Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 8

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 8


tak meninggalkan namanya ?"
"Tidak." Merenung sejenak Cu Jiang lalu mempersilahkan Ban Ki
Hong menyerang. Ban Ki Hong tenangkan perhatian. Sepasang mata tak
berkelip memandang Cu Jiang. Melihat sikap dan gayanya,
memang rapat dan tak memberi kesempatan lawan untuk
mencari bagian yang lemah.
Keduanya seperti dua buah patung batu. Saling pandang
memandang tanpa berkedip.
"Haaiit !" dua buah pekikan terdengar. Hampir serempak
sehingga sukar dibedakan mana yang lebih dulu
menghambur teriak dan serangan.
Yang tampak hanya lingkar sinar yang mencurah bagai
bunga, mirip pula dengan ratusan ular perak menari-nari.
Hanya sekejap dan terdengarlah suara mengerang...
00^od^^wo^00 Jilid 14 Suara erangan tertahan dan jeritan kaget hampir
serempak terdengar dan tahu2 pedang Ban Ki Hong
menjulai ke tanah. Tubuhnya berhias empat lobang yang
mengucurkan darah. Wajahnya lebih pucat dari orang mati.
Sinar matanya redup. Cu Jiang tegak memandangnya.
Beberapa saat kemudian tiba2 Ban Ki Hong menjerit:
"Ceng-moay, aku bersalah kepadamu!" habis berkata dia
terus hendak menikam tenggorokannya sendiri.
"Tring " Cu Jiang acungkan jarinya dan pedang Ban Ki Hong pun
jatuh ke tanah. "Toan-kiam jan-jin, seharusnya engkau dapat membunuh
aku dengan jurusmu tadi. Mengapa tak engkau lakukan?"
serunya. Cu Jiang tidak menyahut tetapi hatinya gelisah. ilmu
pedang yang dimainkan Ban Ki Hong itu ternyata adalah
ilmu simpanan dari ayahnya ialah ilmu pedang It- kiam-tui-
hun. Ia heran mengapa ayahnya mengajarkan ilmu pedang itu
kepada Ban Ki Hong. "Toan kiam Jan jin, apakah engkau hendak menyiksa
diriku ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa perlu harus begitu?"
"Mengapa engkau tak membiarkan aku mati?"
"Apakah jiwa begitu rendah harganya?"
"Aku sudah tak berharga hidup lagi."
"Ban Ki Hong, sedangkan sip-pat-thian-mo pun mati
dibawah pedangku, apalagi engkau!"
"Tak mampu melaksanakan cita2 ayah, menerima
dendam penasaran isteri. Tidak berbakti dan tidak berbudi,
perlu apa aku hidup di dunia..."
"Jurus ilmu pedangmu tadi, cukup menggetarkan kaum
persilatan. Mengapa tidak engkau gunakan untuk melakukan perbuatan2 yang berbudi agar arwah isterimu
dapat mengasoh tenang di alam baka" Engkau malu hidup
di dunia, tidakkah engkau akan lebih malu apabila bertemu
dengan isterimu di alam baka?"
Seketika wajah Ban Ki Hong berobah, Dari tegang
menjadi duka dan akhirnya dengan penuh rasa sesal dia
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Nasihat anda yang berharga, menyadarkan pikiranku
yang gelap. Mohon sejak sekarang jangan..."
"Tunggu !" "Apa anda masih ingin memberi pesan lagi ?"
"Dalam waktu setahun ini, jangan engkau gunakan jurus
ilmu pedangmu itu. Kalau tak menurut engkau tentu akan
mengalami bencana besar !"
"Mengapa ?" Ban Ki Hong terkejut.
Cu Jiang tak mau secara terus terang memberitahu
bahwa jurus ilmu pedang It Kiam tui-hun itu adalah ilmu
simpanan mendiang ayahnya. Apabila Ban Ki Hong
menggunakan tentu musuh akan tahu dan menduga dia
keluarga Lamkiong, dan pasti akan membunuhnya.
"Maaf, aku belum dapat menjelaskan sekarang tetapi
peringatanku itu memang keluar dari ketulusan hatiku."
sahutnya. "O, aku memang memutuskan hendak hidup di
pegunungan sepi untuk menemani arwah isteriku tercinta.
Sejak saat ini aku takkan mengurus soal persilatan lagi."
"Bagus." Cu Jiang gembira, "waktu isteri masih hidup tak
dapat pegang janji, setelah isteri meninggalpun masih
mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahan."
"Terima kasih."
"Masih ada sebuah hal lagi. Apabila engkau tak
keberatan, maukah menceritakan, tentang peristiwa dari
orang asing yang memberikan ilmu pedang kepadamu itu?"
Sejenak merenung Ban Ki Hongpun berkata.
"Baiklah. Peristiwa itu terjadi secara tak terduga, Jago
pedang itu bersama isterinya sedang menempuh perjalanan
lalu dikejar musuh. Saat itu isteri si jago pedang sedang
mengandung tak mampu lari. Sedang karena melindungi
istrinya, jago pedang itupun menderita luka berat. Mereka
lalu kerumahku minta perlindungan. Kusembunyikan
mereka dan ketika kawanan musuh datang, kukelabuhi
mereka dengan keterangan yang bohong. Setelah peristiwa
itu selesai, jago pedangpun lantas memberikan Jurus ilmu
pedang itu kepadaku."
"Ah . .. ." Cu Jiang hampir mengucurkan air mata tetapi
untung dia dapat menahan. isteri jago pedang itu tak lain
adalah mamanya. Dan bayi yang dikandungnya itu adalah
dirinya sendiri. Dengan begitu jelas bahwa Ban Ki Hong itu pernah
menolong jiwa kedua ayah bundanya.
"Apakah anda kenal dengan jago pedang itu?" tanya Ban
Ki Hong. Cu Jiang bersangsi sejenak lalu mengatakan, kelak
setelah ada bukti baru dia akan memberi keterangan lagi
"Apakah anda masih hendak memberi pesan lagi ?"
Cu Jiang teringat bahwa Ban Ki Hong telah melepas
budi yang sedemikian besar kepada ayah-bundanya dan
untuk itu ayahnya telah mengajarkan sejurus ilmu Pedang
istimewa, Walaupun tanpa ikatan apa2, tetapi hal itu tak
ubah sebagai ikatan perguruan. .
"Bagaimana kalau kita bersahabat?" tiba2 Cu Jiang
berseru. "Anda menjadi sahabatku?" Ban Ki Hong menegas.
"Benar." "Sudah tentu aku aku menurut sekali"
"Anda lebih tua. aku . . . sebagai siaute dan anda sebagai
heng-tay!" "Ini ... ini ..."
"Toako," cepat Cu Jiang menukas, "ikatan persahabatan
kita ini merupakan jodoh yang dipertemukan pedang.
Bagaimana asal usul diriku, untuk sementara tak dapat
memberitahu dulu. Dalam hal ini kuharap toako suka
memaafkan." Peristiwa saat itu telah menghapus semua derita
perasaan Ban Ki Hong. Derita malu karena kalah, derita
kehilangan isteri tercinta.
"Baiklah, lote, aku menurut saja rencanamu."
"Apakah toako hendak kembali ke gunung Bu-leng-san?"
Teringat akan kematian isteri tercinta, Ban Ki Hong
bercucuran air matanya. "Sudah tentu aku akan ke gunung lagi untuk menemani
makam isteriku." "Baiklah, toako, kelak kita berjumpa lagi di gunung itu."
kata Cu Jiang. "Hiante hendak ke mana?"
"Masih banyak urusan yang hendak kulakukan. Kelak
tentu akan kuceritakan semua kepadamu, toako."
"Jadi sekarang kita akan berpisah?"
"Musuhku terlalu banyak, kurang baik kalau kita selalu
bersama." Ban Ki Hong menurut. Tiba2 Ban Ki Hong
melemparkan pedangnya ke dalam sungai.
"Hai, mengapa toako lakukan hal itu?" Cu Jiang heran.
"Walaupun aku juga mempunyai dendam, tetapi aku
harus putuskan janjiku terhadap isteri. Aku takkan
menggunakan pedang lagi."
"Bagus, toako, dengan demikian arwah ensoh pasti akan
tenang di alam baka, " seru Cu Jiang.
Memandang pada kain cadar yang menutup wajah Cu
Jiang, Ban Ki Hong hendak berkata tetapi tak jadi.
Rupanya Cu Jiang tahu maksud Ban Ki Hong, katanya:
"Toako, maaf, untuk sementara waktu ini aku tak dapat
menunjukkan mukaku."
Ban Ki Hong tertawa dan memuji Cu Jiang cerdas dan
tajam pandangannya. Dia segera minta diri. Setelah saling
memberi hormat. Ban Ki Hong lalu melesat pergi.
Cu Jiang masih tegak termenung memandang riak
gelombang sungai. Ia merenungkan pula peristiwa kedua
suami isteri itu. Apabila dia terus muncul dan menerima
tantangan Ban Ki Hong. tentulah istrinya tak sampai bunuh
diri. Tetapi iapun heran mengapa untuk hal itu, isteri Ban Ki
Hong sampai melakukan perbuatan yang senekad itu "
Dan diapun tak menyangka akhirnya mengikat tali
persahabatan dengan Bin Ki Hong.
Tengah melamun tiba2 ia merasa ada suatu getaran yang
menyiak hawa udara. Jika tidak memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi tentu takkan mampu merasakan getaran itu.
Cu Jiang menyadari bahwa dari arah belakang tentu
terdapat orang yang mendatangi. Dan pendatang itu tentu
memiliki kepandaian yang tinggi. Tanpa berpaling, dia terus
menegur: "Sahabat dari mana itu?" Sebuah suara yang tak asing
nadanya segera menyahut: "Aku Ho Bun Cai!"
Cu Jiang berbalik tubuh. Dua tombak jauhnya tegak
seorang lelaki. Dia tak lain adalah Ho Bun Cai yang
menjabat sebagai cong-koan atau pengurus rumah tangga
Gedung Hitam. Melihat Ho Bun Cai muncul, Cu Jiang menduga bahwa
ketua Gedung Hitam tentu juga berada disekitar tempat itu.
Dendam membara pula di dada Cu Jiang. Ia
memutuskan, bahwa dia harus mengorek keterangan dan
mulut Ho Bun Cai ini. "Ho Bun Cai, congkoan dari Gedung Hitam, "seru orang
itu setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, "Toan-kiam
jan-jin, mari kita bicara baik-baik."
"Bagus, akupun memang bermaksud begitu," sahut Cu
Jiang. "Kenalkah engkau dengan lelaki yang bertanding sejurus
ilmu pedang dengan engkau tadi ?"
Cu Jiang terkejut. Rupanya orang itu sudah lama
bersembunyi dan menyaksikan peristiwa tadi. Diam2 dia
bersyukur karena tak memberikan keterangan lebih luas
kepada Ban Ki Hong. Tetapi pertanyaan menimbulkan hawa pembunuhan
dalam hati Cu Jiang. "Anda sudah bersembunyi diatas tembok samping itu
dan mendengarkan semua pembicaraan kami ?"
"Aku tak menyangkal."
"Lalu mengapa anda bertanya soal itu ?"
"Sudah tentu ada maksudnya."
"Katakanlah." "Tetapi lebih dulu jawablah beberapa pertanyaanku itu."
"Apakah anda tahu juga akan jurus ilmu pedang orang
itu?" "Tentu saja." "Apa namanya ?"
"ilmu pedang satu Jurus It-kiam-tui hun-kiam dari Dewa
pedang Cu-Beng Ko." Cu Jiang tak terkejut karena ilmu pedang mendiang
ayahnya itu memang sudah sangat terkenal di dunia
persilatan. "ilmu pedang itu memang sudah dikenal dalam dunia
persilatan. Andapun tentu begitu."
"Sekalipun begitu tetapi lain keadaannya !"
"Apa maksudmu ?"
"Engkau tentu tak menyangkal bahwa engkau merasa
heran waktu orang itu mengeluarkan jurus ilmu pedang itu
bukan ?" "Benar, lalu ?"
"Dengan bukti itu aku melihat suatu ujung dari lingkaran
. .." "Katakan!" "Pertama, engkau tentu pemuda yang melarikan diri dari
penjara Gedung Hitam dahulu yakni Gok-jin ji..."
Cu Jiang mendengus. "Taruh kata benar, lalu bagaimana ?"
Nada Ho Bun Caipun makin tegang:
"Engkau tentu mempunyai hubungan erat dengan pelajar
baju putih itu. Sekali-kali bukan seperti yang pernah engkau
katakan bahwa engkau melakukan permintaan dari pelajar
baju putih itu." Hawa pembunuhan makin menebal di dahi Cu Jiang,
"Berbahaya sekali penilaianmu itu?"
"Mengapa ?" "Mungkin aku terpaksa harus turun tangan kepadaku."
Wajah Ho Bun Cai agak berobah, serunya. "Untuk
menghapus mulut, bukan?"
"Mungkin saja begitu."
"Tetapi Jika aku mempunyai penilaian baru lagi ?"
"Penilaian apa ?"
Ho Bun Cai mementang mata lebar2 dan berseru :


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau ini adalah pelajar baju putih !"
Cu Jiang menyurut mundur selangkah.
"Siapakah pelajar baju putih itu?" serunya dengan nada
tergetar. Wajah Ho Bun Cai berkerenyutan lalu berseru pelahan:
"Putera mendiang Dewa pedang yang bernama Cu
Jiang!" Tegang sekali wajah Cu Jiang. katanya tandas:
"Anda tahu terlalu banyak !"
"Engkau mengakui ?"
Cu Jiang merabah tangkai pedang dan berseru:
"Dan anda harus mati !"
Tubuh Ho Bun Cai gemetar dan dahinyapun beralun
kernyit. Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bersikap
demikian. Memandang beberapa kali kearah pesisir sungai, Ho Bun
Cai berkata pula. "Bukankah engkau datang dari Tayli ?"
Kejut Cu Jiang sukar dilukiskan lagi. Mengapa Ho Ban
Cai tahu semua tentang dirinya " Berbahaya, itu harus
dirahasiakan sekali. "Kenalkan engkau dengan Poan toanio si wanita gemuk
itu?" kembali Ho Bun Cai bertanya pula. Cu Jiang benar2
kewalahan kejutnya. Ia teringat ketika dibawa Ho Bun Cai ke Gedung Hitam,
ditengah jalan bertemu kembali dengan wanita gemuk yang
menjual kacang. Saat itu Ho Bun Cai tak menunjukkan
reaksi apa2 kecuali mengajukan pertanyaan sederhana dan
lalu memberi uang, suruh wanita gemuk itu jangan
menampilkan diri di muka umum.
Juga ia terkejut ketika bertemu wanita gemuk itu dalam
keraton raja Tayli. Mengapa sekarang Ho Bun Cai tiba2 mengajukan
pertanyaan tentang diri wanita gemuk itu "
"Ya, kenal" sahut Cu Jiang.
"Engkau tahu asal usulnya ?"
"Soal itu .... aku tak tahu."
"Dia bernama Cu Han Ih."
"Hai, dia orang she Cu" seru Cu Jiang.
"Bukan hanya she Cu, pun juga..."
"Juga bagaimana ?"
"Engkau mengakui apa yang kukatakan tadi semua ?"
"Ya." "Baik," kata Ho Ban Cai, "sekarang aku hendak
memberitahu kepadamu bahwa jejakmu selama berada di
Tayli maupun datang ke Tionggoan sini, semua adalah dia
yang menyelidiki." "Dia.... dia memberi berita itu kepada anda?"
"Benar, tetapi dia hanya menyampaikan berita saja dan
tak tahu jelas asal usul dirimu ..."
"Siapakah sesungguhnya wanita itu?"
"Dia adalah adik perempuan mendiang ayahmu, jadi
bibimu." Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya hingga dia
sampai gemetar, terhuyung mundur tiga langkah. Sungguh
tak pernah diduganya sama sekali bahwa wanita gemuk itu
ternyata bibinya sendiri.
Lalu terbayanglah dia akan peristiwa2 yang lampau.
Ketika di kota Li jwan membuka rumah makan, wanita
gemuk itu sangat memperhatikan sekali dirinya. Dia ketika
ia menerima Amanat-maut dari Gedung Hitam, wanita
gemuk itu berusaha untuk menyembunyikan dirinya dalam
kamar rahasia. Akibatnya rumah makan itu dibakar habis
oleh gerombolan Gedung Hitam.
Cu Jiangpun teringat bahwa dalam pembicaraan, samar2
seadanya nyonya gemuk itu dapat mengetahui asal usul
dirinya.... Jika benar seperti yang dikatakan Ho Bun Cai bahwa
nyonya gemuk itu adalah adik perempuan ayahnya, tentu
tidaklah mengherankan kalau nyonya gemuk itu diam2
selalu memperhatikan dan melindungi dirinya.
Tetapi yang membuat Cu Jiang tak habis bertanya
mengapa Ho Bun Cai yang menjabat congkoan dari
Gedung Hitam, bisa tahu semua hal ini"
"Mengapa anda bisa tahu jelas semua peristiwa ini ?"
akhirnya ia meminta keterangan juga.
Tiba2 mata Ho Bun Cai berlinang-linang.
"Tahukah siapa aku ini sebenarnya ?" serunya dengan
nada rawan. Cu Jiang terkejut, gelengkan kepala.
"Aku ini sebenarnya adalah suhengmu sendiri!"
Kali ini benar" Cu Jiang terkejut setengah mati. Hampir
ia tak percaya akan apa yang didengarnya saat itu. Ho Bun
Cai, cong koan dari Gedung Hitam itu suhengnya " Ah,
tidak, tidak mungkin. Tetapi kalau tidak, mengapa dia bisa tahu jelas asal
usulnya, keadaan rumah-tangga, tentang diri nyonya gemuk
itu. Dan bahkan dia selalu mengejar jejak pelajar baju putih
itu. Tindakan2 Ho Bun Cai sebagai tokoh penting Gedung
Hitam benar2 tak sesuai dengan perintah perkumpulan itu.
Adakah dia seorang mata2 yang menyelundup dalam tubuh
Gedung Hitam. Diam2 timbullah percik harapan dalam benak Cu Jiang.
Jika demikian halnya, tentulah dia mempunyai jalan untuk
membongkar rahasia pemimpin Gedung Hitam.
Tetapi seingatnya, waktu masih hidup, mendiang
ayahnya tak pernah mengatakan pernah menerima murid.
Apakah Ho Bun Cai itu menggunakan siasat halus dengan
mengaku sebagai murid mendiang ayahnya"
Kalau tidak, mengapa dia bisa menjabat sebagai Cong-
koan Gedung Hitam" Kalau memang bukan seorang yang
setia, bagaimana ketua Gedung Hitam sampai begitu
percaya mengangkatnya sebagai congkoan"
Mungkinkah tokoh durjana macam ketua Gedung Hitam
itu dapat dikelabuhi begitu mudah "
"Anda .... mengatakan apa ?" akhirnya ia menegas.
"Aku. . .. adalah suhengmu."
"Engkau .... suhengku ?"
"Sute, dengarkanlah. Selain aku, suhu memang tak
pernah menerima murid lain. Dan beliau menerima akupun
sangat dirahasiakan sekali. Tak ada seorang dalam dunia
persilatan yang tahu hal itu!"
Cu Jiang deliki mata. serunya.
"Bahwa ayah diagungkan sebagai tokoh Dewa-pedang,
semua orang persilatan tahu. Mengapa harus merahasiakan
soal menerima murid ?"
"Suhu memang memiliki pandangan jauh ke muka yang
tajam. Pohon semakin tinggi semakin dilanda angin. Nama
makin termasyhur makin terancam. Karena itu beliau lebih
dulu telah mempersiapkan rencana."
"Tetapi mengapa engkau menghamba sebagai congkoan
pada gerombolan semacam Gedung Hitam itu?"
"Demi menyelidiki sebuah rahasia!"
"Rahasia apa?" "Tentang diri ketua Gedung Hitam itu!"
"Apakah sudah berhasil?"
Tiba2 seekor burung merpati terbang melintas di udara
dengan mengedarkan bunyi kelinting.
Wajah Ho Bun Cai berobah dan berseru gopoh:
"Sute, lain kali saja kita bicara lagi!" habis berkata ia
terus melesat dan lenyap dari pandang mata.
Cu Jiang masih tertegun. Siapakah yang telah melepas
burung merpati pos itu" Mengapa Ho Bun Cai begitu
ketakutan terus bergegas pergi"
Mengapa tidak sebelum dan sesudahnya tetapi tepat
pada saat Ho Bun Cai sedang akan menuturkan soal
penyelidikannya terhadap diri ketua Gedung Hitam, lalu
tiba2 burung merpati pos itu tiba2 melayang di atas mereka"
Sebenarnya Cu Jiang akan segera mengetahui rahasia
yang diinginkan mengenai diri ketua Gedung Hitam atau
tiba2 digagalkan oleh seekor buyung merpati.
Dan masih banyak hal2 lain yang perlu ditanyakan.
Sudah tentu Cu Jiang penasaran sekali. Tetapi tak dapat
berbuat apa2. Ho Bun Cai, menurut pengakuannya, adalah satu-
satunya murid dari mendiang ayahnya. Menurut katanya
pula, dia telah mendapat perintah rahasia dari suhunya
supaya menyelundup kedalam Gedung Hitam untuk
mencari tahu rahasia dari ketua Gedung Hitam.
Dan hal itu sudah dilaksanakannya selama belasan
tahun. Apakah selama itu masih belum berhasil menyelidiki
suatu apa" Bukankah dia menjabat sebagai congkoan yang
dekat sekali hubungannya dengan ketua Gedung Hitam"
Dan jika dia mempunyai hubungan dengan nyonya
gemuk, tentulah sebelumnya dia harus sudah tahu bahaya
yang akan menimpa nyonya itu.
Tetapi mengapa rumah makan nyonya gemuk itu sampai
dibakar oleh kawanan Gedung Hitam.
Banyak sekali rahasia yang menyelubungi diri Ho Bun
Cai itu. Asal menuju gunung Keng-san tentu dapat
menemuinya pula. Setelah meninggalkan pesisir dia mengambil jalan yang
besar lagi. Belum seberapa jauh berjalan tiba2 ia melihat
sebuah peti warna merah, melintang di tengah jalan.
Tutup peti itu dibuang ke tepi jalan dan seorang
perempuan menggeletak di samping peti mati itu.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali menyaksikan
pemandangan itu. Saat itu muncul empat orang busu yang berjalan lewat
samping peti mati. Rupanya mereka juga terkejut melihat
pemandangan di tengah jalan itu.
Mereka menjerit dan saling berpandangan lalu lari
menghampiri. Seketika wajah mereka pucat dan bergerak
menyingkir. Sudah tentu Cu Jiang makin kaget. Dia lari
menghampiri. Dan ketika menyaksikan peti mati itu,
seketika tegaklah bulu romanya dan menjerit tertahan.
Di dalam peti mati ternyata berisi sesosok mayat yang
telah dipotong2. Sedang yang menggeletak di samping peti
mati itu mayat seorang gadis. Beberapa peralatan dari peti-
mati itu berserakan di sekelilingnya.
Apakah artinya itu" Potongan kaki dan tangan dari mayat dalam peti mau itu
tak mengucurkan darah lagi. Tentulah sesudah mati, baru
korban itu dipotong-potong.
"Ganas benar !" diam2 Cu Jiang memaki. Sesaat
kemudian ia berjongkok untuk memeriksa mayat gadis itu.
Tak terdapat barang sebuah luka pada tubuhnya, entah mati
karena apa. Memegang tangannya, ternyata masih hangat.
"Ah, belum mati, mungkin masih dapat ditolong."
katanya seorang diri. Demi menolong jiwa, Cu Jiang tak mengacuhkan tata
susila apa2 lagi. Ia membalikkan tubuh si gadis yang
menggeletak miring. Gadis itu baru berumur 18 an tahun. Rambut terurai,
mukanya basah dengan airmata tetapi masih cantik sekali.
Ketika memandang ke tubuh nya, tergetarlah darah Cu
Jiang. Baju nona itu sudah robek sehingga tampak sepasang
buah dudanya. Buru2 Cu Jiang berpaling muka.
Beberapa saat kemudian setelah menenangkan perasaan,
akhirnya ia memutuskan, demi menolong jiwa, tak
seharusnya ia mempunyai pikiran yang bukan2. Terlambat
sedikit saja, jiwa nona itu pasti takkan tertolong lagi.
Dia terus bertindak, memeriksa jalan darah tubuh si
nona Hasilnya, ia mendapatkan bahwa jalan darah nona itu
telah ditutuk orang. Jika tidak keburu ditolong, dia pasti
mati. Tetapi walaupun memeriksa dengan teliti, ia tak dapat
meneruskan jalan darah yang mana yang telah ditutuk itu.
Lebih dulu ia akan membawa nona itu kesebuah tempat
yang sepi dan pelahan-lahan berusaha untuk membuka
jalan darahnya Tetapi saat itu terang benderang, berjalan
dengan menggotong seorang nona tentu akan mengejutkan
orang2. Namun kalau membiarkan saja nona itu menggeletak
disitu, itu-pun menyalahi hatinnya sendiri sebagai seorang
bu su. Dia berbangkit, memandang keempat penjuru untuk
mencari tempat yang sesuai. Tiba2 ia melihat sebuah thiat-
pau atau lencana dari besi, menggeletak disamping peti
mati. "Amanat-maut!" Ternyata orang Gedung Hitam yang
melakukan kekejaman ini," serunya. Kini dia mengerti apa
sebab beberapa busu yang lalu disitu tadi, tak berani campur
tangan. Gedung Hitam mengganas lagi. Kini Cu Jiang makin
mantap untuk menolong gadis itu. Ia berjongkok,
menutupkan baju nona itu pada bagian dadanya lagi, lalu
mengangkatnya. Tetapi ia tertumbuk pula akan mayat dalam peti yang
telah dipotong-potong itu. Apa boleh buat, yang mati
biarlah mati. Yang hidup perlu ditolong ditolong dulu.
Biarlah mayat dalam peti itu diurus orang2 yang lewat
disitu. Mayat dalam peti itu rautnya sudah berubah, umurnya
lebih dari lima puluh. Entah apa hubungannya dengan
gadis itu. Cu Jiang menendang Amanat maut, agar orang2 yang
tiba disitu tidak takut untuk menolong orang tua yang
sudah menjadi mayat itu. Kemudian dia terus melanjutkan
perjalanan menyusur sepanjang sungai.
Tetapi hampir satu li berjalan, masih juga ia belum
melihat sebuah tempat yang sesuai. Tiba2 pada sebatang
pohon yang tumbuh ditepi sungai, tertambat sebuah perahu
nelayan. Segera ia menghampiri perahu itu dan berseru
memanggil pemiliknya. Tukang perahu muncul. Melihat Cu Jiang membawa


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang gadis, tukang perahu itu terkejut.
"Apakah tuan hendak menyewa perahu?"
"Membeli perahumu !"
"Apa " Mau membeli ?"
"Ya." "Tuan, aku mengandalkan perahu ini untuk cari makan.
Tak kujual." "Berapa kira2 harga perahu semacam ini kalau masih
baru?" "Tidak kujual!"
"Hanya tanya saja berapa harganya?"
"Kalau baru paling tidak antara sepuluh tail perak."
"Bagaimana kalau kuberimu dua-puluh tail perak?"
Beberapa orang yang muncul lagi dari dalam ruang perah
itu pun tidak percaya. "Tuan mengatakan apa?"
"Dua puluh tail perak untuk perahumu ini."
Pemilik perahu mengusap-usap kepala dan sesaat
kemudian berteriak. "Baik, kujuallah!"
Cu Jiang merogoh kepingan perak, dilemparkan kepada
pemilik perahu yang menyambuti dengan tertawa gembira.
"Tuan mau mendayung sendiri atau suruh aku . . ."
"Sendiri!" "Baik, kami akan turun."
"Angkat semua barang-barangmu."
Dengan gembira tukang perahu itu segera memindahkan
semua barangnya, menyapu lantai geladak sampai bersih
lalu mempersilakan Cu Jiang.
"Tuan, perahu ini menjadi milikmu!" tukang perahu dan
beberapa kawannya segera loncat ke daratan.
Cu Jiang terus loncat ke dalam perahu.
Meletakkan si nona di atas tempat tidur kayu yang butut
dan dia sendiri terus naik ke atas geladak. Dan perahupun
mulai meluncur terbawa arus.
Tak berapa lama perahu tiba di sebuah rumpun ilalang.
Cu Jiang hentikan perahu. Setelah menambatkan pada
sebatang pohon, dia terus masuk ke dalam ruang. Gadis itu
masih pingsan. Kalau tak lekas ditolong tentu mati.
Cu Jiang mulai memeriksa lagi jalan darah nona itu.
tetapi baru diketahuinya bahwa jalan darah yang tersumbat
itu terletak pada bagian bawah perut. Ah .... Cu Jiang
terkesiap. Bagaimana mungkin seorang pria akan mengurut
jalan darah di bawah perut seorang gadis"
Cu Jiang ki mengucurkan keringat dingin. Dia benar2
diuji hatinya. Betapa tidak, baju si gadis yang robek itu
memperlihatkan dua gunduk buah dadanya yang putih.
Sedang tubuh si gadis yang menyiarkan bau harum, benar2
membuat Cu Jiang berdebar-debar.
Seharusnya dia suruh saja beberapa jago Tayli yang
mengawalnya itu untuk melakukan pekerjaan menolong si
nona. Tetapi kemanakah harus mencari mereka.
Dan tentu memakan waktu menemukan mereka, si nona
sudah tak dapat ditolong lagi.
Akhirnya ia nekad. Dengan pejamkan mata ia mulai
bekerja. Melepaskan baju si nona lalu membuka celananya
dan pelahan-lahan tangannya mulai mengurut jalan darah
dibawah perutnya. Tangannya gemetar dan bajunyapun
basah kuyup dengan keringat.
Orang yang telah menutuk jalan darah sinona itu
memang ganas sekali serta memiliki ilmu tutuk yang lihay.
Jika tak bertemu tokoh semacam Cu Jiang, tentu sukarlah
nona itu tertolong jiwanya.
Setelah selesai membuka Jalan darah sinona, Cu Jiang
sandarkan diri pada dinding ruang dan napasnya terengah-
engah seperti orang yang habis kerja berat.
Tak berapa lama, napas nona itu makin lancar dan tak
lama kemudian dia membuka mata, memandang ke
sekeliling. "Siapa engkau ?" tiba2 ia melonjak kaget ketika melihat
Cu Jiang. "Toan-kiam-Jan-jin !"
"Toan-kiam jan jin?"
"Benar." Gadis itu menyiak rambutnya yang menutup muka.
Ketika menunduk dan melihat bajunya robek2, marahnya
bukan kepalang. "Kuhantam mampus engkau, iblis Jahanam !" serunya
seraya menghantam. Karena jaraknya amat dekat, hampir berhadapan, maka
Cu Jiang tak dapat menghindar. Jika menangkis, ia kuatir
akan melukai nona. Terpaksa ia menyambar pergelangan
tangannya. "Nona, engkau salah faham!"
"Salah paham" Kalian kawanan anjing Gedung Hitam,
harus dibunuh!" Ia meronta tetapi tak mampu terlepas. Akhirnya ia
menghantam kepala Cu Jiang dengan tangan kiri. Tetapi
kembali Cu Jiang menyambar pergelangan tangannya.
"Nona harap tenang. Cobalah ingat lagi peristiwa yang
engkau alami." "Tak perlu, engkau atau aku yang mati..."
Karena kedua tangannya dikuasai, nona itu ayunkan
kaki menendang dada Cu Jiang. Cu Jiang miringkan tubuh
lalu mendorong si nona ke ranjang lagi:.
"Salahkah aku karena menolongmu?"
Dara itu tertegun lalu menangis. Cu Jiang melengos
memandang ke luar jendela. pemandangan yang dihadapinya saat itu benar2 menggetarkan hatinya.
"Harap nona jangan menangis. Aku hendak bertanya
kepadamu." beberapa saat kemudian Cu Jiang berseru.
Nona itu menurut tetapi masih terisak-isak, katanya:
"Siapakah nama sauhiap?"
"Toan-kiam-jan Jin."
"Aku mohon tanya nama anda,"
"Aku tak punya nama lain."
"Apakah sauhiap yang menolong aku?"
"Ya " "Mengapa berada di perahu ini ?"
"Untuk menolong jiwa nona."
"Dan jenasah ayahku?"
"Oh, itu .. .. ayahmu..."
Airmata nona itu bercucuran lagi dan dengan mengertak
gigi mengiakan. "Siapa nama nona?"
"Pui Ji-Ji." Cu Jiang tergetar. Sungguh sebuah nama yang menarik.
"Maukah nona Pui menuturkan tentang peristiwa yang
nona alami ?" Ji ji mengusap airmatanya lalu dengan menahan isak
bercerita: "Ayahku bernama Pui Lim, seorang busu. Ayah bekerja
sebagai pengawal dari gedung Tio gisu dikota Seng tou.
Mamaku sudah meninggal, kami hanya hidup berdua ayah
dengan anak . . . "Ah, tahukah nona siapa pembunuh ayah nona itu ?"
"Tahu. Kawanan iblis dari Gedung Hitam."
"Apa sebabnya ?"
"Kabarnya ketika Tio gi-su menjabat di kota raja, secara
tak sengaja pernah mendapat sebuah mutiara dari seorang
utusan negeri lain, mutiara itu disebut Hiat-liong-cu."
"Hat liong-cu ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. mutiara itu mempunyai khasiat untuk menolak
bahaya api, air dan segala racun. Maka menjadi incaran
orang persilatan ... "Lalu ?" "Sebulan yang lalu, pada malam hari datanglah seorang
bunsu (sastrawan) yang menyampaikan perintah tuannya,
minta supaya dalam waktu setengah bulan, ayah mencuri
mutiara itu dan menyerahkan kepadanya. Kalau tidak.
keselamatan Jiwa ayah tak terjamin."
Cu Jiang mengangguk. Diam ia menduga, bun-su
pertengahan umur itu tentulah Ho Bun Cai, yang mengaku
sebagai suhengnya. Pui Ji ji mengucap airmatanya pula.
"Ayah seorang yang berhati lurus. Sudah tentu dia tak
mau melakukan pekerjaan hina itu terhadap Tio gisu yang
baik budi. Tetapi dia takut akan ancaman gerombolan
Gedung Hitam. Begitu sudah tiba waktu yang dijanjikan,
ayah lalu minta berhenti, membawa aku pulang ke
kampung halaman." Tetapi ketika tiba di Kun ciu, kita telah disergap mereka.
Aku seorang anak perempuan, setelah ayah bundaku
meninggal, bagaimana aku dapat hidup .... "
Ia mengusap air matanya lagi.
"Beberapa kali hendak bunuh diri, selalu digagalkan oleh
orang yang baik hati. Kali ini bersama ayah pulang ke
kampung, akhirnya dibunuh oleh musuh. Ayah dibunuh
dan akupun juga dicelakai." sampai disini gadis itu
menangis tersedu sedan. "Hutang jiwa harus bayar jiwa. Harap nona lihat saja."
seru Cu Jiang dengan menggeram.
Ji-ji memandang Cu Jiang lalu mendadak. Melihat
bajunya compang camping ia menangis makin keras
sehingga Cu Jiang sibuk menghiburnya.
"Selama kawanan iblis itu masih merajalela memang
banyak sekali orang sengsara. Nona termasuk salah seorang
korban keganasan mereka."
Ji-ji tiba2 berbangkit dan berseru: "Budi kebaikan
siauhiap. kelak dalam penitisanku yang akan datang, tentu
ku balas!" Habis berkata dia terus melangkah keluar. "Nona mau ke
mana?" buru-2 Cu Jiang mau cegah.
"Akan menyusul ayah!"
"Ah, mengapa nona bertindak begitu" Apakah ayah nona
akan meram di alam baka?"
"siauhiap . . . aku . . . aku . . . bagaimana dapat hidup
dalam dunia ini!" "Duduk dan marilah kita bicara yang tenang."
Ji-ji menurut, lalu bertanya dengan masih terisak-isak:
"Apakah .... yang harus kukatakan?"
"Silahkan, apa saja yang nona hendak katakan."
Sambil menunduk, nona itu berkata: "Ah, sebenarnya
aku ini seorang manusia yang tak kenal budi . . ."
"Ya, silakan bilang apa saja. Di sini tak ada orang lain. "
"Walaupun aku bukan anak seorang keluarga ternama
atau berpangkat, tetapi akupun mengerti tentang susila
seorang wanita..." "Bagaimana?" "Ini... suruh harus mengatakan bagaimana?"
"Tak apa. Nona hendak mengatakan apa saja, aku
takkan marah." Pui Ji ji mengangkat muka memandang Cu Jiang,
katanya: "Diambil isteri atau dijadikan pelayan, mohon siauhiap
suka menerima diriku."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Mengapa nona mengatakan begitu ?"
Sambil terisak-isak Ji Ji berkata.
"Aku bukan seorang gadis yang tak punya rasa malu.
Jika siauhiap tak meluluskan, aku . . . lebih baik mati"
"Eh, bagaimana begitu ?" Cu Jiang kelabakan dibuatnya.
"Siauhiap sudah... menyentuh tubuhku. Bagaimana
aku... dapat menikah dengan lain orang lagi ?"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Nona, hal itu kulakukan demi membuka jalan darah
guna menolong jiwamu. Sama sekali aku tak bermaksud
melakukan perbuatan yang hina..."
"Ya .... maka kecuali mati, tak ada jalan lain yang layak
kutempuh !" "Nona juga seorang puteri persilatan, mengapa terlalu
terikat pada peraturan yang begitu?"
"Itu bukan tata aturan." seraya menarik dada bajunya
sehingga kedua buah dadanya berguncang-guncang lagi.
Sekilas teringat akan tindakannya membuka jalan darah
nona itu, merahlah muka Cu Jiang. Betapapun dia seorang
muda yang masih berdarah panas.
Iapun teringat akan hubungannya dengan si Jelita Ho
Kiong Hwa. Belum dia menyelesaikan perjodohan yang
hendak diatur Ang Nio Cu. sekarang sudah bertambah
dengan seorang nona lagi.
"Ah, apa wanita itu memang tak layak ditolong ?"
pikirnya. Teringat akan perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
iapun terkesiap. Waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu
sudah lebih dari setahun. Bagaimana nanti kalau bertemu
dengan Ang Nio Cu lagi "
Dan bagaimana dia harus menyelesaikan gadis yang
bernama Pui Ji-ji ini "
"siauhiap, aku sudah menebalkan kulit muka untuk
mengutarakan isi hatiku. Sekarang bagaimana jawaban
siauhiap?" seru Ji-ji pula.
Cu Jiang gemetar tangannya. Ia bingung. Kalau menolak
tentulah akan menyinggung perasaannya dan tentulah nona
itu akan nekad bunuh diri. Sampai lama ia memutar otak
baru kemudian berkata: "Nona Pui, musuhku tak terhitung banyaknya. Entah
pagi entah sore, setiap saat jiwaku terancam. Harap engkau
pikir yang masak lagi."
"Tidak! Keputusanku sudah tetap, tak dapat dirobah
lagi!" "Percuma saja engkau ikut aku. Engkau tentu tak
bahagia..." "Tidak peduli, siauhiap mati akupun akan ikut mati! "
Mendengar kenekadan gadis itu, mau tak mau tergerak
juga hati Cu Jiang. Terus terang, walaupun demi untuk
melakukan pertolongan, tetapi dia telah menyentuh bagian


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang paling dirahasiakan oleh seorang gadis. Menilik
wajahnya, Ji-jipun tak kalah dengan Ho Kiong Hwa,
bahkan dengan puteri raja Tayli.
Tetapi dia sendiri" Ah, ketika teringat akan wajahnya
yang sudah rusak, dinginlah hatinya.
"Tidak, aku seorang cacad!"
Tanpa banyak pikir, Ji ji kontan menjawab: "Bagiku,
bagaimanapun wajah dan keadaan siauhiap, pokok aku
dapat melayani siauhiap!"
"Pada satu saat nona pasti kecewa!"
"Tidak!" teriak Ji ji.
"Tetapi maaf, aku tak dapat nona."
Mendengar itu Ji ji memandang rawan ke arah Cu Jiang,
lalu berbangkit hendak melangkah keluar. Cu Jiang
terpaksa mencegahnya lagi.
"Apakah siauhiap meluluskan?"
"Kita rundingkan lagi."
"Aku tak berani mengharap menjadi isteri siauhiap.
Pokok asal siauhiap suka menerima diriku, aku sudah
bahagia." "Nona yakin kalau aku belum beristeri?"
"Tak jadi apa. Sebagai isteri atau selir, pun boleh."
"Jangan mencinta secara buta. Silahkan duduk," tiba2 Cu
Jiang lepaskan cekalannya dan tiba2 Ji-jipun terhuyung
jatuh ke dada pemuda itu.
Cu Jiang bicara sambil duduk. Bahwa sesosok tubuh
yang lembut dan harum tiba2 menekan dadanya, ia gugup
dan hendak mendorongnya. Tetapi sepasang lengannya
secara tak sengaja telah memegang dua gunduk daging
lembut yang menghias dada si nona. Seperti kena aliran
stroom, dia cepat2 menarik kembali.
Ji-ji seperti tergelitik geli dan makin merapat ke dada Cu
Jiang. Cu Jiang kehilangan diri dan terlongong. Hawa
harum makin menyerbak hidung dan darah mudanya pun
makin mengelora. Walaupun dia seorang patung malaekat yang terbuat dari
baja, tetapi dalam menghadapi saat seperti itu, tentu akan
luluh juga. Apalagi dia hanya seorang manusia biasa,
seorang anak muda yang masih panas darahnya.
Mempunyai gelora asmara atau perasaan.
Tubuh Ji ji menggigil tak henti-hentinya. Bau harum dari
tubuhnya makin membius. Suasana saat itu sunyi senyap
sehingga napaspun terdengar.
Darah Cu Jiang makin deras, jantungnya mendebur
keras sekali dan napaspun makin berat. Tubuhnya terasa
panas. Ji-ji menengadahkan muka. sepasang bibirnya yang
mungil merah gemetar. Matanya memancarkan sinar
bening yang penuh pesona. Ah, saat itu pria manakah di
dunia ini yang sanggup menghadapi tantangan semacam
itu" Cu Jiangpun berantakan imamnya. Ia dapat ditundukkan. Serentak kedua lengannya yang kokoh
memeluk pinggang si nona, matanya menatap mata si dara.
Dan Ji jipun pasrah bagai seekor domba. Pada lain kejap,
dua pasang bibir telah merapat dengan hangat.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, seorang ksatria sukar
untuk melawan godaan wanita cantik. Dan Cu Jiangpun
tak terkecuali. Pada saat keduanya terbenam dalam kehangatan ciuman
yang mesra. Tiba2 Cu Jiang melihat wajahnya terbayang
pada biji mata Ji-ji. Ia melihat bahwa saat itu mukanya
tertutup kain cadar. Dan seketika timbullah rasa ngeri
apabila sekarang akan wajahnya yang telah rusak itu.
Buruk muka! Cacat kaki! Tubuh berlumur darah musuh
Bahu memikul beban berat!
Serentak ia menyiak dara itu lalu berkisar ke haluan
perahu dan menghembus napas longgar.
"Sungguh berbahaya!" diam2 ia berseru. Karena
didorong, Ji Ji terpelanting jatuh telentang. Dia menjerit
kaget: "Koko. engkau kenapa ?"
"Kita tak boleh melakukan begitu !"
"Kenapa ?" "Soal yang menyangkut kepentingan seumur hidup,
masakan diselesaikan karena secara kebetulan ?"
"Tetapi .... aku sudah menjadi milikmu!"
"Itu persoalan lain !"
Ji ji tetap tak mau bangun dan mulai menangis seraya
berseru rawan: "Koko, apakah engkau tak mau lagi kepadaku ?"
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menjawab: "Aku tak
mengatakan kalau tak menghendaki engkau."
"Tetapi engkau memperlakukan begitu!"
"Nona Pui . . ."
"Mengapa tak mau memanggil namaku saja?"
Cu Jiang terpesona lagi tetapi untung dia dapat menahan
diri. "Ji ji . . ." "Ehm..." "Kalau kita mau menikah, harus ada yang menjadi
perantara dan saksi."
"Langit yang menjadi perantara, sungai menjadi saksi.
Apakah itu tidak cukup?"
"Tidak, Ji ji, harus tunggu sampai lain waktu."
"Lalu aku.... seorang gadis yang sudah sebatang kara dan
mengembara di dunia persilatan, apakah Gedung Hitam
mau membiarkan saja?"
Memang betul. Gedung Hitam pasti takkan membebaskan dia. Lalu bagaimana baiknya" Dia sendiri
pun sudah sebatang kara. Tiada rumah tiada keluarga.
"Ji-ji, apakah engkau punya keluarga yang dapat engkau
ikuti?" serunya. "Oh, engkau hendak menghindari aku . . ."
"Bukan begitu. Aku masih mempunyai banyak persoalan
besar yang harus kukerjakan. Engkau harus mempunyai
tempat tinggal yang aman."
"Lalu besok bagaimana?"
"Setelah urusanku selesai, aku tentu akan mengambilmu
sebagai isteri." "Memperisteri diriku" Engkau... belum beristeri?"
"Belum." "Kekasih?" Serentak terkilas bayang2 Ki Ing dan Ho Kiong Hwa
dalam benak Cu Jiang. Walaupun kedua jelita itu memang
menaruh hati kepadanya, tetapi belum dapat digolongkan
sebagai kekasih. Maka dia pun gelengkan kepala dan
menyahut: "Tidak punya."
"Ah, aku sungguh beruntung sekali." Ji-ji tertawa cerah,
Secerah bunga di pagi hari.
Namun hati Cu Jiang kecut. Pada suatu saat apabila dara
itu tahu wajahnya yang rusak, apakah dia akan tetap
merasa bahagia " "Tak mungkin engkau bahagia !" katanya dengan
hambar. "Mengapa ?" Ji-ji heran.
"Bukan saja takkan bahagia, pun engkau bahkan akan
kecewa !" Sambil menyiak rambutnya yang terurai Ji-ji deliki mata.
"Mengapa?" "Aku seorang cacat!" Cu Jiang tertawa masam.
"Kakimu pincang?"
"Masih ada yang lebih hebat lagi."
"Bagaimana hebatnya?"
"Wajahku .... sudah rusak !"
"Itu lebih baik!"
"Apa maksudmu ?"
"Aku tak kuatir engkau direbut orang."
"Ah, itu nanya omongan iseng saja."
"Koko, aku menginginkan hatimu, tak peduli engkau ini
cacat bagaimana saja."
Memang kebaikan seorang Jelita itu sukar sekali ditolak
dan Cu Jiangpun tergerak mendengar pernyataan itu. Ia
memeluk Ji Ji dan berkata dengan nada tegang:
"Ji Ji, aku tak berharga untuk cintamu yang begitu
besar." Ji-Jipun rebahkan kepala di dada Cu Jiang dan berbisik:
"Koko, Jangan berkata begitu. Jiwaku adalah engkau
yang telah menghidupkan."
"Oh. engkau dasarkan pada membalas budi?"
"Sebagian, tetapi yang penting..."
"Apa ?" Ji ji menggeser kepalanya menyusup kedada pemuda itu
dan dengan manja berkata:
"Engkau sudah tahu tetapi pura2 tak tahu biar aku
malu..." Cu Jiang mengusap-usap bahu si dara. "Ji ji, aku cinta
kepadamu." katanya. "Ah, koko, aku seperti bermimpi mendengar ucapanmu
itu. Matipun aku puas."
Cu Jiang tak berkata lagi. Ia benar2 tenggelam dalam
lautan asmara yang menghanyutkan. Kepasrahan Ji-ji
dengan wajahnya yang cantik, senyum menggiurkan dan
tubuh yang putih mulus membias keharuman itu, telah
melelapkan kesadaran Cu Jiang.
Dia sudah tak dapat menguasai diri lagi dan
tangannyapun mulai melepaskan pakaian si dara dan...
"Toan-kiam jan-jin, engkau cari mati!" tiba2 dalam saat
yang gawat. Cu Jiang mendengar lengking seruan orang
dari atas geladak. Tidak keras tetapi cukup menusuk telinga. Jelas orang itu
tentu memiliki tenaga-dalam yang kuat "
Cu Jiang terkejut. Nafsunya hilang seketika dan serentak
dia loncat keluar ke geladak. Tetapi diluar hanya gerumbul
rumput ilalang yang menggunduk di sekeliling dan debur
arus sungai, tak tampak barang seorang manusiapun jua.
"Koko, ada apa ?"
Cu Jiang berpaling dan suruh dara itu tetap berada dalam
ruang bawah. Setelah mengeliarkan pandang ke sekeliling
penjuru, lalu berseru dengan sarat.
"Sahabat dari mana itu " Mengapa tak mau unjuk diri?"
"Toan-kiam Jan-jin, engkau cari mampus. Bukan
begitukah caranya ?"
Suara itu berasal dari balik pohon. Nadanya suara
seorang wanita yang tak asing lagi. Cu Jiang tegang sekali.
Orang itu tak lain adalah yang hendak ditemuinya tetapi ia
takut bertemu, ialah Ang Nio Cu. Apakah semua yang
terjadi dalam perahu itu telah diketahui semua olehnya "
"Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?"
"Ho, kiranya engkau masih mengenal!"
"Hendak memberi pesan apa?"
"Engkau sudah mati dua kali."
Cu Jiang terkejut. "Bagaimana aku sudah mati sampai dua kali?"
"Tidak percaya?"
"Bukan tidak percaya, tetapi tak mengerti."
"Engkau ternyata juga romantis sekali sehingga tak tahu
mati...." "Apa maksud anda ?"
"Tanya sendiri kepada dirimu !"
Wajah Cu Jiang merah tetapi dia terus menjawab:
"Aku tak melakukan perbuatan seperti yang anda
katakan itu." Ang Nio Cu tertawa sinis.
"Masih menyangkal?"
"Tak perlu." "Apakah engkau anggap aku terlalu usil mencampuri
urusanmu?" "Aku tidak menganggap begitu."
"Lalu mengapa tak mau mengakui?"
"Ya, memang aku telah menolong seorang nona."
"Dan perahu itu memang sebuah tempat in-de-boy yang
asyik ...." "Hanya agar dapat tenang mengobatinya."
"Dan untuk mengantar jiwamu."
"Mengapa anda tak mau berkata terus terang?"
Tiba2 dari bawah ruang perahu terdengar Ji-ji berseru
terkejut: "Koko, aku takut."
"Tak perlu," kata Cu Jiang, "orang itu tak bermaksud
jahat." Ang Nio Cu tertawa dingin "Toan-kiam jan-jin, engkau
sungguh tak tahu atau hanya pura2 saja?"
"Benar2 aku tak mengerti ucapan anda, " seru Cu Jiang.
"Engkau akan mengerti. Bawalah siluman rase itu ke
darat sini!" "Apa" Siluman rase . . ."
"Ya, jangan sampai dia dapat lolos!"
Dari ruang perahu terdengar pula Ji-ji berseru gemas:
"Koko, engkau percaya pada omonganku atau dia?"
Cu Jiang agak bingung. "Aku tak mengerti bagaimana sebenarnya urusan ini" "
"Sederhana sekali."
"Sederhana?" "Benar. Hanya wanita yang tahu jelas hati wanita, " kata
Ji ji. "Bagaimana?" tanya Cu Jiang.
"Dia mungkin mencintaimu!"
Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 Ji-ji itu. "Ang


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nio Cu tak mungkin mencintai dirinya. Tetapi wanita itu
memang menjadi jomblang untuk menjodohkan dirinya
dengan Ho Kiong Hwa. Tetapi apakah kata2 Ji-ji itu benar .
. ." "Atas budi pertolongan anda kepadaku, aku pasti takkan
melupakan . . . . " serunya kepada Ang Nio Cu.
"Itu soal lain. " sahut Ang Nio Cu, "aku hendak
menangkap siluman rase itu."
"Mengapa?" "Apa engkau tergila-gila kecantikannya?"
"Aku bukan manusia semacam itu!"
"Kalau tidak, lekaslah lakukan permintaanku tadi."
"Aku mohon penjelasan dulu."
"Segera engkau akan tahu."
"Apakah anda tak mau memberi keterangan?"
"Tidak!" "Ini . . . apakah tidak berani anda mencelakai orang?"
"Kecuali kalau engkau memang sudah tak ingin hidup
lagi" "Harap anda jangan membuat teka teki ..."
"Tahukah engkau dia itu siapa?"
"Dia bernama Pui Ji ji, dicelakai oleh gerombolan
Gedung Hitam . . ." "Dan engkau percaya?"
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri."
"Seluruh peristiwa?"
Cu Jiang terbeliak. "Dia menggeletak di tengah jalan dan kutolong . . ."
"Seorang ksatrya akan dikelabuhi dengan cara keksatriyaan. Toan kiam-jan jin, masih banyak hal2 yang
perlu engkau pelajari. Ilmu silat bukan suatu jaminan dapat
mengatasi segala apa. "Apakah dia . . ."
"Dia memainkan perannya dengan sempurna sekali. Dan
ini memang keistimewaan dari wanita2 yang telah dilatih."
"Dia menjalankan peran?"
Tiba2 dari ruang perahu Ji-ji melengking keras:
"Biar aku mengadu jiwa dengan dia ..."
"Ji-ji, tenanglah, jangan keluar!" cegah Cu Jiang.
"Tetapi koko .... apakah engkau mampu melindungi
keselamatanku?" "Bila perlu, tentu."
"Tetapi koko fitnah itu amat berbisa. Dia pandai
mengada-ada untuk merangkai fitnah . . ."
"Sudahlah, jangan bergerak."
"Tetapi . . . aku . . . toh sudah tak menghiraukan soal
mati hidup lagi!" serunya dengan nada marah dan putus
asa. Dan arah daratan terdengar Ang Nio Cu berseru pula:
"Toan kiam-jan-jin, pernahkah engkau mendengar nama
Hoa Goet?" Tergetar hati Cu Jiang seketika. Baru beberapa hari saja
dia menghadapi peristiwa gerombolan wanita2 cabul itu.
Sudah tentu dia tahu. "Tahu," Cu Jiang menggeram, "mereka perempuan2 hina
yang harus dilenyapkan."
"Bagus, bunuhlah lebih dulu siluman dalam perahu itu!"
"Dia .... juga . . ."
Cu Jiang berputar tubuh memandang Ji ji.
"Apakah engkau benar perempuan jalang dari gerombolan Hoa-gwat bun?" tegurnya dingin. Karena benci
sekali kepada pemimpin Hoa gwat-bun yang telah
bersekongkol dengan Sebun Ong untuk menipunya, maka
begitu bicara dia terus gunakan kata2 yang kasar.
Wajah Ji-ji berobah seketika.
"Aku tak tahu apa itu Hoa gwat-bun. Fitnah itu benar2
merupakan siasat busuk dari orang Gedung Hitam!"
serunya tak kalah keras. Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio Cu merupakan musuh
bebuyutan dengan Gedung Hitam.
"Tak usah menyinggung-nyinggung Gedung Hitam.
Bilang terus terang!" bentaknya.
"Aku matipun tak apa, karena manusia semacam diriku
yang bernasib jelek tentu tetap jamak," Ji-ji mengertek gigi,
lalu melesat keluar. "Hai, mau apa engkau," Cu Jiang cepat menghadangnya.
"Koko, engkau dan aku, dalam kehidupan sekarang tak
dapat terangkap sebagai suami isteri, biarlah kelak dalam
penitisan yang akan datang kita berjumpa lagi! " seru Ji ji
dengan kalap. "Jangan sampai dia lolos!" teriak Ang Nio Cu.
Tetapi pada saat itu Ji ji sudah loncat ke dalam air. Cu
Jiang ulurkan tangan hendak menyambar tetapi saat itu
lengannya terasa kesemutan seperti terkena tusukan.
Terpaksa dia lepaskan cekalannya, blung. Tubuh Ji-Jipun
tercebur dalam air dan tak lama lenyap ditelan arus.
Cu Jiang memandang terlongong-longong kearah sungai.
"Ai, dia nekad mengubur diri dalam sungai," pikirnya.
Sampai lama tak terdengar suara Ang Nio Cu. Cu Jiang
mulai curiga, pikirnya: "Dia mendesak orang sampai mati,
apakah terus ngacir ?"
"Mengapa anda tak berkata lagi?" serunya.
Tak ada penyahutan. Cu Jiang mulai gelisah. Apakan
benar2 Ang Nio Cu memang hendak memfitnah Ji-ji
supaya mati" Kalau tidak mengapa sekarang dia diam saja "
Pikir dia tiba pada suatu kesimpulan Bahwa oleh karena
kepentingan peribadi, Ang Nio Cu tak segan untuk
memfitnah seorang dan sehingga mati secara begitu sia-sia.
Diam2 ia merasa bertanggung jawab akan kematian Ji ji.
Mengapa dia begitu saja mau percayai omongan Ang Nio
Cu. Tiba2 ia rasakan lengannya yang terkena tusukan tadi
mulai menyerang ke atas bahunya. Ketika memeriksanya
pada tempat bekas tusukan ia telah memupuk sebuah
lingkaran darah warna merah hitam.
"Racun!" seketika ia terkejut sekali. Segera dia kerahkan
tenaga-dalam untuk menghentikan peredaran racun itu.
Kini dia harus merombak semua pikirannya tadi. Pada
waktu hendak mencebur ke dalam sungai dan dicekalnya, Ji
ji telah menusuknya dengan benda beracun. Jelas apa yang
dikatakan Ang Nio Cu itu benar semua.
Sebun Ong menggunakan Cian Su Nio ketua Hoa gwat-
bun dan muridnya yang bernama Soh-hun li untuk
menyamar sebagai Ratu kembang Tio Hong Hui dan anak
gadisnya, telah terbongkar rahasianya. Mungkin mereka
hendak menggunakan siasat racun untuk membunuhnya.
Kepala Cu Jiang mulai terasa pusing, pandang
matanyapun berkunang-kunang. Dia duduk bersandar pada
dinding geladak. Kesadaran pikirannya mulai kabur.
Entah sampai berapa lama, ketika membuka mata, ia
masih dapatkan dirinya berada diatas perahu. Tetapi sudah
berbaring diatas tempat tidur kayu dalam ruang perahu.
Diatas geladak duduk seorang wanita yang mukanya
ditutup dengan kain merah. Siapa lagi kalau bukan Ang Nio
Cu. Cu Jiang coba untuk menyalurkan tenaga dalam, ia
rasakan agak lancar. Hanya lengannya yang terluka tadi,
seolah-olah tak ada atau mati-rasa.
"Apakah aku . . . terkena racun?"
"Ya." Ang Nio Cu menjawab dingin. "racun yang ganas
sekali Racun Toan-bun tok dari perkumpulan Hoa-gwat-
bun!" "Toan bun-tok?"
"Hm. racun yang tiada obatnya lagi. Sedang yang punya
racun sendiri juga tak punya obat penawarnya. Kecuali
terhadap musuh besar atau lawan yang harus dilenyapkan
jiwanya, racun itu tak sembarangan digunakan."
Serasa terbang semangat Cu Jiang mendengar keterangan itu. "Kalau begitu, aku .... pasti mati, " katanya dengan nada
getar. "Mungkin!" Tiba2 Cu Jiang mendengar suara orang merintih
pelahan. Ternyata dibawah kolong geladak yang terletak di
muka tempat tidur itu menggeletak seorang dara yang basah
kuyup. Hai, Pui Ji ji! Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menggeliat bangun dan
berseru geram: "Akan kubunuhnya . . ."
"Jangan bergerak dulu." cegah Ang Nio Cu, "sudah
kuminumkan pil tik-tok wan kepadamu. Tetapi dayanya
hanya dapat melindungi jiwa dalam waktu yang terbatas.
Jika engkau marah maka racun itu akan berkembang dan
menyerang ulu hatimu. Biarlah sekarang dia merasakan
buah yang di tanamnya."
Cu Jiang memandang ke arah Ji ji yang ternyata seekor
ular berbisa Gadis itu tengah memandangnya dengan sorot
mata memohon kasihan. "Engkau bernama Rase Kumala! " bentaknya.
"Ya..." "Murid dari Hoa gwat-bun?"
"Hm." "Mengapa engkau mencelakai aku?"
"Menjalankan perintah atasan."
"Perintah dari Ciam Su Nio?"
"Ya." "Mengapa?" "Entah." "Engkau . . . jalang hina, sampah dunia persilatan.
Engkau bermain sandiwara dengan bagus sekali. Sekarang
tamatlah riwayatmu."
"siauhiap .... aku berbuat begitu lantaran terpaksa . . ."
"Hm, benar, karena terpaksa. Entah berapa banyak jiwa
yang melayang karena perbuatanmu yang terpaksa itu. Aku
terpaksa harus mencincang mu . . ."
Ang Nio Cu melesat ke muka.
"Siluman ini pura2 membuang diri ke dalam sungai
tetapi sebenarnya dia hendak meloloskan diri. Ketika aku
menyelam ke dalam air ternyata dapat membekuknya."
Kemudian ia alihkan mata memandang berkilat2 kepada
Rase Kumala, serunya. "Rase kecil, engkau bunuh dirimu sendiri saja!"
"Ang cianpwe." Rase Kumala merintih-rintih. "mohon
suka mengampuni jiwaku seorang perempuan hina ini."
"Seorang pendekar pedang yang menyinari dunia
persilatan, saat ini sedang menghadapi kematian. Apakah
engkau berharap hidup?"
Tahu bahwa sia2 saja ia memohon hidup, Rase Kumala
nekad. Mencabut tusuk kundai pada sanggulnya ia terus
menusuk sikunya sendiri. Hanya dalam beberapa kejap saja,
dari ketujuh lubang tubuhnya mengalirkan darah. putuslah
jiwanya. "Apakah yang digunakan untuk menusuk tangannya juga
tusuk kundai itu" " seru Cu Jiang.
"Ya, memang benda itu," kata Ang Nio Cu. "dinamakan
Toan hun-emn. Cobalah renungkan,
betapa besar kesempatan yang diperolehnya untuk membunuh engkau?"
Cu Jiang terkejut dan diam2 menyesal. Teringat akan
adegan2 yang romantis itu, wajahnya makin merah.
Memang benar, pada saat pikirannya limbung dirangsang
nafsu, mudah sekali bagi Rasa Kumala untuk membunuhnya. Jika Ang Nio Cu tak keburu datang, dia tentu sudah
mati. Dia makin mendapat pengalaman, betapa ganas, licik
dan keji insan2 dalam dunia persilatan itu.
Menurut Ang Nio Cu. racun Toan-bun tok itu tiada
obatnya. Dengan begitu jelas dia tentu mati. Mati dia tak
masalah. Tetapi kalau harus mati di tangan perempuan
jalang semacam gerombolan Hoa-gwat-bun, dia benar2 tak
rela. "Masih ingat perjanjian tempo hari?" tiba2 Ang Nio Cu
menegurnya. "Masih." "Lalu bagaimana keteranganmu?"
"Saat ini aku sudah terkena racun Toan hun tok. Aku
tentu mati. Apa guna aku harus memberi keterangan?"
"Tidak! Seorang ksatrya harus pegang janji. Selama
engkau masih dapat bicara, harus melaksanakan janji itu!"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Lalu . . . apa yang harus kukatakan?"
"Cukup mengatakan, engkau suka atau tidak suka
mengambil Ho Kiong Hwa sebagai isteri?"
Sukar untuk mengatakan perasaan hati Cu Jiang saat itu.
Dia ingin membuka kain penutup muka Ang Nio Cu. Ingin
ia melihat bagaimana wajah yang sebenarnya dari wanita
yang misterius itu. Masakan tahu dia pasti mati karena
racun itu, masih tetap didesak untuk memberi jawaban
tentang pernikahan dengan Ho Kiong Hwa.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah anda tak memikirkan kepentingan nona Ho?"
tanyanya. "Kepentingan apa?"
"Aku tak lama tentu mati. Apakah hal itu tidak
menelantarkan hidupnya . . ."
"Itu lain persoalan."
"Anda tetap hendak menjadi jomblang untuk nya?"
"Benar, semua aku yang memutuskan!"
"Aku sungguh tak mengerti ..."
"Tak usah banyak pikir, engkau suka atau tidak?"
Cu Jiang kewalahan. Pikirnya: "Aku toh pasti mati. Dan
karena menjaga gengsi maka Ang Nio Cu sampai bertindak
begitu. Ia pun merasa bahwa dirinya tak sembabat menjadi
jodoh Ho Kiong Hwa" Setelah merenung beberapa saat. akhirnya ia mengangguk : "Baik, aku menurut."
"Tetapi apa keluar dari ketulusan hatimu?"
"Tentu. Masakan dalam persoalan yang begitu penting,
aku hanya berolok-olok ?"
"Baik, ini sudah menjadi keputusan," kata Ang Nio Cu,
lalu mengambil sebuah benda dan dilemparkan Cu Jiang,
katanya: "Terimalah, itu tanda pengikat dari fihak isterimu."
Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Sebuah kantong
kecil sulaman. Dia tertegun. Sebenarnya dia sembarangan
saja menyetujui karena toh tak dapat hidup lama. Tak kira
Ang Nio Cu begitu serius dan menyerahkan tanda panjar
pengikat perjodohan. "Bukalah, mengapa terlongong saja?" seru Ang Nio Cu
pula. Cu Jiang meringis. Ia melakukan perintah. Ternyata
kantong itu berisi sepasang anting-anting dari kumala hijau.
"Engkau menyerahkan apa"*
"Aku .... tak punya apa"."
"Kalau begitu, pakai pedang ini saja," dari bajunya
merah yang gerombyongan, dia mencabut sebatang pedang.
"Memakai pedang anda sebagai pengikat?" Cu Jiang
heran. "Pedang ini milikmu .. ."
"O . . .. benar, milikku .. ."
Ang Nio Cu mencabut pedang dari kerangkanya dan
bertanya: "Apa masih mengenali ?"
"Thiat-kiam." teriak Cu Jiang. Dia tak menyangka
bahwa pedang thiat-kiam (besi) miliknya akan jatuh
ditangan Ang Nio Cu. Kini baru dia teringat. Ketika dia
dihantam dan dilempar ke dasar jurang oleh ketiga tokoh
Sip-pat thian-mo, pedang itupun jatuh entah dimana.
Tentulah Ang Nio Cu menemukannya disekitar lembah
buntu itu. "Bagaimana ?" tegur Ang Nio Cu.
"Baik," kata Cu Jiang.
"Ingat baik-baik! Sejak saat itu nona Ho Kiong Hwa itu
adalah calon isterimu yang resmi!" kata Ang Nio Cu
dengan tandas. Cu Jiang meringis. Ia merasa seperti bermimpi. Kini dia
sudah mempunyai isteri. Apabila racun itu tak dapat
disembuhkan, bukankah Ho Kiong Hwa akan menjadi Ong
bun-koa atau janda yang belum dikawin.
Setelah menyimpan pedang thiat-kiam, berkata pula Ang
Nio Cu : "Mari kita berunding mencari jalan menyembuhkan
racun itu." Cu Jiang terkesiap. "Bukankah anda mengatakan bahwa racun Toan-bun-tok
itu tiada obatnya lagi?"
"Benar. Tetapi ada seorang yang mungkin dapat
menyembuhkannya." "Siapa ?" "Dia berwatak nyentrik sekali, sukar diajak kenal. Tetapi
demi menolong jiwa, terpaksa harus menempuh jalan itu..."
"Siapakah dia itu?"
"Ban Yok ih yang bergelar Kui-Jiu sin-Jin atau manusia
sakti bertangan setan"
"Kui-Jiu-sin Jin Ban Yuk Ih.. ..rasanya aku pernah
mendengar nama itu."
"Kepandaiannya dalam ilmu pengobatan, dalam dunia
ini tiada yang melawan. Tetapi wataknya angkuh dan
menjengkelkan sekali. Kecuali dia suka menolong sendiri,
tak mungkin dia dipaksa untuk memberi obat kepada orang
sekalipun akan diancam bunuh ...."
"Apakah dia benar2 mampu menyembuhkan racun
dalam tubuhku ?" "Kemungkinan besar."
"Berapa lama aku dapat hidup?"
"Aku mempunyai sepuluh butir pil Bi-tok-wan, dapat
membekukan racun itu supaya jangan menjalar. Kalau tiap
hari makan sebutir, engkau pasti mampu bertahan hidup
sampai sepuluh hari..."
"Sepuluh hari!"
"Ya." "Di mana tempat tinggal Kui-jiu-sin-Jin Bun Yok Ih itu?"
"Didalam lembah dibelakang puncak Sin li hong gunung
Busan." Sejenak memperhitungkan perjalanannya, Co Jiang
berkata: "Masih keburu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana?"
"Apakah dia mampu menyembuhkan racun itu masih
menjadi pertanyaan, Dan apakah dia mau memberi obat,
juga masih menjadi soal."
"Asal mampu menyembuhkan saja. suka tak suka, mau
tak mau, dia harus mengobati"
"Memakai kekerasan "* tanya Cu Jiang.
"Cara apapun dihalalkan asal dapat mencapai tujuan."
"Kalau begitu harap tunjukkan jalannya."
"Aku akan menemanimu."
Cu Jiang terkesiap. Ia tak nyana Ang Nio Cu yang
dimasyhurkan dunia persilatan sebagai seorang momok
ganas, ternyata baik sekali kepadanya.
Dengan nada singkat Cu Jiang menyatakan bahwa dia
tak berani merepotkan Ang Nio Cu.
"Sudahlah, jangan banyak cakap. Apakah engkau dapat
mendayung perahu?" tukas Ang Nio Cu.
"Ya." "Mari kita berangkat dengan perahu." Sejenak merenung
Cu Jiang menyatakan bahwa hal itu kurang leluasa.
"Mengapa?" "Dengan naik perahu tentu sukar untuk menyembunyikan jejak. Dan akupun tak pandai berenang.
Apabila musuh menyerang, tentu sukar untuk menghadapi.
"Ya, benar juga. Kalau begitu kita masing2 mengambil
jalan sendiri. Dan nanti bertemu di Busan, bagaimana?"
Cu Jiang setuju. "Ingat, tiap hari harus minum sebutir pil Bik-tok wan itu,
dan jangan marah!" Ang Nio Cu memberi peringatan lagi.
"Ya, aku akan mengingat hal itu."
Ang Nio Cu berkata sambil botol dilemparkan kepada
Cu Jiang: "Itulah pil Pik-tok-wan hanya tinggal sembilan butir,
dapat memperpanjang usiamu sembilan hari. Hati2
menjaganya." Sambil menyambuti, Cu Jiang menghaturkan terima
kasih. "Kita berjalan berpisah, tenggelamkan saja perahu ini,"
kata Ang Nio Cu terus loncat ke darat dan tak berapa kejab
sudah lenyap. Dengan gemas Cu Jiang memandang mayat Rase
Kumala. kemudian dia menghantam papan lantai perahu,
setelah itu loncat ke daratan. Perahu mulai menyelam dan
tak lama sudah tenggelam.
Karena buru2 menuju ke Busan, terpaksa ia putar
kembali ke Kui-ciu. Tak sampai setengah li ia melihat
sebuah tandu warna hijau dipikul oleh empat lelaki gagah,
berjalan seperti terbang.
Dalam sekejab saja sudah tiba. Jelas keempat lelaki
pemikul tandu itu tentu bangsa kaum persilatan.
Cu Jiang tak mau cari perkara. Ia menyingkir ke pinggir.
Dan tandu itupun cepat sekali sudah berlalu.
Tiba2 telinga Cu Jiang terngiang ia sebuah suara lembut
sekali. Mungkin orang lain tentu tak mungkin dapat
mendengar. "Itulah si pembunuh besar, lekas, jangan cari gara2
kepadanya! " ngiang suara lembut itu.
"Apa dia Toan- kiam jan jin?"
"Benar, memakai penutup muka, kakinya pincang,
masakan ciri2 itu masih belum cukup jelas!"
Cu Jiang berpaling memandang, Ia terkejut ketika
melihat pada bagian belakang tandu itu terdapat pertandaan
dari keempat kojiu dari Tayli yang mengikuti perjalanannya
selama ini. Tanda rahasia itu berbunyi: "Tolong orang
dalam tandu." O0oood0wooo0O Jilid 15 "Berhenti!" serentak Cu Jiang berteriak dan dengan
beberapa loncatan dia sudah berada di depan tandu.
Keempat pemikul tanda Itu berhenti dan letakkan tandu.
Wajah mereka berobah tegang.
"Siapa di dalam tandu" " seru Cu Jiang.
Keempat pemikul itu saling bertukar pandang. Tiba2 dari
dalam tandu terdengar lengking seorang wanita:
"Siapa yang menghadang jalan itu?"
Cu Jiang terkejut. Keempat Tay-li-ko-jiu tak mungkin
keliru meninggalkan pertandaan bahaya. Tetapi nada
perempuan dalam tandu itu seperti bukan orang yang
membutuhkan pertolongan. Sejenak meragu, Cu Jiang segera mengambil keputusan.
Betapapun halnya, dia harus memeriksa lebih dulu.
"Toan kiam-jan-jin." serunya dengan nada tergetar.
"Oh, Toan kiam-jan jin, sudah lama tak berjumpa.
Mengapa menghadang jalan?" seru wanita dalam tandu.
Cu Jiang gelagapan tetapi dia tetap berkeras, serunya :
"Tandu ini agak mencurigakan, aku akan memeriksanya!" "Apa" Mau memeriksa?"
"Ya." "Apakah engkau hendak melanggar peraturan?"
"Katakanlah begitu. Lekas buka pintu!"
"Toan-kiam-jan jin, ilmu silat mempunyai tata peraturan
silat, masakan hendak digunakan untuk menggertak!"
"Aku tak peduli!"
"Aku seorang wanita baik, harap anda tahu aturan,
jangan berbuat yang tak senonoh . . ."
Cu Jiang sudah terlanjur bertindak dan dia malu untuk
mundur. "Apakah menghendaki aku turun tangan?"
Keempat pemikul tandu itu tampaknya memang orang
persilatan tetapi semua takut kepada Toan-kiam jan jin.
kecuali mengeluh kejut, mereka tak berani ikut bicara.
Pintu tandu terbuka dan tampaklah seorang wanita
muda yang cantik tengah duduk dalam tandu.
Cu Jiang makin bingung. Keempat kojiu dari Tayli itu
tak mungkin akan berolok-olok dengan dia tetapi mengapa
mereka meninggalkan pertandaan rahasia di tandu itu"
Ternyata dalam tandu itu kecuali seorang wanita muda
yang cantik tak terdapat sesuatu yang mencurigakan lagi.
Adakah karena diancam maka nyonya muda itu tak
berani bergerak" "Harap beritahukan nama." akhirnya ia berseru.
Dengan tertawa secerah musim semi, nyonya itu berkata:
"Apakah perlu harus begitu?"
Suara tawa itu amat memikat hati. Tetapi Cu Jiang
sudah tak mau kena pengaruh lagi.
"Tentu." sahutnya tegas.
"Apa engkau kenal aku" Kalau aku memberi keterangan
yang palsu, apakah engkau dapat membedakan?"
Cu Jiang terbeliak. "Ya, mungkin benar. Sekarang silakan turun saja."
Nyonya cantik itu kerutkan alis. "Aku harus turun?"
serunya. "Ya." "Mengapa?" "Tak perlu tanya. "
" Kalau aku tak mau?"
"Apa yang kukatakan, tentu kulakukan."
"Apakah anda hendak membunuh aku?"
"Mungkin." "Sungguh tak ada aturannya. Engkau berjalan sendiri
dan akupun naik tandu sendiri . . ."
"Ah, terlalu banyak bicara, turun!"
"Tetapi engkau harus memberi alasan!"
"Aku hendak memeriksa tandu ini"
"Aneh, kitakan belum saling kenal, mengapa engkau
hendak mengganggu kami ...."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih baik engkau turut perintah saja."
Terpaksa nyonya cantik itu turun dari pintu. Cu
Jiangpun menghampiri ke pintu dan memandang ke dalam
tandu. Ternyata tandu itu kosong melompong. Diam2 ia
menghela napas dan meringis dalam hati.
"Sudahkah?" nyonya cantik itu tertawa mengejek.
"Pergilah!" terpaksa Cu Jing mundur teratur. Dengan
tertawa nyonya cantik itupun segera melangkah masuk ke
dalam tandu lagi. Tiba2 sekonyong-konyong dari dalam tandu terdengar
suara orang bernapas. Telinga Cu Jiang yang tajam segera dapat menangkap
suara itu dan terus membentak:
"Tunggu!" Nyonya cantik Itu terkejut. Berputar tubuh dan
menyurut mundur beberapa langkah.
"Toan kiam Jan-jin, apa maksudmu?"
"Apa yang berada dibawah dudukan itu ?" seru Cu Jiang.
Seketika wajah nyonya cantik itu berobah dan menyurut
mundur lagi. Keempat pemikul tandu itupun ikut mundur.
Cu Jiang tak mau membuang tempo. Dia menghantam
atas tandu dan mengangkat papan. Kejutnya bukan alang
kepalang ketika melihat seorang manusia yang lebih
menyerupai seorang manusia darah, berada dibawah
tempat duduk. Orang itu telah dimasukkan kebawah tempat duduk
sehingga tak kelihatan. Setelah tempat duduk dibongkar, barulah orang itu dapat
terlihat. Seketika Cu Jiang terkejut demi melihat orang itu:
"Dia !" Orang itu tak lain adalah Ho Bun Cai, congkoan dari
Gedung Hitam yang mengaku sebagai suhengnya. Saat itu
napasnya lemah sekali. Melihat kepandaian Ho Bun Cai, tentu yang merubuhkan dan memasukkannya kebawah tempat duduk
tandu itu, memiliki kepandaian yang sakti.
Begitu rahasianya terbongkar, wanita cantik dan keempat
pemikul tandu itu terus melarikan diri.
Ketika Cu Jiang menyadari, mereka sudah jauh sekali.
Sebenarnya dia mampu mengejarnya tetapi menilik
keadaan Ho Bun Cai yang sudah begitu payah, terpaksa dia
harus menolongnya dulu. Ternyata tubuh Ho Bun Cai penuh berhias sabetan
pedang sehingga dagingnya murmur.
"Suheng, suheng !"
Ho Bun Cai hanya bergerak sedikit tetapi tak memberi
jawaban apa2. Cu Jiang segera mengangkat tubuh Ho Bun Cai dan
dibawa kedalam hutan. Meletakkannya di tempat yang
sunyi. Waktu ia memeriksanya, Cu Jiang makin lemas
hatinya. Bukan saja urat-uratnya malang melintang tak karuan,
pun urat nadi bagian hati telah putus. Jelas luka bagian
dalam lebih parah dari bagian luar.
Siapa yang telah melukainya sampai begitu hebat "
Cu Jiang getun sekali karena tak dapat membekuk
wanita cantik itu. Lalu bagaimana dia harus bertindak "
Amarahnya berderai-derai membanjir. Satu satunya
murid dari ayahnya, ternyata tak dapat ditolong
Sesosok tubuh berkelebat dan muncullah seorang tua
bongkok, Cu Jiang segera mengenalinya sebagai salah
seorang dari Empat-kojiu Tayli. Namanya Ko Kun.
"Apakah engkau yang membuat tanda rahasia itu ?"
tegur Cu Jiang. "Ya." "Bagaimana peristiwanya ?"
"Hamba mendapatkan korban itu menggeletak dipintu
sebuah kuil di tepi sungai. Mulutnya menyebut Toan-kiam-
Jan-jin. Itulah sebabnya hamba terus meninggalkan
pertandaan rahasia. Tetapi pada saat itu muncul beberapa
orang yang membawa tandu. Korban juga diangkut
kedalam tandu. Oleh karena telah menerima titah baginda
bahwa hamba sekalian tak boleh turun tangan, demi
melaksanakan amanat baginda dan demi menjaga
keselamatan negara serta ciangkun sendiri, maka diam2
hamba mengikuti tandu itu untuk mencari kesempatan
meninggalkan pertandaan rahasia pada tandu itu."
"Oh..." "Apakah masih dapat ditolong ?"
"Sukar," sahut Cu Jiang dengan sedih.
"Ini...." "Aku harus berusaha supaya dia dapat bicara !"
Ko Kun membungkuk dan memeriksa urat-nadi. Sesaat
ia gelengkan kepala: "Kecuali terjadi keajaiban, tak mungkin dia dapat
ditolong lagi !" "Akan kusaluri tenaga-murni kedalam tubuhnya."
"Mungkin tak dapat bahkan kebalikannya akan
mempercepat kematiannya."
"Tetapi aku perlu bertanya banyak sekali kepadanya."
"Ciangkun...." "Jangan menggunakan sebutan itu."
"Baiklah," kata Ko Kun, "hanya dengan memberikan
saluran tenaga-murni secara pelahan-lahan, Mungkin saja
dapat menyadarkannya."
"Akan kucoba." "Demi menjaga rahasia diri, maaf, terpaksa aku harus
pergi. ." "Silakan." Ko Kun terus lari dan menyusup kedalam hutan. Saat itu
Cu Jiang seperti mau menangis. Pertama karena
mendapatkan suhengnya tak tertolong jiwanya dan kedua
karena dia masih mempunyai banyak sekali pertanyaan
yang belum diketahui. Kalau suheng itu mati. rahasia
itupun ikut lenyap. Rahasia diri ketua Gedung Hitam. Musuh-musuh
mendiang orang tuanya dan sebab2 mengapa dirinya
sampai dianiaya oleh orang.
Kesemuanya itu masih merupakan teka teki besar yang
belum terpecahkan. Bibinya, wanita gemuk itu, mungkin
tahu semua peristiwa itu. Tetapi dia berada jauh di negeri
Tayli. Sementara saat itu suhengnya menghadapi kematian dan
dia sendiripun terkena racun sehingga tak dapat berbuat
suatu apa. Merenungkan hal itu semua teringatlah ia akan
suhunya, Gong gong-cu. Jika suhunya berada disitu,
tentulah mudah bila diajak berunding...
Ah... tiba2 ia teringat. Bukankah dia saat itu sedang
menuju ke gunung Busan untuk mencari Kui jiu-sin-jin Bun
Yok Ih yang kabarnya mempunyai kepandaian mengobati
orang yang sudah mati dapat hidup lagi.
Jika demikian apabila dia membawa suhengnya kesana,
tentulah ada harapan jiwanya tertolong. Tetapi ah ... .
Busan sedemikian jauh dan keadaan suhengnya sedemikian
parah, apakah hal itu dapat tercapai.
Setelah merenung sekian saat, ia memutuskan untuk
memberi pertolongan sendiri. Dengan tangan kiri melekat
ke pusar suhengnya, ia menyalurkan tenaga-murni.
Kemudian tangan kanannya menutuk ketiga belas jalan
darah tubuh suhengnya. Beberapa waktu kemudian barulah tampak mulut Ho
Bun Cai mulai bergerak-gerak dan napaspun mulai
mendengus, kemudian membuka mata. Tetapi sinar
matanya tampak kuyu. "Suheng, suheng. apakah kenal kepadaku?" serunya
tegang. Setelah mengulang berapa kali tampak bibir Ho Bun Cai
mulai bergetar tetapi tetap terkatup. Rupanya dia hendak
berkata tetapi tak dapat bersuara. Sikapnya mengunjukkan
penderitaan yang hebat. Perasaan Cu Jiang makin rawan. Dia memperkeras
saluran tenaga murninya sembari berseru memanggil:
"Suheng, suheng."
Dengan susah payah akhirnya mulut Ho Bun Cai dapat
juga mengucap beberapa patah kata.
"Bu-lim .... seng-hud . . . Sebun. . . Ong . . . balas
dendam . .." dia hendak melanjutkan kata-katanya tetapi tak
kuat. Matanya melotot dan seketika putuslah nyawanya.
Cu Jiang memeluk tubuh suhengnya dan menangis
tersedu-sedu. Sanak saudaranya dalam dunia ini, satu demi
satu telah meninggalkannya. Betapapun keras hatinya
namun hancur juga kesedihannya.
Bu-lim-seng-hud si Buddha-hidup Sebun Ong itu si
manusia agung yang palsu itu. Mengapa dia membunuh Ho
Bun Cai" Apakah karena Ho Bun Cai itu congkoan dari
Gedung Hitam. Tetapi apa bedanya Sebun Ong dengan ketua Gedung
Hitam" Bukankah mereka setali tiga uang, sama2 manusia
jahat" Apakah Ho Bun Cai tak dapat meloloskan diri dari
genggaman Gedung Hitam"
Dengan menilai beberapa kesan itu akhirnya Cu Jiang
menyimpulkan bahwa wanita cantik dalam tandu itu
tentulah salah seorang anak buah gerombolan Hoa-gwat-
bun. Sungguh tak terduga bahwa Sebun Ong dapat menguasai
gerombolan perempuan2 jalang itu.
Hm jika tak dapat membuka kedok manusia Sebun Ong,
dunia persilatan tentu tak mau percaya bahwa apa yang
mereka agungkan sebagai ksatrya berbudi luhur seperti
Buddha-hidup ternyata seorang manusia jahanam.
Cu Jiang teringat pula akan peristiwa ketika Ho Bun Cai
ditantang oleh Tio Pit Bu. murid dari Hun-kong kiam Go
Siok Ping. Ho Bun Cai mengatakan bahwa dia tak mau
menggunakan jurus ilmu pedang yang dahulu itu.
Dia duga yang dimaksudkan Ho Bun Cai itu tentulah
sejurus ilmu pedang It kiam-tui-hun ajaran mendiang
ayahnya. Ah, jika pada malam itu dia tak ikut campur dan
membiarkan Tio Pit Bu mendesak Ho Bun Cai, tentulah dia
segera dapat mengetahui diri Ho Bun Cai. Dan tentulah dia
akan memperoleh banyak keterangan dari suhengnya itu.
Dan mungkin peristiwa sedih seperti saat itu takkan terjadi.
Tetapi kesemuanya itu sudah terjadi dan tak mungkin
dirobah. Sesal kemudian tak berguna. Suhengnya telah mati
dengan mengenaskan sekali.
"Sebun Ong! Sebun Ong!" ia menggeram dengan penuh
dendam kesumat. Kemudian ia mencari sebuah tempat di
tepi sungai untuk mengubur Jenazah Ho Bun Cai. Ia
mencari batu untuk nisan dan dengan jarinya ia menggurat
beberapa patah kata: Makam Ho Bun Cai, murid Dewa-pedang.
Karena menulis itu dia harus menggunakan tenaga-
dalam dan saat itu dia rasakan badannya kurang enak.
Tetapi dia tak menghiraukannya. Kesedihan dan kemarahan yang meluap-luap telah menegangkan urat-
syarafnya. Selesai penguburan, dia memberi hormat yang terakhir
dan siap hendak tinggalkan tempat itu. Sekonyong-konyong
terdengar sebuah suara orang berseru dengan nada dingin:
"Toan kiam-jan jin, tempat ini bagus sekali alam
pemandangannya. Tepat kalau menjadi tempat peristirahatanmu selama-lamanya."
Cu Jiang terkejut dan cepat berputar tubuh. Dua tombak
jaraknya, tegak seorang yang berpakaian hitam dan
mukanya bertutup kain hitam.
Ah, orang itu adalah tokoh misterius yang paling
termasyhur dalam dunia persilatan dewasa itu, yaitu ketua
Gedung Hitam. Seketika meluaplah darah Cu Jiang, serunya geram:
"Pohcu, selamat bertemu! "
Ketua Gedung Hitam tertawa gelak2.
"Toan kiam jin jin, apakah engkau pernah sesumbar
hendak menghancurkan Gedung Hitam?"
"Benar." "Mampukah engkau?"
"Tentu!" "Ha, ha, ha, ha! Jangan keliwat tak tahu diri!"
"Kenyataan nanti yang akan membuktikan!"
"Aku harus bersyukur kepadamu karena engkau mau
merawat mayat congkoan kami Ho Bun Cai," seru ketua
Gedung Hitam. "Hm," Cu Jiang mendengus.
"Mengapa engkau tahu bahwa dia itu murid dari Dewa
pedang?" "Tak perlu engkau tahu." baru berkata begitu tiba2 Cu
Jiang terkesiap. Congkoan dibunuh orang mengapa ketua
Gedung Hitam itu tidak menanyakan sebab2 pembunuhan
itu kebalikannya mengalihkan pembicaraan pada lain soal"
Sungguh mengherankan! Saat itu Cu Jiang hendak bertanya tentang peristiwa
pembunuhan kedua orang tuanya tetapi pikir2, sebelum ada
bukti tentulah ketua Gedung Hitam itu akan menyangkal.
Dan kalau mengemukakan peristiwa pembunuhan itu,
bukankah dirinya sendiri tentu akan ketahuan. Saat itu dia
sedang terkena racun, belum tahu bagaimana nanti


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nasibnya. "Toan-kiam jan-jin." tiba2 ketua Gedung Hi tam berseru
pula, "jangan2 engkau ini juga pewaris dari Dewa-pedang
Cu Hong Ko?" "Kalau betul begitu, lalu bagaimana?" balas Cu Jiang.
"Engkau sesumbar hendak menghancurkan Gedung
Hitam," kata ketua Gedung Hitam, "atas dasar perhitungan
apa?" "Perhitungan darah!"
"Dalam peristiwa yang mana?"
"Seharusnya engkau Sudah tahu jelas."
"Banyak sekali aku berhutang kepada orang. Silakan
engkau mengatakan sendiri!"
Cu Jiang merenung. Jika mengatakan pada saat itu,
tentulah dirinya akan ketahuan. Saat itu masih belum
waktunya, lebih baik dia tak mengungkat peristiwa itu, Jika
musuhnya bukan hanya terbatas ketua Gedung Hitam itu
sendiri, bukankah mereka akan terkejut dan tahu lalu
bersiap-siap" Serentak dia teringat akan pesan Ang Nio Cu bahwa
selama dalam perjalanan untuk mencari obat ke Busan itu,
sekali-kali jangan marah dan jangan berkelahi dengan orang
karena hal itu akan mengakibatnya racun segera bekerja
keras. "Aku tak mau membereskan hutan darah itu sekarang,"
seru Cu Jiang. "Kenapa ?" "Itu urusanku."
"Tetapi aku justeru hendak mengambil batang kepalamu!" "Coba saja kalau mampu!"
Tiba2 dari dalam hutan berhamburan keluar belasan
sosok bayangan manusia. Cu Jiang mengerling pandang ke
sekeliling dan melibat dua diantara orang2 itu terdapat dua
orang tua yang tak asing baginya.
Kedua orang itu adalah kedua jago silat yang menjadi
pengawal Kopuhoa anak raja Biau waktu meminang puteri
baginda Tayli dahulu. Kini jelas bagi Cu Jiang, bahwa anak raja Biau itupun
sudah ditunggangi ketua Gedung Hitam untuk dijadikan
alat memburu kitab pusaka Giok kah- kim-keng.
Cu Jiang kenal dengan kedua kojiu itu tetapi sebaliknya
mereka tak mengenali dirinya. Waktu di Tayli, dia
mengenakan kedok sebagai panglima Tia-tin-ciang-kun.
Dan dia pun tidak menggunakan pedang kutung seperti
sekarang. Ha, kini makin jelas bahwa Gedung Hitam itu ternyata
sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab Giok-kah-
kim-keng. Thian-hian-cu dan Go-leng-cu, berturut-turut
telah menjadi korban mereka.
Saat itu Cu Jiang tak dapat melanjutkan renungannya
lebih lanjut karena bayangan orang2 itu makin menyempitkan kepungannya hingga hanya terpisah jarak
lima tombak. Cu Jiang menyadari bahwa pertempuran berdarah tak
dapat dihindari lagi. Bagaimana nanti akhirnya, ia tak dapat
membayangkan. "Heh, heh, Toan-kiam-jan-jin." ketua Gedung Hitam
tertawa mengekeh, "mengapa engkau tak mau memberitahukan asal usul dirimu lebih dulu ?"
"Tak perlu!" "Bagaimana kalau engkau bunuh diri saja?"
"Jangan mimpi!"
"Kalau bertempur, engkau tentu akan mati lebih
mengenaskan . . ." "Mungkin engkau ?"
"Hm, mari kita lihat saja . .."
Belum habis ucapan itu tiga Pengawal Hitam serentak
maju dari tiga arah. Cu Jiang terkesiap. Ia mendapat kesan
bahwa kesemuanya itu tentu sudah diatur lebih dulu.
Gedung Hitam hendak menggunakan siasat bertempur
secara bergilir untuk menghabiskan tenaganya. Dan yang
terakhir baru ketua Gedung Hitam itu sendiri yang akan
turun tangan. Saat itu dia masih terkena racun. Menurut Ang Nio Cu,
dia tak boleh menggunakan tenaga dalam. Karena apabila
dia menggunakan tenaga, racun itu tentu akan bekerja.
Jika saat itu tidak hendak meloloskan diri, memang tidak
sukar. Dengan ilmu langkah Gong-gong-poh-hoat, dia tentu
mampu lolos dari kepungan musuh. Tetapi karena masih
berdarah panas, dia tetap tak takut.
Dan terutama nanti apabila menghadapi ketua Gedung
Hitam, dia akan bertempur mati-matian. Sekalipun dia
harus mati, asal durjana itu juga tewas, dia sudah puas.
"Hm, apakah anda tak berani turun tangan sendiri?"
serunya sambil memandang tajam kepada ketua Gedung
Hitam. "Siapa bilang?"
"Mengapa harus suruh mereka mengantar jiwa lebih
dulu?" "Untuk melatih kepandaian mereka."
"Ucapan yang indah. Tetapi tidakkah anda bermaksud
hendak menggunakan siasat bertempur secara berantai?"
"Andaikata begitupun tidak apa. Asal bisa mengambil
nyawamu." "Anjing yang tak tahu malu..."
Saat itu ketiga pengawal Hitam sudah maju dengan
serangan pedang. Ditilik dari kehebatan serangan mereka
tentulah mereka itu termasuk jago2 pilihan dari Gedung
Hitam. Pelahan-lahan Cu Jiang melolos pedang keluar. Matanya
memancarkan sinar berkilat-kilat buas. Dalam keadaan
seperti saat itu, hanya tinggal satu pilihan, membunuh atau
dibunuh. Suasana dalam ruanganpun segera berobah tegang
regang, penuh dengan hawa pembunuhan.
Ketua Gedung Hitam mundur sampai empat lima
langkah. Serentak terdengar tiga buah aum pekik yang
dahsyat dari ketiga Pengawal Hitam yang menyerbu dari
tiga arah. Dengan menggigit gigi, Cu Jiang segera lancarkan jurus
Thian te-kiau-toay atau langit bumi-saling-terangkap.
Huak buk .... Terdengar jeritan ngeri dan sinar merah darah. Dua
orang pengawal Hitam segera rubuh ke tanah. Sedang yang
seorang terhuyung-huyung mundur dengan berhias tiga
empat tusukan pedang. Seluruh anak buah Gedung Hitam yang berada di
gelanggang situ, pucat seketika. Serentak tiga lelaki tua baju
hitam masuk kedalam gelanggang. Salah seorang adalah
jago yang menyamar sebagai pengawal putra raja Biau
tempo hari. Jelas bahwa ketiga lelaki tua baju hitam itu
lebih sakti dari kawanan Pengawal Hitam.
Saat itu Cu Jiang rasakan kepalanya agak pusing", Ia
menyadari dirinya akan tertimpah malapetaka. Diapun
sudah membulatkan tekad. Sebelum dia rubuh, mudah-
mudahan dia dapat membunuh kepala Gedung Hitam itu.
Ketiga lelaki tua baju hitam itu dengan menudingkan
ujung pedang, pun sudah maju menghampiri.
Yang menyerang lebih dulu, akan memiliki kesempatan
lebih kuat. Cu Jiang teringat akan ajaran itu. Saat itu bukan
menguji kepandaian tetapi sedang beradu jiwa. Kalau salah
langkah, pasti akan mati dibawah ujung pedang musuh.
Suatu hal yang membuat hatinya penasaran. Matipun
dia tentu takkan meram, Bagaimana nanti dia harus
mempertanggung jawabkan dirinya kepada raja Tayli,
kepada Gong gong-cu dan kepada kawan-kawan yang telah
mati terbunuh oleh keganasan musuh...
Tiba2 ia mengembangkan ilmu langkah Gong-gong poh
hwat Sekali menggeliat, dia terus melenyapkan diri dari
hadapan ketiga lawan. Huak, huak, huak Terdengar tiga buah jeritan ngeri dan diatas tanah segera
bertambah dengan tiga sosok mayat lagi.
Ketua Gedung Hitam terkesiap. Seluruh anak buah
Gedung Hitampun tercengang menyaksikan peristiwa luar
biasa itu. Tetapi saat itu Cu Jiangpun terhuyung-huyung.
Kepalanya makin pening. Sebelah tangannya mulai mati
rasa. Dia menyadari bahwa keadaannya sudah makin gawat
sekali. Jika tidak segera bertindak, tentulah dia akan mati
dengan membawa dendam penasaran.
Serentak dia melompat ke tempat ketua Gedung Hitam
seraya membentak: "Cabut pedangmu!"
Gerakan Cu Jiang itu memang diluar dugaan dan diluar
dugaan pula ketua Gedung Hitampun mundur selangkah.
Tiga jago pedang segera loncat menyerang Cu Jiang dari
belakang. Tanpa berpaling, Cu Jiang mengayunkan
pedangnya ke belakang. Terdengar dering yang tajam dan tiga butir kepala
manusia terlempar jatuh. Yang dua orang tangannya juga
putus. Tetapi Cu Jiang makin pening. Bahkan pandang
matanya sampai berkunang-kunang, perutnya mual mau
muntah, Itulah gejala dari bekerjanya racun. Namun dia
tetap mengertek gigi dan bertahan berdiri tegak.
Dia merasa bahwa ketua Gedung Hitam itu memang
tengik sekali. Tak mau melayani tantangannya tetapi terus
main mundur dan menyuruh anak buahnya yang maju
dulu. Jika demikian, sia-sialah harapannya. Dia mati tanpa
dapat menyentuh ketua Gedung Hitam yang dibencinya itu.
Tiba2 ketua Gedung Hitam yang mundur sampai tiga
tombak jauhnya. "Mundur !" serunya. Sekalian anak buahnya yang siap
hendak menerjang Cu Jiang, serempak mundur dan
tinggalkan tempat itu. Cu Jiang diam2 menghela napas longgar dalam hati. Ah,
kalau saja ketua Gedung Hitam itu tahu akan keadaan
dirinya saat itu, tak mungkin dia mau memberi perintah
mundur kepada anak-buahnya.
Sesaat Cu Jiang tertegun. Dia merasa seperti kembali
dari akhirat. Diapun mulai merenungkan tindakan ketua
Gedung Hitam tadi Apakah ketua Gedung Hitam itu takut
kehilangan banyak sekali jago-jagonya "
Atau sebab karena merasa tak mampu melawan musuh,
mereka agar jangan kehilangan pamor di hadapan anak
buahnya, ketua Gedung Hitam itu lalu memerintahkan
mereka mundur " Tiba2 iapun teringat akan keadaan dirinya. Bukankah
akan berbahaya sekali apabila musuh bersembunyi dan
masih mengawasi dirinya "
Diam2 Cu Jiang menggigil terus ayunkan langkah
menuju ke jalan besar. Tetapi baru berjalan beberapa belas
langkah, masih belum keluar dari lingkungan medan
pertempuran tadi, ia rasakan pandang matanya gelap,
kepalanya berat dan tubuhnya kaku sehingga dia tak kuat
menggerakkan kaki lagi. Tubuhnyapun terhuyung huyung
akan jatuh. Dalam keadaan antara sadar tak sadar, sekonyong-
konyong ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di
hadapannya. "Mati aku .. . ." hati mengeluh, tangan pun segera
menyambitkan pedangnya ke muka dan orangnya terus
rubuh. Pada waktu ia rubuh, ia masih sempat mendengar
sebuah suara yang dikenalnya. Tetapi siapa orang itu atau
bagaimana kelanjutannya dia tak mampu mengetahui lagi
karena saat itu dia terus pingsan.
Waktu dia membuka mata, ia dapatkan dirinya rebah di
atas sebuah ranjang yang beralas jerami dan diterangi oleh
sebuah pelita. Di manakah dia saat itu" Mengapa dia tak mati" Siapa
yang menolongnya" Mengapa, bagaimana dan kenapa
menghujam benaknya. "Adik kecil, apakah engkau masih kenal aku?" tiba2
terdengar sebuah suara. "O. lo koko." serentak Cu Jiang mengenal siapa orang itu
dan berseru sambil bangkit.
Kini dia baru mengetahui bahwa Thian-put thou Ciok
Yau liu duduk di samping ranjangnya.
"Bagaimana yang engkau rasakan" " tanya Ciok Yau Je
pula. Cu Jiang berusaha hendak bangun tetapi tenaganya
lunglai sekali. Ia mencoba pula untuk mengerahkan tenaga-
murni, juga tak mampu. Keadaan itu sama dengan orang
yang tak dapat ilmu silat. Ia tertawa hambar.
"Lo-koko, aku mungkin sudah tak berguna!"
"Siapa bilang!" teriak Thian-put-thou dengan keras,
"bagaimana engkau tak berguna lagi..."
"Tetapi ilmu kepandaianku sudah lenyap!"
"Ah, apakah yang telah terjadi pada dirimu?"
Cu Jiang segera menuturkan semua yang di alaminya.
Setelah terkena tusukan beracun dari anak buah Hoa-gwat-
bun, dia telah dikepung anak buah Gedung Hitam.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu terjadi pertempuran berdarah yang menyebabkan
racun dalam tubuhnya berkembang sehingga dia rubuh.
Thiau-put thou kerutkan dahi.
"Ah, kutahu engkau memang terkena racun. Tetapi aku
tak menduga kalau engkau terkena racun Toan bun tok
yang ganas itu..." "Lo-koko, tempat apakah ini?"
"Rumah pondok Bulu-ayam. Kupilih rumah penginapan
kecil ini agar tidak menarik perhatian orang."
"Bagaimana lo-koko secara kebetulan sekali dapat
berjumpa dengan aku?"
"Ha, ha, memang suatu kebetulan yang jarang terjadi.
Aku sedang mondar mandir di Kai-ciu, tak terduga telah
berjumpa dengan sesosok tubuh yang menggeletak di tepi
jalan. Ternyata dia adalah Gong Beng taysu, seorang
tianglo dari vihara Siau lim yang telah menjadi sahabat
baikku. Dia tak dapat menjawab pertanyaanku. Setelah
kuperiksa ternyata dia terkena pukulan beracun Ngo tok
ciang dari Ngo tok-mo, iblis ke tujuh dari gerombolan iblis
Sip-pat-thian-mo. Segera kubawa ia menyingkir lalu aku
nekad mencuri obat penawar racun di markas cabang Thian
tong-kau di Kwi ciu."
"Apakah Ngo-tok mo itu ketua cabang Thian-thong kau
di Kwi-ciu?" "Benar." "Lalu ?" "Dengan susah payah akhirnya aku berhasil mencuri
sebutir pil Hui-lok wan. Ketika aku tiba ditempat
persembunyian. ternyata Gong Beng sudah meninggal.
Terpaksa dengan hati masygul aku melanjutkan perjalanan
lagi. Secara kebetulan kulihat engkau terhuyung-huyung
rubuh. Aku bergegas lari menghampiri tetapi engkau terus
melontarkan pedangmu kepadaku."
"Maaf. lo-koko, kukira musuh yang datang.."
"Ah, tak apa. Waktu kuperiksa nadi pergelangan
tanganmu kudapatkan engkau tak menderita luka tetapi
terkena racun. Maka pil Ho tok-wan yang sedianya hendak
kuberikan kepada Gong Beng taysu itu, kuminumkan
kepadamu..." "Oh, lo-koko, benar2 suatu kebetulan yang luar biasa !"
"Tetapi Hoa tok-wan itu hanya mampu menahan racun
Toan bun tok itu untuk sementara waktu tetapi tak dapat
menghapus racun itu!"
"Aku hendak ke gunung Busan untuk menemui Ang Nio
Cu." "Ang Nio Cu?" "Ya" "Bagaimana engkau bersahabat dengan momok wanita
itu?" "Aku banyak berhutang budi kepadanya."
"Momok wanita itu memang misterius sekali. Kabarnya
dia itu anak murid dari perguruan Hiat-ing-bun (bayangan
darah). Siapakah sesungguhnya dia ?"
"Maaf, lo koko. Walaupun aku bersahabat dengan dia,
tetapi aku sungguh2 tak tahu bagaimana wajahnya yang
asli." "O, begitu." "Dia hendak mengajak aku ke puncak Sin li-hong untuk
meminta obat kepada Kui Jin-sin Jin."
"Siapa" Kui-Jiu-sin jin?"
"Ya. Apakah lo-koko kenal padanya?"
Thian-put-thou kerutkan alis, katanya.
"Mungkin hal itu sukar terlaksana."
"Mengapa ?" "Kui jiu sin-jin itu seorang manusia yang terkenal aneh
sekali wataknya. Sifatnya yang nyentrik, mungkin tiada
keduanya di dunia ini. Dia tinggal di lembah Mo-jin-koh . .
. ." "Apa " Mo jin koh !"
"Ya. Mo jin kok atau Lembah-emoh-manusia."
"Mengapa memakai nama itu ?"
"Hm, dia sendiri yang menamakan tempat itu. Lembah
itu merupakan sebuah tempat yang buntu, hanya terdapat
sebuah jalan yang menuju ke lembah buntu itu. Lalu dia
memperlengkapi lembah itu dengan bermacam-macam Ki
bun (barisan aneh). Disebelah luar di tanami rumput dan
bunga2 beracun. Tanpa mendapat ijinnya, tiada seorangpun
yang boleh masuk. Itulah makanya disebut Mo Jin koh."
"Tetapi kecuali ke sana aku tiada lain daya lagi."
"Baiklah, aku bersedia menemanimu kesana."
"Ah, hanya merepotkan lo-koko saja ...."
"Jika engkau begitu, aku akan pergi."
"Ya. ya, akan kubantu saja."
"Juga tidak boleh." Cu Jiang tertawa lalu mengiakan.
"Apakah engkau tak dapat jalan ?" tanya Thian-put-thou.
"Hm . .. rasanya begitu."
"Pada hal banyak sekali musuh2 yang menghendaki
jiwamu." "Memang aku sedang mengalami kemalangan yang tak
terduga." "Jika aku terang-terangan membawamu kesana, tentu
akan timbul kesulitan Cu Jiang tertawa hambar dan mengiakan.
Thian-put thou merenung sejenak. Tiba2 ia menepuk
paha, serunya. "Ada ! Kita berdua minta nasi!"
"Minta nasi?" Cu Jiang terbeliak.
"Hm. kita berdua berganti dengan pakaian pengemis.
Aku mempunyai beberapa kedok muka dan kita lalu
menyamar sebagai pengemis. Tentu orang takkan tahu dan
takkan mengganggu perjalanan kita."
"Kalau mempunyai kedok muka, mengapa harus
menyaru sebagai pengemis?"
"Adik kecil, kakimu yang pincang itu tentu paling
menarik perhatian orang. Jika menyaru sebagai pengemis
dan berjalan dengan sebatang tongkat, tentu dapat
mengelabuhi mata orang."
"Kita berjalan siang malam. Kalau siang engkau berjalan
sendiri, kalau malam baru engkau ku panggul."
"Ah, lo-koko !"
"Sudahlah, jangan banyak ini itu lagi."
Cu Jiang bersyukur sekali dalam hati. Jika tidak bertemu
dengan raja copet Thian put thou, dia tentu mengalami
nasib yang mengenaskan sekali.
Demikianlah dengan menyaru sebagai pengemis mereka
lalu menempuh perjalanan. Dan selama dalam perjalanan
itu mereka tak menemui gangguan apa2, tiba dengan
selamat di gunung Busan. Diperhitungkan bahwa saat itu Cu Jiang sudah tujuh hari
berpisah dengan Ang Nio Cu. Walaupun tiap hari makan
sebutir pil Pit-tok wan, tetapi keadaannya makin payah.
Adakalanya dia seperti tak sadar pikirannya dan hampir tak
dapat melanjutkan perjalanan lagi. Untunglah Thian-put-
thou memberi bantuan kepadanya.
Walaupun sudah tiba di gunung Busan tetapi untuk
mencapai puncak Sin-li hong, merupakan suatu jarak
perjalanan yang cukup sukar. Dalam penyamarannya
sebagai pengemis itu, tentulah Ang Nio Cu sukar untuk
mengenal mereka. Rupanya Thian-put-thou menyadari hal itu maka dia
segera mencopot penyamarannya dan ganti pakaian seperti
semula lagi. Dengan susah payah akhirnya dapat dia membawa Cu
Jiang ke bawah kaki puncak Sin-li-hong dan menempatkannya di sebuah tempat yang cukup aman.
Ia mengeluarkan ransum kering tetapi Cu Jiang sudah
tak sadarkan diri dan tidak dapat makan dan minum lagi.
Menunggu sampai setengah hari, masih belum juga Ang
Nio Cu muncul. Thian put-thou mulai gelisah. Waktu
sudah amat mendesak sekali.
Kalau tak lekas mendapat pertolongan, Cu Jiang tentu
mati. Sedang dia sendiri tak tahu bagaimana cara memasuki
lembah itu. Dengan begitu jelas dia tak mungkin dapat
mencari manusia aneh Kui-Jiu-sin jin.
Saat itu mentari mulai condong ke balik gunung,
cuacapun mulai meremang petang. Sayup2 terdengar lolong
kawanan serigala dan binatang buas. Tak mungkin dia
paksakan diri membawa Cu Jiang ataupun dia sendiri,
menuju ke lembah Mo-jin koh.
Akhirnya, dalam keputusan daya. Thian-put-thau
melepaskan harapannya kepada Ang Nio Cu. Besok pagi
terang tanah, dia akan membawa Cu Jiang untuk mencapai
lembah Mo Jin koh. Hawa malam di gunung itu terasa dingin sekali.
Terpaksa Thian-put thou menyalakan api unggun untuk
menghangatkan badan. Disamping itu api unggunpun dapat
mengenyahkan bangsa ular dan serangga.
Maka dia terus keluar dari gua tempat persembunyian itu
untuk mencari rumput kering dan kayu bakar. Tetapi sekitar
tempat itu merupakan sebuah pegunungan karang yang
tandus. Yang tumbuh hanya jenis pakis dan beraneka
rumput. Apabila hendak mencari kayu bakar harus turun kedalam
hutan yang jaraknya sepuluhan tombak dibawah.
Tetapi dia tak enak kalau meninggalkan Cu Jiang yang
masih pingsan itu seorang diri. Setelah memikir bolak balik,
akhirnya ia memutuskan tetap akan mencari kayu bakar
kehutan itu. Api unggun itu perlu untuk menghangatkan
dingin. Asal dia cepat pergi dan cepat pulang, rasanya Cu
Jiang tak perlu harus dikuatirkan keselamatannya.
Maka diapun terus turun kebawah dan setelah
mengumpulkan beberapa ranting kering, ia terus bergegas
kembali lagi. Tiba di mulut gua, ia seperti tersambar geledek
kagetnya. Cu Jiang sudah lenyap ! Setelah agak terang, dia mulai memeriksa keadaan gua
dan sekitar. Dia tak melihat barang suatu jejak dan telapak
kaki binatang ataupun bekas2 tubuh yang diseret keluar.
Jelas Cu Jiang tentu bukan dimakan binatang buas
melainkan oleh seseorang. Dan menilik peristiwa itu tak
meninggalkan suatu bekas apa2, jelas orang itu tentu
memiliki ilmu kepandaian yang sakti.
Karena kalau tidak, tak mungkin kehadiran orang itu
dapat mengelabuhi pendengaran dan penglihatannya.
Apalagi dia hanya sebentar saja meninggalkan gua itu.
Lalu siapakah orang itu "
Ang Nio Cu " Mungkin. Dan mudah-mudahan saja dia. Tetapi kalau
bukan dia, ah. celaka. Kalau saja Cu Jiang jatuh ketangan
musuh, dia pasti akan mati ....
Baru pertama kali sepanjang hidupnya, Thian put-thou
merasa gelisah sekali. Pada hal biasanya dia terkenal
sebagai manusia yang tak acuh segala apa di dunia ini.
Kemanakah dia harus mencari Cu Jiang dalam malam
yang segelap itu" Jangankan mencari, sedangkan berjalan
saja sukar untuk melihat jalan.
Tetapi bukanlah Thian-put-thou atau si Pencuri-sakti,
apabila dalam menghadapi situasi begitu menjadi kelabakan. Dia memang cerdik. Dalam menghadapi
kekacauan seperti itu. yang pertama-tama dilakukan adalah
menenangkan pikirannya dulu.
Setelah tenang, barulah dia mulai mengadakan analisa
tentang peristiwa itu dan siapa2 yang patut dicurigai.
Yang paling keras diduganya adalah Ang Nio Cu.
Mungkin karena tetap hendak menjaga gerak geriknya yang
serba misterius itu, Ang Nio Cu tak mau tindakannya
diketahui orang. Maka diam2 dia mengikuti perjalanan Cu Jiang dan
menggunakan kesempatan Thian-put-thou sedang turun
kebawah mencari ranting kering Ang Nio Cu terus
menyambar dan membawa Cu Jiang pergi.
Kemungkinan yang kedua, jatuh pada fihak Gedung
Hitam. Tetapi kemungkinan itu memang tipis. Karena
setelah menyamar sebagai pengemis, kalau orang2 Gedung
Hitam itu memang sudah mengetahui, tentu ditengah
perjalanan mereka sudah turun tangan. Tak perlu
menunggu sampai ditempat itu.
Kemungkinan ketiga, diarahkan kepada musuh2 Cu
Jiang yang secara tak sengaja ialah berpapasan di tengah
jalan. Mereka segera menggunakan kesempatan untuk
turun tangan. Sudah tentu kemungkinan ini yang paling
tipis sendiri... Dengan begitu jelas bahwa kemungkinan pertama itu
yang paling besar. Betapapun saktinya tetapi Ang Nio Cu
itu seorang wanita. Dengan memanggul tubuh Cu Jiang
tentulah langkahnya agak tak leluasa.
Asal dia terus menyusul ke arah lembah Mo Jin koh,
tentulah akan dapat menemui mereka. Dan apabila tiba di
lembah itu ternyata tak menemui mereka, Jelas kalau Cu
Jiang tentu tertimpah suatu peristiwa yang tak diharapkan.
Setelah puas menganalisa, Thian-put thau lari menuju
kearah lembah Mo-Jin-koh.
Dalam malam segelap itu sukar untuk mencari jalan.
Thian-put-thou hanya lari dengan berpedoman pada arah
letak lembah itu. Jika memang Ang Nio Cu tidak sengaja
menyembunyikan diri, tentulah dia akan dapat menyusul.
Dan Thian put-thou mempunyai keistimewaan yang
dapat diandalkan yakni pendengaran dan penglihatannya,
luar biasa tajamnya. Melintasi puncak Sin li hong, dia mendengar gemericik
suara air dari sebuah parit yang terbentang dihadapannya.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditengah parit itu. penuh dengan batu2 menonjol yang
aneh bentuknya. Besar kecil seperti bayangan setan.
Betapapun besar nyali si Thian-put thou itu, tetapi dia
meremang juga bulu-romanya.
"Haha..." tiba2 dari tengah parit itu terdengar suara tawa
dingin tetapi tak ada orangnya.
Tetapi Thian-put-thou malah bangkit semangatnya.
Paling tidak dia telah bertemu orang entah kawan entah
lawan. Dia tak mau bergegas mencari tahu tempat
persembunyian orang itu melainkan hentikan langkah dan
batuk2 lalu berseru. "Siapa ?" "Anda seharusnya dapat mengenali." sahut suara orang
itu. Dan nadanya jelas seorang wanita.
Girang Thiau-put-thou bukan alang kepalang. Ia merasa
seperti terlepas dari himpitan batu besar.
"Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?" serunya.
"Benar. Tengah malam buta anda berkeliaran ditengah
lembah pegunungan yang sunyi, sungguh suatu kegemaran
yang luar biasa..." "Hi, hi, haha sama-sama."
"Apakah sebenarnya yang anda cari ?"
"Papan merk ku jatuh !"
"Apa ?" "Merk namaku jatuh."
"Mengapa ?" "Kecuali hanya langit, segala apa dalam dunia ini dapat
kucuri semua. Tetapi malam ini aku justeru kecurian."
"Benda apa ?" "Seorang bocah besar!"
"Pencuri tua, Jangan bergurau. Urusan ini gawat sekali."
"Urusan apa ?" "Lekas usahakan supaya si maniak aneh dalam lembah
ini keluar untuk mengobati Toan-kiam-jan-jin."
"Ah, dimana dia ?"
"Keadaannya gawat sekali."
"Apakah engkau bukan manusia ?"
"Hm." "Mengapa engkau tak mau melakukannya sendiri tetapi
menyuruh aku si tua ini ?"
"Bukan menyuruh tetapi meminta. Aku, Ang Nio Cu,
baru pertama kali ini dalam hidupku meminta pertolongan
kepada orang . . ." "Mengapa ?" "Anda tentu tahu bahwa mahluk aneh itu paling
membenci kaum wanita. Kalau aku yang datang, tentu akan
runyam." "Hm, beralasan juga .... tetapi..."
"Tetapi apa?" "Ini berarti suatu tugas."
"Bukankah dia itu adik kecilmu?"
"Heh, heh. sudah tentu. Kalau tidak begitu, aku si
pencuri tua ini tentu tak sampai begini kalap keluyuran ke
tempat semacam ini !"
"Sudah, kita putuskan begitu. Aku akan membantu
secara bersembunyi."
"Tetapi bagaimana kalau mahluk aneh itu berkeras tak
mau keluar?" "Dengan kecerdasan yang anda miliki, anda tentu dapat
mencari akal..." "Sukar dikata lebih dulu."
"Kalau perlu boleh pakai segala cara ..."
"Cara bagaimana?"
"Sampai saatnya baru kukatakan. Sekarang silahkan !"
habis itu terus diam tak ada suara terdengar lagi.
Dengan tertawa kecut, Thian-put-thou geleng-geleng
kepala. Karena Cu Jiang sudah berada ditangan Ang Nio
Cu, Ia tak perlu cemas lagi. Biar nanti setelah terang tanah,
baru dia mulai bekerja. Dari situ ke lembah Mo-Jin koh
hanya terpisah beberapa li saja. Lebih baik ia tidur dulu
untuk memulangkan semangat.
Ia segera mendaki keatas sebuah batu besar lalu
rebahkan diri tidur. Begitu bangun matahari sudah menjulang di timur. Dia
membasuh muka di saluran air lalu makan ransum kering
dan setelah itu baru turun, lari menuju ke lembah.
Setengah jam kemudian, hari sudah terang benderang.
Dia terus lari menuju kemulut lembah.
"Lokoko . . ." tiba2 terdengar sebuah suara memangginya
sehingga Thian-put thou melonjak kaget. Memandang
kearah suara itu, dia terkejut girang.
Di bawah sebatang pohon, tampak Cu Jiang rebah
dengan tanpa memakai kain penutup muka sehingga
wajahnya yang buruk itu tampak jelas.
Thian put-thou segera lari menghampiri.
"Adik kecil, bagaimana engkau sudah sadar ?" serunya
gembira. Cu Jiang menghela napas panjang.
"Ang Nio Cu-lah yang telah menolong aku. Sungguh
merepotkan kalian." "Adik kecil, sudahlah. Jangan omong begitu. Mari kita
mulai bergerak." "Aku tak bisa jalan."
"Tak apa. Kita sedang meminta pertolongan orang, harus
memakai peradatan. Biarlah aku yang akan mengundang
tuan rumah." ia terus menghadap ke mulut lembah dan
setelah mengumpulkan tenaga lalu berseru nyaring:
"Thian-put thou Ciok Yan Je mohon menghadap pada
tuan pemilik lembah ini !"
Setelah menunggu beberapa saat. Thian-put-thou
mengulang lagi teriakannya. Tetapi tetap tanpa suatu
jawaban. Sampai sepeminum teh lamanya, keadaan tetap
sunyi senyap. Thian-put-thou tahu bahwa kalau dengan menggunakan
tata cara yang layak, tentu tak mungkin dapat bertemu
dengan tuan rumah. Dia berpaling ke arah Cu Jiang.
"Aku hendak memaki orang itu!"
"Oh, harus dimaki ?" Cu Jiang tertawa.
"Kalau tidak dimaki tentu tidak berhasil. Mahluk tua itu
memang lain wataknya dengan orang biasa."
"Setelah dimaki dan keluar, apakah akan di ajak
berkelahi?" "Tidak! Aku mempunyai siasat yang bagus. Hanya
dikuatirkan dia tetap tak mau keluar walau pun dimaki
kalang kabut. " "Maki sajalah!"
Setelah membasahi kerongkongan dengan ludah, ia
menyeringaikan muka lalu mulai berteriak-teriak:
"Ho, tolol, apakah begini caramu menyambut tetamu?"
Menunggu sebentar, Thian-put-thou berseru lagi:
"Hai, orang she Bun, engkau tak memandang mata
kepada aku si pencuri tua ini" Bagus. Mari kita mengadakan
perjanjian mati. Kalau tak bertemu muka, takkan pergi dari
sini. Engkau tak berani keluar, aku yang masuk mencarimu.
Jangan kira dengan mengandalkan permainanmu seperti
anak kecil ini, dapat merintangi aku ..."
Melihat sikap dan kerut wajah Thian-put-thou, diam2
Gu Jiang tertawa geli. Karena tak diacuhkan, Thian put-thou naik pitam. Dia
memaki sekeras-kerasnya: "Bun Yok Uh, kalau engkau tetap seperti kura2 yang
menyembunyikan kepala, terpaksa akan kubuka borokmu!"
Rupanya ucapan itu membawa hasil. Dari dalam lembah
segera terdengar suara penyahutan yang dingin:
"Pencuri tua, jangan berkaok-kaok di sini. Apa sih
borokku yang hendak engkau buka itu?"
Thian-put thou tertawa gelak2.
"Aku sih hanya bergurau, Bun lote, karena kuatir engkau
menutup pintu tak mau terima tamu, mata sengaja kubikin
panas hatimu!" "Silahkan bikin panas, toh ada2 saja. Aku tak mau
menerima orang luar!"
"Tidak mau mengingat betapa jerih payahku jauh2
datang kemari?" "Itu urusanmu, akukan tidak mengundang."
"Bun lote, jangan begitu getas, dong. Kalau engkau
benar2 mengundang, belum tentu aku mau datang."
"Tentu saja. Kalau tidak mau minta tolong kepadaku,
masakan engkau datang kemari .. ."
"Orang yang pintar tentu sudah mengerti. Ya, engkau
benar. " "Lebih baik engkau pulang saja, aku tak ada tempo."
"Apakah engkau sungguh2 menolak seorang tetamu
yang datang dari ribuan li?"
"Terserah anda mau mengatakan apa saja. Aku orang
she Bun, memang begini watakku. Banyak bicara tiada
guna . . ." Thian put thou tertawa dingin:
"Jika begitu, langit sungguh tak kenal orang!"
"Apa maksudmu?" seru Kui jiu sin jin.
"Seorang tabib itu tentu mempunyai budi welas asih
untuk menolong orang. Langit seharusnya tak memberkahi
engkau dengan kepandaian ilmu pengobatan."
"Heh, heh, heh, heh, omong kosong semua!"
"Bun Yok Uh, apakah engkau benar2 tak mau bertemu
orang?" "Siapapun aku tak mau bertemu."
"Hanya kaum perempuan dan manusia kerdil yang sukar
dipelihara. Engkau memang seorang manusia kerdil," teriak
Thian put thou. "Orang semacam dirimu, tak berhak menilai orang."
"Pencuripun mempunyai tata susila. Orang she Bun, aku
bukan manusia yang malu berhadapan dengan orang.
Tetapi engkau?" "Silahkan, aku tiada waktu untuk adu lidah dengan
engkau . . . . " "Bajingan tua..."
Cu Jiang terkejut mengapa lo kokonya itu dapat memaki
orang. Tetapi Thian put thou memberi kedipan mata
kepadanya agar dia tenang saja.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh berkelebat dan
muncul di mulut lembah. Seorang tua yang sudah berusia
lanjut dengan berpakaian jubah yang hanya menutupi di
bawah dengkulnya sehingga kakinya yang telanjang
kelihatan. Sedang tangannya memegang susuk untuk menyerok
obat. Wajahnya pucat ke biru-biruan dan memandang
Thian put thou dengan penuh kemarahan.
Thian put thou malah tertawa gelak2. "Bun lote,
maafkan perkataanku yang kotor tadi!"
Dengan mengertek gigi, Kui jiu sinjin berteriak: "Aku
hendak mengambil jiwamu!"
"Aku sih sudah tua, matipun tak sayang." sahut Thian
put thou dengan masih tertawa meringis, "kalau minta
nyawaku, sih boleh2 saja. Tetapi lebih dulu engkau harus
mengobati adikku yang kecil ini, bagaimana?"
"Jangan ngimpi, engkau!"
"Apakah engkau benar2 tak mau melakukan?"
"Mengapa aku harus melakukan ?"
Thian put-thou menyeringai.
"Engkau minta imbalan apa ?"
"Engkau tentu tak dapat membayar!"
"Gila, katakanlah!"
"Jiwamu yang tua itu !"
"Ambillah." Kui-jiu-sin-jin berseru dingin:
"Pencuri tua, jangan engkau tertawa kegirangan,
menghambur namun makian, mengejek orang sesuka
hatimu. Seluas satu li dari lembah ini, telah kutaburi dengan
racun aneh. Barang siapa masuk masuk kedalam lembah
sampai setengah li dan dalam setengah jam tak keluar, tentu
akan kemasukan racun itu. Dalam sehari tentu akan lenyap
tenaganya. Kalau tak percaya, cobalah engkau salurkan
hawa-napasmu!" Baik Thian-put thou maupun Cu Jiang terkejut dan
serempak menyalurkan napas. Ah, ternyata tenaga-
murninya telak mengumpal tak dapat disalurkan lagi.
"Bun Yok Uh," teriak Thian-put-thou marah sekali, "tak
kira engkau telah tersesat kedalam aliran iblis! Dengan cara
yang licik dan keji engkau telah mencelakai orang."
Tiba2 seorang wanita yang mukanya bertutup kain
kerudung muncul. "Orang she Bun, saat kematianmu sudah dekat!"
"Siapa engkau?" seru Kui Jiu sin jin dengan suara
tergetar. "Ang Nio Cu !" "O, Ang Nio Cu, tenaga kepandaianmu sudah banyak
yang hilang. Engkau paling lama berada ditempat ini dan
masih ada tiga orang anak-buahmu lagi ! Ha, ha, ha . . .."
Ang Nio Cu mendegus dingin
"Kui-jiu sin-jin," serunya, "telah kusiapkan beratus-ratus
kati obat pasang pada kedua puncak dikedua samping
lembah ini. Cukup untuk menimbuni lembahmu ini !"
Wajah Kui-Jin sin-jin pucat seketika.
"Engkau berani menghancurkan tempat tinggalku?"
serunya. "Engkau berani meracuni orang, mengapa aku tak berani
menghancurkan serangan ?" balas Ang Nio Cu.
"Kita mati bersama-sama !" seru Kui-Jiu-sin-jin.
"Apakah sampai mati engkau tetap tak mau mengobati
orang?" "Tidak!" Dada Cu Jiang hampir meledak. Sayang saat itu dia tak
dapat berkutik. Dia merasa menyesal dalam hati karena
orang2 yang hendak menolong dirinya itu malah berbalik
tertimpah bencana sendiri. Dia mati, memang sudah
selayaknya. Tetapi lo koko dan Ang Nio Cu itu " Bukankah
mereka harus korban untuk darinya"
"Kui-jiu-sin-Jin," seru Ang Nio Cu dengan nada tergetar,
"apakah engkau tak kecewa kalau mati ?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak !" "Asal aku memberi tanda, obat pasang itu pasti
meledak!" "Silahkan! Aku masih mempunyai cukup waktu untuk
membunuhmu lebih dulu!"
"Belum tentu." "Kalian sudah terkena racun. Andaikata bisa lolos, toh
tetap akan menjadi cacat seumur hidup. Apalagi kalian tak
mempunyai kesempatan untuk lolos !"
"Aku ingin supaya engkau yang mati lebih dulu!"
Ang Nio Cu segera mengeluarkan sebuah benda sebesar
genggam tangan. Warnanya hitam kelam. Lalu berseru:
"Kui-Jiu-sin-Jin. kenalkah engkau dengan benda ini?"
Wajah Kui Jiu-sin jiu berobah, tetapi suaranya masih
tetap dingin: "Tak ada yang harus diherankan dengan peluru Bi lik tan
semacam itu!" "Tentu lebih dari cukup untuk menghancurkan tubuhmu,
bukan?" "Kan aku sudah bilang, kita bakal mati bersama-sama ?"
Kui jiu-sin-jin benar2 manusia yang aneh wataknya.
Sekalipun menghadapi maut, dia tetap keras kepala tak mau
tunduk. Menilik gelagatnya, rupanya tiada lain jalan kecuali
harus sama-sama mati. Tiba2 dengan kerahkan sisa tenaganya, Cu Jiang berseru:
"Sudahlah, saudara berdua. Mati hidup itu sudah ada
garisnya. Aku tak ingin melihat peristiwa yang mengenaskan hati.. . ."
"Bun Yok Uh." tiba2 Thian-put thou tergerak
hatinya,"biarlah dalam penitisan besok engkau menjelma
menjadi kerbau yang akan disembelih dengan pisau dan
dikuliti urat-uratmu."
Kui-Jiu-sin Jin hanya mendengus tetapi tak mau
menyahut. Karena tak mempan, Thian put-thou melanjutkan
makiannya lagi: "Orang she Bun, Isterimu Cium Ngo Nio itu kelak dalam
penitisannya tentu masih menjadi wanita cabul yang
mempermainkan kaum lelaki. Dan engkau hanya menjadi
binatang Kerbau yang akan disembelih dan dijadikan
hidangan mereka !" Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Kiranya Cian Ngo Nio,
ketua gerombolan Hoa-goat-bun itu adalah isteri Kui-jiu-sin
jin. Itulah sebabnya maka Thian-put-thou mengatakan
bahwa Kui jiu sin jin itu paling benci kepada wanita.
Muka Kui jiu tin jin merah seperti kepiting direbus.
Uratnya berkerut-kerut dan tubuhnya gemetar. Matanya
memancar sinar pembunuhan yang berkobar-kobar.
Kata2 Thian put thou benar2 telah menyinggung
perasaannya. Dan karena Kui jiu sin jin menggunakan
racun untuk mencelakai orang, Thiau put thoupun terpaksa
menyemprot dengan kata2 setajam itu.
Ang Nio Cu mengangkat pelor Bik li tan dan berseru
nyaring : "Orang she Bun, untuk yang terakhirnya jawablah.
Engkau mau atau tidak mengobati racun yang telah
mengendap ke dalam tubuh kita itu?"
"Tidak bisa." cepat Kui jiu sinjin menjawab.
"Terpaksa akan kulontarkan!"
Dengan mengertek gigi, Kui jiu sin jin menyambut
ancaman itu: "Lemparkanlah, tak nanti aku tunduk!"
Ibarat sudah naik di punggung macan, Ang Nio Cupun
terpaksa harus melakukan apa yang diucapkan itu.
Pada saat malaekat elmaut hendak menaburkan
keganasan, tiba2 sesosok bayangan melesat ke luar dari
dalam lembah dan saat itu muncullah seorang pemuda
gagah berpakaian hitam di sisi Kiu-jiu sin jin.
"Mengapa engkau tak mau mendengar perintahku
supaya jangan keluar?" tegur Kui jiu sin jin dengan nada
tergetar. Sejenak pemuda itu memandang Thian put thou dan
Ang Nio Cu lalu berkata kepada Kui jiu sin jin:
"Yah, hancurkan mereka!"
"Bagus kiranya kalian bapak dan anak sealiran. Tentu
tidak kesepian, ya! "
Mata pemuda itu memandang ke arah Cu Jiang yang
menggeletak di samping. Tiba2 ia menjerit:
"Ih, engkau!" serentak dia terus melesat menghampiri.
"Mau apa engkau?" Thian put thoupun melesat dan
membentak. Pemuda itu deliki mata kepada Thian put thou:
"Jangan cengeng! saat ini anda tak kuat menerima
tamparan sebuah jariku saja!"
Thian put thou mendengus:
"Hai, budak kecil, keadaanku bukan seperti yang engkau
duga!" Melihat pemuda itu, Cu Jiang seperti sudah pernah
bertemu tetapi lupa entah dimana.
Pemuda itu tak menghiraukan Thian put thou melainkan
menuding Cu Jiang. "Apakah saudara masih ingat padaku?" tegurnya.
Cu Jiang kerutkan alis, sahutnya: "Seperti sudah pernah
ketemu tetapi tidak ingat."
"Aku adalah Bun Cong Beng!"
"Bun . . . Cong . . . Beng .... o, benar . . . . " segera Cu
Jiang terkenang akan peristiwa beberapa waktu yang
lampau ketika ia tengah meneduh hujan ke dalam sebuah
kuil di luar kota Kui-cu, dia berjumpa dengan rombongan
anak buah Gedung Hitam yang dipimpin Pek poan-koan
atau Hakim Putih yang meringkus seorang pemuda.
Hakim Putih itu telah memaksa pemuda itu untuk
Pukulan Naga Sakti 23 Bara Maharani Karya Khu Lung Macan Macan Betina 2
^