Pencarian

Pendekar Lembah Naga 28

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 28


ini sudah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan diapun sudah
menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tidak ingin menimbulkan
kecurigaan istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi
apa-apa. Akan tetapi para pengawalnya, yang merupakan orang-orang
kepercayaannya, telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai
kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti
para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup
boleh diandalkan. Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang
wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di
pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran
Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga.
Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal
oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini
adalah kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal bersikap hormat, lalu
mempersilakan wanita itu menanti di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal
tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana.
Ketika Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk
hatinya. Pertama tentu saja perasaan girang karena dia sudah dapat menduga siapa
adanya wanita itu. Hanya ada satu wanita di dunia ini yang pernah diberinya
cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga
dan juga tegang. Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai
dan biarpun saling mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa
dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap
mencintanya dan apakah tidak akan memusuhinya pula" Diam-diam dia lalu mengatur
sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik
yang telah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu.
Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke
ruangan tamu untuk menyambut.
Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri
berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie
Ciauw Si. Nampak makin cantik dan makin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga
memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian
yang gemerlapan dan indah!
"Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!"
Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan
dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa
rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan
pertemuan ini. "Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan?"
"Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!" Dan pangeran itu
merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan
dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.
"Cukup pangeran..." katanya sambil melangkah mundur.
"Tapi, Si-moi..."
"Pangeran, akupun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi
suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri..."
Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si, dia tidak
boleh bertindak ceroboh. Pula, dia memang sungguh mencinta dara ini dan tidak
ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya karena dorongan
nafsu berahi semata. Terhadap Ciauw Si dia mempunyai perasaan lain. Bukan
semata-mata nafsu berahi, melailnkan dia memang kagum dan suka sekali kepada
wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir,
agaknya inilah pilihannya.
"Si-moi, mari masuk. Ahh, engkau malam-malam begini datang" Tentu belum makan
malam." Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat
disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia
mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.
"Saya tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting,
yaitu hendak mohon bantuanmu..."
"Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling ber-
pisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi" Itu namanya menyiksa
perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam
dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke
kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan
bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi."
Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu
demikian ramah dan diapun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini.
Pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan
kamar sendiri" Tidur di rumah penginapanpun sama saja, tidur bersanding kamar
dengan orang lain, malah orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah.
Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di manapun tidak ada halangannya. Apalagi
tidur di dalam sebuah kamar tersendiri dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi
keindahan istana itu yang dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-
lukisan yang amat indah. "Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?"
"Tidak, tidak... aku tidak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air
hangat saja... dan..."
Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik menghampiri, "Perintahkan segalanya
kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona."
Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-
moi." Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri. Diam-diam Ciauw Si
girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga
amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan.
Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya dalam buntalan.
Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemputnya untuk diajak
makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru
yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya
sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Akan
tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum. "Engkau nampak makin cantik dan
gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!" Memang dia seorang pria yang pandai
merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana
yang tidak akan merasa girang kalau dipuji" Apalagi yang memuji adalah pria yang
dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari
tubuhnya, terselip di punggungnya.
Ketika mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana
terdapat pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang
berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut
pangeran dan Ciauw. Si. Hidangan telah diatur di atas meja, masih mengepulkan
uap karena masih panas. Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan
pangeran dan Ciauw Si duduk. Sementara itu, di luar ruangan itu terdengar suara
musik dan nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik
pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari
pakaian para wanita itu. Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan alis berkerut,
kemudian dia bertanya kepada Han Houw, "Pangeran, siapakah mereka ini" Pelayan-
pelayan?" tanyanya meragu karena tidak mungkin pelayan berpakaian begini indah,
apalagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukan seperti pelayan yang
menghormat, melainkan sikap yang merayu!
Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Mereka ini" Ah, mereka ini adalah
selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan
itu..." "Pangeran, suruh mereka pergi!" Tiba-tiba Ciauw Si berkata dengan suara dingin
dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut,
juga Han Houw terkejut dan bingung.
"Eh... ini..." Dia tergagap.
"Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!"
Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw lalu melambaikan tangan
menyuruh para selir itu meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan
mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.
"Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin
bicara denganmu, pangeran!" kata Ciauw Si tegas.
"Baiklah... baiklah...!" Pangeran Ceng Han Houw lalu memberi isyarat kepada para
pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Sebentar
saja mereka sudah pergi semua dan mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih
berdiri, belum mau duduk.
"Nah, mereka telah pergi, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara,
Si-moi." Ciauw Si duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan
pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan
tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu, "Pangeran, aku minta
ketegasan. Apakah engkau cinta sungguh-sungguh kepadaku?"
Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara
bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu
sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.
"Tentu saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku."
"Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku tahu
bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak
selir, baik sebelum maupun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang
wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja,
aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku
hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita
makin akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah
selir-selirmu!" "Tapi... tapi... apa artinya ini...?" Pangeran berkata tergagap karena kata-kata
yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.
"Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau mencintaku, itu berarti bahwa aku
akan menjadi isterimu, dan kalau aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat
engkau mempunyai selir seorangpun. Inilah syaratku, tinggal terserah kepadamu
sekarang, pangeran."
Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah dapat menenangkan dirinya kembali.
Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Baiklah, Si-moi. Tentu saja
permintaanmu itu amat pantas dan aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan
perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!"
Ciauw Si sendiri kaget mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia
sempat berkata-kata, pangeran itu telah memberi tanda tepukan tangan den
muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Biarpun seorang pengawal tadi
sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di
luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka.
"Laporkan kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus
disuruh pergi dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua
masing-masing. Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian.
Laksanakan perintah ini sekarang juga. Mengerti?"
Pengawal itu membelalakkan mata seolah-olah tidak mendengar dengan baik atau merasa
ragu akan perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai
terjadi kekeliruan salah dengar yang mengakibatkan dirinya celaka, dia berdiri
tegak dan mengulang, "Paduka memerintahkan agar semua selir paduka malam ini
juga dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka
akan paduka kirimkan kemudian?"
"Benar. Lekas laksanakan sekarang juga!"
"Baik, pangeran!" Pengawal itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah
memberi hormat dan Ceng Hen Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lalu
memegang tangan kekasihnya dan digandengnya ke meja makan dan dipersilakannya
dengan halus nona itu duduk.
"Sudah puaskah engkau sekarang?"
Ciauw Si tersenyum manis dan wajahnya berseri. "Sungguh tak kuduga bahwa
pangeran akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih
sekali, pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku."
Mereka lalu makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han
Houw berani mengambil keputusan demikian cepat tentang selir-selirnya bukan
karena dia tidak sayang kepada selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah
seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa keadaannya pada waktu itu terancam,
rahasianya mungkin sudah diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia
membutuhkan bantuan orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun
tangan atau harus membela diri. Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga
daripada para selirnya itu. Apalagi kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini
berdiri keluarga Cin-ling-pai yang memiliki banyak orang sakti. Kalau dia dapat
memperisteri Ciauw Si dan menarik keluarga Cin-ling-pai menjadi pembantu-
pembantunya atau setidaknya menjadi sahabat-sahabat atau keluarga, tentu
kedudukannya akan menjadi lebih kuat. Dibandingkan dengan kemungkinan yang amat
baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu" Tentu saja dia merelakan selir-
selirnya untuk kemungkinan yang jauh lebih menguntungkan itu.
Setelah mereka selesai makan dan sang pangeran memanggil pelayan membersihkan
meja, dia mengajak Ciauw Si duduk di dalam taman yang penuh bunga dan diterangi
lampu merah, di dekat kolam ikan. Hawanya sejuk sekali di situ, dan sunyi.
"Nah, sekarang katakanlah, keperluan apakah yang hendak kausampaikan kepadaku,
Si-moi?" "Pangeran, kedatanganku ini selain hendak mengunjungimu seperti yang pernah kita
janjikan ketika kita saling jumpa dahulu, juga untuk minta pertolonganmu. Engkau
tentu telah mengetahui, pangeran, bahwa ibu kandungku, ayah tiriku, paman Cia
Bun Houw dan juga bibi Yap In Hong, pendeknya semua keluarga Cin-ling-pai, oleh
pemerintah dianggap sehagai pemberontak dan buruan."
Pangeran Ceng Han Houw memang sudah menduga akan hal ini, maka dia tidak
terkejut dan menganggijk sambil tersenyum, matanya penuh kagum memandang bibir
yang sedang bicara tadi. "Maka, aku mohon bantuanmu agar fitnah yang dijatuhkan atas diri keluarga kami
itu dapat dicabut, agar keluarga kami yang semenjak dahulu tidak pernah
memberontak itu dibebaskan dari tuduhan. Harap engkau suka membujuk kepada sri
baginda kaisar agar bersikap dan bertindak bijaksana..." Ciauw Si menghentikan
kata-katanya karena dia melihat pangeran itu menarik napas dan menggeleng-geleng
kepala. Jantungnya berdebar dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya.
"Bagaimana, pangeran?" Dia mendesak.
"Ciauw Si moi-moi, agaknya engkau belum tahu akan kedudukanku. Dengarlah, aku
hanyalah adik tiri dari kaisar, dan sejak kecil aku ikut ibu kandungku yang
menjadi permaisuri Raja Sabutai. Biarpun aku diterima oleh mendiang ayah
kandungku dan sampai sekarang aku dianggap pangeran di sini, namun diam-diam
kaisar membenciku. Oleh karena itu, kalau aku menghadap kaisar dan mengusulkan
agar keluarga Cin-ling-pai dibebaskan, bukan saja hal itu akan sia-sia, bahkan
tentu kaisar akan memperoleh alasan untuk menangkap aku yang akan dituduhnya
bersekongkol dengan pemberontak dan buruan. Kalau engkau menghadap, tentu engkau
akan ditangkap pula. Tidak mungkinlah untuk mengharapkan aku dapat membujuk
kaisar sampai berhasil."
Mendengar penuturan ini, tentu saja Ciauw Si menjadi terkejut dan kecewa sekali.
Seketika lenyap harapannya untuk dapat menyelamatkan keluarganya dengan
perantaraan pangeran ini.
"Ah, lalu bagaimana baiknya...?" Dia berkata lirih.
Ceng Han Houw memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya.
"Si-moi, jangan khawatir. Aku masih mempunyai pengaruh besar di antara para
pembesar di seluruh daerah. Akan dapat kuusahakan agar para pembesar daerah
tidak lagi mengejar-ngejar keluargamu sebagai keluarga pemberontak. Akan tetapi,
kita tidak mungkin dapat mengharapkan pengampunan dari kaisar lalim!"
"Pangeran...!" Ciauw Si terkejut mendengar kekasihnya itu menyebut kaisar lalim.
"Apalagi dia kalau bukan kaisar lalim" Ingat, selamanya keluarga Cin-ling-pai
adalah keluarga gagah perkasa yang tidak pernah memberontak, bukan" Akan tetapi,
kaisar lalim ini menuduh mereka sebagai pemberontak! Oleh karena itu, kita harus
menentang dia, Si-moi! Jalan satu-satunya untuk menolong keluargamu, juga untuk
menolong rakyat dari kelalimannya hanyalah dengan jalan menentangnya!"
"Tapi... tapi, pangeran... maaf, bukankah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai
justeru adalah sucimu yang bernama Kim Hong Liu-nio dan gurumu yang bernama Hek-
hiat Mo-li?" Pangeran Ceng Han Houw menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Engkau
salah mengerti, Si-moi. Memang tentu saja bekas guruku itu, aku telah menjadi
murid orang sakti lain sekarang. Hek-hiat Mo-li merupakan musuh dari keluarga
Cin-ling-pai akan tetapi ia merupakan urusan pribadi antara Hek-hiat Mo-li dan
keluarga Cin-ling-pai. Dan kurasa suci Kim Hong Liu-nio hanyalah menjalankan
tugas sebagai murid saja. Akan tetapi, kaisar lalim mempergunakan kesempatan itu
untuk membonceng dan dengan pengerahan pasukan menyuruh suci dan subo itu untuk
menyerang keluargamu! Tentu saja suci tidak berani membantah kehendak kaisar
yang merupakan perintah. Jadi, yang menjadi biang keladi adalah kaisar lalim.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh karena itu harus kita tumpas dia!"
Dengan pandainya Ceng Han Houw memutarbalikkan kenyataan sehingga Ciauw Si yang
merupakan seorang gadis kang-ouw yang jujur itu terpikat juga akhirnya. Hatinya
mulai menjadi panas kepada kaisar yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai, yang
menurut pangeran kekasihnya, merupakan golongan yang berbahaya bagi kerajaan!
"Bagi kaisar lalim, golongan-golongan yang tinggi ilmunya merupakan ancaman
bahaya bagi keselamatan kerajaan, oleh karena itu dilakukan pembasmian besar-
besaran. Dan semua ini adalah siasat yang diatur oleh Pangeran Hung Chih yang
menjilat-jilat kepada kaisar. Bahkan aku mendengar kabar bahwa Pangeran Hung
Chih sedang mengumpulkan orang-orang pandai yang dapat dibelinya untuk
menghadapi aku." "Ahh...?" "Akan tetapi jangan khawatir, Si-moi. Aku bukanlah Ceng Han Houw seperti yang
kaujumpai beberapa bulan yang lalu. Aku telah mewarisi ilmu yang amat tinggi dan
aku tidak akan mudah dikalahkan oleh siapapun juga di dunia ini. Maka, aku
hendak mengadakan pertemuan besar dengan seluruh jagoan di dunia kang-ouw, untuk
memilih jago nomor satu di dunia ini. Kalau aku bisa memenangkan kedudukan itu,
tentu semua tokoh kang-ouw di dunia ini akan berpihak kepadaku dan kekuatanku
menjadi makin besar. Setelah itu, barulah kita akan menghadapi kaisar lalim.
Engkau tentu akan berpihak kepadaku, bukan?"
"Tentu saja, pangeran." Lalu gadis itu mendesak. "Tentang keluargaku, bagaimana
caramu untuk dapat menolong mereka?"
"Jangan khawatir, untuk sementara ini tidak akan ada pembesar yang berani
mengusik mereka. Akan kutulis surat perintah kepada seluruh pembesar agar jangan
ada yang mengganggu keluargamu. Surat itu boleh kauberikan kepada ibu kandungmu,
dan memperlihatkan kepada setiap pembesar yang hendak mengganggu. Akan kubuat
beberapa buah agar dapat kaubagi-bagi kepada mereka, dan percayalah, suratku itu
akan merupakan jimat penyelamat yang ampuh. Ingat bahwa saat ini aku masih
memegang kekuasaan tinggi sebagai orang kepercayaan kaisar!"
Bukan main lega dan girangnya rasa hati Ciauw Si mendengar ini. Juga ada rasa
bangga bahwa pangeran itu, pria yang dikasihinya itu, ternyata mampu untuk
menolong keluarganya, "Ah, terima kasih, pangeran. Engkau sungguh baik hati
sekali..." Ceng Han Houw bangkit berdiri, pindah duduk di dekat gadis itu dan merangkulnya
mesra, "Si-moi, tentu saja aku baik kepadamu karena aku cinta padamu, Si-moi.
Aku sudah membuktikan cinta kasihku kepadamu, akan tetapi apakah buktinya bahwa
engkau cinta padaku?"
"Pangeran, bukti apakah yang kaukehendaki lagi" Aku sekarang berada dalam
pelukanmu, maukah aku kalau aku tidak cinta padamu?"
Ceng Han Houw menciumnya dan untuk beberapa lama mereka berpelukan dan berciuman
dengan curahan hati penuh kasih sayang. "Si-moi..." Han Houw berbisik dengan
napas agak memburu di dekat telinga kiri gadis itu. "Kalau engkau benar
mencintaku... marilah engkau bermalam di dalam kamarku malam ini, sayang..."
Tiba-tiba tubuh yang tadinya lemas menyerah itu menegang dan Ciauw Si melepaskan
pelukan pangeran itu, menatap tajam di bawah sinar lampu merah. Sejenak mereka
berpandangan dan terdengar pangeran itu berbisik, "Maaf Si-moi, bukan maksudku
untuk merendahkanmu, akan tetapi sungguh... aku cinta padamu, aku membutuhkanmu,
dan dalam keadaan aku dimusuhi oleh kaisar seperti sekarang ini, kalau engkau
pergi besok... entah kapan kita bertemu kembali, Si-moi... maka sebelum
berpisah, aku ingin memiliki dirimu dulu... aku ingin engkau menjadi
isteriku..." "Pangeran, engkau tahu bahwa hal itu tidak boleh kita lakukan sebelum kita
menikah. Aku harus memberitahukan ibuku, dan engkau harus mengajukan pinangan
dulu. Baru kalau kita sudah menikah, aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu,
pangeran. Engkau tahu bahwa aku mencintamu dan akan berbahagia sekali menjadi
isterimu..." "Akan tetapi, moi-moi, mana mungkin kita dapat melaksanakan pernikahan dalam
waktu dekat-dekat ini, setelah engkau mengetahui keadaanku" Pernikahan antara
kita tentu akan membuat kaisar menjadi semakin curiga dan tidak senang, karena
engkau adalah puteri dari keluarga yang memusuhinya. Dan menghadapi perjuangan
ini, belum tentu kalau aku akan keluar dengan selamat. Maka... tidak kasihankah
engkau kepadaku" Tegakah engkau membiarkan aku setiap hari merindukanmu,
Si-moi?" Ceng Han Houw merayu dan kembali dia sudah memeluk gadis itu.
Belaian, pelukan dan ciuman-ciuman pangeran itu memang sudah membuat Ciauw Si
seperti mabuk, maka kini rayuan-rayuan pangeran itu membuat dia semakin bimbang.
Dia hampir tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak dapat menolak ketika pangeran
itu kembali menciuminya, karena dia sendiri merasa seperti dibuai oleh keadaan
yang amat membahagiakan perasaannya. Akan tetapi ketika pangeran itu semakin
berani dalam belaiannya, dia tersentak dan berbisik. "Kita harus menikah dulu...
harus menikah dulu..." dan Ciauw Si pun menangis!
Pangeran Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis
di atas dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik, "Moi-moi,
engkau tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan
tetapi karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap
engkau akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang
juga..." Ciauw Si mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah.
"Apa..." Bagaimana...?"
"Dengar, sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita
sudah bersumpah di depan Tuhan, disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya dilakukan
oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula namanya" Hanya
belum dirayakan dan disaksikan keluarga dan manusia lain" Akan tetapi setelah
disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah?"
Ciauw Si yang sudah bimbang itu dan sudah siap melakukan apa saja dengan
kekasihnya, dan hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang menjadi
penghalang, kini melihat jalan keluar ini, menjadi girang sekali. "Tapi...
tapi... dapatkah hal itu dilakukan, pangeran?"
"Tentu saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku,
dan kita malam ini juga dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di
dalam kuilnya. Dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri."
"Ohhh..." "Dan engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku..." Pangeran itu mencium
dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak lama
kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta pergi ke Kuil Hok-te Seng-kun
di sebelah barat dalam kota raja itu.
Para hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat
sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima dua orang tamu agungnya di
dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya
dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang
aneh sekali dari pangeran itu untuk menikah saat itu juga, tanpa perayaan tanpa
saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.
"Dapatkan losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah
secara resmi di kuil ini?" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan
mendesak. "Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati dan
pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil
tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau
diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang
terhormat dan mulia"
Tiba-tiba Ciauw Si yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi
kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya,
suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya
ketika menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang
gadis ini, "Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"
Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya
memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan
sinar mata sang pangeran, diapun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.
"Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah daripada peneguhan dan pemberkatan di
dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat, dengan sumpah di meja
sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"
Lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara
mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, losuhu."
Mereka tidak usah menanti lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu
dipersiapkan dan tak lama kemudian dua orang muda itu telah berlutut di depan
meja sembahyang dengan penuh khidmat. Ketika mereka bersembahyang itu, Ciauw Si
teringat akan keluarganya dan tak dapat ditahannya lagi menangislah "pengantin
wanita" ini! Betapapun juga, ia merasa sedih sekali karena menikah tanpa
dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak
disaksikan oleh seorangpun kerabat. Dia memang sudah mengambil keputusan nekat.
Biarpun bangkitnya gairah nafsu karena dirayu dan dibelai oleh kekasihnya itu
merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-
kenyataan lain yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar
upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang
menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng,
akan tetapi ibu kandungnya dan keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi
peristiwa yang amat menyedihkan. Sejak semula dia membela kakaknya dan diam-diam
dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan
cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si
menganggap bahwa kehadiran keluarganya dalam pernikahannya sekarang inipun hanya
merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran! Dan dia
tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjina, melainkan
bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan
para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberitahukan ibunya
dan para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh
peristiwa kakak kandungnya itu! Apalagi karena diapun merasa sangsi apakah
keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw
yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh
itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andaikata keluarganya tidak
setuju, seperti juga tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah
menikah dengan sah di dalam kuil itu!
Karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu,
maka setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami
isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya kembali ke istana.
Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela
membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan
dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang
pasrah. Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan
mereka dan membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam
saja itu menjadi berlarut-larut dan, sampai tiga hari tiga malam mereka tidak
pernah meninggalkan kamar!
Barulah pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan
keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya.
Perpisahan yang berat dan mesra. Seolah-olah pangeran itu tidak mau melepaskan
isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya.
Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan
seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal
dan pada pagi hari itu, diantar oleh pandangan mata mencinta dari Pangeran Ceng
Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota
raja. Sedikitpun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di
istana pangeran itu, di mana dia menikmati "bulan madu" selama tiga hari tiga
malam itu, terjadi peristiwa yang amat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia tidak
tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In
Hong, telah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang
istana. Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya
bimbang. Dia merasa girang bahwa dia telah berhasil menjalankan siasatnya,
menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-
pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya. Akan tetapi, disamping
kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia betul-betul jatuh cinta!
Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia
sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggapnya sebagai isteri, bukan
sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka. Maka timbullah kekhawatiran di
dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia telah bermain dengan api yang amat
berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia
sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis
itu demi keuntungan diri sendiri.
*** "Bi Cu...! Bi Cu, apamu yang sakit...?" Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika
dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu dan Bi
Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-
gerak seperti orang hendak meronta.
"Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu
dengan air. Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang
mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun
sampai sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir. Hutan itu kecil
akan tetapi liar, tidak ada gua atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu.
Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai
yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong membunuh beberapa ekor ayam
hutan dan kelinci dan dia memanggang dagingnya, diberikan kepada Bi Cu. Akan
tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, diajak bicarapun Bi Cu tidak
dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiripun sama sekali tidak
dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap matapun, terus-menerus menjaga Bi
Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu
dengan air. Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sung-
guhpun tubuhnya masih panas sekali.
"Sin Liong...!" rintihnya. Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang
basah air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah
yang pucat itu. "Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau akan
sembuh kembali." Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu berkata lemah, "Aku...
aku haus..." Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya dan memberi minum dara
itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuk seperti
cawan. Setelah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu
rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.
"Berapa lama aku sakit...?" bisiknya.
"Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tapi engkau
akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena
kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya
akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."
Bi Cu mengangguk. Pikirannya sudah terang sekarang dan diam-diam dia merasa
terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak
betapa pemuda itu lelah sekali.
Biarpun Bi Cu sudah sadar kini, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih
kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari
dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening
sekali den pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat
malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah
beristirahat! Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan
makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau
Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah
di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam
menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong
berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.
Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu kedinginan. Bi
Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk
oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari
atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah
kuyup! Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun
yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk
mengumpulkan kayu kering yang ditutupinya dengan daun-daun sedapat mungkin.
Tubuh Bi Cu menggigil dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin-kangnya
sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Ini banyak menolong walaupun pakaian
mereka basah semua. Melihat kedua sepatu Bi Cu yang sudah pecah-pecah dan rusak-
rusak ketika dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan malah
menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong
berkata, "Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja." Bi Cu yang menyembunyikan mukanya dia dada Sin Liong hanya mengangguk dan Sin
Liong lalu melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia
merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah.
Makin erat dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.
Hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong cepat membuat api
menggunakan kayu-kayu kering yang tadi ditutupinya dengan daun-daunan. Untung
masih terdapat kayu yang kering di tumpukan bawah. Maka dapat juga dia berhasil
menyalakan api unggun yang mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun
itu makin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun
sambil memeluk tubuh Bi Cu.
"Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu..." katanya penuh iba sambil merangkul dara
itu. Bi Cu menyandarkan kepalanya di pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah
pundak dan lengan pemuda itu, lalu berkata lemah, dengan suara gemetar
kedinginan, "Engkaupun basah kuyup dan kedinginan..."
"Tidak, aku sehat, engkaulah yang sedang sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh
sakit lagi. Ah, baru saja engkau hampir sembuh, disiram hujan lebat..." Sin
Liong berkata khawatir. MELIHAT kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu,
apalagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali
peristiwa yang terjadi di bawah tebing ketika mereka menyambut hujan dengan
bahagia sekali dan mereka telah berpelukan dan berciuman dalam keadaan hampir
tidak sadar! "Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu
sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.
Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara
air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes di atas wajah
yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih
erat. "Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."
"Dan aku... akupun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi
selamanya, Sin Liong..."
Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi
kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya,
lalu berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah
engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang katakatakan itulah yang
kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku selalu
membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan
memang. Dengan berdiam diri, terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan
kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, melainkan di dalam batin
masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan,
merasa seolah-olah mereka berdua itu telah bersatu dalam batin, seperti orang
yang memiliki dan membutuhkan anggauta tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan
lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan
dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.
Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada
dekat leher Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"
"Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ah, khawatir sekali aku."
"Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong.
Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta
padamu Sin Liong." Tanpa diucapkan sekalipun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong.
Dia mencium mata kiri dara itu. "Akupun cinta padamu, Bi Cu."
Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah
kata-kata terakhir di dunia ini dan setelah itu, tidak ada apa-apa lagi yang
lebih patut dibicarakan! Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui
kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan,
sudah melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri! Cinta-mencinta membawa
kita ke dalam suatu keadaan di mana tidak ada lagi baik buruk, susah senang,
dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja
nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di
sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi
kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka
cinta, yang berbeda dengan kesenangan. Kesenangan mempunyai sebab, mempunyai
sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati
yang nyaman dan sejuk tanpa sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita penuh
dengan sinar cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan
apa yang dinamakan prikemanusiaan. Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta
adalah manusia yang sesungguhnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di
waktu itu. Sayang, biarpun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti
itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari
batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin
sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu. Bahkan celakanya, nafsu-nafsu
menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni
menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sesungguhnya hanyalah cinta
kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti
yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini. Cinta yang
kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanyalah semacam pemalsuan
untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk mendapatkan
kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan
diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini
hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja. Cinta seperti ini
tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai
kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas
dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.
Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah
kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukan menjadi semakin buruk, bahkan dia
menjadi sembuh sama sekali! Hanya masih agak lemah tubuhnya, akan tetapi dia
sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi. Hujankah yang menyembuhkannya"
Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka,
dalam pengakuan cinta mereka" Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa
girang bukan main. "Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."
"Hari ini agaknya akan panas, Sin Liong. Aku dapat melepaskan pakaian dan
menjemurnya. Tapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, "engkau harus
menjauh, tidak boleh mendekat!"
Sin Liong tertawa. Benar-benar sudah sembuh Bi Cu sekarang. Sudah mulai lagi dia
bertingkah bengal! Sudah bersinar-sinar kembali kedua mata yang indah itu, kini
penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.
"Ha-ha, kaukira aku ini tukang intip" Akupun akan pergi memeriksa keadaan
sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."
"Kalau ada dusun kau mau apa?"
"Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."
"Kau ada uang?"
Sin Liong menggeleng kepala.
"Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"
Muka Sin Liong menjadi merah. Dara ini baru saja sembuh sudah pandai mendesaknya
dengan omongan dan membuatnya tersudut! "Aku... aku akan minta!"
"Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Minta kepada orang dusun yang miskin dan
yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"
"Barangkali ada yang kaya di dusun, ada tuan tanahnya..."
"Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan
mau memberimu" Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau akan mencuri
pakaian dan sepatu untukku!"
Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah
pinjam dari orang kaya di dusun?"
"Tidak, kau beli saja, atau... tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai
kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.
Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas
itu. "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu" Dahulu julukanmu adalah
Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"
Bi Cu tersenyum. "Justeru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja
menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."
"Ah, kukira julukan itu karena, matamu..."
"Mataku bagaimana?"
"Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat
dan merangkul, mencium mata itu.
"Ihh, engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu
lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan
tangannya. Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang sekali.
Kemudian pergilah dara ini ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk
membersihkan diri, dan mencuci pakaian dan menjemur pakaian.
Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh
sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang
sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semua itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung
saja, sedangkan mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya.
Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-
barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru
itu. Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata
Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu
ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.
"Ah, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan untuk kita"
Biar aku yang..." "Hemm, biarpun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil
juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin
Liong!" Bi Cu girang sekali dan mematut-matut diri dengan pakaian itu setelah kaus kaki
dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas besarnya.
"Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku
merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaianpun
aku tidak rela!" Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan
kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak. "Kausimpan
sajalah, Sin Liong."
Wajah pemuda itu berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak
mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main
lega rasa hati Sin Liong.
"Aku akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil menghilang ke
balik semak-semak. Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak,
lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian
memasukkannya ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering
ketika dibawanya berlari cepat tadi.
"Wah, engkau memang hebat! Pas sekali pakaian ini, seperti juga sepatunya!" Bi
Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok. Muka itu masih agak pucat,
rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan
tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan
segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.
"Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil
bangkit berdiri. Bi Cu meruncingkan mulutnya. "Ih, engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-
jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!"
Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.
"Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan
kupuji." Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya seperti ketika mereka
kehujanan semalam. "Sin Liong, jangan kautinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita
saling berpisah, apapun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?"
"Tentu saja, Bi Cu."
"Biarpun engkau akan dipaksa oleh siapapun juga?"
Sin Liong mengangguk. "Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup ataupun mati?"
Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya dan mereka kini
saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk
isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata kedua orang insan ini penuh
kemesraan dan cinta kasih, terasa benar oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan
mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda
keramat. "Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?"
Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin
Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam,
terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu
melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah. Sin
Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi
merah dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin
berseri penuh cahaya indah. Mata emas!
"Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanya kosong, dan aku
lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu." Lalu dia tersenyum dan
suasana penuh hikmat itupun membuyarlah. "Heii, sudah sejak tadi daging itu
matang. Mari kita makan!"
Sin Liong, makin gembira hatinya. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka,
sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa
matanya amat mengantuk. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah
tubuhnya menuntut dan barulah dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia duduk
melenggut bersandarkan batang pohon.
Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih
tempat yang sejuk di bawah pohon besar, lalu mengumpulkan rumput kering dan
mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai
bantal, kemudian dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong
membuka matanya yang mengantuk.
"Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga
lagi. Nah, kau tidurlah!" Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu
bangkit berdiri dan membiarkan dirinya digandeng, ke bawah pohon yang sejuk dan
teduh itu. Melihat tempat tidur dari rumput kering dengan bantal gulungan
pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan makin beratlah kantuknya. Dia lalu
merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang
tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.
Enak benar Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh
ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan
matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ. Dia lalu
bangkit duduk, kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca
yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi
mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan
hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan
telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.
"Bi Cu...!" Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga
khi-kang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi
Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka
dia lalu berindap-indap menuju ke anak sungai. Kalau dia melihat Bi Cu sedang
mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian dia akan
menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situpun
tidak nampak Bi Cu, dia mulai bimbang.
"Bi Cu...!" Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak
terdengar jawaban. Dia mencari-cari dengan gerakan cepat kini, berlari dan
berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana
biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.
Sebuah sampul surat di dekat perapian yang telah menjadi abu. Dia yakin benar
bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu
kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa
mempunyai sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu
tidak ada! Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi agak pucat, secara cepat dia
menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya
sampul itu dan dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-
huruf halus, tulisan wanita!
Cia Sin Liong!

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau
menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!
Surat itu tidak ditandatangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong.
Pangeran Oguthai" Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw" Jelaslah kini, Bi Cu
diculik orang ketika dia sedang tidur! Dia mengepal kedua tinjunya, matanya
mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan
pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga
siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan
wanita dan bau harum pada surat itu.
Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di
situ" Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit,
tidak ada seorangpun berada di sekeliling tempat sunyi itu" Ah, tentu ketika dia
pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini
meamsuki benaknya, tubuhnya sudah mencelat dan berkelebat, lalu dia berlari
secepat angin menuju ke dusun yang didatanginya tadi.
Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum
malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya
ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!
Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat
seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya seperti puteri istana datang
ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang
kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik
seperti yang digambarkan Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka
hitam yang menyeramkan. "Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong berkata penuh geram dan cepat
dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, berhenti
berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan
berkata penuh kemarahan, "Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku
bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi
Cu-ku!" Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke
Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar.
*** Pangeran Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang
terjadi di kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja
Sabutai kepadanya itu. Yang paling merisaukan hatinya adalah berita tentang
gerakan pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih.
Pasukan-pasukan yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-
jaga di sepanjang Tembok Besar. Biarpun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa,
kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan sungguhpun tidak seketat sekarang,
namun Ceng Han Houw tentu saja sudah dapat menduga bahwa pasukan itu memang
khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayahnya di utara!
Selain itu, juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasukan untuk
mengadakan pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang anti pemerintah,
dan terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw, dibasmi oleh pasukan itu.
Padahal, akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri membantu gerakan
Ceng Han Houw kalau sewaktu-waktu pangeran ini hendak menumbangkan kekuasaan
kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri,
yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han
Houw, ditangkapi dan dimasukkan tahanan!
Tentu saja Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang
diambil kaisar untuk menentangnya. Dan ini tak lain tentu hasil dari
pengkhianatan Sun Eng yang telah mencuri surat rahasia itu! Suasana menjadi
terasa panas sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa
lambat-laun kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk menyuruh orang
menangkapnya! Mengertilah Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia segera mengutus
anak buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di
dunia kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan
memilih pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu. Dia mengundang semua
tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan besar untuk mengunjungi pemilihan
bengcu seluruh Tiongkok itu dan tempat untuk itu ditentukan di daerah bebas.
Agar jangan dilarang pemerintah, demikian penjelasannya. Dan tempat itu adalah
Lembah Naga di utara, di luar Tembok Besar.
Ketika dia mendengar bahwa sucinya, Kim Hong Liu-nio, dan subonya, Hek-hiat Mo-
li, juga sudah kembali dari selatan karena tidak perlu lagi mereka mengejar-
ngejar keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu,
dan mendengar betapa sucinya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai
umpan, untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang
sekali. "Bawa dia ke utara, ke Lembah Naga, suci," katanya kepada wanita itu.
"Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat
mempergunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat
menyenangkan hatinya."
Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu
sebagai tawanan yang diperlakukan dengan hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita
badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga
tentu saja tidak mengganggu Kim Hung Liu-nio yang pernah dikenal sebagai wanita
gagah penyelamat kaisar itu. Akan tetapi sudah tentu saja Bi Cu menderita batin
yang hebat, sering kali menangis dan mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong.
Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin
Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena Sin Liong adalah adik angkat Pangeran
Ceng Han Houw yang kini membutuhkan bantuan adik angkatnya itu.
Dan selagi Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja,
muncullah Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami
isteri yang disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan
tetapi Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai
suaminya itu, dan diapun prihatin sekali.
"Kaisar telah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!" demikian Pangeran Ceng Han Houw
berkata. "Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan
perjalananmu ke selatan, Si-moi?"
Mereka bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan
kerinduan hati mereka sebagai pengantin baru.
"Aku tidak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan tetapi
ada berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah dibebaskan
oleh kaisar!" "Ah, masa engkau tidak mengerti. Si-moi" Bukan kaisar yang membebaskan,
melainkan akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan memakai
nama kaisar! Kalau hal ini diketahui oleh kaisar, tentu aku akan ditangkap
sebagai pembantu pemberontak..."
"Ahhhh...!" Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya.
"Jangan kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah
ditangkap begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi,
karena memang aku sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja."
"Engkau... engkau pergi ke manakah, pangeran?"
"Kembali ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan rencanaku
semula, aku akan mengadakan pertemuan kang-ouw yang terbesar yang pernah ada
dalam sejarah. Semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan terbesur
kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan
nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk
menghadapi kaisar." "Tapi... tapi itu pemberontakan, pangeran!" Ciauw Si berkata kaget.
Ceng Han Houw merangkul dan menutup mulut yang hendak memprotes itu dengan
ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang
memabukkan. Beberapa lama mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan
mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah mereka melepaskan ciuman, pangeran itu
berbisik dekat telinga Ciauw Si, "Engkau adalah isteriku, bukan?"
Ciauw Si mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Dan engkau tentu akan membelaku sampai bagaimanapun juga, bukan?"
"Dengan taruhan nyawaku..."
"Isteriku sayang, melawan kekerasan kaisar lalim bukanlah pemberontakan namanya!
Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri mehjadi korban kaisar
lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak dan
menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar lalim
macam itu merupakan pemberontakan" Apakah usaha membebaskan rakyat dari
cengkeraman kelaliman itu bukan pula merupakan tugas orang-orang yang menjunjung
kegagahan seperti kita?" Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil merayu dan
sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain cinta kepada
Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama sekali, dan
tunduk kepada suaminya yang dicintanya.
Pada keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu
dengan berani pergi menghadap kaisar dan mohon ijin untuk pergi mengunjungi ibu
kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat dan dengan dingin pula
memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk pergi ke utara. Memang
sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan tidak
akan kembali selamaya, demikian pikir kaisar. Dan, sesuai dengan siasat kaisar
agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu dapat
dipadamkan tanpa terjadi perang saudara, maka pangeran inipun dengan mudah saja
dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama Ciauw Si
dan sepasukan pengawalnya yang setia.
Ciauw Si maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya,
dengan ibu kandungnya, dia telah menggabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke
utara. Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakannya ini,
akan tetapi dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya
tergila-gila itu dan dia seolah-olah melakukan tindakan itu dengan mata sengaja
dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apapun juga asal dia tidak akan
terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu.
Kesenangan, terutama sekali kesenangan yang diperoleh dari pemuasan gejolak
berahi, memang dapat membutakan mata, melumpuhkan kewaspadaan batin dan
menyuramkan kesadaran. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah betapa orang-
orang besar, orang-orang gagah perkasa yang kokoh kuat batinnya, tidak goyah
oleh godaan penawaran harta dan kedudukan mulia, akhirnya runtuh dan jatuh,
hancur seluruh pertahanannya yang kokoh kuat, karena dilanda oleh godaan berupa
kesenangan dan pemuasan berahi ini! Raja-raja besar terguling dari singgasana
mereka, pendeta-pendeta suci runtuh dari kesuciannya, wanita-wanita setia gugur
dari ketiaannya, semua dikarenakan godaan kesenangan ini! Akar tetapi, mereka
yang terseret oleh segala macam kesenangan, juga kesenangan yang timbul dari
kenikmatan pemuasan berahi, adalah orang-orang yang berada dalam keadaan tidak
sadar! Orang-orang yang sadar dan waspada setiap saat akan dirinya sendiri, akan
selalu melihat kenyataan sedalam-dalamnya sehingga tidak mudah tergelincir.
Orang yang berada dalam keadaan tidak sadar itu dimabuk oleh bayangan-bayangan
kesenangang sehingga baginya yang nampak hanyalah bayangan atau gambaran
kesenangan itu saja, maka dia mau terjun dengan nekat ke dalam kesenangan itu
tanpa melihat bahwa di balik segala macam kesenangan itu telah menanti rangkaian
yang tak terpisahkan dari kesenangan itu sendiri, yaitu ketakutan dan kedukaan.
Sebaliknya, orang yang selalu waspada akan melihat kenyataan itu, akan melihat
kedukaan dan kesengsaraan yang tersembunyi di balik sinar menyilaukan dari
kesenangan, sehingga dia akan bertindak bijaksana dan cerdas, tidak memasuki
kesenangan dengan mata terpejam dan secara membuta saja! Hal ini dapat dilihat
jelas, kalau kita menghadapi makanan lezat. Orang yang tidak pernah waspada
terhadap dirinya sendiri, begitu melihat makanan, yang nampak hanyalah
kelezatannya saja dan makanlah dia sepuas-puasnya, dan baru setelah perutnya
sakit atau timbul akibat buruk dari makan enak terlampau banyak itu, dia akan
mengeluh panjang pendek dan menyalahkan si makanan lezat! Sebaliknya, orang yang
waspada setiap saat akan dirinya sendiri dan akan apa saja yang dihadapinya,
melihat juga kelezatan itu akan tetapi di samping itu akan melihat pula akibat-
akibat buruk yang menjadi rangkaian kelezatan itu sehingga tindakannya menjadi
bijaksana, dia tidak terlalu gembul melainkan makan dengan hati-hati. Dan
andaikata dia sampai terkena sakit perut sekalipun dia tidak akan menyalahkan
siapa-siapa, melainkan melihat jelas bahwa kesalahan itu adalah kesalahannya
sendiri! Jelas sekali bedanya, bukan"
Ini bukan berarti bahwa penulis menganjurkan agar kita menolak kesenangan! Sama
sekali tidak menganjurkan apa-apa, juga tidak mencela apa-apa. Hanya ingin
mengajak pembaca untuk mempelajari apa dan bagaimana kesenangan itu dan
selanjutnya terserah! Ada bermacam-macam penangkapan dalam mempelajari sesuatu.
Ada bermacam-macam pengertian. Mengerti arti kata-katanya saja, seperti biasa
orang mengerti dan menikmati filsafat muluk-muluk dan merasakan kesenangan dalam
membicarakannya. Ini adalah pengertian yang tidak ada arti dan manfaatnya bagi
kehidupan, karena pengertian arti kata-katanya saja ini hanya dipergunakan untuk
bahan perdebatan memperebutkan kemenangan dan kebenaran kosong, seperti
kosongnya kata-kata itu. Ada pula, pengertian teoritis dan pengertian intelek
yang diakui oleh batin, namun hanya sampai di situ saja, tidak disertai
penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian mendalam,
mengerti yang disertai kesadaran dan kewaspadaan, pengertian ini menciptakan
tindakan sendiri yang timbul dari kecerdasan! Untuk memperoleh pengertian yang
terakhir inilah kita belajar! Pengertian yang tidak terpisah daripada tindakan.
Bukan mengerti lalu bertindak untuk mencapai sesuatu. Melainkan mengerti dan
bertindak melepaskan yang palsu, bukan untuk mencari keuntungan dari pelepasan
itu, melainkan karena mengerti bahwa itu palsu.
"Si-moi, aku sungguh merasa bahagia sekali bahwa engkau dapat ikut bersamaku ke
utara. Alangkah akan sedih hatiku andaikata engkau belum kembali dan aku
terpaksa harus melakukan perjalanan sendiri."
Ciauw Si menatap wajah tampan itu dan tersenyum, "Engkau adalah suamiku,
pangeran. Ke manapun engkau pergi, aku akan ikut. Akan tetapi, kalau boleh aku
bertanya, ke manakah kita sekarang ini hendak menuju?"
"Ke Istana Lembah Naga, isteriku. Untuk sementara ini, kita akan tinggal di
istana itu. Dan di sana pula, di Lembah Naga, akan diadakan pertemuan antara
seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu, di mana aku akan membuktikan bahwa
aku tidak akan mengecewakan kalau mereka mau mengangkatku menjadi bengcu dan
Jago Nomor Satu di Dunia."
Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, suamiku. Kurasa amat tidak bijaksana
kalau hendak mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Di dunia ini
terdapat banyak sekali orang pandai, namun tidak ada di antara mereka yang
berani mengangkat diri menjadi yang paling pandai. Pangeran, yakin benarkah
engkau bahwa kepandaianmu sudah setinggi itu sehingga tidak akan ada yang dapat
menandingimu?" Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Si-moi, tentu saja engkau meragu. Akan tetapi
jangan engkau mengira bahwa kepandaianku sama dengan tingkatku ketika kita
saling bertemu untuk pertama kali itu. Aku telah mewarisi kepandaian dari
guruku, Bu Beng Hud-couw, dan kiranya tidak mungkin aku dapat dikalahkan!"
"Hemm, mudah-mudahan begitu," kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut
tanda bahwa dia merasa bimbang.
Han Houw maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta
menghentikan kereta itu. Mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal
berhenti dan, menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan
kereta, memberi hormat dan bertanya, "Ada perintah apakah, pangeran?"
"Berhenti dulu, beristirahat di sini sebentar!" kata Pangeran Ceng Han Houw dan
dia mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan
isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat
puncak bukit itu. "Si-moi, aku sengaja berhenti untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak
bimbang ragu lagi." "Maksudmu, pangeran?"
"Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing
sendiri oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai,
bukan?" "Ah, aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian
mendiang kong-kong."
"Betapapun juga, engkau merupakan seorang pendekar wanita yang jarang
tandingannya, dan termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi
di waktu ini. Oleh karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai di mana
tingkat kepandaianku yang kauragukan itu, isteriku. Nah, sekarang kau boleh
mencoba untuk mempergunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Lihat,
sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu."
Wajah Ciauw Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling
senang bicara tentang ilmu silat, apalagi mencobanya. "Eh, mencabut tusuk
kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi sukarnya merobohkan
aku! Karena untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang dapat diserang dan
sebaliknya, kalau aku mencurahkan perhatian dan pertahanan menjaga tusuk
kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?"


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaminya tertawa. "Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri.
Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku masih kurang jauh
sekali dan akupun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu di
dunia." Ciauw Si mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega
membiarkan suami tercinta ini gagal. Akan tetapi, kalau dibiarkan berhasil dan
kemudian suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga.
Maka dia menjadi serba salah.
"Ciauw Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah kepada suamimu ini.
Ketahuilah bahwa tingkat kepandalanku sekarang ini tidak kalah oleh bekas
suboku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkatku tidak
lebih rendah daripada tingkat kepandaian mendiang kong-kongmu!"
"Baiklah," Ciauw Si berkata. "Akan tetapi, pangeran, kalau sampal lima puluh ju-
rus engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepala, apalagi kalau sampai
aku dapat menyentuh bagian tubuhmu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau
tidak akan ikut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagaimana?"
"Baik, Si-moi," jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan akan diri
sendiri. "Nah, kau mulailah!"
"Bersiaplah, pangeran. Lihat serangan!" Ciauw Si mulai melakukan penyerangan dan
dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja
penyerangan itu tanpa disertai tenaga sin-kang, hanya dilakukan cepat saja ka-
rena tujuannya hanya untuk sekedar "menyentuh" bagian tubuh berbahaya untuk
mendapatkan kemenangan. Ceng Han Houw melihat gerakan yang cepat sekali ini juga
segera mengelak dan menangkis, kemudian, membalas dengan sambaran tangan ke arah
kepala yang dapat dielakkan pula oleh Ciauw Si. Mula-mula, wanita lihai ini
sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang amat hebat, yang terdiri
dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini dipergunakannya untuk menyerang dan
mendesak suaminya, dan selama dia bertualang, jarang ada lawan yang mampu
mempertahankan diri kalau dia menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini.
Akan tetapi pangeran itu ternyata hebat bukan main. Gerakan-gerakannya aneh dan
lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari San-in Kun-
hoat itu dipergunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis dengan
mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan tetapi gerakan kedua tangan
suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja gelung
rambutnya dapat disentuhnya!
Ciauw Si merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya
itu ternyata tidak membual, dan memang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat sehingga ilmunya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari Cin-
ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya. Maka kini Ciauw Si tidak
lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan
diri, mempertahankan agar jangan sampai tusuk kondenya dapat dirampas suaminya.
Maka dia merubah gerakannya dan kini dia bersilat dengan Ilmu Silat Thai-kek
Sin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak begitu cepat akan tetapi
mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng!
"Bagus! Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!" kata Ceng Han Houw
dan dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut
isterinya. Akan tetapi ke manapun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan
yang kuat. Apalagi memang Ciauw Si memusatkan pertahanannya kepada kepala
sehingga semua sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya!
Tiga puluh jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan
dari ilmu silat isterinya itu dan kalau dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh
jurus, biar sampai seratus jurus kiranya akan sukarlah baginya untuk merampas
tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya mati-matian mempertahankan
untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya khawatir kalau-kalau
dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia, mengkhawatirkan keselamatannya,
tentu. "Isteriku, kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu akan
dapat kurampas!" katanya.
Ciauw Si hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong
saja. Sudah tiga puluh jurus belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang
dalam sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu"
Tiba-tiba Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama
sekali. Kini setiap gerakannya mendatang angin berdesir, membuat pakaian Ciauw
Si berkibar-kibar seperti dilanda angin besar. Wanita ini kagum dan terkejut,
akan tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya.
Tiba-tiba tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-
te Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw
itu. Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah
kepalanya bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia
tetap menangkis gerakan kaki itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas.
Kiranya jari tangan pangeran itu telah menotok punggungnya dari bawah! Dan
sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah berdiri lagi, dengan kecepatan kilat
tangan kirinya menangkap kedua tangan Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi
seperti lumpuh itu, tangan kanannya menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik
berikutnya Ciauw Si sudah mampu bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya
telah terampas! "Empat puluh jurus...!" Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde
itu ke atas. Ciauw Si tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum. "Ah,
tak kusangka engkau sehebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapapun lihai ilmu
silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... kalau engkau
bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, apakah ilmu
silatmu itu akan dapat menandinginya?"
Ceng Han Houw mencium isterinya dan menusukkan kembali tusuk konde itu ke gelung
rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum dan berkata. "Kita tadi
sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau menguji
tenaga sin-kang yang kuperoleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu, juga ilmu
gin-kangku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu tenaga sin-kangmu
sudah kuat sekali, bukan" Nah, coba kauserang aku dengan tenaga sin-kangmu, Si-
moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan gerak saja."
Ciauw Si menggeleng kepala. "Main-main dengan tenaga sin-kang untuk saling
serang adalah amat berbahaya."
"Bukan saling serang maksudku, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sin-
kang masing-masing."
"Baiklah kalau begitu, biar kita mengukur sin-kang dengam mempermainkan sehelai
daun," kata Ciauw Si gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun kering.
"Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun ini!" Dia
melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke atas,
seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja melayang-
layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan... daun itu
tertahan, bahkan naik lagi ke atas!
Wanita muda itu terus menggerak-gerakkan kedua tangannya yang tergetar, penuh
tenaga sin-kang dan sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga
meter dan bergerak-gerak seperti seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun
seperti tertahan oleh tiupan angin dari bawah!
Setelah melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han
Houw berseru, "Bagus sekali, Si-moi. Sin-kangmu cukup hebat! Biar kunaikkan lagi
daun itu!" Diapun lalu menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya, ke
arah daun itu dan seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu
meluncur naik ke atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka
dia lalu menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, mengusap keringatnya
yang membasahi dahi dan leher. Dia melihat betapa hanya dengan tangan kiri saja
pangeran itu mampu membuat daun itu naik dan naik terus. Hampir dia tidak dapat
percaya ketika daun itu terus melayang naik setiap kali pangeran itu
menggerakkan tangan kiri sampai daun itu melayang-layang setinggi belasan meter!
Sungguh merupakan demonstrasi tenaga sin-kang yang selamanya belum pernah
dilihatnya! Kini dia mulai percaya bahwa pangeran yang telah menjadi suaminya
itu tidak membual ketika mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan
dengan mendiang ketua Cin-ling-pai! Sukar diukur lagi betapa kuatnya sin-kang
pangeran itu yang mampu membuat daun melayang-layang sampai belasan meter ting-
ginya itu. Tiba-tiba pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan dengan
telapak tagan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun
yang ringan itupun tiba-tiba meluncur ke bawah seperti sepotong batu yang berat.
Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap dan
berhampuranlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan pukulan
jarak jauh dan menjadi hancur seperti tepung!
Ceng Han Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga. "Bagaimana
pendapatmu, Si-moi?"
Ciauw Si merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Engkau hebat,
pangeran, engkau sungguh hebat bukan main..." katanya.
"Nah, dalam ilmu silat dan sin-kang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku.
Sekarang akan kuperlihatkan gin-kang yang telah kupelajari. Kau boleh
menyerangku secepat mungkin dan aku tidak akan menangkis, melainkan
mempergunakan gin-kang untuk menghindarkan semua serangarimu. Kau boleh
mempergunakan pedangmu!"
Akan tetapi Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan
mengambil sebatang ranting pohon. "Biar kupergunakan ini saja," katanya dan mu-
lailah dia menyerang dengan gerakan secepat mungkin.
Dan terjadilah keanehan. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah Pat-
kwa-po akan tetapi karena dia telah memiliki gin-kang yang dipelajarinya dari
kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang aneh itu membuat
tubuhnya seolah-olah naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari dengan cepat
bukan main dan ke manapun ranting itu menyambar tubuhnya seperti telah lebih
dulu terdorong oleh angin gerakan ranting itu, dan selalu dapat menghindarkan
dengan lebih cepat lagi! Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang, dan selalu
mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu dan merangkul suaminya
penuh kebanggaan. Sambil bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan pengawal menanti,
dan mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan pasukan bergerak lagi dan
mereka melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, sepasang
pengantin baru itu tiada hentinya bermain cinta, mencurahkan semua perasaan
rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin tergila-gila kepada Pangeran
Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itupun makin mendalam rasa cintanya
kepada wanita ini, sama sekali berbeda dengan perasaannya terhadap semua selir
yang pernah menghiburnya. Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa Ciauw Si
adalah calon permaisurinya, dan kalau memang isterinya ini menghendaki,
selamanya dia tidak akan mengambil selirpun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja
sudah cukup baginya, sudah mewakili seluruh wanita di dunia ini!
*** Beberapa pekan kemudiang di luar Tembok Besar, setelah melalui padang tandus
penuh pasir, Sin Liong mulai mendaki pegunungan yang menghadang panjang di
depan. Mulailah dia bertemu dengan pohon-pohon di hutan setelah berhari-hari dia
melalui dataran tandus mengering itu.
Tujuannya hanya satu. Mencari dan menemukan kembali Bi Cu. Rintangan apapun akan
diterjangnya dan dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga untuk menemui
Pangeran Ceng Han Houw seperti tersebut dalam surat yang ditinggalkan oleh
penculik Bi Cu yang diduganya tentulah Kim Hong Liu-nio orangnya. Karena dia
ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga, maka dia melakukan perjalanan cepat dan
tidak mau tertunda di tengah jalan.
Dalam waktu beberapa pekan saja tubuh Sin Liong telah menjadi kurus karena
kurang makan dan kurang tidur. Sukar baginya untuk dapat tidur nyenyak dan makan
enak karena dia selalu teringat kepada Bi Cu dan setiap teringat kepada
kekasihnya itu, timbullah kegelisahan hebat dalam hatinya. Dia ingin cepat-cepat
tiba di Lembah Naga untuk segera melihat bagaimana keadaan kekasihnya itu. Tak
dapat dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada orang berani
mengganggu Bi Cu! Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa begitu dia muncul di luar Tembok Besar, dia
sudah diketahui. Semenjak berada di Lembah Naga, diam-diam Pangeran Ceng Han
Houw sudah mempersiapkan segala sesuatu, bahkan sudah memasang mata-mata di setiap tempat dari luar tembok sampai ke Lembah
Naga sehingga dia akan tahu lebih dulu siapa yang akan datang dari selatan ke
Lembah Naga. Biarpun pertemuan besar dunia kang-ouw belum dimulai, namun dia
sudah memasang orang-orangnya untuk mengamati dengan teliti. Oleh karena itu,
maka kedatangan Sin Liong telah lebih dulu diketahuinya.
Selama berada di Lembah Naga, untuk meyakinkan hatinya, Ceng Han Houw sudah
menguji pula kepandaiannya sendiri. Sucinya, Kim Hong Liu-nio hanya dapat
bertahan sampai tiga puluh jurus saja melawan dia! Sedangkan bekas subonya, Hek-
hiat Mo-li, juga akhirnya menyerah setelah menghadapinya sampai seratus jurus!
Maka yakinlah dia akan kekuatannya.
Ketika Ceng Han Houw mendengar berita kedatangan Sin Liong, dia cepat menyuruh
Hek-hiat Mo-li untuk menghadang. "Harap subo suka mencoba dan menguji kepandaian
pemuda itu agar aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian calon pembantu
utamaku itu!" kata Ceng Han Houw dengan girang, "Suci, harap kauperkuat
penjagaan pada sekeliling istana untuk menjaga segala kemungkinan. Bocah yang
menjadi adik angkatku itu memang orang aneh. Mungkin saja dia melakukan hal-hal
yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya."
Bi Cu telah berada di dalam istana itu. Dia diperlakukan dengan baik, seperti
seorang tamu agung, akan tetapi tetap saja dara ini merasa sengsara dan kalau
saja di situ tidak ada Ciauw Si, tentu dia sudah mengamuk dan nekat
mempertaruhkan nyawanya. Ciauw Si menghiburnya dan berusaha menyadarkan bahwa
pangeran tidaklah jahat, bahwa pangeran adalah kakak angkat Sin Liong dan
pangeran berusaha agar Sin Liong suka membantunya mengumpulkan orang-orang kang-
ouw. "Percayalah kepadaku, Bi Cu. Engkau tahu, aku adalah cucu ketua Cin-ling-pai
yang sejak dahulu merupakan keluarga pendekar dan pahlawan, oleh kaisar lalim
dituduh pemberontak dan dikejar-kejar sebagai orang pelarian! Dan untung ada
Pangeran Ceng Han Houw yang membebaskan mereka, dan kini pangeran yang telah
menjadi suamiku itu ingin mengajak orang-orang gagah dunia kang-ouw untuk
bangkit melawan kelaliman kaisar." Demikian antara lain Ciauw Si membujuk dan
akhirnya, terutama melihat kehadiran wanita perkasa itu di situ. Bi Cu dapat
menahan sabar dan mehanti kedatangan Sin Liong yang katanya sudah diundang
datang ke tempat itu. Betapapun juga, dia merasa gelisah sekali, amat rindu
kepada Sin Liong dan takut kalau-kalau pemuda kekasihnya itu mengalami
kecelakaan. Demikianlah, ketika Sin Liong memasuki hutan pertama setelah berhari-hari
melalui padang tandus, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depannya
telah berdiri seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. Sin Liong terkejut
bukan main, akan tetapi juga marah ketika mengenal nenek itu.
"Hek-hiat Mo-li nenek iblis terkutuk!" bentaknya marah, karena pada saat itu dia
bukan hanya teringat akan Bi Cu yang dia pikir tentu diculik oleh nenek ini
bersama Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga teringat betapa kematian kong-kongnya
yang amat disayang dan dihormatinya, yaitu mendiang ketua Cin-ling-pai, Cia Keng
Hong, disebabkan oleh nenek ini dan murid perempuannya itu.
Hek-hiat Mo-li mengedip-ngedipkan matanya yang tinggal sebelah kanan saja itu,
mulutnya sebetulnya tersenyum akan tetapi karena sudah peyot dan tak bergigi
maka nampaknya malah cemberut! "Bocah lancang, ke sinilah kalau ingin mampus!"
Sin Liong sedang dalam keadaan gelisah dan duka, maka kenekatannya sudah
memuncak. Kini, bertemu dengan orang yang dianggap satu diantara musuh-musuh
besarnya ini, dia tidak mau banyak cakap lagi. Dia lalu mengeluarkan pekik
dahsyat dan terus menubruk sambil melakukan serangan yang hebat, cepat seperti
kilat menyambar dan dahsyat seperti halilintar di atas kepala lawan.
Hek-hiat Mo-li juga berteriak nyaring dan menangkis dengan lengan kirinya yang
bergelang, sedangkan tangan kanannya yang dibuka membentuk cakar telah menyambar
ke arah dada Sin Liong, seperti cakar elang yang hendak merobek dada
mencengkeram keluar jantung lawan.
Sin Liong maklum akan kelihaian lawan, maka sambil cepat mengelak mudur,
kemudian balas menyerang dengan sepenuh tenaganya. Akan tetapi, nenek itu tidak
menangkis malainkan tiba-tiba menjatuhkan diri di depan kaki Sin Liong. Selagi
pemuda ini merasa heran, dia sudah mencelat dari bawah dan mencengkeram ke arah
bawah pusar! Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main. Tak disangkanya nenek itu
memiliki akal curang seperti itu dan gerakannya cepat sekali, maka diapun lalu
meloncat dan membalikkan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, nenek itu sudah
melayang dan mengejarnya dengan tubrukan dari belakangnya. Mengerikan sekali
gerakan nenek yang sakti ini dan biarpun Sin Liong sudah memutar tubuh
menangkis, namun tetap saja tangan kanan nenek itu sudah menempel di pundak
kirinya. Bukan sembarangan menempel, melainkan mencengkeram dengan kekuatan yang
luar biasa dahsyatnya. Otomatis tubuh Sin Liong mengerahkan sin-kang dan Ilmu
Thi-khi-i-beng bergerak langsung dari dalam pusar ke pundak.
"Ihh! Thi-khi-i-beng!" Nenek itu berseru dan seketika tenaga sin-kangnya
berhenti mengalir dan dengan gerakan cepat dia dapat melepaskan tangannya dari


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pundak pemuda itu yang mempunyai daya menyedot yang hebat sekali. Kembali nenek
itu menyerang dengan dahsyat, menggunakan cengkeraman kedua tangannya yang
seperti cakar garuda itu dan yang diserangnya adalah bagian-bagian berbahaya
yang kiranya tidak dapat dilindungi oleh Thi-khi-i-beng.
Sin Liong kini sudah bersikap hati-hati sekali, maklum akan kelihaian lawan.
Dengan gerakan Thai-kek Sin-kun dia dapat mempertahankan dirinya dengan baik,
bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan tamparan-
tamparan yang mengandung tenaga amat kuat karena dia telah membalas dengan
pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang didapatnya dari mendiang Kok Beng Lama.
Tenaga sin-kang dari Sin Liong memang kuat bukan main, karena dia telah menerima
pengoperan tenaga ini dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaganya sendiri yang
ditambah tenaga kakek sakti itu telah dimatangkannya pula ketika dia mempelajari
ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, maka pada saat ini tingkat kekuatan yang ada
pada diri pemuda ini setidaknya tidak kalah kuat dibandingkan dengan tenaga Kok
Beng Lama ketika masih hidup! Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila
Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dalam hal adu
tenaga, dia tidak mampu menandingi pemuda itu dan kedua tangannya selalu
terpental kalau bertemu depgan lengan pemuda itu.
Akan tetapi, di lain fihak, Sin Liong juga terkejut ketika tiap kali dia
berhasil menampar atau memukul, tamparan dan pukulannya yang mengenai sasaran
dengan tepat itu membalik seperti mengenai tubuh dari karet yang amat kuat.
Ternyata nenek itu memiliki kekebalan yang amat luar biasa! Setiap kali dipukul,
bukan hanya tangannya sendiri yang terpental, bahkan nenek itu masih terkekeh
mentertawakan dia! Sin Liong menjadi semakin marah dan penasaran. Dia harus
mengalahkan dan merobohkan nenek itu lebih dulu sebelum dia dapat mengharapkan
untuk menyelamatkan Bi Cu. Maka dia lalu mengeluarkan pekik yang dahsyat dan
tiba-tiba gerakannya berubah dan nenek itu terkejut sekali.
Hek-hiat Mo-li melihat betapa begitu mengeluarkan pekik dahsyat, pemuda itu
kelihatan penuh wibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata malaikat dan
tubuhnya tergetar dan nampak seolah-olah bertambah besar, kemudian gerakan
pemuda itu kelihatan aneh sekali. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan
gerakan yang aneh, kedua lengannya bergerak, yang kanan menghantam ke arah
langit dan yang kiri menghantam ke arah bumi! Itulah satu jurus dari Hok-mo Cap-
sha-ciang yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-cow!
Selagi Hek-hiat Mo-li terkejut dan heran, juga bingung menyaksikan serangan aneh
yang sama sekali tidak ditujukan kepadanya itu, tiba-tiba ada angin menyambar
dari depan, angin itu berpusing karena datang dari arah atas dan bawah, yang
diakibartkan oleh gerakan membalik dari kedua tangan pemuda itu dan dia merasa
seperti digulungkan oleh pusingan angin pukulan itu! Hek-hiat Mo-li terkejut
bukan main, cepat berusaha untuk meloncat mundur dan menangkis, namun dia tidak
mampu keluar dari pusingan angin itu dan biarpun dia berhasil menangkis kedua
tangan lawan, tetap saja tubuhnya terpental jauh! Bukan main kagetnya Hek-hiat
Mo-li. Biarpun tubuhnya kebal dan dia tidak terluka, namun karena terbanting dan
bergulingan, tubuhnya yang sudah tua itu terasa sakit-sakit dan pandang matanya
yang tinggal sebuah itupun berkunang, kepalanya agak pening! Tahulah dia bahwa
pemuda ini benar-benar luar biasa lihainya. Baru kurang lebih lima puluh jurus
saja dia sudah dibikin terguling-guling seperti itu. Dia tidak takut, akan
tetapi dia enggan untuk dijatuhbangunkan seperti itu, hal yang sungguh memalukan
bagi seorang tokoh yang tua dan berkedudukan tinggi seperti dia. Apalagi,
tugasnya memang hanya menguji, maka dia merasa sudah cukup dan berloncatanlah
nenek itu ke belakang lalu melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan Sin
Liong. SIN LIONG tidak mengejar. Memang nenek itu harus dibunuhnya untuk membalas
kematian kong-kongnya, akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah
menemukan kembali dan menolong Bi Cu sampai selamat. Barulah dia akan mencari
musuh-musuhnya kemudian. Musuh-musuhnya adalah Hek-hiat Mo-li yang harus
dibalasnya untuk kematian kong-kongnya, dan Kim Hong Liu-nio pembunuh dari ibu
kandungnya. Tapi, sekarang yang paling perlu adalah menolong Bi Cu.
Maka Sin Liong lalu melanjutkan perjalananya dengan secepatnya menuju ke Lembah
Naga. Kalau tidak ada halangan, dua hari lagi dia akan tiba di Lembah Naga. Maka
dia lalu melakukan perjalanan secepatnya dan biarpun dia tidak bernafsu, namun
dia memaksa diri untuk makan buah-buahan dan daging ayam hutan yang ditangkap
dan dipanggangnya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi lawan-lawan yang
tangguh dan bahwa dia membutuhkan banyak tenaga untuk menolong Bi Cu. Oleh
karena itu dia harus menjaga kesehatan tubuhnya den harus makan agar jangan
sampai tubuhnya lemas ketika dia membutuhkan tenaganya nanti.
Dua hari kemudian tibalah dia di perbatasan Lembah Naga. Dia tiba di luar Rawa
Bangkai yang kini telah berubah keadaannya. Melihat hutan-hutan dan bukit-bukit
di sekitar tempat itu, diam-diam Sin Liong merasa terharu. Inilah tempatnya! Di
sinilah dia terlahir den dibesarkan. Semua tempat itu, bahkan pohon-pohon besar
di sana itu, kelihatan amat indah dan amat dikenalnya, seperti sahabat-sahahat
lama yang kini mengelu-elukan kedatangannya kembali dengan melambai-lambaikan
ranting-ranting dan daun-daunnya yang tertiup angin. Teringat dia akan
gerombolan kera besar kecil yang dahulu menjadi sahabat-sahabatnya, bahkan
keluarganya karena dia adalah anak pungut seekor kera besar. Teringat semua itu,
naik sedu-sedan dari dadanya berhenti di tenggorokan, membuat dia memandang
termenung ke arah hutan-hutan, dan timbul hasratnya ingin memasuki hutan itu
untuk mencari sahabat-sahabatnya itu. Dia merasa betapa amat kerasan dia berada
di sekeliling tempat ini, seolah-olah seorang perantau yang telah lama pergi
kini kembali ke kampung halamannya, mengingatkan dia akan semua bayangan
kehidupannya di waktu dahulu.
Akan tetapi tiba-tiba bayangan Bi Cu membuyarkan semua itu. Keharuan dan
kegembiraan yang dirasakan tadi lenyap, terganti pula oleh kekhawatiran akan
keselamatan Bi Cu. Teringat akan ini, cepat dia berlari lagi ke depan memasuki
hutan kecil di luar Lembah Naga.
Akan tetapi, kembali dia harus berhenti dan memandang ke depan. Akan tetapi
sekali ini bukan berhenti untuk memandang penuh pesona kepada tempat yang amat
dikenalnya itu, melainkan untuk memandang dengan sinar mata mencorong dan berapi
kepada orang pemuda tampan dan mewah pakaiannya yang berdiri menghadangnya
sambil tersenyum manis itu. Ceng Han Houw!
Akan tetapi, Sin Liong tidak terpengaruh oleh senyum manis itu. Kemarahannya
sudah menyesak di dada dan begitu bertemu, dia lalu berkata dengan suara kaku
dan penuh kemarahan, "Houw-ko, kalau sekali ini engkau tidak membebaskan Bi Cu,
biarlah aku akan mati-matian mengadu nyawa denganmu!" Lalu dengan sikap
mengancam dia mendekati pangeran itu.
Han Houw tersenyum, senang hatinya mendengar betapa pemuda perkasa itu masih
menyebutnya Houw-ko! Dia tadi sudah mendengar pelaporan Hek-hiat Mo-li yang
mengatakan bahwa pemuda itu memang lihai dan patut menjadi pembantu utama sang
pangeran! Nenek itu tidak menceritakan betapa dia telah dibikin roboh terguling-
guling oleh pemuda itu. Bahkan ketika ditanya oleh sang pangeran bagaimana
pendapatnya tentang tingkat kepandaiannya dan tingkat kepandaian Sin Liong, Hek-
hiat Mo-li menjawab bahwa sang pangeran masih lebih unggul, sungguhpun tidak
banyak selisihnya! Berita ini membuat Han Houw girang sekali dan makin besar
keinginan untuk dapat menarik Sin Liong sebagai sekutu dan pembantunya. Maka,
cepat dia menyambut dan makin gembiralah hatinya mendengar betapa Sin Liong,
dalam kemarahannya, masih menyebutnya Houw-ko, tanda bahwa pemuda itu masih
tidak melupakannya bahwa mereka berdua pernah mengangkat saudara.
Ceng Han Houw membelalakkan kedua matanya dan memperlihatkan sikap terheran-
heran, lalu mendekati dan membuka kedua lengannya sambil berkata, "Aih-aih...!
Mengapa engkau menduga-duga yang demikian buruknya terhadap diriku, Liong-te"
Kita adalah kakak beradik angkat, sudah seperti kakak dan adik kandung saja dan
kita sudah banyak saling bantu, mana mungkin aku ingin menyusahkanmu?"
Sin Liong teringat akan peristiwa ketika dia dan Bi Cu terjatuh ke dalam jurang,
maka dia berkata dengan suara dingin, "Hemm, tidak perlu membujuk lagi,
pangeran! Engkau tidak hanya menyusahkan aku berkali-kali, akan tetapi bahkan
nyaris membunuhku baru-baru ini. Aku datang bukan untuk mendengarkan omongan
manis, bujukan palsu, melainkan untuk menuntut agar engkau membebaskan Bi Cu."
Kembali terdengar ancaman dalam suara ini dan kini Sin Liong tidak lagi menyebut
Houw-ko, melainkan pangeran, karena hatinya sudah panas dan marah sekali.
Pangeran Ceng Han Houw tersenyum, "Ah, engkau salah mengerti, Sin Liong.
Peristiwa yang lalu terjadi karena salah pengertian. Engkau begitu keras hati.
Akan tetapi kalau menganggap aku bersalah, biarlah aku minta maaf. Tahukah
engkau betapa aku menangisimu ketika engkau terjun ke dalam jurang itu" Dan aku
sengaja menyuruh bekas suci dan suboku untuk mencarimu sampai dapat! Kemudian,
untuk menebus semua kesalah-fahaman itu..."
"Engkau menyuruh culik Bi Cu dan memancingku datang ke sini!" Sin Liong berseru
dengan penuh kemarahan. Ceng Han Houw mengangkat kedua tangannya ke atas. "Tenang dan sabarlah, Liong-
te. Aku bersumpah. Bi Cu dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, dia menjadi
tamuku yang terhormat. Dengarlah baik-baik lebih dulu. Memang aku menyuruh suci
untuk membawa nona Bi Cu ke sini, memang dengan maksud agar engkau menyusul ke
sini. Akan tetapi bukan dengan maksud buruk, sama sekali tidak, Liong-te.
Melainkan karena aku membutuhkan bantuanmu dan tidak ada jalan lain untuk
membujukmu..." "Hemm, engkau memang curang. Selalu mempergunakan sandera untuk memaksaku. Akan
tetapi sekali ini, jangan harap engkau dapat memaksaku melakukan sesuatu, Houw-
ko. Bukan engkau lagi yang mengajukan syarat, melainkan aku! Syaratku,
bebaskanlah Bi Cu baik-baik dan biarkan kami pergi, kalau tidak, aku akan
mengadu nyawa untuk menyelamatkannya, dengan taruhan selembar nyawaku!"
"Ahh, engkau memang gagah perkasa sekali, Liong-te. Dan aku tahu, aku sudah
mendengar dari nona Bhe Bi Cu betapa engkau dan dia sudah saling jatuh cinta.
Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Akan tetapi aku sekarang bukanlah
Pangeran Ceng Han Houw yang kemarin-kemarin, Liong-te. Aku telah mengambil
keputusan untuk menentang kaisar yang lalim, dan aku telah menjadi kakak iparmu
sendiri!" "Apa..." Apa maksudmu...?" Sin Liong tentu saja terkejut sekali dan merasa heran
mendengar ucapan itu. Dia memandang tajam penuh selidik karena hatinya bertanya-
tanya permainan apalagi yang dilakukan oleh pangeran yang curang dan licik ini.
Ceng Han Houw tertawa. "Adikku, engkau bukan hanya adik angkatku, akan tetapi
juga adik iparku. Ketahuilah bahwa aku telah menjadi cucu mantu dari mendiang
kong-kongmu, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."
"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong sama sekali tidak percaya dan menganggap
pangeran ini hendak menipu dan membohonginya.
"Tentu engkau tidak percaya, akan tetapi sebentar lagi engkau akan bertemu
sendiri dengan piauw-cimu itu. Dengar baik-baik, Sin Liong, aku sekarang telah
menjadi suami dari Lie Ciauw Si. Engkau tentu mengenal nama itu, bukan?"
Diam-diam Sin Liong terkejut bukan main, dan teringatlah dia akan pertemuan
antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si ketika dia sedang mengantar pangeran itu
untuk mencari Ouwyang Bu Sek. Ketika itu, Sin Liong dan pangeran itu melihat Lie
Ciauw Si yang membela ketua-ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang dihajar oleh
dua orang bengcu, yaitu dua orang dari Lam-hai Sam-lo. Ketika itupun dia melihat
hubungan antara kedua orang itu akrab sekali, akan tetapi sungguh tak pernah
disangkanya bahwa mereka akhirnya menjadi suami isteri! Dia tahu siapa Lie Ciauw
Si. Ketika dia ikut kong-kongnya di Cin-ling-san, dia sudah mendengar tentang
keluarga Cin-ling-san itu, atau yang sesungguhnya adalah keluarganya. Kakeknya,
mendiang Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Cia
Giok Keng yang sudah janda dan kini menjadi isteri pendekar sakti Yap Kun Liong.
Dari suaminya yang pertama, she Lie, Cia Giok Keng mempunyai dua orang anak,
yaitu Lie Seng dan Lie Ciauw Si. Sedangkan putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua
adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya sendiri! Memang benarlah bahwa Lie
Ciauw Si itu masih piauw-cinya sendiri, dan kalau kini piauw-cinya itu menikah
dengan pangeran ini, maka hal itu berarti bahwa pangeran ini bukan hanya kakak
angkatnya, melainkan juga kakak iparnya sendiri! Betapapun juga, dia masih belum
mau percaya. Bukankah pangeran ini selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai"
Bagaimana mungkin menjadi suami piauw-cinya" Andaikata benar demikian, tentu
pangeran ini menggunakan akal dan kelicikannya untuk menipu piauw-cinya itu!
Melihat Sin Liong mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian memandang
kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat menduga apa yang
diragukan oleh adik angkatnya itu, maka dia lalu berkata, "Liong-te, engkau
tidak tahu apa yang telah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada diriku dan
kehidupanku. Ketika aku dan Si-moi saling jumpa, seperti engkau juga mengetahui,
yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling jatuh cinta. Semenjak itu,
aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkaupun tahu bahwa yang memusuhi
keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo dan suciku, sedangkan aku
sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai. Ketika aku jatuh cinta
kepada Si-moi, maka aku lalu mengusahakan kebebasan keluarga itu dari tuduhan
pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku itulah, maka kaisar menaruh
curiga dan benci kepadaku, apalagi karena hasutan Pangeran Hun Chih yang ingin
mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi oleh kaisar yang lalim. Oleh
karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja setelah aku menikah dengan
Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar lalim!"
"Hemm, memberontak?" Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pangeran
itu. "Ah, engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman,
Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, melainkan hendak
menentang kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena
isteriku, Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan membantuku, dan demikian pula
Pendekar Pemanah Rajawali 37 Setan Harpa Karya Khu Lung Tongkat Rantai Kumala 3
^