Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 7

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 7


lawan yang mampu menandingi kepandaianku. Kudengar
setiap anggauta dari Sip-pat-thian-mo itu memiliki
kepandaian hebat maka aku hendak menemui mereka satu
demi satu." "Engkau hendak menempur Sip-pat-thian-mo?"
"Begitulah" "Mungkin engkau akan kecewa."
"Mengapa ?" "Karena hari ini engkau sudah keburu mati ditempat ini."
"Ha, ha, ha . . . anda bermulut besar . . .."
Kiang Ki mengisar selangkah, serunya: "Gihu, ijinkan
aku yang menyempurnakannya"
"Jangan," cegah Kiam-mo, "engkau bukan tandingannya." "Bukankah gihu mengatakan bahwa kepandaianku
sekarang ini sudah dapat menghadapi jago pedang yang
manapun dalam dunia penilaian di Tionggoan .. .."
"Tetapi tidak dengan orang ini," tukas Kiam-mo.
"Atas dasar apa Gihu membuat penilaian itu?"
"Tenaga-dalammu belum menyamainya."
"Tetapi ilmu pedangku masakan kalah ?"
"Jika tak mencekal senjata, jangan masuk kedalam
hutan. Lebih baik engkau jangan coba-coba."
"Justeru aku ingin sekali mencoba berhadapan dengan
jago pedang yang sakti."
Cu Jiang mendengus dingin:
"Setiap kali pedang kutungku keluar, takkan masuk
kedalam sarungnya apabila belum meminum darah."
Kiang Ki getarkan pedangnya sehingga memancarkan
sinar sampai meluas, lalu berseru dengan congkak:
"Akupun juga begitu. Sebelum minum darah takkan
berhenti." Kiam-mo mundur tiga langkah, serunya: "Kalau mau
mencoba silahkan. Tetapi hanya boleh sampai tiga jurus
saja." Serentak meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memutuskan hendak membasmi pemuda yang ber hati buas
itu agar melenyapkan bahaya dalam dunia persilatan.
Demikian pula ia hendak mengejutkan kawanan Sip pat
thian-mo agar beramai-ramai keluar mencarinya. Ya, ia
harus bertindak ganas. "Tidak perlu," serunya, "selama ini aku hanya
menggunakan satu jurus saja. "
"Peraturan yang kupegang selama ini." sahut Kiang Ki,
"jika lawan belum mengucurkan darah, takkan berhenti. "
"Bagus, silahkan mulai! "
"Cabutlah pedangmu."
"Menghadapi engkau, belum perlu." Kata2 yang congkak
dari Cu Jiang itu benar2 meledakkan dada Kiang Ki.
"Marah merupakan pantangan dalam ilmu pedang,"
tiba2 Kiam-mo berseru memberi peringatan kepada pemuda
yang menjadi putera angkatnya itu.
Mendengar itu Kiang Ki tenangkan diri. Ia mengangkat
pedang ke atas, sorot matanya penuh dengan nafsu
pembunuhan yang meluap-luap. Sementara Cu Jiang tetap
memandangnya dengan tak berkedip.
Suasana senyap seketika. Seluruh mata sekalian orang
tercurah ruah ke tengah lapangan. Hati mereka tegang
bukan kepalang. Walaupun belum lama timbul, tetapi kebesaran nama
Thong thian kau melebihi penguasa dunia persilatan yang
sekarang yakni Gedung Hitam. Bahwa orang berani datang
untuk menantang adu kepandaian, tentulah dia manusia
yang harus digolongkan satu diantara dua jenis: gila atau
sakti. "Hai!" terdengar pekikan singa yang menggetar jantung
sekalian orang. Pedang dari Kiang Ki memancar
menyambar ke arah Cu Jiang. Bukan saja dengan tenaga
penuh, pun jurus gerakannya luar biasa anehnya.
Selarik sinar pedang memancar lalu padam.
"Huak..." terdengar teriakan keras tetapi hanya setengah
jalan berhenti Dan selesailah pertempuran yang penuh
ketegangan itu. Tampak Cu Jiang masih mencekal sebatang pedang
kutung, entah bagaimana cara dia mencabut dan
menyerang. Terlalu cepat bagi mata memandangnya.
Ujung pedang Kiang Ki masih menjulur maju ke muka
dada Cu Jiang, hanya terpisah tiga inci dari dada. Dan
sekalian orangpun masih menahan napas. Tetapi mengapa
terdengar jeritan ngeri tadi" Dari mulut siapakah jeritan itu"
Mengapa saat itu Kiang Ki tak melanjutkan gerak
pedangnya untuk menusuk dada Cu Jiang.
Bluk .... sekonyong-konyong tubuh Kiang Ki rubuh,
kepalanya terpisah dari leher, menggelinding ke tanah,
diantar oleh darah segar yang menyembur seperti pancuran.
"Ai..." terdengar teriakan hiruk pikuk yang menggema.
Dan Cu Jiangpun pelahan-lahan menyarungkan pedang
kutungnya. Wajah Kiam-mo berobah hebat. Serentak dia berteriak:
"Bawa pedang ke mari!"
Seorang busu baju kuning segera menghaturkan sebatang
pedang. Kiam-mo mencabut pedang itu dan busu pun
kembali mundur lagi. Pedang itu memancarkan sinar dingin yang kebiru-
biruan warnanya. Tentulah sebatang pedang pusaka.
Maju selangkah kehadapan Cu Jiang, Kiam-mo berseru
bengis: "Budak, apakah maksud kedatanganmu kemari benar2
hendak menantang adu ilmu pedang?"
"Benar," jawab Cu Jiang. "aku telah terlanjur bersumpah.
Apabila aku, Toan-kiam-jan jin masih hidup, takkan
membiarkan seorang jago pedang yang manapun menjagoi
dunia." "Kecongkakanmu hebat sekali . . ."
"Aku tak pandai putar lidah."
"Sejak hari ini, dunia persilatan takkan terdapat seorang
manusia yang bergelar Toan-kiam-jan-jin lagi."
"Jangan anda terlalu membanggakan diri. Mungkin
nama Kiam-mo akan lenyap."
"Engkau menghendaki cara bagaimana?"
"Satu jurus!" "Sebelum engkau mati, aku takkan berhenti."
"Aku tetap hanya satu jurus."
Wajah Kiam-mo membesi dan gerahamnya bergemerutukan. "Seumur hidup baru pertama kali ini aku berjumpa
dengan seorang yang bakal mati tetapi tetap congkak
sekali." Cu Jiang tak menghiraukan. Dia tetap tenang dan
dingin. "Pujian." serunya.
"Mulailah!" "Tunggu dulu, aku mempunyai syarat," tiba-tiba Cu
Jiang berkata "Apa" Engkau masih akan mengajukan syarat apa lagi?"
"Ya, memang. Dan syarat itu sederhana sekali. Karena
ada Toan-kiam-jan-jin, tak boleh ada Kiam-mo. Salah satu,
engkau atau aku yang harus hidup di dunia persilatan . . ."
"Ha, apa lagi!"
"Yang kalah, harus menghancurkan ilmu kepandaiannya
sendiri dan selama-lamanya tak boleh muncul dalam dunia
persilatan." "Bagiku, hanya jiwamu yang akan kuminta," seru Kiam-
mo. "Baik tetapi anda pun harus menerima syaratku. Kalau
tak berani, tak usah turun tangan, " kata Cu Jiang.
"Jangan banyak mulut, lekas bersiap menerima
kematian!" bentak Kiam-mo.
Serentak dia melakukan sikap pembukaan yang aneh.
Ujung pedang tak henti-hentinya ditarik dan dijulurkan.
Hawa pedang segera berhamburan meluncur seluas satu
tombak. Hal itu menandakan bahwa segenap tenaga dalam telah
dikerahkan. Rupanya dia sangat bernapsu sekali dalam satu
gebrak dapat menghabisi lawan.
Suasana tegang sekali. Sekalian pengawal Kiam mo yang
berada di sekeliling lapangan itu memandang dengan mata
tak berkedip dan napas tertahan.
Kedua jago itu masing2 mengadakan sikap kuda2 yang
tangguh dan sukar diterobos.
Detik demi detik berlalu cepat. Sekalian pengawal Kiam-
mo-un sudah bercucuran keringat. Mereka dicekam
ketegangan dari pertempuran yang akan terjadi. Entah
bagaimana nanti hasil dari pertempuran itu apabila
berlangsung. Mata Cu Jiang seperti melekat tak berkedip. Beberapa
waktu kemudian, dahi Kiam-mo mulai agak berkereyutan.
"Hatimu!" Akhirnya yang dinanti-nanti terjadi juga. Sebuah ledakan
suara gemboran yang dahsyat segera disusul dengan dering
benturan senjata yang seolah-2 memutuskan urat2 jantung.
Setelah itu terus sirap. Sepi lagi.
Cu Jiang memasukkan kembali pedang kutungnya ke
dalam sarung. Pedang di tangan Kiam-mo menjulai ke bawah dan
orangnyapun sudah bergeser tiga langkah ke belakang.
Mukanya menggigil, sorot matanya yang menyeramkanpun
sudah kehilangan perbawanya. Dua alir darah mengucur
dari sudut mata dan mulutnya
Kiam-mo, salah seorang tokoh dari gerombolan Sip-pat
thian mo yang termasyhur, saat itu menderita kekalahan.
Kekalahan yang menggemparkan, Suatu peristiwa yang
benar2 orang tak mungkin mau percaya.
Suasana sunyi senyap. Tiada barang suatu pekik kejut
ataupun teriakan ngeri Seluruh jago2 ko jiu dari Thong-
thian-kau terlongong-longong.
Beberapa saat kemudian baru Cu Jiang terdengar
membuka mulut. Nadanya dingin dan hambar tetapi
mengandung perbawa yang menakutkan.
"Harap anda segera melakukan syarat itu!" sepatah demi
sepatah diucapkan dengan nada seberat palu menghantam
paku. Tiba2 pecah gelombang bentakan. Belasan sosok tubuh
berhamburan menaburkan pedang menyerang Cu Jiang.
Huak .... huak .... Tetapi bagaikan gelembung air tertimpa hujan, cepat
sekali tubuh itu berserakan tercerai berai keempat penjuru.
Yang tertinggal, empat sosok tubuh manusia yang sudah
menjadi mayat. Kiam-mo menggigil. "Aku menunggu jawabanmu!" seru Cu Jiang.
"Engkau suruh aku menjawab apa?" Kiam-mo meraung
seperti singa terluka. "Sesuai dengan syarat yang kukatakan tadi. Lekas
engkau hancurkan ilmu kepandaian anda sendiri!"
"Tidak bisa!" "Ho, tak kira kalau kawanan Sip pat-thian-mo yang
termasyhur itu ternyata hanya kantong nasi yang tak
berguna. Sungguh mengecewakan sekali. Apa yang
kukatakan tentu kujalankan. Kalau anda tak mau merusak
tenaga kepandaian anda sendiri, terpaksa aku yang akan
mewakili ...." "Engkau berani?" bentak Kiam-mo dan bertaburan sinar
pedangnya mencurah kepada Cu Jiang.
Cu Jiang menggembor dan hujan sinar pedang itupun
serentak lenyap, berganti dengan selarik sinar melambung
ke udara. Pedang Kiam-mo terlempar ke atas.
"Auh . . . . " terdengar teriak kejut yang menggeledek.
Cu Jiang mengangkat tangan dan menebarkan sebuah
jari ke muka Seketika Kiam-mo mengerang tertahan.
Tubuhnya yang tinggi besar terhuyung-huyung. Wajah
pucat lesi. "Sejak saat ini, dunia persilatan tak ada tokoh yang
bernama Kiam-mo lagi!" seru Cu Jiang dengan nada bengis.
Kiam-mo memandang Cu Jiang dengan sorot mata
penuh dendam kesumat lalu berputar tubuh dan berjalan
masuk ke dalam gedung. Sekian banyak jago2 Thong-thian-kau, tak ada seorangpun yang berani bergerak menyerang Cu Jiang.
Dengan langkah yang terpincang-pincang, Cu Jiang
segera menghampiri ke tempat tonggak. Dengan pedang
menggurat putus tali yang mengikat tubuh seorang
pengemis tua. Pengemis itu serta merta menghaturkan
hormat. "Terima kasih atas bantuan anda, partai kami .... "
Tiba2 Cu Jiang mengacungkan sebuah benda dan
serentak pengemis tua itupun terkejut lalu jatuhkan diri
berlutut. "Murid Ang Ih, kepala cabang kwan-se, menghaturkan
hormat ke hadapan tianglo."
"Harap bangun." seru Cu Jiang, "lencana Tiok-hu ini


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemberian tianglo Kay-pang Pengemis-sakti pencabut
nyawa Tong Ih Leng kepada tokoh Lam-kek-sah. Lam kek-
sah minta tolong kepadaku supaya menyerahkan kembali
kepada pemiliknya. Harap Ang tho cu suka mewakili
menerimanya." Pengemis tua yang bernama Ang Ik itu segera berbangkit
dan menyambuti. "Lekas ajak anak buah anda tinggalkan tempat ini," kata
Cu Jiang seraya menyimpan pedangnya.
Ang Ikpun segera melakukan perintah. Membebaskan
anak buahnya yang terikat lalu membawa kawan2 yang
menjadi korban. Sebelum pergi mereka beramai-ramai
menghaturkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Sekalian anak buah Thong thian-kau hanya melihat saja
anak buah Kay-pang itu pergi tetapi tak berani berbuat
apa2. Setelah mereka pergi barulah Cu Jiang tinggalkan tempat
itu. Berita kekalahan partai Thong-thian-kau cabang kota
Kwo-se itu cepat sekali tersiar dalam dunia persilatan.
Kaum persilatan terkejut, heran dan hampir tak percaya,
tetapi mereka harus menerima berita itu sebagai suatu
kenyataan. Nama Toan-kiam jan-jin menjadi buah bibir.
Tantang menantang. Kira2 empat belas li dari kota Gong-an, di tepi jalan
besar dibangun sebuah pagoda peranginan, untuk pejalan2
yang hendak beristirahat. Di tepi pagoda peranginan itu
dibangun juga beberapa rumah pondok untuk kedai
minuman dan orang2 jualan.
Ciat goan-thong atau pagoda Pelepas-lelah, demikian
nama tempat peristirahatan itu. Kabarnya pada jaman dulu
ada seorang penyair ternama yang singgah di tempat itu.
Sebelum araknya habis, syair telah selesai dirangkainya.
Sejak itu maka pagoda peranginan diberi nama seperti
diatas. Saat itu waktu lohor. Di dalam pagoda peranginan
duduk lima jago pedang yang mengenakan pakaian ringkas.
Dua diantaranya berumur dua puluhan tahun, yang dua
lagi berumur tiga puluhan tahun sedang yang satu disekitar
empat puluhan tahun. Lelaki yang paling tua itu mondar-mandir menggendong
tangan. Wajahnya tegang dan tak henti-hentinya memandang ke arah jalanan seperti menunggu sesuatu.
Kawanan yang empat juga agak gelisah.
"Toa-suheng, kukira sudah sajalah," tiba2 salah seorang
yang muda berkata. "Apa" Sudah?" teriak lelaki yang paling tua itu dengan
nada tegang. "sejak lima puluh tahun berselang ketika
ciang-bun su cun (kakek guru ketua partai) kita kalah adu
pedang di gunung Bo-san, nama partai Hoa san-pay seolah-
olah tenggelam dalam dunia persilatan. Sekarang ini kita
mendapat kesempatan yang jarang sekali datangnya untuk
membangun kembali nama perguruan Hoa-san pay,
bagaimana kita akan sudah begitu saja."
"Tetapi .... toa-suheng, ilmu pedang lawan memang
benar2 telah mencapai tataran yang sukar dibayangkan . . ."
"Sute, sepuluh tahun lamanya aku mati-matian bersusah
payah untuk berlatih ilmu pedang, apa tujuanku?"
"Membangun partai, banyak jalan yang dapat ditempuh.
Mengapa harus mengambil cara begini."
"Itu merupakan satu-satunya jalan yang tercepat. "
"Apakah toa suheng yakin pasti menang?"
"Kalau tak berhasil tentu gagal. Kalau kalah tentu mati.
Apakah pendirian hidup seorang ksatria itu?"
"Kukira tidak begitu."
"Sute, engkau salah pilih. Seharusnya engkau menyekap
diri dalam kamar dan rajin belajar agar dapat mencapai
nama. Tak seharusnya engkau memilih jalan hidup sebagai
seorang bu su." "Toa-suheng, apakah engkau benar2 mempunyai pegangan?" Rupanya lelaki yang paling tua dan dipanggil sebagai
toa-suheng itu agak kurang senang, sahutnya:
"Sudahlah, ji sute, jangan merengek-rengek. Sejak
mendapatkan kitab rahasia peninggalan su-cou ya (kakek
guru), aku telah mempelajari dan berlatih keras selama
sepuluhan tahun baru dapat mencapai hasil. Hoa-san-pay
mampu atau tidak untuk bangkit kembali dan menempatkan diri dalam jajaran Empat-besar partai-
pedang, semua tergantung pada gerakan kali ini. Sejak
berkunjung ke markas partai Bu-tong dan Go-bi,
kepercayaan ku makin tumbuh delapan puluh persen. . ."
"Pernyataan siau sute tadi memang bukan tak beralasan.
Selama dalam perjalanan beberapa kali kita sudah saling
menguji ilmu pedang dengan kawan2 dari partai Bu tong
dan Gobi. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Hal itu
cukup." "Keputusanku sudah tetap, tak perlu banyak bicara.
Coba pikir, kalau nanti aku dapat menangkan barang
setengah jurus saja dari lawan, bagaimanakah akibatnya."
"Andaikata Hoa-san-pay tak dianggap sebagai partai
ilmu pedang yang paling hebat, tetapi sekurang-kurangnya
tentu akan sejajar dengan partai Bu-tong dan Go-bi."
"Mudah-mudahan begitu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Kalau tak berhasil menang?"
"Telah kukatakan. Sebagai seorang kaum persilatan,
janganlah kita berat akan Jiwa kita. Dengan susah payah
sucouwnya telah mendirikan partai Hoa-san-pay. Kemudian kita yang menerima warisan untuk memelihara
ternyata tak mampu menjaga kelangsungan hidupnya.
Apakah ini tidak memalukan ?"
Tiba2 lelaki yang paling muda itu menunjuk ke arah
jalan dan berseru: "Tuh sudah datang !"
Kelima orang itu menjadi tegang dan serempak berdiri.
Dua ekor kuda lari sekencang angin dan beberapa saat tiba
ditempat itu. Penunggangnya loncat turun. Ternyata dua
lelaki baju hitam. "Bagaimana kabarnya?" serentak lelaki tua yang disebut
toa suheng itu bertanya. Salah seorang lelaki baju hitam memberi hormat:
"Hatur beritahu kepada ciangbun ..."
"Jangan menyebut ciangbun, belum saatnya!!" tukas
lelaki tua tadi. Orang berbaju hitam itu agak merah mukanya lalu
berganti sebutan. "Hatur beritahu kepada toa-supeh, akan segera tiba."
"Segera tiba ?"
"Ya, dia berjalan lambat sekali dan tak kira kalau hanya
seorang cacat..." "Jangan banyak cakap! Sekarang dia sampai di mana?"
"Kira-kira lima li."
"Baik, kalian boleh kembali ke kota."
Setelah mengiakan kedua pendatang itu pun melarikan
kudanya. Dibawah bayang2 pagoda peranginan yang menjulur
panjang sampai ke tengah itu, tegak berjajar kelima orang
itu. Pedagang2 disekitar tempat itu sudah sama menutup
dagangannya. Pejalan2 pun sudah sepi.
Tak berapa lama tampak sesosok tubuh muncul dari
ujung jalan. Jalannya aneh, seperti bergoyang gontai.
"Tuh, akhirnya dia datang Juga," kata busu yang
dipanggil toa-suheng. Keempat kawannya mulai tegang. Makin dekat makin
tampak kalau pendatang itu seorang berkaki pincang,
mengenakan dandanan seperti sasterawan tetapi mukanya
bertutup kain cadar. "Dengarkan, sute berempat," kata lelaki yang tertua.
"kamu cukup menyaksikan disamping, tak boleh ikut turun
tangan. Kalau aku gagal maka tugas untuk membangun
partai terletak di bahu kalian."
"Toa-suheng,kan ini hanya merupakan saling uji
kepandaian, bukan ajang saling bunuh mencari balas
dendam. Kalah atau menang, bukan soal," seru bu su yang
paling muda. "Benar," sahut busu yang tua, "tetapi kali ini aku
berjuang untuk mengangkat nama. Seorang ksatrya hidup
demi nama." "Tetapi apakah toa-suheng tidak memikirkan beberapa
jago dari Bu-tong dan Go bi yang engkau kalahkan itu, juga
tidak berpikiran seperti toa-suheng juga ?"
"Itu lain persoalannya ..."
Saat itu pelajar pincang sudah tiba. Tanpa menghiraukan
pandang, dia terus berjalan.
Setelah sejenak memandang kearah keempat sutenya,
busu yang tertua itu loncat dari pagoda peranginan lalu
memberi hormat. "Sahabat, harap berhenti dulu!"
Sasterawan pincang itu berhenti. Memandang datar
kepada orang itu. Tidak berkata apa-apa kecuali hanya
memandang saja. "Aku yang rendah ini adalah Tan Bun Cau dari partai
Hoa-san-pay. Bukankah sahabat ini yang disebut Toan-
kiam Jan-Jin ?" seru busu yang tertua itu pula.
Memang sasterawan pincang itu tak lain adalah Cu
Jiang. Dia hendak ke kota Seng tou untuk memenuhi suatu
janji. "Ya, benar, apa maksud anda?" sahutnya dengan nada
yang dingin. "Kabarnya, anda telah mengobrak-abrik partai Thong-
thian-kau cabang Kwo se. Membunuh Pelajar-gemar darah
Kiang Ki dan melumpuhkan Kiam-mo ?" seru Tan Bun
Biau pula. Cu Jiang tergerak pikirannya.
"Lalu apa maksud anda?"
"Aku sangat mengagumi ilmu pedangmu !"
"Lalu ?" "Sengaja aku mencari anda untuk mohon pengajaran."
"Ha, ha, ha, ha " Cu Jiang menengadah dan tertawa
gelak2 seraya lanjutkan langkah.
Tan Bun Ciau cepat menghadang.
"Apakah sahabat tak mau memberi pelajaran kepadaku?"
Cu Jiang terpaksa berhenti, Menatap orang itu lalu
berkata dengan nada dingin:
"Aku tak punya selera !"
"Menganggap hina ?"
"Terserah anggapan anda."
"Toan kiam jan jin, apa engkau kira dalam dunia ini
tiada yang mampu menandingi engkau?"
"Aku tak pernah mengatakan begitu. "
Keempat busu yang berjajar di dalam pagoda peranginan
tak setuju melihat tindakan Tan Bun Ciau, toa-suheng
mereka. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa2.
"Apakah engkau tak berani?" seru Tan Bun Ciau
menantang. "Apa yang tak berani?"
"Menguji ilmu pedang!"
"Sudah kukatakan, aku tak punya selera."
"Tetapi aku justeru berselera sekali."
"Menantang?" "Terserah. " "Apa tujuanmu?"
"Untuk membuktikan apakah ilmu pedang dari partai
Bu-tong pay itu sederajat dengan partai2 ilmu pedang yang
lain!" "Ha, ha, ha, ha .... "
"Mengapa tertawa?"
Cu Jiang hentikan tawa, serunya :
"Aku bukan ukuran ilmu pedang masa ini, anda salah
alamat. " "Aku tetap akan minta pelajaran."
"Apakah anda bernafsu sekali untuk cari nama?"
Tan Bun Ciao terkesiap. Dengan mengertak gigi dia
menyahut: "Terserah akan dianggap bagaimana !"
"Sudah anda pikirkan masak-masak ?"
"Hmm." "Ilmu silat itu tiada batasnya. Andaikata dapat
mengalahkan aku, belum tentu anda akan menjadi jago
nomor satu dalam dunia. Dan apabila anda sampai lengah."
"Aku tak meminta nasehatmu!"
"Jadi anda tetap ngotot hendak adu pedang?"
"Ya." "Kalau aku menolak ?"
"Kecuali engkau Toan-kiam-jan Ji menyatakan menyerah," "Ah, Jangan terlalu mendesak orang."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terpaksa begitu."
"Sekali lagi kuperingatkan. Anda ini bukan tandinganku." "Harus dibuktikan dulu."
"Silahkan melolos pedang!"
Mendengar itu keempat murid Hoa-sanpay yang lain
serempak keluar dari pagoda peranginan. Beberapa
pedagang yang masih berada disitu terkejut dan cepat2
membenahi dagangannya. Mereka mengira terjadi bentrokan dari beberapa orang
persilatan yang hendak menuntut balas.
Tan Bun Ciau mencabut pedang dan terus pasang kuda-
kuda. Matahari hampir tenggelam. Bayang2 orang itu
makin menjulur panjang. Cu Jiang tegak seperti patung. Kedua tangannya
menjulai kebawah. "Mengapa tak mencabut pedang?" tegur Tan Bun Ciau.
"Silahkan mulai."
"Jangan keliwat sombong !"
"Anda yang menantang pertarungan ini."
Tan Bun Ciau tak mau banyak bicara, Ia salurkan
tenaga-dalam kebatang pedang. Tetapi segera ia melihat
sesuatu yang mengejutkan. Walaupun tampaknya diam
seperti patung tetapi sikap Cu Jiang itu sukar diserang. Tan
Bun Ciau masih menunda serangannya.
Keempat sutenya menghampiri dan berdiri pada jarak
tiga tombak dari tempat pertempuran.
Cepat sekali sudah sepeminum teh lamanya dan Tan
Bun Cian tak uban lagi. Ia menyadari dirinya bukan
tandingan lawan tetapi karena sudah terlanjur menantang,
terpaksa dia harus melanjutkan.
"Haiiiiit!" Serempak meraung keras, Tan Bun Ciau segera
lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Jurus itu luar
biasa hebatnya dan telah dilatih dengan sempurna oleh Tan
Bun Ciau. Dalam dunia persilatan, dia sudah termasuk jago
kelas satu. Tetapi sayang dia cari gara2 dengan Cu Jiang.
"Trinng . . . ! " terdengar dering senjata yang nyaring
sekali dan Tan Bun Ciau terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah. Pedangnya hampir jatuh.
Keempat sutenya serempak memekik kaget. Cu Jiang
menyarungkan lagi pedangnya, dan berseru:
"Aku hanya menggunakan setengah jurus karena
sebenarnya kita tak saling bermusuhan apa2."
Habis berkata dia terus angkat kaki melanjutkan
perjalanan. Setengah jurus" Hanya setengah jurus" Ah, mungkin
orang2 tentu takkan percaya. Wajah Tan Bun Ciau pucat
lesu, tubuh bergemetaran keras. Hanya setengah jurus saja,
impiannya yang muluk telah hancur berantakan.
"Ya, sudahlah ..." tiba2 dia ayunkan pedang ke
tenggorokannya sendiri. "Toa suheng, jangan . . ." keempat sutenya menjerit dan
serempak lari mencegah tetapi terlambat.
Cret .... Tan Bun Cau rubuh mandi darah.
Karena belum jauh Cu Jiang mendengar juga peristiwa
itu. Dia menghela napas tetapi tak mau berpaling. Dia
merasa tak bertanggung jawab atas peristiwa sedih itu. Hal
itu merupakan suatu akibat dari perbuatan seorang
persilatan yang sangat ambisius atau bernafsu untuk cari
nama. Sekalipun begitu, Cu Jiang diam2 merasa sayang bahwa
seorang jago pedang yang memiliki kepandaian sehebat itu
harus mengakhiri hidupnya sendiri secara begitu mengenaskan. Menjelang malam tibalah Cu Jiang di pintu selatan kota
Gong-an. Jalan Lam-tay terletak di pintu selatan kota itu.
Seorang penjual obat tengah merentang tikar dan
menjajakan dagangannya. Dia berteriak-teriak memanggil
pembeli. Pada sebuah peti obat dilandasi selembar kain
yang bertuliskan beberapa huruf, berbunyi. "Obat pusaka
dari kakek moyang, khusus mengobati segala penyakit aneh
yang sukar disembuhkan."
Mendengar suara penjual obat itu, Cu Jiang segera dapat
mengenali siapa orangnya. Orang itu tak lain adalah Song
Pek Liang, salah seorang dari Keempat jago Tayli yang
ditugaskan Cu Jiang untuk menyelidiki tempat yang
dijanjikan Sebun Ong. Cu Jiang menghampiri dan memberi isyarat mata.
Melihat itu Song Pek Liang segera menegur: "Tuan hendak
memerlukan apa?" "Ya apakah khusus mengobati penyakit istimewa ?"
sahut Cu Jiang. "Benar," sahut Pek Liang, "ilmu pengobatanku dari
warisan leluhur. Penyakit ayan, gila, kesetanan, luka2
dibagian tubuh yang manapun, bisul2 yang kelihatan dan
tak kelihatan, angin duduk, angin jahat, tentu dapat ku
sembuh kan. Bagaimana kehendak tuan ?"
Cu Jiang geli dalam hati.
"Ada seorang sanakku, menderita penyakit ulu hati,
segala obat telah dicoba tetapi tak mempan ..."
"O, penyakit ulu hati ?" seru Pek Liang, "itu karena
pencernaan macet, hawa darah tak dapat mengalir lancar.
Setelah bertahun-tahun baru meledak. Tuan aku mempunyai resep. Tuan boleh belikan di rumah obat, tiga
hari kemudian tuan boleh datang lagi kemari, nanti akan
kubuatkan resep lain."
Habis berkata dia terus menulis diatas secarik kertas, lalu
diserahkan kepada Cu Jiang.
"Tuan. obat dalam resep ini harganya mahal tetapi
mengingat tuan tentu seorang kaya maka kurasa tuan tentu
tak keberatan membelikannya."
"O, aku tahu bahan2 obat," seru Cu Jiang.
"Kalau begitu kebetulan sekali."
Setelah memeriksa resep itu, Cu Jiang mengatakan
apakah takerannya tidak terlalu berat.
"Tidak, tidak berat." seru Pek Liang. "justeru disitulah
letak perbedaan resepku dengan resep orang lain. Kayu
pwe-bok lipat dua, tidak pakai biji Ti-lip, yang penting som,
harap diperbankan, belikan menurut resep."
"O, baiklah. Lalu berapa ongkosnya ?"
"Tak usah. Apabila obat itu manjur, tiga hari lagi harap
datang dan tuan boleh bayar ongkosnya."
Setelah mengucapkan terima kasih, Cu Jiang-pun segera
melanjutkan langkah. Cu Jiang berotak cerdas. Sandi2 yang diselipkan dalam
kata2 Pek Liang tadi, dia cepat dapat menangkap
maksudnya. Yang dibilang "belikan obat menurut resep",
ialah supaya bertindak menurut keterangan. Sedang "kayu
pwe-bok lipat dua dan tidak pakai biji Ti-lip", berarti ada
dua wanita tetapi tidak ada lelakinya. Berarti yang ada
hanya si Ratu-kembang Tio Houw Hui dan putrinya.
Sedang kata2 "yang penting som", artinya yalah
menunjukkan Budha-hidup Sebun Ong. Sementara yang
dibilang "Harganya mahal", menunjukkan bahwa lawan
memiliki kepandaian tinggi.
Menurut tanda2 sandi disepanjang jalan, akhirnya Cu
Jiang tiba di depan sebuah rumah gedung besar. Pintu
bercat merah, gentengnya warna hijau. Beberapa pohon tua
yang tumbuh di sekeliling, menjulang tinggi melampaui
puncak rumah. Baru Cu Jiang melangkah ke muka rumah, pintupun
sudah terbuka dan seorang lelaki tua menyambutnya.
"Apakah yang datang ini bukan tuan Toan-kiam-jan-jin?"
"Ya, benar." "Hamba diperintah majikan untuk menyambut kedatangan tuan. Mari silahkan masuk."
Sejenak meragu, Cu Jiang segera melangkah ke titian
dan masuk ke dalam gedung. Dinding ruangan berhias
sebuah lukisan pemandangan alam. Dua buah lentera dari
sutera tergantung tinggi.
Di belakang tembok, merentang sebuah lorong yang
terbuat dari batu putih. Tak panjang dan beberapa saat
sudah tampak pintu dan jendela dari gedung utama.
Setiba di muka serambi, bujang tua itu berseru nyaring:
"Tetamu sudah datang."
"Ha, ha, ha, sahabat benar2 menepati janji!" tiba2
terdengar suara orang tertawa dan muncullah Budha-hidup
Sebun Ong. "Anda juga pegang janji." Cu Jiang balas memberi
hormat. Sebun Ong mempersilakan tetamunya masuk dan duduk
di tengah ruang. Seorang kacung menghaturkan teh.
"Bolehkah sekarang aku bertemu dengan nyonya Cukat
dan puterinya ?" sesaat kemudian Cu Jiang berkata.
"Boleh." kata Sebun Ong lalu menggapai kacung tadi,
"pergilah mengundang Cukat hujin dan siocia kemari.
Katakan kalau tetamu yang ku ceritakan itu sudah datang."
Tak berapa lama muncullah dua orang wanita. Dengan
nada sopan, Sebun Ong mempersilakan wanita itu masuk.
Kembali timbul keraguan dalam hati Cu Jiang. Sebun
Ong benar2 bersikap seperti seorang kuncu atau gentleman.
Beda sekali seperti yang di gambarkan Koh tiong-jin atau
Cukat Giok tempo hari. Apakah benar2 terdapat salah
faham dalam peristiwa itu.
Kedua wanita itupun melangkah masuk. Yang di muka
seorang nyonya dalam pakaian sederhana. Di belakangnya
mengikuti seorang gadis berumur 17-18 tahun. Cantik
menyilaukan mata. Cu Jiang serentak berdiri memberi hormat: "Maaf atas
kedatanganku pada malam begini."
Sebut Ongpun memperkenalkan diri Cu Jiang sebagai
Toan kiam jan-jin yang menerima permintaan tolong dari
Cukat Giok. Sejenak memandang Cu Jiang, wanita itu segera
menggandeng tangan si gadis, diajak duduk di samping.
Wajahnya menampilkan kedukaan. Sedang gadis itu
menundukkan kepala. "Sahabat, silahkan bicara. Kalau tak leluasa, baiklah aku
mengundurkan diri . . . . " kata Sebun Ong.
"Tak usah," cegah Cu Jiang kemudian berkata kepada
wanita itu, "apakah nyonya itu Tio Hong Hui yang bergelar
Ratu-kembang dahulu" Dan nona ini apakah puteri
nyonya?" "Ya. Kabarnya suamiku masih hidup?"
"Masih." "Mengapa dia menelantarkan kami ibu dan anak?"
"Tetapi sekalipun masih hidup, keadaannya jauh lebih
menderita dari mati. "
"Ih, kenapa?" Mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat seperti
hendak menembus isi hati nyonya itu. Kemudian dengan
keras ia mengucapkan kata2 sepatah demi sepatah:
"Dia telah dicelakai orang, kini menjadi orang yang
cacad tubuhnya! " Wajah wanita itu pucat seketika dan dengan nada
gemetar berseru: "Mengapa dia sampai dicelakai orang?"
Cu Jiang tertegun. Dia agak bingung bagai mana akan
menyelesaikan persoalan itu. Untuk membalas budi Cukat
Giok, dia telah menyanggupi untuk menyelesaikan
persoalan itu. Tetapi kenyataannya, lain seperti yang
diceritakan Cukat Giok. Karena hal itu mengenai jiwa
manusia, ia harus hati2 bertindak.
"Maaf. aku hendak bicara secara blak-blakan. Suami
nyonya telah dicelakai oleh sahabatnya yang karib sendiri."
"Siapa! " teriak wanita itu.
Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiang mengerling ke arah
Sebun Ong dan berseru: "Sebun tayhiap! "
"Ah . . . ! " kedua ibu dan anak itu serempak menjerit
kaget. Sebun Ong berbangkit tetapi duduk lagi dan tersenyum
hambar: "Bagaimana dasar dari tuduhan itu?"
Tiba2 Cu Jiang berdiri dan berseru dengan nada tegang:
"Cukat cianpwe menceritakan sendiri kepada ku. Anda
telah menurunkan tangan ganas kepada nya. Mengorek
sebuah biji matanya, mengutungkan kedua kaki dan
melemparkannya ke dasar jurang. Jika tak ada kenyataannya, masakan Cukat cianpwe akan merangkai
cerita begitu?" "Aku.... mengapa harus melakukan perbuatan yang tak
kenal perikemanusian seperti itu?" teriak Sebun Ong dengan
tegang.

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena hendak merebut isterinya."
"Haia. sungguh suatu fitnah yang menyakitkan hati!"
Wanita itupun segera mengelap muka dengan lengan
bajunya dan dengan suara terisak-isak, berseru:
"Aku tak percaya, tak mungkin terjadi peristiwa
semacam itu ! Sepuluh tahun lamanya aku dan anakku
telah mendapat pertolongan Sebun siokhu yang memberi
tempat tinggal dan menjamin kehidupan kami dengan baik.
Agar tidak disangka buruk oleh orang, maka hanya setahun
sekali Sebun sioksiok datang kemari. Mengapa ... ada cerita
semacam itu." Juga gadis itu rebahkan kepala ke dada ibunya dan ikut
terisak-isak. Melihat adegan itu, itu tak enak hati Cu Jiang. Soal itu
benar2 diluar dugaannya. Lalu bagaimana dia harus
berbuat " Jika begitu dia perlu harus kembali ke dalam
jurang untuk meminta keterangan yang jelas kepada Cukat
Giok mengenai peristiwa itu.
Bungkusan bunga teratai yang harus diberikan kepada
Tio Hong Hui dan bungkusan kertas yang harus diberikan
kepada nona Beng Cu itu, lebih baik ditahan dulu.
Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata pula
dengan rawan: "Apakah tidak mungkin dia menderita penyakit syaraf
karena putus asa?" Cu Jiang terkesiap. Memang hal itu mungkin.
Tiba2 nona Beng Cu mengangkat muka dan berkata
dengan sedih: "Di manakah ayah sekarang" Aku bersumpah akan
mencarinya sampai ketemu . . ."
"Sahabat !" Sebun Ong cepat menanggapi lagi. "dalam
soal salah paham ini, sukar untuk menjelaskan dengan
kata2. Lebih baik anda menunjukkan tempat Cukat beng.
Setelah bertemu dengan orangnya sendiri, segala apa tentu
dapat dijelaskan!" Cu Jiang tertegun diam. "Apakah suamiku sudah tak dapat berjalan lagi?" tanya
wanita itu. "Hm tenaganya sudah hilang, umurnyapun takkan
panjang lagi." "Apakah dia minta tolong anda untuk membereskan
peristiwa ini?" "Ya." "Apa pesannya?"
"Potong kepala manusia yang mencelakai kawan dan
merebut isterinya itu !"
"O, Aah .. ..." Tio Hong Hui meratap. Air matanya
berderai-derai keluar. "Lalu bagaimana anda akan bertindak ?" kata Sebun Ong
dengan wajah beku. "Memeriksa lagi persoalan ini sampai jelas."
"Mengapa anda keberatan untuk memberitahu tempat
Cukat-heng !" "Soal ini .... untuk sementara tak dapat, maaf."
Tiba2 wajah Sebun Ong membesi, serunya : "Sahabat,
maafkan kelancanganku berbicara. Kedatangan anda ini
sangat mencurigakan."
Cu Jiang tertawa meringis. Kini dia berbalik menerima
tuduhan. Ia mendengus: "Persoalan ini masih belum selesai. Aku masih akan
menyelidiki sampai tenang, maaf, aku mohon diri."
"Tunggu." "Anda masih mempunyai pesan apa lagi?"
"Sahabat datang sebagai tetamu, ijinkan aku menunaikan
kewajibanku sebagai tuan rumah ...."
"Ah, jangan banyak peradatan."
"Lepas dari persoalan ini, apakah anda benar2 tak mau
memberi muka kepada Sebun Ong?"
"Aku sudah biasa berkelana seorang diri. Tak suka
berkawan, maaf." habis berkata Cu Jiang menatap ke arah
nona Beng Cu, kemudian melangkah keluar.
"Sahabat," Sebun Ong memburu, "setelah persoalan ini
selesai, apakah sahabat tak keberatan bersahabat dengan
aku ?" "Kelak kita bicara lagi." Jawab Cu Jiang dengan nada
dingin. Sehabis keluar dari pintu, tiba2 Tio Hong Hui lari dan
menghadangnya: "Anda harus menunjukkan tempat suamiku !"
"Nyonya, sekarang masih belum waktunya."
"Sudah belasan tahun kami suami isteri tak bertemu.
Kita sama2 tak mengetahui bagaimana nasib kita masing2.
Mengapa anda begitu ...."
"Nyonya, kuminta suka bersabar beberapa waktu lagi."
"Tidak, tidak !" tiba2 Tio Hong Hui menjeritkan
tangisan. Gadis Beng Cu juga lari keluar dan dengan bercucuran
airmata, berseru: "Apakah anda benar2 tak mengetahui bagaimana
perasaan suami isteri dan anak?"
Tiba2 Tio Hong Hui berlutut, disusul oleh puterinya.
Melihat keadaan itu Cu Jiang benar2 kelabakan. Ia
tertusuk perasaannya Juga. Jika Tio Hong Hui memang tak
bersalah dan semuanya terjadi karena salah faham,
bukankah berat untuk menerima permohonan yang disertai
berlutut dari Tio Hong Hui "
Bukankah Tio Hong Hui itu juga seorang cianpwe dalam
dunia persilatan" Kalau memang tidak sungguh2, masakan
wanita itu mau berlutut di hadapannya.
Tetapi apabila memang benar Tio Hong Hui itu
menyeleweng, jika ia memberi tahu tempat Cukat Giok
kepadanya, apakah itu tidak berarti merusak kepercayaan
dan mencelakai Cukat Giok"
Dan ia masih mempunyai lain persoalan yang penting,
jelas tak dapat menemani wanita dan puterinya itu ke
gunung Bu-leng san mencari Cukat Giok.
Cu Jiang bingung dan cepat2 menghindar jauh seraya
berseru. "Nyonya, jangan bersikap begitu. Kita bisa berunding!"
"Oh, anda meluluskan?" seru Tio Hong Hui penuh
harap. Cu Jiang teringat bahwa ketika dia jatuh ke dalam jurang
dan ditolong Cukat Giok, ia jelas mengetahui orangnya itu
masih normal pikirannya, tidak terganggu atau menderita
sakit jiwa. Tetapi ternyata keterangan orang tua itu lain dengan
kenyataan. Mana yang salah dan mana yang benar, ia
masih belum tahu. Teringat akan budi pertolongan orang
tua itu, sebaiknya ia menuju ke dasar jurang menemuinya
lagi agar persoalan itu jelas dan selesai.
Tio Hong Hui dan puterinya masih tetap berlutut. Sebun
Ongpun muncul. Dia kerutkan dahi.
"Sahabat, persoalan ini harus selekasnya dibereskan,
jangan biarkan pembunuh itu bebas berkeliaran diluar.
Sebaiknya engkau luluskan permintaan mereka dan
bersama-sama menemui Cukat-Heng. Hubungan darah
daging, setiap orang tentu merasakan."
"Jika anda tetap menolak, lebih baik anda bunuh aku
sebagai seorang wanita hina!" teriak Tio Hong Hui,
Dalam terdesak dan gugup akhirnya Cu Jiang
mengangguk dan meluluskan. Tio Hong Hui dan Beng Cu
serempak berbangkit. "Mohon anda memberitahu tempat suamiku itu, agar
kami dapat lekas2 menemuinya," seru Tio Hong Hui.
"Tidak, tempat itu amat rahasia sekali. Harus aku yang
menjadi penunjuk jalan!"
"Ini . . . . ah, bagaimana kami berani membikin repot
anda . . ." "Aku mempunyai beban dari Cukat cianpwe untuk
melindungi kebenaran."
Tio Hong Hui memandang kearah Sebun Ong dengan
pandang bertanya pendapatnya.
"Sahabat." kata Sebun Ong dengan nada sarat, "bukan
karena aku banyak curiga, Tetapi ke dua nyonya dan
puterinya itu telah diserahkan dalam tanggung jawabku.
Maka hendak kutitipkan keselamatan mereka kepadamu."
"Baik akan kulaksanakannya dengan sekuat kemampuanku." "Apakah aku juga boleh ikut?"
"Ah, maaf, rasanya belum waktunya."
"Tetapi sahabat secara lisan mengatakan menjalankan
permintaan tolong dari Cukat Heng. Adakah sahabat
membawa sesuatu yang dapat dijadikan bukti?"
"Ada!" "Harap menunjukkan."
Dengan hati2 Cu Jiang segera mengeluarkan bungkusan
teratai yang berisi racun sambil menunjuk, dia berkata.
"Benda inilah !"
Sesaat wajah Sebun Ong tampak berobah pada lain saat
sudah tenang kembali. Kemudian berpaling kepada Tio
Hong Hui: "Ensoh, kenalkah engkau akan benda itu?"
Tio Hong Hui tertegun lalu mengangguk:
"Ya, memang benar."
Cu Jiang menyimpan kembali.
"Sahabat, karena sudah ada keputusan. harap masuk
kedalam lagi, akan kuhaturkan arak terima kasih ..."
"Ah, tak perlu."
"Mengapa sahabat menolak?"
"Adatku memang begitu."
"Apakah sekarang sahabat akan membawa Toasoh dan
puterinya?" "Kita bertemu di kota Li-Jwan."
"Ah, Li Jwan jauh sekali. Kapan ?"
"Dalam sepuluh hari."
"Jika begitu, baiklah."
Sepeninggal Cu Jiang dari rumah itu, dia masih berkabut
kegelapan. Antara kata Cukat Giok dengan kenyataan tidak
sama. Hal itu berarti dia masih terlibat dalam persoalan
yang belum selesai. Malam sudah larut. Jalan2 sepi. Tak mungkin dia akan
mencari rumah penginapan. Terpaksa dia berjalan dengan
langkah tertatih-tatih. Tiba di tempat Pek Liang menjajakan dagangannya, ia
melihat sebuah tanda sandi. Ia mengikutkan pandang
matanya kearah yang ditunjuk oleh tanda sandi itu. Diatas
segunduk tembok ia melihat beberapa corat-coretan yang
melukiskan seorang lelaki tengah dikejar anjing.
Diujung muka, terlukis beberapa ekor anjing, dibawahnya diberi tulisan yang berbunyi: "Kawanan anjing
milik keluarga siapa?"
Sepintas pandang, lukisan itu merupakan corat coret
yang biasa dilakukan anak-anak nakal pada tembok2
rumah. Tetapi bagi Cu Jiang hal itu merupakan petunjuk
rahasia bahwa saat itu dia sedang dikuntit orang. Selain itu
juga sedang terancam oleh beberapa kawanan musuh yang
belum di ketahui golongannya.
Cu Jiang terkejut heran. Siapa yang secara diam2
mengikuti perjalanannya itu" Orang2 Thong-thian-kau,
Gedung Hitam atau... Ah, tetapi dia tak gentar. Setelah melalui pintu kota dan
berjalan di jalan yang sepi, ia merasa di belakangnya
terdapat seseorang yang mengikuti.
Tetapi dia pura2 tak tahu.
Tak berapa lama berjalan, tibalah Cu Jiang disebuah
rumah berhala kecil yang terletak di tepi Jalan. Cepat ia
gunakan tata langkah Gong-gong-poh-hwat, menyelinap
bersembunyi. Tetapi orang yang mengintil itu cerdik sekali. Dia
berhenti tak mau ikut masuk. Cu Jiang tak mengacuhkan.
Dia naik keatas wuwungan dan duduk bersemedhi.
Semalam tak terjadi suatu apa. Tetapi ketika keesokan
harinya dia hendak melanjutkan perjalanan, tiba2 ia
mendengar suara orang mendengus. Kejutnya bukan
kepalang dan cepat2 Ia berpaling kearah suara itu, tempat ia
bersembunyi, diujung wuwungan belakang, tampak seorang
lelaki tua tengah tidur melingkar dan mendengkur.
Kapan orang tua itu muncul, sama sekali tak
diketahuinya. Yang jelas ketika semalam dia naik keatas
wuwungan, ia tak melihat sesosok bayangan manusiapun.
Ah.... Suatu hal yang benar2 mengejutkan hatinya. Karena
kalau menilik ilmu kepandaian yang dimilikinya sekarang,
tak mungkin dia tak mengetahui. Jangankan manusia,
barang semut berjalanpun ia dapat menangkap suaranya.
Dengan begitu jelas orang tua itu bukan orang
sembarangan. Oh, apakah dia yang menguntitnya selama ini "
Setelah menenangkan pikiran, Cu Jiang batuk2. Orang
tua itu membalikkan tubuh dan mengingau:
"Siapa yang lebih dulu sadar dalam mimpi, segala urusan
aku dapat mengetahui sendiri. Belum puas tidur diatas
wuwungan rumah berhala uh, mahluk apa yang
mengganggu mimpiku ?"
Kini Cu Jiang semakin Jelas.. Orang tua itu tak lain
adalah Ciok Yau to bergelar Thian-put loya atau Hanya-
langit-yang-tak-dicuri. Jelas orang tua itu datang belakangan dan bukan karena
secara kebetulan tetapi tentu mempunyai tujuan.
"Aku manusia, bukan binatang." serunya.
Pencuri sakti itu membuka besar-besar mata sambil


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangun, ia lalu memandang Cu Jiang dan tertawa meringis:
"Oh, sungguh kebetulan sekali ! Kiranya Toan-kiam-jan
jiu !" Sepasang mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat,
serunya dingin: "Apa maksud anda mengikuti aku?"
"Mengikuti " Tidak, tidak! Aku kemalaman dan terpaksa
tidur disini." "Apa benar begitu ?"
"Percaya atau tidak. terserah !"
"Didalam dunia itu jangan terjadi hal secara kebetulan
seperti kali ini .." Cu Jiang terus melayang turun dan
ayunkan langkah. Nada dan suaranya sungguh jumawa
sekali. "Hai, menganggap dunia ini tiada tandingannya. Lambat
atau cepat tentu akan mengantar Jiwa dibawah kun (rok) si
Ciok Liu !" terdengar orang tua itu mengigau seorang diri.
Cu Jiang terkesiap tetapi dia tak mau menghiraukan dan
pura2 tak dengar. Sinar matahari mulai menghangatkan bumi.
Di Jalan pun sudah banyak orang. Cu Jiang singgah
disebuah kedai makan lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Dalam sepuluh hari dia harus tiba di Li jwan, bertemu
dengan Tio Hong Hui dan puterinya.
Sebenarnya dia segan kembali ke dasar jurang yang
menyeramkan itu. Tetapi apa boleh buat. Diam2 ia
menimang, berpisah sekian lama, kemungkinan Ko-tiong
Jiu Cukat Giok itu sudah meninggal dunia.
Karena pada waktu berpisah, orang tua itu mengatakan
bahwa tak lama lagi dia tentu sudah mati. Jika Cukat Giok
benar2 sudah mati, bukankah persoalan Itu akan terbeku
selama-lamanya " Saat itu dia sedang menempuh jalan yang sepi.
Walaupun dengan kaki sebilah pincang tetapi kecepatannya
mengejutkan orang. Tiba2 ia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Serasa
ada orang yang bersembunyi. Sengaja ia lambatkan
langkah. Tak berapa lama berjalan, pada jarak sepuluh tombak
dari tepi jalan, ada sebuah gunduk tanah digerumbul
pohon. Rupanya gunduk itu, masih baru dan didepannya
dipasang sebilah papan batu yang bertulis:
"Toan-kiam-jan jin dikubur disini."
Melihat itu Cu Jiang tertawa gelak2. Dia segera
menghampiri. Memang benar, gunduk tanah itu masih
baru. rupanya orang2 itu hendak mencegat, membunuh dan
menguburkan dia disitu. Selesai memeriksa dia lalu duduk bersemedhi dibawah
sebatang pohon tua, diatas lutut, kemudian pejamkan mata.
Beberapa saat kemudian semula mendengar suara yang
lembut. Dan dua musuh tentu mulai bergerak tetapi dia
diam saja. Setiup angin dahsyat segera melanda kearah kepalanya.
Huak.... terdengar jeritan ngeri disusul dengan sosok
tubuh yang jatuh. Tanpa membuka mata, pedang kutung di
acungkan keatas dan hawa pedang memancar sampai dua
tombak, merontokkan ranting dan daun2..
"Ha. ha, ha .... Toan-kiam-Jan-jin sungguh hebat sekali !"
Suara gelak tawa itu menggetarkan empat penjuru
angkasa. Cu Jiang menurunkan pedang, membuka mata dan
berbangkit. Kedua matanya memancarkan sinar berapi-api.
Didepannya melintang sesosok mayat dari seorang busu
baju kuning. Mungkin karena melibat Cu Jiang duduk pejamkan
mata, busu itu terus melancarkan serangan. Tetapi
akibatnya dia sendiri yang mati.
Dua tombak jauhnya, tampak seorang aneh berjubah
kuning. Mulutnya mencolot, tulang pipinya menonjol, biji
matanya banyak putih dari hitamnya. Tingginya tak kurang
dari dua meter. Cu Jiang cepat mengenali orang aneh itu sebagai si Iblis
gila atau Gong Mo yang dahulu pernah memukulnya
dengan pukulan Thian-kong-sat.
Tetapi rupanya iblis itu tak kenal siapa sebenarnya Toan-
kiam jan-jin. Dia tentu tak mengira bahwa Toan kiam-Jan
Jin itu tak lain adalah pemuda Gok-jin-Ji yang dahulu itu.
Melihat orang yang telah mencelakai dirinya menjadi
cacat, seketika meluaplah hawa pembunuhan Cu Jiang.
Tetapi ketika keliarkan mata ke sekeliling, ia terkejut juga.
Ternyata sekeliling empat penjuru, telah dikepung tak
kurang dan lima puluhan orang. Pelahan-lahan mereka
maju menghampiri. Dia menyadari apa yang akan dihadapi saat itu.
Rupanya Thong thian kau telah mengirim berpuluh-puluh
jago sakti untuk membunuhnya. Mereka tentu marah
mendengar berita Thong thian-kau cabang Siok-ciu telah
diobrak-abrik dan ketuanya yakni Kiam Mo. menjadi
manusia lumpuh dan cacat seumur hidup.
"Toan-kiam jan jin," seru Gong Mo dengan nyaring,
"liang sudah disediakan untukmu. Jika ingin mayatmu
utuh, masuklah sendiri ke dalam liang kuburmu itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Gong Mo, liang itu
untukmu sendiri!" "Engkau tahu namaku?" Gong Mo terkejut.
"Bukan baru sekarang ini!"
"Siapakah engkau ini?"
"Tak usah bertanya. Aku keluar demi menumpas
kawanan iblis seperti engkau dan kawan-kawan mu itu."
"Ha, ha. ha ... . engkau adalah manusia kedua yang
paling congkak yang kujumpai didunia ini!"
"Siapa yang kesatu?"
"Gok-jin-ji budak gila itu."
Diam2 Cu Jiang geli tetapi ia berseru dengan nada
dingin: "Sayang engkau takkan bertemu orang yang ketiga lagi!"
"Apa maksudmu?"
"Sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat nama
Gong Mo lagi!" Karena marah Gong Mo tertawa nyaring: "Akan ku
tangkap hidup-hidupan untuk kusiksa sepuas hatiku. "
"Asal engkau mampu." sahut Cu Jiang. "aku sih tak
memilih kematian cara apa saja."
"Bagus, engkau ini memang budak . .." Gong Mo maju
dua langkah sehingga hanya terpisah tidak sampai dua
meter. Cu Jiang lekatkan pandang matanya, menyalurkan
tenaga dalam ke tangan. Suasana tegang sekali, diliputi hawa pembunuhan. Tiba2
Gong Mo dorongkan kedua tangannya, menghantam Cu
Jiang. Pedang berkilat, dengan sepenuh tenaga Cu Jiang
pancarkan ilmu pedang Thian-tay kiau-thay.
Angin pukulan menderu dahsyat, hawa pedang pun
meroket angkasa. Jeritan ngeri, erang tertahan serempak
terdengar. "Huak . . . . "
"Auh..." Cu Jiang terdorong tiga langkah ke belakang. Darah
dalam tubuhnya bergolak-golak, pukulan Thian-kong-sat
dari Gong Mo hampir memberantakan tenaga kong gi yang
dipancarkan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya.
Jika setahun yang lalu, dia tentu mati karena pukulan itu.
tetapi sekarang ia mampu bertahan.
Jubah Gong Mo mengalirkan darah merah. Bluk ....
tubuhnya yang tinggi besar segera terjungkal rubuh ke tanah
dan tak dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
"Hai ...." pecahlah teriak kejut dari sekalian anak buah
Thong-thian-kau. Benar2 mereka tak percaya pada peristiwa yang
dilihatnya saat itu. Seorang anggauta Sip-pat thian mo yang
termasyhur, ternyata hanya dengan sebuah jurus saja, sudah
terbunuh mati. Secepat kilat dua batang pedang segera menerjang Cu
Jiang. Cu Jiangpun cepat memutar pedang kutungnya.
Huak. . . huak . . . kembali di atas tanah bertambah lagi
dengan dua sosok mayat. Menyusul tiga pedang menyerang lalu pekik bentakan,
jeritan ngeri. Darah, sinar golok, bayangan pedang, angin
pukulan dan deru sambaran senjata rahasia, bertubi-tubi
menggemuruh .... Hutan itu segera berobah menjadi tempat pembunuhan.
Jago2 Thong-thian-kan susul menyusul rubuh. Setiap kali
Cu Jiang menggerakkan pedang, paling sedikit tentu ada
seorang musuh yang rubuh.
Mayat makin lama makin menumpuk. Tetapi jago2
Thong-thian kau itu seperti kerasukan setan. Mereka
menyerang dengan jurus2 maut. Mereka tak menghiraukan
mati. Cu Jiang merah matanya. Diapun ikut kalap seperti
lawan. Pakaiannya penuh berlumur percikan darah.
"Mundur ...!" tiba2 terdengar sebuah bentakan menggeledek. Kawanan jago itupun berhamburan mundur. Dari
sejumlah lima puluhan orang, kini mereka hanya tinggal
belasan orang. Dua orang aneh berjubah warna kuning, serempak maju
ke dalam gelanggang. Keduanya berwajah menyeramkan.
Cu Jiang menjulurkan pedangnya ke bawah, pedang itu
masih mengucurkan darah. Kedua pendatang itu yang seorang memegang senjata
Tok kak thong jiu atau Orang-tembaga-berkaki-satu dan
yang lain mencekal Ki bi-thiat kun atau tongkat besi. Kedua
senjata itu termasuk senjata berat. Jelas keduanya tentu
memiliki tenaga yang kuat sekali.
Sepasang mata mereka berkilat-kilat memancarkan sinar
buas sekali seperti singa mencium darah.
"Rupanya kalian berdua ini juga anggauta dari Sip pat
thian mo?" tegur Cu Jiang.
"Benar, aku adalah Bu Mo yang termasuk pada jajaran
ke tujuh belas." sahut orang yang mencekal tongkat besi.
"Dan aku iblis yang ketiga belas. Toa-lat-sin-mu. Budak,
aku takkan berhenti sebelum mencincang tubuhmu! "
"Kalian akan maju berdua atau . . ."
"Heh, heh, heh .... Sip pat thian-mo selalu bertempur
satu lawan satu." "Siapa yang akan maju dulu?"
"Aku." "Silakan ! Aku masih ada lain urusan penting. Tak dapat
lama disini." Bu Mo mundur setombak jauhnya. Sementara setelah
siap dengan senjata Tok-kak-thong-jin. maka dengan
tertawa seram, Toa-lat-cin-mo atau Iblis-sakti-bertenaga
besar segera melancarkan serangan menghantam kepala Cu
Jiang dengan sekuat-kuatnya.
Cu Jiang menangkis dengan pedangnya.
Tring . . . senjata Tok-kak-thong-jin tertolak tetapi adu
tenaga itu menggetarkan tubuh Cu Jiang sehingga darahnya
bergolak keras. Tok-kak-thong Jin atau naga berbentuk orang berkaki
satu merupakan senjata yang berat. Sedang pedang adalah
senjata ringan, hanya mengutamakan kelincahan dan
tenaga si pemakai. Kalau bukan Cu Jiang, tentu tak ada orang berani
mengadu pedang dengan Tok-kak-thong-Jin tetapi pun jika
bukan Toa lat sin-mo, tentu sudah mati di bawah pedang
Cu Jiang. Toa-lat-sin-mo juga terkejut bukan kepalang. Dia tak
menyangka lawan berani mengadu pedang dengan gada
yang berat. Dan lebih kaget lagi ketika ia merasakan akibat
dari benturan senjata itu. Ternyata lawan memiliki tenaga
dalam yang hebat sekali. Pada saat Toa lat-sin-mo masih tercengkram terlongong
keheranan. Cu Jiangpun sudah bergerak menyerang dengan
jurus Thian te kun-thay. "Uh.." cepat Toa lat sin-mo lintangkan gada Tok kak
thong-jin untuk melindungi tubuhnya.
Iblis itu memang hebat dan cepat bergerak tetapi sayang
masih kalah cepat setindak dengan Cu Jiang.
Serentak terdengar seruan tertahan dan keduanyapun
loncat berpencar diri. Dada Toa-lat sin-mo berhias dengan
suatu luka sepanjang setengah meter, darahnya bercucuran.
Melihat dirinya terluka, Sin-mo marah sekali. Dengan
menggerung seperti singa kelaparan, dia menyerang
dahsyat. Wut.. tongkat besi dari Bu Mopun ikut menyerang.
Kalau dua iblis maju serempak, dahsyatnya sukar
dilukiskan. Cu Jiang terkejut dan cepat menggunakan gerak-langkah
Gonggong-poh-hwat untuk menghindar.
Kedua iblis itu menggeram dan serempak berputar
tubuh. Sebenarnya Cu Jiang hanya menyelinap ke belakang,
bukan melarikan diri. "Bukankah Sip-pat-thian-mo itu selalu bertempur satu
lawan satu?" serunya mengejek.
"Kecuali terhadap engkau karena engkau harus mati,"
sahut Bu Mo dengan menyeringai.
Dan kedua iblis itu lantas menyerang lagi. Deru angin
sambaran dan dua buah senjata berat mereka, menimbulkan
letupan2 macam halilintar menyambar.
Kali ini Bu Mo benar2 ngotot sekali. Dia menumpahkan
segenap kepandaiannya. Dia cepat merobah permainannya
dalam jurus Ya-con-pat-hong atau bertempur-empat-arah-
pada-malam-hari. Suatu jurus yang sederhana.. Tetapi dimainkan oleh
seorang iblis macam Bu Mo, jurus itu berobah menjadi


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerak yang hebat. Saat itu Cu Jiang melihat suatu lubang kesempatan.
Sehabis menghindari serangan, dia terus menghantam
punggung Sin-mo. 0oodwoo0 Jilid 13 Tring ... . terdengar dering senjata beradu di susul dengan
erang kesakitan. Andaikata tak tertahan oleh tongkat dari
Bu Mo, tentulah Toa-lat-sin-mo sudah mati.
Tetapi sekalipun tertahan tongkat, ujung pedang kutung
dari Cu Jiang masih dapat melukai punggung Toa lat sin-
mo sampai sepanjang beberapa jari. Kembali bercucuran
darah lagi. Dan lebih sakit dari luka di dadanya sehingga
dia terhuyung-huyung hampir rubuh.
Cu Jiang tak mau buang tempo. Kin dia akan
membereskan Bu Mo, Tongkat besi merupakan senjata
berat dan panjang. Harus dibasmi dulu.
Tetapi Bu Mo memang lebih berpengalaman. Sesuai
dengan gelarnya Bu Mo atau iblis-silat. dia memang sakti
dan waspada. Pada saat Cu Jiang bergerak, diapun sudah
cepat-cepat menghindar lalu menghantam.
"Ahhh !" terdengar jeritan ngeri. Karena Bu Mo
menghindar, babatan Cu Jiang itu berganti sasarannya.
Karena menderita luka dan gerakannya agak lamban, maka
Toa lat sin mo tak keburu menghindar.
Kepalanya terbelah, darah menyembur dan tubuhnyapun
rubuh. Serempak pada saat itu, pukulan jarak jauh dari Bu Mo
tadi telah menghantam tubuh Cu Jiang. Karena sedang
melancarkan serangan maka tenaga sakti yang digunakan
Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya agak lemah. Dia
mengerang tertahan dan terhuyung-huyung tiga langkah ke
belakang. Melihat itu Bu Mo tak memberi kelonggaran lagi. Dia
terus menyerang dengan tongkat besinya. Ilmu permainan
tongkatnya, luar-biasa dahsyat dan aneh. Cepat dan gencar
sekali sehingga Cu Jiang tak sempat menangkis. Dia
terpaksa hanya menghindar saja.
Trang. . . . tongkat tersiak tetapi kedua tangan Cu
Jiangpun terasa kesemutan, pedangnya hampir terlepas.
Darah bergolak keras. Dia sempoyongan sampai lima langkah baru dapat
berdiri tegak. Bertempur menghadapi serbuan berpuluh-puluh ko jiu
dari Thong-thian kau lalu harus menghadapi keroyokan
kedua iblis itu, menyebabkan Cu Jiang banyak kehilangan
tenaga dalam. Kekuatannyapun banyak berkurang.
Bu Mo tak mau memberi ampun lagi. Dia menyerang
lagi dengan jurus2 permainan tongkat yang aneh dan keras.
Cu Jiang menghindar lalu tangan kirinya menuding
memancarkan tenaga-dalam ke luar.
"Hem ..." Bu Mo mengerang. Bahu sebelah kiri
tertembus, darah bercucuran. Tetapi iblis durjana yang buas
dan ganas itu tidak menyerah karena luka sekecil itu. Dia
menyerang lagi makin dahsyat dan gencar.
Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi Cu Jiang kecuali
menggunakan cara menghindar. Kadang dalam keadaan
terpaksa, baru dia menangkis adu kekerasan.
Tetapi lama2 dia marah juga. Dia memilih cara yang
belakang yakni adu kekerasan. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga, dia segera memutar pedang terus
menyerang, tring Tongkat Bu Mo terbabat, melayang ke udara. Mulut,
hidung, mata dan telinganya mengucurkan darah dan
tubuhnya sempoyongan lalu rubuh. Dia tak kuat mengadu
kekerasan dengan Cu Jiang.
Urat2 jantungnya putus. Tetapi Cu Jiang juga menderita luka dalam. Mulutnya
menyembur darah sampai separoh dari kerudung mukanya
merah. Diapun terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang lalu jatuh terduduk.
Melihat itu belasan jago2 Thong thian-kau segera
berteriak dan menyerbu Cu Jiang yang ngelupruk di tanah
itu. Melihat maut mengancam, dengan kuatkan diri Cu
Jiangpun berdiri lagi. Ia mengerahkan lagi tenaganya untuk
menyambut serangan musuh.
Huak, huak . . . dua orang jago Thong-thian-kau rubuh.
Yang lain2 serempak mundur.
Napas Cu Jiang makin tersengal-sengal dan tubuhnya
gemetar keras. Tiba2 terdengar gemboran keras. Empat
orang menyerang lagi dari empat arah.
Cu Jiang mengertek gigi. "Cu Jiang, jangan engkau rubuh. Kalau engkau rubuh,
habislah riwayatmu. Hayo, kuatkan dirimu dan bunuhlah
mereka . . ." seolah telinganya mendengar sebuah suara
mengiang-ngiang, membangunkan semangatnya.
Dengan kuatkan diri. Cu Jiang lalu memutar pedangnya.
Terdengar jeritan ngeri dan keempat orang itupun rubuh
mandi darah. Musuh yang berada di sebelah depan, malah
mengalami kematian yang mengerikan.
Kepalanya terbelah, darahnya muncrat mengenai kain
kerudung muka Cu Jiang. Darah, mayat dan kutungan anggauta badan. Berserak-
serak memenuhi tempat itu. Sekilas terbayanglah benak Cu
Jiang bahwa keadaan tubuh ibunya ketika menghadapi
keroyokan dari berpuluh tokoh2 sakti, tentulah sedemikian
juga. Teringat akan kematian ayah bundanya, darahnya
meluap, semangatnya pun berkobar lagi.
"Ha, ha, ha . ..." Ia tertawa nyaring. Nadanya
menyerupai aum singa yang menginjak korbannya.
Kini yang masih tinggal hanya sembilan orang. Mereka
saling bertukar pandang. Menilik keadaannya, Cu Jiang
telah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tidak saat
itu membunuhnya, tentu akan mensia-siakan suatu
kesempatan yang bagus. Tetapi ilmu pedang Toan kiam jan-jin itu luar biasa aneh
dan saktinya. Dalam keadaan menderita luka, masih
mampu membunuh empat orang jago kojiu ...
Saat itu Cu Jiang seperti orang kerasukan setan. Ia
terbayang akan akan kematian kedua orang tua, kedua
adiknya yang masih kecil, paman Liok dan isterinya serta
anak perempuannya, gadis malang yang diperkosa lalu
dibunuh itu. Hutan darah, dendam darah, saat itu berkecamuk dalam
dada Cu Jiang sehingga tenaga-dalamnya yang sudah
menurun itu mulai bangkit lagi.
Pelahan-lahan dia berputar tubuh menghadapi kesembilan sisa jago2 Thong-thian-kau itu.
Pandang mata Cu Jiang yang penuh dendam kesumat
berdarah, tampak merah membara sehingga nyali kesembilan orang itupun makin berguguran, berganti
dengan bayang2 ketakutan.
"Pergi . . ." entah siapa yang berseru tetapi ke sembilan
orang itupun segera berhamburan mundur.
"Berhenti!" Cu Jiang menggerung dan secepat kilat
berputar-putar menyerang mereka.
Huak, huak, huak . . . jeritan susul menyusul, darah
berhamburan memerah tanah dan sosok2 tubuhpun rubuh
morat marit. Ia berhasil membasmi beberapa jago itu tetapi setelah itu
diapun kehabisan tenaga, Bluk, dia jatuh terduduk, mata
berkunang-kunang. Entah berselang berapa lama, hingga
pikirannya timbul: "Aku harus tinggalkan tempat ini."
Apabila saat itu Thong-thian-kau mengirim jago-jagonya,
cukup seorang saja, tentulah dengan mudah mengambil
jiwa Cu Jiang. Karena dia benar-benar lunglai sehingga
rasanya tak kuasa lagi mengangkat pedangnya.
Namun tekadnya yang membaja menimbulkan kekuatannya. Dia merangkak bangun dan dengan
terhuyung-huyung ia melangkah pergi.
"Cu Jiang, kuatkan dirimu. Jangan rubuh, ayo, terus
jalan pelahan-lahan. Makin jauh dari tempat itu makin baik
. . ." suara hatinya membisikinya.
Entah berapa lama dan entah sampai di mana, akhirnya
ia merasa tak kuat lagi. "Ayo, jangan rubuh ..." hatinya berkata namun tubuhnya
tak kuat Dan jatuhlah ia ke tanah, tak ingat apa2 lagi. .
Tak berapa lama, sesosok bayangan merah muncul. Dia
terlongong tegak di samping Cu Jiang, berjongkok
membuka kain penutup muka anakmuda itu dan menjerit
kaget: "Oh, kiranya dia!"
Dari nadanya menunjukkan bahwa pendatang itu
seorang wanita. Tetapi siapakah dia" Apakah dia kenal
pada Cu Jiang" Tiba-2 terdengar suara pekik seram berkumandang dari
kejauhan. Bayangan merah itu segera menghilang dalam
kegelapan lagi. Selekas bayangan merah itu lenyap maka muncullah
seorang berjubah hitam. Wajahnya juga ditutup dengan
kain kerudung. Gesit sekali orang itu sudah melompat ke
tempat Cu Jiang, membuka kain penutup mukanya dan
menyurut mundur tiga langkah.
"Kiranya tak salah dugaan itu, memang dia!"
Habis berkata dia terus mengangkat tangan dan
menghantam kearah Cu Jiang, tetapi di tengah jalan tiba2
dihentikan lagi. "Apakah harus sekarang mencabut jiwanya?" Beberapa
saat kemudian, dia mengangkat lagi tangannya. Tiba2
terdengar tawa dari seorang perempuan. Orang berjubah
hitam itu menarik tangannya dan secepat kilat terus lari
kearah suara tawa itu. Kembali muncul sesosok bayangan. Dengan cepat orang
itu terus menyambar tubuh Cu Jiang dibawa lari.
Ketika sadar, Cu Jiang dapatkan dirinya tidur diatas
tumpukan rumput yang empuk. Walaupun gelap, dia dapat
mengetahui kalau sedang berada disebuah goa.
"Hah, mengapa aku berada disini " Bukankah aku
terkulai rubuh kehabisan tenaga ?" Ia terkejut sendiri.
Demi menjaga keselamatan, dia tak berani bergerak dan
pura2 tetap pingsan. Tetapi diam2 ia kerahkan tenaga-
dalam. Ternyata sudah pulih separoh bagian. dan sudah tak
merasa sakit. Hal itu tak mengherankannya. Jalan darah utama Seng-
si-hun-koen pada tubuhnya sudah tertembus. Dan hal itu
hanya merupakan satu langkah lagi untuk mencapai
kesempurnaan tenaga-dalam.
Diam2 dia mengingat dan menghafalkan isi pelajaran
kitab Giok ka-kim-keng mengenai ilmu pernapasan untuk
menenangkan perasaan hati. Dalam beberapa saat
kemudian, tenaganya makin pulih.
Dan kilat pandang matanyapun bertambah tajam.
Memang benar tempat itu sebuah gua yang dalamnya dua
tombak. Diluar tampak bintang2 berkelip-kelip. Menunjukkan bahwa saat itu masih malam hari.
Tiba2 ia mengetahui bahwa dalam suasana yang gelap
itu ada sepasang mata yang berkilat-kilat tajam memandang
kepadanya. Dia terkejut sekali dan beranjak bangun.
Dari sinar bulan yang menyeruak ke dalam gua, ia segera
mengetahui bahwa pemilik sepasang mata tajam itu tak lain
adalah pencuri-sakti Ciok Yau to bergelar Thian-put-hoa.
Mengapa orang tua itu berada disitu" Belum sempat ia
menegur, orang itu sudah mendahului tertawa:
"Ho, hebat sekali. Ternyata engkau cepat kali sudah
sembuh !" Diam2 Cu Jiang merabah pedangnya.
"Sahabat kecil, jangan banyak curiga. Kalau mau, aku
dapat dengan mudah mencabut jiwamu!"
Cu Jiang malu atas tindakannya mencurigai orang.
"Apakah cianpwe yang menolong aku?"
"Separoh bagian."
"Separoh bagian" Aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Engkau mati satu kali."
Cu Jiang makin bingung. "Aku benar2 masih tak jelas!"
"Duduk dan mari kita bercakap-cakap," orang itu
memberi isyarat tangan. Dan Cu Jiangpun menurut.
Setelah berbatuk-batuk, Thian-put-thou berkata pelahan-
lahan. "Setelah engkau membunuh ketiga iblis, membasmi
kawanan kunyuk2 kecil, engkau kehabisan tenaga dan
menggeletak dalam hutan . . ."
"O, lo cianpwe tahu semua ini?" Cu Jiang terkejut.
"Tentu." "Lalu?" "Seorang gadis baju merah yang mukanya bertutup kain
cadar, muncul dan membuka penutup wajahmu . . ."
"Ah, dia ...." "Bentuk badannya seperti hantu. Jika aku tak salah terka,
dia adalah iblis wanita yang disohorkan orang sebagai Ang
Nio Cu !" "Ang Nio Cu ?" Cu Jiang mengulang gemetar.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi itu hanya dugaan saja. Akupun hanya
mendengar namanya belum pernah tahu orangnya."
"Lalu?" "Ang Nio Cu membawa anak buahnya yang sembunyi.
Ketika mendengar anak buahnya bersuit memberi tanda,
dia terus kabur. Dan lalu muncul lagi seorang lain..."
"Siapa ?" "Seorang yang pakaian dan mukanya bertutup kain
hitam, entah siapa . . ."
Cu Jiang mengangguk. Pikirnya, mungkin ketua Gedung
Hitam tetapi Thian-put-thou tak mau mengatakan.
Pencuri-sakti Thian-put-thou melanjutkan: "Orang itu
mengenal engkau . . ."
"Apakah dia juga membuka kain penutup mukaku ?" Cu
Jiang terkejut. "Benar, dia hendak menghancurkan dirimu, tetapi ragu2.
Itulah sebabnya maka kubilang, engkau sudah mati satu
kali." "Akhirnya dia tak jadi turun tangan ?"
"Jadi. tetapi pada saat dia hendak melepaskan hantaman,
tiba2 Ang Nio Cu bersuit untuk mengganggunya."
"Oh !" Cu Jiang mendesah pula. Diam2 ia mengeluh
karena merasa terlalu banyak berhutang budi pada Ang Nio
Cu. "Ketika si baju hitam itu pergi, akupun segera
membawamu ke mari, Itulah sebabnya maka aku katakan
bahwa aku hanya memberi pertolongan separoh bagian
adalah wanita baju merah itu." kata Thian put thou pula.
Cu Jiang bangun dan memberi hormat:
"Terima kasih lo cianpwe. Budi locianpwe akan kucatat
baik2 dalam hati." "Tak usah, tak usah," Thian-put thou gopoh mencegah,
"aku situa ini masih berhati seperti anak kecil. Kita jadi
sahabat saja." "Tua dan muda harus ada tata peraturannya, masakan .."
"Duduk, duduk. Kalau engkau suka, panggil saja aku
sebagai lo-koko, mau?"
"Ini ..." "Aku tak senang segala macam peradatan."
"Kalau begitu terpaksa aku menurut saja."
"Begitulah, adik kecil, ha, ha, ha . . ."
"Rupanya lo-koko terus menerus mengikuti aku . . ."
"Kukatakan, hatiku masih seperti anak kecil," kata Thian
put thou lalu berobah serius, katanya. "adik kecil, aku
mempunyai isi hati, seperti tulang menyekat di tenggorokanku, kalau tak kukatakan cukup mengganjel. . ."
"Lo koko mau bilang apa, silakan."
"Adik kecil! Aku, bagi seorang ksatrya sejati, apakah
pantangannya nomor satu?"
Cu Jiang terbeliak. Ia tak mengerti apa yang akan
dimaksud oleh orang tua itu.
"Pantangan .... apa?"
"Wanita !" Thian-put-thou berkata dengan tegas.
Serentak Cu Jiang teringat, ketika hendak meninggalkan
rumah berhala di luar kota Gong-an. Thian put thou pernah
bergumam: "Hm, jangan menganggap dirinya paling gagah
sendiri di dunia. Lambat atau cepat, pasti akan mengantar
jiwa ke bawah kun ( rok ) si Ciok Liu . . ."
Kini orang tua itu mengatakan soal pantangan, tentu ada
sebabnya. Tetapi Cu Jiang heran, ke mana tujuan kata2
Thian-put thou itu. Selama ini ia merasa selalu menjaga diri
dan menjauhi kehidupan dengan wanita iseng ....
Ia hendak menyatakan keadaan dirinya kepada Thian
put-thou tetapi saat itu dari kejauhan terdengar lengking
jeritan ngeri dari seorang wanita.
Thian-put thou pun serentak berbangkit: "Jangan2
wanita baju merah itu disiksa orang berbaju hitam itu ?"
"Mungkinkah ?" teriak Cu Jiang penuh emosi.
"Mungkin sekali. Ketika kubawa engkau kemari, wanita
baju merah itu masih berkeliaran ditempat itu, rupanya dia
hendak mencari engkau...."
"Lo koko, mari kita ke sana."
"Hayo !" Keduanya segera melesat dari goa. Menilik letak bintang
Pak-tou, saat itu tengah malam. Setelah jeritan ngeri itu, tak
terdengar suara apa2 lagi. Sukar untuk menentukan
arahnya. Cu Jiang yakin dugaannya tentu benar. Orang berbaju
hitam dan berkerudung muka kain hitam itu tentulah ketua
Gedung Hitam dan wanita baju merah itu tentulah Ang Nio
Cu. Kemungkinan Ang Nio Cu tentu bukan tandingan dari
Ketua Gedung Hitam. Ia memang telah banyak berhutang
budi kepada Ang Nio Cu, tak dapat ia berpeluk tangan tak
memperdulikan. Dan lagi, diapun hendak mencari ketua
Gedung Hitam itu untuk menyelesaikan dendam hutang
darah yang terakhir. "Lo-ko, lari ke timur dan aku yang kebarat. Kalau
bertemu sesuatu, berilah pertandaan suitan."
"Baik," kata Thian put thou yang terus lari ke timur. Cu
Jiangpun menuju ke barat.
Cu Jiang melintasi sebuah hutan. Walaupun gelap sekali
tetapi berkat tenaga-dalam yang dimiliki sudah mencapai
tingkat tinggi, dia tetap dapat menembuskan pandang
sampai jarak seluas delapan tombak.
Beberapa saat berlari dia sudah tiba di ujung hutan.
Ketika dia hendak berputar tubuh balik lagi mencari lain
jalan, tiba2 ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat dari
balik gerumbul. Cu Jiang cepat mengejarnya. Tetapi karena kaki kirinya
pincang. dia kalah gesit dengan orang itu yang diduga tentu
seorang jago ko jiu. Jaraknya makin lama makin jauh.
Orang itu sebentar tampak sebentar lenyap.
Setelah sepuluhan li, tiba2 orang itu berhenti seperti
sudah lelah. Cu Jiang percepat gerakannya. Dalam
beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang. Tetapi
ketika memandangnya, kejutnya bukan kepalang.
Yang dihadapannya, seorang wanita baju merah dan
dibawah kaki wanita itu menggeletak sesosok mayat dari
seorang wanita baju merah lagi.
Cu Jiang tak asing lagi. Wanita baju merah itu adalah
salah seorang dari keempat wanita baju merah yang
memikul tandu tempo hari. Dengan demikian benarlah
dugaan Thian put-thou, bahwa wanita baju merah yang
muncul di hutan itu, tak lain adalah Ang Nio Cu.
Tampaknya wanita baju merah itu tak terkejut atas
kemunculan Cu Jiang. Mungkin pada waktu berkejar-
kejaran tadi, wanita itu sudah tahu.
"Apakah anda Toan-kiam-jan-jin?" tegur wanita itu.
"Ya, benar." "Engkau tidak mati?" tanya pula wanita itu tanpa
sungkan lagi. Mengingat Ang Nio Cu, Cu Jing tak marah kepada
bujang baju merah itu, sahutnya:
"Kalau mati masakan bisa datang ke sini."
Sambil menunjuk pada kawannya yang menggeletak di
bawah kakinya, bujang baju merah itu menggeram:
"Engkau masih bernyawa tetapi dia sudah mati."
"Mengapa mati?"
"Karena engkau."
Cu Jiang terperanjat, serunya:
"Apa" Dia mati karena aku?"
"Siapa bilang tidak?"
"Bagaimana peristiwanya?"
"Kami berdua menerima perintah majikan untuk
mencari jejakmu . . ."
"Oh, lalu siapa yang membunuhnya?"
"Seorang baju hitam yang berkerudung muka."
"Dia!" Cu Jiang mengertek gigi.
"Siapa?" dayang baju merah itu tegang.
"Ketua Gedung Hitam!"
"Dia ... dia pemimpin Gedung Hitam yang menguasai
dunia persilatan itu?"
"Ya. " "Hm, baik, baik . . ." bujang baju merah itu tak
melanjutkan katanya karena terdesak oleh rasa tegang yang
meluap-luap. Dengan mengertek gigi, berkatalah Cu Jiang dalam nadi
tegas: "Aku akan membalaskan sakit hatinya."
"Majikan kamipun dapat juga!"
"Di mana majikanmu?"
"Mengejar jejak lelaki jubah hitam itu."
"Lalu hendak engkau apakan mayat kawanmu itu?"
"Menurut peraturan perguruan kami, akan dikubur
dengan baik. " "Apakah aku dapat membantu" "
"Tak usah." "Majikanmu mengejar ke arah mana?" tanya Cu Jiang.
"Barat. " "Bila bertemu dengan majikanmu, tolong sampaikan,
bahwa Toan-kiam-jan-jiu takkan melupakan budinya!"
"Hm, mudah-mudahan hatimu sesuai dengan kata-
katamu." wanita baju merah mendengus dingin.
"Apa maksudmu ?"
Wanita baju merah itu tertawa rawan.
"Orang bawahan tak bebas bicara. Semoga anda ingat
apa yang anda ucapkan tadi!"
Cu Jiang tak mengerti tetapi dia tak mau mendesak.
"Aku seorang lelaki, apa yang kuucapkan adalah
pendirianku Bagaimana aku tak dapat pegang Janji"
Sudahlah, jangan cemas," kata Cu Jiang terus lari ke arah
barat. Karena sampai terang tanah tak bertemu suatu apa,
terpaksa dia kembali ke timur lagi.
"Thian put-thou kebanyakan tentu sudah tak berada
dalam goa itu. Karena aku harus menepati janji dengan Tio
Hong Hui di Li-jwan. Lebih baik aku kesana dulu."
pikirnya. Dengan keputusan itu ia segera melanjutkan
perjalanan. Setiba di kota lebih dulu ia membeli seperangkat pakaian
baru untuk ganti, lalu meneruskan perjalanan lagi. Dan
pada hari itu setelah menyeberang di pangkalan Ciok-po-
say, tibalah dia didaerah pegunungan Bu-leng san. Dengan
kota Li-Jwan sudah tak berapa jauh lagi.
Begitu memasuki daerah gunung Bu-leng san, perasaan
Cu Jiang mulai tegang. Keluarganya telah terbunuh di
gunung itu. Dendam darah itu belum terbalas, bagaimana ia
dapat menghibur arwah kedua orang tua dan adik-adiknya"
Untuk mempersingkat jalan, dia tak mau mengambil
jalan besar tetapi melintasi daerah hutan di gunung.
Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di sebelah
muka hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Tak
terdapat sebuah rumah pendudukpun juga.
Pada saat ia bingung, tiba2 ia melihat gumpalan asap
mengepul dari arah lamping gunung. Jelas itu sebuah
perumahan, entah milik kaum pemburu entah orang lain.
Cepat ia lari menuju ke tempat itu.
Setelah melintas sebuah bukit, ternyata lamping gunung
itu merupakan sebuah lembah sempit dengan sebuah air-
terjun. Di dekat air-terjun itu, terdapat sebuah rumah
bambu. Membelakangi gunung dan menghadap air-terjun.
Cu Jiang termangu-mangu menyaksikan tempat yang
tenang dengan dikelilingi alam yang indah itu. Ia duga
tempat itu tentu bukan rumah orang tani melainkan tempat
persembunyian seorang yang mengundurkan diri dari
pergaulan ramai. Cepat ia menuju ke tempat itu. Tiba di muka pagar, pada
waktu hendak berseru tiba2 muncul seorang lelaki
berpakaian seperti seorang sasterawan, tangannya membawa sebuah buntalan kain panjang.
Jelas dia bukan orang desa atau bangsa pemburu. Cu
Jiang cepat melesat ke belakang sebuah batu besar.
Sasterawan itu melangkah pelahan-lahan ke tengah
ruang. kemudian berdiri tegak dan memandang langit
seolah seperti memikirkan sesuatu yang sulit.
Wajahnya gagah, alis tebal menaungi sepasang matanya
yang bundar. Usianya lebih kurang tiga puluhan tahun.
"Adakah dia seorang persilatan yang menyembunyikan
diri dari kejaran musuh?" tiba2 timbul dugaan Cu Jiang.
"Engkoh Hong!" "Ya, aku di sini!" terdengar sebuah penyahutan dan
tahu2 muncul seorang wanita muda yang cantik sekali.
"Ah, mengapa kedua orang itu tinggal ditempat yang
sesunyi begini?" timbul lagi pikiran Cu Jiang.
Dengan langkah tergontai, wanita cantik itu menghampiri ke sisi sasterawan, memandangnya sejenak,
lalu berseru: "Engkoh Hong, mengapa tiba2 engkau berobah?"
"Ceng-moay, aku tidak berobah." sahut sasterawan itu
dengan tak acuh. "Ih, mengapa engkau tak mau mengaku. Sejak tiga hari
yang lalu engkau turun gunung, pulang di rumah sikapnya
agak lain ..." "Ah, engkau terlalu banyak mereka-reka sesuatu."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita cantik itu beralih memandang pada bungkusan
kain yang dipegang sasterawan itu, seketika wajahnya pucat
dan tubuh gemetar. "Engkau . . . mengeluarkan . . . barang itu lagi?" serunya
dengan nada tergetar. Wajah sasterawan itu mengulum senyum tetapi tak
sedap dipandang. Suatu senyum hambar yang dipaksakan.
Dan cepat sekali wajahnya sudah membeku lagi.
"Ceng-moay. aku . . . aku ..."
"Engkau bagaimana?"
"Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku memang tak
dapat melupakan barang ini!"
Airmata wanita itu mulai berlinang-linang dan dengan
rawan berkata: "Kalau begitu selama tiga tahun ini, engkau mempermainkan aku?" Sasterawan itu tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana
engkau mengatakan begitu?"
"Engkau membohongi aku! Mempermainkan cinta . . ."
"Tidak, aku tidak merasa begitu. Kalau aku memang
bermaksud hendak membohongimu, tentu tak dapat
mengatakannya." "Tetapi engkau . . . berobah.."
"Berobah?" "Engkoh Hong, bilanglah dengan setulus hatimu, engkau
mencintai aku atau tidak?"
Di tempat persembunyiannya, Cu Jiang tak mengerti apa
yang terjadi pada kedua orang laki dan wanita itu.
"Sudah tentu mencintaimu." sahut sasterawan itu.
"Kalau sungguh-2 mencintai aku, lupakan barang itu! "
seru wanita itu dengan tegang.
"Tetapi ..." "Oh, tak dapat melupakan, bukan?"
"Ceng moay, kuminta dengan sangat akan pengertianmu.
Hal itu merupakan tujuan utama dari hidupku . . ."
"Tutup mulut! Engkau lupa bagaimana kita berdua
sampai berkumpul disini. Bukankah karena hendak
menghindari keramaian dunia?"
Dahi sasterawan itu nampak berkerut.
"Engkoh Hong, darimana sepuluh buah luka yang terjadi
pada tubuhmu itu" Tampaknya engkau sudah hampir mati
sampai beberapa kali " Engkau pernah mengatakan bahwa
selamanya engkau akan melupakan dan takkan membuka
bungkus kain itu lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau
berobah pendirian ?"
Wajah sasterawan itu makin tak sedap dipandang.
Menandakan bahwa saat itu hatinya sedang kacau.
"Ceng-moay, aku sangat menderita. Banyak kali aku
berusaha untuk melupakannya, tetapi aku . . . tak dapat!"
akhirnya ia berkata. "Eh, sebenarnya engkau bertemu apa waktu kali ini turun
gunung ?" seru wanita cantik itu dengan tegang.
"Kudengar.... di daerah Tionggoan telah muncul seorang
jago pedang yang hebat sekali, bernama Toan-kiam-jan jin!"
"Benar, sejak dulu memang begitu. Begitu mendengar di
daerah mana muncul seorang jago pedang, engkau terus
buru2 mencarinya. Apa yang engkau dapatkan" Engkau....
engkau..." Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
tersekat oleh kemarahan. Sasterawan kerutkan alis dan berkata dengan nada
tegang: Tetapi kali ini memang berbeda. Kaum persilatan
menyanjung Toan-kiam-Jan Jin sebagai seorang Dewa-
pedang. Setiap kali dia hanya menggunakan sebuah jurus
dan musuh tentu terluka atau mati. Kalau.... aku dapat
mengalahkannya, aku merasa puas seumur hidup !"
Diam2 Cu Jiang tercekat hatinya. Lelaki itu jelas seorang
silat maniak, seorang yang gila akan ilmu silat. Suatu cita2
yang jahat dan juga melanggar etika (susila) persilatan.
Bukankah banyak jalan untuk mengangkat nama supaya
termasyhur. Menjalankan kebaikan, menolong yang lemah,
memberantas yang jahat dan lain2 cara yang bersifat
ksatrya, merupakan cara yang lebih utama dan terpuji
daripada dengan jalan menghancurkan setiap orang yang
dipandang lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya.
Terdengar pula sasterawan itu berkata: "Kabarnya dia
muncul disekeliling daerah ini. Aku hendak mencarinya
Ceng moay, ijinkan aku. Hal ini kecuali dirimu, merupakan
cita2 harapanku yang utama. Sejak aku berumur tujuh belas
tahun dan mendapat pelajaran ilmu pedang dari jago
pedang yang tak dikenal itu, baru hari ini aku dapat
memahaminya dengan sempurna."
Tampak wanita cantik itu agak tenang. "Apakah engkau
tetap hendak menantang Toan-kiam jan jin ?" serunya
dingin. Wajah sastrawan itu berobah merah.
"Ceng-moay, kabulkanlah keinginanku !"
Sepatah demi sepatah, wanita cantik itu berkata dengan
tegas: "Jika begitu, bunuhlah aku lebih dulu !"
Sastrawan terkejut sekali, serunya: "Apa maksudmu?"
"Karena kita berdua takkan dapat berkumpul"
"Mengapa ?" "Aku mempunyai firasat, kali ini engkau pasti takkan
kembali lagi." Sastrawan itu mundur dua langkah. Sepasang matanya
berkilat tegang lalu berseru dengan suara tergetar:
"Ceng-moay, menganggap aku akan mati ditangan Toan-
kiam jan Jin?" "Aku benar2 mempunyai firasat begitu !"
Sasterawan membuka bungkusan kain panjang dan
sebatang pedang pusaka nampak menongol.
"Engkoh Hong, apakah engkau benar2 sudah tetap pada
keputusanmu?" teriak wanita cantik itu.
Setelah mencabut pedang itu maka tampak pedang itu
memancarkan hawa panas yang menyeramkan. Ditingkah
sinar matahari silam, pedang itu memancarkan sinar yang
aneh, seolah memberi suatu firasat.
"Ceng-moay, hanya sekali ini saja aku mohon
kepadamu!" Tampak cahaya muka wanita cantik itu sebentar-sebentar
berobah dan akhirnya membeku. Dia mengangguk:
"Sejak dulu aku memang sudah meramalkan bahwa
kelak tentu akan menghadapi saat seperti ini. Tetapi aku
tetap menikah dengan engkau. Mungkin kesemuanya ini
sudah garis takdir !"
"Ceng-moay, jangan berkata begitu!"
"Sekarang aku baru tahu. Engkau tidak mencintai diriku
tetapi lebih cinta pada pedang. Hidup-mu hanya untuk
pedang..." "Ceng-moay, ucapanmu terlalu tajam..."
Wanita cantik tertawa dingin:
"Bukankah kenyataan memang begitu?"
"Ceng-moay," kata sasterawan dengan nada pilu, "aku
cinta padamu. Tindakanku ini membuatmu bersedih tetapi
kumohon engkau suka maafkan. Aku berjanji, hanya satu
kali ini saja, ya, sekali ini saja !"
"Ya hidup itu .. . memang hanya sekali ini saja !"
"Ceng-moay . .."
"Hong-ko, semoga engkau berhasil mengangkat nama !"
habis berkata tiba2 wanita cantik loncat kebelakang rumah
dan terus lari keatas gunung.
Sasterawan itu tercengang, sesaat kemudian baru
berteriak: "Hai, hendak kemana engkau, Ceng-moay?"
Tetapi wanita cantik tak menghiraukan lagi. Larinya
makin kencang. Melihat itu sasterawanpun segera mengejar
dan berteriak-teriak memangginya:
"Ceng-moay . . . Ceng-moay ..."
Cu Jiang geleng2 kepala dan menghela napas. Pikirnya,
manusia memang aneh. Mengapa sudah enak2 hidup
tenteram, masih hendak cari perkara" Mengapa orang itu
lebih mengutamakan nama daripada cinta" Apakah
kemasyhuran nama itu" Ayah juga diagungkan sebagai
Seng-kiam (Dewa Pedang), tetapi apa jadinya"
Tertarik oleh peristiwa kedua suami isteri itu, Cu Jiang
diam2pun lari mengikuti, Ia lupa akan rasa lapar.
Tiba di lamping gunung, ia terkejut menyaksikan suatu
adegan yang mendebarkan. Wanita cantik itu berdiri di atas
sebuah batu karang tinggi yang hanya cukup untuk
ditempati seorang. Di bawah karang itu terbentang air-
terjun yang meluncur ke bawah sampai beratus tombak.
Sasterawan merangkak naik menghampiri seraya berseru
membujuknya. "Ceng moay . . . kembalilah, aku. . . akan menurut segala
permintaanmu!" Wanita cantik tertawa dingin:
"Terlambat, aku tak mau mengemis cinta karena engkau
kasihan kepadaku. Aku tidak bersandiwara, juga tidak
menggertakmu. Semoga engkau menjaga diri baik2, engkoh
Hong, selamat tinggal, jago pedang nomor satu di dunia . ."
Saat itu sasterawan sudah merangkak ke atas permukaan
karang dan terus menyambar kaki wanita itu tetapi ah....
hanya terpaut seujung jari dan terlambatlah dia. Wanita
cantik itu sudah loncat ke bawah jurang ....
"Ceng moay . . . !" terdengar sasterawan itu melolong
seperti serigala mengaum di tengah malam. Nadanyapun
kepiluan dan putus asa. Tetapi hal itu tidak menolong apa2. Bahkan hanya
merupakan suatu irama musik yang menghantar tubuh
wanita cantik lenyap tenggelam dalam kabut senja yang
menutupi permukaan jurang.
Hidung Cu Jiang turut mengembang air. Betapa
menyedihkan peristiwa itu. Kematian wanita cantik itu
walaupun dengan cara membuang diri ke bawah jurang,
tetapi hal itu tak lain hanya sebagai akibat dari ambisi
sasterawan itu. Atau lebih jelas, dia mati di tangan lelaki
yang dicintainya. Karena tak ingin menderita berpisah mati dengan
suaminya yang akan menantang ilmu pedang dengan Toan-
kiam-jan jin, lebih baik ia mati lebih dulu.
Tetapi adakah pengorbanan jiwanya itu mampu
meredakan ambisi besar dari suaminya yang begitu sangat
bernafsu untuk mencari nama itu"
Sebenarnya Cu Jiang tak suka akan pikiran dan tindakan
sasterawan itu. Dia hendak muncul dan memberinya
pengajaran. Tetapi mengingat bahwa baru saja sasterawan
itu berduka cita kehilangan isteri tercinta, dia terpaksa
menahan diri. Dia mengharap semoga peristiwa pahit itu
akan menyadarkan pikirkan orang itu.
Sasterawan itu terus lari ke bawah untuk mencari mayat
isterinya di bawah air-terjun. Cu Jiang pun tak mau
mengikuti lagi dan terus melanjutkan perjalanan.
Keesokan harinya dia sudah keluar dari daerah gunung
Bu-leng-san. Hanya tinggal lima puluh li dari kota Li-jwan.
Ia berhenti di sebuah kota kecil lalu meneruskan jalan lagi.
Diperhitungkan waktu lohor nanti dia akan sudah tiba di
Li-jwan. Menurut perhitungan hari itu masih kurang dua hari dari
waktu perjanjian. Entah apakah Tio Hong Hui dan
puterinya sudah datang atau belum.
Tengah berjalan tiba2 dia melihat beberapa rumah
pondok di pinggir jalan. Ternyata beberapa kedai minuman.
Kedai2 itu menjadi tempat persinggahan dari para penjual
dari desa. Cu Jiang juga merasa haus. Dia singgah di sebuah kedai
dan minta disediakan arak putih.
Tengah dia perlahan-lahan menikmati minuman, tiba2
terdengar suara orang tertawa dan seorang pemuda berseru:
"Aneh, Can Su Nio, kepala perguruan Hot-goat-bun,
selama ini tak pernah meninggalkan kota Gong-an. Tetapi
mengapa kali ini tiba2 dia membawa muridnya Kim hun-li
pesiar ke daerah yang begini sunyi?"
Kawannya, juga seorang anak muda menyahut:
"Saudara Tio, mungkin bukan hendak pesiar tetapi ada
lain tujuan . . ." "Ha, ha, ha .... Ho toako, kecuali cari kumbang memikat
kupu-kupu", apalagi pekerjaan perguruan Hoa-goat-bun
itu?" "Apakah engkau bermaksud . . . bertamasya di taman
bunga Tho yang indah?"
"Apakah Ho toako tak ingin juga?"
"Kita satu tujuan, satu warna, ha, ha, ha, ha..."
"Ho toako hendak memberi bingkisan apa kepada
mereka ?" "ini... ya, sebatang pohon Cian lian-hosiu-oh."
"Ah, benar2 sebuah benda yang jarang sekali."
"Dan engkau ?" "Sepasang mustika Han-giok warisan leluhurku . . ."
"Ah, cukup nilainya."
Agak panas juga telinga Cu Jiang. Partai Hoa-goat-bun,
dia pernah mendengar. Partai itu menggunakan paras
cantik untuk menggaet kawanan orang persilatan yang
rendah moralnya, mengadakan tukar menukar ilmu
kepandaian dengan benda2 pusaka. Setiap kota, besar kecil,
dibuka cabang. Pengaruhnya cukup besar. Sepak terjang mereka tak
lebih tak kurang seperti sarang pelacur. Hanya bedanya
setiap anak murid perempuan dari partai itu, rata2 memiliki
ilmu silat yang tinggi. "Ho toako, engkau lebih banyak pengalaman. Menurut
pendapatmu, apakah kita akan berhasil?" tanya pemuda
yang pertama.

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asal imbalannya cukup tinggi, dimana-mana tentu
dapat saling tukar. Apakah engkau baru pertama kali ini?"
"Ah, sudah . . . pernah sekali."
"Bagaimana?" "Sukar dikata."
"Ha, ha, ha, ha...."
"Selama bunga Bo-tan masih berkembang, sudah jadi
setanpun orang tetap akan mengenang."
"Anak murid Hoa-goat-bun rata2 memiliki ilmu
kepandaian Kwan-ing-kang-hu (lunak dan keras). Terutama
dalam kepandaian di atas ranjang... sekali engkau pernah
merasakan mereka, engkau takkan kepingin lagi terhadap
lain wanita sekalipun dia itu secantik bidadari."
"Ho toako, hari ini kita akan sama2 mendayung dalam
satu perahu, bukan?"
"Ha, ha, ha . . . lote, jangan kuatir, hari ini aku hendak
coba2 menempel ketuanya, Hong Cek. Dengan sebatang
mustika Cian-lian-ho-siu-oh ini, tentu dapat menarik
perhatian ketuanya. Jika muridnya sudah begitu yahud,
ketuanya tentu lebih hebat lagi, heh, heh . . ."
"Aku sih asal dapat menggaet muridnya yang bernama
Soh-hunli itu saja, rasanya sudah puas!"
"Jika begitu kita sudah ada pembagian, tak mungkin
terjadi rebutan, ha, ha, ha .... "
"Apakah mereka benar menginap di kuil Lian hoa-yan
sana?" "Benar, kita harus lekas2 ke sana. Jangan sampai
didahului lain orang."
"Mari." Setelah membayar kedua anak muda itu terus keluar. Cu
Jiang segan mengurus mereka. Setelah minuman, diapun
terus melanjutkan perjalanan. Di jalan dia melihat kedua
busu (orang persilatan) tengah berjalan cepat. Tentulah
kedua pemuda yang berbicara dalam warung tadi.
Cu Jiang bahkan tak mau cepat2 berjalan. Dia masih
mempunyai waktu dua hari. Mungkin Tio Hong Hui masih
sedang dalam perjalanan. Tiba di persimpangan jalan, yang satu menjurus ke
sebelah kiri dan masuk ke hutan, dia melihat sebuah
pertandaan rahasia. Dia terkejut. Apakah sandi itu dibuat
oleh salah seorang dari ke empat jago ko-jiu Tayli itu"
Apakah di daerah ini terdapat jejak kawanan Sip-pat-thian-
mo" Ia terus balik ke tikungan jalan. Ia melihat jelas tanda
rahasia itu. Agar tidak membikin kaget lawan, dia segera
masuk ke dalam hutan, mematahkan ranting pohon lalu
dengan menutup diri pakai daun2, dia melanjutkan berjalan
ke muka. Kira-kira setengah li jauhnya, tampak sebuah rumah
yang berdinding batu merah. Rupanya sebuah kuil. Segera
dia gunakan tata-langkah Gong-gong-poh hwat untuk
menghampiri. Ketika dekat, Ia terkejut. Ternyata gedung itu adalah kuil
Lian hoa-yan seperti yang dikatakan kedua anak muda di
warung tadi. Cu Jiang menyembunyikan diri dan merenungkan apa
maksud dari pertandaan rahasia yang ditinggalkan keempat
jago Tayli itu " Tetapi sampai lama ia tak dapat
menemukan jawabannya. Tiba2 dari dalam kuil itu terdengar suara tawa dari orang
perempuan. Nadanya amat cabul. Cu Jiang menduga, yang
tertawa itu tentu anak-murid dari partai Hoa-guat-bun yang
bernama Soh-hun li. Kuil merupakan sebuah tempat
pemujaan yang suci. Mana bisa akan dijadikan tempat
maksiat semacam itu. Lalu apakah maksud tanda rahasia itu mengundang dia
supaya datang ke tempat itu " Karena tetap tak dapat
menemukan jawaban akhirnya Cu Jiang memutuskan
untuk bersembunyi menunggu perkembangan.
Ia segera menuju ke samping dan terus menyelundup
masuk kedalam kuil. Lian-hoa-yan partainya Kuil Teratai. Yang dipuja disitu
adalah Koan Im pousat. Keadaan bersih dan indah sekali.
Tak kalah mewah dengan gedung orang kaya.
Dari ruang sebelah barat yang berhias bunga2 indah.
terdengar suara tawa cabul tadi. Kedua busu tadi berdiri
diluar pintu ruangan. Wajahnya tampak dirangsang nafsu
yang berkobar-kobar. Saat itu Cu Jiang bersembunyi digerumbul bambu yang
berhadapan dengan ruang bunga tadi. Melalui sela2 daun,
dia dapat melihat apa yang terjadi di ruang itu. Begitu
melihat, darahnyapun bergolak, mata merah membara.
Yang duduk didalam, ruang itu tak lain adalah Tio Hong
Hui dan puterinya. Tingkah mereka yang genit dan cabul
jauh berbeda sekali dengan sikap mereka yang sedih ketika
berada di kota Gong-an tempo hari.
"Mengapa Tio Hong Hui hendak berjumpa dengan ketua
Hoa-goat-bun ?" demikian Cu Jiang menimang dan
merenung peristiwa aneh itu.
Ah, mungkin Tio Hong Hui itu memang seorang wanita
cabul seperti yang dikatakan oleh bekas suaminya Cukat
Giok atau Koh-tiong-jin, orang dan dalam lembah itu.
Dengan kata2 yang merangsang dan genit berserulah Tio
Hong Hui kearah pintu. "Karena kalian dengan bersungguh hati datang kemari
hendak mencari keharuman, maka ketua kamipun terpaksa
meluluskan. Begini sajalah, kalian berdua dengan sepasang
burung hong mencari burung hong."
Dada Cu Jiang hampir meledak. Ternyata di dunia
terdapat wanita yang serendah itu martabatnya. Tetapi pada
lain saat dia terpaksa harus sabar. Dalam hal itu tentulah
terdapat sesuatu rahasia. Sebun Ong tentu mengatur
rencana dalam peristiwa itu.
Busu orang she Ho dengan hormat membungkukkan
tubuh lalu berkata. "Bun-cu, aku yang rendah merasa sangat dahaga dan
mohon bun-cu sudi mencurahkan air hujan..."
Bun-cu artinya ketua perguruan.
"Ah, tak mungkin, barang upetinya tidak memenuhi
syarat." kata Tio Hong Hui dengan tertawa cabul.
"Akan kutambahi dengan pedang Keng-lui-kiam tinggalan leluhurku!"
"Akan kuberi kelonggaran kepada kalian berdua untuk
bermain-main dengan burung hong !"
"Ini.... ini ... ."
"Terserah mau atau tidak. Jika tak mau, silahkan
kembali dan bawalah barang upeti itu !"
Kedua busu itu saling bertukar pandang. Lalu sama2
mengangguk. Tio Hong Hui berpaling ke arah dara yang duduk
disampingnya: "Anak manis, layanilah kedua tuan itu dengan baik2,
Jangan sampai mengecewakan."
Gadis itu tertawa dan berbangkit. Setelah menyatakan
kesanggupannya, ia terus melontarkan lirikan mata kepada
kedua busu yang berdiri di depan pintu, seraya
mengundang: "Mari. kalian silahkan masuk !" Lirikan mata gadis itu
benar2 maut sekali. Seakan-akan mempunyai daya pesona
yang kuat. Tiba2 Cu Jiang teringat akan ocehan Thian-put-toa
ketika dipuncak wuwungan rumah berhala.
"Selembar jiwa cepat atau lambat pasti akan diantar ke
bawah kun (rok) si Ciok Liu ..."
Orang tua aneh itu memperingatkan bahwa pantangan
besar bagi seorang pendekar ialah paras cantik.
Dengan begitu jelas bahwa Thian put thou ternyata
sudah tahu bahwa Ratu-kembang Tio Hong Hui dan
puterinya itu wanita yang cabul. Sayang Thian put-thou tak
mau bilang dengan terus terang dan Cu Jiang pun tak mau
bertanya lebih lanjut. Sudah tentu pula Cukat Giok, kakek bernasib malang
yang terlempar didasar jurang itu, tak tahu bahwa isteri dan
puterinya sudah menjadi wanita penjual senyum.
Kedua busu itupun segera melangkah masuk. Cu Jiang
hampir tak dapat menguasai diri dan hendak keluar
membunuh mereka. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa keras
dan dari balik gunungan batu yang tak jauh dari kuil itu,
meluncur keluar sesosok bayangan, seorang tua berjubah
kuning, berwajah merah segar seperti bayi, tubuh gagah
perkasa, memasuki ruangan.
Menilik perawakannya, teringatlah Cu Jiang akan
kawanan Sip-pat-thian-mo. Terpaksa dia menahan kesabarannya. Dengan hormat kearah ruangan, orang tua jubah kuning
itu berseru. "Buncu, sudah lama kita tak berjumpa."
Pada saat itu Tio Hong Hui agak keheranan tetapi cepat
ia tenangkan diri dan tertawa.
"Oh, siapakah anda ?"
"Cobalah terka !"
"Seumur hidup belum pernah kenal, sukar untuk
menerka." "Di seluruh kolong jagad ini, yang mampu melayani
bertanding ilmu kepandaian dengan bun-cu, siapa lagi
orangnya kecuali aku."
"O, biarlah kuingat-ingatnya dulu . . ."
"Apakah ketua yang dulu tak pernah menceritakan
tentang peristiwa pertempuran seratus babak yang
berlangsung sehari semalam itu?"
Ratu-kembang Tio Hong Hui serentak berbangkit dan
berseru tegang: "Apakah anda itu dalam persekutuan Sip-pat-thian-mo,
bukan Hong-gwat-mo yang menempati urutan keempat?"
Orang tua jubah kuning itu tertawa gelak2.
"Benar, benar, itulah aku. Bagaimana kekuatan buncu
sekarang?" "Dalam seratus babak, masih dapat melayani!"
"Bagus, aku sih orangnya tua tetapi tombak ku tak
pernah tua. Akan menjadi menteri utama untuk mengawal
pintu gedung bun-cu!"
Cu Jiang ingin mendekap telinganya agar tak mendengar
kata2 cabul yang bagi mereka diucapkan dengan enak saja.
Saat itu gadis Beng Cu dan kedua bu-su muda tadi sudah
masuk ke dalam kamar samping. Mungkin mereka sudah
mulai melangsungkan adegan yang disebut "Sepasang
burung hong bermain dengan burung hong". Dua lelaki
melakukan adegan ranjang melawan seorang perempuan.
"Apakah aku boleh masuk?" seru orang tua jubah kuning
itu. "Tunggu dulu!" "Apakah bun cu masih hendak mengatakan pesan lagi?"
"Anda tahu peraturan perguruan kami?"
"Untuk aku si tua ini juga harus terkena peraturan?"
"Siapapun tiada yang dikecualikan!"
"Baiklah, sebuah ilmu silat, bagaimana?"
"Ilmu silat yang bagaimana?"
"Kui ai-lay-hwat?"
"Oh, ilmu pernapasan kura-kura, itu harus di berikan
lebih dulu. . ." "Aku sudah tak dapat menunggu lagi ..."
"Tidak bisa, itu sudah menjadi peraturan perguruan
kami!" "Baiklah." "Silahkan masuk!"
Melihat itu Cu Jiang tak dapat menahan hatinya lagi.
Sambil berseru supaya mereka jangan bergerak dia terus
melesat ke luar. Melihat Cu Jiang wajah Ratu-kembang Tio Hong Hui
berobah seketika. Kemunculan Cu Jiang benar2 tak pernah
diduganya. Tanpa berpaling iblis Hong-gwat-mo berseru seram.
"Hai, manusia mana yang tak punya malu berani cari
mampus?" Berulang kali Tio Hong Hui mengedipkan mata memberi
isyarat kepada iblis itu. Hong-gwat-mo pelahan-lahan
membalik tubuh dan . . . "Hm engkau tentu Toan-kiam-jan jin yang memusuhi
golonganku?" serunya gemetar.
"Benar!" "Baik, aku memang hendak mencarimu!"
"Sama-sama." "Hari ini engkau harus mati!"
"Kata2 itu seharusnya aku yang mengatakan kepadamu!"
Mata Cu Jiang berkilat-kilat menyapu ke dalam ruang.
Ratu kembang Tio Hong Hui menggigil.
Iblis Hong-gwat mo melangkah maju dua tindak. Tiada
angin, jubahnya menggelembung sendiri.
Cu Jiang beralih memandang iblis itu. Diam2 ia
menimang. Walaupun raja Tayli tidak menyukai suatu
pembunuhan dan waktu berangkatpun suhunya, Gong
gong-cu, memberi pesan agar menghindari pembunuhan
dan cukup menghancurkan tenaga kepandaian musuh saja,
tetapi Cu Jiang berpendapat bahwa terhadap iblis cabul
macam Hong-gwat-mo, jika dibiarkan hidup tentu akan
merusak gadis2 dan kaum wanita di dunia. Harus dibasmi.
Setelah mengambil keputusan, mata Cu Jiang pun
memancar sinar pembunuhan. Kata2 Thian-put thou
kembali terngiang di telinganya . . . "jangan kasih
kesempatan pada lawan " . . . .
Dan Cu Jiangpun teringat akan peristiwa yang
dialaminya sendiri. Karena bertempur terlalu lama, hampir


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dia mati di tangan kawanan Bu Mo dan kawan-
kawannya. Hong-gwat-mo memang tak kecewa sebagai seorang
pentolan iblis. Melihat sinar mata Cu Jiang ia dapat menilai
isi hati pemuda itu. Maka cepat dia mendahului
menghantam lawan dengan kedua tangannya.
Tetapi dengan memiliki kepandaian yang tinggi, Cu
Jiangpun memiliki gerak yang cepat sekali. Begitu lawan
menghantam diapun terus menyabet dengan pedang
kutungnya. Gerakan itu hampir berbareng waktunya.
Terdengar erang tertahan dan Hong-gwat-mo terhuyung
mundur tiga langkah. Lengan kanannya berdarah. Tetapi
Cu Jiang pun termakan pukulan lawan sehingga tubuhnya
berguncang keras. Begitu tercerai Hong gwat-mo terus melesat pergi. Sudah
tentu Cu Jiang sangat terkejut sekali. Bagaimana seorang
iblis berasal dari Sip pat thian-mo, dalam satu gebrak saja
sudah ngacir. "Hai, mau lari kemana engkau !" Cu Jiang terus
mengejar. Tetapi dalam sekejab mata iblis itu sudah lenyap
dalam kegelapan malam. Sekeliling penjuru hutan lebat,
sukar untuk mengejarnya. Cu Jiang termangu, Ia mengakui bahwa nasehat orang
tua Thian-put-thou itu memang tepat. Jika tadi dia terus
melancarkan serangan dahsyat, Hong-gwat-mo tentu tak
sempat melarikan diri lagi.
Ia terus alihkan perhatiannya pada Tio Hong Hui dan
anak gadisnya. Cepat dia kembali masuk kedalam ruang.
Tetapi alangkah kecewanya ketika melihat ruang itu sudah
kosong melompong. Ketika menuju ke ruang kecil, ia mendengar suara orang
merintih aneh. Setelah menentukan rintihan dari dalam
sebuah kamar, dia terus menghantam pintunya dan
menerobos masuk. Apa yang di saksikan membuatnya
muak dan panas. Diatas ranjang kayu yang besar, kedua busu tadi rebah
dengan telanjang. Mereka terus menerus merintih-rintih
karena dibungkus dengan kasur dan dibuntal dengan kain
kelambu. Sedang gadis tadi bersama ibunya sudah lolos.
Kedua bu-su itu lemas tak bertenaga. Mereka tentu
terkena ilmu pesona. "Menjadi kaum persilatan tetapi melanggar peraturan
persilatan, pantas dibunuh!" Cu Jiang mendamprat seraya
mengangkat tinjunya. Kedua bu-su itu membuka mulut tetapi tak dapat
bersuara apa2. Keduanya hanya membelalakkan mata
menunggu kematian. Adegan itu menimbulkan ingatan Cu Jiang akan
kematian yang mengenaskan dari mamah dan anak
perempuan paman Liok Keduanya itu telah menjadi korban
pembunuhan dan perkosaan yang keji dari kawanan
manusia iblis. Seketika hilanglah rasa kasihan Cu Jiang. Sekali tangan
berayun, ke dua bu su itupun menjadi setan2 cabul di
neraka. Cu Jiang tak mau menyaksikan lebih lanjut. Dia menuju
kembali ke dalam ruang, ia marah sekali. Dia telah kena
dikelabuhi oleh Sebun Ong dan Tio Hong Hui. Ia menyesal
karena meragukan kepercayaan Cukat Giok.
Kini kemarahannya ditumpahkan pada para rahib dalam
kuil itu. Kuil Lian-hoa-yan merupakan tempat suci,
mengapa sampai dijadikan tempat maksiat. Jelas para rahib
di situ tentu tersangkut. Mereka tentu bukan rahib baik2.
Tetapi ketika dia menuju ke ruang tempat tinggal para
rahib dan lain2 ruang, dia tak melihat barang seorang
rahibpun juga. Rupanya mereka sudah sama melarikan diri
semua. Karena tak mendapat hasil, dia kembali lagi ke ruang
depan. Tiba2 sesosok bayangan muncul. Cu Jiang terkejut
dan mengawasi tajam. Ah, kiranya pendatang itu seorang
sahabat baik dari suhunya, yaitu Lam-ki-soh.
"Locianpwe, selamat berjumpa," dia memberi hormat.
Tiba2 ia teringat bahwa saat itu ia memakai kain kerudung
penutup muka. Tetapi mengapa Lam-ki-soh dapat
mengenalinya" "Ho, budak kecil, engkau masih ingat kepadaku?"
tenang2 saja Lam-ki soh menjawab.
"Sudah tentu tak lupa."
"Karena mendapat berita dari suhumu, maka akupun
akan menjaga dirimu . . ."
"Oh, terima kasih, lo cianpwe. "
"Tak perlu." "Tetapi bagaimana locianpwe dapat datang ke mari" "
Cu Jiang bertanya pula. "Aku si orang tua justeru hendak bertanya kepadamu.
Mengapa engkau hendak mengejar Hoa-gwat bun bun-cu, si
gagak tua yang tidak tahu malu itu?"
"Aku menerima permintaan tolong dari seorang sahabat
untuk menyelesaikan sebuah persoalan."
"Menerima permintaan orang ?"
"Dari Tionggoan-thayhiap Cukat Giok."
"Hm, bukan orang tak bernama. Mengapa dia dapat
meminta bantuanmu untuk mengejar ketua Hoa-goat bun ?"
"Karena wanita itu adalah isterinya !"
"Apa?" "Ketua Hoa goat-bun itu adalah isteri Cukat Giok."
"Ngaco!" bentak Lam-ki-soh dengan mata membelalak.
Walaupun menaruh rasa hormat, tetapi Cu Jiang tak
suka diperlakukan semacam itu, Ia menyabut dengan nada
dingin: "Aku tidak ngaco!"
"Budak, siapa yang bilang kalau isteri dari Cukat Giok
itu ketua Hoa-goat-bun ?" bentak Lam-ki-soh.
"Cukat Giok sendiri."
"Apa itu bukan ngaco belo namanya?"
"Aku bukan manusia yang gemar ngaco !"
"Apa Cukat Giok sudah gila?"
Cu Jiang tertegun lalu menjawab tegas:
"Dia tidak gila !"
"Mengapa dia minta tolong kepadamu supaya mencari
jejak isterinya?" "Dia telah dikhianati orang dan kini menjadi manusia
cacad, ilmu kepandaiannya sudah punah. Dia mengatakan
bahwa istrinya itu tidak setia dan menyeleweng."
Lam-ki-soh regangkan kepala, merenung sejenak lalu
berkata: "Apakah dia mengatakan kalau isterinya itu ketua dari
Hoa gwat bun?" "Tidak ! Dia mengatakan isterinya adalah Hoa Hou
(Ratu kembang) To Hong Hui."
"Ya benar. Dan mengapa engkau tidak mencari Hoa hou
Tio Hong Hui tetapi memburu ketua Hoa-goat-bun?"
Rupanya Cu Jiang cepat menyadari. .
"Apakah ketua Hoa-goat-bun itu bukan Tio Hong Hui?"
serunya dengan nada gemetar.
"Engkau kurang pengalaman. Ketua Hoa-goat bun itu
Can Su Nio. Setiap hidung belang tahu. Mengapa hendak
engkau jadikan sebagai Tio Hong Hui" Apakah engkau
hendak mempersamakan kuda dengan keledai ?"
"Aku kena ditipu !" Cu Jiang menggeram.
"Siapa yang menipu ?"
"Bu lim-seng hud Sebun Ong !"
Lam-Ki soh kerutkan dahi.
"Nama Sebun Ong itu harum sekali, bagaimana
menipumu?" Dengan mengertak gigi, Cu Jiang lalu memberitahu
semua peristiwa yang telah diceritakan Cukat Giok
kepadanya, tetapi dia tak mau mengatakan tentang dirinya
disiksa Bu Mo dan dilempar kedalam jurang.
"O, kiranya begitu. Kalau demikian, aku telah salah
duga. Ternyata Sebun Ong seorang ksatrya palsu yang
mengelabuhi mata seluruh kaum persilatan!" kata Lam-ki-
soh. "Takkan kubiarkan dia dapat bebas berkeliaran lagi."
seru Cu Jiang. "Tetapi tak mudah engkau hendak mencarinya. Dan
hati-hatilah terhadap rencana2 jahat yang akan dilakukannya terhadap dirimu. "
"Lalu bagaimana langkahmu sekarang ?"
"Membikin perhitungan dengan ketua Gedung Hitam."
Pada saat itu terdengar suara dengusan dingin yang
menusuk telinga. "Siapa!" teriak Cu Jiang.
Tetapi tiada penyahutan. Pada saat Cu Jiang hendak
mengejar, Lam-ki-sohpun mencegahnya:
"Jangan! Mereka dapat bersembunyi tanpa kita ketahui.
Jelas mereka tentu bukan kawanan yang lemah. Percuma
mengejarnya. Yang penting, bagaimana rencanamu hendak
mencari ketua Gedung Hitam itu?"
"Aku sudah punya rencana !"
Lam ki-soh tak mau mendesak. Dia beralih pembicaraan.
Dia mengatakan bahwa kuil Lian-hoa-yan itu merupakan
cabang perkumpulan Hoa-goat-bun, lebih baik dibakar.
Cu Jiang mengiakan! Dia masuk, merobek kain kelambu
dan menyalakannya. Keduanya keluar dan menyaksikan
kuil itu di makan api. Tiba2 beberapa sosok bayangan
melesat keluar dari dalam kuil itu. Seorang rahib tua dan
lima rahib muda. "Karena sarangnya terbakar, kawanan rase bermunculan
keluar." Lam ki-soh bertepuk tangan.
"Apakah rahib2 itu anak murid Hoa-goat-bun ?"
"Ya, kau..." Cu Jiang cepat loncat ke muka. Dengan beberapa
ayunan tangan, keenam rahib cabul itu menjerit ngeri dan
terlempar lagi ke dalam api.
"Budak, agaknya ganas sekali engkau ini." seru Lam.ki-
soh. "Membasmi kejahatan harus sampai bersih. Membiarkan
orang2 seperti itu hidup di dunia, takkan membawa berkah
pada manusia." "Hayo, kita pergi." seru Lam ki soh.
Tiba2 pula Lam ki soh berkata bahwa sebaiknya mereka
pergi secara berpencar. Sudah tentu Cu Jiang setuju. Dalam
melakukan pembalasan terhadap Gedung Hitam itu, dia
memang ingin melakukan dengan tenaganya sendiri, tak
perlu dibantu orang. Demikian keduanya lalu menyetujui rencana itu dan Cu
Jiang terus berangkat dulu. Dalam perjalanan dia masih
marah terhadap Sebun Ong yang telah mengelabuhi
dirinya, menyodorkan ketua Hoa-goat-bun sebagai Tio
Hong Hui. Diam2 ia bersyukur karena tak lekas menyerahkan kedua
bungkusan dari Cukat Giok itu kepada ketua Hoa-goat-bun.
Andaikata dia terlanjur memberikan, bukankah dia akan
menelantarkan pesan Cukat Giok" Ketua Hoa-goat-bun
mati selagi Tio Hong Hui masih hidup.
Cu Jiang merasa tak perlu masuk ke kota Li Jwan lagi.
Dia memutar dari samping tembok kota lalu menyusur
jalan di sepanjang tepi sungai.
Tengah dia berjalan tiba2 dari belakang terdengar orang
berseru: "Hai, bung. berhenti dulu!"
Cu Jiang berhenti tetapi tak mau berpaling melainkan
balas menegur: "Sahabat dari mana ini?"
"Bukankah anda ini Toan-kiam jan jin?" seru orang itu
pula. "Benar." "Aku Ban Ki Hong."
"Ada keperluan?"
"Hendak minta beberapa jurus ilmu pedang dari anda."
Cu Jiang berputar tubuh, Ban Ki Hong adalah orang
yang membawa kemauannya sendiri, berkeras hendak
menempurnya sehingga isterinya sampai nekad melempar
diri ke dalam jurang. Hanya beberapa hari setelah kematian isterinya, Ban Ki
Hong sudah turun gunung dan mengejarnya. Orang itu
benar2 gila. "Mari kita ke atas pesisir sana." seru Ban Ki Hong seraya
menunjuk ke sebuah pesisir.
"Apa engkau yakin kalau aku tentu mau meladeni
permintaanmu?" seru Cu Jiang.
"Bukankah anda takkan pelit untuk memberi pelajaran
kepadaku?" agak kurang senang Ban Ki Hong balas
bertanya. "Mungkin." Wajah Ban Ki Hong berobah seketika.
"Terus terang aku menantang anda!" serunya dengan
nada tergetar. "Engkau belum pantas menjadi lawanku." sahut Cu
Jiang. Ban Ki Hong melotot mata, teriaknya: "Anda tak
memandang mata kepadaku!"
"Memang." "Toan kiam-jan-jin, engkau terlalu menghina orang . . ."
"Lalu?" "Kita bertempur sampai mati!"
"Telah kukatakan, engkau belum pantas!"
Ban Ki Hong mencabut pedang dan menggetarkannya.
Segulung sinar berhamburan menyilaukan mata.
"Baik, mari kita ke sana," tiba2 Cu Jiang merobah
keputusan. Dua puluhan tombak jauhnya terdapat sebuah padang
rumput! rumput yang tebal sehingga teraling dari
pandangan orang. Sedang di depannya terdapat pasir yang


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjurus ke tepi sungai. "Ban Ki Hong, engkau benar2 manusia yang tak punya
perikemanusian !" seru Cu Jiang.
Didamprat begitu, Ban Ki Hong gemetar marah,
serunya: "Kita belum kenal mengenal. Menantang adu ilmu
pedang sudah lazim dikalangan persilatan. Mengapa
engkau menghambur makian kepadaku ?"
"Hm. sekali lagi kutegaskan. Engkau memang belum
pantas menjadi lawanku."
"Apa artinya ?"
"Dengan memburu nama kosong, engkau mengesampingkan kecintaan isteri sehingga istrimu sampai
bunuh diri. Apakah engkau ini seorang insan manusia ?"
Pucat seketika wajah Ban Ki Hong. Dia menyurut
mundur sampai empat lima langkah. Dipandangnya Cu
Jiang sampai lama sekali, baru dia berseru:
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Tak perlu bertanya. Engkau mengakui atau tidak!"
"Aku... aku .... tak membunuhnya," suaranya penuh
mengandung kesedihan. "Memang bukan engkau yang membunuh. Tetapi karena
ulah tindakanmu yang menyebabkan doa putus asa dan
nekad. Apakah itu tidak sama artinya engkau yang
membunuh ?" Butir2 keringat sebesar kedelai bercucuran turun dan dari
dahi Ban Ki Hong. Wajahnya mengerut tegang.
"Apakah anda.... melihat peristiwa sedih itu?" serunya
dengan gemetar. "Ya " "Aku tak mengira kalau dia berlaku senekad itu."
"Tetapi kematiannya tetap tak dapat menolong. Engkau
tetap akan turun gunung."
Mendengar itu menjeritlah Ban Ki Hong seperti orang
kalap: "Aku harus mengadu ilmu-pedang dengan engkau, ini
merupakan jalan hidupku. Ayahku juga keras kepala . ..
tetapi .... akhirnya mati dibawah pedang."
Air matanya berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Bukankah engkau sudah berjanji kepada istrimu takkan
mengeluarkan pedang itu lagi ?"
"Ya." "Kalau sudah merasa tak dapat memegang janji,
mengapa engkau menikah dengan dia ?"
"Ini.... ini... karena aku mencintainya!"
"Bohong, engkau tak punya malu ! Tak layak engkau
menjadi seorang bu-su !"
Wajah Ban Ki Hong makin berkerenyutan dan berteriak
sekerasnya: "Tetap harus mengadu pedang!"
"Mudah sekali untuk membunuhmu !"
"Biar, biar ! Mati atau hidup bagiku sekarang sudah tidak
penting lagi." "Pandangan isterimu memang tepat. Engkau memang
tak dapat dinasihati lagi."
"Cabut pedangmu."
"Engkau mengatakan bahwa waktu berumur tujuh belas
tahun engkau pernah menerima ajaran Ilmu pedang dari
seorang sakti yang tak dikenal. Apakah hingga sekarang
engkau dapat mengerti pelajaran itu?"
"Benar!" "Engkau hendak mengangkat nama dengan sejurus ilmu
pedang itu?" "Bukan, aku hanya melanjutkan cita2 mendiang
ayahku." "Apakah ayahmu juga segila engkau ?"
"Jangan menghina orang yang sudah mati !"
"Ah !" "Baik, akan kululuskan keinginanmu !" Cu Jiang terus
mencabut pedang kutung, diacungkan condong ke arah
kanan. Ban Ki Hongpun mengangkat pedang ke muka dada.
Sikapnya tenang kembali. Suatu sikap yang diperlukan
sebelum melakukan gerakan. Walaupun memiliki ilmu
pedang yang sakti, tanpa ketenangan, juga akan berkurang
kesaktiannya. Melihat sikap perobahan orang, Cu Jiang makin curiga
dan berseru: "Tunggu dulu!" "Anda mau bicara apa lagi ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa nama jurus ilmu pedangmu itu?"
"Entah !" "Lalu apa orang yang memberi pelajaran kepadamu itu
Wasiat Sang Ratu 2 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Rahasia Dara Ayu 1
^