Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 10

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 10


"belum tentu begitu."
"Harap anda suka memberitahu nama anda dulu." saat
itu baru Ki Ing kedengaran membuka mulut.
"Kerucuk tak ternama, rasanya lebih baik tak perlu
memberitahu namanya."
"Lebih baik anda lekas lanjutkan perjalanan sendiri!"
"Kenapa?" "Kalau anda memang masih ingin hidup, lebih baik anda
lekas pergi." "Pergi sih boleh saja tetapi harus bersama kalian berdua!"
"Engkau cari mati?"
"Ih, jangan nona begitu galak, nanti tak bisa mendapat
mertua. " Merah pipi Ki Ing. segera ia memberi perintah: "Siau
Hui, kerjai dia!" Siau Hui mengiakan. Dia ayun tubuhnya ke udara lalu
berjumpalitan dan menukik turun dalam gerak yang indah
sekali. "Ah, terhadap nona yang begini cantik, aku siorang tua
ini benar2 tak sampai hati turun tangan! " seru orang tua itu
seraya menampar dengan tangan kanan.
Wut... Segulung tenaga yang dahsyat melanda ke arah Siau Hui
sehingga Siau Hui mendesuh kejut dan serentak dengan
bunyi yang keras, tubuh Siau Huipun mendesus ke belakang
sampai tiga tombak gantinya. Tetapi dengan cepat, Siau
Huipun melenting bangun. Dia memang tak menderita luka
apa2, tetapi wajahnya tampak pucat lesi.
"O, anda menghina aku," seru Ki Ing seraya loncat turun
dari kudanya. Lelaki tua itu turunkan pikulannya. Kedua tangan
mendorong ke muka dan seketika terdengarlah jeritan ngeri.
Ke-dua ekor kuda dari Ki Ing dan Siau Hui rubuh
menggelepar di tanah, putus nyawanya
Melihat itu diam2 Cu Jiang terkejut. Ilmu tenaga-dalam
dari iblis itu benar2 telah mencapai tataran yang tinggi
sekali. Wajah si cantik Ki Ing berobah membesi dan sepasang
matanyapun memancarkan kilat pembunuhan.
"Tikus, engkau berani menghina aku!" teriaknya seraya
tebarkan jari tangannya untuk menyerang orang desa itu.
Namun walaupun menghadapi jurus serangan yang luar
biasa ganas dan dahsyat, lelaki desa itu tak gentar, ia
menggurat-guratkan kedua tangannya dan lekas serangan
Ki Ing yang dahsyat itupun terhapus seketika.
"Kalau ayahnya hebat, puterinyapun jempol. Cukup
menggairahkan seranganmu, sayang masih kurang mantap!" Ki Ing hentikan serangannya dan berseru:
"Harap anda memberitahukan diri anda!"
"Telah kukatakan." sahut lelaki tua itu dengan tak acuh,
"disini bukan tempat yang sesuai. Kita cari lain tempat."
Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa agaknya iblis Long
sim mo itu tahu akan asal usul Ki Ing. Itulah sebabnya
maka dia mengatakan "ayah lihay, puterinya tentu jempol".
Lalu siapakah ayah dari Ki Ing itu" Apakah pemilik dari
lencana Hek-hu itu" Sekonyong-konyong terdengar derap kuda mencongklang gemuruh dan pada lain kejap muncul
delapan penunggang kuda baju hitam. Yang tiga orang,
berjajar lurus. Jelas mereka itu kawanan Pengawal Hitam.
"Lekas kemarilah," bisik penjual itu seraya loncat masuk
ke dalam hutan di tepi jalan.
Aneh dikata. Entah bagaimana Ki Ing dan Siau Huipun
segera ikut menyusup ke dalam hutan itu.
Cu Jiang terkejut. Hendak memainkan siasat apakah iblis
Long sim-mo itu" Setelah masuk ke dalam hutan. Long-sim mo tidak
melanjutkan langkah masuk lebih dalam. Ki Ing dan Siau
Hui tegak termangu-mangu di samping iblis itu. Mereka
sama membisu Wajahnya tegang sekali seperti melihat
hantu. Tempat ketiga orang itu bersembunyi hanya terpisah tiga
tombak dari tempat Cu Jiang. Cu Jiang terpaksa menahan
napas dan tak berani bergerak.
Pada saat ketiga orang itu masak ke dalam hutan, empat
orang penunggang kuda pun tiba. Salah seorang berbaju
hitam itu lalu mengangkat tangan ke atas dan keempat
penunggang kuda serempak berhenti.
"Hai, celaka, inilah kuda tunggangan milik siocia .. ."
teriak orang baju hitam itu.
Mendengar Itu Cu Jiang segera menyadari. Ki Ing itu tak
lain adalah puteri dari ketua Gedung Hitam. Memang
waktu itu Ki Ing hanya memberitahukan nama tanpa
menyebut shenya karena kata she akan menyangkut nama
ayahnya. Begitu pula lencana Hek hu yang diberikannya itu
banyak berpengaruh terhadap lingkungan anak buah
Gedung Hitam. Lain2 orang persilatan tak kenal.
Ah, dia ternyata puteri dari musuhnya yang paling
dibenci. Sesaat Cu Jiang tertegun dalam kelongongan yang
menghanyutkan segera ia berpikirnya.
Iblis Long sim-mo dengan menyaru sebagai orang desa
hendak mencari ketua Gedung Hitam tentulah mempunyai
rencana. Keempat penunggang kuda itupun loncat turun dan
memencar ke sekitar tempat itu.
"Ji Bing, lekas lepaskan pertandaan untuk memberitahu
kepada pohcu !" seru Pengawal Hitam yang tua.
"Baik," salah seorang menyahut lalu mengambil panah
berapi dan pelana kuda. "Ha, ha, ha, ha . . ." tiba2 terdengar suara orang tertawa
gelak2 dan seram, seorang lelaki desa tua muncul dan
menghampiri mereka. "Berhenti." teriak orang tua baju hitam, "ko-jiu dari
manakah anda ini ?" Namun lelaki desa itu tetap berjalan seraya menyahut:
"Apa-apaan sih segala macam ko-jiu " Seorang penjaja
barang2 yang menjual segala macam jarum dan alat2
kecantikan wanita, sedang lewat digunung ini."
Orang tua baju hitam mendengus dingin: "Hm, sahabat,
beritahukan namamu!"
Lebih kurang empat tombak dari tempat kawanan baju
hitam itu, barulah si penjual berhenti. Memandang kearah
Pengawal Hitam yang sedang memegang panah berapi, dia
berseru: "Tak perlu begitu !"
"Jadi peristiwa disini engkau yang melakukan ?" seru
orang tua baju hitam pula.
"Peristiwa apa ?"
"Engkau mengapakan kedua nona itu?"
"O, tidak kuapa-apakan, masih tetap seperti sediakala."
Tiga orang Pengawal Hitam serentak melolos pedang
dan berpencar mengepung penjual tua itu. Tetapi penjual
barang2 itu tenang2 saja.
"Sahabat, tahukah engkau siapa nona yang seperti puteri
keraton itu ?" "Apakah bukan puteri dari Gedung Hitam?"
"Kalau sudah dapat menduganya, jelas engkau memang
sengaja . . ." "Anggap saja begitu !"
"Apa maksudmu ?"
"Tak perlu bertanya. Percuma saja kalian tahu. Kalian
berempat tinggal saja disini."
"Maju !" serentak orang tua baju hitam itu berteriak
marah. Tiga batang pedang segera berhamburan melayang dari
tiga Jurusan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang. Tetapi
waktu penjual itu kebaskan lengan bajunya, ketiga pedang
itupun tersiak semua. Suatu peristiwa aneh telah terjadi. Ketiga Pengawal
Hitam itu tidak menyerang lagi. Pedang mereka terkulai
dan orangnyapun tegak seperti palang.
Orang tua baju hitam terbelalak lain membentak sekeras-
kerasnya: "Engkau pakai racun..." baru dia berkata begitu tiba2
diapun tertegun diam. Cu Jiang terkejut sekali. Kiranya Long-sin-mo dapat
menguasai Ki Ing dan Siau Hui kemudian keempat anak
buah Gedung Hitam itu bukan dengan ilmu sihir tetapi
dengan kekuatan racun. Jelas suatu jenis racun yang luar
biasa, tidak bersuara dan tidak berwujud, tetapi tahu2 orang
telah kehilangan kesadaran dirinya.
Tiba2 dia mendengar suara orang tertahan berturut-turut.
Ternyata keempat anak buah Gedung Hitam itu telah
dibantai Long-sim-mo. Iblis itu mencakar hancur batok
kepala mereka. Menilik caranya yang ganas itu, tepatlah
kalau dia dijuluki sebagai Long-sim-mo atau Iblis-berhati-
serigala. Setelah membunuh keempat orang itu, Long-Sim-mo
masuk kedalam hutan lagi. Sambil memandang Siau Hui,
dia bergumam: "Kalau kubawa, sebenarnya memang merepotkan. Tetapi
kalau kuhancurkan, juga sayang sekali. Jarang sekali bisa
mendapatkan Cewek2 seperti mereka berdua. Kalau
kubuang bukankah suatu kehilangan besar" Hm, biarlah
kunikmati dulu baru nanti melanjutkan perjalanan lagi."
Habis berkata dia terus menggapai: "Mari jalan lagi !"
Entah bagaimana kedua nona itu amat mendengar kata
sekali, Disuruh jalan terus jalan. Mengikuti Long sim-mo
masuk lebih dalam kedalam hutan.
Timbul pertentangan hatin Cu Jiang. Haruskah ia
menolong kedua nona itu. Tetapi Ki Ing adalah puteri dari
musuh besarnya. Ah, seorang lelaki harus dapat menarik
garis antara budi dan dendam. Dia pernah menerima
kebaikan dari nona itu. Dan bagaimanapun juga, dia masih dapat merasakan
curahan hati Ki Ing. Dan lagi Long-sim-mo itu juga salah
seorang musuh yang dibasmi. Tentu takkan dilepaskan
begini saja. Setelah mengambil keputusan, diapun segera mengikuti
jejak mereka. Kira2 satu li jauhnya, jalanan mulai sukar
dilalui. Long sin-mo berhenti di sebuah tempat. Dia
menarik Siau Hui ke bawah pohon.
"Kalau engkau dapat melayani dengan baik, aku tentu
akan membawamu dalam perjalanan," katanya dengan
mata memancarkan nafsu binatang yang menyala-nyala.
Dia menerkam lengan Siau Hui, sedang sebelah
tangannya mengelus-elus pipi dara itu.
"Heh, heh, manis, mari kita menikmati kesenangan yang
memuaskan!" ia tertawa mengekeh. Namun Siau Hui tetap
tertegun seperti patung. Demikian pula Ki Ing yang berada
disebelah, juga tak mengadakan reaksi suatu apa.
Melihat itu seketika terbayanglah ingatan Cu Jiang akan
peristiwa yang lampau dimana mamahnya, anak perempuan dari paman Liok telah diperkosa. Seketika
meluapkan hawa pembunuhan. Serentak dia membuka
kopiah lalu mengenakan kerudung muka dan mengenakan
pakaian sebagai pelajar. Saat itu Long-sim-mo memondong Siau Hui diletakkan
di atas tumpukan daun kering.
"Lekas buka pakaianmu, bukalah..."
Siau Hui memang benar2 kehilangan kesadarannya. Dia
menurut saja perintah orang dan mulai membuka sabuknya.
Long-sim mo menunggu dengan tertawa menyeringai.
Pada saat itu Cu Jiangpun melesat muncul. Memang tak
kecewa Long sim-mo menjadi anggauta Sip-pat thian-mo.
Cepat dia berputar tubuh dan tertegun ketika melihat Cu
Jiang. "Engkau mau cari mati" " bentaknya.
Cu Jiang hanya memandang tajam2 dan tidak menyahut.
Rupanya Long sim mo seperti teringat sesuatu.
"Ho, apakah engkau ini bukan Toan kiam jan jin itu?"
bentaknya. "Benar, memang aku." sahut Cu Jiang dengan nada
dingin. Long sim mo menyurut mundur selangkah. Dahinya
berkerunyutan hawa pembunuhan yang seram.
"Bagus, budak, memang aku hendak mencarimu!"
serunya gemetar. "Long sim mo, saat kematianmu sudah tiba!"
"Akan kucincang tubuhmu untuk membalas dendam
saudara-saudaraku." "Huh, mampukah engkau?"
"tring," pedang kutungpun serentak dicabutnya.
Tanpa tampak bergerak tahu2 tubuh Long sim mo sudah
melayang ke muka Cu Jiang dan terus kebutkan kedua
lengan bajunya. Cu Jiang rasakan hidungnya terbaur hawa harum
sehingga kepalanya agak pening tetapi pada lain kejap
sudah segar lagi. Dia tahu bahwa Long sim mo mulai
menebarkan racun wangi tetapi karena dia menyimpan
mustika Thian ju cu pemberian dari Busan sinli, maka
diapun kebal terhadap segala racun. Tetapi saat itu dia
pura2 terhuyung agar dikira terkena racun.
Benar juga, Long sim mo segera tebarkan jari tangannya
dan maju menerkam. Saat itu tak disia-siakan oleh Cu
Jiang. Sekali membabatkan pedang, huakkkk .... terdengar


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jeritan ngeri dari mulut Long sim mo. Lengan kiri iblis itu
telah kutung dan jatuh di tanah, darah menyembur seperti
air mancur. Tetapi iblis itu memang luar biasa. Walaupun menderita
luka parah tetapi dia tetap gesit. Selekas kehilangan
lengannya, dia terus enjot tubuhnya loncat ke belakang dan
melarikan diri. "Berhenti! " tetapi baru dia hendak lari Cu Jiang sudah
melesat dan menghadang di depannya. Sudah tentu kejut
iblis itu bukan kepalang. Namun dia masih berusaha untuk
bersikap tenang. "Budak kecil, engkau berani mengganggu aku" " serunya
dengan garang. "Benar, aku hendak membunuhmu!" sahut Cu Jiang
dingin. Saat itu Long-sim-mo sudah menutuk lengannya untuk
menghentikan pendarahan. Ia mundur beberapa langkah
dan membentak: "Engkau . . . tidak takut racun?"
"Racun" Huh, apa racun itu" Bukankah hanya mainan
orang persilatan saja?"
"Budak, engkau .... sebenarnya siapa?"
"Toan-kiam jan-jin, menerima perintah dari suhuku guna
membereskan kawanan Sip pat-thian mo!"
"Siapa suhumu?"
"Gong-gong cu, tahu?"
"Engkau .. engkau murid Gong-gong-cu ..."
"Serahkan jiwamu!" Cu Jiang ayunkan pedang dan
terdengar lagi jeritan ngeri dari Long-sim-mo disusul
dengan tubuhnya yang rubuh dalam genangan darah.
Setelah membereskan iblis itu, Cu Jiang berputar tubuh.
Seketika darahnya mendebur keras sekali. Buru2 dia
berbalik diri lagi. Ternyata saat itu Siau Hui sudah membuka seluruh
pakaiannya sehingga menimbulkan pemandangan yang
mengerikan hati Cu Jiang.
Pemuda itu pejamkan mata. Setelah berhasil menenangkan gejolak darahnya, dia tidak berani berbalik
tabuh lagi melainkan terus menghampiri ke tempat Ki Ing.
Menghadapi dara yang menjadi puteri musuh besarnya,
Cu Jiang benar2 kehilangan faham. Dia mengeluh mengapa
nasib telah menggariskan keadaan yang sedemikian
kejamnya. Antara suara hati dengan tugas.
Tetapi bagaimanapun halnya, dia telah bertunangan
dengan Ho Kiong Hwa. Dengan demikian segala pertalian
hati yang tak dikehendaki akan putus itu tetap putus juga.
Ki Ing memandangnya dengan terlongong-longong.
Wajahnya tak menampilkan suatu reaksi apa2. Sikapnya
yang ceria pun tak tampak sama sekali.
Cu Jiang mengambil mustika Thian-Ju-cu dan diserahkan kepada dara itu.
"Kulumlah dalam mulut!"
Ki Ing menyambuti dan terus memasukkannya ke mulut.
Beberapa saat kemudian tampak matanya mulai bersinar.
Sikapnya yang kakupun mulai bersemangat lagi.
Melihat itu Cu Jiang memerintahkan supaya si dara
memuntahkan mustika dalam mulutnya.
Ki Ing membuka mulut hendak berkata dan meluncurlah
mustika itu keluar. Cu Jiang cepat menyambutinya,
menyurut mundur beberapa langkah untuk melihat
bagaimana perkembangan dara itu.
Tak berapa lama wajah Ki Ing tampak mengerut rasa
heran dan kejut. "Siapakah anda?" akhirnya ia berseru.
Sebelum Cu Jiang menyahut, pandang mata Ki Ingpun
sudah terbentur pada Siau Hui yang telanjang bulat.
Serentak berobahlah cahaya wajah dara itu:
"Binatang, aku hendak membunuhmu !" teriaknya seraya
menyerang Cu Jiang dengan jurus maut.
Cu Jiang beringsut dengan gerak langkah Gong-pong-
poh-hwat. Diam2 Cu Jiang memuji ilmu kepandaian yang
dimiliki Ki Ing memang hebat sekali.
Serangannya luput, Ki Ing cepat mengganti Jurus.
Setelah memperhatikan arah tempat Cu Jiang dia tentu
tebarkan lengan bajunya. Dari jarinya mendesis angin yang
gencar kearah Cu Jiang. Itulah ilmu Lau-hoa-hud-hian-jiu atau Tamparan jalan-
darah yang sudah Jarang terdapat dalam dunia persilatan.
Ci Jiang menghindar dan berseru:
"Nona, harap tahan dulu."
"Aku harus menghancurkan tubuhmu !" teriak Ki Ing
dengan menyala-nyala kemarahannya.
"Seharusnya nona bertanya dulu tentang peristiwa ini."
"Perlu apa harus bertanya lagi, bukti sudah jelas didepan
mata." "Apakah nona tak dapat mengingat lagi peristiwa yang
terjadi beberapa saat tadi ! Cobalah lihat, mayat siapa yang
menggeletak ditanah itu?"
Ki Ing memandang kearah mayat Long-sim-long dan
seketika dia seperti teringat sesuatu.
"Apakah penjual tua itu anda yang membunuhnya ?"
serunya. "Ya." "Oh. kalau begitu aku..."
"Dia bukan seorang penjual biasa melainkan Iblis ketiga
dari Sip-pat-thian mo yang bergelar Long-sim-mo !"
"Hai, Long-sim-mo" Siau Hui . . ."
"Kalau terlambat sedikit aku muncul, entah bagaimana
keadaannya." Ki Ing merah wajahnya. "Siau Hui, mengapa tak lekas berpakaian ?" ia meneriaki
bujangnya. Tetapi Siau Hui hanya memandang nona majikannya
lalu mengenakan pakaiannya lagi. Tetapi gerakannya
lambat sekali. "Nona berdua telah terkena racun penghilang kesadaran
dari Long-sim mo. Racun dalam tubuh nona sudah hilang
tetapi dia belum." "O, benar," teriak Ki Ing terkejut, "mustika yang engkau
bawa tadi, apakah bukan ..."
"Bukan, itu mustika untuk menghilangkan racun !"
"Jika begitu, andalah yang menolong kami berdua. Aa,
aku bersikap kurang pantas, harap anda memaafkan dan
terima kasih." "Tak usah." "Tolong tanya anda . . ."
"Mengapa tidak menolong dia dulu ?"
Merah muka Ki Ing, serunya:
"Kalau begitu terpaksa akan merepotkan anda sekali
lagi." Cu Jiang segera menyerahkan mustika Thian-ju cu
dengan pesan agar Siau Hui mengulum dimulut.
Pada saat Ki Ing mengobati Siau Hui, Cu Jiang yang
berdiri dibelakang mereka masih sibuk menimang-nimang.
Apakah ia akan menanyakan tentang letak Gedung Hitam
kepada Ki Ing. Demikian juga tentang asal usul ketua
Gedung Hitam itu" Tetapi teringat akan curahan kasih serta budi
pertolongan dara itu, Cu Jiang bersangsi. Budi dan dendam
harus dipisahkan agar dia tidak mengecewakan diri sebagai
seorang persilatan. Saat itu Ki Ing dan Siau Huipun sudah menghampiri dan
menyerahkan mustika Thian-Ju-cu serta tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Tiba2 Siau Hui berteriak:
"Siocia, dia ...."
"Dia kenapa ?" Ki Ing kerutkan alis.
"Dia adalah Toan-kiam-jan-jin."
"Ah !" Ki Ing berteriak kaget dan terus menyurut mundur
tiga langkah, memandang dengan penuh kejut kepada Cu
Jiang. katanya, "Apakah anda benar Toan kiam-jan-jin ?"
"Benar," sahut Cu Jiang.
"Kali ini kami berdua keluar dari rumah pun perlu
hendak mencari..." tiba2 dara itu merasa kelepasan bicara
dan berhenti. Tetapi apa maksudnya sudah jelas.
"Nona meninggalkan Gedung Hitam secara diam2,
apakah karena diriku ?" cepat Cu Jiang menyambung.
"Apakah anda sudah tahu asal usul diriku?"
"Ya." Tiba2 wajah Ki Ing tampak muram. "Tetapi anda tetap
menolong kami berdua !"
"Itu lain soal."
"Apakah anda mempunyai dendam permusuhan hebat
terhadap keluargaku ?"
"Memang benar seperti yang nona katakan."
Wajah dara itu menampilkan kedukaan, katanya dengan
rawan: "Sampai kapankah bunuh membunuh itu akan berakhir?"
"Sampai yang harus mati itu sudah mati." sahut Cu Jiang
dengan nada dingin. "Mengerikan sekali!"
"Kurasa tak tepat kalau aku membicarakan soal itu
dengan nona." Mendengar itu Ki Ing tundukkan kepala. Beberapa saat
kemudian dia baru mengangkat muka.
"Aku hendak minta tanya sebuah hal kepada anda."
"Silahkan." "Apakah Gok Jin-Ji seperguruan dengan anda?"
Cu Jiang tak mengira kalau Ki Ing akan mengajukan
pertanyaan begitu. Dia tergetar hatinya.
"Aku tak kenal dengan Gok jin-Ji," setelah merenung
beberapa jenak akhirnya ia menjawab.
"Benarkah itu?" Ki Ing kerutkan alis.
"Tentu," Jawab Cu Jiang. "dalam dunia persilatan
manakah terdapat seorang tokoh yang bernama Gok-jin-ji?"
Sejenak Ki Ing keliarkan pandang kontak Siau Hui, lalu
bertanya pula: "Aku hendak bertanya lagi tentang seseorang !"
"Siapa ?" "Pelajar baju putih !"
Lagi2 hati Cu Jiang mendebur keras. Tetapi dengan nada
dingin dan hambar ia menjawab.
"Siapakah dia?"
Wajah Ki Ing makin tegang dan matanyapun bersinar.
Kemudian menggigit lidah seperti telah mengambil
keputusan penting. Lalu dengan suara yang sarat ia berkata:
"Mungkin dia adalah putera tunggal dari Dewa pedang
Cu Beng Ko." "Oh." Cu Jiang pura2 terkejut, "mungkin saja! Apakah
nona belum merasa pasti ?"
"Hampir dapat memastikan."
"Siapa namanya?"
"Cu... Jiang." Sengaja Ki Ing menyuarakan nama itu dengan panjang
sambil memperhatikan wajah Cu Jiang. Dia ingin melihat
bagaimana reaksi pemuda itu. Tetapi karena Cu Jiang
mengenakan kain kerudung muka maka Ki Ingpun hanya
dapat melihat sinar mata pemuda itu yang berkilat-kilat
memancarkan dendam kebencian. Namun buat Ki Ing hal
itu sudah cukup menjadi bukti bagi Ki Ing.
Memang karena masih berdarah panas, Cu Jiang sukar
untuk menyembunyikan luapan perasaannya sehingga
terpancar dari sinar matanya.
"Apakah hubungan nona dengan dia ?" tanya Cu Jiang.
"Harap anda menjawab dulu, kenal atau tidak
kepadanya?" Untuk menghindari desakan si nona dan sekalian hendak
mengetahui apa maksud tujuan nona itu, maka Cu
Jiangpun menjawab: "Memang pernah bertemu beberapa kali."
"Tentu tidak hanya itu saja ?"
"Terserah nona percaya atau tidak."
"Baik, untuk sementara aku percaya. Lalu di mana dia
sekarang ?" "Dunia begini luas, sukar mengatakan."
Ki Ing menggigit bibirnya lagi, lalu berkata dengan nada
gemetar: "Apakah anda tak mau memberitahu ?"
"Tetapi nona belum mengatakan pertanyaannya," sahut
Cu Jiang. Tiba2 Siau Hui menyelutuk:
"Terus terang saja, siocia kami memang menaruh hati
kepadanya ..." Merah muka Ki Ing. Dia buru2 tundukkan kepala.
Dengan kuatkan hati, Cu Jiang berkata: "Lebih baik
nona hentikan pemikiran itu..."
Ki Ing merentang kedua matanya.
"Apa maksud kata-katamu ?" serunya membelalak.
Cu Jiang berusaha untuk menekan perasaannya dan
berkata dengan nada tenang.
"Seharusnya nona tahu sendiri."
"Aku tak mengerti !"
"Ah, nona terlalu mendesak."
"Mengapa tak anda katakan yang terang ?"
"Tak perlu kukatakan tentulah nona sudah menyadari
sendiri." Wajah Ki Ing berobah pucat dan berseru dengan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemetar: "Anda maksudkan permusuhan antara kedua belah
pihak?" "Benar." "Dendam itu mudah dinyatakan, sukar dihapus. Kurasa
...." "Dendam itu memang tak dapat dihapus!"
Wajah Ki Ing makin tak sedap dipandang dan terhuyung
mundur selangkah. Ditatapnya Cu Jiang dengan tajam.
"Sukalah anda memberitahu jejak pelajar baju putih
itu..!" serunya. "Aku tak dapat memberitahukan."
"Harap anda suka membuka penutup muka anda."
"Nona, tahukah nona bahwa soal itu tak dapat
kulakukan?" "Kalau kukatakan . . ."
"Mengatakan apa?"
"Bahwa anda inilah pelajar baju putih itu!"
Gemetar tubuh Cu Jiang. Kemudian dia tertawa nyaring
sampai lama. Setelah berhenti tertawa baru dia berseru:
"Bagaimana tiba2 nona timbul anggapan begituan ?"
"Tidak aneh." "Lalu?" "Maukah anda membuka penutup muka anda?"
"Tidak dapat !"
Tiba2 Siau Hui menyelutuk.
"Kalau aku jadi pelajar baju putih itu, aku takkan
menyembunyikan diri dengan mengatakan kalau sudah
mati. Budi atau dendam, harus ada suatu penyelesaian yang
jelas!" Diam2 Cu Jiang mengakui bahwa omongan bujang itu
memang tepat sekali. Seharusnya ada penyelesaian.
Dia teringat ketika hendak memasuki gunung, apabila
tidak mendapat pertolongan nona dan bujangnya itu jelas
dia tentu mati ditangan musuh. Dan waktu turun gunung,
apabila tidak mendapat pemberian lencana Hek hu, juga
sukar untuk lolos dengan selamat.
oee-dw-eeo Tetapi dendam berdarah dari keluarga, harus dihimpaskan. Jika tidak membunuh Ki Ing dan Siau Hui,
itupun sudah termasuk membalas budi kebaikan keduanya.
Demikian pikiran Cu Jiang menimang-nimang suatu
penyelesaian dan akhirnya ia memutuskan bahwa
penyelesaian itu baiklah ditangguhkan sampai terdapat
suatu kesempatan yang baik di kemudian hari.
Setelah mengambil keputusan dia segera memberi
hormat: "Maaf, aku hendak mohon diri!"
"Tunggu dulu!" Ki Ing berteriak dan melesat menghadang. "Nona masih hendak memberi pesan apa?" seru Cu
Jiang. Sepasang biji mata dara cantik itu merah membara dan
berseru dengan penuh dendam.
"Engkau sungguh kejam sekali!"
"Ah, nona salah duga."
"Pelajar baju putih, Gok jin-ji, Toan-kiam-jan jin, semua
adalah satu orang yalah engkau sendiri!"
"Ha, ha, ha, ha..."
"Tak ada yang harus ditertawakan. Mari kita bicara
dengan sesungguhnya."
"Apa lagi yang harus dibicarakan?"
"Engkau benar2 seorang manusia yang tak punya
perasaan hati." Sebenarnya dalam hati Cu Jiang tergerak akan
pernyataan Ki Ing yang begitu tulus mencintainya. Tetapi
bagaimanapun, dia harus teguhkan hati untuk melakukan
balas dendam. Dia akan membasmi ketua Gedung Hitam. Jika dia
berhati lemah, akibatnya tentu celaka. Maka sengaja dia
berkata dengan dingin: "Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah insan yang anda
impikan itu." Bercucuran air mata Ki Ing mendengar kata itu, serunya
setengah meratap: "Aku bukan akan mengemis cintamu, hanya . . ."
Sampai disitu Ki Ing tak melanjutkan kata-katanya.
"Aku melakukan pertolongan hanya sekedar memenuhi
kewajiban sebagai seorang persilatan. Kalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana?"
"Tiada alasan mengapa aku harus menolong."
"Toan kiam jan jin," teriak Ki Ing dengan menggigit
bibirnya, "tak peduli siapa sesungguhnya dirimu itu. Kita
tak mempersoalkan hal2 yang lain hanya aku hendak
bertanya kepadamu. Apakah tujuanmu datang kemari
karena hendak menuntut balas.?"
"Benar, apakah nona sudah puas?"
"Engkau tahu apa akibat dari tindakanmu itu?"
"Nona sendiri menganggap bagaimana?"
"Akibatnya tentulah pertumpahan darah, kematian,
entah fihak yang mana. "
"Benar, memang demikianlah yang akan ku lakukan."
"Engkau tahu siapa diriku tetapi engkau tak mau
membunuh bahkan menolong, mengapa?"
"Seorang persilatan tahu bagaimana harus bertindak dan
bagaimana tidak harus bertindak. Lain kali mungkin saja !"
"Mengapa tidak sekarang ?"
"Itu menyalahi pendirianku semula !"
"Sampai berapa jauh engkau hendak membalas dendam
nanti?" Dengan mata berkilat-kilat memancar api, berkatalah Cu
Jiang penuh kemantapan: "Gedung Hitam akan kucuci dengan darah."
Menggigil tubuh Ki Ing mendengar ucapan dendam
kesumat anak muda itu. Ia menyurut mundur dan berseru:
"Kalau sebelum dapat melaksanakan tujuanmu engkau
keburu meninggal, lalu bagaimana ?"
"Itu terserah pada nasib," sahut Cu Jiang tanpa ragu2.
"Nasib itu ditanganmu sendiri. Pada detik2 dimana
engkau akan menentukan pilihan, mengapa engkau tak mau
merubah nasib ?" "Nona tak perlu berkering lidah untuk mempengaruhi
aku !" "Engkau senang pertumpahan darah ?"
"Dalam dunia persilatan
Gedung Hitam sudah termasyhur sebagai sumber kejahatan, pertumpahan darah
dan pembunuhan. Setiap orang persilatan yang mempunyai
rasa kesatryaan, tentu akan membencinya. Mengapa nona
menuduh aku senang menumpahkan darah?"
"Yang hendak engkau tuntut itu pembalasan dendam
peribadi atau untuk kepentingan umum?"
"Kedua- duanya."
"Tak dapat dihentikan?"
"Tidak mungkin bisa!" habis berkata Cu Jiang terus
gunakan tata - langkah Gong - gong poh-hwat menyelinap
lenyap. Ki Ing menghela napas panjang.
"Ah, jika tahu begini, mengapa kita dulu berjumpa ?"
Siau Hui menghampiri. "Siocia, apakah engkau sudah menyadari?"
"Tidak !" "Apakah siocia menganggap memang dia orangnya ?"
"Benar." "Jika begitu mari kita pulang, rasanya tiada gunanya kita
keluar rumah." "Tidak !" "Apakah siocia masih . . ."
"Kurasa tak perlu aku hidup di dunia ini!"
Mendengar itu Siau Hui terkejut sekali.
"Mengapa siocia berkata begitu ?" serunya dengan
cemas, "Satu sama lain tak terikat suatu pertalian hubungan
yang akrab, tetapi hanya..."
"Engkau tak mengerti."
Saat itu Cu Jiang belum berapa jauh. Dia tengah ganti
pakaiannya penyamaran lagi. Sudah tentu dia dapat
mendengar pembicaraan kedua nona itu. Tetapi soal itu tak
dapat menggoyahkan pendiriannya untuk menuntut balas.
Sekonyong-konyong empat sosok bayangan menyiak
ranting dan semak, menerobos kedalam hutan. Melihat Ki
Ing dengan Siau Hui, mereka terkejut dan gopoh memberi
hormat. "Atas titah pohcu, mohon siocia suka pulang ke gedung,"
salah seorang berseru. Ki Ing deliki mata. "Aku tidak pulang, pergilah kalian !"
Keempat orang itu adalah Pengawal Gedung Hitam.
Orang yang berbicara tadi memberi hormat lagi dan
berseru: "Siocia, kami mendapat perintah dari ayahanda siocia .."
"Enyah !" bentak Ki Ing.
Tepat pada saat itu sebuah suara terdengar menyambuti:
"Moay-moay, toako datang menjemputmu !" dan
serentak muncullah seorang pemuda dalam pakaian seorang
bu-su warna kuning emas. Siau Hui cepat menggamit ujung baju nona majikannya
namun Ki Ing tetap bersikap manja, serunya:
"Toako, aku tak ingin pulang."
"Engkau hendak kemana?" sambil berkata pemuda itu
menghampiri maju. "Dalam gedung terlalu sempit perasaanku. Aku hendak
keluar mencari hiburan."
Di tempatnya, Cu Jiang diam2 gembira karena putera
dari ketua Gedung Hitam muncul disitu.
Pemuda baju kuning emas itu tertawa:
"Ah, moay-moay, engkau tak tahu keadaan..."
"Mengapa tak tahu ?"
"Saat ini waktu apa?"
"Hampir petang hari."
"Bukan itu yang ku maksudkan !" kata pemuda itu pula
"saat ini merupakan saat2 yang gawat bagi gedung kita.
Thong-thian-kau tetap akan berusaha untuk merebut
kedudukan kita dari dunia persilatan. Anak buah kita
banyak yang sudah menjadi korban. Sedang diluaran
bertambah lagi dengan munculnya Toan-kiam-Jan jin . ..
hai, siapakah yang mati itu ?"
"Salah seorang dari kawanan Sip-pat thian-mo yang
bergelar Long sim-mo !"
Seketika wajah pemuda itu berobah. "Long-sim-mo ?" ia
mengulang, "Benar." "Ah, kiranya lawan sudah berani menyusup masuk
kedalam pusat daerah kita. Mungkin beberapa korban yang
berada di jalan sebelah luar hutan itu dia yang
membunuhnya." "Siapa lagi kalau bukan dia !"
"Moay moay yang membunuhnya ?"
Agak ragu Ki Ing hendak menjawab tetapi akhirnya ia
berkata: "Hampir saja aku terkena tangan beracunnya."
"Lalu siapa yang membunuhnya ?"
"Toan kiam-jan jin!"
"Toan-kiam jan jin ?" pemuda baju kuning emas itu
berteriak kaget, wajah berubah dan mundur selangkah lalu
berseru. "kalau begitu dia tentu juga sudah menyusup
kemari." "Itu sudah dapat diduga,"
"Tetapi mengapa tak ada laporan dari para penjaga ?"
"Dengan kepandaiannya yang tinggi rasanya para
penjaga itu tentu sukar untuk mengetahui jejaknya."
"Mengapa dia membunuh Long-sim-mo ?"
"Menolong aku dan Siau Hui."
"Dia tahu siapa dirimu?"
"Tidak tahu." "Apa saja yang kamu bicarakan."
"Tidak ada pembicaraan apa2. Dia dingin sekali. Muncul
dan lenyap secara tiba2"
Pemuda itu berpaling kearah keempat Pengawal Hitam,
serunya: "Lekas kalian kembali ke gedung dan beritahu bahwa
Toan-kiam-jin Jin sudah masuk kedaerah ini. Perkuat
penjagaan!" Keempat Pengawal Hitam itu mengiakan lalu melesat
pergi. Cu Jiangpun segera melesat keluar hutan. Dari Jarak
beberapa tombak, ia lepaskan tutukan-dari Jarak Jauh.
Seorang Pengawal Hitam itu mendengus dan rubuh.
Ketiga kawannya kaget. Tanpa sebab mengapa
kawannya itu mendadak rubuh. Setelah saling bertukar
pandang, mereka bertiga terus lari. Cu Jiang melepaskan
tutukan - Jari lagi dan seorang Pengawal Hitam rubuh lagi.
Yang dua orang makin ketakutan sehingga kakinya
lunglai. Seorang lelaki desa muncul dari gerumbul pohon.
Melihat itu kedua Pengawal Hitam segera mengangkat
pedang dan berseru: "Hei, sahabat darimana ?"
"Mengambil nyawa." Baru berkata begitu, lelaki desa itu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah melambung dan hantamkan kedua tangannya. Tak
sempat lagi kedua pengawal Hitam itu menggerakkan
pedangnya, tubuh mereka mencelat membentur pohon.
Terdengar erang tertahan mereka. Cu Jiang menyusuli
dengan dua buah tutukan jari dan melayanglah jiwa kedua
orang itu. Setelah membunuh empat orang Pengawal Hitam dia
masih belum puas. Dia lari kembali ke tempatnya tadi.
Tiba2 dia melihat Ki Ing dan Siau Hui lari menuju ke
arahnya. Buru2 dia bersembunyi ke pinggir. Setelah ketiga
orang itu lewat diam2 dia mengikutinya.
Saat itu timbul berbagai pertimbangan dalam hati Cu
Jiang. Apakah dia harus membunuh putera dari ketua
Gedung Hitam saat itu atau tidak.
Akhirnya ia memutuskan, untuk sementara dia takkan
membunuhnya melainkan akan menggunakannya sebagai
penunjuk jalan. Sekeluar dari hutan mereka tiba di jalan besar. Karena
takut akan diketahui mereka, Cu Jiang bersembunyi dengan
hati2. Tiba di puncak gunung, matahari sudah condong ke
barat. Ki Ing bertiga masuk lagi ke rumah makan tadi. Jelas
rumah makan itu tentu mempunyai hubungan dengan
Gedung Hitam. Ki Ing tak mau minum arak juga tak mau
bicara. Dia hanya makan dengan gegas. Pemilik rumah
makan melayani sendiri dengan sikap yang menghormat.
Cu Jiang yang juga masuk ke rumah makan itu,
mendahului keluar dan menunggu di luar kota. Tak berapa
lama tiga ekor penunggang kuda mencongklang keluar dari
kota itu. Haripun mulai malam. Malam di pegunungan lebih pagi
datangnya dari di kota. Cu Jiang lalu gunakan ilmu
meringan-tubuh untuk menyusul.
Setelah melintasi beberapa puncak, tampak sebuah biara
kecil disebelah depan. Mereka bertiga hentikan kuda dan
pemuda baju kuning emas itu bersuit. Sesosok bayangan
muncul dari tempat gelap.
"Menghaturkan hormat kehadapan sau-pohcu!"
"Ya. Bawa perintahku, sampaikan kepada mereka agar
penjagaan lebih diperlipat gandakan !"
"Baik." kata orang itu terus mengundurkan diri.
"Moay moay, mari kita masuk kedalam bersama, aku
hendak bicara tentang sedikit soal kepadamu."
"Bicara sambil berjalan apakah tidak leluasa?"
"Tidak. Itu penting sekali tak boleh didengar orang lain."
"Nanti kalau pulang ke gedung kita bicarakan lagi."
"Juga kurang leluasa kalau bicara di gedung."
"Ah, jangan koko jual rahasia. Kitakan engkoh adik,
masakan tak bisa omong2 dalam rumah . . ."
"Nanti engkau tentu tahu sendiri." habis berkata dia
berpaling kepada Siau Hui, "pulanglah dulu untuk memberi
laporan. Siocia segera akan menyusul, agar pohcu dan hujin
(nyonya majikan) tidak gelisah."
"Baik," Siau Hui terus mencongklangkan kudanya.
Diam2 Cu Jiang bingung. Akan mengikuti Siau Hui atau
tetap mengikuti gerak-gerik kedua engkoh dan adik
perempuannya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap
mengikuti Ki Ing saja. Betapapun ia ingin juga mendengar
apa yang akan dibicarakan kedua saudara itu.
Ki Ing dan engkohnya menuju ke biara kecil. Dalam
pada itu Cu Jiangpun menyadari bahwa saat itu dia berada
di daerah yang gawat. Penjagaan didaerah itu tentu sangat
ketat. Maka dia harus berhati-hati sekali. Sepanjang
berjalan mengikuti kedua engkoh adik itu, dia selalu
menggunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat.
Seorang thaubak atau kepala kelompok segera muncul
menyambut kedatangan Ki Ing dan engkohnya. Setelah
turun, keduanya menyerahkan kuda-kudanya kepada
thaubak itu. "Suruh anak buah dalam biara keluar semua. Walaupun
terjadi apa saja, mereka dilarang masuk ke dalam biara,"
pemuda baju kuning emas itu memberi perintah.
Thaubak mengiakan lalu membunyikan pertandaan
rahasia, setelah itu dia masuk kedalam hutan disamping
biara. Seperti bayangan setan, Cu Jiang menyelinap masuk ke
biara itu. Biara itu tak berapa besar" Kecuali pintu besar,
didalamnya hanya terdapat tiga buah ruang. Ruang muka
merupakan ruang besar, sedang dua ruang yang lain tampak
gelap. Tak ada penerangannya dan sunyi senyap.
"Lekas bilanglah, koko," rupanya Ki Ing tak sabar.
"Kita masuk ke ruangan," sahut engkohnya.
Setelah masuk kedalam ruang gelap itu, pemuda baju
kuning emas itu duduk diatas sebuah kursi bundar
kemudian mempersilahkan Ki Ing duduk di kursi yang di
sebelah muka. Dengan ragu2, duduklah Ki Ing. Tetapi sekonyong-
konyong dia menjerit terus rubuh ke lantai.
Dari sela2 dinding disebelah luar ruang itu, Cu Jiang
mengintai kedalam. Walaupun gelap sekali tetapi berkat
matanya yang tajam dapatlah ia melihat keadaan dalam
ruang itu. Pada saat Ki Ing duduk, cepat sekali pemuda itu sudah
menutuk Jalan darah nona itu.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Mengapa tiba2 pemuda
itu menutuk Ki Ing. Bukankah keduanya engkoh dan adik "
Karena jalan darahnya tertutuk, Ki Ing masih dapat
bicara tapi tak dapat berkutik.
"Koko," serunya gemetar. "apakah artinya ini?"
Pemuda baju kuning emas itu tertawa riang: "Moay-
moay, aku cinta padamu."
Seketika mendidihlah darah Cu Jiang. Hampir dia tak
percaya akan pendengarannya. Bukankah pemuda itu
engkoh dari Ki Ing" Mengapa dia mengucapkan kata2
begitu. "Apa katamu ?" teriak Ki Ing tak kalah kejutnya.
Pemuda itu cepat mendekap pipi Ki Ing dan berkata
dengan bisik-bisik. "Aku cinta padamu, aku akan memiliki engkau selama-
lamanya." "Apa engkau gila!" teriak Ki Ing.
"Tidak, aku tidak gila."
"Lalu mengapa engkau berkata begitu ?"
"Karena aku cinta kepadamu. Bukan sehari dua hari
tetapi sudah bertahun-tahun, kutunggu sampai engkau
dewasa ..." "Engkau . . . engkau ... benar2 sudah gila . . . "
"Aku tetap waras."
"Engkau mau apa?"
"Adik yang baik, kawinlah dengan aku . .."
"Engkau . . . engkau ..." Ki Ing bercucuran airmata.
Tetapi pemuda baju kuning emas itu malah tertawa
gembira. "Moay-moay, saat ini marilah kita jadikan hari baik kita
itu ... " "Engkau . . . berani?"
"Aku cinta kepadamu, takkan kubiarkan engkau jatuh ke
tangan lain orang." "Engkau manusia atau binatang?"
"Sudah tentu aku seorang manusia."
"Aah, kalau ayah dan mamah tahu, engkau tentu
dibunuh!" "Jangan kuatir, mereka takkan melakukan itu."
Mendengar pembicaraan itu seketika meluaplah kemarahan Cu Jiang. Benar-2 dia tak menduga bahwa di
dunia terdapat manusia yang lebih rendah martabatnya dari
binatang. Pada saat ia hendak bertindak . . .
"Sebenarnya engkau bukan adikku!" tiba2 terdengar
pemuda itu berkata. Cu Jiang tertegun dan hentikan langkah.
Ki Ingpun seperti disambar kilat kejutnya. "Aku bukan
adikmu?" serunya gemetar.
"Bukan !" "Engkau ngaco!"
"Kalau tak percaya tanyakanlah pada mamahmu!.."
"Mamahku " Apakah mamahku bukan mamah mu?"
"Bukan !" "Mamahku sudah lama meninggal dan aku ikut ayah."
"Engkau hanya ngaco belo .. .."
"Dengar! Ini bukan ngaco belo, tetapi memang sungguh.
Waktu engkau masih kecil, engkau datang ke gedung
bersama mamahmu." "Benarkah itu?"
"Aku bersumpah."
"Lalu siapa ayahku ?"
"Tanya pada mamahmu."
"Ah !" Ki Ing benar2 terpagut rasa kejut yang tak terhingga
ketika mendengar asal-usul dirinya. Bahwa menurut
keterangan pemuda yang dianggap sebagai engkohnya
sendiri, ternyata antara dirinya dengan engkohnya itu
ternyata bukan saudara. Engkohnya itu adalah anak dari ketua Gedung Hitam
dengan mamah yang lain. Dan ia sendiri adalah anak dari
mamahnya yang berasal dari papahnya yang sudah
meninggal. Jelasnya ketua Gedang Hitam itu seorang duda dengan
seorang anak, menikah dengan seorang Janda yang juga
sudah membawa anak. "Lepaskan aku." teriak Ki Ing setelah menyadari keadaan
saat itu. "Moay moay, engkau tentu tahu bahwa permintaanmu
tentu tak dapat kulakukan," sahut pemuda baju kuning
emas. Ki Ing menjerit kalap. "Bunuhlah aku !"
Tetapi pemuda itu tak menghiraukan. Dia alihkan
tangan mulai membuka pakaian Ki Ing seraya berbisik:
"Moay-moay, apakah aku sampai hati membunuhmu?"
"Sekalipun kelak aku jadi setan, aku tetap takkan
mengampuni mu." "Moay-moay, sejak kecil kita bermain-main bersama dan
sama2 berangkat dewasa."
"Huh!" "Moay-moay.." Rasa malu, marah gugup dan geregetan meluap dari
dada Ki Ing. Ia menguak memuntahkan darah segar lalu
pingsan .... Saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi. Cepat ia
melesat keluar... Tetapi hampir berbareng dengan langkahnya itu, dalam
ruang itu terdengar suara orang mengerang. Cu Jiang
hentikan gerakannya. Tampak pemuda baju kuning emas
Itu menggelepar di tanah. Ternyata punggungnya telah
tertancap sebatang pedang pendek yang menyusup masuk
hingga tinggal tangkai saja yang kelihatan.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Pembunuhnya itu cepat
dan lipat sekali gerakannya. Tetapi siapakah gerangan
orang itu " Kecuali ketua Gedung Hitam, siapakah yang
memiliki keberanian untuk membunuh siau-pohcu"
Kalau bukan ketua Gedung Hitam tetapi orang luar,
mengapa sama sekali tak terdengar suaranya memasuki
ruang itu" Jelas tadi pemuda itu telah memerintahkan kepada
semua anak buah Gedung Hitam yang berada dalam kamar
keluar semua. Dengan begitu tak mungkin terdapat orang
yang bersembunyi dalam ruang itu.
Karena tak dapat memecahkan pertanyaan itu, Cu Jiang
mementang mata dan memandang tajam ke sekeliling ruang
itu. Tetapi dia tak melihat suatu apa.
"Sahabat dari manakah yang telah turun tangan ini,
harap suka unjuk diri," akhirnya ia berseru.
Tetapi sampai diulang beberapa kali tetap tiada jawaban.
Dengan perangainya yang keras kepala, bukan mundur
tetapi kebalikannya Cu Jiang malah ingin mengetahui
peristiwa aneh itu. Cepat ia melesat masuk.
Tiba2 terpencarlah sepercik penerangan dan seketika
ruang itu telah terang benderang. Cu Jiang terkejut, mundur
tiga langkah. Entah kapan datangnya, ternyata di muka
arca dalam ruang itu telah berdiri seorang wanita
pertengahan umur yang cantik.
Sedang di atas meja terletak sebutir mutiara besar.
Mutiara itulah yang memancarkan sinar penerangan.
Wanita itu memiliki kecantikan yang cemerlang sekali
sehingga orang takut untuk menatapnya.
Dahulu ketika masih muda, tentulah dia merupakan
seorang Jelita yang jarang terdapat tandingannya.
"Adakah wanita cantik Itu yang membunuh pemuda
atau siau-pohcu itu ?"
Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang,
berkatalah wanita itu dengan lembut:
"Dari manakah sahabat ini ?"
"Berburu dan kesasar tiba disini," sahut Cu Jiang.
"Berburu orang atau berburu binatang ?"
Cu Jiang tertegun, "Sudah tentu berburu binatang, masakan berburu
manusia ?" "Tetapi di gunung ini tiada jenis binatang yang berharga
diburu." "Baru pertama kali ini aku datang kemari."
"Sahabat, didepan area sang Buddha, Jangan menyulut
dupa palsu. Gunung ini merupakan daerah pangkalan
Gedung Hitam yang penting. Penuh dengan penjagaan
sehingga burungpun sukar terbang melintasi gunung ini.
Aku sungguh kagum atas nyali dan kepandaianmu . . ."
"Rasanya tak perlu kujelaskan lagi," kata Cu Jiang.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu tertawa, ujarnya:
"Mengingat-ingat kau hendak menolong puteriku tadi,
akupun takkan bertanya lebih lanjut tentang asal-usulmu ..."
Cu Jiang terperanjat. Ia tak menyangka bahwa wanita
cantik itu adalah isteri dari ketua Gedung Hitam.
"Adakah nyonya yang membunuh sau pohcu tadi ?"
serunya agak heran. "Benar, karena dia sendiri yang cari mati," Menilik nada
ucapan wanita itu, apa yang diceritakan pemuda baju
kuning emas Kepada Ki Ing tadi memang benar. Rupanya
antara nyonya itu dengan si pemuda, tak ada hubungan
darah apa2. "Kuperingatkan kepadamu!" kata wanita itu pula.
"lekaslah engkau tinggalkan gunung ini. Engkau dapat
datang tentu mampu pergi juga."
Apa boleh buat, Cu jiang terpaksa tak mau bertindak
dulu sebelum ia mengetahui jelas siapa dan bagaimana
keadaan ketua Gedung Hitam itu.
Serentak ia memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih atas nasehat wanita itu. Kemudian dia berputar tubuh
dan melesat keluar dengan tata-langkah Gong gong-poh-
hwat. Tetapi cepat ia membiluk lalu dengan hati2
menyelundup masuk lagi. Dilihatnya wanita cantik dan Ki Ing berdiri berhadapan.
Air mata. Ki Ing bercucuran dan mulutnya mengertek lagi.
"Ma, engkau sudah lama berada dalam biara ini, tetapi
mengapa engkau membiarkan saja binatang ini . . ."
"Anakku, serigala yang berhati buas, sudah lama
kuperhatikan. Tak kira dia berani bernyali besar. Beruntung
ditengah jalan aku bertemu dengan Siau Hui. Dia
mengatakan bahwa engkau diajaknya kedalam biara ini.
Aku seperti mencium gelagat tak baik dan bergegas datang
kemari. Aku masih menunggu kalau2 dia sadar dan dapat
menghentikan perbuatannya yang gila itu tetapi ternyata
tidak. Maka akupun terpaksa turun tangan membunuhnya."
"Apakah keterangannya itu benar semua?"
"Ini .... hanya sebagian yang benar."
"Bagaimana jelasnya?"
"Dia memang ikut ayahnya tetapi engkau adalah anak
kandungku." "Ayah ?" "Nak, perlu apa engkau tanyakan" Kabarnya Toan-kiam
jan-jin pernah menolongmu dari tangan Long-sim-mo ?"
"Ya." "Apa engkau tak dapat mengenali dirinya?" Sejenak
wanita itu merenung lalu berkata : "Nak, mari kita pulang."
"Mayat itu ?" "Kita bawa pulang. Jangan sampai diketahui anak-
buahnya, habis berkata dia terus menarik kain tirai dimuka
arca, dibungkusnya tubuh sau-pohcu lalu dijinjingnya,
setelah menyimpan mutiara, ia segera mengajak Ki Ing
pergi." Keduanya naik kuda dan tinggalkan biara itu. Diam2 Cu
Jiang tetap mengikuti. Lebih kurang sepuluhan li, haripun
sudah terang tanah. Disebelah muka penuh dengan Jajaran
puncak gunung, setelah melintasi jalan-setapak pada dua
buah puncak, kedua ibu dan puterinya itu masuk kedalam
lembah dan lenyap. Cu Jiang terkejut sekati. Jaraknya dengan ke dua orang
itu hanya sepuluhan tombak. Dia dapat melihat bayangan
kedua ibu dan puterinya itu. Tetapi mengapa tiba2 mereka
lenyap " Cepat ia mengejar akan tetapi tetap tak mendapatkan
kedua wanita itu. Tampak disebelah muka karang gunung
yang berbentuk menonjol dan menurun kebawah, Jalan
bersilang selisih ruwet sekali. Sejenak Cu jiang berhenti. Ia
teruskan pengejarannya atau berhenti disitu saja.
Beberapa saat kemudian ia memutuskan akan melanjutkan langkahnya mengejar mereka, ia memutuskan
untuk mengambil jalan yang agak besar Tetapi setelah lari
sekian saat, ternyata dia kembali lagi ditempat semula tadi.
Saat itu baru ia menyadari kalau dirinya sedang
terkurung dalam sebuah barisan yang aneh. Pada hal dia tak
mengerti sama sekali akan ilmu barisan yang aneh2. Kalau
dia nekad melanjutkan lari menyusuri jalan2 hal itu tentu
sia2 saja. hanya membuang tenaga. Bahkan kemungkinan
akan diketahui musuh. Akhirnya ia memutuskan mencari
sebuah tempat untuk beristirahat.
Ia merenung memikirkan keadaan yang dihadapi saat
itu, Bertahun-tahun Gedung Hitam dapat menjaga
rahasianya sehingga tak dapat diketahui oleh orang
persilatan, ternyata memang memiliki keistimewaan.
Sebelumnya dia tak sampai berpikir begitu. Lalu bagaimana
langkahnya sekarang"
Diam2 ia menyesal mengapa ketika di negeri Tayli dulu,
dia tak mau belajar tentang ilmu barisan kepada gurunya"
Mungkin saat itu jejaknya sudah diketahui musuh.
Terlambat, ia mengeluh. Kalau tadi dia terus bertindak
tegas untuk menangkap kedua wanita itu dan menyuruh
mereka menunjukkan jalan mungkin lain keadaannya.
Tiba2 terdengar derap langkah orang berjalan dari arah
gua. Tidak hanya seorang tetapi beberapa, Cu Jiang mulai
tegang. Saat itu kiranya sudah fajar hari tetapi keadaan di tempat
itu masih tetap remang. Seketika timbul suatu pikiran.
Benar, kalau mereka datang, asal dia dapat menangkap
salah seorang dan memaksanya untuk menunjukkan jalan,
tentulah dia dapat lolos dari tempat itu.
Tetapi tindakan itu tentu akan menimbulkan suara
berisik. Kemungkinan akan mengundang kedatangan
beberapa bala bantuan mereka. Padahal Gedung Hitam
mempunyai banyak sekali jago2 ko-jiu yang sakti.
Tak berapa lama langkah kaki orang itu berhenti tak
berapa jauh, ditengah barisan. Kalau ia diam saja, tentulah
mereka takkan melihat, Setelah menentukan siasat, dia
segera berteriak. "Setan keparat, masakan orang berburu engkau sesatkan
begini ?" Tetapi tetap ada tiada penyahutan, kembali ia
mengulang: "Biar, masakah setelah hari terang toaya tak dapat keluar
dari sini!" "Ha, ha, ha, ha . ..." tiba2 tiga sosok bayangan manusia
muncul di muka. Dua orang berpakaian ringkas dan
seorang berpakaian hitam, umurnya diantara tiga-puluh
tahun. Cu Jiang segera dapat mengenali bahwa yang berpakaian
hitam itu tentu seorang thaubak (Kepala kelompok).
Mereka tentu sedang bertugas menjaga barisan.
Cu Jiang pura2 melonjak kaget dan berseru kepada
mereka: "Tuan-tuan sekalian, tempat apakah ini ?"
Lelaki berpakaian hitam itu memandang Co Jiang
dengan tajam. "Engkau tak tahu tempat apa ini ?" tegurnya dengan
nada dingin. "Kalau aku tahu takkan kemari !"
"Tetapi bagaimana engkau masuk kesini ?"
"Mengejar binatang yang hendak kuburu dan akhirnya
tersesat disini." "Ngaco ! Jelas engkau tentu seorang persilatan . , . . "
"Heh, heh, aku sebenarnya bukan orang persilatan tetapi
aku pun pernah berlatih beberapa gerakan silat."
"Hm, tiga puluh li sekeliling tempat ini, burungpun tak
dapat masuk. Sahabat, engkau hebat juga !"
"Tuan tuan. aku benar2 seorang baik2. Sudah beberapa
keturunan aku mencari nafkah sebagai pemburu."
Lelaki berpakaian hitam itu tiba2 melangkah maju,
menebarkan kelima jari tangannya dan secepat kilat
menerkam pergelangan tangan Cu Jiang. Cu Jiang memang
sudah siap. Ia sengaja tak mau melawan.
"Aduh !" ia pura2 menjerit kesakitan dan terus
berjongkok. "Bawa dia !" perintah lelaki baju hitam itu. Kedua anak
buahnya segera menyeret Cu Jiang.
Diam2 Cu Jiang gembira. Dengan membiarkan dirinya
diseret begitu, bukankah suatu cara yang mudah untuk
dapat masuk kedalam Gedung Hitam. Namun ia pura2
menjerit-jerit. "Hai, apa-apaan kalian ini" Kalian bukan pembesar
negeri juga bukan penguasa..."
"Bungkam mulutnya !" teriak lelaki baju hitam itu.
Hanya dalam beberapa kejap, cuaca sudah terang
benderang lagi. Kiranya mereka sudah keluar dari barisan
dan saat itu haripun sudah terang.
Dengan menyeret Cu Jiang kedua anak buah Gedung
Hitam itu berlari. Diam2 Cu Jiang memperhatikan tempat2
yang dilalui. Kiranya dia dibawa kembali kearah biara kecil
yang didatanginya semalam.
"Hai. tuan2 hendak membawa aku ke mana ?" teriak Cu
Jiang. Sebenarnya mudah sekali dia membunuh ketiga
orang itu tetapi ia memutuskan untuk tetap bersikap pura2.
Ia hendak melihat lebih jauh apa yang akan dilakukan
ketiga orang itu. Sepeminum teh lamanya, tibalah mereka dimuka biara
kecil. Kedua anak buah itu berhenti didepan pintu biara
sedang lelaki baju hitam terus melangkah masuk kedalam
biara. Tak berapa lama terdengar orang berseru memberi
perintah. "Bawa masuk !" Suara orang itu menyengat telinga. Bukan seperti suara
orang laki tetapi Juga bukan suara orang perempuan.
Kedua anak buah itu segera menyeret Cu Jiang masuk
kedalam biara. Sunyi senyap tiada orangnya. Dan salah
seorang dari kedua anak buah itupun segera berseru.
"Orangnya sudah kami bawa!"
Sejenak bertukar pandang, kedua anak buah itu segera
melangkah kedalam ruang besar. Tetapi tiba dipintu,
keduanya menjerit kaget dan tegak seperti patung.
Cu Jiang merentang mata memandang kedalam ruang
besarku. Seketika bulu kuduknyapun ikut meregang dan
semangatnya terasa terbang.
Ternyata dalam ruang besar itu telah berjajar lebih dari
lima puluh sosok mayat manusia. Dijajar rapi sekali! Juga
lelaki baju hitam yang baru masuk tadi, pun ikut terbujur
dalam jajaran mayat itu. "Huak, huak..." tiba2 kedua anak buah itu menjerit dan
rubuh ke lantai. Sementara karena dilepas, Cu Jiang
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kini di hadapannya telah muncul dua orang wanita
muda berpakaian warna merah. Mereka memandang Cu
Jiang lalu tersenyum. Saat itu baru Cu Jiang menyadari. Kiranya Ang Nio Cu
juga ada disitu. Dan semuanya itu adalah perbuatannya.
Kedua manusia baju merah itu menyeret mayat kedua
anak buah Gedung Hitam dan dijajarkan pada jajaran yang
lain. Cu Jiang cepat melesat masuk, serunya:
"Toaci, engkau juga datang kemari?"
Sesosok bayangan merah darah, melesat keluar dari
belakang arca. "Ai, siaute, aku memang lebih dulu dari engkau. "
"Oh, taci sudah lebih dulu datang" Mendapat penemuan
apa saja?" "Lekas kita tinggalkan gunung ini! "
"Kenapa?" "Bukankah engkau terjebak dalam barisan" Itulah yang
akan menjadi soal . . . . "
"Soal?" "Benar. Gedung Hitam itu terletak di tengah barisan
Apakah engkau tahu akan ilmu barisan?"
"Ti . . .dak. "
"Itulah makanya engkau terperangkap."
"Mengapa toaci tak mau membiarkan salah seorang dan
mereka hidup untuk kita korek keterangan?"
"Soal itu tak perlu engkau ingatkan. Apa yang harus
dikerjakan tentu kulakukan. Tetapi mereka lebih suka mati
daripada membuka mulut. Dan sesungguhnya, kecuali
beberapa tokoh yang mempunyai kedudukan, para thaubak
dan anak buah itu memang tak mengerti keadaan markas
mereka. Barisan itu dijaga sendiri oleh orang kepercayaan ketua
Gedung Hitam. Tanpa ijin, siapapun tak boleh masuk ke
markas. Berani melanggar tentu dihukum mati."
Tiba2 Cu Jiang membanting-banting kaki.
"Celaka, aku telah melepaskan kesempatan yang baik!"
serunya. "Kesempatan apa ?"
"Sebenarnya aku sedang mengikuti jejak isteri ketua
Gedung Hitam dan puterinya. Kalau tahu begini, lebih baik
mereka kutangkap saja .. "
"Percuma." "Kenapa ?" "Engkau tetap tak dapat pergi dari tempat itu, Begitu
masuk kedalam barisan, engkau tentu kehilangan faham.
Bentuk luarnya, barisan itu menyerupai barisan Kiu-kiong-
pat-kwa. Tetapi dalamnya merupakan barisan Bi-hun-toa-
tin (barisan besar Penyesat nyawa). Aku sendiri pernah
menyusup masuk jauh ke dalam. Andaikata tak lekas2
menyadari gelagat, mungkin aku tentu sudah terperangkap
didalamnya." "Karena sudah tahu akan nama barisannya, toaci
tentu..." "Yang kuketahui hanya kulit luarnya saja. Tetapi
bagaimana perobahan2 didalamnya, hanya lawan yang


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu. Juga belum diketahui apakah di luar barisan itu masih
terdapat lain batuan bay-Taok (barisan pendam).
Taruh kata engkau dapat menangkap seorang lawan
yang berkedudukan penting, pun begitu masuk kedalam
barisan Bi-hun tin, pikiranmu akan kacau dan tentu
tertangkap. Bukankah itu akan sia2 saja?"
"Lalu bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Mencari seseorang."
"Siapa ?" "Seorang aneh yang sudah lama mengasingkan diri dari
dunia persilatan, bergelar Ih-se lojin..."
"Ih-se lojin ?" Cu Jiang mengulang heran.
"Ya, pernah dengar ?" tanya Ang Nio Cu.
"Belum." "Gelarnya Ih-se lojin, siorang tua yang meninggalkan
keduniawian, sudah tentu tak mau campur dengan manusia
lagi. Perangainya aneh, tak kalah dengan tabib Kai-Jiu-sin-
jin itu." "Perlu apa mencarinya ?"
"Dalam dunia persilatan Jaman ini, kecuali dia seorang
yang mahir akan segala ilmu barisan aneh, masih ada
seorang lagi yakni Gong-gong cu . . ."
"O, mencarinya unjuk memecahkan barisan di Gedung
Hitam ?" "Benar, minta petunjuknya."
"Dimana tempat kediamannya ?"
"Ada dua buah jalan yang dapat kita telusuri. Menurut
kabar, ada orang yang pernah melihatnya berada di gunung
Tay-pa-san. Dan yang kuketahui, dia tinggal di gunung
Bok-nia. Kedua gunung itu Jaraknya amat jauh sekali. Satu
di utara, satu di selatan. Kita berpencar mencarinya. Kita
tentukan kapan bertemu lagi. Bagaimana pendapatmu?"
Sesaat meragu, Cu Jiang menyahut: "Mengapa kita tak
nantikan kesempatan lain lagi."
"Siaute," kata Ang Nio Cu dengan lembut, "rasanya
hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan.
Menunggu kesempatan, tiada kepastian waktunya. Dan lagi
setiap waktu tentu terjadi perobahan yang sukar diduga.
Mencari orang tua itu dan meminta petunjuknya cara
memecahkan barisan, merupakan cara penyelesaian yang
terbaik." "Baik, aku menurut saja."
"Bagus, adikku."
Cu Jiang merah mukanya lalu menanyakan Ang Nio Cu
hendak menuju ke gunung mana.
"Aku lebih paham keadaan gunung Bok nia. Engkau
yang pergi ke gunung Tay-pa-san. Empat-puluh hari kita
bertemu di rumah penginapan Naga-hijau dikota Tongyang-
shia." "Baik, tetapi bagaimana ciri2 dari Ie-se lojin itu?"
"Ih. benar. Hampir saja aku lupa memberitahukan.
Orang itu selalu mengenakan jubah warna kuning telur,
tidak memakai kain kepala juga tidak bersepatu. Diantara
kedua alisnya terdapat sebuah tahi lalat merah. Kalau
bertemu tentu mudah mengenalinya ..."
Tiba2 dari arah jauh terdengar suara burung hantu. Dan
Ang Nio cepat segera memberi isyarat tangan:
"Ada orang datang, kita harus lekas2 tinggalkan tempat
ini. Siaute, hati-hatilah dalam perjalanan !"
"Sampai Jumpa, toaci," kata Cu Jiang. Sekali bergerak
dia sudah melesat keluar dan lenyap.
Suara burung hantu Itu memang dari anak buah Ang
Nio Cu. Sekeluar dari biara, Cu Jiang melihat
segerombolan bayangan manusia yang berlari mendatangi
dari arah jauh. Empat penjuru biara itu sunyi senyap.
Semua penjaga tempat itu sudah dibereskan Ang Nio Cu,
Kawanan pendatang itu tentulah penjaga2 yang akan
mengganti giliran. Ia menuju keutara. Satu-satunya jalan singkat mencapai
gunung Tay-soat san harus mengitari gunung Tay-hong-san.
Kesanalah dia menuju. Hari itu dia tiba di kota Ih-shia, sebuah kota bandar yang
ramai. Bagian hulu terdapat kota Siang-yang dan bagian
muara kota An-liok. Setelah melintas sungai Han cui.
gunung Tay-hong-san sudah tak berapa jauh lagi.
Selama dalam perjalanan itu Cu Jiang tetap memakai
kedok muka. Hanya pakaiannya berganti seperti seorang
pedagang. Dia menginap di rumah penginapan Gwa lay ti
tua. Dia memesan beberapa hidangan dan arak. Tengah dia
hendak menikmati hidangan, tiba2 pintu kamarnya dibuka
orang. "Jangan berisik, kalau keperluan nanti kupanggil," seru
Cu Jiang mengkal. ia kira tentu pelayan.
"Ki Siau Hong, Ko Kun!" terdengar suara orang diluar.
"Oh, silakan masuk."
-oo0dw0oo- Jilid 18 DUA orang lelaki masuk. Seorang sasterawan tua dan
seorang tua bungkuk. Keduanya tak lain dari Ki Siau Hong
dan Ko Kun, dua dari keempat pengawalnya.
"Silakan duduk, akan kusuruh pelayan menambah gelas,
kita minum bersama .. ."
"Tak usah." Cu Jiang terkejut mendengar nada mereka yang kaku.
Kedua orang itu mengambil kursi dan duduk disebelah Cu
Jiang. "Ciangkun, kami hendak bicara dengan sungguh-
sungguh !" kata Ki Siau Hong.
"Soal apa ?" Sejenak memandang kearah wajah membesi dari Ko
Kun. Ki Siau Hong berkata dengan tegas.
"Ciangkun, maafkan hamba berlaku kurang hormat.
Walaupun kedudukan ciangkun lebih tinggi, tetapi kami
juga sama2 menjadi menteri dan sama2 mengemban tugas
dari Kok-su, agar diam2 membantu ciangkun. Dalam hal
ini ciangkun tak berhak membunuh . .. ."
"Apa katamu ?" teriak Cu Jiang kaget.
"Apakah ciangkun tak tahu?"
"Jangan menyabut ciangkun !"
"Tidak, ini menyangkut urusan dinas."
"Aku benar2 tak mengerti. Katakanlah yang jelas."
Tiba2 Ki Siau Hong berbangkit dan dengan deliki mata
berseru dalam nada getar:
"Bagaimana kesaktian ciangkun, kami semua sudah
mengetahui, kami bukan tandingan . ... "
Cu Jiang benar2 bingung. Tetapi melihat sikap orang
yang begitu serius dan tegang, dia anggap urusan tentu
serius sekali. Diapun berbangkit dan berseru:
"Sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"
Ko Kun juga berbangkit dan menyeletuk: "Kenapa ?"
"Sia-sia kami antarkan jiwa di Tionggoan, mati tanpa
alasan apa2." Cu Jiang memandang kedua orang itu dengan tajam lalu
berkata dengan sarat : "Aku tak jelas apa yang kalian
katakan ...." "Asal ciangkun mengerti sajalah."
"Kalian takut mati. Memang tugas ini penuh mengandung bahaya. Baiklah, kalian boleh pulang."
"Sebagai seorang biasa, tak mungkin takut mati. Tetapi
mati harus yang jelas dan harus yang berharga." Ki Siau
Hong menyelutuk. "Berharga bagaimana?"
"Kami memberanikan diri hendak mohon tanya kepada
ciangkun." kata Ki Siau Hong, "apakah kesalahan Ong
Kian sehingga menimbulkan kemurkaan ciangkun dan
ciangkun lalu membunuh nya?"
Mendengar itu gemetarlah Cu Jiang.
"Apa katamu?" serunya keras.
"Mohon tanya apa kesalahan Ong Kian sehingga
ciangkun menghukumnya mati?"
"Apa" Engkau .... mengatakan aku membunuh Ong
Kian?" "Apakah ciangkun menyangkal?"
"Ini . . . ini . . . apa buktinya?"
"Silakan ciangkun lihat ini." Ki Siau Hong mengeluarkan
sebuah benda dan menyerahkan kepada Cu Jiang. Tangan
Ki Siau Hong gemetar keras. Sedang Ko Kun yang
menyaksikan dari sampingpun juga tegang sekali wajahnya.
Dahinya berkerenyutan keras.
Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Ternyata barang
itu seperangkat pakaian dan diatasnya tertulis huruf dari
darah, berbunyi: "Ciangkunlah yang membunuh aku."
"Tulisan ini adalah tulisan tangan Ong Kian. Pada saat
hendak kami kuburkan, baru kami menemukannya." kata
Ki Siau Hong. Dada Cu Jiang bergolak keras. Dia membuka kedok
muka dan menunjukkan wajahnya yang aseli. Tampak
kerut wajahnya membesi dan dahinya berkerenyutan, bum .
. . . " "Siapa yang membunuh Ong Kian?" dia menghantam
meja sekeras-kerasnya. Kedua pengawal itu tergetar dan saling bertukar
pandang. "Ciangkun, ijinkanlah kami pulang lebih dahulu ke
Tayli. " Pikiran Cu Jiang penuh dengan berbagai persoalan. Dia
marah dan sedih atas peristiwa itu.
"Dimana Ong Kian dibunuh?" tanyanya.
"Diluar kota Hok yang-shia."
"Bagaimana kalian dapat menemukannya?"
"Karena kami mendengar bahwa ciangkun muncul di
pintu kota itu maka kamipun buru2 menyusul."
Mendengar itu Cu Jiang tahu bahwa persoalan itu
memang tak wajar. Jelas dia tak melalui kota Hok yang
shia. Tetapi sesaat dia tak dapat memberi penjelasan.
"Dan kalian menemukan Ong Kian sudah dibunuh
orang?" "Benar, tubuhnya menderita delapan belas buah tusukan
pedang. Bekas luka2 itu menunjukkan kalau dari tusukan
pedang kutung milik ciangkun."
"Apakah tulisan darah itu dia yang menulis?"
"Ciangkun, sekarang bukan saatnya berdebat . . ."
"Kenapa ?" "Orang luar tentu tak menyebut "ciangkun" kepada
ciangkun" Diam2 Cu Jiang mengeluh dalam hati. Peristiwa
memang benar2 aneh sekali.
"Ciangkun, kami mohon diri."
"Tunggu dulu.."
Wajah kedua orang itu berobah lalu mereka diam2
bersiap-siap. Cu Jiang menghela napas. "Atas kematian Ong Kian, aku benar2 sedih sekali.
Tetapi aku mengatakan dengan sungguh2. bahwa aku tak
membunuhnya. Dan memang tiada alasan untuk membunuhnya. Harap kalian tenang dan marilah kita
bicara dengan baik2."
Dari kerut wajah kedua orang itu, tampak mereka tak
mau percaya begitu saja kepada Cu Jiang. Empat huruf
yang ditulis dengan darah itu menjadi bukti yang berbicara.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan menerjang masuk
dan terus menyerang Cu Jiang. Karena tak menduga dan
berlangsung dalam waktu secepat kilat, Ki Siau Hong dan
Ko Kun menjerit kaget. Tetapi Cu Jiang lebih cepat
reaksinya. Ia condongkan tubuh dan menyambar pedang yang
menyerang nya. Ah. ternyata penyerangnya itu tak lain
adalah Song Pak Liang yang menyaru jadi penjual obat
tempo hari. Dengan mata penuh bawa pembunuhan dan tubuh
menggigil keras. Song Pek Liang memandang Cu Jiang
dengan penuh dendam kebencian.
"Juara Jago pedang, kalau engkau mau bunuh Song Pek
Liang, bunuhlah !" serunya penuh dendam sinis.
Cu Jiang tahu bahwa orang itu sedang dirangsang
dendam kemarahan yang timbul karena salah faham.
Percuma kalau mau membunuhnya. Ia dapat memaafkan
tindakan orang. "Song-heng, tenanglah, soal ini tentu akibat salah
faham," akhirnya ia turunkan pedang dan berkata dengan
ramah. Tetapi Song Pek Liang tetap penasaran.
"Salah paham" Adakah orang mati itu pada saat2
terakhir dapat meninggalkan tulisan untuk memfitnah
orang?" serunya sinis.
"Memang itu yang menjadi pokok persoalan," kata Cu
Jiang dengan menahan perasaan.
"Kami ingin mendengar penjelasan ciangkun." seru Song
Pak Liang. Sejenak menenangkan perasaannya, Cu Jiangpun segera
berkata kepada Ko Kun: "Ko-heng, harap engkau menjaga diluar."
Sejenak memandang kearah kedua rekannya, dengan
kepala menunduk Ko Kun segera melangkah keluar.
Setelah itu barulah Cu Jiang berkata dengan tandas:
"Dengan mengesampingkan peraturan, Kok-su telah
menerima aku sebagai murid. Baginda Tonghongyapun
telah berkenan memberikan kitab pusaka sehingga aku
berhasil memperoleh ilmu kepandaian.
Tugasku yang utama yalah membereskan kawanan Sip-
pat-thian-mo. Dalam rangka melaksanakan tugas itu
saudara berempat telah memberi bantuan. Soal Jabatanku


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai Tin-tian-ciang-kun adalah dikarenakan harus
menghadapi tantangan dari putera raja Biauw tempo hari.
Dalam hal ini kuharap saudara jangan terlalu menyanjung
diriku ... " "Ucapan baginda itu bukan kata2 kosong. Dan lagi telah
disaksikan oleh sekalian menteri, tidak boleh dianggap
sepele," kata Song Pak Liang.
Cu Jiang tertawa hambar. "Saudara Song. baiklah, aku takkan membicarakan soal
itu. Mengenal kematian Ong Kian, aku benar2 tak pernah
datang ke Hu-yang.. ."
"Lalu bagaimana dengan tulisan darah itu?"
"Marilah kita mempelajarinya dengan tenang, untuk
mencari sebabnya." "Ciangkun, tetapi urusan bukan hanya yang itu saja."
"Masih ada yang lain lagi ?" teriak Cu Jiang terkejut.
"Apakah aku harus mengatakan satu demi satu ?"
"Silakan memberi keterangan."
"Song-heng, kesabaranku ada batasnya. Sekali lagi
kuminta engkau bersikap tenang."
Dahi Song Pek Liang berkerenyut.
"Biarlah aku yang mulai bicara," kata Ki Siau Hong,
"kantor pengiriman barang Han Tiong dikota Hu-yang pada
suata hari telah menerima pekerjaan untuk mengirim
barang gelap yang harganya semahal pembelian sebuah
kota. Barang itu terdiri dari sebuah barang permainan dari
batu permata yang tak ternilai indahnya. Tetapi sebelum
sempat berangkat mengirim, kepala perusahaan itu dan
seluruh keluarganya besar kecil berjumlah delapan orang,
telah mati dibunuh orang.. ."
"Oh..." "Siau-lim Sam-lo Juga dibunuh di Kwiciu."
"Siapa lagi ?" "Ketua partai Heng-san-pay mati dicincang puterinya
diperkosa." "Lalu ?" "Masih ada lagi, tetapi tak perlu kami terangkan. Pokok,
banyak sekali terjadi pembunuhan2 yang amat keji !"
"Semua itu Toan-kiam-jan-Jin yang melakukan?" Cu
Jiang mengertek gigi. "Ciangkun," kata Song Pek Liang dengan nada tergetar,
"menurut beritanya memang begitu. Dan banyak sekali
saksinya. Kamipun pernah melihat sendiri bukti itu."
"Pernahkah Song heng membayangkan bahwa kemungkinan ada orang yang menyamar sebagai diriku ?"
"Tetapi Ong Kian tak mungkin salah melihat diri
ciangkun ?" "Seratus hari lamanya aku berobat di gunung Busan,"
kata Cu Jiang, "seturun gunung, aku tak menyamar menjadi
Toan-kiam-Jan Jin lagi. "
"Soal itu hanya ciangkun sendiri yang tahu."
Sejenak berpikir, Cu Jiang menatap Ki Siau Hong,
serunya. "Yang menyampaikan berita tentang diri Long sim-mo
itu adalah Ki-heng, pada waktu itu bagaimana keadaan
diriku?" "Peristiwa itu terjadi pada waktu ciangkun belum muncul
di kota itu," jawab Ki Siau Hong.
"Mengapa waktu itu engkau tak memberitahukan?"
"Sudah sebulan lamanya kami mengikuti Long-sim-mo.
Pada waktu itu belum begitu jelas tentang peristiwa itu !"
"Belum ada sebulan aku turun dari gunung Busan. Ang
Nio Cu dan- Thian put thou menjadi saksinya . . ."
"Ong Kian terbunuh lima hari yang lalu!"
Mendengar jawaban itu Cu Jiang benar2 tak dapat
membantah, ia kerutkan alis tak berkata apa2.
"Ciangkun, kami hendak kembali ke Tayli dulu untuk
memberi laporan kepada Kok-su." kata Song Pek Liang,
"Untuk sementara jangan kalian pergi dulu."
"Mengapa ?" "Tunggu sampai peristiwa ini jelas."
"Bagaimana tindakan ciangkun untuk membereskan soal
itu ?" "Mencari orang yang memalsu diriku."
"Song-heng menganggap tentu aku sendiri ?"
"Karena bukti memaksa kami tak dapat menduga yang
lain," "Hm," Cu Jiang menahan kemarahannya, "tindakan
musuh itu Jelas mengandung siasat yang licik. Tujuannya
tentu hendak membangkitkan kemarahan kaum persilatan
terhadap diriku. Tentu musuh takkan berhenti sampai
disitu. Kalau kita menyelidiki dengan sungguh2, pasti akan
dapat menemukan jejaknya."
Agaknya Ki Siau Hong lebih sabar maka dia segera
membujuk kawannya. Song Pek Liang.
"Song-heng. karena ciangkun mengatakan begitu,
bagaimana kalau kita ikut menyelidiki ?"
"Aku tak ingin mengubur tulangku di tanah Tionggoan,"
sahut Song Pek Liang dengan tegang.
Mendengar sikap Song Pek Liang begitu kukuh, Cu
Jiang mendongkol sekali serunya:
"Kalau aku memang seperti yang kalian duga, perlu apa
aku harus berbanyak kata. Bukankah saat ini juga aku dapat
membereskan kalian bertiga?"
Kata2 itu penuh mengandung keterbukaan hati dan
kemarahan yang tertahan sehingga kedua orang itu
terkesiap. Memang benar, jika mau, dengan mudah Cu
Jiang tentu dapat membunuh mereka bertiga.
Akhirnya Song Pek Liang agak kendor. Setelah
merenung beberapa saat, ia berkata:
"Ciangkun. mudah-mudahan hal itu benar2 suatu
kesalahan faham." "Memang sebenarnya suatu rencana busuk sekali. "
"Kira2 siapakah yang melakukan rencana itu?"
"Siapa lagi kalau bukan orang Gedung Hitam. "
"Lalu bagaimana tindakan kita?"
"Kita berpencar menyelidiki. Hanya apabila kalian
menemukan sesuatu, jangan sekali-kali menunjukkan diri
biarlah aku yang membereskan sendiri. Karena berani
melakukan pemalsuan itu, musuh tentu memiliki kepandaian hebat dan lagi tentu dikawal oleh anak
buahnya." "Baiklah, kami akan mohon diri "
"Ei, mengapa tak minum dulu?"
"Lain waktu saja." Ki Siau Hong dan Song Pek Liang
segera menghaturkan hormat lalu melangkah keluar.
Cu Jiang masih termenung dikursinya. Dia benar2 tak
menyangka kalau musuh akan melakukan rencana begitu.
Memikirkan peristiwa itu, dia pun tak punya selera makan
lagi. Dia memanggil pelayan, membayar rekening lalu
tinggalkan rumah makan itu.
Saat itu jalan sudah ramai. Lampu2 menerangi seluruh
jalan, orang tak putus-putusnya berjalan hilir mudik.
Ramainya bukan kepalang. Dengan dandanannya sebagai seorang pedagang Cu
Jiang berjalan pelahan-lahan. Tengah dia berjalan, tiba2 dia
melihat pertandaan-rahasia yang di tinggalkan oleh Su-tay-
ko-jiu. Semangatnya bangkit serentak. Apakah dalam waktu
singkat mereka sudah mendapatkan jejak musuh"
Segera dia menurutkan pertandaan rahasia itu. Akhirnya
dia tiba di ujung jalan yang sepi. Seorang sasterawan tua
segera menyongsong kedatangannya, memberi hormat.
"Laute." seru sasterawan tua itu. "sungguh beruntung
dapat berjumpa. Tampaknya laute berseri-seri tentu
mendapat kemajuan dalam kehidupan. Sebaliknya aku ini
tetap sasterawan yang tak berguna, nasib buruk . . . .
Sasterawan tua itu tak lain adalah Ki Siau Hong. Dan Cu
Jiangpun balas memberi hormat.
"Ki-heng, sudah bertahun-tahun tak berjumpa tetapi
sikap Ki-heng masih tetap gagah seperti dulu!"
"Gagah " Ha, ha, ha, ha ... aku sih begini rudin."
"Tetapi adakah..."
"Tinggal di luar kota, entah apakah laute suka
berkunjung kesana?" "Ai, tentu," "Baiklah, laute. Mari kita ke sana."
Demikian keduanya segera berjalan menuju keluar kota,
Tiba diluar kota yang sepi, barulah Ki Siau Hong berkata.
"Kita bicara di pondok petani itu."
"Hm." Setelah berada digerumbul pohon bambu dibelakang
pondok, Cu Jiang terus bertanya:
"Apakah mendapat penemuan?"
"Dikedai minum telah tersiar berita besar," kata Ki Siau
Hong dengan semangat. "Berita besar apa ?"
"Waktu malam terang bulan, dibiara Kang-sin-bio kira2
lima li diluar kota, Toan-kiam-Jan-jin akan menantang
ketua Gedung Hitam."
"Bagus! Kiranya kedua manusia itu sama2 muncul!" seru
Cu Jiang dengan gembira. "Ciangkun." kata Ki Siau Hong, "Toan-kiam-jan-Jin dan
ketua Gedung Hitam itu merupakan tokoh2 yang paling
menonjol dalam dunia persilatan dewasa ini. Kedua belah
pihak sama2 memberi pengumuman itu, tentu ada
maksudnya. Harus menjaga akal muslihat jahat mereka. Ko
Kun dan Song Pek Liang sudah ke tempat itu untuk
menyelidiki kebenarannya . . ."
"Sekarang masih kurang berapa hari dari bulan
purnama?" "Tujuh hari." Cu Jiang memperhitungkan waktunya. Perjanjiannya
dengan Ang Nio Cu yalah dalam empat puluh hari akan
bertemu di kota Hu-yang. Apalagi harus membuang waktu
tujuh hari, memang temponya terlalu mendesak sekali.
Tetapi peristiwa pertempuran antara Toan-kiam jan-jin
dengan ketua Gedung Hitam juga sangat penting. Akhirnya
ia memutuskan, akan menunggu pertandingan itu baru
kemudian berangkat ke gunung Tay pa san.
"Baiklah, aku akan menunggu selama tujuh hari di kota."
"Sebaiknya ciangkun jangan pergi kemana-mana, agar
setiap waktu kita dapat bertemu ... "
"Ya, aku tetap berada di rumah penginapan Gwat-lay
tiam. " Setelah itu mereka berpisah. Semalam ia tak dapat tidur
karena memikirkan siapakah orang yang memalsu dirinya
itu. Apa maksudnya" Dia menantang ketua Gedung Hitam
untuk bertempur di biara Kang sin-bio. Juga perlu diselidiki.
Adakah yang bertempur itu benar ketua Gedung Hitam
yang aseli atau palsu"
Ayam berkokok, baru Cu Jiang tidur. Ketika bangun
haripun sudah siang. Sehabis mandi, dia pesan makanan.
Menunggu, suatu hal yang menyiksa. Apalagi Cu Jiang
harus menunggu sampai tujuh hari. Bagaimanakah ia harus
melewatkan tempo selama tujuh hari itu ?"
Jika dalam pertempuran pada bulan purnama nanti,
ketua Gedung Hitam yang asli benar2 muncul, memang itu
akan merupakan suatu kesempatan bagus untuk menuntut
balas. Tetapi dia curiga, jangan2 hal itu hanya suatu siasat
dari Gedung Hitam saja. Hanya satu hal yang membuatnya girang ialah dengan
perkembangan peristiwa yang begitu cepat, dapatlah
kesalah-fahaman Ki Siau Hong dan kawannya hilang.
Andaikata ketiga pengawal itu benar2 pulang ke Tayli,
entah bagaimana nanti reaksi baginda dan Gong-gong cu
terhadap dirinya. Teringat akan tulisan darah Ong Kian pada bajunya. Cu
Jiang heran tetapi masih belum dapat memecahkan rahasia
itu. Dengan cara bagaimana mereka dapat membinasakan
Ong Kian " Padahal Ong Kian itu cerdas dan
berkepandaian tinggi, masakan dia tak dapat mengenali
Toan-kiam jan-jin itu palsu atau asli.
Kemungkinan satu-satunya ialah, Toan-kiam-jan-jin
palsu itu sebenarnya tak mengenal Ong Kian. Karena
menilik peristiwa pembunuhan ini seolah-olah Ong Kian
tak diberi kesempatan untuk bicara. Dengan demikian Ong
Kian tentu mengira bahwa Toan kiam jan jin itu tentulah
dirinya (Cu Jiang). Dan jelas pula bahwa Toan kiam jan jin
palsu itu seorang tokoh yang sakti sekali.
Kamar Cu Jiang itu terletak disebelah belakang dari
bagian rumah makan. Dan kebetulan merupakan pertemuan antara dua buah kamar yang gelap dengan dua
buah kamar yang diberi penerangan.
Didepannya terdapat sebuah lorong yang mencapai
ujung pekarangan. Bersih dan tenang.
Sekonyong-konyong pintu gang dibuka dan muncullah
seorang lelaki. "Tuan, maaf, hendak mengganggu."
"Siapa?" "Aku, pemilik rumah penginapan."
"Ada urusan apa?"
"Hm, hendak berunding dengan tuan."
"Masuk..." Seorang lelaki setengah tua mengenakan pakaian warna


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biru. masuk kedalam ruangan Cu Jiang. Ia memberi hormat
lalu tertawa. "Tuan. sesungguhnya tak harus aku berkata begini
kepada tuan. Tetapi keadaan memaksa."
"Katakanlah !" "Maaf. bagaimana kalau tuan kami minta pindah ke lain
kamar?" "Apa" Suruh aku pindah ?"
"Ai, ini .... tetapi ruang gudang sebelah barak itu juga
bersih dan tenang dan masih terdapat sebuah kamar yang
terang serta dua kamar lagi."
"Mengapa aku engkau minta pindah?"
"Maaf, karena tetamu yang hendak menginap di sini."
"Tetamu?" "Ya, tetamu wanita."
"Apa wanita tak dapat tinggal disebelah sana?"
"Maaf, karena tetamu itu rupanya hendak melahirkan,
mungkin kurang leluasa maka terpaksa aku minta maaf
kepada tuan. Kamar di sebelah luar juga . . ."
Cu Jiang mempertimbangkan. Karena ada tamu wanita
yang hendak melahirkan, memang kurang leluasa kalau
pakai kamar sebelah luar. Tetapi bagaimana nanti dengan
Ki Siau Hong. Bukankah dia sudah berjanji kalau akan
tinggal dikamar yang sekarang."
"Baik, aku akan pindah." akhirnya ia berkata.
Pemilik rumah penginapan itu serentak menghaturkan
hormat: "Terima kasih atas kemurahan hati tuan. Harap jangan
terburu-buru, silakan makan dulu. sebentar mereka tunggu
juga tak apa. " "Hm..." dengus Cu Jiang.
Dia tak membawa barang apa2. Hanya sebuah buntalan
dan sebatang pedang kutung. Selesai makan, lebih dulu dia
membuat tanda sandi pada ujung pintu kamar itu, setelah
itu ia memang pelayan supaya mengantarkan kamar yang
disebelah barat. Tepat pada waktu Ci Jiang pindah kamar, sebuah tandu
yang digotong oleh beberapa bujang perempuan turun di
ujung pintu gang. Seorang nyonya yang berpakaian mewah
turun lalu dengan kepala menunduk masuk ke pintu.
Menilik gerak geriknya dia tentu seorang wanita kaya atau
isteri dari orang berpangkat.
Cu Jiang tak tahu rombongan wanita itu. Dia memakai
sebuah ruangan besar yang terdiri dari tiga kamar.
Tiga hari kemudian, datanglah Ki Siau Hong dengan
membawa berita bahwa dari dalam dan luar kota, telah
bermunculan banyak sekali orang persilatan. Ada yang tak
diketahui asal usulnya. Saat itu kota Ih-shia benar2 menjadi
kandang dari harimau dan naga.
Hari keempat dan kelima, yang datang makin banyak.
Selama itu Cu Jiang tetap berada di rumah penginapan. Dia
tak mau keluar. Hari keenam atau malam purnama kurang sehari, tetap
belum mendapat hasil penyelidikan, siapa sesungguhnya
Toan kiam-jan jin dan ketua Gedung Hitam itu.
Karena kesal, timbullah keraguan dalam hati Ki Siau
Hong, Song Pak Liang dan Ko Kun bahwa sebenarnya
tokoh Toan-kiam-jan-jin itu tak lain memang Cu Jiang
sendiri. Cu Jiang sendiri tak kurang gelisahnya. Mengapa sampai
sekian lama menyelidiki tetap belum memperoleh hasil
suatu apa. Setelah makan2 dan minum arak untuk menghibur
kekecewaan hatinya, Cu Jiang lalu berjalan mondar mandir
di sepanjang lorong gang. Dia sedang menimang-nimang
bagaimana besok akan bertindak.
Dalam rumah penginapan itu juga banyak tetamu orang
persilatan tetapi mereka tak memperhatikan diri Cu Jiang
karena menilik pakaiannya Cu Jiang itu lebih menyerupai
seorang pedagang daripada seorang persilatan.
Ciri dari orang persilatan adalah sepasang matanya yang
berkilat kilat tajam. Tetapi apabila sudah mencapai tataran
tinggi dalam ilmu tenaga dalam, dapatlah ia menyembunyikan sinar matanya sehingga tampak seperti
orang biasa saja. Demikianlah yang dilakukan Cu Jiang
untuk menghapus perhatian orang.
Tiba2 dari balik sebuah jendela diujung gang terdengar
suara seorang wanita yang dikenalnya. Cu Jiang terkejut.
Tetapi dia pura2 diam saja lalu menyelinap ke arah jendela
itu untuk mendengarkan lebih lanjut. Dengan hati2 ia
menghampiri jendela dan mengintai melalui celah celahnya.
Dari sinar penerangan dalam ruang itu tampak seorang
wanita cantik dalam pakaian sutera sehingga dadanya
tampak menonjol. Bukankah itu yang dikatakan rombongan tetamu wanita
oleh pemilik rumah penginapan" Mengapa dia tidak akan
melahirkan" Hm, jelaslah sekarang.
Karena hendak mengambil muka pada wanita cantik
maka pemilik rumah penginapan itu meminta dia pindah
lain kamar dengan merangkai alasan kalau wanita itu
hendak melahirkan. Tiba2 wanita yang menghadap ke sebelah sana, berputar
tubuh menghadap ke arah Cu Jiang. Melihat wajah wanita
itu, hampir saja Cu Jiang berteriak. Untung dia cepat dapat
menekan perasaan dan hanya mundur beberapa langkah.
Darahnya bergolak keras. Wanita cantik itu tak lain adalah Tiam Su Nio, ketua
dari perkumpulan wanita cabul Hoa-gwat-bun.
Jika musuh lama bertemu, sudah tentu mata menjadi
marah. Cu Jiang tak sangka bahwa dia bakal bertemu lagi
dengan wanita cabul di situ. Mungkin sudah takdir. Malam
ini dia takkan memberi ampun lagi.
Dia kembali ke dalam kamar dan menutup pintu lalu
duduk bersemedhi menenangkan pikiran. Jelas bahwa Bu-
lim-seng-hud Sebun Ong itu berkomplot dengan ketua Hoa-
gwa-bun. Jika wanita cabul itu berada disini, tentulah Sebun Ong
juga berada disini, Jika benar Sebun Ong datang, ah, Allah
maha pemurah dan arwah toa-suhengnya memang memberi
restu. Diapun mempertimbangkan untuk segera turun tangan
ataukah tunggu setelah Sebun Ong sudah muncul.
Tetapi karena menjaga gengsi dan Sebun Ong tak mau
datang pada wanita itu, bukankah malam itu dia akan
kehilangan kesempatan baik untuk membasmi wanita cabul
itu " Teringat betapa dulu ia hampir saja mati ditangan wanita
cabul itu, mendidihlah darah Cu Jiang. Bunuh saja wanita
itu. Akhirnya ia mengambil keputusan.
Tetapi mereka terdiri dari beberapa pengikut. Kalau
dibunuh dalam rumah penginapan itu tentu akan
menimbulkan kegemparan para tamu lain. Sedang tetamu2
yang menginap disitu kebanyakan orang2 persilatan semua.
Cu Jiang agak bingung memikirkan. Sampai lama belum
juga ia menentukan cara yang tepat. Karena kalau ia tetap
bertindak dan akhirnya ketahuan siapa dirinya, tentulah
kemungkinan dapat mengakibatkan peristiwa besok malam
yang lebih penting, karena siapa berani tanggung bahwa di
antara tetamu2 yang menginap disitu, tak ada orang2 pihak
Gedung Hitam " Tiba2 pintu diketuk orang.
"Siapa ?" "Laote, aku." "O, Ki-heng, silahkan masuk."
Yang datang itu Ki Siau Hong. Setelah duduk
berhadapan maka Cu Jiang menanyakan maksud kedatangannya. "Ah, tidak ada sesuatu yang penting hanya ingin saja."
kata Ki Siau Hong lalu tertawa. Kemudian dengan berbisik
berkata, "besok malam kalau kedua pihak tak muncul,
terpaksa kami akan kembali ke Tayli."
Cu Jiang terkesiap, Ia dapat menyelami arti kata2 Ki
Siau Hong. Jelas Ki Siau Hong dan kawan-kawannya
menyangsikan dirinya. Mereka menduga besok pagi kedua
belah pihak tentu takkan muncul karena jejak Cu Jiang
sudah ketahuan. Dengan demikian masih berlaku tuduhan bahwa Cu
Jiang yalah Toan kiam-jan jin yang membunuh Ong Kian.
"Ki-heng, kalau kalian memang hendak pulang akupun
tak dapat memaksa. Tetapi sebaliknya peristiwa ini dapat
dibikin terang dulu. Tetapi kalau memang mereka tak mau
muncul karena hendak mengatur siasat, silakan Ki-heng
kembali ke Tayli." "Kami juga mengharap agar peristiwa ini dapat segera
dibereskan." "Apakah ada perkembangan lain ?"
"Tidak ada, kedua pihak sama2 diam. Orang yang ingin
menyaksikan pertempuran itu makin lama makin banyak.
Bahkan ada yang datang dari tempat yang jauh. Memang
kedua tokoh itu sangat menarik perhatian seluruh umat
persilatan." "Apakah sesungguhnya rencana mereka?"
"Belum jelas." "Apakah Ki heng pernah melihat Bu-lim-seng hud Sebun
Ong muncul disini. Mestinya dalam peristiwa sebesar ini
dia tentu datang . . ."
"Tidak." "Aku bahkan menemukan sesuatu."
"Apa?" "Yang tukar kamar dengan aku ternyata ketua Hoa-goat-
bun Tiam Su Nio." "Ah, lalu apakah laute akan bertindak?"
"Tentu, tetapi kuatir akan mengejutkan tetamu-tetamu
yang lain sehingga mengakibatkan acara besok malam itu."
"Awasi dia, setelah besok malam selesai, baru bertindak."
"Yah .... terpaksa memang harus begitu."
"Aku hendak pamit. Kalau tiada suatu perubahan apa2,
maka aku tak datang kemari lagi."
"Baik." Ki Siau Hong sengaja bicara sekerasnya: "Laute, besok
dalam pertemuan partai kita di ruang Tang hun-kheng,
harap datang!" "Tentu," sahut Cu Jiang dengan suara keras juga.
Setelah Ki Siau Hong pergi, Cu Jiang kembali merenung.
Yang dia kuatirkan kalau gerombolan Hoa-goat-bun itu
sampai lolos lagi. Untuk mencari mereka tentu makan
waktu yang lama. Saat itu sudah menjelang tengah malam. Cu Jiang
memadamkan lampu dan membaringkan badannya. Dia
memutuskan apabila sampai terjadi keributan, dia hendak
tinggalkan rumah penginapan itu dan sembunyi di luar kota
hingga sampai besok malam.
Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh, dia melompati
tembok dan menyelinap ke ujung halaman. Ruang disitu
masih menyala penerangannya sehingga dari tirai jendela ia
dapat melihat ketua Hoa goat-bun tidur terlentang di atas
ranjang. Tubuhnya yang menarik, tentu menyengsamkan
setiap lelaki yang memandangnya.
Cu Jiang batuk-2. "Siapa?" terdengar teguran dari dalam ruang dan pada
lain kejap muncullah seorang dara baju biru. Melihat Cu
Jiang, dia terkejut. Menyusul muncul lima orang lelaki dan perempuan.
Seorang lelaki setengah umur, maju ke hadapan Cu Jiang,
mengawasi lekat2 lalu menegurnya.
"Mengapa sahabat berani sembarangan masuk kemari?"
"Aku hendak menemui majikanmu." sahut Cu-Jiang
dingin. "Majikan kami tak ada, hanya rombongannya yang ada.
Sahabat dari mana?" "Mencari hiburan."
"Apa ?" "Tetamu iseng."
Sekalian anak buah Hoa-goat-bun berobah mukanya dan
lelaki itu deliki mata, membentak.
"Disini keluarga pembesar, rasanya engkau memang
bosan hidup . .. ." "Keluarga pembesar " Kapankah kiranya ketuamu yang
terhormat itu menjadi keluarga pembesar negeri ?"
Mendengar kata2 "ketua", wajah lelaki itu terperanjat
dan berseru dengan menggigil.
"Sahabat, sebutkan dirimu siapa ?"
"Apakah kata-kataku tadi tidak benar ?"
"Jika begitu jangan harap engkau dapat pergi dari sini
dengan membawa nyawamu."
"Apabila bertemu dengan ketuamu, aku dapat memberi
penjelasan." "Tidak !" "Tidakpun harus bisa !" cepat Cu Jiang gunakan gerak
langkah Gang-gong-poh melesat kian kemari lalu gunakan
ilmu jari Hui-ci-tiam, sess, sesss, dua orang lelaki dan tiga
wanita segera rubuh. "Ha, ha, ha. sahabat sungguh lihay sekali !" entah kapan
tahu2 ketua Hoa goat bun telah muncul dipinggir pintu.
Melihat itu mata Cu Jiang berkilat-kilat memancarkan
hawa pembunuhan. Tetapi ketua Hoa-goat-bun tenang saja.
"Bagaimana kita bicara didalam," katanya menggeliat
dengan wajah menghormat. Sedangkan gadis yang seorang lagi melontarkan senyum
berani kepada Cu Jiang lalu membuka kain tirai. Gadis itu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak lain adalah Soh-hun-li yang pernah bersama ketua Hoa-
goat-bun menyaru sebagai Tiong Hong Hui dan puterinya.
Diam2 Cu Jiang gembira karena sekaligus dia akan dapat
membasmi dua ekor rase. Segera ia melangkah masuk,
diikuti ketua Hoa-goat-bun. Ia duduk disebuah kursi dan
mempersilakan Cu Jiang duduk di kursi yang lain.
Cu Jiang tak mau sungkan lagi terus duduk tak berapa
jauh. Bau yang harum bertebaran tetapi hati anak muda itu
tetap masuk. Sedang Soh-hun li berdiri di belakang ketua
Hoa-goat-bun. "Malam2 datang kemari tentulah sahabat mempunyai
urusan penting?" ketua Hoa goat-bun mulai membuka
pembicaraan. "Ya." "Tadi sahabat mengatakan hendak cari hiburan."
"Hm," Cu Jiang merah mukanya. "Sukalah memberi
tahu nama sahabat ini."
"Ini... tak perlu ..."
"O. apakah kita pernah bertemu?" ketua Hoa goat-bun
tertawa genit. "Ya, tidak hanya sekali saja."
Ketua Hoa-goat-bun kerutkan alis, ujarnya:
"Kapan dan di mana."
Cu Jiang tak mau banyak berbelit belit. Dia terus
langsung berkata: "Kedatanganku kemari adalah karena atas permintaan
seorang sahabat." "Atas permintaan orang?" ketua Hoa goat-bun mulai
agak berobah cahaya mukanya.
"Benar." "Siapa?" "Kui jiu sin Jin Bun Yak Ih?"
Ketua Hoa goat bun seperti terpagut ular. Dia melonjak
dari kursinya. Wajahnya pucat.
"Engkau mengatakan Ban Yak Ih" "
"Benar." "Lalu dia minta tolong apa saja kepada sahabat?"
"Sebelum kukatakan hal itu, aku hendak mohon tanya
sebuah hal." "Soal apa?" "Dimanakah saat ini sahabatmu yang bernama Bun lim
seng hud Sebun Ong itu?"
"Apa" Sahabatku" Engkau salah, aku tak punya
hubungan apa2 dengan Sebun Ong."
"Benar?" "Masakan tidak!"
Cu Jiang menggeram. Tetapi diapun tak dapat berbuat
apa2 karena ia masih tak mau mengatakan siapa dirinya.
"Baik, kalau anda tak mengaku, tak perlu dibicarakan
lagi. " "Sahabat, sekarang katakanlah, apa permintaan Bun Yak
Ih kepadamu?" "Adakah anda ini hujin (isteri) dari Bun cianpwe?"
"Memang pernah menjadi isterinya."
"Dan sekarang tidak lagi?"
"Apa katanya?" "Membunuh engkau!"
Wanita itu terkejut tetapi sesaat kemudian tertawa
nyaring. Soh-hun-li juga ikut tertawa seperti mendengar
sebuah lelucon, "Tiam Sa Nio, apa yang engkau tertawakan?" tegur Cu
Jiang. Ketua Hoa goatbun hentikan tawanya dan melirik:
"Bun Yak Ih belum meninggal, mengapa urusan suami
isteri harus diserahkan kepada lain orang?"
"Mempunyai isteri begitu macam, dia malu bertemu
dengan kaum persilatan!"
"Kenapa diriku" adakah seorang ketua sebuah perkumpulan itu menghina namanya?"
"Hinaan saja masih belum cukup. "
"Lalu bagaimana?"
"Membuat dia tak dapat mengangkat muka untuk
selama-lamanya." "Benar." "Sahabat, apakah engkau mampu melakukan."
"Pasti." Kembali ketua Hoa-goat-bun itu tertawa. Tiba2
serangkum bau harum bertebar menusuk hidung Cu Jiang.
Dia tergetar hatinya dan segera menyadari bahwa wanita
itu tengah melepas siasat busuk... racun.
Tetapi karena dia membekal mustika Thian-Ju-cu maka
diapun tak kena apa2. Melihat pemuda itu tak kurang suatu apa, diam2 ketua
Hoa-goat-bun terkejut tetapi ia masih bersikap tenang.
"Sahabat, engkau memang hebat. Adalah kami yang
kurang cermat. Karena melakukan permintaan Ban Yak Ih,
sebetulnya engkau tentu sudah menyiapkan penolak racun."
"Asal engkau sudah tahulah."
Ketua Hoa-goat-bun itupun berdiri, berjalan dua langkah
dan berseru: "Sahabat, harap menyebut dirimu dulu, maukah ?"
"Ah, tak perlu."
"Tidak ! Dapat membunuh ketua Hoa-goat-bun dan
sebelumnya memberitahuku dulu, tentu bukan tokoh
sembarangan." "Salah ! Aku tak lain hanya seorang kerucuk tak ternama
dalam dunia persilatan."
Ketua Hoa-goat-bun terkesiap, tertawa.
"Bagaimana engkau hendak turun tangan ?"
"Saat ini ditempat ini juga !"
"Waktunya sudah keliwat lama mengapa tak lekas turun
tangan ?" Cu Jiang tertawa dingin. Ia meletakkan buntalannya
keatas kursi lalu pelahan-lahan membukanya. Ketua Hoa-
goat-bun dan Soh-hun-li heran melihat tingkah laku
pemuda itu. Setelah lipatan buntalan kain itu dibuka maka tampaklah
sebuah kerangka pedang yang bertebar mutiara. Suasana
saat itu segera berobah tegang penuh dengan hawa
pembunuhan. Tiba2 Cu Jiang tertegun. Kalau dia mencabut pedang itu,
jelas dirinya akan ketahuan. Maka dia harus berhasil untuk
membasmi semua gerombolan Hoa-goat-bun. Tak boleh
ada seorangpun yang di biarkan hidup.
Dengan tangan kiri memegang kerangka dan tangan
kanan memegang tangkai pedang, pelahan-lahan dia berdiri
dan berhadapan dengan Tiam Sa Nio.
Tiba2 Soh-bun-li melengking lain secepat kilat menerjang
Cu Jiang. Dia mendahului menyerang untuk mengetahui
sampai dimana kesaktian anak-muda itu.
Tampak pedang berkilat, terdengar erang pelahan disusul
dengan tubuh Soh-hun-li yang rubuh berlumuran darah.
Karena menjaga jangan sampai membuat suara sehingga
mengejutkan lain tetamu, maka Cu Jiang bergerak cepat
sekali. Yang diarah bagian tenggorokan sehingga Soh hun li
tak sempat menjerit lagi.
Tampak wajah ketua Hoa goat bun pucat dan mulutnya
segera memekik kaget: "Toan kim jan jin!"
"Bagus, engkau tentu dapat mati dengan mata meram . ."
Tiba2 tubuh ketua Hoa goat bun bergeliat dan
terdengarlah letupan keras disusul dengan gulungan asap
yang menebar menggelapkan pandang mata.
"Celaka!" diam2 Cu Jiang mengeluh. Setelah menentukan arah tempat lawan, dia terus menabas tetapi
ternyata tempat kosong. Karena ruang itu tak berapa besar maka kepulan asappun
segera memenuhi seluruh ruang sehingga gelap sekali. Cu
Jiang terpaksa loncat keluar. Beberapa saat setelah asap
menipis, ternyata dalam ruang itu sudah kosong. Tiam Su
Nio sudah lolos dari jendela.
Marah Cu Jiang bukan kepalang. Dirinya sudah
diketahui tetapi dia tetap belum dapat membasmi wanita
itu. Tidakkah hal itu akan menambah kesulitan lagi
baginya" Diam2 dia menyesal mengapa membuang waktu bicara
begitu lama. Kalau dia terus turun tangan secepatnya,
tentulah wanita itu tak dapat lolos.
Berpaling ke belakang dilihatnya kelima anak buah Tiam
Su Nio yang masih tak dapat berkutik.
Mereka banyak melakukan kejahatan, lebih baik
dilenyapkan. Dia segera menutuk jalan darah kematian
mereka. Untuk mengejar wanita itu tentu sukar dan makan waktu
lama. Tiam Su Nio tak mengerti bahwa dia menginap disitu
juga dan peristiwa tadi ternyata tak mengejutkan lain
tetamu. Maka diapun segera kembali ke kamarnya lagi.
Tanpa menyalakan lampu dia terus menutup pintu dan
tidur. Ketika bangun matahari sudah bersinar, ia tak
mendengar suara apa dari sebelah kamar mereka. Dengan
begitu peristiwa semalam tentu belum didengar orang lain.
Ketika turun dari pembaringan, hampir dia menjerit.
Ketua partai Hoa-goat-but ternyata muncul di atas meja.
Waktu dia merentang mata memandangnya ternyata yang
berada di meja itu adalah batang kepala Tiam Su Nio.
Cu Jiang cepat menghampiri dan memeriksa kepala
manusia itu. Siapakah yang membunuh ketua Hoa-goat-
bun. Dan mengapa dikirim kedalam kamarnya" Adakah Ki
Siau Hong yang melakukan" Ah, tak mungkin. Gong-gong-
cu telah memberi pesan, melarang keempat pengawal itu
untuk turun tangan. Lalu siapa"
Mengapa orang itu tahu tentang dirinya lalu membunuh
Tiam Su Nio dan mengirim kepalanya kedalam ruang
kamarnya. Sepasang mata wanita itu masih terbelalak dan wajahnya
pucat tetapi masih tampak seperti orang hidup.
Tiba2 ia melihat secarik kertas di meja itu Buru2
diambinya. Tulisannya indah dan lemas, tentu tulisan
seorang wanita. Bunyinya:
"Tak sengaja bertemu disini. Tahu bahwa anda menghendaki
jiwa wanita beracun ini. Maka dengan ini kupersembahkan
kepalanya sebagai balas budi anda dahulu kepadaku.
Yin-yin." Yin-yin " Siapakah Yin-yin itu " Dia coba berusaha
untuk menggali ingatannya. Ya, ia agaknya kenal dengan
nama itu Tang Yin-yin, oh .... dia adalah anak murid dari
Bu-san-sin-li itu! Ya, benar dia telah menolong wanita itu minggat dari
cengkeraman Bu-san sin-li.
Ah, sungguh kebetulan sekali peristiwa ini. Tetapi diam2
diapun berdebar. Kiranya dirinya telah diketahui orang.
Padahal dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk tidak
mengadakan gerakan apa2 dan menyembunyikan diri.
Kemudian diapun berterima kasih atas bantuan Yin-yin.
Dengan terbunuhnya Tiam Su Nio, tentulah dapat dicegah
akibat lebih luas dari tindakan Tiam Sunio untuk
menyiarkan tentang diri Toan-kiam-Jan Jin.
Tiba2 terdengar langkah kaki orang mendatangi dan
pada lain saat terdengar pintunya diketuk: "Tuan hendak
pesan makanan apa?" "Sejam lagi kirimkan hidangan dan arak. Dobel porsi
sekali." kata Cu Jiang.
"Baik." "Dan juga carikan beberapa helai kertas minyak,
beberapa utas tali kecil. Masukkan dalam rekening."
"Baik, tuan." Setelah pelayan itu pergi, Cu Jiang lalu menaruhkan
kepala orang itu diatas ranjang kemudian membersihkan
meja. Pada saat itu pelayanpun datang dengan membawa
kertas dan tali. Setelah pelayan pergi, Cu Jiang lalu membungkus kepala
Tiam Su Nio itu dengan kertas minyak dan diikat dengan
tali lalu dibungkus lagi dengan buntalan kain. Dengan
begitu tentu takkan menimbulkan kecurigaan orang.
"Pembunuhan !" tiba2 dari gedung sebelah terdengar
orang berteriak dan tak lama ramailah orang mengerumuni.
Cu Jiang tenang2 saja berada dalam kamar. Dia tak mau
ikut menonton karena kuatir akan ketahuan dirinya.
Sampai siang masih ramai orang mendatangi rumah
penginapan itu. Diantaranya terdapat pembesar daerah
yang memeriksa. Siang itu Song Pek Liang datang membawa berita bahwa
di belakang biara Kang sim-bio, didekat tepi sungai telah
didirikan sebuah panggung.
Tetapi tak diketahui siapa yang memerintahkan.
Pekerja2 yang membangun panggung itu hanya memberi
keterangan bahwa mereka menerima pesanan dari seorang
lelaki yang tak dikenal. Dengan tak sabar Cu Jiang menunggu siang berganti
malam. Setelah malam baru dia menuju ke tempat itu. Dia
telah mempergunakan dandanan sebagai seorang saudagar.
Pedang kutung dibawanya sedangkan kepala Tiam-su-nio
disimpan dalam kamar dan dikuncinya.
Sepanjang jalan banyak sekali rombongan2 orang
persilatan yang berbondong-bondong menuju tempat itu.
Toan-kiam jan-jin menantang ketua Gedung Hitam
memang merupakan berita yang paling menggemparkan
dalam tahun ini. Tampak ditempat itu dibangun sebuah panggung setinggi


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu tombak, luas dua tombak lebih.
Dimuka dan kanan kiri panggung itu dipagari dengan
pagar bambu diberi jalan seluas tiga tombak. Orang yang
melihat hanya dapat dari luar pagar bambu.
Cu Jiang menyusup diantara penonton. Tak lama Ki
Siau Hong, Song Pek Liang dan Ko Kun bermunculan.
Mereka memberi salam melalui kicupan mata.
Dikanan kiri panggung dipasang dua buah obor besar
sehingga suasana panggung terang benderang. Di bawah
panggung orang penuh sesak seperti melihat pasar malam.
Tetapi sampai lama sekali belum juga tampak acara
dimulai, bahkan seorangpun tak muncul diatas panggung.
Lama menunggu penonton tak sabar dan mereka bersungut-
sungut berisik sekali. Cu Jiangpun juga gelisah. Kalau kedua orang itu benar2
tak muncul dan hanya suatu siasat, tentulah Ki Siau Hong
dan kawan- kawannya makin mencurigai dirinya.
Sampai menjelang tengah malam masih tetap panggung
itu kosong melompong, Song Pek Liang menghampiri ke
sisi Cu Jiang dan berkata seorang diri:
"Ah, rasanya Toan-kiam jan-Jin malam ini tak berani
unjuk muka." Apa maksud kata2 itu, Cu Jiang sudah dapat
menangkap. Sekonyong-konyong sesosok bayangan manusia melayang ke udara dan melayang turun keatas
panggung dengan gerakan yang indah sekali.
Hiruk pikuk para penonton lenyap seketika. Kini mereka
mencurah pandang pada pendatang itu.
Cu Jiang terkejut juga. Tetapi ketika ia memandang ke
arah panggung ternyata yang muncul itu seorang lelaki
muda berumur 30-an tahun, mengenakan pakaian
berkabung dan membawa pedang.
Wajah memberingas dan membungkuk tubuh memberi
hormat kearah penonton, serunya.
"Aku yang rendah, Ong Cu Bo dari gunung Hong san,
sengaja naik ke panggung untuk menantang Toan kiam Jan-
Jin!" Terdengar suara hiruk di bawah panggung. Bahwa ketua
Hong-san-pay dibunuh dan puterinya dinodai kehormatannya telah diketahui seluruh dunia persilatan.
Maka munculnya Ong Cu Bo tidaklah mengherankan
mereka. Perasaan Cu Jiang benar2 sakit sekali. Orang telah
memalsu dirinya dan telah membunuhi beberapa tokoh
persilatan yang terkenal. Dengan demikian kaum persilatan
tentu membenci kepada Toan-kiam jan jin.
Sedangkan Song Pek Liang hanya tertawa dingin
sehingga hati Cu Jiang makin tertusuk.
"Toan-kiam jan-jin, hayo keluarlah! Apa engkau takut
mati ! Binatang, mengapa engkau menyembunyikan diri
seperti kura-kura .. . ."
Geraham Cu Jiang bergemerutuk keras tetapi apa daya"
Dia memutuskan, jika tak mampu membekuk orang yang
memalsu dirinya itu, untuk selama-lamanya dia tak mau
memakai nama Toan-kiam jan-jin lagi. Tetapi bagaimana ia
harus menjelaskan kepada Ki Siau Hong bertiga"
Sekonyong-konyong sesosok bayangan mendesak kesamping Cu Jiang bahkan membenturnya lalu berkata :
"Bagaimana ini ?"
Cu Jiang berpaling. Ternyata disampingnya seorang tua
bertubuh pendek dengan sepasang mata yang berkilat-kilat
tajam. Siapa lagi kalau bukan si orang aneh Lam kek-soh
sahabat kental dari guru Cu Jiang, Gong gong-cu.
Cu Jiang tertawa meringis dan gelengkan kepala:
"Tunggu sampai Toan-kiam-jan-Jin muncul di atas
panggung !" Lam kek-soh mendengus tak berkata apa2. Kembali
sesosok tubuh melesat keatas panggung.
"Itu dia!" teriak sekalian orang.
"Hai. bukan dia !" sesaat kemudian seorang lain berseru
terkejut. Ong Cu Bo yang sudah lintangkan pedang tiba2 pun
julaikan pedangnya ke bawah lagi.
Yang naik ke panggung itu seorang tua berambut merah,
gagah perkasa dengan memegang sebatang tongkat theng-
ciang (rotan). Dia memandang kearah sekalian penonton
lalu berseru dengan dingin:
"Toan-kiam jan-jin, hendak kucincang tubuhmu. Kini
engkau tak berani keluar, terang engkau memang kutu
busuk !" "Cianpwe, siapakah dia ?" tanya Cu Jiang kepada Lam
ki-soh. "Belum pernah melihatnya," Lam-ki-soh gelengkan
kepala. Ong Cu Bo pun memandang orang tua gagah itu dengan
tercengang. Tetapi orang tua gagah itu tertawa mengekeh
dan berkata seorang diri:
"Toan - kiam jan jin mengandalkan ilmu pedangnya
untuk berbuat sekehendak hatinya. Sekarang hendak
kucincang tubuhnya, kubeset kulitnya. Ternyata malam ini
kedua belah pihak sama2 tak muncul. Rupanya ketua
Gedung Hitam itu juga bangsa kura2 tua!"
Sudah tentu ucapan itu menimbulkan gelak tawa
sekalian penonton. Sementara Cu Jiang masih belum habis
herannya, siapakah gerangan orang tua yang berani
menantang Toan-kiam-jan-jin itu" Bahkan berani juga
memaki ketua Gedung Hitam sebagai bangsa kura2.
Siapakah dia" Tiba2 melayang pula sesosok bayangan ke belakang
kedua orang itu. Tiada seorangpun yang tahu kapan dan
bagaimana dia berada di panggung. Seolah-olah dia
memang sudah berada disitu.
"Toan kiam jan jin! " terdengar sorak gegap gempita dari
sekalian penonton. Seketika gemetarlah Cu Jiang. Benar, memang yang
muncul di atas panggung itu adalah orang yang mirip
dirinya waktu masih menjadi Toan kiam jan jin.
Mengenakan baju sasterawan warna biru dan kerudung
kepala serta muka warna biru juga. pinggangnya tergantung
sebuah kerangka pedang, tangkai pedang berhias mutiara.
Song Pek Liang dan Lam ki soh berpaling ke arah Cu
Jiang dan memandangnya dengan heran.
Cu Jiang memandang lekat2 ke panggung. Rupanya Ong
Cu Bo dan lelaki tua gagah itu merasa lalu serempak
berputar tubuh. Begitu melihat Toan-kiam-jan-jin sudah
hadir di situ, mereka berteriak kaget dan bersiap-siap.
Dengan wajah mengerut dendam kemarahan Ong Cu Bo
segera menegur: "Apakah anda ini Toan-kiam-jan-jin?"
"Benar, siapa engkau?"
"Putera dari ketua Heng san pay, Ong Cu Bo!"
"Mau apa engkau?"
"Menagih hutang darah kepada anda."
Cu jiang sudah mulai mengisar langkah tetapi Lam ki
soh cepat membentaknya: "Peristiwa aneh sekali, jangan sembarangan bergerak!"
Cu Jiang terpaksa menurut.
Dengan langkah tertatih tatih pincang, Toan kiam jan jin
menghampiri dan berseru: "Lawanku malam ini adalah ketua Gedung Hitam. Yang
lain lainnya tidak sepadan!"
"Cabut pedangmu!" teriak Ong Cu Bo.
"Engkau hendak menjadi orang pertama yang berlumur
darah?" seru Toan kiam jan jin.
"Cabut pedangmu!"
"Engkau tak berharga menghadapi aku!"
"Aku hendak mencincang tubuhmu!" Ong Cu Bo terus
menyerang. Sekali bergerak, sudah dapat diketahui seorang jago itu
sungguh berisi atau kosong. ilmu pedang dari Jago muda
Heng-san-pay itu memang hebat sekali. Juga tenaga
dalamnya amat tinggi. Apalagi dia menyerang dengan penuh dendam kesumat,
sudah tentu gerakannya maut sekali.
"Huakkkk..." terdengar Jeritan ngeri dan tubuh Ong Cu
Bopun terhuyung-huyung dua kali lalu rubuh. Sekalian
penonton terlongong menyaksikan permainan ilmu pedang
Toan-kiam jan- Jin. Kecuali Cu Jiang seorang, tak ada lain orang lagi yang
dapat melihat bagaimana cara Toan-kiam-Jan jin bergerak
tadi. Diam2 Cu Jiang menyesal. Kalau dia muncul ke atas
panggung tentulah dia dapat menyelamatkan jiwa putera
dari ketua Heng-san-pay itu.
Kemudian Toan-kiam Jan-jin menghadap lelaki gagah
berambut merah, serunya. "Apa kata anda ?"
Wajah lelaki tua berambut merah itu pucat dan belum
beberapa lama tak kedengaran dia membuka suara. Tahu2
dia terus melayang turun ke bawah panggung.
Kini diatas panggung hanya tinggal Toan-kiam Jan-Jin
seorang. Suasana penuh diliputi ketegangan yang menyeramkan. Beratus-ratus jago2 silat yang berkumpul di bawah
panggung, tak seorangpun tahu bagaimana gerak pedang
Toan-kiam-jan-jin, apa nama jurus ilmu pedang itu, hanya
pernah mendengar namanya tetapi belum pernah melihat
kenyataannya. Kini apa yang mereka saksikan, benar2
membuat mereka kesima. Tetapi dibalik rasa kagum, terpencarlah rasa ngeri dalam
hati setiap orang. Karena dengan munculnya seorang tokoh
semacam itu, Jelas dunia persilatan akau menjalani hari
kiamat. Sementara saat itu Toan kiam jan-jinpun menyimpan
pedangnya dan dengan suara tandas berseru:
"Apakah ketua Gedung Hitam benar2 tak mau keluar
menyambut tantanganku ?"
Sejak berpuluh tahun tak pernah terdapat manusia yang
berani menantang ketua Gedung Hitam, apalagi menantang
secara terang-terangan di depan umum.
Setiap jago silat yang berada di tempat itu sangat ingin
sekali melihat ketua Gedung Hitam muncul. Mereka ingin
tahu bagaimana wujud ketua Gedung Hitam, tokoh yang
selama ini merupakan tokoh misterius dalam dunia
persilatan. Sekalian orang menahan napas. Apakah ketua Gedung
Hitam berani keluar " Jelas bahwa tokoh misterius itu tentu
sudah berada diantara orang2 yang hadir ditempat itu.
Siapakah sesungguhnya yang lebih Sakti, ketua Gedung
Hitam atau Toan-kiam-jan-Jin "
Malam makin larut. Toan-kiam-jan-Jin masih berdiri
tegak diatas panggung, bagaikan seorang malaikat pencabut
nyawa. Sayang tak tampak bagaimana wajah yang
sebenarnya dibalik kain kerudung yang menutupi mukanya
itu. Sekonyong-konyong dari samping panggung sesosok
bayangan melayang keatas panggung. Ternyata seorang tua
kurus berjubah hitam. Tangannya membawa sebuah
buntalan kain. Begitu berada dipanggung terus melontarkan buntalan
itu kelantai panggung lalu berdiri dengan mendekap kedua
tangan. "Ketua Gedung Hitamkah itu ?" Pikir Cu Jiang. Tetapi ia
melihat perawakannya tidak mirip.
Toan-kiam-jan-Jin berputar tubuh dan menghadap orang
tua itu menegur dingin: "Siapakah anda ?"
Walaupun bertubuh kurus tetapi nada suara orang tua itu
amat besar dan nyaring. "Aku pemimpin pengawal pribadi dari ketua Gedung
Hitam. Namaku Ki Gai Kah."
Toan-kiam-Jan-Jin tertawa dingin. "Ki Gai Kah,
bukankah engkau ini Thian lan pohcu " Mengapa engkau
menjadi anjing penjaga ketua Gedung Hitam?" serunya.
"Peliharalah lidahmu yang baik," Ki Gai Kah
mendengus dingin. "Orang she Ki, perlu apa engkau naik ke panggung.?"
"Mewakili pohcu !"
"Yang kutantang bertempur adalah pohcu sendiri."
"Pohcu kami akan muncul nanti."
"Kalau begitu perlu apa engkau keluar ?"
"Untuk mengadakan pemeriksaan."
"Apa ?" "Memeriksa diri anda yang sebenarnya."
Ucapan itu telah menimbulkan berbagai bisik-bisik
dikalangan penonton, Cu Jiang tahu bahwa sebentar lagi
bakal terjadi pertunjukan yang menarik.
Mata Toan-kiam-Jan-jin berkilat-kilat memancarkan
hawa pembunuhan dan dengan suara gemetar berseru:
"Ki Gai Kah, apa maksud omonganmu?"
"Pohcu kami sangsi, apakah anda ini benar Toan-kiam-
jan jin yang aseli."
"Ha, ha, ha, apakah perlu harus memalsu diri ?"
"Berhati-hati terhadap orang, memang yang paling baik.
Dalam pertemuan besar ini, banyak sekali hal2 yang harus


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dicurigai." "Bagaimana kalau engkau menyambuti barang sejurus
saja dari pukulan untuk membuktikan palsu atau tidaknya
diriku?" "Tunggu, kita harus bicara yang jelas . . ."
"Katakan !" "Menurut penilaian pohcu kami terhadap perangai Toan-
kiam-Jan-jin, ada beberapa hal yang perlu ditanyakan."
"Tanyakanlah !"
"Pertama. Toan-kiam-Jan-jin itu seorang manusia yang
suka menyendiri dan angkuh. Tak mungkin mau
menantang bertempur diatas panggung terbuka seperti ini.
Kedua, sinar mata anda kurang pancaran dendam dan
keganasan. Ketiga, perawakan anda juga kurang tinggi
sedikit, begitu pula suara anda. Keempat, cara anda
mencabut pada pedang tidak sama seperti dulu. Dan
kelima, dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi pada
akhir2 ini, jelas Toan-kiam-jan-Jin tak bersangkut ..,."
"Masih ada lagi"!
"Rasanya sudah cukup."
Cu Jiang diam2 terkejut. Ia tak mengira ketua Gedung
Hitam ternyata memiliki pengetahuan yang cermat
terhadap dirinya. Juga sekalian penonton terdengar hiruk
pikuk. Seluruh mata penonton tertumpu pada diri orang yang
diduga sebagai Toan-kiam jan Jin palsu itu.
Toan-kiam jan jin yang berada diatas panggung
terdengar mendengus geram.
"Si Gui Kah, aku tak sudi melayani ocehanmu. Yang
akan kubunuh yaitu ketua Gedung Hitam. Kalau engkau
mau menjual jiwa antiknya, lekas copot nyawamu dan
letakkan dipanggung ini!" serunya.
"Nanti dulu." Si Gui Kah memberi isyarat tangan,
"masih ada yang hendak kukatakan."
Tetapi Toan-kiam jan jin sudah mencabut pedang
kutungnya dan membentak: "Jangan banyak mulut, lekas engkau bunuh dirimu . . ."
"Apakah anda tak ingin melihat dua barang yang berada
dalam bungkusan ini." kata Si Gui Kah seraya menunjuk
pada buntalan yang berada di tengah panggung.
Toan-kiam-jan-jin tampak tertegun. "Apa sih barang itu?"
serunya. "Anda mau melihat?"
"Jangan coba main-main . ."
"Bukti apa?" "Bukti dari dirimu."
Sekalian orang yang berada disekeliling gelanggang yang
semua dicengkam rasa tegang saat itu berobah heran.
Rupanya Toan-kiam jan-jin juga terkejut. Ia memandang
kearah buntelan kain itu. serunya:
"Si Gui Kah, engkau hendak coba2 membuka rahasia
diriku?" "Tak perlu aku yang mengatakan, buntalan itu sudah
berbicara sendiri." "Apakah sebenarnya buntalan itu?"
"Kepala manusia !"
"Apa" Kepala orang?"
"Benar, memang sebutir kepala orang ?"
"Batang kepala siapa ?"
"Batang kepala dari hu-hwat perkumpulan Thong thian-
kau cabang kota Siang-yang, yaitu yang bergelar Ang mo-
kim-kong!" Toan kiam-Jan jin terkejut. Tiba2 dia menyahut.
"Hal itu tiada sangkut pautnya dengan diriku "
Dengarkan, kalau malam ini ketua Gedung Hitam tak
berani keluar, dalam beberapa hari dia harus membubarkan
Gedung Hitam dan seluruh anak buahnya. Sejak itu nama
Gedung Hitam hapus dari dunia persilatan! "
Si Gui Kah tertawa gelak2.
"Dengan begitu dalam dunia persilatan hanya ada
Thong-thian-kau, bukan?"
Mendengar itu tiba2 Cu Jiang seperti tersadar.
"Hai, kutahu kiranya urusannya begitu." Song Pek Liang
yang berada di sampingnya, berkata seorang diri.
Cu Jiang berpaling dan mengangguk.
Sebelum Toan-kiam jan jin sampai menyatakan sesuatu,
sekonyong-konyong Si Gui Kah sudah loncat turun dari
panggung dan lenyap dibalik kerumunan orang.
Toan-kiam jan-jin gemetar karena marah.
"Ketua Gedung Hitam, aku hendak membunuhmu. Di
hadapan jago2 dari segenap pelosok dunia persilatan,
beranikah engkau naik ke panggung?"
Saat itu hati Cu Jiang sudah tenang. Dia sudah dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Tiba2 diantara kerumun penonton, terdengar seseorang
berseru nyaring. "Toan kiam jan jin, bukalah buntalan itu!"
Entah karena ingin tahu, entah karena marah
dipermainkan orang, Toan kiam jan jin memang terus
Pedang Kunang Kunang 9 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Dendam Asmara 2
^