Playboy Dari Nanking 10
Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 10
diperlihatkan di depannya dalam usaha menyusui bayi mereka!
"Hm, maaf..." pemuda itu menekan kecewa. "Aku lupa, Ceng Ceng. Tapi tak apalah.
Kau benar. Aku... aku... biarlah aku pergi dulu dan lihat anak kita menangis!" Fang
Fang mau pergi, membetulkan bajunya sendiri tapi Ceng Ceng tiba-tiba berseru
menyambar ujung bajunya. Gadis itu berkata biarlah pemuda itu tinggal di situ
saja. Bu-goanswe memberikan tempat untuk mereka berdua. Fang Fang tertegun. Dan
ketika Ceng Ceng menangis menunjuk anak perempuan mereka yang juga tiba-tiba
melengking karena buah dada ibunya dilepas maka Ceng Ceng berlutut dan memohon
agar Fang Fang tetap di situ.
"Aku tak mau kau tinggal, aku takut. Bukankah kau masih mencintai aku, Fang
Fang" Bukankah kau... kau tak mencintai gadis kulit putih itu lagi?"
Fang Fang tertampar. Diingatkan Sylvia mendadak dia memejamkan matanya beberapa
saat. Kata-kata dan suara itu memojokkan dirinya. Teringatlah dia akan kejadian
di kamar tuan Smith. Teringatlah dia akan kata-kata Sylvia bahwa gadis itu tak
mungkin dapat menerimanya lagi. Dia telah menghamili Ceng Ceng. Ceng Ceng telah
mempunyai anak dan i-tulah keturunannya. Tentu saja Sylvia tak mau dan serasa
diremaslah perasaan Fang Fang. Tapi ketika Ceng Ceng bertanya lagi dan bayi di
gendongan ibu muda itu dibiarkan menangis keras-keras karena ibunya tak
memberikan minum maka Fang Fang mengangguk dan membuka matanya, mau tak mau
harus menerima gadis ini, melupakan Sylvia!
"Ceng Ceng, kau benar. Hubungan kita telah menghasilkan anak perempuan ini. Aku
tentu saja masih mencintaimu. Marilah, bangunlah. Beri minum anak perempuan kita
itu dan kita keluar!"
"Ah!" Ceng Ceng girang tapi juga terkejut. "Keluar ke mana, Fang Fang" Kau mau
mengajakku ke gunung" Ke Liang-san?"
"Hm, tidak. Kita keluar untuk berpindah tempat. Gedung ini adalah milik Bu-
goanswe, padahal aku mendapat gedung sendiri dari Cun-ongya. Mari, kita pindah
ke tempat kita sendiri, Ceng Ceng. Dan kita memberi tahu Bu-goanswe!"
"Oh, begitukah" Baik, mari...!" dan Ceng Ceng yang bergegas menyambar pakaiannya,
buru-buru menenangkan anaknya dengan sesapan buah dada sehingga bayinya diam
akhirnya gembira diajak pemuda itu pindah tempat. Memang Ceng Ceng hanya
mendapat pinjaman kamar sementara waktu saja. Fang Fang sendiri sudah diberi
tempat tinggal dan ditemuilah Bu-goanswe untuk menyatakan maksud Fang Fang itu.
Dan ketika Bu-goanswe tersenyum dan mengangguk-angguk gembira, melihat Fang Fang
sudah berbaik dan rupanya mencintai gadis itu lagi maka jenderal ini mengantar
dan ikut membawakan barang Ceng Ceng.
"Di sini atau di sana sebenarnya sama saja. Tapi baiklah, mari kuantar dan kalau
tidak kerasan di sana boleh kembali lagi ke sini, ha-ha!"
Ceng Ceng akhirnya pindah tempat. Fang Fang lalu berusaha melupakan Sylvia dan
berusaha mencintai Ceng Ceng. Hadirnya anak perempuan mereka itu sebenarnya
sedikit banyak merupakan hiburan juga pada pemuda ini, meskipun diam-diam Fang
Fang kecewa kenapa anaknya perempuan, tidak lelaki. Tapi ketika baru tiga hari
semua itu lewat dengan tenang dan Fang Fang agaknya mulai dapat memperhatikan
Ceng Ceng mendadak sesuatu yang lain datang mengganggu. Dan begitu gangguan itu
datang tiba-tiba "penyakit" Fang Fang kumat dan lupalah dia kepada Ceng Ceng,
juga anak perempuannya yang akhirnya diberi nama Kiok Eng!
(Oo-dwkz> segar, tersenyum dan menggendong anak perempuannya menina bobok tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat. Fang Fang terkejut karena di depannya tiba-tiba berdiri
Leo, pemuda kulit putih yang merupakan pembantu tuan Smith, juga sekaligus
sahabat James, kakak Sylvia. Dan ketika pemuda itu terkejut karena Leo tampak
menggigil dan gugup, pucat, maka pemuda kulit putih itu menjatuhkan diri
berlutut, hal yang membuat Fang Fang semakin tertegun dan kaget saja.
"Fang Fang, tolong. Sylvia dalam bahaya!"
"Apa?" kenangan lama tumbuh, bangkit dan menggetarkan. "Apa katamu, Leo" Syl....
Sylvia?" "Beb... benar..!" pemuda itu tak kalah j. gemetar, gugup dan terputus-putus.
"Sylvia dalam bahaya, Fang Fang. Tolong dan selamatkan dia! Dia ditipu, Michael
hendak menipunya!" 'Wut!" Fang Fang tahu-tahu sudah menyambar leher baju pemuda itu, mencekiknya.
"Aku tak mau tahu tentang gadis itu lagi, Leo. Kau tahu apa yang terjadi
denganku dan dengannya. Aku dan Sylvia sudah putus!"
"Beb... benar. Tapi... tapi... yang membuat semuanya itu ternyata adalah si Michael
ini, Fang Fang. Dialah biang keladi segala onar. Kau terkena jebakannya dan
dicelakai!" "Jebakan" Dicelakai" Hm!" Fang Fang mendengus. "Kau jangan melempar omongan
kosong, Leo. Aku tak merasa dijebak dan dicelakai si Michael itu. Dan lagi, apa
yang dapat dia lakukan terhadapku" Meskipun menggunakan senjata api aku tak
takut. Pemuda itu dapat kubunuh atau kubanting roboh!"
"Itulah!" Leo berseru. "Justeru karena kau hebat dan bukan tandingannya maka
Michael mempergunakan cara lain, Fang Fang. Dan cara yang dipergunakan itu
adalah mendatangkan kekasih-kekasihmu yang dulu itu. Michael dengan keji mencari
dan menemukan kekasih-kekasihmu itu, mendatangkannya ke mari. Dan karena dia
tahu hubunganmu dengan Sylvia maka dia hendak merusak hubunganmu itu dengan cara
mendatangkan kekasih-kekasihmu yang lama! Tidakkah kau heran bagaimana berturut-
turut Eng Eng dan Ming Ming itu dapat kemari" Tidakkah kau heran bagaimana Ceng
Ceng yang sekarang melahirkan anakmu itu datang di saat kau hendak menemui
kaisar untuk melamarkan Sylvia" Lihat, dan renungkan. Semua ini adalah ulah
Michael, Fang Fang. Dan kau boleh tanya Ceng Ceng apakah betul dia ditemukan
Michael atau tidak!"
Fang Fang tiba-tiba pucat. Pemuda ini menggigil hebat dan omongan demi omongan
yang diucapkan Leo itu seakan menghunjam dan merobek-robek hatinya. Dia sungguh
tak mengira dan kini seakan terbukalah semua kejanggalan-kejanggalan itu. Memang
dia tidak merasa curiga a-tau heran bagaimana Eng Eng dan lain-lainnya itu dapat
datang berturut-turut. Mejnang dia tidak sampai ke sana karena pikirannya selalu
dipenuhi Sylvia. Tapi, begitu sekarang semuanya ini dibuka dan Leo yang
dikenalnya jujur dan dapat dipercaya itu menantangnya untuk membuktikan sendiri
kepada Ceng Ceng, yang kebetulan datang sehabis mandi mendadak Fang Fang
menggeram dan terkejutlah Ceng Ceng mendengar bentakan pemuda itu.
"Ceng Ceng, benarkah kau ke sini atas suruhan Michael" Benarkah kau bertemu
pemuda itu dan dibawa ke mari?"
Ceng Ceng, yang tak menyangka teguran ini dan terkejut melihat Leo ada di situ,
membelalakkan mata, tiba-tiba tertegun. Apa yang dikata Leo memang benar dan
sesungguhnya semua gadis-gadis yang pernah datang mencari Fang Fang adalah atas
bujukan si Michael itu. Ceng Ceng pun demikian. Dia dicari dan ditemukan Michael
dan pemuda itulah yang membujuknya untuk mendapatkan Fang Fang, di kota raja, di
istana. Tentu saja tak tahu segala muslihat atau tipu daya pemuda itu yang
hendak merusak hubungan Fang Fang dengan Sylvia, karena Michael mencintai gadis
itu pula, puteri tuan Smith. Tapi ketika Fang Fang membentaknya lagi dan anak
perempuan mereka menjerit dan menangis, dilempar ke arah Ceng Ceng maka ibu muda
yang masih tak mengerti ujung pangkalnya persoalan tiba-tiba mengangguk,
gemetar. "Benar, ada apakah, Fang Fang" Kenapa kau marah-marah?"
Tapi Fang Fang tiba-tiba sudah melengking tinggi. Begitu jawaban sudah didengar
mendadak pemuda ini berkelebat ke kompleks gedung rombongan kulit putih itu. Dia
langsung menjejakkan kakinya dan Fang Fang sudah terbang ke sana, cepat luar
biasa tapi Leo tiba-tiba berteriak di belakangnya. Pemuda itu tahu maksud Fang
Fang yang hendak mencari Michael di tempatnya, di belakang gedung tuan Smith.
Tapi karena Fang Fang bergerak amat cepat dan pemuda itu tentu saja tak dapat
mengejar maka Fang Fang sudah berjungkir balik dan melayang turun di sini,
membentak memanggil nama Michael tapi yang dicari tak ada. Ceng Ceng di sana
terbengong-bengong tak mengerti namun segera mendiamkan anaknya yang menangis
keras-keras. Pagi yang tenang tiba-tiba berobah menjadi ribut dan Fang Fang
mengobrak-abrik tempat di mana rombongan orang-orang kulit putih itu tinggal,
mencari dan memaki-maki Michael namun yang dicari tak ada. Dan ketika pemuda itu
merah padam dan mendelik penuh kemarahan tiba-tiba Leo terengah-engah
menyusulnya, terhuyung dan hampir roboh terjerembab, gugup.
"Tidak.... tidak ada di sini. Kau salah. Mereka sudah pergi!"
"Pergi" Ke mana?"
Leo ngeri. Dia melihat muka Fang Fang yang seperti singa ganas itu, mata
membesar dan tulang-tulangpun berkero-tokan. Agaknya, kalau Michael ada di situ
pasti temannya itu akan hancur seperti ayam diinjak gajah. Kemarahan Fang Fang
luar biasa sekali dan Leo dapat merasakan ini. Tapi ketika Fang Fang
mencengkeram tengkuknya dan bertanya ke mana pemuda keparat itu pergi maka
pemuda ini kesakitan dan mengeluh.
"Lepaskan dulu, tanganmu seperti tanggem. Aku... aku tak dapat bicara!"
Fang Fang sadar, mengendorkan cengkeramannya. "Cepat," katanya. "Cepat katakan
di mana binatang itu, Leo. Biar kuremuk dan kuhancurkan kepalanya!"
"Michael dan Sylvia sudah pergi, bersama James...."
"Ke mana?" "Ke Inggeris. Mereka menumpang kapal besar dan tadi pagi ke pelabuhan Matahari
Emas...!" "Apa?" "Benar. Michael telah membujuk pula tuan Smith untuk menyerahkan puterinya
padanya, Fang Fang. Dan minta kembali ke Inggeris untuk merayakan pernikahan di
sana. Sylvia sedang bingung, juga putus asa. Dia terpukul hebat oleh perbuatanmu
dan ikut saja semua kata-kata ayahnya dan mereka telah diikat cincin pertunangan
dua hari yang lalu!"
Fang Fang bagai mendengar geledek di siang bolong. Kata demi kata yang
diluncurkan dari mulut Leo ini seakan palu raksasa yang memukul-mukul dirinya.
Fang Fang pucat dan biji matanya kian melebar saja. Tapi ketika dia ingat bahwa
yang hendak dia cari bukanlah Sylvia lagi melainkan Michael karena pemuda itulah
yang merusak segala-galanya tiba-tiba Fang Fang menggeram dan menyambar pemuda
kulit putih ini. "Kalau begitu kau ikut aku. Kita kejar mereka dan kubuktikan apakah semua
omonganmu benar!" "Augh...!" Leo merintih. "Jangan dicekik begini, Fang Fang. Aku bisa mati tak
bernapas!" Fang Fang melepaskan cekikan. Akhirnya dia mencengkeram baju pundak pemuda itu
dan dibawanya pemuda ini terbang ke pelabuhan Matahari Emas. Fang Fang tak
mendengar jeritan Ceng Ceng di belakangnya, tak melihat anaknya menangis dan
menjerit-jerit di pelukan Ceng Ceng-yang tiba-tiba pucat dan tertegun melihat
semuanya itu. Ceng Ceng terpukul hebat karena Fang Fang menuju ke tempat tuan
Smith, dikira mencari Sylvia dan terhuyunglah gadis atau ibu muda ini. Ceng Ceng
mengira Fang Fang sudah melupakan gadis kulit putih itu tapi ternyata kiranya
tidak. Ceng Ceng tentu saja tak tahu bahwa Fang Fang sedang marah terhadap
Michael, mencari pemuda itu dan bukannya Sylvia. Dan ketika pemuda itu terbang
dan menenteng Leo seperti anak domba ditenteng atau dicengkeram seekor garuda
besar maka Ceng Ceng roboh sementara Fang Fang di sana sudah melompat dan
berjungkir balik melewati tembok pintu gerbang yang amat tinggi. Pemuda kulit
putih ini merasa ngeri dan terbang semangatnya ketika dibawa meloncat dan
berjungkir balik. Dia membayangkan kalau Fang Fang tak sampai menyentuh bibir
tembok, nabrak dan tentu melepaskan dirinya yang bakal hancur terbanting di
bawah. Tapi ketika pemuda itu melewati atas tembok dan melayang ke bawah, persis
seekor burung besar yang siap mendarat maka Leo kagum bukan main ketika dengan
amat ringan dan manis Fang Fang menapakkan kakinya di tanah. Tapi selanjutnya
pemuda ini ngeri lagi. Fang Fang sudah melanjutkan larinya dan terbanglah pemuda
itu ke timur. Leo tak melihat Fang Fang menginjak tanah dan pemuda itu benar-
benar terbang. Ya, terbang. Karena ketika Fang Fang mengeluarkan satu suara aneh
di mana pemuda itu mengempos dan membuang napasnya tiga kali mendadak Fang Fang
sudah tidak menginjak bumi lagi dan kedua kakinya bergerak cepat di atas tanah,
melayang! "Wah!" Leo kagum. "Ilmu lari cepatmu seperti setan, Fang Fang. Seperti iblis.
Kau tak menginjak tanah lagi!"
Fang Fang diam. Dipuji dan dikagumi seperti itu dia acuh saja, mendengus dan
bahkan membentak agar pemuda itu diam. Fang Fang bertanya dalam perjalanan
bagaimana Leo tahu semuanya itu, dijawab bahwa pemuda ini tahu ketika secara tak
sengaja dia melihat kesibukan di tempat tuan Smith, melihat bayangan Michael dan
kaget serta pucatlah dia ketika Sylvia diikat cincin pertunangan dengan pemuda
itu, Michael yang tak dapat dipercaya dan licik. Dan ketika dia mengamati gerak-
gerik temannya itu dan mengadakan jamuan minum arak di mana Michael akhirnya
mabok dan mengatakan semua perbuatannya, mencari dan mendatangkan kekasih-
kekasih Fang Fang maka tahulah pemuda ini bahwa Michaellah biang keladi semua
kejadian. "Aku lebih baik melihat Sylvia bahagia denganmu daripada dengan Michael. Kau
adalah pemuda gagah dan jujur, meskipun ternyata mata keranjang, hal yang kukira
akan hilang kalau kau sudah menikah dengan Sylvia. Tapi Michael" Ah, pemuda itu
licik dan ambisius, Fang Fang. Kudengar kabar selentingan bahwa dia ingin
mendapatkan kedudukan tuan Smith sebagai wakil kerajaan!"
"Hm, begitukah" Lalu kenapa kau demikian memperhatikan nasib Sylvia" Ada apa di
balik semuanya ini?"
Pemuda itu tiba-tiba menarik napas. "Fang Fang, jujur saja kuakui bahwa aku-pun
diam-diam mencintai Sylvia. Aku akan bertarung mati-matian dengan Michael kalau
dia yang mendapatkan Sylvia. Tapi karena Sylvia tak menjatuhkan cintanya kepada
Michael dan justeru kepada-mulah dia menaruh hati maka aku lega dan rela kalau
kau yang mendapatkan. Aku akan memberontak dan melawan kalau bukan kau. Tapi
karena kau benar-benar mencintai Sylvia dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda
mempermainkannya maka aku terkejut ketika Michael tiba-tiba ikut campur dan
merusak semuanya itu. Aku benci kepadanya, meskipun terus terang secara jujur
juga kuakui bahwa aku-pun kurang senang kepadamu melihat kau bercinta dengan
demikian banyak gadis sebelum bertemu Sylvia!"
"Hm!" Fang Fang merah mukanya. "Aku tak sengaja melakukan semuanya itu, Leo. Aku
hanyut dan banyak menjalin kasih dengan gadis-gadis cantik karena ketularan
guruku!" "Sebagian karena itu," Leo menjawab lirih. "Tapi sebagian karena imanmu yang
kurang teguh, Fang Fang. Kau suka menjalin cinta dengan banyak gadis-gadis
cantik karena bercinta itu memang nikmat, asyik!"
Fang Fang semburat semakin merah. Sedikit kata-kata pemuda ini saja sudah cukup
menampar mukanya untuk lebih merah lagi. Hm, pacaran itu memang asyik. Pacaran
itu memang nikmat. Kalau tidak nikmat dan asyik mana banyak orang suka
melakukannya" Tapi ditampar; bahwa semua itu juga karena kurang teguhnya iman
yang dimiliki maka diam-diam Fang Fang mengakui dan tidak mau banyak bicara
lagi. Benar, kalau imannya teguh dan dia memiliki pandangan jauh ke depan
bukankah pacaran tidak akan sembarang pacaran"
Kenikmatan dan semuanya itu bisa jadi hanya berupa jebakan yang kelak suatu
ketika bakal mencelakakan diri sendiri. Dan sekarang dia membuktikan itu!
Bukankah kalau Ceng Ceng tidak sampai hamil dia mungkin akan dapat meneruskan
cintanya dengan Sylvia" Tapi dia telah hanyut dalam kenikmatan dan kemesraan
dia. Dia terbawa oleh keasyikan tiada tara di mana akhirnya dia tersandung,
jatuh dan kini menerima pil pahit. Maka tidak bicara dan meneruskan larinya
dengan cepat akhirnya Fang Fang tiba di pesisir timur di laut Tung-hai. Dan
begitu debur ombak terdengar jelas maka Fang Fang sudah mendengar seruan Leo.
"Itu, kapal itu...!" Fang Fang tertegun. Dia sendiri sudah melihat kapal besar
yang mulai bergerak ke tengah. Mereka terlambat beberapa menit namun tepat di
saat itu tiba-tiba muncul kepala seorang gadis di jendela bagian atas kapal.
Gadis itu rupanya tak sengaja untuk melihat Fang Fang karena dia bermaksud
memandang daratan, yang baru saja ditinggalkan kapalnya. Maka begitu Fang Fang
muncul dan Leo yang sudah diturunkan ke tanah berteriak memanggil gadis itu maka
gadis di atas kapal itu tampak terkejut dan tertegun.
"Sylvia...!" Gadis itu pucat. Mendadak dia mengeluh dan menutupi mukanya. Fang Fang melihat
jelas betapa Sylvia, gadis itu, tiba-tiba menangis. Teriakan atau pekik Leo
rupanya terdengar jelas dan gadis itu tiba-tiba menutup jendela kapal, membalik.
Dan ketika bayangan gadis itu lenyap dan Leo tampak tertegun, menggigil, tiba-
tiba pemuda ini mencebur ke laut dan mengejar.
"Sylvia....!" Fang Fang terkejut. Leo mencebur begitu saja tapi ombak yang besar tiba-tiba
menghantam, menolak balik pemuda ini ke daratan. Dan ketika Leo berteriak dan
kalap serta mencebur lagi, dipukul dan ditolak lagi maka Fang Fang berkelebat
menyambar pemuda ini, yang sudah memekik-mekik seperti orang gila.
"Kau cari perahu, biar aku saja yang menolong!" dan mendorong serta melempar
pemuda ini ke tepi pelabuhan menjauh dari ombak yang bergulung-gulung datang
tiba-tiba Fang Fang bermaksud menolong dan menyelamatkan Sylvia. Tapi apa yang
dilakukan Leo" Pemuda ini justeru marah-marah. Fang Fang dicengkeram dan diseret
ke tepi. Leo berkata bahwa di situ tak ada perahu dan satu-satunya jalan hanya
berenang, mencebur ke laut dan mengejar kapal besar itu, yang kini kian menjauh
saja karena keduanya tiba-tiba bersitegang, cekcok. Tapi ketika Fang Fang
melihat seorang nelayan tiba-tiba datang dan muncul melihat keduanya maka Fang
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fang menotok roboh pemuda ini dan berkelebat ke tukang perahu yang baru muncul.
"Hei, kusewa perahumu. Bawa pemuda ini mengejar kapal besar itu dan ini
pembayarannya!" Fang Fang melempar sepundi-pundi uang emas, berkerincing jatuh
di lantai perahu dan Leo ditotoknya bebas dari bekas totokannya tadi. Dan ketika
pemilik perahu maupun Leo sama-sama melotot karena Fang Fang berjungkir balik
meninggalkan perahu maka pemuda ini sudah berkelebat dan terbang menuju tebing
paling tinggi di pesisir itu. Fang Fang mencari tempat yang paling dekat dengan
perahu yang dikejar. Lalu begitu dia beriungkir balik dan melayang ke tebing
yang tinggi ini Fang Fang segera mengerahkan khikangnya memanggil gadis itu.
"Sylvia....!" dan merentangkan kedua tangan mencebur ke laut tiba-tiba Fang Fang
sudah mengejar kapal besar itu. Gila!
Namun jendela kapal tiba-tiba terkuak. Fang Fang berenang dengan cepat dan hebat
benar pemuda ini. Timbul tenggelam di antara ombak yang menelan serta coba
mengenyahkannya ternyata Fang Fang dapat bertahan. Pemuda ini mengerahkan
segenap kekuatannya untuk melawan ombak besar. Di tengah samudera ternyata
kekuatan ombak jauh lebih dahsyat daripada di tepi. Beberapa kali Fang Fang
harus minum air laut yang asin dalam usahanya berenang mendekati kapal besar
itu. Puluhan orang tiba-tiba muncul dan melihat perjuangannya. Dan ketika Fang
Fang mendekati kapal besar itu yang tiba-tiba berhenti, aneh sekali, maka
terdengar tawa bergelak dan pemuda berambut pirang muncul di geladak kapal.
"Siapkan senjata api kalian dan berondong pemuda itu!" Michael, pemuda ini,
tiba-tiba berseru kepada semua awak kapal. Datang dan munculnya Fang Fang
akhirnya diketahui juga. Perhatian semua orang tercurah ke sini dan mereka tidak
melihat perahu Leo yang jauh di belakang, tertinggal. Fang Fang berenang dengan
cepat dan akhirnya seperti hiu ronggeng pemuda ini sudah mendekati kapal. Tapi
ketika dia melihat semua awak kapal menyambutnya dengan senjata di tangan dan
Michael, pemuda yang dicari-carinya itu ada di sana, siap memberi aba-aba
sementara tangan kanan sudah memegang senjata api laras panjang yang ditujukan
kepadanya tiba-tiba Fang Fang berteriak dan memaki pemuda itu.
"Michael, kau jahanam keparat. Kau kiranya yang merusak hubunganku dengan Sylvia
dan mendatangkan kekasih-kekasihku di kota raja. Keparat, kau licik dan hina.
Aku datang untuk duel denganmu dan mari bertanding secara jantan!"
Michael, pemuda di atas kapal yang terkejut dan tertegun tak jadi memberikan
aba-abanya. Dia kaget dan heran bagaimana Fang Fang tahu itu. Tapi ketika Fang
Fang mendekati pinggiran kapal dan siap meloncat naik, melalui tali yang
bergelantungan tiba-tiba pemuda ini yang tentu saja tahu kehebatan Fang Fang
sekonyong-konyong membentak dan sadar memberikan aba-aba.
"Tembak!" Fang Fang mendengar letusan senjata api. Tali yang dipegang tiba-tiba putus dan
Fang Fang tercebur ke laut. Beberapa tembakan yang mengenai dirinya dirasakan
cukup menyengat namun Fang Fang sudah mengerahkan sinkangnya. Peluru-peluru itu
seperti barang-barang karet yang bermentalan ketika mengenai tubuhnya. Dan
ketika semua orang terbelalak dan takjub akan penglihatan itu, kekebalan Fang
Fang maka Fang Fang sudah berenang lagi dan siap menaiki kapal dari arah yang
lain. Namun Michael lagi-lagi mencegatnya dengan berondongan peluru. Pemuda
berambut pirang itu berkali-kali mengeluarkan seruan agar awak kapal menghalau
Fang Fang. Pemuda Han i-tu berbahaya sekali dan sekali naik tentu mereka semua
dibinasakan. Fang Fang datang dengan dendam dan jangan harap mereka diampuni.
Michael menakut-nakuti awak kapal dan tentu saja semua pucat, melihat bahwa Fang
Fang datang dengan marah-marah. Dan ketika ke manapun pemuda itu coba mendekati
kapal dan tali-tali yang bergelantungan akhirnya putus dihajar tembakan-tembakan
senjata api akhirnya Fang Fang jatuh bangun timbul tenggelam di laut, tak dapat
naik dan Michael akhirnya menyuruh kapal dijalankan lagi. Deru mesin yang
memekakkan telinga akhirnya membuat pusaran ombak yang mendorong Fang Fang. Si
pemuda memaki-maki dan kapalpun meluncur lagi, berlayar. Dan ketika kapal
menjauh namun Fang Fang nekat mengejar, berenang, maka seperti ikan yang selalu
mengikuti buruannya murid si Dewa Mata Keranjang itu mengintil dan tetap ada di
belakang! "Keparat!" Michael balik memaki-maki dan geram. "Jaga jangan sampai siluman itu
naik, Robert. Suruh semua berjaga dan siap menghalau!"
Robert mengangguk. Dia adalah pembantu Michael dan tentu saja apa yang
diperintahkan akan dilaksanakannya dengan baik. Kapal terus berlayar dan sehari
penuh tak berhenti. Semua orang diam-diam kagum dan takjub karena "siluman" di
belakang itu, Fang Fang, tetap menempel dan dapat mengikuti lajunya kapal.
Kecepatan ditambah namun pemuda di belakang itu tetap mengintil juga. Dan ketika
malam tiba dan Michael mengharap Fang Fang akan kehilangan jejak, karena laut
akan menjadi gelap gulita ternyata harapannya itu kandas karena Fang Fang dapat
melihat lampu kapalnya dan mengikuti di belakang.
"Tak usah pakai lampu saja, padamkan!"
"Ah, berbahaya!" Robert, pembantunya, berkata terkejut. "Kita bisa bertabrakan
dengan kapal lain, Michael. Atau menabrak batu karang yang tak akan kelihatan!"
"Hm, bedebah, terkutuk!" dan kapal yang terpaksa memakai lampu dan berjalan lagi
akhirnya apa boleh buat ditempel dan diikuti Fang Fang, matahari muncul lagi
keesokannya dan Fang Fang tampak mengikuti di belakang, memaki-maki. Hari kedua
lewat dengan cepat dan semua orang tegang. Hari ketiga Fang Fang tak kelihatan
dan Michael hampir bersorak, mungkin semalam pemuda itu kelelahan dan
tertinggal. Berteriaklah yang lain-lain karena kini siluman yang ditakuti tak
ada lagi. Mungkin Fang Fang disambar ikan hiu! Tapi ketika di buritan kapal
terdengar suara berkerincing dan semua orang menoleh mendadak mereka terkejut
dan tertegun karena Fang Fang ada di situ.
"Celaka, dia naik melalui rantai jangkar!"
Benar, Fang Fang memang mendaki naik lewat rantai panjang itu. Semalam dia tak
kelihatan karena sudah menempel di badan kapal. Fang Fang kedinginan dan
kelelahan di situ, bergelantungan. Siapapun tak menyangka bahwa tiga hari tiga
malam berenang mengejar kapal ini akhirnya murid Dewa Mata Keranjang itu
berhasil juga. Tapi karena Fang Fang menahan lapar dan haus, banyak kehilangan
tenaga maka pemuda itu beristirahat danmenempel di tubuh kapal yang dingin,
lembab dan tidak bersahabat namun pemuda ini sudah mengerahkan sinkangnya untuk
membangun hawa hangat. Dengan hawa itulah dia melawan rasa dingin dan kaku,
bergelantungan di rantai kapal dan baru keesokannya Fang Fang merayap naik,
menimbulkan bunyi bergerincing karena rantai jangkar itu bergerak-gerak. Namun
ketika dia sampai ke atas dan melempar tubuh seperti kalajengking berjoget maka
Fang Fang sudah berdiri di atas geladak kapal mengejutkan semua o-rang yang
tidak menyangka sama sekali.
"Serang dia! Tembak...!" Fang Fang berkelebat. Dia marah membentak Michael yang
tiba-tiba melepas tembakan berondongan. Lawannya vang licik dan gentar itu sudah
mendahului yang lain-lain dengan tembakan gencar. Fang Fang benci dan marah
sekali kepada lawannya yang satu ini, bergerak dan tahu-tahu sudah menghantam
lawannya itu, dengan pukulan jarak jauh. Dan ketika Michael berteriak dan roboh
terguling-guling, semua pelurunya mental mengenai Fang Fang maka yang lain sudah
berteriak kalang-kabut melepas tembakan ngawur.
"Dor-dor-dorr...!"
Fang Fang mengelak sana-sini. Dia tak takut menghadapi senjata-senjata api itu
namun pakaiannyalah yang tak tahan. Baju dan celananya berlubang-lubang karena
ditembus timah-timah panas itu. Dan ketika Fang Fang mengibas dan berkelebatan
menampar sana-sini maka semua awak kapal jatuh bangun dibalas pukulan-
pukulannya, ditendang dan mencelat dan beberapa di antaranya jatuh ke laut,
tercebur. Tapi ketika Fang Fang hendak mengejar Michael yang dilihatnya
bersembunyi di kamar mesin tiba-tiba muncul Sylvia dan kakaknya, James.
"Berhenti, atau kau kutembak!"
"Sylvia...!" Fang Fang tertegun. "Aku .... aku mencari Michael. Pemuda itu jahat,
menipumu. Dia telah merusak hubungan kita dan kau dipsrdayai!"
"Tidak, mundur dan pergilah, Fang Fang. Michael adalah calon suamiku dan tak
layak kau mengejar-ngejarku lagi. Aku tak mau mendengar kata-katamu, pergi atau
kau benar-benar kutembak. Dan matamu tentu tak tahan bertemu peluru-peluruku
ini!" Fang Fang terkejut. Sylvia memegang sepucuk senjata api laras pendek dan pistol
atau senjata api itu diarahkan ke matanya. Tangan gadis itu menggigil namun
kesungguhan dan ketetapan hatinya tak perlu diragukan lagi. Sylvia menahan
tangis dan sinar kebencian yang terpancar sungguh membuat Fang Fang bergidik.
Belum pernah dia melihat gadis itu seperti itu. Dan ketika Fang Fang tertegun
dan setengah percaya, masih mau membantah tiba-tiba James sang kakak sudah
menggeram padanya, membentak.
"Fang Fang, kau benar-benar menghilangkan kepercayaan dan kekaguman kami. Kau
sungguh pemuda yang tak tahu malu dan hina. Adikku sudah bertunangan, akan
menikah. Kenapa kau mengejar-ngejarnya dan sampai ke sini" Michael adalah calon
suami adikku. Pergi dan mundurlah baik-baik atau aku juga akan membunuhmu. Kedua
matamu tentu tak akan kebal menerima timah-timah panas ini!"
(Oo-dwkz> beradik itu. Baik Sylvia maupun James sama-sama tidak mengancamnya mainmain,
mereka bersungguh-sungguh dan dua senjata api di tangan yang siap diletuskan itu
menegang ketat. Sekali Fang Fang bergerak tentu senjata ditangan Sylvia dan
kakaknya akan melepaskan butiran timah-timah panas, dan yang diincar adalah
matanya, bagian yang tak mungkin dilindungi kekebalan dan Fang Fang menggigit
bibir. Tapi ketika dia ragu untuk menyerang atau tidak tiba-tiba bayangan
Michael berkelebat di belakang dua kakak beradik itu dan letusan cepat
terdengar. "Jangan!" Fang Fang terkejut. Dia sedang memandang kakak adik itu dengan pandangan tidak
berkedip. Tembakan dan munculnya Michael di belakang Sylvia mengejutkan dirinya,
apalagi ketika peluru tahu-tahu sudah melesat dan menyambar matanya. Kiranya
Michael sudah mendengar percakapan itu dan tahu inilah kiranya rahasia kelemahan
Fang Fang, mata tak mungkin dilindungi kekebalan dan bergeraklah pemuda itu
dengan senjata apinya. Fang Fang tak sempat mengelak karena perhatiannya sedang
tertuju pada Sylvia, juga James. Tapi ketika peluru menyambar dengan cepat dan
teriakan atau bentakan Sylvia itu sudah disusul gerakan tangannya maka secara
luar biasa dan mentakjubkan gadis ini sudah menarik picu dan peluru yang
menyambar Fang Fang sudah dibentur atau dihantam peluru yang dilepas gadis ini,
tembakan jitu yang amat tepat dan cepat.
"Dor!" Terlihat kepingan logam pecah. Tepat dan cepat sekali peluru yang ditembakkan
Sylvia mengenai atau menghantam peluru yang dilepas Michael. Dua peluru itu
rontok dan kepingannya berhamburan ke mana-mana, satu di antaranya mengenai
kening Fang Fang yang seketika luka dan berdarah. Dalam keadaan terkejut dan
tidak bersiap maka Fang Fang berhenti aliran sinkangnya, tidak terlindung dan
pecahlah keningnya oleh hantaman kepingan peluru tadi. Dan ketika pemuda itu
terkejut dan terhuyung sementara Michael terbelalak dan kaget karena pelurunya
tak berhasil membunuh Fang Fang maka semua orang yang ada di situ berseru kagum
memuji ketepatan dan kecepatan Sylvia menembak, nyaris tak mempercayai mata
sendiri namun itulah yang terjadi. Sylvia memang ahli tembak tingkat mahir, dan
Fang Fang pernah menjadi "muridnya" dalam olah mempergunakan senjata api itu.
Tapi ketika semua orang berseru memuji dan tak habis-habisnya mengagumi
kecepatan dan kemahiran gadis itu bermain senjata api Sylvia sendiri sudah
membalik dan membentak Michael, yang dianggap curang dan licik.
"Kau hina dan pengecut. Kalau ingin bertanding keluarlah secara jantan dan
ksatria. Urusan ini urusanku, kau sudah menyembunyikan diri dan tidak berani
menghadapi Fang Fang. Nah, pergilah dan jangan ikut campur!"
Michael, yang tersenyum pahit dan mengangguk-angguk tiba-tiba ngeloyor pergi.
Tanpa malu-malu atau sebangsanya lagi pemuda ini sudah menyelinap dan menghilang
ke dalam. Tapi Fang Fang yang tentu saja marah dan terbakar melihat pemuda itu
tiba-tiba bergerak dan mengejar.
"Michael, jangan lari!"
Namun Sylvia melepas tembakan. Fang Fang memang harus melewati gadis ini kalau
ingin mengejar lawannya, Michael berlindung di balik gadis itu dan lenyap ke
dalam. Dan ketika Fang Fang terkejut namun sudah mengerahkan sinkangnya maka
peluru mental mengenai bahunya, persis seperti peluru yang lain-lain namun James
tiba-tiba menubruk dirinya. Pemuda ini juga dekat dengan Sylvia dan Fang Fang
yang bergerak di samping tubuhnya cepat diterkam. Dan karena Fang Fang memang
harus melewati dua kakak beradik itu kalau ingin menangkap Michael maka tubrukan
James yang tiba-tiba mempergunakan ilmu banting yang berasal dari negaranya
tiba-tiba sudah berhasil menangkap pundak Fang Fang dan membantingnya ke lantai.
"Brukk!" dua pemuda itu sama-sama jatuh. Fang Fang mempergunakan ilmu pemberat
tubuh dan lawan terkejut karena tubuh murid Dewa Mata Keranjang ini terasa
demikian berat. Namun karena pemuda kulit putih itu lebih dulu menerkam Fang
Fang dan pemuda ini kalah sedetik maka jadilah dia terbanting namun James juga
ikut terpelanting oleh ilmu pemberat yang dipergunakannya tadi. Dan ketika
pemuda itu berteriak kaget karena Fang Fang tak dapat dilumpuhkan sekali gebrak
maka Fang Fang yang bergulingan meloncat bangun tahu-tahu terkejut ketika Sylvia
menubruk dan... sudah memiting lehernya, juga dalam satu sikap untuk melakukan
bantingan! "Berhenti, atau kau mati!"
Fang Fang terperangah. Sylvia, yang menempel dan menindih tubuhnya dengan dua
tangan melingkari leher tiba-tiba seolah bukan Sylvia yang dulu dipeluk dan
diciumnya. Gadis itu kini berobah bagai seekor harimau betina yang beringas dan
galak, penuh kesungguhan dan pitingannya ke leher itu sudah dipererat. Pistol
berpindah ke ujung kaki dan pelatuknya ditekan ibu jari. Bukan main. Gadis itu
seolah srikandi yang benar-benar siap tanding. Sekali ibu jari memijat tentu
meletuslah sebutir timah panas ke mata Fang Fang. Pistol itu memang mengarah ke
mata pemuda ini! Dan ketika Fang Fang tertegun dan membelalakkan matanya lebar-
lebar, mengeluh, maka James sudah berkelebat dan menodongkan pistolnya pula ke
mata Fang Fang. Siap tembak!
"Fang Fang, kau berjanjilah untuk pergi dari sini atau kami terpaksa membunuhmu.
Katakan bahwa kau menyerah dan tidak akan mengejar-ngejar kami lagi!"
"Ugh... ufh...!" Fang Fang merasa tercekik. "Aku tidak mencari kalian, James. Aku
mencari jahanam terkutuk itu, Michael, si binatang hina...!"
"Hm, dia adalah calon suami adikku, kau tak boleh mencarinya!"
"Kalau begitu bunuhlah aku, aku juga tak akan melepaskan niatku mencarinya!"
James dan adiknya tertegun. Mereka tahu keberanian dan kesungguhan murid si Dewa
Mata Keranjang ini. Jelek-jelek Fang Fang memiliki kekerasan hati dan kekerasan
kepala yang tak mudah ditekuk begitu saja. Kalau pemuda itu bilang akan mencari
Michael maka jangan harap mereka dapat mencegah itu. Fang Fang tak akan berhenti
kalau belum mendapatkan buruannya. Dan ketika James maupun Sylvia tertegun dan
merah mukanya, melihat Fang Fang tertawa mengejek tiba-tiba Sylvia yartg harus
mengambil keputusan di antara dua alternatip mendadak menarik picu di ibu jari
kakinya itu. Dan begitu terdengar suara "klik" dan Fang Fang terkejut, mendengar
letusan mendadak pemuda ini sudah mendapat sebuah pukulan miring di atas
tengkuknya. "Dor... plak!"
Fang Fang tak ingat apa-apa lagi. Dia sudah kehilangan kesadarannya karena
begitu Sylvia menarik picu tiba-tiba dia terkesiap, kaget dan seketika itu juga
sinkang di tubuhnya berhenti mengalir. Sebenarnya diam-diam diasudah
mempersiapkan diri untukmemberontak, yakin bahwa Sylvia tak akan membunuhnya
meskipun pistol di ibu jari kaki gadis itu terarah kepadanya. Tapi begitu picu
ditekan dan Fang Fang terkesiap, sinkang di tubuhnya berhenti bergerak maka saat
itulah pukulan atau tamparan Sylvia mendarat di tengkuknya, setelah lebih dulu
ditotok dan kepala Fang Fang terkulai, merasapinggir kepalanya tahu-tahu perih
dan Fang Fang tak ingat apa-apa lagi. Dengan kelihaian dan kemahirannya bermain
pistol gadis kulit putih ini teiah lebih dulumengejutkan Fang Fang
dengantarikanpicunya,menotokpemuda itu hingga kepala Fang Fang tertunduk dan
baru setelah itu lewatlah peluru di samping kanan telinga Fang Fang. Semuanya
ini tentu saja berjalan luar biasa cepat dan tak dapat dihitung seberapa detik
lamanya. Fang Fang sudah tak sadarkan diri dan mengira melayang ke akherat. Dia
terkejut dan kaget oleh perbuatan Sylvia, gadis yang dicintainya setengah mati
itu. Dan ketika dia roboh dan tidak tahu apalagi yang terjadi maka tubuhnya
sudah dilempar ke laut dan kapal besar itu berangkat lagi, berlayar.
-oo~dewikz~abu~oo - Entah berapa lama Fang Fang merasa melayang-layang di alam yang aneh. Dia
menghadapi kekosongan dan kesunyian yang mencekam. Langit sering berubah-ubah
warna, terkadang biru tapi terkadang pula merah. Lalu hijau dan hitam dan entah
warna-warna macam apalagi. Yang jelas ketika dia merasa berat dan jatuh
melayang-layang ke bumi, berteriak, tiba-tiba tubuhnya diguncang orang dan
kepalanya diguyur air, dingin tapi asin!
"Hei, jangan mengigau saja. Bangunlah, kau sudah sembuh!"
Fang Fang membuka mata. Dia berkejap dan kaget karena tahu-tahu dia merasa
dipermainkan ombak. Tubuhnya bergerak ke kiri kanan dan oleng seperti layaknya
orang berada di atas kapal. Ah, tiba-tiba dia teringat. Dia berada di kapal
Sylvia! Dan ketika Fang Fang melompat bangun namun tempat yang dipijak tiba-tiba
miring ke kiri mendadak Fang Fang tercebur dan jatuh ke laut.
"Hei..!" suara itu didengar lagi. "Jangan gegabah, anak muda. Lihat dan
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenanglah di sini. Aku orang yang menolongmu!"
Fang Fang basah kuyup. Sadar dan baru siuman dari mimpi ganjil di alam
"kematian" sana maka tiba-tiba dia melihat tukang perahu itu, orang yang
diberinya sepundi uang dan mengantar Leo ternyata ada di situ. Tukang perahu ini
cepat menjulurkan lengannya dan menariknya dari air. Fang Fang terkejut dan
masih bingung bagaimana tiba-tiba dia bisa bertemu tukang perahu ini. Tapi
teringat bahwa dia terjatuh ke bumi setelah mati ditembak Sylvia maka dia
mendelong dan bertanya lirih, berbisik,
"Kau... kau juga mati" Kau di sini?"
"He," tukang perahu itu tertawa. "Kau dan aku tidak mati, kongcu. Kita ini masih
hidup. Lihatlah, laut ini membiru dan kita berada di tengah samudera!"
"Tidak mati" Masih hidup" Jadi....."
Fang Fang terlongong-longong. "Kita ini tidak di alam baka?"
"Ah, ini uangmu, masih ada!" sang tukang perahu menggemerincingkan pundi-pundi
uang yang ternyata masih ada di perahu. "Lihat dan rabalah ini, kongcu. Kau
masih hidup dan kita tidak di alam baka. Coba kau cubit lenganmu dan rasakan
sakit atau tidak!" Fang Fang mencubit. Akhirnya dia merasa sakit dan perlahan-lahan kesadarannya
pulih. Perlahan tetapi pasti akhirnya dia melihat benda-benda yang bergerak di
sekelilingnya itu, ikan dan laut biru serta perahu yang bergoyang-goyang,
dipermainkan ombak. Dan ketika dia sadar dan tukang perahu menunjuk dahinya maka
Fang Fang terkejut karena dia mengenakan perban.
"Lihat itu, lukamu sudah kering. Kau bekas ditembak orang!"
"Hm!" Fang Fang mengangguk-angguk, tersenyum pahit. "Kau benar, sobat. Aku
memang bekas ditembak orang. Dan celaka sekali aku masih hidup! Sial, kenapa aku
tidak mati dan masih juga hidup" Apa yang terjadi pada diriku ini?"
Tukang perahu terbelalak. "Kau ini aneh sekali," katanya. "Orang hidup ingin
selalu hidup sedang kau malah ingin mati! Eh, kau sama aneh dengan temanmu itu,
kongcu. Dan aku tak habis pikir bagaimana kalian yang masih muda-muda begini kok
senang menantang maut. Ah, barangkali dunia sudah gila!"
"Hm," Fang Fang tiba-tiba bersinar, menerkam pundak si tukang perahu. "Apa yang
terjadi padaku, nelayan" Dan di mana temanku itu?"
"Dia mengejar kapal besar yang kau kejar itu, dan melihat kau terapung-apung di
laut!" "Dia seorang diri" Pakai apa?"
"Berenang!" "Heh" Dia sudah gila?"
"Ah, kalian berdua kuanggap sama-sama gila, kongcu. Sama-sama tidak waras!
Temanmu itu sama seperti kau lalu mengejar dan akhirnya menempel di bawah kapal
besar itu, di rantai jangkar!"
Fang Fang terkejut. Akhirnya dia minta tukang perahu ini menceritakan apa yang
selanjutnya terjadi, diberi tahu bahwa Leo, temannya itu, mengejar dan akhirnya
menempel di bawah kapal, bergelantungan dan akhirnya ikut kapal besar itu
sementara si tukang perahu disuruh kembali, pulang. Dan ketika tukang perahu ini
diperintahkan untuk merawat dan menolong Fang Fang yang ditemukan terapung-apung
di laut yang luas maka tukang perahu ini menutup dengan sedih.
"Aku menyayangkan tindakannya yang nekat itu. Dia terlampau berani, dan tidak
waras. Tapi karena aku disuruh merawatmu dan orang-orang di kapal besar itu
tampak galak dan kejam maka aku melihat saja dari jauh dan temanmu itu lenyap
bersama kapal besar itu!"
"Hm," Fang Fang menggigil, menahan marah. "Dan berapa lama aku di perahumu ini?"
"Tiga hari, kongcu. Pelipis kananmu terluka. Aku mengobatinya dan berkali-kali
kau mengigau!" "Dan temanku itu menempel di bawah kapal, dan aku kehilangan musuh besarku!
Keparat, ke mana kapal itu pergi, nelayan" Apakah kau tahu jurusannya?"
"Wah, aku tak tahu. Kapal itu kapal asing, semuanya orang-orang kulit putih. Dan
mereka tentu pulang ke lnggeris!"
"Hm, dan aku tak tahu di mana negeri itu! Terkutuk, kalau begitu kita ke daratan
saja dan biar kucari orang untuk mencari negeri itu!" dan Fang Fang yang kecewa
serta marah tak dapat mengejar Michael akhirnya merencanakan untuk pulang ke
kota raja, mencari atau menangkap tuan Smith atau orang-orang kulit putih
lainnya untuk disuruh mengantar ke lnggeris. Dia akan meneruskan buruannya
sampai dapat! Tapi ketika tukang perahu mengantarnya ke daratan dan Fang Fang
membantu lajunya perahu dengan gerakan kedua tangannya di kiri kanan perahu,
mirip orang mendayung maka tukang perahu ternganga ketika perahunya terangkat
naik dan berulang-ulang meloncat seperti ikan terbang di mana tak lama kemudian
daratan di tepian tampak. Fang Fang tak menunggu sampai perahu merapat karena
tiba-tiba pemuda ini mengerahkan ginkangnya berjungkir balik, melakukan gerakan-
gerakan indah di udara dan akhirnya mendaratlah pemuda itu di pantai. Dan ketika
Fang Fang tak menoleh lagi karena sudah terbang meninggalkan si tukang perahu,
lupa mengucap terima kasih maka tukang perahu itu bengong dan menggeleng-
gelengkan kepala berulang-ulang.
"Luar biasa, hebat dan luar biasa sekali. Tapi sayang, rupanya sinting!"
Fang Fang sudah lenyap. Dia tak mendengarkan kata-kata si tukang perahu itu dan
kalaupun mendengar pasti dia hanya ketawa geli saja. Dia dikatakan sinting! Hal
yang memang tidak aneh karena tiga hari tiga malam berenang mengejar perahu
Inggeris, berhasil tapi rupanya tertangkap, dibuang dan dilempar ke laut dan
kini temannya, Leo, ganti menempel dan berada di perahu atau kapal besar itu.
Dan ketika Fang Fang mengembangkan kedua lengannya dan terbang seperti burung
maka dua hari kemudian dia tiba di kota raja, langsung saja ke istana, mencari
tuan Smith. Tapi Fang Fang terkejut. Di gedung itu, menunggu dengan angker dan penuh wibawa
ternyata berdiri Bu-goanswe. Bukan tuan Smith yang didapat melainkan jenderal
yang gagah perkasa itu, yang berulang-ulang dimusuhi tapi berbaik lagi. Dan
ketika Fang Fang berkelebat dan berdebar kenapa jenderal itu berdiri
menghadangnya, jelas tidak senang maka dia mendengar suara berat yang kurang
bersahabat. "Fang Fang, kau dipanggil Cun-ongya. Kau pergi tanpa pamit. Kau melupakan
kewajiban!" "Ah!" Fang Fang teringat, seketika tidak enak. "Ongya sudah kembali, goanswe"
Ada urusan apa?" "Aku tak tahu. Tapi silahkan kau ke sana dan mari kuantar!"
"Nanti dulu, aku mencari tuan Smith!"
"Tuan Smith dan para pembantunya sudah pergi. Tamu-tamu itu pulang!"
"Pulang" Maksudmu kembali ke negeri mereka?"
"Ya, tuan Smith hendak merayakan pernikahan puterinya, Fang Fang. Dan sungguh
memalukan sekali kau mengejar-ngejar seorang calon pengantin!"
"Ah, aku tak mengejar-ngejar gadis itu!" Fang Fang terkesiap, merah padam. "Aku
mengejar Michael, goanswe. Pemuda itu biang keladi semua kejadian yang
menimpaku. Dia manusia binatang, jahanam terkutuk. Dialah yang memanggili semua
bekas kekasih-kekasihku untuk merusak hubunganku dengan Sylvia!"
"Hm, aku tak mau turut campur. Kau dipanggil ongya, ada sesuatu yang hendak
diberikan kepadamu. Mari!" dan sang jenderal yang tidak perduli dan meminta Fang
Fang menghadap akhirnya membuat Fang Fang dag-dig-dug dan tidak nyaman sekali,
bertanya apa yang hendak diberikan Cun-ongya itu tapi jenderal ini mendengus.
Dia bilang bahwa itu ada hubungannya dengan CengCeng. Dan begitu Fang Fang
diingatkan akan Ceng Ceng tiba-tiba dia berkelebat dan mencari gadis itu.
"Hei, kau mau ke mana?"
"Aku mau mencari Ceng Ceng...!"
"Dia tak ada di sana, di tempat Cun-ongya!"
Fang Fang terkejut. Dia jadi menghentikan larinya dan jenderal itu dipandangnya
kaget, mata seakan tak percaya. Tapi ketika jenderal ini mengangguk dan
menyambar lengannya, mencengkeram kuat maka jenderal itu berkata agar Fang Fang
secepatnya saja menemui Cun-ong-ya.
"Kau benar-benar membikin pusing orang tua. Dan sekarang kau akan semakin pusing
saja. Hayo, ikuti aku, anak muda. Di sana gurumu menantimu pula!"
Fang Fang terkejut tapi juga setengah girang. Begitu Bu-goanswe menyebut gurunya
ada di sana tiba-tiba dia melepaskan diri. Cengkeraman lawan yang kuat dan erat
tak banyak mempengaruhinya. Bu-goanswe berteriak tapi Fang Fang sudah berkelebat
kegedung Cun-ongya Dan ketika jenderal itu mengejar dan Fang Fang tak memperlambat larinya maka
pemuda ini sudah memasuki gedung dan benar saja melihat gurunya menggelogok arak
di samping seorang wanita cantik berwajah lembut, duduk berhadapan dengan Cun-
ongya yang tampak tersenyum-senyum dan mereka rupanya terlibat percakapan
santai. "Suhu....!" Dewa Mata Keranjang, kakek yang sedang menggelogok arak itu menoleh. Segera
matanya bersinar-sinar menatap sang murid dan Fang Fang terkejut melihat
pandangan marah dari gurunya itu. Dia menjatuhkan diri berlutut namun gurunya
tiba-tiba bergerak, menendang dan mencelatlah Fang Fang oleh sapuan gurunya yang
kuat. Dan ketika Fang Fang terguling-guling dan meloncat bangun, pucat, maka
sang guru sudah berdiri di depannya dengan wajah bengis.
"Fang Fang, apa saja yang kaulakukan di sini" Kau menguber-uber seorang calon
pengantin dan meninggalkan isterimu sendiri" Kautak tahu malu mencoreng nama
gurumu" Heh, berdiri, bocah. Pertanggungjawabkan perbuatanmu dan hukuman apa
yang kau minta untuk penebus semua dosa-dosa yang kaulakukan ini!"
Fang Fang pucat. Tiba-tiba semua orang menjadi salah paham kepadanya yag dikira
mengejar-ngejar Sylvia. Segera dia maklum bahwa Cun-ongya rupanya telah
menceritakan semua sepak terjangnya, atau mungkin Bu-goanswe. Dan ketika dia
terbelalak dan menunduk tak berani mengadu pandang dengan gurunya yang tiba-tiba
tampak marah besar maka pemuda ini menekuk kedua lututnya dan malah menjatuhkan
diri berlutut lagi, tak mau berdiri.
"Teecu tak melakukan kesalahan seperti yang kau tuduhkan, suhu. Teecu...."
"Bangun!" sang suhu membentak, mencengkeram pundak muridnya. "Banyak saksi di
sini, Fang Fang. Jangan coba-coba berbohong atau membuang kesalahan. Kau tak
pernah kuajari untuk melakukan dusta. Kau adalah murid si Dewa Mata Keranjang
yang mengajarimu untuk bersikap jantan dan penuh tanggung jawab!"
Fang Fang meringis. Cengkeraman suhunya jelas berbeda dengan cengkeraman Bu-
goanswe. Jari-jari suhunya itu berkerotok dan Fang Fang merasa sakit bukan main,
apa boleh buat dia terpaksa mengerahkan sinkangnya dan melototlah sang suhu
karena tenaga perlawanan tampak di tubuh muridnya itu. Dan ketika sang kakek
gemas dan marah karena Fang Fang dianggap membangkang, melawan, maka Dewa Mata
Keranjang memindahkan jarinya dan tahu-tahu Fang Fang sudah ditampar dan
dibanting. "Kau berani melawan guru, kurang ajar benar.... brukk!" Fang Fang jatuh bangun,
ditendang dan mencelat lagi terguling-guling namun pemuda ini sudah bertahan
dengan sinkangnya. Cepat dia berteriak agar suhunya tidak menyerang, dia akan
memberi penjelasan sebagai pertanggung jawaban. Dan ketika Bu-goanswe berkelebat
di situ dan masuk setelah menyusul pemuda ini maka jenderal itu menolong serta
berseru pada Dewa Mata Keranjang agar tidak bersikap keras kepada murid sendiri.
"Stop, jangan menyiksa muridmu lagi, Dewa Mata Keranjang. Fang Fang sudah cukup
menerima pukulan-pukulan berat!"
"Hm, kau mau apa?" sang kakek melotot, tak senang. "Muridku membuat malu aku,
goanswe. Dan selayaknya aku memberi hukuman!"
"Benar, tapi muridmu hendak membela diri, dan dia punya hak untuk itu. Maafkan
aku dan jangan serang muridmu lagi!" dan membungkuk serta memberi hormat pada
Cun-ongya jenderal ini segera berkata, "Ongya, maafkan aku. Aku sedikit
terlambat namun pemuda ini sudah kubawa ke mari. Harap kau suka bersabar dan
tidak marah-marah seperti kakek itu!"
"Hm, tak apa," Cun-ongya tertawa. "Aku dapat memaklumi keadaan pemuda ini,
goanswe. Orang yang lagi putus cinta memang dapat kehilangan kontrol dirinya.
Sudahlah, Dewa Mata Keranjang akan berurusan dengan muridnya dan mari kita
dengarkan semua." "Kau," kakek ini mengambil alih percakapan, membentak Fang Fang. "Apa yang kau
lakukan, Fang Fang" Pertanggungjawaban apalagi yang hendak kauberikan" Kau sudah
jelas mengejar-ngejar calon pengantin, dan aku selamanya tak pernah mengajarimu
untuk melakukan seperti itu. Nah, sebutkan pembelaan dirimu dan katakan
bagaimana kau tidak bersalah!"
Fang Fang gemetar. Diam-diam dia melirik wanita cantik yang duduk di sebelah
suhunya itu. Wanita itu tampak lembut dan anggun. Gerak-geriknya halus dan
teringatlah dia akan cerita Bu-goanswe bahwa suhunya menjalin cinta lagi dengan
wanita lain, bentrok dan bertemu isteri-isterinya yang lain dan agaknya itulah
wanita bernama Mien Nio. Hm, cantik dan masih penuh daya pikat, tak heran kalau
gurunya kecantol! Tapi ketika Fang Fang dibentak dan sadar akan kehadiran
gurunya maka cepat-cepat pemuda ini berlutut.
"Suhu, aku akan memberikan keterangan, tapi jangan kau marah-marah. Kalau nanti
aku tetap dianggap bersalah maka hukuman apapun boleh kaujatuhkan padaku, tapi
aku tetap gagah dan bersikap jujur!"
"Hm, jangan banyak cerewet. Katakan padaku kenapa kau mengejar-ngejar calon
pengantin wanita!" "Pertama kuberitahukan pada suhu bahwa aku tidak mengejar-ngejar calon
pengantin...." "Eh, kau mengejar-ngejar gadis kulit putih itu masih juga dibilang tidak
mengejar" Kau mau berdusta dan bohong di depan begini banyak orang?" sang guru
memotong, melotot. Namun ketika Fang Fang menggeleng dan menyuruh suhunya tidak
memotong kata-katanya maka dengan tenang namun penuh kesungguhan Fang Fang
menjelaskan. "Kalau aku dianggap mengejar puteri tuan Smith itu maka dengan tegas kunyatakan
tidak. Aku mengejar Michael, pemuda yang kebetulan satu kapal dengan Sylvia. Dan
karena yang kukejar adalah pemuda ini dan bukan puteri tuan Smith itu maka
tuduhan aku mengejar-ngejar calon pengantin dengan tegas kutolak! Aku memang
mengejar pemuda keparatitu, suhu. Karena justeru karena sepak terjang pemuda itu
aku mengalami kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan ini. Michael mengadu
domba, merusak aku. Dan pemuda macam begitu biarpun suhu tentu tak akan
membiarkannya selamat!"
"Hm, mengadu domba bagaimana" Merusak bagaimana?"
"Inilah yang perlu suhu dengar. Tentu suhu sudah tahu bahwa aku didatangi Eng
Eng dan lain-lainnya itu..."
"Ya-ya, dan Ceng Ceng sampai hamil!"
"Maaf, itu memang perbuatanku, suhu. Dan aku tidak menyangkalnya, meskipun
kejadian itu sebenarnya di luar kesengajaanku."
"Hm, lalu lanjutkan ceritamu tentang pemuda itu!"
"Michael menjadi biang keladi semua kejadian ini. Maksudku, kedatangan kekasih-
kekasihku yang lama itu adalah atas perbuatan ini karena Michael mencari dan
mendatangkan mereka. Pemuda itu dengan sengaja hendak merusak hubunganku dengan
Sylvia! Lihat, kalau suhu sendiri yang mengalami itu apakah tidak marah" Kalau
suhu yang dirusak seperti itu apakah bisa diam saja dan tidak mencari serta
menghukum musuh suhu" Aku mengejar-ngejar Michael karena ingin menuntut tanggung
jawabnya, suhu. Tapi karena kebetulan pemuda itu bersama Sylvia maka aku dikira
mengejar-ngejar puteri tuan Smith itu yang memang satu kapal!"
"Hm-hm!" sang guru tertegun, mengurut-urut kumisnya. "Apakah omonganmu bisa
dipercaya,Fang Fang" Adakah omonganmu bisa dibuktikan?"
"Tentu saja! Suhu dapat menanya Eng Eng atau Ming Ming, juga Ceng Ceng!"
"Hm, Ceng Ceng sudah tidak ada. Dan dari mana kau mendapatkan keterangan ini?"
"Apa, Ceng Ceng tidak ada?" Fang Fang terkejut, tak menghiraukan pertanyaan
gurunya yang terakhir. "Tidak ada bagaimana, suhu" Maksudmu dia pergi?"
"Benar, dan dia meninggalkan puterinya di sini. Lihatlah, itulah anakmu...!" dan
ketika Fang Fang tertegun dan membelalakkan mata, kaget, maka terdengarlah
tangis bayi dan seorang dayang muncul memberikan anak itu pada Dewa Mata
Keranjang. Fang Fang terkesima dan mendelong karena Kiok Eng, anaknya itu,
menangis dan melengking-lengking di pelukan gurunya. Dewa Mata Keranjang
berusaha menepuk-nepuk namun si bocah masih juga meraung-raung, keras dan
nyaring tangisnya. Dan ketika kakek itu kebingungan sementara si dayang sudah
disuruh mundur maka Mien Nio, wanita cantik yang sejak tadi duduk tak bergerak
tiba-tiba bangkit dan meminta anak itu.
"Kau tak dapat momong anak, kau tak pandai mendiamkannya. Ke sinilah, berikan
padaku dan biar kuhentikan tangisnya!" dan ketika si anak berpindah tangan dan
sudah berada di pelukan lembut wanita itu, yang mengecup dan mencium pipinya
maka benar saja bocah itu tak menangis dan rupanya sudah biasa dengan Mien Nio,
terbukti segera menyusupkan mukanya ke dada si wanita dan cepat Mien Nio
mengambil botol susu, memberikannya dan si bocah minum dengan lahap. Dan ketika
semuanya itu membuat Fang Fang terbengong-bengong dan mendelong, muka sebentar
merah sebentar pucat maka suhunya menoleh dan membentak padanya,
"Lihat, kau memberi pekerjaan pada orang tua. Kau yang berbuat tapi hasilnya kau
limpahkan pada subomu! Heh. inikah kebijaksanaanmu, Fang Fang" Bagaimana
sekarang dengan Ceng Ceng?"
Fang Fang menggigil. "Aku sudah menemaninya, mencoba mencintainya lagi. Tapi
kalau dia pergi lalu apa yang harus kulakukan, suhu" Aku bertanggung jawab akan
anakku itu, tapi kalau suhu mau menghukum silahkan hukum. Aku mungkin bersalah!"
"Hm-hm!" sang kakek bersinar-sinar, tak puas. "Aku dapat mempercayai kata-katamu
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi, Fang Fang. Tapi untuk anak ini kau harus menerima dosa. Kau harus mencari
Ceng Ceng dan membawa anakmu. Atau kau menerima kematian karena kuanggap menyia-
nyiakan gadis dan bikin malu orang tua!"
"Teecu sanggup mencari Ceng Ceng, dan tanpa diperintahpun teecu akan menemukan
gadis itu. Kemarikan, teecu akan membawa anak teecu, suhu. Dan sekarang juga
teecu berangkat!" "Hm, berikan anak itu kepada bapaknya," Dewa Mata Keranjang menoleh pada Mien
Nio. "Dan kau mungkin sudah tahu siapa subomu yang baru ini, Fang Fang. Atau
mungkin kau perlu diberi penjelasan!"
"Tidak, teecu sudah tahu. Bu-goanswe sudah memberi tahu," dan Fang Fang yang
berlutut menerima anaknya lalu menyebut "subo" (ibu guru) pada isteri gurunya
yang baru itu di mana Mien Nio mengangguk dengan muka sedikit kemerahan,
menyerahkan anak itu dan Dewa Mata Keranjang meminta Fang Fang
mempertanggungjawabkan perbuatannya ketika ribut-ribut di gedung pangeran ini,
sewaktu mencari Cun-ongya untuk dimintai tolong melamar Sylvia. Rupanya kakek
itu sudah mendengar segala sepak terjang muridnya tapi pangeran itu buru-buru
bangkit berdiri. Tertawa dan menepuk pundak Fang Fang agar tak usah melakukan
itu, maklum keadaan Fang Fang yang terhimpit justeru pangeran ini mencegah,
menolak. "Sudahlah, yang sudah biarlah sudah, Dewa Mata Keranjang. Aku dapat memaklumi
perasaan muridmu yang sedang kacau. Waktu itu dia dilanda kebingungan karena kau
maupun aku sama-sama tak berada di sini. Sudahlah, tak perlu minta maaf karena
apa yang dilakukan muridmu adalah tidak disengaja'" lalu menarik pemuda ini agar
bersabar pangeran itu menyambung, "Dan kau, aku tetap mengagumimu yang suka
berterus terang dan jujur, Fang Fang. Maafkan aku bahwa waktu kau mencariku aku
sedang tak ada di istana. Bangkitlah, dan anggaplah yang lewat sebagai pil pahit
yang menempa dirimu untuk menjadi lebih matang!"
Fang Fang mengangguk, bangun berdiri. Tapi ketika anaknya, Kiok Eng, menangis
dan tiba-tiba melengking keras tiba-tiba dia bingung karena tak dapat mendiamkan
anak itu. Sudah ditepuk-tepuk namun tak juga reda. Barulah setelah Mien Nio
memberikan botol susu itu kepada si bocah maka anak ini diam danFang Fang
mengeluarkan keringat dingin karena tak disangkanya bahwa momong bocah sekecil
itu, Kiok Eng, justeru jauh lebih repot dibanding bertarung dengan musuh
tangguh! "Kau tak usah bingung. Kalau dia menangis berikan saja susu ini, pasti diam."
"Baik.... baik, subo. Terima kasih!" dan Fang Fang yang cepat menerima dan lega
melihat anaknya tak menangis lagi lalu menghadapi gurunya dan berpamit pergi.
Tapi sebelum dia berangkat ternyata gurunya menahan untuk memberi tahu sejenak.
"Kau tak boleh terlalu lama. Enam bulan sudah harus datang ke Liang-san dan
kutunggu di sana." "Suhu kembali ke gunung?"
"Ya, pemberontak sudah kutangkap, Fang Fang, sudah kuserahkan pada Cun-ongya.
Selanjutnya aku ingin ke Liang-san dan hidup tenang di sana."
"Baiklah, suhu. Enam bulan lagi teecu akan ke Liang-san memberi kabar. Mudah-
mudahan sudah berhasil menemukan Ceng Ceng!" dan berkelebat setelah memberi
hormat sekali lagi maka Fang Fang meninggalkan tempat itu sambil menggendong
anaknya. Lucu, tapi juga sekaligus memprihatinkan!
-oo~dewikz~abu~oo - Dua bulan sudah Fang Fang melakukan perjalanan. Kota raja sudah delapan minggu
ditinggalkan namun Ceng Ceng belum juga ketemu. Pemuda ini berputaran ke sana ke
mari sementara Kiok Eng, anak perempuan itu, rewel dan sering menangis. Fang
Fang teringat kata-kata subonya bahwa setiap kali menangis sebaiknya anaknya itu
diberi susu, mungkin lapar atau haus. Tapi ketika pagi itu Kiok Eng menangis
terus dan susu tak mau diminum, meraung-raung maka Fang Fang bingung tapi juga
jengkel. "Keparat, kau mau apa" Diam, anak baik.... diam!" Fang Fang malah membentak, gagal
menguasai anaknya dan marahlah pemuda itu tak tahu apa yang diingini anaknya.
Hampir saja dia menampar si bocah kalau tak ingat bahwa anak itu masih kecil.
Dan ketika dia membentak-bentak namun Kiok Eng malah menjerit dan menangis
melengking-lengking maka lewatlah seorang nenek di jalan itu.
"Ah, kau tak pandai mengurus bayi, dan anak ini masih terlalu kecil. Hei, a-pa
yang kaulakukan terhadap anak itu, bocah" Kenapa membentak-bentak" Ke sinikan,
coba kulihat!" Fang Fang terkejut. Nenek yang muncul di persimpangan itu tiba-tiba mendekati
dan sudah memegang Kiok Eng. Dan ketika dia girang karena ada penolong, orang
yang akan menggantikan kekesalannya maka si nenek sudah meraba sana-sini dan
berseru tertahan. "Ah, bocah ini kedinginan. Kau seharusnya menyelimutinya dengan selimut tebal!
Mana ibunya" Kenapa tidak datang?"
"Aku.... aku sedang mencarinya. Ah, kau tolonglah aku, nek. Aku bingung meng
hadapi anakku satu-satunya ini. Aku kehabisan akal, dia tak mau berhenti
meskipun kuberi susu!"
"Tentu saja, anak ini kedinginan. Kenapa membiarkannya di udara terbuka" Hayo,
kau tempatku, anak muda. Dan sementara ini berikan kain sarungku padanya!"
Fang Fang berseri. Dia melihat nenek itu melepas selempang atau semacam kain
sarung untuk cepat menyelimuti anaknya. Waktu itu musim dingin dan dia lupa.
Bingung dan kecewa tak menemukan Ceng Ceng membuat Fang Fang lupa bahwa Kiok Eng
bukanlah dirinya. Hawa dingin dapat dilawannya dengan pengerahan sinkang hangat
tapi Kiok Eng yang masih kecil itu tentu saja tak dapat melindungi dirinya
sendiri. Bocah itu harus dihangati dan Fang Fang lupa, apalagi ketika si bocah
terus menangis dan meronta-ronta.
Dua bulan dalam perjalanan membuat Fang Fang lelah dan gampang jengkel. Meskipun
dia tahu dan mulai mengenal gerak-gerik anaknya namun Fang Fang tetaplah laki-
laki yang kurang luwes dan canggung merawat anak kecil. Seharusnya itu adalah
pekerjaan wanita, bukan pria. Dan ketika benar saja Kiok Eng tiba-tiba berhenti
menangis setelah diselimuti kain tebal maka si nenek terkekeh dan mencium pipi
anak itu. "Ah, montoknya. Montok dan sehat! Agaknya kau tak lupa memberi minum bocah ini
setiap hari. Marilah, kita ke hutan, anak muda. Tapi, eh... siapa namamu?"
"Aku Fang Fang..."
"Dan isterimu?"
"Dia.... dia pergi. Aku sedang mencarinya!"
"Heh-heh, rupanya lagi cekcok. Hm, biasa anak muda. Baiklah, mari, bocah. Ikuti
aku dan kita ke rumahku!"
Fang Fang terkejut. Si nenek tiba-tiba melangkah lebar dan tahu-tahu sudah
berjalan seperti kijang. Langkahnya tampak biasa-biasa saja tapi sekali ayun
bisa sepuluh meter lebih! Fang Fang terkejut dan maklum bahwa kiranya dia tidak
sedang menghadapi nenek biasa-biasa saja. Dan ketika nenek itu sudah jauh dan
hampir lenyap di depan maka Fang Fang yang terkejut tapi sadar tiba-tiba
bergerak dan mengejar nenek itu, melawan salju yang tiba-tiba gugur.
"Heii, tunggu, nek. Jangan buru-buru ....!"
Si nenek terkekeh. Fang Fang yang mengejar tiba-tiba membuat langkahnya
dipercepat, kian lama kian cepat dan Fang Fang tersentak karena tiba-tiba nenek
itu terbang, bergerak dan melintasi pohon-pohon besar seperti bayangan siluman
saja. Terpekik dan kagetlah Fang Fang karena seketika dia pucat menganggap nenek
itu akan menculik. Maka ketika dia berseru keras dan berjungkir balik
mengerahkan ginkangnya maka si nenek yang ada di depan tiba-tiba terlihat
bayangannya dan Fang Fang membentak.
"Berhenti!" Si nenek terkejut. Fang Fang berjungkir balik dan melewati atas kepalanya untuk
akhirnya turun dengan ringan, berdiri dan sudah menghadang, mukanya merah dan
matapun berapi-api. Fang Fang gusar karena nenek ini dianggap akan melarikan
diri, menculik. Tapi ketika dia membentak dan sudah menghadang, si nenek
membelalakkan mata tiba-tiba nenek itu terkekeh dan memutar tubuhnya.
"Wah, kau kiranya bukan bocah sembarang bocah. Baiklah, coba kita mengadu ilmu
lari cepat dan kulihat sekali lagi seberapa hebatkah dirimu!"
Fang Fang terkejut. Si nenek berputar dan tahu-tahu sudah bergerak lagi ke a-rah
semula. Kedua kakinya melejit dan terkesiaplah Fang Fang karena gerakan nenek
itu jelas bukan gerakan mainmain. Langkah kakinya yang ringan dan akhirnya tidak
menginjak tanah membuat Fang Fang sadar bahwa si nenek betul-betul lihai. Tapi
mendengar orang hendak mengujinya dan rupanya tidak mengganggu Kiok Eng, karena
bocah itu tampak tenang dan meneruskan minumnya maka Fang Fang hilang
kecurigaannya dan meng i anggap nenek ini betul-betul semata hendak mengujinya.
"Kau nenek aneh, tapi kurang ajar. Baiklah, aku akan mengikutimu ke manapun kau
pergi!" Fang Fang berkelebat, mengejar si nenek dan kini nenek di depan tancap
gas. Nenek itu terbang kian cepat tapi Fang Fang sudah mengerahkan semua
kepandaiannya. Ilmu meringankan tubuhnya, Sin-bian Ginkang (Ginkang Kapas
Sakti), sudah dikeluarkan dan terbanglah pemuda itu mengikuti si nenek. Ke
manapun si nenek berkelebat ke situ pulalah Fang Fang membayangi. Tubuh keduanya
sudah saling berkelebatan dan pohon-pohon besar lewat dengan cepat di sisi
mereka, seperti siluman. Tapi ketika Fang Fang dapat menempel si nenek dan
perlahan tetapi pasti bahkan dia mulai dapat mendekati maka nnek itu terkejut
dan berulang-ulang mengeluarkan teriakan tertahan.
"Iblis, setan terkutuk. Ilmu ginkangmu luar biasa!"
"Hm..!" Fang Fang berseri. "Kau tak dapat melarikan diri, nenek aneh. Ke manapun
kau pergi ke situlah aku membuntuti. Berhentilah, dan serahkan anakku!"
"Heh-heh, jangan sombong. Kau juga belum dapat mendahuluiku dan tak dapat dikata
menang. Hm, murid siapakah kau, bocah" Dari mana kau memperoleh ilmu meringankan
tubuh sehebat ini" Siapa gurumu?"
"Aku murid si Dewa Mata Keranjang. Berhentilah, dan kita bicara baik-baik!" Fang
Fang bangga, memperkenalkan gurunya dan benar saja nenek itu tiba-tiba tampak
tersentak. Larinya yang kencang mendadak berhenti, Fang Fang yang ada di
belakang hampir menabraknya. Dan ketika Fang Fang berjungkir balik dan memaki si
nenek, yang tertegun dan gemetar maka pemuda itu melayang turun dan berseru,
"Hei, jangan mengejutkan orang lain. Kalau berhenti jangan begitu mendadak!"
"Hm, kau..." nenek ini menggigil. "Benarkah kau murid si Dewa Mata Keranjang"
Maksudmu gurumu itu adalah Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok?"
"Benar," Fang Fang terkejut juga, melihat kilatan mata yang memancar ganas dari
pandangan si nenek. "Kau siapakah, orang tua" Dan kau rupanya mengenal guruku?"
"Heh-heh, tentu saja. Gurumu orang terkenal, dan begitu terkenalnya dia hingga
aku tak akan melupakannya seumur hidup! Heh, kebetulan kita bertemu di sini,
bocah. Dan biar kuantar mayatmu kepada gurumu.... wut!" si nenek berkelebat, cepat
dan luar biasa dan tahu-tahu sebuah pukulan panas menyambar Fang Fang. Pemuda
ini terkejut karena si nenek menyerangnya tiba-tiba,dia mengelak namun si nenek
mengejar. Dan ketika apa boleh buat Fang Fang harus menangkis dan sudah
melakukan itu, menggerakkan lengan kirinya maka benturan pukulan menggetarkan
tempat itu dan Kiok Eng pun terkejut, menangis keras-keras.
"Dukk!" Fang Fang terpental. Si nenekjuga terhuyung tapi nenek itu tertawa. Tawanya
aneh, antara kagum tapi juga marah! Dan ketika Fang Fang terbelalak karena Kiok
Eng segera melengking-lengking, tak dihiraukan si nenek maka nenek itu
berkelebat kembali dan pukulan-pukulan padasnya itu menyambar berulang-ulang.
"Heh-heh, kau akan kubunuh. Mampuslah, dan terbanglah ke akherat.... plak-plak-
plakk!" Fang Fang tergetar, kaget terdorong mundur karena dia gugup melihat
puterinya menangis tak keruan. Si nenek sudah kembali menyerangnya dan tak
menghiraukan Kiok Eng, tentu saja membuat Fang Fang marah tapi si nenek bergerak
kian cepat melepas pukulan-pukulannya. Dan ketika tubuh nenek itu lenyap
beterbangan bagai burung walet yang ganas mematuk-matuk maka apa boleh buat Fang
Fang terpaksa mengimbangi dan membentak nenek itu untuk melepaskan anaknya.
"Heh-heh, begitukah" Baik, lihatlah.... brukk!" dan Kiok Eng yang dilempar dan
terbanting di tanah tiba-tiba menjerit kesakitan dan meraung-raung, membuat Fang
Fang marah bukan main dan ditangkisnya pukulan nenek itu yang menyambar dahinya,
mengerahkan Im-bian-kang atau tenaga Kapas Dingin. Dan ketika si nenek terpental
dan kaget berjungkir balik maka Fang Fang sudah menyambar dan berkelebat
menolong anaknya itu. Tapi selanjutnya Fang Fang dibuat sibuk. Kiok Eng yang
menangis dan menjerit-jerit akibat dibanting si nenek malah kian keras tangisnya
disambar si bapak. Anak ini tak mau diam sementara si nenek sudah menyerangnya
lagi dan mencabut sebuah tusuk konde, berkeredepan menyambar-nyambar dan Fang
Fang tertegun melihat senjata itu terbuat dari emas seluruhnya. Ah, penampilan
si nenek yang bersahaja dan berkesan miskin ternyata bertolak belakang dengan
apa yang dimiliki. Selain ilmu silatnya yang tinggi juga kiranya memiliki tusuk
konde dari emas. Dan ketika Fang Fang kian terbelalak karena dari gagang tusuk konde itu
bertaburan butir-butir intan yang menyilaukan mata maka pemuda ini hampir celaka
ketika tusuk konde itu melejit dan menyambar bawah alisnya, saat dia melenggong.
"Cet!" Fang Fang melempar tubuh bergulingan. Dia pucat dan berseru keras melihat
kecepatan serangan si nenek. Begitu luar biasa, dan juga begitu ganas! Dan
ketika dia bergulingan meloncat bangun sementara Kiok Eng menjerit-jerit maka
apa boleh buat Fang Fang harus meletakkan anaknya dulu di atas rumput ketika si
nenek mengejar, menusuk dengan tusuk kondenya itu sementara tangan kirinya
menghantam dengan pukulan panas. Angin pukulan itu tak tahan buat Kiok Eng, si
bocah perempuan. Dan ketika Fang Fang meloncat bangun dan menangkis, kedua kaki
agak bengkok maka pemuda ini mencelat dan kembali terlempar terguling-guling.
"Hi-hik!" si nenek kelihatan gembira. "Kau tak dapat menyelamatkan diri, anak
muda. Sekarang kau mampus dan terimalah lagi pukulanku ini.... des-dess!" Fang
Fang mengeluh, benar saja terlempar lagi karena dia belum sempat memperbaiki
posisi. Nenek itu mengejar dan mendesak, padahal di sana Kiok Eng menangis
menjerit-jerit karena diletakkan ayahnya di atas rumput, digigit semut dan Fang
Fang tak tahu.Dan ketika Fang Fang panik dan bingung karena anak maupun lawannya
sama-sama merepotkan dia maka pemuda itu terbanting lagi ketika sebuah pukulan
menghantam telak, tepat mengenai lambung tapi Fang Fang tak apa-apa. Pemuda ini
hanya terpelanting setelah i-tu melompat bangun,terhuyung. Beberapa kali pukulan
si nenek dapat ditahan karena dia sudah mengerahkan sinkangnya, melindungi diri.
Dan ketika si nenek terbelalak dan merah mukanya, karena pemuda itu kebal dan
hebat maka tusuk kondenya menyambar di balik serangan tangan kiri, langsung
menuju mata dan bagian itulah yang selalu diincar. Rupanya nenek ini tahu bahwa
mata tak dapat dilindungi kekebalan, Fang Fang terkejut dan mengelak. Namun
ketika kalah cepat dan keningnya tergurat maka nenek itu terkekeh-kekeh dan Fang
Fang didesak bagai harimau siap memasuki jebakan.
"Hi-hik, mampus kau, anak muda. Mampus!"
Fang Fang naik darah. Akhirnya dia menjadi gusar setelah si nenek berulang-ulang
menghantamnya dengan pukulan, juga dua guratan di alis atau kening. Dan ketika
si nenek berkelebatan dan kembali melancarkan serangan-serangan berbahaya yang
tak kenal ampun maka Fang Fang menutup telinganya tak mau mendengar tangis sang
anak, memusatkan perhatian dan konsentrasi karena nenek ini benar-benar ganas
dan berbahaya. Sekali ia meleng tentu bencanalah yang akan diterima. Fang Fang
membentak dan tiba-tiba mengerotokkan kedua lengannya, mengerahkan Pek-in-kang
(Pukulan Awan Kilat). Dan ketika si nenek menyambar dan melepas pukulan panas
maka Pek-in-kang atau pukulan yang juga berhawa panas itu menyambut dan
memperlihatkan diri siapa yang lebih unggul.
"Blarr!" Dan nenek itu mencelat! Rupanya, tak menduga Fang Fang memiliki dua macam
pukulan yang dingin dan panas nenek itu terpekik. Pek-in-kang ternyata lebih
kuat dan panas dibanding pukulan panasnya. Fang Fang menyambut keras sama keras
dan si nenek terbanting! Dan ketika nenek itu mengeluh dan Fang Fang lega,
bersinar-sinar, maka nenek itu meloncat bangun namun rasa gentarnya sudah tak
dapat disembunyikan lagi.
"Keparat, itu.... itu Pek-in-kang?"
"Hm!" Fang Fang mengangguk. "Sekarang tak perlu kau bersombong lagi, nenek
siluman. Dan sebutkan siapa dirimu!"
"Aihh...!" dan si nenek yang tidak menjawab melainkan menerjang lagi tiba-tiba
marah menghantam Fang Fang, ditangkis dan terpental dan nenek itu melotot.
Akhirnya dia melengking-lengking dan tusuk kondenya kembali naik turun menyambar
Fang Fang, dielak dan ditangkis dan si nenek menjerit. Ternyata, sekarang Fang
Fang dapat membalas dan nenek itu terhuyung. Dan ketika si nenek mundur-mundur
dan Fang Fang mendesak, mengerahkan Pek-in-kang karena ilmu itulah yang dapat
dipakai untuk menekan lawan maka si nenek tampak pucat dan berkali-kali memaki
si Dewa Mata Keranjang. "Terkutuk, keparat jahanam. Kiranya si tua bangka menurunkan juga Pek-in-kang
kepada bocah ini. Augh, kau laki-laki celaka, Cing Bhok. Awas kau kalau kita
ketemu!" "Hm," Fang Fang mengejek. "Tak usah memaki-maki guruku, nenek siluman. Sebutkan
saja siapa dirimu dan akan kuberitahukan guruku."
"Ah,kaupun bocah keparat!" dan si nenek yang menghantam tapi ditangkis terpental
tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dan menghamburkan pelor-pelor kecil ke arah Fang
Fang. Fang Fang mengebut namun pelor-pelor itu meledak, isinya berhamburan ke
mukanya dan hampir saja pemuda ini celaka. Kiranya pelor-pelor itu
menyembunyikan jarum-jarum halus yang tidak disangka. Tapi ketika Fang Fang
melempar tubuh ke kiri dan meniup, jarum-jarum itu rontok ternyata si nenek
berkelebat ke kiri dan memutar tubuh melarikan diri.
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heii...!" Fang Fang meloncat bangun. "Jangan lari, nenek siluman. Sebutkan dulu
siapa kau!" Namun si nenek melempar lagi pelor-pelor berbahaya itu. Fang Fang tak berani
menangkis karena tak mau isinya meledak, tertahan dan akhirnya membiarkan saja
nenek itu melarikan diri, mengusap keringatnya. Dan ketika pemuda itu tersenyum
namun tertegun teringat sesuatu, tangis Kiok Eng yang tak terdengar lagi tiba-
tiba Fang Fang membalik dan darahnya serasa berhenti mengalir melihat anak
perempuannya tak ada lagi di tempat.
"Kiok Eng...!" Fang Fang terkesiap. Bagai disengat kalajengking saja tiba-tiba pemuda ini
melonjak. Kiok Eng, puterinya, tak ada di situ lagi. Fang Fang berteriak dan
berkelebat memanggil-manggil anak perempuannya itu. Dia menyangka disambar
harimau atau binatang buas. Tapi ketika pemuda ini berkelebatan dan memanggil-
manggil, mengelilingi hutan ternyata a-nak perempuannya itu tak ada. Kiok Eng
lenyap tanpa bekas dan Fang Fang pucat pasi. Pantas dia tak mendengar tangis
anaknya lagi dan dia dapat memusatkan semua perhatiannya pada si nenek, membalas
dan akhirnya mengalahkan nenek i-tu yang melarikan diri. Tapi begitu dia sadar
dan teringat puterinya maka hilangnya Kiok Eng tiba-tiba membuat Fang Fang
seperti gila. Pemuda ini berlarian dan berteriak-teriak memanggil anaknya itu,
tak ada jawaban dan hutan bahkan tergetar oleh suara atau bentakannya. Dan
ketika Fang Fang panik dan berkelebatan sia-sia akhirnya pemuda ini mengamuk dan
menghantami apa saja yang ditemui. Pohon-pohon dicabut, yang besar-besar
ditendang dan hiruk-pikuklah suaranya ketika roboh atau tumbang. Dan ketika Fang
Fang teringat nenek tadi dan berusaha mengejar ternyata nenek itu sudah lenyap
dan Fang Fang tak tahu ke mana nenek itu lari.
Fang Fang terpukul. Untuk pertama kalinya pemuda ini mengalami shock berat
dengan hilangnya sang anak. Betapapun sudah terjalinlah ikatan batinnya dengan
Kiok Eng, puterinya yang kecil itu. Dan ketika Fang Fang terhuyung sana-sini tak
menemukan anaknya, padahal tugas mencari Ceng Ceng belum berhasil maka tak lama
kemudian Fang Fang naik ke Liang-san dan tersedu-sedu menghadap gurunya. ,
"Teecu mengalami nasib malang. Sudah jatuh tertimpa tangga!"
"Hm!" sang guru terkejut, tak biasa melihat muridnya mengguguk seperti itu. "Apa
yang terjadi, Fang Fang. Dan mana Kiok Eng!"
"Itulah!" pemuda ini tak tahan lagi. "Kiok Eng hilang, suhu. Anakku hilang!"
"Apa?" Dewa Mata Keranjang tersentak. "Hilang" Kau meninggalkan anakmu di mana"
Apa yang terjadi?" "Teecu.... teecu bertemu nenek siluman, bertempur dan bertanding dan teecu
mengusir nenek itu. Tapi ketika teecu membalik ternyata Kiok Eng tak ada lagi,"
Fang Fang lalu menceritakan jalannya peristiwa, belum enam bulan sudah datang
kepada gurunya karena hilangnya sang anak. Dewa Mata Keranjang tertegun dan
berulang-ulang alis putih itu terangkat naik. Tapi ketika Fang Fang berhenti
bercerita dan dia bertanya siapa nenek yang disebut-sebut itu ternyata muridnya
menggeleng kepala. "Teecu tak tahu, dia tak menyebutkan nama...."
"Heh, kau tak tahu siapa lawanmu" Dan kau tak menangkap?"
"Nenek ini lihai, suhu. Dan barangkali dari semua isteri-isteri suhu dialah yang
amat lihai. Dia melempar pelor-pelor yang meledak kalau ditangkis, senjatanya
adalah sebuah tusuk konde emas!"
"Ah, si Kuda Binal So Yok Bi!" Dewa Mata Keranjang terlonjak. "Kau bertemu nenek
itu, Fang Fang" Dia masih hidup?"
"Siapa dia ini, suhu" Kenapa aku tak pernah mendengarnya?"
"Ah, dia wanita berbahaya. Dan kalau dia masih hidup berarti suaminya, Ok-tu-kwi
(Si Setan Judi), juga ada di bumi ini. Celaka!" dan Dewa Mata Keranjang yang
tampak gelisah dan berobah lalu membuat Fang Fang tertegun dan mengerutkan
kening, bertanya siapa mereka itu tapi gurunya meloncat bangun. Sang guru tampak
tidak senang dan gelap, wajahpun keruh. Dan ketika Fang Fang bertanya lagi tapi
dibentak untuk berhati-hati maka kakek itu tampak merona wajahnya dan berkata,
"Lain kali kalau kau bertemu nenek itu lagi jangan diberi ampun. Dia pantas
dibunuh. Jangan-jangan Ok-tu-kwilah yang menculik anakmu!"
"Apa?" "Hm, baru dugaan. Biasanya ada si Kuda Binal pasti ada si Setan Judi, Fang Fang.
Kalau kau bertempur dengan isterinya maka biasanya sang suami ada di dekat-dekat
situ. Apakah kau tidak melihat siapa pun?"
"Tidak," Fang Fang tergetar. "Aku tak melihat siapa-siapa, suhu. Tapi siapa tahu
di saat aku sibuk menghadapi nenek itu maka ada orang lain datang. Yang jelai
aku tak melihat Kiok Eng dibawa harimau atau binatang buas karena tak ada
bercak-bercak darah di situ!"
"Hm, kalau begitu pasti dibawa orang. Dan mungkin di saat kau sibuk menghadapi
nenek siluman itu. Bahaya! Anakmu bisa celaka di tangan suami isteri itu, Fang
Fang. Dan rupanya aku harus turun gunung untuk membantumu!"
Fang Fang terkejut. Kalau gurunya sudah berkata seperti itu maka keadaan benar-
benar dinilai serius. Tapi karena dia memang membutuhkan bantuan dan tekanan
demi tekanan yang diterimanya selalu membuat dia tak tenang berpikir maka Fang
Fang menyambut gembira keinginan gurunya ini. Tapi tiba-tiba Mien Nio, kekasih
gurunya yang baru, muncul.
"Ada banyak orang di bawah gunung!" wanita cantik itu berseru, gelisah. "Kita
kedatangan musuh, suamiku. Aku tak tahu siapa mereka tapi kau harus melihatnya!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Belum persoalan Fang Fang selesai tiba-tiba saja
dia mendengar laporan itu. Telinganya bergerak-gerak dan berubahlah muka
pendekar ini ketika jauh di bawah sana dia mendengar langkah kaki orang yang tak
kurang dari duapuluh jumlahnya. Fang Fang juga mengerahkan pendengarannya dan
pemuda ini terkejut karena dia mendengar derap langkah kaki yang ringan yang
jumlahnya banyak. Dihitung-hitung, ada duapuluh tiga orang, bukan main! Dan
ketika gurunya bertanya dan Fang Fang menoleh maka pemuda itu meloncat bangun
dan agak berdebar. "Berapa orang yang kau tangkap?"
"Duapuluh tiga, suhu. Aku menangkap gerakan kaki dari duapuluh tiga orang yang
berjalan mendatangi, naik ke puncak!"
"Hm, bukan duapuluh tiga, tapi duapuluh lima!" sang guru membenarkan. "Ajak
subomu ini menjauh, Fang Fang. Sembunyikan dia di kaki gunung sebelah barat!"
"Tidak!" Mien Nio, wanita itu berseru. "Aku di sini siap membantumu, suamiku.
Kalau aku disuruh pergi tak ada gunanya aku sebagai isterimu....!"
"Hm, bukan begitu," Dewa Mata Keranjang tersenyum, menyentuh dan merangkul serta
tiba-tiba menotok isterinya itu. "Aku tak mau dipecah perhatianku, Mien Nio.
Biarlah kau diantar muridku dan beristirahat dulu di sana!" dan tidak
memperdulikan teriakan isterinya yang marah dan memaki-maki tiba-tiba Dewa Mata
Keranjang itu menyerahkannya pada Fang Fang. "Kau bawa dia di tempat yang
kumaksudkan itu. Setelah itu bantulah aku melihat keadaan!"
Fang Fang menerima. Dia sudah mendengar langkah kaki yang banyak itu
berkelebatan mendaki gunung. Gerak atau kesiur kaki mereka yang ringan dan
enteng jelas menandakan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Maka ketika
gurunya berkata dan subonya itu sudah diberikan kepadanya tiba-tiba tanpa banyak
cakap pemuda ini mengangguk dan berkelebat pergi. Dan begitu Fang Fang lenyap
dan kakek itu tersenyum maka Dewa Mata Keranjang pun bergerak dan lenyap
meninggalkan rumahnya. Namun belum seberapa jauh tiba-tiba kakek itu berhenti. Di leher gunung, hampir
di puncaknya tahu-tahu sudah berkelebatan bayangan orang yang demikian
banyaknya. Duapuluh tiga orang telah mengepung dan mengurung kakek itu. Dan
ketika Dewa Mata Keranjang tertegun dan terkejut, melihat bahwa sebelas di
antaranya adalah bekas isteri-isterinya sendiri maka Sin-mauw Sin-ni Ang Hoa May
atau May-may sudah membentak dan menjeletarkan rambutnya.
"Cing Bhok, berhenti. Serahkan jiwamu!"
Kakek ini tertegun. May-may, dan lain-lainnya itu ternyata bergabung dengan
duabelas laki-laki yang berperawakan macam-macam. Ada tinggi ada pendek dan ada
yang kurus serta gemuk, juga kekar. Kakek ini terkejut karena samar-samar dia
mengenal orang-orang itu, sayang lupa-lupa ingat. Tapi ketika Bi Hwa dan Bi Giok
juga membentak dan maju mendesingkan Kiam-ciangnya maka dua nenek itu juga
berseru, "Benar, dan kali ini kau mampus, Cing Bhok. Serahkan jiwamu secara baik-baik
atau kami semua mencincangmu!"
"Hm-hm!" kakek ini mengangguk-angguk, tersenyum. "Kalian kiranya, Bi Gok" Datang
dengan sepasukan liar untuk mencari dan membunuh aku" Ha-ha, bagus, tapi lucu
sekali. Kalian menggelikan!"
"Hm, apanya yang menggelikan!" nenek Lin Lin maju membentak. "Tak ada yang
menggelikan disini, Cing Bhok. Kau akan mati dan kami rajam. Barangkali kau
kenal orang-orang ini!"
"Hm, aku lupa-lupa ingat," sang kakek berterus terang, memandang duabelas laki-
laki yang melotot padanya itu, tertawa dingin. "Tapi kalaupun ingat tentu aku
tak takut, Lin Lin. Biarpun kalian datang dibantu seratus siluman aku tak
gentar, ha-ha!" Nenek itu mendelik. "Mereka adalah Cap-ji Koai-liong, Cing Bhok. Dengarlah dan
jangan tertawa!" Dewa Mata Keranjang terkejut. Tiba-tiba kakek itu menghentikan tawanya dan benar
saja tampak terkesiap. Tapi begitu dia sadar tiba-tiba kakek ini tertawa lagi
dan bahkan tergelak. "Ha-ha! Kiranya Cap-ji Koai-liong (Duabelas Naga Siluman).
Wah, selamat datang, Cap-ji Koai-liong, dan sekarang aku ingat siapa kalian.
Kiranya tikus-tikus yang dulu pernah kuhajar, ha-ha!"
Duabelas orang itu, Cap-ji Koai-liong menggeram dan melotot. Memang mereka dulu
pernah dihajar kakek ini dan tunggang-langgang. Mereka datang memang untuk
menuntut balas dan kakek itu segera tahu. Tapi begitu Dewa Mata Keranjang
berseru mengejek dan tawanya jelas tidak memandang mata, sikap yang amat
menyakitkan maka dua di antaranya membentak hampir berbareng,
"Cing Bhok, jangan pongah. Lain dulu lain sekarang. Kami bukanlah Cap-ji Koai-
liong pada belasan tahun yang lalu!"
"Hm, dan akupun bukan Cing Bhok belasan tahun yang lewat. Eh, kau Twaliong kwi
(Naga Pertama), bukan" Ha-ha, kuingat kau. Dulu pantatmu kugebuk dan kau
meraung-raung. Ah, geli hatiku, Twaliong. Tapi tak apalah. Kau dan adik-adikmu
tentu datang untuk merasakan gebukan dariku lagi, tak apalah, aku juga gatal dan
kebetulan tanganku sudah lama tidak menggebuk pantat anjing. Siluman-siluman
macam kalian tentu tak akan jera kalau belum dihabisi. Nah, majulah, aku siap
memberi pelajaran kalian!"
"Jahanam!" dan Twaliong yang maju dengan seruan panjang tiba-tiba membentak dan
menghantam kakek itu. Di tangannya tercabut sebatang ruyung dan dengan ruyung
ini dia menghantam si kakek. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang berkelebat dan
kakek itu tahu-tahu lenyap, berada di belakang lawan mendadak yang lain berseru
namun sudah terlambat ketika Twaliong menerima sebuah tamparan ringan.
"Awas!" Twaliong menoleh. Dia baru mendengar angin tamparan itu namun terlambat. Orang
ini menjerit dan tahu-tahu terdorong ke depan, roboh terguling-guling. Tapi
ketika dia meloncat bangun dan ruyung di tangannya masih tergenggam kuat maka
Dewa Mata Keranjang mengangguk-angguk berkata tertawa.
"Ha-ha, ada kemajuan, tapi tak seberapa. Eh, aku masih tak melihat dua temanmu
yang lain, Lin Lin. Suruh mereka keluar dan tak usah bersembunyi!"
"Hm, teman apa?" Lin Lin membentak. "Di sini hanya ada kami, Cing Bhok. Tak ada
yang lain seperti yang kaukatakan!"
"Ha, kalau begitu kau bohong. Rupanya harus kukeluarkan kalau tak mau keluar
sendiri.... srutt!" dan Dewa Mata Keranjang yang menjentik dua rumput alang-alang
ke balik segerumbulan semak tiba-tiba membuat semua terkejut karena dua bayangan
tiba-tiba memaki dari balik gerumbul semak belukar itu, menepis dan dua rumput
alang-alang itu hancur. Dua orang berkelebat dan melayang turun. Dan ketika yang
seorang tertawa nyaring dan menggelogok arak, dari sebuah bulibuli kulit maka
yang lain, seorang nenek berpakaian hitam berpita merah melengking dan memaki.
"Cing Bhok, kau tua bangka jahanam. Memang benar, inilah kami. Nah, apa katamu
dan mau apa kalau kami berdua sudah keluar!"
Dewa Mata Keranjang mundur selangkah. Dia tak menyangka dan rupanya terkejut
oleh hadirnya dua lawan terakhir ini, terbukti kakek itu terbelalak dan mem buka
mata lebar-lebar. Tapi begitu dia sadar dan dapat menguasai diri, tertawa
bergelak, kakek ini tiba-tiba berseru nyaring.
"Wah-wah, kiranya Ok-tu-kwi dan si Kuda Binal. Aih, selamat datang, Kuda Binal.
Dan selamat bertemu lagi dengan suamimu yang pemabok itu. Ha-ha, kiranya inilah
dua orang yang bersembunyi itu. Masih licik dan curang. Hm, tentu kalian yang
menghasut mereka semua ini hingga datang ke mari. Heh, akui terus terang
perbuatanmu, Ok-tu-kwi. Dan sekarang aku tahu apa yang terjadi di balik semuanya
ini!" "Ha-ha!" Ok-tu-kwi, si Setan Judi tertawa nyaring, menggelogok araknya hingga
cegluk-cegluk. "Kau tua bangka masih tajam pendengarannya, Cing Bhok. Sungguh
aku kagum. Tapi aku tak membawa orang-orang ini, justeru merekalah yang minta
aku mengawal!" -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XIX "HM, mengawal atau mengeroyok?" si Dewa Mata Keranjang mengejek, tak percaya.
"Kau dan isterimu bukanlah orang baik-baik, Ok-tu-kwi. Di mana ada kalian
biasanya pasti ada kecurangan. Aku tak percaya!"
"Kalau begitu tanya saja bekas isteri-isterimu ini!" lawan tertawa parau. "Aku
bohong atau tidak rasanya tak perlu didebatkan, Dewa Mata Keranjang. Aku datang
hanya untuk mengiring mereka!" dan kembali menggelogok araknya hingga berbunyi
keras si Setan Judi ini pura-pura tak mau menghiraukan lawan lagi, terbatuk tapi
tiba-tiba araknya menyembur. Semburan atau semprotan itu keras sekali dan
celakanya jatuh atau menyambar muka si Dewa Mata Keranjang, cepat dan luar biasa
dan orang-orang di situ mendengar suara bercuit atau mendesing. Bukan main,
butir-butir arak dapat menyerang seperti itu, persis peluru atau pe-lor baja!
Tapi ketika kakek ini mengibas dan mendengus, tahu bahwa semuanya itu adalah
disengaja oleh lawan, yang menyerang sambil pura-pura batuk maka kebutan ujung
lengan baju Dewa Mata Keranjang menolak atau memukul balik arak-arak itu.
"Pratt!" Ok-tu-kwipun terkekeh. Laki-laki ini mengelak dan butiran arakpun akhirnya
menancap dan hilang di belakangnya, menyambar pohon yang berderak dan bergoyang
keras. Dan ketika May-may dan lain-lain kagum karena demonstrasi khikang atau
sinkang itu sudah ditunjukkan keduanya maka nenek berpakaian hitam yang bukan
lain So Yok Bi adanya berkelebat dan tahu-tahu sudah di depan si Dewa Mata
Keranjang. "Cing Bhok, kau mau menyerah atau tidak?"
"Ha-ha, menyerah bagaimana" Kalau ingin maju cepatlah maju, nenek bangkotan. Tak
usah merayu atau berlenggang lagi di depanku. Kau sudah tidak muda lagi!"
"Keparat!" dan si nenek yang melengking dan membentak marah tiba-tiba
menggetarkan lengannya dan berkelebat menampar, cepat dan tahu-tahu sudah
menyerang kakek ini sebanyak tujuh serangan berturut-turut. Dewa Mata Keranjang
mengelak dan berlompatan namun akhirnya menangkis. Dia mengeluarkan Kapas
Dinginnya dan pukulan si nenek disambut. Dan ketika terdengar ledakan dan si
nenek mencelat, jungkir balik ke atas maka Ok-tu-kwi menghentikan minumnya dan
tiba-tiba tertawa. "Uwah, hebat, masih luar biasa. Ha-ha!" dan menggelogok araknya lagi seolah tak
perduli pada isterinya maka nenek itu menyerang dan membentak lagi, mencabut
tusuk kondenya dan menyambar-nyambarlah sinar kuning emas di depan si kakek.
Dewa Mata Keranjang menggerakkan kembali pukulan dinginnya dan terdengar suara
"ces" ketika pukulan si nenek diredam, terpental dan nenek itu menjerit kaget
karena si kakek tak bergeming sedikitpun. Dan ketika nenek itu melengking
lengking dan berkelebatan kian cepat akhirnya Dewa Mata Keranjang dikurung tapi
dengan enak saja kakek itu menangkis atau mengelak sana-sini.
"Plak-plak-dess!"
Si nenek memaki-maki. Si Kuda Binal ini selalu terlempar dan terpental di udara,
pukulan-pukulan si kakek membuatnya tak tahan dan selalu dia berteriak keras
karena lawan terlalu hebat. Dan ketika tak lama kemudian Dewa Mata Keranjang
mempergunakan Sin-bian Ginkang-nya di mana tubuh kakek itu tiba-tiba berkelebat
lenyap dan ganti mengelilingi nenek itu, yang memekik-mekik maka Dewa Mata
Keranjang tertawa bahwa sepuluh jurus lagi lawannya itu akan roboh.
"Kau masih tak dapat menandingiku. Sebaiknya suamimu suruh maju dan mari kita
berdua main main!" "Keparat.... duk-plak!" si nenek membentak, mau menyerang lagi tapi didahului si
kakek yang menotok ulu hatinya. Dewa Mata Keranjang bergerak lebih cepat hingga
mau tak mau si nenek menangkis. Tapi karena tenaga kalah kuat dan sudah terbukti
berkali-kali bahwa sinkang kakek itu hebat sekali maka nenek ini terpelanting
dan roboh terguling-guling.
"Ha-ha, apa kataku!" Dewa Mata Keranjang berkelebat, mengejar si nenek. "Kau tak
dapat menandingiku kecuali suamimu membantu, Yok Bi. Hayo menyerahlah atau kau
kulempar pada suamimu.... dess!" si nenek mencelat, kena sebuah tendangan dan
berteriak-teriaklah nenek itu memaki suaminya karena sejak tadi Ok-tu-kwi hanya
menenggak araknya saja. Si Setan Judi itu seolah tak perduli tapi ketika si
isteri terlempar tiba-tiba dia menangkap, menerima. Dan ketika si isteri sudah
ditolong dan menggampar mukanya, marah-marah, mendadak kakek ini berkelebat
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi dan terkekeh-kekeh.
"Heh-heh, aku takut. Dewa Mata Keranjang ternyata terlalu lihai. Aih, biar yang
lain-lain saja membantumu, isteriku. Aku gentar!"
Dewa Mata Keranjang tersenyum. Ok-tu-kwi terbirit-birit seraya tangannya
dilempar-lempar ke belakang, persis bebek tunggang-langgang. Tapi ketika dari
gerakan tangan itu tampak menyambar puluhan benda-benda hitam dan kakek ini
terkejut, menangkis, ternyata terdengar ledakan dan tigapuluh pelor kecil
meledak di udara. "Aiihhh...!" Dewa Mata Keranjang berseru keras. Kakek ini berjungkir balik dan
cepat meniup ke depan. Ratusan jarum-jarum hitam berhamburan ke mukanya dan saat
itulah Ok-tu-kwi terkekeh-kekeh. Iblis itu melarikan diri namun dengan licik dan
curang ia melemparkan pelor-pelor baja ke si Dewa Mata Keranjang Kakek ini
terkejut dan teringat cerita Fang Fang, membentak dan sudah menghalau senjata-
senjata gelap itu. Namun ketika dia melayang turun dan memaki lawan, yang sudah
lenyap entah ke mana mendadak Bi Giok dan lain-lain maju menerjang.
"Cing Bhok, kau terlalu lihai. Mampuslah!"
Kakek ini tersentak. Bi Giok dan sepuluh isterinya yang lain itu sudah
berkelebatan menyerangnya dari segala penjuru. Senjata mereka menjeletar atau
mendesing tajam, rambut atau cambuk meledak di sisi kepala disusul tusukan
pedang di tangan yang lain. Dan ketika semuanya maju menerjang dan seolah
mendapat aba-aba saja maka sebelas tubuh sudah berseliweran naik turun di
sekeliling kakek ini. "Des-dess!" Dewa Mata Keranjang menangkis. Sama seperti dulu iapun tiba-tiba sudah melompat-
lompat ke kiri kanan menghindari serangan yang gencar itu, menangkis dan
mengelak atau memukul senjata lawan. Apa boleh buat kakek ini mengeluarkan ilmu
meringankan tubuhnya dan akhirnya bergeraklah kakek itu mengikuti setiap
serangan sebelas isterinya. Dan ketika semakin cepat mereka menyerang semakin
cepat pula kakek ini berkelebatan di antara hujan senjata yang menyambar maka
bagai burung srikatan saja kakek ini sudah mendahului atau terbang bersama
senjata lawan, tak dapat disentuh!
"Ha-ha, hebat sekali kalian, Bi Giok. Tapi sayang gerakan kalian masih juga
kurang cepat!" "Keparat!" sebelas nenek itu melengking. "Jahanam bedebah kau, Cing Bhok. Jangan
tertawa karena kami semua akan membunuhmu!"
"Ha-ha, membunuh bagaimana. Serangan kalian terlampau lemah dan lihat bagaimana
aku menangkis.... plak!" rambut si nenek May-may terpental, menyabet muka nenek
itu sendiri dan nenek ini menjerit. May-may terpelanting dan terguling-guling.
Dan ketika Cing Bhok menangkis Kiam-ciang yang dilancarkan Bi Giok dan Bi Hwa di
mana tangan pedang mereka itu tertolak dan menangkis serangan yang lain maka
berturut-turut cambuk atau senjata lain di tangan delapan nenek terakhir
berpentalan sana-sini bagai disibak angin puyuh.
"Plak-plak-cringgg...!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Melihat sebelas isterinya terhuyung dan
jatuh bangun sambil memaki-maki justeru kakek ini terbahak merasa geli. Dewa
Mata Keranjang terkekeh-kekeh melihat sebelas isterinya itu berjumpalitan. Tapi
ketika mereka menerjang lagi dan dengan penuh kemarahan Bi Giok dan lain-lainnya
itu menyerang beringas, lebih dahsyat dan ganas daripada tadi maka kakek ini
berkelebat dan tiba-tiba mendorong mereka semua dengan dua tangan memukul ke
depan. "Minggir...!" Sebelas nenek itu terkejut. Serangkum angin dahsyat menahan mereka yang sedang
bergerak ke depan. Ajaib, tubuh mereka tiba-tiba tak dapat maju. Dan ketika
mereka terkejut dan berseru tertahan, melotot, tiba-tiba mereka terpental dan
roboh terguling-guling ke belakang, tanpa dapat dicegah lagi.
"Aih, keparat...!"
"Jahanam!" Sebelas nenek itu tunggang-langgang. Mereka memang tahu kehebatan kakek ini dan
justeru karena kehebatannya itulah mereka kagum, rasa kagum yang berubah menjadi
rasa cinta! Tapi karena si Dewa Mata Keranjang mempergunakan kekaguman itu untuk
menggaet yang lain, bercinta dan memadu kasih dengan madu-madu mereka sendiri
maka sebelas nenek itu menjadi marah dan kini kemarahan itu berobah menjadi
benci. Betapapun mereka benci si kakek lihai ini. Betapapun mereka tak rela
kalau Cing Bhok membagi-bagi cinta, seperti orang membagi-bagi pisang goreng
saja! Maka begitu mereka bersatu dan kini semua melupakan kebencian pribadi
untuk ditumpahkan kepada kakek ini maka begitu mereka tunggang-langgang dan
jatuh bangun mereka itu sudah melompat bangun lagi dan maju dengan marah. Namun
lawan mengulang kembali kehebatannya itu. Cing Bhok menahan dan selalu
mendorongkan kedua lengannya ke depan. Mereka tak dapat maju dan akibatnya tak
dapat menyerang, dibuat tonggak-tonggak hidup yang akhirnya terbanting atau
terpelanting roboh terguling-guling lagi. Dan ketika hal itu terjadi berulang-
ulang dan Bi Giok serta yang lain-lain marah tapi juga gentar, jerih, maka Bi
Giok berseru pada Duabelas Naga di belakang yang menonton dengan mata
terbelalak, seperti orang tersihir.
"Heii, kalian...!" nenek itu melengking gusar. "Untuk apa datang ke mari,
Twaliong" Memangnya hanya menonton dan menjadi saksi hidup atas kekalahan kami"
Keparat, majulah. Bantu kami atau kami nanti juga tak mau membantu kalian kalau
sudah dihajar tua bangka ini!"
Duabelas Naga yang terkejut, tersentak oleh lengkingan nenek itu tiba-tiba
sadar. Mereka segera berseru satu sama lain dan Twaliong, orang pertama dari
Duabelas Naga tiba-tiba memekik memberi aba-aba. Mereka tadi memang bengong dan
tersihir oleh kehebatan si Dewa Mata Keranjang. Mereka tadi seakan terpukau dan
bagai orang dibuat bengong, kagum. Tapi begitu Bi Giok memaki dan mereka harus
bergerak maka bergeraklah Duabelas Naga itu dengan aba-aba dan satu bentakan
yang sama. "Maju, terjang...!"
Dewa Mata Keranjang tak terkejut. Memang dia sudah menduga bahwa Capji Koai-
liong ini akan mengeroyok. Mereka datang memang untuk mencari dirinya, menuntut
balas. Kekalahan belasan tahun yang lalu amatlah menyakitkan dan mereka ingin
menebus itu. Tapi karena Dewa Mata Keranjang adalah manusia lihai dan bentakan
atau keroyokan itu tak membuatnya gentar maka kakek ini justeru terbahak-bahak
ketika Twaliong dan lain-lainnya itu maju menerjang.
"Ha-ha, marilah. Serang dan keroyok aku, Twaliong. Kalian memang tak akan sudah
kalau belum mengulang kejadian lama. Mari... mari... biar aku tunjukkan kepada
kalian bagaimana menggebuk pantat atau pinggang seperti biasanya anjing-anjing
kudisan minta dihajar!" si kakek meloncat tinggi, berjungkir balik dan tiba-tiba
berseru keras karena duapuluh tiga orang tiba-tiba menyerangnya dari delapan
penjuru. Bi Giok dan lain-lain yang tadi ditahan sekarang sudah maju menyerang
setelah Duabelas Naga ini membantu. Dewa Mata Keranjang tak dapat melepas
pukulannya karena dari belakang duabelas orang itu sudah membokong. Mereka
menghantam dan menusuk dengan duabelas ruyung yang sudah dicabut berbareng,
suaranya menderu dan dahsyat sekali menyambar si kakek, dan belakang. Dan karena
Dewa Mata Keranjang harus melompat tinggi dan berjungkir balik menghindari
duabelas serangan itu, yang dahsyat dan tak mengenal ampun maka si kakek sudah
melakukan itu dan dari atas ia melayang turun sambi' menggerakkan kedua
tangannya ke kiri kanan. "Des-dess!"
Duabelas orang itu terkejut. Mereka terdorong dan terhuyung oleh pukulan dari
atas ini, untung tidak sepenuhnya menyambar karena Bi Giok dan nenek-nenek yang
lain sudah perlu mendapat perhatian kakek ini. Dewa Mata Keranjang terpaksa
membagi tenaga karena saat itulah sebelas isterinya menerjang maju, melengking
dan menyerang kalap karena saat i-tulah mereka bisa menyerang lagi. Dorongan si
kakek sudah diarahkan ke Duabelas Naga dan mereka kini tak terhalang, menyambut
dan membentak kakek itu yang sedang melayang turun. Dan ketika Cing Bhok harus
menangkis dan sibuk oleh serangan sebelas isterinya ini maka Cap-ji Koai-liong
yang sudah dapat berdiri tegak dan berseru keras lalu menyerang dan menghantam
lagi. Dan begitu mereka bergerak dan memaksa lawan untuk meloncat tinggi
akhirnya ruyung di tangan sudah mengejar dan memburu ganas, disusul kemudian
oleh jeletaran rambut atau pukulan Bi Giok dan sepuluh nenek yang lain,
menghantam dan menyambar tanpa ampun dan sibuklah si Dewa Mata Keranjang
diserang dari delapan penjuru. Kakek itu mengeluarkan bentakan menggeledek dan
ketika lawan tertegun oleh bentakannya ini maka dia turun lagi dengan cepat.
Semua serangan berhenti sedetik ketika dia menggetarkan tempat itu dengan
bentakannya yang mengejutkan itu. Dan ketika lawan tersentak dan berhenti
sedetik maka Dewa Mata Keranjang membalas dan Twaliong serta Ji-liong yang a-da
di dekatnya tiba-tiba sudah mendapat pukulan balasan. "Des-plak!"
Dua orang itu terlempar. Twaliong kakak beradik berteriak karena tahu-tahu
dipukul. Mereka kalah cepat dan sedang tertegun, tak sempat mengelak. Tapi
begitu mereka menjerit dan yang lain sadar, bergerak, maka dua orang itu
bergulingan meloncat bangun dan kakek ini kagum karena lawan tak apa-apa, tanda
sinkang di tubuh mereka cukup kuat, satu kemajuan yang pantas dipuji.
"Ha-ha, bagus, Twaliong. Kalian cukup hebat!"
Dua dari Cap-ji Koai-liong itu mendelik. Mereka tentu saja marah dan gusar oleh
serangan si Dewa Mata Keranjang. Kalau mereka tak cukup kuat tentu mereka sudah
roboh tak dapat bangun lagi, pukulan itu dapat menghancurkan tulang-tulang yang
dihantam. Tapi ketika mereka membentak dan maju memutar ruyung maka Dewa Mata
Keranjang dikeroyok lagi dan Bi Giok serta yang lain-lain juga membentak dan
menyerang kakek itu. Dewa Mata Keranjang harus bergerak cepat. Ruyung dan pukulan lain sudah sambar-
menyambar. Duapuluh tiga orang itu sudah berkelebatan pula di sekeliling dirinya
dan bekerja keraslah kakek ini mengimbangi lawan. Apa boleh buat dia mengelak
atau menangkis serangan-serangan itu, pukulan bian-kunnya keluar dan lawan
terkejut setiap kakek itu menggerakkan kedua lengan. Angin pukulan lembut namun
kuat selalu menahan di sana, mereka tertolak atau paling sedikit pasti terhuyung
mundur. Keparat, kakek itu benar-benar lihai. Dan ketika mereka membentak dan Bi
Giok serta lain-lain memberi aba-aba untuk saling bertukar tempat, membingungkan
kakek itu, maka Dewa Mata Keranjang terdesak dan sedikit tetapi pasti ia mulai
kewalahan dan mundur-mundur. Maklumlah, dikeroyok duapulih tiga orang!
"Hi-hik, mampus kau, Cing Bhok. Menyerahlah, atau kau mati di tangan kami!
"Hm-hm!" Twaliong ganti mengejek. "Tadi kau tertawa-tawa menghantam kami, Dewa
Mata Keranjang. Tapi sekarang rupanya kami harus tertawa-tawa melihat kau akan
mampus!" "Ha-ha, jangan bermulut besar!" kakek ini masih bisa tertawa bergelak. "Siapa
bilang mau mampus, Twaliong" Kalau aku terdesak adalah wajar, kalian mengeroyok.
Tapi kalau mengharapkan aku roboh jangan harap. Kita bisa sama-sama mati di
sini, ha-ha!" "Keparat!" Ji-liong, Naga Kedua membentak. "Kau selamanya bermulut besar, Cing
Bhok. Maut sudah di depan matapun masih pura-pura tak tahu. Cobalah, bagaimana
kau ingin mati bersama kami... sing-siuuttt!" ruyung bergerak dari belakang ke
muka, menghantam tengkuk kakek itu sementara sebelas Naga yang lain bergerak
pula dari kiri dan kanan. Mereka menerjang dalam satu serangan berbareng yang
penuh tenaga, ayunan atau pukulan ruyung-ruyung yang lain juga kuat dan amat
dahsyat, menderu. Dan ketika Bi Giok dan sepuluh temannya yang lain juga melepas
pukulan dan hantaman maut, siap membunuh kakek ini maka Dewa Mata Keranjang
berseru keras dan tiba-tiba kakinya berjongkok dan duapuluh tiga serangan dari
depan dan belakang diterima dorongan lengannya itu. "Plak-plak!"
Duapuluh tiga orang itu berseru tertahan. Mereka, yang sudah menyatukan tenaga
dan menghantam berbareng, ternyata ditahan dan bertemu sinkang dahysat dari
kakek itu. Pukulan yang dingin namun lembut menyusup masuk, menyelinap dan
sekaligus mengejutkan mereka. Maklumlah, hawa pukulan itu membuat mereka
menggigil, gigi tiba-tiba berketrukan seperti diserang dinginnya es. Dan ketika
mereka terkejut dan berseru tertahan, melotot, maka serangan mereka otomatis
mengendor dan Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak di tengah, lepas dari
himpitan. "Ha-ha, lihat, Ji-liong. Apakah ini namanya kalau tidak kata-kataku benar!"
Ji-liong terbelalak. Memang harus ia akui bahwa lawannya itu hebat. Dewa Mata
Keranjang memang tangguh dan kini dengan sinkangnya yang luar biasa kakek itu
sanggup menahan, duapuluh tiga lawan satu! Namun ketika mereka mundur dan
terbelalak kagum, melotot, tiba-tiba lengkingan keji terdengar dari kiri dan si
Kuda Binal So Yok Bi mencelat menyerang kakek ini.
"Heh, masih ada aku di sini, Tan Cing Bhok. Lihat ini dan jaga pukulan!"
Sang kakek terkejut. Sesungguhnya dia telah mengerahkan banyak tenaga dalam
menahan serangan duapuluh tiga orang lawannya tadi. Gabungan tenaga mereka a-mat
dahsyat dan hanya orang sekuat ka-i kek ini dapat menahan pukulan. Lawan
tertahan tapi sebenarnya kakek inipun tergetar, hampir terhuyung namun
menancapkan kaki kuat-kuat untuk menunjukkan wibawa. Tak tahunya sekarang si
nenek membokong dan So Yok Bi tahu persis bahwa saat itu lawannya sedang
tergetar, menahan dan memperkuat diri dengan mengempos semangat. Maka begitu
diserang dan si nenek melepas pula jarum-jarum berbahayanya yang dapat meledak,
di saat seperti itu, maka tak ayal Dewa Mata Keranjang terkejut dan cepat dia
mengebutkan ujung lengan baju untuk menangkis sekaligus menolak balik pukulan
lawan. "Dar-dar!" Benar saja, jarum-jarum berhamburan.
Dewa Mata Keranjang mementalkan jarum-jarum itu tapi tidak semuanya runtuh, satu
di antaranya terpental ke bawah dan mengenai kakinya, tembus. Dan ketika kakek
itu terkejut karena lawan berjumpalitan di udara, terpental dan tertolak oleh
tangkisannya tadi maka Cap-ji Koai-liong juga berteriak ribut karena mereka
ganti harus mengelak atau menyampok runtuh jarum-jarum yang dipentalkan si Dewa
Mata Keranjang. "Keparat, jahanam terkutuk!" Sang kakek mendesis pincang. Kini
ia menggeram dan melihat si nenek jalang sudah berjungkir balik di luar kepungan
sana, turun. Dia tak dapat mengejar karena duapuluh tiga orang lawan berdiri di
situ, Twaliong dan sebelas isterinya itu. Dan ketika semua melihat bahwa
sebatang jarum menancap di kaki kakek ini, yang cepat dicabut dan dijentikkan ke
arah So Yok Bi maka tiba-tiba nenek itu menjerit karena jarumnya itu menancap di
pundak, cepat dan hampir tak terlihat. "Augh..!"
Dewa Mata Keranjang tertawa. Kakek ini cepat menelan sebutir pil ketika
dirasanya bahwa kaki yang tertusuk jarum kesemutan, pedih dan perih serta gatal.
Itulah akibat racun yang ada di batang jarum. Namun ketika dia geli melihat si
nenek terguling-guling dan berteriak-teriak, kena jarumnya sendiri maka Dewa
Mata Keranjang yang kesakitan dan juga mendesis pedih sudah diserang lagi oleh
Twaliong dan lain-lainnya yang sadar.
"Serang kakek ini, bunuh...!"
Dewa Mata Keranjang terpincang. Akhirnya dia diterjang dan diserang kembali.
Cap-ji Koai-liong sudah menggerakkan ruyung sementara Bi Giok dan lain-lainnya
itu juga membentak gusar. Kejadian sedetik sudah membuat muka mereka merah
karena betapapun lawan yang satu i-ni mampu menahan mereka. Kalau tidak
dicurangi So Yok Bi barangkali si kakek belum terluka. Ah, itu membuat mereka
malu, juga marah. Maka begitu Twaliong menerjang dan Cap-ji Koai-liong yang lain
memekik dan menggerakkan ruyung mereka maka sebelas nenek juga menerjang dan
ganas menghantam kakek ini.
"Des-dess...!" dan... si kakekpun mengeluh. Dewa Mata Keranjang terkejut karena
ketika dia menangkis tiba-tiba saja gatal di kakinya itu naik. Pengerahan tenaga
ke atas membuat bagian bawah lolos. Itulah akibat pengerahan slnkang yang harus
dibagi. Dan ketika lawan berteriak karena itulah tanda kemenangan maka
Dewi Ular 3 Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Bara Diatas Singgasana 24
diperlihatkan di depannya dalam usaha menyusui bayi mereka!
"Hm, maaf..." pemuda itu menekan kecewa. "Aku lupa, Ceng Ceng. Tapi tak apalah.
Kau benar. Aku... aku... biarlah aku pergi dulu dan lihat anak kita menangis!" Fang
Fang mau pergi, membetulkan bajunya sendiri tapi Ceng Ceng tiba-tiba berseru
menyambar ujung bajunya. Gadis itu berkata biarlah pemuda itu tinggal di situ
saja. Bu-goanswe memberikan tempat untuk mereka berdua. Fang Fang tertegun. Dan
ketika Ceng Ceng menangis menunjuk anak perempuan mereka yang juga tiba-tiba
melengking karena buah dada ibunya dilepas maka Ceng Ceng berlutut dan memohon
agar Fang Fang tetap di situ.
"Aku tak mau kau tinggal, aku takut. Bukankah kau masih mencintai aku, Fang
Fang" Bukankah kau... kau tak mencintai gadis kulit putih itu lagi?"
Fang Fang tertampar. Diingatkan Sylvia mendadak dia memejamkan matanya beberapa
saat. Kata-kata dan suara itu memojokkan dirinya. Teringatlah dia akan kejadian
di kamar tuan Smith. Teringatlah dia akan kata-kata Sylvia bahwa gadis itu tak
mungkin dapat menerimanya lagi. Dia telah menghamili Ceng Ceng. Ceng Ceng telah
mempunyai anak dan i-tulah keturunannya. Tentu saja Sylvia tak mau dan serasa
diremaslah perasaan Fang Fang. Tapi ketika Ceng Ceng bertanya lagi dan bayi di
gendongan ibu muda itu dibiarkan menangis keras-keras karena ibunya tak
memberikan minum maka Fang Fang mengangguk dan membuka matanya, mau tak mau
harus menerima gadis ini, melupakan Sylvia!
"Ceng Ceng, kau benar. Hubungan kita telah menghasilkan anak perempuan ini. Aku
tentu saja masih mencintaimu. Marilah, bangunlah. Beri minum anak perempuan kita
itu dan kita keluar!"
"Ah!" Ceng Ceng girang tapi juga terkejut. "Keluar ke mana, Fang Fang" Kau mau
mengajakku ke gunung" Ke Liang-san?"
"Hm, tidak. Kita keluar untuk berpindah tempat. Gedung ini adalah milik Bu-
goanswe, padahal aku mendapat gedung sendiri dari Cun-ongya. Mari, kita pindah
ke tempat kita sendiri, Ceng Ceng. Dan kita memberi tahu Bu-goanswe!"
"Oh, begitukah" Baik, mari...!" dan Ceng Ceng yang bergegas menyambar pakaiannya,
buru-buru menenangkan anaknya dengan sesapan buah dada sehingga bayinya diam
akhirnya gembira diajak pemuda itu pindah tempat. Memang Ceng Ceng hanya
mendapat pinjaman kamar sementara waktu saja. Fang Fang sendiri sudah diberi
tempat tinggal dan ditemuilah Bu-goanswe untuk menyatakan maksud Fang Fang itu.
Dan ketika Bu-goanswe tersenyum dan mengangguk-angguk gembira, melihat Fang Fang
sudah berbaik dan rupanya mencintai gadis itu lagi maka jenderal ini mengantar
dan ikut membawakan barang Ceng Ceng.
"Di sini atau di sana sebenarnya sama saja. Tapi baiklah, mari kuantar dan kalau
tidak kerasan di sana boleh kembali lagi ke sini, ha-ha!"
Ceng Ceng akhirnya pindah tempat. Fang Fang lalu berusaha melupakan Sylvia dan
berusaha mencintai Ceng Ceng. Hadirnya anak perempuan mereka itu sebenarnya
sedikit banyak merupakan hiburan juga pada pemuda ini, meskipun diam-diam Fang
Fang kecewa kenapa anaknya perempuan, tidak lelaki. Tapi ketika baru tiga hari
semua itu lewat dengan tenang dan Fang Fang agaknya mulai dapat memperhatikan
Ceng Ceng mendadak sesuatu yang lain datang mengganggu. Dan begitu gangguan itu
datang tiba-tiba "penyakit" Fang Fang kumat dan lupalah dia kepada Ceng Ceng,
juga anak perempuannya yang akhirnya diberi nama Kiok Eng!
(Oo-dwkz>
bayangan berkelebat. Fang Fang terkejut karena di depannya tiba-tiba berdiri
Leo, pemuda kulit putih yang merupakan pembantu tuan Smith, juga sekaligus
sahabat James, kakak Sylvia. Dan ketika pemuda itu terkejut karena Leo tampak
menggigil dan gugup, pucat, maka pemuda kulit putih itu menjatuhkan diri
berlutut, hal yang membuat Fang Fang semakin tertegun dan kaget saja.
"Fang Fang, tolong. Sylvia dalam bahaya!"
"Apa?" kenangan lama tumbuh, bangkit dan menggetarkan. "Apa katamu, Leo" Syl....
Sylvia?" "Beb... benar..!" pemuda itu tak kalah j. gemetar, gugup dan terputus-putus.
"Sylvia dalam bahaya, Fang Fang. Tolong dan selamatkan dia! Dia ditipu, Michael
hendak menipunya!" 'Wut!" Fang Fang tahu-tahu sudah menyambar leher baju pemuda itu, mencekiknya.
"Aku tak mau tahu tentang gadis itu lagi, Leo. Kau tahu apa yang terjadi
denganku dan dengannya. Aku dan Sylvia sudah putus!"
"Beb... benar. Tapi... tapi... yang membuat semuanya itu ternyata adalah si Michael
ini, Fang Fang. Dialah biang keladi segala onar. Kau terkena jebakannya dan
dicelakai!" "Jebakan" Dicelakai" Hm!" Fang Fang mendengus. "Kau jangan melempar omongan
kosong, Leo. Aku tak merasa dijebak dan dicelakai si Michael itu. Dan lagi, apa
yang dapat dia lakukan terhadapku" Meskipun menggunakan senjata api aku tak
takut. Pemuda itu dapat kubunuh atau kubanting roboh!"
"Itulah!" Leo berseru. "Justeru karena kau hebat dan bukan tandingannya maka
Michael mempergunakan cara lain, Fang Fang. Dan cara yang dipergunakan itu
adalah mendatangkan kekasih-kekasihmu yang dulu itu. Michael dengan keji mencari
dan menemukan kekasih-kekasihmu itu, mendatangkannya ke mari. Dan karena dia
tahu hubunganmu dengan Sylvia maka dia hendak merusak hubunganmu itu dengan cara
mendatangkan kekasih-kekasihmu yang lama! Tidakkah kau heran bagaimana berturut-
turut Eng Eng dan Ming Ming itu dapat kemari" Tidakkah kau heran bagaimana Ceng
Ceng yang sekarang melahirkan anakmu itu datang di saat kau hendak menemui
kaisar untuk melamarkan Sylvia" Lihat, dan renungkan. Semua ini adalah ulah
Michael, Fang Fang. Dan kau boleh tanya Ceng Ceng apakah betul dia ditemukan
Michael atau tidak!"
Fang Fang tiba-tiba pucat. Pemuda ini menggigil hebat dan omongan demi omongan
yang diucapkan Leo itu seakan menghunjam dan merobek-robek hatinya. Dia sungguh
tak mengira dan kini seakan terbukalah semua kejanggalan-kejanggalan itu. Memang
dia tidak merasa curiga a-tau heran bagaimana Eng Eng dan lain-lainnya itu dapat
datang berturut-turut. Mejnang dia tidak sampai ke sana karena pikirannya selalu
dipenuhi Sylvia. Tapi, begitu sekarang semuanya ini dibuka dan Leo yang
dikenalnya jujur dan dapat dipercaya itu menantangnya untuk membuktikan sendiri
kepada Ceng Ceng, yang kebetulan datang sehabis mandi mendadak Fang Fang
menggeram dan terkejutlah Ceng Ceng mendengar bentakan pemuda itu.
"Ceng Ceng, benarkah kau ke sini atas suruhan Michael" Benarkah kau bertemu
pemuda itu dan dibawa ke mari?"
Ceng Ceng, yang tak menyangka teguran ini dan terkejut melihat Leo ada di situ,
membelalakkan mata, tiba-tiba tertegun. Apa yang dikata Leo memang benar dan
sesungguhnya semua gadis-gadis yang pernah datang mencari Fang Fang adalah atas
bujukan si Michael itu. Ceng Ceng pun demikian. Dia dicari dan ditemukan Michael
dan pemuda itulah yang membujuknya untuk mendapatkan Fang Fang, di kota raja, di
istana. Tentu saja tak tahu segala muslihat atau tipu daya pemuda itu yang
hendak merusak hubungan Fang Fang dengan Sylvia, karena Michael mencintai gadis
itu pula, puteri tuan Smith. Tapi ketika Fang Fang membentaknya lagi dan anak
perempuan mereka menjerit dan menangis, dilempar ke arah Ceng Ceng maka ibu muda
yang masih tak mengerti ujung pangkalnya persoalan tiba-tiba mengangguk,
gemetar. "Benar, ada apakah, Fang Fang" Kenapa kau marah-marah?"
Tapi Fang Fang tiba-tiba sudah melengking tinggi. Begitu jawaban sudah didengar
mendadak pemuda ini berkelebat ke kompleks gedung rombongan kulit putih itu. Dia
langsung menjejakkan kakinya dan Fang Fang sudah terbang ke sana, cepat luar
biasa tapi Leo tiba-tiba berteriak di belakangnya. Pemuda itu tahu maksud Fang
Fang yang hendak mencari Michael di tempatnya, di belakang gedung tuan Smith.
Tapi karena Fang Fang bergerak amat cepat dan pemuda itu tentu saja tak dapat
mengejar maka Fang Fang sudah berjungkir balik dan melayang turun di sini,
membentak memanggil nama Michael tapi yang dicari tak ada. Ceng Ceng di sana
terbengong-bengong tak mengerti namun segera mendiamkan anaknya yang menangis
keras-keras. Pagi yang tenang tiba-tiba berobah menjadi ribut dan Fang Fang
mengobrak-abrik tempat di mana rombongan orang-orang kulit putih itu tinggal,
mencari dan memaki-maki Michael namun yang dicari tak ada. Dan ketika pemuda itu
merah padam dan mendelik penuh kemarahan tiba-tiba Leo terengah-engah
menyusulnya, terhuyung dan hampir roboh terjerembab, gugup.
"Tidak.... tidak ada di sini. Kau salah. Mereka sudah pergi!"
"Pergi" Ke mana?"
Leo ngeri. Dia melihat muka Fang Fang yang seperti singa ganas itu, mata
membesar dan tulang-tulangpun berkero-tokan. Agaknya, kalau Michael ada di situ
pasti temannya itu akan hancur seperti ayam diinjak gajah. Kemarahan Fang Fang
luar biasa sekali dan Leo dapat merasakan ini. Tapi ketika Fang Fang
mencengkeram tengkuknya dan bertanya ke mana pemuda keparat itu pergi maka
pemuda ini kesakitan dan mengeluh.
"Lepaskan dulu, tanganmu seperti tanggem. Aku... aku tak dapat bicara!"
Fang Fang sadar, mengendorkan cengkeramannya. "Cepat," katanya. "Cepat katakan
di mana binatang itu, Leo. Biar kuremuk dan kuhancurkan kepalanya!"
"Michael dan Sylvia sudah pergi, bersama James...."
"Ke mana?" "Ke Inggeris. Mereka menumpang kapal besar dan tadi pagi ke pelabuhan Matahari
Emas...!" "Apa?" "Benar. Michael telah membujuk pula tuan Smith untuk menyerahkan puterinya
padanya, Fang Fang. Dan minta kembali ke Inggeris untuk merayakan pernikahan di
sana. Sylvia sedang bingung, juga putus asa. Dia terpukul hebat oleh perbuatanmu
dan ikut saja semua kata-kata ayahnya dan mereka telah diikat cincin pertunangan
dua hari yang lalu!"
Fang Fang bagai mendengar geledek di siang bolong. Kata demi kata yang
diluncurkan dari mulut Leo ini seakan palu raksasa yang memukul-mukul dirinya.
Fang Fang pucat dan biji matanya kian melebar saja. Tapi ketika dia ingat bahwa
yang hendak dia cari bukanlah Sylvia lagi melainkan Michael karena pemuda itulah
yang merusak segala-galanya tiba-tiba Fang Fang menggeram dan menyambar pemuda
kulit putih ini. "Kalau begitu kau ikut aku. Kita kejar mereka dan kubuktikan apakah semua
omonganmu benar!" "Augh...!" Leo merintih. "Jangan dicekik begini, Fang Fang. Aku bisa mati tak
bernapas!" Fang Fang melepaskan cekikan. Akhirnya dia mencengkeram baju pundak pemuda itu
dan dibawanya pemuda ini terbang ke pelabuhan Matahari Emas. Fang Fang tak
mendengar jeritan Ceng Ceng di belakangnya, tak melihat anaknya menangis dan
menjerit-jerit di pelukan Ceng Ceng-yang tiba-tiba pucat dan tertegun melihat
semuanya itu. Ceng Ceng terpukul hebat karena Fang Fang menuju ke tempat tuan
Smith, dikira mencari Sylvia dan terhuyunglah gadis atau ibu muda ini. Ceng Ceng
mengira Fang Fang sudah melupakan gadis kulit putih itu tapi ternyata kiranya
tidak. Ceng Ceng tentu saja tak tahu bahwa Fang Fang sedang marah terhadap
Michael, mencari pemuda itu dan bukannya Sylvia. Dan ketika pemuda itu terbang
dan menenteng Leo seperti anak domba ditenteng atau dicengkeram seekor garuda
besar maka Ceng Ceng roboh sementara Fang Fang di sana sudah melompat dan
berjungkir balik melewati tembok pintu gerbang yang amat tinggi. Pemuda kulit
putih ini merasa ngeri dan terbang semangatnya ketika dibawa meloncat dan
berjungkir balik. Dia membayangkan kalau Fang Fang tak sampai menyentuh bibir
tembok, nabrak dan tentu melepaskan dirinya yang bakal hancur terbanting di
bawah. Tapi ketika pemuda itu melewati atas tembok dan melayang ke bawah, persis
seekor burung besar yang siap mendarat maka Leo kagum bukan main ketika dengan
amat ringan dan manis Fang Fang menapakkan kakinya di tanah. Tapi selanjutnya
pemuda ini ngeri lagi. Fang Fang sudah melanjutkan larinya dan terbanglah pemuda
itu ke timur. Leo tak melihat Fang Fang menginjak tanah dan pemuda itu benar-
benar terbang. Ya, terbang. Karena ketika Fang Fang mengeluarkan satu suara aneh
di mana pemuda itu mengempos dan membuang napasnya tiga kali mendadak Fang Fang
sudah tidak menginjak bumi lagi dan kedua kakinya bergerak cepat di atas tanah,
melayang! "Wah!" Leo kagum. "Ilmu lari cepatmu seperti setan, Fang Fang. Seperti iblis.
Kau tak menginjak tanah lagi!"
Fang Fang diam. Dipuji dan dikagumi seperti itu dia acuh saja, mendengus dan
bahkan membentak agar pemuda itu diam. Fang Fang bertanya dalam perjalanan
bagaimana Leo tahu semuanya itu, dijawab bahwa pemuda ini tahu ketika secara tak
sengaja dia melihat kesibukan di tempat tuan Smith, melihat bayangan Michael dan
kaget serta pucatlah dia ketika Sylvia diikat cincin pertunangan dengan pemuda
itu, Michael yang tak dapat dipercaya dan licik. Dan ketika dia mengamati gerak-
gerik temannya itu dan mengadakan jamuan minum arak di mana Michael akhirnya
mabok dan mengatakan semua perbuatannya, mencari dan mendatangkan kekasih-
kekasih Fang Fang maka tahulah pemuda ini bahwa Michaellah biang keladi semua
kejadian. "Aku lebih baik melihat Sylvia bahagia denganmu daripada dengan Michael. Kau
adalah pemuda gagah dan jujur, meskipun ternyata mata keranjang, hal yang kukira
akan hilang kalau kau sudah menikah dengan Sylvia. Tapi Michael" Ah, pemuda itu
licik dan ambisius, Fang Fang. Kudengar kabar selentingan bahwa dia ingin
mendapatkan kedudukan tuan Smith sebagai wakil kerajaan!"
"Hm, begitukah" Lalu kenapa kau demikian memperhatikan nasib Sylvia" Ada apa di
balik semuanya ini?"
Pemuda itu tiba-tiba menarik napas. "Fang Fang, jujur saja kuakui bahwa aku-pun
diam-diam mencintai Sylvia. Aku akan bertarung mati-matian dengan Michael kalau
dia yang mendapatkan Sylvia. Tapi karena Sylvia tak menjatuhkan cintanya kepada
Michael dan justeru kepada-mulah dia menaruh hati maka aku lega dan rela kalau
kau yang mendapatkan. Aku akan memberontak dan melawan kalau bukan kau. Tapi
karena kau benar-benar mencintai Sylvia dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda
mempermainkannya maka aku terkejut ketika Michael tiba-tiba ikut campur dan
merusak semuanya itu. Aku benci kepadanya, meskipun terus terang secara jujur
juga kuakui bahwa aku-pun kurang senang kepadamu melihat kau bercinta dengan
demikian banyak gadis sebelum bertemu Sylvia!"
"Hm!" Fang Fang merah mukanya. "Aku tak sengaja melakukan semuanya itu, Leo. Aku
hanyut dan banyak menjalin kasih dengan gadis-gadis cantik karena ketularan
guruku!" "Sebagian karena itu," Leo menjawab lirih. "Tapi sebagian karena imanmu yang
kurang teguh, Fang Fang. Kau suka menjalin cinta dengan banyak gadis-gadis
cantik karena bercinta itu memang nikmat, asyik!"
Fang Fang semburat semakin merah. Sedikit kata-kata pemuda ini saja sudah cukup
menampar mukanya untuk lebih merah lagi. Hm, pacaran itu memang asyik. Pacaran
itu memang nikmat. Kalau tidak nikmat dan asyik mana banyak orang suka
melakukannya" Tapi ditampar; bahwa semua itu juga karena kurang teguhnya iman
yang dimiliki maka diam-diam Fang Fang mengakui dan tidak mau banyak bicara
lagi. Benar, kalau imannya teguh dan dia memiliki pandangan jauh ke depan
bukankah pacaran tidak akan sembarang pacaran"
Kenikmatan dan semuanya itu bisa jadi hanya berupa jebakan yang kelak suatu
ketika bakal mencelakakan diri sendiri. Dan sekarang dia membuktikan itu!
Bukankah kalau Ceng Ceng tidak sampai hamil dia mungkin akan dapat meneruskan
cintanya dengan Sylvia" Tapi dia telah hanyut dalam kenikmatan dan kemesraan
dia. Dia terbawa oleh keasyikan tiada tara di mana akhirnya dia tersandung,
jatuh dan kini menerima pil pahit. Maka tidak bicara dan meneruskan larinya
dengan cepat akhirnya Fang Fang tiba di pesisir timur di laut Tung-hai. Dan
begitu debur ombak terdengar jelas maka Fang Fang sudah mendengar seruan Leo.
"Itu, kapal itu...!" Fang Fang tertegun. Dia sendiri sudah melihat kapal besar
yang mulai bergerak ke tengah. Mereka terlambat beberapa menit namun tepat di
saat itu tiba-tiba muncul kepala seorang gadis di jendela bagian atas kapal.
Gadis itu rupanya tak sengaja untuk melihat Fang Fang karena dia bermaksud
memandang daratan, yang baru saja ditinggalkan kapalnya. Maka begitu Fang Fang
muncul dan Leo yang sudah diturunkan ke tanah berteriak memanggil gadis itu maka
gadis di atas kapal itu tampak terkejut dan tertegun.
"Sylvia...!" Gadis itu pucat. Mendadak dia mengeluh dan menutupi mukanya. Fang Fang melihat
jelas betapa Sylvia, gadis itu, tiba-tiba menangis. Teriakan atau pekik Leo
rupanya terdengar jelas dan gadis itu tiba-tiba menutup jendela kapal, membalik.
Dan ketika bayangan gadis itu lenyap dan Leo tampak tertegun, menggigil, tiba-
tiba pemuda ini mencebur ke laut dan mengejar.
"Sylvia....!" Fang Fang terkejut. Leo mencebur begitu saja tapi ombak yang besar tiba-tiba
menghantam, menolak balik pemuda ini ke daratan. Dan ketika Leo berteriak dan
kalap serta mencebur lagi, dipukul dan ditolak lagi maka Fang Fang berkelebat
menyambar pemuda ini, yang sudah memekik-mekik seperti orang gila.
"Kau cari perahu, biar aku saja yang menolong!" dan mendorong serta melempar
pemuda ini ke tepi pelabuhan menjauh dari ombak yang bergulung-gulung datang
tiba-tiba Fang Fang bermaksud menolong dan menyelamatkan Sylvia. Tapi apa yang
dilakukan Leo" Pemuda ini justeru marah-marah. Fang Fang dicengkeram dan diseret
ke tepi. Leo berkata bahwa di situ tak ada perahu dan satu-satunya jalan hanya
berenang, mencebur ke laut dan mengejar kapal besar itu, yang kini kian menjauh
saja karena keduanya tiba-tiba bersitegang, cekcok. Tapi ketika Fang Fang
melihat seorang nelayan tiba-tiba datang dan muncul melihat keduanya maka Fang
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fang menotok roboh pemuda ini dan berkelebat ke tukang perahu yang baru muncul.
"Hei, kusewa perahumu. Bawa pemuda ini mengejar kapal besar itu dan ini
pembayarannya!" Fang Fang melempar sepundi-pundi uang emas, berkerincing jatuh
di lantai perahu dan Leo ditotoknya bebas dari bekas totokannya tadi. Dan ketika
pemilik perahu maupun Leo sama-sama melotot karena Fang Fang berjungkir balik
meninggalkan perahu maka pemuda ini sudah berkelebat dan terbang menuju tebing
paling tinggi di pesisir itu. Fang Fang mencari tempat yang paling dekat dengan
perahu yang dikejar. Lalu begitu dia beriungkir balik dan melayang ke tebing
yang tinggi ini Fang Fang segera mengerahkan khikangnya memanggil gadis itu.
"Sylvia....!" dan merentangkan kedua tangan mencebur ke laut tiba-tiba Fang Fang
sudah mengejar kapal besar itu. Gila!
Namun jendela kapal tiba-tiba terkuak. Fang Fang berenang dengan cepat dan hebat
benar pemuda ini. Timbul tenggelam di antara ombak yang menelan serta coba
mengenyahkannya ternyata Fang Fang dapat bertahan. Pemuda ini mengerahkan
segenap kekuatannya untuk melawan ombak besar. Di tengah samudera ternyata
kekuatan ombak jauh lebih dahsyat daripada di tepi. Beberapa kali Fang Fang
harus minum air laut yang asin dalam usahanya berenang mendekati kapal besar
itu. Puluhan orang tiba-tiba muncul dan melihat perjuangannya. Dan ketika Fang
Fang mendekati kapal besar itu yang tiba-tiba berhenti, aneh sekali, maka
terdengar tawa bergelak dan pemuda berambut pirang muncul di geladak kapal.
"Siapkan senjata api kalian dan berondong pemuda itu!" Michael, pemuda ini,
tiba-tiba berseru kepada semua awak kapal. Datang dan munculnya Fang Fang
akhirnya diketahui juga. Perhatian semua orang tercurah ke sini dan mereka tidak
melihat perahu Leo yang jauh di belakang, tertinggal. Fang Fang berenang dengan
cepat dan akhirnya seperti hiu ronggeng pemuda ini sudah mendekati kapal. Tapi
ketika dia melihat semua awak kapal menyambutnya dengan senjata di tangan dan
Michael, pemuda yang dicari-carinya itu ada di sana, siap memberi aba-aba
sementara tangan kanan sudah memegang senjata api laras panjang yang ditujukan
kepadanya tiba-tiba Fang Fang berteriak dan memaki pemuda itu.
"Michael, kau jahanam keparat. Kau kiranya yang merusak hubunganku dengan Sylvia
dan mendatangkan kekasih-kekasihku di kota raja. Keparat, kau licik dan hina.
Aku datang untuk duel denganmu dan mari bertanding secara jantan!"
Michael, pemuda di atas kapal yang terkejut dan tertegun tak jadi memberikan
aba-abanya. Dia kaget dan heran bagaimana Fang Fang tahu itu. Tapi ketika Fang
Fang mendekati pinggiran kapal dan siap meloncat naik, melalui tali yang
bergelantungan tiba-tiba pemuda ini yang tentu saja tahu kehebatan Fang Fang
sekonyong-konyong membentak dan sadar memberikan aba-aba.
"Tembak!" Fang Fang mendengar letusan senjata api. Tali yang dipegang tiba-tiba putus dan
Fang Fang tercebur ke laut. Beberapa tembakan yang mengenai dirinya dirasakan
cukup menyengat namun Fang Fang sudah mengerahkan sinkangnya. Peluru-peluru itu
seperti barang-barang karet yang bermentalan ketika mengenai tubuhnya. Dan
ketika semua orang terbelalak dan takjub akan penglihatan itu, kekebalan Fang
Fang maka Fang Fang sudah berenang lagi dan siap menaiki kapal dari arah yang
lain. Namun Michael lagi-lagi mencegatnya dengan berondongan peluru. Pemuda
berambut pirang itu berkali-kali mengeluarkan seruan agar awak kapal menghalau
Fang Fang. Pemuda Han i-tu berbahaya sekali dan sekali naik tentu mereka semua
dibinasakan. Fang Fang datang dengan dendam dan jangan harap mereka diampuni.
Michael menakut-nakuti awak kapal dan tentu saja semua pucat, melihat bahwa Fang
Fang datang dengan marah-marah. Dan ketika ke manapun pemuda itu coba mendekati
kapal dan tali-tali yang bergelantungan akhirnya putus dihajar tembakan-tembakan
senjata api akhirnya Fang Fang jatuh bangun timbul tenggelam di laut, tak dapat
naik dan Michael akhirnya menyuruh kapal dijalankan lagi. Deru mesin yang
memekakkan telinga akhirnya membuat pusaran ombak yang mendorong Fang Fang. Si
pemuda memaki-maki dan kapalpun meluncur lagi, berlayar. Dan ketika kapal
menjauh namun Fang Fang nekat mengejar, berenang, maka seperti ikan yang selalu
mengikuti buruannya murid si Dewa Mata Keranjang itu mengintil dan tetap ada di
belakang! "Keparat!" Michael balik memaki-maki dan geram. "Jaga jangan sampai siluman itu
naik, Robert. Suruh semua berjaga dan siap menghalau!"
Robert mengangguk. Dia adalah pembantu Michael dan tentu saja apa yang
diperintahkan akan dilaksanakannya dengan baik. Kapal terus berlayar dan sehari
penuh tak berhenti. Semua orang diam-diam kagum dan takjub karena "siluman" di
belakang itu, Fang Fang, tetap menempel dan dapat mengikuti lajunya kapal.
Kecepatan ditambah namun pemuda di belakang itu tetap mengintil juga. Dan ketika
malam tiba dan Michael mengharap Fang Fang akan kehilangan jejak, karena laut
akan menjadi gelap gulita ternyata harapannya itu kandas karena Fang Fang dapat
melihat lampu kapalnya dan mengikuti di belakang.
"Tak usah pakai lampu saja, padamkan!"
"Ah, berbahaya!" Robert, pembantunya, berkata terkejut. "Kita bisa bertabrakan
dengan kapal lain, Michael. Atau menabrak batu karang yang tak akan kelihatan!"
"Hm, bedebah, terkutuk!" dan kapal yang terpaksa memakai lampu dan berjalan lagi
akhirnya apa boleh buat ditempel dan diikuti Fang Fang, matahari muncul lagi
keesokannya dan Fang Fang tampak mengikuti di belakang, memaki-maki. Hari kedua
lewat dengan cepat dan semua orang tegang. Hari ketiga Fang Fang tak kelihatan
dan Michael hampir bersorak, mungkin semalam pemuda itu kelelahan dan
tertinggal. Berteriaklah yang lain-lain karena kini siluman yang ditakuti tak
ada lagi. Mungkin Fang Fang disambar ikan hiu! Tapi ketika di buritan kapal
terdengar suara berkerincing dan semua orang menoleh mendadak mereka terkejut
dan tertegun karena Fang Fang ada di situ.
"Celaka, dia naik melalui rantai jangkar!"
Benar, Fang Fang memang mendaki naik lewat rantai panjang itu. Semalam dia tak
kelihatan karena sudah menempel di badan kapal. Fang Fang kedinginan dan
kelelahan di situ, bergelantungan. Siapapun tak menyangka bahwa tiga hari tiga
malam berenang mengejar kapal ini akhirnya murid Dewa Mata Keranjang itu
berhasil juga. Tapi karena Fang Fang menahan lapar dan haus, banyak kehilangan
tenaga maka pemuda itu beristirahat danmenempel di tubuh kapal yang dingin,
lembab dan tidak bersahabat namun pemuda ini sudah mengerahkan sinkangnya untuk
membangun hawa hangat. Dengan hawa itulah dia melawan rasa dingin dan kaku,
bergelantungan di rantai kapal dan baru keesokannya Fang Fang merayap naik,
menimbulkan bunyi bergerincing karena rantai jangkar itu bergerak-gerak. Namun
ketika dia sampai ke atas dan melempar tubuh seperti kalajengking berjoget maka
Fang Fang sudah berdiri di atas geladak kapal mengejutkan semua o-rang yang
tidak menyangka sama sekali.
"Serang dia! Tembak...!" Fang Fang berkelebat. Dia marah membentak Michael yang
tiba-tiba melepas tembakan berondongan. Lawannya vang licik dan gentar itu sudah
mendahului yang lain-lain dengan tembakan gencar. Fang Fang benci dan marah
sekali kepada lawannya yang satu ini, bergerak dan tahu-tahu sudah menghantam
lawannya itu, dengan pukulan jarak jauh. Dan ketika Michael berteriak dan roboh
terguling-guling, semua pelurunya mental mengenai Fang Fang maka yang lain sudah
berteriak kalang-kabut melepas tembakan ngawur.
"Dor-dor-dorr...!"
Fang Fang mengelak sana-sini. Dia tak takut menghadapi senjata-senjata api itu
namun pakaiannyalah yang tak tahan. Baju dan celananya berlubang-lubang karena
ditembus timah-timah panas itu. Dan ketika Fang Fang mengibas dan berkelebatan
menampar sana-sini maka semua awak kapal jatuh bangun dibalas pukulan-
pukulannya, ditendang dan mencelat dan beberapa di antaranya jatuh ke laut,
tercebur. Tapi ketika Fang Fang hendak mengejar Michael yang dilihatnya
bersembunyi di kamar mesin tiba-tiba muncul Sylvia dan kakaknya, James.
"Berhenti, atau kau kutembak!"
"Sylvia...!" Fang Fang tertegun. "Aku .... aku mencari Michael. Pemuda itu jahat,
menipumu. Dia telah merusak hubungan kita dan kau dipsrdayai!"
"Tidak, mundur dan pergilah, Fang Fang. Michael adalah calon suamiku dan tak
layak kau mengejar-ngejarku lagi. Aku tak mau mendengar kata-katamu, pergi atau
kau benar-benar kutembak. Dan matamu tentu tak tahan bertemu peluru-peluruku
ini!" Fang Fang terkejut. Sylvia memegang sepucuk senjata api laras pendek dan pistol
atau senjata api itu diarahkan ke matanya. Tangan gadis itu menggigil namun
kesungguhan dan ketetapan hatinya tak perlu diragukan lagi. Sylvia menahan
tangis dan sinar kebencian yang terpancar sungguh membuat Fang Fang bergidik.
Belum pernah dia melihat gadis itu seperti itu. Dan ketika Fang Fang tertegun
dan setengah percaya, masih mau membantah tiba-tiba James sang kakak sudah
menggeram padanya, membentak.
"Fang Fang, kau benar-benar menghilangkan kepercayaan dan kekaguman kami. Kau
sungguh pemuda yang tak tahu malu dan hina. Adikku sudah bertunangan, akan
menikah. Kenapa kau mengejar-ngejarnya dan sampai ke sini" Michael adalah calon
suami adikku. Pergi dan mundurlah baik-baik atau aku juga akan membunuhmu. Kedua
matamu tentu tak akan kebal menerima timah-timah panas ini!"
(Oo-dwkz>
mereka bersungguh-sungguh dan dua senjata api di tangan yang siap diletuskan itu
menegang ketat. Sekali Fang Fang bergerak tentu senjata ditangan Sylvia dan
kakaknya akan melepaskan butiran timah-timah panas, dan yang diincar adalah
matanya, bagian yang tak mungkin dilindungi kekebalan dan Fang Fang menggigit
bibir. Tapi ketika dia ragu untuk menyerang atau tidak tiba-tiba bayangan
Michael berkelebat di belakang dua kakak beradik itu dan letusan cepat
terdengar. "Jangan!" Fang Fang terkejut. Dia sedang memandang kakak adik itu dengan pandangan tidak
berkedip. Tembakan dan munculnya Michael di belakang Sylvia mengejutkan dirinya,
apalagi ketika peluru tahu-tahu sudah melesat dan menyambar matanya. Kiranya
Michael sudah mendengar percakapan itu dan tahu inilah kiranya rahasia kelemahan
Fang Fang, mata tak mungkin dilindungi kekebalan dan bergeraklah pemuda itu
dengan senjata apinya. Fang Fang tak sempat mengelak karena perhatiannya sedang
tertuju pada Sylvia, juga James. Tapi ketika peluru menyambar dengan cepat dan
teriakan atau bentakan Sylvia itu sudah disusul gerakan tangannya maka secara
luar biasa dan mentakjubkan gadis ini sudah menarik picu dan peluru yang
menyambar Fang Fang sudah dibentur atau dihantam peluru yang dilepas gadis ini,
tembakan jitu yang amat tepat dan cepat.
"Dor!" Terlihat kepingan logam pecah. Tepat dan cepat sekali peluru yang ditembakkan
Sylvia mengenai atau menghantam peluru yang dilepas Michael. Dua peluru itu
rontok dan kepingannya berhamburan ke mana-mana, satu di antaranya mengenai
kening Fang Fang yang seketika luka dan berdarah. Dalam keadaan terkejut dan
tidak bersiap maka Fang Fang berhenti aliran sinkangnya, tidak terlindung dan
pecahlah keningnya oleh hantaman kepingan peluru tadi. Dan ketika pemuda itu
terkejut dan terhuyung sementara Michael terbelalak dan kaget karena pelurunya
tak berhasil membunuh Fang Fang maka semua orang yang ada di situ berseru kagum
memuji ketepatan dan kecepatan Sylvia menembak, nyaris tak mempercayai mata
sendiri namun itulah yang terjadi. Sylvia memang ahli tembak tingkat mahir, dan
Fang Fang pernah menjadi "muridnya" dalam olah mempergunakan senjata api itu.
Tapi ketika semua orang berseru memuji dan tak habis-habisnya mengagumi
kecepatan dan kemahiran gadis itu bermain senjata api Sylvia sendiri sudah
membalik dan membentak Michael, yang dianggap curang dan licik.
"Kau hina dan pengecut. Kalau ingin bertanding keluarlah secara jantan dan
ksatria. Urusan ini urusanku, kau sudah menyembunyikan diri dan tidak berani
menghadapi Fang Fang. Nah, pergilah dan jangan ikut campur!"
Michael, yang tersenyum pahit dan mengangguk-angguk tiba-tiba ngeloyor pergi.
Tanpa malu-malu atau sebangsanya lagi pemuda ini sudah menyelinap dan menghilang
ke dalam. Tapi Fang Fang yang tentu saja marah dan terbakar melihat pemuda itu
tiba-tiba bergerak dan mengejar.
"Michael, jangan lari!"
Namun Sylvia melepas tembakan. Fang Fang memang harus melewati gadis ini kalau
ingin mengejar lawannya, Michael berlindung di balik gadis itu dan lenyap ke
dalam. Dan ketika Fang Fang terkejut namun sudah mengerahkan sinkangnya maka
peluru mental mengenai bahunya, persis seperti peluru yang lain-lain namun James
tiba-tiba menubruk dirinya. Pemuda ini juga dekat dengan Sylvia dan Fang Fang
yang bergerak di samping tubuhnya cepat diterkam. Dan karena Fang Fang memang
harus melewati dua kakak beradik itu kalau ingin menangkap Michael maka tubrukan
James yang tiba-tiba mempergunakan ilmu banting yang berasal dari negaranya
tiba-tiba sudah berhasil menangkap pundak Fang Fang dan membantingnya ke lantai.
"Brukk!" dua pemuda itu sama-sama jatuh. Fang Fang mempergunakan ilmu pemberat
tubuh dan lawan terkejut karena tubuh murid Dewa Mata Keranjang ini terasa
demikian berat. Namun karena pemuda kulit putih itu lebih dulu menerkam Fang
Fang dan pemuda ini kalah sedetik maka jadilah dia terbanting namun James juga
ikut terpelanting oleh ilmu pemberat yang dipergunakannya tadi. Dan ketika
pemuda itu berteriak kaget karena Fang Fang tak dapat dilumpuhkan sekali gebrak
maka Fang Fang yang bergulingan meloncat bangun tahu-tahu terkejut ketika Sylvia
menubruk dan... sudah memiting lehernya, juga dalam satu sikap untuk melakukan
bantingan! "Berhenti, atau kau mati!"
Fang Fang terperangah. Sylvia, yang menempel dan menindih tubuhnya dengan dua
tangan melingkari leher tiba-tiba seolah bukan Sylvia yang dulu dipeluk dan
diciumnya. Gadis itu kini berobah bagai seekor harimau betina yang beringas dan
galak, penuh kesungguhan dan pitingannya ke leher itu sudah dipererat. Pistol
berpindah ke ujung kaki dan pelatuknya ditekan ibu jari. Bukan main. Gadis itu
seolah srikandi yang benar-benar siap tanding. Sekali ibu jari memijat tentu
meletuslah sebutir timah panas ke mata Fang Fang. Pistol itu memang mengarah ke
mata pemuda ini! Dan ketika Fang Fang tertegun dan membelalakkan matanya lebar-
lebar, mengeluh, maka James sudah berkelebat dan menodongkan pistolnya pula ke
mata Fang Fang. Siap tembak!
"Fang Fang, kau berjanjilah untuk pergi dari sini atau kami terpaksa membunuhmu.
Katakan bahwa kau menyerah dan tidak akan mengejar-ngejar kami lagi!"
"Ugh... ufh...!" Fang Fang merasa tercekik. "Aku tidak mencari kalian, James. Aku
mencari jahanam terkutuk itu, Michael, si binatang hina...!"
"Hm, dia adalah calon suami adikku, kau tak boleh mencarinya!"
"Kalau begitu bunuhlah aku, aku juga tak akan melepaskan niatku mencarinya!"
James dan adiknya tertegun. Mereka tahu keberanian dan kesungguhan murid si Dewa
Mata Keranjang ini. Jelek-jelek Fang Fang memiliki kekerasan hati dan kekerasan
kepala yang tak mudah ditekuk begitu saja. Kalau pemuda itu bilang akan mencari
Michael maka jangan harap mereka dapat mencegah itu. Fang Fang tak akan berhenti
kalau belum mendapatkan buruannya. Dan ketika James maupun Sylvia tertegun dan
merah mukanya, melihat Fang Fang tertawa mengejek tiba-tiba Sylvia yartg harus
mengambil keputusan di antara dua alternatip mendadak menarik picu di ibu jari
kakinya itu. Dan begitu terdengar suara "klik" dan Fang Fang terkejut, mendengar
letusan mendadak pemuda ini sudah mendapat sebuah pukulan miring di atas
tengkuknya. "Dor... plak!"
Fang Fang tak ingat apa-apa lagi. Dia sudah kehilangan kesadarannya karena
begitu Sylvia menarik picu tiba-tiba dia terkesiap, kaget dan seketika itu juga
sinkang di tubuhnya berhenti mengalir. Sebenarnya diam-diam diasudah
mempersiapkan diri untukmemberontak, yakin bahwa Sylvia tak akan membunuhnya
meskipun pistol di ibu jari kaki gadis itu terarah kepadanya. Tapi begitu picu
ditekan dan Fang Fang terkesiap, sinkang di tubuhnya berhenti bergerak maka saat
itulah pukulan atau tamparan Sylvia mendarat di tengkuknya, setelah lebih dulu
ditotok dan kepala Fang Fang terkulai, merasapinggir kepalanya tahu-tahu perih
dan Fang Fang tak ingat apa-apa lagi. Dengan kelihaian dan kemahirannya bermain
pistol gadis kulit putih ini teiah lebih dulumengejutkan Fang Fang
dengantarikanpicunya,menotokpemuda itu hingga kepala Fang Fang tertunduk dan
baru setelah itu lewatlah peluru di samping kanan telinga Fang Fang. Semuanya
ini tentu saja berjalan luar biasa cepat dan tak dapat dihitung seberapa detik
lamanya. Fang Fang sudah tak sadarkan diri dan mengira melayang ke akherat. Dia
terkejut dan kaget oleh perbuatan Sylvia, gadis yang dicintainya setengah mati
itu. Dan ketika dia roboh dan tidak tahu apalagi yang terjadi maka tubuhnya
sudah dilempar ke laut dan kapal besar itu berangkat lagi, berlayar.
-oo~dewikz~abu~oo - Entah berapa lama Fang Fang merasa melayang-layang di alam yang aneh. Dia
menghadapi kekosongan dan kesunyian yang mencekam. Langit sering berubah-ubah
warna, terkadang biru tapi terkadang pula merah. Lalu hijau dan hitam dan entah
warna-warna macam apalagi. Yang jelas ketika dia merasa berat dan jatuh
melayang-layang ke bumi, berteriak, tiba-tiba tubuhnya diguncang orang dan
kepalanya diguyur air, dingin tapi asin!
"Hei, jangan mengigau saja. Bangunlah, kau sudah sembuh!"
Fang Fang membuka mata. Dia berkejap dan kaget karena tahu-tahu dia merasa
dipermainkan ombak. Tubuhnya bergerak ke kiri kanan dan oleng seperti layaknya
orang berada di atas kapal. Ah, tiba-tiba dia teringat. Dia berada di kapal
Sylvia! Dan ketika Fang Fang melompat bangun namun tempat yang dipijak tiba-tiba
miring ke kiri mendadak Fang Fang tercebur dan jatuh ke laut.
"Hei..!" suara itu didengar lagi. "Jangan gegabah, anak muda. Lihat dan
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenanglah di sini. Aku orang yang menolongmu!"
Fang Fang basah kuyup. Sadar dan baru siuman dari mimpi ganjil di alam
"kematian" sana maka tiba-tiba dia melihat tukang perahu itu, orang yang
diberinya sepundi uang dan mengantar Leo ternyata ada di situ. Tukang perahu ini
cepat menjulurkan lengannya dan menariknya dari air. Fang Fang terkejut dan
masih bingung bagaimana tiba-tiba dia bisa bertemu tukang perahu ini. Tapi
teringat bahwa dia terjatuh ke bumi setelah mati ditembak Sylvia maka dia
mendelong dan bertanya lirih, berbisik,
"Kau... kau juga mati" Kau di sini?"
"He," tukang perahu itu tertawa. "Kau dan aku tidak mati, kongcu. Kita ini masih
hidup. Lihatlah, laut ini membiru dan kita berada di tengah samudera!"
"Tidak mati" Masih hidup" Jadi....."
Fang Fang terlongong-longong. "Kita ini tidak di alam baka?"
"Ah, ini uangmu, masih ada!" sang tukang perahu menggemerincingkan pundi-pundi
uang yang ternyata masih ada di perahu. "Lihat dan rabalah ini, kongcu. Kau
masih hidup dan kita tidak di alam baka. Coba kau cubit lenganmu dan rasakan
sakit atau tidak!" Fang Fang mencubit. Akhirnya dia merasa sakit dan perlahan-lahan kesadarannya
pulih. Perlahan tetapi pasti akhirnya dia melihat benda-benda yang bergerak di
sekelilingnya itu, ikan dan laut biru serta perahu yang bergoyang-goyang,
dipermainkan ombak. Dan ketika dia sadar dan tukang perahu menunjuk dahinya maka
Fang Fang terkejut karena dia mengenakan perban.
"Lihat itu, lukamu sudah kering. Kau bekas ditembak orang!"
"Hm!" Fang Fang mengangguk-angguk, tersenyum pahit. "Kau benar, sobat. Aku
memang bekas ditembak orang. Dan celaka sekali aku masih hidup! Sial, kenapa aku
tidak mati dan masih juga hidup" Apa yang terjadi pada diriku ini?"
Tukang perahu terbelalak. "Kau ini aneh sekali," katanya. "Orang hidup ingin
selalu hidup sedang kau malah ingin mati! Eh, kau sama aneh dengan temanmu itu,
kongcu. Dan aku tak habis pikir bagaimana kalian yang masih muda-muda begini kok
senang menantang maut. Ah, barangkali dunia sudah gila!"
"Hm," Fang Fang tiba-tiba bersinar, menerkam pundak si tukang perahu. "Apa yang
terjadi padaku, nelayan" Dan di mana temanku itu?"
"Dia mengejar kapal besar yang kau kejar itu, dan melihat kau terapung-apung di
laut!" "Dia seorang diri" Pakai apa?"
"Berenang!" "Heh" Dia sudah gila?"
"Ah, kalian berdua kuanggap sama-sama gila, kongcu. Sama-sama tidak waras!
Temanmu itu sama seperti kau lalu mengejar dan akhirnya menempel di bawah kapal
besar itu, di rantai jangkar!"
Fang Fang terkejut. Akhirnya dia minta tukang perahu ini menceritakan apa yang
selanjutnya terjadi, diberi tahu bahwa Leo, temannya itu, mengejar dan akhirnya
menempel di bawah kapal, bergelantungan dan akhirnya ikut kapal besar itu
sementara si tukang perahu disuruh kembali, pulang. Dan ketika tukang perahu ini
diperintahkan untuk merawat dan menolong Fang Fang yang ditemukan terapung-apung
di laut yang luas maka tukang perahu ini menutup dengan sedih.
"Aku menyayangkan tindakannya yang nekat itu. Dia terlampau berani, dan tidak
waras. Tapi karena aku disuruh merawatmu dan orang-orang di kapal besar itu
tampak galak dan kejam maka aku melihat saja dari jauh dan temanmu itu lenyap
bersama kapal besar itu!"
"Hm," Fang Fang menggigil, menahan marah. "Dan berapa lama aku di perahumu ini?"
"Tiga hari, kongcu. Pelipis kananmu terluka. Aku mengobatinya dan berkali-kali
kau mengigau!" "Dan temanku itu menempel di bawah kapal, dan aku kehilangan musuh besarku!
Keparat, ke mana kapal itu pergi, nelayan" Apakah kau tahu jurusannya?"
"Wah, aku tak tahu. Kapal itu kapal asing, semuanya orang-orang kulit putih. Dan
mereka tentu pulang ke lnggeris!"
"Hm, dan aku tak tahu di mana negeri itu! Terkutuk, kalau begitu kita ke daratan
saja dan biar kucari orang untuk mencari negeri itu!" dan Fang Fang yang kecewa
serta marah tak dapat mengejar Michael akhirnya merencanakan untuk pulang ke
kota raja, mencari atau menangkap tuan Smith atau orang-orang kulit putih
lainnya untuk disuruh mengantar ke lnggeris. Dia akan meneruskan buruannya
sampai dapat! Tapi ketika tukang perahu mengantarnya ke daratan dan Fang Fang
membantu lajunya perahu dengan gerakan kedua tangannya di kiri kanan perahu,
mirip orang mendayung maka tukang perahu ternganga ketika perahunya terangkat
naik dan berulang-ulang meloncat seperti ikan terbang di mana tak lama kemudian
daratan di tepian tampak. Fang Fang tak menunggu sampai perahu merapat karena
tiba-tiba pemuda ini mengerahkan ginkangnya berjungkir balik, melakukan gerakan-
gerakan indah di udara dan akhirnya mendaratlah pemuda itu di pantai. Dan ketika
Fang Fang tak menoleh lagi karena sudah terbang meninggalkan si tukang perahu,
lupa mengucap terima kasih maka tukang perahu itu bengong dan menggeleng-
gelengkan kepala berulang-ulang.
"Luar biasa, hebat dan luar biasa sekali. Tapi sayang, rupanya sinting!"
Fang Fang sudah lenyap. Dia tak mendengarkan kata-kata si tukang perahu itu dan
kalaupun mendengar pasti dia hanya ketawa geli saja. Dia dikatakan sinting! Hal
yang memang tidak aneh karena tiga hari tiga malam berenang mengejar perahu
Inggeris, berhasil tapi rupanya tertangkap, dibuang dan dilempar ke laut dan
kini temannya, Leo, ganti menempel dan berada di perahu atau kapal besar itu.
Dan ketika Fang Fang mengembangkan kedua lengannya dan terbang seperti burung
maka dua hari kemudian dia tiba di kota raja, langsung saja ke istana, mencari
tuan Smith. Tapi Fang Fang terkejut. Di gedung itu, menunggu dengan angker dan penuh wibawa
ternyata berdiri Bu-goanswe. Bukan tuan Smith yang didapat melainkan jenderal
yang gagah perkasa itu, yang berulang-ulang dimusuhi tapi berbaik lagi. Dan
ketika Fang Fang berkelebat dan berdebar kenapa jenderal itu berdiri
menghadangnya, jelas tidak senang maka dia mendengar suara berat yang kurang
bersahabat. "Fang Fang, kau dipanggil Cun-ongya. Kau pergi tanpa pamit. Kau melupakan
kewajiban!" "Ah!" Fang Fang teringat, seketika tidak enak. "Ongya sudah kembali, goanswe"
Ada urusan apa?" "Aku tak tahu. Tapi silahkan kau ke sana dan mari kuantar!"
"Nanti dulu, aku mencari tuan Smith!"
"Tuan Smith dan para pembantunya sudah pergi. Tamu-tamu itu pulang!"
"Pulang" Maksudmu kembali ke negeri mereka?"
"Ya, tuan Smith hendak merayakan pernikahan puterinya, Fang Fang. Dan sungguh
memalukan sekali kau mengejar-ngejar seorang calon pengantin!"
"Ah, aku tak mengejar-ngejar gadis itu!" Fang Fang terkesiap, merah padam. "Aku
mengejar Michael, goanswe. Pemuda itu biang keladi semua kejadian yang
menimpaku. Dia manusia binatang, jahanam terkutuk. Dialah yang memanggili semua
bekas kekasih-kekasihku untuk merusak hubunganku dengan Sylvia!"
"Hm, aku tak mau turut campur. Kau dipanggil ongya, ada sesuatu yang hendak
diberikan kepadamu. Mari!" dan sang jenderal yang tidak perduli dan meminta Fang
Fang menghadap akhirnya membuat Fang Fang dag-dig-dug dan tidak nyaman sekali,
bertanya apa yang hendak diberikan Cun-ongya itu tapi jenderal ini mendengus.
Dia bilang bahwa itu ada hubungannya dengan CengCeng. Dan begitu Fang Fang
diingatkan akan Ceng Ceng tiba-tiba dia berkelebat dan mencari gadis itu.
"Hei, kau mau ke mana?"
"Aku mau mencari Ceng Ceng...!"
"Dia tak ada di sana, di tempat Cun-ongya!"
Fang Fang terkejut. Dia jadi menghentikan larinya dan jenderal itu dipandangnya
kaget, mata seakan tak percaya. Tapi ketika jenderal ini mengangguk dan
menyambar lengannya, mencengkeram kuat maka jenderal itu berkata agar Fang Fang
secepatnya saja menemui Cun-ong-ya.
"Kau benar-benar membikin pusing orang tua. Dan sekarang kau akan semakin pusing
saja. Hayo, ikuti aku, anak muda. Di sana gurumu menantimu pula!"
Fang Fang terkejut tapi juga setengah girang. Begitu Bu-goanswe menyebut gurunya
ada di sana tiba-tiba dia melepaskan diri. Cengkeraman lawan yang kuat dan erat
tak banyak mempengaruhinya. Bu-goanswe berteriak tapi Fang Fang sudah berkelebat
kegedung Cun-ongya Dan ketika jenderal itu mengejar dan Fang Fang tak memperlambat larinya maka
pemuda ini sudah memasuki gedung dan benar saja melihat gurunya menggelogok arak
di samping seorang wanita cantik berwajah lembut, duduk berhadapan dengan Cun-
ongya yang tampak tersenyum-senyum dan mereka rupanya terlibat percakapan
santai. "Suhu....!" Dewa Mata Keranjang, kakek yang sedang menggelogok arak itu menoleh. Segera
matanya bersinar-sinar menatap sang murid dan Fang Fang terkejut melihat
pandangan marah dari gurunya itu. Dia menjatuhkan diri berlutut namun gurunya
tiba-tiba bergerak, menendang dan mencelatlah Fang Fang oleh sapuan gurunya yang
kuat. Dan ketika Fang Fang terguling-guling dan meloncat bangun, pucat, maka
sang guru sudah berdiri di depannya dengan wajah bengis.
"Fang Fang, apa saja yang kaulakukan di sini" Kau menguber-uber seorang calon
pengantin dan meninggalkan isterimu sendiri" Kautak tahu malu mencoreng nama
gurumu" Heh, berdiri, bocah. Pertanggungjawabkan perbuatanmu dan hukuman apa
yang kau minta untuk penebus semua dosa-dosa yang kaulakukan ini!"
Fang Fang pucat. Tiba-tiba semua orang menjadi salah paham kepadanya yag dikira
mengejar-ngejar Sylvia. Segera dia maklum bahwa Cun-ongya rupanya telah
menceritakan semua sepak terjangnya, atau mungkin Bu-goanswe. Dan ketika dia
terbelalak dan menunduk tak berani mengadu pandang dengan gurunya yang tiba-tiba
tampak marah besar maka pemuda ini menekuk kedua lututnya dan malah menjatuhkan
diri berlutut lagi, tak mau berdiri.
"Teecu tak melakukan kesalahan seperti yang kau tuduhkan, suhu. Teecu...."
"Bangun!" sang suhu membentak, mencengkeram pundak muridnya. "Banyak saksi di
sini, Fang Fang. Jangan coba-coba berbohong atau membuang kesalahan. Kau tak
pernah kuajari untuk melakukan dusta. Kau adalah murid si Dewa Mata Keranjang
yang mengajarimu untuk bersikap jantan dan penuh tanggung jawab!"
Fang Fang meringis. Cengkeraman suhunya jelas berbeda dengan cengkeraman Bu-
goanswe. Jari-jari suhunya itu berkerotok dan Fang Fang merasa sakit bukan main,
apa boleh buat dia terpaksa mengerahkan sinkangnya dan melototlah sang suhu
karena tenaga perlawanan tampak di tubuh muridnya itu. Dan ketika sang kakek
gemas dan marah karena Fang Fang dianggap membangkang, melawan, maka Dewa Mata
Keranjang memindahkan jarinya dan tahu-tahu Fang Fang sudah ditampar dan
dibanting. "Kau berani melawan guru, kurang ajar benar.... brukk!" Fang Fang jatuh bangun,
ditendang dan mencelat lagi terguling-guling namun pemuda ini sudah bertahan
dengan sinkangnya. Cepat dia berteriak agar suhunya tidak menyerang, dia akan
memberi penjelasan sebagai pertanggung jawaban. Dan ketika Bu-goanswe berkelebat
di situ dan masuk setelah menyusul pemuda ini maka jenderal itu menolong serta
berseru pada Dewa Mata Keranjang agar tidak bersikap keras kepada murid sendiri.
"Stop, jangan menyiksa muridmu lagi, Dewa Mata Keranjang. Fang Fang sudah cukup
menerima pukulan-pukulan berat!"
"Hm, kau mau apa?" sang kakek melotot, tak senang. "Muridku membuat malu aku,
goanswe. Dan selayaknya aku memberi hukuman!"
"Benar, tapi muridmu hendak membela diri, dan dia punya hak untuk itu. Maafkan
aku dan jangan serang muridmu lagi!" dan membungkuk serta memberi hormat pada
Cun-ongya jenderal ini segera berkata, "Ongya, maafkan aku. Aku sedikit
terlambat namun pemuda ini sudah kubawa ke mari. Harap kau suka bersabar dan
tidak marah-marah seperti kakek itu!"
"Hm, tak apa," Cun-ongya tertawa. "Aku dapat memaklumi keadaan pemuda ini,
goanswe. Orang yang lagi putus cinta memang dapat kehilangan kontrol dirinya.
Sudahlah, Dewa Mata Keranjang akan berurusan dengan muridnya dan mari kita
dengarkan semua." "Kau," kakek ini mengambil alih percakapan, membentak Fang Fang. "Apa yang kau
lakukan, Fang Fang" Pertanggungjawaban apalagi yang hendak kauberikan" Kau sudah
jelas mengejar-ngejar calon pengantin, dan aku selamanya tak pernah mengajarimu
untuk melakukan seperti itu. Nah, sebutkan pembelaan dirimu dan katakan
bagaimana kau tidak bersalah!"
Fang Fang gemetar. Diam-diam dia melirik wanita cantik yang duduk di sebelah
suhunya itu. Wanita itu tampak lembut dan anggun. Gerak-geriknya halus dan
teringatlah dia akan cerita Bu-goanswe bahwa suhunya menjalin cinta lagi dengan
wanita lain, bentrok dan bertemu isteri-isterinya yang lain dan agaknya itulah
wanita bernama Mien Nio. Hm, cantik dan masih penuh daya pikat, tak heran kalau
gurunya kecantol! Tapi ketika Fang Fang dibentak dan sadar akan kehadiran
gurunya maka cepat-cepat pemuda ini berlutut.
"Suhu, aku akan memberikan keterangan, tapi jangan kau marah-marah. Kalau nanti
aku tetap dianggap bersalah maka hukuman apapun boleh kaujatuhkan padaku, tapi
aku tetap gagah dan bersikap jujur!"
"Hm, jangan banyak cerewet. Katakan padaku kenapa kau mengejar-ngejar calon
pengantin wanita!" "Pertama kuberitahukan pada suhu bahwa aku tidak mengejar-ngejar calon
pengantin...." "Eh, kau mengejar-ngejar gadis kulit putih itu masih juga dibilang tidak
mengejar" Kau mau berdusta dan bohong di depan begini banyak orang?" sang guru
memotong, melotot. Namun ketika Fang Fang menggeleng dan menyuruh suhunya tidak
memotong kata-katanya maka dengan tenang namun penuh kesungguhan Fang Fang
menjelaskan. "Kalau aku dianggap mengejar puteri tuan Smith itu maka dengan tegas kunyatakan
tidak. Aku mengejar Michael, pemuda yang kebetulan satu kapal dengan Sylvia. Dan
karena yang kukejar adalah pemuda ini dan bukan puteri tuan Smith itu maka
tuduhan aku mengejar-ngejar calon pengantin dengan tegas kutolak! Aku memang
mengejar pemuda keparatitu, suhu. Karena justeru karena sepak terjang pemuda itu
aku mengalami kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan ini. Michael mengadu
domba, merusak aku. Dan pemuda macam begitu biarpun suhu tentu tak akan
membiarkannya selamat!"
"Hm, mengadu domba bagaimana" Merusak bagaimana?"
"Inilah yang perlu suhu dengar. Tentu suhu sudah tahu bahwa aku didatangi Eng
Eng dan lain-lainnya itu..."
"Ya-ya, dan Ceng Ceng sampai hamil!"
"Maaf, itu memang perbuatanku, suhu. Dan aku tidak menyangkalnya, meskipun
kejadian itu sebenarnya di luar kesengajaanku."
"Hm, lalu lanjutkan ceritamu tentang pemuda itu!"
"Michael menjadi biang keladi semua kejadian ini. Maksudku, kedatangan kekasih-
kekasihku yang lama itu adalah atas perbuatan ini karena Michael mencari dan
mendatangkan mereka. Pemuda itu dengan sengaja hendak merusak hubunganku dengan
Sylvia! Lihat, kalau suhu sendiri yang mengalami itu apakah tidak marah" Kalau
suhu yang dirusak seperti itu apakah bisa diam saja dan tidak mencari serta
menghukum musuh suhu" Aku mengejar-ngejar Michael karena ingin menuntut tanggung
jawabnya, suhu. Tapi karena kebetulan pemuda itu bersama Sylvia maka aku dikira
mengejar-ngejar puteri tuan Smith itu yang memang satu kapal!"
"Hm-hm!" sang guru tertegun, mengurut-urut kumisnya. "Apakah omonganmu bisa
dipercaya,Fang Fang" Adakah omonganmu bisa dibuktikan?"
"Tentu saja! Suhu dapat menanya Eng Eng atau Ming Ming, juga Ceng Ceng!"
"Hm, Ceng Ceng sudah tidak ada. Dan dari mana kau mendapatkan keterangan ini?"
"Apa, Ceng Ceng tidak ada?" Fang Fang terkejut, tak menghiraukan pertanyaan
gurunya yang terakhir. "Tidak ada bagaimana, suhu" Maksudmu dia pergi?"
"Benar, dan dia meninggalkan puterinya di sini. Lihatlah, itulah anakmu...!" dan
ketika Fang Fang tertegun dan membelalakkan mata, kaget, maka terdengarlah
tangis bayi dan seorang dayang muncul memberikan anak itu pada Dewa Mata
Keranjang. Fang Fang terkesima dan mendelong karena Kiok Eng, anaknya itu,
menangis dan melengking-lengking di pelukan gurunya. Dewa Mata Keranjang
berusaha menepuk-nepuk namun si bocah masih juga meraung-raung, keras dan
nyaring tangisnya. Dan ketika kakek itu kebingungan sementara si dayang sudah
disuruh mundur maka Mien Nio, wanita cantik yang sejak tadi duduk tak bergerak
tiba-tiba bangkit dan meminta anak itu.
"Kau tak dapat momong anak, kau tak pandai mendiamkannya. Ke sinilah, berikan
padaku dan biar kuhentikan tangisnya!" dan ketika si anak berpindah tangan dan
sudah berada di pelukan lembut wanita itu, yang mengecup dan mencium pipinya
maka benar saja bocah itu tak menangis dan rupanya sudah biasa dengan Mien Nio,
terbukti segera menyusupkan mukanya ke dada si wanita dan cepat Mien Nio
mengambil botol susu, memberikannya dan si bocah minum dengan lahap. Dan ketika
semuanya itu membuat Fang Fang terbengong-bengong dan mendelong, muka sebentar
merah sebentar pucat maka suhunya menoleh dan membentak padanya,
"Lihat, kau memberi pekerjaan pada orang tua. Kau yang berbuat tapi hasilnya kau
limpahkan pada subomu! Heh. inikah kebijaksanaanmu, Fang Fang" Bagaimana
sekarang dengan Ceng Ceng?"
Fang Fang menggigil. "Aku sudah menemaninya, mencoba mencintainya lagi. Tapi
kalau dia pergi lalu apa yang harus kulakukan, suhu" Aku bertanggung jawab akan
anakku itu, tapi kalau suhu mau menghukum silahkan hukum. Aku mungkin bersalah!"
"Hm-hm!" sang kakek bersinar-sinar, tak puas. "Aku dapat mempercayai kata-katamu
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi, Fang Fang. Tapi untuk anak ini kau harus menerima dosa. Kau harus mencari
Ceng Ceng dan membawa anakmu. Atau kau menerima kematian karena kuanggap menyia-
nyiakan gadis dan bikin malu orang tua!"
"Teecu sanggup mencari Ceng Ceng, dan tanpa diperintahpun teecu akan menemukan
gadis itu. Kemarikan, teecu akan membawa anak teecu, suhu. Dan sekarang juga
teecu berangkat!" "Hm, berikan anak itu kepada bapaknya," Dewa Mata Keranjang menoleh pada Mien
Nio. "Dan kau mungkin sudah tahu siapa subomu yang baru ini, Fang Fang. Atau
mungkin kau perlu diberi penjelasan!"
"Tidak, teecu sudah tahu. Bu-goanswe sudah memberi tahu," dan Fang Fang yang
berlutut menerima anaknya lalu menyebut "subo" (ibu guru) pada isteri gurunya
yang baru itu di mana Mien Nio mengangguk dengan muka sedikit kemerahan,
menyerahkan anak itu dan Dewa Mata Keranjang meminta Fang Fang
mempertanggungjawabkan perbuatannya ketika ribut-ribut di gedung pangeran ini,
sewaktu mencari Cun-ongya untuk dimintai tolong melamar Sylvia. Rupanya kakek
itu sudah mendengar segala sepak terjang muridnya tapi pangeran itu buru-buru
bangkit berdiri. Tertawa dan menepuk pundak Fang Fang agar tak usah melakukan
itu, maklum keadaan Fang Fang yang terhimpit justeru pangeran ini mencegah,
menolak. "Sudahlah, yang sudah biarlah sudah, Dewa Mata Keranjang. Aku dapat memaklumi
perasaan muridmu yang sedang kacau. Waktu itu dia dilanda kebingungan karena kau
maupun aku sama-sama tak berada di sini. Sudahlah, tak perlu minta maaf karena
apa yang dilakukan muridmu adalah tidak disengaja'" lalu menarik pemuda ini agar
bersabar pangeran itu menyambung, "Dan kau, aku tetap mengagumimu yang suka
berterus terang dan jujur, Fang Fang. Maafkan aku bahwa waktu kau mencariku aku
sedang tak ada di istana. Bangkitlah, dan anggaplah yang lewat sebagai pil pahit
yang menempa dirimu untuk menjadi lebih matang!"
Fang Fang mengangguk, bangun berdiri. Tapi ketika anaknya, Kiok Eng, menangis
dan tiba-tiba melengking keras tiba-tiba dia bingung karena tak dapat mendiamkan
anak itu. Sudah ditepuk-tepuk namun tak juga reda. Barulah setelah Mien Nio
memberikan botol susu itu kepada si bocah maka anak ini diam danFang Fang
mengeluarkan keringat dingin karena tak disangkanya bahwa momong bocah sekecil
itu, Kiok Eng, justeru jauh lebih repot dibanding bertarung dengan musuh
tangguh! "Kau tak usah bingung. Kalau dia menangis berikan saja susu ini, pasti diam."
"Baik.... baik, subo. Terima kasih!" dan Fang Fang yang cepat menerima dan lega
melihat anaknya tak menangis lagi lalu menghadapi gurunya dan berpamit pergi.
Tapi sebelum dia berangkat ternyata gurunya menahan untuk memberi tahu sejenak.
"Kau tak boleh terlalu lama. Enam bulan sudah harus datang ke Liang-san dan
kutunggu di sana." "Suhu kembali ke gunung?"
"Ya, pemberontak sudah kutangkap, Fang Fang, sudah kuserahkan pada Cun-ongya.
Selanjutnya aku ingin ke Liang-san dan hidup tenang di sana."
"Baiklah, suhu. Enam bulan lagi teecu akan ke Liang-san memberi kabar. Mudah-
mudahan sudah berhasil menemukan Ceng Ceng!" dan berkelebat setelah memberi
hormat sekali lagi maka Fang Fang meninggalkan tempat itu sambil menggendong
anaknya. Lucu, tapi juga sekaligus memprihatinkan!
-oo~dewikz~abu~oo - Dua bulan sudah Fang Fang melakukan perjalanan. Kota raja sudah delapan minggu
ditinggalkan namun Ceng Ceng belum juga ketemu. Pemuda ini berputaran ke sana ke
mari sementara Kiok Eng, anak perempuan itu, rewel dan sering menangis. Fang
Fang teringat kata-kata subonya bahwa setiap kali menangis sebaiknya anaknya itu
diberi susu, mungkin lapar atau haus. Tapi ketika pagi itu Kiok Eng menangis
terus dan susu tak mau diminum, meraung-raung maka Fang Fang bingung tapi juga
jengkel. "Keparat, kau mau apa" Diam, anak baik.... diam!" Fang Fang malah membentak, gagal
menguasai anaknya dan marahlah pemuda itu tak tahu apa yang diingini anaknya.
Hampir saja dia menampar si bocah kalau tak ingat bahwa anak itu masih kecil.
Dan ketika dia membentak-bentak namun Kiok Eng malah menjerit dan menangis
melengking-lengking maka lewatlah seorang nenek di jalan itu.
"Ah, kau tak pandai mengurus bayi, dan anak ini masih terlalu kecil. Hei, a-pa
yang kaulakukan terhadap anak itu, bocah" Kenapa membentak-bentak" Ke sinikan,
coba kulihat!" Fang Fang terkejut. Nenek yang muncul di persimpangan itu tiba-tiba mendekati
dan sudah memegang Kiok Eng. Dan ketika dia girang karena ada penolong, orang
yang akan menggantikan kekesalannya maka si nenek sudah meraba sana-sini dan
berseru tertahan. "Ah, bocah ini kedinginan. Kau seharusnya menyelimutinya dengan selimut tebal!
Mana ibunya" Kenapa tidak datang?"
"Aku.... aku sedang mencarinya. Ah, kau tolonglah aku, nek. Aku bingung meng
hadapi anakku satu-satunya ini. Aku kehabisan akal, dia tak mau berhenti
meskipun kuberi susu!"
"Tentu saja, anak ini kedinginan. Kenapa membiarkannya di udara terbuka" Hayo,
kau tempatku, anak muda. Dan sementara ini berikan kain sarungku padanya!"
Fang Fang berseri. Dia melihat nenek itu melepas selempang atau semacam kain
sarung untuk cepat menyelimuti anaknya. Waktu itu musim dingin dan dia lupa.
Bingung dan kecewa tak menemukan Ceng Ceng membuat Fang Fang lupa bahwa Kiok Eng
bukanlah dirinya. Hawa dingin dapat dilawannya dengan pengerahan sinkang hangat
tapi Kiok Eng yang masih kecil itu tentu saja tak dapat melindungi dirinya
sendiri. Bocah itu harus dihangati dan Fang Fang lupa, apalagi ketika si bocah
terus menangis dan meronta-ronta.
Dua bulan dalam perjalanan membuat Fang Fang lelah dan gampang jengkel. Meskipun
dia tahu dan mulai mengenal gerak-gerik anaknya namun Fang Fang tetaplah laki-
laki yang kurang luwes dan canggung merawat anak kecil. Seharusnya itu adalah
pekerjaan wanita, bukan pria. Dan ketika benar saja Kiok Eng tiba-tiba berhenti
menangis setelah diselimuti kain tebal maka si nenek terkekeh dan mencium pipi
anak itu. "Ah, montoknya. Montok dan sehat! Agaknya kau tak lupa memberi minum bocah ini
setiap hari. Marilah, kita ke hutan, anak muda. Tapi, eh... siapa namamu?"
"Aku Fang Fang..."
"Dan isterimu?"
"Dia.... dia pergi. Aku sedang mencarinya!"
"Heh-heh, rupanya lagi cekcok. Hm, biasa anak muda. Baiklah, mari, bocah. Ikuti
aku dan kita ke rumahku!"
Fang Fang terkejut. Si nenek tiba-tiba melangkah lebar dan tahu-tahu sudah
berjalan seperti kijang. Langkahnya tampak biasa-biasa saja tapi sekali ayun
bisa sepuluh meter lebih! Fang Fang terkejut dan maklum bahwa kiranya dia tidak
sedang menghadapi nenek biasa-biasa saja. Dan ketika nenek itu sudah jauh dan
hampir lenyap di depan maka Fang Fang yang terkejut tapi sadar tiba-tiba
bergerak dan mengejar nenek itu, melawan salju yang tiba-tiba gugur.
"Heii, tunggu, nek. Jangan buru-buru ....!"
Si nenek terkekeh. Fang Fang yang mengejar tiba-tiba membuat langkahnya
dipercepat, kian lama kian cepat dan Fang Fang tersentak karena tiba-tiba nenek
itu terbang, bergerak dan melintasi pohon-pohon besar seperti bayangan siluman
saja. Terpekik dan kagetlah Fang Fang karena seketika dia pucat menganggap nenek
itu akan menculik. Maka ketika dia berseru keras dan berjungkir balik
mengerahkan ginkangnya maka si nenek yang ada di depan tiba-tiba terlihat
bayangannya dan Fang Fang membentak.
"Berhenti!" Si nenek terkejut. Fang Fang berjungkir balik dan melewati atas kepalanya untuk
akhirnya turun dengan ringan, berdiri dan sudah menghadang, mukanya merah dan
matapun berapi-api. Fang Fang gusar karena nenek ini dianggap akan melarikan
diri, menculik. Tapi ketika dia membentak dan sudah menghadang, si nenek
membelalakkan mata tiba-tiba nenek itu terkekeh dan memutar tubuhnya.
"Wah, kau kiranya bukan bocah sembarang bocah. Baiklah, coba kita mengadu ilmu
lari cepat dan kulihat sekali lagi seberapa hebatkah dirimu!"
Fang Fang terkejut. Si nenek berputar dan tahu-tahu sudah bergerak lagi ke a-rah
semula. Kedua kakinya melejit dan terkesiaplah Fang Fang karena gerakan nenek
itu jelas bukan gerakan mainmain. Langkah kakinya yang ringan dan akhirnya tidak
menginjak tanah membuat Fang Fang sadar bahwa si nenek betul-betul lihai. Tapi
mendengar orang hendak mengujinya dan rupanya tidak mengganggu Kiok Eng, karena
bocah itu tampak tenang dan meneruskan minumnya maka Fang Fang hilang
kecurigaannya dan meng i anggap nenek ini betul-betul semata hendak mengujinya.
"Kau nenek aneh, tapi kurang ajar. Baiklah, aku akan mengikutimu ke manapun kau
pergi!" Fang Fang berkelebat, mengejar si nenek dan kini nenek di depan tancap
gas. Nenek itu terbang kian cepat tapi Fang Fang sudah mengerahkan semua
kepandaiannya. Ilmu meringankan tubuhnya, Sin-bian Ginkang (Ginkang Kapas
Sakti), sudah dikeluarkan dan terbanglah pemuda itu mengikuti si nenek. Ke
manapun si nenek berkelebat ke situ pulalah Fang Fang membayangi. Tubuh keduanya
sudah saling berkelebatan dan pohon-pohon besar lewat dengan cepat di sisi
mereka, seperti siluman. Tapi ketika Fang Fang dapat menempel si nenek dan
perlahan tetapi pasti bahkan dia mulai dapat mendekati maka nnek itu terkejut
dan berulang-ulang mengeluarkan teriakan tertahan.
"Iblis, setan terkutuk. Ilmu ginkangmu luar biasa!"
"Hm..!" Fang Fang berseri. "Kau tak dapat melarikan diri, nenek aneh. Ke manapun
kau pergi ke situlah aku membuntuti. Berhentilah, dan serahkan anakku!"
"Heh-heh, jangan sombong. Kau juga belum dapat mendahuluiku dan tak dapat dikata
menang. Hm, murid siapakah kau, bocah" Dari mana kau memperoleh ilmu meringankan
tubuh sehebat ini" Siapa gurumu?"
"Aku murid si Dewa Mata Keranjang. Berhentilah, dan kita bicara baik-baik!" Fang
Fang bangga, memperkenalkan gurunya dan benar saja nenek itu tiba-tiba tampak
tersentak. Larinya yang kencang mendadak berhenti, Fang Fang yang ada di
belakang hampir menabraknya. Dan ketika Fang Fang berjungkir balik dan memaki si
nenek, yang tertegun dan gemetar maka pemuda itu melayang turun dan berseru,
"Hei, jangan mengejutkan orang lain. Kalau berhenti jangan begitu mendadak!"
"Hm, kau..." nenek ini menggigil. "Benarkah kau murid si Dewa Mata Keranjang"
Maksudmu gurumu itu adalah Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok?"
"Benar," Fang Fang terkejut juga, melihat kilatan mata yang memancar ganas dari
pandangan si nenek. "Kau siapakah, orang tua" Dan kau rupanya mengenal guruku?"
"Heh-heh, tentu saja. Gurumu orang terkenal, dan begitu terkenalnya dia hingga
aku tak akan melupakannya seumur hidup! Heh, kebetulan kita bertemu di sini,
bocah. Dan biar kuantar mayatmu kepada gurumu.... wut!" si nenek berkelebat, cepat
dan luar biasa dan tahu-tahu sebuah pukulan panas menyambar Fang Fang. Pemuda
ini terkejut karena si nenek menyerangnya tiba-tiba,dia mengelak namun si nenek
mengejar. Dan ketika apa boleh buat Fang Fang harus menangkis dan sudah
melakukan itu, menggerakkan lengan kirinya maka benturan pukulan menggetarkan
tempat itu dan Kiok Eng pun terkejut, menangis keras-keras.
"Dukk!" Fang Fang terpental. Si nenekjuga terhuyung tapi nenek itu tertawa. Tawanya
aneh, antara kagum tapi juga marah! Dan ketika Fang Fang terbelalak karena Kiok
Eng segera melengking-lengking, tak dihiraukan si nenek maka nenek itu
berkelebat kembali dan pukulan-pukulan padasnya itu menyambar berulang-ulang.
"Heh-heh, kau akan kubunuh. Mampuslah, dan terbanglah ke akherat.... plak-plak-
plakk!" Fang Fang tergetar, kaget terdorong mundur karena dia gugup melihat
puterinya menangis tak keruan. Si nenek sudah kembali menyerangnya dan tak
menghiraukan Kiok Eng, tentu saja membuat Fang Fang marah tapi si nenek bergerak
kian cepat melepas pukulan-pukulannya. Dan ketika tubuh nenek itu lenyap
beterbangan bagai burung walet yang ganas mematuk-matuk maka apa boleh buat Fang
Fang terpaksa mengimbangi dan membentak nenek itu untuk melepaskan anaknya.
"Heh-heh, begitukah" Baik, lihatlah.... brukk!" dan Kiok Eng yang dilempar dan
terbanting di tanah tiba-tiba menjerit kesakitan dan meraung-raung, membuat Fang
Fang marah bukan main dan ditangkisnya pukulan nenek itu yang menyambar dahinya,
mengerahkan Im-bian-kang atau tenaga Kapas Dingin. Dan ketika si nenek terpental
dan kaget berjungkir balik maka Fang Fang sudah menyambar dan berkelebat
menolong anaknya itu. Tapi selanjutnya Fang Fang dibuat sibuk. Kiok Eng yang
menangis dan menjerit-jerit akibat dibanting si nenek malah kian keras tangisnya
disambar si bapak. Anak ini tak mau diam sementara si nenek sudah menyerangnya
lagi dan mencabut sebuah tusuk konde, berkeredepan menyambar-nyambar dan Fang
Fang tertegun melihat senjata itu terbuat dari emas seluruhnya. Ah, penampilan
si nenek yang bersahaja dan berkesan miskin ternyata bertolak belakang dengan
apa yang dimiliki. Selain ilmu silatnya yang tinggi juga kiranya memiliki tusuk
konde dari emas. Dan ketika Fang Fang kian terbelalak karena dari gagang tusuk konde itu
bertaburan butir-butir intan yang menyilaukan mata maka pemuda ini hampir celaka
ketika tusuk konde itu melejit dan menyambar bawah alisnya, saat dia melenggong.
"Cet!" Fang Fang melempar tubuh bergulingan. Dia pucat dan berseru keras melihat
kecepatan serangan si nenek. Begitu luar biasa, dan juga begitu ganas! Dan
ketika dia bergulingan meloncat bangun sementara Kiok Eng menjerit-jerit maka
apa boleh buat Fang Fang harus meletakkan anaknya dulu di atas rumput ketika si
nenek mengejar, menusuk dengan tusuk kondenya itu sementara tangan kirinya
menghantam dengan pukulan panas. Angin pukulan itu tak tahan buat Kiok Eng, si
bocah perempuan. Dan ketika Fang Fang meloncat bangun dan menangkis, kedua kaki
agak bengkok maka pemuda ini mencelat dan kembali terlempar terguling-guling.
"Hi-hik!" si nenek kelihatan gembira. "Kau tak dapat menyelamatkan diri, anak
muda. Sekarang kau mampus dan terimalah lagi pukulanku ini.... des-dess!" Fang
Fang mengeluh, benar saja terlempar lagi karena dia belum sempat memperbaiki
posisi. Nenek itu mengejar dan mendesak, padahal di sana Kiok Eng menangis
menjerit-jerit karena diletakkan ayahnya di atas rumput, digigit semut dan Fang
Fang tak tahu.Dan ketika Fang Fang panik dan bingung karena anak maupun lawannya
sama-sama merepotkan dia maka pemuda itu terbanting lagi ketika sebuah pukulan
menghantam telak, tepat mengenai lambung tapi Fang Fang tak apa-apa. Pemuda ini
hanya terpelanting setelah i-tu melompat bangun,terhuyung. Beberapa kali pukulan
si nenek dapat ditahan karena dia sudah mengerahkan sinkangnya, melindungi diri.
Dan ketika si nenek terbelalak dan merah mukanya, karena pemuda itu kebal dan
hebat maka tusuk kondenya menyambar di balik serangan tangan kiri, langsung
menuju mata dan bagian itulah yang selalu diincar. Rupanya nenek ini tahu bahwa
mata tak dapat dilindungi kekebalan, Fang Fang terkejut dan mengelak. Namun
ketika kalah cepat dan keningnya tergurat maka nenek itu terkekeh-kekeh dan Fang
Fang didesak bagai harimau siap memasuki jebakan.
"Hi-hik, mampus kau, anak muda. Mampus!"
Fang Fang naik darah. Akhirnya dia menjadi gusar setelah si nenek berulang-ulang
menghantamnya dengan pukulan, juga dua guratan di alis atau kening. Dan ketika
si nenek berkelebatan dan kembali melancarkan serangan-serangan berbahaya yang
tak kenal ampun maka Fang Fang menutup telinganya tak mau mendengar tangis sang
anak, memusatkan perhatian dan konsentrasi karena nenek ini benar-benar ganas
dan berbahaya. Sekali ia meleng tentu bencanalah yang akan diterima. Fang Fang
membentak dan tiba-tiba mengerotokkan kedua lengannya, mengerahkan Pek-in-kang
(Pukulan Awan Kilat). Dan ketika si nenek menyambar dan melepas pukulan panas
maka Pek-in-kang atau pukulan yang juga berhawa panas itu menyambut dan
memperlihatkan diri siapa yang lebih unggul.
"Blarr!" Dan nenek itu mencelat! Rupanya, tak menduga Fang Fang memiliki dua macam
pukulan yang dingin dan panas nenek itu terpekik. Pek-in-kang ternyata lebih
kuat dan panas dibanding pukulan panasnya. Fang Fang menyambut keras sama keras
dan si nenek terbanting! Dan ketika nenek itu mengeluh dan Fang Fang lega,
bersinar-sinar, maka nenek itu meloncat bangun namun rasa gentarnya sudah tak
dapat disembunyikan lagi.
"Keparat, itu.... itu Pek-in-kang?"
"Hm!" Fang Fang mengangguk. "Sekarang tak perlu kau bersombong lagi, nenek
siluman. Dan sebutkan siapa dirimu!"
"Aihh...!" dan si nenek yang tidak menjawab melainkan menerjang lagi tiba-tiba
marah menghantam Fang Fang, ditangkis dan terpental dan nenek itu melotot.
Akhirnya dia melengking-lengking dan tusuk kondenya kembali naik turun menyambar
Fang Fang, dielak dan ditangkis dan si nenek menjerit. Ternyata, sekarang Fang
Fang dapat membalas dan nenek itu terhuyung. Dan ketika si nenek mundur-mundur
dan Fang Fang mendesak, mengerahkan Pek-in-kang karena ilmu itulah yang dapat
dipakai untuk menekan lawan maka si nenek tampak pucat dan berkali-kali memaki
si Dewa Mata Keranjang. "Terkutuk, keparat jahanam. Kiranya si tua bangka menurunkan juga Pek-in-kang
kepada bocah ini. Augh, kau laki-laki celaka, Cing Bhok. Awas kau kalau kita
ketemu!" "Hm," Fang Fang mengejek. "Tak usah memaki-maki guruku, nenek siluman. Sebutkan
saja siapa dirimu dan akan kuberitahukan guruku."
"Ah,kaupun bocah keparat!" dan si nenek yang menghantam tapi ditangkis terpental
tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dan menghamburkan pelor-pelor kecil ke arah Fang
Fang. Fang Fang mengebut namun pelor-pelor itu meledak, isinya berhamburan ke
mukanya dan hampir saja pemuda ini celaka. Kiranya pelor-pelor itu
menyembunyikan jarum-jarum halus yang tidak disangka. Tapi ketika Fang Fang
melempar tubuh ke kiri dan meniup, jarum-jarum itu rontok ternyata si nenek
berkelebat ke kiri dan memutar tubuh melarikan diri.
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heii...!" Fang Fang meloncat bangun. "Jangan lari, nenek siluman. Sebutkan dulu
siapa kau!" Namun si nenek melempar lagi pelor-pelor berbahaya itu. Fang Fang tak berani
menangkis karena tak mau isinya meledak, tertahan dan akhirnya membiarkan saja
nenek itu melarikan diri, mengusap keringatnya. Dan ketika pemuda itu tersenyum
namun tertegun teringat sesuatu, tangis Kiok Eng yang tak terdengar lagi tiba-
tiba Fang Fang membalik dan darahnya serasa berhenti mengalir melihat anak
perempuannya tak ada lagi di tempat.
"Kiok Eng...!" Fang Fang terkesiap. Bagai disengat kalajengking saja tiba-tiba pemuda ini
melonjak. Kiok Eng, puterinya, tak ada di situ lagi. Fang Fang berteriak dan
berkelebat memanggil-manggil anak perempuannya itu. Dia menyangka disambar
harimau atau binatang buas. Tapi ketika pemuda ini berkelebatan dan memanggil-
manggil, mengelilingi hutan ternyata a-nak perempuannya itu tak ada. Kiok Eng
lenyap tanpa bekas dan Fang Fang pucat pasi. Pantas dia tak mendengar tangis
anaknya lagi dan dia dapat memusatkan semua perhatiannya pada si nenek, membalas
dan akhirnya mengalahkan nenek i-tu yang melarikan diri. Tapi begitu dia sadar
dan teringat puterinya maka hilangnya Kiok Eng tiba-tiba membuat Fang Fang
seperti gila. Pemuda ini berlarian dan berteriak-teriak memanggil anaknya itu,
tak ada jawaban dan hutan bahkan tergetar oleh suara atau bentakannya. Dan
ketika Fang Fang panik dan berkelebatan sia-sia akhirnya pemuda ini mengamuk dan
menghantami apa saja yang ditemui. Pohon-pohon dicabut, yang besar-besar
ditendang dan hiruk-pikuklah suaranya ketika roboh atau tumbang. Dan ketika Fang
Fang teringat nenek tadi dan berusaha mengejar ternyata nenek itu sudah lenyap
dan Fang Fang tak tahu ke mana nenek itu lari.
Fang Fang terpukul. Untuk pertama kalinya pemuda ini mengalami shock berat
dengan hilangnya sang anak. Betapapun sudah terjalinlah ikatan batinnya dengan
Kiok Eng, puterinya yang kecil itu. Dan ketika Fang Fang terhuyung sana-sini tak
menemukan anaknya, padahal tugas mencari Ceng Ceng belum berhasil maka tak lama
kemudian Fang Fang naik ke Liang-san dan tersedu-sedu menghadap gurunya. ,
"Teecu mengalami nasib malang. Sudah jatuh tertimpa tangga!"
"Hm!" sang guru terkejut, tak biasa melihat muridnya mengguguk seperti itu. "Apa
yang terjadi, Fang Fang. Dan mana Kiok Eng!"
"Itulah!" pemuda ini tak tahan lagi. "Kiok Eng hilang, suhu. Anakku hilang!"
"Apa?" Dewa Mata Keranjang tersentak. "Hilang" Kau meninggalkan anakmu di mana"
Apa yang terjadi?" "Teecu.... teecu bertemu nenek siluman, bertempur dan bertanding dan teecu
mengusir nenek itu. Tapi ketika teecu membalik ternyata Kiok Eng tak ada lagi,"
Fang Fang lalu menceritakan jalannya peristiwa, belum enam bulan sudah datang
kepada gurunya karena hilangnya sang anak. Dewa Mata Keranjang tertegun dan
berulang-ulang alis putih itu terangkat naik. Tapi ketika Fang Fang berhenti
bercerita dan dia bertanya siapa nenek yang disebut-sebut itu ternyata muridnya
menggeleng kepala. "Teecu tak tahu, dia tak menyebutkan nama...."
"Heh, kau tak tahu siapa lawanmu" Dan kau tak menangkap?"
"Nenek ini lihai, suhu. Dan barangkali dari semua isteri-isteri suhu dialah yang
amat lihai. Dia melempar pelor-pelor yang meledak kalau ditangkis, senjatanya
adalah sebuah tusuk konde emas!"
"Ah, si Kuda Binal So Yok Bi!" Dewa Mata Keranjang terlonjak. "Kau bertemu nenek
itu, Fang Fang" Dia masih hidup?"
"Siapa dia ini, suhu" Kenapa aku tak pernah mendengarnya?"
"Ah, dia wanita berbahaya. Dan kalau dia masih hidup berarti suaminya, Ok-tu-kwi
(Si Setan Judi), juga ada di bumi ini. Celaka!" dan Dewa Mata Keranjang yang
tampak gelisah dan berobah lalu membuat Fang Fang tertegun dan mengerutkan
kening, bertanya siapa mereka itu tapi gurunya meloncat bangun. Sang guru tampak
tidak senang dan gelap, wajahpun keruh. Dan ketika Fang Fang bertanya lagi tapi
dibentak untuk berhati-hati maka kakek itu tampak merona wajahnya dan berkata,
"Lain kali kalau kau bertemu nenek itu lagi jangan diberi ampun. Dia pantas
dibunuh. Jangan-jangan Ok-tu-kwilah yang menculik anakmu!"
"Apa?" "Hm, baru dugaan. Biasanya ada si Kuda Binal pasti ada si Setan Judi, Fang Fang.
Kalau kau bertempur dengan isterinya maka biasanya sang suami ada di dekat-dekat
situ. Apakah kau tidak melihat siapa pun?"
"Tidak," Fang Fang tergetar. "Aku tak melihat siapa-siapa, suhu. Tapi siapa tahu
di saat aku sibuk menghadapi nenek itu maka ada orang lain datang. Yang jelai
aku tak melihat Kiok Eng dibawa harimau atau binatang buas karena tak ada
bercak-bercak darah di situ!"
"Hm, kalau begitu pasti dibawa orang. Dan mungkin di saat kau sibuk menghadapi
nenek siluman itu. Bahaya! Anakmu bisa celaka di tangan suami isteri itu, Fang
Fang. Dan rupanya aku harus turun gunung untuk membantumu!"
Fang Fang terkejut. Kalau gurunya sudah berkata seperti itu maka keadaan benar-
benar dinilai serius. Tapi karena dia memang membutuhkan bantuan dan tekanan
demi tekanan yang diterimanya selalu membuat dia tak tenang berpikir maka Fang
Fang menyambut gembira keinginan gurunya ini. Tapi tiba-tiba Mien Nio, kekasih
gurunya yang baru, muncul.
"Ada banyak orang di bawah gunung!" wanita cantik itu berseru, gelisah. "Kita
kedatangan musuh, suamiku. Aku tak tahu siapa mereka tapi kau harus melihatnya!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Belum persoalan Fang Fang selesai tiba-tiba saja
dia mendengar laporan itu. Telinganya bergerak-gerak dan berubahlah muka
pendekar ini ketika jauh di bawah sana dia mendengar langkah kaki orang yang tak
kurang dari duapuluh jumlahnya. Fang Fang juga mengerahkan pendengarannya dan
pemuda ini terkejut karena dia mendengar derap langkah kaki yang ringan yang
jumlahnya banyak. Dihitung-hitung, ada duapuluh tiga orang, bukan main! Dan
ketika gurunya bertanya dan Fang Fang menoleh maka pemuda itu meloncat bangun
dan agak berdebar. "Berapa orang yang kau tangkap?"
"Duapuluh tiga, suhu. Aku menangkap gerakan kaki dari duapuluh tiga orang yang
berjalan mendatangi, naik ke puncak!"
"Hm, bukan duapuluh tiga, tapi duapuluh lima!" sang guru membenarkan. "Ajak
subomu ini menjauh, Fang Fang. Sembunyikan dia di kaki gunung sebelah barat!"
"Tidak!" Mien Nio, wanita itu berseru. "Aku di sini siap membantumu, suamiku.
Kalau aku disuruh pergi tak ada gunanya aku sebagai isterimu....!"
"Hm, bukan begitu," Dewa Mata Keranjang tersenyum, menyentuh dan merangkul serta
tiba-tiba menotok isterinya itu. "Aku tak mau dipecah perhatianku, Mien Nio.
Biarlah kau diantar muridku dan beristirahat dulu di sana!" dan tidak
memperdulikan teriakan isterinya yang marah dan memaki-maki tiba-tiba Dewa Mata
Keranjang itu menyerahkannya pada Fang Fang. "Kau bawa dia di tempat yang
kumaksudkan itu. Setelah itu bantulah aku melihat keadaan!"
Fang Fang menerima. Dia sudah mendengar langkah kaki yang banyak itu
berkelebatan mendaki gunung. Gerak atau kesiur kaki mereka yang ringan dan
enteng jelas menandakan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Maka ketika
gurunya berkata dan subonya itu sudah diberikan kepadanya tiba-tiba tanpa banyak
cakap pemuda ini mengangguk dan berkelebat pergi. Dan begitu Fang Fang lenyap
dan kakek itu tersenyum maka Dewa Mata Keranjang pun bergerak dan lenyap
meninggalkan rumahnya. Namun belum seberapa jauh tiba-tiba kakek itu berhenti. Di leher gunung, hampir
di puncaknya tahu-tahu sudah berkelebatan bayangan orang yang demikian
banyaknya. Duapuluh tiga orang telah mengepung dan mengurung kakek itu. Dan
ketika Dewa Mata Keranjang tertegun dan terkejut, melihat bahwa sebelas di
antaranya adalah bekas isteri-isterinya sendiri maka Sin-mauw Sin-ni Ang Hoa May
atau May-may sudah membentak dan menjeletarkan rambutnya.
"Cing Bhok, berhenti. Serahkan jiwamu!"
Kakek ini tertegun. May-may, dan lain-lainnya itu ternyata bergabung dengan
duabelas laki-laki yang berperawakan macam-macam. Ada tinggi ada pendek dan ada
yang kurus serta gemuk, juga kekar. Kakek ini terkejut karena samar-samar dia
mengenal orang-orang itu, sayang lupa-lupa ingat. Tapi ketika Bi Hwa dan Bi Giok
juga membentak dan maju mendesingkan Kiam-ciangnya maka dua nenek itu juga
berseru, "Benar, dan kali ini kau mampus, Cing Bhok. Serahkan jiwamu secara baik-baik
atau kami semua mencincangmu!"
"Hm-hm!" kakek ini mengangguk-angguk, tersenyum. "Kalian kiranya, Bi Gok" Datang
dengan sepasukan liar untuk mencari dan membunuh aku" Ha-ha, bagus, tapi lucu
sekali. Kalian menggelikan!"
"Hm, apanya yang menggelikan!" nenek Lin Lin maju membentak. "Tak ada yang
menggelikan disini, Cing Bhok. Kau akan mati dan kami rajam. Barangkali kau
kenal orang-orang ini!"
"Hm, aku lupa-lupa ingat," sang kakek berterus terang, memandang duabelas laki-
laki yang melotot padanya itu, tertawa dingin. "Tapi kalaupun ingat tentu aku
tak takut, Lin Lin. Biarpun kalian datang dibantu seratus siluman aku tak
gentar, ha-ha!" Nenek itu mendelik. "Mereka adalah Cap-ji Koai-liong, Cing Bhok. Dengarlah dan
jangan tertawa!" Dewa Mata Keranjang terkejut. Tiba-tiba kakek itu menghentikan tawanya dan benar
saja tampak terkesiap. Tapi begitu dia sadar tiba-tiba kakek ini tertawa lagi
dan bahkan tergelak. "Ha-ha! Kiranya Cap-ji Koai-liong (Duabelas Naga Siluman).
Wah, selamat datang, Cap-ji Koai-liong, dan sekarang aku ingat siapa kalian.
Kiranya tikus-tikus yang dulu pernah kuhajar, ha-ha!"
Duabelas orang itu, Cap-ji Koai-liong menggeram dan melotot. Memang mereka dulu
pernah dihajar kakek ini dan tunggang-langgang. Mereka datang memang untuk
menuntut balas dan kakek itu segera tahu. Tapi begitu Dewa Mata Keranjang
berseru mengejek dan tawanya jelas tidak memandang mata, sikap yang amat
menyakitkan maka dua di antaranya membentak hampir berbareng,
"Cing Bhok, jangan pongah. Lain dulu lain sekarang. Kami bukanlah Cap-ji Koai-
liong pada belasan tahun yang lalu!"
"Hm, dan akupun bukan Cing Bhok belasan tahun yang lewat. Eh, kau Twaliong kwi
(Naga Pertama), bukan" Ha-ha, kuingat kau. Dulu pantatmu kugebuk dan kau
meraung-raung. Ah, geli hatiku, Twaliong. Tapi tak apalah. Kau dan adik-adikmu
tentu datang untuk merasakan gebukan dariku lagi, tak apalah, aku juga gatal dan
kebetulan tanganku sudah lama tidak menggebuk pantat anjing. Siluman-siluman
macam kalian tentu tak akan jera kalau belum dihabisi. Nah, majulah, aku siap
memberi pelajaran kalian!"
"Jahanam!" dan Twaliong yang maju dengan seruan panjang tiba-tiba membentak dan
menghantam kakek itu. Di tangannya tercabut sebatang ruyung dan dengan ruyung
ini dia menghantam si kakek. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang berkelebat dan
kakek itu tahu-tahu lenyap, berada di belakang lawan mendadak yang lain berseru
namun sudah terlambat ketika Twaliong menerima sebuah tamparan ringan.
"Awas!" Twaliong menoleh. Dia baru mendengar angin tamparan itu namun terlambat. Orang
ini menjerit dan tahu-tahu terdorong ke depan, roboh terguling-guling. Tapi
ketika dia meloncat bangun dan ruyung di tangannya masih tergenggam kuat maka
Dewa Mata Keranjang mengangguk-angguk berkata tertawa.
"Ha-ha, ada kemajuan, tapi tak seberapa. Eh, aku masih tak melihat dua temanmu
yang lain, Lin Lin. Suruh mereka keluar dan tak usah bersembunyi!"
"Hm, teman apa?" Lin Lin membentak. "Di sini hanya ada kami, Cing Bhok. Tak ada
yang lain seperti yang kaukatakan!"
"Ha, kalau begitu kau bohong. Rupanya harus kukeluarkan kalau tak mau keluar
sendiri.... srutt!" dan Dewa Mata Keranjang yang menjentik dua rumput alang-alang
ke balik segerumbulan semak tiba-tiba membuat semua terkejut karena dua bayangan
tiba-tiba memaki dari balik gerumbul semak belukar itu, menepis dan dua rumput
alang-alang itu hancur. Dua orang berkelebat dan melayang turun. Dan ketika yang
seorang tertawa nyaring dan menggelogok arak, dari sebuah bulibuli kulit maka
yang lain, seorang nenek berpakaian hitam berpita merah melengking dan memaki.
"Cing Bhok, kau tua bangka jahanam. Memang benar, inilah kami. Nah, apa katamu
dan mau apa kalau kami berdua sudah keluar!"
Dewa Mata Keranjang mundur selangkah. Dia tak menyangka dan rupanya terkejut
oleh hadirnya dua lawan terakhir ini, terbukti kakek itu terbelalak dan mem buka
mata lebar-lebar. Tapi begitu dia sadar dan dapat menguasai diri, tertawa
bergelak, kakek ini tiba-tiba berseru nyaring.
"Wah-wah, kiranya Ok-tu-kwi dan si Kuda Binal. Aih, selamat datang, Kuda Binal.
Dan selamat bertemu lagi dengan suamimu yang pemabok itu. Ha-ha, kiranya inilah
dua orang yang bersembunyi itu. Masih licik dan curang. Hm, tentu kalian yang
menghasut mereka semua ini hingga datang ke mari. Heh, akui terus terang
perbuatanmu, Ok-tu-kwi. Dan sekarang aku tahu apa yang terjadi di balik semuanya
ini!" "Ha-ha!" Ok-tu-kwi, si Setan Judi tertawa nyaring, menggelogok araknya hingga
cegluk-cegluk. "Kau tua bangka masih tajam pendengarannya, Cing Bhok. Sungguh
aku kagum. Tapi aku tak membawa orang-orang ini, justeru merekalah yang minta
aku mengawal!" -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XIX "HM, mengawal atau mengeroyok?" si Dewa Mata Keranjang mengejek, tak percaya.
"Kau dan isterimu bukanlah orang baik-baik, Ok-tu-kwi. Di mana ada kalian
biasanya pasti ada kecurangan. Aku tak percaya!"
"Kalau begitu tanya saja bekas isteri-isterimu ini!" lawan tertawa parau. "Aku
bohong atau tidak rasanya tak perlu didebatkan, Dewa Mata Keranjang. Aku datang
hanya untuk mengiring mereka!" dan kembali menggelogok araknya hingga berbunyi
keras si Setan Judi ini pura-pura tak mau menghiraukan lawan lagi, terbatuk tapi
tiba-tiba araknya menyembur. Semburan atau semprotan itu keras sekali dan
celakanya jatuh atau menyambar muka si Dewa Mata Keranjang, cepat dan luar biasa
dan orang-orang di situ mendengar suara bercuit atau mendesing. Bukan main,
butir-butir arak dapat menyerang seperti itu, persis peluru atau pe-lor baja!
Tapi ketika kakek ini mengibas dan mendengus, tahu bahwa semuanya itu adalah
disengaja oleh lawan, yang menyerang sambil pura-pura batuk maka kebutan ujung
lengan baju Dewa Mata Keranjang menolak atau memukul balik arak-arak itu.
"Pratt!" Ok-tu-kwipun terkekeh. Laki-laki ini mengelak dan butiran arakpun akhirnya
menancap dan hilang di belakangnya, menyambar pohon yang berderak dan bergoyang
keras. Dan ketika May-may dan lain-lain kagum karena demonstrasi khikang atau
sinkang itu sudah ditunjukkan keduanya maka nenek berpakaian hitam yang bukan
lain So Yok Bi adanya berkelebat dan tahu-tahu sudah di depan si Dewa Mata
Keranjang. "Cing Bhok, kau mau menyerah atau tidak?"
"Ha-ha, menyerah bagaimana" Kalau ingin maju cepatlah maju, nenek bangkotan. Tak
usah merayu atau berlenggang lagi di depanku. Kau sudah tidak muda lagi!"
"Keparat!" dan si nenek yang melengking dan membentak marah tiba-tiba
menggetarkan lengannya dan berkelebat menampar, cepat dan tahu-tahu sudah
menyerang kakek ini sebanyak tujuh serangan berturut-turut. Dewa Mata Keranjang
mengelak dan berlompatan namun akhirnya menangkis. Dia mengeluarkan Kapas
Dinginnya dan pukulan si nenek disambut. Dan ketika terdengar ledakan dan si
nenek mencelat, jungkir balik ke atas maka Ok-tu-kwi menghentikan minumnya dan
tiba-tiba tertawa. "Uwah, hebat, masih luar biasa. Ha-ha!" dan menggelogok araknya lagi seolah tak
perduli pada isterinya maka nenek itu menyerang dan membentak lagi, mencabut
tusuk kondenya dan menyambar-nyambarlah sinar kuning emas di depan si kakek.
Dewa Mata Keranjang menggerakkan kembali pukulan dinginnya dan terdengar suara
"ces" ketika pukulan si nenek diredam, terpental dan nenek itu menjerit kaget
karena si kakek tak bergeming sedikitpun. Dan ketika nenek itu melengking
lengking dan berkelebatan kian cepat akhirnya Dewa Mata Keranjang dikurung tapi
dengan enak saja kakek itu menangkis atau mengelak sana-sini.
"Plak-plak-dess!"
Si nenek memaki-maki. Si Kuda Binal ini selalu terlempar dan terpental di udara,
pukulan-pukulan si kakek membuatnya tak tahan dan selalu dia berteriak keras
karena lawan terlalu hebat. Dan ketika tak lama kemudian Dewa Mata Keranjang
mempergunakan Sin-bian Ginkang-nya di mana tubuh kakek itu tiba-tiba berkelebat
lenyap dan ganti mengelilingi nenek itu, yang memekik-mekik maka Dewa Mata
Keranjang tertawa bahwa sepuluh jurus lagi lawannya itu akan roboh.
"Kau masih tak dapat menandingiku. Sebaiknya suamimu suruh maju dan mari kita
berdua main main!" "Keparat.... duk-plak!" si nenek membentak, mau menyerang lagi tapi didahului si
kakek yang menotok ulu hatinya. Dewa Mata Keranjang bergerak lebih cepat hingga
mau tak mau si nenek menangkis. Tapi karena tenaga kalah kuat dan sudah terbukti
berkali-kali bahwa sinkang kakek itu hebat sekali maka nenek ini terpelanting
dan roboh terguling-guling.
"Ha-ha, apa kataku!" Dewa Mata Keranjang berkelebat, mengejar si nenek. "Kau tak
dapat menandingiku kecuali suamimu membantu, Yok Bi. Hayo menyerahlah atau kau
kulempar pada suamimu.... dess!" si nenek mencelat, kena sebuah tendangan dan
berteriak-teriaklah nenek itu memaki suaminya karena sejak tadi Ok-tu-kwi hanya
menenggak araknya saja. Si Setan Judi itu seolah tak perduli tapi ketika si
isteri terlempar tiba-tiba dia menangkap, menerima. Dan ketika si isteri sudah
ditolong dan menggampar mukanya, marah-marah, mendadak kakek ini berkelebat
Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi dan terkekeh-kekeh.
"Heh-heh, aku takut. Dewa Mata Keranjang ternyata terlalu lihai. Aih, biar yang
lain-lain saja membantumu, isteriku. Aku gentar!"
Dewa Mata Keranjang tersenyum. Ok-tu-kwi terbirit-birit seraya tangannya
dilempar-lempar ke belakang, persis bebek tunggang-langgang. Tapi ketika dari
gerakan tangan itu tampak menyambar puluhan benda-benda hitam dan kakek ini
terkejut, menangkis, ternyata terdengar ledakan dan tigapuluh pelor kecil
meledak di udara. "Aiihhh...!" Dewa Mata Keranjang berseru keras. Kakek ini berjungkir balik dan
cepat meniup ke depan. Ratusan jarum-jarum hitam berhamburan ke mukanya dan saat
itulah Ok-tu-kwi terkekeh-kekeh. Iblis itu melarikan diri namun dengan licik dan
curang ia melemparkan pelor-pelor baja ke si Dewa Mata Keranjang Kakek ini
terkejut dan teringat cerita Fang Fang, membentak dan sudah menghalau senjata-
senjata gelap itu. Namun ketika dia melayang turun dan memaki lawan, yang sudah
lenyap entah ke mana mendadak Bi Giok dan lain-lain maju menerjang.
"Cing Bhok, kau terlalu lihai. Mampuslah!"
Kakek ini tersentak. Bi Giok dan sepuluh isterinya yang lain itu sudah
berkelebatan menyerangnya dari segala penjuru. Senjata mereka menjeletar atau
mendesing tajam, rambut atau cambuk meledak di sisi kepala disusul tusukan
pedang di tangan yang lain. Dan ketika semuanya maju menerjang dan seolah
mendapat aba-aba saja maka sebelas tubuh sudah berseliweran naik turun di
sekeliling kakek ini. "Des-dess!" Dewa Mata Keranjang menangkis. Sama seperti dulu iapun tiba-tiba sudah melompat-
lompat ke kiri kanan menghindari serangan yang gencar itu, menangkis dan
mengelak atau memukul senjata lawan. Apa boleh buat kakek ini mengeluarkan ilmu
meringankan tubuhnya dan akhirnya bergeraklah kakek itu mengikuti setiap
serangan sebelas isterinya. Dan ketika semakin cepat mereka menyerang semakin
cepat pula kakek ini berkelebatan di antara hujan senjata yang menyambar maka
bagai burung srikatan saja kakek ini sudah mendahului atau terbang bersama
senjata lawan, tak dapat disentuh!
"Ha-ha, hebat sekali kalian, Bi Giok. Tapi sayang gerakan kalian masih juga
kurang cepat!" "Keparat!" sebelas nenek itu melengking. "Jahanam bedebah kau, Cing Bhok. Jangan
tertawa karena kami semua akan membunuhmu!"
"Ha-ha, membunuh bagaimana. Serangan kalian terlampau lemah dan lihat bagaimana
aku menangkis.... plak!" rambut si nenek May-may terpental, menyabet muka nenek
itu sendiri dan nenek ini menjerit. May-may terpelanting dan terguling-guling.
Dan ketika Cing Bhok menangkis Kiam-ciang yang dilancarkan Bi Giok dan Bi Hwa di
mana tangan pedang mereka itu tertolak dan menangkis serangan yang lain maka
berturut-turut cambuk atau senjata lain di tangan delapan nenek terakhir
berpentalan sana-sini bagai disibak angin puyuh.
"Plak-plak-cringgg...!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Melihat sebelas isterinya terhuyung dan
jatuh bangun sambil memaki-maki justeru kakek ini terbahak merasa geli. Dewa
Mata Keranjang terkekeh-kekeh melihat sebelas isterinya itu berjumpalitan. Tapi
ketika mereka menerjang lagi dan dengan penuh kemarahan Bi Giok dan lain-lainnya
itu menyerang beringas, lebih dahsyat dan ganas daripada tadi maka kakek ini
berkelebat dan tiba-tiba mendorong mereka semua dengan dua tangan memukul ke
depan. "Minggir...!" Sebelas nenek itu terkejut. Serangkum angin dahsyat menahan mereka yang sedang
bergerak ke depan. Ajaib, tubuh mereka tiba-tiba tak dapat maju. Dan ketika
mereka terkejut dan berseru tertahan, melotot, tiba-tiba mereka terpental dan
roboh terguling-guling ke belakang, tanpa dapat dicegah lagi.
"Aih, keparat...!"
"Jahanam!" Sebelas nenek itu tunggang-langgang. Mereka memang tahu kehebatan kakek ini dan
justeru karena kehebatannya itulah mereka kagum, rasa kagum yang berubah menjadi
rasa cinta! Tapi karena si Dewa Mata Keranjang mempergunakan kekaguman itu untuk
menggaet yang lain, bercinta dan memadu kasih dengan madu-madu mereka sendiri
maka sebelas nenek itu menjadi marah dan kini kemarahan itu berobah menjadi
benci. Betapapun mereka benci si kakek lihai ini. Betapapun mereka tak rela
kalau Cing Bhok membagi-bagi cinta, seperti orang membagi-bagi pisang goreng
saja! Maka begitu mereka bersatu dan kini semua melupakan kebencian pribadi
untuk ditumpahkan kepada kakek ini maka begitu mereka tunggang-langgang dan
jatuh bangun mereka itu sudah melompat bangun lagi dan maju dengan marah. Namun
lawan mengulang kembali kehebatannya itu. Cing Bhok menahan dan selalu
mendorongkan kedua lengannya ke depan. Mereka tak dapat maju dan akibatnya tak
dapat menyerang, dibuat tonggak-tonggak hidup yang akhirnya terbanting atau
terpelanting roboh terguling-guling lagi. Dan ketika hal itu terjadi berulang-
ulang dan Bi Giok serta yang lain-lain marah tapi juga gentar, jerih, maka Bi
Giok berseru pada Duabelas Naga di belakang yang menonton dengan mata
terbelalak, seperti orang tersihir.
"Heii, kalian...!" nenek itu melengking gusar. "Untuk apa datang ke mari,
Twaliong" Memangnya hanya menonton dan menjadi saksi hidup atas kekalahan kami"
Keparat, majulah. Bantu kami atau kami nanti juga tak mau membantu kalian kalau
sudah dihajar tua bangka ini!"
Duabelas Naga yang terkejut, tersentak oleh lengkingan nenek itu tiba-tiba
sadar. Mereka segera berseru satu sama lain dan Twaliong, orang pertama dari
Duabelas Naga tiba-tiba memekik memberi aba-aba. Mereka tadi memang bengong dan
tersihir oleh kehebatan si Dewa Mata Keranjang. Mereka tadi seakan terpukau dan
bagai orang dibuat bengong, kagum. Tapi begitu Bi Giok memaki dan mereka harus
bergerak maka bergeraklah Duabelas Naga itu dengan aba-aba dan satu bentakan
yang sama. "Maju, terjang...!"
Dewa Mata Keranjang tak terkejut. Memang dia sudah menduga bahwa Capji Koai-
liong ini akan mengeroyok. Mereka datang memang untuk mencari dirinya, menuntut
balas. Kekalahan belasan tahun yang lalu amatlah menyakitkan dan mereka ingin
menebus itu. Tapi karena Dewa Mata Keranjang adalah manusia lihai dan bentakan
atau keroyokan itu tak membuatnya gentar maka kakek ini justeru terbahak-bahak
ketika Twaliong dan lain-lainnya itu maju menerjang.
"Ha-ha, marilah. Serang dan keroyok aku, Twaliong. Kalian memang tak akan sudah
kalau belum mengulang kejadian lama. Mari... mari... biar aku tunjukkan kepada
kalian bagaimana menggebuk pantat atau pinggang seperti biasanya anjing-anjing
kudisan minta dihajar!" si kakek meloncat tinggi, berjungkir balik dan tiba-tiba
berseru keras karena duapuluh tiga orang tiba-tiba menyerangnya dari delapan
penjuru. Bi Giok dan lain-lain yang tadi ditahan sekarang sudah maju menyerang
setelah Duabelas Naga ini membantu. Dewa Mata Keranjang tak dapat melepas
pukulannya karena dari belakang duabelas orang itu sudah membokong. Mereka
menghantam dan menusuk dengan duabelas ruyung yang sudah dicabut berbareng,
suaranya menderu dan dahsyat sekali menyambar si kakek, dan belakang. Dan karena
Dewa Mata Keranjang harus melompat tinggi dan berjungkir balik menghindari
duabelas serangan itu, yang dahsyat dan tak mengenal ampun maka si kakek sudah
melakukan itu dan dari atas ia melayang turun sambi' menggerakkan kedua
tangannya ke kiri kanan. "Des-dess!"
Duabelas orang itu terkejut. Mereka terdorong dan terhuyung oleh pukulan dari
atas ini, untung tidak sepenuhnya menyambar karena Bi Giok dan nenek-nenek yang
lain sudah perlu mendapat perhatian kakek ini. Dewa Mata Keranjang terpaksa
membagi tenaga karena saat itulah sebelas isterinya menerjang maju, melengking
dan menyerang kalap karena saat i-tulah mereka bisa menyerang lagi. Dorongan si
kakek sudah diarahkan ke Duabelas Naga dan mereka kini tak terhalang, menyambut
dan membentak kakek itu yang sedang melayang turun. Dan ketika Cing Bhok harus
menangkis dan sibuk oleh serangan sebelas isterinya ini maka Cap-ji Koai-liong
yang sudah dapat berdiri tegak dan berseru keras lalu menyerang dan menghantam
lagi. Dan begitu mereka bergerak dan memaksa lawan untuk meloncat tinggi
akhirnya ruyung di tangan sudah mengejar dan memburu ganas, disusul kemudian
oleh jeletaran rambut atau pukulan Bi Giok dan sepuluh nenek yang lain,
menghantam dan menyambar tanpa ampun dan sibuklah si Dewa Mata Keranjang
diserang dari delapan penjuru. Kakek itu mengeluarkan bentakan menggeledek dan
ketika lawan tertegun oleh bentakannya ini maka dia turun lagi dengan cepat.
Semua serangan berhenti sedetik ketika dia menggetarkan tempat itu dengan
bentakannya yang mengejutkan itu. Dan ketika lawan tersentak dan berhenti
sedetik maka Dewa Mata Keranjang membalas dan Twaliong serta Ji-liong yang a-da
di dekatnya tiba-tiba sudah mendapat pukulan balasan. "Des-plak!"
Dua orang itu terlempar. Twaliong kakak beradik berteriak karena tahu-tahu
dipukul. Mereka kalah cepat dan sedang tertegun, tak sempat mengelak. Tapi
begitu mereka menjerit dan yang lain sadar, bergerak, maka dua orang itu
bergulingan meloncat bangun dan kakek ini kagum karena lawan tak apa-apa, tanda
sinkang di tubuh mereka cukup kuat, satu kemajuan yang pantas dipuji.
"Ha-ha, bagus, Twaliong. Kalian cukup hebat!"
Dua dari Cap-ji Koai-liong itu mendelik. Mereka tentu saja marah dan gusar oleh
serangan si Dewa Mata Keranjang. Kalau mereka tak cukup kuat tentu mereka sudah
roboh tak dapat bangun lagi, pukulan itu dapat menghancurkan tulang-tulang yang
dihantam. Tapi ketika mereka membentak dan maju memutar ruyung maka Dewa Mata
Keranjang dikeroyok lagi dan Bi Giok serta yang lain-lain juga membentak dan
menyerang kakek itu. Dewa Mata Keranjang harus bergerak cepat. Ruyung dan pukulan lain sudah sambar-
menyambar. Duapuluh tiga orang itu sudah berkelebatan pula di sekeliling dirinya
dan bekerja keraslah kakek ini mengimbangi lawan. Apa boleh buat dia mengelak
atau menangkis serangan-serangan itu, pukulan bian-kunnya keluar dan lawan
terkejut setiap kakek itu menggerakkan kedua lengan. Angin pukulan lembut namun
kuat selalu menahan di sana, mereka tertolak atau paling sedikit pasti terhuyung
mundur. Keparat, kakek itu benar-benar lihai. Dan ketika mereka membentak dan Bi
Giok serta lain-lain memberi aba-aba untuk saling bertukar tempat, membingungkan
kakek itu, maka Dewa Mata Keranjang terdesak dan sedikit tetapi pasti ia mulai
kewalahan dan mundur-mundur. Maklumlah, dikeroyok duapulih tiga orang!
"Hi-hik, mampus kau, Cing Bhok. Menyerahlah, atau kau mati di tangan kami!
"Hm-hm!" Twaliong ganti mengejek. "Tadi kau tertawa-tawa menghantam kami, Dewa
Mata Keranjang. Tapi sekarang rupanya kami harus tertawa-tawa melihat kau akan
mampus!" "Ha-ha, jangan bermulut besar!" kakek ini masih bisa tertawa bergelak. "Siapa
bilang mau mampus, Twaliong" Kalau aku terdesak adalah wajar, kalian mengeroyok.
Tapi kalau mengharapkan aku roboh jangan harap. Kita bisa sama-sama mati di
sini, ha-ha!" "Keparat!" Ji-liong, Naga Kedua membentak. "Kau selamanya bermulut besar, Cing
Bhok. Maut sudah di depan matapun masih pura-pura tak tahu. Cobalah, bagaimana
kau ingin mati bersama kami... sing-siuuttt!" ruyung bergerak dari belakang ke
muka, menghantam tengkuk kakek itu sementara sebelas Naga yang lain bergerak
pula dari kiri dan kanan. Mereka menerjang dalam satu serangan berbareng yang
penuh tenaga, ayunan atau pukulan ruyung-ruyung yang lain juga kuat dan amat
dahsyat, menderu. Dan ketika Bi Giok dan sepuluh temannya yang lain juga melepas
pukulan dan hantaman maut, siap membunuh kakek ini maka Dewa Mata Keranjang
berseru keras dan tiba-tiba kakinya berjongkok dan duapuluh tiga serangan dari
depan dan belakang diterima dorongan lengannya itu. "Plak-plak!"
Duapuluh tiga orang itu berseru tertahan. Mereka, yang sudah menyatukan tenaga
dan menghantam berbareng, ternyata ditahan dan bertemu sinkang dahysat dari
kakek itu. Pukulan yang dingin namun lembut menyusup masuk, menyelinap dan
sekaligus mengejutkan mereka. Maklumlah, hawa pukulan itu membuat mereka
menggigil, gigi tiba-tiba berketrukan seperti diserang dinginnya es. Dan ketika
mereka terkejut dan berseru tertahan, melotot, maka serangan mereka otomatis
mengendor dan Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak di tengah, lepas dari
himpitan. "Ha-ha, lihat, Ji-liong. Apakah ini namanya kalau tidak kata-kataku benar!"
Ji-liong terbelalak. Memang harus ia akui bahwa lawannya itu hebat. Dewa Mata
Keranjang memang tangguh dan kini dengan sinkangnya yang luar biasa kakek itu
sanggup menahan, duapuluh tiga lawan satu! Namun ketika mereka mundur dan
terbelalak kagum, melotot, tiba-tiba lengkingan keji terdengar dari kiri dan si
Kuda Binal So Yok Bi mencelat menyerang kakek ini.
"Heh, masih ada aku di sini, Tan Cing Bhok. Lihat ini dan jaga pukulan!"
Sang kakek terkejut. Sesungguhnya dia telah mengerahkan banyak tenaga dalam
menahan serangan duapuluh tiga orang lawannya tadi. Gabungan tenaga mereka a-mat
dahsyat dan hanya orang sekuat ka-i kek ini dapat menahan pukulan. Lawan
tertahan tapi sebenarnya kakek inipun tergetar, hampir terhuyung namun
menancapkan kaki kuat-kuat untuk menunjukkan wibawa. Tak tahunya sekarang si
nenek membokong dan So Yok Bi tahu persis bahwa saat itu lawannya sedang
tergetar, menahan dan memperkuat diri dengan mengempos semangat. Maka begitu
diserang dan si nenek melepas pula jarum-jarum berbahayanya yang dapat meledak,
di saat seperti itu, maka tak ayal Dewa Mata Keranjang terkejut dan cepat dia
mengebutkan ujung lengan baju untuk menangkis sekaligus menolak balik pukulan
lawan. "Dar-dar!" Benar saja, jarum-jarum berhamburan.
Dewa Mata Keranjang mementalkan jarum-jarum itu tapi tidak semuanya runtuh, satu
di antaranya terpental ke bawah dan mengenai kakinya, tembus. Dan ketika kakek
itu terkejut karena lawan berjumpalitan di udara, terpental dan tertolak oleh
tangkisannya tadi maka Cap-ji Koai-liong juga berteriak ribut karena mereka
ganti harus mengelak atau menyampok runtuh jarum-jarum yang dipentalkan si Dewa
Mata Keranjang. "Keparat, jahanam terkutuk!" Sang kakek mendesis pincang. Kini
ia menggeram dan melihat si nenek jalang sudah berjungkir balik di luar kepungan
sana, turun. Dia tak dapat mengejar karena duapuluh tiga orang lawan berdiri di
situ, Twaliong dan sebelas isterinya itu. Dan ketika semua melihat bahwa
sebatang jarum menancap di kaki kakek ini, yang cepat dicabut dan dijentikkan ke
arah So Yok Bi maka tiba-tiba nenek itu menjerit karena jarumnya itu menancap di
pundak, cepat dan hampir tak terlihat. "Augh..!"
Dewa Mata Keranjang tertawa. Kakek ini cepat menelan sebutir pil ketika
dirasanya bahwa kaki yang tertusuk jarum kesemutan, pedih dan perih serta gatal.
Itulah akibat racun yang ada di batang jarum. Namun ketika dia geli melihat si
nenek terguling-guling dan berteriak-teriak, kena jarumnya sendiri maka Dewa
Mata Keranjang yang kesakitan dan juga mendesis pedih sudah diserang lagi oleh
Twaliong dan lain-lainnya yang sadar.
"Serang kakek ini, bunuh...!"
Dewa Mata Keranjang terpincang. Akhirnya dia diterjang dan diserang kembali.
Cap-ji Koai-liong sudah menggerakkan ruyung sementara Bi Giok dan lain-lainnya
itu juga membentak gusar. Kejadian sedetik sudah membuat muka mereka merah
karena betapapun lawan yang satu i-ni mampu menahan mereka. Kalau tidak
dicurangi So Yok Bi barangkali si kakek belum terluka. Ah, itu membuat mereka
malu, juga marah. Maka begitu Twaliong menerjang dan Cap-ji Koai-liong yang lain
memekik dan menggerakkan ruyung mereka maka sebelas nenek juga menerjang dan
ganas menghantam kakek ini.
"Des-dess...!" dan... si kakekpun mengeluh. Dewa Mata Keranjang terkejut karena
ketika dia menangkis tiba-tiba saja gatal di kakinya itu naik. Pengerahan tenaga
ke atas membuat bagian bawah lolos. Itulah akibat pengerahan slnkang yang harus
dibagi. Dan ketika lawan berteriak karena itulah tanda kemenangan maka
Dewi Ular 3 Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Bara Diatas Singgasana 24