Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 5

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 5


"Apakah anda yang disebut Bu-lim-seng-hud?"
Entah bagaimana perasaan Sebun Ong saat itu, girang
atau terkejut. Tetapi yang jelas wajahnya kelihatan
menyeringai seperti kucing tertawa. Namun dengan masih
bersikap garang dia menjawab:
"Ya, siapakah sahabat ini?"
"Aku Gok jin-ji."
"Gok-jin-ji?" "Ya benar. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan
Thian-hian-cu cianpwe kepala biara di sini."
"Oh..." Kemudian Cu Jiang berpaling menghadap Bu-ceng-thay-
swe Kho Kun dan berseru datar: "Apakah anda terkejut?"
"Budak cacad, memang aku tak menduga sama sekali."
sahut Kho Kun dengan sinis.
"Masih ada lagi yang akan mengejutkan hati mu! " kata
Cu Jiang. "Apa?" "Kalian pasti mati semua!"
"Budak cacad, jangan tekebur! Engkau mampu lolos satu
kali. jangan harap dapat lolos lagi untuk yang kedua kali"
Kho Kun maksudkan peristiwa Cu Jiang dapat
melarikan diri dari penjara di bawah tanah dalam Gedung
Hitam. Merah mata Cu Jiang. Melangkah maju dua tindak, ia
mengangkat pedang dan berseru bengis:
"Aku hendak membunuh habis kalian budak2 Gedung
Hitam ini, hm!" Tiga Pengawal Hitam, yang seorang menyerang dengan
tangan kosong dan yang dua menyerang dengan pedang.
Mereka bergerak cepat sekali,
Cu Jiang berputar tubuh seraya memutar pedangnya.
Hauhhh ... terdengar jeritan ngeri ketika salah seorang
Pengawal Hitam yang menyerang dengan pedang itu,
terpental batang kepala dan menggelinding ke lantai. Tak
ampun lagi tubuhnyapun rubuh.
Kedua kawannya terlongong kaget.
Cu Jiang sudah terlanjur dirangsang hawa pembunuhan.
Sekali bergerak, seorang Pengawal Hitam rubuh lagi. Kini
hanya tinggal seorang Pengawal Hitam yang menggunakan
pedang. Dengan sebuah serangan yang luar biasa cepatnya, tahu2
dada Pengawal Hitam itu sudah berlubang, darah
menyembur deras dan orangnyapun terhuyung mundur
sampai setombak. Wajah pucat seperti mayat ....
Dengan menggerung keras. Kho Kun terus menghantam.
Jurusnya aneh dan dahsyatnya bukan alang kepalang
"Berhenti!" tiba2 Sebun Ong membentak dan menangkis
pukulan Kho Kun. Sebenarnya Cu Jiang tak senang Sebun Ong mencampuri
urusan itu. Tetapi karena mengingat Sebun Ong sama2
menentang Gedung Hitam, terpaksa dia agak sungkan.
"Apa maksudmu?" teriak Kho Kun. Dengan wajah
serius, Sebun Ong berseru "Maksudku hendak menenangkan
keadaan ini." "Mungkin sukar!"
"Kho Kun, engkau sudah menyaksikan sendiri kesaktian
dari sahabat kecil ini. Kalau aku ikut masuk, mampukah
engkau menyelamatkan jiwamu?"
"Aku tak mudah digertak !"
"Tetapi itu suatu kenyataan yang tak dapat engkau
sangkal !" Cu Jiang hendak membuka mulut tetapi rupanya Sebun
Ong tahu dan mencegahnya:
"Sahabat, dalam melakukan sesuatu kita harus memikirkan akibat dibelakang hari."
Terpaksa Cu Jiang tutup mulut lagi. Ia menyadari akan
akibat yang akan diterima para imam biara Hian-to kwan
dari pembalasan Gedung Hitam nanti.
Kembali Sebun Ong berkata kepada Kho Kun:
"Bagaimana pendapat mu tentang saranku tadi ?"
"Tiga mati dan satu terluka, bagaimana harus
menyelesaikan perhitungannya ?" seru Kho Kun dengan
gusar. "Juga dalam biara ini sudah empat orang imam yang
binasa, apakah itu juga tak sia-sia ?" sahut Sebun Ong.
"Pihak Gedung Hitam selamanya tak pernah melepaskan
musuh." "Kata-kataku hanya sampai disini, terserah keputusanmu!" Wajah Bu-ceng-thay swe Kho Kun berobah-robah.
Rupanya dia sedang memperhitungkan untung ruginya.
Lama baru dia membuka mulut:
"Sebun Ong, engkau minta waktu sebulan?"
"Ya, benar." "Apabila sampai waktunya tidak menyerahkan ?"
"Aku Sebun Ong, akan mengundurkan diri dari dunia
persilatan." "Apakah ucapanmu dapat dipercaya?" Kho Kun
menegas. "Gila ! Apakah Sebun Ong bangsa manusia yang tak
dapat dipercaya ?" "Baik. aku dapat menyetujui," kata Kho Kun terus
berpaling kepada Cu Jiang.
"Budak cacat, terpaksa kita tak dapat menggunakan
kesempatan kali ini, sampai Jumpa !" serunya seraya
memberi isyarat kepada Pengawal Hitam yang terluka:
"Apakah engkau masih dapat jalan ?"
"Ya." "Engkau bawa seorang mayat kawanmu. yang lain biar
aku ..." "Baik." "Kho Kun, tinggalkan kitab Hiau-to-po-lok itu!" tiba2 Cu
Jiang berseru dingin. Dengan deliki mata Kho Kun segera membuang kitab
itu. Imam Han Hi buru2 memungutnya.
Para imam yang mengepung diluar pintu halaman itupun
segera menyingkir. Dengan membawa dua sosok mayat Pengawal Hitam,
Kho Kun lalu melangkah keluar diikuti Pengawal Hitam
yang terluka dan memanggul mayat kawannya itu.
Kawanan imam yang menunggu diluar pintu mengawasi
kedua orang itu dengan mata marah.
Imam Han Hi segera menghaturkan terima kasih kepada
Cu Jiang. Tetapi Cu Jiang mengatakan supaya imam itu
jangan banyak peradatan untuk soal sekecil itu.
"Harap siauhiap duduk di ruang depan ..."
"Maaf, aku hendak melanjutkan perjalanan lagi, Hanya
ada sepatah kata yang hendak kuhaturkan kepada totiang."
"Soal apa?" Sejenak merenung. Cu Jiang berkata dengan nada yang
berat: "Sejak hari ini harap totiang suka membubarkan para
murid dalam biara ini. Demi menjaga pembalasan dari
Gedung Hitam!" Han Hi tojin terbelalak. Sejenak kemudian Han Hi tojin mengertek gigi, serunya:
"Membubarkan mereka?"
"Begitulah." sahut Cu Jiang.
"Tetapi, harus susiok-ku yang mengambil keputusan . . ."
"Thian Hian Cianpwe sudah tak dapat mengambil
keputusan! " "siauhiap maksudkan . . ."
"Thian Hian cianpwe sudah pulang ke alam kesempurnaan di dalam penjara rahasia Gedung Hitam!"
Seketika cahaya muka Han Hi berobah.
"Apakah kata2 siauhiap ini sungguh2?" serunya dengan
gemetar. "Masakan aku berani omong sembarangan" Aku juga
nyawa kembalian dari neraka Gedung Hitam. Aku
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!"
"Bu-liang-siu hud!"
Han Hi tojin menundukkan kepala. Tubuhnya menggigil. "Sobat kecil, apakah benar terjadi peristiwa itu?" seru
Sebun Ong dengan muka berkerenyutan.
"Benar!" "Sobat dapat lolos dari neraka Gedung Hitam, tentu
orang sukar percaya . . . . "
"Memang benar, aku sendiri juga tak pernah mimpi
dapat lolos. Tetapi rupanya Thian memang belum
menakdirkan aku harus mati! "
"Apakah sahabat dapat menuturkan peristiwa itu?"
"Maaf, tak dapat."
"Sahabat ini dari perguruan mana" "
"Soal ini ... juga sukar kuterangkan."
"Jurus ilmu pedang yang engkau mainkan tadi bukankah
sama seperti ilmu pedang sakti It kiam-tui-hun dari Nabi-
pedang Cu Beng Ko dahulu?"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Tetapi dia berusaha
untuk menindas kegoncangan hatinya. Dengan tenang ia
menjawab: "Ilmu silat itu sama sumbernya. Banyak persamaannya
satu dengan lain." Dengan mata berkilat kilat, Sebun Ong memandang
wajah Cu Jiang, seolah-olah hendak menembus isi hatinya.
"Mengenai pengetahuanku tentang ilmu silat yang
terdapat dalam dunia persilatan Tionggoan, kurasa hanya
ilmu pedang dari Nabi-pedang Cu Beng Ko itu yang sangat
beda dengan ilmu pedang lain2 aliran," kata Han Hi tojin.
Diam2 Cu Jiang memuji ketajaman mata imam itu, ia
tertawa hambar. "Aku yang rendah karena masih dangkal dalam ilmu
silat, tak berani menyatakan apa-apa," katanya.
"Kudengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan
bahwa Nabi-pedang Cu Beng Ko mempunyai putera yang
berkelana di dunia persilatan..."
"Ah, banyak sekali hal2 dalam dunia persilatan yang tak
kuketahui." "Wajah anda itu agaknya bukan begitu aselinya tetapi
karena menderita luka ..."
Kembali tergetar hati Cu Jiang. Tak mau ia melayani
berbicara soal itu dan buru2 alihkan pembicaraan:
"Sudah lama aku mengagumi akan kemasyhuran nama
cianpwe di dunia peralatan. Sungguh beruntung sekali hari
ini dapat bertemu. Jika cian-pwe tak keberatan, sudilah
memberi alamat tinggal cianpwe agar kelak lain waktu
dapat berkunjung" Maksud Cu Jiang pada waktu yang diperlukan nanti, dia
akan melaksanakan sebuah pesan terakhir dari Ko-tiong-jin
atau kakek yang menderita dalam gua itu. Jelasnya, Cu
Jiang hendak membuat perhitungan yang penghabisan
dengan Sebun Ong. "Aku tak punya tempat tinggal tertentu. Tetapi
kegiatanku tak lepas dari lingkungan wilayah Kanglam dan
Kangpak. Sudah tentu kita mempunyai banyak kesempatan
untuk berjumpa lagi."
"Oh..." baru Cu Jiang mendesah, tiba2 sesosok bayangan
berkelebat masuk. Melihat pendatang itu, Cu Jiang
terlongong. Pendatang itu seorang itu seorang kakek tua mengenakan
jubah kuning telur. Cu Jiang masih ingat, ketika lolos dari
neraka Gedung Hitam dan tiba disebuah kota, dia bertemu
dengan orang tua itu mengaku she Gong dan menyatakan
hendak memungutnya sebagai murid. Tetapi saat itu dia
menolak .... Tiba2 orang tua itu tertawa keras.
"Sebun Jite, belasan tahun tak berjumpa, engkau masih
tetap awet muda dan gagah seperti dulu!" serunya.
Melihat kedatangan orang tua itu, Sebun Ongpun
tertawa nyaring, serunya:
"Sungguh kebetulan sekali loko datang. Disini telah
terjadi suatu peristiwa besar."
"Peristiwa apa?" orang tua itu hentikan tawanya.
"Menurut berita dalam dunia persilatan, Thian-hian-cu
telah mendapatkan kitab Giok-kah-kim keng. Benarkah
itu?" "Itu hanya desus desus yang tak sesuai dengan
kenyataannya." "Jika loko yang mengatakan begitu, sudah tentu yang
paling dapat dipercaya ...." kata Sebun Ong.
Tiba2 mata orang tua itu beralih memandang Cu Jiang.
Wajahnya cerah tersenyum.
"Engkoh kecil, tak kira kita akan bertemu lagi disini."
"Sungguh gembira sekali," Cu Jiangpun segera memberi
hormat. Dalam pada itu Han Hi tojinpun segera memberi hormat
kepada kakek itu. "Engkau ini..."
"Han Hi. Tentulah cianpwe masih ingat ketika dalam


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjamuan dihidangkan arak, cianpwe telah memberi
dampratan pedas kepada susiok-ku..."
"Ah, engkau ini Han Hi, hampir aku tak ingat lagi.
Tempo berlangsung cepat sekali mendorong manusia jadi
tua, engkau sudah banyak berobah sekarang."
"Dimanakah Thian hian-cu ?" seru orang tua itu pula.
"kakiku sudah lelah lari kesana kemari mencarinya . .. ."
Seketika wajah Han Hi pucat lesi, sahutnya sedih:
"Sudah pulang ke alam baka!"
"Hah, sudah mati?" teriak orang tua itu gemetar.
"Ya, sudah meninggal."
"Bagaimana peristiwanya !"
"Menurut keterangan siau sicu ini. beliau telah
meninggal dalam kamar rahasia Gedung Hitam . . . . "
"Benarkah itu?" serentak orang itu berseru kepada Cu
Jiang dengan mata berkilat-kilat.
Cu Jiang mengiakan. "Sudah lama kau menginjak dunia persilatan Tionggoan
Kabarnya sekarang dunia persilatan Tionggoan ini sudah
dikuasai oleh Gedung Hitam. Darimana engkoh kecil tahu
hal itu?" "Karena aku juga ditawan bersama Thian-hian cianpwe
dalam penjara rahasia itu . .."
"Bagaimana engkau dapat lolos?"
"Karena mendapat bantuan Go-leng cianpwe yang
mengatur siasat supaya aku lolos."
"Apakah Go-leng juga di situ?"
"Ya. Beliau juga mengalami nasib yang menyedihkan."
"Hai! Bu-lim-samcu telah mati dua . . ." seru orang tua
tua dengan airmata berlinang linang.
Mendengar itu girang Cu Jiang bukan kepalang. Serentak
ia berseru: "Jika tak salah, locianpwe tentulah Gonggong-cu
locianpwe, bukan?" Orang tua itu mengangguk.
"Benar, pada waktu pertama bertemu dengan engkau,
bukankah aku sudah menyebut she-ku?"
"Aku tolol sekali sehingga mudah lupa." kata Cu Jiang.
"Cobalah engkau ceritakan peristiwa yang telah engkau
alami." kata Gong-gong-cu.
"Kumohon dapat bicara empat mata dengan locianpwe .
. . . " "Mengapa perlu begitu?"
"Perjalananku kali ini memang khusus hendak mencari
lo cianpwe!" "O, baiklah, nanti kita bicara lagi," kata Gonggong-cu
lalu berpaling kepada Han Hi, " Han Hi, peristiwa apakah
yang terjadi dalam biara ini?"
"Gedung Hitam telah mengirim beberapa jagonya ke
mari, memaksa kami supaya menyerahkan kitab Giok-kah-
kim-keng. Kalau tak mau menyerahkan, biara ini akan
dicuci dengan darah."
"Hm, lalu ?" "Kebetulan Sebun sicu datang dan melerai. Tetapi tetap
kami harus menyerahkan kitab itu dalam waktu satu
bulan!" "Sama satu kaum saling bunuh membunuh, menandakan
bahwa dunia persilatan akan mendekati hari kiamat!" seru
Gong-gong-cu. Sebun Ong Juga menghela napas rawan.
"Dunia persilatan memang tak pernah mengenyam hari2
damai. Dari dahulu sampai sekarang selalu terjadi
pergolakan yang tak kunjung habis," katanya.
"Han Hi. lalu bagaimana tindakanmu?" tegur Gong-
gong-cu pula. "Tiada lain pilihan kecuali harus menyingkir ke lain
tempat ...." "Demi menyelamatkan suatu pembunuhan besar,
terpaksa aku harus cepat2 bertindak, tak boleh berayal.. ."
"Cianpwe hendak ke mana ?"
"O, aku harus pergi."
"Loko selalu datang dan pergi dengan bergegas-gegas"
seru Sebun Ong, "sepuluh tahun tak berjumpa apakah kita tak dapat
menikmati omong kosong ?"
Gong gong-cu tertawa. "Hari masih panjang, kita masih dapat berjumpa pada
lain kesempatan untuk minum arak se puas-puasnya dengan
lote. Tetapi hari ini aku benar2 harus mengecewakan lote!"
"Menurut ucapan loko tadi, apakah kitab Giok kah-kim-
keng itu masih berada di Istana terlarang negeri Tay-li ?"
"Ya," "Haa desas desus dunia persilatan itu sungguh berbahaya
sekali sehingga Thian-hian-cu dan Go-leng-cu sampai
menderita nasib malang."
"Tetapi pada suatu hari, Gedung Hitam harus membayar
kesemuanya itu," seru Gong-gong-cu dengan geram.
Mendengar itu Cu Jiang tak tahan untuk diam. Serentak
ia berseru: "Dewa sakti dari manakah sebenarnya ketua Gedung
Hitam itu?" "Mungkin tiada seorang dalam dunia persilatan yang
tahu akan dirinya," Sebun Ong menyeletuk.
Memberi isyarat tangan kepada Cu Jiang. Gong-gong-cu
lalu mengajaknya. "Engkoh kecil, mari kita berangkat. Saudara2, sampai
jumpa !" "Ijinkan wanpwe mengantar" kata Han Hi. Tetapi
dicegah Gong-gong-cu. Habis itu Gong-gong-cu sudah mendahului melesat
keluar. Setelah memberi hormat kepada Sebun Ong dan
Han Hi tojin, Cu Jiangpun segera menyusul. Karena
sebelah kakinya pincang, maka larinyapun tidak stabil.
"Engkoh kecil, kita cari tempat yang sepi, jangan sampai
terdengar orang." kata Gong-gong-cu.
Cu Jiang mengiakan. Gong-gong cu berjalan dimuka dan Cu Jiang mengikuti
dibelakang. Setengah li kemudian, Cu Jiang sudah
ketinggalan jauh. Walaupun dia memiliki tenaga dalam
yang hebat tetapi karena sebelah kakinya cacad, walaupun
larinya masih jauh lebih cepat kalau ditanding dengan jago
silat biasa tetapi karena bertanding dengan tokoh semacam
Gong-gong-cu, sudah tentu terpaut jauh sekali.
Rupanya Gong gong cu tahu hal itu. Ia lambatkan
larinya, kemudian berseru: "Kita ke puncak bukit itu!"
Cu Jiang mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka
sudah tiba di puncak bukit itu dan duduk di atas batu dalam
hutan. Lebih dulu Gong gong cu memetik beberapa ranting
pohon, di tancapkan di sekeliling tempat itu. Lalu
mengumpulkan batu besar kecil diletakkan diantara pagar2
ranting itu. Setelah itu baru duduk dengan Cu Jiang.
Sebagai putera dari seorang tokoh silat yang termasyhur
sudah tentu Cu Jiang memiliki pengetahuan yang luas.
"Ah, kiranya lo cianpwe ahli sekali dalam soal barisan
Ki-bun." serunya. "Demi menjaga ketenangan, terpaksa harus berbuat
begitu," sahut Gong-gong-cu.
"Barisan apakah yang locianpwe susun ?"
"Barisan Thian-lotin, bagian yang mudah dirobah dari
barisan Kim-soa-tin."
"Ah. aku buta sama sekali tentang ilmu itu," kata Cu
Jiang. "Marilah kita mulai bicara. Coba engkau dulu yang
bicara, mengapa engkau mencari aku," kata Gong-gong-cu.
Cu Jiang agak bersangsi. Apakah ia harus menceritakan
siapa dirinya ataukah menurut pesan Go-leng cu saja.
Sejenak merenung, ia berkata:
"Aku telah berjanji untuk melaksanakan pesan Go-leng
cu cianpwe, untuk menyampaikan pesan lisan dari beliau. .
." "Katakanlah !" "Thian-hian cu dan Go leng cu berdua lo cianpwe,
karena berita2 fitnah di dunia persilatan, telah ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara Gedung Hitam Dipaksa
harus menyerahkan kitab. Menunjukkan dimana kitab
Giok-kah-kim-keng. Karena kedua lo-cianpwe itu memang
tak tahu dan tak dapat memberi keterangan, akhirnya
disiksa sampai mati..."
"Terkutuk! Teruskan ceritamu!"
"Go-leng-cu cianpwe pesan, bahwa tunas yang luar biasa
itu adalah pada diri Pelajar baju putih. Harap locianpwe
mencarinya sampai ketemu !"
"Pelajar baju putih ?"
"Ya." "Hanya itu pesannya?"
"Ya, hanya begitu."
Gong-gong-cu memandang Cu Jiang tajam2, kemudian
sepatah demi sepatah ia berkata:
"Menurut penilaianku, tunas luar biasa itu tak lain
adalah engkau sendiri!"
Cu Jiang gemetar. "Ah, masakan aku berani menerima pujian setinggi itu
dari locianpwe !" "Itu memang kenyataan, bukan pujian kosong. Tempo
hari aku pernah mengatakan kalau akan menunggu
kesempatan, sekarang .. ."
Ia hentikan kata-katanya dan memandang Cu Jiang.
Rupanya dia hendak menunggu bagaimana reaksi anak
muda itu. Cu Jiang tahu akan maksud orang. Sengaja dia bertanya
pula. "Jika ingin memberi petunjuk, harap locianpwe
katakan." "Apalagi kalau bukan persoalan tempo hari itu pula."
"Hendak mengambil murid?" ulang Cu Jiang.
Wajah Gong-gong-cu membesi, katanya:
"Engkoh kecil, dari daerah Tay-li di ujung selatan
menuju ke utara kali ini, tujuanku bukan hendak mencari
pewaris melainkan demi suatu rencana besar dalam dunia
persilatan ...." "Demi suatu rencana besar dalam dunia persilatan ?" Cu
Jiang terkejut. "Benar," kata Gong-gong-cu, "karena salah langkah
akhirnya Thian-hian-cu dan Go-leng-cu telah membuat
kesalahan besar. Akibatnya dunia persilatan telah menderita
bencana. Harus diusahakan untuk menolong. Karena itu
maka Bu-lim Sam-cu bergerak untuk mencari tunas luar
biasa itu !" Tertarik perhatian Cu Jiang mendengar keterangan itu.
"Dapatkah lo cianpwe memberi penjelasan selengkapnya
?" tanyanya. Gong-gong-cu menghela napas, ujarnya. "Sudah tentu
dapat kujelaskan kepadamu, tetapi..."
"Bagaimana ?" "Bersediakah engkau menjadi bintang penolong dari
keadaan yang sudah morat marit itu."
"Aku belum jelas persoalannya..."
"Jika engkau menyatakan bersedia, barulah dapat
kuberitahu." "Dengan tubuh yang cacat ini, mungkin aku..."
"Jangan merendahkan dirimu. Semuanya akan diatur
beres. Yang penting, engkau bersedia atau tidak ?"
"Bukankah langkah yang pertama harus mengangkat
guru kepada locianpwe ?"
"Dunia persilatan mempunyai peraturan tersendiri.
Hubungan itu memang masih diperlukan."
"Mengapa locianpwe belum memandang penting kepada
seorang cacat seperti diriku ?"
"Karena bakatmu yang luar biasa."
"Bakatku yang begini jelek ...."
"Sudahlah, jangan merendah diri."
Cu Jiang merenung. Menghadapi pilihan yang sepenting
itu yang menjadi murid lain perguruan, bukan suatu hal
main2. Sekali salah pilih, akan menyesal seumur hidup.
Gonggong cu seorang tokoh terkemuka dalam aliran
putih, Dia mendapat penghargaan diangkat sebagai Kun-su
atau penasehat kerajaan Tayli.
Ucapan dan tindakannya tentu dapat dipertanggung
jawabkan. Kebetulan pula ketiga tokoh Bu-lim atau Bu-lim Sam-cu
itu sama menaksir dirinya. Apakah itu bukan suatu jodoh
yang hebat " Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Cu
Jiang mengambil keputusan, serunya:
"Baik, aku bersedia. Tetapi, aku hendak menghaturkan
sepatah kata." "Bilanglah!" kata Gong-gong-cu.
"Wanpwe mempunyai beban untuk membalas sakit hati
ayah bunda. Apakah tindakan wanpwe kelak dapat wanpwe
lakukan sendiri ?" kata Cu Jiang yang berganti dengan
sebutan wanpwe kepada Gong-gong-cu.
Tanpa banyak pikir, Gong-gong-cu serentak menyahut:
"Sudah tentu boleh saja, asal jangan sampai melanggar
kesusilaan tata persilatan."
"Masih ada sebuah hal lagi, untuk sementara waktu ini.
wanpwe tak dapat memberitahu asal usul diri wanpwe ...."
"Boleh. Apa masih ada lain lagi ?"
"Tidak ada." Tepat pada saat itu dari arah biara Hian-hu kwan
mengepul asap tebal. Seketika wajah Gong-gong-cu berobah, serunya:
"Celaka, Hian-hu-kwan telah dirampok mereka."
"Tentulah perbuatan orang Gedung Hitam." Cu Jiang
menggeram. "Engkau tunggu saja di sini. Walaupun menyaksikan
apa2, jangan engkau melangkah ke luar dari barisan ini.
Aku hendak menengok ke Hian-tou-kwan," kata Gong-
gong-cu. "Silahkan," kata Cu Jiang.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Gonggong cu menggeliat dan melayang beberapa
tombak terus lenyap. Cu Jiang marah melihat perbuatan orang Gedung Hitam
yang selalu melakukan pengacauan, pembunuhan dan
kekejaman. Selama berpuluh tahun seolah dunia persilatan
telah di teror oleh gerombolan Gedung Hitam dan tak ada
seorang tokoh persilatan yang berani menentang.
Tiba2 ia melibat beberapa sosok bayangan lari ke lereng
gunung. Makin lama makin mendaki ke puncak. Saat itu
Cu Jiang dapat melihat jelas, mereka adalah anak buah
Gedung Hitam yang terdiri dari enam Pengawal Hitam, tiga
orang tua baju hitam. Diantaranya terdapat Pangeran-
tanpa-perikemanusian Kho Kun.
Cu Jiang serentak berbangkit. Tetapi tiba2 ia teringat
akan pesan Gong-gong cu. Terpaksa ia duduk lagi.
Kesembilan orang itu naik ke atas puncak dari beberapa
jurusan. Makin lama makin dekat. Sudah tentu Cu Jiang
tegang sekali. Tetapi sungguh heran sekali. Tiba di tepi barisan ranting
dan batu yang tampaknya berserakan tak teratur itu, mereka
berhenti. Dan aneh pula. Mereka seolah-olah tak melihat
Cu Jiang. Sedang Cu Jiang. Sedang Cu Jiang dapat melihat
jelas gerak-gerik mereka.
"Aneh, jelas naik ke puncak ini mengapa tak kelihatan.
Apakah dapat terbang ke langit" " kata salah seorang tua.
Kho Kun memandang kian kemari lalu berkata:
"Rasanya puncak ini agak aneh . . . ."
Dingin2 saja Cu Jiang memandang tingkah ulah mereka.
Diam-diam ia kagum kepada Gong-gong-cu.
"Ah, kalau dulu ayah juga belajar ilmu gaib begini,
tentulah tak sampai mengalami nasib yang menyedihkan."
diam2 ia teringat akan ayahnya.
Sekonyong-konyong ke sembilan orang itu terkesiap
kaget, menundukkan tubuh memberi hormat lalu menyisih
ke sebelah kanan dan kiri.
Dua sosok tubuh tiba2 muncul. Yang pertama,
mengenakan Jubah hitam dan mukanya ditutup dengan
cadar hitam. Dari atas kepala sampai ujung kaki semua
tertutup dengan kain hitam. Hanya terdapat dua buah
lubang untuk kedua matanya yang berkilat-kilat tajam
sekali. Sedang yang dibelakangnya seorang sasterawan pertengahan umur. Dia adalah congkoan atau pengurus
besar dari Gedung Hitam, bernama Ho Bun Cai.
Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dia memastikan
bahwa orang yang seluruh tubuhnya tertutup Jubah hitam
itu tentulah pemimpin Gedung Hitam. Ah, tak sangka
kalau ia mempunyai kesempatan untuk melihatnya.
Sebenarnya ingin sekali ia menerjang keluar dari barisan.
Tetapi kesadaran pikirannya mengharuskan dia bersabar. Ia
menyadari bahwa saat itu masih terlalu jauh untuk
melakukan pembalasan kepada musuh.
Dilanda oleh kebencian sakit hati dan diamuk oleh
gemuruh amarah, hampir saja membuat Cu Jiang kalap.
Kepala Gedung Hitam dan Ho congkoan berdiri diluar
barisan dan tengah memperhatikan barisan itu. Kesembilan
anak buah Gedung Hitam tadi jangankan bergerak,
mengangkat kepala yang masih menunduk saja tak berani.
Beberapa waktu kemudian baru pemimpin Gedung
Hitam itu berkata dengan nada yang aneh. "Ho congkoan,
apakah engkau melihat sesuatu ?"
"Menurut penglihatan kami, agaknya seperti sebuah
barisan aneh." kata Ho congkoan.
"Benar," kala pemimpin Gedung Hitam," Gong-gong-cu
memang ahli dalam hal itu. Menurut pendapatmu, barisan
apakah itu ?" "Ini .... kami tak berani sembarangan menebak,"
Pemimpin Gedung Hitam mengguratkan kaki pada
tanah dan mulutnya menghafal:
"Seng, Si, Keng .... ah, salah, Kung ... disini ujung
akhirnya. Bagaimana kalau kita memasukinya ?"
"Kami menurut perintah," kata Ho congkoan.
Ketuanya segera melangkah kedalam barisan. Melihat
itu Cu Jiang segera bangkit lagi dan bersiap seraya
memandang kedua orang itu. Begitu kedua orang itu
mendekat, dia hendak turun tangan lebih dulu.
Pemimpin Gedung Hitam dan Ho cong koan berjalan di
kanan kiri. Lebih kurang tiga meter berjalan, mereka
berputar-putar kian kemari tetapi tetap dalam lingkungan
seluas satu tombak. Melihat itu tenanglah hati Cu Jiang. Dia tak mengerti
ilmu barisan maka diapun tak berani gegabah melangkah
keluar. Dia taat perintah Gong-gong-cu untuk tetap tinggal
ditempatnya. Beberapa saat kemudian kedua pimpinan Gedung Hitam
itupun mundur lagi. "Bagaimana baiknya Ho congkoan?" ujar ketua Gedung
Hitam. "Jaga pohon menunggu kelinci, setiap tempat kita jaga",
sahut Ho cong-koan. "Walaupun cara itu agak bodoh tetapi tiada lain cara
yang lebih baik dari itu. Perintahkanlah!" seru ketua
Gedung Hitam. Ho cong-koan berseru kepada Kho Kun:
"Kho thaubak. perintahkan anak buah supaya mengepung bukit ini dengan rapat!"
Kho Kun mengiakan dan rombongan anak buah Gedung
Hitampun segera berpencar melakukan perintah.
Suasana puncak sunyi kembali. Diam2 Cu Jiang gelisah.
Jika Gong gong cu kembali, jelas tentu akan kepergok.
Entah dapatkah dia menghadapi ketua Gedung Hitam"
Jumlah mereka begitu besar, hebat sekalipun Gong-gong cu,
paling2 hanya dapat menyelamatkan diri lari.
Gong-gong-cu dapat lolos tetapi bagaimana nasib
dirinya" Bukankah dia akan terkepung dan akhirnya mati
kelaparan dalam barisan"
Andaikata gerombolan Gedung Hitam itu menarik anak
buahnya dan tinggalkan bukit itu, tetapi dia tetap tak
mampu ke luar dari barisan. Bukankah hal itu sama artinya
dia akan mati kelaparan"
Memandang ke arah biara, api masih tampak berkobar.
Tentulah biara itu habis dimakan api. Ah, siasat orang
Gedung Hitam memang busuk sekali.
Setengah jam telah berlalu tetapi suasana masih sunyi.
Kepala Cu Jiang mulai bercucuran keringat. Mengapa
Gong-gong-cu belum kembali" Apakah dia disergap musuh"
Ah, benar2 dia harus mati dalam barisan itu. Pikir Cu
Jiang. Cu Jiang tak mengerti sama sekali tentang ilmu barisan.
Thian-lo-tin atau barisan Jala-langit, asing sama sekali
baginya. Pada saat pikiran tegang hati gelisah, tiba2 bahunya
ditepuk orang dari belakang. Ia tersentak kaget dan
berpaling, ah ... . kiranya Gong-gong-cu.
"Kapan locianpwe datang" " serunya gembira.
Tetapi wajah Gong gong-cu muram dan hanya
mendengus geram. "Bagaimana keadaan Hian-tou-kwan ?" tanya Cu Jiang
pula. "Jadi tumpukan puing."
"Dan para imam ?"
"Tak ada yang hidup."
"Kejahatan Gedung Hitam memang sudah melampaui
batas!" "Jika kesaktian persilatan tak berkembang, kawanan
durjana tentu timbul dan menginjak-injak peri- kemanusian." "Apakah locianpwe bertempur?"
"Tidak. Masih belum saatnya. Membasmi beberapa
kerucuk, takkan dapat menolong keadaan."
"Pemimpin Gedung Hitam sudah unjuk diri..."
"Ya, kutahu." "Kenalkah locianpwe padanya ?"
"Tidak." "Apakah locianpwe kepergok mereka ?"
"Tidak." "Tidak" Lalu..,."
"Buyung, engkau heran, bukan" Sebenarnya aku tak
mempunyai keistimewaan melainkan hanya kepercayaan
pada diri sendiri. Kalau aku mau menyembunyikan diri, tak
mungkin mereka dapat mencari aku. Kalau tidak begitu
masakah aku mendapat gelar ......
Jilid 8 Halaman 25/26 Hilang
..... jaga mereka jangan sampai lolos, kututup goa itu
dengan barisan Kiat-soh-tin (barisan Kunci Emas)."
"Mengapa tidak dibasmi saja agar jangan menimbulkan
bahaya dikemudian hari ?" tanya Cu Jiang.
Gong-gong-cu menghela napas:
"Mungkin sudah kehendak Thian. Raja Tayli Toan hong-
ya memang penganut agama Buddha, beliau tak
mengijinkan pembunuhan ...."
"Lalu?" tanya Cu Jiang.
"Peristiwa Sip-pat Thian-mo dijebloskan dalam gua lio
tiada seorang persilatan yang tahu. Beberapa tahun
kemudian Thian-hian-cu dan Go-leng-cu datang ke daerah
selatan dan menyelidiki gunung Jongsan. Tanpa sengaja
mereka mengetahui seorang keadaan Sip pat thian-mo.
Pada waktu itu karena dirangsang kebanggaan, aku
kelepasan omong, mengatakan bahwa tiada manusia dalam
dunia ini yang mampu memecahkan barisan Kim-soh-tin
itu. Tak terduga, ucapanku itu diterima dengan sungguh-
sungguh.." "Apakah hubungan antara Sam-cu itu?" tanya Cu Jiang
pula. "Sebenarnya tiada hubungan apa2, melainkan hanya
kenalan saja. Tetapi entah bagaimana dunia persilatan
menamakan kami bertiga sebagai Bu-lim Sam-cu. Bermula
Thian-hian-cu hanya bergelar Thian hian dan Go-leng-cu
juga Go-leng. Sedang aku Gong gong-cu. Kemudian kaum
persilatan menganggap kita sebagai tiga-serangkai atau
Sam-cu. hanya begitulah ..
"Oh..." desah Cu Jiang.
"Disamping Thian-hian dan Go-leng itu masih memiliki
rasa ke-Aku-an dan berusaha untuk lebih dari orang lain,
dan karena mengira bahwa dalam barisan Kim-soh-tin itu
tentu terdapat kitab pusaka negeri Tayli yakni kitab Giok-
kah-kim-keng, maka timbullah nafsu mereka. Setelah
mempelajari keadaan barisan itu selama sepuluh tahun,
akhirnya mereka berhasil memecahkan. Untuk yang kedua
kali mereka datang ke Jongsan lagi dan dapat memecahkan
Kim-soh-tin dan melepaskan Sip-pat Thian-mo..."
"Ah. makanya kedua locianpwe itu selalu menyesali
dosanya sendirinya yang telah salah langkah sehingga
menimbulkan bencana besar."
"Hal itu mungkin memang sudah jalannya Karma.
Mereka berdua harus menerima akibatnya dengan kematian
yang menyedihkan." "Dari sumber mana maka dunia persilatan timbul desas
desus bahwa kedua cianpwe telah
<>
Selama itu tak sedikit Gong-gong-cu harus berhenti tetapi
sebelum musuh memergoki dia sudah melesat ke lain
tempat. Belum sampai setengah jam kemudian, dia sudah
lari belasan li jauhnya tanpa diketahui sama sekali oleh
anak buah Gedung Hitam. Setelah tiba diluar hutan barulah Gong-gong-cu
meletakkan Cu Jiang. Gong-gong-cu mengeluarkan sehelai
kedok muka yang terbuat dari kulit manusia, diberikan
kepada Cu Jiang. "Pakailah kedok kulit ini!"
Cu Jiang menurut. Setelah mengenakan kedok kulit, kini
wajahnya yang buruk lenyap dan dia telah menjelma
sebagai seorang lelaki pertengahan umur. Wajahnya
berwarna semu ungu. Sementara Gong-gong- cupun juga mengenakan kedok
kulit dan menyamar sebagai seorang tua berwajah hitam,
memelihara dua jalur jenggot. Ia membuka baju dan kini
mengenakan jubah warna biru. dengan penyamaran itu
mereka telah menjadi manusia baru. Tak seorangpun yang
mengenal dan mengira siapa diri mereka itu sebenarnya.
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita cari rumah makan
di kota yang terdekat dari sini." kata Gong-gong-cu.
"Lo cianpwe, kita ambil jalan mana ?"
"Naik perahu ke Sujwan, mengitari daratan lalu masuk
ke wilayah Hun - lam. Kurasa itulah jalan yang paling
singkat !" "Tetapi tetap makan waktu sebulan."
"Ah, tak sampai, mari kita berangkat." Sekeluarnya dari
hutan mereka lagi berjalan di jalan besar, Sambil berjalan
Gong-gong-cu berkata: "Buyung, agaknya dengan waktu berjumpa padaku
tempo hari, sekarang engkau sudah berbeda..."
"Apanya yang berbeda ?"
"Keng, go, sin, semua telah berobah."
Keng artinya semangat. Go hawa murni dan sin artinya
jiwa. Diam2 Cu Jiang kagum akan pengamatan Gong-gong-


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cu yang teliti. Diantara ketiga Sam-cu, rasanya Gong gong-
cu ini lebih lihay segalanya dari kedua rekannya.
Cu Jiangpun lalu menceritakan bagaimana ketika
berhadapan dengan Samsat (algojo ketiga) dari gerombolan
Kiu-te-sat, ia masih kalah setingkat.
"Rupanya itu sudah kehendak Thian, nak, dengan begitu
aku tak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran," kata
Gong-gong-cu dengan perasaan lega.
Diam2 Cu Jing menimang. Jelas bahwa tujuan Gong
gong-cu hendak membawanya ke daerah selatan itu yalah
hendak mengambilnya sebagai murid dan menempanya
menjadi seorang kojiu Hal itu dipersiapkan untuk membasmi kawanan Sip-pat-
thian-mo. Tetapi pada umumnya, demikian ia berpikir,
tentulah guru itu lebih tinggi kepandaiannya dari murid.
Belum tentu murid itu dapat menyerap semua pelajaran
yang diturunkan gurunya. Jika begitu, mengapa Gong-gong
cu itu tidak mau menghadapi gerombolan Sip-pat-thian-mo
itu sendiri saja " Bukankah itu lebih singkat waktunya dan
lebih praktis daripada harus bersusah payah mencari murid"
Dengan pemikiran itu segera ia bertanya.
"Kalau dahulu locianpwe mampu menangkap Sip-pat-
thian-mo, mengapa sekarang locianpwe harus bersusah
payah mencari murid?"
Gong-gong-cu tertawa: "Buyung, lain dulu lain sekarang. Telah kukatakan
bahwa aku berhasil menangkap gerombolan Sip-pat-thian-
mo itu adalah berkat menggunakan siasat. Tetapi kawanan
iblis itu bukan manusia bodoh. Mereka tak mungkin
terjebak lagi untuk yang kedua kalinya."
"Kelak kalau berhadapan dengan mereka boanpwe harus
menggunakan siasat atau kepandaian?"
"Kedua-duanya," sahut Gong-gong-cu.
"Kalau kepandaian kurang dan kecerdikan tak cukup?"
desak Cu Jiang. Gong-gong-cu tertawa gelak2:
"Buyung, kutahu isi hatimu. Tetapi akupun tentu sudah
mempertimbangkan. Apabila kedua syarat itu masih belum
cukup, tentu aku tak berani sembarangan menyuruh engkau
menghadapi mereka." "Benar. memang wanpwe juga mempunyai pikiran
begitu." "Bukankah telah kukatakan bahwa aku masih mempersiapkan sesuatu lagi...."
Tetapi Cu Jiang tak dapat menduga persiapan apa yang
telah dirancang Gong-gong-cu itu. Dia diam saja.
Beberapa saat kemudian Gong-gong-cu memecah
kesunyian: "Buyung, kuberitahu kepadamu dengan terus terang.
Atas kemurahan baginda Toan Hong-ya yang memberi ijin
kepadaku untuk mencari calon jago itu, baginda berkenan
akan memberikan kitab pusaka kerajaan Giok-kah-kim-
kang." "Kitab Giok-kah-kim-keng ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya, itulah yang kumaksud bahwa aku mempunyai
persiapan lain." Kini Cu Jiang baru menyadari mengapa ketiga Bu-lim
Sam-cu sama2 hendak mencari tunas baru yang akan
ditempa menjadi kojiu sakti. Kiranya mereka memang
sudah membuat perjanjian.
"Tetapi kitab Giok-kah-kim-keng itu adalah pusaka
kerajaan Tay-li." masih Cu Jiang ingin mendapat
keterangan yang jelas. "Ya, memang kitab pusaka kerajaan."
"Jika begitu, apakah tak mungkin diantara menteri2 dan
Jenderal2 kerajaan yang mempelajari kitab itu."
"Baginda tak mengijinkan," kata Gong-gong-cu, "sampai
saat ini belum seorangpun yang pernah mempelajari kitab
itu." "Wanpwe sungguh tak mengerti."
"Untuk mempelajari kitab Giok-kah-kimkeng harus
mempunyai tiga buah syarat...."
"Apakah ketiga syaraf itu ?" Cu Jiang makin heran.
Dengan tenang Gong-gong-cu berkata: "Pertama, orang
itu harus memiliki kecerdasan yang tinggi dan bakat yang
luar-biasa. Kedua, harus masih seorang perjaka. Ketiga
harus memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang kuat.
Tampaknya ketiga syarat itu memang tak berat, tetapi untuk
menjadi seorang yang sekaligus memiliki tiga syarat itu
sukarnya seperti mencari jarum dalam lautan."
"Apakah locianpwe menganggap diri wanpwe memiliki
ketiga syarat itu ?" tanya Cu Jiang dengan gemetar.
Gong-gong-cu berpaling memandang Cu Jiang dan
berkata dengan tandas: "Memiliki semua bahkan lebih !" Pada saat itu tiba2
sebuah tandu lewat. Memandang tandu itu tiba2 mulut Cu
Jiang mendesuh kejut. Tandu itu diangkat oleh empat
wanita baju merah, yang kakinya besar dan alis tebal.
Jalannya seperti orang lari. Hanya dalam beberapa kejap
saja sudah berada belasan tombak jauhnya.
"Nak, banyak nian hal2 yang aneh dalam dunia
persilatan itu. Engkau harus membiasakan diri untuk tidak
heran melihat sesuatu yang heran."
Serta merta Cu Jiang menghaturkan terima kasih.
Nasehat orang tua itu memang benar2 tepat dan berharga
sekali. Tiba2 terdengar derap kuda berlari deras. Debu dan
kotoran berhamburan tebal ke arah Gong-gong-cu dan Cu
Jiang. Cu Jiang marah. Tetapi ketika melihat Gong gong-cu
tenang2 saja, diam2 ia malu hati sendiri.
Ketika memandang ke muka, tampak penunggang kuda
itu bermantel hitam. "Pengawal Hitam! " seru Cu Jiang.
Gong gong cu menyahut hambar. "Pertunjukan bagus
akan berlangsung!" "Bagaimana locianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang
heran. "Keempat penunggang kuda itu jelas mengejar tandu
indah tadi. Siapa yang berada dalam tandu itu, memang
masih sukar diketahui. Tetapi kalau menilik keempat
wanita yang membawanya begitu lihay, tentulah orang
yang berada dalam tandu itu bukan tokoh sembarangan . ."
000ood-eoo00 Jilid 9 "Oh !" desah Cu Jiang.
Tiba2 terdengar suara bentakan. Tandu indah Itupun
berhenti di tengah jalan, Keempat penunggang kuda
Pengawal Hitam masing2 loncat turun dari kuda dan
mengepung tandu. Sambil menarik tangan Cu Jiang ke samping, Gong-
gong-cu mengajaknya mendekat untuk menyaksikan apa
yang akan terjadi. Tiga tombak dari tempat orang2 itu,
Gong-gong-cupun berhenti.
"Perlu apa kalian mengejar kami?" seru salah seorang
wanita baju merah. Salah seorang dari Pengawal Hitam membentak bengis:
"Lekas buka tandu itu!"
"Mau cari mati?"
"Kentut!" "Kalau berani mengapa tak mau membuka sendiri?"
Sring .... serentak Pengawal Hitam itu menabas wanita
baju merah yang mengejeknya. Tetapi dengan gerak yang
lincah, wanita itu dapat menghindarinya. Hanya terpaut
selembar rambut tubuh dengan pedang. Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.
"Maju!" serempak terdengar sebuah aba2 dan keempat
Pengawal Hitam itu pun segera menyerang.
Keempat wanita penggotong tandu itupun bergerak-
gerak laksana bayangan setan. Keempat Pengawal Hitam
itupun menyerang dari empat jurusan.
Salah seorang Pengawal Hitam yang mendekat tandu
segera mencungkilkan ujung pedang menyingkap kain layar
yang menutup pintu tandu.
"Aahhh. . ." seorang Pengawal Hitam yang mengikuti
dengan pandang mata akan tindakan kawannya yang
mencungkil tenda tandu itu serentak menjerit kaget.
Demikian pula ketiga kawannya yang lain
Ternyata yang berada dalam tandu itu adalah seorang
lelaki jubah putih. Dia bukan lain adalah Pek poan koan
atau Hakim Putih. Keempat wanita baju merah cepat lari menghampiri
tandu dan menutup tendanya. Bahwa tandu dari Hakim
Putih dipikul oleh empat orang wanita memang aneh.
Tetapi lebih menggelikan lagi bahwa Pengawal Hitam atau
anak buah Gedung Hitam kemati-matian mengejarnya
orang atasannya sendiri. Kejut keempat Pengawal Hitam bukan alang kepalang.
Serempak mereka menghaturkan hormat dengan pedangnya
ke arah tandu. Dari dalam tandu hanya terdengar suara orang
mendengus dan tak mengucap apa2.
"Locianpwe, memang benar2 suatu pertunjukan yang
menarik." kata Cu Jiang.
"Itu baru permulaan, yang lebih menarik lagi nanti di
belakang." Salah seorang dari keempat wanita baju merah itu
menegur Pengawal Hitam: "Mengapa kalian tak lekas pergi dari sini?"
Keempat Pengawal Hitam itu saling bertukar pandang
lalu mundur beberapa langkah tetapi tetap tak pergi.
Tanpa pedulikan mereka lagi keempat wanita baju merah
itupun segera mengangkat tandu dan berangkat lagi.
Mereka lari cepat sekali "Nak. mari kita pergi juga," kau Gong-gong-cu.
Salah seorang Pengawal Hitam cepat menghampiri dan
membentaknya: "Siapa kalian ini!"
Cu Jiang marah dan hampir tak dapat mengendalikan
diri lagi. Tetapi Gong-gong-cu sudah mendahului menjawab: "Kami berdua paman dan keponakan akan menuju ke Su
jwan." "Aku tak bertanya ke mana kalian hendak pergi tetapi
siapa nama kalian! "
Gong-gong-cu pura2 ketakutan:
"Aku orang tua ini orang she Ho nama Siong Ya dan
keponakanku ini Ho Jin."
"Gelaran?" "Tidak punya. "
"Dari perguruan?"
"Tidak punya perguruan apa2. Kami hanya belajar
sedikit ilmu silat untuk jaga diri saja, " jawab Gonggong cu.
Ketiga Pengawal Hitam segera menghampiri dan setelah
memandang Gong-gong-cu dan Cu Jiang beberapa jenak,
salah seorang berkata: "Orang desa tua, biarkan mereka pergi!"
Gong-gong-cu menarik tangan Cu Jiang:
"Nak, mari kita lanjutkan perjalanan."
"Baik," Cu Jiang mengiakan. Terpaksa dia menahan diri
dan mengikuti Gong-gong-cu.
Setelah tiba di sebuah tikungan gunung, mereka melihat
sebuah tandu tadi menggeletak di tengah jalan. Keempat
wanita baju merah tak kelihatan, entah di mana. Sudah
tentu Cu Jiang heran dan bertanya.
"Eh, mengapa begitu ?"
Gong gong-cu hanya ganda tersenyum.
"Cobalah engkau buka kain tandu dan melihat apa yang
berada dalam tandu itu." katanya.
"Apakah locianpwe kenal dengan lelaki baju putih yang
berada dalam tandu itu ?" tanya Cu Jiang.
"Engkau kenal?" balas Gong-gong-cu.
"Ya, dia adalah hoohwat dari Gedung Hitam yang
disebut Hakim Putih."
"Tetapi dia sudah meletakkan jabatan."
"Meletakkan Jabatan?" Cu Jiang heran.
"Sudah tentu. Poan-koan (hakim) itu sebuah jabatan di
Akhirat. Di dunia masakan perlu dengan hakim semacam
itu." "Lo - cianpwe, wanpwe benar tak mengerti...."
"Lihat saja kesana sendiri engkau tentu tahu."
Namun Cu Jiang masih bersangsi.
"Aneh, mengapa keempat wanita pemikul tandu tadi
membiarkan saja tandu itu di tengah jalan ?" katanya
dengan penuh keheranan. Sambil masih tertawa Gong - gong - cu berkata:
"Poan-koan sudah melepaskan jabatan, tak perlu lagi
dengan mereka !" Tetapi Cu Jiang tak mengerti. Pikirnya, kalau menurut
kata Gong-gong-cu, tandu itu kosong. Tetapi dia melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa tadi Hakim Putih berada
di dalamnya. Apakah Gong-gong-cu ini memang ahli dalam
meramal ?" Ia maju menghampiri kemuka tandu dan ulurkan tangan
kiri untuk menyingkap kain penutup, sedang tangan kanan
bersiap menjaga setiap kemungkinan yang tak terduga.
Begitu kain tersingkap, kejutnya bukan kepalang
sehingga ia sampai menyurut mundur tiga langkah dan
terus hendak menghantam ....


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan !" cepat Gong-gong-cu berteriak mencegah.
Cu Jiang turunkan tangannya. Jelas ia melihat Hakim
Putih masih duduk di dalam tandu, maka dia hendak
mendahului menyerangnya. Tetapi sesaat ia teringat bahwa
Hakim Putih itu duduk diam saja seperti patung. Serentak
timbul kecurigaannya dan ia maju pula untuk mengamati.
"Hai, dia sudah tak bernyawa !" serentak ia berteriak
kaget. "Memang," sahut Gong-gong-cu, "dia sudah beberapa
lama tak bernyawa lagi."
"Bagaimana lo cianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang
makin heran. "Nak," kata Gong- geng-cu dengan wajah bersungguh,
"hal itu bukan suatu ilmu gaib, melainkan dari ketajaman
cara kita berpikir dan menarik kesimpulan. Coba engkau
renungkan peristiwa tadi lagi. Bahwa kawanan Pengawal
Hitam mengejar tandu itu. Jelas tentu menganggap orang di
dalam tandu itu musuh mereka. Kemudian ternyata dalam
tandu itu berisi Hakim Putih tetapi Hakim Putih itu tak
bicara apa2 kepada Pengawal Hitam. Saat itu juga aku
sudah mengetahui bahwa Hakim Putih tentu mati. Dia
tentu mati di tangan pemilik tandu itu,"
"Siapakah pemilik tandu itu ?" tanya Cu Jiang.
"Dia tentu bersembunyi dibelakang tubuh Hakim Putih.
Karena mayat, apabila tidak disanggah oleh orang dari
belakang, tentu tak dapat duduk dengan tegak, Bukankah
Hakim Putih tadi duduk tegak dan bukan bersandar pada
tandu " Dan ingat2 suara Hakim Putih yang tidak
menyahut tetapi hanya mendengus tadi. Jelas tentu berasal
dari pemilik tandu itu."
"Oh." desah Cu Jiang tersipu-sipu malu-hati, "dan
kenapa tandu itu sekarang diletakkan di tengah jalan ?"
"Ciri yang mereka gunakan hanya dapat membingungkan orang Gedung Hitam. Tetapi untuk
sementara waktu saja karena bagaimanapun juga akhirnya
orang Gedung Hitam tentu tahu dan akan mengejar mereka
lagi," kata Gong-gong cu.
Saat itu terdengar ayam berkokok bersahut-sahutan,
menandakan bahwa hari hampir menjelang pagi.
Segera Gong-gong - cu mengajak melanjutkan perjalanan
lagi agar terhindar dari kesulitan. Keduanya segera lari
kearah sebuah hutan. Pada saat itu timbul pula suatu peristiwa yang aneh
mengejutkan. Entah bagaimana tiba2 tandu itu bergerak
masuk kedalam hutan. Sudah tentu Cu Jiang terkejut. Ia
berpaling dan melihat mayat Hakim Putih menggeletak di
tengah jalan. Dengan begitu jelas pemilik tandu itu tadi
masih berada dalam tandu dan belum melarikan diri.
Sesaat kedua orang itu masuk kedalam hutan maka
terdengarlah gemuruh rombongan kuda lari mendatangi ke
tempat mayat Hakim Putih.
Ternyata penunggang kuda itu ialah keempat Pengawal
Hitam tadi bahkan tambah dengan seorang tua baju hitam,
muka seram. Kelima penunggang kuda itu serempak loncat turun.
Salah seorang segera mengangkat mayat Hakim Putih ke
atas kudanya lalu dibawanya pergi. Sedangkan yang empat
orang loncat ke kudanya masing2 dan terus lari ke muka.
Jelas mereka tentu hendak mengejar tandu tadi.
Brakkkk .... terdengar suara keras. Gonggong cu dan Cu
Jiang cepat menghampiri ke tempat suara itu. Ternyata
mereka mendapatkan tandu bagus tadi sudah hancur. Tentu
dihancurkan orang tetapi siapa orangnyalah tampak
bayangannya lagi. Sejenak memandang ke sekeliling, Gonggong cu berkata:
"Kali ini pemilik tanda tentu benar2 sudah pergi."
"Berani menentang Gedung Hitam, jelas dia tentu bukan
tokoh sembarangan, " kata Cu Jiang.
Gong-gong-cu batuk2 kecil.
"Nak, kita ini bukan orang persilatan, lebih baik tak perlu
mengurus urusan persilatan. Mari kita lanjutkan perjalanan
lagi. " Mendengar kata2 Gong-gong cu, Cu Jiang tak habis
herannya. Tetapi dia segera tahu bahwa tentu ada
maksudnya mengapa Gong-gong cu berkata begitu.
"Ah, aku hanya sembarangan omong saja. Baiklah,
paman, mari kita lanjutkan perjalanan," akhirnya ia
berkata. Dalam berkata-kata itu Cu Jiang mengeliarkan pandang
ke sekeliling. Ia terkejut sekali ketika melihat seorang lelaki
tua baju hijau, tegak berdiri dibawah pohon lebih kurang
dua tombak jauhnya, dengan pandang mata yang berkilat-
kilat tajam. Rambutnya merah dan mukanya juga merah.
Cu Jiang tak tahu bila dan bagaimana orang tua rambut
merah itu secara tiba2 muncul disitu. Mungkin memang
sejak tadi dia sudah berada disitu. Saat itu baru dia mengerti
mengapa Gong-gong-cu tadi berkata supaya tak usah
mencampuri urusan persilatan.
Tentulah Gong-gong-cu sudah lebih dulu melihat orang
tua rambut merah itu Karena dipandang sedemikian rupa, hati Cu Jiang tak
enak. "Anda ini kutu dari mana ?" tiba2 karena tak kuat
menahan perasaan, Cu Jiang berseru.
Lama sekali baru orang tua itu menyahut. "Cik bin Jin!!"
tiba2 orang itu menjawab dengan nada yang menusuk
telinga. Cek bin-jin artinya Manusia-berwajah-merah. Tentu baja
nama itu sebuah gelaran persilatan. Tetapi sepengetahuannya. belum pernah ia mendengar gelar yang
bergelar Cek-bin-jin. Cu Jiang alihkan pandang matanya ke arah Gong-gong-
cu. Ia yakin sebagai seorang tokoh angkatan tua yang
memiliki pandangan luas, tentulah Gong-gong-cu tahu.
Tetapi Cu Jiang putus asa ketika memperhatikan mata
Gong-gong-cu juga tampak bingung.
"Engkau tentu asing kepadaku, bukan ?" seru orang tua
rambut merah pula. "Benar, karena belum pernah mendengar," jawab Cu
Jiang. "Tetapi aku tak asing kepadamu..."
Cu Jiang berdebar keras. "Anda kenal padaku ?" tanyanya gugup.
"Tentu." "Di depan Hud, jangan suka menyulut dupa palsu.
Jangan berpura-pura, bukankah engkau ini si Gok jin-ji ?"
Cu Jiang seperti disambar halilintar kejutnya sehingga ia
tersurut selangkah ke belakang.
"Siapakah Gok-jin-ji itu 7" serunya.
"Engkau !" "Anda punya bukti apa ?"
"Kakimu sebelah kiri!"
Cu Jiang mendesah. Ia tak menduga bahwa kakinya
sebelah kiri yang cacat itu dapat dijadikan ciri dirinya.
Namun ia berusaha untuk bersikap tenang dan berkata
dengan nada dingin: "Dalam dunia orang yang kaki kirinya pincang, bukan
hanya Gok-jin-ji seorang?" Cek bin-jin mengekeh.
"Memang benar. Tetapi wataknya tentu tak sama."
"Belum tentu, " bantah Cu Jiang.
"Tetapi kuanggap memang engkau ini!"
Cu Jiang marah. "Apa sebenarnya maksud anda" " tegurnya.
"Kalau begitu engkau mengakui, bukan?" si rambut
merah Cek bin-jin balas bertanya.
Cu Jiang menyengir. Ia agak bingung. Mengaku atau
tidak. "Kalau engkau berani membuka kedok mukamu, engkau
tentu tak dapat menyangkal lagi, " Cek-bin-jin mendesak.
Cu Jiang makin kaget. Kedok muka yang di pakaiannya
itu sedemikian halus buatannya sehingga umumnya orang
tentu tak dapat mengetahui. Tetapi nyatanya kakek rambut
merah itu cepat dapat mengetahui.
Tiba2 Gong-gong-cu menyelutuk: "Bukankah anda ini
yang berada dalam tandu tadi?"
Si rambut merah tertawa mengekeh:
"Kalau benar lalu mau apa?"
"Andapun memakai kedok muka ..."
"Sama-sama, sama-sama!"
"Apakah sebenarnya tujuan anda?"
"Omong2 beberapa patah dengan Gok jin-ji." Mendengar
bahwa tujuan orang hendak mencari dirinya, Cu Jiang
segera menyela . "Apakah anda hendak bicara dengan aku ?"
"O, engkau sudah mengakui dirimu ?" Cek-bin jin
melanjutkan. "engkau kenal dengan Ang Nio-cu ?"
Cu Jiang terkejut. Sejenak merenung ia mengiakan.
"Bagaimana pandanganmu tentang dirinya ?" tanya Cek-
bin-Jin pula. "Aku belum pernah melihat wajahnya yang sungguh
tetapi telah berhutang budi kepadanya."
"Engkau jujur. Kedatanganku kemari adalah karena
hendak menyampaikan pesannya .. ."
"O, silahkan." "Engkau masih ingat perjanjian di lembah dulu ?"
Seketika Cu Jiang terbeliak. Ia terbayang akan bayang si
jelita baju hijau dan teringat akan perjanjiannya dengan
Jelita itu tempo hari. Cepat ia dapat menduga apa yang
akan disampaikan oleh Cek-bin-jin saat itu. Ia merasa tak
enak hati namun apa boleh buat, ia terpaksa menjawab:
"Takkan melupakan."
Sejenak Cek - bin - jin keliarkan pandang lalu bertanya:
"Apakah tiada halangan pamanmu palsu itu hadir disini
?" "Tak apa." "Baik, sekarang aku hendak menyampaikan kata2 Ang
Nio-cu." Cek-bin-jin mulai pembicaraan, "engkau masih
ingat akan gadis lembah Ho Kiong Hwa itu?"
Walaupun sudah menduga tetapi tak urung hati Cu Jiang
berdebar keras, mukanya merah padam dan keningnya
mulai mengucurkan keringat dingin.
" Ya, masih ingat, " katanya terbata.
"Engkau tinggalkan dia seorang diri dalam lembah, jika
sampai terjadi sesuatu, coba tanya pada hati nuranimu,
apakah engkau merasa enak?"
"Aku mengira bahwa Ang Nio-cu tentu akan
melindunginya. " "Kalau terlambat datangnya?"
"Ini .... ini ... . aku memang mengaku salah."
"Engkau merasa dirimu paling hebat, bukan?"
"Ah, tidak, aku tak merasa begitu."
"Lalu mengapa engkau tak menurut apa yang Ang Niocu
telah mengatur untukmu?"
Cu Jiang terlongong kemudian tertawa hambar:
"Karena aku merasa diriku tak sepadan."
"Apanya yang tak sepadan?"
"Ang Nio-cu tentu sudah maklum sendiri. Telah kutulis
dalam surat yang kuberikan kepada Ho Kiong Hwa. "
Tetapi Cek-bin jin tetap menuntutnya:
"Jelas engkau memandang dirimu terlalu tinggi sehingga
memandang rendah pada Ho Kiong Hwa."
"Kusangkal tuduhan itu! " seru Cu Jiang.
"Tak mungkin Ang Nio-cu akan bertindak secara
gegabah. Soal itu tentu lebih dulu sudah minta persetujuan
Ho Kiong Hwa." "Tetapi aku tak ingin menghancurkan masa remajanya
yang indah." "Engkau salah." kata Cek-bin-jin, "Ho Kiong Hwa hanya
ingin menitipkan dirinya yang sudah sebatang kara, bukan
soal wajahmu buruk atau tampan."
"Tetapi orang tentu harus mempunyai rasa tahu diri
sendiri." "Sudahlah, kita persingkat saja pembicaraan ini.
Bagaimana pandanganmu terhadap Ho Kiong Hwa?"
"Cantik dan cerdas Orangnya sesuai dengan namanya!"
"Lalu engkau setuju atau tidak?"
"Sukar untuk melaksanakan."
Cek-bin-jin mendengus dingin: "Engkau menolak ?"
Dengan nada yang berat Cu Jiang berkata: "Budi
kebaikannya takkan kulupakan seumur hidup."
"Jangan banyak pertimbangan lagi!"
"Aku telah mempertimbangkan sedalam-dalamnya."
"Apakah engkau sudah pernah membayangkan akibat
penolakan terhadap kemauan Ang Nio-cu itu ?"
Cu Jiang keraskan hati, sahutnya: "Jika tak mau
menerima penjelasanku, sudah tentu aku tak dapat berbuat
apa2 kecuali rela menerima akibat apapun juga dikemudian
hari." "Engkau terlalu congkak!"
"Ah, tidak." "Jika saat ini kuambil jiwamu..."
Cu Jiang tersentak kaget, serunya: "Apakah maksud
anda ?" Dengan suara dingin seram, Cek-bin-jin berkata:
"Telah kukatakan bahwa aku dimintai tolong Ang Nio-
cu." "Apakah dia minta anda supaya mencabut Jiwaku?"
"Ha. ha..." "Aku tak takut mati, tetapi saat ini, maaf, aku belum
dapat menyerahkan nyawaku."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa ?" "Masih ada urusan penting yang belum ku selesaikan."
"Aku tak peduli semua itu !"
Cu Jiang mengertak gigi, serunya: "Beri waktu setahun,
aku nanti tentu akan menyerahkan diri."
"Kalau aku tak setuju ?"
"Terpaksa aku harus melawan."
"Mungkin engkau tak mampu mengadakan perlawanan
itu." "Kalau begitu, salahku sendiri mengapa belajar silat tak
sungguh2. Aku takkan menyesali siapa2 lagi."
Saat itu suasana tegang regang. Hawa pembunuhan
bertebaran. Kenyataan sudah jelas bahwa Cek-bin jin
mampu membunuh Hakim Putih dari Gedung Hitam dan
dapat membawa lari tandu seperti orang terbang.
Muncul lenyapnya seolah tak meninggalkan bekas. Jelas
dia seorang tokoh yang amat sakti. Dan Jelas pula bahwa
Cu Jiang tentu tak mampu melawannya.
Tiba2 Gong-gong-cu tertawa gelak2 dan maju selangkah,
serunya: "Ah, sahabat ini terlampau sekali !"
Cek-bin-jin deliki mata, sahutnya:
"Aku hanya mewakili permintaan tolong orang!"
"Kurasa Ang Nio-cu tak bermaksud begitu.."
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Pernikahan merupakan soal besar dalam kehidupan
seseorang. Harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.
Kalau tidak begitu, tentu bukan suatu perjodohan yang
wajar, bahkan akan menimbulkan saling dendam diantara
suami isteri !" "Lebih baik jangan ikut campur !"
"Tetapi aku terikat keluarga dengan engkoh kecil ini."
"O, berarti engkau hendak ikut turun tangan ?"
"Sahabat, walaupun tak tahu bagaimana persoalan yang
sebenarnya tetapi aku telah mendengarkan pembicaraan
tadi. Engkoh kecil itu tak mau dengan badannya yang cacat,
akan mengecewakan masa muda diri nona itu. Dia
bermaksud baik, bukan bermaksud hendak menolak
kemauan Ang Nio-cu. Dan lagi urusan ini belum sampai pada tingkat dimana
orang harus putus asa. Mengapa tidak sabar menanti pada
lain kesempatan yang menguntungkan dan harus menyelesaikan sekarang dengan pertumpahan darah "
Ingat, ini soal perjodohan, suatu hal yang bahagia.
Bagaimana pendapat anda ?"
Agaknya Cek-bin jin tergerak mendengar kata2 Gong-
gong cu. Dia diam merenung.
Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio-cu memang bermaksud
baik kepadanya. Karena Ang Nio-cu tahu akan asal usul
dirinya dan sebelum dia rusak wajah dan kakinya dulu.
Sedang Gong-gong cu belum tahu tentang dirinya.
Cu Jiang merasa bahwa apabila saat itu harus
memutuskan perjodohan itu, memang kurang tepat.
Akhirnya ia mengambil keputusan.
"Aku minta waktu setahun. Apabila pada waktu itu
bertemu dengan Ang Nio-cu, aku akan memberi keputusan.
Bagaimana ?" Setelah merenung beberapa saat, baru Cek-bin-jin
menjawab: "Satu tahun ?"
"Dalam setahun itu kemana saja engkau hendak pergi ?"
"Aku sendiri belum tahu." Sejenak menatap Cu Jiang
dengan tajam. Cek-bin jin akhirnya berkata.
"Baiklah, kuharap engkau dapat pegang janji!"
"Seorang lelaki tentu takkan menjilat ludahnya lagi"
"Sampai jumpa pada lain waktu..."
"Mohon sampaikan pada Ang Nio-cu, budi kebaikannya
lain waktu pasti akan kubalas."
"Sampai Jumpa !" tahu2 Cek bin-jin sudah melesat
lenyap kedalam gerumbul. "Hebat sekali !"seru Cu Jiang memuji gerakan orang
yang luar biasa gesitnya itu.
"Rasanya selatanku itu harus kutaruhkan kepadanya."
kata Gong-gong-cu. "Apakah locianpwe benar2 belum pernah mendengar
tentang diri tokoh itu ?"
"Apa engkau tak mengetahui ?"
"Mengetahui apa ?"
"Dia adalah Ang Nio cu sendiri!"
Cu Jiang seperti digambar petir kejutnya:
"Hai! Dia itu Ang Nio Cu sendiri ?"
"Benar." "Tetapi Ang Nio-cu itu seorang wanita. Nada suaranya
juga tak begitu." "Aku tak mengatakan bahwa dia tadi seorang lelaki. Ada
dua hal yang dapat membuktikan."
Cu Jiang meminta penjelasan.
Dengan pelahan, Gong-gong-cu berkata:
"Pertama, dia mengaku kalau orang yang ada dalam
tandu dan yang memikul tanda itu empat wanita baju
merah. Dengan begitu Jelas bahwa yang di dalam tandu itu
tentulah seorang wanita. Kemudian kakinyapun lebih kecil
dari seorang lelaki, memakai sepatu kain. Suatu hal yang
janggal bagi seorang pria. Dengan begitu jelas dia tentu
seorang wanita yang sedang menyaru ..."
"O, penilaian locianpwe sungguh tajam sekali. Lalu yang
kedua ?" "Yang kedua, dia menggunakan tenaga-dalam untuk
merobah nada suaranya. Tetapi nada itu kalau dibanding
dengan suara seorang tua pada umumnya, masih beda
sekali. Tidakkah engkau merasa bahwa suaranya itu aneh
dan menusuk telinga ?"
"Ah, benar, wanpwe memang tolol sekali tak dapat
memikir sampai disitu ..."
"Engkau tidak tolol melainkan masih kurang pengalaman dan lagi kurang tenang."
"Terima kasih atas petunjuk lo-cian-pwe!"
"Mari kita lanjutkan perjalanan lagi," ajak Gong-gong-
cu. Singkatnya setelah lebih dari satu bulan mengadakan
perjalanan, pada hari itu mereka tiba di kota Tayli yang
terletak di tepi laut. Gong-gong-cu sudah membahu kedok mukanya, sedang
Cu Jiang masih tetap memakai.
Cu Jiang merasa tegang sekali. Dia berada dalam alam
dan suasana yang asing. Orang2 yang berpapasan
disepanjang Jalan, baik pakaian dan bahasanya, terasa aneh
dan beda dengan Tiong goan.
Banyak sekali aneka ragam keadaan yang belum pernah
dilihatnya. Boleh dikata setiap seratus Ii, tentu ia melihat
keadaan yang baru. Baik mengenai cara dan pakaian rakyat
disitu. Hanya untungnya, sedikit banyak penduduk disitu
sedikit-sedikit mengerti bahasa Han.
Tiba di pintu kota timur, tampak penduduk memenuhi
sepanjang Jalan untuk melihat. Di pintu kota berpuluh-
puluh pembesar2 yang berpakaian dinas, baik dari kalangan
militer maupun sipil, sudah tegak berjajar dalam dua deret
untuk menyambut. Gong-gong-cu memimpin tangan Cu Jiang. Dengan
mengulum senyum, tokoh itu melintasi barisan pembesar2
yang menyambut kedatangannya.
Terdengar sorak gembira menyatakan selamat datang
kepada Kok su (penasehat kerajaan). Dan Gong gong-cu
melambaikan tangan sebagai tanda balas menghormati.
Hampir tiba di pintu kota, seorang tua bertubuh tinggi
besar dan berjubah ungu segera maju menyambut dan
memberi hormat: "Mengemban seng-ci (amanat) baginda untuk menyambut Kok-su!" Sekalian menteri dan pembesar serempak membongkokkan tubuh memberi hormat.
Dengan suara nyaring. Gong-gong-cu menyambut: "Ah.
sungguh berat untuk menerima penyambutan begini."
Saat itu Cu Jiang merasa seperti berada dalam keadaan
yang hanya dapat dijumpai dalam impian. Dia tak dapat
berkata apa2. Sebagai seorang Kok-su. kedudukan Gong-
gong-cu itu hanya setingkat dibawah baginda Tayli.
Demikian deretan menteri dan pembesar2 kerajaan Tayli
itu segera memasuki kota.
Cu Jiang menjadi pusat perhatian orang menilik
wajahnya yang biasa saja, orang tak melihat sesuatu pada
dirinya. Tetapi mengapa Kok-su berjalan berjalan berdampingan dan menggandeng tangannya "
Para pembesar itu segera kasak kusuk untuk merangkai
dugaan tentang diri Cu Jiang.
Pada saat memasuk jalan yang menuju ke istana, disitu
telah dipersiapkan meja perjamuan. Empat orang pemuda
dan pemudi cantik, tegak di kedua sisi meja. Meja itu tiada
hidangan apa2 kecuali tiga buah piala kumala, sebuah teko
perak. Tiga orang gadis mengangkat piala kumala dan menuang
kedalam tiga cawan lalu serempak menghaturkan kehadapan Gong-gong-cu: "Hong-ya berkenan memberi arak untuk pelepas lelah."
Wajah Gong-gong-cu serentak berobah serius. Dia
membungkuk tubuh dan berseru penuh khidmat:
"Menghaturkan terima kasih atas budi yang dilimpahkan
Hong-ya." Ia menyambuti cawan, satu demi satu diteguknya habis.
Sebuah tandu yang dipikul olah delapan orang segera
disediakan di muka meja. Orang tua jubah ungu tadi maju
dua langkah dan berseru :
"Silahkan Kok-su naik kedalam tandu !"
"Terima kasih." kata Gong-gong-cu lalu memimpin
tangan Cu Jiang dan diajak naik tandu.
"Ah, lebih baik wanpwe berjalan di belakang tanda saja,"
Cu Jiang tersipu-sipu. "Jangan, tidak menguntungkan kalau engkau berjalan
kaki. Lebih baik duduk bersama aku saja," kata Gong gong-
cu. Teringat akan kakinya yang pincang, apabila berjalan
tentu akan menimbulkan perhatian orang, maka Cu
Jiangpun menurut. Dia duduk disebelah Gong-gong-cu.
Demikian tandu segera diangkat oleh kedelapan pemikul
bertubuh kekar. Sepanjang Jalan masuk kedalam kota,
ternyata negeri Tayli yang kecil itu juga amat ramai. Jalan
raya terbuat daripada marmer, rumah2 penduduk, rumah
makan yang berjajar-jajar disepanjang jalan, dihias dengan
mewah sebagai tanda penyambutan atas kedatangan Kok-
su. Beberapa saat kemudian tibalah mereka di pintu gerbang
istana raja. Diatas pintu gerbang yang tinggi itu terpancang
tiang bendera. Sedang di kanan kiri pintu, berhias sepasang
singa batu yang besar sekali.
Melalui pintu gerbang, merupakan sebuah lapangan
seluas setengah bau yang juga ditutup dengan batu marmer
semua. Didepan pintu gerbang istana itu dijaga oleh
delapan belas wi-su atau pengawal istana yang bersenjata.
Tandu diturunkan dibawah titian. Belasan pembesar
berpakaian kebesaran segera menyambut. Satu demi satu
Gong-gong-cu membalas hormat mereka.
Setiap orang tentu memandang Cu Jiang dengan mata
terkejut tetapi tiada yang berani bertanya. sekalipun
demikian tetapi Cu Jiang merasa likat sendiri.
Dibelakang pintu terdapat pula sebuah lapangan luas,
terbuat dari marmer, dibelah menurut bentuk palang.
Empat keliling lapangan itu berjajar-jajar bangunan gedung
yang besar. Sepanjang jalan bertumbuhan pohon siong yang
hijau. Seorang tua berpakaian kuning, keluar menyambut dari
tengah lorong berbentuk palang itu dan berseru lantang:
"Hong-ya melimpahkan amanat karena habis menempuh
perjalanan jauh, Kok-su tentu lelah dan dipersilahkan
beristirahat dulu." Gong gong cu menghaturkan hormat dan menyatakan
terima kasih. Setelah itu baru orang tua baju kuning itu
tertawa seraya maju menghampiri:
"Ah, Kok-su tentu lelah."
"Ah, tidak. Semoga Hong-ya sehat selalu," sahut Gong-
gong-cu dengan hormat. "Hong-ya sehat dan bahagia."
"Semoga cong-koan juga sehat2 saja." kata Gong-gong-
cu kepada orang tua baju kuning. Dia pembesar istana yang
berpangkat cong-koan.

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, doa keselamatan untuk Kok-su juga." kata orang
tua baju kuning itu. "Baiklah, lain waktu kita bercakap-cakap lagi...."
"Silahkan, Kok-su. O. tuan ini...." mata orang tua baju
kuning itu memandang Cu Ciang.
Gong-gong-cu tertawa gelak2, serunya: "Dia adalah
muridku yang baru kuperoleh waktu didaerah Tionggoan !"
Kemudian ia berpaling kepada Cu Jiang: "Inilah Khu Bun
Ki, cong koan istana. Masih banyak hal2 yang engkau perlu
meminta bantuannya."
"Khu cong koan, terimalah hormatku," Cu Jiangpun
secara menghaturkan hormat.
"Ah, tak usah banyak peradatan." kata Khu Bun Ki yang
menjabat cong-koan atau pembesar urusan istana Itu.
Kemudian Gong-gong-cu pun meminta kepada rombongan pembesar yang menyambutnya tadi supaya
kembali ke tempat masing2. Demikian setelah berbicara
basa-basi dengan beberapa pembesar istana yang mengerumuninya itu, akhirnya Gong-gong-cu mengajak Cu
Jiang menuju ke lorong kiri dan melangkah ke jalan besar
yang rindang dengan pohon2.
Sesungguhnya istana raja Tayli itu tak lebih hanya
sebesar gedung kediaman seorang menteri Kerajaan di
negeri Tionggoan. Paling bedanya hanyalah istana Tayli itu
dihias dengan sebuah lapangan.
Setelah melalui beberapa pintu halaman, akhirnya Gong-
gong-cu dan Cu Jiang tiba dimuka sebuah pintu berbentuk
rembulan. Begitu melangkah, Cu Jiang segera merasakan suatu
suasana yang baru. Pagoda kecil tempat beristirahat yang
terbuat dari batu, tiang2 pilar yang tinggi bersih dan terbuat
dari batu marmer, menghias sebuah gedung yang tenang.
Dari dalam gedung itu muncul dua orang anak yang
berlari-lari menyambut: "Kok-su sudah pulang ...!"
Dengan penuh kasih sayang Gong-gong cu mengelus-
elus bahu kedua bocah itu seraya berkata: "Ing San, Bok Ci,
beri hormat kepada Sausu !"
Cu Jiang diam2 menghela napas longgar. Dengan
bijaksana Gong-gong-cu dapat menghindarkan kesulitan Cu
Jiang dengan memberinya sebutan sebagai sausu atau guru
muda. Juga ketika memperkenalkan kepada Khu Bun Ki,
congkoan atau menteri rumah-tangga istana, Gong-gong cu
juga tak menyebut nama Cu Jiang.
Sejenak memandang ke arah Cu Jiang kedua bocah itu
berturut-turut memberi hormat.
"Ing San menghaturkan hormat kepada sau-su." kata
salah seorang bocah itu sambil berlutut.
"Bok Cui menghaturkan hormat," kata bocah yang
seorang pula. Keduanya segera berlutut di hadapan Cu
Jiang. "Bangunlah!" buru2 Cu Jiang mengangkat mereka.
Kedua bocah itupun lalu mundur ke samping.
Gong-gong-cu melambai dan suruh Cu Jiang mengikutinya masuk. "Rumahku ini bebas, tak perlu sungkan" katanya.
Gong-gong-cu menuju ke sebuah bangunan gedung di
tengah pagar bunga. Walau pun tidak berapa besar tetapi
gedung itu amat bersih dan sedap. Pada papan yang besar
tertulis tiga buah huruf "Tiau-tim-tian" atau wisma
Pembersih Debu. Alat perabot dalam ruang gedung itu terdiri dari barang2
antik yang jarang terdapat. Ing San membawa Cu Jiang ke
belakang untuk mandi dan tukar pakaian.
Setelah itu Bok Cui datang mengundangnya supaya
makan. Ruang makan berada di tengah kolam. Walaupun
bukan tergolong jenis yang mewah tetapi hidangannyapun
terdiri dari masakan yang mahal dan lezat.
Gong-gong-cu sudah menanti di situ dan Cu Jiangpun
segera duduk berhadapan di sebelah bawah.
"Anggap engkau telah kuberi pencucian debu," Gong-
gong cu. "Ah, terima kasih."
"Sebelum pengangkatan resmi sebagai guru dengan
murid, kita masih sebagai kawan," kata Gong gong-cu pula,
"Jangan engkau sungkan."
"Baik !" "Lepaskan kedok mukamu."
Begitu Cu Jiang membuka kedoknya, kedua bocah yang
berdiri disamping itu menjerit tertahan. Gong gong cu
melirik dan merekapun buru2 tundukkan kepala, Betapa
perasaan hati Cu Jiang, dapat dibayangkan.
Setelah makan malam selesai, barulah mereka masuk
kedalam ruang tamu yang telah disiapkan. Semalam itu
benak Cu Jiang penuh diliputi berbagai pikiran sehingga
semalam suntuk tak tidur.
Pagi2 sekali Ing San sudah berseru pelahan2 dimuka
pintu: "Sausu, utusan baginda datang, harap sausu mandi dan
ganti pakaian." Cu Jiang buru2 bangun. Selesai mandi dan ganti
pakaian, Gong-gong-cupun sudah memangginya. Buru2 dia
keluar dan menghaturkan selamat.
"Hongya akan menerima engkau."
"Ya, wanpwe tahu."
"Ikut aku." Mereka melalui pintu samping, berjalan disepanjang
lorong marmar putih. Dinding keraton tinggi sekali. Tiba
diujung lorong, mereka berhadapan dengan sebuah pintu
gerbang bercat merah. Didalam pintu merupakan sebuah taman yang indah,
penuh dengan aneka bunga yang aneh. Lorong yang
menuju ke ruang istana, terbuat dari marmer putih.
Ditepi titian dimuka pintu ruang, sudah menyambut Khu
Bun Ki menteri pengurus istana.
"Hong-ya menunggu Kok-su." seru Khu Bun Ki.
Setelah mengemasi pakaiannya, Gong-gong-cu suruh Cu
Jiang menunggu di situ sedang dia terus naik ke titian dan
masuk kedalam istana. Beberapa waktu kemudian, baru menteri Khu Bun Ki
berseru memangginya: "Gok-Jin-Ji, silahkan naik."
Dengan langkah yang pincang, Cu Jiang segera meniti
titian dan naik ke atas. Ruang mana tampak berkilau-
kilauan bergemerlapan. Zamrud permata menghias segenap
ruang. Di tengah ruang tampak duduk seorang lelaki tua
berjubah kuning. Wajahnya keren tetapi sikapnya amat
ramah. Usianya disekitar 50-an tahun. Sedang Gong-gong-
cu duduk disebelah samping bawah.
"Apakah ini raja Tayli ?" pikir Cu Jiang. Tetapi sebelum
ia sempat berkata apa2 Gong-gong-cu sudah berseru:
"Haturkan hormat kepada Hong-ya!"
Cu Jiangpun segera berturut:
"Menghaturkan hormat kepada Hong-ya."
"Bangunlah, disini ruang paseban muka, tak perlu
banyak peradatan," seru orang berjubah kuning itu.
"Terima kasih, Hong-ya," seru Cu Jiang lalu berdiri.
Ketika mengangkat muka dan beradu pandang dengan pria
jubah kuning itu, hati Cu Jiang bergetar.
"Hong-ya, walaupun wajahnya buruk, tetapi anak muda
itu seorang tunas yang berbakat luar biasa."
"Um.." pria Jubah kuning itu hanya mendesah tetapi tak
berkata apa2. "Mohon Hong-ya menurunkan titah." seru Gong-gong-
cu pula. Sampai beberapa saat baru pria jubah kuning itu berseru:
"Koksu, untuk sementara tunda dulu."
Wajah Gong-gong-cu agak berobah.
"Hong-ya, walaupun tua tetapi rasanya mata hamba
masih dapat mengenal barang..."
Pria jubah kuning memotong, serunya: "Koksu, besok
pagi kita berunding lagi."
Gong-gongcu berbangkit dan membungkuk tubuh
dalam2, serunya: "Hamba menerima perintah, mohon mengundurkan
diri." Tubuh Cu Jiang terasa agak gemetar. Hanyalah karena
memandang mukanya buruk, rupanya raja Tayli itu kurang
berkenan dalam hati. Tampaknya sia2 saja perjalanan ke
negeri Tayli itu. "Nak, mari kita kembali dulu," kata Gong-gong-cu
dengan tenang. Cu Jiang terkejut dan buru2 memberi hormat kepada raja
seraya mohon diri. Kemudian ia mengikuti Gong gong-cu
kembali ke wisma Tiau-tiok-tian, tempat kediaman Gong-
gong cu. "Nak, jangan putus asa, aku akan berusaha untuk
menembus persoalan ini."
Cu Jiang hanya tertawa hambar.
"Terserah bagaimana locianpwe hendak mengatur,"
katanya "Nak, apabila sampai gagal, akupun hendak meletakkan
jabatan." "Ah, jangan locianpwe bertindak begitu. Manusia
berusaha, Thian yang memutuskan. Aku tak bernafsu nekad
untuk menginginkan sesuatu."
"Ya kutahu isi hatimu, nak, beristirahatlah dulu."
Kembali ke kamarnya, perasaan Cu Jiang tak keruan
rasanya. Pikirnya, bagaimana ia dapat lolos dari istana
terlarang itu. Kesan yang telah dialaminya, membangkitkan
pula dendam kebencian yang sudah mengendap beberapa
waktu. Pada saat dia sedang dilanda oleh luap amarah yang
sukar dikendalikan, tiba2 ia mendengar gemerincing suara
tawa seorang gadis yang berasal dari ruang di sebelah
muka. Ia duga tentulah gadis2 pelayan atau dayang istana
disitu. "Bagaimana latihan badan?"
tiba2 terdengar suara Gong gong-cu tertawa keras.
"Mau sembunyi tapi takut dapat diketahui," seru gadis
itu. "Ha, ha, ha " "Kabarnya Nyo kongkong ketika di Tionggoan telah
menerima seorang murid hebat ?"
"Ih, bagaimana engkau tahu ?"
"Hm, segala apa yang terjadi di negeri ini, dari atas
sampai ke bawah, tiada yang tak kuketahui."
"Engkau lihay sekali!"
"Ucapan Nyo kongkong sukar dipercaya."
"Ih ?" "Bukankah Nyo kongkong pernah mengatakan tak mau
menerima murid?" "Oh. .. soal itu, lain dulu lain sekarang."
"Orang tua tetapi tak malu!"
"Mengapa engkau tak mengatakan "tua tetapi tidak mati"
" "Berbicara dengan sungguh2, Nyo kongkong, apakah
aku boleh berkenalan dengan dia?"
Mendengar itu hati Cu Jiang bergetar keras. Siapakah
gadis itu" Mengapa dia menyebut Gong-gong-cu sebagai
kongkong ( kakek )" Menurut kata gadis itu. Gong-gong cu
itu orang she Nyo Dan kalau menilik nada pembicaraannya, gadis itu jelas bukan dayang istana. Lalu
siapakah dia?" Tiba2 terdengar Gong-gong-cu tertawa:
"Kongcu lebih baik jangan kenal dia."
Kali ini Cu Jiang benar2 tergetar hatinya. Ternyata gadis
itu adalah kongcu atau puteri raja. Pembicaraan kedua
orang itu bebas sekali dan tak terikat oleh adat istiadat
istana. Rupanya di istana itu. peraturan antara pria dan
wanita bukan merupakan larangan.
Kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan itu
menyerupai suatu kerajaan tersendiri.
"Kenapa tak boleh?" puteri itu melengking.
"Tak sedap dipandang!" sahut Gong gong cu.
"Asal dapat melihat bagaimana macam orang yang
mampu mendorong Nyo kongkong sampai merobah
keputusan takkan menerima murid. Soal sedap atau tak
sedap dipandang, aku tak peduli!"
"Engkau tak mengerti."
"Apanya yang tak mengerti?"
"Kelak kita bicara lagi. "
"Setelah mendapat murid baru, rupanya Nyo kongkong
tak sayang padaku Toan Swi Ci lagi, ya?"
Tergerak hati Cu Jiang. Toan Swi Ci, oh, nama puteri itu
Toan Swi Ci. "Apakah engkau tetap akan melihat?"
"Tentu, kalau tidak aku tentu tak dapat setiap waktu
datang ke mari untuk meminta pelajaranmu."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, nak, keluarlah menemui kongcu!"
Kejut Cu Jiang seperti disambar petir. Dia harus keluar
bertemu puteri raja itu" Ah tidakkah wajahnya begitu
menyeramkan orang" Bagaimana mungkin dia ketemu
seorang puteri raja dengan wajah begitu"
Tetapi ah, kalau toh menyeramkan,kan hanya satu kali
saja Selanjutnya puteri raja itu tentu tak mau bertemu
dengan dia lagi. Setelah mengambil keputusan dia terus melangkah ke
luar. Begitu melangkah ke dalam ruang, seketika terpancar
penerangan yang gemilang. Tampak seorang dara secantik
bidadari tengah duduk berhadapan dengan Gong-gong-cu.
Usianya baru diantara 16-17 tathun.
"Aah..." Toan Swi Ci menjerit kaget, wajahnya berobah
tegang. Betapa perasaan Cu Jiang saat itu sukar dilukiskan.
Malu, marah, benci dan dendam campur aduk menjadi
satu. Serentak ia berputar tubuh dan melangkah keluar.
"Nak, kembalilah !" teriak Gong-gong-cu.
Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan. Dia terus menuju ke
ruang di belakang dan duduk terlongong diatas kursi.
"Engkau menyebabkan dia tertusuk perasaannya." tiba2
terdengar suara Gong-gong-cu dari ruang depan.
"Aku tak mengerti mengapa Nyo kongkong menjatuhkan
pilihan padanya ?" "Itulah sebabnya kukatakan tadi, kalau engkau tak
mengerti." "Harap Nyo kongkong suka memberi petunjuk."
"Aku memilih bakat tulangnya yang luar biasa, bukan
dari air mukanya." "Kalau begitu. . . aku hendak minta maaf kepadanya."
"Tak usah." "Siapa namanya ?"
"Gok jin-ji." "Gok-jin-ji" Ah, rasanya itu bukan suatu nama.
Dikalangan rakyat juga tak terdapat orang she Gok."
"Itu nama gelarannya."
"Yang kutanyakan nama sebenarnya."
"Dia tak punya nama."
"Ih, aneh. Masakan orang tak punya nama."
"Kongcu yang baik, banyak sekali hal2 dalam dunia
persilatan yang tak engkau ketahui."
Sampai disitu Cu Jiang tak mau mendengarkan lagi. Ia
memandang kearah almari rak buku yang penuh dengan
buku. Ia segara mengambil sebuah. Ternyata sebuah buku
sejarah. Membuka beberapa halaman, ia tak ada selera
membacanya lalu menukar dengan yang lain.
Juga tak senang. Setelah mengembalikan buku itu dia
terus melangkah ke luar halaman. Kebun halaman penuh
dengan aneka bunga yang belum pernah dilihatnya.
Hatinya terasa agak lapang.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh yang rasanya sudah
pernah dikenal, mendadak berjalan pelahan-lahan dititian
belahan Jalan-setapak di tengah kebun bunga. Ketika
memperhatikan, hampir saja Cu Jiang memekik.
Itulah si wanita gemuk, pemilik rumah makan yang telah
dibakar oleh orang Gedung Hitam, Tetapi mengapa wanita
gemuk itu berada di istana Tayli "
Kenangan lama muncul kembali. Ia hendak menemui
wanita gemuk itu dan memperkenalkan dirinya. Selagi dia
masih bersangsi, wanita gemuk itupun, sudah tiba beberapa
langkah di mukanya. "Hai, engkau!" teriak wanita gemuk itu terkejut.
Cu Jiang menahan luapan perasaannya dan bersikap
tenang: "Ya, memang aku."
"Masih ingat kepada wanita penjual kacang yang
menjajakan dagangannya di kota kecil tempo hari ?"
"Tentu." "Bukankah engkau bersama seorang sasterawan pertengahan umur . . ."
"Ya, benar, tetapi aku segera berpisah dengan dia."
Dengan tegang wanita gemuk itu memandang Cu Jiang,
serunya : "Lalu bagaimana harus menyebutmu ?"
"Aku bernama Gok Jin ji."
"Yang kumaksudkan sebutannya."
"Mereka memanggil dengan sebutan sausu."
"Sausu?" "Ya." "Apakah sausu ikut Kok - su yang baru datang dari
Tionggoan itu?" "Ya." "Bagaimana keadaan sasterawan yang telah memberi
bantuan uang kepadaku itu ?"
Cu Jiang tak mau mengatakan bahwa orang yang
dimaksud wanita gemuk itu sesungguhnya adalah seorang
cong koan dari Gedung Hitam. Dia hanya menjawab
sembarangan saja. "Dia baik2 saja. Apakah aku boleh menyebutmu dengan
panggilan .... toanio ?"
"Ah, jangan, sausu ! Aku hanya salah seorang tukang
masak." "Bukan soal. Aku seorang persilatan. Kaum persilatan
tak membedakan pangkat dan kedudukan."
"Kalau sausu menghendaki, terserah. Memang orang2 di
istana sini memanggil aku begitu."
"Bagaimana toanio dapat datang kemari?"
"Menghindari musuh."
"Ah.." Cu Jiang hanya mengaduh tetapi tak mau
bertanya lebih lanjut. Dia tahu yang dimaksud musuh
tentulah pihak Gedung hitam.
Diam2 Cu Jiang merasa menyesal. Kesemuanya itu
adalah gara-garanya. Jika dia tak mencampuri urusan si
jelita Ho Kiong Hwa tentu tak sampai bentrok dengan
orang Gedung Hitam dan takkan diberi Amanat Maut.
Wanita gemuk itupun tak perlu melindungi dirinya dan
tak sampai rumah makannya dibakar orang Gedung Hitam
dan orangnya harus lari menyembunyikan diri dari kejaran
pihak Gedung Hitam. "Maaf toanio, kelak budimu tentu akan kubalas," diam2
Cu Jiang berjanji dalam hati.
Sambil memandang lekat2 pada wajah Cu Jiang, wanita
gemuk itu berkata: "Sausu, maaf, tetapi memang benar engkau ini mirip
dengan seseorang yang kenal baik dengan aku..."
"Siapa ?" Cu Jiang terkejut.
"Usianya sebaya dengan sausu, juga sinar matanya,
bahkan perawakannya. Hanya, ah, mungkin dia sudah tak
berada di dunia lagi.."
"Dia mempunyai hubungan apa dengan toanio ?"
"Keluarga." "Keluarga" Apa ikatannya dalam keluarga dengan toanio
?" "Ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku sedih
kalau mengingat dia."
"Cu Jiang, kasih tahu pada toanio, bahwa pemuda yang
dikenangnya itu saat ini berdiri dihadapannya. Hanya
karena wajahnya rusak, engkau tak mengenalnya . . .. "
tiba2 hati Cu Jiang melantang.
Tetapi dia berusaha untuk menekan perasaannya.
Saatnya belum tiba, pikirnya.
Saat Itu bocah Ing San bergegas memanggil. "sausu !"
katanya kepada Cu Jiang, dan kepada wanita gemuk, bocah
itupun berseru: "Toanio, aku mencarimu kemana-mana."
"Ada apa?" "Siang nanti kongcu hendak bersantap di wisma Tiau-
tim-tian. Koksu pesan agar disiapkan hidangan."
"O, baiklah, aku segera menyiapkannya." wanita gemuk
itu memberi hormat kepada Cu Jiang lalu bergegas pergi.
Cu Jiang kerutkan dahi. Ada sesuatu yang melintas
dalam benaknya. "Ing San, aku hendak jalan-2 ke luar istana ini, " katanya.
"Sausu hendak pesiar melihat-lihat luar?"
"Ya." "Biarlah kulaporkan pada Koksu dulu."
"Ya, silahkan."
Bocah itu gopoh2 pergi dan tak lama kemudian dia
muncul kembali seraya tertawa:
"Koksu mengijinkan tetapi supaya dekat2 saja dan cepat
kembali. Juga pesan supaya sausu mengenakan kedok
muka." Cu Jiang girang sekali, ia masuk ke kamar dan
mengenakan kedok muka. "Hayo, kita ke luar."
Ing San yang mengiring dan menjadi penunjuk jalan.
Mereka keluar dari pintu samping dan setelah melalui
beberapa lorong akhirnya keluar dari istana.
Saat itu sedang ramai-ramainya orang berjualan. Pasar2
penuh sesak dengan orang berjual beli. Rupanya Ing San
jarang sekali mendapat kesempatan seperti itu. Dia tampak
gembira sekali. Sepanjang jalan selalu nyerocos ngoceh
sembari menuding kesana kesini.
Cu Jiang hanya mengiakan saja tetapi hatinya tak
memikirkan soal itu. Diam2 dia mengasah otak untuk
mencari jalan bagaimana dapat kembali ke Tiong goan.
Kesan yang diterimanya ketika menghadap raja Tayli tak
menyenangkan hati. Lebih baik dia kembali ke Tionggoan
saja. Tak terasa hampir separoh kota telah dijelajahi dan saat
itu mereka tiba di pintu kota utara. Sengaja Cu Jiang
bersikap gembira, serunya:
"Ing San. kabarnya pemandangan laut Ki-hay itu indah
sekali. Mari kita ke sana . . ."
Ing San menengadah memandang matahari, serunya:
"Sausu, sekarang sudah saatnya kita harus pulang."
"Lebih baik kita makan di luar saja."
"Jangan! Koksu pesan, agar sausu menemani kongcu
makan siang." "Ing San, aku justeru takut menghadapi peristiwa itu . . ."
"Kenapa?" "Wajahku yang begini buruk, masakan layak duduk
bersama kongcu?" "Kongcu sering berkunjung ke wisma Tian-tim-tian. Dan
kongcu tentu akan lebih sering datang, lama kelamaan tentu
biasa." "Itu soal besok, Ing San. Lebih baik hari ini kita pesiar
sampai puas." "Hamba tak berani, takut pada Koksu ...."
Melihat sikap bocah itu, tergeraklah hati Cu Jiang. Ia
mendesak: "Jangan kuatir, segala kesalahan aku yang tanggung
nanti. Engkau hanya menjadi penunjuk jalan. Tak nanti
Koksu akan marah kepadamu."
"Sausu, tindakan sausu itu berarti tak menghormat pada
kongcu . . ." "Pagi tadi ketika melihat wajahku, kongcu tampak ngeri.
Kalau aku tak pulang, bukankah sesuai dengan kehendak
hatinya?" Ing San termenung sejenak, katanya:
"Hong-ya hanya mempunyai seorang puteri, amat
disayanginya " "Tak punya putera?"
"Tidak." Pada saat itu mereka sudah ke luar dari kota. Ing San
hentikan langkah. Cu Jiang berpaling kepadanya:
"Begini sajalah. Apakah di tepi laut ada rumah makan?"
"Ada, rumah makan Ong-hay-loh, mewah dan bersih,
ramai tetapi tenang."
"Ah, bahasa Han-mu lancar sekali."
"Memang ayah bundaku orang Tionggoan. Mereka
berdagang sampai ke Tayli dan aku dipilih menjadi pelayan
Koksu." "O, kalau begitu . . . begini sajalah. Engkau pulang dulu
dan memberitahu Koksu. Katakan aku sedang bertemu
dengan seorang sahabat dari Tionggoan dan masih omong2
di rumah makan. Terpaksa sore nanti baru pulang. Akan
kutunggumu di rumah makan Ong hay loh sana,
bagaimana?" "Apakah tak apa2?"
"Tak apa, lekas engkau pulang dan kembali cari aku
lagi." "Apakah sausu tahu di mana letak rumah makan Ong-
hay-loh itu?" "Uh, masakan tak dapat bertanya orang?"
"Tetapi . . ." Tetapi Cu Jiang cepat menepuk bahu bocah itu dan
berseru: "Ai, sudahlah, pulang dan kutunggu kedatanganmu lagi.
Hari ini kita akan pesiar sampai puas."
Sebenarnya Ing San takut dimarahi Koksu tetapi dalam
hati ia memang senang kalau dapat pesiar diluar. Akhirnya
ia mau juga menurut perintah Cu Jiang dan harus berangkat
pulang. Setelah bocah itu jauh, barulah Cu Jiang dapat menghela
napas longgar. Ia pun melanjutkan langkah. Setelah tiba
pada jalan yang terakhir dalam kota, seharusnya belok ke
kanan baru akan tiba di rumah makan Ong hay-loh. Tetapi
Cu Jiang sengaja belok ke kiri.
Walaupun kakinya pincang hingga tak leluasa berlari-
lari, karena ia memiliki tenaga-dalam yang kokoh,
walaupun hanya mengandalkan kaki kanan berlari, pun
tetap cepat sekali. Jago silat biasa tak mungkin dapat
mengimbangi larinya. Ia takut Gong-gong-cu akan mengirim orang untuk
mengejarnya, maka ia lari terus tanpa berhenti.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arah yang ditujunya, sama dengan ketika ia datang ke
Tayli, hanya Jalannya yang berbeda.
Menjelang petang hari setelah memperkirakan mencapai
seratusan li, tibalah dia disebuah kota kecil di pegunungan.
Penduduknya separoh suku Han separoh penduduk
pribumi. Tetapi yang digunakan disitu adalah bahasa Han.
Diam2 ia menimang Pada saat bocah Ing San pulang
memberitahu kepada Gong gong cu, tentulah Gong-gong-cu
akan perintahkan orang untuk mencarinya di dalam kota.
Untuk sementara waktu. Gong-gong cu tentu tak
menduga kalau ia sudah meloloskan diri. Pada saat Gong
gong-cu menyadari kalau dia minggat, tentu sudah tak
keburu lagi untuk memerintahkan orang mengejarnya. Apa
lagi jalanan, bukan melainkan satu.
Setelah memperhitungkan hal itu, dia masuk kedalam
kota dan beristirahat dalam sebuah kedai minum yang
diusahakan orang Han. Rumah makan kecil itu tiada sesuatu hidangan yang
enak. Tetapi Cu Jiang tak memikirkan soal itu. Ia pesan
makanan dan arak. Kini pikirannya mulai merancang rencana. Lebih baik
menempuh perjalanan pada malam hari atau siang.
Walaupun tenaga-dalamnya sudah bertambah lihay tetapi
ilmu silatnya masih kurang. Sedang musuh yang
dihadapinya terdiri dari tokoh2 lihay, Lalu bagaimana
langkahnya apabila dia kembali ke Tionggoan nanti"
Dalam waktu merenung dan menimang-nimang pikiran
itu tak terasa ia telah menghabiskan arak dan minta tambah
lagi. Tetapi daya arak itu bahkan menambah kedukaan
hatinya. Pemilik kedai seorang lelaki pertengahan umur,
mengenakan pakaian warna hitam dari kain kasar. Tetamu
hanya sedikit, berikut Cu Jiang hanya tiga orang. Pemilik
kedai itu menghampiri dan duduk pada sebuah meja lain.
"Apakah tuan ini orang Han ?"
"Ya," sahut Cu Jiang. "Berdagang atau .."
"Oh, aku .. . menjenguk sahabat."
"Siapakah sahabat tuan " Jelek2 aku sudah kenal dengan
semua penduduk disini."
"Ah, tak perlu. Aku sudah tahu. Sahabatku itu menjadi
tabib di kota kerajaan Tayli."
"O, tabib " Siapakah namanya ?"
Sebenarnya Cu Jiang hanya sekenanya saja menjawab.
Tak tahunya pemilik kedai itu malah mendesak terus.
Untung dia memakai kedok muka sehingga cahaya air
muka tak terlihat orang. "Orang she Ih," katanya hambar.
Tiba2 pemilik kedai itu menepuk pahanya sendiri dan
tertawa gembira: "O, apa bukan Sin-Jiu Ih Hoa?"
"Ya, dia!" "Ah, sungguh tak tahu adat, maaf. Tabib besar In Hoa,
namanya harum mewangi didaerah selatan. Entah berapa
banyak jiwa yang telah ditolongnya. Dia mampu
menghidupkan kembali orang yang sudah mati!" seru
pemilik rumah makan itu dengan gembira.
Cu Jiang geli dalam hati. Dia hanya sembarangan saja
menyebut sebuah she, eh, kiranya memang ada seorang
tabib yang bernama Ih Hoa.
Pemilik rumah makan itu masuk dan keluar lagi dengan
membawa poci perak, sepiring ayam panggang dan
sepasang sumpit. "Harap tuan suka dahar sebagai tanda hormat kami,"
katanya dengan tertawa. "Ah, apakah artinya ini ?" Cu Jiang heran.
"Terhadap seorang sahabat dari Ih toa-koh jiu (tabib
negara) kepada siapa aku pernah berhutang budi, sudah
sepantasnya kalau aku menghaturkan hormat."
Ia menuang arak ke cawan Cu Jiang dan ke cawannya
sendiri lalu mempersilahkan pemuda itu minum dan dahar.
Cu Jiang mengucapkan kata2 basa-basi tetapi pemilik
rumah makan itu mendesaknya supaya jangan sungkan,
Terpaksa Cu Jiang minum juga.
"Arak yang hebat," serunya memuji. Pemilik rumah
makan lalu menuang lagi. Berturut turut Cu Jiang menegak
sampai tiga cawan. Tetapi beberapa kejab kemudian ia
rasakan matanya ngantuk sekali, sampai sukar dibuka. Ia
terkulai, rebahkan kepalanya di meja dan tak ingat apa2
lagi. Entah berselang berapa lama, ingatannya mulai timbul
kembali. Ia rasakan sekujur tubuhnya tak enak dan kaki
tangannya tak dapat digerakkan. Bahkan terasa seperti
lunglai. Ia mendengar suara ribut2 dan bau asap dupa
wangi. Ketika membuka mata, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata saat itu dirinya sedang terikat pada sebatang
tonggak. Sekelilingnya penuh dengan orang, ada yang
duduk ada yang berdiri. Masing2 membawa obor. Bau asap
kayu cendana, timbul dari unggun api.
Tempat itu merupakan sebuah lapangan terbuka. Menilik
pagar-pagar yang terpancang di sekeliling, seperti merupakan sebuah pasar. Di sebelah muka, disiapkan meja sembahyangan, bunga
dan lilin. Di atas meja diberi sebuah sin-pay atau nisan yang
bertulis beberapa huruf, berbunyi:
Arwah mendiang tabib Sin-jiu Ih Hoa.
Cu Jiang tercengang tak tahu apa yang terjadi. Bukankah
karena menganggap Cu Jiang itu seorang sahabat dari Ih
Hoa maka pemilik rumah makan lalu menyediakan arak
dan hidangan ayam panggang" Mengapa tahu terjadi
adegan seperti saat itu"
Cu Jiang sudah tentu tak kenal siapa tabib Ih Hoa itu dan
bagaimana peribadinya. Dan hanya karena menjawab
pertanyaan, ia sekenanya saja mengatakan hendak
menjenguk seorang sahabat orang she Ih. Ai, mengapa
tahu2 jadi begini... Di samping meja tegak delapan lelaki berjubah panjang.
Salah seorang tak lain adalah pemilik rumah makan itu
sendiri. Menilik gelagatnya, jelas mereka tentu bermaksud buruk
terhadap Cu Jiang. Tentulah pemilik rumah makan itu telah
mencampuri obat ke dalam arak.
"Tho-si telah tiba!" tiba2 terdengar lelaki tua yang berdiri
di tepi meja itu berseru nyaring.
Tho-si adalah sebutan untuk pembesar atau kepala
daerah dari suku golongan minoritas (kecil) yang hidup di
daerah Lam bong atau Tionggoan sebelah barat-daya
Suasana hening seketika. Dari jauh tampak mendatangi
sebuah rotan panjang yang menyerupai ular api. Ternyata
mereka terdiri dan berpuluh-puluh lelaki berpakaian
pendeta, memegang obor dan berjalan menuju ke lapangan.
Diantara cahaya api itu, tampak sebuah tandu besar. Cu
Jiang duga, yang berada dalam tandu itu tentu tho-si.
Selekas memasuki lapangan, rombongan obor itu segera
berpencar dengan rapi sehingga lapangan terang benderang
seperti siang. Tandu berhenti di muka meja sembahyangan. Orang2
yang berdiri di tepi meja segera maju menghampiri.
Seorang pengawal yang bersenjata golok, segera
membuka tenda penutup tandu dan seorang lelaki bertubuh
tinggi besar mengenakan jubah kuning emas, melangkah ke
luar dari dalam tandu. Dengan mata berkilat-kilat ia
memandang ke sekeliling. Bagai rumput tertiup angin, sekalian orang yang berada
di lapangan itu, segera berlutut memberi hormat.
Lelaki yang menyambut ke muka tandu itu-pun juga
membungkukkan tubuh memberi hormat. Rupanya ke
delapan orang yang tegak berjajar di kedua samping meja
itu merupakan tokoh2 penduduk yang terkemuka.
Lelaki tua jubah kuning emas lalu berjalan pelahan-lahan
menuju ke muka meja. Ia mengangkat tangan selaku
membalas penghormatan orang2 itu. Kemudian ia duduk di
kursi yang telah disediakan. Kedelapan pengiring bersenjata
golok, tegak berjajar di belakangnya.
Orang2 yang berlutut tadipun bangun. Tetapi tiada
seorangpun yang berani membuka mulut. Suasana masih
tetap hening lelap. Cu Jiang rasakan benaknya masih memar sehingga ia tak
jelas apa yang terjadi di tempat itu.
Delapan penduduk terkemuka yang berjajar pada kedua
samping meja sembahyangan, berdiri di tepi tempat duduk
lelaki tua berjubah kuning.
Setelah beberapa jenak menatap Cu Jiang, lelaki
berjubah kuning emas itu baru berkata: "Apakah hanya dia
seorang?" "Ya," jawab seorang tua berjubah panjang. "semalam dia
singgah di kedai Tio lopan. Dalam pembicaraan, dia telah
kelepasan omong, Tio lopan segera menghidangkan arak
obat untuk meringkusnya..."
"Apakah sudah pernah ditanya?"
"Belum, kami menantikan loya yang memeriksanya."
"Tio lopan." seru lelaki tua jubah kuning emas itu.
Pemilik rumah makan segera mengiakan. "Kapan dia
singgah di kedaimu?"
"Baru semalam."
"Dia berkata apa saja ?"
"Katanya hendak berkunjung ke daerah selatan
menjenguk seorang sahabat. Aku curiga dan mendesaknya,
Dia mengatakan sahabatnya itu orang she Ih. Segera
kuhidangkan arak obat sehingga dia rubuh dan ternyata
memang terdapat bukti."
"Bukti ?" "Kutungan pedang!" kata pemilik rumah makan,
menjemput sebilah kutungan pedang, diangkat tinggi2 lalu
diletakkan kembali. Bukan main marah Cu Jiang. Kutungan pedang itu
adalah benda peninggalan mendiang ayahnya. Ia tak
menduga orang akan menggeledah dirinya dan menganggap
benda itu sebagai barang bukti.
Wajah lelaki tua jubah kuning emas itu tampak gelap.
Dengan penuh dendam ia memandang Cu Jiang lalu ke
segenap hadirin dan terakhir berseru dengan lantang:
"Tabib Ih, seorang tabib yang budiman dan pandai,
menyelamatkan jiwa manusia dari cengkeraman maut.
Didaerah ini beliau merupakan dewa penolong yang sangat
dipuja dan dihormati. Sungguh tak kira kalau orang yang
begitu baik akhirnya harus mengalami nasib menyedihkan
dibunuh oleh serombongan lima orang.
Sudah empat pembunuh yang membayar dosanya.
Arwah tabib Ih masih melayang-layang di daerah ini
sehingga pembunuh2 itu kebingungan dan menyerahkan
diri. Pada tubuh mendiang tabib Ih, masih tertanam sebilah
pedang kutung. Dan karena dibadan orang itu-pun terdapat
kutungan pedang, maka bukti kejahatannya sudah jelas, tak
perlu ditanya lagi..."
Beratus-ratus mata yang penuh dendam kemarahan
mencurah pada Cu Jiang. Kini Cu Jiang baru menyadari
persoalannya. Ternyata dia telah didakwa sebagai
pembunuh tabib Ih Hua. Padahal ia tak kenal sama sekali
siapa dan bagaimana tabib Ih itu.
"Ah, jika aku tak membantah, tentu akan mati konyol,"
pikir Cu Jiang. "Tho-si, apakah ucapan anda itu benar ?" serunya.
"Soal apa ?" sahut lelaki tua berjubah kuning emas.
"Anda tak boleh hanya dengan kesimpulan dugaan saja
lalu menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak
berdosa..." "Apa engkau tak berdosa?"
"Aku seorang pejalan yang kebetulan lalu didaerah ini.
Kutungan pedang itu adalah peninggalan ayahku.
Bagaimana engkau jadikan bukti sebagai alat pembunuh
tabib itu ?" "Itu menurut katamu."
"Mengapa tak mencocokkan dulu kedua kutungan
pedang itu ?" "Jenasah tabib mulia itu tak boleh diganggu. Kutungan
pedang masih berada pada Jenasah dan ikut dikubur."
"Aku sama sekali tak kenal siapa tabib Ih itu. . ."
"Tutup mulutmu ! Percuma engkau membantah. Lekas
sumbat mulutnya !" Seorang pengiring segera maju. Merobek baju Cu Jiang
lalu menyumpalkan pada mulut pemuda itu.
Hampir melotot keluar mata Cu Jiang karena menahan
kemarahannya. Tetapi dia tak berdaya. Tenaganya masih
merana, tenaga-dalam masih di hanyut obat dalam arak
tadi. Jika saat itu dia mau menyebut nama Gong gong-cu,
persoalan tentu akan berobah. Tetapi dia memang berhati
tinggi. Tak mau dia mengemis pertolongan orang.
"Mulai sembahyang !" teriak lelaki berjubah kuning
emas. Seorang laki tua yang mengenakan pakaian warna biru
segera maju ke depan meja sembahyangan. Kawan-
kawannya yang lain mundur dan berjajar di belakang tho-si.
Sementara thosi itupun segera menghadap meja.
"Mulai! Satu dua.... tiga," dengan suara aneh lelaki
berjubah biru itu berteriak.
Thosi berturut-turut tiga kali melakukan sembahyangan
dengan dupa dan menancapkan pada sebuah tempat dupa.
"Berlutut !" lelaki jubah biru itu berteriak nyaring dan
panjang. Seluruh hadirin segera berlutut. Suasana hening, tegang
dan seram. Cu Jiangpun berdiri bulu kuduknya. Kini ia
menyadari apa yang akan terjadi. Dia akan dijadikan sesaji
sembahyangan,

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penghormatan dimulai. Satu .. . dua .. tiga " kembali
lelaki berjubah biru itu berseru. Sekalian hadirin segera
membungkukkan kepala hingga sampai ke tanah.
"Menghaturkan sesaji !"
Dua orang lelaki baju merah muncul dari meja
sembahyangan. Yang seorang membawa panci kayu warna
merah. Dalam panci kayu itu terdapat basi dari tembikar.
Sedang yang seorang mencekal sebatang pisau sebesar
kuping kerbau. Setelah maju memberi hormat dihadapan meja,
keduanya lalu menghampiri Cu Jiang.
Semangat Cu Jiang serasa terbang. Dia tak nyana bahwa
dirinya akan mati dalam keadaan yang begitu menyedihkan. Jauh di daerah pedalaman Lam bong dan
disembelih seperti babi. Kedua Jagal itu berdiri di kanan kiri Cu Jiang.
Dengan kata2 dalam bahasa Han yang kurang lancar,
jagal yang memegang pisau itu berkata pelahan-lahan:
"Semoga dalam penitisanmu besok, engkau akan
menjadi orang baik!"
Orang yang membawa panci kayu, mengertek gigi:
"Dia memang jahat sekali. Jangan cepat2 di bunuh tetapi
harus disayat pelahan agar dia tahu rasa!"
Jagal yang memegang pisau itu segera mengangkat pisau
dan ujung pisaupun mulai digerakkan ke tenggorokan Cu
Jiang. Dan Cu Jiang karena tak berdaya hanya pejamkan
mata pasrah nasib. "Tahan!" sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
keras yang mengejutkan sekalian orang.
O0xxdw-kzxx0O Jilid 10 Kedua jagal itu terkejut dan mundur sampai beberapa
langkah Orang2 yang berlutut mengikuti upacara penjagalan Cu Jiang itupun serempak berdiri.
Cu Jiang membuka mata. Tampak seorang lelaki
berumur 40 an tahun melesat ke depan meja sembahyangan. Dia mengenakan pakaian ringkas seperti
orang persilatan dan menyanggul pedang.
Melihat pendatang itu, lelaki jubah kuning emas tadi
serentak pucat wajahnya. Buru2 dia membungkuk tubuh
memberi hormat. "Se-cun thosi lo Ciau Liang menghaturkan hormat ke
hadapan Lwe-si-tiang."
Orang yang disebut lwe-si-tiang atau kepala prajurit
keraton (bhayangkara) menghela napas longgar.
"Ah, lo thosi tak usah banyak peradatan. Kalau aku
terlambat datang, urusan ini tentu hebat akibatnya . . ."
Sekalian orang berturut-turut menghaturkan hormat
kepada kepala bhayangkara keraton itu, kemudian sama
menyingkir ke samping. "Mohon segera diberitahu, perintah apa yang lwe-si-tiang
hendak berikan kepada kami?" kata thosi yang ternyata
bernama lo Ciau Liang. "Tahukah In thosi siapa pemuda itu?"
"Dia ... . adalah . . ."
"Pewaris dari Kok-su!" tukas kepala bhayangkara itu.
"Ah!" thosi itu menjerit kaget, menyusul sekalian
hadirinpun melengking kejut.
Lwe-si tiang terus menghampiri Cu Jiang melepaskan
pengikat dan sumbat mulutnya.
"Ah, sausu tentu menderita kejut," serunya tegang.
Cu Jiang hanya tertawa hambar, tak berkata apa2.
Keduanya segera menghampiri ke muka meja sembahyangan. Pemilik rumah makan tadi, pucat wajahnya dan serta
merta berlutut, menundukkan kepalanya sampai ke tanah.
"Hamba pantas dibunuh! Hamba pantas dibunuh!"
"Sausu mengapa tak mau mengatakan diri sausu
sehingga rakyat kami hampir saja melakukan kesalahan
besar," kata In thosi sembari memberi hormat kepada Cu
Jiang. "Aku tak mendapat kesempatan," sahut Cu Jiang dengan
nada dingin. Sejenak memandang ke arah rakyat yang masih
dicengkam kejut dan ketakutan, berkatalah kepala
bhayangkara itu kepada Cu Jiang:
"Sausu, Kok-su sedang menuju ke mari, mari kita
menyambutnya." Untuk menebus dosa, kepala desa In thosi itu mohon
agar tetamu2 agung itu suka singgah di rumahnya. Tetapi
kepala bhayangkara menolaknya.
"Mohon Iwe si-tiang suka memintakan ampun di
hadapan Kok-su." kata In thosi.
"Kok-su selalu bijaksana."
Dalam pada itu pemilik rumah makan segera berlutut di
hadapan Cu Jiang dan menyerahkan sebuah bungkusan:
"Sausu, hamba memang harus mendapat hukuman mati.
Dengan ini hamba haturkan obat penawar arak beracun
itu." Sambil menyambuti, Cu Jiang mengatakan bahwa orang
yang tak tahu itu tak berdosa. Sudah tentu pemilik rumah
makan sangat gembira dan menghaturkan terima kasih tak
terhingga atas kelapangan hati Cu Jiang.
Setelah minum obat penawar, tenaga Cu Jiang pun pulih
kembali. Walaupun Cu Jiang mengampuni tetapi kepala
bhayangkara itu tetap marah:
"Hm, kalian tetap tak mau tunduk perintah. Masih
berani menggunakan obat bius untuk mencelakai orang."
Pemilik rumah makan dengan gemetar mohon ampun
atas kesalahannya. "Sausu, mari kita tinggalkan tempat ini." kata kepala
bhayangkara. Sebelum pergi, Cu Jiang mengambil kutungan pedang di
meja lalu bersama lwe-si-tiang melangkah pergi. Sekalian
orang serempak memberi hormat.
Salah seorang pengawal dari In thosi, memberikan
kudanya kepada Cu Jiang. Demikian Cu Jiang dan Iwe si-
tiang segera naik kuda menyongsong Gong-gong-cu.
Beberapa saat kemudian tiba2 Cu Jiang hentikan
kudanya. "Lwe-si tiang, pelahan dulu!"
"Oh, sausu hendak memberi pesan apa ?" kepala
bhayangkara hentikan kuda.
"Ah, hanya mohon tanya siapakah nama lwe-si-tiang
yang mulia?" "Aku bernama Ang Ban !"
"Oh. harap Ang Iwe-si- tiang sampaikan kepada Koksu
bahwa aku hendak kembali ke Tiong goan . ."
Kepala bhayangkara itu terkejut, serunya:
"Aku tak dapat memberi keputusan. Harap menghadap
Kok-su dulu." Cu Jiang diam2 menghela napas. Dia sebenarnya malu
kembali ke keraton Tayli tetapi dia tak mau menyulitkan
kepala bhayangkara yang telah menolong jiwanya tadi.
Tidak jauh arah muka tampak tiga ekor kuda
mencongklang datang dengan pesat.
"Koksu sudah tiba," seru Ang Iwe-si-tiang gembira.
Yang dimuka memang Gong-gong-cu. Dua penunggang
kuda dibelakangnya adalah wi-su atau prajurit penjaga
keraton. Cepat sekali ketiga penunggang kuda itu tiba.
Gong-gong-cu loncat dari kudanya.
"Nak, mengapa engkau hendak melarikan diri ?"
Cu Jiangpun turun dari kuda. "Lo cianpwe, wanpwe
merasa tak layak menerima budi yang sebesar itu maka
wanpwe pikir akan kembali ke Tionggoan saja."
"Ah, semuanya dapat diatur pelahan-lahan" kata Gong
gong-cu kemudian berpaling dan bertanya kepada Ang Ban
bagaimana tadi dapat menemukan jejak Cu Jiang.
Ketika Ang Ban selesai menceritakan semua yang terjadi
pada diri Cu Jiang, Gong-gong cu banting2 kaki:
"Berbahaya, sungguh berbahaya sekali! Nak, engkau
terlalu keras hati! "Wanpwe menyesal sekali," kata Cu Jiang. "Untung tak
sampai terjadi sesuatu yang menyedihkan."
"Wanpwe hendak mohon pamit kepada cian-pwe."
"Jangan terburu-buru dulu." kata Gong-gong-cu lalu
memberi perintah kepada Ang Ban, "lwe-si-tiang, perintahkan agar semua kesatuan yang mencari jejak
supaya pulang. Dan haturkan ke hadapan Hong-ya, bahwa
dalam beberapa hari lagi aku tentu pulang."
"Apakah untuk sementara waktu ini Kok-su tak kembali
keraton?" "Aku hendak mengurus sebuah persoalan penting harap
kalian pulang." Kepala bhayangkara itu mengiakan. Bersama kedua
prajurit penjaga keraton dia memberi hormat kepada Gong-
gong-cu lalu melarikan kuda. Tak berapa lama mereka
lenyap dalam kegelapan. Setelah mereka pergi, barulah dengan wajah serius
Gong-gong-cu berkata: "Nah segalanya telah beres."
Cu Jiang terkejut dan heran, tanyanya: "Apa yang lo-
cianpwe maksudkan dengan beres itu ?"
"Semua berjalan menurut yang kita rencanakan."
"Apakah baginda meluluskan?"
"Tentu. Pernah kukatakan, kalau baginda tak meluluskan, aku akan mengundurkan diri."
"Ah, mengapa locianpwe akan bertindak begitu ?"
"Nak, soal ini menyangkut urusan besar dan kepentingan
mati hidupnya dunia persilatan. Rupanya Thian telah
meluluskan sehingga secara kebetulan dapat berjumpa
dengan engkau. Sudah tentu aku tak mau melepaskan
begitu saja sebelum selesai"
"Tetapi wanpwe sudah tak berminat kembali ke kota
Tayli lagi. Harap locianpwe suka memberi maaf."
"Engkau boleh kembali pulang ke Tionggoan," kata
Gong-gong cu. "Boleh pulang ke Tionggoan ?" Cu Jiang terbeliak kaget:
"Ya, untuk sementara lebih baik jangan dulu."
"Wanpwe sungguh tak mengerti maksud ucapan
locianpwe." "Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menjelaskan
Hong-ya sehingga Hong-ya meluluskan untuk menyerahkan
kitab pusaka kerajaan Tayli Giok-kah-kim-keng kepadamu
agar engkau dapat mempelajarinya.
Di puncak utama dari gunung Jong-san terdapat sebuah
tempat yang bagus untuk berlatih silat. Di tempat itulah
dulu aku memenjarakan gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Maksudku, supaya engkau seorang diri mempelajari isi
kitab itu. Aturlah soal makananmu. Setiap waktu boleh
suruh orang untuk mengambil . . . . "
"Wanpwe benar2 tak mengerti."
"Soal apa?" "Jika kitab pusaka Giok kah kim-keng itu sungguh
sebuah kitab pusaka kerajaan mengapa Hong-ya tak mau
mempelajarinya sendiri" Begitu pula masakan dalam
kerajaan Tayli tiada seorang mentri dan hulubalang yang
mampu untuk meyakinkan isi pelajaran kitab itu?"
"Pertanyaanmu bagus sekali." seru Gong gong cu, "tetapi
pernah kukatakan bahwa untuk mempelajari isi kitab itu
harus yang masih perjaka tulen, mempunyai pokok ilmu
tenaga-dalam yang kokoh dan bakat serta kecerdasan tinggi.
Ketiga syarat itu tak boleh kurang salah satu.
Hong-ya tak berputera melainkan hanya mempunyai
seorang puteri tunggal. Didalam negeri Tayli tiada tunas
yang luar biasa. Dan lagi kalau sembarangan saja
menurunkan pada orang, besar sekali akibatnya. Kalau
orang itu buruk moralnya, akibatnya tentu mengerikan."
"Apakah lo cianpwe memastikan bahwa aku ini seorang
manusia baik?" Gong gong cu tertawa. "Nak, dalam ilmu meramalkan tampang muka rasanva
aku masih dapat dipercaya."
"Apakah pusaka milik kerajaan itu, boleh diberi kau
kepada orang luar?" "Keadaan memaksa begitu. Selama gerombolan Sip pat-
thian-mo itu belum terbasmi, Tayli tentu akan terancam
bahaya. Gerombolan durjana itu. tentu takkan melupakan
dendam kemarahannya karena telah dipenjara selama


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpuluh tahun." "Tetapi mengapa sampai saat ini mereka tak tampak
melakukan kegiatan apa2?"
"Jika dianggap tenang, ketenangan itu merupakan
ketenangan pada saat badai akan melanda. Sekali meletus
tentu sukar diatasi lagi. Mungkin gerombolan Sip-pat thian-
mo itu hendak membereskan dunia persilatan Tiong goan
dulu, baru kemudian akan bergerak menghancurkan Tayli."
"Oh, apakah terdapat kemungkinan begitu?"
"Nak, bukankah sekarang engkau sudah tak mempunyai
pikiran hendak melarikan diri lagi ?"
"Jika lo cianpwe tidak berkeras menahan, wanpwe tentu
akan pulang." "Sudahlah, nak, naik kuda dan ikut aku."
Sebenarnya Cu Jiang tak berminat besar tetapi karena
sikap dan perlakuan Gong gong- cu ramah dan hangat,
terpaksa dia menurut. Dia segera naik kuda dan mengikuti
dibelakang Gong-gong- cu.
Tak lama. cuaca terang dan disebelah muka tampak
beberapa orang siap menyambut kedatangan mereka.
Gong-gong-cu memberi perintah supaya menyediakan
makanan dan diantar ke puncak gunung Jong-san. Setelah
itu ia turun dari kuda dan bersama Cu Jiang lalu mendaki
keatas gunung. Menjelang sore mereka sudah mencapai setengah
perjalanan Puncak gunung yang tertutup salju sudah
nampak. Jelas puncak itu dingin sekali hawanya.
Terdapatnya salju abadi, salju yang tak lumer sepanjang
tahun. Menjelang petang hari, mereka tiba di tempat di mana
dahulu gerombolan Sip-pat thian-mo dipenjarakan. Barisan
Kim soh-tin yang sudah morat marit, masih berada di muka
gua. "Nak, di tempat inilah," Gong-gong-cu menunjuk gua
itu, "barisan itu telah kuperbaiki lagi. Engkau dapat
mempelajari kitab itu dengan tenang. Tak perlu kuatir
diganggu orang. Mari kita masuk."
Cu Jiang mengiakan. Diam2 dia setuju sekali. Setelah
melintasi barisan, mereka masuk kedalam gua.
Gua itu merupakan gua alam yang aneh. Lebar dan
bersih sekali. Gong-gong-cu ternyata sudah mempersiapkan
segala sesuatu disitu. Terdapat juga kursi dan meja, tempat
perapian dan lain2. Didalam gua terdapat beberapa cekung yang menyerupai
gua kecil, jumlahnya delapan buah. Setelah menyulut api,
Gong-gong-cu dan Cu Jiang duduk berhadapan.
Sambil melirik ke sekeliling. Cu Jiang berkata: "Ah,
rupanya locianpwe sudah mempersiapkan semuanya."
Gong gong-cu mengiakan. "Atas jerih payah lo cianpwe, wanpwe sungguh
berterima kasih sekali."
"Nak, tak usah mengatakan begitu. Sekarang mari kita
membicarakan yang penting2."
Cu Jiang mengiakan. "Apakah engkau sungguh2 rela masuk menjadi
muridku?" "Suka." "Tata peraturan tak boleh diabaikan. Apakah engkau
bersedia untuk melakukan upacara mengangkat guru?"
"Tentu." Gong-gong cu berbangkit dan mendorong kursi ke
samping. Wajahnya tampak serius.
Juga Cu Jiang berbangkit dan duduk menghadap Gong
gong cu. Ia membuka kedok mukanya.
Gong-gong-cu mulai berseru dengan tegas dan khidmat:
"Aku Nyo Wi, tiada perguruan tiada partai persilatan.
Ilmu yang kuperoleh, sebagian kudapat secara kebetulan,
sebagian dari buah ciptaanku sendiri. Engkau, menjadi
muridku yang pertama. Sesungguhnya, setelah mempelajari
ilmu pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng,
engkau sudah cukup pantas menjadi seorang pendiri sebuah
partai persilatan." Cu Jiang berlutut dan berseru dengan penuh hormat:
"Murid. Cu Jiang, menghaturkan hormat ke hadapan
suhu!" "Apa" Namamu Cu Jiang?" seru Gong-gong-cu.
"Ya, murid adalah pelajar baju putih yang pernah
bertemu dan disebut-sebut oleh kedua locianpwe Go Leng-
cu dan Thian-hian-cu itu."
"Jadi pelajar baju putih itu engkau sendiri?"
"Benar, murid adalah anak sebatang kara dari Dewa-
pedang Cu Beng Ko." Gong-gong cu termangu beberapa saat. Kemudian
tertawa gelak2: "Jodoh ! Jodoh ! Inilah yang disebut jodoh! Nak, kini
kepercayaanku makin besar terhadap daya penilaianku.
Aku kenal baik dengan ayahmu. O, engkau mengatakan
sudah sebatang kara, apakah. . ."
Dengan mata merah dan nada tersekat Cu Jiang berkata:
"Ijinkanlah murid menuturkannya dengan pelahan-lahan
nanti." "Baik!" Cu Jiang lalu menjalankan upacara memberi hormat
dengan berlutut dan membungkukkan kepala sampai tiga
kali. Setelah itu baru ia memohon petunjuk suhunya. Sejak
saat itu dia menjadi murid Gong-gong-cu dan menyebut
Gong-gong-cu sebagai suhu.
"Engkau adalah anak keturunan dari seorang tokoh
termasyhur. Tak usah engkau menuturkan riwayatmu.
Sebagai suhu, aku tetap harus menekan beberapa hal
padamu agar jadi peganganmu. Kesungguhan, Kejujuran
Kebajikan dan Keberanian. Empat hal itu harap engkau
lakukan dan pelihara sebaik-baiknya."
"Murid berjanji akan melakukan pesan suhu."
"Menilik kaki kirimu cacat, akan kuajarkan ilmu gerak
Gong gong-sim-hwat hasil ciptaanku sendiri. Ilmu itu
merupakan sebuah aliran tersendiri. Agar jangan engkau
awut-awutan mempelajari beberapa macam ilmu, untuk
sementara waktu2 ilmu takkan kuberikan.
Curahkan segenap perhatian untuk meyakinkan ilmu
pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng itu. Apa
isi kitab itu, aku sendiri juga belum pernah melihat. Engkau
Antara Budi Dan Cinta 7 Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Pendekar Cacad 15
^