Sengatan Satu Titik 5
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 5
"Namanya sekarang adalah Pak Tua Konyol."
"Pak Tua Konyol" Hehe, kurasa nama yang pertama jauh
lebih baik." "Sebenarnya ia pun lebih suka namanya yang pertama, tapi
Karena sebuah kejadian konyol, maka ia pun terpaksa
mengganti namanya." "Kejadian apa?"
"Suatu hari Istri Pak Tua Lucu kaget setengah mati ketika
mendapati satu karung uang perak di depan rumahnya. Tentu
saja Pak Tua Lucu terlebih kaget lagi."
"Satu karung uang" masa uang pun dihitung dalam jumlah
karung"." "Ya, makanya Pak Tua Lucu pun mulai menyangka
nasibnya akan berubah. Peruntungannya sebagai orang miskin
dirasakannya mulai hilang pamornya. Maka dia pun membawa
sekarung uang itu ke pasar. Ingin dibelinya segala benda yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selama ini hanya dapat dilihatnya, sekaligus ia ingin
memproklam irkan dirinya menjadi orang kaya."
"Ide yang bagus."
"Tentu saja itu sebuah ide yang bagus, tapi ide yang bagus
pun ada kalanya tidak berjalan mulus."
"Kenapa?" "Karena di tengah perjalanan ia bertemu dengan si Penipu
Wajah Putih." "Penipu berwajah putih?"
"Ya. Orang-orang menamainya demikian karena sekalipun
ia selalu menipu, tapi korban yang ditipunya tak pernah
menyangka bahwa ia penipu. Karena itulah ia dinamakan
Penipu Wajah Putih. Kalau boleh dikatakan ia adalah jenius
penipu yang tidak muncul sekali dalam tiga generasi."
"Ketika Penipu Wajah Putih melihat Pak Tua Lucu
membawa karung yang kelihatan berat, dengan matanya yang
tajam ia sudah melihat kilatan uang perak di karung itu. Maka
ia pun mulai memasang tampang sebagai seorang saudagar
yang sangat kaya. Penipu Wajah Putih berkata, "Pak T ua, apa
kau ingin uang di karung itu bertambah lima kali lipat?" Pak
Tua pun berkata, "Tentu saja.?"kalau begitu berikan uang itu
padaku, akan ku belanjakan kain sutra yang terbaik dari
negeri cina kemudian kau akan menjualnya dengan harga
sepuluh kali lipat. Kau akan mendapatkan setengah
untungnya." "Kalau hanya dengan perkataan itu Pak Tua Lucu benar-
benar percaya kepada Penipu Wajah Putih, kurasa ia benar-
benar konyol. Bukan saja konyol tapi juga sangat tolol."
"Sebenarnya Pak Tua Lucu pun tidak begitu saja percaya
kepada Penipu Wajah Putih. Namun mau tidak mau ia harus
percaya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh?" "Karena ia melihat golok tipis berkilat perak di pinggang
Penipu Wajah Putih. Dan ia sangat tahu kepandaian kedua
dari Penipu Wajah Putih selain menipu adalah memainkan
golok tipi s itu." "Maka ia pun percaya."
Risang Ontosoro tertawa. Cara tertawanya juga unik,
seakan-akan rubah cilik yang ditipu mentah-mentah oleh
seekor ayam. Sekalipun samar, sempat juga Risang me lihat bahu Pandan
Kenanga bergetar. Mereka tiba di depan jalan buntu. Atau tepatnya sebuah
lempeng batu yang seakan dipapas halus. Pandan Kenangan
mengeluarkan kunci berkilat keemasan dari dalam ikat
pinggangnya, memasukkannya ke lubang di sudut bawah,
memutarnya beberapa kali dan lempeng batu itu segera
berderak. Membukanya lempeng batu itu membuka satu dunia baru
yang sama sekali berbeda.
Ruangan ini tidak terlalu besar, namun cukup luas juga.
Yang istimewa adalah seluruh terang di ruangan ini berasal
dari puluhan perabot bersinar keemasan yang dipajang di
setiap sudut. Ranjang kukuh yang berkilat keemasan. Kasur bersulam
emas. Cawan yang memantulkan bias keemasan. Pendeknya,
ruangan ini seakan ditatah dari bongkahan emas raksasa yang
tiba-tiba muncul dari bumi.
Risang tidak pernah melihat emas sebanyak itu. Juga tidak
pernah membayangkannya. Di ujung ruangan yang berbentuk seperti rongga alam itu
terdapat mata air yang bergemericik lirih. Yang unik,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gelombang air yang meriak di genangan air mungil ini juga
membias keemasan. "Ruangan ini disebut Lanskap Emas Bawah Bumi.
Merupakan salah satu tempat larangan di Istana Bulan Teratai
ini." "Nama yang bagus."
"Bukan saja namanya bagus, jalan ke sini juga sangat
berbahaya." "Maksudmu lorong tikus itu?"
"Kau menyebutnya lorong tikus, tapi seandainya kau tidak
bersamaku, badanmu mungkin tidak akan utuh lagi sebelum
kau melalui kelokan yang pertama."
"Tadi bukannya kau mengatakan kau akan menyelamatkanku dari perempuan tua itu?"
"Dan bukankah aku sudah menyelamatkanmu?"
"Tapi kau hanya membawaku dari satu ruangan ke ruangan
yang lain." "Ruangan ini adalah tempat terlarang di Istana Bulan
Teratai. Tidak akan ada orang yang berani masuk kesini, juga
tidak akan ada yang berpikir bahwa kau akan lari ke sini."
"Juga tidak akan ada yang berpikir bahwa kaulah yang
mengajakku ke sini."
~Dewi-KZ~ Bab XV, Buhul Darah Pandan Kenanga hanya tersenyum. Diletakkannya buntalan
pakaiannya ke pembaringan. Tubuhnya berputar ke sudut
sana, menyulut dupa. Harum menyebar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meski Risang juga seperti manusia lain yang suka dengan
bau harum, tapi entah kenapa tubuhnya yang terlatih dengan
Panca Rasa merasakan sesuatu yang berbeda dalam bau
harum ini. Sesuatu yang membuatnya bulu kuduknya berdiri.
Selesa i menyulut dupa, Pandan Kenanga menghilang ke
sebuah pintu kecil. Ketika muncul kembali, saat itulah Risang Ontosoro seakan
merasakan dirinya terjatuh ke sebuah lubang hitam.
Yang ia lihat sekarang adalah seorang wanita yang sangat
cantik, dengan daya tarik kental memancar dari seluruh
bagian tubuhnya. Semacam kecantikan yang membuat lelaki
jenis apapun mabuk kepayang. Sejenis daya tarik yang
membuat lelaki macam apapun bersedia berbuat apa saja
untuk sekadar memegang tangan si dia.
"Kau bisa sampai di tempat ini dalam keadaan sadar,
sungguh membuatku harus kagum padamu." Kata-katanya
meluncur seolah pesona embun yang menetes dari kelopak
mawar merah segar. Risang tertawa. Ia memang mempunyai semacam penyakit,
bahwa dalam keadaan yang paling genting, ia akan tertawa.
Tentu saja ia sudah tahu dengan jelas keadaan apa yang
sedang dihadapinya sekarang. Ia pun tahu siapa yang rubah
siapa yang ayam. "Bukankah kau yang menuntunku kesini?"
Pandan Kenanga tersenyum, sekali lagi pesona yang
memabukkan tersebar, "Sekalipun begitu, bahwa kau tidak
berbuat macam-macam dengan berjalan di belakangku, itu
sudah merupakan prestasi tersendiri."
"Oh, aku mengerti sekarang."
"Katakan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mula-mula kau merayu semua pemuda yang ada ditempat
ini dengan datang ke kamarnya. Seorang perempuan kalau
sudah berani datang ke kamar pemuda memangnya apa yang
dia inginkan kan sudah jelas?"
"Dan kau ternyata cukup kuat untuk tidak tergoda."
"Kalau itu gagal, kau akan mengajak mereka melarikan diri
dengan menyebarkan isu tentang Penyedotan tenaga itu dan
kau rayu mereka di perjalanan dengan kata-katamu atau
gerakan tubuhmu." Pandan Kenangan kembali tersenyum, "Tubuhmu sangat
bagus, otakmu ternyata juga tidak jelek."
"Kalau itupun gagal, kau masih punya jurus terakhir. Yaitu
dengan dupa perangsang birahi itu."
"Aku harus kagum terhadap kepekaan tubuhmu, tapi harus
kuingatkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan
menolongmu ke sini."
"Oh?" "Karena tempat ini memang tempat terlarang."
"Memangnya tempat apa ini?"
Pandan Kenanga tersenyum, jarinya yang panjang lentik
menyibak anak rambut yang terurai di dahi, "Ini adalah kamar
peraduan dari Putri T eratai Kumala."
Risang melenggong, "Pendiri Istana Dasar Teratai?"
"Oh" Kau juga tahu tentang dia?"
Putri Teratai Kumala dipandang sebagai salah satu
keajaiban dunia persilatan. Hanya orang tuli saja yang tidak
pernah mendengar namanya.
"Dan di kamar tokoh legendaris ini lah kau mengerjai
semua pemuda yang kau temui." Kata Risang dengan nada
ironis. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kenanga tertawa geli, "Aku tidak serakus itu. Aku
hanya penujui pemuda yang cocok dengan seleraku."
"Untuk kau sedot tenaganya?"
"Kau benar-benar pintar. Dan sekarang kau sebaiknya tidak
melakukan perlawanan. Meskipun kuakui kekuatan hatimu
untuk tidak tergoda, tapi dupa yang kau sedot itu sudah
mengunci jalan tenaga murnimu. Sekali kau mengerahkan
hawa murni, sembilan nadi di dadamu akan pecah."
Senyum kepuasan mengembang di wajah Pandan Kenanga.
Semacam senyum yang muncul ketika seekor kucing berhasil
mempermainkan tikus diantara cakar-cakarnya yang lembut
namun tajam. Mendadak Risang Ontosoro tertawa. Suara tertawanya
bahkan cukup keras. "Apa yang kau tertawakan?" Seekor tikus yang sedang
terjepit tidak akan tertawa sekeras ini.
"Kau mengatakan diriku pintar, tapi didalam hati pasti kau
menganggap dirimu jauh lebih pintar dariku."
Pandan Kenanga diam mendengarkan, juga membenarkan.
Jujur saja, ia memang menganggap dirinya cukup pintar, lagi
pula sangat menarik. "Tapi apa kau tahu bahwa seorang yang menganggap
dirinya terlalu pintar kebanyakan adalah orang tolol yang
harus dikasihani?" "Apa yang ingin kau katakan?" senyum di wajah Pandan
Kenanga mulai membiaskan kebengisan.
"Kuceritakan kau kisah Pak Tua Tolol Konyol dan Penipu
Wajah Putih itu. Dalam terkaanmu, siapakah yang tertipu?"
Anak muda ini dengan santainya malah menanyakan cerita
karangannya itu. Sungguh Pandan Kenanga harus mengakui
kalau Risang Ontosoro memang lain dari yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun karena merasa penasaran, juga yakin pemuda itu
tak akan terlolos dari tangannya, dijawabnya juga pertanyaan
Risang, "Tentu saja si T ua Tolol itu."
Tawa Risang semakin berderai, "Kalau begitu kau lebih tolol
dari dia." Wajah Pandan Kenanga memerah sengit, selama hidupnya
tak pernah ada orang berani memakinya terang-terangan di
depan hidungnya begitu. Dengan santai Risang melanjutkan, "Sekalipun Pak Tua itu
sering konyol dan bertindak tolol, tapi kecerdasannya tidak
dibawah orang lain. Bahkan sebagian sahabatnya menganggapnya seabagai seorang jenius yang jarang ada
bandingannya. Justru karena kejeniusannya itulah sering
orang tidak paham dengan apa yang dia lakukan. Di dunia ini
kan banyak orang jenius yang dianggap tidak waras."
"Sebelum ia menemukan sekarung uang di muka rumahnya
itu, ia te lah bertaruh dengan salah seorang sahabatnya bahwa
ia sanggup menangkap basah si Penipu Wajah Putih. Maka ia
pun memasang trik demikian. Dipinjamnya uang dari
pengadilan negeri dengan jaminan ia akan menangkap basah
si Penipu Wajah Putih berikut barang buktinya. Maka ketika
Penipu Wajah Putih melarikan karung itu, sepasukan tentara
telah mengikutinya dan menangkapnya seperti tikus got yang
masuk perangkap." "Lalu untuk apa kau ceritakan cerita tolol itu?"
Risang Ontosoro memandang perempuan itu tajam,
ucapnya sekata demi sekata, "Karena kau pun serupa dengan
Penipu Wajah Putih itu"
Dada Pandan Kenanga mulai mengombak. Kepalannya
mengencang. "Maksudmu ada orang yang mengikutiku?"
"Wajahmu cantik, otakmu pun tidak jelek."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak Pandan Kenanga tertawa. Semakin lama,
semakin melengking tertawanya.
"Kau pikir aku akan mempercayai ucapan tololmu itu,
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat ini terjaga dengan delapan puluh satu macam
rintangan, semut pun tidak akan sanggup masuk ke sini?"
"Termasuk Pandan Kumala?"
Pundak Pandan Kenanga tergetar, "Dalam dua jam ke
depan ia tidak akan keluar dari sanggar semedinya. Kebiasaan
itu tak pernah berubah dari sepuluh tahun yang lalu."
Risang Ontosoro terdiam, ditatapnya sepasang mata
Pandan Kenanga dengan tajam, "Aku hanya ingin mengatakan
sesuatu kepadamu." "Katakan." "Seseorang sebaiknya tidak menganggap tolol orang lain.
Karena di dunia ini tidak ada yang perkiraan yang pasti terjadi.
Tak ada terkaan yang pasti benar."
Otot-otot hijau mengencang di kepalan Pandan Kenanga.
Risang Ontosoro sebaliknya tetap santai.
Dengan seenaknya dijatuhkannya tubuhnya ke kasur empuk.
Dengan suara serak malas dia menggumam, "Kalau tidak
keluar sekarang, memangnya mau tunggu sampai ekormu
putus?" Tak ada jawaban. Sunyi yang hening.
Mendadak atap kamar berderak. Lalu seperti terangkat oleh
Sesuatu, lempengan berbentuk lingkaran di atap kamar itu
membuka ke atas. Detik kemudian bagaikan daun kuning yang
luruh sesosok berpakaian putih berkibaran melayang turun.
Siapa lagi kalau bukan Pandan Kumala.
Pandan Kenanga tersurut mundur. Tak tersangkanya kail
yang dilemparkannya malah tersangkut mulut sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kumala memandang adik seperguruannya dingin.
Sinar matanya seperti sembilu yang tajam mengiris.
"Sudah kuduga kaulah si pembuat onar. Kau rakus
terhadap kecantikan, diam-diam kau praktekkan resep sesat
yang ditulis Iblis Tinju Neraka. Selama ini entah berapa puluh
pemuda yang jadi korbanmu, kalau aku tidak bertindak
sepantasnya, sungguh aku malu terhadap diriku sendiri."
Kamar itu sekalipun terbuat dari emas, namun siapapun
yang berada didalamnya saat ini sama sekali tak merasakan
kehangatan dari mutu manikam itu.
Meski terlihat bias jeri di wajah Pandan Kenanga, namun
sikapnya masih tenang, "Kalau kau sudah tahu akulah
orangnya, kenapa tidak kau bunuh aku dari dulu?"
"Tidak kubunuhmu karena aku tidak pernah membunuh
orang tanpa alasan. Harus ku cari bukti terlebih dahulu. Hanya
orang berdosa yang pantas dihukum. Ini adalah peraturan
perguruan kita turun temurun, memangnya otakmu sudah
lamur?" Tiba-tiba Pandan Kenanga tertawa, dengan tarikan wajah
yang sulit dimengerti ia berteriak sumbang, "Kau berbicara
tentang peraturan dan dosa. Memangnya matamu hanya
dapat melihat orang lain dan tak bisa mengenali diri sendiri"
Memangnya perbuatanmu di Dipa Saloka belum cukup untuk
memasukkanmu ke tiang gantungan"."
Pandan Kumala terdiam. Anehnya ia seperti tidak
bermaksud membungkam mulut adik seperguruannya itu.
Pandan Kenanga kembali meraung, "Kau pikir tidak ada
orang yang tahu perbuatanmu terhadap Dyah Surya"
Persekongkolanmu dengan Iblis Kepala Besar dan usahamu
untuk mencaplok mustika Kepala Naga?"
Dengan nafas tersengal Pandan Kenanga melanjutkan,
"Dalam peraturan nomor satu Guru melarang semua anggota
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perguruan untuk ikut campur urusan Tiga Istana Abadi.
Siapapun yang melanggarnya harus dibunuh. Memangnya
otakmu sudah mati?" "Sudah selesai kau bicara?" pandan Kumala berujar dingin,
sama sekali tak terlihat perubahan emosi di nada
suaranya."Kuberi kau kesempatan melawanku. Kalau aku
mati, kau bisa bebas. Tak ada yang tahu urusan ini selain
orang yang berada di kamar ini."
"Ku tahu aku tidak akan mampu melawanmu. Tapi aku
sudah cukup puas bisa mengatakan apa yang ingin ku
katakan. Seseorang bertanggung jawab terhadap apa yang ia
lakukan. Sekalipun perempuan sesat sedikitnya aku masih
murid perguruan Bulan Teratai. Nah silahkan." Kata-katanya
ternyata cukup tegar. Sampai Risang pun tak mengira bahwa
dalam situasi terjepit seperti ini wanita ini masih bisa berucap
gagah. Mau tak mau timbul juga rasa sayang dihatinya.
Tangan kanan Pandan Kumala bergerak. Sinar perak
berkelebat seperti kilat di tengah kegelapan. Entah dari mana
sebilah pedang lantas terhunus. Dalam waktu yang hampir
bersamaan pedang itu sudah sampai di dada Pandan
Kenanga. Pandan Kenanga memejamkan matanya. Kepalannya
terkepal kencang. Air mata menetes seperti embun yang
menitik dalam fajar yang remang. Namun begitu kepalanya
tetap tegak. Air mukanya tetap keras.
Darah merembes di badan pedang.
"Ilmu Pedang Pelangi Satu Warna," gumam Risang
setengah terkejut. Setahunya ilmu pedang itu milik Istana
Dasar Teratai. Namun melihat beberapa perkataan Pandan
Kenanga tadi agaknya memang ada hubungannya antara
Istana Bulan Teratai dengan Istana Dasar Teratai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar, inilah I lmu Pedang Pelangi Satu Warna, bagaimana
pendapatmu?" dengus Pandan Kumala. Pedang ditangannya
tadi sudah hilang entah kemana.
"Sangat bagus." Risang memuji setulus hati. Penguasaan
ilmu pedang yang dipamerkan Pandan Kumala tadi memang
mengagumkan. Kecepatan yang tak tertandingi. Keganasan
yang tak ada bandingannya. Sekali menusuk langsung
meminta nyawa. Tak ada variasi, tak ada basa-basi.
Risang Ontosoro memandang tubuh Pandan Kenanga yang
terbujur dengan bunga darah yang mengembang, pelan-
pelan. Betapa cantiknya seseorang, tapi kalau sudah tak
bernyawa lagi, siapakah lagi yang bersedia mencecap
keindahannya. Betapa eloknya sekuntum bunga, kalau sudah
gugur tertiup musim, adakah kumbang yang bersedia
memungutnya. Kemudian ditatapnya Pandan Kumala yang tampak
termenung-menung. Cahaya mata anak muda ini menampilkan sorot yang amat aneh.
Ia tidak berkata. Ia pun tak ingin merusak suasana sunyi
ini. Akhirnya Pandan Kumala yang memecah hening, "Apa kau
tahu kenapa tidak ku bunuh dia?"
Risang diam mendengarkan. Ia pun tahu sekalipun darah
merembes keluar dari dada Pandan Kenanga, tapi luka itu
hanya dikulit luar. Tak sampai memecah jantung.
"Karena seorang kalau sudah berhadapan dengan kematian
tapi masih tetap tegar, maka orang demikian, bagaimanapun
perbuatannya, kuanggap tak pantas dibunuh." Pandan Kumala
melanjutkan dengan suara setengah serak, namun tetap
dingin. Hujan tak selamanya menakutkan. Matahari tak setiap kali
menyilaukan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang Ontosoro menatap matahari yang berkerlip
kemerahan. Cahayanya hangat. Di depannya tersaji teh
hangat. Perasaannya pun sudah terlebih hangat.
Setiap kali disaksikannya sifat kebaikan manusia hatinya
selalu merasa hangat. Pandan Kumala boleh jadi salah seorang yang akan jadi
lawannya. Namun toh itu urusan kelak. Y ang penting sekarang
ia bisa melihat bahwa perempuan itu masih menyimpan sifat
yang menghangatkan. Setidaknya ia masih sebagai manusia
yang bertindak sebagai manusia.
Pandan Kumala sendiri memandang anak muda itu lekat-
lekat. Cahaya matanya menyorotkan bias unik. Semacam
kasih sayang yang murni, yang bersih dari birahi.
Tetes hujan yang terang menitik di lembar-lembar daun.
"Bagaimana kau tahu kalau aku mengikuti kalian?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa kau
menangkapku bukan karena aku sebagai diriku sendiri. Kau
hanya menjadikanku umpan."
Pandan Kumala mengangguk, "Benar, aku memang hanya
bermaksud menjadikanmu umpan, tak peduli kau adalah
siapa." "Makanya sebenarnya kau tidak bermaksud menangkapku
sebagai Risang Ontosoro. Tujuanmu hanya mencari seorang
pemuda yang dapat kau jadikan pancingan."
Risang memandang perempuan setengah baya itu dan
tertawa, "Setelah kesimpulan awal ini tentunya tidak sulit
untuk menebak bahwa seorang yang memancing tidak akan
meninggalkan umpan yang dilepaskannya."
"Rupanya aku cukup beruntung menemukan pemuda
sepintar dirimu." "Kau untung, aku konyol."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau pun cukup beruntung. Setidaknya aku tidak
membunuhmu setelah aku tahu bahwa kau adalah Risang
Ontosoro." "Ya, sebenarnya aku pun cukup heran kenapa kau tidak
membunuhku?" Pandan Kumala tersenyum aneh. Perlahan tubuhnya
membalik. Angin danau mengibarkan pakaian putihnya hingga
sosoknya tampak seperti dewi yang turun dari kahyangan.
Risang Ontosoro memandangi kepergian Pandan Kumala
dengan tatapan hangat. Perlahan kepalan tangannya
membuka. Kertas itu masih ada di tangannya. Kertas dengan
tulisan tertanda Arya Dipa Loka.
Secarik kertas itu mengandung pesan bahwa tak
seorangpun di Istana Bulan Teratai yang dapat dipercaya.
Namun agaknya satu-satunya hal tidak dapat dipercaya adalah
pesan itu sendiri. Matahari sebentar lagi tenggelam. Tapi Bulan sudah
mengintip di ujung ufuk. Sekalipun manusia kerap menjumpai
keputus asaan, harapan tak pernah benar-benar tenggelam.
~Dewi-KZ~ Di senja yang sama. Jalanan itu begitu ramainya sehingga suara sendiri pun sulit
terdengar. Disini orang berteriak menawarkan dagangannya,
disana orang melakukan pertunjukan monyet ogleng. Gerobak
sapi dan kereta kuda saling berpapasan. Sesekali terdengar
umpatan. Bermacam orang bercampur, bermacam suara
teraduk. Tapi dari berbagai macam hal itu hanya satu yang menarik
perhatian Arya. Seorang bocah yang terlihat sinting sedang terlongong-
longong melihat pertunjukan sirkus monyet. Sekalipun semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang sama tertawa, anehnya bocah itu seperti tak
menganggap bahwa pertunjukkan itu lucu. Tarikan wajahnya
datar saja. Seakan yang dilihatnya adalah sebatang pohon tua
yang sedang ditebang. Disamping bocah itu berdiri seorang cebol dengan kepala
diatas rata-rata. Kebalikan dari si bocah sinting, berkali-kali
gelak tawanya terdengar keras, berbareng dengan tepukan
tangannya yang nyaring. "Minggir," seorang penunggang kuda dengan pakaian
bagus memelototkan matanya ke arah Arya yang memang
berdiri di tengah jalan. Orang itu mengangkat pecut kudanya
ke atas, seolah seorang bapak yang ingin menghukum
anaknya karena tidak makan obat.
Arya segera melangkah ke pinggir. Mendadak sebuah suara
merdu mengagetkannya, "Hei, bukankah kau anak muda itu?"
Ketika Arya berpaling, seraut wajah cantik dengan pakaian
khas kota raja tampak memandangnya dengan gembira.
Ketika matanya menatap laki-laki penunggang kuda tadi
kembali seraut wajah yang sudah dikenalnya, Braja Lelana.
Dengan sendirinya perempuan berkuda disampingnya adalah
Sukma Maningrum. Braja Lelana pun kelihatan terkejut, "Arya Dipa Loka!!"
dengan cepat tubuhnya sudah meloncar turun, "Maafkan aku
terhadap sikapku tadi."
"Tapi ditengah jalan begitu kau terlihat terbengong-
bengong, maka aku menyuruh Kakang Braja Lelana untuk
menegurmu." Arya tertawa, "Setidaknya aku tidak sampai berkenalan
dengan pecut di tangan Kakang Braja Lelana."
Braja Lelana tertawa, "Tentu saja tidak, bahkan kalau aku
benar-benar menggunakan tenagaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang kau lakukan disini?" Sukma Maningrum bertanya
dengan antusias. Pemuda itu memang telah menarik
perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu.
"Seharusnya kau tidak menanyakan itu. Seorang pengelana
seperti Arya akan dapat kau jumpai dimana saja." Braja Lelana
menegur. Bibir Sukma Maningrum segera mengerucut, "Siapa suruh
kau bicara. Memangnya aku bertanya kepadamu?"
Arya tertawa. Pertemuan tak terduga ini benar-benar
menjadi pelepas urat saraf baginya setelah beberapa waktu
mengalami kejadian yang menegangkan.
"Aku hanya mencoba melihat keramaian di Jatingaleh ini."
"Ya, jika kau ingin berkumpul dengan orang, Jatingaleh
adalah tempat yang tepat. Disini dapat kau jumpai orang dari
berbagai macam bentuk dan jenis."
"Termasuk jenis orang yang suka campur pembicaraan
orang lain sepertimu." Tukas Sukma maningrum cepat.
Arya tertawa. Dua kali mereka bertemu dan suasana
diantara kedua suami istri itu tetap riang jenaka.
"Kulihat pucat di wajahmu semakin berkurang, tampaknya
kau semakin sehat akhir-akhir ini?" perkataan Braja Lelana
boleh jadi hanya sapaan akrab seorang sahabat, namun Arya
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasakannya dengan penuh minat. Bukan saja pucat di
wajahnya semakin berkurang, semangat di dadanya pun
semakin berkobar. "Atau kau sudah menemukan bunga cantik yang pantas
kau seduh madunya?" tukas Suka Maningrum dengan kerling
menggoda. Arya tertawa. Entah kenapa bayangan Arum Puspita
mendadak lewat di benaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kusarankan bila kau mencari jodoh, carilah yang sedikit
pendiam. Isteri yang cerewet akan membuat hidupmu tak
karuan." Braja Lelana berkata dengan tubuh sedikit
didoyongkan ke depan dan suara setengah berbisik.
Kontan Sukma Maningrum mendelik gusar. Tapi mendadak
matanya menunjukkan ekspersi terkejut.
"Ada apa" Apa sebutir telor masuk ke tenggorokanmu?"
Sukma Maningrum tidak menjawab. Paras mukanya serius.
Perlahan tangannya meraba gagang pedang yang tercekal di
tangan kirinya. Braja Lelana sedikit heran dengan perubahan muka
isterinya. Seingatnya hanya dalam waktu tertentu saja paras
mukanya isterinya bisa berubah begitu serius.
Ketika matanya memandang arah yang dilihat isterinya,
paras mukanya mendadak menampilkan ekspresi tegang,
"Setan Kepala Besar," desisnya.
Yang tak berubah adalah paras muka Arya. Tenang dan
tetap menampilkan senyumnya yang khas.
Ia pun tak bergerak ketika perlahan-lahan suami isteri itu
mendekati Setan Kepala Besar yang sedang asik menonton
pertunjukan tari monyet. Setan Kepala Besar yang berdiri seenaknya sambil satu
tangan mencekal tangan kanan Gagang Gerhana agaknya
merasakan hawa pembunuhan yang mendekat. Tanpa
menoleh, tubuhnya mendadak terapung ke udara, melewati
jajaran orang-orang dan dengan ringan hinggap di ujung jalan
tepat ketika dua batang pedang menusuk punggungnya.
Gerakannya yang tepat itu menyelematkannya dari
serangan gabungan Braja Lelana dan Sukma Maningrum.
Walaupun begitu samar-samar dirasakannya punggungya
perih. Agaknya ujung kedua pedang itu sempat menyerempet
kulit punggungnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setan Kepala Besar menyipitkan matanya, lekat mengamati
kedua penyerangnya. Braja Lelana maupun Sukma Maningrum
juga menatap tajam sosok berkepala besar itu.
Tak ada kata diantara mereka.
Beberapa detik ketiga orang itu bersitegang dalam diam.
Mengamati lawan, mencari lubang kelemahan.
Braja Lelana memegang gagang pedangnya erat-erat.
Perlahan butiran keringat merembes di dahinya.
Ia sudah mengenal iblis ini, sebagaimana Setan Kepala
Besar sudah mengenal mereka. Dua tahun lalu bersama
isterinya dan dua orang pendekar dari kota raja ia bertempur
mati-matian melawan Iblis ini. Hasilnya mereka berlima sama-
sama terluka. Untung saja mendadak lewat sepasukan
kerajaan yang sedang berpatroli sehingga memaksa Setan
Kepala Besar yang berada dalam keadaan tidak lebih baik
darinya dan teman-temannya kabur.
Belakangan salah satu pendekar yang membantunya itu
tewas karena luka-lukanya. Betapa penyesalan Braja Lelana
dan rasa dendamnya sehingga membuatnya meninggalkan
kedudukan di kota raja dan mengelana sebagai pendekar
pengembara. Tujuannya hanya satu, menyelesaikan utang-
piutang ini dan kalau perlu beserta rentennya.
Sekarang ia menemukan musuh besarnya ini disini.
Disamping semangatnya berkobar dengan api dendam yang
sudah sekian lama tersekam, diam-diam ia juga mengkhawatirkan isterinya. Dahulu, dengan berlima mereka
tidak dapat mengungguli iblis ini. Walaupun belakangan ia
dengan keras melatih diri, namun ia pun yakin Iblis Kepala
Besar juga tak mungkin hanya malas-malasan saja.
Setan Kepala Besar dengan sendirinya mengerti perasaan
lawan. Hakikatnya ia pun merasakan dendam yang sama. Dua
tahun ia harus meringkuk dan berjuang keras menyembuhkan
luka yang dideritanya. Hal itu sudah cukup bagi seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sepertinya untuk menancapkan papan kematian di wajah
musuh besarnya. Namun betapapun keadaan sudah sedemikian panas,
otaknya masih bekerja dengan baik.
Saat ini mereka berada di tengah jalanan ramai. Orang-
orang dengan penuh minat menonton mereka bertiga lebih
dari ketertarikan mereka terhadap pertunjukan tari monyet
tadi. Sekalipun ia tidak telalu hirau dengan orang-orang itu
namun sewaktu-waktu pasukan Jatingaleh bisa datang. Lebih-
lebih Lembu Patik Pulung bukanlah lawan yang empuk.
Yang lebih penting ia tidak boleh terlihat oleh Demang
Kademangan itu mengingat pekerjaan besar di pundaknya.
Satu-satunya yang membuatnya gelisah adalah bocah
Gagang Gerhana itu. Pandan Kumala menyuruhnya menjaganya, dan ia tahu betul apa akibatnya kalau sampai
tugas ini gagal. Namun jangankan mengambilnya, sekali
bergerak mungkin sepasang pedang Braja Lelana dan Sukma
Maningrum akan memaksanya turun tangan.
Setan Kepala Besar merasa tak punya pilihan lain. Sekali
menjejak, tubuhnya melayang ke belakang, dan sebelum Braja
Lelana dan Sukma Maningrum sempat mengantisipasi gerakan
musuh besarnya itu tubuh Setan Kepala Besar sudah hilang di
tengah celah perumahan penduduk.
Arya yang dengan tenang memperhatikan dari samping
merasa Setan Kepala Besar mengerling ke arahnya sedetik
tadi sebelum ia meloncat.
Dengan sendirinya Arya tahu, pertimbangan paling besar
bagi Setan Kepala Besar adalah kehadiran Arya di tempat itu.
Pandan Kumala tentu sudah menggambarkan secara persis
potensi menggidikkan dalam diri Arya kepada sekutunya itu
sehingga tokoh seperti Gagak Jemarit harus mati dalam sekali
gerakan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali Arya ikut campur, tidak akan ada kesempatan lagi
buat Setan Kepala Besar untuk hidup, apalagi kabur. Meski ia
pun tidak terlalu yakin bahwa Arya akan membiarkannya
kabur. Mengingat hubungan dirinya dengan Pandan Kumala.
Ia hanya berpegang pada perhitungan sederhana.
Terhadap tata letak Jatingaleh ia telah mempelajarinya
beberapa bulan, dengan sendirinya ia lebih hafal dari pada
Arya yang hanya sesekali singgah di Kademangan itu.
Tubuhnya yang kecil juga mempunyai manfaat tersendiri
dalam medan yang banyak terdapat perumahan dan ramai
oleh lalu lalang orang. Hal yang aneh adalah ternyata Arya tidak mengejarnya.
Pemuda itu dengan tenang masih berdiri di tempatnya.
Braja Lelana dan Sukma Maningrum sempat melompat
mengejar. Namun pengetahuan keduanya tentang tata letak
Jatingaleh memang tidak dapat membandingi Setan Kepala
Besar. Akhirnya keduanya hanya bisa menghela nafas, entah
dengan nada lega atau masygul, dan kembali ke tempat Arya
berdiri. "Aku tidak menyangkan Setan keparat itu ternyata berada
disini." "Setidaknya kita tahu bahwa ia belum lagi mampus."
Timpal Sukma Maningrum. "Kalian berdua agaknya mempunyai perhitungan masa lalu
terhadap Setan Kepala Besar." Ujar Arya dengan tenang.
"Ya, bahkan tidak ringan perhitungannya." Desah Braja
Lelana. "Siapa bocah ini?" tanya Sukma Maningrum dengan alis
berkernyit ketika melihat Arya menggandeng tangan seorang
bocah yang tampak linglung.
Arya tertawa dan menjawab asal-asalan, "Tentu bukan
anakku. Sebiji isteri saja belum kudapat. Sebaiknya kalian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
secepatnya menyingkir, sebentar lagi mungkin prajurit
Jatingaleh akan datang."
Braja Lelana mengangguk dan berujar dengan nada sesal,
"Kenapa kau tidak pergi bersama kami. Kami tinggal di
penginapan yang cukup bagus. Kita bisa merayakan
pertemuan ini dengan beberapa masakan istimewa."
Arya menggeleng, "Aku harus mengantarkan bocah ini.
Mungkin orang tuanya akan keculitan mencarinya." Tolaknya
dengan tertawa. Setelah menatap Gagang Gerhana sebentar dan mengangguk maklum, Braja Lelana segera menarik tangan
isterinya. Arya menatap sepasang pendekar itu sampai sosok
keduanya tenggelam dalam kerumunan. Tangan Gagang
Gerhana terasa balas menggenggam tangannya. Ketika Arya
menatap bocah itu, kebetulan Gagang Gerhana, yang selama
ini tidak pernah menatap siapapun secara fokus, juga sedang
memandangnya. Bola mata bocah itu terlihat menyimpan emosi yang sulit
dimengerti. Bersamaan Arya juga merasakan darah didadanya
berdesir oleh pergolakan perasaan yang tidak sepenuhnya
dipahaminya. ~Dewi-KZ~ Bab XVI, Raja Iblis Tinju Es
Diantara riuh orang ramai sayup-sayup Arya mendengar
derap belasan kaki kuda yang dilarikan. Tak disangsikan lagi,
mereka adalah prajurit Jatingaleh yang mungkin dikirim oleh
Kademangan sehubungan dengan kekacauan yang terjadi.
Arya segera menarik Gagang Gerhana menjauh. Bocah itu
sepertinya menjadi sangat penurut, kemanapun tanganya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditarik, kesitu pula kakinya melangkah. Sama sekali tak ada
penolakan. Tiba di sebuah penginapan yang memasang merek
'Kembang Fajar' di depannya, Arya membelok dan sete lah
menyapa penjaga ala kadarnya ia langsung masuk ke kamar
yang disewanya. Sempat di lihatnya mata si penjaga yang keheranan melihat
Gagang Gerhana. Namun ia tahu itu bukan masalah yang
berarti. Di sebuah penginapan, siapa membawa siapa adalah
hal jamak dan biasanya para pelayan maupun penjaga dapat
menjaga mulut mereka rapat-rapat. Namun seorang muda
sepertinya menuntun bocah yang kelihatan linglung betapapun
merupakan satu hal tersendiri.
Sesungguhnya apa yang membuat Arya membawa Gagang
Gerhana juga tidak sepenuhnya dipahami oleh pemuda ini
sendiri. Ketika melihat Setan Kepala Besar membawa Gagang
Gerhana siang tadi, yang terpikir di otaknya adalah
kemungkinan untuk menjadikan kedua orang itu petunjuk
guna menemukan Pandan Kemala, yang mungkin berhubungan juga dengan Ki Awu Lamut.
Tujuan kedatangan Arya ke Jatingaleh ini sebenarnya
mengikuti tanda khusus yang
di buat oleh Arum Puspita agar jejaknya bisa diketahui olah
Arya. Anehnya tanda itu berhenti di Gerbang Kademangan
Jatingaleh. Karena tidak menemukan tanda lain lagi maka Arya
memutuskan untuk masuk ke Jatingaleh dan mencoba
mencari jejak sekuat tenaganya. Sudah beberapa hari ia
berkeliling di seluruh jalanan Jatingaleh dan yang didapatnya
hanya perut yang melilit dan debu yang bertumpuk di dahinya.
Sampai sore itu ia me lihat Gagang Gerhana yang dituntun
oleh Setan Kepala Besar. Ketika melihat kedua orang itu,
lantas saja otaknya menghubungkan keterlibatan Pandan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kumala dalam penculikan Arum Puspita dan Ratna Dewi. Maka
ia pun memutuskan mengikuti Setan Kepala Besar dan
Gagang Gerhana. Tak tersangka terjadi peristiwa tadi.
Sebuah perasaan yang tak dipahaminya mendorongnya
untuk membawa Gagang Gerhana yang ditinggalkan Setan
Kepala Besar. Semacam rasa tanggung jawab yang aneh.
Sekalipun ia tahu diantara mereka berdua terdapat
hubungan darah yang rapat, namun karena tak sekalipun
sebelumnya Arya bertemu secara langsung dengan Gagang
Gerhana dan keadaan Gagang Gerhana yang tidak
sepenuhnya normal menjadikan hubungan itu berjalan tidak
sewajarnya. Itu pula yang mencegahnya untuk mengejar Setan Kepala
Besar. Saat ini pun ia bingung. Apa yang akan ia lakukan terhadap
bocah ini" Sambil termenung-menung, dipandanginya Gagang Gerhana yang asik dengan tingkah lakunya sendiri. Dalam
keremangan mentari sore yang bersinar jingga, bola mata
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gagang Gerhana memperlihatkan semacam tabir bening.
Meski tampak acuh tak acuh namun setiap cahaya yang
menyorot dari matanya terasa tajam menusuk.
Di dunia ini sudah maklum bahwa manusia dilahirkan
dengan bakat yang berbeda. Bakat pula yang menentukan
kesuksesan seseorang. Terdapat seorang calon penyair
legendaris, dalam umur lima tahun ia sudah dapat merangkai
kata layaknya remaja yang jatuh cinta. Seorang jenius dalam
bidang catur, sejak umur tiga sudah mampu menerapkan tiga
kali tujuh langkah catur yang rumit.
Namun ada pula segala kesuksesan dan kesempurnaan itu
diraih dengan kerja keras yang tekun. Umpamanya seorang
yang tuli, karena latihan dan gemblengan yang luar biasa ia
menjadi seorang yang paling tajam telinganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan pengamatannya yang khas, Arya segera mengetahui bahwa Gagang Gerhana adalah tipe orang yang
pertama. Pancaran cahaya matanya yang tajam berkilat
menandakan bakatnya yang tinggi di dalam ilmu silat.
Mungkin potensi kecerdikannya juga tidak dibawah orang lain.
Namun semua itu tertutup dengan kelinglungannya.
Namun sebab apa anak ini menjadi begini rupa, seingatnya
seorang anak akan menjadi sinting sebagian besar karena
tidak mendapat porsi kasih sayang yang cukup dari orang
tuanya. Mengingat kembali tempat tinggal Pandan Kumala yang
terletak jauh di puncak bukit, Arya menghela nafas panjang.
Rupanya perselisihan puluhan tahun lalu berbuntut tidak
pendek. Akibat yang dibawanya juga rupanya lebih
mengerikan dari apa yang dibayangkannya.
Lamat-lamat, di kedalaman sanubarinya Arya merasakan
sendu yang pilu. Seandainya kejadian itu tak terjadi, tentu
keluarganya akan hidup tentram. Dirinya tak perlu menjadi
petualang tanpa rumah seperti sekarang ini. Bocah Gagang
Gerhana ini juga tak usah menjadi sedemikian mengenaskan
keadaannya. Namun kejadian di dunia ini memang lebih aneh dari
rangkaian kata 'seandainya'.
Siapa yang salah, siapa yang benar, benar-benar seperti
lorong labirin yang terus berputar tak henti.
Sebenarnya dirinyakah yang terlalu besar meledakkan
emosi" Ataukah Ayahnya yang terlalu kukuh dengan apa yang
di yakininya. Untuk pertama kalinya Arya merasakan bulu kuduknya
meremang. Bukan ketakutan, lebih tepat semacam perasaan
bersalah yang tiba-tiba membanjir.
"Apa wajahku sangat jelek?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertanyaan ini mendadak saja terlontar dari mulut Gagang
Gerhana. Nada bicaranya polos, tapi fasih. T idak m irip dengan
bocah sepuluh tahun yang belum pandai bicara.
Untuk sejenak Arya terhenyak.
Sebenarnya Arya akan lebih terkejut lagi seandainya tahu
bahwa selama hidupnya Gagang Gerhana tidak pernah bicara
kepada siapapun. Termasuk kepada ibunya.
"Tidak, tentu tidak." Tergagap juga Arya menjawab.
"Lalu kenapa matamu melotot memandangku?"
Sekilas Arya tidak bisa membedakan apakah pertanyaan ini
benar-benar pertanyaan atau makian.
Maka ia hanya tertawa saja, "Apa benar mataku melotot?"
"Kupikir malah sudah hampir keluar dari tempatnya."
Kembali Arya tertawa. Bocah cilik ini ternyata tidak tolol.
"Bukankah kau mencari dua orang gadis dan seorang tua?"
Pertanyaan yang dilontarkan dengan muka polos ini hampir
membuat Arya berjingkrak.
"Dari mana kau tahu?"
Gagang Gerhana tertawa ketolol-tololan, "Dari mana
kutahu" Tentu saja ada yang mengatakannya kepadaku. Kalau
tidak bagaimana aku tahu?"
Sinar mata Arya seketika berbinar, "Apa kau juga tahu
dimana mereka?" "Mereka siapa?"
"Dua orang gadis dan seorang tua?"
Gagang Gerhana tertawa. Tertawa yang polos. Tidak
kelihatan menyembunyikan sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kau bisa menemukan mereka disetiap jalan
yang kau temui?" Tentu saja, dua orang gadis dan seorang tua adalah
klasifikasi umum. Siapapun bisa menemukan dua orang gadis
dan seorang tua dimana saja.
Arya menatapa bocah itu lekat-lekat. Sepasang mata yang
bening balas memandangnya tanpa kedip. Mata itu tak
mencerminkan tipu muslihat yang jahat. Benar-benar sinar
mata seorang bocah yang polos.
"Apa seseorang menyuruhmu mengatakan ini kepadaku?"
Gagang Gerhana tertawa. Kali ini dia tidak menjawab.
Hanya sepasang matanya yang berkedip-kedip.
Arya juga tak memaksanya menjawab, karena saat itu juga
terdengar tiga kali suara ketukan pintu.
Tak seorang pun yang mengetahui bahwa dirinya menginap
di tempat ini. Pelayan juga tak akan sembarangan mengetuk
pintu. Ia telah berpesan tadi. Lalu siapa yang mengetuk pintu
kamarnya. Ketukan pintu itu tak terdengar lagi. Namun Arya tahu
orangnya masih menunggu di depan. Bayangan sepasang
sepatu yang putih mungil tampak memanjang.
Sekarang pintu itu telah terbuka. Dan sekali lagi Arya
memaksakan sepasang matanya untuk tidak melompat keluar.
Umur perempuan ini boleh dikatakan tidak muda lagi.
Namun dalam kematangan usianya, pesona yang memancar
dari setiap pori-pori wajahnya tak kalah dengan daya tarik
wewangian tubuh perawan. Pakaiannya putih berkibar pelan.
Dia pun tidak mengenakan penghitam bulu mata, karena bulu
mata aslinya memang jauh lebih indah dari pada segala
macam polesan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kekagetan Arya ini mungkin akan bertambah menjadi
kepanikan seandainya anak muda ini tahu bahwa perempuan
inilah Pandan Kenanga. Pandan Kenanga yang telah ditusuk luka oleh Pandan
Kumala ternyata berdiri segar bugar disini.
"Kaukah Arya Dipa Loka?" suaranya masih semerdu burung
berkicau. "Benar, apa aku pernah berhutang pada nona?" agak
tergagap Arya menjawab. "Kau tidak berhutang kepadaku. Aku pun bukan lagi
seorang Nona cilik."
Sekalipun bukan lagi seorang nona cilik, tapi aura yang
memancar dari sikap dan tutur tingkahnya malah lebih
menarik dari pada seorang nona cilik.
"Kalau begitu..."
"Aku tidak lain hanya seorang kurir saja."
Kalau kurirnya saja sudah seperti ini, maka betapa penting
surat yang dibawanya jangan lagi dipertanyakan.
"Apakah salah seorang sahabatku yang mengutus nona?"
Pandan Kenangan tertawa, "Bukan saja sahabat. Malah
boleh dikatakan keluarga."
Sepasang mata Arya sontak berkilat, "Apakah dari Pandan
Kumala?" Pandan Kenanga tertawa manis, "Dalam selintasan kau
sudah bisa menebaknya. Agaknya hubunganmu dengannya
cukup istimewa." Arya menghela nafas, "Hubunganku dengannya memang
agak istimewa. Silahkan nona berikan suratnya lalu selekasnya
aku akan menutup pintu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menjublek juga Pandan Kenanga. Selama malang melintang
di dunia persilatan, belum pernah dirinya digebah mentah-
mentah begini. Wajahnya yang tadi berpendar riang seketika juga berubah
dingin, "Ia tidak mengirimkan surat, hanya beberapa patah
kata." Belum lagi perkataannya selesai tubuhnya sudah menyusup
ke depan. Sekali sambar langsung meraih tubuh Gagang
Gerhana. Betapa cepat gerakannya, sekalipun tokoh sekelas
Kiai Santun Paranggu juga mungkin hanya segini saja. Namun
sayang sekarang ia berhadapan dengan Arya.
Arya yang sekarang juga tidak sama dengan Arya yang
kemarin. Penghayatan terhadap Kitab Teratai sekalipun baru
pada tahap pertama namun betapapun sudah menunjukkan
peningkatan yang luar biasa pada kemampuan anak muda ini.
Sedetik lebih cepat satu jari Arya menutuk pergelangan
tangan Pandan Kenanga yang terulur.
Merasakan angin yang berciut tajam, Pandan Kenanga
menarik tangannya. Dalam waktu bersamaan lututnya
terangkat menghantam dada. Jurus ini sebenarnya tidak
pantas dimainkan seorang gadis. Namun semakin tidak dapat
di tebak semakin efektif sebuah jurus.
Agaknya lutut yang berbalut kain sutra putih berkibaran itu
akan tiba di dada Arya ketika tiba-tiba tubuh pemuda itu
seakan patah. Separo pinggang ke atas tertekuk ke bawah,
sementara bagian bawah tetap tegak kokoh.
Pandan Kenanga tersenyum kecil. Gerakan tubuh Arya itu
seakan membuka pintu yang sangat lebar untuk menyarangkan pukulan. Bagian pinggang yang tertekuk itu
tentu adalah bagian yang sangat lemah. Sekalipun mungkin
terlindungi dengan lapisan tenaga dalam, namun tidak akan
cukup kuat menahan pukulan yang dilancarkan sepenuh
tenaga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Diawali angin yang berdesir tajam, Pandan Kenanga
memukul keras ke arah pinggang yang tertekuk itu.
Tampaknya Arya tidak akan mampu mengelakkan pukulan
itu. Sekalipun bisa juga akan terlambat selangkah.
Dan pukulan itu memang telak mengena.
Namun senyum Pandan Kenanga seketika hilang ketika
merasakan tangannya seperti menghantam segumpal baja
yang licin. Benar tenaga pukulannya telak menggempur, tapi
arus tenaga itu seperti terpeleset.
Bersamaan dengan itu tubuh Arya mendadak meluncur ke
belakang. Tangannya meraih Gagang Gerhana, menerobos
dinding, dan dalam sekejap lenyap di tengah remang cahaya
rembulan. Betapa cepat dan tangkas gerak-geriknya kini giliran
Pandan Kenangan yang dibuat tertegun.
Pandan Kenanga tentu saja tak ingin kehilangan ikan di
depan mata. Kakinya menjejak lantai, seketika tubuhnya
melayang ke depan. Namun belum lagi menerobos dinding
serangkum angin tajam seperti menggencet tubuhnya. Dalam
waktu bersamaan dirasakannya kaki kirinya lumpuh. Tubuh
pun ambruk. Dalam sekejap Pandan Kenanga menjublek, tak tahu apa
yang terjadi. Sekalipun diketahuinya bahwa seorang yang
sudah mencapai puncak penguasaan tenaga dalam dapat
melakukan serangan melalui perantara angin. Namun biasanya
serangan itu tidak akan seefektif dan setajam bila
dibandingkan dengan serangan yang langsung melalui
anggota badan atau senjata. Apalagi kalau dilakukan terhadap
orang seperti dirinya yang juga sudah meyakinkan tenaga
dalam tinggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun kenyataannya kedua kakinya seperti lumpuh ditutuk
orang. Memangnya anak muda itu menguasai kepandaian
siluman yang dapat menutuk orang dari jarak jauh.
Tak terasa bulu kuduk Pandan Kenangan meremang.
Selama hidup belum pernah ditemukannya orang dengan
kepandaian begini tinggi.
Sesaat dipikirkannya pulang pergi apa ia harus mengejar
Arya atau tidak. Namun toh kalau mengejarnya juga belum
pasti bisa menyusul anak muda itu. Kecepatan gerakan yang
dipamerkan Arya sedetik tadi sudah menunjukkan kelas ilmu
meringankan tubuhnya yang mungkin setingkat diatas dirinya
sendiri. Kalau toh ia dapat menyusulnya, tidak pasti pula ia dapat
mengalahkan pemuda itu dan merebut Gagang Gerhana.
Bagaimana kalau Arya sengaja memasang perangkap untuk
menjebaknya" Setelah terdiam sejenak segera ia melayang ke barat sana.
Sebenarnya kepandaian Arya sendiri tidaklah sebegitu
menyeramkan. Hanya tadi ia menggunakan sedikit trik. Ketika
tubuh bagian atasnya patah kebelakang tadi sekejap jarinya-
jarinya telah meremas lembut jalan darah di kaki Pandan
Kenanga. Remasan ini, dengan perhitungan tenaga yang
sangat teliti, akan menyebabkah kaki kiri Pandan Kenanga
lumpuh dalam waktu yang diperhitungkan.
Teori remasan ini sebenarnya sudah diketahuinya dulu. Ia
pun pernah mendengar kepandaian semacam ini. Namun baru
ketika ia meyakinkan K itab Teratai di Vila Bambu m ilik K i Awu
Lamut itu ia menemukan jalan dan cara pengaturan tenaga
yang pas, sehingga beberapa teori ilmu s ilat yang sebelumnya
tidak mampu dilakukannya sekarang sudah mungkin untuk
diterapkan ke dalam praktek. Tentu saja ini pun suatu
kegembiraan tersendiri baginya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bersamaan tadi ia juga mengirim angin serangan sehingga
ditengah kekagetannya perempuan adik Pandan Kumala itu
menyangka kepandaiannya yang kelewat tinggi.
Bahkan ketika bayangan Pandan Kenanga melayang keluar
dan langsung menuju arah barat, Arya melihatnya dengan
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas, karena sesungguhnya ia pun tidak pergi kemana-mana.
Ia hanya mendekam di atas atap. Dengan senyum tersungging
di bibir anak muda ini pun mengikuti bayangan putih dari baju
Pandan Kenanga yang berkibaran itu.
Dalam gebrakan yang hanya dua tiga jurus tadi, ia telah
dapat memastikan bahwa ada hubungan cukup erat antara
Pandan Kenanga dan Pandan Kumala. Kemungkinan besar
adalah saudara seperguruan. Maka diputuskannya melepas
teri untuk menjaring kakap.
Yang aneh, Gagang Gerhana yang dikempitnya seperti
mengetahui apa yang ada di pikiran Arya. Bocah cilik itu sama
sekali tidak bersuara atau me lakukan gerakan yang dapat
mengganggu penguntitan Arya.
Dengan berloncatan dari atap rumah ke atap rumah
Pandan Kenanga seperti juga Dewi malam yang turun dari
kahyangan. Setelah beberapa kali berputaran akhirnya perempuan adik
Pandan Kumala itu tampak melayang masuk ke sebuah
jendela yang terbuka. Dengan bertengger di sebuah batang pohon Arya
memandang rumah besar itu tajam. Tak salah lagi itulah
rumah Demang Lembu Patik Pulung.
Apakah Pandan Kumala bersekongkol dengan Lembu Patik
Pulung, tapi mengapa dalam perkelahian kemarin ia malah
membantu pihak Dipa Saloka" Memangnya dalam masalah ini
pun ada satu siasat terselubung"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebetulnya Arya ingin me longok ke dalam, namun
mendadak dirasakannya sepasang kakinya terpaku. Seketika
otot-otot di seluruh tubuhnya pun menegang. Samar-samar
tubuhnya merasakan semacam hawa membunuh yang tajam
luar biasa. Dalam kepekatan malam hawa membunuh itu serupa dupa
bius yang ditiup oleh sekurumunan iblis. Sekalipun tak
berbentuk, tak terlihat, namun entah mengapa bulu kuduk
terasa merinding. Dengan kepekaannya yang terlatih, ditambah penghayatannya terhadap kandungan Kitab Teratai Arya bisa
menduga bahwa hawa iblis ini berasal dari seorang yang
berkepandaian tinggi luar biasa. Ia juga tahu bahwa orang itu
sudah bersiap-siap menyerangnya. Sekalipun belum bergerak,
namun seakan mata telinga orang itu sudah bergerak ke
seluruh tubuh Arya. Mencari setitik kelemahan yang akan
menjadi pintu untuk mengirim pemuda itu ke Akherat.
Semakin lama hawa itu semakin tajam. Udara pun
mendadak berubah dingin membekukan. Arya tahu sebentar
lagi pertarungan yang menyangkut hidup matinya akan segera
dimulai. Ia pun sebenarnya tidak terlalu risau dengan dirinya.
Mati hidup baginya bukanlah persoalan besar.
Namun dalam kempitannya masih ada Gagang Gerhana.
Bocah ini bukan saja adiknya, namun juga satu-satunya hal
yang membuatnya harus tetap hidup. Karena ia lah yang
mengambilnya dari Setan Kepala Besar maka ia pula yang
harus mengembalikannya ke tempatnya yang layak.
Maka ia harus tetap hidup.
Maka ia tidak boleh bergerak.
Lawan ada di tempat terang, sedang ia tak melihat satu
sosokpun. Bahwa suara nafas atau hawa panas yang biasanya
keluar dari tubuh manusia juga tak ditemukannya. Terang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang ini adalah seorang pentolan dunia persilatan dengan
peyakinan ilmu yang luar biasa.
Awan hitam menutup rembulan. Bintang-bintang pun
seakan tenggelam dalam kegelapan yang berdenting,
bersendawa membawakan lagu sunyi.
Dalam sepi yang siap pecah itu tiba-tiba menyusup sealur
nada tiupan suling. Bagaikan jalur-jalur air yang merembes
pelan-pelan, tiupan seruling itu menembus benteng baja yang
terbentuk dari pertarungan diam antara dua orang yang
sedang berlaga. Seiring dengan tiupan seruling, yang seakan-akan datang
dari empat penjuru angin, pelan-pelan Arya merasakan hawa
membunuh yang mengurung dirinya menguap kemudian mulai
memudar. Tentu saja Arya tahu inilah saat yang tepat untuk mundur
teratur. Sejenak dirasakannya dadanya bergolak panas.
Betapapun selama ini tak pernah ia mundur dari medan laga,
betapapun ganasnya, betapapun garangnya. Sekarang ia
harus mundur, dengan sendirinya hatinya merasa penasaran.
Namun Arya, sekalipun masih cukup muda untuk dapat
dengan mudah mengekang panas di darahnya, mempunyai
hidup yang tak hanya memberikan kepuasan. Selama tujuh
tahun ia tertempa oleh hujan badai yang seakan meluluh
lantakkan langit. Kepedihan dan keputusasaan membuat
jiwanya tergembleng kokoh.
Di dunia ini entah berapa banyak manusia, yang dikelilingi
oleh kecukupan dan kemapanan. Mereka merasakan hidup
hanya sebagai lagu dari kepuasan dan kesenangan yang
bertubi-tubi. Maka ketika badai datang, mereka pun ambruk
seperti helai padi. Namun ada pula sementara orang yang setiap hari, setiap
saat harus mempertahankan hidup mereka. Kesengsaraan,
duka, derita, seperti pukulan godam pada besi panas yang tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
henti hinggap di tengkuk mereka. Tetapi ketika kesulitan
datang, merekalah yang pertama kali menyambut. Tegak
tegar di tengah amuk topan.
Maka tanpa menunjukkan rona perubahan di mukanya Arya
pun melayang ke belakang. Tubuhnya masih tetap
menghadap kedepan. Samar-samar di pekatnya gelap di
kejauhan sana tercetak sesosok bayangan memanjang.
Siapakah peniup seruling itu" Ia pun tidak tahu. Hanya
lamat-lamat diingatnya bahwa bahwa diantara pernik-pernik
bambu di kediaman Ki Awu Lamut itu pernah terdapat
sebatang seruling bambu berawarna kuning muda.
Siapa juga bayangan hitam itu" Seorang yang pasti belum
pernah ditemuinya. Mengingat hawa membunuh yang dimiliki
orang itu, hati pemuda itu kembali bergidik. Hawa membunuh
itu bukanlah hawa membunuh biasa. Didalamnya terkandung
entah kekuatan apa yang mampu mengurung lawannya dalam
bius dupa. Dari manakah mendadak muncul tokoh sehebat ini"
Sambil me layang Arya kembali mengingat luka didada
ayahnya. Satu nama terngiang di telinganya. Raja Iblis Tinju
Es. Benarkah dia yang muncul. Namun urusan apa yang
menyebabkan Raja Iblis yang telah sekian tahun lamanya tak
terdengar kabar beritanya itu mendadak muncul dan bahkan
bersekutu dengan Demang Lembu Patik Pulung. Apakah juga
karena Wahyu Kepala Naga"
Sebenarnya sebeharga apa Wahyu Kepala Naga sehingga
berbagai tokoh yang telah lama mengasingkan diri kembali
bermunculan" Ia telah mendapatkan Kitab Teratai, dan
kenyataannya itu tak lain hanya sebatas Kitab Ilmu s ilat biasa,
walaupun juga tak bisa dikatakan biasa. Namun tokoh
sekaliber Raja Iblis Tinju Es pasti tidak akan tergiur oleh
berbagai kitab Pusaka, mengingat kesaktiannya yang sudah
ngedap-ngedapi. Tapi toh ia keluar juga, maka pasti Wahyu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kepala Naga merupakan sesuatu yang lain. Yang sangat
berharga. Tak terasa Arya sudah sampai di depan penginapannya.
Melalui dinding yang bolong ia bisa melihat jelas keadaan
kamarnya. Tidak ada perubahan. Letak kasur dan bahkan
cangkir teh masih di tempatnya.
Satu-satunya perbedaan adalah disitu telah tambah satu
orang. Orang yang seharusnya tak berada disini. Ia pun tak
pernah membayangkan bahwa orang ini akan ada disini.T etapi
kenyataannya ia telah duduk dengan tenang di depan meja
kecil itu. Pandangannya tampak menerawang jauh ke
rembulan yang mulai tersibak. Pakaiannya yang putih
berkibaran diperma inkan angin, rambutnya yang panjang
terurai tampak melambai. "Kau sudah pulang," kata-katanya wajar, sama sekali tak
mengunjukkan suatu perasaan.
Arya tak menjawab. Pelan-pelan ia masuk melalui lubang
dinding dan melepaskan Gagang Gerhana, yang seketika
berlari ke pangkuan perempuan itu.
Memandangi Gagang Gerhana, sepasang mata perempuan
itu membiaskan air yang bening. Tangan kanannya mengelus
kepala bocah kecil itu yang entah kenapa kembali tampak
linglung. "Kau tentu heran kenapa aku disini?" Pandan Kumala
bertanya sambil menatap Arya. Tatapan inilah yang
membuatnya minggat meninggalkan rumah tujuh tahun yang
lalu. Sepasang mata inilah yang membuat ibunya harus hidup
tak tentram. Sepasang mata ini juga yang mengharuskan
ayahnya kandungnya menghunus
keris ke dadanya. Betapapun sabarnya tak urung sepasang mata Arya memerah.
"Aku maklum pandanganmu terhadapku, namun aku harus
memberitahumu juga bahwa sebuah persoalan tak bisa
dipandang dari sudut lumrah saja. Banyak hal di dunia ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang bahkan menghayalkannya pun kau tak pernah, tetapi
dalam kenyataan telah terjadi. Namun aku pun tidak
memintamu untuk melupakannya, apalagi memaafkanku."
Tangan Arya mulai bergetar. Mending kalau tak diingatkan,
begitu Pandan Kumala menyebut persoalan itu, luka yang
menganga di hatinya seketika seperti kembali disiram garam.
Ada sementara persoalan di dunia ini yang memang tak bisa
disembuhkan oleh waktu. "Saat ini Kakang Demang masih terluka. Sekalipun tidak
menengoknya, aku pun tahu kalau ia belum lagi sadar.
Seorang kalau sudah terkena Pukulan Gajah Pengeduk
Lumpur, sekalipun diobati oleh lidah naga juga tak akan
sembuh dengan cepat. Bahwa ia masih bernafas saja sudah
terhitung nasib baik."
Pandan Kumala seperti mengerti bahwa pemuda itu tak
akan menganggapi ucapannya, maka kembali ia meneruskan,
"Dahulu, dalam suatu kesempatan Dyah Surya pernah
mengatakan kepadaku, bahwa meski kau sangat cerdas, juga
berbakat dalam ilmu silat, namun hatimu lemah. Terlalu
gampang diombang-ambing oleh gejolak hati. Diluar kau
tampaknya begitu keras, namun didalam kau sangat lunak,
persis tahu yang dilabur dengan aspal."
Dyah Surya adalah ibu Arya. Arya tentu saja tak lupa
dengan nama ibunya. Ia hanya tak ingat sejak kapan ibunya
pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan mengatakan
sesuatu tentang dirinya. "Siang-siang ia telah memperkirakan bahwa sifat mu ini
akan menjadi bencana di kemudian hari." Seulas senyum
rawan tampak terbayang di bibir Pandan Kumala, "Seorang ibu
mengetahui anaknya seperti menghafalkan garis tangan
sendiri, namun seberapa besar anak memahami kehendak hati
sang ibu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil mengelus-elus kepala Gagang Gerhana kembali ia
melanjutkan, "Selama hidup aku tak pernah meminta kepada
siapapun, selanjutnya juga tak akan. Hanya sekali ini aku
memintamu untuk menjaga bocah ini. Mungkin tidak mudah,
tapi betapapun dalam diri kalian mengalir darah yang sama.
Kurasa hal itu akan memudahkan kesulitan yang tercipta."
Setelah terdiam beberapa saat, dan memandang Gagang
Gerhana sekejap Pandan Kumala melangkah ke pintu,
membukanya pelan, dan keluar dari situ.
Arya masih terdiam, sepatah katapun tidak diucapkannya.
Sampai sekian lamanya ia masih tertegun ditempat. Ketika
malam mulai mendekati fajar, barulah kelopak matanya
mendadak terpejam. Ia tak ingin air matanya meleleh. Namun siapa yang
sanggup menghentikan hati yang pedih. Sekalipun rasa sakit
dapat ditahan, namun darah yang mengalir dari luka tetap
akan mengalir. Cahaya fajar memerah di ufuk timur. Kokok ayam jago
mengawali hari bagi umat manusia, untuk bertanggung jawab,
untuk mencari jawab. ~Dewi-KZ~ Bab XVII, Aji Langit Bumi Teruruk Es
Demang Lembu Patik Pulung memandangi secangkir madu
di depannya. Madu adalah minuman yang paling berkhasiat,
siapapun tahu itu, tapi orang yang setiap hari minum delapan
cangkir madu memang tidak banyak. Lembu Patik Pulung
sangat suka terhadap madu. Setiap hari paling sedikit ia
menghabiskan sepuluh cangkir madu. Lagi pula cara
minumnya sangat cepat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apapun yang dimakannya boleh terserah kepada juru
masak, pun tak terlalu dipusingkan apakah keasinan atau
kepedasan. Asal disampingnya ada madu, maka makanan
apapun baginya menjadi sangat lezat.
Namun sekarang ia mendadak kehilangan seleranya.
Secangkir madu yang biasanya diminumnya sekali teguk itu
hanya dipandanginya serupa memandangi kerbau bunting.
Sama sekali tidak ada selera.
Namun sebenarnya bukan hanya Lembu Patik Pulung yang
bersikap begitu. Setiap orang diruangan itu hampir semuanya
memperlihatkan mimik muka yang sama. Makanan dan
minuman yang tertata di meja seakan sudah menjadi
setumpuk tahi. Sama sekali tidak ada yang menyentuhnya.
Hal ini bukan karena mereka semua telah menderita
penyakit cacingan semua. Hanya karena diruangan itu telah
bertambah satu orang. Bukan saja perawakan orang ini luar biasa anehnya, cahaya
kelabu yang menyorot dari sepasang matanya pun seakan
memaksa setiap orang yang ditatapnya menundukkan kepala.
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan karena takut atau segan, tapi lebih karena terlalu mual.
Mata itu tidak mirip mata manusia, lebih persis mata batu.
Pandan Kenanga mencoba mengerling sedikit. Baru saja
matanya menumbuk pandangan orang ini seketika bulu di
kuduknya mengkirik. Biasanya sekalipun melihat darah
menyembur pun ia tak berkedip, bahkan bisa tetap tersenyum
manis, namun entah kenapa sepasang mata batu yang
bersinar kelabu ini begini menggidikkan.
Mimpi pun ia tak pernah mengira bahwa Raja Iblis Tinju Es
adalah orang macam begini. Lalu orang macam apa
seharusnya Raja Iblis Tinju Es. Dia pastilah seorang
berperawakan tinggi besar, dengan cambang bawuk lebat,
otot-otot sebesar semangka, lagi pula bersuara sekeras
geledek. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kenyataannya orang yang terkenal sebagai dedengkot
golongan rimba hijau yang tak pernah kenal tandingan ini
hanya seorang kakek yang separoh rambut dikepalanya sudah
rontok. Wajahnya lebih mirip jerangkong yang dilapisi arang.
Jari-jari tangannya serupa cakar ayam yang sudah digoreng
sepuluh kali, dengan kuku-kuku panjang yang menghitam.
Pakaian yang dikenakannya pun compang-camping. Orang ini
lebih tepat dikatakan sebagai mayat yang telah ratusan tahun
terpendam. Mata yang bersinar kelabu itu tak menyiratkan
kehidupan. "Kenapa Guru tak membunuhnya?" akhirnya Lembu Patik
Pulung berhasil juga mengeluarkan kata-katanya. Telah sekian
lamanya sejak Arya meninggalkan tempat itu. Benar memang
terkaan pemuda itu bahwa orang dengan hawa pembunuhan
menggidikkan itu tidak lain adalah Raja Iblis Tinju Es.
"Aku tak boleh membunuhnya," bahkan suara yang keluar
dari tenggorokannya pun serupa gesekan kayu kering.
Lembu Patik Pulung memandangi Raja Iblis dengan heran.
Tak terkecuali juga Hanggarawura dan Pandan Kenanga.
Dengan sangat teliti mereka merencanakan tipu menjaring
kakap ini. Tak tersangka setelah Pandan Kenanga berhasil
memancing Arya dan hanya tinggal membunuh pemuda itu
Raja Iblis Tinju Es malah berdiam diri. Bahkan Ranti Sumirah
yang tak puas dan sudah melayang hendak menangkap Arya
kena dicengkeram kepalanya oleh Raja Iblis dan seketika
diremukkan mentah-mentah.
"Kalian tentu sangat heran bukan."
Setelah tertawa yang mirip suara tong rusak diseret, Raja
Iblis kembali berkata, "Kalian tentu menyangka suara seruling
itulah yang menyebabkanku mengurungkan niat."
Sekalipun tidak mengiyakan, Lembu Patik Pulung juga tidak
menyangkal. Betapapun terdapat juga perkiraan demikian
dalam hati mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hehe, sekalipun orang yang meniup seruling itu memang
punya sedikit nama, namun kalau hanya hanya dia tua bangka
tak akan bisa menghentikan satu gerakanku."
"Sebabnya aku tidak membunuh pemuda itu adalah karena
aku merasa sayang. Pemuda yang punya keberanian seperti
itu sekarang ini sudah sangat jarang. Kalau ku bunuh satu
tentu menjadi tidak menyenangkan."
Sungguh kalau bukan Raja Iblis Tinju Es ingin rasanya
Lembu Patik Pulung menyumpal mulut orang ini dengan sol
sepatu. Perkataan yang dikemukakannya hakikatnya hanya
kentut belaka, mana dapat dipahami sebagai ucapan dari
seorang dedengkot Iblis. "Apalagi anak dalam kempitannya itu begitu manis dan
menarik, membuat hatiku serasa dikili-kili."
Raja Iblis Tinju Es tertawa berkepanjangan. Pandan
Kenangan diam-diam menghela nafas. Pentolah penjahat yang
kesaktian dan kekejiannya tanpa tanding, dapat meremukkan
batok kepala seperti meremas tahu ternyata seorang sinting.
Tapi memang tidak dapat menyalahkan dia. Seorang kalau
fisiknya saja sudah berubah begitu hebat, maka jiwa dan
sukmanya pasti juga menderita kelainan yang susah
disembuhkan. "Kalau begitu, perlu apa kau membunuh Ranti Sumirah?"
kali ini Hanggarawura yang bertanya. Sekalipun bukan
isterinya, namun selama ini sudah banyak waktu ia bersama-
sama dengan perempuan itu. Betapapun menumbuhkan
perasaan tersendiri. Raja Iblis Tinju Es tertawa mengejek, "Kau merasa
penasaran bukan. Kalau memang merasa penasaran kenapa
tidak kau balik membunuhku."
Seketika pucat wajah Hanggarawura, "Ah, mana saya
punya nyali sebesar itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raja Iblis tertawa, "Soalnya kau memang tidak mempunya
kemampuan sama sekali. Makanya sekalipun mulutmu cukup
lebar namun nyalimu malah amat kecil. Yang kukuatirkan
kalau sampai nyali mu pecah maka daging di tubuhnya akan
berubah pahit, tidak enak lagi disate."
Suara tertawa Raja Iblis yang mirip rintihan setan itu
semakin keras. Perkataannya yang ingin menyate orang itu
diucapkan dengan enteng, serupa hal itu sudah amat terbiasa
baginya. "Baiklah, kalau tidak kukatakan mungkin mati pun kau tidak
tenang. Ku bunuh perempuan itu karena aku terlalu muak
dengan mukanya. Hakikatnya muka seperti itu sudah tak layak
lagi hidup di muka bumi, maka aku pun percepat
kepergiannya. Kalau toh setiap orang harus mati, mati lebih
cepat kan tidak ada bedanya, benar tidak?"
Tentu saja Hanggarawura tidak berani menyalahkan.
"Mestinya mukamu itu juga terlalu memuakkan. Tapi
terhitung kau masih punya keberanian untuk bicara, bolehlah
hidup beberapa hari lebih lama."
Keringat sebesar kacang berjatuhan layaknya gerimis dari
dahi Hanggarawura. Selama ini ia amat mengagulkan
kepandaiannya, kedudukannya di kota raja juga tidak rendah,
mana ada orang yang berani sembarangan buka mulut di
depannya. Tapi sekali ini bukan saja teman perempuannya
telah dibunuh mentah-mentah, malah nyawanya juga tak bisa
dipastikan kesinambungannya.
Kontan ia melirik Lembu Patik Pulung dengan mendongkol.
Orang itulah yang mengusulkan sekaligus mengundang
kedatangan Raja Iblis Tinju Es. Kalau sekarang muncul gara-
gara maka dia pula yang harus menanggungnya.
Tak dinyana paras muka Lembu Patik Pulung tidak
berubah. Seakan-akan hal seperti
ini sudah dalam Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perhitungannya. Karuan tambah menggelegak dada Hanggarawura. "Yang menarik bagiku hanya lah Wahyu Kepala Naga, kalau
hanya ingin membunuh orang, memangnya kalian ini bukan
orang?" Ketika menyinggung kepala naga seketika cahaya muka
Raja Iblis Tinjui Es bersinar aneh.
Di tengah gema suara Raja Iblis itu mendadak menyelusup
angin yang membawa suara lain.
"Wahyu Kepala Naga benar-benar benda yang menarik,
bahkan Raja Iblis Tinju Es pun hadir meramaikan. Kalau aku
tidak menyambut lebih dahulu kan jadinya terlalu tidak
sopan." Nada suara ini tidak keras, pun diucapkan dengan
gaya biasa, sama sekali tidak terburu-buru. Seperti ia
menyapa kepada sahabat lama saja.
Waktu itu mereka memang lagi duduk di pendopo rumah
Demang Lembu Patik Pulung. Dalam bayangan sinar obor
yang disulut beberapa tampak dari kejauhan sana muncul
seorang kakek yang memikul dua keranjang bambu. Cara
berjalan kakek ini kelihatan amat payah, untuk melangkah
saja harus mengerahkan setaker tenaganya, apalagi di
bahunya masih tersampir pikulan dengan dua keranjang
bamboo yang tampak tidak ringan.
Namun walau kelihatan amat payah, dalam sekejap saja si
kakek ini sudah tiba di depan pendopo.
Demang Lembu Patik Pulung menyipitkan matanya. Selama
ini benar dirinya tidak terlalu berkecimpung di dunia
persilatan, namun hampir semua tokoh persilatan dikenalnya,
sedikitnya ia tahu asal-usul nya. Tapi kakek ini kelihatan
seperti orang yang terlalu biasa, tidak memperlihatkan
keistimewaan apapun. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kenanga malah sudah menghela nafas, mengira
Raja Iblis akan sontak menghancurkan tulang-tulang kakek
pendatang ini. Hanya Maling Tiga Ratus Kaki saja, yang sejak tadi tak
mengeluarkan suara, mendadak sepasang matanya memancarkan sorot aneh. Maklum sebagai Maling kawakan ia
sudah terbiasa untuk memperhatikan hal-hal terkecil.
Sekarang ia pun dapat melihat bahwa meski kakek ini tak
ubahnya orang tua dusun kebanyakan namun sepasang
kakinya begitu bersih, tak setitik debu pun yang mengotori
kakinya. Tampaknya pandangan Raja Iblis Tinju Es pun tak kalah
cermatnya dari Maling Tiga Ratus Kaki. Sekian lamanya ia
berdiam, baru setelah kakek itu menurunkan pikulan di
bahunya dengan amat kesulitan dan duduk dengan terengah-
engah di tikar pandan, seulas senyum yang tampak amat
ganjil membayang di sudut bibir pentolan penjahat itu.
Maling T iga Ratus Kaki sedang mengira-ira apakah orang ini
yang meniup seruling. Tapi tak sebatang seruling pun terselip
di pinggangnya. Kakek ini, yang seluruh rambut di kepalanya berwarna
seputih salju dan wajah yang memerah dengan baju wulung
yang tak dikancingkan duduk dengan enak. Sebuah caping
bamboo tampak tergantung di lehernya. Matanya menatap
Raja Iblis tajam. Sepasang mata ini coklat bening bagaikan
batu koral di dasar laut.
Raja Iblis tertawa riang, "Bagus, bagus, kalau kau pun
muncul barulah agak menarik."
Kakek itu balas tertawa, "Kalau kau pun ikut keluar,
bagaimana aku tega mengendon terus."
"Kukira selama ini kau sudah jadi pupuk tanah, tak
tersangka masih bisa segar bugar. Bahkan kelihatan enak
sekali penghidupan mu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hidup ini hanya sekali, kalau tak dinikmati baik-baik kan
jadi terlalu mubadzir."
Menatap mata kakek itu yang bening coklat, sepasang mata
kelabu Raja Iblis TInju Es mendadak berkilat, "Kalau kau
sudah datang kenapa tidak kita mulai saja permainan ini?"
Walaupun diucapkan dengan tawar, tapi entah tenaga gaib
apa yang menyertai sehingga udara mendadak terasa dingin
menusuk. Semakin lama hawa dingin semakin menggila, seakan
mendadak seantero es di kutub utara menggumpal di tempat
itu. Hanggarawura sudah menggigil dengan mata melotot
sebesar ikan mas koki, sementara Demang Lembu Patik
Pulung kelihatan berusaha keras menahan hawa dingin itu.
Keringat sebesar kacang menetes-neter dari dahinya. Keadaan
Pandan Kenanga dan Maling Tiga Ratus Kaki pun tak jauh
beda. Padahal Raja Iblis Tinju Es tidak kelihatan memperlihatkan
suatu gerakan, namun tampaknya hanya dari pori-pori kulit
saja ia sudah bisa menyalurkan tenaganya, mempengaruhi
udara sekitar. Kepandaian seperti ini meski menghayalkannya
pun Pandan Kenanga tak pernah.
Tak dinyana kakek itu masih kelihatan adem ayem. Bahkan
dengan caping bambunya ia mengipas-ngipas seenaknya.
"Hebat, betul-betul hebat. Aji Langit Bumi Teruruk Es ini
benar-benar membuatku mataku terbuka lebih lebar."
Tampaknya kakek itu hanya mengipas-ngipas biasa, namun
samara-samar Lembu Patik Wulung merasakan hawa hangat
yang menguar setiap kali kipas itu bergerak.
Semakin lama perbedaan semakin jelas. Udara di sekitar
Raja Iblis Tinju Es tampak memutih membeku. Dinginnya
bukan alang kepalang. Sementara sekitar tubuh Kakek
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bercaping bamboo itu ada hawa hangat yang mengalir terus
menerus. Tak tahan dengan hawa dingin yang mencekam, merasuk
tulang sum-sum, Hanggarawura menggembor keras. Dipaksakannya untuk mengeluarkan seantero tenaganya.
Matanya melotot sebesar gundu, mulutpun terbuka lebar, tapi
tak secuil suara pun yang keluar.
Tampaknya tak lama hari orang dari Kota raja itu akan
menyusul teman perempuannya.
Mendadak Kakek bercaping tertawa pelan, tak kelihatan
tubuhnya bergerak tiba-tiba tubuhnya melayang kebelakang.
Sekali tangannya menggapai dua keranjang satu pikulan
segera ikut melayang. "Permainan yang bagus, Iblis tua, tapi sementara ini aku
masih ingin hidup enak. Apalagi kalau aku mati siapa yang
akan jadi tuan rumah nanti dalam pertemuan di Lautan Awan.
Untuk itu kita lanjutkan saja permainan ini pada waktunya
nanti." Belum lagi gema suaranya hilang, tubuhnya sudah hilang
tertelan gelap. Setelah kepergian kakek itu hawa dingin perlahan juga
memudar. Karuan Hanggarawura
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memang berkepandaian paling cetek diantara mereka merasa dibetot
dari pintu neraka. Sekalipun begitu sekujur rambutnya sudah
membeku putih dan kulit tubuhnya mengerut.
Raja Iblis tertawa, "Rama, ramai, tua bangka peniup suling
datang, moyangnya pun tak ketinggalan. Tampaknya aku juga
harus memanggil anggota keluarga yang lain."
"Guru, siapakah orang tua tadi, " Lembu Patik Pulung tak
dapat menahan rasa penasarannya.
"Tolol, selama ini apa kau tidak pernah mendengar nama
Amuk Nanggala." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagaikan sembilan petik meledak dikepalanya, Lembu Patik
Pulung sampai terjingkrak. Bagaimana tidak, selama ini
legenda yang menceritakan tentang Kiai Amuk Nanggala
seperti menempatkan orang tua itu di jajaran penghuni langit.
Betapa agung dan suci. Siapa yang mengira bahwa kakek bertampang biasa yang
memikul dua keranjang besar dengan kepayahan itu adalah
tokoh yang dilegendakan selama berpuluh tahun.
Wajah Pandan Kenanga juga seketika memerah. Tadi
sempat dilihatnya Kiai Amuk Nanggala meliriknya sekilas.
Lirikan yang seperti sengaja tidak sengaja itu bagai
mengandung arti yang menggidikkan.
"Makanan sudah pada dingin, kenapa tidak lekas ganti
dengan yang panas?" Bukan saja mendingin hakikatnya semua makanan dan
minuman sudah menjadi es batu semua.
~Dewi-KZ~ Arya seperti lagi bermimpi menunggang awan. Berkali-kali
tubuhnya seakan terlonjak. Namun serupa juga dirinya lagi
pesiar ke kutub utara sana. Seluruh tubuhnya bagai direndam
dalam cairan es abadi di pucuk bumi itu.
Sebenarnya apa yang terjadi, ia sendiri juga tak ingat
dengan jelas. Ia hanya tahu setelah kepergian Pandan Kumala
mendadak seluruh tubuhnya menggigil. Semua jalan darah
ditubuhnya bagai tersumbat oleh berton-ton es.
Ketika membuka mata, dilihatnya sepasang mata yang
bersinar teduh. Kemudian se lembar wajah tua dengan rambut
semuanya hampir memutih. Baru saja ia mau mengangkat
kepalanya, segera dirasakannya tulang-tulang lehernya bagai
diganduli seribu balok batu.
"Sebaiknya kau menenangkan dirimu. Tempat ini mana
enak, sejuk lagi. Tak usah khawatir salah satu barangmu ada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang kecolongan." Suara ini bukan suara nenek tua itu. T entu
saja Ia mengenal suara ini, karena inilah suara khas bernada
riang dari Risang Ontosoro.
Dengan berusaha keras menolehkan kepalanya, dilihatnya
Risang duduk ongkang-ongkang di jendela sana. Dibelakangnya membayang siluet gunung yang membiru
terbungkus awan putih. Mimik muka anak muda itu tampaknya tak berubah. Tetap
riang jenaka. Salah satu tangannya bahkan memegang ketela
bakar yang masih mengepul. Mulutnya mencecap-cecap enak.
"Bibi, bagaimana keadaannya?" tanyanya sambil mencomot
ketela bakarnya. "Asal kau tidak banyak mengoceh maka keadaannya akan
segera membaik." Risang tertawa, "Apalagi aku terus-terusan mengoceh,
siapa tahu keadaannya akan membaik dengan cepat."
"Kalau begitu aku yang akan jatuh sakit."
Risang Ontosoro kembali tertawa riang. Selanjutnya Arya
sudah tak mendengar lagi percakapan mereka. Sepasang
matanya mendadak terasa mengantuk. Pun mungkin karena
hatinya merasa tentram. Dia tahu Risang adalah sahabatnya.
Di dunia ini manakah ada kehangatan yang lebih dari
kehangatan seorang sahabat dikala kita merasa kesulitan.
Matahari digeser Rembulan. Siang pun berganti malam.
Kerik jangkrik terdengar bersimphoni dengan desis angin yang
membelai dengan dingin sejuk.
Saat ini Arya sudah dapat duduk, meski untuk
mengerahkan tenaga masih belum boleh. Di depannya Gagang
Gerhana meringkuk di depan api unggun dengan sebelah
tangannya mengusap-usap lututnya yang terasa dingin. Disisi
lain Risang Ontosoro duduk sambil mengipas-ngipas ketela
yang dipanggang di atas api unggun. Sementara agak ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelah kanan duduk seorang nenek tua dengan sepasang
mata teduh itu. Walaupun tubuhnya masih terasa kaku Arya memaksa diri
untuk membungkuk sedikit kepada Nenek tua itu.
Si Nenek tertawa, "Tak perlu banyak sungkan.
Sesungguhnya sudah lama aku berniat bertemu dengannmu,
Cuma tubuh tuaku ini sudah tak cocok lagi untuk pesiar
kesana kemari, siapa tahu si Bengal satu ini ma lah
membawamu kesini." Arya agak heran, seingatnya belum pernah ia punya suatu
hubungan dengan nenek ini.
"Bibi ingin bertemu denganmu bukan karena kau berhutang
kepadanya, maka kau pun tak usah merasa terlalu sungkan."
Tukas Risang Ontosoro yang agaknya dapat membaca pikiran
Arya. Si Nenek tua tertawa, "Biasanya perbuatanmu selalu
membuat uban dikepalaku bertambah, namun sekali ini
tampaknya aku harus memujimu."
"Ah, terima kasih, jangan terlalu sungkan." Balas Risang
Ontosoro dengan tawa berderai.
"Sesungguhnya sejak kapan dan bagaimana saya berada
disini?" pertanyaan inilah yang selalu tengiang-ngiang di
benaknya. Begitu mendapat kesempatan tentu saja keluar
duluan. Nenek itu menghela nafas sambil tersenyum, "Untuk ini
harus minta kepada anak Bengal itu untuk menuturkan
pengalamannya. Cuma agaknya ceritanya harus sedikit
diperingkas, karena kalau tidak aku khawatir telingaku yang
tua ini tidak akan kuat menampung semuanya."
Arya tertawa, diliriknya Risang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa diminta pun Risang sudah tak tahan untuk bercerita,
maka dengan mendehem keras ia mengawali kata-katanya.
"Sebenarnya waktu itu aku sedang berjalan-jalan malam.
Mendadak aku melihat bayangan Pandan Kemala melenggang
di didepanku." "Apa dia tidak mengenalmu?" tukas Arya cepat.
"Kalau dalam keadaan seperti ini tentu saja ia akan
mengenali. Cuma waktu itu aku lagi apes, perut kempis,
kantong pun kempes, maka sorenya aku bekerja pada seorang
petani untuk mengangkut kotoran sapinya guna dijadikan
pupuk. Karena terlalu lelah, maka aku pun belum sempat
mencuci tangan dan mukaku."
Arya tersenyum. Pandan Kumala adalah orang yang
gandrung dengan kebersihan, dengan sendirinya tidak akan
memperhatikan seorang anak muda yang belepotan kotoran
sapi di muka dan tangannya, mana bau lagi.
"Karena tidak ada pekerjaan, maka iseng-iseng aku pun
diam-diam mengikutinya. Siapa tahu ia langsung ke sebuah
penginapan. Dengan keadaanku yang runyam waktu itu kalau
mau masuk ke penginapan, sekalipun tidak digebah keluar
sedikitnya juga akan disiram air cucian, maka aku pun berjalan
memutar dan mencoba mengintip ke kamar yang kukira
didiami oleh perempuan tua itu."
"Memangnya kepandaianmu bertingkah seperti kucing
mendeliki tikus itu sudah terlupa olehmu?" tanya si Nenek
dengan tertawa. Risang menggeleng, "Kepandaian perempuan tua itu terlalu
tinggi, kalau aku mengendap di atap tentu akan diketahui
olehnya. Siapa tahu ketika aku mengitari rumah itu mendadak
aku melihat ada dinding kamar yang bobol. Tak di nyana pula
si perempuan tua malah duduk tepat didepan lobang yang
bobol itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maka kau pun serupa dapat kalung sebesar ban gerobak.
Memangnya sampai kapan penyakitmu yang suka mencampuri
urusan orang lain itu dapat kau tinggalkan?" tukas si nenek
sambil menghela nafas panjang.
"Sebenarnya tidak ada maksudku mencampuri urusannya.
Cuma lagak-lagu perempuan tua itu memang kelewat ganjil,
apalagi hitung-hitung aku mewakili para peronda yang
terpulas, kan boleh dihitung sebagai amal kebaikan?" jawab
Risang sambil tertawa. "Kemudian kau pun datang. Karena terlalu jauh dengan
sendirinya aku pun tidak mendengar percakapan diantara
kalian. Maka aku pun tidak ambil pusing. Pula aku yakin kalau
perempuan tua itu tidak akan melabrak dirimu."
Sebenarnya bukan tidak mendengar, yang tepat adalah ia
tidak mau mendengarkan. Menghargai rahasia sahabat adalah
salah satu kehormatan. Dengan sendirinya Arya paham
maksud Risang Ontosoro ini. Dengan tersenyum ia melirik
anak muda itu. "Bagaimana kau tahu dia tidak akan melabrak diriku?"
Risang memandang Arya lekat, "Waktu aku berada di
Istana Bulan Teratai tempat kediaman perempuan tua itu ada
seseorang yang mengirimkan surat atas namamu. Maka
kusimpulkan antara dirimu dan perempuan tua itu terdapat
hubungan yang lumayan akrab. Dengan sendirinya mustahil
dia akan melabrak kau."
Arya memandang Risang heran, "Ada orang yang
mengirimkan surat kepadamu atas namaku, tapi kenapa aku
sendiri tidak tahu menahu terhadap urusan ini?"
Risang tertawa, "Kau tanya kepadaku, aku harus tanya
kepada siapa?" "Mungkin kau pernah berhubungan dengan anggota Istana
Bulan Teratai?" timpal s i Nenek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya menggeleng, "Mendengarnya pun aku baru kali ini."
"Kalau begitu pasti ada orang yang mencatut namamu."
"Tapi untuk apa?"
Semua orang tertegun. Gemeretak kayu yang terbakar
mengisi kekosongan malam.
Selang beberapa lama si nenek berkata dengan suara
mengambang, "Menurutku, ada hubungan antara Istana Dasar
Teratai dengan Istana Bulan Teratai. Mengingat apa yang
diceritakan oleh Risang maka kemungkinan besar mereka
ingin merecokimu karena menginginkan KitabTeratai yang ada
padamu." Risang mengangguk-angguk, katanya dengan suara
gegetun, "Waktu kulihat Pandan Kumala menusuk adik
seperguruannya dengan satu jurus ilmu pedang Pelangi Satu
Warna itu kupikir maksudnya benar-benar tulus, siapa tahu
kalau disinipun terselip satu muslihat tersendiri. Mungkin dia
ingin menunjukkan kebaikan hatinya itu kepadaku sehingga
kelak aku tidak akan berjaga-jaga terhadapnya."
Si Nenek tersenyum, "Itu juga belum tentu. Segala sesuatu
memang tidak bisa dilihat dari segi lumrah saja, namun ada
kalanya kita pun lupa bahwa pada manusia yang terjahat
sekalipun pasti tersimpan dalam dirinya benih-benih kebajikan.
Betapapun tidak ada manusia yang seratus persen berjiwa
setan." Risang merasa seperti diperingatkan. Penyakit banyak
curiga memang ada kalanya menumbuhkan kewaspadaan,
tapi kalau kita bisa melihat segi kebaikan dari setiap perbuatan
orang lain kenapa kita selalu harus melihatnya dari segi yang
tidak baik. "Tapi bukankah Bibi mengatakan bahwa hawa dingin yang
menyerang dua puluh tiga jalan darah di tubuh Arya berasal
dari Aji Langit Bum i teruruk es milik Raja Iblis Tinju Es?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar,"jawab si Nenek sambil mengangguk, "menurut apa
yang kuketahui, di dunia ini tidak ada ilmu yang begini keji
sehingga mampu membekukan lawan dengan mempengaruhi
udara seperti Aji Langit Bumi Teruruk Es milik Raja Iblis tua
itu. Hm, kalau iblis tua itu sudah muncul mungkin hanya
Kakang Amuk Nanggala saja yang dapat mengatasi,"
"Kedatangan Pandan Kemala tepat setelah aku bertemu
dengan Raja Iblis Tinju Es, mungkinkan ada hubungan antara
mereka?" Si Nenek mengangguk-angguk, "Aku yakin ada. Cara kerja
Aji Langit Bumi Teruruk Es adalah sedemikian perlahannya
sehingga bagi orang yang tidak memiliki kepekaan yang
cukup, ia baru akan sadar setelah setengah jalan darahnya
beku. Tapi bagi orang sepertimu tentu berbeda. Apalagi kau
sudah menghayati Kitab Teratai, daya kepekaan dalam
tubuhmu dengan sendirinya lain dari pada yang lain,
seharusnya kau dapat merasakannya sehingga dapat kau atasi
saat itu juga." "Tapi si Perempuan tua itu datang tepat setelah Arya
terkena Aji Langit Bumi teruruk es sehingga Arya tidak punya
kesempatan untuk memeriksa dirinya sendiri." Sambung
Risang cepat, "Dengan begini bukankah secara tidak langsung
perempuan tua itu pun turut mempercepat kematianmu?"
"Tapi ia menitipkan Gagang Gerhana kepadaku, mustahil
kalau ia berniat mencelakaiku," sahut Arya sambil melirik
Gagang Gerhana. Yang dilirik tetap mendekam diam di depan api unggun.
Sepasang matanya menatap api yang menjilat dengan
linglung. "Dalam hal ini perempuan tua itu pasti mempunyai muslihat
tertentu. Apalagi dia pun tahu pasti kalau kau tidak akan
mencelakai anaknya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seekor kelinci kecil putih melompat-lompat ke arah api
unggun, mungkin merasa tertarik dengan kehangatan yang
teruar. Telinganya yang panjang bergerak-gerak nyaman
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika hangat api unggun membelai bulu-bulunya yang putih
halus. Sepasang matanya yang merah bening menatap ke
Gagang Gerhana. Sebaliknya sepasang mata bocah itu pun
kebetulan lagi menatap ke arah si kelinci. Sekilas bias lembut
terpantul dalam empat pasang mata yang bertatapan itu.
~Dewi-KZ~ Kedua anak muda itu berjalan berendeng pundak. Yang
satu berwajah dingin kaku, namun sepasang matanya
memancarkan cahaya hangat, sedang yang lain riang jenaka.
Tak usah dipikir lagi sudah tentu kedua orang itu adalah Arya
dan Risang Ontosoro. Gagang Gerhana berjalan di belakang Arya dengan kepala
menoleh kesana-kemari. Sesekali ia berlarian mengejar
pasangan burung yang asik berpacaran di tanah gembur.
Sekian lamanya kedua orang muda terdiam satu sama lain.
Mendadak Risang tertawa. "Kenapa kau tidak bertanya?"
Arya tersenyum, "Kalau toh kau tak hendak memberitahukannya, kenapa aku harus menanyakannya.
Apapun toh aku percaya kepadamu"
Risang tertawa, "Baik juga. Hal-hal yang ingin kau tanyakan
itu memang lebih baik kalau tidak kau tanyakan sekarang.
Kelak dengan sendirinya kau akan tahu sendiri," setelah
merandek sejenak kembali ia melanjutkan, "Cuma boleh ku
beritahukan kepadamu bahwa tempat yang barusan kita
tinggalkan tadi adalah Istana Seribu Kosong."
Risang menyangka Arya akan berjingkrak terkejut. Siapa
tahu Arya tetap adem ayem saja, seperti sudah mengira
demikian lah halnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa kau sudah tahu sebelumnya?" tanya Risang dengan
heran. Arya tersenyum, "Apa aku sudah lupa bahwa aku sekarang
adalah ketua Istana Dasar Teratai. Istana Lautan Awan, Istana
Dasar Teratai, dan Istana Seribu Kosong adalah tiga serangkai
abadi. Sebagai ketua Istana Dasar Teratai bagaimana aku bisa
tidak tahu hal ihwal kedua istana Lainnya?"
Arya kembali melanjutkan sambil tertawa, "Terus terang,
sebenarnya sejak aku membuka mata segera kuketahui bahwa
Nenek tua itu adalah Sekar Gumintang, dengan sendirinya
tempat itu adalah Istana Seribu Kosong."
~Dewi-KZ~ Bab XVIII, Mencari Kulit Naga
"Dari mana kau tahu" Memangnya kau pernah bertemu
dengan beliau?" "Aku pernah melihat gambar lukisannya di Istana Dasar
Teratai." Risang mengangguk-angguk.
Mereka berjalan santai menuruni lereng gunung. Meski di
beberapa tempat terdapat tebing yang lumayan terjal maupun
jurang-jurang kecil yang menganga namun langkah kaki kedua
orang ini tak pernah terganggu.
Gerombolan burung bercanda mesra diantara lebat dan
teduhnya ranting pohon. Gagang Gerhana tampak tertawa-
tawa sambil tangannya menggapai gerombolan burung-
burung itu. Anak kecil itu seperti kembali menemukan
dunianya yang lama tak dikunjunginya. Rona wajahnya merah
matang. Kegembiraan yang polos memancar dari sela-sela
sorot matanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Melihat burung-burung itu aku jadi teringat ayah bunda
yang kutinggalkan dirumah. Terasa sudah lama sekali aku tak
bertemu dengan mereka." Demikian Risang Ontosoro
menggumang sambil kakinya menyepak terbang sebatang
ranting kering. Arya tersenyum, "Betapapun kelak kalian akan bertemu
lagi. Perpisahan hanya terjadi karena ia menegaskan
pertemuan, pertemuan setelah perpisahan tentunya jauh lebih
menyenangkan dan menggembirakan hati. Lagi pula apa yang
akan kita lakukan ini merupakan tugas besar dari Eyang Sekar
Gumintang, apapun kita tidak boleh lalai."
Kata-katanya ini terdengar menghibur, namun sekilas
matanya berkilat rawan. Maklum ia sendiri sudah tak punya
ibu yang akan menyambut hangat, pula hubungannya dengan
Ayahnya juga tak seperti hubungan orang tua-anak pada
umumnya. Ditambah petaka yang timbul di keluarganya baru-
baru ini. Beberapa kedukaan ini kalau orang lain mustahil
kalau tidak lekas gantung diri. Namun anak muda yang belum
seluruhnya pulih dari keracunan ini malah masih bisa
menghibur temannya. Tak terasa Risang mengerling sejenak ke arah Arya.
Pandangan pemuda itu tampak jatuh ke kaki langit sana,
menatap entah apa di kejauhan yang tak telihat. Betapapun ia
maklum perasaaan Arya. Ia sendiri agak menyesal telah
mengeluarkan kata-kata demikian.
Selang sejenak ia tertawa riang, "Kau memang lebih
penurut dibanding aku," katanya dengan tertawa, "Cuma
kalau sekadar minum teh sambil makan buntut goreng
masakah bisa dianggap melalaikan tugas?"
"Di lereng gunung seperti ini, satu potong manusia pun tak
ada, dari mana pula mendapatkan warung teh?"
Risang tertawa bergelak, katanya sambil menepuk-nepuk
dada sendiri, "Warung makan memang tak ada. Cuma kutahu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satu tempat disekitar sini yang bisa menghidangkan dua
cangkir teh dan seporsi buntut goreng buat kita."
Tempat ini memang tak terduga. Dari mana pun kau
memandangnya, yang tampak hanya rumpun bamboo belaka.
Siapa yang menyangka ditengah rumpun bamboo yang
lebatnya melebihi jenggot orang arab itu terdapat satu gubuk
berloteng yang menawan. Di depan gubuk itu beberapa
bangau berparuh panjang enak-enak berjemur dengan kaki
menapak di tepi kolam mungil. Gemericik air terjun kecil
mengundang beberapa ekor ikan untuk bermain berlompatan.
"Hm, tempat yang baik." Gumam Arya dengan decak
kagum. "Ah, masakah hanya sekadar baik. Hakikatnya sekalipun
kau mencari sampai ke kutub utara tak akan kau temukan
tempat senyaman ini."
Arya hanya tersenyum. Hanya ketika matanya menumbuk
gubuk bamboo itu dari dekat seketika hatinya berdesir.
Bamboo-bambu yang menjadi bahan utama pembuatan gubuk
ini ternyata sama persis dengan dengan bamboo yang
digunakan untuk membangun vila bamboo tepi danau milik Ki
Awu Lamut. "Apa kau merasa aneh?" tanya Risang yang agaknya dapat
membaca sorot heran dari sepasang mata Arya.
Arya menggeleng, "Aku hanya merasa pernah melihat
tempat ini sebelumnya,"
"Apa benar?" "Ya, tapi tidak disini?"
Risang tertawa bergelak. Tangannya menepuk-nepuk
pundak Arya. "Kalau tidak disini memangnya di DipaSaloka?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu suara gelak tawa tiba-tiba menyelusup keluar dari
celah-celah bambu, "Bukan di DipaSaloka, tepatnya di tepi
danau Bulan. Begitu bukan?"
Ketika pintu gubuk tebuka, seorang kakek tinggi besar,
dengan brewok seputih susu, berjalan terpincang keluar.
Arya membelalak, Ki Awu Lamut. Orang yang dicarinya
ubek-ubekan setengah mati ini ternyata berada disini.
"Beberapa hari tidak ketemu, agaknya pengalamanmu
tambah banyak" sapa Ki Awu lamut sambil menepuk-nepuk
pundak Arya. Risang Ontosoro tertawa bergelak, "Kau tidak menyangka
bukan kalau orang tua ini berada disini bukan?"
"Kau potong kepalaku delapan belas kali pun aku tidak
akan menyangkanya," "Sebenarnya bukan maksudku untuk memperdayaimu,
Cuma ada beberapa hal yang membuatku mau tidak mau
harus sedikit ma in kucing-kucingan. Sesungguhnya aku pun
rada tidak enak hati membuatmu kelimpungan begitu." Sahut
Ki Awu Lamut riang. "Cuma aku meyakinkannya bahwa kau tidak akan sampai
mati gemas hanya karena ada orang yang menculik adik dan
kekasihmu," sambung Risang Ontosoro sambil tertawa.
"Betapapun hatiku rada merasa bersalah, karena itu
marilah ku suguhkan secawan teh untukmu."
Meja bamboo berbentuk bundar itu sudah penuh terisi
berbagai macam makanan. Ada nasi putih yang mengepul,
buntut goreng dengan bau mengundang, ikan gurame bakar,
sepoci teh yang kelihatan hijau bening.
Tanpa sungkan Risang Ontosoro langsung mengambil
sepotong buntuk sapi goreng. Sementara Arya masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termenung-menung. Semakin lama semakin dirasakannya
sahabatnya ini tambah misterius.
Ki Awu Lamut tertawa, "Kau tentu ingin menanyakan adik
dan teman perempuanmu itu?"
Arya tersenyum. Hal itu sejak tadi memang ingin
ditanyakannya. Hanya hatinya tidak enak untuk bertanya
duluan. Setelah tertawa riang Ki Awu Lamut melanjutkan, "Mereka
tidak disini. Cuma kau pun tidak perlu khawatir. Ada saatnya
nanti kalian akan bertemu. Yang harus kau lakukan sekarang
adalah melaksanakan apa yang dikatakan Sekar Gumintang.
Keselamatan dunia persilatan sekarang ini terletak di tangan
kalian berdua." Arya agak melengak. Perkara Eyang Sekar Gumintang
memberinya tugas rahasia hanya diketahui oleh mereka
bertiga, lalu dari mana orang tua ini mengetahuinya"
Tapi sebelum Arya membuka mulut, lebih dahulu Risang
Ontosoro menukas, "Kau pasti heran dari mana orang tua ini
bisa tahu tentang urusan ini."
Seketika Arya tertawa tertegun,"Apa kau bisa membaca
pikiran orang?" Risang tertawa tergelak, "Tentu saja aku tidak bisa
membaca isi perutmu. Cuma aku sendiri juga merasa heran
kenapa orang tua berjenggot lebat ini tahu tentang urusan
ini." Ki Awu Lamut tersenyum, "Kalau aku tidak tahu, lalu siapa
yang tahu?" "Apa kau harus tahu?" Tanya Risang dengan tertegun.
"Dengan sendirinya aku harus tahu."
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali ini Arya juga ikut memandang orang tua ini dengan
penuh perhatian. Maklum urusan ini memang rada misterius.
Apa maksud sebenarnya Ki Awu Lamut menculik Ratna Dewi
dan Arum Puspita sehingga sampai sekarang belum mau
memberitahukan ditambah keberadaan Kitab Teratai Membuka di gubug bambunya lalu pengetahuannya tentang
urusan mereka berdua. Melulu salah satu saja sudah
menegaskan bahwa kedudukan orang tua ini tidaklah biasa.
Padahal sejak dulu Arya mengenal Ki Awu Lamut hanya
sebagai dukun obat saja. Perlahan Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, seperti
menahan beban yang sangat berat. Memangnya apa pula
yang ditanggung oleh orang tua ini.
Lalu sekata demi sekata meluncurlah satu kalimat yang
membuat Risang melupakan buntut goreng yang sedang
dikunyahnya. Mulutnya melongo seperti orang yang tiba-tiba
melihat sapi bertelinga gajah.
"Karena aku adalah suaminya."
Kalimat ini begitu mengejutkannya sampai Arya sendiri juga
menjublek sekian lamanya.
Agaknya Risang belum dapat memahami maksud dari
kalimat pendek ini. "Kau adalah suaminya siapa?" tanyanya gelagapan.
"Dengan sendirinya suaminya si Nenek yang barusan kalian
temui." Jawab Ki Awu Lamut dengan senyum pedih.
"Yang barusan kami temui adalah Bibi Sekar Gumintang.
Masa kau adalah suaminya Bibi Sekar Gumintang."
"Ya, sedikitpun tidak salah. Tanggung barang tulen."
Tergesa-gesa Risang menceguk segelas air untuk
melancarkan kunyahan buntut goreng yang tersangkut di
tenggorokannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu mendadak ia menarik tangan Arya dan diseretnya
menuju halaman depan. "Perkataan orang tua jenggot lebat ini apa kau percaya?"
Tanya Risang sambil matanya melotot ke Arya.
"Aku percaya." "Tapi aku sudah kenal dengan Bibi Sekar Gumintang
bahkan sejak aku masih di perut ibuku dan tak pernah
sekalipun ku ketahui B ibi punya seorang suami."
Arya menghela nafas rawan, "Cerita yang menyedihkan
tentu tak diceritakan kepada anak kecil."
"Lalu bagaimana kau percaya" Kau toh tak pernah
mendengarnya" Arya mengangguk-angguk, "Dari beberapa hal yang
dilakukan orang tua itu aku bisa mengambil kesimpulan kalau
dia memang suami dari Eyang Sekar Gumintang."
"Dan kenapa beberapa hal itu tidak kau ceritakan
kepadaku?" Arya tertawa, "Selama berkumpul denganmu memangnya
ada berapa kesempatan bagiku untuk buka mulut."
"Sekarang kuberi kesempatan bagimu untuk buka mulut."
Lebih dahulu Arya menghela nafas, "Ini mungkin berkaitan
dengan Istana Seribu Kosong. Menurut pengalamanku, Tiga
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Istana Abadi diberi nama menurut keadaan tempat dan
lingkungan sekitar istana itu berada. Misalnya Istana Dasar
Teratai terletak di dasar bumi, Istana Lautan Awan berada di
tepi pantai dengan awan yang menutupi puncaknya. Hal ini
kau tentu tahu." Risang mengangguk cepat-cepat.
"Maka Istana Seribu Kosong sendiri pasti juga terletak pada
tempat yang tersurat pada namanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Omonganmu pertama tadi aku mengerti, tapi yang kedua
ini hakikatnya seperti kentut." Tukas Risang cepat, "Kau
sendiri sudah menyaksikan Istana Seribu Kosong adalah
tempat tinggal Bibi Sekar Gumintang di puncak gunung sana.
Memangnya apa pula yang kau peroalkan?"
"Inikan rekaanmu sendiri, memangnya Eyang Sekar
Gumintang pernah mengatakan bahwa tempat tinggalnya
adalah Istana Seribu Kosong?"
Risang seketika terdiam menjublek. Selama ini memang
tidak pernah didengarnya nenek tua itu mengatakan tempat
tinggalnya adalah Istana Seribu Kosong. Tapi karena banyak
orang yang mengatakannya maka ia menjadi berkeyakinan
begitu. Tapi ia pun tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri.
Banyak hal memang yang kita yakini sebagai benar atau salah
tidak atas pertimbangan akal dan hati kita tapi melulu karena
kebiasaan dan omongan orang lain.
"Memangnya bukan?"
Arya malah balik bertanya, "Kalau memang gedung tua itu
adalah Istana Seribu Kosong, kenapa Kitab Teratai Membuka
malah kutemukan di gubug milik Ki Awu Lamut tepi danau
sana, bukannya di di gedung tua tempat tinggal Eyang Sekar
Gumintang". Kau toh tahu persis bahwa Kitab Teratai
Membuka disimpan di Istana Dasar Teratai, Teratai Menutup
di Istana Seribu Kosong sementara Wahyu Kepala Naga
tersimpan di Lautan Awan."
Risang memiringkan kepalanya, "Ya, urusan ini memang
agak janggal." Setelah terdiam sejenak dengan cepat ia menambahkan,
"Tapi soal peny impanan kitab itu toh bisa berpindah dengan
mudah. Tentu tak sulit untuk memindahkan satu lemari kitab
dari satu tempat ke tempat lainnya, apalagi toh hanya satu
kitab." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya tertawa, "Memangnya kau lupa, bahwa Kitab Teratai
Membuka yang tesimpan di Istana Seribu Kosong itu
bukannya tertulis dalam lembaran lontar atau kertas atau
sutra tapi terukir dalam genteng batu. Satu genteng satu
huruf. Memindahkan satu lemari kitab memang mudah tapi
memindahkan ratusan genteng tentu lain urusannya. Belum
lagi mencari tempat yang cocok sehingga urutan kalimatnya
tidak kacau." Risang Ontosoro kembali memiringkan kepalanya, "Hm,
perkataannmu ini agaknya masuk akal juga."
Kembali Arya menambahkan, "Juga kabar yang luas
beredar di kalangan persilatan mengatakan bahwa diantara
Tiga Istana Abadi yang paling manonjol dalam ilmu s ilat keras
adalah Istana Lautan Awan, yang paling tinggi dalam
kerumitan dan kelembutan adalah Istana Dasar Teratai,
sementara dalam ilmu pengobatan Istana Seribu Kosonglah
yang paling tinggi. Menurut pendapatmu bagaimana ilmu
pengobatan Ki Awu Lamut?"
"Ya, kutahu orang tua jenggot rumput itu memang punya
sedikit kepandaian mengaduk panci obat."
"Ada satu lagi, ketika kemarin Eyang Sekar Gumintang
memberi kita tugas untuk mencari Kulit Naga, ia tidak
menjelaskan dengan tepat apa maksud dari Kulit Naga itu dan
hanya mengatakan bahwa Kulit Naga adalah pasangan dari
Wahyu Kepala Naga, sebagaimana Kitab Teratai Membuka
berpasangan dengan Kitab Teratai Menutup. Ia menyuruh kita
untuk menanyakan apa maksud Kulit Naga itu terlebih jelas
kepada orang yang lebih tahu dari padanya. Bukankah ini
menjelaskan bahwa rahasia yang diketahuinya tidak lebih
banyak dari apa yang diketahui oleh Ki Awu Lamut?"
Risang Ontosoro kembali terlonjak, "Jadi menurutmu apa
yang diketahui orang tua jenggot rumput itu jauh lebih banyak
dari pada apa yang diketahui B ibiku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku bahkan merasa yakin kalau ketua yang sebenarnya
dari Istana Seribu Kosong bukanlah Eyang Sekar Gumintang,
tapi adalah Ki Awu Lamut."
Arya menyambung, "Seribu Kekosongan artinya yang
tampak bukanlah yang berarti, kosong adalah ruang tanpa
batas. Manusia tak melihat kosong, tapi kekosongan selalu
bersama manusia. Kukira pepatah ini sesuai dengan apa yang
Kisah Tiga Kerajaan 3 Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Manusia Pemuja Bulan 1
"Namanya sekarang adalah Pak Tua Konyol."
"Pak Tua Konyol" Hehe, kurasa nama yang pertama jauh
lebih baik." "Sebenarnya ia pun lebih suka namanya yang pertama, tapi
Karena sebuah kejadian konyol, maka ia pun terpaksa
mengganti namanya." "Kejadian apa?"
"Suatu hari Istri Pak Tua Lucu kaget setengah mati ketika
mendapati satu karung uang perak di depan rumahnya. Tentu
saja Pak Tua Lucu terlebih kaget lagi."
"Satu karung uang" masa uang pun dihitung dalam jumlah
karung"." "Ya, makanya Pak Tua Lucu pun mulai menyangka
nasibnya akan berubah. Peruntungannya sebagai orang miskin
dirasakannya mulai hilang pamornya. Maka dia pun membawa
sekarung uang itu ke pasar. Ingin dibelinya segala benda yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selama ini hanya dapat dilihatnya, sekaligus ia ingin
memproklam irkan dirinya menjadi orang kaya."
"Ide yang bagus."
"Tentu saja itu sebuah ide yang bagus, tapi ide yang bagus
pun ada kalanya tidak berjalan mulus."
"Kenapa?" "Karena di tengah perjalanan ia bertemu dengan si Penipu
Wajah Putih." "Penipu berwajah putih?"
"Ya. Orang-orang menamainya demikian karena sekalipun
ia selalu menipu, tapi korban yang ditipunya tak pernah
menyangka bahwa ia penipu. Karena itulah ia dinamakan
Penipu Wajah Putih. Kalau boleh dikatakan ia adalah jenius
penipu yang tidak muncul sekali dalam tiga generasi."
"Ketika Penipu Wajah Putih melihat Pak Tua Lucu
membawa karung yang kelihatan berat, dengan matanya yang
tajam ia sudah melihat kilatan uang perak di karung itu. Maka
ia pun mulai memasang tampang sebagai seorang saudagar
yang sangat kaya. Penipu Wajah Putih berkata, "Pak T ua, apa
kau ingin uang di karung itu bertambah lima kali lipat?" Pak
Tua pun berkata, "Tentu saja.?"kalau begitu berikan uang itu
padaku, akan ku belanjakan kain sutra yang terbaik dari
negeri cina kemudian kau akan menjualnya dengan harga
sepuluh kali lipat. Kau akan mendapatkan setengah
untungnya." "Kalau hanya dengan perkataan itu Pak Tua Lucu benar-
benar percaya kepada Penipu Wajah Putih, kurasa ia benar-
benar konyol. Bukan saja konyol tapi juga sangat tolol."
"Sebenarnya Pak Tua Lucu pun tidak begitu saja percaya
kepada Penipu Wajah Putih. Namun mau tidak mau ia harus
percaya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh?" "Karena ia melihat golok tipis berkilat perak di pinggang
Penipu Wajah Putih. Dan ia sangat tahu kepandaian kedua
dari Penipu Wajah Putih selain menipu adalah memainkan
golok tipi s itu." "Maka ia pun percaya."
Risang Ontosoro tertawa. Cara tertawanya juga unik,
seakan-akan rubah cilik yang ditipu mentah-mentah oleh
seekor ayam. Sekalipun samar, sempat juga Risang me lihat bahu Pandan
Kenanga bergetar. Mereka tiba di depan jalan buntu. Atau tepatnya sebuah
lempeng batu yang seakan dipapas halus. Pandan Kenangan
mengeluarkan kunci berkilat keemasan dari dalam ikat
pinggangnya, memasukkannya ke lubang di sudut bawah,
memutarnya beberapa kali dan lempeng batu itu segera
berderak. Membukanya lempeng batu itu membuka satu dunia baru
yang sama sekali berbeda.
Ruangan ini tidak terlalu besar, namun cukup luas juga.
Yang istimewa adalah seluruh terang di ruangan ini berasal
dari puluhan perabot bersinar keemasan yang dipajang di
setiap sudut. Ranjang kukuh yang berkilat keemasan. Kasur bersulam
emas. Cawan yang memantulkan bias keemasan. Pendeknya,
ruangan ini seakan ditatah dari bongkahan emas raksasa yang
tiba-tiba muncul dari bumi.
Risang tidak pernah melihat emas sebanyak itu. Juga tidak
pernah membayangkannya. Di ujung ruangan yang berbentuk seperti rongga alam itu
terdapat mata air yang bergemericik lirih. Yang unik,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gelombang air yang meriak di genangan air mungil ini juga
membias keemasan. "Ruangan ini disebut Lanskap Emas Bawah Bumi.
Merupakan salah satu tempat larangan di Istana Bulan Teratai
ini." "Nama yang bagus."
"Bukan saja namanya bagus, jalan ke sini juga sangat
berbahaya." "Maksudmu lorong tikus itu?"
"Kau menyebutnya lorong tikus, tapi seandainya kau tidak
bersamaku, badanmu mungkin tidak akan utuh lagi sebelum
kau melalui kelokan yang pertama."
"Tadi bukannya kau mengatakan kau akan menyelamatkanku dari perempuan tua itu?"
"Dan bukankah aku sudah menyelamatkanmu?"
"Tapi kau hanya membawaku dari satu ruangan ke ruangan
yang lain." "Ruangan ini adalah tempat terlarang di Istana Bulan
Teratai. Tidak akan ada orang yang berani masuk kesini, juga
tidak akan ada yang berpikir bahwa kau akan lari ke sini."
"Juga tidak akan ada yang berpikir bahwa kaulah yang
mengajakku ke sini."
~Dewi-KZ~ Bab XV, Buhul Darah Pandan Kenanga hanya tersenyum. Diletakkannya buntalan
pakaiannya ke pembaringan. Tubuhnya berputar ke sudut
sana, menyulut dupa. Harum menyebar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meski Risang juga seperti manusia lain yang suka dengan
bau harum, tapi entah kenapa tubuhnya yang terlatih dengan
Panca Rasa merasakan sesuatu yang berbeda dalam bau
harum ini. Sesuatu yang membuatnya bulu kuduknya berdiri.
Selesa i menyulut dupa, Pandan Kenanga menghilang ke
sebuah pintu kecil. Ketika muncul kembali, saat itulah Risang Ontosoro seakan
merasakan dirinya terjatuh ke sebuah lubang hitam.
Yang ia lihat sekarang adalah seorang wanita yang sangat
cantik, dengan daya tarik kental memancar dari seluruh
bagian tubuhnya. Semacam kecantikan yang membuat lelaki
jenis apapun mabuk kepayang. Sejenis daya tarik yang
membuat lelaki macam apapun bersedia berbuat apa saja
untuk sekadar memegang tangan si dia.
"Kau bisa sampai di tempat ini dalam keadaan sadar,
sungguh membuatku harus kagum padamu." Kata-katanya
meluncur seolah pesona embun yang menetes dari kelopak
mawar merah segar. Risang tertawa. Ia memang mempunyai semacam penyakit,
bahwa dalam keadaan yang paling genting, ia akan tertawa.
Tentu saja ia sudah tahu dengan jelas keadaan apa yang
sedang dihadapinya sekarang. Ia pun tahu siapa yang rubah
siapa yang ayam. "Bukankah kau yang menuntunku kesini?"
Pandan Kenanga tersenyum, sekali lagi pesona yang
memabukkan tersebar, "Sekalipun begitu, bahwa kau tidak
berbuat macam-macam dengan berjalan di belakangku, itu
sudah merupakan prestasi tersendiri."
"Oh, aku mengerti sekarang."
"Katakan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mula-mula kau merayu semua pemuda yang ada ditempat
ini dengan datang ke kamarnya. Seorang perempuan kalau
sudah berani datang ke kamar pemuda memangnya apa yang
dia inginkan kan sudah jelas?"
"Dan kau ternyata cukup kuat untuk tidak tergoda."
"Kalau itu gagal, kau akan mengajak mereka melarikan diri
dengan menyebarkan isu tentang Penyedotan tenaga itu dan
kau rayu mereka di perjalanan dengan kata-katamu atau
gerakan tubuhmu." Pandan Kenangan kembali tersenyum, "Tubuhmu sangat
bagus, otakmu ternyata juga tidak jelek."
"Kalau itupun gagal, kau masih punya jurus terakhir. Yaitu
dengan dupa perangsang birahi itu."
"Aku harus kagum terhadap kepekaan tubuhmu, tapi harus
kuingatkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan
menolongmu ke sini."
"Oh?" "Karena tempat ini memang tempat terlarang."
"Memangnya tempat apa ini?"
Pandan Kenanga tersenyum, jarinya yang panjang lentik
menyibak anak rambut yang terurai di dahi, "Ini adalah kamar
peraduan dari Putri T eratai Kumala."
Risang melenggong, "Pendiri Istana Dasar Teratai?"
"Oh" Kau juga tahu tentang dia?"
Putri Teratai Kumala dipandang sebagai salah satu
keajaiban dunia persilatan. Hanya orang tuli saja yang tidak
pernah mendengar namanya.
"Dan di kamar tokoh legendaris ini lah kau mengerjai
semua pemuda yang kau temui." Kata Risang dengan nada
ironis. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kenanga tertawa geli, "Aku tidak serakus itu. Aku
hanya penujui pemuda yang cocok dengan seleraku."
"Untuk kau sedot tenaganya?"
"Kau benar-benar pintar. Dan sekarang kau sebaiknya tidak
melakukan perlawanan. Meskipun kuakui kekuatan hatimu
untuk tidak tergoda, tapi dupa yang kau sedot itu sudah
mengunci jalan tenaga murnimu. Sekali kau mengerahkan
hawa murni, sembilan nadi di dadamu akan pecah."
Senyum kepuasan mengembang di wajah Pandan Kenanga.
Semacam senyum yang muncul ketika seekor kucing berhasil
mempermainkan tikus diantara cakar-cakarnya yang lembut
namun tajam. Mendadak Risang Ontosoro tertawa. Suara tertawanya
bahkan cukup keras. "Apa yang kau tertawakan?" Seekor tikus yang sedang
terjepit tidak akan tertawa sekeras ini.
"Kau mengatakan diriku pintar, tapi didalam hati pasti kau
menganggap dirimu jauh lebih pintar dariku."
Pandan Kenanga diam mendengarkan, juga membenarkan.
Jujur saja, ia memang menganggap dirinya cukup pintar, lagi
pula sangat menarik. "Tapi apa kau tahu bahwa seorang yang menganggap
dirinya terlalu pintar kebanyakan adalah orang tolol yang
harus dikasihani?" "Apa yang ingin kau katakan?" senyum di wajah Pandan
Kenanga mulai membiaskan kebengisan.
"Kuceritakan kau kisah Pak Tua Tolol Konyol dan Penipu
Wajah Putih itu. Dalam terkaanmu, siapakah yang tertipu?"
Anak muda ini dengan santainya malah menanyakan cerita
karangannya itu. Sungguh Pandan Kenanga harus mengakui
kalau Risang Ontosoro memang lain dari yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun karena merasa penasaran, juga yakin pemuda itu
tak akan terlolos dari tangannya, dijawabnya juga pertanyaan
Risang, "Tentu saja si T ua Tolol itu."
Tawa Risang semakin berderai, "Kalau begitu kau lebih tolol
dari dia." Wajah Pandan Kenanga memerah sengit, selama hidupnya
tak pernah ada orang berani memakinya terang-terangan di
depan hidungnya begitu. Dengan santai Risang melanjutkan, "Sekalipun Pak Tua itu
sering konyol dan bertindak tolol, tapi kecerdasannya tidak
dibawah orang lain. Bahkan sebagian sahabatnya menganggapnya seabagai seorang jenius yang jarang ada
bandingannya. Justru karena kejeniusannya itulah sering
orang tidak paham dengan apa yang dia lakukan. Di dunia ini
kan banyak orang jenius yang dianggap tidak waras."
"Sebelum ia menemukan sekarung uang di muka rumahnya
itu, ia te lah bertaruh dengan salah seorang sahabatnya bahwa
ia sanggup menangkap basah si Penipu Wajah Putih. Maka ia
pun memasang trik demikian. Dipinjamnya uang dari
pengadilan negeri dengan jaminan ia akan menangkap basah
si Penipu Wajah Putih berikut barang buktinya. Maka ketika
Penipu Wajah Putih melarikan karung itu, sepasukan tentara
telah mengikutinya dan menangkapnya seperti tikus got yang
masuk perangkap." "Lalu untuk apa kau ceritakan cerita tolol itu?"
Risang Ontosoro memandang perempuan itu tajam,
ucapnya sekata demi sekata, "Karena kau pun serupa dengan
Penipu Wajah Putih itu"
Dada Pandan Kenanga mulai mengombak. Kepalannya
mengencang. "Maksudmu ada orang yang mengikutiku?"
"Wajahmu cantik, otakmu pun tidak jelek."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak Pandan Kenanga tertawa. Semakin lama,
semakin melengking tertawanya.
"Kau pikir aku akan mempercayai ucapan tololmu itu,
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat ini terjaga dengan delapan puluh satu macam
rintangan, semut pun tidak akan sanggup masuk ke sini?"
"Termasuk Pandan Kumala?"
Pundak Pandan Kenanga tergetar, "Dalam dua jam ke
depan ia tidak akan keluar dari sanggar semedinya. Kebiasaan
itu tak pernah berubah dari sepuluh tahun yang lalu."
Risang Ontosoro terdiam, ditatapnya sepasang mata
Pandan Kenanga dengan tajam, "Aku hanya ingin mengatakan
sesuatu kepadamu." "Katakan." "Seseorang sebaiknya tidak menganggap tolol orang lain.
Karena di dunia ini tidak ada yang perkiraan yang pasti terjadi.
Tak ada terkaan yang pasti benar."
Otot-otot hijau mengencang di kepalan Pandan Kenanga.
Risang Ontosoro sebaliknya tetap santai.
Dengan seenaknya dijatuhkannya tubuhnya ke kasur empuk.
Dengan suara serak malas dia menggumam, "Kalau tidak
keluar sekarang, memangnya mau tunggu sampai ekormu
putus?" Tak ada jawaban. Sunyi yang hening.
Mendadak atap kamar berderak. Lalu seperti terangkat oleh
Sesuatu, lempengan berbentuk lingkaran di atap kamar itu
membuka ke atas. Detik kemudian bagaikan daun kuning yang
luruh sesosok berpakaian putih berkibaran melayang turun.
Siapa lagi kalau bukan Pandan Kumala.
Pandan Kenanga tersurut mundur. Tak tersangkanya kail
yang dilemparkannya malah tersangkut mulut sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kumala memandang adik seperguruannya dingin.
Sinar matanya seperti sembilu yang tajam mengiris.
"Sudah kuduga kaulah si pembuat onar. Kau rakus
terhadap kecantikan, diam-diam kau praktekkan resep sesat
yang ditulis Iblis Tinju Neraka. Selama ini entah berapa puluh
pemuda yang jadi korbanmu, kalau aku tidak bertindak
sepantasnya, sungguh aku malu terhadap diriku sendiri."
Kamar itu sekalipun terbuat dari emas, namun siapapun
yang berada didalamnya saat ini sama sekali tak merasakan
kehangatan dari mutu manikam itu.
Meski terlihat bias jeri di wajah Pandan Kenanga, namun
sikapnya masih tenang, "Kalau kau sudah tahu akulah
orangnya, kenapa tidak kau bunuh aku dari dulu?"
"Tidak kubunuhmu karena aku tidak pernah membunuh
orang tanpa alasan. Harus ku cari bukti terlebih dahulu. Hanya
orang berdosa yang pantas dihukum. Ini adalah peraturan
perguruan kita turun temurun, memangnya otakmu sudah
lamur?" Tiba-tiba Pandan Kenanga tertawa, dengan tarikan wajah
yang sulit dimengerti ia berteriak sumbang, "Kau berbicara
tentang peraturan dan dosa. Memangnya matamu hanya
dapat melihat orang lain dan tak bisa mengenali diri sendiri"
Memangnya perbuatanmu di Dipa Saloka belum cukup untuk
memasukkanmu ke tiang gantungan"."
Pandan Kumala terdiam. Anehnya ia seperti tidak
bermaksud membungkam mulut adik seperguruannya itu.
Pandan Kenanga kembali meraung, "Kau pikir tidak ada
orang yang tahu perbuatanmu terhadap Dyah Surya"
Persekongkolanmu dengan Iblis Kepala Besar dan usahamu
untuk mencaplok mustika Kepala Naga?"
Dengan nafas tersengal Pandan Kenanga melanjutkan,
"Dalam peraturan nomor satu Guru melarang semua anggota
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perguruan untuk ikut campur urusan Tiga Istana Abadi.
Siapapun yang melanggarnya harus dibunuh. Memangnya
otakmu sudah mati?" "Sudah selesai kau bicara?" pandan Kumala berujar dingin,
sama sekali tak terlihat perubahan emosi di nada
suaranya."Kuberi kau kesempatan melawanku. Kalau aku
mati, kau bisa bebas. Tak ada yang tahu urusan ini selain
orang yang berada di kamar ini."
"Ku tahu aku tidak akan mampu melawanmu. Tapi aku
sudah cukup puas bisa mengatakan apa yang ingin ku
katakan. Seseorang bertanggung jawab terhadap apa yang ia
lakukan. Sekalipun perempuan sesat sedikitnya aku masih
murid perguruan Bulan Teratai. Nah silahkan." Kata-katanya
ternyata cukup tegar. Sampai Risang pun tak mengira bahwa
dalam situasi terjepit seperti ini wanita ini masih bisa berucap
gagah. Mau tak mau timbul juga rasa sayang dihatinya.
Tangan kanan Pandan Kumala bergerak. Sinar perak
berkelebat seperti kilat di tengah kegelapan. Entah dari mana
sebilah pedang lantas terhunus. Dalam waktu yang hampir
bersamaan pedang itu sudah sampai di dada Pandan
Kenanga. Pandan Kenanga memejamkan matanya. Kepalannya
terkepal kencang. Air mata menetes seperti embun yang
menitik dalam fajar yang remang. Namun begitu kepalanya
tetap tegak. Air mukanya tetap keras.
Darah merembes di badan pedang.
"Ilmu Pedang Pelangi Satu Warna," gumam Risang
setengah terkejut. Setahunya ilmu pedang itu milik Istana
Dasar Teratai. Namun melihat beberapa perkataan Pandan
Kenanga tadi agaknya memang ada hubungannya antara
Istana Bulan Teratai dengan Istana Dasar Teratai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar, inilah I lmu Pedang Pelangi Satu Warna, bagaimana
pendapatmu?" dengus Pandan Kumala. Pedang ditangannya
tadi sudah hilang entah kemana.
"Sangat bagus." Risang memuji setulus hati. Penguasaan
ilmu pedang yang dipamerkan Pandan Kumala tadi memang
mengagumkan. Kecepatan yang tak tertandingi. Keganasan
yang tak ada bandingannya. Sekali menusuk langsung
meminta nyawa. Tak ada variasi, tak ada basa-basi.
Risang Ontosoro memandang tubuh Pandan Kenanga yang
terbujur dengan bunga darah yang mengembang, pelan-
pelan. Betapa cantiknya seseorang, tapi kalau sudah tak
bernyawa lagi, siapakah lagi yang bersedia mencecap
keindahannya. Betapa eloknya sekuntum bunga, kalau sudah
gugur tertiup musim, adakah kumbang yang bersedia
memungutnya. Kemudian ditatapnya Pandan Kumala yang tampak
termenung-menung. Cahaya mata anak muda ini menampilkan sorot yang amat aneh.
Ia tidak berkata. Ia pun tak ingin merusak suasana sunyi
ini. Akhirnya Pandan Kumala yang memecah hening, "Apa kau
tahu kenapa tidak ku bunuh dia?"
Risang diam mendengarkan. Ia pun tahu sekalipun darah
merembes keluar dari dada Pandan Kenanga, tapi luka itu
hanya dikulit luar. Tak sampai memecah jantung.
"Karena seorang kalau sudah berhadapan dengan kematian
tapi masih tetap tegar, maka orang demikian, bagaimanapun
perbuatannya, kuanggap tak pantas dibunuh." Pandan Kumala
melanjutkan dengan suara setengah serak, namun tetap
dingin. Hujan tak selamanya menakutkan. Matahari tak setiap kali
menyilaukan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Risang Ontosoro menatap matahari yang berkerlip
kemerahan. Cahayanya hangat. Di depannya tersaji teh
hangat. Perasaannya pun sudah terlebih hangat.
Setiap kali disaksikannya sifat kebaikan manusia hatinya
selalu merasa hangat. Pandan Kumala boleh jadi salah seorang yang akan jadi
lawannya. Namun toh itu urusan kelak. Y ang penting sekarang
ia bisa melihat bahwa perempuan itu masih menyimpan sifat
yang menghangatkan. Setidaknya ia masih sebagai manusia
yang bertindak sebagai manusia.
Pandan Kumala sendiri memandang anak muda itu lekat-
lekat. Cahaya matanya menyorotkan bias unik. Semacam
kasih sayang yang murni, yang bersih dari birahi.
Tetes hujan yang terang menitik di lembar-lembar daun.
"Bagaimana kau tahu kalau aku mengikuti kalian?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa kau
menangkapku bukan karena aku sebagai diriku sendiri. Kau
hanya menjadikanku umpan."
Pandan Kumala mengangguk, "Benar, aku memang hanya
bermaksud menjadikanmu umpan, tak peduli kau adalah
siapa." "Makanya sebenarnya kau tidak bermaksud menangkapku
sebagai Risang Ontosoro. Tujuanmu hanya mencari seorang
pemuda yang dapat kau jadikan pancingan."
Risang memandang perempuan setengah baya itu dan
tertawa, "Setelah kesimpulan awal ini tentunya tidak sulit
untuk menebak bahwa seorang yang memancing tidak akan
meninggalkan umpan yang dilepaskannya."
"Rupanya aku cukup beruntung menemukan pemuda
sepintar dirimu." "Kau untung, aku konyol."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau pun cukup beruntung. Setidaknya aku tidak
membunuhmu setelah aku tahu bahwa kau adalah Risang
Ontosoro." "Ya, sebenarnya aku pun cukup heran kenapa kau tidak
membunuhku?" Pandan Kumala tersenyum aneh. Perlahan tubuhnya
membalik. Angin danau mengibarkan pakaian putihnya hingga
sosoknya tampak seperti dewi yang turun dari kahyangan.
Risang Ontosoro memandangi kepergian Pandan Kumala
dengan tatapan hangat. Perlahan kepalan tangannya
membuka. Kertas itu masih ada di tangannya. Kertas dengan
tulisan tertanda Arya Dipa Loka.
Secarik kertas itu mengandung pesan bahwa tak
seorangpun di Istana Bulan Teratai yang dapat dipercaya.
Namun agaknya satu-satunya hal tidak dapat dipercaya adalah
pesan itu sendiri. Matahari sebentar lagi tenggelam. Tapi Bulan sudah
mengintip di ujung ufuk. Sekalipun manusia kerap menjumpai
keputus asaan, harapan tak pernah benar-benar tenggelam.
~Dewi-KZ~ Di senja yang sama. Jalanan itu begitu ramainya sehingga suara sendiri pun sulit
terdengar. Disini orang berteriak menawarkan dagangannya,
disana orang melakukan pertunjukan monyet ogleng. Gerobak
sapi dan kereta kuda saling berpapasan. Sesekali terdengar
umpatan. Bermacam orang bercampur, bermacam suara
teraduk. Tapi dari berbagai macam hal itu hanya satu yang menarik
perhatian Arya. Seorang bocah yang terlihat sinting sedang terlongong-
longong melihat pertunjukan sirkus monyet. Sekalipun semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang sama tertawa, anehnya bocah itu seperti tak
menganggap bahwa pertunjukkan itu lucu. Tarikan wajahnya
datar saja. Seakan yang dilihatnya adalah sebatang pohon tua
yang sedang ditebang. Disamping bocah itu berdiri seorang cebol dengan kepala
diatas rata-rata. Kebalikan dari si bocah sinting, berkali-kali
gelak tawanya terdengar keras, berbareng dengan tepukan
tangannya yang nyaring. "Minggir," seorang penunggang kuda dengan pakaian
bagus memelototkan matanya ke arah Arya yang memang
berdiri di tengah jalan. Orang itu mengangkat pecut kudanya
ke atas, seolah seorang bapak yang ingin menghukum
anaknya karena tidak makan obat.
Arya segera melangkah ke pinggir. Mendadak sebuah suara
merdu mengagetkannya, "Hei, bukankah kau anak muda itu?"
Ketika Arya berpaling, seraut wajah cantik dengan pakaian
khas kota raja tampak memandangnya dengan gembira.
Ketika matanya menatap laki-laki penunggang kuda tadi
kembali seraut wajah yang sudah dikenalnya, Braja Lelana.
Dengan sendirinya perempuan berkuda disampingnya adalah
Sukma Maningrum. Braja Lelana pun kelihatan terkejut, "Arya Dipa Loka!!"
dengan cepat tubuhnya sudah meloncar turun, "Maafkan aku
terhadap sikapku tadi."
"Tapi ditengah jalan begitu kau terlihat terbengong-
bengong, maka aku menyuruh Kakang Braja Lelana untuk
menegurmu." Arya tertawa, "Setidaknya aku tidak sampai berkenalan
dengan pecut di tangan Kakang Braja Lelana."
Braja Lelana tertawa, "Tentu saja tidak, bahkan kalau aku
benar-benar menggunakan tenagaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang kau lakukan disini?" Sukma Maningrum bertanya
dengan antusias. Pemuda itu memang telah menarik
perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu.
"Seharusnya kau tidak menanyakan itu. Seorang pengelana
seperti Arya akan dapat kau jumpai dimana saja." Braja Lelana
menegur. Bibir Sukma Maningrum segera mengerucut, "Siapa suruh
kau bicara. Memangnya aku bertanya kepadamu?"
Arya tertawa. Pertemuan tak terduga ini benar-benar
menjadi pelepas urat saraf baginya setelah beberapa waktu
mengalami kejadian yang menegangkan.
"Aku hanya mencoba melihat keramaian di Jatingaleh ini."
"Ya, jika kau ingin berkumpul dengan orang, Jatingaleh
adalah tempat yang tepat. Disini dapat kau jumpai orang dari
berbagai macam bentuk dan jenis."
"Termasuk jenis orang yang suka campur pembicaraan
orang lain sepertimu." Tukas Sukma maningrum cepat.
Arya tertawa. Dua kali mereka bertemu dan suasana
diantara kedua suami istri itu tetap riang jenaka.
"Kulihat pucat di wajahmu semakin berkurang, tampaknya
kau semakin sehat akhir-akhir ini?" perkataan Braja Lelana
boleh jadi hanya sapaan akrab seorang sahabat, namun Arya
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasakannya dengan penuh minat. Bukan saja pucat di
wajahnya semakin berkurang, semangat di dadanya pun
semakin berkobar. "Atau kau sudah menemukan bunga cantik yang pantas
kau seduh madunya?" tukas Suka Maningrum dengan kerling
menggoda. Arya tertawa. Entah kenapa bayangan Arum Puspita
mendadak lewat di benaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kusarankan bila kau mencari jodoh, carilah yang sedikit
pendiam. Isteri yang cerewet akan membuat hidupmu tak
karuan." Braja Lelana berkata dengan tubuh sedikit
didoyongkan ke depan dan suara setengah berbisik.
Kontan Sukma Maningrum mendelik gusar. Tapi mendadak
matanya menunjukkan ekspersi terkejut.
"Ada apa" Apa sebutir telor masuk ke tenggorokanmu?"
Sukma Maningrum tidak menjawab. Paras mukanya serius.
Perlahan tangannya meraba gagang pedang yang tercekal di
tangan kirinya. Braja Lelana sedikit heran dengan perubahan muka
isterinya. Seingatnya hanya dalam waktu tertentu saja paras
mukanya isterinya bisa berubah begitu serius.
Ketika matanya memandang arah yang dilihat isterinya,
paras mukanya mendadak menampilkan ekspresi tegang,
"Setan Kepala Besar," desisnya.
Yang tak berubah adalah paras muka Arya. Tenang dan
tetap menampilkan senyumnya yang khas.
Ia pun tak bergerak ketika perlahan-lahan suami isteri itu
mendekati Setan Kepala Besar yang sedang asik menonton
pertunjukan tari monyet. Setan Kepala Besar yang berdiri seenaknya sambil satu
tangan mencekal tangan kanan Gagang Gerhana agaknya
merasakan hawa pembunuhan yang mendekat. Tanpa
menoleh, tubuhnya mendadak terapung ke udara, melewati
jajaran orang-orang dan dengan ringan hinggap di ujung jalan
tepat ketika dua batang pedang menusuk punggungnya.
Gerakannya yang tepat itu menyelematkannya dari
serangan gabungan Braja Lelana dan Sukma Maningrum.
Walaupun begitu samar-samar dirasakannya punggungya
perih. Agaknya ujung kedua pedang itu sempat menyerempet
kulit punggungnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setan Kepala Besar menyipitkan matanya, lekat mengamati
kedua penyerangnya. Braja Lelana maupun Sukma Maningrum
juga menatap tajam sosok berkepala besar itu.
Tak ada kata diantara mereka.
Beberapa detik ketiga orang itu bersitegang dalam diam.
Mengamati lawan, mencari lubang kelemahan.
Braja Lelana memegang gagang pedangnya erat-erat.
Perlahan butiran keringat merembes di dahinya.
Ia sudah mengenal iblis ini, sebagaimana Setan Kepala
Besar sudah mengenal mereka. Dua tahun lalu bersama
isterinya dan dua orang pendekar dari kota raja ia bertempur
mati-matian melawan Iblis ini. Hasilnya mereka berlima sama-
sama terluka. Untung saja mendadak lewat sepasukan
kerajaan yang sedang berpatroli sehingga memaksa Setan
Kepala Besar yang berada dalam keadaan tidak lebih baik
darinya dan teman-temannya kabur.
Belakangan salah satu pendekar yang membantunya itu
tewas karena luka-lukanya. Betapa penyesalan Braja Lelana
dan rasa dendamnya sehingga membuatnya meninggalkan
kedudukan di kota raja dan mengelana sebagai pendekar
pengembara. Tujuannya hanya satu, menyelesaikan utang-
piutang ini dan kalau perlu beserta rentennya.
Sekarang ia menemukan musuh besarnya ini disini.
Disamping semangatnya berkobar dengan api dendam yang
sudah sekian lama tersekam, diam-diam ia juga mengkhawatirkan isterinya. Dahulu, dengan berlima mereka
tidak dapat mengungguli iblis ini. Walaupun belakangan ia
dengan keras melatih diri, namun ia pun yakin Iblis Kepala
Besar juga tak mungkin hanya malas-malasan saja.
Setan Kepala Besar dengan sendirinya mengerti perasaan
lawan. Hakikatnya ia pun merasakan dendam yang sama. Dua
tahun ia harus meringkuk dan berjuang keras menyembuhkan
luka yang dideritanya. Hal itu sudah cukup bagi seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sepertinya untuk menancapkan papan kematian di wajah
musuh besarnya. Namun betapapun keadaan sudah sedemikian panas,
otaknya masih bekerja dengan baik.
Saat ini mereka berada di tengah jalanan ramai. Orang-
orang dengan penuh minat menonton mereka bertiga lebih
dari ketertarikan mereka terhadap pertunjukan tari monyet
tadi. Sekalipun ia tidak telalu hirau dengan orang-orang itu
namun sewaktu-waktu pasukan Jatingaleh bisa datang. Lebih-
lebih Lembu Patik Pulung bukanlah lawan yang empuk.
Yang lebih penting ia tidak boleh terlihat oleh Demang
Kademangan itu mengingat pekerjaan besar di pundaknya.
Satu-satunya yang membuatnya gelisah adalah bocah
Gagang Gerhana itu. Pandan Kumala menyuruhnya menjaganya, dan ia tahu betul apa akibatnya kalau sampai
tugas ini gagal. Namun jangankan mengambilnya, sekali
bergerak mungkin sepasang pedang Braja Lelana dan Sukma
Maningrum akan memaksanya turun tangan.
Setan Kepala Besar merasa tak punya pilihan lain. Sekali
menjejak, tubuhnya melayang ke belakang, dan sebelum Braja
Lelana dan Sukma Maningrum sempat mengantisipasi gerakan
musuh besarnya itu tubuh Setan Kepala Besar sudah hilang di
tengah celah perumahan penduduk.
Arya yang dengan tenang memperhatikan dari samping
merasa Setan Kepala Besar mengerling ke arahnya sedetik
tadi sebelum ia meloncat.
Dengan sendirinya Arya tahu, pertimbangan paling besar
bagi Setan Kepala Besar adalah kehadiran Arya di tempat itu.
Pandan Kumala tentu sudah menggambarkan secara persis
potensi menggidikkan dalam diri Arya kepada sekutunya itu
sehingga tokoh seperti Gagak Jemarit harus mati dalam sekali
gerakan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali Arya ikut campur, tidak akan ada kesempatan lagi
buat Setan Kepala Besar untuk hidup, apalagi kabur. Meski ia
pun tidak terlalu yakin bahwa Arya akan membiarkannya
kabur. Mengingat hubungan dirinya dengan Pandan Kumala.
Ia hanya berpegang pada perhitungan sederhana.
Terhadap tata letak Jatingaleh ia telah mempelajarinya
beberapa bulan, dengan sendirinya ia lebih hafal dari pada
Arya yang hanya sesekali singgah di Kademangan itu.
Tubuhnya yang kecil juga mempunyai manfaat tersendiri
dalam medan yang banyak terdapat perumahan dan ramai
oleh lalu lalang orang. Hal yang aneh adalah ternyata Arya tidak mengejarnya.
Pemuda itu dengan tenang masih berdiri di tempatnya.
Braja Lelana dan Sukma Maningrum sempat melompat
mengejar. Namun pengetahuan keduanya tentang tata letak
Jatingaleh memang tidak dapat membandingi Setan Kepala
Besar. Akhirnya keduanya hanya bisa menghela nafas, entah
dengan nada lega atau masygul, dan kembali ke tempat Arya
berdiri. "Aku tidak menyangkan Setan keparat itu ternyata berada
disini." "Setidaknya kita tahu bahwa ia belum lagi mampus."
Timpal Sukma Maningrum. "Kalian berdua agaknya mempunyai perhitungan masa lalu
terhadap Setan Kepala Besar." Ujar Arya dengan tenang.
"Ya, bahkan tidak ringan perhitungannya." Desah Braja
Lelana. "Siapa bocah ini?" tanya Sukma Maningrum dengan alis
berkernyit ketika melihat Arya menggandeng tangan seorang
bocah yang tampak linglung.
Arya tertawa dan menjawab asal-asalan, "Tentu bukan
anakku. Sebiji isteri saja belum kudapat. Sebaiknya kalian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
secepatnya menyingkir, sebentar lagi mungkin prajurit
Jatingaleh akan datang."
Braja Lelana mengangguk dan berujar dengan nada sesal,
"Kenapa kau tidak pergi bersama kami. Kami tinggal di
penginapan yang cukup bagus. Kita bisa merayakan
pertemuan ini dengan beberapa masakan istimewa."
Arya menggeleng, "Aku harus mengantarkan bocah ini.
Mungkin orang tuanya akan keculitan mencarinya." Tolaknya
dengan tertawa. Setelah menatap Gagang Gerhana sebentar dan mengangguk maklum, Braja Lelana segera menarik tangan
isterinya. Arya menatap sepasang pendekar itu sampai sosok
keduanya tenggelam dalam kerumunan. Tangan Gagang
Gerhana terasa balas menggenggam tangannya. Ketika Arya
menatap bocah itu, kebetulan Gagang Gerhana, yang selama
ini tidak pernah menatap siapapun secara fokus, juga sedang
memandangnya. Bola mata bocah itu terlihat menyimpan emosi yang sulit
dimengerti. Bersamaan Arya juga merasakan darah didadanya
berdesir oleh pergolakan perasaan yang tidak sepenuhnya
dipahaminya. ~Dewi-KZ~ Bab XVI, Raja Iblis Tinju Es
Diantara riuh orang ramai sayup-sayup Arya mendengar
derap belasan kaki kuda yang dilarikan. Tak disangsikan lagi,
mereka adalah prajurit Jatingaleh yang mungkin dikirim oleh
Kademangan sehubungan dengan kekacauan yang terjadi.
Arya segera menarik Gagang Gerhana menjauh. Bocah itu
sepertinya menjadi sangat penurut, kemanapun tanganya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditarik, kesitu pula kakinya melangkah. Sama sekali tak ada
penolakan. Tiba di sebuah penginapan yang memasang merek
'Kembang Fajar' di depannya, Arya membelok dan sete lah
menyapa penjaga ala kadarnya ia langsung masuk ke kamar
yang disewanya. Sempat di lihatnya mata si penjaga yang keheranan melihat
Gagang Gerhana. Namun ia tahu itu bukan masalah yang
berarti. Di sebuah penginapan, siapa membawa siapa adalah
hal jamak dan biasanya para pelayan maupun penjaga dapat
menjaga mulut mereka rapat-rapat. Namun seorang muda
sepertinya menuntun bocah yang kelihatan linglung betapapun
merupakan satu hal tersendiri.
Sesungguhnya apa yang membuat Arya membawa Gagang
Gerhana juga tidak sepenuhnya dipahami oleh pemuda ini
sendiri. Ketika melihat Setan Kepala Besar membawa Gagang
Gerhana siang tadi, yang terpikir di otaknya adalah
kemungkinan untuk menjadikan kedua orang itu petunjuk
guna menemukan Pandan Kemala, yang mungkin berhubungan juga dengan Ki Awu Lamut.
Tujuan kedatangan Arya ke Jatingaleh ini sebenarnya
mengikuti tanda khusus yang
di buat oleh Arum Puspita agar jejaknya bisa diketahui olah
Arya. Anehnya tanda itu berhenti di Gerbang Kademangan
Jatingaleh. Karena tidak menemukan tanda lain lagi maka Arya
memutuskan untuk masuk ke Jatingaleh dan mencoba
mencari jejak sekuat tenaganya. Sudah beberapa hari ia
berkeliling di seluruh jalanan Jatingaleh dan yang didapatnya
hanya perut yang melilit dan debu yang bertumpuk di dahinya.
Sampai sore itu ia me lihat Gagang Gerhana yang dituntun
oleh Setan Kepala Besar. Ketika melihat kedua orang itu,
lantas saja otaknya menghubungkan keterlibatan Pandan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kumala dalam penculikan Arum Puspita dan Ratna Dewi. Maka
ia pun memutuskan mengikuti Setan Kepala Besar dan
Gagang Gerhana. Tak tersangka terjadi peristiwa tadi.
Sebuah perasaan yang tak dipahaminya mendorongnya
untuk membawa Gagang Gerhana yang ditinggalkan Setan
Kepala Besar. Semacam rasa tanggung jawab yang aneh.
Sekalipun ia tahu diantara mereka berdua terdapat
hubungan darah yang rapat, namun karena tak sekalipun
sebelumnya Arya bertemu secara langsung dengan Gagang
Gerhana dan keadaan Gagang Gerhana yang tidak
sepenuhnya normal menjadikan hubungan itu berjalan tidak
sewajarnya. Itu pula yang mencegahnya untuk mengejar Setan Kepala
Besar. Saat ini pun ia bingung. Apa yang akan ia lakukan terhadap
bocah ini" Sambil termenung-menung, dipandanginya Gagang Gerhana yang asik dengan tingkah lakunya sendiri. Dalam
keremangan mentari sore yang bersinar jingga, bola mata
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gagang Gerhana memperlihatkan semacam tabir bening.
Meski tampak acuh tak acuh namun setiap cahaya yang
menyorot dari matanya terasa tajam menusuk.
Di dunia ini sudah maklum bahwa manusia dilahirkan
dengan bakat yang berbeda. Bakat pula yang menentukan
kesuksesan seseorang. Terdapat seorang calon penyair
legendaris, dalam umur lima tahun ia sudah dapat merangkai
kata layaknya remaja yang jatuh cinta. Seorang jenius dalam
bidang catur, sejak umur tiga sudah mampu menerapkan tiga
kali tujuh langkah catur yang rumit.
Namun ada pula segala kesuksesan dan kesempurnaan itu
diraih dengan kerja keras yang tekun. Umpamanya seorang
yang tuli, karena latihan dan gemblengan yang luar biasa ia
menjadi seorang yang paling tajam telinganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan pengamatannya yang khas, Arya segera mengetahui bahwa Gagang Gerhana adalah tipe orang yang
pertama. Pancaran cahaya matanya yang tajam berkilat
menandakan bakatnya yang tinggi di dalam ilmu silat.
Mungkin potensi kecerdikannya juga tidak dibawah orang lain.
Namun semua itu tertutup dengan kelinglungannya.
Namun sebab apa anak ini menjadi begini rupa, seingatnya
seorang anak akan menjadi sinting sebagian besar karena
tidak mendapat porsi kasih sayang yang cukup dari orang
tuanya. Mengingat kembali tempat tinggal Pandan Kumala yang
terletak jauh di puncak bukit, Arya menghela nafas panjang.
Rupanya perselisihan puluhan tahun lalu berbuntut tidak
pendek. Akibat yang dibawanya juga rupanya lebih
mengerikan dari apa yang dibayangkannya.
Lamat-lamat, di kedalaman sanubarinya Arya merasakan
sendu yang pilu. Seandainya kejadian itu tak terjadi, tentu
keluarganya akan hidup tentram. Dirinya tak perlu menjadi
petualang tanpa rumah seperti sekarang ini. Bocah Gagang
Gerhana ini juga tak usah menjadi sedemikian mengenaskan
keadaannya. Namun kejadian di dunia ini memang lebih aneh dari
rangkaian kata 'seandainya'.
Siapa yang salah, siapa yang benar, benar-benar seperti
lorong labirin yang terus berputar tak henti.
Sebenarnya dirinyakah yang terlalu besar meledakkan
emosi" Ataukah Ayahnya yang terlalu kukuh dengan apa yang
di yakininya. Untuk pertama kalinya Arya merasakan bulu kuduknya
meremang. Bukan ketakutan, lebih tepat semacam perasaan
bersalah yang tiba-tiba membanjir.
"Apa wajahku sangat jelek?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertanyaan ini mendadak saja terlontar dari mulut Gagang
Gerhana. Nada bicaranya polos, tapi fasih. T idak m irip dengan
bocah sepuluh tahun yang belum pandai bicara.
Untuk sejenak Arya terhenyak.
Sebenarnya Arya akan lebih terkejut lagi seandainya tahu
bahwa selama hidupnya Gagang Gerhana tidak pernah bicara
kepada siapapun. Termasuk kepada ibunya.
"Tidak, tentu tidak." Tergagap juga Arya menjawab.
"Lalu kenapa matamu melotot memandangku?"
Sekilas Arya tidak bisa membedakan apakah pertanyaan ini
benar-benar pertanyaan atau makian.
Maka ia hanya tertawa saja, "Apa benar mataku melotot?"
"Kupikir malah sudah hampir keluar dari tempatnya."
Kembali Arya tertawa. Bocah cilik ini ternyata tidak tolol.
"Bukankah kau mencari dua orang gadis dan seorang tua?"
Pertanyaan yang dilontarkan dengan muka polos ini hampir
membuat Arya berjingkrak.
"Dari mana kau tahu?"
Gagang Gerhana tertawa ketolol-tololan, "Dari mana
kutahu" Tentu saja ada yang mengatakannya kepadaku. Kalau
tidak bagaimana aku tahu?"
Sinar mata Arya seketika berbinar, "Apa kau juga tahu
dimana mereka?" "Mereka siapa?"
"Dua orang gadis dan seorang tua?"
Gagang Gerhana tertawa. Tertawa yang polos. Tidak
kelihatan menyembunyikan sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kau bisa menemukan mereka disetiap jalan
yang kau temui?" Tentu saja, dua orang gadis dan seorang tua adalah
klasifikasi umum. Siapapun bisa menemukan dua orang gadis
dan seorang tua dimana saja.
Arya menatapa bocah itu lekat-lekat. Sepasang mata yang
bening balas memandangnya tanpa kedip. Mata itu tak
mencerminkan tipu muslihat yang jahat. Benar-benar sinar
mata seorang bocah yang polos.
"Apa seseorang menyuruhmu mengatakan ini kepadaku?"
Gagang Gerhana tertawa. Kali ini dia tidak menjawab.
Hanya sepasang matanya yang berkedip-kedip.
Arya juga tak memaksanya menjawab, karena saat itu juga
terdengar tiga kali suara ketukan pintu.
Tak seorang pun yang mengetahui bahwa dirinya menginap
di tempat ini. Pelayan juga tak akan sembarangan mengetuk
pintu. Ia telah berpesan tadi. Lalu siapa yang mengetuk pintu
kamarnya. Ketukan pintu itu tak terdengar lagi. Namun Arya tahu
orangnya masih menunggu di depan. Bayangan sepasang
sepatu yang putih mungil tampak memanjang.
Sekarang pintu itu telah terbuka. Dan sekali lagi Arya
memaksakan sepasang matanya untuk tidak melompat keluar.
Umur perempuan ini boleh dikatakan tidak muda lagi.
Namun dalam kematangan usianya, pesona yang memancar
dari setiap pori-pori wajahnya tak kalah dengan daya tarik
wewangian tubuh perawan. Pakaiannya putih berkibar pelan.
Dia pun tidak mengenakan penghitam bulu mata, karena bulu
mata aslinya memang jauh lebih indah dari pada segala
macam polesan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kekagetan Arya ini mungkin akan bertambah menjadi
kepanikan seandainya anak muda ini tahu bahwa perempuan
inilah Pandan Kenanga. Pandan Kenanga yang telah ditusuk luka oleh Pandan
Kumala ternyata berdiri segar bugar disini.
"Kaukah Arya Dipa Loka?" suaranya masih semerdu burung
berkicau. "Benar, apa aku pernah berhutang pada nona?" agak
tergagap Arya menjawab. "Kau tidak berhutang kepadaku. Aku pun bukan lagi
seorang Nona cilik."
Sekalipun bukan lagi seorang nona cilik, tapi aura yang
memancar dari sikap dan tutur tingkahnya malah lebih
menarik dari pada seorang nona cilik.
"Kalau begitu..."
"Aku tidak lain hanya seorang kurir saja."
Kalau kurirnya saja sudah seperti ini, maka betapa penting
surat yang dibawanya jangan lagi dipertanyakan.
"Apakah salah seorang sahabatku yang mengutus nona?"
Pandan Kenangan tertawa, "Bukan saja sahabat. Malah
boleh dikatakan keluarga."
Sepasang mata Arya sontak berkilat, "Apakah dari Pandan
Kumala?" Pandan Kenanga tertawa manis, "Dalam selintasan kau
sudah bisa menebaknya. Agaknya hubunganmu dengannya
cukup istimewa." Arya menghela nafas, "Hubunganku dengannya memang
agak istimewa. Silahkan nona berikan suratnya lalu selekasnya
aku akan menutup pintu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menjublek juga Pandan Kenanga. Selama malang melintang
di dunia persilatan, belum pernah dirinya digebah mentah-
mentah begini. Wajahnya yang tadi berpendar riang seketika juga berubah
dingin, "Ia tidak mengirimkan surat, hanya beberapa patah
kata." Belum lagi perkataannya selesai tubuhnya sudah menyusup
ke depan. Sekali sambar langsung meraih tubuh Gagang
Gerhana. Betapa cepat gerakannya, sekalipun tokoh sekelas
Kiai Santun Paranggu juga mungkin hanya segini saja. Namun
sayang sekarang ia berhadapan dengan Arya.
Arya yang sekarang juga tidak sama dengan Arya yang
kemarin. Penghayatan terhadap Kitab Teratai sekalipun baru
pada tahap pertama namun betapapun sudah menunjukkan
peningkatan yang luar biasa pada kemampuan anak muda ini.
Sedetik lebih cepat satu jari Arya menutuk pergelangan
tangan Pandan Kenanga yang terulur.
Merasakan angin yang berciut tajam, Pandan Kenanga
menarik tangannya. Dalam waktu bersamaan lututnya
terangkat menghantam dada. Jurus ini sebenarnya tidak
pantas dimainkan seorang gadis. Namun semakin tidak dapat
di tebak semakin efektif sebuah jurus.
Agaknya lutut yang berbalut kain sutra putih berkibaran itu
akan tiba di dada Arya ketika tiba-tiba tubuh pemuda itu
seakan patah. Separo pinggang ke atas tertekuk ke bawah,
sementara bagian bawah tetap tegak kokoh.
Pandan Kenanga tersenyum kecil. Gerakan tubuh Arya itu
seakan membuka pintu yang sangat lebar untuk menyarangkan pukulan. Bagian pinggang yang tertekuk itu
tentu adalah bagian yang sangat lemah. Sekalipun mungkin
terlindungi dengan lapisan tenaga dalam, namun tidak akan
cukup kuat menahan pukulan yang dilancarkan sepenuh
tenaga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Diawali angin yang berdesir tajam, Pandan Kenanga
memukul keras ke arah pinggang yang tertekuk itu.
Tampaknya Arya tidak akan mampu mengelakkan pukulan
itu. Sekalipun bisa juga akan terlambat selangkah.
Dan pukulan itu memang telak mengena.
Namun senyum Pandan Kenanga seketika hilang ketika
merasakan tangannya seperti menghantam segumpal baja
yang licin. Benar tenaga pukulannya telak menggempur, tapi
arus tenaga itu seperti terpeleset.
Bersamaan dengan itu tubuh Arya mendadak meluncur ke
belakang. Tangannya meraih Gagang Gerhana, menerobos
dinding, dan dalam sekejap lenyap di tengah remang cahaya
rembulan. Betapa cepat dan tangkas gerak-geriknya kini giliran
Pandan Kenangan yang dibuat tertegun.
Pandan Kenanga tentu saja tak ingin kehilangan ikan di
depan mata. Kakinya menjejak lantai, seketika tubuhnya
melayang ke depan. Namun belum lagi menerobos dinding
serangkum angin tajam seperti menggencet tubuhnya. Dalam
waktu bersamaan dirasakannya kaki kirinya lumpuh. Tubuh
pun ambruk. Dalam sekejap Pandan Kenanga menjublek, tak tahu apa
yang terjadi. Sekalipun diketahuinya bahwa seorang yang
sudah mencapai puncak penguasaan tenaga dalam dapat
melakukan serangan melalui perantara angin. Namun biasanya
serangan itu tidak akan seefektif dan setajam bila
dibandingkan dengan serangan yang langsung melalui
anggota badan atau senjata. Apalagi kalau dilakukan terhadap
orang seperti dirinya yang juga sudah meyakinkan tenaga
dalam tinggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun kenyataannya kedua kakinya seperti lumpuh ditutuk
orang. Memangnya anak muda itu menguasai kepandaian
siluman yang dapat menutuk orang dari jarak jauh.
Tak terasa bulu kuduk Pandan Kenangan meremang.
Selama hidup belum pernah ditemukannya orang dengan
kepandaian begini tinggi.
Sesaat dipikirkannya pulang pergi apa ia harus mengejar
Arya atau tidak. Namun toh kalau mengejarnya juga belum
pasti bisa menyusul anak muda itu. Kecepatan gerakan yang
dipamerkan Arya sedetik tadi sudah menunjukkan kelas ilmu
meringankan tubuhnya yang mungkin setingkat diatas dirinya
sendiri. Kalau toh ia dapat menyusulnya, tidak pasti pula ia dapat
mengalahkan pemuda itu dan merebut Gagang Gerhana.
Bagaimana kalau Arya sengaja memasang perangkap untuk
menjebaknya" Setelah terdiam sejenak segera ia melayang ke barat sana.
Sebenarnya kepandaian Arya sendiri tidaklah sebegitu
menyeramkan. Hanya tadi ia menggunakan sedikit trik. Ketika
tubuh bagian atasnya patah kebelakang tadi sekejap jarinya-
jarinya telah meremas lembut jalan darah di kaki Pandan
Kenanga. Remasan ini, dengan perhitungan tenaga yang
sangat teliti, akan menyebabkah kaki kiri Pandan Kenanga
lumpuh dalam waktu yang diperhitungkan.
Teori remasan ini sebenarnya sudah diketahuinya dulu. Ia
pun pernah mendengar kepandaian semacam ini. Namun baru
ketika ia meyakinkan K itab Teratai di Vila Bambu m ilik K i Awu
Lamut itu ia menemukan jalan dan cara pengaturan tenaga
yang pas, sehingga beberapa teori ilmu s ilat yang sebelumnya
tidak mampu dilakukannya sekarang sudah mungkin untuk
diterapkan ke dalam praktek. Tentu saja ini pun suatu
kegembiraan tersendiri baginya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bersamaan tadi ia juga mengirim angin serangan sehingga
ditengah kekagetannya perempuan adik Pandan Kumala itu
menyangka kepandaiannya yang kelewat tinggi.
Bahkan ketika bayangan Pandan Kenanga melayang keluar
dan langsung menuju arah barat, Arya melihatnya dengan
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jelas, karena sesungguhnya ia pun tidak pergi kemana-mana.
Ia hanya mendekam di atas atap. Dengan senyum tersungging
di bibir anak muda ini pun mengikuti bayangan putih dari baju
Pandan Kenanga yang berkibaran itu.
Dalam gebrakan yang hanya dua tiga jurus tadi, ia telah
dapat memastikan bahwa ada hubungan cukup erat antara
Pandan Kenanga dan Pandan Kumala. Kemungkinan besar
adalah saudara seperguruan. Maka diputuskannya melepas
teri untuk menjaring kakap.
Yang aneh, Gagang Gerhana yang dikempitnya seperti
mengetahui apa yang ada di pikiran Arya. Bocah cilik itu sama
sekali tidak bersuara atau me lakukan gerakan yang dapat
mengganggu penguntitan Arya.
Dengan berloncatan dari atap rumah ke atap rumah
Pandan Kenanga seperti juga Dewi malam yang turun dari
kahyangan. Setelah beberapa kali berputaran akhirnya perempuan adik
Pandan Kumala itu tampak melayang masuk ke sebuah
jendela yang terbuka. Dengan bertengger di sebuah batang pohon Arya
memandang rumah besar itu tajam. Tak salah lagi itulah
rumah Demang Lembu Patik Pulung.
Apakah Pandan Kumala bersekongkol dengan Lembu Patik
Pulung, tapi mengapa dalam perkelahian kemarin ia malah
membantu pihak Dipa Saloka" Memangnya dalam masalah ini
pun ada satu siasat terselubung"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebetulnya Arya ingin me longok ke dalam, namun
mendadak dirasakannya sepasang kakinya terpaku. Seketika
otot-otot di seluruh tubuhnya pun menegang. Samar-samar
tubuhnya merasakan semacam hawa membunuh yang tajam
luar biasa. Dalam kepekatan malam hawa membunuh itu serupa dupa
bius yang ditiup oleh sekurumunan iblis. Sekalipun tak
berbentuk, tak terlihat, namun entah mengapa bulu kuduk
terasa merinding. Dengan kepekaannya yang terlatih, ditambah penghayatannya terhadap kandungan Kitab Teratai Arya bisa
menduga bahwa hawa iblis ini berasal dari seorang yang
berkepandaian tinggi luar biasa. Ia juga tahu bahwa orang itu
sudah bersiap-siap menyerangnya. Sekalipun belum bergerak,
namun seakan mata telinga orang itu sudah bergerak ke
seluruh tubuh Arya. Mencari setitik kelemahan yang akan
menjadi pintu untuk mengirim pemuda itu ke Akherat.
Semakin lama hawa itu semakin tajam. Udara pun
mendadak berubah dingin membekukan. Arya tahu sebentar
lagi pertarungan yang menyangkut hidup matinya akan segera
dimulai. Ia pun sebenarnya tidak terlalu risau dengan dirinya.
Mati hidup baginya bukanlah persoalan besar.
Namun dalam kempitannya masih ada Gagang Gerhana.
Bocah ini bukan saja adiknya, namun juga satu-satunya hal
yang membuatnya harus tetap hidup. Karena ia lah yang
mengambilnya dari Setan Kepala Besar maka ia pula yang
harus mengembalikannya ke tempatnya yang layak.
Maka ia harus tetap hidup.
Maka ia tidak boleh bergerak.
Lawan ada di tempat terang, sedang ia tak melihat satu
sosokpun. Bahwa suara nafas atau hawa panas yang biasanya
keluar dari tubuh manusia juga tak ditemukannya. Terang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang ini adalah seorang pentolan dunia persilatan dengan
peyakinan ilmu yang luar biasa.
Awan hitam menutup rembulan. Bintang-bintang pun
seakan tenggelam dalam kegelapan yang berdenting,
bersendawa membawakan lagu sunyi.
Dalam sepi yang siap pecah itu tiba-tiba menyusup sealur
nada tiupan suling. Bagaikan jalur-jalur air yang merembes
pelan-pelan, tiupan seruling itu menembus benteng baja yang
terbentuk dari pertarungan diam antara dua orang yang
sedang berlaga. Seiring dengan tiupan seruling, yang seakan-akan datang
dari empat penjuru angin, pelan-pelan Arya merasakan hawa
membunuh yang mengurung dirinya menguap kemudian mulai
memudar. Tentu saja Arya tahu inilah saat yang tepat untuk mundur
teratur. Sejenak dirasakannya dadanya bergolak panas.
Betapapun selama ini tak pernah ia mundur dari medan laga,
betapapun ganasnya, betapapun garangnya. Sekarang ia
harus mundur, dengan sendirinya hatinya merasa penasaran.
Namun Arya, sekalipun masih cukup muda untuk dapat
dengan mudah mengekang panas di darahnya, mempunyai
hidup yang tak hanya memberikan kepuasan. Selama tujuh
tahun ia tertempa oleh hujan badai yang seakan meluluh
lantakkan langit. Kepedihan dan keputusasaan membuat
jiwanya tergembleng kokoh.
Di dunia ini entah berapa banyak manusia, yang dikelilingi
oleh kecukupan dan kemapanan. Mereka merasakan hidup
hanya sebagai lagu dari kepuasan dan kesenangan yang
bertubi-tubi. Maka ketika badai datang, mereka pun ambruk
seperti helai padi. Namun ada pula sementara orang yang setiap hari, setiap
saat harus mempertahankan hidup mereka. Kesengsaraan,
duka, derita, seperti pukulan godam pada besi panas yang tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
henti hinggap di tengkuk mereka. Tetapi ketika kesulitan
datang, merekalah yang pertama kali menyambut. Tegak
tegar di tengah amuk topan.
Maka tanpa menunjukkan rona perubahan di mukanya Arya
pun melayang ke belakang. Tubuhnya masih tetap
menghadap kedepan. Samar-samar di pekatnya gelap di
kejauhan sana tercetak sesosok bayangan memanjang.
Siapakah peniup seruling itu" Ia pun tidak tahu. Hanya
lamat-lamat diingatnya bahwa bahwa diantara pernik-pernik
bambu di kediaman Ki Awu Lamut itu pernah terdapat
sebatang seruling bambu berawarna kuning muda.
Siapa juga bayangan hitam itu" Seorang yang pasti belum
pernah ditemuinya. Mengingat hawa membunuh yang dimiliki
orang itu, hati pemuda itu kembali bergidik. Hawa membunuh
itu bukanlah hawa membunuh biasa. Didalamnya terkandung
entah kekuatan apa yang mampu mengurung lawannya dalam
bius dupa. Dari manakah mendadak muncul tokoh sehebat ini"
Sambil me layang Arya kembali mengingat luka didada
ayahnya. Satu nama terngiang di telinganya. Raja Iblis Tinju
Es. Benarkah dia yang muncul. Namun urusan apa yang
menyebabkan Raja Iblis yang telah sekian tahun lamanya tak
terdengar kabar beritanya itu mendadak muncul dan bahkan
bersekutu dengan Demang Lembu Patik Pulung. Apakah juga
karena Wahyu Kepala Naga"
Sebenarnya sebeharga apa Wahyu Kepala Naga sehingga
berbagai tokoh yang telah lama mengasingkan diri kembali
bermunculan" Ia telah mendapatkan Kitab Teratai, dan
kenyataannya itu tak lain hanya sebatas Kitab Ilmu s ilat biasa,
walaupun juga tak bisa dikatakan biasa. Namun tokoh
sekaliber Raja Iblis Tinju Es pasti tidak akan tergiur oleh
berbagai kitab Pusaka, mengingat kesaktiannya yang sudah
ngedap-ngedapi. Tapi toh ia keluar juga, maka pasti Wahyu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kepala Naga merupakan sesuatu yang lain. Yang sangat
berharga. Tak terasa Arya sudah sampai di depan penginapannya.
Melalui dinding yang bolong ia bisa melihat jelas keadaan
kamarnya. Tidak ada perubahan. Letak kasur dan bahkan
cangkir teh masih di tempatnya.
Satu-satunya perbedaan adalah disitu telah tambah satu
orang. Orang yang seharusnya tak berada disini. Ia pun tak
pernah membayangkan bahwa orang ini akan ada disini.T etapi
kenyataannya ia telah duduk dengan tenang di depan meja
kecil itu. Pandangannya tampak menerawang jauh ke
rembulan yang mulai tersibak. Pakaiannya yang putih
berkibaran diperma inkan angin, rambutnya yang panjang
terurai tampak melambai. "Kau sudah pulang," kata-katanya wajar, sama sekali tak
mengunjukkan suatu perasaan.
Arya tak menjawab. Pelan-pelan ia masuk melalui lubang
dinding dan melepaskan Gagang Gerhana, yang seketika
berlari ke pangkuan perempuan itu.
Memandangi Gagang Gerhana, sepasang mata perempuan
itu membiaskan air yang bening. Tangan kanannya mengelus
kepala bocah kecil itu yang entah kenapa kembali tampak
linglung. "Kau tentu heran kenapa aku disini?" Pandan Kumala
bertanya sambil menatap Arya. Tatapan inilah yang
membuatnya minggat meninggalkan rumah tujuh tahun yang
lalu. Sepasang mata inilah yang membuat ibunya harus hidup
tak tentram. Sepasang mata ini juga yang mengharuskan
ayahnya kandungnya menghunus
keris ke dadanya. Betapapun sabarnya tak urung sepasang mata Arya memerah.
"Aku maklum pandanganmu terhadapku, namun aku harus
memberitahumu juga bahwa sebuah persoalan tak bisa
dipandang dari sudut lumrah saja. Banyak hal di dunia ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang bahkan menghayalkannya pun kau tak pernah, tetapi
dalam kenyataan telah terjadi. Namun aku pun tidak
memintamu untuk melupakannya, apalagi memaafkanku."
Tangan Arya mulai bergetar. Mending kalau tak diingatkan,
begitu Pandan Kumala menyebut persoalan itu, luka yang
menganga di hatinya seketika seperti kembali disiram garam.
Ada sementara persoalan di dunia ini yang memang tak bisa
disembuhkan oleh waktu. "Saat ini Kakang Demang masih terluka. Sekalipun tidak
menengoknya, aku pun tahu kalau ia belum lagi sadar.
Seorang kalau sudah terkena Pukulan Gajah Pengeduk
Lumpur, sekalipun diobati oleh lidah naga juga tak akan
sembuh dengan cepat. Bahwa ia masih bernafas saja sudah
terhitung nasib baik."
Pandan Kumala seperti mengerti bahwa pemuda itu tak
akan menganggapi ucapannya, maka kembali ia meneruskan,
"Dahulu, dalam suatu kesempatan Dyah Surya pernah
mengatakan kepadaku, bahwa meski kau sangat cerdas, juga
berbakat dalam ilmu silat, namun hatimu lemah. Terlalu
gampang diombang-ambing oleh gejolak hati. Diluar kau
tampaknya begitu keras, namun didalam kau sangat lunak,
persis tahu yang dilabur dengan aspal."
Dyah Surya adalah ibu Arya. Arya tentu saja tak lupa
dengan nama ibunya. Ia hanya tak ingat sejak kapan ibunya
pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan mengatakan
sesuatu tentang dirinya. "Siang-siang ia telah memperkirakan bahwa sifat mu ini
akan menjadi bencana di kemudian hari." Seulas senyum
rawan tampak terbayang di bibir Pandan Kumala, "Seorang ibu
mengetahui anaknya seperti menghafalkan garis tangan
sendiri, namun seberapa besar anak memahami kehendak hati
sang ibu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil mengelus-elus kepala Gagang Gerhana kembali ia
melanjutkan, "Selama hidup aku tak pernah meminta kepada
siapapun, selanjutnya juga tak akan. Hanya sekali ini aku
memintamu untuk menjaga bocah ini. Mungkin tidak mudah,
tapi betapapun dalam diri kalian mengalir darah yang sama.
Kurasa hal itu akan memudahkan kesulitan yang tercipta."
Setelah terdiam beberapa saat, dan memandang Gagang
Gerhana sekejap Pandan Kumala melangkah ke pintu,
membukanya pelan, dan keluar dari situ.
Arya masih terdiam, sepatah katapun tidak diucapkannya.
Sampai sekian lamanya ia masih tertegun ditempat. Ketika
malam mulai mendekati fajar, barulah kelopak matanya
mendadak terpejam. Ia tak ingin air matanya meleleh. Namun siapa yang
sanggup menghentikan hati yang pedih. Sekalipun rasa sakit
dapat ditahan, namun darah yang mengalir dari luka tetap
akan mengalir. Cahaya fajar memerah di ufuk timur. Kokok ayam jago
mengawali hari bagi umat manusia, untuk bertanggung jawab,
untuk mencari jawab. ~Dewi-KZ~ Bab XVII, Aji Langit Bumi Teruruk Es
Demang Lembu Patik Pulung memandangi secangkir madu
di depannya. Madu adalah minuman yang paling berkhasiat,
siapapun tahu itu, tapi orang yang setiap hari minum delapan
cangkir madu memang tidak banyak. Lembu Patik Pulung
sangat suka terhadap madu. Setiap hari paling sedikit ia
menghabiskan sepuluh cangkir madu. Lagi pula cara
minumnya sangat cepat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apapun yang dimakannya boleh terserah kepada juru
masak, pun tak terlalu dipusingkan apakah keasinan atau
kepedasan. Asal disampingnya ada madu, maka makanan
apapun baginya menjadi sangat lezat.
Namun sekarang ia mendadak kehilangan seleranya.
Secangkir madu yang biasanya diminumnya sekali teguk itu
hanya dipandanginya serupa memandangi kerbau bunting.
Sama sekali tidak ada selera.
Namun sebenarnya bukan hanya Lembu Patik Pulung yang
bersikap begitu. Setiap orang diruangan itu hampir semuanya
memperlihatkan mimik muka yang sama. Makanan dan
minuman yang tertata di meja seakan sudah menjadi
setumpuk tahi. Sama sekali tidak ada yang menyentuhnya.
Hal ini bukan karena mereka semua telah menderita
penyakit cacingan semua. Hanya karena diruangan itu telah
bertambah satu orang. Bukan saja perawakan orang ini luar biasa anehnya, cahaya
kelabu yang menyorot dari sepasang matanya pun seakan
memaksa setiap orang yang ditatapnya menundukkan kepala.
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan karena takut atau segan, tapi lebih karena terlalu mual.
Mata itu tidak mirip mata manusia, lebih persis mata batu.
Pandan Kenanga mencoba mengerling sedikit. Baru saja
matanya menumbuk pandangan orang ini seketika bulu di
kuduknya mengkirik. Biasanya sekalipun melihat darah
menyembur pun ia tak berkedip, bahkan bisa tetap tersenyum
manis, namun entah kenapa sepasang mata batu yang
bersinar kelabu ini begini menggidikkan.
Mimpi pun ia tak pernah mengira bahwa Raja Iblis Tinju Es
adalah orang macam begini. Lalu orang macam apa
seharusnya Raja Iblis Tinju Es. Dia pastilah seorang
berperawakan tinggi besar, dengan cambang bawuk lebat,
otot-otot sebesar semangka, lagi pula bersuara sekeras
geledek. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kenyataannya orang yang terkenal sebagai dedengkot
golongan rimba hijau yang tak pernah kenal tandingan ini
hanya seorang kakek yang separoh rambut dikepalanya sudah
rontok. Wajahnya lebih mirip jerangkong yang dilapisi arang.
Jari-jari tangannya serupa cakar ayam yang sudah digoreng
sepuluh kali, dengan kuku-kuku panjang yang menghitam.
Pakaian yang dikenakannya pun compang-camping. Orang ini
lebih tepat dikatakan sebagai mayat yang telah ratusan tahun
terpendam. Mata yang bersinar kelabu itu tak menyiratkan
kehidupan. "Kenapa Guru tak membunuhnya?" akhirnya Lembu Patik
Pulung berhasil juga mengeluarkan kata-katanya. Telah sekian
lamanya sejak Arya meninggalkan tempat itu. Benar memang
terkaan pemuda itu bahwa orang dengan hawa pembunuhan
menggidikkan itu tidak lain adalah Raja Iblis Tinju Es.
"Aku tak boleh membunuhnya," bahkan suara yang keluar
dari tenggorokannya pun serupa gesekan kayu kering.
Lembu Patik Pulung memandangi Raja Iblis dengan heran.
Tak terkecuali juga Hanggarawura dan Pandan Kenanga.
Dengan sangat teliti mereka merencanakan tipu menjaring
kakap ini. Tak tersangka setelah Pandan Kenanga berhasil
memancing Arya dan hanya tinggal membunuh pemuda itu
Raja Iblis Tinju Es malah berdiam diri. Bahkan Ranti Sumirah
yang tak puas dan sudah melayang hendak menangkap Arya
kena dicengkeram kepalanya oleh Raja Iblis dan seketika
diremukkan mentah-mentah.
"Kalian tentu sangat heran bukan."
Setelah tertawa yang mirip suara tong rusak diseret, Raja
Iblis kembali berkata, "Kalian tentu menyangka suara seruling
itulah yang menyebabkanku mengurungkan niat."
Sekalipun tidak mengiyakan, Lembu Patik Pulung juga tidak
menyangkal. Betapapun terdapat juga perkiraan demikian
dalam hati mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hehe, sekalipun orang yang meniup seruling itu memang
punya sedikit nama, namun kalau hanya hanya dia tua bangka
tak akan bisa menghentikan satu gerakanku."
"Sebabnya aku tidak membunuh pemuda itu adalah karena
aku merasa sayang. Pemuda yang punya keberanian seperti
itu sekarang ini sudah sangat jarang. Kalau ku bunuh satu
tentu menjadi tidak menyenangkan."
Sungguh kalau bukan Raja Iblis Tinju Es ingin rasanya
Lembu Patik Pulung menyumpal mulut orang ini dengan sol
sepatu. Perkataan yang dikemukakannya hakikatnya hanya
kentut belaka, mana dapat dipahami sebagai ucapan dari
seorang dedengkot Iblis. "Apalagi anak dalam kempitannya itu begitu manis dan
menarik, membuat hatiku serasa dikili-kili."
Raja Iblis Tinju Es tertawa berkepanjangan. Pandan
Kenangan diam-diam menghela nafas. Pentolah penjahat yang
kesaktian dan kekejiannya tanpa tanding, dapat meremukkan
batok kepala seperti meremas tahu ternyata seorang sinting.
Tapi memang tidak dapat menyalahkan dia. Seorang kalau
fisiknya saja sudah berubah begitu hebat, maka jiwa dan
sukmanya pasti juga menderita kelainan yang susah
disembuhkan. "Kalau begitu, perlu apa kau membunuh Ranti Sumirah?"
kali ini Hanggarawura yang bertanya. Sekalipun bukan
isterinya, namun selama ini sudah banyak waktu ia bersama-
sama dengan perempuan itu. Betapapun menumbuhkan
perasaan tersendiri. Raja Iblis Tinju Es tertawa mengejek, "Kau merasa
penasaran bukan. Kalau memang merasa penasaran kenapa
tidak kau balik membunuhku."
Seketika pucat wajah Hanggarawura, "Ah, mana saya
punya nyali sebesar itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raja Iblis tertawa, "Soalnya kau memang tidak mempunya
kemampuan sama sekali. Makanya sekalipun mulutmu cukup
lebar namun nyalimu malah amat kecil. Yang kukuatirkan
kalau sampai nyali mu pecah maka daging di tubuhnya akan
berubah pahit, tidak enak lagi disate."
Suara tertawa Raja Iblis yang mirip rintihan setan itu
semakin keras. Perkataannya yang ingin menyate orang itu
diucapkan dengan enteng, serupa hal itu sudah amat terbiasa
baginya. "Baiklah, kalau tidak kukatakan mungkin mati pun kau tidak
tenang. Ku bunuh perempuan itu karena aku terlalu muak
dengan mukanya. Hakikatnya muka seperti itu sudah tak layak
lagi hidup di muka bumi, maka aku pun percepat
kepergiannya. Kalau toh setiap orang harus mati, mati lebih
cepat kan tidak ada bedanya, benar tidak?"
Tentu saja Hanggarawura tidak berani menyalahkan.
"Mestinya mukamu itu juga terlalu memuakkan. Tapi
terhitung kau masih punya keberanian untuk bicara, bolehlah
hidup beberapa hari lebih lama."
Keringat sebesar kacang berjatuhan layaknya gerimis dari
dahi Hanggarawura. Selama ini ia amat mengagulkan
kepandaiannya, kedudukannya di kota raja juga tidak rendah,
mana ada orang yang berani sembarangan buka mulut di
depannya. Tapi sekali ini bukan saja teman perempuannya
telah dibunuh mentah-mentah, malah nyawanya juga tak bisa
dipastikan kesinambungannya.
Kontan ia melirik Lembu Patik Pulung dengan mendongkol.
Orang itulah yang mengusulkan sekaligus mengundang
kedatangan Raja Iblis Tinju Es. Kalau sekarang muncul gara-
gara maka dia pula yang harus menanggungnya.
Tak dinyana paras muka Lembu Patik Pulung tidak
berubah. Seakan-akan hal seperti
ini sudah dalam Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perhitungannya. Karuan tambah menggelegak dada Hanggarawura. "Yang menarik bagiku hanya lah Wahyu Kepala Naga, kalau
hanya ingin membunuh orang, memangnya kalian ini bukan
orang?" Ketika menyinggung kepala naga seketika cahaya muka
Raja Iblis Tinjui Es bersinar aneh.
Di tengah gema suara Raja Iblis itu mendadak menyelusup
angin yang membawa suara lain.
"Wahyu Kepala Naga benar-benar benda yang menarik,
bahkan Raja Iblis Tinju Es pun hadir meramaikan. Kalau aku
tidak menyambut lebih dahulu kan jadinya terlalu tidak
sopan." Nada suara ini tidak keras, pun diucapkan dengan
gaya biasa, sama sekali tidak terburu-buru. Seperti ia
menyapa kepada sahabat lama saja.
Waktu itu mereka memang lagi duduk di pendopo rumah
Demang Lembu Patik Pulung. Dalam bayangan sinar obor
yang disulut beberapa tampak dari kejauhan sana muncul
seorang kakek yang memikul dua keranjang bambu. Cara
berjalan kakek ini kelihatan amat payah, untuk melangkah
saja harus mengerahkan setaker tenaganya, apalagi di
bahunya masih tersampir pikulan dengan dua keranjang
bamboo yang tampak tidak ringan.
Namun walau kelihatan amat payah, dalam sekejap saja si
kakek ini sudah tiba di depan pendopo.
Demang Lembu Patik Pulung menyipitkan matanya. Selama
ini benar dirinya tidak terlalu berkecimpung di dunia
persilatan, namun hampir semua tokoh persilatan dikenalnya,
sedikitnya ia tahu asal-usul nya. Tapi kakek ini kelihatan
seperti orang yang terlalu biasa, tidak memperlihatkan
keistimewaan apapun. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandan Kenanga malah sudah menghela nafas, mengira
Raja Iblis akan sontak menghancurkan tulang-tulang kakek
pendatang ini. Hanya Maling Tiga Ratus Kaki saja, yang sejak tadi tak
mengeluarkan suara, mendadak sepasang matanya memancarkan sorot aneh. Maklum sebagai Maling kawakan ia
sudah terbiasa untuk memperhatikan hal-hal terkecil.
Sekarang ia pun dapat melihat bahwa meski kakek ini tak
ubahnya orang tua dusun kebanyakan namun sepasang
kakinya begitu bersih, tak setitik debu pun yang mengotori
kakinya. Tampaknya pandangan Raja Iblis Tinju Es pun tak kalah
cermatnya dari Maling Tiga Ratus Kaki. Sekian lamanya ia
berdiam, baru setelah kakek itu menurunkan pikulan di
bahunya dengan amat kesulitan dan duduk dengan terengah-
engah di tikar pandan, seulas senyum yang tampak amat
ganjil membayang di sudut bibir pentolan penjahat itu.
Maling T iga Ratus Kaki sedang mengira-ira apakah orang ini
yang meniup seruling. Tapi tak sebatang seruling pun terselip
di pinggangnya. Kakek ini, yang seluruh rambut di kepalanya berwarna
seputih salju dan wajah yang memerah dengan baju wulung
yang tak dikancingkan duduk dengan enak. Sebuah caping
bamboo tampak tergantung di lehernya. Matanya menatap
Raja Iblis tajam. Sepasang mata ini coklat bening bagaikan
batu koral di dasar laut.
Raja Iblis tertawa riang, "Bagus, bagus, kalau kau pun
muncul barulah agak menarik."
Kakek itu balas tertawa, "Kalau kau pun ikut keluar,
bagaimana aku tega mengendon terus."
"Kukira selama ini kau sudah jadi pupuk tanah, tak
tersangka masih bisa segar bugar. Bahkan kelihatan enak
sekali penghidupan mu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hidup ini hanya sekali, kalau tak dinikmati baik-baik kan
jadi terlalu mubadzir."
Menatap mata kakek itu yang bening coklat, sepasang mata
kelabu Raja Iblis TInju Es mendadak berkilat, "Kalau kau
sudah datang kenapa tidak kita mulai saja permainan ini?"
Walaupun diucapkan dengan tawar, tapi entah tenaga gaib
apa yang menyertai sehingga udara mendadak terasa dingin
menusuk. Semakin lama hawa dingin semakin menggila, seakan
mendadak seantero es di kutub utara menggumpal di tempat
itu. Hanggarawura sudah menggigil dengan mata melotot
sebesar ikan mas koki, sementara Demang Lembu Patik
Pulung kelihatan berusaha keras menahan hawa dingin itu.
Keringat sebesar kacang menetes-neter dari dahinya. Keadaan
Pandan Kenanga dan Maling Tiga Ratus Kaki pun tak jauh
beda. Padahal Raja Iblis Tinju Es tidak kelihatan memperlihatkan
suatu gerakan, namun tampaknya hanya dari pori-pori kulit
saja ia sudah bisa menyalurkan tenaganya, mempengaruhi
udara sekitar. Kepandaian seperti ini meski menghayalkannya
pun Pandan Kenanga tak pernah.
Tak dinyana kakek itu masih kelihatan adem ayem. Bahkan
dengan caping bambunya ia mengipas-ngipas seenaknya.
"Hebat, betul-betul hebat. Aji Langit Bumi Teruruk Es ini
benar-benar membuatku mataku terbuka lebih lebar."
Tampaknya kakek itu hanya mengipas-ngipas biasa, namun
samara-samar Lembu Patik Wulung merasakan hawa hangat
yang menguar setiap kali kipas itu bergerak.
Semakin lama perbedaan semakin jelas. Udara di sekitar
Raja Iblis Tinju Es tampak memutih membeku. Dinginnya
bukan alang kepalang. Sementara sekitar tubuh Kakek
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bercaping bamboo itu ada hawa hangat yang mengalir terus
menerus. Tak tahan dengan hawa dingin yang mencekam, merasuk
tulang sum-sum, Hanggarawura menggembor keras. Dipaksakannya untuk mengeluarkan seantero tenaganya.
Matanya melotot sebesar gundu, mulutpun terbuka lebar, tapi
tak secuil suara pun yang keluar.
Tampaknya tak lama hari orang dari Kota raja itu akan
menyusul teman perempuannya.
Mendadak Kakek bercaping tertawa pelan, tak kelihatan
tubuhnya bergerak tiba-tiba tubuhnya melayang kebelakang.
Sekali tangannya menggapai dua keranjang satu pikulan
segera ikut melayang. "Permainan yang bagus, Iblis tua, tapi sementara ini aku
masih ingin hidup enak. Apalagi kalau aku mati siapa yang
akan jadi tuan rumah nanti dalam pertemuan di Lautan Awan.
Untuk itu kita lanjutkan saja permainan ini pada waktunya
nanti." Belum lagi gema suaranya hilang, tubuhnya sudah hilang
tertelan gelap. Setelah kepergian kakek itu hawa dingin perlahan juga
memudar. Karuan Hanggarawura
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang memang berkepandaian paling cetek diantara mereka merasa dibetot
dari pintu neraka. Sekalipun begitu sekujur rambutnya sudah
membeku putih dan kulit tubuhnya mengerut.
Raja Iblis tertawa, "Rama, ramai, tua bangka peniup suling
datang, moyangnya pun tak ketinggalan. Tampaknya aku juga
harus memanggil anggota keluarga yang lain."
"Guru, siapakah orang tua tadi, " Lembu Patik Pulung tak
dapat menahan rasa penasarannya.
"Tolol, selama ini apa kau tidak pernah mendengar nama
Amuk Nanggala." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagaikan sembilan petik meledak dikepalanya, Lembu Patik
Pulung sampai terjingkrak. Bagaimana tidak, selama ini
legenda yang menceritakan tentang Kiai Amuk Nanggala
seperti menempatkan orang tua itu di jajaran penghuni langit.
Betapa agung dan suci. Siapa yang mengira bahwa kakek bertampang biasa yang
memikul dua keranjang besar dengan kepayahan itu adalah
tokoh yang dilegendakan selama berpuluh tahun.
Wajah Pandan Kenanga juga seketika memerah. Tadi
sempat dilihatnya Kiai Amuk Nanggala meliriknya sekilas.
Lirikan yang seperti sengaja tidak sengaja itu bagai
mengandung arti yang menggidikkan.
"Makanan sudah pada dingin, kenapa tidak lekas ganti
dengan yang panas?" Bukan saja mendingin hakikatnya semua makanan dan
minuman sudah menjadi es batu semua.
~Dewi-KZ~ Arya seperti lagi bermimpi menunggang awan. Berkali-kali
tubuhnya seakan terlonjak. Namun serupa juga dirinya lagi
pesiar ke kutub utara sana. Seluruh tubuhnya bagai direndam
dalam cairan es abadi di pucuk bumi itu.
Sebenarnya apa yang terjadi, ia sendiri juga tak ingat
dengan jelas. Ia hanya tahu setelah kepergian Pandan Kumala
mendadak seluruh tubuhnya menggigil. Semua jalan darah
ditubuhnya bagai tersumbat oleh berton-ton es.
Ketika membuka mata, dilihatnya sepasang mata yang
bersinar teduh. Kemudian se lembar wajah tua dengan rambut
semuanya hampir memutih. Baru saja ia mau mengangkat
kepalanya, segera dirasakannya tulang-tulang lehernya bagai
diganduli seribu balok batu.
"Sebaiknya kau menenangkan dirimu. Tempat ini mana
enak, sejuk lagi. Tak usah khawatir salah satu barangmu ada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang kecolongan." Suara ini bukan suara nenek tua itu. T entu
saja Ia mengenal suara ini, karena inilah suara khas bernada
riang dari Risang Ontosoro.
Dengan berusaha keras menolehkan kepalanya, dilihatnya
Risang duduk ongkang-ongkang di jendela sana. Dibelakangnya membayang siluet gunung yang membiru
terbungkus awan putih. Mimik muka anak muda itu tampaknya tak berubah. Tetap
riang jenaka. Salah satu tangannya bahkan memegang ketela
bakar yang masih mengepul. Mulutnya mencecap-cecap enak.
"Bibi, bagaimana keadaannya?" tanyanya sambil mencomot
ketela bakarnya. "Asal kau tidak banyak mengoceh maka keadaannya akan
segera membaik." Risang tertawa, "Apalagi aku terus-terusan mengoceh,
siapa tahu keadaannya akan membaik dengan cepat."
"Kalau begitu aku yang akan jatuh sakit."
Risang Ontosoro kembali tertawa riang. Selanjutnya Arya
sudah tak mendengar lagi percakapan mereka. Sepasang
matanya mendadak terasa mengantuk. Pun mungkin karena
hatinya merasa tentram. Dia tahu Risang adalah sahabatnya.
Di dunia ini manakah ada kehangatan yang lebih dari
kehangatan seorang sahabat dikala kita merasa kesulitan.
Matahari digeser Rembulan. Siang pun berganti malam.
Kerik jangkrik terdengar bersimphoni dengan desis angin yang
membelai dengan dingin sejuk.
Saat ini Arya sudah dapat duduk, meski untuk
mengerahkan tenaga masih belum boleh. Di depannya Gagang
Gerhana meringkuk di depan api unggun dengan sebelah
tangannya mengusap-usap lututnya yang terasa dingin. Disisi
lain Risang Ontosoro duduk sambil mengipas-ngipas ketela
yang dipanggang di atas api unggun. Sementara agak ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelah kanan duduk seorang nenek tua dengan sepasang
mata teduh itu. Walaupun tubuhnya masih terasa kaku Arya memaksa diri
untuk membungkuk sedikit kepada Nenek tua itu.
Si Nenek tertawa, "Tak perlu banyak sungkan.
Sesungguhnya sudah lama aku berniat bertemu dengannmu,
Cuma tubuh tuaku ini sudah tak cocok lagi untuk pesiar
kesana kemari, siapa tahu si Bengal satu ini ma lah
membawamu kesini." Arya agak heran, seingatnya belum pernah ia punya suatu
hubungan dengan nenek ini.
"Bibi ingin bertemu denganmu bukan karena kau berhutang
kepadanya, maka kau pun tak usah merasa terlalu sungkan."
Tukas Risang Ontosoro yang agaknya dapat membaca pikiran
Arya. Si Nenek tua tertawa, "Biasanya perbuatanmu selalu
membuat uban dikepalaku bertambah, namun sekali ini
tampaknya aku harus memujimu."
"Ah, terima kasih, jangan terlalu sungkan." Balas Risang
Ontosoro dengan tawa berderai.
"Sesungguhnya sejak kapan dan bagaimana saya berada
disini?" pertanyaan inilah yang selalu tengiang-ngiang di
benaknya. Begitu mendapat kesempatan tentu saja keluar
duluan. Nenek itu menghela nafas sambil tersenyum, "Untuk ini
harus minta kepada anak Bengal itu untuk menuturkan
pengalamannya. Cuma agaknya ceritanya harus sedikit
diperingkas, karena kalau tidak aku khawatir telingaku yang
tua ini tidak akan kuat menampung semuanya."
Arya tertawa, diliriknya Risang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa diminta pun Risang sudah tak tahan untuk bercerita,
maka dengan mendehem keras ia mengawali kata-katanya.
"Sebenarnya waktu itu aku sedang berjalan-jalan malam.
Mendadak aku melihat bayangan Pandan Kemala melenggang
di didepanku." "Apa dia tidak mengenalmu?" tukas Arya cepat.
"Kalau dalam keadaan seperti ini tentu saja ia akan
mengenali. Cuma waktu itu aku lagi apes, perut kempis,
kantong pun kempes, maka sorenya aku bekerja pada seorang
petani untuk mengangkut kotoran sapinya guna dijadikan
pupuk. Karena terlalu lelah, maka aku pun belum sempat
mencuci tangan dan mukaku."
Arya tersenyum. Pandan Kumala adalah orang yang
gandrung dengan kebersihan, dengan sendirinya tidak akan
memperhatikan seorang anak muda yang belepotan kotoran
sapi di muka dan tangannya, mana bau lagi.
"Karena tidak ada pekerjaan, maka iseng-iseng aku pun
diam-diam mengikutinya. Siapa tahu ia langsung ke sebuah
penginapan. Dengan keadaanku yang runyam waktu itu kalau
mau masuk ke penginapan, sekalipun tidak digebah keluar
sedikitnya juga akan disiram air cucian, maka aku pun berjalan
memutar dan mencoba mengintip ke kamar yang kukira
didiami oleh perempuan tua itu."
"Memangnya kepandaianmu bertingkah seperti kucing
mendeliki tikus itu sudah terlupa olehmu?" tanya si Nenek
dengan tertawa. Risang menggeleng, "Kepandaian perempuan tua itu terlalu
tinggi, kalau aku mengendap di atap tentu akan diketahui
olehnya. Siapa tahu ketika aku mengitari rumah itu mendadak
aku melihat ada dinding kamar yang bobol. Tak di nyana pula
si perempuan tua malah duduk tepat didepan lobang yang
bobol itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maka kau pun serupa dapat kalung sebesar ban gerobak.
Memangnya sampai kapan penyakitmu yang suka mencampuri
urusan orang lain itu dapat kau tinggalkan?" tukas si nenek
sambil menghela nafas panjang.
"Sebenarnya tidak ada maksudku mencampuri urusannya.
Cuma lagak-lagu perempuan tua itu memang kelewat ganjil,
apalagi hitung-hitung aku mewakili para peronda yang
terpulas, kan boleh dihitung sebagai amal kebaikan?" jawab
Risang sambil tertawa. "Kemudian kau pun datang. Karena terlalu jauh dengan
sendirinya aku pun tidak mendengar percakapan diantara
kalian. Maka aku pun tidak ambil pusing. Pula aku yakin kalau
perempuan tua itu tidak akan melabrak dirimu."
Sebenarnya bukan tidak mendengar, yang tepat adalah ia
tidak mau mendengarkan. Menghargai rahasia sahabat adalah
salah satu kehormatan. Dengan sendirinya Arya paham
maksud Risang Ontosoro ini. Dengan tersenyum ia melirik
anak muda itu. "Bagaimana kau tahu dia tidak akan melabrak diriku?"
Risang memandang Arya lekat, "Waktu aku berada di
Istana Bulan Teratai tempat kediaman perempuan tua itu ada
seseorang yang mengirimkan surat atas namamu. Maka
kusimpulkan antara dirimu dan perempuan tua itu terdapat
hubungan yang lumayan akrab. Dengan sendirinya mustahil
dia akan melabrak kau."
Arya memandang Risang heran, "Ada orang yang
mengirimkan surat kepadamu atas namaku, tapi kenapa aku
sendiri tidak tahu menahu terhadap urusan ini?"
Risang tertawa, "Kau tanya kepadaku, aku harus tanya
kepada siapa?" "Mungkin kau pernah berhubungan dengan anggota Istana
Bulan Teratai?" timpal s i Nenek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya menggeleng, "Mendengarnya pun aku baru kali ini."
"Kalau begitu pasti ada orang yang mencatut namamu."
"Tapi untuk apa?"
Semua orang tertegun. Gemeretak kayu yang terbakar
mengisi kekosongan malam.
Selang beberapa lama si nenek berkata dengan suara
mengambang, "Menurutku, ada hubungan antara Istana Dasar
Teratai dengan Istana Bulan Teratai. Mengingat apa yang
diceritakan oleh Risang maka kemungkinan besar mereka
ingin merecokimu karena menginginkan KitabTeratai yang ada
padamu." Risang mengangguk-angguk, katanya dengan suara
gegetun, "Waktu kulihat Pandan Kumala menusuk adik
seperguruannya dengan satu jurus ilmu pedang Pelangi Satu
Warna itu kupikir maksudnya benar-benar tulus, siapa tahu
kalau disinipun terselip satu muslihat tersendiri. Mungkin dia
ingin menunjukkan kebaikan hatinya itu kepadaku sehingga
kelak aku tidak akan berjaga-jaga terhadapnya."
Si Nenek tersenyum, "Itu juga belum tentu. Segala sesuatu
memang tidak bisa dilihat dari segi lumrah saja, namun ada
kalanya kita pun lupa bahwa pada manusia yang terjahat
sekalipun pasti tersimpan dalam dirinya benih-benih kebajikan.
Betapapun tidak ada manusia yang seratus persen berjiwa
setan." Risang merasa seperti diperingatkan. Penyakit banyak
curiga memang ada kalanya menumbuhkan kewaspadaan,
tapi kalau kita bisa melihat segi kebaikan dari setiap perbuatan
orang lain kenapa kita selalu harus melihatnya dari segi yang
tidak baik. "Tapi bukankah Bibi mengatakan bahwa hawa dingin yang
menyerang dua puluh tiga jalan darah di tubuh Arya berasal
dari Aji Langit Bum i teruruk es milik Raja Iblis Tinju Es?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar,"jawab si Nenek sambil mengangguk, "menurut apa
yang kuketahui, di dunia ini tidak ada ilmu yang begini keji
sehingga mampu membekukan lawan dengan mempengaruhi
udara seperti Aji Langit Bumi Teruruk Es milik Raja Iblis tua
itu. Hm, kalau iblis tua itu sudah muncul mungkin hanya
Kakang Amuk Nanggala saja yang dapat mengatasi,"
"Kedatangan Pandan Kemala tepat setelah aku bertemu
dengan Raja Iblis Tinju Es, mungkinkan ada hubungan antara
mereka?" Si Nenek mengangguk-angguk, "Aku yakin ada. Cara kerja
Aji Langit Bumi Teruruk Es adalah sedemikian perlahannya
sehingga bagi orang yang tidak memiliki kepekaan yang
cukup, ia baru akan sadar setelah setengah jalan darahnya
beku. Tapi bagi orang sepertimu tentu berbeda. Apalagi kau
sudah menghayati Kitab Teratai, daya kepekaan dalam
tubuhmu dengan sendirinya lain dari pada yang lain,
seharusnya kau dapat merasakannya sehingga dapat kau atasi
saat itu juga." "Tapi si Perempuan tua itu datang tepat setelah Arya
terkena Aji Langit Bumi teruruk es sehingga Arya tidak punya
kesempatan untuk memeriksa dirinya sendiri." Sambung
Risang cepat, "Dengan begini bukankah secara tidak langsung
perempuan tua itu pun turut mempercepat kematianmu?"
"Tapi ia menitipkan Gagang Gerhana kepadaku, mustahil
kalau ia berniat mencelakaiku," sahut Arya sambil melirik
Gagang Gerhana. Yang dilirik tetap mendekam diam di depan api unggun.
Sepasang matanya menatap api yang menjilat dengan
linglung. "Dalam hal ini perempuan tua itu pasti mempunyai muslihat
tertentu. Apalagi dia pun tahu pasti kalau kau tidak akan
mencelakai anaknya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seekor kelinci kecil putih melompat-lompat ke arah api
unggun, mungkin merasa tertarik dengan kehangatan yang
teruar. Telinganya yang panjang bergerak-gerak nyaman
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika hangat api unggun membelai bulu-bulunya yang putih
halus. Sepasang matanya yang merah bening menatap ke
Gagang Gerhana. Sebaliknya sepasang mata bocah itu pun
kebetulan lagi menatap ke arah si kelinci. Sekilas bias lembut
terpantul dalam empat pasang mata yang bertatapan itu.
~Dewi-KZ~ Kedua anak muda itu berjalan berendeng pundak. Yang
satu berwajah dingin kaku, namun sepasang matanya
memancarkan cahaya hangat, sedang yang lain riang jenaka.
Tak usah dipikir lagi sudah tentu kedua orang itu adalah Arya
dan Risang Ontosoro. Gagang Gerhana berjalan di belakang Arya dengan kepala
menoleh kesana-kemari. Sesekali ia berlarian mengejar
pasangan burung yang asik berpacaran di tanah gembur.
Sekian lamanya kedua orang muda terdiam satu sama lain.
Mendadak Risang tertawa. "Kenapa kau tidak bertanya?"
Arya tersenyum, "Kalau toh kau tak hendak memberitahukannya, kenapa aku harus menanyakannya.
Apapun toh aku percaya kepadamu"
Risang tertawa, "Baik juga. Hal-hal yang ingin kau tanyakan
itu memang lebih baik kalau tidak kau tanyakan sekarang.
Kelak dengan sendirinya kau akan tahu sendiri," setelah
merandek sejenak kembali ia melanjutkan, "Cuma boleh ku
beritahukan kepadamu bahwa tempat yang barusan kita
tinggalkan tadi adalah Istana Seribu Kosong."
Risang menyangka Arya akan berjingkrak terkejut. Siapa
tahu Arya tetap adem ayem saja, seperti sudah mengira
demikian lah halnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa kau sudah tahu sebelumnya?" tanya Risang dengan
heran. Arya tersenyum, "Apa aku sudah lupa bahwa aku sekarang
adalah ketua Istana Dasar Teratai. Istana Lautan Awan, Istana
Dasar Teratai, dan Istana Seribu Kosong adalah tiga serangkai
abadi. Sebagai ketua Istana Dasar Teratai bagaimana aku bisa
tidak tahu hal ihwal kedua istana Lainnya?"
Arya kembali melanjutkan sambil tertawa, "Terus terang,
sebenarnya sejak aku membuka mata segera kuketahui bahwa
Nenek tua itu adalah Sekar Gumintang, dengan sendirinya
tempat itu adalah Istana Seribu Kosong."
~Dewi-KZ~ Bab XVIII, Mencari Kulit Naga
"Dari mana kau tahu" Memangnya kau pernah bertemu
dengan beliau?" "Aku pernah melihat gambar lukisannya di Istana Dasar
Teratai." Risang mengangguk-angguk.
Mereka berjalan santai menuruni lereng gunung. Meski di
beberapa tempat terdapat tebing yang lumayan terjal maupun
jurang-jurang kecil yang menganga namun langkah kaki kedua
orang ini tak pernah terganggu.
Gerombolan burung bercanda mesra diantara lebat dan
teduhnya ranting pohon. Gagang Gerhana tampak tertawa-
tawa sambil tangannya menggapai gerombolan burung-
burung itu. Anak kecil itu seperti kembali menemukan
dunianya yang lama tak dikunjunginya. Rona wajahnya merah
matang. Kegembiraan yang polos memancar dari sela-sela
sorot matanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Melihat burung-burung itu aku jadi teringat ayah bunda
yang kutinggalkan dirumah. Terasa sudah lama sekali aku tak
bertemu dengan mereka." Demikian Risang Ontosoro
menggumang sambil kakinya menyepak terbang sebatang
ranting kering. Arya tersenyum, "Betapapun kelak kalian akan bertemu
lagi. Perpisahan hanya terjadi karena ia menegaskan
pertemuan, pertemuan setelah perpisahan tentunya jauh lebih
menyenangkan dan menggembirakan hati. Lagi pula apa yang
akan kita lakukan ini merupakan tugas besar dari Eyang Sekar
Gumintang, apapun kita tidak boleh lalai."
Kata-katanya ini terdengar menghibur, namun sekilas
matanya berkilat rawan. Maklum ia sendiri sudah tak punya
ibu yang akan menyambut hangat, pula hubungannya dengan
Ayahnya juga tak seperti hubungan orang tua-anak pada
umumnya. Ditambah petaka yang timbul di keluarganya baru-
baru ini. Beberapa kedukaan ini kalau orang lain mustahil
kalau tidak lekas gantung diri. Namun anak muda yang belum
seluruhnya pulih dari keracunan ini malah masih bisa
menghibur temannya. Tak terasa Risang mengerling sejenak ke arah Arya.
Pandangan pemuda itu tampak jatuh ke kaki langit sana,
menatap entah apa di kejauhan yang tak telihat. Betapapun ia
maklum perasaaan Arya. Ia sendiri agak menyesal telah
mengeluarkan kata-kata demikian.
Selang sejenak ia tertawa riang, "Kau memang lebih
penurut dibanding aku," katanya dengan tertawa, "Cuma
kalau sekadar minum teh sambil makan buntut goreng
masakah bisa dianggap melalaikan tugas?"
"Di lereng gunung seperti ini, satu potong manusia pun tak
ada, dari mana pula mendapatkan warung teh?"
Risang tertawa bergelak, katanya sambil menepuk-nepuk
dada sendiri, "Warung makan memang tak ada. Cuma kutahu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satu tempat disekitar sini yang bisa menghidangkan dua
cangkir teh dan seporsi buntut goreng buat kita."
Tempat ini memang tak terduga. Dari mana pun kau
memandangnya, yang tampak hanya rumpun bamboo belaka.
Siapa yang menyangka ditengah rumpun bamboo yang
lebatnya melebihi jenggot orang arab itu terdapat satu gubuk
berloteng yang menawan. Di depan gubuk itu beberapa
bangau berparuh panjang enak-enak berjemur dengan kaki
menapak di tepi kolam mungil. Gemericik air terjun kecil
mengundang beberapa ekor ikan untuk bermain berlompatan.
"Hm, tempat yang baik." Gumam Arya dengan decak
kagum. "Ah, masakah hanya sekadar baik. Hakikatnya sekalipun
kau mencari sampai ke kutub utara tak akan kau temukan
tempat senyaman ini."
Arya hanya tersenyum. Hanya ketika matanya menumbuk
gubuk bamboo itu dari dekat seketika hatinya berdesir.
Bamboo-bambu yang menjadi bahan utama pembuatan gubuk
ini ternyata sama persis dengan dengan bamboo yang
digunakan untuk membangun vila bamboo tepi danau milik Ki
Awu Lamut. "Apa kau merasa aneh?" tanya Risang yang agaknya dapat
membaca sorot heran dari sepasang mata Arya.
Arya menggeleng, "Aku hanya merasa pernah melihat
tempat ini sebelumnya,"
"Apa benar?" "Ya, tapi tidak disini?"
Risang tertawa bergelak. Tangannya menepuk-nepuk
pundak Arya. "Kalau tidak disini memangnya di DipaSaloka?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu suara gelak tawa tiba-tiba menyelusup keluar dari
celah-celah bambu, "Bukan di DipaSaloka, tepatnya di tepi
danau Bulan. Begitu bukan?"
Ketika pintu gubuk tebuka, seorang kakek tinggi besar,
dengan brewok seputih susu, berjalan terpincang keluar.
Arya membelalak, Ki Awu Lamut. Orang yang dicarinya
ubek-ubekan setengah mati ini ternyata berada disini.
"Beberapa hari tidak ketemu, agaknya pengalamanmu
tambah banyak" sapa Ki Awu lamut sambil menepuk-nepuk
pundak Arya. Risang Ontosoro tertawa bergelak, "Kau tidak menyangka
bukan kalau orang tua ini berada disini bukan?"
"Kau potong kepalaku delapan belas kali pun aku tidak
akan menyangkanya," "Sebenarnya bukan maksudku untuk memperdayaimu,
Cuma ada beberapa hal yang membuatku mau tidak mau
harus sedikit ma in kucing-kucingan. Sesungguhnya aku pun
rada tidak enak hati membuatmu kelimpungan begitu." Sahut
Ki Awu Lamut riang. "Cuma aku meyakinkannya bahwa kau tidak akan sampai
mati gemas hanya karena ada orang yang menculik adik dan
kekasihmu," sambung Risang Ontosoro sambil tertawa.
"Betapapun hatiku rada merasa bersalah, karena itu
marilah ku suguhkan secawan teh untukmu."
Meja bamboo berbentuk bundar itu sudah penuh terisi
berbagai macam makanan. Ada nasi putih yang mengepul,
buntut goreng dengan bau mengundang, ikan gurame bakar,
sepoci teh yang kelihatan hijau bening.
Tanpa sungkan Risang Ontosoro langsung mengambil
sepotong buntuk sapi goreng. Sementara Arya masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termenung-menung. Semakin lama semakin dirasakannya
sahabatnya ini tambah misterius.
Ki Awu Lamut tertawa, "Kau tentu ingin menanyakan adik
dan teman perempuanmu itu?"
Arya tersenyum. Hal itu sejak tadi memang ingin
ditanyakannya. Hanya hatinya tidak enak untuk bertanya
duluan. Setelah tertawa riang Ki Awu Lamut melanjutkan, "Mereka
tidak disini. Cuma kau pun tidak perlu khawatir. Ada saatnya
nanti kalian akan bertemu. Yang harus kau lakukan sekarang
adalah melaksanakan apa yang dikatakan Sekar Gumintang.
Keselamatan dunia persilatan sekarang ini terletak di tangan
kalian berdua." Arya agak melengak. Perkara Eyang Sekar Gumintang
memberinya tugas rahasia hanya diketahui oleh mereka
bertiga, lalu dari mana orang tua ini mengetahuinya"
Tapi sebelum Arya membuka mulut, lebih dahulu Risang
Ontosoro menukas, "Kau pasti heran dari mana orang tua ini
bisa tahu tentang urusan ini."
Seketika Arya tertawa tertegun,"Apa kau bisa membaca
pikiran orang?" Risang tertawa tergelak, "Tentu saja aku tidak bisa
membaca isi perutmu. Cuma aku sendiri juga merasa heran
kenapa orang tua berjenggot lebat ini tahu tentang urusan
ini." Ki Awu Lamut tersenyum, "Kalau aku tidak tahu, lalu siapa
yang tahu?" "Apa kau harus tahu?" Tanya Risang dengan tertegun.
"Dengan sendirinya aku harus tahu."
"Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali ini Arya juga ikut memandang orang tua ini dengan
penuh perhatian. Maklum urusan ini memang rada misterius.
Apa maksud sebenarnya Ki Awu Lamut menculik Ratna Dewi
dan Arum Puspita sehingga sampai sekarang belum mau
memberitahukan ditambah keberadaan Kitab Teratai Membuka di gubug bambunya lalu pengetahuannya tentang
urusan mereka berdua. Melulu salah satu saja sudah
menegaskan bahwa kedudukan orang tua ini tidaklah biasa.
Padahal sejak dulu Arya mengenal Ki Awu Lamut hanya
sebagai dukun obat saja. Perlahan Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, seperti
menahan beban yang sangat berat. Memangnya apa pula
yang ditanggung oleh orang tua ini.
Lalu sekata demi sekata meluncurlah satu kalimat yang
membuat Risang melupakan buntut goreng yang sedang
dikunyahnya. Mulutnya melongo seperti orang yang tiba-tiba
melihat sapi bertelinga gajah.
"Karena aku adalah suaminya."
Kalimat ini begitu mengejutkannya sampai Arya sendiri juga
menjublek sekian lamanya.
Agaknya Risang belum dapat memahami maksud dari
kalimat pendek ini. "Kau adalah suaminya siapa?" tanyanya gelagapan.
"Dengan sendirinya suaminya si Nenek yang barusan kalian
temui." Jawab Ki Awu Lamut dengan senyum pedih.
"Yang barusan kami temui adalah Bibi Sekar Gumintang.
Masa kau adalah suaminya Bibi Sekar Gumintang."
"Ya, sedikitpun tidak salah. Tanggung barang tulen."
Tergesa-gesa Risang menceguk segelas air untuk
melancarkan kunyahan buntut goreng yang tersangkut di
tenggorokannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu mendadak ia menarik tangan Arya dan diseretnya
menuju halaman depan. "Perkataan orang tua jenggot lebat ini apa kau percaya?"
Tanya Risang sambil matanya melotot ke Arya.
"Aku percaya." "Tapi aku sudah kenal dengan Bibi Sekar Gumintang
bahkan sejak aku masih di perut ibuku dan tak pernah
sekalipun ku ketahui B ibi punya seorang suami."
Arya menghela nafas rawan, "Cerita yang menyedihkan
tentu tak diceritakan kepada anak kecil."
"Lalu bagaimana kau percaya" Kau toh tak pernah
mendengarnya" Arya mengangguk-angguk, "Dari beberapa hal yang
dilakukan orang tua itu aku bisa mengambil kesimpulan kalau
dia memang suami dari Eyang Sekar Gumintang."
"Dan kenapa beberapa hal itu tidak kau ceritakan
kepadaku?" Arya tertawa, "Selama berkumpul denganmu memangnya
ada berapa kesempatan bagiku untuk buka mulut."
"Sekarang kuberi kesempatan bagimu untuk buka mulut."
Lebih dahulu Arya menghela nafas, "Ini mungkin berkaitan
dengan Istana Seribu Kosong. Menurut pengalamanku, Tiga
Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Istana Abadi diberi nama menurut keadaan tempat dan
lingkungan sekitar istana itu berada. Misalnya Istana Dasar
Teratai terletak di dasar bumi, Istana Lautan Awan berada di
tepi pantai dengan awan yang menutupi puncaknya. Hal ini
kau tentu tahu." Risang mengangguk cepat-cepat.
"Maka Istana Seribu Kosong sendiri pasti juga terletak pada
tempat yang tersurat pada namanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Omonganmu pertama tadi aku mengerti, tapi yang kedua
ini hakikatnya seperti kentut." Tukas Risang cepat, "Kau
sendiri sudah menyaksikan Istana Seribu Kosong adalah
tempat tinggal Bibi Sekar Gumintang di puncak gunung sana.
Memangnya apa pula yang kau peroalkan?"
"Inikan rekaanmu sendiri, memangnya Eyang Sekar
Gumintang pernah mengatakan bahwa tempat tinggalnya
adalah Istana Seribu Kosong?"
Risang seketika terdiam menjublek. Selama ini memang
tidak pernah didengarnya nenek tua itu mengatakan tempat
tinggalnya adalah Istana Seribu Kosong. Tapi karena banyak
orang yang mengatakannya maka ia menjadi berkeyakinan
begitu. Tapi ia pun tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri.
Banyak hal memang yang kita yakini sebagai benar atau salah
tidak atas pertimbangan akal dan hati kita tapi melulu karena
kebiasaan dan omongan orang lain.
"Memangnya bukan?"
Arya malah balik bertanya, "Kalau memang gedung tua itu
adalah Istana Seribu Kosong, kenapa Kitab Teratai Membuka
malah kutemukan di gubug milik Ki Awu Lamut tepi danau
sana, bukannya di di gedung tua tempat tinggal Eyang Sekar
Gumintang". Kau toh tahu persis bahwa Kitab Teratai
Membuka disimpan di Istana Dasar Teratai, Teratai Menutup
di Istana Seribu Kosong sementara Wahyu Kepala Naga
tersimpan di Lautan Awan."
Risang memiringkan kepalanya, "Ya, urusan ini memang
agak janggal." Setelah terdiam sejenak dengan cepat ia menambahkan,
"Tapi soal peny impanan kitab itu toh bisa berpindah dengan
mudah. Tentu tak sulit untuk memindahkan satu lemari kitab
dari satu tempat ke tempat lainnya, apalagi toh hanya satu
kitab." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arya tertawa, "Memangnya kau lupa, bahwa Kitab Teratai
Membuka yang tesimpan di Istana Seribu Kosong itu
bukannya tertulis dalam lembaran lontar atau kertas atau
sutra tapi terukir dalam genteng batu. Satu genteng satu
huruf. Memindahkan satu lemari kitab memang mudah tapi
memindahkan ratusan genteng tentu lain urusannya. Belum
lagi mencari tempat yang cocok sehingga urutan kalimatnya
tidak kacau." Risang Ontosoro kembali memiringkan kepalanya, "Hm,
perkataannmu ini agaknya masuk akal juga."
Kembali Arya menambahkan, "Juga kabar yang luas
beredar di kalangan persilatan mengatakan bahwa diantara
Tiga Istana Abadi yang paling manonjol dalam ilmu s ilat keras
adalah Istana Lautan Awan, yang paling tinggi dalam
kerumitan dan kelembutan adalah Istana Dasar Teratai,
sementara dalam ilmu pengobatan Istana Seribu Kosonglah
yang paling tinggi. Menurut pendapatmu bagaimana ilmu
pengobatan Ki Awu Lamut?"
"Ya, kutahu orang tua jenggot rumput itu memang punya
sedikit kepandaian mengaduk panci obat."
"Ada satu lagi, ketika kemarin Eyang Sekar Gumintang
memberi kita tugas untuk mencari Kulit Naga, ia tidak
menjelaskan dengan tepat apa maksud dari Kulit Naga itu dan
hanya mengatakan bahwa Kulit Naga adalah pasangan dari
Wahyu Kepala Naga, sebagaimana Kitab Teratai Membuka
berpasangan dengan Kitab Teratai Menutup. Ia menyuruh kita
untuk menanyakan apa maksud Kulit Naga itu terlebih jelas
kepada orang yang lebih tahu dari padanya. Bukankah ini
menjelaskan bahwa rahasia yang diketahuinya tidak lebih
banyak dari apa yang diketahui oleh Ki Awu Lamut?"
Risang Ontosoro kembali terlonjak, "Jadi menurutmu apa
yang diketahui orang tua jenggot rumput itu jauh lebih banyak
dari pada apa yang diketahui B ibiku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku bahkan merasa yakin kalau ketua yang sebenarnya
dari Istana Seribu Kosong bukanlah Eyang Sekar Gumintang,
tapi adalah Ki Awu Lamut."
Arya menyambung, "Seribu Kekosongan artinya yang
tampak bukanlah yang berarti, kosong adalah ruang tanpa
batas. Manusia tak melihat kosong, tapi kekosongan selalu
bersama manusia. Kukira pepatah ini sesuai dengan apa yang
Kisah Tiga Kerajaan 3 Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Manusia Pemuja Bulan 1