Pendekar Lembah Naga 6
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
yang merupakan senjata-senjata maut berbahaya bagi penerimanya, namun yang dapat
diterima dengan baik oleh Kim Hong Liu-nio.
Setelah mendengar berita dari pembantunya bahwa surat tantangannya telah
diterima oleh wanita itu yang akan datang bersama seorang sutenya dalam kereta
indah yang dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, Jeng-hwa-pang menjadi sibuk
mempersiapkan penyambutan terhadap musuh istimewa itu.
Sementara itu, Kim Hong Liu-nio yang menyeret tubuh Sin Liong telah tiba di
dalam hutan di luar Lembah Naga, di mana Ceng Han Houw sedang menanti dengan
tidak sabar dalam keretanya sambil meniup seruling. Han Houw amat suka meniup
seruling. Ketika melihat sucinya datang menyeret tubuh seorang anak laki-laki,
Han Houw menyimpan sulingnya dan memandang heran. Apalagi ketika dia melihat
anak laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya itu telah membuka
mata, telah siuman akan tetapi sedikitpun anak itu tidak mengeluarkan kata
keluhan, bahkan memandang dengan mata melotot, dia menjadi makin terheran-heran.
Dia melihat sucinya melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah dan memandang penuh
kebencian. Sin Liong terguling, akan tetapi lalu merangkak dan bangkit berdiri.
Kedua kakinya menggigil, tanda bahwa dia lelah dan menahan nyeri akan tetapi
matanya melotot dan sikapnya angkuh!
"Eh, suci. Siapakah bocah ini?" tanyanya heran melihat betapa sucinya yang
biasanya tenang itu kini kelihatan marah-marah dan mendongkol.
"Bocah setan dia! Anak iblis dari neraka!" Kim Hong Liu-nio memaki-maki sambil
memandang dengan mata mendelik kepada Sin Liong. Anak itu juga membalas,
memandangnya dengan melotot lebar.
"Wah, anak setan dan iblis?" Han Houw bertanya, matanya terbelalak dan dia
memandang Sin Liong dari atas sampai ke bawah. "Kulihat tidak ada apa-apanya,
kenapa disebut anak setan dan iblis?"
"Dia adalah anak dari Cia Bun Houw, musuh besar dari subo, musuh yang paling
besar dari subo!" kata Kim Hong Liu-nio.
"Musuh yang paling besar dan paling ditakuti!" Tiba-tiba Sin Liong berkata. Dia
mendongkol sekali, dia tidak akan dapat mampu membalas semua siksaan, akan
tetapi biarlah dia membalas dengan kata-kata menghina agar menyakiti hati wanita
ini! "Ah, begitukah" Kenapa anaknya hanya begini saja?" Han Houw bertanya penuh
keheranan. Kalau ayahnya menjadi musuh utama yang kabarnya memiliki kepandaian
hebat tentu anaknyapun hebat. "Eh, kenapa kau bilang bahwa suci takut kepada
ayahmu?" tanya Han Houw yang mulai tertarik akan sikap bandel dan sama sekali
tidak takut dari anak itu.
Sepasang mata Sin Liong memandang anak laki-laki yang berpakaian amat mewah itu
dan kembali Han Houw terkejut. Mata anak ini seperti mata harimau saja,
pikirnya. Hatinya makin tertarik.
"Sudah jelas takut! Beraninya hanya mengganggu aku, anak ayah yang masih kecil,
tidak berani langsung berhadapan dengan ayahku!"
Han Houw tersenyum. "Dan apakah kau tidak takut kepada suci?"
"Aku" Takut" Huh, paling-paling dia bisa membunuhku, akan tetapi dia pasti tidak
akan lolos dari tangan ayahku. Anak harimau bisa saja dibunuh oleh kumpulan
srigala, akan tetapi anak harimau tidak akan merasa takut."
"Wah, wah, sombongnya! Kau menganggap dirimu anak harimau dan kami berdua
kaunamakan srigala" Wah, bukankah srigala itu anjing hutan" Celaka, suci, dia
berani memaki kita anjing hutan!"
"Itulah! Dia memang anak setan!" Kim Hong Liu-nio mengomel.
"Kenapa tidak bunuh saja dia agar mulutnya tidak banyak mengoceh lagi?"
"Hemm, sute. Kalau kita membunuh dia, maka makiannya itu terbukti, kita menjadi
seperti srigala membunuh seekor anak harimau seperti yang dikatakannya itu."
"Eh, maksudmu...?"
"Dia lemah akan tetapi penuh keberanian, dan kita berarti hanya membunuh dan
mengganggu anak-anak lemah saja."
Han Houw menggangguk-angguk, kini dia menoleh dan memandang kepada Sin Liong
dengan pandang mata baru, penuh kagum. Bocah ini luar biasa, pikirnya. "Eh,
siapa namamu?" dia bertanya, agak tersenyum dan suaranya ramah. Diam-diam Sin
Liong juga mengagumi anak laki-laki ini. Demikian tampan dan gagah, pikirnya,
dan sekecil itu telah menjadi sute dari wanita iblis ini!
"Namaku Sin Liong... eh, Cia Sin Liong!" tambahnya, menekankan nama keturunan
itu. "Sin Liong" Naga sakti" Hemm, namamu sama sombongnya dengan sikapmu."
"Aku tidak sombong, hanya paling benci kalau dikatakan takut. Aku tidak takut
apapun. Dan kau siapa" Benarkah kau masih sute dari Kim Hong Liu-nio ini?"
Ceng Han Houw mengangguk. Hatinya senang. Baru sekarang ada bocah yang bicara
kepadanya dengan sikap biasa, seperti dua orang yang sama derajatnya, seperti
teman. Biasanya, semua orang yang bicara kepadanya, apalagi anak-anak, tentu
kelihatan takut-takut dan bahkan dengan berlutut, memandang wajahnyapun tidak
berani! "Namaku Han Houw, aku she Ceng."
"Ceng Han Houw" Namamu juga gagah sekali. Apakah kau juga pandai silat seperti
sucimu ini?" Melihat dua orang anak itu bicara seperti dua orang sahabat saja, Kim Hong Liu-
nio menjadi tak senang. "Anak cerewet! Kaukita engkau ini siapa" Tawanan, tahu"
Sute, jangan layani dia!"
Akan tetapi Han Houw sudah seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan
baru, merasa sayang untuk melepaskan begitu saja. "Eh, Sin Liong, kau benar-
benar tidak takut kepada kami?"
"Tidak, seujung rambutpun tidak. Paling-paling kalian akan dapat membunuhku."
"Kau tidak takut mati?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Apa kau takut?" dia balas bertanya.
Han Houw terbelalak, berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Aku takut dan agak
ngeri juga." "Apa kau pernah tahu bagaimana mati itu?"
"Tentu saja belum!"
"Kalau begitu, bagaimana bisa takut?"
Han Houw tercengang, bingung, lalu menjawab ragu, "Entahlah. Eh, kalau kau tidak
takut kepada kami apakah kau berani bertanding melawan aku?"
Sin Liong memandang Han Houw dari atas sampai ke bawah. Anak itu tentu lebih tua
dua tahun daripada dia, lebih tinggi dan tegap. Dan mengingat bahwa anak ini
adalah sute dari Kim Hong Liu-nio, maka tentu ilmu silatnya juga hebat. "Aku
tidak ada urusan apa-apa dengan engkau, mengapa mesti bertanding?"
"Kau takut?" "Takut sih tidak."
"Kalau begitu kau berani."
"Tentu saja berani, akan tetapi, aku tidak mau. Tidak ada persoalannya, mengapa
berkelahi?" "Ha-ha, itu hanya alasan. Kau tentu takut kalah."
"Mengapa takut kalah" Tentu saja aku kalah olehmu, akan tetapi aku tidek takut."
Dan melihat sinar mata penuh ejekan itu, Sin Liong melanjutkan. "Kalau ada
alasannya yang kuat, tentu aku akan menerima tantanganmu."
Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio yang sejak tadi memang merasa mendongkol dan kini
sedang duduk di atas batu dekat kereta sambil mendengarkan, berkata-kata dalam
Bahasa Mongol kepada Han Houw. Sin Liong tidak mengerti artinya, akan tetapi
kemudian Han Houw lalu menghampirinya dan berkata, "Ah, kiranya engkau ini anak
monyet! Engkau anak gelap, anak haram!"
"Bohong! Keparat kau!" Sin Liong membentak marah.
"Kalau benar kau bukan anak monyet dan anak haram, kau tentu akan berani melawan
aku!" "Ceng Han Houw, biar matipun aku tidak takut padamu!" kata Sin Liong dan anak
yang sudah marah sekali ini lalu menyerang dengan ganas!
Han Houw tertawa, dengan mudah saja dia mengelak ke samping dan sekali kakinya
bergerak, kaki Sin Liong sudah ditendangnya dari samping, membuat Sin Liong
terpelanting roboh. Akan tetapi, tanpa memperdulikan rasa nyeri akibat
terbanting itu, Sin Liong sudah meloncat bangun lagi dan menyerang kembali. Sin
Liong menggunakan jurus ilmu silat akan tetapi tentu saja gerakannya itu masih
kaku dan lemah bagi Han Houw dan kembali sambil mengelak Han Houw menggerakkan
tangannya, menampar pundak Sin Liong dan membuat anak itu terbanting lebih keras
lagi! Namun berkali-kali Sin Liong bangun dan terus menyerang.
"Kau tidak mau mengaku kalah" Hayo mengaku kalah!" berkali-kali Han Houw
mendesak, akan tetapi Sin Liong sama sekali tidak memperdulikannya dan terus dia
menyerang dengan membabi-buta, biarpun kulit tubuhnya sudah lecet-lecet dan
luka-luka di punggungnya yang dicambuki oleh ayah angkatnya itu terasa nyeri dan
berdarah lagi. Tadi Han Houw diberi tahu oleh sucinya dalam Bahasa Mongol bagaimana harus
membangkitkan kemarahan dan perlawanan anak aneh itu dan benar saja setelah dia
memaki anak monyet dan anak haram, Sin Liong melawannya mati-matian. Dan kini,
Han Houw kewalahan melihat kenekatan bocah itu, yang biarpun sudah dibuatnya
jatuh bangun, namun sama sekali tidak pernah mau menyerah dan mengaku kalah. Dia
sebenarnya merasa kagum dan suka kepada anak ini dan tidak ingin melukainya
hebat, apalagi membunuhnya. Maka, melihat kenekatan Sin Liong, tiba-tiba Han
Houw menggunakan jari telunjuknya menotok yang tepat mengenai pundak kanan,
yaitu jalan darah Kian-keng-hiat dan seketika Sin Liong roboh dengan lemas
karena tubuhnya menjadi lumpuh seketika!
Han Houw menghapus keringat di dahinya dengan saputangan. "Wuuhhh, bocah ini
benar-benar bernyali harimau!" katanya. "'Suci, engkau menawan harimau cilik ini
untuk apakah?" "Untuk memaksa ayah kandungnya muncul dan menghadapiku."
"Hemm, untuk semacam sandera?"
"Begitulah." "Wah, hal itu akan repot sekali. Dia buas dan ganas seperti harimau, tentu hanya
akan menyusahkan saja dalam perjalanan," kata Han Houw. "Dan anak seperti ini,
jika memperoleh kesempatan sedikit saja, tentu akan melarikan diri, suci."
Kim Hong Liu-nio tersenyum dan mengeluarkan sebatang jarum putih terbuat
daripada perak. "Aku mempunyai cara untuk memaksanya agar jangan meninggalkan
kita, jangan melarikan diri."
Dari saku bajunya, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan sebuah bungkusan kertas,
membukanya dan nampaklah bubukan berwarna kuning. Dia mengoleskan ujung jarum
perak di bubukan kuning itu dan seketika ujung jarum itu berubah menjadi biru
kehitaman, tanda bahwa bubukan itu mengandung racun. Kemudian Kim Hong Liu-nio
menghampiri tubuh Sin Liong yang masih rebah terlentang. Anak ini tidak mampu
bergerak karena tubuhnya seperti lumpuh, akan tetapi matanya masih memandang
dengan mendelik penuh kemarahan, sama sekali tidak kelihatan takut.
"Biarlah dia melarikan diri kalau bisa. Andaikata bisapun, dia akhirnya akan
mencari aku karena nyawanya berada di tanganku," kata Kim Hong Liu-nio dengan
tersenyum. Han Houw membelalakkan matanya. "Suci hendak menggunakan Hui-tok-san (Bubuk
Racun Api)?" Kim Hong Liu-nio hanya tersenyum, lalu menghampiri Sin Liong. Dengan gerakan
cepat dia menusukkan jarum perak yang ujungnya biru menghitam itu ke arah betis
kaki kanan Sin Liong. Sin Liong merasa nyeri betis kanannya, akan tetapi dia
tidak mengeluh, hanya memejamkan matanya. Betisnya terasa panas sekali seperti
digigit ribuan ekor semut, dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan
perasaan yang amat menyiksa ini, rasa panas gatal tanpa dapat menggaruknya!
Hah Houw lalu menotok pundaknya, membebaskan totokannya dan Sin Liong meraba
betis kanannya, hendak menggaruk.
"Jangan garuk! Begitu kaugaruk, kau akan mati konyol!" Kim Hong Liu-nio berseru.
Sin Liong terkejut dan tidak jadi meraba betisnya. Dia tidak takut mati, tetapi
dia belum mau mati konyol. Masih banyak hal yang harus dilakukannya di dunia
ini, pertama mencari ayahnya dan ke dua, sekali waktu membalas kepada iblis
betina ini. Maka dia tidak mau membunuh diri secara konyol.
"Hui-tok-san telah berada di jalan darahnya." Kim Hong Liu-nio berkata dengan
suaranya yang merdu dan halus, bibirnya tersenyum akan tetapi kini Sin Liong
mulai mengenal senyum seperti itu, senyum yang menyembunyikan kekejaman seperti
iblis, "racun itu berhenti di betismu dan tidak akan berbahaya kalau tidak
kaugaruk. Kalau kaugaruk, maka racun itu akan berjalan cepat karena panasnya
akibat garukan, dan makin cepat dia bergerak naik, makin cepat pula dia mencapai
jantung dan mencabut nyawamu. Kalau kaudiamkan saja, dalam waktu enam bulan
barulah racun itu akan sampai di jantungmu dan mencabut nyawamu. Dan dalam waktu
enam bulan itu, tentu aku sudah akan dapat berhadapan dengan ayah kandungmu!"
Han Houw bertepuk tangan memuji, "Wah kau hebat, suci! Dengan demikian, dia
tidak akan berani melarikan diri. Bukankah hanya engkau yang mempunyai obat
penawarnya, suci?" Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Mari kita berangkat ke Jeng-hwa-pang, sute!"
Wanita itu lalu mencengkeram tengkuk Sin Liong dan membawanya masuk ke dalam
kereta, diikuti oleh Han Houw!
"Biarkan dia duduk bersamaku, suci. Dia dapat menjadi teman seperjalananku." Sin
Liong lalu didudukkan di atas bangku kereta bersanding dengan Han Houw yang
memandanginya penuh perhatian. Sin Liong duduk seperti seorang raja, tegak dan
tidak mau melirik ke sana-sini, mulutnya cemberut dan dia seolah-olah tidak
perduli sama sekali kepada dua orang yang berada di dalam kereta bersamanya itu.
Kim Hong Liu-nio bersuit dan muncullah tujuh belas orang pengawal itu. Dia
mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Mongol dan bergeraklah kereta itu, ditarik
oleh empat ekor kuda besar, berangkat menuju ke selatan, dikawal oleh para
pengawal yang menunggang kuda. Diam-diam Sin Liong merasa kagum dan heran juga.
Mulailah dia melirik ke arah Han Houw yang duduk di sebelah kirinya. Dia
menduga-duga siapa adanya pemuda ini yang ternyata amat lihai ilmu silatnya,
jauh lebih lihai daripada Siong Bu atau Beng Sin. Dia mendengarkan wanita cantik
itu berkata-kata kepada anak laki-laki ini, bicara dalam bahasa yang tidak
dimengertinya. Dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio bercerita kepada Han Houw
tentang dirinya. Akhirnya percakapan mereka berhenti dan Han Houw menyentuh lengannya. Dia
menoleh. Dua pasang mata yang sama tajam bersinar-sinar saling bertemu. Han Houw
tersenyum dan berkata, "Kau memang hebat, adik kecil. Ayahmu patut dipuji."
"Dan kau memang jahat, kekejaman kalian patut dicela!" jawab Sin Liong,
memandang berani. Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, belum pernah selama hidupku bertemu dengan bocah
seperti engkau ini. Namamu Cia Sin Liong" Eh, Sin Liong, setelah kita saling
bertanding dan kini duduk sekereta, tentu engkau mau menjadi sahabatku bukan?"
"Persahabatan bukan hanya omong kosong belaka, tapi ditentukan oleh perbuatan.
Perbuatanmu dan sucimu terhadap diriku sama sekali tidak bersabat!" Jawab pula
Sin Liong. Dia masih marah sekali dan tentu saja dia marah karena dia juga
maklum bahwa di dalam tubuhnya telah mengeram racun jahat yang akan
menewaskannya dalam waktu enam bulan, racun yang sengaja dimasukkan ke dalam
tubuhnya oleh wanita itu. Perbuatannya itu demikian kejam dan anak ini bicara
tentang persahabatan! Akan tetapi, Han Houw yang tadi mendengar dari sucinya tentang keadaan Sin
Liong, tidak menjadi marah oleh jawaban itu. Dia amat tertarik lalu berkata,
"Engkau sejak kecil dipelihara oleh monyet-monyet besar" Betapa aneh, hebat, dan
pengalamanmu itu sungguh luar biasa. Ingin aku mengalami hal seperti yang telah
kaualami itu, Sin Liong. Dan engkau putera kandung Cia Bun Houw, pendekar yang
kabarnya amat sakti itu. Bukan main! Aku ingin menjadi sahabatmu!"
Akan tetapi Sin Liong tidak mau menjawab lagi, bahkan membuang muka memandang ke
luar jendela kereta, melihat betapa kereta dijalankan cepat melintasi padang
rumput yang agak tandus dan dari jauh di depan nampak dinding yang amat panjang
naik turun gunung, berbelok-belok seperti ular atau naga besar. Itulah agaknya
Tembok Besar yang terkenal sebagai dongeng, yang pernah diceritakan kepadanya
oleh Siong Bu dan Beng Sing, dua orang anak yang pernah menyeberangi tembok
besar yang amat panjang itu.
*** Matahari telah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah hutan
di lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka
memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh pohon-
pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Tiba-tiba kereta berhenti
dan pasukan pengawal segera menggerakkan kuda mereka mengurung kereta untuk
melindungi. "Mengapa berhenti?" Han Houw bertanya.
"Apa yang terjadi?" Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar.
Seorang pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta dan memberi laporan
dalam Bahasa Mongol secara singkat.
"Hemmm, bagus! Mereka mencari mati di tempat ini" Sute, kau berdiam saja di sini
dan lihat saja sucimu menghajar mereka!" kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba
tubuhnya melesat keluar dari dalam kereta.
Han Houw membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia dan Sin Liong
dapat melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu
dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh
orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu. Mereka
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara
teratur sehingga tahu-tahu tempat di mana kereta itu berhenti telah dikepung
dalam jarak kurang lebih lima meter. Para pengepung itu memakai pakaian seragam
hijau muda dengan gambar bunga yang bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada
baju masing-masing. Karena pakaian yang berwarna serba hijau ini, maka pandang
mata menjadi kabur karena warna pakaian mereka itu sama dengan warna di
sekeliling tempat itu, warna daun dan semak-semak. Dan karena mereka mengurung
dengan berdiri tegak dan sama sekali tidak bergerak atau mengeluarkan suara,
maka keadaan menjadi makin menyeramkan. Akan tetapi Sin Liong melihat betapa Han
Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya mengandung ejekan dan memandang
rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum terhadap ketabahan pemuda cilik yang
tampan dan berpakaiah mewah ini.
Sementara itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta
dan membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka.
Tujuh belas orang pengawal yang berpakaian seragam inipun kelihatan gagah dan
tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini
sesungguhnya. "Han Houw, sebenarnya siapakah engkau ini" Apakah anak bangsawan Mongol?"
Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya.
Han Houw menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia telah dipesan oleh ayah bundanya,
juga sucinya, agar tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan
perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja Sabutai,
tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku bangsa yang
tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai mempunyai banyak sekali musuh di
antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin Liong, Han Houw
tersenyum dan menjawab, "Kelak engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong."
Sin Liong memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi
mendesak lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar
jendela, ke arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan
gerombolan itu. Wanita itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan
sikap tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan hatinya
karena gangguan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal telah memberi laporan
kepadanya bahwa gerombolan Jeng-hwa-pang telah menghadang di tengah perjalanan
dan dia menjadi marah sekali. Setelah dia melompat turun dan melihat sekeliling,
benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu
saja dia merasa marah sekali dan cepat dia menghampiri enam orang yang ia duga
tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang. Ketika dia pernah mengacau di Jeng-
hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-
pang, dia tidak bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang
pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-
hwa-pang adalah ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang
berkepandaian tinggi. Maka kini melihat ada enam orang berdiri tegak dengan
sikap angkuh, mudah saja hati Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka
itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang.
"Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang
di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok rendah!" Kim Hong Liu-
nio berseru dengan suara nyaring. "Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu
kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?"
Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka kira
wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang amat tajam. Pria berusia lima
puluh tahun yang bermuka merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu
sendiri melangkah maju dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim
Hong Liu-nio. "Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu!
Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tidak ada artinya. Engkau telah
dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan
ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong.
Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah
sekaligus! Dan..." "Tunggu dulu!" Kim Hong Liu-nio menghentikan kata-kata lawannya itu dengan
mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat
bagi para anggauta pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan
anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka. "Agaknya engkau ini
Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Eh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat
keadaan pasukan pengawal itu?"
Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang
pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh
puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara
ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Amat menyeramkan
melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi
tidak ada suara yang keluar!
"Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih
artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu"
Apakah kaukira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah
sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu"
Ha-ha-ha!" "Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah,
akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!"
Kim Hong Liu-nio memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan
kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik
busur, dan para anggauta Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak.
Akan tetapi tiba-tiba anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur
dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Setelah tiba di atas, anak-
anak panah itu mengeluarkan ledakan dan nampaklah sinar merah bernyala di
angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan
untuk mengirim berita! Orang-orang Jeng-hwa-pang terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak
lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari empat penjuru. Kemudian,
terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak
sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada di lereng bukit
yang agak tinggi betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang
masing-masing tidak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya!
Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang
biasanya berwarna merah itu kini menjadi agak pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-
nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai
mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim
Hong Liu-nio. Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai dan semua suku
bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan
raja ini, maka begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi,
berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu.
"Orang she Gak, kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang
dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, siapa pula yang menentukan"
Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, akan tetapi anak buahmu hanya
berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja
sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang
agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?"
Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita in
sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai
yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan
oleh anak buahnya itu. Tadinya, melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh
tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat
mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan karena dia bermaksud
membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai
mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang
Jeng-hwa-pang vang melakukannya. Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-
pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam
bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi,
siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan
mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri
pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum
masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya.
"Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya
mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!"
"Cih! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah
yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang katakanlah, engkau mengundang aku ke
Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini mempunyai maksud curang
apakah?" Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia
menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kim Hong Liu-nio, benarkah
engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku
beberapa bulan yang lalu?"
Kim Hong Liu-nio mengangguk, menurunkan papan salib dari punggungnya sambil
memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan. "Bukan salahku, pangcu, akan
tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio" Kenapa
engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she
Tio itu?" Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri
saja. Wajah Gak Song Kam menjadi makin merah dan matanya mengeluarkan sinar
berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tidak menguntungkan, dia tidak berani
terlalu memperlihatkan kemarahannya.
"Kim Hong Liu-nio! Engkau tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa
siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar
nyawa," kata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya
meraba gagang pedang di pinggangnya.
Wanita itu tersenyum mengejek. "Hemm, kaumaksudkan bahwa aku telah membunuh
isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?"
"Itu sudah merupakan kepantasan!" jawab ketua Jeng-hwa-pang.
Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Memang pantas! Seorang suami tentu harus
membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya,
engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau hendak mengandalkan
pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?"
Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat
itu telah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak
buahnya untuk membunuh iblis betina ini.
"Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?"
kembali wanita itu mengejek.
"Apakah engkau takut?" ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek.
Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran
dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan
harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga
isterinya. "Racun-racunmu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut" Akan tetapi kalau
engkau hendak menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa akupun akan
menggerakkan pasukanku."
Tiba-tiba lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang
di antara mereka berkata, "Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang untuk
pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima biasa maju
bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi jago-jago fihak
pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk menandingi kami!"
Kim Hong Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia
mereka itu kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh
tegap dan nampaknya kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima
macam senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung.
Dia sudah mendengar dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari Jeng-
hwa-pang ini lihai sekali, apalagi kalau mereka maju bersama karena kelimanya
merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak mempelajari ilmu-
ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia belum mengenal Ngo-
heng-tin, maka hatinya tertarik sekali.
"Hemm, jadi kalian berlima ini pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal
dengan ilmu Ngo-heng-tin" Kabarnya kalian adalah perampok-perimpok dari Heng-
san, benarkah?" Wajah lima orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum
menjadi tokoh Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang
terkenal. Ketika mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka
lalu menggabung dan karena mereka itu lihai, maka kini mereka menjadi pembantu-
pembantu utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu
saja mereka menjadi malu dan marah.
"Kami adalah Heng-san Ngo-houw, kami sudah siap membela pangcu kami, silakan
kouwnio mengeluarkan jago kouwnio."
"Suci, biarlah aku menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak
dan dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu.
Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan diapun meloncat keluar dan mengikuti
Han Houw. Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Sutenya ini paling suka bertanding silat!
Memang sudah pandai sutenya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi
karena memang memiliki bakat yang amat hebat, akan tetapi sutenya yang baru
berusia empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman
bertempur dan juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia
dapat menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan
berbahaya. "Lebih baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya."
"Biarlah, suci. Aku tidak takut."
"Dan aku akan membantu Han Houw!" tiba-tiba Sin Liong berkata. Kim Hong Liu-nio
terkejut dan menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan alisnya. Anak ini
sungguh lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran dengan namanya begitu
saja! Dan berlagak hendak membantu segala.
"Minggirlah engkau!" bentaknya. Kemudian dia menghadapi lima orang Hengsan Ngo-
houw sambil berkata, "Kalian maju berbareng dengan berlima, sebaliknya suteku
berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan suteku maju bersama, jadi dua
lawan lima" Aku ingin melatih suteku dan kalian merupakan lawan latihan yang
baik sebelum aku membunuh kalian."
Tentu saja lima orang itu menjadi makin marah karena ucapan itu jelas mengandung
pandangan rendah sekali terhadap mereka. "Majulah!" bentak orang tertua di
antara mereka, "Majulah kalian berdua, ditambah beberapa orang lagipun tidak
mengapa!" "Suci, menurut suci, di antara mereka ini, pemegang senjata mana yang paling
berbahaya?" Han Houw bertanya, sikapnya tenang.
"Lima batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti
juga sute telah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya
dengan pedang, tentu saja masing-masing mempunyai kelemahan sendiri. Engkau
tentu masih ingat bahwa melawan pemegang senjata panjang harus merapat,
sebaliknya menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang."
"Tapi, senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau
mereka maju bersama..."
"Itulah lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan gin-
kang..." Lima orang itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu
silat! Maka mereka lalu bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu,
kemudian terdengar mereka berseru hampir berbareng, "Lihat senjata!" Dan
mulailah lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan!
"Cring-cring-cring...!" Nampak sinar terang berkelebatan dan ternyata Han Houw
telah mencabut pedang dan menangkis tiga batang senjata lawan yang menyambar,
sedangkan dua batang senjata lain telah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong
Liu-nio! Akan tetapi, lima orang itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan
gerakan mereka benar-benar amat luar biasa.
"Jangan tangkis, elakkan, pergunakan gin-kang dan lindungi diri dengan sinar
pedang!" terdenger Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera
berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu. Han
Houw mengerti bahwa sucinya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara
lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin.
Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima
orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima
orang itu. Kiranya memang ada unsur ngo-heng di dalam gerakan-gerakan mereka
yang saling membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat
pokok yaitu api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini
memang hebat bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat.
Akan tetapi segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang
dimiliki oleh lima orang itu tidak begitu kuat. Inilah kelemahan mereka.
Andaikata mereka itu terdiri dari orang-orang yang memiliki dasar ilmu yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuat, maka Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat
kelemahan lawan, maka dia tersenyum dan berkata kepada sutenya, "Sute, kau
sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Pergunakaw gerakan
Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!"
Han Houw mentaati perintah sucinya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda,
melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa
memperdulikan yang lain. Tiga orang lainnya tentu saja berdasarkan silat Ngo-
heng-tin, telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang itu,
akan tetapi nampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat
dari sabuk merah Kim Hong Liu-nio ini telah membentuk benteng yang menghadang
tiga orang lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok! Terpaksa
kedua orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan
main menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu. Mereka kini
terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka ketika
mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat
bertemu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apalagi karena anak itu memang
mengerahkan sin-kang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan Hek-
hiat Mo-li sendiri! Sin Liong menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya.
Kiranya Ceng Han Houw benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Pandang matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok dua orang
yang memegang pedang dan golok itu, sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh
sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung
karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan melakukan totokan-
totokan pada jalan-jalan darah maut mereka!
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari
lehernya mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang
Han Houw! Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk
mempertahankan diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung!
Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu,
ketua Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, setelah mengerahkan
seluruh kepandaiannya, baru dapat mengimbangi Ngo-heng-tin. Dan kini, Ngo-heng-
tin menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita
cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan
yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja. Melihat
gerakan sabuk merah dari Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau wanita itu
menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat dirobohkan,
akan tetapi agaknya wanita itu benar-benar hendak "melatih" sutenya dan
membiarkan sutenya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu hanya untuk
mencegah tiga orang itu mengeroyok. Dan melihat ini semua, tanpa bertandingpun
tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia sendiri bukan lawan Kim Hong Liu-nio
dan usahanya membalas dendam akan sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan
menyerahkan nyawanya. Maka timbullah akal yang curang di dalam benak Gak Song
Kam. Sejak tadi dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu,
akan tetapi melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki
yang memegang pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio,
tentu anak itupun merupakan seorang anggauta keluarga atau anggauta rombongan.
Maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggauta
Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Jeng-hwa-
pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan mencabut
senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw!
Kim Hong Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking
nyaring untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang mengurung tempat itu, kemudian
dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw.
Ketika dia mencari-cari dengan pandang matanya di antara pengeroyokan anak buah
Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam.
Ke manakah perginya ketua Jeng-hwa-pang ini" Orang yang cerdik ini setelah
melihat anak buahnya menyerbu, lalu dia meloncat dan menyelinap di antara anak
buahnya, bukan untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri
kereta yang telah ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu. Para
pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang telah turun tangan
mengeroyok, tentu saja cepat menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan
sengit. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke depan
dan menangkap Sin Liong. "Eh, kau mau apa?" Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap
saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu.
"Diam kau, dan kau ikut saja bersamaku!" bentak Gak Song Kam sambil mengangkat
tubuh Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-
pang ini melarikan diri. Setiap kali bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam,
"Biarkan aku lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!"
Para anggauta pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang
tadi melihat Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak
Song Kam yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, Gak Song Kam
berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring. "Tahan dia
itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!"
Kiranya, setelah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah
bukan main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-
san Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur, membiarkan tujuh belas
orang pengawal itu menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang karena kini pasukan
telah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi
habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia
melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tuhuh Sin Liong.
"Celaka, suci. Dia melarikan Sin Liong!"
Seruan Han Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada saat itu
mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-
pang, sebaliknya Kim Hong Liu-nio khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin Liong
yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung anak
itu, dan menundukkannya. Jadi kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang
jauh berbeda. Han Houw diam-diam mengagumi dan merasa suka sekali kepada Sin
Liong yang dianggapnya jauh berbeda dari anak-anak biasa, apalagi sikap Sin
Liong terhadap dirinya yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-
benar menimbulkan kesan di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak
itu. Melihat Gak Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak
menyuruh pasukan yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi
pada saat itu, Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini
mendengar seruan Kim Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang perajurit
anggauta pasukan kecil yang berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya
dan mereka berlari-larl mengejar!
Melihat tiga puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song
Kam cepat menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu telah menyebar bubuk
berwarna hitam di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin berserakan di sepanjang
jalan dan juga terbawa angin tersebar sampai jauh. Ketika tiga puluh orang lebih
itu tiba di tempat itu tiba-tiba mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh
lebih orang itu berkelojotan di atas tanah sambil kedua tangan mencekik leher
sendiri. Mereka telah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang ditaburkan oleh
ketua Jeng-hwa-pang itu! Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang dan
pada saat itu, Gak Song Kam melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil,
terdengar ledakan dan nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.
"Jangan kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru, namun terlambat karena
belasan orang perajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-
jerit mengerikan dan mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika
membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!
"KEPARAT!" Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut
mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat, ketika tiba di tempat di mana
disebar racun, dia mengerahkan sin-kangnya menahan napas, lalu meloncat seperti
seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman.
Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan
merupakan hutan yang gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang.
Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan
jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang
Gak Song Kam dia tidak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam
adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu telah berada di dalam
hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di
tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan
Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh. Memang dia kehilangan Sin Liong, akan
tetapi anak itu dalam waktu enam bulan akan mati juga. Pula, untuk mencari Cia
Bun Houw tanpa bantuan Sin Liongpun dia masih sanggup. Maka setelah mengepal
tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak
membunuh Gak Song Kam, dia lalu membalikkan tubuh kembali kepada sutenya yang
telah menantinya di dalam kereta. Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggauta
Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh
pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang, hampir dua
ratus orang anggauta pasukan tewas karena orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga
menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan.
Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas,
Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw
dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok
besar untuk mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke
Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan
agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar
gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun.
Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki
hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, namun cengkeraman tangan Gak Song Kam
amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besarpun takkan dapat berkutik kalau
dicengkeram oleh orang she Gak ini, apalagi seorang anak kecil seperti Sin
Liong. Malam telah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah
di punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu
melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri lalu menjatuhkan diri
di atas rumput, lalu kakek bertubuh tinggi tegap yang kelihatan gagah perkasa
itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang
keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua
tangan, seperti seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya. Semua
ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang karena ada sinar bulan
yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari muka
kakek yang sedang menangis itu.
Watak anak itu memang aneh sekali. Hatinya keras dan dia akan menentang segala
ketidakadilan dengan penuh keberanian dan dia tabah sekali menghadapi ancaman
apapun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu,
mudah menaruh iba kepada orang lain, maka begitu melihat kakek itu menangis
demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan kasihan, lupa bahwa kakek ini
telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.
"Paman, mengapa engkau menangis demikian sedihnya?" tak tertahankan lagi dia
bertanya, suaranya penuh keprihatinan.
Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis makin keras lagi, seolah-olah
pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa
dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang
telah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim
Hong Liu-nio dan tiba-tiba tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah
Sin Liong dan membentak, "Bocah setan! Mereka telah membasmi semua anak buahku
dan keluargaku. Baik, biarpun aku belum dapat membalas kepada iblis betina itu,
setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat,
menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang
lebih dalam dari hutan itu. Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali, tubuhnya
lecet-lecet dan babak belur terkena duri-duri ketika dia diseret dan dia sama
sekali tidak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu
berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat
sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.
"Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan!
Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis
betina ke tempat ini!" seperti orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan
karena ketika tertawa itu dia mengangkat muka, maka sinar bulan persis menimpa
mukanya, membuat wajah itu kelihatan kelam dan seperti muka setan!
"Paman, apa yang akan kaulakukan kepadaku?" Sin Liong bertanya karena dia merasa
tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya"
"Ha-ha-ha, kau ingin tahu" Ingin melihat" Nah, kaulihatlah!" Dia menyambar tubuh
Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas kepala di bawah, lalu
dia menggantung tubuh itu di sumur. Dengan kepalanya tergantung itu, Sin Liong
dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi nampak olehnya
beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!
"Ha-ha-ha, sudah kaulihat" Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di
sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di
dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Setelah berkata
demikian, Gak Song Kam kembali melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di
dekat lubang sumur yang mengerikan itu. Melihat ular-ular itu, Sin Liong
bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan
cerita ibunya bahwa di waktu kecilpun dia pernah digigit ular dan hampir mati.
Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia teringat akan ibunya dan
terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang tadinya dianggap sebagai ibu
angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah
tewas. "Ibuuuu...!" Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis! Tangisnya
sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh sampai saat ini, dia selalu
berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan
kesedihannya. Kini, teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba
saja dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu.
Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh
tertotok. "Ha-ha-ha-haaaa...!" Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang
berduka melihat "musuhnya" tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong
menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!
"Ibuu... ah, ibuuu... bu-hu-huuuh...!"
"Ha-ha-ha-haahhh...!"
Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti berlumba, dan makin Sin Liong
mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara ketawa Gak
Song Kam yang merasa terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar
atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.
"Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus sampai arwahmu akan
menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!" Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong
membebaskan totokannya sehingga anak itu dapat bergerak lagi. Kemudian sambil
tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam
lubang sumur! "Bukk!" Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek dan Sin Liong
terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang,
pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang
terlentang itu melihat kepala dan wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di
atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.
Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar
suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia
meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya
digigit dari bawah. "Aduhh...!" Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa
"cess" seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang
menyusup sampai ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat. Saking
nyerinya, seketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu,
tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari
kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi tubuh ular yang
membelit kakinya itu ketika dia mencengkeram, ternyata lemas dan ketika dia
renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!
"Cesss...! Aduhhh!" Kini tiba-tiba pahanya tergigit sesuatu dan rasa dingin
menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang telah
melempar bangkai ular merah itu menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan
sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas,
sungguhpun bangkai ular itu masih hangat, tubuh ular itu masih berkelojotan
sedikit. Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering
itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu, akan tetapi
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum dia menangkap ular
ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya. Rasa
dingin yang amat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua
tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga
tiga ekor ular merah itu telah mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong
merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil. Dia tidak lagi
memperdulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati
pemandangan remang-remang di bawah itu, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh
bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh
lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu. Dan dia membuka mata
lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang
juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha
manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya ditelan
perlahan-lahan oleh ular besar ini.
Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut
setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu
menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja. Seperti telah
kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun
yang amat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun Hui-
tok-san ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah
yang sama jahat dan berbahaya, justeru mempunyai sifat yang sebaliknya. Racun
ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat
dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar
saja manusia itu tentu akan mati. Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni
oleh Hui-tok-san, maka begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan
lawan hebat, maka seketika ular-ular itu mati, tidak kuat menghadapi hawa panas
yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong.
Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biarpun lima ekor ular meran itu
telah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat
dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya sakit-sakit,
sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin seperti
membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti
ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, dia mengeluh dan
jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak
mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.
Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang
menguasai tubuhnya itu justeru memiliki sifat yang berlawanan, dan keduanya
adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini. Kalau racun ular merah itu
yang telah memasuki tubuhnya lebih banyak atau kurang sedikit saja, nyawanya
tidak akan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justeru tepat
sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini
membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri
atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh
anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut. Racun Hui-tok-san yang oleh
Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam
waktu enam bulan, kini telah buyar dan punah, sebaliknya racun lima ekor ular
merah itupun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!
Akan tetapi, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara
racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam
keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan dan mengeluh. Dan pada saat itu,
terdengar suara mendesis-desis dan seekor ular yang besar dan panjangnya ada
tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu
dan bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan! Tubuh anak itu
memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama
monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah dua macam racun itu mulai kehilangan
kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia mulai sadar dan telah
bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia
melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah
berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat
keluar! Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena
tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong
keluar nalurinya dan dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi
melainkan pekik seekor kera muda yang sedang marah. Kemudian, terdorong oleh
keliaran ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan
sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu
mendesis dan membuka mulut akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong
mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang
dan leher Sin Liong. Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling,
tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena
marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulutnya dan menggigit leher ular itu.
Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan dan kemarahan dan
dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia
tidak perduli dan menggigit terus, menggigit terus! Ular itu besar dan kuat
sekali. Seorang laki-laki dewasa sekalipun tidak akan mungkin dapat melawan
tenaga lilitannya, apalagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan
menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular
itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta,
membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau
punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.
Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak
Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira. Dalam diri setiap
orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang
menimbulkan ketegangan yang nikmat apabila menyaksikan suatu siksaan atau
kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain mahluk. Nafsu yang
mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton
adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia
maupun antar mahluk hidup. Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini
menguasai orang-orang yang lemah batinnya, orang-orang yang menonjolkan iba diri
sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau mahluk lain lebih
menderita daripada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam
perbuatan keji dan kejam di antara manusia.
Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri
anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan dia tidak ingin
kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya menegangkan dan
menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu
kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan
menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.
Akan tetapi, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri
menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar
pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-
pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari
lubang sumur, melainkan dari belakangnya. Cepat dia membalikkan tubuh memandang
dan mengangkat obornya dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat
itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan
gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar! Sebetulnya, yang
datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar
saja, akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari
kerongkongan rombongan monyet itu saling sahut, berloncatan dari segala penjuru,
sedangkan hati Gak Song Kam terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah
yang muncul ada ratusan ekor monyet! Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-
monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang
baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya "ratusan"
ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah
merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir
dua kali, dia lalu membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan
cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul!
Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang digerogotinya itu,
membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia
nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh
ular pada lehernya makin mencekik dan dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa
seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau
hangus. Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar
berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar
menggereng, merenggut tubuh yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan,
dan menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh
ular itu mereka robek-robek. Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan
suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang
pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-
temannya. Tak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-
daun pohon. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan
cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi
sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh.
*** Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-
lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya ketika dia masih
bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para
monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka
dengan bebas. Sin Liong sama sekali tidak merasa canggung hidup di antara
binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat
dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja
hidup di antara monyet-monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan
semua kedukaannya, lupa akan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang
tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup
dengan wajar dan bahagia. Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul
dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh
lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul
dari alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya
pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan
masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya yang
kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.
Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling pandai di
antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan yang amat hebat
dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat
yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.
Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan
rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya
malah! Justeru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-
olah menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur
dalam bidang rohani. Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu
manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia
mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan dapat
terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh
kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi,
kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan
gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini
kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan makin merajalela. Permusuhan antara
manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai
seluruh negara di bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian" Apakah justeru
kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah" Apakah
kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia"
Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan
di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa
kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Akan
tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah
kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang kesemuanya ditujukan kepada
pencapaian kesenangan yang sebanyak dan sebesar mungkin! Kita lupa bahwa makin
dikejar, kesenangan itu makin mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu
tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita
untuk mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran
kesenangan inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!
Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu,
yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam
soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita
memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan,
hanya terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah! Marilah kita membuka mata
meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian
kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung" Hasrat ingin menjadi orang
baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang kesemuanya merupakan bentuk
terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama terdapat pamrih ingin senang,
berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan
mendatangkan konflik. Karena itulah muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu,
keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan
kepada kesenanganKu, oleh karena itu kalau kesenanganku sampai diganggut aku
menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! Perang!
Ingin senang! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak
kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di guha-guha, atau mengasingkan
diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi
kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih
MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap
lebih luhur! Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada
hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan" Baik kesenangan itu kita
tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur,
tetap saja pada dasarnya kita ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk
senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, karena keinginan
yang dihalangi menimbulkan marah dan kebencian, keinginan yang tidak tercapai
menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tidak
akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja
yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.
Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk
senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat
menikmati apa yang dinamakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati
keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung
kita dapat menikmati keharuman bunga, mulut kita dapat menikmati asin, manis,
gurih, dan sebagainya lagi. Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala
kesenangan yang sebenarnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini,
akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh
sebanyak dan sebesar mungkin kalau kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke
dalam ingatan! Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran
kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau
mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya
mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati
diri sendiri. Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia
hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan
mengenangkan segala hal yang telah lalu maupun yang akan datang. Kalau lapar
mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, kalau mengantuk tidur,
kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanya
tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula.
Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali
masa lalu. Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-
laki yang tampan berkejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan
berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula
mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang
dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang
menimbulkan rasa ngeri. Tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguhpun hal ini sama
sekali tidak disadarinya. Dan tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan
ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh
racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut.
Namun, Sin Liong sudah tidak memperdulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia
berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan di mana terdapat
pohon-pohon yang berbuah.
Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu
demikian mengejutkan bagi rombongan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga
mereka semua seketika berhenti bergerak dan semua dahan-dahan pohon yang tadinya
bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai
dan gembira itupun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin
berlindung. Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan
tetapi tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia sudah
meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil
memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan
merekapun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik.
Biarpun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai bicara seperti manusia
yang telah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi amat luas dan
lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun
binatang-binatang itupun mempunyai cara saling berhubungan melalui suara. Oleh
karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apapun, sudah tentu
mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka. Demikian pula dengan suara-suara
pekik monyet, suara itu mempunyai makna-makna tertentu dan karena sejak kecil
sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna
dari suara-suara monyet itu. Ketika tadi mereka mendengar pekik mengerikan dari
seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan
hebat, menghadapi bahaya besar, kemudian pekik-pekik selanjutnya memberi tahu
kepada mereka bahwa monyet itu sedang berhadapan dengan musuh besar mereka yang
amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau!
Harimau merupakan raja hutan yang amat ditakuti oleh para monyet itu, karena
sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau
mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani
menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, kalau bertemu
harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu mendengar pekik
itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan. Akan tetapi, tentu saja Sin
Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah sering kali ditolong dan
dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya
ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan
timbul kesetiakawanan besar di dalam hati anak manusia ini. Maka, begitu rasa
kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya,
maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan
para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah
takut menghadapi musuh besar itu, maka merekapun cepat mengejar dan mengikuti
Sin Liong. Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet
besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi
dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas
menggigit. Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan
keras dan meloncat ke depan, langsung menerjang harimau itu dengan penuh
keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya
menyambar ke arah ekor harimau yang panjang.
"Bukkk!" Biarpun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti
mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, akan tetapi Sin Liong
sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya. Harimau itu meraung,
melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk
mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong cukup
cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak
mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya,
mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah.
Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, akan tetapi Sin Liong juga
memekik-mekik nyaring. Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya menarik perhatian harimau lain. Dari balik
semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan
tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang!
"Aughhh...!" Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar,
bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi dengan sigap dia lalu
membalikkan tubuhnya, dan menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu.
Sin Liong telah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara
membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja tendangan dan pukulannya tidak dapat
merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban
cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan,
berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah.
Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan
turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang
sedang berada di lain tempat, mendengar suara-suara itu dan merekapun
berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin
Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan
suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan
terhadap dua ekor harimau itu. Dua ekor binatang buas ini sudah menjadi
ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam
dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini,
akan tetapi akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil
menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah
merasa ketakutan. Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lain, diapun
menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet
besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat
lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, sedangkan monyet-monyet
lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri.
Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-
monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia
dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan
mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai
berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Mungkin karena anak ini
dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin
Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya
sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya
daripada ilmu silat monyet yang telah ada dalam partai-partai persilatan besar.
Dia dapat bergerak dengan kecepatan laksana monyet aseli, cara mengelak, cara
meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan.
Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia
tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia.
Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet lain, hanyalah menjaga dan
memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam
hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan. Kini dia tidak hanya dapat
mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, kalau
sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau
indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara kembang-kembang,
kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira,
dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga
mereka tidak dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan,
kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi.
Kita tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan mari
kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui,
keluarga Kui Hok Boan mengalami malapetaka besar ketika isterinya dari orang she
Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan. Biarpun hatinya
merasa cemburu dan marah ketika mendengar kenyataan bahwa isterinya pernah
bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian melahirkan Sin
Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun hati orang she
Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah jatuh cinta kepada
isterinya yang tangan kirinya buntung itu.
Sebelum dia menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang
belum pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita manapun hanya
terdorong oleh nafsu berahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia
tinggalkan begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di
antara wanita itu terdapat dua orang wanita yang melahirkan keturunannya, yaitu
dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya sebagai
keponakan. Dia belum pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan
Liong Si Kwi maka dia benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi
dan mempunyai anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya telah aman
tenteram dan makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya dan dia dapat hidup
sebagai seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah
baik-baik. Akan tetapi, siapa menduga akan datangnya malapetaka sehebat itu!
Isterinya tewas dalam tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat
lihai dan sampai bagaimanapun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan
isteri yang dicintanya dan kembali dia hidup sebatangkara, malah kini dibebani
dengan empat orang anak tanpa ibu!
Kedukaan kehilangan isterinya itu agaknya tidak akan menjadi terlalu berat bagi
Hok Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya
dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apalagi sekarang dia
merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis baik-
baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati. Akan tetapi
yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar Sabutai
melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu enam
bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya menjadi
agak bingung. Tentu saja dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat
orang anaknya dan hartanya, akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat
banyak musuh-musuhnya dan tentu kehidupannya akan berubah sama sekali, akan
lenyaplah semua ketenteraman hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah
Naga. Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan
sehingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan
menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan
keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita
dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah
dari semua itu, timbullah duka. Bagaimanakah terjadinya ikatan itu" Mengapa kita
suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar maupun tidak kepada semua itu"
Ikatan timbul apabila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan
itu di dalam ingatan, lalu ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita
mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau isteri, dengan keluarga,
dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka itu untuk
selamanya, tidak mau terpisah lagi. Padahal, tiada yang kekal di dunia ini dan
perpisahan pasti tiba, dan timbullah rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan,
kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian,
yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan semua yang telah
mengikut kita itu! Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan
tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah" Punyaku, suara lahiriah. Akan
tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya
kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta
kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena
ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang
kita cinta itu! Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta
itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan
seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik,
permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak
ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas
dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih
yang sejati. Kui Hok Boan mulai berkemas, mengumpulkan harta bendanya yang sekiranya dapat
dibawanya. Diapun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah
Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari
Raja Sabutai. Para petani menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah
Hok Boan. Mereka, para petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup
sederhana. Kesederhanaan hidup membentuk watak mereka menjadi sederhana pula,
keinginan merekapun sederhana. Mereka sudah biasa hidup serba kekurangan, maka
perintah untuk pergi meninggalkan daerah Lembah Naga itu tidak amat
menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa, mulailah para penghuni itu
mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang penting bagi mereka hayalah tanah-
tanah yang subur karena di mana ada tanah subur, mereka tidak khawatir untuk
hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak di utara, akan tetapi juga ada hal
yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah di utara itu masih belum dikuasai
oleh pemilik-pemilik perorangan, masih merupakan tanah liar tak bertuan,
sungguhpun merupakan daerah kekuasaan Raja Sabutai.
Pada sore hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang
tetangga yang datang untuk membicarakan perintah pengosongan Lembah Naga, empat
orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan
Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah urusan
kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin Liong.
"Aku bersumpah kelak akan membunuh wanita iblis itu!" Lan Lan berkata sambil
mengepal tinjunya. "Aku juga!" kata Lin Lin sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya
selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya.
Hening sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-
laki yang melihat keadaan mereka itupun merasa berduka. Akhirnya Siong Bu
berkata, "Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku akan membantu kalian.
Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan menghadapi iblis betina
itu!" kata Siong Bu penuh semangat.
"Kasihan sekali Sin Liong," Beng Sin berkata pula. "Entah bagaimana nasibnya di
tangan iblis itu." Disebutnya nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tak
mereka sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan
Lin Lin! Jadi "anak monyet" itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan
ini, saudara tiri seibu! Siong Bu yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong karena iri hati, menarik napas
panjang dan dia berkata, "Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku
kagum sekali kepadanya."
"Dan dia putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi merupakan
pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!" kata Beng Sin.
Kembali mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena
mendengar suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek
tinggi besar sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya. Kakek ini
tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya
juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya penuh cambang
bauk sehingga kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, suara laki-laki itu
lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan bertanya, "Apakah di
antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?"
Siong Bu hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin
Lin sudah menjawab, hampir berbareng, "Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!"
Kini Siong Bu cepat bertanya, "Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan
paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberitahukan
kepada paman bahwa lopek datang..."
"Heiii...!" Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak
dan kedua langannya yang besar itu telah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh
Lan Lan dan Lin Lin telah ditangkapnya. "Kalian ikut bersamaku!" katanya kepada
dua orang anak perempuan yang menjadi kaget setengah mati dan tidak keburu
mengelak itu. "Lepaskan mereka!" Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu. Kakek yang
mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan
panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut,
berusaha untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena
tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras!
"Kau jahat...!" Beng Sin berseru dan juga menyerbu, akan tetapi tendangan ke dua
membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling.
"Lepaskan aku...!"
"Ayah, tolonggg...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali. Kakek itu
terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua
orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka,
mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali.
Melihat ini, Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak dan berusaha mengejar.
"Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!" Demikian
mereka berteriak-teriak. Kui Hok Boan yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun
yang menjadi tamunya, terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia
cepat menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman.
"Apa yang terjadi" Mana Lan Lan dan Lin Lin?" teriaknya melihat kedua orang anak
laki-laki itu menangis. "Dilarikan orang... ke sana..." Siong Bu menjawab.
"Seorang kakek brewok... dia menculik mereka..." Beng Sin juga berkata dan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya yang bulat itu mewek-mewek.
Hok Boan tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman,
melakukan pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu.
Sampai cuaca menjadi gelap, dia tidak berhasil menemukan jejak orang yang
menculik kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan
main. Dia lalu cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak buahnya dan
bersama anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang
diculik orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkatnya
tinggi-tinggi dan berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin,
akan tetapi sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil
menemukan jejak penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja
hati Hok Boan menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari.
Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu"
Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-
tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat telah terkenal
juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya para pembesar untuk mendidik
anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu
saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan
pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw maupun liok-lim, kaum
golongan sesat maupun golongan bersih.
Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan
merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka kepada orang muda yang
selain lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu. Memang Hok
Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil
hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka
Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu
menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu
dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu.
Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang
gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas
begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan
dengan amat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia telah menundukkan hati
ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta
antara dia dan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena
memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.
Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu
adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai
bahan menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena,
akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat
apapun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dan hasilnya sungguh hebat bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio
mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga
Ciam menjadi geger. Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tidak ada seorangpun
yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari
lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang,
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas
karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam
itu dengan nyawanya! Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat
terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, biarpun belum tentu
dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk
mengalahkannya. Akan tetapi, dia tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat
menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu
nyawa. Namun, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan
jejak sama sekali. Setelah dia hampir lupa akan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah
mendengar berita tentang Hok Boan, dia menganggap pemuda itu tentu telah mati,
tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu kini telah hidup
makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya,
memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam
yang hampir padam itu bernyala kembali, luka di hati yang sudah mulai sembuh
oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan
rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.
Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua
orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul
akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-
anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati
seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan
dibawanya lari memasuki hutan.
Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia berada di daerah
kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan
dengan kekerasan, kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia
kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin
sukar untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam. Oleh
karena itu, dia segera menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan,
melainkan membelok ke timur memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan
diri dari musuh-musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam
kepada musuh-musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari
anak-anaknya! Semalam itu, Ciam-kauwsu menghentikan larinya, bersembunyi di dalam hutan. Dia
melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor mencari-cari. Dia
menyumbat mulut dua orang anak itu dengan saputangan dan menotok tubuh mereka
sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali dia sudah melanjutkan larinya, mengempit tubuh dua orang anak perempuan
itu, terus ke timur. Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi
melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, ketika dia melewati daerah yang
penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari atas
pohon dan ketika dia menoleh, pada saat itu ada bayangan menyambar dari atas
pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping,
rambutnya panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera
saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung
Ciam-kauwsu! "Ehhh...!" Ciam-kauwsu yang sedang lari mengempit tubuh dua orang anak perempuan
itu, tidak sempat mengelak dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam
punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia
menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu" Dia bukan
lain adalah Sin Liong! Seperti telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh
induk monyet besar yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih bayi bersama
gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, bahkan
pembungkus kepalanya telah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya terurai
dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya agar gerakannya menjadi leluasa. Dia
hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, namun karena pikirannya
menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang amat berbahagia.
Pada pagi hari itu, Sin Liong masih tidur ketika ada seekor monyet muda yang
mengguncang-guncangnya. Dia terbangun, menggeliat dan menguap. Monyet itu
mengeluarkan suara mencicit dan menuding-nuding ke bawah. Sin Liong maklum bahwa
tentu ada sesuatu yang aneh dan tidak beres, maka dia lalu mengikuti monyet itu
yang membawanya berloncatan dari dahan ke dahan. Akhirnya, Sin Liong melihat
laki-laki brewok yang mengempit dua orang anak perempuan itu. Hampir saja dia
berteriak karena dia mengenal dua orang anak perempuan itu yang bukan lain
adalah Lan Lan dan Lin Lin!
Melihat dua orang anak perempuan itu, seolah-olah Sin Liong terseret ke dalam
dunia lain, dunia lama yang sudah hampir dilupakannya dan dia tertegun sejenak.
Hampir saja dia lari pergi karena hatinya merasa enggan untuk kembali ke dunia
lama itu. Akan tetapi dia tidak mampu mengusir bayangan Lan Lan dan Lin Lin, dua
orang anak perempuan yang selalu bersikap manis kepadanya! Akhirnya, rasa
kasihan kepada dua orang anak perempuan itulah yang menang dan dia lalu
mengikuti laki-laki itu dari atas. Kemudian, setelah memperhitungkannya dengan
tepat, melihat bahwa laki-laki itu tentu tidak mempunyai niat yang baik terhadap
Lan Lan dan Lin Lin yang kelihatan tidak mampu bergerak itu, dia lalu meloncat,
menerkam punggung kakek itu, dan langsung menggigit tengkuknya!
"IHHH...!" Kakek itu terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh dua orang anak
perempuan itu untuk melawan anak kecil yang liar dan ganas ini. Tengkuknya
terasa sakit juga digigit oleh anak itu. Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terlempar ke
kanan kiri sampai bergulingan akan tetapi karena terbanting itu, sumbatan mulut
mereka terlepas dan tubuh mereka dapat bergerak lagi karena ternyata pengaruh
totokan itu telah habis. Lin Lin lalu merangkak mendekati kakaknya. Mereka menangis dan mengurut-urut
kaki dan tangan sendiri yang terasa kaku, sambil memandang ke arah Sin Liong
yang masih menggigit tengkuk kakek itu. Tadinya, mereka tidak mengenal anak yang
menolong mereka itu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru, "Sin Liong...!" maka
keduanya lupa akan keadaan diri sendiri yang masih belum dapat bergerak dengan
leluasa. Melihat Sin Liong masih merangkul kakek itu dari belakang dan menggigit
tengkuk, Lan Lin dan Lin Lin lalu meloncat bangun, terhuyung akan tetapi mereka
berdua dengan marah sudah menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangan
mereka yang kecil untuk membantu Sin Liong.
"Duk! Dukkk!" Dua orang anak perempuan itu terlempar oleh tendangan-tendangan
Ciam-kauwau yang tidak bermaksud membunuh, kemudian dia menggoyang-goyangkan
tubuhnya. Akan tetapi anak laki-laki yang menggigit tengkuknya itu tidak
terlepas, bahkan dari kerongkongannya keluar suara gerengan monyet marah! Diam-
diam Ciam-kauwsu bergidik juga. Bagaimana tiba-tiba muncul anak liar ini,
pikirnya dan tangannya merenggut ke belakang, berhasil menjambak rambut Sin
Liong dam memegang lengan anak itu, lalu dia mengerahkan tenaganya. Tentu saja
Sin Liong kalah tenaga dan dia dapat diangkat lalu dibanting oleh kakek itu.
"Bresss!" Tubuh Sin Liong bergulingan dan kepalanya menjadi pening. Akan tetapi
dia cepat bangun kembali, menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, lalu
sambil mengeluarkan pekik dahsyat dia sudah menerjang lagi, kini dengan pukulan-
pukulan aneh seperti gerakan seekor monyet lincah!
"Anak liar, pergilah!" Ciam-kauwsu menghantam dari samping, menampar ke arah
pundak anak itu dengan maksud merobohkannya dan menakutkannya.
"Wuuut!" Pukulan itu luput karena dengan mudahnya dielakkan oleh anak itu! Ciam-
kauwsu terkejut dan penasaran, cepat dia maju lagi menyerang dengan tendangan
kakinya. Kembali anak itu mengelak dan tendangan itu luput, bahkan Sin Liong
kini mulai mainkan limu silat aneh yang dilatihnya selama ini dengan mengambil
inti sari dari gerakan monyet-monyet itu. Gerakan monyet tentu saja tidak
teratur, hanya menurutkan naluri, perasaan dan ketajaman atau kepekaan tubuh
sehingga membuat monyet-monyet itu dapat bergerak dengan amat cekatan. Akan
tetapi Sin Liong telah mengambil inti dari gerakan-gerakan itu untuk dijadikan
dasar dari gerakan silat, seperti yang pernah dia pelajari dari ibunya, maka
gerakan Sin Liong bukan liar dan tidak teratur seperti gerakan monyet. Dia
meloncat, mengelak sambil menyerang, dan membalas dengan pukulan seperti pukulan
manusia, mencakar seperti monyet, dan juga menendang.
Ketika beberapa kali tamparan dan tendangannya luput, bahkan anak itu dapat
membalas dengan serangan yang aneh, kakek itu menjadi makin heran dan terkejut.
"Kau anak liar, pergilah jangan mencampuri urusanku!" bentaknya berkali-kali.
Kakek Ciam ini bukan seorang yang berhati kejam. Dia tidak ingin membunuh anak
liar yang tidak dikenalnya itu. Dan kalau dia berhati kejam, tentu sudah
dibunuhnya dua orang anak perempuan kembar yang menjadi anak musuh besarnya itu.
Tidak, dia tidak tega membunuh orang apalagi membunuh anak-anak. Dia hanya ingin
memisahkan dua orang anak itu dari Kui Hok Boan, membalas dengan mendatangkan
kedukaan dan kehilangan kepada musuh besarnya itu. Kalau bertemu Hok Boan,
mungkin saja dendamnya membuat dia akan sampai hati membunuh musuh itu, kalau
Pedang Dan Kitab Suci 3 Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Pendekar Baja 21
yang merupakan senjata-senjata maut berbahaya bagi penerimanya, namun yang dapat
diterima dengan baik oleh Kim Hong Liu-nio.
Setelah mendengar berita dari pembantunya bahwa surat tantangannya telah
diterima oleh wanita itu yang akan datang bersama seorang sutenya dalam kereta
indah yang dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, Jeng-hwa-pang menjadi sibuk
mempersiapkan penyambutan terhadap musuh istimewa itu.
Sementara itu, Kim Hong Liu-nio yang menyeret tubuh Sin Liong telah tiba di
dalam hutan di luar Lembah Naga, di mana Ceng Han Houw sedang menanti dengan
tidak sabar dalam keretanya sambil meniup seruling. Han Houw amat suka meniup
seruling. Ketika melihat sucinya datang menyeret tubuh seorang anak laki-laki,
Han Houw menyimpan sulingnya dan memandang heran. Apalagi ketika dia melihat
anak laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya itu telah membuka
mata, telah siuman akan tetapi sedikitpun anak itu tidak mengeluarkan kata
keluhan, bahkan memandang dengan mata melotot, dia menjadi makin terheran-heran.
Dia melihat sucinya melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah dan memandang penuh
kebencian. Sin Liong terguling, akan tetapi lalu merangkak dan bangkit berdiri.
Kedua kakinya menggigil, tanda bahwa dia lelah dan menahan nyeri akan tetapi
matanya melotot dan sikapnya angkuh!
"Eh, suci. Siapakah bocah ini?" tanyanya heran melihat betapa sucinya yang
biasanya tenang itu kini kelihatan marah-marah dan mendongkol.
"Bocah setan dia! Anak iblis dari neraka!" Kim Hong Liu-nio memaki-maki sambil
memandang dengan mata mendelik kepada Sin Liong. Anak itu juga membalas,
memandangnya dengan melotot lebar.
"Wah, anak setan dan iblis?" Han Houw bertanya, matanya terbelalak dan dia
memandang Sin Liong dari atas sampai ke bawah. "Kulihat tidak ada apa-apanya,
kenapa disebut anak setan dan iblis?"
"Dia adalah anak dari Cia Bun Houw, musuh besar dari subo, musuh yang paling
besar dari subo!" kata Kim Hong Liu-nio.
"Musuh yang paling besar dan paling ditakuti!" Tiba-tiba Sin Liong berkata. Dia
mendongkol sekali, dia tidak akan dapat mampu membalas semua siksaan, akan
tetapi biarlah dia membalas dengan kata-kata menghina agar menyakiti hati wanita
ini! "Ah, begitukah" Kenapa anaknya hanya begini saja?" Han Houw bertanya penuh
keheranan. Kalau ayahnya menjadi musuh utama yang kabarnya memiliki kepandaian
hebat tentu anaknyapun hebat. "Eh, kenapa kau bilang bahwa suci takut kepada
ayahmu?" tanya Han Houw yang mulai tertarik akan sikap bandel dan sama sekali
tidak takut dari anak itu.
Sepasang mata Sin Liong memandang anak laki-laki yang berpakaian amat mewah itu
dan kembali Han Houw terkejut. Mata anak ini seperti mata harimau saja,
pikirnya. Hatinya makin tertarik.
"Sudah jelas takut! Beraninya hanya mengganggu aku, anak ayah yang masih kecil,
tidak berani langsung berhadapan dengan ayahku!"
Han Houw tersenyum. "Dan apakah kau tidak takut kepada suci?"
"Aku" Takut" Huh, paling-paling dia bisa membunuhku, akan tetapi dia pasti tidak
akan lolos dari tangan ayahku. Anak harimau bisa saja dibunuh oleh kumpulan
srigala, akan tetapi anak harimau tidak akan merasa takut."
"Wah, wah, sombongnya! Kau menganggap dirimu anak harimau dan kami berdua
kaunamakan srigala" Wah, bukankah srigala itu anjing hutan" Celaka, suci, dia
berani memaki kita anjing hutan!"
"Itulah! Dia memang anak setan!" Kim Hong Liu-nio mengomel.
"Kenapa tidak bunuh saja dia agar mulutnya tidak banyak mengoceh lagi?"
"Hemm, sute. Kalau kita membunuh dia, maka makiannya itu terbukti, kita menjadi
seperti srigala membunuh seekor anak harimau seperti yang dikatakannya itu."
"Eh, maksudmu...?"
"Dia lemah akan tetapi penuh keberanian, dan kita berarti hanya membunuh dan
mengganggu anak-anak lemah saja."
Han Houw menggangguk-angguk, kini dia menoleh dan memandang kepada Sin Liong
dengan pandang mata baru, penuh kagum. Bocah ini luar biasa, pikirnya. "Eh,
siapa namamu?" dia bertanya, agak tersenyum dan suaranya ramah. Diam-diam Sin
Liong juga mengagumi anak laki-laki ini. Demikian tampan dan gagah, pikirnya,
dan sekecil itu telah menjadi sute dari wanita iblis ini!
"Namaku Sin Liong... eh, Cia Sin Liong!" tambahnya, menekankan nama keturunan
itu. "Sin Liong" Naga sakti" Hemm, namamu sama sombongnya dengan sikapmu."
"Aku tidak sombong, hanya paling benci kalau dikatakan takut. Aku tidak takut
apapun. Dan kau siapa" Benarkah kau masih sute dari Kim Hong Liu-nio ini?"
Ceng Han Houw mengangguk. Hatinya senang. Baru sekarang ada bocah yang bicara
kepadanya dengan sikap biasa, seperti dua orang yang sama derajatnya, seperti
teman. Biasanya, semua orang yang bicara kepadanya, apalagi anak-anak, tentu
kelihatan takut-takut dan bahkan dengan berlutut, memandang wajahnyapun tidak
berani! "Namaku Han Houw, aku she Ceng."
"Ceng Han Houw" Namamu juga gagah sekali. Apakah kau juga pandai silat seperti
sucimu ini?" Melihat dua orang anak itu bicara seperti dua orang sahabat saja, Kim Hong Liu-
nio menjadi tak senang. "Anak cerewet! Kaukita engkau ini siapa" Tawanan, tahu"
Sute, jangan layani dia!"
Akan tetapi Han Houw sudah seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan
baru, merasa sayang untuk melepaskan begitu saja. "Eh, Sin Liong, kau benar-
benar tidak takut kepada kami?"
"Tidak, seujung rambutpun tidak. Paling-paling kalian akan dapat membunuhku."
"Kau tidak takut mati?"
Sin Liong menggeleng kepala. "Apa kau takut?" dia balas bertanya.
Han Houw terbelalak, berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Aku takut dan agak
ngeri juga." "Apa kau pernah tahu bagaimana mati itu?"
"Tentu saja belum!"
"Kalau begitu, bagaimana bisa takut?"
Han Houw tercengang, bingung, lalu menjawab ragu, "Entahlah. Eh, kalau kau tidak
takut kepada kami apakah kau berani bertanding melawan aku?"
Sin Liong memandang Han Houw dari atas sampai ke bawah. Anak itu tentu lebih tua
dua tahun daripada dia, lebih tinggi dan tegap. Dan mengingat bahwa anak ini
adalah sute dari Kim Hong Liu-nio, maka tentu ilmu silatnya juga hebat. "Aku
tidak ada urusan apa-apa dengan engkau, mengapa mesti bertanding?"
"Kau takut?" "Takut sih tidak."
"Kalau begitu kau berani."
"Tentu saja berani, akan tetapi, aku tidak mau. Tidak ada persoalannya, mengapa
berkelahi?" "Ha-ha, itu hanya alasan. Kau tentu takut kalah."
"Mengapa takut kalah" Tentu saja aku kalah olehmu, akan tetapi aku tidek takut."
Dan melihat sinar mata penuh ejekan itu, Sin Liong melanjutkan. "Kalau ada
alasannya yang kuat, tentu aku akan menerima tantanganmu."
Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio yang sejak tadi memang merasa mendongkol dan kini
sedang duduk di atas batu dekat kereta sambil mendengarkan, berkata-kata dalam
Bahasa Mongol kepada Han Houw. Sin Liong tidak mengerti artinya, akan tetapi
kemudian Han Houw lalu menghampirinya dan berkata, "Ah, kiranya engkau ini anak
monyet! Engkau anak gelap, anak haram!"
"Bohong! Keparat kau!" Sin Liong membentak marah.
"Kalau benar kau bukan anak monyet dan anak haram, kau tentu akan berani melawan
aku!" "Ceng Han Houw, biar matipun aku tidak takut padamu!" kata Sin Liong dan anak
yang sudah marah sekali ini lalu menyerang dengan ganas!
Han Houw tertawa, dengan mudah saja dia mengelak ke samping dan sekali kakinya
bergerak, kaki Sin Liong sudah ditendangnya dari samping, membuat Sin Liong
terpelanting roboh. Akan tetapi, tanpa memperdulikan rasa nyeri akibat
terbanting itu, Sin Liong sudah meloncat bangun lagi dan menyerang kembali. Sin
Liong menggunakan jurus ilmu silat akan tetapi tentu saja gerakannya itu masih
kaku dan lemah bagi Han Houw dan kembali sambil mengelak Han Houw menggerakkan
tangannya, menampar pundak Sin Liong dan membuat anak itu terbanting lebih keras
lagi! Namun berkali-kali Sin Liong bangun dan terus menyerang.
"Kau tidak mau mengaku kalah" Hayo mengaku kalah!" berkali-kali Han Houw
mendesak, akan tetapi Sin Liong sama sekali tidak memperdulikannya dan terus dia
menyerang dengan membabi-buta, biarpun kulit tubuhnya sudah lecet-lecet dan
luka-luka di punggungnya yang dicambuki oleh ayah angkatnya itu terasa nyeri dan
berdarah lagi. Tadi Han Houw diberi tahu oleh sucinya dalam Bahasa Mongol bagaimana harus
membangkitkan kemarahan dan perlawanan anak aneh itu dan benar saja setelah dia
memaki anak monyet dan anak haram, Sin Liong melawannya mati-matian. Dan kini,
Han Houw kewalahan melihat kenekatan bocah itu, yang biarpun sudah dibuatnya
jatuh bangun, namun sama sekali tidak pernah mau menyerah dan mengaku kalah. Dia
sebenarnya merasa kagum dan suka kepada anak ini dan tidak ingin melukainya
hebat, apalagi membunuhnya. Maka, melihat kenekatan Sin Liong, tiba-tiba Han
Houw menggunakan jari telunjuknya menotok yang tepat mengenai pundak kanan,
yaitu jalan darah Kian-keng-hiat dan seketika Sin Liong roboh dengan lemas
karena tubuhnya menjadi lumpuh seketika!
Han Houw menghapus keringat di dahinya dengan saputangan. "Wuuhhh, bocah ini
benar-benar bernyali harimau!" katanya. "'Suci, engkau menawan harimau cilik ini
untuk apakah?" "Untuk memaksa ayah kandungnya muncul dan menghadapiku."
"Hemm, untuk semacam sandera?"
"Begitulah." "Wah, hal itu akan repot sekali. Dia buas dan ganas seperti harimau, tentu hanya
akan menyusahkan saja dalam perjalanan," kata Han Houw. "Dan anak seperti ini,
jika memperoleh kesempatan sedikit saja, tentu akan melarikan diri, suci."
Kim Hong Liu-nio tersenyum dan mengeluarkan sebatang jarum putih terbuat
daripada perak. "Aku mempunyai cara untuk memaksanya agar jangan meninggalkan
kita, jangan melarikan diri."
Dari saku bajunya, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan sebuah bungkusan kertas,
membukanya dan nampaklah bubukan berwarna kuning. Dia mengoleskan ujung jarum
perak di bubukan kuning itu dan seketika ujung jarum itu berubah menjadi biru
kehitaman, tanda bahwa bubukan itu mengandung racun. Kemudian Kim Hong Liu-nio
menghampiri tubuh Sin Liong yang masih rebah terlentang. Anak ini tidak mampu
bergerak karena tubuhnya seperti lumpuh, akan tetapi matanya masih memandang
dengan mendelik penuh kemarahan, sama sekali tidak kelihatan takut.
"Biarlah dia melarikan diri kalau bisa. Andaikata bisapun, dia akhirnya akan
mencari aku karena nyawanya berada di tanganku," kata Kim Hong Liu-nio dengan
tersenyum. Han Houw membelalakkan matanya. "Suci hendak menggunakan Hui-tok-san (Bubuk
Racun Api)?" Kim Hong Liu-nio hanya tersenyum, lalu menghampiri Sin Liong. Dengan gerakan
cepat dia menusukkan jarum perak yang ujungnya biru menghitam itu ke arah betis
kaki kanan Sin Liong. Sin Liong merasa nyeri betis kanannya, akan tetapi dia
tidak mengeluh, hanya memejamkan matanya. Betisnya terasa panas sekali seperti
digigit ribuan ekor semut, dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan
perasaan yang amat menyiksa ini, rasa panas gatal tanpa dapat menggaruknya!
Hah Houw lalu menotok pundaknya, membebaskan totokannya dan Sin Liong meraba
betis kanannya, hendak menggaruk.
"Jangan garuk! Begitu kaugaruk, kau akan mati konyol!" Kim Hong Liu-nio berseru.
Sin Liong terkejut dan tidak jadi meraba betisnya. Dia tidak takut mati, tetapi
dia belum mau mati konyol. Masih banyak hal yang harus dilakukannya di dunia
ini, pertama mencari ayahnya dan ke dua, sekali waktu membalas kepada iblis
betina ini. Maka dia tidak mau membunuh diri secara konyol.
"Hui-tok-san telah berada di jalan darahnya." Kim Hong Liu-nio berkata dengan
suaranya yang merdu dan halus, bibirnya tersenyum akan tetapi kini Sin Liong
mulai mengenal senyum seperti itu, senyum yang menyembunyikan kekejaman seperti
iblis, "racun itu berhenti di betismu dan tidak akan berbahaya kalau tidak
kaugaruk. Kalau kaugaruk, maka racun itu akan berjalan cepat karena panasnya
akibat garukan, dan makin cepat dia bergerak naik, makin cepat pula dia mencapai
jantung dan mencabut nyawamu. Kalau kaudiamkan saja, dalam waktu enam bulan
barulah racun itu akan sampai di jantungmu dan mencabut nyawamu. Dan dalam waktu
enam bulan itu, tentu aku sudah akan dapat berhadapan dengan ayah kandungmu!"
Han Houw bertepuk tangan memuji, "Wah kau hebat, suci! Dengan demikian, dia
tidak akan berani melarikan diri. Bukankah hanya engkau yang mempunyai obat
penawarnya, suci?" Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Mari kita berangkat ke Jeng-hwa-pang, sute!"
Wanita itu lalu mencengkeram tengkuk Sin Liong dan membawanya masuk ke dalam
kereta, diikuti oleh Han Houw!
"Biarkan dia duduk bersamaku, suci. Dia dapat menjadi teman seperjalananku." Sin
Liong lalu didudukkan di atas bangku kereta bersanding dengan Han Houw yang
memandanginya penuh perhatian. Sin Liong duduk seperti seorang raja, tegak dan
tidak mau melirik ke sana-sini, mulutnya cemberut dan dia seolah-olah tidak
perduli sama sekali kepada dua orang yang berada di dalam kereta bersamanya itu.
Kim Hong Liu-nio bersuit dan muncullah tujuh belas orang pengawal itu. Dia
mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Mongol dan bergeraklah kereta itu, ditarik
oleh empat ekor kuda besar, berangkat menuju ke selatan, dikawal oleh para
pengawal yang menunggang kuda. Diam-diam Sin Liong merasa kagum dan heran juga.
Mulailah dia melirik ke arah Han Houw yang duduk di sebelah kirinya. Dia
menduga-duga siapa adanya pemuda ini yang ternyata amat lihai ilmu silatnya,
jauh lebih lihai daripada Siong Bu atau Beng Sin. Dia mendengarkan wanita cantik
itu berkata-kata kepada anak laki-laki ini, bicara dalam bahasa yang tidak
dimengertinya. Dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio bercerita kepada Han Houw
tentang dirinya. Akhirnya percakapan mereka berhenti dan Han Houw menyentuh lengannya. Dia
menoleh. Dua pasang mata yang sama tajam bersinar-sinar saling bertemu. Han Houw
tersenyum dan berkata, "Kau memang hebat, adik kecil. Ayahmu patut dipuji."
"Dan kau memang jahat, kekejaman kalian patut dicela!" jawab Sin Liong,
memandang berani. Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, belum pernah selama hidupku bertemu dengan bocah
seperti engkau ini. Namamu Cia Sin Liong" Eh, Sin Liong, setelah kita saling
bertanding dan kini duduk sekereta, tentu engkau mau menjadi sahabatku bukan?"
"Persahabatan bukan hanya omong kosong belaka, tapi ditentukan oleh perbuatan.
Perbuatanmu dan sucimu terhadap diriku sama sekali tidak bersabat!" Jawab pula
Sin Liong. Dia masih marah sekali dan tentu saja dia marah karena dia juga
maklum bahwa di dalam tubuhnya telah mengeram racun jahat yang akan
menewaskannya dalam waktu enam bulan, racun yang sengaja dimasukkan ke dalam
tubuhnya oleh wanita itu. Perbuatannya itu demikian kejam dan anak ini bicara
tentang persahabatan! Akan tetapi, Han Houw yang tadi mendengar dari sucinya tentang keadaan Sin
Liong, tidak menjadi marah oleh jawaban itu. Dia amat tertarik lalu berkata,
"Engkau sejak kecil dipelihara oleh monyet-monyet besar" Betapa aneh, hebat, dan
pengalamanmu itu sungguh luar biasa. Ingin aku mengalami hal seperti yang telah
kaualami itu, Sin Liong. Dan engkau putera kandung Cia Bun Houw, pendekar yang
kabarnya amat sakti itu. Bukan main! Aku ingin menjadi sahabatmu!"
Akan tetapi Sin Liong tidak mau menjawab lagi, bahkan membuang muka memandang ke
luar jendela kereta, melihat betapa kereta dijalankan cepat melintasi padang
rumput yang agak tandus dan dari jauh di depan nampak dinding yang amat panjang
naik turun gunung, berbelok-belok seperti ular atau naga besar. Itulah agaknya
Tembok Besar yang terkenal sebagai dongeng, yang pernah diceritakan kepadanya
oleh Siong Bu dan Beng Sing, dua orang anak yang pernah menyeberangi tembok
besar yang amat panjang itu.
*** Matahari telah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah hutan
di lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka
memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh pohon-
pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Tiba-tiba kereta berhenti
dan pasukan pengawal segera menggerakkan kuda mereka mengurung kereta untuk
melindungi. "Mengapa berhenti?" Han Houw bertanya.
"Apa yang terjadi?" Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar.
Seorang pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta dan memberi laporan
dalam Bahasa Mongol secara singkat.
"Hemmm, bagus! Mereka mencari mati di tempat ini" Sute, kau berdiam saja di sini
dan lihat saja sucimu menghajar mereka!" kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba
tubuhnya melesat keluar dari dalam kereta.
Han Houw membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia dan Sin Liong
dapat melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu
dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh
orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu. Mereka
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara
teratur sehingga tahu-tahu tempat di mana kereta itu berhenti telah dikepung
dalam jarak kurang lebih lima meter. Para pengepung itu memakai pakaian seragam
hijau muda dengan gambar bunga yang bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada
baju masing-masing. Karena pakaian yang berwarna serba hijau ini, maka pandang
mata menjadi kabur karena warna pakaian mereka itu sama dengan warna di
sekeliling tempat itu, warna daun dan semak-semak. Dan karena mereka mengurung
dengan berdiri tegak dan sama sekali tidak bergerak atau mengeluarkan suara,
maka keadaan menjadi makin menyeramkan. Akan tetapi Sin Liong melihat betapa Han
Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya mengandung ejekan dan memandang
rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum terhadap ketabahan pemuda cilik yang
tampan dan berpakaiah mewah ini.
Sementara itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta
dan membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka.
Tujuh belas orang pengawal yang berpakaian seragam inipun kelihatan gagah dan
tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini
sesungguhnya. "Han Houw, sebenarnya siapakah engkau ini" Apakah anak bangsawan Mongol?"
Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya.
Han Houw menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia telah dipesan oleh ayah bundanya,
juga sucinya, agar tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan
perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja Sabutai,
tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku bangsa yang
tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai mempunyai banyak sekali musuh di
antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin Liong, Han Houw
tersenyum dan menjawab, "Kelak engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong."
Sin Liong memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi
mendesak lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar
jendela, ke arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan
gerombolan itu. Wanita itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan
sikap tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan hatinya
karena gangguan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal telah memberi laporan
kepadanya bahwa gerombolan Jeng-hwa-pang telah menghadang di tengah perjalanan
dan dia menjadi marah sekali. Setelah dia melompat turun dan melihat sekeliling,
benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu
saja dia merasa marah sekali dan cepat dia menghampiri enam orang yang ia duga
tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang. Ketika dia pernah mengacau di Jeng-
hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-
pang, dia tidak bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang
pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-
hwa-pang adalah ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang
berkepandaian tinggi. Maka kini melihat ada enam orang berdiri tegak dengan
sikap angkuh, mudah saja hati Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka
itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang.
"Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang
di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok rendah!" Kim Hong Liu-
nio berseru dengan suara nyaring. "Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu
kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?"
Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka kira
wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang amat tajam. Pria berusia lima
puluh tahun yang bermuka merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu
sendiri melangkah maju dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim
Hong Liu-nio. "Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu!
Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tidak ada artinya. Engkau telah
dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan
ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong.
Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah
sekaligus! Dan..." "Tunggu dulu!" Kim Hong Liu-nio menghentikan kata-kata lawannya itu dengan
mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat
bagi para anggauta pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan
anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka. "Agaknya engkau ini
Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Eh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat
keadaan pasukan pengawal itu?"
Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang
pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh
puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara
ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Amat menyeramkan
melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi
tidak ada suara yang keluar!
"Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih
artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu"
Apakah kaukira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah
sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu"
Ha-ha-ha!" "Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah,
akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!"
Kim Hong Liu-nio memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan
kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik
busur, dan para anggauta Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak.
Akan tetapi tiba-tiba anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur
dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Setelah tiba di atas, anak-
anak panah itu mengeluarkan ledakan dan nampaklah sinar merah bernyala di
angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan
untuk mengirim berita! Orang-orang Jeng-hwa-pang terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak
lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari empat penjuru. Kemudian,
terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak
sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada di lereng bukit
yang agak tinggi betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang
masing-masing tidak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya!
Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang
biasanya berwarna merah itu kini menjadi agak pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-
nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai
mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim
Hong Liu-nio. Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai dan semua suku
bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan
raja ini, maka begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi,
berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu.
"Orang she Gak, kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang
dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, siapa pula yang menentukan"
Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, akan tetapi anak buahmu hanya
berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja
sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang
agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?"
Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita in
sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai
yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan
oleh anak buahnya itu. Tadinya, melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh
tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat
mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan karena dia bermaksud
membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai
mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang
Jeng-hwa-pang vang melakukannya. Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-
pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam
bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi,
siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan
mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri
pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum
masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya.
"Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya
mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!"
"Cih! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah
yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang katakanlah, engkau mengundang aku ke
Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini mempunyai maksud curang
apakah?" Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia
menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kim Hong Liu-nio, benarkah
engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku
beberapa bulan yang lalu?"
Kim Hong Liu-nio mengangguk, menurunkan papan salib dari punggungnya sambil
memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan. "Bukan salahku, pangcu, akan
tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio" Kenapa
engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she
Tio itu?" Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri
saja. Wajah Gak Song Kam menjadi makin merah dan matanya mengeluarkan sinar
berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tidak menguntungkan, dia tidak berani
terlalu memperlihatkan kemarahannya.
"Kim Hong Liu-nio! Engkau tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa
siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar
nyawa," kata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya
meraba gagang pedang di pinggangnya.
Wanita itu tersenyum mengejek. "Hemm, kaumaksudkan bahwa aku telah membunuh
isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?"
"Itu sudah merupakan kepantasan!" jawab ketua Jeng-hwa-pang.
Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Memang pantas! Seorang suami tentu harus
membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya,
engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau hendak mengandalkan
pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?"
Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat
itu telah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak
buahnya untuk membunuh iblis betina ini.
"Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?"
kembali wanita itu mengejek.
"Apakah engkau takut?" ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek.
Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran
dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan
harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga
isterinya. "Racun-racunmu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut" Akan tetapi kalau
engkau hendak menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa akupun akan
menggerakkan pasukanku."
Tiba-tiba lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang
di antara mereka berkata, "Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang untuk
pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima biasa maju
bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi jago-jago fihak
pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk menandingi kami!"
Kim Hong Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia
mereka itu kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh
tegap dan nampaknya kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima
macam senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung.
Dia sudah mendengar dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari Jeng-
hwa-pang ini lihai sekali, apalagi kalau mereka maju bersama karena kelimanya
merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak mempelajari ilmu-
ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia belum mengenal Ngo-
heng-tin, maka hatinya tertarik sekali.
"Hemm, jadi kalian berlima ini pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal
dengan ilmu Ngo-heng-tin" Kabarnya kalian adalah perampok-perimpok dari Heng-
san, benarkah?" Wajah lima orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum
menjadi tokoh Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang
terkenal. Ketika mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka
lalu menggabung dan karena mereka itu lihai, maka kini mereka menjadi pembantu-
pembantu utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu
saja mereka menjadi malu dan marah.
"Kami adalah Heng-san Ngo-houw, kami sudah siap membela pangcu kami, silakan
kouwnio mengeluarkan jago kouwnio."
"Suci, biarlah aku menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak
dan dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu.
Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan diapun meloncat keluar dan mengikuti
Han Houw. Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Sutenya ini paling suka bertanding silat!
Memang sudah pandai sutenya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi
karena memang memiliki bakat yang amat hebat, akan tetapi sutenya yang baru
berusia empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman
bertempur dan juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia
dapat menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan
berbahaya. "Lebih baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya."
"Biarlah, suci. Aku tidak takut."
"Dan aku akan membantu Han Houw!" tiba-tiba Sin Liong berkata. Kim Hong Liu-nio
terkejut dan menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan alisnya. Anak ini
sungguh lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran dengan namanya begitu
saja! Dan berlagak hendak membantu segala.
"Minggirlah engkau!" bentaknya. Kemudian dia menghadapi lima orang Hengsan Ngo-
houw sambil berkata, "Kalian maju berbareng dengan berlima, sebaliknya suteku
berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan suteku maju bersama, jadi dua
lawan lima" Aku ingin melatih suteku dan kalian merupakan lawan latihan yang
baik sebelum aku membunuh kalian."
Tentu saja lima orang itu menjadi makin marah karena ucapan itu jelas mengandung
pandangan rendah sekali terhadap mereka. "Majulah!" bentak orang tertua di
antara mereka, "Majulah kalian berdua, ditambah beberapa orang lagipun tidak
mengapa!" "Suci, menurut suci, di antara mereka ini, pemegang senjata mana yang paling
berbahaya?" Han Houw bertanya, sikapnya tenang.
"Lima batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti
juga sute telah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya
dengan pedang, tentu saja masing-masing mempunyai kelemahan sendiri. Engkau
tentu masih ingat bahwa melawan pemegang senjata panjang harus merapat,
sebaliknya menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang."
"Tapi, senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau
mereka maju bersama..."
"Itulah lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan gin-
kang..." Lima orang itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu
silat! Maka mereka lalu bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu,
kemudian terdengar mereka berseru hampir berbareng, "Lihat senjata!" Dan
mulailah lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan!
"Cring-cring-cring...!" Nampak sinar terang berkelebatan dan ternyata Han Houw
telah mencabut pedang dan menangkis tiga batang senjata lawan yang menyambar,
sedangkan dua batang senjata lain telah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong
Liu-nio! Akan tetapi, lima orang itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan
gerakan mereka benar-benar amat luar biasa.
"Jangan tangkis, elakkan, pergunakan gin-kang dan lindungi diri dengan sinar
pedang!" terdenger Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera
berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu. Han
Houw mengerti bahwa sucinya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara
lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin.
Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima
orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima
orang itu. Kiranya memang ada unsur ngo-heng di dalam gerakan-gerakan mereka
yang saling membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat
pokok yaitu api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini
memang hebat bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat.
Akan tetapi segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang
dimiliki oleh lima orang itu tidak begitu kuat. Inilah kelemahan mereka.
Andaikata mereka itu terdiri dari orang-orang yang memiliki dasar ilmu yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuat, maka Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat
kelemahan lawan, maka dia tersenyum dan berkata kepada sutenya, "Sute, kau
sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Pergunakaw gerakan
Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!"
Han Houw mentaati perintah sucinya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda,
melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa
memperdulikan yang lain. Tiga orang lainnya tentu saja berdasarkan silat Ngo-
heng-tin, telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang itu,
akan tetapi nampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat
dari sabuk merah Kim Hong Liu-nio ini telah membentuk benteng yang menghadang
tiga orang lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok! Terpaksa
kedua orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan
main menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu. Mereka kini
terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka ketika
mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat
bertemu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apalagi karena anak itu memang
mengerahkan sin-kang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan Hek-
hiat Mo-li sendiri! Sin Liong menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya.
Kiranya Ceng Han Houw benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Pandang matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok dua orang
yang memegang pedang dan golok itu, sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh
sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung
karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan melakukan totokan-
totokan pada jalan-jalan darah maut mereka!
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari
lehernya mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang
Han Houw! Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk
mempertahankan diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung!
Semua ini tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu,
ketua Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, setelah mengerahkan
seluruh kepandaiannya, baru dapat mengimbangi Ngo-heng-tin. Dan kini, Ngo-heng-
tin menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita
cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan
yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja. Melihat
gerakan sabuk merah dari Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau wanita itu
menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat dirobohkan,
akan tetapi agaknya wanita itu benar-benar hendak "melatih" sutenya dan
membiarkan sutenya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu hanya untuk
mencegah tiga orang itu mengeroyok. Dan melihat ini semua, tanpa bertandingpun
tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia sendiri bukan lawan Kim Hong Liu-nio
dan usahanya membalas dendam akan sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan
menyerahkan nyawanya. Maka timbullah akal yang curang di dalam benak Gak Song
Kam. Sejak tadi dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu,
akan tetapi melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki
yang memegang pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio,
tentu anak itupun merupakan seorang anggauta keluarga atau anggauta rombongan.
Maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggauta
Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Jeng-hwa-
pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan mencabut
senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw!
Kim Hong Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking
nyaring untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang mengurung tempat itu, kemudian
dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw.
Ketika dia mencari-cari dengan pandang matanya di antara pengeroyokan anak buah
Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam.
Ke manakah perginya ketua Jeng-hwa-pang ini" Orang yang cerdik ini setelah
melihat anak buahnya menyerbu, lalu dia meloncat dan menyelinap di antara anak
buahnya, bukan untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri
kereta yang telah ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu. Para
pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang telah turun tangan
mengeroyok, tentu saja cepat menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan
sengit. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke depan
dan menangkap Sin Liong. "Eh, kau mau apa?" Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap
saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu.
"Diam kau, dan kau ikut saja bersamaku!" bentak Gak Song Kam sambil mengangkat
tubuh Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-
pang ini melarikan diri. Setiap kali bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam,
"Biarkan aku lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!"
Para anggauta pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang
tadi melihat Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak
Song Kam yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, Gak Song Kam
berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring. "Tahan dia
itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!"
Kiranya, setelah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah
bukan main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-
san Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur, membiarkan tujuh belas
orang pengawal itu menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang karena kini pasukan
telah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi
habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia
melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tuhuh Sin Liong.
"Celaka, suci. Dia melarikan Sin Liong!"
Seruan Han Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada saat itu
mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-
pang, sebaliknya Kim Hong Liu-nio khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin Liong
yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung anak
itu, dan menundukkannya. Jadi kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang
jauh berbeda. Han Houw diam-diam mengagumi dan merasa suka sekali kepada Sin
Liong yang dianggapnya jauh berbeda dari anak-anak biasa, apalagi sikap Sin
Liong terhadap dirinya yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-
benar menimbulkan kesan di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak
itu. Melihat Gak Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak
menyuruh pasukan yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi
pada saat itu, Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini
mendengar seruan Kim Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang perajurit
anggauta pasukan kecil yang berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya
dan mereka berlari-larl mengejar!
Melihat tiga puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song
Kam cepat menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu telah menyebar bubuk
berwarna hitam di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin berserakan di sepanjang
jalan dan juga terbawa angin tersebar sampai jauh. Ketika tiga puluh orang lebih
itu tiba di tempat itu tiba-tiba mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh
lebih orang itu berkelojotan di atas tanah sambil kedua tangan mencekik leher
sendiri. Mereka telah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang ditaburkan oleh
ketua Jeng-hwa-pang itu! Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang dan
pada saat itu, Gak Song Kam melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil,
terdengar ledakan dan nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.
"Jangan kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru, namun terlambat karena
belasan orang perajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-
jerit mengerikan dan mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika
membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!
"KEPARAT!" Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut
mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat, ketika tiba di tempat di mana
disebar racun, dia mengerahkan sin-kangnya menahan napas, lalu meloncat seperti
seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman.
Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan
merupakan hutan yang gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang.
Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan
jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang
Gak Song Kam dia tidak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam
adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu telah berada di dalam
hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di
tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan
Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh. Memang dia kehilangan Sin Liong, akan
tetapi anak itu dalam waktu enam bulan akan mati juga. Pula, untuk mencari Cia
Bun Houw tanpa bantuan Sin Liongpun dia masih sanggup. Maka setelah mengepal
tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak
membunuh Gak Song Kam, dia lalu membalikkan tubuh kembali kepada sutenya yang
telah menantinya di dalam kereta. Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggauta
Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh
pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang, hampir dua
ratus orang anggauta pasukan tewas karena orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga
menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan.
Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas,
Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw
dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok
besar untuk mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke
Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan
agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar
gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun.
Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki
hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, namun cengkeraman tangan Gak Song Kam
amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besarpun takkan dapat berkutik kalau
dicengkeram oleh orang she Gak ini, apalagi seorang anak kecil seperti Sin
Liong. Malam telah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah
di punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu
melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri lalu menjatuhkan diri
di atas rumput, lalu kakek bertubuh tinggi tegap yang kelihatan gagah perkasa
itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang
keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua
tangan, seperti seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya. Semua
ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang karena ada sinar bulan
yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari muka
kakek yang sedang menangis itu.
Watak anak itu memang aneh sekali. Hatinya keras dan dia akan menentang segala
ketidakadilan dengan penuh keberanian dan dia tabah sekali menghadapi ancaman
apapun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu,
mudah menaruh iba kepada orang lain, maka begitu melihat kakek itu menangis
demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan kasihan, lupa bahwa kakek ini
telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.
"Paman, mengapa engkau menangis demikian sedihnya?" tak tertahankan lagi dia
bertanya, suaranya penuh keprihatinan.
Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis makin keras lagi, seolah-olah
pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa
dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang
telah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim
Hong Liu-nio dan tiba-tiba tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah
Sin Liong dan membentak, "Bocah setan! Mereka telah membasmi semua anak buahku
dan keluargaku. Baik, biarpun aku belum dapat membalas kepada iblis betina itu,
setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat,
menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang
lebih dalam dari hutan itu. Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali, tubuhnya
lecet-lecet dan babak belur terkena duri-duri ketika dia diseret dan dia sama
sekali tidak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu
berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat
sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.
"Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan!
Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis
betina ke tempat ini!" seperti orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan
karena ketika tertawa itu dia mengangkat muka, maka sinar bulan persis menimpa
mukanya, membuat wajah itu kelihatan kelam dan seperti muka setan!
"Paman, apa yang akan kaulakukan kepadaku?" Sin Liong bertanya karena dia merasa
tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya"
"Ha-ha-ha, kau ingin tahu" Ingin melihat" Nah, kaulihatlah!" Dia menyambar tubuh
Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas kepala di bawah, lalu
dia menggantung tubuh itu di sumur. Dengan kepalanya tergantung itu, Sin Liong
dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi nampak olehnya
beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!
"Ha-ha-ha, sudah kaulihat" Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di
sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di
dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Setelah berkata
demikian, Gak Song Kam kembali melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di
dekat lubang sumur yang mengerikan itu. Melihat ular-ular itu, Sin Liong
bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan
cerita ibunya bahwa di waktu kecilpun dia pernah digigit ular dan hampir mati.
Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia teringat akan ibunya dan
terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang tadinya dianggap sebagai ibu
angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah
tewas. "Ibuuuu...!" Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis! Tangisnya
sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh sampai saat ini, dia selalu
berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan
kesedihannya. Kini, teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba
saja dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu.
Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh
tertotok. "Ha-ha-ha-haaaa...!" Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang
berduka melihat "musuhnya" tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong
menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!
"Ibuu... ah, ibuuu... bu-hu-huuuh...!"
"Ha-ha-ha-haahhh...!"
Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti berlumba, dan makin Sin Liong
mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara ketawa Gak
Song Kam yang merasa terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar
atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.
"Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus sampai arwahmu akan
menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!" Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong
membebaskan totokannya sehingga anak itu dapat bergerak lagi. Kemudian sambil
tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam
lubang sumur! "Bukk!" Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek dan Sin Liong
terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang,
pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang
terlentang itu melihat kepala dan wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di
atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.
Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar
suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia
meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya
digigit dari bawah. "Aduhh...!" Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa
"cess" seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang
menyusup sampai ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat. Saking
nyerinya, seketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu,
tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari
kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi tubuh ular yang
membelit kakinya itu ketika dia mencengkeram, ternyata lemas dan ketika dia
renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!
"Cesss...! Aduhhh!" Kini tiba-tiba pahanya tergigit sesuatu dan rasa dingin
menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang telah
melempar bangkai ular merah itu menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan
sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas,
sungguhpun bangkai ular itu masih hangat, tubuh ular itu masih berkelojotan
sedikit. Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering
itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu, akan tetapi
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum dia menangkap ular
ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya. Rasa
dingin yang amat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua
tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga
tiga ekor ular merah itu telah mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong
merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil. Dia tidak lagi
memperdulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati
pemandangan remang-remang di bawah itu, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh
bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh
lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu. Dan dia membuka mata
lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang
juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha
manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya ditelan
perlahan-lahan oleh ular besar ini.
Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut
setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu
menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja. Seperti telah
kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun
yang amat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun Hui-
tok-san ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah
yang sama jahat dan berbahaya, justeru mempunyai sifat yang sebaliknya. Racun
ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat
dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar
saja manusia itu tentu akan mati. Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni
oleh Hui-tok-san, maka begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan
lawan hebat, maka seketika ular-ular itu mati, tidak kuat menghadapi hawa panas
yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong.
Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biarpun lima ekor ular meran itu
telah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat
dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya sakit-sakit,
sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin seperti
membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti
ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, dia mengeluh dan
jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak
mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.
Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang
menguasai tubuhnya itu justeru memiliki sifat yang berlawanan, dan keduanya
adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini. Kalau racun ular merah itu
yang telah memasuki tubuhnya lebih banyak atau kurang sedikit saja, nyawanya
tidak akan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justeru tepat
sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini
membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri
atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh
anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut. Racun Hui-tok-san yang oleh
Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam
waktu enam bulan, kini telah buyar dan punah, sebaliknya racun lima ekor ular
merah itupun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!
Akan tetapi, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara
racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam
keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan dan mengeluh. Dan pada saat itu,
terdengar suara mendesis-desis dan seekor ular yang besar dan panjangnya ada
tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu
dan bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan! Tubuh anak itu
memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama
monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah dua macam racun itu mulai kehilangan
kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia mulai sadar dan telah
bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia
melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah
berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat
keluar! Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena
tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong
keluar nalurinya dan dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi
melainkan pekik seekor kera muda yang sedang marah. Kemudian, terdorong oleh
keliaran ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan
sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu
mendesis dan membuka mulut akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong
mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang
dan leher Sin Liong. Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling,
tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena
marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulutnya dan menggigit leher ular itu.
Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan dan kemarahan dan
dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia
tidak perduli dan menggigit terus, menggigit terus! Ular itu besar dan kuat
sekali. Seorang laki-laki dewasa sekalipun tidak akan mungkin dapat melawan
tenaga lilitannya, apalagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan
menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular
itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta,
membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau
punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.
Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak
Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira. Dalam diri setiap
orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang
menimbulkan ketegangan yang nikmat apabila menyaksikan suatu siksaan atau
kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain mahluk. Nafsu yang
mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton
adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia
maupun antar mahluk hidup. Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini
menguasai orang-orang yang lemah batinnya, orang-orang yang menonjolkan iba diri
sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau mahluk lain lebih
menderita daripada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam
perbuatan keji dan kejam di antara manusia.
Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri
anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan dia tidak ingin
kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya menegangkan dan
menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu
kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan
menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.
Akan tetapi, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri
menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar
pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-
pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari
lubang sumur, melainkan dari belakangnya. Cepat dia membalikkan tubuh memandang
dan mengangkat obornya dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat
itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan
gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar! Sebetulnya, yang
datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar
saja, akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari
kerongkongan rombongan monyet itu saling sahut, berloncatan dari segala penjuru,
sedangkan hati Gak Song Kam terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah
yang muncul ada ratusan ekor monyet! Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-
monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang
baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya "ratusan"
ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah
merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir
dua kali, dia lalu membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan
cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul!
Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang digerogotinya itu,
membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia
nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh
ular pada lehernya makin mencekik dan dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa
seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau
hangus. Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar
berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar
menggereng, merenggut tubuh yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan,
dan menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh
ular itu mereka robek-robek. Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan
suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang
pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-
temannya. Tak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-
daun pohon. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan
cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi
sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh.
*** Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-
lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya ketika dia masih
bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para
monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka
dengan bebas. Sin Liong sama sekali tidak merasa canggung hidup di antara
binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat
dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja
hidup di antara monyet-monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan
semua kedukaannya, lupa akan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang
tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup
dengan wajar dan bahagia. Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul
dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh
lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul
dari alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya
pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan
masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya yang
kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.
Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling pandai di
antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan yang amat hebat
dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat
yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.
Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan
rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya
malah! Justeru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-
olah menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur
dalam bidang rohani. Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu
manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia
mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan dapat
terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh
kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi,
kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan
gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini
kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan makin merajalela. Permusuhan antara
manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai
seluruh negara di bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian" Apakah justeru
kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah" Apakah
kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia"
Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan
di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa
kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Akan
tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah
kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang kesemuanya ditujukan kepada
pencapaian kesenangan yang sebanyak dan sebesar mungkin! Kita lupa bahwa makin
dikejar, kesenangan itu makin mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu
tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita
untuk mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran
kesenangan inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!
Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu,
yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam
soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita
memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan,
hanya terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah! Marilah kita membuka mata
meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian
kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung" Hasrat ingin menjadi orang
baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang kesemuanya merupakan bentuk
terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama terdapat pamrih ingin senang,
berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan
mendatangkan konflik. Karena itulah muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu,
keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan
kepada kesenanganKu, oleh karena itu kalau kesenanganku sampai diganggut aku
menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! Perang!
Ingin senang! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak
kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di guha-guha, atau mengasingkan
diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi
kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih
MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap
lebih luhur! Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada
hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan" Baik kesenangan itu kita
tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur,
tetap saja pada dasarnya kita ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk
senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, karena keinginan
yang dihalangi menimbulkan marah dan kebencian, keinginan yang tidak tercapai
menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tidak
akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja
yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.
Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk
senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat
menikmati apa yang dinamakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati
keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung
kita dapat menikmati keharuman bunga, mulut kita dapat menikmati asin, manis,
gurih, dan sebagainya lagi. Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala
kesenangan yang sebenarnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini,
akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh
sebanyak dan sebesar mungkin kalau kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke
dalam ingatan! Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran
kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau
mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya
mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati
diri sendiri. Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia
hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan
mengenangkan segala hal yang telah lalu maupun yang akan datang. Kalau lapar
mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, kalau mengantuk tidur,
kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanya
tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula.
Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali
masa lalu. Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-
laki yang tampan berkejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan
berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula
mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang
dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang
menimbulkan rasa ngeri. Tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguhpun hal ini sama
sekali tidak disadarinya. Dan tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan
ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh
racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut.
Namun, Sin Liong sudah tidak memperdulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia
berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan di mana terdapat
pohon-pohon yang berbuah.
Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu
demikian mengejutkan bagi rombongan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga
mereka semua seketika berhenti bergerak dan semua dahan-dahan pohon yang tadinya
bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai
dan gembira itupun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin
berlindung. Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan
tetapi tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia sudah
meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil
memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan
merekapun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik.
Biarpun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai bicara seperti manusia
yang telah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi amat luas dan
lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun
binatang-binatang itupun mempunyai cara saling berhubungan melalui suara. Oleh
karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apapun, sudah tentu
mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka. Demikian pula dengan suara-suara
pekik monyet, suara itu mempunyai makna-makna tertentu dan karena sejak kecil
sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna
dari suara-suara monyet itu. Ketika tadi mereka mendengar pekik mengerikan dari
seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan
hebat, menghadapi bahaya besar, kemudian pekik-pekik selanjutnya memberi tahu
kepada mereka bahwa monyet itu sedang berhadapan dengan musuh besar mereka yang
amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau!
Harimau merupakan raja hutan yang amat ditakuti oleh para monyet itu, karena
sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau
mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani
menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, kalau bertemu
harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu mendengar pekik
itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan. Akan tetapi, tentu saja Sin
Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah sering kali ditolong dan
dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya
ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan
timbul kesetiakawanan besar di dalam hati anak manusia ini. Maka, begitu rasa
kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya,
maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan
para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah
takut menghadapi musuh besar itu, maka merekapun cepat mengejar dan mengikuti
Sin Liong. Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet
besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi
dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas
menggigit. Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan
keras dan meloncat ke depan, langsung menerjang harimau itu dengan penuh
keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya
menyambar ke arah ekor harimau yang panjang.
"Bukkk!" Biarpun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti
mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, akan tetapi Sin Liong
sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya. Harimau itu meraung,
melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk
mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong cukup
cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak
mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya,
mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah.
Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, akan tetapi Sin Liong juga
memekik-mekik nyaring. Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya menarik perhatian harimau lain. Dari balik
semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan
tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang!
"Aughhh...!" Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar,
bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi dengan sigap dia lalu
membalikkan tubuhnya, dan menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu.
Sin Liong telah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara
membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja tendangan dan pukulannya tidak dapat
merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban
cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan,
berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah.
Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan
turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang
sedang berada di lain tempat, mendengar suara-suara itu dan merekapun
berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin
Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan
suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan
terhadap dua ekor harimau itu. Dua ekor binatang buas ini sudah menjadi
ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam
dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini,
akan tetapi akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil
menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah
merasa ketakutan. Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lain, diapun
menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet
besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat
lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, sedangkan monyet-monyet
lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri.
Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-
monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia
dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan
mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai
berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Mungkin karena anak ini
dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin
Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya
sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya
daripada ilmu silat monyet yang telah ada dalam partai-partai persilatan besar.
Dia dapat bergerak dengan kecepatan laksana monyet aseli, cara mengelak, cara
meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan.
Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia
tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia.
Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet lain, hanyalah menjaga dan
memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam
hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan. Kini dia tidak hanya dapat
mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, kalau
sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau
indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara kembang-kembang,
kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira,
dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga
mereka tidak dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan,
kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi.
Kita tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan mari
kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui,
keluarga Kui Hok Boan mengalami malapetaka besar ketika isterinya dari orang she
Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan. Biarpun hatinya
merasa cemburu dan marah ketika mendengar kenyataan bahwa isterinya pernah
bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian melahirkan Sin
Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun hati orang she
Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah jatuh cinta kepada
isterinya yang tangan kirinya buntung itu.
Sebelum dia menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang
belum pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita manapun hanya
terdorong oleh nafsu berahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia
tinggalkan begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di
antara wanita itu terdapat dua orang wanita yang melahirkan keturunannya, yaitu
dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya sebagai
keponakan. Dia belum pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan
Liong Si Kwi maka dia benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi
dan mempunyai anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya telah aman
tenteram dan makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya dan dia dapat hidup
sebagai seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah
baik-baik. Akan tetapi, siapa menduga akan datangnya malapetaka sehebat itu!
Isterinya tewas dalam tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat
lihai dan sampai bagaimanapun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan
isteri yang dicintanya dan kembali dia hidup sebatangkara, malah kini dibebani
dengan empat orang anak tanpa ibu!
Kedukaan kehilangan isterinya itu agaknya tidak akan menjadi terlalu berat bagi
Hok Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya
dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apalagi sekarang dia
merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis baik-
baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati. Akan tetapi
yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar Sabutai
melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu enam
bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya menjadi
agak bingung. Tentu saja dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat
orang anaknya dan hartanya, akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat
banyak musuh-musuhnya dan tentu kehidupannya akan berubah sama sekali, akan
lenyaplah semua ketenteraman hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah
Naga. Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan
sehingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan
menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan
keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita
dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah
dari semua itu, timbullah duka. Bagaimanakah terjadinya ikatan itu" Mengapa kita
suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar maupun tidak kepada semua itu"
Ikatan timbul apabila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan
itu di dalam ingatan, lalu ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita
mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau isteri, dengan keluarga,
dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka itu untuk
selamanya, tidak mau terpisah lagi. Padahal, tiada yang kekal di dunia ini dan
perpisahan pasti tiba, dan timbullah rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan,
kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian,
yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan semua yang telah
mengikut kita itu! Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan
tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah" Punyaku, suara lahiriah. Akan
tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya
kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta
kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena
ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang
kita cinta itu! Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta
itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan
seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik,
permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak
ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas
dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih
yang sejati. Kui Hok Boan mulai berkemas, mengumpulkan harta bendanya yang sekiranya dapat
dibawanya. Diapun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah
Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari
Raja Sabutai. Para petani menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah
Hok Boan. Mereka, para petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup
sederhana. Kesederhanaan hidup membentuk watak mereka menjadi sederhana pula,
keinginan merekapun sederhana. Mereka sudah biasa hidup serba kekurangan, maka
perintah untuk pergi meninggalkan daerah Lembah Naga itu tidak amat
menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa, mulailah para penghuni itu
mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang penting bagi mereka hayalah tanah-
tanah yang subur karena di mana ada tanah subur, mereka tidak khawatir untuk
hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak di utara, akan tetapi juga ada hal
yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah di utara itu masih belum dikuasai
oleh pemilik-pemilik perorangan, masih merupakan tanah liar tak bertuan,
sungguhpun merupakan daerah kekuasaan Raja Sabutai.
Pada sore hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang
tetangga yang datang untuk membicarakan perintah pengosongan Lembah Naga, empat
orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan
Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah urusan
kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin Liong.
"Aku bersumpah kelak akan membunuh wanita iblis itu!" Lan Lan berkata sambil
mengepal tinjunya. "Aku juga!" kata Lin Lin sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya
selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya.
Hening sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-
laki yang melihat keadaan mereka itupun merasa berduka. Akhirnya Siong Bu
berkata, "Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku akan membantu kalian.
Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan menghadapi iblis betina
itu!" kata Siong Bu penuh semangat.
"Kasihan sekali Sin Liong," Beng Sin berkata pula. "Entah bagaimana nasibnya di
tangan iblis itu." Disebutnya nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tak
mereka sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan
Lin Lin! Jadi "anak monyet" itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan
ini, saudara tiri seibu! Siong Bu yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong karena iri hati, menarik napas
panjang dan dia berkata, "Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku
kagum sekali kepadanya."
"Dan dia putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi merupakan
pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!" kata Beng Sin.
Kembali mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena
mendengar suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek
tinggi besar sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya. Kakek ini
tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya
juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya penuh cambang
bauk sehingga kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, suara laki-laki itu
lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan bertanya, "Apakah di
antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?"
Siong Bu hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin
Lin sudah menjawab, hampir berbareng, "Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!"
Kini Siong Bu cepat bertanya, "Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan
paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberitahukan
kepada paman bahwa lopek datang..."
"Heiii...!" Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak
dan kedua langannya yang besar itu telah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh
Lan Lan dan Lin Lin telah ditangkapnya. "Kalian ikut bersamaku!" katanya kepada
dua orang anak perempuan yang menjadi kaget setengah mati dan tidak keburu
mengelak itu. "Lepaskan mereka!" Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu. Kakek yang
mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan
panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut,
berusaha untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena
tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras!
"Kau jahat...!" Beng Sin berseru dan juga menyerbu, akan tetapi tendangan ke dua
membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling.
"Lepaskan aku...!"
"Ayah, tolonggg...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali. Kakek itu
terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua
orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka,
mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali.
Melihat ini, Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak dan berusaha mengejar.
"Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!" Demikian
mereka berteriak-teriak. Kui Hok Boan yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun
yang menjadi tamunya, terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia
cepat menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman.
"Apa yang terjadi" Mana Lan Lan dan Lin Lin?" teriaknya melihat kedua orang anak
laki-laki itu menangis. "Dilarikan orang... ke sana..." Siong Bu menjawab.
"Seorang kakek brewok... dia menculik mereka..." Beng Sin juga berkata dan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya yang bulat itu mewek-mewek.
Hok Boan tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman,
melakukan pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu.
Sampai cuaca menjadi gelap, dia tidak berhasil menemukan jejak orang yang
menculik kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan
main. Dia lalu cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak buahnya dan
bersama anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang
diculik orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkatnya
tinggi-tinggi dan berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin,
akan tetapi sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil
menemukan jejak penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja
hati Hok Boan menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari.
Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu"
Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-
tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat telah terkenal
juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya para pembesar untuk mendidik
anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu
saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan
pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw maupun liok-lim, kaum
golongan sesat maupun golongan bersih.
Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan
merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka kepada orang muda yang
selain lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu. Memang Hok
Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil
hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka
Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu
menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu
dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu.
Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang
gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas
begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan
dengan amat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia telah menundukkan hati
ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta
antara dia dan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena
memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.
Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu
adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai
bahan menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena,
akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat
apapun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dan hasilnya sungguh hebat bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio
mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga
Ciam menjadi geger. Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tidak ada seorangpun
yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari
lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang,
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas
karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam
itu dengan nyawanya! Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat
terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, biarpun belum tentu
dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk
mengalahkannya. Akan tetapi, dia tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat
menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu
nyawa. Namun, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan
jejak sama sekali. Setelah dia hampir lupa akan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah
mendengar berita tentang Hok Boan, dia menganggap pemuda itu tentu telah mati,
tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu kini telah hidup
makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya,
memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam
yang hampir padam itu bernyala kembali, luka di hati yang sudah mulai sembuh
oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan
rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.
Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua
orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul
akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-
anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati
seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan
dibawanya lari memasuki hutan.
Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia berada di daerah
kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan
dengan kekerasan, kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia
kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin
sukar untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam. Oleh
karena itu, dia segera menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan,
melainkan membelok ke timur memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan
diri dari musuh-musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam
kepada musuh-musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari
anak-anaknya! Semalam itu, Ciam-kauwsu menghentikan larinya, bersembunyi di dalam hutan. Dia
melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor mencari-cari. Dia
menyumbat mulut dua orang anak itu dengan saputangan dan menotok tubuh mereka
sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali dia sudah melanjutkan larinya, mengempit tubuh dua orang anak perempuan
itu, terus ke timur. Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi
melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, ketika dia melewati daerah yang
penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari atas
pohon dan ketika dia menoleh, pada saat itu ada bayangan menyambar dari atas
pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping,
rambutnya panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera
saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung
Ciam-kauwsu! "Ehhh...!" Ciam-kauwsu yang sedang lari mengempit tubuh dua orang anak perempuan
itu, tidak sempat mengelak dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam
punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia
menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu" Dia bukan
lain adalah Sin Liong! Seperti telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh
induk monyet besar yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih bayi bersama
gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, bahkan
pembungkus kepalanya telah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya terurai
dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya agar gerakannya menjadi leluasa. Dia
hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, namun karena pikirannya
menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang amat berbahagia.
Pada pagi hari itu, Sin Liong masih tidur ketika ada seekor monyet muda yang
mengguncang-guncangnya. Dia terbangun, menggeliat dan menguap. Monyet itu
mengeluarkan suara mencicit dan menuding-nuding ke bawah. Sin Liong maklum bahwa
tentu ada sesuatu yang aneh dan tidak beres, maka dia lalu mengikuti monyet itu
yang membawanya berloncatan dari dahan ke dahan. Akhirnya, Sin Liong melihat
laki-laki brewok yang mengempit dua orang anak perempuan itu. Hampir saja dia
berteriak karena dia mengenal dua orang anak perempuan itu yang bukan lain
adalah Lan Lan dan Lin Lin!
Melihat dua orang anak perempuan itu, seolah-olah Sin Liong terseret ke dalam
dunia lain, dunia lama yang sudah hampir dilupakannya dan dia tertegun sejenak.
Hampir saja dia lari pergi karena hatinya merasa enggan untuk kembali ke dunia
lama itu. Akan tetapi dia tidak mampu mengusir bayangan Lan Lan dan Lin Lin, dua
orang anak perempuan yang selalu bersikap manis kepadanya! Akhirnya, rasa
kasihan kepada dua orang anak perempuan itulah yang menang dan dia lalu
mengikuti laki-laki itu dari atas. Kemudian, setelah memperhitungkannya dengan
tepat, melihat bahwa laki-laki itu tentu tidak mempunyai niat yang baik terhadap
Lan Lan dan Lin Lin yang kelihatan tidak mampu bergerak itu, dia lalu meloncat,
menerkam punggung kakek itu, dan langsung menggigit tengkuknya!
"IHHH...!" Kakek itu terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh dua orang anak
perempuan itu untuk melawan anak kecil yang liar dan ganas ini. Tengkuknya
terasa sakit juga digigit oleh anak itu. Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terlempar ke
kanan kiri sampai bergulingan akan tetapi karena terbanting itu, sumbatan mulut
mereka terlepas dan tubuh mereka dapat bergerak lagi karena ternyata pengaruh
totokan itu telah habis. Lin Lin lalu merangkak mendekati kakaknya. Mereka menangis dan mengurut-urut
kaki dan tangan sendiri yang terasa kaku, sambil memandang ke arah Sin Liong
yang masih menggigit tengkuk kakek itu. Tadinya, mereka tidak mengenal anak yang
menolong mereka itu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru, "Sin Liong...!" maka
keduanya lupa akan keadaan diri sendiri yang masih belum dapat bergerak dengan
leluasa. Melihat Sin Liong masih merangkul kakek itu dari belakang dan menggigit
tengkuk, Lan Lin dan Lin Lin lalu meloncat bangun, terhuyung akan tetapi mereka
berdua dengan marah sudah menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangan
mereka yang kecil untuk membantu Sin Liong.
"Duk! Dukkk!" Dua orang anak perempuan itu terlempar oleh tendangan-tendangan
Ciam-kauwau yang tidak bermaksud membunuh, kemudian dia menggoyang-goyangkan
tubuhnya. Akan tetapi anak laki-laki yang menggigit tengkuknya itu tidak
terlepas, bahkan dari kerongkongannya keluar suara gerengan monyet marah! Diam-
diam Ciam-kauwsu bergidik juga. Bagaimana tiba-tiba muncul anak liar ini,
pikirnya dan tangannya merenggut ke belakang, berhasil menjambak rambut Sin
Liong dam memegang lengan anak itu, lalu dia mengerahkan tenaganya. Tentu saja
Sin Liong kalah tenaga dan dia dapat diangkat lalu dibanting oleh kakek itu.
"Bresss!" Tubuh Sin Liong bergulingan dan kepalanya menjadi pening. Akan tetapi
dia cepat bangun kembali, menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, lalu
sambil mengeluarkan pekik dahsyat dia sudah menerjang lagi, kini dengan pukulan-
pukulan aneh seperti gerakan seekor monyet lincah!
"Anak liar, pergilah!" Ciam-kauwsu menghantam dari samping, menampar ke arah
pundak anak itu dengan maksud merobohkannya dan menakutkannya.
"Wuuut!" Pukulan itu luput karena dengan mudahnya dielakkan oleh anak itu! Ciam-
kauwsu terkejut dan penasaran, cepat dia maju lagi menyerang dengan tendangan
kakinya. Kembali anak itu mengelak dan tendangan itu luput, bahkan Sin Liong
kini mulai mainkan limu silat aneh yang dilatihnya selama ini dengan mengambil
inti sari dari gerakan monyet-monyet itu. Gerakan monyet tentu saja tidak
teratur, hanya menurutkan naluri, perasaan dan ketajaman atau kepekaan tubuh
sehingga membuat monyet-monyet itu dapat bergerak dengan amat cekatan. Akan
tetapi Sin Liong telah mengambil inti dari gerakan-gerakan itu untuk dijadikan
dasar dari gerakan silat, seperti yang pernah dia pelajari dari ibunya, maka
gerakan Sin Liong bukan liar dan tidak teratur seperti gerakan monyet. Dia
meloncat, mengelak sambil menyerang, dan membalas dengan pukulan seperti pukulan
manusia, mencakar seperti monyet, dan juga menendang.
Ketika beberapa kali tamparan dan tendangannya luput, bahkan anak itu dapat
membalas dengan serangan yang aneh, kakek itu menjadi makin heran dan terkejut.
"Kau anak liar, pergilah jangan mencampuri urusanku!" bentaknya berkali-kali.
Kakek Ciam ini bukan seorang yang berhati kejam. Dia tidak ingin membunuh anak
liar yang tidak dikenalnya itu. Dan kalau dia berhati kejam, tentu sudah
dibunuhnya dua orang anak perempuan kembar yang menjadi anak musuh besarnya itu.
Tidak, dia tidak tega membunuh orang apalagi membunuh anak-anak. Dia hanya ingin
memisahkan dua orang anak itu dari Kui Hok Boan, membalas dengan mendatangkan
kedukaan dan kehilangan kepada musuh besarnya itu. Kalau bertemu Hok Boan,
mungkin saja dendamnya membuat dia akan sampai hati membunuh musuh itu, kalau
Pedang Dan Kitab Suci 3 Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Pendekar Baja 21