Pencarian

Sam Po Kong 2

Sam Po Kong Karya ??? Bagian 2


Angin tak terdengar. Yang terdengar adalah sejenis binatang kecil yang berada di
balik batu. 15 Halaman 30 dari 62 Karena kesunyian malam, bunyi yang paling kecil pun dapat tersaring masuk ke
dalam gendang pendengaran.
Dalam tidurnya ini Ceng Ho bermimpi. Dan karena itu, sehabis mimpi berlalu, dia
terjaga, duduk di ranjang sambil mengambil nafas panjang dan mengembuskannya.
Dia bermimpi didatangi ayahnya, Ma Ha Zhi. Ayahnya datang dari langit, turun
dikelilingi awan, dan seakan Ceng Ho berdiri di atas bunga teratai. Anehnya di
awan yang mengumpal itu, kemudian bergulung-gulung menyerupai huruf-huruf Arab
antara sin, mim, fa, wau, kaf, mun, ternyata huruf-huruf itu terangkai menjadi
sam po kon. Maka bertanya Ceng Ho dengan ragu, "Engkaukah ayahku?"
Jawab yang ditanya, "Ya, akulah Ma Ha Zhi, turunan Sai Dian Chi atau Sayidina
Syamsuddin dari nenek moyang Suo Fei Er atau Sayidina Syafii."
"Ada apa, ayahku?" tanya Ceng Ho. "Kenapa engkau berada di atas awan, dan aku
berdiri di atas bunga teratai?"
"Dengarlah baik-baik, putraku Ma He," kata Ma Ha Zhi.
"Aku bukan hanya memberi telinga, melainkan juga hati, ayahku," sahut Ceng Ho
sambil menekukkan kaki kanannya.
"Kamu harus taruh matamu di dekat telingamu, Ma He," kata Ma Ha Zhi.
"Apakah mata dan telinga yang sudah diatur letaknya oleh Yang Khalik harus
diubah lagi?" kata Ceng Ho.
"Jadilah arif, putraku," ujar ayahnya. "Alam tetap pada alam yang dicipta
Mahapencipta. Manusia berpikir untuk memanfaatkannya. Camkan itu."
"Aku patuh." "Sekarang, dengar dan berjaga," kata Ma Ha Zhi. "Nanti akan ada musuh di dalam
selimutmu, dan kamu bahkan tidak sempat membedakan yang mana serigala dan
yang mana domba. Kamu menghadapi pekerjaan besar. Setiap pekerjaan besar ada
juga risiko-risiko besar. Dan kau tidak mungkin menyelesaikan masalah besar
kalau tidak melihat lebih dulu yang kecilnya. Jangan memilih orang menjadi mitramu
dalam pekerjaan besarmu itu hanya karena orang itu memberimu senyum,
memasang muka manis. Betapa banyak malapetaka terjadi menuju pekerjaan besar,
sebab orang terpedaya oleh senyum dan muka manis...."'
"Ya, ayahku," kata Ceng Ho.
"Katakan keras-keras," kata Ma Ha Zhi.
Dan Ceng Ho berkata keras, "Ya, ayahku!"
Saking kerasnya, Ceng Ho terkejut dan terbangun. Dia terduduk di atas ranjang.
Terengah-engah. Termenung.
Halaman 31 dari 62 Isyarat apakah gerangan yang dia dapatkan dari mimpi, atau katakanlah lebih
memihak: penglihatan, yang hadir dalam tidur nyenyaknya itu" Dia dapat
menyimpulkan dengan mudah. Yaitu, mimpi adalah ilham yang bukan sembarangan.
Setiap mimpi tak terhindar dari kenyataan akan suatu perwujudan keinginan yang
membawa seseorang terkungkung atau terbebas dari pikiran-pikirannya.
**** Hal itu yang masih terbawa, dan mungkin terus terbawa dalam fitrah Ceng Ho
sepanjang hari pada keesokan harinya. Menjelang siang Ceng Ho meninggalkan
rumah, berjalan bergegas ke suatu tempat. Siapa yang memperhatikan air mukanya
niscaya akan menyaksikan sekelumit kegelisahaan yang tumbuh di dalam sukmanya.
Dia mengambil kuda. Dipacu kudanya. Tampaknya jarak yang akan ditempuhnya itu
lumayan jauh. Di ujung jarak yang ditempuhnya, orang-orang mengharapkan dia.
Dia pergi ke galangan kapal.
**** Di galangan kapal itu, sebuah kapal yang terbesar, yang akan dipakainya untuk
memimpin kapal-kapal lain menuju ke selatan, sedang dikerjakan pada tahap
perampungan. Di latar belakang, yang baru bersih oleh pertemuan antara laut dan
langit, tampak burung-burung camar yang terbang sambil mengintai mangsanya.
Tapi, yang paling kentara adalah kesibukan orang yang mengerjakan pembuatan
kapal itu. Dan yang lebih kentara lagi, di latar depan kapal yang bergalang itu
tampak sebuah meja panjang dengan beberapa orang duduk di belakangnya.
Ke situlah Ceng Ho datang dan berdiri memperhatikan orang-orang yang antre di
depan meja itu. Orang-orang yang antre itu adalah mereka yang membaca plakat
pengumuman tentang siapa di antara orang-orang sipil dengan keahlian tertentu
yang ingin ikut dalam pelayaran Ceng Ho ke selatan. Semua yang mendaftar ditanya
oleh petugas yang duduk di belakang meja itu.
Kini giliran seseorang yang berbadan jangkung. Petugas yang mencatat-catat di
meja itu bertanya kepadanya. "Apa keahlianmu?"
"Saya orang San Tung. Saya ahli di bidang tenun sutra dengan cara paling
sederhana." Setelah mencatat, petugas itu berkata, "Ke sebelah." Lalu menunjuk dengan tangan
kanannya ke seseorang yang tadi berdiri di belakang orang San Tung itu. "Ya,
yang berikut, maju." 16 Orang yang ditunjuk itu lantas maju, berdiri di depan meja sang petugas
pencatat. Katanya, ''Nama saya Li Bun Hau dari provinsi selatan.''
Halaman 32 dari 62 ''Apa keahlianmu"'' ''Menakar walet, membudidayakan sarangnya, mencuci dan membersihkannya
dengan cara paling benar. Saya bisa mengajarkan pengetahuan ini kepada bangsa-
bangsa di luar Cung Kuo*), bagi bangsa Hu Huan**) di mana pun di selatan sana.''
Ceng Ho mengangguk. Petugas pencatat berkata, ''Baik. Ke sebelah.''
Yang bernama Li Bun Hau pun berpindah ke sebelah, memberi cap tangannya.
Tempatnya digantikan seseorang yang antre di belakangnya.
Orang yang sekarang menghadap ke petugas pencatat, berdiri di situ, sambil
berkata, ''Saya Yong Gong. Asli saya dari suku Hu Pei. Ayah saya ahli gigi,
kakek saya ahli gigi, bahkan kakek buyut saya ahli gigi, dan besok anak saya pun akan
saya didik menjadi ahli gigi.''
''Bagus,'' kata petugas pencatat. ''Ke sebelah. Dan selanjutnya yang di
belakang, maju.'' Yang maju berikut ini, kira-kira 20-an tahun. Dia memberi hormat kepada Ceng Ho
yang berdiri di belakang petugas pencatat itu. Katanya, ''Saya Lu Shan. Saya
sangat ahli di bidang pengetahuan ming xiang, Feng Shui, tapi sekaligus juga An Mo.''
Petugas pencatat itu menyuruhnya beralih tempat, dan orang yang mengaku
bernama Lu Shan hampir bergeser, namun berhenti diam karena Ceng Ho
menyuruhnya. ''Tunggu,'' kata Ceng Ho, tertarik kepadanya. ''Dari mana orang seusia kamu
mendapatkan ilmu itu"''
''Tabik, Tuan Ceng Ho,'' katanya memberi hormat. ''Saya bertapa di Gunung Fei
Feng Shan, Si Cuan.'' ''Baguslah,'' kata Ceng Ho.
Dan orang yang bernama Lu Shan itu bergeser ke sebelah, lalu orang yang berdiri
di belakang - dia tak lain adalah Tan Tay Seng - maju ke depan petugas pencatat
itu. Bukan seperti yang lain-lain memperkenalkan diri dan menyebut asalnya, Tan Tay
Seng langsung menggesek teh-yan dan menyanyikan suatu rangkaian larik-larik:
Paduka Kaisar tidak salah memilih
Laksamana Ceng Ho menjadi Sam Po Kong
Ke selatan membawa panji-panji Ming
Kebesaran Cina dipuji di dunia luar.
Semua orang yang duduk di belakang meja, termasuk Ceng Ho, senang melihat Tan
Tay Seng menyanyi, memainkan teh-yan, dan bergerak-gerak tertentu mirip tarian
silat. ''Siapa namamu"'' tanya Ceng Ho.
Halaman 33 dari 62 ''Hormat, Sam Po Kong,'' kata Tan Tay Seng sambil membungkukkan badan. ''Saya
penyair penyanyi dari Fu Kien. Ayah Hok Kian, ibu Hok Cia.''
''O, ya, bagus,'' kata Ceng Ho. ''Kamu memang dibutuhkan di dalam kapal untuk
menghibur.'' Tan Tay Seng girang. Dia menggabruk dan berlutut di hadapan Ceng Ho lalu
mencium tangannya. ''Terima kasih, Sam Po Kong.''
*** Ada orang-orang yang tidak senang melihat adegan itu. Orang-orang yang dimaksud
ini berdiri di arah kejauhan, sambil lalu menyaksikan kegiatan pengerjaan kapal
dan pendaftaran orang-orang sipil yang berkeahlian untuk ikut dalam ekspedisi
pimpinan Ceng Ho. Orang-orang itu adalah Liu Ta Xia, Dang Zhua, dan Hua Xiong.
Dengan menutup mulut karena jengkel melihat kenyataan itu, Liu Ta Xia berkata,
nyaris tak terlafazkan dengan jelas, ''Apakah orang itu yang kalian maksudkan
telah mengalahkan kalian.'' Bersama Dang Zhua dan Hua Xiong mengangguk, menjawab, ''Ya, Tuan Menteri.''
''Ternyata sekarang kalian melihat sendiri ada hubungan antara Ceng Ho dan dia,
yang tadinya kita kira tidak penting,'' kata Liu Ta Xia.
''Apa yang harus kami lakukan"'' tanya Dang Zhua.
''Kalian pergi dulu ke rumahku. Tunggu aku di sana. Aku akan bicara dengan Ceng
Ho,'' kata Liu Ta Xia. Dang Zhua dan Hua Xiong pun pergi, menunggu di rumah Liu Tia, sementara Liu Ta
Xia menghampiri Ceng Ho. Apa yang diperkatakan Liu Ta Xia kepada Ceng Ho"
''Semua persiapan sudah dicatat"'' tanya Liu Ta Xia setelah berhadapan muka
dengan Ceng Ho. ''Sejauh ini sudah, Tuan Menteri.''
''Mungkin ada yang terlupakan,'' kata kata Liu Ta Xia.
Catatan: *) Tiong Kok, negara di tengah-tengah.
**) Bangsa di luar Cina, biasanya diucapkan menjadi Huan-Na, sekarang
mengandung arti: bangsa tak berbudaya (Cina).
17 "Kalau ada yang terlupakan, saya siap dikoreksi, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.
"Pasti ada," kata Liu Ta Xia. "Dalam laporan belum ada bidang juru tulis yang
akan mencatat setiap kegiatan pelayaran."
Halaman 34 dari 62 "O, ya, Anda betul, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.
"Tidak usah kuatir," kata Liu Ta Xia. "Saya sudah menyediakan itu."
"Terima kasih," kata Ceng Ho.
*** Liu Ta Xia senang. Dia berhasil melakukan apa yang dia pikirkan sebagai suatu
siasat perang. Maka ketika sampai di rumahnya, dan di situ telah menunggu orang-
orang kepercayaannya, berkatalah dia sukacita, "Aku berhasil."
"Bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Ceng Ho lupa membawa juru tulis dalam ekspedisi itu," kata Liu Taa Xia. "Aku
berhasil memasukkan kamu berdua. Kalian tidak perlu susah-susah antre seperti
yang lain-lain. Aku harus bergerak cepat. Besok aku akan menghadap Kaisar untuk
menaruh nama kalian sebagai juru tulis."
Dang Zhua dan Hua Xiong berpandangan. Kesukacitaan tergambar dalam sikap
mereka. "Ada dua tugas kalian," kata Liu Ta Xia. "Mencatat."
"Kami siap, Tuan Menteri," kata Dang Zhua.
"Pertama, mencatat perjalanan muhibah itu. Dan kedua, mencatat hal-hal yang
negatif atas semua hal menyangkut tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus
mempertanyakan tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan apakah
betul pelayaran itu merupakan ekspedisi muhibah atau justru ekspansi dengan cara
kebudayaan." "Maksudnya bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.
"Ya, orang selalu terkecoh oleh premis misi kebudayaan. Bagi Cina, misi
kebudayaan bagaimanapun adalah penaklukan dengan cara santun pada negeri-negeri seberang
lautan." "Jadi, dengan menaruh kami sebagai juru tulis, apakah niatan Tuan Menteri untuk
memasang kami dalam pelayaran itu sebagai penasihat spiritual telah berubah
siasat?" tanya Dang Zhua.
"Padahal, selama hari-hari terakir ini aku sudah belajar lagi isi kitab suci
kita," kata Hua Xiong. "Diam!" sentak Liu Ta Xia.
Dan keduanya pun langsung mingkem.
"Aku harus berpikir," kata Liu Ta Xia. Lalu dia tertawa, merasa telah memperoleh
jawaban atas yang dipikirkannya. "Jangan tolol begitu. Kalian harus cekatan
berimprovisasi." Halaman 35 dari 62 "Jadi, sekarang kami akan menjadi juru tulis pelayaran itu, Tuan Menteri?" tanya
Hua Xiong. "Itu betul," kata Liu Ta Xia. "Aku harus memenangi permainan ini."
*** Sampai di mana kepiawaian Liu Ta Xia bermain"
Siang itu dia berada di istana. Permaisuri sedang berjalan menuju ke barat. Dia
berjalan seorang diri. Di depan sana, di bagian simpangan, Liu Ta Xia menunggu
dan tidak tampak. Begitu Permaisuri tiba di situ, Liu Ta Xia nongol. Melihat Liu Ta
Xia, kontan wajah Permaisuri berubah, dan dari sikapnya tampak ada perasaan tak
tenang. Dia celingukan ke kiri dan kanan, lalu menyamping ke dinding.
"Kau mengagetkan," kata Permaisuri.
"Saya harap bantuan Tuan Putri," kata Liu Ta Xia. "Masalahnya merumit."
"Jangan libatkan saya dengan urusan politik," kata Permaisuri sambil berjalan
mengabaikan. Liu Ta Xia mengejar, mempercepat langkah. "Tunggu, Permaisuri."
"Maaf," kata Permaisuri. "Saya tidak tertarik pada skandal politik." Dia cepat-
cepat berlalu, dan hilang di ujung sana.
Tinggal Liu Ta Xia terbengong sendiri di situ. Dan bersungut pada dirinya,
bercakap secara ekwicara di situ. "Perempuan selalu membingungkan. Lelaki tidak pernah
bisa memahaminya. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam urusan politik,
menganggapnya sebagai skandal, tapi selalu memberikan peluang untuk terlibat
dalam skandal cinta."
Lama Liu Ta Xia terbengong di situ. Karena itu dia terlambat hadir di balairung.
*** Di balairung semua menteri dan pembantu Kaisar yang lain telah menunggu.
Kecuali, Liu Ta Xia yang belum hadir di situ. Dia harus masuk ke situ setelah
Kaisar menyuruh Ceng Ho melaporkan perkembangan-perkembangan yang telah dicapai
sehubungan dengan persiapan berlayar ke selatan, dan terus sampai ke barat.
18 ''Saya ingin mendengar langsung laporan akhir dari Ceng Ho mengenai persiapan-
persiapan pelayaran,'' kata Zhu Di.
''Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar, sesuai dengan rencana, Paduka
Kaisar,'' kata Ceng Ho dengan memberi hormat terlebih dulu kepada Zhu Di.
''Menurut kwa miah *) dan swi miah **) saya dan Paduka, hari baik untuk berlayar
adalah tujuh hari dari hari ini dalam tahu Yong Le ketiga. Insya Allah,
pelayaran itu akan merupakan penyusuran samudra yang indah.''


Sam Po Kong Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Halaman 36 dari 62 Bersamaan dengan itu Liu Ta Xia masuk. Dia tak bisa menyembunyikan sifat
kekagokan yang menerpanya secara tiba-tiba begini. Sesaat dia hanya berdiri di
situ. Tapi di situ pula dia menundukkan kepala, menyapa sang kaisar.
''Mohon maaf, Paduka Kaisar,'' katanya. ''Sebagaimana selamanya diingatkan oleh
orang-orang tua dan orang-orang bijak-bestari, adalah kemampuan mengingat-ingat
manusia itu selalu ada batasnya.''
''Katakan, apa konkretnya"'' kata Zhua Di menunjuk dengan tangan kanannya.
''Begini, Paduka Kaisar,'' kata Liu Ta Xia dengan sangat teratur kalimatnya.
''Bangsa Cina adalah bangsa yang beradab sekaligus berbudaya. Kita beradab dan berbudaya
sebab kita telah menulis sejarah, menyimpannya dalam perpustakaan, dan
karenanya dapat dibaca orang dari generasi ke generasi sejak zaman Huang Ti.''
''Lantas" Apa yang tersembunyi dalam kata-katamu itu,'' kata Zhu Di mendesak.
''Katakan. Semua yang berada di sini siap mendengarmu.''
''Saya sudah berkata kepada Ceng Ho bahwa dalam ekspedisi itu belum ada juru
tulis khusus yang akan mencatat misi itu,'' kata Liu Ta Xia.
Zhu Di terkesima. Dia memandang tajam kepada Ceng Ho. Katanya heran, ''Apa
betul begitu, Ceng Ho"''
Ceng Ho membenarkan dengan mengangguk. ''Memang betul begitu, Paduka.''
''Tapi, Paduka Kaisar tidak perlu kuatir,'' kata Liu Ta Xia.
''Kalau memang betul begitu, saya perintahkan untuk mendudukkan Ma Huan dan
Fei Xin,'' kata Zhua Di. Cepat sekali Liu Ta Xia menanggapi. ''Tidak perlu, Paduka Kaisar. Saya sudah
menjanjikan kepada Ceng Ho dua orang yang dapat dipercaya. Yang satunya
Buddha, yang satunya lagi Tao, dan kedua-duanya sangat toleran terhadap semua
agama di Cina.'' ''Betul begitu, Menteri Liu"'' tanya Zhu Di meminta semacam jaminan dalam kata-
kata. ''Betul sekali, Paduka Kaisar,'' sahut Liu Ta Xia.
''Kalau begitu, baguslah.'' Zhu Di tampak puas. ''Berarti semuanya sudah
terakomodasi.'' Benarkah" *** Justru Wang Jing Hong yang mengingatkan sesuatu yang hampir pula terlupakan
oleh Ceng Ho. Wang Jing, orang yang dipilih Ceng Ho untuk menjadi juru mudi
kapalnya-yang di Jawa nanti namanya lebih dikenal sebagai Dampo Awang--
Halaman 37 dari 62 mengingatkan sesuatu yang hampir terlupakan oleh Ceng Ho, ketika mereka sedang
berkuda menuju timur laut.
''Ada lagi yang kaulupakan, Ma He,'' kata Wang Jing Hong. ''Dan, hal ini
mustahak sekali buat kita.'' ''Soal apa itu"'' tanya Ceng Ho.
''Kita ini muslim,'' jawab Wang Jing Hong. ''Kita butuh koki khusus yang
mengerti bahwa tidak semua daging halal buat kita.''
''Astaghfirullah,'' seru Ceng Ho memegang kepala dan menghentikan kudanya. ''Kau
betul. Apa kau punya calon"''
Wang Jing Hong juga menghentikan kudanya. ''Calon untuk menjadi Sam Po Sui
San"'' ''Ya,'' sahut Ceng Ho. ''Aku rasa yang paling kena memegang pekerjaan itu, Wu Ping saja,'' kata Wang
Jing Hong. ''Wu Ping itu sahabat yang menyenangkan, muda, bersemangat, dan takwa.''
''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Kapan temui dia"''
''Bukannya lebih benar: dia yang menemui kita"'' tanya Wang Jing Hong.
''Tidak,'' kata Ceng Ho yakin dan tegas. ''Aku yang membutuhkan dia. Aku yang
harus datang kepadanya. Aku sedang belajar menjadi pemimpin yang baik.''
Dan mereka memacu lagi kuda-kuda mereka.
*** Waktu itu Wu Ping sedang berbaring. Dia melamun di situ. Ibunya berada tak jauh
dari situ. ''Ma, sebetulnya aku ingin mendaftar juga untuk menjadi awak dalam ekspedisi
Ceng Ho. Tapi aku kuatir, jangan-jangan tidak diterima,'' kata Wu Ping.
Kata Ibunya, membesarkan hati Wu Ping, ''Kalau kau memang punya kelebihan,
kenapa kau tidak coba"''
Catatan: *) Istilah di kalangan Hok Kian untuk pengetahuan tentang nasib, dipelajari
melalui garis tangan, wajah, sosok tubuh, dan shio.
**) Istilah di kalangan Hok Kian untuk pengetahuan nasib seseorang dengan
menyimak weton dan hari jadi menurut perincian waktu 24 jam dihubungkan dengan
tahun Im Lek dan shio. Halaman 38 dari 62 19 ''Sebetulnya aku pernah mengajukan keinginanku ini kepada Wang Jing Hong, tapi
kelihatannya dia tidak acuh...''
Ibunya masygul. Dia tidak mau memperlihatkan mukanya kepada Wu Ping. Tapi
sebagai seorang ibu, dia harus memberi semangat kepada putranya ini.
''Semut juga tidak hanya satu kali saja menempuh jalannya untuk mencapai gula,''
kata ibunya. *** Harapan ibunya pun ternyata tidak sia-sia. Ketika Wu Ping merasa harus berjalan
lagi pagi ini untuk pergi mencari Wang Jing Hong, dia terkejut mendengar sapaan
suara yang dikenalnya, yaitu suara Wang Jing Hong menyapa di pintu.
''Assalamu alaikum.'' ''Alaikum salam,'' sahut Wu Ping dan diikuti ibunya juga, ia bergegas ke pintu.
Dia buka pintu, dan dia kaget sekali.
Di depan pintu itu bukan hanya Wang Jing Hong yang berdiri, melainkan juga Ceng
Ho. Maka dia maju, mencium tangan Ceng Ho seraya membungkukkan badan.
''Masya Allah, apakah aku sedang bermimpi"'' kata Wu Ping.
''Tidak Wu Ping,'' kata Wang Jing Hong. ''Keinginanmu sudah aku sampaikan kepada
Ceng Ho. Dan, kau lihat sendiri, Ceng Ho yang datang sendiri ke sini, mengajak
kau ikut kerja di kapal besar menuju ke selatan.''
''Alhamdulillah,'' kata Wu Ping. Dia menghormati lagi kepada Ceng Ho. ''Terima
kasih, Tuan Ceng Ho. Ini benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan.'' Lalu dia
memeluk ibunya. ''Ma, sekarang mimpiku sudah menjadi kenyataan.''
Ibu Wu Ping pun memberi takzim kepada Ceng. ''Terima kasih, Tuan Ceng Ho.
Terima kasih karena anakku mendapat pekerjaan.''
''Untuk selanjutnya Wu Ping akan menjadi Sam Po Sui Su,'' kata Wang Jing Hong.
Wajah mereka semua berseri-seri.
*** Sampai nanti, jatuh pada hari baik yang dimaksud Ceng Ho itu, semua orang datang
berbondong melihat pelepasan kapal Ceng Ho dan kapal-kapal pengiring lainnya
melaut ke timur dan ke selatan.
Ramai manusia, hiruk-pikuk, melebihi peristiwa hari raya biasa, orang-orang dari
pelbagai kelas, dari pelbagai jenis, dan dengan pakaian yang beraneka ragam,
sutra Halaman 39 dari 62 berwarna-warni, bersulam-sulaman dengan hiasan-hiasan yang paling populer
antara naga atau burung hong.
Di antara hiruk-pikuk itu ada juga orang-orang menggelar barang dagangan,
menjadikan tempat ini seperti pasar kaget. Segala macam barang, dari mainan
anak, pakaian, dan pelbagai jajaran kelihatan digelar di situ. Tak terkecuali
tetabuhan yang riuh. Di langit yang biru, seperti kemarin dan kemarinnya lagi, tampak awan berarak.
Di bagian yang rendah tampak pula burung-burung putih, berkaki panjang dan
bertelapak ceper, bersaing mendapatkan makanan.
Di darat, sebelum naik ke kapal, Ceng Ho bersalam-salaman dengan segenap
pengantar: menteri-menteri, pejabat-pejabat tinggi kerajaan, dan akhirnya
menghormati dengan cara yang sangat mulia kepada sang kaisar.
''Ingat, negeri di luar Cina adalah sahabat. Kau tidak diperintahkan untuk
membuat mereka takut pada kekuatan kita, tapi membuat mereka hormat pada kekuasaan
kita,'' kata Zhu Di. ''Daulat, Paduka Kaisar,'' kata Ceng Ho.
''Selamat jalan,'' kata Zhua Di.
*** Sebentar lagi kapal Ceng Ho dan kapal-kapal pengiringnya bertolak. Yang
ditinggalkan melepas dengan perasaan haru. Yang meninggalkan akan melambai-
lambaikan tangan sampai orang-orang yang dilambaikan itu makin lama makin tak
kelihatan dan selanjutnya hanya akan kelihatan darat yang samar-samar.
Ceng Ho dan Wang Jing Hong berdiri diatas melambaikan tangan ke bawah. Di situ
angin menerpa-nerpa wajahnya dan menebas-nebas pakaiannya. Waktu
keberlayaran mereka sekarang sekitar pukul 16.00.
Di bagian bawah, di buritan, Tan Tay Seng duduk memainkan teh-yan dan
menyanyi. Makin lama makin banyak orang yang mengerumuni, mendengarkan
nyanyiannya. Boleh dikata, dia tak pernah kekurangan uang. Sebab, dalam setiap
kali menyanyi, orang-orang melemparkan keping uang tanda sawer. Dan, apabila
orang melemparkan yang kepadanya, dia menghentikan nyanyian untuk
mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan lagi nyanyian itu.
Ke timur atau ke selatan layar terkembang
Menyusur laut menghadapi ombak gelombang
Tak pernah aku merasa takut ataupun gamang
Karena Sam Po Kong memimpin kapal melanglang
Di selatan barangkali tempatku memadu cinta
Halaman 40 dari 62 Cinta dibangun dengan membayangkan sukacita
Kudendangkan harapan untuk didengar semua
Jika tak suka dendangku tutuplah telinga
Dan kapal makin menjauh dari darat. Matahari pun mulai turun di barat. Sebentar
lagi malam. Di dalam gelap segala kemungkinan dapat terjadi...
20 Episode II DAN kapal Ceng Ho, kapal yang besar dan kukuh dengan 14 layar terkembang di
tiang masing-masing, pelan-pelan meninggalkan darat Wu Fu Men, mengarung laut,
membelah rahasia alam di balik perkasa sang waktu. Hanya manusia yang cakap,
teguh pendirian, pemberani, dan dikaruniai bakat memimpin, tapi juga tak lupa
berserah diri kepada Sang Khalik, yang sanggup melakukan pelayaran berisiko ini.
Ceng Ho sekarang melakukannya. Dia sanggup. Karena itu dia pula yang dipilih
sang kaisar untuk memimpin pelayaran ini: demi Ming dan Cina. Jika tidak begitu,
tidaklah pula namanya disebut Sam Po Kong.
Kapal Ceng Ho berada di depan. Kapal-kapal yang lain, 62 armada, mengiring di
sekitarnya. Andai orang berdiri di puncak gunung niscaya akan melihat
keberangkatan kapal-kapal itu ke laut luas seperti arak-arakan angsa. Di kapal
dan ekor angsa-angsa itu beterbangan percikan-percikan api. Di situ orang membakar
mercon-mercon sreng dibarengi hiruk pikuk keceriaan.
Setelah satu jam membelah laut, dan sebentar lagi kapal-kapal itu memasuki mulut
selat antara daratan Tiongkok dan Pulau Formosa, tampak di barat surya telah
condong. Cahayanya melembayung berkilau-kilau di atas air. Dan nanti, apakah
matahari itu, sesuai dengan alamnya, melenyap di sana, maka di buritan kapal
yang paling besar terdengar nyanyian Tan Tay Seng. Di buritan itu, seraya memainkan
teh-yan, dia menyanyikan lagunya:
Ke selatan, ke selatan Ke tanah air yang baru Ke tempat mimpi berpadu Sukacita dan air mata Yang memberi kuping untuk mendengar nyanyian Tan Tay Seng tidaklah sedikit.
Orang-orang di kapal besar itu banyak yang merubungnya. Tak terkecuali Ceng Ho,
Wang Jing Hong, dan Wu Ping yang menyaksikan di bagian kapal yang tinggi. Dari
wajah mereka yang berseri-seri tampaklah sukacita berkibar di hati masing-
masing. Ceng Ho tertawa di atas sana, ketika sambil menyanyi, biasa, Tan Say Seng
memperagakan gerakan-gerakan tertentu yang membuat orang terhibur.
Ke selatan, ke selatan Halaman 41 dari 62 Dengan Ceng Ho yang tuan Hati senang pikiran aman Mati-hidup soalnya Tuhan Ceng Ho mengangguk-angguk di atas sana. Di akhir nyanyian Tan Tay Seng, dia
bahkan memberi pujian dengan mengacungkan ibu jari.
Kendati banyak orang di kapal ini terhibur oleh kecekatan Tan Tay Seng menyanyi
dan memainkan teh-yan dengan melakonkan gerakan-gerakan khas antara mirip tari
dan mirip kembangan silat, toh ada juga orang yang bermuka masam menyaksikan
Tan Tay Seng dari bagian kapal yang agak tinggi pula. Orang itu bukan hanya
satu, melainkan dua, saling mengalirkan frustrasi. Mereka adalah Dang Zhua dan Hua
Xiong. Wajah mereka mewakili sukma mereka yang dengki. Mereka tidak lupa
bagaimana Tan Tay Seng telah membuat mereka keok seperti ayam sayur.
Dang Zhua mencibir dengki di atas sana melihat sambutan orang kepada Tan Tay
Seng. Katanya kepada Hua Xiong, "Huh, bedebah itu sedang mendapat angin.
Besok-besok kita harus bikin dia masuk angin."
"Ya," kata Hua Xiong kerajingan. "Bagaimanapun aku penasaran padanya. Aku
sumpah harus membalas kekalahan kita."
Dang Zhua tidak suka dikatakan "kalah". Maka katanya, "Ah, menurutku, kita tidak
kalah." Hua Xiong, yang dalam saat-saat tertentu sering menunjukkan sikap yang cepat
goyah, langsung berkata, "Ya, betul." Kelihatannya dia seperti sedang berbicara
dengan akal tertentu. "Kita memang tidak seperti sedang berbicara dengan akal
tertentu. Kita memang tidak kalah. Kalaupun kenyataannya kita terkalahkan, itu
adalah masalah waktu. Waktu itu kita tidak sadar diri. Waktu itu kita sedang
mabuk." Dang Zhua membenarkan itu. Dia berlindung pada alasan yang menurutnya masuk
akal. Katanya, "Ya, memang waktu itu pandanganku agak kabur. Tapi nanti, di saat
yang tepat, sumpah atas nama leluhurku, kita yang akan membuat dia keok, kalah,
kabur, lari tunggang langgang. Dan suaranya yang sekarang digandrungi banyak
orang akan kita ubah. Kita siksa dia, seperti terhadap anjing, sehingga dia
tidak lagi menyanyi nyanyian-nyanyian keindahan, tapi dia akan menjerit jeritan-jeritan
kesakitan." Tan Tay Seng tidak tahu itu. Tapi, percayalah, sebagai cempiang, dia tidak
pernah gentar. Dia amat jeraus menghadapi pelbagai kemungkinan yang tak diduga-duga.
Hal itu pula yang membuat Ceng Ho, di lain waktu, akan menyatakan kesukaannya
kepadanya. Tan Tay Seng terus menyanyi. Matahari pun makin lama makin berangkat ke barat,
pamit pada timur. Sentar lagi, seorang muazin, namanya Hok Jin,
mengumandangkan seruan salat, dan semua yang telah melafazkan pengakuannya
tentang Allah yang tunggal dan rasul yang penutup, segera melakukan sembahyang
di atas kapal itu. Tentu saja, termasuk Ceng Ho. Dia menjadi contoh anak
buahnya, bagaimana mencari Tuhan dan menemukan Tuhan.
Halaman 42 dari 62 (21) Beberapa jam kemudian, setelah hari menjadi gelap dan kapal telah berada di
tengah-tengah laut, Ceng Ho berdiri di palka depan. Di sebelahnya ada Wang Jing
Hong dan dua orang perwira berbusana khas Ming. Walau mereka menghadap ke
depan, mereka tidak melihat apa-apa. Langit dan batas laut tidak nampak di malam
yang telah utuh sebagai lawan siang.
Ketika memandang ke depan, ke gelap, kelihatannya ada yang sedang diperkirakan
Ceng Ho. Dia memikirkan Dang Zhua dan Hua Xiong. Menurutnya, sebagai juru tulis
yang diberikan Liu Ta Xia itu, Dang Zhua dan Hua Xiong harus siap mencatat


Sam Po Kong Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian- bagian yang paling kecil pun dari pelayaran muhibah ke selatan. Pada waktu itu,
walaupun kepulauan Nusantara, khususnya Sumatera, dan lebih khusus lagi Jawa,
berada di selatan, orang-orang selalu menyebutnya timur.
Ketika memikirkan tentang juru tulis itu harus menulis terperinci tentang
pelayaran ini, Ceng Ho meminta Wang Jing HOng memanggilkan Dang Zhua dan Hua Xiong
untuk menemuinya di palka ini.
"Tolong panggilkan kedua juru tulis yang diberi Liu Ta Xia itu datang ke sini.
Mereka harus menulis gelap pertama yang kita hadapi. Gelap selalu punya arti khusus
ketika besok matahari datang," kata Ceng Ho.
"Baik," kata Wang Jing Hong, mengangguk takzim, berputar badan, dan pergi ke
tempat untuk menemukan Dang Zhua dan Hua Xiong.
Untuk ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong, Wang Jing Hong yang merupakan orang
terdekat Ceng Ho harus melewati sebuah koridor dan turun tangga ke bawah,
berhenti di kamar paling ujung. Di depannya Wang Jing Hong berdiri sambil
menyebut nama kedua orang itu.
"Ya," kata Dang Zhua, membuka pintu. Dia terkesiap melihat wajah Wang Jing Hong.
"Anda?" "Sam Po Kong meminta kalian berdua ke atas," kata Wang Jing Hong. "Sekarang."
"Baiklah," sahut Dang Zhua.
Wang Jing Hong berlalu. Kedua orang yang disiasati Liu Ta Xia sebagai juru tulis
itu lantas bergegas-gegas. "Mau apa itu Sam Po Kong?" tanya Hua Xiong.
"Apa pun maunya, jangan lupa berpenampilan sebagai orang yang menguasai
kebudayaan," kata Dang Zhua. "Sebab, tugas kita menulis pelayaran ini."
"Hewan saja bisa bermain pura-pura, masa kita, menusia, tidak bisa?" kata Hua
Xiong. *** Halaman 43 dari 62 Dang Zhua dan Hua Xiong pun ke atas. Di atas sudah tampak beberapa orang
perwira. Setelah Dang Zhua dan Hua Xiong berada di situ, Ceng Ho meminta mereka
semua masuk ke ruang rapat di belakang tempat mereka berdiri sekarang.
Mereka masuk ke situ. Di situ, di atas sebuah meja besar, terbeber sebuah peta
dunia. Walaupun peta itu tidak sama dengan peta zaman sekarang, peta itu, peta
zaman Ming, telah cukup jelas memerinci bagian bumi, menunjukkan bahwa orang
Cina sudah dapat membuat dengan sangat teliti gambar navigasi seluruh samudra,
kecuali Atlantik, yaitu menaruh Cina sebagai negara pusat-sesuai dengan
perkataan Cung Kuo atau Tiong Kok yang berarti negara di tengah-tengah-dan dua benua yang
mengampitnya di wilayah dua samudra besar, Pasifik di timur dan Hindia di barat,
yaitu tanah tepi sekitar Amerika Utara dan Alaska sekarang dan Kanada sekarang,
sampai Afrika Timur. Dalam peta yang sedang ditunjuk Ceng Ho dengan tongkat tampak jelas nama Ka-
Li-Kut di pantai selatan-baratdaya India, kemudian Ormuz, kini bernama Bandar
Abbas di selatan Iran, lalu ke barat lagi sampai di Aden, waktu itu masih
merupakan negeri Arab, kini bagian dari negara Yaman, dan di sebelat baratdaya lagi
tercatat nama kota pesisir timur Afrika, Mo-Ge-Do-Xu kini Mogadishu di negara Somalia.
Sambil menunjukan laut di peta itu, yaitu sekitar garis 25 derajat Lintang
Utara, berkata Ceng Ho dengan serius, "Dari bagian laut ini sampai Quit Nhon di Campa
nanti, cuaca tidak bisa diramalkan dengan tepat. Sebab, angin dari barat, dari
daratan Cina yang luas akan bertemu dengan angin dari timur, dari samudra yang
lebih luas dari daratan."
"Kesimpulannya?" tanya seorang perwira.
"Saya tidak menyuruh Tuan-tuan menyimpulkan," kata Ceng Ho tegas. "Saya
meminta Tuan-tuan bersiaga." Dan dia melirik ke arah Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Perubahan apa pun yang terjadi, saya harap hal itu bisa dicatat dengan
terperinci." Lalu Ceng Ho melihat kembali ke wajah perwira yang bertanya tadi. "Kalau sampai
terjadi sesuatu yang terduga, karena cuaca yang tidak bisa diramalkan itu,
tanggung jawab Anda untuk membuat prajurit yang mendayung di bawah itu tidak boleh
mengantuk." "Kalau ada yang mengantuk buang saja ke laut, biar jadi makanan ikan," kata
perwira itu. Dia bermaksud melucu, tapi tak seorang pun yang tergerak hati untuk
ketawa. (22) "Kembali ke soal tanggung jawab juru tulis," kata Ceng Ho memangkas omongan
sambil mengarahkan pandangan penuh kepada dua orang yang dimasukkan Liu Ta
Xia ke sini. "Saya ingin semua yang hadir di sini memahami betul, dan karena itu
harus menghargai tugas juru tulis pelayaran, sebab hasil kerja mereka yang akan
disimak orang di kemudian hari tentang kebesaran Cina dan kejayaan Ming."
Semua orang memberi aplaus kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.
Dan kedua orang ini pun kelihatan besar hati, tersanjung.
Halaman 44 dari 62 Ceng Ho melanjut kembali. "Tulisan yang akan dilakukan oleh juru tulis kita
mudah- mudahan dapat ditulis dengan Wen Yen *) yang indah. Saya percaya Tuan-tuan
bisa." "Selama ini belum ada hal-hal penting yang dapat dicatat dengan istimewa:
kecuali katakan, ini gelap pertama di tengah laut yang mungkin baru dialami oleh banyak
anggota ekspedisi ini," kata Ceng HO. Dan dia ajukan pembenaran kepada Dang
Zhua dan Hua Xiong. "Bagaimana Tuan-tuan?"
"Betul, Sam Po KOng," kata Dang Zhua. "Dalam catatan yang saya buat, sudah saya
gambarkan tentang gelombang penuh gelora yang akan hapus begitu kapal berlabuh
di tanah tepi yang hijau oleh rerumputan pengharapan..."
"Tunggu," kata Ceng Ho memotong. "Saya ingat larik-larik itu. Itu adalah bagian
dari puisi Thu Fu. **) Bukankah?"
"Betul sekali, Tuan Sam Po Kong," kata Dang Zhua memuji, mengambil hati.
Di luar gelap makin gelap. Malam makin malam. Ada yang tidur. Ada yang berjaga.
Kelihatannya malam yang berlalu, berlalu dengan tenang. Cuaca yang tidak bisa
diterka itu, yang biasanya menakutkan pada malam hari, tidak mengganggu
pelayaran. Siang datang menurut waktunya. Pagi cerah. Langit bersih. Awan-awan
putih sepeti gumpalan kapas berpindah dari satu arah ke arah yang lain.
**** Manakala siang pun berakhir, dan senja menghampiri, berlanjut petang, dan
kemudian malam lagi, orang-orang di kapal tetap melakukan kegiatan-kegiatannya.
Di ujung hari, seperti kemarin, dan juga berulang besok-lusa-tulat-tubin, Tan
Tay Seng menyanyi sambil mengesek teh-yan di buritan.
Ulat sutra membangun rumah dalam kepompong
Tak bisa ke mana-mana karena hidup terkurung
Laba-laba membangun rumah menjadikannya jaring
Bebas merdeka bergerak di dalam gelap dan terang.
**** Dan bilamana gelap kembali membungkus bagian bumi pada hari kedua pelayaran,
orang-orang pun, sipil dan militer, melakukan kegiatan-kegiatan mematikan
keletihan. Di sebuah kamar kelihatan beberapa orang duduk berputar, bermain ceki. Orang-
orang ini adalah yang mendaftar bersama-sama ikut dalam pelayaran ini: Bun Hau
yang ahli menangkar walet, Yong Gong yang ahli gigi, Lu Shan yang ahli ming-
xiang, Halaman 45 dari 62 Wan Sen yang ahli membuat sutra. Mereka bermain ceki di atas sebuah ranjang
besar yang bisa ditiduri oleh sepuluh orang.
Sambil menurunkan salah satu alat cekinya, Bun Hau berkata, "Aku peling benci
kalau gelap begini mendengar orang menyanyi lagu yang tidak enak."
"Tapi di luar tidak gelap," kata Yong Gong. "Sebentar lagi akan berkunjung
purnama." "Purnama?" Wan Sen kelihatan senang. "Kenapa kita tidak keluar melihatnya?"
Dan Lu Shan mendukung itu. "Ya, itu gagasan bagus. Melihat purnama naik di kaki
langit dan kepala laut pasti mengesankan."
"Betul," kata Yong Gong. "Ayo, Bun Hau, kita keluar. Main cekinya kita teruskan
nanti." "Aku tidak mau," kata Bun Hau. "Di luar si sinting menyanyi lagu tai. Lecet
telingaku mendengar nyanyiannya."
"Kalau perlu kita suruh dia diam," kata Wan Sen.
"Ya, ayolah," kata Yong Gong lagi.
"Ah, tidak," kata Bun Hau."Kalian saja."
Akhirnya semua yang sekamar ini keluar. Tinggal Bun Hau seorang diri.
**** Di luar, di bagian kapal sayap kanan, di tempat yang tidak ada orang lain yang
berdiri di situ, tampak Dang Zhua dan Hua Xiong sedang berbicara pelan-pelan
sambil sesekali melihat ke belakang atau ke samping dengan gerak-gerik antara
curiga dan awas. "Sekarang kita sudah dekat dengan Ceng Ho," kata Dang Zhua.
Hua Xiong mengangguk. "Apa tindakan kita selanjutnya?"
"Kita harus licin lebih dari belut," kata Dang Zhua. "Itu yang diajarkan Liu Ta
Xia." "Menurut teori Sun Tzu, musuh akan gampang dikalahkan jika jaraknya sudah
dekat." Catatan: *) Ideografi yang berkembang menjadi kaligrafi Cina
**) Nama penyair terkenal zaman dinasti T'ang.
23 Halaman 46 dari 62 "Tidak," kata Dang Zhua mengatasi pikiran Hua Xiong. "Tidak ada perintah Liu Ta
Xia untuk melakukan apa-apa, apa lagi pikiran yang baru melintas di otakmu itu.
Tugas kita hanya menulis laporan. Kalau kita mau berhitung betul-betul, sebenarnya
kesumat kita adalah yang harus diarahkan kepada pemain teh-yan itu. Dia yang
pernah membuat kita kalah."
"Baiklah," kata Hua Xiong. "Lantas apa kau sudah menulis?"
"Persetan," sahut Dang Zhua. "Yang harus kita tulis adalah kebijakan-kebijakan
Sam Po Kong. Dan kebijakan-kebijakannya itu harus kita pelintirkan dalam catatan
tersendiri kita." "Tadi dia sangat senang," kata Hua Xiong. "Kelihatan dia sangat suka ketika kau
mengutip sajak Thu Fu."
Dang Zhua tertawa. *** Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong berbincang-bincang mengenai larik-larik puisi
menyangkut Ceng Ho, pada saat yang sama Ceng Ho juga berbicara dengan Wang
Jing Hong mengenai larik-larik puisi menyangkut Dang Zhua dan Hua Xiong.
Sambil berdiri di sebelah Wang Jing Hong yang mengawasi asisten Wang Jing Hong
memegang kemudi kapal, berkata Ceng Ho dengan dahi mengerut tapi mulut
tersenyum, "Lucu sekali juru tulis yang diberi oleh Liu Ta Xia itu."
"Kenapa?" tanya Wang Jing Hong.
"Tadi saya bilang, puisi yang disitirnya itu karya Thu Fu," kata Ceng Ho.
"Padahal itu bukan karya Thu Fu. Itu karya Wei Ying Wu."*)
"Jadi, apa maksudnya itu?" tanya Wang Jing Hong. "Apa itu berarti Anda curiga
kepadanya?" Ceng Ho terjeda sesaat. Dia tertawa kecil. "Tidak. Cuma, barangkali mereka
berdua tidak tahu bahwa setiap pemimpin yang berkualitas harus mampu menangkap hal-
hal yang tersirat dari lambang-lambang puisi. Dua orang itu barangkali lupa
bahwa kita ini bangsa Cina. Kebudayaan paling tua yang berawal dari bangsa Cina adalah
Wen Yen di atas kertas."
*** Sementara itu, menjelang larut, pelan-pelan datang bulan yang mungkin besok akan
menjadi lebih bulat sebagai purnama. Di bagian dekat sana, di sayap kanan, Lu
Shan, Wan Sen, Yong Gong, dan lain-lain sedang melihat ke langit. Suara nyanyian
Tan Tay Seng masih juga berlanjut.
Mungkin lantaran tak sentosa diam seorang diri di kamar, Bun Hau akhirnya keluar
juga, mencari teman-teman sekamar. Ketika dia melihat teman-temannya itu berada
di tempat di mana suara Tan Tay Seng terdengar jelas, berkatalah dia sambil
menarik baju Yong Gong, "Ayo teruskan permainan kita."
"Nikmati dulu purnama," kata Lu Shan
Halaman 47 dari 62 "Purnama memang selalu memberikan janji keindahan dalam hati orang yang
dimabuk asmara," kata Bun Hau. "Tapi, melihat purnama dengan suara berisik dari
nyanyian musafir sinting, malah membuat perasaanku berada di dalam penjara."
Ketika Bun Hau berkata begitu, dia bicara sambil berjalan di dekat tempat
berdiri Dang Zhua dan Hua Xiong. Karena itu begitu Bun Hau berbelok di depan sana, Dang
Zhua berbisik kepada Hua Xiong.
"Kita sudah ketemu seorang yang dapat menjadi perpanjangan tangan kita di kapal
ini," katanya. Hua Xiong tertawa dan cepat-cepat menahan tawanya. "Kalau betul, Sobat," kata
dia. *** Dan kapal terus menembusi malam. Sedikit oleng begitu kapal memasuki Laut Cina
Selatan. Walaupun bulan menerangi bentangan laut, keruan terasa saja hal-hal
yang mengilhami kegamangan bagi mereka yang baru kali pertama mengarungi laut.
Nanti malam akan pamit lagi pada ujung wilayahnya, lalu datang wilayah baru,
yaitu pagi. Matahari di timur kelihatan cepat sekali naik. Sekarang laut kelihatan
seluruhnya seperti suatu jarak yang tidak berujung. Laut kelihatan sebuah
bulatan datar yang di ujungnya masing-masing, inci demi inci, bertemu dengan laut. Biru
di bawah, biru di atas. Beberapa jam kemudian, menjelang senja, langit berganti warna. Tidak cerah lagi,
tidak biru lagi, tapi kelabu. Walau begitu, di bawah sana, di kiri-kanan kapal,
tampak lumba-lumba dengan girang mengiringi kapal. Percikan-percikan membuat bagai
titik-titik putih, besar dan kecil, di atas biru yang amat tua.
Catatan: *) Nama penyair zaman dinasti T'ang.
24 Kapal terus membelah laut dengan kecepatan luncur yang tetap. Pendayung di perut
kapal bekerja keras diaba-abai oleh seorang berbadan tegap. Antara para
pendayung dan penarik layar semua di bawah koordinasi yang rapi. Begitu juga,
yang sangat penting, urusan perut bagi sekian banyak orang dilakukan oleh banyak
koki dengan satu koordinasi pula. Sebagian dapur selalu kelihatan ramai. Di situ
para koki, yang semua dikoordinasi Wu Ping, bekerja sibuk. Ada yang bagian
meracik bumbu, ada yang memotong daging, ada pula yang menjaga api di dalam
tungku-tungku. Sesekali Ceng Ho memeriksa juga bagian-bagian itu, berjalan di tengah para
pendayung di perut kapal apabila kapal melawan angin, atau juga berjalan di
bagian dapur melihat staf koki mengerjakan tugas masing-masing.
Kini, pada jam makan, ketika semua orang berkumpul di ruang makan, Ceng Ho
berdiri di ujung sana bersama Wang Jing Hong, kemudian berjalan pula di antara
mereka dan memperhatikan dengan selintas keadaan mereka.
Halaman 48 dari 62 Di antara semua orang yang makan di ruang makan itu adalah Dang Zhua dan Hua


Sam Po Kong Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Xiong. Keduanya duduk di sudut berhadap-hadapan. Jika mereka berbicara sesuatu,
tidak ada yang bisa mendengar, sebab di ruang makan ini semua orang berbicara
sesuatu, dan masing-masing tidak sama masalahnya, sehingga suara di dalam ruang
makan ini pun sama ramainya dengan pasar.
Suara ratus-ratus menusia yang berbicara sambil makan merupakan bunyi kokofoni
yang puntang-cerenang. Sambil berjalan di tengah orang-orang itu, Ceng Ho menangkap wajah-wajah
mereka yang memberi salam kepadanya, terutama Dang Zhua dan Hua Xiong.
''Ceng Ho lewat,'' kata Dang Zuha.
''Biarkan saja,'' ujar Hua Xiong.
Walaupun Ceng Ho tidak mendengar apa yang diperkatakan kedua orang ini, dia
dapat menangkap sikap yang kelihatan selintas dari cara Dang Zhua mengatakan
kalimatnya itu kepada Hua Xiong dan jawaban yang diperkatakan Hua Xiong. Oleh
karena itu, sekeluar Ceng Ho dari ruang makan ini di bagian sebelan sana, dia
pun menarik lengan Wang Jing Hong, berjalan ke atas, ke bagian kemudi.
**** Di ruang kemudi, sturman wakil Wang Jing Hong sedang memegang kemudi itu
dengan mata terarah ke depan. Wang Jing Hong menepuk bahunya.
''Makanlah dulu,'' katanya.
Sturman itu pun turun ke bawah, ke ruang makan, dan Wang Jing Hong sekarang
memegang langsung kemudi kapal ini. Sambil memegang kemudi itu dia bertanya
Wang Jing Hong kepada Ceng Ho, ''Ada apa"''
''Saya mengerti,'' kata Wang Jing Hong. ''Tampaknya Anda menaruh curiga kepada
mereka.'' Ceng Ho tersenyum. Dalam senyum ini barangkali dia meralat pikiran
Wang Jing Hong itu. Maka dia berkata, ''Mungkin bukan curiga, melainkan,
katakanlah ada perasaan ragu. Curiga itu tidak baik. Itu cacat kita, cacat
sebagian besar orang Cina, selalu cepat curiga kepada orang lain yang belum dikenal. Saya
tidak curiga. Saya hanya ragu. Kalau saya bilang saya ragu itu bisa berarti saya
berpikir maju seratus langkah.''
''Baiklah,'' kata Wang Jing Hong. ''Tapi apa yang membuat Anda ragu"''
''Keraguan saya sebetulnya tidak terarah langsung kepada mereka, tapi kepada Liu
Ta Xia. Kenapa Liu Ta Xia berpikir untuk menaruh mereka di dalam ekspedisi ini
sebagai juru tulis. Sementara dalam sejarah kita, sejarah Cina, kedudukan
seorang juru tulis penting sekali. Mereka penting, sebab dari mereka mengalir kata-kata
yang indah. Siapa yang menguasai kata dengan sendirinya menguasai budaya, menguasai
adab, membuat perang dan damai.''
''Lantas, apakah Anda ragu kepada kedua orang itu karena mereka tidak menguasai
kata-kata"'' Halaman 49 dari 62 ''Yang mengherankan, Dang Zhua memamerkan kesalahannya pada saya.''
''Soal apa itu" Soal puisi Thu Fu itu"''
''Ya. Dia bahkan tidak bisa membedakan mana kata-kata Thu Fu dan mana kata-
kata Wei Ying Wu. Kalau dia juru tulis yang baik, dia harus membedakan pula
bukan saja Thu Fu dan Wei Ying Wu, melainkan juga Tan Pih dan Li Tai Po. Kebesaran
bangsa Cina terletak dalam bahasa sastra. Juru tulis yang tidak paham Wen Yen
sangat memalukan.'' ''Kalau begitu, saya akan selidiki mereka.''
''Tapi lakukan dengan tangan orang lain.''
''Saya mengerti.'' *** Dan, bilamana malam tiba, Wang Jing Hong datang ke ruang Wu Ping. Malam belum
terlalu larut, tapi karena letih Wu Ping sudah tidur, dan dia tidur dengan
sangat pulas. Dengkurnya mirip orang-orang tua. Dia kaget dan melompat karena cara
Wang Jing Hong membangunkan juga mendadak-dadak.
''Ada apa"'' kata Wu Ping hendak berlari.
''Sudah, tenang dulu,'' kata Wang Jing Hong menarik lengan Wu Ping agar duduk
kembali di tempat tidurnya. ''Dengar, Wu Ping. Ini, ada tugas kecil untukmu.''
''Tugas apa itu"'' kata Wu Ping mengucak kedua matanya dengan kedua tangan.
''Sebagai juru masak mereka tidak akan menaruh curiga padamu.''
''Mereka"'' Wu Ping memandang muka Wang Jing Hong dengan perasaan yang
menunjukkan ketidakmengertian. ''Mereka siapa"''
25 ''Begini, Wu Ping,'' kata Wang Jing Hong dengan suara agak menurun. ''Juru tulis
pelayaran ini, perlu kau ketahui, adalah orang-orangnya Menteri Liu Ta Xia.''
Wu Ping memandang dengan tatapan yang masih mewakili rasa ketidakmengertian.
''Jadi, kenapa orang-orangnya menteri itu"''
''Perlu kau ketahui juga, Menteri Liu Ta Xia satu-satunya dari pemerintahan Zhua
Di yang menentang keras gagasan pelayaran ke selatan ini. Tapi sekarang, justru
orang-orangnya itu yang dipekerjakan dalam ekspedisi ini sebagai juru tulis. Sam
Po Kong menaruh rasa ragu terhadap mereka berdua, Dang Zhua dan Hua Xiong.''
''Apa mereka tidak becus"''
''Setidaknya Sam Po Kong menganggap mereka itu bukan golongan cendekia yang
memahami serat-serat Wen Yen. Padahal bobot kecendekiaan kita bangsa Cina
sangat ditentukan oleh penguasaan literer Wen Yen. Kata Sam Po Kong, orang yang
memiliki kepandaian merangkaikan kata adalah yang memiliki kemampuan mencipta
perang dan damai.'' Halaman 50 dari 62 Wu Ping mengangguk. ''Jadi tugasku menyelidiki mereka"''
''Kurang lebih begitu. Dan terserah kau. Apakah kau perlu perpanjangan tangan,
atau kau sendiri yang memainkan peranmu, silakan saja memilih jalannya.''
Wu Ping mengangguk lagi. Lalu dia menguap. ''Hanya itu"''
''Ya,'' jawab Wang Jing HOng.
Dan Wu Ping langsung selonjor. ''Kalau begitu, biar aku lanjutkan lagi
tidurku.'' Malam terus merangkak. **** Di luar ruang tidur Wu Ping masih banyak orang yang belum tidur. Termasuk Tan
Tay Seng. Dia pun masih duduk di buritan memainkan teh-yan. Sementara itu, di
atas tiang pengintai, di bagian itu ada sebuah kotak besar untuk dua orang
berdiri untuk melihat ke depan, tampak dua kakak-beradik, Tek Ceng dan Tek Goan,
menggigil dan berkali-kali menguap.
''Uh, dinginnya,'' kata Tek Ceng sambil bergerak-gerak supaya gigilnya hilang.
''Sudah dingin begini, aku ngantuk juga.''
Dan, kata Tek Goan, ''Tidak usah bergerak-gerak begitu, nanti kotak ini jatuh.
Diam saja, sebentar lagi fajar.''
''Kalau bisa, lebih enak kita tugas di sini pada siang hari saja. Ini gara-gara
kamu, meminta kita bertugas di sini malam.''
''Ah, kau bersungut saja,'' kata Tek Goan. ''Tugas siang lebih tidak enak. Di
siang hari kita dibakar matahari dari pagi sampai sore.''
Dan, sambil tetap menggigil lantas menguap lagi, Tek Goan berkata, ''Betul
juga.'' ''Tumben kau membetulkan aku"''
''Sebab kali ini aku belum mau berdebat.''
Tek Ceng mengantuk. Dia bisa tertidur dalam keadaan berdiri di dalam kotak yang
berada di bagian paling atas dari tiang pengintai itu.
*** Padahal sebentar lagi subuh. Dan setelah itu terjadi penggantian tugas atas
pekerjaan masing-masing yang dilakukan semua awak kapal.
Menjelang subuh, seseorang memegang gong kecil, sejenis bende tapi dengan
frekuensi yang tajam lagi pecah karena bentuknya yang pipih tanpa pencoan,
Halaman 51 dari 62 berjalan mengelilingi kapal, sambil mengimbau-imbau, ''Bangun! Bangun! Sudah
Subuh. Yang muslim segera siap menunaikan salat. Ayo, bangun! Bangun!''
Di bagian kapal yang digunakan untuk sembahyang terdengar pula beduk ditabuh.
(Beduk itu pula yang kemudian menjadi model beduk-beduk di pesisir utara Jawa,
tersebar antara Cirebon, Semarang, Tuban, dan Surabaya, yang dijadikan sebagai
peranti waktu di masjid-masjid. Model beduk itu di Cina telah dikenal sejak
2.700 tahun sebelum Masehi, sekitar zaman Huang Ti, dirancang atas titah Kaisar Tsche
Teu, dan merupakan salah satu instrumen yang dimainkan bersama instrumen-
instrumen lain di dalam istana, atas nada-nada khas Cina, Huang Mei Tiau.
Yaitu, susunan titilaras Hoang-Tscung, Tay-Tsu, Ku-Si, Jui-Pim, Y-Tse, dan Ou-Y,
kira-kira sama dengan hukum musik Barat dalam F, G , A , B, cis, dis).
Setelah beduk ditabuh, tak lama kemudian terdengar suara nyaring muazin
menyerukan umat untuk bersalat. Ceng Ho telah hadir lebih awal di ruang
sembahyang di antara mukmin yang lain, yang tergolong minoritas di kapal ini dan
kapal-kapal yang lain. *** Tak lama setelah itu, manakala surya pelan-pelan memancarkan cahaya di laut, Tek
Ceng dan Tek Goan turun dari atas kotak pengintainya. Mereka turun dari atas
dengan bergayut pada tali-tali yang panjang dan pegas. Fajar sebentar lagi tiba.
26 Sebelum fajar tiba, ketika Wu Ping mengontrol para koki menyiapkan sarapan, Wang
Jing Hong menemuinya. Wang Jing Hong menarik lengan Wu Ping berjalan ke atas,
ke bagian kemudi, dan berbicara dengan suara tidak keras, dan bahkan sangat
pelan. "Nanti, begitu mereka semua sarapan, laksanakan tugasmu itu," kata Wang Jing
Hong. "Nah, apakah kau akan melakukan sendiri atau membutuhkan tangan yang
lain." "Aku sendiri saja," kata Wu Ping.
"Waktu untukmu cukup sekali," kata Wang Jing Hong. "Sebab, setelah sarapan, Ceng
Ho akan meminta bicara dengan mereka bersama perwira-perwira yang lain. Periksa,
apa betul mereka sudah menulis. Dan, apa yang mereka tulis."
"Akan aku laksanakan," kata Wu Ping.
*** Wu Ping menunggu waktu itu.
Sementara itu, sehabis sarapan, semua perwira berkumpul di ruang rapat. Ceng Ho
berada di tengah-tengah. Di dekatnya duduk Wang Jing Hong. Dang Zhua dan HUa
Xiong masuk ke ruang itu agak belakangan. Mereka duduk berseberangan dengan
Ceng Ho. Halaman 52 dari 62 "Begini," kata Ceng Ho memulai pertemuan ini. "Kita patut bersyukur bahwa sampai
hari ini keadaan kita selamat, tidak ada gangguan cuaca, gelombang, dan
sebagainya. Mudah-mudahan pelayaran kita akan terus mulus."
Lantas Ceng Ho menengok ke arah Wang Jing Hong. "Bagaimana, Wang Jing Hong?"
"Menurut ramalan cuaca, sampai tiga hari lagi kita belum memasuki garis rawan
navigasi," kata Wang Jing Hong.
"Coba terangkan kepada rapat," kata Ceng Ho.
"Di garis yang saya sebutkan itu, di situ merupakan wilayah yang rawan sekali.
Gelombang besar karena pertemuan angin, antara puting beliung ataupun taufan,
bisa saja sewaktu-waktu terjadi. Tidak seorang pun yang dapat menerka laut di
selatan ini," kata Wang Jing Hong.
"Itu artinya kita semua harus waspada," kata Ceng Ho.
"Tapi nanti, setelah wilayah rawan itu, di hari berikut kita akan tiba di tanah
tepi melewati Pulau Hai-Nan, masuk ke Pelabuhan Qui-Nhon, Campa," kata Wang Jing
Hong. "Walaupun kita akan melewati wilayah rawan itu, saya harap semua dapat berserah.
Menurut teori, kapal ini adalah kapal yang paling sempurna. Meskipun pecah oleh
badai, teorinya kapal ini tidak akan karam. Setidaknya itu kata pembuatnya.
Tapi, sekali lagi, mari berserah, dan jangan takabur. Sebagai muslim, saya hanya
bersandar kepada kerahaman dan kerahiman ilahi. Allah adalah nakhoda agung
saya." Semua yang hadir dalam rapat, yang tidak semua muslim, dan bahkan sebagian
besar beragama Zu Xian Jiao atau agama leluhur yang berpadu antara Tao, Buddha,
dan Kong Hu Cu, mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami dan menakzimi
Ceng Ho. *** Bersama dengan itu, di ruang Dang Zhua dan Hua Xing, tampak Wu Ping
memeriksa-meriksa. Berlembar-lembar kertas berserak di situ. Wu Ping mengambil
satu dan satunya lagi, lalu memperhatikan tulisan-tulisan di atasnya yang
menggunakan kuas khusus, pit, dan menyimpulkan bahwa tulisan itu tidak bagus.
"Patutlah kalau Sam Po Kong menaruh ragu terhadap kedua juru tulis ini. Tulisan
mereka seperti cakar ayam. Mereka bahkan tidak menguasai Wen Yen."
Wu Ping merasa puas karena bisa memperoleh bukti tentang kedua orang juru tulis
itu. Salah sebuah kertas, yang berisi tulisan tangan dang Zhua, dan tulisan itu
gagal, telah berbiar-biar di bawah. Wu Ping memungutnya, melipatnya, dan memasukkan
di balik bajunya. Setelah itu Wu Ping keluar dari ruang Dang Zhua dan Hua Xiong itu. Dia bergegas-
gegas pergi ke atas, menaiki tangga-tangga, sampai ke tempat orang-orang itu
berapat. Di ruang besar untuk rapat itu Ceng Ho masih melanjutkan percakapannya
kepada sidang. Halaman 53 dari 62 Wu Ping tidak masuk ke dalam. Dia hanya menunggu di luar. Di luar dia dapat
mendengar isi pembicaraan Ceng Ho. Dan dia menunggu di situ sampai Ceng Ho
selesai berbicara. *** Tampaknya Ceng Ho sangat berharap sesuatu yang benar-benar final dari
kedudukan Dang Zhua dan Hua Xiong dalam ekspedisi besar ini. Sebab, sambil
mengarahkan pandangannya kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, berkatalah Ceng Ho
tegas, "Terus terang saya ingin suatu catatan perjalanan kita ini ditulis dengan
bahasa yang indah, yang memenuhi syarat-syarat objektif We Yen. Saya ingin
catatan perjalanan ini dibaca orang pada abad-abad mendatang sebagai suatu
cerita yang mengasyikkan. Misalnya, bagaimana dahsyatnya Laut Cina Selatan -mudah-
mudahan tidak ada masalah di situ nanti- bagaimana orang-orang di daratan Campa,
Andalas, dan Jawa." "Mudah-mudahan hal itu memuaskan Tuan," kata Dang Zhua.
27 Kapal terus melaju ke selatan. Di depan sana langit tidak biru lagi tapi berubah
menjadi abu-abu. Laut di bawah pun kelihatan hitam. Sementara matahari terus
pula nampak seperti bola merah silau ditutupi oleh awan. Ketika matahari
terbenam, maka orang-orang bertugas malam, siap-siap menduduki tanggung jawabnya.
Termasuk yang paling penting dua bersaudara yang bertugas di tiang pengintai,
Tek Ceng dan Tek Goan. Kedua kakak-beradik ini sangat rukun, tapi sangat sering berdebat, lalu berujung
dengan berkelahi, dan akhirnya berpeluk-pelukan rukun kembali.
Sekarang Tek Ceng yang berceloteh lebih dulu. "Membosankan sekali. Tidak ada
yang dilihat, tapi kita bertugas melihat terus. Dari hari ke hari yang kita
lihat sama melulu." "Tidak seluruhnya sama, Tek Ceng," kata Tek Goan.
"Menurutku, sama," kata Tek Ceng ngotot. "Kaki langit sebelah sana sudah lebih
dulu hitam daripada yang di sana."
"Sana" Sana yang mana?"
"Yang itu." "Maksudku, apa namanya secara mata angin."
"Selatan." Tek Goan ketawa. "Yang itu kaubilang selatan" Goblok. Itu bukan selatan." Lalu
Tek Goan menunjuk ke suatu arah yang lain, yang khusus. "Lihat. Yang selatan itu
sana." "Alah, hanya beda tipis antara sana dan sana," kata Tek Ceng menyepelekan. "Di
tengah laut begini orang boleh saja menunjuk dengan beda-beda tipis."


Sam Po Kong Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Halaman 54 dari 62 "Goblok," kata Tek Goan. "Tidak boleh begitu. Justru di laut kita harus menunjuk
arah mata angin dengan persis. Kita bukan di barat. Kalau di darat kita tersesat
masih ketemu dengan pohon, dan di bawah pohon kita berteduh dan memakan
buahnya, dan seterusnya. Tapi di laut, tidak bisa begitu. Kesalahan yang kaukira
hanya beda tipis, bisa mengakibatkan fatal, terbawa arus, mati konyol. Yang
kautunjuk itu tadi namanya tenggara."
"Nah, itu kan tidak terlalu besar selisihnya," kata Tek Ceng tetap ngotot.
"Tenggara itu kan beda dalam apitan antara selatan dan timur."
"Dasar goblok, ya goblok juga," kata Tek Goan. "Bagaimanapun kau tidak boleh
berpikir begitu. Selatan adalah selatan. Timur adalah timur. Tenggara tidak
boleh dibilang apitan selatan dan timur."
"Ah, aku hanya ingin menyatakan bahasa yang gampang dipahami awam."
"Nah, semakin goblok," kata Tek Goan. "Kita bukan awam."
Tek Ceng jengkel. "Alah, sudah, aku tidak mau berdebat dengan kau. Cuma soal
kecil, soal tenggara yang jadi selatan saja kok repot begini."
"Lo" Tugas kita memang harus repot, goblok."
Tek Ceng langsung mengeplak kepala Tek Goan. "Kamu terlalu banyak mulut."
Tek Goan naik pitam. "Kenapa kaupukul aku?" Sambil berkata begitu dia pun
melayangkan tinju ke muka Tek Ceng.
Kemudian Tek Ceng membalas lagi. Dan akibatnya mereka pun berkelahi di atas
kotak pengintai itu. Perkelahian itu menjadi seru sekali. Akhirnya Tek Goan
terkeluar dari dalam kotak dan menggelantung di tali, terayun-ayun di situ.
**** Wang Jing Hong kebetulan keluar dari bagian kemudi dan berjalan ke geladak. Sisa
purnama cukup terang untuk melihat Tek Goan yang bergelantung di atas. Bukan
hanya itu yang dilihatnya. Juga dilihatnya bagaimana Tek Ceng mengambil tali
yang satu lantas bergayut untuk menendang Tek Goan di atas sana.
Wang Jing Hong terperanjat melihat adegan di atas itu. "Apa yang mereka lakukan
di atas itu?" Kemudian Wang Jing Hong lekas-lekas masuk kembali ke ruang kemudi, bercakap
dengan sturman yang sedang berdiri di belakang kemudi.
"Lihat itu di atas."
Sturman itu keluar lantas menengok ke atas. Katanya masygul. "Wah, risiko paling
buruk bisa saja terjadi."
"Cepat, beri tahu Sam Po Kong."
Sturman yang disuruh oleh Wang Jing Hong itu lekas-lekas pergi ke ruang Ceng Ho.
Sementara itu kedua kakak-beradik yang suka berkelahi tapi cepat juga berdamai
Halaman 55 dari 62 masih berjuang untuk saling mengalahkan. Kelihatannya si adik lebih tangkas.
Setelah terayun jatuh dari tiang, dia kembali dengan gerakan aneh, memutar badan
kepala di bawah, lantas dengan begitu kedua kakinya disepakkan ke dada kakaknya.
Kendati yang kakak telah dua kali kena sepak, tidak juga sang kakak menghentikan
perkelahian yang berbahaya itu.
**** Sturman yang disuruh Wang Jing Hong kini telah berada di depan kamar Ceng Ho.
Dia mengetuk pintu sambil mengucapkan sesuatu yang mengisyaratkan adab,
"Selamat sejahtera, Sam Po Kong."
Ceng Ho menyuruhnya membuka pintu. Dari dalam kamarnya dia berkata, "Dorong
saja pintunya." Sturman itu melakukan yang dikatakan Ceng Ho. "Maaf, Laksamana," katanya.
28 "Ada keributan di atas tiang pengintai."
"Keributan berapa orang?" tanya Ceng Ho, tidak terkejut.
"Dua orang, Laksamana," sahut sang sturman. "Mereka yang bertugas mengintai
navigasi. Mereka berkelahi di atas sana."
Seeprti tak acuh, Ceng Ho berkata dalam kalimat tanya yang datar, "Lantas, apa
keistimewaan dari perkelahian itu?"
"Rawan, Laksamana," jawab sturman itu. "Juru mudi Wang Jong Hong menyuruh
menyampaikan ini kepada Anda."
"Supaya saya tidak mengulang-ulang bicara, hafal saja kata-kata saya ini: tidak
perlu mengurus orang yang berkehali, kalau perkelahian itu menyangkut harga diri
mempertahankan kebenaran."
"Jadi, apa yang harus saya katakan kepada juru mudi Wang Jing Hong, Laksamana?"
"Katakan kepadanya, biar saja orang dua itu berkelahi. Orang perlu berkelahi,
memakai otot, kalau sarana otak sudah tidak bisa mewakili pertahanan kebenaran
terhadap lawan. Mengerti kamu?"
"Mengerti, Laksamana."
"Kalau begitu, cepat pergi. Dan, tutup kembali pintu yang kamu buka tadi. Saya
akan melanjutkan istirahat."
Sturman itu pun pergi. *** Halaman 56 dari 62 Ternyata perkelahian kakak-beradik itu kian seru. Kini mereka telah turun di
geladak. Mula-mula Tek Ceng yang meluncur ke bawah. Kemudian Tek Goan
meluncur pula ke bawah. Di bawah sinilah mereka melanjutkan perkelahian. Segala
macam gerakan mereka peragakan. Perkelahian yang ramai di atas geladak ini
membuat orang-orang yang tadinya sudah siap hendak istirahat, tidur, lantas
sebagian keluar lagi dari kamar masing-masing, numpluk di geladak menyaksikan
perkelahian ini. Tan Tay Seng, yang sejak tadi menyendiri di buritan, kini datang pula ke
geladak, menyaksikan perkelahian kakak dan adik itu. Di situ Tan Tay Seng duduk di tali
kapal yang tergulung, memainkan teh-yan dan menyanyikan lagu yang dibuatnya
dengan mudah. Apalah bedanya seorang tukang judi
Atau pun seorang yang sedang kelahi
Keduanya berpikir dirinya akan menang
jika mereka kalah mereka akan berang.
Begitu nyanyian Tan Tay Seng. Dan, adalah karena nyanyian itu pula yang membuat
Dang Zhua dan Hua Xiong keluar dari kamar mereka, berdiri agak ketinggian,
menyaksikan perkelahian Tek Ceng dan Tek Goan.
Di tempat berdiri mereka, berkata Dang Zhua kepada Hua Xiong, "Kita bisa
manfaatkan salah satu dari dua kakak-beradik itu untuk menjadi kaki tangan
kita." "Kelihatannya kedua-duanya memiliki kadar keras kepala yang sama," kata Hua
Xiong. "Kita dekati mereka di meja makan nanti."
"Ya, aku dekati yang kakak, kau yang adik."
Sementara itu perkelahian Tek Ceng dan Tek Goan telah merangsang orang untuk
bersorak-sorai, bertempik-sorak, bersuat-suit. Pada suatu gerakan Tek Goan
terpelan-ting ke bagian orang-orang yang menonton. Seseorang yang terjorok oleh
pelantingnya Tek Goan lantas mendorongnya ke depan. Tapi kaki Tek Goan tersepak
lalu jatuh ke samping orang yang mendorong tadi. Orang ini pun marah lantas
mendorong pula orang yang berdiri di sebelahnya. Orang yang terdorong ini lantas
langsung memukul kepada orang yang mendorong. Terjadi senggol-senggol dengan
yang lain lagi, sehingga ujungnya terjadi tawur. Ramai sekali.
Di saat tawur ramai begitu, Ceng Ho turun ke situ, dan melibas satu per satu.
Semua yang dilibas Ceng Ho langsung tumbang dan tergeletak di lantai. Tidak
seorang pun yang sanggup berdiri setelah dilibas Ceng Ho. Tak ayal, berbicara
cempiang yang paling ampuh di dalam pelayaran ini, niscaya itu adalah Ceng Ho
belaka. Setelah semua tumbang, termasuk Tek Ceng dan Tek Goan, berkatalah Ceng dengan
nada perintah, "Sekarang semuanya bubar."
Halaman 57 dari 62 Orang-orang itu pun berdiri. Tek Ceng dan Tek Goan harus kembali lagi ke atas,
ke kotak pengintai. Sebelum semua pergi, Ceng Ho berkata, "Itu tadi adalah latihan. Latihan akan
dilangsungkan kapan-kapan lagi."
Di atas gulungan tali Tan Tay Seng menyanyi lagi:
Siapa yang dikungkung kebodohan
Pasti gampang dibakar kemarahan
Kita berikan ucapan penghormatan
Kepada yang menjauhi perbantahan.
Tan Tay Seng masih terus menyanyi sampai dia mengantuk dan tertidur di gulungan
tali itu. Sebentar lagi bulan kehilangan cahaya pucatnya. Dan malam berlanjut
dengan angin yang menderu-deru bersamaan dengan buih-buih di depan kapal yang
dibelah oleh kelajuannya.
29 Kembali ke pekerjaan Dang Zhua dan Hua Xiong. Apakah Ceng Ho puas dengan
jawaban mereka" ''Sudah sampai setebal apa yang kalian tulis"'' tanya Ceng Ho.
''Maaf, Sam Po Kong,'' kata Hua Xiong. ''Kami baru mulai.''
Dan kata Dang Zhua menimpali dengan segera, ''Setidaknya sudah kami bikin
catatan-catatan yang bersifat kerangka.''
''Kerangka"'' tanya Ceng Ho.
''Sebelum kami tulis, kami sepakat membagi bagian kami masing-masing, supaya
tidak tumpang-tindih, dalam bentuk kerangka terlebih dulu. Dan, nanti setelah
itu kami menulis sesuai dengan kerangka itu.''
''O, begitu"'' tanya Ceng Ho. ''Jadi, kapan kalian menulisnya"''
''Setelah pelayaran ini tuntas seluruhnya,'' kata Hua Xiong dengan tidak ragu.
''Setelah kami pulang kembali ke Cung Kuo.''
Ceng Ho mengangguk-angguk, menimbang dengan nalar, dan kemudian bisa
memahami itu. Katanya, ''Boleh saja. Itu bagus juga. Saya percaya. Tulislah itu
dengan indah demi Ming.''
''Ya, demi Ming,'' ujar Dang Zhua. ''Pokoknya, di abad-abad mendatang orang
tidak hanya bicara karya tulis T'ang, tapi juga Ming.''
Semua yang duduk di ruang rapat itu memberi aplaus kepada Dang Zhua. Dan Dang
Zhua lantas keranjingan oleh pujian itu. Hanya orang yang tidak bisa mengukur
diri yang memang tidak menyadari beratnya suatu pujian. Biar saja.
Halaman 58 dari 62 * * * Di saat orang memberi aplaus kepada Dang Zhua dan Hua Xiong itu, bersamaan di
luar ruang rapat Wu Ping melambaikan tangan kepada Wang Jing Hong. Melihat
lambaian itu Wang Jing Hong pun segera berdiri dari tempat duduknya, berjalan
keluar, mendapatkan Wu Ping.
''Bagaimana"'' kata Wang Jing Hong seraya menarik lengan Wu Ping supaya berdiri
bersandar di dinding luar ruang rapat itu.
''Memang betul,'' kata Wu Ping.
''Apa maksudmu"'' ''Saya membawa secarik kertas.'' Wu Ping mengeluaarkan kertas itu dan
menyerahkan kepada Wang Jing Hong. ''Ini. Kelihatannya orang-orang itu tidak
pandai membuat huruf. Tulisan mereka seperti cakar ayam. Huruf-huruf yang
mereka buat sama sekali tidak indah.''
''Coba saya lihat,'' kata wang Jing Hong mengambil kertas itu lantas
menyimaknya. ''Ya, memang betul. Ini bukan tulisan orang yang berpengalaman. Ini bukan juga
cakar ayam, melainkan mungkin lebih tepat dikatakan sebagai cakar congor
binatang haram, babi, yang bermain-main lumpur tahi.''
Wu Ping ketawa. ''Ya, betul.''
''Nanti saya akan tunjukkan kepada Sam Po Kong,'' kata Wang Jing Hong seraya
melipat kembali kertas itu lantas memasukkan ke dalam bajunya.
Dan Wang Jing Hong masuk lagi ke dalam ruang rapat itu.
Maksudnya hendak duduk kembali di kursinya tadi, tapi bersamaan dengan itu Ceng
Ho berkata, ''Untuk sementara pertemuan kita selesai dulu.''
* * * Semua yang ikut dalam rapat itu keluar dan kembali ke tempat masing-masing.
Hanya Ceng Ho yang tetap di ruang itu, duduk, di kursinya.
Wang Jing Hong menghampirinya, duduk di sebelahnya. Katanya, ''Apa yang Anda
ragukan bisa saja dibenarkan.'' Wang Jing Hong pun mengeluarkan kertas secarik
itu dari dalam bajunya dan membenarkannya di atas meja. ''Ini tulisan mereka.''
Ceng Ho mengambil kertas itu dalam menyimaknya. Tulisan di atas kertas itu, tak
diketahui Ceng Ho apakah dibuat Dang Zhua atau Hua Xiong, berupa empat kata
bersusun empat-empat: Apa maknanya" Halaman 59 dari 62 Ceng Ho menyimak sambil berpikir. Susunan yang pertama adalah ''Wo''. Artinya,
''aku''. Yang kedua bacanya ''k'o'', artinya ''tugas'' atau 'berlatih'. Yang
ketiga bacanya ''tzu'', artinya ''kata yang tertulis''.
Akhirnya Ceng Ho menyimpulkan, ''Kelihatannya mereka sedang belajar.''
Lalu, kata Wang Jing Hong, ''Tapi aneh. Mereka menulis pakai apa ini" Ini bukan
tulisan dengan pit.'' *) Ceng Ho tertawa. Dia mengejek. ''Mungkin mereka menulis pakai nga-ciam.'' **)
''Apakah itu berarti Anda sedang meningkatkan keraguan Anda menjadi curiga"''
tanya Wang Jing Hong. ''Tidak,'' sahut Ceng Ho tegas. ''Jangan menunjukkan bahwa kita sudah tahu. Yang
jelas kita boleh tidak percaya kepada mereka memang dipasang di sini oleh orang
yang tidak setuju pada ekspedisi ini.''
* * * Catatan: *) Kuas khusus untuk menulis kaligrafi.
**) Tusuk gigi, salah satu dialek bahasa Cina, bukan Cia-Im.
30 Besok malam, pada jam makan, tampak Dang Zhua duduk mendekati Teng Ceng,
dan Hua Xiong duduk di dekat Tek Goan. Seperti bisik-bisik mereka tadi malam,
mereka lakukan sekarang, memanas-manasi satu dengan lainnya.
Mula-mula, di sebelah Tek Ceng, berkata Dang Zhua untuk membangkitkan dengki,
"Saya mengagumi sikapmu. Memang begitu harusnya orang bersikap. Menurut saya,
kalau prinsip sampai dilecehkan, memang jalan keluar untuk menyelesaikannya, ya
kelahi." "Sejak kecil kami memang selalu kelahi. Badan saya lebih kecil darinya, tapi dia
selalu tidak pernah menang. Walaupun dia selalu kalah, dia tidak pernah mau
takluk." "Tapi sikapmu itu betul sekali. harusnya Sam Po Kong jangan memisahan dulu.
Inisiatif Sam Po Kong tadi malam terlalu terburu-buru. Benar begitu kan?"
Tek Ceng mengangkat bahu. "Entah."
Lain lagi yang dibicarakan Hua Xiong kepada Tek Goan. Dia memulai percakapannya
dengan memuji Tek Goan. Beda dengan Dang Zhua yang memulai pujian
menyangkut sikap orang yang akan dipujinya maka Hua Xiong memuji aksi Tek
Goan tadi malam. Halaman 60 dari 62 Kata Hua Xiong, "Saya lihat caramu meluncur dari tiang pengintai untuk menyerang
lawanmu, memang luar biasa."
Yang dipuji tidak makan puji. Tek Goan menjawab enteng-enteng saja. "Ah, itu
biasa saja." Hua Xiong mencoba meyakinkan, dan sebetulnya dia tidak pandai berbual untuk
membuat orang yakin. Katanya, "Sungguh mati, itu luar biasa."
Tek Goan hanya melirik. Tidak berkata apa-apa. Dia terus menyumpit makanan di
hadapannya dan memasukkan ke mulut, mengunyah-ngunyah dengan sikap tidak
hirau. Hua Xiong terus berusaha mengakrabkan diri. "Tapi setidaknya kau belajar
kungfu." "Belajar kungfu bukan hal yang luar biasa," jawab Tek Goan, tetap pada sikap
semula, tak termakan oleh pujian Hua Xiong.
"Di mana kau belajar?"
"Kami belajar bersama-sama."
"Belajar bersama-sama?"
"Ya. Lawan saya itu saudara sekandung saya. Sejak kecil kami belajar di Kuil


Sam Po Kong Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Zhen- Zhou." "Kalian kakak-adik?"
"Ya. Kucing dan anjing. "Tek Goan ketawa. "Dan untuk hal-hal istimewa, dalam
bertahan untuk tidak mengalah, kami adalah harimau-harimau."
"Oh" Begitukah?" Hua Xiong menunjukkan dirinya kagum, tetap untuk membuat Tek
Goan menjadi akrab dengannya, dan supaya dengan begitu, ingin
memanfaatkannya. "Nah, kalau begitu, itu memang luaar biasa."
"Tidak juga," kata Tek Goan. Dia tetap tidak terpengaruh.
Oleh sebab itu, katakanlah untuk sementara, niatan-niatan Dang Zhua dan Hua
Xiong untuk memperalat Tek Ceng dan Tek Goan tidak mendapat landasan.
**** Kapal terus meluncur ke selatan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda khusus yang
bisa dilaporkan dari tiang pengintaian. Bahwa kapal oleng, dan olengnya lumayan
kuat, itu sudah sering. Dan apakala kapal oleng begini, banyak orang yang baru
pertama ini berlayar, merasa amat gamang.
Barangkali besok kapal akan memasuki wilayah yang disebut Wang Jing Hong
sebagai garis rawan navigasi. Di situlah kiranya kegamangan itu akan menjadi
pelajaran bagi manusia, bahwa manusia mesti berserah saja kepada yang maha.
Mereka yang Muslim, seperti Ceng Ho, Wang Jing Hong, dan Wu Ping berseru kepada
Halaman 61 dari 62 Allah taala. Mereka yang berkepercayaan Jing Tian Zun Zu *) dan memegang agama
leluhur Zu Xian Jiao**) berserah pula kepada Fo-Zhu***),
Luo-Han****), Xian *****) dan Shen-Ming.******)
Catatan: *) Memuja Tuhan Menghormati Leluhur
**) Agama leluhur ***) Buddha ****) Arhat *****) Dewa *****) Malaikat Halaman 62 dari 62 Pendekar Wanita Baju Merah 3 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Kutukan Berdarah 2
^