Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 11

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 11


mengambil buntalan itu dan membukanya.
"Astaga...!" Terdengar pekik teriak terkejut dari sekalian penonton.
Ternyata isi buntalan itu memang sebutir kepala orang.
Kepala dari lelaki tua berambut merah yang barusan naik ke
panggung lalu terbirit-birit melarikan diri itu!
Karena memakai kain cadar yang menutup mukanya
maka tak dapat diketahui bagaimana perubahan wajah
Toan kiam jan jin saat itu. Tetapi dari sorot matanya yang
memancarkan cahaya berkilat, jelas dia tentu juga kaget.
Tetapi hanya sebentar dan sorot mata kaget itu segera
berganti dengan pancaran sinar pembunuhan yang buas
Karena gemas, dia lalu membanting kepala orang itu ke
lantai panggung, bum ....
Terdengar ledakan keras dan disusul asap yang
bergulung-gulung dan suara orang menjerit ngeri. Seluruh
penonton terkejut dan panik. Mereka tak menduga bahwa
kepala manusia itu ternyata berisi bahan peledak.
Sebelum orang2 tenang kembali dan asap reda, beberapa
sosok bayangan telah berhamburan loncat ke atas
panggung. Terdengar beberapa ledakan keras lagi.
Asap hitam membumbung tinggi, keping2 kayu meledak
bertebaran dan sekalian penontonpun kacau balau. Mereka
berdesak-desak menyingkir ke empat penjuru. Pekik dan
erang memenuhi tempat itu.
"Mari kita pergi," Lam-kek soh menggapai kearah Cu
Jiang, "tak ada apa apanya lagi disini."
Cu Jiang meragu, ia menyatakan hendak mencari ketua
Gedung Hitam. "Kalau dia berada disini, lawan tentu sudah mencarinya," kata Lam-kek soh.
Untuk menghindarkan kecurigaan orang, Cu Jiang
pulang seorang diri. Saat itu sudah tengah malam. Begitu
masuk ke kamar, Ki Siau Hongpun sudah mengikuti juga.
Dengan penuh rasa sesal pengawal dari Tayli itu segera
menghaturkan maaf. "Atas nama kawan bertiga, aku menghaturkan maaf atas
segala kesalahan terhadap ciangkun." katanya.
"Ah, itu hanya salah faham tak dapat menyalahkan
kamu bertiga, duduklah."
Tanpa memasang lampu, keduanya duduk bercakap-
cakap. "Apakah ciangkun sudah dapat menduga peristiwa itu?"
"Ya, siasat dari Thong thian kau."
"Benar. Tahukah ciangkun siapa yang menyaru jadi
Toan kiam jan jin itu?"
"Siapa?" Cu Jiang balas bertanya.
"Kiu-kio Thian-mo, jago nomor lima dari kawanan Sip
pat thian mo. Dia cerdik dan cermat sekali. Jika orang
mempunyai tujuh lubang dia memiliki sembilan lubang.
Itulah sebabnya dia bergelar kiu-kio atau sembilan lubang
..." "Oh !" "Dia adalah kepala dari Thong-thian-kau cabang Siang
yang." "Bagaimana saudara Ki begitu jelas?"
"Sedang lelaki tua berambut merah adalah hu-hwat dari
cabang Thian long kau itu. Setelah turun dari panggung dia
terus dibekuk orang Gedung Hitam, dipaksa supaya
mengaku dan diapun segera menerangkan semua yang telah
terjadi .." "Bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu?"
0dw0 Ki Siau Hong mengisar kursinya ke dekat jendela untuk
menjaga apabila ada orang yang mencuri dengar.
"Tujuan Thian thong kau untuk menggunakan siasat itu
tidak lain untuk memancing ketua Gedung Hitam dan
ciangkun supaya tampil keluar. Karena ciangkun dianggap
sebagai musuh mereka yang utama sedang Gedung Hitam
merupakan saingan mereka dalam rencana mereka untuk
menguasai dunia persilatan."
"Apakah rencana mereka semula menghendaki supaya
aku dan ketua Gedung Hitam keluar ke atas panggung?"
"Benar. Mereka sudah mempersiapkan obat peledak di
bawah panggung. Asal ciangkun naik ke panggung, mereka
segera akan meledakkan panggung "
"Ah." "Karena tak tampak seseorang naik panggung maka
mereka lalu memutuskan untuk menampilkan diri sebagai
Toan-kiam jan-jin. Agar ketua Gedung Hitam mau keluar.
Tetapi ternyata ketua Gedung Hitam memang cerdik dan
licin. Sebelumnya dia sudah menyebar anak buahnya di
sekeliling tempat itu untuk mengikuti perkembangan
keadaan. Begitu lelaki berambut merah itu loncat turun dari
panggung, mereka terus menangkapnya.
Kepala lelaki berambut merah itu dipotong, dibuntal
dengan kain, disebelah dalam dari kepala itu diisi dengan
bahan peledak lalu diletakkan di panggung.
"Siasat itu sungguh ganas sekali!" seru Cu Jiang.
"Dan rencana kedua. anak buah Gedung Hitam itu telah
mendahului untuk menguasai barisan pendam anak buah
Thian thong-kau, lalu menyulut api."
"Jika begitu toh telah Kiu-kio Thian-mo sudah mati?"
"Tentu. Dia tentu sudah hancur berkeping-keping
bersama beberapa anak buahnya."
Menggigil hati Cu Jiang mendengar penuturan itu.
Diam2 ia merasa ngeri membayangkan jika tadi dia tak
dapat menguasai diri dan terus loncat keatas panggung,
tentulah saat itu dia sudah menjadi mayat yang hangus.
Dari pengalaman itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa
hubungan antara Thong-thian-kau dengan Gedung Hitam
sudah gawat sekali. "Apakah saat itu ketua Gedung Hitam berada disitu"
tanyanya. "Jika ada, tentu dia menyamar sehingga sukar dikenali."
"Lalu bagaimana akibat dari peristiwa itu?"
"Hubungan kedua pihak bagaikan air dan api"
"Apakah kalian bertiga tetap hendak pulang ke Tayli?"
"Tidak ! Karena salah faham sudah beres, hamba bertiga
tetap akan melakukan titah Kok-su untuk membantu
ciangkun. Sungguh beruntung kami mendapat bantuan dari
Lam kek-soh..." "Apa yang terjadi dengan dia ?"
"Adalah karena memandang muka Kok-su maka dia
mau membantu kita." "Lalu bagaimana dengan Ong Kian?"
"Mayatnya telah kami bakar, abunya kelak akan kami
bawa pulang dan dikubur dengan upacara yang layak."
Cu Jiang mengangguk. "Lalu bagaimana langkah engkau selanjutnya ?" tanya Ki
Siau Hong. "Saat ini aku hendak menuju ke gunung Tay-pa-san
untuk menemui seorang sakti yang aneh."
"Siapa ?" "Ih Se lojin." "Untuk apa ?" "Meminta petunjuk kepadanya tentang ilmu yang dapat
untuk menghancurkan Gedung Hitam."
"Oh..." "Sebelum kemudian aku akan kembali kekota Huyang
dan akan bertemu dengan Ang Nio Cu dirumah penginapan
Naga Hijau." "Apakah ciangkun masih ada pesan lagi ?"
"Tidak." "Jika begitu hamba hendak mohon diri."
"Silakan," Ki Siau Hung berbangkit, dengan hati2 ia membuka
jendela lalu loncat keluar dan lenyap dalam kegelapan.
Cu Jiang teringat akan batang kepala dari Ciam Su Nio
yang masih disembunyikan dibawah ranjang. Pikirnya. Jika
wanita itu muncul di situ, tentulah Bu lim-seng hud Sebun
Ong juga akan datang. Mengapa dia tak mau menggunakan batang kepala itu
untuk memikat agar Sebun Ong mau unjuk diri "
"Hem." serunya dalam hati, "aku harus membalaskan
sakit hati toa-suheng."
Dia tak jadi tidur. Setelah mengemasi barangnya dan
meninggalkan sekeping perak diatas meja, dia lalu
menjinjing bungkusan kepala orang itu dan terus loncat
keluar. Saat itu kota sunyi senyap. Kecuali kentongan ronda,
seluruh penjuru tak terdengar suara apa2 lagi.
Ia memilih sebuah tiang lentera penerangan jalan lalu
memancang kepala orang itu diatas tiang. Setelah itu dia
bersembunyi ditempat gelap.
Malam cepat sekali berlalu. Menjelang terang tanah, di
jalan mulai muncul orang2 yang gempar melihat kepala
orang diatas tiang lampu jalan.
Cu Jiang juga keluar dan berjalan mondar-mandir. Kini
makin lama makin banyak orang berkerumun untuk
menyaksikan peristiwa itu. Mula2 mereka hiruk pikuk
menduga-duga siapa kepala dari wanita secantik itu.
Bagi kaum persilatan, peristiwa itu tidak mengherankan
tetapi bagi kaum awam, sudah tentu mereka menganggap
hal itu sebagai sesuatu yang menggemparkan.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh melayang ke udara,
melampaui tiang lampu dan pada lain kejap orang itupun
sudah lenyap. Cepat sekali gerakannya sehingga orang2 tak
sempat untuk berteriak. Saat itu Cu Jiang berada pada jarak lima enam tombak
dari tiang lentera tetapi dia juga tak mampu melihat siapa
bayangan orang itu. Cepat ia melesat, loncat ke atas
wuwungan rumah dan mengejar.
Lari orang itu memang cepat sekali. Dalam beberapa
kejap dia sudah melampaui tembok kota, Cu Jiangpun
segera tancap gas, mengejar keluar kota.
Diluar kota, orang makin banyak. Ada yang mau masuk
kota dan ada yang keluar dari kota. Cu Jiang gemas sekali.
Dia mengingat ingat perawakan, pakaian dan gerak-gerik
orang itu. Kemudian dia berhenti di tepi jalan sambil
memperhatikan setiap pejalan yang lewat.
Sampai setengah jam menunggu, ia merasa kecewa. Dia
tak melihat seorang yang menimbulkan kecurigaan.
Akhirnya ia memutuskan, lebih baik tak melanjutkan
pengejaran yang sia-sia itu.
Teringat akan waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
ia harus lekas2 menuju ke Tay pay san. Soal jalanan, ia sih
kenal. Tetapi ia tak tahu berapa lama ia dapat kembali dari
gunung itu. Ia bergegas mencari tempat yang sepi untuk berganti
pakaian, menyamar sebagai seorang pemuda desa. Dengan
begitu, dia tentu tak banyak menimbulkan perhatian orang.
Setelah melintasi sungai Han cui, dia lalu mengarahkan
perjalanan ke timur laut. Dalam beberapa waktu dia sudah
mencapai seratusan li. Menjelang tengah hari, tiba disebuah
kota kecil. Setelah berhenti makan dan membeli bekal rangsum
kering, ia melanjutkan perjalanan lagi. Petang hari dia
bermalam ditempat seorang penduduk desa. Keesokan
harinya dia berangkat dan sorenya dia sudah berada
didaerah gunung Tay-hong-san.
Dia hanya menentukan arah tetapi tak mau mengambil
jalan di gunung. Dengan begitu memang dia banyak
menghemat waktu. Tetapi untuk memotong jalan naik bukit
turun lembah, jika tidak memiliki kepandaian silat yang
tinggi, tentu sukar. Pada saat bintang2 muncul di angkasa, dia mendaki
sebuah puncak, mencari tempat yang bersih dan duduk
menikmati bekal makanannya.
Puncak gunung yang jauh disebelah muka, menggunduk
hitam seperti raksasa. Kukuk burung hantu dan lolong
serigala, menimbulkan suasana seram.
Tetapi Cu Jiang seorang pemuda yang bernyali besar.
Dia tak gentar. Beberapa saat kemudian terdengar letupan2
keras macam petir. Datangnya dari puncak jauh disebelah
muka. Dia terkejut dan heran. Malam itu bintang bergemerlapan di angkasa, langit tak mendung tetapi
mengapa terdengar suara petir"
Tiba2 suara letupan petir itu terdengar lagi. Dia makin
heran. dimalam yang terang terdengar petir, sungguh aneh.
Lebih aneh lagi ketika ia memperhatikan bahwa walaupun
ia dengar suaranya tetapi dia tak melihat pancaran sinar
petir. Pada waktu terdengar bunyi petir yang ketiga kalinya,
Cu Jiang tak dapat menahan keinginan tahunya lagi.
Serentak ia lari menuju ketempat itu.
Puncak itu hampir boleh dikata gundul. Hanya
ditumbuhi beberapa batang pohon siong saja. Rumput dan
semak2 tak ada sama sekali.
Cu Jiang berdiri diatas sebuah batu yang tinggi. Ia
memandang kesegenap penjuru tetapi tak melihat barang
sesuatu yang menimbulkan keheranan.
"Bu m m m . . . !"
Ledakan keras terdengar, dekat sekali dari tempat Cu
Jiang berdiri sehingga pemuda itu melonjak kaget.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusur pandang kearah asal suara itu, kejutnya bukan
kepalang. Dibawah dua pohon siong yang saling berhadapan,
tampak duduk seorang lelaki dan seorang wanita. Mereka
terpisah pada jarak dua tombak. Keduanya saling
menjulurkan telapak tangan kemuka.
Jelas mereka sedang melakukan pertempuran mengadu
tenaga dalam. Tetapi dengan ilmu apakah yang mereka
pancarkan itu sehingga dapat menimbulkan daya tenaga
yang sedemikian dahsyatnya"
Siapakah mereka" Mengapa mereka mengadu Ilmu
kepandaian pada saat tengah malam buta dan ditempat
pegunungan yang sunyi senyap"
Ketika memandang dengan seksama, Cu Jiang dapatkan
bahwa kedua insan itu sudah sama2 berambut putih. Yang
lelaki bertubuh kurus, sepasang matanya cekung kedalam,
dahi penuh keriput. Pada saat Cu Jiang masih melekatkan pandang, tiba2
lelaki tua itu menarik kedua tangannya dan berseru:
"Nenek tua, ada orang yang melanggar larangan!"
Nenek tua itupun menarik pulang tangannya lalu berseru
dengan nada dingin: "Seorang lelaki desa."
Cu Jiang terkejut. Kiranya mereka sudah mengetahui
kedatangannya. Tetapi apa maksud mereka mengatakan
kalau dia melanggar larangan itu"
Kakek tua mendengus. "Nenek tua, jangan membuang waktu, bereskan lalu kita
menyelesaikan urusan yang penting!" serunya.
Nenek itu mengangkat muka memandang Cu Jiang
dengan mata berapi-api, serunya.
"Budak kecil, kemari engkau!" Cu Jiang loncat turun dan
pelahan-lahan menghampiri. Kira2 terpisah satu tombak
dari tempat mereka, dia berhenti.
"Budak kecil, penggallah kepalamu sendiri agar tidak
merepotkan aku!" tiba2 nenek tua itu berseru.
Bukan kepalang kejut Cu Jiang.
"Suruh aku bunuh diri sendiri?" serunya. "Mengapa ?"
"Engkau berani melanggar larangan!"
"Melanggar larangan" Larangan apa ?"
"Apa engkau tak membuka lebar2 matamu !" Cu Jiang
terkesiap lalu mengeliarkan pandang kesekeliling. Saat itu
baru dia melihat pada gundukan batu yang terpisah
beberapa tombak jauhnya, tertancap sebatang panji
berbentuk segi tiga dan berlukiskan sebuah tengkorak putih.
Seram tampaknya. Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita dalam dunia
persilatan tentang sepasang iblis besar. Seketika menggigillah hatinya. "Apakah kalian ini Pek Kut song-sian?"
Kakek tua itu tertawa keras.
"Ho, budak, kiranya engkau juga tahu kebesaran nama
dari kami berdua suami isteri !"
Cerita dunia persilatan mengenai sepasang suami isteri
iblis itu, memang menyeramkan. Mereka gemar membunuh
dan setiap membunuh tentu takkan membiarkan mayatnya
utuh. Tanda pengenal mereka adalah sebatang panji
Tengkorak. Setiap orang berjumpa dengan panji itu, jangan harap
dapat hidup. Tetapi ada keistimewaan Juga. Orang yang
melihat panji itu terus melarikan diri, sepasang suami isteri
iblis itu tak mau mengejar.
Sudah berpuluh tahun sepasang iblis itu tak muncul
dalam dunia persilatan. Kabarnya, mereka sudah dibasmi
oleh pendekar dan golongan putih. Tetapi ternyata mereka
masih segar bugar dan berada di gunung yang sepi itu.
"Budak kecil, aku tak punya waktu melayani engkau,
lekas bereskan dirimu!" teriak nenek Tengkorak.
Cu Jiang menyahut sinis: "Tetapi aku masih senang hidup, bagaimana?"
"Budak, suruh engkau bunuh diri, sudah suatu
kemurahan besar bagimu. Kalau sampai aku turun tangan,
mayatmu tentu berantakan!"
"Tetapi aku tak minta kemurahan begitu !" Jawab Cu
Jiang dengan masih bersikap dingin.
"Hih, malam ini baru yang pertama dalam sepanjang
hidupku, ada orang berani bicara begitu kepada kami
berdua suami isteri .. . ."
"Akupun juga baru pertama kali ini disuruh orang
supaya bunuh diri." sahut Cu Jiang.
"Engkau benar2 tak tahu diri. Kakek tua, bagaimana
akan mengurusnya ?" Kakek Tengkorak bertepuk tangan, serunya: "Ada !
Mengapa tak menjadikan dia benda percobaan diri ilmu
pukulan Ngo-lui ciang !"
"O, bagus sekali," sambut nenek Tengkorak dengan
gembira. Diam2 Cu Jiang menimang. Kiranya saat itu kedua
suami isteri iblis sedang melatih Ngo-lui ciang atau pukulan
halilintar. itulah sebabnya tadi ia mendengar beberapa
letusan seperti petir. Ilmu pukulan sakti itu sudah lama hilang dari dunia
persilatan. Entah dari mana sepasang suami isteri iblis itu
dapat menemukan pelajaran ilmu sakti itu.
Diam2 Cu Jiangpun teringat bahwa ada sebuah pukulan
dalam kitab Giok-kah-kim-keng yang belum sempat ia
gunakan. Ilmu pukulan itu dinamakan Mo-kiat-ciang atau
pukulan Angin pusing. Entah bagaimana kalau ilmu pukulan itu diadu dengan
pukulan Ngo-lui-ciang. "Kebetulan sekali," pikir Cu Jiang. "mereka hendak
mencoba ilmu pukulan yang sedang dilatih, akupun juga
demikian." Maka dengan tenang2 dia berseru: "Apakah kalian
hendak mengadu pukulan dengan aku ?"
Nenek Tengkorak tertawa mengikik. "Benar, pukulan
Ngo-lui ciang itu dapat membuat alat pekakas dalam dada
orang pecah berantakan tetapi tubuhnya tak kurang suatu
apa. Sejak dilatih belum pernah dicobakan pada orang.
Budak, sungguh kebetulan sekali engkau datang kemari."
Cu Jiang balas tertawa dingin.
"Oh, itu sungguh kebetulan sekali. Akupun juga berlatih
sebuah ilmu pukulan. Lawan yang menerima pukulan itu,
apabila dia makin tinggi kepandaiannya, perbawa
pukulanku itu akan makin hebat. Sungguh beruntung sekali
malam ini aku dapat berjumpa dengan kalian berdua untuk
mencoba ilmu baruku itu !"
Sepasang suami isteri iblis itu terkesiap. Mereka tak tahu
apakah kata2 pemuda desa itu sesungguhnya ataukah
hanya berolok-olok saja. Tetapi menilik sikap Cu Jiang yang begitu tenang mereka
menduga tentulah pemuda itu memang berisi.
Kakek Tengkorak tertawa mengekeh.
"Nenek, apakah didunia terdapat kebetulan yang begitu
aneh ?" "Kakek, nasib kita berdua sungguh sial," tiba2 nenek
Tengkorak berseru. "Apa maksudmu itu ?"
"Coba engkau ingat2, apakah selama ini terdapat orang
yang berani bicara begitu terhadap kita ?"
"Rasanya tak ada."
"Tetapi agaknya sekarang ada."
"Nenek, apakah budak itu gila?"
"Tampaknya tidak."
"Kalau begitu tergolong anak kambing yang baru lahir."
"Bukan, dia tak layak sebagai anak kambing, lebih tepat
sebagai anak anjing."
"Ha, ha, setelah mencoba harus membelah dadanya
untuk diperiksa, sayang .... aku tak dapat melihat . . ."
"Nenek tua isteriku, akan kuceritakan nanti kepadamu."
"Bagus, mari kita mencobanya."
Kedua suami isteri tua itu serempak berdiri. Ternyata
tubuh mereka lebih tinggi dari ukuran orang biasa. Belum
turun tangan, orang tentu sudah ketakutan setengah mati
melihat perwujudan mereka yang menyeramkan.
Cu Jiang segera menghimpun segenap tenaga-dalam ke
lengannya. Diam2 Ia merasa gelisah karena belum merasa
yakin, mampukah pukulannya nanti menyambut pukulan
dari kedua suami isteri iblis itu.
Pek Kong Song sian, merupakan dua momok yang
menggetarkan nyali setiap orang persilatan pada masa
berpuluh tahun yang lampau.
"Nenek, siap?" "Ya." "Eh, budak itu sama sekali tak takut."
"Aku tak dapat melihat."
"Hm, memang aneh."
"Mulailah!" seru nenek Tengkorak.
"Ya, mari," sahut kakek Tengkorak. Dan kedua suami
isteri iblis itu lalu menghantam dari dua arah pada Cu
Jiang. Saat itu Cu Jiangpun serentak menyongsong dengan
ilmu pukulan Mo kiat-ciang yang belum pernah digunakan.
Bum . . . bum. . . Terdengar ledakan sedahsyat gunung rubuh. Batu karang
pecah bertebaran, dahan2 pohon siong berhamburan.
Sampai mirip gempa yang terjadi di sekeliling tempat itu
batu reda. Sepasang suami isteri iblis itu mundur sampai dua meter
dari tempatnya semula. Tubuh Cu Jiang berguncang-guncang mau rubuh. Darah
bergolak keras, matanya berkunang-kunang. Diam2 ia
bersyukur dalam hati karena dapat menyambut pukulan
Ngo-lui-ciang yang dilepas kedua suami isteri iblis itu.
Menurut penilaian sebenarnya kedua suami isteri Pek
Kut song-sian kalah setingkat.
Kejut nenek Tengkorak itu bukan kepalang sehingga
matanya mendelik dan mulut melongo.
"Nenek, bagaimanakah ini ?" seru kakek Tengkorak.
"Kita kalah." "Apa" Kalah?"
"Benar." "Bagaimana mungkin terjadi?"
"Kakek, apakah engkau tak merasakan?"
Kelopak mata kakek Tengkorak yang cekung kedalam
nampak berkerenyutan beberapa kali. Lama baru dia
membuka mulut: "Ah, tak kira kalau Pak Kut Song-sian hari ini jatuh
ditangan seorang anak muda!"
Tiba2 nenek Tengkorak itu deliki mata dengan buas.
Sambil melangkah maju dia membentak.
"Budak, beritahukan namamu!"
"Seorang kerucuk, tak pantas menyebut namanya!" sahut
Cu Jiang. "Kecongkakanmu memang boleh sekali."
"Ah. jangan memuji."
Nenek itu berpaling kearah suaminya.
"Kakek, jangan melanggar peraturan kita," serunya.
"Nenek, jangan melanjutkan latihan Ngo-lui-ciang lagi, "
seru kakek tengkorak. "Kenapa?" "Karena terhadap seorang budak kecil saja kita tak
mampu merubuhkan . . ."
"Kakek, jangan putus asa. Peristiwa ini hanya secara
kebetulan saja." "Lalu bagaimana maksudmu?"
"Lenyapkan dia!"
"Oh, terserah kepadamu."
Nenek Tengkorak kebaskan kedua lengan bajunya dan
segulung kabut putih segera berhamburan keluar.
Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat,
berkisar tubuh berganti tempat. Tetapi ruang lingkup kabut
itu luas sekali dan cepat sekali bertebaran. Mau tak mau
hidung Cu Jiang terhisap bau mayat yang busuk. Diam2 ia
terkejut sekali. "Nenek tua, bagaimana?" seru kakek Tengkorak.
"Kakek! Dia ... dia ..."
"Bagaimana?" "Dia tak takut racun!"
"Tidak mungkin! Dia juga manusia."
"Tetapi buktinya dia tak kena apa2."
Kakek tengkorak menggigil dan berseru dengan nada
gemetar: " Apakah dia sudah menguasai ilmu kebal Kimkong put-
hoay?" Wajah yang bengis dari nenek itupun lenyap Seketika
berganti dengan kejut ketakutan. "Mungkin saja," serunya
gemetar. "Kuharap kalian berdua jangan suka membunuh orang
lagi. Jika tetap melakukan perbuatan begitu, hukum karma
tak mungkin kalian hindari lagi." seru Cu Jiang dengan
tandas. "Budak, apakah engkau datang dari luar daerah?" kakek
Tengkorak terpaksa bertanya.
"Bagaimana dapat diketahui?"
"Dalam dunia persilatan di Tionggoan tak terdapat ko
Jiu seperti engkau."
"Salah !" sahut Cu Jiang "tokoh yang lebih sakti dari
diriku banyak sekali di Tionggoan, hanya anda belum
pernah bertemu saja."
"Ngaco! Menurut omonganmu, dengan begitu Pak Kong
song sian itu tak berharga lagi dalam dunia persilatan!"
"Bukan begitu artinya."
Kakek Tengkorak tak dapat menjawab. Tiba2 nenek
Tengkorak menampar dahinya sendiri dan berseru tegang:
"Kakek, dahulu kita pernah belajar ilmu apa itu,


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang aku mendapat akal . .."
"Akal bulus apa uh ?"
"Bagaimana kalau kita serahkan urusan kita itu kepada
engkoh kecil ini?" -oo0dw0oo- Jilid 19 Tergerak hati Cu Jiang ketika mendengar sebutan kepada
dirinya yang semula "budak kecil" menjadi "engkoh kecil".
Diam2 ia menduga-duga, hendak berbuat apakah kedua
suami isteri iblis ini kepadanya "
"Bagus! itu tepat sekali!" seru kakek Tengkorak seraya
bertepuk tangan. Kemudian nenek Tengkorak berkata kepada Cu Jiang:
"Sahabat, ada sebuah urusan yang hendak minta
bantuanmu .. ." "Suruh membunuh orang?" tegur Co Jiang.
"Hampir seperti itu "
"Pek Kut tong-sian hendak membunuh orang lain
menggunakan algojo, sungguh ganjil sekali berita ini !"
"Sahabat, engkau menerima?"
"Coba terangkan dulu bagaimana urusannya."
"Kami berdua suami isteri mempunyai musuh. Tetapi
dia selalu menyembunyikan diri tak akan muncul. Kami
berlatih pukulan Lima-petir ini, tujuannya yalah hendak
menghancurkan gua si kura2 tua. Dari pukulan mu yang
engkau tunjukkan tadi apabila engkau mau membantu,
urusan ini tentu berhasil."
"Siapakah musuhmu ?"
"Seorang makhluk tua yang aneh. Dia telah menawan
putera tunggal kami."
"O, kalian hendak menolong putera?"
"Benar." "Ah, tak kira dalam dunia ini terdapat manusia yang
berani menculik putera dari Pek Kut song sian, Bagaimana
peristiwa itu dapat terjadi ?"
"Sahabat, lebih baik engkau tak perlu mengusut asal usul
peristiwa itu." Diam2 Cu Jiang geli. Tentulah mengenai hal2 yang tak
boleh diketahui orang, mungkin yang membuat malu
kepada kedua suami isteri itu, maka keduanya tak mau
menerangkan. "Lalu dengan alasan apa aku akan membantu anda
berdua?" tanyanya. "Ada imbalannya." seru kakek Tengkorak.
"Ada imbalannya " Imbalan apa ?"
"Tentu !" "Apa imbalannya?"
Sejenak memandang kepada isterinya, kakek Tengkorak
merenung beberapa saat. "Sebuah kitab pusaka!" katanya kemudian.
"Kitab pusaka mengenai ilmu apa saja?" Cu Jiang mulai
tertarik. "Cara memecahkan ilmu barisan aneh."
"Pemecahan ilmu barisan ?" Cu Jiang terkejut.
"Hm, kitab itu berisi rahasia dan segala macam ilmu
barisan dari jaman dahulu sampai sekarang. Disebut Ki-
bun-cong-thai." Terkejut hati Cu Jiang, Ia ke gunung Tay-pa-san mencari
tokoh aneh Ie Se lojin, tujuannya juga minta petunjuk
tentang ilmu barisan. Tetapi kemungkinan akan mendapat
hasil tipis sekali. Sekarang dia secara tak sengaja telah bertemu dengan
sepasang suami isteri iblis yang memiliki simpanan kitab
pusaka tentang ilmu barisan. Jika berhasil mendapatkan
kitab pusaka itu, tak perlu lagi kiranya dia harus ke Tay-pa-
san. Tetapi siapakah musuh mereka " Jika sepasang tokoh
seperti Pek Kut song-sian tak mampu mengalahkan dan rela
menyerahkan kitab pusaka yang tak ternilai harganya
sebagai imbalan untuk bantuan itu, tentulah musuh mereka
tokoh yang luar biasa. "Siapakah musuh anda?" akhirnya ia meminta keterangan. "Sahabat, soal itu jangan engkau tanyakan."
"Lalu bagaimana caraku memberi bantuan ?"
"Cukup meminjam tenaga pukulanmu untuk menghancurkan kunci dari sebuah barisan. Cukup begitu
saja." "Tak perlu membunuh orangnya?"
"Jika engkau tak mau, tak perlu begitu."
"Baik, aku menerima tawaran ini. Lalu kapan dan
dimana akan memulainya?"
"Tempatnya di gunung Tong-pek-san. Kalau terus
menerus menempuh perjalanan dalam tiga hari tentu sudah
tiba disana." "Dan kitab itu kapan akan diserahkan ?"
"Setelah urusan selesai."
"Apakah aku boleh melihatnya ?" Sejenak merenung
kakek Tengkorak mengiakan. Dia mengambil keluar sejilid
kitab yang dibungkus dengan sutera dari dalam bajunya.
Kulit kitab itu sudah kuno sekali. Dia melemparkan kepada
Cu Jiang. "Kakek !" nenek Tengkorak menjerit kaget.
Cu Jiang tahu bahwa nenek itu tentu kuatir kalau dia
akan menghancurkan kitab itu.
"Takut kalau kuhancurkan?" serunya mengejek.
Kedua iblis itu diam. Membalik lembaran pertama. Cu
Jiang melihat beberapa huruf kuno yang berbunyi Ki bun-
ceng-ciat oleh Gak Bu cu orang dari Gui.
Ah, memang benar sebuah kitab kuno ditulis oleh Gak
Bu cu dari negeri Gui pada jaman Jun Jiu.
Membuka lembaran selanjutnya, memang terdapat
beberapa gambaran. Setelah itu ia lemparkan kembali
kepada kakek Tengkorak dan berseru:
"Baik, aku menerima tawaran anda!"
"Mari kita berangkat sekarang," kata kakek Tengkorak
itu. Demikian mereka bertiga dengan gunakan ilmu lari cepat
segera berangkat menuju ke gunung Tong-pek san.
Ringkasnya, mereka telah tiba disebuah lembah yang
terletak dibelakang gunung Tong pik-san.
Lebih kurang setengah li memasuki lembah, mereka
berhadapan dengan sepasang puncak yang tegak menjulang
tinggi tetapi merapat satu sama lain sehingga jalannyapun
sempit sekali, hanya selebar dua tiga tombak.
Ditengah jalan sempit itu tegak tiga gunduk batu karang
yang aneh bentuknya. Setiap batu karang besarnya
sepemeluk dua orang, sehingga menyumbat jalan.
"Sudah sampai," seru kakek Tengkorak.
Sejenak mengeliarkan pandang ke sekeliling Cu Jiang
menegasi apakah benar tempat itu.
"Ya, memang disini."
"Batu itu aneh sekali bentuknya, " kata Cu Jiang.
"Itulah pintu barisan." sahut kakek Tengkorak, "kalau
batu itu tak dihancurkan, tak mungkin masuk kedalam
barisan." "Apakah musuh anda berada dalam barisan itu?"
"Ya." "Itukah sebabnya maka anda berdua lalu berlatih ilmu
pukulan Lima petir?"
"Benar." "Apakah selama ini anda tak pernah memikirkan untuk
menggunakan bahan peledak, atau . ."
"Tidak bisa." "Kenapa?" "Puteraku itu ditawan tak berada jauh dari pintu barisan.
Kalau diledakkan sudah tentu puteraku yang akan hancur
lebih dulu." "Oh, begitu hebat akal orang itu!"
"Ketiga gunduk batu itu harus serempak sekaligus
dihancurkan kalau tidak keadaan barisan tentu berobah."
"Barisan apakah itu namanya?"
"Hian li ki bun!"
"Apakah akan dimulai sekarang?"
"Ya." "Apakah tak perlu memanggil orang itu lebih dulu?"
"Percuma, dia akan pura2 tuli."
"Setelah menghancurkan pintu barisan?"
"Aku dan isteriku cukup untuk menghadapinya. "
"Mari!" "Tunggu dulu." teriak kakek Tengkorak, "kami berdua
harus melepaskan pukulan dari jarak dua tombak. Dalam
lingkaran dua tombak, tak boleh orang mendekati. Sahabat,
engkau menghancurkan batu yang tengah, aku berdua akan
menghancurkan batu yang kanan dan kiri. Ingat, ini bukan
bermain-main, harus menggunakan sepenuh tenaga!"
"Baik, " sahut Cu Jiang.
Mereka bertiga lalu mundur kira2 dua tombak dan lalu
mulai menghimpun tenaga-dalam menyalurkan kearah
tangan. Tiba2 kakek Tengkorak mengembor dan serempak
mereka bertiga melontarkan hantaman. Tiga gulung tenaga
pukulan yang dahsyat segera menerjang, bum, bum, bum
.... Terdengar tiga kali suara ledakan yang dahsyat, ketiga
batu itu pecah berhamburan. Tiba2 kedua Pek Kut Song-
sian itu melesat masuk kedalam lembah.
"Tahan dulu!" teriak Cu Jiang seraya loncat mengejar,
"bagaimana pertanggungan jawab ucapan anda itu?"
Kakek Tengkorak tertawa. "Pertanggungan jawab bagaimana?"
"Soal Ki-bun ceng-ciat."
"Setelah selesai akan kuberikan kepadamu. . . ."
"Sebelumnya, bagaimana janjimu?"
"Budak, engkau tunggu saja."
Mendengar itu marah Cu Jiang bukan kepalang.
"Kuhancurkan kalian setan busuk!" bentaknya seraya
mengangkat kedua tangan. Tetapi secepat itu Pak Kut Song
sian sudah melesat lenyap.
Cu Jiang penasaran. Ia terus mengejar. Tetapi alangkah
kejutnya ketika ia memandang kemuka. Ternyata keadaannya sudah bukan jalanan lembah seperti tadi.
Serentak ia tersadar bahwa dirinya telah terlibat dalam
sebuah barisan aneh. Setelah pintu barisan pecah, kedua
iblis itu dapat masuk dengan leluasa. Walaupun barisan
belum pecah tetapi karena kedua iblis itu mempunyai kitab
Ki-bun-cong-ciat, mereka tentu dapat memasuki dengan
lancar. Tetapi dia sendiri sekarang terkurung dalam barisan itu,
Ah, benar2 ia tak menyangka kalau akan terjebak dalam
tipu muslihat yang busuk.
Kanan kiri merupakan batu yang menonjol dan sebelah
muka hanya hutan batu semua. Bahkan arahpun Cu Jiang
tak dapat mengenal lagi. Cu Jiang pernah terkurung dalam barisan di Gedung
Hitam sehingga ia tak mampu keluar. Maka saat itu dia tak
mau sembarangan bergerak dan tenangkan diri.
Dia marah dan penasaran tetapi diam2 dia pun geli
menertawakan dirinya sendiri. Bukankah sepasang suami
isteri Pek Kut song sian itu sudah terkenal sebagai momok
yang jahat dalam dunia persilatan"
Mengapa ia masih mau percaya pada omongan mereka"
Bukankah itu kebodohannya sendiri"
Iapun segera membayangkan bahwa tokoh yang menjadi
musuh kedua suami isteri itu tentulah tokoh golongan
Ceng-pay (Putih). Mengapa ia menyanggupi membantu
kedua suami isteri untuk melawan tokoh itu"
Makin merenung makin geram. Makin memikirkan
makin penasaran sekali. Siapakah sesungguhnya tokoh yang berada dalam
lembah Itu" Entah sampai berapa lama Cu Jiang masih tercengkram
dalam kebimbangan itu. Tiba2 ia rasakan pinggangnya
kesemutan dan terus rubuh.
Seorang lelaki tua kurus, dengan wajah murka tegak
dihadapannya dan tahu2 menjinjing tubuh Cu Jiang terus
dibawa lari. tak berapa lama, cuaca terang dan keduanya
sudah berada diluar gua. Lelaki tua itu melemparkan tubuh Cu Jiang ke tanah.
Dia tegak bersidekap tangan. Matanya berkilat-kilat
memancarkan kemerahan. Pikir Cu Jiang, adakah dia berhadapan dengan tokoh
dalam lembah itu" Dengan susah payah ia mengangkat
muka. Ia sempat melihat lelaki tua itu berwajah terang, bukan
dari golongan Sia-pay atau jahat. Diam2 Cu Jiang kerahkan
tenaga dalam, ah, jalan darahnya sudah terbuka...
Tiga sosok bayangan berkelebat melesat keluar dari
mulut tempat itu. Yang dua jelas kedua suami isteri Pek Kut
song sian, sedang yang seorang lelaki muda berwajah
seram. Tentulah putera dari kedua suami istri iblis itu.
"Berhenti !" teriak orang tua itu.
Ketiga orang itupun serempak berhenti. Kakek

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tengkorak tertawa congkak.
"Oh, mahluk tua, kukira engkau sudah ngacir pergi?"
"Tinggalkan kitab Ki-bun-congciat!" seru orang tua itu
pula. "Mau apa engkau ?"
"Jika sembarangan akan kubunuhnya!"
"Siapa yang hendak engkau bunuh ?"
"Kawanmu ini." seru orang tua itu menuding pada Cu
Jiang. Nenek Tengkorak berpaling kearah suaminya. "Pak tua,
sungguh kebetulan sekali hal ini. Kalau budak itu tak
dilenyapkan, kelak tentu menimbulkan bahaya..."
"Ya, biarlah mahluk tua itu membunuhnya."
"Masih belum meyakinkan. Lebih baik kita saksikan dia
membunuhnya." Orang tua itu tertegun mendengar percakapan kedua
suami isteri iblis. Tetapi pada lain saat ia seperti menyadari
sesuatu. "Jangan main gila, jika tak mau memberikan kitab Ki-
bun-cong-ciat itu, lebih dulu akan kubunuhnya." serunya.
Kakek Tengkorak mengangkat bahu. "Silakan turun
tangan..." Tampak lelaki muda kerutkan alis dan bertanya.
"Yah, siapakah dia ?"
"Ha, ha, na, anakku, Jika tidak dia yang membantu
menghancurkan pintu barisan, engkau tentu belum dapat
keluar . "O, kalau begitu kita harus menolongnya."
"Tidak perlu !"
"Kenapa ?" "Dia seorang yang berbahaya."
Orang tua dari lembah itu menukas: "Apakah kalian
memperalat dia ?" Dalam kegirangan, nenek Tengkorak telah kelepasan
bicara. Ia menyahut serentak:
"Ya, memang begitu, lekas engkau bunuh dia !"
Orang tua dari lembah itu menggigil karena marahnya.
Tiba2 lelaki muda itu ayunkan tubuh ke muka Cu Jiang,
serunya: "Dalam beberapa hari ini aku hampir mati karena
terkurung. Sekarang biarlah kuhibur tangan ku yang gatal
ini." Dia berhadapan dengan orang tua dari lembah,
sementara Cu Jiang berada di tengah2 mereka berdua.
Orang tua itupun juga melangkah maju.
"Membantu orang jahat, juga bukan manusia baik,
bunuhlah!" serunya kepada lelaki muda.
Lelaki muda atau putra dari kedua suami isteri Pek Kut
song sian, tertawa mengekeh:
"Begitu baru kata2 yang tepat!" habis berkata ia
mengangkat tangan dan diayunkan kearah kepala Cu Jiang.
Bum .... Terdengar lengking jeritan ngeri dan sesosok tubuh yang
mencelat ke atas sampai beberapa tombak. Tubuhnya
menghambur hujan darah. Kedua suami isteri iblis menjerit kaget dan cepat melesat
kearah tubuh itu. Ternyata yang mencelat ke udara itu
tubuh lelaki muda, anak dari sepasang suami isteri iblis.
Sedang Cu Jiang berbangkit pelahan-lahan.
Orang tua dari lembah itu terlongong-longong. Pemuda
desa itu jelas telah ditutuk jalan darahnya dan tak berkutik.
Mengapa dalam waktu sekejab saja dia sudah dapat
membebaskan diri. Nenek Tengkorak memondong tubuh lelaki muda dan
menjerit kalap: "Pak tua, dia mati !"
"Mati ?" teriak kakek Tengkorak.
"Hancur leburkan bangsat kecil itu . . ."
"Baik!" seru kakek Tengkorak terus loncat kemuka Cu
Jiang. Ia memandang pemuda itu dengan wajah
memberingas seram. Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu. Ia terus membuka
buntalan kain dan mengambil pedang kutung. Tangan kiri
memegang sarung pedang, tangan kanan pedang kutung,
lalu berseru dingin. "Iblis tua. lekas serahkan kitab Ki-bun ceng-ciat dan akan
kuampuni jiwamu !" "Bangsat, belum puas hatiku kalau belum meremukkan
tulangmu !" teriak kakek Tengkorak seraya ayunkan
sepasang tangannya, menghantam kepala dan menusuk
dada Cu Jiang. Cu Juang keluarkan gerak langkah Gong-gong poh untuk
menghindar seraya berseru:
"Kuberimu kemurahan satu kali!"
Kakek Tengkorak cepat menarik tangan dan berputar
kearah Cu Jiang. "Bangsat kecil, aku harus membunuhmu."
Cu Jiang mendengus, sahutnya:
"Selama ini kejahatan anda sudah melewati batas, entah
sudah berapa banyak jiwa yang mati ditangan anda. Maka
kalau hari ini anda harus mati, sudah selayaknya, bahkan
masih murah." Cu Jiang melintangkan pedang kutung.
"Pedang kutung !" kakek Tengkorak itu berteriak gentar.
"Apakah dia tokoh Toan-kiam-Jan-Jin yang akhir2 ini
menghebohkan dunia persilatan?" seru nenek Tengkorak.
"Benar, memang aku," sahut Cu Jiang.
Wajah orang tua dari lembah itupun tampak berobah
cahayanya. Dia Juga tahu akan nama besar dari Toan-
kiam-Jan jin. Kakek Tengkorak tebarkan jubah dan dari lengan
Jubahnya meluncur sebuah benda aneh. Benda itu tak lain
adalah dua batang tulang lengan. Sebelah tangan kanan dan
kiri masing2 mencekal tulang itu, dia berseru:
"Toan-kiam-Jan-Jin, engkau harus mengganti jiwa
puteraku !" Cu Jiang bingung. Apakah daya khasiat dari sepasang
tulang belulang" Tiba2 orang tua dari lembah mundur tiga langkah seraya
berseru ngeri. "Pek-kut-cau-bon !"
Cu Jiang tak mengerti apa arti kata2 itu tetapi ia
menduga tentulah merupakan benda yang amat beracun.
"Jangan memberi kesempatan bergerak kepada lawan."
Kata2 itu cepat mengiang dalam telinga Cu Jiang.
"Mundur, Jangan coba menangkis tulang." berteriak
orang tua dari lembah. Dan dia sendiripun turut loncat
mundur sejauh tiga tombak.
Cu Jiang juga mengadakan reaksi yang cepat. Selekas
memindah pedang ke tangan kiri, dia terus melepaskan
hantaman sembari terus loncat mundur setombak jauhnya.
Ternyata tindakan Cu Jiang itu berhasil. Sebelum kakek
Tengkorak sempat melancarkan serangan, tubuhnya sudah
terpental mundur sampai lima langkah. Melihat itu Cu
Jiang tak mau memberi kesempatan lagi. Dia lepaskan
hantaman yang kedua .... Kali ini Kakek Tengkorakpun memutar tubuh untuk
menyambut pukulan itu. "Lekas mundur!" teriak orang tua dari lembah pula.
Bang...!! Terdengar letupan keras ketika Cu Jiang tepat sudah
loncat mundur beberapa tombak. Seketika dari udara seperti
muncrat berhamburan air hitam seluas dua tombak.
Dan selekas jatuh ketanah maka terdengarlah bunyi
mendesis-desis di susul dengan asap hitam yang bergulang-
gulung membumbung. Ketika memandang dengan seksama, kejut Cu Jiang
bukan kepalang. Ternyata rumput2 ditanah itu hangus
semua, bahkan sampai tanahnyapun ikut berwarna hitam.
Batu yang dekat tempat itupun penuh berhias lubang2.
Benar2 sejenis racun yang maha hebat. Jika batupun
sampai berlubang, tidakkah tubuh manusia apabila terkena
tentu akan hancur lebur "
Cu Jiang cepat memeriksa pakaiannya. Ternyata
celananya juga penuh dengan lubang kecil-kecil.
Melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa. kejut kakek
Tengkorak itu bukan alang kepalang. Tetapi bukannya jera.
dia malah kalap. Dengan memekik sekeras-kerasnya dia
terus loncat menerjang. Tetapi serempak dengan itu. Cu
Jiangpun sudah membabatkan pedangnya.
"Auahhh..." Terdengar lengking jeritan ngeri yang berkumandang
memenuhi angkasa. Kakek Tengkorak rubuh, kepala
terpisah menggelinding sampai beberapa langkah dari
tubuhnya. Cu Jiang menghela napas. Ia berpaling tetapi ternyata
nenek Tengkorak sudah lenyap entah kemana.
"Engkau sudah terkena racun penghancur tulang !" seru
orang tua dari lembah dengan nada getar.
Cu Jiang terkejut. Saat itu dia memang merasakan,
beberapa bagian dari tubuhnya terasa panas seperti
terbakar. Hampir ia tak dapat menahan rasa sakitnya.
Buru2 ia membuka bajunya dan memeriksa. Badannya
terdapat tujuh delapan buah gunduk hitam sebesar buah
kelengkeng. "Barang siapa tercemar racun itu, tentu segera akan luluh
jadi cairan air. engkau . . . bagaimana?"
Cu Jiang teringat akan mustika Thian-ju cu. Segera ia
mengambil dan menempelkan pada noda2 hitam itu. Aneh
tetapi nyata, noda2 hitam pada kulitnya itu segera hilang
demikian rasa sakitnya. Setelah tahu dirinya tak kurang suatu apa, dia terus
berjongkok untuk mengambil kitab Ki-bun-ceng ciat dari
tubuh kakek Tengkorak. Kemudian dia mengangkat muka
memandang kearah orang tua dari lembah.
Sejak tadi dia memang belum sempat memperhatikan
wajah orang tua dari lembah itu. Kini begitu memandangnya, dia terlongong-longong kaget.
Orang tua itu mengenakan jubah yang menutup tubuh
sampai kebatas lutut. Kepala gundul, tidak memakai sepatu.
Ditengah alisnya terdapat sebuah tahi-lalat merah.
Tidakkah orang itu yang dikatakan Ang Nio Cu sebagai
Ih Se lojin" Ah, Cu Jiang menghela napas. Jika dia benar2 menuju
ke gunung Tay-pa san yang jauh, tentulah akan sia2 saja
karena tokoh yang hendak dicari itu ternyata berada di
gunung Tong-pek-san. Peristiwa dengan Pek Kut song sian itu ternyata
membawa rejeki. Dan jelas Ang Nio Cu tentu membuang
tenaga sia2. Mata orang tua itu memandang lekat2 pada kitab yang
dipegang Cu Jiang lalu berkata dengan nada sarat:
"Toan kiam jan jin, apakah engkau pernah melihat kitab
pusaka itu?" Cu Jiang terkejut. "Apakah kitab ini milik cianpwe?"
"Benar." "Bagaimana dapat jatuh ditangan kedua suami isteri iblis
itu?" "Dia merebut dari seorang muridku yang celaka."
"Oh." "Karena hendak merebut kembali kitab itu aku terpaksa
menggunakan siasat menculik anak lelakinya agar kita
dapat tukar menukar . . ."
"Oh, kiranya begitu. "
"Engkau . . . mempunyai kemampuan untuk terhindar
dari racun?" Cu Jiang tertawa. Tanpa menjawab pertanyaan itu ia
menyerahkan kitab Ki bun ceng ciat.
"Karena milik lo cianpwe, harap suka menerimanya,"
kata Cu Jiang. Orang tua dari lembah itu terbeliak. Dia tak mau cepat2
menerima, melainkan kerutkan alisnya yang putih.
"Lapang sekali hatimu. Setitikpun engkau tak mempunyai keinginan untuk memiliki kitab pusaka yang
jarang terdapat dalam dunia."
"Karena kitab ini memang bukan milikku."
"Engkau hendak mengajukan perjanjian apa?"
"Perjanjian?" Cu Jiang terbeliak.
"Ya, aku tak mau menerima dengan cuma2."
Seketika itu timbullah rasa kagum dalam hati Cu Jiang.
Walaupun memang aneh sikap orang tua itu tetapi tindakan
itu memang patut dihargai.
"Tak ada perjanjian apa2," serunya.
"Baik, tetapi aku akan mencatat budimu ini," kata orang
tua dari lembah seraya menyambuti kitab.
"Mohon tanya, siapakah gelaran yang mulia dari
cianpwe?" "Ah, sudah lama tak kupakai nama gelaranku."
"Bukankah gelaran yang mulia dari cianpwe itu Ih Se
lojin?" "Ho, engkau .... bagaimana dapat mengetahui?"
"Jika begitu lo cianpwe memang benar Ih Se lojin?"
"Anggap saja engkau berkata benar. "
"Wanpwe justeru hendak mohon bertemu."
"Hah, engkau hendak mencari aku?"
"Ya. Sebenarnya wanpwe hendak menuju ke Tay-pa-san
mencari locianpwe. Tak terduga wan pwe tertipu oleh Pek
Kut song sian tetapi justeru malah dapat bertemu dengan lo


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cianpwe." Tiba2 nada Ih Se lojin berobah dingin:
"Perlu apa engkau hendak mencari aku?"
Saat itu bukan kepalang gembira Cu Jiang, namun ia
tetap bersikap tenang. "Akan mohon petunjuk pada lo cianpwe. "
"Soal apa?" "Mohon petunjuk cara memecahkan sebuah barisan."
"Tidak bisa." "Apakah lo cianpwe tak mau memberi petunjuk?"
"Aku sudah mengikrarkan sumpah, tak mau berhubungan dengan manusia di dunia lagi."
Sebagai seorang ksatrya, dengan tulus Cu Jiang
menyerahkan kembali kitab pusaka yang sehebat itu. Tak
terduga Ih Se lojin masih bersikap begitu ketus.
"Apakah tak dapat memberi kelonggaran?" tanyanya
dengan marah. "Tidak bisa! " "Kalau tadi wanpwe tak menyerahkan kembali kitab
pusaka itu dan wanpwe terus mempelajarinya sendiri,
bagaimanakah kesudahannya?"
"Itu persoalan lain lagi."
"Apakah lo cianpwe tetap mengukuhi pendirian itu ?"
"Tentu, tetapi.. ."
"Tetapi bagaimana ?"
"Jika hal itu engkau anggap sebagai perjanjian dari
tindakanmu menyerahkan kitab pusaka kepadaku tadi, aku
memang tak dapat berkata apa2. Karena seumur hidup aku
tak mau menerima budi orang. Begini sajalah, bagaimana
kalau permintaanmu itu kau anggap sebagai syarat dari
penyerahan kitab itu ?"
"Tidak!" sahut Cu Jiang dengan angkuh, "ucapan
seorang lelaki harus ditepati. Aku sudah mengatakan kalau
penyerahan kitab itu tanpa suatu syarat apa, masakan aku
hendak menjilat ludahku lagi ?"
"Hii, watakmu hampir sama dengan aku ... ."
"Ah, lo cianpwe memuji."
"Akupun juga begitu. Apa yang telah kukatakan, takkan
kulanggar." "Dalam keadaan bagaimana cianpwe dapat memberi
kelonggaran?" "Tak ada kemungkinannya:"
"Kalau kuminta cianpwe supaya mengajukan syarat
supaya cianpwe dapat memberi kelonggaran ?"
"Juga tidak mungkin, kecuali ...."
"Kecuali bagaimana?"
"Mengandalkan ilmu kepandaianmu !"
Cu Jiang terpaksa menyeringai. Rasanya tiada manusia
yang lebih nyentrik wataknya dari orang tua ini. Itulah
sebabnya maka Ang Nio Cu mengatakan bahwa Ih Se lojin
itu lebih nyentrik lagi dari tabib Kui jiu sinjin.
"Maksud lo cianpwe agar aku mengeluarkan ilmu
kepandaian silat?" ia menegas.
"Benar." Sahut Ih Se lojin dengan nada bengis, "pada
saat aku sudah tak dapat melawan lagi, barulah aku dapat
memberi kelonggaran. Kuanggap hal itu tidak melanggar
sumpahku." "Apakah itu satu-satunya jalan?"
"Tidak ada lainnya lagi."
"Jika begitu terpaksa aku hendak mencoba."
"Hm, kuharap ilmu kepandaianmu tidak tinggi."
"Lo cianpwe," seru Cu Jiang. "maaf jika aku hendak
mengucapkan kata2 yang sombong. Sejak turun dari
perguruan, selama ini aku belum pernah bertemu lawan
yang dapat lolos dari pedang kutungku itu !"
"Engkau terlalu mengandalkan dirimu!"
"Ah, tidak, tetapi kenyataan memang begitu."
"Ilmu silat itu bukan hanya dari satu sumber. Tidak bisa
karena memiliki sebuah aliran lalu sudah berbangga diri. . ."
"Bukan maksudku hendak membanggakan diri."
"Kalau begitu, engkau boleh mulai."
"Sebenarnya aku tak ingin berlaku kurang hormat
terhadap cianpwe." "Jika begitu. silahkan engkau pergi saja."
Cu Jiang merasa bahwa berputar-putar lidah tiada
gunanya. Jelas orang tua itu tak mau merobah
pendiriannya. Pelahan-lahan ia maju ke hadapan orang tua
itu. "Maaf, wanpwe terpaksa berlaku kurang hormat,"
serunya. "Mulailah!" "Harap hati-hati !"
Dalam berkata-kata itu Cu Jiangpun sudah mencabut
pedang kutung dan terus menyerang. Dia hanya gunakan
setengah bagian dari tenaga dalamnya karena ia anggap
orang tua itu bukan musuh melainkan hanya menguji saja.
Sekalipun begitu jurus Thian-te-kau thay yang dimalukan
itu menghamburkan sinar pedang yang dahsyat.
Tetapi apa yang didapatinya, sungguh diluar dugaan.
Baru dia melancarkan jurus serangannya, bayangan orang
tua itupun sudah lenyap. Terpaksa setengah jalan ia hentikan serangannya.
Dilihatnya Ih Se lojin tegak disebelah kanan lebih kurang
dua meter jauhnya. wajahnya mengulum tawa.
Cu Jiang merah mukanya. Ia menyerang lagi dengan
delapan bagian tenaganya. Namun hasilnya tetap serupa. Ih
Se lojin bagaikan sesosok bayangan setan yang menghilang
dan pindah tempat. Diam2 Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa Ih Se
lojin menggunakan gerakan yang mirip dengan gerak-
langkah Gong gong-poh hwat.
Setelah merenung, Cu Jiang diam2 mengangguk.
"Kalau sampai serangan yang ketiga masih gagal, engkau
harus pergi." seru Ih Se lojin tertawa gembira.
"Baik, Jika kali ini masih gagal, aku segera tinggalkan
tempat ini." sahut Cu Jiang dengan nada tandas.
"Bagus,. "Harap locianpwe hati-hati..." pedang kutung segera
ditaburkan. Ih Se lojin masih tetap menggunakan gerak-langkah
semula. Secepat terayun tubuh, dia sudah lenyap, Tetapi
ternyata serangan Cu Jiang itu hanya suatu gerak
menggertak saja. Dia tetap mengikutkan pandang mata
pada orang tua itu. Sesaat Ih Se lojin melesat pergi, diapun cepat melesat
mengikutinya. Sampai delapan kali Ih Se lojin melesat untuk
menghindar tetapi Cu Jiang dengan gerak-langkah Gong-
gong-poh-hwat tetap dapat membayanginya. Bahkan dia
lebih cepat bergerak diri orang tua itu.
Pada saat gerakan Ih Se lojin agak kendor, tahu2 ujung
pedang kutung sudah melekat pada dadanya.
"Lo cianpwe, maaf, aku berlaku kurang hormat!" pada
lain saat terdengar Cu Jiang berseru.
Sepasang mata Ih Se lojin melotot.
"Engkau menggunakan gerak langkah apa?" serunya
dengan nada gemetar. "Hanya langkah kucing menangkap tikus yang tak berarti
dan tak berharga dikatakan."
"Bilang!" "Harap lo cianpwe suka melaksanakan janji."
"Katakan dulu, gerak langkah apa yang engkau lakukan
tadi?" Karena terus menerus didesak, akhirnya Cu Jiang
mengaku: "Gong gong-poh hwat."
"Hai, Gong-gong-poh-hwat?" - teriak Ih Se lojin terkejut.
"Benar." "Gong-gong . . . Gong gong .... apakah engkau murid
pewaris dari Nyo Wi itu?"
Diam2 Cu Jiang terkejut. Jarang sekali orang persilatan
yang kenal akan riwayat Gong-gong-cu. Tetapi orang tua
itu dapat menyebut nama aseli dari Gong-gong-cu. Apakah
dia sahabat baik dan suhuku, pikir Cu Jiang.
"Apakah lo cianpwe kenal akan suhuku" " akhirnya ia
bertanya. "Apakah engkau benar2 murid dari Nyo Wi?"
"Benar." "Dan kau datang kepadaku untuk meminta petunjuk
tentang ilmu barisan?"
"Benar." Seketika berobah cahaya muka Ih Se lojin.
"Enyah!" teriak dengan bengis.
Cu Jiang tertegun. Adakah orang tua itu mempunyai
dendam permusuhan dengan gurunya"
"Lekas engkau pergi dari sini!" bentak Ih Se lojin pula.
"Apa artinya ini?" seru Cu Jiang dengan nada dingin.
"Kusuruh engkau pergi!"
"Baik, tetapi harus ada alasannya."
"Tidak ada! Lekas engkau enyah dan tanyakan sendiri
pada Nyo Wi! " "Apakah locianpwe mempunyai ganjelan terhadap
suhuku?" "Engkau tidak berhak tanya. Selanjutnya kalau engkau
berani menginjak tempat ini lagi, aku tentu akan
membunuhmu!" Saat itu makin keras dugaan Cu jiang bahwa Ih Se lojin
tentu mempunyai ganjelan hati terhadap suhunya, Ia tahan
kemarahannya. "Tetapi tidakkah lo cianpwe merasa karena tidak
menetapi janji?" serunya.
Ih Lo lojin tertawa dingin.
"Tindakanku Ini sudah cukup baik, " sahutnya.
"Jika tidak?" "Aku..." kata2 selanjutnya tak diucapkan lagi. Ih Se lojin
menyadari bahwa pemuda yang berdiri dihadapannya lebih
tinggi kepandaiannya dari dia.
Cu Jiang sendiri juga kehilangan faham. Untuk
mendapat petunjuk dari orang tua aneh itu, jelas tak
mungkin lagi. Tetapi barisan dalam Gedung Hitam harus
dihancurkan. Apabila ia mengirim orang untuk meminta
petunjuk pada guru di Tayli, tentu memakan waktu lama.
Apabila dia merebut saja kitab pusaka dari tangan Ih Se
lojin, juga tidak enak. Ah, tetapi apa daya kecuali harus
menggunakan kekerasan. Bukankah orang tua itu juga
menghendaki cara begitu...
"Locianpwe. kita tak perlu panjang lebat bicara. tekadku
datang kemari, kalau tak mendapat apa yang kuinginkan,
aku takkan kembali."
"Engkau bermimpi."
"Jangan salahkan kalau aku terpaksa berani berlaku
kurang adat." "Mau pakai kekerasan" Ha, ha, ha . . ." tiba2 Ih Se lojin
melesat dan terus lenyap kedalam mulut lembah.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Orang tua itu cepat
sekali gerakannya, tak mungkin dia dapat menahan.
Padahal lembah itu disusun dalam bentuk barisan aneh. Dia
tadi sudah merasakan tak dapat keluar. Lalu bagaimana"
Dia tegak termangu-mangu di tempat itu. Mayat kakek
Tengkorak yang tiada kepalanya, masih membujur di tanah.
Dia tersenyum tawar. Belum setengah hari saja dia sudah
mengalami peristiwa yang tak terduga duga. Jika bermula
dia mengira beruntung karena dapat bertemu dengan Ih Se
lojin, ternyata keberuntungan itu cepat lenyap seperti awan
terhembus angin. Jika dia teras tinggalkan tempat itu, sebenarnya dia
masih penasaran. Tetapi akan kemanakah ia ayunkan
langkahnya" Menilik gerak gerik langkah yang dimiliki Ih Se lojin,
kecuali suhunya Gong gong cu, rasanya dalam dunia
persilatan tak ada yang menandingi lagi.
Tetapi apakah yang terjadi diantara suhunya dengan Ih
Se lojin" Menilik betapa geram sikap Ih Se lojin terhadap
Gong gong-cu, tentulah dia mempunyai dendam yang
hebat. Tiba2 sesosok bayangan meluncur datang. Ketika
memandangnya, girang Cu Jiang bukan kepalang. Ternyata
pendatang itu tak lain adalah sahabat baik dari gurunya
yakni Lam ki soh. Dia benar-tak menyangka kalau tokoh itu
datang ke gunung Tong peksan juga. Cepat ia maju
menyambut dan memberi hormat:
"Cianpwe, terimalah hormat wanpwe."
"Hai, mengapa disini?" ternyata Lam ki sok juga terkejut.
Cu Jiang lalu menuturkan peristiwa yang dialami disitu.
Lam-ki-soh mengangguk-angguk.
"O, kukira engkau sudah menuju ke Tay-pa-san."
"Lalu maksud kedatangan cianpwe kemari?"
"Kalau tidak untuk kepentinganmu, apalagi!" sahut Lam-
ki-soh. "Urusan wanpwe?" Cu Jiang heran.
"Waktu mendengar cerita dari Ki Sau Hong, aku segera
mengejarmu, Kalau sebelumnya engkau memberitahukan
maksudmu kepadaku, aku tentu dapat membawamu
menemui Ih Se lojin itu kemari."
"Apakah, cianpwe memang sudah tahu kalau dia diam
disini?" "Tidak tahu," sahut Lam ki soh, "baru akhir2 ini setelah
menerima berita dari suhumu di Tayli, baru kuketahui hal
itu . .. karena tak dapat mengejarmu, maka kuputuskan
untuk datang sendirian kemari. Tak kira kalau engkau
sudah bertemu dengan dia, sungguh kebetulan sekali .. ."
"Suhu mengirim berita?"
"Hm, dia minta aku menguruskan sebuah urusan
untuknya." "Urusan apa ?"

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan Ih Se lojin"
Cu Jiang tertarik hatinya, Dia lalu menceritakan
pengalamannya dengan Ih Se lojin. Begitu dia mengaku
bahwa Gong gong cu itu suhunya, kontan Ih Se lojin
membuat reaksi keras. "Sesungguhnya apa saja yang telah terjadi antara suhu
dengan Ih Se lojin?" tanyanya.
Lam-ki-soh tersenyum misterius, katanya:
"Nanti engkau pasti tahu sendiri, mari kita menemuinya
..." "Jalanan lembah ditutup dengan barisan yang aneh,"
kata Cu Jiang. "Ya, tahu, kupanggilnya supaya keluar. "
"Dia belum tentu mau keluar ..."
"Ah, ikuti aku saja.! "
Keduanya menuju ke batu yang dihancurkan Cu Jiang
tadi. Batu itu merupakan pintu barisan. Lam-ki-soh
kerahkan tenaga-dalam lalu berseru sekeras-kerasnya:
"Co King Yap, Gong cu-wi datang menemuimu!"
Tetapi tiga kali dia mengulang seruannya, tetap tak ada
penyahutan. Saat itu Cu Jiang baru tahu bahwa nama asli
dan Lam-ki-soh itu Gong cu wi dan nama dari Im Se lojin
itu Co Keng Yap. Beberapa saat kemudian, Lam ki soh berseru pula:
"Orang she Co, apakah engkau benar tak memandang
muka kepada aku orang she Gong ini?"
Namun tetap tiada jawaban. Lam ki soh berpaling
kepada Cu Jiang, tertawa:
"Aku hendak memaki-makinya!"
Dia berbatuk-batuk untuk membasahi kerongkongan lalu
menggembor sekuat tenaganya.
"Hai, Co keng Yan, apa sih engkau ini, berani
memandang hina orang. Apakah engkau minta aku masuk
untuk meringkusmu!?"
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan Ih Se lojinpun
muncul keluar dari barisan. Sejenak memandang dingin
kepada Cu Jiang dia terus membentak Lam ki soh:
"Hai, orang she Gong, jangan berteriak teriak seperti
orang gila! " Lam ki soh tertawa gelak2.
"Loheng, engkau dan aku segera akan masuk kedalam
kuburan, mengapa watakmu masih begitu berangasan?"
"Mau apa engkau kemari?" tegur Ih Se lojin dingin.
"Sudah tentu ada urusan, masa kalau tak ada urusan aku
datang kemari" Engkau kira aku senang gentayangan naik
gunung seperti ini?"
"Aku orang she Co sudah tak mau mengurusi urusan
manusia di dunia lagi!"
"Urusanmu sendiri engkau mau menanyakan atau
tidak?" "Urusanku sendiri?"
Lam-ki-soh berpaling ke arah Cu Jiang dan menggapainya: "Nak, mari, haturkan hormat kepada toa-supeh !"
Cu Jiang termenung seketika. Mengapa Lam ki-soh
mengatakan Ih Se lojin itu sebagai toa supehnya (paman
guru). Ia teringat tatkala upacara pengangkatan guru. Gong-
gong-cu pernah mengatakan bahwa Cu Jiang itu termasuk
murid angkatan pertama. Apakah artinya itu.
"Orang she Gong, jangan soal itu...." tiba2 Ih Se lojin
deliki mata. Tetapi Lam-ki-soh seperti tak mengacuhkan berseru
kepada Cu Jiang: "Budak kecil, engkau dengar atau tidak omonganku
tadi?" Lam-ki-soh merupakan sahabat baik dari suhunya,
seorang tokoh yang termasyhur, tentu tak mau omong
sembarangan. Kata-katanya itu tentu ada dasarnya maka
segera Cu Jiangpun membungkuk tubuh dihadapan Ih Se
lojin. "Menghaturkan hormat kepada toa-supeh !"
Sepasang alis Ih Se lojin tegak keatas. Jelas dia sedang
marah besar. Cepat dia berputar tubuh kearah Lam-ki soh
dan berteriak keras2. "Gong Cu-wi, enyah dari hadapanku !"
Cu Jiang meringis, mukanya merah.
"Co Keng Yap, engkau benar2 bukan manusia!" Lam ki-
soh balas berseru marah. Tetapi Ih Se lojin tak mengacuhkan. Berputar tubuh dia
terus ayunkan langkah....
"Berhenti !" bentak Lam-ki-soh dengan marah. "aku
hanya akan mengatakan sepatah kata saja."
Entah bagaimana, Ih Se lojin pun berhenti dan berbalik
tubuh, serunya: "Bilanglah !"
Lam-ki-soh tenangkan kemarahannya lalu berkata
pelahan-lahan: "Jika tak menyanggupi permintaan orang, tak mungkin
aku sudi bicara dengan bahasa manusia pada kerbau.
Dengarkan ! Dibawah arca kakek guru perguruanmu,
terdapat sebuah benda. Lihatlah sendiri. Kutunggu engkau
setengah Jam. Cukup pergilah !"
Ih Se lojin terbeliak tercengang-cengang memandang
Lam-ki soh. Tanpa berkata apa2, dia terus berputar tubuh
dan masuk kedalam lembah.
"Cianpwe, apakah artinya ini semua ?" Cu Jiang tak
dapat menahan keheranannya.
"Dia memang toa-supehmu !"
"Hal ini .. . tak pernah suhu menceritakan.."
"Sudah tentu dia tak menceritakan. Soal itu menyangkut
urusan perguruannya belum dibereskan, suhumu tak diakui
oleh perguruan." Cu Jiang makin tertarik, serunya: "Dapatkah cianpwe
memberi keterangan?"
Sambil mengajak Cu Jiang duduk pada segunduk batu
didekat situ. Lam-ki-soh mulai melanjutkan ceritanya lagi.
"Suhumu mengirim berita kepadaku agar aku menyelesaikan urusan itu . .."
"Mohon cianpwe suka menerangkan sejelasnya."
"Sebenarnya suhumu itu saudara seperguruan dengan si
tua kepala batu itu. Mereka berguru pada Bu Ya Siangjin.
Karena Cu Keng Yang lebih dulu yang menjadi murid,
maka suhumu yang masuk belakangan menyebutnya
sebagai suheng.." "Oh, maka gerak tubuhnya mirip sekali. Walaupun
suhumu mengadakan beberapa perobahan tetapi sumber
dasarnya tetap tak meninggalkan perguruan."
"Lalu ?" "Suhumu berbudi luhur, memiliki bakat yang bagus, oleh
karena itu paling disayang oleh gurunya. Sudah tentu hal
itu menimbulkan rasa iri dan benci dalam hati supehmu.
Dia tak akur dengan suhumu . . ."
"Oh!" "Kala itu kakek gurumu mempunyai rencana untuk
menyerahkan kedudukan ketua perguruan kepada gurumu .
. ." "Mendudukkan yang pertama dan mengangkat murid
yang kedua, apakah hal itu tidak bertentangan dengan
peraturan dunia persilatan ?"
"Itu hanya suatu peraturan saja. Setiap partai perguruan
mempunyai peraturan sendiri tidak harus mengangkat
murid yang pertama. Seorang calon pengganti ketua harus
dinilai dari perbawa, peribadi dan tingkah laku serta ilmu
kepandaian .... Apabila semua2 itu sudah dipenuhi barulah
dapat diangkat sebagai pewaris ketua."
"Tetapi apakah nama dari perguruan kami?"
"Thay hi bun !"
"Thay hi bun " Rasanya belum pernah mendengar nama
itu.. ." "Ya, memang. Thay-hi-bun itu sebuah perguruan
rahasia, tidak ikut dalam kancah dunia persilatan dan tidak
menghimpun pergolakan dunia...."
"Lalu seterusnya ?"
"Pusaka dari perguruan Thay hi-bun itu merupakan
sebuah kitab pusaka yang disebut Thay-hi keng- Kecuali
ketua, lain2 murid tak boleh mempelajari isinya. Kakek
gurumu telah menyerahkan kitab itu kepada suhumu.
Dengan begitu berarti secara diam2 dia telah memberi
isyarat bahwa kelak suhumulah yang akan diangkat sebagai
penggantinya." "Lalu mengapa ..."
"Setelah mengetahui hal itu, supehmu menuduh kakek
gurumu berat sebelah. Dan sejak itu dia makin membenci
sekali kepada suhumu. Tetapi hanya karena penyerahan
kitab itu belum cukup sebagai hak untuk mengganti
kedudukan ketua." "Makanya bukan begitu cara pengupasannya. Manusia
bukan dewa, iri dan marah merupakan sifat kelemahan
setiap orang. Sebenarnya supehmu itu, kecuali wataknya
yang keras dan aneh, dalam segala hal dia berimbang
dengan suhumu." "Kemudian lalu?"
"Akhirnya kedua saudara seperguruan itu bertempur.
Suhumu berhasil melukai suhengnya. Dia bersalah karena
tak mau mendengar nasehat gurunya. Dia melanggar
peraturan perguruan dan harus diusir dari perguruan dan
untuk selama-lamanya tak diakui sebagai murid Thay-hi
bun . . ." "Ah . . ." Tepat pada saat itu muncullah Cu Keng Yap dengan
wajah yang muram durja. Setelah beberapa saat
memandangnya, baru Lam-ki-soh bertanya: "Bagaimana?"
Wajah Ih Se lojin berkerenyutan sampai beberapa saat,
baru kemudian berkata dengan nada tegang:
"Silahkan masuk !"
"Bersama dengan anak ini ?"
Ih Se lojin mengangguk. Dia yang berjalan sebagai
penunjuk jalan dimuka. Diam2 Lam-ki-soh menyeringaikan
wajah kepada Cu Jiang. Geli. Cu Jiang hanya mengikuti
saja. Setengah li kemudian, tibalah mereka dimuka sebuah
gedung yang indah. Empat orang lelaki yang berumur
sekitar 30 an tahun, sudah siap disitu untuk menyambut.
Dengan hati tak keruan rasanya, Cu Jiang ikut masuk.
Setelah Lam ki-soh dipersilakan duduk, dia tetap berdiri
disampingnya. Keempat lelaki yang dimuka pintu tadi tak
ikut masuk. Ih Se lojin menghela napas pajang.
"Karena salah langkah telah mengakibatkan dendam
kebencian yang mengerikan." ujarnya.
Berkata Lam ki soh dengan wajah serius:
"Ciang-bun-jin, peristiwa itu sudah lama lampau, Bahwa
sekarang hal itu dapat dihapus, benar2 merupakan
kebahagian dalam perguruanmu. Tak perlu engkau sesali
lagi . . ." "Tidak, kedudukan ciang-bun-jin ini, akan kuberikan
kepada sute . . ." "Engkau salah, itu bukan maksud Nyo Wi."
"Apakah aku masih mempunyai muka untuk menduduki
jabatan ini." "Co toako, engkau adalah ketua yang diangkat atas titah
ketua yang telah lalu. Sudah tentu pengangkatan itu resmi
dan sah." "Tidak, memang kesalahanku sehingga ketua yang
terdahulu salah angkat . . ."
"Sutemu kini sudah menjabat kok-su di negeri Tay-li,
tentu takkan kembali ke Tionggoan lagi."
"Aku akan kedaerah selatan untuk menemui dan
menghaturkan maaf kepadanya."
"Tak perlu," kata Lam-ki soh, "maksudnya apabila anak
ini dapat diterima kedalam perguruan, maka diapun tak ada
maksud lainnya lagi."
"Sute rela menderita diusir dari perguruan, sungguh
suatu penderitaan yang menusuk hatiku selama-lamanya.
Segala itu adalah terjadi karena perbuatanku. Jika aku tak
diberi kesempatan untuk menghaturkan maaf, bagaimana
kelak aku dapat bertemu dengan arwah kakek guru di alam
baka." "Penderitaan yang dialami saudara Nyo selama ini,
hanyalah berdasar karena menghormat saudara tua maka
dia rela menggunakan cara itu. Maka apabila kali ini
kembali menduduki jabatan ketua lagi, tentulah perasaannya tersinggung. Maka dalam hal itu tak perlu
dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang ini ialah untuk
menerima anak itu masuk kedalam perguruan."
Habis berkata dia berpaling kepada Cu Jiang.
"Buka kedok mukamu dan berilah hormat kepada
ketua!" Hati Cu Jiang tegang sekali. Saat itu dia sudah dapat
merangkai suatu dugaan. Segera ia melakukan perintah,
membuka kedok mukanya. Melihat wajah Cu Jiang, Ih Se lojin mendesah kaget. Cu
Jiang membereskan pakaiannya. Pada saat dia hendak
menghaturkan hormat... "Tunggu!" tiba2 Ih Se lojin mengangkat tangan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencegahnya. Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah.
"Kalian masuk kemari." seru Ih se lojin kepada keempat
penjaga. Mereka berempat masuk dan setelah memberi
hormat kepada Ih Se lojin mereka tegak berjajar disamping.
Saat itu Lam ki-soh pun memberi kicupan mata kepada
Cu Jiang dan anak itupun segera melangkah kehadapan Ih
Se lojin lalu berlutut menghaturkan hormat.
"Murid Cu Jiang, mohon menghadap ciang-bun supeh!"
"Bangun," seru Ih Se lojin, "kenalkan dengan keempat
suhengmu!" Cu Jiang bangun. Secara berturut-turut Ih Se lojin lalu
memperkenalkan: "Itulah ji suhengmu yang bernama Ko Kun, sam-suheng
Siong Ci Beng, si-suheng Gak Ong dan ngo suheng Ih Kim
Gan!" Cu Jiang memberi hormat kepada keempat suheng itu.
Tetapi terhadap toa-suhengnya, ia mempunyai kesangsian.
Mengapa yang ada hanya keempat suheng" Ke manakah
toa-suheng atau suheng yang pertama"
Setelah memberi hormat, Cu Jiang kembali ketempatnya
semula. Keempat suheng itu agaknya terkejut dan heran
atas pertemuan yang tiba2 itu.
"Toa-suhengmu yang bernama Go Wi Jin, pada sepuluh
tahun yang lalu terpaksa pulang ke desanya untuk merawat
mamahnya yang sudah tua. Dia hanya pada musim rontok
datang sekali kemari, Besok kalau ada kesempatan tentu ku
perkenalkan engkau dengan dia, " kata Ih Se lojin pula.
Kemudian kepada keempat muridnya, dia memperkenalkan Cu Jiang sebagai murid dari paman guru
(susiok) Nyo Wi. Kemudian dia memerintahkan supaya
malam itu diadakan perjamuan untuk merayakan persatuan
kembali dari perguruannya.
Cu Jiang tak mengira bahwa ia akan mengalami
peristiwa semacam itu. Kini dia tahu lebih jelas tentang
asal-usul suhunya, Gong-gong-cu yang selama ini selalu
dirahasiakan. Setelah keempat murid itu mengundurkan diri maka Ih
Se Lojin berkata pula kepada Cu Jiang.
"Pada waktu suhumu diusir dari perguruan sucou (kakek
guru) lupa untuk meminta kembali kitab Thay hi keng.
Sucoumu mengira kitab itu tentu dibawa pergi suhumu
yang setelah meninggalkan perguruan terus lenyap tak
diketahui rimbanya. Dua tahun kemudian, sucou-mu telah
meninggal dunia. Dan tiga tahun kemudian dalam dunia
persilatan telah muncul tiga tokoh yang disebut Bu lim Sam
cu. Tetapi ku tak tahu bahwa diantara ketiga tokoh yang
bernama Gong gong-cu itu ternyata adalah suhumu. Baru
tahun yang lalu, toa-suhengmu datang membawa berita
kalau Gong-gong-cu itu adalah paman gurunya, Nyo Wi,
yang telah diusir dari perguruan itu.Sebenarnya aku hendak
mencarinya untuk meminta kembali kitab Thay-hi-keng itu,
tetapi masih belum sempat. Ai, tak kira ..."
Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Dia tak
membawa kitab pusaka Thay-hi-keng dan menyembunyikan kitab itu dibawah arca cousu. Disamping
itu dia telah meletakkan sepucuk surat, ambil dan bacalah
sendiri!" ia mengeluarkan sehelai kertas dan diserahkan
kepada Cu Jiang. Serentak Cu Jiang maju menyambut. Surat itu berbunyi:
Dihaturkan toa-suheng, Kedudukan ketua, seharusnya diserahkan kepada toa-suheng.
Tetapi perintah suhu tak dapat kubantah. Maka terpaksa kuambil
siasat supaya aku dikeluarkan dari perguruan. Mohon setelah
membaca surat ini, toa-suheng sudi memohon ampun atas segala
kesalahan dan terima kasih atas semua budi kebaikannya. Setelah
toa-suheng menerima kedudukan ketua, aku tentu akan pulang ke
gunung untuk mohon hukuman. Nyo Wi."
Tak terlukiskan perasaan Cu Jiang saat itu. Dia benar2
sangat mengagumi dan menghormat sekali akan kepribadian suhunya. Kemudian ia menyerahkan kembali
surat itu seraya mengatakan bahwa selama ini suhunya tak
pernah bercerita apa2 tentang hal itu.
"Jika suhumu tak mau datang kemari untuk menerima
jabatan ketua, aku benar2 tak punya muka untuk
menghadap arwah para sucou. . ." kata Ih Se lojin.
Sebagai angkatan yang lebih muda. sudah tentu Cu Jiang
tak dapat memberi tanggapan ini ituu apa tentang urusan
dalam perguruan. Dia diam saja.
"Dia takkan meluluskan," kata Lam-ki-soh dengan nada
tandas, "Jika engkau tetap memaksa dia supaya menerima
berarti engkau menutup pintu agar dia tak datang ke
gunung sini lagi" Beberapa saat kemudian murid kedua Ko Kun
menghadap untuk menyampaikan laporan bahwa hidangan
sudah siap. Maka Cu Jiangpun diajak Ih Se lojin masuk.
Setelah menghadap arca dari kakek guru. mereka kembali
lagi ke ruang. "Engkau mengatakan hendak meminta petunjuk untuk
memecahkan barisan apakah itu?" tanya Ih Se lojin.
Dengan mata merah penuh dendam kemarahan,
berkatalah Cu Jiang: "Tentang gerombolan Gedung Hitam yang banyak
mencelakai dunia persilatan, apakah supeh sudah mendapat
berita yang lengkap ?"
"Hai," desuh Ih Se lojin.
"Dan ketua Gedung Hitam itu adalah musuh besar dari
keluarga murid." "Ah, asal usul dirimu ..."
"Almarhum ayah murid adalah Cu Beng Ko."
"O, engkau putera dari Dewa-pedang ?"
"Engkau mencari guru dengan sudah mempunyai bekal
kepandaian ?" "Ya." "Ah, makanya ilmu pedangmu .. ."
"Tetapi itu bukan ajaran Keluargaku."
"Apa " Bukan ilmu warisan keluargamu " Tetapi Jelas
ilmu pedang yang engkau gunakan itu bukan dari
perguruan ku." d00w Dengan terus terang Cu Jiang lalu menuturkan semua
peristiwa yang dialaminya ketika ia mendapatkan ilmu
pedang itu. "Luar biasa," seru Ih Se lojin, "kelak engkau tentu
mampu mempelajari kitab pusaka Thay hi-keng itu. Dengan
menggubahnya sendiri, pastilah kelak ilmu silat perguruan
kita akan cemerlang dalam dunia persilatan."
"Terima kasih, supeh."
"Bagaimana persoalanmu dengan Gedung Hitam ?"
"Selama ini tiada seorang persilatan yang mampu
menyelidiki markas besar Gedung Hitam di gunung Keng-
san karena markas besar itu dibentuk dalam barisan yang
aneh." "Barisan apa ?"
"Menurut keterangan seorang sahabat, barisan itu
dibentak antara gabungan barisan Kiu-kiong pat kwa
dengan ti-hun-im." "Mestinya itu barisan Thay ho-tin .. ."
"Thay-ho tin ?" Cu Jiang menegas.
"Ya, kalau menurut keterangan, barisan itu mestinya
disebut Thay-ho-tin. Tetapi barisan Thay-ho-tin itu
merupakan salah satu barisan dari tiga barisan besar yang
terdapat dalam kitab pusaka Ki-bun-ceng ciat. Mengapa dia
bisa menyusun barisan itu?"
Tiba2 Cu Jiang teringat. "Kitab Ki-bun-ceng ciat diwaktu hilang dan jatuh ke
tangan Pek kut song-sian...?"
"Tidak mungkin, kedua iblis itu singkat sekali waktunya
mendapatkan kitab pusaka itu, hanya dalam seratus hari."
"Mohon tanya, bagaimana kitab itu bisa hilang ?"
"Gara2 sam-suhengmu yang mempelajari kitab itu. Tidak
seharusnya waktu keluar lembah, dia membawa kitab itu
sehingga ketahuan kedua iblis dan direbutnya. Untung anak
dari suami isteri iblis itu dapat kutawan sebagai sandera."
"Ya, murid telah mengetahui."
"Tetapi apakah benar barisan di markas Gedung Hitam
itu merupakan Thay-ho-tin. Jika tidak, tentulah akan
membuang waktu sia-sia." kata Lam-ki soh yang sejak tadi
diam saja. Ih Se lojin kerutkan dahi.
"Jika kusuruh murid untuk memeriksa, berarti akan
mencampuri urusan dunia persilatan. Suatu hal yang
bertentangan dengan pendirian perguruan ku," katanya.
"Tetapi sekarang saja Cu Jiang sudah masuk menjadi
murid Thay-hi bun. Apakah hal itu berarti dia tak boleh
melakukan gerakan apa2."
"Itu lain lagi persoalannya, pertama, karena dia
mampunyai dendam berdarah untuk keluarganya. Dan
kedua, dia telah mendapat perintah dari suhunya ...."
"Kalian telah bersumpah untuk mengasingkan diri tak
mau mencampuri urusan dunia, adakah dalam soal budi
dendam dari murid. Juga tak mau memberi bantuan?" tegur
Lam-ki-soh. "Peristiwa budi dendam yang menyangkut dirinya
dahulu sebelum masuk kedalam perguruan, perguruan kami
takkan mengurus." Kuatir kedua tokoh tua itu akan terlibat dalam
perdebatan yang sengit, buru2 Cu Jiang berkata:
"Supeh, murid hanya mohon petunjuk bagaimana cara
untuk memecahkan barisan Thay-ho-tin saja. Jika tak
berhasil, kelak murid akan menghadap kemari lagi untuk
mohon petunjuk." "Kalau begitu sih boleh," kata Ih Se lojin "tetapi ingat,
selama engkau bergerak di dunia persilatan tak boleh
engkau mengaku sebagai murid perguruan Thay-hi-bun !"
"Murid akan ingat baik"
"Masih ada satu lagi. Jika benar barisan itu barisan Thay-
ho-tin, engkau harus menyelidiki siapakah yang membuatnya." "Baik." Sementara itu kelima murid Ih Se lojin, masuk dengan
melaporkan bahwa hidangan dan arak sudah siap semua.
Sembari berbangkit, Ih Se lojin mengajak Lam-ki-soh
makan bersama. Tetapi tokoh itu menolak dan mengatakan
dia cukup akan makan bekalnya sendiri.
"Gong-heng, menganggap aku orang she Co ini benar
seorang manusia yang tak kenal perasaan?"
"Ai, hanya bergurau saja. Kan merepotkan saudara. "
Demikian mereka lalu bersama-sama duduk di meja dan
menikmati hidangan malam. Selesai makan haripun sudah
malam. Ih Se lojin lalu membuat sebuah lukisan peta dan
diserahkan kepada Cu Jiang dengan memberi penjelasan2
seperlunya. Juga mengenai barisan dalam lembah itu, Ih Se
lojinpun memberitahu kepada Cu Jiang.
Keesokan harinya, Cu Jiang bersama Lam-ki-soh pamit.
Dengan masih mengenakan kedok muka, Cu Jiang keluar
dari lembah itu. Setelah tiba di kaki gunung Tong-pik-san,
Cu Jiang berpisah dengan Lam-ki-soh.
Jika menuju ke Hu-yang untuk menemui Ang Nio Cu, di
perhitungkan waktunya masih belum tiba, mungkin Ang
Nio Cu tentu belum kembali.
Apabila dia bertindak sendiri untuk menggempur
Gedung Hitam, dia merasa telah melanggar janji dengan
Ang Nio Cu. Ah, akhirnya ia memutuskan, baiklah ia
pelahan-lahan menuju Huyang agar waktunya menunggu
disana tak usah terlalu lama.
Demikianlah dengan cara santai itu, setengah bulan
kemudian barulah dia tiba di kota Huyang. Terpaut dengan
waktu berangkat ke gunung Tay-pa san sudah hampir satu
bulan. Menurut perjanjian dengan Ang Nio Cu, ia lalu
mencari dan menginap di hotel Naga Hijau, sebuah hotel
besar yang terletak dipusat kota.
Untuk tidak menarik perhatian orang. Cu Jiang
menyamar jadi seorang anak sekolah. Tetapi menunggu
sampai tiga hari belum juga Ang Nio Cu muncul. Dia mulai
gelisah. Menurut perhitungan waktunya, seharusnya Ang
Nio Cu sudah datang. Karena tak dapat menemui Ih Se lojin, seharusnya Ang
Nio Cu cepat kembali ke Huyang. Saat itu sudah menjelang
keempat puluh hari, mengapa dia belum muncul juga"
Seorang diri dia menikmati arak dalam kamar.
Pikirannya melayang-layang. Kalau sampai hari yang
keempat puluh, Ang Nio Cu tetap belum muncul, terpaksa
dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia harus
menggempur Gedung Hitam sendiri.
Sekonyong-konyong dari arah luar kamar terdengar
suara wanita bersungut-sungut:
"Dia sudah mengatakan dalam empat puluh hari lagi
akan datang ke rumah penginapanmu ini . . ."
"Eh. siapakah sesungguhnya yang nona hendak cari itu?"
kata jongos hotel. "Bukanlah sudah kukatakan kalau aku hendak mencari


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang anak keponakanku yang jauh?"
"Nona, tetapi dia tentu mempunyai nama, kalau engkau
hanya bersungut-sungut dan marah2, tentu akan mengganggu lain2 tamu. . ."
Cu Jiang terkesiap. Cepat ia beranjak dan mengintai
kearah luar Di halaman tampak seorang wanita tengah
memandang kian kemari sedang seorang jongos menyeringai di sampingnya.
Wanita itu tergolong sudah pertengahan umur, karena
mengenakan baju merah maka cepat Cu Jiang dapat
mengenalinya sebagai salah seorang dari Empat wanita baju
merah yang menjadi pengawal Ang Nio Cu.
"Aku disini, " seru Cu Jiang.
Nona itu deliki mata kepada si jongos: "Tuh, apa
bukan?" "O, Allah, mengapa nyonya tadi2 tak bilang kalau tuan
muda itu?" seru jongos. Namun nyonya itu tak
mengacuhkannya dan terus masuk ke dalam kamar Cu
Jiang. "Silahkan duduk toanio." Kata Cu Jiang.
"Jangan memanggil begitu, namaku Soh Tan Hong."
"O, Soh toanio."
Jongos datang membawa minuman lalu menanyakan Cu
Jiang mau pesan apa lagi.
"Bawakan bebek panggang dan arak wangi," kata Cu
Jiang. Setelah jongos keluar, Cu Jiang menuangkan arak ke
cawan dan mulai menanyakan tentang Ang Nio Cu.
"Dia tak dapat datang memenuhi janji dan memerintahkan aku kemari . . ."
"Mengapa dia tak dapat datang?"
"Dia menderita luka parah, jiwanya terancam . . ."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Seketika wajahnyapun
berobah. "Dimana dia sekarang?" serunya gemetar.
"Di sebuah biara tua diluar kota Keng-ciu."
"Dimana dia menderita luka?"
"Waktu di belakang puncak Kiu-kiongsan!"
"Siapa yang mencelakainya?"
"Entah. Mungkinkah Ih Se lojin?"
"Tidak mungkin! "
"Bagaimana sauhiap memastikan begitu?"
"Karena aku sudah dapat menemukan Ih Se lojin itu."
"Di gunung Tay pa-san?"
"Hm," Cu Jiang hanya sembarangan mendengus karena
dia tak mau sembarangan memberitahukan tempat
perguruannya. "bagaimana lukanya?"
"Menderita luka dalam yang parah sekali, sehingga tak
sadarkan diri. Waktu kutinggalkan sudah lima hari
lamanya, entah..." ia tak dapat melanjutkan kata2 karena
tersendat isak air matanya.
"Toanio, silahkan makan dulu, nanti kita segera
berangkat." "Aku . . . tak dapat makan."
"Tetapi engkau harus makan agar tenagamu tak lemas.
Mari minum dulu..." "Tidak." Begitulah keduanya terus makan. Cu Jiang sendiri juga
tak ada selera makan. Setelah membereskan rekening, dia
bersama Soh Tan Hong terus tinggalkan Hu yang.
Karena siang malam menempuh perjalanan, pada hari
keempat pagi mereka tiba di kota Keng-ciu. Soh Tan Hong
membawanya menuju ke sebuah biara bobrok yang terletak
tujuh delapan li dari kota.
"Mengapa tak memilih tempat yang layak?" tegur Cu
Jiang ketika menyaksikan alam sekeliling tempat itu sunyi
senyap. Soh Tan Hong tertawa hambar.
"Majikan kami banyak musuh, dan lagi dalam keadaan
luka parah, dia tak dapat membuat gerakan yang
menimbulkan perhatian orang."
"Oh, begitu." Kata Cu Jiang.
Keadaan biara tua memang mengenaskan sekali.
Dindingnya banyak yang gompal dan rumput tumbuh liar
tak dirawat. Biara itu sendiri amat besar, dulu tentu
merupakan tempat ziarah yang ramai.
Memasuki ruang kedua, muncul seorang wanita lain lagi.
"Bagaimana dengan majikan?" tegur Soh Tan Hong
kepada kawannya itu. Wanita itu menghela napas panjang: "kita harus
bersyukur kepada Langit dan Bumi bahwa majikan tak
sampai terancam malapetaka. Tetapi dia masih memerlukan istirahat untuk memulangkan tenaga . . ."
Apa sudah mau makan?"
"Hanya sedikit."
"Bicara?" "Secara memaksakan diri."
Kemudian wanita itu berkata kepada Cu Jiang.
"Sungguh tepat kedatangan sauhiap ini. Waktu sadar,
pertama yang disebut oleh majikan kami ialah nama
siauhiap." "Apakah aku boleh menengoknya?"
"Tentu saja boleh, silahkan."
Melintasi halaman yang penuh ditumbuhi rumput liar,
mereka tiba di muka sebuah ruang yang bersih. Dan wanita
yang menjadi penunjuk jalan itu berseru nyaring:
"Cu sauhiap hendak menghadap majikan!"
"Lekas silahkan masuk." terdengar suara wanita
menyahut dari dalam. Cu Jiang amat tegang. Mengikuti kedua wanita itu
masuk, ia melihat sebuah ranjang kayu yang diberi alas
dengan rumput jerami dan diatasnya rebah tubuh dari tokoh
misterius dalam dunia persilatan yakni Ang Nio Cu. Dia
masih mengenakan kain kerudung muka.
"Toaci, aku datang menjengukmu," seru Cu Jiang
dengan nada tegang. Sepasang mata Ang Nio Cu berkaca-kaca, dengan suara
lemah ia menyahut: "Ah, adik, membikin repot engkau saja."
"Taci, bagaimana dengan lukamu?"
"Rasanya tentu mati."
"Sudah minum obat?"
"Aku hanya mengandalkan tenaga dalam untuk
menyembuhkan, mungkin masih perlu waktu setengah
bulan lagi untuk beristirahat."
"Apakah yang dapat kulakukan?"
"Tak usah, aku dapat mengatasi sendiri. Adik,
bagaimana hasilmu ke gunung Tay pa san?"
"Beruntung tak sampai mengecewakan perintah taci."
"Engkau.... dapat menemui Ih Se lojin."
"Ya !" "Dia mau memberi petunjuk kepadamu cara memecahkan barisan?"
"Ya." "Ah." "Taci, bagaimana engkau sampai terluka?"
"Biar... Go Kiau yang memberitahu kepadamu."
Wanita yang menjaga di samping, mengangkat sebuah
meja kaki tiga. "Harap Cu siauhiap duduk, aku akan bercerita pelahan-
lahan." Cu Jiangpun duduk. Wanita yang bernama Go Kiau itupun mulai menutur:
"Aku dan Soh suci bertiga mengikuti... majikan kami tiba
di belakang gunung Bok-tok-san. Tujuan kami pertama
yang mencapai lembah Ki lin koh yang berada di belakang
puncak gunung Kiu kiong san. Karena Ih Se lojin pernah
muncul disitu. Kami sangka dia tentulah penghuni lembah
itu. Tiba di mulut lembah, majikan memerintahkan kami
supaya menunggu di luar dan dia terus masuk ke dalam
lembah..." Cu Jiang mengangguk. "Lebih kurang seperminum teh lamanya, majikan keluar
dari lembah membawa luka. Dia suruh kami cepat2
membawanya pergi dari tempat itu, dan beberapa saat
kemudian diapun pingsan tak sadarkan diri lagi..."
"He, lalu..." "Kamipun segera meninggalkan mulut lembah masuk ke
dalam daerah pedalaman untuk mencari persembunyian.
Kami bertiga berusaha menyalurkan telaga dalam dan
setengah hari kemudian barulah majikan kami siuman.
Dia terus menitahkan supaya diantar ke Hu yang. Kami
berusaha menggunakan kendaraan darat dan air. tetapi
sampai ditempat ini keadaan majikan sudah tak kuat lagi.
Terpaksa menggunakan biara tua ini untuk tempat
meneduh dan menyuruh Soh suci memberitahu Cu
sauhiap..." "Apa hanya begitu ?"
"Masih ada lagi. Setelah keadaan majikan agak tenang,
dia mengatakan bahwa ketika di lembah Ko Min ton, yang
menyerangnya adalah seorang lelaki tua aneh yang pada
tengah dahinya tumbuh sebuah tahi lalat. Tak diketahui
nama dan asal usulnya. Begitu bertemu terus menyerang.
Hanya dalam lima gebrak, majikan sudah terluka parah dan
meloloskan diri. Untung masih dapat lolos, kalau tidak,
malah bagaimana jadinya..."
Cu Jiang berpaling kearah Ang Nio Cu. "Taci, apakah
engkau dapat menduga siapa orang tua itu ?"
Ang Nio Cu pejamkan mata, ujarnya.
"Tak dapat kuketahui asal usulnya. Yang jelas ilmu
kepandaian teramat sakti. lebih tinggi dari ketua Gedung
Hitam." Sejenak berdiam diri Cu Jiang berkata.
"Taci, engkau perlu harus beristirahat."
"Ya, paling sedikit setengah bulan."
"O itu lebih baik. . ."
"Mengapa lebih baik?"
"Aku hendak menuju ke Kiu-Kiong-san "
"Mengapa ?" "Taci, dendam darah kita itu, harus kutagih kepada
mereka." "Ah, adik Jiang, sudahlah, tak usah kita bicarakan lagi,"
seru Ang Nio Cu. "Tidak! Betapapun aku harus dapat melihat siapa
sebenarnya orang itu ! Masakan dunia memperkenankan
manusia yang lebih buas dari binatang, setiap bertemu
orang tentu membunuhnya."
"Apakah engkau benar2 hendak kesana ?"
"Tentu, setelah aku kembali dari sana, luka tacipun tentu
sudah baik." "Hati-hatilah."
"Harap jangan kuatir, aku dapat membawa diri dan
kuharap taci dapat menjaga diri baik-baik agar lekas
sembuh. Sekarang aku mohon diri. ."
"Sekali-kali jangan kau memandang rendah pada lawan.
Bertindaklah menurut gelagat."
"Baiklah." "Akan kusuruh menyediakan makanan dan arak.
Beristirahatlah dan besok engkau boleh berangkat."
"Tak usah." "Adik Jiang . .. engkau harus meluluskan pesanku tadi
untuk berhati-hati... jangan membuat hatiku cemas. Engkau
harus mengetahui bahwa masih ada sebuah kebahagian
hidup seseorang yang diserahkan kepadamu..."
Cu Jiang tergetar perasaannya. Secara resmi ia telah
menjadi suami isteri dengan Ho Kiong Hwa tetapi tak
pernah ia memikirkan diri nona itu...
"Taci, aku akan melakukan segala pesanmu."
"Bagus." "Sekarang aku mohon diri."
"Baik2 engkau menjaga diri, adik Jiang."
Sedemikian akrab bahkan mesrah Ang Nio Cu bersikap
terhadap Cu Jiang. Seolah-olah seperti seorang taci
terhadap adik kandungnya.
Dengan perasaan gembira dan berterima kasih, Cu Jiang
keluar dari biara itu. Saat itu masih siang, ia tak mau masuk
ke kota lagi melainkan terus melanjutkan perjalanan.
Agar tidak putus hubungan dengan rombongan Ki Siau
Hong, disepanjang jalan ia selalu meninggalkan tanda
rahasia. Ketika tiba di lembah Ki lin koh gunung Kiu Kiong san,
Cu Jiang berganti menyaru sebagai tokoh Toan kiam jan jin
lagi. Ia sengaja berjalan dengan langkah pincang dan
pinggang menyelip pedang kutung bertebar mutiara.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih kurang empat puluh tombak memasuki lembah
tiba2 ia melihat sebuah ciok pay atau papan batu yang
bertulis empat buah huruf yang besar, berbunyi:
"Masuk lembah pasti mati."
Cu Jiang tertawa dingin, Brak, ia menghantam hancur
papan batu itu. Kemudian ia melanjutkan langkah.
Jalanannya berbahaya sekali, penuh karang dan batu2 aneh
yang malang melintang, Sepintas memang tampak seperti
seekor kilin yang muncul.
Diantara batu2 yang aneh bentuknya itu, terdapat pula
tulang belulang yang menyeramkan pandangan mata.
Tentulah tulang2 itu berasal dan orang yang berani
memasuki tempat itu. Dari kesan itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang
berada dalam lembah tentu seorang manusia yang ganas.
Krak, krak, setiap langkah Cu Jiang menimbulkan bunyi
yang menyeramkan karena kakinya menginjak hancur
tulang2 manusia. Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan tahu2 seseorang
telah menghadang jalan. Cu Jiang hentikan langkah
Memandang kemuka, terpaku ia terkesiap. Yang muncul di
muka itu seorang manusia yang menyeramkan, lebih tepat
dikatakan makhluk yang aneh.
Matanya hanya satu, punggung bungkuk menjungkai
keatas, bibir sumbing sehingga giginya yang besar2
menonjol keluar. Rambut kaku dan tangan mencekal
sebatang Joan pian atau ruyung lemas.
Mahluk seram itu memalingkan kepala memandang Cu
Jiang sejenak lalu tertawa aneh:
"Hai, bocah cilik, engkau berani menghancurkan papan
larangan di mulut lembah itu" siapakah engkau bagaimana
nanti engkau harus mati ?"
"Coba saja katakan, bagaimana cara kematian yang
harus kuterima ?" Cu Jiang menyahut sinis.
"Lebih dulu akan kubeset urat2 mu lalu kulitmu, setelah
itu engkau akan kurendam dalam air garam, nah, coba
bayangkan bagaimana rasanya nanti ?"
"Bagus, bagus, sungguh nikmat sekali. Tetapi asal
engkau mampu melakukan !"
Sring.... ruyungpun segera menggeletar di udara dan
secepat kilat menyambar. "Aku hendak bertemu dengan yang menjadi pemilik ini,"
seru Cu Jiang. Makhluk aneh itu tertawa lagi. Nadanya jauh lebih
menyeramkan dari serigala melolong.
"Jangan mimpi !"
"Kalau tak salah beberapa waktu yang lalu disini
kedatangan seorang wanita yang mukanya memakai
kerudung. Apakah kalian yang melukainya ?" seru Cu
Jiang. "Dia belum mati ?"
"Tak mungkin dia akan mati !"
"Ah ah. engkau komplotannya ?"
"Ya, memang, aku memang khusus datang kemari
hendak membuat perhitungan."
"Heh. heh, bagus, bagus. Sungguh tak pernah kuduga
kalau ada orang yang berani datang kemari hendak
membuat perhitungan."
"Jangan heran, yang lebih bagus lagi akan terjadi nanti !"
"Budak kecil, aku tak punya waktu adu lidah dengan
engkau," habis berkata dia terus ayunkan cambuk joan-pian
nya. Cu Jiang menghindar hilang. Manusia aneh itu menjerit
kaget dan cepat menarik pulang cambuknya.
"Hai, budak kecil, engkau hebat sekali!"
Setelah mengambil arah, dia segera ayunkan lagi
cambuknya, tar, tar . . . . seketika bayangan cambuk itu
mengembang seperti selembar layar hitam yang melingkupi
seluas dua tombak. Cu Jiang tetap gunakan gerak langkah Gong gong poh-
hwat untuk menghilang lenyap.
"Rupanya aku terpaksa harus membunuhmu lebih dulu!"
Dua kali serangan cambuk ruyungnya luput, rambut
manusia aneh itu meregang tegak. Matanya yang bundar
kecil seperti mata ular, berkeliaran buas. Mulut menganga
sehingga gigi-giginya yang panjang tampak membersit-
bersit. Cu Jiang mencabut pedang kutung.
"Engkau Toan kiam jan jin ?" teriak orang aneh itu.
"Benar !" "Bagus! Tak kira kalau engkau mengantarkan jiwamu
kemari sendiri . ." kata2 itu ditutup dengan ayunan cambuk
yang menimbulkan bunyi menggeletar sekeras-kerasnya
menyambar. Tetapi Cu Jiang sudah siap. Ia memutar pedang. Tiba2 ia
rasakan tangannya kesemutan dan tahu2 pedang kutung
telah terlilit cambuk. "Heh, heh, heh, heh . . ." terdengar manusia aneh itu
tertawa mengekeh dan Cu Jiang serentak merasakan dari
ujung cambuk orang itu telah memancar aliran tenaga-
dalam yang keras. Cepat anak muda itu mengerahkan tenaga dalam untuk
mencekal pedangnya erat2. Lalu mulai balas mendesak.
Ternyata tenaga-dalam orang aneh itu bukan main
hebatnya sehingga ia masih mengimbangi Cu Jiang. Pada
saat Cu Jiang mengerahkan segenap tenaga dalamnya,
tampak biji mata orang aneh itu seperti melotot keluar,
urat2 dahinya melingkar-lingkar dan keringat bercucuran
sebesar kedele. Tetapi dia tetap ngotot untuk bertahan.
Tenaga dalam yang dimiliki Cu Jiang sudah menjadi
tataran hampir sempurna. Dengan begitu dapat diduga
betapa hebat tenaga dalam dari manusia aneh yang mampu
bertahan terhadap serangan Cu Jiang. Jelas dia lebih unggul
dari kawanan Sip pat Thian-mo.
Tetapi betapapun toh daya pertahanan manusia aneh itu
bobol juga. Dengan aliran tenaga-dalam yang dahsyat dan
tak henti-hentinya seperti ombak mendampar, akhirnya Cu
Jiang mengerahkan seluruh tenaga dan tiba2 mengibaskan
pedangnya. Hai terdengar orang tertahan dan cambuk ruyung dari
manusia aneh itu terlepas, kaki terhuyung tiga langkah ke
belakang, mulutnya mengucur dua tetes darah.
Cu Jiang mengentak jatuh batang ruyung lalu melesat
maju. tak mau kasih kesempatan kepada musuh, demikian
terlintas kata2 itu dalam benaknya.
Huakkk... terdengar jerit ngeri, tubuh manusia aneh itu
bergemetaran, dadanya berlumur darah merah.
Tetapi pada saat itu, orang anehpun sempat menghantam Cu Jiang sehingga anak muda itu terpental
selangkah ke belakang. Cu Jiang benar2 heran tak terkira, mengapa jurus ilmu
pedang Thian-te kay thay tak berhasil merobohkan lawan.
Tiba2 orang aneh itu berputar tubuh terus lari masuk
kedalam lembah. "Hai, berhenti dahulu!" teriak Cu Jiang seraya
mengacungkan pedang kutung ke atas kepala.
Gigi orang aneh itu terdengar berkemerutukan. Tiba2 dia
ngangakan mulut dan beberapa benda mirip bintang segera
menyembur keluar. Cu Jiang cepat menghindar tetapi betapapun, tetap dia
kalah cepat dengan semburan yang tak terduga-duga itu.
Jaraknya begitu dekat dan senjata rahasia itu disemburkan
dengan mulut. Lengan dan bahunya telah termakan beberapa biji
senjata rahasia itu. Untung tak mengenai jalan darah
penting. Kalau sampai terkena pada bagian jalan darah
penting, dia tentu mati. "Huakkkk..." Terdengar pekik ngeri menembus udara. Tubuh orang
aneh itu telah terbabat kutung menjadi dua oleh pedang Cu
Jiang. Sebelum kumandang jeritan ngeri itu lenyap tiba2
terdengar suara mengembor keras.
"Hai, manusia liar dari mana yang berani membunuh
anak buahku yang bertugas menjaga mulut lembah !"
Selesai kata2, orangnyapun sudah muncul. Seorang laki2
tua berambut putih tetapi tubuh masih segar kekar.
Cu Jiang terperanjat. Ketika memandang, ia memperhatikan pada tengah2 dahi orang tua itu terdapat
sebuah tahi lalat yang besar seperti mata.
Diam2 Cu Jiang girang. Inilah orang yang dikehendakinya. Pemilik lembah yang telah melukai Ang
Nio Cu itu, pikirnya. Yang dibunuhnya tadi hanyalah anak
buah, dan Kalau anak buah saja sudah begitu hebat
kepandaiannya, majikannya tentu lebih dahsyat lagi, Mau
tak mau Cu Jiang tergetar juga hatinya.
Orang tua pendatang yang dahinya seperti mempunyai
sebuah mulut lagi (tahi lalat besar), tampak memandang
kearah mayat manusia aneh tadi. Tubuhnya yang tinggi
besar tampak gemetar. Tentulah dia sangat marah sekali.
Cu Jiang mencekal pedangnya erat2, siap menghadapi
segala kemungkinan. Sesaat orang tua itu mengangkat
muka, sepasang matanya berkilat2 tajam memandang
kearah Cu Jiang. Cu Jiang merasa seperti dipancari sinar tajam yang
membuat bulu2 tubuhnya meremang tegang.
"Engkau .... Toan-kiam-jan Jin?"
Cu Jiang terkejut mendengar pertanyaan itu. Sekati
membuka mulut, orang itu sudah mengenal dirinya. Diam2
Cu Jiang menyadari bahwa ciri2 dirinya sebagai pemuda
pincang dengan pedang kutung ternyata sudah termasyhur
dan dikenal oleh setiap orang persilatan.
"Ya !" sahutnya ringkas.
"Heh, heh, budak kecil, engkau bakal mati tak berkubur!"
"Siapakah nama anda ?"
"Aku Sam Bok thian-cun!"
Cu Jiang tertegun. Dia tak pernah mendengar nama
tokoh persilatan semacam itu. Tetapi ia percaya, orang itu
tentu seorang tokoh angkatan tua yang ternama.
"Belum lama ini apakah anda melukai seorang nona
yang makanya memakai kain cadar ?" serunya pula.
"Melukai " Apakah dia tak mati ?" Sam Bok thian-cun
atau Malaikat bermata-tiga mengulang. Dan kata2 itu tepat
seperti yang diucapkan manusia aneh tadi.
Setiap orang yang diserang, tentu mati. Aneh sekali
kalau hanya menderita luka dan tak sampai mati. Suatu hal
yang menunjukkan betapa ganas dan buas mereka.
"Apakah tentu harus mati ?" ulang Cu Jiang.
"Yang berharga untuk menerima serangan tanganku,
tidak banyak jumlahnya. Tetapi tak pernah ada yang
hidup." "Tetapi kali ini memang suatu pengecualian!" sambut Cu
Jiang. "Toan-kiam-jan-Jin, bagaimana asal usul dirimu ?"
"Tak perlu bertanya, aku takkan memberitahu! "
"Tak kubiarkan engkau menurut sekehendakmu sendiri.
Aku harus menyelidiki sampai jelas !"
"Untuk apa ?" "Mencabut rumput harus sampai pada akarnya !" nada
Sam bok thian cun sangat menyerampak sekali.
Cu Jiang mendengus dingin:
"Sam Bok thian-cun, tak usah banyak bicara yang tak
berguna, Anda harus membayar semua perbuatan anda
selama ini." "Membayar" Ha, ha, rasanya dalam dunia ini hanya
engkau seorang yang berani menagih pembayaran
kepadaku." "Anda heran ?" "Heran sekali !"
"Akupun baru pertama kali ini mendengar ucapan yang
begitu tekebur seperti anda."
"Ho, apakah arti budak semacam engkau ini."
"Dan engkau sendiri juga makhluk macam apa?" balas
Cu Jiang. "Ha, ha. entah bagaimana harus kucincang tubuhmu
supaya hatiku puas nanti..."
"Sama-sama, bung !" sahut Cu Jiang.
"Budak, Jika engkau bukan Toan-kiam Jan jin, tak nanti
aku mau banyak bicara."
"Oh, terima kasih."
Sepasang mata Sam Bok thiancun membara merah
sehingga wajahnya makin menyeramkan. Ke dua tangannya pelahan-lahan mulai diangkat...
Tiba2 Cu Jiang menyarungkan pedangnya.
"Pukulan harus disambut dengan pukulan. Biar engkau
mati dengan puas!" serunya dengan nada beku.
Sam Bok thiancun tertawa menyeringai.
"Hebat engkau !" serunya.
Seiring dengan bentakan yang dahsyat, serentak


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya mengayunkan kedua tangan, bum . . terdengar
letupan keras yang- menggetarkan seluruh lembah. Batu
dan pasir beterbangan ke udara.
Cu Jiang mundur tiga langkah. Darahnya serasa
bergolak-golak keras. Tetapi Sam Bok thian cun juga
tersurut ke belakang tiga empat langkah. Rambutnya awut-
awutan. Ke-dua2nya tak membuka mulut tetapi hati masing2
sudah tahu bahwa kali itu mereka benar2 bertemu dengan
lawan yang tak boleh dianggap enteng.
Cara mereka berhantam tadi yalah keras lawan keras.
Tak memakai gerak jurus ilmu silat apa2, melainkan secara
jujur beradu kerasnya tulang dan tingginya tenaga. Siapa
yang lemah tentu binasa. Setelah sama2 memulangkan napas, merekapun mulai
bergerak kembali ketempatnya semula tadi.
Tangan mulai di angkat, tenaga dihimpun dan hampir
serempak mereka mengayunkan lagi tangannya.
Buuummm..... Terdengar ledakan hebat lagi dan keping2 hancuran
karang, yang mencurah dari udara seperti hujan.
Kali ini keduanya terpental ke belakang sampai tujuh
delapan langkah. Napas mereka memburu keras seperti
kerbau habis bekerja. Hampir sepeminum teh lamanya baru mereka bergerak
maju ke tempatnya tadi. Saat itu merupakan babak
penentuan mati atau hidup. Keduanya sama2 mengerahkan
seluruh tenaga-dalam lalu mengayunkan tenaganya untuk
babak yang ketiga. Kali ini yang terhebat sendiri. Hamburan karang dan
debu serta ranting2 dan daun bertebaran memenuhi lembah
sehingga suasana amat gelap.
Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah, rubuhlah
Cu Jiang ke tanah. Segumpal darah meluap kearah
tenggorokan tetapi ia paksakan diri untuk menelannya
kembali. Tulang belulangnya seperti remuk.
Pandang matanya berkunang-kunang. hawa murni
tubuhnya sudah habis. Kali ini tamatlah riwayatku,
pikirnya. Beberapa saat setelah suasana tenang dan terang, dia
melihat Sam Bok thiancun juga jatuh terduduk ditanah.
Rambutnya yang putih berwarna merah dan tubuhnya
menggigil keras. "Dia terluka lebih hebat dari aku," kata Cu Jiang dalam
hati. Sekarang ia harus cepat bertindak untuk mendahului
lawan. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dialah yang
akan menang. Cu Jiang segera melakukan ilmu pernapasan menurut
ajaran dalam kitab Giok-kah-kim-keng.
Sudah tentu Sam Bok thiancun juga tak tinggal diam.
Dia juga mempunyai rencana seperti yang diangankan Cu
Jiang. Beberapa waktu kemudian Cu Jiang mulai berbangkit.
Dia tak mau memberi kesempatan sampai lawan dapat
memulihkan tenaganya. -oo0dw0oo- Jilid 20 Selangkah demi selangkah dia menghampiri ke tempat
Sam Bok thiancun. Langkahnya yang sarat menimbulkan
suara berderak-derak yang menyeramkan. Suasana saat itu
benar2 menyeramkan sekali.
Urat2 wajah Sam Bok thiancun bergeliatan menonjol.
Diapun mulai berbangkit. Setelah lebih kurang satu setengah meter dimuka Sam
Bok thiancun, Cu Jiangpun hentikan langkah.
"Budak kecil." seru Sam Buk thiancun dengan napas
terengah-engah, "engkau merupakan satu-satunya lawan
yang dapat mengimbangi kepandaianku selama ini, hanya
salah seorang dari kita berdua yang harus hidup atau
mungkin kita berdua akan sama2 terluka atau mati.
Dapatkah engkau.... mengatakan asal usul dirimu?"
Cu Jiang menggertak gigi.
"Putera tunggal dari Dewa-pedang Cu Beng Ko."
serunya. Sepasang mata Sam Bok thiancun mendelik.
"Dengan modal apa Cu Beng Ko berani mengangkat diri
sebagai dewa pedang ?"
"Tua bangka, engkau berani menghina mendiang
ayahku?" Blum Cu Jiang menutup kata-katanya dengan sebuah
hantaman dan Sam Bok thiancun pun balas menangkis.
Terdengar letupan keras dan erang ngeri. Mulut Sam Bok
thiancun muntah darah dan orangnyapun rubuh.
Cu Jiang juga terhuyung-huyung, setelah muntah darah
diapun jatuh terduduk, pandang matanya serasa gelap.
Pikirnya, kali ini kalau Sam Bok thiancun turun tangan, dia
tentu mati. Dia benar2 tak mampu menggerakkan anggauta
tubuhnya lagi. Sekonyong-konyong terdengar derap langkah kaki orang
dan sesaat kemudian lengking jerit seorang wanita. Hati Cu
Jiang bergetar. Samar2 dia melihat dua orang wanita tetapi
tak dapat melihat jelas wajah mereka.
"Ma. Sucou..." "Hai, kiranya si algojo kecil ini."
"Dia " Semangat Cu Jiang serasa terbang ketika mendengar
kedua wanita itu menyebut sucou (kakek guru) kepada Sam
Bok thiancun. Saat itu dia sudah lebih sadar. Bayangan
kedua wanita itu mulai tampak lebih jelas.
"Sekarang aku pasti mati." diam2 ia mengeluh.
Kedua wanita yang datang itu bukan lain adalah nyonya
Gedung Hitam bersama puterinya.
Wajah nyonya Gedung Hitam itu membeku dingin,
sepasang matanya berapi-api. Sedangkan nona itu atau
yang menurut pengakuannya bernama Ki Ing, tampak
pucat. Yang berseru menyebut sucou tadi, Ki Ing juga. Dengan
demikian mamanya atau isteri dari ketua Gedung Hitam itu
murid pewaris dari Sam Bok thiancun.
Dengan demikian rahasia diri wanita itu yang selama ini
tiada orang yang mengetahui jelas bagaimana asal usulnya,
sedikit-sedikit mulai tersingkap.
Diam2 Cu Jiang teringat bagaimana manusia aneh
penjaga mulut lembah dan pemilik lembah itu atau Sam
Bok thiancun, dapat mengatakan kalau dia adalah Toan-
kiam-jan-jin. HaI itu tentulah karena sudah mendengar
laporan dari nyonya Gedung Hitam.
"Adakah dendam permusuhan antara ayah dengan ketua
Gedung Hitam, juga karena mempunyai hubungan dengan
Sam Bok thiancun ?" pikir Cu Jiang.
Tanpa disadari sinar matanya telah beradu dengan
tatapan sinar mata Ki Ing. Tergetarlah hati Cu Jiang.
Dalam pandangannya, Ki Ing itu seorang nona yang
penuh kasih dan curahan asmara. Tetapi Cu Jiang tak
tersentuh hatinya. Andaikata Cu Jiang belum terikat
pernikahan dengan Ho Kiong Hwa, diapun tetap sukar
menerima Ki Ing karena mereka terpisah oleh jurang
pemisah lebar yang berupa dendam darah dari orang tuanya
masing2. Ki Ing, nona yang pertama-tama pernah menyentuh
hatinya, ternyata puteri dari musuhnya. Diam2 Cu Jiang
bersyukur karena ia belum sampai menjalin hubungan kasih
yang lebih dalam. Kemudian mengerling kesamping, Cu Jiang melihat
tubuh Sam Bok thiancun rebah tak bergerak di tanah. Dia
mati. "Hari ini engkau pasti mati," seru Hek Poh hujin atau
nyonya Gedung Hitam. Secepat kilat tangannya menyambar kain kerudung yang menutupi muka Cu Jiang,
juga kedok mukanya. "Hai, dia benar2 pelajar baju putih itu !" serentak Ki Ing
melengking kejut. Saat itu Cu Jiang sedang menderita luka-dalam yang
parah sekali sehingga dia tak dapat berbuat apa2.
Sejenak nyonya Gedung Hitam tertegun lalu berseru.
"Apakah engkau hendak meninggalkan pesan apa-apa ?"
sesaat nyonya itu menegur.
"Aku masih penasaran mengapa tak dapat membunuh
kalian gerombolan Iblis ini dan menghancurkan Gedung
Hitam !" sahut Cu Jiang dengan nada keras.
"Cita-citamu memang mulia, sayang engkau harus
menunggu sampai penitisanmu yang akan datang," sahut
nyonya Gedung Hitam. "Ma!" tiba2 Ki Ing berseru dengan rawan.
Nyonya itu berpaling kearah puterinya yang tercinta dan
kerutkan alis melihat sikap anak itu.
"Nak, engkau kenapa ?"
"Apakah.... engkau tak dapat melepaskannya."
"Apa " Melepaskannya ...."
"Ya." "Nak, engkau gila !"
"Aku tidak gila, ma."
"Soal lain2 tak perlu kita bicarakan tetapi dari
perbuatannya membunuh sucoumu itu saja, dia harus
mati!" "Yang kuat menang yang lemah hancur, itu sudah
menjadi dalih dunia persilatan. Kurasa apa yang terjadi tadi
memang suatu pertempuran yang layak."
"Tutup mulutmu!" bentak nyonya itu. "engkau tak
menyadari apa yang engkau katakan. Jika tidak sekarang
kita turun tangan, kelak tentu berbahaya akibatnya !"
Sepasang mata nona itu merah. Setelah terdiam beberapa
jenak dia berkata pula: "Ma, kali Ini lepaskanlah dia."
"Nak, jangan engkau terlalu bermanja diri, tak mungkin
hal itu dapat kulakukan !"
Dalam pada itu berkat memperkeras ilmu Sim-hwat.
dapatlah Cu Jiang memulihkan sebagian dari tenaganya.
Dia menyadari bahwa gelagat saat itu lebih banyak celaka
daripada menguntungkan. Dia benar2 penasaran kalau
harus mati ditangan seorang wanita.
Dengan bercucuran airmata, Ki Ing tetap merengek:
"Aku telah berhutang sesuatu perasaan kepadanya!"
"Hutang perasaan apa ?"
"Perasaan, ya perasaan, tidak perlu kukatakan."
"Nak, Jika engkau lepaskan dia, apakah dia juga akan
melepaskan kita ?" "Aku akan berusaha agar dia melepaskan niatnya untuk
melakukan pembalasan berdarah.."
"Suatu kegaiban ?"
"Aku tetap akan berusaha."
"Tak perlu berusaha. Melepaskan harimau pulang ke
gunung, tentu akan segera menerima bencana."
"Ma, berikan kesempatan satu kali saja kepadaku !"
"Jangankan satu kali, setengah kalipun tidak!"
Tiba2 Ki Ing melintang dihadapan Cu Jiang dan berseru
dengan meratap. "Kalau begitu bunuhlah aku dulu, ma!"
"Engkau benar2 sudah gila," teriak nyonya Gedung
Hitam, "tak mau tahu segala apa. enyahlah !"
"Tidak!" seru Ki Ing.
Nyonya itu tak dapat berbuat apa2, dengan napas
memburu keras dia berkata:
"Baiklah, jika tidak kecebur kedalam bengawan
Hoanghoo, engkau tentu belum jera. Coba tanya kepadanya
apakah dia mau melepaskan niatnya mencari balas atau
tidak !" Ki Ing berputar kebelakang memandang Cu Jiang.
Dipandangnya wajah pemuda itu sampai beberapa jenak.
"Setelah berjumpa, apa katamu ?" akhirnya meluncur
juga kata2 dari mulutnya.
"Budi kebaikan ini, tentu akan kuukir selama-lamanya
dalam hatiku !" kata Cu Jiang dengan nada gemetar.
"Itu persoalan lain."
"Aku tak mau memohon belas kasihan supaya dapat
hidup dan tak dapat melepaskan niatku untuk menuntut
balas !" "Tidak dapat?" seru Ki Ing dengan gemetar.
"Ya, tidak dapat, " Ki Ing mengertek gigi.
"Sekarang engkau tak dapat hidup, bagaimana engkau
masih kukuh mengatakan tak dapat?"
"Seorang lelaki takkan memberatkan soal mati atau
hidup." "Orang yang mati segala akan habis." seru Ki Ing,
"ksatrya atau bukan, apa bedanya?"
"Itu tak perlu dipersoalkan."
"Apakah engkau benar2 tak mau mempertimbangkan
lagi?" "Tidak usah dipertimbangkan lagi"
Ki Ing banting2 kaki dan menjerit dengan sedih:
"Baik, matilah dan jadilah ksatrya di neraka?"
"Nak, bagaimana" Apakah engkau masih tetap pada
pendirianmu?" tiba2 nyonya Gedung Hitam menyelutuk.
Ki Ing menutup muka dengan lengan bajunya tetapi
tetap tak mau menyingkir.
"Pergilah!" bentak nyonya Gedung Hitam.
Tetapi Ki Ing tetap tak mau bergerak. Cu Jiang tergerak
hatinya. Bahwa seorang gadis yang mencintai, tentu akan
berbuat tindakan yang diluar dugaan orang.
Tiba-2 nyonya itu melesat dari samping dan terus
menghantam Cu Jiang. Buuuum....... Terdengar erang ngeri ketika tubuh Cu Jiang terlempar


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai dua meter dan membentur sebuah batu besar. Dia
muntah darah beberapa kali.
Untuk yang kedua kalinya dia harus merasakan lagi
betapa rasa orang yang sekarat maut itu.
"Sudahlah kini, . . . tentu tak dapat hidup!" kembali Ki
Ing menyerbu. Nyonya Gedung Hitam mendengus:
"Hm, aku hendak membuktikan apakah dia benar2
sudah mati!" Saat itu kesadaran pikiran Cu Jiang makin kabur. Dia
merasa kematiannya sudah tak jauh. Pada waktu berpisah
dengan Ang Nio Cu, nona itu pesan wanti2 agar dia
berhati-hati, jangan mengagulkan kekerasan.
"Ma, mengapa engkau . . ." Ki Ing meratap.
"Pembuktian yang tepat hanyalah kalau mencerai
beraikan mayatnya!" Walaupun keadaan Cu Jiang sudah tak sadar lagi tetapi
samar2 dia masih mendengar kata2 "menceraikan
mayatnya" . Mati dengan cara apapun saja tetap mati. Tetapi mati
ditangan musuh, memang suatu kematian yang tak
merelakan. Darah kembali bercucuran dari mulut Cu Jiang.
Dia masih belum mati rata, belum putus napasnya. Dia
masih dapat merasakan penderitaan dari kematian yang
akan dialaminya nanti. Tiba2 telinga Cu Jiang mendengar suara orang berseru:
"Berhenti!" Suara itu dia cukup mengenalnya.
"Pencuri tua, apakah engkau mau cari mampus!"
"Tio Hong Hui, kalau pencuri tua ini mati tentu takkan
melepaskan engkau juga !"
Menyusul terdengar suara benturan keras. Tetapi Cu
Jiang sudah tak berdaya lagi, kesadaran pikirannyapun
hilang. Ketika dia siuman, bintang2 bergemerlapan di angkasa,
angin berkesiuran silir dan tubuhnyapun terasa sakit.
"Hai, aku belum mati ?" serunya.
"Adik kecil, engkau tak mati!"
Terkejut Cu Jiang mendengar suara itu. Cepat dia
berpaling kesamping lalu menggeliat duduk. Ah, ternyata
yang berada disamping adalah Ciok Yau Je yang bergelar
Hanya-langit tidak dicuri.
Dia teringat ketika pingsan, samar2 dia masih
mendengar suara itu. "Lo koko, engkaukah yang menolong aku ?"
"Jangan mengatakan menolong, aku memang menyusul
engkau !" "Bagaimana lo-koko tahu ?"
"Aku berjumpa Ang Nio Cu, dia yang memberi tahu."
"Oh lo koko, tempat apakah ini ?"
"Masih didaerah, tak boleh berjalan. Aku tak berani
membawamu keluar gunung."
Cu Jiang mencoba melakukan pernapasan. Memang
hawa-murni dalam tubuhnya lemah sekali. Tulang
belulangnya seperti copot dari persendian.
Tetapi dia tak mempedulikan lukanya. Dia tetap
mencurahkan pikiran pada sebuah soal besar.
"Lo-koko, rasanya tadi engkau menyebut nama Tio
Hong Hui, bukan ?" "Ya, kurang sedikit saja aku remuk di tangannya.
Engkau ...." "Apakah dia bukan Ratu-kembang Tio Hong Hui itu?"
"Benar." "Isteri majikan Gedung Hitam ?" tanya Cu Jiang pula.
Kali ini giliran si pencuri tua yang gelagapan.
"Dia itu isteri pemilik Gedung Hitam ?" serunya terkejut.
"Ya." sahut Cu Jiang.
"Bukankah dia menikah dengan Tionggoan-tay-hiap
Cukat Giok?" tanya Ciok Yan Je pula.
"Memang benar ..." sahut Cu Jiang Ia merangkai dugaan
bahwa kemungkinan besar Cukat Giok atau kakek cacad di
dasar jurang itu, tentu dicelakai pemilik Gedung Hitam.
Mungkin gembong Gedung Hitam itu menyaru sebagai Bu
lim-seng-hud Sebun Ong. Itulah sebabnya mengapa Sebun Ong gelagapan dan
menyangkal keras kalau dia telah membunuh Cukat Giok.
Dan Ki Ing itu tentulah puteri tunggal dari Cu Kat Giok.
Ya, benar. Bukankah sau pohcu atau putera dari pemilik
Gedung Hitam pernah mencoba hendak mencemarkan
kehormatan Ki Ing di biara tempo hari! Sau pohcu itu
mengatakan bahwa Ki Ing bukan saudaranya sungguh!
Tetapi nyonya Gedung Hitam atau Tio Hong Hui tetap
memberitahu kepada Ki Ing. bahwa ayah Ki Ing itu adalah
tokoh pemilik Gedung Hitam. Hm, jelas wanita itu
berbohong .... "Adik kecil, engkau lengah melamun apa?" tiba2 Ciok
Yau Je menegur. "Aku memang justeru hendak mencari Tio Hong Hui!"
"Mengapa?" Cu Jiang segera menuturkan pengalamannya bertemu
dengan Cukat Giok di dasar jurang.
"Bermula engkau mengira ketua Hoa-gwat-bun Tiam Su
Nio itu sebagai Tio Hong Hui, bukan?" tiba-2 Ciok Yau Je
bertanya. "Ya, karena itu maka timbul beberapa peristiwa !"
"Adik kecil, engkau harus beristirahat dulu agar cepat
sembuh." "Baik." "Kubantu engkau . . ."
"Tak usah, cukup lo koko menjaga keamanan saja."
"Apa engkau masih dapat melakukan pernapasan
sendiri?" "Bisa." "Baik, silakan mulai."
Cu Jiang segera rebah, pejamkan mata dan mulai
menyalurkan ilmu Sim hwat untuk menyembuhkan
lukanya. Beberapa waktu kemudian setelah bangun Cu Jiang
rasakan tubuhnya panas. Ternyata saat itu matahari sudah
di tengah angkasa. Ketika dia menggeliat bangun, barulah
dia tahu kalau saat itu dia sedang berada di sebuah puncak
gunung. Ciok Yiu Je tertawa mengikik, serunya:
"Adik kecil, apakah engkau sudah sembuh?"
"Lo koko, budi pertolonganmu, entah bagai mana aku
harus menghaturkan terima kasih."
"Ah, tak perlu."
"Lo koko. apa engkau pernah mendengar nama Sam Bok
thiancun?" Ciok Yau Je kerutkan alis, terkejut.
"Mengapa tiba2 engkau menyebut nama itu?"
"Aku telah membunuhnya "
"Apa" Engkau ... engkau membunuh Sam Bok
thiancun?" "Ya." "Dimana ?" "Ditempat aku menderita luka itu."
"Ah, karena mencurahkan pikiran untuk menolong
engkau, aku sampai tak memperhatikan hal itu. Sudah
berpuluh tahun Sam Bok thian-cun muncul di dunia
persilatan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seratus
tahun. Dia seorang tokoh yang kejam dan buas tetapi ilmu
kepandaiannya tinggi sekali. Kabarnya dulu dia sudah mati
dibunuh orang-orang jago dari aliran putih tetapi ternyata
Pemberontakan Taipeng 8 Pendekar Slebor 24 Dagelan Setan Betina Penghisap Darah 1
^