Pencarian

Senopati Pamungkas Satu 1

Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 1


KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Buku 1 Karya : Arswendo Atmowiloto
Ebook by Dewi KZ http://kangzusi.com/ Tokoh-Tokoh Berdasarkan Urutan Penyebutan
Sanggrama Wijaya, atau Naraya Sanggrama Wijaya, atau Raden Wijaya. Nama yang
dikenal ketika mengalahkan Raja Jayakatwang, yang secara culas menguasai Keraton
Singasari dan mendepak Baginda Raja Kertanegara. Bersama dengan prajurit dan
senopati yang setia, Wijaya berhasil menggempur balik pasukan Tartar dari negeri
Cina. Menurut catatan sejarah, dinobatkan menjadi Raja Majapahit pada tanggal 15
bulan Kartika atau sekitar bulan Oktober-November 1298. Nama kebesarannya adalah
Kertarajasa Jayawardhana. Nama ini menunjukkan rasa hormat terhadap leluhurnya,
raja-raja Singasari. Upasara Wulung, salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan. Ksatria
Pingitan adalah semacam perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang
dilatih ilmu surat dan ilmu silat, atau kanuragan. Para ksatria yang terpilih,
dilatih sejak lahir di Ksatria Pingitan. Menurut cerita ini, Ksatria Pingitan
didirikan atas gagasan Baginda Raja Sri Kertanegara Raja Singasari yang
terakhir, dengan tujuan menciptakan manusia yang selain jago silat juga
mempunyai KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
watak luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati utama yang melanjutkan
kebesaran Keraton dan melindungi penduduk. Selama dua puluh tahun Upasara Wulung
berada dalam Ksatria Pingitan, dilatih oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke
medan persilatan. Ilmu dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka.
Akan tetapi mengalami perubahan besar sejak mempelajari Bantala Parwa atau Kitab
Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang serta Delapan Jurus Penolak Bumi.
Bantala Parwa dianggap babon segala kitab kanuragan.
Merupakan puncak berbagai sumber ilmu silat yang ada di tanah Jawa.
Gayatri, atau Permaisuri Rajapatni, salah satu dari empat putri Baginda Raja Sri
Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raja Majapahit. Menjelang penyerbuan ke
Daha untuk menaklukkan Jayakatwang.
Gayatri pergi bersama Upasara Wulung untuk mengetahui kekuatan lawan. Di sinilah
bibit-bibit daya asmara tumbuh. Dan berpuncak saat Gayatri ditawan di atas
benteng dan Upasara maju menggempur tanpa memedulikan keselamatan dirinya. Akan
tetapi Menurut perhitungan dan ramalan para pendeta, Gayatri harus menikah
dengan Sanggrama Wijaya, karena inilah pasangan Dewi Uma dan Dewa Siwa, yang
kelak kemudian hari akan menurunkan raja terbesar. Hubungan masa lalu ini
ternyata banyak membebani tapi sekaligus juga mewarnai perjalanan hidupnya.
Mpu Renteng, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu
andalannya ialah Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora, dengan
menggunakan ujung kain yang tersampir di pundaknya.
Mpu Sora, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu
andalannya ialah Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu.
Tokoh yang tangguh ini banyak mendapat dukungan untuk menjabat sebagai
mahapatih. Mahapatih ialah jabatan tertinggi di Keraton, orang kedua sesudah
raja. Namun ia sendiri merasa tidak berhak. Pangkat yang disandang adalah
adipati, semacam penguasa daerah, di Dahanapura. Tempat Kala Gemet, putra
mahkota, berada. Mpu Elam, salah seorang senopati Majapahit, yang menjadi prajurit telik sandi.
Prajurit yang terpilih dalam pasukan telik sandi, atau pasukan rahasia, adalah
prajurit pilihan yang tugasnya mengumpulkan semua laporan yang menyangkut
keamanan. Dalam jajaran pemerintahan ditangani secara langsung oleh Mahapatih.
Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit. Anak buah langsung Senopati
Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang bertugas menjadi prajurit pribadi Raja.
Bersama Dyah Pamasi, mereka Merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan
untuk menjadi pengganti. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Klikamuka, tokoh yang selalu menutupi wajahnya dengan klika atau kulit kayu.
Kelihatannya mempunyai hubungan dekat dengan Keraton.
Toikromo, penduduk biasa yang ingin mengangkat Upasara Wulung sebagai menantu.
Gendhuk Tri, calon penari Keraton Singasari yang menjadi anak murid Mpu Raganata
sebentar, lalu dilatih Jagaddhita. Ilmu andalannya menggunakan selendang seperti
penari. Karena satu dan lain hal, seluruh darahnya teraliri racun sangat ganas.
Dalam usianya yang masih belasan tahun, dan hidup di tengah pergolakan jago
silat, adatnya memang rada aneh.
Diam-diam sangat mengagumi Upasara Wulung, dan mencemburui setiap wanita yang
mendekati Upasara. Jaghana, salah seorang murid Perguruan Awan, perguruan yang dianggap sumber
segala ilmu kanuragan di tanah Jawa. Kepalanya gundul pelontos, pakaian yang
dikenakan asal menutup tubuh. Sabar dan welas asih. Namanya bisa diartikan
sebagai "pantat". Ini cara merendahkan diri sebagai "bukan apa-apa, bukan siapa-
siapa", salah satu ciri ajaran Perguruan Awan.
Eyang Sepuh, lebih dikenal sebagai nama seorang empu yang mahasakti yang
mendiami Perguruan Awan. Dari Eyang Sepuh-lah terdengar gema ajaran Kitab Bumi
dengan jurus yang ampuh, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ajaran yang sejajar dengan
ajaran Budha, baik di negeri Hindia, Cina, maupun Jepun. Atau bahkan sampai ke
negeri Turkana. Eyang Sepuh pula yang membuat para jago seluruh penjuru jagat
datang ke Trowulan, untuk membuktikan siapa yang mewarisi ilmu sejati. Namun
sejak semula, Eyang Sepuh tak pernah menampakkan diri. Hanya beberapa orang,
Gayatri dan Upasara, yang pernah mendengar suaranya. Penguasaan ilmu Eyang Sepuh
telah sampai ke tingkat moksa, lenyap bersama raga dan jiwanya.
Adipati Lawe, atau Ranggalawe, salah seorang senopati Majapahit yang besar
jasanya. Putra Aria Wiraraja ini nama kecilnya seperti juga ayahnya, Aria
Adikara. Ranggalawe, nama pemberian Raden Sanggrama Wijaya yang mungkin menjadi
petunjuk kepangkatannya ketika itu.
Rangga adalah jabatan yang sama dengan camat sekarang ini. Kuda hitam dan umbul-
umbul bergambar kuda, menunjukkan kegagahannya ketika menjadi adipati, semacam
patih penguasa suatu wilayah, di daerah Tuban. Sebutan yang lain ialah patih
amancanegara, yaitu semacam kepala di wilayah luar Keraton. Patih amancanegara
menunjukkan penguasaan di luar wilayah kekuasaan Keraton. Yang terbagi di daerah
barat, timur, utara, maupun selatan letak Keraton.
Galih Kaliki, tokoh yang asal-usul ilmu silat dan perguruannya tidak gampang
dimengerti. Senjata andalannya sebuah tongkat galih asam, bagian tengah atau
hati pohon asam. Baru kemudian diketahui bahwa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
gaya permainannya mirip dengan ksatria pedang panjang dari Jepun.
Orangnya keras, jujur, apa adanya. Dan sepanjang hidupnya kesengsem atau
tergila-gila pada Nyai Demang.
Senopati Anabrang, atau Mahisa Anabrang. Salah seorang senopati zaman Keraton
Singasari yang menjelajah sampai ke tlatah Melayu dan baru kembali dua puluh
tahun kemudian. Melanjutkan pengabdian kepada Raja Majapahit, dengan membawa dua
putri ayu yang salah satunya dipermaisurikan Baginda Raja.
Senopati Nambi, atau Mpu Nambi, salah seorang senopati Majapahit, pimpinan
prajurit telik sandi, atau pasukan rahasia. Diangkat sebagai mahapatih, suatu
jabatan tertinggi sesudah raja. Mahapatih menjalankan roda pemerintahan sehari-
hari. Secara langsung membawahkan para senopati, pemerintahan sehari-hari.
Secara langsung membawahkan para senopati, adipati, ataupun patih.
Pengangkatannya sebagai mahapatih banyak mengundang pertentangan. Terutama dari
Adipati Lawe, yang mengharapkan dirinya atau Mpu Sora yang memangku jabatan
tersebut. Wilanda, salah seorang murid Perguruan Awan yang kemudian melepaskan diri dan
menjadi prajurit andalan Keraton Singasari, dan kemudian kembali lagi ke
Perguruan Awan. Budinya luhur, dan menjadi pendamping Upasara sejak kecil.
Ilmunya yang sulit ditandingi ialah cara mengentengkan tubuh seperti capung
hinggap di ujung daun. Kiai Sumelang Gandring, atau Mpu Sumelang Gandring, turunan seorang ahli pembuat
keris yang mengembara sampai ke ujung barat tanah Jawa. Di sana meneruskan
ilmunya. Seluruh muridnya berjumlah dua belas, dan semua memakai sebutan
Gandring. Istimewanya ialah kedua belas Gandring ini bisa menyusun barisan yang
luwes dan ampuh. Di antaranya gaya serangan Jiwandana Jiwana, atau Tembang
Kehidupan. Nyai Demang, satu-satunya tokoh wanita yang sering dinilai hanya karena
mengobral asmara, serta bentuk tubuhnya yang montok.
Menurut cerita, dulu istri seorang demang, pangkat setingkat kepala desa. Banyak
para ksatria menjadi korban senyuman dan bentuk tubuhnya. Akan tetapi di balik
segala daya tarik lahiriahnya, Nyai Demang selama ini tak tertandingi dalam soal
kemampuannya mempelajari bahasa mancanegara. Dialah yang menjadi penyalin bahasa
sewaktu pasukan Tartar mendarat.
Halayudha, salah seorang senopati Majapahit yang tak terlalu menonjol dalam
peperangan. Gerak-geriknya penuh teka-teki, karena hubungannya yang sangat dekat
dengan Raja Majapahit, dan kemampuannya untuk taktik yang dijalankan sangat
culas, bergetah, tapi berhasil. Ilmu silatnya termasuk sangat tinggi karena ia
murid langsung Paman Sepuh, ditambah berbagai ilmu yang diperoleh sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tribhuana, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raden
Wijaya. Sebagai putri Keraton, Tribhuana dikenal memiliki pengetahuan yang luas
dan cara berbicara yang ulung dalam menangkap suasana, sehingga digelari
Mahalalila. Sebagai permaisuri pertama, sebenarnya Tribhuana berhak melahirkan
putra mahkota. Akan tetapi nyatanya tidak, karena Raja Majapahit memilih permaisuri yang lain.
Mahadewi, adik Tribhuana yang juga dipermaisuri oleh Raja.
Mahadewi dikenal sebagai putri landasan daya asmara Baginda.
Jayendradewi, atau Permaisuri Pradnyaparamita, adik Mahadewi yang juga
dipermasurikan Baginda. Tidak secantik adiknya, Gayatri, namun kesetiaan dan
keluhuran budinya menjadi contoh teladan.
Dara Jingga, putri boyongan dari Melayu yang dipersembahkan Senopati Anabrang
kepada Baginda. Namun kemudian menikah dengan salah seorang bangsawan Keraton
yang melanjutkan pemerintahan di tlatah Melayu.
Dara Petak, adik Dara Jingga, yang dipermaisurikan Baginda dengan gelar
Permaisuri Indreswari. Disebut sebagai stri tinuheng pura atau permaisuri yang
dituakan. Menggeser kedudukan Tribhuana dan dengan demikian berarti anak
keturunannya yang bakal mewarisi takhta Baginda Kertarajasa.
Dewa Maut, tadinya menjadi tokoh yang ganas, setiap kali berperang harus
mencabut nyawa lawan karena daya asmara kepada gadis pujaannya bertepuk sebelah
tangan. Hidup menyendiri hanya dengan sesama kaum pria, di atas perahu yang
selalu berada di Kali Brantas.
Dalam salah satu pertarungan ilmunya lenyap, dan gayanya seperti kehilangan
ingatan. Seluruh rambutnya putih. Gendhuk Tri dianggap
"kekasihnya" yang hilang dan selalu dipanggil Tole, panggilan untuk anak lelaki.
Dewa Maut hanya mau mengikuti perintah Gendhuk Tri.
Kama Kalacakra, salah seorang ksatria Jepun yang mahir memainkan pedang panjang.
Kama Kalandara, saudara seperguruan Kama Kalacakra. Dua nama yang berbeda akan
tetapi artinya sama, yaitu "benih matahari". Bila bergabung, keduanya menjadi
disegani, karena bisa memindah serangan sambil berputar kencang.
Kama Kangkam, guru Kama Kalacakra maupun Kama Kalandara.
Datang ke tanah Jawa untuk mengadu kekuatan dengan Eyang Sepuh, memperebutkan
gelar sebagai ksatria lelananging jagat, atau ksatria yang paling lelaki yang
paling tak terkalahkan. Senopati Semi, salah seorang senopati Majapahit. Salah seorang dari tujuh
dharmaputra, putra istana yang mendapat perlakuan istimewa dari Baginda.
Senopati lain yang termasuk dharmaputra ialah Senopati
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kuti, Senopati Pangsa, Senopati Wedeng, Senopati Yuyu, Senopati Tanca, serta
Senopati Banyak. Kala Gemet, putra mahkota Keraton Majapahit, putra Permaisuri Indreswari. Sejak
muda telah diangkat menjadi calon pewaris takhta dengan mengambil tempat latihan
kekuasaan di Dahanapura. Ketakutan disaingi saudaranya, ia melarang saudara lain ibu menikah.
Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, yang terbakar oleh dendam sejak kematian
ayahnya di tangan Senopati Sora. Merasa pengabdian ayahnya kepada Keraton disia-
siakan, Mahisa Taruna mudah dipermainkan orang lain.
Aria Wiraraja, tokoh yang dihormati dari Sumenep, Madura, inilah yang pertama
kali mengulurkan tangan kepada Sanggrama Wijaya.
Taktik dan strateginya jitu. Dengan kematian Lawe, putra kesayangannya, Aria
Wiraraja sangat kecewa. Kemudian meninggalkan Keraton dan berdiam di Lumajang,
yang membawahkan wilayah Majapahit sebelah timur.
Naga Nareswara, atau Raja Segala Naga, merupakan utusan tertinggi dari Tartar,
yang masih menyimpan dendam, karena pasukannya yang mampu menaklukkan dunia
dikalahkan oleh senopati-senopati Majapahit. Akan tetapi kedatangannya yang
terutama untuk bertarung dengan Eyang Sepuh, dalam memperebutkan gelar ksatria
lelananging jagat. Untuk membuktikan siapa pewaris suci dari ajaran yang sama
sumbernya. Kiai Sambartaka, atau Kiai Kiamat, seorang pendeta dari tanah Hindia. Datang ke
tanah Jawa untuk mengadu ilmu sejati dengan Kama Kangkam, Naga Nareswara, serta
Eyang Sepuh. Agaknya, lima puluh tahun lalu, para tokoh itu sudah berjanji untuk
mengadakan pertempuran habis-habisan.
Paman Sepuh Dodot Bintulu, atau menyebut dirinya Bik Suka Bintulu karena
menyamakan dirinya sebagai pendeta peminta-minta.
Dodot Bintulu adalah nama untuk menunjukkan kesederhanaan sebagai rakyat jelata.
Panggilan Paman Sepuh karena tokoh sakti ini saudara seperguruan Eyang Sepuh
maupun Mpu Raganata, dan yang sesungguhnya menuliskan Kitab Bumi atau Bantala
Parwa bagian pertama, yaitu yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Wajahnya
hancur karena dikhianati dua muridnya yang durhaka, yaitu Ugrawe dan Halayudha.
Kemunculannya kembali ke dalam dunia persilatan untuk memenuhi undangan yang
disebarkan Eyang Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Di mana akan berkumpul
seluruh jago silat, jawara dari jawara seluruh jagat. Salah satu gubahan ilmunya
yang terkenal, selain Banjir Bandang Segara Asat yang disempurnakan Ugrawe,
adalah jurus-jurus Timinggila Kurda, atau jurus-jurus Ikan Gajah Murka. Ikan
gajah adalah sebutan untuk ikan paus pada masa lalu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kiai Gajah Mahakrura, nama lain Paman Sepuh yang dipakai oleh Halayudha, yang
menggambarkan gurunya yang dianggap sebagai gajah mahabengis.
Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan sebutan bahwa di seluruh kolong langit ini,
dialah yang paling ayu tanpa tanding. Nama sesungguhnya Ratu Ayu Azeri Baijani,
datang dari negeri Turkana.
Suatu negeri yang disebut sebagai tlatah tapel wates, karena merupakan tapal
batas dengan wilayah yang tak dikenal. Ratu Ayu berkelana ke tanah Jawa karena
mendengar bakal ada pertemuan seluruh jago silat.
Bersama para senopatinya, Ratu Ayu ingin mencari jodoh, yaitu yang bisa
mengalahkannya. Karena ia percaya bahwa bersama lelaki yang mampu
mengalahkannya, ia bisa membebaskan negerinya dan jajahan Raja Tartar. Repotnya,
justru dalam pengelanaannya, tak ada yang mampu mematahkan ilmunya, yaitu
Tathagati, atau ilmu Budha Wanita, yang dianggap sesat karena menyamakan sang
Budha dengan wanita. Gerak langkah ilmu ini disebut Tathagata Pratiwimba atau
gerakan Arca Budha yang Kaku, serupa dengan cara bergerak boneka.
Sariq, senopati utama Ratu Ayu Bawah Langit. Sariq berarti kuning, karena ketika
memainkan ilmunya seakan tubuhnya berwarna kuning seluruhnya. Senopati lainnya
ialah Uighur, Karaim, Wide, Chagatai, dan Kazakh. Bersama-sama mereka mampu
memainkan barisan yang disebut Lompat Turkana, atau 64 Langkah Jong. Jong bisa
berarti payung, bisa berarti tertutup. Barisan Lompat Turkana ini disusun
sedemikian rupa, sehingga langkah ke belakang tertutup. Mereka selalu bergerak
maju ke depan, ke samping kanan, atau ke samping kiri.
Konon ini merupakan permainan yang lazim di negeri Turkana.
Gajah Biru, senopati yang setia kepada Mpu Sora, baik di saat jaya maupun ketika
tersisih, seperti juga: Juru Demung, Maha Singanada, gagah perkasa, wajah dan
penampilannya sangat mirip dengan Upasara Wulung. Hanya rambutnya dibiarkan
tergerai dan sikapnya jauh lebih urakan, tak mengenal tata krama. Senopati ini
termasuk dalam rombongan yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara dari
Keraton Singasari (itu sebabnya masih memakai nama Singa) ke tlatah Campa, ke
Keraton Caban. Untuk mengantarkan Dyah Ayu Tapasi, putri Baginda Raja, untuk
dipermaisurikan Raja Campa. Senjata utamanya adalah kantar, atau tombak pendek.
Ilmunya bersumber pada Kitab Bumi, akan tetapi cara mengatur pernapasannya
disebut Nawawidha, atau Mengatur Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Jurus-jurusnya
dikenal sebagai Nawagraha, atau Siasat Sembilan Bintang, yang kesemuanya
berintikan kepada angka sembilan.
Pendeta Syangka, atau Pendeta Sidateka, berasal dari tanah Syangka atau Sri


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langka. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Merupakan pendeta kesayangan Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, sehingga kelak
kemudian hari sang putra mahkota ini memakai gelar kebesaran sebagai Sri
Sundarapandya Adiswara. Sebutan pandya berarti mengakui kebesaran dinasti Pandya
yang memerintah di Sri Langka.
Sejak tata pemerintahan Keraton Sriwijaya, pendeta-pendeta dari Syangka mencoba
menanamkan pengaruhnya, akan tetapi selalu gagal.
Sekali ini Pendeta Sidateka yang menguasai Pukulan Dingin, berhasil.
Maha Singa Marutma, salah seorang senopati yang dikirim oleh Baginda Raja Sri
Kertanegara ke Keraton Mon, di delta Sungai Saluen di tlatah Burma. Keraton Mon
menjadi rebutan kekuasaan antara Keraton Burma dan Keraton Sukothai, dari bangsa
Thai. Maha Singa Marutma kembali ke tanah Jawa mencari bantuan untuk membebaskan
Keraton Mon dari serbuan Burma maupun Sukothai.
Pangeran Jenang, nama yang dimudahkan untuk menyebutkan Pangeran Che Nam, yang
terdesak oleh bangsa Vietnam. Karena Keraton Campa merupakan wilayah yang
dikuasai Singasari, Pangeran Jenang minta bantuan ke tanah Jawa. Hanya saja
ketika ia datang, yang memerintah bukan lagi Baginda Raja Sri Kertanegara. Oleh
Bagus Kala Gemet, ditarik sebagai salah seorang pendukungnya.
Kebo Berune, oleh Upasara dipanggil dengan sebutan hormat Eyang Kebo Berune,
sedangkan Nyai Demang memanggil dengan Kakek Kebo Berune. Salah seorang tokoh
sakti yang hidup sezaman dan seangkatan dengan Paman Sepuh, Eyang Sepuh, maupun
Mpu Raganata. Bahkan sama-sama merumuskan lahirnya Kitab Bumi. Kebo Berune
hanyalah nama sebutan karena tokoh ini mengembara sampai ke tlatah Berune atau
Brunei, dan baru kembali untuk bertanding menguji ilmu siapa yang paling unggul.
Suatu pertemuan setiap lima puluh tahun sekali.
Sayangnya, karena cara berlatih tenaga dalam yang keliru, Kebo Berune selalu
dibayangi maut, dan tak bisa bergerak. Salah satu ajiannya yang sejajar dengan
ilmu Weruh Sadurunging Winarah Mpu Raganata, sejajar dengan ajian Tepukan Satu
Tangan Eyang Sepuh, sejajar dengan Banjir Bandang Segara Asat Paman Sepuh,
adalah Pukulan Pu-Ni yang diciptakannya. Pu-Ni sekadar untuk mengingatkan bahwa
ilmu itu diciptakan di tanah Pu-Ni atau Berune atau Brunei. Konon ilmu-ilmu itu
diciptakan untuk menjadi penangkal ilmu Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Pulangsih, atau Putri Pulangsih dalam sebutan Nyai Demang.
Menurut cerita yang dituturkan Kebo Berune, Pulangsih adalah gadis yang
diperebutkan oleh Mpu Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune.
Tokoh wanita yang masih serba samar ini memilih Eyang Sepuh yang disebut Bejujag
atau si kurang ajar, namun justru pada saat itu Eyang sepuh mencampakkannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Penolakan itulah yang mengilhami lahirnya bagian terakhir Kitab Bumi, yang
disebut Kitab Penolak Bumi, atau Tumbal Bantala Parwa.
Pulangsih pastilah sebutan di antara keempat ksatria muda pada zamannya, karena
arti pulangsih sesungguhnya adalah bersatunya daya asmara secara jasmani.
Cebol Jinalaya, si cebol berkulit hitam. Mewakili pemuja yang tetap mengagungkan
Sri Kertanegara, sehingga menganggap bahwa bila mereka mati, bisa terus menjadi
abdi Baginda Raja. Jinalaya sendiri nama yang dipakai untuk menunjukkan tempat
untuk mati. Senopati Agung Brahma, bangsawan tua yang dihormati oleh kalangan Keraton,
tetapi juga jauh dari kekuasaan karena lebih suka menyepi. Kepedihan hatinya
tetap tak terhibur dengan menikahi Dyah Dara Jingga, yang dengan demikian ia
adalah kakak ipar Baginda.
Termasuk salah seorang senopati yang dikirimkan ke seberang oleh Baginda Raja
Sri Kertanegara. Hanya satu yang menyebabkan ia keluar dari "persembunyiannya",
yaitu terutama karena mendengar berita datangnya utusan dari Keraton Caban di
Campa, di samping keruwetan yang menimpa Keraton.
=====================================
KOKOK ayam jantan pagi itu tak terdengar. Cengkerik juga tak sempat
memperdengarkan musik akhir. Bahkan tetesan embun belum sepenuhnya mengental,
ketika tiga ekor kuda melintas dengan tergesa.
Suasana desa yang tenteram, hutan rimbun yang sunyi berubah serentak dengan
suara bising. Tapak kuda menderap makin cepat dan rapat menyatu dengan dengusan
napas kuda kelelahan. Ketiga penunggang kuda itu pun kalau diperhatikan cermat,
sudah basah kuyup oleh keringat.
Robeknya alam pagi yang damai, seakan menandai terjadinya suatu peristiwa.
Peristiwa yang berbeda dari sebelumnya - setidaknya puluhan tahun terakhir ini.
Jalan setapak di desa tanpa, nama itu tak pernah terusik apa-apa. Bahkan sangat
jarang sekali terdengar langkah kaki manusia. Binatang pun hanya sesekali, pada
malam hari. Akan tetapi sekali, kali ini, dipecahkan oleh rombongan tiga ekor kuda yang
tergesa. Sampai di ujung jalan, mereka tak bisa sejajar lagi.
Terpaksa berurutan karena jalan terhalang dahan, ranting, dan pohon tumbang.
Dari bawah menguap bau tanah. Angin sangat bersih.
Menyeberangi sungai kecil yang airnya dangkal, ketiga penunggang kuda itu
kemudian memacu lagi. Kalau saja di sepanjang jalan itu ada rumah, pastilah
penghuninya terheran-heran. Suatu pemandangan aneh dan baru; tiga ekor kuda
perkasa melintas tergesa. Bau tubuh mereka seakan asing untuk suasana sekitar
yang sepenuhnya berbau daun dan tumbuh-tumbuhan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Benarkah ini jalannya?" tanya salah seorang penunggang kuda yang nampaknya
paling muda. Namun dari nada bicaranya kentara sekali ia yang menjadi pemimpin.
Setidaknya yang paling dihormati. Bukan karena wajahnya yang bersih - yang
membedakannya dari kedua penunggang yang lain, juga bukan karena alis matanya
yang tebal dengan sorot mata memerintah, akan tetapi terutama sekali dari sikap
hormat yang diajak bicara.
"Benar, Raden Mas. Tak ada yang berubah sejak lima belas tahun lalu hamba lewat
di sini." Yang menjawab adalah seorang lelaki bertubuh gempal , gagah dengan kumis tebal.
Sikapnya amat sangat menghormat. Dan sekelebatan saja ketahuan bahwa jawaban ini
keluar dari orang yang mempunyai ilmu.
Setidaknya dari caranya menunggang kuda yang seakan sama sekali tak menambah
berat tunggangannya. Dibanding dengan bentuk tubuhnya, gerakannya sangat enteng.
Bahkan ketika meloncat turun untuk memeriksa rumput dan kemudian meloncat
kembali ke punggung kuda, dengan satu gerakan tak terputus, menegaskan sesuatu
yang disembunyikan dengan sikapnya yang merendah. .
Sebaliknya, penunggang ketiga yang berwajah sangat pucat -
sedemikian pucatnya sehingga kalau saja ia berhenti di air sungai dan mandi, tak
akan kelihatan lagi. Menyatu dengan warna air.
Kehadirannya hanya ditandai dengan nampak gedombrangan. Kain yang dikenakan
longgar di sana-sini. Nampaknya pemakainya tak peduli sama sekali. Juga tidak
pada suasana sekitar. Pandangannya lurus ke arah belukar. Seakan ia sudah
memperhitungkan dua tindak yang akan dilalui. Atau seperti tak memperhitungkan
apa-apa. Hanya mereka yang lama berkecimpung dalam dunia silat bisa melihat
sesuatu yang luar biasa dari penunggang ketiga ini. Dari cara mengatur napasnya
kelihatan bahwa simpanan tenaga dalamnya luar biasa. Dibandingkan dua penunggang
kuda yang lain, si wajah pucat ini nampak tetap segar.
Berkuda sepanjang malam tanpa henti sama sekali tak mempengaruhi tarikan dan
embusan napasnya. Bahkan juga tidak membuat kulitnya berubah warna.
"Kalau begitu kita sudah sampai," kata penunggang kuda yang dipanggil Raden Mas.
"Tapi tak ada apa-apa. Hmmm, mengherankan juga. Nama besar Nirada Manggala
selama ini hanya kabar murahan saja. Percuma memakai nama Perguruan Awan kalau
di markasnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sepotong batu untuk duduk, selembar
daun untuk berteduh, dan secangkir teh untuk menyambut tetamu."
"Maaf, Raden Mas," suara si penunggang kuda kedua nampak sangat berhati-hati.
Dari nadanya terasakan kekuatiran tetapi juga teguran.
Kekuatiran akan suasana yang bisa mendadak berubah. Sebagai orang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang pernah mengenal dekat Nirada Manggala, ia tahu persis bagaimana perguruan
ini bukan perguruan yang bisa dikatai seenaknya. Nama besarnya juga bukan nama
kosong belaka. Kalau nama sekadar nama, mereka tak akan datang kemari. Nada
teguran lembut, karena walaupun, memegang jabatan yang penting, ia tak bisa
begitu saja melarang atau mempengaruhi junjungan yang dipanggil Raden Mas.
"...memang beginilah hidup mereka."
"Seharusnya mereka tahu kita kemari. Bukan begitu, Pamanda Pandu
?" Si muka pucat yang ditanyai sama sekali tak bereaksi.
"Ini sudah keterlaluan. Saya bisa memerintahkan agar hutan ini dibakar habis!"
Mendadak saja, sebelum ucapannya selesai, ia merasa ada yang menepuk pundaknya.
Dan sebelum bisa mengerti apa yang terjadi, kuda yang ditungganginya
sempoyongan. Dengan sigap ia meloncat turun, dan langsung pasang kuda-kuda.
Semuanya terjadinya dalam sekejap.
Penunggang kuda yang berwajah pucat yang dipanggil Pamanda Pandu sudah turun di
samping kudanya. Sementara si kumis juga sudah meloncat enteng. Begitu kakinya
menginjak rumput, punggungnya menekuk dengan sikap hormat.
"Kami utusan dan Keraton ingin bertemu dengan Eyang Sepuh yang terhormat. Nama
saya Wilanda, bekas murid Nirada juga. Saya datang bersama Raden Mas Upasara
Wulung, dengan Ngabehi Pandu. Kami datang menghaturkan sembah bekti kepada Eyang
Sepuh dan membawa berita dari Keraton."
Upasara serasa tak percaya pada apa yang masuk di telinga. Ini hebat! Wilanda
bukan prajurit sembarangan. Ia satu-satunya yang terpilih menyertai ke Perguruan
Nirada ini di antara sekian puluh pemimpin pasukan yang lain. Ilmunya juga di
atas rata-rata yang terpilih. Bahkan dalam kecepatan bergerak rasanya hanya
satu-dua yang bisa menandinginya. Nama Wilanda adalah gelar kehormatan karena
gerak meringankan tubuhnya bagai seekor capung. Yang sanggup hinggap di tangkai
tanpa menggoyang ranting. Namanya itu sendiri adalah anugerah, dari wilala yang
artinya capung. Maka cukup membuat Upasara agak bengong melihat Wilanda
merendahkan diri. Dalam sekejap saja Wilanda sudah menjelaskan semua. Bahkan secara langsung sudah
menyebut-nyebut sebagai utusan resmi dan Keraton. Meskipun Upasara baru
menginjak usia dua belas tahun, pengalamannya boleh dikatakan segudang. Ia
mendengar nama Perguruan Nirada yang banyak disebut-sebut. Namun itu semua bukan
berarti harus menghormat dengan cara seperti itu. Dan sebenarnya yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
lebih mengherankan lagi ialah Ngabehi Pandu pun turut turun dari kudanya.
Selama ini Upasara mengenal pamannya sebagai seorang tokoh yang bergeming oleh
gempa, tak terusik oleh badai. Di Keraton, tokoh ini boleh dikata tak peduli
apa-apa. Bahkan upacara sowan kepada Baginda Raja pun tak dilakukan. Ia lebih
suka menyembunyikan diri di gua pertapaannya, dan secara terus-menerus berlatih
ilmunya. Paling sebentar hanya keluar dan ruangan semadinya seratus hari sekali.
Itu pun sekadar menemui Upasara untuk melihatnya berlatih silat. Upasara boleh
dikatakan beruntung karena ia satu-satunya yang diajari secara langsung. Ia
satu-satunya murid yang menerima ajaran dari Ngabehi Pandu. Ini saja sebenarnya
sudah membuat Upasara bisa malang-melintang di Keraton. Ia merasa sedikit saja
yang bisa menandinginya. Dan puncak kekagumannya memang pada Ngabehi Pandu, yang menurut perhitungannya
orang yang paling sakti. kalau tokoh yang dikagumi sampai perlu turun dan
kudanya, itu pasti bukan basa-basi belaka. Ngabehi Pandu bukan orang yang bisa
dan biasa berpura-pura. Ataukah mereka berdua juga "dipaksa" turun dari punggung kuda, Seperti dirinya"
Tak mungkin hal itu terjadi.
Upasara melihat secara lebih jelas. Kekuatannya dipersiapkan untuk satu serangan
mendadak-baik untuk menyerang atau bertahan. Kuda-kudanya kuat mantap.
Lebih heran lagi, karena yang keluar dari semak-semak adalah seorang lelaki
gundul yang praktis telanjang. Hanya kain gombal sekenanya menutup di bagian
bawah selebihnya tak ada apa-apanya.
Tidak juga sehelai rambut. Yang membuat Upasara gusar adalah kenyataan bahwa
lelaki itu seperti tidak melirik ke arah mereka.
Bahwa di Perguruan Awan banyak hal yang ganjil, itu Sudah lama didengar. Tapi
kenyataannya ternyata lebih ganjil lagi. Tak ada bangunan rumah, tak ada
sambutan. Hanya tetumbuhan liar dan seorang lelaki setengah tua yang lebih mirip
binatang hutan. Upasara merasa tak bisa menahan sabarnya.
"Bapak Gundul, saya ingin bertemu dengan pemimpin Nirada Manggala. Katakan
kepadanya untuk menjemput saya. Katakan Raden Mas Upasara Wulung bersama Pamanda
Ngabehi Pandu dan Wilanda sendiri yang datang.
"Paman Gundul, kau dengar apa yang saya katakan?"
"Saya...," jawab si gundul sambil menunduk hormat.
Upasara melihat Wilanda yang masih bersila seperti mengisyaratkan agar jangan
kurang ajar. Tapi siapa yang peduli" Untuk apa menghormat lelaki setengah tua
yang berpakaian saja tak sempurna"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paman Gundul, kau dengar?"
"Saya...." Tapi selain jawaban yang diberikan, paman gundul itu tetap bergeming.
"Rupanya di perguruan ini banyak yang angkuh dan sok. Saya sudah bicara baik-
baik, tapi kalian memperlakukan seperti ini. Jangan bilang anak muda berlaku
kurang ajar." Upasara menggeser kakinya.
"Saya..." Seumur hidup, belum pernah Upasara mendapat perlakuan hina seperti ini. Di
Keraton, semua menuruti keinginannya. Apa yang diharapkan bisa terlaksana. Tak
ada yang membandel seperti ini.
"Maaf, Kisanak...," suara Wilanda tetap ramah. "Kami sudah mengenalkan diri.
Bolehkah kami mengetahui nama besar Kisanak?"
"Saya... Saya bernama Jaghana, Kisanak."
Upasara tak bisa menahan diri lagi. Ini jelas cara mempermainkan yang
keterlaluan. Bagaimana mungkin pertanyaan yang baik-baik, dengan rasa hormat,
dijawab seenaknya " Bagaimana mungkin seorang bernama Jaghana yang artinya
pantat" Tanpa memedulikan lirikan mata menahan, Upasara langsung menerjang.
Jaraknya masih sekitar dua tombak, akan tetap hanya dengan sekali menginjak
tanah, tubuhnya sudah melayang maju ke depan Persis di depan Jaghana yang
gundul, dan langsung menyerang. Dua tangan, kiri dan kanan, maju secara serentak
seperti menjepit tubuh Jaghana. Ini adalah gerakan dasar dari serangan banteng.
Ilmu yang diandalkan selama ini. Kedua tangannya berfungsi sebagai pengganti
tanduk. Kalau saja Jaghana bisa dijepit, kepalanya bisa retak, sebelum tubuhnya
berputar dan melayang ke atas. Kunci utama dari serangan kilat ini adalah pada
kekuatan besar yang mengunci gerak lawan, dan di samping itu juga tak memberi
kesempatan lawan untuk menggagalkannya. Karena Upasara yang berarti banteng -
sangat kuat kuda-kudanya. Persis seperti ketiga banteng menyerbu harimau. Ilmu
ini boleh dikatakan ciptaan Ngabehi Pandu sendiri, yang disesuaikan dengan
sifat-sifat Upasara yang masih berdarah panas bertenaga besar seperti banteng.
Selama ini selalu terbukti| bahwa jurus pembukaannya selalu membuat lawannya
repot. Upasara sudah memperhitungkan: andai terpaksa menghindar, Jaghana harus mundur,
paling sedikit dua tindak. Itu juga akan menempatkan Jaghana pada posisi yang
sulit, karena dua tangan Upasara akan menyusul langsung. Dan kali ini sasarannya
adalah pusar. Bagai tanduk - sepasang - yang menemukan sasaran empuk. Pukulan ini
merupakan rangkaian. Hanya beberapa jago saja yang mampu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menghindar dari rangkaian pukulan berantai ini, itu pun akan mempersulit
posisinya kemudian. Dalam beberapa latihan, hanya Wilanda yang secara berturut-turut mampu
menghindar. Terutama karena ilmu meringankan tubuh yang satu kelas di atasnya.
Itu pun harus mengorbankan kedudukan kuda-kuda untuk tetap berada dalam sikap
bertahan. Ngabehi Pandu menciptakan jurus yang kelihatannya sederhana ini bukan sekadar
bangun dari tidur. Walau kelihatannya sederhana, perubahannya cukup rumit.
Sederhana karena gerakannya seperti kaku. Lurus menerjang dengan dua tangan
sekaligus. Namun sebenarnya ini juga merupakan inti untuk menjajal kekuatan
lawan. Seperti diketahui, untuk menghadapi jurus ini hanya tersedia dua pilihan.
Menghindar mundur atau langsung menggempur. Ini berarti secara langsung beradu
tenaga. Saat itu juga, si penyerang sudah bisa memperkirakan kekuatan lawan.
Karena saat beradu, dua tangan yang menjotos berputar arahnya ke bawah. Cara
mengatur kekuatan lawan inilah yang disebut serangan efektif. Menerjang
sekaligus menakar kekuatan lawan. Dengan mengetahui secara persis kekuatan
lawan, si penyerang bisa mengatur siasat.
Ngabehi Pandu menciptakan rangkaian jurus ini terutama sekali untuk menerjang
lawan yang belum dikenal seberapa kekuatannya.
Namun dilihat dari kuda-kudanya, jurus ini tidak sekadar menjajal untuk coba-
coba, akan tetapi sudah sekaligus menggilas.
Seekor kerbau liar pernah terjungkir dan terbanting kasar di tanah ketika


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Upasara mempraktekkannya.
Apakah Jaghana akan terbanting seperti seekor kerbau" Itulah yang akan terjadi
karena Jaghana tidak menggempur langsung dan tidak menghindar. Seakan membiarkan
saja. Jaghana seperti membiarkan dirinya diserang! Upasara serta-merta
mengurangi kekuatan tenaganya.
Ia ingin sekadar memberi pelajaran kepada lawan dan bukan ingin menghancurkan.
Akan tetap justru di saat seperti itu, dalam sepersekian detik yang bersamaan,
Upasara merasa kakinya bergetar. Seperti kesemutan. Aneh.
Padahal Jaghana hanya menggeser sedikit posisi kakinya. Ini soal tenaga dalam.
Dalam sekelebatan saja Jaghana sudah bisa membaca gerak dan inti serangan.
Justru dengan sekali gebrak, Jaghana membalas pada posisinya yang paling kuat.
Di arah kuda-kuda. Upasara berpikir cepat. Membatalkan serangan utama, dan balik
menggeser kaki kiri untuk mengurangi tekanan lawan. Sekaligus dengan itu tangan
kirinya ditarik mundur untuk menampik lawan. Tanpa menggeser tubuh, Upasara kini
melancarkan serangan berikut. Tubuhnya sedikit meloncat, dengan cara menjatuhkan
diri, Upasara ingin mengetok punggung lawan dari belakang. Tubuhnya melengkung
bagai plastik KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang bisa berubah menjadi lebih panjang. Lawan akan mengira ia masih bertahan di
tempatnya, tetapi secepat kilat ia menyerang arah belakang.
Inilah salah satu kehebatan jurus Ngabehi Pandu. Dua jenis serangan yang
mempunyai sifat berbeda, bisa dilakukan secara beruntun.
Meskipun sebenarnya gerakan ini pada awalnya mengandalkan kekerasan, tapi di
saat yang bersamaan bisa diubah menjadi luwes.
Untuk mempraktekkan gerak semacam ini sebenarnya tak diperlukan latihan yang
panjang. Kekuatan utamanya justru terletak pada mengatur dan menyalurkan tenaga
sesuai yang dibutuhkan. Jaghana seperti mengeluarkan seruan pujian dari hidungnya. Lagi-lagi, seperti
pada mulanya, ia seperti membiarkan punggungnya dipatuk dari belakang. Caranya
menghadapi justru dengan meneruskan serangan kakinya ke depan. Sehingga tubuhnya
seperti jatuh. Upasara bersorak dalam hati. Sekuat-kuatnya badan manusia, tulang punggung bukan
bagian yang boleh dibiarkan menerima pukulan.
Secepat-secepatnya menjatuhkan diri, tak mungkin bisa menghindari pukulan.
Memang begitu kenyataannya. Upasara merasa bahwa tangannya bukan mengenai
punggung, tetapi kepala. Karena lawan menjatuhkan diri. Tetapi kepala juga sama
lemahnya dalam penjagaan.
Hanya saja di luar segala perhitungannya, kepala Jaghana ternyata sangat licin.
Sehingga emposan tenaganya seperti makin mendorong dirinya. Tenaganya justru
menyeret, seperti orang terpeleset. Tak ada jalan lain, selain menyelamatkan
diri. Upasara berjumpalitan satu setengah agar bisa berdiri tegak.
Ia memang berhasil berdiri tegak. Akan tetapi ini pertanda surut. Dari
menggempur, dalam satu gebrak saja sudah mundur dan bertahan.
Perubahan mendadak yang secara serentak membalik situasi.
Upasara siap untuk menerima serangan. Tapi Jaghana, si pantat gundul, hanya
memandang sambil tersenyum.
"Anak muda, sungguh luar biasa. Serangan yang mengagumkan. Saya tak pernah
menyangka bahwa dunia sudah sedemikian majunya. Siapa mengira anak muda yang
masih bau kencur ini mempunyai kepandaian luar biasa. Selamat, selamat."
Sebenarnya apa yang diucapkan Jaghana adalah ucapan yang jujur.
Sesuatu yang nampaknya melekat sebagai sikap Perguruan Awan.
Mereka memang sering dikatakan hidup dengan cara yang sangat ganjil dan tak
menentu, akan tetapi mereka dikenal sebagai orang-orang yang jujur. Satu kata
satu perbuatan. Apa yang putih tak bakal dibilang hitam. Pujian ini juga pujian
yang jujur. Akan tetapi bagaimana mungkin Upasara bisa menelan kata-kata semacam
itu" Pertama, ia seorang bangsawan yang belum pernah mendapat perlakuan begitu
"kurang ajar". Kedua, kata-kata "anak muda yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
masih bau kencur" sangat menyinggung perasaannya. Ia tak menangkapnya sebagai
pujian bahwa sesungguhnya anak seusianya belum tentu bisa menguasai jurus-jurus
tadi dengan baik. Berarti masa depannya cukup bagus. Perbedaan latar belakang
ini masih ditambah lagi bahwa Upasara tak cukup sabar.
"Kita lihat siapa yang bau kencur dan siapa yang bau bawang merah,"
ujarnya keras sambil terus menyeruduk. Karena merasa kalah dalam serangan
pertama, Upasara menyerang dengan tenaga penuh. Kedua kakinya memancal tanah,
jotosannya mengarah ke depan. Kedua-duanya. Hanya kali ini dalam perjalanan
pergelangan tangan ini berputar seperti menyerap tenaga lawan. Menyerap,
memutar, dan mengarahkan pada si pemilik sendiri.
Jaghana juga menjadi berhati-hati. Ia meloncat tinggi, tidak berusaha menghindar
jarak pendek atau memapaki serangan. Sambil meloncat tinggi, seperti memantul,
tubuhnya berputar. Serangan balasan yang dilancarkan dengan berputar bukan hanya
berbahaya bagi lawan, tapi juga berbahaya bagi diri sendiri.
Wilanda yang pernah berada dalam perguruan yang sama, sedikitnya mengetahui hal
ini. Harus diakui serangan sambil berputar adalah serangan yang mengandung
risiko. Lawan memang bisa bingung, mau menyerang kepala bisa keliru pantat, mau
menerjang dada bisa keliru kaki. Itu pun tenaganya tak akan mengena separuhnya,
karena sebagian besar sudah dinetralisir dengan gerakan berputar. Akan tetapi
menyerang berputar perlu mengerahkan tenaga dalam yang kelewat banyak. ini bukan
untuk pertempuran jangka panjang. Agaknya Jaghana ingin menyelesaikan
pertandingan dalam waktu singkat.
Kenyataan ini saja sebenarnya sudah harus membuat Upasara merasa bangga. Tak
begitu banyak kesempatan seorang ksatria semacam dia menemukan lawan yang
langsung mengeluarkan langkah-langkah rahasia berikut kuncinya.
Ditilik dari sudut ini, Upasara boleh dibilang sangat beruntung.
Dalam usianya yang masih muda ia boleh dikatakan bisa mengimbangi lawan yang
jauh lebih tua, lebih berpengalaman, dan sudah mempunyai nama besar.
Kalau pada gebrakan pertama tadi ia dibuat bertahan, itu semata-mata karena soal
pengalaman. Bukan soal perbedaan ilmu.
Menghadapi lawan yang bergulung, Upasara mengubah gerakannya.
Ia tak mau mengeluarkan tenaga keras, karena bisa terseret lawan. Ia
melengkungkan tubuh, meloncat terbalik, dan kemudian masuk ke dalam pusaran
lingkaran. Wilanda mengeluarkan pekik tertahan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia tak menyangka sama sekali bahwa Upasara akan mengimbangi lawan dengan gerakan
yang sama. Dengan saling melibat diri, berarti pengurasan tenaga secara besar.
Dan kalau sedikit saja alpa, satu jari saja menyentuh bagian lunak dari wajah
bisa berakibat fatal seumur hidup. Lima kali kedua tangan lawan beradu. Suaranya
terdengar bagai dua batu ditumbukkan. Upasara kaget karena tangan lawan seperti
mempunyai sengat. Setiap kali beradu, ia cepat menarik tangan dan mengganti
dengan sabetan kaki. Namun ini pun mengalami hal yang sama. Yang tak
diketahuinya ialah bahwa agaknya Jaghana pun mengalami hal sama. Sengatannya
seperti tak bisa menusuk langsung.
Beberapa bagian tenaganya bisa ditolak.
Sepuluh jurus berlalu tanpa ada yang memisah.
Tanpa ada tanda-tanda kalah.
Tanpa ada yang menyerah. "Kisanak Jaghana, maafkan kami..." Wilanda tetap bersujud. Suara perlahan tapi
mengiang. "Upasara, cukup." Terdengar suara mantap. Ngabehi Pandu mengucap seperti
menggertak. Dan betapapun berangasan dan congkak, Upasara agaknya ada rasa takut
kepada pamannya. Ia mengunci diri dan bergulung keluar satu tombak. Untuk bisa
berdiri tetap, ia masih memerlukan beberapa tindak lagi.
Sementara Jaghana tetap berdiri tegak sambil tersenyum.
"Sudah kurang ajar, kalah, masih berlagak?" Pandu berteriak.
Upasara menghela napas. Lalu berjongkok menghaturkan sembah.
"Maaf, Paman Gundul. Saya terlalu lancang dan kurang ajar. Saya menerima kalah."
Dari ucapannya terkesan bahwa Upasara sebetulnya masih belum mau menyerah.
Sebutan Paman Gundul menandai kedongkolannya.
"Ah, jangan terlalu merendahkan diri dan mengangkat lawan terlalu tinggi. Nama
saya memang Jaghana, tak pantas dipanggil Paman Gundul. Walaupun antara pantat
dan kepala gundul tak ada bedanya.
Tapi letaknya yang satu di atas dan lainnya di bawah. Silakan berdiri, anak
muda." Ya, begitulah cara hidup Perguruan Nirada yang aneh. Bahkan untuk ngomong pantat
atau gundul saja tak ada bedanya. Tak merasa risi sama sekali.
"Wilanda menyampaikan sembah bekti."
"Saya tak bisa menerima kehormatan ini," lalu sambil melirik ke arah Ngabehi
Pandu, suaranya jadi penuh hormat. "Terima kasih atas pertolongannya. Kalau saja
tidak dihentikan tadi, saya tak bisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengelus kepala lagi. Ternyata nama besar Ngabehi Pandu terlalu kecil untuk
menunjukkan hal yang sebenarnya. Terimalah salam saya."
Wilanda maju ke depan. "Kisanak Wilanda, rasanya baru kemarin kita berpisah. Tapi kini Kisanak sudah
hidup enak mempunyai pakaian bagus dan kuda bagus.
Aha, kapan lagi mengajak saudara lama ini?"
Kalimatnya setengah menyindir setengah mengalem. Sulit dibedakan.
"Kerinduan saya tak bisa diutarakan lagi. Namun kali ini, saya datang membawa
perintah Baginda Raja."
"O, jadi kalau punya pakaian dan kuda bagus harus begitu, ya" Siapa itu Baginda
Raja?" Upasara merasa darahnya mendidih lagi. Kalau tadi kurang ajar keterlaluan,
sekarang ini sudah buyutnya keterlaluan. Tak ada ampunan. Maka sekarang ini
tanpa bertanya ba atau bu langsung saja menerjang. Kali ini malah langsung
dengan keris saktinya. Ujung keris tergetar karena menahan dendam. Yang diarah
pun tak kepalang tanggung. Tenggorokan.
Ini sebenarnya merupakan jurus pamungkas, atau jurus terakhir dari rangkaian
serangan ilmu banteng yang disebut Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka.
Serangan ini biasanya hanya muncul kalau keadaan sudah betul-betul kepepet, tak
ada jalan keluar sama sekali. Seperti banteng yang terluka tak ada harapan lagi.
Dengan sekali gempur, bisalah mendahului lawan, atau setidaknya mati bersama.
Dengan jurus ini semua tenaga dihimpun ke ujung keris. Sehingga bagian yang lain
tidak sepenuhnya terlindungi. Kalau saat itu lawan menyobek perut atau menotok
urat nadi di leher, tak ada halangan yang berarti. Akan tetapi juga dengan
demikian Upasara bisa meneruskan niatnya. Kalau lawan mengurungkan niatnya,
berarti Upasara terbebas dari sergapan untuk sementara.
Dan Upasara mengeluarkan jurus Banteng Terluka meskipun sama sekali tidak dalam
keadaan terjepit. Wilanda mengeluarkan seruan tertahan. Langsung bersamaan
dengan itu tubuhnya meloncat keras dan menubruk Jaghana. Caranya sedemikian rupa
sehingga punggungnya yang dibiarkan terbuka. Dalam detik yang pendek ia ternyata
tak berpikir untuk nyawanya sendiri.
Jaghana sendiri nampaknya tidak memperhitungkan bahwa seorang anak muda bisa
begitu telengas dan ringan tangan untuk mengeluarkan jurus maut. Alisnya
berkerut tapi tak sempat menghindar.
Hanya karena Ngabehi Pandu bergerak lebih dulu. segalanya berakhir tanpa ada
yang terluka. Sebagai tokoh yang menciptakan jurus itu.
Ngabehi Pandu tahu kelemahannya. Dua jarinya menghadang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pergelangan tangan Upasara, dan disertai entakan tenaga dalam, keris itu
terloncat dan tangan Upasara. Melesat ke udara. Ngabehi Pandu menggerakkan
tubuhnya meloncat, menyambar keris, dan sebelum kakinya menyentuh tanah ia bisa
mengembalikan lagi ke sarung keris yang terselip di punggung Upasara. Suatu
gerakan indah bagai tarian yang memesona. Dengan sekali gebrak, tiga gerakan
berbahaya dilakukan. Menggagalkan serangan dengan melontarkan keris ke udara,
menangkap, dan mengembalikan ke sarungnya yang masih dipakai pemiliknya.
Ngabehi Pandu menunduk. "Maafkan, kami yang tua ini tak bisa mendidik anak."
Jaghana berdiri tegak, lalu membalas hormat dan menghela napas.
"Yang tua makin arif, yang muda makin sulit dikendalikan. Anak muda, kau
berbakat besar, mempunyai guru yang sungguh luar biasa.
Di belakang hari nanti tanah Jawa menjadi ramai karenanya. Luar biasa. Sayang
aku si pantat bulat tak bisa menyaksikan semua ini.
Setelah nyawa yang tak berharga ini diselamatkan berkali-kali rasanya tak pantas
menjadi murid Nirada lagi." Suaranya berubah parau. "Eyang Sepuh, mohon ampun...
murid Eyang memang tak pantas berdiam di sini." Lalu disertai helaan napas,
Jaghana berlalu. "Tunggu, Kisanak. Ada yang ingin kami ketahui."
"Kanjeng Ngabehi, nyawa yang hina telah Ngabehi tolong. Kalau ada yang bisa saya
lakukan untuk Ngabehi, mati pun saya rela melakukannya."
"Jangan terlalu sungkan, Kisanak. Ini semua karena kesalahan kami.
Sesungguhnya kami datang untuk menemui Eyang Sepuh."
"Sedih sekali rasanya. Untuk permintaan yang tak berarti itu saya tak bisa
menjawab. Saya sendiri tak tahu di mana beliau berada."
"Ah," Wilanda mengeluarkan suara tertahan.
Ngabehi Pandu menghela napas. Dengan pengalaman yang sudah setua umurnya, ia
tahu bahwa Jaghana tidak berdusta sama sekali.
"Satu pertanyaan lagi. Apakah dalam sebulan ini ada Tamu dari Seberang datang
kemari?" Jaghana menampilkan senyum. Senyum getir.
"Entah kenapa begitu banyak yang menanyakan hal yang sama. Hal yang saya sendiri
tidak tahu. Ketika Eyang Sepuh memilih desa tanpa nama ini rasanya sudah tak ada
tempat lain yang lebih sunyi. Akan tetapi nyatanya sekarang ini jadi tempat
berkumpul para jagoan di seluruh jagat. Oi, tak ada lagi tempat sepi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitu selesai ucapannya, terlihat dua bayangan melesat datang.
Seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih nampak menjinjing kadut-kantong
karung dari serat pohon-besar. Seorang lagi adalah seorang bocah, yang nampak
ganjil karena wajahnya seperti merah membara. Dua manusia aneh yang berdiri
berjajar aneh. Lelaki tua berambut putih dan seorang bocah berwajah merah.
"Nah, kita di sini dulu, Tole. Mendengarkan orang bicara," kata lelaki tua
berambut putih. Yang dipanggil sebagai tole-artinya anak lelaki kecil- tidak
menjawab, hanya memandang selintas. Lalu duduk di rumput.
Wilanda seperti terbangun dari tidurnya. Memang aneh, di tempat yang kelewat
sunyi ini tiba-tiba datang dua orang yang namanya pernah menggetarkan Kali
Brantas. Yang dipanggil Tole adalah Padmamuka, alias Padmanaba, alias si Muka
Merah. Yang tua berambut perak dipanggil Niriti, alias Dewa Maut yang Kekal
Abadi. Entah dari mana mereka mendapat sebutan itu dan apa alasannya. Selama ini
Wilanda tak pernah mendengar. Karena selama ini keduanya hanya beroperasi di
sepanjang Kali Brantas Menurut cerita, keduanya tak pernah berada di daratan,
selalu saja tengah sungai. Bahkan menurut dongeng, mereka bertempat tinggal di
salah satu kedung Brantas. Pasti ada sesuatu yang luar biasa kalau sampai turun
ke darat. Apalagi berada di daerah terpencil.
"Tole, mereka tidak ngomong lagi. Apa perlu kita paksa?"
"Semaumulah. Kau dewa maut yang bisa berbuat sekehendakmu. Apa susahnya memaksa
orang bicara mengenai Tamu dari Seberang?"
"Tole, siapa yang kita paksa pertama?"
"Siapa saja. Lebih baik dimulai dari yang paling jelek."
"Bagus. Bagus." Suara Niriti berubah gembira. Kadutnya bergoyang-goyang. "Kalian
semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Ayo, mengaku saja.
Siapa yang paling jelek harap menyembah."
Padmamuka terkekeh. "Kalau ditanya begitu, mereka pasti akan berebutan. Karena semuanya memang
jelek. Paksa saja semua."
"Itu juga bagus. Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku
ini. Dan sesungguhnya, aku tak pernah menolak apa yang diminta cucuku. Baiklah.
Kalian perlu kupaksa atau langsung berterus terang di mana Tamu dari Seberang
itu?" "Agaknya Kali Brantas sudah kering. Tak ada ikan kecil lagi, sehingga nelayan
sungai cari makan di darat. Pengemis pun harus menunjukkan hormat kalau meminta
sesuatu. Bukannya omong besar."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara yang maju ke depan. Agaknya ia yang paling muak dengan segala
kesombongan dan kecongkakan-barangkali juga karena ia memiliki sifat yang sama.
"Tole, ada yang berani berkata. Kau dengar?"
"Ya, tetapi tidak jelas maksudnya."
"Lalu bagaimana, Tole?"
"Suruh menjilat kakiku, agar lidahnya bisa ngomong ndak ngawur."
Niriti, si kakek berambut putih, tertawa terkekeh. "Nah, kamu dengar sendiri apa


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dikatakan cucuku. Ayo lekas, jilat kakinya. Biar dewa bermurah hati hanya
memotong lidah bukan nyawamu. Lakukan, tunggu apa lagi?"
"Hanya karena merasa terantuk batu pengalaman yang keras, Upasara tidak segera
menyerang. Coba saja tidak mengalami peristiwa yang baru saja terjadi, ia sudah
langsung menerjang. "Soal menjilat kaki apa susahnya. Tetapi kenapa harus melakukan itu, kalau ada
soal lain?" "Tole, kau dengar siapa itu yang ngomong?"
"Maaf, namaku yang rendah adalah Wilanda. Salam hormat untuk Dewa Maut dan
Padmamuka." "Bagus. Itu bagus. Kamu menjawab dengan baik. Apa kau dari Perguruan Mendung
ini?" Jelek-jelek Wilanda bekas murid Perguruan Nirada. Memang nirada bisa berarti
awan, tetapi juga bisa berarti mendung. Namun cara si kakek merendahkan dalam
sebutan cukup membuatnya panas.
"Saya hanya murid yang tak tercatat. Silakan memberi pelajaran."
Wilanda langsung mengambil kuda-kuda memberi hormat.
Ini berarti tantangan yang resmi. Tantangan seorang ksatria. Wilanda cukup
menghormati lawan untuk memulai dengan gerakan pembukaan, menghormat ke arah
lawan. Kakek tua itu langsung bergelak.
"Kalian manusia darat terlalu banyak sopan santun. Buka mulut di mana Tamu dari
Seberang atau bakal jadi makanan cacing."
Niriti meluncur, dalam artian sebenarnya. Tiba-tiba saja tubuhnya tertekuk,
seperti gerakan orang mau meloncat ke air. Dan benar-benar meloncat. Hanya
bedanya kalau meloncat ke air, tubuhnya turun ke bawah, yang ini meluncur ke
depan lurus. Kedua tangannya terbuka dan siap mencakar wajah. Wilanda menotol
dengan ujung kakinya - tanpa menekuk lebih dulu, atau memang tak terlihat saking cepatnya -
dan tubuhnya melayang ke atas. Dari atas, kedua kakinya ditekuk seakan ingin
berdiri di punggung si kakek. Namun sebelum gerakan itu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sempurna, bentuknya sudah diubah lagi, karena Niriti memutar kakinya. Sehingga
tubuhnya menjauh dan cakar tangannya tetap mengarah ke lawan.
Meluncur bagai peloncat indah, sambil tetap menjinjing kadut besar dan dengan
enak bisa memutar di tengah udara. Semua bisa dilakukan sambil tetap menyerang.
Kalau Upasara yang disergap semacam itu, pasti sudah kelabakan. Wilanda jauh
lebih berhati-hati. Gaya capungnya dipertontonkan dengan indah. Tangan lawan
yang mencakar dibentur keras, dan meminjam, tenaga benturan ia melayang tinggi
berjumpalitan di udara, lalu turun di tanah, menotol lagi, menyerang ganti.
Kakek berambut putih itu mengeluarkan suara di hidung. Kali ini kadutnya dipakai
untuk memapak serangan. Wilanda bisa menjajal kemampuan lawan. Tetapi ia cukup
cerdik untuk memeras tenaga si kakek. Lagi-lagi ia meminjam tenaga kadut
berputar untuk berjumpalitan, meluncur turun, menotol tanah, dan balik
menyerang. Taktik yang membuat Niriti terkesiap dan untuk beberapa kejap seperti bertempur
dengan angin kosong. Namun sebagai jago kelas satu yang menguasai daerah
tertentu, dengan cepat ia bisa menentukan cara untuk mengatasi. Kali ini ia
menyerang dengan tenaga yang lembek, hanya dua persepuluh saja. Sehingga Wilanda
tak mungkin meminjam tenaganya.
Memang ini sempat mengacau Wilanda, namun cara mengentengkan tubuhnya boleh
dibilang sudah kelas satu. Sehingga meskipun tak terlalu keras, ia tetap bisa
berjumpalitan, menotol tanah, dan tetap menyerang.
"Kakek tua tak tahu diri. Apa susahnya menangkap capung?"
"Bagus, Tole. Nih, aku tangkap."
Serentak dengan itu Niriti mengayunkan karungnya dengan keras ke atas. Kedua
tangannya terentang lebar, lalu menutup dengan gerakan berputar, dan langsung
menyerang lawan. Wilanda tak menduga bahwa tenaga dalam si kakek sedemikian
saktinya. Sehingga hawa di sekitar dada dan wajahnya jadi panas dan sesak. Lalu
secara cepat hawa panas dan menyesakkan itu musnah, dan Wilanda seperti berada
dalam ruang tanpa udara. Kekuatannya jadi lenyap seketika. Tak ada jalan lain
kecuali mengerahkan sisa kekuatan yang tersimpan di bawah pusar.
Tubuhnya berputar pendek, seirama dengan tangan yang melingkar ke depan dengan
sangat cepat. Dalam setiap ajaran silat, gerakan ini sangat umum dan mudah
dikenali sebagai gerakan untuk mencari tenaga dari bumi. Hanya dengan latihan
yang keras dan konsentrasi penuh, "kekuatan bumi" ini bisa dipinjam. Kalau
dasarnya tidak mempunyai tenaga dalam, yang diisap adalah tenaga kosong belaka.
Sebenarnya ini gerakan yang sangat efektif. Hanya saja karena merupakan gerakan
umum, lawan pun melakukan. Jadi boleh diartikan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
siapa yang lebih dulu mengambil tenaga dari bumi. Niriti bukannya mengambil,
melainkan membuyarkan dengan sapuan kakinya.
Terkurung dalam lingkaran pukulan Niriti, Wilanda mengempos kekuatannya. Ia
menekuk lutut dan melompat ke atas. Dalam keadaan biasa hal itu tak perlu
dilakukan. Seakan tanpa menekuk pun bisa meloncat, Akan tetapi kekuatan ini
diperlukan, karena kedua tangan Niriti tak akan membiarkan bebas.
Ini berarti adu tenaga. Wilanda mengegos sedikit untuk melunakkan tenaga lawan, dan tubuhnya mumbul ke
atas. Agaknya ini pun sudah diperhitungkan Niriti ketika melemparkan kadutnya ke
atas. Bersamaan dengan itu, kadut itu bakal menimpa tubuhnya. Paling tidak ia
bisa menjotos. Hanya saja kesadarannya yang tinggi menahan gerakan itu. Berarti
kadut itu berisi manusia. Astaga. Siapa pula yang berada di dalamnya" Kalau
seseorang yang sedang menderita, bisa saja menjadi luka atau bahkan meninggal
dunia. Jiwa ksatria Wilanda menahan pukulan itu. Akibatnya memang gerakannya
jadi terganggu. Apalagi ia justru berusaha menangkap kadut itu, menyebabkan
pinggangnya terbuka. Niriti bersorak dingin.
"Kena!" Sebenarnya, sejak Niriti datang, Jaghana sudah melihat sesuatu yang aneh.
Sesuatu yang mencurigakan dari kadut. Makin jelas ketika kadut itu dilemparkan
ke atas. Mendengar suara rintihan, Jaghana bahkan mengenali nada rintihannya.
Tak ayal lagi ia langsung menyerbu ke arah pertempuran. Hanya saja terlambat.
Kadut itu sudah ditangkap oleh Wilanda yang pinggangnya serasa patah Namun walau
begitu dalam jatuhnya, ia masih membiarkan dirinya lebih dulu. Wilanda tetap
memegang karung itu dengan sakit yang serentak menjalar ke arah perutnya.
Niriti berbalik menghadapi Jaghana yang melancarkan pukulan dan samping kiri.
Dewa Maut hanya menggeser kepalanya sedikit, lalu balas menyerang. Di luar
dugaan, Jaghana tidak berusaha menghindar. Malah langsung menyapu lawan dengan
keras. Jika mereka membiarkan diri, keduanya akan terkena pukulan lawan. Dewa
Maut mengegos ke samping. Tak urung ikat kepalanya tercongkel sedikit. Lepas,
dan rambutnya yang putih terurai ke depan. Jaghana menjambak rambut itu dan
menarik ke bawah sekuatnya, sementara kedua lututnya terayun ke atas. Gaya
membungkuk menyebabkan punggungnya terbuka. Namun seperti tidak peduli, Jaghana
terus merangsek lawan. Dewa Maut mengeluarkan seruan tertahan dan menahan benturan lutut dengan kedua
tangannya. Terdengar bunyi plak yang sangat keras.
Biarpun Dewa Maut sangat hebat tenaga dalamnya, tak urung terguncang pula. Biar
bagaimanapun, kekuatan kaki Jaghana lebih
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tangguh dari daya tahan tangannya. Tubuhnya terdorong ke belakang.
Segenggam rambutnya lepas. Belum berdiri lurus, Jaghana sudah memutar tubuhnya
dan bagai pusaran angin beliung langsung menggulung lawan.
Baru kini Upasara sadar bahwa Jaghana bukan sembarang jago. Tadi ia sudah
menyaksikan dan mengalami sendiri. Baru kini Upasara sadar bahwa tadi Jaghana
tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Kalau tadi ia diserang dengan cara seperti
ini, barangkali tubuhnya sudah terlipat bagai tali pelintiran.
Jaghana adalah tokoh yang mempunyai watak sabar, pikir Upasara.
Bahwa ia menjadi begitu geram dan menyerbu tanpa memikirkan keselamatan dirinya,
ini pasti ada yang menyebabkan. Tak mungkin orang yang begitu ramah, sabar, dan
suka tersenyum menjadi nekat tanpa sebab. Hanya saja Upasara tidak mengetahui
apa yang membuat Jaghana begitu bernafsu. Mungkin ia juga tetap tak tahu,
kalaupun mengetahui, bahwa isi kadut itu salah seorang dari Perguruan Awan.
Dasar-dasar yang kuat dari perguruan ini adalah rasa setia kawan sesama anggota
perguruan. Bahwa dasar ini berlaku di setiap perguruan, itu tak ada yang
membantah. Hanya pada Perguruan Awan, dasar ini memperoleh bentuknya, yang
kadang sangat ekstrem. Seperti diketahui, dalam perguruan ini tak ada perbedaan
antara murid yang satu dan yang lain. Soal ilmu dibagi rata, soal pemilikan tak
ada yang mempersoalkan. Ini barangkali bedanya dari perguruan lain. Di Perguruan
Awan tak ada tingkat yang berbeda. Tak ada yang dianggap senior atau yunior. Tak
ada murid ketua atau wakil atau yang biasa.
Bahkan Eyang Sepuh sendiri, yang dianggap ketua, mendapat perlakuan yang sama.
Mereka semua hidup di hutan secara bersama.
Eyang Sepuh pun harus menanam sayur atau mencari sendiri buah-buahan. Mereka
berlatih bersama dan belajar bersama.
Hal ini mudah diduga kenapa Wilanda mau mengorbankan dirinya ketika mengetahui
ada saudara seperguruan yang tersimpan dalam kadut. Walaupun itu sudah lewat
bertahun-tahun dan ia hidup sebagai prajurit utama di Keraton, perasaannya masih
sama. Tak ada yang lebih mulia daripada membantu sesama. begitulah kira-kira salah
satu ajaran dari Eyang Sepuh. Barangkali itu pula sebabnya perguruan ini tak
pernah memiliki apa-apa. Pondok secuil pun tidak.
Bahkan dalam bentuk yang juga berlebihan. mereka tak memerlukan pakaian penutup
tubuh - semuanya diberikan pada orang lain yang dianggap memerlukan.
Ajaran yang mendarah daging ini boleh dikatakan menjadi undang-undang tak
tertulis. Barang siapa merasa perlu memiliki sesuatu - apa pun, walau seikat
rumput - untuk kepentingan sendiri, ia tak diakui lagi sebagai anggota. Wilanda
dulu juga begitu. Karena merasa perlu untuk
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
memperdalam ilmu meringankan tubuh, ia perlu mencari guru di tempat lain. Ia
merasa dirinya tak pantas menjadi murid lagi, dan minta keluar dari hutan. Sejak
itu beberapa kali Wilanda ganti guru, menjajal kemampuan. Perjalanan hidup
mempertemukannya dengan Ngabehi Pandu yang tertarik pada tekad besarnya.
Sementara itu di tengah lapangan, Jaghana terus berputar menggulung. Sepertinya
ia akan membelitkan tubuhnya ke tubuh Dewa Maut dan mereka berdua bakal
terpelintir jadi satu. Dewa Maut terdesak menghadapi gempuran habis-habisan ini.
Sejak ia masuk daratan, belum pernah bertemu lawan| setangguh dan senekat ini.
Lagi pula ia baru saja menghadapi Wilanda yang dalam beberapa hal ilmunya
berbeda sekali dari Jaghana. Wilanda jauh lebih mengandalkan ilmu mengentengkan
tubuh. Berkelit ke sana. membelok kemari. Sementara Jaghana sama sekali
mengandalkan kekuatan menggempur. Sebagai seorang yang tergolong kelas satu, hal
ini sebenarnya bukan masalah utama. Hanya saja waktunya berurutan, dan lawan
yang dihadapi sekarang seperti tidak ingin memperpanjang waktu. Dalam jangka
pendek saja - tanpa peduli menang atau kalah. hidup atau mati.
"Hei, tahu diri dikit," teriak Tole yang masih duduk di tanah. "Kalau berputar
macam begitu kau bisa kentut. Dan aku tak suka."
Padmamuka menggelinding maju.
Wilanda masih merasa perutnya bagai ditusuk-tusuk. Jangan kata untuk bergerak,
untuk mengambil napas pun sakitnya tak tertahankan.
Akan tetapi melihat Tole maju, ia tak bisa menahan diri. Dengan mengempos tenaga
terakhir ia meloncat untuk mencegat gelundungan Padmamuka. Keduanya bertemu,
berbenturan, dan Wilanda terbanting.
Muntah darah. Upasara mencabut kerisnya. Dalam keadaan terluka Wilanda sekilas masih melihat
Upasara menghalangi gelundungan Padmanaba dengan, lagi-lagi, rangkaian jurus
Banteng Keraton. Dalam banyak hal, Upasara adalah seorang yang boleh dikatakan congkak.
Kesombongannya karena lingkungan yang memanjakan.
Namun sebagai seorang ksatria yang banyak menerima ajaran silat - dan biasanya
ajaran seperti ini tidak berdiri sendiri, selalu dengan sikap-sikap yang lain -
ia tak tega melihat Wilanda yang sudah muntah darah diserang. Pun kalau Wilanda
bukan orang dekatnya, Upasara bisa maju menolong.
"Anak kecil, kau tak usah ikut."
Padmanaba meraih pergelangan tangan Upasara dengan gaya meyakinkan. Yakin bahwa
dengan sekali gebrak ia bakal bisa merebut keris lawan. Perhitungan ini cukup
beralasan. Padmamuka bisa melihat sejak pertama tadi, bahwa di antara yang hadir
Upasara paling lemah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apalagi dandanannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pendekar. Pakaian
yang dikenakan terlalu bagus. Ikat kepalanya juga milik para pangeran yang biasa
digunakan dalam upacara besar, mewah. Kerisnya bertatahkan intan. Gelang kakinya
dibuat dari emas murni. Mana ada pendekar silat sempat berpakaian begitu necis"
Upasara sendiri memang sangat cerdik. Bahwa Ngabehi Pandu mau menerimanya
sebagai murid tunggal, pasti ada alasan kuat. Ngabehi Pandu melihat bahwa
Upasara mempunyai ketajaman yang luar biasa dalam membaca persoalan. Ajaran yang
diberikan Ngabehi tak pernah diulang. Sekali dengar bisa dipraktekkan dan
dikembangkannya. Menyadari dirinya sudah dibikin keok pada awal pertarungan tadi, Upasara
memanfaatkan ini. Ia sengaja menyerang dengan cara yang tidak terlalu rumit.
Jebakannya berhasil. Lawan mencengkeram tangan kanannya dalam usaha merampas
keris. Memang itu berhasil, akan tetapi yang tak diperhitungkan si wajah merah
adalah bahwa tangan kiri Upasara bisa mengambil oper keris itu dan langsung
menikam! Semua terjadi dalam satu gerakan tanpa putus. Ini merupakan rangkaian
jurus Banteng Terluka, di mana Ngabehi Pandu menciptakan dari serangan banteng.
Tanduk kiri atau kanan sama saja!
Kalau yang kiri tak bisa, yang kanan akan sampai juga.
Padmamuka tak menduga bahwa "anak kecil" yang berpakaian model bangsawan
pelesiran ini menguasai dengan baik perubahan secara mendadak. Cepat sekali ia
mengibaskan tangan Upasara dengan maksud agar tangan Upasara sendiri yang
menangkis kerisnya. Ini juga yang tak diduga olehnya. Tangan kanan Upasara
memang bisa dikibaskan semaunya akan tetapi justru ini untuk menyambut keris
dari tangan kiri dan sekaligus mengarah ke tengah dada. Harus diakui bahwa dalam
soal bertempur, Upasara tidak memperhitungkan apakah serangannya terlalu ganas
atau tidak. Pertimbangan semacam itu belum merasuk dalam dirinya. Kalau bisa
menyerang, ia akan menyerang sepenuhnya. Kalau bisa menusuk dada kenapa harus
dibelokkan ke arah lengan.
Ini karena Upasara masih berusia muda, di samping soal tenggang rasa, tak pernah
dirasa perlu diperhatikan. Ia tak biasa mengalah.
Bahkan untuk tunduk pada orang bin pun, rasanya ogah. Satu-satunya yang didengar
dan dipatuhi hanya Ngabehi Pandu. Selama Ngabehi Pandu tidak melarang, ia merasa
yang dilakukannya adalah benar.
Walau ilmunya lebih tinggi dan pengalamannya lebih kaya. saat ini Padmamuka tak
mempunyai kesempatan untuk lolos dengan mulus.
Sambil menggertak keras, ia paksa membuang tubuh sejauh mungkin.
Tak urung keris lawan menyerempet baju bagian atas serta memotong kain. Kulit
ari di dada teriris panjang ke bawah hingga paha! Kalau saja Upasara meloncat
sekali dan menancapkan kerisnya, Padmamuka bisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berubah nama menjadi Pandumuka, alias si muka pucat karena jadi mayat.
Upasara sebenarnya tidak bermurah hati. Ia tak menyangka sama sekali lawan masih
bisa lolos. Dalam perhitungannya kerisnya bakal amblas di dada lawan. Dasar
cerdik, Upasara mengeluarkan suara mengejek di hidung sambil membanting kerisnya
amblas ke tanah "Hari ini aku masih bermurah hati. Kutitipkan nyawa tak berguna itu dalam
dirimu. Hayo. masih bengong di situ" Kenapa tidak menghaturkan sembah dan lekas
angkat kaki dari sini?"
Padmamuka memang tak tahu bahwa sebenarnya Upasara tidak bisa memperdaya dalam
seketika. Keringat dingin mengucur dan wajahnya makin merah. Ia berjongkok.
Betul-betul menghaturkan sembah.
Kalau ada orang luar yang melihat kejadian ini pasti tak percaya pada apa yang
dilihatnya. "Saya mohon diri," kata Padmamuka sambil menggelinding pergi, dalam artian
sebenarnya karena tubuhnya memang bergulung menggelinding.
"Tole, aku mau tangkap mainan ini," seru Dewa Maut yang terus mendesak Jaghana.
"Pulang...." Sayup-sayup terdengar jawaban Padmamuka. Dalam sekejap saja
ternyata Padmamuka telah menggelinding jauh. Entah dengan cara bagaimana
tubuhnya bisa menghindar dari onak dan duri.
"Baik, Tole. Aku tak pernah bisa membantah permintaanmu." Lalu dengan
mengibaskan tangannya, Dewa Maut mendorong lawannya mundur. Ia sendiri meloncat
ke atas dan berlalu. Di tengah udara it sempat mengayunkan tangannya ke segala
penjuru. Upasara tak menduga apa-apa bila saja Ngabehi Pandu tidak bergerak sangat cepat
luar bisa. Tubuhnya berkelebat, kainnya dibuka. dan dengan kain itu ia menangkap


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang dilemparkan oleh Dewa Maut.
lalu mengembalikan ke arah lawan. Dewa Maut telah berlalu, dan yang menjadi
sasaran adalah pohon di kejauhan. Upasara melongok melihat perubahan yang
menakjubkan. Pohon itu seperti bergoyang. Dan daunnya yang dekat dengan tanah
melayu secara perlahan. "Iblis jahat, Tunggu..."
"Tahan," seru Ngabehi Pandu yang kini berdiri lurus, kakinya hanya mengenakan
celana sebatas lutut. Kainnya itu lalu dilemparnya jauh.
Upasara baru bermaksud mengambil kain pengganti di kudanya ketika menyadari
bahwa ketiga ekor kuda itu sudah lari menjauh. Berlari kencang sekali, dua di
antaranya menabrak pohon hingga tunggang langgang, mengeluarkan pekikan keras,
berkelojotan bangun, dan berlari terus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ngabehi Pandu berjalan mendekati Wilanda, memeriksa nadi dan pernapasannya. Lalu
mendekati orang yang berada dalam karung.
Memeriksa, sambil mengernyitkan alisnya hingga beradu. Setelah memencet beberapa
nadi, Ngabehi Pandu duduk bersila di tanah.
Menempelkan telapak tangan ke dada orang yang masih mengerang perlahan itu.
Erangan itu makin lama makin pelan.
Jaghana berlutut di sampingnya. Tenaganya seperti habis terkuras, dan ia sedang
melakukan semadi untuk memulihkannya.
Suasana kembali sunyi. Sepi. Hanya bunyi napas teratur. Upasara melihat bahwa
Wilanda masih terbaring pingsan. Ngabehi Pandu masih mengobati, dan Jaghana
belum sepenuhnya bisa menguasai pergolakan tenaganya, karena masih tersengal-
sengal. Kalau tadi terlambat beberapa saat saja, bukan tidak mungkin Jaghana
akan mengalami jalan hidup yang berbeda.
Upasara berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang tak diinginkan.
Sementara itu otaknya berpikir keras, merangkai kejadian yang baru saja terjadi.
Dewa Maut sambil meloncat pergi karena gusar, sempat melemparkan senjata
rahasia, yang bisa ditangkis oleh Ngabehi Pandu.
Tidak seluruhnya karena sebagian dari senjata rahasia itu mengenai kuda. Meski
masih muda, secara teori Upasara telah menguasai banyak hal. Ia tahu bahwa
senjata rahasia yang dilemparkan Dewa Maut mengandung bisa. Bukan sembarang
bisa, karena pohon pun bisa layu secara perlahan, dan kuda jadi gila tak karuan.
Lalu menabrak pohon dan nekat lari terus.
Samar-samar Upasara ingat bahwa pasangan Dewa Maut dengan Padmamuka adalah
pasangan yang memang maut. Kalau mereka berkelahi tak pernah meninggalkan lawan
tanpa membunuh! Itulah sebabnya gelar mereka Dewa Maut. Tak ada lawan yang
pernah bertempur dengan mereka pulang dengan selamat.
Mereka berdua terkenal sakti dan juga jahat. Dewa Maut memiliki senjata rahasia
yang diramu dari segala macam bisa ikan sungai.
Dengan ramuan khusus yang hanya diketahuinya sendiri, ia mengambil sari pati
sengat dan bisa segala hewan air. Bisa itu dimasukkan ke dalam tulang ikan.
Itulah yang tadi disambitkan ke arah lawan. Orang biasa yang terkena sengatan
seekor ikan saja bisa demam panas-dingin tiga hari tiga malam! Apalagi yang
sudah diramu. Apalagi yang memang dibuat sedemikian rupa untuk membunuh. Entah
berapa ratus, atau ribu, binatang air yang di-korbankan oleh Dewa Maut untuk
meramu senjata rahasia! Ini saja sudah pertanda betapa kejamnya mereka.
Dan kalau seekor kuda terkena menjadi gatal-gatal tak karuan, pohon perlahan
bisa layu, bisa dibayangkan bagaimana sakitnya jika mengenai manusia. Dan pasti
juga bukan satu atau dua senjata saja. Upasara
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
merinding. Korban yang kena itu adalah yang dicoba untuk disembuhkan Ngabehi
Pandu. Dan sekarang Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tak ditolong, Kisanak?"
Yang ditolong membuka mata tersenyum. "Tidak usah, Ngabehi.
Sudah terlambat. Untuk apa Ngabehi membuang tenaga percuma" Ini semua tak
mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami."
Suaranya bening. Jaghana menghela napas, membetulkan posisinya, dan duduk di dekat yang terluka.
"Jaghana, adikku..."
"Kakang, tenanglah. Saya akan..."
"Tak perlu. Aku memang tak tahan sakit. Ketika tadi Dewa Maut memaksakan duri
ikan ke dalam mulutku, aku tak tahan rasa sakitnya..
| Gatal luar biasa. Makanya kubuka semua jalan darah, dan kubiarkan semua racun
mengalir. Biar aku segera mati. Adikku, jangan sedih.
Kematian menjadi ada, bukan menjadi tidak ada."
Upasara tidak sepenuhnya mengerti kata-kata yang terakhir, tapi ia tak berani
mengusik. "Tak nyana, perguruan yang dibangun Eyang Sepuh puluhan tahun lenyap begitu
saja. Ah, kita belum sempat membantu orang lain. Kamu yang harus meneruskan,
Adik Jaghana." "Kakang..." "Dengar, adikku. Aku tak bisa bertahan lama. Tugas seluruh perguruan ini ada
padamu. Sampai Eyang Sepuh bisa ditemukan kembali Usahanya tak boleh berhenti.
"Eyang Sepuh sangat luhur dan agung jiwanya. Bukankah Wilanda saja masih mau
menolong sesama dan berani mengorbankan dirinya" Ia harus tetap kita akui
sebagai saudara sendiri. Kita tak harus memanggilnya dengan sebutan kisanak. Ah,
sebenarnya aku ingin menunggu ia siuman dan mengatakan ini. Akan tetapi aku
kuatir tak bisa bertahan lama.
"Adikku..." Kalimat itu terhenti oleh batuk-batuk keras.
Upasara berlutut di samping, lalu menggeser duduknya. Tanpa sengaja ia memangku kepala yang terluka.
"Anak muda yang mempunyai masa depan hebat. Banyak ksatria yang akan menolong
orang yang memerlukan. Yah, Eyang-andai masih ada. akan merasa bahagia sekali.
Sayang, kita tak tahu di mana Eyang...
sayang, banyak yang jahat dan juga sakti. Aku dibokong, dipaksa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengaku di mana Tamu dari Seberang. Padahal kita semua tak tahu tamu yang
mana... Tak kusangka sama sekali, dua tokoh kenamaan dalam dunia persilatan
begitu curang. Eyang Sepuh mengatakan bahwa menolong orang lain, bahwa berbuat
baik, adalah suatu kebajikan.
Sesuatu yang harus dilakukan dengan rela. Bukan karena terpaksa oleh suatu
ajaran. Sesuatu yang biasa. Tetapi justru yang dilakukan Eyang menjadi sesuatu
yang istimewa- Istimewa kalau dibandingkan dengan perbuatan curang dan keji.
Ah..." Suaranya seperti menahan kesakitan yang lebih dalam dari sekadar mengamuknya
racun dalam tubuh. Suaranya mengaduh keperihan.
Upasara melihat orang yang dipangkunya nampak mengerahkan sisa tenaga yang
terakhir. "Aku harus mengatakan ini semua, adikku. Ketika tadi Dewa Maut datang bersama
Padmamuka, mereka menanyakan Eyang. Sambil membawa bingkisan persembahan.
Katanya untuk menjamu Tamu dari Seberang. Aku mengatakan apa adanya bahwa Eyang
Sepuh tak ada di tempat, bahwa kita tak mempunyai Tamu dari Seberang. Aku
disergap serentak, dan sebelum sadar mereka telah bisa melumpuhkanku. Dan
mengatakan kalau aku tak mengatakan di mana Eyang dan di mana Tamu dari
Seberang, aku akan diracuni. Kalaupun tahu, aku tak mau membuka mulut. Tapi Dewa
Maut memaksa aku membuka mulut dan menyambitkan senjata rahasianya. Kemudian aku
dimasukkan ke dalam karung kulit kayu. Mereka berdua ingin mempraktekkan ilmu
Pasangan Ikan dengan Keong pada tubuh mereka. Lalu mereka mendengar suara
pertempuran kalian dan aku dibawa kemari.
"Adikku, jangan berpikir tentang balas dendam.
"Aku kalah dan mati karena kesalahanku.
"Yang harus dilakukan adalah mencari Eyang dan meneruskan ajarannya. Itu
permintaanku. Dan aku akan mati dengan tenang.
"Ngabehi Pandu..."
Ngabehi Pandu menoleh dengan wajah dingin. Tetap dingin.
"Terima kasih atas budi baik Ngabehi. Anak muda, kau mempunyai ilmu yang hebat
di usiamu yang masih muda. Mudah-mudahan..."
Suara batuknya menghentikan kata-katanya.
Terhenti untuk selamanya.
Ngabehi Pandu menghela napas. Jaghana memberi hormat dengan dalam. Lalu perlahan
menutup mata saudara seperguruannya, sambil berbisik di telinga. Dan rasanya air
sungai pun berhenti mengalir.
Hanya helaan napas yang berat.
Selebihnya sepi. Sepi yang diam membeku.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Angin kembali bertiup seperti sediakala.
Seperti tak ada yang berubah. Seperti tak ada yang terjadi. Semua kembali ke
keadaan yang tenang, damai. Suatu perkampungan-yang tak bisa dinamai kampung
karena tak ada rumah satu pun-dilingkari pohon-pohon tinggi, rumput yang lebih
tinggi dari lutut. Upasara tak menemukan perubahan. Juga tidak dengan adanya kuburan seorang
anggota Nirada. Karena sesuai dengan kepercayaan Perguruan Awan, mereka yang
meninggal dikubur tanpa nisan tanda pengenal. Bahkan tanah di atasnya diratakan
seperti semula. Rumput dan ilalang yang tercongkel dikembalikan seperti keadaan
aslinya. Suasana memang seperti sebelumnya.
Hanya manusianya yang berbeda. Wilanda masih jauh dari pulih. Ia masih mengerang
perlahan. Racun dari bisa ikan sungai yang dilepaskan oleh Dewa Maut tetap
menyiksanya. Ngabehi Pandu berusaha menghentikan menjalarnya rasa sakit. Tapi ia
sendiri bukan tabib. Sementara Jaghana menunggui di sebelahnya.
Selebihnya sunyi yang sama.
Ini pertama kalinya Upasara turun ke lapangan. Sebelumnya ia tak pernah
meninggalkan dinding Keraton. Sebagai pemuda yang lagi mekar-mekarnya, rasa
hausnya memang tak bisa dibendung. Segala apa ingin ditenggak - kalau bisa
sekaligus. Pengalaman ini sudah lama ditunggu-tunggu. Sejak masih bocah, Upasara
tertarik mempelajari ilmu silat. Tak ada yang lebih menyita perhatiannya selain
ilmu silat. Pada usia belum ada sewindu, belum ada delapan tahun. Upasara mampu
tapa pati geni. Bertapa hidup tanpa api.
Berada di tempat gelap selama empat puluh hari empat puluh malam.
Boleh dikata setiap harinya dilalui dengan berbagai macam pantangan.
Gemblengan dari Ngabehi Pandu yang dilakukan dengan keras dan secara maraton,
membuatnya sebagai ksatria yang boleh dibilang komplet. Sejak usia dua belas
tahun Upasara hanya keluar dari tempat latihannya setahun sekali. Untuk menjajal
ilmunya. Dengan para prajurit yang lain. Baik satu lawan satu, ataupun
dikeroyok. Dengan lawan perwira yang biasa-biasa, sampai dengan yang pilihan.
Dan setiap 33 hari sekali, Ngabehi Pandu menemuinya untuk menurunkan ilmunya.
Memberikan pelajaran satu-dua jurus baru. Selebihnya mengulang yang lama.
Meskipun boleh dibilang gila silat, Upasara jemu sekali. Itu sebabnya tanpa
membantah ia mengatakan sanggup. Apalagi dikawal langsung oleh Ngabehi Pandu,
Dan Wilanda - satu-satunya perwira Keraton yang mengenal Perguruan Nirada. Upasara
boleh dibilang tak menemukan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
lawan yang setanding di Keraton. Akan tetapi begitu terjun ke gelanggang, ia
menyadari bahwa apa yang dimiliki selama ini masih tingkat awal sekali. Boleh
dikatakan, sekali pun ia belum pernah menang. Malah boleh dikata kalah. Beberapa
kali, malahan ditolong oleh gurunya sendiri untuk menyelamatkan nyawa.
Sebenarnya Upasara tak perlu menggetuni dirinya sendiri. Boleh dikatakan lawan
yang ditemui adalah jagoan kelas tinggi. Dewa Maut dengan Padmamuka misalnya,
adalah jagoan yang tersohor. Bukan nama sembarangan. Apalagi kini sekali masuk,
ia berada di Perguruan Awan yang mempunyai pengaruh begitu luas.
Namun, mudah diduga, Upasara tidak merasa puas.
Justru sebaliknya sangat mendongkol. Darahnya serasa masih berdesir panas.
Makanya, ketika yang lainnya mempergunakan kesempatan untuk beristirahat dan
bersemadi, Upasara melihat sekeliling.
Menemukan kudanya yang mati kaku. Lagi-lagi korban racun Dewa Maut. Kalau
beberapa saat lalu disaksikannya sendiri kuda itu lari pontang-panting menabrak
cabang dan ranting tanpa peduli, kini sudah mati kering. Mata kuda itu
membelalak, badannya kaku kejang. Dari bibirnya seperti keluar ringkik yang tak
selesai. Dan tak ada air liur meleleh - itulah sebabnya Upasara menyebut sebagai
mati kering. Berjalan beberapa tindak lagi, tiba-tiba Upasara mendengar suara-suara. Dengan
sigap ia meloncat ke atas pohon untuk mengawasi keadaan sekitar. Tak begitu
sulit memanjat pohon sampai ke ujung tanpa menimbulkan suara.
Hanya saja, begitu sampai di ujung Upasara terperanjat sekali. Ia tak pernah
menduga bahwa di bagian lain dari tempatnya bertempur, kini sedang terjadi
sesuatu yang lebih besar. Bagaimana mungkin ia bisa tak mengetahui"
Memang apa yang dilihat Upasara cukup membuat heran.
Di sebuah lapangan yang rada luas, tapi masih tetap dikelilingi pohon tinggi,
berdiri sepuluh perwira Keraton. Dalam keadaan siap siaga dengan tombak dan
tameng. Agak jauh di belakang mereka ada seorang pemimpin yang naik kuda. Kuda
hitam mulus. Sekelebatan, Upasara bisa mengenalinya sebagai Senopati Suro,
Kepala pasukan Keraton. Mana mungkin bisa sampai kemari lebih dulu, pikir Upasara. Rasanya, Ngabehi
Pandu memberitahukan bahwa ini tugas rahasia dari Keraton.
Boleh dikata tak ada yang tahu. Tapi nyatanya, jelas omong kosong, Karena
Senopati Suro sudah mengerahkan sepuluh pengawalnya yang terbaik. Agak di
belakang ada sebuah tandu tertutup. Upasara tidak bisa memastikan siapa yang ada
di dalamnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi ini pasti hebat. Ia sendiri berkuda siang-malam. Boleh dikatakan tanpa
berhenti untuk makan atau mandi. Eh, toh ada rombongan lain yang juga dari
Keraton serta memakai tandu. Apa bukan luar biasa"
"Kami datang dengan baik-baik. Tetapi kalau tuan rumah tak mau menyambut, jangan
salahkan kami yang berlaku kurang ajar," Senopati Suro menyepit perut kuda
hitamnya. Yang seperti busur panah melesat ke depan.
Baru kini Upasara bisa melihat jelas. Ternyata di lapangan itu ada beberapa
kelompok. Selain pasukan Senopati Suro juga ada tiga kelompok lain. Salah satu
kelompok berjalan dengan seenaknya maju ke tengah.
"Aha, kalau negara sudah ikut campur, urusan ini bakalan ramai.
Ramai sekali. Tetapi untuk apa berkaok-kaok seperti itu. Semut bisa takut lihat
kuda gagah, tetapi manusia bukanlah semut. Tak bisa ditakuti seperti anak kecil.
Hai, penunggang kuda yang gagah, apa maksudmu berteriak seperti itu?",
Upasara melengak. Benar-benar aneh dunia silat ini. Kalau di Keraton segalanya
serba teratur, serba penuh tata krama, tapi kayaknya di sini tak ada aturan apa-
apa. Boleh main tegur sekenanya.
Siapa kira seorang yang setengah baya, berpakaian penduduk biasa, berani
menggertak seorang senopati"
"Maaf, kami tak ada urusan dengan kalian. Kami ingin bertemu tuan rumah."
"Astaga, sebagai sesama tetamu kenapa mesti berbuat kasar" Kami juga tetamu yang
justru datang lebih dulu. Kenapa yang datang belakangan minta dilayani lebih
dulu" Apa karena ia senopati Keraton sehingga bisa dan boleh berbuat semaunya"
"Aku tak bisa melihat cara-cara seperti ini. Kalian harus antre dengan baik."
Dua prajurit yang di depan bereaksi. Akan tetapi Senopati Suro memberi tanda
untuk bersikap tenang. "Saya datang kemari ngemban dawuh, mengemban sabda raja, tidak ada waktu untuk
bermain-main. Maaf, bisa kita lanjutkan pada kesempatan yang lain.
"Kami bukan tak kenal dengan Tiga Pengelana Gunung Semeru yang terhormat. Kami
bukan tak gatal untuk menjajal nama besar, akan tetapi sekarang bukan saatnya."
Lelaki yang disebut sebagai anggota Tiga Pengelana Gunung Semeru tertawa lebar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa minta dilayani" Siapa minta bermain" Saya hanya bilang kalau mau bertemu
dengan tuan rumah, harap pakai aturan yang benar. Kita datang lebih dulu. Bukan
begitu?" Pertanyaannya entah ditujukan kepada siapa. Karena tak ada yang menjawab dan tak
ada yang bereaksi. Di atas pohon, Upasara merasa bergirang hati. Ia mengetahui dari Wilanda tentang
tokoh-tokoh dunia silat. Tiga Pengelana Gunung Semeru termasuk yang disegani.
Terutama jika ketiganya maju secara bersamaan membentuk Barisan Trisula. Mereka
ini terdiri atas tiga orang yang selalu pergi bersama-sama. Malah menurut
beberapa sumber ketiganya masih saudara kandung. Nama mereka tak terlalu sulit,
karena merupakan urutan persaudaraan. Yaitu Kakang Mbarep -
si sulung, Panengah - yang kedua, serta Wuragil - yang paling berangasan sifatnya.
Namun seperti pendekar yang lain, selama ini meskipun namanya pengelana, mereka
sudah sejak lima tahun terakhir tak ada kabar beritanya. Karena memusatkan diri
di Gunung Semeru. Boleh dikatakan, meskipun ketiganya termasuk jagoan, akan tetapi karena lebih


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak berkutat dengan diri sendiri, pengaruhnya tak begitu terasa. Bahkan dalam
kurun waktu terakhir ini boleh dikata tak ada yang membicarakan lagi.
Tetapi bagi Upasara lain soalnya. Ia sedang kesengsem untuk bermain silat.
Apalagi dari Ngabehi Pandu ia pernah mendengar tentang Barisan Trisula yang
termasuk disegani. Makanya ia ingin agar terjadi bentrokan segera dengan
Senopati Suro. Namun yang terakhir ini nampaknya masih bisa menahan diri.
"Kalau yang tua tak tahu aturan, kapan lagi bisa mati dengan tenang?"
Ini baru kejutan. Kalau yang mengatakan itu seorang jago masih masuk akal. Tapi
sekali ini semua yang hadir dibuat melengak. Karena yang mengatakan adalah
seorang bocah yang masih bau ingus. Benar-benar bau ingus, karena di bagian
bawah hidung nampak kotoran.
Pakaiannya kelewat dekil. Kalau tidak betul-betul diperhatikan, agak susah
membedakan dia lelaki atau perempuan. Hanya kain kembennya yang menutup sebagian
dada yang memperlihatkan ciri-ciri kewanitaannya.
"Oho, ada kuntilanak mana membiarkan anaknya keluyuran seperti ini?" Suara
Wuragil belum selesai, ketika si gadis kecil mengayunkan tangannya. Lembut,
indah, bagai seorang sedang menari. Hanya saja Wuragil cepat menghindar dan
balik menyerang. Semua yang hadir rada bercekat. Bukan karena apa, tapi karena
Wuragil ternyata sangat telengas. Sekali gebrak tangannya mencowel bagian dada.
Ini jelas kurang ajar. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Walaupun tak ada aturan tertulis, semua pendekar atau jago silat tak begitu
mudah mengumbar serangan yang menjijikkan. Boleh dikatakan tak bakal menyerang
bagian yang melanggar kesusilaan. Maka termasuk aneh kalau Tiga Pengelana Gunung
Semeru, yang selama ini punya nama baik, bisa melakukan hal yang rendah.
Tapi si gadis cilik ternyata juga bukan sembarangan, Tangan kirinya menangkis
dengan keras. "Sudah tua masih jorok. Sungguh, mati tak pantas, hidup pun tak pantas."
Wuragil sengaja tidak menarik tangannya.
Plak. Plak. Sekali dua tangan saling beradu. Plak kedua sungguh mengherankan.
Pipi Wuragil kena ditampar! Tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang jagoan
bisa kena gampar dalam sekali gebrak" Mana lagi lawannya anak kecil" Dalam satu
gebrak di depan banyak tokoh kelas satu.
Cuh. Kali ini benar-benar sial bagi Wuragil. Sudah kena gampar masih diludahi lagi.
Yang kedua juga tak sempat menghindar. Sehingga baju atasnya jadi basah.
"Aha, harum kan baunya?"
Ledekan ini juga lebih menyakitkan. Kakang Mbarep dan Panengah yang sejak tadi
berdiam diri mengawasi, langsung meloncat maju dan memasang kuda-kuda. Barisan
Trisula. Namun jelas, mereka sendiri jadi kagok. Biar bagaimanapun agak repot
kalau ketiganya harus mengeroyok seorang anak kecil. Menyerang jadi malu,
bertahan bisa terus-menerus diperolok.
"Ayo, aku mau jajal barisan kalian. Trisula yang kalian banggakan itu macam
mana. Apa cukup untuk menggaruk punggung atau tidak. Kalau ternyata tidak bisa,
kalian harus turun dari Gunung Semeru. Mengotori tempat. Gunakan barisan kalian
untuk meluku sawah. "Ayo, jangan sampai aku menampar kalian satu per satu.
"Hebat dan panas kalimat si gadis cilik. Dilihat dari usianya, baru sekitar
sepuluh tahun. Sebanyak apa pun pengalamannya, pastilah tetap luar biasa bisa
mengenali Tiga Pengelana. Apalagi mengenali Barisan Trisula. Dan sekaligus
meledek sebagai barisan untuk menggaruk punggung atau meluku sawah. Memang pada
zaman itu ada alat yang digunakan untuk menggaruk punggung yang gatal. Biasanya
digunakan oleh para bangsawan. Dibuat dari tanduk. Ujungnya bergigi
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
seperti sisir. Maka cukup keterlaluan mengumpamakan dengan alat penggaruk
punggung. Sama tidak lucunya dengan mengumpamakan sebagai luku - alat untuk
membalik tanah seperti bajak.
Kalau Upasara terheran-heran, jago yang lain yang lebih jeli bisa melihat bahwa
si gadis cilik kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Biar bagaimana seusia itu
tenaga dalamnya belum bisa menandingi Wuragil.
Bahwa tadi berani bentrok tangan itu soal lain. Soal keberanian semata.
Bahwa si gadis cilik tidak mengaduh atau memperlihatkan rasa nyeri, itu juga
karena bandel saja. Dan soal tamparan di pipi, karena Wuragil sama sekali tak
memperhitungkan bahwa setelah bentrok tangan, si gadis cilik ingusan masih
meneruskan serangannya. Kini kalau terjadi duel benaran, bisa-bisa si gadis
cilik jadi sungsang-sumbel. Tapi dasar si gadis cilik masih belum tahu tingginya
langit dalamnya lautan, ia menantang dengan tenang saja.
Melihat yang ditantang berdiam diri, si gadis cilik tertawa bercekakakan.
"Kalau cuma tiga orang gunung yang kepandaiannya sebegini, buat apa mencari tuan
rumah" Eyang Sepuh tak perlu menemui sendiri.
Dengan modal dengkul begini, bagaimana bisa menyambut Tamu dari Seberang" Lebih
baik kalian cepat pulang kampung di gunung bertanam jagung."
Wuragil tak bisa menahan diri. Pertama kali karena disinggung modal dengkul. Ini
sindiran yang mengena. Memang Barisan Trisula mengandalkan daya tahan dan daya
serang bagian kaki. Jadi boleh dikata memang bermodalkan dengkul alias lutut.
Tapi dari caranya menyebutkan, si gadis cilik bisa memojokkan. Kedua, secara
langsung si gadis cilik ini sudah menyebut nama Eyang Sepuh. Bahkan dengan suara
sama entengnya meneriakkan Tamu dari Seberang.
"Adik Cilik, maafkan...." Suara Kakang Mbarep atau Pembarep masih terdengar
menggambarkan kesabaran. "Kami memang kurang pantas dan berlaku kurang ajar pada
adik cilik. Kami ingin sowan Eyang Sepuh, adakah beliau bersedia menerima kami?"
"Adik Cilik, Adik Cilik! Memangnya aku tak punya nama?"
"Maafkan, siapa nama Adik Cilik?"
"Jagattri namaku. Nah, panggil yang baik."
"Baik, Jagattri...."
"Enak saja memanggil seperti itu. Memangnya aku sudah setua kalian semua.
Panggil aku Gendhuk Tri."
"Gendhuk Tri...," suaranya tetap kalem. Bahkan terdengar akrab.
Sebutan gendhuk, anak perempuan kecil, adalah sebutan yang akrab.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baik. Apa yang akan kautanyakan, Pembarep" Kau sudah mau mengubah cara
memanggilmu. Aku akan menjawab dengan jujur. Tadi kautanyakan apakah Eyang Sepuh
bersedia menerima kalian atau tidak.
Bagaimana kalau jawabannya mau?"
"Kami akan sowan?"
"Kalau dikatakan tidak mau?"
"Kami akan segera angkat kaki dari sini."
"Tak percuma kalian mendapat gelar yang bagus. Ternyata masih ada yang berharga
dari manusia gunung ini. Aku akan menjawab dengan jujur. Eyang Sepuh tak bisa
menerima kalian semua. Juga tak bisa menerima siapa pun. Silakan angkat kaki
seperti janji kalian."
"Anak ingusan, kau tahu apa tentang Eyang Sepuh" Siapa sudi mendengarkan
omonganmu yang tak becus?"
"Wuragil ini mestinya tak usah dilahirkan di dunia, Untuk apa kalau cuma
Mengotori Gunung Semeru?"
Wuragil mengangkat tangannya, Pembarep menggelengkan kepalanya.
Dalam gusarnya Wuragil membuang tenaga ke samping. Pohon di mana Upasara
berlindung jadi bergoyang-goyang keras. Daunnya rontok.
Terpaksa Upasara melorot turun.
"Sejak kapan Eyang Sepuh tak menerima tetamu?"
"Tak ada yang memastikan. Tetapi memang agak lama."
"Apakah Eyang Sepuh pergi bersama dengan Tamu dari Seberang?"
"Siapa yang tahu" Siapa tahu Eyang Sepuh pergi bersama Tamu dari Seberang atau
tidak" Siapa tahu Tamu dari Seberang itu bakal datang atau tidak" Kenapa kalian
semua mempersoalkan ini" Apa istimewanya Tamu dari Seberang sehingga kalian
semua berbondong-bondong datang ke tempat sunyi ini" Kukira tadinya kalian para
ksatria dan pendekar ternama. Tak tahunya seperti anak-anak yang mudah
dibohongi. Percuma nama besar kalian semua."
Baru saja Gendhuk Tri menutup mulutnya, terdengar ringkik kuda tinggi. Senopati
Suro melayang dan sekali gebrak ia mencoba meringkus tubuh si gadis kecil. Jarak
antara Senopati Suro dan Gendhuk Tri cukup lumayan jauhnya. Tak bisa dijangkau
dengan satu loncatan. Tetapi Senopati Suro meminjam tenaga kuda hitam. Dengan sendirinya cukup untuk
menjambret Gendhuk Tri. Apalagi caranya ialah dengan meluncurkan badan seolah
tiduran. Dan sekali cengkeram, akan sulitlah untuk dilepaskan. Kalaupun
menangkis, ia pasti sudah akan terlibat dalam pertempuran jarak pendek, karena
Senopati Suro sudah berada di depannya. Kalau menghindar juga menghadapi hal
yang sama. Karena begitu Senopati Suro bergerak, Senopati Joyo, Senopati Lebur,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sudah mengurung. Sementara Senopati Pangastuti sudah bersiaga untuk maju ke
tempat mana memerlukan bantuan.
Tiga Pengelana Gunung Semeru mengeluarkan seruan tertahan.
Mereka boleh dibilang jago dalam soal baris-berbaris, dalam serangan bersama.
Akan tetapi melihat kesigapan dan kecepatan bergerak, rasanya para perwira
Keraton Singasari ini tak akan kalah gesit. Padahal kalau dilihat dari awal
tadi, seperti tak ada persiapan khusus. Bahkan sepertinya, Senopati Surolah yang
menjadi pemimpin utama, sementara yang lain seperti prajurit biasa. Namun dalam
seketika, si pemimpin atau yang dipimpin menjadi satu.
Kalau Gendhuk Tri mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi, rasanya masih sulit
melepaskan cengkeraman. Dalam sekejap terjadi beberapa perubahan besar.
Gendhuk Tri dengan cara yang aneh meloloskan diri. Cara yang disebut aneh,
karena Gendhuk Tri secara tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke tanah, bergulung
seperti bayi masih dalam kandungan. Tubuhnya memang termasuk ukuran pendek,
apalagi menjatuhkan diri secara seketika. Bukan dengan merendahkan diri atau
duduk, tetapi benar-benar berbaring. Mana ada jurus menghindar model begini"
Serentak dengan gerakan itu tadi, sesosok tubuh menyerbu ke tengah, Mudah
diperhatikan karena sosok itu tinggi, besar, dan semua pakaiannya berwarna
hitam. Dengan gerakan kaku, tapi gerakan tubuhnya memperlihatkan kekuatan, ia
langsung menggempur ke arah Senopati Suro, Senopati Joyo langsung menyambut dari
kiri. Di tangannya ada kelewang pendek sementara Senopati Lebur mengayunkan
gadanya. Seakan benar-benar ingin menggebuk hancur.
Tak dinyana, lelaki berpakaian hitam itu tak berusaha menghindar, tak menangkis.
Ia maju begitu saja. Karena memang tak bermaksud membunuh, Senopati Joyo
mengurangi tenaganya. Ia hanya ingin sekadar melukai kulit saja. Dan Senopati
Lebur juga mengalihkan ayunan gadanya.
Di tempat persembunyiannya Upasara terpekik. Sebagai orang Keraton, Upasara
paham betul kelebihan masing-masing perwira.
Dengan senjata andalannya, Senopati Joyo memang termasuk luar biasa. Makanya,
walaupun bukan sampai mati ngenas, luka yang diakibatkannya takkan bisa dianggap
enteng. Tapi ajaib. Ketika kelewang itu menyentuh bagian lengan, seperti
menumbuk besi. Keras. Senopati Joyo kaget. Tapi terlambat. Lelaki berpakaian hitam itu sudah nyelonong
ke depan, langsung mengangkat Gendhuk Tri, mengempit di pinggang kanan, dan
berlalu. Baru kini Upasara bisa memperhatikan dengan saksama. Lelaki itu berwajah keras.
Seluruh wajahnya hampir ditutupi dengan rambut. Ikat kepalanya pun seperti
tertutup rambut. Hingga kepalanya nampak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
aneh. Sorot matanya tajam dan keras. Tidak menunjukkan wajah bersahabat.
"Mau ke mana, Pu'un Tua?" Tiba-tiba terdengar seruan halus.
Seorang nenek yang seluruh rambutnya berwarna putih, berdiri genit menghalang.
Sikapnya sangat bertentangan dengan usianya. Nenek tua berambut putih ini tidak
membawa senjata apa-apa. Hanya selendang warna-warni yang nampak aneh sekali.
Aneh karena tidak cocok dengan usianya,
Kini Upasara tahu bahwa mereka yang datang ke Perguruan Awan terdiri atas
berbagai golongan. Golongan pertama adalah utusan dan Keraton Singasari, yang
dipimpin orang yang masih berada dalam tandu. Dilihat dari kelengkapan senopati
yang mengawal, ini utusan resmi yang cukup besar. Cukup untuk memadamkan suatu
pemberontakan atau seperti biasanya utusan yang dikirim ke negeri seberang.
Kelompok lain adalah Tiga Pengelana Gunung Semeru yang pada pemunculan pertama
kena dipecundangi oleh Gendhuk Tri.
Tapi siapa Gendhuk Tri"
Upasara tak bisa menebak. Ia hanya bisa mengerti bahwa tadi si gadis kecil
menyebut dirinya sebagai Jagattri. Artinya dunia tiga. Dalam pengertian umum,
jagat atau dunia ini dibagi tiga. Jagat atas yaitu surga, jagat tengah atau
jagat kedua yaitu bumi. Dan jagat ketiga, disebut jagat bawah tanah. Pembagian
ini bukan pembagian yang lazim.
Meskipun ada kelompok yang membagi secara demikian. Hanya saja Upasara tidak
tahu persis kelompok mana. Kalau dari kelompok yang terkenal rasanya tak mungkin
Ngabehi Pandu tidak memberitahu. Juga nenek yang berambut putih yang mempunyai
hubungan langsung dengan Gendhuk Tri sekarang ini. Kalau tokoh sedemikian aneh,
pastilah Ngabehi Pandu sudah menceritakannya. Taruh kau nenek berambut putih ini
sudah lama tak muncul dalam dunia persilatan, itu pun bukan berarti tak
diceritakan. Upasara jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah ada sesuatu yang
ditutup-tutupi oleh gurunya"
Kelompok berikut adalah lelaki berpakaian serbahitam. Tak bisa disebut kelompok
karena ia datang sendirian. Dari nenek berambut putih, Upasara bisa mengenali
dari caranya memanggil sebagai pu'un.
Semacam dukun atau kepala suatu kelompok di daerah jauh sebelah barat. Ini cocok
dengan kemahiran dan kelebihannya dalam ilmu kebal.
Pu'un di tanah barat Sana, sangat terkenal menguasai ilmu kebal.
Mereka memiliki jenis ilmu tersendiri yang dikembangkan secara mendalam. Menurut
penuturan Ngabehi Pandu, di tanah Jawa bagian barat dekat pantai, berkembang
suatu aliran silat yang agak berbeda.
Gerakan lebih banyak, tetapi sebenarnya hanya terbatas dalam variasi-variasi
saja. Gerak dasarnya tak jauh berbeda. Malah boleh dibilang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
hanya terdiri atas gerak-gerak dasar. Akan tetapi ilmu kebalnya sulit
ditandingi. Dan rata-rata mereka ini agak susah diajak bicara ngalor-ngidul,
diajak bicara banyak. Apa yang mereka inginkan dengan serta-merta didapatkan.
Tanpa banyak cincong. Cara hidup mereka juga sedikit aneh. Selalu bergerombol,
boleh dikata tak pernah berhubungan dengan dunia luar. Hanya beberapa saja yang
berhubungan dengan kalangan istana. Lebih dari itu: mereka jalan kaki, selalu
makan buah-buahan hutan. Sebenarnya, kalau dicari kemiripannya, agak dekat
dengan yang ada di Perguruan Awan ini. Hanya saja, sejak dulu tidak pernah ada
hubungan antara kedua kelompok ini. Justru karena sifatnya yang sama: tidak mau
menggubris kelompok lain. Maka cukup mengherankan juga seorang pu'un sampai
datang ke Perguruan Awan ini. Kalau pu'un ini selalu berjalan kaki, pastilah
lebih dari satu bulan. Kalau benar demikian, berarti berita tentang Tamu dari Seberang sudah jauh lebih
dulu terdengar oleh tokoh-tokoh dari daerah barat.
Semua pikiran ini dengan serentak berkembang lagi dalam diri Upasara. Ia tidak
mengerti bahwa urusannya bisa begini ruwet. Ketika empat hari yang lalu Ngabehi
Pandu memanggilnya, Upasara tak bermimpi bakal mengalami hal seperti ini.
"Ada tugas penting dari Keraton," kata Ngabehi Pandu. "Aku ingin membawamu.
Bersama dengan Wilanda. Jangan bicarakan dengan siapa-siapa. Kita berangkat
sekarang." "Tugas apa kiranya, Paman?"
"Menemui seseorang di Nirada Manggala untuk menanyakan kedatangan seseorang. Aku
ajak kamu supaya kamu tahu bahwa untuk hidup ini ada yang menghidupi. Dan inilah
balas budi kita kepada Keraton. Wilanda kuajak karena ia mengenal daerah itu
dengan baik, dan ia punya hubungan dengan mereka."
Itu saja. Dan sekarang ini, ternyata semua harimau dan ular bermunculan di tempat yang
sepi. Dengan tujuan yang sama: mencari tahu mengenai Tamu dari Seberang yang
diperkirakan bakal menemui Eyang Sepuh!
Betapa penting Tamu dari Seberang ini bisa ditunjukkan dengan adanya mereka yang
sekarang berkumpul. Bukan hanya dari jago silat kelas satu, tetapi juga
menyangkut utusan resmi dari Keraton. Bahkan tidak hanya satu rombongan.
Maka bisa dimengerti kalau tumpahan kedongkolan dan harapan tersisa pada diri
Gendhuk Tri yang pertama kali mengumbar suara mengenai Tamu dari Seberang. Ia
pula bisa mengatakan bahwa Eyang Sepuh tak ada di tempat. Mudah ditebak bahwa
semua ingin mendengar keterangan lebih jauh mengenai ini semua dan si gadis
cilik. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Huh," Pu'un Tua berseru keras. Ia terus berjalan. Nenek tua berambut putih


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencegat dari samping. Kedua kakinya digeser ke samping, kedua tangannya
tertekuk, tubuh meliuk. Selendang warna-warninya mengibas. Sungguh suatu gerakan
yang indah dipandang mata. Gerakan seorang penari yang menguasai gerakan tubuh
secara sempurna. Gerakan seperti menulis halus. Tangan kanan maju ke depan,
jari-jari yang lentik - di usia tua masih terlihat kelentikan jari itu-seperti mau
membetulkan sesuatu yang berlepotan di mulut anak kecil.
Kalau Upasara mengira itu gerakan sebuah tarian, ia tak keliru.
Sesungguhnyalah itu tari Jawa. Jenis tari yang menggambarkan seorang ibu atau
seorang kakak sedang menghibur bayi. Dengan cara menyuapi, memandikan, dan
menyanyikannya. Dan memang nenek berambut putih itu seperti rengeng-rengeng,
seperti bersenandung antara terdengar dan tidak.
Ada hari ada nyanyi Kenapa harus bersedih hati
Waktu bayi temanmu adalah bidadari....
Seirama alunan antara terdengar dan tidak, serangan nenek berambut putih
berlanjut. Gerak halus dari menyerang bibir, berubah mengelus telinga, dan dalam
detik yang bersamaan ganti ke arah mata.
Mungkin dalam gerakan yang sebenarnya sama dengan membersihkan tahi mata. Tapi
ditambah dengan tenaga dalam, tulang pun bisa patah karenanya. Tengkorak pun
bakal amblas. Pu'un yang terkenal dan baru saja memamerkan ilmu kebal, ternyata tak berani
memandang enteng. Dengan satu tangan tetap mengempit si gadis cilik, satu tangan
lain menyerang. Dengan jari-jari terbuka, bergerak bagai cakar macan. Bret,
bret. Ujung selendang kena dicengkeram keras.
"Kena!" seru Pu'un bergirang hati.
Di luar dugaannya ketika mencengkeram tadi satu bagian selendang yang lain
mengembang di depan wajahnya. Menutupi pandangannya, Padahal tadi dengan
mencengkeram selendang di salah satu ujungnya, ia berpikir bisa membanting
lawan. Ini terus dilakukan meskipun pandangannya tertutup. Dengan mengempos
semangat dan memusatkan kekuatan, tangannya menarik kencang.
Sebenarnya ini pertarungan yang sangat menarik. Dua gerakan yang sangat jauh
berbeda. Nenek berambut putih, meskipun sudah tua masih genit, gerakannya
lembut. Sementara lawannya tinggi besar, berpakaian hitam dan nampak kotor,
dengan gerakan lugas. Tubuh nenek berambut putih terpelanting ke atas, sebentar lagi pasti terbanting
ke tanah bagai perkedel. Cuma ketika melayang ujung jarinya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang lentik menjentik kecil ke arah selendang yang menutupi wajah Pu'un. Yang
diarah adalah jakun! Biar ilmu kebal kayak badak sekalipun, jakun pastilah bukan
bagian yang bisa dilatih sempurna.
Sentuhan kecil saja membuat Pu'un seperti disedot napasnya. Untuk beberapa kejap
tak bisa bernapas normal, di samping rasa sakit yang menyerang ulu hati.
Jepitannya terlepas. Dan sebelum gadis cilik jatuh ke tanah, nenek berambut
putih telah menyambarnya. Lagi-lagi gerakan indah berputar di udara, menyambar,
dan kemudian turun dengan manis. Begitu menotol tanah, langsung melejit kembali,
karena Senopati Suro menyambar cepat. Pinggang nenek berambut putih kena tonjok.
Sebetulnya, gerakan ini semua memang gerakan kilat yang memperlihatkan kualitas
manusianya. Bahwa mereka ini memang sudah sangat mahir. Namun itu tidak berarti
bahwa dalam satu-dua jurus atau satu-dua gebrakan, lawan bisa dikalahkan dengan
cepat. Karena, sebenarnya mereka ini berada pada tingkat kepandaian yang lebih-kurang
sama. Untuk menentukan siapa pemenangnya, diperlukan pertarungan sengit yang
memakan waktu lama. Tapi karena semua bergerak serba cepat dan beringas, jadinya seperti bisa
menonjok dalam satu-dua gebrakan saja.
"Maafkan, Jagaddhita, kami berlaku kurang ajar..."
Senopati Suro berhasil mencekal pinggang nenek berambut putih yang dipanggil
Jagaddhita. Tapi sekali lagi ia kecele.
Pinggang lawan kena dijotos dan bahkan dicengkeram, tapi Jagaddhita tetap
meloloskan diri. Senopati Suro hanya memegang selendang!
Walaupun bisa lolos, Jagaddhita merasakan pinggangnya nyeri.
Tenaga lawan ternyata cukup kuat. Hanya karena memiliki kemahiran dan penguasaan
yang sempurna dengan selendangnya, ia bisa meloloskan diri.
Senopati Suro sebenarnya maklum siapa yang dihadapi. Kalau tadinya masih
bertanya-tanya siapa Gendhuk Tri, sekarang yakin.
Entah apa hubungannya, Gendhuk Tri berasal dari tempat yang sama.
Mengenai Jagaddhita sendiri Senopati Suro mempunyai rasa sungkan.
Rahasia Patung Menangis 2 Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan Pengelana Rimba Persilatan 13
^