Pencarian

Playboy Dari Nanking 11

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 11


selanjutnya kakek ini mendesis-desis ketika harus mengelak atau menangkis ke
sana ke mari, tak selincah dan secepat tadi karena luka di kaki mengganggu. Ah,
si Kuda Binal So Yok Bi sungguh mengganggu. Dan ketika nenek yang bersangkutan
sudah meloncat bangun dan mencabut jarumnya, menelan dan sekaligus menawarkan
racun dengan obat miliknya sendiri maka nenek itu sudah terkekeh dan menerjang
Dewa Mata Keranjang, ikut mengeroyok.
"Hi-hik, tahu rasa kau, kakek bangkotan. Sekarang siapa yang roboh dan
merobohkan!" Kakek ini memaki. Akhirnya Dewa Mata Keranjang mengakui kehebatan lawan dan dua
pukulan ruyung menggebuk punggungnya. Si kakek terpelanting tapi bangun lagi,
menerima gebukan-gebukan atau serangan namun Dewa Mata Keranjang mengerahkan
sinkang. Pengerahan tenaga sakti inilah yang menyelamatkannya dari luka-luka
dalam, kakek itu memang hebat. Dan ketika empat lima pukulan terpental diterima
si kakek tapi Dewa Mata Keranjang juga terhuyung-huyung dan terdesak hebat maka
Ok-tu-kwi, si Setan Pemabok muncul.
"Ha-ha!" iblis itu berseru. "Sekarang aku datang lagi. Dewa Mata Keranjang. Tak
takut atau jerih kalau sudah melihat kau begini!"
"Keparat!" kakek itu memaki. "Kau memang licik dan pengecut, Ok-tu-kwi. Tapi
majulah, satu di antara kalian pasti roboh mengiringi aku ke akherat!"
"Ha-ha, mari kita lihat!" dan Ok-tu-kwi yang meloncat sambil menyemburkan
araknya tiba-tiba menyerang dan secara licik bersembunyi di balik ruyung
duabelas orang Cap-ji-liong. Tentu saja Dewa Mata Keranjang menghindar dari
semprotan arak dan kakek itu menghantam. Tapi karena yang dihantam adalah
duabelas orang di depan karena Cap-ji-liong dijadikan tameng oleh si Pemabok
maka Cap-ji-liong itulah yang menangkis dan mereka terpelanting ketika si kakek
melepas pukulan Pek-in-kang, Awan Kilat.
Klap"?Duabelas orang itu memekik. Mereka terguling-guling sementara Ok-tu-kwi sendiri
menghindar, cepat mengelak dan saat itu Bi Giok dan lain-lain menghantam. Dewa
Mata Keranjang sedang menghadapi Cap-ji-liong ketika sebelas nenek itu
menyerang. Maka ketika pukulan mendarat dan si kakek mengeluh maka Dewa Mata
Keranjang terhuyung dan hampir terjungkal ke depan.
"Dess!" Sebelas nenek itu girang. Mereka melihat si kakek terhuyung dan posisinya buruk,
dikejar dan dihantam lagi dan mencelatlah Dewa Mata Keranjang oleh pukulan
beruntun. Tapi ketika kakek itu dapat bangun lagi dan tertawa serak, tak apa-
apa, maka sebelas nenek itu menjerit dan Cap-ji-liong yang sudah membentak lagi
lalu maju menubruk dan mengeroyok lawan.
"Heh-heh," Ok-tu-kwi tertawa. "Nasib sial sedang menimpamu, Dewa Mata Keranjang.
Tak mati dibunuh Cap-ji-liong ya tentu mampus dibunuh isteri sendiri. Ha-ha,
menyedihkan, tapi apa boleh buat!"
Dewa Mata Keranjang tak menjawab. Kakek ini harus mengelak sana-sini lagi karena
beberapa pukulan mengenai tubuhnya. Tapi karena dia mengerahkan sinkang dan
tenaga sakti di tubuhnya inilah yang melindungi dirinya maka kakek itu kebal
meskipun harus terhuyung sana-sini, bergerak dan berlompatan dan Pek-in-kang pun
menyambar lagi dari tangannya, lm-bian-kun dan Pek-in-kang silih berganti
menyambar ke depan, lima dari Cap-ji-liong akhirnya terbanting dan mengerang di
sana, kesakitan. Dan ketika lawan tinggal sembilanbelas lagi namun kakek ini
harus berjuang keras, merobohkan lagi tiga dari sebelas isterinya maka
semprotan, arak menyambar mukanya dan kakek itu terkejut karena percikan api
mengiringi semburan arak itu.
"Prat!" Dewa Mata Keranjang tergetar. Dia mengelak namun baju pundaknya terkena, hangus
dan bolong-bolong oleh semburan arak yang tiba-tiba seperti bola-bola baja itu,
keras dan menyengat. Dan ketika dia terhuyung dan terbelalak marah, melihat
lawan terbahak dan menggelogok araknya lagi, siap menyembur, maka kakek itu
dibentak dari belakang dan Bi Giok serta tujuh yang lain menghantam dibantu pula
oleh si Kuda Binal So Yok Bi.
"Des-dess!" Kakek ini tak dapat mengelak. Apa boleh buat dia menerima semua pukulan-pukulan
itu, mengerahkan sinkangnya. Tapi karena dia baru saja diserang Ok-tu-kwi dan si
Pemabok yang licik itu berkelebat di belakangnya, melepas sebuah serangan lagi
maka Dewa Mata Keranjang terpeleset dan roboh di tanah.
"Ha-ha, serang lagi. Bunuh dia!"
Kakek ini membentak. Marah oleh kelicikan Ok-tu-kwi suami isteri tiba-tiba kakek
itu bergulingan meloncat bangun. Saat itu dia dikejar delapan isterinya dan
rambut serta Tangan Pedang bercuitan nyaring. Dewa Mata Keranjang tak perduli
dan yang diperhatikan adalah serangan Ok-tu-kwi, juga So Yok Bi karena nenek
yang licik itu menyelinap di balik serangan Bi Giok dan lain-lain. Dan karena
saat itu tujuh dari Duabelas Naga sedang mundur menolong lima saudaranya maka
saat itulah kakek ini mengeluarkan bentakan keras dan tongkat di balik pinggang
tiba-tiba dikeluarkan dan menyambut serangan atau pukulan suami isteri itu.
"Haii...!" "Eiiittt...!" Ok-tu-kwi dan isterinya tak sempat berkelit. Mereka tak menyangka bahwa si Dewa
Mata Keranjang menyembunyikan senjata. Tongkat itu dicabut dan tiba-tiba
menyambarlah sinar hitam, hebatnya lagi diiringi senyum kakek ini yang luar
biasa, seolah Dewa Mata Keranjang tersenyum bagai pengantin! Dan ketika Ok-tu-
kwi tertegun sementara isterinya terpesona, melihat betapa senyum itu amat
memikat dan Dewa Mata Keranjang bagai pemuda duapuluhan tahun yang menyambut
kekasih, hangat dan penuh keceriaan tiba-tiba saja dua orang ini yang tak tahu
bahwa si kakek sedang mengeluarkan Silat Naga Merayu Dewi, silat tongkat yang
kini dimainkan itu maka tiba-tiba pukulan Ok-tu-kwi terpental sementara So Yok
Bi si Kuda Binal terlempar dan memekik ketika tongkat menghantam lehernya.
"Augh.... des-dess!"
Nenek itu mencelat terbanting roboh. So Yok Bi sadar namun terlambat, suaminya
juga terlempar dan terbanting di sana. Dua orang itu tadi sedang terkesima oleh
senyum si Dewa Mata Keranjang. Begitu hebat, begitu penuh pesona. Dan karena
senyum itu seolah senyum sahabat atau kekasih yang menyambut begitu manis,
menggetarkan, maka dua orang ini menjadi korban dan menjerit muntah darah.
Bulibuli di tangan Ok-tu-kwi hancur dan iblis Pemabok itu mengeluh. Dia sadar
setelah terlambat seperti isterinya, maklum bahwa sebuah kekuatan semacam sihir
sedang bekerja di senyum luar biasa itu. Dan ketika dua orang itu menjadi korban
dan terguling-guling di sana, mengeluh; maka delapan isteri si Dewa Mata
Keranjang ini juga tersedot dan terpengaruh oleh senyum si kakek yang luar
biasa. Mereka sudah menggerakkan senjata dan siap memukul. Tapi begitu senyum
berkelebat dan si kakek tiba-tiba seolah berobah menjadi seorang pemuda berumur
duapuluhan, gagah dan tampan, mengingatkan mereka akan masa lalu yang penuh madu
dan kenangan manis tiba-tiba saja semua serangan yang diluncurkan berhenti di
tengah jalan. Ya, delapan nenek-nenek itu ikut terpesona oleh senyum yang
mengembang di mulut si Dewa Mata Keranjang. Mereka tak tahu bahwa itulah gaya
atau silat tongkat Naga Merayu Dewi. Ilmu silat ini harus .dilancarkan dengan
senyum. Dan karena itu adalah ciptaan si kakek sendiri dan tentu saja penga ruh
atau hebatnya tak ulah-ulah maka senyum di mulut si kakek menjadi begitu hidup
dan mempesona, membetot atau mempengaruhi delapan isterinya yang marah-marah dan
ajaib sekali serangan yang sudah diturunkan mendadak berhenti. Mereka semua
terpikat dan terpesona oleh senyum itu. Bukan main, begitu menggetarkan, gagah
namun amat menawan. Dan ketika semua bengong dan kagum memandang si kakek, yang
tiba-tiba tertawa maka tongkatpun berputar dan.... des-des-des, delapan orang itu
terpelanting dan roboh dihajar tongkat!
"Ha-ha, maaf, Bi Giok. Sekarang aku terpaksa mencabut senjata!"
Delapan nenek itu terguling-guling. Mereka terkejut tapi tentu saja marah
setelah sadar. Ah, mereka tertipu! Dan ketika mereka meloncat bangun dan tujuh
dari Duabelas Naga juga berteriak dan maju menyerang lagi maka Dewa Mata
Keranjang tertawa-tawa menyambut mereka, dengan tongkat di tangan. Dan begitu
kakek itu bergerak dan mainkan tongkat dengan amat indah dan menawan, senyum tak
pernah lepas dari mulutnya maka tujuh dari Duabelas Naga itu-pun bengong karena
berkali-kali ruyung mereka luput menyambar. Bukan oleh gerakan si kakek
melainkan oleh senyumnya. Dewa Mata Keranjang mengegos sana-sini dan setiap dia
bergerak maka senyum itupun ikut. Akibatnya ruyung di tangan juga ikut terbawa
ke sana-sini dan ajaib sekali pengaruh senyum itu begitu luar biasa. Mereka yang
semula marah-marah mendadak seakan diredam oleh senyum si kakek. Senyum itu amat
lembut dan halus menawan, penuh persahabatan. Dan karena Dewa Mata Keranjang
melakukan itu sepenuh perasaan, tanpa benci atau marah maka lawanpun yang semula
marah-marah mendadak ikut terpengaruh dan aneh bin ajaib kemarahan pun padam.
Tenaga mengendor drastis namun begitu kendor mendadak tongkat bergerak. Celaka!
Dan ketika semua terkejut karena tahu-tahu tongkat berseliweran naik turun
sekonyong-konyong mereka dipukul dan robohlah tujuh dari Duabelas Naga itu.
"Ha-ha, maaf, sobat-sobat. Tapi sudah waktunya kalian pergi. Kembalilah.... buk-
buk-buk!" tongkat bergerak tujuh kali, memukul atau menggebuk dan terlemparlah
tujuh dari Duabelas Naga itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh namun tak
satupun terluka. Pertama karena mereka mengerahkan sinkang untuk bertahan dan
kedua karena Dewa Mata Keranjang tak bermaksud menurunkan tangan keras, seperti
halnya Ok-tu-kwi dan isterinya tadi, yang muntah darah. Dan ketika tujuh orang
itu terguling-guling dan Bi Giok serta lain-lain bengong, tak jadi menyerang
maka berkelebatlah seorang pemuda dan Fang Fang muncul membela gurunya.
"Suhu, tikus-tikus busuk ini mengganggumu" Ah, biarlah kubunuh mereka, agar tahu
adat!" namun ketika sang suhu berteriak mencegah dan Fang Fang menahan tangannya
maka Dewa Mata Keranjang tertawa mengulapkan lengan.
"Jangan bunuh, jangan bersikap keras. Mereka akan pergi dan lihatlah betapa
mereka menyerah!" Fang Fang terbelalak. Duabelas Naga itu tampak gentar dan mukapun pucat. Mereka
sudah melihat kelihaian si Dewa Mata Keranjang dan sebagai orang-orang yang tahu
diri mereka maklum bahwa gebukan atau pukulan tongkat si kakek tadi tidaklah
kejam. Mereka melihat Ok-tu-kwi dan Si Kuda Binal So Yok Bi yang duduk bersila
di sana, pucat. Tubuh menggigil dan tampak betapa mereka luka dalam. Itulah
perbedaan si Pemabok dengan mereka. Dan karena sadar bahwa Dewa Mata Keranjang
mengampuni mereka, tak bersikap kejam, maka Duabelas Naga itu melotot namun
mereka bangkit terhuyung dan tiba-tiba Twaliong meluncur turun gunung mengajak
sebelas saudaranya pergi.
"Dewa Mata Keranjang, kau memang benar. Kami mengaku kalah. Tapi lain kali kami
akan datang lagi dan menebus kekalahan!"
"Ha-ha, boleh-boleh saja. Tapi sekali tongkatku kucabut hati-hati kalian menjaga
diri, Twaliong. Betapapun senjataku ini tak mengenal mata!"
"Dan kau siluman tengik!" nenek Bi Giok tiba-tiba melengking. "Kau menipu dan
memperdayai kami, Cing Bhok. Ilmu silatmu itu penuh daya tipu dan busuk!"
"Ha-ha, tidak," Dewa Mata Keranjang terkekeh. "Ilmu silatku itu penuh daya
sayang dan cinta kasih, Bi Giok. Lihat saja berapa kali senyumku mengusap
hatimu. Kauakui atau tidak senyumku adalah senyum cinta kasih. Dan kalian hanya
kurobohkan secara ringan saja, karena cintaku kepada kalian."
"Keparat, kau menipu!" dan Bi Giok yang masih penasaran dan melengking lagi
tiba-tiba menyerang dan diikuti tujuh yang lain, memaki dan membentak karena
sesungguhnya mereka penasaran oleh kekalahan yang telak ini. Si Dewa Mata
Keranjang mengeluarkan senyumnya yang luar biasa itu dan tahu-tahu kemarahan
merekapun dipaksa padam. Ah, itu tak boleh terjadi. Itu siluman! Tapi ketika
Dewa Mata Keranjang bergerak mengayun tongkat dan senjata itu melenggang-lenggok
seperti penari, tertawa dan mengembangkan senyumnya yang luar biasa
Itu maka delapan nenek-nenek ini mengeluh karena pukulan-pukulan atau serangan
mereka itu kerap melenceng terbawa senyum si kakek yang bergoyang ke sana-sini.
Mereka seakan digoyang-goyang pula dan akibatnya kacaulah permainan silat, hati
serasa diaduk-aduk dan si kakek sering menahan atau membelai lengan mereka yang
memukul, penuh sayang dan cinta kasih! Dan karena senyum itu kian mengembang dan
Bi Giok serta tujuh temannya tak dapat marah lagi akhirnya mereka terisak-isak
dan sambaran tongkat yang bergerak delapan kali akhirnya merobohkan mereka yang
jatuh terduduk! "Nah," kakek itu mengakhiri. "Senyum tak perlu dibalas permusuhan, Bi Giok.
Berhentilah, dan kita tak perlu bermusuhan!"
Delapan nenek terjengkang. Mereka menangis namun Dewa Mata Keranjang mengusap
pundak, satu di antaranya bahkan dikecup keningnya, lembut. Kecupan itu disusul
kecupan-kecupan lain di mana tiba-tiba semua nenek-nenek itu mengguguk. Mereka
teringat kisah kasih belasan tahun yang silam dan bangkitlah semangat mencinta
seperti dulu-dulu. Mereka menubruk dan menciumi kakek itu. Ah, tak bermusuhan
lagi. Menyambut dan meminta si kakek memaafkan mereka. Dan ketika Fang Fang
bengong melihat kejadian ini, perobahan yang luar biasa, mendadak berkesiur
empat bola hitam dan terkejutlah Dewa Mata Keranjang di tengah-tengah pelukan
isteri-isterinya itu. "Awas!" kakek ini bergerak cepat. Telinganya yang tajam serta daya refleksinya
yang luar biasa membuat Dewa Mata Keranjang mendorong delapan isterinya. Mereka
terjengkang dan menjerit saling susul, terkejut. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang
tak perduli dan sudah membalik ke belakang, mendorong empat bola hitam yang
diluncurkan Ok-tu-kwi dan isterinya maka meledaklah granat tangan atau pelor-
pelor berbahaya yang menghamburkan ratusan jarum-jarum kecil.
"Dar-dar-dar!" Fang Fang terkejut. Pemuda ini kalah cepat dibanding gurunya dan melihat gurunya
menghantam atau mengebut bola-bola hitam itu. Ledakan empat kali terdengar
berturut-turut dan kakek itu tampak berseru tertahan. Asap hitam membubung
tinggi dan orang tak tahu apa yang terjadi, Dewa Mata Keranjang terbungkus di
dalamnya. Tapi ketika asap membuyar karena dikebut berulang-ulang, si kakek
terbatuk-batuk maka tampaklah seluruh bajunya berlubang dan ratusan jarum
menancap di situ tapi tak satupun melukai kulit.
"Suhu...!" Fang Fang berkelebat ke depan. Pemuda ini sadar dan kaget tapi cepat merasa lega
melihat gurunya tak apa-apa, sejenak bergoyang tapi tertawa b
ergelak. Dan ketika delapan isterinya terbelalak kaget dan marah memandang Ok-
tu-kwi, yang tiba-tiba melompat dan berlari kencang mendadak So Yok Bi yang juga
memutar tubuh dan mengikuti suaminya tiba-tiba dikejar dan diserang Bi Giok.
"Yok Bi, kau manusia keparat!"
Si nenek terkejut. Lawan menyambarnya bagai elang dan gin-ciam atau jarum perak
mendesir menyertai pukulan. Bi Giok memang marah dan menyerang sambil melepas
am-gi (senjata rahasia). Dan ketika lawan menangkis namun jarum-ja-rumnya
meluncur, menyambar nenek itu maka Yok Bi menjerit dan terjengkang roboh. Nenek
ini bergulingan dan empat jarum menancap di dadanya. Namun ketika Bi Giok
mengejar dan tujuh temannya yang lain juga berkelebat dan menyerang nenek ini,
yang tiba-tiba dimusuhi, mendadak Ok-tu-kwi kembali berjungkir balik dan
menolong isterinya itu, menyemprotkan arak dari mulutnya.
"Hei, kita kawan. Lepaskan isteriku... prot-prot!" hujan arak menyambar delapan
nenek-nenek itu, menahan dan memak , sa Bi Giok mundur. Dan ketika si Setan Judi
atau si Pemabok itu menarik isterinya, yang bergulingan meloncat bangun maka dua
orang itu sudah berlari kencang dan turun gunung, dikejar tapi melepas bola-bola
hitam dan Bi Giok tertahan, lagi-lagi mengumpat caci. Dan ketika apa boleh buat
mereka terpaksa melepaskan musuh dan Ok-tu-kwi lenyap di sana maka mereka
kembali dan.... melihat Dewa Mata Keranjang roboh.
"Cing Bhok..!" "Suhu!" Bukan hanya Bi Giok dan kawan-kawannya saja yang kaget. Fang Fang juga terkejut
karena gurunya itu tiba-tiba roboh, mengeluh, padahal tadi tak apa-apa dan
kelihatan segar-bugar. Tapi ketika kakek itu menunjuk kakinya dan Fang Fang
tertegun, melihat satu luka di situ maka sadarlah Bi Giok dan nenek-nenek yang
lain karena itulah luka pertama yang memang diderita si Dewa Mata Keranjang.
Tadi sebelum diserang empat bola hitam memang kakek ini sudah tertusuk sebatang
jarum beracun, milik si Kuda Binal. Dan karena pertandingan terus berjalan
sementara kakek itu tak sempat merawat lukanya, meskipun sudah ditahan oleh o-
bat yang ditelan maka racun merayap naik dan sedikit tetapi pasti mulai
mengganggu kakek ini. Bi Giok dan lain-lain sadar sementara Fang Fang baru tahu
itu. Tapi begitu semua berlutut dan Fang Fang menolong gurunya, menyedot dan
menghisap luka tiba-tiba Mien Nio berkelebat di situ dan mendorong Fang Fang.
"Biarkan aku yang menghisap racun di luka itu!"
Fang Fang tertegun. Ibu gurunya termuda ini sudah menghisap dan terisak menyedot
luka. Darah hitam bercampur kuning dimuntahkan berkali-kali, baunya amis. Dan
ketika yang lain tertegun dan Bi Giok serta teman-temannya saling pandang, merah
mukanya, tiba-tiba May-may melengking dan menendang Mien Nio, yang sudah
memuntahkan darah merah, tanda racun sudah disedot habis.
"Keparat, kau pergilah!"
Mien Nio terlempar. Wanita ini mengeluh dan terbanting di sana. Dia tak
mempersiapkan diri dan segala perhatian ditujukan kepada kaki itu, tak berjaga.
Tapi ketika wanita itu terguling-guling dan hampir tak dapat bangun maka Dewa
Mata Keranjang yang bangkit berdiri dan sembuh kakinya tiba-tiba berseru dan
berkelebat ke arah Mien Nio.
"Jangan menyerang, tahan!" dan ketika kakek itu memeluk dan menolong wanita ini,
membangunkannya, maka Mien Nio menangis dan tersedu menyusupkan kepala di dada


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang kakek. "Biarlah, mereka berhak. Aku tak apa-apa!" namun si kakek yang tentu saja marah
dan memandang May-may lalu bangkit berdiri menegur nenek itu, senyumnya lenyap.
"May-may, kau terlalu. Kenapa menyerang di saat dia menolongku" Jangan mengumbar
kebencian, atau aku terpaksa menghajarmu!"
"Apa?" nenek ini mendelik. "Kau membela yang muda melupakan yang tua" Keparat,
aku akan membunuhnya biarpun kau melindungi, Cing Bhok. Dan kami semua tentu
akan turun tangan menghadapimu!"
"Benar," Lin Lin, nenek yang tiba-tiba cemburu juga bangkit bicara. "Aku dan
semua yang ada di sini akan membunuhnya, Cing Bhok. Berikan dia atau kami akan
menyerangmu!" "Hm-hm!" kakek itu menggeram. "Apa-apaan ini, Lin Lin" Kalian tak mau tahu bahwa
aku selamanya begitu" Tak perlu cemburu, kita sudah sama-sama tua!"
"Tapi kami tak mau bersaing dengan yang muda ini. Kau pasti melupakan kami!"
"Benar!" Bhi Cu nyeletuk bicara. "Dapat yang muda pasti melupakan yang tua, Cing
Bhok. Kami tak mau dipermainkan begitu dan serahkan dia atau kami membunuhmu!"
"Hm," kakek ini tertawa. "Membunuhku" Ha-ha, kau menggertak sambal, Bhi Cu.
Dibantu Cap-ji-liong dan Ok-tu-kwi sekalipun kalian tak dapat mengalahkan aku,
apalagi sekarang. Baiklah, siapa mengganggunya dia terpaksa akan berhadapan
dengan aku. Kalian baik-baik berdekatan dengan aku atau terpaksa aku menyakiti
kalian!" dan belum kakek itu habis bicara mendadak Bhi Cu melengking, marah
menerjang dengan pukulan ke depan dan May-may serta yang lain-lain juga
bergerak. Mereka jadi marah dan cemburu setelah Mien Nio hadir di situ. Ah,
isteri muda memang selalu merupakan ancaman bagi isteri tua. Jangan-jangan yang
muda itu akan "merampok" segala-galanya, ya harta suami dan juga cinta kasihnya.
Dan karena kemarahan begini tak akan terbendung sebelum diselesaikan dengan a-du
kepandaian maka merekapun bergerak dan menyerang Mien Nio. Namun karena Dewa
Mata Keranjang melindungi dan wanita itu berada di belakangnya maka prak tis
kakek inilah yang dihantam pukulan.
"Des-des-dess!"
Dewa Mata Keranjang menerima semua pukulan-pukulan itu. Dengan tenang dan tentu
saja penuh maklum dia menyam but dan menangkis. Dan karena kakek ini sudah
berulang-ulang bertemu isterinya dan keroyokan atau sebangsanya itu sudah
kenyang dialami berkali-kali maka kakek itu tahu harus melakukan apa dan pukulan
Im-bian-kunnya menyambut. Dan akibatnya isteri-isterinya itu berseru tertahan.
Pukulan dingin yang amat lembut namun kuat ini menerima pukulan-pukulan mereka,
sejenak menahan namun akhirnya menghisap. Dan karena selamanya mereka kalah dan
baik sinkang maupun kepandaian masih selalu di bawah kakek itu maka Bi Giok dan
lain-lain menjerit ketika tubuh mereka tersedot ke depan dan tanpa dapat dicegah
lagi mereka semua lekat dan menjadi satu dengan tangan si kakek.
"Aiihhh...!" Delapan nenek-nenek itu pucat. Mereka dikendalikan si kakek dan kalau Dewa Mata
Keranjang mau membunuh tentu kepala mereka itu dipukul, bakal hancur dan
binasalah mereka. Tapi karena Dewa Mata Keranjang bukan kakek kejam dan itupun
adalah isteri-isterinya sendiri maka kakek itu tertawa dan dilepaslah tenaga
sedot yang membuat nenek-nenek itu saling tumbuk sementara si kakek sendiri
sudah mencelat ke atas dan berjungkir balik membawa Mien Nio keluar dari
kepungan. "Duk-duk-duk!" May-may dan lain-lain kesakitan. Mereka saling tumbuk dan kepalapun benjut!
Mereka menangis dan memaki-maki. Dan ketika kakek itu tertawa sementara mereka
memegangi kepala sambil terhuyung bangun berdiri, gusar, maka Bi Giok mengeluh
kecewa dan meloncat pergi, lari turun gunung.
"Cici, kita masih tak dapat mengalahkan lawan kita ini. Biarlah lain kali kita
datang dengan membawa kekuatan yang lebih besar!"
"Benar, Dewa Mata Keranjang terlalu kuat, Giok-moi (adik Giok). Biarlah lain
kali kita datang lagi dan kali ini kita harus tahu diri!" Bi Hwa, sang kakak,
juga melengking kecewa. Dua nenek itu mendahului yang lain dan menangis turun
gunung. Mereka gagal. Dan ketika Bi Giok serta yang lain-lain juga menyadari dan
tak mau di puncak, malu, akhirnya mereka berkelebat dan turun gunung juga,
melarikan diri. "Baiklah, aku tak mau berkumpul dengan isteri barumu itu, Cing Bhok. Betapapun
isteri tua tak dapat akur dengan isteri muda!"
"Dan kami akan mencarimu lagi!" Bhi Cu melengking kesal, marah. "Hari ini a-ku
kalah, Cing Bhok. Tapi hari yang lain masih banyak bagiku!"
Dewa Mata Keranjang menarik napas dalam-dalam. Dia lega bahwa semua iste-ri-
isterinya itu akhirnya pergi. Betapapun mereka bakal merepotkan kalau terus
memusuhi Mien Nio, padahal isterinya itu tak pernah membalas dan tahu diri. Dan
ketika semua meloncat dan lari turun gunung, sambil menangis, maka kakek ini
mengurut-urut dagunya sementara Fang Fang berdiri bengong memandang semuanya
itu, kejadian yang mirip dirinya, dikejar dan dimusuhi kekasih-kekasih yang
demikian banyak! "He!" sang guru tiba-tiba menegur. "Apa yang kaurenungkan, Fang Fang" Kau tidak
melaksanakan perintah gurumu dengan benar?"
"Maaf," Fang Fang bingung. "Perintah yang mana, suhu" Teecu sudah melakukannya
dengan baik!" "Hm, subomu ini datang, dan dia lepas dari penjagaanmu. Apakah ini sudah
melakukan perintah dengan baik?"
Fang Fang terkejut. "Itu bukan salah teecu," pemuda ini membela diri. "Teecu
telah mengurungnya di belakang gunung, tapi rupanya subo ini dapat membebaskan
totokan suhu dan lolos ke mari!"
"Hm, begitukah?"
"Benar," Mien Nio, wanita itu terisak. "Jangan salahkan muridmu, kanda. Akulah
yang lolos dan dapat membebaskan totokan. Aku merasa tak tenteram mendengar kau
didatangi musuh-musuh tangguh. Aku ingin melihat dan kalau perlu i-kut bersamamu
mengusir mereka!" "Hm-hm," kakek ini tersenyum, akhirnya memeluk dan tertawa mencium isteri
mudanya itu. "Kau terlalu mengkhawatirkan diriku, Mien Nio. Padahal justeru
akulah yang seharusnya mengkhawatirkan dirimu. Lihat tadi, kau diserang May-may!
"Biarlah, mereka isteri tuamu. Boleh lakukan apa saja kepadaku karena aku dapat
memaklumi kemarahan mereka!"
"Bodoh! Kenapa harus begitu" Eh, sudahlah. Lain kali kau tak boleh nyelonong
lagi, Mien Nio. Turut kataku dan jangan membuat bahaya!" lalu menoleh pada
muridnya yang mendelong terlongong longong, melihat gurunya begitu mesra memeluk
dan memperhatikan isteri mudanya itu kakek ini mengebutkan lengan baju ke muka
Fang Fang. "He, kau!" serunya. "Apalagi yang kau lihat" Kau iri melihat
keberuntungan gurumu?"
"Maaf," Fang Fang menyeringai, terkejut. "Aku tak iri melihat semuanya ini,
suhu. Justeru berpikir apakah kau dapat tenang dan hidup bahagia kalau begini.
Sudahlah, teecu girang melihat kau tak apa-apa dan sekarang teecu terpaksa turun
gunung." "Apa?" "Teecu akan mencari dan menangkap Ok-tu-kwi suami isteri itu, suhu. Sayang bahwa
tadi mereka lolos." "Ah, benar!" si kakek menepuk dahi. "Celaka sekali mereka dibiarkan lolos, Fang
Fang. Aku lupa dan tak ingat urusan anakmu itu. Baiklah, kita kejar dan tangkap
mereka!" "Nanti dulu!" Mien Nio mencekal lengan suaminya. "Aku ikut, kanda. Aku tak mau
sendirian!" "Wah!" si kakek terkejut, sadar. "Kau mau ikut" Mencari dan mendekati bahaya"
Tidak, jangan, Mien Nio. Kau di sini saja dan tunggu aku kembali. Aku dan Fang
Fang akan menangkap mereka dan kau tinggallah tenang di sini!"
"Tidak, aku tak mau di sini. Kalau kau pergi aku ikut. Atau, aku pergi sendiri
dan juga dapat mencari mereka, menangkapnya!"
"Ha-ha, kau mau melawan Ok-tu-kwi" Eh, kepandaianmu kalah jauh, Mien Nio. Kau
harus banyak belajar dan bukan tandingan mereka. Sudahlah, kalau kau mau ikut
oKu tak dapat mencegah. Daripada nekat menempuh bahaya sendiri lebih baik Kau
bersamaku saja. He..!" kakek itu menoleh. "Mari berangkat, Fang Fang. Kejar dan
tangkap dua siluman itu mumpung belum jauh!"
Fang Fang tertegun. Sang guru sudah berkelebat dan lenyap di depannya, tahu-tahu
sudah meluncur di bawah gunung dan dia menarik napas. Dan karena gurunya sudah
bicara dan ia harus turut maka Fang Fang pun menggerakkan kakinya dan berkelebat
turun gunung. Tapi jengah dan malu melihat gurunya bergandengan mesra sementara
dia seakan penonton yang ada di belakang maka Fang Fang minta agar dia
memisahkan diri saja. "Teecu rasa kita membagi tugas saja. Suhu ke barat teecu ke timur. Tentu musuh
gampang tertangkap kalau kita mencari dari dua jurusan."
"Wah, kau mau ke timur" Baiklah, boleh, Fang Fang. Tapi hati-hati. Mereka a-mat
licik dan kau tahu sendiri betapa a-ku hampir menjadi korban!" dan ketika Fang
Fang bergerak dan memisahkan dirinya maka kakek itu memandang Mien Nio dan
bertanya, "Kau tahu apa yang a-da di pikiran muridku itu?"
"Tidak, mana aku tahu?"
"Ha-ha, dia malu melihat kita, Mien Nio, jengah. Fang Fang tersipu melihat kita
bermesraan dan menjadi penonton di belakang!"
"Ih, jadi begitu?"
"Ya." "Ah, sialan. Kalau begitu kau yang tak tahu malu. Sudah kubilang agar tidak
memelukku di depan muridmu itu dan mencium segala! Ih, kau terlalu, kanda. S.v"%
%v!cs aYu tak sadar!"
"Ha-ha" kakek ini mengelak cubitan kekasihnya. "Fang Fang sudah terbiasa
menonton aku, Mien Nio. Tapi dia pemuda yang baik. Sudahlah, dia juga tahu
rasanya orang bermesraan dan dia paling-paling kepingin. Dengan pergi memisahkan
diri tentu dia akan mencari pasangan barunya, karena itulah obat satu-satunya
untuk penghilang duka!"
"Cis, mencari kekasih di saat anaknya hilang" Sungguh tak tahu malu, tak
pantas!" "Eitt, jangan marah. Itu baru dugaanku saja. Tapi Fang Fang mungkin punya
pikiran lain. Betapapun dia mencintai puterinya itu dan mari kita teruskan
perjalanan, ha-ha!" dan sang kakek yang tidak menghiraukan isterinya yang
cemberut lalu mengajak Mien Nio ke barat. Dan begitu bergerak dan mengerahkan
ginkangnya maka melesatlah kakek itu secepat siluman terbang.
Pagi yang cerah. Seorang pemuda melangkah tegap menuju keluar kota raja. Tiga
pengawal yang melihat keberadaannya tiba-tiba semua membungkukkan tubuh penuh
hormat, menyapa dengan punggung dilipat dalam-dalam dan semua mengucapkan
selamat pagi. Itulah Han-kong-cu, putera Han-ciangkun (panglima Han). Dan ketika
si pemuda mengangguk dan tersenyum tipis, agak angkuh, maka si pemuda sudah
disambut sebuah kereta dengan empat ekor kuda berbulu putih, tegap dan gagah-
gagah. "Selamat pagi, Han-kongcu. Selamat bersenang-senang. Agaknya kongcu ingin
menghibur diri di musim semi yang indah begini!"
"Hm, tak usah tahu urusan orang. Tutup pintu gerbang dan berjagalah seperti
biasa, pengawal. Katakan kalau aku pergi kalau ditanya ayah!"
"Baik, kongcu. Selamat berkereta!" dan ketika sais membuka pintu kereta dan
mempersilahkan si pemuda masuk, duduk dan sudah berdua dengan seorang wanita
cantik yang ada di dalam maka tiga pengawal tersenyum simpul dan saling pandang
dengan isyarat mata, penuh arti.
"Aih, nikmat!" pengawal pertama berbisik. "Duduk dan berdua dengan wanita
sekereta sungguh membuat hangatnya badan, A-siu. Dan aku kepingin merasakan
seperti yang dirasakan Han-kongcu!"
"Hm, jaga mulutmu," pengawal kedua menggamit. "Jangan keras-keras bicara, A-lok.
Han-kongcu dapat mendengar dan celaka kau nanti kalau sampai diketahui!"
"Ah, aku tak mengatai yang tidak-tidak, justeru mensyukuri keberuntungan Han-
kongcu itu. Sudah tampan dan gagah masih juga mendapat kekasih yang cantik.
Bukankah itu tadi Tiong-siocia (nona Tiong) puteri Tiong-taijin?"
"Benar, tapi sudahlah. Pura-puralah tidak tahu dan lengoskan mata kalau tidak
ingin dipelototi Han-kongcu!" dua pengawal memberi tanda, menjawil dan menyikut
temannya yang bicara seolah iri karena tiba-tiba tirai kereta disingkap. Kepala
Han-kongcu tampak sedikit dan pemuda itu memandang si pengawal. A-lok, yang
dipandang tiba-tiba melengos, terkejut. Tapi ketika Han-kongcu tertawa dan
melempar beberapa keping emas, menyuruh kereta berangkat maka tiga pengawal
tertegun mendengar pemuda itu berseru,
"A-lok, tak usah takut-takut. Kau benar. Bicara jujur adalah lebih baik daripada
tidak. Nih, untuk kalian dan jangan berebut. Kalau bukan ayah yang bertanya
kepada kalian jangan sebutkan ke mana aku pergi.... cring-cringg!"
A-lok dan dua temannya terbelalak. Mereka tak menyangka bahwa pagi-pagi sudah
hujan uang. Dengan royal dan mudah Han-kongcu memberi hadiah. Dan ketika mereka
tertawa dan tentu saja menubruk, berebut, maka ketiganya meraup uang yang
dilempar ke tanah. "Ha-ha, rejeki besar. Han-kongcu sungguh royal!"
"Dan aneh bahwa semudah ini dia melempar uang. Bukankah dia terkenal pelit"
"Sudahlah, ambil bagianmu dan bagian masing-masing, A-kwi. Kita bagi rata kalau
yang lain mendapat lebih!"
Tiga pengawal itu bersorak. Mereka gembira karena semudah itu Han-kongcu memberi
uang. Tapi ketika mereka tertawa dan menghitung bagian masing-masing, kereta
sudah lenyap di kejauhan sana mendadak berkelebat bayangan Bu-goan swe dan tujuh
kereta lain. "Hei, apa yang kalian lakukan. Uang dari mana itu!"
Tiga pengawal terkejut. Bu-goanswe, jenderal Bu, muncul dengan garang. Muka
jenderal itu gelap dan pandang matanya tampak bengis. Uang yang sudah diambili
tiga pengawal ini tiba-tiba dirampas, sekali raup sudah berada di tangan sang
jenderal. Dan ketika tiga pengawal terkejut dan buru-buru menjatuhkan diri
berlutut, kaget, gentar, maka jenderal itu bertanya apakah mereka melihat Han-
kongcu. "Aku mencarinya. Apakah kalian melihat atau tidak!"
"Ti... tidak!" A-lok, yang teringat pesan Han-kongcu tiba-tiba menggeleng, pucat.
"Kami... kami tak tahu, goanswe. Ka mi tak melihatnya!"
"Hm, kalau begitu dari mana uang ini. Siapa yang memberi!"
A-lok pucat. Wibawa dan kata-kata jenderal itu jauh lebih kuat daripada wataknya
sendiri. Mental A-lok jatuh. Dan ketika pengawal itu tak dapat menjawab dan
jenderal Bu menyambar lehernya, men cengkeram maka jenderal itu membentak agar
dia menjawab jujur. "Hayo, atau kau kubunuh!"
A-lok ketakutan. Akhirnya dia bicara juga bahwa itulah uang dari Han-kongcu,
sang pemuda baru saja lewat dan sebuah tamparan mengenai mukanya. Bu-goanswe
membentak dan memaki pengawal itu kenapa tadi bohong. Dan ketika A-lok dibanting
dan kelengar di tanah, setengah pingsan maka jenderal itu menghadapi dua yang
lain dengan mata bersinar-sinar, penuh api.
"Kalian!" bentaknya. "Apakah juga tidak tahu ke mana pemuda itu pergi" Dengan
apa dan dengan siapa?"
"Am... ampun!" dua yang lain membentur-benturkan jidat mereka. "Kami... kami tahu,
goanswe. Han-kongcu tadi, dia.. dia ke sana...!" "Dengan siapa?"
"Dengan Tiong-siocia.... plak!" dan keduanya yang terguling oleh tamparan Bu-
goanswe lalu berteriak karena mendapat sebuah tendangan juga, mencelat dan
terlempar dan jenderal itu marah sekali memaki-maki. Entah apa yang terjadi na-
mu sang jenderal tampak gusar. Pintu gerbang ditendang dan terbukalah pintu itu.
Dan ketika sang jenderal berkelebat dan marah melesat keluar maka tujuh kereta
di belakang juga ikut dan berderap gelisah.
"Tangkap, dan kejar mereka!"
Dua pengawal terbengong-bengong. Mereka tak tahu kejadian apa yang membuat si
jenderal gusar. Tapi ketika Bu-goan-swe lenyap dan tujuh kereta berlari kencang,
menyusul, maka A-kwi yang bangkit dengan gemetar tiba-tiba ingat komandannya.
"Kita lapor kepada Han-ciangkun. Jangan sampai kena salah!"
A-siu, pengawal kedua pucat. Dia mengangguk dan mau pergi tapi A-kwi menyuruhnya
di situ. Pengawal itulah yang akan melapor dan A-siu diminta berjaga. A-lok
kelengar di sana dan harus ditolong. Dan ketika A-siu terkejut karena temannya
sudah lari ke dalam kota maka A-kwi buru-buru ke gedung Han-ciangkun,
komandannya. "Celaka!" pengawal itu menggedor pintu kamar Han-ciangkun. "Maafkan hamba,
ciangkun. Keadaan darurat. Han-kongcu dikejar dan akan ditangkap Bu-goanswe!"
"Hei!" bentakan dari dalam terdengar menggeledek. "Siapa itu dan mau apa"
Mengganggu orang tidur dan minta dibunuh" Keparat, haram jadah. Terkutuk kau ....
brakk!" dan pintu kamar yang dibuka keras dan langsung dibanting keluar tiba-
tiba menghantam A-kwi dan pengawal itu terlempar. Kepalanya kena pintu dan
benjutlah dahinya sebesar telur. A-kwi sedang berlutut ketika tadi memanggil-
manggil Han-ciangkun, dapat masuk dengan bebas karena ia adalah anak buah
komandannya itu. Tapi begitu sang komandan keluar dan melempar pintu membukanya
kasar maka pengawal ini terpelanting dan Han-ciangkun tertegun, marah.
"Kau?" serunya gusar. "Keparat, tak tahu adat, A-kwi. Jahanam terkutuk kau ...!"
dan sang komandan yang bergerak memburu pengawalnya tiba-tiba sudah menghajar
dan menendang atau memukuli anak buahnya ini. Tentu saja A-kwi menjerit-jerit


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan melolong minta ampun. Dia berkata bahwa Han-kongcu dikejar dan akan
ditangkap Bu-goanswe. Dia hendak melapor itu. Dan ketika sang komandan berhenti
tapi tubuh A-kwi sudah babak-belur, mirip bola yang memar kena lumpur di sana-
sini maka Han-ciangkun berubah dengan muka pucat.
"Apa" Puteraku dikejar Bu-goanswe" Ke mana" Dengan siapa?"
"Kami tak tahu sebabnya, ciangkun. Tapi yang jelas Han-kongcu keluar kota raja,
dengan Tiong-siocia!"
"Aih, dan apa yang dibawa puteraku itu!"
"Hamba tak tahu, tapi... tapi Han-kong cu membawa sebuah kereta...!"
"Haram jadah, celaka kalau begitu... dess!" dan A-kwi yang sekali lagi ditendang
mencelat tiba-tiba terbanting. dan roboh pingsan. "Haii..!" Han-ciangkun
memanggil pengawalnya, yang lain. "Cepat kalian siapkan kereta dan sepuluh orang
ikut aku!" "Apa?" "Tuli!" komandan itu berteriak marah. "Siapkan kereta untukku dan sepuluh o-rang
ikut aku, jahanam. Cepat dan jangan membuang-buang waktu... dess!" pengawal itupun
ditendang, mencelat dan terlempar tapi tidak pingsan seperti A-kwi. Pengawal
yang ini dapat melompat bangun dan yang lain segera diberi tahu. Tempat itu
tiba-tiba menjadi ribut dan gedung Han-ciangkun seakan kedatangan musuh.
Komandan itu sendiri berteriak-teriak dan memaki Bu-goanswe, juga puteranya.
Tapi ketika dia menyambar golok di dinding dan meloncat ke dalam kereta, yang
sudah disiapkan buru-buru maka sepuluh pengawal diminta bersamanya di belakang,
dengan kuda masing-masing.
"Cepat, kita keluar kota raja. Anakku dalam bahaya!"
Para pengawal terkejut. Mereka tentu saja tak mengerti apa yang terjadi namun
begitu Han-ciangkun menjalankan kereta cepat-cepat merekapun mencengklak kuda.
Dan ketika kereta dilarikan secepat setan dan suasana menjadi hiruk-pikuk maka
orang-orang di jalan saling berpandangan dengan penuh heran dan tidak mengerti,
kaget. -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XX "SEPERTI perampok. Liar dan kasar!"
"Ah, apa yang terjadi?"
"Siapa tahu" Tapi pagi-pagi begini saling berebut dan mencengklak kuda tentu ada
yang penting, kawan. Dan pengawal Han-ciangkun itu tampak buru-buru dan
bingung!" "Seperti tidak mengerti kehendak tuannya.."
"Ya, dan juga seperti tidak mengerti apa yang telah terjadi!"
Dan ketika semua orang saling bicara dan terheran-heran, kaget, maka di sana
Han-ciangkun sendiri telah membedal keretanya seperti orang dikejar setan.
Panglima itu tampak buru-buru dan para pengawal yang ada di belakang dibentak
berkali-kali agar cepat. Mereka yang sudah menjepit perut kuda hingga berlari
kencang tampaknya bagi panglima ini masih juga lamban, tentu saja para
pengawalnya gugup dan takut. Dan ketika kereta akhirnya ditempel ketat dan Han-
ciang-kun keluar pintu gerbang maka rombongan itu sudah keluar kota raja tak
menghiraukan pandangan orang banyak atau bisik-bisik di sana-sini.
Sebenarnya, apakah yang terjadi" Kenapa panglima itu kelihatan gelisah dan tidak
tenang" Benarkah semata gugup ingin menolong puteranya" Agaknya memang ada
sesuatu yang serius. Sebab, kalau tidak tentu panglima itu tak akan buru-buru
dan keluar dengan pakaian seada-nya. Han-ciangkun lupa bahwa waktu itu ia masih
memakai piyama. Pakaian tidur itu belum diganti namun sebatang golok sudah
dilolos dan dipegang erat-erat. Pang lima ini seakan siap bertarung mati-matian,
padahal Bu-goanswe adalah rekannya yang sama-sama merupakan pembantu kai sar.
Dan ketika pengawal juga terkejut dan bingung tak tahu apa yang terjadi maka di
sana, di depan, Bu-goanswe sudah memburu buruannya.
"Berhenti!" jenderal itu membentak berjungkir balik di depan kereta Han-kong cu.
"Serahkan dirimu dan biarkan kami memeriksamu baik-baik, Han-kongcu. Atau kami
menyerang dan mengambil tindakan keras!"
Sais kereta, yang ada di depan, terkejut dan tersentak. Dialah orang pertama
yang melihat munculnya jenderal Bu, turun dan melayang ringan di depan
keretanya. Tangan mendorong dan empat ekor kuda yang sedang berlari kencang
tiba-tiba meringkik. Mereka ditahan tenaga yang kuat dari jenderal ini, berhenti
namun kedua kaki depan diangkat tinggi-ting gi, saking kaget dan terkejutnya.
Dan ketika Bu-goanswe mengayunkan lengan dan mengibas ke kiri maka sais di depan
mencelat dan terlempar. "Kau turunlah, suruh Han-kongcu keluar!"
Si sais memekik. Dia tentu saja mengenal jenderal itu yang garang dan bengis.
Bu-goanswe terkenal galak dan keras. Dan ketika jenderal itu berhasil meng
hentikan kereta dan menyuruh pemiliknya keluar, membentak, maka Han-kongcu
muncul membuka tirai kereta, berubah dan pucat begitu melihat jenderal ini.
"Ah, Bu-goanswe kiranya!" pemuda itu menyingkap namun segera menutup tirai
kereta, membuka pintu dan meloncat keluar. "Selamat pagi, goanswe. Selamat
bertemu tapi kenapa kau menghentikan keretaku. Apa salahku dan kenapa kau marah-
marah!" "Jangan banyak mulut!" Bu-goanswe tak bersikap ramah. "Aku mendengar sesuatu
tentang dirimu, kongcu. Keretamu terisi barang-barang terlarang. Biarkan aku,
memeriksa dan kau menjauhlah!"
"Apa?" Han-kongcu tersentak, semakin berubah lagi mukanya. "Ap... apa kau bilang,
goanswe" Barang terlarang" Kau .... kau menuduhku sekasar ini" Apa maksudmu?"
"Hm, tak usah berpura-pura. Keretamu berisi senjata api, kongcu. Aku mendengar
kabar bahwa kau menyelundupkan dan akan menjual senjata!"
"Ah, bohong!" pemuda itu berseru pucat. "Kau menuduhku yang tidak-tidak,
goanswe. Kau menghina aku dan juga a-yah. Kau tahu siapa aku dan ayahku!"
"Hm, ayahmu jangan disebut-sebut. ini urusan dirimu, urusan senjata terlarang.
Kau tak usah membawa-bawa nama ayahmu kalau tidak ingin mencelakakan keluarga!"
dan berkelebat serta akan membuka tirai kereta tiba-tiba jenderal itu dibentak
dan dihadang si pemuda. "Goanswe, kau tahu aturan militer. Kau bukan maling atau rampok. Aku minta surat
kuasa untuk menggeledah keretaku!"
Sang jenderal terkejut. "Surat itu tak sempat kumintakan, tapi aku akan membawa
bukti-bukti yang lebih dari sekedar surat perintah. Minggir, dan biarkan aku
memeriksa!" "Aku tak memperbolehkan!" Han-kongcu menghardik. "Kau tak tahu aturan dan
sewenang-wenang, goanswe. Aku akan melapor. tindakanmu ini kepada kaisar!"
"Ah, kau banyak omong!" dan Bu-goanswe yang tak memperdulikan atau menghiraukan
si pemuda tiba-tiba sudah mendorong dan menyuruh pemuda itu minggir. Han-kongcu
mengelak namun jari-jari lawan sudah mencengkeram. Tapi ketika dia memberontak
dan mencabut pisau, yang terselip di pinggangnya tiba-tiba pemuda itu menusuk
Bu-goanswe. "Bret!" Sang jenderal terkejut. Lawan menjadi kalap dan tiba-tiba marah. Leher bajunya
terkuak tapi untung jenderal itu berkelit, melepas cengkeramannya. Dan ketika
Han-kongcu melengking dan menyerang maju tiba-tiba pemuda itu sudah menggerakkan
senjatanya berulang-ulang, menyambar dan menusuk dan jenderal itu mendengus. Dia
bukanlah orang yang tidak mengenal siapa Han-kongcu ini, seorang pemuda yang
berkepandaian lumayan tapi tidak perlu ditakuti. Pemuda yang biasanya bersenang-
senang melulu dan berkawan gadis-gadis cantik. Maka ketika dia mengelak dan
membentak gusar, tujuh kereta di belakangnya sudah tiba di situ maka jenderal
ini menampar dan mencelatlah pisau di tangan Han-kongcu.
"Aduh...!" Gerakan selanjutnya adalah mendorong si pemuda. Bu-goanswe sudah melompat dan
pemuda itu terpelanting roboh, berkelebat dan memasuki kereta. Tapi ketika
jenderal itu bergerak dan membuka pintu, mendadak, tanpa diduga, sebuah
pemandangan membuat jenderal itu berseru tertahan, langsung menutup pintu kereta
lagi. "Aih, kurang ajar!" sang jenderal merah padam. Anak buahnya yang sudah
berlompatan tak tahu apa yang menjadikan jenderal itu melompat turun. Mereka tak
tahu bahwa di dalam kereta, seperti tak sengaja, duduk seorang gadis cantik yang
pakaiannya awut-awutan. Itulah Tiong-sio-cia dan gadis itu tampak menggigil,
ketakutan. Kedua kaki dinaikkan ke atas dan seluruh pahanya terbuka lebar. Gadis
itu menjerit ketika Bu-goanswe masuk, menaikkan kedua kaki dan memeluk dada
dengan muka pucat. Tentu saja sikapnya itu membuat Bu-goanswe tersentak dan
jengah. Cadis itu memamerkan sepasang pahanya yang mulus, gempal. Darah akan
cepat tersirap karena tak ada laki-laki yang normal akan "tahan" melihat
pemandangan seperti itu. Pemandangan yang membuat darah berdesir! Tapi ketika
Bu-goanswe mampu menekan guncangan hatinya lagi dan menyuruh gadis itu turun,
yang malah disambut tangis maka jenderal ini membuka lagi pintu kereta dan
berseru, "Kaupun turunlah, aku hendak memeriksa kereta!"
Tiong-siocia, yang menjerit dan menangis di dalam tiba-tiba disambar keluar.
Gadis ini ditarik dan Bu-goanswe tak perduli mendengar lawan memekik, menyambar
dan sudah melempar gadis itu keluar. Dan ketika Tiong-siocia roboh dan
tergulling-guling di sana, pakaian menjadi semakin tak keruan lagi maka barulah
anak buah jenderal itu mengerti apa yang terjadi, dan kontan menahan napas.
"Ah, Tiong-siocia kiranya!"
Ternyata gadis itu sudah dikenal. Para pengawal memang sudah mengenal puteri
Tiong-wangwe (hartawan Tiong) ini, seorang hartawan yang kaya dan cukup terkenal
di kota raja Tapi melihat gadis itu tersungkur dan bagian bawah tubuhnya
terlihat jelas, karena pakaian bawahnya tersingkap ketika dilempar dan ditarik
Bu-goanswe maka semua laki-laki. yang ada di situ melotot!
Tapi Han-kongcu tiba-tiba membentak Bu-goanswe, membuat kejutan. Sang jenderal
yang masuk dan mau memeriksa kereta sekonyong-konyong mendengar letusan. Putera
Han-ciangkun yang ditampar dan terlepas pisaunya itu mendadak mencabut pistol,
menembak dan langsung mengarahkannya pada Bu-goanswe. Dan karena jenderal itu
sedang membelakangi untuk memeriksa kereta, tak menyangka, maka jenderal itu
berteriak ketika sebuah peluru mengenai punggungnya.
"Dor!" Sang jenderal terpelanting. Han-kongcu yang marah dan membidik Bu-goanswe tiba-
tiba berseru menyambar Tiong-sio-cia. Kekasihnya itu ditarik dan meletuslah lagi
empat tembakan membabi-buta. Tiga pengawal Bu-goanswe berteriak karena tiba-tiba
mereka roboh. Tiga peluru bersarang di tubuh. Dan ketika Han-kongcu meloncat ke
dalam kereta dan mengancam semua orang untuk tidak mengejarnya, membedal, maka
kereta itu sudah dilarikan cepat dan sais yang tadi ditampar Bu-goanswe sudah
diminta untuk melarikan kudanya.
"Siapa mengejar akan kutembak. Ha-yo, siapa mencari mati!"
Cegerlah anak buah jenderal itu. Empatpuluh orang yang berdiri bengong tiba-tiba
tak berkutik. Tembakan dan robohnya Bu-goanswe membuat mereka pucat. Ulah atau
sepak terjang Han-kongcu sungguh di luar dugaan. Tapi ketika terdengar bentakan
parau dan Bu-goanswe bangkit terhuyung, mandi darah, maka jenderal itu membentak
agar semua mengejar. "Jangan hiraukan ancamannya. Kejar, dan tangkap pemuda itu!"
"Tapi... tapi dia bersenjata api, goanswe. Dan tiga orang di antara kami sudah
roboh!" "Jahanam! Kalian takut" Kalau begitu berikan seekor kuda dan lihat aku mengejar
siluman terkutuk itu!" dan Bu-goanswe yang menyambar serta merampas seekor kuda
tiba-tiba meloncat dan mencong klang mengejar kereta. Jenderal itu tak
menghiraukan luka-luka di punggungnya dan dengan gagah serta berani mengejar
Han-kongcu. Kereta sudah dibedal dan lenyap di depan. Tapi ketika sang jenderal
mengejar dan anak buahnya tentu saja pucat, ketakutan, maka merekapun bergerak
dan apa boleh buat melakukan pengejaran juga.
"Goanswe, maafkan kami. Tapi kami akan mengejar dan menangkap pemuda itu!"
"Bodoh! Kenapa baru sekarang mau" Hm, kupecat kalian nanti, Hu-ciangbu. Lihat
apa yang kulakukan kalau pemuda i-tu tidak sampai tertangkap!"
Para pembantunya kecut. Mereka sudah mengiring dan cepat di samping si jenderal.
Ancaman itu membuat mereka ketakutan karena kalau sampai Han-kongcu tak
tertangkap tentu mereka dipecat.
Hukuman itu jauh lebih berat ketimbang kematian. Maka ngeri dan menyadari itu,
takut dihukum, maka tujuh kereta kembali bergerak dan Bu-goanswe diminta
berpindah tempat. "Kami akan dapat menolong goanswe kalau di kereta. Biarlah kuda itu goanswe
serahkan kepada kami dan kami akan menjalankan kereta dengan baik!"
"Hm, kurcaci-kurcaci busuk!" sang jenderal membentak. "Aku tak mau berpindah
tempat, Hu-ciangbu. Aku tetap di sini dan biar kulihat seberapa kalian berusaha
membantuku!" Sang pendamping gugup. Kalau Bu-goan swe sudah bicara seperti itu dan itu adalah
kemarahannya yang tak dapat ditawar-tawar lagi maka tak ada jalan kecuali
berbuat sebaik mungkin. Menebus semuanya itu adalah dengan jalan menangkap Han-
kongcu, hidup atau mati. Maka mengeprak dan mendahului sang jenderal, yang mulai
mengeluh dan sering menggigit bibir maka sepuluh perwira sudah melarikan
keretanya amat kencang. "Baiklah, maafkan kami, goanswe. Tapi kami akan menebus dosa!" dan bergerak
mendahului sang jenderal, yang tersenyum dan mengangguk puas, berhasil menakuti
bawahannya maka berturut-turut kereta yang lain menyusul. Han-kongcu memang
sudah jauh di depan dan pemuda itu licik sekali, karena ketika menghadapi
jalanan berbatu mendadak dia berbelok, memasuki hutan. Dan ketika kejaran
dilakukan dan apa boleh buat pemburu di belakang juga memasuki hutan, yang
segera menjadi gaduh dan ramai oleh ringkik kuda maka kereta Han-kongcu akhirnya
terlihat menerabas jalanan setapak.
"Berhenti, atau kami menyerang!"
Lawan tak menjawab. Han-kongcu menyelinap dan hilang di balik kerimbunan pohon-
pohon besar. Tempat itu memang cocok sekali untuk bersembunyi. Tapi ketika kuda
meringkik dan tempat persembunyian Han-kongcu diketahui, hal yang tak diduga
pemuda ini maka Han-kongcu mengumpat caci dan mengutuk kudanya habis-habisan.
Dia tak tahu bahwa seekor ular besar bergelantungan di atas, siap menyergap. Dan
karena kuda memiliki naluri tinggi untuk menangkap bahaya maka meringkiklah kuda
itu dan suara inilah yang ditangkap pengawal Bu-goanswe. "Dor!"
Ular tertembak roboh. Akhirnya binatang melata itu terkulai dan saispun gemetar.
Tadi dia juga tak tahu tapi segera ketakutan ketika sang ular mendesis. Namun
begitu ular ditembak dan Han-kong cu memaki maka pemuda itu membuka pintu dan
menyuruh sais membedal kereta.
"Jalankan lagi, di depan akan ada pertolongan!"
"Tapi.... tapi..." sang sais pucat. "Hutan ini lebat, kongcu. Jalanan sulit!"
"Keparat, kau minta kutembak" Nah, turut kata-kataku atau kau mampus..... dor!"
peluru mendesing lagi, bukan ke kepala si sais melainkan ke samping telinganya.
Suara bercuit atau mendesing itu membuat si sais terbang semangatnya, hampir dia
roboh. Tapi begitu menyentak kereta dan berteriak menarik tali kekang maka kuda
diminta untuk lari menerabas apa saja.
"Herr.... hyehhh! Ayo lari.... lariii....!"
Kereta melonjak bagai dihentam. Kuda meloncat dan kaburlah menerabas apa saja.
Sang sais jatuh bangun sementara Han-kongcu dan Tiong-siocia yang ada di dalam
juga terpental-pental. Tiong-siocia malah menjerit-jerit karena tubuhnya jatuh
bangun di dalam, untung disambar dan dipeluk kekasihnya. Dan ketika kuda dibedal
bagai gila tapi rombongan pengawal Bu-goanswe juga mengejar dan sudah melihat
mereka maka cepat dan menegang kan kejar-kejaran itu terjadi lagi. Han-kongcu
berkali-kali menembak ke belakang menakut-nakuti pengejar, dua di antaranya
bahkan roboh lagi. Bukan terkena peluru melainkan saking takutnya mendengar
bunyi letusan. Maksudnya tak ikut mengejar dan biarlah tinggal di hutan itu
saja. Tapi ketika aum harimau terdengar menggetarkan dan dua pengawal itu kaget
mendengar ini maka mereka bingung dan apa boleh buat terpaksa meloncat di atas
punggung kudanya lagi, mencengklak dan kabur karena mereka tak mau mati diterkam
harimau. Sungguh mengelikan!
Dan ketika semua mengejar dan Han-kong-cu keluar dari mulut hutan di depan maka
di situ sudah menunggu orang-orang bersaputangan hitam yang ternyata sahabat
atau teman dari pemuda ini.
"Cepat, lindungi kami. Di mana Lucker!"
"Di bukit!" seorang tinggi besar menuding. "Kau sudah ditunggu-tunggu, kongcu.
Dan pimpinan kami sudah merasa khawatir sekali. Cepatlah dan serahkan orang-
orang itu "Baiklah, kalian lindungi kami!" dan si pemuda yang girang dengan muka berseri-
seri lalu menyuruh sais terus melariskan kudanya, kini lega dan mendapat bantuan
karena itulah orang-orangnya Lucker. Dan ketika kereta berderap dan meninggalkan
hutan maka terkejutlah para bawahan Bu-goanswe itu melihat orang-orang
bersaputangan hitam ini. Karena begitu mereka bergerak dan menyambut ke depan
tiba-tiba saja golok dan pedang menyambar mereka,
Hei!! siapa Kalian? "Namun tawa dan bentakan keji yang terdengar. Para perwira menjadi gusar dan
tentu saja melawan. Mereka segera bertanding dan jerit atau pekik kesakitan
segera terdengar, disusul jatuh atau tumbangnya tubuh-tubuh yang terluka. Namun
ketika dari mana-mana muncul bayangan-bayangan lain dan seratus orang menyambut
pembantu-pembantu Bu-goanswe ini maka mereka terdesak tapi untunglah muncul Bu-
goanswe yang masih gagah.


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha, semakin jelas lagi belangnya. Bunuh atau tangkap mereka!"
Sang jenderal mengamuk. Tanpa menghiraukan lukanya di punggung jenderal ini
sudah menghadapi lawan-lawannya. Tak kurang dari sepuluh orang mengeroyok, namun
Bu-goanswe mengibaskan lengan. Pukulan Im-kang menyambar dan berteriaklah orang-
orang itu ketika sang jenderal berkelebatan di kiri kanan. Dan ketika mereka
roboh dan orang . terakhir melarikan diri maka Bu-goanswe mencabut pisau dan
langsung melemparkannya ke punggung lawan.
'Robohlah!" Jeritan ngeri terdengar. Orang itu roboh dan langsung tewas seketika, pisau
menancap sampai hampir ke dada. Dan ketika sang jenderal bergerak dan menolong
bawahannya, yang terdesak, maka keadaan segera berubah karena datangnya,
jenderal itu sungguh merupakan dewa penolong. Lawan ganti tertekan dan jatuh
bangun. Hal ini membangkitkan semangat di pasukan Bu-goanswe dan akhirnya
lawanpun melarikan diri. Tapi ketika terdengar bentakan dan mereka disuruh
kembali, Bu-goanswe mengaduh maka sebutir peluru telah melukai lengan jenderal
ini. "Tak perlu takut. Jenderal ini dapat kita bunuh.... dor-dor!" sang jenderal
membanting tubuh bergulingan, dua kali mendapat tembakan dan tentu saja dia
terkejut. Luka di punggung tiba-tiba terasa pedih dan darah di lenganpun
mengucur. Ah keadaan berbalik berbahaya. Tapi karena jenderal ini adalah laki-
laki gagah perkasa dan tak kenal takut maka dengan se-ruan keras jenderal itu
menyuruh pasukannya menghadapi lawan. Peluru-peluru segera berdesingan namun Bu-
goanswe sudah melempar tubuh ke semak belukar. Bawahannya sudah diperintahkan
untuk melakukan hal yang sama dan menjepretlah panah-panah kuat ke arah lawan.
Bu-goanswe ternyata menghadapi letusan senjata api dengan balasan anak panah,
melakukannya di balik semak belukar dan sebelas lawan berteriak dan terbanting
roboh. Itulah balasan yang membuat semangat anak buahnya bangkit lagi! Dan
ketika lawan mengumpat caci dan tiga laki-laki berpakaian hitam bingung
melepaskan tembakan ke sana ke mari maka dua belah pihak akhirnya tak berani
maju dan bertahan di tempat masing-masing.
"Keparat, jahanam orang she Bu itu. Cari akal dan tangkap atau bunuh dia!"
'"Ha-ha!" sang jenderal tertawa bergelak, diam-diam menahan sakit. "Tangkap dan
bunuhlah aku, tikus-tikus busuk. Tapi sekali aku yang menangkap atau membunuh
kalian maka mautlah bagiannya!"
Lawan mengumpat. Mereka akhirnya bersembunyi pula sambil berlari ke gerumbul-
gerumbul di sebelah, maksudnya ingin mendekati Bu-goanswe dan pasukannya itu
tapi pihak lawan melepaskan anak-anak panah. Siapa berani mendekat pasti mereka
terjungkal, apalagi kalau oleh sebatang panah besar yang bunyinya paling berat,
mendesing dan tak satupun yang sanggup mengelak kalau anak panah ini yang
menyambar, panah yang dilepas Bu-goanswe. Dan ketika mereka mundur lagi dan Bu-
goanswe coba maju maka balik lawanlah yang melepas tembakan dan tiga bawahan
sang jenderal menjadi korban.
"Keparat," Bu-goanswe menggeram. "Siapa punya akal menghantam mereka" Siapa
dapat menolong aku menangkap tiga laki-laki itu?"
"Kami tak sanggup," seorang pembantunya mengeluh. "Senjata api jauh lebih
berbahaya daripada panah, goanswe. Kami tak dapat maju meskipun lawan juga tak
dapat menyerang." "Hm, bukan begitu maksudku. Yang kumaksudkan ialah siapa yang dapat menarik
perhatian tiga laki-laki itu. Mereka tinggi besar, seluruh tubuh ditutup rapat.
Aku ingin menangkap atau mendapatkan ketiganya asal kalian ada yang mampu
mengecoh!" "Goanswe mau ke sana sendiri?"
"Ya, kalau kalian dapat menarik perhatian tiga laki-laki itu. Aku akan menyergap
dan merobohkan mereka karena hanya mereka itulah yang bersenjata api!"
Semua tertegun. Mereka mengangguk dan tiba-tiba berseri, mau mencari akal. Tapi
belum mereka menemukan mendadak terdengar tawa parau dan muncullah bayangan lain
di belakang mereka. "Ha-ha, bisa. Tapi di sini ada kami, goanswe. Menyerahlah, atau kau mampus!"
Bu-goanswe terkejut. Dua orang tiba-tiba membacoknya dari belakang, muka ditutup
saputangan pula namun bukan hitam seperti orang-orang di depan. Sang jenderal
tak tahu tapi tentu saja menangkis, membentak. Dan ketika golok terpental tapi
dia juga terhuyung, karena luka-lukanya maka anak buahnya yang lain juga
mendapat serangan dan segera menjadi panik.
"Augh.... crep-crep!"
Bu-goanswe terbelalak. Empat pembantunya tiba-tiba roboh mandi darah. Panah
mereka direbut dan paniklah keadaan ketika tiba-tiba belasan orang menyergap
dari belakang. Mereka tak tahu siapa dan saat itu lawan yang di depan tertawa
bergelak, maju dan dilepaslah tembakan-tembakan yang membuat Bu-goanswe marah.
Dan ketika mereka diserang dari muka dan belakang, dikepung, maka jenderal Bu
melotot marah-marah karena anak buahnya roboh bergelimpa.ngan.
"Keparat, jahanam busuk!" sang jenderal menangkis dua bacokan lagi, membentak
dan lawan berteriak karena golok terpental. Dan ketika Bu-goanswe menerjang dan
tak menghiraukan luka-lukanya, mengamuk, maka dua lawan' yang membokongnya itu
dibuat jatuh bangun dan sebuah pukulan lm-kang malah membuat satu di antaranya
tak dapat bangun berdiri. Tapi ketika sang jenderal hendak mengejar satunya yang
bergulingan dengan sikap gentar mendadak sebuah tembakan nyaris mengenai
pipinya. "Dor!" Bu-goanswe membanting tubuh bergulingan. Posisinya di tempat terbuka membuat
keadaannya tak menguntungkan, lagi sebuah tembakan dilepas dan menggeramlah
jenderal itu menyelamatkan diri. Lawan mundur menjauh sementara anak buahnya
dibantai satu per satu, keadaan jenderal ini terdesak. Tapi ketika Bu-goanswe
mengelak sana-sini dan tiga laki-laki bersenjata api mengejar dan mengepungnya
sambil tertawa-tawa mendadak berkelebat sebuah bayangan dan mencelatlah tiga
laki-laki itu ketika mendapat sebuah tendangan dan bentakan.
"Tak tahu malu, sudah bersenjata api masih mengeroyok juga.... des-dess!" dan tiga
lawan yang terpelanting berteriak kaget tahu-tahu melihat bayangan yang baru
datang itu berkelebatan di antara mereka. Barisan di belakang tiba-tiba kacau
dan ribut ketika bayangan itu membagi-bagi pukulan dan tendangan. Dan ketika
duapuluh lebih jungkir balik tak keruan dan bayangan itu menyelamatkan Bu-
goanswe maka sang jenderal tertegun karena itulah Fang Fang, murid si Dewa Mata
Keranjang. "Fang Fang...!" sang jenderal girang bukan main, tertawa bergelak. "Ha-ha, bagus
dan robohkan mereka, Fang Fang. Tangkap dan bekuk yang bersenjata api itu. Aku
ingin melihat siapa mereka!"
Tiga yang disebut terkejut. Mereka pucat melihat siapa yang datang itu, rupanya
tergetar. Maklumlah, Fang Fang memang lihai dan murid si Dewa Mata Keranjang ini
rupanya sudah cukup dikenal. Tapi ketika mereka bergulingan melompat bangun dan
saling memberi tanda tiba-tiba tiga tembakan dilepas ke arah pemuda itu.
"Dor-dor!" Yang menembak terbelalak. Mereka melihat peluru mental bertemu tubuh si pemuda,
menambak lagi namun ditangkis dan peluru mental ke arah mereka, pedas dan
kesakitan. Dan ketika Fang Fang menggeram dan membentak berjungkir balik tiba-
tiba satu dari tiga laki-laki ini mendapat pukulannya.
"Kau robohlah!"
Laki-laki itu pucat. Dia menembak namun peluru habis, celaka. Dan ketika dia
berteriak dan kaget melempar tubuh ternyata Fang Fang bergerak lebih cepat dan
laki-laki itu terbanting, satu tamparan keras mengenai mukanya.
"Jangan bunuh..... plak!"
Fang Fang tahu. Memang dia tidak bermaksud membunuh lawannya ini kecuali
merobohkan saja. Orang itu terbanting dan pingsan, dua yang lain terkejut dan
memutar tubuh namun Fang Fang bergerak dua kali. Dia berkelebat dengan Sin-bian
Ginkangnya dan Ginkang Kapas Sakti ini jauh lebih cepat daripada gerakan lawan.
Dua laki-laki itu menjerit ketika Fang Fang menampar tengkuknya, roboh dan
terjungkal. Dan ketika yang lain terkejut karena tiga laki-laki bersenjata api
ini roboh maka mereka tiba-tiba buyar dan melarikan diri.
"Awas, pemuda itu seperti siluman. Lari...!"
Bu-goanswe tertawa bergelak. Dia sendiri lupa kepada lawan pertama yang kini
tiba-tiba menghilang. Sang jenderal bergerak dan sudah membuka saputangan tiga
laki-laki ini. Dan begitu saputangan direnggut dan dilepas dari pemiliknya tiba-
tiba Bu-goanswe tertegun. "Anak buah Tuan Smith!"
Fang Fang membelalakkan mata. Ternyata tiga laki-laki yang dirobohkan dan
berkerudung itu adalah orang-orang kulit putih, bangsa Inggeris. Mereka tentu
saja segera diduga sebagai anak buah Tuan Smith dan Bu-goanswe melotot. Tapi
ketika keluh dan rintih terdengar di sana-sini, menyadarkan sang jenderal maka
duapuluh dari empatpuluh anak buahnya menjadi korban.
"Aduh...!" Hu-ciangbu, pembantu terdekatnya mengerang. "Aku tak dapat membantumu
secara baik, goanswe. Aku bodoh dan rela menerima hukuman...!"
"Dan aku juga..." rintih di sebelah kiri menyambung. "Aku juga tak dapat
menjalankan tugas dengan baik, goanswe. Musuh yang lain melarikan diri dan aku
tak mampu mengejarnya...'"
"Hm-hm!" sang jenderal bergerak, tapi tiba-tiba terhuyung dan roboh sendiri. "A-
ku juga menderita luka, Hu-ciangbu. Kalau tak ada Fang Fang di sini tentu kita
semua sudah roboh binasa. Ah, tolong a-ku sekali lagi, anak muda. Tangkap Han-
kongcu yang menjadi sumber malapetaka!"
"Apa yang terjadi?" Fang Fang berkelebat menolong jenderal ini, mengusap
keringat. "Aku kebetulan saja lewat, goanswe. Dan tertarik mendengar tembakan-
tembakan. Tak kuduga kaulah yang di sini dan rupanya menghadapi orang-orang
kulit putih!" "Tidak... tidak! Yang kuhadapi bukan orang-orang Inggeris ini, melainkan bangsaku
sendiri. Mereka rupanya sudah berkomplot dan menjadi pelindung Han-kongcu.
Keparat, kau bantu aku, anak muda. Tolong dan mari cari anak muda itu!"
"Tapi kau terluka."
"Aku tidak apa-apa!"
"Hm, jangan berkeras kepala," Fang Fang membalut luka di punggung dan lengan,
yang deras mengalirkan darah. "Kau lemas dan banyak kehilangan tenaga, goan swe.
Sebaiknya katakan saja apa yang harus kulakukan dan kenapa semuanya ini terjadi,
bagaimana kau bisa ada di sini!"
"Aku mencari dan hendak menangkap Han-kongcu. Bocah itu melanggar peraturan
istana!" "Hm, apa yang dia lakukan" Dan siapa Han-kongcu ini?"
"Dia putera Han-ciangkun, Fang Fang. Pemuda itu terlibat jual beli senjata api,
secara gelap!" "Hm, senjata api" Putera seorang panglima?"
"Benar, dan kau tahu apa hukumannya itu. Kaisar tak menghendaki senjata api ada
di negeri ini, kecuali yang sudah terlanjur di istana. Karena itu tangkap dan
bekuk pemuda itu, Fang Fang. Jual beli senjata api pasti akan menimbulkan
pemberontakan baru karena Han-kongcu itu bersekongkol dengan calon pemberontak!"
"Hm, baiklah. Kalau begitu katakan kepadaku di mana pemuda itu dan bagaimana
ciri-cirinya." "Dia tampan dan cerdik. Tadi melarikan diri bersama sebuah kereta indah. Di
dalamnya ada Tiong-siocia pula!"
"Siapa itu Tiong-siocia?"
"Kekasihnya, dan aku curiga bahwa hartawan she Tiong pun terlibat perdagang an
senjata gelap. Cepat, bantu aku, Fang Fang. Cari dan bekuk pemuda itu atau aku
bersamamu'." "Hm, kau tak perlu emosi. Luka-lukamu banyak mengeluarkan darah, goanswe. Dan
tampaknya kau tak menghiraukan selama ini. Dan anak buahmupun banyak yang jatuh
korban. Sebaiknya kucari sendiri dan tunggulah di sini!"
"He!" Bu-goanswe terbelalak, girang. "Kau akan bekerja sendiri" Kau tak perlu
bantuan?" "Bantuan tak perlu sementara ini, goan swe. Kecuali kau urus dirimu sendiri dan
sisa-sisa anak buahmu ini. Sudahlah, aku pergi dan ikat tiga orang bule itu
untuk menjadi saksi hidup!"
Sang jenderal berseri-seri. Fang Fang sudah bergerak dan tiba-tiba berkelebat
menghilang. Gerakan pemuda itu seperti siluman seperti datangnya tadi, lenyap
dan muncul tak lumrah manusia biasa. Dan ketika jenderal itu tertawa tapi
meringis menahan sakitnya, baru sekarang merasa betapa luka-lukanya cukup
berbahaya kalau tidak diurus maka Fang Fang sudah menghilang dan lenyap
meninggalkan jenderal itu.
-o~dewikz~abu~-oTak sukar bagi Fang Fang untuk mencari jejak Han-kongcu. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, ilmu meringankan tubuhnya yang hebat maka sebentar
kemudian pemuda ini sudah menemukan kere-ta yang ditunjuk Bu-goanswe. Di depan
sana berderap kereta yang dimaksud itu dan di belakang kereta tampak mengiring
puluhan orang yang terseok-seok. Mereka ikut berlari tapi tentu saja tak secepat
kereta di depan, yang melaju dan berlari cepat bagai dikejar setan. Dan ketika
Fang Fang berkelebat dan melewati orang-orang ini, yang terkejut dan terbelalak
karena serasa dilewati hantu maka beberapa di antara mereka yang mengenal pemuda
itu lewat bajunya tiba-tiba berteriak,
"Bocah itu! Pemuda siluman itu...!"
Fang Fang tersenyum. Tanpa menoleh ia menggerakkan tangan menampar orang-orang
ini, yang berteriak dan terlempar terguling-guling, menjerit, ngeri, karena
pemuda itu amat ditakuti dan kontan mereka berteriak kalang-kabut dan meloncat
bangun lari terbirit-birit. Takut Fang Fang mengejar tapi pemuda itu
sesungguhnya tak bermaksud menangkap kerucuk-kerucuk ini. Yang dicari dan
dikejar adalah Han-kongcu, biang keladi yang dimaksud Bu-goanswe. Maka begitu
orang-orang itu terlempar dan mereka menjerit berteriak-teriak, lari ke kanan
kiri maka Fang Fang meneruskan perjalanannya dan lenyap di tikungan di depan.
"Ha-ha, tak perlu takut. Aku tidak mencari kalian, tenang sajalah!"
Orang-orang itu pucat. Akhirnya mereka melihat bahwa Fang Fang memang benar
tidak meneruskan serangannya kepada mereka, lenyap dan sudah menghilang seperti
iblis di depan. Dan ketika mereka berkumpul dan pucat memandang satu sama lain
maka Fang Fang sendiri sudah menyusul dan berada di belakang kereta.
"Berhenti!" pemuda itu berseru. "Jangan lari, Han-kongcu. Atau aku akan
menangkap dirimu dan menyerahkannya secara kasar kepada Bu-goanswe!"
Kuda meringkik panjang. Fang Fang telah berjungkir balik dan turun di depan
kereta, tak perduli pada kereta yang berlari kencang dan empat ekor kuda itu
tentu saja kaget. Mereka tak dapat menahan lari namun Fang Fang sudah
menggerakkan tangan kirinya ke depan. Kayu di antara dua ekor kuda terdepan
disambar, dicekal kuat. Dan ketika kuda terpaksa meringkik tinggi dan terlonjak
ke atas, Fang Fang hampir tertarik naik maka sais di depan terjungkal dan
terlempar dari tempat duduknya, disusul jerit dan pekik-pekik kaget di dalam
kereta. "Aduh...!" "Keparat, kurang ajar...!"
Fang Fang tertawa. Seorang pemuda terlempar pula dari dalam kereta itu namun
pemuda ini dapat menggulingkan dirinya dengan baik, menggelinding dan
mendahulukan pundaknya untuk akhirnya melompat bangun. Dialah Han-kongcu dan
Fang Fang bersinar memandang pemuda itu. Namun ketika di jendela yang lain
berkelebat sesosok bayangan dan sebuah golok menyambar pemuda ini, dari
belakang, maka Fang Fang terkejut namun cepat menggerakkan tangan menangkis.
"Plakk!" Bayangan itu berseru tertahan. Goloknya terpental dan tubuhnyapun terpelanting
oleh tangkisan Fang Fang tadi, tak kuat menerima. Tapi ketika bayangan itu
bergulingan meloncat bangun maka Fang Fang sudah dikepung tiga orang laki-laki
di mana satu di antaranya adalah seorang kulit putih yang memegang pistol!
"Jangan kurang ajar, atau kau kutembak!"
"Hm," Fang Fang tertegun. "Siapa kau" Dan siapa ini?"
"Keparat!" pemuda itu, Han-kongcu, membentak dengan muka gusar. "Kau tak tahu
diri dan kurang ajar, Fang Fang. Mentang-mentang sebagai murid Dewa Mata
Keranjang kau hendak berbuat semena-mena. Tak usah bertanya, apa maksudmu
menghadang dan apa salah kami kepadamu!"
"Hm!" Fang Fang menyeringai. "Kau sudah mengenal aku, Han-kongcu" Dan kau
bertanya apa salahmu di sini" Kau dituduh menjualbeli senjata api, kau melanggar
larangan kaisar. Kau patut ditangkap dan sekarang semakin jelas dengan adanya
orang bule ini!" "Tuduhan ngawur!" pemuda itu membentak. "Aku tak memperjualbelikan senjata api,
Fang Fang. Boleh kauperiksa dan lihat isi keretaku. Tapi katakan padaku
bagaimana sikapmu nanti kalau kau tak menemukan bukti!"
"Hm, apa maksudmu?" Fang Fang mengerutkan kening. "Sikap bagaimana?"
"Jelas, kau datang tentu karena hasutan atau fitnahan jenderal Bu itu, Fang
Fang. Dan aku tak terima ini. Aku dituduh memperdagangkan senjata gelap,
baiklah. Tapi kalau hal itu tak terbukti aku minta agar kau berlutut minta ampun
dan seret Bu-goanswe itu untuk minta maaf pula! Kau sanggup?"
Fang Fang tertegun. Sebenarnya, dia tak tahu jelas persoalan yang dihadapi. Dia
datang karena mendengar suara tembakan, melihat Bu-goanswe itu dikeroyok dan
sebagai orang yang pernah mendapat budi jenderal itu tentu saja pemuda ini
menolong. Kisah sekilas yang diceritakan Bu-goanswe kepadanya memang tidak leng


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kap, artinya dia hanya mendengar garis besarnya saja dan kini tiba-tiba
ditantang pemuda itu untuk memperlihatkan kebenaran. Tapi karena Bu-goanswe
telah memberitahu kepadanya bahwa di kereta pemuda itu tersimpan berpeti-peti
senjata api, yang siap diperdagangkan, maka pemuda ini tersenyum mengejek dan
tentu saja lebih percaya kepada omongan Bu-goanswe daripada omongan pemuda itu,
yang dianggap hanya sebagai gertakan belaka.
"Baiklah, aku tak takut," Fang Fang berkata. "Bu-goanswe memberi tahu kepadaku
bahwa di kereta ini tersimpan puluhan senjata api, orang she Han. Aku i-ngin
memeriksa tapi terbukti atau tidak tak perlu aku berlutut kepadamu. Masalah Bu-
goanswe, hm... tentu dia kusemprot kalau bohong!"
"Tidak bisa!" Han-kongcu membentak sambil mencegat. "Memeriksa barang carang
tanpa ijin adalah seperti perampok merajah barang orang, Fang Fang. Kami sedia
diperiksa tapi kau harus berjanji minta maaf kalau di kereta ini tak ada senjata
api!" "Dan Bu-goanswe itu harus kaubunuh!" si bule berkata, menyambung. "Kami tak mau
diperlakukan sewenang-wenang, anak muda. Kau berjanjilah atau kami terpaksa
mempertahankan kereta menganggap kau perampok!"
Fang Fang penasaran juga. "Baiklah," katanya. "Bu-goanswe tak mungkin menipuku.
Kalau di kereta ini tak ada senjata api maka aku akan minta maaf. Tapi Bu-
goanswe adalah urusanku, tak perlu kalian ikut campur. Mau kubunuh dia a-tau
kumaki maka itu adalah urusanku. Aku sudah berjanji, dan kalian jangan minta
lebih!" "Kalau begitu tambahkanlah janjimu bahwa kau tak mengejar-ngejar kami lagi,
sebagai pengganti Bu-goanswe yang tak kau hukum. Beranikah kau, Fang Fang" Atau
kau seorang pengecut yang selalu bersikap tidak adil dengan menarik keuntungan
dari kerugian orang lain?"
"Kau bermulut tajam!" Fang Fang melotot. "Baiklah, Han-kongcu. Kalau itu sebagai
pengganti Bu-goanswe yang menipu aku maka aku berjanji bahwa aku tak a-kan
mengejar-ngejar kalian lagi. Dan sekarang tunjukkan kepadaku isi kereta ini!"
"Kau periksalah sendiri," Han-kongcu tiba-tiba girang, berseri. "Kau sudah
berjanji dan janji seorang laki-laki tak akan dijilat kembali, Fang Fang.
Silahkan periksa kereta dan harap tepati janjimu!"
Fang Fang berdebar. Kalau lawan sudah bersikap seperti ini maka terdapat satu
kesimpulan bahwa di kereta benar-benar tak ada senjata-senjata api itu. Atau,
Han-kongcu mungkin akan bersikap licik dan menyerangnya dari belakang seperti
temannya tadi, seorang laki-laki tua yang berpakaian piyama. Fang Fang tak tahu
bahwa itulah Han-ciangkun, ayah si pemuda. Tapi ketika Fang Fang tersenyum
mengejek dan tentu saja tak gentar menghadapi serangan dari belakang, betapapun
itu, maka dia tertawa dan menghampiri kereta, tentu saja diam-diam waspada dan
siap melindungi diri kalau ada serangan gelap.
Tapi, apa yang didapat pemuda ini" Fang Fang tertegun. Di dalam kereta, yang
sudah dibuka dan dikuak pintunya tiba-tiba sepasang paha gempal menyambutnya
telanjang. Paha itu tersingkap karena seorang gadis memeluk lutut menggigil di
situ, pucat, mengangkat kaki tinggi-tinggi dan tentu saja Fang Fang tersirap.
Sungguh tak disangkanya bahwa bukan senjata api yang didapat melainkan sepasang
paha yang gempal mulus. Ah! Dan ketika pemuda itu terkejut dan berdetak, jantung
seolah dipukul kuat maka Fang Fang tiba-tiba mendengar tawa Han-kongcu yang
berkelebat di sampingnya.
"Nah," pemuda itu berseru. "Apa yang kaulihat, Fang Fang" Senjata api" Ha-ha,
itu kekasihku, Tiong Li. Dia ketakutan dan hampir tak dapat bicara gara-gara
perbuatanmu yang kasar!" dan halus memeluk gadis itu menurunkan kakinya,
mencium, maka si pemuda berbisik bahwa tak perlu kekasihnya takut.
"Ini Fang Fang, pemuda baik-baik. Turunkan kakimu dan jangan takut."
"Oh!" si gadis tiba-tiba menangis, menubruk dan menjerit melepaskan takutnya.
"Dia... dia bukan perampok, Han-ko-ko" Dia..... dia murid Dewa Mata Keranjang itu?"
"Benar," si pemuda tersenyum, mengangguk. "Dialah Fang Fang yang lihai i-tu,
Tiong Li. Fang Fang bukan perampok dan seorang laki-laki gagah yang tak suka
mengganggu orang lain. Marilah, kita berkumpul di sana." dan mengajak kekasihnya
turun serta digandeng mesra akhirnya Han-kongcu memberikan gadis itu kepada
ayahnya, membalik menghadapi Fang Fang lagi, yang masih tergetar dan merah oleh
pemandangan yang merangsang, membangkitkan birahi!
"Fang Fang," Han-kongcu tersenyum. "Kau sudah melihat isi kereta bahwa tak ada
apa-apa di sini. Dan sesuai janjimu, silahkan kau pergi dan jangan ganggu kami
lagi." "Tidak," Fang Fang tiba-tiba sadar. "Aku belum memeriksa keseluruhannya, orang
she Han. Di belakang tempat duduk itu terdapat ruang!"
"Hm, kau curiga" Baiklah, periksa sepuasmu tapi setelah itu jangan ganggu kami
lagi. Silahkan!" Fang Fang menekan guncangan hatinya. Apa yang dilihat memang membuat darahnya
berdesir namun tiba-tiba dia ingat bahwa di belakang tempat duduk ada ruangan
kosong. Dia menekan semua pemandangan tadi dan cepat menguatkan batin. Bagi
orang muda seusia dia pemandangan paha yang gempal mulus memang dapat membuat
lupa segala, dan Fang Fang hampir mengalami ini. Tapi karena dia murid Dewa Mata
Keranjang dan Fang Fang berhasil menindas guncangan perasaannya tadi maka dia
melompat dan teringat kembali tugasnya. Dia harus membekuk dan menangkap Han-
kongcu ini karena dituduh menyembunyikan senjata terlarang di kereta. Dia harus
melihat itu dan menangkapnya. Tapi ketika ruang kosong diperiksa dan ternyata di
belakang tempat duduk itu tak ada apa-apa, kecuali sedikit rumput atau makanan
kuda maka Fang Fang tertegun dan mendengar Han-kongcu lagi-lagi bicara,
"Nah, kosong. Kau ditipu dan dihasut jenderal Bu itu, Fang Fang. Selayaknya kau
kembali dan menuntut tanggung jawabnya. Kau dipermainkan, Bu-goanswe sentimen
kepadaku. Sekarang biarkan kami pergi dan hukuman apa yang patut kauberikan pada
orang yang menipumu i-tu biarlah kupercayakan saja kepadamu!"
Fang Fang menggigil. Tiba-tiba saja dia menjadi marah dan menganggap Bu-goanswe
betul-betul menipu. Keparat, dia mendapat malu! Maka ketika Han-kongcu naik
kembali ke kereta dan tiga yang lain duduk dan mempersilahkannya keluar, mata
indah dari Tiong Li terbelalak dan menggetarkan hatinya tiba-tiba Fang Fang
menjadi malu dan gusar. "Baiklah," serunya. "Kau benar, Han-kongcu. Dan maaf untuk semuanya ini. Aku
akan kembali dan teruskanlah perjalananmu!"
"Ha-ha, terima kasih, Fang Fang. Dan aku percaya janjimu untuk tidak mengejar-
ngejar aku lagi.... hyehh!" dan mengeprak kuda menjalankan kereta tiba-tiba Han-
kongcu itu sudah melambaikan tangan dan pergi dengan wajah berseri-seri. Fang
Fang pucat dan malu serta marah. Dia tak mendapat bukti! Tapi begitu kereta
meluncur dan mengecil di sana maka Fang Fang berkelebat dan kembali ke tempat
semula. Dan Bu-goanswe kaget. Fang Fang langsung mencengkeram dan membentaknya.
Pemuda itu merah padam dan merasa terhina. Dan ketika jenderal itu dijengkangkan
dan didudukkan kasar maka para perwiranya yang ada di situ pucat melihat pemuda
ini marah-marah, marah besar!
"Bu-goanswe, kau menipu. Kau mempermainkan aku. Keparat, di kereta itu tak ada
senjata api!" "Ah-ah...!" sang jenderal terhenyak. "Apa katamu, Fang Fang" Aku mempermainkan
dirimu" Aku bohong" Keparat, lepaskan cekikanmu. Atau aku akan menampar mulutmu
dan kita bertanding sampai satu di antara kita mampus!"
Fang Fang merah padam. "Kau membuat aku malu," pemuda ini melepaskan cekikannya.
"Siapa bilang di kereta ada senjata api" Kereta itu tak ada apa-apa, kecuali
Tiong-siocia!" "Hm, kau tertipu," sang jenderal balik melotot memandang pemuda ini. "Sebelumnya
aku sudah melihat isi kereta itu, Fang Fang. Di kota raja! Tapi aku tak
menangkapnya karena waktu itu Han-kongcu tak ada di sana. Ketika aku pergi
sebentar untuk kencing di belakang tiba-tiba kereta itu lenyap dan Han-kongcu
telah pergi, kabur!"
"Kau yakin?" Fang Fang tertegun, tiba-tiba bingung. "Kau sendiri yang melihat
isi kereta itu" Tapi bagaimana tak ada apa-apanya ketika kuperiksa?"
"Itulah ketololanmu!" sang jenderal membentak. "Tadi sudah kuminta agar kita
pergi berdua, Fang Fang. Tapi kesombonganmu yang menganggap diri pandai tak mau
mendengar kata-kataku. Ada dua kesimpulan di sini. Bocah itu menyembunyikan
barangnya di tempat lain atau menukar kereta!"
Fang Fang terkejut. Tiba-tiba dia menjadi gugup mendengar itu. Bu-goanswe adalah
laki-laki gagah yang selama ini dikenal jujur dan tak pernah bohong, tegas dan
berwibawa dan kata-katanya itu beralasan juga. Kalau tidak menyembunyikan di
tempat lain barangkali keretanyalah yang ditukar. Dan ketika Fang Fang terkejut
dan dapat menerima itu maka si jenderal mencengkeram bajunya dan terpincang
pergi. "Mari kita lihat, siapa yang bohong dan dusta!"
"Eh," Fang Fang terkejut, diseret. "Nanti dulu, goanswe. Aku juga penasaran tapi
berjalan seperti ini tak bakal mengejar musuh. Marilah, pegang tanganku dan kita
terbang ke sana!" Fang Fang menyambar lengan orang, ganti meminta Bu-goanswe
berpegangan padanya dan tiba-tiba berkelebat. Pemuda ini juga masih dilanda
gusar dan malu. Sekarang dia di persimpangan jalan karena sikap serta kata-kata
Bu-goanswe tegas dan meyakinkan. Akhirnya dia curiga lagi kepada Han-kongcu itu.
Dan ketika dia bergerak dan terbang ke depan maka jenderal itu mencengkeramnya
dan memegangi lengannya erat-erat.
"Hu-ciangbu, susul kami. Semua berangkat dan tangkap jahanam keparat itu!"
Hu-ciangbu terkejut. Tadinya dia gelisah dan kaget melihat Fang Fang mencekik
Bu-goanswe. Kalau pemuda itu membunuh tak ada seorangpun di antara mereka yang
dapat menandingi. Murid si Dewa Mata Keranjang itu terlalu lihai! Tapi ketika
Fang Fang berhasil disadarkan dan kini mengajak atasannya pergi maka Hu-ciangbu
terpincang dan menyiapkan teman nya yang lain untuk melakukan pengejaran.
"Yang luka biar di sini, yang dapat berlari dan mengejar mari menyusul!"
Fang Fang sudah berkelebat lenyap. Bu-goanswe sendiri mula-mula terpincang dan
lari dengan marah, tak memperdulikan punggung dan lengannya yang sakit, kena
tembak. Tapi begitu Fang Fang mengangkatnya dan pemuda itu tak menginjak tanah
lagi maka jenderal ini juga terbang dan terbawa si pemuda, cepat bagai hantu
meluncur! "Eh-eh!" si jenderal berseru berulang-ulang. "Jangan terlampau cepat, Fang Fang.
Aku belum dapat mengikuti!"
"Hm, pegang saja lenganku, erat-erat. Aku membawamu dan tak perlu kau
mengeluarkan tenaga, goanswe. Cekallah tanganku dan jangan sampai lepas!"
Bu-goanswe melebarkan mata. Akhirnya dia kagum dan takjub karena kini tubuhnya
tidak menginjak tanah juga, sama seperti si pemuda. Fang Fang mengerahkan ilmu
lari cepatnya itu dan pemuda ini meluncur bagai seekor burung ter-.. bang, gagah
dan cepat luar biasa. Dan ketika deru angin tak kuat ditahan jenderal ini yang
terpaksa memejamkan mata, eh... tahu-tahu Fang Fang sudah menunjuk kereta di
depan. "Nah, itulah," pemuda ini berseru. "Lawan sudah hampir tersusul, goanswe. Dan
itulah kereta yang ditumpangi Han-kongcu!"
"Keparat!" Bu-goanswe mendelik, membuka mata. "Kereta itu bukan kereta yang
kumaksud, Fang Fang. Itu kereta lain!"
"Dari mana kau tahu?"
"Atapnya! Kereta yang kumaksud beratap hitam, tapi kereta itu merah. Ah, susul
jahanam itu dan suruh dia berhenti!"
Fang Fang tertegun. Akhirnya dia mulai percaya bahwa Han-kongcu menipunya, bukan
jenderal ini. Tapi ketika dia berkelebat dan siap menangkap tiba-tiba dari kiri
kanan muncul penunggang-penunggang kuda lain yang jumlahnya tigapuluh orang.
"Apa itu?" "Orang-orang bersaputangan hitam. Hm, rupanya Han-kongcu minta dilindungi Apa
pendapatmu, goanswe" Bagaimana sekarang?"
"Terus kejar, tangkap. Kita tak perlu takut atau jerih menghadapi mereka!"
"Hm, bukan begitu," Fang Fang mengerutkan kening. "Kau sedang terluka, goanswe.
Dan Han-kongcu sekarang dikelilingi banyak orang. Sebaiknya kau berhenti di sini
dan kususul jahanam she Han i-tu!"
"Heii..!" Bu-goanswe terkejut, tahu-tahu diturunkan dan ditotok di situ. "Jangan
macam-macam, Fang Fang. Lepaskan aku dan bebaskan!"
"Maaf," Fang Fang tak mau berdebat lagi. "Totokan ini hanya berlaku sepuluh
menit, goanswe. Dan setelah itu tentu para pembantumu tiba di sini. Aku tak
ingin kau bersamaku kalau bocah she Han itu dikelilingi pembantu-pembantunya.
Kau di sini saja, dan maaf aku meninggalkanmu sebentar!" dan Fang Fang yang
meloncat serta meninggalkan Bu-goanswe akhirnya berkelebat dan sudah meluncur di
depan. Bu-goanswe berteriak-teriak namun Fang Fang tak menghiraukan. Dia sudah
meloncat beberapa kali dan tahu-tahu tigapuluh orang berkuda yang mengawal di
belakang terkejut, melihat bayangan berkelebat dan Fang Fang sudah membentak
menyuruh kereta berhenti. Dan ketika kuda meringkik dan sekali lagi sais pucat
melihat Fang Fang maka seperti tadi kereta itupun dihentikan dengan paksa.
"Berhenti, dan maafkan aku!" Jerit dan pekik kaget terdengar di dalam. Kuda
berhenti dengan mendadak karena ditahan iengan Fang Fang, kokoh dan tak sanggup
dilawan empat ekor kuda hingga sais lagi-lagi terjungkal! Namun ketika orang-
orang berkuda mengeluarkan seruan keras dan Han-kongcu yang ada di dalam juga
melompat keluar, setengah terlempar oleh berhentinya kereta yang begitu mendadak
maka pemuda itu terkejut melihat Fang Fang menghadang di depan.
"Kau"!" pemuda ini pucat, berjungkir balik melayang keluar. "Ada apa lagi, Fang
Fang" Bukankah kau tak mengejar kami lagi" Kau bohong, pendusta!"
"Hm!" Fang Fang tak menghiraukan kepungan orang-orang bersaputangan hitam yang
saling berteriak dan memberi aba-aba. "Aku kembali karena justeru tertipu, Han-
kongcu. Sekarang aku ingin minta tanggung jawabmu kenapa menipu aku!"
"Dor!" sebuah tembakan dilepas ke atas. "Omongan apalagi ini, anak muda" Siapa
menipu dirimu?" "Hm, kau siapa?"
"Aku Lucker, utusan Tuan Smith!"
Fang Fang terkejut, tapi mendengus pendek. "Sementara ini aku tak berurusan
denganmu, minggirlah!" dan kembali menghadapi Han-kongcu yang lagi-lagi sudah
berdiri di samping ayahnya, laki-laki berpiyama itu maka Fang Fang coba
melupakan nama Tuan Smith yang bakal menggetarkan hatinya, karena menyebut nama
itu berarti sama dengan menyebut nama Sylvia, gadis kulit putih yang amat
dicintanya, cinta setengah mati!
"Han-kongcu, aku datang karena ingin bertanya kepadamu. Ke mana kereta beratap
hitam yang mula-mula kautumpangi dari kota raja. Nah, kereta itulah yang ingin
kuperiksa karena Bu-goanswe menyatakan bahwa di kereta itulah kau menyembunyikan
senjata!" "Bu-goanswe" Ah, jenderal itu lagi!" sang pemuda mengutuk. "Dia mengada-ada dan
mempermainkan dirimu, Fang Fang Aku sejak mula membawa kereta ini dan tak pernah
berpindah tempat. Jenderal itu mencari-cari dan menipumu lagi. Aku tak tahu
kereta yang dimaksud!"
"Hm, berani kau berhadapan dengan Bu-goanswe?"
"Maksudmu?" Han-kongcu terkejut, memberi kedipan rahasia ke kiri kanan. "Kau mau
menyuruh jenderal itu bertanding denganku" Ha, aku tak takut, suruh dia ke
mari!" "Bukan begitu," Fang Fang bersinar matanya. "Aku ingin mengadu kau dalam soal
siapa yang bohong, Han-kongcu. Kau atau dia. Kalau kau berani kuhadapkan padanya
dan bersikap jantan maka aku akan tahu siapa yang sebenarnya dusta dan tidak!"
"Boleh, suruh dia ke mari. Aku tak takut!" dan tertawa jumawa memberi kedipan
lagi pemuda ini menyelinapkan jari ke celana. Fang Fang melihat tonjolan di situ
dan sebagai pemuda yang mulai banyak pengalaman tahulah dia bahwa itulah moncong
senjata api. Han-kongcu membawa pistol! Tapi tak takut dan tertawa dingin tiba-
tiba dia berkelebat dan memasuki kereta. Lalu begitu dia keluar lagi dan
mendengar seman kaget di sana-sini tiba-tiba Fang Fang telah menyambar dan
mencengkeram kekasih Han-kongcu itu, nona Tiong!
"Orang she Han, aku tak ingin kau bersikap licik. Kalau kau jantan dan bicara
jujur tentu kau tak takut kalau aku membawa Bu-goanswe ke sini. Kekasihmu ini
sebagai jaminan, kalau kau bersikap curang atau licik tentu aku akan membunuh
kekasihmu ini!" "Keparat!" Han-kongcu terkejut. "Kau licik dan curang, Fang Fang. Kau menyandera
wanita. Tak pantas hal itu kaulakukan. Lepaskan dia!"
"Aku akan melepaskannya," Fang Fang tersenyum. "Asal kau tidak macam-macam dan
berani menyangkal itu di depan Bu-goanswe. Nah, tunggu di sini dan kupanggil
dia!" dan tidak menghiraukan si nona yang menjerit dan meronta-ronta, pucat,
Fang Fang berkelebat dan-menghilang lagi. Gerakannya seperti siluman dan orang-
orang yang mengepung tiba-tiba tak mampu mencegah. Mereka itu seakan menghadapi
iblis atau hantu saja, pergi dan datang sesuka hati. Namun ketika tak lama
kemudian Fang Fang sudah membawa Bu-goanswe, dengan tangan yang lain maka Han-
kongcu pucat dan sejak tadi menggigil gemetar.
Bu-goanswe tampak mendelik begitu melihat pemuda ini. Beberapa saat yang lalu
Fang Fang membebaskan totokannya tepat di saat anak buahnya bermunculan. Mereka
bercakap-cakap sejenak dan Bu-goanswe mengatur siasat. Lalu begitu dia dibawa
dan diajak pemuda ini kontan saja jenderal tinggi besar itu memaki-maki lawan.
"Bocah she Han, kiranya kau di sini bersama ayahmu. Dan orang bule itu di
pihakmu lagi. Keparat, tahu aku. Bukti-bukti lebih lengkap lagi dan mari ke
istana kalau kau berani menyangkal tuduhan memperjualbelikan senjata api! Hayo,
mana kereta beratap hitam itu dan kausem-bunyikan di mana puluhan peti-peti
senjata itu. Aku mempunyai saksi, dan kau tentu tak lupa pada kusir Tek yang


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaubunuh tapi berhasil kuselamatkan!"
Han-kongcu pucat. Belum membentak tahu-tahu dia sudah diberondong dan dihujani
pertanyaan bertubi-tubi itu. Dan ketika sang jenderal menyebut-nyebut nama kusir
Tek, yang membuat mukanya berubah semakin hebat maka Fang Fang berkelebat di
depannya berseru, "Nah, mari ke istana kalau kau bersih, Han-kongcu. Sangkallah kata-kata Bu-
goanswe kalau kau benar!"
Han-kongcu mundur. Pemuda ini melompat menjauh dan tiba-tiba tanpa banyak cakap
dia mencabut sesuatu di saku celananya itu. Hampir serentak sang ayah juga
mencabut pistol bersamaan dengan Lucker, si bule yang sudah mendapat isyarat
itu. Dan begitu mereka bergerak dan menyerang Bu-goanswe maka jenderal itu
mendapat tiga kali tembakan namun secepat setan Fang Fang menangkis.
"Dor-dor-dor..!"
Semua terbelalak. Dengan tangannya telanjang Fang Fang menghalau tiga butir
peluru itu. Dan ketika peluru mental sementara Bu-goanswe sudah ditendang
mencelat maka Fang Fang bergerak dan menyambar pemuda itu.
"Nah, ketahuan belangmu!" Fang Fang berseru. "Kaulah yang dusta dan bohong,
bocah she Hari. Kau tak berani ke istana dan menyangkal perbuatanmu.... des!" Fang
Fang yang menendang pemuda ini menghajar gemas tiba-tiba mau mengejar lagi
ketika dua tembakan berdesing di telinganya, disusul oleh teriakan atau bentakan
orang-orang berkuda yang sekonyong konyong maju meluruk. Mereka sudah mendapat
aba-aba namun Fang Fang berjungkir balik, turun dan menendangi mereka dengan
cepat sehingga sebelas tubuh terlempar dari kudanya, terbanting dan menjerit di
sana dan seketika keadaan menjadi geger. Fang Fang berkelebatan dan selanjutnya
orang-orang itulah yang dihajar atau dijatuhbangunkannya, karena mereka
melindungi Han-kongcu yang segera lari dan memasuki keretanya. Tapi ketika Bu-
goanswe juga bergerak di sana dan meskipun terpincang jenderal itu mampu melepas
pukulan Im-kangnya maka pemuda itu mencelat dan kereta yang sudah ditumpangi
mendadak roboh dan terguling telentang, keempat ekor kudanya meringkik keras,
kaget! "Kau jangan lari, hayo ikut aku!"
Han-kongcu pucat. Menghadapi jenderal ini tentu saja dia gentar. Bu-goanswe
menubruk tapi pistolnya meletus, sang jenderal melempar tubuh dan selamatlah
pemuda itu menggulingkan tubuh, meloncat bangun. Dan ketika Bu-goanswe menggeram
dan kembali menyerangnya maka empat kali peluru meletus namun empat kali pula
meleset, karena Han-kongcu gugup!
"Ha-ha, habis pelurumu, anak muda. Sekarang kau tak dapat menembak!"
Han-kongcu pias. Pada tarikan terakhir ternyata picunya mengeluarkan suara
"klik", peluru habis. Dan ketika sang jenderal menerkam dan tak memperdulikan
rasa sakitnya maka pemuda ini melem par tubuh bergulingan namun baju pundaknya
tersambar robek, mengeluh dan untuk berikutnya Bu-goanswe menyerang bertubi-
tubi. Han-kongcu mengelak sana-sini namun akhirnya terdesak hebat, berteriak
minta tolong dan saat itulah ayahnya datang. Dan ketika Han-ciangkun membentak
dan melepas tembakan pada pundak sang jenderal terluka namun saat itu muncullah
Hu-ciangbu dan sisa pasukannya yang lain.
"Tangkap pemberontak, kita tolong Bu-goanswe!"
Lawan menjadi kaget. Di sana Fang Fang berkelebatan seperti setan yang
menyambar-nyambar. Setiap kali dia bergerak setiap kali itu pula lawan
terpelanting roboh. Sekejap saja tigapuluh orang itu jatuh dari atas kuda dan
merintih-rin-tih. Fang Fang gemas kepada mereka karena orang-orang ini nekat
sekali melindungi Han-kongcu, yang setiap akan diserang tentu dihalangi orang-
orang ini. Maka ketika mereka diroboh-robohkan dan Fang Fang cemas tapi lega
melihat Hu-ciangbu dan kawan-kawannya muncul maka si bule anak buah Tuan Smith
itu dirobohkan terakhir kali ketika pelurunya habis dan tujuh kali menembak tapi
tujuh kali itu pula peluru mental mengenai tubuh Fang Fang yang kebal!
"Nah, kau sekarang pucat. Senjata apimu tak berguna. Robohlah, dan tunggu
hukuman di sana.... dess!" Fang Fang menendang laki-laki ini, tepat mengenai bawah
dagu" dan si bule kontan menjerit. Dia terpental dan terbanting roboh, seketika
kelengar, pingsan! Dan ketika Fang Fang berkelebat ke tempat lain dan Han-kongcu
pucat melihat anak buahnya hancur berantakan tiba-tiba pemuda itu meloncat ke
kereta dan menegakkan kereta yang terguling ini. Lalu begitu berdiri dan tidak
menghiraukan sekeliling lagi tiba-tiba pemuda itu mencengklak dan melarikan
kudanya. "Heii...!" sang ayah terkejut. "Tunggu aku, Han Kian. Jangan ditinggal...!"
Namun sang anak sudah terlampau gentar. Entah bagaimana Han-kongcu itu malah
mempercepat lari kereta, ayahnya berteriak-teriak tapi seolah tak didengar.
Namun ketika Fang Fang berkelebat dan berjungkir balik melewati kereta maka Han-
kongcu terkejut karena Fang Fang meluncur turun di tempat duduknya dan memberi
sebuah tendangan. "Kau berhentilah!"
Han-kongcu menjerit. Dia kaget dan panik begitu melihat Fang Fang. Berhadapan
dengan Bu-goanswe saja dia sudah pucat, apalagi pemuda lihai ini. Maka begitu
dia terlempar dan terguling-guling dari keretanya seketika pemuda itu mengeluh
dan ngeri serta minta ampun. Tigapuluh orang anak buahnya sudah tumpang-tindih
di sekitarnya tanpa dapat menolong. Han-kongcu benar-benar tinggal sendiri
karena ayahnya saat itu sedang serang-menyerang dengan Bu-goanswe, dengan
goloknya, karena senjata api sang ayahpun sudah habis pelurunya dan tak sempat
diisi lagi. Han-kongcu benar-benar sendiri dan pemuda itu terbang semangatnya,
mau meloncat bangun tapi apa daya tendangan Fang Fang tadi demikian keras.
Pemuda ini tak dapat bangun dan roboh lagi karena seluruh tubuhnya seakan remuk,
dadanya sesak. Maka ketika Fang Fang berkelebat dan menotoknya dengan sebuah
telunjuk jari seketika pemuda itu terjungkal dan Han-ciangkun yang melihat itu
tiba-tiba berteriak dan meninggalkan Bu-goanswe.
"Berikan anak terkutuk itu kepadaku!"
Fang Fang terkejut. Han-ciangkun melompat ke arahnya dan golok di tangan tiba-
tiba dibuang, hal yang membuat Fang Fang tertegun, lega, menganggap Han-ciangkun
itu tak akan menyerang dan dia mundur. Tapi begitu Han-kongcu didekati dan sang
ayah mencabut sesuatu, pistol cadangan, tiba-tiba saja pistol itu diarahkan ke
kepala Han-kongcu dan : anaknya itu ditembaknya dengan keji.
"Dor!" Kejadian berlangsung cepat. Fang Fang sendiri tak mengira kejadian itu
dan berteriaklah sang anak ditembak dari dekat. Kepala Han-kongcu berlubang dan
tentu saja pemuda itu tewas seketika, menggelepar dan tidak bergerak-gerak lagi,
nyawanya terbang ke langit.
Dan ketika Fang Fang membentak dan siap menghadapi kejadian berikut, karena Han-
ciangkun diduga akan menyerang dan kalap ternyata laki-laki itu membuang senjata
apinya dan tersedu, berlutut. "Aku menyerah, tapi anakku sudah kuhukum. Semua
terserah Bu-goanswe atau Fang-siauwhiap (pendekar muda Fang) untuk memperlakukan
aku!" Bu-goanswe dan Fang Fang membelalakkan mata. Mereka tak mengira atau menduga
kejadian cepat itu. Han-ciangkun menembak anaknya! Tapi ketika Bu-goanswe sadar
dan membentak maju maka jenderal ini menendang dan memaki lawannya itu.
-o~dewikz~abu~-o - Jilid : XXI "KAU manusia biadab. Tak kenal kasihan!"
Han-ciangkun menangis. "Maaf, aku terpaksa melakukan itu, goanswe. Anakku memang
berdosa dan hanya kematianlah yang pantas untuknya. Aku tak menduga bahwa ia
terlibat dalam perdagangan senjata gelap. Aku malu dan lebih baik kubunuh
daripada dibunuh orang lain!"
Bu-goanswe melotot. "Kau sangka dirimu juga bersih" Kau menganggap diri sendiri
tak terlibat dalam perdagangan ini" Bah, aku tahu semuanya, Han-ciangkun. Dan
kau juga tak luput dari dosa. Hayo ikut ke kota raja dan pertanggungjawabkan
semua ini ditambah lagi kematian anakmu yang kaubunuh!"
"Aku tak melakukan jual beli senjata gelap," Han-ciangkun terbata. "Yang
bersalah adalah anakku, goanswe. Yang berdosa adalah anakku. Aku tak tahu dan
sudah berulang kali menasihatinya untuk tidak melakukan yang tidak-tidak namun
dia melanggar!" "Hm, tak usah banyak omong. Di sana ada kusir Tek dan dialah yang akan
menceritakan sepak terjangmu pula. Hayo, kau kutangkap. Menyerah baik-baik atau
terpaksa aku menghabisi nyawamu!"
"Aku memang sudah menyerah," si panglima menunduk. "Mau dibunuh atau tidak
adalah urusanmu, goanswe. Tapi tentang tuduhan ini aku dapat membela diri di
istana. Baiklah, boleh kau ikat aku dan mari kita lihat."
Bu-goanswe mendengus. Dia menyuruh Hu-ciangbu mengikat dan selesailah
pertempuran di situ. Orang-orang yang roboh malang-melintang juga diikat,
akhirnya diseret dan dibawa ke kota raja. Mayat Han Kian atau Han-kongcu itu
dikubur. Semua diam-diam bergidik melihat kekejaman Han-ciangkun ini. Betapa
teganya. Anak sendiri dibunuh! Tapi ketika Han-ciangkun ditawan dan menyerahkan
diri baik-baik ternyata di kota raja terjadi suatu kejadian yang tak diduga.
A-tek, kusir kereta yang diselamatkan Bu-goanswe dari pembunuhan Han-kongcu
ternyata meninggal. Laki-laki itu kedapatan menggantung diri di atas pohon. Tak
ada bekas-bekas siksaan, tak ada bekas-bekas penganiayaan. Dan ketika Bu-goanswe
memeriksa dan mendapatkan sepucuk surat tinggalan, yang digenggam di tangan
laki-laki itu ternyata A-tek bunuh diri karena takut pembalasan Han-kongcu.
"Aku tak mau menjadi saksi. Aku takut. Aku hanyalah orang kecil. Biarlah Bu-
goanswe urus sendiri persoalan itu dan lebih baik aku ke alam baka."
Sang jenderal tertegun. Fang Fang i-kut membaca dan terkejut. Kusir itu, seorang
laki-laki muda berperawakan kurus rupanya memang dilanda ketakutan bertubi-tubi,
setelah akan dibunuh Han-kongcu yang akhirnya juga tewas. Laki-laki itu rupanya
gelisah dan kelihatan bingung, mengambil jalan pendek dan rupanya dia memilih
bunuh diri daripada disuruh menjadi saksi oleh Bu-goanswe, jenderal yang garang
dan keras. Dan ketika Fang Fang membelalakkan mata sementara sang jenderal
membanting kakinya, kecewa, maka mayat laki-laki itu diturunkan namun Bu-goanswe
tetap menghadapkan Han-ciang-kun dalam tuduhan terlibat perdagangan senjata api,
di depan kaisar. Namun Bu-goanswe kalah bukti. Semua tawanan yang ditangkap rata-rata memberikan
keterangan bahwa mereka tak berhubungan dengan panglima she Han itu. Yang mereka
hubungi adalah Han-kongcu, puteranya. Dan karena saksi satu-satunya tiada lagi
karena hanya kusir Tek itulah yang tahu segalanya ma-ka Han-ciangkun dibebaskan
dari tuduhan dan Bu-goanswe malah disuruh minta maaf!
"Gila!" sang jenderal melotot gusar. "Aku tahu bahwa Han-ciangkun inilah yang
membawahi anaknya, Fang Fang. Dialah yang bersembunyi di balik layar dengan
mengatur perdagangan senjata gelap. A-tek telah menceritakan kepadaku karena
kusir itulah yang telah berkali-kali disuruh mengantar dan memberikan senjata
api kepada orang-orang tertentu, calon pemberontak!"
"Hm, tapi kau tak mempunyai bukti lagi," Fang Fang mengerutkan alis. "Di sini
kau lemah, goanswe. Dan tanpa bukti memang tak mungkin kau menuduh membabi-buta
kepada Han-ciangkun. Panglima itu ternyata bersih. Kaisar dapat membedakan
kesalahan anaknya dan sang ayah. Kau tak boleh melepaskan kebencian."
"Keparat, kebencian bagaimana" Aku tahu Han-ciangkun itulah yang berdiri di
balik layar, Fang Fang. Dialah yang mengatur semuanya ini dan memasang sang a-
nak di depan!" "Tapi kau tak dapat membuktikannya."
"Ya, karena bocah she Tek itu telah mati. Tapi aku curiga. Jangan-jangan kusir
itu bukan menggantung diri melainkan digantung orang lain!"
"Hm," Fang Fang tersenyum hambar. "Menurutkan emosi dan bicara dalam keadaan
panas begini dapat menduga yang tidak-tidak, goanswe. Akan semakin melantur
saja. Sebaiknya kautenangkan diri dan beristirahatlah. Aku mau pergi."
Sang jenderal melompat. "Tidak," serunya menggigil. "Enam bulan ini terjadi
gerakan-gerakan serius, Fang Fang. Sejak kau pergi mencari anakmu itu diam-diam
di kota raja timbul persekongkolan tidak sehat. Kuminta jangan kau pergi dulu
dan tolonglah negara mengatasi kesulitan!"
"Hm," Fang Fang mengerutkan kening. "Aku punya urusan, goanswe. Dan kau tahu
itu. Aku tak mau diganggu dan tak kulihat gejala-gejala seperti yang kaukatakan
itu." "Goblok, kau memang orang awam! Kau tak tahu bencana yang akan terjadi! Ah,
dengar kata-kataku, Fang Fang. Sejak kau dan gurumu pergi dari sini maka di kota
raja terjadi kasak-kusuk dan jual beli senjata api. Masing-masing panglima mau
berkomplot dan mengadakan pemberontakan. Mereka dihasut seseorang dan orang
inilah yang hendak kucari. Jangan kau pergi!"
Fang Fang terkejut. "Kau serius?"
"Setan, pernahkah aku bicara mainmain" Eh, jangan memandang aku seperti itu,
Fang Fang. Aku serius dan kau tahu aku tak pernah bohong! Nah, dengarkan. Di
sini ada gerakan-gerakan kuat yang bertendens jual beli senjata api. Dan karena
senjata api adalah alat untuk memberontak maka negara sesungguhnya berada dalam
bahaya dan perang. Kaudengarkan ini!" sang jenderal mencengkeram lengan si
pemuda, tak mau Fang Fang pergi dan pemuda yang sudah bangkit berdiri itu
disuruhnya duduk kembali. Sang jenderal tampak serius, gemetar. Dan ketika Fang
Fang duduk dan mendengarkan dengan mata terbelalak maka satu demi satu pemuda
itu mulai mengetahui apa yang semula tidak diketahui.
Ternyata, sejak kepergiannya enam bulan yang lalu tiba-tiba saja gerakan itu
muncul. Jual beli senjata api menderas dan hanya Bu-goanswe serta beberapa o-
rang tertentu sajalah yang tahu. Semua i-tu terjadi secara diam-diam dan Bu-
goanswe tentu saja terkejut. Senjata api dilarang di Tiongkok. Siapa yang
melakukan akan dirampas dan pelakunya dihukum. Paling ringan penjara seumur
hidup, selebihnya adalah hukuman mati! Tapi ketika semua itu tak menjadikan
pelakunya jera dan perdagangan demikian santer di dalam istana maka Bu-goanswe
marah dan mulai bertindak
Tapi mereka adalah orang-orang licin. Bu-goanswe menghadapi sindikat yang rapi
dan teratur, juga cerdik. Setiap gerakan itu terlihat dan akan ditangkap tiba-
tiba saja mereka menghilang. Bukti-bukti lenyap, seperti hilangnya kereta yang
ditumpangi Han-kongcu itu. Kejadian yang membuat jenderal Bu melotot lebar dan
menggeram membanting-banting kaki. O-rang yang dihadapi ternyata manusia-manusia
licin di mana berkali-kali dia gagal dan menemui kehampaan. Namun karena gerakan
itu deras arusnya dan betapapun tercium juga maka pagi itu Bu-goanswe mencegat
Han-kongcu tapi si pemuda sudah keburu kabur.
"Gerakan ini menjadi-jadi. Mereka demikian berani dan akan melakukan apa saja
sejak kau dan gurumu tak ada di sini. Nah, ini mungkin alasan yang menjadikan
mereka kurang ajar dan berani, Fang Fang. Sampai tadi pagi aku menerima
informasi akan gerak-gerik Han-kongcu itu. Kusirnya, A-tek, disiksa dan
dijebloskan ke sumur maut. Aku kebetulan mendengar rintihannya dan menolong. Dan
ketika kusir itu kunaikkan dan kutanya maka semua perbuatan Han-kongcu
diceritakan dan aku sempat memeriksa kereta beratap hitam itu. Tapi sayang,
bocah itu terlalu licin dan kereta yang kumaksud sudah ditukar dan kini entah
berada di mana!" "Hm-hm, agaknya cukup serius," Fang Fang mengangguk-angguk. "Tapi kau baru
mendapatkan seorang bocah she Han itu saja, tidak lain-lainnya. Barangkali
memang hanya Han-kongcu ini saja yang terlibat, goanswe. Selebihnya bukan!"
"Tidak, bukan begitu!" sang jenderal melotot. "Aku mendengar lagi tiga empat
perwira melakukan hal yang sama, Fang Fang. Tapi aku seorang diri tentu saja tak
sanggup menyelidiki berbareng. Aku dan Koktaijin coba membagi tugas dan
kebetulan aku yang lebih dulu mengejar Han-kongcu itu tapi sayang si bocah sudah
ditembak ayahnya sendiri!"
"Dan A-tek itu, kenapa dia disiksa dan hendak dibunuh?"
"Kusir itu ketakutan, Fang Fang. Katanya dia sudah diawasi Koktaijin dan takut
keluar membawa senjata kiriman. Kiranya Koktaijin juga sudah mengendus gerak-
gerik Han-kongcu itu tapi aku yang lebih dulu mengejarnya!"
"Dan A-tek dibunuh, karena tak mau mengantar senjata?"
"Benar." "Dan siapa perwira-perwira lain yang kaucurigai itu?"
"Lieciangkun dan Gokciangkun serta panglima Coa dan Bing!"
"Hm, nama-nama yang belum kukenal, tapi sudah pernah kudengar. Bukankah mereka
adalah komandan-komandan perbatasan yang sering berganti tugas?"
"Itulah, tapi aku tak mendapat bukti, Fang Fang. Mereka orang-orang licin bagai
belut yang tak mudah ditangkap!"
"Dan aku hendak kau minta menjebak orang-orang ini, begitukah?"
"Betul, aku sendiri dan Koktaijin kurang tenaganya, Fang Fang. Tak mungkin kami
berdua harus menangkap sindikat penjualan senjata api itu tanpa bantuan tenaga
yang lihai. Dan kebetulan kau datang. Aku sudah mengutus orang untuk mencarimu
tapi kau tak tentu rimbanya!"
"Hm, aku pergi ke mana-mana, mencari anakku yang hilang itu. Masa tinggal di
suatu tempat hingga mudah ditemukan?"
"Baiklah, aku mengerti, Fang Fang. Dan aku prihatin bahwa kau belum juga
menemukan anakmu itu. Aku berjanji a-kan menyebar orang-orangku untuk menemukan
anakmu yang hilang itu, sementara kau bantulah aku menjebak dan membekuk orang-
orang yang menjualbelikan senjata api ini. Kau tidak keberatan, bukan?"
"Hm," Fang Fang menarik napas. "Sebenarnya berat aku melaksanakan permintaanmu
ini, goanswe. Tapi karena ini menyangkut calon-calon pemberontak biarlah
kulakukan. Tapi kau berjanjilah sungguh-sungguh bahwa kaupun menyebarkan orang-
orangmu untuk mencari anakku yang hilang itu!"
"Tentu, aku berjanji, Fang Fang. Dan aku siap menyebar seratus anak buahku


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari anakmu itu!"
Fang Fang mengangguk. Dia percaya dan akhirnya mau juga menerima permintaan ini.
Bu-goanswe memang patut ditolong. Tapi ketika dia siap melaksanakan tugas
mendadak sebuah panggilan dari kaisar didapatnya.
"Siauwhiap diminta datang menghadap. Sri baginda ingin menemui siauwhiap."
"Ada apa?" Fang Fang tertegun.
"Kami tak mengerti, tapi harap siauwhiap datang dan kami siap mengiring."
"Hm, tak usahlah," Bu-goanswe tiba-tiba berseru, juga merasa aneh. "Biar aku
yang membawa pemuda ini ke sana, pengawal. Pergi dan sampaikan kepada sri
baginda bahwa sebentar lagi kami datang!"
Gajahmada 1 Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad Pendekar Riang 15
^