Pencarian

Pendekar Lembah Naga 7

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


dia dapat tentu saja. Akan tetapi membunuh anak-anak yang tidak bersalah apa-
apa, sungguh tak dapat dia lakukan.
Kini menghadapi serangan anak kecil yang gerakannya aneh, liar namun cekatan
sekali itu, Ciam-kauwsu menjadi marah akan tetapi dia membujuk anak ini agar
tidak mencampuri urusannya. Namun Sin Liong tentu saja sama sekali tidak ada
niat untuk mundur. Dia harus membela dan melindungi Lan Lan dan Lin Lin dengan
nyawanya! Dua orang anak perempuan itu amat baik kepadanya, merupakan sahabat-
sahabatnya yang manis budi, bahkan tidak begitu saja sekarang. Dua orang anak
perempuan itu adalah adik-adiknya sendiri! Adik seibu berlainan ayah!
"Grrrr...!" Sin Liong menggereng dan menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan
yang memberi isyarat memanggil kawan-kawannya!
Ciam-kauwsu marah, dia membiarkan pundaknya dicengkeram oleh anak itu, lalu
membarengi dengan tamparan dari samping.
"Brettt... plakkk!" Baju Ciam-kauwsu di pundak robek oleh cengkeraman tangan Sin
Liong, akan tetapi anak itu kena ditampar pipinya sehingga terpelanting! Kembali
Sin Liong kepalanya pening, akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan pada saat
itu terdengar gerengan-gerengan menyeramkan dan belasan ekor monyet berloncatan
turun dari atas pohon, dipimpin oleh seekor biang monyet yang besar, yaitu
monyet betina tua yang memandang Sin Liong sebagai anaknya! Monyet betina inilah
yang mendahului teman-temannya menubruk kakek Ciam dengan ganasnya ketika
melihat betapa "anaknya" itu ditampar sampai terpelanting tadi.
"Ehhh...!" Kakek Ciam terkejut bukan main melihat datangnya banyak monyet besar,
apalagi ketika seekor induk monyet telah menyerangnya. Dia maklum bahwa terdapat
keanehan pada diri anak liar itu, yang ternyata kini dibantu oleh monyet-monyet
besar dan dia melihat adanya bahaya. Maka cepat kakek itu mencabut pedangnya,
mengelak dari terkaman induk monyet sambil menusukkan pedang dari samping.
"Crotttt...!" Pedang itu mengenai lambung induk monyet sampai tembus, ketika
dicabut, darah muncrat dan induk monyet itu terguling roboh sambil mengeluarkan
suara yang memilukan. Melihat monyet betina yang disayangnya itu roboh tertusuk pedang, Sin Liong
menggereng dan menyerang lagi, dibantu oleh monyet-monyet lain, sedangkan Lan
Lan dan Lin Lin menjadi ngeri melihat datangnya banyak monyet. Mereka menjadi
ngeri dan ketakutan, tidak berani ikut membantu melainkan mundur dan saling
peluk dengan tubuh menggigil di bawah pohon.
"Lan Lan...!" Lin Lin...!"
Dua orang anak perempuan itu terkejut dan wajah mereka berseri, air mata mereka
seketika mengalir turun. Itulah suara ayah mereka! Dan memang benar. Tak jauh
dari situ, Kui Hok Boan bersama belasan orang anak buahnya datang mencari anak-
anaknya itu, setelah semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil. Suara Hok Boan
sampai menjadi parau karena semalam suntuk dia terus-menerus memanggil.
"Ayahhhh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit-jerit. "Ayah, cepat ke sinilah...!"
Kakek Ciam terkejut bukan main. Tadinya timbul hati tidak tega untuk membunuhi
semua monyet itu, dan mendengar suara dua orang anak itu yang memanggil ayah
mereka, hatinya menjadi gelisah. Kalau Kui Hok Boan datang bersama orang-
orangnya dan di sini masih ada monyet-monyet ini yang mengeroyoknya dengan nekat
dan buas, dia dapat celaka! Dia mengeluh, karena usahanya untuk membalas dendam
dengan menculik dan memisahkan dua orang anak perempuan itu dari samping Hok
Boan ternyata gagal. Dia lalu mengeluh dan meloncat ke belakang, cepat dia
melarikan diri sambil membawa pedangnya, menyusup di antara semak-semak belukar!
Sin Liong dan monyet-monyet lain mengejar, meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin.
Monyet betina tua itu merintih dan melihat ini, Lan Lan dan Lin Lin cepat
menghampiri dan berlutut di dekat tubuh monyet betina itu dengan perasaan
kasihan. Mereka tadi melihat betapa monyet ini membantu Sin Liong dan terkena
tusukan pedang. Monyet itu bergerak perlahan dan merintih sambil memegangi
lambungnya yang tertembus pedang dan mengucurkan darah.
"Lan-ji! Lin-ji!" Hok Boan berteriak dan meloncat ke tempat itu dengan pedang di
tangan. Melihat kedua orang anaknya berlutut dekat seekor monyet besar, dia
cepat menendang. "Desss...!" Tubuh monyet betina yang sudah terluka parah itu terlempar,
terbanting dan nyawanyapun melayang.
"Ayahh...! Kenapa kau menendang dia...?" Lan Lan menjerit.
"Ayah, monyet itu tewas karena menolong kami...!" Lin Lin juga berteriak.
Hok Boan yang masih marah karena kegelisahan yang hampir membuatnya gila selama
semalam itu terbelalak. "Apa..." Apa maksudmu...?"
Akan tetapi saking girangnya melihat ayah mereka telah datang, dua orang anak
itu menubruk ayah mereka sambil menangis. Hok Boan memeluk kedua orang anaknya,
hatinya juga penuh rasa gembira yang amat besar.
"Lan-ji, Lin-ji, ceritakan, apa yang terjadi...?" tanyanya dan pada saat itu
muncul pula Siong Bu, Beng Sin, dan para anak buah Kui Hok Boan yang ikut
mencari sampai semalam suntuk dan dilanjutkan pagi ini. Siong Bu dan Beng Sin
juga merasa girang sekali melihat betapa dua orang sumoi mereka itu telah
ditemukan dalam keadaan selamat.
"Ayah, kami diculik kakek brewok... sampai di sini... muncul... Liong-ko (kakak
Liong) yang menyerang penculik itu..." kata Lan Lan yang semenjak kematian
ibunya dan tahu bahwa Sin Liong adalah putera ibunya, tidak ragu-ragu lagi
menyebut Sin Liong dengan sebutan koko (kakak).
"Liong-koko kalah dan dibantu oleh monyet-monyet, akan tetapi monyet tua itu...
dia terkena tusukan pedang si penculik..." sambung Lin Lin.
"Sin Liong...?" Hok Boan terkejut bukan main dan juga merasa girang mendengar
bahwa Sin Liong yang tadinya diculik oleh wanita iblis itu ternyata masih hidup,
bahkan telah menolong kedua orang anaknya. Dan lebih terkejut lagi hatinya
mendengar bahwa monyet itu yang ditendangnya tadi, ternyata adalah seekor monyet
yang telah membantu Sin Liong pula melawan penculik itu.
"Sekarang di mana Sin Liong?" tanya Hok Boan berusaha menutupi rasa tidak enak
hatinya karena dia telah menendang monyet tua yang telah terluka tadi, monyet
yang telah menolong anak-anaknya.
"Tadi dia mengejar si penculik brewok, agaknya bersama monyet-monyet itu," kata
Lan Lan. "Itu dia...!" tiba-tiba Beng Sin berseru sambil menuding. Semua orang menengok
dan benar saja, tanpa ada yang melihat kedatangannya, kini tahu-tahu Sin Liong
sudah berada di situ, berlutut dan memeluki tubuh monyet betina yang telah tewas
itu. "Sin Liong...!" Siong Bu berseru.
"Sin Liong...!" Hok Boan juga memanggil.
"Liong-koko...!" Lan Lan dan Lin Lin berseru dan mereka semua menghampiri anak
itu. Kui Hok Boan memandang penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kasihan juga
kepada anak ini. Pakaiannya compang-camping, mukanya matang biru bekas pukulan
penculik, dan kini biarpun anak itu tidak menangis sesenggukan, akan tetapi dia
memeluk tubuh monyet itu, jari-jari tangannya mengusap dan membelai kepala dan
muka yang penuh bulu, matanya basah dengan air mata.
Siong Bu, Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin berlutut di sekeliling Sin Liong. Lan
Lan menyentuh lengan Sin Liong dan berkata lirih, "Liong-ko, dia suda mati..."
Tangan yang mengusap-usap kepala monyet itu berhenti, dua titik air mata
menggelinding turun disusul oleh dua titik lagi dan terdengar berkata lirih,
seperti bisikan kepada diri sendiri, "Dia... dia ibuku..."
Kui Hok Boan yang sudah menghampiri tempat itu, terkejut mendengar kata-kata
ini. "Sin Liong, ibumu telah..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena dia
teringat akan isterinya yang tercinta itu, maka lehernya seperti dicekik
rasanya. Sin Liong menggangguk. "Saya mengerti, ibu kandung saya telah tewas oleh iblis
betina itu, akan tetapi dia ini... dialah yang menyusui dan merawat saya ketika
saya masih kecil..." Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap
dua titik air matanya tadi.
"Ke mana larinya penculik itu, Sin Liong" Biar aku mengejar dan menghajarnya!"
Hok Boan teringat kepada penculik itu.
"Dia telah pergi jauh tidak dapat dikejar lagi..., sekarang saya hendak mengubur
dia..." Sin Liong lalu menggunakan tangannya untuk membongkar batu-batu dan
tanah, agaknya dengan kedua tangannya, tanpa minta bantuan siapapun, anak ini
hendak menggali sebuah lubang di tanah untuk mengubur bangkai monyet itu!
Melihat ini, Hok Boan cepat menyuruh anak buahnya untuk membantu Sin Liong,
menggali sebuah lubang dan dikuburkanlah bangkai monyet itu oleh Sin Liong.
Sebelum menurunkan bangkai monyet itu ke dalam lubang, Sin Liong mencium muka
monyet betina itu dan dengan menggigit bibir menahan tangis, anak ini talu
mengubur bangkai itu dan dibantu oleh empat orang anak lain, lubang itu lalu
diuruk. Hok Boan lalu mengajak Sin Liong pulang ke istana tua di Lembah Naga. Sin Liong
menurut tanpa banyak cakap. Di sepanjang jalan, Hok Boan hanya mendengarkan dua
orang anaknya menceritakan pengalaman mereka ketika diculik, kemudian
mendengarkan Lan Lan dan Lin Lin, dibantu pula oleh dua orang anak laki-laki
itu, mendesak dan bertanya kepada Sin Liong bagaimana dia dapat lolos dari
tangan iblis betina itu. Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati
orang ini masih diliputi rasa menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang
susul menyusul ini, yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak
ingat lagi betapa tadi dia telah menendang monyet betina yang sudah terluka itu!
Memang begitulah watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka.
Yang diperhatikan selalu hanyalah kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang
diprihatinkan hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan
keluarganya. Orang seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan
orang lain, sehingga hatinya menjadi kejam. Yang dicari hanya hal-hal yang dapat
menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan kesenangan
dan keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak segan-segan untuk
melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain dengan perbuatan-
perbuatannya yang kejam. Akan tetapi, jelaslah bahwa orang yang selalu mengejar
kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang yang hidupnya selalu kecewa dan
sengsara. Karena orang demikian itu selalu merasa kasihan kepada diri sendiri,
selalu mengeluh, selalu menganggap bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling
celaka, paling sengsara, paling patut dikasihani. Dengan demikian, menghadapi
halangan sedikit saja dalam hidup, dia akan merasa sengsara sekali! Patut
dikasihani orang seperti itu, karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa
sesungguhnya dia telah dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya
sendiri, dikuasai dan dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari
permainan pikiran. Sin Liong tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak
itu, dia hanya mengatakan, bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio,
di tengah jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang.
Mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan berubah dan jantungnya
berdebar tegang dan takut. "Jeng-hwa-pang...?" katanya mengulang nama itu dengan
suara agak gemetar. "Benarkah Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong?" Dia
mendekat dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut
untuk membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali
menengok ke kanan dan kiri dengan sikap jerih. Melihat ini, empat orang anak
itupun menjadi gelisah. "Saya tidak tahu pasti, paman..."
"Sin Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau anakku pula,
sungguhpun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut paman."
kata Hok Boan. Sin Liong menunduk dan tidak menjawab.
"Ayah, siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu?" tiba-tiba Lan Lan bertanya
kepada ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah.
"Sudahlah, nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!" Dia lalu
mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan pulang
ke Istana Lembah Naga. Setelah tiba di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong
tentang Jeng-hwa-pang. Sebagai scorang yang sudah banyak merantau sebelum dia
menetap di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar tentang Jeng-hwa-
pang, sebuah perkumpulan yang amat ditakuti orang karena perkumpulan itu
merupakan perkumpulan orang-orang yang amat kejam dan pandai menggunakan segala
macam racun yang mengerikan.
Sin Liong masih pendiam dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan
betapa wanita iblis yang menculiknya itu di tengah jalan dikeroyok oleh orang-
orang Jeng-hwa-pang, dan betapa dia lalu dilarikan oleh ketua Jeng-hwa-pang,
meninggalkan anggauta-anggautanya yang dihajar oleh iblis betina itu.
"Jeng-hwa-pang juga tidak mampu mengalahkan dia?" Hok Boan berkata dengan muka
berubah pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main lihainya
wanita itu...!" Sin Liong tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil,
hanya selisih satu dua tahun saja dengan dia, telah mengalahkan pembantu-
pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang! Kalau diceritakannya, tentu orang ini
akan makin terheran-heran lagi, pikirnya. Kini nampaklah olehnya betapa
kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari mendiang ibunya,
yang tadinya dianggap amat hebat dan lihai, kiranya tidak ada artinya sama
sekali kalau dibandingkan dengan kepandaian ketua Jeng-hwa-pang, apalagi kalau
dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio dan sutenya. Ternyata di luar
Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali orang pandai! Hal ini membuat dia
makin ingin untuk keluar, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan sendiri
betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor satu di
dunia ini! Ingin dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti iblis betina Kim
Hong Liu-nio itu. "Lalu apa yang terjadi denganmu ketika kau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang, Liong-
ko?" tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lain, tertarik bukan main mendengar
pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu.
"Aku dilempar ke dalam lubang penuh ular..."
"Ihh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri.
"Kau dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa?" tanya Beng Sin,
matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo.
"Aku digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh..." Sampai di
sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya
yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya.
Lin Lin dapat menduga. "Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko?"
Sin Liong mengangguk. "Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka dan dirawat
sampai sembuh. Lalu tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu..."
Sejak tadi Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata, "Ah, engkau hebat
sekali, Sin Liong!" katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena kini
dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang yang
amat gagah perkasa dan hebat.
Betapapun hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan
tetapi karena anak itu telah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andaikata
tidak ada Sin Liong dan monyet-monyet itu yang menyerang si penculik, kiranya
dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan lalu cepat
memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis kepada anak
ini. Akan tetapi, Sin Liong sudah tidak mempunyai semangat dan minat sama sekali
untuk tinggal lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apalagi
setelah kini induk monyet yang disayangnya itupun tewas pula, tidak ada apa-apa
lagi yang menahannya di tempat itu. Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau
berpisah dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk
menahannya. Demikianlah, pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui
siapapun juga, dan tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di
tubuhnya, Sin Liong meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong
Bu menaruh perhatian kepadanya semenjak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat
akan kepergian Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya!
Sin Liong berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di
sebelah selatan Lembah Naga. Belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan
itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam
hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu
hutan di timur dan utara. Dan biasanya, dia bermain-main ke selatan hanya sampai
Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi karena kini dia
mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk menyeberangi Tembok
Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan sebagai seorang
pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan.
Akan tetapi baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang
memanggil namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan dan Siong Bu berlari
cepat mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap
tenang. Siapapun juga tidak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini
membuat anak itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan
hatinya. Tentu Siong Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya,
pikir Sin Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di depannya, langsung saja


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia menegur, "Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang
kepergianku?" Mendengar teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata, "Sin Liong,
engkau sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi
kebaikanmu, karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana lagi kalau engkau
pergi!" Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena "maksud baiknya" dianggap
keliru oleh Sin Liong. Sementara itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong,
"Anak baik, mengapa engkau hendak pergi, lagi" Hendak kemanakah engkau"
Ketahuilah bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggungjawab terhadap
dirimu, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap
dirimu." Sin Liong masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya,
maka kini dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua
itu, "Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar
seperti tempo hari?"
Mendengar itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka dan
menyesal sekali. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Agaknya benar kata-kata
Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka kepada
orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan tetapi
hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya ingin
menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahh...
katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga
secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang sudah-
sudah kepadamu, Sin Liong." Orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh karena
dia teringat kepada isterinya, teringat akan penderitaan isterinya dan dan
betapa dia merasa kehilangan benar-benar setelah isterinya meninggal dunia.
Setidaknya, Sin Liong adalah anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia
ingin berbaik dengan anak ini, demi kenangan terhadap isterinya.
"Liong-ji, anakku... marilah kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan
menjagamu agar jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku
akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu."
Sin Liong adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh sekali, berbeda dengan
anak-anak lain. Semenjak kecil dia tidak merasakan kasih sayang orang tua,
bahkan mendiang ibunya juga karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, tidak
memperlihatkan kasih sayangnya kepadanya. Oleh karena haus akan kasih sayang
orang tua dan orang lain itulah maka dia dapat bergaul dengan mesra bersama
monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya membentuk wataknya menjadi aneh.
Semua kepahitan hidup yang dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-
kadang dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah
terharu. Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal
takut. Akan tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi
terharu sekali dan kini menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya,
lupalah dia akan segala perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah kepada dirinya
dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu dan
memejamkan mata untuk menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong
menangis! Kalau dia ditekan, betapapun hebatnya derita yang dirasakannya,
biarpun dia diancam oleh siksa dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau
bersambat. Akan tetapi begitu hatinya terharu, dia tidak dapat mencegah
tangisnya dan kini air matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran
dan dia menangis terisak!
"Sudahlah, Sin Liong, jangan menangis," kata Kui Hok Boan dengan sikap terharu,
sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong. Belum pernah dia melihat Sin
Liong menangis, bahkan ketika dihajarpun anak ini tidak pernah menangis! Dia
masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini
terheran-heran. "Paman... selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap
paman sudi memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak
lain saya pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman
saja. Oleh karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari
ayah kandung saya, paman."
"Akan tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong" Ke
manakah engkau hendak mencarinya?"
"Menurut penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok
Besar, saya akan menyusul ke sana, paman."
Diam-diam Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan
hatinya yang luar biasa sehingga biarpun sudah ditegurnya, tetap saja sampai
kini menyebutnya dengan panggilan paman. Dia sendiri setelah diusir oleh Raja
Sabutai, merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak
mencari ayahnya ke selatan biarpun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu.
Seolah-olah "selatan" itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar
sudah sampai dan akan bertemu dengan orang yang dicarinya.
"Sin Liong, kaukira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kaujelajahi"
Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu amat
luasnya, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat
kaudatangi semua! Dan kau tidak tahu di mana kau hendak mencari" Marilah kau
ikut bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari
keterangan perihal ayah kandungmu itu."
"Tidak, paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar
sampai mati sekalipun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!"
Kui Hok Boan sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya,
tidak mungkin ditentang karena andaikata dapat dibujuknya pulang juga, tentu
pada suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk terus-
menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi kesibukan
harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan. "Kalau kau tidak dapat
kutahan, Sin Liong, akupun tidak dapat menahan dan mencegahmu. Siong Bu, cepat
ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan uang di dalam kamarku. Di laci
meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke sini. Cepat!"
Siong Bu cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi
nasihat kepada Sin Liong agar berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan. "Di
sana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau
tidak secara terang-terangan mengaku sebagai putera pendekar Cia Bun Houw,
karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga
sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun
Houw, akupun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau
namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi
ayah kandungmu atau aku."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena
sekali ini dia merasa betapa orang tua itu memberi nasihat dengan setulusnya
hati. Dan diapun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja
dia mengaku sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan
Kim Hong Liu-nio! Tak lama kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa
sebuntalan pakaian dan sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan
pakaian dan kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi
membawa pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil
yang amat tajam dan selama ini dibanggakan.
"Aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong."
Sin Liong menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali.
"Akan tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu..."
Siong Bu tersenyum. "Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai
tanda... persahabatan, maukah kau menerimanya?"
"Terima kasih... terima kasih...!" Dan sejak saat dia menerima buntalan dan
pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tak senang di dalam hatinya terhadap Kui
Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat
kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali
kepadanya! Tidak anehlah apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya
kita semua ini! Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk terombang-ambing di antara
pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan penilaian, maka
muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan sebagainya. Segala macam
kebalikan-kebalikan di dunia ini mempermainkan kita, membentuk pendapat-pendapat
yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini
selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan
yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Kita mengukur sesuatu, atau
seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri. Kalau
menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka keluarlah pendapat
kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau merugikan lahir atau batin,
kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita terhadap orang itu tentu
buruk! Jadi jelaslah bahwa baik ataupun buruk itu hanya merupakan pendapat yang
didasari oleh kepentingan si aku yang ingin memperoleh kesenangan selalu! Dan
sudah jelas pula bahwa pendapat demikian ini adalah palsu dan tidak benar!
Pendapat ini hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi
kita, dan tentu hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka. Betapapun
jahat seseorang menurut pendapat umum, kalau dia itu baik kepada kita,
menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia
boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi kalau dia tidak baik
kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita
menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah
kenyataannya! Maka dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian"
Memandang segala sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti
keadaannya yang sesungguhnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita
atau tidak" Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita
dari penilaian, dan setelah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula
dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni
tersendiri yang hanya nampaknya saja sukar akan tetapi tidaklah sukar apabila
kita memiliki perhatian sepenuhnya dan kalau kita sadar benar-benar bahwa sudah
semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang banyak sengsaranya
daripada bahagianya ini. Sin Liong lalu berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih
memandang kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir.
Anak itu masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah
dalam Tembok Besar. *** Ketika Sin Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia
mendengar suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi itu
diseling dengan suara berdencingnya senjata yang beradu. Sin Liong merasa
tertarik, akan tetapi dia cukup berhati-hati mengingat akan nasihat pamannya
agar dia tidak suka mencampuri urusan orang orang lain, apalagi urusan orang-
orang kang-ouw. Betapapun juga, karena hatinya tertarik sekali, dia tidak
mungkin pergi begitu saja tanpa menonton! Memang pada dasarnya, anak ini suka
sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat orang mengadu kepandaian
dengan ilmu silat. Maka dia lalu mengikatkan buntalannya di pundak dan cepat dia
meloncat ke atas, menyambar cabang pohon paling rendah kemudian bagaikan seekor
monyet saja dia memanjat dan berloncatan naik dari cabang ke cabang, berayun-
ayun dari pohon ke pohon menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu. Biarpun
dia bersepatu, namun dia tidak kehilangan kegesitannya, sungguhpun tentu saja
kakinya yang terbungkus sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di
atas pohon-pohon di antara cabang-cabang dan daun-daun.
Akhirnya, tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang
pohon. Karena tepat seperti dugaannya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-
orang yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang
amat cepat dan indah, maka hatinya tertarik sekali dan duduklah dia di cabang
pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak. Saking tertariknya, Sin
Liong tidak tahu bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas pohon-pohon yang
berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak tahu bahwa ada beberapa ekor
monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu bersama kawan-kawan
mereka datang mendekati anak itu.
Sin Liong amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia
kira-kira lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah
sekali, wajah tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan
pedangnya dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar.
Tiga orang tinggi besar itu memiliki gerakan yang liar dan ganas, golok mereka
menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu segi tiga
ketika mengepung kakek berpedang itu. Tadinya Sin Liong masih mengingat akan
nasihat pamannya dan tidak hendak mencampuri, hanya ingin menonton saja. Akan
tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggauta-anggauta
Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang
tak berlengan itu, akan tetapi juga dia mengenal seorang di antara mereka yang
berkumis pendek kaku tanpa jenggot. Maka begitu dia mengenal tiga orang itu
sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia akan ketua Jeng-hwa-pang yang
jahat bukan main, yang pernah menyiksannya dan melemparkannya ke dalam lubang
yang penuh ular. Maka seketika hatinya sudah berfihak kepada kakek berpedang itu
yang tidak dikenalnya akan tetapi yang memiliki wajah yang gagah dan
menyenangkan hatinya. Apalagi ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia
makin berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru. Seorang
yang berkumis pendek kaku itu memang seorang anggauta Jeng-hwa-pang tingkat atas
yang pernah dilihatnya. Ternyata bahwa ada pula anggauta Jeng-hwa-pang yang
dapat lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah
tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan
Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka itu memiliki
kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima latihan langsung
dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih rendah daripada
tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu pangcu dari Jeng-hwa-
pang itu. Ketika Sin Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa
kakek berpedang itu telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya
menjadi kaku dan tidak leluasa. Biarpun demikian, tetap saja pedangnya dapat
menangkis tiga batang pedang yang menyerangnya seperti hujan itu.
Sin Liong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kalau tidak dibantu, kakek
gagah itu akhirnya pasti akan roboh, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya
sebagai seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh
rasa penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun
dan membentak nyaring. "Tiga orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!" Dan diapun sudah menerjang
maju dan menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara para pengeroyok itu
seperti seekor kera marah! Orang itu terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang
menerjangnya hanyalah seorang anak kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri
dan pedangnya menyambar ke arah leher Sin Liong.
"Singgg...!" Dan orang itu terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi
Sin Liong belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia
telah memiliki ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan
yang wajar dan yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan.
Juga dia memiliki naluri perasaan yang tajam sekali, maka hal inilah yang
menjadikan kelebihan dari Sin Liong daripada orang-orang lain, dan membuat dia
dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu. Dan pada saat itu, tidak kurang
dari sepuluh ekor monyet-monyet besar sudah berloncatan turun dan dengan
mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut menyerbu dan mengeroyok
secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang empat orang itu, termasuk
kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak mereka keroyok! Tentu saja
monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong yang sebenarnya!
Melihat munculnya bocah aneh itu dan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak
tadi belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jerih,
mereka lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya
dari tempat itu. Melihat betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, Sin
Liong cepat mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring dan monyet-monyet itu
segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengah mata marah
dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, kini dengan pedang di
tangan memandang kepada Sin Liong penuh keheranan.
Sin Liong segera berkata, "Paman, setelah mereka pergi, harap paman cepat
meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali."
Kakek itu memandang dengan bengong. "Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian
telah menolongku tadi...?" tanyanya, masih bingung karena heran bagaimana di
dalam hutan dapat muncul seorang bocah tampan yang berani mati membantunya
bersama sekawanan monyet liar itu.
"Maafkan, mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana
lawan. Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laki-laki itu makin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini
pandai membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib!
"Anak baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah" Apakah tinggal
di sini?" Sin Liong menggeleng kepalanya. "Saya tidak mempunyai tempat tinggat, paman,
tempat tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet
itu." "Ah..." Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi?"
"Benar, paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar..."
"Kau" Seorang diri pula" Anak baik, siapa namamu?"
"Nama saya Sin Liong..." dia tidak mau menyebutken shenya.
"Nama keluargamu?" Kakek itu mendesak.
Sin Liong menggeleng kepala. "Saya tidak tahu."
"Ayah ibumu?" "Tidak ada..." "Luar biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu,
bernama Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku
datang ke tempat ini dalam perjalananku menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san
mencari seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi
ternyata sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan
setibanya di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab lalu
menyerangku tadi. Untung ada engkau yang menolongku. Sin Liong, anak baik yang
aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakanlah saja terus terang, siapakah
orang tuamu dan ke mana engkau hendak pergi?"
Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na
Ceng Han terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar
biasa, menyambar seperti kilat ketika memandang kepadanya! Memang Sin Liong
merasa tidak senang ketika didesak seperti itu.
"Paman Na, di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu
pergi, harap paman suka pergi saja."
"Jangan marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat
seperti ini bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada
ayah bunda, sebatangkara dan tidak ada tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu
baik dan engkau membawa buntalan pakaian..."
"Saya dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya," jawab Sin Liong
secara, singkat. "Benarkah kau sebatangkara dan hendak ke selatan?"
"Paman, saya tidak biasa membohong!"
"Bagus! Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik."
"Akan tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman..."
Tiba-tiba Na Ceng Han tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa
gagah, akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa
tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!" Dia membalik
dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau
Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu.
"Paman, engkau terluka!"
"Ah, keparat itu...!" Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan
merobek celananya di bagian betis kiri. Di situ nampak tanda membiru dan lapat-
lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam.
"Celaka! Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!"
Sekali pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai
betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa
berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan
hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang.
"Paman, pergunakanlah ini saja!" Sin Liong segera mengeluarkan pisaunya,
pemberian Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah
betis tentu saja amat canggung.
"Terima kasih, kau baik sekali!" kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang
baru dan mengkilap tajam tanpa karat sedikitpun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi
kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu. Sin Liong memandang
dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu yang
berkejappun tidak ketika pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya dan merobeknya,
membukanya sampai darah menguncur keluar. Dan memang benar dugaan Sin Liong,
darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan!
"Darahnya harus disedot keluar, paman," kata pula Sin Liong dan karena agaknya
tidak mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia
melanjutkan dengan cepat, "Biar kulakukan itu, paman!"
Na Ceng Han terkejut bukan main dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah
memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu telah menempelkan mulutnya pada betis yang
terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang disedotnya,
lalu menyedot lagi sampai berulang lima kali dan baru setelah yang keluar
berwarna merah, dia berhenti menyedot. Na Ceng Han lalu memegang pundak anak itu
yang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Dia terharu bukan main.
Anak ini tidak dikenalnya sama sekali, baru saja bertemu telah menyelamatkan
nyawanya dan dengan nekat membantu dia mengundurkan para perampok lihai tadi,
dan kini, dengan suka rela anak ini telah menyedot racun dari luka di betisnya!
Bukan main anak ini! Kedua mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia
tidak percaya bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini.
"Sin Liong, apa yang kaulakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!"
katanya. Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet
besar dan dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk
mencarikan daun obat luka untuk Na Ceng Han. Kembali Na Ceng Han terbelalak
memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan tak lama kemudian
datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong lalu mencuci daun-
daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari situ, lalu dia meremas-
remas daun-daun itu perlahan sampai daun-daun itu menjadi lunak dan mengeluarkan
lendir. Dengan hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam
tumpuk di atas luka di betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi
daun-daun obat itu dengan sehelai saputangan. Na Ceng Han merasa betapa luka
yang tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali.
"Sin Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau dapat
berhubungan dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka?" tanya Na
Ceng Han dengan pandang mata penuh kagum.
"Tidak ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan
tahu akan cara hidup mereka, bahkan aku pernah luka-luka akibat cakaran dan
gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati luka-lukaku dan
menaruhkan daun obat ini."
"Bukan main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun" Memang tadi
ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan
agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki
ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan
menyerangku." Sin Liong tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena
dengan demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan mengaku pula tentang
Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata, "Saya dapat menduganya setelah
melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang tadi, paman. Mereka itu adalah
orang-orang Jeng-hwa-pang dan sudah tentu saja mereka menggunakan racun dalam
senjata rahasia mereka." Akan tetapi ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na
Ceng Han sampai dia terlonjak dan bangkit berdiri, tidak merasakan kenyerian
betisnya ketika dia berdiri saking kagetnya. Bahkan, wajahnyapun berubah, persis
seperti keadaan Kui Hok Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya
Jeng-hwa-pang. "Jeng-hwa-pang...?" Kakek ini bertanya, suara agak menggetar karena ngeri dan
jerih. "Mereka... mereka orang-orang Jeng-hwa-pang" Ah, Sin Liong, bagaimana kau
bisa tahu?" "Saya... saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka
lewat dan bercakap-cakap, paman."
"Kalau benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!"
Sin Liong mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Biarpun agak
terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tidak lagi merasakan kakinya kaku seperti
tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan.
Sebetulnya kita tidak perlu khawatir dan tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena
Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi
hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu dan diam-diam dia
merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia harus
melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan makan
waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han melakukan
perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran besar.
Seperti juga lain orang yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di
dunia kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han pernah mendengar nama perkumpulan Jeng-
hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang penyerangnya
tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang Jeng-hwa-pang akan
mengejarnya. Dia masih merasa heran dan tidak mengerti mengapa secara tiba-tiba
orang-orang Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tiga orang
itu tadinya disangkanya hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian
mereka begitu hebat! Dan diam-diam diapun dapat menduga bahwa di dalam diri anak
yang berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang
amat hebat. Tak mungkin ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini. Mengakunya
hidup sebatangkara di dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik,
mengenal tata susila dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan
jelas memiliki kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai
memerintah monyet-monyet, mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang dan tahu tentang
jarum-jarum beracun! Diam-diam hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini,
apalagi ketika mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi
sampai sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, sungguhpun keringatnya telah
membasahi seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak
mengeluh sama sekali. Benar-benar anak ajaib!
Na Ceng Han adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di
Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai
seorang yang pandai ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai
seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh
dipercaya. Sudah puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum
pernah barang yang dikawalnya itu tidak sampai di tempatnya dengan selamat. Dia
melindungi barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya.
Akan tetapi yang membuatnya selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah
karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar, maupun
dengan golongan hitam. Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih payahnya
mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di sepanjang
jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan karena Na-piauwsu ini lihai
dan banyak sekali sahabatnya di antara pendekar-pendekar ternama, juga karena
Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat.
Seperti pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang
Bhe Coan yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk
seorang sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci
yang genit, dia telah kematian isterinya yang melahirkan seorang anak perempuan.
Setelah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk
menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu
memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han. Na-piauwsu menerimanya
dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang sahabat baiknya, akan
tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja
dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan.
Pada hari itu, ketika pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang
kiriman yang tidak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para
pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin
mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana
keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi amat
ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang
keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan
sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa
kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan sahabatnya itu telah tewas
bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa ada yang tahu siapa
pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa banyak orang gagah
yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah, ingin tahu siapa
pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tidak ada yang pernah
mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan pembunuhan atas
diri suami isteri itu. Demikianlah, dalam perjalanannya pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa
disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan
perjalanan pulang bersama Sin Liong. Di tengah perjalanan, beberapa kali Na Ceng
Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya. Akan tetapi Sin
Liong lebih banyak tutup mulut daripada bicara dan bagaimanapun didesak, tetap
saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak tahu siapa nama
ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa sejak kecil dia hidup di antara
monyet-monyet yang merawatnya.
"Akan tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari
siapakah engkau mempelajari itu, Sin Liong?" tanya Na Ceng Han ketika pada suatu
malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar.
"Saya hanya ikut-ikut latihan dengan anak-anak dusun, paman dan saya meniru-niru
gerakan monyet-monyet kalau berkelahi," jawab Sin Liong secara singkat. Melihat
anak itu memang pendiam sifatnya dan kelihatannya amat keras hati, Na Ceng Han
tidak mau mendesak lagi, sungguhpun keterangan itu tidak dipercaya sepenuhnya.
"Maafkan aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik
kepadamu, dan sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau
suka jawab sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang
tanpa keluarga, mengapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan"
Engkau tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah
yang mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok
Besar terdapat dunia yang amat luas?"
"Ah, paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya ikut-ikut
belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar... ah, saya ingin
meluaskan pengetahuan, paman..." Setelah berkata demikian, Sin Liong menunduk
dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak ingin banyak bicara tentang
dirinya sendiri lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan
mereka, menyeberangi Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar
penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini.
Betapa jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara. Di sini mulai nampak
padat dengan penduduk, dar ingatan bahwa dia makin dekat dengan ayah kandungnya,
membuat dia merasa tegang dan gembira. Dia tidak tahu atau belum dapat
membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas daripada langit
yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang di antara ratusan juta
orang bukan merupakan hal yang mudah! Akan tetapi dia mempunyai satu keuntungan,
yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang pendekar
yang namanya pernah menjulang tinggi sekali di dunia kang-ouw pada belasan tahun
yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga, tidak ada seorangpun kang-ouw yang tidak
mengenal nama Cin-ling-pai di mana kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw,
menjadi ketuanya! MELIHAT kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak
ini patut dikasihani, pikirnya. Melakukan perjalanan selama beberapa hari ini
bersama Sin Liong, dia makin terkesan dan tertarik oleh anak ini yang benar-
benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan, dan amat cerdik.
Apalagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di betisnya telah sembuh
berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat untuk mengganti obat di
luka itu setiap hari. Na Ceng Han merasa berbutang budi kepada anak ini maka dia
mengambil keputusan untuk melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak
Sin Liong singgah di kota raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini.
Dan Sin Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung
indah, jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam
dongeng saja di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang
dilihatnya dan dia amat berterima kasih kepada Na Ceng Han.
Akhirnya tibalah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar,
merupakan sebuah gedung yang biarpun tidak amat mewah, akan tetapi cukup bagus
karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han dapat
mengumpulkan kekayaan sekedarnya. Kantor piauw-kiok (perusahaan ekspedisi) yang
diberi nania Ui-eng-piauw-kiok. Nama Ui-eng (Garuda Kuning) berasal dari nama
julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini telah meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng
Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya itu suka sekali memakai pakaian


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuning dan sepak terjangnya seperti seekor garuda, maka dia mendapatkan julukan
Garuda Kuning. Maka ketika ayahnya itu membuka piauw-kiok, julukan ini lalu
dipakai. Maka terkenallah Ui-eng-piauw-kiok sampai menurun kepada Na Ceng Han.
Bendera berlatar belakang merah dengan gambaran seekor garuda kuning amat
dikenal oleh seluruh kaum liok-lim dan kang-ouw sehingga baru benderanya itu
saja yang berkibar di atas gerobak pengangkut barang yang dikawal oleh Ui-eng-
piauw-kiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu.
Kedatangan Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia
empat puluh lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang
anak laki-laki sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera
tunggal dari keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang perempuan
yung manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan
tetapi anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-
malu tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin. Anak perempuan ini berusia kurang lebih
dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong dengan mata terbuka lebar keheranan.
Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na
Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she
Bhe, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain
oleh suami isteri Na, dianggap anak sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka.
Betapapun juga, Bhe Bi Cu selalu "tahu diri", merasa dia bukanlah anak mereka
dan hanya seorang yang menumpang hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu
bersikap pendiam dan malu-malu.
Keluarga Na menyambut Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apalagi setelah
piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya, hiasan
rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang terukir dan
dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja dan hanya di
kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu saja anak-anak
dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya siapa adanya
anak laki-laki yang ikut bersama suaminya.
Sejak tadi Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan pula rasa iri
di dalam hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, begitu asyik
dan mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya kalau
menyambut pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya
menunduk dan membiarkan ayah dan keluarganya itu bertemu melepaskan rindu tanpa
berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut.
"Siapakah anak itu?" tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itupun yang tadinya
bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong.
Karena semua mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini
malah mengangkat mukanya membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat
betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu
memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang kepadanya
dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran.
Na Ceng Han tertawa, lalu menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas
pundak anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya. "Anak ini bernama Sin
Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan bertemu
lagi dengan kalian, aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang
mengetahui." "Ihh...?" Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat.
"Ahh...!" Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin
Liong. "Ayah, apakah yang telah terjadi?" Tiong Pek juga berseru kaget.
Na Ceng Han menarik napas panjang, lalu dengan halus mendorong Sin Liong maju
menghampiri keluarganya. "Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah
bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi
Cu." Sin Liong yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi
hormat kepada nyonya itu sambil menyebut. "Bibi..."
Nyonya Na cepat mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata, "Anak
baik, duduklah." Mereka semua duduk mengelilingi meja dan mulailah Na Ceng Han menceritakan
pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah
terluka kakinya, kemudian betapa Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan
menyelamatkannya dari bahaya maut.
"Dia tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, akan tetapi bersama teman-
temannya, rombongan kera itu, dia telah mengobati luka di kakiku sampai sembuh!"
Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe Coan.
Nyonya dan dua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh
perhatian dan penuh keheranan.
"Luar biasa sekali...!" seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong.
"Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk
menolongmu, suamiku!"
Na Ceng Han tertawa. "Ha-ha, memang tadinya aku sendiripun terheran-heran dan
mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa
yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini."
"Muncul bersama rombongan monyet?" Tiong Pek berseru heran sambil memandang
kepada Sin Liong. "Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet itu...?"
"Ha-ha-ha, mengenal mereka" Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa
dia ini telah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah
duga dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu
mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!"
"Ah...! Benarkah itu" Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!"
Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kagum dan Sin Liong
melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk tanpa
menjawab. "Bagus, kau harus ajari aku bicara monyet!" Tiong Pek berseru sambil memegang
tangan Sin Liong. "Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang kausuka
boleh kauambil!" Tiong Pek lalu menarik tangan Sin Liong. "Marilah. Sin Liong,
mari kita bermain di belakang!"
Sin Liong hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu,
dan biarpun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak
seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya.
Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na
Ceng Han. Na-piauwsu tersenyum dan mengangguk. "Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin
Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu."
Maka pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan
belakang dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang
matanya. Agaknya diapun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya tentang
kehidupan anak itu yang aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan terutama
sekali, yang datang dari utara, dari mana diapun datang ketika masih bayi. Akan
tetapi sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya
itu, apalagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak bicara dengan dia. Dia
tahu betapa pamannya pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang kabarnya
menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia ingin
mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu.
"Lalu sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan?" Na-hujin bertanya. Hatinya
sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk
mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi sejak tadi suaminya tidak pernah
bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu. Kini Bi Cu
memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar
tentang orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama
hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi ketika berpisah dari
ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia.
Na-piauwsu menarik napas panjang dan memandang kepada Bi Cu dengan penuh
perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, demikian
isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biarpun Bi Cu tidak pernah
berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tidak ada pertalian rasa
kasih sayang, akan tetapi menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu
dia merasa ragu-ragu dan tidak enak juga. Betapapun, dia tidak boleh
merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu.
"Ah, berita tentang saudara Bhe Coan yang kubawa amatlah buruknya..." kembali
dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun,
kurang lebih sepuluh tahun yang lalu... bahkan belum lama setelah Bi Cu berada
di sini..." "Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia
memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.
"Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..."
"Ahhh...!" Nyonya Na menjerit dan melihat Bi Cu memandang suaminya dengan wajah
yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya ini lalu merangkul Bi Cu dan
menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali kepada Bi Cu. Akan
tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, hanya memandang dengan muka pucat kepada
Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa berduka! Hal ini tidaklah aneh.
Dia tidak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia mempunyai
seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak ada ikatan
dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar bahwa ayah
kandungnya itu meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah
kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya.
"Paman, siapakah yang membunuh ayahku?" tanyanya dengan suara lirih.
Na Ceng Han menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu
tirimu, di dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi
tidak ada seorangpun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang
membunuh Bhe Coan dan isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama
beberapa tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang
telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi
sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe
Coan dan isterinya itu."
Bi Cu melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku..."
katanya. Paman dan bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi
dengan kepala tunduk itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan
merasa makin sayang kepada Bi Cu.
"Kasihan dia..." nyonya itu terisak.
"Baiknya dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han.
"Sebaiknya dia kita jadikan anak kita saja..."
Isterinya menggeleng dan berkata lirih, "Lebih baik begini. Bukankah kita juga
sudah memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri" Biarlah dia menyebut
kita paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..."
Wajah Na Ceng Han berseri. "Ah, begitukah" Baik sekali pikiran itu, dan aku
setuju sepenuhnya!" Suami isteri itu membayangkan betapa akan bahagia mereka
kalau Bi Cu kelak menjadi isteri Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini
karena merekalah yang mendidik Bi Cu sejak kecil! Dan mereka berdua membayangkan
betapa mereka akan sayang sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong
Pek! Sementara itu, Sin Liong mengagumi main-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek.
Anak ini memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan
ilmu silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
"Kau tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat
keluarga Na amat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi
piauwsu. Kelak akupun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Nama Ui-eng-
piauw-kiok telah terkenal semenjak kakek masih hidup!"
Sin Liong memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan cekatan
sekali. Dia melihat betapa Tiong Pek sungguh tidak kalah dibandingkan dengan
Siong Bu atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya
kepada sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama
pedang dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga
Na adalah sebatang pedang.
"Sin Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah dan kita dapat
berlatih bersama-sama!"
Sin Liong hanya tersenyum.
"Eh, mana sumoi?"
"Siapakah sumoimu?"
"Tadi engkau sudah melihatnya. Bi Cu adalah sumoiku. Murid ayah hanya dua orang
aku sendiri dan Bi Cu."
"Akan tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu?"
"Hanya keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman
Bhe Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya
kawin lagi maka dia dirawat oleh ayah dan ibuku sejak bayi. Mari, kita cari dia.
Dia harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai sekali.
Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!"
Tiong Pek lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak
berada di dalam kamarnya. Ketika mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu
menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong
Pek terkejut bukan main. "Sumoi tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah?" Dia lalu berlari-lari
menghampiri sumoinya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang. Di dalam hatinya,
Sin Liong merasa kasihan sekali. Dia sudah mendengar dari Na-piauwsu bahwa ayah
kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu telah dibunuh orang. Agaknya tentu anak
yang sudah tidak beribu lagi itu telah mendengar akan kematian ayahnya. Kini Bi
Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu!
Ketika tiba di depan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua
tangannya, Tiong Pek cepat duduk di samping sumoinya, memegang lengan sumoinya
dan berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah" Kenapa kau menangis?"
Melihat sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu
bahwa Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek
amat sayang kepada sumoinya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka
berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama dan tentu
saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing.
Bi Cu mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang
kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk!
"Sumoi, katakanlah, apa yang terjadi" Kenapa kau menangis?" tanya Tiong Pek
makin gugup dan gelisah. "Suheng... ibu... ibuku telah mati sejak melahirkan aku... dan sekarang...
sekarang ayahku..." "Ayahmu kenapa?"
"Ayahku telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak
perempuan itu menangis makin sedih.
"Ahhh!" Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan
tetapi dia lalu duduk kembali. "Siapa bilang" Ayah?"
Dara cilik itu mengangguk.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Paman... paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku
sepuluh tahun yang lalu..."
"Sudahlah, sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu,
akan tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh
ayahmu itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu.
Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera terhenti
karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang ini.
Ketika dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik
kepadanya, akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan
mempelajari ilmu silat dari Na Ceng Han.
Na-piauwsu maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar
biasa, dan bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani
menjadi guru anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga
anak itu mau menerima tawarannya, dia berkata, "Sin Liong, ketahuilah bahwa di
dunia ini banyak sekaii orang-orang yang amat pandai akan tetapi juga amat
jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan seorang diri di dunia ramai ini
haruslah membawa bekal sedikit ilmu untuk melindungi diri sendiri dari
marabahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan tetapi berilah kesempatan
kepadaku untuk membalas budimu dengan menurunkan sedikit ilmu pembelaan diri
kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan dunia kang-ouw, sehingga
satu dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan perantauanmu tanpa meninggalkan
rasa khawatir di dalam hati kami."
Demikianlah, mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap
hari anak ini dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, Diam-diam Na Ceng Han
terkejut karena ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu
silat tinggi yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak
ini telah mengajarkan dasar ilmu silat tinggi dan ibu anak ini adalah murid
terkasih mendiang Hek I Siankouw, maka tidak mengherankan kalau Sin Liong telah
mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi!
Karena tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat ketika
dia tinggal di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han, gerakan-gerakannya amat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton
kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukan mentertawakan untuk mengejek,
hanya karena geli hati mereka melihat gerakan yang kaku itu. Betapapun, ketika
mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han betapa
dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar biasa
sekali, kecepatan yang didapatkan dari kehidupannya bersama para monyet sehingga
Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu gin-kang sehingga tidak dapat
ditandingi oleh suhengnya itupun masih kalah cepat dibandingkan dengan Sin Liong
yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi diri di hutan,
dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek. Dengan demikian, kalau
anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, sudah pasti
bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong Pek, berarti
lebih lihai daripada mereka!
Pergaulannya dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu
tidak ada sesuatu yang menghalangi, seperti pergaulannya dengan anak-anak di
Istana Lembah Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar
merupakan suami isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka
sekali kepada keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka. Dia bahkan kadang-
kadang ikut rombongan piauwsu mengawal barang, dan hal ini memang atas anjuran
Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas dan
pengalaman sebagal bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa tentu
ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu bahwa
membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, maka diapun tidak pernah
bertanya. Sin Liong berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek
dan Bi Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara
seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima
anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu
saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu
akan menerimanya. Akan tetapi karena dia tidak tahu benar siapa adanya anak itu,
maka dia tidak berani mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya
Sin Liong juga tidak mau terikat, maka anak itupun diam saja, tetap memanggil
"paman Na" kepada piauwsu itu, walaupun dia berlatih silat dengan amat tekun
sehingga dua orang anak itupun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini
amat menggirangkan hati Na-piauwsu.
*** Istana kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang
menderita sakit keras. Tidak nampak senyum di wajah semua orang yang berada di
istana, dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para
panglima yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar. Semua ahli pengobatan
istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari luar, tidak
ketinggalan pula para ahli "mengusir setan" untuk membuat persembahan dan
memasang benda-benda yang dinamakan "hu" yang dianggap sebagai tumbal atau jimat
penolak bahaya! Namun, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak menjadi makin
ringan, bahkan makin hari makin berat saja.
Pada suatu hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-
lalang dan kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari
untung hari itu, nampak dua orang yang mau tidak mau menarik perhatian banyak
orang dari pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang
kota raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga
paling kuat. Dua orang ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How,
putera dari Raja Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-
nio. Tentu saja banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali
dan berpakaian mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi
langkahnya begitu tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa
melakukan perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang
karena pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya
sedangkan sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa. Akan tetapi
karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu
tidak menimbulkan kecurigaan, apalagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap hati-hati
sekali setelah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat banyak orang
pandai itu. Dia tidak lagi menonjolkan papan kayu salib yang bertuliskan nama-
nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan diapun lebih banyak berdiam
dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang memandangnya dengan penuh
kagum. Ceng Han Houw tiada hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri,
matanya bersinar-sinar ketika dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan
bersih, rumah-rumah besar dan istana-istana yang indah dan megah. Diapun merasa
sekali betapa sucinya tiba-tiba menjadi "alim" dan pendiam semenjak memasuki
wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar,
ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban sucinya itu
yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan
atau marga Cia, Yap dan Tio. Tentu saja perbuatannya itu amat menggemparkan dan
sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio dikenal orang sebagai nama yang amat
ditakuti seperti iblis. Akan tetapi, setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng
Han Houw melihat betapa sucinya itu tidak pernah lagi bertanya-tanya orang
apakah ada di situ orang-orang yang memiliki tiga macam nama marga itu.
"Suci, benarkah banyak orang lihai di sini?" bisiknya kepada sucinya ketika
mereka berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu dia ajukan
dengan menggunakan bahasa Mongol.
"Ssttt, jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa
Han. "Bicaralah dengan bahasa Han agar tidak menarik perhatian orang, dan mari
kita langsung saja pergi ke istana."
Semenjak dia berusia sepuluh tahun, Han Houw telah mendengar dari ibunya bahwa
kaisar yang maha besar di selatan adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka
oleh ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia
dan diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar. Ayahnya sendiri di
utara adalah seorang raja, akan tetapi kalau dibandingkan dengan kaisar, maka
kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya menguasai
tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang hanya ribuan orang
banyaknya, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di selatan adalah
seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur luasnya dan orang-
orang serta pasukan yang tidak terhitung banyaknya. Bahkan raja-raja kecil yang
banyak sekali tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang ini adalah ayah
kandungnya! Maka mendengar ucapan sucinya, dia mengerutkan alisnya dan memandang kepada
pakaiannya. Pakaiannya memang cukup baik, akan tetapi sudah agak kotor berdebu
karena perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin menghadap
ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor!
"Aku harus berganti pakaian lebih dulu, suci." Ketika dia hendak berangkat,
ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau menghadap kaisar dia mengenakan
pakaian terbaik yang sengaja dipersiapkan oleh ibunya, dan bahkan ibunya
mengajarkannya bagaimana dia harus bersopan santun di dalam istana sebagai
seorang pangeran putera kaisar!
Kim Hong Liu-nio menoleh dan memandang wajah sutenya. Tidak biasa sutenya ini
membantah kata-katanya, karena sutenya menganggap dia seperti guru juga. Biarpun
sutenya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi dialah yang lebih banyak
membimbing sutenya ini dalam berlatih ilmu silat.
Han Houw tahu bahwa sucinya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi
menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, demikian pesan ibu
kepadaku." Kim Hong Liu-nio mengangguk. Dan tahu bahwa betapapun juga, sutenya ini adalah
seorang junjungannya yang harus ditaatinya, maka dalam hal-hal tertentu, dia
sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah. "Kalau begitu, kita mencari
sebuah rumah penginapan lebih dulu," katanya singkat. Mereka lalu pergi mencari
rumah penginapan dan tentu saja amat mudah mencari rumah penginapan di kota raja
yang besar dan ramai itu.
Setelah tiba di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-
nio mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi dan bertukar
pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang
bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu.
"Siapa tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw. "Menurut
cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak boleh bergerak,
berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana kita harus
menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi mencari
makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru kita
pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja ini kita
bisa makan apapun juga! Bahkan segala macam dagingpun bisa pesan. Kata ayah di
sini orang-orangnya pandai sekali masak seperti dewa, bisa menyulap daging-
daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi masakan-masakan
sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau lidah naga laut,
kabarnya bisa juga."
Kim Hong Liu-nio tersenyum mendengar omongan sutenya itu, dan begitu dia
tersenyum, lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sesungguhnya Kim
Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali,
apalagi kalau tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir
yang indah, juga giginya putih dan rapi.
"Sute, di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga ataupun
kilin" Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan
paha burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah
ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau itu
paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging anjing.
Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai dan
memang segala macam daging itu yang enak apanya sih" Tanpa bumbu, mana bisa
enak" Yang enak adalah bumbunya!"
Mereka lalu pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han
Houw ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas
yang cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar
menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini, tidak begitu panas karena
jauh dari api dapur dan memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka, juga
dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran.
Benar saja, ketika mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan
yang amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang
masak kecap, goreng otak kilin, masak ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han
Houw tertawa geli membacanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja dia berwatak
royal dan dia memesan hampir semua masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga
lebih dari dua belas macam masakan! Tentu saja pelayan memandang dengan mata
terbelalak melihat betapa hanya dua orang saja memesan masakan sedemikian
banyaknya, yang cukup banyak untuk dimakan oleh enam orang!
"Ramai sekali di sini!" kata Han Houw ketika sucinya menuliskan pesanan di atas
kertas. Pelayan yang melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu
ini saja dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau
hartawan dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia
bersikap menghormat. "Biasanya jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti
ini tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan
kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit,
semua pesta untuk sementara dibatalkan..."
"Sri baginda kaisar sakit...?" Han Houw bertanya, terkejut.
"Eh, kongcu belum tahu" Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit
beliau itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani
lagi banyak membicarakan kaisar yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang
manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak boleh
banyak disebut-sebut! Han Houw saling berpandangan dengan sucinya. Kaisar sakit"
"Ah, kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari,sampai beliau
sembuh, sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap?"
bisik Kim Hong Liu-nio kepada sutenya.
Han Houw hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang
ibunya sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya
bahwa penyakitnya berat sehingga sampai sekarangpun masih sakit sehingga semua
penghuni kota rajapun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan!
Berita itu mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguhpun dia masih dapat menikmati
hidangan masakan yang memang benar-benar lezat dan yang belum pernah
dirasakannya itu. Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata
Han Houw tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok
sekali. Tiga orang kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun
tubuh mereka masih tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka,
karena tiga orang kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang
terbuat dari kain-kain berkembang yang beraneka warna! Sehingga dari jauh nampak
mereka itu seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai
celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok.
Mereka itu dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka itu memegang
tongkat dan tempat makanan dari kayu, sedangkan sepatu mereka berlubang-lubang,
juga pakaian yang aneh itu biarpun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-
tambalan! Di punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa,
warnanya kuning. "Suci, orang-orang apakah mereka itu?" tanya Han Houw sambil menunjuk dengan
gerakan dagunya. Kim Hong Liu-nio yang duduknya berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan
sejenak matanya menyambar dan memandang kepada tiga orang kakek yang berjalan
mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia terkejut juga
melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka. Begitu ringan dan
penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang sembarangan dan
pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka! Dia mengingat-
ingat. Mereka itukah yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang kabarnya amat berkuasa di daerah kota
raja" Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima tumpuk buntalan kuning
di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio memandang tak acuh karena dia
tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat rendahan saja, tingkat lima!
"Sute, jangan perdulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kai-pang,"
bisiknya kepada sutenya. "Haii, Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke
manakah?" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran itu,
seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh tegap yang sedang
menghadapi meja penuh masakan bersama tiga orang lain yang juga memandang
gembira melihat tiga orang pengemis itu.
"Ah, kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari
Sin-houw-piauw-kiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil
berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu
duduk. "Mari silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu
dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kenalan-
kenalan baiknya. "Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti
saja kalau sudah selesai urusan kami, kami tergesa-gesa!"
"Ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan
arak!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga
orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh
masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua
itu! Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek
itu, benar seperti yang diduga sucinya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan
tinggi. Masing-masing telah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke
arah mereka, dan kakek pertama malah dapat menerima guci arak dengan sundulan
kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka
lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah. Sambil
tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit,
kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong ke dalam jendela. Mangkok-
mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja depan kauwsu itu tanpa
menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Demikian pula guci arak
setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.
Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan girang sekali karena banyak orang
menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kai-pang memang sudah
amat terkenal dan di manapun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang
menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tidak
perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang
tamu yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah maju menghampiri meja Han Houw!
Pangeran dari utara ini, biarpun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian
tinggi, maka pertunjukkan tadi biarpun membuatnya kagum, akan tetapi dianggapnya
bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak
memperdulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba berhenti
melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang kepadanya dengan
mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan mengandung
kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak perduli!
"Toanio, kasihanilah kami tiga orang pengemis tua..." kata yang seorang.
"Kami bertiga mohon dermaan dari toanio..." sambung yang ke dua.
"Semoga Thian memberkahi kebaikan toanio..." sambung pula yang ke tiga.
Melihat sucinya bersikap tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang
perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata, "Ini
sedikit sumbangan dari kami harap diterima dengan senang."
Tiga orang kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu masing-masing
sekeping, akan tetapi mata mereka mendelik dan seorang di antara mereka berkata,
"Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang perak?" Dan
tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di atas meja depan Han
How. "Cep! Cep! Cep!" Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai
hampir rata dengan permukaan meja. Tiga orang pengemis tua itu mengira bahwa
tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah menghina tiga orang tokoh tingkat
lima dari Hwa-i Kai-pang akan menjadi terkejut, setidaknya tentu akan pucat
mukanya karena lontaran uang perak itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka.
Akan tetapi, tiga orang kakek pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda
yang berpakaian mewah itu sama sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum!
"Ah, kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan
kembali!" Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya ke
arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu,
menjepit tiga keping uang perak itu di antara jari-jari tangannya, mengerahkan
sin-kang dan dengan enak saja dia telah mencabut keluar tiga uang perak itu dan
mengantonginya! Kemudian pemuda itu melanjutkan makan tanpa memperdulikan lagi
kepada mereka! "Waspadalah, sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan
di depan restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!" kata Kim
Hong Liu-nio. Merahlah wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka terkejut bukan main menyaksikan
betapa anak laki-laki itu begitu mudahnya mencabut uang perak dari atas meja.
Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak
lagi mau berpura-pura, dan yang tertua di antara mereka segera berkata. "Toanio,
kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah seorang pengemis she Tio di kota
Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan dengan
sebatang hio saja masih belum mencukupi!"
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut. Ah, kiranya pengemis yang dibunuhnya di
kota Huai-lai itu juga merupakan anggauta Hwa-i Kai-pang" Akan tetapi mengapa
pakaiannya tidak berkembang" Dia tidak tahu bahwa Hwa-i Kai-pang merupakan
perkumpulan pengemis yang amat besar kekuasaannya sehingga seluruh pengemis,
baik yang berkelompok dalam perkumpulan lain maupun tidak memasuki perkumpulan,
semua menganggap Hwa-i Kai-pang sebagai induk perkumpulan yang dapat mereka
andalkan untuk membela kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kai-pang juga
menganggap seluruh pengemis dari manapun juga sebagai "umat" mereka! Itulah
sebabnya ketika pengemis she Tio yang kebetulan bertemu dengan Kim Hong Liu-nio
di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh para
anggauta Hwa-i Kai-pang dan tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat
lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota raja.
Kim Hong Liu-nio maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari
bentrokan. Akan tetapi diapun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak ingin
pula mengikat permusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, maka diambilnya keputusan untuk
menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka, sekedar
memperingatkan mereka agar tidak main-main dengan dia. Diambilnya sekeping uang
emas dari dalam saku bajunya, karena ia bermaksud untuk menyumbang sekeping uang
emas, sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk membuat para pengemis puas dan
tidak mengganggunya lagi.
"Pengemis itu sial karena dia she Tio," katanya. "Akan tetapi kalau kalian
hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!" Dia lalu melemparkan sekeping
uang emas tadi ke arah pengemis tertua.
Pengemis itu menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu
dipandangnya uang emas di atas telapak tangannya sambil menyeringai, "Heh-heh,
selembar nyawa dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau
menghargai selembar nyawa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!" Dan pengemis
itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan
melemparkannya ke atas meja di depan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara
berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng!
Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. "Tidak cukup" Apa yang kalian kehendaki,
orang-orang yang tamak?" tanyanya, mulai kehilangan kesabarannya.
"Jiwa seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya pantas
untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk
atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi."
Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu
dan dia berkata, "Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan
sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini dan pergi!" Dan
wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua yang cepat
menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali.
"Crottt... ahhh...!" Pengemis tua itu menyeringai kesakitan ketika telapak
tangannya yang menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang
sudah gepeng itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari
telapak dan punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas
tanah! Dapat dibayangkan betapa nyerinya tangan ditembusi benda seperti itu, akan
tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya dan memandang kepada Kim Hong Liu-
nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan marah.
Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam.
Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu
mengambil tim ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua
orang pengemis lainnya menggerakkan tongkat, dia sudah menoleh dan mulutnya
menghardik, "Tidak lekas pergi?"
Ketika dia membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri
ikan emas yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis
yang sedang menggerakkan tongkatnya itu. Dua orang kakek itu terkejut bukan
main, dan cepat berusaha untuk mengelak. Akan tetapi, jarak antara mereka dan
wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan benda ringan yang bergerak
cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya sinar berkelebat dan tahu-
tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan main seperti ditusuk
jarum, terutama di tepi mata mereka. Ketika mereka meraba, ternyata bahwa
beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di bawah bola mata, di
pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak dapat dicabut karena
sudah masuk semua! Kedua orang kakek itu menggunakan tangan menutupi mata kiri
mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa tempat di wajah mereka yang
terkena duri ikan. Melihat ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu
terlalu lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela napas,
memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam saku,
kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan tongkat.
Teman ini memegang tongkat itu, lalu dia menyentuh teman di belakangnya dengan
tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun karena
yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu dengan
berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan mereka.
Tidak banyak orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan tiga orang
piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat karena selain
kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi memperhatikan tiga
orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat
maka mereka dapat menyaksikan semua itu.
Setelah tiga orang kakek pengemis itu tidak nampak lagi, laki-laki yang
berpakaian seperti guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw
dan Kim Hong Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap
tenang-tenang saja. "Lihiap, kepandaian lihiap sungguh amat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap
cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi adalah tokoh-tokoh ke lima dari
Hwa-i Kai-pang dan setelah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh lebih
tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka berpengaruh
besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka kalau lihiap tidak
segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak
biasa dinasihati orang, mendengar kata-kata orang itu, dia mengangkat muka
memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin
bukan main dan sepasang mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang
hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah.
"Kami datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setanpun yang boleh memaksa
atau mencegah kami!"
"Ah, maaf...!" Guru silat itu menjadi merah mukanya.
"Kulihat tadi engkau adalah sahabat-sahabat tiga orang kakek pengemis itu,
mengapa sekarang tiba-tiba saja memberi nasihat kepada kami?" Kim Hong Liu-nio
bertanya dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya
yang ketus tadi. "Ah, lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tidak akan bersikap bersahabat
dengan para tokoh Hwa-i Kai-pang" Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya
merasa khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak bicara
dan maafkan kalau saya lancang menasihati lihiap." Guru silat itu lalu menjura
dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang tidak terdengar
bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat merasa jerih
setelah tadi guru silat itu menasihati Kim Hong Liu-nio.
Wanita cantik ini tidak memperdulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya
keras dan dingin sekali, maka sikap guru silat tadipun tidak membuatnya merasa
menyesal sama sekali. Dia melanjutkan makan minum seenaknya bersama sutenya
sampai mereka selesai. "Sute, kaulihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang
pandai. Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke
istana." "Akan tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit..."
"Kurasa malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok.
Biarpun kaisar, tetap saja seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit
adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki istana."
Han Houw tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas
lalu berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah
mereka cari di kota raja itu.
*** Gentar juga rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana
yang dikurung pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang amat kuat.
Dari balik pintu gerbang nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan
indah, yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu. Bukan
hanya di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang
bersenjata lengkap dan melakukan penjagaan ketat, akan tetapi juga nampak
berkilauannya senjata dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas
tembok, dan Kim Hong Liu-nio maklum bahwa makin dalam tentu istana itu makin
dijaga dengan ketat oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Oleh
karena itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana
itu tanpa ijin. Betapapun pandainya seseorang, kiranya tidak mungkin akan dapat
menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apalagi kalau diingat bahwa di
sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal yang
amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Ketika para penjaga melihat seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung,
keduanya berpakaian mewah dan indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka
menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para
penjaga! Ketika dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio menyatakan
bahwa mereka ingin menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu menjadi curiga
sekali dan juga terheran-heran dan dengan keras keinginan itu ditolak.
"Ah, apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?" kata kepala
penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik.
"Jangankan selagi sri baginda kaisar sakit dan tidak boleh diganggu sama sekali,
sedangkan andaikata beliau sedang sehat sekalipun, tidak akan mudah memasuki
istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu."
"Kami adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!" kata Kim Hong
Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar.
Kematian Sang Pendekar 1 Pendekar Rajawali Sakti 153 Pemuas Nafsu Iblis Perawan Lembah Wilis 9
^