Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 7

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 7


memperhatikan keadaan disekelilingnya.
Oleh karena itu dengan keheranan dia berkata : "Hal ini
sesungguhnya adalah aneh sekali, tak mungkin perompak
dari daerah Tong Hay tidak mengenali kita."
Dengan tertawa Biu Chit Nio menjawab pertanyaan
suaminya : "Mungkin juga bukan mereka."
Angin laut menghembus sangat keras sekali, sehingga
ketiga kapal tersebut melaju pesat sekali, tidak sampai satu
jam lamanya, bentuk kapal tersebut sudah tampak dengan
nyata. Ketiga kapal tersebut membentuk sudut segi tiga datang
menghampiri kekapalnya, tapi sambil tertawa Bu Kek
Toocu berkata : "Melihat kedatangan mereka sungguh
sangat berarti sekali." Karena kepandaian silatnya sendiri
cukup tinggi, maka dia tak gentar menghadapi lawan-lawan
yang merupakan perompak-perompak ini.
Begitu dengan laku yang tenang dia tetap duduk dibawah
jendela sambil memandang kesebelah luar, tidak perduli
kapal tersebut mengelilingi kapalnya, sedikitpun dia tidak
mengambil pusing. Kemudian diatas masing-masing kepala kapal tersebut
muncul seseorang yang berpakaian ketat. Tampaknya
mereka ini adalah ahli-ahli berenang dan menyelam. Tiap-
tiap orang ini memegang tanduk kerbau yang lalu ditiupnya
keras-keras, yang lantas mengeluarkan suara 'uuung
uuuuung', suaranya sangat menusuk kuping dan memecah
angkasa disekitar lautan tersebut. Dengan tertawa Biu Chit
Nio berkata : "Perompak-perompak ini ternyata pandai juga
mengatur barisannya, hanya tidak diketahui mereka ini
berasal dari golongan mana." Perkataannya ini terang
mengandung penghinaan. Setelah meniup terompet tanduk kerbau itu, orang-orang
tersebut lalu pada menepi disebuah pinggiran dan dari
dalam kapal mereka lantas muncul anak buah kapal yang
banyak jumlahnya dan juga memakai pakaian ringkas.
Begitu keluar mereka membentuk dua barisan seperti juga
sayap saja layaknya. Walaupun mereka terdiri dari jumlah
yang banyak, tapi sedikitpun tidak kedengaran suara.
Pada saat itu Bu Kek Toocu merasa heran juga.
"Aku belum pernah menampak perompak yang ingin
merampas barang orang dengan cara seaneh mereka ini,"
kata Biu Chit Nio. Belum perkataannya ini habis diucapkannya, dari tiap-
tiap kapal muncul sepuluh orang yang berpakaian kuning,
hingga dengan keheran-heranan Biu Chit Nio berkata lagi :
"Kau tengoklah, mengapa mereka memakai pakaian
macam begini ?" Perompak-perompak yang memakai pakaian panjang
seperti mereka ini biasanya memang belum pernah tampak
dimana-mana. Sambil menggaruk-garuk kepalanya Bu Kek
Toocu berkata : "Perompak ini apakah mungkin perompak
yang datang dari Oey Hay (laut kuning), tapi ......" Ia
berpikir sesaat lamanya, kemudian melanjutkan pembicaraannya : "Sesungguhnya, bila mereka ini adalah
perompak-perompak dari Tong Hay (laut timur), pasti
sekali mereka tidak mempunyai niat untuk merampok kita."
Biu Chit Nio lalu mencampuri berkata : "Coba kau
tanyakan, apakah mereka ini dari golongan 'Kim-jie-see',
'Oey-jie-see' ataukah dari 'Twa-see' dan 'Pak-see'. Aku
dengar yang memimpin mereka ini adalah 'Giok-kut-moo'
(Hantu tulang kumala), tapi mengapa mereka dapat keluar
dan ingin merampok kita ?" Sekalipun perkataannya itu
kedengaran tidak menunjukkan kekuatiran, tapi perkataannya ini jelas sekali tidak mengandung penghinaan
pula. Belum lagi perkataannya ini habis diucapkannya, dari
ketiga kapal tersebut mulai terdengar pula suara tiupan
terompet yang terbikin dari tanduk kerbau, dari mana
tampak sehelai bendera hitam yang ditengah-tengahnya
terlukis tengkorak putih dikibarkan diatas tiang kapal
mereka masing-masing. Bu Kek Toocu sambil tertawa lalu berkata pada Biu Chit
Nio : "Niat perompak ini benar-benar tidak kecil
tampaknya." Biu Chit Nio pun lalu menjawab perkataan suaminya :
"Para perompak ini yang biasanya membunuh orang tanpa
berkedip matanya, sekarang mereka dapat berbaris
sedemikian rapinya, hingga mereka ini tampaknya sudah
dilatih lebih dahulu oleh 'Giok-kut-moo' itu. Tahukah kau
sebenarnya, 'Giok-kut-moo' itu orangnya macam apakah ?"
"Hei, kau setahuku tak pernah berkeliaran kemana-
mana, bagaimana kau dapat mengetahui, bahwa dia benar
mempunyai kepandaian pula ?" tanya Biu Chit Nio kepada
suaminya ragu-ragu. "Mula-mula akupun memang tidak mengetahuinya,
hanya beberapa tahun berselang aku dapat dengar dari Lo
Lauw si tukang kebun dipulau kita. Dia yang kembali dari
membeli pohon Tho Hoa memberitahukan kepadaku,
bahwa para perompak disepuluh pesisir dari Laut Kuning
telah digulung oleh 'Giok-kut-moo' ini, sampai pun
perompak dari golongan Kun-hay-kim-go Bang Su Sim dari
But Lam See telah digulungnya pula. Pada waktu aku
mendengar cerita tersebut, mula-mula aku merasa sangat
heran, tapi didalam hati, aku tidak pernah memikirkan
mereka, tidak disangka-sangka hari ini malah mereka
sendiri yang datang menyatroni kita," jawab Bu Kek Toocu
pula. Dengan tertawa Biu Chit Nio menyambung perkataan
suaminya : "Kalau demikian halnya," dengan melirik
kearah para perompak itu, "Mereka dari Laut Kuning
datang kelaut Timur, apakah mereka khusus ingin mencegat
kapal kita belaka " Bila demikian halnya, aku ingin sekali
menyaksikan sampai dimana kelihayan mereka ini."
Bu Kek Toocu sambil tertawa lalu berkata : "Kau bila
dibandingkan dengannya, tentu saja jauh sekali perbedaannya, bila kau ingin menjadi perompak, dikuatirkan sampaikan orang-orang dari Laut Selatan akan
tergulung semua olehmu." Mereka suami-isteri ini berkata-
kata sambil tertawa-tawa, seakan-akan terhadap penyerangan para perompak ini mereka tidak memandang
sebelah matapun. Pada saat itu ketika kapal tersebut sudah datang dekat
sekali dengan kapalnya, segala gerak-gerik dari kapal
perompak-perompak ini jelas kelihatan. Perlahan-lahan
ketiga kapal ini datang menghampiri kapal Bu Kek Toocu.
Waktu kapal mereka mencapai jarak kurang lebih dua
sampai tiga puluh tombak jauhnya, dari kepala sebuah
kapal terdengar seorang yang meniup terompet tanduk
kerbau, dan bersamaan dengan itu, anak buah kapal itupun
lantas menurunkan layar mereka, sehingga jalan kapal itu
agak perlahan. Bu Heng Seng yang melihat ketiga kapal tersebut
sesungguhnya juga menuju pada kapalnya, tidak terasa ini
tampak seorang orang yang sebagai pemimpinnya dan
segera meniup pula terompet tanduk kerbaunya.
Para anak buahnya dengan laku yang sangat menghormat sekali berdiri dikedua pinggirannya, lantas dari
tengah-tengah kapal tersebut muncul seorang laki-laki, yang
umurnya kurang lebih empat-puluh tahun, mukanya
kekuning-kuningan mengenakan pakaian kuning yang
tampaknya sangat aneh sekali. Melihat anak buahnya
sangat menghormat terhadapnya, Bu Heng Seng segera
mengetahui, bahwa orang ini pastilah pemimpin dari ketiga
kapal tersebut. "Hiii, perompak busuk ini ternyata masih
mampu mengatur barisannya sedemikian rupa," desis Biu
Chit Nio cekikikkan. Orang bermuka kuning itu lalu berjalan kekepala
kapalnya, lalu memberi hormat pada Bu Kek Toocu sambil
berkata : "Oey Cu See Ceecu Seng It Ceng menerima
perintah untuk menanyakan kesehatan Bu Kek Toocu."
Pada saat itu kapal mereka sudah keluar dari muara
sungai menuju kelautan nan bebas, terpisah dalam jarak
kurang lebih dua atau tiga puluh tombak jauhnya, tapi suara
Seng It Ceng ini dapat terdengar dengan jelasnya ditelinga
Bu Kek Toocu. Hal itu terang menunjukkan bahwa dia
mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi juga.
Bu Heng Seng pun tidak mau menunjukkan kelemahannya dan lalu berkata : "Silahkan Tuan kembali
dan memberitahukan pemimpinmu, bahwa aku Tong Hay
Bu Kek Toocu sudah lama mengagumi namanya, hanya
tidak ada waktu yang terluang untuk menyambanginya."
Biu Chit Nio yang melihat ilmu dalam dari Seng It Ceng
sekalipun berada disebelah bawah dari 'Giok-kut-moo', tapi
dia dapat mengira yang 'Giok-kut-moo' sendiri pasti luar
biasa sekali. Oleh karena itu, diapun tidak berani lagi
memandang ringan terhadap lawannya.
Perompak tersebut melihat Bu Heng Seng bergerakpun
tidak dari tempat duduknya semula, dia menjadi marah
sekali. Segera Seng It Ceng melambaikan tangannya,
kemudian anak buahnya menjadi diam.
Seng It Ceng lalu berkata lagi : "Pemimpin kami telah
memerintahkan aku untuk menyuguhkan pada Tuan arak
untuk diminum, maka sekarang silahkan Tuan datang
kekapal kami untuk mencicipinya."
Diam-diam Bu Heng Seng merasa heran, lalu dia
menjawab : "Terhadap maksud baik pemimpinmu, aku
suami-isteri merasa berterima kasih sekali, hanya disayangkan yang saat ini aku mempunyai urusan penting
hendak segera kembali kepulau kami. Oleh karena itu,
kuharap kau beritahukan saja hal ini pada pemimpin
kalian." Bu Kek Toocu sebagai salah seorang yang sangat
terkenal dikalangan Kang-ouw, tapi dia waktu bercakap-
cakap dengan perompak tersebut demikian sopan-
santunnya, maka dari sini dapat ditarik kesimpulan, betapa
lihaynya dan besarnya kekuasaan dari Giok-kut-moo ini.
Seng It Ceng lalu menjawab pula : "Sekalipun demikian,
aku ingin sekali kau suami-isteri minum secawan arak kami
untuk mengikat tali persahabatan." Lantas dia mengeluarkan tiga cawan arak yang segera diisi penuh, lalu
dia mengeluarkan arak yang berwarna hijau, setelah terlebih
dahulu dia pegang secangkir untuknya sendiri, yang dua
cangkir lainnya lagi lalu dilemparkannya kearah Bu Heng
Seng. Cangkir arak tersebut sangat indah sekali dan sinarnya
terang menyolok, sedangkan araknya sendiri berwarna
kehijau-hijauan sebagai batu giok saja. Dua buah sinar hijau
lantas melayang keatas kapal Bu Kek Toocu, sedangkan
arak yang berada dalam cangkir tersebut setetespun tidak
bertumpah keluar. Dalam pada itu jarak antara kedua kapal tersebut sudah
amat dekat, hingga sudah kira-kira berjarak antara dua
puluh tombak lebih saja jauhnya. Seng It Ceng yang sudah
dapat melemparkan arak tersebut tanpa setetes araknyapun
tertumpah keluar, tidak perduli dalam kepandaian silat
maupun tenaga-dalam, dia sudah tergolong dalam tingkat
yang tertinggi. Bu Kek Toocu hanya tertawa dingin saja, diantara waktu
dia mengebutkan lengan bajunya lantas ada tenaga dalam
yang tidak kelihatan keluar dari lengan bajunya untuk
menahan majunya cangkir arak tersebut, sehingga dua
cangkir arak tersebut tertahan ditengah-tengah udara untuk
sesaat lamanya, kemudian barulah dengan perlahan-lahan
jatuh tepat diatas meja. Gerakan tangan yang sempurna ini telah membuat para
perompak melongo dan berdiri terpaku disitu. Seng It Ceng


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa berubah mukanya lalu berkata : "Silahkan." Lantas
dia minum kering araknya itu.
Sekalipun muka Bu Hang Seng tak tampak berubah, tapi
sesungguhnya didalam hatinya dia merasa serba salah, dia
tahu yang 'Giok-kut-moo' ini bukan saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi, tapi keistimewaannya ialah
bahwa dia juga sangat pandai sekali dalam ilmu racun.
Dia amat menyangsikan yang didalam araknya ini
mungkin sekali telah dicampur dengan racun pula.
Waktu dia lihat kembali kearah arak hijau tersebut,
memang warnanya sangat bening sekali, hingga ini
teranglah ada arak yang bagus mutunya. Setelah dia
berdiam diri sejurus lamanya dan melihat pula Seng It
Ceng, sekali teguk saja Bu Kek Toocu telah mengeringkan
cawan araknya. Bu Kek Toocu yang mengetahui
kedudukannya sendiri, tidak ingin menunjukkan kelemahannya, dia hanya kuatir pada isterinya yang tenaga
dalamnya mungkin masih belum cukup sempurna, tapi
untuk dirinya dia tidak, merasakan sesuatu halanganpun,
segala macam racun dapat dikeluarkannya nantinya. Dalam
pada itu dengan suaranya yang nyaring dia berteriak :
"Isteriku tidak bisa minum, baik aku saja yang
mewakilinya." Lantas didongakkannya kepalanya meminum hingga kering kedua isi cawan arak itu.
Kemudian dua cawan yang sudah kosong itu lantas
dikirimkan kembali. Seng It Ceng hanya merasakan
berkesiuran angin yang keras dengan mengeluarkan suara
'huu huu' dua kali, lantas kedua cawan arak itu melesak
masuk kelantai papan kapalnya begitu dalam, sehingga
tidak tampak lagi. Bu Heng Seng lalu berseru : "Silahkan kalian memberi
jalan." Lantas kapalnya mulai bergerak, tangan Seng It
Ceng kemudian tampak digerakkan, lantas ketiga kapal
perompak itu meminggir memberi jalan.
Tanpa disangka-sangka, justeru pada saat itu sekonyong-
konyong terdengar suara yang keras memecah angkasa,
karena ternyata bahwa kapal besar dari Bu Heng Seng telah
terbelah dua ditengah-tengahnya, hingga air lantas masuk
menerobos kekapalnya dan dayung dari kapalnya pun
sudah tentu pada hancur diseketika itu juga.
Kepingan-kepingan dari kapalnya ini pada beterbangan
ditengah lautan, sedangkan ditengah-tengah udara pada
saat itu tercium bau belerang yang tajam, hal mana
memberi kenyataan, bahwa kapalnya itu sudah dihancurkan orang dengan sebuah ledakan dari obat pasang
yang mengandung belerang !
Para awak kapal banyak yang luka, diantaranya banyak
yang kehilangan daging dan anggota badan mereka,
sedangkan teriakan kaget memenuhi dan memecah
angkasa. Bu Heng Seng dan Biu Chit Nio yang duduk
dikepala kapal mereka, juga terjatuh kena goncangan yang
dahsyat itu. Buru-buru mereka menghalau asap tebal
dihadapan mereka. Dari jauh tampak oleh mereka ketiga
kapal perompak itu sudah melarikan diri. Tidak terasa lagi
Bu Heng Seng lalu berseru saking marahnya : "Bangsa
cecurut, berani main gila dihadapanku !" Sambil memegang
tangan Biu Chit Nio lalu dia terjunkan dirinya dan
mengejar kapal perompak itu dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang sempurna. Sekalipun ketiga kapal perompak tersebut sangat laju
jalannya, tapi Bu Kek Toocu suami-isteri dengan
mengembangkan ilmu meringankan tubuh, maka jarak
antara mereka semakin lama semakin dekat saja.
Kepandaian Bu Heng Seng ini sangat sempurna sekali, tapi
sebaliknya kepandaian Biu Chit Nio agak lebih rendah
sedikit. Dan dengan bantuan suaminya, kecepatan mereka
ini sangat mengejutkan orang dan tak jauh didepan mata
mereka kapal ketiga perompak itu sudah semakin dekat
saja. Dalam pada itu Biu Chit Nio tiba-tiba teringat akan Ceng
Jie yang masih berada diatas kapalnya, buru-buru dia
memandang pada kapalnya, pada saat itu dia hanya melihat
kapalnya sudah hampir tenggelam dan seorang anak gadis
terapung-apung diatas sehelai papan. Gadis mana tak lain
adalah anak daranya sendiri. Karena dia berpendapat yang
anaknya ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
cukup sempurna, maka sudah tentu baginya tidak menjadi
suatu pikiran apa-apa, oleh karena itu, hatinyapun menjadi
tenang kembali dan terus mengejar ketiga kapal perompak
itu. Seng It Ceng melihat Bu Kek Toocu suami-isteri sangat
hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya dan terus saja
mengejar kapalnya, kemudian dia perintahkan anak
buahnya untuk mempercepat jalan kapalnya, disamping itu
dia memerintahkan anak buahnya pula untuk bersiap-siap
menghadapi lawan-lawan mereka itu.
Anak buahnya yang seluruhnya berpakaian warna
kuning itu, tampaknya sudah terlatih sempurna dalam hal
memegang senjata dan berdiri ditempat masing-masing
menantikan kedatangan lawan-lawan itu tanpa menjadi
kacau. Bu Heng Seng yang menampak kapalnya sudah hancur,
hatinya menjadi sangat geram dan gugup sekali, maka
dengan mengempos semangatnya bersama-sama Biu Cliit
Nio dia meminjam tenaga tolakan ombak berlompat-
lompatan bagaikan dua ekor burung besar yang sedang
mengejar-ngejar kapal lawannya.
Setelah mengatur segala sesuatunya dengan beres, lalu
Seng It Ceng menoleh kepada Bu Heng Seng suami-isteri
yang sudah mendatangi semakin dekat, hatinya tidak terasa
lagi menjadi sangat terkejut sekali, karena ternyata kedua
orang lawannya pada saat itu sudah mengejar sampai
dibelakang kapalnya dari arah kiri dan kanan, disamping
itu, tiga orang anak buahnya dari jurusan yang tidak sama
pada menghunus senjata masing-masing, untuk bersiap-siap
menghadapi lawan-lawan itu.
Siapa tahu dengan sekali menyingsingkan lengan
bajunya saja, bayangan Bu Heng Seng menjadi kabur
dengan hanya mengeluarkan suara angin yang keras sekali,
tampak senjata tiga orang anak buahnya pada beterbangan
ditengah-tengah udara, kemudian ketiga anak buah itu
tampak jatuh bergelimpangan dan mati, sebelum tubuh
mereka jatuh kedalam laut !
Seng It Ceng tidak pernah menyangka, bahwa Bu Kek
Toocu sedemikian garangnya, hingga tidak terasa lagi
hatinya menjadi jerih. Dia melihat lima orang anak
buahnya yang berdiri dibelakang kapal tinggal tetap
mempertahankan diri mereka terhadap serangan lawan-
lawan itu, maka dia segera memerintahkan nakhoda kedua
kapal lainnya untuk meneruskan pelayaran mereka secepat
mungkin. Sedangkan dia sendiri lalu berlompat kebuntut
kapalnya dengan menghunus pedang panjang ditangannya.
Perompak golongan 'Oey-cu-see' ini sebelum takluk pada
'Giok-kut-moo', dahulunya mereka telah merajai didaerah
Tong Hay (Laut Timur), setelah mereka menakluk dan
bekerja dibawah perintah Giok-kut-moo, terhadap ilmu
menyelam didasar laut mereka lebih utamakan. Begitulah
tadi kapal Bu Kek Toocu yang telah dihancurkan oleh
mereka yang pandai sekali menyelam didasar laut, adalah
perbuatan anak buah Seng It Ceng ini, dalam hal mana Bu
Heng Seng sampai tidak merasakan dasar kapalnya telah
dibokong musuhnya, hingga dari sini dapat ditarik
kesimpulan, betapa lihaynya anak buah Seng It Ceng itu.
Kelima orang anak buah Seng It Ceng yang telah
menjaga sedemikian sempurnanya, mereka menaruh
keyakinan bahwa mereka pasti dapat menghalau setiap
serangan dari lawan-lawan mereka ini, tapi siapa duga
sekali lengan baju Bu Heng Seng bergerak, lantas salah
seorang dari antara mereka tidak dapat mempertahankan
dirinya pula, hingga orang tersebut kena dipukul mampus
oleh Biu Chit Nio yang telah membantu pula terhadap
serangan suaminya itu. Penjagaan mereka yang kini sudah
dibobolkan dengan jatuhnya seorang penjaga itu, selanjutnya menjadi tidak sekokoh semula pula. Serangan
suami-isteri ini demikian cepatnya, sehingga Seng It Ceng
yang berdiri tidak jauh dari situ, tidak keburu lagi untuk
membantunya, sedangkan keempat orang anak buah yang
lain, berturut-turut sudah terbinasa pula dipukul oleh suami-
isteri ini, dengan mayat-mayat mereka satu-persatu jatuh
tercemplung kedasar laut menjadi makanan ikan-ikan besar.
Bu Heng Seng lalu menyatu-padukan semangatnya, tiba-
tiba bagian perutnya dirasakan sedikit meluang, sekalipun
hal itu dirasakan sekejap saja, tapi iapun sudah dapat
menduga apa yang telah terjadi, dia insyaf bahwa pengaruh
racun lawannya telah mulai bekerja, dan berbareng dengan
itu, diapun pikir bahwa racun yang dipakai oleh Giok-kut-
moo ini pasti adalah racun yang luar biasa sekali. Sekarang
kapalnya sendiri sudah hancur lebur. Pikirnya, sebelum
racun lawannya menyerang lebih hebat, dia harus terlebih
dahulu menghancurkan seluruh lawannya, dan untuk itu
terlebih dahulu dia harus merampas kapal lawannya ini.
Dalam pada itu, sambil menarik tangan Biu Chit Nio, dia
lalu menyerbu keruangan tengah dari kapal lawannya.
Orang yang menghadang dimukanya justeru ada Seng It
Ceng sendiri, Bu Heng Seng lalu memukul kearah dada
dalamnya, sedangkan Biu Chit Nio sendiri sambil lompat
melewati kepalanya Seng It Ceng, dia terus menyerbu
kebagian tengah dari kapal tersebut.
Seng It Ceng yang melihat serangan lawannya yang
begitu dahsyat, terpaksa dia menyambut serangan lawannya
ini, tapi sekonyong-konyong terdengar suara 'Peng',
ternyata dia tidak dapat menahan lagi serangan lawannya
ini, sehingga ia mundur beberapa puluh langkah
kebelakang, sedangkan dadanya dirasakan sesak dan denyut
jantungnya menjadi lebih cepat dengan secara tiba-tiba.
Seng It Ceng sebelum tunduk dan takluk dibawah
pengaruh Giok-kut-moo, dialah yang menjadi pemimpinnya, kepandaiannya didaerah Tong Hay sangat
disegani sekali oleh lawan-lawannya, belakangan setelah
menyerah pada Giok-kut-moo, dia masih tetap merupakan
tangan kanan dari pemimpinnya, dan tatkala dia melihat
yang sekali gebrak saja dia sudah terpukul oleh lawannya,
tidak terasa lagi hatinya menjadi sangat terperanjat sekali.
Akan bicara dengan terus terang, Bu Heng Seng tadi
telah memukulnya hanya dengan tenaga enam bagian saja,
kemudian sambil tertawa dingin dia menggerakan pula
tangannya, sehingga lagi-lagi satu pukulan yang dahsyat
meluncur kearah tubuh Seng It Ceng. Disamping itu,
disebelah kirinya ada tiga anak buahnya yang sedang
bersiap sedia untuk membantunya. Pada saat Seng It Ceng
merasa bingung dan serba salah, ia terpaksa sambil
mengeraskan kulit mukanya bersedia untuk melawan keras
dengan keras serta menyambut sekali lagi serangan
lawannya ini. Tampak rambutnya pada berdiri, sedangkan bajunya
yang berwarna kuning telah berkibar-kibar keras sekali
karena hembusan angin yang keluar dari dalam tubuhnya.
Bajunya ini terkembang lebih besar daripada layar kapalnya
sendiri, keadaannya itu sungguh angker sekali. Tapi
sesungguhnya dia sendiri sangat takut sekali terhadap
lawannya ini, karena dia sangat kuatir yang dirinya sendiri
bukan merupakan lawan yang setimpal bagi Bu Heng Seng.
Siapa tahu, baru saja dia mengeluarkan pukulannya,
lawannya sudah menarik kembali serangannya, Seng It
Ceng merasakan bahwa serangannya yang hebat kena
disedot oleh lawannya, walaupun dia berusaha sekuat
tenaga untuk menarik kembali serangannya, ternyata
sekarang sudah tidak bisa dilakukannya lagi.
Bu Heng Seng telah mengerahkan tenaganya kearah kiri,
lantas tubuh lawannyapun segera mendoyong kearah yang
ditentukan olehnya, yaitu kekiri pula, badan Seng It Ceng
ini terus menjurus yang kemudian membentur pada diri
ketiga anak buahnya. Seng It Ceng melihat ketiganya adalah orang-orangnya
sendiri, dia tidak berdaya sama sekali, saking gugupnya,
keringat dingin telah mengucur keluar, karena dia
mengetahui, bahwa peristiwa yang sangat aneh ini,
kesudahannya mengakibatkan ketiga anak buahnya jatuh
bergelimpangan dilantai kapalnya, karena kena terpukul
oleh pukulannya sendiri tadi.
Bu Heng Seng dengan tepat sekali telah meminjam
tenaga sang lawan untuk menyerang lawannya itu. Ilmu itu
disebut 'Ie-

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hoa-tiap-bok' (memindahkan bunga menyambung pohon), cara dia menggunakan tipu tersebut
demikian sempurnanya, sehingga para perompak yang
berdiri disebelah kanannya sampai tidak sempat turun
tangan lagi, dengan mata terbelalak mereka hanya dapat
menyaksikan peristiwa itu dengan mata mendelong saja,
tapi mereka tidak tahu harus berbuat apakah yang tepat
pada saat itu. Keadaan didalam ruangan kapal mereka berbeda pula,
Biu Chit Nio yang telah mengembangkan tenaga dalamnya
dan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, dipadu pula
dengan ilmu totokannya yang tunggal, dia menerobos
diantara para perompak pulang pergi dengan amat leluasa.
Sebentar dia menerjang kekiri, sebentar pula dia menyerbu
kekanan, sambil bila ada kesempatan, dia melancarkan
totokannya, sehingga para perompak tidak berdaya sama
sekali. Adakalanya sekali dia melakukan penyerangan
terhadap empat atau lima orang, maka kelima orang-orang
tersebut tidak dapat berdaya dan mereka lantas pada jatuh
kelantai kapalnya terkena totokannya.
Lie Siauw Hiong pada saat sebelum kapal yang
dinaikinya itu menjadi hancur lebur, dia kemudian terkena
goncangan yang hebat sekali, sehingga dia terlempar keluar
kamarnya dan jatuh kelaut, pada saat itu juga lantas datang
sebuah ombak yang besar dan menggulung tubuhnya masuk
kedasar laut. Tubuhnya yang kena ditotok lawannya, masih
terasa amat sakit dan badannya pun berbentuk separuh
melingkar, bergerak sedikitpun dia tidak mampu. Dia terus
saja digulung oleh ombak, diombang-ambingkan sesuka
hatinya, hingga dia sedikitpun tidak berdaya untuk
melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Dengan
demikian, dia betul-betul menyerahkan nasibnya terhadap
ombak. Sebelum tenggelam kebawah, sekonyong-konyong sebuah ombak yang besar telah melemparkan tubuhnya
keatas permukaan laut, bukan buatan kesengsaraan yang
dirasakannya, karena air laut yang asin itu dari hidung,
kuping dan mulutnya telah menerobos masuk, dia merasa
seakan-akan perutnya sudah kembung benar.
Perlahan-lahan dia merasa dirinya semakin lemah,
seakan-akan dihadapannya ada sebuah tangan raksasa yang
telah mencekik lehernya, sehingga dia sukar bernafas.
Dalam waktu sedetik saja, dari otaknya melintas dengan
cepatnya bayangan-bayangan orang, pertama bayangan ibu
dan ayahnya yang mati secara menyayatkan perasaan, lalu
muka Bwee Siok-sioknya yang demikian kasih sayang
terhadapnya, lalu tampang muka Hauw Jie Sioknya yang
begitu menyedihkan sekali. Dan yang paling akhir tampak
bayangan Kim Bwee Leng yang telah menawan
perhatiannya. Dalam pada itu tiba-tiba dia berpikir : "Sekarang dia
berada dimana ?" Kemudian dalam waktu yang sekejap pula, bayangan-
bayangan tersebut semuanya telah lenyap, sedangkan
dihadapannya tampak gelap sekali, dan bayangan kematian
akan segera sampai ......
Sekonyong-konyong sekali lagi datang sebuah ombak
yang besar sekali dari arah sebelah bawahnya, melemparkan dia keatas, sehingga badan Lie Siauw Hiong
yang mulai timbul, tenggelam pula kepermukaan air laut.
Bagaimanapun jua gelombang laut mengombang-
ambingkannya, Lie Siauw Hiong hanya memiliki sedikit
sekali tenaga untuk membela dirinya, karena selain dia
sudah tertotok terlebih dahulu oleh lawannya, kini dia
merasa sangat lelah dan tak berdaya.
Pada saat itu diantara gemuruhnya suara ombak
menampar air laut, sekonyong-konyong terdengar suara
teriakan kegirangan dari seseorang yang masuk dikuping
Lie Siauw Hiong, kemudian disusul dengan dirasakannya
badannya kena tertumbuk barang keras. Saking sakitnya,
dirasakannya seakan-akan tembus kerongga dadanya, maka
diapun segera insyaf, bahwa jalan darah dalam dirinya yang
tertotok tadi sudah terbuka. Buru-buru dia menggerakkan
sepasang tangannya, lantas air laut pada terpecah kekiri dan
kanannya dan badan seseorang muncul kepermukaan air
laut, dimana dia melihat dihadapannya ada seorang gadis
cilik yang berdiri dengan menginjak sehelai papan, dan
gadis cilik itu ternyata bukan lain daripada Ceng Jie
adanya. Waktu menundukkan kepalanya memandang, dia tahu
bahwa tadi barang yang telah membuka totokannya adalah
papan tersebut. Seketika itu seluruh badan Ceng Jie basah kuyup
agaknya, sedangkan pada mukanya yang berwarna
kemerah-merahan menunjukkan sinar kegirangan. Disana
itu pula dengan terpaku dia memandang pada pemuda Lie
Siauw Hiong, dan sekalipun rambutnya yang bagus pada
waktu itu awut-awutan karena tertiup oleh angin laut, tapi
hal itu malah menambah kecantikannya saja.
Badan Lie Siauw Hiong yang berada dipermukaan laut,
perlahan-lahan mulai tenggelam kebawah kembali. Ceng Jie
segera mendorong dua belah papan kemukanya, sehingga
Lie Siauw Hiong tepat jatuh diatas papan itu, dan dengan
penuh semangat diapun mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya lalu berdiri diatas papan itu
mengikuti kemana saja ombak membawanyaSekalipun
kedua orang ini tidak bercakap-cakap, tapi Lie SiauwHiong
yang memang agak pendiam sifatnya, pada saat itu
perasaan kasih sayangnya terhadap Ceng Jie ini bertambah
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan tadi sewaktu dia
mempertahankan jiwanya terkenang akan gadis cilik ini.
Kedua orang ini didamparkan oleh ombak, jarak antara
mereka semakin lama semakin dekat. Bila mereka bercakap-
cakap, cukup jelas terdengar oleh satu dengan yang lainnya.
Sedangkan disebelah sana diatas kapal pada saat itu, Bu
Heng Seng lagi-lagi melancarkan serangannya yang bertubi-
tubi dan dahsyat sekali, sehingga ada beberapa puluh anak
buah perompak yang telah terpukul jatuh kedasar laut,
sedangkan Seng It Ceng sendiri, sudah terpukul jua
olehnya, sehingga ia belakangan menderita luka-luka
didalam anggota badannya.
Justeru ketika itu dia sedang mengamuk secara garang
sekali, sekonyong-konyong dia merasakan dadanya mulai
sakit dan sesak, tiba-tiba dia sangat terperanjat akan
kelihayannya racun yang mulai menjalar didalam tubuhnya
ini. Andaikata kepandaiannya sendiri tidak cukup tinggi,
pasti dirinya sudah siang-siang menjadi celaka, waktu dia
memandang kembali kearah kedua kapal perompak
lainnya, dilihatnya merekapun sudah mulai membantu
kawan-kawannya dan berlompatan naik keatas kapal
dimana dia berada. Sementara Biu Chit Nio sendiri
sekalipun dia ini berada diatas angin, tapi bila dia ingin
menghancurkan seluruh perompak agaknya mustahil sekali,
karena dirinya sendiri sudah terkena racun.
Pada saat itu rasa gusar dan gugupnya tercampur aduk.
Buru-buru dia melancarkan serangannya pula dan dalam
saat itu juga tampak seorang yang terkena pukulannya
hingga mampus dan mayatnya terlempar beberapa tombak
jauhnya kedalam laut. Pukulannya ini dia lancarkan dengan hebat sekali. Para
perompak menjadi terperanjat bukan buatan. Bu Heng Seng
lalu melancarkan serangannya pula dan pada waktu itu ada
dua perompak yang buru-buru menggabungkan diri untuk
melayani Bu Heng Seng ini, tapi dengan mengeluarkan
suara 'Crat', kedua tulang orang tersebut lantas pada patah.
Mereka jatuh mengusruk dalam keadaan pingsan.
Sesaat kemudian suara gemuruh bagaikan ribuan kuda
liar yang sedang berlari-lari dari arah Timur mulai
terdengar, sedang awan yang gelap dan bertumpuk-tumpuk
segera terbentang menutupi angkasa raya, hingga dalam
waktu yang singkat hembusan angin yang keras segera
datang meniup dengan dibarengi oleh turunnya tetesan-
tetesan air hujan yang sebesar kacang mulai turun dengan
lebat sekali, seakan-akan bumi ini hendak dihancur
luluhkan oleh titikan-titikan air hujan tersebut.
Angin yang datang meniup dilautan ini demikian
kerasnya, tak lama lagi agaknya awan yang tebal menutupi
langit, angin puyuh mulai meniup, lantas ombak-ombak
sebesar gunung dan sangat tinggi datang mendamparkan
kapal-kapal mereka. Dalam sekejap saja ombak yang besar
itu segera menggulung kapal-kapal itu. Tiang layar yang
terkena damparan ombak dalam waktu yang pendek hampir
terbelah menjadi dua potong.
Seng It Ceng yang sudah kenyang makan asam garam
dalam pengalaman dilautan, diapun sudah mengetahui
rahasia dan dalil-dalil dalam lautan ini, dan dia tahu, kalau
pada saat itu layar mereka diturunkan, dengan sendirinya
lajunya kapal mereka dapat diperlambat. Dengan demikian,
keadaan yang berbahaya dapat diperkecil.
Karena waktu itu dia sudah menderita luka-luka
dibahagian dalam anggota tubuhnya, maka dia teriakkan
anak buahnya untuk segera menurunkan layar kapal
mereka. Tapi layar kapalnya yang demikian besarnya, bukan
dapat diturunkan dengan mudah dan segera oleh sepuluh
atau beberapa puluh orang saja. Apa lagi pada saat itu Bu
Heng Seng masih tetap saja ngotot melancarkan serangan-
serangannya yang bertubi-tubi dengan tak putus-putusnya,
sehingga membuat anak buahnya banyak yang mati dan
luka-luka parah maupun enteng oleh karenanya.
Dibawah hembusan angin yang keras dan hujan yang
menderas disertai ombak-ombak yang menggulung sebesar
gunung, membuat orang yang sudah berpengalaman seperti
Seng It Ceng ini tidak urung menjadi gugup dan bingung
juga. (Oo-dwkz-oO) Jilid 14 Pada saat itu suara hujan yang demikian santernya telah
mulai turun seakan-akan ditumpahkan dari langit saja
layaknya. Kemudian dengan sekonyong-konyong terdengar
suara yang sangat keras sekali. Ternyata kepala kapal
mereka menabrak batu karang dan seketika itu juga kapal
mereka menjadi hancur luluh, disertai suara yang
memberotok lantas tiang topang dari kapal mereka patah
dua dan kapal itupun segera terbalik, kemudian disusul
dengan menyambernya sebuah ombak besar yang menggulung kapal mereka, sehingga kapal beserta orang-
orangnya seluruhnya masuk kedalam laut.
Diantara mereka semua hanya Bu Kek Toocu seorang
yang tidak tergulung oleh ombak tadi, sepasang tangannya
dengan kesepuluh jari-jarinya menancap keras sekali pada
papan kapal, sedangkan dia sendiri sambil mengandalkan
papan tersebut, mengikuti deburan ombak terapung-apung
dipermukaan laut itu. Dia, dengan mengikuti lewatnya sebuah ombak yang
mendamparkannya dan sebelum ombak yang kedua datang
sampai menggulung dirinya, dia memandang kesetiap
penjuru, sampai matanya hanya dapat memandang pada
jarak kurang lebih sepuluh tombak saja. Bayangan Biu Chit
Nio sendiri tidak kelihatan sama sekali, sedang kedua kapal
perompak lainnya juga tidak tampak batang hidungnya
pula. Tidak perduli betapapun tingginya ilmu kepandaian Bu
Kek Toocu, tapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali
menentang kekuatan alam, dia hanya dapat mengandelkan
kekuatan sepuluh jarinya saja agar dia sendiri jangan
sampai tergulung ombak masuk kedasar laut.
Tapi angin semakin lama semakin santer, demikianpun
ombak semakin lama semakin tinggi menghempasnya,
hingga pada saat itu pula kapal yang mulai tenggelam itu
tidak dapat menahan hempasan ombak yang keras itu dan
segera terbalik berikut seluruh muatannya sekali.
Dan tatkala kapal itu terbalik, ombak lalu menggulungnya pula dan sekali lagi kapal yang sudah
terbalik itu tertumbuk pula dengan batu karang. Dan saat
itu tepatlah seluruh kapal tersebut menjadi hancur lebur
berkeping-keping dan keping-kepingan dari kapal ini tentu
saja sudah diombang-ambingkan oleh ombak yang tidak
berperasaan itu sehingga berserakan kian kemari.
(Oo=dwkz=oO) Sekarang marilah kita menilik kembali pada Lie Siauw
Hiong dan Ceng Jie yang terapung-apung diatas laut
dengan berdiri dipapan kapal, makin lama jarak antara
mereka berdua semakin mendekat saja. Hati kedua orang
ini dirasakan demikian mesra dan manisnya, tapi tidak


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disangka sekonyong-konyong saja langit gelap, ombak yang
besar dan beberapa puluh tombak tingginya itu dengan
disertai angin yang santer sekali telah menjurus kearah
mereka. Lie Siauw Hiong yang menggunakan tipu yang
paling sempurna, yaitu 'Am-eng-pu-hiang', dia masih dapat
berdiri diam dengan tidak terombang-ambing oleh ombak,
tapi sekonyong-konyong dia mendengar suara teriakan dan
jeritan Ceng Jie, karena nona itu telah terdampar oleh
ombak dan terpukul kebelakang.
Lie Siauw Hiong merasa kaget sekali. Dengan
melupakan keadaan yang berbahaya bagi dirinya, sepasang
kakinya yang tergenang ombak setinggi gunung lalu
ditotolkannya dengan gesit sekali, kemudian tubuhnya
lantas melayang beberapa meter kedepan, untuk menjambret tubuh Ceng Jie. Tapi karena ombak yang besar
kembali datang mendamparnya, Lie Siauw Hiong yang
berdaya-upaya meloncat dibawah ancaman ombak yang
sangat besar dan dahsyat ini, tentu saja majunya menjadi
sedikit terhambat, hingga tenaganyapun menjadi berkurang,
sedang Ceng Jie yang terkena damparan ombak yang
dahsyat ini, iapun kembali digulung ombak kebelakang,
hingga semakin lama ia semakin tenggelam kedalam laut.
Dan begitu selanjutnya dia tidak mendengar lagi suara
angin yang menderu-deru. Angin yang berhembus tadi datangnya sangat cepat
sekali, tapi berlalunyapun pesat pula. Tidak antara beberapa
jam lamanya, awan yang gelap telah buyar dan melayang-
layang pergi, hingga sinar matahari sudah mulai pula
menunjukkan dirinya kembali diangkasa, sedangkan ombak
lautpun mulai reda dan tenang kembali. Tidak antara lama,
keping-kepingan kapal yang hancur lebur tadipun mulai
muncul kembali kepermukaan laut. Nun jauh disana
terlihat pelangi yang seakan-akan menjadi satu dengan
permukaan laut, merupakan satu pemandangan yang sangat
indah sekali diatas laut yang terbentang luas itu.
Lie Siauw Hiong lalu membuka matanya dengan
perlahan-lahan, segera ia sadar bahwa ia sedang berbaring
diatas pasir. Dalam pada itu ujung kakinya dimain-mainkan
oleh ombak yang datang sekali-sekali memecah dekat
kakinya. Sejurus lamanya ia tak dapat berpikir dimana ia
berada sekarang. Dia tidak dapat mengingatnya sama sekali
serta merta. Kemudian tangan kirinya meraba urat nadi
dipergelangan tangan kanannya. Dia merasa nadi kanannya
berdenyut dengan amat perlahan.
Dalam hati dia berpikir : "Benar, aku masih hidup.
Orang yang hidup bagaikan sebuah jam saja, dari detik
kedetik terus saja bergerak. Hanya orang tidak pernah
menginsyafinya, bahwa umurnya dari detik kedetik telah
berkurang." Pada saat itu dua ekor burung laut putih yang melayang
rendah sekali datang kearah tempat Lie Siauw Hiong
terbaring. Dengan matanya yang keheran-heranan mereka
memandangnya, kemudian sambil mengeluarkan suara
kaget kedua burung itu lalu terbang kembali keangkasa
raya. Lie Siauw Hiong terpikir pada Ceng Jie yang sangat
mungil itu. Mungkin ia sudah menjadi mayat dan terkubur
didasar lautan dan dia sendiri yang telah menerima
penghinaan orang, diam-diam dia berpikir kembali :
"Kesemuanya adalah gara-gara Bu Heng Seng suami-isteri
yang telah menimbulkan bencana ini." Tanpa terasa lagi,
dia lalu menggertakkan giginya sehingga mengeluarkan
suara keretakan. Tapi kemudian waktu dia teringat akan ilmu kepandaian
Bu Heng Seng yang sangat luar biasa sekali itu, sekalipun
dirinya yang sudah berlatih selama sepuluh tahun lamanya
itu, namun satu jurus saja pun dia tidak berhasil dapat
menangkisnya. Maka pada waktu itu terasa olehnya, bahwa
kepandaian Chit-biauw-sin-kun sesungguhnya tidak berguna sama sekali. Setelah berbaring beberapa saat lamanya disitu dengan
pikiran yang bukan-bukan, akhirnya diapun bangkit berdiri.
Kemudian dia memandang kesegenap penjuru. Kini
diketahuinya bahwa dia terdampar disuatu pulau kecil. Dia
percaya bahwa pulau ini luas sekitarnya tidak akan melebihi
jarak sepuluh lie. Tapi ditengah-tengah pulau ini terdapat
puncak gunung yang menjulang kelangit dan puncak
gunung itu tampak gundul. Tak sehelai rumputpun
kedapatan diatasnya. Dia ingat betul sekiranya dalam keadaan yang tak sadar
tadi dia tidak menutup jalan pernapasannya yang tertentu,
pasti sekali pada saat itu dia sudah mati kelelap, tapi
sekarang dia berada dalam keadaan yang lelah sekali.
Lalu dipaksakannya dirinya akan berdiri dan berjalan
mendekati pertengahan pulau tersebut. Baru saja dia dapat
memaksakan dirinya berjalan melewati sebuah puncak
gunung, sekonyong-konyong keadaan disekelilingnya menjadi gelap gulita. Pada saat itu sesungguhnya dia sudah tidak dapat
melanjutkan perjalanannya lagi, maka dengan perasaan lesu
terpaksa dia duduk dan mengatur jalan pernapasannya
dengan ilmu yang kini ia anggap sudah tidak berguna lagi.
Setelah pernapasannya berjalan satu babak, dia
merasakan sebagian besar tenaganya pulih kembali, tapi dia
dengan masih termangu-mangu duduk diatas tanah, karena
keadaan ditempat itu sudah gelap sekali, tadinya dia
mengira yang matanya sudah kabur dan menduga keliru.
Waktu dia menoleh kembali, dia melihat jalan asal yang
dia ambil tadi sudah tidak dapat ditemukan lagi. Segala
batu gunung maupun pohon-pohonan tampaknya sangat
samar-samar sekali. Lie Siauw Hiong yang telah menerima
latihan secara langsung dan sejati dari Chit-biauw-sin-kun,
tentu saja dia sudah sangat paham dan mempunyai
kesanggupan yang lumayan, tapi pada saat ini ketika dia
menampak keadaan yang sesunyi ini, dia balik berpikir
bahwa penghuni dari pulau ini atau pemilik pulau tersebut
tentunya adalah seorang yang sangat luar biasa sekali.
Diantara ketujuh kepandaian Chit-biauw-sin-kun yang
paling mendapat perhatian istimewanya adalah dalam hal
main catur, yang permainannya berbedaan dengan
kebanyakan orang. Karena setiap langkah yang dia
jalankan, selalu mengandung perubahan yang sangat
beraneka ragam serta variasinya. Setelah dia dapat
memahami segala seluk-beluk barisan yang hendak dia
jalankan ini, barulah dia dapat bertanding dengan
perhatiannya yang mantap sekali, dan dengan demikian,
kekuatannya dalam lapangan tersebut dapat dibayangkan
sendiri betapa luar biasanya.
Lie Siauw Hiong setelah mewarisi seluruh kepandaian
Chit-biauw-sin-kun, dengan melihat sejurus lamanya
keadaan barisan dari batu-batu gunung ini, karena bentuk
barisan ini hampir bersamaan dengan barisan yang terdapat
di Tiong Goan yang biasa disebut 'Kie-bun-ngo-heng-tin'
(barisan lima pintu ajaib). Setelah dia menimbang-nimbang
dengan matang, lalu dia mulai memasuki barisan tersebut
dengan mengambil jalan dari pintu 'Kim-bun' disebelah
kirinya. Lie Siauw Hiong dengan mengikuti barisan Kie-bun-ngo-
heng-tin yang mengandung perubahan-perubahan berjalan
satu kali kekiri dan kekanannya, kemudian setelah dia
berbelok disatu sudut sambil berpikir, dia sudah mengambil
keputusan untuk keluar dari 'Touw-bun', tapi siapa tahu
begitu dia berbelok satu kali, dia kembali balik ditempat asal
semula. Sekali ini benar-benar telah membuat Lie Siauw
Hiong menjadi sangat heran sekali, hingga dalam hatinya
diam-diam dia menduga, barisan ini sebenarnya barisan
apakah Sedang dia berpikir, sekonyong-konyong terdengar
suara "Ceng", alat musik kuno di Tiongkok yang
mempunyai tali tigabelas, suara tetabuan itu begitu nyaring
dan melengking-lengking, seakan-akan suara tersebut bukan
keluar dari alat musik yang biasa, maka dengan cermat
sekali Lie Siauw Hiong mendengari suara tetabuan itu,
yang dalam pada suaranya meninggi itu, seakan-akan
terdengar suara kaki kuda yang sedang berlari-lari.
Kemudian waktu dia memperhatikan lebih lanjut, suara
yang keluar dari alat musik semakin membuat hati orang
terharu dan lama kelamaan suara itu menjadi begitu cepat
dan keras, seakan-akan orang yang sedang memainkan alat
musik tersebut tengah murka besar dan ingin membuat
seluruh bumi menjadi hancur layaknya.
Dari asap yang menyelubungi tempat itu, Lie Siauw
Hiong dapat membedakan dari arah mana suara alat musik
itu datang, dan kemudian diketahuinya, bahwa suara
tersebut datangnya tepat dari tengah-tengah batu-batu
gunung itu. Lalu diapun berjalan kearah datangnya suara
alat musik tersebut. Entah sudah berputar-putar berapa puluh kali, tapi
akhirnya dia merasakan yang dia semakin lama semakin
dekat saja ketempat suara alat musik yang berbunyi itu.
Kemudian Lie Siauw Hiong lalu memanjat keatas sebuah
batu yang besar, karena dia yakin, bahwa suara musik itu
datangnya tepat dari gunung batu itu.
Ditengah-tengah barisan batu-batu tersebut tampak kabut
demikian tipisnya, sehingga Lie Siauw Hiong dapat melihat
muka seorang Ho-siang (Hweesio atau pendeta) yang
berwarna merah, tengah duduk dibawah batu gunung
dengan memetik alat musiknya itu, yaitu Ceng, yang
tampaknya begitu mengkilat dan sinarnya berkilau-kilauan,
yang menandakan bahwa barang itu terbuat daripada baja
asli. Tidak heran bila suaranya begitu lantang dan nyaring.
Tampak orang tua itu tidak demikian pandai memainkan
alat musiknya itu, sebenarnya dia seharusnya memusatkan
seluruh perhatiannya terhadap alat musiknya, bila dia ingin
menghasilkan suara yang indah, tapi tampaknya dia tidak
begitu perhatikan alat musiknya itu, hanya dipetiknya
dengan secara acuh tak acuh saja. Dari alat musiknya itu
lalu keluar suara seperti angin puyuh, hinggga keadaan
ditempat itu sangat menyeramkan sekali.
Lie Siauw Hiong melihat janggut orang tua itu sudah
putih. Tampaknya dia ini paling sedikit berusia seratus
tahun keatas, tapi semangatnya seperti orang yang baru
berumur antara lima atau enampuluh tahun saja, malahan
mukanya tampak merah sekali, menandakan orang itu
sangat sehat, hingga tidak terasa lagi dia menjadi sangat
heran sekali. Pada saat itu suara Ceng ini sudah mencapai klimaxnya,
begitu cepat seolah-olah gunung yang hendak roboh saja
layaknya. Hal itu dapat membuat orang sangat takut sekali.
Kemudian suara itu lenyap sama sekali, seakan-akan lagu
yang dimainkannya sudah habis. Tapi orang tua itu tampak
belum puas kemarahannya, lalu dia tepuk satu kali alat
musiknya, yang lantas menjadi gepeng seketika itu juga !
Ternyata tenaga orang tua itu sangat hebat sekali, karena
alat musik yang terbuat dari baja asli itu telah dapat
dirusakkannya dengan secara mudah sekali. Setelah itu,
disusul dengan dibalikkanya tangannya memukul kembali
dan apa yang terjadi " Alat musiknya pada saat itu juga
sudah menjadi hancur luluh !
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan peristiwa ini, tidak
terasa lagi menjadi sangat terkejut, dalam hati dia berpikir :
"Tenaga dalam seperti orang tua ini, seumurku belum
pernah aku melihat. Aku masih sangsikan, bahwa Bu Heng
Seng belum tentu dapat melakukan hal itu seperti apa yang
diperbuat orang tua ini. Apakah barangkali ......"
Pada saat itu, orang tua itu telah menengadahkan
kepalanya keatas, ketempat persembunyian pemuda Lie
Siauw Hiong sambil melambaikan tangannya dan berkata :
"Bocah cilik, sudah cukupkah" Masih tidak lekas turun
menjumpaiku, mau tunggu apa lagi ?"
Lie Siauw Hiong yang bersembunyi disebelah atas,
mengira dirinya sudah cukup sempurna bersembunyi, tapi
siapa tahu bahwa orang tua itu belum lagi menengok
keatas, dia sudah mengetahui tempat dimana Lie Siauw
Hiong berada. Dalam pada itu dengan laku yang sangat
terpaksa dan menebalkan kulit mukanya, dia meluncur
turun kebawah. Orang tua itu lalu melototkan matanya sebentar pada si
pemuda, kemudian ia tertawa dan berkata : "Apakah kau
ingin makan barang apa-apa ?" Setelah itu, dengan
sembarangan saja dia memungut dua butir buah berwarna
hijau dari atas tanah, yang kemudian diberikannya
kepadanya. Lie Siauw Hiong yang melihat sinar mata orang tua itu
yang tajam dan tertawa dengan secara wajar ketika
mempersilahkannya makan bebuahan itu, tidak terasa lagi
dia merasa girang dan tercengang.
Ternyata sejak Lie Siauw Hiong mendapat kecelakaan
dilautan dan dapat meloloskan dirinya sampai pada saat ini,
dia merasakan bahwa perutnya masih kosong melompong.
Pada saat orang tua ini mengingatkannya, dia segera dapat
merasakan kelaparannya, apalagi waktu melihat buah yang
sangat mungil dan indah dipandang mata itu, tidak terasa
lagi dia menjadi mengilar sekali, hingga tanpa terasa lagi
dia lekas-lekas mengulurkan tangannya untuk mengambilnya.

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah dia menggigit sebentar, benar saja buah itu
sangat manis dan harum sekali baunya, hal mana telah
membikin sekonyong-konyong dia berpikir : "Dia bagaimana dapat mengetahui bahwa aku sedang kelaparan
?" Dan tatkala dengan secara tidak disengaja dia
mengangkat kepalanya memandang pada orang tua itu,
orang tua itu pun lalu menyambut pandangan si pemuda
dengan senyumnya. Lie Siauw Hiong merasa bahwa orang
tua itu berhati welas asih. Tapi bila dibandingkan dengan
waktu tadi dia sedang memainkan alat musiknya, dia tidak
tahu hal apakah yang telah membangkit kemarahannya "
Setelah dia makan dua biji buah itu, sekonyong-konyong
dia mendengar orang tua itu berkata : "Buah ini adalah
buah dewa yang sangat langka. Waktu melihat tindakanmu
yang sangat mantap itu, aku dapat pastikan sedikitnya kau
mempunyai latihan ilmu dalam selama sepuluh tahun
lamanya. Maka bila kau sekarang melatih kembali ilmu
tenaga dalammu itu, barulah kau dapat merasakan
khasiatnya buah itu."
Lie Siauw Hiong tidak tahu apa sebabnya, dia merasa
omongan orang tua itu seakan-akan mengandung semacam
tenaga yang sukar dibantah, sekalipun buah ini sangat sukar
dicernakannya. Tapi sewaktu dia mentaati petunjuk orang
tua itu, duduk bersemedi dan mengatur pernapasannya,
ternyata dia dapat menjalankan pernapasannya dengan
lancar sekali. Setelah pernapasannya melalui dua belas anggota
tubuhnya, Lie Siauw Hiong merasa sekujur badannya
sangat nyaman dan segar. Perasaan laparnya hilang lenyap
sama sekali, maka dia merasa sangat berterima kasih sekali
terhadap kebaikan yang telah diberikan oleh orang tua itu.
Orang tua itu lalu mengeluarkan suara "Ihhh", ternyata
dari tempat Lie Siauw Hiong duduk secara tenang itu,
tampak dari arah kepalanya keluar asap putih yang
mengepul-ngepul. Hal itu terang menunjukkan kepandaian
silat yang tertinggi dari ilmu dalamnya orang tua, malahan
sebenarnya hal itu mungkin baru dapat dicapai dalam
latihan kurang lebih empat sampai lima puluh tahun
lamanya. Didepan matanya dia melihat Lie Siauw Hiong
yang paling banyak baru berusia duapuluh tahun lebih tapi
tenaga dalamnya sudah demikian sempurnanya, maka tidak
terasa lagi dia merasa sangat tercengang juga.
Lie Siauw Hiong sesudah menjalankan pernapasannya
selesai, dia melompat bangun, lalu sambil menghadapi
orang tua itu dia memberi hormat seraya berkata : "Terima
kasih atas kebaikan Loo-cian-pwee, Boan-pwee merasa budi
kebaikan Loo-cian-pwee tidak kecil artinya bagiku."
Sambil tertawa orang tua itu menjawab: "Bocah cilik,
sekarang baru kau tahu kefaedahannya, ya ?"
Mendengar perkataan orang tua itu, Lie Siauw Hiong
merasa agak tidak enak hati.
"Bocah, tenaga dalammu sudah boleh dibanggakan
agaknya. Melihat caramu berlatih, teranglah bahwa kau
bukan keluaran dari murid Bu Kek Too-cu, juga bukan dari
golongan Siauw-ciap-too. Apakah barangkali kecuali kita
tiga orang yang tidak hendak mampus ini, masih ada
golongan lain yang melebihi kita ?" ulas orang tua itu lagi.
Lie Siauw Hiong bukan main pintarnya, setelah
diketahuinya orang tua yang berada dihadapannya ini
adalah seorang dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia', yang jadi
pemimpinnya yaitu Peng Hoan Siang-jin. Dengan laku
yang hormat sekali dia berkata : "Boan-pwee Lie Siauw
Hiong memberi hormat pada Peng Hoan Siang-jin."
Lie Siauw Hiong yang telah menerima pesanan dari
Bwee Siok-siok-nya, tidak boleh sembarangan memberitahukan namanya sebagai gurunya, maka pada
saat itu dia hanya berkata : "Pelajaran yang telah Boan-
pwee miliki ini, mana dapat dibandingkan dengan
kepandaian dari Cian-pwee ?"
Perkataan itu diucapkannya dengan nada yang rendah
sekali, karena disaat itu dia sedang merasa putus asa dan
sedih sekali. Dengan paras yang bersungguh-sungguh orang tua itu
berkata : "Orang muda waktu bicara boleh bicara apa saja,
tapi janganlah sekali-kali menunjukkan perasaan kesedihanmu. Aku tahu hatimu berpendapat yang gurumu
pasti bisa menang dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia', bukankah
begitu ?" Lie Siauw Hiong buru-buru membantahnya : "Tadi
dalam perkataan Boan-pwee mengandung suara yang sedih,
hal itu disebabkan karena Boan-pwee telah mempelajari
kepandaian sepuluh tahun dengan tekun sekali, tetapi siapa
nyana, satu jurus sajapun aku tidak dapat menyambut
serangan dari Bu Heng Seng itu ...... aiii ......"
Berpikir dan berkata sampai disini, tidak terasa lagi Lie
Siauw Hiong lalu menghela napas. Biasanya dia sangat
pintar dan cerdas, tapi pada kali ini benar-benar dia tidak
tahu apa sebabnya maka Peng Hoan Siang-jin sangat
memandang tinggi terhadap kemampuannya ini "
Dia yang biasanya sangat membanggakan kepandaiannya sendiri, tidak disangka-sangka setelah dia
kena dikalahkan tiga kali dan tertawan dua kali oleh Bu
Heng Seng, hatinya menjadi sedikit jeri dan putus asa. Dan
sekarang waktu dia melihat Peng Hoan Siang-jin sangat
memandang tinggi dan menghormatinya, hal itu membuat
dia merasa agak takut-takut.
Peng Hoan Siang-jin ketika mendengar penjelasannya
ini, sambil mengeluarkan suara "Ihhh", dia berkata : "Kau
dengan Bu Hang Seng sudah pernah bertanding ?"
Dengan acuh tak acuh tampak Lie Siauw Hiong
memanggutkan kepalanya. Peng Hoan Siang-jin lalu mengangkat kepalanya
memandang langit dan berpikir sebentar, kemudian secara
tiba-tiba tangan kirinya ditotokkannya kearah jalan darah
'Ji-hee-hiat' ditubuh Lie Siauw Hiong. Pergerakannya ini
sangat cepat sekali bagaikan kilat, tapi Lie Siauw Hiong
hanya dapat menjerit dengan mengeluarkan suara : "Cian-
pwee, kau ......" Sebenarnya dia dapat melawan totokan ini dengan
menggunakan jurus 'Am-eng-pu-hiang', hanya tampak
sepasang pundaknya digeser kesamping, sedangkan badannya cepat-cepat diegoskan dan Peng Hoan Siangjin
secara sekonyong-konyong membalikkan tangan kirinya,
dari samping diputarkan kembali, kemudian kembali dia
menuju arah jalan darah yang tadi juga. Lie Siauw Hiong
yang menggunakan pergerakan kaki yang cukup sempurna,
buru-buru mundur beberapa puluh langkah, barulah dia
dapat menghindarkan totokan orang tua itu ...... apa yang
disebut menghindarkan, adalah karena disebabkan Peng
Hoan Siang-jin sudah duduk kembali dan tidak melancarkan serangan selanjutnya.
Dengan mata yang terbelalak saking herannya, Lie
Siauw Hiong lalu memikirkan tipu totokan yang
dilancarkan tadi oleh Peng Hoan Siang-jin, karena waktu
dia tadi menghindarkan serangannya ini, dengan terang-
terangan dia melihat dengan nyata, yang totokannya itu
dilancarkan dari satu tempat yang agak miring. Ilmu
totokan semacam ini sungguh-sungguh sangat aneh sekali,
karena bila kurang hati-hati, sekalipun seseorang sudah
menghindarkan diri, tapi tokh akhirnya masih dapat
tertotok juga. Peng Hoan Siang-jin sendiri menundukkan kepalanya,
seakan-akan dia tengah memikirkan sesuatu yang telah
melibat dirinya. Kemudian pandangannya dialihkannya
kemuka Lie Siauw Hiong dan dengan mesra sekali dia
menunjukkan senyumannya yang manis, sedangkan
mukanya yang tadi tampak ruwet memikirkan sesuatu, kini
agaknya sudah tak tampak lagi.
Hal ini sungguh membuat Lie Siauw Hiong merasa
sangat heran, sedangkan Peng Hoan Siang-jin dengan
tertawa lalu berkata : "Tanpa menanyakan siapakah
gurumu lagi, aku sebaliknya ingin bertanya kepadamu, Bu
Heng Seng waktu menotokmu, bukankah itu dengan cara
'Hut-hiat', persis seperti yang aku lakukan tadi ?" Menyusul
perkataannya ini, lalu lengan kanannya terangkat, dengan
berkelebatnya satu bayangan tangan bajunya, jarinya telah
menotok jalan darah 'Kiok-tie' ditubuh Lie Siauw Hiong.
Lie Siauw Hiong pun ingat, bahwa Bu Heng Seng pun
menggunakan cara yang aneh ini untuk menotok dirinya,
tapi dia tidak pernah menyangka, bahwa ilmu totokan
tersebut adalah siasat 'Hut-hiat' yang sudah lama
menghilang dari kalangan rimba persilatan, maka dalam
pada itu, diapun mengangguk-anggukkan kepalanya
mengiakan. Muka Peng Hoan Siang-jin tampak berseri-seri kegirangan, lalu dia berkata : "Dengan mengandalkan
kemampuanmu, aku percaya bahwa dalam satu jurus
sebenarnya kau masih dapat meloloskan dirimu dari
serangannya, hanya pada waktu kau menghadapinya,
mungkin sekali kau terlampau tegang, maka barulah dengan
satu kali totok saja kau sudah dibikin tidak berdaya oleh Bu
Heng Seng. Aku malah mengira, selama sepuluh tahun
tidak melihat tampangnya si Bu Heng Seng ini, tenaga
dalam dan kepandaiannya entah sudah maju berapa tingkat,
hingga tidak disangka yang dia masih saja menggunakan
siasat 'Hut-hiat' yang dulu-dulu juga. Hahaha, ilmu 'Hut-
hiat'nya ini sekali pun bukan ilmu biasa, tapi tidak dapat
digolongkan dalam ilmu yang paling sempurna dan sejati."
Sambil berkata begitu, mukanya tampak sangat bangga
sekali. Lie Siauw Hiong sendiri sekalipun sangat membenci
sampai ketulang-tulangnya terhadap Bu Heng Seng, tapi
terhadap kepandaiannya pribadi dia sangat kagumi sekali.
Pada saat ini tatkala melihat Peng Hoan Siang-jin sangat
memandang ringan terhadap ilmu totokan 'Hut-hiat' dari Bu
Heng Seng itu sekalipun diam-diam dia merasa sangat
girang sekali, walaupun didalam hati kecilnya diapun agak
tidak mempercayainya. Peng Hoan Siang-jin lalu memandang padanya kembali
sambil tersenyum-senyunm, sepasang tangannya dipentangkan, tangan kirinya lalu digerakan kebawah
dengan lima jari-jarinya dibuka bagaikan cakar burung
garuda. Lie Siauw Hiong yang memang sangat cerdik ini,
melihat cara Peng Hoan Siang-jin memperlihatkan cara
tersebut, lantas dia ingat-ingat tipu yang bagus ini, karena
dia ketahui bahwa tipu tersebut diciptakan oleh Peng Hoan
Siang-jin khusus untuk melayani tipu Bu Heng Seng tadi.
Begitulah dengan mengikuti gerak-gerik tangan Peng Hoan
Siang-jin ini, Lie Siauw Hiong melatih dirinya sendiri,
sedang dalam hatinya tidak terasa lagi dia merasa amat
gembira akan tanpa diminta menerima petunjuk yang
sangat berharga ini. Menyaksikan peristiwa ini, Peng Hoan
Siang-jin memanggut-anggukkan kepalanya, menandakan
bahwa hatinya merasa puas, karena seakan-akan dia hendak
mengatakan, bahwa anak muda ini sungguh cerdik sekali
dan mudah menerima pelajaran yang tadi telah diperlihatkannya. Setelah berdiam diri sejurus kemudian,
Peng Hoan Siang-jin lalu berkata pula : "Bocah, tahukah
kau berapa umurku sekarang ?"
Lie Siauw Hiong yang melihat muka yang bersemangat
dan janggut yang berwarna putih, baginya sangat sukar
sekali untuk menerka berapa umur orang tua itu, sehingga
dengan segera menggelengkan kepalanya menyatakan tidak
tahu. Peng Hoan Siang-jin lalu berkata pula : "Sekalipun aku
sendiri juga tidak dapat menyebutkannya dengan pasti,
hanya pada dua puluh tahun yang lampau ketika Bu Heng
Seng menghadiahkan aku alat musik 'Ceng' ini, ketika itu
umurku telah mencapai 'Samkap' (180 tahun). (Satu kap
berarti enam puluh tahun). Jadi (Sam-kap atau tiga kap
berarti seratus delapan puluh tahun). Ai, sekarang alat
musik ini telah aku rusakkan sedikit banyak alat musik ini
sudah termasuk barang nan antik sekali," kata orang tua itu
pula. Lie Siauw Hiong yang mendengar Peng Hoan Siang-jin


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata demikian, tidak terasa lagi dia menjadi sangat
terkejut sekali. Waktu dia mendengar yang si Hweeshio itu
sekarang sudah berumur dua ratus tahun, tidak heranlah
bila tenaga dalamnya sedemikian hebatnya, hingga tidak
terasa lagi baru sekarang dia menjadi insyaf.
Ternyata bila seseorang ingin mencapai satu tingkat yang
paling sempurna dalam ilmu dalamnya, sedikitnya orang itu
harus melatih dirinya sampai tua, bila sampai seseorang
sudah melatih dirinya sampai ditingkat yang dicita-citakan,
maka badan orang itu menjadi sangat sehat, sehingga tidak
lekas nampak tua. Tapi kecualian dari hal ini tentu saja ada,
ambil saja misalnya terhadap Bu Kek Too-cu Bu Heng
Seng. Setelah dia makan buah mujijat itu, dia dapat
mempertahankan badannya tetap saja awet muda, sehingga
siapa yang memandangnya akan menduga bahwa dia
paling banyak baru berusia tiga sampai empat puluh tahun
saja tuanya, sedangkan tenaga dalam Peng Hoan Siang-jin
yang sudah melatih dirinya sampai usia dua ratus tahun ini,
tentu saja kepandaiannya sudah tidak ada batas-batasnya
lagi. Waktu Lie Siauw Hiong memikirkan kesemuanya ini,
Peng Hoan Siang-jin berkata pula : "Bu Heng Seng hanya
mengandalkan tenaga dari buah dewa ini saja, bila tidak
demikian halnya, maka tenaga dalam yang dimilikinya itu,
mana mungkin dapat digolongkan sejajar dengan sebutan
'Tiga Dewa Diluar Dunia' itu ?"
Tenaga dalam Peng Hoan Siang-jin lebih tinggi daripada
Bu Heng Seng tidak kurang dari seratus tahun latihan. Hal
itu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang singkat
saja, karena untuk menerangkan soal ini, pasti akan
memakan waktu yang lama pula. Tapi kenyataannya
setelah Bu Heng Seng memakan buah dewa ini, apalagi dia
sangat pintar, maka dia dapat menandingi dua rekannya
yang usia maupun waktu latihannya jauh melebihi daripada
dirinya sendiri. Maka akhirnya orang-orang telah menyebut
mereka bertiga dengan julukan 'Tiga Dewa Diluar Dunia'.
Setiap detik Lie Siauw Hiong mendengar Peng Hoan
Siang-jin mencela kepandaian Bu Heng Seng ini. Dalam
dadanya terasa sangat girang sekali, tapi waktu dia berpikir
bahwa orang tersebut sudah mencapai latihan demikian
sempurnanya, tidak terasa lagi dia sendiri menjadi putus asa
kembali, tapi satu hal yang aneh ialah mengapa Peng Hoan
Siang-jin sangat memperhatikan sekali terhadap kepandaian
yang dimilikinya. Peng Hoan Siang-jin tampaknya seolah-olah seorang
yang sudah lama sekali tidak pernah bercakap-cakap
dengan orang, juga seperti dia merasa berjodoh sekali
dengan diri pemuda Lie Siauw Hiong ini, hingga dengan
sangat asyiknya dia terus saja mengoceh : "Empat puluh
tahun yang lampau, kami tiga orang pernah merundingkan
dan memperdebatkan soal kepandaian kami. Bu Heng Seng
yang setelah memakan buah dewa, mukanya tidak berubah
dan tetap awet muda. Dalam hal ini sudah tentu dia dapat
memenangkan aku, tapi bila kami mempersoalkan tenaga
dalam, si Bu Heng Seng itu dengan sendirinya mengaku
kalah dengan aku, hanya Siauw-ciap-too-cu Hui Tay Su
tidak mengaku kalah denganku. Seperti aku yang sudah
berusia lanjut sekali, bagaimana aku ingin bertanding
dengan dia seorang wanita " Tapi tak disangka si nenek itu
mulutnya jahat dan amat berbisa, lantas dia mengatur
barisan dari kota kuno ini, mengurung aku selama sepuluh
tahun lamanya. Barisan ini sungguh aneh sekali, sepuluh
tahun lamanya aku belum juga berhasil memecahkan
barisannya. Besok pagi adalah batas waktu yang telah kami
tetapkan berdua. Bila sampai besok aku masih juga belum
dapat memecahkan barisan ini, maka tidak ada jalan lain
daripada harus menghancurkan barisan ini saja."
Sekarang Lie Siauw Hiong baru insyaf. Ia maklum
bahwa Peng Hoan Siang-jin dan Hui Tay Su sedang
mengadu kepandaian. Tidak heranlah bila tadi dia
mendengar alat musik yang dimainkan kakek itu
mengandung nada penuh kemurkahan yang sangat hebat
sekali. Dia berpikir, sekalipun orang tua itu pernah
mengatakan bahwa dia yang sudah mencapai umur setinggi
itu, sudah tentu tidak mau dia mengadu kekuatan dengan
lawannya, tapi kenyataannya ialah, bahwa dia yang sudah
dua ratus tahun lamanya mengasingkan diri agaknya masih
ingin menang sendiri saja, namun masih juga belum dapat
mengendalikan dirinya sendiri.
Waktu berpikir bahwa orang tua ini hendak menghancurkan seluruh pulau ini dengan kekuatan latihan
tenaga dalamnya yang sudah terlatih selama enam puluh
tahun belakangan ini, diapun berpikir, bahwa pulau yang
sekecil ini, sudah tentu belum berapa lama berselang
muncul dari permukaan laut, maka bila orang ingin
menghancurkannya, sudah barang tentu tidak akan begitu
mudah adanya. Lie Siauw Hiong teringat perkataan kakek
itu yang mengatakan, bahwa pulau itu adalah 'Siauw-ciap-
too'. Apakah Siauw-ciap-too ini bukannya termasuk Tay-
ciap-too. Ketika dia mengangkat kepalanya memandang
pada batu dihadapannya yang menjulang kelangit, dia
melihat tiga huruf 'Siauw-ciap-too', tapi mengapa Hui Tay
Su tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali "
Peng Hoan Siangjin tidak menghiraukan apa yang
sedang dipikirkan oleh Lie Siauw Hiong ini. Telah sepuluh
tahun lamanya dia tidak pernah menjumpai orang, kini dia
berhadapan dengan pemuda ini, lalu dengan sendirinya dia
lepaskan seluruh isi hatinya pada pemuda ini. Tak putus-
putusnya dia menceritakan kegagahannya dimasa-masa
yang lampau. Lie Siauw Hiong hanya membisu saja
mendengarkan dia bercerita. Menyaksikan aksi pemuda ini,
si Hweesio merasa kurang enak, maka tiba-tiba dia berkata
dengan suara yang memuji pada si pemuda katanya : "Kau
Loo-tee (saudara muda) umurmu masih sangat muda sekali,
tapi tenaga dalammu demikian sempurnanya, sesungguhnya sukar dicari orang kedua seperti kau ini.
Tidak kusangka bahwa didaerah Tiong Goan (Tiongkok
sekarang) masih ada orang yang mempunyai kepandaian
demikian dan dapat mengajarkan kau pelajaran demikian
rupa ini." Bila orang lain mendengar dirinya dipuji demikian rupa
oleh 'Tiga Dewa Diluar Dunia', tentu saja dia akan menjadi
angkuh dan sombong sekali, tapi bagi pemuda Lie Siauw
Hiong ini, dia tidak merasa girang apa-apa, karena
kepercayaannya terhadap dirinya sudah banyak berkurang.
Dan sewaktu mendengar pujian orang tua itu, mukanya
tetap saja tidak berubah.
Peng Hoan Siangjin sendiri terhadap Lie Siauw Hiong
merasa cocok satu sama lain, dia membahasakan Lie Siauw
Hiong dengan sebutan 'Loo-tee'. Sebutan itu dapat
disejajarkan dengan dirinya sendiri, padahal menurut
tingkatan yang sebenarnya sudah lebih dari pantas bila dia
menjadi kakek besarnya. Kakek itu memanggil pemuda itu
dengan sebutan 'Loo-tee', bukankah itu sangat lucu sekali "
Pada saat itu, ketika orang tua itu melihat Lie Siauw
Hiong seakan-akan kehilangan semangat, dengan segera dia
berkata : "Apakah kau mengira bahwa yang kau telah
dikalahkan oleh Bu Heng Seng disebabkan karena tenaga
dalammu lebih rendah daripadanya " Tapi kenyataannya
ialah, bahwa kau telah melupakan suatu hal yang paling
penting." Peng Hoan Siangjin melanjutkan : "Kau telah melupakan
'tenaga dalam' dua huruf. Bu Heng Seng yang telah makan
buah dewa, ditambah lagi dengan latihannya yang lamanya
ratusan tahun, dengan demikian kau bocah yang baru
berusia dua puluh tahun lebih, dimanalah dapat menjadi
lawannya yang setimpal ?"
Lie Siauw Hiong yang memangnya sangat cerdik sekali,
beberapa kali dia telah dikalahkan oleh Bu Heng Seng
secara mengecewakan sekali, dengan demikian perasaannya
terhadap kemampuannya sendiri menjadi banyak berkurang. Ketika dia mendengar anjuran dan pengerahan
semangat dari Peng Hoan Siang-jin, dengan cepat dia insyaf
bahwa dirinya dapat dikalahkan oleh Bu Heng Seng dengan
demikian gampangnya disebabkan karena tenaga dalamnya
masih terpaut jauh sekali dengan lawannya.
Waktu dia berpikir bahwa latihan orang mengenai
tenaga dalam sudah mencapai ratusan tahun lamanya, dia
sangsi seumur hidupnya mungkin belum dapat menyusulnya, maka tidak terasa lagi pengharapannya
menjadi putus kembali. Peng Hoan Siang-jin lalu berkata
lagi : "Kau lihatkah batu disana itu ?" Sambil berkata dia
menunjuk pada batu sangat besar sekali yang terdapat
dihadapannya. Lie Siauw Hiong melihat batu tersebut sangat besar dan
kuat sekali tampaknya. Dia menjadi heran mengapa Peng
Hoan Siang-jin memperlihatkan batu tersebut kepadanya,
tapi keheranannya tak lama dirasakannya, karena kemudian
tampak tangan Peng Hoan Siangjin digerakkan sedikit,
dengan mengeluarkan suara hembusan angin yang
menjurus kebatu raksasa itu, hingga dalam seketika saja
batu raksasa itu menjadi hancur lebur.
Lie Siauw Hiong yang melihat pukulan itu dilakukan
oleh Peng Hoan Siangjin dari jurus yang biasa saja, yaitu
yang disebut 'Ngo-heng-ciang-hwat', tapi tipu tersebut
waktu dipakai oleh Peng Hoan Siangjin, ternyata tenaganya
sedemikian luar biasanya, hingga dengan demikian barulah
mata Lie Siauw Hiong menjadi terbuka akan rahasia 'tenaga
dalam' ini. Dengan perasaan yang bangga sekali, Peng Hoan
Siangjin lalu berkata pula : "Dengan menyaksikan hal ini,
agaknya kaupun mempercayai perkataanku sekarang,
bukan " Omong terus terang, kau tidak usah terlampau
memandang tinggi terhadap Bu Heng Seng itu. Aku situa
bangka tidak usah menurunkan satu jurus dari golonganku,
aku hanya melanjutkan pelajaranmu
saja, dengan menggunakan kepandaian yang dimiliki oleh ajaran
gurumu sendiri, aku jamin bahwa kau pasti dapat
menyambut ratusan jurus padanya, maka hal itu boleh tak
usah kau terlampau pikirkan."
Sekalipun Lie Siauw Hiong seorang yang sangat cerdik
dan pandai, tapi pada saat itu dia hanya dapat
menggelengkan kepalanya saja, menandakan yang dia tidak
mempercayai perkataan orang tua itu. Dalam hatinya dia
berpikir : "Sekalipun benar Bu Heng Seng telah makan buah
dewa dan menjadi sedemikian hebatnya, tapi disamping itu
tenaga dalamnya sendiri pun memang sudah dilatih dengan
sempurna sekali. Tenaga dalam Peng Hoan Siangjin
sekalipun benar sangat tinggi sekali, tapi bila dia ingin
dalam waktu yang pendek dapat mengajarku sehingga aku
dapat melayani Bu Heng Seng bertempur sehingga ratusan
jurus, aku kuatirkan bahwa hal itu tidak mungkin akan
terjadi." Peng Hoan Siangjin waktu melihat Lie Siauw Hiong
menggelengkan kepalanya, suatu tanda bahwa ia tidak
percaya akan perkataannya, tidak terasa lagi dia menjadi
marah dan lalu berkata : "Apakah kau benar berani tidak
mempercayai perkataanku ?"
Lie Siauw Hiong berkata : "Sekalipun kepandaian Loo-
cian-pwee tidak ada tandingannya didunia ini, tapi
kemampuan Boan-pwee terpaut jauh sekali dengan orang
lain, hingga dengan sendirinya Boan-pwee tidak mempunyai keyakinan bahwa Boan-pwee akan berhasil
dalam usahaku kelak."
Peng Hoan Siangjin seakan-akan mudah sekali menjadi
marah, maka dalam pada saat itu dengan penuh kemarahan
dia berkata lantang : "Apakah omonganmu ini benar-benar ?"
Lie Siauw Hiong melihat dia menjadi demikian
murkanya, dengan muka berseri-seri dia menjawab : "Boan-
pwee berpendapat demikian." Dalam hatinya dia malah
menertawakan orang tua yang sudah berumur dua ratus
tahun itu, karena dia ternyata masih mempunyai sifat
seperti kanak-kanak saja. Dan jikalau pada waktu itu dia
masih muda usianya, sudah barang tentu kesombongannya
pun bukan buatan agaknya.
"Bagus, marilah kita bertaruh," ulas Peng Hoan Siangjin
lagi, seakan-akan memaksa Lie Siauw Hiong agar
mempercayai akan kata-katanya.
Lie Siauw Hiong yang melihat orang tua itu berbicara
dengan jujur, diapun terpaksa menuruti perkataannya dan
lalu berjalan menghampirinya.
Peng Hoan Siang-jin segera memutar tangannya dan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gayanya ini dia bermaksud menotok diri Lie Siauw
Hiong. Pergerakannya ini sangat cepat bagaikan samberan
kilat saja. Dengan mengeluarkan seluruh kemampuannya, Lie
Siauw Hiong berusaha untuk menghindarkan dirinya, tapi
seketika itu diapun tertotoklah sehingga tak berdaya.
Seluruh badannya dirasakan sangat lemas sekali, sehingga
sedikit tenagapun tidak dapat dikerahkannya.
Tapi segera dia merasakan sepasang nadinya dimasuki
hawa hangat menembus keseluruh badannya, hawa hangat
itu terus menembus dijalan-jalan darahnya, sekalipun dia
sendiri tidak mengeluarkan tenaga apa-apa, tapi kaki dan
tangannya dirasakan demikian bebas dan segarnya
bergerak. Hal mana, sudah tentu baginya merupakan suatu
keajaiban. Perlahan-lahan peredaran hawa hangat itu semakin cepat
saja jalannya. Hawa hangat itu mendesak dirinya supaya
dia sendiri dengan mengeluarkan kepandaiannya dari
partainya sendiri melawan hawa hangat itu. Setelah dia
menggunakan tenga dalamnya, lantas hawa hangat itu
menembus dan beredar diseluruh badannya, hingga pada
saat itu juga dia merasa tubuhnya bukan buatan segarnya.
Waktu dia melirik pada Peng Hoan Siangjin, pada saat
itu dilihatnya muka Peng Hoan Siangjin tampak tenang-
tenang saja, sedangkan disudut mulutnya tersungging
sebuah senyuman yang manis. Maka dengan demikian
kemarahannya tadi kini sudah buyar sama sekali dan
mukanya yang merah kini tampak berseri-seri, sedangkan
dari kepalanya yang gundul tampak uap putih berkepul-
kepul keluar. Lie Siauw Hiong yang cerdik diwaktu
menyaksikan peristiwa ini, diapun lekas maklum bahwa
Peng Hoan Siangjin baru saja memarahinya, disebabkan
karena orang tua ini ingin menyempurnakan latihan tenaga
dalamnya. Sejurus kemudian sepasang tangan Peng Hoan Siangjin
menjadi kendor, sambil tertawa dia berkata : "Sekarang kau
boleh mengatur pernapasanmu serta tenaga dalammu, akan
dilatih satu kali lagi, dan sesudah itu, kau boleh coba-coba
memukul batu dihadapanmu itu."
Lie Siauw Hiong menurutkan perkataan orang tua itu,
lalu dia melatih tenaga dalamnya satu kali, kemudian
dengan mengerahkan semangatnya ia menggunakan tipu
'Jie-long-gok-kay-kiong' (malaikat Jie Long melepaskan
panah), telapak tangannya dipukulkannya kearah batu
dihadapannya, sehingga sesaat itu juga telah mengeluarkan
suara yang sangat menggemuruh. Dan berbareng dengan
itu, batu karang dihadapannya yang demikian besarnya itu
pun berhasil dipukulnya sehingga hancur lebur. Lie Siauw
Hiong ketika menyaksikan hasil pukulan ini, tidak terasa
lagi dia menjadi bengong terbata-bata.
Peng Hoan Siangjin secara diam-diam sudah menyalurkan tenaga dalamnya yang paling hebat, yang
sudah dilatihnya selama dua puluh tahun ini, kebadan Lie
Siauw Hiong. Hasil latihan dua puluh tahun dari Peng
Hoan Siangjin ini, jika dia menyuruh Lie Siauw Hiong
sendiri melatih dirinya, paling sedikit dia harus memakan
waktu enam puluh tahun lamanya baru bisa berhasil, maka
tidak mengherankanlah bila tenaga Lie Siauw Hiong ini
sekarang sudah sangat luar biasa sekali hebatnya.
Lie Siauw Hiong buru-buru menjatuhkan dirinya berlutut
memberi hormat kepada orang tua itu. Kemudian Peng
Hoan Siang-jin sambil mengebutkan sepasang lengan
bajunya, mengangkat bangun tubuh Lie Siauw Hiong
sambil tertawa besar dan berkata : "Bocah, kau tidak usah
berterima kasih kepadaku. Aku juga sudah menarik tidak
sedikit pelajaran dari kepandaian latihan tenaga dalammu.
Jika sekiranya kau sendiri tidak mempunyai satu
kemampuan yang dapat dipersatukan dengan kekuatanku
sendiri, hal itu tidak mungkin akan terlaksana. Sekarang
agaknya kau boleh yakin dan percaya, bahwa kepandaian
yang kau miliki dari partaimu sendiri tidak akan berada
disebelah bawahnya dari kepandaian Bu Heng Seng itu,
bukan ?" Lie Siauw Hiong lalu mengangkat kepalanya memandang pada wajah yang merah dan rasa belas kasihan
dari orang tua itu. Dapat dibayangkan andaikata pada saat
itu ada orang yang menyuruh dia mati untuk membela
orang tua itu, diapun akan merasa rela berkorban.
Peng Hoan Siangjin melanjutkan kata-katanya : "Dari
caramu melatih tenaga dalammu, aku dapat menerka yang
kepandaian gurumupun pasti luar biasa sekali dalam ilmu
pedang. Sekarang aku ingin kau memperlihatkan barang
dua tiga jurus kepandaian ilmu pedangmu. Aku ingin
menyaksikan kepandaianmu dalam lapangan itu, sudah
sampai ditaraf mana ?"
Diam-diam Lie Siauw Hiong berkata : "Oh, kau rupanya
ingin menyaksikan kepandaian ilmu pedangku juga ?"
Tidak terasa lagi hatinya menjadi girang sekali.
Diapun berpikir bila nanti waktu dia memperlihatkan
ilmu pedangnya, kalau ada cacatnya, Peng Hoan Siangjin
pasti akan memberi petunjuk-petunjuk yang berharga untuk
memperbaikinya. Melihat kesempatan yang sangat baik serta menguntungkan dirinya ini, dia tentu tidak mau
melepaskan kesempatan baik ini begitu saja. Dalam pada
itu, dengan sembarangan saja dia lalu memungut sebatang
bambu dari tanah, dan dengan mengempos semangatnya
lalu dipakainya bambu itu sebagai ganti pedang. Disertai
angin yang menderu-deru, lalu dia mengeluarkan tipu
'Bwee-hoa-sam-long' dari warisan Bwee San Bin itu.
Jurus 'Bwee-hoa-sam-long' ini adalah salah satu jurus
yang merupakan rangkaian yang ketiga dari tipu 'Kiu-cie-
kiam-sek' dari Bweee San Bin. Dengan mengeluarkan
seluruh kemampuannya, ujung pedangnya yang terbuat dari
bambu ini dimainkannya demikian rupa, sehingga
mengeluarkan suara yang sangat nyaring, pedangnya lalu
diarahkannya ketanah yang segera terdapat tanda setengah
cun dibatu yang tergores itu.
Sekali ini kembali Lie Siauw Hiong merasa sesuatu
diluar dugaannya, pada waktu dia menerima pelajaran itu
tempo hari, Bwee San Bin pernah mengatakan kepadanya :
"'Kiu-cie-kiam-sek' sekalipun sangat luar biasa, tapi bila kau
sudah dapat menyalurkan tenaga dalammu sampai diujung
pedang itu, disitulah baru dapat dikatakan bahwa
keyakinanmu itu sudah berhasil dengan sempurna, karena
bila kau sudah mencapai taraf yang demikian ini, barulah
kau dapat mengeluarkan tenaga yang sangat luar biasa
sekali. Tapi untuk mencapai taraf demikian ini paling
sedikit kau harus melatih diri selama enam puluh tahun
lamanya, barulah mungkin bisa berhasil. Tidak perduli
betapapun rajinnya kau dan betapapun berbakatnya kau,
bila dalam umur yang semuda ini kau pasti tidak mungkin
dapat mencapai batas itu." Tapi sekarang pada detik ini, Lie
Siauw Hiong telah mencapai tingkat yang dicita-citakannya,
tentu saja dia merasa bukan buatan gembiranya.
Pada sebelum selesai dia menggunakan tipu 'Bwee-hoa-
sam-long', pergelagan tangannya lalu diputarnya dengan
mengeluarkan suara, kemudian dia memandang ketempat
yang jauh, dan diujung pedang bambunya ini, dia dapat
membedakan seakan-akan ada bunga bwee tengah bermain
disitu, maka dengan sekonyong-konyong pula lalu dia
berseru, dengan ujung bambu itu ditusukkannya kemuka.
Jurus ini datangnya dari arah samping dan pergerakannya sedemikian sempurnanya, sehingga bila ada
lawan yang berdiri dihadapannya, pasti dia tidak akan
dapat mengelakkan serangannya yang dahsyat ini, maka
dengan sekonyong-konyong saja lawannya pasti akan
merasakan tenggorokannya sudah ditusuk oleh pedang ini.
Walau bagaimanapun dia pasti tidak akan dapat
menghindarkan dirinya pula. Tipu itu adalah ciptaan Chit-
biauw-sin-kun sendiri yang disebut 'Leng-bwee-hut-bian'
(bunga Bwee yang dingin menutupi muka).
Chit-biauw-sin-kun memang seumur hidupnya dia paling
menggemari bunga Bwee. Pada suatu hari, dia telah
berjalan-jalan sampai dibalik batu dari sebuah gunung
dimana tumbuh sebatang pohon Bwee. Pohon Bwee itu
seakan-akan takut dirinya diketahui orang, maka dia
tumbuh menyendiri ditempat persembunyiannya, sehingga
orang tidak mudah mengetahuinya. Oleh karena itu, ada
sebatang cabangnya yang menjurus kejalan. Orang yang
jalan disitu bila kurang berlaku hati-hati, pasti mukanya
akan tertusuk oleh cabang pohon Bwee itu.
Hati Bwee San Bin tergerak, maka setelah dia kembali
kerumahnya, lalu dia menciptakan tipunya yang mirip
dengan cara pohon Bwee itu, maka disinilah letak kelainan
dari ilmu pedang Bwee San Bin, sehingga dengan sepintas
lalu saja sudah dapat dia menciptakan satu tipu baru yang
sangat aneh ini. Peng Hoan Siangjin sangat senang sekali terhadap
pemuda ini, yang pada saat itu dipandang wajahnya sambil
menunjukkan senyumannya, sedangkan pedang bambu
ditangan Lie Siauw Hiong terus mengeluarkan tipu-tipu
yang hebat. Dan pada saat itu pula perasaan putus asanya
sudah tersapu bersih agaknya, hingga tidak terasa lagi orang
tua itu kembali tersenyum.
Waktu dia melihat Lie Siauw Hiong mengeluarkan tipu
'Leng-bwee-hut-bian' ini, tidak terasa lagi orang tua itu
menjadi begitu terkejut, karena seperti diketahui, kepandaian Peng Hoan Siang-jin yang sudah boleh
dikatakan tidak ada batasnya, tidak perduli segala pukulan
maupun permainan pedang, dia sudah mengetahui sampai
pada bagian-bagian sekecil-kecilnya. Jika dia menghadapi
lawannya dalam waktu apapun, pasti dia dapat mengeluarkan tipu-tipu yang aneh-aneh untuk melawannya, dan dia pasti dapat menghindarkan dirinya
dari setiap serangan yang dilancarkan oleh lawannya itu,
tapi tipu 'Leng-bwee-hut-bian' ini ada diluar dugaannya
sama sekali. Oleh karena itulah dia menjadi sangat terperanjat. Tapi
dia yang sudah boleh dikatakan sebagai kakek leluhur
dalam ilmu silat, sekali pandang saja, lantas dia dapat
mengetahui dimana letak keistimewaannya dari tipu ini.
Tiba-tiba sambil berteriak dia berkata : "Bila aku
menggunakan tipu 'Gouw-kong-hwat-kui' (Gouw Kong
menebang pohon), bagaimana ?"
Lie Siauw Hiong sedang merasa bangga sekali
memperlihatkan tipunya ini, ketika tiba-tiba dia mendengar
orang tua itu berteriak demikian, dia menjadi berdiri
terpaku disitu. 'Gouw-Kong-hwat-kui' adalah ciptaan Peng
Hoan Siangjin sendiri, yang dengan spontan keluar dari
daya pemikirannya yang cepat. Ternyata dengan tipu yang
sederhana ini tampaknya ia dapat menandingi ilmu luar
biasa dari Chit-biauw-sin-kun.
Chit-biauw-sin-kun sendiri waktu menciptakan tipunya
ini, sebelumnya dia pernah menyelidiki segala macam tipu-
tipu partai silat yang jempolan, dan hasil ciptaannya ini
dibuat khusus untuk menghadapi tipu-tipu lawannya itu.
Tapi siapa menyangka, dengan tipu yang sangat sederhana
sekali, Peng Hoan Siangjin dapat memecahkan tipunya itu.
Hal ini, agaknya sampai pada Chit-biauw-sin-kun sendiri
pun pasti akan merasa tak dapat menduganya sama sekali.
Lie Siauw Hiong lalu melanjutkan permainan pedang
bambunya, kaki kirinya digeser maju sedikit, sedangkan
tangan kanannya yang memegang pedang bambu itu dari
arah atas disabetkan kebawah, tipu itu adalah 'Kiu-cie-kiam-
sek' jurus keenam yang disebut 'Tap-swat-Simbwee'
(menginjak salju mencari bunga Bwee).
Peng Hoan Siangjin segera tertawa mengakak sambil
berseru : "Aku menggunakan tipu 'Heng-hui-touw-kang'
(dengan lurus menyeberangi sungai)."
Lie Siauw Hiong kembali merasa terperanjat, karena
dengan kenyataan tipu 'Heng-hui-touw-kang' ini justeru tipu
yang paling sempurna untuk dipakai melawan tipunya tadi,
hingga tidak terasa lagi hatinya yang sangat haus akan
pelajaran yang aneh-aneh membangkitkan kegiatannya
untuk lebih tekun lagi dalam latihannya.


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tipu 'Heng-hui-touw-kang' ini memang sangat sempurna, tapi tipu itu masih tidak dapat digolongkan
ketingkat yang paling atas. Tipu-tipu ilmu pedang yang
diciptakan oleh Bwee San Bin kebanyakan dihasilkannya
untuk menghadapi orang-orang yang sangat ternama dari
tiap-tiap partai, sekalipun tipunya itu sangat luar biasa
sekali, tapi sebaliknya dia tidak pernah memikirkan tentang
tipu-tipu lain yang lebih sederhana.
Peng Hoan Siangjin yang sudah ngelotok sekali terhadap
kepandaian silatnya ini, sudah tentu segala tipu baik yang
paling jempolan maupun yang paling rendah, sudah dia
miliki dengan sempurna. Maka sekali pandang saja, dia
sudah dapat melihat keistimewaan dari tipu Lie Siauw
Hiong ini. Oleh karena itu, dia lalu menggunakan tipu yang
sederhana sekali untuk memecahkan tipu Lie Siauw Hiong
itu. Lie Siauw Hiong yang tengah merasa kerasukan setan
saking asyiknya, dia mengeluarkan tipu-tipu yang paling
hebat dari jurus-jururs 'Kiu-cie-kiam-sek'. Sekalipun Peng
Hoan Siangjin sambil tertawa-tawa dan menyebutkan tipu-
tipu untuk memecahkan tipu yang dilancarkan oleh Lie
Siauw Hiong itu, tapi dalam hatinya diam-diam dia merasa
terperanjat dan memuji tidak habisnya, akan kemampuan
istimewa dari Lie Siauw Hiong dalam hal permainan
pedangnya ini. Begitulah kedua orang ini yang satu memainkan pedang
bambunya, sedangkan yang lainnya menyaksikan dari
samping sambil menyebutkan tipu-tipu yang dipakai oleh
Lie Siauw Hiong itu, 'saling bertempur' secara teori.
Sesudah lewat dua puluh jurus lebih, Lie Siauw Hiong lalu
mengeluarkan tipu-tipu 'Kiu-cie-kiam-sek' yang paling hebat
itu. Ilmu pedang 'Kiu-cie-kiam-sek' ini adalah modal yang
paling diandalkan oleh Chit-biauw-sin-kun. Peng Hoan
Siang-jin satu-persatu telah memecahkannya ilmu itu, tapi
pada saat itu dia tidak bisa lagi memecahkannya dengan
tipu-tipu yang sederhana lagi, sepasang tangannyapun tidak
terasa lagi mulai bermain, dia lalu menggunakan ilmu yang
paling dibanggakan sendiri, yaitu 'Tay-yan-sin-kiam' untuk
melawan 'Kiu-cie-Kiam-sek', 'Tay-yan-sin-kiam' terdiri dari
sepuluh jurus, tapi masing-masing jurus mengandung lima
perubahan, jadi jumlah ilmu itu seluruhnya ada lima puluh
jurus. Ilmunya ini adalah yang paling dibanggakan oleh 'Tiga
Dewa Diluar Dunia'. Keistimewaannya tentu saja tidak ada
bandingannya, tidak perduli jurus-jurursnya 'Kiu-cie-kiam-
sek' sangat aneh dan beraneka ragam, tapi jika dihadapi
oleh tipu-tipu Peng Hoan Siang-jin ini, satu-persatu tipu
Chit-biauw-sin-kun dapat dipunahkan.
Maka Lie Siauw Hiong sendiri sambil melanjutkan
permainan ilmu pedangnya, diam-diam diapun memperhatikan tipu-tipu terahasia dari 'Tay-yan-sin-kiam'
ini. Dia yang memangnya sangat cerdik sekali, ditambah
lagi dengan bakatnya yang menonjol, sekalipun perubahan
'Tay-yan-sin-kiam' itu tak ada batas-batasnya, setiap jurus
yang dia telah lakukan itu, dia ingat baik-baik didalam
hatinya. Oleh sebab itu, pada saat itu banyak sekali tipu-
tipu yang dulunya belum dapat dia pecahkan rahasianya,
kini dia mulai mengerti dengan jelas sekali, begitulah
dengan cermatnya dia mengingat-ingat tiap-tiap tipu yang
sangat lihay ini. Pada saat itu 'Tay-yan-sin-kiam' telah dimainkan habis
satu kali, Peng Hoan Siang-jin tampaknya sengaja
mengeluarkan tipunya ini agar dapat diingat baik-baik oleh
pemuda ini. Peng Hoan Siang-jin tambah lama tambah menginsyafi,
bahwa gurunya Lie Siauw Hiong pasti termasuk golongan
orang yang sangat luar biasa sekali, maka dengan diam-
diam didalam hatinya dia mengakui sejujurnya, bahwa
Chit-biauw-sin-kun sesungguhnya orang yang paling
terkemuka di Tiong Goan. 'Kiu-cie-kiam-sek' pun sudah sampai pada jurus-jururs
kesepuluh yang terakhir. Kesepuluh jurus ini adalah yang
secara susah payah entah sudah berapa banyak mengeluarkan keringat dan darah, barulah berhasil
diciptakan oleh Bwee San Bin, dengan jurus yang pertama
bernama 'Han-bwee-touw-jwe' (bunga bwee menjulurkan
benang sari), seakan-akan ada ribuan bayangan golok yang
menutupinya, sehingga membuat orang tidak dapat
menjaganya, Peng Hoan Siang-jin yang melihat tipu
tersebut, tampaknya dia jadi sangat tercengang, karena bila
dia disuruh menjaga dirinya sendiri dari serangan itu,
gampangnya seperti juga orang yang membalikkan telapak
tangan saja, tapi bila disuruh membalas serangan tersebut
dengan sama baiknya, untuk sesaat dia masih tidak mampu.
Begitulah satu leluhur ahli silat kena dibikin terpaku oleh
tipu serangan yang sangat luar biasa dari Chit-biauwsin-kun
ini. Lie Siauw Hiong pun terpaksa menghentikan serangannya, kini dia sedang menantikan tipu apakah yang
akan dipakai oleh Peng Hoan Siang-jin untuk membalas
serangannya ini. Sesudah lewat sepemakanan nasi lamanya, tangan kiri
Peng Hoan Siangjin tampak bergerak, tangan kanannya
dengan membentuk sebuah lingkaran lalu diajukannya
kemuka. Tipu ini tidak diketahui apa namanya, tapi ini justeru
dapat memusnahkan tipu serangan 'Han-bwee-touw-jwe'
dari Lie Siauw Hiong itu, bahkan tipu tersebut masih
sanggup diteruskan menotok jalan darah dipundak Lie
Siauw Hiong, tipu mana sesungguhnya harus diakui sangat
luar biasa sekali. Tengah Lie Siauw Hiong menghela napas, karena dia
belum dapat memecahkan tipu lawannya ini, secara
sekonyong-konyong saja terdengar suara tertawa yang aneh
dan nyaring : "Oh, Loo Ho-siang ternyata ingin menerima
murid, karena agaknya engkau takut bahwa ilmumu itu
akan terkubur dalam barisan ini. Oleh karena itu, engkau
ingin mewariskan ilmu tersebut kepada orang muda ini,
bukankah begitu maksudmu ?"
Lie Siauw Hiong lalu mengangkat kepalanya memandang, ternyata diatas sebuah batu berdiri seorang
pendeta wanita yang sudah lanjut juga usianya, dimana
sambil tertawa dingin dia berkata pada Peng Hoan Siang-jin
: "Masih ketinggalan satu jam lagi, kau harus berlaku hati-
hati." Peng Hoan Siangjin sebenarnya sedang merasa sangat
gembira dengan tipu-tipu ilmu pedangnya, akan tetapi
ketika dia mendengar perkataan pendeta wanita itu,
mukanya yang sedang tersenyum lantas ditarik dan serta
merta dia menunjukkan paras marah, hingga sambil
mengangkat kepalanya dia berkata : "Loo Nie Poo (pendeta
wanita tua), kau jangan berlaku terlampau temberang !
Waktu masih ada satu jam lagi !"
Pendeta wanita tua itu sambil menunjukkan senyum
dingin lalu berkata dengan tawar sekali : "Barisanku ini
telah kuatur begitu rupa, sehingga selama jangka waktu
sepuluh tahun kau masih tidak mampu memecahkannya.
Dari itu, janganlah kau berlaku sombong !"
(Oo-dwkz-oO) Jilid 15 Peng Hoan Siangjin tampaknya menjadi marah
mendengar ejekan pendeta wanita tua itu, hingga dengan
mengeluarkan tenaga dalam yang sempurna dia berteriak
sekeras-kerasnya, yang mana telah membuat anak telinga
Lie Siauw Hiong dirasakan hendak pecah. Bersamaan
dengan itu, terdengarlah Peng Hoan Siang-jin berkata
dengan penuh kebencian : "Loo Nie Po, janganlah kau
lekas-lekas merasa bangga, sehingga kau membikin aku
marah ! Karena bila aku sudah menjadi marah, maka
jangan disesalkan jika nanti aku sampai menghancurkan
seluruh pulaumu ini."
Pendeta wanita tua itu seakan-akan menjadi terperanjat
mendengar perkataannya itu, tapi dengan suara tertawanya
yang wajar terdengarlah dia berkata :
"Untuk memberitahukan kepadamu, itupun tidak ada
halangannya apa-apa. Barisanku ini bernama 'Kwie-goan-
su-siang-tin', bila kau menganggap ini 'Kie-bun-ngo-heng-
tin', maka kelirulah dugaanmu itu."
Kemudian diapun tertawa kembali, badannya segera
bergerak dan dalam waktu sekejap mata saja dia sudah
menghilang hingga tidak tampak bekas-bekasnya lagi.
Dalam hatinya Peng Hoan Siangjin merasa malu sekali,
karena sesungguhnyalah selama sepuluh tahun dia mengira
bahwa barisan lawannya ini adalah barisan 'Kie-bun-ngo-
heng-tin', jadi dengan sendirinya diapun sia-sia saja
memecahkan barisan ini, maka tanpa terasa pula diapun
lalu menghela napas. Lie Siauw Hiong yang sangat cerdik sekali, dengan
sendirinya diapun tahu, bahwa pendeta wanita tua itu
tentulah majikan dari pulau Siauw-ciap-too, yaitu Hui Tay
Su. Waktu dia mendengar perkataan Hui Tay Su itu,
diapun mengetahui, bahwa diantara kedua orang ini sedang
melakukan pertarungan untuk mempertahankan barisan
disatu pihak, sedangkan yang lainnya akan memecahkan
barisan itu dengan jangka waktu sepuluh tahun.
Pertarungan itu sampai saat itu hanya ketinggalan satu jam
saja lagi, tapi Peng Hoan Siangjin tetap tidak berdaya
memecahkan barisan ini, hingga tidak terasa lagi didalam
hati Lie Siauw Hiong pun ikut gelisah terhadap Peng Hoan
Siangjin. Waktu pertama kali dia masuk kepulau ini, diapun
mengira bahwa barisan tersebut adalah 'Kie-bun-ngo-heng-
tin', tapi tadi dia mendengar dengan jelas sekali, bahwa
barisan ini bernama 'Kwie-goan-su-siang-tin', sehingga
hatinya sekonyong-konyong tergerak.
Dulu Chit-biauw-sin-kun waktu membahas soal permainan catur, diapun pernah memberitahukan kepadanya seluruh tipu-tipu dari barisan itu, hanya tinggal
'Kwie-goan-su-siang-tin' ini yang diberitahukannya, bahwa
barisan ini adalah barisan yang sudah sangat kuno sekali,
hingga barisan itu sekarang sudah lama lenyap. Bwee San
Bin karena merasa mempunyai tempo yang terluang, maka
diapun keburu membahas pula barisan ini sehingga
sebanyak tujuh atau delapan bagian.
Kini dengan sendirinya dia mempunyai keyakinan,
bahwa barisan ini tentunya dapat dia pecahkan juga, oleh
karena itu, dengan perasaan penuh harapan dia lalu berkata
: "Dalam dunia ini kecuali aku seorang, barangkali tidak
ada orang lainnya lagi yang mengenal tentang barisan ini,
hanya dikuatirkan, bahwa aku sendiripun tidak mengenalnya sehingga sempurna betul."
Pada waktu yang lamapun dia hanya mempelajarinya
secara sepintas lalu saja, maka bila dia disuruh pada saat itu
juga memecahkan barisan ini, agaknya timbul juga sedikit
kesulitan baginya. Peng Hoan Siangjyn yang pada saat itu sedang
memikirkan tentang barisan yang belum pernah sekalipun
juga dia dengar namanya ini, maka dia sendiripun merasa
sangat asing sekali. Oleh karena perasaannya sangat
bingung, maka dia tidak memperhatikan Lie Siauw Hiong
lagi. Justeru itu si pemuda sedang tekun memikirkan daya
bagaimana untuk memecahkan rahasia barisan kuno ini,
dengan jalan memusatkan seluruh ingatannya terhadap
pelbagai jalan atau cara yang dapat dicapainya. Untuk saat-
saat itu, mereka tampaknya saling membisu saja, hingga
keadaan disekeliling mereka menjadi sangat sunyi sekali,
sehingga yang terdengar hanyalah suara angin dan deburan
ombak yang memecah dipantai dan terdengar dengan
sayup-sayup. Sang waktu tanpa terasa berlalu dengan pesatnya. Tiba-
tiba Peng Hoan Siangjin tersentak dari lamunannya, lalu ia
mengangkat kepalanya memandang kelangit. Segera terasa


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olehnya bahwa jangka waktu untuk memecahkan barisan
itu hanya tinggal setengah jam lagi saja lamanya!
Peng Hoan Siangjin sekalipun telah berlatih selama
seratus delapan puluh tahun sehingga dia mempunyai
kepandaian silat dan agama Buddha yang tinggi sekali, tapi
seumurnya dia belum pernah membayangkan bahwa dia
akan menghadapi soal yang sesulit ini, Waktu dia
memikirkan temponya yang hanya tinggal setengah jam lagi
itu, diapun harus mengaku kalah dihadapan Hui Tay Su,
hingga tidak terasa lagi dia melompat bangun dengan tiba-
tiba, dan sewaktu dia berdiri, barulah dia mendusin melihat
'pemuda' yang berada dihadapannya.
Pada saat itu Lie Siauw Hiong pun tengah terpekur
memikirkan soal sulit ini, tangannya memegang satu
cabang pohon dan dengan cabang pohon itu dia menggores-
gores tanah dan membuat gambar-gambar. Sebentar
kemudian dihapusnya lagi, lalu dia mengangkat kepalanya
berpikir lagi. Peng Hoan Siangjin sekonyong-konyong berkata kepadanya : "Hei bocah, kau harus segera mencari daya
untuk berlalu dari pulau ini. Setengah jam lagi kau sudah
harus meninggalkan pulau ini, lebih jauh lebih baik, aihhhh
......" Waktu dia memperhatikan Lie Siauw Hiong yang berdiri
diam saja, tampaknya sedang memikirkan sesuatu, tidak
terasa lagi dia menjadi sangat tercengang. Waktu dia
memikirkan bagaimana kelak Lie Siauw Hiong dapat keluar
dari pulau ini, tidak terasa lagi dia menertawakan dirinya
sendiri yang bodoh. Lalu dia berjalan menghampiri Lie
Siauw Hiong, karena dia ingin menyaksikan si pemuda itu
sedang mengerjakan apakah sebenarnya "
Dia hanya melihat pemuda itu dengan cabang pohon
ditangannya tengah membuat garisan-garisan ditanah,
garisan-garisan sangat banyak sekali, seakan-akan tidak
beraturan sekali dan sangat ruwet bukan buatan tampaknya.
Peng Hoan Siangjin tidak mengetahui apa yang sedang
dikerjakan pemuda ini, tapi karena dia merasa sangat aneh,
dia lalu membungkukkan badannya memandang lebih
cermat lagi, sehingga tanpa disadarinya, misainya yang
panjang itu menempel dileher pemuda itu.
Tiba-tiba Lie Siauw Hiong mengeluarkan suara 'Ihhh',
lalu dia menggunakan kakinya menghapus seluruh garisan-
garisan itu, sedangkan kepalanya tampak dimiringkannya,
seakan-akan dia sedang mengingat-ingat sesuatu. Peng
Hoan Siangjin pun mulai tenggelam lagi dengan
pemikirannya. Didalam hati dia sudah mengambil
keputusan, yaitu ingin menggunakan kekuatan latihannya
selama seratus delapan puluh tahun itu untuk meratakan
pulau itu, sedangkan terhadap akibatnya sama sekali tidak
diperhitungkannya lagi. Bila dia turun tangan sekarang, pasti jiwa Lie Siauw
Hiong akan menjadi korbannya, maka diam-diam Peng
Hoan Siangjin berkata pada dirinya sendiri : "Walaupun
aku adalah pemimpin dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia' tapi
aku tidak berhak mengorbankan jiwa anak muda ini. Tapi,
bagaimana mungkin aku harus mengakui kelemahanku
dihadapan pendeta wanita tua itu ?"
Bila sebelum mengerjakan sesuatu Peng Hoan Siangjin
menimbang masak-masak terlebih dahulu, pasti dia harus
mengakui, bila dia harus meratakan pulau ini, adalah satu
pekerjaan yang sia-sia saja. Mengapa dia harus menunggu
sepuluh tahun lamanya, bukankah hal itu tidak usah dia
pertarungkan dengan jalan mengadu kepintaran dengan Hui
Tay Su " Peng Hoan Siangjin lalu memandang kelangit lagi,
dia sadar bahwa waktu yang ditentukan sudah tidak lama
lagi akan sampai, hal itu cukup bila dia hancurkan
pikirannya tadi. Tiba-tiba satu pikiran berkelebat dikepalanya, mengapa tidak kuhancurkan saja pulau ini"
"Diantara batu-batu karang gunung yang terdapat
dipulau ini, hanya satu yang paling besar, yaitu yang berdiri
ditengah-tengah pulau ini dan bila kuhancurkan pulau ini,
tak mungkin si tua bangka pendeta wanita itu merasa
sungkan maupun segan."
Berpikir sampai disitu, lalu dia mengeluarkan suara
teriakan yang panjang, mukanya yang merah tampak keren
sekali, sedangkan kumis dan rambutnya yang putih tanpa
terasa pula sudah pada berdiri dan seluruh kekuatannya
sudah disalurkannya diseluruh badannya.
Hanya tampak dia menjujukan batu diarah sebelah
kirinya, dengan sedikit gerakan tangan saja, batu tersebut
sudah terpukul hancur lebur. Waktu batu itu jatuh,
menerbitkan suara yang gemuruh sekali.
Dengan perasaan bangga sekali lalu dia menoleh
memandang pada Lie Siauw Hiong. Pemuda itu seakan-
akan tidak mendengar suara batu yang jatuh dan
mengeluarkan suara yang bergemuruh itu. Pada saat itu
cabang pohon ditangannya mulai bergerak-gerak pula
membuat garisan lagi. Dengan perasaan tidak sabar lagi, lalu dia maju
mendekati pemuda itu dan dia melihat diatas tanah tidak
kurang terdapat ratusan garis-garis, tampaknya sangat rumit
sekali. Lie Siauw Hiong sendiri tampaknya sudah tidak
dapat membedakan lagi dengan nyata. Lalu dia menggunakan cabang pohon itu mulai menggaris lagi diatas
garis-garisan yang sudah ada itu. Batu yang kena digarisnya
itu terdapat bekas setengah dim dalamnya. Kemudian dia
menggunakan lengannya menghapus. Garis yang tidak
benar itu sudah disingkirkannya, hanya ketinggalan garis-
garis yang dalam, membekas ditanah itu. Peng Hoan
Siangjin yang melihatnya, dia merasa tidak mengerti sama
sekali, lalu dia memutar badannya dan lagi-lagi dia
memukul batu disebelah belakangnya.
Lie Siauw Hiong secara sekonyong-konyong melompat
bangun, sambil berseru pada Peng Hoan Siangjin karena dia
melihat orang tua ini sudah ingin memukul batu itu lagi :
"Loo-cian-pwee, tahan dulu ......"
Peng Hoan Siangjin lalu membalikkan badannya,
melihat muka Lie Siauw Hiong yang tampak berseri-seri,
hingga dalam pada itu dia segera menghentikan pukulan
tangannya ini, karena dia ingin melihat, pemuda itu mau
membuat hal apakah "
Lie Siauw Hiong dengan tenang sekali lalu berkata :
"Boan-pwee akhirnya dapat memecahkan juga barisan
'Kwie-goan-su-siang-tin' ini. Jalan-jalan terpenting dari
barisan kuno ini, Boan-pwee sudah mulai ingat kembali
......" Dengan perasaan sangat tercengang, Peng Hoan Siangjin
lalu memandang pada si pemuda. Dia sebenarnya sangat
ragu-ragu terhadap pemuda yang baru berusia kurang lebih
dua puluh tahun ini, hanya membutuhkan waktu setengah
jam saja untuk memecahkan barisan kuno ini, sedangkan
dia sendiri yang sudah luar biasa dan terhitung cabang atas,
telah menggunakan sepuluh tahun lamanya untuk
memikirkan, cara bagaimana akan memecahkannya, tokh
tidak berhasil memecahkan soal barisan kuno yang sangat
luar biasa ini. Pada saat itu diangkasa raya sang rembulan telah mulai
menampakkan dirinya, suatu tanda bahwa waktu yang
ditentukan oleh Peng Hoan Siangjin dengan Hui Tay Su
sudah hampir sampai. Lie Siauw Hiong lalu menggunakan cabang pohon yang
berada ditangannya ini menunjuk pada garis yang berada
disebelah ular itu sambil berkata : "Kita harus masuk
jurusan Kian dengan mengikuti arah kiri pintu ketiga dan
arah kanan pintu keempat, kita masuk ketengah-tengah,
tapi waktu kita keluar, keadaannya ini sudah tidak sama
lagi ......" Sambil berkata, dia menunjuk kearah garis
disebelah kirinya yang tampak sangat kacau balau sekali,
sambil meneruskan penguraiannya : "Dari tengah-tengah
kita memutar kekiri. Setelah memutar dua kali, seharusnya
ada satu batu karang yang palsu berdiri diantara batu-batu
itu ...... Sekalipun benar batu-batu karang dari gunung
dipulau itu tak terhitung jumlahnya, tapi tentu tidak sedikit
pula yang ditambahkan sendiri oleh manusia."
Mendengar sampai disitu, tidak terasa lagi Peng Hoan
Siangjin lalu berseru dengan suara yang nyaring sekali,
katanya : "Sungguh tepat, sungguh jitu! Tempo hari aku
dari jalanan ini, benar saja ada satu batu yang menghalangi
perjalananku ...... aku malah mengira yang batu itu adalah
batu yang asli ciptaan alam sejati. Bila demikian halnya,
marilah kita lekas-lekas keluar dengan mencoba jalan
disitu." Pepg Hoan Siangjin yang telah mencoba memecahkan
barisan tersebut selama sepuluh tahun dengan berputar-
putar disitu, tentu saja dia sudah tidak asing lagi dan ingat
betul jalan-jalan mana yang telah dia lalui, dan sekalipun
benar dia tidak bisa keluar dari barisan itu, tapi segala
sesuatu yang terdapat dalam barisan tersebut tentu saja dia
telah ingat diluar kepala. Pada saat itu ketika dia
mendengar Lie Siauw Hiong menceritakan sesuatu yang
tepat seperti yang diduganya, sudah tentu saja dia sangat
percaya terhadap omongan pemuda ini.
Dengan tertawa Lie Siauw Hiong berkata : "Hanya
Boan-pwee terhadap barisan kuno ini paling banyak
mengerti hanya enam atau tujuh bagian saja, bila misalnya
barisan ini diatur dengan sesempurna-sempurnanya, aku
kuatir bahwa Boan-pwee sendiripun pasti tidak dapat keluar
dari barisan ini." Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula : "Tidak perduli
apapun yang terjadi, lebih baik kita coba-coba saja dahulu."
Lie Siauw Hiong lalu bangkit berdiri, dan setelah
membedakan jurusan, lalu dia mulai berjalan masuk dari
batu ketiga diarah Timur. Peng Hoan Siangjin mengikutinya dari belakang.
Dalam pada itu, orang tua ini tidak habis pikir, mengapa
pemuda yang masih sangat muda ini dapat mengenali
barisan kuno ini, malah dengan secara kebetulan sekali ia
telah muncul pada waktu perjanjian sepuluh tahun yang
telah ditetapkan itu hampir habis. Kemudian ia dapat
mengajaknya keluar dari barisan itu, bukankah hal itu
seolah-olah sudah suratan takdir saja agaknya "
Waktu Lie Siauw Hiong berjalan sampai disimpang
jalan, tidak terasa lagi dia mendehem sambil menganggukkan kepalanya, seakan-akan apa yang dia
duga, benarlah adanya. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu
pula dia lalu mengambil jalan yang lurus. Peng Hoan
Siangjin yang melihat muka pemuda itu berseri-seri, diapun
insyaf, bahwa pekerjaan mereka membawa hasil seperti apa
yang diharapkan mereka semula.
Pada saat itu, kedua orang ini sudah berjalan keluar
kurang lebih lima lie jauhnya, dan menurut penglihatan
mereka, pulau ini sekelilingnya tidak akan melebihi sepuluh
lie, tapi dengan berjalan dibarisan ini, seakan-akan jalan
yang diambil mereka ini tidak ada batas-batasnya. Mereka
merasa seolah-olah selalu kembali ketempat semula. Peng
Hoan Siangjin yang dahulu pernah mencoba beberapa kali,
tidak dapat memecahkan rahasia itu, sehingga berulang kali
dia berbalik ketempat asalnya semula saja. Paling banyak
dia hanya berjalan satu lie saja jauhnya. Ketika dia melihat
pemuda itu sudah berjalan lama, tapi tidak kembali
ketempat asalnya lagi, hatinya menjadi semakin percaya,
bahwa pemuda ini pasti dapat membawanya keluar dari
pulau ini. Lie Siauw Hiong lalu keluar dari antara dua buah batu
karang dan sambil memandang pada satu batu karang yang
agak kecil dan berdiri dihadapannya, lalu dia berkata pada
Peng Hoan Siangjin : "Silahkan Cian-pwee menghilangkan
puncak batu karang ini."
Peng Hoan Siangjin lalu memandang pada batu karang
yang agak kecil ini, yang tampaknya bukan buatan alam
sejati. Dia pikir inilah tentu buatan Hui Tay Su sendiri,
yang telah menambahkannya. Sekalipun dia sendiri tidak
mengetahui apa maksud Lie Siauw Hiong untuk
menghilangkan batu karang itu, tapi dengan mengerahkan
semangatnya, lalu dia mengeluarkan sepasang tangannya
menepuk batu karang itu. Satu tenaga yang luar biasa sekali dahsyatnya keluar dari
sepasang telapak tangannya memukul batu itu, sehingga
batu yang keras itu seketika itu juga menjadi hancur luluh,
dengan hancuran batu itu beterbangan jatuh sampai
ketempat yang jauhnya puluhan tombak, bahkan diantara
hancuran batu itu ada yang masuk kembali diantara batu-
batu yang lainnya, hingga diam-diam Lie Siauw Hiong
memuji didalam hatinya : "Dikuatirkan bahwa didunia ini


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang tidak ada orang kedua yang mempunyai tenaga
sebesar tenaga orang tua ini."
Dewasa itu, ketika batu itu sudah lenyap, lalu dia
memperhatikan letak batu-batu yang masih berada disitu,
dimana benar saja dia mendapatkan satu jalan kecil berada
disitu. Jika batu ini tidak dihancurkan atau disingkirkan,
sampai matipun tidak akan dapat dijumpai jalan kecil
tersebut. Kedua orang ini lalu berjalan melalui jalan kecil itu.
Setiap mereka menjumpai batu yang diatur oleh manusia,
segera mereka hancurkan itu, dengan Lie Siauw Hiong
tetap berjalan dimuka sebagai perintis jalan.
Peng Hoan Siangjin semakin lama berjalan, semakin
merasa bahwa jalan yang ditempuh mereka itu sudah benar,
hingga tidak terasa lagi hatinya menjadi sangat girang
sekali. Tapi waktu dia melihat muka Lie Siauw Hiong, dia
menjadi sangat tercengang sekali, berhubung pada saat itu
muka si pemuda tampaknya sangat suram.
Setelah mereka mengitari dua buah batu karang lagi,
kemudian didepan mereka tampak jalan terbentang luas,
dan tatkala berjalan tidak berapa lama lagi, lalu mereka
menjumpai batu karang lagi. Dalam hati Peng Hoan
Siangjin merasa, bahwa tepi pulau itu sudah akan dirintis
habis, tapi waktu dia melihat muka pemuda itu kembali,
muka si pemuda tampak sangat tegang sekali kelihatannya.
Waktu mereka mengelilingi batu karang dihadapan
mereka, langit seakan-akan sudah hendak parak siang. Sinar
bulan yang terangnya seolah-olah lebih sepuluh kali lipat
daripada biasanya, sehingga diempat penjuru lautan mereka
melihat sinar putih belaka. Setelah itu, mereka lalu
menjumpai batu karang pula dihadapan mereka.
Tapi Lie Siauw Hiong tiba-tiba mengeluarkan suara
'....Ihhh', lalu dia menoleh kebelakang memandang
setengah hari lamanya. Mukanya yang tegang tadi,
sekarang sudah tidak tampak lagi, maka dengan menghela
napas ia lalu berkata : "Tampaknya Hui Tay Su ini belum
mempelajari barisan ini sehingga sempurna betul, bila tidak
demikian, pasti Boan-pwee tidak berdaya untuk keluar dari
barisannya ini." Peng Hoan Siangjin yang terkurung dalam pulau itu
selama sepuluh tahun lamanya dengan dada penuh
kemurkaan, pada saat itu ketika sudah berhasil keluar dari
barisan kuno ini, tidak terasa lagi lalu menengadahkan
kepalanya sambil bersiul panjang.
Tepat diatas langit ditengah-tengah terpampang bulan
dan bintang menghias angkasa dengan rapatnya, dari
kejauhan terdengar suara ombak memecah pantai, disertai
angin laut yang meniup sepoi-sepoi basah, sehingga
membuat orang merasa sangat segar bugar. Perasaan marah
dan jengkel dari Peng Hoan Siangjin yang terkurung selama
sepuluh tahun ini, ketika itu sudah lenyap mengikuti
hembusan angin laut. Peng Hoan Siangjin sekalipun tidak berhasil menjadi
penganut Buddha yang suci, tapi dengan latihannya selama
seratus delapan puluh tahun lamanya itu, dengan sendirinya
pada saat itu pandangannya menjadi terbuka. Maka sambil
tertawa dia berkata pada Lie Siauw Hiong : "Benar, bila kau
Serikat Serigala Merah 3 Suro Bodong 11 Adipati Bukit Sekarat Tujuh Pedang Tiga Ruyung 15
^