Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 14

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 14


lamanya. Sementara si pendeta muda itu sete!ah menyaksikan dua
jurus serangannya ini, mukanya menunjukkan perasaan
kecewa dan lalu sambil menahan serangan pedangnya dia
berseru : "Tahan !"
Lie Siauw Hiong yang melihat lawannya bukan dengan
maksud untuk saling bermusuhan dengannya, apa lagi dia
sendiri memang mempunyai urusan yang hendak diselesaikan selekas mungkin, maka diapun segera
menghentikan serangannya.
Pendeta muda itu tampaknya berpikir sebentar,
kemudian barulah dia berkata : "Benar, benar !" waktu
dilirikkan matanya memandang pada Lie Siauw Hiong
yang sedang berdiri disebelah pinggirnya, tidak terasa lagi
dia menunjukkan perasaan sungkan dan segera membalikkan badannya untuk melarikan diri.
Lie Siauw Hiong jadi tertawa terbahak-bahak, sungguhpun dia tidak mengerti tindak-tanduk lawannya itu,
tapi dia dapat meraba maksud pendeta Siauw Lim itu, yang
agaknya khusus memperhatikan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek'-
nya, hingga hal ini boleh dikatakan luar biasa juga.
Begitu hatinya merasa tenang, diapun teringat kembali
akan pedang 'Bwee Hiang Kiam'-nya yang hilang itu, maka
hatinyapun menjadi bingung kembali. Dengan tak berani
berlaku ayal-ayalan lagi, lalu dia meneruskan kembali
perjalanannya. Dia menuju keatas gunung yang semakin
lama semakin sempit dan berbahaya serta sepi lengang,
sedang haripun perlahan-lahan sudah menjelang gelap.
Entah sudah lewat berapa lama pula, rembulan
diangkasa raya telah mulai menampakan diri dan
tergantung ditengah-tengah udara dengan tenangnya.
Lie Siauw Hiong pada saat itu seluruh perasaannya
tengah dipusatkan pada kehilangan pedang mustikanya itu,
hingga tindakannya tidak terlampau cepat lagi, tapi
sekalipun demikian, sekali lompat saja dia masih dapat
melampaui jarak empat atau lima tombak jauhnya.
Dibawah sinar rembulan yang berwarna keperak-perakan,
didepannya tampak gunung yang tidak terlampau besar,
juga tidak terlalu kecil, maka dengan menghempos
semangatnya, Lie Siauw Hiong bertekad bulat untuk
mencapai puncak gunung tersebut.
Pemuda itu dengan bernafsu berlari sekeras mungkin
untuk menempur pencuri pedangnya itu.
Dilereng gunung tersebut keadaannya sangat sepi dan
lengang sekali, disana hanya tumbuh dua kelompok pohon-
pohon raksasa, sehingga bayangan bulan seakan-akan tidak
dapat menembusi tempat itu karena dilindungi oleh pohon-
pohon yang sangat tinggi lagi sangat rindang daunnya itu.
Lalu dia mendengar suara daun pohon-pohon itu
berkeresekan, dan semacam perasaan yang kurang enak
tiba-tiba melintang diotaknya, sehingga dengan tidak
disadarinya hatinyapun menjadi agak berdebar-debar.
Waktu dia periksa dengan terlebih cermat, dia tidak melihat
barang seorangpun berada disitu, selain suara angin yang
meniup daun-daun pohon itu.
Lie Siauw Hiong jadi tertawa sendirian dan menganggap
dirinya terlampau bercuriga tidak keruan, kemudian
badannyapun melesat kembali sehingga beberapa tombak
lagi jauhnya, tindakannyapun sangat wajar dan tenang, hal
mana menunjukkan bahwa kepandaiannya telah mencapai
dipuncaknya. Gunung ini tak dapat dikatakan terlampau tinggi, tapi
disitu tumbuh banyak sekali pohon-pohon, maka sekalipun
pada saat itu adalah musim dingin, tapi angin yang
berhembus dari selatan membawa hawa yang nyaman serta
hangat, sehingga pohon-pohon itu tidak menjadi layu
daunnya. Waktu hampir mencapai puncak gunung tersebut yang
terletak dihadapannya, Lie Siauw Hiong segera menghempos semangatnya, hingga lagi-lagi dia rasakan
perasaan yang kurang wajar, karena diantara pohon-pohon
yang begitu banyaknya dan rindang itu tentu saja
keadaannya menjadi agak menyeramkan karena sepinya.
Sekalipun Lie Siauw Hiong telah mengembara dikalangan Kang-ouw selama setahun lebih, peristiwa yang
telah dialaminya adalah rata-rata sangat hebat dan
menegangkan urat syaraf, hingga selama itu pengalamannyapun menjadi sangat banyak dan luas.
Selagi melanjutkan perjalanannya kembali, tiba-tiba
kakinya menginjak tempat kosong, hingga ketika dia insyaf,
tahu-tahu dirinya sudah terjerumus masuk kesebuah lubang
yang cukup dalam. Waktu Siauw Hiong jatuh kedalam lubang, buru-buru
dia enjotkan badannya keatas sehingga mencapai setengah
meter lebih dari dalam lubang itu. Tapi ketika baru saja
kakinya menginjak bumi lagi dan hendak melangkah maju,
lagi-lagi dia mengeluarkan teriakan tertahan karena
badannya sempoyongan dan lagi-lagi terperosok kedalam
lubang yang berikutnya. Ditempat yang begitu liar dan
dimalam hari yang sangat gelap itu, entah ada berapa
banyak jebakan dipasang disitu untuk mencelakai dirinya "
Dan selagi dia berdaya-upaya untuk meloloskan dirinya,
tiba-tiba segala macam senjata tajam dari pihak musuhnya
telah datang menyerang pada dirinya dengan serentak,
bahkan disamping itu, tidak ketinggalan pula ada diantara
musuh-musuhnya yang melepaskan senjata rahasia kepadanya. Lie Siauw Hiong yang dapat membedakan suara dari
angin senjata-senjata tersebut, diapun sudah mengetahui,
bahwa pihak orang-orang yang menyerang dirinya rata-rata
mempunyai tenaga-dalam yang kuat sekali, hingga ketika
baru saja dia hendak lompat mengelitkan diri daripada
serangan-serangan yang datang bertubi-tubi itu, hanya
terdengar suara "sret, sret" dua kali, dan bersamaan dengan
itu, pundaknya serta pahanya sudah terkena dua batang
anak panah gelap yang dilepaskan oleh musuh-musuh yang
membokongnya, anak-anak panah mana dapat menemui
sasarannya dengan jitu karena dilepaskan dalam jarak
hanya tiga meter saja jauhnya. Lie Siauw Hiong sejak
mengembara dikalangan Kang-ouw, belum pernah mengalami kekalahan semacam ini, karena dengan serentak
ia dibokong dengan secara menggelap, hingga dia
sendiripun belum mengetahui siapa adanya para penyerang
yang keji dan pengecut itu.
Kedua batang anak panah itu mendatangkan rasa sakit
yang hebat sekali, hingga dengan marahnya dia sapukan
matanya keempat penjuru, tapi ternyata dia tidak melihat
ada bayangan manusia barang seorangpun.
"Musuh berada ditempat gelap, sedangkan aku berada
ditempat yang terang," pikirnya, dengan perasaan tegang
pikirannya bekerja keras.
Lantas timbul suatu ajakan untuk 'lari', karena itu
memang suatu cara yang paling selamat.
Syukur juga anak panah yang menancap dipundak dan
dipahanya tidak dicelupi racun, hingga itu banyak
mengurangi perasaan kuatirnya. Sementara suatu hal yang
paling hebat, adalah cara menyerangnya orang yang
melepaskan anak panah gelap itu, karena meski dia
melepaskan itu hanya dalam jarak tiga meter saja jauhnya,
tapi dia tak dapat dilihat oleh Lie Siauw Hiong, hingga
diam-diam iapun memuji akan kecepatan orang itu, yang
dikalangan Kang-ouw sungguh sukar dicari keduanya.
Lie Siauw Hiong sambil menahan perasaan sakit pada
pundaknya, buru-buru dia pusatkan tenaganya pada
sepasang kakinya, lalu dia berlompat maju dan dengan
langsung berlari lurus kesebelah kiri dari hutan itu. Dia
bukannya orang yang bodoh dan dengan terang-terangan
mengetahui, bahwa diempat penjuru para lawannya telah
mengurung rapat kepada dirinya, tapi perasaan ingin hidup
memaksa dirinya untuk berusaha melarikan diri.
Benar saja apa yang diduganya itu tidak meleset sama
sekali, karena dari hutan yang lebat itu lalu dirasakannya
ada senjata tajam yang menyampok mukanya. Syukur juga
dia sudah siap siaga, ditengah-tengah udara dia lompat
kearah yang sebaliknya dengan gerakan yang gesit sekali,
karena hanya dengan tipu 'Kit Mo Pouw Hoat' saja baru
mungkin dia menjalankan tipu tersebut dengan berhasil.
Penyerangnya ini sungguh hebat sekali, tapi Lie Siauw
Hiong jauh lebih cepat setindak, karena waktu dia baru saja
turun kebumi, lagi-lagi dia sudah diserang kembali dan
pemuda kita dengan sebat mengelitkan serangan itu persis
terpisah dengan senjata tersebut hanya dalam batas telapak
sepatunya saja ! Percobaan Lie Siauw Hiong sekali ini tidak sia-sia
agaknya. Karena ketika baru saja dia sengaja berlari kearah
kanan, dari dalam hutan segera terdengar suara teriakan
orang yang lantas menyerang kearahnya dengan secara
hebat sekali. Lie Siauw Hiong yang mencoba menggunakan
kedua tangannya, lalu merasakan pundaknya bertambah
sakit, karena pundak kirinya yang terkena panah itu
menyebabkan tangan itu tidak dapat digunakan dengan
leluasa. Oleh sebab itu, terpaksa dia menahan juga serangan itu,
tapi ketika baru saja dia melancarkan serangannya, tiba-tiba
sebuah pentungan berkelebat menjurus kekepalanya, hingga
walaupun Lie Siauw Hiong telah berubah untuk
mengelitkan dirinya, tidak luput dibikin terpental juga oleh
pukulan lawannya, sehingga dia jatuh sempoyongan. Tapi
bersamaan dengan itu, tenaga dalam si pemuda pun yang
menendang balik telah membuat si penyerang jatuh
berjungkir dalam keadaan pingsan. Hal mana, membuktikan betapa dahsyatnya tenaga-dalam pemuda kita
itu. Ternyata pihak lawannya diatas gunung itu telah
membayhok kepadanya, sehingga musuh-musuh itu belum
puas jika belum dapat mengambil jiwanya.
Lie Siauw Hiong pun menginsyafi, bahwa untuk
melarikan diri adalah suatu usaha yang mustahil sekali,
sedangkan luka-lukanya kian lama dirasakan kian sakit,
hingga dia tidak tahu harus melayani dengan cara apakah
sebaiknya, ketika dengan secara tiba-tiba ...... Daun-daun
pohon dihutan tersebut berkeresekan dan bergoncang dan
bersamaan dengan itu, dari dalam hutan segera muncui
tujuh atau delapan orang.
Dibawah sinar bulan Siauw Hiong kenali orang yang
menjadi kepala dari rombongan itu, tidak lain tidak bukan
adalah musuh-musuh keturunannya, yaitu 'Hay-thian-siang-
sat' ! Sejak Lie Siauw Hiong turun gunung, dia pernah dua
kali berjumpa dengan kepala dari sembilan jago Kwan
Tiong itu, yakni sepasang manusia bercacat tersebut, apa
lagi ketika teringat akan peristiwa dipuncak gunung Kwie
San itu, dimana dia pernah dijatuhkan kedalam jurang yang
ribuan tombak dalamnya, melihat lawan-lawannya ini,
tidak terasa lagi matanya menjadi merah.
Sedangkan manusia-manusia bercacat itu sama sekali
tidak menunjukkan perasaan terkejutnya, suatu tanda
bahwa merekapun mengetahui, bahwa 'Bwee San Bin'
memang belum terjatuh mampus kedalam jurang itu. Pada
saat itu, Lie Siauw Hiong merasa sangat geram sekali,
karena dengan sepintas lalu saja dia segera kenali beberapa
orang diantara mereka, yang memang bukan lain daripada
sembilan jago dari Kwan Tiong itu.
Kepandaian kesembilan jago dari Kwan Tiong ini, rata-
rata Lie Siauw Hiong pernah menjajalnya, tapi bila dia
harus melawan satu-persatu ataupun dua lawan satu, Lie
Siauw Hiong pasti tidak akan kalah, tapi sekarang lawan-
lawannya adalah sembilan orang, sedangkan dia sendiri
pada sebelum bertempur sudah terluka terlebih dahulu,
karena akibat daripada bokongan musuh-musuhnya yang
sangat licik itu. Oleh karena itu, cara bagaimanakah dia


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus melayani mereka selanjutnya "
Sepasang manusia bercacat ini dengan mata yang tidak
berkedip memandangnya dengan sorot mata penuh
kebencian kearah pemuda kita.
Setelah berselang sejurus lamanya, barulah Ciauw Hoa
berkata pada dirinya sendiri : "Tampangnya mirip benar.
Tidak berlainan barang sedikitpun."
Kemudian setelah berselang sejurus lamanya, barulah dia
berkata dengan suara dingin : "Apakah kau mengetahui,
apa maksud kami ini terhadapmu ?"
Lie Siauw Hiong tidak menjawab atas pertanyaan
lawannya itu, tapi dia segera paham akan maksud pihak
musuhnya itu. Karena sesungguhnyalah, waktu tempo hari dia terjatuh
kedalam jurang digunung Kwie San, dia telah bertempur
dengan memakai kedok, tapi sebelum terjatuh kedalam
jurang itu, kain penutup mukanya kena disingkap
lawannya, sehingga lawan itu agak mengenali dirinya.
Belakangan dikalangan Kang-ouw tersiar berita tentang
dikalahkannya Kouw Loo It Koay oleh Lie Siauw Hiong,
dan karena Siauw Hiong itu adalah orang she Lie, mereka
segera menduga, bahwa pemuda she Lie ini pastilah
keturunannya 'Lie Kiu Peng', kemudian ketika sepasang
manusia bercacat ini menyelidiki dengan saksama, barulah
mereka memperoleh jawaban yang pasti, bahwa pemuda
she Lie itu memang benar anak musuhnya dan dia tidak
mati dibawa kabur oleh sapi gila itu.
Sepasang manusia bercacat ini memang sangat kejam
sekali, mereka bertekad bulat untuk membasmi keturunan
Lie Kiu Peng hingga keakar-akarnya, maka lalu dipasang
mereka bayhok selengkap-lengkapnya untuk menantikan
kedatangan si pemuda itu.
Lie Siauw Hiong setelah berpikir matang, dia ketahui
bahwa kini dia menghadapinya lebih banyak kematian
daripada hidup. Hatinya menjadi terbangun dan lalu
berseru : "Hay-thian-siang-sat, jika kau telah mengetahui,
hmmm, lekaslah kau serahkan jiwamu !"
Tatkala selesai berbicara, suaranya agak menggetar
karena amat gusarnya. Dengan cepat dia mencabut pedangnya, tapi waktu
memperhatikan senjata itu, walaupun sinarnya berkeredepan, tapi jika dibandingkan dengan pedang 'Bwee
Hiang Kiam'-nya, ternyata terpaut sangat jauh sekali,
hingga didalam hatinya dia berpikir : "Pertempuran sekali
ini, akan lebih banyak kematian daripada hidup, oleh sebab
itu, pedang 'Bwee Hiang Kiam' itu seumurku tidak akan
dapat melihatnya pula."
Tapi dengan tekad yang bulat ia mengambil keputusan
untuk menghadapi semua ketujuh orang lawannya itu
dengan hati yang mantap. Kemudian dengan suara dingin
dia berkata : "Kalian hanya berjumlah tujuh orang ! Orang
she Ciauw, diantara sembilan jago Kwan Tiong masih ada
dua orang lagi yang belum keluar, bukankah ?"
Dengan tertawa panjang Ciauw Hoa menyahut : "Kami
bertujuh apakah belum cukup untuk mengambil jiwamu ?"
Mereka memang sangat telengas dan kejam sekali,
sehingga sedikitpun tak mau memberi hati kepada si
pemuda itu. Sambil tertawa dan dengan suara yang lantang Lie Siauw
Hiong lalu berseru : "Silahkan kalian maju !" Sedangkan
diotaknya tiba-tiba terlintas ingatannya dan diam-diam dia
berpikir : "Benar, tentulah burung dara itu yang telah
digunakan oleh manusia bercacat ini dalam usahanya untuk
mengumpulkan kawan-kawannya, dan salah seekor burung
dara yang telah kujatuhkan itu, tentulah telah dikirim oleh
Hay-thian-siang-sat untuk mengundang Hiauw-gwat-han-
sim-ciang. Tapi entahlah siapa itu yang satu orang lagi ?"
Selagi hatinya masih menduga-duga, tiba-tiba salah
seorang antara sepasang perampok Shoa-tang yaitu Lim
Siauw Coan segera maju membokong dengan tidak
bersuara apa-apa. Tapi Lie Siauw Hiong yang memang
sudah memasang mata dan telinga setajam-tajamnya, tentu
saja mengetahui bahwa dirinya sedang dibokong orang.
Syukur juga meski pundak kiri dan pahanya terluka, tapi
Siauw Hiong masih dapat menggerakkan tangan kanannya
dengan leluasa, maka dengan mendongkol dia menghunus
pedangnya, yang lalu dengan sebat ditusukkannya
kebelakang, hingga sekalipun Lim Siauw Coan menyerang
terlebih dahulu, tapi dia tidak berhasil menemui
sasarannya, karena ia sendiri sudah diserang kembali, maka
dengan mengeluarkan suara gerengan yang menandakan
kemarahannya, dia mundur kebelakang setengah langkah.
Kemudian pergelangan tangan Lie Siauw Hiong,
diputarkan begitu rupa, sehingga dia dapat menyerang pada
lima orang lawannya dengan secara bergiliran. Sementara
kedua saudara she Ciauw yang menampak permainan
pedang Siauw Hiong yang begitu hebat dan lincah, mereka
lantas maju secara berbareng, sedangkan kawan-kawannya
rata-rata mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, mereka
masing-masing pernah mengalami pertempuran yang hebat
dalam rimba persilatan. Maka tanpa menghiraukan
peraturan dikalangan Kang-ouw lagi serta dengan secara
tidak tahu malu mereka lantas maju serentak untuk
mengurung si pemuda yang hanya seorang diri saja. Mereka
tidak banyak mengeluarkan perkataan apapun, hanya
dengan ganasnya mengurung pemuda kita dengan hanya
satu maksud, yaitu untuk membinasakan jiwanya.
Perkumpulan sembilan jago dari Kwan Tiong ini jika
dibuat perbandingan dengan yang dahulu, kekuatannya
adalah yang sekarang masih jauh lebih unggul, apa lagi kini
mereka dengan serentak maju dengan menggunakan
pelbagai senjata mereka, hingga sudah barang tentu
perbuatan mereka ini tidak dapat dibenarkan dengan aturan
dikalangan rimba persilatan lagi. Apa lagi, orang yang
menjadi bulan-bulanan mereka hanyalah seorang pemuda
yang baru melampaui usia dua puluhan.
Lie Siauw Hiong yang sudah tidak menaruh harapan
untuk hidup terlebih lama pula, tentu saja diapun sudah
tidak merasa jerih atau takut lagi, begitu dia lancarkan
serangan dengan pedangnya, diapun sudah mengeluarkan
pelajaran yang diberikan oleh Peng Hoan Siang-jin, yaitu
Tay-yan-sip-sek-nya. Suara berbagai senjata yang menyerang dirinya,
mengeluarkan beraneka ragam suara, Lie Siauw Hiong
sendiri pada saat itu dengan mengandalkan kekuatannya
sendiri, telah berusaha sedapat mungkin untuk melawan
musuh-musuhnya sehingga titik darah yang terakhir.
Tapi secara sekonyong-konyong saja sinar dan angin
yang keluar dari pedangnya Lie Siauw Hiong telah berhasil
menindih suara pelbagai macam senjata lawannya, karena
pada saat itu dia telah mengeluarkan jurus 'Hong-seng-put-
sip' dari pelajaran Tay-yan-sip-sek warisan dari Peng Hoan
Siang-jin. Diantara sembilan jago dari Kwan Tiong ini rata-rata
pernah melihat jurus serangan ini, tapi mereka tidak
berdaya untuk memecahkan tipu yang hebat ini, dan
sekarang ketika menampak pemuda kita menggunakan tipu
tersebut, buru-buru mereka mengeluarkan kepandaian
mereka yang paling diandalkan untuk menjaga diri masing-
masing, agar supaya jangan sampai kena dilukai oleh
pemuda itu. Tapi Peng Hoan Siang-jin bukanlah seorang sembarangan. Tipu Hong-seng-put-sip ini adalah jurus yang
paling lihay dari Tay-yan-sip-sek, tenaganyapun sangat luar
biasa sekali, juga perubahannya tidak dapat diduga-duga,
sehingga Lie Siauw Hioug sendiri yang sudah mencapai
titik yang sempurna dalam pelajaran, masih juga tidak
dapat mengerti seratus persen, apa lagi beberapa orang ini,
dimanalah mereka dapat memecahkannya " Dengan hanya
kedengaran suara pedang yang sebentar tinggi dan sebentar
rendah, tak berbeda dengan suara jeritan atau derap kaki
kuda yang beribu-ribu jumlahnya mengurung mereka,
hingga belum lama pemuda kita menggunakan tipu ini, dia
sudah berhasil melukakan pundaknya Cian-siu-kiam-khek
Liok Hong, sedangkan lengan baju Tiang-thian-it-pek Pek
Hong telah berhasil dirobekkan sehingga beberapa dim
panjangnya. Menampak serangannya itu belum berhasil menemui
sasarannya dengan jitu, Lie Siauw Hiong diam-diam
menyesalkan, andaikata pahanya tidak terluka, bila dia
mengejar kedua orang ini pasti salah seorang antaranya
akan menemui kebinasaannya.
Dari arah belakangnya dia mendengar dua kali suara
yang menderu-deru, tapi tanpa melihat lagi diapun segera
mengetahui, bahwa orang-orang yang menyerangnya itu
bukan lain daripada Hay-thian-siang-sat adanya. Badannya
tidak diputar, hanya dengan cepat dia sabetkan pedangnya
itu kebelakang, hingga dalam waktu sekejapan saja pedang
yang dapat bergerak dari perlahan sehingga tiba-tiba
berubah menjadi amat cepat itu, meluncur dengan gerakan
yang tidak teratur, karena jurus itupun 'But-hoan-seng-ie'
adanya, atau benda-benda bertukar letak dan bintang-
bintang saling beralih. Kedua saudara Ciauw ini meski mempunyai kepandaian
yang lebih tinggi sekalipun, karena terbentur dengan tipu
ini, maka merekapun tidak akan dapat memecahkannya,
apa lagi perubahannya yang dilakukan oleh Lie Siauw
Hiong itu sedemikian pesatnya, sehingga ketika baru saja
jurus 'But-hoan-seng-ie' ini digunakan setengah jurus, sinar
pedangnya sudah mengurung Lim Siauw Coan yang berada
disebelah kirinya, sedangkan dengan hanya menyabetkan
pedangnya kesamping diapun sudah berhasil dapat
mementalkan serangannya Tek-seng-siu Su Kong Cong.
Tiang-thian-it-pek Pek Hong berseru dengan suara keras,
kemudian dia terjang Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan selagi kedua saudara Ciauw
menyerang si pemuda dengan berbareng, hingga kekuatan
yang hebat sekali dari mereka bertiga telah memaksa Lie
Siauw Hiong mundur dua langkah.
Lim Siauw Coan dengan Liok Hong pun telah
menggunakan kesempatan baik ini untuk turut maju
menyerang, juga dalam mana mereka disambut dengan
amat sengitnya oleh Lie Siauw Hiong yang menggunakan
tipu 'Leng-bwee-hut-bian' atau bunga bwee menyapu muka.
Jurus ini cepat lagi aneh, apa lagi waktu menggunakan
tipu tersebut Lie Siauw Hiong tidak berlaku segan-segan
lagi, hingga Liok Hong yang menyaksikannya menjadi
berdiri terpaku saking terkejutnya, tiba-tiba Lie Siauw
Hiong telah menarik kembali serangannya.
Ternyata serangan hebat yang dilancarkan sepasang
manusia bercacat itu telah memaksa Lie Siauw Hiong
untuk menarik kembali serangannya yang sudah hampir
menemui sasarannya. Tapi penundaan itu hanya berupa
sementara waktu saja, karena begitu si pemuda mengeluarkan pelajaran Tay-yan-sip-sek-nya, ketujuh lawannya itu menjadi kewalahan dan sibuk menjaga diri
masing-masing. Sementara Lie Siauw Hiong sendiri yang merasakan
gencatan pedang lawannya kian lama kian bertambah berat
saja, sedangkan tenaga gempuran pedangnya kian lama
kian bertambah lemah, seketika itu hatinya jadi agak
terkejut juga, tapi sekalipun agak lemah, dia masih
mempertahankan diri dengan secara mati-matian. Karena
bila dia tidak memaksakan dirinya untuk berbuat demikian,
maka dalam waktu sekejap mata saja badannya akan
menjadi berkeping-keping kena bacokan dan tusukan
pedang pihak ketujuh lawan itu.
Pada saat itu luka yang dideritanyapun bertambah lama
dirasakan bertambah sakit, hingga dengan susah-payah dia
telah berhasil mengelitkan dua kali tusukan pedang
lawannya, hingga didalam hati dia berkata : "Jika
pertempuran semacam ini dilanjutkan terus, hanya
kematianlah yang akan menjadi satu-satunya jalan yang
terbuka bagi nasibku, aku harus berlaku nekad untuk
membinasakan sebanyak lawan yang mungkin dapat
kulakukan." Begitu dia telah mengambil keputusan yang pasti, lalu
dia tertawa panjang dan diam-diam berseru : "Ayah dan
ibu, sekarang anak akan membinasakan musuh besar kita
ini !" Pedangnya lantas menyerang dengan tipu Kiu-cie-kiam-
sek-nya, dengan orang-orang yang dijadikan sasarannya
adalah sepasang manusia yang bercacat itu.
Cara pertempuran ini sungguh hebat sekali, hingga telah
membuat barisan sembilan jago Kwan Tiong itu menjadi
kacau-balau, maka dengan melihat kesempatan itu,
dikepalanya lalu terlintas suatu pikiran, yaitu : "Lari !"
Jurus 'Leng-bwee-hut-bian' lalu disusul dengan 'Bwee-


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hoa-sam-long', dengan mana dia serang sepasang manusia
bercacat itu, hingga mereka buru-buru melompat mundur
dengan serentak, dengan menahan sakit pada pahanya,
Siauw Hiong melompat sehingga beberapa tombak jauhnya.
"Pukul !" lantas salah seorang antara ketujuh lawannya
yang bernama Im-hong-sin-piauw Coh Tiong Bong lagi-lagi
menyerang dengan senjata rahasianya.
Lie Siauw Hiong yang sudah terkena senjata rahasia
lawannya pada pertama kali tiba digunung itu, kini
mendengar tidak ada suara senjata rahasia apa-apa yang
datang menyerangnya, hingga didalam hati dia merasa
heran dan menduga kalau-kalau mereka tengah main gila
terhadapnya. Dengan mengeluarkan suara "sret" benar saja sebuah
senjata rahasia telah datang menyerangnya, hingga buru-
buru dia menjatuhkan dirinya untuk menghindarkannya.
Ternyata Piauw yang digunakan lawannya itu memang
agak aneh juga, dan diwaktu menyerang lawannya tidak
mengeluarkan suara apa-apa, tapi setelah mencapai jarak
tiga meter lagi dari sasarannya, barulah piauw itu bersuara
dan tenaga melayangnyapun bertambah pesat pula, dan hal
inilah yang untuk pertama kali Lie Siauw Hiong telah
terpedaya. Sekalipun dengan susah-payah dia berhasil dapat
menghindarkan senjata rahasia itu, tapi pergerakan yang
dilakukannya dengan tergesa-gesa itu telah membangkitkan
pula lukanya, hingga saking sakitnya dia terpaksa
mencakupkan giginya erat-erat. Bersamaan dengan itu, tiba-
tiba terdengar "Buk !" yang telah membuat Lie Siauw
Hiong merasakan matanya berkunang-kunang, tenggorokannya amis dan lalu memuntahkan darah segar,
karena diluar dugaannya, satu pukulannya Ciauw Hoa
telah tiba dipunggungnya laksana kilat cepatnya.
Dengan menghempos semangatnya, buru-buru dia
berlompat bangun kembali, dan setelah berhasil menahan
dan mengatur pernapasannya, kemudian dia lancarkan
serangan balasannya. Mula-mula dia keluarkan jurus 'Han-
bwee-touw-jwee', atau bunga bwee menjulurkan benang
sarinya, tapi ketika dia gunakan jurus ini setengahnya, dia
lalu susulkan dengan jurus 'Bwee-touw-kie-hiang', atau
bunga bwee mekar menyiarkan baunya. Dengan sekali
sabet saja dia telah berhasil mementalkan pedangnya Lim
Siauw Coan, yang berbareng tangannyapun tergores
sehingga luka dan mengeluarkan darah.
Pada sebelum Lim Siauw Coan dapat berlompat
mundur, ujung pedang Siauw Hiong sudah menjurus pada
kedua saudara she Ciauw. Su Kong Tong dan Coh Tiong Bong lalu menyerang
berbareng pada Lie Siauw Hiong, tapi pemuda kita tidak
menghiraukannya, dengan lurus dia tusukkan pedangnya
kearah Ciauw Hoa. Ciauw Hoa yang melihat serangan pemuda kita yang
begitu nekat, sudah barang tentu menjadi terkejut bukan
buatan, karena pada sebelum dia sempat menangkis, tahu-
tahu pundak kirinya telah kena tertusuk oleh pedang Lie
Siauw Hiong, sehingga dia mengeluarkan jeritan tertahan.
Sedangkan pedangnya Coh Tiong Bong pun berhasil
menggores masuk setengah dim didadanya pemuda kita.
Dengan tidak mengerutkan keningnya lagi, darah segar
segera keluar dari yang dadanya terluka itu, kemudian dia
melancarkan serangan-serangan nekad tanpa memikirkan
pula akan keselamatan dirinya sendiri.
Pertempuran itu semakin lama telah berlangsung
semakin sengit, darah dan sinar pedang berhamburan
ditengah udara, tapi perlahan-lahan tenaga Lie Siauw
Hiong telah semakin berkurang, hingga akhirnya diapun
terpaksa mundur kesamping lereng gunung.
Sinar bulan yang remang-remang, dibarengi oleh siliran
angin malam yang meniup dengan santarnya, hingga
sekalipun hawa udara tidak menusuk tulang dan sumsum,
tapi cukup dingin dirasakan oleh setiap orang yang sedang
bertempur dengan amat dahsyatnya.
Dilereng gunung itu hanya tampak delapan bayangan
manusia yang bergerak-gerak pergi datang untuk mencapai
babak yang menentukan dalam pertempuran antara mati
dan hidup itu. Kemudian lagi-lagi terdengar pukulan "Buk !" yang
menghantam punggung pemuda kita, hingga dengan susah-
payah dia menahan badannya yang sempoyongan dan
hendak jatuh, sedangkan dari mulutnya lagi-lagi memuntahkan darah segar. Oleh kareua menampak hal itu,
buru-buru Cian-siu-kiam-khek Liok Hong lalu maju hendak
menjambak pemuda kita, tapi sebelum usahanya berhasil,
dia sendiri sudah menjerit dengan suara keras dan ternyata
dadanya sudah terpancang oleh pedangnya pemuda kita !
Sembilan jago Kwan Tiong yang biasanya membunuh
manusia tanpa berkedip, ketika melihat semangat Lie Siauw
Hiong, yang demikian luar biasanya, mereka semua jadi
mengeluarkan keringat dingin.
Pedangnya Lie Siauw Hiong mencari sasarannya lebih
lanjut, dan dengan tidak disangka-sangka lagi lalu dia
menusukkan pedangnya kearah Ciauw Loo, yang segera
berlompat untuk mengelitkan tusukan pedang itu.
Sedangkan Lie Siauw Hiong dengan tidak menolehkan
kepalanya lagi, lalu membalikkan pedangnya dan terus
ditusukkan kearah Tek-seng-siu Su Kong Tong, yang
seketika itu juga terdengar berteriak dan jatuh roboh
ditanah dengan bermandikan darah !
Kemudian dia melanjutkan serangannya. Dilain pihak
dengan berseru kalap Ciauw Loo lalu memukul dengan
sepenuh tenaga kepada si pemuda, sedangkan Tiang-thian-
it-pek Pek Hong juga menambahkan satu pukulan lagi,
hingga Lie Siauw Hiong buru-buru mengangkat pedangnya
untuk memapaki serangan itu, tapi pada saat itu tenaga si
pemuda sudah habis, maka baru saja dia menangkis
setengah jalan, sekonyong-konyong dadanya dirasakannya
seperti terpukul oleh sebuah palu yang berat sekali, yang
mana dengan mata berkunang-kunang telah membuat dia
roboh kemuka bumi. Lim Siauw Coan yang datang memburu, ketika baru saja
maju dan menambahkan satu pukulan lagi, tapi siapa tahu
dengan secara tiba-tiba saja Lie Siauw Hiong telah
berlompat bangun, sedangkan tangan kirinya yang
memegang pedang lalu digerakkan kearah Ciaw Loo ......
Lim Siauw Coan yang datang memburu, ketika baru saja
hendak menghantam pemuda kita sehingga menjadi
perkedel, tidak terasa lagi dia menjadi berhadapan dengan
pedang Lie Siauw Hiong yang disambitkan untuk melukai
Ciauw Loo, tapi kini telah meluncur kejurusannya. Siauw
Coan coba berdaya untuk menghindarkannya, tapi ternyata
dia tidak cukup gesit untuk berbuat begitu, maka dilain saat
ia menjerit ngeri dan jatuh roboh dengan leher terpanggang,
maka sesudah berkelejatan seketika lamanya, kemudian ia
diam dan tidak berkutik lagi untuk selama-lamanya !
Tian-can Ciauw Loo yang melihat usaha lawannya yang
penghabisan itu, yaitu ketika Lie Siauw Hiong masih saja
memukul kearahnya dengan serangan yang tampaknya
sama sekali tidak bertenaga, diapun berdirilah dengan
tegak, dengan satu kepalannya dia bersiap sedia untuk
memunahkan serangan pemuda kita. Tapi siapa tahu,
bahwa serangan Siauw Hiong sekali ini adalah serangan
yang terakhir, sedangkan tenaganyapun telah dikerahkan
dengan sepenuh-penuhnya, maka sekalipun tampaknya
tidak bertenaga, tapi dalam kenyataannya sesungguhnya
kuat sekali, maka ketika terdengar suara "Buuuuuk" yang
nyaring sekali, Ciauw Loo menjerit karena amat
terkejutnya, sedangkan tubuhnya terpental kebelakang
sehingga beberapa tombak jauhnya, sedangkan tulang
telapak tangannya dirasakan tergetar dan hampir patah !
Setelah itu, Lie Siauw Hiong sendiripun akhirnya jatuh
roboh juga dimuka bumi ......
Yang paling lucu diantara sembilan jago dari Kwan
Cong itu, darimana tujuh orang antaranya telah mengurung
Lie Siauw Hiong sendiri, tapi akhirnya ada tiga orang yang
telah terbinasa, sedangkan selebihnya juga telah menderita
luka-luka. Maka walaupun Lie Siauw Hiong sendiri
akhirnya terjatuh kemuka bumi, tapi kesudahannya ini
cukup memuaskan bagi pihak pemuda kita.
Hay-thian-siang-sat saling mengawasi dengan sorot mata
yang menyala-nyala, dan waktu mereka berdua menempur
pemuda kita digunung Kwie San, pada saat itu tenaga-
dalam Siauw Hiong sudah cukup hebat, tapi mereka berdua
dapat memaksa dia sehingga jatuh kedalam jurang, setelah
beberapa bulan tidak berjumpa satu sama lain, siapa sangka
tenaga-dalamnya si pemuda telah maju begitu pesat sekali,
sehingga mereka menjadi agak sibuk juga melayaninya.
Lie Siauw Hiong yang terjatuh diatas bumi, sesungguhnya perasaannya masih sangat terang sekali, dia
hanya merasa begitu lelah, sehingga dia tidak mudah untuk
dapat lekas-lekas bangun berdiri, tapi seluruh pembicaraan
lawan-lawannya dia dapat mendengarnya dengan jelas,
karena telinganya yang menempel ditanah dapat menangkap pembicaraan mereka, kemudian dia mendengar
suara tindakan seseorang yang berjalan mendekatinya. Dia
tidak tahu siapakah dia itu, entah Ciauw Hoa entah Ciauw
Loo, tapi satu hal yang pasti adalah bahwa semakin lama
tindakan tersebut semakin mendekati kepadanya ......
Dia berpikir : "Jika aku masih ada sisa tenagaku, aku
pasti akan berontak dan memukul batok kepalamu, jangan
sampai badanku ini terjatuh kedalam tangan kalian ......"
Karena memang sesungguhnyalah, sampai untuk membengkokkan jerijinya saja dia tidak mempunyai tenaga
lagi. "Mati" perasaan ini menyelinap dalam pikirannya, dan
dia mengetahui, bahwa kematiannya akan segera menjelang
sampai. Dalam keadaan begitu, pelbagai persoalan
sekonyong-konyong berbayang satu-persatu dalam pikirannya, yaitu mengenai sakit hati ayah dan ibunya,
Bwee Siok-siok dan Hauw Jie Sioknya ...... semuanya akan
lenyap bersama-sama dalam beberapa detik ini lagi ......
Paling akhir dia teringat akan Gouw Leng Hong ......
Dia rasakan pemuda she Gouw itu alangkah riangnya
hidupnya sehari-harinya, dan bersamaan dengan itu, diapun
teringat akan gadis yang cantik jelita Souw Hui Cie ......
Dia berpikir nona she Souw itu disenja hari sambil
menyenderkan diri pada jendela, dia sedang menantikan
kedatangan mereka kembali ...... tapi sudah tentu yang
sangat diharapkan oleh nona she Souw itu, tentulah
kedatangannya Gouw Leng Hong sendiri ...... tapi mereka
memang pernah berjanji dengannya, bahwa mereka pasti
akan datang sekali lagi untuk menjumpainya.
Waktu dia bayangkan bagaimana dengan airmata yang
bercucuran dan kemudian jatuh membasahi tanah diluar
jendela, si nona berputus asa karena menantikan dengan
sia-sia kedatangan kekasihnya yang tak kunjung tiba ......
"Gouw Twako sudah meninggal dunia, bila akupun mati
pula, maka seumur hidupnya dia tetap akan menantikan
kedatangan kami dengan secara sia-sia saja. Dia pasti akan
menunggu 'seumur hidupnya', dan sungguh kasihan sekali
nona she Souw yang suci murni itu ......"
Tiba-tiba semacam tenaga dorongan entah dari mana
datangnya telah membisiki kalbunya dengan berkata : "Lie
Siauw Hiong, kau tidak. boleh mati, kau tidak boleh mati !
Kau harus berbakti terhadap orang tuamu, berlaku setia
kepada para penolongmu, dan berlaku jujur terhadap orang
yang mempercayai kepadamu. Oleh karena itu, walau
bagaimanapun kau tidak boleh mati, sekali-kali tak boleh
mati !" Suara tindakan kaki orang yang mendatangi semakin
dekat itu, kemudian ternyata bukan lain daripada Ciauw
Loo adanya ! Sekonyong-konyong ...... Seluruh badan Lie Siauw Hiong bagaikan dilintasi oleh
setrum listrik saja rasanya, hingga dengan tiba-tiba saja dia
melompat bangun, badannya lantas melesat dan bagaikan
anak panah terlepas dari busurnya, badannya segera terjun
kedalam jurang ...... Orang banyak hanya melihat sebuah bayangan hitam
ditengah udara yang tampak berputar tiga kali, kemudian
badannya lenyap ditelan kegelapan malam !
Orang banyak berdiri terpaku, menyaksikan ilmu
meringankan tubuh Lie Siauw Hiong yang begitu luar biasa,
karena sama sekali mereka tidak menyangka, bahwa orang
yang sudah hendak mati itu masih mempunyai sisa tenaga


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang demikian besarnya untuk melakukan pembunuhan
diri! Dengan pengalaman ini, mereka hanya dapat mencari
satu alasan, yaitu pada sebelum orang mati, orang memang
masih bisa mengeluarkan suatu tenaga luar biasa, begitupun
dengan halnya Lie Siauw Hiong, yang sudah berguling
jatuh kebawah jurang, dimana sudah barang tentu dia akan
menemui ajalnya. Demikianlah pihak lawan si pemuda
seolah-olah menghibur dalam hati mereka.
Dengan cepat Hay-thian-siang-sat mengejar dan menyusul Lie Siauw Hiong yang jatuh kebawah jurang itu,
tapi dalam hutan yang sedemikian lebatnya, lagi pula
karena gelapnya sang malam yang hanya disinari oleh
bulan yang tentu saja mereka tidak mudah akan dapat
menemui 'bangkai' Lie Siauw Hiong.
Tapi Tian-can Ciauw Loo yang masih penasaran
hatinya, lalu membentangkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk mencari kian-kemari, tapi akhirnya mereka tetap
tidak dapat menemui dimana 'mayat'-nya pemuda ini.
Pada saat itu dari puncak gunung itu sekonyong-konyong
saja terdengar suara Tiang-thian-pek Pek Hong yang berseru
: "Loo Toa, dibawah ada orang mendatangi ...... Bocah ini
sungguh mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat
tinggi sekali ......"
Ciauw Loo yang mendengar suara teriakan kawannya
ini, ia menjadi terkejut sekali, karena dalam hati mereka
tengah berpikir, bila sampai orang lain mengetahui, betapa
sembilan jago dari Kwan Tiong mengeroyok seorang dan
akhirnya mereka sendiri yang lari kucar-kacir, bukankah hal
tersebut akan menerbitkan buah tertawaan orang banyak
dalam dunia Kang-ouw " Dan bila sampai kejadian kabar
ini tersiar dalam rimba persilatan, janganlah harap bahwa
mereka dapat menancapkan kaki mereka lebih lama pula
dikalangan Kang-ouw, oleh karena itu, buru-buru dia
memberi isyarat dengan tangannya, agar supaya mereka
beramai-ramai menuruni gunung itu.
Mereka dari atas puncak gunung telah dapat melihat
dengan nyata, bahwa disebelah bawah tampak bayangan
seseorang yang demikian pesatnya mengejar naik keatas
puncak gunung, dan ilmu Keng-sin-kang orang ini ternyata
sudah sedemikian tingginya, sehingga dengan sekali lompat
saja ia telah berhasil mencapai setinggi beberapa tombak
jauhnya, gerak-geriknya sebat dan tidak dilakukan dengan
tergesa-gesa. Dalam hati Ciauw Loo berkata : "Kepandaian ilmu
meringankan tubuh orang itu sesungguhnya luar biasa
sekali. Aku masih merasa asing sekali terhadap orang ini,
dan karena pada saat tengah malam buta raya ini ia
mengejar naik keatas puncak gunung, maka sudah pasti dia
itulah pihak musuh kita ......."
Lalu dia menolehkan kepalanya memandang pada
kawan-kawannya yang sudah mati dan pada teman-
temannya yang karena luka-lukanya, maka kelihatannya
sudah sangat lelah sekali, oleh sebab itu, maka dengan
diam-diam dia lalu berkata : "Kabur !"
Dibawah kaki gunung, melalui semak-semak belukar
yang sangat lebat dan batu-batu yang berserakan disana-
sini, terdapat sebatang sungai kecil, dikedua tepi kali kecil
ini terdapat banyak sekali batu-batu cadas yang menonjol
disana-sini. Dipinggir kali tersebut tumbuh dengan lebatnya
pohon-pohon berduri, sedangkan dibalik pohon-pohon
berduri ini tumbuh juga dengan suburnya rumput-rumput
yang hijau, dan sekalipun pada saat itu adalah musim
dingin, tapi rumput-rumput tersebut tinggal tetap tumbuh
dengan hijaunya, hal mana menunjukkan bahwa tenaga
melawan dari rumput-rumput itu terhadap musim dingin
cukup ulet dan hebat. Dipinggir kali itu terbaring sesosok tubuh manusia,
seluruh badannya, terutama pakaiannya compang-camping
tidak keruan macam, sedangkan badannya penuh bekas
tanda luka-luka, tampaknya luka-lukanya itu tercampur
juga dengan goresan duri-duri waktu dia berguling jatuh
kesitu. Tapi orang itu sedikitpun tidak tampak bergerak, ada
kemungkinan dia itulah sudah ......
Tidak, dia belum mati, dia adalah Lie Siauw Hiong.
Dengan memiliki tenaga melawan yang melebihi orang
kebanyakan, dan semangatnya yang selalu berkobar-kobar,
dia dapat membuat dirinya melakukan sesuatu pekerjaan
yang orang lain tidak mungkin dapat melaksanakannya.
Dia bernapas empas-empis, karena selain sangat letih,
diapun telah kehilangan banyak sekali darah, ditambah lagi
dengan luka-luka berat yang diderita didalam tubuhnya.
Maka sekalipun napasnya belum putus berhembus, tapi
kenyataannya dia sudah hampir mendekati ajalnya.
Pada saat itu dia mulai dapat mengingat-ingat sesuatu
yang telah dialaminya ...... barang kali hal itu telah terjadi
karena dia terdiri dari daging dan darah.
Dia tidak memikirkan lagi tentang ibu dan ayahnya, juga
tidak memikirkan Bwee Siok-sioknya, apa lagi terhadap
dirinya sendiri, dia sudah tidak menghiraukannya lagi.
Dalam otaknya pada saat itu tengah terbayang-bayang
peristiwa pertempuran yang amat tegang dan dahsyat yang
telah dilangsungkannya tadi dengan musuh-musuhnya itu.
Setiap jurus dan setiap serangan lawan maupun serangan-
serangan balasan yang dilancarkannya sendiri, semua itu
dia telah dapat mengingatinya dengan sangat jelas dan
tepat. Begitulah sekarang pikirannya sudah kembali normal
lagi, malahan mungkin lebih cepat dan tangkas jika
dibandingkan dengan dahulu, pada sebelum dia melangsungkan pertempuran mati hidup itu, dengan
sembilan jago dari Kwan Tiong, bahkan lebih daripada itu,
diapun mengingat juga bagaimana dengan ganasnya
musuh-musuhnya itu melancarkan serangan demi serangan,
kemudian dengan sekonyong-konyong dia teringat akan
jurus-jurus dari Tay-yan-sip-sek yang begitu hebat, hingga
hatinya tergerak dan banyak sekali tipu-tipu aneh yang
lainnya, yang kini dengan sekonyong-konyong dia dapat
mengerti dengan jelas. Hal mana, mungkin sekali, setelah
mengalami pertempuran mati hidup tadi, ditambah pula
dengan ingatannya yang jernih itu, barulah dia dapat
membuka tabir rahasia yang selama ini menutupi jalan
pikirannya terhadap beberapa jurus dari tipu-tipu Tay-yan-
sip-sek yang belum berhasil dia dapat pahami seluruhnya,
tapi sekarang dia sudah berhasil dapat menyelami,
kehebatan-kehebatannya ilmu tersebut. Dalam keadaan
begitu, dia sedikitpun tidak merasa, bahwa dirinya sudah
hampir mati, karena dalam rasa senang yang timbul disaat
itu, dia sudah berhasil menyelami inti sari daripada ilmu
Tay-yan-sip-sek sehingga dia melupakan akan keadaan
dirinya sendiri yang sedang diancam bahaya maut.
Entah sudah lewat berapa lama, barulah dia berkata pada
dirinya sendiri : "Bila aku siang-siang dapat menyelami inti
sari ilmu ini, hasil pertempuran tadi pasti sekali akan
berbeda jauh daripada apa yang semula kuduga ...... Ah,
tipu Tay-yan-sip-sek ini benar-benar sangat luar biasa dan
tak ada tandingannya ......"
Seperginya Hay-thian-siang-sat dan sisa kawan- kawannya, keadaan dipuncak gunung sudah balik asal
kembali menjadi sunyi dan lengang.
Sret ! Satu bayangan manusia berlompatan naik keatas,
dengan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh
lebih hebat daripada apa yang pernah dipunyai oleh Hay-
thian-siang-sat. Disitu ia memandangi dengan terbengong mayat-mayat
yang menggeletak diatas tanah, kemudian memperhatikan
seutas benang yang berwarna merah pada bangkai seekor
burung dara ...... Siapakah gerangan orang muda yang baru datang ini "
Dialah bukan lain daripada orang yang jatuh dari puncak
gunung Thay San itu, yakni Gouw Leng Hong adanya!
Dengan perasaan tidak mengerti ia lalu duduk dibawah
sebatang pohon, sambil memandangi mayat-mayat yang
berserakan diatas bumi itu. Tatkala dia memikirkan kembali
tentang nasib yang dialaminya pada beberapa hari yang lalu
itu, sungguh dia merasa seperti orang yang sudah mati dan
dapat hidup pula dimuka bumi ini.
(Oo=dwkz=oO) Diceritakan pada waktu yang lalu, sewaktu Gouw Leng
Hong jatuh kebawah jurang dengan dipeluk oleh Kim Ie,
dia mengira bahwa dirinya sendiri pasti akan binasa, tapi
sebelum mati, dia harus membunuh Kim Ie terlebih dahulu,
barulah dia dapat mati dengan mata meram, oleh karena
itu, dengan diam-diam dia kendorkan lengan kanannya,
kemudian dengan ganasnya dia hajar batok kepala Kim Ie,
tapi siapa tahu, bahwa Kim Ie pun mempunyai perasaan
yang sama, juga telah bertindak seperti apa yang dilakukan
oleh Leng Hong. Oleh sebab itu, kedua pukulan segera
saling beradu ditengah udara, pukulan mana, kedua-duanya
dimaksudkan untuk membinasakan lawan masing-masing.
Dan karena kekuatan masing-masing sama luar biasanya,
maka setelah kedua pukulan itu saling beradu. Gouw Leng
Hong merasakan napasnya memburu dan darahnya beredar
lebih cepat, tangan kirinya yang memeluk tubuh Kim Ie
dengan sendirinya menjadi kendor, sedangkan tangan
kanannya dirasakan sakit seperti hendak patah saja.
Begitulah badan kedua orang ini lantas saling terpental,
Leng Hong dirasakan tubuhnya jatuh dengan pesat sekali
dan diwaktu dia melongok kebawah, disana hanya tampak
warna putih seperti kabut melulu, hingga tidak diketahui
dasarnya ada berapa meter dalamnya. Tanpa memperdulikan perasaan sakitnya lagi, sepasang tangannya
lalu digunakan untuk mencakar apa saja yang dapat
dipegangnya, sampaikan sebarang rumput yang bagaimana
kecilpun, dia sembarangan menjambretnya untuk mempertahankan dirinya. Sekonyong-konyong dia rasakan
kakinya menginjak suatu landasan yang teguh, hingga
dalam saat antara mati dan hidup buru-buru dia pusatkan
seluruh perhatiannya terhadap benda itu, dan diwaktu dia
sudah melihat jelas, hatinya menjadi lega, karena benda
tersebut tidak lain daripada sebatang pohon yang sebesar
mangkok ukuran bundarnya. Pohon ini tumbuh dengan
melalui celah-celah lamping gunung, hingga dia insyaf,
bahwa dirinya telah tertolong untuk sementara, dan
hatinyapun menjadi lega. Pada saat itu dia hanya
merasakan dadanya menyesak, tenggorokannya dirasakan
amis, kemudian tanpa dapat ditahan lagi dia telah
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dengan ini,
diapun insyaf, bahwa tadi waktu saling memukul dengan
Kim Ie, mereka masing-masing telah kena tergoncang,
sehingga anggota tubuh dibagian dalam telah terluka, oleh
sebab itu, dia segera berusaha untuk mengatur jalan
napasnya, tapi ternyata tidak berhasil. Pada waktu jatuh
kedalam jurang, Leng Hong sudah tidak mempunyai
harapan lagi untuk dapat hidup, tapi pada saat ini setelah
dia ketolongan oleh pohon ini, buru-buru dia hilangkan
ingatannya yang bukan-bukan, setelah itu, dengan sepenuh
hati dia curahkan perhatiannya untuk mengatur jalan
pernapasannya, tapi usahanya itu lagi-lagi menemui
kegagalan, karena ketika baru saja ia menarik napas sampai
didadanya, helaan napas itu ternyata tidak mau melancar
lagi, dan tatkala mencobanya dengan berulang-ulang dan
tidak berhasil, ia jadi putus harapan, sedangkan rasa sakit
pada lengan kanannya, kini dirasakannya semakin lama
semakin menghebat. (Oo-dwkz-oO) Jilid 29 Sementara itu kabutpun telah berubah semakin tebal,
suatu tanda bahwa hari telah larut malam, kemudian
disusul dengan desiran angin yang sangat dingin.
Seketika itu dengan pesat lalu muncul bayangan-
bayangan sebuah jembatan kecil dengan dibawahnya
tampak mengalir sebatang sungai yang airnya deras sekali.
Dipinggir jalan terdapat sebuah gubuk, sedang disekeliling
gubuk tersebut tumbuh rumput-rumputan. Setiap hari dia
sering berada disitu dipagi hari, berbaring diatasnya dengan
kepalanya memandangi awan-awan yang tengah berarak-
arak, yang semakin lama semakin meninggi saja, kemudian
lalu berputar-putar. Waktu angin berhembus, lantas awan
itu buyar seperti juga asap, kemudian pintu gubuk tersebut
terkuak terbuka, darimana perlahan-lahan muncul sebuah
wajah yang cantik, muka itu kecil laksana buah apel,
sepasang pipinya yang merah tampak sunguh indah
dipandang mata. Matanya bagaikan dua butir bintang yang
berkedap-kedip indah menerangi angkasa, hingga dia
sendiri sambil berlompat-lompatan dan berlari-lari lalu
mendekatinya, dan diwaktu berlari-lari itu, kuncirnya
tergoyang-goyang kekiri dan kekanan, sedangkan pada


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mukanya menunjukkan senyuman yang manis sekali.
Setelah datang dekat, buru-buru dia bangkit berdiri dan
maju memeluknya, kemudian dengan perlahan-lahan dia
lalu dituntunnya dan berjalan masuk lagi kedalam gubuk
itu, sedangkan ibunya yang juga berwajah cantik pada masa
mudanya, setelah duduk dipinggir meja menghadapi
kemulut pintu sambil menunjukkan senyuman pada mereka
berdua, sedangkan diatas meja sudah tersedia hidangan
yang masih hangat dan mengepul-ngepul asapnya ......
Selama dua bulan ini, dia telah berpisah dengan mereka,
karena dia sedang mengembara dikalangan Kang-ouw.
Diluaran entah sudah berapa banyak kali dia dahar
hidangan-hidangna yang tersohor, tapi bila dibandingkan
dengan masakan ibu kekasihnya, rasanya jauh sekali
bedanya bagaikan langit dengan bumi saja ......
Hari sudah larut malam, badannya dirasakan sangat
dingin sekali. Waktu memikirkan tentang dirinya yang
tengah menderita luka-luka parah ini, dia sudah merasa
putus asa dan mengira bahwa dirinya pasti akan
meninggalkan dunia yang fana ini, sekalipun dia masih
dapat memikirkan betapa lezatnya hidangan masakannya
Twa Nio. Selagi dia berusaha mengatur jalan pernapasannya, dengan secara sekonyong-konyong dia
dapat menghendus bau yang wangi, hingga seketika
dadanya dirasakan sangat lega, sedangkan otaknyapun
menjadi tenang luar biasa. Lalu diapun tidak merasakan
lagi darahnya yang menaik keatas secara menyesakkan
dadanya. Dia memastikan bahwa kesegaran ini disebabkan
karena dia dapat menyedot hawa yang wangi itu. Buru-buru
dia mengatur jalan pernapasannya, setelah seluruh hawa itu
mengalir satu kali keseluruh badannya, dia merasakan
kesegaran badannya bukan kepalang luar biasanya,
sedangkan tangan kanannya yang dirasakan sangat sakit
barusan, kini perlahan-lahan sakitnyapun mulai hilang.
Kemudian ia membuka matanya untuk mencari dari mana
datangnya sumber hawa wangi itu, dan tatkala dia
menolehkan kepalanya keatas, tiba-tiba dia merasa sangat
tercengang, karena tanah disebelah atas yang tadinya
kelihatan gundul dan tak ada tumbuh-tumbuhan apa-apa,
kini sekonyong-konyong muncul dua batang dahan yang
berdaun hijau, diantara mana muncul dua buah yang
berwarna merah tua, yang ketika angin meniup kearah
tempat dia duduk itu, hawanya yang wangi tercium
semakin keras dan kuat, sedang buah yang berwarna merah
itupun tampaknya semakin masak. Leng Hong pikir buah
inilah tentu buah dewa yang sangat mustajab, oleh karena
itu, segera juga dia memaksakan diri merambat naik
megapai cabang pohon tersebut, tapi karena kuatir cabang
pohon yang terlampau halus itu tak dapat menahan berat
tubuhnya, maka ia menuju pada dahan lain yang terpisah
kira-kira lima atau enam elo lagi jauhnya dari buah itu, tapi
dia tidak berani maju lebih lanjut, kemudian tangan
kanannya dikendorkan, sedang tangan kirinya menjambret
dan berhasil memetik buah tersebut. Tapi ketika baru saja
dia habis memetik buah itu, dengan lantas dahan pohon
tersebut patah dan jatuh, hingga buah yang sudah berada
ditangannya itu, setelah selang sejurus tidak membesarkan
lagi, sekonyong-konyong pecah dan airnya keluar meleleh,
hingga Leng Hong buru-buru menyedotnya dengan
mulutnya, dan sesaat kemudian sari buah yang mustajab itu
telah habislah disedotnya dan kini sudah tinggal kulitnya
saja, tapi sungguhpun demikian, wanginya masih tinggal
tetap harum, oleh karena itu, dia tidak mau membuangnya.
Dan diwaktu dia berpikir dimana hendaknya dia menaruh
itu, tiba-tiba tangannya dapat meraba peles kecil
ditubuhnya, hingga dengan demikian, legalah hatinya.
Dalam pada itu, suatu pikiran melintas dikepalanya, dia
terlongong-longong seketika dengan perasaan dingin. Ia
agak putus asa, otaknya dirasakan kosong, tapi sejurus
kemudian beribu-ribu pikiran datang mengaduk didalam
pikirannya. Dalam keadaan begitu, diapun tiba-tiba dapat mengingat
dengan terang sekali. Waktu itu adalah dimusim panas,
ketika umurnya baru masuk sembilan tahun. Pada suatu
hari yang sangat panas, dia bersama sekelompok anak-anak
bermain-main disebuah sungai kecil. Sedari kecil dia
memang sudah berhati sangat tabah, dan tatkala itu dia
telah memimpin kawan-kawannya mandi disungai itu.
Mereka semua ternyata sudah pandai berenang, semakin
lama mereka berenang semakin jauh ketengah-tengah
ditempat yang dalam sekali, tapi karena hatinya masih
belum puas, lalu dia menyelundup kedalam sungai, dimana
tiba-tiba dia melihat seekor ikan kecil dimukanya tengah
berenang kian kemari. Sambil menahan napas, dia segera
ulurkan tangannya untuk menangkap ikan tersebut, tapi
siapa tahu ikan kecil yang berwarna merah keemas-emasan
yang melewat dari samping tubuhnya, bukan saja tidak lari,
malahan menyongsong kedatangannya dan lalu menggigit
jarinya. Dia pikir digigit oleh ikan sekecil itu ada apakah
artinya, tapi siapa tahu, setelah ikan itu menggigitnya, Leng
Hong merasakan jerijinya kesemutan, hingga ikan yang
telah tertangkap itu telah terlepas kembali. Tapi karena dia
berkemauan keras, maka dia tak mau menyerah mentah-
mentah, buru-buru dia timbul dipermukaan air untuk
mengambil hawa udara segar, tidak kira ketika dia melihat
lengan kanannya berubah menjadi hitam dan seluruh
tangan kanannya itu menjadi kesemutan, dia segera
mengetahui dengan pasti, bahwa dia telah kena diantuk
oleh ikan kecil tersebut yang ternyata mengandung racun,
maka buru-buru dia naik kedarat kembali sambil
memberitahukan kepada kawan-kawannya, kemudian lari
pulang kerumahnya. Tapi ketika baru saja dia berlari-lari
setengah jalan, tiba-tiba dirasakannya kepalanya semakin
lama semakin berat, maka sambil mencakupkan giginya,
dia coba mempertahankan terus dirinya. Tapi ketika
terpisah dari pintu rumahnya kurang lebih lima atau enam
langkah jauhnya, dia tersandung pada sebuah batu kecil
yang membuat dia berteriak keras dan jatuh pingsan
seketika itu juga. Dia jatuh pingsan selama dua hari, barulah dia siuman
kembali. Dengan badan dirasakan lelah sekali ia telah
membuka matanya dan melihat, bahwa Twa Nio dengan
Ah Lan sedang tampak terlampau mengantuk karena
menggadanginya semalam-malaman. Selain dari mereka
berdua, disitupun tampak guru rumahannya Tong Hong
yang turut menjagainya. "Air", begitulah dia hanya dapat mengeluarkan sepatah
perkataan. Seluruh tubuhnya dirasakan amat lemas, tapi
pada saat itu wajah mereka bertiga segera tampak
tersenyum-senyum. Tapi tidak lama kemudian, Ah Lan
yang semulanya tampak bergembira, tiba-tiba jatuh pingsan
diatas ranjang. Oleh karena itu, diapun agaknya ketahui,
bahwa Ah Lan-pun jatuh sakit juga. Tabib she Cu selang
satu hari pasti akan datang menjenguknya dan setiap hari
tampak sehabis memeriksa penyakit Ah Lan, wajahnya
bertambah suram saja, sedangkan Twa Nio pun setiap hari
selalu tampak bersedih hati. Dengan begitu didalam hati
diapun menginsyafi, bahwa keadaan penyakit Ah Lan itu
tentulah sangat gawat. Oleh karena dia sendiri masih belum dapat bergerak-
gerak, maka sering-sering dia menanyakan tentang keadaan
penyakit Ah Lan, tapi Twa Nio selalu menghiburinya,
memberitahukan kepadanya bahwa keadaan penyakit Ah
Lan tidak mengkhawatirkan adanya. Tapi pada suatu hari
diwaktu dia tersadar ditengah malam, dia mendengar
percakapan yang perlahan sekali tengah berlangsung, antara
Twa Nio dengan tabib she Cu itu. Sebenarnya dia ingin
tidur kembali, tapi sekonyong-konyong dia mendengar tabib
she Cu itu tengah memperbincangkan tentang keadaan
penyakit Ah Lan, hingga buru-buru dia pusatkan seluruh
perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Aku lihat Ah Lan ini pasti sekali telah terkena racun
ular emas, tapi bagaimana dia sampai kena racun tersebut,
seorangpun tidak dapat menduganya dengan secara pasti".
Begitulah dia mendengar suara tabib itu.
Twa Nio lalu menjawab : "Bila benar dia kena racun ular
emas, obat pemunahnya kecuali "Hiat-ko" (buah yang
berwarna merah seperti darah), maka tidak ada obat lainnya
lagi yang dapat menolongnya !"
Tabib she Cu itu berkata pula : "Ular ini terhitung
sebagai satu antara tiga binatang berbisa yang paling
beracun didunia ini, hingga orang yang terkena racunnya,
tidak sampai delapan jam, maka seluruh badannya akan
merasa sakit dan gatal luar biasa, perasaan tersebut sukar
sekali ditahannya, tidak perduli bagaimanapun kuatnya
tubuh orang yang keracunan itu, akhirnya pasti tidak dapat
menahan siksaan racun tersebut, hingga hanya ada jalan
satu-satunya yang terbuka untuk mengakhiri penderitaannya, yakni membunuh diri !"
Dengan suara serak Twa Nio bertanya : "Coba kau
katakan dimana kita bisa dapat buah Hiat-ko itu untuk
menolong jiwa Ah Lan ?"
Tabib she Cu dengan menarik napas panjang kedengaran
menjawab : "Tempo hari aku hanya mempunyai setengah
peles sari buah tersebut, yang seluruhnya telah kugunakan
untuk mengobati Leng Hong. Sebenarnya dengan beberapa
tetes saja aku bisa menolong lukanya Leng Hong, tapi
karena pada waktu itu aku lihat Ah Lan tampak gugup
sekali menyaksikan lukanya Leng Hong, maka aku kira dia
telah menghisap darahnya Leng Hong melalui luka
dijarinya. Belakangan waktu dia dapatkan dirinya sendiri
kena racun, dia tetap membandel dan menahan sendiri.
Andai kata tempo hari kita bisa melihat bahwa dia juga
telah terkena racun, kita boleh membaginya separuhnya,
hingga mungkin sekali kita masih dapat menolongnya. Ai,
anak ini ternyata kelewat sayang terhadap Leng Hong,
hingga dia rela mengorbankan dirinya sendiri".
"Sekarang aku hanya dapat menggunakan obat untuk
menahan kelancaran menjalarnya racun tersebut saja, yaitu
untuk mencegah, agar dia tetap tidur, dengan demikian,
penderitaan yang dialaminya menjadi agak berkurang.
Tunggulah hingga hari esok, pada waktu itu seluruh racun
akan terpusatkan pada satu tempat, aku akan menggunakan
jarum untuk menusuknya, untuk mengeluarkan racun
tersebut. Untung juga racun yang mengeram pada dirinya
tidak terlampau banyak, hingga masih mungkin ada berapa
bagian yang masih dapat ditolong, hanya ...... hanya
sepasang matanya yang sukar dipertahankan".
Dengan suara yang perlahan kedengaran Twa Nio
menangis. Kini peristiwa tersebut sudah sepuluh tahun lampau,
percakapan antara Twa Nio dengan tabib she Cu pada
malam itu tidak sepatahpun yang dapat dia lupakan. Siang
hari membuat dia berpikir terus, sedangkan pada malam
hari ketika tidur, menjelma menjadi impian, tidak ada
sedetikpun yang pernah dia lupakan untuk mencari buah
'Hiat-ko' itu untuk menolong pada diri Ah Lan, agar supaya
dia dapat sembuh pula dan dapat melihat kembali dari
butanya. Dan sekarang pohon yang tengah dia duduki ini
bukankah sama saja seperti yang diceritakan oleh tabib she
Cu itu " Tapi, buah ini baru tercipta setelah berselang seratus
tahun lamanya. Saking malunya, lalu dia sesalkan dirinya sendiri sambil
menggerutu : "Gouw Leng Hong, Gouw Leng Hong, kau
terlampau mementingkan dirimu saja, hingga kau telah
melupakan pekerjaan besar yang selama sepuluh tahun
yang lalu kau ingat-ingat senantiasa. Kau inilah pengecut
yang takut mati, seorang yang telah melupakan budi
kebaikan orang !" Begitulah dengan sengitnya dia
melontarkan makian yang pedas pada dirinya sendiri. Oleh
karena perasaannya ketika itu sangat pilu, maka tak
tertahan lagi ia menangis terisak-isak. Setelah menangis
sejurus lamanya, mulai redalah rasa pilunya dan lalu
berpikir : "Tuhan, mengapakah kamu berlaku tidak adil
terhadapku " Sejak kecil, aku sudah kehilangan ayah dan
ibu, dan dengan susah payah barulah aku berjumpa dengan
orang yang sangat baik hati seperti Twa Nio ini, tapi
dengan tiada disengaja aku telah menyebabkan anak dara
tunggalnya kehilangan penglihatannya. Oleh karena itu,
siang dan malam aku memeras keringat dan berdaya upaya
untuk mencari buah 'hiat-ko', tapi setelah mendapatinya,
bukanya aku pergunakan untuk menyembuhkan kebutaan
Ah Lan, malahan aku telah menghabiskannya. Apakah
sudah takdirku demikian, sehingga orang yang baik dan
berdekatan denganku selamanya mengalami bencana saja
?" Tabib she Cu mengatakan, bahwa ayahku selama
hidupnya bersikap simpatik dan welas asih serta gemar
menolong orang-orang yang mengalami kesukaran. Disamping itu, ayahkupun sangat sederhana hidupnya, tapi
akhirnya diapun mengalami kematiannya dengan secara
mengenaskan, sehingga tulang-belulangnya tidak diketahui
dimana adanya. Apakah hal ini yang biasa disebut :
"Kemauan alam tidak menaruh welas asih, sehingga orang


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baik-baik saja yang selalu menemui kematiannya
siang-siang ?" Ibuku adalah orang yang paling dipuji oleh Twa Nio.
Dia mengatakan bahwa ibuku adalah wanita dari Utara
yang mahir sekali dalam hal bersyair, menyanyi, main
catur, main kim, kesusasteraan, menggambar, dan lain-lain,
berhubung dia memang mempunyai bakat yang sangat luar
biasa. Tapi sejak ia melahirkan aku, ibuku segera
meninggalkan daku. Apakah orang-orang didunia ini,
semakin pintar semakin pendek juga umurnya " Tabib she
Cu itu setelah aku sembuh dari penyakitku, dia pernah
memberitahukan padaku, bahwa tempo hari Twa Nio
pernah membohongiku, dengan mengatakan bahwa ayah
dan ibuku telah mengasingkan diri dalam sebuah kuil
digunung Tay San, yaitu dikuil Kim Kong Sie, untuk
melatih diri selama dua puluh tahun lamanya. Aku mengira
bahwa penuturannya itu adalah dengan sesungguhnya.
Pada suatu petang barulah tabib she Cu itu datang dan
memberitahukan tentang kematian ayahku, yang telah
dibokong oleh musuh-musuhnya, sehingga waktu mendengar penuturan itu aku seperti mendengar geledek
disiang hari saja layaknya, karena aku mengharap setelah
lewat beberapa tahun lagi, aku ingin menjumpai ayah dan
ibuku, tapi harapanku itu ternyata sia-sia belaka. Maka
sekarang mulai saat ini aku menjadi geram dan perasaanku
hanya satu, yaitu bertekad bulat untuk membalas sakit hati
orang tuaku. Tabib she Cu itu ternyata adalah Suheng
ayahku, dia memberitahukan padaku siapa-siapa nama
musuh ayahku, dan dengan sepenuh tenaga dia telah
mengajarku ilmu silat yang hebat, tapi karena dia sering
merasa bakatnya kurang tebal, maka ia kuatir masa
depannya kurang gemilang, dari itu, dia hanya mengajarkan
dasar-dasar ilmu silat yang pokok saja. Pada suatu malam,
dengan secara sekonyong-konyong Twa Nio telah
membawa keluar seJilid buku, yang lalu diberikan pada
Suheng ayahku yaitu si tabib she Cu yang juga merupakan
suaminya sendiri, begitu dia melihat buku itu, tampaknya
dia merasa tercengang sekali, kemudian dia perintahkan
supaya aku sendiri mengikuti petunjuk-petunjuk dalam
buku tersebut, sedangkan dia sendir memberi penjelasan
dari samping. Dia mengatakan bahwa itulah pelajaran
ayahku, diantara mereka bertiga saudara seperguruanya,
ilmu silat yang paling tinggi adalah yang dimiliki oleh
ayahku. Itulah hasil karyanya yang paling gemilang.
Begitulah siang dan malam aku telah berlatih dengan
tekunnya, untuk menciptakan dan mempelajari ilmu silat
setinggi mungkin. Aku sampai tidak berani memandang pada Ah Lan,
karena matanya yang begitu indah gemilang, sekalipun dia
memakai pakaian yang sederhana sekali, tapi kecantikannya tidak menjadi hilang oleh karenanya.
Belakangan apa yang diingatnya menjadi samar-samar, dan
aku telah bersumpah, bila aku tidak berhasil menyembuhkan mata Ah Lan sehingga dapat melihat
kembali, aku bersedia akan mengorbankan diriku meski
dengan jalan apapun juga.
Ah Lan semakin lama memperlakukan diriku semakin
baik, dia tidak lagi ingin bertengkar denganku, tapi dengan
lemah-lembut dia mengajarkan aku sesuatu, dan dengan
bersemangat dia menganjurkan dan memberi dorongan
kepadaku, serta menasehatiku untuk jangan terlampau
memikirkan sesuatu. Karena katanya, pada suatu hari pasti
aku akan menjumpai obat yang mustajab, yaitu buah 'Hiat-
ko' itu. Pada waktu itu aku hanya mengiakan saja, karena
dalam pikiranku harapan itu hanyalah merupakan suatu
pengharapan saja yang tidak akan menghasilkan sesuatu
yang dapat diharapkan, oleh sebab itu perlahan-lahan
hatiku menjadi tetap dan akupun dapat berlatih dengan
tekunnya. Pada hari itu waktu aku pamitan dengan suhu dan Twa
Nio, aku lihat matanya Ah Lan mengembang air mata,
dengan memaksakan diri sambil tersenyum dia berkata :
"Twako (kakak), kau baru untuk pertama kali ini
menerjunkan diri dalam kalangan rimba persilatan, setiap
langkah yang kau lakukan, haruslah berlaku hati-hati sekali.
Membalas sakit hati orang tua adalah menjadi tugasmu
yang utama, maka jika 'Hiat-ko' itu tidak dapat kau peroleh,
itu pun tidak mengapa".
Untuk pertama kali aku melihatnya dengan penuh
perhatian, hingga seketika itu aku tidak dapat mengeluarkan
perkataan barang sepatahpun.
"Ah Lan, aku tahu, sekalipun kau tidak dapat melihatku,
tapi kau pasti percaya, bahwa Twakomu dengan penuh
kasih sayang tengah mencurahkan seluruh perhatiannya
kepadamu". Ah Lan lalu menahan kesedihannya dan dengan
manisnya dia tertawa sambil berkata : "Baik ! Twako,
silahkan kau berangkat !"
Ketawanya ini seakan-akan beratus-ratus bunga yang
tengah mekar, tampaknya indah luar biasa, aku yang
melihatnya menjadi tercengang sekali, aku berdiri terpaku
saking kesemsem memandangnya.
Ah Lan ! Ah Lan ! Aku merasa bahwa kinilah saat yang
tepat untuk seseorang mempertaruhkan jiwanya, hingga jika
pada saat itu kau ingin aku mati, apakah aku masih tidak
rela untuk mengiringi permintaanmu itu "
Suhu telah memberikan kepadaku sebuah peles kecil
sambil memesan dengan berulang-ulang, bahwa kalau aku
telah berhasil memperoleh buah 'Hiat-ko', supaya aku
segera memasukkannya kedalam peles tersebut. Karena jika
buah itu dibiarkan begitu saja, dia akan segera menjadi cair
kembali. Dengan penuh semangat aku lalu mengembara
dikalangan Kang-ouw, sambil menyelipkan pedang dibebokongku dan membawa kantong kecil dipinggangku.
Aku telah melalui jalan yang jauh sekali, melalui gunung-
gunung dan sungai-sungai yang terkenal, tapi buah 'Hiat-ko'
yang dicarinya itu belum juga diperolehnya, sedangkan
sakit hati orang tuanyapun belum juga dapat dibalaskannya.
Dalam perjalanan itu dia berhasil dapat mengikat
persaudaraan dengan seorang pemuda yang gagah berani
dan berhati tulus, yaitu ..... Lie Siauw Hiong. Si pemuda
she Lie ini selain berhati gagah dan jujur, iapun mempunyai
kemauan yang keras sekali.
Dengan susah payah diwaktu diadakan pertemuan
dipuncak gunung Thay San, mereka telah melihat lawan-
lawan itu, tapi ketika hendak turun tangan sekonyong-
konyong muncul seorang angina-anginan yang telah
mengacau rencana mereka, yang sudah seharusnya
mampus dan sekarang barangkali badannya sudah hancur
lebur berkeping-keping dibawah jurang yang curam itu.
Tengah berpikir demikan, tanpa terasa lagi haripun
sudah menjelang pagi. Matahari pagi bagaikan sebuah roda
yang berwarna kemerah-merahan, tampak seperti merayap
dari celah-celah gunung, dan tatkala sinarnya yang panas
mulai terasa, kabut dan embun pun mulai buyarlah, hingga
sinar matahari itu dengan langsung menyoroti mukanya
Gouw Leng Hong, yang mana telah membuat si pemuda
tersadar dari lamunannya.
Akhir-akhirnya Leng Hong telah menarik kesimpulan,
bahwa dalam hal menuntut balas sakit hati ayahnya, dia
harus mengandal pada tenaga dan dirinya sendiri. Maka
setelah mengambil ketetapan didalam hatinya, dengan
mengandalkan kepandaian keng-sin-kangnya ia segera
meluncur kebawah gunung. Setibanya dibawah, lalu ia berjalan melalui hutan
bambu, dimana dengan secara sekonyong-konyong saja dia
mendengar suara orang yang sedang membaca kitab Lam
Hoa Keng dengan sangat nyaring dan lantang.
Leng Hong yang mendengar suara orang itu, tak terasa
lagi ia menjadi tercengang dan diam-diam berpikir : "Orang
ini sekalipun waktu mengeluarkan kata-katanya tidak keras,
tapi suaranya sangat nyaring sehingga menembusi suara
angin yang menderu-deru dan hembusan dihutan bambu
ini, sehingga suara itu kedengarannya dekat sekali !"
Dengan perasaan heran dia lalu memasuki hutan bambu
tersebut, tapi waktu berada didalamnya, suara itu seakan-
akan hilang dengan sekonyong-konyong, kemudian setelah
berselang sejurus lamanya, suara itupun kedengaran pula,
namun dari tempat yang jauh sekali, sedangkan jalan
dimukanya bertambah ruwet serta berliku-liku. Oleh karena
itu, tidak terasa lagi dia merasa heran dan berpikir, apakah
tidak boleh jadi bahwa ia telah kesasar " Atau mungkinkah
dia termasuk kedalam jebakan musuh "
Lalu dia pusatkan seluruh perhatiannya memandang
keadaan disekeliling, dia mendapatkan setiap pohon
tumbuh dengan tentu dalam jarak yang sama, tiap-tiap
delapan pohon bambu itu berdiri dalam bentuk delapan
persegi yang biasa dinamakan bentuk 'Pat-Kwa', maka
didalam hati dia berpikir : "Inikah yang mungkin disebut
guruku barisan Pat Kwa Tin. Barisan ini mula-mula
diciptakan oleh Cukat Bu Houw dari jaman Sam Kok dan
sudah lenyap sejarahnya, tapi mengapakah sekarang masih
ada orang yang mengenali barisan yang sudah sangat kuna
ini ?" Lalu dia balik berpikir : "Ah barisan ini mungkin juga
dibuat oleh pemilik (tuan rumah) disini dalam usahanya
untuk mencegah kemasukan lawannya. Dan andaikata
pemilik tempat ini menyangka aku yang kesalahan masuk
ini sebagai musuhnya, sekarang setelah terkurung dalam
barisanya ini, agaknya bagiku merupakan suatu hal yang
tidak mudah untuk menembusi kurunganya ini !"
Setelah dia berpikir sebentar, sekonyong-konyong dia
mengambil keputusan dan badanya lalu dibongkokkan,
kemudian dengan gerak 'It-ho-ciong-thian' (burung bangau
menembusi angkasa), dia melesat keatas dengan maksud
untuk menjambret puncak pohon bambu tersebut, yang
mana dengan cepatnya diapun sudah sampailah dipuncak
pohon bambu yang dituju itu.
Disana dengan cermat dia memandang keadaan
disekelilingnya, yang ternyata dalam jarak ratusan tombak
jauhnya, seluruhnya tumbuh pohon-pohon bambu yang
tinggi dan rendahnya tidak rata. Diujung hutan bambu ini
terdapat sebidang tanah yang luas dan ditumbuhi rumput
yang hijau, dan ditengah-tengah padang rumput ini terdapat
sebuah batu besar tapi rata bagaikan panggung yang datar.
Batu itu putih bagaikan salju dan mengkilat tak ada
bandinganya, diatasnya terletak sejilid buku, disamping
mana terdapat sebatang seruling dari batu giok.
Dalam hati Leng Hong berpikir : "Orang yang baca buku
barusan, terpisah denganku hanya dua tiga puluh tombak
saja jauhnya, tapi aku yang telah berjalan berputar-putar
didalam hutan bambu ini, entah sudah berjalan berapa
puluh lie jauhnya, akhirnya akupun masih tidak berhasil
meloloskan diri keluar dari barisan ini. Sungguh lihay
sekali. Bila aku melompat dari pohon bambu ini, dalam
waktu sekejapan saja akupun sudah berhasil keluar dari
kurungan barisan orang aneh ini".
Tapi waktu dia perhatikan dengan lebih cermat lagi,
diam-diam dia mengeluh, karena ternyata tiap-tiap batang
pohon bambu tersebut terpisah tujuh atau delapan tombak
jauhnya dari satu pada yang lainya, maka menurut
kemampuannya sendiri, dia hanya dapat melompat sejauh
empat atau lima tombak saja jauhnya, oleh karena itu,
dimanalah dia mungkin berlompat dari pucuk pohon
bambu yang satu pada yang lainnya, yang masing-masing
berjarak tujuh atau delapan tombak itu "
Tengah dia terbenam dalam pemikirannya ini, sekonyong-kokonyong dari arah belakangnya terdengar
suara orang yang lembut sekali berkata kepadanya : "Bocah
yang bodoh, lekas kau turun kebawah, untuk turut
denganku !" Buru-buru Leng Hong balikkan kepalanya menoleh
kebelakang, dimana dia melihat dalam jarak satu tombak
jauhnya berdiri seorang tua yang tampaknya beroman
sabar, dia memakai pakaian sebagai seorang anak
sekolahan, maka Leng Hong yang melihatnya, dalam
hatinya segera timbul perasaan menghormat dan percaya
terhadap orang tua itu, maka tidak perduli apakah dia
bermaksud baik atau jahat, lalu dia turuti perkataan orang
itu dan segera mengejot badannya berlompat turun.
Sementara orang tua itu yang melihat dia meluncur
turun dari tempat yang setinggi lima tombak itu dengan
gerakan yang enteng sekali, sedang diwaktu kakinya
menyentuh bumi tidak mengeluarkan suara sesuatu, tidak
terasa lagi diam-diam dia jadi manggut-manggutkan
kepalanya dan dengan roman kegirangan ia lantas berkata :
"Bocah, ternyata kepandaianmu tidak jelek ! Siapakah


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gurumu " Dan mengapa kau berlari-lari kesini ?"
Dengan cermat Leng Hong memperhatikan orang tua
yang tengah berdiri dihadapannya itu, dan dia dapatkan
orang tua ini mempunyai hidung yang mancung sekali,
sekalipun janggutnya sudah berwarna putih, tapi kulit
mukanya tidak tampak berkisut-kisut, tampaknya kegagahannya seperti orang muda saja layaknya, Leng
Hong yang memandangnya tambah lama bertambah
hormat saja, dalam hatinya diapun tidak berpikir untuk
menipunya, sambil membungkukkan badannya dia menjawab dengan laku sopan sekali : "Teecu bernama
Gouw Leng Hong, murid dari Sin-ie-hiap Cu Kheng Bun".
Orang tua itu ketika mendengar perkataan sipemuda,
tidak terasa lagi dia menjadi terkejut dan dengan perasaan
heran lalu berkata : "Cu Kheng Bun adalah gurumu " Bocah
itu seumur hidupnya selalu mengutamakan pelajaran
ketabiban, kepandaian silatnya tidak seberapa tinggi. Jurus
yang kau perlihatkan tadi dan bernama 'Peng-see-lok-gan'
(burung belibis turun kepasir yang datar) itu, aku kira
sekalipun gurumu tidak mungkin dapat melakukannya
sebaik dan sesempurna seperti apa yang kau perlihatkan
tadi !" Dalam hatinya Leng Hong berpikir : "Umur suhu terpaut
dengannya tidak terlampau besar, tapi mengapa dia
menyebut suhu dengan sebutan bocah ?" Waktu dia
mendengar bahwa orang tua itu memuji kepadanya, dia
merasa agak jengah didalam hatinya, kemudian dengan
laku yang hormat sekali diapun menjawablah : "Teecu
mempelajari ilmu silat menurut pelajaran yang diturunkan
oleh mendiang ayahku sendiri, dengan suhu dari samping
memberi petunjuk-petunjuk kepadaku, tapi teecu belum
pernah melihat suhu membentangkan kepandaian silatnya
dihadapanku". Orang tua itu setelah berdiam sejurus, lalu berkata
dengan perasaan heran : "Ayahmu bagaimana mengetahui
pelajaran silat perguruanku " Oh ! Kau she Gouw, ayahmu
bukankah Gouw Ciauw In ?"
Leng Hong mangutkan kepalanya mengiakan perkataan
orang tua itu. "Dia, dia bagaimana bisa mati ?"
"Ayah teecu berpandangan terlampau jauh, dia terkena
tipu kejinya oleh orang-orang yang sangat hina dina
dikalangan Kang-ouw, yaitu ahli waris partai Kong Tong Li
Gok, ahli waris partai Bu Tong Cek Yang Tojin, Kouw-am-
siang-jin dari Go Bie, ahli waris partai Tiam Cong Cia
Tiang Kheng, mereka ini telah membinasakan ayah teecu
dipuncak gunung Thay San".
Tatkala mendengar keterangan demikian, wajah orang
tua itu menunjukkan perasaan terharu dan kemarahan serta
berkata : "Bagus, Li Gok sibocah ini, gurunya sebelum
meninggal dunia telah memesan kepadaku untuk menilik
baik-baik para muridnya ini, si Li Gok, Hmm, aku setelah
tiga puluh tahun lebih lamanya tidak muncul dalam rimba
persilatan, bocah ini malah begitu berani mati telah
membunuh sutitku (kemenakan seperguruanku), maka
hutang ini harus dihimpaskan. Hmmmmm, akupun tidak
mau lagi memperdulikan segala perasaan serta kebaikan
gurunya lagi !" Leng Hong yang mendengar perkataan orang tua ini,
diapun segera mengetahui, bahwa orang tua yang tengah
berhadapan denganya ini adalah Loo-cianpwee dari
perguruannya, maka pada saat dia mendengar perkataan
orang tua ini, dalam hatinya jadi bertambah terharu dan
diam-diam dia berpikir : "Cu Suhu sering mengatakan
bahwa diwaktu jamannya suhu dan seangkatannya kecuali
yang lebih tua, maka hanya ada suhu dan susiok berdua
yang mempunyai kepandaian yang paling tinggi, kepandaian ketabibannyapun sangat luar biasa pula, oleh
karena itu, orang tua yang tengah berdiri dihadapanku ini
pastilah Tong-gak-si-seng In Peng Jiok !" Dalam pada itu,
sambil membalikkan badannya, lalu dia menjatuhkan
dirinya berlutut dihadapan orang tua itu sambil manggutkan kepalanya dan berkata : "Hong Jie memberi
hormat pada su-siok-couw".
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, segera sepasang
tangannya dikibaskan, hingga Leng Hong merasakan ada
satu tenaga yang luar bias kuatnya telah memaksanya
sehingga dia bangun berdiri.
Orang tua itu lalu berkata : "Anak, kau bagaimana dapat
mengetahui bahwa aku ini adalah orang yang kau duga
semula ?" Sambil tertawa Leng Hong menjawab : "Barusan terang-
terangan teecu mendengar dalam perkataan su-siok-couw,
maka teecu dapat menarik kesimpulan bahwa su-siok-couw
adalah seorang leluhur dari perguruan silat kita, apalagi
suhu pernah memperbincangkan tentang diri su-siok-couw,
yang ternyata memang sangat mirip sekali, hingga teecu
berani memastikan dugaanku itu".
Orang tua itu tertawa dan lalu memuji kepada sipemuda
sambil berkata : "Anak yang baik, kau sungguh pintar
sekali, rupamu ada sedikit berlainan dengan ayahmu !"
Leng Hong sejak dilahirkan adalah ayahnya sendiri yang
memeliharanya dengan penuh perhatian, waktu dia
berumur tiga tahun dan ayahnya meningal dunia
dibinasakan oleh lawan-lawannya, dalam otaknya sama
sekali dia tidak pernah ingat wajah ibunya, dia hanya dapat
mengingat wajah ayahnya sewaktu bersenyum kepadanya,
dan sekarang hidupnya sangat sengsara sekali, karena dia
belum lagi mendapat kesempatan untuk membalaskan sakit
hati orang tuanya. Kini orang tua itu tanpa disengaja telah
menyinggung tentang ayahnya, tentu saja hatinya menjadi
sangat pilu dan tiba-tiba saja romannya berubah, hingga
tanpa dikehendaki lagi dia jadi menangis terisak-isak.
Orang tua itu yang menyaksikan wajah anak muda ini
telah berubah, diapun insyaf bahwa dia telah menyinggung
perasaan Gouw Leng Hong tanpa diinsyafinya, hingga
hatinyapun menjadi tidak enak, maka dengan suara yang
lembut dia berkata : "Anak yang baik, janganlah kau
bersedih hati, ayahmu telah mempelajarimu kepandaian
sejati untuk kau kelak membalaskan sakit hatinya".
Selama beberapa hari ini, hati si pemuda entah sudah
berapa banyak mengalami kekagetan dalam penghidupan,
maka pada saat dia mendengar suara orang tua yang
bersifat welas asih ini menghiburinya dengan penuh kasih
sayang, diapun tidak dapat menahan lagi dirinya dan segera
merangkul orang tua itu sambil menangis didalam pelukan
orang tua tersebut. Tong-gak-si-seng In Peng Jiok selama tiga puluh tahun
ini setapakpun tidak pernah meninggalkan gunung Thay
San, sehari-harian hidup menyendiri dengan hanya angin
gunung dan rembulan yang menjadi sahabat-sahabatnya,
dan pada saat ini dalam pelukanya terdapat seorang
pemuda yang muda belia lagi pula sangat tampan
wajahnya, hingga hatinya bertambah gembira dan
menyayangnya, tapi mulutnya hanya dapat mengeluarkan
perkataan : "Anak yang baik, janganlah kau menangis, ya-
ya akan membalaskan sakit hatimu !" (ya-ya artinya kakek).
Leng Hong setelah menangis sebentar, hatinya menjadi
lega, lalu dengan mengunakan sepasang lengan bajunya ia
menghapus air matanya, kemudian diapun berkata : "Ya-ya,
sekarang cobalah kau tengok, apakah kepandaian Hong Jie
sudah terlatih sehingga ..... seimbang dengan kepandaian
ayahku ?" Waktu dia berpikir tempo hari dia menyaksikan Lie
Siauw Hiong memperlihatkan keungulannya dipuncak
gunung Thay San, dalam hatinya dia tengah berpikir,
apakah tidak baik untuk ia berlatih sepandai si pemuda she
Lie itu " Tapi buru-buru pikiran yang semacam ini dia telah
hilangkan sambil berkata didalam hatinya : "Ayah pasti
tidak mengenal dengan Lie Siauw Hiong !"
Tong-gak-si-seng sesungguhnya terlampau menyayangi
Leng Hong, maka dengan tidak banyak pikir-pikir lagi dia
lalu melanjutkan perkataanya : "Tidak jadi soal, tidak jadi
soal. Kau bagaimanakah sehingga dapat sampai kesini ?"
Leng Hong lalu menceritakan kejadian-kejadian yang
sudah lalu, bagaimana dia turut pertemuan dipuncak gunug
Thay San, bagaimana dia terjatuh kedalam jurang, dan
bagaimana dia sehingga tertolong, kemudian bagaimana dia
telah makan buah mujijat, satu persatu dia ceritakan dengan
jelas, sehingga orang tua yang mendengar ceritanya itu jadi
merasa sangat tertarik. Dan waktu dia mendengar si
pemuda telah memakan buah mujijat, mukanya tampak
sedikit berubah, tapi sebentar kemudian wajahnya sudah
tenang kembali. "Anak", kata orang tua itu, "Ternyata jodoh maupun
hokkiemu (rejekimu) sungguh sangat baik sekali. Buah
Hiat-ko ini adalah seorang loo-cianpwee yang telah
menanamnya dengan susah payah. Orang itu sangat gemar
sekali terhadap tanam-tanaman, dan diapun mengetahui,
bahwa seratus tahun sekali buah itu baru berbuah,
sedangkan umurnya sendiri adalah sangat terbatas. Dia
hanya mengharapkan seseorang yang memang sangat
berjodoh dengannya kelak dapat makan hasil buah
tanamannya ini. "Akupun mengetahui pohon tersebut setengah bulan lagi
barulah berbuah, pada saat itu aku ingin melindunginya,
siapa tahu ternyata dia telah berbuah lebih cepat sepuluh
hari dari apa yang kuduga semula. Buah itu agaknya telah
masak sebelum waktunya karena terpengaruh oleh
rejekimu, yang tidak dapat dikatakan kecil itu".
"Orang yang menanam pohon ini adalah lawan seumur
hidup dari partai Thay Khek. Dia yang bersusah payah
telah menanamnya, tanpa menduga bahwa jerih payahnya
itu hanya sia-sia belaka, karena salah seorang dari cucu
murid Thay Khek yang merupakan lawan kerasnya telah
memetik hasilnya secara diluar dugaan. Hahaha !"
Tatkala dia menolehkan kepalanya memandang, dan dia
menyaksikan wajah Leng Hong seolah-olah mengandung
perasaan menyesal, hingga didalam hati orang tua itu jadi
berpikir : "Dia telah mempunyai peruntungan yang baik
sekali dapat memakan buah tersebut tanpa disengaja,
sedangkan aku yang siang malam selalu mengingini buah
itu malah tidak berhasil mendapatkannya. Tapi setelah
mendengar keteranganku, dia sendiri yang sudah makan
buah tersebut berbalik merasa menyesal. Sungguh seorang
anak yang jujur sekali !"
Dia yang sangat menyayangi Leng Hong, setiap saat
selalu memikirkan untuk kebaikan pemuda itu, sedangkan
didalam hatinya Leng Hong merasa berat sekali serta malu
yang dia telah makan buah mustajab yang senantiasa
menjadi idam-idaman serta dijaga dengan hati-hati oleh su-
siok-couwnya, tapi suatu hal yang dianggapnya paling
penting ialah untuk menolong matanya Ah Lan, sedangkan
hal yang lain-lainnya boleh dikesampingkan saja.
Orang tua itu lalu tertawa sambil berkata : "Aku
sebenarnya tanpa disengaja telah mengetahui pohon mujijat
tersebut, aku tidak pernah menjaga seteliti menurut
dugaanmu, dan sekarang buah itu sudah kau makan, maka
kaupun tidak usah terlampau banyak memikirkannya
ataupun merasa tidak enak hati terhadapku".
Hati Leng Hong merasa tidak enak sekali, dia yang tidak
pernah berdusta lalu berkata dengan ragu-ragu : "Hong Jie
sesungguhnya sedang memikirkan lain hal, hati tee-cu
merasa tidak tenteram dan menyesal sekali".
Waktu Leng Hong mengangkat kepalanya memandang,
ternyata orang tua itu sedang menatap kepadanya, maka
akhirnya dengan perasaan tidak enak dia lalu menceritakan
segala sesuatu mengenai diri Ah Lan, dari awal sampai
akhir dan mengapa dia sampai kehilangan pandangannya,
dan diwaktu mengingat cara bagaimana tanpa disengaja dia
telah memakan buah mujijat itu, harapannya telah lenyap,
hingga tidak terasa lagi dia jadi mengucurkan air mata.
Orang tua tersehut yang mendengarnya merasa sangat
terharu sekali, dan setelah berpikir sebentar dia lalu berkata
: "Sebenarnya aku sendiripun tidak mengetahui, apa daya
untuk menyembuhkan mata kawanmu itu, karena racun
ular mas itu bukanlah semacam racun yang mudah
dilenyapkan. Hmmm, kau lihatlah, aku siorang tua betapa
bodohnya. Kau yang sudah setengah harian berdiam dalam
hutan bambu ini, mari kau turut aku masuk kedalam
guhaku". Leng Hong lalu mengikuti orang tua itu. Setelah
menerobos kekiri dan menembus kekanan beberapa kali,
dengan diam-diam dia perhatikan jalan-jalan tersebut.
Kedua orang ini lalu sampai dimuka sebuah batu raksasa,
orang tua itu sambil menujuk kebalik batu raksasa tersebut
lalu berkata : "Inilah guha yang sudah kudiami selama tiga
puluh tahun lamanya itu".
Leng Hong setelah mengitari batu raksasa tersebut yang
mencapai besar dua tombak, dia hanya melihat mulut guha
tersebut berhentuk bundar, dalam guha

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut peneranganya sangat suram sekali. Dalam mengikuti orang
tua itu memasuki guha tersebut, Leng Hong merasakan
tanah disekelilingnya sangat kering dan semuanya terdiri
dari batu gunug yang berwarna abu-abu, perlengkapan
kamar didalamnya sangat sederhana sekali, yaitu hanya
terdapat sebuah ranjang batu dan beherapa buah kursi yang
terbuat dari batu pula. Dalam keadaan begitu, Leng Hong
jadi berkata pada dirinya sendiri : "Ditanah pegunugan yang
begini sepi dan lengang, dan dalam guha ini dimana
penerangannya sangat suram sekali, dia yang telah berdiam
selama tiga puluh tahun, mengapa dia tahan ya ?"
Orang tua itu berkata : "Hong Jie, kau sehari semalam
belum beristirahat, pergilah kau tidur sebentar, nanti
sesudah kau mendusin dan merasa lapar, kau boleh keluar
melalui pintu guha ini dan terus menuju sampai kelamping
gunung, disitu terdapat hutan buah-buahan, dimana akupun
akan pergi kesitu untuk melatih kepandaianku".
Pada saat itu Leng Hong merasa lega hatinya dan buru-
buru dia merebahkan dirinya untuk tidur, karena
sesungughnya juga dia sudah merasa keliwat capai sekali,
oleh karena itu, diapun menurut perintahnya orang tua itu.
Begitu Leng Hong mendusin dari tidurnya, waktu itu
sudah tengah hari, begitu dia lompat turun dari
pembaringan dan lantas keluar dari guha tersebut, dia
melihat orang tua itu tengah duduk diatas batu raksasa
sambil menengadahkan kepalanya memandang pada awan
putih dengan semangatnya tengah dipusatkan agaknya,
hingga ketika menampak orang tua itu berhal demikian,
diapun tidak berani mengganggunya, hanya diam-diam dia
berpikir : "Mengapa aku tidak pergi kebelakang untuk
melihat keadaan disitu ?"
Lalu dia berlari masuk kedalam guha itu, dan waktu dia
berjalan kemuka dan melalui satu tikungan, dengan
sekonyong-konyong dia menjumpai satu sinar yang terang
sekali, karena ternyata dia sudah sampai ditempat yang
paling ujung dari guha tersebut, dimana waktu Leng Hong
memeriksa keadaan disitu, dia dapatkan bahwa daerah
disebelah luarnya letaknya agak miring, dan didalam
daerah disitu banyak sekali tumbuh pohon buah-buahan,
dimana buah-buahnya sudah pada ranum dan berwarna
merah. Buah- buahan itu ada yang begitu besar sehingga
menyamai kepalan, sehingga Leng Hong yang menyaksikannya merasa agak heran, dan setelah mengikuti
jalan yang miring ini dan akhirnya dia tidak juga
menemukan ujungnya, barulah dia mengetahui, bahwa
dirinya belum lagi sampai didasar jurang, karena
sesungguhnya tempat dimana dia berada itu masih dalam
lingkungan lamping gunung saja, maka sesudahnya dia
memetik buah-buahan cukup banyak, barulah dia berjalan
pulang kembali kedalam guha.
Sekonyong-konyong saja dia mendengar suara mengalunnya suara seruling, hingga Leng Hong jadi
merandek dan lalu memusatkan perhatiannya sambil
mendengari irama tiupan seruling mengandung kesedihan
itu, seakan-akan orang yang sedang meniupnya tengah
menghadapi kesulitan besar diseketika itu juga, Leng Hong
yang mendengar begitu, tidak dapat menahan sabar lebih
jauh pula dan buru-buru berlari-lari mendekati orang tua
itu, yang lalu dipeluknya sambil berkata : "In Yaya,
sudahlah, jangan meniup pula". Pada saat itu karena
tangannya memeluk tubuh orang tua itu, maka dengan
sendirinya buah buahan yang dipegangnya tadi pada jatuh
berserakan diatas tanah. In Yaya jadi tertawa mengakak dan lalu meletakkan
serulingnya diatas batu dan berkata dengan suara yang
lemah lembut : "Baik, baik, yaya tidak meniup pula".
Leng Hong lalu menjawab : "Barusan yaya meniup
seruling itu dengan suara yang amat sedihnya, hingga teecu
yang mendengarnya pun jadi turut merasa pilu, oleh sebab
itu, bisakah yaya menceritakan kepadaku, peristiwa apa
yang telah membuatmu bersedih hati itu ?"
In Yaya sambil memegang kepalanya lalu menjawab :
"Yaya mempunyai urusan apakah " Janganlah kau salah
tanpa. Mari kita berlatih bersama saja".
Leng Hong yang melihat orang tua itu tertawa dengan
terpaksa. diapun masih sempat melihat pada sudut kelopak
mata orang tua ini masih terdapat bekas airmata, maka
karena memikir bahwa dia berdiam disitu dengan hanya
menyendiri saja, dalam hatinya jadi timbul rasa simpati dan
lalu berkata : "Yaya, tunggulah, setelah aku dapat
menyelesaikan urusanku, aku pasti akan datang kesini
untuk menemani kau oranng tua".
In Yaya sambil melucu lalu berkata : "Bagaimana
dengan isterimu ?" Leng Hong dengan likat (cangung) menjawab : "Dia .....
diapun pasti akan datang juga kemari".
In Yaya lalu berkata : "Kalau begitu, disini pasti akan
menjadi ramai ! Hahaha".
Kemudian orang tua ini lalu berkata dengan laku
sungguh-sungguh : "Kepandaian dari cabang perguruan kita
semuanya tergantung atas diri kita masing-masing. Kau
yang berotak sangat cerdik dan pintar, pasti sekali akan
berhasil dalam pelajaranmu, apa lagi kau telah makan buah
dewa yang mujijat itu, maka tenaga-dalammu akan semakin
bertambah tinggi saja. Sekarang aku hendak turunkan ilmu
kepandaian yang paling hebat kepadamu, tapi aku mau
minta supaya kau suka berjanji dahulu, agar supaya dengan
kepandaianku ini kau jangan sekali-kali pergunakan untuk
membunuh orang". Leng Hong dengan wajah yang sungguh-sungguh lalu
menjawab : "Teecu pasti tidak berani membantah perkataan
yaya". In Yayapun berkata pula : "Tempo hari sewaktu ayahmu
turun gunug, suhengku karena mengetahui bahwa tenaga
ayahmu belum cukup, maka ia telah berjanji, setelah
berselang sepuluh tahun lagi lamanya, barulah dia hendak
menurunkan ilmu Thay Khek yang paling tinggi dan
disebut 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun', tapi tidak disangka
setelah ayahmu pergi lima tahun lamanya, suhengku karena
kesalahan telah menyebabkan diapun menjadi binasa.
Belakangan akupun mengasingkan diri ditempat ini, oleh
karena itu, kepandaian ayahmu belum mencapai dipuncaknya, andaikata tempoh hari dia telah memahami
ilmu ini, maka segala cecurut seperti Li Gok pasti tidak
dapat main gila dihadapannya. Ai, sekarang baiklah aku
turunkan ilmu tersehut kepadamu".
Kemudian diapun melanjutkan perkataannya : "Orang-
orang dalam kalangan Kang-ouw berpendapat, bahwa ilmu
kepandaian kaum Thay Khek adalah dengan menjaga diri
barulah kemudian menyerang lawannya, mereka ini
kebanyakan tidak mengetahui kelihayan kita, maka
sekarang kau lihatlah biar teliti".
Tong-gak-si-seng In Peng Jiok lalu berdiri diatas batu
raksasa tersebut sambil mainkan jurus-jurusnya, sedang
Leng Hong memandang dari samping dengan penuh
perhatian. Dia melihat pukulan-pukulan In Yaya seperti air
sungai Tiangkang yang mengalir dengan tidak putus-
putusnya, angin pukulan yang keluar dari kepalanya
bersuara menderu-deru, sehingga dia yang berdiri dalam
jarak lima atau enam meter jauhnya, masih merasakan
angin yang keras itu menyambar pada dirinya. Dan diwaktu
orang tua itu bersilat sampai jurus kedelapan dia berseru :
"Hong Jie, kau perhatikanlah !"
Hanya tampak pukulannya sekonyong-konyong berubah
menjadi perlahan, tangan kirinya ditekuk setengahnya,
dengan demikian, dia menjaga diri dengan teguhnya,
kemudian tangan kanannya diulurkan kemuka dengan
disertai badannya yang maju satu langkah kedepan, tangan
kanannya lalu ditarik kembali sehingga sejajar dengan
dadanya dalam bentuk separuh lingkaran, sekonyong-
konyong dia berseru dengan suara keras sambil menolakkan
sepasang tanganya kedepan, dan pada saat itu juga dengan
mengeluarkan suara yang amat dahsyat, sebatang pohon
sebesar mangkok yang berdiri satu tombak didepanya jatuh
runtuh kemuka bumi berikut akar-akarnya sekali tercabut
dari dalam tanah ! Leng Hong yang menyaksikan In Yaya membentangkan
pukulan 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun' yang amat dahsyat
itu, didalam hatinya tidak terasa lagi menjadi sangat
terkejut, hingga diam-diam dia berpikir : 'Bila aku
menjumpai tiga atau empat orang yang tinggi kepandaiannya mengurungku, aku dengan hanya mengeluarkan tiga jurus yang terakhir saja, sudah cukuplah
untuk memecahkan kurungan mereka itu".
Setelah In Yaya menarik kembali pukulannya, lalu ia
berkata : "Pukulan ini sekalipun sangat sederhana sekali,
tapi tiga jurus yang terakhir dan masing-masing terdiri dari
'Too-peng-san' (air mengai mengikuti gunung), 'Gie-kong-ie-
san' (orang bodoh memindahkan gunung) dan 'Liok-teng-
kay-san' (Malaikat Liok Teng membuka gunung) adalah
serangan berantai, tenaganya tidak kepalang besarnya, dan
bila sampai kedua pukulanmu dipakai menyerang lawan,
maka orang yang dapat menyambuti pukulanmu ini kini
dalam dunia Kang-ouw sudah tidak ada beberapa orang
lagi. Hahaha". Leng Hong yang melihat muka orang tua tersebut seperti
merasa sangat puas sekali, sedang ditempat dimana dia
berdiri tadi, tampak bekas-bekas dua tapak kakinya, hingga
tidak terasa lagi dia merasa sangat terkejut dan segera
menginsyafi, bahwa kepandaian In Yaya ini sesungguhnya
sangat luar biasa sekali. Oleh karena itu, diapun merasa
girang tak kepalang. Kemudian Leng Hong lalu berkata : "In yaya, Hong Jie
akan berlatih sejurus untuk kau perhatikan".
(Oo-dwkz-oO) Jilid 30 Leng Hong yang berkemauan sangat keras, lagi pula
jurus-jurus yang dipertunjukkan In Yaya itu sangat
sederhana, maka dengan sekali lihat saja dia sudah berhasil
dapat mengingatinya sehingga mahir benar.
Maka In Yaya yang melihatnya, lalu tertawa karena
saking girangnya dan lekas berkata : "Anak yang baik, aku
telah menyebabkan kau bersusah payah, sekarang baiklah
aku menyediakan sesuatu untuk kau makan".
Dengan cepat Leng Hong menjawab :"Biarlah Hong Jie
sendiri yang melakukannya".
Tapi In Yaya lalu berkata ; "Kau baik-baiklah berlatih
dengan sungguh-sungguh. Jurus yang hanya berjumlah tiga
macam itu mempunyai keanehan-keanehan yang hebat
sekali, bila kau banyak berlatih dengan jurus tersebut, maka
pastilah kaupun akan memperoleh kebaikan yang tidak
sedikit terhadap dirimu sendiri".
Dalam hati Leng Hong merasa sangat bersyukur, maka
dengan sangat cermatnya dia melatih sepuluh kali lebih,
kini semangatnya tambah lama tambah mantap, hingga
dalam hati dia berpikir : "Buah Hiat-ko itu sesunguhnyalah
buah mujijat yang hebat sekali yang pernah terdapat
didalam dunia ini, karena setelah memakannya, hanya
dalam waktu satu hari satu malam saja kekuatanku sudah
maju sedemikian pesatnya".
In Yaya dengan tangan kirinya memegang kaki
menjangan asin, sedangkan tangan kanannya memegang
poci arak, dia berjalan keluar dari guhanya dan melihat si
pemuda sedang berlatih dengan tekun dan rajinnya,
sehingga angin pukulannya terdengar menderu-deru, suatu
tanda bahwa selain jurus yang dilancarkannya sangat indah
dan jitu, itupun menunjukkan dengan jelas tentang
kepandaian si pemuda yang sudah mempunyai kemampuan
yang tertinggi. Tapi kemudian diwaktu memperhatikannya
lebih lanjut, wajah Leng Hong yang tampan menunjukkan
perasaan yang masygul, hingga diam-diam dia berpikir :
"Dia ini adalah seorang yang akan menjadi pemimpin
yang terkenal, sedang si Ah Lan itupun pastilah seorang
yang luar biasa pula !" Dia yang sangat menyayangi si
pemuda, sudah tentu didalam hatinya menyayangi juga Ah
Lan. In Yaya dengan sekali lompat saja sudah tiba diatas batu
raksasa itu, kemana kemudian Leng Hongpun mengikutinya naik keatas. Mereka berdua duduk disitu
sambil makan dan bercakap-cakap, mereka berdua ternyata


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling mencocoki pada satu sama lain.
Dengan sekonyong-konyong saja In Yaya berkata : "Aku
yang melihat tubuhmu yang begitu ringan, sungguh cocok
sekali untuk khusus berlatih dalam kepandaian mengentengkan tubuh. Tempo hari waktu aku sedang
mengembara dikalangan rimha persilatan, pernah sekali aku
menolongi seorang pendeta dari See Cong (Tibet), tapi
diwaktu aku telah berhasil memukul tiga orang lawan yang
mengurungnya, aku mendapat kenyataan bahwa pendeta
ini sudah menderita luka parah. Tampaknya dia merasa
sangat berterima kasih kepadaku, dan karena dia melihat
bahwa aku bukanlah seorang jahat, maka lalu dari dadanya
dia menarik keluar seJilid buku bahasa Sansekerta yang lalu
diserahkannya kepadaku, kemudian dia ceritakan kepadaku
tentang ilmu yang terdapat dalam buku itu. Mula-mula aku
tidak menaruh perhatian terhadap isi buku tersebut,
belakangan, terutama sekali setelah aku melihat kau
meluncur turun dari atas gunung tadi, aku baru insyaf,
bahwa didunia ini memang ada orang yang mempunyai
kepandaian meringankan tubuh yang sangat luar biasa
sekali, maka berbareng dengan itu, sekonyong-konyong saja
aku teringat kembali pada kitab asing itu. Aku tahu bahwa
kau memang sangat cerdik, apa lagi kau sudah makan juga
buah mujijat itu, sebentar setelah aku serahkan buku
tersebut untuk kau periksa, mungkin juga kau bisa
mendapatkan hal-hal yang aneh dari buku itu".
Leng Hong lalu berkata : "Yaya, kau telah memperlakukan aku begitu baik sekali, hingga tak tahulah
aku bagaiamna untuk membalas budi kebaikanmu itu".
Tapi sambil tertawa In Yaya lalu berkata : "Membalas
budi " Hal itu tidak usah kau lakukan, asalkan isterimu
memasakkan aku dua rupa sayur-sayuran untukku, itu
sudah cukuplah". Tampaknya Leng Hong pernah menceritakan serta
memuji atas kepandaian Ah Lan dan ibunya dalam hal
memasak sayur-sayuran dan hidangan yang lezat-lezat.
Begitulah kedua orang itu telah berdiam dalam lembah
gunung yang sunyi dan lengang ini sambil mempelajari
kepandaian silat yang langka. Dan seperti tersebut dibagian
muka, kedua orang ini ternyata sangat cocok sekali, karena
seorang yang mempunyai kepandaian yang hebat, sekarang
telah berhasil menjumpai seorang murid yang cerdik pula.
Begitulah sang guru dengan rajinnya memberi pelajaran-
pelajaran pada muridnya. In Yaya mengeluarkan seluruh
kepandaian simpanannya untuk diturunkan pada Leng-
Hong sedang Leng Hong menerima warisan itu dan
mempelajarinya dengan sempurna pula.
Pada suatu hari sesudah makan malam, Leng Hong lalu
naik pula keatas batu raksasa itu untuk melatih
pernapasannya. Pada saat itu perasaan hatinya sedikitpun
tidak digoda oleh pikiran-pikiran lain, hingga seluruh
perhatiannya dapat dipusatkan dengan sempurna sekali.
Kemudian waktu dia mendongakkan kepalanya memandang keatas, dilangit dia melihat bulan yang bundar
laksana sebuah roda raksasa, maka didalam hatinya dia jadi
berpikir : "Pertemuan dipuncak gunung Thay San, sampai
hari ini sudah hampir satu bulan lamanya. Sungguh cepat
sekali sang waktu itu berlalu !"
Dengan angin dingin yang mengusap-usap mukanya
yang tampan, kemudian dia bangun berdiri sambil
memhetulkan bajunya, dan diwaktu menundukkan kepalanya, dia melihat bahwa dia memakai baju secara
anak sekolahan, hingga tidak terasa lagi dia lalu
mentertawakan dirinya sendiri, sedang dalam hati dia
berpikir : "Baju pemberian In Yaya ini, dipakainya sungguh
pas sekali. Rupanya diwaktu beliau masih muda, diapun
pernah memakai juga baju ini". Setelah berpikir begitu,
dengan gerak badan yang ringan sekali dia lalu melompat,
sehingga bajunya itupun berkibar-kibar karena tergerak oleh
gerakannya melompat tadi.
Sekonyong-konyong dia mendengar suara tangisan
seseorang, suara mana keluar dari hutan bambu disitu. Leng
Hong yang pada saat itu sudah mempunyai latihan yang
mendalam sekali, sehingga pendengarannyapun sangat
tajam luar biasa, hingga setelah dia mendengari dengan
lebih cermat, dia segera mengenali bahwa itulah suara
tangisan In Yaya, hingga didalam hatinya dia berpikir :
"Sekarang keadaanya sudah jelaslah baginya, karena
akupun pada beberapa hari ini melihat In Yaya bermuram
durja saja, hanya entahlah apa sebab musababnya, Yaya
menyia-nyiakan masa mudanya dengan mengasingkan diri
ditempat yang begini sepi dan lengang". Tapi dengan cepat
pula dia balik berpikir : "Selama tiga puluh tahun yang
lampau itu, sudah seharusnya segala sesuatu peristiwa
menyedihkan yang dialaminya dilupakan dari ingatannya".
Bersamaan dengan itu, diapun dapat mendengar suara
tangisan In Yayanya yang semakin lama semakin menyayat
hati, hingga diwaktu dia berpikir tentang kebaikan dan
welas asih In Yayanya ini, yang kini seperti juga kena
dipatahkan semangatnya, hidungnya menjadi pedih,
sehingga dengan tidak terasa lagi diapun mengucurkan air
mata. Kemudian dia berlari-lari masuk kedalam hutan
bambu untuk mencari In Yayanya. Pada saat itu dia
melihat In Yayanya tengah membenamkan kepalanya pada
dadanya, punggungnya sebentar-sebentar bergerak turun
naik. Ternyata dia tengah menangis dengan sedih sekali,
sehingga dia tidak memperhatikan bila dibelakangnya ada
orang yang tengah menghampiri kepadanya.
Leng Hong yang tidak dapat menahan sabar lebih lama
pula, dengan suara yang tidak lancar lalu bertanya : "In
Yaya, sudahlah, kau orang tua tidak usah bersedih hati lagi,
bila kau orang tua mempunyai perasaan hati apa-apa,
silahkan ceritakan pada Hong Jie saja, Hong Jie pasti akan
berdaya upaya untuk memecahkan persoalan tersebut".
In Yaya yang tidak menyangka bahwa dia telah
dipergoki oleh si pemuda, buru-buru dia menahan
tangisannya sambil menyusut air matanya dengan lengan
bajunya. Leng Hong dengan suara yang lembut lalu menghiburnya sambil berkata : "Yaya, urusan tiga puluh
tahun yang sudah lampau masakah kau orang tua masih
tidak berhasil melupakannya ?"
In Yaya tidak menyahut, tapi waktu sinar bulan
menyinari mukanya, Leng Hong mendapatkan bahwa
wajah orang tua itu seakan-akan menjadi banyak lebih tua
dengan secara tiba-tiba. Dan berselang sejurus kemudian,
barulah In Yaya berkata dengan perasaan yang terharu :
"Hong Jie, kesengsaraan dan kesedihan yang diderita
oleh setiap orang didalam dunia ini, tidaklah dapat
dibandingkan dari satu dengan yang lainya. Juga hal itu
sukar dilukiskan dengan kata-kata, berhubung pengalaman
seseorang hanya dapat dirasakan betapa pedihnya oleh
siorang yang mengalaminya sendiri. Ingatlah yang pepatah
mengatakan, 'Seberat-beratnya mata memandang, adalah
jauh lebih berat bahu yang memikul', betapapun orang lain
ikut bersimpati dan turut berduka atas kesengsaraan yang
kita alami, tapi kita sendiri yang mengalami kesedihan
tersebut tentulah jauh lebih hebat dirasakannya daripada
orang yang turut berduka itu, Hong Jie, apakah kau
sekarang sudah mengerti " Kepedihan yang kita rasakan itu,
seumur hidup tak mungkin dapat kita lupakan. Kini
tugasmu adalah kau harus dengan rajin serta tekun
mempelajari apa yang sudah kuajarkan kepadamu, jelaskah
apa yang kumaksudkan itu ?"
Sekalipun dalam hatinya Hong Jie masih tidak berhasil
menangkap seratus persen apa yang dimaksudkan oleh
orang tua itu, tapi dengan melihat muka In Yayanya yang
seakan-akan menantikan jawabannya, diapun dengan
segera manggutkan kepalanya sambil berkata : "Hong Jie
sudah mengerti jelas".
Perasaan In Yaya itu perlahan-lahan menjadi tenang
kembali, kemudian berganti dengan perasaan yang
menunjukkan rasa welas asih. Dan dalam pada itu dengan
sekonyong-konyong dia berkata : "Hari ini adalah bulan
delapan tanggal berapa ?"
Leng Hong yang barusan melihat sinar bulan dari pucuk
batang bambu dan memperhatikan keratin-keratan golok
yang dilakukan pada batang bambu sebagai gantinya
penanggalan, lalu menjawab : "Peh-gwee cap-sie (bulan
delapan tanggal empat belas)".
In Yaya lalu berkata : "Ternyata kedatanganmu disini
sudah satu bulan, ya" Segala kepandaian simpananku sudah
kuturunkan semuanya kepadamu, kau masih mempunyai
banyak urusan yang hendak diselesaikan. Nanti setelah
lewat hari raya Tiong Ciu (bulan delapan tanggal lima
belas), kau boleh turun gunung. Setelah kau membalaskan
sakit hati orang tuamu, kau sekali-kali tidak boleh
melupakan untuk mengajak Ah Lan kemari, untuk
diperlihatkan padaku siorang tua".
Leng Hong yang sekalipun telah tinggal bersama-sama
orang tua ia hanya sebulan saja lamanya, tapi kesannya
terhadapnya sangat mendalam sekali. Kemudian diwaktu
dia memikirkan tentang pekerjaan besar yang hendak
dilakukannya itu, dengan tegas dia lalu menjawab : "Yaya,
Hong Jie pasti akan mentaati janji tersebut untuk membawa
Ah Lan menemui dikau !"
In Yaya lalu berkata pula : "Baiklah, haripun sudah tidak
siang lagi, kaupun sudah seharusnya, pergi beristirahat".
Leng Hong menurutkan perkataan orang tua itu dan
masuk kedalam guha untuk beristirahat diatas ranjang batu
yang terlebih dahulu sudah diberi beralas dengan daun-
daunan, tapi karena pikirannya masih kacau balau, maka
seakan-akan dia masih mendengar dikupingnya suara In
Yayanya yang terngiang-ngiang dipinggir telinganya :
"Kesedihan yang sesungguhnya, seumur hidup tak
mungkin dapat dilupakan, kau harus pelajari dari
pengalamanmu sendiri. Andaikata pada suatu hari ..... ada
satu hari dimana dia akan berpisah dengan Ah Lan untuk
selama-lamanya, aku ..... aku apakah masih mempunyai
keberanian untuk hidup terus " Apakah aku masih
mempunyai kesanggupan untuk menerima pukulan-
pukulan kesedihan untuk hidup terus " Tidak, tidak
mungkin, Oh, Tuhan, aku mengetahui bahwa kau pasti
tidak akan mengandung pikiran tersebut".
Sekalipun dia telah menghibur dirinya sendiri, tapi
hatinya sesunguhnya masih merasa kurang enakPada pagi
hari ketiganya, sambil menahan perasaan kesedihan yang
amat sangat, terpaksa dia minta diri kepada In Yayanya
yang amat menyayangi dirinya. Dan sebelum dia pergi, dia
masih sempat memberi hiburan dan nasihat, agar supaya In
Yayanya tidak lagi memikirkan tentang kesedihan-
kesedihan yang sudah lama berlalu, yaitu bila dia merasa
bersedih hati ataupun mempunyai perasaan yang murung,
dia toh boleh pergi keluar lembah berjalan-jalan untuk
meluaskan dan melapangkan dadanya. Maka In Yayanya
yang mendengar nasihat tersebut, dia hanya tersenyum saja
sambil menggeleng-geleng kepalanya, kemudian orang tua
itu malah berbalik memesan Hong Jie agar dia segera
membawa Ah Lan kesini, sebegitu lekas dia sudah
merampungkan pekerjaannya.
Leng Hong sambil menekan perasaan sedihnya lalu
meninggalkan tempat tersebut dengan langkah yang pesat
sekali. Tapi dalam pada itu dia berlari, dia masih sempat
merasakan In Yayanya yang tengah mengejar kepadanya,
dengan didalam genggaman tangannya terdapat sebuah
peles kecil, hingga sambil menahan langkahnya Leng Hong
lalu bertanya : "Yaya, kau orang tua masih mempunyai
pesan apakah ?" In Yaya segera menjawab : "Suhumu sekalipun
kepandaian ketabibannya sangat luar biasa, tapi dalam hal
mengobati Ah Lan dia tak berhasil. Sebab racun yang
menyerang dalam tubuh An Lan adalah racun ular mas,
sedangkan dia menggunakan bisa kelabang, maka
dimanakah bisa cocok " Aku sedang memikirkan tentang
hal ini, dan sekarang matanya Ah Lan sudah menjadi buta,
hal ini memang sudah wajar, karena tidak menemui obat
yang jitu. Didalam peles ini tersimpan cairan murni yang
sudah ribuan tahun lamanya, obat ini adalah pada tahun
yang lampau aku telah berhasil menemukan dipegunungan
Macan Macan Betina 1 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 9
^