Pencarian

Rahasia Dara Ayu 1

Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu Bagian 1


RAHASIA DARA AYU
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode: Rahasia Dara Ayu
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Udara pagi ini begitu sejuk, setelah semalaman bumi
diguyur hujan lebat dari langit. Angin berhembus lembut mempermainkan dedaunan
basah oleh sisa air hujan. Di antara pepohonan dan rerumputan liar, terlihat
seorang pemuda berbaju kulit harimau sedang berjalan-jalan menikmati kesegaran udara pagi ini. Sesekali tangannya meraih bunga yang tumbuh liar, lalu
mencampakkannya ke udara. Angin
yang bertiup basah menghempaskan bunga itu sebelum jatuh ke tanah.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menghentikan ayunan
kakinya begitu tiba di depan sebuah gubuk kecil yang ringkih bagai hendak rubuh.
Pandangan matanya begitu nanar,
menatap lurus gubuk kecil reyot di depannya. Pintu gubuk yang tertutup rapat,
tiba-tiba terkuak memperdengarkan suara bergerit nyaring menyakitkan telinga.
Dari dalam gubuk itu keluar seorang perempuan tua
mengenakan baju panjang yang lusuh dan kumal. Warnanya
hampir pudar ditelan usia. Begitu pula perempuan tua itu.
Entah sudah berapa tahun usianya. Tapi yang jelas lebih dari tujuh puluh tahun.
Tubuhnya yang bungkuk disangga sebuah tongkat kayu berwarna coklat kehitaman
Perempuan tua itu melangkah menghampiri pemuda berbaju kulit harimau yang
memandanginya dengan sinar mata sayu.
"Bagaimana keadaannya, Nyi Rampik?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Yaaah.... M eskipun sulit, tapi masih bisa kuhambat sedikit Berdoalah, Nak
Bayu," sahut perempuan tua yang dipanggil Nyi Rampik itu sedikit mendesah.
"Apakah ada harapan sembuh?" tanya pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata
memang Bayu atau si Pendekar Pulau Neraka.
"M udah-mudahan Hanya saja...," Nyi Rampik tidak melanjutkan ucapannya.
"Hanya apa?"
"M ungkin hanya mampu bertahan beberapa hari saja, tapi mungkin juga bisa lebih.
Tapi asal dia tidak banyak
menggunakan kekuatan tenaga dalam yang akan membuka
saluran jalan darahnya."
Bayu terdiam membisu. M atanya menerobos ke dalam
gubuk kecil reyot di depannya, melalui pundak Nyi Rampik.
Tampak di sebuah dipan kayu beralaskan daun tikar pandan, tergolek seorang
wanita muda berbaju hijau muda. Tarikan napasnya kelihatan begitu lemah meskipun
teratur lembut Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa yang
harus dilakukannya. Pertarungan gadis Itu melawan
Seruni berakibat sangat parah. Entah ilmu apa yang digunakan Seruni, sehingga
membuat Rampita semakin lemah. Tenaganya keluar tak terkontrol. Bahkan setiap
kali menggunakan tenaga dalam, selalu memuntahkan darah. Tak ada tanda-tanda
kalau gadis itu terluka. Tapi menurut Nyi Rampik, Rampita
mengalami luka dalam yang sangat parah, dan kemungkinan merenggut nyawanya. Nyi
Rampik sendiri tidak tahu, luka apa sebenarnya yang diderita Rampita.
"M ungkin hanya ada satu cara yang dapat menyembuhkan lukanya, Nak Bayu," ujar
Nyi Rampik "Segala kemungkinan harus kita coba, Nyi," tegas Bayu.
"Hm..., kau tahu Bunga Cubung Biru?"
Bayu tersentak mendengar Nyi Rampik menyebut Bunga
Cubung Biru. Ditatapnya dalam-dalam perempuan tua itu. Tapi kemudian
Pendekar Pulau Neraka mendesah panjang, menghembuskan napas berat Rampita bisa terluka begitu
karena persoalan Bunga Cubung Biru yang belum terselesaikan sampai sekarang
(Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru").
"Ada apa, Nak Bayu?" tanya Nyi Rampik
"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang dan berat M eskipun baru kemarin Bayu
mengenal perempuan tua ini, tapi sudah bisa dipercayainya. Nyi Rampik seorang
perempuan tua yang dikenal karena ahli dalam ilmu pengobatan. Hampir semua orang
di bagian Barat Kaki Gunung Cakal ini mengenal betul tabib itu. Dan Bayu
mengetahui tentang perempuan tua ini juga dari para penghuni sebuah desa di Kaki
Gunung Cakal sebelah Barat ini
Biasanya seorang tabib tidak akan berpihak pada siapa pun.
Dia akan mengobati siapa saja yang datang meminta
pertolongan kepadanya. M alah akan
melindungi dengan
taruhan nyawa sekali pun. Karena itu Bayu tidak segan-segan lagi menceritakan
semua yang terjadi pada diri Rampita
sehingga mengalami luka yang sangat parah ini (Baca serial Pendekar Pulau
Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru").
Sedangkan Nyi Rampik mendengarkan penuh perhatian. "Hm..., jadi gadis itu pewaris tunggal Bunga Cubung Biru?" ujar Nyi Rampik
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Benar, Nyi. Tapi dia sendiri tidak tahu, di mana Bunga Cubung Biru itu. Bahkan
amanat yang diberikan ayahnya
menjelang ajal telah menimbulkan malapetaka," sahut Bayu agak mendesah.
"Bunga itu memang langka dan sangat berkhasiat Tidak banyak orang yang beruntung
sehingga bisa memilikinya.
M emang setiap keberadaannya selalu menimbulkan bencana besar. Banyak orang yang
ingin memilikinya, bahkan sampai berani mempertaruhkan nyawa," agak bergumam
nada suara Nyi Rampik, seakan berkata pada dirinya sendiri.
Bayu hanya diam saja.
"M emang banyak penyakit yang bisa kuobati. Tapi untuk penyakit dalam akibat
pertarungan seperti ini..., rasanya sukar sekali. Aku harus tahu dulu ilmu apa
yang digunakan," lanjut Nyi Rampik.
"M ungkin Rampita sendiri tahu, Nyi," kata Bayu.
"Kau sendiri?"
'Tidak." Nyi Rampik memandangi pemuda berbaju kulit harimau
itu. Jelas sekali kalau sorot mata perempuan tua itu tidak mempercayai jawaban
Bayu. Padahal Pendekar Pulau Neraka itu menjawab sejujurnya. Bayu memang tidak
tahu ilmu apa yang digunakan Seruni Yang diketahuinya adalah, Seruni
memiliki sebuah ilmu aneh yang bisa membuat badai salju.
*** Sudah tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di gubuk Nyi
Rampik. Rampita memang sudah bisa bangun, tapi keadaannya masih terlalu lemah.
Nyi Rampik tidak mengijinkan gadis itu pergi sebelum sembuh benar. Perempuan tua
itu masih terus mencoba menyembuhkan luka yang diderita Rampita.
M alam itu Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa
memejamkan mata. Sementara malam terus merayap semakin
tinggi. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin menusuk tulang. Pemuda
berbaju kulit harimau itu menoleh ketika mendengar
langkah kaki menghampiri.
Bibirnya tersenyum melihat Rampita menghampiri. Gadis itu duduk di sampingnya, sementara
wajahnya masih kelihatan lemah dan agak pucat
"Belum tidur, Rampita?" pelan suara Bayu.
"Tidak bisa tidur," sahut Rampita juga pelan suaranya.
"Seharusnya kau tidur. Tidak baik angin malam bagi kesembuhanmu."
Rampita tersenyum tipis, namun tidak bersuara seraya
matanya menerawang jauh. Sementara Bayu merayapi wajah
cantik di sampingnya. Pandangan pemuda itu beralih ke arah gubuk kecil yang
hanya diterangi pelita minyak jarak Sunyi sekali tempat ini. Sangat terpencil,
jauh dari jingkungan pemukiman penduduk
"Kakang...," Rampita berpaling menatap Bayu.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Sesaat mereka hanya saling tatap dalam kebisuan.
"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu.
"Kau jadi pergi, besok?" tanya Rampita.
'Tentu. Aku akan mencari Bunga Cubung Biru untukmu,"
sahut Bayu setengah mendesah.
"Sia-sia saja, Kakang," lirih sekali suara Rampita.
"Aku yakin, ayahmu pasti menyimpan bunga itu di suatu tempat yang sangat
rahasia. M alah sampai-sampai kau sendiri tidak mengetahuinya."
Rampita terdiam, wajahnya tertunduk merayapi tanah di
ujung kakinya. Gadis itu memungut sepotong ranting kering dan menggores-
goreskannya di tanah. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan tanpa membuka mulutnya
yang terkunci rapat
"Kotak kayu itu sudah kau serahkan pada Seruni. Ayah tidak pernah mengeluarkan
Bunga Cubung Biru dari dalam
kotak itu," tegas Rampita masih terdengar pelan suaranya.
'Tapi Seruni bilang kotak itu sudah kosong. Bahkan
menuduhku sudah mengambil bunga itu, Rampita. Aku yakin kalau ayahmu sudah
memindahkannya ke lain tempat" sangkal Bayu.
"Kau belum tahu siapa sebenarnya Seruni itu, Kakang. Dia sangat.licik. Segala
cara selalu dilakukannya demi mencapai segala keinginannya. Aku merasa...,"
kata-kata Rampita terputus.
"Kenapa, Rampita?" desak Bayu.
Rampita tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya,
langsung menatap pemuda di sampingnya. Agak dalam juga
gadis itu merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan ingin diyakini kalau
yang duduk di sampingnya ini seorang pemuda berwajah tampan dan berkepandaian
sangat tinggi. Sedangkan Bayu membiarkan saja gadis itu menatapi wajahnya. "Kau tampan sekali, Kakang. Hati-hatilah terhadap Seruni," desah Rampita kembali menunduk
Bayu jadi mengerutkan kerungnya. Sungguh sulit dimengerti ucapan Rampita barusan. Namun di balik suaranya, Pendekar Pulau
Neraka itu menangkap sesuatu yang sukar
diartikan. Hanya Rampita sendiri yang bisa memastikan
ucapannya tadi.
"Tampaknya kau kenal sekali dengan Seruni, Rampita,"
pancing Bayu. Rampita mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis.
Kembali pandangannya menerawang jauh ke depan. Tatapan
matanya begitu kosong, lurus tak berkedip. Gadis itu seperti tengah mengingat
sesuatu, atau tengah terbayang-bayang masa lalunya.
Bibirnya yang kecil memerah itu tak lepas mengembangkan senyuman tipis hampir tak terlihat. Tapi
senyum itu mendadak lenyap bersamaan dengan redupnya
cahaya matanya.
"Siapa sebenarnya Seruni itu, Rampita?" tanya Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu saja, karena dirasakan adanya
sesuatu yang tersembunyi di antara kedua gadis ini. Dugaan kalau antara Rampita
dan Seruni memiliki hubungan darah, tak pernah lenyap dari benak Bayu. Walaupun
Rampita sendiri belum memberi jawaban yang diharapkan.
Satu teka-teki besar masih menyelimuti diri gadis itu.
"Untuk apa kau selalu menanyakan itu, Kakang?" Rampita balik bertanya.
Bayu tidak bisa menjawab. Keingintahuannya hanya
karena didorong rasa penasaran terhadap sikap Rampita pada Seruni. Gadis ini
selalu saja mengalah, bahkan sampai-sampai rela mengalami luka dalam begitu
parah. Bayu yakin, ada sesuatu antara Rampita dan Seruni. Sesuatu yang selalu
ditutupi dan dirahasiakan gadis ini.
"Sudah malam. Aku tidur dulu, Kakang," ujar Rampita seraya bangkit berdiri.
Sebelum Bayu sempat membuka suara, gadis itu sudah
melangkah menuju gubuk kecil. Pendekar Pulau Neraka terus memandangi gadis itu
sampai lenyap di dalam gubuk kecil itu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu masih duduk di bangku di bawah pohon, dan
pandangannya tak beralih dari gubuk kecil yang hanya diterangi sebuah pelita
minyak jarak Sementara malam terus merambat semakin larut Udara pun
semakin dingin. Namun Pendekar Pulau Neraka tetap bertahan duduk di bawah pohon.
Otaknya terus berputar, untuk bisa menemukan jawaban dari teka-teki gadis itu.
Begitu sulitnya teka-teki itu, sehingga sukar dipecahkan.
"Hhh...!"
Bayu menarik napas

Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, lalu berjalan gontai menuju gubuk
kecil yang berdinding bilik bambu.
Terlalu banyak lubang pada dinding gubuk itu, sehingga
cahaya pelita mampu menerobos keluar. Bayu menghempaskan tubuhnya di balai
bambu, kemudian merebahkan diri. Kedua tangannya terlipat untuk membantali
kepalanya. "Hhh...! Kenapa aku begitu memikirkannya...?" diasah Bayu diiringi hembusan
napas panjang. *** Pagi-pagi sekali Bayu sudah bersiap-siap meninggalkan
tempat sunyi dan terpencil ini. Hatinya sudah bertekad hendak mencari Bunga
Cubung Biru. Sekuntum bunga langka yang
hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Nyi Rampik sudah mengatakan kalau
hanya bunga itu yang dapat menyembuhkan luka dalam Rampita.
Bayu memandangi Rampita yang mengantarkan sampai ke
pinggir sungai di belakang gubuk Nyi Rampik. Pendekar Pulau Neraka itu
memandangi wajah cantik yang sedikit tertunduk Entah kenapa, pemuda tampan ini
seperti berat berpisah
dengan Rampita. Dia.sendiri tidak tahu tentang perasaannya ini Belum pernah
dirasakan hal seperti ini pada seorang gadis.
"Aku harap bisa secepatnya kembali ke sini dengan Bunga Cubung Biru," kata Bayu
pelan. "M engapa kau ingin sekali mendapatkan bunga itu,
Kakang?" tanya Rampita seraya mengangkat kepadanya memandang Pendekar Pulau
Neraka itu. "Bunga itu sangat berarti bagimu, Rampita. Hanya dengan bunga itulah kau bisa
sembuh, pulih seperti semula."
"Tapi kau akan mendapatkan kesulitan besar, Kakang."
"Apa pun namanya, aku selalu bergelimang segala macam kesulitan. Percayalah.
Semuanya pasti bisa kuatasi dan kembali membawa Bunga Cubung Biru," Bayu
meyakinkan gadis ini.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Kakang. Hati-hatilah.
Aku akan menunggumu di sini," ucap Rampita pelan.
Bayu menggamit pundak gadis itu. Ditatapnya dalam-
dalam wajah cantik itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan
tanpa bicara separah kata pun Pelahan telunjuk Bayu menyentuh dagu gadis itu,
lalu mengangkatnya hingga terdongak. Rampita memejamkan matanya pelahan
ketika Bayu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
Semakin dekat, semakin terasa desahan napasnya yang
menerpa kulit wajah kemerahan.
Bayu memandangi bibir mungil yang setengah terbuka.
Bibir indah yang selalu merah basah dan menantang. Lembut sekali Pendekar Pulau
Neraka mengecup bibir yang agak
bergetar itu. Hanya sekali kecupan lembut, namun sudah
membuat seluruh tubuh Rampita bergetar bagai tersengat
ribuan lebah beracun. Gadis itu masih memejamkan matanya meskipun kecupan itu
telah hilang dari bibirnya.
Pelahan Rampita membuka mata, dan langsung menundukkan kepalanya. Sekilas terbersit rona merah pada wajahnya. Entah kenapa,
tiba-tiba saja gadis itu jadi gugup, dan tidak sanggup memandang sorot mata
pemuda tampan ini.
"Aku pergi dulu, Rampita," pamit Bayu.
"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir mungil Rampita.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian melangkah
meninggalkannya. Rampita baru mengangkat kepalanya setelah pemuda itu pergi
cukup jauh. Gadis itu berdiri mematung memandangi kepergian Pendekar Pulau
Neraka itu. Pelahan diusap bibirnya dengan jari-jarinya yang bergetar.
"Kakang...," desah Rampita lirih.
Rampita masih berdiri mematung meskipun bayangan
tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi. Gadis itu baru
membalikkan tubuhnya, tapi tidak jadi melangkah.
Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri Nyi Rampik yang langsung
tersenyum. Seketika wajah Rampita memerah, lalu buru-buru menundukkan kepalanya.
'Pemuda yang gagah sekali," gumam Nyi Rampik seraya melangkah menghampiri
Rampita. Rampita hanya diam saja. Pelahan diangkat kepalanya, tapi tak sanggup
memandang bola mata perempuan tua di
depannya. Entah kenapa, ada rasa malu menyelinap di hati gadis ini. Kalau saja
bisa, mungkin sudah disimpan bibirnya.
Kecupan lembut Pendekar Pulau Neraka begitu membekas, tak akan terlupakan
sepanjang hidupnya. Kecupan pertama seorang pemuda yang telah menggetarkan
relung hatinya.
"Kau sudah mengatakannya, Rampita?" tanya Nyi Rampik seraya
memandangi gadis itu dalam-dalam. Rampita menggelengkan kepalanya pelahan.
"Kenapa?"
"Aku.... Aku tidak sanggup mengatakannya, Nyi. Dia sudah berkorban banyak
untukku. Rasanya tidak sanggup
untuk melukai hatinya," lirih sekali suara Rampita.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Rampita. Yaaah...,
memang sukar mengatakannya. Tapi aku percaya, Bayu
seorang pemuda yang tegar. Dia pasti bisa menerima semuanya dengan lapang dada
dan besar hati, meskipun pahit"
"Itulah yang membuatku tidak bisa, Nyi."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rampita. Semuanya memang sudah digariskan Hyang Widi.
Kira hanya sebuah pelakon yang memainkan peranan di atas panggung luas ini.
Serahkan saja segalanya pada Yang Kuasa," lembut sekali suara Nyi Rampik.
"Nyi...."
Rampita tak kuasa lagi membendung perasaannya. Gadis
itu menghambur, menjatuhkan diri dalam pelukan perempuan tua ini. Sedangkan
Nyi Rampik hanya menepuk-nepuk
punggung gadis itu, dan mengelus rambutnya yang hitam
berbau harum. "Sudahlah,
Rampita. Doakan saja agar Bayu bisa membawa Bunga Cubung Biru. Bagaimanapun juga, kau
sendirilah yang harus menyelesaikan semua ini. Bukan Bayu, atau siapa saja!"
tegas Nyi Rampik seraya melepaskan pelukan gadis itu.
"Benar. M emang hanya aku yang bisa, Nyi. Bukan orang lain, atau pun Kakang
Bayu," desah Rampita lirih.
Nyi Rampik merengkuh pundak gadis itu, lalu membawanya melangkah meninggalkan tepian sungai kecil ini.
M ereka berjalan pelahan dengan pikiran masing-masing.
"Nyi...."
"Ada apa?"
"Apakah tidak sebaiknya aku sendiri yang mencari bunga itu, Nyi?" Rampita
memandangi wajah perempuan tua yang berjalan dengan bantuan sebatang tongkat di
sampingnya. "Jangan menyiksa dirimu, Rampita. Kau belum pulih
benar," sahut Nyi Rampik agak terkejut.
'Tapi, Nyi...."
"Kau sendiri tidak tahu di mana bunga itu, bukan?" potong Nyi Rampik cepat
Rampita terdiam. Kakinya terus terayun pelahan. Kepalanya tertunduk
dalam memperhatikan ujung-ujung kakinya yang menapak pelahan di samping perempuan tua ahli pengobatan ini.
"Nyi, boleh menanyakan sesuatu padamu?" pinta Rampita setelah lama berdiam diri.
"Katakan, apa yang ingin kau tanyakan."
"Kenapa Nyi Rampik berpura-pura tidak mengenalku di depan Kakang Bayu?" tanya
Rampita. Nyi Rampik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas
panjang dan dihembuskannya kuat-kuat Sementara Rampita
memandangi, menunggu jawaban perempuan tua itu. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak
kunjung datang. Nyi Rampik masih
berdiam diri tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sampai mereka tiba di pondok, Nyi Rampik belum juga
memberi jawaban dari pertanyaan Rampita. M eskipun berharap, namun gadis itu tidak ingin mendesak, dan hanya diam saja. M ereka
kemudian duduk berdampingan di samping pondok, di atas tumpukan kayu bakar yang
belum semuanya terbelah.
"Ayo, Rampita. Tenaga dalammu harus bisa kau latih kembali. M udah-mudahan kau
masih menyimpan sedikit
kekuatan," kata Nyi Rampik setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Baiklah," sahut Rampita setengah mendesah.
"Kalau masih memiliki sedikit tenaga dalam, aku yakin kau akan pulih. Aku akan
membantumu dengan penyaluran
hawa murni ke dalam tubuhmu." ,
"Nyi, bukankah itu berbahaya?" sentak Rampita terkejut
"Demi kau, Rampita. Ayo, jangan membantah!"
"Baik, Nyi."
*** 2 Desa Temanggal adalah satu-satunya desa yang berada di
Kaki Gunung Cakal sebelah Timur. Sebenarnya tidak lagi
cocok disebut desa, karena begitu besar dan penduduknya begitu rapat. Desa itu
lebih tepat disebut kota kadipaten. Tapi rupanya penduduk di sini lebih senang
menyebutnya sebuah desa, daripada sebuah kota.
Saat menjelang senja, Bayu sudah tiba di desa itu. Tidak mungkin lagi
perjalanannya diteruskan, karena sebentar lagi malam tiba. Untuk mencapai Lembah
Bunga, masih diperlukan tiga hari perjalanan lagi dari desa ini. Pendekar Pulau
Neraka itu memasuki sebuah kedai yang tidak terlalu padat pengunjungnya. Seorang pelayan atau mungkin juga pemilik kedai menghampiri,
menyambut ramah disertai senyum
mengumbar lebar. Laki-laki tua bertubuh gemuk ini membawa Bayu ke meja kosong.
Sungguh beruntung, karena meja ini bersebelahan langsung dengan jendela yang
menghadap keluar.
Jadi pemuda berbaju
kulit harimau ini bisa langsung
memandang keadaan luar.
"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki tua gemuk itu ramah.
Apa saja yang bisa membuat perutku kenyang," sahut Bayu seenaknya.
"Wah! M akanan di sini lengkap, Den. Kalau dibawa
semua, meja ini tentu tidak muat," seloroh laki-laki gemuk itu.
"Kalau begitu, sediakan saja arak dan makanan secukupnya. Apa saja yang disediakan tidak akan kutolak, asal enak."
"Baik, Den"
Laki-laki gemuk itu bergegas ke belakang. Sementara Bayu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruangan kedai ini.
Tidak begitu banyak pengunjung, dan hanya beberapa meja saja yang terisi. Dari
tampang, pakaian, serta senjata yang disandang, Bayu dapat memastikan kalau
mereka rata-rata dari kalangan persilatan Tapi ada juga beberapa orang yang
kelihatannya dari kalangan biasa.
Pendekar Pulau Neraka itu mengalihkan perhatiannya
keluar melalui jendela di sampingnya. Kening pemuda berbaju kulit harimau itu
menjadi berkerut, karena hampir semua orang yang lewat di jalan menyandang
senjata berbagai macam
bentuk dan ukuran. Kembali diedarkan pandangannya ke
sekeliling kedai ini. Pada saat itu pemilik kedai menghampiri sambil membawa
baki cukup besar, penuh berisi makanan dan seguci arak.
"Silakan dinikmati, Den," ucap laki-laki gemuk itu setelah meletakkan semua
pesanan Bayu di meja.
'Terima kasih," sambut Bayu seraya tersenyum.
Laki-laki tua gemuk itu bergegas meninggalkan tamunya,
dan kembali sibuk melayani tamu-tamu lainnya. Sementara Bayu menikmati
santapannya. Agak geli juga hatinya melihat hampir seluruh meja di hadapannya
penuh piring makanan.
M emang tidak akan mungkin dihabiskan semuanya. Beginilah jadinya kalau memesan
makanan asal memesan saja.
"He! Pergi sana! Tidak ada makanan sisa buatmu!" tiba-tiba terdengar bentakan
keras mengejutkan.
Bayu yang baru saja akan menenggak araknya, jadi
tertahan. Dilayangkan pandangannya ke arah suara bentakan tadi. Tampak laki-laki
tua gemuk pemilik kedai ini berkacak pinggang di depan pintu. Seorang laki-laki
tua kurus kering dan berpakaian compang camping berdiri terbungkuk di depannya.
Seluruh tubuh dan pakaiannya kotor berdebu. Tubuhnya
disangga sebatang tongkat kayu bercabang dua pada bagian ujung atas.
"Biarkan dia makan bersamaku, Ki!" teriak Bayu.
Laki-laki gemuk pemilik kedai itu terkejut Dipandanginya Bayu


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah tidak percaya. Bahkan hampir semua pengunjung kedai ini juga mengalihkan pandangannya ke arah Pendekar Pulau Neraka
itu. Namun pemuda berbaju kulit
harimau itu tidak peduli, lalu bangkit berdiri dan menghampiri pengemis tua itu.
Dibawanya orang itu ke mejanya.
"Duduk di sini, Kisanak," kata Bayu.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Den Biar di bawah saja,"
ujar pengemis tua itu.
"Duduklah di bangku, Ki," Bayu memaksa.
Dengan sikap penuh hormat pengemis tua itu duduk di
depan Bayu. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu
meminta satu piring lagi. M aka pemilik kedai bertubuh gemuk itu memberi sebuah
piring. Namun pandangan matanya masih tidak bisa mempercayai sikap tamunya ini.
"M akanlah sepuasmu. Kalau perlu, bungkus yang tersisa untuk keluargamu," kata
Bayu. 'Terima kasih, Den," ucap pengemis tua itu.
Bayu tersenyum, lalu segera menenggak araknya yang tadi belum sempat menyentuh
bibirnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum-senyum melihat pengemis tua ini
melahap makanan yang terhidang disertai napsu besar. M ungkin sudah beberapa
hari dia tidak bertemu, makanan. Sedangkan Bayu hanya
makan sedikit saja.
"Raden tidak makan?" tanya pengemis tua itu melihat Bayu tidak meneruskan
makannya. "Aku sudah kenyang. Habiskan saja, Ki," sahut Bayu ramah.
"Ah! Kalau saja semua orang sebaik Raden, tentu tidak akan banyak pengemis yang
mari kelaparan," desah pengemis tua itu.
"Tidak selamanya aku berbuat begini, Ki," jelas Bayu terus terang diiringi
senyum tipis. "Oh, kenapa Raden berbuat baik padaku?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja.
Kemudian dipanggilnya pemilik kedai bertubuh gemuk itu, untuk membayar semua
makanan dan minuman yang telah
dipesan. Pemilik kedai itu menyebutkan harganya, dan Bayu membayarnya
semua. Bahkan juga meminta untuk membungkus sisa makanannya untuk dibawa pengemis tua itu.
"M akanlah yang enak. Semua sudah kubayar," ucap Bayu seraya mengayunkan kakinya
meninggalkan kedai itu.
Tinggal pengemis tua itu terbengong dengan mulut penuh
makanan. Demikian juga laki-laki gemuk pemilik kedai ini.
Belum pernah dilihatnya ada orang begitu berbaik hati,
mengajak seorang pengemis tua makan satu meja bersamanya.
Bahkan membayar semua makanan dengan uang berlebih.
Tidak ada yang tahu, kenapa pemuda berbaju kulit harimau itu berbuat demikian. M
emang, yang diinginkannya hanyalah agar makanan yang dipesan tidak terbuang
percuma. Kebetulan
sekali ada pengemis, maka semua makanannya bisa diberikan kepada pengemis tua
itu. *** Tepat ketika matahari baru saja berada di atas kepala, Bayu melewati perbatasan
Desa Temanggal. Namun ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka itu terhenti
tiba-tiba, ketika mendengar suara orang mengaduh disertai bentakan-bentakan
keras. Suara itu datang dari balik sebuah bukit batu yang tidak terlalu tinggi,
dan berada di sebelah kanan.
"Hup!"
Sekali lompatan saja, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di atas bukit batu
kecil itu. Seketika matanya terbeliak begitu melihat tiga orang laki-laki
bertubuh kekar dan bertampang kasar tengah menganiaya seorang laki-laki tua
bertubuh kurus, berpakaian compang camping.
"Huh! Rupanya kau memilih mampus daripada menunjukkan di mana Rampita berada, heh..."!" bentak salah seorang seraya
memberi satu pukulan keras ke wajah laki-laki tua itu.
Des! "Akh...!" laki-laki tua berpakaian pengemis itu terpekik.
Tubuh yang kurus kering itu tersungkur jatuh ke tanah.
Darah mengalir keluar dari mulutnya. Dan sebelum pengemis tua itu bisa bangkit
berdiri, kembali datang satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak
lagi, dia terguling beberapa kali sambil merintih kesakitan.
"Katakan! Di mana Rampita!" bentak seorang yang mengenakan baju biru tua.
"Sungguh, aku tidak tahu di mana gadis itu berada," sahut pengemis tua itu.
"Phuih!"
Dug! "Akh...!"
Kembali terdengar pekikan keras ketika satu pukulan keras bersarang lagi di
tubuh kurus tua itu. Belum lagi hilang pekikan itu, kembali salah seorang yang
mengenakan baju merah melayangkan pukulannya. Tapi mendadak saja....
Tap! "Heh...!" laki-laki kekar berbaju merah itu terkejut.
Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi,
mendadak saja laki-laki berbaju merah itu terpekik. Seketika tubuhnya terpental
ke atas, namun masih bisa bersalto sebelum mendarat lunak di tanah. Sedangkan
dua orang lainnya menjadi terpana begitu di dekat pengemis tua sudah berdiri
seorang pemuda berbaju kulit harimau.
Pemuda yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka itu
membantu pengemis tua berdiri, kemudian merayapi tiga laki-laki berwajah kasar
di depannya. Pandangan mata Bayu begitu tajam menusuk.
"M emalukan! M enganiaya orang tua tak berdaya...!"
dengus Bayu dingin.
"He, Kisanak! Jangan ikut campur urusanku!" bentak orang berbaju biru geram.
"Kalian mencari Rampita, maka harus berurusan dulu denganku!" dingin sekali
suara Bayu. Ketiga laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat kaget,
sehingga sampai terlompat mundur dua langkah dan saling berpandangan satu sama
lain. Sedangkan Bayu dengan halus mendorong
pengemis tua ke belakang. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Dilangkahkan kakinya tiga tindak ke depan. Kedua
tangannya terlibat di depan dada.
"Kalian jangan hanya bisa mengeroyok orang tua. Hayo, hadapi aku!" tantang Bayu
lantang. "Siapa kau, Kisanak!" bentak laki-laki berbaju merah.
'Tidak perlu kalian tahu siapa aku! Pergi dari sini, atau ingin merasakan
kepalan tanganku!" Bayu memberikan dua pilihan.
"Beludak! Hajar bocah kurang ajar ini!" geram laki-laki yang berbaju merah
kembali membentak, karena merasa
diremehkan. Seketika itu juga ketiga orang bertubuh kekar
itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. M eskipun
diserang secara bersamaan, namun Pendekar Pulau Neraka
hanya mengegoskan tubuhnya sedikit Dan tanpa diduga sama sekali tangannya
berkelebat cepat bagai kilat.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ketiga orang itu berpentalan diiringi
pekikan keras. M ereka bergelimpangan di tanah, namun cepat bangkit Sesaat
ketiga orang itu saling berpandangan, lalu masing-masing mencabut golok yang
terselip di pinggang.
"M ampus kau keparat! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bayu langsung merentangkan kakinya ke samping, kemudian dengan cepat memiringkan tubuhnya ketika sebuah golok berkelebat
mengarah ke dada. Dan sebelum golok itu tertarik
pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangannya.
Digh! "Akh...!" laki-laki berbaju merah yang mengibaskan golok itu menjerit keras.
Dan sebelum lawan terpental, kembali Bayu melayangkan
satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, laki-laki bertubuh
kekar mengenakan baju merah itu terpental deras ke belakang. Tubuhnya keras
sekali menghantam dinding batu. Dia mengerang sambil menggeliat lalu diam tak
berkutik lagi. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Sedangkan dadanya tampak melesak masuk ke dalam.
Dua orang lainnya menjadi geram bukan main melihat
seorang temannya tewas dengan dada remuk. M ereka langsung berlompatan menyerang
dengan permainan golok yang cepat dan dahsyat. Namun Bayu bukanlah lawan enteng.
Akibatnya, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka membuat senjata lawan-lawannya
terpental. Sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah melancarkan beberapa
pukulan yang tak satu pun luput dari sasaran. Jeritan-jeritan melengking
terdengar saling sambut, kemudian dua sosok tubuh kekar itu menggelepar di
tanah. Bayu menghampiri pengemis tua begitu melihat lawannya
sudah tak berkutik, tanpa nyawa lagi. Pengemis tua itu hanya memandangi Bayu. M
ereka memang sudah pernah bertemu
sebelumnya di sebuah kedai
"Kenapa mereka mencari Rampita, Ki?" tanya Bayu langsung.
"Aku tidak tahu," sahut pengemis tua itu.
"Hm..., mereka memaksamu," gumam Bayu dengan kening berkerut
"Siapa mereka,
dan apa hubunganmu dengan Rampita?" Pengemis tua itu tidak langsung menjawab. Dia hanya
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam, kemudian tanpa berkata
sedikit pun, melangkah pergi.
"Hey...! Tunggu!" seru Bayu seraya mengejar.
"Pergilah, Anak M uda. Jangan ganggu aku. Aku yakin, kau pasti
sama seperti yang lain. Berpura-pura baik dan menolongku, padahal hatimu busuk!" agak ketus nada suara pengemis tua itu.
Bukan main terkejutnya Bayu mendengar kata-kata ketus
itu. Pendekar Pulau Neraka tadi bertindak cepat dengan
membunuh ketiga laki-laki itu, karena mendadak hatinya panas mendengar nama
Rampita disebut-sebut. Dan lagi pula, Bayu memang tengah menyelidiki, siapa
sebenarnya Rampita itu.
Seorang Dara Ayu penuh misteri. Bayu sendiri tidak mengerti kenapa begitu
memperhatikan gadis itu. Padahal mereka kenal belum begitu lama.
*** Karena Bayu terus mengikuti, pengemis tua itu menghentikan langkahnya. Laki-laki tua itu lalu memandang tajam pemuda berbaju
kulit harimau itu. Sungguh berbeda sekali sikapnya ketika mereka bertemu pertama
kali di kedai Tatapan mata pengemis tua itu kini tidak lagi terlihat sayu, tapi
begitu tajam menusuk. Bahkan berdirinya tegak,
tidak membungkuk seperti orang kelaparan yang meminta belas
kasihan hanya untuk sesuap makanan.
"Kenapa kau mengikutiku terus, Anak M uda?" dengus pengemis tua itu dingin.
"Jawab dulu pertanyaanku, Ki," sahut Bayu kalem.
Pengemis tua itu menatap Bayu tajam.
"Aku yakin, kau sendiri tidak tahu di mana Rampita kini berada. Lagi pula, apa
hubunganmu dengan Rampita?" agak dingin nada suara pengemis tua itu.
"Justru karena mereka menghubung-hubungkan dirimu
dengan Rampita, maka itu jadi urusanku!" sentak Bayu ketus.
"Heh"!
Apa urusanmu dengan Rampita?" sekarang pengemis tua itu yang terperanjat.
Bayu hanya tersenyum-senyum
kecil. Disandarkan punggungnya di sebuah pohon yang cukup rindang, menaungi dirinya dari sengatan
sinar matahari Sedangkan pengemis tua memandangi dengan kening yang semakin
berkerut dalam.
"Anak M uda, siapa kau sebenarnya?" tanya pengemis tua.
"Kau sendiri, siapa?" Bayu malah balik bertanya, dan bersikap seenaknya.
"Anak M uda,
kau memang telah menolongku

Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari kelaparan. Tapi itu bukan berarti aku berhutang budi padamu!"
desis pengemis tua itu dingin.
"Aku tidak pernah membicarakan balas budi, dan tidak akan pernah!" tegas kata-
kata Bayu. "Aku hanya ingin mengingatkan kalau di antara kita berada dalam
situasi sama. Tapi tampaknya kau tidak menginginkan. Baik..., aku akan pergi. Dan selamanya
kau tidak akan bisa bertemu Rampita!"
Setelah berkata demikian,
Bayu langsung memutar
tubuhnya dan melangkah pergi.
'Tunggu...!" cegah pengemis tua cepat-cepat.
Bayu menghentikan ayunan kakinya, kembali berbalik
menghadap pengemis tua kurus kering itu.
"Ada apa lagi" Bukankah tadi menyuruhku pergi?"
"Aku mengaku kalah padamu, Anak M uda," ujar pengemis tua itu pelan.
, "Hah..."! Bertarung juga belum, kenapa mengaku kalah?"
"Pertarungan bukan hanya adu kekuatan, Anak M uda. Kita tadi sudah melakukan
satu pertarungan, berupa pertarungan mental! Dan aku mengakui kekalahanku. "
Bayu mengangkat bahunya. Kepalanya menoleh ke kiri,
kemudian menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu
besar, tidak jauh di sebelah kirinya. Pendekar Pulau Neraka itu duduk
mencangkung di situ Sedangkan pengemis tua itu
seenaknya duduk di tanah, bernaung di bawah pohon tidak jauh di depan Bayu.
"Sebaiknya kita mulai dengan memperkenalkan diri
masing-masing, Anak M uda," usul pengemis tua itu memulai.
"Kau bisa memanggilku Dewa Pengemis."
"Kau tentu punya nama lahir, bukan?" Bayu tidak puas.
"Aku tidak tahu lagi namaku yang sebenarnya."
"Baiklah kalau begitu."
"Siapa namamu, Anak M uda?"
"Bayu"
"Siapa yang lebih dulu menceritakan hubungan kita
dengan Rampita?"
"Kau dulu."
Laki-laki tua kurus berpakaian compang-camping yang
mengenalkan diri sebagai Dewa Pengemis itu tersenyum kecut.
Kepalanya tergeleng beberapa kali. Secara jujur, dalam hati diakui keteguhan
pemuda berbaju kulit harimau ini. M eskipun kata-katanya selalu terdengar tegas,
bahkan menjurus kasar, tapi Dewa Pengemis masih menangkap adanya kelembutan
pada sorot mata Bayu.
"Sebenarnya aku bukanlah orang lain bagi Rampita
Karena, aku adalah kakak kandung ayahnya," Dewa Pengemis memulai menjelaskan di
hadapan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Dewa Pengemis?"
sergah Bayu. "Itu urusanmu, Bayu. Yang jelas, jauh-jauh aku datang dari Selatan ingin bertemu
adik dan keponakanku. Tapi ternyata adikku sudah tewas, dan padepokan yang
didirikan dengan susah payah telah hancur. Tapi aku tetap berusaha untuk bertemu
keponakanku di Gunung Cakal. Tapi ternyata Rampita juga sudah tidak ada lagi di
sana. Sungguh tidak kumengerti, karena selama berada di sini, sudah tiga kali
aku bentrok dengan orang-orang yang tidak bisa kumengerti apa maksud mereka
mencari Rampita. Aku benar-benar tidak tahu."
Bayu terdiam, tapi pandangannya agak dalam ke mata
Dewa Pengemis. M emang sudah disaksikannya, begitu banyak orang dari kalangan
rimba persilatan tumpah di selatar Kaki Gunung Cakal. Bahkan sampai ke Lembah
Bunga. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu belum mau percaya begitu saja pada laki-laki tua
pengemis ini. "Kau sudah pernah bertemu Rampita sebelumnya?" tanya Bayu menguji.
"Beberapa kali," sahut Dewa Pengemis.
Di mana biasanya kau bertemu Rampita?"
"Di Puncak Gunung Cakal. Tepatnya di sebuah gua yang menjadi tempat tinggalnya.
Semula keponakanku itu tinggal bersama Paman dan Bibi dari ibunya. Tapi setelah
paman dan bibinya meninggal, tidak pernah kujumpainya lagi sampai sekarang.
Entah sudah berapa tahun tidak kulihat," jelas Dewa Pengemis.
Bayu semakin dalam memandangi laki-laki tua pengemis
itu. Pendekar Pulau Neraka memang pernah ke Puncak Gunung Cakal, menemui
Rampita. Tapi ternyata bukan gadis itu yang tinggal di sana. M elainkan seorang
yang hampir mirip dengan Rampita. Gadis cantik yang hidupnya bersama seekor
binatang beruang putih raksasa, dan juga penuh misteri!
Sebenarnya Bayu ingin mengatakan kalau di Puncak
Gunung Cakal sekarang bukan lagi menjadi tempat tinggal Rampita, tapi seorang
gadis penuh misteri bernama Seruni Namun saat mendengar cerita Dewa Pengemis,
pikiran Bayu langsung berubah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa
mengetahui kalau Seruni telah meninggalkan Puncak Gunung Cakal. Juga, Bayu sudah
bisa menebak untuk apa gadis itu pergi.
"Dewa Pengemis, boleh aku tahu. Apakah paman dan bibi Rampita tidak mempunyai
anak" tanya Bayu yang tiba-tiba mendapat pemikiran yang mungkin bisa mengungkap
tabir misteri ini. "Kenapa kau tanyakan itu, Bayu?" tanya Dewa Pengemis tanpa menjawab pertanyaan
Pendekar Pulau Neraka tadi.
"M aaf. Dalam saat seperti ini, aku tidak bisa begitu saja mempercayai setiap
orang. Apalagi yang berhubungan dengan Rampita. M asalahnya, hampir semua orang
mengetahui seluk-beluk keluarga gadis itu," jelas Bayu.
Dewa Pengemis mengangguk-anggukkan kepalanya tanda
mengerti ucapan Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian
tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu. Bayu sendiri sukar untuk memahaminya.
"Aku senang kalau Rampita berada di tempat yang aman dalam keadaan selamat.
Tapi...," kata-kata Dewa Pengemis terputus.
'Tapi, kenapa...?"
Belum lagi Dewa Pengemis melanjutkan kata-katanya,
mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat Dan tahutahu di antara kedua
orang itu berdiri gadis cantik mengenakan baju wama hijau muda. Baik Bayu maupun
Dewa Pengemis terbeliak kaget. M ereka sampai terlonjak berdiri, dan mata terbuka lebar
seolah-olah tidak mempercayai apa yang dilihat kini.
*** 3 Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Baginya sulit dimengerti kenapa tiba-tiba saja
Rampita muncul di tempat ini. Sementara Dewa Pengemis sudah menghampiri gadis
itu dan berdiri di sampingnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu
masih terdiam mengamati gadis cantik yang berdiri di
depannya. Seakan-akan ingin dipastikan kalau
gadis itu memang benar Rampita.
"Hh! Tidak kusangka kau begitu licik, Kakang. Kau
hendak memperdaya pamanku!" dingin sekali nada suara Rampita.
"Rampita, apa yang kau lakukan di sini" Bukankah kau..,"
suara Bayu terputus.
"Sikap dan kata-katamu memang manis, Kakang. Sayang sekali,
maksud burukmu bisa kutangkap, walaupun tersembunyi di balik s ikap dan kata-kata manismu," desis Rampita ketus.
"Rampita, kenapa kau..." Apa yang kau katakan?" Bayu jadi tidak mengerti pada
sikap Rampita. "Kau memang pandai berpura-pura, Kakang. Tapi semua akal licikmu sudah
kuketahui! Kau harus mati, Kakang!
Hiyaaa...!"
"He! Tunggu...!" sentak Bayu.
Tapi Rampita sudah tidak bisa dicegah lagi. Gadis itu
sudah cepat melompat menerjangnya. Terpaksa Bayu harus
berkelit menghindari serangan gadis berbaju hijau muda itu.
Sementara Dewa Pengemis juga tampak kebingungan, tidak
mengerti akan semua ini. Dia hanya dapat diam menyaksikan Rampita yang tengah
menyerang Bayu dengan gencar.
Serangan-serangan
yang dilancarkan
Rampita begitu bertubi-tubi sehingga membuat Bayu harus jumpalitan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu berseru agar Rampita
menghentikan serangannya, tapi tidak dipedulikan.
Bahkan semakin memperhebat serangan- serangannya. M enyadari kalau gadis ini tidak mungkin lagi bisa
dihentikan, Bayu menjadi gusar juga. Pendekar Pulau Neraka paling tidak suka
dengan posisi seperti ini, yang hanya bisa berkelit dan menghindar tanpa dapat
membalas sedikit pun.
Dan pada saat Rampita mengarahkan satu pukulan keras ke arah dada, dengan cepat
Bayu menyilangkan tangannya di
depan dada. Satu benturan keras pun tak dapat dihindari lagi.
"Akh...!" Rampita terpekik keras ketika pukulannya terhalang tangan Pendekar
Pulau Neraka. Tepat pada saat itu, Bayu menghentakkan tangan kirinya
ke arah lambung. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Rampita tak mungkin
mengelak lagi. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di lambung gadis itu. .
Des! "Ughk...!" Rampita mengeluh panjang.
Selagi tubuh Rampita terbungkuk, Bayu cepat-cepat
melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara Rampita terhuyung-
huyung ke belakang sambil mendekap
lambungnya. Seketika wajah gadis itu memerah bagai terbakar.
Seraya menyumpah dan memaki habis-habisan.
"Paman, manusia keparat itulah yang membunuh Ayah!
Sudah lama aku mencarinya. Dia harus mati, Paman!" teriak Rampita seraya
meringis menahan rasa mual yang mulai
menggerogoti perutnya.
"Rampita...," Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu.
'Percayalah padaku, Paman. Aku punya saksi," desak Rampita.
Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu. Sebentar ditatapnya
Bayu, sebentar kemudian beralih ke arah Rampita yang tengah berusaha mengatur
napasnya untuk mengusir rasa mual dan nyeri pada lambungnya. Sodokan tangan kiri
Bayu memang cukup keras, mes kipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
Namun begitu, sudah membuat Rampita hampir mati tertahan napasnya.
"Kenapa diam saja, Paman. Bunuh dia. Keparat itu
membunuh ayahku, menghancurkan Padepokan Tongkat Sakti.
Bahkan juga mencuri Bunga Cubung Biru!" bentak Rampita gusar melihat Dewa
Pengemis masih diam saja ragu-ragu.
"Rampita, apa yang kau lakukan ini..."!" sentak Bayu tidak mengerti dengan sikap
gadis itu. "Diam kau, keparat! Pembunuh busuk!" sentak Rampita berang.
"Heh..."!" Bayu tersentak kaget.
Belum pernah Bayu melihat Rampita berkata sekasar itu.
Bahkan belum pernah terlihat begitu berang. Namun belum juga Pendekar Pulau
Neraka itu bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melompat
sambil berteriak keras. Tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu diputar kencang, dan
dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau
Neraka. "Yeaaah...!"
"Uts!"
Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. M aka sabetan
tongkat Dewa Pengemis lewat sedikit di atas kepala. Namun demikian, pemuda
berbaju kulit harimau itu bisa merasakan angin tebasan tongkat rapuh itu.
Sungguh dahsyat dan
mengandung hawa panas menyengat Dan sebelum Bayu
mengangkat kepalanya, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melepaskan satu
tendangan menggeledek bertenaga dalam
cukup tinggi. "Jebol! Yeaaah...!"
Bughk! "Ugh...!"
Bayu terjengkang ke belakang sejauh dua batang tombak
M eskipun tidak sampai ambruk ke tanah, namun cukup
membuatnya limbung juga. Didekap perutnya yang terasa
mual. Tendangan Dewa Pengemis begitu keras dan bertenaga dalam cukup tinggi.
Bayu tak bisa lagi bertahan, dan langsung memuntahkan darah agak kental dari
mulurnya. Seketika
pandangan matanya jadi nanar.
"Hiyaaat...!"
Dewa Pengemis tidak lagi menunggu lama, langsung
melompat sambil cepat memutar tongkatnya. Sementara Bayu masih belum bisa
menghilangkan rasa mual pada perutnya.
Tapi mendapat serangan lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas membanting tubuhnya
ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali menghindari tebasan dan tusukan tongkat
kayu secara beruntun
"Hup!"
Cepat Bayu melompat bangkit. Pada saat itu Dewa
Pengemis sudah kembali bergerak menyerang. Kakinya cepat menyusur tanah, membuat
debu berkepul bagai tersepak kaki kuda yang dipacu cepat. Ujung tongkatnya lurus
ke depan mengarah dada Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tap! Cepat Bayu menggerakkan tangannya. Dan tepat ketika
ujung tongkat hampir menyentuh dada, Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua
tangannya di depan dada. Seketika ujung tongkat Dewa Pengemis terjepit di antara
telapak tangan Bayu yang menyatu rapat. Tapi Dewa Pengemis rupanya tidak
kehilangan akal.
Sambil melentingkan
tubuh ke depan,
dihentakkan kakinya menendang dada Pendekar Pulau Neraka itu.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Buru-buru Bayu menghentakkan tangannya ke depan
seraya melepaskan jepitannya pada tongkat laki-laki tua pengemis itu, dan
secepat itu pula melompat mundur sejauh tiga langkah. Pada saat yang sama, Dewa
Pengemis berputaran di udara, kemudian mendarat di tanah dengan manis sekali.
Baru saja Bayu hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-
tiba saja terdengar teriakan keras. Dan seketika Pendekar Pulau Neraka itu
terkejut. Ternyata dari arah samping kiri, Rampita sudah melompat sambil
menghunus pedang ke arahnya.
Wut! Wuk...! "Hiyaaat..!"


Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Ayu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat sekali Bayu menarik tubuhnya ke belakang
menghindari tebasan pedang gadis berbaju hijau muda itu. Dan secepat itu pula,
sambil melentingkan tubuhnya ke belakang secara berputar, dikirimkan satu
tendangan keras.
Kalau saja Rampita tidak cepat-cepat melangkah mundur,
pasti dadanya terhajar tendangan itu. Namun sebelum gadis itu sempat melakukan
serangan kembali, Bayu sudah memberikan satu pukulan jarak jauh yang keras
bertenaga dalam sempurna sekali. Rampita terperanjat Buru-buru dilentingkan
tubuhnya, berjumpalitan di udara beberapa kali. Pukulan jarak jauh Pendekar
Pulau Neraka hanya mengenai sasaran kosong.
"Rampita, mundur...!" teriak Dewa Pengemis.
"Tidak! Aku harus membalas kematian Ayah!" seru Rampita tidak kalah kerasnya.
Gadis itu tidak mempedulikan peringatan laki-laki tua-
pengemis itu. Secepat kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kembali menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Dengan pedang di tangan, Rampita bagai dewi maut yang
siap mencabut nyawa.
Pedangnya berkelebatan cepat mengurung setiap gerak Pendekar Pulau Neraka.
Tapi serangan-serangan gadis itu mudah sekali dapat
dimentahkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, mendadak saja Bayu berhasil
menyarangkan satu tendangan ke dada gadis itu.
Rampita terpekik, langsung terlontar cukup jauh ke belakang.
"Rampita...!" seru pengemis tua itu, sambil melompat ke depan mendekati Pendekar
Pulau Neraka. Dengan tongkat kayu di tangan, laki-laki tua itu menyerang
Pendekar Pulau Neraka dengan ganas sekali. Serangan-serangan tongkatnya sungguh
berbahaya. Bahkan tongkat itu seperti memiliki mata. Ke mana Bayu menghindari,
selalu diikuti.
"Huh! Aku bosan dengan permainan ini! Hiyaaa...!"
dengus Bayu langsung saja mencelat ke atas.
Dan sebelum Dewa Pengemis bisa menyadari, Pendekar
Pulau Neraka sudah menukik deras. Langsung saja dikirimkan satu pukulan keras ke
arah dada begitu kakinya menjejak tanah tepat di depan Dewa Pengemis.
Des! "Aaakh...!" Dewa Pengemis menjerit keras.
Pukulan Bayu telak menghantam dada Dewa Pengemis,
membuat laki-laki tua itu terpental dan jatuh tepat di samping Rampita yang
sudah bisa bangkit berdiri. Dewa Pengemis
berusaha berdiri, tapi mengeluh merasakan nyeri pada dadanya.
Sepertinya ada beberapa tulang dadanya yang patah. Dewa Pengemis bisa berdiri
juga meskipun harus enahan rasa sakit yang luar biasa.
"Kita pergi saja, Paman," ujar Rampita memberikan saran
"Baiklah, ayo!" sambut Dewa Pengemis.
Tanpa menunggu waktu lagi, Dewa Pengemis dan Rampita
berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bayu hendak mengejar, tapi
segera mengurungkan niatnya. Dia
hanya berdiri tegak memandangi kedua orang yang semakin jauh.
*** Bayu mengayunkan kakinya pelahan membelah hutan lebat
Begitu lebarnya, sehingga matahari seakan-akan sulit meneroboskan cahayanya. Sekitar hutan ini begitu lembab.
Sepanjang jalan yang dilalui hanya tumpukan daun kering dan lumut licin
berembun. Jamur sangat subur tumbuh di balik batang dan akar serta pohon-pohon
yang sudah mati.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah pelahan sambil
memikirkan kemunculan Rampita. Benar-benar tidak dimengerti akan sikap gadis itu yang jauh berubah. Sepertinya Rampita adalah
seorang gadis asing. Begitu garang dan liar sekali. Bayu benar-benar tidak
mengerti akan perubahan sikap gadis itu yang begitu tiba-tiba. Bahkan menuduhnya
sebagai pembunuh ayahnya.
"Hm..., sebaiknya aku kembali ke gubuk Nyi Rampik,"
gumam Bayu. Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
langsung melesat ke atas pohon. Bagai seekor burung elang, pemuda berbaju kulit
harimau itu berlompatan dari pohon satu ke pohon lainnya, bagai tidak menyentuh
daun sedikit pun.
Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Pulau Neraka,
sehingga bisa berlompatan di atas pohon seperti berada di atas permukaan tanah
saja. Setiap dedaunan atau ranting yang digunakan untuk pijakan, tak ada
goyangan sama sekali.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau
Neraka itu sudah sampai di depan pondok kecil reyot milik Nyi Rampik Suasananya
begitu sunyi senyap. Pelahan-lahan Bayu menghampiri pondok itu. Ditajamkan mata
dan telinganya.
Namun yang terdengar hanya desiran angin. Bahkan tidak
terlihat adanya tanda-tanda mencurigakan. Suasananya tidak berubah, tetap sunyi
seperti hari-hari yang lalu.
"Rampita...!" seru Bayu keras memanggil.
Sepi. Tak ada sahutan sedikit pun. Bayu jadi curiga dengan keadaan yang sunyi
begini. Langkahnya terhenti di depan pintu pondok yang sedikit terbuka. Pelahan
didorongnya pintu itu.
Bunyi bergerit membuat debaran jantung Pendekar Pulau
Neraka itu jadi semakin kencang.
Kosong! Tak ada seorang pun di dalam pondok ini. Tapi
begitu Bayu hendak melangkah pergi, mendadak saja matanya menangkap sesuatu yang
mencurigakan di kolong balai bambu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri, lalu
membungkuk melihat ke bawah kolong balai bambu.
"Nyi Rampik...!" desis Bayu terbeliak.
Di dalam kolong balai bambu ini tergeletak seorang
perempuan tua yang sangat dikenal Pendekar Pulau Neraka.
Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau itu menarik keluar Nyi Rampik, dan
memindahkannya ke atas balai bambu
beralaskan tikar daun pandan.
"Biadab...!" desis Bayu menggeram.
Nyi Rampik dalam keadaan pingsan. Darah di sudut
bibirnya hampar mengering. Pertanda cukup lama perempuan tua itu pingsan.
Seluruh wajah perempuan tua ini memar
membiru. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling
ruangan kecil ini. Tak ada tanda-tanda bekas ada perkelahian di sini. Keadaannya
cukup rapi. Tapi, di lantai dekat pintu belakang terdapat bercak darah mengering
Bergegas Bayu menghampiri pintu yang langsung menuju
bagian belakang. Pintu itu terbuka lebar, dan Bayu langsung menerobos. Kini
Pendekar Pulau Neraka itu sudah berada di bagian halaman belakang. Tampak
pepohonan yang sengaja
ditanam Nyi Rampik hancur berantakan. Bercak-bercak darah mengering terlihat di
mana-mana. Begitu banyak jejak kaki manusia tertera jelas di tanah.
"Hm..., di mana Rampita?" tanya Bayu jadi teringat dengan gadis itu.
"Ha ha ha...!"
tiba-tiba saja terdengar
tawa lepas menggelegar. Bayu langsung memutar tubuhnya. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya cukup gagah dihiasi kumis tipis. Tubuhnya
kekar berotot, dan berdada bidang yang berbulu. Bayu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling ketika mendengar suara berkeresek dedaunan kering.
Dan sekitarnya kini bermunculan orang-orang bersenjata
tombak Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang. Semuanya
bersenjata tombak yang bagian ujungnya
berkeluk seperti mata keris. M ereka semua langsung membuat lingkaran mengepung,
sehingga tak ada satu celah sedikit pun.
Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan pandangannya pada laki-laki setengah baya yang masih gagah di depannya. Dari
pakaian yang dikenakan, sepertinya dia bukan dari kalangan persilatan. Demikian
pula orang-orang yang mengepungnya. M ereka mengenakan seragam bagai
seorang prajurit kerajaan. Tapi, entah dari kerajaan mana. Tak ada lambang yang
bisa menyatakan mereka datang dari suatu kerajaan.
*** "Kau yang bernama Bayu?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Benar. Dan kau siapa?"
"Aku Panglima Gajah Sodra. Aku sengaja menunggumu di sini untuk membawamu ke
Istana Cagar Angin," tegas laki-laki setengah baya itu yang mengaku bernama
Panglima Gajah Sodra. . "M aaf, Gusti Panglima. Sepertinya kita belum pernah bertemu. Kenapa Gusti
Panglima ingin membawaku ke
istana?" tanya Bayu, sopan.
"Sebaiknya kau jangan banyak tanya, Bayu. Gusti Prabu sendiri yang akan bertemu
denganmu."
"Aneh.... Apa urusannya Gusti Prabu ingin bertemu
denganku?" gumam Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.
"Bayu! Perlu kau ketahui. Aku ditugaskan membawamu ke istana dengan cara apa
pun. Kuharap jangan membangkang, agar tidak menyulitkan dirimu sendiri!" tegas
Panglima Gajah Sodra lagi.
"Kau mengancamku, Gusti Panglima," desis Bayu kurang senang.
'Terserah apa anggapanmu. Suka atau tidak suka, harus
ikut denganku!"
"Kalau aku menolak?"
Panglima Gajah Sodra menggerung pelahan. Tatapan
matanya sangat tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan
Bayu sudah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Diedarkan pandangannya ke sekeliling, seakan-akan tengah
mengukur kekuatan para prajurit Kerajaan Cagar Angin ini. Jumlah yang cukup
banyak, dan pasti mereka prajurit pilihan dengan tingkat kemampuan rata-rata
cukup tinggi. Selain membawa tombak, mereka juga menyandang
pedang di pinggang masing-masing. Sedangkan Panglima
Gajah Sodra hanya membawa pedang yang masih tergantung di pinggang. Tapi di
pinggangnya juga melilit seutas cambuk hitam yang ujungnya menyerupai bentuk
buntut kuda. Bayu bergumam pelahan, entah apa yang digumamkan itu.
"Adya Bala...!" seru Panglima Gajah Sodra lantang.
Satu teriakan menggemuruh terdengar dari para Prajurit itu.
M ereka mengangkat tombak ke atas sambil berteriak menyambut seruan Panglima Gajah Sodra. Sementara Bayu
sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Sudah bisa
diduga, pasti mereka akan memberikan serangan.
"Bayu, jangan paksa aku menggunakan kekeras an," desis Panglima Gajah Sodra
Dewi Penyebar Maut V I I I 1 Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 19
^