Pencarian

Sengatan Satu Titik 6

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 6


dilakukan Ki Awu Lamut sehari-hari, bersama orang-orang,
menemani dan mengobati mereka, sekalipun tidak seorangpun
yang merasakan arti penting kehadirannya."
Risang memandang Arya dengan mata setengah terpicing,
seperti pemuda muka pucat itu mendadak berubah menjadi
bukan manusia. "Sesungguhnya kau ini pintar atau gila?"
"Bicara sebenarnya aku pun tidak terlalu yakin dengan
dugaanku ini. Apalagi orangnya toh ada disini, kenapa tidak
kita tanyakan sekalian."
Dengan mata yang masih terpicing, akhirnya Risang
kembali ke ruang dalam. Diamatinya wajah Ki Awu Lamut yang anehnya tampak
sabar menunggu percakapan mereka. Wajah tua itu
menampakkan keriput disana-sini, tapi sinar matanya yang
teduh bagaikan obor di kegelapan, sekalipun tak pentingkan
arti hadirnya, tapi ia toh setia menemanimu, memberimu
cahaya, yang redup dan hangat.
Mendadak orang tua itu menyelutuk, "Apa yang diduga
Arya benar seluruhnya," sepasang matanya menatap Arya
penuh kekaguman, "kecuali bahwa apa yang kuketahui
tentang Kulit Naga juga tidak lebih banyak dari apa yang
diketahui oleh Sekar Gumintang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika mengucap nama Sekar Gumintang, kelopak mata
orang tua itu seperti bergetar, seakan kaca yang tergetar
pecah. Bilakah kaca yang pecah akan dapat utuh kembali"
"Wah, rupanya telinga orang tua tukang obat ini panjang
juga,"kekeh Risang, "Lalu siapa yang dimaksudkan oleh Bibi?"
"Orang itu adalah saudara kembar Sekar Gumintang, ialah
Putri T eratai Kemala."
Kedua-dua Arya dan Risang kembali terlonjak kaget.
"Tapi bukankah Putri Teratai Kumala sudah gugur puluhan
tahun yang lalu?" tukas Risang cepat.
Orang tua itu tersenyum rawan, "Orang luar hanya tahu
bahwa kedua-dua Putri Teratai Kumala dan Iblis Tinju Neraka
turut terkubur setelah amruknya balairung Istana Dasar
Teratai ketika mereka sedang bertempur. Tapi apa sebenarnya
yang terjadi siapapun tak pernah tahu pasti. Kenyatannya
sampai sekarang siapapun tak pernah menemukan jasad
kedua orang itu." Sepasang matanya Arya mendadak berkilat aneh. Ia seperti
menemukan sesuatu hal yang sangat menarik.
Seperti biasanya Risang Ontosoro yang menukas duluan,
"Jadi kau ingin mengatakan bahwa kami harus mencari Putri
Tertai Kumala yang tidak jelas mati hidupnya itu demi untuk
mencari keberadaan Kulit Naga?"
"Ku tahu ini bukah tugas yang ringan." Sahut Ki Awu Lamut
dengan tersenyum. Risang Ontosoro menyengir, "Hakikatnya tugas ini mustahil
akan berhasil." Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, katanya,
"Walaupun kami sudah tidak menemukan orang lain lagi yang
cocok untuk menunaikan tugas ini selain kalian tapi kami pun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak ingin memaksakan kehendak. Seandainya kalian merasa
berat......" "Tentu saja merasa berat," Tukas Risang Ontosoro
"Tapi kami tetap akan menunaikannya." Sambung Arya
cepat. Ki Awu Lamut menatap kedua anak muda ini lekat-lekat.
Pancaran kasih sayang membayang jelas di pelupuk matanya.
Perlahan Arya kembali berkata, "Pernah satu orang
mengatakan kepadaku bahwa pokok kehidupan manusia sejati
sesungguhnya tersimpul dalam satu kalimat, ialah bahwa ia
tak minta dimaafkan di depan kemustahilan."
Ki Awu Lamut memandang pemuda itu lekat-lekat. Samar-
samar dalam wajah muda yang pucat seperti orang
penyakitan itu terbayang satu tekad yang lebih panas dari
kobaran api. Tekad yang akan meruntuhkan apapun.
"Aku tahu kau tak akan mengecewakan siapapun," ia
menoleh ke arah Risang Ontosoro, "Dan bagaimana
denganmu"," Risang menjawab dengan tertawa, "Aku hanya tahu satu
hal. Semakin mustahil sebuah urusan, maka semakin menarik
pula untuk dilaksanakan. Kalau setiap orang takut dengan
kesulitan lalu bilakah akan datang kemajuan?"
Ki Awu Lamut mengangguk-anggukkan kepala, "Kalau
begitu aku pun tak perlu memberi lain wejangan." Ia
mengeluarkan dua buah bola lilin berwarna coklat bening
sebesar buah kelengkeng."Ini adalah obat penawar dari segala
macam racun. Juga bisa memulihkan luka dalam. Nilainya
lebih tinggi dari obat apapun yang pernah kalian lihat.
Sebaiknya tidak kalian gunakan kecuali dalam keadaan yang
sangat terpaksa." Arya dan Risang menerima dua buah bola lilin itu dengan
takzim. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ingatlah selalu bahwa dalam segala apa, kalian tak boleh
hanya melihat dengan mata luar. Setiap hal mempunyai
makna yang lebih dalam dari apa yang terlihat oleh mata
telanjang." "Apa ini bukan wejangan?" sela Risang dengan suara
tertahan yang dibalas oleh Ki Awu Lamut dengan pelototan
mata. Arya tak bisa menahan tawanya.
~Dewi-KZ~ "Apa kau percaya segala apa tentang Kulit Naga itu?"
Risang Ontosoro seperti menggumam pada dirinya sendiri.
"Sekalipun tidak mau percaya juga tidak bisa." Arya
menjawab dengan pandangan mata menerawang.
"Kenapa tidak bisa"."
"Tidak ada bukti yang mendukung bahwa Kulit Naga itu ada
atau tidak ada. Dengan sendirinya tidak ada seorangpun yang
bisa tahu pasti." "Tapi agaknya Bibi dan, eh...suaminya itu percaya betul."
Risang Ontosoro tertawa kecil, "Bicara sebenarnya, sampai
sekarang aku masih sulit percaya bahwa orang tua jenggot
rumbut itu ternyata suami Bibi Sekar Gumintang."
"Itulah yang mengherankanku."
"Ehm, betul juga. Menurut apa yang kuketahui, waktu
keluarnya Wahyu Kepala Naga sudah tinggal menghitung hari.
Dalam keadaan seperti ini akan lebih masuk akal kalau Bibi
menyuruh kita melurug ke Istana Lautan Awan. Tapi orang tua
itu malah menyuruh kita mencari Kulit Naga yang tak karuan
juntrungnya itu. Apalagi sebelumnya kita harus mencari Putri
Teratai Kumala yang hidup matinya tak ketahuan, apatahlagi
tempat tinggalnya. Bukankah seperti mencari jarum di
tumpukan tahi kerbau."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara Risang menggerutu panjang pendek Arya
mengedarkan pandangannya sekeliling, mencari-cari punggung Gagang Gerhana yang seperti biasanya tak bisa
berjalan tenang. Bocah yang kembali memperlihatkan sifat
ketolol-tololan itu sibuk berlarian kesana kemari, diantara lalu
lalang orang yang berjalan, membawa pelbagai macam
barang, pelbagai macam katuranggan.
Desa ini memang agak sedikit ramai. Letaknya agak
melereng gunung Merapi, meskipun untuk ke puncak gunung
masih perlu menempuh perjalanan beberapa hari lagi.
Sepanjang jalan tadi Arya menyaksikan hamparan sawah
bersusun-susun yang bersemu kuning emas, tanda musim
panen akan segera tiba. Bocah-bocah cilik berkejaran di
pematang sawah, sesekali mengejutkan kawanan burung padi
yang langsung terbang bergerombol.
"Kau tahu" Bicara sejujurnya aku sedikit merasa heran
dengan adik kecilmu itu." Kembali Risang membuka
percakapan. "Oh?" "Selama beberapa hari perjalanan, tampaknya bocah cilik
itulah yang paling banyak bergerak, berlarian kesana kemari,
tapi tak sekalipun ia kelihatan lapar. Pernah dua hari lalu
ketika kita masih di hutan kubakar satu ketela rambat merah,
sengaja aku memanggang hanya satu butir, lalu kumakan
dihadapan bocah itu. maksudku ingin kucoba keanehannya
yang luar biasa itu, tapi bahkan sampai kulit ketela itu habis
kumakan tak sedetikpun ia melirik ke arah ketelaku."
"Ya, beberapa orang memang dibuat bingung dengan sifat
bocah itu yang tidak biasa." Jawab Arya sambil mengulum
senyum, agaknya merasa bangga dengan Gagang Gerhana.
"Kenapa tidak kau titipkan saja bocah itu kepada Bibi,
kurasa orang tua itu akan senang menjaganya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang sudah mempercayakannya kepadaku, betapapun
harus kupenuhi kepercayaannya itu. Apalagi tak semua orang
bisa dekat dengan Gagang Gerhana."
Risang mengangguk-angguk, gumamnya dengan gegetun,
"Kalau orang persilatan mendengar namamu, maka yang
terbayang di mata mereka adalah kematian yang amat cepat
dan mengerikan, satu sentuhan jari yang meminta satu
nyawa. Kudengar bahkan ada orang yang berpendapat kau
lebih kejam dari maut itu sendiri. Memangnya ada yang
berfikir kalau kau juga bisa bersikap seperti ini?" lalu
mendadak ia tertawa, "Hehe, bicara tentang ketela bakar, aku
jadi ingat sejak pagi kita belum makan apapun. Apa kau tidak
merasa lapar." "Ehm, sedikit. Tapi sepanjang jalan ini tampaknya tidak
tampak ada warung nasi."
"Ya, akupun heran. Desa yang begini makmur kenapa tidak
mempunyai barang satu warung nasi."
Bab XIX, Gadis Persembahan
Jalan desa itu lebar. Ratusan kaki, roda pedati, dan
gemeredap kaki keledai bergantian menapak debu yang
membumbung coklat. Sekian banyak orang yang lalu di jalan
itu anehnya tidak terdapat yang berjalan berlawanan arah.
Semuanya menuju satu arah.
"Apa kau tidak merasa orang-orang ini terlalu aneh?"gumam Risang Ontosoro sambil celingukan kesana-
kemari. "Sekian banyak orang berjalan dalam satu arah ini memang
agak luar biasa," sahut Arya dengan sepasang mata sibuk
mengikuti punggung Gagang Gerhana yang asyik belarian
kesana-kemari. Berjalan dengan orang sebanyak ini memang
suasana tersendiri bagi bocah itu yang biasanya menyendiri.
Maka Arya pun tidak mau melarangnya. Hakikatnya ia
memang tidak bisa melarang. Maklum anak seperti Gagang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gerhana itu memangnya siapa yang sanggup melarangnya
untuk melakukan apa yang disukainya"
"Mereka seperti mengadakan perayaan suatu apa."
"Mungkin bersih desa."
"Tapi kau toh melihat sendiri tadi, padi di persawahan
belum lagi ditanam."
"Ya, memang agak mengherankan."
"Bagaimana kalau kita melihat-lihat?" Tanya Risang dengan
suara tertarik. "Tidak ingin melihat pun tidak bisa lagi." Gumam Arya.
Sepasang matanya tampak memandang di kejauhan sana.
Sekitar seratus tombak dari tempat mereka berdiri, tampak
sebuah lapangan yang amat besar. Tepat di tengah lapangan
itu kelihatan sebuah panggung besar terbuat dari batu yang
disusun begitu rupa sehingga membentuk mirip piramida.
Dari jauh, panggung batu itu terlihat angker dengan
sebuah pohon asem tua bertengger di atasnya, layaknya raja
tua yang keriput. Beberapa buah asem tampak bergayut
lemah di ranting-ranting yang bergoyang-goyang.
Sementara itu arus manusia menyeret keduanya sehingga
mau tidak mau Arya dan Risang juga masuk ke lapangan
besar itu. Orang-orang, tua muda, laki-perempuan berduyun-duyun
mengelilingi panggung batu itu. T ampaknya ada yang mereka
nantikan. Arya dan Risang Ontosoro berdiri berendeng pundak,
mencoba untuk tidak mati pengap di tengah lautan manusia
yang seakan tumpah dari bendungan jebol.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan susah payah Arya celingukan kesana-kemari
mencari bayangan Gagang Gerhana. Tapi sampai lehernya
pegal tak ditemukannya bayangan bocah cilik aneh itu.
Bicara sebenarnya, sekalipun ia mencari sampai lehernya
putus juga tak akan ditemukannya bocah itu. Maklum manusia
dimana-mana sampai ruang untuk semut pun tidak ada
memangnya mau dimana mencari bocah cilik yang hanya
setinggi kaki. "Kau tak usah terlalu khawatir. Aku selalu berpendapat
bahwa dalam keadaan apapun adikmu yang aneh itu pasti
punya kepandaian khas untuk melindungi diri." Gumam Risang
pelan. Arya membalas dengan senyumnya yang khas. Sekarang ini
mau khawatir juga tidak ada gunanya. Lebih baik tenang
berdiam sampai manusia-manusia ini menyelesaikan urusannya. Barulah mereka bertiga dapat keluar dari situ
dengan damai. Hiruk pikuk dari pelbagai macam manusia, pelbagai macam
suara itu terus berlangsung.
"Sesungguhnya apa yang sedang mereka tunggu?" gumam


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Risang agak kesal. Kira-kira sudah setengah jam mereka
menunggu. "Apapun yang mereka tunggu pasti bukan tugu batu itu
akan melahirkan seekor kerbau bunting." Gurau Arya. Suara
pemuda ini masih tetap tenang seperti sedia kala.
Risang langsung tergelak.
Mendadak terdengar lengkingan panjang. Lengkingan itu
begitu berpengaruhnya sehingga dalam sekejap suara-suara
yang mendengung langsung sirap. Kesunyian yang panas
segera menghampar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian terdengar suara aneh, seperti Guntur tapi tak
sekeras Guntur. Seakan ada dua batu yang bergesekan. Lalu
terjadilah hal yang membuat Risang melongo.
Ternyata puncak tugu batu itu perlahan menggeser,
memperlihatkan sebuah lubang sebesar buah semangka. Lalu
dari lubang batu yang hanya sebesar semangka itu muncullah
seorang manusia, seorang manusia yang berdandan bak
pangeran. Jubah hitam bersulam emasnya terlebih dahulu
muncul. Disusul kepalanya yang muncul, lalu pundaknya,
perut, lalu kaki. Ketika sinar matahari menyorot menerangi wajah orang ini
seketika Risang mengkirik. Wajah orang ini begitu luar
biasanya sama seperti cara keluarnya yang tidak biasa.
Selebar wajahnya semerah cabe matang, satu buah matanya
tertutup oleh kain sutra hitam yang diikat menyilang,
sementara dua gigi taringnya mencuat seperti srigala tua. Satu
buah matanya tampak mencorong merah.
Dengan wajah yang mengerikan seperti ini, sekalipun
pakaiannya gemerlap indah toh tak dapat menyembunyikan
rasa seram orang yang melihat.
Anehnya orang-orang seperti tidak peduli dengan bentuk
wajah orang ini yang luar biasa. Yang tampak di wajah
penduduk hanya rasa kagum dan jeri.
Dengan jubah hitam panjang bergaris keemasan yang
melambai tertiup angin orang ini berdiri menyeringai seperti
memancarkan daya tarik menakutkan.
Risang melirik Arya, gumamnya lucu, "Kenapa tebakanmu
selalu tidak pernah meleset?"
Arya menyengir, "Aku sendiri tak menduganya."
"Apa dia benar-benar lahir dari batu itu?"
"Agaknya begitu,"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bola mata Risang terpicing, "Kau juga percaya hal-hal
begituan?" "Mau tidak percaya juga tidak bisa," sahut Arya diplomatis.
"Menurutku kalau yang muncul itu seekor kerbau bunting
seperti dugaanmu itu barulah menarik."
"Kalau dua ekor malah lebih menarik."
Risang tertawa tertahan. Seorang tinggi besar yang berdiri di belakang mereka
tampak geram karena bisak-bisik kedua anak muda ini. Kalau
bisa ingin disumpalnya mulut kedua orang ini dengan tankai
cangkul. Risang hanya meliriknya dengan menyengir.
Tiba-tiba orang bejubah hitam itu mengangkat tangannya.
Seketika ratusan orang di lapangan itu membungkukkan
badan sambil bersama-sama menggumamkan kalimat yang
terdengar misterius. Arya dan Risang tentu tak ingin ikut membungkukkan
badan, tapi karena tidak ingin terlihat mencolok, mereka
terpaksa ikut membungkuk.
Risang menyumpah-nyumpah dengan berbisik, "Setan alas,
bau sekali pantat orang ini. Pasti dua minggu tidak mandi."
Orang berjubah hitam menurunkan tangan, orang-orang
pun kembali menegakkan badan.
"Para kawulaku sekalian, kali ini aku datang, seperti janjiku
satu bulan yang lalu, karena besarnya cintaku pada kalian dan
daerah lereng merapi ini."
Seketika terdengar gemuruh teriakan orang-orang.
"Aku telah me lihat titik hitam disela-sela awan putih. Aku
juga mendengar kisikan dari kawah merapi, bahwa Dalam
waktu satu minggu lereng merapi ini diterjang hujan badai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang sangat hebat. Rumah-rumah akan roboh, sawah rusak,
hewan mati." Gemuruh orang-orang sontak menjadi seringai ketakukan
yang kaku. "Itupun belum selesai. Setelah hujan badai berhenti, akan
datang sekawanan ular yang akan memangsa apapun yang
hidup di lereng merapi ini."
Beberapa wanita terdengar menjerit ketakukan. Maklum,
tidak ada wanita di dunia ini yang tidak takut ular.
Bagi Risang Ontosoro yang selama ini tak takutkan langit
tak jerikan bumi, tentu saja dia menganggap perkataan ini
hanya kentut kambing belaka, namun dia juga merasa aneh
bahwa agaknya yang tidak percaya terhadap omongan orang
bermata satu itu hanya dia dan Arya, dan mungkin ditambah
Gagang Gerhana. Risang mencoba mengamati wajah orang-
orang di sekelilingnya. Tampak wajah-wajah pucat pasi,
seakan-akan perkataan orang itu sudah merupakan bukti
bahwa bencana itu memang pasti akan datang.
Setelah jeda sejenak, kembali suara orang bermata satu itu
menggema. "Untung saja atas bantuan Kyai Sanca Samber Nyawa aku
berhasil mendapatkan petunjuk bagaimana menangkal semua
itu. Sebagaimana yang aku katakan bulan lalu, untuk
menghindari bencana mengerikan ini Kyai Sanca Samber
Nyawa membutuhkan tiga macam persembahan yang
nantinya akan dikirimkan kepada Penguasa Gunung Merapi ini
melalui kawah." Risang tak tahan untuk berbisik, "Siapa Kyai Sanca Samber
Nyawa?" Arya menyeringai, "Kau Tanya padaku lalu aku harus tanya
pada siapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang balas menyeringai sambil garuk-garuk kepalanya
yang tak gatal. Orang bermata satu itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Tiga persembahan itu adalah Seorang gadis perawan yang
lahir pada hari selasa kliwon dan berumur delapan belas tahun
tepat, lima buah hati kambing yang masih segar, lalu kain
sutra hijau dengan sulaman ular hijau berkepala lima."
Terdengar desis di beberapa tempat. Arya sendiri merasa
beberapa macam persembahan ini memang luar biasa.
Umumnya sesaji di beberapa tempat yang dia lihat hanya
berupa nasi tumpeng dengan lauk pauk lengkap, atau paling
mahal sebuah kepala kerbau yang baru dipotong. Sesaji
berupa manusia hidup, hati kambing, dan sutra bersulam baru
sekali ini didengarnya. Dengan sendirinya perhatiannya
tambah terarik. Orang bermata satu itu mengedarkan pandangan matanya
sekeliling, agaknya ingin menguji kepatuhan dan kepasrahan
hati orang-orang yang mengerumuninya. Satu buah matanya
tampak menyorot tajam. Arya sengaja menunduk ketika sorot
mata itu melewatinya. Ternyata memang tidak ada orang yang protes. Ujung
mulut lelaki itu tampak menyeringai puas. Lalu dengan suara
lebih keras ia melanjutkan.
"Nanti ma lam bulan akan menunjukkan seluruh wajahnya.
Saat itu adalah waktunya Kyai Sanca Samber Nyawa
menampakkan dirinya. Maka kalau kalian tidak ingin
menghadapi bencana itu, sekaranglah saatnya untuk
memberikan tiga macam persembahan itu kepadaku. Nanti
malam aku yang akan menyerahkannya kepada Kyai Sanca
Samber Nyawa." Orang bermata satu itu mengulapkan tangannya.
Mendadak dari ujung utara sana terdengar alunan suling yang
mendayu, berbareng dengan pukulan gong yang bertalu-talu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang-orang menyingkir kekiri-kanan, terbentuk satu jalan
selebar satu setengah tombak.
Tak lama muncul serombongan orang lelaki dengan kain
putih melilit pinggang ke bawah, bertelanjang dada, berjumlah
kurang lebih dua puluh orang. Orang-orang itu berjalan
perlahan dengan barisan yang rapi.
Tiga orang di barisan pertama tampak meniup suling,
sedangkan dua orang selanjutnya memikul gong yang dipukul
oleh satu orang lainnya dengan kayu cemara hitam yang
dibebat kain putih. Di belakang keenam orang itu bebaris sisa
rombongan dengan formasi dua-dua. Beberapa diantaranya
membawa Nampan yang tertutup kain putih yang masih
merembeskan darah segar. Empat orang memikul sejenis
tandu terbuka yang berisi bentangan sutra bersulam ular hijau
berkepala lima berlatar api keemasan yang berkobar. Kain
sutra itu tampak berkilau menyilaukan memantulkan sinar
surya. Tapi semua itu tak menarik perhatian Risang Ontosoro,
Karena matanya hanya focus menatap akhir barisan itu. Di
akhir barisan itulah pemandangan yang paling menarik
perhatian, walau setiap mata yang memandangya tidak dapat
menyembunyikan sorot penyesalan dan pilu namun tetap
mereka tak mengejapkan mata.
Di Barisan paling akhir rombongan itu, empat orang
pemuda mengusung tandu bambu kuning gading yang dibebat
kain putih bertabur kembang tujuh rupa dimana diatasnya
berbaring seorang gadis jelita dengan setagen putih melilit di
perutnya. Selempang putih bersilang menutupi bahu gadis itu.
Wajahnya yang berwarna sepucat kain yang melilit tubuhnya
menatap dengan mata kosong ke langit biru. Segumpal awan
putih tampak mengambang di ujung cakrawala.
Entah apapun yang dipikirkan gadis itu, agaknya hanya dia
sendiri yang tahu. Mungkin saja dia teringat kematian,
mungkin juga memikirkan orang-orang dan masa remaja yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditinggalkannya, atau bisa saja tidak memikirkan apa-apa.
Maklum orang kalau sudah tidak punya harapan lagi, segenap
jiwa raganya akan kosong melompong, sama sekali tak ada
rasa. Perasaan seperti ini mungkin hanya orang yang
berangkat untuk menerima hukuman pancung saja yang bisa
merasakan. Cuma kalau orang terhukum setidaknya masih
menyimpan penyesalan yang bisa diingatnya, sedangkan gadis
itu memangnya kesalahan apa yang dilakukannya.
Seandainya Arya tidak memijit tangan Risang diam-diam,
Hampir saja anak muda ini sudah berteriak marah melihat
pemandangan ini. Mulutnya sudah terbuka lebar. Tenggorokannya seperti tercekik melihat pemandangan
mengenaskan ini. Sepasang matanya yang biasanya bersinar
jenaka kini tampak merah melotot.
Toh ia masih berbisik geram, "Ini sudah sangat
keterlaluan." "Kau ingin ikut campur?" Arya balik bertanya dengan
desisan tanpa membuka mulutnya. Anehnya suara pemuda ini
masih tetap tenang dingin. Agaknya pemandangan didepan
sana sama sekali tak mempengaruhi emosi pemuda itu.
Risang sedikit heran dengan keadaan Arya yang masih
adem ayem itu. Sambil melirik ia menganggukan kepala.
"Kalau begitu kau harus atur nafasmu terlebih dahulu.
Bertempur dengan kemarahan sama sekali tidak akan
menghasilkan apa-apa kecuali kekalahan." Bisik Arya lagi.
Risang tertegun. Kalau ingin berkelahi, tenangkan dirimu.
Tenang, itulah kunci kemenangan. Nasihat ini entah sudah
berapa kali diulang oleh ayahnya, nyatanya dalam prakteknya
tidak semudah menghafalkan.
Sesungguhnya inilah sa lah satu perbedaan antara Arya dan
Risang. Risang Ontosoro mendapatkan ilmu silatnya dari guru,
melalui teori dan latihan, sehingga walaupun mutu ilmu
silatnya sendiri amat tinggi tapi dalam penggunaannya ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih kewalahan dan belum dapat memanfaatkan inti sari dan
kandungan isinya dengan leluasa.
Berbeda dengan Arya yang mendapakan kepandaiannya
dari jalan pengalaman dan sentuhan langsung dengan alam.
Bagi Arya, kelihaiyan dan mutu ilmu silat bukanlah
ditentukan oleh nama dan rumitnya jurus, tapi lebih kepada
pendekatan yang sebaik-baiknya kepada alam. Sehingga
sekalipun gerakannya sederhana dan terkesan itu-itu saja,
dalam penggunaannya justru amat manjur dan membawa
perbawa yang dahyat. Karena sebelum ia bergerak, terlebih
dahulu ia mengenali tanah dimana dia berpijak, merasakan
udara dan mengalirnya lajur embun melalui semilir angin yang
menyentuh kulitnya. Kemudian barulah ia menyertakan
gerakan jari tangannya di sela tempat yang kosong. Ilmu
silatnya hakikatnya adalah irama alam itu sendiri.
Sejenak Risang memejamkan matanya, mencoba mengatur
nafas dan mengendurkan otot leher.
Sebenarnya Arya bukannya tidak terpancing emosinya
melihat pemandangan pilu di depan matanya, Cuma sepasang
matanya hanya sekilas saja melirik tandu bambu dimana gadis
itu berbaring. Ia lebih memperhatikan kain sutra bersulam ular
kepala lima itu. Sulaman bergambar ular itu mengingatkannya
akan kertas bergambar kepala Naga yang direbut oleh Mahesa
Manunggal dari tangan Lembu Patik Pulung tempo hari.
Kedua gambar kepala ular itu agaknya mirip satu sama lain.
Apalagi latar api yang yang berkobar semakin meyakinkan
Arya bahwa antara keduanya memang terdapat kaitan suatu
apa. Arya mencoba mengati sulaman itu terlebih cermat. Tapi
sampai sekian lama ia belum dapat mendapatkan satu pun
macam kaitan yang mungkin ada. Otaknya malah tiba-tiba
menjentikkan satu pertanyaan nakal, ular berkepala lima itu
kira-kira jantan apa betina dan bagaimana cara lahirnya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memikirkan pertanyaan ini tak sadar ujung bibir Arya
terjungkit ke atas. Risang Ontosoro yang kebetulan kembali melirik pemuda


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tentu saja dibuat kebingungan dengan tingkah laku Arya
yang tersenyum-senyum sendiri itu.
"Adik dan kakak ternyata sama-sama sinting," gumamnya
letih. Arya menoleh, "Ada apa?"
"Oh, tidak. Aku hanya berpikir kapan kita harus bergerak?"
"Tunggu sebentar lagi."
"Apa yang harus ditunggu?" bisik Risang kesal,
"Memangnya kita harus menunggu sampai setan mata satu itu
kembali mengerut ke liangnya."
"Sejujurnya aku ingin me lihat cara bagaimana ia akan
membawa gadis itu melalui liang yang kecil itu. Setahuku ilmu
mengerutkan tulang hanya bisa bekerja terhadap orang yang
memilikinya dan tidak dapat ditularkan begitu saja."
Risang mengangguk, "Benar. Aku tidak pernah melihat ada
orang mampu mengerutkan tulang orang lain."
Setelah merandek sejenak kembali ia melanjutkan, "Tetapi
kalau menunggu sampai orang itu masuk ke liang anjingnya
lalu cara bagaimana kita akan mengejarnya" Aku tidak tahu
denganmu, yang terang aku belum mampu untuk
mengerutkan tubuh menjadi sekecil itu. Kau kan tahu perutku
biasanya sangat besar."
Arya tertawa kecil, "Tepat. Kalau tidak cukup besar
bagaimana kau bisa menghabiskan lima porsi buntut goreng
sekali lahap?" Risang menyeringai bangga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Agaknya melihat muka dan suara Arya yang tenang,
kepercayaan diri dan ketenangan Risang pulih dengan cepat
sehingga sifatnya yang jenaka pun kembali timbul.
Arya bertanya, "Menurutmu apakah kepalan tanganmu
cukup keras?" "Tergantung kau ingin membandingkannya dengan apa.
Kalau untuk menggencet lumat tulang hidung si setan mata
satu itu sih kukira masih bisa diandalkan."
"Bagaimana kalau dibandingkan dengan tugu batu itu?"
"Itu mah gampang. Kalau tidak bisa memecahnya aku pun
bisa pinjam pemukul gong itu untuk ganti mewakili, kukira
pemiliknya tidak terlalu pelit."
Arya tersenyum, "Jadi kalau kau toh tidak bisa masuk ke
liang ularnya, kau masih bisa menghancurkan liangnya. Baik
Manusia atau ular, kalau tahu rumahnya dipukul hancur orang
biasanya dia tidak akan betah lagi tinggal di dalam dan mau
tidak mau harus keluar."
Risang ikut tersenyum, "Hah, dalam keadaan seperti ini
otakmu memang dapat diandalkan."
Sementara itu rombongan itu sudah sampai di depan tugu
batu. Tiupan suling dan tabuhan gong berhenti. Barisan
memecah dirinya menjadi dua.
Lelaki bermata satu itu terlihat tersenyum puas. Sejenak
kemudian ia menengadahkan kepalanya ke atas, mulutnya
bekomat-kamit seperti mengucapkan mantra, lalu mendadak
balok batu yang paling atas menggeser dengan sendirinya
sehingga lubang yang tadinya hanya sebesar semangka
membesar hingga selebar peti mati.
"Wah, ular mata picak ini pun ternyata punya kepandaian
melebarkan liang." Keluh Risang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil mengangkat kedua tangan ke atas, orang bermata
satu itu memberi tanda kepada rombongan untuk
memasukkan semua sesajian ke dalam lubang batu.
"Eh, menurutmu apakah orang ini punya kepandaian
memukul yang lumayan?" kembali Risang tak dapat menahan
perasaannya. "Agaknya ia melatih sejenih ilmu tenaga luar yang kebal."
Memang tampak otot lelaki itu berjulur-julur bagai rotan.
Kulitnya juga agak sedikit gelap kasar.
Ketika itu rombongan yang membawa nampan sudah pada
masuk ke dalam lubang batu, disusul oleh empat orang yang
membawa tandu berisi kain sutra bersulam ular berkepala
lima, lalu giliran empat orang lainnya yang mengusung gadis
berkain putih. "Apalagi yang kita tunggu", semuanya sudah masuk."
Risang berbisik gelisah. Arya mengangguk. Namun belum lagi keduanya bergerak
mendadak terdengar jeritan seorang perempuan.
"Itu bukan anakku..."
Di kesunyian yang mencekam ini jeritan yang menyayat
hati ini terasa seperti suara kulit yang terobek pisau.
Entah apa maksud perkataan perempuan ini yang pasti
segera saja kegaduhan terjadi. Orang-orang saling mendorong
ke depan. Jerit kekagetan dan bantahan pun merusak sunyi
yang panas itu. Empat orang yang mengusung tandu agaknya sedang akan
masuk ke lubang batu ketika kegaduhan itu terjadi. Seketika
keempatnya berhenti lalu seperti tidak sengaja menurunkan
tandu dan mencoba melihat gadis yang masih berbaring kaku
di atas tandu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika wajah gadis itu terlihat lebih jelas di tengah s iraman
matahari seketika keempat pengusung itu pun terbeliak.
Keempatnya saling pandang satu sama lain dengan
kebingungan. Lelaki bermata satu tampaknya tak paham dengan
perubahan yang mendadak ini.
"Kenapa kalian berhenti?" bentaknya kepada keempat
pengusung tandu. "Gadis ini...." Jawab orang yang paling depan dengan
terbat-bata. "Gadis ini kenapa?"
Setelah menentramkan nafas akhirnya keluar juga suaranya
yang jelas, "Gadis ini bukan anak perempuan Nyi Sumini."
"Memangnya kenapa kalau bukan anak perempuannya?"
Tanya si Lelaki bermata satu sambil me lirik ke wanita
setengah baya yang tampak berdiri sempoyongan. Perempuan
inilah yang tadi menjerit. Wajahnya pucat pasi dengan mata
yang bendul merah membelalak.
Pengusung tandu itu agaknya tak dapat mendapatkan kata-
kata yang tepat. Jakunnya turun naik namun satu katapun tak
keluar dari mulutnya. Karuan ini membuat orang bermata satu
tambah gusar. "Seharusnya yang akan dikorbankan adalah anakku. Akulah
yang mendandaninya tadi pagi." Terdengar suara berat
bernada sedih. Seorang petani tua berdiri sambil mendekap
perempuan setengah baya yang sempoyongan tadi. Meski
terlihat amat terpukul bahwa anak perempuannya akan
dijadikan barang persembahan tapi tampaknya wajah petani
yang sudah agak tua ini tampak tegar.
"Kau ingin mengatakan bahwa gadis ini tertukar?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami tidak tahu. Ketika mengusung dari balai desa tadi
terang yang naik ke tandu adalah Ratih, anak perempuan Nyi
Sumini ini." Jawab pengusung tandu yang ada di belakang.
"Maksudmu kemudian gadis itu bisa tertukar tanpa kalian
mengetahuinya?" Pengusung tandu itu mengangguk takut-takut.
"Padahal kami tidak pernah menurunkan tandu." Tambah
yang pertama tadi. Agaknya ia sudah menemukan kembali
ketenangannya. Percakapan ini sebenarnya tidak terlalu keras, namun
karena kesunyian yang disebabkan penasaran orang-orang
sehingga walaupun suara mereka tidak terlalu keras namun
terdengar jelas dari tempat Arya dan Risang berdiri.
Tentu saja kedua pemuda itu semakin tertarik dengan
perubahan ini. Tak dinyana peristiwa ini ternyata masih
terdapat misteri yang menarik. Kalau gadis itu tertukar diatas
tandu tanpa keempat orang yang memikulnya mengetahuinya,
padahal tandu itu adalah tandu terbuka memangnya mata
keempat orang itu sudah buta semua atau bagaimana"
Sepenuh perhatian Risang mencoba menajamkan pandangannya ke wajah gadis yang masih berbaring di tandu.
Anehnya gadis itu tampak tak berubah mimic mukanya.
Masih tetap pucat kaku. Kedua bola matanya tetap kosong
menatap ke langit biru. Sejenak Risang mengira apakah gadis
itu bukan orang mati"
Sekilas gadis itu memang tampak seperti orang mati. Tapi
kalau me lihat dadanya yang turun naik dengan halus
menandakan nafasnya masih teratur, di dunia ini memangnya
ada orang mati yang masih bernafas"
Lain yang diperhatikan Risang, lain pula yang menarik
perhatian Arya. Pemuda bermuka putih pucat ini tampak lebih
tertarik pada tugu batu itu. Kalau orang sebanyak itu mampu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masuk kedalamnya apa tidak mungkin tugu itu sebenarnya
adalah lorong menuju suatu tempat misterius " Bukankah Putri
Teratai Kumala dulunya bertempat tinggal di istana bawah
tanah" Apa tidak mungkin lorong ini ada hubungannya"
Melihat tugu batu itu yang tampak berlumut disana-sini
agaknya sudah sangat lama terletak disini.
Lamat-lamat di sebuah cekuk gompal separo, Arya melihat
sebuah tanda lingkaran. Sementara itu lelaki bermata satu tampak memperhatikan
gadis di atas tandu lekat-lekat. Dalam putih pucat dan
pandangan matanya yang kosong, toh masih terlihat
kecantikan alami yang memabukkan. Dahi yang rata tak
terlalu lebar, hidung mancung dan kelopak mata yang berbulu
lembut. Dilihat-lihat gadis ini memang amat cantik. Seandainya ini
bukan anak perempuan Nyi Sumini pun tidak masalah. Begitu
pikir si lelaki bermata satu, namun mendengar berita tadi mau
tidak mau hatinya was-was juga. Apa tidak mungkin gadis ini
bisa malih rupa" Perlahan didekatinya gadis itu. T angannya terulur mencoba
menjamah pipi sang gadis. Namun belum sempat tangan yang
kasar itu menyentuh kulit yang halus lembut mendadak sinar
kilat berkiblat. Ujung pedang yang entah bagaimana muncul
dari lilitan setagen di pinggang si gadis memapas bagai kilat.
Di tengah jeritan orang-orang terdengar lelaki bermata satu
itu membentak marah. Rupanya dia memang punya
kepandaian. Meski diserang mendadak tapi tidak jadi gugup.
Secepatnya ia tarik tangannya, tapi toh ujung pedang masih
menyayat kulit tangannya yang seketika membekas jalur
merah sepanjang daun. Sekali kakinya menjejak ia sudah melayang satu tombak ke
belakang. Begitu kakinya menapak tanah, langsung ia bes iaga
penuh. Kedua tangannya mengepal kencang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara si gadis sendiri, dengan satu gerakan indah
sudah melompat bangun. Pakaiannya yang putih berkibar
tertiup angin, rambut panjang hitam legam terurai berombak.
Gerakannya enteng lembut, namun juga mengandung sifat
ketangkasan. Dengan sebatang pedang yang berkilat perak
menyilaukan sekilas ia seperti dewi yang turun dari
kahyangan. "Siapa kau?" geram Lelaki Bermata satu.
Terlebih dahulu si gadis tertawa panjang, suaranya merdu
melebihi kicau merpati, "Aku adalah aku. Memangnya kau
tidak bisa melihat siapa aku?"
Waktu berbaring tadi sepasang mata dan tubuh gadis ini
tak ubahnya seperti orang mati, kaku dan kosong. Namun
begitu melompat dan melolos pedang, bola mata yang kosong
itu seketika berubah terang. Aura tubuhnya pun seperti
mendadak tebangun, penuh gairah dan kelincahan.
Risang bahkan merasakan bahwa tiba-tiba saja matahari
kehilangan sinarnya. Mendengar perkataan gadis itu yang mempermainkannya
tambah gusar lelaki bermata satu itu, "Siapapun kau
tampaknya kau sudah bosan hidup." bentaknya.
"Ah, hidupku terasa sangat menyenangkan. Makan enak
uang pun cukup, mana bisa aku bosan." Jawab si Gadis sambil
tertawa cekikikan, "kadang-kadang kalau lagi iseng aku lalu
mengganggu orang sepertimu ini. Coba, hidup seenak ini
masakah bisa bosan segala?"
"Dimana Ratih"'
"Oh, maksudmu gadis berlesung pipit itu. Sudah kusuruh ia
pulang ke kamarnya. Katanya ia tidak mau bertemu
denganmu, takut mimpi buruk. Maklum wajahmu yang
setampan ini sekalipun nenek-nenek juga akan muntah
melihatnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semakin bicara semakin tajam kata-kata gadis itu, juga
semakin gembira nadanya. Seakan-akan ia lagi melakukan
suaut permainan yang menarik.
Dengan sendirinya lelaki bermata satu itu gusar tak
kepalang. Tanpa berkata-kata lagi tinjunya menghantam ke
muka. Betapapun ototnya yang keras memang bukan hanya
pemandangan kosong belaka. Seketika angin tajam berkesiur
tajam. Gadis itu bersiul nyaring, setelah melilitkan pedang
lemasnya ke sekeliling pinggang, tangannya yang kecil putih
menyambut pukulan langsung lawannya dengan gerakan
setengah membuka. Keduanya pun lantas terlibat pertarungan
seru. Dalam sekejap dua puluh jurus berlalu.
Ilmu silat yang digunakan lelaki bermata satu itu terkesan
keras menekan, dengan taktik serangan mengandalkan tenaga
luar dan kekebalan kulitnya. Setiap gerakannya menimbulkan
desir angin yang keras. Sementara lawannya memainkan ilmu
silat bergaya lembut indah. Setiap gerakan tubuhnya seolah
tarian yang luwes lincah. Sekalipun serangan lawan keras
menekan, namun tak dapat mematahan gerakan yang lembut
luwes ini. Risang Ontosoro menyaksikan dengan terbelalak. Kedua
bola matanya seperti mau copot. Melihat tampang pemuda ini,
malah sepertinya sukmanya pun sudah melayang pergi. Tak
sepatah gerakan pun terlewat dari perhatian Risang.


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Arya malah tampak acuh tak acuh dengan
pertarungan dua orang itu. Ia menyaksikan dengan sikap
biasa, bahkan terasa agak hambar, seperti orang lagi melihat
kerbau kentut. Maklum sekalipun gadis itu sangat cantik,
gerakannya juga lincah indah, namun di mata Arya terkesan
manja dan tidak tahu aturan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hal ini maklum saja, seorang lelaki kalau hatinya sudah
terisi oleh satu anak gadis, maka dalam pandangan matanya
perempuan lain akan tampak hambar. Beberapa yang
berbakat menjadi hidung belang tentu harus dikecualikan.
Sedangkan Arya, sekalipun ia belum mau mengakuinya,
hatinya sudah terampas habis oleh Arum Puspita. Dengan
sendirinya setiap perempuan selainnya hanya tampak sebagai
kambing bunting saja. ~Dewi-KZ~ Bab XX, Dung Sebaliknya dari Arya, bagi Risang, sikap demikian sangat
mencocoki hatinya. Sepanjang malam dan siang ia selalu
bertingkah menurut kata hatinya, segala peradatan tak
digubrisnya. Lebih dari itu di hatinya pun masih kosong, maka
melihat gadis ini yang bak bidadari menari, sepasang matanya
tak mau lepas pandangan. Waktu itu pertempuran telah mencapai puncaknya. Wajah
si Lelaki bermata satu tampak merah padam, butir-butir
keringat sebesar kedelai berteretesan seperti hujan dari
seluruh pori-pori tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke kiri
kanan dengan bau amis santer. Sementara si gadis juga sudah
kehilangan kulum senyumnya. Di sepasang pipinya yang
tadinya putih pucat muncul sesamar warna merah muda.
Gerakannya juga tambah cepat.
Dari jalannya pertempuran memang jelas bahwa si Gadis
tampak unggul. Kecepatan dan keindahan gerak tangannya
seperti juga ribuan benang sutra yang menjerat tubuh
lawannya. Namun si lelaki bermata satu juga bukan lawan
empuk. Sepasang telapak tangannya yang agaknya beracun
itu beberapa kali menghambat gerakan kilat lawannya. Maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu pertarungan sudah berlangsung sekian lamanya tapi belum
juga membuahkan satu ketentuan.
Risang yang menyaksikan dengan mata melotot agaknya
sudah tak sabar melihat keadaan yang tidak menentu ini.
Beberapa kali hatinya sudah berniat untuk melompat memberi
bantuan, tapi sekalipun bersifat berandalan sedikitnya ia masih
seorang lelaki. Tak sudi ia mengeroyok orang.
Dalam pada itu si Gadis sudah mendesak lawannya sampai
ke tepi lubang batu. Perlawanan dari lelaki bermata satu pun
tampaknya sudah mengendor dan kacau.
Dalam satu gerakan tampak telapak tangan si gadis
membacok miring ke arah pundak. Bacokan yang tampaknya
enteng seperti bulu burung itu membelah cepat. Jangan
pandang tangannya yang putih kecil, tapi kalau sampai
terkena telak rasanya tidak akan lebih baik dari sayatan belati
buatan baja asli. Lelaki bermata satu yang agaknya sudah
kacau pikirannya tak sempat menangkis dan hanya
memandangi bacokan itu sambil membelalak.
Bacokan tangan itu hampir sampai ke sasaran ketika
sebuah suara "dung" satu kali terdengar samar. Lalu seperti
terhalang oleh tembok yang tak kelihatan, telapak tangan
yang hampir telak mengenai bahu itu tergetar miring. Bukan
hanya serangannya meleset, bahkan tubuh si gadis juga
tersurut mundur. Segera saja paras si gadis melebar merah, antara terkejut,
kaget, juga gusar. Penasaran ia membentak satu kali terus
kembali merangsak maju. Sementara ujung mulut lelaki
bermata satu tampak mengulum senyum lega. Namun toh ia
tak berani maju menyambuti serangan si gadis. Ia hanya diam
di pinggiran lobang batu.
Paras muka Arya yang semula adem ayem dan tampak
acuh tak acuh tiba-tiba juga berubah serius ketika suara dung
ini terdengar. Maklum suara dung ini sekalipun samara dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti sebuah gema dari dinding jurang yang berlaksa meter
dalamnya, namun mampu menembus dan menggetarkan hati
sanubari. Seperti juga ia seribu sajak yang terkata, ditambah
dengan lapisan tenaga dalam yang tak terukur, maka
keampuhannya menjadi luar biasa menakutkan. Sinar mata
Arya berkilau menatap lubang batu yang tampak gelap.
Karena gusar, serangan di gadis kali ini menjadi tak kenal
kasihan. Jurus-jurus maut berkiblat sengit. Sebaliknya, Si lelaki
agaknya sudah tak punya tenaga lagi untuk me lawan, ia
hanya sibuk menghindar kesana-kemari, walau toh tak pernah
meninggalkan pinggiran lubang batu. Tapi seperti juga tadi,
setiap kali serangan si gadis nyaris mengenai sasaran kembali
terdengar suara "Dung" yang lantas saja membelokkan arah
serangan. Mendadak Risang menggembor keras, "Pengecut busuk,
tunjukkan ekormu," berbareng tubuhnya mengapung bagaikan
burung rajawali raksasa dan langsung menyambar lubang
batu. Agaknya pemuda ini sudah tak dapat menahan dirinya
lagi. Apalagi Arya juga seperti tak ingin mencegahnya,
walaupun ia masih saja berdiam diri dengan tangan terlipat di
depan dada. Jarak antara tempat Arya dan Risang berdiri dengan
panggung batu paling tidak ada empat tombak lebih.
Walaupun harus satu kali menutul pundak seseorang namun
toh lompatan Risang ini sudah terhitung luar biasa cepatnya.
Apalagi dilakukan dengan gerak tubuh yang indah luwes
sehingga menampakkan wibawa tersendiri.
Namun sesuatu yang terlebih cepat dan terlebih hebat
terjadi di pinggiran lobang batu. Dua detik sebelum Risang
sampai di tugu batu mendadak berkelebat sinar hijau yang
muncul dari lobang batu dan langsung menggubat dan
menarik kaki si lelaki bermata satu. Dalam satu detik si lelaki
bermata satu kontan amblas ke dalam lobang batu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perubahan ini begitu cepat terjadinya sehingga si Gadis
yang sedang bergerak menyerang seketika tertegun diam. Tak
kurang juga kejut di hati Arya. Maklum gerakan dan tenaga
sehebat itu selama hidup belum pernah dilihatnya. Betapa
cepat gerakan ini sampai-sampai bagi orang yang matanya
kurang jeli hanya melihat lelaki itu mendadak menghilang
tanpa tahu sebab musababnya. Ukur punya ukur Arya sendiri
mengaku belum mampu melakukan gerakan demikian.
Ketika Risang sampai di pinggiran lobang batu, tubuh lelaki
bermata satu itu sudah tak tampak lagi. Hanya lobang hitam
yang tampak gulita. Anehnya beberapa puluh orang yang
masuk sebelumnya dengan berbagai macam barang sesaji itu
juga sudah raib tak karuan rimbanya. Karena rasa penasaran
sebenarnya ada juga niat di hati Risang untuk melompat
masuk ke lobang batu. Tapi sekalipun ia kelihatan berangasan
dan tak tahu aturan pada dasarnya otaknya memang cerdik.
Melihat lobang batu yang gelap hitam seperti tak berdasar itu
tidak mustahil ada perangkap di dalam sana. Kalau nekad
melompat masuk jangan-jangan masalah akan tambah
runyam. Terlebih lagi ia pun belum paham ujung pangkal dari
perkara ini. Maka itu ia hanya berdiri melongo saja dengan
mata membelalak memandang kegelapan.
"Siapa kau?" Pertanyaan yang dikeluarkan dengan nada ketus dan gusar,
tapi dengan suara semerdu kicau nuri ini menyadarkan Risang
dari lamunannya. Kepalanya menoleh miring. Seketika tergambarlah bentuk
wajah yang lonjong buah apokat dengan mata bulat bersinar-
sinar, memperlihatkan sifat nakal dan tangkas. Dagu yang
lancip membelah dua menggantung di bibir yang mungil kecil.
Ujung bibir yang berwarna bagai delima muda itu tampak
bersungut. Membelakangi sinar matahari yang menggurat
langit biru, tampak sepasang pipi gadis itu memerah cerah,
berhias tetes keringat yang kecil bening.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berdiri di tengah kerumunan manusia yang pelbagai ragam
itu ia seolah sekuntum melati di padang salju, yang merekah
putih menantang kebesaran sang surya. Saking terpesonanya
Risang sampai ia lupa berkata-kata. Mulutnya terbuka lebar,
saat itu seandaianya ada seekor lalat yang bersedia
berkunjung ke lobang mulutnya itu rasanya tak akan tertolak.
Dipandang seperti itu dengan sendirinya sifat malu-ma lu si
gadis sebagai seorang wanita muncul secara otomatis. Karuan
pipinya tambah merah jengah, bentaknya pedas, "Kutanya
siapa kau berani mencampuri urusanku?"
Seketika Risang gelagapan seperti mulutnya mendadak
digerojok perasan cabe, "Eh, aku....aku..."
"Aku apa" Apa ibumu tak pernah mengajarimu bicara?"
"Ah... tidak, Cuma mendadak saja aku lupa caranya."
Jawabnya sambil menyengir.
"Masa cara berbicara juga ada kalanya lupa?"
"Ehm...memang begitulah."
Sementara itu orang banyak yang tadi senyap terdiam
mulai bersuara gaduh. Perubahan yang tak disangka-sangka
ini betul-betul membuat semua orang tak habis mengerti.
Mereka yang semula berangkat dari rumah dengan muka
takut-takut harap sekarang berubah menjadi penasaran
sekaligus cemas. Seorang tua berpakaian lurik coklat hitam dengan blangkon
sewarna maju ke depan tugu batu. Terlebih dahulu ia
merangkap kedua telapak tangannya di depan dada barulah
berkata dengan santun, "Saya adalah Lurah di Kalicandak
lereng merapi ini. Dengan tak bermaksud mengurangi
kepantasan, saya ingin meminta penjelasan kepada kedua
kisanak tentang kejadian ini?"
Gantian sekarang si gadis yang gelagapan, "Eh..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang menyeringai diam-diam, "Hehe, tampaknya ibumu
juga belum mengajarimu cara berbicara" Mungkin yang
diajarnya hanya cara membuat onar saja." Batinnya.
Merasa kasihan, juga sedikit ingin pamer, Risang balas
merangkap tangan kemudian membuka mulut, "Apa yang
dilakukan nona ini kukira sudah jelas seperti matahari di siang
hari. Semua yang dilakukan dan dikatakannya tak bermaksud
lain selain ingin membantu penduduk desa Kali...Kalicandak
lereng merapi ini." Katanya berlagak arif.
"Membantu, huh...apa maksudnya membantu" Yang jelas
perbuatan nona ini malah mengacaukan upacara ini." Sela
seorang lelaki di belakang Lurah berblangkon yang tampak
berwajah keras. "Mengacau?" ulang Risang tak mengerti.
Si Kepala Desa mencoba memberi penjelasan, "Tujuan
diadakannya upacara ini adalah tolak balak, supaya bencana
yang akan timbul dapat dicegah dengan tumbal yang telah di
tentukan oleh Kyai Sanca Samber Nyawa melalui Ki Moto Siji
tadi. Tapi dengan perbuatan nona ini menjadikan Ki Moto Siji
menghilang dan upacara ini pun tak dapat diteruskan. Kalau
demikian halnya bukankah bencana yang akan melanda tidak
beberapa lama lagi menjadi tak terbendung?"
"Tapi sesaji yang ditentukan dengan mengorbankan
seorang gadis apakah tidak terlalu keji. Dimanapun tidak
pernah kujumpai sesaji semacam ini. Huh...ini pasti hanya
omong kosong si mata buta itu saja." Sahut si gadis cepat,
juga pedas. Lelaki di belakang Lurah naik alis matanya, juga beberapa
orang yang berkerumun. Satu dua orang berteriak gusar.
Suara Ki Lurah berubah tegas, "Nona bukanlah penduduk
sini sehingga sampai sejauh ini kami masih memperhatikan
tata krama kepada tamu. Tapi kalau nona tak bisa menjaga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kehormatan diri sendiri, kami pun terpaksa harus berlaku
kurang hormat." Risang menggaruk-garuk kepalanya yang mendadak terasa
gatal, sungguh tak disangkanya urusan akan berubah menjadi
seperti ini, "Aku masih belum begitu paham dengan maksud Ki
Lurah sekalian. Menurut hematku apa yang dilakukan nona ini
adalah hal yang sebaik-baiknya. Mengorbankan seorang
manusia untuk urusan tak jelas dengan sebenarnya sangat
melanggar nilai kemanusiaan. Seekor harimau pun tak akan
memangsa anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya begal tak akan
merampok keluarganya sendiri. Apalagi kita adalah masyarakat yang beradab dan mengenal tata sopan. Jadi
dimana letak kesalahannya?"
Mendengar kata-kata Risang ini sorot mata si Gadis sekilas
memancarkan rasa terima kasih, walaupun paras mukanya
masih merah membesi. Risang sendiri heran dari mana kata-
kata seperti ini bisa keluar dari mulutnya.
Si kepala desa sejenak terdiam, agaknya berfikir. Kemudian
setelah mengambil nafas berujar, "Kata-kata kisanak itu benar
secara keseluruhan apabila diterapkan dalam keadaan biasa.
Sebodoh-bodoh kami juga tak akan tega mengorbankan anak
gadis sendiri. Namun waktu ini situasi sudah demikian luar
biasanya sehingga kami pun terpaksa bertindak seperti ini.
Kisanak salah kalau mengatakan upacara sesaji ini tak ada
tujuannya atau tak jelas maksudnya. Seperti apa yang
dikatakan Ki Motosiji tadi bahwa tak lama lagi desa kami akan
tersambar bencana yang tak karuan dahsyatnya, lagi pula
datangnya beruntun. Seandaianya kami tidak melakukan
upacara persembahan maka desa ini berikut isinya akan
musnah. Dengan tujuan menyelamatkan sekalian penduduk
dan desa lah kami baru melakukan upacara ini."
"Tapi bahwa desa ini akan tertimpa bencana hanyalah
melulu perkataan orang bermata satu itu. Perkataan seperti itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kan hakikatnya seperti kentut belaka?" kembali si Nona
menyela. Agak berubah juga paras muka si kepala desa. Tapi belum
sempat ia menyahut lebih dahulu Risang menyela.
"Benar, Apa yang dikatakan nona ini bukan tidak berdasar


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali. Apakah hanya karena omongan Ki Motosiji tadi
lantas kita harus percaya penuh bahwa bencana akan datang.
Dalam hal ini aku malah tidak mengerti kenapa penduduk
desa yang beradab ini percaya dengan omongan seperti itu."
Si Kepala Desa menghela nafas, "Kami sama sekali tidak
menyalahkan Kisanak sekalian. Karena seandainya dalam
posisi Kisanak tentu kami juga akan berpendapat demikian.
Hal ini karena kisanak baru pertama kali menyaksikan.
Berbeda dengan kami yang telah mengalam i sebelumnya."
Sambil menoleh ke belakang, tangannya menggapai.
Seorang lelaki tua berbaju kain karung tak berkancing
dengan jenggot yang sebagian besar memutih maju
menghampiri. "Ini adalah Ki Sarunggi. Beberapa bulan yang lalu keluarga
dari Ki Sarunggi ini telah didatangi oleh Ki Motosiji dengan
sebuah kabar bahwa dalam satu minggu anak lelakinya yang
baru berumur lima tahun akan hilang dimakan ular sanca.
Bencana itu dapat di cegah apabila Ki Sarunggi bersedia
memberikan sesaji berupa hati kambing segar ke tugu batu
ini. Saat itu Ki Sarunggi juga tak percaya dengan kabar ini,
malah dia hanya menganggapnya ucapan seorang sinting."
Risang menoleh lelaki tua bernama Ki Sarunggi ini.
Dilihatnya kepala lelaki itu mengangguk dalam. Samar-samar
bayangan kesedihan masih bergelayut di s inar matanya.
"Lalu apa yang terjadi. Masakah benar ada ular sanca dapat
memangsa anak lelaki?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perkataan nona benar seluruhnya. Selang seminggu
kemudian tiba-tiba anak lelaki Ki Sarunggi mendadak
menghilang. Di galengan sawah sebelah utara desa
diketemukan pakaiannya yang sudah koyak-koyak dalam
lumuran darah." Gadis berkain putih terpekik ngeri. Risang juga tak kurang
kagetnya. Terkesiap juga hatinya mendengar cerita yang luar
biasa ini. Tergagap anak muda ini menanggapi, "Eh..Maaf, tapi
bukankah bisa saja hal itu terjadi secara kebetulan?"
Si Kepala desa tersenyum tawar, "Pikiran seperti itu juga
masuk ke benak saya ketika Ki Sarunggi melaporkan hal ini.
Namun esok harinya ternyata datang kabar dari beberapa
desa tetangga tentang peristiwa serupa. Total jenderal ada
lima keluarga yang didatangi oleh Ki Motosiji dengan kabar
serupa dan dalam waktu seminggu kabar bencana itu menjadi
kenyataan, terkecuali ada satu keluarga yang karena mereka
hanya punya anak tunggal maka ketakukan mereka juga lebih
besar, maka mereka menuruti saran dari Ki Motosiji itu, dan
kenyatannya anak dari keluarga ini selamat hingga kini.
Makanya kami kemudian berkeyakinan bahwa apa yang
dikatakanKi Sarunggi itu bukan hanya omong kosong. Ia pasti
menguasai satu ilmu tersendiri yang sanggup menangkap hal-
hal seperti itu." Risang terdiam sambil menelan ludah. Perkara demikian
hakikatnya belum pernah dibayangkannya. Ia lebih berhadapan dengan selaksa anak panah dari pada harus
menyelesaikan persoalan seruwet ini. Namun apa daya , nasi
sudah jadi gaplek, mau mundur tidak bisa. Diam-diam ia
memaki ketololan sendiri.
Si gadis juga tampaknya kebingungan, bola matanya
berpuataran kesana-kemari. "Lalu kalian mau apa?" katanya
lebih mirip rintihan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si Kepala desa tersenyum pahit, "Kami tidak inginkan apa-
apa. Kami hanya berharap nona bisa menyelasaikan masalah
yang nona timbulkan sendiri, betapapun ini menyangkut
keselamatan ratusan orang."
Beberapa orang di kerumunan itu menggumamkan
persetujuannya. "Tapi ....aku..." bola mata mempesona itu mulai Nampak
berkaca-kaca. Betapapun ia masih seorang gadis muda. Hanya
karena pembawaan dan didikan sebagai ahli silat saja maka
nyalinya menjadi lain dari yang lain, namun berhadapan
dengan masalah yang tidak bisa diselesa ikan dengan hanya
mengandalkan ilmu silat ini mau tak mau hatinya bingung
juga. Kalau hati sudah bingung, menuruti watak asli sebagai
gadis cilik, tak urung air mata akan keluar.
Kasian juga Risang melihat lagak gadis itu yang seakan bisa
menangis setiap saat. Namun dirinya juga tak terpikir cara
tepat. Terhitung dirinya juga sudah masuk ke perkara ini,
bagaimana bisa mau menolong orang lain sedang diri sendiri
terlili duri. Sebenarnya bisa saja ia melompat lari keluar dari
kerumunan ini, kalau perlu mengajak serta si gadis. Seratus
persen pasti tidak akan ada orang yang sanggup
mengejarnya. Namun tindakan demikian hanya dilakukan oleh
pencoleng saja, apa pula nasib dan keselamatan ratusan
penduduk desa ini terancam bahaya. Benar ia berandalan, tapi
kalau ada orang sekarat dihadapannya mustahil ia akan
berpeluk tangan. Dalam suasana tegang itu mendadak terdengar nyaring,
"Kiai Sanca Samber Nyawa!!!, Kiai Sanca Samber Nyawa
datang..." Entah perkataan ini pertama kali diteriakkan oleh siapa,
yang jelas sekejap kemudian semua orang berteriak dengan
perkataan yang sama. Suasana menjadi gempar. Semuanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berteriak dengan wajah ketakutan. Semuanya sama menunjuk
satu arah. Tak sadar wajah Risang menegang. Segenap tenaga dalam
pun otomatis menyebar ke seluruh tubuhnya. Maklum kalau ini
benar adalah Kiai Sanca samber Nyawa, maka melihat caranya
tadi manarik membetot Ki Motosiji dan menghalangi setiap
serangan Gadis berkain putih hanya dengan suara "Dung"
yang agaknya berasal dari alat music, jelas kepandaian Kiai
satu ini sangat tinggi. Ketika melirik kesamping dilihatnya si gadis juga diam-diam
meraba gagang pedang tipisnya. Sepasang matanya menatap
tajam ke satu arah. Melihat wajah putih merona bermahkota gelap rambut
mayang yang terikat dengan kain sutra putih itu seketika
semangat Risang bertambah dua kali dari biasanya. Maklum
siapapun dia asal masih bernama dan bersifat lelaki pasti akan
tambah semangatnya kalau bertempur di samping sang gadis
pujaan. Perlahan kerumunan yang merapat dalam satu arah itu
terkuak, menyisakan satu celah setapak yang berujung pada
satu sosok. Penasaran juga Risang ingin melihat seperti apa bentuk Kiai
Sanca Samber Nyawa itu. Namun ketika matanya tertumbuk
pada sosok yang berjalan perlahan itu seketika ia berjingkrak
terkejut, hampir saja ia jatuh terguling. Beberapa kali dikejap-
kejapnya matanya, namun sosok itu tak berubah.
Bagaimana ia tak terkejut setengah mampus, karena sosok
yang sedang berjalan di tengah tatap ketakutan ratusan orang
itu adalah Arya, benar-benar seratus persen Arya Dipaloka
tulen. Saking tak percayanya, sungguh Risang ingin memites
pecah perut pemuda itu, mungkin saja di dalam perut itu
tersembunyi orang lain. Namun dipandang dari sudut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
manapun ia memang Arya. Wajahnya masih sepucat dan
setenang dulu, lagak-lagunya tetap acuh-tak acuh, tatapan
matanya pun masih tetap dingin beku, walau Risang tahu
dibalik tatap yang dingin itu tersembunyi bara api
persahabatan yang berkobar tak padam.
"Jadi ini yang namanya Kiai Sanca Samber Nyawa,
kelihatan masih cukup muda. Bagaimana menurutmu?"
gumam gadis berkain putih sambil melirik Risang.
Risang hanya menyengir bodoh. Sungguh ia tak tahu harus
menjawab apa. Tak terasa kembali tangannya menggaruk-
garuk kepala yang tak gatal.
"Kenapa" Apa kau takut?" omel gadis itu perlahan, "huh,
melihat lagaknya kuyakin ia hanya gentong nasi belaka."
"Kalau ia hanya gentong nasi, maka di dunia ini tidak akan
ada barang yang lebih berbahaya dari pada gentong nasi."
Gumam Risang letih. "Apa" Kau bicara apa?"
"Ah, tidak. Aku hanya ingin mengatakan meski orang ini
kelihatan muda namun agaknya kepandaiannya lumayan
juga." Sementara itu Arya telah sampai di depan mereka.
Sepasang matanya memandang dengan kereng, seakan ia
benar-benar Kiai Sanca Samber Nyawa yang naik pitam.
"Kalian berdua ini kutu busuk apa berani mengangguku?"
bahkan kata-katanya pun bernada dingin menggidikkan.
"Wah, kalau aku tidak kenal dirimu, mau aku percaya kau
benar-benar penjahat berdarah dingin." keluh Risang dalam
batin. "Dan kau ini kentut kambing apa berani menanyai kami?"
balas gadis berkain putih tak kalah sangar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya tertawa dingin, "Nona muda, pahit benar lidahmu, apa
kau kira punya nyawa rangkap Sembilan sehingga berani
kurang ajar dihadapanku?"
Sebelum gadis itu balas menyahut, terlebih dahulu Risang
bertanya dengan wajah tolol, "Apa kau ini benar Kiai Sanca
Samber Nyawa?" Arya hanya mendengus dingin tak menjawab. Malahan
gadis itu yang membentak sambil me lotot, "Kalau bukan dia,
memangnya adalah dirimu?" nadanya seakan didunia ini tak
ada orang yang lebih tolol dari Risang.
Sementara itu sekalian orang selain mereka berdua sama
menundukkan wajah dengan ekspresi ketakutan. Beberapa
ada yang mencuri pandang ke arah Arya. Tapi begitu
kesampok sinar wajah anak muda ini yang dingin beku
seketika menunduk dan tak berani melirik pula.
Setelah beberapa lama barulah si Kepala desa memberanikan diri bertanya dengan nada takut-takut,
"Ehm...saya adalah kepala desa disini, mohon Tanya, apakah
anda ini benar Kiai Sanca Samber Nyawa?"
Arya mengerling sekejap, "Apa terlebih dahulu harus
kubutikan padamu?" "Ah, tidak, mana kami punya nyali setinggi itu. Kalau Kiai
sudah datang malah membuat lega hati kami. Urusan ini,
seperti Kiai lihat sendiri, bukanlah kami yang membuat onar,
mohon Kiai bertindak seadil-adilnya." Jawab si Kepala desa
tergagap. "Aku ingin bertindak apa adalah keputusanku sendiri. Tidak
usah kau repot mengajariku." Sahut Arya ketus.
Si Kepala desa seketika merangkap tangan sambil
menunduk, diikuti oleh orang-orang di belakangnya.
"Kami siap menerima perintah." Katanya takzim.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan gaya agung-agungan Arya naik ke tingkat tangga
batu paling tinggi. Setelah mengedarkan pandangan ke
segenap arah, ia pun mulai membuka mulut dengan suara
tenang namun bisa didengar oleh semua orang di lapangan
itu. "Peristiwa ini memang benar bukan kesalahan kalian, dalam
hal ini tentu aku tidak akan menyusahkan orang yang tidak
bersalah. Tentang gadis anak peremuan Nyi Sumini itu kelak
akan kuurus sendiri, sementara ini sudah kuterima sesaji
kalian hati kambing segar dan kain sutra. Sekarang kalian
kembalilah ke rumah masing-masing. Tunggu berita dariku.
Dan jangan mempercayai siapapun yang berbicara atas
namaku. Karena aku tidak akan pernah mewakilkan urusanku
lagi kepada siapapun."
Serentak terdengar gumangan lega dari kerumunan orang.
Walau dalam hati masih belum percaya bahwa Kiai Sanca
Samber Nyawa bisa 'sebaik' ini, namun tidak seorangpun yang
berani bertanya. "Dan kalian berdua," Arya mengerling ke arah Risang
Ontosoro dan si gadis berkain putih, "masuklah ke dalam
lubang. Kita lihat hukuman apa yang menanti kalian."
Sebenarnya si gadis sudah mau unjuk protes, tapi keburu
tangannya di remas Risang sambil ia sendiri mendahului
berkata, "Kalau itu keinginan Kiai, tentu kami hanya akan
menurut saja" serentak ia pun melompat masuk lubang.
Karena tangannya masih memegang tangan si gadis, otomatis
si gadis berkain putih pun mau tak mau terseret ikut terjun ke
dalam lubang batu. Setelah sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekeliling
dan tidak mendapati adanya orang yang mencurigakan, Arya
pun ikut melompat ke dalam lubang.
Risang tidak tahu persis apa yang terjadi pada dirinya.
Hanya dirasakannya tubuhnya masuk ke dalam ruang gelap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang kosong. Sekian lamanya ia melayang diudara, belum
juga kakinya mendapat pijakan. Dalam pada itu daya jatuh
tubuhnya pun semakin deras, ia bahkan bisa mendengar angin
yang menderu di gendang telinganya. Ia tahu bahwa
Seandainya ia terjatuh dengan kecepatan seperti ini, sekalipun
tidak sekarat sedikitnya juga akan patah tulang.
Tapi sebelum ia menemukan cara yang terbaik, tiba-tiba
dirasakannya tubuhnya menumbuk semacam barang.
Lalu seperti mendadak tertahan oleh sebuah jaring yang
liat lemas, tubuhnya kembali terlontar ke atas, lalu kembali
meluncur ke bawah, beberapa kali seperti itu sampai ia benar-
benar bisa berpegangan kuat pada jaring. Sebenarnya ia pun
tidak pasti apa yang dipijaknya, karena keadaan yang gelap


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gulita sampai ujung hidung sendiripun tak kelihatan. Dalam
keadaan demikian ia hanya mengandalkan ketajaman
telinganya. Sejenak ia mencoba menentramkan diri dan mengatur
nafas. Agak lama kemudian lamat-lamat ia mendengar
gemuruh arus air di bawahnya. Seperti gelombang air laut
yang mendampar karang, bolak-balik. T api mustahil ia berada
di lautan, masakah dari lereng merapi langsung menembus ke
lautan. Kecuali kalau ia melewati pintu gaib.
"Pemuda usil, dimana kau?" suara merdu bernada gemas
ini mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian.
"Oh, nona apakah kau selamat?"
"Kau sendiri selamat, masakah aku tega untuk tidak
selamat?" omelnya, Risang bisa merasakan nada gelisah di
suara gadis ini, "ku ingin Tanya satu hal padamu."
"Apa nona ingin Tanya kita sekarang berada dimana" Wah,
Kalau saja aku tahu, tentu dari tadi sudah kukatakan pada
nona. Sayang aku sendiri tidak jelas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tidak ingin T anya kita sekarang berada dimana. Kalau
itu mah aku tahu kau tidak akan tahu. Aku hanya ingin Tanya
kenapa kau menarik tanganku tadi. Kalau kau ingin mati,
kenapa mengajak orang lain yang tidak bersangkut paut?"
"Eh...ini," merah juga wajah Risang, untung keadaan gelap
sehingga tidak kelihatan, "bukankah ini adalah perintah dari
Kiai Sanca Samber Nyawa?"
"Kalau memang perintahnya memangnya kenapa?" sambar
si gadis cepat, "aku malah ingin jajal-jajal kepandaiannya,
huh, kukira kau seorang lelaki dewasa tak tahunya hanya anak
kambing yang takut hujan."
"Wah, kalau aku ini anak kambing kan nona bisa celaka?"
"Kenapa aku bisa celaka?"
"Biasanya kambing suka kencing dan berak semaunya.
Padahal aku sekarang ingin kencing setengah mati, kalau aku
kambing bukankah kau akan kebagian bau pesing?"
Kaget juga gadis itu, maklum selama ini ia paling menyukai
kebersihan, hakikatnya memang tidak ada anak perempuan
yang suka hal kotor dan menjijikkan, "Kalau kau berani
kencing di celana aku akan....."
"Kau akan apa?" Risang balik berolok-olok, "paling-paling
yang kau bisa adalah menutup rapat hidungmu, itupun tidak
terlalu lama, jadi mau tidak mau kau memang harus
merasakan bau sedap ini."
"Kau..." Berpikir gadis itu pasti jengah, Risang mencoba
mengalihkan pembicaraan, "Sebenarnya tidak kau jajal pun
aku sudah tahu kalau kau memang bukan tandingannya?"
"Siapa" Oh...Kiai Sanca itu, " kedengaran dengusan
meremehkan, "Bagaimana kau tahu" Kau sendiri kan tidak
pernah bergebrak dengannya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang tidak menjawab, malah mengajukan pertanyaan,
"Apa kau pernah dengar nama Sengatan SatuTitik Satu
Nyawa?" Kali ini terdengar dengus kemarahan, "Siapa tidak kenal
dia" Gembong iblis paling kejam nomor satu. Bukankah dia
yang tahun lalu membasmi perkampungan Ular Merah tanpa
menyisakan satu makhluk bernyawa pun" Juga yang kabarnya
membunuh sepasukan Jatingaleh dan hanya meninggalkan
selusin kuda mati" Tapi kudengar orang ini sudah mampus
ditangan Raja Iblis Tinju Es. Ah, inilah hal benar, kalau sesama
iblis sudah saling membunuh, pekerjaan kaum putih akan
tambah ringan." "Wah, kabar berita di kalangan persilatan sungguh harus
dikagumi cepatnya," gumam Risang pelan.
"Kau bicara apa?"
"Ah, tidak. Aku hanya mengigau saja."
"Dasar anak kecil. Eh, kenapa kau tanyakan ibis itu?"
"Ehm...tidak apa-apa. Seperti katamu tadi, aku memang
baru terjun ke dunia persilatan, makanya belum tau banyak
hal-hal diluaran. Kutanyakan nama itu kepadamu karena
kudengar ia sangat terkenal."
"Huh, terkenal karena kekejiannya, siapa yang sudi?"
"Heh.." "Siapa heh, apa aku tidak punya nama?"
Risang tersenyum diam-diam, "Kalau begitu aku harus
memanggil apa kepada nona?"
"Kau sendiri, aku harus memanggil apa kepadamu, apa
kambing kecil?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dari tersenyum Risang menghela nafas, "Dasar perempuan
tidak pernah mau kalah..." batinnya, namun keluar juga
jawabannya. "Dipanggil kambing kecil pun tidak masalah. Cuma sejak
kecil ayah-bunda memberiku nama Risang Ontosoro, kalau
mendadak dirubah khawatir mereka akan gusar, kalau gusar
penyakit encoknya akan kumat lagi, itulah celaka bagiku."
"Yang sakit ayah ibumu, kenapa kau yang celaka?"
"Karena jadinya aku yang harus memberi makan sapi,
mengerjakan sawah, mencari kunyit tua, juga memijiti mereka
semalaman." Gadis itu seketika terkikik. Lalu seperti teringat sesuatu
tiba-tiba ia terdiam. Sejenak kesunyian membentang. Hanya gelap dan deru
arus air yang mengalun tak henti.
"Namaku Puspa Arini, lain kali kau jangan memanggil
sembarangan." Karena gelap, Risang tak dapat melihat ekspresi dari si
nona, namun mendengar suaranya yang berubah pelan dan
malu-malu, anak muda ini dapat membayangkan paras yang
putih itu menunduk. Sunyi yang gelap itu mendadak pecah oleh suara gemuruh
lain yang datang dari atas. Suara ini seperti gelora api yang
beranak pinak, ingin menelan apapun, ingin memusnahkan
apapun. Lalau dari atas sana tiba-tiba muncul sebuah bola api
yang semakin membesar sehingga sebesar anak kerbau.
"Apa itu?" bisik Puspa Arini ketakutan. Betapapun ia masih
seorang gadis cilik. Dan tidak ada seorang perempuan pun di
dunia ini yang tidak takut setan.
"Aku tidak tahu, mungkin setan neraka."
Terdengar Puspa Arini menjerit kecil.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kobaran api itu perlahan melayang turun. Dari suara
gemerataknya memang kelihatan sangat mengerikan sekali.
Api itu berhenti sekitar tujuh tombak di atas mereka, sehingga
keadaan sekeliling Risang berubah samar-samar. Sekarang
dapat dilihatnya Puspa Arini yang meringkuk tak jauh dari
dirinya dengan wajah pucat ketakutan, juga jaring lemas yang
menahan mereka. Jaring ini aneh juga, warnanya putih
kebiruan seperti terpilin dari kulit entah apa, bertebar seperti
sarang laba-laba yang membentang dalam lubang batu
dengan garis tengah tiga tombak.
Lebih jauh lagi Risang bisa melihat arus air yang bergerojok
di bawahnya, berjarak sekitar lima tombak dari bentangan
jaring. Lamat-lamat Risang dapat menyaksikan uap hangat
yang mengepul membawa bau belerang. Aliran air ini lumayan
besar, juga sangat keras, ditambah kelokannya yang
menembus perut bumi dan bebatuan, seandaianya ada orang
jatuh kedalamnya maka kesempatan untuk selamat mungkin
tidak ada sepuluh persen.
Tak terasa meremang juga bulu kuduk Risang. Berbagai
pengalaman seram pernah dilaluinya, tapi yang sengeri ini
memang baru pertama kali. Terjatuh dalam jaring misterius,
lalu didatangi api setan yang entah bagaimana bisa terbang
melayang-layang begitu. Setelah celingukan kesana-kemari, selain menambah rasa
seram ia juga merasa heran. Hal ini karena ia tidak
menemukan Arya. Juga beberapa puluh orang yang membawa
sesajen itu. Ia tahu persis Arya juga melompat ke lubang batu
bersamanya. Apa mungkin pemuda itu terjatuh dalam tempat
yang tak sama" Tapi orang terjatuh toh selamanya tegak
lurus, tidak pernah pakai belok, jadi seharusnya ia juga
mendarat di jaring itu. Tapi kenyatannya Arya tidak ada
disana, hanya dia dan Puspa Arini. Lalu kemanakah pemuda
itu" Mungkinkan dia dimakan setan" Atau jangan-jangan Arya
menguasai ilmu terbang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak Risang merasakan tangannya ada yang
memegang. Ketika ia berpaling dilihatnya Puspa Arini dengan
wajah pucat ketakutan dan mata bendul merah memegang
tangannya dengan kencang sambil sepasang mata membelalak menatap api setan.
~Dewi-KZ~ Bab XXI. Sumur Api, Syair Angin
Di tengah suasana mencekam itu mendadak terdengar
sayup-sayup suara seruling yang aneh. Risang mencoba
menajamkan pendengarannya, tapi arah dari mana datangnya
suara itu tetap tak dapat di tentukannya, seakan ia menggema
dari setiap sudut. Lalu, bagaikan rintihan lirih seekor harimau
yang tertindih gunung, terdengar suara orang bersajak,
dengan nada yang memencarkan pilu dan duka.
Ing wekasaning rina Jelmane urip laku tan kinira
Suwung anane Suwung rasane (Di penghujung hari Hidup adalah sebuah laku yang tak terpikir
Hanya ada kosong Yang terasa hanya kosong)
Di dalam lubang batu yang entah terbuat dan dibuat oleh
siapa, terjaring dengan ikat lemas yang entah apa, diatas air
panas yang menggerojok tak henti, dan dibawah api setan
yang melayang entah bagaimana, tiba-tiba terdengar suara
sajak seperti itu ditengah alunan seruling yang seakan tak
berasal, dengan sendirinya menimbulkan kesan tersendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan Risang yang biasanya tak acuh dengan segala hal
yang berbau tulis menulis pun tiba-tiba merasakan getar yang
tiba-tiba menyulut ujung perasaaannya. Ia bisa menangkap
nada duka dan pilu yang penuh penyesalan dari sajak itu,
bahwa ketika kaki langit perlahan memakan ujung senja dan
matahari bagaikan bola tua yang pulang kandang, pelan-
pelan, dimana usia manusia tinggal seujung kembang jagung,
seseorang barulah akan menemukan bahwa hidup yang
dijalaninya ternyata sederet perbuatan yang tak pernah dia
pikirkan sebab, akibat, maupun pertanggung jawabannya.
Kita makan hanya karena kita ingin makan, bukan karena
kita membutuhkan makanan, kita berjalan hanya karena ingin
melemaskan otot kaki, tanpa pernah berfikir akan kemanakah
perjalanan kita berakhir.
Dalam keadaan seperti itu, apalagi yang dapat kita
temukan selain kekosongan, rasa hampa dan penyesalan.
Adakah lain tempat selain ketakutan terhadap pertanggung
jawaban yang pasti akan dituntut, karena helaan nafas dan
detak jantung ternyata tak gratis" Adakah lagi kekuatan yang
dibanggakan saat jenggot memutih seperti susu yang tertikam
dan tulang berderak-derak rapuh" Dimanakah kesombongan
dan hasil keserakahan tak putus di waktu jaya"
Dengan gema yang berulang-ulang terpantul kian kemari,
alunan tembang itu semakin menambah misterius perasaan.
Seperti juga ia berasal dari balik dinding neraka. Apakah
mungkin sang Iblis sendiri yang sedang mendesahkan
sesalnya" Ataukah keluh sayat malaikat yang melihat manusia
bergotong royong menghancurkan dirinya sendiri, dengan
cepat" Mendadak, dengan gelegar yang seakan meremukkan isi
dada, api setan itu meledak hebat. Bagaikan dinding neraka
yang jebol, hawa panas seketika menghampar dan lidah api
yang bergulung-gulung bagai gelombang badai menghempas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti ingin menggulung kehidupan yang tersisa, bak rasa
serakah manusia yang tak meninggalkan secuil s isa.
Kalau ada saatnya seseorang dekat rapat dengan kematian,
maka saat ini Risang sedang merasakannya. Benar-benar
dirinya saat itu sudah tak punya lagi ce lah untuk hidup. Jaring
yang menjeratnya justru menjadi titik mati yang tak
memungkinkannya lolos dari tangan maut.
Banyak orang berkata bahwa ketika akan mati, seseorang
akan mendadak menjadi lebih arif, terpikir banyak hal yang
tak pernah terdetik semasa hidup. Hal ini mungkin karena
maut memutuskan semua ikatan yang menjerat sekeliling
manusia. Juga membuka tabir-tabir antara kita dengan
berbagai orang, berbagai hal.
Namun pada saat itu yang ada di kepala Risang hanya
kosong yang damai. Apapun tak dipikirkannya, dalam
kepalanya seolah hanya ada gelap yang menghanyutkan,
semacam lubang hitam yang menyedot hati untuk tak resah
oleh apa saja. Sepasang matanya membelalak menatap kobaran api yang
sedetik lagi akan menamatkan riwayatnya. Bahwa di
sampingnya ada Puspa Arini mungkin juga menimbulkan
pengaruh yang menentramkan sehingga sebaliknya dari
gelisah dan ketakutan, ia malah merasa plong dan lega.
Terasa oleh Risang tangan yang mungil putih itu
menggenggam telapak tangannya erat-erat. Agak bergetar,
namun lebih terasa hangat.
Secepat-cepatnya lari kuda, ia masih kalah cepat dengan
sapuan angin. Tapi sepesat-pesatnya angin badai, ia masih
lebih lambat dari pada kilatan cahaya. Namun betapapun
cepat laju sinar sang surya, tetap terlebih cepat lagi adalah
pikiran manusia. Walaupun api setan itu me ledak dahsyat, namun kilatan
dalam pikiran Risang terlebih cepat lagi. Saat itu segala-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

galanya terasa kosong bagi pemuda itu, secara tak sengaja
matanya menumbuk gagang pedang di pinggang Puspa Arini.
Tadi ia telah mencoba kekuatan dari jaring lemas ini, melihat
sifatnya yang ulet kuat kelihatannya terbuat dari campuran
urat kerbau, sarang laba-laba dan baja lunak, Risang yakin
sekalipun pedang baja tempaan ratusan kali juga jangan
harap bisa memotongnya. Ujung jaring itu diikatkan pada bebatuan yang menonjol di
tiap sisi lubang. Walaupun jaringnya kuat, namun batu yang
jadi pengikatnya boleh jadi Cuma batu biasa.
Pikiran itu dating cepat bagai fajar merekah, tak terduga,
juga bukan hasil dari perenungan yang panjang. Hanya karena
kemauannya untuk hidup dan ketenangannya dalam
menghadapi kematian, dua hal yang seharusnya bertolak
belakang, tapi malah menjadi pemicu dan penggosok terhadap
lelatu yang memercik dari balik kekosongan.
Secepat kelebat pikirannya, bagaikan kilat Risang me lolos
pedang di pinggang Puspa Arini, lalu sambil tangan kiri
memeluk pinggang gadis itu, dengan tubuh memutar
setengah lingkaran, sekuat tenaga disabetkannya pedang tipis
lemas itu ke bebatuan samping dengan kekuatan tenaga
dalam penuh. Seketika kembang api memercik berhamburan bersamaan
dengan bunyi 'trang' nyaring. Batu itu rompal terpapas
pedang. Dengan sendirinya ikatan jaring juga terlepas. Lalu
mendadak tubuh kedua muda-mudi itu terjatuh ke bawah.
Daya jatuh Risang dan Puspa Arini ini sekalipun cepat
namun betapapun sedetik lebih lambat dari jilatan api. Maka
tanpa pikir, sambil berjatuh Risang gulingkan badannya ke
atas, menutupi tubuh Puspa Arini, bersamaann dengan
gerakannya anak muda berandalan ini merasakan punggungnya seperti tersentuh tangan raja Neraka, panasnya
tidak kepalang. Untung detik itu juga tubuhnya tercebut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masuk kedalam sungai bawah tanah, kalau tidak mungkin
tulang-belulangnya ikut gosong.
Lalu segala-galanya menjadi gelap, ia sepeti terbang tinggi
di udara hampa. Tak ada ujung, tak ada pangkal.
Risang merasakan tubuhnya seenteng kapuk. Seperti juga
ia lagi berjemur di atas ranjang awan, begitu tinggi, begitu
nyaman. Lalu mendadak saja seperti ada kekuatan maha kuat
yang membetot paksa tubuhnya kebawah, lalu dengan rasa
sakit yang seakan meluluhkan setiap inci perasaannya ia
seperti terbanting keras ke muka bumi.
Dengan punggung seolah membara, Risang ingin menjerit
sekuatnya. Seumur hidup belum pernah dirasakannya rasa
sakit separah ini. Namun yang keluar dari bibirnya hanya
erangan kecil. Perlahan kesadarannya mulai berkumpul di kepala.
Ditengah hawa panas yang seolah membakar hangus isi dada,
samar-samar dilihatnya seraut wajah indah dengan sepasang
bola mata bening berlapis kaca. Tampak air bening menetes
lembut dari bola mata yang sejernih air telaga itu.
"Bagaimana keadaanmu?" suara lembut penuh perasaan
yang keluar dari mulut mungil berpipi pucat itu seolah air
dingin yang mengguyur kepala Risang dan mengembalikan
sisa kesadarannya dan sedikit kekuatannya. Satu-persatu
diingatnya apa yang telah terjadi. Ketika ia mencoba memutar
bola matanya sedikit, terlihatlah awan putih yang melayang
bergulung-gulung menutupi langit biru, juga dinding batu
berwarna kelabu berlumut.
Pandangan mata Risang kembali ke wajah Puspa Arini.
Sekarang terlebih jelas bisa dilihatnya wajah yang cantik
manis itu tampak pucat, butiran air mata masih mengembang
di ujung bola berbulu lentik itu. Matanya terlihat merah seperti
habis menangis. Dalam keadaan seperti itu wajah itu tampak
terlebih bercahaya dan penuh daya tarik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang ingin memaksakan sedikit senyum di bibirnya yang
terasa kering panas, namun yang muncul malah seringai
kesakitan. Bahkan untuk menggerakkan bibir saja, ternyata
seberat ini. "Kau jangan buru-buru bergerak dulu. Istirahat saja yang
cukup. Sungguh kukira aku tak akan sempat bicara lagi
denganmu...." Kata Puspa Arini halus, kalimatnya belum
berakhir ketika air mata kembali menggenang di sudut
matanya. Tampak ujung rambut yang kini dibiarkan terurai itu
masih tampak basah. Melihat rasa khawatir yang tampak jelas dari raut muka
Puspa Arini, Risang merasakan kepalanya sedikit mabuk.
Meskipun saat ini tubuhnya seolah kehilangan seluruh tenaga
dan kendali syarafnya, namun bisa mendapatkan perhatian
dan rasa khawatir setulus hati dari seorang gadis yang
dipujanya, betapapun ia masih jauh beruntung. Sepenuh
perasaaan ia mencoba mengirimkan sekulum senyum lewat
tatapan matanya, seolah berkata lembut untuk jangan
khawatir. Puspa Arini agaknya dapat menangkap isyarat Risang itu.
Sambil membalas dengan sebaris senyum yang terlihat sangat
manis dan suci, gadis berpakaian putih itu beberapa kali
menganggukkan kepalanya. Mendadak Risang merasakan hawa panas kembali
mengembang dalam dadanya. Seperti ada seekor naga api
yang mengamuk menerjang segenap isi dada, bahkan hawa
panas itu terus menggila menyebar ke seluruh tubuh. Segenap
tetes darahnya seolah mendidih. Tulang belulangnya bagai
dimasukkan dalam kawah gunung api.
Derita dan rasa sakitnya jangan dikata lagi. Untung
sungguh ia belum bisa bergerak. Kalau tidak mungkin ia sudah
menumbukkan kepalanya ke dinding batu. Saat itu hanya
sepasang matanya yang tiba-tiba berubah semerah saga,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kerut-kerut kesakitan tampak jelas dari tarikan muka dan
pandangan matanya. Puspa Arini jelas bingung dengan perubahan mendadak ini.
"Kau...kau kenapa lagi?" tanyanya tergagap penuh rasa
khawatir. Risang tentu tak bisa menjawab, hakikatnya ia juga tak bisa
mendengar. Saat ini gendang telinganya seperti beduk yang
ditabuh bertalu-talu, berdengung mengoyak isi kepala seolah
sebentar lagi ia akan jadi orang gila.
Seandainya ia mendengar pertanyaan Puspa Arini itu, ia
pun tidak akan bisa menjawab. Ia sendiri tidak tahu kenapa
mendadak tubuhnya berubah seperti ini. Seingatnya hanya
punggungnya yang saat itu terjilat api, namun itu pun tidak
lama, seharusnya hanya menyisakan luka bakar di kulit. Tapi
ini seperti seluruh isi tubuhnya terbakar, bahkan rasa
panasnya terus bertambah dari detik perdetik. Sungguh ia
tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya.
Karena serangan hawa panas itu, secara alamiah yang
terbetik dalam pikiran Risang adalah air. Saking kuatnya
desakan itu agaknya membangkitkan sekerat kekuatannya.
Perlahan dan tanpa suara, bibirnya bergerak mengeja kata
'Air' Puspa Arini yang memperhatikan sekecil apapun gerakan
pemuda itu langsung menangkap isyarat bibir Risang.
Setengah melompat ia segera berlari kesana, dan tak lama
kemudian kedua telapak tangannya sudah menangkup dua
lembar daun lebar berawarna hijau cerah yang menampung
genangan air segar. Didekatkannya daun itu ke bibir Risang, lalu setelah melihat
bibir yang kelihatan putih memucat itu membuka sedikit,
sedikit demi sedikit dikucurkannya air dalam daun itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang berharap air itu akan meredakan gejolak hawa
panas di tubuhnya. Namun aneh sungguh. Begitu tetesan air
masuk ke tenggorokannya dan meluncur turun ke isi perut,
bukan kesegaran yang dirasakan tapi malah derita yang lebih
besar. Seolah hawa panas dalam tubuhnya melakukan perlawanan. Ia mengamuk semakin hebat. Seluruh tubuh
Risang saat ini sudah menggigil hebat di tengah hawa panas
yang bahkan sudah menembus pori-pori tubuhnya dan
menciptakan semacam uap panas yang tak kasat mata.
Puspa Arini tentu tambah panik melihat bukannya keadaan
Risang membaik, tapi malah tambah sekarat. Kedua bola
matanya melotot merah seperti ingin keluar, seluruh kulit
ditubuhnya mengencang panas. Biji tenggorokan pemuda itu
bergetar naik turun namun tak satu huruf pun yang keluar.
Puspa Arini mencoba memercikkan air segar ke wajah
Risang, berharap itu akan meredakan sedikit rasa sakitnya.
Tapi begitu air menyentuh kulit, dengan suara 'cess' kecil,
tetes air seketika menghilang, meninggalkan uap putih yang
langsung mengepul. Seperti juga kulit wajah itu adalah wajan
besi yang terpanggang api.
Saking kaget dan paniknya Puspa Arini sampai terpekik
kecil. Kebingungan dan rasa panic yang luar biasa membuat
keringat dinginnya menetes membasahi dahi yang putih halus.
Bola matanya bergerak-gerak resah.
Tak tahu apa yang harus dilakukannya Puspa Arini akhirnya
hanya memegang tangan kanan Risang erat dengan kedua
belah tangannya. Telapak tangan pemuda itu terasa panas
membara. Namun Puspa Arini tak peduli, sekalipun tangannya
akan terbakar hangus, tak akan dilepaskannya tangan Risang.
Sejak bertemu, yang dilakukannya hanya memaki pemuda
ini, mengolok-oloknya dan bersikap seolah dirinya lebih pintar
dari Risang. Pertama kali ia memang menganggap Risang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hanya mencoba menarik perhatiannya saja, tak berbeda
dengan anak muda lain yang terpesona oleh kecantikannya.
Tapi kemudian pemuda tanggung ini, dengan menggunakan tubuhnya sendiri menyelamatkannya dari
kobaran api. Perbuatan yang tak akan bisa dilakukan kecuali
oleh seorang berhati tulus. Karena kecuali orang yang hatinya
bersih dari tipu daya, siapa manusianya yang sanggup
berhadapan secara jantan dengan maut".
Pengorbanan ini, meskipun hanya satu kali dan ia pun
belum terlalu mengenal pemuda ini, namun sudah cukup bagi
seorang gadis seperti dirinya.
Seluruh perhatian dan ketulusan hatinya coba disalurkannya pada genggaman tangan ini.
Sekuat apapun daya tahan seorang manusia, ia pun tetap
terbatas. Pelan-pelan Risang merasakan matanya gelap. Lalu
kembali samar tersadar, lalu gelap lagi. Ia seperti terapung-
apung di permukaan air, lalu seperti digotong orang, lalu
entah apa lagi. ~Dewi-KZ~ Dimanakah Arya" Bukankah sewaktu terjun tadi ia juga
bersama Risang dan Puspa Arini" Toh mustahil daya jatuh
seseorang dapat belok segala.
Memang benar bahwa daya jatuh tak dapat belok, tapi toh
dapat dibelokkan. Betapapun Arya memang lebih matang satu
tingkat dari pada Risang. Gemblengan lahir batin yang
dilakoninya juga lebih hebat dan mendalam. Kalau Risang
masih mempunyai orang tua yang membimbingnya, maka
Arya hanya mempunyai dirinya sendiri. Mati-matian ia pernah
bergulat dengan sekawanan anjing hutan, mengadu tulang
dengan babi hutan. Orang yang menjalani tujuh tahun kehidupan dalam hutan
yang liar, ditengah ma lam yang menyimpan kematian, di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selokan kota tempat buang sampah, dengan sendirinya akan
terbentuk sebagai golok besi yang kuat kokoh. Kalau tidak
begitu, bagaimana ia bisa merubah kekurangan di jari-jari
kananya, yang hanya tersisa dua buah, menjadi semacam
kekuatan yang mendirikan bulu roma"
Arya tahu amat sulit berdamai secara begitu saja dengan
penduduk desa. Kalau masalahnya dengan kepala desa
mungkin masih bisa diselesa ikan, tapi seseorang yang amat
pintar dan bijaksana bisa menjadi tak tahu aturan dan suka
menang sendiri jika berkumpul dengan banyak orang dan
merasa pasti menang. Dari pengalamannya Arya tahu mudah sekali mengeprak
seekor anjing buduk, atau bahkan membunuhnya, tapi lain
masalahnya jika kau berhadapan dengan sekawanan anjing
liar. Jumlah selalu memberikan kekuatan tambahan, sekaligus
mengurangi kebijaksanaan.
Maka untuk meredakan nyala api, harus digunakan api
yang lebih besar. Penduduk desa paling takut dengan Kiai Sanca Samber
Nyawa, maka jalan paling baik untuk meredam kemarahan
mereka adalah dengan membangkitkan katakutan mereka.
Dan ternyata berhasil. Tak seorangpun yang protes.
Arya bukannya tak berpikir bahwa tindakannya itu akan
membuka persoalan baru yang lebih parah. Namun ia hanya
berpikir bahwa menghadapi Kiai Sanber Nyawa mungkin jauh
lebih mudah dari pada penduduk yang tak berdosa itu.
Setidaknya ia tidak akan merasa serba salah kalau terpaksa
harus menggunakan kekerasan.
Karena pertimbangan inilah ia menerjunkan diri ke dalam


Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang. Dan meski tak dapat mengira jebakan macam apa
yang akan menunggunya, tapi Arya jelas bisa memperkirakan
bahwa ia tidak akan disambut dengan sangat ramah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka begitu tubuhnya anjlok, ia segera melepas baju
atasnya dan dengan menggunakannya sebagai semacam
parasut, dibantu dengan gerak tenaga dalamnya yang
sempurna, ia membuat tubuhnya bisa hinggap di dinding
sumur, jauh sebelum Risang terjatuh ke jaring api, dan karena
ini pula yang menyebabkan ia tak mendengar jerit ngeri dari
sahabatnya itu. Sambil meraba-raba dinding, perlahan Arya mencatat
dalam ingatannya setiap perhitungan yang mungkin terhadap
apa yang terjadi. Kalau sekawanan orang itu bisa masuk ke lubang ini, dan
tentu mereka tidak jatuh terlalu dalam mengingat jumlah dan
apa yang mereka bawa, maka pasti ada semacam jalan
rahasia di depat bibir sumur.
Perkiraannya bahwa jalan rahasia ini mungkin sudah
dicopot ketika lelaki bermata satu itu jatuh. Meski begitu
bekasnya mesti masih ada.
Merayap bagai cecak, akhirnya ia sampai di jarak dua meter
dari bibir sumur. Tiba-tiba sebuah lapisan semacam logam
tergesek tangannya. Menempel pada dinding sumur, logam besi itu membentuk
garis setengah lingkaran. Diatas pelat besi ternyata benar ada
lobang setinggi satu meter. Arya tersenyum sendiri, bahkan ia
sendiri pun harus mengakui kalau ia tidak terlalu bodoh.
Dengan mengerahkan seluruh ketenangan dan ilmu ringan
tibuhnya, Arya masuk ke lubang gelap itu. Seluruh bulu di
tubuhnya berdiri tegak seiring kewaspadaan yang meningkat
dari detik ke detik. Arya tahu bahwa lobang gelap ini layaknya sebuah mulut
macan yang menunggu mangsa. Apapun yang ada
didalamnya, yang pasti itu berarti ancaman maut bagi
pendatang yang tak diundang. Memasuki lobang ini seperti
juga menyerahkan diri mentah-mentah di mulut macan lapar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setiap langkah ke depan adalah perpendakan jarak dari
kematian, entah dengan sebab apa. Maka Arya pun tak
tanggung-tanggung untuk menyiapkan seluruh pertahanan
dan kekuatan yang ia punyai. Dua jari tangn kanannya keras
siaga, siap me lancarkan serangan satu titik yang mengerikan
itu. sekalipun itu berarti ia harus menyerang orang yang
belum pernah di kenalnya.
Semakin dalam, udara dalam lorong tanah gelap gulita itu
semakin pengap. Bahkan Arya mulai merasakan bahwa paru-
parunya harus bekerja semakin keras.
~Dewi-KZ~ Bab XXII Perjamuan Orang Mati
Lubang itu berbentuk seperti mulut ular, dengan bagian
mulut kelihatan agak sempit, tapi semakin me luas seiring
panjangnya yang entah berujung apa, mungkin sekali
kematian, setidaknya itu hal paling buruk yang harus
dipikirkan Arya. Setelah me lewati jarak tiga meter, Arya mendapati tinggi
lubang itu sudah me lebihi tinggi tubuhnya dan sekarang ia
bisa mengambil sikap pertahanan yang paling leluasa, namun
ia pun tak pernah lupa, kesempatan yang terlalu besar selalu
berbanding sama dengan tingkat kegagalannya.
Sekarang ia berjalan dengan berjinjit, memperkecil ruang
gesek telapak kakinya pada tanah, untuk meminimalisir
kemungkinan suara gesekan yang akan timbul, sekaligus
menyiapkan diri untuk menggerakkan otot paha secara
maksimal. Semakin ke dalam, gelap semakin meraja, saat ini Arya
bahkan tidak bisa melihat jari tangannya sendiri, meski dalam
satu hal kegelapan ini menguntungkannya. Kewaspadaannya
semakin tinggi ketika mata tak lagi dapat berfungsi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagaimana mestinya dan instingnya untuk bertahan pun
akan melibatkan seluruh anggota tubuh yang mungkin, yang
terkecil sekalipun. Saat ini Arya bahkan bisa merasaskan bulu-
bulu di tengkuknya berdiri tegang.
Mendadak perasaannya menangkap sesuatu yang mengancam. Tidak ada suara, tidak ada bau yang
mencurigakan, tapi instingnya tiba-tiba bergetar, seperti
seekor banteng yang diintai srigala.
Tanpa sadar Arya berhenti melangkah. Ada yang
dilewatkannya, ia belum tahu apa itu, tapi perasaannya
mengatakan ada yang salah. Arya memutar seluruh
kecerdasan dan pengalamannya bertahun-tahun sementara itu
tubuhnya diam bagai patung dengan tingkat sensitifitas bagai
singa gunung terluka. Dorongan otaknya mengatakan ia boleh kembali melangkah
ke depan, tapi instingnya sebagai si Sengatan Satu Titik
menahan saraf motoriknya untuk bergerak. Dan untuk kondisi
seperti ini Arya lebih memilih untuk mengandalkan insting itu,
semacam kepekaan yang terbentuk dari ratusan pertarungan
dan macam-macam keadaan yang dikatakan sebagian orang
sebagai 'Perjalanan di perbatasaan hidup-mati'.
Lalu seperti setitik lelatu api yang tiba-tiba terpercik,
mendadak otaknya menangkap hal yang berbeda di telapak
kakinya. Tanah yang menempel di telapak kaki kanannya -
sebelah depan- berbeda tekstur dengan tanah yang dipijak
telapak kaki kirinya. Perbedaan itu sangat halus dan hampir
mustahil terasa pada keadaan biasa, tapi tidak dalam kondisi
seperti ini. Berbagai kemungkinan segera berkelebat di kepala Arya
dan yang paling mungkin, Lubang Jebakan.
Memasang lubang jebakan di tempat yang nihil cahaya, ide
jenius, tapi hanya efektif untuk menangkap macan, bukan si
Sengatan Satu Titik Satu Nyawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Langit-langit lubang itu meski sudah agak tinggi tapi tidak
cukup tinggi untuk diraih oleh sepasang tangan Arya tanpa
melompat, dan dengan gerak sehalus mungkin Arya
menancapkan jari-jari tangannaya pada langit-langit gua, dan
dengan terlebih halus lagi melepaskan kaki kanannya dari
tekstur tanah yang berbeda itu.
Tidak ada suara yang timbul.
Dalam hitungan detik yang ritmis
Arya kembali menggerakkan kaki tangannya, merayap seperti cecak, maju,
menyusuri langit-langit gua yang benjol di sana-sini, yang
disyukuri Arya. Dalam jarak satu meter dari tanah yang diperkirakannya
sebagai pinggir lubang jebakan, Arya meremas tanah di
telapak kirinya, membuatnya menjadi bola lempar, dan
dengan jentikan jari tengah mengarahkannya ke bawah.
Gumpalan tanah itu boleh saja hanya sebesar genggaman
telapak tangan, tapi tenaga yang mendorongnya kira-kira
sama dengna pukulan enam puluh kilo, seberat tubuh
manusia. Tidak ada setengah detik sebelum terdengar gubrakan
tanah longsor, seperti tiba-tiba seseorang amblas di telan
lubang tak terduga, dan berbarengan juga terdengar suara
desisan angin yang terbelah senjata tajam.
Tiga puluhan anak panah, Arya menghitung dalam hati.
Dan mungkin dua puluh baris tombak yang berbaris berdiri di
dasar jebakan, keji amat.
Dalam detik itu juga Arya menyadari bahwa lawan di depan
tak menghendaki macan dalam kerangkeng, ia ingin kulit
macan. Kulit macan hanya bisa dibeset dari macan yang sudah
mati. Maka setiap jebakan menyembunyikan jebakan lain yang
lebih mematikan. Sekali terjatuh, tidak ada ruang lolos.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan memejamkan mata sejenak Arya meresapi
pengalaman ini sebagai pelajaran yang tak ternilai. Ia sadar ia
baru saja mengunjungi pintu akherat dan entah ada berapa
pintu lagi yang menunggu di depan, menunggu untuk
membetot satu-satunya nyawanya.
Dan bukan si Sengatan Satu Titik kalau hanya pandai
berhitung. Berbareng suara desisan senjata, Arya menggenjot
tubuhnya ke depan, langsung ke titik dimana ia memperkirakan asal panah-panah itu dilepas.
Suara gerakan tubuhnya teredam oleh suara berdesingnya
anak panah dan longsoran tanah, salah satu tujuan Arya
dengan menyambitkan tanah itu.
Bahkan dalam bendungan yang paling ketat sekalipun
selalu ada celah, seberapa sempitnya, namun mesti ada,
karena itulah meski manusia mampu membendung sungai tapi
tidak pernah bisa membendung air. Air selalu bisa mencari
celah, yang celakanya, selalu ada.
Arya tidak tahu berapa rantai jebakan lagi yang
menunggunya di depan, tapi ia tahu satu hal, satu jebakan
bisa dikendalikan dengan pengatur waktu, tanpa harus
dikontrol oleh tangan manusia, tapi tidak dengan jebakan
berantai. Justru karena sistem geraknya yang serba rumit,
jebakan berantai harus dikendalikan oleh manusia, tidak bisa
hanya mengandalkan pengatur waktu.
Saat ketika terdengar longsoran tanah itu, orang yang
mengendalikan jebakan berantai, sekaligus melepas pegas di
panah berantai itu pasti mengira bahwa buruannya sudah
terpanggang. Sedetik lagi baru ia akan menyadari bahwa ia
hanya menangkap udara, namun selang waktu yang sedetik
itulah yang digunakan oleh Arya, satu detik yang menentukan
segalanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam satu detik itu Arya mempertaruhkan seluruh
kepandaiannya. Memang tidak jarang perubahan luar biasa dan peristiwa
monumental di dunia ini justru ditentukan oleh satu detik
seperti ini. Barang siapa yang bisa mengenali momen seperti
ini dan bisa menggunakannya dengan efektif, orang
demikianlah baru bisa disebut orang pintar. Dan jelas Arya
tidak termasuk manusia goblok. Ia justru jauh lebih pintar dari
orang lain. Pegas panah berantai itu kosong, tidak ada siapa pun
disitu. Inipun sudah diduga oleh Arya, siapapun yang
mengendalikan jebakan berantai ini pasti berada di belakang
jebakan yang paling akhir. Arya hanya bermaksud menjadikan
pegas itu sebagai tumpuan untuk loncatan berikutnya. Arya
menggunakan alat pegas itu sebagai tumpuan loncatan hanya
karena berfikir bahwa pegas itu tentu jauh lebih aman sebagai
tumpuan dari pada lantai gua.
Tubuh Arya melesat bagai meteor tanpa cahaya, betapa
cepat sampai ia sendiri merasa agak bangga dengan ilmu
ringan badannya. Kenyataannya, dalam dunia mungkin
beberapa orang saja yang sanggup menandingi ilmu ringan
tubuhnya. Tapi lesatan pikirannya bahkan ribuan kali lebih
cepat dari gerak tubuhnya. Sambil melayang ia pun
menghitung, seakan juga mendengarkan pikiran si pengendali
pesawat rahasia berantai ini.
Orang itu sedang mendengarkan, dan setengah detik lagi ia
akan menyadari bahwa buruannya lolos, lalu ia akan
mengaktifkan jebakan berikutnya.
Orang itu tentu tidak berbuat kesalahan karena memang
begitulah yang seharusnya ia lakukan, ia hanya kurang
beruntung, karena saat ini ia berhadapan dengan Sengatan
Satu T itik Satu Nyawa. Ia lebih tidak beruntung lagi karena ia
agak meremehkan lawannya. Siapapun yang meremehkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lawan ia telah kehilangan lima puluh persen kesempatan
untuk menang. Ia baru saja menyadari ketidak beruntungannya ketika
sebuah tenaga halus tapi tajam seperti menembus jalan darah
di leher kanannya, tepat di saluran nafas. Tenaga itu mirip
benar dengan angin pegunungan yang bertiup dingin. Tapi
orang ini lupa, bahwa ada kalanya angin gunung bisa sangat
mematikan. Ia tidak sempat merasakan sakit, ia hanya merasa
mendadak seluruh tenaganya hilang lenyap, sepersekian detik
kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi. Sengatan Satu T itik Satu
Nyawa. Dalam gelap Arya mengawasi lawannya yang rubuh seperti
daun layu luruh. Ia tidak melihat orang itu, ia juga tidak bisa
melihat eskpresi wajahnya, tapi ia tahu serangannya tidak
gagal. Jarang sekali serangannya pernah gagal.
Masih tidak ada cahaya. Cermat dan dengan kecekatan yang bisa membuat
siapapun iri, Arya memeriksa tubuh lawannya dan segera
menemukan apa yang dicarinya. Semacam peta untuk orang
buta. Disembunyikan di gulungan rambut.
Dengan rabaan tangannya sejenak Arya mempelajari peta
itu, melekatkannya dalam otaknya dan segera mencari celah
yang bisa ia masuki, celah yang tidak terpikirkan oleh si
pembuat peta, seperti air mencari celah di bendungan.
Sambil tersenyum aneh Arya segera melayang lagi, ringan,
nyaris tanpa suara, tapi menyimpan potensi untuk
menghancurkan siapapun yang menghadang, seperti angin
musim gugur. Gua buatan itu ternyata berliku-liku dan dibentuk seperti
labirin. Orang yang tersesat disitu jangan harap bisa keluar
dengan kepala sehat, itupun kalau tidak mampus oleh belasan
jebakan mematikan yang tak punya perasaan. Tapi dengan
mempelajari peta Arya bisa memperkirakan letak jebakan juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belokan yang benar. Penguasaan tenaga dalam yang
sempurna dipadu dengan ilmu ringan tubuh yang istimewa
Pendekar Remaja 7 Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Pedang Sinar Emas 5
^