Pencarian

Pendekar Lembah Naga 27

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 27


para pengawalnya untuk terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa
dipermainkan sungguh. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling
lihai, kini didatangi tiga orang yang telah membunuhi para pengawalnya dan
melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa merekapun
tidak karena tidak ada seorangpun di antara para pengawalnya yang berhasil
melihat tiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu! Tentu saja
lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai
itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur
kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga
hari akan mati. Sementara itu, dengan menggunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sukar
bagi tiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng
yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam
sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja.
Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam
hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah
dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya dan dia bergidik
membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu. Lie Seng terlalu berduka untuk
dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, sungguhpun dia
dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami penyiksaan luar biasa dan
bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.
Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk
dusun di sebelah selatan hutan, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan
tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng dan akhirnya
wanita itu mengeluh siuman. Begitu siuman, Sun Eng mengeluarkan rintihan seperti
orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan
Lie Seng lalu merangkulnya dan ikut menangis.
"Eng-moi... ah, Eng-moi... mengapa kaulakukan semua ini...?" Dia meratap di
dekat telinga kekasihnya.
Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak
mata itu kosong karena kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi
perlahan-lahan melirik ke sana-sini sampai akhirnya pandang mata itu berhenti
pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya. Kemudian, seperti digerakkan oleh
sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu
terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan
suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata
berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.
"Eng-moi...! Kau telah selamat...!" Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih
sayang mendalam. "Lie Seng koko... kau... kau..."
"Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!" kata
pula Lie Seng dengan suara gemetar.
"Koko...!" Kini Sun Eng yang teringat akan segala yang telah dialaminya, dan
melihat bahwa dia belum mati dan bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan
seperti sekarang ini, menjerit dengan jantung rasanya seperti disayat-sayat! Lie
Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis
terisak-isak. "Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapapun juga, semua itu telah berlalu dan
sekarang engkau sudah aman bersama kami..." Yap In Hong yang keras hati itupun
tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya
itu. Teringat dia betapa sejak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah
sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.
Sun Eng menahan isaknya, dan dengan muka basah dia menoleh ke arah, subonya,
kemudian memandang wajah suhunya. "Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau
pula... menyelamatkan aku...?"
Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu
menjawab pertanyaan itu. "Mengapa, Sun Eng?" Dia mencoba tersenyum. "Ingat,
engkau adalah murid kami, bukan" Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku.
Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu."
"Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku
dan koko Lie Seng...?"
"Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Kami tahu sekarang betapa
engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami
menyetujui..." kata Yap In Hong.
"Dan kami tidak membencinya, Sun Eng."
Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.
"Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."
"Apa maksudmu, Eng-moi" Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita
menikah! Aku tanggung..."
Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk dan Yap In Hong memberi isyarat
kepada Lie Seng untuk membiarkan dulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan
semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata
amat menyinggung perasaannya itu.
Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis
mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya mereda dan dia mulai merintih
karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali kedua kakinya yang
luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar,
dicampur minyak dan ditutupkan pada luka-luka itu lalu dibalut. Obat itu amat
manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan
hati. "Subo, terima kasih..." kata Sun Eng lirih sambil memandang subonya yang dahulu
dianggapnya seperti ibu sendiri. In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di
waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ah, betapa
buta manusia kalau sedang dipengaruhi oleh amarah dan kebencian. Segala kebaikan
orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu
perbuatan yang menyusahkan. Kini, setelah tiada lagi benci dalam hati In Hong,
baru nampak olehnya betapa sesungguhnya selama menjadi muridnya, Sun Eng amat
baik kepadanya! Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala
hal yang terjadi di masa lalu" Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan
orang lain yang merugjkan kita sehingga menimbulkan kebencian" Mengapa kita
tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi di
masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, melainkan menujukan
seluruh pandang mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri
kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja" Mengapa kehidupan kita
saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu,
yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang
lain" Mengapa kita menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang
lalu" Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di
masa lalu" Mengapa ada benci di dalam hati kita" Mengapa kita mengotori diri
sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, iri hati dan sebagainya itu"
Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu
itu dan hidup BARU saat demi saat" Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting
untuk kita renungkan dan ajukan kepada diri sendiri!
Melihat betapa keadaan kekasihnya sudah agak normal kembali, Lie Seng lalu
menyiapkan bubur yang tadi telah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke
mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandang mata
tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan
tetapi dia tidak terisak lagi.
Setelah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah
makan pagi, barulah Lie Seng berkata, "Eng-moi, maukah engkau sekarang
menceritakan segalanya kepadaku?"
Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah
dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat, "Koko, sebelumnya
kaumaafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku telah membuatmu banyak pusing dan
duka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang
terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga
akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw
sebagai... sebagai selirnya." Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan
tetapi wajah itu biasa saja karena memang sudah diduga Lie Seng sedikit banyak
tentang hal itu. "Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Pangeran itu bercita-cita untuk
menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."
"Ahh...?" Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tak mengira bahwa ke
situ jalannya cerita yang akan mereka dengar.
Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua
orang Mongol utusan Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan
antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk
merebut tahta kerajaan. "Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut
laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap
Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lalu kularikan dan kuserahkan
kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang
menteri yang setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar
secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Kemudian aku bermaksud melarikan diri dari
kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku
disiksa... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai
matipun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh
aku..." "Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan,
tidak mengecewakan menjadi murid kami!" Cia Bun Houw berseru kagum dan girang,
juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.
"Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."
"Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau telah dimaafkan, dan engkau pun
harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi
isteriku yang sah..."
Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia
tidak percaya akan apa yang didengarnya, lalu dia menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah
untukmu..." "Eng-moi, apakah engkau masih tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu"
Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?" Lie Seng memohon,
"Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,"
"Dan kamipun mengharapkan maafmu, muridku!" kata Yap In Hong.
"Ah, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu dan subo terhadapku
memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku...
terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."
"Sekarang engkau makin agung bagiku, moi-moi, aku makin mencintamu..."
"Tidak! Ingat, koko, aku telah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu,
membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya dan aku telah melayaninya
sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."
"Cukup! Aku tidak perduli akan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan
dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukannya
itu karena engkau hendak mengorek rahasianya, dan engkau melakukan hal itu
dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu
benar akan hal itu!"
Wajah itu memandang dengan pucat dan sepasang matanya meredup. "Koko, hal itu
bukan apa-apa bagimu" Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah
engkau apa yang dilakukan pangeran itu" Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok
dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka memperkosaku
secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."
"Jahanam mereka! Sudah kubunuh mereka semua!" Lie Seng mengepal tinju dan
matanya berubah merah. "Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga
sedikitpun juga lagi bagimu, aku... aku..."
"Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan
engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu,
bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biarpun engkau menjadi
bagaimanapun juga!" "Koko...!" Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan.
Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang dan mata mereka juga basah. Belum
pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang
ini! Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Dia telah bertekat untuk
mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia akan mati dengan hati tenteram,
karena dia telah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang amat dicinta dan
yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai
ditinggalkan oleh Lie Seng sekalipun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng
tetap kepadanya, biarpun dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han
Houw, biarpun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina! Dia
menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau
ada kenangan seperti itu" Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan
semua itu" Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan
merana. "Koko...!" Dia hanya dapat mengeluh. Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun
Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena kedua telapak kakinya terluka
berat. Mereka hanya melakukan perjalanan kalau malam saja, sedangkan di waktu
siang mereka bersembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-
orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut
melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan
lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh.
Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, di dalam gua yang
cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar
itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu
tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi mengapa kini menjadi
semakin parah" Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang
keracunan! Lie Seng amat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas
lantai gua bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, "Eng-moi, engkau
kenapakah?" "Koko..." dan Sun Eng tersenyum, "Hari ini adalah yang terakhir... aku...
melihatmu..." "Eng-moi...!" "Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?"
Yap In Hong juga berseru kaget. Mereka bertiga merubung Sun Eng yang kelihatan
semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti
menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.
"Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."
"Eng-moi...!" "Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu.
Aku tidak patut kaucinta... aku kotor dan hina..."
"Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."
"Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?" Cia Bun Houw juga
bertanya dan memandang tajam. "Apakah engkau keracunan?"
Sun Eng mengangguk. "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru... dan
Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."
"Eng-moi...!" Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.
"Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?" Yap In Hong
menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan
tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya bertemu dengan
hawa yang amat dingin! "Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan
menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati dan aku... aku puas
mati dalam pelukanmu, koko..."
"Eng-moi...!" Lie Seng merangkulnya dan menangis. "Paman, bibi... tolonglah...,
tolonglah...!" Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi dan pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka
hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Racun ini hebat sekali,
hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apalagi
sekarang, bahkan kemarin dulupun kalau tidak mendapatkan obat pemunahnya sukar
untuk menyembuhkan..."
"Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... kalau hidup di sampingmu,
aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko,
kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..." Sun Eng
terkulai dan pingsan. Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tak sadar
sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan
pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil
memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu.
Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh
dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di
depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang
matanya kosong. "Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata Cia Bun Houw dengan
suara membujuk. "Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi," Yap In Hong menyambung. "Tiada
gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."
"Pergilah kalian, paman dan bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh hidupku,
kebahagiaanku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng" Biarkan aku sendiri di
sini bersamanya, dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak.
Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang.
Sejenak mereka memandang pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian
Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie
Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw
berkata kepada isterinya.
"Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya.
Aku hanya khawatir bahwa kedukaan kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia
membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa
perjodohannya dengan Sun Eng telah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng mengalami
kematian karena hendak membela keluarganya."
"Maksudmu dengan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok
Keng?" Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.
"Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa
kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andaikata itu salah,
apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng."
Cia Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata, "Isteriku, sekarang kita harus
menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang telah dilakukan oleh murid kita
itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng telah memberi contoh kepada kita.
Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan
hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tidak harus membiarkan dunia
mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, dan kelak anak kitapun dicap anak
pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara
kepada kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus
menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng telah
disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap
keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat terhadap kerajaan
itu." Yap In Hong mengangguk. "Dan andaikata usaha Sun Eng itu gagal dan segala jerih
payahnya yang telah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu sia-sia, kita pergi
menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"
"Akupun berpikir demikian, sungguhpun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah.
Mari kita pergi!" Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, memper-
gunakan ilmu mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat
sekali dan pada senja hari mereka telah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka
menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga.
Malam telah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di
depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka telah banyak dikenal
orang berhubung dengan fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau
memperkenalkan nama mereka, hanya berkata, "Harap sampaikan kepada Liang-taijin
bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu
datang menghadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting
sekali." Mendengar ini, komandan jaga bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum
bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang
lalu adalah seorang yang amat penting dan membawa berita yang amat besar dan
rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar
pelaporan itu, segera dia berkata, "Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan
tamu. Jaga agar jangan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!"
Cia Bun Houw dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di
situ mereka ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para
pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja
di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena
mereka tidak mengkhawatirkan sesuatu. Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan
muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh
tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus ketika
dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan
memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan sikap hormat. "Apakah kami
berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?" Cia Bun Houw bertanya.
Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, karena dia dapat melihat bahwa dua
orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walaupun pakaian mereka
sederhana saja. "Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang
memberikan surat-surat kepada kami...?"
"Benar, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang
Sun Eng itu." "Mendiang..." Ah, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-
temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw..."
"Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang
tadi meninggal dunia," kata Yap In Hong.
"Ahhh...!" "Justeru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid
kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk
keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Kami ingin mendengar
keterangan paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga
usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak
akan sia-sia belaka."
"Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan mari bicara baik-baik. Sudah tentu
begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, meng-
hubungi Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi
menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para
pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga
Cin-ling-pai, semenjak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah
yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga
bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan
nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum
betapa jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya
ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri
yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu sri baginda kaisar telah
memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... eh, nanti dulu, sebelum
saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa
sebenarnya lihiap dan taihiap" Biarpun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru
nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi."
"Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun
Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong."
"Ahhh...!" Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-
seri. "Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan,
taijin," sambung Yap In Hong.
Pembesar itu tertawa dan bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura.
Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas. "Ah, mengapa aku begitu
bodoh" Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang pernah
berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar
pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-
wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap
dan lihiap dan dengarkan penuturanku."
Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar
tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh
mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga
kepercayaan kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi
suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar
tua dari penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.
"Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu menggunakan kekuasaan kaisar untuk
menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang
hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ah, mereka itu
telah mengatur segala-galanya, dan diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai,
bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."
"Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini,
taijin?" tanya Cia Bun Houw.
"Sri baginda telah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau telah
memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum
pemberontak. Pertama-tama, kaisar memerintahkan agar tuduhan atas diri keluarga
Cin-ling-pai dicabut. Mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan
pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan
kepada seluruh kepala daerah."
Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka
segera bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. "Sungguh kami merasa girang
sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung
Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."
"Seyogianya ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..." Menteri Liang menghentikan
kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka
sekali, maka disambungnya segera, "Marilah ji-wi kami antar menemui Pangeran
Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau akan
mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain lihai,
juga mempunyai banyak teman-teman yang berilmu tinggi. Apalagi karena sri
baginda menghendaki agar Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar
jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat."
Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi
menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran
ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali.
Suami isteri ini mendengar dari pangeran yang pada waktu itu merupakan orang
yang amat berpengaruh di istana, bahwa memang benar Pangeran Hung Chih ini
hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.
"Semua gerak-geriknya telah diawasi dan biarpun tidak ada teguran langsung dari
sri baginda kaisar, namun Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu
tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya
untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan
menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai
untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah
pimpinannya akan menguasai dunia persilatan dan urusan ini tentu saja ji-wi
lebih mengerti bagaimana menanggulanginya daripada kami. Kami tidak ingin
mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai
menggelisahkan rakyat."
"Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan
dan dapat bergerak leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu
akan dapat serentak bangkit dan menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han
Houw," jawab Cia Bun Houw.
"Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja," kata Pangeran Hung Chih.
"Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tidak mau istana
harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung
menanganinya. Maka sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk waspada dan
turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja."
Setelah bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh
Pangeran Hung Chih, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu malam itu juga
meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk
menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok
Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya Sun
Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira
tentang dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.
*** Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu sampai dua hari dua malam, tak
pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul dalam hatinnya untuk
duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng,
segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis
seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu. Wajahnya sudah pucat sekali dan
tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan
rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah
putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap
pekat tanpa harapan. Semangat dan gairah hidupnya telah lenyap terbawa pergi
oleh Sun Eng. Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan
dan berada dalam keadaan samadhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi
ada seorang hwesio tua menghampirinya, lalu memandang kepada makam baru itu dan
berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang
menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di
situ, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang tenang dan
mengandung seri kebahagiaan. Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah
enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio,
tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Namun
semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.
"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini" Membunuh diri
perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...!
Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kau
mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"
Suara itu halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung
getaran kuat dan mampu menembus dinding samadhi menyentuh kesadaran Lie Seng.
Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu dan alisnya
herkerut. "Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!" katanya dengan
marah. Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak
perduli apapun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah
kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapapun juga.
Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. "Orang
muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng merasa kasihan kepadamu, maka pinceng
hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak
tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan
menyeleweng daripada kebenaran."
Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah
itu. Dengan suara berat dan kesal dia menjawab, "Bicara memang enak saja! Engkau
tidak merasakan, maka engkau mudah saja mencela! Aku telah kehilangan cahaya
hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapanku, maka perlu apa aku
memperdulikan diri sendiri" Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela!
Pergilah, hwesio!" Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di depan Lie Seng, sikapnya tetap
halus dan ramah. "Omitohud... kegelapan menguasai batinmu, orang muda. Engkau
bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela" Wahai orang muda,
siapakah di dunia ini yang tidak pernah mengalami kematian seseorang yang
dikasihinya" Orang muda, mungkin engkau belum pernah mendengar dongeng tentang
Sang Buddha dalam menghadapi kematian, dan kalau engkau pernah mendengarnya,
biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak
tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anak tunggalnya
adalah cinta kasih yang paling murmi di antara segala macam cinta kasih di dunia
ini. Maka berdukalah wanita itu dan diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon
kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang
Buddha lalu menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah
keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obatnya yang dapat
menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun dia akan
pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian
anggauta keluarganya" Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insafkan.
Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup ada mati. Mengapa
kematian harus didukakan benar" Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula"
Engkau dan pincengpun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang
mati engkau menyiksa diri dengan kedukaan" Apakah kedukaanmu itu akan dapat
menghidupkannya kembali, orang muda?"
Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu
saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut
hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu mempunyai pengaruh
yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan
itu.

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri
saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu dan sudah biasa menghadapi kematian,
akan tetapi dia ini... ah, semasa hidupnya menderita begitu banyak kepahitan,
dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia telah mengambil jalan
pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa
tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"
Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti
bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar suara hwesio itu,
suaranya lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan
sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang kautangisi itu" Siapakah yang
kaukasihani itu" Bukankah sesungguhnya, di balik semua keteranganmu tadi, engkau
menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"
Lie Seng mengerutkan alisnya, termenung sejenak lalu terkejut bukan main. Dia
mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah.
"Berani kau menuduhku seperti itu...?"
"Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur..." katanya
menggerakkan tangan dan sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan
kemarahan Lie Seng. Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri
sendiri dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia melihat, mula-mula secara
samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi makin jelas dan timbullah
keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng" Ataukah
tidak lebih condong karena kasihan kepada diri sendiri" Dia tidak dapat
menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.
"Losuhu, mohon petunjuk..." akhirnya dia berkata.
"Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, melainkan untuk
menyadarkanmu. Engkau sendiri menceritakan betapa kekasihmu hidup menderita
banyak kepahitan. Sekarang dia telah meninggal bukankah berarti dia setidaknya
terbebas daripada kepahitan-kepahitan itu" Maka, dengan alasan apalagi engkau
merasa iba kepadanya" Yang jelas, engkau menangis dan berduka karena iba diri,
karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa
kesunyian. Tidakkah demikian?"
Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Kini
nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita
batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya
merasa rendah diri dan tidak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-
ling-pai menolaknya! Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng telah
borkorban dan biarpun usahanya berhasil baik, namun dirinya telah mengalami
penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Kalau Sun Eng
tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin
tidak berharga baginya. Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang
baik bagi Sun Eng" Mengapa dia menangisinya" Apakah dia ingin melihat Sun Eng
tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu"
"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, tidak pula dapat dihilangkan
melalui pelarlan, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan,
jangan membiarkan duka membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan
pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian
mendalam dan kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan
lahir batin itu." Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu,
suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang
membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia kini berani
memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia menjadi sadar benar-
benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang
terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang
cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup
bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu. "Losuhu, perkenankanlah teecu ikut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi
hwesio di kuil yang losuhu pimpin."
Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat
bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, melainkan seorang muda yang tentu
memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan" Pinceng sendiri bukan ahli
silat, namun pinceng dapat mengenal orang pandai. Siapakah namamu dan dari
keluarga manakah engkau, orang muda?"
"Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kong-kong Cia
Keng Hong ketua Cin-ling-pai."
"Omitohud... sudah pinceng duga. Kiranya engkau adalah cucu pendekar sakti itu,
dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio" Ah, bukankah itu hanya merupakan
pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang berduka dan putus asa" Masuk
menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."
"Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati,
kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi
teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu
akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu dan karena itulah
maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu
timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah. Pinceng memimpin
Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."
Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan
mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan
lapang, diapun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan
kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi
hwesio yang tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di
bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!
Betapa banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sen-
diri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lalu mengejar-
ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang
manis itu tidak ada bedanya sama sekali. Melarikan diri dari yang pahit lalu
berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan
bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu
yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus
terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Pelarian tidak akan
melenyapkan duka, pelarian tidak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut.
Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, namun duka itu, rasa takut itu,
tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan
yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!
Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut
serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat
berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu" Mengapa kita
tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu
timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya dan menanggulanginya di saat
mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan takkan pernah
muncul kembali" Penanggulangan ini bukan berarti mengusahakan agar mereka
lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat itu menyerang
kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa
sebenarnya duka itu! Akan tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu
timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu
melarikan diri. *** "Bi Cu...!" Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main melihat
betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia
terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Kalau dia sendiri yang terjatuh, tentu
dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini
Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir
yang hebat. Dia terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang.
sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil
menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu
dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.
"Sin Liong...!" isaknya.
Biarpun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa
dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau
menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tidak mau kehilangan semangat dan
kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!
Dengan cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung
pinggang Bi Cu amat ramping sehingga biarpun lengan kanannya sudah melingkari
pinggang itu tangan kanannya masih dapat mencapai depan bajunya. Sekali renggut,
terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang
terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya
berhasil! Dia merasakan tekanan dari bawah seolah-olah luncuran mereka berdua
agak tertahan sedikit, tidak selaju tadi, dan bajunya yang dibentangkan itu
mengembang dan menangkap angin.
"Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!"
teriaknya. Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti mengapa dia disuruh
membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan
melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya,
dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Setelah dirobeknya baju itu dan
di lain saat diapun sudah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan.
Kembali ada tenaga menahan dari bawah ketika baju itu menangkap angin dan
mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu
saja kedua "layar" itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih
terus meluncur ke bawah. Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan
tubuhnya dan memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat
bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir
kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat sebatang pohon yang tumbuh di dinding
tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya.
Kalau gagal mereka tentu akan tewas! Dia lalu mengerahkan tenaganya,
menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak dekat
dengan tebing. Pohon itu seperti melayang ke atas, makin lama makin besar
mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing
tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan
tewas sebelum tiba di dasar jurang. Pohon itu makin besar kini, seolah-olah
terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang meluncur ke arah pohon. Sin Liong
siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan kanan tetap merangkul pinggang Bi
Cu. Biar maut sekalipun tidak akan mampu memaksa dia melepaskan pinggang dari
rangkulan lengan kanannya itu.
"Bresssss...!" Mereka telah tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka
berhenti meluncur. Sin Liong telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap
sebatang cabang pohon itu dan mereka bergantung di situ. Pakaian mereka robek-
robek dan tubuh mereka lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul
pinggangnya oleh lengan kanan Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan! Sin Liong
cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di
tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan
main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika
digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa lengan itu
terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak.
"Bi Cu... Bi Cu... sadarlah...!"
Berkali-kali dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam
keadaan lengan kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari
jalan selamat. Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak
miring di dinding yang terjal. Di bawah curam sekali dan mereka belumlah
terbebas sama sekali dari bahaya, sungguhpun sementara ini tidak lagi terancam
maut seperti tadi. Akhirnya Bi Cu bergerak lemah dan bibirnyapun bergerak, berbisik lirih, "Sin
Liong... ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!"
Hampir Sin Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan
tetapi hatinya terharu karena igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan
takut mati karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian,
melainkan takut ditinggalkan sendirian di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han
Houw dan para musuh itu! Mengingat pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam
batinnya. Sungguh kejam sekali pangeran itu! Mengapa dahulu dia selalu
menganggap pangeran itu orang yang baik budi" Sekarang dia mulai sadar bahwa
apapun yang dilakukan oleh pangeran itu adalah demi kepentingan pangeran itu
sendiri. Andaikata ada perbuatannya yang nampak baik, seperti ketika
menyelamatkennya dahulu itu, maka perbuatan itu bukanlah terdorong oleh hati
yang baik, melainkan dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan keuntungan
dirinya sendiri belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang
macam apa adanya Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya sebagai kakak angkat!
Kini Bi Cu sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia
berada di atas dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuhnya
terasa sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya, "Eh, Sin Liong,
kita... kita ini di alam baka" Ini sorga atau neraka?"
Kini Sin Liong tidak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena
lengan kirinya terasa nyeri sekali.
"Heiii, kita di mana ini" Di dalam pohon" Jadi kita belum mati" Wah, ngeri...
begini tingginya!" Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di atasnya sambil
memandang ke bawah dengan mata terbelalak.
"Kita masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku...
ah, sakit bukan main, terkilir agaknya. Harus dikembalikan ke tempatnya sebelum
aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini."
"Ah, kenapa sampai terkilir, Sin Liong" Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu
ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan
pohon! Betul tidak?" Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti
anak-anak yang dapat menebak teka-teki dengan tepat.
"Aihhhh... kau ini!" Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena
sikap Bi Cu yang demikian lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut!
Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi
senyum menyeringai. "Sakit sekalikah, Sin Liong?" Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu,
akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan
memandang ke bawah dengan ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas
dahan pohon berada di tempat demikian curamnya.
Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong dan tentu saja pemuda itu berteriak
saking nyerinya. "Ah, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?"
"Bi Cu, engkau harus menarik lenganku ini sampai tulangnya kembali ke tempat
yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirimu
memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kauikatkan pada dahan di bawah itu.
Hati-hati, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak."
Bi Cu mengangguk-angguk, lalu mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan
kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan. "Mana
lenganmu, kesinikan!"
Sin Liong sudah merangkul lengan kanan kepada sebatang dahan, memegangnya erat-
erat lalu dia mengulurkan lengan kiri kepada gadis itu. Bi Cu menangkap
pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik.
Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa
terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh
tubuh. "Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!" Dia berkata terengah-
engah. Bi Cu tidak tega melihat wajah pemuda itu yang menjadi basah oleh peluh
yang besar-besar, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil
mengerahkan seluruh tenaganya.
"Klokkk!" Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.
"Sudah...! Cukup...!" seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat
betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya
yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.
"Sin Liong... sakit sekalikah...?" Suara itu demikian lembutnya dan mengandung
isak gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata
dan memandang gadis itu sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bi Cu. Sekarang sudah baik kembali kedudukan tulangnya. Tinggal
memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai lenganku dapat
digerakkan kembali." Lalu dia bertanya heran, "Eh, engkau menangis" Engkau
tentu... takut sekali, bukan?"
Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan
yang tergantung di bulu mata. Dia menggeleng kepala. "Tidak takut, bukankah
engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi
mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi..."
Sin Liong tersenyum. "Sekarang telah sembuh..."
"Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini?" Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi
kalau lengannya sudah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi
sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa
mencari jalan keluar. Dan benarkah Bi Cu yang mencari jalan keluar, dia tidak
tega. Berbahaya sekali pekerjaanku itu. Dan untuk sementara waktu mereka aman di
pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.
"Kita terpaksa tinggal di sini, Bi Cu."
"Sampai berapa lama?"
"Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku."
Demikianlah, dua orang muda itu tinggal di pohon itu seperti dua ekor kera!
Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka, apalagi karena lengan kiri Sin
Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon
itu! "Hati-hati, jangan sampai engkau tertidur dan terlepas peganganmu sehingga jatuh
ke bawah, Bi Cu." Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap.
Hatinya khawatir sekali. Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati
baja, dan juga berwatak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itupun
masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tidak begitu
merasakan penderitaan yang menekan lahir batin.
"Kalau terlepas mengapa" Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan
begini!" jawab Bi Cu berolok-olok.
"Engkau lapar, Bi Cu?"
"Kaukira perutku terbuat daripada batu" Tentu saja aku lapar. Kau tidak?"
"Mungkin." "Eh, mungkin bagaimana" Jangan berteka-teki engkau! Tinggal menjawab lapar atau
tidak, mengapa mungkin" Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?"
"Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa
karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku."
"Apa sih yang kaukhawatirkan?"
"Aku masih bertanya lagi" Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak
khawatir?" "Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan" Dan aman..."
"Hanya lapar." "Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ah, enaknya daging
kelinci bakar dimakan panas-panas, apalagi bagian paha dan pinggul, hemmm...
sedap...!" Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan aneh, membayangkan gambaran itu, diapun
mendadak merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih khawatir sekali, bagaimana
kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas
lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan ini, maka
diam-diam di dalam keremangan senja, dia mulai menanggalkan bajunya dan dengan
hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar tangan. Dia
merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung robekan-
robekan itu menjadi tali yang cukup kuat dan menyambung-nyambungnya. Setelah
selesai, dia lalu menyodorkan satu ujunghya kepada Bi Cu.
"Bi Cu, kauterima ujung tali ini," katanya.
Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata, "Hemm, sejak tadi
engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini" Dari apa kaubuat?"
"Dari bajuku." "Lalu untuk apa?"
"Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan
terlepas, engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Setelah
kubelit-belitkan cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan
pada pinggangku." Bi Cu tidak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong
tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah
gelap sekaii sehingga dia tidak dapat melihat Bi Cu. Bayangannyapun tidak,
karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat
tangannya sendiripun dia tidak mampu.
Lama mereka dia saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sudah
melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan
besar yang bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan
tidak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya
orang metewatkan malam di atas pohon! Dia telah melibatkan tali itu pada dahan
yang kuat, baru ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan demikian, andaikata
salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh
dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang akan dapat menarik dan
menyelamatkan yang jatuh.
Dia merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang
mengikat pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara
itu bergerak akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan
tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.
"Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan?"
"Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini dikatakan tidak apa-apa!
Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa
lucu, Sin Liong?" "Lucu?" Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu.
"Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku."
"Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?"
"Sudah agak mendingan," kata Sin Liong membohong. Pundaknya membengkak, nyerinya
bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. "Eh, Bi Cu, mengapa kau
bilang lucu?" "Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang
kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati
dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini!
Lucu tidak?" "Mengapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang" Sungguh bodoh sekali perbuatanmu
itu, mempermainkan nyawa sendiri," Sin Liong menegur karena memang marah dia
kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati
konyol. "Apa?" Terdengar dara itu berkata marah. "Dan kau menghendaki aku berada di
sana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-
enakan berada di bawah sini?"
"Enak-enakan?" "Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di sini daripada berada di atas
sana bersama iblis-iblis itu!" Bi Cu membentak.
"Bi Cu..." "Sudahlah, aku mau tidur!"
"Tidur..." Hati-hatilah, Bi Cu, jangan terlepas dan jatuh..., biarpun sudah
terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh..."
"Peduli apa" Biar jatuh dan mampus!"
Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Dia tidak
berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak
karuan. Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan diapun tidak boleh
terlalu cerewet. Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni
untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, ia mengirim
hawa yang panas itu menjalar naik dan memenuhi lengannya. Dia melakukan hal ini
sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan
ternyata hasilnya hebat sekali. Rasa nyeri di pundaknya perlahan-lahan lenyap,
terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang tadinya berdenyut-denyut nyeri,
kini menjadi nyaman dan denyut itu makin melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri
lagi. Dia melanjutkan usahanya itu, melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus
dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mencari jalan keluar untuk
menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.
"Sin Liong..." Entah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya
itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu" Dia tadi dalam keadaan
setengah bersamadhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan
suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan
bahwa dia dan Bi Cu berada, di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah
malam yang gelap pekat. Akan tetapi baru sekarang Sin Liong melihat perubahan
bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya
sendiri sungguhpun dia tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-
bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia
hampir tidak percaya bahwa dia berada di dalam pohong "tergantung" antara langit
dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa.
"Ada apakah, Bi Cu?"
"Apakah engkau tidak lapar?"
Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka
begitu Bi Cu berkata lapar, otomatis perutnya lalu terasa perih dan lapar
sekali. Akan tetapi bersama dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah
sehat kembali, tidak nyeri sama sekali! "Tentu saja aku lapar. Dan engkau?"
"Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!"
Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong. "Engkau kenyang" Makan apa?" Dia
melayani. "Makan paha kelinci panggang dalam khayal!" Bi Cu tertawa. "Tapi aku benar-benar
kenyang, aku makan daun."
"Daun?" "Ya, kaupilih daun-daun muda, di ujung ranting. Cobalah, enak tidak pahit dan
banyak airnya, lumayan, Sin Liong."
Sin Liong tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat
merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih
halus. Dipetiknya ujung ranting itu dan dengan hati-hati dimakannya sehelai daun
muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan
ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai.
"Bagalmana rasanya?"
"Kau benar. Daun ini cukup enak dimakan!"
"Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Penemuanku ini
memungkinkan kita hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya
untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!"
"Apa" Selamanya" Mana mungkin?"
"Mungkin saja! Kita setiap hari makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu
akan tumbuh lagi, demikian setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda.
Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andaikata
kehausan, kalau hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-
hik!" "Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?"
"Siapa bilang tidak mungkin" Eh, Sin Liong, mengapa engkau begitu bodoh" Ingat,
binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi,
kuda, bahkan gajah itu makan apa saja" Tidak makan daging tidak makan capjai
atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi mereka itu
bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat daripada manusia!"
"Tapi kita ini manusia, bukan kerbau..."
"Memang, tapi otakmu lebih bodoh daripada kerbau!" Kembali Bi Cu berkata dengan
nada suara marah. "Bi Cu... aku..."
"Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan tolol!" Kini suara itu bukan hanya marah,
bahkan mengandung isak! Sin Liong melongo. Untung cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling
melihat, kalau tidak tentu dia akan nampak lucu sekali. Dia benar-benar bingung
menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu demikian mudah tertawa gembira, bergurau, akan
tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng"
Hening lagi sampai lama Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh
tidak dapat menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-
marah. Padahal Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.
"Bi Cu, kaumaafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu dan membuatmu marah.
Percayalah, aku sungguh mati tidak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal
akan kebodohanku." "Siapa bilang engkau bodoh" Engkau terlalu pintar, engkau lihai bukan main,
engkau seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, saking
pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang
cerewet sehingga aku dibikin kesal...!"
"Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah...
tadipun engkau sudah marah-marah..."
"Tentu saja aku marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini
bersamamu, engkau lebih senang aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau
sungguh tidak mati menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau
cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan dirimu
sendiri?" "Ahhh...!" "Apalagi ah-ah!"
Sin Liong kini mengerti dan diapun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan
keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya
untuk mati bersama! "Tidak apa-apa, hanya aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku,
bukan" Ataukah tiada maaf bagiku?"
"Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso."
Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong
dengan daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak,
dan lumayan untuk menahan perihnya perut. Akan tetapi semalam dia tidak tidur,
mana mungkin dia tidur" Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara
itu terjatuh dan tergantung pada tali. Timbul kekhawatirannya, jangan-jangan
dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya. Hampir saja mulutnya bertanya, akan
tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu malah akan membikin marah
dara yang berwatak aneh itu. Maka diapun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk
mengobati lengannya kirinya yang biarpun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia
masih belum berani untuk mempergunakannya dengan pengerahan tenaga. Luka-luka di
tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau
dipakai untuk bekerja berat. Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi
mengeluarkan suara, sungguhpun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan
perlahan. Dan tidak ada terdengar napasnya yang menyatakan bahwa dara itu
tertidur. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguhpun dara
itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu.
Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan dan mereka
dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata. "Bagaimana dengan lengan kirimu?"
Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya. "Sudah tidak nyeri lagi, akan
tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin
dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukar-
lah pulihnya, tanpa obat."
"Kalau begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!" kata Bi Cu
akan tetapi Sin Liong masih dapat menangkap nada suara yang amat kecewa, yang
ditutup dengan kemauan keras dan dara itu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah
berkata demikian. Tentu dara itu telah menderita hebat sekali duduk semalam
suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong.
"Biarpun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya
aku akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon
ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di
tebing itu." "Aku tidak mau di sini sendiri. Aku harus ikut!" kata Bi Cu dan Sin Liong tidak
mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.
"Baiklah, lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak."
Bi Cu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong
bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya.
Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.
"Eh, kenapa kau masih memakai bajumu" Bukankah bajumu sudah kaurobek-robek untuk
dijadikan tali ini?"
"Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat."
"Baju dalam sutera" Wah, tentu indah dan mahal sekali...!"
"Memang, itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw."
"Ihhh!" Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong
menggulung dan menyimpan di saku bajunya.
"Mari kauikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu." Mulailah keduanya merangkak di
antara dahan-dahan dan daun-daun pohon, Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu,
mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari pohon yang tumbuh miring di
tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan
kokoh kuat, tertanam di dalam tebing di antara batu-batu. Sin Liong turun dari
batang itu, matanya mencari-cari jalan dan diapun turun ke atas celah-celah batu
yang besar. Dia menanti sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun.
Ketika Bi Cu sudah menaruh kakinya ke celah-celah batu besar dan memandang ke
bawah, dia menjerit dan Sin Liong cepat merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil dan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.
"Jangan melihat ke bawah! Pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu lebih
berbahaya lagi!" katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan
tetapi dia tidak mau memandang ke bawah. Memang mengerikan sekali kalau
memandang ke bawah yang demikian curamnya. Membayangkan tubuh melayang ke bawah
saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil.
Sin Liong mencari jalan, dengan hati-hati karena lengan kirinya tidak dapat
dipakai untuk bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka
tiba di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat
datar sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi
batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tidak mungkin didaki.
Jalan satu-satunya dari daratan sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui
tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar. Betapapun juga, menemukan
tempat ini membuat mereka merasa lega. Bi Cu gembira sekali dan diapun lalu
menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang
terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan
sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu!
Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah
dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apapun yang
mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya
setelah menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak.
Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar
dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu,
dia tetingat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar
sepelukan tangan dan mengangkat. Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga
pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan
kembali batu itu. Untung tidak dipaksanya mengangkat tadi. Jelaslah bahwa lengan
kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat
beberapa hari sampai pulih betul. Kini dia hanya menggunakan tangan kanannya,
disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan
saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang. Dia memindahkan empat
buah batu yang cukup berat dan cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu
kalau-kalau dara itu dalam tidurnya bergerak dan bergulingan sampai ke tepi
jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam
jurang, baru dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari
jalan keluar. Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan
kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka
lalui untuk mendaki ke atas. Namun, dataran itu benar-benar merupakan jalan
buntu, dan satu-satunya yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar
itu! Jalan naik ke atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun
demikian rata sehingga merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin
mendaki tempat seperti itu. Dengan menggunakan sin-kang sekuatnya, mungkin juga
dia dapat naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin
kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tombak
tingginya. Dan itupun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset,
tubuhnya akan jatuh dan biarpun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat
menyelamatkan dirinya lagi! Apalagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau
mengambil resiko berbahaya seperti itu!
Setelah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya,
akhirnya Sin Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia termenung. Tidak
ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya. Mereka
sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang
panjangnya hanya kurang lebih empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali
untuk membantu mereka keluar dari tempat ini.
Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu
terbangun dari tidurnya. "Haus...!" Demikian kiranya begitu dia membuka matanya.
Tidak heran kalau dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari
panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia
kini sudah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang
kepada Sin Liong yang menghampirinya.
"Wah, agaknya aku telah tertidur."
"Nyenyak dan enak tidurmu," kata Sin Liong tersenyum.
"Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi,
aku... aku haus bukan main...!" Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan
mengelus lehernya. "Haus...?" Sin Liong baru merasa betapa diapun haus bukah main, apalagi karena
dia tadi bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru
sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali. "Ahh, ke mana kita
harus mencari minum" Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan
keluar..." "Tidak ada jalan keluar...?" Bi Cu bangkit berdiri, memandang ke sana-sini.
"Engkau sudah pasti benar?"
"Entahlah, akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan
keluar dari sini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! biar kupetik
daun-daun muda untukmu..."
"Untukmu juga...!"
"Ya, untukku juga," Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang
tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan
dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup, dia turun
dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu.
Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari
airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya biarpun daun itu mengandung
air, namun rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk
menghilangkan hausnya. Sin Liong juga makan daun itu dan tahulah dia bahwa daun-
daun itu tidak berhasil mengusir haus. Maka diapun duduk di atas batu sambil
termenung. Akan berapa lamakah mereka dapat bertahan dalam keadaan begini"
Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena
dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.
"Ah, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan
haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!" Diapun lalu sibuk sekali
meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekeliling tempat itu. Setiap macam rumput
dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia
kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang baru saia dicobanya.
"Coba ini. Sin Liong, agaknya manis rasanya!" teriaknya girang, dan Sin Liong
lalu makan rumput itu dan mengisap-isap. Memang agak manis, akan tetapi airnya
sedikit sekali, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan
Bi Cu juga tahu hal ini, maka diapun mencari lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-
tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke
dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil
berbentuk indah itu berkerut.
Sin Liong merasa kaslhan sekali. "Bi Cu... tidak ada jalan lain, kita harus
makan daun-daun muda ini. Biarpun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk
membasahi kerongkongan."
"Iya..." Jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun
muda itu satu demi satu dan rasanya makin tidak enak saja baginya. Makin
perlahan dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya
berhenti bergerak dan air matanyapun berderai, akan tetapi dia belum terisak,
hanya berkata lirih, "Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati
kehausan...?" Sin Liong mendekatinya dan menyentuh pundaknya. "Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini
akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu..."
"Dan kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi" Sekarangpun aku sudah hampir
tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main..."
"Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas..."
Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan
berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka agak terlindung dari panas
matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia menahan
kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan
di bawah dinding batu itu.
"Bagaimana lenganmu?" Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut
dan penuh perhatian. "Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat dipergunakan. Tadi kucoba mengangkat
batu, belum sanggup..."
"Kaukah yang menjajarkan batu-batu di sana itu?" Bi Cu menuding. "Sudah kuduga
demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!"
Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi juga membuatnya malu-
malu, maka dia lalu berkata, "Kita di sini hanya berdua saja, kalau tidak saling
menjaga, habis bagaimana?"
Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan
mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka
berdua sungguh tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon
itu dan biarpun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar
dari kelaparan. Akan tetapi mereka dicekik kehausan, makin lama makin menghebat
sehingga tubuh mereka menjadi lemah sekali, pandang mata berkunang dan kepala
mereka pening. Kadang-kadang, di waktu siang hari, kalau matahari sedang panas-
panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak dapat menangis lagi kerana air
matanyapun sudah kering, mukaya pucat dan cekung.
"Ahhh... kuda dan sapipun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun saja...
harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus..." Hari
itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.
"Bi Cu, kuatkanlah...!" kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat
oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa
panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.
"Sin Liong... aku tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati
di sini bersamamu, Sin Liong..."
"Bi Cu...!" Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap
kepala dara itu ke dadanya.
Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa
nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang
menyelinap ke seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh
Sin Liong dari sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan
betapa dada pemuda itu menahan tangis kadang-kadang terisak.
Bi Cu mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya
kuat-kuat, akan tetapi ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu.
Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di
telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua
tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke tenggorokannya yang
kering. "Sin Liong, jangan menangis..." lalu ia hendak menghibur pemuda itu dan
mengalihkan pikirannya. "Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?" Biarpun dia
bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak dan tubuhnya
lemah sekali. "Lengan..." Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari
jalan...!" Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya,
dan menahannya. "Tidak perlu sekarang... sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas,
Sin Liong. Aku... aku ngantuk sekali... biarkan aku tidur..." Rangkulannya
terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah
terlentang, berbantal paha Sin Liong.
Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di
atas pangkuannya dan diapun memejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu.
Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah
mati! Sin Liong masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan
kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan
sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman
yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya
mengendur dan lemas. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini
amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk
tidak bangun kembali! Maka dia mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk
membuka mata dan terkejutiah dia. Kenapa pandang matanya menjadi gelap" Butakah
dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang
matanya menjadi gelap" Dia mengangkat mukanya memandang ke atas. Langitpun
gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang
terjadi" Dia mencari-cari dengan matanya den melihat awan mendung bergumpal-
gumpal datang dari arah timur terbawa angin keras. Bagaimana mungkin siang yang
tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti
itu" "Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!"
Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Bi Cu hanya bergoyang-goyang badannya yang
lunglai, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia" Atau... atau
matikah..." "Bi Cu! Ohhh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!"
Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu
sudah mati. AKHIRNYA bibir yang kering itu bergerak. "Hah..." Ada apa..." Kau...
mengganggu... orang tidur..."
Bukan main lega rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, dan diapun
berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu
yang masih memejamkan matanya.
"Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!"
"Hehhh...?" Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga
baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. "Mana..."
Ada apa...?" "Lihat di atas itu...!" Pada saat itu terdengar suara menggelegar disertai
kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan diapun melihat mendung bergumpal-
gumpal dan kilat menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak. "Ada apa di
sana itu?" Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap.
"Ada apa" Artinya akan hujan. Air!" Sin Liong berteriak.
"Air" Mana...?" Pertanyaan Bi Cu ini dijawab dari udara karena tepat pada saat
itu turunlah air hujan yang deras sekali.
"Air...!" Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri
akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk
oleh Sin Liong. "Air! Hujan turun!" Sin Liong juga bersorak dan mereka berangkulan, menangis,
menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut
mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak, mereka tertawa-
tawa dengan air mata bercucuran, mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang
tidak ada artinya. "Bi Cu...!" "Sin Liong...!"
Mereka seperti memperoleh tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah
perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu
mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang
sesungguhnya tidak disengaja, terjadi karena kegirangan mereka yang luar biasa,
mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup,
seperti tak dapat dilepaskan lagi. Baru mereka saling melepaskan ciuman setelah
napas mereka terengah-engah, lalu keduanya mundur selangkah, saling pandang
dengan mata terbelalak di antara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam
cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang
terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-
tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu.
"Bi Cu..." "Sin Liong..." Mereka saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka
menangis mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena
jatuhnya air hujan itu seolah-olah mengembalikan nyawa mereka yang sudah hampir
melayang, ada rasa girang yang lain yang mereka tidak mampu gambarkan, ada rasa
haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih
berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada
jalan keluarnya ini. Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia
menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung
dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu
akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan
diseret masuk ke dalam jurang. Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara
itu merangkak hati-hati meninggalkan daratan sempit itu, kembali ke pohon,
berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil mmandang ke tempat
mereka selama tiga hari berlindung itu, tempat itu kini menjadi sasaran batu-
batu dan lumpur yang menimpanya dengan suara gedebukan, diseret air yang
tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu. Batu-batu,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang. Bi Cu
bergidik dan mengeluh, lalu dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu
menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong.
Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran
sempit itu, walaupun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang
sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding
batu tebing di atas dataran yang sempit itu.
"Bi Cu, lihat...!" Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding
batu tebing itu. Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada
dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang
tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang dan terdapat celah-celahnya, tidak lagi
rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar
karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.
"Hujan membuat tebing itu longsor," bisik Bi Cu.
"Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!" kata Sin Liong.
Setelah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng
tangan Bi Cu, dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu
menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batu lenyap, semua tinggal dataran
batu seperti baru dicuci bersih. Sin Liong memeriksa dinding tebing. Tidak licin
lagi, melainkan kasar karena disapu air semua permukaannya dan memang benar,
nampak celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke
atas. Memang amat tinggi hingga bagian atas sekali tidak nampak jelas, akan
tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.
"Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba
untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada pada tubuh kita,
kita harus perusaha dan tidak boleh putus asa."
Bi Cu mengangguk-angguk. "Memang kita harus dapat keluar dari sini..." katanya
termenung, "entah kapan lagi ada hujan turun..."
Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan
sudah pulih kembali lengan kirinya, mendekap tubuh Bi Cu dan mengerahkan sin-
kangnya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu
dapat tidur dalam dekapan Sin Liong dan mereka berdua tidak ingat lagi akan
sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, tidur berdekapan sama sekali
bebas daripada nafsu berahi. Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih
sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam
keadaan selamat, tidak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada
hanya cinta kasih! Walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata, walaupun dalam
batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang itu, tidak ada dugaan
tentang itu, tidak ada sedikitpun bayangan nafsu mengotorinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang
bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan
kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya
nampak bersih, baru dan dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu
mengeluarkan bau tanah yang sedap. "Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan
keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu ikatkan ujung tali ini pada
pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup,
satu gagal semua gagal..."
"Satu mati semua mati!" sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu
erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga mengikatkan ujung yang
lain pada pinggangnya. "Nah, kita mulai," katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing
itu. "Nanti dulu, Sin Liong," kata Bi Cu dan dara ini lalu menghampirinya dan
merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling
pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut
mereka kusut. Wajah-wajah yang tak dapat dibilang tampan atau cantik dalam
keadaan seperti itu. "Ada apakah, Bi Cu?"
"Sin Liong, malam tadi..."
"Ya...?" "Kita... telah... berciuman..."
Sin Liong merasa betapa wajahnya panas, "Aku... aku tidak sengaja... maafkan..."
Bi Cu tersenyum. "Akupun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh
jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi,
akan tetapi sekarang kita sengaja..." Dia memandang dengan mata berkedap-kedip
malu. Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka dan
merekapun berciuman. Ciuman yang canggung karena keduanya belum pernah melakukan
hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus
dilakukan dan dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan
lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu berahi, namun penuh getaran
cinta kasih yang mendalam. Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu
bernapas. Kini pandang mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mereka berdua
merasa kuat dan berani menempuh apa saja asalkan berdua.
"Mari kita berangkat!" kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran dan
kegembiraan, seolah-olah mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah,
bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan
nyawa! "Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap
jejakku. Mengertikah, Bi Cu."
"Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya kalau
aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?"
"Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah dan aku di atas. Sebaiknya kalau
selagi aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk
membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau
yang naik." "Baik, aku mengerti. Marilah!"
Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam
celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik, "Bi Cu, aku cinta
padamu!" Bi Cu yang berdongak itupun berbisik mesra, "Sin Liong, akupun cinta padamu!"
Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan
main, baik bagi Sin Liong maupun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di
atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah
itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.
Demikianlah, mereka melakukan pendakian yang luar biaisa sukarnya. Kadang-kadang
Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus
memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar,
bergantung pada batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba
gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong membantunya dengan menarik tali
yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik
lebih dulu. Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali
menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat
ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena
dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah,
betapapun mengerikan, karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari
tempat ini! Memang aneh luar biasa! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi
mereka! Biarpun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus
ke atas seperti telah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu.
Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu. Di sebelah atas Sin Liong
hanya ada batu rata menonjol yang tidak ada tempat berpegang tangan sama sekali.
Untuk mmendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong
berhenti dan berpikir-pikir. Peluhnya sudah membasahi seluruh tubuh. Bi Cu yang
berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu,
bertanya khawatir, "Ada apakah, Sin Liong" Mengapa berhenti?" Sebenarnya dia
sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!
"Naik terus tidak mungkin," Akhirnya Sin Liong menjawab, "Satu-satunya jalan
hanya ke kanan itu dan kita harus melanjutkan pendakian dari situ!" Dia menunjuk
ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol. Memang agaknya air kemarin
mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu
menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah
yang sukar, apalagi batu itu menjulur ke depan sehingga setengah tergantung di
udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan
yang memisahkan mereka adalah celah seperti gua yang tidak mungkin dapat
dilalui. Meloncat" Mungkin saja dapat dilakukan dengan mudah oleh Sin Liong di
tempat biasa, bukan di tempat seperti ini!
"Sin Liong, jangan meloncat ke situ!" Bi Cu berseru ketika dia membayangkan
kemungkinan yang mengerikan ini.
Sin Liong menggeleng kepala. "Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu,
kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu."
"Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!" jawab Bi Cu cepat-cepat.
"Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin menggunakan tali itu untuk
mencapai batu di sebelah kanan itu, setelah aku tiba di situ, baru aku dapat
menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan
pendakian kita ke atas."
Bi Cu mengerutkan alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak
senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali
itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian
menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia
mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol. Ayunannya tepat sekali,
ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya
mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian ia mencoba
kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus
kati kuatnya dan ternyata tali maupun batu dapat bertahan.
Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga sejak tadi mengikuti gerak-geriknya.
Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tak dapat ditahannya lagi,
biarpun hatinya sedang tidak senang, dia berseru, "Sin Liong, hati-hatilah...!"
Sin Liong tersenyum. "Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat
bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku." Setelah berkata
demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan,
perlahan saja agar tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan tergantung
kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya
dengan kedua tangan itu. Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong
untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat
tubuhnya naik ke atas batu. Dia berhasil! Dan dengan mudah! Cepat Sin Liong
melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat batu,
lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa
lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata,
"Tangkaplah!" Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya ke pinggangnya. Melihat dara itu
nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata, "Bi Cu, jangan takut. Mudah
saja, dan kaulihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau
jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan?"
Ucapan itu menolong banyak, karena, kini Bi Cu mendaki naik ke tempat Sin Liong
berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan,
memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan
memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya
terayun-ayun di udara! "Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu," terdengar suara Sin Liong
di atasnya dan tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan
akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan
tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh
menggigil! Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi
Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik membesarkan hati, "Kita
berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di
atas!" Setelah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka, mendaki
seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian
yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak
tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas,
di daratan yang aman, di "dunia" yang lama. Keduanya menggulingkan diri di atas
tanah di tepi jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan tetapi
dengan mata basah air mata.
"Kita selamat!" Sin Liong berkata.
"Terima kasih kepada hujan!" Bi Cu berseru lalu dara itu berlutut dan menyembah-
nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan
kemarin! "Kepada hujan" Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?"
"Tidak, kepada hujan!" Bi Cu membantah. "Bukankah hujan yang menyelamatkan kita"
Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada
huian yang membuka jalan mana mungkin kita naik ke sini"
"Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga kita
tertolong." "Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak
tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu me-
mungkinkan kita masih dapat hidup sekarang ini, maka aku berterima kasih kepada
hujan kemarin!" Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang
mengatur air hujan" Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa
Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat
itu, yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para
malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang
berjasa menyelamatkan mereka" Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori
itu karena bagaimanapun juga, tidak ada seorangpun manusia yang mengetahui
dengan sesungguhnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi
Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat
dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya. Apa yang terjadi di
balik kenyataan itu adalah rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia,
yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan
pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu.
Akan tetapi, tiba-tiba Bi Cu mengeluh dan terguling roboh! Sin Liong terkejut
sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan
tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan.
Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu tersereg demam! Inilah akibat perut kosong,
tekanan batin yang amat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan
dan kedinginan semalam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang amat
luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.
"Bi Cu...! Bi Cu...!" Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan,
memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tak jauh dari tepi jurang itu. Dia
harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin
Liong tidak merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang
diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang.
*** Kita tinggalkan dulu dengan dada lapang Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil
lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng
Han Houw di istananya di kota raja. Biarpun pangeran ini melihat kegiatan-
kegiatan dilakukan oleh istana, bahkan dia mendengar pula bahwa istana
mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak
ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana, yang ditujukan kepada dirinya.
Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguhpun semenjak peristiwa kehilangan
surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara
maupun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati. Ada dua
kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu.
Atau, sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau
menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan
tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dan dia tahu siapa yang ditunjuk oleh
kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih!
Malam itu sunyi sekali di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik
Seruling Samber Nyawa 16 Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Warisan Terkutuk 2
^