Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 4

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 4


tunggal." Melihat perempuan itu berlinang-linang airmata, diam2
Cu Jiang geli. Pandai benar wanita gemuk itu bersandiwara.
Jika tahu bahwa pembelinya itu adalah musuhnya, entah
bagaimana sikap wanita itu.
Menilik wanita gemuk itu memiliki ilmu silat yang
tinggi, tentulah ada maksudnya dia berjualan kacang itu.
Lim congkoan mencelupkan jari kedalam arak lalu
menulis beberapa huruf diatas meja.
Cu Jiang tak memperhatikan tulisan itu.
"Jika begitu engkau tentu orang yang bernasib malang ?"
seru Lim congkoan pula. Wajah wanita gemuk itu berobah dan air matanyapun
segera bercucuran. "Dengarkanlah, walaupun aku hidup menderita begini,
tetapi aku tak putus asa. Puteraku itu bukan seorang yang
berumur pendek, dia tentu masih hidup. Dia. .. apabila
sampai . . . tak dapat ku ketemukan orangnya .. . tetapi aku
tetap akan mencari tulangnya !"
Rupanya Lim congkoan merasa kasihan. Ia menghela
napas: "Kasihan, semoga Tuhan memberkahi agar kalian
mamah dan anak dapat bertemu kembali!"
Diam2 Cu Jiang membatin bahwa Lim cong-koan itu
seorang yang baik hati, beda dengan kaum durjana
umumnya, Diam2 iapun memuji kepandaian wanita gemuk
bermain sandiwara. Kemudian wanita gemuk itu mohon diri dan
menghaturkan terima kasih. Dia terus keluar. Rupanya dia
tak mau melanjutkan berjualan lagi.
Sejenak termangu, Lim congkoan berkata pula:
"Engkoh kecil, setelah makan kita lanjutkan perjalanan
lagi." Karena tenaga kepandaiannya punah, maka walaupun
dikempit Lim congkoan selama menempuh perjalanan, dia
tetap merasa lelah. "Apakah malam hari juga tetap berjalan?" tanyanya.
"Ya." "Sebenarnya . . ."
"Tutup mulutmu!"
Terpaksa Cu Jiang tak berani berkata. Setelah makan
mereka berangkai lagi. Tiba di luar kota di tempat yang
sepi, seorang berpakaian hitam menuntun dua ekor kuda
menyambutnya. Cu Jiang heran tetapi Lim congkoan sudah mendahului
berkata: "Terpaksa engkau harus menderita lagi." Dia terus
menutuk jalan darah Cu Jiang dan anak muda itupun
segera pingsan. Ketika siuman dan membuka mata, ia
merasa dingin sekali dan sekelilingnyapun gelap gulita
sampai tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri.
Ketika ia meraba-raba ternyata dirinya berada di atas
sebuah lantai batu. "Tempat apakah ini?" pikirnya, "apakah aku sudah
berada di Gedung Hitam. Kalau benar, jelas tempat ini
tentu merupakan suatu kamar tahanan."
Dia terus duduk. Serempak pada saat itu terdengar suara
dari Lim congkoan berseru:
"Perhatikan, jawablah pertanyaan pohcu dengan terus
terang!" Tergetar hati Cu Jiang. Ternyata dia memang berada
dalam Gedung Hitam. Tetapi mengapa tempatnya begitu
gelap sekali. "Tempat apakah ini?" serunya.
"Tak boleh bertanya! " tukas Lim congkoan.
Menyusul sebuah suara yang menggetarkan hati segera
mengumandang: "Siapa namamu?"
Cu Jiang duga yang bertanya itu tentulah kepala dari
Gedung Hitam. Setelah meragu sejenak ia menyahut:
"Gok-jin-ji !" "Dari keluarga mana?"
"Tak punya keluarga."
"Engkau kenal dengan pemilik Piagam Hitam?"
"Hanya... hanya kenal dengan seorang nona. Entah
apakah dia itu pemilik Piagam Hitam."
"Dari mana engkau mendapatkan Piagam Hitam itu ?"
"Menerima permintaan tolong orang untuk menyerahkannya kepada nona itu."
"Siapa yang meminta tolong itu."
"Seorang pemuda yang menderita luka parah."
"Siapa namanya ?"
"Entah." "Apakah bukan seorang pemuda pelajar yang cakap
tampangnya?" Diam2 Cu Jiang tergetar hatinya, namun ia mengiakan.
"Apakah keteranganmu itu dengan sejujurnya ?"
"Ya." "Luka apa yang diderita pemuda pelajar itu?"
"Soal itu . . . tak tahu. Tetapi tubuhnya berlumuran
darah, napas terengah seperti tak kuat hidup lagi."
Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bertanya
begitu melilit tentang hal itu.
Menilik tempo hari kepala Pengawal Hitam si Mata-sakti
Ong Tiong Ki Juga mendesaknya untuk menceritakan
tentang kedua orang tuanya, Cu Jiang makin keras
dugaannya bahwa yang bertanya kepadanya saat itu,
tentulah orang Gedung Hitam juga. Serentak timbullah
dendam kesumat hatinya. "Aku tak boleh mati, aku harus hidup. Aku harus
menghimpaskan dendam ini !" hatinya menjerit-jerit.
Tetapi dapatkah dia hidup" Ang Nio Cu sedang berusaha
untuk mencarikan obat, tetapi kini dia jatuh kedalam
tangan orang Gedung Hitam lagi. Karena semua
kepandaiannya sudah lumpuh, tak mungkin dia dapat lolos.
Tetapi kalau harus mati di tangan orang2 Gedung
Hitam, dia sungguh penasaran sekali !
"Pertanyaan selesai !" tiba2 suara orang yang diduga Cu
Jiang sebagai kepala Gedung Hitam itu pun berseru pula.
"Mohon menurunkan perintah bagaimana harus mengurusnya." seru sastrawan setengah tua atau Lim
congkoan tadi. "Dia tahu terlalu banyak, seharusnya..."
Mendengar itu, tiba2 timbul pikiran Cu Jiang, cepat ia
berseru menukas: "Pohcu, aku mempunyai perjanjian dengan pemilik
Piagam Hitam itu !" "Apa " Engkau mempunyai perjanjian dengan pemilik
Piagam Hitam ?" "Ya." "Perjanjian apa" "
"Penting sekali, aku harus bertemu dengan dia!"
"Heh, heh, heh ... mungkin engkau harus ingkar janji . .
." "Ah, tiada guna pohcu akan menyusahkan diriku seorang
kerucuk yang tak bernama. "
"Jangan banyak mulut!"
Cu Jiang menggigit gigi, serunya: "Pemilik Piagam
Hitam itu baru puas hatinya apabila sudah bertemu lagi
dengan aku!" "Kenapa?" "Dia hendak menyuruh aku melakukan sebuah urusan. "
"Urusan apa?" "Hendak suruh aku menunjukkan tempat jenasah
pemuda pelajar baju putih itu."
"Jenasah" Apakah engkau yakin pemuda itu tentu mati?"
"Waktu bertemu, kulihat keadaannya sudah tiada
harapan lagi." "Oh." Setelah diam beberapa jenak, terdengar ketua Gedung
Hitam berseru: "Untuk sementara, tangguhkan dulu hukuman!"
Suasana hening pula. Cu Jiang menghembus napas longgar. Saat itu hatinya
segelap ruangan yang ditempatinya.
Diam2 ia merenungkan letak Gedung Hitam itu. Setelah
meninggalkan kedai arak, lalu ditutuk jalan darahnya oleh
Lim congkoan, dia memang kehilangan arah.
Tetapi ia menarik kesimpulan bahwa orang yang
menyediakan kuda itu berada di sebelah timur kota, tak
mungkin akan kembali menuju kearah barat lagi.
Perjalanan Cu Jiang itu hanya menuju ketiga arah,
timur, timur laut atau tenggara.
Sejak dalam perjalanan itu hingga sekarang Cu Jiang
masih belum merasa lapar. Jelas perjalanan itu tentu tak
sampai seratus li. Dengan begitu dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa tempat yang dia berada sekarang ini
tentulah di tengah2 gunung Keng san.
Demikian karena sudah beberapa saat berada di ruang
yang gelap itu, samar2 ia dapat melihat keadaan ruangan.
Empat penjuru dari ruang itu, terbuat dari dinding batu.
Tiada pintu atau jendelanya sehingga tak dapat diketahui
saat apakah sekarang itu. entah siang entah malam.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara orang mengerang pelahan. Ia terkejut. Masakah dalam ruang yang
gelap gulita itu masih terdapat lain orang lagi kecuali
dirinya " Ia kerahkan pandang matanya untuk meneliti sekeliling
tempat itu. Ah, hampir ia menjerit kaget ketika melihat dua
sosok hitam menggunduk di ujung ruangan.
Setelah menenangkan perasaannya, barulah pelahan-
lahan beringsut mendekati.
Ternyata kedua sosok hitam itu dua orang lelaki yang
telentang di tanah. Cu Jiang berjongkok dan menegur
mereka: "Siapakah kalian ini ?"
Sosok tubuh itu tampak bergeliat dan mengerang
kesakitan. Nadanya lemah, tentu menderita luka yang
parah. "Siapa engkau ?" orang itu balas bertanya.
Cu Jiang tertegun. "Seorang budak tak ternama, disebut Gok-Jin-ji,"
sahutnya. "Budak tak ternama tak mungkin kemari...."
"Ah, lebih baik jangan kita berdebat. Siapakah
sesungguhnya sahabat ini ?"
"Aku Go-leng-cu !" t
Terkejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Apa" Cianpwe ini salah seorang dari bu-lim samcu yang
bernama Go leng cu ?" serunya gemetar.
"Benar, sahabat kecil, menilik nada suaramu ... . engkau
tentu masih muda." "Umurku belum mencapai 20 tahun."
"Oh . ." "Dan yang seorang ini . . . ."
"Thian hian-cu !" sahut orang yang kedua,
Cu Jiang makin terperanjat. Paderi dan imam itu
merupakan tokoh yang menggetarkan dunia persilatan, baik
golongan Hitam maupun Putih.
Mereka berdua itu, berturut-turut hendak mengambilnya
sebagai murid. Mau menggemblengnya menjadi seorang
jago yang sakti. Tetapi mengapa mereka berdua berada
dalam penjara Gedung Hitam"
Iapun masih ingat bahwa Thian-hian cu pernah memberi
sebutir pil kepadanya. Ia hendak memberitahukan siapa
dirinya tetapi tiba2 pada lain saat, ia batalkan maksud itu.
Kalau sampai terdengar orang Gedung Hitam, akibatnya
tentu gawat. "Bagaimana cianpwe berdua bisa berada disini?"
akhirnya ia mengajukan pertanyaan.
"Tempat apakah ini ?"
"Apa?" Cu Jiang terkejut, "apakah cianpwe tak tahu
tempat ini ?" "Tidak tahu !" "Tempat ini adalah ruang penjara dari Gedung Hitam !"
"Hai. Gedung Hitam . ."
"Maukah cianpwe memberitahu mengapa sampai berada
disini ?" Setelah berdiam diri beberapa jenak, terdengar Go-leng-
cu berkata dengan nada gemetar.
"Siau-sicu, apabila engkau dapat keluar dari tempat ini
dengan selamat, maukah engkau melakukan sebuah...
sebuah hal untukku ?"
"Boleh.... tetapi harapan untuk keluar dengan masih
bernyawa, tipis sekali."
"Itu soal lain. Tetapi apakah sicu mau meluluskan
permintaanku ?" "Ya." "Budha bersifat pemurah. Semoga memberkahi sicu
sehingga dapat keluar dari tempat ini tak kurang suatu apa
...." "Cianpwe menghendaki aku melakukan apa?" tukas Cu
Jiang. "Dengarkan penuturanku secara ringkas."
"Silahkan." "Menurut kabar dalam dunia persilatan, aku dengan
Thian cu toyu ini, dalam pelawatan ke negeri Tayli, telah
berhasil mendapatkan pusaka dari negeri itu yang berupa


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kitab Giok-kah-kim-keng. . ."
"Giok-kah-kim-keng ?"
"Ya, sebuah kitab pusaka yang berisi ilmu pelajaran
sakti." "Lalu..." "Padahal tidak. Tetapi kabar2 di dunia persilatan itu
begitu gencar dan karena itu kami telah tertimpa bahaya."
"Masakan cianpwe berdua yang berkepandaian begitu
sakti sampai . . . ."
"Kata Siau-sicu tadi aku mengerti. Yang turun tangan tak
lain adalah kepala Gedung Hitam sendiri..."
"Begitu hebatkah kepandaian dari kepala Gedung Hitam
itu?" Cu Jiang terkejut.
"Sukar diukur tingginya!"
"Apakah cianpwe maju berdua, masih . . . "
"Aku dan Thian-hian cu toyu memang susul menyusul
ditangkapnya." Melihat Thian-hian cu tak bergerak, Cu Jiang bertanya.
"Mengapa Thian-hian cu cianpwe tak bergerak?"
"Omitohud!" seru paderi Go-leng cu dengan rawan,
"Thian hian toyu segera akan bebas!"
"Thian-hian cianpwe tiada harapan lagi?"
"Omitohud!" "Ini . . . ini . . . "
"Tenaga kepandaianku dan Thian hian toyu telah punah
dan kini menderita siksa yang menyedihkan sekali . . ."
Dengan mengertak gigi Cu Jiang berseru: "Jika aku tak
mati, kelak tentu akan mencuci Gedung Hitam dengan air
darah . . . . " Kemudian dengan gemetar Cu Jiang menegaskan pula:
"Soal apakah yang cianpwe hendak suruh aku
mengerjakan itu ?" Terdiam sejenak, Go-leng-cu berkata dengan nada
tenang: "Jika dapat ke luar dengan selamat dari tempat ini, harap
kau pergi mencari Gong gong-cu .. . "
"Ketua dari Bu lim Sam cu?"
"Benar. Walaupun kami berdua diagungkan orang sejajar
dengan Gong-gong sicu. tetapi dalam hal kepandaian dan
siasat, semua itulah jauh sekali dengan Gong-gong sicu.
Katakan kepadanya, bahwa karena keliru langkah telah
melakukan kesalahan besar. Dan sekarang harus menerima
akibatnya." "Kesalahan apakah yang cianpwe lakukan itu?"
"Salah ucap. Gong-gong sicu pernah menasehati ..."
"Ah, mengapa cianpwe terlalu menyesali diri cianpwe
sendiri!" "Harap dengarkan cerita dulu. Tanpa saling mengajak,
aku dan Thian hian toyu, telah menemukan seorang tunas
yang mempunyai tulang luar biasa bagusnya. "
"Oh..." "Seorang pelajar berpakaian putih."
Mendengar itu tergetarlah hati Cu Jiang. Bukankah yang
dimaksudkan itu dirinya sendiri.
"Seorang pelajar baju putih?" ia menegas.
"Ya." "Siapa namanya?"
"Mungkin sama orangnya dengan yang sicu bicarakan
dengan ketua Gedung Hitam tadi."
"Jika demikian pelajar baju putih itu adalah pewaris dari
cianpwe berdua?" "Tidak, dia belum meluluskan. Tetapi bahan tulang dari
pemuda itu memang jarang sekali terdapat di dunia. "
"Tetapi dia kemungkinan besar sudah mati."
"Tidak!" "Cianpwe maksudkan..."
"Sedikit-dikit aku mengerti tentang ilmu ramal, Ku lihat
muka pemuda itu tidak menunjukkan dia berumur pendek,
tentu akan selamat dari bahaya!"
Diam2 Cu Jiang terkejut, Tetapi dia kagum atas ilmu
ramal padri itu. "Apakah cianpwe dapat memastikan?" ia menegas.
"Tentu." kata Go-leng-cu, "kaum Budha pantang
berdusta. " "Cianpwe menghendaki apalagi kecuali pesan itu?"
"Supaya Gong-gong sicu berusaha sekuat tenaga untuk
mencari pelajar baju putih itu sampai ketemu, agar soal
mula dapat dihimpaskan."
"Apakah soal yang mula itu?" Cu Jiang meminta
keterangan. "Maaf, aku tak dapat mengatakan. Tetapi maukah sicu
meluluskan permintaanku itu?"
"Apabila aku dapat melihat sinar matahari lagi, aku
bersumpah akan melaksanakan pesan cianpwe."
"Omitohud, lebih dulu aku menghaturkan terima kasih
kepada sicu." "Harap cianpwe jangan mengatakan begitu, anggap saja
soal itu soal kecil, hanya saja..."
"Bagaimana?" Cu Jiang menghela napas, ujarnya: "Dikuatirkan sukar
untuk melaksanakan janjiku itu."
"Mendengar nada kata2 kepala Gedung Hitam tadi,
rupanya dia membatalkan maksudnya hendak membunuh
sicu . . ." "Bukan itu yang kumaksudkan . . . . "
"Lalu apa?" "Apa yang Sip pat-thian-mo berikan kepadaku ...."
"Apa" Engkau mengatakan Sip pat-thian-mo..."
"Ya, aku telah terkena pukulan Thian-kong-sat dari Iblis
Gila dan hanya dapat hidup belasan hari lagi."
"Ah Thian-kong-sat .. . siau-sicu, apabila engkau cepat2
dapat menemukan Gong-gong sicu, dia tentu dapat
menolongmu. Bahkan engkau tidak minta tolong, pun dia
juga akan menolongmu."
Dunia begini luas, bagaimana aku dapat mencarinya"
Dan lagi apakah aku mampu keluar dari penjara Gedung
Hitam ini, ini, Juga masih tanda tanya . . .
Kemudian cepat ia alihkan pada persoalan lain,
tanyanya: "Aku hendak mohon tanya sebuah hal."
"Apa ?" "Tahukah cianpwe siapa yang menyerahkan Pending
Kumala sebagai lambang kepercayaan itu?"
"Soal itu aku tak tahu."
Tiba2 dari ujung ruang terdengar Lim congkoan berseru:
"Gok-Jin-Ji, kemarilah!"
Cu Jiang segera menghampiri. Tetapi tak dapat melihat
barang seorangpun juga. Suara itu tentu dipancarkan
melalui alat istimewa. "Ada apa ?" seru Cu Jiang. "Aku hendak bertanya
kepadamu." "Apakah keteranganku masih kurang jelas?"
"Tidak. Yang akan kutanyakan saat ini adalah soal
pribadi." "Pribadi?" "Ya." "Tanyalah." "Pelajar baju putih itu apakah benar2 mengalami nasib
begitu?" "Benar," sahut Cu Jiang sambil mengertek gigi.
"Engkau memastikan dia tentu mati ditengah gunung itu
?" "Besar kemungkinannya."
"Apakah pemilik Piagam Hitam itu sudah mengadakan
perjanjian dengan engkau untuk mencari jenasah pelajar itu
?" "Ya." "Apa hubungan antara pemilik Piagam Hitam dengan
pelajar baju putih itu ?"
"Entah." "Sepertinya engkau tidak bicara dengan sungguh2."
"Percaya atau tidak, terserah kepadamu"
Setelah diam beberapa saat, kembali Lim congkoan
berkata pula. "Apakah engkau tahu tentang diri pemilik Piagam Hitam
itu ?" Sejenak meragu, Cu Jiang menjawab: "Tidak tahu,
apakah anda dapat memberitahu ?"
"Tidak dapat." "Sungguh tak nyana ucapan anda ini . . "
"Jika bukan karena pemegang Piagam Hitam itu, saat ini
engkau sudah mati, tahu !"
"Ya, aku memang sudah menduga begitu."
"Dimana engkau berjanji hendak bertemu dengan
Pemilik Piagam Hitam itu ?"
"Ditengah lembah dimana aku telah anda tangkap itu."
"Kapan pertemuan itu ?"
"Berapa lama aku ditangkap ini ?"
"Dua hari." "Jika begitu masih ada tiga belas hari. Tetapi mungkin
dia akan datang lebih pagi. Kami berjanji akan tunggu
dalam setengah bulan lagi."
"Apakah engkau dapat menerangkan lebih jelas tentang
keadaan pelajar baju putih itu?"
Cu Jiang mendapat kesan bahwa pihak Gedung Hitam
itu menaruh perhatian besar sekali terhadap dirinya.
"Apa yang kuketahui hanya begitu," akhirnya ia
menjawab. "Atas nama peribadi kuminta engkau memberi keterangan tetapi engkau tetap tak mau memberi
keterangan." "Sama saja." "Kalau kusertakan dengan perjanjian."
Tergerak hati Cu Jiang mendengar kata2 itu. Ia heran
mengapa pelajar setengah tua yang disebut sebagai Lim
congkoan itu, begitu menaruh perhatian atas dirinya ketika
masih belum cacad seperti saat itu "
Orang itu menjabat sebagai congkoan dari Gedung
Hitam, sudah tentu mempunyai hubungan baik dengan
kepala Gedung Hitam dan tentu akan membela kepentingan
majikannya. Mengapa dia hendak mengajukan perjanjian"
Ah, tentulah suatu siasat saja. Pikir Cu Jiang.
Juga ia teringat bahwa betapapun halnya dia tak harus
memberitahu tentang keadaan dirinya.
Tetapi karena orang itu sudah bicara, ingin juga ia
mengetahui lebih lanjut, apa sebenarnya maksudnya.
"Perjanjian bagaimana," serunya.
"Apakah engkau mengharap hidup?"
"Sudah tentu, setiap manusia tentu mengharap hidup,"
teriak Cu Jiang. "Bagaimana kalau soal itu dijadikan perjanjiannya ?"
Cu Jiang menduga bahwa orang itu hanya mengumbar
janji2 manis saja. Sekalipun dengan janji2 yang lebih muluk
lagi, tak perlu kiranya dia mempertimbangkannya.
Andaikata ia menerima pun orang itu secara diam2 tentu
akan mengikuti perjalanannya.
Lain halnya apabila ditengah jalan bertemu dengan Ang
Nio Cu, tentulah dapat menolong nya.
"Ah, sayang..." Ia sengaja menghela napas.
"Sayang apa ?" "Aku tak dapat menerima perjanjian itu ?"
"Kenapa ?" "Karena aku tak dapat memutar balikkan kenyataan."
"Gok jin-ji perjanjian itu tidak mengikatmu dan bukan
siasat kosong . ." "Mungkin." "Pasti, tidak mungkin lagi. Aku akan menjamin demi
kehormatan !" Diam2 Cu Jiang geli. Kehormatannya untuk jaminan"
Anak kecilpun tahu kalau itu hanya membual saja.
"Kuserahkan saja nasibku kepada Thian. Apalagi yang
kuketahui memang hanya begitu."
"Apa engkau tak setuju untuk tukar menukar ?"
"Tidak setuju."
"Tahukah engkau bahwa setelah engkau dilepas untuk
bertemu dengan pemilik Piagam Hitam, orang yang
ditugaskan untuk mengikuti jejakmu tak lain aku sendiri ?"
"Oh!" "Mati hidupmu adalah ditanganku."
Karena dengan cara halus gagal, orang itu mulai
menggunakan dengan kekerasan. Cu Jiang menghela napas.
"Walaupun aku mempunyai seratus kesempatan untuk
hidup, tetapi aku tetap tak mau memenuhi permintaanmu."
"Baik, pembicaraan kita sampai disini dulu. Mudah-
mudahan engkau mau mempertimbangkan lagi."
Suara itupun segera lenyap.
Cu Jiang masih duduk bersandar pada dinding ruang.
Dendam dan kebencian itu cepat melalu lalang dalam
benaknya sehingga darahnya bergelora keras dan hampir
saja ia tak dapat menguasai diri.
Dari segala segi kesimpulan, ia mendapat kesan bahwa
Gedung Hitam itulah musuhnya. Kini diapun sudah
menjadi tawanan musuh. Tenaganya lumpuh. Ia tak
berdaya sama sekali. Harapannya hanya bergantung dengan Ang Nio Cu.
Tetapi itupun belum pasti kalau Ang Nio Cu akan berhasil
membawa obat untuknya. Tiba2 Go leng-cu buka suara dari ujung ruang dimuka.
Suaranya masih lemah. "Siau-sicu siapakah yang bicara tadi ?"
"Congkoan dari Gedung Hitam, orang she Lim."
"Siau sicu . . . mengapa tak . . . mau menggunakan
kesempatan itu ?" "Siau-sicu, Thian hian toyu sudah bebas."
Cu Jiang terkejut sehingga tubuhnya menggigil.
"Thian-hian cianpwe sudah meninggal ?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. saat ini."
Walaupun hal itu sudah dapat diduga, tetapi kematian
yang begitu menyedihkan dari seorang tokoh yang
termasyhur, benar2 menimbulkan kemarahan hati.
Cu Jiang segera berlutut memberi hormat. Karena tempo
hari mendiang imam itu pernah menolongnya. Jika tiada
pertolongan Thian-hian-cu, kemungkinan dia tentu sudah
mati ditangan Hakim Hijau.
Suasana dalam ruang penerangan itu sungguh menyedihkan sekali. Seorang yang sudah setengah mati dan
seorang yang sudah mati. Karena tak dapat menahan kemarahannya, Cu Jiang
segera menghantam dinding tembok.
"Mati ....!" teriaknya kalap.
Teriakannya itu menimbulkan kumandang yang keras.
Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan sesaat
kemudian dinding tampak merekah sebuah pintu.
Dalam sinar remang2 yang memancar ke bawah,
dapatlah Cu Jiang melihat sebuah tangga titian yang
menjulang keatas. Tak lama dua orang Pengawal Hitam turun ke ruang itu.
"Kenapa berteriak!" seru salah seorang.
"Ada orang mati !"
"Siapa ?" "Imam ini." Seorang baju hitam itu segera menghampiri dan
memeriksa pernapasan Thian-hian-cu. Kemudian berseru
dingin: "Makin lekas mati makin bebas. Perlu apa berteriak-
teriak tak keruan " Go Sam, Lekas lapor pada congkoan !"
Kawannya segera naik keatas dan lama sastrawan
setengah tua atau Lim congkoan itupun datang. Setelah
memeriksa tubuh Thian-hian-cu, Lim congkoan berkata
kepada Go-leng-cu: "Paderi, engkau tahu sendiri. Jika orang sudah tak
bernyawa walaupun mendapat benda pusaka yang
bagaimana hebatnya pun tak berguna. Mengapa engkau tak
mau menyerahkan kitab pusaka Giok-kah-kim-keng dan
segera engkau akan bebas melihat langit yang biru lagi ?"
Dengan lemah Go-leng-cu menghela napas.
"Pinceng telah mengatakan dengan sejujurnya. Bagaimana harus menyerahkan kitab Giok kah-kim-keng
itu ?" Sasterawan setengah tua atau Lim cong-koan tak mau
bicara lebih lanjut. "Angkut keluar dan kubur !" perintahnya kepada kedua
orang baju hitam. Kedua orang itu segera mengiakan. Yang bernama Go
Sam membawa sebuah karung besar. Jenasah Thian-hian-
cu segera dimasukkan kedalam karung itu.
Melihat tindakan yang tak kenal perikemanusian itu, Cu
Jiang menggeram. "Apakah sama sekali tak disediakan peti mati ?"
Go Sam tertawa mengekeh. "Cui-pat koay, ini saja masih enak. Besok kalau engkau
yang mati, karungpun takkan kusediakan."
Kemudian dia terus berkata kepada kawannya:
"The Put Ko, kita isi perut dulu baru nanti bekerja lagi,
bagaimana ?" Yang dipanggil The Put Ko mengiakan.
Demikian keduanya segara keluar lagi dan tinggalkan
karung itu didalam ruang.
Tiba2 mata Go-leng cu berkilat-kilat terang dan terus
menggeliat duduk. "Nak, engkau bakal tertolong!"
Cu Jiang terkesiap, serunya : "Bagaimana cianpwee?"
"Hud cou benar2 melimpahkan berkah. Thian telah
memberi kesempatan..."
"Aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Ini merupakan cara bergulat dengan maut."
"Tetapi semua itu tergantung dari keputusanmu...."
"Bagaimanakah caranya?" akhirnya Cu Jiang mulai
tertarik juga. "Engkau tukar tempat dengan Thian-hian-cu toyu !"
Cu Jiang terbeliak beberapa saat. Kemudian baru dia
dapat mengerti rencana paderi Go-leng-cu itu.
"Maksud cianpwe supaya aku yang masuk kedalam
karung itu dan jenazah Thian hian-cianpwe dipindah keluar
?" "Tepat !" "Tetapi hal itu bukankah berlaku tak hormat kepada
yang mati ?" "Ah, tak perlu mengurusi soal tata cara begitu. Yang
penting engkau dapat lolos dari sini."
Cu Jiang tegang sekali! "Tetapi bagaimana dapat mengelabuhi mereka?"
"Ruang penjara ini gelap sekali. Pandang matapun tak
dapat jelas. Dan merekapun tentu tak mengira bakal terjadi
peristiwa semacam begitu. Lekas engkau lepaskan baju dan
pakaikan kepada Thian-hian toyu lalu sandarkan dia pada
dinding ditempat itu. Mereka tentu akan mengira engkau
sebagai Thian-hian cu dan Thian-hian-cu dikira sebagai
engkau." "Ini..." "Melepaskan kesempatan baik ini. akibatnya tentu sangat
disayangkan." "Tetapi kalau dikubur, tentulah aku tak dapat keluar lagi.
Bagaimana cianpwe hendak suruh aku berbuat begitu. . ..
Apakah cianpwe masih punya lain cara lagi ?"
"Kesempatan mati dan hidup sama2 lima puluh persen.
Apakah engkau bersedia untuk melakukan cara yang
berbahaya itu ?" "Daripada menunggu mati dijagal, lebih baik aku
berjuang menentang maut. Ya, aku bersedia !"
Go-leng-cu mengangguk: "Baik, jangan membuang
waktu yang berharga. Nak, dengarkan . . . ."
"Silahkan, cianpwe."
"Ketika berkelana ke negeri Thian-tok (India) dahulu
pinceng bertemu dengan seorang sakti yang memberi
pinceng sebutir pil Kui-si-wan . . . ."
"Kui-si-wan ?" Cu Jiang menegas. Kui-si-wan artinya pil
Napas-kura2. "Ya, mungkin engkau belum pernah mendengar. Pil itu
tetap kusimpan, belum pernah kugunakan. Apabila minum
pil itu akan dapat menutup napas sampai dua belas jam.
Sepintas pandang tampak seperti orang mati. Dua belas jam
kemudian, akan hidup lagi seperti sediakala . . ."
"O, yang kudengar hanya ilmu Kui-si-tay-hwat (ilmu
pernapasan kura2), tetapi belum pernah . . .."
"Sudahlah, waktu amat berharga sekali!" cepat Go leng-
cu menukas. "Tetapi tenagaku sudah punah, kalau sampai dikubur,
bagaimana dapat keluar ?"
"Itulah yang kumaksud menempuh bahaya. Menurut
perhitunganku, mereka tentu tak membuat liang yang
dalam untuk menguburmu. Mungkin hanya ditimbuni
dengan tanah dan semak. Hal itu tentu mudah engkau
dorong keluar. Bahkan kemungkinan mereka mungkin
hanya melempar ke semak belantara saja. Itu lebih baik
lagi!" Paderi Go - leng - cu segera mengeluarkan sebutir pil
sebesar buah kelengkeng. "Segala hal itu sudah digariskan kodrat, minumlah!"
Gemetar tangan Cu Jiang ketika menyambuti pil itu.
Kali ini dia benar2 mempertaruhkan nyawa. Mati atau
hidup tergantung pada nasib. Kalau orang Gedung Hitam
itu mengubur secara sembarangan saja, dia tentu dapat ke
luar. Tetapi kalau mereka mengubur dalam tanah yang
dalam apalagi kalau ditimbuni batu, tentulah dia mati...
"Pending Kumala hijau bukankah si pemilik Piagam
Hitam seperti yang engkau katakan tadi?"
"Ya." "Oh. apakah engkau bukan..."
"Aku tak dapat memastikan apakah akan dapat bertemu
dengan orang yang kumaksudkan itu!" cepat Cu Jiang
menukas. Go leng-cu merenung sejenak lalu berkata pula:
"Pinceng belum pernah mendengar tentang apa yang
disebut pemilik Piagam Hitam. . . ."
Tiba2 dari atas terdengar bunyi berderak-derak.
"Jangan bicara, penjaga datang mengantar makanan!"
cepat Go leng cu berkata.
Sebuah lubang merekah dan memancarlah sinar remang
dari bawah. Dari lubang di atas langit ruangan itu, dapatlah
diketahui bahwa dinding tembok langit2 ruangan tebalnya
lebih kurang dari satu meter. Sekalipun memiliki
kepandaian yang bagaimanapun sakti, tetap tak mungkin
mampu menjebolkan penjara itu.
Dan pada saat sinar itu mencurah ke bawah, Cu Jiang
menggunakan kesempatan untuk memandang ke arah Go
Leng cu. Ah... hampir ia menjerit.
Ternyata keadaan paderi Go leng-cu itu sudah berobah
sama sekali. Sepertiga mirip manusia, tujuh bagian seperti
setan. Jika tadi tak mengadakan percakapan tentulah dia
takkan mengenali lagi paderi itu sebagai Go-leng cu.
Memandang ke arah Thian-hian-cu. Cu Jiang makin
ngeri lagi. Imam itu yang termasyhur itu kini sama dengan mayat
orang jorok yang terlantar menggeletak di tepi jalan.
Dari jubahnya yang penuh berlumuran darah dapatlah
diduga bahwa imam itu tentu menderita siksaan yang luar
biasa hebatnya. Saat itu dari lubang di atas, meluncur sebuah rantang,
berisi tiga buah bakpau dan sebotol air.
Go-leng cu mengambil bakpau dan botol berisi air itu
lalu menaruhkan botol kemarin yang sudah kosong, tali lalu
ditarik ke atas lagi. Lubang tertutup dan keadaan ruang itu
gelap gulita pula. "Benar-benar sebuah neraka! " teriak Cu Jiang.
Go-leng-cu hanya menghela napas dan menyuruh Cu
Jiang makan. Walaupun dengan menahan perasaan geram, Cu Jiang
menurut juga. Diam2 ia berpikir.
Dengan minum pil dari Ang Nio Cu, dia hanya dapat
bertahan sampai lima belas hari. Tetapi dia telah
membohongi pimpinan Gedung Hitam, mengatakan kalau
mempunyai janji dengan pemilik Piagam Hitam.
Nanti apabila ia meninggalkannya, mereka tentu diam-
diam akan mengikuti. Dan lekas mengetahui bahwa hal itu
hanya bualan kosong yang dibuat2nya, tentulah orang
Gedung Hitam akan membunuhnya.
Dari pada mati konyol, lebih baik ia nekad berjudi
dengan maut. Apabila berhasil ia tetap hidup. Tetapi
apabila gagal dia pasti mati. Tetapi betapapun hal itu masih
mengandung suatu kemungkinan untuk dapat hidup.
"Baiklah, aku bersedia untuk menghadapi bahaya ini, "
akhirnya ia memutuskan. "Harap jangan lupa pesan pinceng." kata Go leng cu. .
"Tentu takkan lupa!" kata Cu Jiang Bahkan saat itu
sebenarnya dia hendak mengaku siapa dirinya tetapi tak
jadi. Ia kuatir tembok disitu mempunyai telinga. Kalau
sampai terdengar orang, tentu habislah riwayatnya.
"Nak, lekaslah bertindak, " Go leng-cu mendesak.
Cu Jiang segera bekerja. Ia mengeluarkan jenasah Thian
hian-cu dari karung, dipindah ke ujung ruang, pakaiannya
dibuka dan diganti dengan pakaiannya sendiri. Ia memakai
jubah imam itu. Setelah memberi hormat tiga kali, ia
kembali ke dekat Go-leng-cu.
"Cianpwe, sudah beres semua! "
"Lekas masuk ke dalam karung, " kata Go-leng-cu.
Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu.
"Cianpwe, soal ini kurang pantas . . . ."
"Mengapa" " Go leng-cu terkejut.
"Karena masih mempunyai perjanjian dengan pemilik
Piagam Hitam, aku masih mempunyai kesempatan hidup.
Tetapi cianpwe sendiri tak punya kesempatan apa2 lagi.
Seharusnya cianpwelah yang menggantikan tempat Thian-
hian cianpwe ini agar dapat lolos dari neraka di sini!"
"Ah, tak mungkin . . . . " kata Go leng-cu.
"Mengapa?" "Kesatu, karena pinceng telah berbuat suatu kesalahan.
Tiada muka lagi terhadap sesama ksatrya didunia. Kedua,
ilmu kepandaian pinceng sudah punah, menderita siksaan
hebat sehingga tak dapat bergerak sama sekali. Ketiga,
sebagai salah seorang dari Bu-lim Sam cu, telah kena
diperangkap oleh seorang kerucuk, kemana lagi mukaku
harus kusembunyikan . . ."
"Apabila cianpwe dapat lolos dari bahaya disini,
bukankah cianpwe akan dapat melakukan sesuatu . . .."
"Nak, aku sudah kehabisan hawa dan darah.... tak
mungkin dapat hidup . . . dua hari lagi!"
"Cianpwe . . . . "
"Nak.... lekas atau sesal kemudian tiada gunanya !"
Cu Jiang tak dapat berbuat apa2. Serta merta dia berlutut
memberi hormat kepada paderi Go-leng-cu.
"Aku akan melakukan perintah cianpwe," katanya
dengan nada penuh haru. Lalu cepat dia masuk kedalam
karung. Dengan menggunakan sisa tenaganya, Go-leng-
cupun segera mengikat lagi itu.
"Nak, minumlah pil itu !" serunya.
Dengan kuatkan hati, Cu Jiangpun terus menelan pil


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kui-si-wan itu. Terdengar pintu berderak derik dan suara langkah orang.
Tetapi kesadaran pikiran Cu Jiang makin pudar dan
akhirnya tak ingat apa2 lagi.
O000od-wo000O Jilid 7 Entah berapa lama ketika ia sadar, ia rasakan dirinya
seperti diseret di tanah yang lekak-lekuk tak rata. Tulang
belulangnya serasa copot dari persambungan.
Apakah dia hendak dikubur " Kalau benar, matilah aku.
Ternyata pil Kui-si-wan tak dapat bertahan lagi. Saat itu dia
sudah sadar. Dia akan dikubur, pasti dia akan dikubur
hidup-hidupan. Teringat akan hal itu, ngerilah hatinya. Dikubur hidup-
hidupan merupakan suatu kematian yang paling mengerikan. Tetapi beberapa saat kemudian, Ia merasa ada suatu
kelainan. Yang menyeret tubuhnya itu, sebentar berhenti
sebentar berjalan. Dan terdengar juga napas yang terengah-
engah. Jelas orang itu bukan seorang persilatan.
Cu Jiang tahankan segala penderitaan. Dia tak berani
berkutik. Tak lama kemudian, tubuhnya terasa berhenti
diseret. Tetapi sebagai gantinya dia mencium bau yang luar
biasa busuknya, bau mayat yang membuat perutnya mual
dan muntah. Menyusul seperti ada suatu benda yang
merayap di jubahnya. Napasnya mendesas-desis ditelinganya. Cu Jiang cukup lama tinggal di hutan. Dia faham akan
keadaan isi hutan. Serentak timbullah suatu bayang2 yang
mengerikan. Dan gemetarlah dia.
Breet. .. terdengar bunyi robekan dan karung itupun
jebol. Sebuah kepala serigala yang penuh berbulu, matanya
yang berapi-api dan lidah marah yang menjulur panjang,
tengah memandang kedalam lubang karung yang telah
dirobeknya itu. "Ah, mati aku sekarang." pikir Cu Jiang Tetapi sudah
menjadi naluri setiap mahluk hidup, tentu akan berjuang
untuk menghadapi maut. Demikianpun Cu Jiang.
Tiba2 ia teringat akan kutungan pedang Seng kiam yang
masih disimpan dalam bajunya. Ya, hanya itu satu-satunya
senjata yang dimiliki. Serentak dia mencabut dan
disorongkan lewat lubang karung.
Tiba2 serigala itu meraung keras sehingga jantung Cu
Jiang hampir copot. Cu Jiang pejamkan mata. Jika sekali tusuk tak dapat
membunuh serigala itu, dia sendirilah yang mati.
Detik2 yang tegang itu segera meledak. Dengan dahsyat,
secepat itu Cu Jiang kerahkan segenap sisa tenaganya maka
Cu Jiang segera menusuk tenggorokan serigala itu,
Terdengar lolong dahsyat disusul dengan gerakan dari
serigala yang meloncat-loncat dan berguling-guling meregang jiwa. Seolah-olah ditempat itu sedang berlangsung pertempuran dahsyat.
Sepeminum teh lamanya barulah suara dahsyat itu mulai
reda dan akhirnya tak terdengar lagi.
Cu Jiang menghela napas longgar. Ia tahu bahwa
tusukannya telah berhasil. Maka dia lalu melongok keluar
dari lubang karung itu Seketika tegaklah bulu romanya.
Seekor serigala yang besarnya sama dengan seekor anak
kerbau, rebah terkapar didalam genangan darah. Binatang
itu belum mati. Mulutnya menelan tangkai pedang, sedang
ujung pedang menembus pada tenggorokannya.
Dua ekor serigala kecil tengah mengerumun di dekatnya
dan menjilat2 darah serigala besar itu. Rupanya serigala
besar itu seekor serigala jantan. Tak lama lagi yang betina
tentu akan datang. Cu Jiang cepat bekerja. ia membuka tali pengikat karung
lalu merangkak ke luar. Ketika melihat suatu mahluk yang aneh, kedua anak
serigala itu ngangakan mulut seperti hendak menerkam Cu
Jiang. Cu Jiang segera mencabut pedang dari mulut serigala
besar lalu membunuh kedua serigala kecil itu.
Sarang serigala itu dalamnya tiga tombak. Merupakan
sebuah gua alam. Di dalamnya penuh tumpukan tulang2
manusia. Bahkan ada yang masih terdapat dagingnya.
Baunya jangan ditanya lagi.
Setelah tahu dirinya lolos, orang2 Gedung Hitam tentu
akan bertindak mencarinya. Lebih baik dia cepat2
tinggalkan tempat itu. Ia terus berbangkit dan hendak pergi tetapi tiba2
matanya melihat sebuah botol kecil di antara tumpukan
tulang itu. Cepat ia mengambil dan terus ke luar.
Ternyata tempat di sekeliling situ penuh dengan gunduk2
kuburan yang tak keruan timbunannya. Tentulah mereka
korban-2 yang telah dimakan serigala lalu dikubur
sekenanya saja. Ia menyadari bahwa tempat itu masih berada di
lingkungan kekuasaan Gedung Hitam. Lebih dulu dia harus
lolos dari cengkeraman mereka. Soal menuntut balas, saat
itu belum waktunya. Serentak ia lari dan dalam beberapa kejab ia sudah
mencapai sepuluhan li. Letihnya bukan kepalang sehingga
kakinya terasa berat sekali.
Tak jauh disebelah muka, dilihatnya sebuah lembah.
Rupanya lembah itu jarang didatangi orang. Dengan
kuatkan diri, ia lari menuju ke lembah itu. Ia mencari
tempat yang rapat lalu berbaring diri.
Siang itu, hari kedua siang dari jarak dia lolos,
Kemudian ia mengambil botol kecil tadi. Sehelai kertas
yang bertuliskan tiga huruf, melekat pada botol itu. Tiga
huruf itu berbunyi Hwe-thian-tan.
Diam2 Cu Jiang merenung. Karena dinamakan Hwe-
thian atau kembali dari langit, tentulah pil itu suatu obat
yang mujijad. Tetapi dia tak tahu, dapatkah pil itu
mengobati luka dari pukulan Thian-kong-sat yang
dideritanya. Ia membuka sumbat dan menuang isinya. Tiga butir pil
hijau sebesar Kacang hijau. ia tahu apakah khasiat dari pil
itu. Tetapi ia yakin, pil itu tentu obat yang hebat. Tanpa
banyak pertimbangan lagi. ia terus menelannya.
Perutnya terdengar berkeruyukan, rasanya panas sekali.
Seketika badannya seperti dibakar, urat2 mengkeret. Suatu
ciri seperti orang yang terminum racun.
Tiba2 ia muntah darah. "Ah. mati aku ....!" dia terus terguling-guling di tanah,
merangkak-rangkak. Sakitnya sukar dilukiskan.
Akhirnya ia kehabisan tenaga, ia merasa lunglai.
Tubuhnya serasa ringan sekali seperti daun bertebaran di
udara. Rasa sakitpun hilang.
"Ah, aku tentu segera mati !" ia mengeluh. Dan beberapa
saat kemudian dia tak ingat apa2 lagi.
Entah berselang berapa lama, pikirannya mulai sadar
lagi. Dia tak merasa sakit lagi bahkan tubuhnya terasa enak
sekali. Girangnya bukan kepalang, ia mencoba untuk
mengerahkan tenaga-dalam, ah, penuh dan memancar
dengan lancar sekali. Ia melonjak bangun. Girangnya melebihi orang yang
putus lotre sehingga sampai beberapa jenak ia tak tahu apa
yang harus dilakukan. Jelas pil Hwe-thian-tan itu dapat menghilangkan racun
pukulan Thian kong-sat. Sungguh dia tak pernah
memimpikan hal itu. Tentulah pemilik pil Hwe thian-tan itu dilontarkan
sebagai makanan serigala tetapi dia masih meninggalkan pil
itu sehingga tertolonglah jiwanya.
Teringat akan nasib paderi Go-leng cu. ia berlinang air
mata. Tentulah paderi itu telah meninggal.
Tiba2 angin berkesiur dan dua sosok bayangan hitam
muncul di sebelah luar. Itulah Pengawal Hitam, seru Cu Jiang dalam hati. Ia
memandang gerak gerik kedua orang itu dengan lekat.
Salah seorang dari dua Pengawal Hitam itu berkata:
"Lihatlah ! Benar tidak kataku tadi supaya masuk ke
dalam lembah . . ." "Engkau memang serigala! " seru kawannya.
Pengawal Hitam yang pertama tadi segera berseru
kepada Cu Jiang: "Hai, budak jelek, karena engkau minggat, pohcu telah
mengerahkan beratus-ratus ko-jiu untuk mencarimu. Hayo,
lekas ikut kami!" Cu Jiang tak mau menjawab. Tetapi diam2 dia sudah
bersiap. "Budak, walaupun dunia ini luas, tetapi jangan harap
engkau mampu lolos! " seru pula Pengawal Hitam yang
seorang. "Apa yang kalian kehendaki?" seru Cu Jiang dengan
dingin. "Huh, budak cacad, sudah tentu akan membawamu
pulang, perlu apa bertanya lagi!"
"Coba saja! " "Huh, engkau hendak melawan?" habis berkata
Pengawal Hitam terus ulurkan tangan menyambar.
Karena mengira Cu Jiang tentu masih lemas tak
bertenaga, maka santai2 saja Pengawal Hitam itu
menerkamnya. Bum, bum .... terdengar dua buah jeritan ngeri. Pengawal
Hitam yang menerkam itu terpental sampai tiga tombak
jauhnya, tulang-tulangnya remuk dan darah berhamburan
memerah tanah. Sedang yang seorang menggeletak di
tempatnya tak berkutik lagi.
Tenaga Cu Jiang sudah pulih kembali. Karena Pengawal
Hitam itu tak bersiap, sudah tentu mereka hancur lebur.
Pengawal Hitam yang menggeletak di tempatnya itu
masih dapat merintih-rintih tapi tak dapat berkata apa2.
Cu Jiang menghampiri dan mencengkeram Pengawal
Hitam itu, bentaknya: "Jawab pertanyaanku. Di mana letak Gedung Hitam
itu?" Hidung dan mulut Pengawal Hitam itu masih terus
mengalirkan darah. Mukanya berkerenyutan.
Cu Jiang benci sekali. Ia memelintir lengan orang itu lalu
mencabut pedangnya. "Kalau tak mau bilang, akan kuiris-iris tubuhmu! "
"Silahkan!" "Engkau tetap tak mau bilang?"
"Tidak! Sekalipun engkau mempunyai sayap, tak
mungkin engkau mampu lolos dari cengkeraman gedung
kami!" "Auhhh ..." orang itu menjerit karena dadanya tertembus
pedang. Namun dia tetap mengertek gigi dan tak mau
bilang. "Engkau mau bilang atau tidak! " Cu Jiang mengulangi
lagi. Dengan suara menantang Pengawal Hitam itu menjawab. "Tidak! Krakkk, Cu Jiang memelintir lengan orang itu hingga
patah. Orang itu merintih ngeri.
"Hayo, bilang tidak!"
Tubuh Pengawal Hitam itu menggeliat ke atas, Hoak . .
muntah darah lalu terkulai.
Cu Jiang terkejut. Ia tak tahu mengapa tiba2 Pengawal
Hitam itu mati. Tetapi pada suat itu dia melihat sesosok
bayangan muncul dari belakang pohon yang tak jauh
jaraknya. Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Jelas yang muncul itu
adalah sasterawan setengah tua atau Lim congkoan dari
Gedung Hitam. Apakah dia yang turun tangan membunuh
Pengawal Hitam itu" Tetapi pengawal Hitam itu tetap tak mau mengaku.
Sebenarnya tak perlu dilenyapkan.
Bagaimana cara Lim congkoan membunuh orang itu"
Jaraknya jauh, tentu dia menggunakan senjata rahasia.
Tetapi senjata rahasia itu sama sekali tak mengeluarkan
suara apa2. Lim congkoan tegak di depan Cu Jiang dengan mata
berkilat-kilat. Cu Jiang agak gentar juga.
"Ah, tak kira kita akan bertemu di sini." kata Cu Jiang.
Lim congkoan tersenyum. "Sahabat ternyata engkau licin bagai belut!"
"Ah, jangan anda memuji."
"Kita dapat membicarakan sesuatu."
"Apa yang harus dibicarakan?"
"Sudah tentu ada."
Cu Jiang lepaskan tangannya dan mayat Pengawal
Hitam itupun melongsor ke tanah.
"Apakah anda yang turun tangan?" tanya Cu Jiang.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anggap saja begitu."
"Kenapa. . ?" "Tak perlu engkau bertanya, sudah tentu ada alasannya!"
tukas Lim congkoan. Menggigil hati Cu Jiang. Jika orang itu turun tangan
kepadanya, bukankah dia akan mati tanpa mengetahui
bahwa orang membunuhnya"
"Kalau mau bicara, silahkan !" katanya.
"Sebenarnya aku ingin mengetahui asal usulmu yang
sesungguhnya." Serentak Cu Jiang menolak.
"Ah, maafkan." ia menolak.
Wajah orang itu agak berobah. Beberapa saat kemudian,
baru dia berkata pula: "Aku hendak bertanya satu lagi, harap engkau memberi
jawaban yang sejujurnya . . . . "
"Silahkan. " "Sebenarnya pelajar baju putih itu sudah mati atau masih
hidup?" "Maaf. tak bita memberi keterangan."
"Sahabat, saat ini engkau sudah berada dalam kekuasaan
Gedung Hitam . . ." "Belum tentu. "
"Asal kulepaskan pertandaan rahasia, sekali pun engkau
mempunyai sayap . ..."
Cu Jiang mengertek gigi dan tertawa dingin: "Mengapa
engkau tak melepas pertandaan itu?"
Sasterawan setengah tua itu kerutkan alis, sahutnya:
"Akan kutukar jiwanya dengan keteranganmu yang
jujur." Pada saat itu tiba2 sesosok bayangan melayang tiba.
Ternyata dia adalah si Mata-sakti Ong Tiong Ki, kepala
anak buah Pengawal Hitam.
Melihat kedua mayat Pengawal Hitam, Ong Tiong Ki
bertanya: "Congkoan, apakah budak cacad itu yang membunuh
mereka?" Lim congkoan hanya mendesah.
"Masakan budak itu memiliki kepandaian yang begitu
hebat ?" seru Ong Tiong Ki pula.
Lim congkoan balik bertanya dengan nada sinis:
"Kalau menurut anggapan Ong thaubak ?"
"Waktu dijebloskan dalam penjara, bukankah kepandaian budak itu sudah punah?"
"Mungkin saat ini dia sudah pulih lagi."
"Apakah congkoan tak dapat mencegahnya ?"
"Aku datang terlambat."
Mulut Ong Tiong Ki yang runcing berkomat kamit
seolah tak percaya akan keterangan Lim congkoan. Setelah
berdiam beberapa saat dia berkata.
"Apakah perlu membawanya kehadapan pohcu?"
Tampaknya Ong Tiong Ki sudah mencuri dengar apa
pembicaraan Lim congkoan dengan Cu Jiang tadi.
Wajah Lim congkoan bertebaran hawa pembunuhan.
"Ong thaubak menganggap tindakanku ini tak layak ?"
"Ah, masakan aku berani mengatakan begitu. Aku hanya
bertanya saja." "Baik, bawalah dia!"
Ong Tiong Ki segera berjongkok untuk memeriksa mayat
kedua Pengawal Hitam. Tiba2 Lim congkoan mengangkat tangannya dan
serentak Ong Tiong Kipun mengerang pelahan. Seperti
digambar pasir, tubuhnya rubuh telentang ke belakang.
Dia masih dapat menunjuk pada Lim congkoan dan
berseru dengan tersendat-sendat:
"Engkau.... engkau ..."
Tetapi dia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi:
Kepalanya terkulai dan nyawanyapun putus.
Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Sastrawan setengah tua
itu adalah congkoan dari Gedung Hitam tetapi mengapa dia
membunuh orangnya sendiri"
Apa yang terjadi tadi, dia sempat melihat juga. Ketika
mengangkat tangan, dan tangan Lim congkoan itu segera
memancar selarik benang perak yang amat halus sekali dan
tak mengeluarkan suara sedikitpun juga.
Jelas benda itu tentu sebuah senjata rahasia. Tetapi
senjata rahasia apakah itu " Atau apakah semacam pukulan
tenaga-dalam dari aliran Hitam "
"Mengapa anda membunuhnya ?" akhirnya karena tak
tahan, Cu Jiang bertanya.
"Karena dia sendiri yang cari mati," sahut sasterawan itu
dengan nada dingin. "Apakah anda tak takut melanggar aturan Gedung
Hitam ?" "Soal itu tak perlu engkau hiraukan."
"Anda masih akan memberi pesan apa kepadaku ?"
"Kuulangi permintaanku yang tadi. Kuharap engkau
suka mengatakan dengan sejujurnya tempat dimana pelajar
baju putih itu berada !"
Tiba2 tertarik juga hati Cu Jiang. Setelah merenung
sejenak ia bertanya: "Dalam kedudukan apakah anda ingin mengetahui hal
ini ?" "Pribadi!" "Apa sebabnya ?"
"Sahabat, jika ingin kubunuhmu, sekali mengangkat
tangan saja sudah beres."
"Mengapa tak mau terus melakukannya ?"
"Karena aku memerlukan sepatah kata dari mulutmu."
"Jika aku tak mau memberikan ?"
"Akan kujadikan engkau kawan mereka bertiga itu !"
"Tidak membawa aku kembali ke Gedung Hitam ?"
"Pertanyaanmu itu terlalu berkelebihan. Kulihat engkau
bukan orang tolol. Perlukah engkau kubawa kembali ke
Gedung Hitam agar urusanku pribadi berantakan?"
Cu Jiang terbelalak. Dia benar2 tak mengerti apa maksud
yang sebenarnya dari sasterawan setengah umur itu. Tetapi
ada suatu kesan yang dapat ditangkapnya. Bahwa
sasterawan yang menjabat sebagai congkoan dari Gedung
Hitam itu ternyata tak setia kepada Gedung Hitam.
Jika begitu, mengapa dia mengejar jejak ku begitu mati-
matian " pikirnya. "Anda hendak membunuh orang untuk melenyapkan
mulutnya ?" akhirnya ia bertanya.
"Sudah tentu." "Lalu apa tujuan anda berbuat begitu ?"
"Engkau hanya menjawab, jangan bertanya."
"Kalau begitu, anda tentu punya hubungan baik dengan
pelajar baju putih itu ?"
"Ya, memang. Dalam dunia persilatan ini, yang ada
hanya dua macam. Jika bukan Budi tentulah Dendam. Tak
ada lainnya lagi." "Sungguh pernyataan yang tepat !"
"Sudahlah, Jangan buang waktu, harap engkau
mengatakan sejujurnya."
"Anda mengatakan, bahwa keteranganku ini akan
mendapat Imbalan aku akan dibebaskan dari kematian ?"
"Benar." "Apakah anda tak takut kalau ku bocorkan rahasia
pembicaraan kita ini ?"
"Tidak. Tak mungkin engkau akan memberitahu kepada
pihak Gedung Hitam. Mereka tak mungkin mempercayai
engkau." "Aku sungguh tak mengerti. . .."
"Apa yang tak mengerti ?"
"Anda adalah congkoan dari Gedung Hitam. . ."
"Itu persoalan lain !"
"Dapatkah anda memberitahu tentang maksud anda
yang sebenarnya ?" "Tak perlu!" "Nama anda ?" "Ho Bun Cai !" Cu Jiang merenung sejenak lalu berkata.
"Aku hanya dapat memberitahu sepatah kata kepada
anda, tetapi janganlah anda bertanya lebih lanjut,
bersediakah anda menerima syaratku ini ?"
Sasterawan setengah tua itu mengangguk: "Boleh."
"Pemuda pelajar baju putih itu belum mati," tiba2 Cu
Jiang berkata. "Apa " Dia belum mati ?"
"Ya, dia masih hidup."
"Jika begitu keteranganmu dulu itu bohong?"
"Setengahnya bohong, setengahnya memang sungguh."
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Dia menderita luka parah, itu memang sungguh. Tetapi
dia mati itu, tidak benar."
"Lalu kemanakah tujuannya ..."
"Tadi anda telah sanggup untuk tidak bertanya lebih
lanjut !" Sasterawan itu menghela napas dan berkata menyerah:
"Ya, aku harus menepati janji. Takkan bertanya lebih
lanjut, tetapi .. .."
"Tetapi bagaimana ?"
"Tetapi yang tak menyangkut diri pelajar baju putih
itukan boleh ditanyakan ?"
"Itu .... boleh. Mana yang kuanggap dapat kujawab tentu
kuberi keterangan." "Perjanjianmu dengan pemilik Piagam Hitam itu
mungkin juga hanya karanganmu sendiri saja."
"Juga setengah benar, setengah tidak."
"Apa artinya ?"
"Janji itu memang benar ada. Tetapi pihak yang kuajak
berjanji itu, belum tentu dia orangnya."
"Pada waktu menunjukkan Piagam Hitam, bukankah
tujuanmu supaya engkau hidup ?"
"Wajar kalau setiap orang memburu hidup itu."
"Lalu siapa yang engkau ajak berjanji itu?"
"Maaf, soal ini tak dapat kuberi jawaban."
"Apakah engkau tetap akan pergi memenuhi janji itu ?"
"Mungkin." "Lebih baik jangan."
"Kenapa ?" "Terus terang kuberitahu kepadamu. Karena engkau
lolos maka pohcu marah sekali dan mengerahkan seluruh
ko-jiu dengan perintah harus dapat menangkap engkau.
Tempat engkau akan mengadakan pertemuan dengan orang
yang engkau janjikan itu, tentu sudah dikepung rapat oleh
jago2 Gedung Hitam. Juga semua anak buah Gedung
Hitam disebar ke mana-mana untuk memata-matai gerak
gerik mu. Selangkahpun engkau sukar hendak bergerak."
Cu Jiang menghela napas. Dan merasa kata2 sasterawan
itu memang benar. "Tetapi tak dapat selamanya aku harus bersembunyi
saja!" "Hal itu lihat suasana dan nasibmu !"
"Bagaimana dengan keadaan imam tua dalam penjara
itu?" "Mati." "Sudah mati ?" "Pada saat engkau lolos !"
Diam2 hati Cu Jiang seperti disayat sembilu. Dia berdoa
dalam hatinya. "Semoga cianpwe berdua beristirahat dengan tenang di
alam baka. Wanpwe bersumpah akan menuntut balas untuk
cianpwe berdua . .. ."
Cu Jiang tak mau bertanya lebih lanjut tentang kedua
tokoh Thian-hian-cu dan Go-leng-cu. Mereka toh sudah
mati. Ia alihkan pembicaraan.
"Anda hendak memberi petunjuk apa lagi kepadaku ?"
tanyanya. "Pada malam hari engkau harus menuju kearah utara,
lebih mudah untuk lolos dari sergapan mereka."
Arah utara itu, berlawanan dengan arah tempat dia
berjanji dengan Ang Nio Cu. Walaupun saat itu, tanpa
diduga-duga ia dapat menemukan pil Hwe-thian tan
sehingga luka dari pukulan Thian-kong-sat telah sembuh.
Tetapi karena dia berjanji dengan Ang Nio Cu. dia tak
enak hati kalau tak menetapi janji itu. Bukankah dengan
kesungguhan hati Ang Nio Cu hendak mencarikan obat
untuk dia " Kalau dia tak menepati janji, bukankah dia
malu terhadap wanita itu"
Dalam pada itu, sasterawan itu telah menghantam tanah
sehingga menimbulkan sebuah liang. Mayat ketiga anak
buah Gedung Hitam segera ditanam dalam liang itu. Agar
tak menimbulkan kecurigaan orang, maka kuburan itu
ditimbuni dengan daun dan ranting kering. Kemudian
berkata kepada Cu Jiang: "Sahabat, akan kutepati janjiku untuk membebaskan
engkau, sampai jumpa !"
Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu.
"Harap anda tunggu sebentar !"
Sasterawan Ho Bun Cai berputar tubuh.
"Engkau mau bilang apa lagi ?"
"Aku hendak mengajukan permohonan sedikit."
"Soal apa ?" "Kedua Jenasah dari Bu-lim Sam-cu itu supaya dikubur
baik2 dan dibuatkan batu nisan."
"Dikubur sih boleh tetapi batu nisannya tak dapat."
"Kenapa ?" "Engkau harus mengerti bahwa tindakan Gedung Hitam
itu tak boleh diketahui orang luar."
Cu Jiang merenung sejenak.
"Bagaimana kalau diberi tanda?"
"Tanda yang bagaimana ?"
"Asal mudah diketahui..."
"Apa maksudmu ?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena kedua cianpwe itu pernah sama2 sependeritaan
dengan aku." "Baik, akan kuusahakan."
Habis berkata dia terus melesat lenyap.
Cu Jiang beralih tempat duduk. Ia memikirkan diri
sasterawan setengah tua yang aneh sepak terjangnya itu.
Yang jelas orang itu tak setia kepada Gedung Hitam. Tetapi
mengapa dia begitu ngotot hendak mencari Jejak pelajar
baju putih yang tak lain adalah dirinya sendiri "
Menilik ucapannya dan caranya menetapi janji, rupanya
orang itu tentu seorang bu-su atau pendekar.
Janji dengan Ang Nio Cu, harus dipenuhi. Tetapi jelas
bahwa Gedung Hitam tentu sudah menyiapkan penjagaan
ketat disekitar tempat itu. Tokoh2 Gedung Hitam yang
memiliki kepandaian seperti sastrawan Ho Bun Cai, tentu
tidak sedikit jumlahnya. Kemudian ia memperhitungkan kekuatannya sendiri.
Walaupun ilmu tenaga-dalamnya kini sudah mencapai
tataran yang tinggi, tetapi dalam ilmu silat jelas dia masih
dibawah lawan. Apabila dia sampai tertangkap lagi,
kemungkinan besar tak mungkin dia dapat lolos lagi.
Disamping itu masih banyak janji2 yang harus ia penuhi.
Pesan Go-leng-cu kepada Gong-gong-cu itu, harus
disampaikan. Gedung Hitam tak dapat diragukan lagi, adalah musuh
dari mendiang ayahnya. Tetapi apakah Gedung Hitam itu
yang menjadi pembunuhnya, masih perlu diselidiki dulu.
Dengan mendapat gangguan dan ancaman dari pihak
Gedung Hitam, memang sukar sekali baginya untuk
melakukan penyelidikan itu.
Selama itu, ia hanya mendapat sedikit keuntungan
bahwa samar2 ia dapat mengetahui letak Gedung Hitam.
Ia merenungkan lebih lanjut dan mendapat kesimpulan
bahwa sasterawan Ho Bun Cai itu merupakan suatu
jembatan yang berharga untuk menyelidiki keadaan
Gedung Hitam. Tetapi bagaimana ia harus bertindak untuk mempererat
hubungannya dengan sasterawan itu"
Cepat sekali hari berjalan. Saat itu malampun kembali
tiba dengan membawa selimut hitam yang menebar di
seluas alam. Lembahpun gelap gulita sehingga tak dapat melihat jari
tangannya sendiri. Saat itu Cu Jiang mulai bergerak. Dia
lari keluar lembab. Dia bertindak dengan hati2 sekali agar
jangan sampai ketahuan oleh orang Gedung Hitam.
Ketika terang tanah dia sudah mencapai seratusan li
jauhnya, Dan pada waktu melihat kepulan asap dari sebuah
perumahan desa, ia mulai tegang.
Ia menyadari bahwa wajahnya yang buruk itu tentu akan
menimbulkan rasa kejut dan seram pada orang. Dan karena
orang Gedung Hitam sudah mengenal ciri wajahnya yang
rusak itu, maka tentulah jejaknya akan cepat diketahui
mereka. Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
pada malam hari dan pada siang hari, ia beristirahat.
Ia membeli ransum kering di desa itu serta seperangkat
pakaian. Pakaiannya yang lalu, dipakaikan pada mayat
Thian-hian-cu. Ia memutuskan tetap akan memenuhi perjanjiannya
dengan Ang Nio Cu. Ia tak peduli harus menghadapi
bahaya apapun juga. Ia terus melanjutkan perjalanan dan kurang dua hari dari
waktunya, ia sudah tiba di tempat perjanjian.
Cu Jiang mencari sebuah tanah tinggi. Ia mencari tempat
persembunyian yang rapat dan dari situ memandang ke
seluruh penjuru. Setelah sampai setengah hari tak melihat sesuatu yang
mencurigakan, barulah dengan menutup tubuh pakai
daun2, hati2 sekali ia masuk kedalam lembah.
Sepanjang jalan dia tak melihat sesuatu gerakan apa2.
Tetapi ia menyadari bahwa orang Gedung Hitam tentu tak
mau melepaskannya. Maka makin sunyi suasananya, makin
tegang dan menyeramkan. Tak lama dari sela2 gerumbul pohon, Ia melihat gua
rahasia yang menjadi tempat persembunyian kawanan Kiu-
te-sat dahulu, sudah tampak disebelah muka. Dia
menunggu dulu sampai beberapa waktu. Setelah tak melihat
suatu gerakan apa2, dengan mengambil jalan melingkar ia
maju menghampiri. Apa yang berada disitu, masih tetap serupa dengan
ketika ia tinggalkan tempat itu tempo hari. Bedanya
hanyalah, sekarang gua itu menyiarkan bau lembab.
Memandang kearah sembilan buah kursi, timbullah
kenangan Cu Jiang pada kesembilan tokoh Kiu-te-sat yang
rata2 berwajah seram. Setelah memeriksa pondok rumah batu itu ia mendapat
kesan bahwa keadaannya masih tetap sama seperti dulu. Ia
heran. Pada hal tak mungkin Gedung Hitam tak mengirim
jago2 yang sakti untuk menjaga tempat itu.
Apakah Gedung Hitam sudah menghentikan pengejarannya " Ah, tak mungkin. Kemungkinan yang
paling mungkin tentulah mereka belum tiba ditempat itu.
Kembali ke ruang muka tiba2 ia teringat akan ruang
rahasia dibagian belakang. Bukankah itu tempat persembunyian yang paling bagus " Dia sudah membekal
ransum kering, cukup untuk menunggu sampai beberapa
hari. Segera ia mencari botol dan diisi dengan air bersih
kemudian melangkah kebelakang pondok.
Ketika hampir tiba di ruang rahasia itu, kejutnya bukan
kepalang. Enam sosok mayat bergelimpangan ditanah. Menilik
pakaiannya jelas mereka tentulah Pengawal Hitam. Dan
setelah memeriksa lebih lanjut, pada alis setiap mayat itu
terdapat bekas titik merah.
"Bekas noda Jari-terbang." teriak Cu Jiang. Dengan
begitu Ang Nio Cu sudah datang tentu.
Tetapi menunggu sampai beberapa saat, belum juga
terdengar suara Ang Nio Cu.
"Apakah dia pergi lagi ?" pikirnya. Ia ingat dengan jelas
bahwa waktu perjanjian itu adalah lima belas hari. Dan saat
itu masih kurang dua hari, Tetapi mengapa Ang Nio Cu
pergi sebelum bertemu dengan dia " Taruh kata wanita itu
gagal mendapatkan obat, paling tidak tentu harus bertemu
muka dan memberi keterangan.
Ia yakin wanita seperti Ang Nio Cu tentu akan pegang
janji. Ah, mungkin Ang Nio Cu mengira dia tentu tak
datang karena mendapat halangan.
"Ya, memang mungkin begitu," akhirnya Cu Jiang
menarik kesimpulan, "karena akulah yang membuat janji
kepada Ang Nio Cu akan menunggunya di gua rahasia
situ." Ia bimbang, menunggu atau pergi. Akhirnya ia
memutuskan akan menunggu sampai waktu yang telah
dijanjikannya itu. Dengan keputusan itu, ia lanjutkan langkah ke ruang
rahasia di belakang pondok.
"Siapa?" tiba 2 terdengar lengking teguran seorang anak
perempuan. Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Dia mundur
beberapa langkah dan dari sinar yang memancar di dalam
ruang batu itu, ia melihat sesuatu yang mengejutkan lagi.
Seorang dara baju hijau atau si dara cantik Ho Kiong
Hwa itu. Benar-2 suatu hal yang tak terduga sama sekali.
"Engkau adalah..."
Hampir saja mulut Cu Jiang berkata "engkau adalah
nona Ho." Tetapi seketika itu ia teringat akan wajahnya
yang sudah rusak maka buru2 ia menelannya kembali.
"O, engkau Gok-jin ji" seru Ho Kiong Hwa.
"Ya." Cu Jiang tertegun, "bagaimana nona tahu?"
"Engkau akan menepati janji dengan Ang Nio Cu?"
"Ya . . . entah..."
"Masuklah dan tutup pintunya!" seru dara baju hijau Ho
Kiong Hwa. Nada suaranya yang merdu dan wajahnya yang memikat
hati benar-2 menggetarkan hati Cu Jiang. Peristiwa nona itu
dikejar jago pedang dari Gedung Hitam dahulu, kembali
terbayang dikalbunya ....
"Masuklah dan kita omong2 di sini." kembali dara cantik
itu berseru pula. Setelah memeriksa empat penjuru tiada tampak suatu
apa, barulah Cu Jiang melangkah masuk dan menutup
pintu batu. Seketika ruang itu gelap gulita sekali sehingga
tangannya sendiripun tak dapat dilihatnya.
Cu Jiang tetap masih berdiri di ambang pintu. Rasa
heran telah menimbulkan keragu-raguannya sehingga ia
hanya tertegun saja. Beberapa saat kemudian barulah matanya dapat lebih
mengenal keadaan ruang yang gelap itu. Dilihatnya mata si
dara Ho Kiong Hwa tengah berkilat-kilat memandang
kepadanya. "Siapa nama nona?" Cu Jiang sengaja bersikap seperti
belum kenal. "Namaku Ho Kiong Hwa."
"Oh, mengapa nona Ho dapat datang ke mari?"
"Duduk dan marilah kita bicara dengan tenang."
Cu Jiang mengiakan lalu duduk. Berkata dara itu dengan
nada rawan: "Ketika berada di sekitar gunung ini, aku telah
dihadang musuh lagi . . ."
"Apakah orang Gedung Hitam..."
"Ih, bagaimana siauhiap mengetahui ?"
Cu Jiang tersadar kalau kelepasan omong. Cepat dia
menyusuli kata: "Karena melihat mayat2 diluar ruang gua ini tadi maka
aku menduga begitu."
"Ai, siauhiap cerdik benar," Ho Kiong Hwa tertawa.
"Silahkan nona melanjutkan," kata Cu Jiang walaupun
tergetar perasaannya. Dara itu hentikan tawa lalu dengan wajah serius berkata:
"Ketika aku dikejar orang2 itu hingga terdesak,
untunglah Ang Nio Cu muncul dan menolong aku . . ."
"Bagaimana nona dapat datang ke tempat puncak
gunung yang begini sunyi ?"
"Aku bermaksud hendak mencari guru sakti, belajar ilmu
silat untuk membalas dendam !"
"Oh," seru Cu Jiang, "lalu bagaimana?"
"Setelah menolong aku, Ang Nio Cu mengatakan bahwa
dia sedang menunggu janji dengan seseorang di lembah ini .
. ." "Oleh karena itu dia membawa nona kemari juga ?"
"Ya, begitulah."
"Lalu ?" "Waktu mencari orang yang dijanjikan itu secara tak
sengaja dia menemukan gua rahasia ini dan menyembunyikan aku disini."
"Kemudian?" "Belum orang yang dinantikan itu yang datang tetapi
beberapa anak buah Gedung Hitam "
"Lalu dibunuhnya ?"
"Benar." "Lalu kemanakah dia sekarang ?"
"Karena ada suatu keperluan, dia pergi dulu. Tetapi dia
meninggalkan pesan kepadaku supaya menunggu seorang
yang bernama Gok-jin-ji, yalah siauhiap sendiri."
"O, apakah dia meninggalkan pesan ?"
"Ya." "Apa pesannya ?"
"Sebenarnya dia habis pergi kedaerah Han-tiong mencari
seorang tokoh bernama Hwe-thian-jiu Ih Hwa untuk
meminta pil mujijad hwe-thian-tan."
"Pil hwe-thian-tan ?" Cu Jiang terkejut.
"Benar. Menurut katanya, hanya dengan pil Itu dapatlah
luka yang siauhiap derita disembuhkan, tetapi sayang ..."
"Bagaimana ?" "Tokoh Ih Hwa itu sedang keluar rumah dan tak jelas
kemana tujuannya." Serentak teringatlah Cu Jiang aku peristiwa yang dialami
digua sarang serigala itu. Secara tak sengaja dia telah
menemukan pil Hwe-thian-tan. Jika begitu bukankah Hwe
thian-Jiu Ih Hwa itu sudah mati dibunuh orang Gedung
Hitam dan mayatnya dimakan serigala itu "
Ah, sungguh besar sekali rejekinya. Ternyata Ang Nio
Cu juga akan mencari pil itu.
"Lalu bagaimana ?" ia bertanya kelanjutannya.
"Dia terpaksa kembali dengan tangan hampa."
"Ah." "Rupanya luka dari pukulan Thian-kong-sat yang
siauhiap derita itu sudah sembuh ?"
"Benar, itu hanya secara kebetulan saja dan rupanya
memang berkah Thian."
"Bagaimana?" "Tanpa sengaja aku telah menemukan pil mujijad dan
kini sudah sembuh." "Aih, sungguh luar biasa ! Jika tahu begitu dia tentu tak


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bingung...." "Apakah dia bingung ?"
"Sudah tentu," kata Ho Kiong Hwa. "dia mengatakan
apabila tidak mendapatkan pil itu, dalam waktu lima belas
hari engkau tentu meninggal."
"Aku sungguh berterima kasih sekali atas budi
kebaikannya." "Tetapi mengapa siauhiap tidak menepati permintaannya
supaya menunggu di lembah ini ?"
"Aku tertimpa bahaya yang tak terduga-duga dan setelah
berhasil lolos dari cengkeraman maut, aku datang lagi
kemari untuk memenuhi janji."
"Bahaya apakah yang telah siauhiap alami?" Dengan
geram Cu Jiang berkata: "Kalau kuceritakan tentu akan
menimbulkan kepiluan hati, lebih baik tak kukatakan saja."
"O," Ho Kiong Hwa hanya mendesah tetapi tak mau
mendesak lebih jauh. "Nona menjelajahi gunung dan sungai hanya perlu
hendak mencari guru yang sakti ?" Cu Jiang alihkan
pembicaraan. "Ya." "Apakah sudah berhasil mendapatkan?"
"Belum." "Sebenarnya nona sudah berhadapan dengan guru yang
nona idam-idamkan itu mengapa tidak..,.."
"Siapa?" "Ang Nio Cu !" "Oh, dia" Dia tak mau menerima murid !"
"Mengapa ?" "Entah." "Ah, benar. Tahukah nona dimana beberapa sosok
mayat yang berada dalam gua ini ?"
"Telah dibawa keluar dan ditanam oleh Ang Nio Cu."
"Apakah dia akan balik kemari lagi ?"
"Ya." "Dia menyembunyikan nona disini dan meninggalkan
pesan kepada nona, apakah dia tahu kalau aku pasti datang
kemari ?" "Kurasa begitu. Dia mengatakan, kecuali tertimpa
bahaya, siauhiap pasti takkan ingkar janji."
Cu Jiang mengangguk. Diam2 ia tak menduga bahwa
Ang Nio Cu begitu mempunyai kepercayaan penuh
kepadanya. "Ang Nio Cu juga meninggalkan barang ini supaya
diserahkan kepada siauhiap," tiba-tiba Ho Kiong Hwa
berkata pula. "Barang apa ?" Ho Kiong Hwa menyulut korek dan seketika teranglah
ruang gua itu. Ia mengambil sebuah bungkusan kertas dari
bajunya dan diserahkan kepada Cu Jiang.
"Inilah." Merasa wajahnya buruk, Cu Jiang menundukkan kepala
dan berkata pelahan: "Harap lemparkan kemari." Sambil menyulut jelita
didekatnya Ho Kiong Hwa tertawa dan berseru:
"Sebagai seorang kelana dalam dunia persilatan,
mengapa siauhiap masih malu2 " Sambutilah !"
Ia terus melemparkan bungkusan kertas itu kepada Cu
Jiang. Sebenarnya bukan itu yang dimaksud Cu Jiang. Dia
merasa rendah diri karena menyadari bahwa wajahnya
rusak dan menyeramkan, tak sedap dipandang mata.
Diam2 Cu Jiang memuji akan kecermatan Ang Nio Cu
mempersiapkan rencana, Dalam gua yang gelap itu telah
disediakan juga sebuah pelita.
Dengan rasa heran, ia segera membuka bungkusan kertas
itu. Selesai membaca Cu Jiang menjerit dan tubuhnya
gemetar keras. Dalam bungkusan Itu tiada terdapat suatu benda lain
kecuali sehelai surat pendek macam karcis. Dan karcis itu
adalah karcis yang berisi pesan keluarganya dan yang telah
hilang ketika ia taruhkan pada pelana kuda. Kudanya
dibunuh orang, barang2 bekalannya tiada yang hilang
kecuali karcis itu. Benar2 ia tak menduga bahwa karcis itu akan jatuh di
tangan Ang Nio Cu. Ketika mengamati karcis itu ternyata terdapat beberapa
tambahan tulisan berbunyi:
Pohon kumala dilanda badai kehancuran, bunga cantik
bertebaran gugur. Karcis ini menjadi saksi. Jodoh sudah
ditentukan Thian. Membaca itu Cu Jiang terkejut. Baris pertama dari kata2
itu menunjukkan tentang nasib dirinya yang tertimpa
kemalangan. Baris kedua yang menyebut tentang bunga
cantik itu tentulah menunjuk Ho Kiong Hwa. Jelas Ang
Nio Cu hendak menjodohkan dirinya dengan nona Ho itu
... . Tanpa disadari ia memandang nona itu sejenak. Ah,
merahlah mukanya. Bunga cantik, ya benar, memang
Kiong Hwa benar2 bagaikan sekuntum bunga cantik.
Tetapi dirinya sendiri" Ah, betapa menyayat hati. Dia
tak lebih hanya seorang mahluk cacad yang wajahnya telah
rusak. Tiba2 Ho Kiong Hwa tertawa riang. "siauhiap, apakah
sepucuk surat?" "Ya." "Apakah isinya?"
"Tidak apa2, " sahut Cu Jiang.
Hoa Kiong Hwa hentikan tawa dan merentang mata
lebar-2, serunya setengah tak percaya:
"Dengan wanti2 Ang Nio Cu pesan kepadaku supaya
menunggumu untuk menyerahkan barang itu. Masakan tak
ada isinya?" Pilu hati Cu Jiang. Ia tertawa rawan.
"Nona Ho, isinya tak lain hanya beberapa pesan
pribadi." "Pesan pribadi" Apakah tak boleh dikatakan kepada lain
orang?" "Tak boleh. " "Tak percaya!" "Apa" Nona tak percaya?"
"Karena . ... oh Ho Kiong Hwa tundukkan kepala,
mukanya tersipu-sipu merah.
"Karena apa?" Cu Jiang tertarik untuk mendesak
keterangan. "Dia memberitahu kepadaku." kata Ho Kiong Hwa,
"setelah menyerahkan surat itu kepadamu, engkau tentu
akan mengatakan apa2 kepadaku..."
Cu Jiang menyadari bahwa dirinya yang sudah cacad
begitu rupa masakan sesuai menjadi pasangan nona cantik
itu. Dia memang tak menduga bahwa Ang Nio Cu akan
mengatur perjodohan itu. Terpaksa dia akan mengecewakan harapan Ang Nio Cu.
Ia tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Ho Kiong
Hwa apabila dia mengemukakan isi surat itu.
"Ah, aku takkan mengatakan apa2, " akhirnya ia kuatkan
hati. Wajah Ho Kiong Hwa menampil keheranan. Ia kerutkan
alis dan berkata: "Apakah sungguh begitu?"
"Ya." "Apakah Ang Nio Cu membohongi aku?"
"Ini . . . . , " Cu Jiang benar2 sulit untuk mengatakan,
"dia tak membohongi engkau ..."
"Kalau dia tak bohong dan siauhiap tak mengatakan
apa2 kepadaku, aku merasa bingung."
Setelah merenung beberapa jenak, Cu Jiang tiba2
menggigit jari tengahnya dan menulis di atas karcis itu.
"Engkau mau apa itu?" teriak Ho Kiong Hwa terkejut.
Selesai menulis, Cu Jiang mengangkat muka dan
menjawab: "Ah, tidak apa2."
Seketika wajah Ho Kiong Hwa tampak pucat dan
dengan suara gemetar ia berseru:
"siauhiap, tampaknya engkau terlalu tak menghiraukan
aku." Sejenak Cu Jiang memandang pula pada enam huruf
yang ditulis dengan darah pada karcis itu, berbunyi.
Burung Hong mana setimpal dengan burung gagak
buruk" kemudian ia berkata dengan nada serius:
"Nona Ho, apakah engkau anggap aku layak?"
"Layak apa?" "Layak tak menghiraukan orang ?"
"siauhiap, aku ... tak mengerti maksudmu ..."
Cu Jiang membungkus karcis itu lagi lalu diserahkan
kepada Kiong Hwa. "Tolong nona berikan surat ini kepada Ang Nio Cu.
Katakan bahwa budi kebaikannya terukir dalam hati
sanubariku. Kelak pasti kubalas."
Dengan tak berkedip nona itu memandang Cu Jiang. Dia
tak menyambuti bungkusan karcis itu melainkan berseru
keras: "siauhiap, paling tidak engkau harus memberitahu
kepadaku apa yang dikatakan Ang Nio Cu dalam surat itu."
Cu jiang tertegun. Beberapa saat kemudian ia lemparkan
bungkusan kertas itu kepada Ho Kiong Hwa.
"Nona Ho, silahkan lihat sendiri!"
Habis berkata ia berputar tubuh dan menekan alat
rahasia pintu gua. "siauhiap, apakah maksudmu?" teriak Ho Kiong Hwa
dengan gemetar. Saat itu pintu terbuka. Walaupun dengan hati seperti
disayat sembilu, tetapi Cu Jiang keraskan hati dan terus
melesat keluar. Dengan langkah yang tertatih-tatih ia segera
lari. Dia terus lari tanpa berpaling kebelakang dan tak berapa
lama sudah keluar dari lembah itu.
Ia menghela napas longgar. Wajah Ho Kiong Hwa yang
secantik bidadari masih terbayang di pelupuk matanya.
Dia merasa bahwa tindakannya itu paling tepat.
Bagaimana ia sampai hati untuk mempersunting bunga
yang secantik itu " Dan lagi itu hanya kemauan Ang Nio
Cu sendiri. Belum tentu Ho Kiong Hwa juga setuju.
Bukankah lebih baik dia sendiri yang menderita daripada
harus membuat nona itu ikut menderita "
Tiba2 di udara terbang melayang seekor burung bangau.
Dia terbang seorang diri dan memperdengarkan bunyi
berkaok-kaok yang sedih. Bukankah burung itu seperti dirinya " Tanpa terasa Cu
Jiang mengucurkan air mata.
Beberapa saat ia tertegun. Ia merasa seperti kehilangan
sesuatu. Setelah itu baru ia melanjutkan perjalanan lagi.
Dia sendiri tak tahu hendak menuju kemana. Pokok asal
lari membawa kepiluan hatinya.
Saat itu tak terasa haripun sudah petang. Ia baru
mengetahui kalau dirinya masih dalam lingkungan daerah
gunung, jauh dari pedesaan dan warung. Akhirnya ia
memutuskan untuk bermalam dalam gunung saja.
Memandang ke sekelilingnya, melihat sebuah puncak
batu yang tak begitu banyak ditumbuhi gerumbul pohon.
Segera ia menuju ke tempat itu.
Puncak itu penuh dengan batu2 besar, merupakan
tempat yang gersang dan cocok untuk tempat bermalam.
Ia membaringkan diri disebuah batu besar. Pikirannya
masih terbayang wajah Ho Kiong Hwa.
Beberapa saat kemudian bayangan Ho Kiong Hwa itu
berobah menjadi bayang2 wajah Ki Ing, puteri jelita yang
telah memberinya Piagam Hitam. Jelita Ki Ing dan
bujangnya yang karena ia bohongi, tentu menuju ke gunung
Bu-leng-san untuk mencari pemuda pelajar berbaju putih.
Diam2 Cu Jiang menghela napas rawan.
Tiba2 dari arah samping terdengar sebuah suara parau
menegur: "Hm, budak, mengapa menghela napas tak keruan
sehingga mengganggu mimpiku !"
Cu Jiang terkejut sekali. Ia tak mengira di puncak
sesunyi itu terdapat seorang manusia lain. Mengapa dia tak
mengetahuinya " Serentak ia menggeliat duduk. Di bawah sinar bintang
yang remang, ia melihat diatas sebuah batu besar yang
terpisah tiga tombak jauhnya, melingkar sesosok bayangan
hitam. Tubuh dan wajahnya tak kelihatan jelas. Hanya menilik
suaranya yang parau, dia tentu seorang tua.
"Siapa cianpwe ini ?" seru Cu Jiang.
"Budak kecil, engkau berani mengganggu aku ?" seru
bayangan hitam marah. Cu Jiang tertegun. Dia merasa bertanya dengan sopan
mengapa dianggap mengganggu "
Bayangan hitam itu berkata seorang diri pula: "Di dunia
ini benar2 tiada tempat yang tenang. Baru mau tidur saja
sudah tidak bisa." Cu Jiang tertawa meringis. Dia duga orang tua itu tentu
seorang manusia aneh. Lebih baik tidak usah ia pedulikan
saja. Dia segera rebahkan diri lagi.
Beberapa saat kemudian tiba2 orang tua aneh itu buka
suara lagi: "Budak, perangaimu yang aneh itu cocok sekali dengan
aku." Kata2 itu memang kasar tetapi makin menandakan
wataknya yang aneh. Sebenarnya Cu Jiang seorang pemuda yang berwatak
terus terang dan ramah. Dia menyahut dengan tertawa:


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah ?" "Budak mengapa engkau tidur di atas gunung begini ?"
"Mungkin sama dengan cianpwe."
"Engkau sama dengan aku orang tua ini" Ngaco belo!
Bau pupukmu belum hilang, masakah engkau juga jemu
pada dunia." "Hampir begitulah."
"Hm, siapa namamu?"
"Gok-jin- ji." "Hai, siapa?" teriak orang tua itu seraya menggeliat
duduk. "Gok-Jin-ji," Cu Jiang mengulangi.
Orang tua itu tertawa gelak2.
"Bagus, bagus, kucari-cari ke seluruh pelosok dunia tidak
berhasil, kiranya sekarang secara tak terduga-duga bisa
bertemu !" Cu Jiang tergetar hatinya. Apakah orang tua aneh itu
orang Gedung Hitam yang sedang mencari dirinya" Celaka,
keluhnya lalu diam2 dia bersiap-siap.
"Apakah artinya ucapan cianpwe ?" serunya.
"Aku memang justeru hendak mencarimu, budak
buruk..." Tiba2 dalam posisi masih duduk, orang aneh itu
melambung ke udara dan melayang ke tempat Cu Jiang.
Cu Jiangpun cepat menghantam dengan kedua
tangannya. Tenaga-dalamnya memang hebat sekali dan saat
itu dilancarkan dengan penuh. Orang tua aneh itupun
melayang balik ke tempatnya semula lagi.
"Hai. budak, mengapa engkau menghantam aku ?" teriak
orang tua aneh itu. Saat itu dia berdiri diatas batu.
Saat itu baru Cu Jiang dapat melihat bahwa orang tua
aneh itu tingginya hanya satu meter, gemuk seperti bola dan
rambutnya yang putih seperti perak, memanjang hingga
limbung dengan jenggotnya.
Dia mengenakan baju warna hitam yang memanjang
sampai menutupi lutut sehingga tampak tubuhnya makin
bundar. Melihat perawakan orang yang begitu ku koay, hampir
Cu Jiang tak dapat menahan geli tetapi dia tak berani
lengah. Bahwa hantaman yang dilancarkan dengan sepenuh
tenaga itu ternyata hanya dapat melemparnya kembali ke
tempatnya semula tetapi sedikitpun tidak sampai terluka.
Cu Jiang menyadari orang kate itu memiliki ilmu
kepandaian yang menakjubkan sekali.
"Apa yang tidak benar?" seru Cu Jiang. "Tak mungkin
engkau memiliki tenaga-dalam yang begitu hebat!"
"Kenapa ?" "Tenagamu yang semula, hanya tak ada separuhnya dan
sekarang ini!" Cu Jiang tertegun. "Dengan dasar apa cianpwe mengatakan begitu ?"
Orang tua kate itu mengelus-elus jenggot dan berseru:
"Sudah tentu apa yang kuketahui, habis dengan dasar
apa lagi?" "Tadi cianpwe mengatakan hendak mencari aku,
bukan?" "Benar." "Apa maksud cianpwe ?"
"Soal itu nanti dulu, sekarang kita bereskan sebuah
persoalan ..." "Persoalan apa?"
"Mengapa tadi engkau menghantam aku?"
"Karena cianpwe tak memberitahu siapa diri cianpwe
ini." "Aku orang tua yang hidup sudah seratus tahun masakan
harus lebih dulu memberi tahu asal usulku kepada seorang
anak?" "Saat ini wanpwe sedang dikejar musuh, maka..."
"Baik, soal itu tak perlu dibicarakan lagi. Tetapi engkau
tadi telah mengirim sebuah pukulan kepadaku, bagaimana
harus menyelesaikan perhitungannya ?"
Cu Jiang tertawa. Dia pikir orang tua itu masih seperti
anak kecil. Menilik sikapnya, dia tentu bukan orang
Gedung Hitam. "Lalu bagaimana cara menghitungnya ?" ia berbalik
tanya. Dengan wajah bersungguh, orang tua aneh itu berkata:
"Akupun harus mengembalikan sebuah pukulan kepadamu !" Cu Jiang pelahan-lahan berbangkit dan bertanya pula:
"Tetapi bagaimana cara mengembalikannya itu?"
"Bersiaplah untuk menerima !"
"Baik," sahut Cu Jiang. "tetapi apakah cian-pwe akan
memukul dari tempat cianpwe semula?"
"Tentu." "Ah, apakah itu sudah adil?"
"Budak, kata2mu itu menandakan bahwa hatimu jujur,
terimalah !" Habis berkata dia terus mengendapkan tubuh lalu
dorongkan kedua tangannya ke muka.
Walaupun terpisah dua tombak, tetapi Cu Jiang tak
berani meremehkan. Dia pusatkan segenap semangatnya
untuk menyambut. Eh, mengapa yang berhembus bukan tenaga pukulan
dahsyat melainkan angin yang lembut"
Apakah orang tua itu hendak berolok-olok kepadanya "
Belum habis rasa herannya, tiba2 angin lembut itu
berobah menjadi gelombang tenaga yang dahsyat.
Cu Jiang terkejut sekali. Dia hendak menghindar
ataupun menangkis, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dia
mengempos semangat dan menyambutnya.
Bum.... Dia terpelanting ke belakang dan jatuh dari atas batu,
sempoyongan sampai beberapa langkah dan membentur
segunduk batu besar. Walaupun tak sampai menderita luka
berat tetapi cukuplah membuat kepalanya pusing tujuh
keliling .... Orang tua aneh itu tertawa terbahak-bahak.
"Nah, begitu baru mending. Kalau tidak, aku si orang tua
ini tentu jatuh merk."
Cu Jiang tertawa meringis. Setelah menenangkan
semangat, dia loncat lagi keatas batu. Dilihatnya orang tua
aneh itupun sudah duduk lagi dialas batu:
"Cianpwe, kau sudah selesai ?"
"Uh. duduklah !"
Cu Jiang menurut. Duduk berhadapan dengan orang tua
itu barulah dia dapat melihat jelas wajahnya. Ternyata
orang tua itu berwajah welas asih.
Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua
aneh itu mengangguk-angguk.
"Ah, benar2 bahan yang bagus. Siau-lo-ji benar2 bermata
jeli sekali." Cu Jiang heran. Dia tak tahu apa yang dimaksudkan
orang tua aneh itu. Hanya mendengar orang tua itu
menyebut-nyebut tentang bahan bagus, dia serentak teringat
akan hubungannya dengan maksud hendak mengambil
murid. Dia benar2 heran, mengapa begitu banyak tokoh2 dalam
dunia persilatan yang ingin sekali mengambil dia sebagai
murid. "Apakah wanpwe dapat mengetahui nama locianpwe ?"
akhirnya ia bertanya. Orang tua itu kicupkan kedua matanya lalu mengurut-
urut jenggotnya dengan santai.
"Pernah dengar tentang nama Lam-kek-siu ?"
Cu Jiang terperanjat. Lam-kek-siu atau kakek dari
Kutub-selatan merupakan seorang tokoh aneh yang berada
diluar dunia persilatan. Namanya lebih atas dari Bu-lim
Sam-cu. Ketika ayahnya masih hidup, pernah mengatakan, ingin
sekali berjumpa dengan tokoh itu.
Ah, sungguh tak terkira bahwa orang tua pendek yang
berada dihadapannya itu tak lain adalah tokoh Lam-kek-siu
yang termasyhur itu. Serentak timbullah rasa mengindahkan kepada kakek Itu.
"Oh, locianpwe ini tokoh Lam-kek-siu yang termasyhur
itu ?" tanyanya. "Ya." "Maaf, wanpwe telah berlaku kurang hormat "
"Ngaco, aku ai kakek tua ini tak perlu engkau junjung
setinggi langit." "Wanpwe memang berkata dengan kesungguhan hati."
"Engkau dari perguruan mana ?"
"Dari keluarga sendiri."
"Siapa keluargamu ?"
"Ini.... maaf, wanpwe sukar mengatakan."
"Tak apa. Engkau tahu mengapa aku kakek tua ini
mencarimu?" "Mohon cianpwe memberi keterangan."
"Aku menerima permintaan tolong orang."
"Siapa ?" "Gong-gong-cu!"
"Gong gong-cu ketua dari Bu-lim Sam-cu?"
Cu Jiang menegas. "Sudah tentu, masakan dalam dunia persilatan terdapat
dua Gong-gong-cu!" "Ah, terlalu bagus sekali!"
"Terlalu bagus, apa maksudmu?"
Cu Jiang merasa kelepasan omong. Dia belum kenal
dengan Gong-gong-cu mengapa tokoh itu minta tolong
orang supaya mencarinya" Apakah artinya "
Tetapi itu memang sungguh kebetulan sekali karena ia
hendak menyampaikan pesan dari Go-leng-cu untuk Gong-
gong-cu. "Wanpwe juga menyanggupi permintaan orang untuk
mencari Gong-gong cianpwe."
"O, mengapa begitu kebetulan sekali. Siapa yang
menyuruhmu ?" "Go-leng-cu." "O, si kepala gundul yang menempuh bahaya itu. Soal
apa ?" "Sebuah pesan lisan."
"Mengapa kepala gundul itu dapat minta tolong
kepadamu?" "Karena dia . . . senasib dengan wanpwe."
"Senasib" Apa maksudmu?"
Cu Jiang lalu menceritakan tentang penjara di bawah
tanah dari Gedung Hitam. Tentang nasib yang dialami dari
Go leng-cu dan Thian-hian-cu dan tentang sarang serigala
yang menjadi kuburan dari tokoh2 persilatan.
Mendengar itu Lam-kek-siu marah. Rambutnya meregang tegak. "Kalau Gedung Hitam tak dibasmi, dunia persilatan
Tiong goan takkan tenang. Budak, engkau benar2 nyawa
kembalian dari neraka!"
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menyahut:
"Selama wanpwe masih bernyawa, tentu akan membasmi Gedung Hitam!"
"Sungguh berpambek tinggi! Pokoknya, engkau harus
lekas2 menemui Gong-gong-cu. . ."
"Tetapi di manakah beliau?"
"Dia hanya mondar-mandir di wilayah Sujwan-Oupak,
mencarimu!" "Bagaimana cara mencarinya?"
"Ini.... karena engkau meloloskan diri dari Gedung
Hitam, mereka tentu berusaha keras untuk menangkapnya
lagi. Oleh karena itu baiklah engkau jangan unjuk diri.
Begini saja, aku mempunyai sebuah benda, pergilah ke
markas Kay-pang cabang Kui-cin, tunjukkan benda itu dan
suruh pengemis2 itu membantu engkau mencarikan..."
Habis berkata Lam-kek-siu mengeluarkan sebuah tiokpay
(keping bambu) kecil, diberikan kepada Cu Jiang.
"Inilah pertandaan dari Kay-pang tiang-lo. Dulu seorang
sahabat pengemis memberikan kepadaku. Aku sih tak perlu.
Sekalian suruh mereka mengembalikan pertandaan itu ke
markas besar Kay-pang dan diserahkan kepada tianglo Kay-
pang yang bernama Tong Ih Leng bergelar Pengemis-
perayu nyawa." Sambil menyambut Cu Jiang menghaturkan terima
kasih. "Budak, apabila engkau tidak capek, malam ini engkau
berangkatlah . . ." "Jika begitu wanpwe mohon diri."
"Hati2 di jalan !"
Setelah memberi hormat, Cu Jiang lalu turun gunung.
Malam itu juga ia terus menuju ke Kui-ciu, mencari
markas partai Kay-pang. Cu Jiang tetap menggunakan cara yang sama. Kalau
siang beristirahat, sembunyi di hutan atau tempat yang sepi,
malam baru melanjutkan perjalanan.
Pada malam itu tibalah dia di luar kota Kui-ciu. Dia
bersangsi. Saat itu tengah malam, para pengemis tentu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah pulang kandang. Bagaimana ia hendak mencari
markas mereka" Setelah memikir beberapa saat. ia mendapat akal.
Menurut keadaannya markas cabang Kay-pang itu tentu
berada di tempat sepi di luar kota. Ah. baiklah ia coba2
mengitari kota, mungkin saja ia dapat menemukannya.
Dalam perjalanan itu tiba2 ia mendengar jeritan minta
tolong dari seorang wanita. Cu Jiang berhenti dan
memandang ke sekeliling. Rumah2 sudah mati lampunya
dan jeritan itu tak kedengaran lagi
Baru dia bersangsi tiba2 jeritan itu terdengar lagi tetapi
pelahan dan terputus-putus. Jika tak memiliki pendengaran
yang tajam tak mungkin dapat menangkap suara itu.
Kini Cu Jiang dapat mengetahui arahnya. Jelas dari
gerumbul hutan yang terpisah beberapa puluh tombak dari
tempat ia berdiri. Tanpa ayal lagi dia terus lari menghampiri. Begitu tiba di
hutan itu baru dia dapat melihat di dalam hutan Itu terdapat
sebuah rumah pondok yang dilingkari dengan pagar bambu.
Lampunya masih menyala. Menilik bangunannya, rumah
itu bukan rumah petani melainkan sebuah rumah orang
yang memang hendak mengasingkan diri dari pergaulan
ramai. Rumah itu merupakan satu-satunya rumah di hutan itu.
Tiada tetangganya lagi. Suara jeritan tadi jelas berasal dari
dalam rumah itu. Cu Jiang segera menghampiri. Begitu dekat ternyata
pintu rumah itu terbuka separoh. Dia terus melangkah
masuk. Apa yang dilihatnya benar2 mengejutkan sekali.
Di lantai ruang tengah, tampik sesosok mayat yang
bergelimangan darah. Korban mengenakan pakaian sebagai
seorang bun-in atau sasterawan.
Tiba2 terdengar suara rintihan bercampur isak tangis.
Asalnya dari kamar sebelah.
Cu Jiang segera menghampiri kamar itu dan melongok
dari jendela. Apa yang disaksikan dalam kamar itu benar2
membuat darahnya bergolak keras. Nafsu pembunuhan
serentak berkobar-kobar. Seorang Pengawal Hitam tengah meringkus seorang
anak berumur lima tahun, melintangkan pedang di leher
anak itu. Mukanya tertawa menyeringai sehingga anak itu
ketakutan setengah mati. Di pinggir ranjang berdiri seorang tua berpakaian hitam,
umur di antara 50 an tahun, sedang membuka pakaian dan
ikat pinggangnya. Sementara diatas ranjang, rebah seorang wanita muda
berumur 20-an tahun dalam keadaan telanjang dan
memandang lelaki tua itu dengan penuh dendam.
"Heh, heh, jangan memandang aku begitu rupa. Kalau
menghendaki jiwa anakmu, engkau harus mau melayani
aku main satu kali," lelaki berpakaian hitam itu tertawa
mengekeh. Bibir wanita itu mengumur darah. Rupanya dia telah
menggigit bibirnya sendiri karena dendam kebenciannya
yang meluap-luap. "Dengarkan, aku tak ingin menggunakan kekerasan.
Sikapmu begitu itu tak menyenangkan, Jika tidak..." kata
lelaki tua itu pula. Seketika terbayanglah Cu Jiang akan dua buah peristiwa
yang lalu. Anak perempuan dari paman Liok yang mati
diatas ranjang dengan tubuh telanjang.
Dan jenasah ibunya yang menggeletak diatas batu, juga
dalam keadaan tak berpakaian ....
"Tunggulah diluar, nanti kuberi mu bagian," kata lelaki
tua itu kepada Pengawal Hitam.
Wajah yang menyeramkan dari Pengawal Hitam itu
sejenak menyapu tubuh wanita muda yang rebah di ranjang
lalu melangkah keluar. "Jangan mengganggu anakku!" teriak wanita muda itu
dengan nada pilu. Saat itu lelaki tua sudah membuka pakaian dan hanya
tinggal celana dalam saja. Dengan tertawa menyeringai dia
berkata: "Asal engkau mau menurut saja dan dapat memuaskan
aku, anakmu tentu selamat."
Cu Jiang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia
terus menerjang masuk dan tepat kesampokan dengan
Pengawal hitam yang membawa anak kecil itu.
"Siapa engkau !" bentak Pengawal Hitam.
Secepat kilat Cu Jiang terus mencengkeram tangan orang
itu. Marah sekali Cu Jiang sehingga ia mencengkeram
dengan sekuat tenaganya. "Auh..." Pengawal Hitam menjerit karena tulang
pergelangannya pecah dan pedangnyapun jatuh.
"Hai, ada apa itu!" seru lelaki tua dalam kamar.
Pengawal Hitam lepaskan anak kecil lalu menghantam
dada Cu Jiang. Krak.... Cu Jiang menangkis. Pengawal Hitam itu
tergetar. Sebelum ia sempat menghantam lagi, Cu Jiang
sudah mendahului menghantam kepalanya, prak.... rubuhlah orang itu ke lantai.
"Pek thaubak. budak . . itu ....," sebelum melayang
jiwanya, Pengawal Hitam itu sempat berteriak.
"Ho, bagus, kiranya engkau budak!" dengan masih
mengenakan celana dalam kepala kelompok atau thaubak
orang she Pek itu segera melesat keluar.
Dengan berapi-api Cu Jiang memandang orang itu.
Wajahnya yang rusak dan memancarkan hawa pembunuhan itu, membuat ngeri Pak Thaubak sehingga
menyurut mundur selangkah.
Wanita muda menyambar selimut untuk menutup
tubuhnya lalu lari keluar dan membopong anak kecil itu ke
sudut. "Budak buruk, tak kira engkau mengantar jiwa sendiri."
seru Pak thaubak menyeringai iblis.
Sepasang bola mata Cu Jiang merah membara dan
gerahamnya bergemerutukan. Tanpa berkata apa2, dia terus
menghantam. Pak thaubak menangkis dan tangannya yang lain
menyambar. Tetapi alangkah kejutnya ketika tenaga
pukulan Cu Jiang itu sedahyat gunung meletus. Krak.... Pek
thaubak terpelanting kedalam kamar.
Sebelum dia sempat bergerak, Cu Jiang sudah loncat dan
mencengkeram bahunya. "Auh..." Pek thaubak mengerang kesakitan karena
bahunya mengucur darah. Jari2 Cu Jiang telah menembus
masuk kedalam dagingnya. Pek thaubak terbelalak. Dia tak mengira bahwa Cu Jiang
memiliki tenaga yang sedemikian sakti.
Cu Jiang tak bicara apa2. Matanya yang merah membara
sudah berbicara sendiri. Pek thaubak nekad. Karena tubuhnya lemas akibat jalan
darah pada bahunya dicengkeram, dia mengangkat lutut
kaki kanannya dan dibenturkan ke perut Cu Jiang.
Cu Jiang sedang dirangsang kemarahan sehingga dia
kehilangan kewaspadaan. Dia tak mengira lawan akan
menggunakan cara itu. "Huh.." ia mengerang tertahan dan terjungkal ke
belakang. Kalau tak memiliki tenaga-dalam yang tinggi,
tentu dia sudah mati saat itu.
Berhasil dengan gerakan lutut, Pek thaubak menyusuli
lagi dengan sebuah tendangan.
Tetapi saat itu kesadaran Cu Jiang sudah kembali, ia
miringkan tubuh sembari menyambar kaki lawan dan
sebelah tangannya bergerak untuk menabas kaki orang,
krak. Tulang kaki Pek thaubak pecah dan orangnyapun rubuh.
Cu Jiang membarengi menerkam paha orang.
"Ha. ha, ha " dia tertawa gelak2.
"Budak engkau berani . . .. "
"Akan ku robek-robek tubuhmu, anjing !" teriak Cu
Jiang. Krak .... sekali merentang kedua lengannya terdengar
Pek thaubak meraung ngeri karena tubuhnya sempal dua.
Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melangkah
ke luar. Tampak wanita muda tadi dengan memeluk anak
kecil tengah menelungkupi mayat lelaki berdandan seperti
sasterawan itu, menangis tersedu-sedu.
Sinar lampu yang redup di malam hari, menambah
suasana tempat itu makin seram.
Lama sekati baru wanita itu menyadari bahwa di
sampingnya terdapat seorang pemuda yang tegak berdiri, Ia
mengangkat muka dan terkejut ketika pandang matanya
terbentur pada wajah Cu Jiang yang buruk.
Tetapi sesaat kemudian wanita itu segera menghaturkan
hormat: "Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap!"
"Ah, tak usah, " kata Cu Jiang dengan nada hambar,
"hanya secara kebetulan saja. Apakah yang meninggal itu
suami nyonya?" "Ya memang .... suamiku," kata wanita itu tersendat-
sendat. "Siapakah namanya?"
"Sastrawan- pukulan sakti Kang Giok."
"Ah, bukan seorang yang tak ternama. Bagaimana asal
mula peristiwa ini?"
"Silahkan siauhiap melihat di atas meja itu ...."
Cu Jiang berpaling dan tiba2 menjerit:
"Amanat Maut!" "Benar, Amanat Maut dari Gedung Hitam."
"Mengapa Gedung Hitam mengirim amanat itu ke
mari?" "Karena kami pernah menerima seorang nona menginap
di sini. Dan nona itu adalah orang yang hendak dicari
Gedung Hitam." Cu Jiang terkejut. "Bagaimana nona itu?"
"Seorang dara yang berpakaian hijau."
"Dara berpakaian hijau" " ulang Cu Jiang.
"Ya. hal itu terjadi lima hari yang lalu . .."
"Apakah dara itu mengakui she apa?"
"Dia . . . mengatakan she Ho!"
Cu Jiang tergetar. Sungguh tak kira dalam dunia ini
terjadi hal yang aneh. Dulu ketika dia pulang dari berkelana
dan menolong nona yang bernama Ho Kiong Hwa itu,
telah menerima Amanat Maut dan Gedung Hitam. Jika
tidak wanita gemuk pemilik rumah penginapan yang
melindunginya, dia tentu sudah mati.
Tetapi wanita gemuk itu sendiri yang menjadi korban.
Rumah makan dan penginapannya dibakar dan wanita
gemuk itu jatuh miskin. Kini Kang Giok yang bergelar Sasterawan-pukulan sakti
itupun mati dibunuh orang Gedung Hitam karena
menolong Ho Kiong Hwa. Bahkan anak isterinyapun
hampir menjadi korban keganasan orang Gedung Hitam.
Tiba2 ia teringat akan dara Ho Kiong Hwa yang
tentunya masih berada dalam gua rahasia menunggu Ang
Nio Cu. Entah bagaimana keadaan dara itu.
Sesaat iapun teringat akan surat dari Ang Nio Cu yang
hendak menjodohkan dia dengan Ho Kiong Hwa. Teringat
itu merahlah wajah Cu Jiang.
"Nyonya Kang, baiklah malam ini juga engkau
tinggalkan rumah ini dan pergi sejauh mungkin. Orang
Gedung Hitam tentu tak mau melepaskan engkau begitu
saja, " katanya. Wajah nyonya muda itu pucat dan air matanyapun
segera berderai-derai ke luar.
"siauhiap, aku hendak mohon tolong sebuah hal..."
Cu Jiang tertegun. "Soal apa?"
"Akan kuserahkan anak ini kepada siauhiap."
Lalu nyonya?" "Hendak menyusul suamiku . . ."
Anak itu rupanya agak mengerti maksud ucapan
mamahnya. Dia memandang wajah mamahnya lalu
memandang Cu Jiang. Dia tahu walaupun berwajah buruk
tetapi Cu Jiang berhati baik. Dia tak takut.
"Jangan! " seru Cu Jiang.
"Apakah siauhiap tak meluluskan?"
"Saat ini aku juga orang yang sedang diburu Gedung
Hitam." kata Cu Jiang, "dan cara berpikir nyonya itu tak
benar. Suami nyonya dibunuh orang, nyonya seharusnya
berjuang untuk merawat putera nyonya. Dengan demikian
suami nyonya tentu dapat beristirahat dengan meram di
alam baka." Nyonya itu terisak-isak. Anaknyapun ikut menangis.
Adegan itu benar2 menyayat hati Cu Jiang.
"Nyonya Kang, harap lekas berkemas-kemas dan
memanfaatkan malam yang gelap ini untuk lolos." sesaat
kemudian Cu Jiang memberi peringatan.
Nyonya itu menurut Ia masuk ke dalam kamar. Tak
lama kemudian ke luar dengan sudah berpakaian dan
membawa sebuah bungkusan. Ia berjongkok di hadapan Cu
Jiang. "Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap." katanya
seraya memberi hormat. "Ah, tak usah, nyonya," Cu Jiang tersipu-sipu, "Harap
lekas bangun." "Dapatkah siauhiap memberitahu nama siauhiap yang
mulia?" serunya berbangkit.
"Aku . . . bernama Gok-jin-ji."
"Gok-Jin-Ji?" "Ya." "Nama gelaran ?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O, ya." "Nama yang sebenarnya ?"
"Aku tak punya nama dan she. Hanya nama gelaran itu."
"Akan kucatat dalam hati selama-lamanya."
"Lebih baik nyonya segera berangkat. Urusan disini
serahkan kepadaku." "Mayat suamiku ..."
"Aku yang akan menguburnya."
"siauhiap, keluarga Kang akan mengukir budi kebaikan
siauhiap itu." "Ah, tak perlu nyonya mempersoalkan hal sekecil itu.
Silahkan berangkat!"
Dengan masih berat hati, nyonya itu memandang lagi
sekeliling rumahnya. "Mah, kita akan kemana?" seru anak kecil.itu.
Air mata nyonya itu tiada putusnya mengalir.
"Nak, dalam dunia yang begini luas, kita tentu dapat
mencari tempat tinggal."
"Dan paman buruk !"
"Hui, jangan kurang ajar!" bentak mamahnya.
Cu Jiang tertawa. "Paman Buruk memang tepat. Harap nyonya jangan
marah kepadanya." "siauhiap, sampai jumpa lagi," nyonya itu memberi
hormat mohon diri. "Harap nyonya berhati-hati ..."
"Terima kasih !" dengan memondong anaknya nyonya
itu segera melangkah keluar dan lenyap dalam kegelapan
malam. Cu Jiang menghela napas. Kemudian ia menuju
kebelakang dan membuang liang untuk mengubur Kang
Giok. Dibuatkannya juga sebuah nisan dengan tulisan
nama Kang Giok. Tepat pada saat ia selesai mengurus mayat itu terdengar
suara ayam berkokok. Hari segera akan terang tanah.
Ia meletakkan Amanat Maut diatas kuburan lain
membakar rumah pondok itu. Maksudnya supaya orang
Gedung Hitam tahu bahwa orang yang hendak dibunuhnya
itu sudah mati. Tiba2 ia teringat bahwa nyonya tadi tentu juga seorang
wanita persilatan. Jika ia menanyakan letak markas Kay-
pang, mungkin tahu. Tetapi ah, dia sudah pergi jauh.
Cu Jiang melanjutkan perjalanan lagi. Saat itu di jalan
pun sudah tampak orang berlalu lalang. Ia merenungkan.
Apabila jejaknya diketahui Gedung Hitam, tentu akan
melibatkan markas Kay-pang.
Akhirnya ia kembali hendak mencari hutan yang sepi.
Tiba2 di tengah jalan ia melihat sebuah kuil besar. Dia
gembira Sekali karena tempat semacam kuil, merupakan
tempat persembunyian yang bagus. Segera ia lari
menghampiri. Tetapi tiba di tempat itu ternyata bukan kuil melainkan
sebuah biara yang megah dan besar. Papan nama besar
yang tergantung pada pintu bertulis tiga huruf Hian-to-
kwan. Pintu biara itu terbuka tetapi tak kelihatan barang
seorang penjaganya. Cu Jiang mengambil keputusannya. Dari pada mengganggu para imam dalam biara itu, lebih baik ia
mencari tempat yang sepi untuk bermalam.
Ia segera masuk. Di belakang pintu terdapat sebuah
halaman luas yang penuh ditumbuhi bunga2 indah. Jalan
ditengah tengahnya terbuat dari batu putih yang rapi dan
bagus. Di ujung halaman merupakan sebuah ruangan. Di
belakang ruang itu tentulah ruang besar. Di kanan kiri
terdapat pintu bundar yang disebut Gwat-tong- bun.
Pada ujung timur laut terdapat sebuah pintu yang
tertutup. Cu Jiang lalu menghampiri pintu itu dan mendorong.
Tetapi pintu itu terkancing dari dalam. Terpaksa Cu Jiang
loncat dari atas pintu. Dia menyusur sebuah lorong Jalan. Tiba diujung lorong,
terdapat sebuah halaman kecil. Di situ terdapat sebuah
pondok papan yang cukup bersih. Tetapi menilik halaman
itu penuh ditumbuhi rumput dan semak, jelas pondok itu
sudah lama tak dipakai orang.
"Tempat yang bagus! " pikirnya lalu menghampiri.
Tetapi sebelum tiba di pondok harus melalui sebuah
pintu halaman. Pintu itu dikunci dengan gembok yang
karatan. Cu Jiang tak berani membuka.
Iapun melihat bahwa pintu pondok yang terbuat dari
kayu dipelitur, Juga dikunci. Setelah memeriksa keadaan
disekeliling, Cu Jiang rebahkan diri diatas sebuah bangku
batu dibawah tangga bunga. Pikirnya, tempat itu cukup
aman, tentu tak diketahui orang dan para imam biara situ.
Karena semalam suntuk hampir tak tidur maka Cu Jiang
lelah sekali dan terus jatuh pulas.
Beberapa waktu kemudian ia terjaga oleh suara ribut2.
Ternyata saat itu sudah tengah hari. Cepat ia bangun dan
pasang telinga. Suara itu berasal dari luar pintu. "Bu-liang-siu-hud, siao-
to tak berani sembarangan masuk !"
"Ngaco!" "Tempat ini merupakan tempat larangan dalam biara
kami. Kecuali kwan-cu, tiada seorangpun boleh masuk."
"Minta mampus?"
"Apakah sicu sama sekali tak mengindahkan peraturan
dunia persilatan ?" "Suruh kunyuk2 kecil itu menyingkir"
"Sicu " Huak ... hoak .... terdengar serentetan orang muntah dan
menyusul sosok2 tubuh yang rubuh.
"Dobrak pintu dan ringkus kawanan imam hidung
kerbau disini !" Terdengar bentakan2 keras dan suara rintihan.
Bum... pintu jebol terhantam sebuah pukulan dahsyat.
Beberapa sosok bayangan segera menerobos masuk.
Melihat itu Cu Jiang segera loncat bersembunyi dibalik
sebuah gunung-gunungan. Dari celah gunungan batu itu ia
dapat melihat apa yang terjadi. Seketika meluaplah
kemarahannya. Ternyata yang menerobos masuk itu dua orang
Pengawal Hitam yang menjinjing seorang Imam setengah
tua. Dua orang Pengawal Hitam yang lain mengiring
dibelakang seorang lelaki tua berpakaian hitam.
Cu Jiang cepat mengenali lelaki tua baju hitam itu
sebagai salah seorang thaubak Gedung Hitam yang
bernama Kho Kun gelar Bu ceng-thay-swe atau Pangeran-
tanpa-kasihan. "Geledah !" Kho Kun memberi isyarat.
Kedua Pengawal Hitam itu segera maju. Brak, pintu
pondok ditendang dan terus menerobos masuk.
Imam yang dikepit itu merah matanya dan meronta
sekuat-kuatnya tetapi tak dapat melepaskan diri dari
himpitan kedua Pengawal Hitam itu.
"Perbuatan kalian ini tentu takkan dibiarkan kwan-cu."
imam itu berteriak-teriak.
O0o0dw0o0O Jilid 8 Plak Salah seorang Pengawal Hitam menampar muka imam
itu hingga mulutnya berdarah dan muka bengap.
Mata Cu Jiang melotot keluar, dada serasa mau
meledak. Pada saat ia hendak unjuk diri tiba2 ia melihat
sesosok bayangan melesat dan lenyap. Diam2 ia tahu
bahwa ditempat itu muncul seorang ko jiu atau tokoh sakti.
Terpaksa ia menahan diri dan tak mau bergerak keluar.
Diam2 dia menduga-duga, siapakah bayangan itu" Imam
dari biara atau orang Gedung Hitam"
Kedua Pengawal Hitam yang masuk ke dalam pondok
tadi keluar pula. Salah seorang membawa sejilid kitab,
dihaturkan kehadapan Bu-ceng-thay-swe Kho Kun.
"Laporan, yang kami dapatkan hanya kitab ini!"
Kho Kun menyambuti dan membacanya. "Ah, Thian-to
po-lok." "Itulah kitab pusaka dari biara kami, kalian jangan..."
"Tutup mulutmu, hidung kerbau!" bentak Kho Kun
kepada imam setengah tua itu ."lebih baik engkau serahkan
saja!" "Pinto benar2 tak tahan !"
"Mm, kalau belum menghadapi peti mati engkau
memang belum menangis. Kali ini engkau tak mau
menyerahkan kitab, Hian-to-kwan ini akan kuhancurkan."
Kho Kun mengancam. "Kitab itu sukar didapat keduanya!"
"Hidung kerbau, jangan ngaco belo. Siapa yang
membicarakan kitab itu ?"
Sekonyong-konyong sesosok bayangan melesat masuk.
Seorang lelaki tua berjubah kuning emas, mata berkilat2
tajam. "Bagus, Sebun sicu, harap memberi keadilan." imam
setengah tua itu serentak berseru.
Lelaki berjubah kuning emas itu kerutkan alis, serunya:
"Apa yang terjadi?"
"Mereka memaksa pinto supaya menyerahkan kitab
Giok-kah-kim keng. Katanya susiok kami yang memperolehnya." Mendengar keterangan imam setengah tua itu, Cu Jiang
terkejut Kiranya kawanan anak buah Gedung Hitam itu
sedang mencari kitab Giok-kah kim-keng. Yang disebut
susiok atau paman guru oleh imam setengah tua itu tak lain
adalah Thian-hian cu. Padahal para imam di biara situ tak tahu bahwa ketua
mereka yakni Thian hian cu sudah dibinasakan secara keji
dalam penjara di bawah tanah dari Gedung Hitam.
Itulah sebabnya mengapa pondok dalam biara itu tak
terawat. Kiranya pondok itu merupakan tempat semedi dari
imam Thian-hian- cu. Lalu siapakah lelaki tua yang mengenakan jubah kuning
emas itu" "Ho, kiranya Buddha-hidup Sebun Ong yang datang ini.
Maaf, aku berlaku kurang hormat." seru Kho Kun dengan
sinis. Cu Jiang makin kaget. Kiranya lelaki tua berjubah
kuning emas itu adalah Bu-lim-seng-hud atau Budha-hidup-
dari-dunia persilatan Sebun Ong, tokoh yang sering dipuji-
puji oleh ayah Cu Jiang waktu masih hidup.
Sebun Ong memiliki kepandaian yang sakti.
Dia menjalankan dharma sebagai seorang hiap-gi atau
pendekar utama!.. Menolong yang lemah dan membasmi
yang lalim. Itulah sebabnya orang persilatan mengagungkan
dia dengan sebutan Buddha hidup dalam dunia persilatan
atau Bu lim seng-hud. Sebun Ong balas memberi hormat: "Ah, terima kasih.
Tetapi siapakah kiranya nama anda yang terhormat ini ?"
"Aku Bu-ceng-thay-swe Kho Kun."
"Apakah saudara Kho tak keberatan untuk mendengar
sepatah kataku?" "Ah, kurasa lebih baik anda berada diluar kalangan."
sahut Kho Kun. "Sayang aku sudah terlanjur mengetahui dan tak dapat
membiarkan saja." "Kuharap janganlah anda terlalu membanggakan
kemasyhuran nama .. ."
"Ha, ha, ha..." Sebun Ong tertawa, "jangan keliwat
menyanjung terlalu tinggi. Aku jarang muncul dalam dunia
persilatan, bagaimana bisa membanggakan diri " Hanya
karena kepala biara disini seorang sahabatku yang lama,
terpaksa aku harus ikut campur. . ."
Tiba2 Cu Jiang teringat orang tua cacat didasar jurang
yang telah menolong dirinya ketika dilempar oleh orang
Gedung Hitam dahulu. Kakek cacad itu bernama Cukat
Giok bergelar Tionggoan tayhiap atau pendekar besar dari
Tionggoan. Karena isteri kakek cacad itu serong dengan Se-bun Ong,
maka kakek cacat itu sampai dicelakai oleh Sebun Ong.
Jelas bahwa Se-bun Ong itu seorang manusia yang telah
merampas isteri sahabatnya, dan mencelakai sahabat itu.
Cu Jiang pun teringat akan janjinya kepada kakek cacat
Tionggoan tayhiap Cukat Giok untuk menuntut balas pada
musuh yang telah mencelakainya itu. Dia akan membunuh
Tio Hou Hui isteri yang serong itu dan akan mencari anak
dari Cukat Giok. Tetapi melihat sikap dan nada Sebun Ong terhadap
orang Gedung Hitam, diam2 Cu Jiang bersangsi. Adakah
benar Sebun Ong itu seorang manusia jahat seperti yang
dikatakan kakek Cukat Giok itu "
Tiba2 saat itu Kho Kun tertawa mengekeh dan berseru:
"Sebun Ong, jangan terlalu tak tahu diri!"
Dengan wajah tenang, Sebun Ong tersenyum simpul:
"Apakah saudara Kho tak mau menerima ucapanku. . ."
"Sebun Ong, jika bukan engkau, saat ini tentu sudah tak
dapat bicara di hadapanku! " tukas Kho Kun.
"Aku hanya mengharap untuk memberi penjelasan."
"Apakah engkau tetap ikut campur?"
"Karena sudah begini, terpaksa aku tak dapat lepas
tangan!" sahut Sebun Ong.
Kho Kun keliarkan biji mata lalu berseru:
"Baiklah, karena engkau tetap akan ikut campur, aku
orang she Kho dengan memandang muka mu, akan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan imam hidung kerbau ini!"
Kedua Pengawal Hitam yang meringkus imam setengah
tua itu segera melepaskannya.
Imam itu gopoh menghampiri dan berdiri di samping
Sebun Ong. Kemasyhuran nama Buddha-hidup Sebun Ong benar2
amat berwibawa. Kehadirannya dapat memaksa thaubak
dari Gedung Hitam mau melepaskan korbannya.
"Adakah Sebun Ong itu mampu mengelabuhi dunia
persilatan agar menganggapnya sebagai seorang pendekar
perwira?" Cu Jiang memutuskan hendak menunggu perkembangan
selanjutnya. Ia ingin tahu bagaimana Sebun Ong akan
mengatasi peristiwa saat itu.
Dengan mengangkat tangan memberi hormat, Sebun
Ong menghaturkan terima kasih kepada Kho Kun.
"Ah, tak perlu, aku hanya melakukan perintah atasan
saja untuk menyelesaikan urusan ini. Dan karena anda ikut
campur dalam urusan ini maka kuminta anda menasehati
imam itu agar menyerahkan kitab Giok-kah-kim-keng, "
kata Kho Kun dengan nada dingin.
"Kalau tak mau menyerahkan?"
"Biara Hian-to-kwan ini terpaksa akan dicuci dengan
darah!" Sebun Ong berpaling ke arah imam itu.
"Han Hi, engkau sudah dengar sendiri. Jika tak
menyerahkan kitab itu, akibatnya sungguh berat. Kalau
paman gurumu pulang, akulah yang akan memberi
penjelasan kepadanya."
Wajah imam Han Hi mengerut, serunya: "Tetapi siau-to
benar2 tak tahu soal kitab itu!"
"Apakah keteranganmu itu sungguh2?"
"Siau-to mana berani bohong."
"Andaikata, di tempat yang engkau ketahui mungkin
menjadi tempat susiokmu menyimpannya...."
"Dalam biara, hanya pondok inilah yang biasa dipakai
susiok. Tiada lain tempat lagi!"
"Cobalah engkau pikir2! "
"Ini sukar . . . siau-to tak pernah ke luar dari biara."
Sebun Ong mengelus jenggot dan kerutkan alis. Dia
merenung diam sampai beberapa saat.
Kho Kun tertawa dingin: "Jika begitu, bukankah anda sudah boleh lepas tangan?"
Wajah Sebun Ong mengerut serius:
"Tidak !" Wajah Kho Kunpun mengerut gelap.
"Lalu bagaimana anda hendak mengurusnya?"
"Kasih waktu sebulan, biar kubantu Han Hi to te ini
mencarinya. Di samping itu akan kukirim orang untuk
mencari Thian-hian-cu, barangkali saja akan menyerahkan
sesuatu." Mendengar itu Cu Jiang mengertek gigi "Thian-hian-cu
jelas sudah meninggal. Bagaimana mungkin hendak dicari "
"Mungkin hal itu sukar terlaksana." seru Kho Kun
dengan hambar. "Lalu bagaimana kalau menurut pendapat anda?" tanya
Sebun Ong. "Bertindak menurut perintah!"
"Bertindak menurut perintah?" ulang Sebun Ong.
"Ya, mencuci biara Hian-to-kwan ini dengan darah."
"Karena aku berada di sini, mungkin sukar anda
melakukannya." "Sebun Ong, apakah engkau berani bermusuhan dengan
Gedung Hitam?" "Aku hanya membela keadilan dan kebenaran saja!" seru
Sebun Ong. Gagah sekali ucapan itu sehingga hati orang
merasa kagum. "Engkau tentu akan menyesal."
"Aku Sebun Ong, takkan menyesal apa yang telah
kulakukan!" "Sekalipun harus bertaruh dengan nyawa?" Kho Kun
menegas. "Jika perlu." "Apakah itu berharga?"
"Dalam membela kebenaran, tiada yang disebut berharga
atau tidak berharga."
"Rupanya kita harus mengadu kepandaian?"
"Orang she Ko, terus terang saja kukatakan kepadamu.
Sekalipun engkau mengajak empat orang kawanmu lagi,
masih bukan tandinganku, percaya tidak?"
Tring, tring .... keempat Pengawal Hitam serempak
mencabut pedang. Belasan imam yang muncul di sekeliling
pintu halaman mengerut alis dalam sikap hendak mengadu
jiwa. Suasana tegang meregang.
Tiba2 Cu Jiang mengambil keputusan. Soal pesan kakek
di dasar lembah terhadap Sebun Ong itu kelak tentu akan ia
selesaikan. Tetapi saat itu yang penting dia harus
membantu pihak Hian-to-kwan.
"Kho Kun, apakah engkau benar2 hendak mencuci biara
ini dengan darah?" seru Sebun Ong dengan nada gemetar.
Kho Kun deliki mata. "Rupanya memang begitu!"
"Sebun sicu," teriak Han Hi tojin, "kurasa lebih baik
engkau berada diluar urusan ini. Walau pun kami para
imam biara Hian-to-kwan ini tak becus, tetapi kami telah
bertekad hendak mempersembahkan jiwa demi membela
biara kami!" Sebun Ong pun berteriak keras:
"Jangankan aku ini sahabat karib dari Thian-hian-cu.
Sekalipun orang luar tetapi demi membela Keadilan dan
Kebenaran, aku tentu akan mengadu jiwa . . ."
"Sebun sicu, bersalah kepada Gedung Hitam, akibatnya .
. ." "Sudahlah, Jangan banyak bicara." cepat Sebun Ong
menukas kata2 imam itu. Setelah mendapat isyarat mata dari Kho Kun, keempat
Pengawal Hitam itu berteriak dan mulai menyerang Sebun
Ong. Karena Han Hi tojin juga berada di sampingnya,
diapun ikut terancam. Entah dengan gerakan apa, tahu2 Sebun Ong sudah lolos
dari serangan mereka, bahkan dia masih dapat membawa
Han Hi ke luar dari kepungan. Keempat pedang lawan
hanya menyerang tempat kosong.
Peristiwa itu benar2 mengejutkan orang.
Keempat Pengawal Hitam itu berteriak dan menyerang
lagi. Gerakan pedang mereka, hebat bukan kepalang.
Dengan menggerakkan tangan melingkar dan menggurat, keempat Pengawal Hitam itu terdampar
mundur. "Aku tak ingin membunuh orang, harap kalian tahu
diri." serunya. Kho Kun tertawa mengekeh.
"Sebun Ong, tak perlu pura2 berhati mulia. Pertempuran
ini pertempuran mati hidup. Kalau tiada yang mati tentu
tak selesai." Habis berkata dia terus silangkan kedua tangan dan
melangkah maju. Keempat Pengawal Hitam itupun segera mengambil
tempat, mengepung dari empat penjuru.
Sebun Ong menyiak Han Hi tojin. Imam itu pun segera
menghantam seorang Pengawal Hitam. Ternyata angin
pukulannya juga hebat sekali. Pengawal Hitam yang berada
di hadapannya, tersiak pedangnya dan orangnyapun
tersurut mundur dua langkah.
Dua orang Pengawal Hitam serentak maju menyerang
imam itu. Tetapi Han Hi tojin cepat melesat ke muka untuk
menghindar. Bum .... Terdengar letupan keras ketika pukulan Kho Kun
disambut oleh pukulan Sebun Ong.
Kuda2 kaki Kho Kan tergempur dua langkah ke
belakang. Jelas kepandaiannya masih kalah setingkat dari
Sebun Ong. Melihat itu seorang Pengawal Hitam cepat menusuk
punggung Sebun Ong dari belakang.
Tetapi Sebun Ong memang sakti. Punggungnya seperti
bermata. Dia menampar ke belakang dan pedang Pengawal
Hitam itupun mencelat ko udara, tepat jatuh di tempat
gunungan batu. Tetapi aneh pedang itu sama sekali tak mengeluarkan
suara. Dan tahu2 Pengawal Hitam yang di belakang itu
menjerit rubuh. Sekonyong-konyong dari balik gunungan batu itu
muncul seorang pemuda berwajah buruk, mencekal pedang
dari Pengawal Hitam yang terlempar jatuh tadi.
"Hai . . . !" sekalian orang menjerit kaget. Mereka benar2
tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya. Setan atau
manusiakah yang muncul itu" Kalau manusia mengapa
wajahnya begitu menyeramkan" Tetapi kalau setan
mengapa muncul di siang hari"
"Ho engkau! " tiba-tiba Kho Kun berpaling dan berseru
ketika melihat yang muncul itu tak lain adalah Cu Jiang.
Sejenak menyapu pada sekalian orang yang berada di
tempat itu, Cu Jiang menatap Sebun Ong dan berkata:
Pendekar Gagak Cemani 2 Dewa Arak 14 Sepasang Alap-alap Bukit Gantar Kekaisaran Rajawali Emas 4
^