Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 9

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 9


menyerahkan kitab Sin-liong po-tian sebagai penukar
jiwanya. Saat itu karena tak tahan melihat perbuatan yang
sewenang-wenang, Cu Jiang lalu menggunakan lencana
Hek-hu pemberian dara Ki Ing untuk mendesak Hakim
Putih melepaskan pemuda itu....
"Apakah saudara sudah ingat?"
"Ya. sekarang ingat."
"Rupanya saudara sedang mengalami kesulitan" "
"Benar, aku telah terkena racun Toan-bun-tok dan
hendak mohon pertolongan ayahmu mengobati racun itu .."
Bun Gong Ban bergegas lari kepada ayahnya dan
mengucapkan beberapa patah kata.
"Setitik menerima budi orang, harus dibalas dengan
curahan pertolongan. Bawa dia masuk!" seru Kui jiu-sin jin
keras2. Thian put-thou memandang kepada Ang Nio Cu dan
geleng2 kepala: "Ah, sungguh2 tak terduga!"
Bun Cong Beng kembali ke tempat Cu Jiang dan
mengajaknya masuk ke dalam lembah.
"Bun-heng, bukan aku bermaksud hendak meminta lebih
dari apa yang layak kudapatkan tetapi dapatkah kiranya
anda mengobati dulu racun yang bersarang pada tubuh
kedua kawanku itu?" "Akan kubicarakan dengan ayah!"
Rupanya Kui-jiu-sin-jin sudah mendengar perkataan
puteranya maka cepat2 dia menanggapi: "Aku hanya
berhutang budi seseorang!"
Saat itu dengan dipimpin Bun Cong Beng, Cu Jiang
sudah tiba di hadapan Kui jiu sin-jin.
"Bun Cianpwe, tak dapat mengabulkan permohonan
wanpwe" " "Aku selalu membedakan budi dan dendam tak mau
sembrono." sahut Kui jiu-sin jin.
"Baik," kata Cu Jiang, "kalau cianpwe tak mau
mengobati racun pada mereka, wanpwe pun tak mau
menerima pengobatan cianpwe."
"Engkau pernah menolong Cong Beng. Aku hendak
membayar hutang budimu. Selama hidup aku tak mau
menolong orang, juga tak suka berhutang budi kepada
orang." "Kedatanganku kemari bukan hendak meminta budi juga
tidak akan memberi budi dan mengharap balas. Tentang
asal usul putra cianpwe itu, sebelumnya aku tak tahu.
Hanya secara kebetulan saja hal itu kuketahui setelah dia
muncul tadi." "Uruslah urusanmu sendiri. Sejam kemudian engkau
pasti takkan tertolong lagi ..."
"Wanpwe tak menghiraukan soal mati atau hidup !"
"Kalau begitu, mengapa datang kemari ?"
"Keadaannya berbeda. Sebelum mati berpantang ajal,
sudah menjadi sifat manusia. Tetapi kini setelah
berhadapan dengan dua hal: kebajikan atau kepentingan
diri sendiri, aku tetap memilih yang tersebut dulu dan tak
menghiraukan lagi soal mati atau hidup."
"Pandangan biasa."
"Lalu apakah pandangan cianpwe itu melebihi orang
biasa." "Jangan berlidah tajam."
"Karena kepentingan peribadi dan kehilangan kawan,
aku lebih baik menolak."
"Setelah kusembuhkan engkau, anggaplah sebagai
pembayar budimu. Kelak walaupun engkau mengucapkan
kata yang setinggi langit dan minta dengan mati-matian,
aku tak peduli lagi." kata Kui-jiu sin-jin.
Memang aneh sekali watak orang tua itu. Thian-put thou
memandang Bun Gong Beng lalu Cu Jiang, Ia
menghentakkan kaki ke tanah dan berseru:
"Bun Yok Ih, kalau engkau anggap kata-kataku
menyinggung perasaanmu, aku pencuri tua bersedia
mengaturkan maaf. . ." ia terus menjurah memberi hormat
kepada Kui-jiu-sim-jin. Sudah tentu tak enak sekali hati Cu Jiang. Dia tahu
bahwa orang persilatan itu lebih baik mati daripada tunduk.
Mengapa lo-koko mau berbuat begitu merendah kepada Kui
Jiu sin jin tentu karena mengingat kepentingannya (Cu
Jiang). Ah, budi sebesar itu entah bagaimana kelak ia dapat
membalasnya. Dari kemasyhuran nama, Thian-put-thou tak kalah dari
Kui-jiu-sin-Jin. Dari kedudukan tingkat, bahkan lebih tinggi
setingkat dari Kui jiu sin jin itu, tetapi menghadapi
peristiwa semacam itu mau tak mau luluh juga hatinya.
Apalagi, Cu Jiang itu pernah menolong jiwa Bun Cong
Beng, Seketika wajahnya berobah lalu akhirnya mengeluarkan
sebuah botol kecil dan menuang lima butir pil. serunya:
"Obat ini masih baru, ambil dan tinggalkan gunung ini!"
Thian-put-thou terpaksa menelan kemengkalan. Dia
maju menerima pil itu lalu menunjuk ke arah Cu Jiang:
"Lalu dia?" "Tak perlu engkau urus!"
"Dia terkena racun ganas Toan-bun-tok."
"Tahu." "Orang she Bun, aku hendak berkata lebih dulu. Dia
kuserahkan kepadamu. Jika racun itu tak dapat diohati dan
kalau sampai terjadi sesuatu pada dirinya, aku pencuri tua
tentu akan menuntutmu."
"Silahkan !" habis berkata Kui jiu-sin Jin terus lari masuk
kedalam lembah. Bun Cong Bengpun lekas menggandeng tangan Cu Jiang
diajak menyusul ayahnya. Thian-put thou memandang Ang Nio Cu, tertawa kecut:
"Engkau Ang Nio Cu, apakah baru pertama kali ini
tunduk pada orang?" Ang Nio Cu menjawab dingin:
"Demi menolong orang, kalau tidak mau tunduk, habis
bagaimana?" Thian-put-thou melemparkan empat butir pil kepada Ang
Nio Cu seraya berkata. "Bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Aku hendak menunggunya di gunung ini."
"Aku juga." "Tetapi kita tak boleh bersama...."
"Sudah tentu." sahut Thian-put-thou, "mari kita jalan
sendiri2 !" Sekali loncat, Ang Nio Cu terus melesat lenyap. Thian-
put-thoupun Segera ayunkan langkah tinggalkan lembah
itu. Sementara Cu Jiang digandeng Bun Cong Beng masuk
kedalam lembah, disepanjang jalan dia berpikir:
"Karena Ciam Ngo Nio ketua Hoa goat-bun itu isteri
dari Kui-Jiu-sin-jin, maka racun Toan-bun tok yang
digunakan itu tentu racun yang diperoleh dari suaminya.
Dengan begitu Kui-jiu-sin-jin tentu mudah mengobatinya.
Jika dikatakan bahwa racun itu sejenis racun ganas yang
tiada obatnya, mungkin dimaksudkan Ciam Ngo Nio
memang tak mengerti cara mengobatinya."
Tak berapa lama mereka tiba dimuka sebuah rumah batu
yang dikelilingi oleh pohon2 hijau. Alam pemandangan
disitu, tenang dan meresapkan perasaan.
Setelah dibawa masuk kedalam rumah, Bun Cong Beng
membaringkan Cu Jiang diatas sebuah ranjang kayu.
"Cu heng, akan kuminta ayah untuk menyembuhkanmu
dulu baru nanti kita makan," kata Bun Cong- Beng.
"Ah, terima kasih. Bun-beng," sahut Cu Jiang.
"Ai, Cu heng telah memberi budi besar kepadaku,
mengapa mengucapkan kata2 begitu."
"Hal itu sebenarnya hanya secara kebetulan saja. Aku tak
bermaksud hendak memberi budi apa2."
"Beristirahatlah, sebentar ayah tentu datang," baru Bun
Cong Beng mengucap begitu, Kui-jiu-sin-jinpun sudah
muncul dengan membawa sebuah peti obat.
Tanpa berkata apa2, dia terus menusuki seluruh jalan
darah pada tubuh Cu Jiang. Kemudian mengambil lima
butir pil yang berlain-lain warnanya, dimasukkan kemulut
Cu Jiang. Begitu masuk kedalam perut, serentak timbullah suatu
aliran panas yang tersebar ke seluruh tubuh. Terakhir
mencurah ke lengan kanan Cu Jiang.
Linu, kesemutan, sakit dan gatal, serempak bertukaran
dalam tubuh Cu Jiang sehingga dia tak tahan dan
mengerang-erang. Beberapa saat kemudian rasa sakit yang
sukar ditahan itu pelahan-lahan mulai mengalir kebawah
lengan, ke siku lalu ke pergelangan tangan, Dan terakhir
mengumpul di Jari telunjuk. Ketika Cu Jiang memandang
ke tempat itu, ia terkejut.
Ternyata jari tengahnya bengkak sampai lipat dua
besarnya dan berwarna hitam.
Kui-Jiu- sin-jiu mengambil sebuah pisau tajam lalu
memegang tangan Cu Jiang. Sementara Cong Beng
mengambil sebuah baskom kumala ditaruh dibawah. Begitu
pisau membelek jari tengah maka darah bercampur air
hitam segera mengucur keluar.
Dan Cong Beng lalu menampung kucuran darah hitam
kedalam baskom. Setengah jam kemudian, Jari tengah itupun pulih
bentuknya seperti semula dan Kui-jiu-sin-Jin lalu berkata:
"Sudah selesai !"
Keringat Cu Jiang membanjir keluar. Rasa sakit reda
tetapi orangnyapun pingsan.
Ketika sadar, lampu sudah menyala. Cu Jiang rasakan
badannya segar. Turun dari ranjang, meja didepan ranjang
sudah tersedia nasi dan lauk pauk. Sedang Cong Beng
tampak berdiri dibelakang meja dan tertawa:
"Cu heng kau tentu lapar. Silahkan makan seadanya..
Kami hanya dapat menyediakan masakan kasar, harap
jangan marah." Cu Jiang mengucapkan terima kasih atas budi kebaikan
kedua ayah dan puteranya itu.
Selesai makan. Cu Jiang memperhatikan agaknya Cong
Beng hendak berkata tetapi ragu2.
"Bun - heng, silahkan apabila hendak berkata kepadaku."
"Aa, hanya suatu keinginan yang gila karena hendak
mengetahui rahasia orang. Tetapi kalau memang tidak
leluasa, tak perlu anda menceritakan..."
"Tak apa, katakanlah."
"Tempo hari karena tergopoh-gopoh berpisah, sampai
lupa menanyakan nama anda."
"Namaku Cu Jiang, ayahku adalah mendiang Dewa-
pedang Cu Beng Ko.. ."
Bun Cong Beng melonjak bangun dari duduknya dan
berseru kaget: "O. anda ini putera dari Dewa-pedang. Ah, maaf aku
perlakuanku kurang hormat."
"A., janganlah Bun-heng mengatakan begitu."
"Pada waktu akhir2 ini dunia persilatan digemparkan
dengan munculnya seorang tokoh Toan-kiam-jan-jin,
apakah..." "Memang aku sendiri."
"Oh," Cong Bun makin terkejut penuh rasa kagum, "Cu
heng, apakah ayahmu sudah meninggal ?"
"Ya," Cu Jiang menyahut sedih, "telah dicelakai oleh
musuh. Seluruh keluarga habis terbunuh, hanya tinggal aku
seorang." "Ah, maafkan kelancanganku sehingga menyinggung
perasaan Cu-heng..." baru Cong Bun berkata begitu, tiba2
sesosok tubuh berkelebat dan tahu2 muncullah Kui-Jiu sin-
Jin. "Ho. engkau anak dari Cu Beng Ko?"
Cu Jiang gopoh2 memberi hormat dan mengatakan.
"Kabarnya Cu Beng Ko sudah mengundurkan diri dari
dunia persilatan dan hidup ditempat yang sepi. Lalu
bagaimana peristiwa itu?"
"Ayah menyembunyikan diri karena hendak menghindari musuh. Tetapi musuh tetap mencarinya "
"Siapa musuh ayahmu?"
"Sedang wanpwe selidiki."
"Sebelum dia menyembunyikan diri, aku pernah bertemu
muka dengan ayahmu.... berapa orang saudaramu ?"
"Wanpwe mempunyai seorang adik lelaki dan seorang
adik perempuan. Tetapi keduanya juga ikut dibunuh
musuh." "Engkau putera yang sulung?"
"Ya." "Berapa umurmu sekarang?"
"Hampir dua-puluh."
Kui Jiu-sin jin terkejut.
"Kuingat jelas waktu engkau masih kecil wajahmu amat
tampan. Mengapa sekarang berobah begitu rupa ?"
Cu Jiang mengertak gigi. Dia lalu menuturkan semua
peristiwa yang telah dialaminya. Mendengar kisah yang
menyedihkan itu Kui jiu sin Jin sampai menitikkan dua
butir airmata. "Walaupun berwatak aneh, tetapi orang tua ini
sebenarnya seorang yang halus perasaannya," diam2 Cu
Jiang membatin. "Mari kita duduk," kata Kui-Jiu sin Jin. Mereka bertiga
lalu duduk. "Aku dan ayahmu mempunyai tali persahabatan yang
karib. Boleh dikata hanya dialah satu-satunya orang yang
tahu akan perangaiku. Sungguh tak nyana kalau dia sampai
tertimpa nasib semalang itu, Tak apa, aku akan
memberikan bantuan

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekuat kemampuanku untuk memulihkan wajahmu kembali seperti sediakala!" kata Kui-
jiu-Sin-Jin. O0odwo0O Bukan kepalang kejut Cu Jiang saat itu. Dia hampir tak
percaya akan pendengarannya saat itu. Suatu hal yang tak
pernah ia mengimpikan, bahkan mengharappun tak pernah
terlintas dalam benaknya.
"Mengembalikan wajahku seperti bermula?" ia mengulang dengan nada gemetar.
"Ya." "Tetapi.... sudah begini cacad .... "
"Engkau percaya kepadaku atau tidak ?"
"Wanpwe . .. hanya ... hanya . .. keliwat tak menduga."
"Apakah nama Kui - Jiu - sin - Jin itu hanya gelar kosong
saja ?" Kui-Jiu sin-jin artinya Manusia-dewa-bertangan-setan.
"Ya, ya, maafkan wanpwe," Cu Jiang tak dapat berkata
apa2 lagi karena diluap oleh rasa girang yang tak terhingga.
"Wajah dan kaki kirimu itu harus dikerjakan lagi dengan
ilmu pembedahan." "Pembedahan ?" "Benar," kata Kui-jiu-sin-jin, "tulang yang patah dapat
disambung tetapi muka yang rusak itu harus diganti dengan
kulit daging yang diambilkan dari tubuhmu."
"Ah," Cu Jiang mendesah penuh keheranan. Baru
pertama kali itu dia mendengar tentang ilmu pembedahan
yang begitu mengagumkan. "Dan untuk menyelesaikan pembedahan itu harus
memerlukan waktu seratus hari," kata Kui-jiu-sin jin pula.
"Wanpwe .... entah dengan kata apa harus menghaturkan terima kasih ...."
"Tak perlu. Anggap saja bahwa aku telah melakukan
sesuatu terhadap sahabatku lama."
Demikian dengan ilmu pengobatannya yang sakti, Kui-
jiu-sin-Jin mulai membedah wajah Cu Jiang. Semua bekas
noda dan luka, dihilangkan kemudian ditambal dengan
kulit dan daging pada bagian lain dari tubuh anak muda itu.
Kakinya yang pincangpun mengalami operasi dan
sambung tulang. Selama mendapat pengobatan itu, tiada
lain pekerjaan bagi Cu Jiang kecuali hanya tiduran. Dan
waktu2 beristirahat itu dipergunakan untuk merenungkan
dan memecahkan bagian terakhir dari kitab Giok kah-kim-
keng yalah bagian pelajaran kim kong-sin-kang-lip-bun.
Tenaga sakti Kim-kong-sin-kang itu tak dapat diselesaikan dalam latihan sehari dua hari tetapi harus
menggunakan waktu yang lama, perhatian yang tekun dan
latihan2 yang giat. Demikian tak terasa seratus hari telah lewat. Pada hari
itu Kui Jiu sin Jiu membuka kain pembalut muka Cu Jiang.
Entah bagaimana gemetar juga tangan orang tua itu.
Rupanya tabib sakti itu juga merasa kasihan atas
nasibnya dan kagum atas kegagahannya menghadapi segala
bahaya dan musuh-musuh yang ganas itu.
Cong Beng memberikan sebuah cermin dan suruh Cu
Jiang melihat wajahnya. Waktu berkaca, Cu Jiang menjerit
kaget, heran dan gembira. Wajahnya yang semula penuh
bintik dan noda2 luka yang menyeramkan pandang mata,
kini telah berobah halus dan tampan seperti dulu lagi.
Air matanya berderai-derai dan tubuhnya gemetar keras.
Serentak memandang kearah Kui Jiu sin-jin dia terus
berlutut: "Terima kasih atas budi besar yang cianpwe limpahkan
kepada wanpwe." Kui jiu sin-jin mengangkatnya bangun.
"Tak usah mengatakan begitu. Selama hidup aku hanya
melakukan pekerjaan yang kusenangi dan juga tak pernah
meminta pertolongan orang. Tetapi..."
"Mohon cianpwe suka memberi petunjuk."
"Setelah turun gunung, lakukan suatu pekerjaan
untukku." "Baik, mohon cianpwe katakan apa yang harus wanpwe
lakukan nanti." "Bunuhlah Ciam Su Nio "
Cu Jiang teriak kaget. Ia memandang Bun Cong Beng
lekat2. Dilihatnya pemuda itu juga mengeretak geraham.
Cu Jiang bingung Betapapun tidakkah ketua Hoa Gwat
bun yang bernama Cian Su Nio itu ibu dari Bun Cong Beng
" Betapapun bencinya, tetapi mereka tetap terikat suatu
hubungan darah. Cu Jiang merasa bahwa peristiwa dalam dunia ini,
memang aneh dan penuh dengan segala kemungkinan yang
tak mungkin.. Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok minta tolong kepadanya
untuk membunuh istri dan mencari anak perempuannya.
Kini Kui-jiu sin-jin juga minta tolong kepadanya supaya
membunuh isterinya. Kedua tokoh itu sama dikhianati oleh
istrinya yang menyeleweng.
Melihat Cu Jiang diam saja, Kui-Jiu sin jin segera
menegur: "Sama sekali bukan karena pernah menolong kepadamu
maka aku terus minta tolong padamu. Aku takkan
memaksa. Kalau engkau tak mau, pun tak mengapa."
"Bukan begitu maksud wanpwe."
"Lalu bagaimana?"
"Tetapi bukankah Ciam Su nio itu .... isteri cianpwe
sendiri?" "Ha, ha, ha, ha .. . isteriku yang pertama sudah
meninggal ketika melahirkan Cong Beng. Itu waktu aku
belum berhasil mempelajari ilmu pengobatan, jika tidak,
tentulah dapat menyelamatkan jiwanya . . .."
"O, begitu. Baik, wanpwe akan melakukan perintah
cianpwe." "Bukankah engkau ingin lekas2 tinggalkan tempat ini?"
Merah muka Cu Jiang, sahutnya.
"Maaf, cianpwe. Memang wanpwe masih banyak
urusan" "Tak perlu mengemukakan alasan," sahut Kui-jiu-sin-Jin,
"akupun takkan menahan engkau. Tetapi . . . pintu Mo jin-
koh ini selalu terbuka untukmu. Setiap saat engkau boleh
datang kemari!" Cu Jiang membungkukkan tubuh dan menghaturkan
terima kasih. "Cu heng, kuminta engkau datang lagi supaya kita dapat
bercakap-cakap dengan puas," kata Cong Beng.
Cu Jiang mengiakan. "Silahkan berangkat." kata Kui jiu sin jin. Kemudian dia
suruh Ceng Beng mengantarkan ke luar. sambil berkata dia
terus masuk ke dalam. Setelah mengambil barang-barangnya dan pedang
kutung, Cu Jiang lalu mengajak Cong Beng menuju ke luar
lembah. Karena waktu dalam keadaan tak sadar dan dibopong
Cong Beng, ia tak tahu jelas keadaan lembah itu.
Kini barulah dia sempat melihatnya. Ternyata lembah itu
penuh dengan batu2 yang berbentuk aneh. Juga pohon2
aneka warna yang diantarnya Cu Jiang tak tahu namanya.
Tetapi dia tahu bahwa batu dan pohon2 itu merupakan
barisan yang melindungi lembah.
Sedangkan bunga2 yang menonjol warnanya itu
mengandung racun. Orang luar yang berani gegabah
masuk, tentu akan mati. Cong Beng memberikan sebutir pil.
"Harap Cu heng telan pil penawar racun ini. lembah ini
penuh dengan hawa dan tanaman beracun. Kelak kalau
datang kemari, harap Cu Jiang berseru memanggil aku."
Cu Jiang mengiakan dan menelan pil itu.
Memang dunia ini penuh dengan segala keanehan. Jika
waktu masuk dia seorang pemuda yang berwajah buruk dan
rusak, kakipun pincang, tetapi kini dia kembali utuh lagi
sebagai pemuda yang berwajah tampan dan tidak pincang.
Sedemikian tegang perasaan Cu Jiang saat itu sehingga
dia tak dapat berkata-kata.
"Bun-heng, berkat budi pertolongan dari ayah Bun-heng
yang dengan kepandaian sakti telah dapat memulihkan aku
sebagai seorang manusia yang dapat berjalan tegak di
dunia, aku sungguh tak mengerti bagaimana kelak aku
harus membalas budinya."
Bun Cong Beng tertawa: "Hendaknya jangan Cu heng mengatakan begitu. Jika
Cu-heng tempo hari tidak menolong aku, bagaimana
mungkin saat ini aku masih hidup di dunia" Maaf ada
sedikit pertanyaan yang ingin ku ketahui. Tetapi tak tahu
apakah layak pertanyaan itu kuajukan kepada Cu-heng?"
"O. silakan. Tak perlu sungkan!"
"Mengenai benda yang mempunyai daya kekuasaan
besar sehingga begitu Cu heng memperlihatkan, hu hwat
dari Gedung Hitam itupun menurut perintah. Sebenarnya,
benda apakah itu ?" "Oh. itu hanya pemberian dari seorang nona yang
bernama Ki Ing. Aku sendiri sampai sekarang belum jelas
asal usul nona itu."
"Baiklah, tak perlu kita bicarakan soal itu," kata Cong
Beng yang sementara itu sudah dimulut lembah. Dia
berhenti. "Cu-heng, maaf, aku tak dapat mengantar lebih jauh.
Harap Cu-heng menjaga diri baik2 dan sampai jumpa lagi !"
Keduanya saling memberi hormat perpisahan. Setelah
mengantar pandang Cu Jiang beberapa jenak, barulah Cong
Beng kembali kedalam lembah.
Pelahan-lahan Cu Jiang berjalan. Hatinya penuh
kegembiraan yang tak dapat dilukiskan. Kini dia dapat
berjalan seperti orang biasa lagi.
Tiba2 matanya tersentak sebuah pemandangan yang
mengejutkan, Diantara rumput belukar tampak beberapa
sosok mayat, ia maju menghampiri dan memeriksa. Ah,
ternyata korban2 itu mengenakan pakaian hitam.
Diantaranya ada dua orang yang memakai mantel hitam
dan seorang orang biasa. Tak terdapat suatu luka apapun
pada tubuh mereka kecuali hanya sebuah bekas warna
merah pada alis mereka. "Telapak Jari terbang!" teriak Cu Jiang. Apakah Ang Nio
Cu masih belum meninggalkan lembah ini " Jelas korban2
ini dia yang membunuhnya. Demikian ia menimang-
nimang. Anak buah Gedung Hitam datang ke lembah ini. Apakah
tujuan mereka " Cu Jiang segera teringat akan peristiwa Gedung Hitam
menangkap Bun Cong Beng dan memaksanya supaya
menyerahkan kitab pusaka Sin-long-po-lian milik Kui jiu-
sin jin. Tidakkah kedatangan mereka ke lembah itu juga
karena hendak memburu kitab pusaka itu"
Ia merasa telah menerima budi pertolongan besar dan
Kui jiu-sin jin Sudah tentu dia tak dapat berpeluk tangan
mengawasi peristiwa itu. Sekonyong-konyong ia mendengar debar pakaian tertiup
angin. Cepat iapun menyelinap bersembunyi di balik batu
karang. Dan saat itu juga berhamburanlah bayang2 yang
bergerak seperti hantu cepatnya.
"Hai ....!" terdengar teriakan dari sosok tubuh itupun
serempak berhenti. Mereka terdiri dari lima orang Pengawal
Hitam dan empat orang tua berbaju hitam. Rupanya
keempat orang baju hitam itu mempunyai kedudukan tinggi
dalam Gedung Hitam. Cu Jiang memandang dengan seksama. Keempat orang
baju hitam itu yang tiga bertubuh tinggi besar, agaknya dia
pernah melihat wajah mereka. Sedang yang seorang
bertubuh pendek. Salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera
berseru. "Mati semua, hah, hah, heh, Kui-jiu-sin jin berani
menggunakan tangan beracun..."
"Bukan makhluk tua itu yang turun tangan." Seru salah
seorang kawannya. "Lalu siapa ?" "Ang Nio Cu. wanita iblis yang selalu memusuhi itu !"
"Hah ! ilmu Jari-terbang! Ya, benar, memang wanita
busuk itu..." "Mengapa dia juga muncul disini ?"
Dalam pada itu Cu Jiang mengingat-ingat untuk
mengenal kembali mereka. Tiba2 ia tersadar dan tahu siapa
ketiga orang baju hitam itu.
Seketika hawa pembunuhan meluap, darah bergolak-
golak seperti meledakkan dadanya. Ketiga orang itu bukan
lain adalah manusia aneh yang dulu telah menghantam dia
sampai terlempar kedasar jurang.
Cepat ia mengenakan kedok muka dan terus muncul dari
balik karang. "Ada orang !" "Hai, siapa itu !"
"Ah, Toan-kiam-jan-Jin!"
Hiruk pikuk ucapan dan teriakan kaget itu segera diiring
dengan menumpahkan berpuluh mata kearah diri Cu Jiang.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Jiang memutuskan bahwa dia tetap hendak
mempertahankan diri dalam wajah Toan-kiam jan-jin.
Dengan kaki terpincang-pincang ia maju menghampiri.
"Tak kira kalau si invalid ini juga berada di sini." gumam
si tua pendek dengan gemetar.
"Kita bersama-sama kerjai dia," seru orang tua baju
hitam yang pertama tadi. Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiangpun sudah tegak
berhadapan dengan mereka. Kelima Pengawal Hitam
serempak menyingkir tetapi tetap siapkan pedangnya.
Keempat orang tua baju hitam itu segera berpencar dan
membentuk formasi setengah lingkar busur. Kecuali hanya
si tua pendek yang menggunakan pedang, yang tiga orang
tetap bertangan kosong. Cu Jiang curahkan pandang kepada ketiga lelaki tua
tinggi besar. Dendam kesumat yang menyusup sampai ke
tulang sunsum, membuat Cu Jiang seperti bara api yang
panas. Ketiga lelaki tinggi besar itu sampai gentar dan menyurut
selangkah. "Toan kiam jan jin, sungguh beruntung kita berjumpa
lagi." salah seorang berseru.
Dengan tegas, Cu Jiang berseru sepatah demi sepatah:
"Mulai saat ini, setiap orang yang termasuk anak buah
Gedung Hitam, harus membayar lunas semua dosa-
dosanya!" Salah seorang lelaki tinggi besar itu tertawa aneh:
"Toan kiam jan jin, jangan bermulut besar. Hari ini
engkaulah yang pasti mati!"
"Lekas beritahukan nama kalian!" bentak Cu Jiang.
"Ha, ha, ha, ha ..... " keempat lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu serempak tertawa keras. Mereka lalu berkisar
langkah untuk menduduki tempat masing2.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan nasehat Thian put thou
tempo hari. Apabila berhadapan dengan musuh harus
memperhatikan beberapa hal:
"Jangan kasih kesempatan pada lawan. Jangan ragu2
turun tangan . . . ."
-oo0dw0oo- Jilid 16 SAAT itu, dia akan mematuhi nasehat Thian put thou.
Dia takkan membiarkan musuh musuhnya itu sampai lolos.
Serentak ia menggembor dan terus menyerang. Antara
mencabut pedang dan menyerang itu hampir terjadi pada
waktu yang serempak. Keempat lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu benar2 tak mempunyai kesempatan lagi untuk
bergerak. "Huak " terdengar jeritan ngeri disusul dengan darah
yang muncrat ke empat penjuru. Si tua pendek itu lengan
putus kepalanya terbang lalu rubuh seketika.
Ketiga lelaki bertubuh tinggi besar meraung dan
serempak menghantam. Cu Jiang menahan dengan pedang
kutungnya. Ketika angin pukulan dan pancaran hawa pedang saling
beradu, terdengarlah letupan yang keras. Cu Jiang masih
juga tegak berdiri di tempatnya, tetapi ketiga lelaki tinggi
besar itu terdorong mundur selangkah.
Kerut wajahnyapun berobah, matanya memberingas
buas. Sementara kelima Pengawal Hitam yang berada di
luar gelanggangpun sudah pucat mukanya.
"Masih ingat akan peristiwa berdarah di gunung Bu leng
san dulu?" seru Cu Jiang.
Ketiga lelaki tinggi besar itu menggigil. Salah seorang
berteriak. "Siapakah engkau ini sesungguhnya ?"
"Pelajar baju putih yang pernah kalian hantam sehingga
terlempar ke dasar jurang dulu !"
"Engkau pelajar baju putih itu ?" ketiga lelaki tinggi besar
itupun serempak menjerit kaget.
"Siapa diriku sudah kuterangkan." Kata Cu Jiang. "kalau
kalian mati tentu sudah tak penasaran. Kuharap kelak kalau
kalian menitis jadi manusia, supaya jangan lagi tersesat ke
jalan yang gelap..."
"Serbu !" serempak ketiga lelaki tinggi besar itupun, maju
menyerang.. Sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik jeritan
ngeri. Salah seorang dari ketiga lelaki tinggi besar itu rubuh
ke tanah. Cu Jiang juga menderita bahunya berguncang-guncang
keras karena dilanda angin pukulan ketiga lawannya. Tetapi
dia tak mau memberi ampun lagi. Ia taburkan pedangnya
kepada lawan yang berada di sebelah kanan.
Dia menyerang dengan penuh dendam kesumat dan
menggunakan seluruh tenaganya. Jurus Thian-te-kau-thay
atau ilmu pedang Langit-bumi-terangkap, dilancarkan
dengan hebat. "Huaakk" Terdengar pula jeritan ngeri dan lelaki tua yang berada
disebelah kanan, tanpa sempat mengeluarkan suara terus
rubuh bermandi darah. Melihat gelagat berbahaya, lelaki yang disebelah kiri
terus loncat mundur dan melarikan diri.
"Hai, hendak lari kemana engkau !" teriak Cu Jiang
seraya loncat menaburkan pedang. Tubuh lelaki baju hitam
itupun terhuyung jatuh terduduk, tubuhnya berkubang
darah segar. Melihat peristiwa sengeri itu, kelima Pengawal Baju
Hitam pecah nyalinya. Mereka serempak lari.
Karena kakinya sudah sembuh maka Cu Jiang dapat
bergerak dengan leluasa sekali. Percuma saja kelima
Pengawal Hitam itu akan melarikan diri. Susul menyusul
terdengar jeritan ngeri dari tubuh2 yang rubuh dan terpental
sampai dua tiga tombak. Cu Jiang hentikan kejaran dan kembali ketempat
keempat lelaki tua tadi. Dan empat orang yang mati tiga
dan yang terluka satu. Memang Cu Jiang sengaja hendak
menyisakan seorang untuk ditanya keterangan.
Menghampiri ketempat orang tua yang tak dapat berdiri
itu, Cu Jiangpun membentaknya:
"Kuharap engkau mau menjawab dengan terus terang
beberapa patah pertanyaanku ini!"
Lelaki tua itu mengangkat muka dan memandang Cu
Jiang dengan deliki mata, serunya:
"Apakah engkau benar pelajar baju putih dulu ?"
"Benar, putera dari Dewa-pedang !"
"Engkau tidak mati ?"
"Anggaplah belum ditakdirkan mati! Karena kalau aku
mati, keadilan dan kebenaran, dalam dunia persilatan tentu
akan hancur lebur ditangan manusia2 seperti engkau !"
"Bagus . . . budak kecil, aku menyerah, lekas bunuhlah
aku ..." "Tidak seenak itu !"
"Lalu engkau hendak mengapakan aku ?"
"Beritahu namamu lebih dulu!"
"Ya, tak apa. Aku dan kawan-kawanku itu adalah
pengawal dan istimewa dari Gedung Hitam . . ."
"Pengawal Istimewa ?"
"Ya." "Siapakah yang menjadi biang keladi dari peristiwa
berdarah di gunung Bu-leng-san dahulu. Berapa orang yang
ikut dalam peristiwa itu ?"
"Engkau kira aku mau memberitahu ?"
"Tentu !" "Engkau mimpi . . ."
"Yang ngimpi mungkin engkau !" tiba2 Cu Jiang
jentikkan jari, menutuk jalan darah orang itu. Dia meraung
keras, wajahnya pucat lesi.
"Sekarang engkau mau memberi keterangan atau tidak.
Tak mungkin engkau akan bunuh diri," kata Cu Jiang
dengan bengis. Tetapi lelaki tua itu rupanya memang nekad, teriaknya
kalap: "Walaupun engkau siksa aku dengan cara apa saja,
akhirnya akupun toh akan mati. Tetapi ketahuilah, budak
kecil, engkaupun takkan hidup lama didunia. Gedung
Hitam pasti akan membereskan engkau . . ."
"Kehancuran Gedung Hitam sudah di depan mata!"
"Budak, engkau ngimpi. Gedung Hitam itu sekokoh
gunung baja, penuh dengan jago2 sakti. Dengan
mengandalkan...." "Jangan banyak mulut, lekas jawab pertanyaanku !"
bentak Cu Jiang. "Tidak !" "Engkau menginginkan mati dengan dikerat sepotong-
sepotong ?" "Terserah!" Cu Jiang ulurkan tangan kiri lalu mencengkeram bahu
orang, diangkat dan dibentak. "Engkau mau bilang atau
tidak !" Walaupun Menghadapi kematian tetapi wajah orang tua
itu tetap tak berobah. Dia mengertek gigi dan menjawab
tandas. "Tidak !" Cu Jiang marah sekali, Ia keraskan cengkeramannya
sehingga daging orang itu remuk. Tetapi lelaki tua itu tetap
tak mengerang, melainkan hanya deliki mata.
Cu Jiang geregetan sekali. Ia mencabut pedang kutung
dan berseru: "Apakah engkau benar2 tak mau bilang?"
"Tidak !" Cu Jiang mendengus geram. Ia tusukkan pedangnya
pelahan-lahan menembus tulang bahu orang itu. Orang itu
mengerang ngeri. Mukanya tak ubah seperti binatang buas
yang sedang menderita. "Bilang atau tidak ?"
Cu Jiang memutar pedangnya. Betapapun kuatnya orang
tua itu tetapi setelah ilmu kepandaiannya dihancurkan, dia
tentu tak tahan lagi menderita siksaan yang sedemikian
hebat. "Bunuh.... bunuhlah .... aku ....!"
"Tidak seenak itu!"
"E.... uh auh . .. ."
Percuma engkau mengerang dan merintih.
"Aku akan menyuruhmu mati secara perlahan, seiris
demi seiris, akan kusayati tubuhmu."
Karena menahan kesakitan yang tak tertahan, mata
orang tua itu sampai melotot ke luar.
"Bilang," bentak Cu Jiang. "siapa saja yang ikut pada
peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san dahulu. Apa
maksud mereka" biang keladinya jelas tentu ketua Gedung
Hitam, majikan kalian itu!"
Namun orang tua itu tetap mengatupkan mulut kencang2
dan tak mau berkata apa2.
Akhirnya Cu Jiang memutuskan percuma saja ia
menekan orang itu. Hanya membuang waktu saja. Karena
jelas musuh utamanya adalah ketua Gedung Hitam. Sekali
ia putar pedang, tubuh orang itu pun terbelah menjadi
beberapa potong. Setelah membasmi anak buah Gedung Hitam itu semua,
ia berdiri tegak dan acungkan pedang lurus ke muka seraya
memanjatkan doa: "Ayah dan mamah yang berada di alam baka, harap
menyaksikan anak akan mulai melakukan pembalasan!"
Setelah memasukkan pedang, ia menengadah memandang matahari. Saat itu matahari sudah mulai
condong ke barat. Akhirnya ia memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan agar besok pagi sudah keluar dari
gunung. Tetapi pada saat ia berputar tubuh, tiba2 terdengar
sebuah suara melengking: "Ih, puas ya melakukan pembunuhan?"
Cu Jiang segera dapat mengenali suara itu sebagai Ang
Nio Cu Cepat dia berputar menghadap kearah pendatang
itu. "Mengapa anda masih belum meninggalkan gunung Bu-
san ini?" "Tentu saja aku tak mau bekerja kepalang tanggung,
setelah menyerahkan engkau kepada Kui jin-sin jin terus
angkat kaki begitu saja!"
"Anda tentu menunggu sampai tiga bulan?"
"Hm, kiranya engkau dapat menghitung waktu dengan
tepat!" Tak tahu Cu Jiang bagaimana hendak menyatakan rasa
terima kasihnya kepada wanita itu.
"Budi anda sampai akhir hayatku kiranya masih belum
dapat kuhimpaskan." katanya dengan nada gemetar.
Ang Nio Cu tertawa. "Tak ada orang yang mengharap pembalasan budi
darimu. Dan tak perlu mengucapkan tentang budi
pertolongan segala. Asal kelak engkau mencintai isterimu
Ho Kiong Hwa, berarti engkau sudah membalas budi
kepadaku. Dapatkah engkau melakukan hal itu?"
Tergerak hati Cu Jiang mengapa Ang Nio Cu begitu
memperhatikan sekali si dara baju hijau Ho Kiong Hwa.
Apa hubungan kedua wanita itu"
Ia termenung-menung memikirkan. Bahwa kali ini
andaikata dia tak mendapat obat dan mati karena racun itu,
bukankah Ho Kiong Hwa menjadi seorang janda yang
belum dinikah. Diam2 ia menggigil dan serentak menyahut. "Tentu!"
"Kuhaturkan selamat atas pulihnya kembali kakimu yang
pincang dan wajahmu yang cacad."
"Oh apakah anda tahu?"
"Anak dari makhluk aneh itu yang mengatakan. Kalau
tidak masakan aku bersabar menunggu sampai seratus
hari."

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, lalu lo-koko . . ."
"Dia juga masih berada di gunung ini menunggu
engkau!" "Di mana dia sekarang?"
"Di gua hati puncak Sin li hong."
"Jika begitu, aku harus menemuinya." teriak Cu Jiang.
"Tunggu dulu!" "Anda mau menugaskan apa lagi" "
"Jika mayat2 ini tidak disingkirkan, tentu akan memberi
akibat yang hebat kepada si mahluk tua apabila dia
menerima pembalasan . . ."
"Ah, benar. Aku hampir melupakan hal itu. Akan
kusingkirkan mereka ..."
"Tak usah. biar kusuruh anak buahku yang mengurus
mereka." "Ah, mana aku berani membikin repot..."
"Tak usah mengatakan begitu. Tetapi bolehkah aku
melihat wajahmu yang sekarang?"
Walaupun bertukar pembicaraan tetapi saat itu Ang-Nio
Cu tidak menunjukkan diri dan bersembunyi di balik
sebuah batu pada jarak tiga tombak dari tempat Cu Jiang.
"Mengapa tak boleh." seru Cu Jiang terus membuka
kerudung mukanya. "Aa, sungguh tak bernama kosong mahluk aneh itu
digelari sebagai Kui-jiu-sin jin. Dia seperti dewa yang dapat
merobah kodrat alam. Benar2 wajahmu sama seperti dulu
sebelum rusak! " Ang Nio Cu berteriak terkejut.
Cu Jiangpun menutup kembali kain kerudung. Lalu ia
meluapkan kata2 yang sudah lama tersimpan dalam
sanubarinya: "Apakah aku boleh melihat wajah anda?"
Rupanya Ang Nio Cu sudah menduga hal itu.
"Tidak bisa." serunya cepat.
"Ini . . . apakah adil?"
"Harap engkau bersabar. Kelak pada suatu hari engkau
pasti tahu. Sekarang belum waktunya."
"Mengapa?" "Sudah tentu aku mempunyai kesulitanku sendiri."
"Baiklah, sekarang tak perlu dibicarakan. Tetapi aku
hendak mohon tanya sebuah hal..."
"Silahkan bilang. "
"Apakah hubungan anda dengan Ho Kiong Hwa?"
"Hem." Ang Nio Cu mendehem lalu merenung.
Beberapa saat kemudian baru berkata lagi, "erat sekali
hubungannya tetapi belum waktunya memberitahu kepadamu." "Di manakah dia sekarang?"
"Engkau hendak bertemu kepadanya?"
Merah wajah Cu Jiang. "Atas bantuan anda untuk merangkapkan perjodohan
ini, aku . . . seharusnya menanyakan tentang keadaannya . .
." Ang Nio Cu tertawa. "Rupanya sekarang baru engkau memperhatikan dirinya?" "Aku..." suara Cu Jiang tersendat-sendat, "sekalipun . .
memperhatikan juga ..."
"Dia sehat tak kurang suatu apa." tukas Ang Nio Cu.
"harap engkau jangan kuatir. Meski-pun dia bertubuh lemah
tetapi berbudi luhur. Dia tak seperti muda-mudi yang selalu
ingin bercumbu rayu. Saat ini diapun tak mengharap
bertemu dengan engkau. Silakan engkau melanjutkan apa
saja yang menjadi tujuanmu."
"Aku berterima kasih atas pengertiannya."
"Tak usah." "Masih ada sebuah hal lagi yang rasanya kurang layak
...." "Kalau tahu kurang layak, mengapa hendak engkau
katakan!" "Karena terpaksa . . ."
"Katakanlah !" "Kepada anda aku harus menggunakan sebutan apa yang
sesuai ?" "Oh, engkau maksudkan hal itu .. . Ai, menyebut anda,
apakah tidak sesuai ?"
"Kurang tepat dan tak sesuai!"
"Kalau begitu, panggil saja toa-ci !"
"Toaci !" Cu Jiang diam2 terkejut. Dengan begitu
tentulah Ang Nio Cu itu masih muda.
"Bagaimana " Apakah kurang tepat ?"
"Bagus sekali!"
"Dan akupun memanggil sebagai siaute:"
"Terserah saja kepada toaci."
"Ha. ha, ha, ha " Ang Nio Cu tertawa gembira. Cu Jiang
memperhatikan bahwa nada tawa Ang Nio Cu itu lebih
cerah dan bening dari apabila dia berkata-kata. Dengan
begitu jelas pada waktu berbicara, Ang Nio Cu tentu
menggunakan tenaga-dalam untuk merobah nada suaranya.
Suara itu jelas bukan suaranya yang aseli. Dengan begitu
dapatlah Cu Jiang menduga bahwa sebenarnya Ang Nio Cu
masih seorang nona muda. "Kabarnya toaci adalah murid pewaris dari perguruan
Hiat-ing-bun ?" "Soal itu aku tak menyangkal."
"Hiat ing-bun merupakan perguruan yang paling rahasia
dalam dunia persilatan di daerah Tiong goan. Selama ini
tak pernah ikut serta dalam pergerakan apa saja dari partai2
persilatan. Maka tentu ada sebabnya toaci bergerak
melawan kekuatan Gedung Hitam."
"Tentu! Orang tidak mengganggu aku. aku pun takkan
mengganggu orang. Demikian pendirian perguruan kami . .
." "Lalu apa sebabnya toaci sampai bertindak melawan
Gedung Hitam ?" Tiba2 nada suara Ang Nio Cu berobah sember dan
rawan. "Ketua perguruan kami yang dulu bersama dua orang
murid, telah dicelakai oleh ketua Gedung Hitam maka
akupun hendak menuntut balas !"
"Jika begitu toaci mempunyai dendam permusuhan yang
sama seperti aku." "Soal itu sudah kuketahui ketika engkau bertukar jawab
dengan pengawal istimewa Gedung Hitam tadi !"
"Apakah toaci pernah tahu bagaimana wajah yang
sesungguhnya dari ketua Gedung Hitam?"
"Tidak tahu. Durjana itu memang hebat sekali. Tidak
mudah untuk mengetahui wajahnya yang aseli."
"Setelah turun dari gunung ini, aku terus hendak menuju
ke Gedung Hitam." "Engkau tahu dimana letak Gedung Hitam?"
"Kudengar terletak di tengah gunung Keng-san, tentu tak
sukar untuk mencarinya."
"Ditengah gunung Keng san ?"
"Ya." "Tak mungkin engkau dapat mencarinya!"
"Kenapa?" "Kepergianmu ini tentu sudah diketahui musuh dan
merekapun tentu sudah bersiap-siap menghadapi engkau!"
"Ya, benar." "Lebih baik serahkan pekerjaan itu kepadaku saja."
"Tetapi toaci tak tahu jelas keadaan dan letak markas
mereka yang tepat. Keng-san itu amat luas sekali, tentu
memakan waktu lama sekali untuk mencarinya. Aku akan
menempuh perjalanan pada waktu malam dan kalau siang
beristirahat. Juga penyelidikan akan kulakukan secara
rahasia." "Baiklah, aku akan membantumu secara bersembunyi. "
"Jika begitu aku ingin menemui lo-koko lebih dulu. "
"Silahkan. Urusan di sini akan kusuruh orang ku
mengurusnya." "Terima kasih atas bantuan toaci. "
Setelah kakinya sembuh maka Cu Jiangpun dapat
melakukan gerakan yang sebelumnya dia tak mampu
karena terhalang kakinya yang pincang. Sekali ayunkan
tubuh, dia terus meluncur dan lenyap dalam hutan.
Naik ke puncak Sin li hong, haripun sudah malam.
Bulan pudar, bintangpun samar. Sekeliling penjuru hanya
gunduk2 puncak. Cu Jiang diam2 mengingat-ingat Ketika
lo koko membawanya ke sebuah gua di gunung Bu-san.
Tetapi saat itu dia sedang terluka parah, ingatannya tak
terang sehingga tak dapat mengingat jelas letak gua itu.
Berbagai peristiwa terkenang dalam benaknya. Terutama
pengalaman yang diperolehnya di gunung Bu-san itu.
Kemudian diapun teringat bahwa diantara keanehan yang
aneh itu. tentang pertunangannya dengan Ho Kiong Hwa.
Ia sudah bertunangan tetapi ia tak merasakan hal itu.
Pikirannya tertumpah ruah pada dendam, kewajiban
untuk menuntut balas atas kematian ayah bundanya.
Ah, apabila toa suhengnya Ho Bun Cai masih hidup dan
menjabat congkoan dalam Gedung Hitam, dia tentu akan
mendapat bantuan berharga untuk menyingkap tabir
rahasia dari ketua Gedung Hitam dan komplotannya.
Yang membunuh Ho Bun Cai adalah Buddha-hidup
Sebun Ong. Apa tujuannya"
Dia heran mengapa seorang tokoh yang berilmu tinggi
seperti toa suheng Ho Bun Cai, sampai tak dapat membela
diri atau lolos dan harus menderita luka parah yang
menyebabkan harus menemukan kematian yang begitu
mengenaskan " Dendam kebenciannya terhadap Sebun Ong tak kalah
hebatnya terhadap ketua Gedung Hitam. Sungguh tak kira
bahwa ksatrya yang diagungkan sebagai Buddha hidup
dalam dunia persilatan itu ternyata seorang durjana besar.
Seekor harimau yang berselimut kulit domba.
Tengah dia melamun, tiba2 terdengar suara tawa yang
parau. "Lo-koko !" serentak Cu Jiang berseru girang.
Thian put thou loncat ke hadapan Cu Jiang.
"Adik kecil, siang malam aku berada di puncak untuk
menunggu. Akhirnya engkau datang juga."
"Lo koko, aku sungguh berterima kasih . . ."
"Ai, kebetulan aku sedang memanggang dua ekor ayam
hutan dan mempunyai sebotol arak. Hayo, kita makan
minum untuk menghangatkan badan . . ."
Mendengar itu seketika timbullah rasa lapar Cu Jiang.
Dia segera mengikuti Thian-put-thou lari turun gunung.
Tak berapa lama mereka tiba di gua tempat mereka berhenti
dulu. Dua ekor ayam sedang terpanggang di unggun api,
menyiarkan bau yang menggelitik perut. Setelah menambah
kayu bakar, hawa dalam gua itupun terang dan hangat.
Cu Jiang mengatakan bahwa dia lupa dan tak dapat
menemukan gua itu sehingga tadi dia berdiri termenung-
menung di puncak. Thian-put-thou tertawa lalu mengambil dua buah
mangkuk dan guci arak. "Adik kecil, hayo engkau seekor aku seekor, kita
ganyang sampai habis!"
"Dari mana lo-koko memperoleh arak?" Cu Jiang
terkejut. "Ini harus berterima kasih kepada Ang Nio Cu. Dialah
yang mengirim," Thian put-thou tertawa.
"Ah," kata Cu Jiang lalu membuka kain penutup
mukanya. "Hai...!" Thian-put-thou melonjak kaget dan menjerit
sehingga arak dalam mangkukpun tertumpah.
Cu Jiang juga ikut kaget tetapi cepat dia segera
menyadari hal itu, "Lo koko, wajahku sudah pulih kembali seperti dulu!"
segera dia memberi penjelasan.
Thian put-thou menatap wajah Cu Jiang sampai
beberapa saat. "Ho, si Pencuri-tua ini sudah hidup sampai begini tua
tetapi belum pernah mendengar peristiwa seaneh ini. Wajah
yang rusak dapat diperbaiki dan pulih lagi. Kui Jiu sin-Jin
benar2 manusia hebat sekali. Hayo, minumlah tiga cawan
yang kuhaturkan untuk memberi selamat kepadamu !"
"Lo koko, silakan duduk saja" Cu Jiang tertawa geli
melihat tingkah Thian put-thou yang bertubuh kecil pendek
dan berloncatan seperti seekor kera.
Demikian keduanya lalu duduk dan menikmati arak.
Baru pertama kali itu Cu Jiang meneguk arak keras.
Kemudian mereka mengganyang ayam panggang.
Selama makan dan minum itu Cu Jiang menuturkan
tentang pengobatan yang dilakukan Kui-jiu-sin-Jin kepadanya. Thian-put-thou tak habis herannya.
Sekonyong-konyong mereka mendengar suara harpa
berkumandang dari kejauhan.
"Aneh, di tengah malam pada tempat yang begini sepi
mengapa terdapat orang yang memetik harpa," kata Cu
Jiang. Tetapi Thian-put-thou tak menyahut. Rupanya semangatnya sedang terpikat oleh irama harpa itu.
Cu Jiang juga begitu. Dia rasakan semangatnya
melayang-layang dan hidungnyapun mulai basah.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba2 Thian-put-thou menutup telinganya dan berseru:
"Celaka, harpa iblis!"
Mendengar itu Cu Jiang tersentak kaget dan semangatnya yang melayang itupun sadar kembali. "Apa"
Harpa iblis?" teriaknya.
Thian-put-thou melepaskan tangannya.
"Itulah irama harpa iblis dari Bu san sin li." serunya.
"Apa" Bu-san sin-li?"
"Engkau tak pernah mendengar namanya?"
Cu Jiang tertawa nyaring.
"Apakah lo-koko hendak bercerita tentang dongeng raja
jin bertemu dengan bidadari dari gunung Bu-san . . . . "
"Sin-li itu bukan bidadari dalam dongeng yang itu! "
"Lalu apa" " Cu Jiang kerutkan alis.
Wajah Thian-put-thou mengerut tegang dan tangannyapun menutup telinganya lagi.
"Kalau bidadari itu masih hidup, umurnya tentu sudah
lebih dari seratus tahun. Barang siapa mendengar suara
harpanya, pasti akan mati. Adik kecil, ilmu tenaga-
dalammu memang hebat sehingga tak merasa apa2. Tetapi
aku lo koko ini ... . tak kuat bertahan diri . . . . "
Habis berkata dia terus pejamkan mata mengerahkan
tenaga murni untuk menahan daya-kesaktian suara harpa.
Saat itu suara harpa deras seperti kuda besi
mencongklang di medan peperangan. Penuh dengan hawa
pembunuhan. Cu Jiangpun merasa berdebar hatinya,
darahnya mulai bergolak. Dia terkejut lalu buru2 tenangkan
semangat. Diam2 ia ingin mengetahui siapa gerangan
wanita yang disebut Bu-san-sin-li itu.
Serentak dia keluar dari gua. Sejenak mendengarkan, ia
merasa bahwa suara harpa itu seperti berasal dari puncak
tempat dia mencari Thian-put-thou tadi.
Harpa melengking nyaring macam ujung pisau yang
menusuk ulu.hati. Karena menderita debar yang keras
terpaksa Cu Jiang mendekap telinganya.
Berapa saat kemudian suara harpa itu lenyap. Cu
Jiangpun segera lari menuju ke puncak. Tetapi apa yang
disaksikan di situ, benar2 mengejutkan hati.
Belasan sosok mayat malang melintang di tanah dengan
mulut, hidung, mata, telinga berlumuran darah. Jelas mayat
itu tentu mati karena suara harpa tadi.
Menilik pakaiannya, mereka adalah anak buah Gedung
Hitam untuk membantu rombongan anak buahnya yang
lebih dulu masuk ke dalam lembah itu.
Dengan begitu jelas sudah, bahwa anak buah Gedung
Hitam banyak sekali yang dikirim ke lembah Mo jin-koh.
Pada saat itu tiba2 tampak sosok bayangan yang
bergerak. Ternyata dua lelaki tua tengah berbangkit berdiri
dari tanah. Cu Jiang terkejut. Jika kedua orang itu tak mati terserang
suara harpa, tentulah mereka memiliki kepandaian yang
sakti. Kedua orang itupun melihatnya.
"Sahabat dari mana ini" " tegur orang itu.
"Apakah kalian ini dari Gedung Hitam?" Cu Jiang balas
bertanya. "Benar," sahut yang seorang, "sahabat dari mana" "
"Hm, aku mempunyai peraturan! "
"Peraturan apa?"
"Begitu memberitahu namaku tentu akan mengalirkan
darah! " "Ha, ha. ha, budak kecil, siapakah engkau ini
sebenarnya" " "Toan-kiam jan-jin!" baru mengucap begitu Cu Jiang
terkejut sendiri karena teringat bahwa saat itu dia tak
mengenakan kerudung muka. Adalah karena bernafsu
sekali untuk membasmi setiap anak buah Gedung Hitam
maka dia sampai lupa. Kedua orang itu terkejut dan menyurut mundur dua
langkah seraya berteriak:
"Toan-kiam-jan jin?"
Cu Jiang melesat ke hadapan mereka berdua. Dalam
cuaca malam yang gelap gulita, sepasang matanya tampak
berkilat-kilat seperti harimau melihat korban.
"Lekas cabut pedang dan bertempur!"
Kedua lelaki tua harus segera mencabut pedang mereka.
"Toan-kiam jan jin, tentunya engkau mempunyai alasan
untuk bertempur ini! " seru salah seorang dari lelaki tua itu.
"Tentu saja!" "Apa alasanmu?"
"Membalas dendam berdarah!"
"Dendam berdarah yang mana" "
"Aku adalah putera dari Dewa Pedang Cu Beng Ko,
mengerti?" seru Cu Jiang seraya sudah mempersiapkan
pedang. Kedua orang itu menyurut selangkah lagi.
"Engkau .... anak dari Dewa-pedang?" seru salah
seorang. "Ya." Sekilas sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik
teriakan ngeri. Sebelum kedua orang itu sempat bergerak,
mereka sudah rubuh di tanah.
Cu Jiang masukkan pedangnya dan memandang ke
sekeliling. Tetapi tiada terdengar suara apa2.
"Apakah Bu san-sin-li sudah pergi" Sebatang harpa dapat
membunuh sekian banyak jiwa . . ." pikirnya.
"Toan-kiam-jan-jin, Sin-li mengundangmu!" tiba2 terdengar lengking suara wanita.
Cu Jiang terkejut dan memandang ke arah tempat suara
itu. Seorang dara baju hijau tampak berdiri tiga tombak
jauhnya. "Apa" Sin li mengundang aku?"
"Ya." "Hendak memberi petunjuk apa?"
"Silahkan ikut aku."
Karena heran dan ingin tahu, Cu Jiangpun segera
ayunkan langkah mengikuti dara itu. setelah melintasi
sebuah hutan yang gelap gulita mereka tiba di sebuah
tempat yang penuh dengan batu2 aneh.
"Harap berhenti dulu." tiba2 dara itu berpaling.
Kemudian dia terus menyusup lenyap ke hutan batu itu.
"Apakah engkau yang bernama Toan kiam jan jin?" tiba2
terdengar suara seorang wanita dari balik batu. Merdu dan
lembut sekali nada suaranya, seperti mengandung daya
pikat yang kuat. "Siapakah wanita itu" Menurut keterangan lo-koko, Bu-
san-sin li itu sudah berumur seratusan tahun. Tak mungkin
memiliki nada suara yang begitu merdu. Apabila dia
menggunakan ilmu tenaga dalam, paling2 hanya mampu
memperbesar atau memperkecil nadanya saja tetapi tak
dapat mengubah kelembutan dan kemerduannya."
"Ya," sahutnya.
"Tetapi engkau tidak cacad," kembali suara yang merdu
memikat itu terdengar pula.
Cu Jiang terperangah. Dia tergesa-gesa ke luar tanpa
memakai kerudung muka dan berjalan dengan tegak,
sehingga tidak sesuai lagi sebagai Jan jin atau manusia
invalid. "Mungkin tetapipun belum tentu !" sahutnya.
"Apa artinya ?"
"Itu soal peribadi, harap jangan mendesak lebih lanjut."
"Engkau congkak, ya ?"
"Tidak." "Tenaga-dalam dan ilmu pedangmu, hebat sekali.
Engkau benar2 seorang tunas yang sukar didapat keduanya
. . ." "Ah, harap jangan memuji."
"Dibawah alunan suara harpa dalam lagu Panggilan-
Jiwa engkau masih dapat bergerak dengan leluasa, sungguh
baru pertama kali ini aku bertemu."
Cu Jiang terkejut. Menilik kata-katanya wanita itu
tentulah Bu-san sin-li, Seorang wanita yang berumur
seratusan tahun tetapi dapat melantangkan nada suara
seperti seorang dara, sungguh hebat bukan kepalang.
Lagu Panggilan-Jiwa " Uh, betapa seram nama lagu itu.
"Adakah anda ini Bu-san-sianli ?" akhirnya Cu Jiang
serunya. "Benar, pengetahuanmu luas sehingga kenal juga
namaku sebuah nama yang sudah lama hilang dalam dunia
persilatan." "Apakah maksud anda memanggil aku ?"
"Sebenarnya aku sudah mengasingkan diri dari dunia
ramai. Tetapi sungguh menjengkelkan orang2 yang datang
mengganggu ketenanganku itu. Karena jengkel aku sampai
memetik harpa lagi. Tak kukira kalau dapat menarik
perhatianmu seorang jago muda. Engkau tidak terkecoh
dengan suara harpa itu maka kuundang engkau datang
kemari." "Apakah hanya begitu maksud anda ?"
"Ha. ha, ha, ha . . . ." terdengar wanita itu tertawa
gemerincing bagai untaian mutiara tertumpah di pinggang
kumala. Menusuk telinga tetapi memikat hati.
Cu Jiang buru2 tenangkan pikiran.
"Harap anda segera mengatakan apa yang anda hendak
pesan kepadaku," katanya.
"Tunggu dulu. Apakah engkau mau mendengarkan
sebuah lagu Selendang-pelangi lebih dulu?"
Tergerak hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu hendak
menguji kepandaiannya. Hal itu tak beda seperti bertanding
dengan tangan, hanya caranya berlainan.
Menurut keterangan lo-koko, jelas wanita tokoh
sembarangan. Dengan kata2 itu Sin-li hendak menantangnya. Ah, mengapa dia harus mengunjuk
kelemahan. Biar dia terima tantangan itu sekalian untuk
menguji sampai di mana tingkat kepandaiannya yang
dimiliki saat itu. "Sayang aku tak mengerti seni musik! " sahutnya.
Kembali Bu-san-sin li menghambur tawa yang mengikat
jiwa. "Kecuali engkau seorang tolol, tentulah engkau mengerti
tentang seni suara. Paling tidak engkau tentu dapat
menikmatinya." "Yah, kalau begitu, aku menurut saja."
"Jangan berdiri, duduklah yang santai."
"Hm," Cu Jiang terus duduk bersila di atas sebuah batu.
Dia tahu bahwa ujian yang akan dihadapinya itu bukan
olah-olah hebatnya. Tung . . . tung . . . tung .
Tiga dentang suara yang nyaring bergemerincing. Setelah
itu tak kedengaran suara apa2 lagi. Sampai lama baru
terdengar suara yang halus dan lembut berkumandang.
Terasa bagai sekawan bidadari yang melayang turun dari
langit. Pelahan-lahan suara harpa itu makin deras dan cepat.
Dan dalam perasaan Cu Jiang seolah dia melihat
sekelompok bidadari dalam pakaian warna-warni macam
warna pelangi mulai menari-nari sehingga pandang mata
menjadi kabur dan silau. Di luar kesadaran, tiba-tiba Cu Jiang berdiri dan bergerak
gerak menari menurut urutan irama lagu itu. Uh tiba tiba
dia tergelincir jatuh ke bawah dan kesadaran pikirannyapun
pulih kembali. "Berbahaya." serentak dia duduk lagi diatas batu.
Menghening semangat dan cipta mengumpulkan perhatian
dan pikiran. Dan lenyaplah bayang2 itu. Tetapi suara harpa
itu masih tetap melengking-lengking.
Tetapi saat itu dia sudah tak terpikat oleh suara harpa Itu
lagi. Memang indah merdu nian suara harpa itu Cu Jiang
hanya merasakan tetapi tak terpikat apa-apa.
Ilmu tenaga dalam Kim-kong-sin-kang yang dipelajarinya telah memberikan dia kekuatan yang hebat
sehingga mampu menolak segala gangguan dari luar.
Suara harpa tiba2 berobah menjadi lunak bagaikan suara
dara2 yang tengah mendambakan musim semi atau seorang
isteri yang tengah mengharapkan suaminya pulang.
Hati Cu Jiang kembali tak tenang. Tetapi cepat ia
menyadari maka buru2 ia gunakan tenaga-dalam untuk
menolaknya. Begitu irama harpa itu berobah-robah, lagu demi lagu
berganti dan kepala serta dahi Cu Jiang pun mulai
bercucuran keringat. Taaanngg..... Tiba2 harpa berhenti dan terdengarlah Bu-san sin-li
berteriak: "Hebat sungguh tenagamu sehingga mampu

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan lagu Selendang pelangi sampai habis !"
Cu Jiang tertawa gelak2 lalu berbangkit.
"Sin li sungguh pandai bermain harpa !" serunya memuji.
"Ah, tak nyana hari ini aku bertemu dengan seorang ahli
musik . . . . " "Ah, mana aku patut disebut ahli. Kepandaianku cetek,
sama sekali hampir tak mengerti keindahan seni musik. "
"Jangan merendahkan diri."
"Memang benar."
"Apakah anda mau mengunjungi ke istana kami?"
Tergerak hati Cu Jiang. Dalam keinginan tahu, dia terus
menyambut undangan itu dengan serentak.
"Harap Pengawal Hijau menunjukkan jalan!" seru Bu san
sin li dan dara baju hijau itu segera muncul lalu menggapai
kepada Cu Jiang: "Sauhiap, harap ikut aku."
"Mungkin dara baju hijau itu adalah Pengawal Hijau
yang dimaksud Bu san sin li"
Cu Jiangpun ikut di belakang dara itu. Mereka menuju
ke barisan batu. Walaupun tampaknya tidak teratur tetapi
sebenarnya merupakan barisan aneh. Cu-Jiang tahu akan
hal itu. Setelah belok kian kemari, mereka tiba di muka sebuah
gua. Pada puncak gua terdapat tiga buah ukiran huruf
berbunyi: Sin-li-kiong atau Istana Sin-li.
Di mulut pintu gua tampak empat dara baju hijau tegak
berjajar pada kedua samping. Diantara senyum memikat
dan mata penuh pesona tengah memandang Cu Jiang.
Tetapi anak muda itu tak balas memandang mereka
melainkan terus mengikuti si dara baju hijau masuk ke
dalam gua. Gua itu bersih dan datar, Puncak langit gua berhias
mutiara yang memancarkan sinar terang benderang,
berjalan lebih kurang lima puluh tombak, pemandangan
tampak makin terang. Tampak beberapa ruang yang semua terbuat daripada
batu kumala putih. Sayup2 terdengar suara harpa dan tawa.
Burung2 seriti beterbangan kian kemari. Benar2 merupakan
sebuah kerajaan yang indah.
Cu Jiang terkejut. Tak kira kalau ditempat alam
pegunungan yang begitu sepi, ternyata terdapat sebuah
tempat yang begitu indah. Bau harum yang bertebaran
dibawa angin, benar2 menyegarkan semangat.
Setelah melalui beberapa bangunan, tampak sebuah
ruang besar yang gilang gemilang. Di muka ruang itu penuh
berhias dengan pohon bunga dan jalan yang terbuat dan
batu putih. "Harap tunggu sebentar." setelah tiba di muka ruang,
tiba-tiba dara baju hijau itu berseru dengan hormat kepada
Cu Jiang. Kemudian dia membungkuk tubuh dan berteriak
menghadap ruang. "Tetamu sudah tiba, sedang menunggu di luar ruang."
Dari dalam ruang terdengar suara seorang dara
menyahut: "Silakan tetamu masuk !"
Dara baju hijau berpaling, tersenyum kepada Cu Jiang:
"Silakan." Cu Jiang segera ayunkan langkah. Tetapi alangkah
kejutnya ketika kakinya seperti berat pada saat ia
memandang kearah ruang. Kejutnya bukan kepalang.
Di tengah ruang tampak dua orang dara cantik yang
tegak berdiri di kanan kiri mengapit seorang gadis cantik
berpakaian seperti puteri keraton.
Apakah dia itu Bu-san-sin-li " Apakah dia yang dianggap
sebagai Sin-li yang berumur seratusan tahun "
Apakah dia Sin-li yang memikat hati orang itu"
"Mengapa tidak masuk ?" terdengar sebuah suara yang
penuh pesona. Cu Jiang seperti kehilangan semangat. Ia segera
menyadari kalau dirinya telah terlongong2 karena kagum
akan kecantikan Sin-li itu.
Diam2 merahlah wajah Cu Jiang. Melangkah ke muka
lagi dia berhenti kira2 empat lima langkah dari tempat
wanita itu lalu memberi hormat:
"Terimalah hormatku . . .."
"Ah, tak usah banyak peradatan, silakan duduk." kata
wanita itu. Ketika Cu Jiang mengangkat muka dan pandang
matanya beradu dengan mata wanita itu, dia terkejut sekali.
Betapa bola mata wanita itu tampak bersinar-sinar penuh
mengandung daya pesona. Bola mata yang sedemikian,
bagaimana layak mau jadi milik seorang wanita yang
berumur seratusan tahun"
Dara baju putih itu mengisar sebuah kursi dari samping
dan mempersilahkan Cu Jiang duduk. Cu Jiangpun duduk
disebelah bawah. "Toan kiam jan-jin," seru Bu-san-sin-li. "tentunya engkau
mempunyai nama yang aseli."
"Tentu." "Siapakah namamu itu ?"
"Maaf, belum dapat kuberitahukan."
"Kalau aku tetap menghendaki tahu supaya engkau
memberi tahu ?" Cu Jiang agak tertegun lalu menjawab: "Siapapun tiada
hak untuk memaksa orang harus mau mengatakan hal yang
dia tak suka bilang."
"Engkau congkak benar !"
"Ah, tidak !" "Apa maksud kedatanganmu ke gunung ini ?"
"Minta obat." "Apa sudah mendapat."
"Ya." "Menilik ilmu pedangmu yang hebat, engkau tentu
pernah berguru atau bertemu dengan sesuatu yang luar
biasa." "Ya, aku tak-menyangkal."
"Engkau kira aku berwajah jelek ?"
Cu Jiang terbelalak mendengar pertanyaan itu. Tetapi
diapun dapat menyahuti: "Cantik dan Jelek hanya perasaan orang yang
memandangnya. Jelek atau cantik itu hanya lahiriah, sama
sekali tak mewakili buruk atau baiknya hati. Sekalipun
cantik seperti Se Si jaman dulu, tetapi kalau hatinya seperti
ular berbisa, apa gunanya ?"
"Hebat, hebat, sungguh suatu uraian yang hebat!"
"Sin li memanggil aku kemari, sebenarnya apakah yang
Sin-li kehendaki?" Bu-san-sin li tertawa. "Yang datang itu sebagai tetamu, ijinkan aku
mengunjukkan sikap dan penyambutan sebagai tuan rumah
!" habis berkata dia terus bertepuk tangan tiga kali.
Karena sudah terlanjur berada disitu, Cu-Jiangpun
terpaksa harus menunggu lebih lanjut.
Tetapi bagaimana dengan lo-koko. Karena dia pergi dan
tak balik, tentulah lo-koko itu akan bingung mencarinya.
Tak berselang berapa lama, sekelompok dara baju hijau
muncul dan mempersiapkan hidangan pada kedua lorong
besar itu. Setelah mereka mundur maka beberapa dara baju
hijau muncul lagi dengan membawa hidangan.
"Ah, betapa mewah Bu-san-sin li hendak mengadakan
penyambutan ini. Dia benar2 menikmati kehidupan yang
mewah." pikir Cu Jiang.
Paling akhir, dua orang dara baju putih keluar dengan
membawa poci perak. Keduanya berdiri setengah berlutut
di tepi meja. Sambil berbangkit Bu-san-sin-li mempersilakan Cu Jiang
duduk ke ruang perjamuan.
Kedua duduk persis saling berhadapan. Cu Jiang sempat
memperhatikan peralatan makan yang tersedia di meja
perjamuan itu. Cawan dari kumala hijau, sumpit seperti dari gading,
makanan bersih dan beraneka warna.
Dara baju putih menuang arak. Setiup hawa harum
berhamburan menebar ruang.
Tiba2 Bu-san-sin-li mengusapkan lengan bajunya
kewajahnya dan seketika itu mata Cu Jiang-pun silau.
"Aahhh," mulut pemuda itu mendesah kecil.
Bu-san sin-li yang tampak mengerikan dengan kedok
muka yang buruk, begitu kedok muka diusap diusap maka
tampaklah sebuah wajah seorang nona Jelita yang cantik
sekali. Sedemikian cantik nona yang umurnya baru dua-
puluhan tahun itu sehingga Cu Jiang terlongong-longong
seperti orang kehilangan semangat.
Apakah dia menggunakan ilmu sihir"
Tetapi cepat Cu Jiang menyadari bahwa Bu-san-sin li itu
memang memakai kedok muka. Oleh karena itu baik kulit
maupun nada suaranya memang tak menyerupai seorang
wanita tua. Dan wajah yang tampak saat itu tentulah
wajahnya yang asli. Tetapi mengapa lo-koko mengatakan bahwa umur
wanita itu sudah mencapai seratusan tahun. Tidakkah Sin-li
yang dihadapinya itu seorang nona yang berumur dua-
puluhan tahun lebih "
Bu-san-sin-li tertawa merdu. "Kaget ?"
Cu Jiang merah mukanya. "Ya, memang tak menduga sama sekali."
"Demi menyambut kehadiran seorang tetamu terhormat,
akupun mengunjukkan wajahku yang aseli."
"Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian Sinli yang
begitu tinggi!" "Benarkah?" "Aku hendak mohon bertanya."
"Silakan." "Kabarnya Sinli sudah terkenal sejak dahulu ..."
"Siapa yang bilang?"
"Seorang cianpwe."
"Omongan orang bagaimana dapat dipercaya" Mari, kita
minum habis arak ini." kata Sin li terus mengangkat cawan.
Karena jawaban Sin-li itu menyimpang dari pertanyaan
maka tahulah Cu Jiang bahwa Sin-li tentu tak mau
menerangkan sebenarnya. Diapun lantas mengangkat
cawan dan menghaturkan terima kasih kepada Sin-li.
Harum dan lezat sekali arak itu. Cu Jiang tak tahu nama
arak itu. "Di pegunungan belantara sesunyi ini, tak ada hidangan
yang lezat dapat kuhaturkan. Mari kita minum arak lagi."
"Ah. Sin-li terlalu merendah diri. Kulihat hidangan
semua terdiri dari hidangan kelas satu yang mahal. Kecuali
di istana dan di rumah pangeran2, rasanya jarang orang
menghadapi hidangan semacam ini."
"Marilah, kita minum lagi . . ."
Setelah beberapa kali meneguk arak, Cu Jiang pun
bertanya pula: "Apabila Sin-li hendak memberi pesan, harap mengatakan. Maaf, aku tak dapat lama2 mengganggu
waktu Sin-li." "Sejak seratus tahun ini, hanya lima orang yang pernah
diundang ke Sin li kiong !"
"Jika begitu sudah seharusnya aku merasa bangga karena
mendapat kehormatan besar !"
"Apakah engkau merasa rendah memasuki tempat ini ?"
"Sama sekali aku tak punya perasaan seperti itu."
"Lalu mengapa hendak buru2 meninggalkan tempat ini?"
"Karena aku masih mempunyai urusan penting yang
harus kuselesaikan, Dan lagi ada seorang kawan yang
menunggu aku." "Baiklah, sekarang mari kita bicara dengan serius."
"Silahkan." "Kuminta engkau mengobati seseorang !"
"Tetapi aku sama sekali tak mengerti ilmu pengobatan,"
Cu Jiang terkejut. "kedatanganku ke Bu-san ini juga
bermaksud berobat. Kui-Jiu-sin-Jin juga tinggal didaerah
ini, mengapa Sin-li tak mau minta pertolongannya ?"
Sin-li gelengkan kepala. "Makhluk tua itu tiada gunanya!"
Cu Jiang tertawa. "Kui-jiu-sin Jin Bun Jok Ih, dapat mengobati segala
penyakit. Kepandaiannya seperti dewa masakan dia tak
berguna. Aku. . ." tiba2 Cu Jiang hentikan kata-katanya:
"Memang benar." kata Sin li. "tetapi harus dilihat dulu
siapa yang sakit." "Apa maksud Sin-li ?"
Bu-san-sin li kerutkan alis, katanya:
"Penyakit yang menyerang orang itu bukan penyakit
biasa melainkan penyakit hati. Diseluruh penjuru dunia
mungkin sukar mencari orang yang dapat mengobatinya.
Tetapi engkau, Toan-kiam-Jan jin adalah tabib yang tepat
untuk mengobatinya. .. ."
"Aku ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. Penyakitnya itu penyakit linglung. Jika engkau mau
turun tangan tentu dapat menyembuhkannya."
"Ah, harap Sinli Jangan bergurau."
"Pernahkah engkau mendengar nama seorang pendekar
yang bergelar Coat-ceng-kiam-khek?"
Cu Jiang terkesiap, merenung. Coat-ceng-kiam-khek
artinya Pendekar pedang Patah-hati.
"Ya," ia mengangguk, "memang pada waktu kecil,
mendiang ayahku pernah menyebut nama orang itu.
Pendekar Patah-hati merupakan cianpwe yang sakti pada
beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan sebatang pedang
dia telah malang melintang dalam dunia persilatan. Setiap
lawan tentu tak kuat menghadapi dua jurus serangannya.
Tetapi sudah lama sekali beliau menghilang dari dunia


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan. Entah mengapa tiba2 Sin-li mengatakan tentang
dirinya?" "Dia masih hidup! "
"Ah...." "Dan berada di istana sini!"
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Benarkah itu?" serunya.
"Dialah yang kukatakan penderita penyakit linglung itu!"
"Oh ..... " Cu Jiang mendesuh, " tetapi aku benar2 tak
mengerti ilmu pengobatan."
"Engkau bisa!" "Ah, Sin-li berolok-olok. "
"Tidak, aku memang bersungguh-sungguh."
"Ini .... " "Terus terang kuberitahu kepadamu, Coat-ceng kiam-
khek itu adalah suamiku."
Untuk yang kesekian kalinya Cu Jiang seperti dipagut
ular kejutnya. Benar2 ia seperti orang bermimpi. Pendekar
Patah-hati itu menurut umurnya tentu sudah seratusan
tahun. Menurut keterangan mendiang ayah Cu Jiang, waktu
Pendekar Patah-hati muncul di dunia persilatan ayah dari
Cu Jiang itu masih belum belajar silat. Sedang Bu-san-sin-li
itu tampaknya begitu muda, belum ada tiga puluh tahun
umurnya. Mengapa menjadi isteri dari Pendekar Patah-
hati" "Aku benar2 semakin bingung, " katanya.
Bu-san-sin li tertawa, katanya:
"Suamiku itu adalah si Pedang gila ..."
"Pedang-gila?" "Benar, karena mempelajari ilmu pedang, dia sampai jadi
gila dan dari gila menjadi linglung."
"Aih." "Selama lima tahun dia berkelana di wilayah Kanglam
dan Kangpak dan selama itu belum pernah berjumpa
dengan lawan yang mampu menandinginya. Oleh karena
itu dia masygul dan berobah perangainya ...."
"Aneh sekali. Kalau tak mendapat lawan berarti ilmu
pedangnya sudah mencapai tingkat sempurna. Seharusnya
gembira mengapa malah kecewa?"
"Soal2 dalam dunia ini memang ada kalanya tak dapat
dipikir dengan nalar sehat. Bermula karena kuatir kalah
dengan orang, giat dan tekun belajar. Setelah mencapai
kepandaian yang tinggi lalu tak mendapat lawan dan
kecewa, sedih, masygul ...."
"Apakah selama berpuluh tahun itu benar2 tak mendapat
lawan?" "Ya, memang tak ada."
"Misalnya seorang tokoh yang bergelar Dewa-pedang Cu
Hong Ko itu?" sengaja Cu Jiang mengajukan pertanyaan.
Sin-li tertawa tawar. "Mendiang ayahmu, bukan?"
Cu Jiang meringis dan merahlah wajahnya. Kiranya
waktu dia berbicara dengan kedua Pengawal Hitam tadi,
diam2 Bu-san-sin-li telah mendengarkan. Terpaksa ia
mengiakan. "Aku hendak berkata terus terang, harap engkau jangan
kecewa. Ayahmu belum dapat menjadi tandingannya! "
kata Bu-san-sin-li. o0-dw-0o Mau tak mau Cu Jiang tersinggung juga perasaannya.
Ayahnya telah digelari kaum persilatan sebagai Dewa-
pedang. Kalau dia tak mampu menerima dua jurus
serangan pedang dari Pendekar Patah hati, bukankah gelar
ayahnya itu hanya sebuah nama kosong belaka"
"Apakah sinli anda sudah pernah bertempur dengan
mendiang ayahku?" akhirnya ia berseru dengan nada serius.
"Belum," "Lalu dari sudut manakah Sin-li mengadakan penilaian
tadi?" "Sudah tentu ada alasannya. Masakan aku hanya omong
sembarangan saja." "Mohon Sin-li suka memberi keterangan."
"Ai, agaknya harus dimulai dari permulaan," kata Bu san
sin-li, "suamiku hanya lima tahun lamanya malang
melintang di dunia persilatan. setelah itu lalu kukurung dia
di istana ini. Tak kuijinkan dia muncul di dunia perbuatan
lagi. "Kenapa?" "Selama bertahun2 tak ada lawan yang mampu
menerima dua buah jurus ilmu pedangnya, kuibaratkan
sebagai pohon. Makin tinggi pohon itu tentu makin sering
dilanda badai. Makin termasyhur makin terancam. Musuh
yang terang mudah dihadapi tetapi musuh yang gelap sukar
dijaga. Sesungguhnya dia hanya tergila-gila pada ilmu
pedang, sama sekali bukan karena hendak mengajar nama .
.. ." "Hm, tetapi adakah suami Sin-li itu menurut saja?"
"Sudah tentu tidak," sahut Bu-san-sin-li "aku mempunyai
cara tersendiri. Setiap tahun kusuruh seorang murid untuk
turun gunung dan menyelidiki apakah saat itu di dunia
persilatan terdapat seorang Jago pedang baru. Jika ada,
maka suamiku tentu akan muncul untuk menantangnya . "
"Apakah selama bertahun-tahun demikian ?"
"Ya." "Kalau begitu tentu tak terhindar akan berhadapan
dengan mendiang ayahku?"
"Belasan tahun tahun yang lalu, ayahmu sudah
mengangkat nama. Namanya termasyhur di seluruh
Tionggoan. Pada tahun itu akupun mengutus seorang anak
murid. Kebetulan melihat ayahmu sedang memuji
kepandaian dengan seseorang. Dalam sepuluh jurus,
ayahmu dapat mengalahkan orang itu. Kemudiam anak
murid yang kuutus itu segera mencari orang yang
dikalahkan ayahmu dan mendatanginya. Dalam delapan
jurus, anak muridku dapat mengalahkannya. Dari hal ini
engkau tentu jadi jelas."
Tergetar hati Cu Jiang, pikirnya: "Jika ayah dapat
mengalah dalam sepuluh jurus tetapi murid yang diutusnya
itu mampu mengalahkah dalam delapan jurus: jelas jauh
sekali perbedaannya . . ."
Tetapi segera Cu Jiang teringat bahwa jika tidak sangat
terpaksa memang mendiang ayahnya tak mau mengeluarkan jurus It kiam tui hun yang diandalkannya itu.
"Masih meragukan, " serunya.
Wajah Busan sinli berobah, serunya:
"Apa maksudmu?"
"Mendiang ayahku masih tak mau mengeluarkan seluruh
ilmu kepandaiannya. "
"Bagaimana engkau tahu?"
"Setelah menciptakan sebuah ilmu pedang sakti, jika tak
terpaksa ayah tak mau menggunakannya. "
"Ketahuilah, bahwa selama melancarkan sepuluh jurus
serangan itu, masakan ayahmu tak menggunakannya?"
"Menurut dugaan memang tidak," jawab Cu Jiang,
"karena setiap kali jurus itu digunakan tentu lawan terluka
atau binasa. Dan pula ayah mengingat karena pertempuran
itu hanya semacam menguji kepandaian bukan suatu
pertempuran antara musuh. Tentu ayah tak mau
menggunakan jurus maut itu."
Bu san sin li mengangguk.
"Mungkin engkau benar," katanya, "mari, kita minum
lagi." Habis berkata dia terus mengangkat cawan dan saling
beradu cawan dengan Cu Jiang.
Beberapa saat kemudian kembali Bu-san-sin li berkata
serius: "Kalau menurut keteranganmu tadi, bukankah penilaianku pada waktu dulu itu salah ?"
"Mungkin." "Apakah engkau juga mampu menggunakan Jurus ilmu
pedang sakti ciptaan ayahmu itu ?"
"Dapat." "Bagaimana tingkat penguasaanmu kalau di banding
dengan ayahmu dulu ?"
"Aku berlatih dengan susah payah."
"Ketika tadi ia membunuh kedua lelaki tua baju hitam
itu apakah juga menggunakan jurus ilmu pedang itu."
"Bukan." "Hm, maka kuduga ilmu kepandaianmu bukan berasal
dari dunia persilatan Tionggoan tetapi dari suatu sumber
yang aneh . . .." "Ya, kutahu," tiba2 wajah Cu Jiang terkesiap menyadari
sesuatu. "Apa yang engkau ketahui ?"
"Sin li meminta aku mengobati penyakit suami Sin-li,
bukankah tak lain dan bertanding ilmu pedang ?"
"Tepat," seru Bu-san sin-li, "inilah maksudku mengundang engkau ke dalam keraton sini."
"Lalu bagaimana yang harus kulakukan?"
"Tundukkan dia agar nafsunya untuk mencari orang
yang dapat mengalahkan dirinya, dapat padam."
Darah muda Cu Jiangpun serentak berkobar. Demi
menjaga nama baik ayahnya, dia harus meluluskan
permintaan Bu san sin li.
"Apakah aku mampu?" tanyanya.
"Mungkin mampu, tetapi . . ."
"Apakah masih ada petunjuk lagi?"
"Akan kuterangkan lebih dulu kepadamu. Kalau engkau
sanggup, terserah apa saja yang hendak engkau lakukan. "
"Apa maksud Sin-li?"
"Selama berpuluh tahun menyembunyikan diri, perangai
suamiku berobah aneh sekali. Begitu turun tangan mungkin
dia tak peduli lagi siapa musuhnya . . ."
"Apakah harus sampai berdarah?"
"Mungkin begitu. Kalau engkau tak sanggup menghadapi bahaya, silahkan pergi."
Cu Jiang tertawa nyaring.
"Bukan soal menghadapi bahaya tetapi soal pertempuran
itu. Aku yang berlumur darah atau suami anda."
Wajah Bu san sin li mengerut.
"Aku hendak mengajukan permohonan yang kurang
layak. " "Apakah itu?" "Kalau ilmu pedangmu memang lebih tinggi dari
suamiku, harap membatasi diri untuk menutuknya saja."
Permintaan itu memang kurang layak dan lebih banyak
dipengaruhi dengan kepentingan peribadi. Cu Jiang tertawa
hambar: "Kalau suami Sin li lebih sakti, aku tetap harus
berlumuran darah?" Merah muka Bu san-sin-li.
"Itulah sebabnya maka lebih dulu kukatakan bahwa
permohonanku itu kurang layak. Tetapi, aku tentu akan
berusaha untuk menghentikan adegan-adegan yang mengerikan itu." "Baik." sahut Cu Jiang dengan wajah serius, "kuterima
permintaan Sin-li." Bu san-sin-li mengangkat cawan arak dan berseru:
"Lebih dulu kuhaturkan arak terima kasih kepadamu."
Setelah minum, Cu Jiangpun tinggalkan tempat
perjamuan itu dan duduk kembali di tempat semula.
Demikianpun Bu-san-sin li. Beberapa dayang baju hijau lalu
membenahi meja perjamuan.
Bu-san sin-li membisiki beberapa patah kata kepada
dayang yang berada di sampingnya dan dayang itupun lalu
bergegas ke luar. Tak berapa lama dia kembali lagi dan
memberi laporan kepada Bu san-sin-li bahwa semua telah
dipersiapkan. Dari luar tiba2 tampak penerangan yang terang sekali.
Dua orang dara membawa galang yang ujungnya diberi
mutiara cemerlang tegak di ujung ruang.
"Cu sauhiap, apakah sudah siap ?" tegur Bu-san-sin-li.
"Aku tak mempunyai persiapan apa2." kata Cu Jiang.
"Baik, Jika begitu silahkan menuju keluar ruang !"
Sepanjang lorong serambi telah disediakan tempat
duduk. Cu Jiang dan Bu-san-sin-li lalu duduk di kursi yang
sudah disediakan. Sesungguhnya Cu Jiang merasa tak enak hati. Demi
menegakkan keharuman nama mendiang ayahnya, dia
telah menerima adu ilmu pedang dengan syarat yang aneh
itu. Pendekar Patah-hati itu seorang tokoh aneh pada Jaman
seratusan tahun yang lalu. Dapatkah ia menghadapinya
nanti, sama sekali belum diketahuinya.
Begitu pintu disudut terbuka maka muncullah seorang
jago pedang pertengahan umur dengan mengenakan
pakaian yang gemilang.

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecuali kerut wajahnya agak gelap, semangat dan
tampangnya menunjukkan bahwa dia seorang pria yang
cakap. Cu Jiang benar2 heran tak mengerti, inikah yang disebut
Pendekar Patah Hati itu" Apakah dia sudah berumur
seratusan tahun " Pada saat Cu Jiang sedang mengambang renungan, jago
pedang setengah tua itupun pelahan-lahan melangkah ke
tanah lapang yang berada di muka ruang.
Cu Jiang mengalihkan pandang matanya kearah Bu-san-
sin-li. "Dialah suamiku, silakan turun ke lapangan" suaranya
agak tegang. Setelah memberi hormat, Cu Jiangpun segera menuju ke
tanah lapang. Ia tak sempat lagi untuk melontarkan
pertanyaan2 yang terkandung dalam hatinya.
Saat itu si jago pedangpun sudah tiba di tengah dari
persilangan jalan dari taman bunga yang berbentuk bundar.
Dengan pandang berkilat-kilat tajam ia menatap Cu Jiang.
Tetapi anak muda itu tenang2 saja melanjutkan langkah
dan tegak di hadapannya. "Beritahukan namamu!" sampai beberapa lama baru Cu
Jiang membuka mulut. Nadanya dingin sekali.
"Putera tunggal dari Dewa Pedang yang bernama Cu
Jiang." Sahut Cu Jiang dengan nada yang tak kalah dingin.
"Ha, ha, ha, ha! Dewa-Pedang, berani benar menganggap diri sebagai Dewa !"
"Itu kaum persilatan yang memberikan nama Gelar
bukan suatu kebanggaan !"
"Tetapi apakah pedang itu mempunyai Dewa?"
"Ilmu sastra setara dengan ilmu silat, berbeda tetap sama.
Beberapa tokoh jaman dulu yang disanjung sebagai dewa,
tentu takkan mengecewakan namanya."
"Tetapi sudah berpuluh tahun aku tak bertemu dengan
lawan yang mampu mengalahkan, lalu bagaimana
katamu?" "Dalam dunia ini banyak tunas2 berbakat dan manusia2
yang luar biasa. Soalnya hanya belum dapat berjumpa
dengan mereka saja."
"Apakah engkau merasa bangga sebagai putera Dewa-
pedang?" "Ah, tidak. Aku hanya sekedar melakukan sesuatu yang
tidak mengecewakan harapan orang tuaku."
"Lalu engkau bersedia hendak mengukur kepandaian
denganku?" "Hanya sekedar tukar menukar pengetahuan saja."
"Berapa umurmu?"
"Dua puluh." "Tahu berapa umurku ?"
"Kemampuan tak menghiraukan soal umur2"
"Kalau begitu aku tak berguna hidup seratusan tahun ?"
"Aku tak bermaksud mengatakan begitu."
"Kalau engkau menyandang nama tanpa kenyataan,
tahukah engkau bagaimana akibatnya."
"Aku tak meresahkan soal mati atau hidup."
"Belum sampai pada tingkat itu."
"Lalu bagaimana?"
"Aku hendak membasmi semua jago2 pedang ternama
dalam dunia ini." Cu Jiang mendengus. "Hm, Janganlah anda kelewat
bernafsu besar!" Sijago pedang setengah tua itupun mendesus dan
memandang Cu Jiang tajam2.
"Takkan kubiarkan kawanan berandal tak berguna itu
menggunakan keluhuran nama Dewa."
"Lalu apa tujuan anda belajar ilmu pedang ?"
"Mengembangkan ilmu pedang."
"Tetapi dengan cita2 hendak membunuh semua jago
pedang di dunia ini, apakah tidak menghancurkan
kemajuan ilmu pedang?"
"Ngaco!" "Aku berkata secara wajar."
"Hm, kalau engkau hanya bernama kosong tak ada
buktinya, engkaulah yang pertama akan mati!"
"Kalau aku berhasil dapat menerima beberapa jurus ilmu
pedang anda ?" "Sejak saat ini nama Pendekar Patah - hati akan hapus
dari dunia persilatan !"
Rupanya Jago pedang itu terpengaruh oleh emosi. Cu
Jiangpun tertawa hambar. "Ah, tak perlu harus begitu. Sesungguhnya dalam dunia
ini tiada terdapat jago pedang yang tak ada tandingannya.
Ilmu silat itu tiada batasnya. Jika anda memang tidak
mengejar nama dan tidak memburu keuntungan melainkan
hanya bertujuan hendak memajukan ilmu pedang, mengapa
harus mempertaruhkan kehormatan nama?"
"Huh, engkau belum layak memberi nasehat kepadaku !"
Cu Jiang hendak berkata tetapi tak jadi. Berdebat dengan
seorang yang dirangsang emosi tiada gunanya.
"Bagaimana kalau sekarang kita segera mulai?" serunya.
Dan Cu Jiang mencabut pedang kutung.
"Hai. engkau menggunakan pedang kutung?" Pendekar
Patah-hati berteriak kaget.
"Ya" "Engkau berani memandang rendah aku?"
"Memang inilah senjata yang kupakai!"
"Apa engkau tahu bahwa, panjang pendeknya senjata itu
akan menentukan kemenangan ?"
"Tahu." "Disini kita menyediakan pedang, engkau boleh tukar
mana yang engkau sukai."
"Tak usah !" Sejenak Pendekar Patah-hati merenung lalu pelahan-
lahan menghunus pedang, serunya.
"Kalau begitu, bersiaplah menyambut seranganku."
"Lebih dulu aku hendak berkata."
"Silakan." "Entah menang entah kalah, mati atau hidup, aku hanya
melakukan serangan satu jurus saja, takkan sampai dua
jurus..." "Ha ha, bagus, bagus! Jika kesaktianmu sebesar mulutmu
yang sombong itu, hari ini aku benar2 bertemu dengan
seorang jago pedang yang sejati!"
"Dan..." kata Cu Jiang pula, "sejurus permainan pedang
yang kulakukan nanti adalah ajaran dari almarhum ayahku.
Hal ini perlu kukatakan lebih dulu. "
"Ho, rupanya engkau mabuk dengan nama gelar Dewa
pedang dari ayahmu?"
"Menjadi anak orang harus melanjutkan cita2 ayahnya."
"Ha, ha, ha, hi, sungguh besar sekali nyali mu.
Bersiaplah!" "Silakan." Keduanya segera pasang kuda2, saling berpandangan
dengan penuh perhatian. Suasana hening sunyi tetapi penuh
ketegangan. Berpuluh dara baju hijau dan putih tegak ber jajar2 di
sekeliling tepi lapangan. Satupun tak ada lelaki. Tentulah
kawanan dara itu tak mau melewatkan kesempatan untuk
menyaksikan pertandingan in pedang yang jarang terdapat
dalam dunia persilatan seperti itu.
Cu Jiang telah menghimpun dan memusatkan segenap
semangat perhatiannya. Seolah-olah dirinya sudah menunggal dengan pedang. Pendekar Patah-hati juga seperti patung. Matanya tak
berkedip sama sekali. Dua buah hawa pedang yang seram mulai bertebaran
membawa bayang2 maut. Bu-san-sin-li segera berbangkit
dan berdiri di titian. Dia tampak tegang sekali.
Memang dapat dimengerti. Cu Jiang adalah orang yang
diundangnya sedang yang menjadi lawan adalah suaminya
sendiri. Mungkin pertandingan itu akan berakhir dengan
suatu kesedihan. "Benarkah tindakanku ini?" ia bertanya dalam hati.
Tetapi keadaan sudah seperti itu, sukar untuk dibatalkan
lagi. Detik demi detik berjalan tegang. Kedua belah pihak
sama2 menyadari bahwa kali ini mereka berhadapan
dengan lawan yang paling berat yang pernah dihadapinya.
Mati hidup, menang dan kalah, hanya tergantung pada
perobahan setiap saat. Setengah jam, lalu satu jam telah berlalu. Bagi yang
bertempur, setengah dan satu jam, seperti tak terbuang sia
sia. Tetapi bagi yang melihat, mereka merasa menunggu
satu tahun lamanya! Ketegangan suasana menyebabkan orang sampai tak
berani bernapas. Bagaimana nanti akhir pertempuran itu
tiada seorang yang dapat membayangkan.
Cuacapun makin terang. Bintang2 mulai pudar sinarnya.
"Hait hait..." Tiba2 dua buah suara gemboran keras memecah
kesunyian. Entah siapa yang bergerak lebih dulu. Yang
tampak hanya sinar pedang memancar lalu padam lagi.
Tampak orang merapat lalu berpencar lagi.
Pertarungan antara dua buah pedang yang berdering
nyaring, benar2 merontokkan hati orang. Sinar pedang
berhamburan memenuhi sekeliling, daun dan ranting
berguguran dan kawanan dara yang menyaksikan disekeliling tepi lapangan itupun pucat seketika.
Bu-san-sin-li menutup mukanya dengan ujung lengan
baju. Ia tak berani melihat akhir pertempuran itu.
Tampak pedang Patah-hati berkerenyutan wajahnya.
Pedangnya ditekan ke tanah untuk menyanggah tubuhnya
yang bergemetar keras. Sedangkan Cu Jiang masih memegang pedang yang
terangkat keatas. Pedang miring tetapi tak sampai jatuh.
Wajahnya membesi. Beberapa waktu kemudian tiba2 Pendekar Patah-hati
memekik keras: "Aku kalah. kalah sejurus . . ." kemudian dia tertawa
nyaring. Nadanya panjang menggemuruh bagai ombak
menyapu. Bu-san-sin li membuka ujung lengan bajunya dan
menghela napas panjang. Cu Jiang pelahan-lahan menyarungkan pula pedang
kutungnya. Walaupun sikapnya tampak tenang tetapi
sesungguhnya hatinya berguncang keras.
Kemenangan yang direbutnya itu benar2 tak mudah.
Hanya karena ia memiliki tenaga dalam yang hebat berkat
mendapat rejeki luar biasa mempelajari kitab pusaka negeri
Tayli, maka dapatlah ia memenangkan sebuah gerak dalam
jurus permainannya. Memang apa yang digunakan Cu Jiang saat itu bukan
ilmu pedang Thian-te kau thay yang terdapat dalam kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng dari negeri Tayli.
Apabila Cu Jiang menggunakan jurus Thian-te-kau thay
dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, pendekar Patah-
hati tentu bukan hanya kalah satu jurus tetapi pasti akan
mengalami akibat yang mengerikan yaitu kalau tidak mati
tentu terluka parah. Tetapi demi menjaga martabat nama Dewa-pedang dari
mendiang ayahnya, Cu Jiang tetap memakai jurus It-kiam-
tui-hun. Memang berbahaya tetapi dia sudah memperhitungkan akibatnya.
"Ah, anda mengalah," seru anak muda itu dengan nada
dingin. Pendekar Patah-hati memegang pedang dengan tangan
kiri lalu tangan kanannya menekuk. trang . . . pedang
kutung menjadi dua. Sekalian orang yang berada di gelanggang pertempuran
itu seketika pucat wajahnya.
Diam2 Cu Jiangpun menyesal. Dia mengakui pendekar
Patah hati itu memang seorang jago pedang yang sukar
dicari tandingnya. Jika dirinya tak mendapatkan sesuatu
rejeki yang luar biasa, tak mungkin dia mampu
mengalahkan jago pedang itu.
Setelah melemparkan kutungan pedang ke tanah,
pendekar Patah hati tertawa nyaring.
"Sejak saat ini aku takkan membicarakan ilmu pedang
lagi. Toan kiam jan-jin, sejak seratus tahun ini, engkaulah
sesungguhnya jago pedang nomor satu dalam dunia
persilatan!" serunya.
Ia berputar tubuh lalu berjalan pelahan-lahan dan lenyap
di ujung pintu. "Oh, terima kasih Bumi dan Langit, inilah penyelesaian
yang menggembirakan sekali." terdengar Bu-san-sin li
berseru dengan tegang. Cu Jiang berputar tubuh menghadap ke arah Sin-li,
serunya: "Maaf atas kekurang-ajaranku!"
"Penyakit suamiku sudah sembuh sama sekali. Sungguh
aku berterima kasih kepadamu." seru Sin-li.
"Ah, janganlah Sin-li mengucap begitu."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cu sauhiap, apakah permintaanmu?"
"Tak ada, hanya akan mohon diri." Cu Jiang tertawa
hambar. "Apa tidak ada lain lagi?"
"Tidak .... kecuali .... ada sedikit pertanyaan yang
hendak kumohonkan penjelasan Sin-li."
"Katakan." "Menurut kata orang, Sin li sudah berusia seratusan
tahun . . ." Bu san sin li tertawa cerah.
"Semua penghuni dalam keraton ini, tak ada yang
umurnya kurang dari lima puluh."
"Ah, bagaimana mungkin" " Cu Jiang terkejut.
"Ini suatu rahasia," kata Bu san sin li dengan wajah
bersungguh, "harap setelah meninggalkan tempat ini, Cu
sauhiap suka menyimpan rahasia."
"Baik." "Istana Sin li kiong itu menembus sampai ke pusar
gunung. Di situ mengeluarkan suatu sumber air Giok ciok
leng lu (susu dari batu kumala). Semua penghuni istana itu
minum susu itu dapat ternyata dapat membuat kita awet
muda." Cu Jiang terkejut. "Jika begitu bukankah usianya akan abadi bersama
dengan bumi dan langit." serunya. Bu san sin li tertawa.
"Mustika langit dan bumi memang mampu menentang
takdir alam. Dapat membuat wajah takkan tua selama-
lamanya. Tetapi umur manusia tetap terbatas. Mana
mampu menyamai bumi dan langit. Paling2 hanya lebih
lama dari manusia kebanyakan. "
Memandang ke arah kawanan gadis2 cantik yang
berseliweran itu, timbullah rasa heran dalam hati Cu Jiang.
Masakan dara2 yang muda belia itu ternyata sudah
berumur lima puluh tahun lebih. Apabila tidak mendengar
keterangan dari Sin li sendiri, sudah tentu dia takkan
percaya! Dunia yang seluas ini ternyata memang penuh dengan
segala macam keanehan. "Ya, itu memang benar," akhirnya dia mengangguk
membenarkan keterangan Sin li.
Saat itu cuaca sudah terang. Dia dapat memperhatikan
bahwa istana Sinlikiong itu terletak di tengah cekung perut
gunung. Empat kelilingnya merupakan dinding karang yang
curam. Sedang istana itu menempati sebuah dataran seluas
satu bahu lebih. Sungguh merupakan sebuah gua langit
yang istimewa. Lembah Mo jin koh tempat tabib sakti Kui Jiu sin jin
merupakan sebuah taman firdaus atau tempat kediaman
dewa. Tetapi kalau dibanding dengan istana Sin li kiong
masih tetap kalah. Bu san sin li berbisik-bisik memberi pesan kepada gadis
di belakangnya dan gadis itupun segera mengundurkan diri.
Cu Jiang teringat akan Thian put thou dan Ang Nio Cu.
Dia ingin lekas2 menemui mereka maka diapun segera
pamit. "Harap tunggu sebentar." kata Sin li.
"Apakah Sin li masih mempunyai pesan lagi?"
"Ya, sedikit." "Harap suka memberitahu."
"Engkau dapat masuk ke dalam istana dan membantu
urusanku, jelas hal itu merupakan suatu jodoh. Ada sebuah
barang yang hendak kuberikan kepadamu sebagai kenang-
kenangan." "Oh, ini . . . . aku tak berani menerima, terima kasih. "
"Tunggu, sebentar lagi tentu datang."
Tak berapa saat gadis itupun muncul dengan membawa
sebuah kotak emas. Dengan kedua tangan dia menghaturkan kotak itu kepada Bu san sin li.
Setelah menerima kotak, Bu san sin lipun ayunkan
langkah turun ke titian menghampiri ke tempat Cu Jiang,
membuka kotak emas itu. "Ini sebuah mustika Thian ju cu, mustika yang
mempunyai khasiat memunahkan racun. Jika engkau bawa,
engkau bebas dari terkena segala macam racun. Dan
apabila bertemu dengan orang yang terkena racun, asal
engkau tempelkan pada mulutnya dalam sekejap saja tentu
racun itu akan tawar. Akan kuberikan kepada sauhiap
sebagai tanda kenang2an dari istana Sin li kiong."
Melihat mustika Thianjucu itu hanya sebesar buah
kelengkeng dan berwarna putih kemilau, Cu Jiang tak
berani memandang remeh. "Ah, bagaimana aku layak menerima pemberian yang
begini berharga..." "Tak perlu siauhiap sungkan. Mustika itu tentu berguna
sekali dalam perkelanaanmu di dunia persilatan."
"Jika begitu, akupun menurut perintah Sinli."
"Silakan menyimpannya."
Cu Jiang mengambilnya dengan jari lalu disimpan dalam
baju. Ia menghaturkan terima kasih dan terus pamit.
"Jika engkau memang hendak tergesa-gesa, silakan," kata
Sin-li lalu berpaling seraya memberi perintah kepada gadis
yang memegang kipas, "antarkan Cu sauhiap keluar."
Gadis itu segera serahkan kipas kepada seorang gadis
lain lalu berpaling kepada Cu Jiang, "Silakan ikut aku."
Setelah memberi hormat lagi kepada Sin-li, Cu Jiang lalu
mengikuti gadis itu melangkah keluar seperempat jam
kemudian barulah mereka keluar dari barisan batu.
"Cu sauhiap, harap suka membawa aku," tiba2 gadis itu
berkata. Sudah tentu Cu Jiang terkejut. "Apa" Membawamu
pergi?" serunya. Gadis itu menghela napas sedih dan
mengiakan. "Apakah engkau tak kembali ke dalam istana?"
"Tidak, aku sudah jemu dengan kehidupan dalam neraka
itu." "Tempat dewa yang tiada taranya di dunia, dapat
membuat orang awet muda, masakan engkau katakan
sebagai neraka?" "Berbulan-bulan, bertahun-tahun hidup didalam perut
gunung yang tak kena sinar matahari, apakah bukan neraka
namanya?" "Apakah masih kurang baik?"
"Manusia," kata gadis itu, "harus menuntut kehidupan
sebagai layaknya manusia. Walaupun tetap awet muda
tetapi tak mungkin lari dari kematian. Mengapa tidak hidup
wajar menurut kodrat alam sebagaimana lazimnya
manusia?" Rupanya Cu Jiang dapat mengerti isi hati gadis itu. ia
mengangguk. "Jika begitu, apakah kawan-kawanmu yang berada di
istana itu hanya lahirnya saja tampak bahagia?"
"Ya." "Kalau memang begitu, mengapa tak tinggalkan tempat
itu saja ?" "Tak mungkin dapat."
"Kenapa?" "Kami telah dipaksa untuk menelan pil beracun. Tiap 3
hari sekali, kami harus menelan obat penawar racun itu.
Jika kami tinggalkan tempat itu dalam tiga hari pasti mati!"
Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Dia tak
menyangka bahwa Bu san-sin li yang tampaknya seperti
seorang dewi, ternyata menggunakan cara sekejam itu
untuk menekan anak-buahnya.
"Kalau engkau pergi, bukankah engkau akan mati?"
"Bukankah Sin li telah memberikan Thian-ju cu yang
dapat menawarkan racun itu ?"
"Oh kiranya engkau mengincar benda itu."
"Mohon sauhiap sudi meminjamkan untuk menolong
jiwaku," nona itu setengah mengharap.
"Ini . . ." "Apakah sauhiap menolak?"
"Tetapi bukankah hal itu bertentangan dengan Sin-li "
Mustika ini dia yang memberi !"
"Dayang2 dalam istana berjumlah puluhan, bukan hanya
aku seorang." "Tetapi tindakanmu menyalahi kebaikan Sin-li."
Dengan berlinang-linang airmata, nona itu memandang
Cu Jiang, "Kalau memang demikian nasibku." katanya dengan
sedih. "lebih aku mati asal mati di luar."
Habis berkata dia terus lari. Cu Jiang terkejut dan cepat
mengejarnya. "Sudahlah, ambil saja benda ini." katanya seraya
menyerahkan mustika Thian-ju-cu itu.
Bercucuran air mata nona itu ketika memandang Cu
Jiang. "Budi sauhiap, sungguh tak dapat kubalas," katanya lalu
menyambuti mustika itu terus dikulum kedalam mulut.
Beberapa waktu kemudian ia muntahkan mutiara itu lagi.
wajahnya tampak ceria dan berlinang-linang airmata
kegirangan. Ia mengembalikan mutiara itu kepada Cu Jiang
lagi. "Namaku Tang Yin Yin. berasal dari daerah Han. Lima
puluh tahun yang lalu aku telah diculik dan dibawa
kedalam istana. ..."
"Lima puluh tahun yang lalu?"
"Ya." "Lalu sekarang engkau . . . "
"Enam puluh delapan tahun."
"Enam puluh delapan?"
"Ya." "Ah, sungguh sukar dipercaya."
"Apakah sauhiap mengira kehidupan dalam istana itu
bahagia ?" "Ai, sungguh sukar dipercaya."
"Apakah sauhiap masih mengira kehidupan dalam istana
Sin li-kiong itu menyenangkan."
"O, tidak! Apakah engkau tetap hendak kembali ke
daerah Han?" Tang Yin Yin tertawa getir.
"Tidak. Ketika meninggalkan rumah, aku masih muda
belia dan kini sudah menjadi seorang wanita berumur lebih
dari setengah abad. Banyak orang yang sudah tak kenal lagi
siapa diriku. Bahkan keluargaku tentu sudah banyak yang
mati. Dengan wajahku seperti sekarang ini, orang tentu
gempar. Dan juga Sinli tentu akan memerintahkan orang
untuk mengejar aku, maka . . ."
"Bagaimana?" "Walaupun wajahku masih cantik tetapi umurku sudah
tua, sukar untuk diterima sebagai budak atau pelayan demi
untuk membalas budi sauhiap. Maka aku hendak mohon
diri, kelak apabila masih ada rejeki tentu dapat berjumpa
lagi." "Baik, silakan pergi agar jangan diketahui orang Sin li-
kiong." Sehabis menghaturkan terima kasih dan hormat, wanita
itu terus melesat lenyap dari pandangan.
Cu Jiang masih tertegun. Peristiwa yang di alami malam
itu, sungguh seperti impian. Menilik gerakan Tang Yin Yin
tadi, sudah jelas dia memiliki ilmu kepandaian setingkat
dengan jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Kini wanita itu sudah bebas dari penghidupan seperti
neraka. Tetapi bagaimana dengan kawanan nona yang
masih berada di Sin li-kiong itu"
"Hai, adik kecil, kukira engkau mendapat kesulitan, ah.
membuat bingung hatiku saja!" seru Thian-put-thou yang
berlarian menyongsong kedatangan Cu Jiang.
Cu Jiang amat bersyukur sekali. Manusia thian-put-thou
yang tak peduli segala apa di dunia, bahkan apabila langit
ambruk diapun takkan mempedulikan, ternyata begitu
menaruh perhatian besar kepada dirinya.
"Lo-koko, maafkan aku," serunya.
"Apa yang terjadi ?"
"Aku memburu suara harpa itu."
"Hm, sungguh besar sekali nyalimu. Lalu bagaimana
hasilnya?" Cu Jiang tak dapat membohongi lo-kokonya itu tetapi
diapun harus menepati janji kepada Bu-san-sin-li untuk
tidak menyiarkan rahasia Sin-li-kiong.
"Lo-koko, semalam aku memang bertemu dengan
peristiwa yang luar biasa," akhirnya ia berkata. "tetapi aku
sudah berjanji kepada orang itu untuk tidak memberitahukan kepada lain orang."
"O, kalau begitu, akupun takkan bertanya lagi." kata
Thian put-thou. "Apakah semalam lo koko tidak tidur ?"
"Engkau kira aku dapat tidur pulas?"
"Ah, kalau begitu aku yang salah."
"Sudahlah, mari kita kembali ke gua untuk menghabiskan makanan. Setelah itu baru kita turun
gunung." Selama kembali kedalam gua merekapun masing2


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

habiskan sisa arak dan makanan setelah itu turun gunung.
Cu Jiang masih mengenakan kerudung penutup muka.
Keluar dari daerah Busan, haripun sudah petang.
Perkampungan masih jauh. "Lo-koko, kita cari tempat beristirahat atau lanjutkan
perjalanan pada malam hari ?" tanya Cu Jiang.
"Jalan terus." "O, benar Lo-koko, tolong pinjam kedok muka itu lagi."
"Apa engkau masih mau menyamar ?"
"Ya, kalau tidak jejak kita tentu akan diketahui musuh."
"Disebelah muka sana terdapat perumahan orang, kita
siapkan perbekalan."
Setelah lari beberapa saat mereka memang melihat
beberapa perumahan orang. Thian-put-thou hentikan
langkah. "Tunggu dulu, aku hendak pinjam beberapa barang."
"Apa lo-koko kenal dengan mereka?"
"Hi, hi, dengan siapa saja aku tentu kenal."
Cu Jiang tersadar, serunya : "O, mencuri ?"
"Katakan pinjam, jangan pakai istilah mencuri, kurang
sedap didengar." Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir diapun
sudah melesat pergi. Tiba2 dari sebuah perumahan itu
terdengar suara anjing menyalak. Tetapi hanya sebentar
terus sepi lagi. Dan beberapa saat kemudian Thian-put-thou sudah
kembali dengan tertawa mengikik seraya membawa sebuah
bungkusan. "Hasil ?" Cu Jiang menegur tertawa.
"Adik kecil, untuk seperangkat pakaian baru ini akupun
telah meletakkan setahil perak sebagai gantinya, adil
bukan?" "Terlalu banyak," seru Cu Jiang.
"Hayo, lekas engkau ganti pakaian," Thian-put-thou
membuka bungkusan. Isinya seperangkat baju pendek
warna biru, sepasang sepatu yang butut dan sebuah topi
yang berlubang. Diapun mengeluarkan kedok muka dan
diberikan kepada Cu Jiang.
Dalam pakaian Itu Cu Jiang berobah menjadi seorang
pemuda desa. Pedang kutungnya dibungkus dengan
bajunya sendiri dan dipanggul dibahu belakang. Kemudian
mereka melanjutkan perjalanan lagi.
"Lo-koko, apakah Ang Nio Cu masih berada digunung
itu ?" "Entah." "Sejak turun gunung kita tak pernah..."
"Sudah kutinggalkan tulisan pada batu di luar gua."
"Ah lo-koko sungguh cermat."
"Apa langkah pertama yang harus kita lakukan
sekarang?" "Cari ketua Gedung Hitam untuk membuat perhitungan!" sahut Cu Jiang.
"Tidak mudah untuk mencarinya .... "
"Kalau tak sampai berjumpa dengan anak buah Gedung
Hitam, kita masih punya cara lagi."
"Apakah bersama-sama berjalan dengan engkau, aku
tidak mengganggu?" "Tidak," sahut Cu Jiang. "dengan pengalaman lo-koko
yang luas, sungguh suatu bantuan yang amat berharga
sekali kepadaku. Tetapi hal ini menyangkut musuh
keluargaku, aku hendak menyelesaikannya seorang diri.
Harap lo-koko jangan salah mengerti,"
"Baik, kalau begitu kita bercerai saja."
"Maaf, lo-koko, ini sungguh terpaksa sekali."
"Kutahu." "Apakah lo koko tahu letak markas besar dari
perkumpulan Hoa-gwat bun ?"
"Itu merupakan suatu rahasia penting dari mereka. Aku
belum pernah dengar."
"Jadi untuk mencari ketua Hoa-goat-bun, hanya secara
untung-untungan saja ?"
"Tidak sukar." jawab Thian-put-thou, "anak murid
mereka kebanyakan berada ditempat pelesiran. Dapat
diselidiki jejaknya."
"Dan Bu-lim seng-hud Sebun Ong itu?"
"Tempat tinggal orang itu tak tentu, tak pernah terdengar
orang menceritakan tentang rumah-tangganya."
Demikian mereka berpisah dan beberapa hari kemudian
tibalah Cu Jiang di jalan besar yang menuju ke kota
Kengso. Dalam dandanan seperti seorang pemuda dekil, tak
seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya.
Tak ada yang menyangka bahwa dia adalah Toan-kiam
Jan Jin yang termasyhur itu.
-oo0dw0oo- Jilid 17 Menjelang tengah hari, dia tiba ditempat ketika toa
suhengnya, mendiang Ho Bun Cai, tempo hari membawanya masuk ke Gedung Hitam. Ialah sebuah kota
kecil dimana dia pernah bertemu dengan wanita gemuk
yang ternyata adalah bibinya atau adik dari ayahnya.
Ia segera masuk ke sebuah kedai minum. Kebetulan
tempat yang dulu pernah ia duduki, masih kosong. Dia
segera duduk disitu. Seorang pelayan menghampiri, mengawasi Cu Jiang
beberapa jenak. "Mau makan apa ?" tegurnya dengan dingin.
Sudah tentu Cu Jiang marah terhadap tingkah pelayan
yang begitu kasar. Dia hendak berbangkit tetapi pada lain
saat ia teringat bahwa saat itu dia sedang dalam
penyamaran. Terpaksa dia mengekang kemarahannya dan
pura2 bersikap ketolol-tololan seperti seorang desa.
"Aku mau minum arak apa?" katanya.
"Ya, mau minum arak apa?" sahut pelayan.
"Arak putih saja."
"Hidangannya?" "Apa saja." Pelayan itu tertawa gelak2.
"Bung, kami tak jual hidangan "apa saja " ! "
Cu Jiang tetap menahan kemarahannya dan berkata
pula: "Seekor ayam, terserah mau dimasak apalah!"
"Baik, harap tunggu." kata pelayan terus ngeloyor.
Kedai makan itu termasuk yang paling mewah di kota
kecil itu. Orang desa pada umumnya tak berani masuk ke
situ dan Cu Jiang termasuk yang paling gengsi.
Beberapa waktu kemudian barulah pelayan membawakan hidangan yang dipesan Cu Jiang. Sambil
makan Cu Jiang teringat akan peristiwa dahulu ketika ia
bersama toa-suheng Ho Bun Cui yang masih menjabat
sebagai congkoan Gedung Hitam.
Saat itu dia masih menganggap Ho Bun Cai sebagai
musuh. Kini toa suhengnya itu sudah meninggal, sedang
bibinya, si wanita gemuk, berada di negeri Tayli.
Membayangkan hal itu, hatinyapun rawan sehingga
selera makannya turut hilang.
Tengah dia melamun tiba2 hidungnya terbaur setiup
angin yang harum, ia memandang ke muka dan terkesiap.
Seorang dara yang berpakaian seperti puteri keraton
melangkah masuk dengan diiring oleh seorang gadis
pelayan. Dara itu tak lain adalah Ki Ing beserta bujang
pelayannya. Pemilik rumah makan gopoh menyambut sendiri dan
memberi hormat. "Ah, sungguh suatu kehormatan besar kami dapat
menerima kunjungan siocia. Tetapi maaf, persedian
hidangan kami terdiri dari hidangan yang kasar2."
Tetapi Ki Ing tak menghiraukan pemilik rumah makan
itu. Ia terus berjalan menuju sebuah tempat duduk di dekat
jendela. Melihat itu pemilik rumah makan bergegas membersihkan kursi dengan lengan bajunya.
"Disini mungkin tak sesuai, silakan siocia duduk di
dalam." katanya. "Tak usah, disini sajalah." bujang baju hijau menyahut.
Pemilik rumah makan itu tersipu-sipu mengiakan dengan
hormat. "Siocia minum arak atau dahar nasi?" kembali pemilik
rumah makan bertanya. "Minum arak." Kembali bujang baju hijau yang bernama
Siau Hui menyahut. "Mohon suka memberi pesanan hidangannya."
"Beberapa yang enak."
"Baik, baik." pemilik rumah makan itu terus mengundurkan diri. Ki Ing tak mengacuhkan Cu Jiang. Ia tak menyangka
bahwa orang desa yang tengah makan disitu itu adalah Cu
Jiang. Diam2 Cu Jiang memikirkan diri nona itu. Mengapa
mereka datang ke kota didaerah gunung yang jelas
merupakan wilayah kekuasaan orang Gedung Hitam. Dan
mengapa pemilik rumah makan begitu menghormat sekali
kepada nona dan bujangnya itu "
Cu Jiang serentak teringat akan lencana Hek-hu yang
pernah diberikan nona itu kepadanya. Dengan lencana itu
ternyata Pek poan-koan atau Hakim Putih dari Gedung
Hitam tunduk. Dengan begitu nona ini tentu mempunyai
hubungan dengan Gedung Hitam. Lalu apakah hubungannya" Siapakah sesungguhnya dara cantik itu"
Walaupun Ki Ing seperti bidadari cantiknya dan
bujangnya Siau Hui itu juga cantik, tetapi tetamu2 yang
berada di rumah makan itu hanya berani mencuri pandang
ke arah mereka. Itupun dilakukan secara diam2. Tak
seorangpun berani mengganggunya. Hal ini makin
membuat Cu Jiang heran dan curiga.
Teringat akan tindakan Ki Ing yang telah memberinya
lencana Hek hu dan mencari mayat si pelajar baju putih (Cu
Jiang), pemuda itu diam2 dapat menilai akan isi hati Ki Ing.
Tetapi dia sudah terikat janji dengan Ang Nio Cu untuk
mengawini Ho Kiong Hwa. Dengan demikian sekarang dia
sudah beristeri. Ah, biarlah peristiwa yang pernah terjadi
antara dia dengan sidara Ki Ing itu merupakan suatu
kenangan yang indah saja.
Bukankah pelajar baju putih yang didambakan Ki Ing itu
sudah lenyap tak berbekas"
Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melirik ke
arah dara itu. Tampak Ki Ing sedang bertopang dagu,
termenung-menung Dalam keadaan seperti itu, Ki Ing
makin tampak cantik. Serentak hati Cu Jiangpun bergolak. Buru2 dia menarik
pandang matanya tak melihatnya lagi.
Tak lama kemudian pemilik rumah makan mengantarkan sendiri hidangan. Alat2 hidangannya, bagus
sekali. Berbeda dengan yang diberikan kepada tetamu lain.
Kedua nona dan bujang itu menikmati hidangan dengan
diam. Suasananya tampak rawan.
Tiba2 Ki Ing menghela napas panjang. "Siau Hui,
apakah engkau rasa pelajar baju putih itu masih hidup di
dunia?" tiba2 ia bertanya dengan bisik2.
Seketika darah Cu Jiang mendebur keras dan jantungnya
serasa melonjak. Jelas dara cantik itu tetap mengenang
dirinya, masih tercengkram merindukan kasihnya.
Serentak ingin dia hendak terbang kesana dan membuka
kedok mukanya. Tetapi serentak kesadaran pikirannya
mencegah agar dia jangan bertindak begitu.
Untuk menyalurkan luapan perasaannya, ia segera
meneguk dua cawan arak. Mabuk, ya, biarlah mabuk akan
menghilangkan keresahan pikirannya saat itu.
Ki Ing bicara pelahan sekali. Kecuali orang memiliki
tenaga-dalam yang tinggi seperti Cu Jiang memang sukar
untuk menangkap pembicaraan mereka.
"Sudah tentu masih hidup," sebut Siau Hui dengan agak
geram. "Bagaimana engkau tahu ?"
"Omongan si Gok-Jin ji itu bohong semua. Menilik
tindakannya menggunakan lencana Hek-hu yang siocia
berikan, untuk mendesak Pek hu hwat membebaskan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang tawanan, tentulah Gok Jin-Ji itu bukan orang
sembarangan. Memang tampaknya dia seperti orang yang
minta dikasihani tetapi kurasa dia tentu berisi. Kalau tidak
bagaimana mungkin dia mampu lolos dari penjara Gedung
Hitam. Menurut perasaan hamba, pelajar baju putih itu
bukan seorang pemuda yang setia tetapi manusia yang suka
mengecewakan hati orang."
"Engkau lihay sekali Siau Hui." seru Cu Jiang dalam
hati. Dia gemetar dan tak dapat bicara. Dia merasa bukan
seorang manusia yang suka memainkan hati gadis, tetapi
kenyataan memang demikian.
"Hamba rasa siocia menyiksa perasaan siocia sendiri
sehingga menderita hatin," kata Siau Hui pula.
"Sudahlah, lalu bagaimana baiknya kalau menurut
pandanganmu?" tanya Ki Ing.
"Tetapi aneh sekali, mengapa Gok-jin-ji itu-pun lenyap."
"Aku curiga pada Toan-kiam Jan-Jin itu ..."
"Apanya yang siocia curigai ?"
"Jangan2 Toan-kiam-jan-jin itu penyaruan dari Gok Jin
ji!" "Kalau dapat menemukan orang itu lalu bagaimana
siocia hendak bertindak ?"
"Akan kulucuti dirinya supaya dapat diketahui wajahnya
yang aseli." "Tidak mudah..."
"Kenapa ?" "Kabarnya Toan-kiam jan-jin itu tinggi sekali ilmu
silatnya, Dan orangnya pun angkuh dan dingin sekali.
Sukar untuk dihadapi."
"Kalau tak dapat menyelidiki mati hidup-hidupnya
pelajar baju putih, aku tak tenang!"
"Ah, mengapa siocia harus begitu?"
"Engkau tak mengerti."
"Siocia, hamba rasa baiklah siocia lupakan saja dia!"
"Tidak!" Ki Ing menolak.
Cu Jiang mengangkat cawannya lagi tetapi sudah tak
Ada araknya. Cepat dia berseru:
"Hai, minta tambah arak lagi!"
Pelayan gopoh menghampirinya.
"Hai, bung. jangan berteriak-teriak. Kami sedang
menerima tetamu agung!"
"Tambah satu poci besar lagi." Cu Jiang deliki mata
kepada pelayan itu. Pelayan cepat ngeloyor dan datang lagi dengan
membawa poci besar. "Hati-hati, bung, jangan sampai mabuk!"
"Apa pedulimu, pokok aku bayar!"
"Ya, sudahlah, engkau minta sampai puas," pelayan
terus ngeloyor pergi. Siau Hui memandang kian kemari lalu melanjutkan
pembicaraannya tadi. "Siocia, siocia telah melupakan sebuah soal besar."
"Soal besar apa?"
"Apabila asal usul diri pelajar baju putih itu telah
dibuktikan dengan betul . . ."
"Aku tak peduli," tukas Ki Ing.
Mendengar percakapan itu kecurigaan Cu Jiang mulai
bangkit. "Mengapa mereka hendak mencari tahu asal usul
diriku." pikirnya. Sebenarnya Cu Jiang ingin membuka kedok mukanya
dan menjelaskan semua rahasia itu. Tetapi ia teringat
bahwa tempat itu merupakan daerah kekuasaan Gedung
Hitam. Apabila dia menuruti keinginan hati. mungkin akan
menelantarkan urusannya yang penting.
Tiba2 ia mendapat akal. Jika Ki Ing dan bujangnya itu
hendak menuju ke Gedung Hitam, bukankah mereka dapat
dijadikan penunjuk jalan yang tepat"
Walaupun tindakan itu memang agak kurang layak
tetapi apa boleh buat. Ia harus menggunakan segala macam
cara agar dapat melakukan balas dendam.
Saat itu Ki Ing dan bujangnyapun sudah berbangkit dari
tempat duduk dan melangkah keluar tanpa membayar
rekening apa2. Bahkan pemilik rumah makan itu gopoh
mengantarkan sampai ke-pintu. Sikapnya amat menghormat sekali. Cu Jiangpun segera memanggil pelayan untuk membayar
rekening, kemudian bertanya:
"Siapakah kedua nona cantik tadi ?"
"Jangan usil mulut, bung," pelayan deliki mata.
Cu Jiang menyengir. Ia anggap pelayan itu tak layak
diajak berbantah. Mungkin dia mengerti tetapi tak berani
mengatakan. Diapun segera melangkah keluar.
Tampak Ki Ing dan Siao Hui sudah naik kuda dan
berada jauh diujung jalan. Terpaksa Cu Jiang menyusul
dengan berjalan kaki. Tak berapa lama dia sudah keluar dari kota itu. Tetapi ia
merasa ada sesuatu yang tak benar. Ternyata kedua nona
majikan dan bujang itu tidak menuju kearah gunung tetapi
mengambil jalan yang keluar dari gunung. Cu Jiang kecele.
Beberapa saat ia tertegun. Akhirnya ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan langkah menyusul kedua nona itu.
Tujuannya ke tempat itu adalah hendak mengobrak-abrik
Gedung Hitam, menghimpaskan dendam darah keluarganya. Kalau gagal membuntuti kedua nona itu. dia
harus cari jalan lain. Ia memandang bayangan kedua nona majikan dan
bujang itu lenyap di ujung jalan. Ada sesuatu yang terasa
hilang dalam hati Cu Jiang.
Sekonyong-konyong seorang lelaki tua muncul dari
muka dan berjalan lewat disampingnya. Lelaki itu
berpakaian seperti seorang sasterawan miskin. Bajunya dari
kain kasar, kotor dan berlubang. Kopiahnyapun sudah
butut. Melihat dandanan dan gerak langkah orang itu tahulah
Cu Jiang kalau dia itu Ki Siau Hong salah seorang dari Su-
toa-ko-Jiu atau empat Jago sakti yang mengawal Cu Jiang.
Munculnya Ki Siau Hong ditempat itu, tentu ada
sesuatu. Cu Jiang pun terbatuk-batuk lalu mengucapkan
kata2 sandi: "Burung alap2 walaupun sakti, tetapi tak menang
melawan gadis merah."
Mendengar itu Ki Siau Hong cepat berpaling dan
berbalik tubuh. "O, kiranya ciangkun, hamba sampai tak mengenali."
bisiknya. "Jangan menggunakan sebutan begitu."
"Baik, siau hengte (kakak) gelisah mencari lo-te (adik).
Entah kemana saja lote selama ini."
"Terserang penyakit ringan, lalu berobat !"
"Ah. tidak menjadi soal bukan ?"
"Ya, tidak apa2. Lalu hendak cari apa?"
"Aku sedang mengikuti majikan kemari!"
"Siapa ?" "Majikan ketiga. Long-sim ... ."
Cu Jiang terkejut sekati. Tokoh nomor tiga dari kawanan
Sip pat thian-mo yakni Long-sim mo, mengapa datang ke
gunung situ " "Apa tujuannya datang kemari ?"
"Belum jelas." "Lalu dia dimana ?"
"Sedang beristirahat di tepi jalan sebelah muka."
"Bagaimana rupanya?"
"Seperti seorang dusun yang tua."
"O. tahu. Aku segera menemuinya !" habis beristirahat
Cu Jiang terus lari menuju ke depan. Melintasi lereng
gunung, ia melihat Ki Ing dan Siau Hui masih menyusur
jalan. Setelah terpisah pada jarak sepuluhan tombak, Cu Jiang
mulai menimang-nimang. Adakah ia akan melampaui
kedua nona itu untuk mencari Long-sim-mo atau...
Tiba2 terdengar suara orang memaki: "Apa engkau tak
punya mata ?" Itulah suara Siau Hui. Cu Jiang memandang kearah
mereka. Ternyata seorang tua baju hitam sambil memikul
sebuah kotak kayu, berdiri menghadang didepan kuda
kedua nona itu. Seketika terkejutlah Cu Jiang, Jelas orang lelaki seperti
penjual itu adalah Long-sim-mo atau Iblis-berhati Serigala.
Mengapa dia menghadang jalan kedua nona itu "
Cepat Cu Jiang gunakan gerak langkah Gong gong-poh
untuk menyelinap masuk kedalam sebuah hutan ditepi
jalan. Dia bersembunyi disitu.
Penjual itu bertubuh tinggi besar, gagah perkasa, tulang
mukanya menonjol malang, mata memancarkan sinar
berkilat-kilat. Dia tertawa galak2.
"Apakah kalian tak mau melihat barang baik?" serunya.
"Enyahlah !" teriak Siau Hui.
"Aku membawa bermacam-macam dagangan, pupur,
gincu, minyak wangi, bedak, jarum sulam segala ukuran,
handuk dan macam2 model sepatu. Apakah nona tidak
memerlukan?" Siau Hui mendengus dingin.
"Hm, tak usah pura2. Bilang siapa engkau ini!"
Lelaki tua itu tertawa seram. Ho Ho, kalau menilik nada
ucapanmu, engkau tentu orang persilatan. "
"Anggap saja begitu."
"Dan siocia ini tentu juga bukan siocia biasa?"
"Apa maksudmu" "
"Kuminta nona berdua suka ikut aku!"
"Buat apa?" "Tidak apa2. Karena sahabatku tak mau mengunjuk diri
maka kuminta tolong nona berdua suka menjadi petunjuk
jalan. " "Siapa sahabatmu itu" "
"Disini tak leluasa bicara, mari kita pergi cari lain
tempat." "Hai, jangan engkau cari penyakit! " teriak Siau Hui.
"Heh, heh, heh, heh," lelaki tua itu tertawa mengekeh,
Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan 4 Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6
^