Pendekar Lembah Naga 5
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
dengan kecepatan yang lebih dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan
ilmu golok simpanannya yang biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan
tangguh. "Sute, itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal
itu. Akan tetapi ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi
hati-hati terhadap tangan kirinya!" kembali wanita itu berseru dan makin
marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak aseli,
kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja
dan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara berdesing-desing
dan bersuitan ketika dia menyerang dengan dahsyat.
Anak itu ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan kedua
kakinya digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan
cara yang aneh, dan semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong.
Kalau Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenai tubuh lawan,
ternyata kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah
mengelak dengan cepat dan tak terduga-duga. Anak itu lebih mengandalkan gerak
kakinya menghindarkan semua serangan-serangan daripada menangkis, sungguhpun
kadang-kadang dia menangkis juga dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang
sedang berlatih, melatih kelincahan atau melatih langkah-langkah kakinya
menghadapi hujan serangan golok itu. Kui Lok yang memainkan goloknya sampai
menjadi makin heran dan penasaran karena telah tiga puluh jurus dia menyerang,
sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh lawan, bahkan mencium ujung
bajunya belum pernah! Sementara itu, tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak
menuntut balas atas kematian sute mereka she Yap, kini telah mencabut pedang
mereka dan menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar
merah dan teguran suara halus wanita itu, "Jangan kalian berani mengganggu sute
yang sedang berlatih!" Sinar merah itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga
orang pemegang pedang itu. Mereka terkejut sekali melihat sinar yang panjang
seperti seekor naga itu, dan cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok
putus sinar yang ternyata adalah sehelai sabuk merah itu.
"Wuut-wuut-wuuttt...!" Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar
merah itu melibat tiga batang pedang.
"Ouhhhh...!" Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka
terlibat sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu
menyendal dan tiga batang pedang itu sudah terampas biarpun mereka tadi sudah
mengerahkan tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga
batang pedang mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga
pedang itu beterbangan di atas kepala wanita itu.
"Terimalah!" Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan,
tiga batang pedang yang tadi terbelit sabuk itu meluncur ke depan, menuju ke
arah pemiliknya masing-masing!
Tiga orang itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi
lontaran pedang dan belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan pedang-pedang
itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada yang tertembus
perutnya. Mereka roboh berkelojotan dan tewas!
Wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi sebelum mereka roboh,
kini sudah memperhatikan lagi sutenya yang "berlatih" di bawah hujan sinar
golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Biarpun ilmu atau jurus Ngo-houw-
toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak aseli, namun karena sudah sering
dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai. Setiap serangan yang
luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung
tikaman, bacokan disambung bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak
itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh
wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok.
Wanita itu tadi memperingatkan sutenya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si
pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui
Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena
peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan
tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu!
"Sute, sekarang latih serangan pedangmu!" tiba-tiba wanita yang sejak tadi
memperhatikan jalannya pertandingan itu berseru.
Anak itu tidak menjawab, melainkan mengubah gerakannya dan kini pedangnya
mengeluarkan suara berdengung yang naik turun nadanya, seperti orang
bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di
dekat lehernya. "Tranggg...!" Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu
telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu
membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik
sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu
Golok Bergulingan). Tubuhnya berguling dan dari gulingan itu goloknya menyambar,
membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri
dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas
menyerang! Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk
dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya
dingin, cepat dia meloncat dan menyapok ke belakang. Akan tetapi, anak itu
menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung
lawan! Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan cepat dia meloncat ke belakang
sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya
menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini dan telinganya terus mendengar bunyi
pedang bersenandung dan nampak sinar pedang putih bergulung-gulung dengan ujung
pedang secara aneh dan tiba-tiba berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel
tinggal menusuk saja! Twa-sin-to Kui Liok maklum bahkan biarpun yang dihadapinya itu masih kanak-
kanak, namun ternyata telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia
cepat menangkis pedang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sin-kang
menyedot sehingga pedang dan golok melekat. Saat itu dipergunakannya untuk
menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka dan menghantam ke
arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun
yang telah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak
dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu.
"Awas, sute!" Wanita itu memperingatkan, akan tetapi anak itu agaknya memang
sejak tadi tidak pernah melupakan peringatan sucinya. Melihat sinar merah dari
telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan
nyaring. "Huiiiihhh!" Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-
sin-to Kui Liok. "Aughhh...!" Tubuh yang pendek gemuk itu terjengkang, matanya terbelalak, di
tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan
tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak
itu. "Desss...!" Wanita itu mendorong dari samping dan biarpun tangannya tidak sampai
menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu
terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu
dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika!
Anak itu menyimpan kembali pedangnya dan memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit
peluh di dahinya dan sucinya cepat menghampiri dan menyusut peluh itu dengan
saputangannya yang halus dan berbau harum.
"Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau
menyerangnya dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasaran kurang tepat. Kalau
sasaranmu kautujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan
Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tidak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih
tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain
kali engkau lebih cermat lagi."
Anak itu mengangguk. "Suci memang benar, dan akupun tadi sudah berpikir
demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang
keningnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sin-kang yang belum
kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus
tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali."
"Ah, engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh
mencoba!" Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan tiba-
tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak itu.
Anak itu tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan "Huuihhh...!" seperti
tadi. Sinar putih menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh
kembali. Anak itu membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia
tersenyum. "Engkau benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!"
"Nah, engkau harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan
kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apabila
engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali
kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa
perhitungan. Sekarang, cabutlah pedangmu. Aku melihat ada beberapa gerakan inti
yang kurang tepat tadi, maka sebaiknya kauperhatikan seranganku dan lawanlah
dengan pedangmu sebaik mungkin!" Tanpa memberi kesempatan sutenya menjawab,
wanita itu telah menggerakkan sabuknya.
"Wirrr... suitttt...!" Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik
ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sutenya.
"Wessss...!" Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan
niat untuk membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke
atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan
itu dengan cepat sekali. Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau dan terpaksa
memejamkan matanya yang menjadi berair karena kecepatan gerakan sinar-sinar
bergulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang
itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya.
Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan
angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan dia melihat ujung semak-semak
itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam!
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih
dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak
bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring
seorang pria, "Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang,
mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!"
Wanita itu mencibirkan bibir dan mendengus, "Merangkaklah ke sini!" katanya
dengan nada merendahkan. Nampak bayangan berkelebat cepat dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun
tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau
terbuat daripada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar,
bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya.
Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah
mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga
setelah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang
membawa bungkusan, lalu bertanya, "Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh
apalagi?" Orang itu menjura dengan hormat, "Hanya menyampaikan undangan ini lalu
diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama."
"Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah
pergi!" bentaknya. Orang itu lalu melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu
cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi ia didahului oleh
sucinya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya.
"Eh" Kenapa, suci?" tanya anak itu, heran sekali melihat sucinya berbuat seperti
itu. "Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute."
"Ah, keparat!" Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah
batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan
kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi
itu. "Sute, jangan...!" Wanita itu sempat menepuk lengan sutenya sehinggi lontaran
itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi dan
jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah.
Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu
sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi
melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari
tempat itu. "Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?"
"Dia hanya utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh
membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini,
melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu sudah mengirim undangan,
agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai di mana
kelihaiannya!" Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar.
"Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur
lima langkah dari sini."
Biarpun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat
dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh
itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh membuat dia makin ketakutan.
Wanita cantik itu memandang kepada kedua telapak tangannya yang telah terbungkus
sarung tangan, lalu tersenyum mengejek, "Kau lihat, sute." Dia menggunakan kedua
tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika
menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! "Racun yang dioleskan di bungkusan
ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat."
Kemudian, dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata
isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja
Siong Bu menjerit kalau dia tidak cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu
muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu!
"Capppp!" Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari
tengah wanita itu bagian kiri telah menangkap leher ular dan sekali mengerahkan
tenaga, leher ular itu putus!
"Hemm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang Jeng-hwa-pang!" Wanita itu
mengejek dan dia menarik keluar sebuah doos yang lebih tebal kecil dari dalam
doos besar itu. Doos inipun tertutup.
"Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!" Anak itu berseru, tadi kaget
menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah seperti itu
amat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja.
Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri,
lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya.
Nampak asap mengepul tiba-tiba dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis.
Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat
terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum menyambar ke empat penjuru
dan wanita yang sedang meloncat itupun terserang sambaran paku dan jarum. Akan
tetapi, dengan cekatan kedua tangannya menyampok dan menangkap dan ketika dia
meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat
ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan
sehelai kertas yang sebagian hangus.
Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang
beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil
kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ.
JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU-NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN.
Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu
meremasnya hancur dan biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sutenya telah
mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang
mengeluarkan sinar kehijauan itu.
"Sungguh berbahaya..." katanya ngeri.
"Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka main racun. Akan
tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga
aku menggunakan sarung tangan. Betapapun kebal tangan kita, kalau terkena racun
yang berada di kertas pembungkus, atau tergigit oleh ular merah tadi, apalagi
racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada puku dan jarum ini
lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi
keistimewaan mereka sehingga nama perkumpulan merekapun memakai nama Jeng-hwa-
pang (Perkumpulan Bunga Hijau)."
"Siapakah mereka itu, suci?"
Wanita itu menarik napas panjang. "Menurut penuturan subo, pendirinya adalah
mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan
selain tinggi ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu telah
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli
dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar."
"Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci?"
Wanita itu melepaskan sarung tangannya yang melindunginya dari racun tadi.
Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit
tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh
sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan
itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung
tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata, "Seperti juga halnya lima orang tolol
ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini."
Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia
tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar
subo mereka dan sucinya telah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua
orang yang bershe Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka
menurunkan seluruh kepandaiannya kepada sucinya ini sehingga sucinya menjadi
seorang wanita yang bukan main saktinya.
"Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?"
"Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang
she Tio telah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku," jawab sucinya
dengan sikap tak perduli.
Anak laki-laki itu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa sucinya
menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat
guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa sucinya
telah membunuh lima orang. Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka
yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib
ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan
kanan untuk she Yap, sedangkan papan bagian bawah untuk orang-orang she lain
yang membela tiga she itu dan terlibat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat
betapa yang banyak sekali coretannya justeru papan bawah di bagian she Tio lebih
banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di baglan papan atas,
untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja.
Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan
pribadi subonya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh sucinya,
karena subonya kini telah menjadi pikun dan lemah. "Suci, sudah berapa lamakah
suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she
itu?" "Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang."
"Dan sampai kapan berakhirnya" Apakah selama hidupmu suci akan terus mencari
orang-orang dari tiga she itu untuk dibunuh?" Anak itu merasa betapa tugas ini
benar-benar gila! Wanita itu menggeleng kepala. "Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh
yang sesungguhnya dari subo telah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw,
Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukan orang-orang lemah, melainkan pendekar-
pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak
akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang
aku mengantarmu ke kota raja sambil bendak menyelidiki mereka, sute."
"Aku akan membantumu, suci."
Sucinya menggeleng kepala. "Engkau baik sekali, sute, dan biarpun usiamu baru
empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka
itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka ketika
menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang
diciptakan oleh subo, istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak
takut." Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di
seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat
menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan
roda kereta, dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah,
ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang
penunggang kuda, semuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai
perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer
kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke
atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata, "Kalian
antar kami sampai perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita
singgah dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan penghuninya."
Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama
sutenya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas
orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi.
Setelah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya
berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke
rumah pamannya! Dan dia, teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di
dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan
teringat dia betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia,
bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw
ini merupakan musuh utama dari wanita tadi" Siong Bu lalu menyelinap di antara
semak-semak, menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Siapakah wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu" Pernah
diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika
diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi
dan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara
mengerikan dia telah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she
Tio, Yap, dan Cia. Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang
mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan.
Sekarang dia masih nampak cantik sekali, biarpun usianya sudah kurang lebih tiga
puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, seperti seorang puteri raja
saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu
membuat dia nampak manis sekali.
Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini" Melihat wajahnya dan suaranya ketika
bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi
mengapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang
oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita
Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu ketika pasukan Raja
Sabutai menyerbu ke selatan (baca cerita Dewi Maut). Karena Raja Sabutai
tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun,
maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para
perajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang.
Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia
cerdik, setia, dan cekatan, akhirnya sang permaisuri suka kepadanya dan
diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta
itu. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua
orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang
sukar dicari bandingannya pada waktu itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-
ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari
Negara Sailan. Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat
Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Raja Sabutai mengandalkan
kekuasaannya, berhasil menyelamatkan subonya itu dari kematian dan membawa
subonya itu untuk dirawat, meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek
dan nenek iblis itu tinggal.
Karena Hek-hiat Mo-li telah tua, pikun, berwatak aneh, suka marah dan mudah
membunuh orang begitu saja, maka sukarlah untuk merawat dan melayaninya. Akan
tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik
sehingga amat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang
ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan
main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari
jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi
dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan
besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi daripada dayang-dayang
istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis
itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang
amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin
berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di
istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan
dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan mampu melayaninya,
dia lalu "memperlihatkan" kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan
dia berhasil! Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan
untuk membikin senang hati nenek itu dan sri baginda, akan tetapi juga
kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li
adalah seorang nenek luar biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa!
Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya
ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, sungguhpun memang dia ingin
sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apabila
dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri
Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya, dari
seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!
Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah
seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat dayang yang merawatnya penuh
ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga
dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan
oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu.
Nenek pikun ini mulailah mengajaknya bercakap-cakap, bahkan menceritakan tentang
sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua
sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas,
karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang
tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim
Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-
musuhnya! "Kau..." Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Orang macam engkau mana mampu mewakili aku untuk
membunuh mereka?" Nenek itu mentertawakan.
Kim Hong Liu-nio menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mendidik saya dan
menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sukarnya bagi saya untuk
membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati
tenang?" Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak
kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu
silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali ketika mendapatkan
kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!
"Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!"
akhirnya dia berkata. Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia
menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li
terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih
perawan?" Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan
juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia
mengangguk. "Bagus! Aku telah menciptakan beberapa ilmu yang hanya dapat dipelajari dengan
sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang engkau harus bersumpah
bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, dan Cia yang
kautemukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap keturunan
tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku, yaitu
Yap In Hong dan kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo
bersumpahlah...!" Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio lalu bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu.
Kemudian tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu
menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali,
dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya
terluka. "Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil di situ,
dan itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi
bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, engkau tidak
boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan
keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itupun akan lenyap dan aku akan
membunuhmu!" Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang
amat sakti luar biasa dan keji. Dengan suara tenang dia lalu mengucapkan
sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang
musuh besar dari gurunya.
Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hi-hik, sekarang
kau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan
diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suhengmu ke sini."
"Su... suheng...?"
"Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suhengmu?" bentak nenek itu. "Hayo
lekas minta supaya datang ke sini, sekarang juga."
Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah
suhengnya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja
Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba
di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.
"Eh, Kim Hong, mengapa engkau menringgalkan subo dan datang menghadap tanpa
diundang?" sri baginda berkata dengan halus.
"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... lo-thai-thai (nyonya
tua) untuk minta paduka suka datang kepadanya beliau sekarang juga..." Tentu
saja dia tidak berani lancang menyebut "subo" kepada nenek itu.
Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka diapun bergegas pergi
bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subonya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-
li lalu berkata, "Eh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."
"Sumoi...?" "Heh-heh, dia itulah sumoimu!"
"Kim Hong...?" Sabutai terbelalak.
Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau raja marah
dan merasa terhina, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan tanpa
berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun kepada
hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."
"Ih, kau menyebut nyonya tua kepadaku" Murid apa kau ini?" Tiba-tiba nenek itu
membentak. Kim Hong Liu-nio terkejut dan melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita
tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri
untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba
menjadi murid..." Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid
subo" Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?"
"HUUH-HUH-HE-HEH! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya
sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik! Dan pula dia sudah
bersumpah akan membunuh tiga empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda
saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu,
sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ
sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil
membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda
mengawasinya. Kalau musuh-musuh belum mati dan tahi lalat itu lenyap, berarti
dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!"
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah,
memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua mana bisa
mengawasi dia terus" Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak
akan ada orang lain yang tahu. Siapa kira, nenek iblis itu kini membuka rahasia
ini kepada Raja Sabutai, bahkan memesan kepada raja itu untuk mewakilinya
menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.
Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan
ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja,
dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di
tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih. Akan tetapi,
semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa
dayang ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan kepandaian
yang amat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang
memperlakukannya sebagai seorang dayang.
Apalagi setelah putera dari Raja Sabutai, mulai dilatih ilmu silat, maka
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk
mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw,
putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari
Khamila, ibu kandung anak itu, sedangkan nama pemberian ayahnya adalah Pangeran
Oguthai! Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya" Hal ini
ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Kharmila dan suaminya
sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan
peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan
isterinya yang tercinta, yang masih amat muda dan cantik jelita, belum mempunyai
keturunan. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru
berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang
pembesar. Di waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi
tawanan raja liar, yaitu Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara.
Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini
amat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh
oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke
selatan. Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya
yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena
sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta inipun belum pernah ada
selirnya yang memperoleh keturunan, maka dia dapat menduga bahwa dialah yang
tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal
dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini. Ketika dia
kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya
yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar
dapat meninggalkan keturunan dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak
akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan malu mempunyai anak yang
sebetulnya mempunyai darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan
kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai raja
liar. Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Sang Permaisuri
Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu.
Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih
sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua
orang muda itu saling jatuh cinta! Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh
Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak
laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah dapat
lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.
Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas dalam
cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai
alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja
Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang
pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis
Khan yang termashur itu. Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak
itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung
yang sesungguhnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah
nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas
kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itupun sang permaiskiri
itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.
Biarpun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan,
maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu meniadi seorang gagah
perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau
Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subonya untuk digembleng,
dan dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan sucinya, Kim Hong Liu-nio
yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini.
Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan
lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini
telah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa
yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong
Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian
Raja Sabutai sendiri! Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta
itu dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-
hiat Mo-li bagi muridnya ini untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang
bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tidak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi
melatih diri. Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke
Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, Khamila diam-diam memanggil Kim Hong Liu-
nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan
permaisuri itu menghadap. Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan
berkatat "Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau telah tahu akan
rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku?" Permaisuri yang
masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh
selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda daripada
wajah sang permaisuri, sungguhpun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah
tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih
sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mujijat
yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak
tua! Kim Hong Liu-nio yang dulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang
itu kini menjadi seorang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi
terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab.
"Hamba ada mendengar sedikit tentang hubungan sang pangeran dengan Kaisar
Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih
banyak?" Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah seorang
yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri
baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh
karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw
adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."
Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan kaget mendengar ini, karena memang
dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut
"sute" kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han
sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han dan
pandai membaca dan menulis pula!
"Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka. Apakah
maksud paduka dengan membuka rahasia ini" Perintah apakah yang hendak paduka
berikan kepada hamba?"
"Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?"
"Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?"
"Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?"
"Hamba disuruh menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu
setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah
Naga akan dipakai oleh sri baginda."
"Ehh" Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?"
"Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri
baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam
undargan itu nanti setelah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang
paling pandai di antara mereka, yaitu yang dapat mengalahkan hamba, untuk
selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."
"Ihhh... Apa perlunya itu" Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah hebat,
dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku
maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan
itu?" "Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan
hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata Kim
Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang
selama ini mendidik Han Houw.
"Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengar, Kim Hong, aku
mempunyai urusan vang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan
perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya
setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?"
"Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba akan melaksanakan segala perintah
paduka dengan taruhan nyawa hamba."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, setelah engkau mengunjungi
Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kauajak serta, kauantarkanlah
anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."
"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali
tidak disangkanya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya.
"Hamba... hamba... mendengarkan..." katanya.
"Aku mendengar bahwa waktu ini, kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa
tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau
puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia
menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan
kaisar, Kim Hong." "Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tidak akan mudah untuk
dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ah,
rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal
seperti itu?" Permaisuri Khamila tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau
bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan
dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."
Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita
ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras
mengatakan, "Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah
sumoiku sendiri, bahkan Oguthai adalah sutemu juga. Maka, engkaulah yang
bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"
"Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Nyawa hamba yang menjadi
tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh
dengan kebanggaan. Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw
menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dikawal oleh tujuh belas orang
pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala
keperluan sang pangeran. Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu
dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang
sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio
mengajak sutenya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin "melatih" sutenya
itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan
seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat
mereka tewaskan dan setelah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang
mengirim surat beracun yang berbahaya itu.
Seperti tidak pernah terjadi sesuatu kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw
telah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini
menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan
memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya
dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan
yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.
*** "Sin Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa
sebatang cambuk rotan yang sudah dipersiapkannya untuk menghajar anak itu.
Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak
mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.
"Sin Liong, di mana kau" Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak.
Tiba-tiba terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan
dekat kandang itu. "Gi-hu memanggil saya" Saya berada di sini..."
Hok Boan lari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia
melihat Sin Liong duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau, anak jahat
dan kurang ajar!" Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon dan berdiri di
depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkat
ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong
Bu pagi tadi. "Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan
dan laranganku dahulu itu" Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa
yang kauandalkan" Hayo siapa?"" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada
isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi
karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu
kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan
ibu angkatnya! Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini
amat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja kalau
dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini
dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.
"Kau tidak lekas berlutut minta ampun?" kembali Hok Boan menghardik, makin marah
melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik
ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi.
Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa" Dalam urusan
antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong
Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu
menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak
berlutut, apalagi minta ampun.
"Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak dan dia
mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan
mendorong-dorong sehingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan ketika dia mendorong
melangkahi anak tangga, dia terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun
dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, dan Beng Sin
memandang dengan mata terbelalak!
Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajar di
rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga agar
dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-
benar. "Di mana Siong Bu?" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan
suara membentak. "Suruh dia ke sini!"
"Dia tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.
"Dia tadi lari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan mata
terbelalak ketakutan. Mendengar ini, makin kasihanlah rasa hati Hok Boan kepada Siong Bu, dan makin
marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo kau berlutut dan minta ampun!"
bentaknya dan cambuk rotan di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengar
bunyi cambuk menyambar lalu menimpa punggung Sin Liong, nyaring sekali suaranya,
bertubi-tubi. "Hayo berlutut!" bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap
jendela, kedua tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya
sendiri untuk mencegah dia menangis.
"Tar-tar-tar-tar!" Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin
Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras karena rasa nyeri
menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak
mengeluh, apalagi berlutut minta ampun!
"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!" Hok Boan menjadi makin marah menyaksikan kebandelan
ini, merasa seolah-olah dia ditantang!
Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka.
"Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak.
"Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata
dan anak perempuan ini sudah menangis.
Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali
kepada Sin Liong, apalagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu
agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin
Liong. Dia melihat warna merah dari balik baju Sin Liong, tanda bahwa kulit
punggung itu tentu sudah pecah-pecah berdarah!
"Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak
bersalah... paman ampunkanlah dia..." anak gendut itupun minta ampun sambil
berlutut. Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, melainkan karena dibakar oleh
kemarahannya sendiri. Dia tadi tidak mendengar suara kedua orang anak perempuan
itu, akan tetapi ketika Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan
ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah
tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong" Dia
tertegung terheran dan agak bingung.
"Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!"
Hok Boan terkejut, juga tiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main
lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah,
wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak
memperdulikan segala yang terjadi, juga tidak memperdulikan apakah dia akan
dicambuki lagi ataukah tidak.
"Siong Bu! Ada apa...?" Hok Boan bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang
anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.
"Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau
membunuh orang... mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong Bu
berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.
Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya
itu kelihatan begini ketakutan. Tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih
tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap
begini penakut! "Bicaralah yang jelas!" bentaknya dan kini dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan
dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah terjadi?"
Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang
terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan
anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya
karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu
berkata, "Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, sakti
dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka
membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang amat indah,
dikawal oleh belasan orang perajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu
menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam
seperti iblis..." Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita
utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia
merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya,
"Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?"
"Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau
membunuh semua orang dengan tiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang
ke Lembah Naga ini...!"
Kini yakinlah Hok Boan bahwa memang benar wanita lihai utusan Raja Sabutai
itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa
khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengeriannya
membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut.
"Mengapa engkau ketakutan seperti itu" Wanita itu bukanlah musuh kita, dia
mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan" Di
sini tidak ada seorangpun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Jangan kau
mudah sekali ketakutan, Siong Bu..."
"Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?"
Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan telunjuknya kepada Sin
Liong yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu...?" bentaknya.
"Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."
Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia...?"
Hok Boan cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita
itu yang segera dikenalnya. Biarpun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi
seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan
pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada
wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan
agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat
hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia
seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu
uslanya kini sudah bertambah sebelas tahun!
Cepat! Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum
dan berkata lembut, "Aih, kitanya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami.
Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan
baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"
Akan tetapi, wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat
menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke
sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, sejenak menatap wajah Sin Liong
karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.
"Siapakah yang she Cia?" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang
singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali
karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!
Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong.
Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, hal ini sungguh
amat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia
tidak bisa menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena
sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya.
Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa
isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Biarpun dia agak membenci Sin Liong
karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel,
akan tetapi dia tidak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang
begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan
memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.
"Tidak... tidak ada yang she Cia..." kata Hok Boan sambil menggelengkan
kepalanya. "Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?" Tiba-tiba wanita itu suaranya
dingin, amat menyeramkan.
"Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?"
"Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo
mengaku, siapa she Cia di antara kalian?"
Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang
terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah
she Cia. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak
mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu. Bukankah wanita ini yang tadi
diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan
Cia" Kenapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh
oleh wanita itu" Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali
tidak membuka mulut! "Hayo katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!" Wanita
itu kembali melayangkan pandang matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai
kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang
berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian. Kim Hong Liu-nio
merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas
melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal
anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki dan sedikitpun anak itu
tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa punggungnya
pecah-pecah kulitnya dan berdarah! Lalu dia menoleh kepada Siong Bu yang
tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan
dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio mendapatkah akal.
"Hayo katakan, kalau tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil
menghampiri Siong Bu. Anak laki-laki yang tadinya memang sudah merasa ngeri dan
ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini menggigil kedua
kakinya den mukanya menjadi pucat sekali.
"Bukankah engkau tadi yang bilang tentang orang she Cia" Hayo katakan, di mana
dia, kalau tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Berkata demikian, Kim Hong
Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu. Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-
geleng kepala tak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin
heran den juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat terhadap
dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa sekarang, biarpun
diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-
nya kepada wanita iblis itu" Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga
terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat!
"Harap jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba Hok Boan berseru dan melangkah maju
menghampiri wanita itu. Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan,
tersenyum dan mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau berani
menentangku, ya" Kaukira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga kalau aku
menghendaki" Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?"
"Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak
mempunyai hubungan dengan musuh-musuhmu..."
"Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?"
Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan
biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya
sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biarpun dia tahu bahwa wanita ini amat
lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena
dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu,
mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.
"Apa yang akan dilakukan orang kalau keluarganya diganggu" Tentu saja dia akan
melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat
sedikit. "Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kauwarisi dari Go-bi-pai
itu amat lihai. Nah, coba kauhadapi seranganku, apakah engkau dapat bertahan
sampai sepuluh jurus?"
"Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan
saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."
"Cukup! Kau lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku
sampai sepuluh jurus!"
Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu
merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu
bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai daripada pamannya, maka
kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita
iblis ini, agaknya tidak akan kalah.
"Ke mana kau?" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu
dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang
seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu. Melihat ini,
terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya
kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka
apapun. "Kouwnio, engkau terlalu mendesak orang!" Hok Boan berseru marah melihat
keponakannya, yang sebetulnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka
dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu.
"Hemm, ini adalah Hek-wan-hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai,
bukan" Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." Kim Hong Liu-nio berkata
sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu. Hok Boan terkejut karena
baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya, akan
tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak
perduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan
lihai sekali, diapun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh.
"Ehh" Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi)
untuk membunuh aku" Hemm, kau harus dihajar!"
Memang Hok Boan telah menggunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk
menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya telah mengenal
ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah
pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu
bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya,
dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya
dari samping. "Plakk!" "Aughh...!" Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah
segar! "Berani kau melukai suamiku?" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru
saja datang. Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih
mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong
tentu akan dihajar, akan tetapi diapun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya
hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan
bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam
kamarnya. Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin,
dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jerit dua orang
anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat
Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi.
Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut
dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak
berubah semenjak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan
tetapi ketika dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah
sekali. Tidak perduli wanita itu utusan Raja Sabutai, kalau kini mengganggu
keluarganya, harus dilawannya. Maka dia sudah membentak marah dan menerjang
wanita itu dengan pedangnya!
Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu dia adalah seorang ahli menggunakan
siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung,
dia hanya mempergunakan pedang tunggal, akan tetapi dengan menguasai Ilmu Im-
yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat.
Apalagi karena Si Kwi terkenal dengan gin-kangnya sehingga dahulu dia pernah
mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang amat cepat
seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian merah. Maka kini
serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali.
Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan
mulutnya berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kaupergunakan?"
Dengan amat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang dan
gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar
lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi.
"Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?"
Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya,
melainkan mengangkat sedikit tangan kirinya.
"Cringgg...!" Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Pedangnya hampir saja
terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan
kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil belasan buah banyaknya. Gelang-gelang
kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan
main! Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak
lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan diapun menghentikan serangannya.
"Kenapa kau menyerang suamiku?" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah
berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja
Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia
akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya.
"Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu kami
sekeluarga yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan
berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tidak akan mampu
menghadapi wanita ini. Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan
membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Maka lebih
baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah.
Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar
matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan
satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia?"
Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini.
"Orang she... Cia..." Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio?" tanyanya
dengan wajah berubah pucat.
Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik,
sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu.
"Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini?" tanyanya, suaranya penuh
ancaman. Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut nyonya buntung.
Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang
sehingga dia tidak memperdulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini tidak ada
yang she Cia!" jawabnya tegas.
Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik
itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang
menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah
orang she Cia di sini?"
Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!"
jawabnya dengan suara tegas pula.
Juga kepada laki-laki ini, Kim Hong Liu-nio memandang dengan tajam. Kemudian dia
menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak. "Adik manis,
siapakah orang she Cia di sini?"
Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu...
tidak ada she Cia..."
Kim Hong Liu-nio berpaling kepada Lin Lin, yang menundukkan muka. "Dan kau, nona
cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?"
Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan
menjawab, "Tidak tahu, tidak ada she Cia."
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kim Hong Liu-nio terus memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong
akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak
ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tidak ada harganya bagi
dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali, "Kau, bocah gemuk. Siapa
orang she Cia di sini?"
"Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan
tegas, lalu menundukkan mukanya.
Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-
gerik wanita itu, kini ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya
berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya. "Sekarang engkau,
yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini?"
Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi
dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini
tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat dia menundukkan muka
pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong. Kembali Sin Liong merasa
terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapapun juga, keluarga ini
tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini mendatangkan perasaan
sedemikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan
wajahnya berseri-seri, rasa nyeri di punggungnya lenyap tak terasakan lagi!
Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap
untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan
kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan
tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang amat
mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang
karena dia yang sejak dahulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan
sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis
memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu
terkandung ancaman maut mengerikan.
Senyum itu melebar sehingga nampak sekilas pandang gigi putih kemilau di balik
belahan bibir merah basah itu, lalu bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia,
"Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa,
baru kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tidak akan menjadi manis lagi
kalau ujung hidungnya kupotong...!" Cepat bagaikan kilat, tahu-tahu tangannya
telah mencengkeram pundak Lan Lan dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan
Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit.
"Akulah orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras.
Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-
kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong
Liu-nio dengan penuh kemarahan.
"Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she
Cia yang kaucari-cari!"
Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga
tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat
dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong lengan mata
bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman.
Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata
yang mencorong seperti mata anak naga itu.
"Liong-ji...!" Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di
dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan
taruhan nyawa. Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu
angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai
bukan main dan baik ibu angkatnya maupun ayah angkatnya bukanlah tandingan
wanita itu. "Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak
perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu
melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali sehingga
Si Kwi terbelalak dan tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia
teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar
matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi
tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil
yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui
Hok Boan, sedikitpun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak
lain! "Benarkah engkau she Cia?" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang
kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat
keberanian anak ini. "Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau
adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku
sendiri tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat
ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong
pendiam dan tidak banyak bicara. "Maka engkau tentu mau mengatakan pula mengapa
engkau mencari orang she Cia?"
"Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio.
"Mengapa" Apa salahnya orang-orang she Cia?" tanya pula Sin Liong.
"Anak kecil mau mampus kau tahu apa! Bersiaplah untuk mampus!"
"Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu
itu tidak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh
seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan" Kalau kau memang gagah
berani, hayo kauhadapi ayahku dan juga she Cia, barulah seimbang!"
"Monyet kecil, siapa ayahmu?" Kim Hong Liu-nio membentak marah. Dia tidak tahu
bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka
bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet.
Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki. "Dan kau srigala betina
besar! Kau mau tahu ayahku" Ayahku adalah pendekar paling hebat di dunia ini dan
kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada
srigala betina yang kejam seperti engkau ini!"
Kim Hong Liu-nio hampir tak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar
dan terdengar bunyi "prakk!" ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-
keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk
merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih
berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan
meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat
dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin.
"Liong-ji, jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya.
"Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum
mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!"
"Huh, karena berada di sini maka kau enak saja mengancam hendak membunuh aku,
coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutkupun engkau takkan mampu. Aku
menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu,
biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu.
Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka
engkau ini tidak ada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang
beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beranimu hanya mengganggu orang-orang
lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!"
"Liong-ji...!" Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara
seperti itu di depan wanita ini! Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang,
seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum
pernah ada orang berani bicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai
sendiri tidak pernah menghinanya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa
akan kemarahannya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi
harus berbuat apa! "Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tidak dapat membunuh ayahmu dan
nenek moyangmu, aku tidak mau mmakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!" Wanita itu
akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai mengkal
sekali hatinya dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting
kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang.
"Bres!" Kaki wanita itu kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas
lantai dengan pengerahan sin-kang, kaki itu amblas sampai hampir selutut
dalamnya! Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng
Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum.
Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman!
"Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau
kau mau tahu!" Kata Sin Liong sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan
matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan
ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak
menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang
selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu.
"Ahhhhh...!" Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan
tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi kaget setengah mati dan
terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong. Tentu saja dia sudah
mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini
yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw,
meremang bulu tengkuknya.
"Bohong!" Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw" Huh,
siapa percaya omonganmu" Jangan kira engkau akan boleh menakut-nakuti orang
dengan nama Cia Bun Houw yang kauakui sebagai ayahmu!"
Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan kedua tangan bertolak
pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong untuk
menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw!
Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk
melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang
dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi
awas, aku mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai kau
berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran kalau kau sudah
menggelinding mampus di depan kaki ayahku!"
Diam-diam Kim Hong Liu-nio merasa curiga dan ragu-ragu. Kalau benar anak Cia Bun
Houw, sungguh mengherankan mengapa bisa berada di Lembah Naga" Bukankah anak ini
katanya menjadi anak angkat Kui Hok Boan" Akan tetapi melihat sikapnya, anak ini
jelas bukan anak sembarangan, dan memang ada pantasnya kalau menjadi anak
seorang yang luar biasa. Membunuh anak ini memang mudah, akan tetapi hatinya
akan selalu merasa penasaran, dan memang seperti dikatakan anak ini tadi,
membunuh anak ini sama sekali bukan hal yang dapat dibanggakan, bahkan menodai
nama besarnya sebagai seorang gagah perkasa. Tangan kirinya sudah diangkat, siap
untuk mengeluarkan tamparan maut, akan tetapi tangan itu turun kembali. Bohwat
(kehabisan akal) juga dia menghadapi anak yang luar biasa ini. Akan tetapi dia
teringat akan sesuatu, lalu dia mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan
anak ini sampai dia yakin betul sebelum dia turun tangan.
"Eh, anak setan! Kalau benar engkau putera Cia Bun Houw seperti yang kau akui
itu, katakan siapa ibumu!" Kim Hong Liu-nio mendengar bahwa musuh besar utama
gurunya itu, yaitu musuh utama yang bernama Cia Bun Houw, berjodoh dengan
seorang pendekar wanita sakti yang menjadi musuh besar gurunya pula, yaitu yang
bernama Yap In Hong. Akan tetapi dia tidak tahu apakah mereka itu terus menjadi
suami isteri ataukah tidak karena kabarnya belum pernah mereka itu menikah, atau
belum pernah pernikahan antara mereka itu dirayakan karena pernikahan mereke itu
tidak direstui oleh ayah pendekar Cia Bun Houw itu.
Akan tetapi jawaban Sin Liong benar-benar mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Anak itu
dengan suara lantang berkata, "Aku tidak tahu siapa nama ibuku, akan tetapi ibu
kandungku itu meninggal dunia dan dia juga seorang pendekar wanita yang sakti
karena dia dahulu adalah murid mendiang Hek I Siankouw."
"Ahhh...!" Sekali ini Kim Hong Liu-nio berseru kaget dan memandang kepada Si Kwi
dengan mata terbelalak lebar. Wanita yang biasanya bersikap dingin dan angkuh
itu sekali ini tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya sehingga dia
memandang bengong kepada Si Kwi seperti seorang yang tolol.
Si Kwi menundukkan mukanya dan seperti kepada diri sendiri dia berbisik-bisik
tanpa ada suara keluar dari mulutnya. Kim Hong Liu-nio masih tetap menatap wajah
Si Kwi dan tanpa mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia menujukan
pertanyaannya kepada Sin Liong.
"Anak setan, kau bohong! Bagaimana kau tahu akan semua itu" Siapa yang memberi
tahu kepadamu?" "Kau berani bilang bohong" Yang memberi tahu kepadaku adalah ibu angkatku
sendiri! Jangan menuduh yang bukan-bukan, kalau kau takut terhadap ayahku,
katakanlah saja terus terang!"
Kini wanita itu melangkah maju menghadapi Si Kwi dan terdengar suaranya aneh
sekali, agaknya seperti orang terheran-heran, "Liong Si Kwi, benarkah itu?"
Si Kwi menundukkan mukanya dan muka itu kini menjadi merah sekali. Dengan suara
lirih dia berkata, "Benar... ibu kandungnya... sudah mati..."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring sekali dan Hok Boan bersama anak-
anaknya yang berada di situ terkejut bukan main. Wanita itu kini tertawa, suara
ketawanya aneh, merdu dan nyaring akan tetapi mendekati suara tangis! Wanita itu
agaknya geli bukan main, tertawa-tawa sampai ada beberapa butir air mata
membasahi pipinya dan dia masih tertawa seperti orang terisak ketika dia
menggunakan ujung sabuk merah menghapus air matanya!
"Hi-hi-hik, Liong Si Kwi, kaukira rahasia busuk bisa ditutupi selamanya" Jadi,
ketika engkau berjina dengan Cia Bun Houw dahulu itu, sampai tangan kirimu
dibuntungi sebagai hukuman, ternyata hasilnya adalah bocah ini" Ah, kiranya
engkau melahirkan keturunan Cia Bun Houw!"
"Ehhh...?" Kui Hok Boan terkejut bukan main. Rahasia itu sama sekali tidak
pernah didengarnya dari isterinya, maka diapun memandang kepada isterinya dengan
mata terbelalak. Liong Si Kwi merasa bahwa dia tidak perlu menyangkal pula karena rahasia itu
telah terbuka oleh pengakuan Sin Liong tadi. Pengakuan anak itu tentu tidak akan
membuka rahasianya kalau didengar orang lain. Akan tetapi wanita ini adalah
utusan Raja Sabutai, tentu saja telah mendengar akan semua peristiwa yang
dialaminya belasan tahun yang lalu di Lembah Naga, ketika Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li menawan pendekar sakti Cia Bun Houw (baca cerita Dewi Maut).
Mukanya menjadi merah dan karena sudah kepalang bahwa rahasianya telah diketahui
orang, dia lalu berkata, "Benar, anak ini adalah anak kandungku dari pendekar
sakti Cia Bun Houw!"
"Ibu...!" Sin Liong berseru, akan tetapi pada saat itu nampak segulung sinar
merah berkelebat dan Sin Liong terguling roboh ketika dia hendak lari kepada
ibunya, karena dia telah terdorong oleh sambaran ujung sabuk yang menyentuh
pundaknya. Agaknya wanita itu tidak bermaksud membunuhnya, maka sentuhan ujung
sabuk merah itu hanya membuat anak itu terguling. Lalu kelihatan asap mengepul
dan ternyata wanita itu telah menyalakan sebatang hio (dupa biting) dan
mengangkat kayu salib ke atas kepalanya.
"Liong Si Kwi, karena engkau telah melahirkan anak ketutunan Cia Bun Houw, maka
engkau terhitung keluarga dari Cia Bun Houw, maka bersiaplah engkau untuk
menebus dendam guruku, Hek-hiat Mo-li dengan nyawamu!"
"Tidak...! Jangan...!" Kui Hok Boan berteriak dan menerjang ke depan, akan
tetapi kembali sinar merah berkelebat dan saterawan itu terpelanting.
Si Kwi maklum bahwa percuma saja mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan
kata-kata terhadap wanita iblis ini, juga melarikan diri tidak akan ada gunanya,
maka karena dia masih memegang pedangnya, dia lalu berteriak nyaring dan tiba-
tiba saja tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak menyerang dengan
tusukan kilat ke arah dada wanita yang menyeramkan itu.
"Bagus, dengan begini kau patut mati sebagai keluarga Cia!" kata Kim Hong Liu-
nio dengan suara girang sekali karena memang dia akan merasa terhina dan kecewa
kalau membunuhi musuh-musuh gurunya tanpa perlawanan, seperti yang dikatakan
oleh anak setan tadi. Kalau musuhnya melawan, berarti dia membunuh musuh yang
dapat melawan, bukan sebagai srigala yang menggerogoti bangkai!
"Cringgg...!" Kembali pedang itu ditangkis oleh lengan kirinya yang memakai
gelang. "Ihhh...!" Si Kwi menjerit karena tertangkis oleh gelang di lengan wanita itu,
dia merasa pergelangan targannya tertotok oleh ujung biting, nyeri sekali
rasanya dan tanpa dapat dicegahnya lagi, jari-jari tangannya yang seperti lumpuh
sesaat itu melepaskan gagang pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai!
Terdengar wanita itu tertawa, akan tetapi Si Kwi sudah cepat menggerakkan
tangannya. Terdengar suara angin bersiutan dan sinar-sinar kecil hitam menyambar
ke arah tujuh jalan darah di depan tubuh wanita itu. Itulah Hek-tok-ting (Paku
Hitam Beracun), senjata rahasia yang ampuh dari Liong Si Kwi. Setiap paku
merupakan ancaman maut dan tujuh batang paku itu menyambar dengan kecepatan yang
amat hebat karena dilepaskan dari jarak yang hanya tiga meter jauhnya!
"Hemm...!" Wanita cantik itu benar-benar hebat bukan main. Dia tidak kelihatan
gugup sama sekali, bahkan memandang rendah. Tangan kiri yang memegang sebatang
hio itu tidak bergerak, akan tetapi tangan kanan yang memegang kayu salib
bergerak cepat ke atas dan menyambar ke bawah. Dan ternyata bahwa paku-paku itu
semua menancap di atas papan kayu berbentuk salib itu, dan hebatnya, semua paku-
paku itu menancap di bagian ujung kayu yang bertuliskan huruf Cia! Wanita itu
bukan hanya mampu menangkis semua paku, akan tetapi lebih daripada itu, dia
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu membuat semua paku itu menancap di tempat yang sama, yaitu di ujung yang
ditulisi huruf Cia, seolah-olah menjadi tanda bahwa calon korbannya itu adalah
keluarga marga atau she Cia!
Bukan main kagetnya hati Si Kwi. Dia tadi mendengar bahwa wanita ini adalah
murid Hek-hiat Mo-li, akan tetapi dia yang pernah menyaksikan kesaktian Hek-hiat
Mo-li, kini harus mengakui bahwa wanita iblis ini agaknya malah lebih lihai
daripada gurunya. Akan tetapi dia telah nekat. Rahasianya telah dibuka dan tentu
hal itu akan mempengaruhi hubungan antara dia dan suaminya. Selain itu, dia
harus mencoba untuk membela Sin Liong, anak kandungnya sendiri, di samping itu,
kini terancam bahaya maut dalam mempertahankan nama Cia Bun Houw, pria pertama
yang pernah merebut kasih sayangnya, dia teringat akan pendekar itu dan hatinya
dipenuhi oleh perasaan mesra dan bangga karena dia diperbolehkan membela nama
pendekar sakti itu sebagai keluarganya! Maka dengan teriakan nyaring dia lalu
menubruk ke depan, menggunakan tangannya untuk mencengkeram ke arah kepala
lawan, sedangkan tangan kirinya yang buntung itu dipergunakannya untuk menotok
ke arah ulu hati! "ROBOHLAH engkau, ibu dari anak keturunan Cia Bun Houw!" Tiba-tiba Kim Hong Liu-
nio membentak dan sinar api kecil meluncur ke depan ketika tubuhnya mencelat
mundur. Itu adalah sinar api dupa biting yang masib bernyala dan yang kini
melesat ke depan, meluncur seperti anak panah cepatnya. Si Kwi pernah
menyaksikan wanita ini membunuh orang dengan sebatang hio, maka dia terkejut
sekali dan berusaha mengelak, namun dia kurang cepat karena dia tadi sedang
dalam keadaan menyerang. "Cuss...!" Dupa biting itu menyambar dahinya dan tepat sekali menusuk di antara
kedua alisnya sampai semua gagang hio itu lenyap!
Si Kwi mengeluarkan jeritan lirih dan tubuhnya terjengkang, roboh terlentang dan
tewas seketika dengan hio masih menancap di dahinya dan hio itu masih membara,
mengeluarkan asap ke atas! Seolah-olah nyawa wanita itu melayang melalui asap
yang keluar dari dahinya itu!
Kui Hok Boan terbelalak pucat dan terdengar jerit-jerit memilukan dari Lan Lan,
Lin Lin yang menubruk ibu mereka sambil menangis. Terdengar suara gerengan liar
seperti seekor monyet marah dan Sin Liong sudah meloncat, loncatan yang
dilakukan menurutkan nalurinya sebagai binatang, yang diperolehnya dalam
pergaulan dengan para monyet, dan dia sudah menubruk ke arah Kim Hong Liu-nio!
Wanita ini sedang memandang mayat lawannya dengan senyum penuh kepuasan ketika
Sin Liong menubruk. Tentu saja dia tahu akan serangan anak itu dan dia sudah
menggerakkan tangan kirinya untuk memapaki kepala anak itu dengan tamparannya.
Akan tetapi dia teringat akan maki-makian dan tantangan anak itu tadi, maka dia
menahan tangannya karena merasa malu kalau harus membunuh seorang bocah yang
sudah berani menantangnya seperti itu. Karena dia menahan tangannya dan karena
dia memandang rendah kepada Sin Liong, maka Sin Liong berhasil menubruknya dari
belakang dan seperti seekor monyet marah atau seekor harimau kelaparan, Sin
Liong mencengkeram dengan kedua tangannya. Tanpa disadarinya, kedua tangan itu
memeluk Kim Hong Liu-nio dan kedua tangan itu yang mencengkeram sekenanya telah
mencengkeram buah dada wanita itu! Kemudian Sin Liong membuka mulutnya dan
menggigit tengkuk! "Ihhhh...!" Kini Hong Liu-nio menjerit, bukan karena gigitan pada tengkuknya,
melainkan karena cengkeraman pada kedua buah dadanya itu. Tiba-tiba dia merasa
seluruh tubuhnya menggigil, jantungnya berdebar keras kepalanya menjadi pening!
Patut diketahui bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita berusia tiga puluh
tahun yang masih perawan, yang selama hidupnya belum pernah bersentuhan dengan
pria walaupun sudah sering dia mimpi akan hal itu. Kini, merasa betapa tubuhnya
dipeluk dan dadanya diraba tangan seorang laki-laki, biarpun laki-laki yang
masih anak-anak, dia seperti kemasukan getaran halilintar, tubuhnya menjadi
panas dingin dan tak terasa lagi dia menjerit. Akan tetapi, hanya sebentar saja
dia dikuasai perasaan aneh itu. Sekali wanita sakti ini menggoyang tubuhnya, Sin
Liong terlempar dan terbanting keras ke dinding ruangan itu. Sin Liong roboh dan
pingsan! Kui Hok Boan kini bangkit dan dengan terpincang-pincang dia berdiri menghadang
di depan anak-anak itu, khawatir kalau-kalau anak-anaknya akan dibunuh semua
oleh wanita iblis itu. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tersenyum dan menggeleng
kepala. Kemudian menyimpan kembali kayu salib yang telah dicoretnya satu kali di
bawah nama Cia, memasangnya di punggung dan dia lalu memandang kepada Kui Hok
Boan. "Jangan khawatir, karena engkau benar-benar tidak tahu-menahu tentang keluarga
Cia, maka biarlah kau dan anak-anakmu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
keluarga Cia, kuampuni. Akan tetapi anak itu akan kubawa dia keturunan musuh
besarku!" Kim Hong Liu-nio menuding ke arah tubuh Sin Liong yang masih pingsan.
Kui Hok Boan adalah seorang yang pada dasarnya memang mempunyai watak pengecut,
yaitu kalau sudah terancam bahaya maut barulah sifatnya ini menonjol. Tadinya,
dia masih berwatak gagah melindungi isterinya dan melindungi pula Sin Liong,
akan tetapi kini semua kegagahannya itu luntur dan lenyap dan dia berubah
menjadi seorang yang rendah diri. "Terima kasih atas pengampunan kouwnio..."
katanya lirih sambil menundukkan mukanya.
"Sekarang dengarlah, Kui Hok Boan. Aku diutus oleh Sri Baginda Sabutai untuk
memberi tahu kepadamu bahwa sebelum enam bulan, engkau harus sudah meninggalkan
Istana Lembah Naga ini, dan semua penghuni dusun-dusun yang berada di sekitar
tempat inipun semua harus pergi. Kalau sudah lewat enam bulan dan masih ada
orang yang berada di sekitar sini, jangan salahkan kami kalau kami akan
membunuhnya. Mengertikah kau?"
Kui Hok Boan terkejut sekali dan cepat dia mengangguk-angguk. "Baik... baik...
akan saya taati..." Melihat betapa Kui Hok Boan yang tadi gagah seperti harimau kini menjadi jinak
seperti domba, padahal mayat isterinya masih hangat rebah di depannya, Kim Hong
Liu-nio mengeluarkan suara mengejek, "Huh!" Lalu dia membalikkan tubuhnyap
menyambar lengan Sin Liong yang diseretnya dan dibawanya keluar dari ruangan
itu, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang lagi.
"Sin Liong...!" Tiba-tiba Lin Lin menjerit dan bangkit berdiri, hendak lari
mengejar agaknya. "Lin Lin...!" Hok Boan membentak dan cepat dia menyambar lengan anaknya.
Kim Hong Liu-nio berhenti melangkah ketika sampai di pintu, menoleh dan melihat
betapa empat orang anak-anak itu memandang ke arah Sin Liong sambil menangis.
Maka berkatalah dia, "0rang she Kui, empat orang anak itu jauh lebih baik
daripada engkau!" Lalu sekali berkelebat lenyaplah bayangan wanita itu dari
situ. Maka terdengarlah tangis dan ratap di dalam ruangan itu, dan tak lama kemudian,
ratap tangis itu makin riuh ketika para pelayan melihat bahwa nyonya majikan
mereka telah tewas. Istana Lembah Naga diliputi suasana berkabung. Lan Lan dan
Lin Lin menangis tiada hentinya, dan Kui Hok Boan termenung dengan penuh
penyesalan. Baru terhadap Si Kwi dia benar-benar pernah mencinta dan setelah
menikah dengan Si Kwi, sifatnya yang mata keranjang menjadi reda. Akan tetapi
kini Si Kwi telah tewas dan meninggalkan dia seorang diri bersama empat orang
anak! Akan tetapi, kemudian dia teringat bahwa biarpun dia harus pindah dari
Lembah Naga, dan dia memang bermaksud kembali ke selatan, namun dia telah
menemukan harta karun dan kini telah menjadi seorang yang kaya raya, maka dia
tidak merasa khawatir. Hanya sedikit kebimbangan mengganggu hatinya. Di selatan
dia mempunyai banyak musuh!
*** Jeng-hwa-pang sekarang jauh berbeda dengan Jeng-hwa-pang belasan tahun yang lalu
ketika perkumpulan itu dipimpin oleh Jeng-hwa Sian-jin. Dahulu, perkumpulan itu
tidak sehebat sekarang ini, setelah Jeng-hwa Sian-jin meninggal dan perkumpulan
itu dipimpin dan dibangun kembali oleh muridnya. Kalau Jeng-hwa Sian-jin sebagai
bekas tokoh-tokoh Pek-lian-kauw selain berilmu silat tinggi juga ahli dalam ilmu
sihir, maka muridnya ini yang menuruni kepandalan ilmu silatnya tanpa menuruni
ilmu sihirnya, ternyata memiliki keahlian lain yang bahkan melebihi mendiang
gurunya, yaitu dalam hal ilmu tentang racun.
Jeng-hwa-pang sendiri mendapatkan namanya dari julukan Jeng-hwa Sian-jin, dan
kakek itu dijuluki Jeng-hwa Sian-jin karena dia telah menemukan kembang hijau
yang hanya bisa ditemukan orang di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan
Himalaya. Kembang hijau ini mengandung racun yang amat hebat, yang boleh
dibilang rajanya kembang-kembang beracun. Akan tetapi, kalau Jeng-hwa Sian-jin
mempergunakan khasiat kembang mujijat itu untuk melatih dan memperdalam ilmu
sihirnya, sebaliknya muridnya itu mempergunakan kembang hijau itu untuk
memperdalam ilmu tentang racun-racun! Maka kini terkenallah perkumpulan Jeng-
hwa-pang sebagai perkumpulan orang-orang yang ahli dalam mempergunakan racun
sehingga tentu saja amat ditakuti oleh golongan lain.
Akan tetapi, ketika Kaisar Ceng Tung memperoleh kembali tahta kerajaannya yang
tadinya diserahkan kepada adiknya ketika dia menjadi tawanan Raja Sabutai (baca
cerita Dewi Maut), kaisar ini telah mengerahkan orang-orang pandai,
mempergunakan tangan besi untuk menekan dan mengendalikan perkumpulan-
perkumpulan golongan hitam yang suka menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu,
Jeng-hwa-pang yang termasuk sebagai perkumpulan yang diawasi dan dibatasi
gerakannya, lalu mengungsi ke luar tembok besar dan untuk sementara mendirikan
sarang di dekat tembok besar di utara.
Ketua Jeng-hwa-pang bernama Gak Song Kam dan karena keahliannya bermain racun,
dia dikenal orang sebagai Tok-ong (Raja Racun)! Nama julukannya sebagai Tok-ong
ini sama terkenalnya dengan nama Jeng-hwa-pang yang tersohor. Dahulu, ketika
Jeng-hwa-pang masih dipimpin oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, perkumpulan ini
lebih condong mempelajari ilmu-ilmu sihir yang keji dan cabul. Jeng-hwa Sian-jin
"ketemu batunya" ketika sedang melaksanakan praktek keji dan cabul itu muncul
seorang kakek sakti yang membuatnya tewas dan anak buahnya menyerah dan
bertobat. Kakek sakti itu bukan lain adalah Bun Hoat Tosu (baca cerita Dewi
Maut). Untuk sementara perkumpulan itu benar-benar telah bubar. Akan tetapi
setelah Gak Song Kam berhasil memperdalam ilmu-ilmunya di Pegunungan Himalaya
dan mempelajari ilmu-ilmu tentang racun dari seorang pertapa di sebuah puncak
pegunungan itu, dia lalu mengumpulkan kembali bekas anggauta Jeng-hwa-pang dan
dia membangun kembali perkumpulan itu. Akan tetapi, tindakan tangan besi oleh
Kaisar Ceng Tung membuat dia terpaksa membawa para anggautanya yang jumlahnya
ada seratus orang itu untuk sementara waktu mengungsi ke perbatasan di utara,
dekat tembok besar. Jeng-hwa-pangcu she Gak ini telah menikah dengan seorang wanita she Tio, akan
tetapi dia tidak mempunyai keturunan. Isterinya membawa beberapa orang sanak
keluarganya yang juga she Tio ketika mengungsi ke utara dan mereka ini ikut
hidup senang sebagai keluarga isteri ketua perkumpulan besar, dan di antaranya
ada pula yang menjadi anggauta Jeng-hwa-pang.
Para anggauta Jeng-hwa-pang semua diberi pelajaran tentang racun oleh ketuanya
sehingga mereka rata-rata selain pandai ilmu silat, juga pandai mempergunakan
racun untuk mengalahkan lawan. Mungkin karena mengandalkan kepandaian sendiri
dan mengandalkan nama besar perkumpulan mereka, setelah pindah ke perbatasan di
utara, dalam beberapa tahun saja, Jeng-hwa-pang telah dikenal dan ditakuti,
malang melintang di perbatasan itu karena mereka merasa terlepas dari jangkauan
tangan besi kaisar. Akan tetapi, pada suatu hari terjadilah malapetaka menimpa keluarga ketua Jeng-
hwa-pang, yaitu pada suatu malam ketika ketua Jeng-hwa-pang sedang pergi bersama
beberapa orang pembantunya menangkap beberapa ekor ular gurun pasir, muncullah
seorang wanita yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio dan wanita ini secara kejam
telah membunuh isteri ketua Jeng-hwa-pang dan juga sembilan orang keluarga
wanita itu, kesemuanya she Tio! Tentu saja Jeng-hwa-pang menjadi geger, apalagi
ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang mengeroyok dibuat kocar-kacir oleh
wanita yang amat lihai itu.
Ketika Gak Song Kam pulang dan mendapatkan isterinya dan sembilan orang keluarga
isterinya tewas semua, dengan cara kematian yang aneh, yaitu dahi atau bagian
tubuh lain yang berbahaya tertancap oleh sebatang hio yang membara, tentu saja
dia menjadi marah sekali. Akan tetapi segera tersiar berita bahwa wanita bernama
Kim Hong Liu-nio itu telah merajalela, membunuh-bunuhi semua orang she Tio, Yap,
dan Cia yang dapat ditemukan di daerah itu, yang tentunya tidak banyak karena
yang dicari adalah orang-orang Han, sedangkan daerah itu lebih banyak didiami
oleh orang-orang suku bangsa lain.
Tentu saja Gak Song Kam merasa sakit hati dan berusaha untuk mencari wanita itu.
Dia merasa menyesal sekali mengapa dia pergi mengajak lima orang pembantunya
yang pandai sehingga ketika wanita itu datang membunuh isterinya, Jeng-hwa-pang
sedang kosong dari semua tokoh yang terpandai. Dia percaya bahwa kalau dia
berada di situ, tentu Kim Hong Liu-nio tidak akan begitu mudah membunuh orang,
apalagi membunuh isterinya! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Gak Song Kam
ketika dia menyebar anak buahnya untuk mencari dan menyelidiki wanita itu, dia
mendengar kabar bahwa wanita itu adalah seorang tokoh terkenal di utara, bahkan
masih saudara seperguruan Raja Sabutai! Lemaslah rasa tubuh ketua Jeng-hwa-pang
itu mendengar ini. Tidak mungkin baginya untuk menyerbu istana Raja Sabutai yang
dilindungi ribuan orang pasukan itu dengan seratus orang anak buahnya! Akan
tetapi, kematian isterinya harus dibalas! Oleh karena itu, Gak Song Kam ini
selalu mencari kesempatan untuk menantang Kim Hong Liu-nio, menantangnya secarg
pribadi, bukan sebagai keluarga Raja Sabutai! Tantangan yang lajim dilakukan
oleh orang-orang di dunia persilatan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan
kerajaan atau perkumpulan.
Demikianlah, kesempatan itu tiba ketika Kim Hong Liu-nio melakukan perjalanan
menuju Lembah Naga bersama sutenya, yaitu Ceng Han Houw, hanya dikawal oleh
tujuh belas perajurit pengawal. Kesempatan ini tidak disia-siakan dan cepat Gak
Song Kam menyuruh seorang di antara pembantu-pembantunya yang pandai untuk
mengirim surat tantangan kepada wanita itu. Dan seperti telah diceritakan di
bagian depan, pembantu itu berhasil mengirimkan surat tantangan istimewa itu
Pemberontakan Di Kertaloka 1 Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih Rahasia Hiolo Kumala 6
dengan kecepatan yang lebih dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan
ilmu golok simpanannya yang biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan
tangguh. "Sute, itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal
itu. Akan tetapi ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi
hati-hati terhadap tangan kirinya!" kembali wanita itu berseru dan makin
marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak aseli,
kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja
dan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara berdesing-desing
dan bersuitan ketika dia menyerang dengan dahsyat.
Anak itu ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan kedua
kakinya digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan
cara yang aneh, dan semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong.
Kalau Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenai tubuh lawan,
ternyata kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah
mengelak dengan cepat dan tak terduga-duga. Anak itu lebih mengandalkan gerak
kakinya menghindarkan semua serangan-serangan daripada menangkis, sungguhpun
kadang-kadang dia menangkis juga dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang
sedang berlatih, melatih kelincahan atau melatih langkah-langkah kakinya
menghadapi hujan serangan golok itu. Kui Lok yang memainkan goloknya sampai
menjadi makin heran dan penasaran karena telah tiga puluh jurus dia menyerang,
sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh lawan, bahkan mencium ujung
bajunya belum pernah! Sementara itu, tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak
menuntut balas atas kematian sute mereka she Yap, kini telah mencabut pedang
mereka dan menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar
merah dan teguran suara halus wanita itu, "Jangan kalian berani mengganggu sute
yang sedang berlatih!" Sinar merah itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga
orang pemegang pedang itu. Mereka terkejut sekali melihat sinar yang panjang
seperti seekor naga itu, dan cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok
putus sinar yang ternyata adalah sehelai sabuk merah itu.
"Wuut-wuut-wuuttt...!" Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar
merah itu melibat tiga batang pedang.
"Ouhhhh...!" Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka
terlibat sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu
menyendal dan tiga batang pedang itu sudah terampas biarpun mereka tadi sudah
mengerahkan tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga
batang pedang mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga
pedang itu beterbangan di atas kepala wanita itu.
"Terimalah!" Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan,
tiga batang pedang yang tadi terbelit sabuk itu meluncur ke depan, menuju ke
arah pemiliknya masing-masing!
Tiga orang itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi
lontaran pedang dan belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan pedang-pedang
itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada yang tertembus
perutnya. Mereka roboh berkelojotan dan tewas!
Wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi sebelum mereka roboh,
kini sudah memperhatikan lagi sutenya yang "berlatih" di bawah hujan sinar
golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Biarpun ilmu atau jurus Ngo-houw-
toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak aseli, namun karena sudah sering
dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai. Setiap serangan yang
luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung
tikaman, bacokan disambung bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak
itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh
wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok.
Wanita itu tadi memperingatkan sutenya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si
pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui
Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena
peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan
tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu!
"Sute, sekarang latih serangan pedangmu!" tiba-tiba wanita yang sejak tadi
memperhatikan jalannya pertandingan itu berseru.
Anak itu tidak menjawab, melainkan mengubah gerakannya dan kini pedangnya
mengeluarkan suara berdengung yang naik turun nadanya, seperti orang
bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di
dekat lehernya. "Tranggg...!" Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu
telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu
membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik
sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu
Golok Bergulingan). Tubuhnya berguling dan dari gulingan itu goloknya menyambar,
membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri
dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas
menyerang! Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk
dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya
dingin, cepat dia meloncat dan menyapok ke belakang. Akan tetapi, anak itu
menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung
lawan! Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan cepat dia meloncat ke belakang
sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya
menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini dan telinganya terus mendengar bunyi
pedang bersenandung dan nampak sinar pedang putih bergulung-gulung dengan ujung
pedang secara aneh dan tiba-tiba berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel
tinggal menusuk saja! Twa-sin-to Kui Liok maklum bahkan biarpun yang dihadapinya itu masih kanak-
kanak, namun ternyata telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia
cepat menangkis pedang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga sin-kang
menyedot sehingga pedang dan golok melekat. Saat itu dipergunakannya untuk
menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka dan menghantam ke
arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun
yang telah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak
dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu.
"Awas, sute!" Wanita itu memperingatkan, akan tetapi anak itu agaknya memang
sejak tadi tidak pernah melupakan peringatan sucinya. Melihat sinar merah dari
telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan
nyaring. "Huiiiihhh!" Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-
sin-to Kui Liok. "Aughhh...!" Tubuh yang pendek gemuk itu terjengkang, matanya terbelalak, di
tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan
tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak
itu. "Desss...!" Wanita itu mendorong dari samping dan biarpun tangannya tidak sampai
menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu
terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu
dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika!
Anak itu menyimpan kembali pedangnya dan memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit
peluh di dahinya dan sucinya cepat menghampiri dan menyusut peluh itu dengan
saputangannya yang halus dan berbau harum.
"Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau
menyerangnya dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasaran kurang tepat. Kalau
sasaranmu kautujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan
Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tidak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih
tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain
kali engkau lebih cermat lagi."
Anak itu mengangguk. "Suci memang benar, dan akupun tadi sudah berpikir
demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang
keningnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sin-kang yang belum
kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus
tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali."
"Ah, engkau kurang percaya kepada diri sendiri, sute. Sekarang engkau boleh
mencoba!" Dia lalu menggunakan kakinya mencokel pundak mayat Kui Liok dan tiba-
tiba mayat itu mencelat ke atas, berdiri dan seperti hendak menyerang anak itu.
Anak itu tiba-tiba membuka mulut dan mengeluarkan seruan "Huuihhh...!" seperti
tadi. Sinar putih menyambar, kini ke arah dahi mayat itu yang segera roboh
kembali. Anak itu membungkuk dan memeriksa dahi yang ditembusi jarumnya dan dia
tersenyum. "Engkau benar, suci. Jarum itu masuk hampir seluruhnya!"
"Nah, engkau harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sute. Kepercayaan
kepada diri sendiri akan menambah kesanggupanmu dan menenangkan hatimu apabila
engkau bertemu dengan lawan yang pandai. Akan tetapi jangan sekali-kali
kepercayaan kepada diri sendiri itu berbalik menjadi kesombongan tanpa
perhitungan. Sekarang, cabutlah pedangmu. Aku melihat ada beberapa gerakan inti
yang kurang tepat tadi, maka sebaiknya kauperhatikan seranganku dan lawanlah
dengan pedangmu sebaik mungkin!" Tanpa memberi kesempatan sutenya menjawab,
wanita itu telah menggerakkan sabuknya.
"Wirrr... suitttt...!" Sabuk itu melayang ke udara, bergulung-gulung dan menukik
ke bawah dan ujungnya sudah menotok ke arah ubun-ubun kepala sutenya.
"Wessss...!" Anak itu tahu-tahu sudah mencabut pedang dan cepat menangkis dengan
niat untuk membabat sabuk itu. Namun sabuk lemas itu sudah bergerak lagi ke
atas, seperti burung terbang dan berlatihlah dua orang kakak beradik seperguruan
itu dengan cepat sekali. Siong Bu yang masih mendekam di balik semak-semak merasa silau dan terpaksa
memejamkan matanya yang menjadi berair karena kecepatan gerakan sinar-sinar
bergulung itu benar-benar amat hebat. Dia tidak dapat melihat lagi dua orang
itu, melainkan hanya dua sinar putih dan merah bergulung-gulung amat cepatnya.
Jantungnya seperti berhenti berdetik ketika dia mendengar suara bersuitan dan
angin menyambar sampai ke atas semak-semak itu dan dia melihat ujung semak-semak
itu, daun-daun muda jatuh berhamburan seperti dibabat pisau tajam!
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari dalam hutan sebelah utara. Sinar putih
dan merah yang bergulung-gulung itu berhenti dan wanita itu telah berdiri tegak
bersama anak laki-laki, sambil menoleh ke utara. Terdengarlah suara nyaring
seorang pria, "Maaf, toanio. Saya hanyalah seorang utusan dari Jeng-hwa-pang,
mohon menghadap toanio untuk menyampaikan undangan dari ketua kami!"
Wanita itu mencibirkan bibir dan mendengus, "Merangkaklah ke sini!" katanya
dengan nada merendahkan. Nampak bayangan berkelebat cepat dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun
tinggi kurus berpakaian sederhana, di dada kirinya terhias setangkai bunga hijau
terbuat daripada kertas dan lilin, membawa sebuah bungkusan yang besar,
bentuknya persegi, kurang lebih tiga puluh sentimeter setiap seginya.
Siong Bu melihat betapa sebelum laki-laki ini muncul, wanita cantik itu telah
mengenakan sepasang kaus tangan yang warnanya sama dengan kulitnya sehingga
setelah dipakai, sama sekali tidak kentara. Kini, wanita itu memandang pria yang
membawa bungkusan, lalu bertanya, "Selain menyerahkan undangan, engkau disuruh
apalagi?" Orang itu menjura dengan hormat, "Hanya menyampaikan undangan ini lalu
diharuskan pergi agar jangan mengganggu toanio lebih lama."
"Hemm, kalau begitu lemparkan undangan itu ke sini dan segera menggelindinglah
pergi!" bentaknya. Orang itu lalu melontarkan bungkusan itu ke arah anak laki-laki tadi. Anak itu
cepat menggerakkan tangan hendak menyambut, akan tetapi ia didahului oleh
sucinya yang meloncat dan menyambar bungkusan itu dengan kedua tangannya.
"Eh" Kenapa, suci?" tanya anak itu, heran sekali melihat sucinya berbuat seperti
itu. "Bungkusan ini pasti mengandung racun, sute."
"Ah, keparat!" Anak itu menjadi marah dan begitu melihat di situ terdapat sebuah
batu besar sekali, sebesar perut kerbau bunting, dia lalu menyambarnya dengan
kedua tangan dan melontarkannya ke arah laki-laki yang sudah membalik dan pergi
itu. "Sute, jangan...!" Wanita itu sempat menepuk lengan sutenya sehinggi lontaran
itu menyeleweng. Akan tetapi tetap saja masih dapat melampaui laki-laki tadi dan
jatuh berdebuk tidak jauh di depannya, melesak dalam sekali ke dalam tanah.
Laki-laki itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau dia tertimpa batu
sebesar itu, tentu akan remuk tubuhnya! Dia menoleh dengan ngeri, akan tetapi
melihat anak yang luar biasa itu tidak mengejarnya, dia cepat-cepat lari dari
tempat itu. "Suci, mengapa pula engkau mencegah aku membunuh keparat curang itu?"
"Dia hanya utusan dan engkau tentu lebih tahu bahwa kita sama sekali tidak boleh
membunuh seorang utusan, sute. Bukan dia yang menaruh racun di bungkusan ini,
melainkan orang yang menyuruhnya. Hemm, Jeng-hwa-pangcu sudah mengirim undangan,
agaknya dia tidak main-main lagi sekarang. Hendak kulihat sampai di mana
kelihaiannya!" Wanita ini lalu meletakkan bungkusan di atas batu besar.
"Jangan menyentuhnya, sute, dan kau lihat saja, jangan mendekat. Harap mundur
lima langkah dari sini."
Biarpun alisnya berkerut, anak itu menurut juga, melangkah mundur dan melihat
dengan penuh perhatian. Juga Siong Bu menonton dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Sejak tadi dia sudah merasa ngeri melihat orang-orang yang dibunuh
itu, kini dia melihat hal lain yang lebih aneh membuat dia makin ketakutan.
Wanita cantik itu memandang kepada kedua telapak tangannya yang telah terbungkus
sarung tangan, lalu tersenyum mengejek, "Kau lihat, sute." Dia menggunakan kedua
tangannya meraba rumput-rumput di dekatnya dan rumput-rumput itu seketika
menjadi layu dan agak gosong seperti dibakar! "Racun yang dioleskan di bungkusan
ini saja sudah cukup untuk membuat kulit tangan terbakar hebat."
Kemudian, dengan hati-hati sekali dia membuka tali bungkusan itu. Ternyata
isinya adalah sebuah doos merah. Dibukanya tutup doos merah dan hampir saja
Siong Bu menjerit kalau dia tidak cepat mendekap mulutnya. Dari doos merah itu
muncul seekor ular yang tiba-tiba saja menyerang ke arah leher wanita itu!
"Capppp!" Bagaikan sepasang gunting yang amat tajam, dua jari telunjuk dan jari
tengah wanita itu bagian kiri telah menangkap leher ular dan sekali mengerahkan
tenaga, leher ular itu putus!
"Hemm, kiranya hanya begini saja kepandaian orang Jeng-hwa-pang!" Wanita itu
mengejek dan dia menarik keluar sebuah doos yang lebih tebal kecil dari dalam
doos besar itu. Doos inipun tertutup.
"Suci, hati-hati. Mereka itu terlalu curang!" Anak itu berseru, tadi kaget
menyaksikan ular yang demikian ganasnya. Dia tahu bahwa ular merah seperti itu
amat berbahaya karena bisanya dapat membunuh orang dengan sekali gigit saja.
Wanita itu menengok dan hanya tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri,
lalu tanpa ragu-ragu lagi tutup doos yang lebih kecil itu dibukanya.
Nampak asap mengepul tiba-tiba dari dalam doos itu dibarengi suara mendesis.
Wanita itu terkejut dan cepat sekali dia meloncat ke belakang, tepat pada saat
terdengar ledakan keras. Banyak sekali paku dan jarum menyambar ke empat penjuru
dan wanita yang sedang meloncat itupun terserang sambaran paku dan jarum. Akan
tetapi, dengan cekatan kedua tangannya menyampok dan menangkap dan ketika dia
meloncat turun, kedua tangannya penuh dengan jarum dan paku yang dapat
ditangkapnya tadi. Asap masih mengepul dan doos itu pecah, memperlihatkan
sehelai kertas yang sebagian hangus.
Wanita cantik itu lalu menghampiri batu dan melemparkan jarum dan paku yang
beracun itu ke dalam doos yang telah hangus dan pecah-pecah, lalu dia mengambil
kertas merah itu dan membaca huruf-huruf hitam yang tertulis di situ.
JENG HWA PANG MENGUNDANG KIM HONG LIU-NIO UNTUK MEMBUAT PERHITUNGAN.
Demikianlah bunyi huruf-huruf besar yang tertulis di kertas merah. Wanita itu
meremasnya hancur dan biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena marahnya. Sutenya telah
mendekatinya, terbelalak memandang ke arah jarum-jarum dan paku-paku yang
mengeluarkan sinar kehijauan itu.
"Sungguh berbahaya..." katanya ngeri.
"Jeng-hwa-pang memang terkenal dengan caranya yang kotor, suka main racun. Akan
tetapi aku akan membalas semua ini, sute. Memang aku sudah bersiap-siap sehingga
aku menggunakan sarung tangan. Betapapun kebal tangan kita, kalau terkena racun
yang berada di kertas pembungkus, atau tergigit oleh ular merah tadi, apalagi
racun hijau di paku dan jarum itu, tentu kita celaka. Racun hijau pada puku dan jarum ini
lebih lihai lagi, sute. Itulah racun jeng-hwa (bunga hijau) yang menjadi
keistimewaan mereka sehingga nama perkumpulan merekapun memakai nama Jeng-hwa-
pang (Perkumpulan Bunga Hijau)."
"Siapakah mereka itu, suci?"
Wanita itu menarik napas panjang. "Menurut penuturan subo, pendirinya adalah
mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan
selain tinggi ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi, kakek itu telah
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tewas dan kini perkumpulannya dipegang dan dipimpin oleh muridnya yang ahli
dalam soal racun. Mereka bersarang di daerah perbatasan, di dekat tembok besar."
"Mengapa perkumpulan itu memusuhi suci?"
Wanita itu melepaskan sarung tangannya yang melindunginya dari racun tadi.
Sarung tangan itu memang istimewa sekali, bukan hanya dapat melindungi kulit
tangan dari racun, akan tetapi juga segala macam racun yang tersentuh oleh
sarung tangan itu menjadi hilang dayanya, dan di samping ini, juga sarung tangan
itu dapat menahan bacokan senjata-senjata tajam. Setelah menyimpan sarung
tangannya, wanita itu lalu menurunkan papan kayu salib dari punggungnya,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan berkata, "Seperti juga halnya lima orang tolol
ini, Jeng-hwa-pang memusuhi aku karena ini."
Anak itu sudah tahu akan maksud kayu salib yang ditulisi tiga huruf itu. Dia
tahu bahwa tiga huruf itu adalah tiga nama keturunan yang menjadi musuh besar
subo mereka dan sucinya telah bersumpah kepada subo mereka untuk membasmi semua
orang yang bershe Yap, Cia dan Tio. Untuk tugas inilah maka subo mereka
menurunkan seluruh kepandaiannya kepada sucinya ini sehingga sucinya menjadi
seorang wanita yang bukan main saktinya.
"Suci, apakah ketua Jeng-hwa-pang itu she Yap, Cia, ataukah Tio?"
"Bukan, akan tetapi isterinya she Tio dan sembilan orang keluarga isterinya yang
she Tio telah kubunuh semua. Itulah sebabnya dia memusuhi aku," jawab sucinya
dengan sikap tak perduli.
Anak laki-laki itu memandang ke arah papan kayu salib dan melihat betapa sucinya
menggunakan kuku jari telunjuknya yang panjang terpelihara rapi untuk membuat
guratan lima kali di bagian bawah papan salib itu. Itulah tanda bahwa sucinya
telah membunuh lima orang. Setiap guratan menandakan satu nyawa dan hanya mereka
yang dibunuh karena urusan permusuhan itu saja yang dicatat di papan kayu salib
ini. Palang kiri untuk korban she Tio, papan atas untuk yang she Cia dan papan
kanan untuk she Yap, sedangkan papan bagian bawah untuk orang-orang she lain
yang membela tiga she itu dan terlibat dalam permusuhan ini. Anak itu melihat
betapa yang banyak sekali coretannya justeru papan bawah di bagian she Tio lebih
banyak dari papan bagian Cia dan she Yap. Akan tetapi di baglan papan atas,
untuk yang she Cia, baru ada dua guratan saja.
Anak itu termenung. Dia selalu tertarik kalau membicarakan urusan permusuhan
pribadi subonya yang aneh itu, dan yang pembalasannya diwakili oleh sucinya,
karena subonya kini telah menjadi pikun dan lemah. "Suci, sudah berapa lamakah
suci mulai melaksanakan perintah subo untuk membasmi orang-orang dari tiga she
itu?" "Sudah belasan tahun, sute, sejak aku berusia dua puluh tahun kurang."
"Dan sampai kapan berakhirnya" Apakah selama hidupmu suci akan terus mencari
orang-orang dari tiga she itu untuk dibunuh?" Anak itu merasa betapa tugas ini
benar-benar gila! Wanita itu menggeleng kepala. "Tugasku baru sempurna dan berakhir kalau musuh
yang sesungguhnya dari subo telah dapat kubunuh. Mereka itu adalah Cia Bun Houw,
Yap In Hong, dan Tio Sun. Mereka bukan orang-orang lemah, melainkan pendekar-
pendekar yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi aku sudah bersumpah tidak
akan menikah sebelum berhasil membunuh mereka bertiga. Oleh karena itu, sekarang
aku mengantarmu ke kota raja sambil bendak menyelidiki mereka, sute."
"Aku akan membantumu, suci."
Sucinya menggeleng kepala. "Engkau baik sekali, sute, dan biarpun usiamu baru
empat belas tahun, namun kepandaianmu sudah boleh diandalkan. Akan tetapi mereka
itu lihai sekali, terutama Cia Bun Houw itu. Subo pernah terluka ketika
menghadapinya. Akan tetapi... aku telah mempelajari ilmu-ilmu khusus yang
diciptakan oleh subo, istimewa untuk menghadapi mereka bertiga. Aku tidak
takut." Tiba-tiba wanita itu lalu bersuit nyaring. Suaranya melengking bergema di
seluruh hutan, dan Siong Bu yang mengintai hampir saja terjengkang. Dia cepat
menutupi kedua telinganya dan menahan napas. Terdengar suara derap kaki kuda dan
roda kereta, dan tak lama kemudian nampaklah sebuah kereta yang amat indah,
ditarik oleh empat ekor kuda dan di belakang kereta itu nampak belasan orang
penunggang kuda, semuanya gagah perkasa, tinggi besar dan berpakaian sebagai
perwira-perwira. Mereka semua turun dari kuda dan memberi hormat secara militer
kepada anak itu, dengan berlutut sebelah kaki. Anak itu mengangkat tangan ke
atas sebagai tanda menerima salut mereka dan wanita itu lalu berkata, "Kalian
antar kami sampai perbatasan, di sana harus berganti kuda. Akan tetapi kita
singgah dulu di Istana Lembah Naga karena aku ada urusan dengan penghuninya."
Para perwira itu mengangguk dan wanita tadi lalu memasuki kereta bersama
sutenya. Kereta berderak-derak meninggalkan tempat itu diikuti oleh tujuh belas
orang pengawal yang membuang ludah ketika melihat mayat lima orang tadi.
Setelah mereka pergi, barulah Siong Bu berani bernapas. Akan tetapi jantungnya
berdebar tegang. Wanita itu mengatakan hendak singgah di Istana Lembah Naga! Ke
rumah pamannya! Dan dia, teringat ketika dia mengintai ke kamar Sin Liong di
dekat kandang kuda, ketika anak monyet itu menangis di pangkuan bibinya dan
teringat dia betapa bibinya mengatakan bahwa Sin Liong adalah seorang she Cia,
bahkan menyebutkan nama ayahnya, yaitu Cia Bun Houw! Dan bukankah Cia Bun Houw
ini merupakan musuh utama dari wanita tadi" Siong Bu lalu menyelinap di antara
semak-semak, menuju pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Siapakah wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu" Pernah
diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika
diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi
dan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara
mengerikan dia telah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she
Tio, Yap, dan Cia. Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang
mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan.
Sekarang dia masih nampak cantik sekali, biarpun usianya sudah kurang lebih tiga
puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, seperti seorang puteri raja
saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu
membuat dia nampak manis sekali.
Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini" Melihat wajahnya dan suaranya ketika
bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi
mengapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang
oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita
Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu ketika pasukan Raja
Sabutai menyerbu ke selatan (baca cerita Dewi Maut). Karena Raja Sabutai
tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun,
maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para
perajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang.
Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia
cerdik, setia, dan cekatan, akhirnya sang permaisuri suka kepadanya dan
diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta
itu. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua
orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang
sukar dicari bandingannya pada waktu itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-
ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari
Negara Sailan. Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat
Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Raja Sabutai mengandalkan
kekuasaannya, berhasil menyelamatkan subonya itu dari kematian dan membawa
subonya itu untuk dirawat, meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek
dan nenek iblis itu tinggal.
Karena Hek-hiat Mo-li telah tua, pikun, berwatak aneh, suka marah dan mudah
membunuh orang begitu saja, maka sukarlah untuk merawat dan melayaninya. Akan
tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik
sehingga amat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang
ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan
main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari
jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi
dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan
besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi daripada dayang-dayang
istana yang biasa. Namun dia belum juga puas. Dia tahu bahwa nenek seperti iblis
itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang
amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin
berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di
istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan
dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan mampu melayaninya,
dia lalu "memperlihatkan" kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan
dia berhasil! Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan
untuk membikin senang hati nenek itu dan sri baginda, akan tetapi juga
kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li
adalah seorang nenek luar biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa!
Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya
ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, sungguhpun memang dia ingin
sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apabila
dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri
Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya, dari
seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!
Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah
seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat dayang yang merawatnya penuh
ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga
dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan
oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu.
Nenek pikun ini mulailah mengajaknya bercakap-cakap, bahkan menceritakan tentang
sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua
sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas,
karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang
tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim
Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-
musuhnya! "Kau..." Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Orang macam engkau mana mampu mewakili aku untuk
membunuh mereka?" Nenek itu mentertawakan.
Kim Hong Liu-nio menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mendidik saya dan
menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sukarnya bagi saya untuk
membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati
tenang?" Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak
kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu
silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali ketika mendapatkan
kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!
"Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!"
akhirnya dia berkata. Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia
menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li
terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih
perawan?" Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan
juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia
mengangguk. "Bagus! Aku telah menciptakan beberapa ilmu yang hanya dapat dipelajari dengan
sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang engkau harus bersumpah
bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, dan Cia yang
kautemukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap keturunan
tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku, yaitu
Yap In Hong dan kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo
bersumpahlah...!" Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio lalu bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu.
Kemudian tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu
menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali,
dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya
terluka. "Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil di situ,
dan itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi
bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, engkau tidak
boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan
keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itupun akan lenyap dan aku akan
membunuhmu!" Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang
amat sakti luar biasa dan keji. Dengan suara tenang dia lalu mengucapkan
sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang
musuh besar dari gurunya.
Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hi-hik, sekarang
kau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan
diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suhengmu ke sini."
"Su... suheng...?"
"Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suhengmu?" bentak nenek itu. "Hayo
lekas minta supaya datang ke sini, sekarang juga."
Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah
suhengnya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja
Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba
di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.
"Eh, Kim Hong, mengapa engkau menringgalkan subo dan datang menghadap tanpa
diundang?" sri baginda berkata dengan halus.
"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... lo-thai-thai (nyonya
tua) untuk minta paduka suka datang kepadanya beliau sekarang juga..." Tentu
saja dia tidak berani lancang menyebut "subo" kepada nenek itu.
Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka diapun bergegas pergi
bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subonya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-
li lalu berkata, "Eh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."
"Sumoi...?" "Heh-heh, dia itulah sumoimu!"
"Kim Hong...?" Sabutai terbelalak.
Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau raja marah
dan merasa terhina, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan tanpa
berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun kepada
hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."
"Ih, kau menyebut nyonya tua kepadaku" Murid apa kau ini?" Tiba-tiba nenek itu
membentak. Kim Hong Liu-nio terkejut dan melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita
tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri
untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba
menjadi murid..." Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid
subo" Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?"
"HUUH-HUH-HE-HEH! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya
sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik! Dan pula dia sudah
bersumpah akan membunuh tiga empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda
saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu,
sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ
sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil
membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda
mengawasinya. Kalau musuh-musuh belum mati dan tahi lalat itu lenyap, berarti
dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!"
Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah,
memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua mana bisa
mengawasi dia terus" Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak
akan ada orang lain yang tahu. Siapa kira, nenek iblis itu kini membuka rahasia
ini kepada Raja Sabutai, bahkan memesan kepada raja itu untuk mewakilinya
menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.
Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan
ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja,
dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di
tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih. Akan tetapi,
semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa
dayang ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan kepandaian
yang amat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang
memperlakukannya sebagai seorang dayang.
Apalagi setelah putera dari Raja Sabutai, mulai dilatih ilmu silat, maka
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk
mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw,
putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari
Khamila, ibu kandung anak itu, sedangkan nama pemberian ayahnya adalah Pangeran
Oguthai! Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya" Hal ini
ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Kharmila dan suaminya
sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan
peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan
isterinya yang tercinta, yang masih amat muda dan cantik jelita, belum mempunyai
keturunan. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru
berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang
pembesar. Di waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi
tawanan raja liar, yaitu Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara.
Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini
amat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh
oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke
selatan. Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya
yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena
sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta inipun belum pernah ada
selirnya yang memperoleh keturunan, maka dia dapat menduga bahwa dialah yang
tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal
dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini. Ketika dia
kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya
yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar
dapat meninggalkan keturunan dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak
akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan malu mempunyai anak yang
sebetulnya mempunyai darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan
kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai raja
liar. Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Sang Permaisuri
Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu.
Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih
sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua
orang muda itu saling jatuh cinta! Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh
Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak
laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah dapat
lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.
Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas dalam
cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai
alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja
Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang
pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis
Khan yang termashur itu. Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak
itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung
yang sesungguhnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah
nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas
kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itupun sang permaiskiri
itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.
Biarpun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan,
maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu meniadi seorang gagah
perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau
Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subonya untuk digembleng,
dan dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan sucinya, Kim Hong Liu-nio
yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini.
Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan
lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini
telah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa
yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong
Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian
Raja Sabutai sendiri! Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta
itu dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-
hiat Mo-li bagi muridnya ini untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang
bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tidak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi
melatih diri. Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke
Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, Khamila diam-diam memanggil Kim Hong Liu-
nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan
permaisuri itu menghadap. Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan
berkatat "Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau telah tahu akan
rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku?" Permaisuri yang
masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh
selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda daripada
wajah sang permaisuri, sungguhpun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah
tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih
sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mujijat
yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak
tua! Kim Hong Liu-nio yang dulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang
itu kini menjadi seorang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi
terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab.
"Hamba ada mendengar sedikit tentang hubungan sang pangeran dengan Kaisar
Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih
banyak?" Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah seorang
yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri
baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh
karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw
adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."
Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan kaget mendengar ini, karena memang
dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut
"sute" kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han
sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han dan
pandai membaca dan menulis pula!
"Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka. Apakah
maksud paduka dengan membuka rahasia ini" Perintah apakah yang hendak paduka
berikan kepada hamba?"
"Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?"
"Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?"
"Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?"
"Hamba disuruh menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu
setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah
Naga akan dipakai oleh sri baginda."
"Ehh" Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?"
"Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri
baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam
undargan itu nanti setelah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang
paling pandai di antara mereka, yaitu yang dapat mengalahkan hamba, untuk
selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."
"Ihhh... Apa perlunya itu" Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah hebat,
dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku
maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan
itu?" "Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan
hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata Kim
Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang
selama ini mendidik Han Houw.
"Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengar, Kim Hong, aku
mempunyai urusan vang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan
perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya
setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?"
"Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba akan melaksanakan segala perintah
paduka dengan taruhan nyawa hamba."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, setelah engkau mengunjungi
Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kauajak serta, kauantarkanlah
anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."
"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali
tidak disangkanya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya.
"Hamba... hamba... mendengarkan..." katanya.
"Aku mendengar bahwa waktu ini, kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa
tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau
puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia
menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan
kaisar, Kim Hong." "Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tidak akan mudah untuk
dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ah,
rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal
seperti itu?" Permaisuri Khamila tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau
bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan
dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."
Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita
ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras
mengatakan, "Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah
sumoiku sendiri, bahkan Oguthai adalah sutemu juga. Maka, engkaulah yang
bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"
"Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Nyawa hamba yang menjadi
tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh
dengan kebanggaan. Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw
menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dikawal oleh tujuh belas orang
pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala
keperluan sang pangeran. Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu
dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang
sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio
mengajak sutenya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin "melatih" sutenya
itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan
seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat
mereka tewaskan dan setelah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang
mengirim surat beracun yang berbahaya itu.
Seperti tidak pernah terjadi sesuatu kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw
telah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini
menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan
memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya
dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan
yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.
*** "Sin Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa
sebatang cambuk rotan yang sudah dipersiapkannya untuk menghajar anak itu.
Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak
mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.
"Sin Liong, di mana kau" Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak.
Tiba-tiba terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan
dekat kandang itu. "Gi-hu memanggil saya" Saya berada di sini..."
Hok Boan lari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia
melihat Sin Liong duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau, anak jahat
dan kurang ajar!" Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon dan berdiri di
depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkat
ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong
Bu pagi tadi. "Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan
dan laranganku dahulu itu" Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa
yang kauandalkan" Hayo siapa?"" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada
isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi
karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu
kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan
ibu angkatnya! Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini
amat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja kalau
dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini
dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.
"Kau tidak lekas berlutut minta ampun?" kembali Hok Boan menghardik, makin marah
melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik
ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi.
Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa" Dalam urusan
antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong
Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu
menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak
berlutut, apalagi minta ampun.
"Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak dan dia
mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan
mendorong-dorong sehingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan ketika dia mendorong
melangkahi anak tangga, dia terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun
dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, dan Beng Sin
memandang dengan mata terbelalak!
Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajar di
rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga agar
dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-
benar. "Di mana Siong Bu?" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan
suara membentak. "Suruh dia ke sini!"
"Dia tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.
"Dia tadi lari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan mata
terbelalak ketakutan. Mendengar ini, makin kasihanlah rasa hati Hok Boan kepada Siong Bu, dan makin
marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo kau berlutut dan minta ampun!"
bentaknya dan cambuk rotan di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengar
bunyi cambuk menyambar lalu menimpa punggung Sin Liong, nyaring sekali suaranya,
bertubi-tubi. "Hayo berlutut!" bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap
jendela, kedua tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya
sendiri untuk mencegah dia menangis.
"Tar-tar-tar-tar!" Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin
Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras karena rasa nyeri
menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak
mengeluh, apalagi berlutut minta ampun!
"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!" Hok Boan menjadi makin marah menyaksikan kebandelan
ini, merasa seolah-olah dia ditantang!
Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka.
"Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak.
"Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata
dan anak perempuan ini sudah menangis.
Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali
kepada Sin Liong, apalagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu
agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin
Liong. Dia melihat warna merah dari balik baju Sin Liong, tanda bahwa kulit
punggung itu tentu sudah pecah-pecah berdarah!
"Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak
bersalah... paman ampunkanlah dia..." anak gendut itupun minta ampun sambil
berlutut. Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, melainkan karena dibakar oleh
kemarahannya sendiri. Dia tadi tidak mendengar suara kedua orang anak perempuan
itu, akan tetapi ketika Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan
ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah
tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong" Dia
tertegung terheran dan agak bingung.
"Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!"
Hok Boan terkejut, juga tiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main
lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah,
wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak
memperdulikan segala yang terjadi, juga tidak memperdulikan apakah dia akan
dicambuki lagi ataukah tidak.
"Siong Bu! Ada apa...?" Hok Boan bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang
anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.
"Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau
membunuh orang... mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong Bu
berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.
Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya
itu kelihatan begini ketakutan. Tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih
tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap
begini penakut! "Bicaralah yang jelas!" bentaknya dan kini dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan
dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah terjadi?"
Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang
terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan
anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya
karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu
berkata, "Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, sakti
dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka
membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang amat indah,
dikawal oleh belasan orang perajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu
menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam
seperti iblis..." Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita
utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia
merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya,
"Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?"
"Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau
membunuh semua orang dengan tiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang
ke Lembah Naga ini...!"
Kini yakinlah Hok Boan bahwa memang benar wanita lihai utusan Raja Sabutai
itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa
khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengeriannya
membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut.
"Mengapa engkau ketakutan seperti itu" Wanita itu bukanlah musuh kita, dia
mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan" Di
sini tidak ada seorangpun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Jangan kau
mudah sekali ketakutan, Siong Bu..."
"Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?"
Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan telunjuknya kepada Sin
Liong yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu...?" bentaknya.
"Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."
Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia...?"
Hok Boan cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita
itu yang segera dikenalnya. Biarpun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi
seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan
pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada
wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan
agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat
hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia
seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu
uslanya kini sudah bertambah sebelas tahun!
Cepat! Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum
dan berkata lembut, "Aih, kitanya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami.
Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan
baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"
Akan tetapi, wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat
menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke
sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, sejenak menatap wajah Sin Liong
karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.
"Siapakah yang she Cia?" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang
singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali
karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!
Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong.
Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, hal ini sungguh
amat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia
tidak bisa menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena
sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya.
Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa
isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Biarpun dia agak membenci Sin Liong
karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel,
akan tetapi dia tidak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang
begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan
memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.
"Tidak... tidak ada yang she Cia..." kata Hok Boan sambil menggelengkan
kepalanya. "Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?" Tiba-tiba wanita itu suaranya
dingin, amat menyeramkan.
"Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?"
"Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo
mengaku, siapa she Cia di antara kalian?"
Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang
terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah
she Cia. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak
mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu. Bukankah wanita ini yang tadi
diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan
Cia" Kenapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh
oleh wanita itu" Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali
tidak membuka mulut! "Hayo katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!" Wanita
itu kembali melayangkan pandang matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai
kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang
berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian. Kim Hong Liu-nio
merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas
melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal
anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki dan sedikitpun anak itu
tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa punggungnya
pecah-pecah kulitnya dan berdarah! Lalu dia menoleh kepada Siong Bu yang
tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan
dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio mendapatkah akal.
"Hayo katakan, kalau tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil
menghampiri Siong Bu. Anak laki-laki yang tadinya memang sudah merasa ngeri dan
ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini menggigil kedua
kakinya den mukanya menjadi pucat sekali.
"Bukankah engkau tadi yang bilang tentang orang she Cia" Hayo katakan, di mana
dia, kalau tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Berkata demikian, Kim Hong
Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu. Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-
geleng kepala tak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin
heran den juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat terhadap
dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa sekarang, biarpun
diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-
nya kepada wanita iblis itu" Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga
terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat!
"Harap jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba Hok Boan berseru dan melangkah maju
menghampiri wanita itu. Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu membalikkan tubuhnya dengan perlahan,
tersenyum dan mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau berani
menentangku, ya" Kaukira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga kalau aku
menghendaki" Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?"
"Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak
mempunyai hubungan dengan musuh-musuhmu..."
"Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?"
Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan
biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya
sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biarpun dia tahu bahwa wanita ini amat
lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena
dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu,
mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.
"Apa yang akan dilakukan orang kalau keluarganya diganggu" Tentu saja dia akan
melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat
sedikit. "Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kauwarisi dari Go-bi-pai
itu amat lihai. Nah, coba kauhadapi seranganku, apakah engkau dapat bertahan
sampai sepuluh jurus?"
"Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan
saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."
"Cukup! Kau lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku
sampai sepuluh jurus!"
Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu
merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu
bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai daripada pamannya, maka
kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita
iblis ini, agaknya tidak akan kalah.
"Ke mana kau?" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu
dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang
seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu. Melihat ini,
terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya
kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka
apapun. "Kouwnio, engkau terlalu mendesak orang!" Hok Boan berseru marah melihat
keponakannya, yang sebetulnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka
dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu.
"Hemm, ini adalah Hek-wan-hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai,
bukan" Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." Kim Hong Liu-nio berkata
sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu. Hok Boan terkejut karena
baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya, akan
tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak
perduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan
lihai sekali, diapun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh.
"Ehh" Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi)
untuk membunuh aku" Hemm, kau harus dihajar!"
Memang Hok Boan telah menggunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk
menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya telah mengenal
ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah
pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu
bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya,
dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya
dari samping. "Plakk!" "Aughh...!" Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah
segar! "Berani kau melukai suamiku?" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru
saja datang. Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih
mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong
tentu akan dihajar, akan tetapi diapun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya
hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan
bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam
kamarnya. Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin,
dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jerit dua orang
anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat
Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi.
Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut
dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak
berubah semenjak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan
tetapi ketika dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah
sekali. Tidak perduli wanita itu utusan Raja Sabutai, kalau kini mengganggu
keluarganya, harus dilawannya. Maka dia sudah membentak marah dan menerjang
wanita itu dengan pedangnya!
Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu dia adalah seorang ahli menggunakan
siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung,
dia hanya mempergunakan pedang tunggal, akan tetapi dengan menguasai Ilmu Im-
yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat.
Apalagi karena Si Kwi terkenal dengan gin-kangnya sehingga dahulu dia pernah
mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang amat cepat
seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian merah. Maka kini
serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali.
Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan
mulutnya berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kaupergunakan?"
Dengan amat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang dan
gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar
lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi.
"Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?"
Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya,
melainkan mengangkat sedikit tangan kirinya.
"Cringgg...!" Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Pedangnya hampir saja
terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan
kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil belasan buah banyaknya. Gelang-gelang
kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan
main! Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak
lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan diapun menghentikan serangannya.
"Kenapa kau menyerang suamiku?" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah
berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja
Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia
akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya.
"Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu kami
sekeluarga yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan
berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tidak akan mampu
menghadapi wanita ini. Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan
membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Maka lebih
baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah.
Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar
matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan
satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia?"
Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini.
"Orang she... Cia..." Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio?" tanyanya
dengan wajah berubah pucat.
Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik,
sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu.
"Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini?" tanyanya, suaranya penuh
ancaman. Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut nyonya buntung.
Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang
sehingga dia tidak memperdulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini tidak ada
yang she Cia!" jawabnya tegas.
Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik
itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang
menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah
orang she Cia di sini?"
Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!"
jawabnya dengan suara tegas pula.
Juga kepada laki-laki ini, Kim Hong Liu-nio memandang dengan tajam. Kemudian dia
menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak. "Adik manis,
siapakah orang she Cia di sini?"
Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu...
tidak ada she Cia..."
Kim Hong Liu-nio berpaling kepada Lin Lin, yang menundukkan muka. "Dan kau, nona
cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?"
Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan
menjawab, "Tidak tahu, tidak ada she Cia."
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kim Hong Liu-nio terus memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong
akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak
ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tidak ada harganya bagi
dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali, "Kau, bocah gemuk. Siapa
orang she Cia di sini?"
"Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan
tegas, lalu menundukkan mukanya.
Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-
gerik wanita itu, kini ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya
berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya. "Sekarang engkau,
yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini?"
Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi
dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini
tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat dia menundukkan muka
pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong. Kembali Sin Liong merasa
terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapapun juga, keluarga ini
tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini mendatangkan perasaan
sedemikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan
wajahnya berseri-seri, rasa nyeri di punggungnya lenyap tak terasakan lagi!
Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap
untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan
kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan
tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang amat
mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang
karena dia yang sejak dahulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan
sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis
memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu
terkandung ancaman maut mengerikan.
Senyum itu melebar sehingga nampak sekilas pandang gigi putih kemilau di balik
belahan bibir merah basah itu, lalu bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia,
"Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa,
baru kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tidak akan menjadi manis lagi
kalau ujung hidungnya kupotong...!" Cepat bagaikan kilat, tahu-tahu tangannya
telah mencengkeram pundak Lan Lan dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan
Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit.
"Akulah orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras.
Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-
kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong
Liu-nio dengan penuh kemarahan.
"Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she
Cia yang kaucari-cari!"
Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga
tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat
dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong lengan mata
bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman.
Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata
yang mencorong seperti mata anak naga itu.
"Liong-ji...!" Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di
dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan
taruhan nyawa. Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu
angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai
bukan main dan baik ibu angkatnya maupun ayah angkatnya bukanlah tandingan
wanita itu. "Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak
perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu
melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali sehingga
Si Kwi terbelalak dan tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia
teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar
matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi
tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil
yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui
Hok Boan, sedikitpun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak
lain! "Benarkah engkau she Cia?" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang
kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat
keberanian anak ini. "Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau
adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku
sendiri tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat
ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong
pendiam dan tidak banyak bicara. "Maka engkau tentu mau mengatakan pula mengapa
engkau mencari orang she Cia?"
"Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio.
"Mengapa" Apa salahnya orang-orang she Cia?" tanya pula Sin Liong.
"Anak kecil mau mampus kau tahu apa! Bersiaplah untuk mampus!"
"Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu
itu tidak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh
seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan" Kalau kau memang gagah
berani, hayo kauhadapi ayahku dan juga she Cia, barulah seimbang!"
"Monyet kecil, siapa ayahmu?" Kim Hong Liu-nio membentak marah. Dia tidak tahu
bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka
bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet.
Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki. "Dan kau srigala betina
besar! Kau mau tahu ayahku" Ayahku adalah pendekar paling hebat di dunia ini dan
kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada
srigala betina yang kejam seperti engkau ini!"
Kim Hong Liu-nio hampir tak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar
dan terdengar bunyi "prakk!" ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-
keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk
merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih
berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan
meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat
dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin.
"Liong-ji, jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya.
"Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum
mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!"
"Huh, karena berada di sini maka kau enak saja mengancam hendak membunuh aku,
coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutkupun engkau takkan mampu. Aku
menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu,
biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu.
Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka
engkau ini tidak ada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang
beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beranimu hanya mengganggu orang-orang
lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!"
"Liong-ji...!" Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara
seperti itu di depan wanita ini! Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang,
seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum
pernah ada orang berani bicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai
sendiri tidak pernah menghinanya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa
akan kemarahannya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi
harus berbuat apa! "Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tidak dapat membunuh ayahmu dan
nenek moyangmu, aku tidak mau mmakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!" Wanita itu
akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai mengkal
sekali hatinya dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting
kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang.
"Bres!" Kaki wanita itu kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas
lantai dengan pengerahan sin-kang, kaki itu amblas sampai hampir selutut
dalamnya! Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng
Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum.
Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman!
"Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau
kau mau tahu!" Kata Sin Liong sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan
matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan
ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak
menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang
selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu.
"Ahhhhh...!" Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan
tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi kaget setengah mati dan
terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong. Tentu saja dia sudah
mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini
yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw,
meremang bulu tengkuknya.
"Bohong!" Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw" Huh,
siapa percaya omonganmu" Jangan kira engkau akan boleh menakut-nakuti orang
dengan nama Cia Bun Houw yang kauakui sebagai ayahmu!"
Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan kedua tangan bertolak
pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong untuk
menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw!
Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk
melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang
dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi
awas, aku mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai kau
berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran kalau kau sudah
menggelinding mampus di depan kaki ayahku!"
Diam-diam Kim Hong Liu-nio merasa curiga dan ragu-ragu. Kalau benar anak Cia Bun
Houw, sungguh mengherankan mengapa bisa berada di Lembah Naga" Bukankah anak ini
katanya menjadi anak angkat Kui Hok Boan" Akan tetapi melihat sikapnya, anak ini
jelas bukan anak sembarangan, dan memang ada pantasnya kalau menjadi anak
seorang yang luar biasa. Membunuh anak ini memang mudah, akan tetapi hatinya
akan selalu merasa penasaran, dan memang seperti dikatakan anak ini tadi,
membunuh anak ini sama sekali bukan hal yang dapat dibanggakan, bahkan menodai
nama besarnya sebagai seorang gagah perkasa. Tangan kirinya sudah diangkat, siap
untuk mengeluarkan tamparan maut, akan tetapi tangan itu turun kembali. Bohwat
(kehabisan akal) juga dia menghadapi anak yang luar biasa ini. Akan tetapi dia
teringat akan sesuatu, lalu dia mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan
anak ini sampai dia yakin betul sebelum dia turun tangan.
"Eh, anak setan! Kalau benar engkau putera Cia Bun Houw seperti yang kau akui
itu, katakan siapa ibumu!" Kim Hong Liu-nio mendengar bahwa musuh besar utama
gurunya itu, yaitu musuh utama yang bernama Cia Bun Houw, berjodoh dengan
seorang pendekar wanita sakti yang menjadi musuh besar gurunya pula, yaitu yang
bernama Yap In Hong. Akan tetapi dia tidak tahu apakah mereka itu terus menjadi
suami isteri ataukah tidak karena kabarnya belum pernah mereka itu menikah, atau
belum pernah pernikahan antara mereka itu dirayakan karena pernikahan mereke itu
tidak direstui oleh ayah pendekar Cia Bun Houw itu.
Akan tetapi jawaban Sin Liong benar-benar mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Anak itu
dengan suara lantang berkata, "Aku tidak tahu siapa nama ibuku, akan tetapi ibu
kandungku itu meninggal dunia dan dia juga seorang pendekar wanita yang sakti
karena dia dahulu adalah murid mendiang Hek I Siankouw."
"Ahhh...!" Sekali ini Kim Hong Liu-nio berseru kaget dan memandang kepada Si Kwi
dengan mata terbelalak lebar. Wanita yang biasanya bersikap dingin dan angkuh
itu sekali ini tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya sehingga dia
memandang bengong kepada Si Kwi seperti seorang yang tolol.
Si Kwi menundukkan mukanya dan seperti kepada diri sendiri dia berbisik-bisik
tanpa ada suara keluar dari mulutnya. Kim Hong Liu-nio masih tetap menatap wajah
Si Kwi dan tanpa mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia menujukan
pertanyaannya kepada Sin Liong.
"Anak setan, kau bohong! Bagaimana kau tahu akan semua itu" Siapa yang memberi
tahu kepadamu?" "Kau berani bilang bohong" Yang memberi tahu kepadaku adalah ibu angkatku
sendiri! Jangan menuduh yang bukan-bukan, kalau kau takut terhadap ayahku,
katakanlah saja terus terang!"
Kini wanita itu melangkah maju menghadapi Si Kwi dan terdengar suaranya aneh
sekali, agaknya seperti orang terheran-heran, "Liong Si Kwi, benarkah itu?"
Si Kwi menundukkan mukanya dan muka itu kini menjadi merah sekali. Dengan suara
lirih dia berkata, "Benar... ibu kandungnya... sudah mati..."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring sekali dan Hok Boan bersama anak-
anaknya yang berada di situ terkejut bukan main. Wanita itu kini tertawa, suara
ketawanya aneh, merdu dan nyaring akan tetapi mendekati suara tangis! Wanita itu
agaknya geli bukan main, tertawa-tawa sampai ada beberapa butir air mata
membasahi pipinya dan dia masih tertawa seperti orang terisak ketika dia
menggunakan ujung sabuk merah menghapus air matanya!
"Hi-hi-hik, Liong Si Kwi, kaukira rahasia busuk bisa ditutupi selamanya" Jadi,
ketika engkau berjina dengan Cia Bun Houw dahulu itu, sampai tangan kirimu
dibuntungi sebagai hukuman, ternyata hasilnya adalah bocah ini" Ah, kiranya
engkau melahirkan keturunan Cia Bun Houw!"
"Ehhh...?" Kui Hok Boan terkejut bukan main. Rahasia itu sama sekali tidak
pernah didengarnya dari isterinya, maka diapun memandang kepada isterinya dengan
mata terbelalak. Liong Si Kwi merasa bahwa dia tidak perlu menyangkal pula karena rahasia itu
telah terbuka oleh pengakuan Sin Liong tadi. Pengakuan anak itu tentu tidak akan
membuka rahasianya kalau didengar orang lain. Akan tetapi wanita ini adalah
utusan Raja Sabutai, tentu saja telah mendengar akan semua peristiwa yang
dialaminya belasan tahun yang lalu di Lembah Naga, ketika Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li menawan pendekar sakti Cia Bun Houw (baca cerita Dewi Maut).
Mukanya menjadi merah dan karena sudah kepalang bahwa rahasianya telah diketahui
orang, dia lalu berkata, "Benar, anak ini adalah anak kandungku dari pendekar
sakti Cia Bun Houw!"
"Ibu...!" Sin Liong berseru, akan tetapi pada saat itu nampak segulung sinar
merah berkelebat dan Sin Liong terguling roboh ketika dia hendak lari kepada
ibunya, karena dia telah terdorong oleh sambaran ujung sabuk yang menyentuh
pundaknya. Agaknya wanita itu tidak bermaksud membunuhnya, maka sentuhan ujung
sabuk merah itu hanya membuat anak itu terguling. Lalu kelihatan asap mengepul
dan ternyata wanita itu telah menyalakan sebatang hio (dupa biting) dan
mengangkat kayu salib ke atas kepalanya.
"Liong Si Kwi, karena engkau telah melahirkan anak ketutunan Cia Bun Houw, maka
engkau terhitung keluarga dari Cia Bun Houw, maka bersiaplah engkau untuk
menebus dendam guruku, Hek-hiat Mo-li dengan nyawamu!"
"Tidak...! Jangan...!" Kui Hok Boan berteriak dan menerjang ke depan, akan
tetapi kembali sinar merah berkelebat dan saterawan itu terpelanting.
Si Kwi maklum bahwa percuma saja mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan
kata-kata terhadap wanita iblis ini, juga melarikan diri tidak akan ada gunanya,
maka karena dia masih memegang pedangnya, dia lalu berteriak nyaring dan tiba-
tiba saja tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak menyerang dengan
tusukan kilat ke arah dada wanita yang menyeramkan itu.
"Bagus, dengan begini kau patut mati sebagai keluarga Cia!" kata Kim Hong Liu-
nio dengan suara girang sekali karena memang dia akan merasa terhina dan kecewa
kalau membunuhi musuh-musuh gurunya tanpa perlawanan, seperti yang dikatakan
oleh anak setan tadi. Kalau musuhnya melawan, berarti dia membunuh musuh yang
dapat melawan, bukan sebagai srigala yang menggerogoti bangkai!
"Cringgg...!" Kembali pedang itu ditangkis oleh lengan kirinya yang memakai
gelang. "Ihhh...!" Si Kwi menjerit karena tertangkis oleh gelang di lengan wanita itu,
dia merasa pergelangan targannya tertotok oleh ujung biting, nyeri sekali
rasanya dan tanpa dapat dicegahnya lagi, jari-jari tangannya yang seperti lumpuh
sesaat itu melepaskan gagang pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai!
Terdengar wanita itu tertawa, akan tetapi Si Kwi sudah cepat menggerakkan
tangannya. Terdengar suara angin bersiutan dan sinar-sinar kecil hitam menyambar
ke arah tujuh jalan darah di depan tubuh wanita itu. Itulah Hek-tok-ting (Paku
Hitam Beracun), senjata rahasia yang ampuh dari Liong Si Kwi. Setiap paku
merupakan ancaman maut dan tujuh batang paku itu menyambar dengan kecepatan yang
amat hebat karena dilepaskan dari jarak yang hanya tiga meter jauhnya!
"Hemm...!" Wanita cantik itu benar-benar hebat bukan main. Dia tidak kelihatan
gugup sama sekali, bahkan memandang rendah. Tangan kiri yang memegang sebatang
hio itu tidak bergerak, akan tetapi tangan kanan yang memegang kayu salib
bergerak cepat ke atas dan menyambar ke bawah. Dan ternyata bahwa paku-paku itu
semua menancap di atas papan kayu berbentuk salib itu, dan hebatnya, semua paku-
paku itu menancap di bagian ujung kayu yang bertuliskan huruf Cia! Wanita itu
bukan hanya mampu menangkis semua paku, akan tetapi lebih daripada itu, dia
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu membuat semua paku itu menancap di tempat yang sama, yaitu di ujung yang
ditulisi huruf Cia, seolah-olah menjadi tanda bahwa calon korbannya itu adalah
keluarga marga atau she Cia!
Bukan main kagetnya hati Si Kwi. Dia tadi mendengar bahwa wanita ini adalah
murid Hek-hiat Mo-li, akan tetapi dia yang pernah menyaksikan kesaktian Hek-hiat
Mo-li, kini harus mengakui bahwa wanita iblis ini agaknya malah lebih lihai
daripada gurunya. Akan tetapi dia telah nekat. Rahasianya telah dibuka dan tentu
hal itu akan mempengaruhi hubungan antara dia dan suaminya. Selain itu, dia
harus mencoba untuk membela Sin Liong, anak kandungnya sendiri, di samping itu,
kini terancam bahaya maut dalam mempertahankan nama Cia Bun Houw, pria pertama
yang pernah merebut kasih sayangnya, dia teringat akan pendekar itu dan hatinya
dipenuhi oleh perasaan mesra dan bangga karena dia diperbolehkan membela nama
pendekar sakti itu sebagai keluarganya! Maka dengan teriakan nyaring dia lalu
menubruk ke depan, menggunakan tangannya untuk mencengkeram ke arah kepala
lawan, sedangkan tangan kirinya yang buntung itu dipergunakannya untuk menotok
ke arah ulu hati! "ROBOHLAH engkau, ibu dari anak keturunan Cia Bun Houw!" Tiba-tiba Kim Hong Liu-
nio membentak dan sinar api kecil meluncur ke depan ketika tubuhnya mencelat
mundur. Itu adalah sinar api dupa biting yang masib bernyala dan yang kini
melesat ke depan, meluncur seperti anak panah cepatnya. Si Kwi pernah
menyaksikan wanita ini membunuh orang dengan sebatang hio, maka dia terkejut
sekali dan berusaha mengelak, namun dia kurang cepat karena dia tadi sedang
dalam keadaan menyerang. "Cuss...!" Dupa biting itu menyambar dahinya dan tepat sekali menusuk di antara
kedua alisnya sampai semua gagang hio itu lenyap!
Si Kwi mengeluarkan jeritan lirih dan tubuhnya terjengkang, roboh terlentang dan
tewas seketika dengan hio masih menancap di dahinya dan hio itu masih membara,
mengeluarkan asap ke atas! Seolah-olah nyawa wanita itu melayang melalui asap
yang keluar dari dahinya itu!
Kui Hok Boan terbelalak pucat dan terdengar jerit-jerit memilukan dari Lan Lan,
Lin Lin yang menubruk ibu mereka sambil menangis. Terdengar suara gerengan liar
seperti seekor monyet marah dan Sin Liong sudah meloncat, loncatan yang
dilakukan menurutkan nalurinya sebagai binatang, yang diperolehnya dalam
pergaulan dengan para monyet, dan dia sudah menubruk ke arah Kim Hong Liu-nio!
Wanita ini sedang memandang mayat lawannya dengan senyum penuh kepuasan ketika
Sin Liong menubruk. Tentu saja dia tahu akan serangan anak itu dan dia sudah
menggerakkan tangan kirinya untuk memapaki kepala anak itu dengan tamparannya.
Akan tetapi dia teringat akan maki-makian dan tantangan anak itu tadi, maka dia
menahan tangannya karena merasa malu kalau harus membunuh seorang bocah yang
sudah berani menantangnya seperti itu. Karena dia menahan tangannya dan karena
dia memandang rendah kepada Sin Liong, maka Sin Liong berhasil menubruknya dari
belakang dan seperti seekor monyet marah atau seekor harimau kelaparan, Sin
Liong mencengkeram dengan kedua tangannya. Tanpa disadarinya, kedua tangan itu
memeluk Kim Hong Liu-nio dan kedua tangan itu yang mencengkeram sekenanya telah
mencengkeram buah dada wanita itu! Kemudian Sin Liong membuka mulutnya dan
menggigit tengkuk! "Ihhhh...!" Kini Hong Liu-nio menjerit, bukan karena gigitan pada tengkuknya,
melainkan karena cengkeraman pada kedua buah dadanya itu. Tiba-tiba dia merasa
seluruh tubuhnya menggigil, jantungnya berdebar keras kepalanya menjadi pening!
Patut diketahui bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita berusia tiga puluh
tahun yang masih perawan, yang selama hidupnya belum pernah bersentuhan dengan
pria walaupun sudah sering dia mimpi akan hal itu. Kini, merasa betapa tubuhnya
dipeluk dan dadanya diraba tangan seorang laki-laki, biarpun laki-laki yang
masih anak-anak, dia seperti kemasukan getaran halilintar, tubuhnya menjadi
panas dingin dan tak terasa lagi dia menjerit. Akan tetapi, hanya sebentar saja
dia dikuasai perasaan aneh itu. Sekali wanita sakti ini menggoyang tubuhnya, Sin
Liong terlempar dan terbanting keras ke dinding ruangan itu. Sin Liong roboh dan
pingsan! Kui Hok Boan kini bangkit dan dengan terpincang-pincang dia berdiri menghadang
di depan anak-anak itu, khawatir kalau-kalau anak-anaknya akan dibunuh semua
oleh wanita iblis itu. Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tersenyum dan menggeleng
kepala. Kemudian menyimpan kembali kayu salib yang telah dicoretnya satu kali di
bawah nama Cia, memasangnya di punggung dan dia lalu memandang kepada Kui Hok
Boan. "Jangan khawatir, karena engkau benar-benar tidak tahu-menahu tentang keluarga
Cia, maka biarlah kau dan anak-anakmu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
keluarga Cia, kuampuni. Akan tetapi anak itu akan kubawa dia keturunan musuh
besarku!" Kim Hong Liu-nio menuding ke arah tubuh Sin Liong yang masih pingsan.
Kui Hok Boan adalah seorang yang pada dasarnya memang mempunyai watak pengecut,
yaitu kalau sudah terancam bahaya maut barulah sifatnya ini menonjol. Tadinya,
dia masih berwatak gagah melindungi isterinya dan melindungi pula Sin Liong,
akan tetapi kini semua kegagahannya itu luntur dan lenyap dan dia berubah
menjadi seorang yang rendah diri. "Terima kasih atas pengampunan kouwnio..."
katanya lirih sambil menundukkan mukanya.
"Sekarang dengarlah, Kui Hok Boan. Aku diutus oleh Sri Baginda Sabutai untuk
memberi tahu kepadamu bahwa sebelum enam bulan, engkau harus sudah meninggalkan
Istana Lembah Naga ini, dan semua penghuni dusun-dusun yang berada di sekitar
tempat inipun semua harus pergi. Kalau sudah lewat enam bulan dan masih ada
orang yang berada di sekitar sini, jangan salahkan kami kalau kami akan
membunuhnya. Mengertikah kau?"
Kui Hok Boan terkejut sekali dan cepat dia mengangguk-angguk. "Baik... baik...
akan saya taati..." Melihat betapa Kui Hok Boan yang tadi gagah seperti harimau kini menjadi jinak
seperti domba, padahal mayat isterinya masih hangat rebah di depannya, Kim Hong
Liu-nio mengeluarkan suara mengejek, "Huh!" Lalu dia membalikkan tubuhnyap
menyambar lengan Sin Liong yang diseretnya dan dibawanya keluar dari ruangan
itu, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang lagi.
"Sin Liong...!" Tiba-tiba Lin Lin menjerit dan bangkit berdiri, hendak lari
mengejar agaknya. "Lin Lin...!" Hok Boan membentak dan cepat dia menyambar lengan anaknya.
Kim Hong Liu-nio berhenti melangkah ketika sampai di pintu, menoleh dan melihat
betapa empat orang anak-anak itu memandang ke arah Sin Liong sambil menangis.
Maka berkatalah dia, "0rang she Kui, empat orang anak itu jauh lebih baik
daripada engkau!" Lalu sekali berkelebat lenyaplah bayangan wanita itu dari
situ. Maka terdengarlah tangis dan ratap di dalam ruangan itu, dan tak lama kemudian,
ratap tangis itu makin riuh ketika para pelayan melihat bahwa nyonya majikan
mereka telah tewas. Istana Lembah Naga diliputi suasana berkabung. Lan Lan dan
Lin Lin menangis tiada hentinya, dan Kui Hok Boan termenung dengan penuh
penyesalan. Baru terhadap Si Kwi dia benar-benar pernah mencinta dan setelah
menikah dengan Si Kwi, sifatnya yang mata keranjang menjadi reda. Akan tetapi
kini Si Kwi telah tewas dan meninggalkan dia seorang diri bersama empat orang
anak! Akan tetapi, kemudian dia teringat bahwa biarpun dia harus pindah dari
Lembah Naga, dan dia memang bermaksud kembali ke selatan, namun dia telah
menemukan harta karun dan kini telah menjadi seorang yang kaya raya, maka dia
tidak merasa khawatir. Hanya sedikit kebimbangan mengganggu hatinya. Di selatan
dia mempunyai banyak musuh!
*** Jeng-hwa-pang sekarang jauh berbeda dengan Jeng-hwa-pang belasan tahun yang lalu
ketika perkumpulan itu dipimpin oleh Jeng-hwa Sian-jin. Dahulu, perkumpulan itu
tidak sehebat sekarang ini, setelah Jeng-hwa Sian-jin meninggal dan perkumpulan
itu dipimpin dan dibangun kembali oleh muridnya. Kalau Jeng-hwa Sian-jin sebagai
bekas tokoh-tokoh Pek-lian-kauw selain berilmu silat tinggi juga ahli dalam ilmu
sihir, maka muridnya ini yang menuruni kepandalan ilmu silatnya tanpa menuruni
ilmu sihirnya, ternyata memiliki keahlian lain yang bahkan melebihi mendiang
gurunya, yaitu dalam hal ilmu tentang racun.
Jeng-hwa-pang sendiri mendapatkan namanya dari julukan Jeng-hwa Sian-jin, dan
kakek itu dijuluki Jeng-hwa Sian-jin karena dia telah menemukan kembang hijau
yang hanya bisa ditemukan orang di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan
Himalaya. Kembang hijau ini mengandung racun yang amat hebat, yang boleh
dibilang rajanya kembang-kembang beracun. Akan tetapi, kalau Jeng-hwa Sian-jin
mempergunakan khasiat kembang mujijat itu untuk melatih dan memperdalam ilmu
sihirnya, sebaliknya muridnya itu mempergunakan kembang hijau itu untuk
memperdalam ilmu tentang racun-racun! Maka kini terkenallah perkumpulan Jeng-
hwa-pang sebagai perkumpulan orang-orang yang ahli dalam mempergunakan racun
sehingga tentu saja amat ditakuti oleh golongan lain.
Akan tetapi, ketika Kaisar Ceng Tung memperoleh kembali tahta kerajaannya yang
tadinya diserahkan kepada adiknya ketika dia menjadi tawanan Raja Sabutai (baca
cerita Dewi Maut), kaisar ini telah mengerahkan orang-orang pandai,
mempergunakan tangan besi untuk menekan dan mengendalikan perkumpulan-
perkumpulan golongan hitam yang suka menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu,
Jeng-hwa-pang yang termasuk sebagai perkumpulan yang diawasi dan dibatasi
gerakannya, lalu mengungsi ke luar tembok besar dan untuk sementara mendirikan
sarang di dekat tembok besar di utara.
Ketua Jeng-hwa-pang bernama Gak Song Kam dan karena keahliannya bermain racun,
dia dikenal orang sebagai Tok-ong (Raja Racun)! Nama julukannya sebagai Tok-ong
ini sama terkenalnya dengan nama Jeng-hwa-pang yang tersohor. Dahulu, ketika
Jeng-hwa-pang masih dipimpin oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, perkumpulan ini
lebih condong mempelajari ilmu-ilmu sihir yang keji dan cabul. Jeng-hwa Sian-jin
"ketemu batunya" ketika sedang melaksanakan praktek keji dan cabul itu muncul
seorang kakek sakti yang membuatnya tewas dan anak buahnya menyerah dan
bertobat. Kakek sakti itu bukan lain adalah Bun Hoat Tosu (baca cerita Dewi
Maut). Untuk sementara perkumpulan itu benar-benar telah bubar. Akan tetapi
setelah Gak Song Kam berhasil memperdalam ilmu-ilmunya di Pegunungan Himalaya
dan mempelajari ilmu-ilmu tentang racun dari seorang pertapa di sebuah puncak
pegunungan itu, dia lalu mengumpulkan kembali bekas anggauta Jeng-hwa-pang dan
dia membangun kembali perkumpulan itu. Akan tetapi, tindakan tangan besi oleh
Kaisar Ceng Tung membuat dia terpaksa membawa para anggautanya yang jumlahnya
ada seratus orang itu untuk sementara waktu mengungsi ke perbatasan di utara,
dekat tembok besar. Jeng-hwa-pangcu she Gak ini telah menikah dengan seorang wanita she Tio, akan
tetapi dia tidak mempunyai keturunan. Isterinya membawa beberapa orang sanak
keluarganya yang juga she Tio ketika mengungsi ke utara dan mereka ini ikut
hidup senang sebagai keluarga isteri ketua perkumpulan besar, dan di antaranya
ada pula yang menjadi anggauta Jeng-hwa-pang.
Para anggauta Jeng-hwa-pang semua diberi pelajaran tentang racun oleh ketuanya
sehingga mereka rata-rata selain pandai ilmu silat, juga pandai mempergunakan
racun untuk mengalahkan lawan. Mungkin karena mengandalkan kepandaian sendiri
dan mengandalkan nama besar perkumpulan mereka, setelah pindah ke perbatasan di
utara, dalam beberapa tahun saja, Jeng-hwa-pang telah dikenal dan ditakuti,
malang melintang di perbatasan itu karena mereka merasa terlepas dari jangkauan
tangan besi kaisar. Akan tetapi, pada suatu hari terjadilah malapetaka menimpa keluarga ketua Jeng-
hwa-pang, yaitu pada suatu malam ketika ketua Jeng-hwa-pang sedang pergi bersama
beberapa orang pembantunya menangkap beberapa ekor ular gurun pasir, muncullah
seorang wanita yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio dan wanita ini secara kejam
telah membunuh isteri ketua Jeng-hwa-pang dan juga sembilan orang keluarga
wanita itu, kesemuanya she Tio! Tentu saja Jeng-hwa-pang menjadi geger, apalagi
ketika para anak buah Jeng-hwa-pang yang mengeroyok dibuat kocar-kacir oleh
wanita yang amat lihai itu.
Ketika Gak Song Kam pulang dan mendapatkan isterinya dan sembilan orang keluarga
isterinya tewas semua, dengan cara kematian yang aneh, yaitu dahi atau bagian
tubuh lain yang berbahaya tertancap oleh sebatang hio yang membara, tentu saja
dia menjadi marah sekali. Akan tetapi segera tersiar berita bahwa wanita bernama
Kim Hong Liu-nio itu telah merajalela, membunuh-bunuhi semua orang she Tio, Yap,
dan Cia yang dapat ditemukan di daerah itu, yang tentunya tidak banyak karena
yang dicari adalah orang-orang Han, sedangkan daerah itu lebih banyak didiami
oleh orang-orang suku bangsa lain.
Tentu saja Gak Song Kam merasa sakit hati dan berusaha untuk mencari wanita itu.
Dia merasa menyesal sekali mengapa dia pergi mengajak lima orang pembantunya
yang pandai sehingga ketika wanita itu datang membunuh isterinya, Jeng-hwa-pang
sedang kosong dari semua tokoh yang terpandai. Dia percaya bahwa kalau dia
berada di situ, tentu Kim Hong Liu-nio tidak akan begitu mudah membunuh orang,
apalagi membunuh isterinya! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Gak Song Kam
ketika dia menyebar anak buahnya untuk mencari dan menyelidiki wanita itu, dia
mendengar kabar bahwa wanita itu adalah seorang tokoh terkenal di utara, bahkan
masih saudara seperguruan Raja Sabutai! Lemaslah rasa tubuh ketua Jeng-hwa-pang
itu mendengar ini. Tidak mungkin baginya untuk menyerbu istana Raja Sabutai yang
dilindungi ribuan orang pasukan itu dengan seratus orang anak buahnya! Akan
tetapi, kematian isterinya harus dibalas! Oleh karena itu, Gak Song Kam ini
selalu mencari kesempatan untuk menantang Kim Hong Liu-nio, menantangnya secarg
pribadi, bukan sebagai keluarga Raja Sabutai! Tantangan yang lajim dilakukan
oleh orang-orang di dunia persilatan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan
kerajaan atau perkumpulan.
Demikianlah, kesempatan itu tiba ketika Kim Hong Liu-nio melakukan perjalanan
menuju Lembah Naga bersama sutenya, yaitu Ceng Han Houw, hanya dikawal oleh
tujuh belas perajurit pengawal. Kesempatan ini tidak disia-siakan dan cepat Gak
Song Kam menyuruh seorang di antara pembantu-pembantunya yang pandai untuk
mengirim surat tantangan kepada wanita itu. Dan seperti telah diceritakan di
bagian depan, pembantu itu berhasil mengirimkan surat tantangan istimewa itu
Pemberontakan Di Kertaloka 1 Mahesa Edan 3 Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih Rahasia Hiolo Kumala 6