Pencarian

Senopati Pamungkas Satu 11

Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 11


"Tole, aku tahu kamu akan datang padaku."
Tak salah lagi. Itu adalah suara Dewa Maut!
Bagaimana mungkin bisa berada di kurungan bawah Keraton ini"
Pertarungan Matahari dengan Rembulan
Dewa Maut muncul dari salah satu lorong.
Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu menjadi tawa yang mengekeh, sebelum
akhirnya berubah menjadi kecut sewaktu melihat Nyai Demang.
"Hoho, kamu bukan Tole."
Dewa Maut langsung memutar tubuh.
Nyai Demang meloncat tinggi dan menutup jalan di depan Dewa Maut.
"Tunggu dulu. Masa begitu bertemu langsung pergi begitu saja?"
"Aku mau ketemu Tole. Kini aku tahu bahwa srengenge kalah dening rembulan.
Seumur-umur kita mempelajari pembukaan kitab itu, baru hari ini aku tahu.
"Tapi aku tak mau memberitahu kamu. Aku hanya mau memberitahu Tole-ku seorang."
Nyai Demang bercekat. Sifat Dewa Maut tetap tidak berubah. Ingatannya yang menceng makin parah.
"Aku tahu tentang Gendhuk Tri."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku tidak tanya Gendhuk. Aku mau Tole."
"Baiklah, aku tahu tentang keponakanmu, tentang kekasihmu itu."
Dewa Maut menunduk malu-malu.
"Katakan lebih dulu, sejak kapan kamu berada di sini?"
"Hoho, sejak aku tahu bahwa matahari bisa dikalahkan rembulan."
Nyai Demang jadi serbasalah.
Tadinya mengira bahwa dengan bertemu Dewa Maut, agaknya ia mempunyai harapan
untuk lolos. Akan tetapi nyatanya malah membuat makin jengkel.
Namun Nyai Demang tidak cepat berputus asa. Biar bagaimanapun, kini ia mempunyai
teman yang bisa diajak bicara. Kalau sampai Dewa Maut muncul dari lorong yang
lain, berarti ada jalan lain! Tak mungkin Dewa Maut jatuh dari atas tanpa hancur
tulangnya. Walau ilmunya menjadi seratus kali lebih tinggi, tak bakal ada yang
selamat kalau dilemparkan ke bawah.
"Sejak kapan kamu meninggalkan Perguruan Awan?"
"Sejak aku tahu bahwa garuda bisa dikalahkan burung prenjak."
"Sejak kapan garuda dikalahkan burung kecil?"
"Sejak harimau kalah bertarung melawan menjangan."
"Aku tahu semua yang kamu katakan.
"Singa bisa kalah melawan kancil, kucing kalah melawan tikus, ular kalah melawan
katak. "Benar?" "Ya, kamu mencuri ilmu itu dari mana?"
"Dewa Maut, dengar baik-baik. Kita mempelajari pembukaan Kitab Penolak Bumi itu
secara bersama-sama. Ingat" Ada Adimas Upasara Wulung..."
"...Ya..." "Ada Paman Jaghana..."
"Hmm." "Ada Paman Wilanda, Galih Kaliki..."
Dewa Maut menggelengkan kepalanya.
"Ada Nyai Demang..."
"Hmm." "Ada Tole..." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ya, mana dia?"
"Dia menunggu di luar. Kalau kita bisa keluar bersama, kita akan bisa
menemuinya." Di luar dugaan Dewa Maut menggelengkan kepala.
"Tak ada gunanya. Tole akan menjemputku kemari. Sejak di hutan kami telah
berjanji. Dan aku dibawa kemari oleh orang bertopeng kulit kayu."
"Kamu mengenal Klikamuka?"
"Dia yang mengatakan aku harus berada di sini."
"Bagaimana kalau kita keluar bersama-sama?"
"Tidak mau." Nyai Demang menyingkir. "Baik kalau begitu. Aku akan keluar sendiri. Akan kutemui Tole dan akan
kukatakan tak usah menemui Dewa Maut yang sudah tidak waras."
Dewa Maut jadi ragu. "Baik, selamat tinggal."
Nyai Demang masuk lewat lorong dari mana Dewa Maut muncul.
Terus berjalan dengan memilih ancar-ancar kiri-kanan. Akan tetapi sampai
berkeringat, akhirnya kembali ke tempatnya semula. Terpaksa keluar, meneliti
jalan yang tadi menuju tanah lapang.
Dewa Maut masih berada di tempatnya.
"Hoho, akhirnya kamu kembali lagi kemari. Sudah kukatakan di luar tidak
menyenangkan." "Aku tak bisa keluar," kata Nyai Demang lirih.
"Dusta! "Kamu tak bisa mendustaiku. Lebih mudah keluar daripada masuk.
Hoho, aku tak bakal kena didustai."
"Bagaimana mungkin begitu gampang keluar?"
"Ya, kamu sudah tahu pembukaan Kitab Penolak Bumi. Sebenarnya kurungan ini
dibuat berdasarkan pembukaan kitab itu. Ketika aku mencobanya, memang gampang
sekali. Tapi aku juga seperti kamu, aku lebih suka kembali ke sini."
Nyai Demang memandang kecewa.
Kalau kembali lagi, itu sama juga tidak bisa keluar!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi mana mungkin Dewa Maut mempermainkan" Mendadak Nyai Demang bergerak cepat.
Jubah Dewa Maut kena dicekal. Sesuatu yang disembunyikan di balik jubah bisa
diambil. Nyai Demang tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Dua buah gelang! "Jangan ambil, itu buat Tole."
Nyai Demang mengembalikan dengan baik. Kini ia yakin bahwa Dewa Maut benar-benar
bisa keluar dan bisa masuk kembali. Gelang itu pasti tidak disembunyikan ketika
ia ditawan. Lagi pula kalau sejak lama berada dalam tempat yang sama, mana
mungkin ia tidak mengetahui sama sekali.
"Ambil kembali gelangmu. Tapi carikan buat aku."
"Aku takut." "Bagus, kalau begitu aku akan mengiringkan di belakangmu. Nanti akan kuambil
sendiri." "Hoho, hanya Tole yang bisa memerintah aku. Kenapa kamu tidak pergi sendiri?"
"Bagaimana caranya?"
"Dalam pengantar Kitab Penolak Bumi dikatakan bahwa burung garuda yang perkasa
kalah dari burung prenjak, harimau kalah oleh menjangan, gajah kalah oleh macan,
matahari kalah oleh rembulan, kucing kalah oleh tikus, anjing kalah oleh kancil,
dan ular kalah oleh katak."
"Lalu?" "Kita ikuti saja kata-kata itu."
Nyai Demang tertunduk lemas.
Ia mencari akal lain. Dengan menyelinap di balik lorong yang ada, ia akan
mengikuti Dewa Maut! Inilah salah satu cara terbaik. Pasti Dewa Maut akan keluar
dari tempat ini. Mendapat pikiran begitu, Nyai Demang agak tenang.
Apa yang diperkirakan ternyata benar. Tak sampai sore, Dewa Maut sudah berdiri
sambil menghafalkan pembukaan Kitab Penolak Bumi.
Nyai Demang mengikuti dari belakang. Sengaja mempergunakan cara meringankan
tubuh agar tidak membuat Dewa Maut curiga.
Akan tetapi pada suatu tikungan, Dewa Maut lenyap dari pandangannya!
Seperti ditelan bumi! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan begitu Nyai Demang mengejar sekenanya, akhirnya kembali ke tempatnya semula!
Ini benar-benar aneh dan tak bisa dimengerti.
Dewa Maut bisa memecahkan rahasia kurungan di bawah tanah ini dengan pembukaan
dari Kitab Penolak Bumi. Ia bisa mengidungkan dengan baik, akan tetapi tidak
bisa berbuat apa-apa. Jangan-jangan aku sudah gila, pikir Nyai Demang. Tak ada Dewa Maut. Hanya karena
selama ini aku tak berjumpa dengannya, aku merasa bertemu.
Namun esoknya, Nyai Demang menjumpai Dewa Maut duduk di lapangan sambil minum
tuak, sejenis minuman keras yang dibuat dari buah aren.
Ini berarti bukti yang lain bahwa Dewa Maut bisa keluar-masuk Keraton. Bahkan
bisa mengambil makanan dan minuman.
Ini berarti tetap tak bisa diikuti. Karena justru ia yang waras dan memiliki
ilmu lebih tinggi, tak bisa menguber Dewa Maut.
Benar-benar seperti garuda yang dikalahkan prenjak!
Seperti matahari yang dikalahkan sinar rembulan.
"Dewa Maut, kenapa kamu tidak mengajakku?"
"Aku membawakan untukmu."
Dewa Maut memberikan kendi yang berisi minuman keras.
Nyai Demang mengembalikan.
"Aku ingin santapan Baginda."
"Tidak, aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil sisa-sisa yang ditinggalkan para
prajurit." Nyai Demang menghela napas.
Inilah akhir dari perjalanan hidupnya. Terkurung dalam tahanan bawah tanah,
ditemani seseorang yang bisa keluar-masuk, tapi ia tetap berada di dalam. Betapa
menyakitkan! Laku, Kunci Segala Kunci SATU-SATUNYA harapan bagi Nyai Demang hanyalah menggertak Halayudha.
Maka begitu Halayudha muncul lagi sambil membawa makanan serta pakaian ganti,
Nyai Demang memperlihatkan gelang serta makanan dari Dewa Maut.
Halayudha mengerutkan kening.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah kamu merasa heran bahwa aku bisa keluar dan masuk dari tempat ini?"
"Betul-betul menakjubkan. Akan tetapi bagaimana mungkin?"
"Sangat sederhana. "Lorong dalam tahanan bawah Keraton ini disusun sedemikian rupa sesuai dengan
pembukaan Kitab Penolak Bumi."
"Mustahil." "Apa lagi yang kaubanggakan"
"Aku hanya ingin menunjukkan bahwa seharusnya aku dibawa secara baik-baik dan
dilepaskan secara baik-baik. Sebab aku akhirnya toh bisa keluar sendiri."
Dengan taktik ini, Nyai Demang berharap bisa dibawa keluar dengan baik-baik.
"Aku sudah membaca Kitab Bumi. Baik Dua Belas Jurus Nujum Bintang, maupun Kitab
Penolak Bumi. Dari pembukaan sampai bagian akhir. Rasanya tak ada yang
menjelaskan cara mengatur lorong-lorong di bawah ini."
"Aha, mana mungkin kamu bisa membaca dengan baik"
"Dengar baik-baik, kalau ingin kupecahkan rahasia itu."
Halayudha bergerak. Tanpa menggeser kaki. Hanya telapak tangannya yang bergerak
cepat. Mengusap wajah Nyai Demang yang mendadak merasa sangat mengantuk. Begitu
mengerahkan tenaga melawan, keletihan malah membebani. Antara sadar dan tidak,
Nyai Demang sadar bahwa ia terkena pengaruh Aji Sirep Laron.
"Nyai Demang, sekarang kamu hanya mendengar dan menuruti apa yang kukatakan.
Mengerti?" "Mengerti." Nyai Demang tak bisa menguasai bibirnya untuk tetap terkunci.
"Apa benar bahwa kunci untuk keluar dari lorong ini ada di dalam pembukaan Kitab
Penolak Bumi?" "Ya." "Di bagian mana?"
"Pada pembukaan."
"Aku tahu pada bagian pembukaan. Akan tetapi bagian yang mana?"
Nyai Demang yang memang belum mengetahui, hanya mengulang jawaban.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dengar baik-baik. Saat ini aku bisa membunuhmu. Semudah menggaruk lutut.
Mengerti?" "Mengerti." "Dan aku akan membunuhmu, karena kamu telah menjadi bahaya.
Aku akan memusnahkan semua ilmu yang kamu miliki. Mengerti?"
"Mengerti." "Harus mau." "Ya." "Kidungkan bagian pembukaan secara lengkap."
Nyai Demang duduk bersila. Suaranya mengalun merdu: Tiada niat
tiada ambisi, tiada minat
sebab itu tak ada jangan memakai akal pikiran
itu menyesatkan jangan memakai akal budi itu jalan buntu kunci dari kunci adalah laku laku itu buat niat buat minat, bukan akal bukan pikiran bukan kunci laku itu laku laku laku adalah pembuka kitab penolak bumi sebab laku yang membuat garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah dengan
menjangan, singa kalah melawan kancil, matahari kalah melawan rembulan'
kucing kalah melawan tikus, anjing kalah dengan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kancil, ular kalah dengan kodok
laku itu melawan, laku itu tiada
dibuka dengan laku, itu kitab ini...
Halayudha menggelengkan kepalanya
"Bagaimana cara memahami lorong ini dengan kidungan macam itu?"
"Garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah.,."
"Cukup, "Nyai Demang, apa boleh buat. Kita berpisah sekarang. Kalau takdir menentukan
lain, kita akan bertemu lagi. Karena saya akan sangat sibuk, saya tak bisa
menengok kamu lagi "Selamat tinggal, Nyai."
Halayudha mengusap Nyai Demang, Bukan untuk membebaskan, akan tetapi untuk
menambah pengaruh sirepnya. Kemudian dengan langkah pasti meninggalkan Nyai
Demang, Tinggal Nyai Demang bersila sendirian
Seluruh pikirannya kacau, Bolak-balik, antara mimpi dan mengigau, Antara sadar
dan tidak, Nyai Demang melihat Dewa Maut muncul, mendekatinya,
Nyai Demang berusaha berteriak, akan tetapi Dewa Maut seperti tak bisa mendengar
"Kamu kenapa bersila di situ"
"Aku sudah ambilkan makanan Raja. Ini dia."
Nyai Demang hanya menatap kosong,
"Nyai, kamu ngambek" Marah padaku?"
Dewa Maut menggelengkan kepalanya
"Baiklah, aku katakan saja, Kamu toh sudah tahu bahwa garuda kalah melawan
prenjak, adalah sepuluh langkah. Sedangkan macan dikalahkan menjangan adalah
enam langkah, Lalu dua langkah, empat langkah, sebelas, tiga belas langkah, dan
dua belas langkah, Lalu berulang dari awal lagi,
"Nah, apa lagi yang kau ingin saya ulangi?"
Perlahan Nyai Demang seperti tersadar Bahwa untuk menelusuri lorong-lorong itu
dengan perhitungan berapa pecak atau berapa langkah sudah ada perhitungan
sendiri jadi dalam melangkahi sama sekali tidak memedulikan lorong kiri atau
kanan, maju atau mundur! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tetapi lebih kepada hitungan kidungan!
Nyai Demang menangkap sifat-sifat yang disebutkan Dewa Maut dan dengan mudah
menghafalkan. Meskipun jumlah langkah itu tak ada dalam kidungan, akan tetapi
mudah dimengerti Bahwa garuda dikalahkan prenjak adalah sepuluh langkah.
Nyai Demang berusaha bangkit,
Namun malah kembali terguling


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ingin berteriak, akan tetapi tenggorokannya malah sakit, ingin membuka bibirnya,
akan tetapi malah tertekan!
Dewa Maut memperhatikan Nyai Demang, Lama menunggu sebelum akhirnya mendudukkan
"Apa sebenarnya maumu"
"Kamu ingin aku membopongmu" Menyuapi"
"Nyai Demang, kamu harus tahu, Bahwa selama ini aku tak pernah memegang tubuh
wanita, Aku justru merasa jijik, Kamu tahu kalau aku tak mau menolongmu,"
Dewa Maut segera pergi meninggalkan
Akan tetapi ketika kembali, posisi Nyai Demang sedikit pun tak berubah,
"Hoho, apa sebenarnya maumu"
"Kenapa kamu begitu keras kepala seperti Tole?"
Pikiran waras Dewa Maut memang terganggu, Sejak sebelum ilmu racun dalam
tubuhnya lenyap bersama tenaga dalamnya, Dewa Maut sudah dikenal paling aneh
adatnya. Namun meskipun demikian, Dewa Maut pada dasarnya manusia yang baik Apalagi saat-
saat terakhir digembleng secara tidak langsung di Perguruan Awan, Selalu
bersama-sama dengan Nyai Demang dan yang lainnya, Yang hidup saling menolong dan
rukun. Maka Dewa Maut mendudukkan Nyai Demang, Lalu berusaha menyuapi, Nyai Demang
dipaksa membuka mulutnya, Akan tetapi makanan itu terhenti di bibir, "Kunyah."
Pandangan Nyai Demang tetap kosong, "Kauminta aku yang mengunyahnya"
"Nyai, aku tak bisa memegang tubuh wanita, Apalagi mengunyahkan makanan,"
Dewa Maut segera pergi meninggalkan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi ketika kembali, Nyai Demang tetap di tempatnya.
Walaupun kurang waras, pikiran Dewa Maut masih bisa berjalan dengan normal kalau
berhubungan dengan ilmu silat. Meskipun tenaga dalamnya sudah hilang,
pengetahuannya tidak surut karenanya
"Jangan-jangan jalan darahmu kena totok,"
Dewa Maut membulatkan hatinya untuk meraba nadi Nyai Demang di kedua tangan dan
kaki, Tentu saja aliran darah Nyai Demang tetap normal.
Laku, Bukan ilmu Dewa Maut menggelengkan kepalanya
"Kamu kena aji sirep?"
Dewa Maut bisa mengerti tentang aji sirep justru karena Gendhuk Tri yang
dianggap sebagai Tole-nya pernah terkena aji sirep Pu'un yang berasal dari
Banten, "Pasti, Tapi bagaimana caranya mengatasi?"
Selama Dewa Maut sibuk, Nyai Demang bisa melihat, bisa mengetahui Hanya saja
reaksinya yang tak bisa dikuasai sepenuhnya. Justru di saat ingin menggerakkan
tangan, Jadinya malah kaku.
"Wah, bagaimana obatnya, Nyai"
"Aku tak bisa. Kenapa kamu tak mencoba sendiri" Kamu kan hafal Kitab Penolak
Bumi, Namanya saja sudah tumbal, berarti itu jurus yang serba penolakan, Apa
saja ditolak lebih dulu. Termasuk... hehe, termasuk apa ya"
"Kamu mulai saja, Nyai
"Mulai dengan tiada.,."
Nyai Demang mulai memusatkan pikirannya Mengikuti petunjuk yang terdengar di
telinga, Akan tetapi hasilnya sama lagi. Begitu mencoba memusatkan perhatian,
Jadinya malah mengantuk Nyai Demang memaksakan dirinya.
"Lho, kok malah mendengkur?"
Dewa Maut menggaruk-garuk kepalanya. Sehingga rambutnya yang putih rontok.
Beberapa kali menggoyangkan tubuh Nyai Demang, ternyata tak ada gunanya,
"Celaka kalau kamu mati di sini, aku bisa disalahkan Tole, Aku yang akan dituduh
menjadi pembunuh, Ayo, sembuh... sembuh.,."
Dalam bingungnya Dewa Maut menggoyangkan tubuh Nyai Demang, Merangkul, membuka
mata Nyai Demang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ya sudah, kalau kamu pilih mati!
"Itu maumu sendiri."
Antara sadar dan samar, Nyai Demang mendengar suara Dewa Maut.
Rasanya yang dikatakan Dewa Maut benar. Daripada menyusahkan diri, kenapa tidak
membiarkan dirinya hanyut dalam kantuk yang bergulung menyeretnya" Kenapa harus
memikirkan garuda dikalahkan burung prenjak dalam sepuluh langkah"
Kenapa menyiksa diri"
Antara sadar dan tidak, Nyai Demang menyerahkan diri kepada seretan tenaga yang
mengisapnya, Muncul dan lenyap bayangan Baginda Raja, Halayudha, Upasara,
Gendhuk Tri, Jaghana, Dewa Maut, suaminya yang dulu, Upasara lagi, peperangan,
Gayatri, Halayudha, dan kidungannya yang belum selesai
Nyai Demang melanjutkan dalam hati:
...laku itu bukan ilmu sebab ilmu itu keliru laku itu bukan rasa sebab rasa itu buta pikiran tak menyelesaikan
perasaan tak mendamaikan laku itu bukan ini bukan itu itulah laku... Nyai Demang merasa makin dalam terseret ke pusaran yang tak dikuasai sedikit
pun. Tak tahu bahwa Dewa Maut makin kencang memeluknya, makin Sering membuka
matanya, dan makin kebingungan.
"Celaka, kalau mati begini, bagaimana cara menguburnya"
"Kenapa tidak di luar saja"
"Bagaimana mungkin aku menggendongmu ke luar?"
Berjingkrakan ke sana kemari, akhirnya Dewa Maut jadi lelah sendiri Akhirnya ia
menunggui di dekat Nyai Demang, Sampai beberapa saat ia mendengar suara lirih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ha, kamu hidup lagi, Nyai?"
Karena dalam gua begitu gelap, Dewa Maut tak tahu apakah suara itu berasal dari
Nyai Demang atau yang lainnya, Lagi pula Dewa Maut tak bisa melihat wajah Nyai
Demang, "Kamu atau sukmamu yang barusan bicara"
"Dulu aku dijuluki Dewa Maut karena suka mencabut nyawa, Dalam setiap
pertempuran, aku selalu membunuh orang, jadi kalaupun kamu sukma atau setan, aku
tak takut "Nyai.,."
Dewa Maut kaget karena lengannya dicekal
"Jadi kamu benar-benar hidup?"
Terdengar helaan napas. Telapak tangan Dewa Maut dicekal kencang.
"Hei, jangan pegang-pegang seperti ini."
Terdengar lagi tarikan napas.
"Tiada keinginan, itulah keinginan."
"Bagian dari kitab mana lagi itu?"
"Ayolah, Dewa Maut, bantu aku bersemadi Agar tenagaku pulih kembali." "Kamu ini
bagaimana" He, di mana wajahmu" Jangan-jangan aku bicara sambil menghadap
pantatmu. "Kamu bilang tiada keinginan, sekarang suruh membantu memulihkan tenaga. Apa
sebenarnya yang kamu harapkan?"
Nyai Demang menggenggam kedua tangan Dewa Maut.
Perlahan mulai mengatur napas,
Tak ada jalan lain bagi Dewa Maut selain duduk bersila dan mengikuti alunan
napas Nyai Demang yang naik-turun dengan teratur Memang Dewa Maut tak bisa
memahami sepenuhnya apa yang terjadi Bahkan Nyai Demang pun belum mau percaya!
Sewaktu mengikuti kidungan dalam hati, ketika itu terasa segalanya menjadi
enteng. Nyai Demang mengikuti lirik dalam kidungan dengan sepenuh hati
Tak mengetahui bagaimana proses berikutnya, tahu-tahu bibirnya bisa terbuka dan
mengeluarkan suara, pikirannya mulai jernih.
Pengaruh sirep mulai berkurang, akan tetapi dirasakan tenaganya masih belum bisa
dikerahkan Apa yang terjadi dalam dirinya setengah disadari, dan setengah lagi tidak Nyai
Demang hanya merasa bahwa justru ketika ia mengikuti
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bunyi kidungan dengan segenap hatinya, apa yang dikidungkan benar adanya. Pada
saat ia mengerahkan ilmu, ia justru kalah. Pada saat perasaannya tak bisa
mengadakan perlawanan Laku, ternyata bukan itu.
Seiring dengan pengertian yang perlahan merayapi, Nyai Demang jadi bisa pulih
kembali Sewaktu sinar mentari mulai terbias ke dalam lorong yang didiami, Nyai Demang
dan Dewa Maut sudah selesai bersemadi Dewa Maut bisa melihat bahwa cahaya mata
Nyai Demang bersinar, "Kakang Dewa Maut..."
"Aku ini Kakang?"
"Kitab Penolak Bumi sungguh kitab yang luar biasa. Aku tak tahu harus mengatakan
bagaimana. Sekian puluh kali aku menghafalkan di luar kepala, akan tetapi
rasanya baru sekarang ini aku bisa sedikit merasakan."
"Merasakan apa?"
"Laku, itulah kuncinya, Tetapi juga bukan kunci Pantas saja selama ini tak ada
yang bisa menguasai sempurna, Bahkan Adimas Upasara selalu menemukan jalan buntu
dan kebosanan. Makin dipaksa makin tak kena."
"He, apa yang kamu bicarakan?"
"Kakang harus mendengarkan. Mau atau tidak, Kakang harus menjalankan bila ingin
waras." Dewa Maut meloncat, menjauh,
"Jadi selama ini kamu menganggap aku tidak waras?"
Nyai Demang seperti tidak memperhatikan Dewa Maut
"Sesungguhnya laku itu cara, laku itu usaha. Tetapi dalam usaha memahami Kitab
Penolak Bumi caranya ialah dengan menolak ilmu, menolak akal pikiran, menolak
rasa, Karena dengan ilmu, dengan akal pikiran, bahkan dengan rasa, kita akan menemukan
jalan buntu, "Laku dalam memahami ajaran Kitab Penolak Bumi adalah laku.
"Kakang, masih ada kesempatan bagi Kakang. Masih ada kesempatan bagi Adimas
Upasara. Mari segera kita tinggalkan tempat ini."
Nyai Demang berdiri Tenaganya memang belum pulih benar, Akan tetapi pikirannya telah jernih kembali
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tidak, kamu pergi sendiri"
Nyai Demang menghela napas,
"Kakang mau tetap di sini?"
Dewa Maut mengangguk, "Baiklah kalau begitu,
"Selama ini kita berdua selalu di sini Banyak hal kita lakukan bersama" sama,
Secara langsung dan tidak langsung, saya, Nyai Demang, berutang budi kepada
Kakang. Saya berjanji tak akan melupakan jasa baik ini
"Maaf, Kakang, saya akan melanjutkan perjalanan sendiri"
Benih Matahari NYAI DEMANG tak membuang waktu sedikit pun.
Begitu selesai memberi hormat, segera ia meninggalkan tempat itu.
Dari mana pun ia mulai melangkah, ia mulai berhitung bahwa langkah pertama
adalah sepuluh pecak, di mana ada tikungan, tanpa memedulikan kiri dan kanan,
langsung berbelok Enam pecak berikutnya, mengubah lagi Kalau kebetulan lorongnya
masih lurus, Nyai Demang melanjutkan dengan dua pecak berikutnya, disusul dengan
empat pecak, dan seterusnya.
Memang dalam kidung pembuka, langkah-langkah itu tidak dituliskan. Akan tetapi
bagi yang bisa menangkap, hal itu sudah jelas, Dewa Maut pun bisa menandai bahwa
"garuda dikalahkan prenjak"
berarti sepuluh, Sedangkan "harimau dikalahkan menjangan" berarti enam,
Inti untuk memahami pembukaan itu bukanlah dengan pendekatan ilmu, bukan
dipecahkan dengan akal Walau mungkin bisa didekati bahwa "garuda dikalahkan
prenjak" lebih lama waktunya dibandingkan dengan "harimau dikalahkan prenjak",
sedemikian juga seterusnya.
Namun perhitungan akal semacam ini Sering membuat bingung. Karena justru
"matahari dikalahkan bulan" hanya berarti empat, sementara
"ular dikalahkan katak" bisa berarti dua belas.
Namun kini Nyai Demang tak mau mempersoalkan itu.
Ia menerima saja, Sebab inilah laku, Tidak dengan ilmu, tidak dengan pikiran.
Tidak juga dengan perasaan,
Setiap tujuh kali, Nyai Demang mengulang dari awal lagi. Kalaupun perasaannya
mengatakan ia seperti kembali ke tempatnya semula, tak terlalu dihiraukan.
Hasilnya memang mengejutkan,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan mudah Nyai Demang bisa muncul dari sumur di bagian dapur Keraton. Pantas
saja Dewa Maut bisa dengan tenang mencuri makanan, Keluar dari sumur, Nyai
Demang menyelinap ke arah luar, Tak terlalu menarik perhatian karena Nyai Demang
hafal jalannya dan Penampilannya tak terlalu berbeda.
Melewati pelataran utama, Nyai Demang berada di bagian luar Keraton.
Bebaslah sudah. Akan tetapi Nyai Demang justru menuju ke sitinggil atau bagian tanah yang lebih
tinggi yang terletak beberapa ratus tombak dari Keraton, Sitinggil Keraton
adalah bagian yang biasanya digunakan untuk mengadakan pertemuan atau latihan
perang kecuali kalau berada di alun-alun, Di tempat inilah biasanya lebih ramai
daripada di bangsal utama, di mana Baginda Raja mengadakan musyawarah dan
menitahkan segala sesuatu.
Apa yang menarik Nyai Demang adalah bahwa di sitinggil terjadi pertemuan yang
menyebabkan semua senopati Majapahit berkumpul.
Sekilas saja nampak Mpu Nambi, Mpu Sora, Mpu Renteng, bahkan Mpu Kuti dan Semi.
Kalau semua tokoh Majapahit berkumpul pasti ada sesuatu yang penting.
Nyai Demang mencoba mendesak maju, Cepat-cepat ia memalingkan wajah ketika
Senopati Anabrang menyeruak masuk.
Di tengah ruang sitinggil, ada pemandangan yang ganjil Semua senopati duduk
bersila membentuk lingkaran, Menghadapi dua orang lelaki gagah yang menunduk Dua
lelaki gagah inilah yang menjadi pusat perhatian Bukan karena pakaian yang
dikenakan nampaknya begitu tebal dan membungkus sehingga menimbulkan kesan gerak
Akan tetapi terutama karena kedua lelaki itu menguncir rambutnya ke belakang.
Dan dua-duanya botak di tengah Bukan kotak sembarang botak, kalau dilihat bahwa
rambut di sisi masih kelihatan lebat.
Nyai Demang cukup luas pengalamannya,
Ia pernah mendengar bahwa ada ksatria yang berpakaian rapat dengan rambut
dikucir dan sebagian kepalanya dibotaki. Menurut yang diketahui, para ksatria
ini berasal dari tlatah Jepun, suatu kerajaan yang lebih dekat dengan orang-
orang Tartar, Nama besar mereka terdengar ke seantero jagat, karena para ksatria
ini mempunyai ilmu silat yang kelewat tinggi Kemampuan ksatria Jepun ini
terutama sekali memainkan pedang panjang, yang digenggam dengan dua tangan
sekaligus, KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang hanya mendengar kisah-kisah mengenai ksatria Jepun berpedang
panjang, Baru sekarang ini bisa menyaksikan!
Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Nyai Demang lebih yakin bahwa mereka berdua
pasti dari Jepun, Karena ada sarung pedang yang panjang diletakkan di depan,
Sedangkan sarung pedang yang pendek, nampak bergantung di pinggang,
Barangkali karena Senopati Anabrang juga memainkan dua pedang, maka ia dipanggil
Yang membuat Nyai Demang sedikit bertanya-tanya ialah bahwa sekarang yang
kelihatan menjadi pimpinan dari semua senopati yang ada adalah Mpu Nambi, Bisa
jadi Baginda sudah mengangkat mahapatih! Dan yang dipilih adalah Mpu Nambi.
"Kisanak, datangmu mengejutkan, membuat kami tak bisa menyambut dengan baik,
Perkenalkan, saya Senopati Nambi yang bertanggung jawab atas keamanan dan
ketenteraman, Boleh saya tahu maksud kedatangan Kisanak berdua?"
Dua lelaki di depannya mengangguk dengan hormat sangat dalam Caranya menekuk
tubuh menunjukkan penghormatan, akan tetapi kedua tangan tetap berada di lutut,
"Maafkan kami, Mahapatih yang perkasa,
"Dibilang tamu jauh, memang kami dari negeri matahari bersinar ke bumi. Kamilah
yang berasal dari kelahiran matahari Akan tetapi sudah sejak lama kami berada di
tanah India, tanah kelahiran Rama Wijaya, sebelum menetap lama di sekitar tanah
Keraton ini. "Perkenalkan, Mahapatih, saya dipanggil Kama Kalacakra, dan saudara saya ini
Kama Kalandara." Kama Kalandara yang diperkenalkan membungkuk dengan suara tertahan di perut.
Bagi telinga Nyai Demang, kedua nama itu menunjukkan pengertian yang aneh. Kama,


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa berarti benih lelaki Sangat jarang dipakai sebagai nama. Meskipun jelas itu
bukan nama asli, agaknya si pemilih sengaja mengambil nama itu. Tanpa merasa
risi Sedangkan Kalacakra maupun Kalandara mempunyai arti yang sama, yaitu
matahari. Bahwa mereka memilih nama yang diartikan sebagai "benih matahari"
tak begitu menjadi soal. Akan tetapi kedua nama yang artinya sama, memang
mengundang tanda tanya. Dilihat dari caranya berbicara, Nyai Demang yakin bahwa kedua
"benih matahari" sudah sangat mengenal cara berbahasa setempat.
"Kami adalah gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tempat untuk berteduh.
Kami datang kemari untuk melihat kebesaran Keraton
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Majapahit, sekaligus ingin melihat apakah benar di sini disimpan Tumbal Bantala
Parwa." Senopati Anabrang mengertakkan giginya.
"Kalau benar tersimpan di sini, apa maksud kalian" Kalau tidak tersimpan di
sini, mau apa?" Kama Kalacakra mendongak Garis-garis di wajahnya memperlihatkan keteguhan sikap dan sekaligus kejantanan
yang luar biasa. "Kalau ada di sini, kami mau melihat apakah itu kitab pusaka kami.
Kalau benar ya, kami mau membawa kembali Kalau tak ada, kami akan mencari."
Jawaban dan sekaligus tantangan
"Tunggu sebentar, Kisanak " Suara Mpu Nambi tetap merendah nadanya. "Dari mana
Kisanak mendengar kabar kami menyimpan kitab itu, dan bagaimana mungkin itu
kitab milik Kisanak?"
Kama Kalacakra menggenggam pedangnya.
Suaranya menjadi lebih keras.
"Panjang sekali ceritanya, Kami tak tahu apakah para senopati yang sibuk
mempunyai waktu untuk mendengarkan.
"Kitab pusaka milik leluhur kami aslinya berasal dari negeri di mana sekarang
ini dikuasai oleh pendekar Tartar. Dari sanalah mengembara para pendeta ke
seluruh jagat untuk mengandalkan budi luhur, Di antaranya ada yang datang ke
negeri kami, tanah di mana matahari bersinar pertama kali Kitab pusaka itu
menjadi bentuknya yang sekarang karena jasa para leluhur kami, dan hanya
keturunan Dewa Matahari yang boleh membaca atau mempelajari Ketika kitab pusaka
itu hilang, kami semua mencari ke seluruh penjuru, Kami berdua berada di tanah
Rama Wijaya, Sewaktu pasukan Tartar datang ke tanah ini, kami mendengar bahwa di
sini juga ada kitab pusaka yang mirip dengan kitab pusaka kami.
"Itulah sebabnya kami datang kemari Karena tidak tahu kepada siapa bertanya,
kami telah lancang datang ke Keraton
"Sebelum ini kami telah menjelajah ke seluruh wilayah, dan datang ke Perguruan
Awan Karena menurut cerita di sana ada seorang tokoh yang dipanggil sebagai
Eyang Sepuh yang mengajarkan ilmu Tepukan Satu Tangan Dari namanya saja sudah
jelas itulah ilmu utama kami, Menurut cerita juga, ilmu itu diperoleh dari Kitab
Bumi, yang salah satu bagiannya bernama Kitab Penolak Bumi, Karena kitab itu
berada di sini, kami ingin melihatnya."
Mpu Nambi menganggukkan kepalanya,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak salah Kisanak datang kemari Kalau mencari Kitab Bumi, memang ada di sini,
Akan tetapi karena itu kitab pusaka kami, Kisanak tak bisa sembarangan
melihatnya." "Kami telah siap menghadapi segala risiko yang menghalangi terwujudnya keinginan
kami." Di Mana Klikamuka SUASANA menjadi tegang. Kama Kalacakra sudah mengeluarkan tantangan secara terbuka.
Kama Kalandara yang sejak tadi berdiam diri, sudah mempersiapkan diri
Mpu Sora berdehem kecil "Kisanak, segala apa yang masih bisa dibicarakan, sebaiknyalah kita rembuk
bersama, "Kami yang berada di sini, bukanlah pencuri yang menyimpan milik orang lain itu
suatu kehinaan besar, Saya kira di mana pun, seorang ksatria adalah ksatria juga
jiwanya, Tak peduli di tlatah yang mengaku terbitnya matahari, atau di tanah di
mana matahari bersinar sempurna."
Mpu Sora tak mau kalah gertak,
Juga dalam menyusun kalimat Dengan mengatakan negerinya adalah
"negeri di mana matahari bersinar secara sempurna", Mpu Sora meninggikan derajat
tanah kelahirannya. "Apa yang Kisanak katakan sangat tepat. Tetapi kami tak bakal mundur karena
pembicaraan sepanjang hidup kami ini, kami berdua telah menjelajah ke seluruh
wilayah yang bisa didatangi."
"Maaf, kami tak meragukan hal itu.
"Tapi kami meragukan bahwa Kitab Bumi, milik leluhur kami, adalah kitab pusaka
Kisanak, Kama Kalacakra! "Dari segi bahasa dan kidungan jelas berbeda, Bagaimana mungkin Kisanak merasa
lebih berhak?" "Semua akan jelas, jika kami telah membaca."
Mpu Sora mengeluarkan suara dingin.
"Saya mendengar nama besar ksatria Jepun. Tetapi agaknya itu hanya nama gertakan
belaka." "Kita buktikan sekarang juga."
"Saya tak mau mengambil keuntungan, karena Kisanak hanya datang berdua. Kami
tidak mencari lawan, akan tetapi kalau Kisanak ingin mengganggu kehormatan kami,
alun-alun itu tempat yang longgar."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kama Kalacakra membungkuk.
Sebat sekali bergerak Meraih pedang panjang dan berjalan sangat cepat namun
enteng sekali Bersamaan dengan Kama Kalandara.
Bagi yang lainnya, tindakan Mpu Sora seperti gegabah, Akan tetapi Mpu Sora
sebenarnya sedang menebak-nebak, apakah mereka berdua ini bukan Klikamuka"
Dilihat dari kesigapan sangat mungkin sekali Dan mereka datang berdua.
Yang satu selalu diam, yang lain berbicara.
Mpu Sora memberi hormat kepada Mpu Nambi dan segera menuju alun-alun Senopati
Anabrang segera menyusul Akan tetapi Mpu Semi lebih dulu berada di lapangan.
"Ambil senjatamu, Senopati."
Mpu Sora menggeleng. "Selama tangan masih bisa dipakai, untuk apa meminjam senjata?"
Kama Kalacakra mengertakkan gerahamnya.
"Maaf, saya melawan satu orang atau sepuluh orang, melawan yang bersenjata atau
tidak, sama saja, jadi jangan salahkan kalau saya tak bisa menghadapi dengan
tangan kosong." "Silakan." Bagi Nyai Demang ini tontonan yang menarik Akan tetapi hati kecilnya merasa was-
was juga, Bukan karena meragukan kemampuan Mpu Sora, akan tetapi ksatria Jepun
ini memperlihatkan keteguhan yang luar biasa, Bahwa mereka hanya berdua berani
menyatroni Keraton secara langsung, itu saja sudah menunjukkan kepercayaan diri
yang besar. Yang secara perhitungan, dilandasi oleh kemampuan mengukur kekuatan
Sementara Senopati Semi meraih tombak untuk menghadapi Kama Kalandara.
Mereka sudah berhadapan. Kama Kalacakra nampak berdiri teguh. Dengan satu kali gerakan kilat, pedang
panjangnya lepas dari sarungnya. Dipegang dengan tangan kanan, bagian yang tajam
menghadap ke wajahnya sendiri Pandangannya lurus ke depan.
Mpu Sora seperti tak menyangka bahwa lawan sudah mengambil ancang-ancang
menyerang pada jarak yang masih begitu jauh.
Namun Mpu Sora segera juga mengambil posisi Kedua kakinya menekuk, kedua
tangannya bersiap dengan jari-jari mengembang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Alun-alun menjadi sunyi Napas pun tertahan Agak lama, Mendadak kemudian berubah, Didahului dengan teriakan keras, Kalacakra menerjang
maju. Berlari cepat sekali, menyerbu secara lurus dan langsung ke arah Mpu Sora,
Pedangnya yang panjang mendadak berkelebat, memotong tubuh Mpu Sora dalam
beberapa bagian. Sederhana gerakannya, Karena bisa dilihat dengan jelas arah dan sasarannya,
Namun gerakan Kalacakra mengandung tenaga yang kental dan liat Sabetan pedang
panjang seperti menutup ke seluruh bagian.
Kaki Mpu Sora menotol, tubuhnya dibuang ke samping. Tidak ke atas, karena pedang
panjang berkilat itu seperti menguasai bagian atas.
Dengan memutar ke arah samping, Mpu Sora mencoba masuk dari sela-sela sabetan
pedang panjang. Berusaha menanamkan sengatan lebah berbisa.
Hatinya sempat berdesir merasakan kesiuran angin yang ganas.
Lolos dari serangan pertama, Kalacakra berbalik dengan gerakan patah dan dengan
segera menyabetkan pedangnya. Pedang itu menoreh langit ke kiri, ke kanan, ke
kiri, ke kanan, dalam satu gerakan Seakan pedang yang panjang dan berat itu
seperti ranting kecil yang bisa dimainkan secara leluasa, Pergelangan tangan
Kalacakra sangat luwes dan sempurna.
Mpu Sora tak menahan rasa kagumnya,
Tapi ia bukan sembarang senopati Kali ini pun telah menyiapkan diri dengan
sempurna, Dalam beberapa kejap, Mpu Sora mengeluarkan semua simpanannya. ilmu
Bramana atau jurus-jurus Lebah mengalir dengan cepat. Diiringi suara berdesing,
Mpu Sora mengeluarkan jurus Bramara Bramantya, disusul dengan Bramara Bekasakan,
lalu Bramara Braja, Mengagumkan. Mpu Renteng memuji kehebatan jurus Lebah yang kini dipertunjukkan lebih leluasa
dan sempurna, Tidak seperti ketika menghadapi Klikamuka, Desingan suara dari
bibir Mpu Sora, ditambah dengan gerakan menyengat yang datang dan pergi sangat
berlawanan dengan gerakan Kalacakra yang serba patah,
Akan tetapi, Mpu Renteng menyadari bahwa perlahan tapi pasti, tekanan Kalacakra
semakin berat Ruang gerak Mpu Sora semakin sempit Sementara kemungkinan
sengatannya yang diandalkan makin tipis mengenai Kalacakra yang justru menjadi
lebih ganas. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa yang dialami Senopati Semi kurang-lebih sama, walau cara perlawanannya
berbeda. Sewaktu Kalandara menyerang, Semi menghadapi langsung. Bahkan boleh dikatakan
lebih dulu menggebrak Tombaknya menyodok, kena ditangkis pedang panjang, hingga
berputar. Dengan jitu Semi memindah tempat pada pegangan tangan. Tombak tidak
lepas, bisa dipergunakan dan tetap mengancam. Akan tetapi empat-lima kali
benturan, Semi merasa tangannya tergetar, Dan makin lama makin terasa di
pergelangan, merambat ke arah siku!
Hebat pengaruh tenaga Kalandara.
Semi tidak lagi terus-menerus menggempur untuk adu tenaga. Akan tetapi justru
dengan begitu, Kalandara seperti menemukan kesempatan untuk terus mendesak
Kalau Kalandara bermain dari jarak jauh masih bisa berloncatan menghindar,
sebaliknya Semi dipaksa untuk adu tenaga, kalau tidak ingin dibelah tubuhnya.
Bahwa kedua Kama bisa segera menyenangkan pertarungan, itu sudah jelas. Akan
tetapi lama-kelamaan keunggulan mereka makin terasa.
Yang tidak diketahui oleh Sora dan Semi ialah bahwa sebenarnya kedua Kama ini
pun merasa penasaran, Mereka berdua adalah unggulan utama yang sudah menjelajah
jagat Selama ini boleh dikatakan tak pernah menemukan lawan yang berarti Dalam
artian bertahan beberapa jurus, Karena ilmu silat mereka justru mengandalkan
permainan cepat Satu-dua jurus saja.
Nyatanya, kini Kalacakra tak segera bisa memenangkan pertarungan melawan tangan
kosong. Benar-benar lawan yang luar biasa.
Kalau dua orang yang maju secara sembarangan sudah seperti ini, bisa
diperhitungkan bahwa yang lainnya bisa lebih jago. Sungguh tanah Jawa ini penuh
dengan ksatria yang tak terduga!
Sebaliknya, para senopati justru merasa cemas, Biar bagaimanapun Sora dan Semi
makin terdesak Kalau mereka nimbrung maju, kurang pada tempatnya, akan tetapi
membiarkan begitu saja juga tak tega. Jadinya serbasalah.
Kesiuran angin dari kedua pedang panjang makin lama makin terasa merobek.
"Lho, siapa berani mencari ilmu tongkatku" Hei, tunggu dulu. Kalian pencuri dari
mana?" Nyai Demang sadar bahwa itu suara Galih Kaliki.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan hanya Galih Kaliki yang bisa langsung menerjang ke tengah pertarungan tanpa
merasa risi atau kikuk. "Sejak kapan kalian mencuri cara menggebuk ini?"
Galih Kaliki maju ke tengah pertempuran dengan tongkat dan dengan sigap berlari
kencang. Tak jauh berbeda dari gerakan kedua Kama.
Sumber itu Satu SERBUAN Galih Kaliki mengejutkan.
Dengan memanggul tongkat galih asam, ia menyerbu begitu saja, Dan begitu
berhadapan dengan Kalacakra, langsung menyabet, Persis gerakan lawan Dua
benturan terdengar keras,
"Bagus!" Galih Kaliki memutar tongkatnya, kali ini menggempur Kalandara.
Lagi-lagi benturan keras. Pedang panjang melawan tongkat kayu. Hanya kali ini
tidak satu benturan saja, melainkan tujuh kali benturan Sejak sabetan pertama
ketika pedang mengarah ubun-ubun, mata, hidung, mulut, leher, ubun-ubun lagi,
mata lagi "Bagus, memang mestinya begini!"
Senopati Anabrang terkesima,
Sama sekali tak menyangka bahwa Galih Kaliki bisa mengimbangi dua Kama yang
telah menyudutkan Mpu Semi dan Mpu Sora!
Tak masuk akal sama sekali!
Senopati Anabrang terkesima justru karena tak menduga bahwa Galih Kaliki yang
dianggap tak terlalu istimewa, bisa menjadi dewa penolong.
Senopati Anabrang membandingkan dengan dirinya sendiri Ia bisa dan biasa
memainkan pedang, Bahkan dua pedang sekaligus, Akan tetapi diakui bahwa
keunggulan bermain pedang belum bisa mengatasi keunggulan tenaga Kalandara
maupun Kalacakra. Senopati Anabrang tak malu mengakui.
Mpu Nambi pun tak menduga bahwa justru Galih Kaliki yang bisa menyelamatkan
kehormatan Keraton Hanya Nyai Demang yang melihat bahwa keunggulan Galih Kaliki dibandingkan dengan
Mpu Sora dan Mpu Semi, terutama sekali karena didasarkan kepada jenis permainan
silat. Bukan hanya keunggulan!
Ini rahasia kecil yang bisa ditangkap oleh Nyai Demang, Bisa dimengerti karena
secara teori Nyai Demang menguasai berbagai jenis dan aliran dalam dunia
persilatan Tidak terbatas pada yang ada di tanah Jawa saja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ilmu tongkat Galih Kaliki adalah ilmu yang juga mengandalkan tenaga besar untuk
memainkan Bahkan selama ini dikenal jurus-jurusnya tidak terlalu hebat, Bahkan
terlalu sederhana karena tanpa kembangan, atau perubahan-perubahan yang berarti
Galih Kaliki selalu mengincar batok kepala, Dan tak pernah lain!
Itu juga yang dimainkan kedua Kama.
Bedanya pedang panjang seperti membelah, sedangkan tongkat galih asam lebih
mengemplang. Sementara itu di medan pertarungan terjadi perubahan Mpu Sora dan Mpu Semi bisa
bernapas lega dan mengambil jarak Dan kedua Kama jadi memutar tubuh menghadapi
Galih Kaliki "Kalian orang berekor di kepala, sejak kapan kalian mempelajari ilmuku?"
Sungguh pertanyaan yang angin-anginan dan kena sasaran!
Betapa tidak Kama Kalacakra dan Kama Kalandara datang untuk meminta kitab pusaka
yang dikatakan dicuri ilmunya, Dan sekarang justru dituduh mencuri.
"Karena kamu masuk ke gelanggang, berarti siap bertempur."
"Lho, dari tadi saya ini disangka main-main"
"Saya datang ke sini untuk memaksa kalian mengatakan dari mana kalian curi ilmu
tongkat saya. Dan kenapa bisa juga dimainkan dengan pedang yang tak keruan
bentuknya itu." Jujur kata-kata Galih Kaliki.
Apa yang dirasakan, itulah yang dikatakan
Galih Kaliki memang termasuk yang aneh dalam dunia persilatan Terutama karena
asal-usul perguruan ilmu silatnya berbeda dari aliran yang ada. Bahkan sejak
zaman pertarungan para ksatria dalam perebutan takhta Singasari, Galih Kaliki tak
pernah diketahui asal-usulnya,


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa nyana justru sekarang agak tersingkap.
"Ayo maju dulu,"
Galih Kaliki bukan menunggu, meskipun seolah mempersilakan lawan mana yang mulai
Justru ia yang maju menggempur Berlari sangat kencang, menghantam ke depan
Tongkatnya digerakkan seperti pedang panjang. Karena kali ini Galih Kaliki
memegang tongkat dengan kedua tangan.
"Bagus. Kalian betul. Begini lebih bagus."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau Kalacakra begitu tegang, sebaliknya Galih Kaliki bertempur sambil terus
berbicara. Nyai Demang nggragap setelah beberapa jurus.
Walaupun dengan sangat perkasanya Galih Kaliki berhasil mengimbangi, akan tetapi
terlihat bahwa penguasaannya kalah mahir, Ini bukan karena ilmu Galih Kaliki
kalah dibandingkan Kalacakra, Akan tetapi karena Galih Kaliki mencoba dengan
gerakan yang dimainkan Kalacakra. Dengan sendirinya ia menjadi kalah terlatih.
Kalau tadi Galih Kaliki unggul karena menyamai dasar-dasar gerakan, justru
berakibat terbalik sewaktu mengikuti cara bergerak.
Nyai Demang tak bisa tinggal diam.
"Kakang... sudah jelas sumber air itu satu. Tetapi tidak semua sungai sama
bentuknya. Jadi kenapa harus membuat sungai seperti sungai di Jepun?"
Galih Kaliki berjingkrakan saking gembiranya.
Dalam hidupnya yang luntang-lantung tidak keruan juntrungannya, Galih Kaliki
baru merasa mempunyai arah ketika bertemu Nyai Demang.
Galih Kaliki sudah langsung kesengsem, tergila-gila.
Bahkan waktu ada sayembara memperebutkan putri ayu, Galih Kaliki maju ke depan.
Tidak untuk memperebutkan putri ayu yang disayembarakan, melainkan mencari Nyai
Demang. Tak nyana tak disangka kalau sekarang ini bakal ditegur begitu ramah dan mesra
oleh Nyai Demang! Sewaktu meninggalkan Perguruan Awan, Galih Kaliki memang hanya mempunyai satu
tujuan. Mencari Nyai Demang yang katanya mendapat undangan dari Keraton. Walau
Nyai Demang tidak mengatakan begitu, Galih Kaliki diberitahu Wilanda.
Begitu mendengar penjelasan Wilanda, Galih Kaliki langsung berangkat. Hanya saja
setiba di Keraton, tak ada yang mendengar kabar Nyai Demang.
Galih Kaliki mencari ke mana pun kakinya bisa melangkah. Masuk ke tengah alun-
alun karena melihat pertarungan. Dan karena merasa ada persamaan ilmu dengan
miliknya, tanpa pikir panjang ia ikut terjun ke gelanggang.
Siapa sangka bakal bertemu dengan pujaannya!
Galih Kaliki jadi bersinar-sinar wajahnya.
Tapi tetap saja sama. "Nyai, aku tidak mengerti apa yang kaukatakan. Omong saja terus terang."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sumber ilmu tongkat kayu sama dengan ilmu pedang panjang. Akan tetapi Kakang
tak usah mengikuti gerak-gerik yang sama. Kakang bisa memainkan gerakan
sendiri." Kalacakra tertawa terbahak.
"Majapahit, keraton yang hina. Para ksatria di tanah ini hanya bisa main
keroyokan." Menyakitkan kata-kata itu, walau diakui ada benarnya. Setelah Mpu Sora dan Mpu
Semi keteter, muncul Galih Kaliki, dan sekarang Nyai Demang.
Tak salah kalau dikatakan main keroyok.
Tapi dalam hal bersilat lidah, Nyai Demang bukan lawan yang bisa disudutkan
begitu saja. "Baru saja kalian sesumbar menghadapi secara bersama atau satu demi satu. Belum
kering bibir kalian, sudah merasa jagoan karena dikeroyok.
"Baru saja kalian sesumbar memiliki kitab pusaka yang paling ampuh di kolong
langit, tidak tahunya justru sama saja dengan tongkat kayu yang dimainkan
Kakang." Kalandara yang sejak tadi berdiam, nampak mengangguk.
Agaknya ia sendiri merasa heran.
"Apanya yang mau kalian sombongkan"
"Kenapa kalian merasa satu-satunya yang memiliki ilmu silat model tongkat kayu"
Dunia ini sungguh luas. Yang muncul di tanah Jepun turunan ilmu dari negeri
Tartar, akan tetapi yang datang ke negeri Tartar juga berasal dari tanah Hindia.
"Untuk apa dipertengkarkan"
"Kitab Bumi jelas milik kami. Tetapi kalau kalian ingin mempelajari atau ingin
mengembangkan, kami tak akan melarang. Kenapa harus dipertengkarkan" Apakah
Jalan Budha, apakah bernama Tepukan Satu Tangan, apakah Kitab Penolak Bumi, atau
Kitab Bumi, atau kitab pusaka kalian, bukannya berasal dari sumber yang sama"
Bukankah kita tak pernah tahu siapa dan negeri mana sumber utamanya"
"Saya bernama Nyai Demang, sama sekali tidak ingin meributkan hal itu. Akan
tetapi kalau kalian berdua ingin menjajal ilmu silat, akan saya layani.
"Pendeta-pendeta dari Jepun tak lebih hanyalah pendeta dengan kaki yang
menginjak tanah, membenam di lumpur sawah, bukan mega-mega yang bergantungan di
langit! "Di tanah ini juga ada sawah, ada langit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mari kita lihat, kaki siapa yang lebih berbau lumpur."
Kalandara mendadak membungkukkan tubuhnya. Punggungnya rata dan merupakan garis
patah dengan pinggang. Nyai Demang berhasil memperlihatkan cara membaca pikiran lawan secara sangat
luar biasa. Nyai Demang tahu bahwa ksatria Jepun sangat memegang ajaran pendeta
negeri Tartar menjadi lumpur di sawah, bukan menggantung di langit. Perbandingan
ini tidak banyak yang mengetahui.
Pedang Matahari MAHAPATIH Nambi tidak menyangka sama sekali bahwa kedua Kama itu memberi hormat
yang dalam kepada Nyai Demang. Wanita yang selama ini tak pernah dianggap
istimewa, apalagi terhormat.
Berbeda dari semua yang ada di lapangan, Nyai Demang pernah bergaul rapat dengan
para Naga dari negeri Tartar. Dari sanalah Nyai Demang bisa mengetahui asal-usul
ilmu silat. Sejauh yang didengar, segala sumber ilmu silat berasal dari tlatah Hindia, yang
dibawa mengembara oleh para pendeta. Yang sampai di tanah Cina adalah ajaran
Imam Besar Tat Mo yang perkasa. Di sanalah berkembang sumber dari segala sumber
yang disebut ilmu Jalan Budha.
Dari tanah Cina sebelum dikuasai oleh bangsa Mongol atau Tartar, ilmu yang sama
sampai ke tlatah Jepun. Bangsa Jepun mengakui bahwa yang membawa ilmu itu ke tanah mereka adalah Mpu
Bodidarma. Di tanah Cina ilmu itu berkembang lebih termasuk ke dalam cara-cara pernapasan
dari ajaran Tao, seorang mahaguru yang sakti mandraguna. Sedangkan di tanah
Jepun ajaran tersebut mengalami perbedaan.
Inilah yang dibanggakan bangsa Jepun secara luar biasa. Ajaran Jalan Budha tidak
diterima sebagai ajaran latihan pernapasan dan cara pengabdian semata-mata. Akan
tetapi ditekankan kepada ilmu keras, di mana keunggulan dibuktikan dengan
kemenangan. Di mana mengalahkan dan dikalahkan adalah hal yang biasa untuk
menakar. Menurut pandangan para empu dari Jepun, ilmu Jalan Budha para pendeta Cina
dianggap terlalu mengawang. Tidak berpijak di bumi. Para jawara Jepun menganggap
bahwa tujuan utama bukanlah hanya mencapai kebahagiaan abadi sesudah mati, akan
tetapi juga kejayaan semasa hidup. Dengan istilah yang mereka pakai, "ilmu yang
membenam dalam lumpur sawah, bukan yang tergantung di langit"
sebagai ajaran kosong. Pertentangan tentang ajaran mana yang lebih unggul masih selalu terjadi. Dimana
para jawara saling mengunjungi negeri masing-masing
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
untuk mengukur siapa yang lebih mahir, siapa yang mumpuni, siapa yang lebih
menguasai. Di tanah Jawa, ajaran yang diterima bukan yang melalui negeri Cina ataupun
Jepun. Mereka percaya bahwa seorang pendeta Hindia sendiri yang membawa ajaran
ke tanah Jawa, dan tidak hanya sekali datang.
Para ksatria menyebut mereka sebagai Tamu dari Seberang, seorang tokoh yang
sakti mandraguna. Pada zaman awal keraton Singasari, konon Tamu dari Seberang
itu menampakkan diri, juga sewaktu zaman akhir.
Menurut perhitungan, hanya Eyang Sepuh yang berhasil menemui mereka yang disebut
Tamu dari Seberang. Eyang Sepuh-lah yang dikenal sebagai pendiri Perguruan Awan.
Kalau dicoba diambil perbandingan, sumber yang sama memperlihatkan perbedaan
perkembangan di masing-masing negeri.
Dipadu dengan ajaran setempat di tanah Cina, norma-norma itu berkembang menjadi
pengabdian kepada raja yang tiada habisnya.
Sementara di tanah Jepun bahkan sebaliknya. Para pendekar berpedang panjang juga
tumbuh di luar kalangan Keraton, sehingga mereka lebih merupakan lawan.
Sedangkan di Perguruan Awan adalah campuran keduanya. Sebagian ada yang menjadi
prajurit Keraton, atau bahkan senopati, sebagian memisahkan diri, tak mau tahu
urusan Keraton. Contoh utamanya ialah Eyang Sepuh yang tidak memperlihatkan diri sama sekali!
Dan kemudian Upasara Wulung yang lebih suka menghancurkan ilmunya!
Pertentangan-pertentangan ajaran Jalan Budha tumbuh di mana-mana. Di tanah Cina,
cara-cara membakar mayat dianggap bertentangan dengan ajaran setempat. Demikian
juga ajaran kesetiaan di tanah Jepun, yang bisa diartikan kesetiaan kepada
pedang, bukan kepada seorang raja.
Pertentangan demi pertentangan ini yang mengakibatkan tumbuhnya aliran-aliran
dalam dunia persilatan. Di tangan masing-masing pimpinan aliran inilah gaya dan
jurus-jurus mengalami perubahan dan kematangan yang berbeda.
Sehingga dari sumber mata air yang sama terbentuk sungai yang berbeda aliran
airnya. Akan tetapi kalau dilihat dari persamaannya, tetap mengingatkan kepada sumber
yang sama. Bisa dimengerti kalau kedua Kama ini sangat penasaran ingin mengetahui Kitab
Bumi yang menjadi sumber ilmu Tepukan Satu Tangan. Karena intinya memang sejenis
dengan "bertepuk dengan satu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tangan bakal memberikan suara lebih nyaring, dibandingkan bertepuk dengan dua
tangan." Dilihat dari sisi ini kecerdasan Nyai Demang memang mengagumkan.
Dalam dunia persilatan ia dipandang enteng. Karena memang tidak terlalu unggul.
Akan tetapi pengetahuannya yang luas membuat dua jagoan dari tanah Jepun
menunduk hormat dengan menekuk tubuh.
Sesungguhnya dari sedikit yang mengetahui Kitab Bumi, Nyai Demang termasuk yang
membaca kidungan secara tuntas. Baik yang disebut Dua Belas Jurus Nujum Bintang,
ataupun Kitab Penolak Bumi yang delapan jurus.
Bahwa penguasaan akan ilmu itu memang membuat Nyai Demang masih kalah
dibandingkan Galih Kaliki yang bahkan mungkin tak pernah membaca sendiri. Namun
dalam pembicaraan, jelas Nyai Demang jauh lebih unggul.
Mahapatih Nambi melihat dari sisi lain.
Keunggulan Nyai Demang bisa diartikan ancaman bagi dirinya.
Karena sebagai pimpinan telik sandi dan kini diangkat resmi sebagai mahapatih,
perhitungannya adalah demi keamanan dan ketenteraman Keraton sebagai yang utama.
Kalau Nyai Demang bisa menguasai kedua Kama ini, bukan tidak mungkin akan
dipakai untuk membalas dendam atas hancurnya Upasara.
Apalagi Nyai Demang secara mendadak muncul bersama Galih Kaliki!
Mahapatih Nambi tak mau memberi kesempatan.
"Kisanak, sebelum kalian lebih dalam menghormati wanita itu, perkenankan saya
menjajal sebentar. Hitung-hitung mencicipi kebodohan."
Mahapatih Nambi meraih kelewang besar dan berat. Maju ke depan.
Kama Kalandara mendengus.
Tanpa ba atau bu, Kalandara menerjang maju. Kembali pedang panjangnya menggores
langit, membersit di langit sebelum lurus menyabet lawan. Mahapatih Nambi
menyambut dengan keras, hingga menimbulkan suara keras.
Kalandara ternyata menggempur. Tiga sabetan ditangkis, tanpa menggeser kakinya,
tiga sabetan dilanjutkan lagi. Ditangkis secara beruntun.
Mahapatih Nambi mencoba mencari terobosan. Sebelum lawan menyabet, kelewang
berat dan besar mendahului menyodet lambung lawan. Kalandara mengeluarkan suara
dingin. Pedang panjangnya menukik ke bawah. Membentur keras disertai teriakan
keras, dan kakinya menyabet keras.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagus." Teriakan Galih Kaliki seakan menunjukan bahwa ia mengenal jurus itu.
Mahapatih Nambi tak ambil peduli. Tendangan ia tangkis dengan tendangan.
Mendadak saja debaran jantungnya seolah bertambah cepat.
Kakinya seperti membentur besi baja.
Yang terayun kedua, ketiga kalinya.
Sementara pedang panjang menyambar dari arah samping. Seakan memotong tubuh
Mahapatih dari pinggang secara miring.
Dua gempuran bagai ombak laut. Beruntun dengan gelombang yang makin besar. Kalau
Mahapatih mengerahkan tenaga ke kaki, berarti pedang Kalandara bisa menerobos
masuk. Kalau mengerahkan tenaga di atas, kaki lawan bisa meremukkan tulang
keringnya. Mahapatih mengerahkan seluruh tenaganya. Ia memilih jalan keras.
Tidak mau menggeser kakinya atau menghindar.
Mendahului benturan kaki yang keras, Mahapatih menyentakkan kelewangnya,
sehingga membentur di tengah udara. Agaknya Kalandara tak menduga bahwa kelewang
bisa dilepaskan. Sehingga agak kaget karena pedangnya bisa terdorong miring,
sementara gempuran kaki lawan sama kerasnya.
Tapi justru dalam sekejap, posisinya menjadi unggul.
Kalandara berputar, tangan kanan melepaskan pedang panjang yang segera ditangkap
dengan tangan kiri, langsung memotong tubuh Mahapatih.
Kalau ingin menangkis dengan kelewang, jelas Mahapatih kalah waktu dengan pedang
yang memotong tubuhnya. Terpaksa membuang tubuh ke samping, sambil menjentik
kelewangnya. Dengan harapan bisa menyambar kembali. Akan tetapi Kalandara dengan
keras menyabet kelewang hingga terbuang ke luar arena pertarungan.
Senopati Anabrang menangkap kelewang, dan dengan dingin melemparkan kembali ke
Mahapatih Nambi. Ia sendiri mengeluarkan kedua pedangnya sekaligus.
Kalacakra sudah langsung menggempur.
"Pedang Matahari Menutup Awan," Kalacakra berteriak mengguntur dan mendadak
tubuhnya berputar kencang sekali sambil menubruk lawan. Kalandara memakai
gerakan yang sama! Dua tubuh mereka saling sabet, bergulung, dan meluncur.
Kalacakra jadinya berhadapan dengan Mahapatih, sementara Kalandara mencincang
Anabrang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini hebat! Kama Kangkam, sang Guru GALIH KALIKI belum sempat mengucapkan pujian "bagus".
Segala perubahan terjadi sangat cepat.
Kalacakra dan Kalandara berjauhan tempatnya, tapi dengan satu serangan langsung
bertukar tempat. Padahal ini semua dilakukan dengan menggulung tubuh dan tangan
memainkan pedang panjang sambil bersinggungan.
Salah-salah bisa melukai teman sendiri!
Akibatnya memang parah. Gempuran Kalacakra membuat Mahapatih merasa ubun-ubunnya didesiri angin dingin,
Segenap tenaganya hanya bisa dipakai untuk menangkis, Kelewangnya tergetar, dan
terlempar jauh. Dengan mengegos sedikit, Mahapatih merasa pundaknya perih.
Irisan angin sanggup membuat luka yang langsung membuat pundaknya berwarna
kemerah-merahan. Hal yang sama dialami oleh Senopati Anabrang.
Begitu Kalandara menyerang dengan gerakan kilat, Senopati Anabrang mengangkat
kedua pedangnya. Satu dipakai untuk menangkis keras, satunya dipakai untuk
mencuri serangan, Celakanya justru yang dipakai untuk menangkis terseret arus
tenaga lawan dan terpental ke tengah udara, Persis seperti kelewang Mahapatih,
Bedanya sekarang tak ada yang menyambar Sementara tusukan ke dada lawan seperti
mengenai karung berisi angin. Tanpa merasa sungkan lagi, Senopati Anabrang
menjatuhkan diri dan melindungi seluruh tubuhnya dengan satu pedang.
Pada saat yang sama, Senopati Kuti sudah meloncat ke angkasa sambil melemparkan
senjata andalannya, yaitu tameng, atau perisai, Berbentuk seperti ceping,
perisai ini terlontar tiga buah berturut-turut mengeluarkan desingan suara.
Semua prajurit juga bersiap.
Tanpa memperlihatkan kecemasan dan juga rasa menang, Kalacakra dan Kalandara
saling merapatkan punggung Dengan pedang panjang di tangan masing-masing,
keduanya siap menghadapi keroyokan.


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus ya, Kakang."
"Bagus sekali, Nyai, Mereka bisa main bersama, Selama ini aku tak pernah
menjajal Nyai mau melatihku?"
"Sekarang pun bisa."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Betul" Nyai mau?"
Pertanyaan Galih Kaliki sebenarnya lebih merupakan keheranan karena selama ini
Nyai Demang tak pernah mau bersamanya. Makanya ia mengeluarkan seruan heran.
Sedangkan bagi Mpu Sora yang mendengarkan, menyadari bahwa keheranan Galih
Kaliki disebabkan karena Nyai Demang mau terjun ke gelanggang pertempuran untuk
membela Keraton. Memang Nyai Demang mempunyai dendam kepada Keraton. Mpu Sora hanya mempunyai
dugaan bahwa hancurnya Perguruan Awan dan cacatnya Upasara Wulung cepat atau
lambat akan membangkitkan balas dendam. Makanya cukup mengherankan bahwa Nyai
Demang sekarang ini mau membela.
Bagi Nyai Demang masalahnya sederhana. Ia menyimpan dendam yang membuat dadanya
yang montok menjadi sesek. Akan tetapi karena kini ada ancaman dari luar, ia tak
bisa berpangku tangan, Biar bagaimanapun, ini soal kehormatan dan keluhuran
tanah air. Maka Nyai Demang berniat maju.
Dendam urusan pribadi bisa dikesampingkan,
"Bagus, Nyai, Kita maju bersama. Kamu pilih yang mana dan aku yang mana?"
"Kakang bisa menghadapi sendirian."
"Aku?" Nyai Demang berdesis. Suaranya sengaja dikeraskan, agar bisa terdengar telinga lain selain Galih
Kaliki "Kedua Kama ini hebat kelihatannya, akan tetapi sebenarnya biasa-biasa saja
ilmunya. "Kelihatan hebat karena dalam sekejap bisa membuat senopati agung Majapahit yang
sombong jadi panas-dingin keringatan. Mahapatih Nambi, Mpu Sora, Senopati
Anabrang, Senopati Semi, bahkan tameng Senopati Kuti tak berbuat banyak. Besar
atau kecil perhitungannya, mereka bisa dikalahkan.
"Dan kalau sekarang akan diadakan pengeroyokan hebat, hanya akan memperbanyak
korban berjatuhan. "Padahal hanya kelihatannya saja hebat, Ilmu yang mereka mainkan biasa-biasa
saja, Mereka mulai dengan kidungan Kitab Penolak Bumi yang kita miliki, Dalam
kidungan itu selalu dimulai dengan penolakan, dengan pengingkaran. itu tadi yang
dimainkan Kalacakra dan Kalandara, Sehingga lawan yang dihadapi
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bukanlah lawannya. Dengan cara begini saja, para senopati perkasa jadi
kelabakan. "Kakang, maju saja sendiri."
Galih Kaliki maju ke tengah.
"Dengan cara yang sama Kakang hadapi mereka. Yang menyerang berarti bertahan,
yang bertahan berarti tidak menyerang. Gunakan satu tangan mengedepankan
tongkat. Tak perlu diayun."
Kalacakra dan Kalandara yang beradu punggung memutar begitu Galih Kaliki
mendekat. Satu pedang terayun. Galih Kaliki mengedepankan tongkatnya. Kalacakra
mendadak menghindar ke arah lain, sehingga Kalandara yang berhadapan.
Galih Kaliki tertawa. "Bagus, Nyai. Mereka berputar bagai gasing."
"Yang berputar itu ditentukan oleh yang diam. Gasing hanya berputar di bagian
pinggir. Kakang jangan pedulikan. Jangan bicara. Gerakan tongkat untuk menjawab.
Jangan pedulikan yang kiri atau yang kanan, yang bergerak atau yang diam,
berarti ia sendiri tak bergerak.
Sementara yang diam tidak diam, karena ia bisa bergerak bisa diam."
Senopati Anabrang memuji keunggulan Nyai Demang. Ketika serangan datang, lagi-
lagi Galih Kaliki mengedepankan tongkat. Sambil terus maju. Mengetok,
menyodorkan, silih berganti.
Justru akibatnya kedua Kama jadi terdesak.
Senopati Anabrang melihat bahwa Galih Kaliki lebih banyak menunggu serangan.
Dengan cara menggerakkan jurus yang sama dan berulang!
Senopati Anabrang jadi ingat ketika berhasil mematahkan barisan sembilan
Gandring! Saat itu ia juga dalam keadaan sangat terdesak, dan mendadak tenaga
dalam yang disalurkan oleh Upasara yang tersarang dalam tubuhnya bagai magma
melonjak ke luar laksana lahar.
Memancar begitu saja! Sekarang ini kurang-lebih sama!
Meskipun kelihatan sekali perbedaan cara mengatur serangan. Kalau sembilan
Gandring mempersatukan tenaga dan kekuatan yang ada, kedua Kama ini menyatukan
diri tanpa masing-masing kehilangan kemampuannya. Seperti ditunjukkan dengan
serangan berlainan arah tadi.
Mahapatih memandang dengan mata menyipit.
Kalau tadi ia merasa pamornya bakal hilang kalau Nyai Demang yang bisa
menyelesaikan persoalan, sekarang pilihannya jadi lain. Ia tak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
merasa rendah kalau Nyai Demang dan Galih Kaliki yang bisa mengenyahkan atau
membuyarkan kedua Kama itu. Setidaknya ini jauh lebih baik, daripada Keraton
diobrak-abrik tanpa perlawanan berarti.
"Jangan mendahului, Kakang, tetapi jangan menunggu. Pedang panjang sebenarnya
pendek seperti tangan. Pedang pendek tak pernah digunakan. Satukan pikiran,
jangan melihat lawan. Dengarkan kata-kata saja. Karena lawan di depan atau di
belakang, sebenarnya tak bisa menjauh."
Galih Kaliki memapaki serangan, mengimbangi dengan kecepatan yang sama.
Kalacakra dan Kalandara makin terdesak. Berputar-putar, dan menjauh dari Galih
Kaliki yang dengan sangat mudah menyatukan pemusatan pikiran. Tanpa diminta
tanpa disuruh, Galih Kaliki sudah dengan sendirinya hanya memikirkan Nyai
Demang. Mendadak terdengar suara pelan, tidak terlalu berat nadanya, namun cukup jelas
terdengar. Bukan semata-mata karena alun-alun sunyi dan hanya suara Nyai Demang
yang terdengar, akan tetapi karena suara itu dikeluarkan dari tenaga dalam yang
terlatih sempurna. "Jangan bertanya kanan atau kiri, atas atau bawah, depan atau belakang, kalau
jawabannya akan selalu sama.
"Jangan mendengarkan yang bicara, karena lawan yang tidak berbicara lebih
berbahaya. Seekor burung bisa dilatih berbicara, akan tetapi tak bisa mengerti
artinya. "Jangan memaksa diri. Kalau kalah, kenapa tak mau mengakui"
Kedua Kama mengeluarkan teriakan keras, lalu keduanya duduk bersila di tanah.
Kedua pedang yang pendek yang tadi selalu tersembunyi, kami siap untuk melakukan
bunuh diri. "Guru, kalau Guru tak mau tangan Guru kotor, biarlah murid yang melakukan
sendiri. Kami mohon petunjuk."
Yang dipanggil Guru adalah seorang lelaki gagah, usianya lebih tua dan kedua
Kama. Alisnya lebat dan bola matanya sangat galak. Dialah yang memerintah kedua
Kama, yang membahasakan diri sebagai murid, untuk menyerah. . .
"Kalau hidup pantas dinikmati, untuk apa menuju nirwana" Belum tentu di sana ada
pedang dan lumpur." Suara Nyai Demang membuat kedua Kama menunduk. Baru tegak setelah Guru juga
memberi hormat kepada Nyai Demang.
"Sungguh mulia hati wanita sejati. Aku Kama Kangkam atau disebut Benih Pedang,
guru kedua murid yang tidak becus ini berutang budi pada wanita berhati mulia."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang tergetar. Kalau muridnya saja begini hebat, apalagi gurunya. Namanya
saja sudah menggetarkan, Benih Pedang!
Pertarungan Garingan KAMA KANGKAM membungkukkan badannya sekali lagi.
Nyai Demang balas membungkuk sedikit, dengan tangan kanan tertekuk.
"Kenapa begitu sungkan memberi gelaran wanita mulia segala" Di negeri ini wanita
tidak hanya bisa membasuh kaki seperti wanita Jepun."
"Bolehkah saya mengetahui nama besar Putri?"
"Nama saya tidak memiliki. Hanya sebutan saja, yaitu Nyai. Karena saya sudah
mempunyai suami. Dan karena pangkat suami saya demang, maka saya terbiasa
dipanggil Nyai Demang. "Kama Kangkam, bahasa yang kamu gunakan sangat bagus."
"Agak lama berdiam di tanah Jawa, datang bersama pasukan Tartar.
Akan tetapi kemampuan saya sangat terbatas, Nyai. Apalagi ada huruf-huruf yang
tak bisa saya ucapkan dengan betul.
"Maaf, apakah Nyai masih ada hubungan dengan Perguruan Awan?"
"Ada atau tidak, tak ada gunanya ditanyakan. Karena kalaupun bukan dari
Perguruan Awan, saya tak akan membiarkan Keraton diobrak-abrik secara begini."
"Dua kali maaf, Nyai.
"Kami datang untuk melacak kitab pusaka negeri kami yang hilang musnah."
Nyai Demang mengibaskan tangannya.
"Kama Kangkam, kamu adalah seorang guru yang berilmu tinggi. Di negerimu sendiri
tingkatanmu bukan hanya ksatria, akan tetapi sejajar dengan pendeta. Untuk apa
berbasa-basi seperti itu"
"Aku tahu kamu datang ke tanah Jawa untuk menunjukkan bahwa kamulah satu-satunya
ksatria tanpa tanding. Di setiap tempat, pedang matahari ingin kamu tegakkan.
Kenapa beralasan Kitab Bumi segala macam?"
Kama Kangkam tegak berdiri.
"Kalau sudah tahu maksud kami sebenarnya, silakan bersiap. Kita akan berhadapan.
"Silakan siapa yang akan maju."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Kuti memberi aba peringatan. Tiga perisainya meluncur dengan desingan
tinggi, saling beruntun. Kama Kangkam mengeluarkan suara ejekan. Tanpa menggeser
kaki dan tubuhnya, tangannya justru menangkap perisai berbentuk caping itu.
Sedikit di bawah caping, dan dengan satu sentakan perisai itu terbang balik.
Tiga perisai terbang balik!
Seperti membalik tangan saja.
Yang luar biasa adalah perisai itu menghantam tiang sitinggil dan amblas ke
dalam bangunan bata. Yang pertama masuk ke dalam tiang, disusul yang kedua dan
ketiga. Semua masuk secara persis, berurutan, mengenai tempat yang sama. Akan
tetapi caping itu tidak sampai jatuh ke luar tiang.
Senopati Kuti mengeluarkan suara kagum.
Mahapatih pun menduga bahwa yang dihadapi memang tidak sembarangan. Setidaknya
satu atau dua tingkat di atas rata-rata mereka.
"Masih ada yang ingin menjajal?"
Galih Kaliki menjadi terbakar.
"Bagaimana, Nyai" Apakah saya maju sekarang ini?"
Nyai Demang tersenyum. "Dalam Kitab Jalan Budha milik bangsa Jepun, dibenarkan memotong pohon untuk
membuat sawah. Dibenarkan menebas yang atas untuk membuktikan siapa yang unggul.
"Di negeri ini bisa kita pakai membuka sawah tanpa menebang pohon."
"Nyai Demang, katakan, aku Kama Kangkam ingin mengetahui."
"Kita bisa bertanding garingan, tanpa ada yang perlu terluka atau mati. Sawah
siapa yang subur bisa diketahui tanpa harus ada pohon yang rebah."
"Pengetahuan Nyai mungkin disamai oleh yang luhur.
"Baik, baik. Baru saja Kalacakra dan Kalandara terdesak ayunan tongkat. Boleh
saya tahu apa nama jurus itu dan bagaimana mungkin bisa terjadi?"
Nyai Demang memandang ke arah langit.
"Kama Kangkam, kenapa kamu begitu suka berpura-pura"
"Bukankah itu yang dikenal sebagai pengerahan tenaga ilmu Tepukan Satu Tangan
yang ada dalam Kitab Penolak Bumi} Yang juga kamu kenali dengan baik"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Intinya adalah laku, pengertian bahwa tepukan satu tangan menjadi lebih nyaring
dari dua tangan. Bagian itu ada dalam Kitab Penolak Bumi. Kidungan yang
menceritakan itu adalah: Ke mana air mengalir
jawabnya: tepukan satu tangan
ke mana angin bertiup jawabnya: tepukan satu tangan
kalau hujan dari tanah ke langit
tepukan satu tangan kalau sirna, tepukan satu tangan
ke depan... "Galih Kaliki tak memedulikan apakah serangan itu dari Kalacakra atau Kalandara.
Tak peduli 'angin bertiup ke mana', tak peduli 'air mengalir ke mana', karena
jawabannya sama. Juga lawan tak mengubah
'hujan dari tanah ke langit', atau juga tak ada serangan.
"Kama Kangkam, dengan jitu kamu bisa membaca jurus itu dan segera menarik dua
muridmu. "Bukankah sebenarnya kamu yang unggul?"
Kama Kangkam menggelengkan kepalanya.
"Kami yang mundur, berarti kami yang kalah.
"Yang menjadi pertanyaan, kenapa Nyai gunakan jurus itu?"
"Gerakan Kalacakra dan Kalandara mengingatkan saya akan jurus dalam kidungan
yang bernama Sigar Penjalin.
"Sigar Penjalin adalah letak tanah yang dikepung dua air, baik keduanya
mengalirkan air ataupun salah satu. Kelihatannya Kalandara dan Kalacakra
menyerang bergantian, akan tetapi sebenarnya berarti menyerang keduanya. Dalam
Kitab Penolak Bumi, jelas-jelas diberikan untuk tumbal itu, yaitu kekuatan
diambil dari bumi, hanya dengan tenaga satu. Maka saya meminta Kakang Galih
membuat gerakan dengan sebelah tangan. Dengan demikian satu tangan bisa menyedot
tenaga dari dalam bumi. Sebenarnya kalau Kakang Galih menggunakan pedang,
hasilnya akan lebih bagus lagi. Karena sifat yang lebih tepat adalah
mempergunakan tenaga atau benda yang sifatnya tajam."
Wajah Kama Kangkam sebentar-sebentar berubah antara putih dan pucat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ada benarnya yang Nyai katakan. Tapi kenapa kamu tak melihat jurus Pedang
Matahari Menutup Awan?"
"Saya tak berhak memberitahukan kepada para senopati yang lebih hebat daripada
saya." Dengan kata-kata itu sekaligus Nyai Demang menampar para senopati yang ada.
Kama Kangkam berteriak dalam bahasanya, dan dengan cepat Kalacakra dan Kalandara
bergerak seperti tadi. Masing-masing bergulung dan berpindah tempat dengan
sangat cekatan. Nyai Demang mendehem. Galih Kaliki berdiri di tempat yang agak jauh.
"Kakang, mainkan Sekar Sinom. Gabungkan dengan pembukaan yang serba menolak."
Galih Kaliki bergerak lambat, tongkatnya tegak berdiri di tengah, sementara
kedua tangannya membentuk seperti daun, dan mengarah ke selatan.
Kalau tongkatnya kukuh, tangannya membara!
"Hebat," puji Kama Kangkam. "Apakah itu yang dinamakan Sekar Sinom?"
"Itulah jurus ketiga dalam Kitab Penolak Bumi. Jurus-jurus yang ada diciptakan
sedemikian rupa untuk memerintahkan, untuk menolak serangan, dengan kerelaan
menjadi tumbal andai keliru.
"Kangkam, jurus Sekar Sinom adalah jurus yang seharusnya dimainkan dari awal,
yaitu jurus-jurus sebelumnya. Sehingga kalau langsung dimainkan agak berkurang
tenaganya." "Apa artinya Sekar Sinom?"
"Aha, hitung-hitung kamu belajar dariku.
"Semua nama jurus - atau lebih tepat kidungan - yang ada dalam Tumbal Bantala Parwa,
sebenarnya menggambarkan keadaan tanah.
Tanah yang kita injak ini mempunyai watak. Mempunyai tenaga, mempunyai perasaan
memiliki kekuatan. "Letak tanah yang berbeda memberikan kekuatan yang berbeda pula.
"Melihat jurus Pedang Matahari Menutup Awan, sebenarnya serangan dari dua arah
yang berbeda. Lawan akan dijepit di tengah. Serangan ini sangat menguntungkan
secara tak terduga, akan tetapi ada kekurangannya, yaitu bahwa pekerjaan yang
dilakukan tak bisa sempurna.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dalam kidungan mengenai tanah yang disebut Sekar Sinom adalah tanah di mana ada
mata air di sebelah selatan, tanah itu dikepung oleh kampung."
"Kalau tanah dalam keadaan seperti itu, apa yang menjadi tumbal, penangkalnya?"
"Tenaga pohon asam di tengah sebagai pusat, dan bentuk pohon delima di sebelah
selatan." "Selatan, kenapa selatan?"
Nyai Demang tertawa bergelak.
"Kangkam, orang sebodoh kamu bagaimana bisa mengangkat diri sebagai guru" Apakah


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak malu?" Laku Itu Menerima KAMA KANGKAM menjublak. Matanya terbuka, wajahnya kosong.
"Kakang, rupanya mereka datang untuk berguru padaku. Bukan untuk tanding
garingan. Percuma saja. "Mari kita tinggalkan mereka."
Galih Kaliki mendekati. "Apa kata Nyai."
"Mohon Nyai Demang jangan meninggalkan tempat ini.
"Aku memang belum pantas menjadi guru. Sudilah menerangkan sebelum aku benar-
benar menjadi penasaran."
"Kangkam, kamu bisa memakai kekuatan pedangmu untuk menghancurkan, tetapi kamu
tak akan pernah mengerti apa yang disebut Jalan Budha."
Kama Kangkam berlutut. Kepalanya menyentuh tanah berulang-ulang.
"Mohon Nyai Demang memberi petunjuk."
"Kami hanya mengajarkan kepada anak murid."
Di luar dugaan, Kama Kangkam mengangguk lagi dalam-dalam.
Diikuti oleh Kalacakra dan Kalandara.
"Terimalah kami sebagai murid."
Sungguh luar biasa. Galih Kaliki pun tak menyangka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jika Guru bisa menerangkan, saya akan mengabdi seumur hidup.
Jika tak bisa, hari ini saya akan membunuh Guru."
Siapa pun yang mendengarkan ancaman Kama Kangkam menyadari bahwa sikapnya bukan
hanya main-main. Dan boleh dikatakan tak terlalu sulit bagi Kama Kangkam untuk
membunuh Nyai Demang. Karena jelas lebih unggul Kama Kangkam.
Kalaupun beberapa ilmu Kama Kangkam bisa dipecahkan dengan jitu oleh Nyai
Demang, itu hanya secara teori.
Karena di dalam praktek, tenaga dalam dan cara memainkan pedang panjang ketiga
Kama guru dan murid ini jauh lebih tinggi.
"Kalau kamu berharap aku bisa memberi jawaban, kamu keliru memberikan
pertanyaan. "Di bagian depan ilmu Jalan Budha negeri Jepun sudah jelas, seperti di bagian
pembuka Kitab Penolak Bumi.
"Aku tak biasa menerangkan kenapa justru tenaga adalah di selatan.
Yang bisa kujawab, karena kidungan berbunyi seperti itu."
Kama Kangkam meloncat berdiri.
Bersama dengan itu pedang panjangnya lolos dari sarungnya, menebas sekitar.
Empat tombak putus seketika waktu turun ke tanah.
Memegang pedang di depan wajahnya, Kama Kangkam siap menghancurkan Nyai Demang.
Galih Kaliki berdiri di depan Nyai Demang.
"Temyata kamu wanita pendusta!"
Nyai Demang meminggirkan Galih Kaliki.
Walaupun berat hati, Galih Kaliki menyingkir.
"Aku bisa jadi pendusta. Siapa yang percaya" Aku bisa mengatakan Kitab Penolak
Bumi adalah pendusta. Siapa yang percaya"
"Selama kita masih curiga, selama itu pula tak ada jawaban yang terdengar.
Karena sewaktu curiga, telinga kita penuh isinya. Kita tak bisa mengisi cangkir
yang tengah penuh airnya.
"Kangkam, kalau aku berdusta, kenapa kamu ragu-ragu?"
"Katakan padaku, kenapa harus di selatan?"
"Karena itulah yang ditulis di kitab!
"Karena kita harus menerima. Itulah laku, itulah penerimaan, tanpa harus
mempergunakan akal, ilmu, dan perasaan. Inilah koan dalam Kitab Jalan Budha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa ketika Mahaguru ditanya, ia hanya menjawab dengan mengangkat satu
tangan" Kenapa tidak dua tangan" Kenapa tidak satu kaki atau dua kaki"
"Kenapa bunga teratai yang dipetik untuk memberi jawaban" Kenapa kita menganggap
itu sebagai jawaban?"
Mendadak suasana menjadi sangat sunyi.
"Kamu berharap aku bisa menerangkan 'kenapa selatan'. Padahal apa bedanya
selatan atau utara, barat atau timur" Itu hanya mata angin, tapi itulah
jawabannya. Dengan tenaga kanan dan kiri akan terdengar lebih luwes. Akan tetapi
nyatanya ditulis selatan.
"Selama kamu tak bisa menerima selatan, selama itu kamu akan bertanya. Selama
itu pula..." Nyai Demang terbatuk. Kama guru menunduk. Kedua muridnya menunggu. Tersipu.
Galih Kaliki menghela napas.
"Ada ratusan Jalan Budha yang setiap kalimatnya mengandung pengertian 'selatan'.
Kamu lebih tahu dariku, Kangkam."
"Ada 248 Jalan Budha."
"Seratus atau 248, apa bedanya" Lain guru lain jalannya.
"Dua Belas Jurus Nujum Bintang juga disebut Dwi Dasa Nujum Kartika. Padahal
harusnya dua puluh. Barangkali saja sisanya yang delapan jurus itu yang disebut
Tumbal Bantala Parwa. Sehingga secara keseluruhannya menjadi Dua Puluh Jurus
Bumi. "Itukah Kitab Bumi atau Bantala Parwa yang utuh"
"Itukah" "Itu bukan tidak mungkin kesalahan berat.
"Pandangan yang sesat.
"Kenapa tidak bisa kita terima bahwa Dwi Dasa Nujum Kartika itu Dua Belas Jurus
Nujum Bintang sebagaimana adanya dalam kitab itu"
"Kangkam, kamu menjadi murid pun tak pantas."
Nyai Demang segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Diiringi oleh Galih Kaliki.
Sepeninggal mereka berdua, Kama Kangkam masih menunduk. Baru kemudian berdiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mendadak meloncat ke angkasa, sambil mengeluarkan pedang panjang yang disabetkan
keras. Pedang itu mengenai tiang di mana perisai Mpu Kuti tersimpan. Yang segera
terlontar ke luar. Kama Kangkam menyambar pedangnya yang panjang. Ketiga perisai
itu disabet dengan satu gerakan.
Ketiganya terbelah. Persis di tengah! Pameran kekuatan dan kegesitan yang luar biasa.
Tak pernah ada yang mampu menunjukkan kemampuan begitu luar biasa, hanya dengan
satu sabetan. Bisa dibayangkan kalau disabetkan kepada manusia!
Semua senopati yang menyaksikan nggragap dan tergetar. Karena ternyata tiang di
sitinggil itu perlahan-lahan rontok. Batu bata dan olesan putih telur yang
dipakai merekatkan bersama madu seperti berubah menjadi bubur kering.
Dengan Kalacakra dan Kalandara berdiri di belakangnya, mereka bertiga seakan
siap untuk menaklukkan seluruh senopati Majapahit.
Ketika itulah Halayudha masuk ke tengah ruangan. Diiringi dua prajurit yang
membawa peti kayu. "Kisanak ksatria dari Jepun, terimalah Kitab Bumi sebagai tanda persahabatan
Majapahit dan Keraton Matahari."
Mpu Nambi, sebagai mahapatih, mendesis!
Kemurkaan sudah sampai di tenggorokan.
Dengan menyerahkan Kitab Bumi, berarti Keraton tunduk kepada Kama Kangkam! Itu
tak boleh terjadi. Ini soal kehormatan Keraton. Soal tanah air. Tak boleh begitu
saja menyerah. Darah boleh membasah jadi sungai, nyawa boleh melayang, akan tetapi untuk
menyerah, itu soal lain! Bagi para senopati, tindakan Halayudha seperti juga tanda takluk.
Tanda bertekuk lutut! Mpu Sora merasa terbakar wajahnya.
Senopati Anabrang bahkan segera meninggalkan ruangan.
Halayudha seperti tak terpengaruh sama sekali.
"Kisanak, terimalah persembahan kami."
Halayudha memberi isyarat kepada prajurit yang membawa peti untuk menurunkan dan
membukanya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kama Kangkam menengok ke dalam peti. Dua muridnya maju ke depan, mengambil klika
yang berisi Dwi Dasa Nujum Kartika serta Tumbal Bantala Parwa. Membaca sekilas,
lalu menyerahkan kepada Kama Kangkam. Kama Kangkam meneliti, untuk memastikan
kitab itu asli atau hanya salinan.
"Sebenarnya kitab ini tak ada artinya. Ada yang lebih berharga dari kitab ini,
yaitu Nyai Demang. Akan tetapi sebagai tanda pengakuan kalian, aku terima."
Kama Kangkam mengembalikan kitab itu kepada muridnya yang segera memasukkan ke
dalam peti. Halayudha tersenyum. Dengan mengibaskan tangannya, dua prajurit bergerak cepat. Tali yang tadi
digunakan untuk mengangkut peti sekarang digunakan untuk mengikat Kama Kangkam,
Kalacakra, dan Kalandara sekaligus!
Mata Kama Kangkam mendelik.
"Ksatria Jepun, kamu kira kami menyerah begitu saja. Sekarang ini tangan kalian
akan lemas dan tak bisa digerakkan. Maka terserah Dewa Matahari, apakah ia
bermurah hati padamu atau tidak. Sebelum tenagamu pulih, kami akan mendengar
suara Dewa Matahari-mu. Apakah kamu dibiarkan terikat tali seumur hidup atau dibuat cacat."
Mahapatih tak menduga bahwa Halayudha berlaku curang!
Kitab Penolak Bumi telah ditaburi racun sebelumnya.
Bantala Rengka TINDAKAN Halayudha mengejutkan.
"Ksatria Jepun, terimalah nasibmu. Begitulah kalau merasa paling sakti di atas
bumi. Pohon bisa dikalahkan tingginya, gunung bisa diatasi, bahkan langit. Akan
tetapi manusia tak bisa dihina."
Dengan memberi isyarat kibasan tangan, ketiga Kama digotong ke luar sitinggil
dengan tubuh terikat tampar, atau tali yang tebalnya sebesar jari.
Suasana masih senyap. Setelah prajurit yang membawa lenyap dari pandangan, Halayudha mendekat ke arah
Mahapatih. Bersila dan menghaturkan sembah.
Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati.
Apa sebenarnya maksud Halayudha"
Baru saja dengan cara yang licik menjebak ketiga Kama yang beringas. Kini seakan
seluruh kegagahannya lenyap menguap.
Dan menyembah kepada Mahapatih Nambi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang disembah pun tak menduga bakal menerima penghormatan seperti ini.
Meskipun Nambi adalah Mahapatih yang diangkat secara resmi oleh Baginda Raja,
tetapi tak menyangka akan menerima penghormatan semacam ini. Di depan begitu
banyak senopati dan prajurit, Halayudha begitu merendahkan dirinya.
Sebagai pemegang jabatan mahapatih, Nambi ibarat kata raja yang melaksanakan
perintah harian. Memegang kemudi pemerintahan sehari-hari. Sehingga senopati dan
para empu seangkatannya tunduk dan melapor kepadanya tanpa kecuali. Dan itu
memang dilaksanakan. Akan tetapi, karena riyawat dan perjalanannya hampir sama,
boleh dikatakan sembah-menyembah tak terjadi.
Bahkan Mpu Sora pun tak perlu menyembah seperti yang dilakukan Halayudha.
Dalam posisi ini, Halayudha tak berbeda dari para senopati yang lain.
Pangkat hala sejajar dengan patih, ataupun patih amancanegara yang dijabat
Adipati Lawe. Halayudha sedikit lebih istimewa karena dialah patih yang sehari-hari
berhubungan langsung dengan Baginda. Bahkan Mahapatih pun tak sesering Halayudha
menghadap Baginda Raja. "Berdirilah, Paman Halayudha."
"Duh, Mahapatih," kata Halayudha tanpa menggeser duduknya. "Saya telah melakukan
kehinaan yang melukai kehormatan semua jiwa agung.
Seumpama bumi saya adalah bumi yang terbelah. Sayalah bantala rengka. Seumpama
telur dalam eraman, sayalah telur yang busuk.
"Saya telah melakukan kehinaan yang paling memalukan. Tak sepantasnya saya
meracuni kitab pusaka, sehingga yang memegang akan kehilangan rasa dan kekuatan
pada tangan dan tubuhnya.
"Saya melakukan semata-mata demi kehormatan kita semua, agar tak diinjak-injak
ksatria berkucir dari Jepun.
"Akan tetapi apa pun alasan saya, sepenuhnya saya bersalah.
Hukuman apa pun, saya siap menerima untuk meringankan dosa yang tak terampuni
ini. "Mohon Mahapatih menyebutkan hukuman apa."
Cara berbicara Halayudha menunjukkan penyesalan yang dalam, sekaligus mengakui
kekuasaan Mahapatih untuk menjatuhkan hukuman. Sebagai tangan kanan Baginda,
Mahapatih Nambi memang berhak menjatuhkan hukuman.
Memang dalam hal ini Keraton Majapahit mempunyai beberapa perkecualian. Karena
sejarah berdirinya dan diangkatnya para senopati
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
juga berbeda. Yaitu melalui peperangan bersenjata dalam mengusir lawan-lawannya.
Baik Raja Muda Jayakatwang ataupun pasukan dari Tartar.
Sehingga ada beberapa senopati yang juga mendapatkan sebutan dharmaputra, putra
yang berbakti atau berjasa. Dengan demikian selain jabatan serta pangkat
pangalasan wineh suka atau prajurit yang mendapat hak-hak istimewa. Senopati
Kuti, Sora, Semi, Tanca, Pangsa, Wedeng, dan Halayudha termasuk dalam sebutan
dharmaputra. Sehingga walaupun berhak, Mahapatih juga memandang kekuasaan Baginda.
Tak nanti sembrono main menghukum saja.
Ini tak mengurangi arti bahwa Halayudha memang bersalah! Berbuat hina!
Akan tetapi pertimbangan lain adalah bahwa Halayudha berbuat sesuatu yang licik
untuk menyelamatkan Keraton. Hanya dengan cara meracuni secara diam-diam,
Halayudha bisa menjebak Kama guru dan dua muridnya. Rasanya kalau bertempur
biasa, belum tentu bisa memenangkan, tanpa banyak korban. Bahkan bisa-bisa jatuh
korban dan tetap kalah. Dilihat dari sisi lain, Mahapatih jadi ragu.
Menghukum tidak sepenuhnya benar.
Memberi ampunan begitu saja, juga tak bisa dibenarkan.
Sebab yang terutama sekali, kalau cara-cara Halayudha dibenarkan, nilai-nilai
kejujuran, nilai-nilai jiwa ksatria yang luhur yang ingin ditegakkan menjadi
mencong adanya. Mahapatih menyadari bahwa di antara para senopati sendiri terjadi semacam
kebimbangan dalam hal ini. Terutama karena sikap ini menyangkut sikap Baginda!
Raja yang menjadi satu-satunya pusat kekuatan dan kekuasaan untuk dianut.
Para senopati ada yang tidak sepenuhnya setuju sewaktu Baginda masih menjadi
senopati dan menggempur pasukan Tartar. Cara-cara yang digunakan tidak
sepenuhnya menumbuhkan jiwa ksatria. Bagi Mpu Sora hal itu diperjelas lagi
sewaktu Baginda menitahkan Permaisuri Rajapatni ke Perguruan Awan.
Bahkan semua manusia mungkin sekali-dua melakukan kesalahan, hal itu wajar dan
bisa diterima. Akan tetapi tidak berlaku untuk seorang raja!
Baginda Raja tak boleh kelihatan salah atau meragukan sifat ksatria!
Akibatnya bisa hancur-hancuran seluruh tatanan yang ingin ditegakkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kekeliruan Baginda ibarat kata bisa meruntuhkan langit dan membuat bantala
rengka. Keraguan Mahapatih membuat suasana lengang agak lama.
Halayudha menyembah lagi.
Lalu mendadak mencabut keris dari pinggangnya dan dengan gerakan kilat
ditusukkan ke lambungnya sendiri.
Mpu Renteng yang melihat kemungkinan ini, menjulurkan ujung kainnya. Sementara
Senopati Pangsa yang berbeda tak begitu jauh, menyambar pergelangan tangan
Halayudha. Keris itu hanya menyerempet perut bagian luar.
Mahapatih menghela napas.
Pikirannya berjalan cepat. Tindakan Mpu Renteng dan Senopati Pangsa ini
sekaligus menunjukkan bahwa mereka berdua tidak menyetujui hukuman bunuh diri
yang dilakukan Halayudha.
"Sudahlah, Paman Halayudha.


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baginda Raja yang berhak menentukan hukuman atau pujian. Masih ada waktu untuk
sowan, menghadap Baginda."
Mahapatih segera meninggalkan tempat.
Kembali ke tempat istirahatnya dengan pikiran yang penuh. Santapan yang
disediakan tak disentuh, istri utama dan para selir tak berani mendekat kalau
Mahapatih seperti beradu alisnya.
Rasanya setiap hari beban sebagai mahapatih bertambah berat di pundaknya.
Mpu Nambi masih belum begitu percaya, ketika suatu saat Halayudha datang
kepadanya dan menceritakan bahwa Baginda sangat terkesan akan pengabdiannya.
Terkesan akan cara-cara memimpin prajurit telik sandi.
Secara tidak langsung, saat itu Halayudha membisikkan bahwa kemungkinan Nambi
diangkat mahapatih sangat besar. Hanya saja mungkin banyak yang iri.
"Tetapi Baginda percaya, Senopati Nambi akan bisa mengatasi. Kalau perlu dengan
segenap ilmu yang ada."
Bahkan saat itu pun, Nambi masih menduga-duga Halayudha seperti menyimpan dan
juga menyebarkan benih-benih permusuhan.
Membangkitkan kecurigaan dan permusuhan.
Namun nyatanya benar! Dalam pasewakan agung, Baginda Raja mengangkat sebagai mahapatih. Mahapatih
Nambi, tangan kanan Baginda Raja. Saat itu pun
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
telah terlihat bibit permusuhan. Adipati Lawe segera meninggalkan pasewakan
agung! Tindakan yang secara terang-terangan menantang Baginda!
Bagi Mahapatih, bantala rengka bukan berarti perbuatan yang licik saja. Kata-
kata itu juga bisa berarti bahwa kini tanah telah terbelah.
Ada lubang menganga. Ada keretakan besar!
Persatuan yang utuh saat-saat merebut Singasari tak ada lagi!
Sesuatu yang sangat disayangkan.
Saat itu, selesai pelantikan, Halayudha datang lagi kepadanya.
"Mahapatih Nambi, kenapa Mahapatih justru berwajah sedih?"
"Paman Halayudha, rasanya banyak dharmaputra yang lebih pantas."
"Mahapatih, hal yang paling tercela dalam hidup ini, kalau saya boleh lancang,
adalah meragukan kehormatan yang diberikan oleh Baginda."
"Adipati Lawe meninggalkan pertemuan."
"Adipati Lawe adalah putra Aria Wiraraja yang perkasa dan dihormati.
Keponakan Senopati Sora yang perkasa. Akan tetapi Adipati Lawe tetap seorang
adipati. Dan adipati di bawah perintah mahapatih. Banyak adipati, akan tetapi
hanya ada satu mahapatih! Tak pernah ada dua mahapatih, tak pernah ada dua
pimpinan." Windu Kuntara KALAU sudah tenggelam dalam pikiran yang tak bisa segera diatasi, Mahapatih tak
bisa segera tidur, walaupun mata sudah berat. Tak ada nafsu makan, walaupun
perut sudah kosong. Bahkan untuk menenggak minuman pun tak ada niatan, walau
semuanya telah tersedia. Sejak resmi diangkat sebagai mahapatih, merasakan banyak perbedaan. Sahabat
eratnya menjadi menjauh, baik karena perbedaan kekuasaan atau sebab lain. Selama
ini dirinya masih bisa berbicara dengan Mpu Sora, Mpu Renteng, dan yang lainnya.
Akan tetapi sejak diwisuda menjadi patih amangkubumi, segalanya berubah.
"Menurut perhitungan setiap delapan tahun, saat ini disebut Windu Kuntara,
Mahapatih," kata Halayudha. "Sejauh yang saya tahu, perhitungan setiap saat
bakal berulang dalam jangka waktu delapan tahun atau sewindu. Satu windu berarti
delapan tahun. "Dan setiap satu windu mempunyai arti sendiri-sendiri. Windu Adi mempunyai sifat
berlebih. Itu adalah saat-saat banyak bangunan baru.
Sedangkan Windu Kuntara mempunyai sifat serba baru, serba mengada, baik gerak-
gerik, maupun sikap yang lebih mendasar. Windu Sangara membawa sifat berlebihan
segala yang cair. Saat hujan lebat, saat banjir besar, dan saat munculnya
kelompok-kelompok baru. Windu berikutnya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
ialah Windu Sancaya yaitu saat tumbuhnya persahabatan, memitran sejati. Yang
tadinya lawan jadi kawan, yang tadinya kawan jadi saudara.
"Begitulah yang saya ketahui, Mahapatih.
"Ini menurut perhitungan zaman yang bisa meleset dan bisa diabaikan saja. Hanya
kalau kita melihat kenyataannya, saat ini banyak hal yang baru, yang aneh, yang
sebelumnya tak pernah diketahui."
Selama ini Mahapatih selalu mencoba menahan diri.
Karena justru Mahapatih mulai memperkirakan, di mana sesungguhnya posisi
Halayudha. Selama ini kelihatannya serba remang. Itulah keuntungan Halayudha dibandingkan
dengan dirinya. Sebagai mahapatih, sebagai pemimpin prajurit telik sandi,
dirinya ibarat kata berada di tempat yang terang.
Segala tindak-tanduk dan gerak-geriknya bisa dilihat.
Kekuatan dan kelemahannya bisa diukur.
Dalam tata pemerintahan dan intrik-intrik yang masih mengusik, posisi berada "di
tempat terang" lebih banyak merugikan.
Mahapatih Nambi mencoret nama Mpu Sora sebagai lawan yang harus diperhitungkan.
Sebelum ini memang terasa persaingan yang kuat antara dirinya dan Mpu Sora.
Akan tetapi Mahapatih mendengar sendiri bahwa Mpu Sora lebih setuju tidak
dipilih karena merasa tak pantas. Mpu Sora justru mengucapkan rasa syukur ketika
tahu Mpu Nambi yang terpilih.
Sebagai sahabat lama yang mengenal sifat Mpu Sora, Mpu Nambi mengetahui
kejujuran jago tua dari tlatah Madura ini. Di depan Baginda Raja, ketika
dimintai pertimbangan secara perorangan, hal-hal yang diinginkan tak akan
disembunyikan. Mpu Sora bahkan menyebut-nyebut kegagalannya sebagai pengawal
Permaisuri Rajapatni sebagai salah satu sebab ia merasa tak pantas.
Padahal jelas Mpu Sora akan mendapat dukungan lebih banyak dari kalangan
senopati. Mpu Renteng jelas. Adipati Lawe malah secara terang-terangan
mengatakan bahwa tak ada calon lain selain Mpu Sora.
Mpu Sora atau tak usah ada!
Cara berbicara dan sikap lugas Adipati Lawe membuat ia meninggalkan pertemuan
tanpa pamit. Bagi Mahapatih sikap Adipati Lawe jelas.
Justru sikap yang tersamar seperti Halayudha ini yang membuatnya berpikir
beberapa kali. Jauh sebelum pengangkatan dirinya, Halayudha sudah mengetahui.
Berarti sudah diajak bicara secara pribadi oleh
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baginda Raja. Berarti hubungannya sangat dekat dengan Baginda, dan kata-katanya
didengar. Sewaktu badai mengancam dengan munculnya ketiga Kama dari Jepun, ternyata
Halayudha yang bisa menyelesaikan. Dengan caranya sendiri!
Lepas dari caranya yang licik, Halayudha bisa melepaskan diri dari ancaman lawan
secara licin. Bahwa ia bisa membawa keluar Kitab Bumi secara lengkap yang disimpan dalam kamar
Baginda, membuktikan keleluasaan bergeraknya.
Ini bisa menjadi bahaya, karena kalau dilihat caranya, Halayudha tega untuk
melakukan apa saja. Hanya saja Mahapatih tak melihat adanya bukti-bukti kuat untuk mencurigai
Halayudha. Sebaliknya Halayudha justru memberi banyak keterangan yang terbukti
kebenarannya. Jauh sebelumnya, Halayudha sudah memberi kisikan bahwa Mpu Sora akan diangkat
sebagai rakian patih di Daha. Sebagai penguasa di Dahanapura, yang secara tata
pemerintahan bertanggung jawab atas wilayah itu, akan tetapi tetap di bawah
Mahapatih. Pengangkatan ini ternyata terbukti kemudian.
Dan karena Mpu Renteng masih tetap bertugas di Keraton, persekutuan keduanya
boleh dikatakan terpisahkan.
Satu demi satu para dharmaputra yang mendapat hak-hak istimewa akan diberi
wilayah yang dikuasai Keraton. Ini juga berarti bahwa mereka akan berada di
tempat yang jauh dari pusat kekuasaan.
Berarti juga, penguasaan atas Keraton lebih terpusat di tangannya.
"Kapan Senopati Sora diberangkatkan ke Daha, Mahapatih bisa menentukan
tanggalnya. Siang atau sore."
Sesuatu yang luar biasa, karena kemudian apa yang disarankan Mahapatih
disampaikan ke Baginda Raja. Dan Baginda sendiri yang menentukan saat
keberangkatan. Yang menyiksa Mahapatih ialah ia merasa curiga akan kehadiran dan posisi
Halayudha, namun setiap waktu justru Halayudha membantunya.
Seperti serbuan ketiga Kama!
Di depannya, Halayudha bahkan siap melakukan bunuh diri!
Prajurit telik sandi yang ditempatkan di kalahan, atau tempat tinggal Halayudha,
tak pernah menemukan bukti-bukti yang mencurigakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan sebaliknya, selalu memberi laporan yang baik. Bahwa Halayudha, di mana
pun berada, selalu mengatakan tugas utamanya adalah mengabdi. Mengabdi adalah
melayani secara total kepada yang berkuasa. Dalam hal ini Baginda dan Mahapatih.
Kalaupun saat ini diminta nyawanya, ia akan memberikan tanpa bertanya.
Yang lebih membuat Mahapatih merasa tersisih dan rumit adalah kenyataan bahwa ia
tak bisa membagi perasaan hatinya dengan para senopati yang lain. Bahkan dengan
Senopati Anabrang yang agaknya tak terlalu gembira dengan pengangkatan Nambi
sebagai mahapatih pun juga tak bisa. Akan tetapi Senopati Anabrang juga
kelihatan kesal. Mahapatih berusaha menemui Mpu Sora sebelum berangkat ke Daha.
Akan tetapi pertemuan itu menjadi sangat kaku dan tak banyak pembicaraan yang
berarti. "Saya meminta maaf atas kelancangan keponakan saya, Mahapatih."
"Kakang, jangan terlalu dipikirkan hal itu."
"Kelancangan tetap kelancangan. Apalagi sebagai prajurit, tindakan Keponakan
Lawe tak bisa dibenarkan. Kalau Mahapatih menghendaki, saya bisa memberi
pelajaran." "Kakang Sora, saya kira saya mengerti perasaan Lawe. Sejauh ini tak menjadi
gangguan bagi saya. Selama ia menjalankan tugas Keraton dengan baik, selama itu
pula semua berjalan sebagaimana biasanya.
Gaya masing-masing orang berbeda, Kakang. Dan rasanya kita telah saling mengenal
pada masa-masa dahulu."
"Pandangan Mahapatih sungguh luas."
Ucapan-ucapan tulus semacam itulah yang membuat Mahapatih justru merasakan ada
jarak. Pada saat-saat seperti itu, Mahapatih lebih banyak mendengar dan Halayudha. Yang
meskipun sambil lalu, memberi kabar yang lebih menentukan.
"Baginda mengangkat Permaisuri Indreswari sebagai permaisuri utama, Mahapatih."
"Ya, aku mendengarnya, Paman."
"Berarti putranya kelak yang akan mewarisi takhta."
"Sudah dengan sendirinya."
"Maaf, Mahapatih. "Ini juga berarti keturunan langsung Baginda Raja Sri Kertanegara tidak menitis
ke putra mahkota." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ya, padahal selama ini masih banyak sekali pendukung Baginda Raja Sri
Kertanegara. Terutama dari kalangan para ksatria yang malang melintang di
persilatan." "Begitulah, Mahapatih.
"Bahkan sebagian terbesar merasakan penghormatan yang tulus kepada Baginda Raja,
karena Baginda Raja mempermaisurikan keempat putri Singasari terakhir."
Dengan nada merendah, Halayudha melanjutkan,
"Sudah barang tentu Mahapatih telah melihat kemungkinan-kemungkinan yang muncul
dari kekecewaan yang bisa mencari tempat penyaluran."
"Adakah kamu melihat jalan keluarnya, Paman?"
"Saya tak cukup mengetahui situasi sebenarnya, Mahapatih.
"Akan tetapi kalau Mahapatih bisa matur Baginda, mungkin akan lebih baik jika
putra Permaisuri Indreswari kelak langsung diangkat anak oleh Permaisuri
Tribhuana. Sehingga lebih aman."
Hanya Halayudha yang bisa bersiasat begitu cemerlang!
Sora, Mahapatih Masa Datang
APA yang dirasakan Mahapatih Nambi, juga dirasakan oleh Mpu Sora!
Kebimbangan Mpu Sora mengenai kedudukan Halayudha yang sesungguhnya, juga
memberati pikiran. Ada kecurigaan yang muncul ke permukaan, akan tetapi rasanya
tak ada bukti nyata bahwa Halayudha sengaja berbuat jahat kepadanya.
Justru sebaliknya. Secara hati-hati sekali Halayudha mengemukakan pendapatnya.
Seperti ketika Mpu Nambi akan diangkat sebagai mahapatih.
"Iya, yang saya dengar dari bisikan Baginda, Senopati Agung Sora yang bijaksana.
Pertimbangan Baginda semata-mata karena Senopati Agung Sora tidak bersedia
menjabat." "Saya tidak pernah bermimpi mendapat anugerah pangkat setinggi itu."
"Maaf kalau saya boleh mengatakan bahwa kepala dan mata orang lain yang bisa
melihat diri kita lebih atau kurang. Kita sendiri hanya bisa melihat sebagian
kala berkaca. Tapi tetap tak bisa melihat punggung sendiri.
"Maafkan saya, Senopati Agung."
"Pendapat Senopati ada benarnya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hanya kebetulan saja.
"Akan tetapi pasti bukan secara kebetulan kalau Senopati Agung, yang adalah
salah satu dari tujuh dharmaputra, sekarang ditunjuk menjadi patih di Daha."
"Di mana pun saya ditempatkan, itulah bumi Majapahit."
"Saya percaya sepenuhnya.
"Akan tetapi rasa-rasanya Baginda Raja mempunyai alasan tertentu, kenapa
Senopati Agung Sora yang ditempatkan di Daha. Dan bukan senopati atau patih yang
lain. Dan atau bukan di tempat yang lain.
Begitu banyak tempat yang lain, begitu banyak senopati yang ada, akan tetapi
hanya Senopati Agung Sora yang dipilihkan tempat di Daha!"
Mpu Sora menunduk. "Saya tak mengerti maksud Senopati."
Ganti Halayudha menunduk.
"Saya tidak berhak bicara lancang."
"Katakan saja, jangan sungkan-sungkan." Halayudha tetap menunduk.
Suaranya tetap merendah. "Saya ini kadang merasa besar kepala. Hanya karena selalu berada di dekat
Baginda. Padahal saya ini tak lebih dari keset, alas kaki untuk membersihkan
kotoran di telapak Baginda.
"Maafkan saya, Senopati Agung Sora.
"Sesungguhnya ini kelancangan saya yang menduga bahwa Baginda mempersiapkan
jabatan yang sesungguhnya kepada Senopati Agung.
Baginda tidak ingin melepaskan pilihannya untuk kedua kalinya."
"Alasannya?" "Di Dahanapura sekarang ini berdiam Tarunaraja, raja muda dan juga putra
mahkota, Gusti Kala Gemet. Putra Permaisuri Indreswari dipondokkan di
Dahanapura. Sejak lahir ke bumi, sudah ditunjuk Baginda Raja sebagai putra
mahkota. "Sekarang ini, Senopati Agung diminta Baginda Raja mendampingi, mendidik,
melatih. Sejak masih bayi. Jauh sebelum bisa tengkurap, Senopati Agung telah
mendampingi. "Apa lagi kalau bukan persiapan takhta yang akan datang dengan mahapatihnya"
"Maafkan, ini perkiraan saya yang picik. Akan tetapi sesungguhnya, bukan hanya
saya yang bersyukur jika kenyataannya begitu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Sora menahan napas. Dadanya membusung, tapi tetap menunduk.
"Saya sadari perkiraan Senopati Halayudha terlalu berlebihan." .
"Saya sadari kepicikan saya. Akan tetapi, seperti saya haturkan, bukan hanya
saya yang akan merasa bahagia jika kehendak Baginda Raja seperti ini.
"Maaf, pastilah Baginda tidak sembarangan menunjuk pendamping Putra Mahkota.
"Karena kalau berkenan, Baginda bisa menempatkan Putra Mahkota tetap berada di
Keraton dan langsung diasuh oleh Mahapatih Nambi."
Mpu Sora tergetar dadanya.
Bisa saja Halayudha sengaja mengatakan hal itu sekadar untuk menyenangkan hati
yang mendengarkan. Akan tetapi Mpu Sora juga mengakui, bahwa yang dikatakan Halayudha mengandung
kebenaran!

Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan bukan itu yang direncanakan Baginda."
"Waktu yang akan menentukan dan membuktikan kehendak Baginda yang tak mungkin
diutarakan terbuka. Baginda sangat tidak menginginkan kemungkinan perpecahan.
Saya percaya hati suci dan luhur Senopati Agung. Akan tetapi saya juga sadar
bahwa semua orang tidak mempunyai hati yang sama."
"Ah, lupakan semua itu, Senopati."
"Saya berusaha melupakan, akan tetapi dalam tidur mengiang di telinga."
"Tutuplah lubang telinga."
"Akan saya usahakan, Senopati Agung.
"Namun kalau saya boleh mengutarakan sesuatu - saya ini sudah telanjur banyak
omong - sesungguhnyalah apa yang diutarakan Adipati Lawe tepat sekali."
"Ah!" "Maaf." "Lawe keliru. Sangat keliru."
"Saya sependapat. "Saya kira semua sependapat bahwa Adipati Lawe keliru. Akan tetapi barangkali
alasan yang dikemukakan berbeda-beda."
"Bagaimana pandangan Senopati Halayudha?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya menganggap keliru tindakan Adipati Lawe bukan sewaktu meninggalkan
pasewakan agung. Saya bisa menyadari darah panas dan sikap Adipati Lawe yang
berterus terang. "Saya menganggap keliru karena sebenarnya Adipati Lawe tak perlu mengutarakan
hal itu!" Mpu Sora menelan ludahnya.
Seakan menyangkut di tenggorokan.
"Tanpa diutarakan, semua senopati lain sudah merasa bahwa Senopati Agung Sora-
lah yang berhak menyandang pangkat agung itu."
"Saya tidak percaya."
"Maafkan sekali lagi, Senopati Agung.
"Saya mendampingi Baginda selama masa pemilihan. Satu per satu para senopati
dharmaputra dipanggil menghadap dan ditanyai pendapatnya.
"Jawaban yang saya dengar selama ini, memang Senopati Agung yang berhak."
Mpu Sora menggeleng. Gerahamnya menggertak. Tangannya mengepal. Dalam berbagai situasi Mpu Sora selalu bisa menguasai perasaan hatinya. Namun
sekali ini perasaannya bisa terlihat.
Mpu Sora menjilat bibirnya yang terasa kering.
"Saya berjanji tidak akan mengutarakan ini. Tetapi saya tak bisa menahan diri.
Saya sadar bahwa ini akan membuat Senopati Agung bersedih."
Tangan Mpu Sora terkepal makin kencang.
Dadanya terguncang. "Senopati Agung bukan sedih karena menolak penunjukan Baginda.
Bukan sedih karena kepercayaan yang diberikan para senopati yang lain.
"Melainkan karena secara tidak langsung menyadari bahwa bumi rengka ada di
Keraton. Bahwa sesungguhnya garis pemisah itu ada dengan diangkatnya Senopati
Nambi sebagai mahapatih. "Bahwa selama ini bumi yang terbelah itu belum kelihatan benar, karena kesetiaan
dan pengabdian kepada Baginda Raja. Akan tetapi bisa berubah banyak di waktu
mendatang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau Mahapatih Nambi tidak bisa menjalankan kewajibannya dengan adil dan
menyelesaikan perkara-perkara yang timbul, tanah yang terbelah itu akan muncul.
"Bukankah ini yang menyebabkan Senopati Agung bersedih?"
Mpu Sora mengakui bahwa Halayudha bisa menebak jalan pikirannya!
Jauh-jauh dalam batinnya tak ada keinginan untuk mengiri kepada jabatan yang
begitu terhormat. Baginya mengalir darah seorang prajurit yang berdasarkan
pengabdian tunggal. Baginya mengalir darah ksatria yang bersikap jujur secara
tulus. Untuk dua hal ini Mpu Sora tak pernah bimbang serambut pun!
Itulah sebabnya Mpu Sora sama sekali tidak bisa membenarkan tindakan Adipati
Lawe yang meninggalkan pertemuan! Ini tindakan sangat tercela sebagai seorang
prajurit sejati! "Saya mohon beribu maaf kalau kata-kata saya yang lancang ini menambah beban
pikiran Senopati Agung."
Mpu Sora menggeleng lembut.
"Tidak, sama sekali tidak, Senopati Halayudha. Saya berterima kasih atas
pandangan yang dikemukakan secara terbuka. Saya tak akan pernah melupakan."
"Ucapan saya tak ada artinya.
"Kalau ada, pasti Mahapatih tidak menunda-nunda keberangkatan Senopati Agung ke
Daha. Akan tetapi nyatanya sampai hari ini Mahapatih seperti sengaja menahan
agar Senopati Agung tidak segera mendampingi sang Putra Mahkota.
"Biarlah lidah saya kaku, kalau saya tidak mengatakan apa yang tidak berada
dalam hati saya yang paling dalam."
Dwidasa di Samudra HALAYUDHA juga mendatangi Senopati Anabrang.
Begitu datang langsung berlutut di depan Senopati Anabrang.
"Saya tak pantas bahkan untuk mencium kaki Senopati yang selama dwidasa warsa
menguasai samudra. Dua puluh tahun menguasai lautan, sungguh tak terbandingkan
dengan seorang yang hina seperti saya.
"Kedatangan saya yang pertama-tama untuk meminta hukuman karena telah membuat
malu seluruh senopati. Terutama telah melukai Senopati Mahisa Anabrang yang
kondang keperwiraannya."
Senopati Anabrang tersentak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia tak menyangka bahwa akhirnya Senopati Halayudha yang begitu dekat dengan
Baginda Raja datang kepadanya, mengakui kesalahannya.
Kekukuhan hatinya keras bagai baja. Akan tetapi seperti juga baja, justru mudah
patah. Agaknya ini yang menjadi perhitungan Halayudha!
Dengan mendatangi, merendahkan diri, justru Halayudha bisa menempatkan diri pada
tempat yang tinggi, yaitu kemenangan. Tak ubahnya ketika menyikat ketiga Kama!
Apalagi Halayudha sengaja membangkitkan kemenangan Senopati Anabrang. Kemenangan
sebagai senopati yang selama dua puluh tahun - meskipun kurang dua tahun -
mengarungi samudra luas. Menjalankan tugas dengan gemilang di tlatah Melayu.
Halayudha bukan sekadar mengingatkan kebesaran itu, akan tetapi juga menggunakan
sebutan Senopati Mahisa Anabrang!
Ada kata Mahisa yang diucapkan secara mendasar. Diberi tekanan lebih dalam
ketika mengutarakan. Cara yang sangat jitu! Halayudha mengetahui dengan persis, bahwa pada kelompok tertentu masih
terbayangi kekuasaan besar Keraton Singasari. Hak yang tak akan bisa terhapus
begitu saja. Keraton Singasari memang pantas dibanggakan karena kebesaran
Baginda Raja Sri Kertanegara dalam memperluas cakrawala jagat raya. Di tangan
kekuasaan Sri Kertanegara-lah lautan mulai dikuasai, sampai ke negeri seberang.
Dengan kata-kata yang membakar semangat: "Di mana ada gunung berdiri, di mana
Pengejaran Ke Cina 1 Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak Pedang Medali Naga 20
^