Pencarian

Pendekar Lembah Naga 24

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


mertua pangeran! Ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut
menyembahku!" Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi dan Sin Liong memandang dengan muka
pucat. Pamannya ini, suami mendiang ibu kandungnya, telah menjadi orang gila!
Betapapun penasaran dan marahnya terhadap orang ini atas semua kecurangan dan
kejahatannya, kini melihat dia menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel
itu, terharu dan kasihan juga rasa hati Sin Liong.
"Paman Kui, ini aku, Sin Liong...!"
Orang yang sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba memandang. Sin Liong melihat betapa
sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang
menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya.
"Sin Liong" Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!" Tiba-tiba Kui Hok Boan
menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya kacau-balau, caranya
menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa akan ilmu silatnya!
Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dengan mudah mengelak sehingga
tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya terguling dan kembali Kui
Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri.
"Siong Bu... anakku... Siong Bu, kenapa kau mati meninggalkan aku" Siong Bu,
anakku...! Beng Sin, engkau anakku, kenapa kaubunuh saudaramu sendiri..." Hu-hu-
hu... kau minggat kemana, anakku" Lan Lan dan Lin Lin... kalau engkau sudah
resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku, ha-ha-
ha!" Mendengar semua ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati" Dan
Beng Sin yang membunuhnya" Tapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu anak-
anaknya" Dan Lan Lan berdua Lin Lin ke mana"
"Paman Kui!" bentaknya keras. "Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"
Dibentak keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula, "Di mana lagi
kalau tidak di kamar Ceng Han Houw" Ha-ha, mereka itu, anak-anakku yang cantik
manis, pantas menjadi selir-selir pangeran..."
Sin Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia sudah berkelebat cepat
meninggalkan rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan
dan Lin Lin tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana
caranya karena dia tidak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan
diri bersama Bi Cu. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia
harus menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari malapetaka!
Dengan cepat karena dia mempergunakan gin-kangnya, Sin Liong menuju ke kota raja
dan malam itu juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para perajurit
pengawal tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari
sang pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang
dilakukan di waktu tengah malam ini! Akan tetapi dengan sikap hormat mereka
mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu dan mereka lalu
mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di
dalam. Akan tetapi karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah
tidur, tidak ada seorangpun di antara para pengawal dan pelayan yang berani
mengganggunya. Maka pengawal itu kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan
bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamar dan tidak ada yang berani
mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan.
"Antarkan aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!"
kata Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat
itu. "Akan tetapi... kongcu..."
"Sudahlah!" Sin Liong berseru tak sabar. "Aku mempunyai urusan yang penting
sekali untuk disampaikan kepadanya! Biar aku yang membangunkannya dan kalau dia
marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!"
Melihat sikap ini, para pengawal merasa khawatir sekali, akan tetapi karena Sin
Liong sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik
angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan
kamar Ceng Han Houw. Tanpa ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan
kekhawatirannya akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong mengetuk pintu kamar
yang terbuat dari kayu terukir indah itu, disusul suaranya yang lantang karena
dia mengerahkan khi-kang agar suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun
pintu itu, "Houw-ko...! Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara
dengan Houw-ko...!" Semua pengawal diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu
sang pangeran akan menjadi marah sekali diganggu tidurnya seperti itu.
Akan tetapi tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang!
"Liong-te...!" Daun pintu segera terbuka dan muncullah sang pangeran dengan
rambut kusut dan pakaian dalam setengah terbuka. Melihat para pengawal, pangeran
itu segera menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi. "Liong-te, kau baru
datang" Masuklah, masuklah saja!"
Sin Liong mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat dua orang wanita
cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu
tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi setelah dia melihat bahwa
mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, legalah rasa hatinya dan dia cepat
membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari pakaian
dalam mereka itu. "Kalian keluarlah...!" kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum.
Dua orang wanita muda itu cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu
meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka pakai.
Setelah dua orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup lagi, Han
Houw tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong dari kepala sampai ke kaki,
seperti menaksir-nakair dengan pandang matanya. "Ha-ha-ha, girang sekali bertemu
dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat, adikku, dan setengah
tahun yang lalu, memang pantaslah engkau disebut Pendekar Lembah Naga! Akan
tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku di sini, Liong-te! Dan akupun telah
menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu Beng Hud-couw
sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi daripada ilmu
silat yang pernah kaupelajari."
Diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biarpun menguasai ilmu-ilmu
dari Bu Beng Hud-couw, namun dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah
petunjuk Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia
dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpipun belum pernah. Akan
tetapi pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia"
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Houw-ko!" katanya dengan wajar karena
betapapun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat mencapai apa
yang telah diinginkannya.
Han Houw tertawa. "Akan tetapi aku belum merasa puas kalau belum membuktikan
apakah ilmu-ilmuku dapat mengatasi ilmu-ilmumu, Liong-te. Betapapun juga, biar
engkau adalah adik angkatku, namun engkau lebih dulu mewarisi ilmu dari suhu Bu
Beng Hud-couw sehingga menurut tingkat, engkau adalah suhengku! Hanya kalau kita
sudah saling mengukur kepandaian, baru dapat ditentukan siapa yang lebih unggul
dan patut menjadi suheng. Maka, aku ingin sekali mengadu ilmu melawanmu, Liong-
te!" Sin Liong terkejut dan cepat dia menggeleng kepalanya. Dia tahu betapa hausnya
pangeran ini akan kemenangan. "Tidak, biarlah tanpa diujipun aku menyerahkan
gelar suheng itu kepadamu, Houw-ko. Kedatanganku ini hanya untuk bertemu
denganmu dan bertanya tentang Lan-moi dan Lin-moi." Dia menatap tajam wajah
pangeran yang masih tersenyum itu. "Houw-ko, di manakah adanya Lan-moi dan Lin-
moi" Aku tahu bahwa mereka telah kautawan. Kuharap dengan mengingat akan
hubungan antara kita, engkau suka membebaskan mereka. Biarkan aku membawa mereka
pergi Houw-ko." Han Houw mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang, akan tetapi dia lalu
menutupi ketidaksenangan itu dengan senyum lebar. Memang hatinya tidak senang
sekali begitu Sin Liong menyebut nama dua orang dara itu. Dia diingatkan lagi
akan kekalahannya menghadapi dua orang dara kembar itu! Sampai sekarang, dua
orang dara kembar itu masih belum sudi menyerahkan kehormatan mereka, tidak sudi
menerima cintanya. Untuk menghilangkan rasa kesal, kecewa dan marahnya, dia
menenggelamkan diri dalam pelukan selir-selir lain, namun tetap saja dia masih
tidak puas dan merasa penasaran. Kini, Sin Liong muncul dan minta agar dua orang
dara itu dibebaskan! Hal ini menambah kekesalan dan kemarahan hatinya, namun
pangeran yang pandai menguasai perasaan ini tersenyum lebar dengan ramahnya.
"Mengapa engkau bertekad benar untuk minta aku membebaskan mereka, Liong-te?"
"Houw-ko! Tentu engkau tahu bahwa Lan-moi dan Lin-moi adalah saudara-saudaraku
sekandung, seibu! Karena aku adalah adik angkatmu, maka mereka itu pun tentu
saja bukan merupakan orang-orang lain bagimu. Mengapa engkau memilih mereka
kalau di dunia ini masih banyak gadis lain yang akan suka menjadi selir-selirmu"
Harap kausuka bebaskan mereka, Houw-ko, demi hubungan persaudaraan kita!"
"Hemm... bebaskan sih mudah, Liong-te. Akan tetapi hal itu harus kupikirkan
baik-baik. Karena itu, kau pergilah dan tiga hari kemudian, pagi-pagi hari
tunggulah aku di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Aku akan menemuimu
di sana untuk membicarakan pembebasan Lan Lan dan Lin Lin."
"Tapi, Houw-ko..."
Melihat sepasang mata adik angkatnya itu mencorong, Han Houw terkejut. Bukan
main pemuda ini, pikirnya, dan merupakan lawan berbahaya. "Liong-te, apakah
engkau tidak percaya lagi kepadaku" Kalau aku bilang tiga hari kita bicara, hal
itu akan terjadi, dan jangan khawatir, aku yang menjamin keselamatan dua orang
adik kembarmu itu." Lega hati Sin Liong. Dia tahu benar bahwa betapapun kejamnya kadang-kadang kakak
angkatnya ini, namun satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pangeran ini tidak akan
pernah menjilat ludahnya sendiri, tidak akan pernah mengingkari janji. Maka dia
lalu mengangguk dan berkata, "Tiga hari lagi, pagi-pagi aku menantimu di hutan
itu, Houw-ko." Dengan cepat dia lalu melangkah keluar kamar itu dan langsung
keluar dari istana. Para pengawal memberi hormat dengan tubuh tegak terhadap
pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu.
Sin Liong sama sekali tidak tahu bahwa Han Houw memberi waktu tiga hari itu
adalah untuk membuat persiapan untuk mengadu kepandaian dengan Sin Liong. Pada
keesokan harinya, Han Houw sudah mengutus orang-orangnya untuk menyebar berita
di kalangan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya bahwa pada tiga
hari mendatang, pagi-pagi di hutan di sebelah selatan kota raja akan diadakan
pertandingan adu ilmu antara tokoh-tokoh kang-ouw terbesar untuk menentukan
siapa yang patut digelari jagoan nomor satu di kota raja! Han Houw kini tidak
mau bertindak tergesa-gesa memperebutkan gelar jagoan nomor satu di dunia,
melainkan hendak bertindak dari pusat, dari kota raja lebih dulu baru kemudian
nama dan gelarnya diperluas sampai ke seluruh dunia kang-ouw. Boleh jadi Sin
Liong belum memiliki nama besar di dunia kang-ouw, akan tetapi dia tahu betul
bahwa pemuda itu adalah lawan tangguh dan tidak sembarang orang kang-ouw akan
mampu mengalahkannya! Karena itulah dia ingin semua orang kang-ouw melihat dia
mengajak Sin Liong mengadu ilmu.
Itulah sebabnya ketika pada tiga hari berikutnya pagi-pagi sekali Sin Liong
pergi ke dalam hutan yang dimaksudkan oleh Han Houw, dia tidak hanya melihat
pangeran itu berdiri dengan angkuhnya di suatu tempat terbuka dalam hutan itu,
akan tetapi juga terdapat banyak sekali orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh
kang-ouw di kota raja dan sekitarnya.
Pangeran Ceng Houw berdiri dengan sikap angkuh, pakaiannya indah dan bajunya
ditutup dengan jubah kulit, sepatunya mengkilap baru, kepalanya memakai topi
bulu yang baru pula, dengan bulu burung berwarna biru di atas. Targan kirinya
bertolak pinggang dan tangannya memegang sebatang cambuk kuda. Kuda itu sendiri,
seekor kuda pilihan yang amat besar dan baik, berdiri tidak jauh di belakangnya.
Pada saat Sin Liong datang, pangeran itu sedang bercakap-cakap dan didengarkan
oleh banyak tokoh kang-ouw. Pangeran itu agaknya menceritakan tentang Sin Liong,
karena pemuda ini masih dapat menangkap beberapa kata-kata dalam kalimat
terakhir. "...dia putera dari pendekar besar Cia Bun Houw..." akan tetapi pangeran itu
menghentikan kata-katanya ketika melihat Sin Liong datang. Sin Liong mengerutkan
alisnya, tak senang hatinya mendengar pangeran itu membuka rahasianya di depan
orang banyak! Akan tetapi hal itu telah dilakukannya, maka diapun tidak banyak
bicara lagi, melainkan segera menghampiri Han Houw dan memandang dengan sinar
mata tajam mencorong. "Aha, Liong-te, engkau benar gagah dan memenuhi janji! Nah, mari kita lekas
memulai saja, Liong-te!"
"Mulai apa, Houw-ko?" kata Sin Liong dan para orang kang-ouw yang mendengarkan
percakapan itu diam-diam merasa heran sekali akan cara bicara kedua orang itu.
Pemuda sederhana itu bicara terhadap sang pangeran dengan sikap begitu seenaknya
tanpa hormat seperti bicara terhadap kakaknya sendiri saja! Diam-diam, di
samping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang amat besar.
Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai
yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku
adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya!
"Eh, mulai apalagi, Liong-te" Kita datang ke sini untuk menguji kepandaian
masing-masing, bukan" Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa
di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!"
Sin Liong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti
itu, sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu
ilmu kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak
keras. "Houw-ko! Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk
bicara tentang dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu
kepandaian!" "Akan tetapi aku ingin mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang
adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kautandingilah aku, biar semua
orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!"
"Tidak, Hauw-ko, aku tidak akan mengadu ilmu silat, apalagi terhadap engkau yang
menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!"
"Liong-te! Apakah engkau hendak membikin malu kepadaku" Masa adik angkatku
seorang pengecut dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain" Hayo mulailah,
kauseranglah aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!"
"Tidak, Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi."
"Aku akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku" Tapi, kita
bertanding dulu." "Maaf, aku tidak dapat, Houw-ko."
"Kalau aku memaksamu?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau aku menyerangmu?"
"Aku tidak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain
yang tak mau melawan!" kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin
bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu.
"Kalau engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan
menghajarmu dengan cambuk ini!" Han Houw mengangkat cambuknya ke atas,
memutarnya di atas kepala lalu menggerakkan pergelangan tangannya yang
mengandung tenaga amat kuat itu.
"Tar-tar-tarrr!" Tiga kali cambuk itu meledak di udara dan suaranya sedemikian
nyaring mengejutkan semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk !
Akan tetapi Sin Liong tetap tenang saja.
"Kalau Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan
tetapi aku sama sekali bukan bermaksud menghinamu," Sin Liong berkata. Dia
adalah seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena
dipancing lalu menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sesungguhnya tiada
bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan Lan
dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum
mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal.
"Liong-te, kau sungguh-sungguh terlalu dan membuatku marah! Hendak kulihat
apakah benar engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!" katanya dan
kembali dia menggerakkan cambuknya ke atas, kemudian cambuk itu meluncur ke
bawah mengeluarkan bunyi amat nyaring.
"Tar-tar-tarrr!!" Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata Sin
Liong, kemudian ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak. Sin Liong tetkejut.
Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar menyerangnya.
Akan tetapi Sin Liong tidak melawan, hanya mengangkat tangan menangkis sambaran
ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk mengenai pundaknya. Baju
pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang menggigit seperti patuk ular itu,
akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan sin-kang, kulitnya tidak terluka,
lecetpun tidak. Cambuk itu terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti
gerak tangah Han Houw yang hendak memancing kemarahan Sin Liong agar pemuda itu
membalas serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tidak pernah membalas, juga
tidak mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek,
di pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan
tubuhnya tidak ada yang lecet.
Diam-diam Han Houw terkejut dan kagum juga penasaran sekali akan keteguhan batin
adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia merasa


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jengah dan malu sendiri! Di lain fihak, Sin Liong diam saja dan di dalam hatinya
dia sengaja tidak melawan, pertama sekali untuk melindungi keselamatan Lan Lan
dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang budi kepada kakak
angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya merusak pakaian
itu. "Sin Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan
tanpa berani membalas sama sekali" Apakah engkau takut kepadaku" Hayo katakan
bahwa engkau takut kepadaku!" Han Houw membentak marah dan penasaran sekali
karena semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh perhatian
dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw itu tidak
dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang yang tidak mau
melawan. Sin Liong memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tenang dan sepasang
matanya mencorong. Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, Houw-ko, aku tidak takut
kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tidak ingin
bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut agar engkau suka
membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."
"Jadi engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?"
"Tidak, Houw-ko."
"Jadi dengan demikian engkau tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah
Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?"
"Hemm, engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor
satu di kota raja atau di dunia. Aku tidak perduli, Houw-ko. Aku hanya minta
agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."
Pangeran itu tersenyum. Girang juga hatinya karena pengakuan ini sudah cukup dan
telah didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapapun juga, dia harus dapat
memperlihatkan kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini. "Kau
ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas" Baik, akan kubebaskan mereka, akan tetapi
engkau harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!"
Sin Liong terkejut. Ini penghinaan namanya! Apalagi hal itu harus dilakukan di
depan banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir
dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw.
Akan tetapi Sin Liong teringat akan hal ini dan dia tahu bahwa pangeran itu
memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan
Lan Lan dan Lin Lin yang telah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali! Melihat ini, diam-diam Han Houw
makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini benar-benar memiliki kekerasan hati
yang luar biasa, dan ketenangan yang amat kuat sehingga mampu menahan segala
penghinaan dan tidak mudah terpancing. Menghadapi lawan seperti ini benar-benar
amat berbahaya! Maka dia lalu sengaja tertawa bergelak, memegangi cambuknya dan
berdiri dengan angkuhnya.
"Ha-ha-ha, cu-wi sekailan telah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah
mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami tahu betul
bahwa kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku
sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan
menjadi jagoan nomor satu di dunia setelah kami mempunyai kesempatan untuk
mencoba dan merobohkan pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia Bun
Houw dan lain-lain."
Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan
kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa
leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu
berkata. "Heh-heh-heh, pemuda ini paduka katakan amat lihai" Kalau menurut
pendapat kami, dia ini tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut,
mana bisa dimasukkan dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw" Kalau
paduka memang sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?"
"Ha-ha-ha, seperti jembel!"
"Lihat wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?"
Tujuh orang jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan
mengejek, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya ikut tertawa saja. Mereka men-
tertawakan Sin Liong, akan tetapi hal ini juga merupakan protes halus bahwa
pangeran itu mengangkat diri sendiri setelah menundukkan seorang bocah seperti
itu yang mereka anggap pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah
di dunia kang-ouw. Sejak tadi Sin Liong sudah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan
Han Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin menyelamatkan dua
orang adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan menerima semua itu
dengan tenang. Akan tetapi kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa
menghina dari orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima
penghinaan ini dari orang-orang lain. Dengan tenang namun sepasang matanya makin
tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuhnya dalam keadaan masih berlutut.
Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa sambil menuding-nuding
kepadanya itu dan tiba-tiba Sin Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring,
tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan digerak-gerakkan. Tujuh orang itu
terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki
kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang
mengandung sin-kang kuat maka mereka cepat bergerak untuk menangkis atau
mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat
kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar biarpun ada yang telah
mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan
terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena mereka semua telah
roboh pingsan! Seketika keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang kepada tujuh
orang itu dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh
kagum, heran dan jerih. Sin Liong bangkit perlahan-lahan menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan
kepalanya bergerak memandangi mereka semua dengan sepasang mata seperti mata
naga sehingga mereka yang bernyali kecil bergidik melihat sinar mata ini dan
otomatis kaki mereka melangkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu,
tenang namun terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu.
"Aku tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di
antara kalian ada yang mau mengujiku silakan maju!"
Suasana menjadi sunyi setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang
kelihatan jerih. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia
apakah yang diundang oleh para utusannya ini" Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja dan
sekitarnya ataukah hanya sekumpulan gentong kosong tempat nasi belaka"
"Sin Liong telah mengajukan tantangan kepada cu-wi sekalian. Apakah benar-benar
di antara cu-wi tidak ada yang berani menandinginya" Cu-wi yang terkenal sebagai
tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja ini" Betapa
menggelikan dan memalukan!" Han Houw benar-benar merasa penasaran sekali.
Karena, biarpun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia ingin melihat
gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga dia sendiri
dapat menilainya. "Maaf, pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan
dan segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka sendiri?"
tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan
berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas, dan sepatunya
memakai lapis baja. "Hemmmm, apakah kalau begitu kalian juga mengakui keunggulanku karena aku
seorang pangeran" Itu penghinaan namanya!" bentak Han Houw.
"Tidak, pangeran," kata Si Muka Hitam. "Hamba Twa-to Hek-houw (Macan Hitam
Bergolok Besar) telah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar siapa
adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bahwa paduka
adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa paduka
telah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapapun juga
dia adalah adik angkat paduka, maka kami..."
"Tidak perlu sungkan! Dunia kang-ouw tidak mengenal kedudukan dan pangkat,
melainkan mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Kalau ada yang
berani, hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia sebagai adik
atau apapun juga. Kalah menang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada
dosanya!" "Kalau begitu, maafkan, biarlah hamba yang mencoba kelihaiannya!" Twa-to Hek-
houw berseru dan dia sudah meloncat ke depan, tangan kanannya bergerak dan dari
punggungnya dia sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking
tajamnya. Golok itu besar dan berat, namun dia dapat menggerakkannya seperti
sebuah benda yang ringan saja.
Sambil tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, "Orang muda, marilah kita main-
main sebentar dan kau boleh keluarkan senjatamu!" Macan Hitam ini memang licik.
Dia tadi sudah melihat betapa dengan tangan kosong Sin Liong mengalahkan tujuh
orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu
adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan memiliki tenaga
sin-kang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, menghadapinya dengan tangan
kosong, melainkan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat namanya itu.
Sin Liong merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan marahnya terhadap Han
Houw kini ditujukan semua kepada orang-orang yang memandang rendah dan
meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata, "Untuk melawanmu
tak perlu aku bersenjata. Majulah!" tantangnya.
Memang Si Muka Hitam itu sudah merasa jerih, maka kini giranglah hatinya
mendengar jawaban Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak
akan tercela kalau menyerang pemuda ini dengan goloknya karena bukankah pemuda
itu sendiri yang menantangnya" Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia sudah
menyerang dengan senjata tajam itu. Terdengar suara mengaung ketika golok itu
menyambar. Sin Liong kelihatan tidak bergerak, hanya sedikit miringkan badan dan
menggeser kaki, dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan
telinganya, tangannya menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan
terbuka dan miring dia menghantam ke arah punggung golok.
"Krekkk!" Golok itu patah menjadi dua, dan orang itu kena ditampar dan orangnya
roboh terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh
dan cepat ditarik mundur oleh teman-temannya! Melihat betapa Twa-to Hek-houw
yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago silat yang amat
disegani di kota raja itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi pemuda itu,
barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan tahu benar sekarang bahwa
pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu benar-benar memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi dan hebat.
"Hayo, siapa lagi yang hendak maju" Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena
kami bukantah tontonan!" Sin Liong berkata, suaranya keren dan sepasang matanya
menyapu dengan sinar mata yang mencorong.
Di antara para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan
tetapi mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran
dan adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-
ouw itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini
amatlah berbahaya, maka mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar
tokoh kang-ouw dan bukan penjilat-penjilat pangeran, segera meninggalkan tempat
itu. Perbuatan ini diturut oleh yang lain sehingga akhirnya tempat itu menjadi
sunyi, hanya Pangeran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ.
"Nah, sekarang kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya
Lan-moi dan Lin-moi" Aku minta agar mereka segera kaubebaskan."
Diam-diam Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Biarpun di depan banyak
orang kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya dan adik angkatnya ini sama
sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat
memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang
kang-ouw itu. Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk, lalu menuding dengan cambuknya ke arah
utara, "Sebentar lagi mereka datang."
Benar saja, terdengar suara kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama lagi mun-
cullah sebuah kereta indah yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta yang
dikendarai oleh perajurit pengawal itu berhenti di situ, dan seorang pengawal
lain yang tadi berdiri di belakang kereta cepat melompat turun dan membukakan
pintu kereta. Dua orang gadis turun dari kereta itu dan girang bukan main rasa
hati Sin Liong mengenal dua orang dara kembar itu dengan pakaian indah turun
dari kereta. Mereka itu bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!
Dua orang dara ini turun dari kereta dengan wajah berseri dan begitu melihat Han
Houw berada di situ, mereka lalu cepat berlutut di depan pangeran itu! Tentu
saja melihat hal ini, Sin Liong mengerutkan alisnya!
"Kami menghaturkan terima kasih bahwa paduka telah memegang janji," kata Kui
Lan. "Terima kasih bahwa kami benar-benar telah ditemukan dengan Liong-koko," sambung
pula Kui Lin. Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Akan
tetapi Sin Liong yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan
daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam
apa adanya kakak angkatnya yang tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang
yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah
melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya. "Lan-moi dan Lin-moi, hayo
kita pergi sekarang dari sini!" Dan dia lalu menarik mereka bangkit.
"Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami..." Kui
Lan membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian
itu begitu saja! "Sudahlah, mari kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian," kata pula Sin Liong
dan dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat
itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum
lebar. Setelah tiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu
masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya untuk membawanya kembali
ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di
belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.
Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin
Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka
itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka
berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak
dijadikan selir pangeran itu.
"Kami melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan
tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir celaka, tapi ditolong oleh
Ciang-piauwsu di Su-couw." Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan tentang keadaan
mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncul Kwan
Siong Bu secara tidak disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun
Pek-jun. "Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji," Kui Lin
berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia
merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya. "Kiranya dia
telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada
pangeran itu!" Kini Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman mereka schingga
mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami siksaan tidak
diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran untuk suka
menjadi selir-selirnya. Sin Liong mengepal tinjunya. "Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak
yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... setelah apa yang dia lakukan
terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan
berterima kasih kepadanya?" Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran.
Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah
menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan
digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri akan
tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!
"Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua
perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!"
Kui Lin berseru. "Hemm... ujian bagaimana maksudmu?"
"Begini, Liong-ko," kata Kui Lan. "Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami
dari belenggu, bahkan membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan
tangan kami karena belenggu itu, membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta
maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka
darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu,
kami berdua haruslah merupakan dua orang wanita yang gagah den tidak menyerah
terhadap bujukan dan siksaan, maka dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia
menyatakan kekagumannya den memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan
kereta..." "Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting,
kalian sudah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat
membutuhkan kalian berdua..."
"Ayah" Ah, dia hendak menjerumuskan kami!" kata Kui Lan.
"Apa yang terjadi dengan ayah?" tanya Kui Lin.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian ditangkap oleh
pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa
yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri
kalian, seayah berlainan ibu."
"Ahhh!" "Ihh...?" "Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri."
Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.
"Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, baik
kalian lihat sendiri."
Dua orang dara kembar itu betapapun juga tentu saja menjadi terkejut bukan main
mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat
menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapapun juga rasa kasihan dan sayang
dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera
mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.
Kalau di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini di
waktu siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka,
begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari
memasuki rumah kosong itu. Mereka makin terkejut dan khawatir sekali ketika
melihat bahwa keadaan dalam rumah itupun sama saja, kosong tidak ada secuwilpun
perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!
"Apa yang telah terjadi?" teriak Kui Lan.
"Di mana ayah?" Kui Lin berseru. Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara
tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pintu dan
keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang
berpakaian seperti jembel itu menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang
kosong itu. "Ayaaahhh...!" Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan
mereka lalu menubruk ayah mereka. Kui Hok Boan mengangkat muka dan melihat dua
orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu
sambil menangis. "Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian hidup lagi..."
Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!" Dan orang tua
itu lalu terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena memang tubuhnya tidak
terawat selama beberapa lama ini, dan keduanya karena batinnya terguncang
melihat dua orang puterinya.
Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sin-kang sehingga orang tua
itu siuman kembali. Agaknya pertemuan dengan dua orang puterinya membuat dia
sadar kembali dan menangislah orang tua ini. Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin
mencari keterangan kepada pada tetangga dan berceritalah para tetangga bahwa
setelah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya.
Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang
mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati
mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan.
Akan tetapi, atas usul Sin Liong, dua orang dara itu hanya menerima kembali
barang-barang berharga dan uang, dan meninggalkan atau memberikan semua perabot-
perabot rumah kepada para tetangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka
berunding. "Sebaiknya, kalian jangan tetap tinggal di tempat ini," katanya. "Karena aku
masih belum yakin benar bahwa Ceng Han Houw akan memegang janji dan tidak akan
mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari
tempat ini." "Ke mana kami harus pergi...?" Kui Lan bertanya khawatir.
"Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang
baik sekali," kata Sin Liong. "Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana"
Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian memiliki
modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana."
Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju dan
mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia
tanpa semangat itu untuk melarikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega
kepada dua orang adik tirinya itu, maka diapun lalu mengawal sampai mereka tiba
di Su-couw. Dan, tepat seperti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua
orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia dan isterinya memang sudah
menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja
mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira dan keluarga Ciang-
piauwsu ini bahkan menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat. Setelah melihat
betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu
berpamit dan mulailah dia pergi mencari Bi Cu.
*** Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu" Apa yang terjadi dengan dara itu
semenjak dia berpisah dari Sin Liong" Seperti telah kita ketahui Bi Cu tadinya
tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya setelah Sin Liong memberikan
janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suhengnya sehingga pangeran itu
akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh
sang pangeran. Tentu saja diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada
orang-orangnya agar mengamat-amati dara itu karena betapapun juga, Bi Cu adalah
murid mendiang Hwa-i Kai-pang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah
pula. Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi lain sama
sekali. Kalau tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa
hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada
kegembiraan lagi. Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap
pemberontak pula. Kini, dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin
Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah
dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih
kecil, bahkan kini makin parah kedukaan melukai hatinya.
Semenjak kecil, Bi Cu merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia
telah kematian ibu kandungnya, kemudian oleh ayah kandungnya dia diberikan
kepada orang lain! Hal inilah, setelah dia agak besar mulai mengerti, yang
mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia
merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa diremehkan sekali oleh
orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya, setelah
ibu kandungnya meninggal!
Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya,
telah menyingkirkan ia karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya
meninggal! Hatinya terasa perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita
lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya! Kadang-kadang, dia
merasa penasaran, dia merasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya, timbul
perasaan benci kepada ayah kandungnya. Dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang
dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak
menyenangkan. Apalagi setelah kehidupannya mulai terhibur karena kebaikan Na-
piauwsu, kemudian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuhnya di depan matanya. Dia
merasa seolah-olah dunia kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu
yang demikian baik kepadanya, telah tewas dalam keadaan menyedihkan, dan putera
piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hendak memaksa hasrat hatinya, hendak
memperisterinya di luar kehendak hatinya.
Dalam keadaan seperti itu, dia terlunta-lunta dan akhirnya dia memperoleh
penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kai-
pang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira
ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda. Akan
tetapi, sedikit sinar terang inipun padam dan dia menjadi buronan pemerintah!
Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya
ketika dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong
inipun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan
dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan
kekeringan! Mau rasanya dia mati saja daripada hidup dalam penderitaan batin
tiada hentinya itu. Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan
cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah
bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat
menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu.
Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tak tertahankan lagi
dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, dan diapun tidak
berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin. Kakinya lelah
karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tak
pernah ada makanan memasuki perutnya dan diapun tidak ada nafsu makan sama
sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih
sayang. Dia merasa pada saat itu betapa sia-sia hidupnya, betapa kosong tiada
artinya sama sekali. Bi Cu menangis mengguguk. Air matanya bercucuran, ujung
hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri makin menggerogoti
hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang
dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas
hatinya sehingga berdarah!
Bukan hanya Bi Cu yang mendambakan cinta kasih, merindukan kasih sayang
dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua meng-
hendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan
cinta kasih! Dari manakah datangnya kehausan ini" Mengapa kita dahaga akan cinta
kasih orang lain terhadap diri kita.
Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting daripada
segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan : apakah KITA suka atau
mencinta kepada SEMUA orang" Sesungguhnya di sinilah letak sumber daripada
segalanya. Tanpa adanya cinta kasih dalam batin kita sendiri terhadap semua
orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang!
Akan tetapi apabila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak lagi akan
kehausan. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan
cinta kasih terhadap diri kita, seperti sumur kering merindukan air. Kalau sumur
itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang berlimpah-
limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!
Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih dalam diri
kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu
mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita
merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya. Kita baru dapat bicara
tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih daripada kebencian,
iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin,
jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan kalau semua itu
sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak
MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TIDAK
MENGHARAPKAN APA-APA LAGI! Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-
apa lagi, seperti cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak
ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa khawatir tidak akan dicinta orang,
tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang
takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang
memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada
lagi si aku yang ingin ini dan itu.
Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-
isak pelepas ganjalan hati. Suka maupun duka ada batasnya. Permainan pikiran
selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan
kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah setelah penumpahan rasa
duka maupun suka ini. Demikian pula dengan Bi Cu. Setelah air matanya dikuras,
seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa
lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal kedua lengannya, merenung dan
melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti
gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba
yang bulunya tebal dan lunak. Ketika ada segumpal awan memanjang dan khayalnya
membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-
domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia
tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak,
pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada saat
itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya
teringat kembali, bekerja kembali, diapun dilontarkan kembali ke dunia penuh
pertentangan antara suka dan duka ini.
Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia
bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat
dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta
kasihkah" Atau apa" Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong,
wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema
di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat,
kerinduan terhadap Sin Liong. Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri
untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran
yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin
Liong dan pangeran itu. Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi
semakin rindu kepadanya. Terbayang betapa gembiranya ketika dia melakukan
perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka
bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi
maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para perajurit.
Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, akan tetapi juga
membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus menemukannya,
demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum
bertemu kembali dengan Sin Liong! Dara itupun bangkit berdiri dan memandang ke
depan. Di atas lereng bukit berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun.
Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya lapar dan
di mana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada
makanan. Diapun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.
Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke
selatan. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang
Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama
Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.
Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung
menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan
penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan
belasan orang itu mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya
ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang ramah. Malam itu
Bi Cu tidur dengan nyenyaknya setelah perutnya diisi. Dia merasa tenaganya pulih
kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai lagi dengan
pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia
sekalipun! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan
dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan
roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau dia tidak akan bertemu dengan
dusun hari itu. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali
tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang perajurit
menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran
kepadanya. Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki
kuda di sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda
hendak lewat, maka dia cepat minggir di tepi jalan dan menundukkan mukanya agar
jangan terlihat oleh rombongan itu. Dia sudah sering kali mengalami hal-hal
tidak enak kalau memperlihatkan muka dan bertemu dengan kaum pria di tempat
sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat
menghindarkan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang
atau mata keranjang. Akan tetapi ketika rombongan berkuda itu lewat, dia terkejut melihat bahwa
mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya ketika mereka
berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan sudah mengepungnya dengan
wajah bengis! Tahulah dia bahwa para perajurit ini telah mengenalnya dan tentu
hendak menangkapnya! Seorang di antara mereka berpakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah
maju. Pria ini usianya tiga puluh tahun lebih, kumisnya tebal dan matanya lebar.
Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata. "Kim-gan Yan-cu, susah payah
kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke
mana sekarang?" Disebut nama julukannya, timbul semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih
menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tidak pernah
takut terhadap apapun juga. Berkelahi merupakan "pekerjaan" sehari-hari, maka
kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya terbangun dan biarpun dia
dikepung oleh lima belas orang perajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul
buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.
"Hemm, kalian ini perajurit-perajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu
seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan" Kalian mau apakah?"
"Ha-ha-ha, tak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah
seorang pemberontak, dan kami adalah perajurit-perajurit kerajaan maka kalau
kami bertemu dengan seorang pemberontak, lalu mau apa" Tentu saja hendak


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam
penjara!" kata komandan itu.
"Biarkan aku menangkapnya!"
"Aku saja!" "Aku saja!" DI antara empat belas orang perajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka
tentu saja tidak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin komandan mereka,
pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng
Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang
berlebihan. Namun, kalau diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka memperoleh
kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang
sedang mekarnya ini! Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum. "Kalian semua boleh
maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu
seorang buronan yang penting dan beliau telah memesan khusus kepadaku agar
berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"
Empat belas orang perajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling
bergerak berlumba untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa
seperti buah meranum atau bunga sedang terbuka kuncupnya. Seorang perajurit
tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.
"Dukkk! Waaahhh!" Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung
sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai
lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.
"Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila kepadanya sampai berlutut?"
komandan itu mengejek anak buahnya ini.
Maka terjadilah perkelahian yang ribut dan Bi Cu mengamuk dengan pukulan-
pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyoknya
terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia
kewalahan juga. Tiba-tiba, selagi dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan,
seorang perajurit berhasil menubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua
tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu
menjerit lirih. "Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!" seru perajurit itu sambil tertawa-
tawa. "Ngekk!" Tiba-tiba dia meringis dan kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari
pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dibantam oleh siku kanan
Bi Cu. "Desss... auuuughh...!" Kini dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan
memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu telah
menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari
belakang. Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggauta tubuh bawah pusar sehingga
laki-laki itu kini mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih. Hanya mereka
yang pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-
miut rasanya kalau bagian itu kena tendang!
Bi Cu sudah marah sekali. Kini dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas
menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut
dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pemgerahan seluruh
tenaga, dan ketika ada seorang perajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji
matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan
pasukan kecil itu. "Robohkan dia!" bentaknya dan kini para perajurit yang juga marah melihat betapa
seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai
menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tidak seperti tadi
yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja! Dan mulailah Bi Cu ke-
walahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia
terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk
seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!
"Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!" bentak lagi komandan yang juga
pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya dan menimbulkan
kenyerian yang cukup membuat dia semakin marah.
Para perajurit itu, seperti sekumpulan serigala mengeroyok seekor harimau beti-
na, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak dan akhirnya robohlah
Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para
perajurit itu bersorak dan mereka berlumba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.
"Siancai...! Anjing-anjing pemerintah lalim menghina rakyat lagi!" Suara ini
tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang perajurit yang terpelanting
ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan
menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali. Tongkat itu berada di
tangan seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih,
berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih
digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat
pertapaannya. Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu,
semua perajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu,
meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki
kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, dan
dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.
"Pertapa jahat!" komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah
muka kakek itu. "Berani engkau membunuh dua orang perajurit kerajaan?"
"Huh, siapa yang tidak berani" Kalau bisa aku akan membunuh seluruh perajurit
kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!" jawab pendeta itu.
"Kakek pemberontak!" Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. "Tangkap
atau bunuh dia!" Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak
buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi,
tidak seorangpun di antara mereka yang mempergunakan senjata, karena mereka
hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan kepada
dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu telah
membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam
dalam mata semua perajurit itu.
"Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!" Kakek itu tertawa dan si
komandan sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya. Tiba-tiba
terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang menyambar semua perajurit yang telah menyerang. Terdengar
teriakan-teriakan mengerikan disusul robohnya para perajurit itu seorang demi
seorang! Golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang amat singkat, seluruh
perajurit termasuk komandannya telah roboh dan tewas karena semua roboh dengan
kepala pecah! Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri
sekali. Dia hanya duduk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini berdiri
tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan
kakek itu tertawa menyeramkan.
Betapapun, karena mengingat bahwa kakek yang kejam dan menyeramkan ini telah
menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan terpincang-pincang menghampiri kakek itu
sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."
Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang
berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh seorang di antara para
korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja
itu, berkata lirih, "Anak yang baik, kauangkatlah mukamu dan pandang aku."
Biarpun merasa serem, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua namun
mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, dan terutama sekali
sepasang matanya mencorong menakutkan. Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan
pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat
atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan
mata untuk mengalihkan pandangan!
Kakek itu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik
manis, berdarah bersih dan bertulang baik. Engkau patut menjadi muridku.
Siapakah namamu?" Dengan suara gemetar dan yang keluar seolah-olah di luar kehendaknya, Bi Cu
menjawab, "Nama saya adalah Bhe Bi Cu..."
"Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."
Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tidak kuasa untuk
menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia
menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid" Selain
dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dia
lebih aneh lagi, seperti digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu
memberi hormat dan berkata,
"Suhu...!" Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa
Cinjin! Hayo, kau ikutlah bersamaku."
Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu bangkit berdiri dengan taat. Dia telah
terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin!
Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang
tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan! Pek-lian-kauw
adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah
mengherankan kalau Kim Hwa Cinjin membunuh semua perajurit kerajaan itu, bukan
semata-mata untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu
bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang
amat ditakuti semua wanita. Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biarpun pada
lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-
kauw ini mengandung maksud yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang amat keji
terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara remaja ini terjatuh ke dalam tangan
ketua Pek-lian-kauw yang telah mempergunakan kekuatan sihirnya membuat dara itu
tunduk dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai
murid. Seperti telah kita kenal cerita ini bagian depan, juga dalam cerita Dewi Maut,
Kim Hwa Cinjin dahulunya adalah seorang jai-hwa-cat. Setelah usianya menjadi
amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan
menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri. Sudah biasa bagi
tokoh ini untuk menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang
dianggap berjasa, dan diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu
menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu
sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik
sekali. Kalau dara seperti ini meniadi muridnya dan dihadiahkan kepada para
murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan
itu tentu dapat diharapkan menjadi anggauta Pek-lian-kauw yang hebat! Inilah
yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.
Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus kepada perbuatan
kejahatan, maupun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus
kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, sampaipun kepada
pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk
menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu
mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri
sendiri! Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar,
kehormatan dan sebagainya itu dapat mendatangkan kesenangan! Demikian pula,
orang mengejar kedamaian di alam fana maupun baka karena mengganggap bahwa ke-
damaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misal-
nya kebahagiaan. Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan men-
datangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua
tindakan itu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita lupa
bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan
konflik dan pertentangan. Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan
pementingan diri pribadi inilah yang menimbulkan konflik, baik konflik dalam
batin sendiri maupun konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang
akan menyamakan diri dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting daripada
apa saja. Sama pula dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi
bukan si kedudukan, si uang, si kehormatan, si keluarga, si bangsa, yang
penting, melainkan si aku! Maka terjadilah demikian : Yang dibela mati-matian
adalah uangku, kedudukanku, kehormatanku, keluargaku, bangsaku, agamaku dan
selanjutnya yang berpusat kepada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain,
bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tidak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya
pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan" Dapatkah kita hidup tanpa pamrih ini,
tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan
pementingan si aku" Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan,
keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali
berbeda! Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak daripada nafsu-
nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat
berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi,
pendidikan, kebiasaan dan sebagainya. Sampai setua itu, Kim Hwa Cinjin masih
saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangan
sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-
pengejaran kesenangan inilah timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan
kekacauan di dunia ini! Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke
tempat jagal. Dia menurut saja diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu
itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat
dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,
"Suhu...!" "Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada
dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.
"Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin
Liong..." "Sin Liong" Siapa itu?"
"Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."
"Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut
semua perintahku." "Tapi, suhu..."
"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya" Nah, kaulihatlah ini!"
Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting.
Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, kemudian
dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat.
Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.
"Hiyaaat!" Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung
tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi
ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya
menampar. "Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping.
"Dan kaulihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang
pohon. Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengar suara
keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu
saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu
bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum
rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh
takluk dan kagum. "Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"
"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."
"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."
"Baik suhu, teecu akan taat."
Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia lalu mengajak dara itu melanjutkan
perjalanan menulu ke sarang Pek-lian-kauw, sebulan lagi, Pek-lian-kauw akan
mengadakan pesta ulang tahun, dan dalam pada itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu
kepada beberapa orang muridnya yang berjasa. Sambil melangkah, diikuti oleh
muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-
milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu, tak sadar akan
bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke
dalam sarangnya! *** Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia telah
menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar
dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang
wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di
dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi
bahwa tentu dara itu Bi Cu. Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga
bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh
harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biarpun dia sudah ketinggalan hampir
sebulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa
memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.
Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya ketika dia mendengar
keterangan seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung,
bahwa daerah pegunungan itu termasuk wilayah yang dikuasai secara diam-diam oleh
perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan. Mendengar
disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara
itu melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dulu
menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia
akan meninggalkan tempat itu karena dia sendiri tidak ingin berurusan dengan
fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka,
pikirnya. Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-
kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai
terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran sekali. Pek-lian-kauw
adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seolah-olah di sana
diadakan pesta, di mana orang bergembira ria" Melihat betapa tempat pendakian
itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan
di dekat puncak itu. Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia tiba di padang rumput yang
penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin
Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput
itu. Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena
tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir
dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut sekali, maklum bahwa ada
penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu
berjungkir balik di udara sampai tiga kali. Benar saja, dari bawah menyambar
empat batang tombak dari depan, belakang, kanan dan kiri. Agaknya empat batang
tombak itu digerakkan oleh alat rahasia ketika tali halus tadi tersangkut
kakinya! Sin Liong lalu melompat turun lagi ke depan kurang lebih empat meter
dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan
tombak-tombak itu. "Blussss...!" Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rumput, tiba-tiba
dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Kiranya
di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumpun, sebuah lubang jebakan yang amat
berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat
mencegah tubuhnya terjeblos. Dia melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu
dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke
bawah! Kalau orang hanya memiliki kepandaian gin-kang biasa saja, agaknya tidak akan
mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun
dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut
raksasa yang siap mencaplok dan menggigitnya. Sin Liong memiliki ketenangan yang
luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke
bawah, mengerahkan gin-kangnya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu,
dia malah hinggap di atas ujung tombak mengerahkan sin-kang pada telapak kakinya
sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tidak melukai kaki dan dia
lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!
Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada
memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorangpun manusia,
tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur
sedemikian baiknya dan amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia
melangkah terus, kini dengan hati-hati agar tidak sampai terjeblos ke dalam
perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia lalu
meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu. Akhirnya dia
keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan tibalah dia di sebuah taman
penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari
perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar dari pusat
perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan
tidak nampak seorangpun di luar tembok.
"Syet-syet-syetttt...!" Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu
ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di
depan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya.
Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di
atas pohon besar. "Hemm, beginikah caranya Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu" Dengan
perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara melengking nyaring
sehingga suara itu berdengung sampai jauh.
Hening sejenak setelah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian
terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tak lama lagi banyak bayangan orang
melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang
berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang
turun berturut-turut nampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-
pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-
lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh
perhatian dan kecurigaan.
"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan
kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa
sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang
pertama melayang turun tadi.
Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lalu menjawab tenang, "Saya
adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini.
Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya tertarik untuk
mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikitpun tidak
mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena
memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau
Pek-lian-kauw tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak
mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-
kauw sendiri. Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya
tadi, dan orang baru ini berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan
ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu
bukan musuh dan bermaksud baik, boleh diterima sebagai tamu, karena pada hari
itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.
Pendeta pembicara itu lalu tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami
menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam
dan berkenalan dengan para pimpinan kami."
Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh
karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak mengundang umum karena mereka
selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau
kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Undangan itupun baru akan
dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa
hari lamanya, dan pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba
dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka
tanpa ada seorangpun tamu dari luar. Akan tetapi pada hari itu, seluruh
anggauta, baik yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, hadir sehingga
suasana menjadi amat meriah dan penjagaanpun tidaklah begitu ketat seperti
biasanya, sehingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru
setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Kini pintu
gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup
luas. Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah dan
suasananya cukup meriah, dan di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana
para anggauta bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan
nyanyian serta tarian. Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan,
akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut
sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk dan masuk
ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh
Pek-lian-kauw, para murid terkasih dan semua orang memandang kepada pemuda yang
melangkah masuk dengan tenang itu.
Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk
itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan dan sikap kakek yang
memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam
dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan
duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw maka dia lalu berhenti di depan Kim Hwa
Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata, "Harap kauwcu (ketua agama) suka
memaafkan kalau saya datang mengganggu." Ketika masuk tadi, Sin Liong sudah
mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di
situ, maka dia merasa agak lega dan dia bersikap sopan agar tidak menyinggung
orang-orang Pek-lian-kauw.
Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan kami mendengar bahwa
engkau memiliki kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum
bahwa seorang pemuda seperti sicu telah dapat memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"
"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan),
dan kiranya ketua Pek-lian-kauw itupun tidak bertanya tentang itu tanda bahwa
ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanya untuk membalas sikapnya yang
sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang
penting! "Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya tertarik dan
memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."
Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Tiba-tiba terdengar suarai merdu di sebelah
kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu
terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu
agung?" Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah seorang di antara
sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu
berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah
cantik dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang
pandai ilmu silat. Dan memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin,
murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik
berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya
digelung rapi, dihias burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan.
Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling
matanya tajam dan senyumnya amat manis. Ketika Sin Liong memandang kepadanya,
wanita itupun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh
gairah sehingga Sin Liong cepat menundukkan mukanya kembali.
"Ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun dan biarlah kuturuti
permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu
tamu agung, nah, kaulayanilah sicu ini!"
Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ
dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika
wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis
mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong,
tidak jauh dari situ, dia tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan
terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan
hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong. Ketika wanita itu
melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata menyambar-nyambar penuh
tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari saputangan dan pakaian wanita
itu. Dia merasa makin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim
Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa
heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di depannya dan
melayaninya, mengisi cawannya dengan arak kalau sudah kosong menawarkan masakan
ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.
Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa
justeru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya" Sin Liong yang tidak
pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali,
dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.
Karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya
pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang
dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu
dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan
gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara
merdu. "Ini adalah ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami
mempergunakan tempat ini sebagai pusat dan tidak pernah mengalami gangguan. Dan
pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena
kehadiranmu..." Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang
mempesona dan membuatnya lengah. Ketika itu, para wanita yang menari telah
mengundurkan diri dan suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang
yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak. Dua
orang wanita muda itu memakai pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh
mereka, kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan.
Setelah mereka menjatuhkan diri berlutut di depan sang ketua, lalu Kim Hwa
Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja! Kini kedua
orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor
yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat
saja karena sinar itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk
lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw
bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik dan suasana penuh
dengan pesona dan gairah! Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada tangan halus
yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut
melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong
cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki
menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap
wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya
makin manis memikat. Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba dia
mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong dan mulutnya
kemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-
tiba dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang
kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor
itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh. Tiba-tiba dia melihat dua
buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis
sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis
ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan tiba-tiba dia
merasa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk. Tak tertahankan lagi olehnya rasa
kantuk itu. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini
terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas
lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa
tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa
lagi! Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah
induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta
ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula
Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati
Sin Liong. Ketika Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih
memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin
menyetujuinya. Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh
pikatan oleh Ciauw Ki. Biarpun ketika Sin Liong sudah terpengaruh arak namun
melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini
terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau
mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Sin
Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan
ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik dan penglihatan indah dari tari obor
oleh dua orang murid wanita itu, sinar obor yang menyilaukan, akhirnya dia
berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat
menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat menggunakan jari-jari tangannya
menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.
Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya
yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang
memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia
memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia
terkejut dan heran. Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang kepada kedua
lengannya yang terbelenggu. Kedua lengan itu terikat pada pergelangan tangan.
Suara tertawa kecil membuat dia makin sadar dan kini dia memandang wanita yang
duduk di tepi pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan. Dia telah rebah
di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang
diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang
duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan
kiri wanita itu mengelus-elus pahanya! Sin Liong menggerakkan kaki untuk mundur
dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki
mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biarpun
pemuda itu sudah ditotoknya, tetap saja dia merasa khawatir dan mengikat
pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari
bantal. "Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita
cantik ini agaknya sudah setengah mabok. Diam-diam Sin Liong memperhatikan
keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia
pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat
akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia mengutuk. Dia telah
disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya.
Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.
"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau berada di kamarku dan kita... kita akan
bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"
Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di
tubuhnya, maka dia lalu mengerahkan sin-kang melancarkan kembali jalan darahnya.
Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul
kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia.
Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki
tanganku?" "Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi
lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya harum, kauciumiah,
hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu akan kulepaskan belenggumu.
Sekarang, kauminumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa,
kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-
senang..." Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau
arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak inipun tidak
wajar, bukan sembarang arak, akan tetapi tentu saja dia tidak mau minum.
"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebetuinya... aku
sedang mencari seseorang... saudaraku..." Dia membohong. Yang dicarinya adalah
seorang gadis, kalau dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka
dia mengatakan saudaranya.
"Hemmmm, saudaramu" Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?"
tanya wanita yang sudah merah mukanya karena setengah mabuk itu tangan kirinya
masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.
"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti bicara karena
melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh
gairah dan setengah terpejam itu tiba-tiba agak terbelalak. Jantungnya berdebar
dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.
Tentu saja Ciauw Ki tahu tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri
hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhunya dipilih sebagai
kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Kalau tidak ada Bi Cu,
tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah
maka dia sengaja minta ganti kepada suhunya ketika dia melihat Sin Liong!
"Aihh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu
sekarang sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang
paling tampan dan gagah! Akan tetapi engkaupun tidak kalah mujurnya karena
engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!" Tiba-tiba saja Sin Liong
menggunakan sin-kangnya dan semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat
dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu telah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut
bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah
mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya
perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang
tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu berahi itu kini terbelalak
ketakutan. "Hemm, kuhancurkan mulutmu, kalau engkau tidak mengaku terus terang!"
desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah
dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya
besar. "Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih
didekap oleh jari tangan Sin Liong. Ciauw Ki tiba-tiba menggunakan tangan yang
memegang cawan arak itu untuk menghantam ke arah muka Sin Liong, akan tetapi Sin
Liong menepuk pundaknya, diapun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai
di atas pembaringan. "Hayo katakan di mana Bi Cu!"
Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut
mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang
suhengku...!" "Plakk!" tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan
beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak
berkurang oleh tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya bahkan menjadi buruk
kelak. Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan
dia sudah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan
dengan meriah, maka mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di
mana Bi Cu disembunyikan. Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki untuk mengaku
karena wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tidak akan mau
membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekalipun. Dan Sin Liong
takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia mengembil keputusan untuk mencari
sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar
tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.
Dia mengintai dari genteng, melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di
perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya
dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw
ternyata memiliki pimpinan dan anggauta-anggauta yang menjadi hamba-hamba nafsu
berahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggauta Pek-lian-
kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk!
Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu amat
ringannya, maka dia cepat mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu
bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan
kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar
lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis, yang membuat Sin
Liong bergidik. Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan
cepat dia melayang ke atas genteng dan dengan hati-hati membuka genteng untuk
melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua
Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir
saja dia berseru keras ketika melihat apa yang terdapat di dalam kamar itu!
Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar mengelilingi
sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya
di atas genteng, duduk tiga orang laki-laki yang hampir telanjang bulat, hanya
mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira. Yang
seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan
jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun
dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan berwajah yang dapat disebut
tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-
lian-kauw. Akan tetapi bukan tiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong,
melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang berada di tengah kamar
itu. Dia atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk
lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Pakaian
luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan
seperti orang yang tidur nyenyak. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin
Liong melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu
tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah,
sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!
"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan
menolak dan melawan mati-matian!"
"Aku lebih senang kalau dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini,
mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.
"Dan aku lebih senang kalau dia itu menyerahkan diri dengan manis dan suka rela.
Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"
"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat
perangsang, ah, betapapun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian
menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."
"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu
yang..." "Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"
Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah
kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita
undi saja!" "Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"
Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa
mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya
belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi. Selagi tiga orang tosu itu
main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu
lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar
rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng
sampai bobol dan tubuhnya melayang ke dalam kamar seperti seekor naga melayang
dari angkasa menerobos awan gelap. Sedang kan suara ke dua lebih keras lagi,
yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan
beradunya senjata-senjata tajam!
Semua orang yang berada di kamar itu terkejut, demikiah pula Kim Hwa Cinjin yang
sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan bernafsu berahi itu
menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya,
yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir dan diserahkan kepada Ciauw Ki untuk
dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di
kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget
lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar. Perhatiannya terbagi, akan
tetapi dia menganggap keadaan di luar amat berbahaya, maka tanpa memperdulikan
keadaan dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan
percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat
melompat keluar. Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh
itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw.
Kini para anggauta Pek-lian-kauw yang tadi masih berpesta-pora, menghadapi
serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang
masih telanjang bulat terpaksa melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang
bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu
sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!
Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong sudah melayang turun ke dalam
kamar. Diapun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia
harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan
Pek-lian-kauw, karena kalau sampai dia dikepung oleh semua tokoh dan anggauta
Pek-lian-kauw, akan sukarlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apalagi Bi Cu
berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu,
juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua
mereka dan yang siang tadi sudah ditawan dan diberikan kepada sumoi mereka.
Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biarpun mereka
dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.
Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah
tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari
ketua Pek-lian-kauw maka diapun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan
beberapa jurus San-in-kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te
Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang. Tiga orang tosu itu cepat menangkis dan
seorang demi seorang berteriak kaget sekali, tubuh mereka terlempar dan menabrak
dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te
Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing karena terbanting keras pada
dinding kamar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk menyambar
tubuh Bi Cu, tanpa memperdulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup
pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar
melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat diapun meloncat ke tempat
yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor
dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang
telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan diapun tidak perduli. Yang
penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam
perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya. Maka larilah dia, menyusup-
nyusup di antara tempat-tempat gelap. Beberapa kali dia bertemu dengan anggauta
Pek-lian-kauw atau anggauta pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan
mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring melengking, seolah-olah datang dari
atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?"
Muslihat Cinta Iblis 1 Wiro Sableng 123 Gondoruwo Patah Hati Sepasang Pedang Iblis 13
^