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-
penyelewengan sehingga tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar
itu. Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, tentang usahanya menolong
kedua gurunya itu sehingga dia bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah
menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, dan mereka masing-masing
berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan kemudian
bertemu lagi dan cinta mereka bahkan semakin mendalam.
"Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa
diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah.
Aku tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah
menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku,
enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini,
aku... melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci.
Ketika dia bentrokan dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau
rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat
Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan
demikianlah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang terletak dalam tangan
enci nasib Lie-koko..." Dan menangislah Sun Eng.
Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Di dalam hatinya
terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya atau ibu
kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak
menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat
puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah
menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan
mengajak main gila kepada suhunya sendiri" Akan tetapi, kalau mereka sudah
saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cinta wanita ini terhadap sutenya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan
dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh
menilainya, tidak boleh mencampurinya. Tentu saja kalau menurut suara hatinya
sendiri, diapun akan merasa kecewa melihat sutenya berjodoh dengan seorang gadis
yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa
campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan
membahagiakan hati sutenya. Maka dia menarik napas panjang.
"Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-
masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah
suteku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicara lebih lanjut.
Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama
sucinya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, mengertilah Lie
Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk
penyelewengannya. Maka dia segera menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya,
meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seolah-olah dia telah
menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk
mengelilingi meja seperti tadi.
Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap
Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sutenya dan dia setuju
sepenuhnya kalau suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sutenya. Akan
tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.
"Hal itu tidak mungkin dapat kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu
kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku berani bersama suamiku
bertindak sedemikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan
pernikahanmu" Hal itu tentu saja menjadi lain kalau andaikata ibu kandungmu itu
memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus kau ingat bahwa ibu
kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu
akan marah kepadaku kalau aku sampai berani selancang itu. Maka, kaumaafkanlah
kami berdua, sute." Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari
itu, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng
meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-
perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan
Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil
bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain
pekerjaan, juga suami isteri yang kaya ini menyediakan sebuah rumah lengkap
dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.
Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa
semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Makin dia kagum
kepada Lie Seng dan keluarganya, makin dia merasa dirinya kecil dan tidak
berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti
Lie Seng! Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan
hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan
kemesraan dan cinta kasih, namun di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh
dengan penyesalan terhadap diri sendiri!
Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-
perbuatan kita yang sudah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan se-
bagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting
bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat
kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang
mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah ini" Beharkah bahwa pe-
nyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang"
Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya,
seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam kehidupan
masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalanpun akan makin lama makin
menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh
dengan kesesatan! Kemudian, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan
kembali. Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti
dalam lingkaran setan yang tiada putus-putusnya! Seperti kalau kita makan
makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut namun sesungguhnya tidak
baik bagi perut. Ketika makan amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu me-
mentingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah
perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu
banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Namun, penyesalan ini dalam
sedikit waktu sudah terlupa lagi kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar
enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah! Pengejaran kesenangan membuat
kita buta dan baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang
tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda
sehingga senang dan susah tak terpisahkan, lalu timbul penyesalan! Jadi
penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu
mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri
yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang
mendatangkan kesenangan itu!
Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-
gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang
bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran inilah
pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang
tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran. Karena
perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu
berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti
menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan
yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang
akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya
dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan
kesesatan-kesesatan itu! Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat
terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku!
Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri
sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar!
Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua kewaspadaan dalam
pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu
mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai
sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan, kedamaian, kesucian dan
sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar
kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.
*** Yap Mei Lan dan suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah
mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi,
yaitu di pelabuhan, maka banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya
di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini
merasa senang dapat menolong Lie Seng yang nampak hidup cukup bahagia dengan Sun
Eng, sedangkan bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng
menjadi ringan. Sejak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan
raya depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampah dan gagah, bertubuh tinggi
tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan
dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.
"Waspadalah, orang itu mencurigakan sikapnya," bisik Yap Mei Lan kepada
suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat
kepada pemuda itu akan tetapi biarpun tidak melihat langsung dari sudut matanya,
dia selalu mengawasi gerak-geriknya. Pemuda itu agaknya bimbang, akan tetapi
kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon
sehingga kelihatan teduh itu, dengah langkah tenang dan lebar menghampiri
ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk. Melihat betapa pemuda yang
dicurigai isterinya itu memasuki halaman rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu
bangkit dari tempat duduknya melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini
mungkin seorang tamu, pikirnya. Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang
memiliki hubungan luas sekali, bahkan dengan luar negeri, maka tidaklah
mengherankan andaikata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu
mengunjunginya. Dia tidaklah curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan
tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.
"Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara, datang
dari mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.
Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata
tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia
menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni
undak-undakan di depan rumahnya. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda ganteng itu
yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Sepasang mata
yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya
mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan,
akan tetapi pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki
kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu menggerayangi
tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!
Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan
hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan,
lalu terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikitpun tidak
menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita
yang tidak pernah dikenalnya, "Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"
Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama
sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena
jengah atau malu, melainkan merah karena marah. "Aku adalah nyonya Souw Kwi
Beng!" Akan tetapi pemuda itu sudah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak ada
urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya,
bukan?" Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang
ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh
lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.
"Kami tidak mengerti mengapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini.
Memang benar bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan
siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan
penghormatannya. Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau
puteri dari Yap Kun Liong, bukan" Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan
bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi
tawananku." Makin kaget kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap
Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Ha-ha, ingin mengenalku" Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau
menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan lebih dulu sebagai sandera dan baru
setelah keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau
akan kubebaskan lagi."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan
tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia sudah
mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim
Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.
"Siapa sudi menyerah" Pertama, aku tidak bersalah apapun terhadap pemerintah. Ke
dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya
pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau
pasukan. Ke tiga, andaikata benar engkau pangeran, akupun tidak akan sudi
menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai
bukanlah pemberontak!"
"Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan" Aku sebenarnya
tidak suka menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apalagi terhadap
wanita secantik engkau..."
"Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan
diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang
kecil namun yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.
"Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo
keluarkan semua kepandaianmu!" kata Han Houw yang memang gembira melihat betapa
pukulan wanita ini hebat sekali, hal yang memang sudah disangkanya mengingat
bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan puteri kandung dari
pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat
membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu
bergerak amat cepatnya, kadang-kadang berputar seperti gasing, tahu-tahu telah
menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seolah-olah telah mengubah
dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!
"Bagus sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.
Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia
telah mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru
Angin) yang diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua
lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari
mendiang Kok Beng Lama! Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga
Pedang Kiri 8 Pendekar Rajawali Sakti 95 Pangeran Iblis Bende Mataram 21